perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Raditya Gumelar Mahardika NIM. E0008068
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Konstitusi Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai lembaga negara apa saja yang mendapat kewenangan dari UUD 1945. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), seiring berjalannya waktu terjadi problematika dalam proses beracaranya dimana terjadi kekosongan hukum mengenai bagaimana kedudukan hukum dari lembaga negara penunjang dalam mengajukan permohonan SKLN karena kewenangannya yang disebutkan eksplisit di UUD 1945. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian SKLN yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan untuk mengetahui implikasi yuridis adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam SKLN. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis bahan yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi dokumen dengan teknik analisis berupa metode logika deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan mengenai legal standing lembaga negara penunjang untuk mengajukan permohonan sebagai para pihak pada SKLN di Mahkamah Konstitusi sah-sah saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara . Dengan merujuk pada legitimasi Hakim Konstitusi hendaknya dilakukan penafsiran yang lebih luas dalam menentukan subjectum litis dan objectum litis pada hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selain itu Hakim Konstitusi juga perlu melakukan interpretasi yang dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung hierarki. Kemudian implikasi yuridis dari Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 adalah adanya diskriminasi terhadap kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam proses hukum acara SKLN dimana Hakim Konstitusi masih menafsirkan secara sempit dan tekstual makna “lembaga negara” dalam Pasal 61 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Kosntitusi.
Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Sengketa Kewenangan antar Lembaga user Negara, Lembagacommit Negara to Penunjang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALYSIS OF THE LEGAL STANDING OF AN AUXILIARY STATE ORGAN) IN A DISPUTE BETWEEN AUTHORITIES OF THE STATE ORGANS WERE DISPUTE BY THE CONSTITUTIONAL COURT (Study Decision Number : 030/SKLNIV/2006), Faculty of Law Sebelas Maret University. Constitution Indonesia not arranged regarding state organs any kind of getting authorities of UUD 1945. One of authorities of Constitutional Court is decision of dispute between authorities of the state organs (SKLN), along the time happened problematc in course of attend legal procedure it where happened blankness of law about legal standing of auxiliary state organs in apply SKLN because its which mentioned by eksplisit in UUD 1945. Main Purposes of this research is to know the legal standing of auxiliary state organ in dispute of settlements authority between state organs were dispute by the Constitutional Court (MK) and to know the implications of the Constitutional Court Decision Number : 030/SKLN-IV/2006 on the legal standing of the auxiliary state organ to supporting in dispute of settlements authority between state organs. This research is normative legal research that is spatially descriptive research. This research use secondary data, where it has primary material law and secondary material law. It use library technic methodology with technic analyse in the form of deductive logic method. The result of research showed the provision regarding the supporting legal standing of auxiliary state organs to apply a matter as a party in dispute of settlements authority between state organs at the Constitutional Court can do it just as stipulated in Article 3 Paragraph 1 Rules of MK Number 08/PMK/2006 about Guidance Attend legal procedure in a dispute between authorities of the state organs. With reference to the legitimacy of the Judge of Constitution should be conducted an wider interpretation of the determining subjectum litis and objectum litis to the event law of dispute of settlements authority between state organs. The judge also need to make an interpretation of the constitution that is bounded in accordance with the rights context, which is the form of power over the state organs must be attributive and derivative does not contain a hierarcy. And then juridicial implication of the Constitutinal Court Decision Number 030/SKLN-IV/2006 were the discrimination against legal standing from auxiliary state organ in a process dispute of settlements authority between state organs that the constitution judge had still interpretation in a narrow manner an textual meaning of “state organs” in Article 61 of Act Number 24/2003 jo. Act Number 8/2011 about Constitutional Court
Keyword : Constitutional Court, A Dispute Between Authorities Of The State Organs, Auxiliary Statecommit organsto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Man Shabara Zhafira (Siapa yang bersabar pasti beruntung) “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepadaNya lah aku kembali” (Q.S. Hud:88)
Hidupmu adalah Perjuanganmu, Perjuanganmu adalah Suksesmu (Penulis)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini penulis persembahkan untuk : Allah SWT Terima kasih untuk rahmat, karunia, dan hidayahMu Bapak Widodo Ibu Muning Hartiwi Terima kasih untuk doa, perhatian, cinta dan kasih yang mengalir tiada henti Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum dan Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H Terima kasih telah membimbing dengan sabar dan pemberian ilmu yang ikhlas hingga penulisan hukum ini selesai Very Puspita Indriyanti Thank’s for every your laugh, spirit and love Semua pihak yang telah membantu penulisan hukum ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)” dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulisan hukum ini membahas mengenai kedudukan hukum bagi lembaga negara sebagai para pihak dalam sengekta kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C UUD 1945 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, namun definisi dari kata “sengketa kewenangan” dan “lembaga negara” tidak dijelaskan secara rinci dalam konstitusi. Dalam penelitian ini, dibahas mengenai lembaga negara mana saja yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi selain itu dijelaskan bagaimana konstitusi melihat kedudukan dari lembaga negara penunjang dalam sehingga dari kedudukan tersebut dapat diketahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selanjutnya juga dibahas implikasi yuridis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap eksistensi lembaga negara penunjang sebagai pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I Penulisan Hukum (Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran, dan kritik bagi penulis dalam menyusun Penulisan Hukum (Skripsi) ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta. 6. Segenap karyawan Fakultas Hukum UNS, yang telah memberikan pengalaman yang berharga bagi penulis ketika menjalani masa perkuliahan dan organisasi. 7. Kedua orang tua, Bapak Widodo dan Ibu Muning Hartiwi, Saudaraku Rizki Widyaningrum dan Ajeng Apriliana serta keluarga di Magetan dan Jogja. 8. Segenap staf Mahkamah Konstitusi yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman yang luar biasa selama penulis melaksanakan kegiatan magang serta teman-teman Magang, Yusuf, Trisna, Sap Wulandari, Asri Triaji, Rio S, Ratu, Dwi dan Mas Gegana. 9. Very Puspita Indriyanti yang telah memberikan doa dan semangat bagi Penulis 10. Sahabatku ((Unyu Kost)): Asri Triaji, Kurniawan Putra, R.Giazh, Hamdan Rahmat, Johan Candra, Arif Satriantoro, Mas Hafidz, Mas Prastowo, Hari Cahyadi. 11. Organisasiku BEM FH UNS dan Teman-Teman Angkatan 2008 dan KASASI 2011 terimakasih untuk segala bekal ilmu dan pengalaman yang luar biasa yang diberikan kepada penulis. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, commit to user
Mei 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ ABSTRAK ...................................................................................................... ABSTRACT ..................................................................................................... HALAMAN MOTTO ..................................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ……………. ...................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ ........ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................
BAB II
i ii iii iv v vi vii viii ix xi xiv xv xvi 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
7
D. Manfaat Penelitian .................................................................
8
E. Metode Penelitian .................................................................
9
F. Sistematika Penulisan Hukum ...............................................
13
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ......................................................................
15
1. Tinjauan Umum mengenai Kedudukan Hukum ...............
15
a. Pengertian Kedudukan Hukum Secara Umum...........
15
b. Pengertian Kedudukan Hukum dalam Mahkamah Kosntitusi ..............................................
16
c. Kedudukan Hukum dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi ......
16
2. Tinjuan Umum mengenai Lembaga Negara .....................
19
a. Pengertian Lembaga Negara ......................................
19
b. Pengertian Lembaga Negara Penunjang .................... commit to user 3. Tinjauan Umum mengenai Sengketa Kewenangan Antar
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lembaga Negara (SKLN) ................................................
27
a. Pengertian SKLN ......................................................
27
b. Wewenang Mahkamah Kosntitusi Memutus SKLN .
30
c. Mekanisme Hukum Acara Sengketa Kewenangan
BAB III
Antar Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi .
35
4. Tinjauan Umum mengenai Mahkamah Konstitusi............
36
a. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi .
36
b. Fungsi Mahkamah Konstitusi.....................................
37
B. Kerangka Pemikiran ..............................................................
38
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang Dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi .......................... 40 1. Kualifikasi Kewenangan Lembaga Negara Menurut UUD 1945 .........................................................................
40
a. Organ Lapis Pertama atau Lembaga Tinggi Negara
48
b. Organ Lapis Kedua atau Lembaga Negara ...............
57
c. Organ Lapis Ketiga atau Lembaga Daerah ..............
61
2. Penafsiran Kedudukan Hukum Lembaga Negara dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara .....
71
B. Implikasi Yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 Tehadap Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang Dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara ...................................... 79
BAB IV
1. Kedudukan Hukum Para Pihak ........................................
79
2. Alasan Permohonan ..........................................................
83
3. Amar Putusan ...................................................................
88
PENUTUP A. Simpulan ................................................................................ 102 1. Kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara commit to user oleh Mahkamah Konstitusi ................................................ 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara .......... 103 B. Saran ...................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
................................................................................ 106
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ketentuan Mengenai SKLN Menurut Mahkamah Konstitusi .........
94
Tabel 2. Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam SKLN ................................
95
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pemikiran …………………………………………………………………………. 38
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden RI qq Menteri Komunikasi dan Informasi RI
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Baron de Montesquiue mengidealkan
ketiga fungsi
kekuasaan
negara
itu
dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian kebebasan akan terancam. Konsepsi yang kemudian disebut dengan trias politica tersebut tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin saling bersentuhan dan bahkan ketiganya besifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances (Jimly Asshiddiqie, 2010: 1). Berawal dari konsepsi diatas, Indonesia melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002. Tuntutan perubahan atas UUD 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) dan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang (Dahlan Thalib, 1996: 64). Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan masyarakat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sentralistik, tertutup dan korupsi kolusi nepotisme. Tuntutan tersebut diwujudkan dalam empat kali amandemen UUD 1945. Setelah UUD 1945 diamandemen baik melalui perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat struktur ketatanegaraan di Indonesia juga mengalami perubahan. Amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga demokrasi baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kemudian, pada masa reformasi, struktur ketatanegaraan Indonesia diwarnai dengan munculnya lembagalembaga atau komisi-komisi independen yang membantu, mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan, misalnya: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum dan lain sebagainya. Selain itu, adanya amandemen UUD 1945 juga mengubah kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan berubah menjadi lembaga tinggi negara yang kedudukannya sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. MPR terdiri dari dua kamar atau bicameral yang terdiri dari DPR dan DPD, yang kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif tersebut sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain dengan prinsip checks and balances (Jimly Asshiddiqie, 2010: 2). Adanya
perubahan
kedudukan
MPR
menyebabkan
terjadinya
perubahan pada tatanan hubungan antar lembaga negara, hubungan antar lembaga negara tidak lagi terstruktur secara hierarkis melainkan tersusun secara fungsional, dimana konstitusi memberikan fungsi kepada masingmasing lembaga negara. Artinya adalah dengan perubahan tersebut akan mempertegas dianutnya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances” diantara lembaga-lembaga tinggi negara. Dengan adanya prinsip “checks and balances” maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh user aparat penyelenggara negara commit ataupuntopribadi-pribadi yang kebetulan sedang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Sebuah konsepsi pembentukan lembaga negara bukan saja diartikan sebagai lembaga masyarakat. Namun, lembaga ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif maupun yudikatif maupun yang bersifat campuran. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa lembaga ini berkembang pesat baik di tingkat nasional maupun daerah. Di tingkat pusat, ada empat tingkatan untuk membedakannya diantaranya: 1. lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Keputusan Presiden (Keppres); 2. lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dengan PP, dan Keppres; 3.
lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusa Presiden;
4. lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat dibawah menteri. Sedangkan lembaga yang ada di daerah, tidak disebut sebagai lembaga negara melainkan disebut lembaga daerah, sepanjang bekerjanya dibiayai oleh anggaran belanja negara atau daerah, dan bukan dimaksudkan sebagai lembaga swasta atau lembaga masyarakat (Jimly Asshiddiqie, 2008: 340-350). Secara rinci, Jimly Asshiddiqie mengidentifikasi 34 lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945 baik secara eksplisit maupun implisit. Diluar lembaga yang disebut dalam UUD 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia juga diramaikan dengan sejumlah komisi atau lembaga yang sering disebut sebagai lembaga independent. Lembaga independen ini sering disebut sebagai auxiliary state organs¸atau disebut lembaga negara penunjang. Lembaga ini ada yang disebut dalam aturan hukumnya sebagai lembaga negara, lembaga tersebut antara lain KOMNAS HAM, KPK, KPI, KPAI, LPSK dan commit to (Jimly user Asshiddiqie, 2010: 4). Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan adanya berbagai struktur kelembagaan negara dan adanya hubungan antar kelembagaan yang saling mengontrol dan mengimbangi (checks and balances) tersebut diatas, tentunya memungkinkan terjadinya sengketa antar lembaga negara, khususnya yang terkait dengan kewenangan kosntitusional. Hubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain diikat oleh prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat tetapi saling menegendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan UUD 1945. Jika timbul persengketaan terdapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri dengan nama Mahkamah Konstitusi (Jimly Asshiddiqie, 2005:
2).
Kewenangan penyelesaian sengketa tersebut, dalam praktek negara-negara sejak abad ke-20, menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahkan, kewenangan demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi tidak secara tegas menyatakannya (I Gede Dewa Palguna, 2008: 6). Dengan demikian, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dengan Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai d UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dijelaskan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah commit to user melakukan pelanggaran hukum,atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Mengenai persoalan SKLN telah dibuat ketentuan perundangan yang lebih teknis dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam SKLN. Kemudian sesuai dengan pasal 61 ayat (1) UU MK dijelaskan yang menjadi objek sengketa adalah persengketaan mengenai kewenangan konstitusional antar lembaga negara. Sedangkan subjek sengketa adalah seluruh lembaga negara yang kewenangannya diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945 kecuali Mahkamah Agung tidak dapat bersengketa. Terkait
dengan
penyelesaian
perkara
memutus
SKLN
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sejak 2003 sampai sekarang, terdapat 12 perkara yang diterima dan telah diputus oleh Mahkamah Kosntitusi. Hasil putusannya, 2 perkara ditolak, 6 perkara tidak dapat diterima dan empat ditarik kembali (Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 150). Salah satu perkara SKLN yang amar putusannya tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi adalah Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang mengadili sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku Pemohon dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika selaku Termohon. Adapun kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah sengketa kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaran dimana perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI dan Pemerintah melalui KPI. Akan tetapi, kewenangan konstitusional tersebut diambil alih oleh Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin tersebut kepada Pemohon tanpa memberikan kewenangan pada Pemohon untuk membuat kebijakan dalam hal pemberian izin penyiaran. Dalam amar putusannya Hakim Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dengan pertimbangan hukum bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan commit to user hukum (legal standing) dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karena KPI adalah lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh undang-undang bukan UUD 1945, dengan demikian KPI bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai salah satu lembaga negara penunjang dalam putusan tersebut tidak dianggap keberadaannya sehingga hal ini tidak sesuai permohonan yang disampaikan KPI. Dimana permohonan tersebut beranjak dari Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU 32 tahun 2002 (UU Penyiaran) terhadap UUD 1945 yang dalam putusannya menyatakan KPI diakui sebagai lembaga negara. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis memfokuskan pada analisis terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ) dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi karena adanya kekosongan hukum. Hal ini sangat penting dikaji, mengingat dalam peraturan perundangundangan tidak secara detail menjelaskan kedudukan hukum para pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sehingga muncul gagasan penulisan hukum yang berjudul, “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Bagaimanakah kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi? 2. Bagaimana implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap kedudukan
hukum
lembaga
negara
penunjang
dalam
sengketa
kewenangan antar lembaga negara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan penelitian ditemukan secara deklaratif dan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto, 2007: 118-119). Dalam suatu penelitian dikenal ada dua macam tujuan, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif, yang mana tujuan obyektif merupakan tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan yang disebut tujuan subyektif yaitu berasal dari peneliti. Tujuan obyektif dan subyektif dalam penelitian ini antara lain : 1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang mendasari peneliti dalam melakukan penelitian. Tujuan obyektif dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi b. Untuk mengetahui implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLNIV/2006 tehadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi peneliti yang mendasari peneliti dalam melakukan penulisan. Tujuan subyektif peneliti antara lain : a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang Hukum Tata Negara khususnya berkaitan dengan penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta c. Untuk mengasah dan menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah peneliti peroleh agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri serta memberikan
kontribusi
positif bagi
perkembangan
ilmu
pengetahuan di bidang hukum.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi 2. Manfaat Praktis a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak commit to user terkait, mengenai kedudukan hukum lembaga negara penunjang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan perimbangan yang menyangkut masalah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan pengujian. Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam usaha mencari kebenaran yang ilmiah, metode penelitian menjadi bagian yang cukup penting dalam menyusun suatu penelitian. Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 2006: 42). Oleh karena itu penelitian merupakan sarana (ilmiah) bagi pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya (Soerjono Soekanto, 2007: 1). Metode penelitian yang akan dipergunakan peneliti dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum commit to user kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu dalam hal kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ) dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi (Soerjono Soekanto, 2007: 10). 2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984: 10).
3.
Pendekatan Penelitian Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu peneilitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai hukum normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan sebagai berikut (Johny Ibrahim, 2005: 246): a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) b. Pendekatan Konsep (conceptual approach) c. Pendekatan Perbandingan (comparative approach) d. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan tersebut dapat digabung, sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai. Namun dalam suatu penelitian normatif, satu hal yang pasti adalah penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute commit to usersecara logika hukum, penelitian approach). Dikatakan pasti karena
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum normatif didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum yang ada. Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), serta pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan secara otomatis dipilih karena kajian penelitian hukum yang bersifat yuridis-normatif, sedangkan pendekatan konsep dipilih untuk membantu peneliti memahami filosofi aturan hukum dari masing-masing ahli hukum serta memahami dasar suatu konsep yang melandasi suatu aturan hukum. Terakhir, pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan materi penelitian yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengkaji pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara. 4.
Sumber Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer terdiri dari peraturan perundangundangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. commit32 to Tahun user 2002 tentang Penyiaran. 3) Undang-Undang Nomor
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan antarlembaga Negara. 5) Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
030/SKLN-IV/2006
tentang Sengketa Kewenangan antara KPI dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informasi. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Dalam hal ini berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum yang mendukung penulisan hukum ini. 5.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik
pengumpulan
bahan
hukum
dimaksudkan
untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan menggunakan content analysis (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 21). Penulis dalam mengumpulkan bahan hukum dengan cara mencari peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan yang berkaitan dengan segala aspek dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi serta penelusuran buku-buku dan jurnal nasional maupun internasional yang berkaitan dengan konsep lembaga negara penunjang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Selanjutnya bahan hukum yang telah didapatkan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. 6.
Teknik Analisis Langkah yang dilakukan setelah memperoleh bahan hukum adalah menganalisis bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan faktor terpenting dalam penelitian untuk menentukan kualitas hasil penelitian yaitu dengan analisis data. Penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan. Mengkualitatifkan data adalah fokus utama dari penelitian hukum ini. Dengan demikian penulis berharap untuk dapat memberikan gambaran utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti, yaitu seputar kedudukan hukum bagi lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan menganalisis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006. Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran (logika) deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum kemudian ditarik kesimpulan sesuai dengan kasus faktual yang diteliti atau dianalisa. Dalam UUD 1945 diatur adanya penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi kemudian dikualifikasikan lembaga negara apa saja yang berhak untuk mengajukan permohonan SKLN menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi sehingga dalam penelitian ini dapat diindentifikasi apakah lembaga negara yang bersifat penunjang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan SKLN.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan ilmiah, maka peneliti menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun user 4 (empat) bab yang tiap bab sistematika penulisan hukumcommit terbagito dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori dari para ahli maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti serta kerangka pemikirannya. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan tentang kedudukan hukum, tinjauan tentang lembaga negara, tinjauan tentang sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, peneliti menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan sebagai jawaban perumusan masalah. Terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini, yaitu: 1. kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi 2. implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara BAB IV PENUTUP Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai simpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) a. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) Secara Umum Pengertian kedudukan hukum atau legal standing menurut Black’s Law Dictionary adalah “ A Party’s righ to make legal claim or seek judicial enforcement of a duty or right” (Henry Campbel, 1999: 1413). Kemudian menurut ensiklopedi Wikipedia online pengertian legal standing adalah “Standing or locus standi is the ability of a party to demonstrate to the court sufficient connection to and harm from the law or action challenged” (Admin , Legal Standing, http://www. wikipedia. org/legal/standing, diakses pada Rabu, 8-2-2012 pukul 13.15 WIB). Intinya adalah legal standing atau kedudukan hukum merupakan penentu apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek hukum yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang untuk mengajukan perkara di muka pengadilan sebagaimana undang-undang tersebut mengatur. Dalam hukum Amerika Serikat, persyaratan legal standing dikatakan telah terpenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi (Maruarar Siahaan, 2005: 81). Yang dimaksud dengan standing atau personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan didepan pengadilan (standing to sue), yaitu bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan
yang dapat
dituntut
untuk
mendapatkan
keputusan
pengadilan (Maruarar Siahaan, 2005: 94). Dalam yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk mempunyai standing to commit to user sue, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat: a) spesifikasi atau khusus, dan b) aktual dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial; 2) adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang; 3) kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan. (Maruarar Siahaan, 2005: 81). Pesyaratan legal standing sebagaimana diatur dalam konstitusi Amerika Serikat, berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Pengaturan tentang legal standing di Indonesia tersebar dalam berbagai ketentuan hukum formil. b. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Mahkamah Konstitusi Tidak semua orang atau badan hukum boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar (Maruarar Siahaan, 2005: 81). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, memang tidak mengatur mengenai legal standing para pemohon secara umum. Namun pengertian dan rumusan legal standing pemohon ditentukan berbeda berdasarkan masing-masing wewenang Mahkamah Konstitusi. Sehingga pengertian legal standing dalam masing-masing kewenangan berbeda tergantung dari subjek penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Konstitusi. c. Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi Dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara commit to user di depan Mahkamah Konstitusi (SKLN), pihak-pihak yang berperkara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pihak Pemohon dan pihak Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak Pemohon dan pihak Termohon, Hukum Acara SKLN yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pemohon Pemohon kewenangan
adalah
lembaga
konstitusionalnya
negara
diambil,
yang dikurangi,
menganggap dihalangi,
diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan lembaga negara yang sumbernya diperoleh dari UUD 1945 inilah yang disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945 (Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 172). Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah : a)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d)
Presiden;
e)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f)
Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara commitkemungkinan to user lain’ menunjukkan, bahwa pemohon lain di luar yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim konstitusi. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja menjadi pemohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Yang dimaksud dengan kewenangan yang dipersengketakan ini adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945. 2) Termohon Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil,
mengurangi,
menghalangi,
mengabaikan,
dan/atau
merugikan pemohon. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah : a)
Dewan Perwakilan Rakyat;
b)
Dewan Perwakilan Daerah;
c)
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d)
Presiden;
e)
Badan Pemeriksa Keuangan;
f)
Pemerintahan Daerah; atau
g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan termohon lain di luar yang telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja menjadi termohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya. Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon memiliki kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki commit to usersama untuk mengajukan hal-hal kesempatan dan kebebasan yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang dianggapnya benar menurut hukum. Keduanya juga memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk mengajukan pembelaan dan bukti-bukti yang dianggap perlu. Dengan
demikian
kedudukan
pemohon
dan
termohon
berkaitan dengan pemeriksaan perkaranya bersifat accusatoir (R.Soesilo, 1979: 11-12). Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. Surat kuasa khusus dan surat keterangan khusus tersebut harus ditunjukkan dan diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.
2. Tinjauan tentang Lembaga Negara a. Pengertian Lembaga Negara Lembaga Negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Didalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara digunakan istilah political institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, organ negara atau badan negara (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 29). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata “lembaga” antara lain diartikan sebagai (1) “asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal”; (2) “acuan; ikatan”; (3) “badan (organisasi) yang tujuannya melakukan
suatu
penyelidikan
keilmuan
atau
melakukan
suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha”. Kamus tersebut juga memberikan contoh frasa yang menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan “badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif”. Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim user institusi-institusi yang dibentuk disebut sebagai lembaga commit negara to adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
guna melaksanakan fungsi-fungsi negara (Jimly Asshiddiqie, 2010: 32). Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan
fungsi
mengadili
(fungsi
yudikatif).
Kecenderungan
praktik
ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara ketiga pelaksana fungsi negara tersebut. Sebenarnya, secara sederhana istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat atau yang biasa disebut Organisasi Non Pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie, 2010: 31). Namun, baik pada tingkat nasional maupun daerah, bentuk-bentuk organisasi negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, berdasarkan gagasan Montesquieu yang terkenal dengan doktrin trias politica-nya, kita tidak dapat melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga negara itu selalu terkait dengan tiga cabang alat perlengkapan negara, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hingga konsep lembaga negara juga selalu harus terkait dengan pengertian ketiga cabang kekuasaan itu. (Jimly Asshiddiqie, 2010: 33). Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan commitkedudukannya to user Presiden. Hierarki atau ranking tentu saja tergantung pada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pembedaan lembaga negara dari beberapa segi, yaitu : 1) Dari Segi Hierarki Pembedaan lembaga negara berdasarkan hierarki itu penting karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai yaitu, kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan
kualitas fungsinya yang bersifat
utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara (Jimly Asshiddiqie, 2010: 90). Dari segi hierarkinya dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: a) Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu: (1) Presiden dan Wakli Presiden; (2) Dewan Perwakilan Rakyat (3) Dewan Perwakilan Daerah; (4) Majelis Permusyaratan Rakyat; (5) Mahkamah Konstitusi; (6) Mahkamah Agung; (7) Badan Pemeriksa Keuangan. b) Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945 dan ada pula yang mendapatkan
kewenangannya
dari
Undang-Undang.
mendapat kewenangan dari UUD 1945, misalnya adalah: (1) Menteri Negara; (2) TNI; commit to user (3) Kepolisian Negara;
Yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(4) Komisi Yudisial; (5) Komisi Pemilihan Umum; dan (6) Bank Sentral Dalam UUD 1945, Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan
kewenangan
pokoknya,
yaitu
sebagai
lembaga
penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi, nama lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut dengan huruf besar. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5) berbunyi,”Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,tetap dan mandiri”. Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh Undang-Undang, Undang-Undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya. Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan,
kewenangan,
tanggung
jawab
dan
independensinya diatur dengan undang-undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu “Bank Indonesia” maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan undangundang. Kemudian lembaga negara yang dibentuk dan mendapat kewenangan dari undang-undang, yaitu: commit to user (1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi; (3) Komisi Penyiaran Indonesia; (4) Komisi Pengawasan Persaingan Usaha; (5) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (6) Komisi Kedokteran Indonesia dan lain sebagainya. c) Organ lapis ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan Presiden, jika Presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu Presiden berwenang
untuk
itu.
Artinya,
keberadaannya
sepenuhnya
tergantung kepada kebijakan Presiden (Jimly Asshiddiqie, 2010: 93). 2) Dari Segi Fungsinya Dalam pembedaan tersebut ada lembaga negara yang dapat dikategorikan sebagai organ utama (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan diantara keduanya, lembagalembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah, yaitu ranah kekuasaan eksekutif atau pelaksana, kekuasaan legislatif atau pengawasan serta kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
b. Pengertian Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organ) Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis to user lembaga-lembaga baru commit tersebut, diantaranya adalah state auxiliary
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO (non-governmental organization) (Jimly Asshiddiqie, 2010: 103). Lembaga negara penunjang ini sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan. Secara teoritis, lembaga negara penunjang bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara penunjang sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara penunjang dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya (Fariz Pradipta, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia user Pasca Amandemen commit UUD to 1945, http://www.farizpradiptalaw.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
blogspot.com/kedudukan-lembaganegara-bantu-didalam.html
diakses
pada Minggu, 29-01-2012 pukul 16.36 WIB). Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara penunjang adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2) advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah. Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara penunjang dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut (Fariz Pradipta,
Kedudukan
Ketatanegaraan
Di
Lembaga Indonesia
Negara Pasca
Bantu
Amandemen
Dalam UUD
Sistem 1945,
http://www.farizpradiptalaw. blogspot.com/kedudukan-lembaga-negarabantu-didalam.html, diakses pada Minggu, 29-01-2012 pukul 16.36 WIB): 1) Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik. 2) Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik. 3) Perlunya
pengaturan
mengenai
profesi-profesi
yang
bersifat
independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum. 4) Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis. 5) Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi yudisial dan berfungsi
untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan commit to/ user (alternative dispute resolution alternatif penyelesaian sengketa)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang tersebut juga harus memiliki landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas. Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya. Ni’matul Huda, mengutip Firmansyah Arifin,dkk. dalam Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembagalembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian,
pembentukan
lembaga-lembaga
negara
penunjang
ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak-hak dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga. 2) Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa pra reformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD Negara RI Tahun 1945 untuk menciptakan mekanisme checks and balances. 3) Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan commit to user yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesatuan
yang
berproses
dalam
melaksanakan
fungsinya.
Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembagalembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga-lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antar lembaga yang ada sehingga menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan. 4) Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Pada dasarnya, pembentukan lembaga negara ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya serta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu kepada
prinsip
pemerintahan,
yaitu
harus
dijalankan
untuk
kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak individu warga negara (Ni’matul Huda, 2005: 67).
3) Tinjauan tentang Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN) a.
Pengertian SKLN Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberi putusan terhadap sengketa kewenangan antar lembaga negara tersebut juga belum ada. Karena itu, selama masa tersebut belum ada preseden dalam praktek ketatanegaraan Indonesia mengenai penanganan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Barulah setelah adanya Perubahan Ketiga UUD 1945, yang mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh commit to userIndonesia memiliki mekanisme UUD 1945, sistem ketatanegaraan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara (Jimly Assidiqie, 2005: 2). Sistem ketatanegaraan Indonesia yang dimaksud di sini adalah seperangkat prinsip dasar dan aturan yang mengenai susunan negara atau pemerintahan, bentuk negara atau pemerintahan, hubungan tata kerja antar lembaga negara atau pemerintahan dan sebagainya yang menjadi dasar pengaturan negara atau pemerintahan di Indonesia. Dengan pengertian sistem ketatanegaraan Indonesia yang demikian ini, maka pada hakikatnya esensi sistem ketatanegaraan Indonesia ini adalah Hukum Tata Negara Indonesia, yang meliputi hukum konstitusi dan konvensi ketatanegaraan (the Law of the Constitution dan the Convention of the Constitution) (Widodo Ekatjahana, 2008: 20). Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat, dan saling mengimbangi satu sama lain. Penggunaan istilah checks and balances itu sendiri, pernah dilontarkan oleh John Adams, Presiden Amerika Serikat kedua (1735-1826), pada saat ia mengucapkan pidatonya yang berjudul “Defense of the Constitution of the United States” (1787). Istilah checks and balances tersebut menurut David Wootton sebenarnya hanya merupakan salah satu teknik saja untuk mengemukakan konsep saling kontrol dan saling mengimbangi antar cabang kekuasaan negara. Dan istilah itu sebelumnya juga telah digunakan oleh Whig John Toland (1701) dan Marcham Nedham (1654). Gagasan checks and balances menurut David Wootton mengandung pikiran, bahwa konstitusi merupakan satu sistem mekanis, yang diartikan sebagai satu interest dalam mekanisme (Mark Tushnet, 2011: 10). Menurut Jimly Asshiddiqie, rujukan tentang mesin politik itu, diambil dari edisi John Dryden tentang Plutarch’s Lives, dengan mengatakan “...the Maker of the world had when he had finished and set this great commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
machine moving, and found everything very good and exactly to answer to his great idea..” (Maruarar Siahaan, 2008: 69). Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi Lembaga-lembaga negara itu dapat bersengketa, karena menurut dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsikan dalam ketentuan UUD 1945 sesudah Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000), Ketiga (2001), dan Keempat (2002), mekanisme hubungan antarlembaga negara bersifat horisontal, tidak lagi bersifat vertikal. Jika sebelumnya kita mengenal adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara (Sri Soemantri Martosoewignjo, 1981: 39), maka sekarang tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR bukan lagi lembaga yang paling tinggi kedudukannya dalam bangunan struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga konstitusional lainnya, yaitu Presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK. Kemudian pengertian dari SKLN selanjutnya dikemukakan oleh dua Hakim Konstitusi yaitu: 1)
Menurut Maruarar Siahaan, SKLN adalah sengketa yang timbul dalam bidang hukum tata negara sebagai akibat satu lembaga negara menjalankan kewenangan yang diberikan UUD 1945 padanya, telah menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga negara lainnya. Dimana sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena commit lembaga to user negara yang diperolehnya dari digunakannya kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
UUD 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain (Maruarar Siahaan, 2005: 27). 2)
Kemudian menurut Maria Farida, SKLN adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. Dimana kewenangan tersebut dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945 (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 13). Hingga Agustus 2009, Mahkamah Konstitusi telah menerima dan
memutus kurang lebih 11 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Kesebelas tersebut masing-masing diregistrasi pada tahun 2004 sebanyak 1 perkara, 2005 sebanyak 1 perkara, 2006 sebanyak 4 perkara, 2007 sebanyak 2 perkara, dan 2008 sebanyak 3 perkara (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi , 2010: 143 ). b.
Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus SKLN Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, di samping melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD
1945,
pada
dasarnya
merupakan
kewenangan
konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; dan (2) kewenangan untuk memutus SKLN yang kewenangannya bersumber dari UUD 1945 (Harjono, 2009: 140). Apabila ditelusuri
dari
sejarah
pembentukan
kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memutus SKLN sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, ternyata lahir dari berbagai pemikiran yang melatar belakanginya. Pemikiran-pemikiran tersebut commit to user rumusan tentang kedudukan dan dapat ditelusuri dari sejarah bagaimana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wewenang Mahkamah Konstitusi itu dibahas dalam persidanganpersidangan Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR RI yang pada saat itu sedang membahas perubahan (amendemen) UUD 1945. Berikut ini beberapa pemikiran tersebut akan diidentifikasikan. Pertama adalah Jimly Asshiddiqie anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR. Jimly Asshiddiqie pada persidangan itu menyampaikan hasil rumusan Tim Ahli yang telah disepakati bersama sebagai berikut : “Jadi dengan perkataan lain Mahkamah Konstitusi itu, kami usulkan memiliki tiga kewenangan. 1) Kewenangannya adalah Hak Uji Materiil. Mulai dari undang-undang ke bawah Hak Uji Materiil ini bersifat pasif, yang berarti dia tidak cari-cari, tergantung kalau ada kasus lalu kemudian ada gugatan itu yang harus diselesaikan. Sebab kalau dia cari cari nanti selain menjadi berat bagi konstitusi itu sendiri dan itu nanti bisa menjadi sengketa antara dirinya sendiri dengan lembaga legislatif dan lembaga pembuat peraturan, seakan-akan dia menjalankan fungsi eksekutif termasuk dalam rangka mengembangkan harmonisasi peraturan. Oleh karena itu dipertahankan sifat pasifnya. 2) Memberikan putusan atas sengketa Lembaga Tinggi Negara. Jadi antar Lembaga Tinggi Negara, antar Pemerintah Pusat dengan Daerah, antar Pemerintah Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Jadi bukan sengketa di luar pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tempat penyelesaian pengambilan keputusannya di MK. 3) Menjalankan kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Opsi wewenang lain ini kami usulkan untuk dicantumkan meskipun tidak ditegaskan di sini, ini untuk menampung kemungkinan undang-undang Pemilu mengatur berkenaan dengan penyelesaian sengketa pemilu dan sengketa pemilu itu bisa diberikan kewenangan untuk penyelesaiannya di MK tetapi itu tergantung bagaimana undang-undang nanti mengaturnya” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 305-306). Kedua menurut Soetjipto adalah: “Kita tahu bahwa UU kita banyak produk-produk yang dihasilkan oleh Pemerintahan Belanda dan itu juga setingkat commit to user dengan UU, oleh karena itu F-UG menganggap perlu adanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suatu Mahkamah Konstitusi yang menguji UU. Fungsinya bukan hanya untuk hak uji UU tetapi Mahkamah Konstitusi di negara lain juga mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan adanya pembubaran partai politik dan juga mengadili apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan pemilu” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 339-340). Apabila dicermati pandangan diatas, walaupun Soetjipto tidak secara eksplisit mengemukakan, bahwa kewenangan MK diantaranya adalah memutuskan sengketa lembaga negara, akan tetapi dia juga menyebut
perlunya
MK
diberi
kewenangan
untuk
memutus
persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Ketiga adalah I Dewa Gede Palguna dari Fraksi PDI Perjuangan dalam pandangan akhir fraksinya, yang mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan-kewenangan seperti dalam pandangan fraksinya sebagai berikut: “Pasal berikutnya, atau Pasal 29 dalam usulan kami : Ayat (1), Di dalam lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi; Ayat (2), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk : Menguji Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (fungsi judicial review). Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat hendak meminta persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai laporan perilaku Presiden yang mengkhianati negara dan/atau merendahkan martabat Lembaga Kepresidenan. Memberikan keputusan akhir mengenai putusan pembubaran suatu partai politik. Memberikan keputusan apabila terdapat perselisihan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Memberikan putusan atas gugatan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010:340). Pandangan Fraksi PDI Perjuangan yang disampaikan oleh I Dewa Gede Palguna ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangan Soetjipto dari F-UG, yang menyatakan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan keputusan apabila terdapat perselisihan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Keempat adalah Sutjipno dari Fraksi PDI Perjuangan yang mengusulkan dalam pandangan akhir fraksinya sebagai berikut : “Berhubung kewenangan Mahkamah Agung adalah melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka di lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan menguji secara materiil atas undang-undang, memberi putusan atas pertentangan antar undang-undang, memberi putusan atas persengketaan kewenangan antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, serta menjalankan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 343). Pandangan Sutjipno ini lebih luas dan eksplisit dibandingkan pandangan
yang
disampaikan
I
Dewa
Gde
Palguna.
Sutjipno
mengusulkan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah memberi putusan atas persengketaan kewenangan antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Kelima adalah Affandi dari F-TNI/Polri. Affandi dalam pendapat akhir fraksinya menyampaikan, bahwa : “Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta Lembaga Pengadilan yang berada di bawahnya di dalam lingkungan peradilan umum. Pasal 24a Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji materi undang-undang dan peraturan perundangundangan di bawah undang-undang, memberi putusan atas pertentangan atau persengketaan antara lembaga negara, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah, menjalankan peraturan perundang-undangan serta menjalankan kewenangan lain yang diberikan oleh undangundang”(Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010:348-349 ). Masih
banyak
sebenarnya
pandangan-pandangan
yang
disampaikan oleh para tokoh politik di PAH I BP MPR RI itu berkenaan dengan
pembentukan commit kewenangan to user Mahkamah
Konstitusi
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyelesaikan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Indonesia. Akan tetapi apabila dicermati, pandangan-pandangan tersebut, pada dasarnya menyetujui, bahwa Mahkamah Konstitusi perlu diberi kewenangan konstitusional untuk memutus SKLN. Dan, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, penyelesaian SKLN itu tidak diserahkan kepada proses politik yang hanya didasarkan atas posisi politik lembaga negara yang bersengketa, melainkan diserahkan kepada proses hukum (yudisial). Kemudian UUD 1945 hanya menetapkan sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 (in de Gronwet geregeld) saja yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (in de wet geregeld) termasuk dalam lingkup penafsiran undang-undang tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dengan
mencermati
dinamika
ketatanegaraan
dan
perkembangan pemikiran/gagasan yang pesat di bidang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, serta tuntutan masyarakat terhadap penegakan supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak konstitusional warga masyarakat (burger/justiciabelen), tidak tertutup peluang ke depan akan timbul perubahan-perubahan peraturan di bidang ini. Termasuk gagasangagasan agar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara SKLN tidak hanya sebatas pada perkara SKLN yang sumber kewenangannya berasal dari UUD 1945 (in de Gronwet geregeld) saja, akan tetapi juga mencakup SKLN yang sumber kewenangannya diperoleh dari undang-undang (in de wet geregeld).
c.
Mekanisme Hukum Acara Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim atau alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum. Dengan demikian, Hukum Acara Sengketa commit to user (SKLN) adalah hukum yang Kewenangan Antar Lembaga Negara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengatur bagaimana perkara SKLN di Mahkamah Konstitusi itu diselesaikan. Berdasarkan
praktek,
sengketa
kewenangan
konstitusional
lembaga negara ini dapat terjadi karena beberapa hal yaitu (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 172) : 1) Adanya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diatur dalam konstitusi 2) Adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari konstitusi yang diabaikan oleh lembaga negara lainnya 3) Adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari konstitusi yang dijalankan oleh lembaga negara lainnya, dan sebagainya. Hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara paling tidak secara formal bersumber pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1) Undang-Undang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman 2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam SKLN. Adapun urutan pemeriksaan SKLN di Mahkamah Konstitusi dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Pengajuan Permohonan 2) Pemeriksaan Administrasi dan Registrasi 3) Penjadwalan Sidang dan Panggilan Sidang 4) Pemeriksaan Perkara, yang meliputi : a) Pemeriksaan Pendahuluan b) Pemeriksaan Persidangan c) Pembuktian d) Penarikan kembali permohonan (jika ada) commit to user 5) Rapat Permusyawaratan Hakim
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Pembacaan Putusan
4) Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi a. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 menggariskan wewenangnya sebagai berikut: 1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. 2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dalam
melakukan
wewenangnya,
Mahkamah
Konstitusi
melakukan penafsiran terhadap UUD 1945 sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945. Karena itu disamping berfungsi sebagai pengawal UUD 1945, Mahkamah Konstitusi juga biasa disebut sebagai the Sole Interpreter of the Constitution (Jimly Asshiddiqie, 2006: 14). Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Dalam perkembangannya kewenangan Mahkamah Konstitusi sekarang bertambah satu lagi yaitu memutus sengketa Pilkada, yang sebelumnya
menjadi
kewenangan Mahkamah Agung. Peralihan commitAgung to user kepada Mahkamah Konstitusi kewenangan dari Mahkamah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didasarkan pada ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 disebutkan bahwa, “Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan” (Bambang S, 2009: 6). b. Fungsi Mahkamah Konstitusi Fungsi Mahkamah Konstitusi ada lima, yaitu (Sekjen & Kepaniteran Mahkamah Konstitusi, 2010:24) : 1) the guardian of the constitution atau pengawal konstitusi; 2) the final interpreter of the constitution atau penafsir resmi konstitusi; 3) the guardian of the democracy atau pengawal demokrasi; 4) the protector of the citizen’s constitutional rights atau pelindung hakhak konstitusional warga negara, dan; 5) the protector of the human rights atau pelindung hak asasi manusia. Kehadiran MK sesungguhnya adalah manifestasi dari kedaulatan hukum yang dianut dalam UUD 1945 dan secara tidak langsung merupakan pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewenangannya sudah seharusnya memenuhi prinsip kedaulatan hukum dengan instrumennya adalah negara hukum Indonesia dan UUD 1945 (Anwar C, 2008: 269).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 antara KPI sebagai Pemohon dengan Presiden qq.Menkominfo Pasal 61 ayat (1) UU
Pertimbangan Hukum
MK Putusan No.005/PUUI/2003
Dasar Permohonan
Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang
Putusan No. 030/SKLN-IV/2006 Implikasi Putusan terhadap Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang dalam SKLN
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan Kerangka Pemikiran : Kerangka pemikiran dalam bentuk skema diatas menjelaskan alur pemikiran
Penulis
dalam
mengangkat,
menggambarkan,
menelah
dan
menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu, kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga Negara (SKLN) setelah adanya Putusan 030/SKLN-IV/2006. Kewenangan Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN). Kemudian, salah satu perkara SKLN yang menarik dianalisis adalah perkara SKLN antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden qq. Menkominfo. Berdasarkan permohonannya, Pemohon merupakan commit to pihak user yang menganggap kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan atau dirugikan oleh lembaga lain kemudian KPI sebagai salah satu lembaga negara penunjang, sebagaimana disebutkan pada Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 mengenai putusan judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Oleh karena adanya putusan tersebut, KPI mengajukan permohonan SKLN ke Mahkamah Konstitusi. Dengan memperhatikan pertimbangan hukum sesuai dengan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyatakan bahwa, “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan” serta ditunjang dengan adanya Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 mengenai bagaimana kedudukan hukum lembaga negara penunjang khususnya KPI dapat diperjelas. Kemudian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut, Hakim Konstitusi dalam amar putusannya tidak dapat menerima permohonan Pemohon dikarenakan kedudukan hukum dari Pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK. Berdasarkan putusan tersebut, menarik untuk dikaji mengenai bagaimana implikasi yuridis putusan tersebut terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara
(SKLN) yang
diputus oleh Mahkamah Konstitusi sehingga kekosongan hukum mengenai kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam SKLN dapat terjawab.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
Sebelum menginjak pada substansi pokok mengenai bagaimana kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang sebagai pihak dalam proses acara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah Konstitusi, terlebih dahulu Penulis menguraikan beberapa analisis sebagai berikut : 1.
Kualifikasi Kewenangan Lembaga Negara Menurut UUD 1945 Memperhatikan peta lembaga negara pasca perubahan konstitusi UUD 1945, perlu dipahami lebih jauh dan mendasar mengenai terminologi lembaga negara. Terminologi “lembaga negara” dipahami masih merupakan konsep yang debatable terlebih lagi makna dari “lembaga negara” tidak tercantum secara tegas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Terhadap hal ini setidak-tidaknya, pengertian lembaga negara atau organ negara dapat didekati dari pandangan Hans Kelsen mengenai
The
Concept
of
the
State
Organ.
Menurut
Hans
Kelsen,”whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”, yang artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum adalah organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction” to user (Jimly Asshidiqqie, 2010: commit 10).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum samasama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials). Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan (Jimly Asshidiqqie, 2010: 12). Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD 1945, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang-Undang (UU), dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan commit to user Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah (Cornelis Lay, 2006: 21). Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga tersebut adalah (Jimly Asshiddiqie, 2010: 15) : a. Majelis Permusyawaratan Rakyat diatur dalam Bab II UUD 1945 yang juga diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab II ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat; b. Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal; c. Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden"; d. Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat(1), (2), dan (3); e. Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden; f. Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945; g. Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya; h. Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang"; i. Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2); j. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1); k. Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945; l. Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945; m. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945; n. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945; o. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945; p. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
q. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945; r. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945; s. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945; t. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang.
Karena
kedudukannya
yang
khusus
dan
diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara. u. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B; v. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220; w. Komisi penyelenggaran pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang; x. Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". user Seperti halnya dengancommit Komisito Pemilihan Umum, UUD 1945 belum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu. y. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat); z. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945; aa. Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945; bb. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organs terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945; cc. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945; dd. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945; ee. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945; ff. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945; gg. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945; hh. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24 commit to user ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan. Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan,
penyidikan,
dan/atau
penuntutan.
Lembaga-lembaga
dimaksud misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi samasama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945 (Jimly Asshidiqqie, 2010: 17). Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membentuk satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas user penting bagi negara demokrasi Hak Asasi Manusia itu commit sendiri to sangat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang-undang, tidak ditentukan sendiri dalam UUD 1945, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD 1945. Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan dengan disebutnya kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki constitutional importance yang sama. Setiap yang mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis, haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif. Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA dan BPK. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja terdiri dari lembaga negara yang dibentuk atas constitutional urgent dan lembaga negara sampiran, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah (Jimly Asshidiqqie, 2010: 19). Memang benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga commitmemudahkan to user tertinggi negara. Namun untuk pengertian dan kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga-lembaga negara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Organ lapis pertama atau lembaga tinggi negara 1) Presiden dan Wakil Presiden a) Presiden Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurutt Undang-Undang Dasar”. Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan dalam pasal ini menunjuk
kepada
pemerintahan
pengertian
presidensial.
Presiden
Dalam
menurut
sistem
sistem
pemerintahan
presidensial, tidak terdapat pembedaan atau tidak perlu diadakan pembedaan antara Presiden selaku kedudukan kepala negara dan Presiden selaku kepala pemerintahan. Presiden adalah Presiden, yaitu jabatan yan memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar. Dalam UUD 1945 juga tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang adanya kedudukan kepala negara (head of state) ataupun kedudukan kepala pemerintahan (head of government). Adapun yang menjadi kewenangan dari Presiden dalam UUD 1945 yaitu : (1) mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR (Pasal 5 ayat (1)); (2) menetapkan peraturan pemerintah (Pasal 5 ayat (2)); (3) memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10); (4) menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat (1)); (5) menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); to user (6) mengangkatcommit duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1));
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(7) memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14 ayat (1)); (8) memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat (2)); (9) memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang (Pasal 15); (10) membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasihat
dan
pertimbangan
kepada
Presiden,
yang
selanjutnya diatur dalam Undang-Undang (Pasal 16); (11) mengangkat dan memberhentikan para menteri (Pasal 17 ayat (2)); (12) membahas dan melakukan persetujuan bersama dengan DPR setiap rancangan undang-undang (Pasal 20 ayat (2)); (13) mengesahkan
rancangan
undang-undang
yang
telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 20 ayat (4)); (14) menetapkan
peraturan
pemerintah
sebagai
pengganti
undang-undang (Pasal 22 ayat (1)); (15) mengajukan RUU anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2)); (16) meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23F ayat (1)); (17) menetapkan hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR (Pasal 24A ayat (3)); (18) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat (3)); (19) menetapkan sembilan orang anggota hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh MA, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden (Pasal commit to user 24C ayat (3));
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Wakil Presiden
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”, sehingga jelas wakil presiden merupakan pembantu bagi presiden dalam melakukan kewajiban kepresidenan. Dimana wakil presiden bertindak mewakili presiden dalam hal presiden berhalangan untuk menghadiri kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam lingkungan kewajiban konstitusional presiden. Dalam berbagai kesempatan dimana presiden tidak dapat memenuhi kewajiban konstitusionalnya karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, maka wakil presiden dapat bertindak sebagai pengganti presiden. Sementara itu, dalam berbagai kesempatan yang lain, wakil presiden juga dapat bertindak sebagai pendamping bagi presiden dalam melakukan kewajibannya, kemudian kedudukan wakil presiden adalah seorang pejabat publik. Kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat dipisahkan dengan presiden sebagai satu kesatuan pasangan jabatan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Karena itu, kedudukan wakil presiden jauh lebih tinggi dan jauh lebih penting daripada jabatan menteri. Meskipun dalam hal melakukan perbuatan pidana, masingmasing presiden dan wakil presiden bertanggung jawab secara sendiri-sendiri sebagai individu (person), tetapi dalam rangka pertanggungjawaban politik kepada rakyat, presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan jabatan. Dengan demikian, wakil presiden mempunyai lima kemungkinan posisi terhadap presiden, yaitu: commit user presiden; (1) sebagai wakil yang to mewakili
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) sebagai pengganti yang menggantikan presiden; (3) sebagai pembantu yang membantu presiden; (4) sebagai pendamping yang mendampingi presiden; (5) sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri. Dalam menjalankan kelima posisi tersebut, maka secara konstitusional, presiden dan wakil presiden harus bertindak sebagai satu kesatuan subjek jabatan institusional kepresidenan. Presiden dan wakil presiden itu ada dua orang yang menduduki satu kesatuan subjek hukum lembaga kepresidenan. 2) Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai kewenangan DPR menurut UUD 1945 dapat dijelaskan sebagai berikut : a) membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) dan (2)); b) memberikan persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) dan (2)): c) menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang
berkaitan
dengan
bidang
tertentu
dengan
mengikutsertakannya dalam pembahasan (Pasal 22D ayat (1) dan (2)); d) memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D ayat (2)); e) menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2)); f) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU APBN dan kebijakan pemerintah (Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 22D ayat (3)); g) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan DPD terhadap pelaksanaan UU mengenai otonomi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumberdaya alam dan h) sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22F ayat (1)); i) memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 22F ayat (1)); j) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK (Pasal 22E ayat (2) dan (3)); k) memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat (3); l) memberikan persetujuan calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden (Pasal 24A ayat (3)); m) mengajukan 3 (tiga) orang calon anggota hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan (Pasal 24C ayat (3)); n) memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan dalam pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 13 ayat (2) dan (3) dan Pasal 14 ayat (2)); o) memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjabjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undang-undang (Pasal 11 ayat (2)); 3) Dewan Perwakilan Daerah Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen to user Indonesia menjadicommit dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan DPD. Dengan struktur bikameral ini diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas (Jimly Asshidiqqie, 2005: 88). Yang satu merupakan cerminan representasi politik di DPR, sedangkan yang lain mencerminkan prinsip representasi territorial atau regional di DPD. Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat tantangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR 1999-2000 yang membahas rancangan Perubahan UUD 1945, sehingga yang disepakati adalah rumusan yang sekarang yang tidak dapat disebut mengenai sistem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan. Karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai co-legislator, daripada legislator yang sepenuhnya. Menurut UUD 1945, kewenangan DPD adalah sebagai berikut: a) mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)), dan ikut membahas RUU tersebut (Pasal 22D ayat (2)); b) memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D ayat (2)); c) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai commitUU to user otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya
alam,
dan
sumberdaya
ekonomi
lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D ayat (3)); d) memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1)); e) menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK (Pasal 23E ayat (2)); Dengan demikian, jelaslah bahwa fungsi DPD itu hanyalah sebagai co-legislator disamping DPR. Sifat tugasnya hanya menunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives). 4) Majelis Permusyawaratan Rakyat Mengenai kewenangan MPR menurut UUD 1945 dapat dijelaskan sebagai berikut : a) mengubah dan menetapkan UUD 1945 (Pasal 3 ayat (1)); b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2)); c) memutus usul DPR berdasarkan putusan MKRI untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (7)); d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,
berhenti,
diberhentikan,
atau
tidak
dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8 commit to user ayat (1));
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e) memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya paling lambat dalam waktu enam puluh hari (Pasal 8 ayat (2)); f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya (Pasal 8 ayat (3)); 5) Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya atau biasa disebut sebagai the guardian of the constitution. Adapun kewenangannya yang diatur oleh UUD 1945, yaitu : a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Pasal 24C ayat (1)); b) memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara (Pasal 24C ayat (1)); c) memutus pembubaran partai politik (Pasal 24C ayat (1)); d) memutus perselisihan hasil pemilu (Pasal 24C ayat (1)); e) memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 (Pasal 24C ayat (2)) Dalam melakukan fungsi peradilan dalam keempat bidang kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan to user penafsiran terhadapcommit UUD 1945 sebagai satu-satunya lembaga yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945. Karena itu, disamping sebagai pengawal konstitusi, MK juga biasa disebut sebagai the Sole Interpreter of the Constitution. Jika dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi negara lainnya, MK mempunyai posisi yang unik (Jimly Asshidiqqie, 2010: 27). Dimana MPR yang menetapkan UUD 1945, sedangkan MK yang mengawalnya. DPR yang membentuk UU, tetapi MK yang membatalkannya jika terbukti bertentangan dengan UUD 1945. MA mengadili semua perkara pelanggaran hukum dibawah UUD 1945, sedangkan MK mengadili perkara pelanggaran UUD 1945. Jika DPR ingin mengajukan tuntutan pemberhentian terhadap presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya, maka sebelum diajukan ke MPR untuk diambil putusan, tuntutan tersebut diajukan lebih dulu untuk pembuktiannya secara hukum. Semua lembaga-lembaga negara tersebut saling berselisih pendapat atau bersengketa dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya satu sama lain, maka yang memutus final dan mengikat persengketaan itu adalah Mahkamah Konstitusi. 6) Mahkamah Agung (MA) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menurut UUD 1945 sebagai berikut : a) melakukan kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (2)); b) mengadili pada tingkat kasasi (Pasal 24A ayat (2); c) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang (Pasal 24A ayat (1)); d) mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi oleh Presiden (Pasal 24C ayat (3)); e) wewenang lain yang diberikan oleh UU (Pasal 24A ayat (1)); commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai kewenangan menurut UUD 1945 sebagai berikut: a) memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1)); b) menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya (Pasal 23E ayat (2); Dalam kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara dan kewenangannya yang besar, fungsi BPK pada pokoknya terdiri atas tiga bidang, yaitu fungsi operatif, fungsi justisi, dan fungsi advisory. Bentuk pelaksanaan ketiga fungsi itu adalah fungsi operatif berupa pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan negara, kemudian
fungsi
justisi
berupa
kewenangan
menuntut
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan kerugian keuangan dan kekayaan negara, dan fungsi advisory yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah terkait pengurusan dan pengelolaan keuangan negara.
b. Organ lapis kedua atau lembaga negara Dalam organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang mendapatkan kewenangan dari UUD 1945, misalnya, adalah Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah undangundang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, commitkedua to user dan sebagainya. Kedudukan jenis lembaga negara tersebut dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang-undang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah : 1) Menteri Negara Meskipun secara kontekstual menteri adalah pembantu presiden,
namun
menteri
bukanlah
orang
atau
pejabat
sembarangan. Karena itu, untuk dipilih menjadi menteri hendaklah sungguh-sungguh diperimbangkan bahwa ia akan dapat diharapkan bekerja sebagai pemimpin pemerintahan eksekutif di bidangbidangnya masing-masing secara efektif untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan presidensiil yang dibangun hendaklah didasarkan atas pemikiran bahwa presiden berhak untuk mengangkat dan memberhentikan menteri
negara
untuk
mendukung
efektifitas
kinerja
pemerintahannya guna melayani sebanyak-banyaknya kepentingan rakyat. Penyusunan kabinet tidak boleh didasarkan atas logika sistem parlementer yang dibangun atas dasar koalisi antar partaipartai politik pendukung presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, seseorang dipilih dan diangkat oleh presiden untuk menduduki jabatan menteri harus didasarkan atas kriteria kecakapannya bekerja, bukan karena pertimbangan jasa politiknya maupun imbalan terhadap dukungan kelompok atau partai politik terhadap presiden. Artinya jabatan menteri negara menurut ketentuan Pasal 17 UUD 1945 haruslah diisi berdasarkan merit system. Itulah konsekuensi dari pilihan sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945, dengan demikian kekuasaan para menteri negara benar-benar commit to user bersifat meritokratis sehingga dalam memimpin kementerian yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi bidang tugasnya, para menteri itu dapat pula diharapkan bekerja menurut standar-standar yang bersifat meritokratis juga. 2) Tentara Nasional Indonesia Menurut Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI memiliki kewenangan untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. 3) Dewan Pertimbangan Presiden Dewan pertimbangan presiden ini diadakan sebagai pengganti Dewan Pertimbangan Agung yang ada sebelumnya menurut UUD 1945 sebelum amandemen. Adapun kewenangan dari Dewan Pertimbangan Presiden terdapat pada Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan
yang
bertugas
memberikan
nasihat
dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”. 4) Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
mempunyai
kewenangan yang diatur Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yaitu menjaga
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat (4)) 5) Komisi Yudisial Komisi Yudisial mempunyai kewenangan menurut UUD 1945 sebagai berikut : a) mengusulkan pengangkatan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan (Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1)); b) kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1)). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Komisi Pemilihan Umum Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dengan kewenangan, yaitu menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali (Pasal 22E ayat (5), ayat (1) dan ayat (2)). 7) Bank Sentral Untuk Bank Sentral kewenangannya diatur oleh undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dari keenam lembaga negara tersebut di atas, yang secara tegas ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, dan Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan
pokoknya,
yaitu
sebagai
lembaga
penyelenggara
pemilihan umum. Akan tetapi, nama lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut dengan huruf besar (Jimly Asshidiqqie, 2010: 34). Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya. Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 user hanya menyatakan, commit "Negarato memiliki suatu bank sentral yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
susunan,
kedudukan,
kewenangan,
tanggung
jawab,
dan
independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undangundang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan undang-undang. Dengan demikian derajat protokoler kelompok organ konstitusi pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya yang dalam sistem ketatanegaraan bersifat sampiran (auxiliary).
c. Organ lapis ketiga atau lembaga daerah Diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah, dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah. Lembaga-lembaga daerah itu adalah sebagai berikut : 1) Pemerintahan Daerah Provinsi Didaerah provinsi, harus dibedakan adanya tiga subjek hukum penyandang kewenangan konstitusional berdasarkan UUD 1945. Ketiganya adalah Pemerintahan Daerah Provinsi, Gubernur Kepala Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Dalam konstitusi khususnya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, jelas disebutkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adanya institusi pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas jabatan gubernur dan institusi DPRD Provinsi. Adapun kewenangan dari pemerintahan daerah provinsi tercantum
dalam
Pasal
18
ayat
(2)
UUD
1945
menentukan,”Pemerintahan daerah,….mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pada ayat (5)-nya menentukan, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (6) ditentukan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. 2) Gubernur Gubernur menurut Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah kepala pemerintah daerah provinsi. Menurut ketentuan ini, sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, gubernur dipilih secara demokratis sebagaimana dijabarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam pasal 18 ayat (3) UUD 1945 juga disebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Artinya, disetiap pemerintahan daerah provinsi terdapat DPRD yang bersama-sama dengan Gubernur merupakan satu kesatuan pengertian pemerintah daerah. Secara selintas gubernur dan DPRD Provinsi disebut sebagai dua lembaga konstitusional yang berbeda dan dapat dipisahkan. Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah provinsi, sedangkan DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah yang berfungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang commit to userfungsi pengawasan dan fungsi mempunyai fungsi legislatif,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anggaran. Baik jabatan Gubernur maupun DPRD Provinsi disebut eksplisit dalam Pasal 18 UUD 1945. Penyebutan kedua jabatan tersebut mirip penyebutan Bank Sentral dalam Pasal 23D UUD 1945, dimana dalam Pasal 18 ayat (7) menyatakan,”Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”. Pasal 18 ayat (1) menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Artinya, kedudukan dan kewenangan baik gubernur maupun DPRD Provinsi sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945. Kewenangan kedua organ tersebut masih akan diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang. Yang justru diatur kewenangannya dalam UUD 1945 adalah Pemerintahan Daerah Provinsi sebagai satu kesatuan konsep gabungan antara gubernur dan DPRD Provinsi. 3) DPRD Provinsi DPRD Provinsi pada dasarnya mempunyai fungsi legislatif, namun dengan fungsinya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya
lembaga
pembentuk
peraturan
daerah.
Sudah
seharusnya fungsi legislatif yang utama tetap berada ditangan kepala daerah, sedangkan fungsi legislatif yang ada pada DPRD hanya dapat disebut sebagai fungsi legislatif yang bersifat sekunder atau auxiliary. Hal ini berkaitan dengan adanya Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan
daerah
dan
peraturan
lain
untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Sehingga peran yang ideal untuk DPRD itu sebenarnya lebih merupakan peran lembaga control daripada lembaga legislatif dalam arti penuh (Jimly Asshidiqqie, 2005: 178). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagai lembaga kontrol, DPRD dapat menyatakan setuju atau tidak setuju atas setiap ide penuangan suatu kebijakan publik menjadi peraturan daerah yang mengikat secara umum. Jika DPRD menganggap ada sesuatu yang penting diatur tetapi pemerintah daerah lalai, DPRD dapat mengambil inisiatif untuk mengajukan peraturan daerah yang dianggap penting itu, tetapi kata akhirnya tetap ada pada kepala daerah. 4) Pemerintah Daerah Kabupaten Sama seperti pemerintah daerah provinsi, ditiap kabupaten ada tiga subjek hukum penyandang kewenangan konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten, Bupati dan DPRD Kabupaten. Dalam UUD 1945, jelas disebutkan adanya institusi pemerintah kabupaten yang terdiri dari jabatan bupati dan DPRD Kabupaten. Kewenangan pemerintah kabupaten diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945. 5) Bupati Kewenangan
konstitusional Bupati diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 25. 6) DPRD Kabupaten Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi, DPRD kabupaten
bersama-sama Bupati
merupakan
satu
kesatuan
pengertian pemerintahan daerah kabupaten sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. 7) Pemerintah Daerah Kota Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten,
pemerintah
kota
terdapat
tiga
subjek
hukum
penyandang kewenangan konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu Pemerintah Daerah Kota, Walikota dan DPRD Kota. Dalam UUD 1945, jelas disebutkan adanya institusi pemerintah kota yang commit to userdan DPRD Kota. Kewenangan terdiri dari jabatan walikota
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah kota diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945. 8) Walikota Walikota
adalah
kepala
pemerintahan
daerah
kota.
Kewenangannya diatur lebih lanjut diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 25. 9) DPRD Kota Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten, DPRD kota bersama-sama Walikota merupakan satu kesatuan pengertian pemerintahan daerah kota sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, disebut pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD 1945, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional. Oleh sebab itu, dapat atau tidak dapat, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus pula dipahami sebagai bagian dari pengertian lembaga daerah dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, lembaga daerah dalam pengertian di atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga. Kemudian diantara lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara ada Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman (Jimly Asshidiqqie, 2010: 106). Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics). Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan. Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, dan karena itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada pengaruh keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti Komisi Yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung tidak ditentukan user sedangkan Kepolisian Negara kewenangannya dalam commit UUD to 1945,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan tetapi, pencantuman ketentuan tentang kewenangan Kepolisian itu dalam UUD 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara hukum yang demokratis, lembaga kepolisian dan kejaksaan sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa sebagai lembaga penegak hukum. Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai Kepolisian Negara itu dalam UUD 1945, juga tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan lembaga Kepolisian Negara itu menjadi lembaga konstitusional yang sederajat kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya, hal disebut atau tidaknya atau ditentukan tidaknya kekuasaan sesuatu lembaga dalam undang-undang dasar tidak serta merta menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya, lembaga tinggi negara yang dapat dikatakan bersifat pokok atau utama adalah (i) Presiden; (ii) Dewan Perwakilan Rakyat; (iii) Dewan Perwakilan Daerah; (iv) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (v) Mahkamah Konstitusi; (vi) Mahkamah Agung; dan (vii) Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan lembaga-lembaga negara yang lainnya bersifat menunjang atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh lembaga negara tersebut dapat disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut. Oleh sebab itu, seperti hubungan antara KY dengan MA, maka faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang menjadi penentu yang pokok. Meskipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap tidak dipandang sederajat sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan protokolemya tetap berbeda dengan MA. Demikian juga Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara commit to user struktural dengan organisasi POLRI dan Kejaksaan Agung, meskipun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komisi-komisi pengawas itu bersifat independen dan atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dipandang sederajat. Yang dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yang utama tetaplah lembaga-lembaga tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan utama negara, yaitu legislative, executive, dan judiciary. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial, TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR, MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan. Misalnya, untuk menentukan apakah KY sederajat dengan MA dan MK, maka kriteria yang dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti halnya kewenangan MA dan MK ditentukan dalam UUD 1945. Karena, kewenangan TNI dan POLRI juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI dan POLRI dapat disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan di atas. TNI dan POLRI tetap tidak dapat disejajarkan strukturnya dengan presiden dan wakil presiden, meskipun kewenangan TNI dan POLRI ditentukan tegas dalam UUD 1945. Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi kedudukannya tidak dapat dikatakan berada di bawah POLRI dan TNI hanya karena kewenangan kedua lembaga terakhir ini diatur dalam UUD 1945. Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945, melainkan hanya ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung dan commit to user lebih rendah daripada TNI dan Bank Indonesia tidak dapat dikatakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
POLRI. Oleh sebab itu, sumber normatif kewenangan lembaga-lembaga tersebut tidak otomatis menentukan status hukumnya dalam hirarkis susunan antara lembaga negara. Selanjutnya, apabila ditafsirkan secara moderat, maka hanya MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK yang disebut sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan konstitusional, sehingga yang bisa menjadi subyek sengketa setelah dikurangi MA (vide Pasal 65 UU MK) dan MK (sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa) hanyalah MPR, PRESIDEN, DPR, DPD, dan BPK. Apabila ditafsirkan sempit, subyek hukum sengketa hanyalah DPR, DPD, dan PRESIDEN (tafsiran dari Pasal 67 UU MK). Menurut A. Mukhtie Fadjar, tafsir yang tepat adalah tafsir luas minus atau tafsir moderat plus, yaitu bahwa lembaga Negara yang bisa menjadi subyek sengketa meliputi MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Jadi tidak termasuk KPU, Komisi Yudisial, TNI, dan Polri, karena keempat lembaga tersebut meskipun mempunyai kewenangan konstitusional, tetapi kurang tepat jika menjadi subyek sengketa dengan lembaga lain dan kewenangan lebih bersifat teknis operasional. Juga bank sentral yang kewenangannya tak diatur dalam UUD 1945 tidak termasuk pihak dalam sengketa (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006: 184-191). Terlepas dari pendapat para ahli tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 05/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (tentang Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 (tentang Komisi Yudisial) berpendapat, bahwa ada 2 (dua) macam lembaga negara menurut UUD 1945, yaitu lembaga-lembaga negara utama (main state organs, principal state organs) dan lembagalembaga negara pendukung/penunjang (auxiliary state organs atau auxiliary agencies). Kriteria lembaga negara mana saja yang masuk dalam commit usermerupakan auxiliary state organs main state organs dan mana yang to hanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam pandangan hukum Mahkamah Konstitusi hal tersebut dijelaskan. Berikut kutipan pandangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut : “Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state)… “ “Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut sebagai “auxiliary state organs” atau “auxiliary agencies” yang menurut istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan “supporting element” dalam sistem kekuasaan kehakiman” (vide Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006). Demikianlah, berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya dapat dikemukakan bahwa pengertian dan kualifikasi lembaga negara di commit to user itu ternyata bermacam-macam. dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Para ahli ternyata juga memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang lembaga-lembaga negara mana saja yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 05/PUUIV/2006 menyatakan, bahwa UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs).
2.
Penafsiran Kedudukan Hukum Lembaga Negara dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Kemudian terkait dengan kedudukan lembaga-lembaga negara diatas dalam proses sengketa kewenangan antar lembaga negara terdapat putusan Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sengketa kewenangan antar lembaga negara yaitu Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006
yang
juga
diterapkan
pada
putusan-putusan
sesudahnya. Berdasarkan pertimbangan hukumnya untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang pertama-tama harus diperhatikan adalah apakah ada kewenangan-kewenangan tertentu dalam UUD 1945 (objectum litis) dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangankewenangan tersebut diberikan (subjectum litis). Frasa “sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar”
juga
mempunyai
maksud
bahwa
hanya
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 saja yang menjadi objectum litis dari sengketa kewenangan lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian dalam berbagai perdebatan perubahan UUD 1945 tidak ada penyebutan secara langsung lembaga negara apa saja yang dapat commit to user menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara. Tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada pula pertalian penyelesaian sengketa lembaga negara dengan maksud pembagian lembaga negara secara teoritis, seperti berdasarkan fungsinya yang ditentukan oleh Montesqiue maupun berdasarkan kedudukannya, sebagaimana pembagian menurut George Jellinek, yaitu lembaga negara langsung dan lembaga negara tidak langsung, ataupun penggolongan lain berdasarkan kedudukannya yaitu, lembaga negara utama atau lembaga negara primer (primary constitutional organs) dan lembaga negara penunjang (auxiliary state organ). Karenanya, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan berbagai penafsiran dan penemuan hukum dalam penyelesaian sengketa tersebut (Luthfi Widagdo, 2010: 31). Menurut Bambang Purnomo dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana, di dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa metode atau sistem penafsiran yaitu (Bambang Purnomo, 2006: 56) : a. “penafsiran gramatika (gramatische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan dari kata-kata yang dipakai sehari-hari; b. penafsiran logika (logische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan pada akal/pikiran yang obyektif, yang biasanya dengan cara mencari perbandingan diantara beberapa undang-undang; c. penafsiran sistematik (systematische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan sistem dalam undang-undang itu, dengan menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain dari undang-undang itu; d. penafsiran sejarah (historische interpretatie) sebagai penafsiran yang didasarkan atas sejarah pembentukannya, yang dibedakan atas: a. rechtshistorische intepretatie, penafsiran berdasarkan sejarah pertumbuhan hukum yang diatur didalam undang-undang; b. wethistorische intepretatie,, penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang; e. penafsiran teleoligik (teleologische interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan atas tujuan apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang ketika membuat undangundang itu; f. pemafsiran ekstensif (extensive interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan cara memperluas peraturan yang termaksud dalam suatuto undang-undang; commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. penafsiran analogi (analogische interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan atas jalan pikiran analogi, yaitu peraturan yang ada itu diperlakukan terhadap perbuatan yang tidak diatur tegas dalam undang-undang.” Untuk menentukan subbjectum litis dan objectum litis perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran gramatika (gramatische intepretation). Menurut Mahkamah Konstitusi, penempatan kata “sengketa kewenangan” sebelum kata “lembaga negara” mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah memang “sengketa kewenangan” atau “tentang apa yang disengketakan” dan bukan tentang “siapa yang bersengketa”. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak dapat terpisahkan dengan frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan
dirumuskannya
anak
kalimat
“lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, secara implisit terkandung
pengakuan
bahwa
terdapat
“lembaga
negara
yang
kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Untuk itu, didalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945 ditentukan terlebih dahulu kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam konstitusi dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangankewenangan tersebut diberikan. Selanjutnya Maruarar Siahaan, dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) Putusan
Perkara
027/SKLN-IV/2006
mengenai
sengketa
kewenangan antar lembaga negara antara DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, beliau berpendapat bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara diberikan oleh UUD 1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis verbis tertulis demikian. Pendapat sebenarnya telah diakomodir commit to tersebut user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 mengenai SKLN antara Bupati Bekasi dengan Presiden yang pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa tidak hanya semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga ada kemungkinan kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok tersebut. Kewenangan-kewenangan dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang, akan tetapi, menurut Maruarar, penafsiran harus diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh Pembuat Undang-Undang Dasar 1945. Maruarar Siahaan dalam pendapat berbeda Putusan Perkara 27/SKLN-IV/2008 menegenai sengketa kewenangan antar lembaga negara antara KPU Maluku Utara dengan Presiden kemudian berpendapat perlunya tafsir tekstual dan pendekatan struktural atas Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945”, mengartikan seolah-olah berbunyi, “sengketa antar lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945”. Padahal tidak ada satu katapun dalam kalimat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut yang menyebut lembaga negara yang bersengketa harus diantara lembaga negara yang setara dan disebut oleh UUD 1945. Menurut Maruarar, tafsir yang bertentangan dengan teks Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seperti itulah kemudian yang dianut sehingga rumusan demikian menjadi muatan Pasal 10 UU MK yang memberikan syarat legal standing dengan tekanan lebih pada Pemohon. Hal tersebut diikuti pula dengan ketat sebagaimana terlihat dalam rumusan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan PMK 08/2006, sehingga telah menyebabkan Mahkamah Konstitusi tidak mampu memainkan perannya untuk mengawal konstitusi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara optimal dalam sengketa lembaga negara sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945. Untuk menentukan kewenangan-kewenangan yang merupakan derivasi kewenangan dari UUD 1945, perlu dipahami konsep pemberian kekuasaan. Pada dasarnya, pemberian kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan
kekuasaan
yang
sifatnya
atributif menyebabkan
terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada kemudian kekuasaan yang timbul dengan pembentukan secara atributif bersifat asli. Dengan kata lain pembentukan kekuasaan yang sifatnya atributif menyebabkan adanya kekuasaan baru (Suwoto Mulyosudarmo, 1997: 39). Dengan demikian, ciri-ciri atribusi kekuasaan adalah pembentukan kekuasaan melahirkan kekuasaan baru dan harus dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Menurut Henk Van Marseven, jika diperiksa secara teliti Undang-Undang Dasar Belanda, begitu pula Undang-Undang Dasar negara lain merupakan suatu peraturan yang tentang atribusi (reglement van attribute) (Suwoto Mulyosudarmo, 1997: 42). Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan, bahwa Undang-Undang Dasar sebagai reglement van attribute dipahami sebagai dasar hukum pembentukan berbagai kekuasaan yang kemudian diberikan kepada lembaga-lembaga negara yang pembentukannya didasarkan atas UUD 1945 pula. Setelah memiliki kewenangan, lembaga negara (subjek hukum) tersebut dapat melakukan pembentukan kekuasaan (atribusi) atau melimpahkan
kewenangannya
kepada
subjek
hukum
yang
lain.
Pelimpahan kewenangan tersebut bersifat derivatif (afgeleid), kekuasaan yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan atau diderivasikan kepada pihak lain. Henk van Marseven berpendapat pelimpahan derivasi to userH.D.van Wilk menjelaskan bahwa bisa dalam bentuk delegasicommit dan mandat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, sedang mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berbeda dengan pendefinisian tersebut F.A.M Stroink dan J.G.Steenbek menjelaskan bahwa delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telaha ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain. Jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Salah satu syarat delegasi adalah tidak terdapat hubungan hierarki (atasan dan bawahan), akan tetapi menurut Henk van Marseven, atas dasar konstitusi dapat dibenarkan dalam beberapa hal pendelegasian oleh pembuat peraturan perundang-undangan kepada organ bawahan. Kemudian menurut Safri Nugraha, cara memperoleh kewenangan akan menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level pemerintahan yang ada disuatu negara. Sebagai contoh, pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan yang bersifat nasional, regional dan lokal atau level pemerintahan atasan dan pemerintahan bawahan. Selain itu, pelaksanaan delegasi membuktikan adanya level pemerintahan yang lebih tinggi dan level pemerintahan yang lebih rendah (Safri Nugraha, 2007: 138). Terkait dengan pemaparan tersebut, dalam konteks Indonesia, menurut Penulis, pembagian lembaga negara/organ negara dapat didasarkan pada bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut. Pertama, lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara atribusi oleh UUD 1945, yaitu MPR, Presiden, Menteri Dalam Negeri bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai triumvirat menurut pasal 8 ayat (3) UUD 1945, Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota), DPR, DPD, BPK, MA dan Badan Peradilan dibawahnya, MK, KY, TNI, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedua, lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh commit to user pembuat peraturan peundang-undangan (termasuk komisi/lembaga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
independen) yang tidak bertanggungjawab kepada siapapun, yaitu KPU, BANWASLU, Bank Indonesia, KPK, Komnas HAM, Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, KPPU, Ombudsman RI, KPI, Dewan Pers, Dewan Pendidikan, PPATK, KPAI dan lain-lain. Ketiga, lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi negara eksekutif) yang bertanggungjawab kepada Presiden atau Menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif. Menurut Penulis, lembaga negara kategori pertama dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi. Kemudian, lembaga negara kedua dapat pula berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas lembaga negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dan eksekutif. Selanjutnya terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang yang berperkara sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi, Denny Indrayana berpendapat, bahwa lembaga negara independen adalah fenomena ketatanegaraan modern yang harus diberikan posisi konstitusional, agar lebih jelas perannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masa depan. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi pun sebaiknya mengisi kekosongan hukum berkaitan dengan maraknya sengketa kewenangan antar lembaga negara independen dengan lembaga negara lainnya. Hal itu, sesuai dengan semangat bahwa keberadaan
Mahkamah
Konstitusi
sekaligus
untuk
terselenggarannya pemerintahan negara yang stabil sesuai
menjaga dengan
Penjelasan Umum pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (Denny Indrayana, 2008: 267). Penulis juga menyetujui pendapat Maruarar Siahaan yang menyatakan bahwa perlu ada tafsiran yang user memberi perluasan untuk commit melihattowewenang yang sesungguhnya melekat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan tersirat dalam kewenangan yang dituliskan secara tegas dalam UUD 1945, yang dapat dipandang sebagai kewenangan prinsip. Lebih lanjut menurutnya dalam Putusan MK No. 027/SKLN-IV/2006: “Kewenangan yang tidak secara tegas disebut dalam konstitusi tetapi merupakan hal yang perlu dan patut untuk menjalankan kewenangan konstitusional yang diberikan secara tegas, merupakan dan juga melekat sebagai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, meskipun kemudian diuraikan secara tegas dalam undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945. Pengaturan suatu materi kewenangan dalam satu undang-undang, tidaklah dengan sendirinya menyebabkan wewenang tersebut bukan wewenang konstitusional. Sebaliknya disebut satu wewenang dalam undangundang tidak selalu berarti bahwa undang-undang tesebutlah yang menjadi sumber kewenangan dimaksud. Masalahnya adalah apakah wewenang tersebut melekat atau tidak, dan harus ada untuk melaksanakan wewenang yang diberikan secara tegas oleh UUD 1945 tersebut”. Dengan demikian, penafsiran memang harus diperluas sedemikian rupa dimana kewenangan lembaga negara bukan hanya yang secara implisit disebut dalam UUD 1945 melainkan kewenangan dari lembaga negara yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 juga dapat bersengketa dalam proses sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, karena perkembangan dan dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh pembuat konstitusi (UUD 1945). Akan tetapi perlu juga interpretasi tersebut dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung hierarki.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. IMPLIKASI
YURIDIS
TERHADAP
PUTUSAN
KEDUDUKAN
PENUNJANG
DALAM
NOMOR
HUKUM
SENGKETA
030/SKLN-IV/2006
LEMBAGA
KEWENANGAN
NEGARA ANTAR
LEMBAGA NEGARA
Bahwa dalam melihat implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 030/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara antara Pemohon yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informasi selaku Termohon terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon yang merupakan salah satu bagian dari lembaga negara penunjang yang bersifat independen yang kewenangannya belum jelas diatur dalam UUD 1945. Penulis akan menguraikan masalah ini dengan mengacu pada Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006. Duduk perkara mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para pihak a. Pemohon
: Komisi Penyiaran Indonesia
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan kedudukan hukum Pemohon sehingga kemudian Pemohon dapat mengajukan permohonan sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah Konstitusi. Adapun dalil yang disampaikan sebagai berikut : 1) Pemohon jelas adalah lembaga negara sebagaimana dijelaskan dalam argumentasi dibawah ini: Pasal 1 Angka 13 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mengatur: Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini commit to masyarakat user sebagai wujud peran serta di bidang penyiaran;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran mengatur: KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran; Posisi lembaga negara Komisi Penyiaran Indonesia juga telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945, yang menyebutkan bahwa kelahiran KPI berhubungan dengan kelahiran institusi-institusi demokratis dan ‘lembaga-lembaga negara’ dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam pertimbangan MK disebutkan bahwa: Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk kepentingan yang lebih besar, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 21-22); 2) Dalam amar putusan
yang sama Mahkamah Konstitusi
menyatakan: Mahkamah
berpendapat
bahwa
dalam
sistem
ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 79); 3) Permasalahannya terletak pada apakah kewenangan Pemohon diberikan oleh UUD 1945? Untuk itu perlu ditegaskan bahwa committidaklah to user sama dengan “diberikan”. kata “disebutkan”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karenanya, secara a contrario “tidak disebutkan” juga bukan berarti “tidak diberikan”. Penyebutan memerlukan pencantuman secara langsung (letterlijk), sedangkan pemberian tidak berarti harus secara langsung tetapi dapat juga tidak secara langsung. Artinya, tidak disebutkannya nama Komisi Penyiaran Indonesia di
dalam
UUD
1945,
bukan
berarti
tidak
terdapat
kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (Pemohon) dalam UUD 1945; 4) Pemikiran di atas menemukan korelasinya jika dipadankan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/SKLNIV/2006 yang menyebutkan bahwa “Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangankewenangan tersebut diberikan”, (vide Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 halaman 88); 5) Artinya, MK lebih memperhatikan ke kewenangan dan bukan ke lembaganya. Bahkan, MK juga kemudian lebih menegaskan bahwa “Mahkamah berpendapat bahwa pengertian kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dapat ditafsirkan tidak hanya yang tekstual saja tetapi juga termasuk didalamnya kewenangan
implisit
yang
terkandung
dalam
suatu
kewenangan pokok dan kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok...”, (vide Putusan MK Nomor commit to user 004/SKLN-IV/2006 halaman 90-91);
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Berdasarkan hal-hal di atas, Pemohon mendalilkan bahwa meski Komisi Penyiaran Indonesia walau tidak disebutkan di dalam UUD 1945, tetapi sesungguhnya kewenangan itu diberikan melalui UUD 1945. Kewenangan ini merupakan derivasi dari perintah
konstitusi
yang
menjaminkan
kemerdekaan
menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara,
dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; 7) Berkait dengan hal ini, ada beberapa Pasal UUD 1945 yang menjadi bagian “Mengingat” dari UU Penyiaran yakni untuk bagian formil UU Penyiaran berlandaskan pada Pasal 20 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 21 Ayat (1), sedangkan untuk bagian materiil UU Penyiaran dilandaskan Pasal 28F, Pasal 31 Ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 Ayat (3), dan Pasal 36; 8) Karenanya Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara di bidang penyiaran seharusnya diartikan ikut bertanggung jawab secara penuh dalam hal pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD 1945 yakni “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, terkhusus yang melalui penyiaran; b. Termohon : Presiden RI qq. Menteri Komunikasi dan Informasi Kedudukan Pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai lembaga negara dapat dilihat dengan commit to user menggunakan runtutan logika-logika yuridis sebagai berikut; (a)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar; (b) Pasal 4 Ayat (2) menentukan, dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden; dan (c) Pasal 17 Ayat (1) menentukan, Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara; (d) Pasal 17 Ayat (2) menentukan, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; (e) Pasal 17 Ayat (3) menentukan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan;. Berdasarkan ketentuan di atas, jelaslah kedudukan Presiden qq. Menkominfo sebagai lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 dan karenanya, dapat diposisikan sebagai Termohon dalam perkara a quo.
2. Alasan Permohonan Pokok sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah sengketa kewenangan konstitusional di bidang penyiaran antara Komisi Penyiaran Indonesia dengan Presiden Republik Indonesia qq Menteri Komunikasi dan Informasi. Adapun kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah: a. Pemohon
merupakan
pihak
yang
menganggap
kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain [vide Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006]. Sedangkan Presiden melalui Menteri Komunikasi dan Informatika adalah pihak Termohon yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon, (vide Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006); b. Kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah: (1)
sengketa
kewenangan pemberian izin penyelenggaraan commit to user penyiaran dan (2) pembuatan aturan dalam hal penyiaran;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen
ikut bertanggung jawab secara penuh dalam hal pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD 1945 yakni “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan
pribadi
dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, terkhusus yang melalui penyiaran; d. Pada kenyataannya, ke dua hal yang menjadi kewenangan Pemohon
tersebut di atas justru diambil alih oleh Termohon; Terkait dengan kewenangan Pemohon dalam memberikan izin penyelenggaraan penyiaran, Pemohon memaparkan argumentasi sebagai berikut : a. Dalam Undang-Undang
Penyiaran yakni Pasal 1 Ayat (14),
mengatur: Izin Penyelenggaraan Penyiaran adalah hak yang diberikan
oleh
negara
kepada
lembaga
penyiaran
untuk
menyelenggarakan penyiaran; Kemudian dalam Pasal 33 Ayat (4) dan (5) UU Penyiaran mengatur: Ayat (4) : Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh: (a) masukan dan hasil evaluasi dengar
pendapat antara pemohon
dan KPI;
(b)
rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI; (c) hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan (d) izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI; Ayat (5) : Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Akan tetapi, kewenangan konstitusional ini diambil alih oleh Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin tersebut kepada Pemohon (Lembaga Penyiaran). Pelanggaran kewenangan konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat Nomor 271/DJSKDI/KOMINFO/10/2006 yang berisi penyampaian pemberian izin (dalam hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon, Artinya, Termohon secara tegas telah melangkahi kewenangan konstitusional Pemohon. Apalagi, sesungguhnya perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat (5) UU Penyiaran mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan “Negara melalui KPI” dan bukan “Pemerintah melalui KPI”; c. Bahkan, Termohon sama sekali tidak ingin menghadiri berbagai rapat bersama dengan Pemohon dalam menyusun kebijakan mengenai pemberian izin ini. Hal ini dilakukan beberapa kali dan hanya mendapatkan tanggapan melalui surat misalnya Nomor 347/M.KOMINFO/9/2006
yang
berisi
tanggapan
yuridis
ketidakhadiran Termohon. Termohon berdalih dasar tindakannya adalah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal PP sama sekali tidak boleh berlawanan dengan ketentuan konstitusi yang dijabarkan oleh UU Penyiaran yang memberikan porsi peran kepada Pemohon secara lebih besar (untuk hal ini, KPI juga telah mengajukan uji materiil beberapa PP ke Mahkamah Agung); Terkait dengan kewenangan Pemohon dalam membentuk peraturan mengenai penyiaran Pemohon memaparkan argumentasi yaitu Di dalam UU Penyiaran, telah tergambar wilayah kewenangan KPI dalam menjalankan perintah konstitusi untuk menjaga hak-hak warga negara yang terkandung pada Pasal 28F UUD 1945. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang independen di wilayah penyiaran seharusnya memiliki kewenangan membentuk peraturan mengenai penyiaran. Dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran secara tegas commit to user mengatur, ”KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengatur hal-hal mengenai penyiaran”. Di dalam UU Penyiaran ditegaskan pula KPI mengatur mengenai lembaga penyiaran publik (Pasal 14 Ayat (10)); Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi (Pasal 18 Ayat (3)); Ketentuan mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta (Pasal 18 Ayat (4)). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan izin lembaga penyiaran berlangganan (Pasal 29 Ayat (2)); Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah (Pasal 30 Ayat (3)); Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran (Pasal 32 Ayat (2)); Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran (Pasal 33 Ayat (8)); Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif (Pasal 55 Ayat (3)); Ketentuan alasan khusus dari ketentuan peralihan lembaga penyiaran (Pasal 60 Ayat (3)). Kemudian Pemohon menyadari, Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran semula memberikan kewenangankewenangan dimiliki oleh KPI bersama dengan Pemerintah, namun oleh Putusan MK Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945 telah membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas khususnya yang berkaitan dengan anak kalimat, “KPI bersama...” dengan melalui pintu Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran. Meskipun Pemohon telah sangat memahami alasan MK dalam Putusannya Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 yang menjelaskan bahwa KPI tidak boleh mempunyai kewenangan yang tergabung antara eksekutif dan legislatif, namun Putusan MK juga mengakui bahwa “Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat commityang to user regulasi sendiri atas hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan 8 UU Penyiaran”, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 80). Itu artinya, kewenangan pengaturan di bidang penyiaran harus dikembalikan menjadi kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak dapat lagi dilakukan oleh Termohon, sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran. Bahwasanya Pemohonlah yang
mempunyai
kewenangan
konstitusional
bidang
penyiaran
ditegaskan lagi melalui Pasal 1 Angka 13, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Penyiaran. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus dilihat sebagai memberikan kewenangan konstitusional, karena sebagaimana dijelaskan di atas, undang-undang tersebut lahir dan berpijak pada Pasal 28F UUD 1945. Selanjunya melalui ketiga hal utama tersebut yang menjadi pokok permohonan Pemohon adalah sebagai berikut: a. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran bukanlah merupakan kewenangan Termohon; b. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran merupakan milik negara yang diberikan melalui Pemohon; c. Menyatakan kewenangan pembuatan regulasi di bidang penyiaran bukan merupakan kewenangan Termohon karena telah ada lembaga negara independen yang dibentuk untuk menyelenggarakan tugas negara di bidang penyiaran, yaitu Pemohon; d. Menyatakan bahwa kewenangan penyusunan regulasi di bidang penyiaran haruslah dilaksanakan oleh lembaga negara independen yang dibentuk untuk menyelenggarakan tugas negara di bidang penyiaran, yaitu Pemohon; Kemudian dalam keterangan berikutnya Termohon memberikan tanggapan terhadap argumentasi Pemohon yang pokoknya sebagai berikut: a. bahwa tidak terdapat cukup alasan yang menunjukkan adanya
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya userdi bidang penyiaran, sebagaimana diberikan oleh UUDcommit 1945 intocasu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimaksudkan dalam Pasal 61 UU MK, karena tidak terbukti adanya kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon yang bersumber dari
UUD
1945
yang dipersengketakan
dengan
Termohon; b. bahwa terkait dengan kewenangan regulasi di bidang penyiaran
seharusnya dikembalikan pada ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran, yang menyatakan, “KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”, akan tetapi dalam pemahaman bahwa kewenangan mengatur yang demikian melalui Peraturan KPI adalah dalam kerangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan UU Penyiaran; c. bahwa sifat independen KPI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat
(2), tidak bisa dilepaskan dari kewenangan KPI berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU Penyiaran.
3. Amar Putusan Dalam Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari ini Selasa tanggal 17 April 2007, yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, Maruarar Siahaan, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, H. Abdul Mukthie Fadjar, H. Harjono, I Dewa Gede Palguna, dan Soedarsono, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Triyono Edy Budhiarto sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon, Termohon atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Tidak Langsung Indonesia Media Law and Policy Centre. Dalam amar putusannya Hakim memberikan putusan: a. Mengingat Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan commit Indonesia to user Nomor 4316 Lembaran Negara Republik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); Dalam memberikan putusan tersebut Hakim Konstitusi memiliki pertimbangan hukum dalam menyelesaikan sengketa kewenangan dalam bidang penyiaran yang diajukan oleh Pemohon, yaitu sebagai berikut: a. Menimbang bahwa di dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 tanggal 12 Juli 2006, Mahkamah telah menentukan objectum litis dan subjectum litis mengenai kewenangan yang dipersengketakan dan lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1) UU MK, sebagai berikut: 1) kewenangan yang dipersengketakan haruslah kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945; 2) lembaga negara dimaksud adalah lembaga negara yang mempersengketakan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945; b. Menimbang bahwa dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, 004/SKLN-IV/2006;
sejak
Dalam
Putusan
pertimbangan
Mahkamah Nomor hukum
Putusan
Mahkamah tersebut antara lain, “Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan commit itu diberikan, to user sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ..... Penempatan kata ‘sengketa kewenangan’ sebelum kata ‘lembaga negara’ mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah memang ‘sengketa kewenangan’ atau tentang ‘apa yang disengketakan’ dan bukan tentang ‘siapa yang bersengketa’. Pengertiannya akan menjadi lain apabila perumusan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi, ‘... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’. Dalam rumusan yang disebut terakhir, hal yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang bersengketa, yaitu lembaga negara, dan tidak menjadi penting tentang objek sengketanya. Sehingga apabila demikian rumusannya, maka konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan menjadi forum penyelesai sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi yang dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal demikian menurut Mahkamah bukanlah maksud dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan “... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, Mahkamah Konstitusi akan berwenang untuk memutus sengketa apa pun yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga negara, sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara .....”. Menimbang bahwa kata ‘lembaga negara’ terdapat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga negara mana yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Karena kewenangan sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun berkedudukan sebagai lembaga commit to user Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 negara menurut pengertian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945 ..... Menimbang bahwa rumusan ‘sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’ mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis ‘kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar’, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah.” c. Menimbang bahwa dilihat dari subjectum litis dalam permohonan ini, Pemohon adalah KPI dan Termohon adalah Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1), Pasal (5), dan Pasal (7) UUD 1945, Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Termohon merupakan subjectum litis dalam perkara a quo. Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan kewenangan
konstitusional
kepada
KPI.
Dengan
demikian,
keberadaan KPI bukanlah merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1) UU MK; Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan, kewenangan konstitusional Pemohon mengalir secara derivative dari Pasal 28F UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Bahwa Pasal 28F UUD 1945, berbunyi, “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak commit to memiliki, user untuk mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”; Pasal 28F UUD 1945 tersebut, mengatur tentang hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan bukan mengatur hak dan/atau kewenangan lembaga negara, apalagi memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan dengan penyiaran; d. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa KPI adalah lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh undang-undang demikian,
bukan
karena
oleh
KPI
Undang-Undang
bukanlah
lembaga
Dasar. negara
Dengan yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan Pasal 61 Ayat (1) UUMK untuk mengajukan permohonan a quo; e. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan oleh karenanya Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Sebelum menginjak substansi permasalahan mengenai implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara, terlebih dahulu perlu ditekankan mengenai hal yang berkaitan dengan legal standing bahwa lembaga negara yang dapat terlibat atau terkait dalam sengketa kewenangan konstitusional tidak terbatas hanya pada lembaga-lembaga negara dalam pengertian yang lazim selama ini dipahami.
Namun
masalahnya
adalah
bagaimanakah
apabila
kewenangan lembaga negara dimaksud tidak secara eksplisit ditentukan commithanya to user dalam UUD 1945, melainkan disebut secara implisit, apakah hal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut dapat ditafsirkan pula sebagai kewenangan konstitusional. Meskipun kesahihan legal standing pemohon nantinya akan diuji terlebih dahulu dalam sidang pemeriksaan oleh majelis hakim konstitusi, namun kajian secara mendalam mengenai hal ini sangat diperlukan untuk membantu memberikan kejelasan awal bagi semua pihak dalam konteks sengketa kewenangan antar lembaga negara ini. Berdasarkan pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pasal 10 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 ayat (1) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah Konstiusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Selanjutnya ketentuan Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa: a. Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. b. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang
kepentingan
langsung
pemohon
dan
menguraikan
kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon. Ketentuan di atas dipertegas dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, yang ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1 Ketentuan Mengenai SKLN Menurut Mahkamah Konstitusi NO POSISI 1 Subjectum Litis (Pemohon atau Termohon)
TAFSIR Pasal 2 ayat (1) Lembaga Negara yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat b. Dewan Perwakilan Daerah c. Majelis Permusyawaratan Rakyat d. Presiden. e. Badan Pemeriksa Keuangan f. Pemerintah Daerah atau g. Lembaga Negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Pasal 2 ayat (2) Kewenangan 2 Objectum Litis yang dipersengketakan (Obyek sengketa) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945. Sumber : Peraturan No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam SKLN Frasa “kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” sebagaimana dimaksud oleh pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mengandung makna “kewenangan atribusi”, yaitu kewenangan yang diciptakan dan diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bukan kewenangan yang diciptakan dan diberikan oleh peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Kemudian berdasarkan Pasal 61 UU MK, dalam sengketa kewenangan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 harus dipenuhi syarat-syarat kedudukan hukum sebagai berikut: Tabel 2 Kedudukan Hukum Para Pihak dalam SKLN NO 1
KEDUDUKAN HUKUM
SYARAT-SYARAT Para pihak yang bersengketa Pemohon dan Termohon, (subjectum litis kedua-duanya harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 Kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis)
2
merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945
Pemohon (syarat khusus)
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan Sumber: Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 3
Untuk memahami lembaga negara, tidak dapat ditafsirkan secara sempit sebagaimana pendapat Montesquieu dengan doktrin trias politica-nya yang mengatakan bahwa lembaga negara adalah institusi kenegaraan yang menjalankan salah satu cabang kekuasaan negara, yang mencakup lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam teori, lembaga-lembaga yang ada dalam suatu negara dikenal dengan alat perlengkapan negara (die staatsorgane). Selanjutnya, alat perlengkapan negara didefinisikan sebagai hal yang menentukan atau membantuk kehendak ataupun kemauan negara (staatswill) serta ditugaskan oleh hukum dasar untuk melaksanakannya. Dengan
kata
melaksanakan
lain, fungsi
alat
perlengkapan
negara
dan
commit to user kewenangannya diatur dalam UUD 1945.
negara
biasanya
dibentuk kedudukan
untuk dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian menginjak ke substansi permasalahan, dengan adanya Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang amar putusannya menyatakan permohonan Pemohon tidak diterima, dimana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Putusan ini berimplikasi adanya suatu diskriminasi terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi apabila kewenangan dari lembaga tersebut diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006. Dalam sengketa ini KPI yang memilki kewenangan dalam pembuatan perpanjangan izin penyiaran dan pembuatan regulasi bidang penyiaran, kewenangan-kewenangan tersebut diambil oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Kominfo. Artinya, Pemerintah secara tegas telah melangkahi kewenangan konstitusional KPI. Apalagi, sesungguhnya perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat (5) UU Penyiaran mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan “Negara melalui KPI” dan bukan “Pemerintah melalui KPI”. Dengan demikian Putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi hendaknya tidak hanya menafsirkan keberadaan lembaga negara yang bersifat penunjang dalam penafsiran tekstual. Menurut Penulis perluasan makna mutlak diperlukan, beranjak dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 08 Tahun 2006 yang telah menentukan dan memberikan tafsir lebih luas mengenai lembaga negara. Adapun ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 08 Tahun 2006 menyatakan, “Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. . . . dst. g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh commit to user UUD 1945”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan
dirumuskannya
”Lembaga
negara
lain
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945” sebagai subjek dalam sengketa kewenangan lembaga negara, ini menunjukkan bahwa subjek sengketa kewenangan lembaga negara dimaksud tidak terbatas hanya pada DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, dan Pemerintah daerah. Kemudian perluasan makna lembaga negara telah pula diteguhkan dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 bertanggal 12 Juli 2006 yang menyatakan, ”Dalam menentukan isi dan batas kewenangan yang menjadi objectum litis suatu sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah tidak hanya semata-mata menafsirkan secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga melihat kemungkinan adanya kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) guna menjalankan kewenangan pokok tertentu tersebut. Kewenangan-kewenangan tersebut dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang”. Sehingga dari perluasan makna yang didasari dari Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 tersebut, penggolongan kategori lembaga negara tidak hanya semata-mata didasarkan kepada kewenangan yang bersifat nasional, melainkan juga harus melihat apakah lembaga dimaksud
melaksanakan
fungsi
penyelenggara
pemerintahan
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Ukuran untuk menentukan apakah lembaga dimaksud termasuk lembaga negara atau bukan, tidak hanya berdasarkan kepada kedudukan struktural lembaga yang bersangkutan dalam UUD 1945 dan bukan pula nama resminya, melainkan harus juga melihat kepada fungsi dari lembaga negara itu dalam UUD 1945. Kemudian untuk kedepannya Mahkamah Konstitusi hendaknya mengisi kekosongan hukum dengan membuat sebuah penafsiran yang pasti mengenai kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara commit to user penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negara di Mahkamah Konstitusi. Dimana dalam menentukan subbjectum litis dan objectum litis perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi yang biasanya melakukan penafsiran secara gramatika (gramatische intepretatie,) harus segera dirombak ke penafsiran yang lebih luas dan moderat. Dalam
penafsirannya
Mahkamah
Konstitusi
berpendapat,
penempatan kata “sengketa kewenangan” sebelum kata “lembaga negara” mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah memang “sengketa kewenangan” atau “tentang apa yang disengketakan” dan bukan tentang “siapa yang bersengketa”. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak dapat terpisahkan dengan frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan
dirumuskannya
anak
kalimat
“lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, secara implisit terkandung
pengakuan
bahwa
terdapat
“lembaga
negara
yang
kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (Luthfi Widagdo, 2010: 43). Untuk itu, didalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945 ditentukan terlebih dahulu kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Namum argumentasi hukum dari Mahkamah Konstitusi tersebut disanggah oleh Maruarar Siahaan, dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) pada Putusan Nomor 027/SKLN-IV/2006. Beliau berpendapat bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara diberikan oleh UUD 1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis verbis tertulis demikian. Pendapat tersebut sebenarnya telah commit to user hakim konstitusi dalam Putusan diakomodir oleh pendapat mayoritas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nomor 004/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) antara Bupati Bekasi dengan Presiden yang pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa, “tidak hanya semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga ada kemungkinan kewenangankewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok tersebut”. Kewenangan-kewenangan dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang akan tetapi, menurut Maruarar, penafsiran harus diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh pembuat konstitusi (UUD 1945). Kemudian dalam dissenting opinionnya yang lain pada Putusan Perkara 27/SKLN-IV/2008 mengenai SKLN antara KPU Maluku Utara dengan Presiden kemudian beliau berpendapat perlunya tafsir tekstual dan pendekatan struktural atas Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah untuk “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945”, mengartikan seolah-olah berbunyi, “sengketa antar lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945”. Padahal tidak ada satu katapun dalam kalimat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut yang menyebut lembaga negara yang bersengketa harus diantara lembaga negara yang setara dan disebiut oleh UUD 1945. Menurut Maruarar, tafsir yang bertentangan dengan teks Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seperti itulah kemudian yang dianut sehingga rumusan demikian menjadi muatan Pasal 10 UU MK yang memberikan syarat legal standing dengan tekanan lebih pada Pemohon. Hal tersebut diikuti pula dengan ketat sebagaimana terlihat dalam rumusan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan PMK 08/2006, sehingga telah menyebabkan Mahkamah tidak mampu memainkan perannya untuk mengawal konstitusi commit to user secara optimal dalam sengketa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lembaga negara sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 ( Maruarar Siahaan, 2005: 46). Menurut Penulis, argumentasi hukum inilah yang menjadi dasar keabasahan dari lembaga negara negara penunjang untuk menjadi pihak khususnya sebagai Pemohon apabila kewenangan konstitusionalnya “dizalimi” oleh lembaga lain, sehingga kedepannya lembaga tersebut dapat mengajukan permohonan sengketa kewenangan antar lembaga negara untuk berpekara di Mahkamah Konstitusi dengan legitimasi yang kuat berupa penafsiran yang lebih luas mengenai makna “sengketa kewenangan lembaga negara” yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Terkait dengan implikasi dari Putusan Nomor 030/SKLNIV/2006 harusnya Hakim Konstitusi mempertimbangkan keberadaan lembaga negara penunjang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sehingga putusan mengenai sengketa kewenangan antara KPI dengan Presiden RI qq Menkominfo RI dapat dirasa adil dan progresif. Dengan amar putusan yang tidak menerima permohonan Pemohon (niet ontvankelijk verklaard) tersebut berimplikasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap keseganan dari lembaga negara penunjang untuk beracara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah Konstitusi, jikalau kewenangan yang dimiliknya diambil oleh lembaga negara lain, keseganan tersebut dikarenakan tidak adanya pengakuan legal standing dari lembaga negara penunjang dalam hukum acara SKLN. Kedudukan
lembaga
negara
penunjang
dalam
sistem
ketatanegaraan sangat penting di Indonesia, karena masyarakat membutuhkan suatu lembaga negara yang akuntabel, independen dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat teknis. Ketidakefektifan dari pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan yang dilaksanakan oleh lembaga negara yang sudah ada menjadi penyebab utama menjamurnya commitpenunjang to user pembentukan lembaga negara di Indonesia karena lembaga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini melaksanakan wewenang diluar kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta keberadaannya yang bersifat mengawasi pelaksaanaan pemerintahan. Dalam kasus antara KPI dengan Pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informasi, upaya KPI untuk mengajukan permohonan SKLN ke Mahkamah Konstitusi dalam hal persengketaan kewenangan pemeberian izin dan pembuatan regulasi di bidang penyiaran merupakan bentuk penegakan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. KPI mempunyai kekhawatiran jika kewenangan yang diberikan UU Penyiaran kepada KPI untuk melaksanakan wewenang di bidang penyiaran diambil alih oleh Pemerintah akan mengembalikan fungsi penyiaran ke zaman Orde Baru kembali seperti pembentukan Departemen Penerangan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk membatasi penyiaran. Kemudian kekhawatiran yang lainnya adalah penyiaran akan dibatasi dan kebebasan untuk berekspresi serta berpendapat menjadi terbatas akibat penguasaan Pemerintah yang notabene dalam pelaksaanan wewenangnya banyak terdapat kepentingan serta dikhawatirkan otorterisme lahir kembali di Indonesia. Adanya UU Penyiaran adalah untuk menjaga dan menghindari adanya otoriterisme Pemerrintah dalam bidang penyiaran serta pemberian kewenangan kepada KPI dalam bidang penyiaran adalah wujud penegakan niali-nilai demokrasi karena seyogyanya KPI merupakan lembaga negara yang dibentuk
secara
khusus
untuk
bidang
penyiaran
yang
dalam
melaksanakan wewenangnya mengutamakan sifat yang independen, akuntabel dan transaparan serta bebas dari kepentingan politik. Sehingga adanya kesempatan bagi lembaga negara penunjang untuk berperkara SKLN di Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk implementasi semangat demokrasi dimana keberadaan Mahkamah Konstitusi bukan hanya sebagai pengawal konstitusi (guard constitution) melainkan ikut terlibat dalam menjaga terselenggarannya pemerintahan commit to user negara yang stabil dan perwujudan good governance di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab sebelumnya mengenai analisis yuridis kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dengan adanya perkembangan ketatanegaraan modern, mengakibatkan munculnya lembaga-lembaga negara baru diluar lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica) yang sifatnya penunjang. Dimana lembaga negara penunjang tersebut disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 dan pengaturan kewenangannya tidak disebutkan secara jelas dalam UUD 1945, seperti KPU, Bank Sentral dan Dewan Pertimbangan Presiden. Munculnya lembaga negara penunjang juga berpotensi menghadirkan konflik baru dalam hal kewenangan dengan lembaga negara lain yang telah ada. Namun, terdapat multitafsir dan kekosongan hukum mengenai pengaturan mengenai subjectum litis dan objectum litis dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Kemudian setelah dianalisis, ketentuan mengenai legal standing lembaga negara penunjang untuk mengajukan permohonan pada perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) di Mahkamah Konstitusi sah-sah saja apabila kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006. Dengan merujuk legitimasi Hakim Konstitusi hendaknya dilakukan penafsiran yang lebih luas dalam menentukan subjectum litis dan objectum litis dalam hukum acara SKLN selain melalui penafsiran Hakim Konstitusi juga perlu melakukan interpretasi yang dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung hierarki. 2. Mengenai implikasi yuridis dari Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara antara Pemohon yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Termohon yaitu Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informasi yang tidak menerima permohonan Pemohon. Mengakibatkan
kedudukan hukum
(legal standing) lembaga
negara penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara terdiskriminasi dimana Hakim Konstitusi masih menafsirkan secara sempit dan tekstual makna “lembaga negara” dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, kemudian didalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan lembaga negara kewenangannya
diberikan
UUD
1945,
ditentukan
terlebih
yang dahulu
kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Sehingga ukuran untuk menentukan apakah lembaga dimaksud termasuk lembaga negara atau bukan, tidak hanya berdasarkan kepada kedudukan struktural lembaga yang bersangkutan dalam UUD 1945 dan bukan pula nama resminya, melainkan harus juga melihat kepada fungsi dari lembaga negara itu dalam UUD 1945.
B. Saran
Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya Penulis dapat memberikan saran sebagai berikut : 1. Mengingat semakin banyaknya lembaga negara penunjang
yang
berimplikasi pada potensi sengketa kewenangan kelembagaan negara, maka diperlukan perumusan langkah ideal dalam penataan sistem hukum nasional. Penataan dimaksud adalah upaya menyelaraskan, menyerasikan, commit to dan user konsistensi unsur-unsur sistem menyesuaikan, menyeimbangkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum, sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain dalam kerangka sistem hukum nasional. Dalam rangka menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terintegrasi demikian itu, dilakukan dengan meletakkan pola pikir penataan sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD 1945 dan Perubahan UUD 1945. Dengan demikian, upaya penataan sistem hukum nasional merupakan “conditio sine qua non” bagi terjaminnya kepastian hukum, ketertiban hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Penataan dilakukan dengan mengacu pada potensi masalah dalam penyelesaian sengketa kelembagaan negara, sehingga penataan kelembagaan negara dalam rangka sistem hukum Indonesia pada hakekatnya ialah mencari sistem hukum yang sesuai dan mampu menjadi wadah dari ide-ide ataupun gagasan-gagasan yang mendasari hasrat bernegara menuju masyarakat yang diidam-idamkan. 2. Untuk kedepannya Mahkamah Konstitusi hendaknya mengisi kekosongan hukum dengan membuat sebuah penafsiran yang pasti mengenai kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah Konstitusi. Penafsiran tidak hanya tekstual dan gramatikal dimana pengertian kewenangan suatu lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis verbis tertulis melainkan memperluas penafsiran secara moderat baik menggunakan penafsiran ekstensif, sitematik, logika maupun analogi dan seterusnya. Sehingga lembaga negara penunjang yang kewenangan konstitusionalnya diambil oleh lembaga negara lain dapat mengajukan permohonan untuk berpekara di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan semangat bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi bukan hanya sebagai pengawal konstitusi melainkan sekaligus juga untuk menjaga terselenggarannya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penjelasan Umum pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 3. Perlu adanya perbaikan atau revisi terhadap Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 mengenai Hukum Acara sengketa kewenangan antar lembaga negara karena legitimasi yuridis pengaturan sengketa kewenangan antar lembaga negara belum mempunyai dasar yang jelas dan banyak menimbulkan multitafsir di kalangan ahli hukum dalam menentukan legal standing dan dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya perbaikan peraturan, diharapkan kekosongan hukum dan multitafsir terhadap kewenangan lembaga negara dapat diminimalisir permasalahannya.
commit to user