perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERANAN MEDIATOR PADA DINAS SOSIAL KETENAGAKERJAAN DAN TRANSMIGRASI KOTA SALATIGA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI KOTA SALATIGA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Riza Kurniawan E 0008074
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Riza Kurniawan, E0008074. 2012. PERANAN MEDIATOR PADA DINAS SOSIAL KETENAGAKERJAAN DAN TRANSMIGRASI KOTA SALATIGA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI KOTA SALATIGA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga dan apakah yang menjadi hambatan bagi mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara maupun observasi secara langsung. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan kepustakaan seperti buku-buku, jurnal ilmiah dan sebagainya. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah melalui wawancara, studi dokumen atau bahan pustaka, dan pengamatan dan observasi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan didapatkan hasil bahwa upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga dibagi menjadi 3 (tiga) tahap yaitu tahap pra perundingan, tahap perundingan mediasi, dan tahap pasca perundingan. Pada tahap pra perundingan para pihak mengajukan aduan ke Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dan mediator menyarankan untuk penyelesaian bipartit terlebih dahulu. Pada tahap perundingan mediasi mediator mendengarkan duduk perkara dari para pihak mengenai permasalahan yang terjadi. Pada tahap pasca perundingan jika hasil mediasi menemui kesepakatan maka para pihak yang berselisih membuat perjanjian bersama dan jika proses mediasi tidak menemui kata sepakat, maka mediator wajib membuat anjuran tertulis. Hambatan bagi mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga terdiri atas hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal meliputi hambatan yang dialami diri mediator sendiri dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan hambatan bagi perusahaan dan pekerja dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja. Hambatan eksternal meliputi hambatan norma perundang-undangan ketenagakerjaan di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dan adanya keterlibatan Lembaga Bantuan Hukum dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja. Kata kunci : Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, mediator, mediasi
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Riza Kurniawan, E0008074. 2012. THE ROLE OF MEDIATOR IN SOCIAL MANPOWER AND TRANSMIGRATION OFFICE OF SALATIGA CITY IN SETTLING THE WORK RELATIONSHIP TERMINATION PROGRAM IN SALATIGA CITY. Faculty of Law of Sebelas Maret University. This research aims to find out how the measures taken by the mediator in the Social Manpower and Transmigration Office of Salatiga City in Settling the Work Relationship Termination Program in Salatiga City and to find out the obstacles the mediator faces in the Social Manpower and Transmigration Office of Salatiga City. This study was an empirical law research that is descriptive in nature. This research employed primary and secondary data. The primary data was obtained from the result of both interview and direct observation. Meanwhile the secondary data was obtained from such literatures as books, scientific journals and etc. Techniques of collecting data used were interview, document or library study, and observation. Considering the result of research and discussion, it could be found that the attempt the mediator took in Social Manpower and Transmigration Office of Salatiga City in settling the Work Relationship Termination in Salatiga City was divided into 3 (three) stages : pre-negotiation, mediation negotiation, and postnegotiation. In pre-negotiation stages, the parties filed their grievance to the Social Manpower and Transmigration Office of Salatiga City and mediator recommended bipartite settlement first. In mediation negotiation stage, the mediators listened to the details of case from the parties about the problems occurred. In post-negotiation stage, when the result of mediation reached consensus, the disputing parties entered into mutual agreement and when the mediation process did not reach consensus, the mediator was obliged to make written recommendation. The obstacles the mediator in Social Manpower and Transmigration Office of Salatiga City in settling the work relationship Termination program in Salatiga city consists of internal constraints and external constraints. Internal obstacles include barriers experienced mediators themselves alone in the completion of the Termination program and obstacles for companies and workers in the completion of the Termination program External obstacles include barriers to employment legislation norms in Social Manpower and Transmigration office of Salatiga and the involvement of the Legal Aid Institute in the completion of the Termination program. Keywords : Social Manpower and Transmigration Office of Salatiga City, Mediator, Mediation.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Biasakanlah untuk berfikir bahwa sukses hanya tinggal selangkah lagi dan pasti akan diraih, niscaya masa depan yang cerah akan ada di depan mata -Andrew CarnegieApabila kita takut gagal, itu berarti kita telah membatasi kemampuan kita -Henry FordTidak ada jaminan kesuksesan, namun tidak mencobanya adalah jaminan kegagalan -Bill Clinton-
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini aku persembahkan kepada :
Allah SWT yang senantiasa memberikan karunia dan hidayahnya Kedua Orang Tuaku Ayahanda Supriyanto, B.S.C. dan Ibunda Widyastuti, S.E. Adikku tersayang Resita Anggraini Sahabat-sahabatku DPR ARMY Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Almamaterku Universitas Sebelas Maret Surakarta. Semua pihak yang telah membantu demi kelancaran skripsi ini
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Peranan Mediator Pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga Dalam Menyelesaikan Masalah Pemutusan Hubungan Kerja Di Kota Salatiga “ dapat terselesaikan. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, karena itu dengan penulis menyampaikan perhargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret. 2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 3. Bapak
Pius
Triwahyudi,
S.H.,M.Si.,
selaku
Ketua
Bagian
Hukum
Administrasi Negara. 4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing dalam skripsi ini yang selalu sabar serta memberikan pengarahan dan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak H. Mohammad Adnan S.H., M. Hum., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 7. Karyawan dan Staff Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran perkuliahan. 8. Bapak Marwoto, S.H., Bapak Yusup Wibisono, S.H., dan Bapak Setyo Pamungkas, S.H., selaku mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Transmigrasi Kota Salatiga yang selalu memberikan pengarahan selama proses peneltian di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 9. Kedua orang tuaku Bapak Supriyanto, B.S.C dan Ibu Widyastuti, S.E dan adikku Resita Anggraini yang senantiasa selalu memberikan motivasi, doa, dan dukungan guna menyelesaikan skripsi ini. 10. Segenap teman-temanku Dibawah Pohon Rindang Army Ridlo Laksono, Alby Prilia Anggana, Taufik Dwi Paksi, Uce Ade Wibowo, Wandira Kusuma Wardhana, Rio Andi Kurniawan, Muhammad Arfien Ariawan, Fadlun Majid Alhakim, Stefanus Donatumar, Rizki Afnan Hutomo, Hastiriyanto, Gery Fifalia, Raden Ghiazh Zuniar Maretha, Budi Nugraha Wardhana, Arifin Budi, Oki Budi Santoso, R. Hanung Satrio Pitono, Nico Pratama, Azahery Insan Kamil, Adityo Bayu Baskoro, Aditya Danni Rosihandi, Dika Yudanto, Hari Cahyadi Yusuf, Zulfikar Suryo, Choirunnissa, Rusdi Salam Januardi, Muhammad Faris Jabar, Pandji Ndaru Sonatra dan Puspita Adiyansari yang selalu memberikan kritik, saran, serta masukan guna menyelesaikan skripsi ini. 11. Bernita Oktavia Dewi yang telah senantiasa memberikan doa, semangat, dan dorongan moral kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan menjadi momentum awal yang bermanfaat bagi perkembangan disiplin ilmu, terutama dalam bidang Ilmu Hukum serta tegaknya hukum di Indonesia. Surakarta,
Desember 2012
Riza Kurniawan
commit to user x
NIM. E0008074
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................
ii
HALAMAN PEMGESAHAN PENGUJI......................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
iv
ABSTRAK ...................................................................................................
v
ABSTRACT .................................................................................................
vi
MOTTO .....................................................................................................
vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ix
DAFTAR ISI
........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xv
BAB I : PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
3
C. Tujuan Penelitian......................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
4
E. Metode Penelitian.....................................................................
5
F. Sistematika Penulisan ..............................................................
11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
13
A. Kerangka Teori ........................................................................
13
1. Tinjauan Umum Tentang Teori Bekerjanya Hukum Robert Seidman.................................................................
13
2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ketenagakerjaan............
14
a. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan ............................
14
b. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan ...........................
15
c. Fungsi Hukum Ketenagakerjaan ..................................
16
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Sifat Hukum Ketenagakerjaan .....................................
17
e. Sumber Hukum Ketenagakerjaan.................................
17
3. Tinjauan Umum Tentang Mediator....................................
18
a. Pengertian Mediator ....................................................
18
b. Kedudukan mediator....................................................
19
c. Syarat-Syarat Mediator ................................................
19
d. Kewajiban Mediator ....................................................
19
e. Wewenang Mediator....................................................
20
f. Tugas Mediator............................................................
20
4. Tinjauan Umum Tentang Perselisihan Hubungan Industrial ...........................................................................
21
a. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial ...............
21
b. Jenis-jenis Perselisihan Hubungan Industria.................
22
c. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial .....................................................................
23
5. Tinjauan Umum Tentang Pemutusan Hubungan Kerja.......
30
a. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja .......................
30
b. Cara-Cara Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja ......
31
c. Hak-Hak Pekerja/Buruh Yang Terkena PHK ...............
33
d. Upaya Hukum Bagi Pekerja Yang Di PHK ..................
35
B. Kerangka Pemikiran .................................................................
36
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..............................
38
A. Upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga .............................................
38
B. Hambatan bagi mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga .............................................
commit to user xii
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV : PENUTUP ....................................................................................
82
A. Simpulan.................................................................................
82
B. Saran.......................................................................................
84
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
85
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
xvi
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Ragaan 1 Skema Model Analisis Kualitatif ................................................
10
Ragaan 2 Bagan Chambliss & Seidman yang diadaptasi.............................
13
Gambar 3 Kerangka Pemikiran. ..................................................................
36
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
: Data Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga..........................................................................
commit to user xv
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian Kepada Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Salatiga Lampiran 2: Surat Rekomendasi Ijin Penelitian dari Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Salatiga Lampiran 3: Surat Perintah Tugas dari Kepala Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga Kepada Mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga Lampiran 4: Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian dari Kepala Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga Lampiran 5 : Surat Perjanjian Bersama PT. Cahaya Agung Cemerlang Lampiran 6 : Surat Perjanjian Bersama PT. Hana Bank Cabang Salatiga Lampiran 7 : Daftar Pertanyaan yang diajukan peneliti saat melakukan penelitian hukum
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini masalah mengenai ketenagakerjaan menjadi salah satu permasalahan yang sedang dihadapi Negara Indonesia dan harus segera mendapatkan penanganan yang signifikan oleh pemerintah. Salah satu permasalahan tentang ketenagakerjaan yang dihadapi oleh Negara Indonesia adalah tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah “pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi perselisihan antara pekerja atau buruh dengan perusahaan yang menjadi salah satu penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat disebabkan oleh pekerja atau buruh sendiri dan dapat pula disebabkan oleh pengusaha dikarenakan adanya program perampingan pekerja. Governments have the authority and resources to institutionalize mediation as an alternative dispute resolution mechanism. Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa pemerintah memiliki kewenangan dan sumber daya untuk melembagakan mekanisme resolusi sengketa alternatif (Jason R. Wiener :221). Penyelesaian perselisihan paling baik adalah penyelesaian para pihak yang saling berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang saling berselisih (Asri Wijayanti, 2009: 179). Pada prinsipnya Pemutusan Hubungan Kerja diupayakan tidak terjadi, jika terjadi perselisihan terlebih dahulu dilakukan perdamaian, negosiasi, musyawarah, secara bipartit antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Jika negoisasi berhasil menyelesaikan secara bipartit maka dibuatlah Perjanjian Kerja Bersama. Apabila kenyataanya upaya penyelesaian secara bipartit tidak menghasilkan kesepakatan untuk menghindari Pemutusan
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
Hubungan Kerja, maka permohonan PHK secara tertulis dapat diajukan minta penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Yetniwati, 2009 : 11). Sebagai upaya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan fasilitas untuk dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dengan memberikan tenaga mediator. Mediator dalam hal ini bertugas melakukan mediasi untuk dapat mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang saling berselisih (Asri Wijayanti, 2009: 179). Semakin maraknya fenomena kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Negara Indonesia menyebabkan jumlah pengangguran yang semakin menumpuk, hal ini didukung oleh fakta-fakta yang berasal dari artikel datadata Kemenakertrans yang diperoleh penulis dari internet. Menurut data yang diperoleh dari Kemenakertrans akhir tahun 2010, dalam 2 tahun terakhir terlihat adanya kecenderungan menurunnya kasus-kasus yang terkait dengan perselisihan hubungan industrial yang dapat mengakibatkan terjadinya ancaman PHK. Pada tahun 2009 tercatat kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial mencapai 4,879 kasus yang melibatkan 30.181 orang, sedangkan pada tahun 2010 menurun menjadi 1.432 kasus dengan melibatkan 16.393 orang. Namun salah satu kendala dalam dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah masih terbatasnya jumlah petugas mediator hubungan industrial. Saat ini hanya terdapat 1.198 orang mediator untuk menangani 214.936 perusahaan, padahal idealnya mencapai 2.200 orang petugas mediator. Data Kemenakertrans selama 2010 mencatat ada 276 perusahaan yang membuat PKB dan 1.683 perusahaan yang mencatatkan peraturan perusahaan (PP). Sehingga secara keseluruhan terdapat PP 44.149 perusahaan yang telah membuat PP dan dan ada 10.959 perusahaan yang telah membuat
PKB
di
seluruh
Indonesia
(m.rockto.com.
http://m.rockto.com/laucher/59320/go. diakses pada tanggal 27 Juni 2012 pukul 13.00).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Fenomena mengenai kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak hanya terjadi di Kabupaten Pelalawan dan menurut data dari Kemenakertrans, namun fenomena ini juga dapat dijumpai di Kota Salatiga. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, pada 3 (tiga) tahun terakhir ini kasus perselisihan yang paling dominan adalah kasus tentang terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada tahun 2010 terdapat 6 (enam) kasus, dimana 4 (empat) kasus diantaranya berhasil tercapai Perjanjian Bersama (PB) dan 2 (dua) kasus lainnya diselesaikan melalui anjuran. Pada tahun 2011 terdapat 16 (enam belas) kasus, dimana diantaranya 15 (lima belas) kasus telah tercapai Perjanjian Bersama (PB) dan 1 (satu) kasus lainnya diselesaikan melalui anjuran. Sedangkan pada tahun pada tahun 2012 terdapat 15 (lima belas) kasus dimana 9 (sembilan) kasus diantaranya telah berhasil tercapai Perjanjian Bersama (PB) dan 2 (dua) kasus diantaranya diselesaikan melalui anjuran, sedangkan 4 (empat) kasus lainnya dapat diselesaikan secara bipartit. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji sebuah penelitian hukum dengan judul “PERANAN MEDIATOR PADA DINAS SOSIAL KETENAGAKERJAAN DAN TRANSMIGRASI KOTA
SALATIGA
DALAM
MENYELESAIKAN
MASALAH
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI KOTA SALATIGA”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah untuk dapat mengetahui permasalahan apa yang akan diteliti sehingga memudahkan penulis untuk dapat mengkaji secara rinci. Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu : 1. Upaya apakah yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
2. Apakah yang menjadi hambatan bagi mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti. Tujuan penelitian ini diperlukan untuk dapat memberikan arahan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitiannya. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga. b. Untuk mengetahuai hambatan bagi mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dibidang Hukum Administrasi Negara, khususnya tentang peranan mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di kota Salatiga. b. Untuk memenuhi syarat-syarat akademis guna memperoleh gelar Strata 1 dalam bidang Ilmu Hukum di fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah salah satu aspek penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan penelitian. Suatu penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum administrasi negara pada khususnya. b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan literatur tentang peranan mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran dan pola pikir yang dinamis penulis. b. Penelitian ini diharapkan membantu memberikan masukan dan pemikiran tentang masalah yang diteliti oleh pihak terkait.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 2010: 43). Dalam menyusun sebuah penelitian diperlukan adanya metode penelitian yang berfungsi untuk mencapai hasil, sasaran, dan tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah jenis penelitian hukum empiris. Dalam hal ini penulis menjelaskan secara deskriptif mengenai apa yang dikaji dan diteliti mengenai peranan mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga . Penelitian empiris adalah penelitian hukum yang data-datanya diperoleh langsung dari lapangan (Soerjono Soekanto, 2010: 52). Penelitian empiris artinya penelitian berdasarkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang mengharuskan penulis turun langsung ke lapangan, dalam hal ini di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga untuk melakukan pengamatan dan menganalisis terhadap gejala sosial yang ditimbulkan oleh aturan hukum yang tidak bekarja secara maksimal yang berakibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Kota Salatiga. 2) Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian deskriptif (Soerjono Soekanto, 2010: 10). Dalam penulisan hukum ini penulis berusaha untuk menggambarkan mengenai peranan mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga. 3) Pendekatan Penelitian Pendekatan peneltian yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Lexy J.Maleong, 2007: 6). 4) Lokasi Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil lokasi di Kota Salatiga. 5) Jenis dan Sumber Data Penelitian a) Jenis Data 1) Data Primer Data Primer adalah data yang langsung diperoleh dari lapangan baik dengan wawancara maupun dengan observasi terhadap narasumber. Dalam hal ini penulis memperoleh data melalui
wawancara
dengan
mediator
pada
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, pihak Serikat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
Pekerja Nasional (SPN), Kepala Personalia, maupun dari pihak karyawan PT. Cahaya Agung Cemerlang dan PT. Hana Bank Cabang Salatiga yang memiliki informasi secara langsung dengan masalah yang sedang diteliti. 2) Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang mendukung kelengkapan data primer dan tidak dapat diperoleh secara langsung dari lapangan melainkan melalui bahan kepustakaan, buku-buku, jurnal ilmiah, dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder berupa buku-buku karangan Asri Wijayanti yang berjudul Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Lalu Husni yang berjudul Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Darwin Prinst yang berjudul Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, dan buku lain yang terkait dengan penelitian yang diteliti. b) Sumber Data 1) Sumber Data Primer Sumber data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian. Dalam penelitian ini penulis memperoleh sumber data primer dari narasumber dalam hal ini adalah mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, pihak Serikat Pekerja Nasional (SPN), Kepala Personalia, maupun dari pihak karyawan PT. Cahaya Agung Cemerlang dan PT. Hana Bank Cabang Salatiga yang memiliki informasi secara langsung dengan masalah yang sedang diteliti. 2) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka yang dalam hal ini berupa literatur peraturan perundangundangan seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Kepmen Nomor 92 Tahun 2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
Serta Tata Kerja Mediasi, dan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Mediator, serta dokumen-dokumen yang melengkapi sumber data primer yang erat kaitannya dengan obyek penelitian yang sedang diteliti. 6) Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan penulis dalam penulisan hukum ini yaitu wawancara, study dokumen atau bahan pustaka, dan observasi. a) Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Lexy J.Maleong, 2007: 186). Dalam penelitian ini penulis melakukan komunikasi secara langsung terhadap mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, Pihak Serikat Pekerja Nasional (SPN), Kepala Personalia, maupun dari pihak karyawan PT. Cahaya Agung Cemerlang dan PT. Hana Bank Cabang Salatiga yang memiliki informasi secara langsung dengan masalah yang sedang diteliti guna memperoleh data mengenai pemutusan hubungan kerja di Kota Salatiga, baik tertulis maupun lisan yang berguna untuk penelitian penulis kedepannya. b) Study dokumen atau bahan pustaka Penulis mengumpulkan, mempelajari, dan mengkaji data berupa artikel-artikel internet, jurnal-jurnal, dokumen-dokumen, bukubuku, peraturan perundang-undangan, serta bahan pustaka lainnya yang berbentuk data tertulis yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. c) Pengamatan atau observasi Merupakan
teknik
pengumpulan
data
dimana
peneliti
mengamati secara langsung objek yang ada di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga tentang segala
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
sesuatu tentang objek penelitian. Dalam hal peneltian ini objek yang dimaksud adalah data mengenai hasil mediasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dari tahun 2010 – 2012. 7) Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J Maleong, 2002: 13). Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah analisis kualitatif dengan interaktif model yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali mengumpulkan data lapangan (H.B Sutopo, 2002: 8). Ketiga komponen tersebut antara lain sebagai berikut : a. Reduksi Data Segala
kegiatan
yang
berfungsi
untuk
mempertegas,
memperpendek, memfokuskan, seperti memilih jenis perselisihan hubungan industrial yang berupa perselisihan pemutusan hubungan kerja yang diselesaikan oleh mediator sesuai dengan judul penulisan hukum yang diambil oleh penulis dan membuang segala hal yang dirasa tidak penting yang muncul dalam catatan maupun pengumpulan data-data pada saat penelitian seperti perselisihan hubungan industrial yang
berupa
perselisihan
hak,
perselisihan
kepentingan,
dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh. Karena yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian adalah mengenai peranan mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja di Kota Salatiga. Proses ini berlangsung secara terus menerus sampai dengan laporan akhir penelitian selesai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
b. Penyajian data Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (H.B.Sutopo, 2002: 97). Pada tahap penyajian data ini penulis menyajikan informasi tentang tabel data penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga selama tahun 2010-2012 yang telah terkumpul dan tersusun dalam satu kesatuan yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang mudah digunakan sehingga dapat memberi kemungkinan kesimpulan riset dapat
dilaksanakan
yang
berupa tabel data kasus yang masuk dan sudah diputus oleh mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. c. Menarik Kesimpulan Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan,
pernyataa-pernyataan,
konfigurasi-konfigurasi
yang
mungkin alur sebab akibat, akhirnya penulis menarik kesimpulan mengenai peranan mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja di Kota Salatiga (HB. Sutopo, 2002: 37). Berikut model analisis data interaktif yang dijelaskan dalam bentuk bagan Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Ragaan I : Skema Model Analisis Kualitatif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
Dengan model analisis ini maka penulis harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya akan bergerak berputar dan kembali lagi diantara kegiatan reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hukum berfungsi untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian terbagi alam 4 bab yang meliputi pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Pada bab I (satu) yang berisi tentang pendahuluan penulis akan menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum. Pada bab II (dua) yang berisi tentang tinjauan pustaka penulis akan menguraikan mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran dalam penelitian. Kerangka teori dalam penelitian ini berisi antara lain tentang tinjauan umum tentang hukum ketenagakerjaan, tinjauan umum tentang mediator, tinjauan umum tentang perselisihan hubungan industrial, dan tinjauan umum tentang pemutusan hubungan kerja. Pada bab III (tiga) yang berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan penulis akan memaparkan tentang hasil dari penelitian yang telah diperoleh dan dilanjutkan dengan pembahasan yang dilakukan terhadap hasil penelitian. Dalam bab ini akan menjawab permasalahan yang diangkat dalam rumusan masalah mengenai upaya apakah yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga dan apakah yang menjadi hambatan bagi mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Sedangkan pada bab IV (empat) yang berisi tentang penutup penulis mengemukakan mengenai kesimpulan yang telah diperoleh dari hasil penelitian yang, serta dikemukakan saran dari penulis yang relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis. Setelah penulis menguraikan mengenai penutup dari penulisan penelitian ini, maka selanjutnya penulis akan menguraikan mengenai bahan kepustakaan yang diperlukan dalam penulisan penelitian ini yang diuraikan dalam daftar pustaka. Pada penulisan penelitian yang terakhir penulis akan mengumpulkan mengenai surat-surat, dokumen-dokumen yang diperlukan dalam peneltian ini yang semuanya dimuat dalam lampiran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Teori Bekerjanya Hukum Robert Seidman Teori yang dipergunakan untuk melakukan analisis teoritis tentang pembentukan hukum dan implementasinya adalah teori dari Robert Seidman yaitu teori tentang bekerjanya hukum. Sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat kemajemukan tatanan hukum. Hal ini sesuai dengan bagan teori bekerjanya hukum yang dilukiskan oleh Chambliss & Robert Seidman dibawah ini antara lain :
Semua kekuatan sosial dan pribadi Lembaga-lembaga pembuat hukum
Norma
Norma kegiatan
Lembaga-lembaga penerap sanksi
penerapan
Pemegang Peran
sanksi Semua kekuatan Sosial dan pribadi
Ragaan 2 : Bagan Chambliss & Seidman yang diadaptasi
Dari bagan model bekerjanya hukum tersebut, dapat terlihat bahwa peran kekuatan sosial tidak hanya mempunyai pengaruh besar kepada rakyat, akan tetapi juga mempunyai pengaruh kepada lembaga hukum. Melalui arah panah dapat dilihat hasil dari tatanan yang ada dalam kehidupan masyarakat tidak dapat hanya dikuasai dan ditentukan oleh
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
hukum semata namun juga dikuasai dan ditentukan oleh kekuatan sosial yang lain. Jika kita melihat permasalahan yang telah dilukiskan oleh Chambliss dan Seidman dalam sebuah bagan diatas, maka memberikan pengetahuan bagi kita dalam memahami bekerjanya hukum dalam kehidupan masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2000 : 20-21) 2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ketenagakerjaan a.
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Hukum Ketenagakerjaan merupakan istilah baru dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum perburuhan pada khususnya. Dahulu pengertian hukum perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang pekerja pada orang lain dengan menerima upah (Iman Soepomo, 1985: 3). Sedangkan Soetiksno mendefinisikan hukum perburuhan adalah hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja tersebut (Soetiksno, 1977: 5). Namun, seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman terjadilah perubahan istilah hukum perburuhan menjadi hukum ketenagakerjaan. Pengertian
hukum
ketenagakerjaan
adalah
sekumpulan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja atau organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan pemerintah, termasuk di dalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataann (Darwin Prinst, 2000: 1). Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan ketenagakerjaan adalah “segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa Hukum Ketenagakerjaan suatu peraturan yang mengatur dan mengikat hubungan hukum antara perusahaan, pekerja/buruh, dalam suatu ikatan perjanjian kerja. b.
Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan Dalam Tata Hukum Negara Republik Indonesia, kedudukan hukum ketenagakerjaan terletak dalam 3 bidang antara lain bidang hukum perdata, bidang hukum administrasi negara, dan bidang hukum pidana (Asri Wijayanti, 2009: 13). Hal tersebut secara lebih terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Perdata Dibidang hukum perdata majikan dan buruh memegang peran sangat penting dalam hubungan industrial. Hubungan pekerja dan pengusaha di landasi atas hukum privat. Dalam hal ini
pemerintah
berperan
sebagai
pengawas
jika
terjadi
perselisihan (Asri Wijayanti, 2009: 14). 2) Kedudukan
Hukum
Ketenagakerjaan
di
Bidang
Hukum
Administrasi Negara Dalam bidang Hukum Administrasi Negara, kedudukan hukum ketenagakerjaan yang wajib disoroti yaitu sebagai subyek hukum
dalam
penyelenggaraan
negara
yang menyangkut
mengenai pejabat yang berwenang, lembaga yang berwenang, dan warga Negara Indonesia, juga menyoroti mengenai peranannya dalam melaksanakan fungsi negara dalam hal pembuatan peraturan, mengenai bagaimanakah tindakan dan solusi yang diberikan oleh negara dalam hal menghindari suatu hal yang terjadi dan apakah upaya hukum yang dapat diberikan oleh negara dalam menangani permasalahan tersebut (Asri Wijayanti, 2009: 14).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
3) Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan di Bidang Hukum Pidana Sangat pentingnya penegakan sanksi bagi pelanggar aturan hukum yang berlaku merupakan bukti pentingnya kedudukan hukum
ketenagakerjaan
dalam
hukum
pidana.
Perbuatan
dikatakan melanggar hukum dan wajib diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku jika perbuatan itu sudah dicantumkan didalam undang-undang. Dalam hal pemberian sanksi maka harus melihat hubungan antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat perbuatan yang terjadi (Asri Wijayanti, 2009: 14). c.
Fungsi Hukum Ketenagakerjaan Hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang menyalurkan arah kegiatan manusia kearah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur,
membina
dan
mengawasi
segala
kegiatan
yang
berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja. Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum ketenagakerjaan merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara berfikir yang modern yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembangunan sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa dan punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada tenaga kerja. Jadi hukum ketenagakerjaan sangat penting untuk diterapkan pada industri yang ada saat ini. Jika diterapkan dengan benar maka tidak akan ada permasalahan yang berkepanjangan antara hak dan kewajiban perusahaan dan tuntutan tenaga kerja. Praktek-praktek mafia kasus, mafia peradilan dan monopoli hukum harus ditiadakan, agar para pekerja di industri indonesia tidak selalu dirugikan oleh peraturan hukum yang tidak diterapkan secara benar dan adil (Ahmad Zakim. 2010. Hukum Ketenagakerjaan.http://ahmadzakim.blogspot. com/2010/04/hukum ketenaga-kerjaan.html diakses pada tanggal 28 Mei 2012 Pukul 19.08). d.
Sifat Hukum Ketenagakerjaan Ditinjau dari sifatnya hukum perburuhan dapat bersifat privat/perdata dan dapat pula bersifat publik. Bersifat privat karena mengatur hubungan antara orang perorangan (pembuatan perjanjian kerja). Bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam masalah-masalah perburuhan serta adanya sanksi pidana dalam peraturan hukum perburuhan (Asri Wijayanti, 2009: 12).
e.
Sumber Hukum Ketenagakerjaan Sumber Hukum Ketenagakerjaan dibagi menjadi 2 yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum. Macammacam sumber hukum materiil tergantung dari sudut pandang para ahli. Sedangkan sumber hukum formil dilihat dari bentuknya (Asri Wijayanti, 2009: 25). Berikut sumber hukum formil di bidang ketenagakerjaan antara lain (Asri Wijayanti, 2009: 26) : 1) Peraturan Perundang-Undangan; 2) Hukum kebiasaan; 3) Yurisprudensi; 4) Traktat atau perjanjian;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
5) Doktrin.
3. Tinjauan Umum Tentang Mediator a.
Pengertian Mediator Pengertian
mediasi
sendiri
adalah
cara
penyelesaian
perselisihan oleh seseorang atau beberapa orang atau badan/dewan yang disebut mediator mempertemukan atau memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya, tanpa mediator ikut campur dalam masalah yang diperselisihkan” (Lalu Husni, 2005: 121). Mediation was by far the preferred process across all industry types. Across industry type, those reporting use of mediation for employment disputes varied from 64 to 91 percent, but again, this represents, on balance, occasional use. Dari tulisan diatas dapat diartikan bahwa mediasi jauh lebih disukai dalam semua jenis industri. Diseluruh jenis industri yang menggunakan mediasi untuk sengketa ketenagakerjaan bervariasi 64 sampai 91 persen. Tapi sekali lagi ini merupakan pada keseimbangan dan penggunaan sesekali (Lisa B. Bingham, 2004 : 147). Dalam proses mediasi untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dipimpin oleh seorang mediator. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mediator hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah “pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemtusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Menurut Pasal 1 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia menjelaskan mengenai pengertian mediator adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
“pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”. b.
Kedudukan Mediator Menurut Pasal 10 Kepmen Nomor 92 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi menjelaskan bahwa mediator berkedudukan di : 1) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 2) Kantor/Dinas/Instansi
yang
bertanggungjawab
di
bidang
bertanggungjawab
di
bidang
ketenagakerjaan Provinsi; 3) Kantor/Dinas/Instansi
yang
ketenagakerjaan Kabupaten/kota. c.
Syarat-syarat mediator Tidak semua orang dapat dipilih menjadi mediator. Untuk menjadi mediator yang berkualitas maka setidaknya harus memenuhi beberapa persyaratan khusus yang telah ditentukan. Menurut Pasal 3 Kepmen Nomor 92 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi menjelaskan bahwa syarat-syarat mediator adalah sebagai berikut : 1) Pegawai Negeri Sipil pada instansi/ dinas yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan; 2) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) Warga Negara Indonesia; 4) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter; 5) Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; 6) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; 7) Berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu; dan 8) Memiliki legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
d.
Kewajiban Mediator Mediator atau yang biasa disebut sebagai pegawai perantara mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menengahi dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
menyelesaikan suatu perselisihan. Menurut Pasal 8 Kepmen Nomor 92 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi menjelaskan bahwa kewajiban seorang mediator adalah sebagai berikut : 1) Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan; 2) Mengatur dan memimpin mediasi; 3) Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian; 4) Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian; 5) Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial; dan 6) Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial. e.
Wewenang Mediator Dalam proses mediasi untuk menyelesaikan perselisihan, seorang mediator tidak boleh menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Menurut Pasal 9 Kepmen Nomor 92 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi menjelaskan bahwa seorang mediator memiliki kewenangan antara lain sebagai berikut : 1) Mengajurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih dahulu dengan itikad baik sebelum dilaksanakan mediasi; 2) Meminta keterangan, dokumen, dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan; 3) Mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan; 4) Membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para pihak dan instansi atau lembaga terkait; 5) Menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata tidak memiliki surat.
f.
Tugas Mediator Dalam proses mediasi, mediator menjalankan tugasnya untuk menengahi
dan
menyelesaikan
commit to user
suatu
perselisihan.
Mediator
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Menurut Pasal 7 Kepmen Nomor 92 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi menjelaskan bahwa mediator bertugas melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Ada beberapa tugas-tugas mediator yang dibahas menurut ketentuan Pasal 15 PERMA Nomor 2 Tahun 2003, tugas mediator tersebut antara lain : 1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati: 2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi: 3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus: dan 4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian terbaik bagi para pihak. 4. Tinjauan Umum Tentang Perselisihan Hubungan Industrial a.
Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial Zaman
sekarang
industri
mulai
berkembang,
seiring
perkembangan industri ini, maka permasalahan tentang perselisihan hubungan industrial juga menjadi semakin terus meningkat. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan fasilitas dan sarana dari pemerintah untuk dapat menunjang serta membantu menyelesaikan masalah yang terjadi mengenai perselisihan hubungan industrial dengan proses yang cepat, singkat, tepat, tidak merugikan kedua belah pihak yang saling berselisih, dan didukung dengan biaya yang murah untuk dapat membantu menyelesaikan permasalahan perselisihan hubungan industrial yang sedang terjadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa pengertian perselisihan hubungan indutrial adalah “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja atau serikat
buruh
karena
adanya
perselisihan
hak,
perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat perkerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian perselisihan hubungan industrial bermula dari ketidakcocokan pendapat antara serikat pekerja/serikat buruh dengan perusahaan, dan solusi penyelesaian perselisihan antar keduanya menemui jalan buntu. b.
Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial Secara umum jenis perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi 4 (empat) macam. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, jenis-jenis perselisihan hubungan indutrial meliputi : 1) Perselisihan Hak Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 2) Perselisihan Kepentingan Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 3) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
4) Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya
persesuaian
paham
mengenai
keanggotaan
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. c.
Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat melalui cara-cara sebagai berikut : 1) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Diluar Pengadilan a) Penyelesaian Melalui Proses Bipartit Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor
2
Tahun
2004
perundingan
bipartit
yaitu
“penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan mengadakan perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial”. Jadi dalam hal ini langkah awal yang harus dilaksanakan dalam penyelesaian bipartit adalah
melalui
jalan
musyawarah
untuk
mencapai
kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Penyelesaian perselisihan bipartit dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan, dan jika melebihi jangka waktu yang telah ditentukan maka perundingan batal demi hukum. Ketentuan didalam perundingan bipartit wajib mencantumkan nama, tanggal,
tempat
permasalahan,
dilaksanakannya pendapat
dari
perundingan,
pokok
masing-masing
pihak,
kesimpulan, dan tanda tangan kedua belah pihak yang berselisih tersebut. Hasil perundingan yang dilakukan tersebut sering disebut dengan perjanjian bersama yang harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah perjanjian bersama tersebut dibuat. Hasil perundingan bipartit yang disebut dengan perjanjian bersama yang sudah didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial, tetapi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang merasa telah dirugikan dapat mengajukan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial Industrial di wilayah perjanjian bersama tersebut dibuat. Jika perundingan dianggap gagal maka salah satu pihak yang berselisih harus mendaftarkan perselisihannya di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dilampirkan dengan bukti bahwa upaya-upaya melalu bipartit sudah dilakukan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi setelah menerima pencatatan yang dilaporkan kedua belah pihak yang berselisih tersebut, maka Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi segera menawarkan penyelesaian perselisihan melalui jalan arbitrasi, mediasi, atau konsiliasi. Jika dalam batas waktu 7 (tujuh) hari kerja kedua belah pihak yang berselisih tidak segera menetapkan jenis penyelesaian apa yang akan dipilih, maka akan ditempuh dengan penyelesaian perselisihan melalui jalan Mediasi, kecuali Perselisihan Hak dilakukan dengan Mediasi (Asri Wijayanti, 2009: 185). b) Penyelesaian Melalui Proses Mediasi Pengertian
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial melalui mediasi menurut Pasal 1 angka 11 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 adalah “penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah dengan ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral”. Untuk menjadi seorang mediator maka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
seseorang harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dalam proses penyelesaian perselisihan melalui mediasi dalam jangka waktu waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima
penyelesaian,
maka
mediator
harus
sudah
mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan mengadakan sidang mediasi. Jika telah terjadi kesepakatan penyelesaian melalui mediator, maka dibuatlah perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak yang berselisih dengan disaksikan oleh mediator dan harus didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri setempat. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan, maka dapat dilakukan proses mediasi. Dalam proses mediasi awalnya, seorang mediator mengeluarkan anjuran tertulis. Anjuran tertulis itu harus sudah disampaikan kepada para pihak yang berselisih paling lambat dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak diadakannya sidang pertama. Setelah penyampaian anjuran tertulis kepada para pihak, maka para pihak dalam waktu 10 (sepuluh) hari harus segera memberikan jawaban. Jika dalam waktu yang sudah
ditentukan
tersebut
para
pihak
tidak
segera
memberikan jawaban, maka para pihak dianggap menolak anjuran. Apabila para pihak yang berselisih menolak anjuran tertulis, maka para pihak dapat meneruskan perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial melalui gugatan oleh salah satu pihak. Sebaliknya, apabila para pihak yang berselisih menerima anjuran tertulis paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari, maka mediator harus sudah selesai membuat perjanjian
bersama
untuk
didaftarkan
ke
Pengadilan
Hubungan Industrial dan mendapat Akta Bukti Pendaftaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Penyelesaian perselisihan melalui tahap mediasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima pelimpahan perselisihan (Asri Wijayanti, 2009: 186). c) Penyelesaian Melalui Proses Konsiliasi Dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut dengan konsiliasi adalah “penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Untuk menjadi seorang konsiliator harus memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dalam proses perselisihan melalui konsiliasi awalnya para pihak yang berselisih mengajukan permohonan tertulis dan memilih konsiliator yang telah terdaftar dalam daftar nama konsiliator. Setelah itu dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari seorang konsiliator harus mengadakan penelitian terhadap duduk perkara dan mengadakan sidang konsiliasi pertama.
Dalam
waktu
yang
bersamaan
konsiliator
diperkenankan untuk memanggil seorang ahli. Jika sidang konsiliasi telah mencapai kesepakatan, maka dibuatlah perjanjian bersama dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial untuk dapat memperoleh akta bukti pendaftaran. Sebaliknya apabila dalam sidang konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka konsiliator paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah disampaikan ke para pihak yang berselisih, seorang konsiliator yang bersangkutan harus mengeluarkan anjuran tertulis. Setelah itu para pihak harus sudah mengeluarkan jawaban paling lambat dalam waktu 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
(sepuluh) hari sejak menerima anjuran. Apabila para pihak yang berselisih tidak memberikan jawaban, maka para pihak yang berselisih tersebut dianggap menolak anjuran tertulis. Dalam hal para pihak yang berselisih tersebut menolak anjuran tertulis maka para pihak tersebut dapat mengajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan cara mengajukan gugatan oleh salah satu pihak yang berselisih tersebut. Sebaliknya jika para pihak yang berselisih telah menyetujui anjuran tertulis, maka konsiliator paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, untuk dapat membantu para pihak yang berselisih untuk
menyusun perjanjian bersama yang didaftarkan ke
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Hal tersebut berfungsi untuk memperoleh akta bukti pendaftaran. Dalam penyelesaian
melalui
konsiliasi
seorang
Konsiliator
menyelesaikan tugasnya paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permintaan penyelesaian (Asri Wijayanti, 2009: 188). d) Penyelesaian Melalui Proses Arbitrase Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004, Arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah “Penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”. Dalam proses penyelesaian sengketa secara arbitrase dipimpin oleh seorang arbiter. Untuk menjadi seorang arbiter harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Pasal 31 ayat 1. Seorang arbiter bukanlah seorang Pegawai Negeri Sipil, tetapi masyarakat yang telah legitimasi dan diangkat oleh menteri yang memiliki kewenangan dalam lingkup nasional. Dalam proses perselisihan secara arbitrase dilakukan atas kesepakatan secara tertulis kedua belah pihak yang berselisih dalam surat perjanjian arbitrase. Surat perjanjian tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) untuk dibagikan kepada masing-masing pihak yang berselisih, dimana masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) surat perjanjian arbitrase. Apabila surat perjanjian arbitrase sudah ditandatangani para pihak, maka mereka berhak memilih arbiter-arbiter yang berwenang yang telah ditetapkan oleh menteri dan paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari para pihak yang berselisih harus sudah menentukan nama arbiter yang dipilih. Penunjukan seorang arbiter dilakukan secara tertulis yaitu dituangkan dalam perjanjian penunjukan arbiter. Proses pemeriksaan dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah penandatanganan penunjukan arbiter. Arbiter harus menyelesaikan perselisihan tersebut paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat penunjukan arbiter dikeluarkan. Menurut kesepakatan para pihak,
arbiter
memiliki
kewenangan
memperpanjang
penyelesaian sebanyak satu kali paling lambat 14 (empat belas) hari kerja. Proses pemeriksaan dilaksanakan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih mempunyai keinginan lain. Dalam
proses
persidangan
arbitrase
awalnya
dilakukan pemanggilan terhadap para pihak yang berselisih. Apabila para pihak yang berselisih tidak hadir, maka arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
arbiter dianggap selesai. Apabila salah satu pihak hadir pada pelaksanaan sidang pertama, namun selanjutnya tidak hadir maka arbiter dapat memeriksa tanpa kehadiran salah satu pihak. Dalam sebuah persidangan selalu diawali dengan upaya perdamaian. Jika perdamaian tercapai, maka arbiter harus membuat akta perdamaian yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Apabila melalui upaya perdamaian mengalami jalan buntu arbiter dapat meneruskan ke proses pemeriksaan. Dalam pemeriksaan di persidangan para pihak yang berselisih memiliki hak untuk menjelaskan pembelaannya dengan mengajukan bukti-bukti baik lisan ataupun tertulis. Arbiter berhak meminta keterangan tambahan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Seseorang yang diminta kesaksiannya
sebelum
menyampaikan
kesaksiannya
dilaksanakan sumpah terlebih dahulu. Seluruh acara dalam pemeriksaan dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter. Putusan arbiter ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundangan, perjanjian, kebiasaan, keadilan, kepentingan umum. Putusan arbitrase bersifat final, walaupun putusan arbitrase bersifat final. Jika dalam putusan arbitrase yang sudah dikeluarkan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kewajiban, maka pihak lain yang telah dirugikan berhak untuk mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan tanpa mengajukan gugatan kembali. Pengertian dari fiat eksekusi adalah permohonan pelaksanaan eksekusi, yaitu dengan cara mengajukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
permohonan kepada pengadilan agar membantu demi terlaksananya putusan, sehingga suatu eksekusi dapat terlaksana sesuai dengan prosedur hukum yang telah ditentukan (Asri Wijayanti, 2009: 191). 2) Penyelesaian
Perselisihan
Hubungan
Industrial
melalui
Pengadilan Pada prinsipnya acara yang digunakan dalam persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial adalah Acara Pada Pengadilan umum, kecuali ditentukan lain. Ketentuan lain yang bersifat khusus pada pengadilan dalam pengadilan hubungan industrial diantaranya mengenai waktu proses sidang dan penyelesaiannya dibatasi, sehingga tidak bisa mengulur-ulur waktu seperti di Pengadilan Umum. Lisensi beracara seorang penerima kuasa (seperti advokat)dalam hal ini tidak terjadi syarat wajib bagi para pihak yang mewakilkan penyelesaian sengketa ini kepada orang lain (kuasanya) karena hanya mensyaratkan bahwa perwakilan tersebut ditunjuk dan mewakili Serikat Pekerja, tidak dipungut biaya perkara sepanjang nilai gugatannya tidak melebihi Rp. 150.000.000,-
(seratus
lima
(pusdiklat.law.uii.ac.id.proses
puluh penyelesaian
juta
rupiah)
perselisihan
hubungan industrial dan jurus membayar perkara.pusdiklat.law. uii.ac.id/index2.php?option=com_docman.diakses pada tanggal 20 September 2012 Pukul 12.50). 5. Tinjauan Umum Tentang Pemutusan Hubungan Kerja a. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja Menurut ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja adalah “pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
Pemutusan Hubungan Kerja adalah “pengakhiran hubungan kerja, yang dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara buruh dan majikan, meninggalnya buruh atau karena sebab lain” (Zaeni Asyhadie, 2008: 173). Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha (F.X. Djumialdji, 2005: 45). Dari pengertian-pengertian mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah keadaan dimana pekerja atau buruh berhenti bekerja dari perusahaan tempat mereka bekerja. b. Cara-Cara Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Hukum Ketenagakerjaan dikenal 4 empat) cara terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), antara lain pemutusan hubungan kerja emi ukum, pemutusan hubungan kerja oleh buruh, pemutusan hubungan kerja oleh majikan, dan yang terakhir pemutusan hubungan kerja karena putusan pengadilan. Adapun penjelasan secara terperinci adalah sebagai berikut : 1) Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum Pemutusan hubungan kerja Demi Hukum terjadi karena alasan batas waktu masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila buruh meninggal dunia (Asri Wijayanti, 2009: 161). 2) Pemutusan Hubungan Kerja oleh Buruh Pemutusan hubungan kerja oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan buruh minta di PHK (Asri Wijayanti, 2009: 161).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
3) Pemutusan Hubungan Kerja oleh Majikan Pemutusan hubungan kerja oleh majikan dapat terjadi karena alasan apabila buruh tidak lulus masa percobaan, apabila majikan mengalamin kerugian sehingga menutup usaha, atau apabila buruh melakukan kesalahan (Asri Wijayanti, 2009: 161). Perusahaan tidak perlu melakukan pemutusan hubungan kerja karena sesuai dengan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, yaitu penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal : a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atau kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c) Pekerja/buruh
mencapai
usia
pensiun
sesuai
dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian
kerja
bersama,
atau
peraturan
perundang-
undangan; atau d) Pekerja/buruh meninggal dunia; Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh jika buruh melakukan kesalahan berat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Namun dengan adanya perkembangan zaman, maka ada perubahan tentang keberadaan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 seiring dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 012/PUU-1/2003. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 012/PUU1/2003 disebutkan bahwa keberadaan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang memungkinkan perusahaan bisa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
langsung
melakukan
PHK
terhadap
pekerja/buruh
ketika
dianggap melakukkan tindakan berat berupa tindak pidana, dinyatakan tidak berlaku lagi. Putusan MK tersebut kemudian diikuti dengan keluarnya Surat Edaran Menakertrans yang menegaskan bahwa jika pengusaha akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, hanya dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya pekerja/buruh yang di-PHK karena dianggap melakukan pelanggaran berat, harus dibuktikan
terlebih
dahulu
kesalahannya
dengan
putusan
pengadilan pidana. Dengan demikian perusahaan tidak boleh melakukan PHK sebelum ada putusan pengadilan. (FSPSI. 2010. Putusan MK No. 012/PUU-1/2003 Keberadaan Pasal 158. http:fspsi.blogspot.com/2010/10/putusan-mk no 012 puu-12003 keberadaan.html.diakses pada tanggal 10 Juni 2012 Pukul 16.13). 4)
Pemutusan Hubungan Kerja karena Putusan Pengadilan Pemutusan hubungan kerja karena putusan pengadilan merupakan akibat dari adanya sengketa antara buruh dan majikan yang berlanjut sampai ke proses pengadilan. Datangnya perkara dapat dari buruh atau dapat dari majikan (Asri Wijayanti, 2009: 167).
c. Hak-Hak Pekerja/Buruh Yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja Hak-hak buruh meliputi uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang ganti rugi perumahan pengobatan, dan uang pisah. Menurut ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 perhitungan besarnya uang pesangon adalah sebagai berikut : 1) masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; 2) masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; 3) masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun , 3 (tiga) bulan upah;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
4) masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; 5) masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; 6) masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; 7) masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; 8) masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; 9) masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. Menurut ketentuan Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 perhitungan besarnya uang penghargaan masa kerja adalah sebagai berikut : a) masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b) masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c) masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d) masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e) masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f) masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g) masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h) masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah Menurut ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 perhitungan besarnya uang ganti rugi perumahan pengobatan adalah sebagai berikut : (a) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; (b) biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
(c) penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; (d) hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusanaan atau perjanjian kerja bersama. d. Upaya Hukum Bagi Pekerja Yang Di PHK Apabila seorang pekerja tidak mendapatkan haknya sebelum dibentuknya lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud yaitu Pengadilan Hubungan Industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau dikenal dengan upaya perdata. Didalam upaya hukum administratif cara penyelesaiannya melalui proses bipartit. Dalam melaksanakan upaya hukum bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui proses bipartit menemui jalan buntu, maka dapat dimintakan anjuran ke Dinas Tenaga Kerja setempat, sebaliknya jika melalui proses bipartit telah menemui kata sepakat maka hasil persetujuan itu berkekuatan hukum tetap. Sejak adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, upaya hukum bagi pekerja/buruh yang mengalami perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan upaya melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, ataupun ke pengadilan hubungan industrial (Asri Wijayanti, 2009: 175).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
B. Kerangka Pemikiran
PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN KETENAGAKERJAAN : 1. UU NO. 13 TAHUN 2003 2. UU NO. 2 TAHUN 2004
MEDIATOR DINAS SOSIAL
PEMEGANG PERAN
KETENAGAKERJAAN
ADALAH PEKERJA
DAN TRANSMIGRASI
DAN PENGUSAHA
KOTA SALATIGA
UMPAN BALIK
KEKUATAN SOSIAL DAN PRIBADI
Gambar 3 : Kerangka Pemikiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
Keterangan : Dari kerangka teori tersebut dapat diketahui bahwa dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan
Hubungan
Industrial,
mediator
dalam
melaksanakan segala kegiatannya harus tetap berpedoman dan bertindak sesuai norma yang berlaku. Pemegang peran yang dalam hal ini perusahaan dan pekerja harus mengutamakan
musyawarah
untuk
mencapai
kata
mufakat
tanpa
meninggalkan norma yang diatur dalam undang-undang. Jika penyelesaian secara musyawarah yang dilakukan oleh pemegang peran tidak menemui kata mufakat maka permasalahan dikembalikan kepada mediator. Mediator mengambil jalan tengah untuk membantu menyelesaikan permasalahan tanpa keluar dari norma yang diatur oleh undang-undang dan dikembalikan kepada pemegang peran agar terjadi kesepakatan. Jika permasalahan tetap tidak dapat selesai maka dimungkinkan peran sosial dan pribadi dapat masuk untuk ikut menyelesaikan permasalahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya
Yang
Dilakukan
Oleh
Mediator
Pada
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan Dan Transmigrasi Kota Salatiga Dalam Menyelesaikan Malasah Pemutusan Hubungan Kerja Di Kota Salatiga. Masalah mengenai ketenagakerjaan khususnya masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi permasalahan yang sangat pelik yang dihadapi oleh Negara Indonesia.
Semakin maraknya fenomena kasus
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Negara Indonesia mengakibatkan jumlah angka pengangguran yang semakin menumpuk. Untuk mengatasi adanya fenomena tersebut, perlu adanya perhatian dan penanganan yang signifikan oleh pemerintah. Mediasi adalah salah satu pilihan alternatif dalam penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Penyelesaian perselisihan melalui mediasi pada akhir-akhir ini banyak diperbincangkan oleh orangorang yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat. Berbagai alasan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memilih mediasi sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut informan yang dimintai pendapatnya, ada kecenderungan pekerja memilih mediasi adalah mengingat pertimbangan waktu. Mediasi mungkin dapat menghasilkan suatu persetujuan atau menyelesaikan suatu persoalan lebih cepat dibandingkan dengan metode-metode lain. Selain pertimbangan waktu, mediasi dilakukan juga kerena pertimbangan biaya. Suatu persetujuan untuk mediasi mungkin dapat menghemat uang para pihak. Biaya-biaya pelaksanaan litigasi dan biaya pengacara dapat dihindari dalam proses mediasi. Disamping itu, melalui mediasi lebih dimungkinkan para pihak mencapai sepakat dan mendapat keuntungan secara timbal balik. Keuntungan lainnya bahwa hubungan para pihak yang berlawanan melalui mediasi dapat terjalin lebih baik dan hubungan seperti ini tidak mungkin dapat terjadi jika penyelesaian sengketa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilaksanakan
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
melalui prosedur litigasi dan beracara di pengadilan (H. Surya Perdana, 2009: 41-41). Dengan menggunakan Teori Bekerjanya Hukum Robert Seidman, maka akan dapat terlihat bagaimana kerangka pemikiran dari penulis dalam melakukan penulisan hukum ini. Hal ini dapat diuraikan dalam bagan yang dilukiskan oleh Chambliss & Robert Seidman dibawah ini (Satjipto Rahardjo, 2000: 20) :
Semua kekuatan sosial dan pribadi Lembaga-lembaga pembuat hukum
Norma Lembaga-lembaga penerap sanksi
Norma kegiatan
Rakyat
penerapan sanksi
Semua kekuatan Sosial dan pribadi
Ragaan 4. Bagan Chambliss & Seidman yang diadaptasi
Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa lembaga-lembaga pembuat hukum membuat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial beserta dengan peraturan pelaksananya harus sesuai dengan aturan norma yang berlaku yang akan dijadikan sebagai pedoman bagi lembaga penerap sanksi yang dalam hal ini adalah mediator hubungan industrial kabupaten atau kota yang diangkat oleh Menteri Tenaga Kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial beserta dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
peraturan pelaksananya. Bersamaan dengan hal tersebut, lembaga-lembaga penerap sanksi yang dalam hal ini disebut sebagai mediator akan mempelajari setiap kasus yang masuk ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk dikembalikan ke rakyat sebagai penyelesaiannya. Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga beralamat di Jalan Merak Nomor 3 Mangunsari Kota Salatiga. Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga mempunyai tugas pokok untuk
melaksanakan
urusan
Pemerintah
Daerah
di
bidang
sosial,
ketenagakerjaan, dan transmigrasi berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, maka Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi
Kota
Salatiga
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : 1) Perumusan kebijakan teknis di bidang sosial, ketenagakerjaan, dan transmigrasi; 2) Penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum di bidang sosial, ketenagakerjaan, dan transmigrasi; 3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang sosial, ketenagakerjaan, dan transmigrasi; dan 4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya. Mediator
Hubungan
Industrial
yang
ada
di
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga berjumlah 3 (tiga) orang, yaitu : 1) Marwoto NIP
:
19620131 198903 1 007
Pangkat/Golongan
:
Pembina Tk. 1 / IV b
Jabatan
:
Kepala
Bidang
Hubungan
Industri
dan
Pengawasan Tenaga Kerja Pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan Salatiga;
commit to user
dan
Transmigrasi
Kota
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
2) Yusup Wibisono NIP
:
19590920 198403 1 008
Pangkat/Golongan
:
Penata Tk. 1 / III d
Jabatan
:
Kepala Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja Pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga;
3) Setyo Pamungkas NIP
:
19841209 2010 1019
Pangkat/Golongan
:
Penata Muda / III a
Jabatan
:
Mediator
Pertama
Ketenagakerjaan
dan
Dinas
Sosial
Transmigrasi
Kota
Salatiga;
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan salah satu mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yaitu Bapak Yusup Wibisono pada hari Senin, 27 Agustus 2012 didapat keterangan bahwa proses mediasi di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dilakukan oleh 3 (tiga) orang mediator yaitu Bapak Marwoto yang merangkap sebagai Kabid Hubinwasnaker, Bapak Yusup Wibisono yang merangkap sebagai KaSie Hubinsyaker, dan Bapak Setyo Pamungkas yang merangkap sebagai mediator pertama. Ketiga mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai mediator. Mediator di Dinsosnakertrans bukanlah pejabat fungsional atau berada di rumpun jabatan fungsional di dinas, namun berkedudukan sebagai pejabat struktural (wawancara Bapak Yusup Wibisono di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 27 Agustus 2012). Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga pada hari Senin, 27 Agustus 2012 didapat keterangan bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
dalam melaksanakan mediasi selalu berpedoman kepada Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Melalui Mediasi. Jenis-jenis perselisihan yang ditangani oleh mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga diantaranya Perselisihan
Hak,
Perselisihan
Kepentingan,
Perselisihan
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), dan Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Upaya yang dilakukan mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga adalah dengan melaksanakan prosedur mediasi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Secara teknis mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut (wawancara Bapak Setyo Pamungkas di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 27 Agustus 2012) : 1. Tahap Pra Perundingan Pihak yang bersengketa mengajukan pengaduan Perselisihan Hubungan Industrial, pihak yang bersengketa dapat langsung datang ke Kantor Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dan menyampaikan perihal sengketa yang dihadapinya langsung kepada mediator. Mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga memberikan informasi mengenai prosedur penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai dengan aturan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk dapat melakukan upaya penyelesaian bipartit dengan jalan musyawarah untuk mencapai kata mufakat di perusahan yang bersangkutan. Upaya penyelesaian melalui bipartit ini diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak perundingan dimulai. Jika dalam jangka waktu yang telah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
ditentukan, perundingan telah dilakukan tetapi tidak menemui kata sepakat atau salah satu pihak menolak untuk berunding, maka perundingan bipartit dianggap tidak berhasil. Jika perundingan bipartit gagal, maka pihak yang bersengketa diminta untuk menulis form permohonan pencatatan perselisihan hubungan industrial. 2. Tahap Perundingan Mediasi Melakukan panggilan maksimal 7 (tujuh) hari kerja untuk melakukan perundingan mediasi di Kantor Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. Pada kesempatan ini mediator Kantor Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi
Kota
Salatiga
mendengarkan penjelasan duduk perkara dari masing-masing pihak mengenai permasalahan yang terjadi. Biasanya pada saat sidang mediasi, disampaikan pula bahwa masa kerja pekerja untuk menghitung uang pesangon dan hak lainnya yang hendak diberikan kepada pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 3. Tahap Pasca Perundingan Mediator wajib mengupayakan perdamaian diantara 2 (dua) pihak yang saling berselisih. Hasil mediasi memunculkan adanya 2 (dua) kemungkinan, yaitu menemui kata sepakatan dan tidak menemui kata sepakatan. a. Jika Pihak Yang Berselisih Menemui Kata Kesepakatan Apabila hasil mediasi menemui kesepakatan maka para pihak yang berselisih membuat perjanjian/persetujuan bersama. Perjanjian Bersama (PB) ditandatangani oleh para pihak dan memuat pernyataan para pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja. Isi Perjanjian Bersama (PB) antara lain sebagai berikut : 1) Identitas para pihak; 2) Tempat dan waktu dibuat; 3) Hak dan kewajiban yang akan dipenuhi masing-masing pihak; dan 4) Tanda tangan paraa pihak yang diketahui oleh mediator.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
Seharusnya setelah menemui kata sepakat dan dibuat Perjanjian Bersama (PB), maka didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan akta bukti perdamaian. Akan tetapi, hal ini jarang dilakukan oleh para pihak yang berselisih. b. Jika Pihak Yang Berselisih Tidak Menemui Kata Sepakatan Jika dalam proses mediasi tidak menemui kata sepakat, maka mediator wajib membuat anjuran tertulis dalam waktu maksimal 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama dan telah disampaikan kepada para pihak. Dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis, maka para pihak yang berselisih memberikan jawaban secara tertulis yang pada intinya : 1) Menyetujui anjuran tertulis Jika para pihak meyetujui anjuran tertulis, maka dalam waktu 3 (tiga) hari kerja mediator harus sudah selesai membantu membuat Perjanjian Bersama (PB) dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Perjanjian Bersama (PB) yang telah didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial maka Perjanjian Bersama (PB) tersebut harus dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan eksekusi dari Pengadilan Hubungan Industrial. 2) Menolak atau tidak menyetujui anjuran tertulis Jika para pihak menolak anjuran tertulis, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berselisih mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Bagi perusahaan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu kerugian. Perusahaan harus melepas pekerjanya yang sudah dilatihnya dengan mengeluarkan banyak biaya. Namun disisi lain adanya Pemutusan
Hubungan
Kerja
(PHK)
juga
sangat
diperlukan
demi
kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Oleh sebab itu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selain merugikan pekerja juga telah merugikan perusahaan. Oleh kaarena itu masing-masing pihak harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
mengusahakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sedangkan dilain pihak kelangsungan hidup perusahaan juga tetap terjamin (F.X. Djumialdji, 2005: 44). Berikut adalah daftar tabel data penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir :
Tabel 1. Data Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiaga
PENYELESAIAN KASUS TAHUN
JUMLAH KASUS ANJURAN
PERJANJIAN BERSAMA
BIPARTIT
2010
6 Kasus
2 Kasus
4 Kasus
-
2011
16 Kasus
1 Kasus
15 Kasus
-
2012
15 Kasus
2 Kasus
9 Kasus
4 Kasus
Jumlah
37 Kasus
5 Kasus
28 Kasus
4 Kasus
Sumber
: Buku Register Perkara Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi Kota Salatiga Keterangan : a. Jumlah Kasus
:
Jumlah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masuk ke Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
b. Anjuran
:
Jumlah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masuk ke Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Kota
Salatiga
yang
dapat
diselesaikan melalui anjuran. c. Perjanjian Bersama :
Jumlah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masuk ke Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Kota
Salatiga
yang
dapat
diselesaikan melalui Perjanjian Bersama (PB). d. Bipartit
:
Jumlah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dapat diselesaikan secara musyawarah di tingkat perusahaan.
Berikut adalah contoh kasus terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di Kota Salatiga yang dapat diselesaikan oleh mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga : 1) Kasus antara PT. Cahaya Agung Cemerlang melawan Saudara Kristiyanto Saudara Kristiyanto selaku karyawan PT. Cahaya Agung Cemerlang, dengan jabatan sebagai SLD-PC, dan dengan masa kerja selama 6 (enam) tahun. Pada tanggal 10 Mei 2012 beliau mendapatkan surat peringatan tertulis karena terbukti melakukan pelanggaran perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan dengan melakukan manipulasis kredit, dengan surat peringatan yang berlaku dalam jangka waktu 1 (satu) bulan mulai tanggal 10 Mei 2012 sampai dengan 10 Juni 2012. Karyawan berkomitmen untuk tidak akan melakukan lagi tersebut diatas dan akan bekerja apa adanya. Pada tanggal 21 Juli 2012 dengan Surat Pemberitahuan Nomor : 003/CAC/SP/HRD/SLTG/07/2012, Ponco Insan P. Adi selaku HRD (Human Resource Development) Manager PT. Cahaya Agung Cemerlang menyatakan bahwa karyawan yang bernama Saudara Kristiyanto telah habis masa kontrak dan tidak diperpanjang lagi dengan alasan sebagai berikut : a) Masa kontrak berakhir;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
b) Melakukan manipulasi data kredit c) Manipulasi pecah BP (Bon Penjualan) atau melakukan penjualan fiktif Pada tanggal 23 Juli 2012, PSP SPN PT. Cahaya Agung Cemerlang dengan surat nomor : 033/DPC SPN/VII/2012 untuk anggotanya Saudara Kristiyanto dengan dilampirkan surat permohonan pencatatan perselisihan hubungan industrial dan risalah bipartit untuk memfasilitasi dan meminta bantuan penyelesaian melalui mediasi di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga untuk dapat membantu menyelesaikan perselisihan tersebut memanggil para pihak yang berselisih untuk menghadiri sidang mediasi I. Sidang mediasi I dilaksanakan pada hari Selasa, 31 Juli 2012 dengan nomor surat 560/723/73. Pada sidang mediasi I dihadiri oleh karyawan, DPC SPN, HRD PT. Cahaya Agung Cemerlang, dengan mediator Bapak Marwoto, Bapak Setyo Pamungkas, dan Bapak Yusup Wibisono. Pelaksanaan sidang mediasi I belum menemui kata sepakat, oleh karena sebab itu, maka mediator memanggil kembali para pihak yang berselisih untuk hadir pada sidang mediasi II pada hari Kamis, 9 Agustus 2012 dengan nomor surat 560/723/109. Pelaksanaan sidang mediasi II dilaksanakan dengan mediator Bapak Marwoto, Bapak Yusup Wibisono, dan Bapak Setyo Pamungkas. Pada pelaksanaan sidang mediasi II kedua belah pihak yang berselisih mencapai kesepakatan dengan hasil Perjanjian Bersama (PB) sebagai berikut : (1) Bahwa kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhitung sejak tanggal 21 Juli 2012; (2) Bahwa Pihak I bersedia memberikan uang pisah sebagai berikut : a) Uang kebijaksanaan sebesar 6 (enam) kali upah sebulan yakni : 6 (enam) x Rp 1.115.000,- = Rp 6.690.000,Dalam hal ini mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menuangkan dalam Perjanjian Bersama (PB) berupa uang kebijaksanaan karena besarnya uang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
pesangon tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku dalam Pasal 156 ayat (2). Jadi mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga mempergunakan uang kebijaksanaan bukan uang pesangon. Jika besarnya uang pesangon sesuai undang-undang ketenagakerjaan, maka mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga akan mencatumkan uang pesangon. Menurut penulis seharusnya dalam penghitungan uang kebijaksanaan dituliskan bahwa uang kebijaksanaan sebesar 6 (enam) kali upah sebulan yakni 7 (tujuh) x Rp 1.115.000,- = Rp 7.805.000,b) Uang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan sebesar : 1 (satu) x Rp 1.115.000,- = Rp 1.115.000,Seharusnya
uang
Tunjangan
Hari
Raya
(THR)
mempergunakan 3 (tiga) bulan upah. Akantetapi pengusaha dengan berpedoman kepada peraturan perusahaan PT. Cahaya Agung Cemerlang yang menyatakan bahwa masa kerja 1 (satu) tahun sampai berakhirnya masa kerja maka karyawan akan memperoleh 1 (satu) bulan upah. Menurut penulis seharusnya dalam penghitungan uang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan dituliskan sebesar 3 (tiga) x Rp 1.115.000,- = Rp 3.345.000,Setelah ada koreksi penghitungan uang pisah dalam Perjanjian Bersama (PB) antara PT. Cahaya Agung Cemerlang dan saudara Kristiyanto yang dilakukan oleh penulis, seharusnya pihak I memberikan uang pisah sebesar Rp 11.150.000,- (sebelas juta seratus lima puluh ribu rupiah), melainkan bukan memberikan uang pisah sebesar Rp 7.805.000,- (tujuh juta delapan ratus lima ribu rupiah) seperti yang dituliskan pada Perjanjian Bersama (PB) yang sebenarnya antara PT. Cahaya Agung Cemerlang dengan saudara Kristiyanto.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
(3) Bahwa Pihak I memberikan surat keterangan referensi bekerja kepada Pihak II; (4) Bahwa dengan telah dilaksanakannya kewajiban masing-masing pihak tersebut di atas, maka permasalahan hubungan kerja kedua pihak telah selesai dan masing-masing pihak tidak akan mengadakan tuntutan dalam bentuk apapun di kemudian hari. Dari hasil Perjanjian Bersama (PB) dalam kasus yang terjadi antara PT. Cahaya Agung Cemerlang dan saudara Kristiyanto maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hal ini karyawan merasa dirugikan karena adanya kesalahan dalam penghitungan uang pisah walaupun sudah disepakati sebelumnya. Hal ini dikarenakan mediator kurang jeli dalam meneliti dan mengesahkan peraturan perusahaan di PT. Cahaya Agung Cemerlang. Dari kasus antara PT. Cahaya Agung Cemerlang dengan saudara Kristiyanto dapat diambil kesimpulan bahwa pihak perusahaan yang diwakili oleh Bapak Ponco Insan P. Adi menyatakan bahwa setiap permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi di PT. Cahaya Agung Cemerlang lebih memilih menggunakan mediasi dikarenakan beberapa faktor antara lain sebagai berikut : (a) Biaya yang dipergunakan dalam mediasi lebih murah; (b) Keinginan untuk memperoleh penyelesaian secara win-win solution (diantara kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Ponco Insan P. Adi pada hari Senin, 27 Agustus 2012 didapat keterangan bahwa peran mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Tranmsigrasi Kota Salatiga sangat membantu karena selain dapat menyelesaikan permasalahan, pihak mediator juga lebih mengetahui mengenai masalah tentang ketenagakerjaan dibandingkan dengan pekerja maupun pengusaha sendiri. Selain itu menurut Bapak Ponco Insan P. Adi mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga telah berhasil dalam menyelesaikan masalah, hal ini dapat dibuktikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
dengan tercapainya Perjanjian Bersama (PB) diantara kedua belah pihak yang berselisih (wawancara Bapak Ponco Insan P. Adi di PT. Cahaya Agung Cemerlang. 27 Agustus 2012). Sedangkan dari pihak pekerja PT. Cahaya Agung Cemerlang terdapat pula SPN (Serikat Pekerja Nasional) yang diwakili oleh Bapak Tega Jatmika selaku ketua SPN (Serikat Pekerja Nasional). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Tega Jatmika selaku ketua SPN (Serikat Pekerja Nasional) pada hari Senin, 27 Agustus 2012 didapat keterangan bahwa lebih memilih menggunakan mediasi karena untuk mendapatkan kepastian dalam penyelesaian permasalahan tersebut. Menurut Bapak Tega Jatmika peranan mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga telah berhasil untuk mewujudkan keadilan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam mengatasi masalah tersebut tidak merugikan kedua belah pihak dalam arti obyektif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercapainya Perjanjian Bersama (PB) diantara kedua belah pihak yang berselisih (wawancara Bapak Tega Jatmika di PT. Cahaya Agung Cemerlang. 27 Agustus 2012).
2) Kasus antara PT. Hana Bank Cabang Salatiga melawan 3 karyawannya. PT. Hana Bank Cabang Salatiga yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Salatiga, yang menyatakan adanya mutasi terhadap 3 karyawannya antara lain : a) Saudari Asih Setyaningsih Beralamat di Jalan Taman Pahlawan No. 36 Salatiga, berdasarkan surat Direktur PT. Hana Bank terkait dengan instruksi mutasi yang disampaikan melalui surat Nomor 24/1013/PERS tertanggal 2 Juli 2012 dimutasi ke Cabang Pluit, Jakarta untuk melaksanakan tugas sebagai Kepala Operational, akan dimutasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
selama 6 (enam) bulan yang terhitung sejak tanggal 9 Juli 2012. Kebijaksanaan tentang mutasi tertuang dalam Peraturan Perusahaan PT. Hana Bank Bab 2 Pasal 4 antara lain sebagai berikut : (1) Penerimaan, penetapan, dan mutasi karyawan dilaksanakan sesuai kebijaksanaan
perusahaan
dalam
rangka
mengoptimalkan
pemanfaatan tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas serta demi pengembangan karier karyawan; (2) Karyawan yang baru diterima bekerja di perusahaan akan menjalani masa percobaan selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak yang bersangkutan mulai bekerja di perusahaan, kecuali untuk perjanjian khusus yang disepakati oleh kedua belah pihak; (3) Masa kerja dihitung sejak yang bersangkutan menjalani masa percobaan; (4) Selama masa percobaan, pemberitahuan tentang berakhirnya hubungan kerja dapat diberikan 7 (tujuh) hari sebelumnya baik oleh perusahaan maupun karyawan yang bersangkutan. Sebelum berakhirnya masa percobaan, karyawan akan diberi tahu secara tertulis oleh perusahaan apakah ia diterima menjadi karyawan tetap atau tidak; (5) Karyawan
wajib
mengikuti
perintah
mutasi
berdasarkan
kebutuhan perusahaan. Dengan melihat kebijkan-kebijakan tentang mutasi diatas, karyawan-karyawan yang akan dimutasi tersebut belum melaksanakan perintah
mutasi
tersebut.
Hal
ini
membuat
pihak
direktur
mengeluarkan surat teguran dengan nomor 24/1048A/PERS-ST, tertanggal 11 Juli 2012 dengan memberikan toleransi selama 3 (tiga) hari jika dianggap mangkir selama 5 (lima) hari atau dianggap mengundurkan diri. Pada tanggal 19 Juli 2012, pihak PT. Hana Bank mengeluarkan surat panggilan pertama dengan nomor 24/1068/PERS untuk segera melaksanakan tugas sebagai Kepala Operational di Cabang Pluit,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
selama 6 (enam) bulan Jakarta terhitung sejak tanggal 9 Juli 2012. Jika Saudari Asih Setyaningsih tidak melaksanakan perintah mutasi tersebut maka beliau dianggap mengundurkan diri. Selain itu, Saudari Asih Setyaningsih juga membuat surat kepada HR Division Head PT. Bank Hana yang ditujukan kepada u.p. Ibu Lina Halim tertanggal 23 Juli 2012 yang menyatakan pekerja masih keberatan untuk melakukan mutasi dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut : (a) Bahwa selain fasilitas tunjangan yang akan diberikan dalam rangka mutasi yaitu tunjangan perumahan dan ongkos pulang pergi saat mutasi, mohon dapat diberikan juga penyesuaian biaya hidup karena dengan melaksanakan mutasi maka ada 2 (dua) dapur (biaya rumah tangga) yang harus kami tanggung yaitu biaya hidup kami sehari-hari di tempat tinggal kami yang baru dan biaya hidup anak-anak yang kami tinggalkan. Selain itu sebagai Ibu yang harus meninggalkan anak-anaknya maka mohon diberikan penggantian biaya untuk menengok keluarga (anakanak) minimal 2 (dua) kali dalam satu bulan; (b) Jika alasan mutasi adalah untuk mensterilkan cabang setelah terjadinya kasus Saudari Nieke mohon agar jangka waktu mutasi dapat diperpendek menjadi 3 (tiga) bulan, dengan pertimbangan dengn
jangka
waktu
tersebut
kami
tidak
terlalu
lama
meninggalkan anak-anak yang saat ini masih membutuhkan perhatian dari ibunya; (c) Mohon agar perusahaan dapat memberikan kepastian bahwa kami bisa kembali bekerja di Cabang Salatiga setelah berakhirnya jangka waktu mutasi; (d) Bahwa kami bersedia melaksanakan perintah mutasi per awal September 2012; (e) Agar perusahaan memberikan keputusan pencabutan atas status “non-aktif” kami secara tertulis;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
(f) Dengan belum adanya kesepakatan/mufakat dari kedua belah pihak (masih dalam proses negoisasi) maka kami tidak sependapat jika kami dianggap mangkir, sehingga kami tidak bisa didiskualifikasikan mengundurkan diri. Pada tanggal 25 Juli 2012 PT. Hana Bank mengirimkan surat panggilan kedua dengan nomor surat 24/1077/PERS karena karyawan belum memenuhi panggilan mutasi, oleh karena itu pengusaha meminta karyawan untuk hadir di PT. Hana Bank. Jika karyawan tidak hadir, maka karyawan tersebut dianggap mangkir atau mengundurkan diri. Pada tanggal 30 Juli 2012 karyawan mengirimkan surat kepada PT. Hana Bank yang isinya antara lain sebagai berikut : (i) Bahwa kami berterimakasih atas kepercayaan perusahaan dalam mengamanatkan kepada kami dengan penugasan baru kami sebagai Head Operation di KCP Pluit; (ii) Bahwa sesuai Peraturan Perusahaan Pasal 4 butir 1 dan 5 menyebutkan perusahaan dapat memberikan tugas/perintah kepada karyawan dan kami tidak dapat menghindari hal tersebut sebagai bentuk loyalitas pada perintah atasa/perusahaan; (iii) Bahwa konsekuensi dari pelaksanaan tugas dimaksut adalah kami harus meninggalkan keluarga yang dalam hal ini tinggal dan berkegiatan di lokasi yang jauh dari lokasi kerja kami semula di Salatiga, Jawa Tengah. Untuk itu perkenankan kami mengajukan pertanyaan sehubungan dengan penugasan kami di lokasi yang baru sebagai berikut : (a) Apakah ada kompetensi tertentu yang akan diberikan terkait dengan penugasan baru kami tersebut? Hal ini kami sampaikan mengingat bahwa kami harus mengeluarkan biaya tambahan atas kebutuhan yang timbul terkait dengan kepindahan tugas kami di tempat yang baru. Semoga perusahaan juga telah mempertimbangkan bahwa kami selain karyawan juga selaku ibu rumah tangga dimana anak-anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
kami masih sangat membutuhkan perhatian dan pelayanan dari kami selaku orangtuanya; (b) Dan jangka waktu mutasi yang tidak bersifat permanen mohon agar kami mendapatkan informasi lokasi kerja kami selanjutnya sebagai bahan pemikiran kami selanjutnya. (iv) Dalam hal tidak ada informasi kebijaksanaan yang dapat kami terima dari apa yang kami pertanyakan pada point 3 (tiga) di atas, maka mohon perusahaan dapat memberikan solusi terbaik atas hubungan kerja kami selanjutnya yang telah berkarya selama lebih dari 7 (tujuh) tahun; (v) Bahwa dalam hal persoalan mutasi kerja terkait diri kami tidak ada solusi maka kami menganggap telah terjadi perselisihan hubungan industrial dan dengan berat hati kami akan membawa penyelesaiannya
ke
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi Kota Salatiga untuk mendapatkan solusi terbaik bagi semua pihak. Melihat kronologi permasalahan diatas berikut upaya-upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah tesebut, pada tanggal 30 Juli 2012, Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menerima surat dari Saudari Asih Setyaningsih selaku karyawan PT. Hana Bank yang berisikan permohonan pencatatan hubungan industrial dan risalah bipartit guna meminta penyelesaian hubungan industrial yang terjadi pada karyawan. Atas permohonan tersebut mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yaitu Bapak Marwoto, Bapak Yusuf Wibisono, dan Bapak Setyo Pamungkas memanggil dengan surat nomor 560/711/109 tertanggal Selasa, 7 Agustus 2012 untuk dimintai keterangan dan diberikan penjelasan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
Ketenagkerjaan yng berkaitan dengan permasalahan yang ada di PT. Hana Bank Cabang Salatiga. Mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan antara lain : (a) Bahwa mutasi adalah hak perusahaan selama tidak mengurangi hak-hak karyawan; (b) Bahwa menolak mutasi adalah termasuk menolak perintah aturan perusahaan termasuk kesalahan ringan; (c) Bahwa pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena didiskualifikasikan mengundurkan diri sesuai yang diatur dalam Pasal 168 Ayat (1); (d) Bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri sesuai yang diatur dalam Pasal 162 antara lain : (i) Bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).mempunyai kewajiban untuk memberi uang pisah kepada pekerja; (ii) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama; (iii) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
(a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebalum tanggal mulai pengunduran diri; (b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan (c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. (iv) Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Setelah menerima penjelasan dari mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, maka masingmasing pihak akan mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Oleh sebab itu, mediator menunda sidang mediasi untuk memberi kesempatan kedua belah pihak yang berselisih melakukan penyelesaian secara bipartit atau musyawarah terlebih dahulu untuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tanpa merugikan salah satu pihak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan. Pada tanggal 8 Agustus 2012 mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, menerima Perjanjian Bersama (PB) dari PT. Hana Bank yang isinya permasalahan sudah dapat diselesaikan secara bipartit di tingkat perusahaan. Selesainya masalah tidak luput dari andil mediator yang memberikan penjelasan, saran, maupun solusi secara terperinci pasal demi pasal di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di PT. Hana Bank dengan karyawannya Saudari Asih Setyaningsih. Hasil perundingan bipartit yang dilakukan atas penjelasan, saran, dan solusi dari mediator dalam menyelesaiakan permasalahan antara PT. Hana Bank dengan karyawannya Saudari Asih Setyaningsih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
yang menghasilkan Perjanjian Bersama (PB) antara kedua belah pihak adalah sebagai berikut : (1) Bahwa pihak PT. Hana Bank mengakhiri atau memutuskan hubungan kerja dengan pihak kedua terhitung tanggal 7 Agustus 2012 sesuai dengan surat penguduran diri, tertanggal 7 Agustus 2012 dimana efektif berakhirnya hubungan kerja sejak tanggal tersebut; (2) Bahwa pihak pekerja menerima kompensasi atas PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) tersebut berdasarkan Pasal 28 Peraturan Perusahaan adalah sebagai berikut : (a) 1 PMTK terdiri dari : 1 kali pesangon, 1 kali Uang Penghargaan Masa Kerja, dan 1 kali Ganti Kerugian 15% yakni sebesar Rp 66.205.040,- (enam puluh enam juta dua ratus lima ribu empat puluh rupiah); (b) Sisa hak cuti yang belum di ambil yakni sebesar Rp 5.107.937,(lima juta seratus tujuh ribu sembilan ratus tiga puluh tujuh rupiah); (c) Sisa jumlah kehadiran sampai dengan terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yakni sebesar Rp 1.285.158,(satu juta dua ratus delapan puluh lima ribu seratus lima puluh delapan rupiah); (d) Total kompensasi yakni sebesar Rp 72.598.135,- (tujuh puluh dua juta lima ratus sembilan puluh delapn ribu seratus tiga puluh lima rupiah); Perjanjian Bersama ini juga sebagai bukti pembayaran kompensasi uang pisah yang dilakukan oleh Pihak PT. Hana Bank; (3) Bahwa dengan ditandatangani kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk Perjanjian Bersama (PB) ini maka segala hak dan kewajiban para pihak yang timbul dalam hubungan kerja akibat pengakhiran atau pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya berakhir
secara
hukum
terhitung
commit to user
sejak
ditandatanganinya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
Perjanjian Bersama (PB) ini dan para pihak tidak akan melakukan tuntutan dalam bentuk apapun juga di kemudian hari oleh karena itu para pihak sepakat untuk mendaftarkan Perjanjian Bersama (PB) ini ke Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kota Semarang
b) Saudari Nuning Winarni Beralamat di Jalan Duku No. 20A RT 02/04 Tegalrejo Salatiga, berdasarkan surat Direktur Hanna Bank terkait dengan instruksi
mutasi
yang
disampaikan
melalui
surat
Nomor
24/1015/PERS tertanggal 2 Juli 2012 di mutasi ke Cabang Surabaya untuk melaksanakan tugas sebagai Teller, akan dimutasi selama 6 (enam) bulan yang terhitung sejak tanggal 9 Juli 2012. Kebijaksanaan tentang mutasi tertuang dalam Peraturan Perusahaan (PB) Bab 2 Pasal 4 antara lain sebagai berikut : (1) Penerimaan, penetapan, dan mutasi karyawan dilaksanakan sesuai kebijaksanaan
perusahaan
dalam
rangka
mengoptimalkan
pemanfaatan tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas serta demi pengembangan karier karyawan; (2) Karyawan yang baru diterima bekerja di perusahaan akan menjalani masa percobaan selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak yang bersangkutan mulai bekerja di perusahaan, kecuali untuk perjanjian khusus yang disepakati oleh kedua belah pihak; (3) Masa kerja dihitung sejak yang bersangkutan menjalani masa percobaan; (4) Selama masa percobaan, pemberitahuan tentang berakhirnya hubungan kerja dapat diberikan 7 (tujuh) hari sebelumnya baik oleh perusahaan maupun karyawan yang bersangkutan. Sebelum berakhirnya masa percobaan, karyawan akan diberi tahu secara tertulis oleh perusahaan apakah ia diterima menjadi karyawan tetap atau tidak;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
(5) Karyawan
wajib
mengikuti
perintah
mutasi
berdasarkan
kebutuhan perusahaan. Dengan melihat kebijkan-kebijakan tentang mutasi diatas, karyawan-karyawan yang akan dimutasi tersebut belum melaksanakan perintah
mutasi
tersebut.
Hal
ini
membuat
pihak
Direktur
mengeluarkan surat teguran dengan nomor 24/1048B/PERS-ST, tertanggal 11 Juli 2012 dengan memberikan toleransi selama 3 (tiga) hari jika dianggap mangkir selama 5 (lima) hari atau dianggap mengundurkan diri. Pada tanggal 19 Juli 2012, pihak PT. Hana Bank mengeluarkan surat panggilan pertama dengan nomor 24/1069/PERS untuk segera melaksanakan tugas sebagai Teller di Cabang Surabaya, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal 9 Juli 2012. Jika Saudari Nuning Winarni tidak melaksanakan perintah mutasi tersebut maka beliau dianggap mengundurkan diri. Selain itu, Saudari Nuning Winarni juga membuat surat kepada HR Divisionn Head PT. Bank Hana yang ditujukan kepada u.p. Ibu Lina Halim tertanggal 23 Juli 2012 yang menyatakan pekerja masih keberatan untuk melakukan mutasi dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut : (a) Pertimbangan rotasi di cabang yang sama telah saya usulkan, mengingat cabang Salatiga masih membutuhkan karyawan untuk posisi tertentu (Accounting,CS), dimana pekerjaan tersebut sampai saat ini masih dirangkap/dikerjakan oleh KAOPS (Kepala Operasi) dengan menggunakan user karyawan lain; (b) Dengan belum adanya kesepakatan atau mufakat dari kedua belah pihak (masih dalam proses negoisasi) maka saya tidak sependapat jika saya diaanggap mangkir, sehingga tidak bisa diartikan sebagai pengunduran diri saya. Pada tanggal 25 Juli 2012 PT. Hana Bank mengirimkan surat panggilan kedua dengan nomor surat 24/1078/PERS karena karyawan belum memenuhi panggilan mutasi, oleh karena itu pengusaha
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
meminta karyawan untuk hadir di PT. Hana Bank. Jika karyawan tidak hadir, maka karyawan tersebut dianggap mangkir atau mengundurkan diri. Pada tanggal 30 Juli 2012 karyawan mengirimkan surat kepada PT. Hana Bank yang isinya antara lain sebagai berikut : (i) Bahwa kami berterimakasih atas kepercayaan perusahaan dalam mengamanatkan kepada kami dengan penugasan baru kami sebagai Teller di Cabang Surabaya; (ii) Bahwa sesuai Peraturan Perusahaan Pasal 4 butir 1 dan 5 menyebutkan perusahaan dapat memberikan tugas atau perintah kepada karyawan dan kami tidak dapat menghindari hal tersebut sebagai bentuk loyalitas pada perintah atasan atau perusahaan; (iii) Bahwa konsekuensi dari pelaksanaan tugas dimaksud adalah kami harus meninggalkan keluarga yang dalam hal ini tinggal dan berkegiatan di lokasi yang jauh dari lokasi kerja kami semula di Salatiga, Jawa Tengah. Untuk itu perkenankan kami mengajukan pertanyaan sehubungan dengan penugasan kami di lokasi yang baru sebagai berikut : (a) Apakah ada kompetensi tertentu yang akan diberikan terkait dengan penugasan baru kami tersebut? Hal ini kami sampaikan mengingat bahwa kami harus mengeluarkan biaya tambahan atas kebutuhan yang timbul terkait dengan kepindahan tugas kami di tempat yang baru. Semoga perusahaan juga telah mempertimbangkan bahwa kami selain karyawan juga selaku ibu rumah tangga dimana anak-anak kami masih sangat membutuhkan perhatian dan pelayanan dari kami selaku orangtuanya; (b) Dan jangka waktu mutasi yang tidak bersifat permanen mohon agar kami mendapatkan informasi lokasi kerja kami selanjutnya sebagai bahan pemikiran kami selanjutnya. (iv) Dalam hal tidak ada informasi kebijaksanaan yang dapat kami terima dari apa yang kami pertanyakan pada point 3 (tiga) di atas,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
maka mohon perusahaan dapat memberikan solusi terbaik atas hubungan kerja kami selanjutnya yang telah berkarya selama lebih dari 14 (empat belas) tahun; (v) Bahwa dalam hal persoalan mutasi kerja terkait diri kami tidak ada solusi maka kami menganggap telah terjadi perselisihan hubungan industrial dan dengan berat hati kami akan membawa penyelesaiannya ke Dinas Tenaga Kerja Kota Salatiga untuk mendapatkan solusi terbaik bagi semua pihak. Melihat kronologi permasalahan diatas berikut upaya-upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah tesebut, Pada tanggal 30 Juli 2012, Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menerima surat dari Saudari Nuning Winarni selaku karyawan PT. Hana Bank yang berisikan permohonan pencatatan hubungan industrial dan risalah bipartit guna meminta penyelesaian hubungan industrial yang terjadi pada karyawan. Atas permohonan tersebut mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yaitu Bapak Marwoto, Bapak Wibisono, dan Bapak Setyo Pamungkas memanggil dengan surat nomor 560/711/109 tertanggal Selasa, 7 Agustus 2012 untuk dimintai keterangan dan diberikan penjelasan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagkerjaan yng berkaitan dengan permasalahan yang ada di PT. Hana Bank Cabang Salatiga. Mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan antara lain : (a) Bahwa mutasi adalah hak perusahaan selama tidak mengurangi hak-hak karyawan; (b) Bahwa menolak mutasi adalah termasuk menolak perintah aturan perusahaan termasuk kesalahan ringan;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
(c) Bahwa pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena didiskualifikasikan mengundurkan diri sesuai yang diatur dalam Pasal 168 Ayat (1); (d) Bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri sesuai yang diatur dalam Pasal 162 antara lain : (i) Bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).mempunyai kewajiban untuk memberi uang pisah kepada pekerja; (ii) Bagi pekerja atau buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama; (iii) Pekerja/buruh
yang
mengundurkan
diri
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat : (a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebalum tanggal mulai pengunduran diri; (b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan (c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. (iv) Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
Setelah menerima penjelasan dari mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, maka masingmasing pihak akan mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Oleh sebab itu, mediator menunda sidang mediasi untuk memberi kesempatan kedua belah pihak yang berselisih melakukan penyelesaian secara bipartit atau musyawarah terlebih dahulu untuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tanpa merugikan salah satu pihak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan. Pada tanggal 8 Agustus 2012 mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, menerima Perjanjian Bersama (PB) dari PT. Hana Bank yang isinya permasalahan sudah dapat diselesaikan secara bipartit di tingkat perusahaan. Selesainya masalah tidak luput dari andil mediator yang memberikan penjelasan, saran, maupun solusi secara terperinci pasal demi pasal di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di PT. Hana Bank dengan karyawannya Saudari Nuning Winarni. Hasil perundingan bipartit yang dilakukan atas penjelasan, saran, dan solusi dari mediator dalam menyelesaikan permasalahan antara PT. Hana Bank dengan karyawannya Saudari Nuning Winarni yang menghasilkan Perjanjian Bersama (PB) antara kedua belah pihak adalah sebagai berikut : (1) Bahwa Pihak PT. Hana Bank mengakhiri atau memutuskan hubungan kerja dengan pihak kedua terhitung tanggal 7 Agustus 2012 sesuai surat pengunduran diri, tertanggal 7 Agustus 2012 dimana efektif berakhirnya hubungan kerja sejak tanggal tersebut; (2) Bahwa Pihak Pekerja menerima kompensasi atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut berdasarkan Pasal 28 Peraturan Perusahaan adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
(a) 1 PMTK terdiri dari : 1 kali pesangon, 1 kali Uang Penghargaan Masa Kerja, dan 1 kali Ganti Kerugian 15% yakni sebesar Rp 41.860.000,- (empat puluh satu juta delapan ratus enam puluh ribu rupiah); (b) Sisa hak cuti yang belum di ambil yakni sebesar Rp 2.424.632,- (dua juta empat ratus dua puluh empat ribu enam ratus tiga puluh dua rupiah); (c) Sisa jumlah kehadiran sampai dengan efektif PHK yakni sebesar Rp 628.211,- (enam ratus dua puluh delapan ribu dua ratus sebelas rupiah); (d) Total kompensasi yakni sebesar Rp 44.968.843,- (empat puluh empat juta sembilan ratus enam puluh delapan ribu delapan ratus empat puluh tiga rupiah); Perjanjian Bersama (PB) ini juga sebagai bukti pembayaran Kompensasi Uang Pisah yang dilakukan oleh Pihak PT. Hana Bank; (3) Bahwa dengan ditandatangani kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk Perjanjian Bersama (PB) ini maka segala hak dan kewajiban para pihak yang timbul dalam hubungan kerja akibat pengakhiran atau pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya berakhir secara hukum terhitung sejak ditandatanganinya Perjanjian Bersama (PB) ini dan para pihak tidak akan melakukan tuntutan dalam bentuk apapun juga di kemjudian hari oleh karena itu para pihak sepakat untuk mendaftarkan Perjanjian Bersama (PB) ini ke Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kota Semarang.
c) Elisabeth Sundari Pujiastuti Beralamat di Perum Sekar Langit Asri Nomor 4 Salatiga, berdasarkan surat Direktur Hanna Bank terkait dengan instruksi mutasi yang disampaikan melalui surat Nomor 24/1014/PERS
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
tertanggal 2 Juli 2012 di mutasi ke Cabang Bandung untuk melaksanakan tugas sebagai Customer Service, akan dimutasi selama 6 bulan yang terhitung sejak tanggal 9 Juli 2012. Kebijaksanaan tentang mutasi tertuang dalam Peraturan Perusahaan Bab 2 Pasal 4 antara lain sebagai berikut : (1) Penerimaan, penetapan, dan mutasi karyawan dilaksanakan sesuai kebijaksanaan
perusahaan
dalam
rangka
mengoptimalkan
pemanfaatan tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas serta demi pengembangan karier karyawan; (2) Karyawan yang baru diterima bekerja di perusahaan akan menjalani masa percobaan selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak yang bersangkutan mulai bekerja di perusahaan, kecuali untuk perjanjian khusus yang disepakati oleh kedua belah pihak; (3) Masa kerja dihitung sejak yang bersangkutan menjalani masa percobaan; (4) Selama masa percobaan, pemberitahuan tentang berakhirnya hubungan kerja dapat diberikan 7 (tujuh) hari sebelumnya baik oleh perusahaan maupun karyawan yang bersangkutan. Sebelum berakhirnya masa percobaan, karyawan akan diberi tahu secara tertulis oleh perusahaan apakah ia diterima menjadi karyawan tetap atau tidak; (5) Karyawan
wajib
mengikuti
perintah
mutasi
berdasarkan
kebutuhan perusahaan. Dengan melihat kebijkan-kebijakan tentang mutasi diatas, karyawan-karyawan yang akan dimutasi tersebut belum melaksanakan perintah
mutasi
tersebut.
Hal
ini
membuat
pihak
Direktur
mengeluarkan surat teguran dengan nomor 24/1048C/PERS-ST, tertanggal 11 Juli 2012 dengan memberikan toleransi selama 3 hari jika dianggap mangkir selama 5 hari atau dianggap mengundurkan diri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
Pada tanggal 19 Juli 2012, pihak PT. Hana Bank mengeluarkan surat panggilan pertama dengan nomor 24/1070/PERS untuk segera melaksanakan tugas sebagai Customer Service di Cabang Bandung, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal 9 Juli 2012. Jika Saudari Elisabeth Sundari Pujiastuti tidak melaksanakan perintah mutasi tersebut maka beliau dianggap mengundurkan diri. Selain itu, Saudari Elisabeth Sundari Pujiastuti juga membuat surat kepada HR Divisionn Head PT. Bank Hana yang ditujukan kepada u.p. Ibu Lina Halim tertanggal 23 Juli 2012 yang menyatakan pekerja masih keberatan untuk melakukan mutasi dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut : (a) Bahwa selain fasilitas tunjangan yang akan diberikan dalam rangka mutasi yaitu tunjangan perumahan dan ongkos pulang pergi saat mutasi, mohon dapat diberikan juga penyesuaian biaya hidup karena dengan melaksanakan mutasi maka ada 2 (dua) dapur (biaya rumah tangga) yang harus kami tanggung yaitu biaya hidup kami sehari-hari di tempat tinggal kami yang baru dan biaya hidup anak-anak yang kami tinggalkan. Selain itu sebagai Ibu yang harus meninggalkan anak-anaknya maka mohon diberikan penggantian biaya untuk menengok keluarga (anakanak) minimal 2 kali dalam satu bulan; (b) Jika alasan mutasi adalah untuk mensterilkan cabang setelah terjadinya kasus Saudari Nieke mohon agar jangka waktu mutasi dapat diperpendek menjadi 3 (tiga) bulan, dengan pertimbangan dengn
jangka
waktu
tersebut
kami
tidak
terlalu
lama
meninggalkan anak-anak yang saat ini masih membutuhkan perhatian dari Ibunya; (c) Mohon agar perusahaan dapat memberikan kepastian bahwa kami bisa kembali bekerja di Cabang Salatiga setelah berkahirnya jangka waktu mutasi;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
(d) Bahwa kami bersedia melaksanakan perintah mutasi per awal September 2012; (e) Agar perusahaan memberikan keputusan pencabutan atas status “non-aktif” kami secara tertulis; (f) Dengan belum adanya kesepakatan/mufakat dari kedua belah pihak (masih dalam proses negoisasi) maka kami tidak sependapat jika kami dianggap mangkir, sehingga kami tidak bisa didiskualifikasikan mengundurkan diri. Pada tanggal 25 Juli 2012 PT. Hana Bank mengirimkan surat panggilan kedua dengan nomor surat 24/1079/PERS karena karyawan belum memenuhi panggilan mutasi, oleh karena itu pengusaha meminta karyawan untuk hadir di PT. Hana Bank. Jika karyawan tidak hadir, maka karyawan tersebut dianggap mangkir atau mengundurkan diri. Pada tanggal 30 Juli 2012 karyawan mengirimkan surat kepada PT. Hana Bank yang isinya antara lain sebagai berikut : (i) Bahwa kami berterimakasih atas kepercayaan perusahaan dalam mengamanatkan kepada kami dengan penugasan baru kami sebagai Customer Service di Cabang Bandung; (ii) Bahwa sesuai Peraturan Perusahaan Pasal 4 butir 1 dan 5 menyebutkan perusahaan dapat memberikan tugas/perintah kepada karyawan dan kami tidak dapat menghindari hal tersebut sebagai bentuk loyalitas pada perintah atasan/perusahaan; (iii) Bahwa konsekuensi dari pelaksanaan tugas dimaksud adalah kami harus meninggalkan keluarga yang dalam hal ini tinggal dan berkegiatan di lokasi yang jauh dari lokasi kerja kami semula di Salatiga, Jawa Tengah. Untuk itu perkenankan kami mengajukan pertanyaan sehubungan dengan penugasan kami di lokasi yang baru sebagai berikut : (a) Apakah ada kompetensi tertentu yang akan diberikan terkait dengan penugasan baru kami tersebut? Hal ini kami sampaikan mengingat bahwa kami harus mengeluarkan biaya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
tambahan atas kebutuhan yang timbul terkait dengan kepindahan tugas kami di tempat yang baru. Semoga perusahaan juga telah mempertimbangkan bahwa kami selain karyawan juga selaku ibu rumah tangga dimana anak-anak kami masih sangat membutuhkan perhatian dan pelayanan dari kami selaku orangtuanya; (b) Dan jangka waktu mutasi yang tidak bersifat permanen mohon agar kami mendapatkan informasi lokasi kerja kami selanjutnya sebagai bahan pemikiran kami selanjutnya. (iv) Dalam hal tidak ada informasi kebijaksanaan yang dapat kami terima dari apa yang kami pertanyakan pada point 3 (tiga) di atas, maka mohon perusahaan dapat memberikan solusi terbaik atas hubungan kerja kami selanjutnya yang telah berkarya selama lebih dari 16 (enam belas) tahun; (v) Bahwa dalam hal persoalan mutasi kerja terkait diri kami tidak ada solusi maka kami menganggap telah terjadi perselisihan hubungan industrial dan dengan berat hati kami akan membawa penyelesaiannya ke Dinas Tenaga Kerja Kota Salatiga untuk mendapatkan solusi terbaik bagi semua pihak. Melihat kronologi permasalahan diatas berikut upaya-upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah tesebut, Pada tanggal 30 Juli 2012, Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menerima surat dari Saudari Elisabeth Sundari Pujiastuti selaku karyawan PT. Hana Bank yang berisikan permohonan pencatatan hubungan industrial dan risalah bipartit guna meminta penyelesaian hubungan industrial yang terjadi pada karyawan. Atas permohonan tersebut mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yaitu Bapak Marwoto, Bapak Yusup Wibisono, dan Bapak Setyo Pamungkas memanggil dengan surat nomor 560/711/109 tertanggal Selasa, 7
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
Agustus 2012 untuk dimintai keterangan dan diberikan penjelasan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagkerjaan yng berkaitan dengan permasalahan yang ada di PT. Hana Bank Cabang Salatiga. Mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan antara lain : (a) Bahwa mutasi adalah hak perusahaan selama tidak mengurangi hak-hak karyawan; (b) Bahwa menolak mutasi adalah termasuk menolak perintah aturan perusahaan termasuk kesalahan ringan; (c) Bahwa pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena didiskualifikasikan mengundurkan diri sesuai yang diatur dalam Pasal 168 Ayat (1); (d) Bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri sesuai yang diatur dalam Pasal 162 antara lain : (i) Bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).mempunyai kewajiban untuk memberi uang pisah kepada pekerja; (ii) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha
secara
langsung,
selain
menerima
uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
(iii) Pekerja atau buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat : (a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebalum tanggal mulai pengunduran diri; (b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan (c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. (iv) Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Setelah menerima penjelasan dari mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, maka masingmasing pihak akan mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Oleh sebab itu, mediator menunda sidang mediasi untuk memberi kesempatan kedua belah pihak yang berselisih melakukan penyelesaian secara bipartit atau musyawarah terlebih dahulu untuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tanpa merugikan salah satu pihak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan. Pada tanggal 8 Agustus 2012 mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, menerima Perjanjian Bersama (PB) dari PT. Hana Bank yang isinya permasalahan sudah dapat diselesaikan secara bipartit di tingkat perusahaan. Selesainya masalah tidak luput dari andil mediator yang memberikan penjelasan, saran, maupun solusi secara terperinci pasal demi pasal di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di PT. Hana Bank dengan karyawannya Saudari Elisabeth Sundari Pujiastuti. Hasil Perundingan Bipartit yang dilakukan atas penjelasan, saran, dan solusi dari mediator dalam menyelesaikan permasalahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
antara PT. Hana Bank dengan karyawannya Saudari Elisabeth Sundari Pujiastuti yang menghasilkan Perjanjian Bersama (PB) antara kedua belah pihak adalah sebagai berikut : (1) Bahwa Pihak PT. Hana Bank mengakhiri atau memutuskan hubungan kerja dengan pihak kedua terhitung tanggal 7 Agustus 2012 sesuai surat pengunduran diri, tertanggal 7 Agustus 2012 dimana efektif berakhirnya hubungan kerja sejak tanggal tersebut; (2) Bahwa Pihak Pekerja menerima kompensasi atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut berdasarkan Pasal 28 Peraturan Perusahaan adalah sebagai berikut: (a) 1 PMTK terdiri dari : 1 kali pesangon, 1 kali Uang Penghargaan Masa Kerja, dan 1 kali Ganti Kerugian 15% yakni sebesar Rp 51.750.000,- (lima puluh satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah); (b) Sisa hak cuti yang belum di ambil yakni sebesar Rp 1.443.895,- (satu juta empat ratus empat puluh tiga ribu delapan ratus sembilan puluh lima rupiah); (c) Sisa jumlah kehadiran sampai dengan efektif PHK yakni sebesar Rp 789.474,- (tujuh ratus delapan puluh sembilan ribu empat ratus tujuh puluh empat rupiah); (d) Total kompensasi yakni sebesar Rp 53.983.369,- (lima puluh tiga juta sembilan ratus delapan puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah); Perjanjian Bersama (PB) ini juga sebagai bukti pembayaran Kompensasi Uang Pisah yang dilakukan oleh Pihak PT. Hana Bank; (3) Bahwa dengan ditandatangani kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk Perjanjian Bersama (PB) ini maka segala hak dan kewajiban para pihak yang timbul dalam hubungan kerja akibat pengakhiran atau pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya berakhir secara hukum terhitung sejak ditandatanganinya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
Perjanjian Bersama (PB) ini dan para pihak tidak akan melakukan tuntutan dalam bentuk apapun juga di kemjudian hari oleh karena itu para pihak sepakat untuk mendaftarkan Perjanjian Bersama (PB) ini ke Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kota Semarang. Dari kasus diatas antara PT. Hana Bank dengan 3 (tiga) orang karyawannya yaitu Saudari Asih Setyaningsih, Saudari Nuning Winarni, dan Saudari Elisabeth Sundari Pujiastuti, bahwa berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Gerhan selaku Kepala Personalia PT. Hana Bank Cabang Salatiga pada hari Senin, 3 Agustus 2012 didapat keterangan bahwa pihak PT. Hana Bank memilih penyelesaian perselisihan secara mediasi. Hal tersebut dikarenakan menurut PT. Hana Bank mediasi adalah jalan tepat untuk menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi antara PT. Hana Bank dengan 3 (tiga) karyawannya. Menurut Bapak Gerhan selaku Kepala Personalia PT. Hana Bank Cabang Salatiga keuntungan memilih mediasi sendiri adalah selain tidak dipungut biaya, mediator juga memberikan pengetahuan mengenai pengarahan, bimbingan, agar dapat diselesaikan secara bipartit dengan cara memberikan gambaran penyelesaian terbaik. Sehingga apa yang menjadi kewajiban dan hak pengusaha sesuai yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada mulanya pengusaha tidak mengetahui tentang menjadi mengetahui. Hal tersebut dengan harapan apa yang kedepannya yang belum dilaksanakan oleh pengusaha agar dilaksanakan apa yang menjadi kewajiban pengusaha (wawancara Bapak Gerhan di PT. Hana Bank Cabang Salatiga. 29 Agustus 2012). Di lain pihak dikarenakan tidak adanya SPN (Serikat Pekerja Nasional) di PT. Hana Bank, maka penulis akan mewawancarai salah satu pihak karyawan yaitu Saudari Nuning Winarni. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Saudari Nuning Winarni didapat keterangan bahwa pihak karyawan yang dimutasi diwakili oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
Saudari Nuning Winarni lebih memlih jalur penyelesaian secara mediasi dikarenakan dari pihak karyawan sendiri merasa tidak mengetahui tentang hak dan kewajiban karyawan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Dengan adanya hal tersebut di atas daripada mengakibatkan karyawan salah langkah, maka menurut pihak karyawan yang dimutasi yang diwakili oleh Saudari Nuning Winarni lebih tepat diselesaiakan secara mediasi di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. Hal tersebut menurut Saudari Nuning Winarni dikarenakan Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yang lebih mengetahui secara pasti mengetahui menganai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, menurut Saudari Nuning Winarni, pihak karyawan percaya bahwa Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga akan memberikan psenyelesaian terbaik dan tidak merugikan salah satu pihak yang berselisih (wawancara Saudari Nuning Winarni di Jalan Duku 20A, RT 02/04 Tegalrejo, Salatiga. 29 Agustus 2012).
B. Hambatan Bagi Mediator Pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga Dalam Menyelesaikan Masalah Pemutusan Hubungan Kerja Di Kota Salatiga Mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga seringkali menemui hambatan-hambatan dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hambatan mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga terdiri atas hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Tranmsigrasi Kota Salatiga berasal dari : 1.
Hambatan yang dialami diri mediator sendiri dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara lain sebagai berikut : a. Bahwa Kota Salatiga merupakan sebuah kota kecil yang sedang dalam taraf berkembang. Jika dilihat dari segi perusahaan di Kota Salatiga, belum begitu banyak perusahaan-perusahaan yang mengenal dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
mengetahui tentang masalah ketenagakerjaan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, khususnya tentang prosedur penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 24 September 2012); b. Masih minimnya pengetahuan dari pihak pekerja yang terkena imbas adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sehingga mediator perlu memberikan pengarahan kepada pekerja untuk dapat menyatakan tuntutan atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dialaminya (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 24 September 2012); c. Kurangnya sarana prasarana di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam pelaksanaan mediasi, misalnya diantaranya ruang sidang yang kurang begitu nyaman untuk pelaksanaan
mediasi.
Hal
ini
dikarenakan
di
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga tidak memiliki kantor atau ruangan yang dipergunakan khusus untuk mediasi (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 24 September 2012); d. Belum terbentuknya peraturan perusahaan dan perjanjian kerja yang memadai atau yang berlaku di perusahaan yang bersangkutan. Sehingga mengakibatkan mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga perlu lebih teliti dalam memberikan pertimbangan hukum. Hal ini dikarenakan perusahaan kurang menyadari pentingnya kedua produk hukum tersebut (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 24 September 2012);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
e. Waktu yang terbatas maksimal 30 (tiga puluh) hari, sehingga mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga perlu untuk mendorong penyelesaian secara mediasi, dengan melakukan komunikasi secara langsung (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 24 September 2012). 2. Hambatan bagi perusahaan dan pekerja dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Perusahaan dan pekerja memiliki beberapa hambatan-hambatan dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hambatan-hambatan tersebut antara lain sebagai berikut : a. Banyaknya pekerja yang mempunyai tingkat pendidikan yang masih rendah. Hal ini dikarenakan perusahaan turun temurun, sehingga pekerja tidak mampu untuk memahami tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (wawancara dengan Bapak Gerhan. 24 September 2012); b. Kurangnya pengetahuan dari pihak pekerja dalam menghadapi masalah tentang ketenagakerjan yang terjadi sekarang ini. Hal tersebut membuat pekerja salah langkah dalam mengambil keputusan penyelesaian perselisihan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di Kota Salatiga (wawancara dengan Saudari Nuning Winarni. 24 September 2012); c. Tidak adanya pembinaan yang dilakukan oleh mediator hubungan industrial di Kota Salatiga mengenai tata cara penyelesaian perselisihan, perjanjian bersama, peraturan perusahaan, pengupahan pekerja, dan hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Hal ini dikarenakan kurangnya tenaga mediator di Kota Salatiga (wawancara dengan Bapak Gerhan. 24 September 2012); d. Adanya batas waktu dalam menyelesaikan permasalahan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam UndangUndang Ketenagakerjaan membuat pekerja terbatas dalam melakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
komunikasi serta konsultasi dengan pihak mediator hubungan industrial di Kota Salatiga. Hal tersebut dikarenakan jarak dari perusahaan ke kantor Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yang terkesan jauh (wawancara dengan Saudari Nuning Winarni. 24 September 2012); e. Belum dibentuknya peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama yang mengatur tentang hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha di perusahaan tersebut. Sehingga hal ini mengakibatkan pekerja belum memahami apa yang menjadi hak-haknya dalam menjalan pekerjaan (wawancara dengan Saudara Kristiyanto. 24 September 2012).
Selain hambatan internal diatas, mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga juga mempunyai hambatan eksternal dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hambatan eksternal mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga antara lain terdiri dari : 1. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang menjadi hambatan Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara lain : a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan : 1) Alasan terjadinya Pemutusan Hubungan kerja (PHK) menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 antara lain sebagai berikut : a) Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 158; b) Pekerja/buruh diduga melakukan tindak pidana sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 160; c) Pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
perjanjian kerja bersama sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 161; d) Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 162; e) Pemutusan
hubungan
kerja
terhadap
pekerja/buruh
dikarenakan perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 163; f)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja disebabkan likuidasi sesuai yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 164 ayat (1);
g) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dikarenakan adanya efisiensi sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 164 ayat (3); h) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dikarenakan perusahaan pailit sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 165; i)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dikarenakan telah memasuki usia pensiun sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 167;
j)
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut sesuai yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 168. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan
Bapak
Setyo
Ketenagakerjaan
Pamungkas
selaku
dan Transmigrasi
mediator Kota
Dinas
Salatiga
Sosial didapat
keterangan bahwa dengan adanya alasan-alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut, mediator Dinas Sosial
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga seringkali mengalami hambatan-hambatan antara lain sebagai berikut : (1) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dikarenakan pekerja mengundurkan diri maka pekerja berhak atas uang pisah yang besarnya diatur didalam peraturan perusahaan. Namun, pada kenyataannya banyak peraturan perusahaan yang tidak mencantumkan nominal besarnya uang pisah tersebut. Hal ini menjadi salah satu hambatan bagi mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menentukan besarnya nominal uang pisah yang tidak diatur dalam peraturan perusahaan. Oleh karena itu, mediator menyerahkan kembali mengenai penentuan besarnya nominal uang pisah kepada kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan bersama (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, 24 September 2012); (2) Ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pihak perusahaan seringkali mewakilkan Kepada Personalia melalui ataupun dengan tidak melalui surat kuasa sehingga mediator tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat mengingat batas waktu hanya 30 (tiga puluh) hari kerja. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan yang menjadi alasan sulitnya mediator dalam menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, 24 September 2012). 2) Kompensasi pembayaran terhadap pekerja/buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) a) Besarnya Kompensasi Pembayaran : Pengaturan mengenai besarnyakompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi hambatan bagi mediator
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya kebanyakan bagi karyawan atau pekerja yang mendapatkan upah diatas UMK (Upah Minimum Kerja), namun setelah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terkadang pengusaha dalam perhitungan pesangon tetap menggunakan UMK (Upah Minimum Kerja), melainkan bukan menggunakan gaji yang seharusnya diterima karyawan atau pekerja. Hal tersebut menjadi hambatan mediator karena tidak adanya slip gaji yang seharusnya diterima karyawan atau pekerja dengan memisahkan jumlah dari gaji pokok dan tunjangan tetap. Ada dan tidak adanya slip gaji tersebut menjadi hambatan bagi mediator dalam perhitungan pesangon yang seharusnya diterima karyawan atau pekerja (wawancara dengan Bapak Setyo
Pamungkas
selaku
mediator
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga,
24
September 2012). b) Cara Pembayaran Aturan mengenai cara pembayaran tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hal itu menjadi hambatan bagi mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menetukan secara pasti mengenai cara pembayaran terhadap pekerja atau buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dengan adanya hal tersebut, maka dalam proses penyelesaian perkara hubungan industrial secara mediasi di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga jika terjadi kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh dalam hal pesangon, maka mediator menyarankan cara pembayarannya bisa dibayarkan secara langsung, ataupun bisa diangsur. Hal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
tersebut dilakukan selama ada kesepakatan antara pihak perusahaan dan pihak pekerja atau buruh yang bersangkutan (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, 24 September 2012). b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 1) Tenggang Waktu Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima tanggal pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Hal tersebut menjadi hambatan bagi mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi
Kota
Salatiga
dalam
menyelesaikan kasus dikarenakan keterbatasan waktu yang hanya 30 (tiga puluh) hari kerja (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, 24 September 2012); 2) Anggaran Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jika yang dimaksud adalah anggaran dalam penanganan kasus, di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga tidak ada anggaran penanganan kasus tersebut. Hal ini menjadi hambatan bagi mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga karena dengan tidak tersedianya anggaran. Namun jika yang dimaksud adalah tunjangan mediator yang masuk ke dalam gaji maka disebut dengan tunjangan jabatan fungsional mediator (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, 24 September 2012).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
2. Keterlibatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Dalam Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Kurangnya pengetahuan pekerja tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan kurangnya pembinaan mengenai tata cara penyelesaian tentang permasalahan ketenagakerjaan. Sehingga hal ini membuat pekerja mengambil jalan pintas dengan menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menimpa pekerja tersebut tanpa menuntut hak-haknya ataupun meminta bantuan ke Lembaga Bangtuan Hukum (LBH) yang terkadang tanpa disadari pekerja harus mengeluarkan biaya dalam penyelesaian permasalahan yang menimpanya. Oleh karena itu mediator menyayangkan keputusan diambil pekerja yang lebih memilih menggunakan jasa Lembaga Bantuan hukum (LBH) dibandingkan dengan memilih mediator. Hal tersebut dikarenakan jika mempergunakan jasa Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pekerja harus mengeluarkan biaya lebih, lain halnya jika mempergunakan jasa mediator pekerja tidak dipungut biaya. Namun pada kenyataannya hampir setiap kasus yang masuk ke Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yang dimana perusahaan yang tidak terdapat serikat pekerjanya, maka pekerja meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lain jika kasus yang dialaminya tidak dapat selesai di tingkat mediasi (wawancara dengan Bapak Setyo Pamungkas selaku mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. 24 September 2012);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis, selanjutnya penulis mengambil simpulan sebagai berikut : 1. Upaya yang dilakukan oleh mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Salatiga meliputi 3 (tiga) tahap antara lain : a. Tahap Pra Perundingan Mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga memberikan informasi mengenai prosedur penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk dapat melakukan upaya penyelesaian bipartit terlebih dahulu. Apabila perundingan bipartit gagal, maka pihak yang bersengketa diminta untuk menulis form permohonan pencatatan perselisihan hubungan industrial. b. Tahap Perundingan Mediasi Mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga mendengarkan duduk perkara dari masing-masing pihak mengenai permasalahan yang terjadi. Biasanya pada saat sidang mediasi, disampaikan pula mengenai perhitungan hak-hak yang hendak diberikan kepada pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). c. Tahap Pasca Perundingan Mediator wajib mengupayakan perdamaian antara 2 (dua) pihak yang
saling berselisih.
Hasil
mediasi
memunculkan
2 (dua)
kemungkinan, jika hasil mediasi menemui kesepakatan maka dibuat perjanjian bersama. Jika tidak menemui kata sepakat, maka mediator wajib membuat anjuran tertulis dan para pihak akan memberi jawaban yang intinya menolak ada menerima anjuran tertulis. Jika menerima
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
anjuran tertulis maka dalam waktu 3 (tiga) hari mediator harus selesai membantu membuat perjanjian bersama dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Jika para pihak menolak anjuran tertulis, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berselisih mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dengan melakukan tahapan upaya penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatas, maka secara keseluruhan selama 3 (tiga) tahun terakhir telah menyelesaikan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) kasus dengan hasil 28 (dua puluh delapan) kasus telah selesai dan tercapai perjanjian bersama, 5 (lima) kasus telah selesai melalui anjuran, dan 4 (empat) kasus lainnya telah selesai secara bipartit di tingkat perusahaan setelah mendapatkan saran dan solusi penyelesaian dari mediator. Dengan melihat data diatas, maka mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dapat dikatakan telah berhasil dalam menyelesaikan masalah, dimana dari sekian banyak kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masuk ke mediator Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga, hampir semua kasus tercapai Perjanjian Bersama (PB). 2. Hambatan bagi mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Kota Salatiga terdiri atas hambatan internal dan hambatan eksternal. Hambatan internal mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga terdiri dari hambatan yang dialami diri mediator sendiri dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan hambatan bagi perusahaan dan pekerja dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hambatan eksternal mediator pada Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga
antara
lain
terdiri
dari
hambatan
perundang-undangan
ketenagakerjaan di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
Salatiga dan adanya keterlibatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
B. Saran 1. Perlu adanya peningkatan terhadap peranan mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga khususnya dalam penyelesaian masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), oleh karena itu diperlukan adanya pelatihan dan pendidikan kerja bagi mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga agar lebih baik lagi. 2. Perlunya sosialisasi peraturan ketenagakerjaan kepada masyarakat umum dengan harapan pihak pekerja dan perusahaan lebih mengerti tentang peraturan ketenagakerjaan. 3. Perlu
adanya
penambahan
jumlah
mediator
di
Dinas
Sosial
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga. Hal tersebut mengingat jumlah mediator di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga yang terbatas hanya berjumlah 3 (tiga) orang. Sehingga apabila terdapat kasus yang masuk ke Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dapat segera terselesaikan. 4. Perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana untuk menunjang pelaksanaan mediasi di Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga.
commit to user