perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Stefanus Donatumar E0008240
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit2013 to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)
Oleh : Stefanus Donatumar E0008240
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Surakarta, 15 Januari 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Erna Dyah Kusumawati,S.H.,M.Hum.,LL.M. NIP. 19770330 2003122001 commit to user ii
Ayub Torry Satriyo Kusumo,S.H.,M.H. NIP. 19830716 2008011005
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009) Stefanus Donatumar NIM.E0008240
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Rabu
Tanggal
: 23 Januari 2013
DEWAN PENGUJI 1. Sri Lestari Rahayu,S.H., M.Hum. :....................... NIP. 19591125 1986012001 Ketua 2. Ayub Torry Satriyo Kusumo,S.H.,M.H. : NIP. 19830716 2008011005 Sekretaris 3. Erna Dyah Kusumawati,S.H.,M.Hum.,LL.M. : NIP. 19770330 2003122001 Anggota Mengetahui Dekan,
Prof.Dr. Hartiwiningsih,S,H.,H.Hum. NIP. 19570203 1985032001 PERNYATAAN commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nama
: Stefanus Donatumar
NIM
: E0008240
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR
GAZA
DITINJAU
DARI
KONVENSI
JENEWA
IV/1949,
PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 15 Januari 2013 yang membuat pernyataan
Stefanus Donatumar NIM.E0008240
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Stefanus Donatumar, E.0008240. 2013. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009) Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil dalam konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza pada Operation Cast Lead, mendiskripsikan mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran penduduk sipil menurut hukum humaniter internasional. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi dokumen dengan teknik analisis bahan hukum berupa metode deduksi. Hasil penelitian menunjukkan dalam hukum humaniter internasional perlindungan terhadap penduduk sipil pada konflik bersenjata internasional diatur dalam Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977. Agresi Israel ke Palestina tanggal 27 Desember 2008-20 Januari 2009 atau yang dikenal dengan Operation Cast Lead, terbukti terdapat beberapa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Israel terhadap penduduk sipil Palestina yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Terdapat tiga mekanisme untuk melakukan penegakan hukum bagi perlindungan penduduk sipil terhadap pelanggaran HAM berat. Pertama dengan menggunakan mekanisme nasional (exhaustion of local remedies), kedua menggunakan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) berdasarkan Statuta Roma 1998, dan ketiga menggunakan Mahkamah Ad Hoc. Dari ketiga mekanisme penegakan hukum bagi perlindungan penduduk sipil terhadap pelanggaran HAM berat tersebut yang paling memungkinkan digunakan untuk mengadili Israel adalah dengan menggunakan Mahkamah Ad Hoc dengan campur tangan dari Majelis Umum. Kata Kunci : Operation Cast Lead, mekanisme penegakan hukum humaniter, perlindungan penduduk sipil, pelanggaran HAM berat
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Stefanus Donatumar, E.0008240. 2013. LAW ENFORCEMENT MECHANISM FOR THE PROTECTION OF CIVILIANS DURING ISRAEL-PALESTINA CONFLICT IN GAZA BASE ON THE GENEVA CONVENTIONS IV/1949, THE ADDITIONAL PROTOCOL I/1977, AND THE ROME STATUTE OF THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT 1998 (STUDY CASES OPERATION OF CAST LEAD 27 DECEMBER 2008-20 JANUARY 2009) The purpose of this research are: first to describe forms of violations against the civilian population in Israel-Palestine conflict in Gaza during Operation of Cast Lead. Second to describe mechanism to enforce offenses against civilians according to humanitarian law. This research is normative legal research that is prescriptive legal nature using statute approach. The material sources used are primary law materials and secondary law materials. Technique of collecting law material used is library research and document research with deductive logic method as the technique of analysis. The result of research show that in the international humanitarian law, the protection of civilians in international armed conflict regulated under The Geneva Conventions IV/1949 and The Additional Protocol I/ 1977. Israel’s aggression to Palestine on the 27th December 2008-20 January 2009 or known as Operation of Cast Lead, proven there are several violations of human rights done by israel against the Palestinian civilian population that can be categorized as crimes against humanity and war crimes. There are three mechanism to enforcement offense against civilians according to humanitarian law. First by using national mechanism (exhaustion of local remedies), Second by Internasional International Criminal Court/ICC based on Statute of Rome 1998, and Third by Ad Hoc Tribunal. Base of the three mechanisms of enforcement offense against civilians according to humanitarian law the most possible used to prosecute Israel is using the Ad Hoc Court with the intervention of the General Assembly. Keywords: Operation Cast Lead, mechanism to enforcement humanitarian law, protection of the civilians, gross violation of human rights
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“The one thing I have never done and will never do in my life is give
up”. (Fernando Torres)
“Be the person you want to be not the person you have to be”. (Jared Leto) “Everyone have a story but isn’t same with us, don’t trust other people but trust in yourself”. (Stefanus Donatumar)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Yesus Kristus yang senantiasa mencurahkan berkatnya sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul
“MEKANISME
PENEGAKAN
HUKUM
TERHADAP
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAELPALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)”. Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis berharap semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum. Penyelesaian Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Ibu Sri Lestari Rahayu, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
3.
Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., LL.M., selaku Pembimbing I Penulisan Hukum yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi Penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
4.
Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi Penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
5.
Ibu Maria Madalina, S.H., M.Hum., selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang berguna selama Penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS. commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam Penulisan Hukum ini.
7.
Ketua Bagian PPH Ibu Wida Astuti, S.H., M.H., Mas Wawan, dan Mas Joko Susilo anggota PPH yang banyak membantu dalam Penulisan Hukum ini.
8.
Ayah, Ibu, Mbah Putri, Om, Tante dan semua keluarga besar Sutijan Djoyodisastro atas cinta dan kasih sayang, doa, dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
9.
Teman-teman
Kos
Imanuel
yang
selalu
mendukung
Penulis
untuk
menyelesaikan penulisan Hukum ini. 10. Sahabat-sahabatku Haki, Komeng, Reza, Dika, Carok, Taktak, Jaber, Rusdi, Itok, Jojo, Arfin, Albi, Dira, Uche, Panji, Insan, Adityo Bayu, Adityo Dani, Ridho, Fikar, Gery, Simbah, Paksi, Pipit, Choy, Shelma, Hanafi, Lina, Vika Desy Fluita dan semua teman-teman DPR (Dibawah Pohon Rindang) dan Keluarga besar KMK FH yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan canda, tawa dan dukungan kepada penulis. 11. Teman-teman di BEM FH UNS, untuk setiap ilmu dan pengalaman untuk bekal penulis. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam Penulisan Hukum ini yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta,
commit to user ix
Januari 2013
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................
iv
ABSTRAK............................................................................................................
v
ABSTRACT.........................................................................................................
vi
MOTTO................................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
viii
DAFTAR ISI........................................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................
1
B. Perumusan Masalah........................................................................
6
C. Tujuan Penelitian............................................................................
6
D. Manfaat Penelitian..........................................................................
7
E. Metode Penelitian...........................................................................
7
F. Sistematika Penulisan Hukum........................................................
11
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori………………………………………………… 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum commit to user Humaniter x
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Internasional.................................................................................
13
a. Pengertian Hukum Humaniter Internasional (HHI).............
13
b. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional (HHI)................................................................ c. Tujuan Hukum Humaniter Internasional (HHI)................
15 17
d. Asas dan Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI).............................................
18
2. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Penduduk Sipil.............................................................................
20
a. Pengertian Penduduk Sipil (Civilians)....................................
20
b. Perlindungan Penduduk Sipil..................................................
22
3. Tinjauan Umum tentang Combatant (Kombatan) dan Hors de Combat....................................................................
27
a. Pengertian Combatant (Kombatan).........................................
27
b. Hors de Combat......................................................................
32
4. Tinjauan Umum Tentang Konflik antara Isael dan Palestina................................................................................
34
5. Tinjauan Umum Tentang Konvensi Jenewa IV,Protokol Tambahan 1977, dan Statuta Roma 1998.................................
38
a. Konvensi Jenewa 1949............................................................
38
b. Protokol Tambahan I dan II/1977...........................................
40
c. The Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (Statuta Roma 1998).............................................. 42 6. Kriteria Pelanggaran-Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil.............................................................................
44
7. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional.................................................................................
56
B. Kerangka Pemikiran........................................................................ 70 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN commit to user A. Hasil penelitian.............................................................................. xi
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Konflik Israel-Palestina Di Jalur Gaza tanggal 27 Desember 2008-21 Januari 2009 (Operation Cast Lead)...........................................................................................
72
a. Latar Belakang Operation Cast Lead....................................
74
b. Kronologis Operation Cast Lead...........................................
75
c. Ringkasan dari Operasi Cast Lead........................................
83
B. Pembahasan...................................................................................
88
1. Bentuk Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil Dalam Konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza Pada Operation Cast Lead........................................................................ 88 2. Mekanisme Penegakan Hukum Terhadap Perlindungan Penduduk Sipil Ditinjau Dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998 Dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza padaOperation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009.................................
110
KESIMPULAN……………………………………………….........
131
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
132
BAB IV
commit to user xii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sengketa merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari dalam hubungan antar negara. Sengketa dapat dibagi menjadi sengketa bersenjata dan sengketa tidak bersenjata. Sengketa bersenjata sendiri juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu international armed conflict atau konflik bersenjata internasional dan noninternational armed conflict atau konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional yang juga dapat disebut juga sebagai konflik internal. Perbedaan utama antara non-international armed conflict dan international armed conflict dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Status hukum para pihak yang bersengketa dalam international armed conflict adalah kedua pihak memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949) atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Salah satu penyebab terjadinya international armed conflict adalah keinginan dari suatu negara untuk menduduki (occupied) wilayah negara lainnya guna memperluas wilayahnya atau untuk maksud mengeksploitasi kekayaan alam yang berada di wilayah negara lain (KGPH Haryomataram, 1994:35). Akibat dari konflik antar negara ini dapat menyebabkan terjadinya perang yang menyebabkan banyak korban baik itu korban materiil maupun korban jiwa. Salah satu contoh kasus international armed conflict adalah konflik antara Israel dengan Palestina. Konflik ini telah terjadi sejak tahun 1948 ketika Israel menyerang Mesir, Yordania, Syria dan berhasil merebut Sinai, Jalur Gaza, dataran
tinggi
Golan
(Syria),
tepi
Barat
dan
Yerussalem
(Aryuni
Yuliantinigsih,2009:111). Sebelumnya Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menjanjikan sebuah negara bagi bangsa Yahudi di Palestina, user dengan menghormati hak-hakcommit umat to non-Yahudi di Palestina (Jimmy
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Carter,2010:3). Sampai sekarangpun perdamaian antara kedua belah pihak masih belum terwujud, ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungan yang tidak harmonis diantara faksi-faksi di Palestina sendiri hingga jutaan dari warga Palestina terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain. Sejarah mengenai konflik Israel-Palestina dapat dilihat dari perspektif teologis dan historis. Persoalan Palestina muncul sebagai isu internasional sejak berakhirnya Perang Dunia Pertama sebagai akibat dari runtuhnya Ottoman Empire Turkey. Palestina akhirnya berada diantara negara-negara Arab eks Ottoman Turkey yang berada di bawah administrasi Inggris. Hal ini berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa yang diadopsi dari Deklarasi Balfour tahun 1917 yang isinya menyuarakan dukungan untuk mendirikan suatu negara di tanah air Palestina untuk orang Yahudi. Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Yerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922), akan tetapi Palestina juga menyatakan Yerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu. Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekadar menyangkut latar belakang sejarah dan wilayah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak (Trias Kuncahyono,2008:256). Kasus konflik antara Israel-Palestina sudah berlangsung semenjak tahun 1948 dan sampai sekarang konflik ini belum berakhir. Sudah puluhan ribu korban jiwa berjatuhan dalam konflik yang berkepanjangan ini, setidaknya antara kurun waktu tahun 2000-2007 saja ada sekitar 4.228 orang Palestina, 1.024 orang Israel, dan
63
warga
negara
asing
yang
kehilangan
nyawanya
(UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA4579468525734 800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Pelanggaran yang dilakukan oleh tentara Israel kepada penduduk sipil Palestina semakin kerap terjadi pada pertengahan tahun 2008, seperti peristiwa terbunuhnya tiga penduduk sipil Palestina di sebuah rumah di Gaza Tengah, sesaat setelah pasukan HAMAS commit to user menembakan dua roket ke arah pemukiman Israel (Trias Kuncahyono,2008:257).
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh yang lain ada sekitar 30 penduduk sipil Palestina yang tewas dibunuh ketika tentara Israel menembaki sebuah bangunan tempat berlindungnya 110 penduduk sipil Palestina di wilayah pemukiman Zeitoun di Gaza Tengah (Amnesty International.2009.http://www.amnesty.org/en/ region/israel-occupiedpalestinian-territories/report-2011.html, diakses tanggal 17 Juli 2012). Konflik yang baru-baru ini terjadi dan yang menyita perhatian dunia adalah agresi Israel kepada Palestina di Jalur Gaza sejak tanggal 27 Desember 2008-20 Januari 2009 atau yang dikenal dengan sebutan Operation Cast Lead (SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israelepa lestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Dunia internasional dikejutkan dengan adanya serangan melalui pemboman lewat udara maupun darat yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza. Serangan ini sebenarnya
ditujukan
untuk
melumpuhkan
pejuang
Harakat
al
Muwaqawwamatul Islamiyah (HAMAS) atau secara harawiyah disebut sebagai Gerakan Perlawanan Islam agar menghentikan serangan roketnya ke Israel serta menghentikan suplai senjata HAMAS yang dikirim melalui terowonganterowongan
bawah
tanah.
HAMAS
dianggap
sebagai
organisasi
yang
mengganggu untuk merebut wilayah Palestina oleh Israel, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun oleh pendukungnya, organisasi itu dianggap sebagai kekuatan perjuangan yang sah untuk membela Palestina dari pendudukan militer Yahudi. Akibat serangan yang berlangsung pada tanggal 27 Desember 2008 sampai 20 Januari 2009, total 1.453 orang tewas. Agresi ini merupakan agresi Israel ke Palestina yang memakan jumlah korban dari penduduk sipil terbesar dari keseluruhan agresi yang pernah dilakukan Israel ke Palestina. Dari jumlah tersebut, 1.440 orang Palestina, termasuk 431 anak dan 114 wanita. Sebanyak 13 orang Israel juga tewas dalam insiden tersebut, termasuk tiga warga sipil dan enam pasukan Israel tewas oleh HAMAS. Empat pasukan Israel tewas dalam sebuah insiden tembak-menembak antara pasukan Israel dengan HAMAS (UN.2009.http://www.un.org/children/conflict/documents/A.HRC.10.22.pdf.diaks es tanggal 17 Juli 2012). Selain 1.440 orang Palestina yang tewas, Departemen userpenduduk Palestina yang terluka, Kesehatan Palestina mencatat adacommit 5.380 to daftar
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
termasuk 1.872 anak-anak dan 800 wanita. Sedangkan ada sekitar 518 penduduk Israel yang terluka, yang terdiri dari 182 penduduk sipil Israel dan 336 pasukan bersenjata Israel (Btselem.2009.http://www.btselem.org/english/statistics/Casualties.asp>, diakses tanggal 21 Juli 2012). Kerugian lain yang diterima rakyat Palestina antara lain adalah kerugian materiil berupa rusaknya rumah-rumah mereka, sekitar 6000 rumah mengalami kerusakan ringan dan 10.000 rumah mengalami kerusakan parah. Jika ditaksirkan kerugiannya dapat mencapai 2,2 miliar US dollar (KOMPAS, 18 Januari 2009:11). Penduduk Palestina juga mengalami kesulitan untuk mengungsi dan mendapatkan bantuan kemanusiaan dari luar karena adanya blokade di perbatasan Pelestina dan Mesir. Serangan Israel juga telah menghancurkan rumah-rumah, tempat ibadah, dan kantor lembaga bantuan PBB dan infrastruktur lainnya. Sebagian besar negara diberbagai belahan dunia, terutama sebagian besar negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam mengutuk agresi Israel ke Palestina. Bahkan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Hak Asasi Manusia di Israel juga mengecam tindakan tersebut. Para pembela hak-hak asasi manusia internasional dengan tegas menyatakan bahwa agresi ini merupakan kejahatan perang. Selain itu di dalam serangannya ke Palestina, Israel juga telah mengakui menggunakan bom fosfor putih yang sangat berbahaya jika digunakan dan sebenanya juga telah dilarang pengunaannya di dalam konvensi Den Haag 1899 karena akan merugikan penduduk sipil. Hal ini terlihat dari bangunanbangunan yang hancur dan luka bakar yang sangat parah dari para korban (Anonim.2011.http://www.voiceofpalestine.com//inter-Penyakit-Kanker-WargaGaza-Meningkat30%-Akibat-Bom-Fosfor-Putih-Israel.htm,diakses
tanggal
11
april 2009). Selama konflik antara Israel-Palestina, kehidupan di Palestina menjadi kacau, penduduk sipil dibayang-bayangi oleh rasa ketakutan. Korban dari kedua pihak sangatlah banyak, terutama dari penduduk sipil Palestina (KGPH Haryomataram, 1994:93). Berdasarkan Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977, penduduk sipil merupakan pihak yang harus dilindungi dan commit to userdalam Pasal 4 Konvensi Jenewa tidak boleh diserang. Seperti yang tercantum
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
IV/1949 “Persons protected by the Convention are those who, at a given moment and in any manner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or occupation, in the hands of a Party to the conflict or Occupying Power of which they are not nationals”. Maksud dari Pasal 4 Konvensi Jenewa IV/1949 adalah bahwa orang-orang yang dilindungi dalam konvensi adalah mereka yang pada saat dan karena peristiwa, menemukan dirinya dalam kasus pertikaian atau kependudukan, berada di tangan pihak yang bertikai atau negara yang menduduki yang bukan negaranya. Selanjutnya Pasal 13 Konvensi Jenewa IV/1949 menyatakan bahwa “The provisions Art 4 the whole of the populations of the countries in conflict, without any adverse distinction based, in particular, on race, nationality, religion or political opinion, and are intended to alleviate the sufferings caused by war”. Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa perlindungan penduduk sipil meliputi seluruh penduduk dari negara-negara yang bersengketa, tanpa perbedaan yang merugikan apapun yang didasarkan atas suku, kewarganegaraan, agama atau keadaan politik dan dimaksudkan untuk meringankan penderitaan-penderitaan yang disebabkan oleh perang. Tetapi pada kenyatannya hampir sebagian besar korban yang jatuh dalam konflik ini berasal dari pihak sipil terutama adalah penduduk sipil Palestina. Tentu saja hal ini sangatlah bertentangan dengan isi dari Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977. Semakin panasnya situasi di Timur Tengah yang sampai saat ini masih berlangsung sepertinya belum ada titik terang untuk menghentikan konflik antara kedua belah pihak. Sebenarnya sudah ada aturanaturan internasional yang melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata seperti Konvensi Jenewa IV/1949 maupun Protokol Tambahan I/1977, tetapi sampai sekarang aturan-aturan tersebut belum mampu memberikan keadilan bagi penduduk Palestina. Berdasarkan uraian-uraian diatas maka penulis membuat penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul: “MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI commit to user KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting di dalam penyusunan suatu penulisan hukum. Perumusan masalah di dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga tujuan yang akan dicapai menjadi lebih jelas dan sistematis. Dengan demikian akan diperoleh hasil yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil dalam konflik IsraelPalestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009? 2. Bagaimana mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil ditinjau dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998 dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti memiliki tujuan tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis, yaitu : 1. Untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil dalam konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009. 2. Untuk mendiskripsikan mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil ditinjau dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I/1977, dan Statuta Roma 1998 dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu pengetahuan dibidang ilmu pengetahuan itu sendiri ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada ilmu pengetahuan di bidang hukum secara umum dan hukum internasional secara khusus. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti-peneliti yang akan datang untuk ketersediaan data awal. c. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu (S1) di Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta dan memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis a. Guna memberi jawaban atas permasalahan yang akan diteliti. b. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir serta mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. c. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan kepada para akademisi yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran bahan hukum sebagai dasar untuk membuat keputusan hukum tehadap kasus-kasus hukum yang konkret. Pada sisi lain, penelitian hukum juga merupakan kegiatan ilmiah untuk memberikan refleksi dan penilaian terhadap keputusan-keputusan hukum yang commit to user telah dibuat terhadap kasus-kasus hukum yang pernah terjadi atau yang akan
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
terjadi (Johny Ibrahim, 2006:290). Metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut : Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis penelitian Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu hukum yang objeknya hukum itu sendiri (Johny Ibrahim, 2006:57). Sisi normatif di dalam penulisan hukum ini adalah untuk menentukan hasil analisis mengenai normanorma yang ada dalam hukum humaniter internasional mengenai pelindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata beserta mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil, khususnya dalam konflik bersenjata yang bersifat internasional (international armed conflict) .
2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22). Ilmu hukum yang bersifat perskriptif berarti ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, rambu-rambu dalam aturan hukum. Sifat preskriptif dalam penelitian ini yaitu hukum humaniter internasional tentang perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional tidak dapat ditegakan dalam konflik Israel-Palestina ini, padahal sudah ada aturan-aturan yang mengaturnya. Penulis akan mempelajari tentang macam-macam perlindungan terhadap penduduk sipil berdasarkan Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977, kemudian menelaah mekanisme penegakan hukum humaniter yang dapat diberlakukan untuk menyelesaikan kasus ini commit user Roma 1998 . menurut Konvensi Jenewa IV/1949 dantoStatuta
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
3. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum ada lima pendekatan, yaitu: pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dari beberapa pendekatan tersebut penulis akan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2009:93). Pada penelitian ini penulis akan menelaah tentang Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I /1977 sebagai aturan dasar yang mengatur tentang perlindungan penduduk sipil dalam sengketa bersenjata internasional, beserta Statuta Roma 1998 sebagai aturan dasar yang mengatur tentang Makamah Pidana Internasional sebagai salah satu mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil.
4. Sumber penelitian Hukum Penelitian hukum ini akan menggunakan dua sumber hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,2006:141). Bahan hukum yang digunakan didalam penelitian ini adalah : a. Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hasil Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977 sebagai instrumen internasional yang mengatur mengenai perlindungan orang-orang commitStatuta to userRoma 1998 sebagai aturan dasar sipil pada waktu perang. Beserta
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
yang mengatur tentang Makamah Pidana Internasional sebagai salah satu mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil. b. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal-jurnal diantaranya adalah Harvard National Security Journal / Vol. 2,2011 yang ditulis oleh Michael N. Schmitt dan Jurnal Dinamika Hukum, Vol 9 No. 2, Mei 2009 yang ditulis oleh Aryuni Yuliantinigsih, pendapat para sarjana yang berkaitan dengan perlindungan orang-orang sipil pada waktu perang.
5. Teknik pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian ini adalah studi kepustakaan. Peneliti akan mengkaji dan mempelajari hasil Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998 sebagai bahan primer dan bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana yang berkaitan dengan perlindungan orang-orang sipil pada waktu perang.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deduksi. Penggunakan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor yakni aturan-aturan hukum yang kemudian diajukan premis minor yakni fakta-fakta hukum, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki,2006:47). Peneliti mengkaji mengenai isi dari Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977 sebagai instrumen internasional yang mengatur mengenai perlindungan orang-orang sipil pada waktu perang, beserta Statuta Roma 1998 sebagai aturan dasar yang mengatur tentang Makamah Pidana Internasional sebagai salah satu mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil yang kemudian dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada dalam konflik antara Israel dengan Palestina di Jalur Gaza dalam Operation Cast Lead. commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Sistematika Penelitian Hukum
Penulis hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup serta dilengkapi dengan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan hukum sebagai berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menjelaskan segi-segi teoritis dari permasalahan yang akan diteliti, yaitu tinjauan umum tentang HHI, tinjauan umum tentang perlindungan penduduk sipil, combatant dan hors de combat, tinjauan umum tentang konflik antara Isael dan Palestina, tinjauan umum tentang Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, dan Statuta Roma 1998, tinjauan umum tentang kriteria pelanggaran-pelangaran terhadap penduduk sipil, dan tinjuan umum tentang mekanisme penegakan HHI.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang menghubungkan aturan-aturan hukum dengan data-data yang telah diperoleh dari hasil penelitian, yaitu: bentukbentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil dalam konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza pada Operation Cast Lead dan yang terakhir adalah mekanisme penegakan hukum terhadap
perlindungan penduduk sipil ditinjau dari commitIV/1949, to user Protokol Tambahan I/1977, dan Konvensi Jenewa
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Statuta Roma 1998 dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini menjelaskan tentang simpulan
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1.
Tinjauan Mengenai Hukum Humaniter Internasional (HHI) a. Pengertian Hukum Humaniter Internasional (HHI) Begitu banyak definisi HHI yang dikemukakan oleh para ahli, oleh karenanya, penulis akan menyajikan beberapa pendapat untuk menunjukkan esensi dari definisi-definisi tersebut, yaitu: 1) Mochtar Kusumaatmadja (Mochtar Kusumaatmadja, 1979:7) Mochtar
Kusumaatmadja
tidak
memberikan
definisi,
hanya
memberikan pembagian hukum perang, yakni: a)
Jus ad Bellum (hukum tentang perang); Mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata.
b) Jus In Bello (hukum yang berlaku dalam perang): Hukum ini dibagi menjadi dua lagi, yaitu: (1) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (Conduct of War). Bagian ini lazimnya disebut “Hague Laws”. (2) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, ini lazimnya disebut “Geneva Laws”. 2) Menurut pendapat dari Esbjorn Rosenbland yang dikutip oleh Arlina Permanasari dkk (Arlina Permanasari dkk,1999:9) Esbjorn
Rosenbland
merumuskan
HHI
dengan
mengadakan
pembedaan antara: a)
The law of armed conflict, berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan di wilayah lawan, hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
b) law of warfare antara lain mencakup: metode dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
3) F. Sugeng Istanto (F. Sugeng Istanto,1997:1) HHI ialah keseluruhan ketentuan hukum yang merupakan bagian dari hukum internasional publik yang mengatur tingkah laku manusia dalam pertikaian bersenjata yang didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan dengan tujuan untuk melindungi manusia. 4) Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan (Arlina Permanasari dkk, 1999:10) HHI sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang. 5) Menurut pendapat dari Geza Herzegh yang dikutip oleh Michael N. Schmitt (Michael N. Schmitt,2011:25) merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut: “Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguished from these its purpose and spirit being different”. Maksud dari pendapat Geza Herzegh adalah HHI merupakan bagian dari aturan-aturan hukum internasional publik yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap individu dalam masa konflik bersenjata. Posisinya adalah disamping norma peperangan itu erat terkait dengan mereka, tetapi harus jelas membedakan dari tujuan dan semangat yang berbeda. 6) Menurut pendapat dari Jean Pictet yang dikutip oleh Moaz Zatari and Jonathan Molony (oleh Moaz Zatari and Jonathan Molony,2010:11) “International humanitarian law in the wide sense is constitusional legal provision, whether written or customary, ensuring respect and individual and his well being”. Maksud dari pendapat Jean Pictet adalah HHI dalam arti luas adalah provisi hukum konstitusional, baik commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertulis maupun adat, menjamin penghormatan individu dan kesejahteraannya. Dari beberapa istilah yang diungkapkan oleh para pakar di atas dapat disimpulkan, bahwa HHI adalah sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bersumber pada hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan yang muncul secara langsung sebagai akibat dari konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional.
b. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional (HHI) Hukum perang merupakan bagian dari hukum internasional. Sehingga
sumber
hukum
perang
sama
dengan
sumber
hukum
internasional. J.G. Starke menguraikan bahwa sumber-sumber meteriil hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Secara garis besar, bahan-bahan
hukum
internasional
dapat
dikategikan dalam
lima
bentuk,yaitu (J.G. Starke,2000:679): 1) Hukum Kebiasaan Internasional; 2) Traktat; 3) Keputusan Pengadilan atau Badan-Badan Arbritasi; 4) Karya-karya hukum; 5) Keputusan atau Ketetapan organ-organ atau lembaga internasional. Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional (Article 38 of the Statute of the International Court of Justice) sumber hukum internasional adalah: 1) Perjanjian internasional (international convention); 2) Hukum Kebiasaan internasional (international customary law); commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
3) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations); 4) Keputusan pengadilan (judicial decisions); 5) Ajaran sarjana (the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations). Berdasarkan pada sumber hukum internasional dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (Article 38 of the Statute of the International Court of Justice) di atas, terdapat tiga sumber utama hukum humaniter internasional, yaitu (ICRC, 2004:4) : 1) Konvensi Den Haag (Hague Convention) yang terdiri dari : a)
Konvensi Den Haag Tahun 1899 (Hague Convention of 1899);
b) Konvensi Den Haag Tahun 1907 (Hague Convention of 1907). 2) Konvensi Jenewa I-IV Tahun 1949 (Final Record Of The Diplomatic Conference Of Geneva Of 1949) a)
Protokol Tambahan I Tahun 1977 (Protocol Additional I to the Geneva Conventions 1977);
b) Protokol Tambahan II Tahun 1977 (Protocol Additional II to the Geneva Conventions 1977). 3) Sumber-sumber hukum lainnya, terdiri dari: a)
Deklarasi Paris (16 April 1856);
b) Deklarasi St. Petersburg (29 November 1868-11 Desember 1868); c)
Rencana Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara Tahun 1923;
d) Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lain Dalam Peperangan; e)
Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam Dalam Pertempuran;
f)
Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda-Benda Budaya pada Waktu Pertikaian Bersenjata;
g) Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (10 Oktober 1980) commit tentang Larangan atauto user Pembatasan Penggunaan Senjata
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konvensional Tertentu yang mengakibatkan Penderitaan yang Berlebihan. Dikatakan bahwa hanya ada tiga sumber utama HHI karena didalam perjanjian internasional sebagian besar di dalamnya berisikan tentang hasil kodifikasi dari sumber hukum internasional lainnya menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional seperti kebiasaan internasional, keputusan pengadilan, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab.
c. Tujuan Hukum Humaniter Internasional (HHI) Perang adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan oleh umat manusia, karena peperangan menimbulkan kesengsaraan dan kerugian yang tak ternilai harganya. Setiap kali perang terjadi selalu diwarnai dengan perbuatan-perbuatan yang sangat kejam dan bertentangan dengan perikemanusiaan. Perang tidak dan belum dapat dicegah,
sehingga
diharapkan HHI dapat memanusiakan perang. Mohammed Bedjaoui menyatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiakan perang (Mohammed Bedjaoui,1991:12). Adapun
tujuan
hukum
perang
adalah
sebagai
berikut
(Haryomataram, 1994:8-9) : 1) Melindungi, baik kombatan maupun non-kombatan, dari penderitaan yang tidak perlu; 2) Menjamin hak-hak asasi manusia yang fundamental bagi mereka yang jatuh dalam tangan musuh; 3) Mencegah dilakukan perang secara kejam tanpa mengenal batas. Beberapa tujuan dari Hukum Humaniter Internasional yaitu (Syahmin. AK,1985:7-8 ) : 1) Melindungi baik kombatan maupun non-kombatan dari penderitaan yang tidak perlu; 2) Menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan commit to user musuh;
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Memungkinkan dikembalikannya perdamaian; 4) Membatasi kekuasaan pihak berperang. Dapat disimpulkan, bahwa tujuan dari hukum humaniter adalah untuk melindungi korban perang baik kombatan maupun non-kombatan, juga melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu dilanggar pada saat berlangsung konflik dan mencegah perilaku yang kejam dan tanpa belas kasihan dalam perang.
d. Asas dan Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) Dalam hukum humaniter dikenal beberapa prinsip-prinsip, yaitu (Pietro Verri, 1992:90): 1) Prinsip kepentingan militer (military necessity) Berdasarkan prinsip ini pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: a)
Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu: prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metode berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan keuntungan militer yang diharapkan.
b) Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa kepada pihak musuh. 2) Prinsip Perikemanusiaan (humanity) Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa commit to userperikemanusiaan, dimana mereka diharuskan untuk memperhatikan
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering juga disebut dengan unnecessary suffering principle. 3) Prinsip Kesatriaan (chivalry) Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. 4) Prinsip pembedaan (distinction principle) Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik persenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (civilian) di satu pihak dengan combatant serta antara objek sipil di satu pihak dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip HHI. H. A. Mansyur Effendi menyusun pengelompokan tentang prinsipprinsip dalam dalam hukum humaniter, yakni: (H. A. Mansyur Effendi, 1985:52-53) 1) Pada prinsipnya hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat, dalam arti tiap-tiap individu mempunyai atau memiliki hak hidup, hak atas fisik dan moral dan kepribadian. Ada prinsip yang terkandung dalam pengertian tidak dapat diganggu gugat yaitu: a)
Seorang yang tertangkap dalam peperangan tidak dapat diganggu atau dilanggar haknya (hak hidupnya tak boleh dihilangkan);
b) Penyiksaan dilarang; c)
Setiap orang berhak atas pengajuan yang sama di depan hukum;
d) Setiap orang berhak untuk memperoleh penghormatan, berhak menganut keyakinannya dan melaksanakan kegemarannya; e)
Setiap orang yang menderita akan mendapatkan perlindungan dan menerima perawatan secukupnya; commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f)
Tidak seorangpun dapat dikurangi hak miliknya dengan semenamena.
2) Prinsip tidak membeda-bedakan sesama manusia, baik dari segi agama, jenis kelamin, kebangsaan, bahasa, dan kedudukan sosial, kekayaan, politik, suku, pandangan hidup. 3) Prinsip keamanan : a)
Tak seorangpun dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan yang tak dilakukan olehnya;
b) Dilarang
adanya
pembalasan,
hukum
kolektif,
penyanderaan/pengusiran terhadap seseorang; c)
Tiap orang mendapatkan hak untuk mendapatkan keuntungan atas jaminan hukum yang ada;
d) Tak seorangpun dapat dihapus hak yang telah diberikan oleh konvensi-konvensi humaniter kepadanya. Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, jelaslah bahwa HHI mencoba untuk memberikan penghormatan terhadap pribadi korban dalam sengketa bersenjata tanpa adanya pembedaan, juga memberikan jaminan atas keselamatan korban dalam sengketa bersenjata.
2.
Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Penduduk Sipil a. Pengertian Penduduk Sipil (Civilians) Protokol Tambahan I/1977 mengatur definisi orang sipil (civilian). Hal ini dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) yang berbunyi: “civilians is someone who does not belong to one category or the categories mentioned in Article 4 a (1) (2) (3) and (6) of the Third Convention and Article 43 of this Protocol. If there is any doubt whether a person is classified as a civilian, that person will be considered as civilians.” Dengan demikian yang dimaksud orang sipil menurut Protokol Tambahan I/1977 Pasal 50 ayat (1) adalah seseorang yang tidak termasuk salah satu kategori/golongan yang disebut dalam pasal 4 A (1),(2),(3) dan (6) dari Konvensi Jenewa III/1949 dan Pasal 43 Protokol Tambahan I/1977. commit to user Apabila ada keragu-raguan apakah sesorang tergolong orang sipil, maka
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
orang tersebut dianggap sebagai orang sipil. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa penduduk sipil (civilian population) terdiri dari orangorang sipil. Pengaturan tentang penduduk sipil dirumuskan secara terbalik oleh konvensi ini bahwa orang sipil adalah orang-orang yang tidak termasuk di dalam salah satu golongan berikut, yaitu: 1) Anggota angkatan perang dari pihak yang bertikai; 2) Anggota-anggota milisi serta anggota sukarekawan, termasuk anggota-angggota gerakan perlawanan yang diorganisir; 3) Anggota-anggota angkatan perang tetap yang menyatakan kesetiaan pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan; 4) Penduduk wilayah yang belum diduduki. Selain itu, Pasal 43 ayat (1) dan (2) Protokol Tambahan I/1977 mengatur bahwa angkatan perang yang terdiri dari semua angkatan, kelompok-kelompok dan satuan-satuan bersenjata yang diorganisir yang berada dibawah suatu komando yang bertanggung jawab kepada pihak dibawahannya, dan kombatan yaitu mereka yang mempunyai hak untuk turut serta secara langsung dalam permusuhan, tidak dapat dikategorikan pula sebagai orang sipil. Dengan demikian maka Pasal 50 ayat (1), tidak secara langsung merumuskan definisi tentang orang sipil. Pasal 50 ayat (1) hanya menyebut bahwa anggota angkatan bersenjata dan kombatan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 43 Protokol I juga tidak termasuk kedalam golongan orang sipil (KGPH Haryomataram, 1994:104). Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 juga memuat ketentuan yang dapat dijadikan acuan paling pokok untuk perlindungan penduduk sipil yaitu Pasal 27, yang merumuskan bahwa orang-orang yang dilindungi berhak akan penghornatan atas diri pribadi, kehornatan hak-hak keluarga, keyakinan, dan praktek keagamaan, serta adat istiadat dan kebiasaan commit to user dengan perikemanusiaan, dan mereka. Mereka selalu harus diperlakukan
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus dilindungi terhadap segala tindakan kekerasan dan penghinaan. Selain mengatur tentang penghormatan atas orang-orang sipil, Pasal 27 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 juga mengatur tentang perlindungan terhadap kaum wanita. Pada pasal ini diatur macam-macam perlindungan terhadap wanita seperti perlindungan terhadap setiap serangan atas kehormatannya,
khususnya
terhadap
perkosaan,
pelacuran
yang
dipaksakan, atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan. Perlindungan terhadap kaum wanita juga harus dilakukan secara adil, tanpa membedakan pada ras, agama, atau pendapat politik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 27 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 merumuskan bahwa wanita juga dapat dikategorikan sebagai penduduk sipil dan mendapatkan perlindungan yang sama dengan penduduk sipil pada umumnya. Orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata juga dapat dikategorikan sebagai penduduk sipil yang tidak bileh diserang dalam sengketa bersenjata. Contohnya penduduk sipil yang menjadi anggota perhimpunan palang merah nasional atau perhimpuan penolong sipil lainnya (Agustinus Supriyanto, 2006: 66).
b. Perlindungan Penduduk Sipil HHI mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa melindungi penduduk sipil dan membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan. Pasal 48 Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur: Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, pihak-pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja. Istilah penduduk sipil mencakup semua orang yang berstatus sipil (tidak ikut berperang). Oleh karena itu istilah penduduk sipil mencakup commit to di user orang-orang sipil yang berdomisili daerah-daerah yang sedang terjadi
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
konflik peperangan, atau penduduk sipil yang berdomisili di daerah-daerah pendudukan. Pasal 50 Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur “If there is any doubt whether a person is classified as a civilian, that person will be considered as civilians” (Bila ada keraguan apakah seseorang itu seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai orang sipil). Perlindungan penduduk sipil ini juga mencakup orang-orang yang bekerja sebagai penolong, wartawan dan personel organisasi pertahanan sipil (Pasal 63 ayat (1) dan Pasal 79 ayat (1) Protokol Tambahan I tahun 1977). Pasal 63 ayat (1) Protokol Tambahan I/1977 mengatur tentang : Di wilayah-wilayah pendudukan, organisasi pertahanan sipil akan menerima fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas mereka. Dalam keadaan apapun, personil mereka tidak dapat dipaksakan menjalankan kegiatan yang akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas tersebut secara benar. Penguasa Pendudukan tidak akan merubah struktur atau personil dan organisasi-organisasi tersebut sedemikian yang dapat mengganggu pelaksanaan misi mereka secara efisiensi. Organisasi-organisasi itu tidak akan diharuskan memberikan prioritas kepada warganegara atau kepentingan-kepentingan dari Penguasa tersebut. Pasal 79 ayat (1) Protokol Tambahan I/1977 mengatur tentang: Wartawanwartawan yang melakukan tugas-tugas pekerjaanya yang berbahaya di daerah-daerah sengketa bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil di dalam pengertian Pasal 50 ayat (1). Menurut pengaturan HHI, perlindungan manusia dalam pertikaian bersenjata didasarkan pada prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip pembedaan itu pengaturan orang yang dilindungi HHI dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni (Fadilah Agus, 1997:42): 1) Kombatan; 2) Orang sipil; 3) Penolong korban perang, yang dapat dibedakan: penolong militer dan penolong sipil. Seperti yang tercantum dalam Pasal 49 dan 51 Protokol Tambahan I Tahun 1977, perlindungan penduduk sipil sama kuatnya dengan perlindungan terhadap kombatan dan mereka yang telah berhenti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
berperang (hors de combat) artinya terhadap penduduk sipil tidak dijadikan obyek serangan. Perlindungan yang harus diberikan oleh pihak-pihak yang berperang terhadap penduduk sipil adalah: 1) Orang-orang sipil harus diperlakukan dengan perlakuan yang manusiawi tanpa suatu pembedaan diskriminatif yang didasarkan atas jenis kelamin, warna kulit, ras, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau pandangan-pandangan lainnya, asal kebangsaan dan sosial, kekayaan, keturunan, dan standar-standar pembedaan serupa lainnya (Pasal 27 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 dan Pasal 75 ayat (1) Protokol Tambahan I tahun 1977); 2) Orang-orang sipil harus menerima perlindungan berkaitan dengan kehormatan, kemuliaan, hak-hak keluarga, ideologi dan pelaksanaan ritual keagamaan serta adat-istiadat dan tradisi. Kapan dan dalam kondisi apapun mereka harus diperlakukan dengan perlakuan yang manusiawi; 3) Tidak boleh melakukan aksi-aksi perampokan, pencurian, atau penyiksaan terhadap mereka dan harta benda milik mereka (Pasal 33 Konvensi Jenewa IV tahun 1949). Beberapa Konvensi yang mengatur tentang perlindungan bagi penduduk sipil antara lain adalah sebagai berikut (Muhammad Sayyid Thanthawi,2008:53): 1) Konvensi Jenewa IV 1949 Dalam konvensi ini perlindungan bagi penduduk sipil dibagi menjadi dua, yaitu: a)
Perlindungan Umum Diberikan kepada penduduk sipil dan tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka tidak boleh commit userdigolongkan kedalam bunyi Pasal dilakukan tindakan yang to dapat
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
27-34 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yaitu tentang: pemaksaan jasmani,
tindakan
yang
menimbulkan
penderitaan,
intimidasi/terorisme. b)
Perlindungan Khusus Perlindungan khusus diberikan kepada penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata, yaitu penduduk sipil yang menjadi anggota perhimpunan palang merah nasional atau perhimpuan penolong sipil lainnya, termasuk anggota pertahanan sipil.
2) Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 Secara eksplisit menetapkan batasan pengertian orang sipil. Orang sipil adalah setiap orang yang bukan anggota angkatan bersenjata pihak yang bertikai. Anggota angkatan bersenjata adalah kombatan, yaitu mereka yang berhak ikut serta dalam permusuhan. Bentuk Perlindungannya Protokol Tambahan I Tahun 1977 : a)
Larangan menyerang orang sipil;
b) Keharusan dilakukannya penghati-hatian dalam melakukan perbuatan perang demi untuk melindungi orang sipil; c)
Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil;
d) Larangan pemindahan paksa orang sipil; e)
Jaminan mendapatkan bantuan;
f)
Kesempatan memberi bantuan korban pertikaian bersenjata.
3) Konvensi Den Haag Tahun 1899 & 1907 Konvensi Den Haag tidak menetapkan batasan orang sipil. Namun dalam Konvensi Den Haag terdapat ketentuan yang mengatur orangorang yang tidak tergolong belligerent, yaitu orang yang tidak turut serta dalam permusuhan, mereka adalah orang sipil. Garis besar perlindungan yang ditetapkan antara lain: commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a)
Larangan pemaksaan orang sipil memberikan info tentang angkatan
bersenjata
pihak
lawan
bertikai
atau
tentang
perlengkapan pertahanannya; b) Larangan meminta orang sipil untuk setia pada penguasa pendudukan; c)
Penghormatan hak-hak pribadi dan harta orang sipil;
d) Larangan menjarah penduduk sipil; e)
Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain yang sewenangwenang;
f)
Larangan penghukuman kolektif orang sipil;
g) Larangan pencabutan hak milik orang sipil secara sewenangwenang. 4) Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868 Deklarasi ini secara implisit menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Perlindungan itu ditetapkan dengan dicantumkannya asas pembedaan antara orang sipil dan kombatan di dalam konsiderannya. Konsideran itu menetapkan bahwa satu-satunya sasaran sah yang dapat dituju dalam perang adalah melemahkan angkatan bersenjata musuh. 5) Instruksi Lieber Tahun 1863 Instruksi ini membedakan penduduk sipil menjadi tiga kelompok: a)
Orang sipil yang inoffensive Mereka
mendapat
perlindungan
pribadi,
harta
dan
kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipaksa bekerja pada pihak yang menang. b) Orang sipil yang terkait pelaksanaan tugas angkatan bersenjata Apabila mereka tertangkap musuh, maka berhak mendapat status sebagai tahanan perang. c)
Orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan Mereka diberi kedudukan sebagai belligerent. commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan ekstra bagi para wanita dan anak-anak di tengah-tengah konflik bersenjata. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial Hukum Humaniter Internasional yang telah meminta kepada Majelis Umum Persatuan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
untuk
menjajaki
kemungkinan
dideklarasikannya perlindungan untuk wanita dan anak-anak pada saat darurat atau terjadinya perang. Berdasarkan usulan tersebut, Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendeklarasikan hal tersebut
pada
tanggal
14
Desember
1974
(Muhammad
Sayyid
Thanthawi,2008:55). Hukum Humaniter Internasional juga memberikan jaminan perlindungan bagi warga negara asing yang tengah berada di wilayah salah satu pihak yang sedang bertikai. Warga negara asing tersebut diberi hak meninggalkan negara yang sedang terjadi konflik ketika peperangan mulai berkecamuk, atau di tengah-tengah terjadinya peperangan. Pemulangan mereka harus disertai keterangan tentang status mereka sebagai warga sipil yang harus dilindungi dan dalam situasi yang kondusif dari aspek keamanan, kesehatan dan ketersediaan pangan (Muhammad Sayyid Thanthawi,2008:55).
3.
Tinjauan Umum Tentang Combatant (Kombatan) dan Hors de Combat a. Pengertian Combatant (Kombatan) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam prinsip pembedaan (distinction principle) membagi penduduk suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yakni peserta tempur dan penduduk sipil. Pasal 43 Protokol Tambahan I/1977 secara tegas menentukan bahwa mereka yang dapat digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk ke dalam angkatan perang/angkatan bersenjata (armed forces) suatu negara, yang dikategorikan ke dalam pengertian angkatan bersenjata adalah mereka commitberperan-serta to user yang memiliki hak untuk secara langsung dalam
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permusuhan. Angkatan bersenjata (armed forces) dapat dibagi menjadi dua: 1) Organized Armed Forces (Angkatan bersenjata yang terorganisir) Ada
beberapa
definisi
tentang
angkatan
bersenjata
terorganisir. Oleh karenanya, penulis akan menyajikan beberapa pengaturan untuk menunjukan esensi dari definisi-definisi tersebut. a) Konvensi Jenewa IV/1949 Dalam Konvensi Jenewa 1949 (I,II,III,IV) tidak menyebut masalah angkatan bersenjata, melainkan hanya menentukan yang berhak mendapatkan perlindungan (Pasal 13 Konvensi I dan II); yang berhak mendapatkan perlakuan tawanan perang jika jatuh ke tangan musuh (Pasal 4 Konvensi III). Meskipun ketentuan dalam Pasal 13 Konvensi I dan II serta Pasal 4 Konvensi IV tidak dengan tegas disebutkan adanya penggolongan kombatan dan penduduk sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan (Haryomataram,1994:60). Menurut Pasal 13 ayat (2) Konvensi Jenewa I/1949, mereka yang dapat dimasukkan dalam kategori kombatan adalah: (1) Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya; (2) Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari jarak jauh; (3) Mereka yang membawa senjata secara terbuka; (4) Melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukumhukum dan kebiasaan-kebiasaan perang. b) Pasal 1-3 Konvensi Den Hag 1907 Angkatan bersenjata yang terorganisir adalah orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran atau medan peperangan. Pihak-pihak yang dapat digolongkan sebagai kombatan adalah:commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Angkatan Bersenjata resmi (reguler) dari suatu negara, (2) Milisi dan Korps Sukarela, (3) Levee en masse, (Penduduk wilayah yang belum diduduki yang pada saat musuh mendekat, atas kemauan sendiri dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka memikul senjata secara terang-terangan dan menghormati
hukum-hukum
dan
kebiasaan-kebiasaan
perang) (4) Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organize Resistance Movement) seperti yang dikenal dengan sebutan : partisans, freedom fighters, insurgent, mujahideen, dan sebagainya. c) Pasal 43 Protokol Tambahan I/1977 Angkatan bersenjata yang terorganisir adalah mereka yang termasuk
ke
dalam
pengertian
angkatan
perang/angkatan
bersenjata (armed forces) suatu negara. Yang dikategorikan ke dalam pengertian angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperan-serta secara langsung dalam permusuhan. Selain pengaturan yang telah penulis jelaskan diatas ada juga pendapat dari Haryomataram yang dapat menunjukan esensi definisi Organized Armed Forces (Angkatan bersenjata yang terorganisir) adalah suatu golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities) (Haryomataram,1994:63). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa angkatan bersenjata yang terorganisir adalah orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran yang termasuk ke dalam pengertian angkatan perang/angkatan bersenjata (armed forces) suatu negara, apabila tertangkap pihak musuh, akan dianggap commit (prisoner to user of war) dan berhak untuk sebagai tawanan perang
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diperlakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Jenewa III tahun 1949. 2) Belligerent (Orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan) Belligerent adalah para pihak yang bersengketa dalam sebuah pertikaian bersenjata, dalam hal ini pihak yang bersengketa bisa siapa saja termasuk pemberontak (rebells). Pemberontak merupakan sekelompok orang yang melakukan pemberontakan (rebellion), diakui ada dan memperoleh legal personality, mereka melakukan peperangan internal dengan pihak pemerintah berkuasa yang
sah.
Pemberontak
tersebut
dalam
menjalankan
pemberontakannya memiliki wilayah serta organisasi pemerintah yang teratur sebagai tandingan terhadap pemerintahan yang sah dan kemudian mendapatkan pengakuan secara de jure dari negara lain/negara netral, maka pengakuan tersebutlah yang dinamakan sebagai
recognition
of
belligerency.
Dengan
adanya
legal
personality maka belligerent dapat tampil sebagai subjek hukum internasional
dan
kombatan
yang
sah
(Agustinus
Supriyanto.2006:62). Secara implisit, ketentuan mengenai belligerent terdapat dalam Pasal 1 Konvensi den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya mengenai lampiran annex nya yang berjudul Hague Regulations Respecting Laws and Custom of War atau yang dikenal dengan Hague Regulations (HR). “Article 1. Law, rights, and duties of war apply not only to armies, but also to militia and volunteer corps fulfilling the following conditions: 1. To be commanded by a person responsible for his subordinates; 2. To have a fixed distinctive emblem recognizable at a distance; 3. To carry arms openly, and 4. To conduct their operations in accordance with the laws and customs of war. commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
In countries where militia or volunteer corps constitute the army, or form part of it, denomination they belong to the army” Kalau ketentuan di atas diperhatikan, yang diatur di dalamnya adalah penegasan bahwa hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara saja (army), melainkan juga bagi milisi dan korps sukarela, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) sampai (4) Regulasi Den Haag. Alinea selanjutnya menegaskan bahwa di negara-negara dimana milisi dan korps sukarelawan merupakan tentara atau merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps sukarela itu juga dapat disebut juga sebagai tentara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 itu. Dengan kata lain, bagi milisi dan korp sukarelawan ini, maka hukum, hak, dan kewajibannya tidak ada bedanya dengan hukum, hak, dan kewajiban tentara. Mereka-mereka inilah yang berhak untuk maju ke medan pertempuran. Ketentuan mengenai Belligerent juga diatur dalam Pasal 2 Konvensi Den Haag ini, yang berbunyi : “The inhabitants of a territory which has not been occupied, who, on the approach the enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having had time to organize themselves in accordance with Article 1, shall be regarded as belligerents if they carry arms openly and if they respect the laws and customs of war“. Berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag di atas, levee en masse dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents, ciri-ciri yang dapat dikategorikan sebagai levee en masse adalah sebagai berikut: a) Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang belum diduduki; b) Mereka secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat tinggal mereka; dan oleh karena itu; c) Mereka tidak memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir) diri sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 Regulasi Den Haag; commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Mereka menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang; serta e) Mereka membawa senjata secara terang-terangan. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Belligerent adalah para pihak yang bersengketa dalam sebuah pertikaian bersenjata, dalam hal ini pihak yang bersengketa adalah pemberontak
(rebells)
dan
memperoleh
pengakuan
(legal
personality) dari negara lain/negara netral.
b. Hors de Combat Dalam Hukum Perang, sering terdengar istilah “hors de combat“. Istilah tersebut merupakan istilah dari bahasa Prancis yang ditujukan terhadap kombatan yang luka-luka, sakit, korban karam, atau yang menyerah dan tidak mempunyai daya atau kemampuan lagi untuk memberikan perlawanan kepada musuhnya, maka disebut sebagai “hors de combat” (“out of combat“). Apabila terdapat seorang kombatan yang berada dalam keadaan „hors de combat‟, dan jatuh ke tangan pihak musuh, maka ia harus dikumpulkan dan dirawat, dan mendapatkan status sebagai tawanan perang (prisoner of war) (Arlina Permatasari,1999;81). Seseorang hors de combat adalah orang yang tidak lagi berpartisipasi dalam permusuhan, karena pilihan atau keadaan. Menurut hukum kebiasaan internasional, seseorang dapat dikategorikan sebagai hors de combat apabila mengalami keadaan atau situasi sebagai berikut (ICRC.2012.http://www.icrc.org/customary-hl/eng/docs/v1_rul_rule47, diakses tanggal 16 September 2012): 1)
Setiap orang yang berada dalam kekuasaan pihak yang merugikan Tidak dapat disangkal bahwa orang yang berada dalam kekuasaan pihak yang merugikan adalah hors de combat. Aturan ini ditetapkan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa I yang mengatur tentang orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa seperti commit to usertelah meletakkan senjata-senjata anggota angkatan perang yang
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa adanya pembedaan satu dengan yang lainnya. Hal ini telah dikonfirmasi dalam hukum humaniter internasional. Menghormati dan melindungi orang-orang yang berada dalam kekuatan pihak yang merugikan adalah landasan hukum humaniter internasional sebagaimana tercermin dalam beberapa ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan. 2)
Setiap orang yang membela diri karena pingsan, kapal karam, luka atau sakit. Kategori ini didasarkan Pasal 3 Konvensi Jenewa I, yang melarang serangan terhadap orang-orang tak berdaya. Hal ini terkandung dalam undang-undang banyak negara. Hal ini juga didukung oleh kasus hukum, pernyataan resmi dan praktek lainnya, seperti instruksi kepada angkatan bersenjata. Selain itu, menghormati dan perlindungan yang terluka, sakit dan terdampar adalah landasan hukum humaniter internasional yang berlaku di kedua konflik bersenjata
internasional
dan
non-internasional
sebagaimana
tercermin dalam beberapa ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan mereka. 3)
Setiap orang yang dengan jelas menunjukkan niat untuk menyerah Setiap orang yang dengan jelas menunjukkan niat untuk menyerah. Kategori ini didasarkan Pasal 3 Konvensi Jenewa I. Hal ini terkandung dalam manual militer. Hal ini termasuk dalam perundang-undangan nasional banyak negara. Hal ini juga didukung oleh pernyataan resmi dan praktek lainnya, seperti instruksi kepada angkatan bersenjata. Prinsip umum yang muncul dari praktek ini adalah bahwa indikasi yang jelas dari menyerah tanpa syarat meyiapkan orang hors de combat. Dalam perang darat, tujuan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
jelas untuk menyerah umumnya ditunjukkan dengan meletakkan senjata seseorang dan mengangkat satu tangan. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hors de combat adalah orang yang tidak lagi berpartisipasi dalam permusuhan, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan tangan mereka dan mereka yang ditempatkan sebagai hors de combat karena sakit, luka, penahanan, atau penyebab lainnya, harus semua dalam keadaan diperlakukan secara manusiawi.
4.
Tinjauan Umum Tentang Konflik Israel-Palestina Konflik antara Israel dengan Palestina sudah terjadi sangat lama, bahkan dimulai setelah berakhirnya Perang Dunia I. Persoalan Palestina mencuat pertama kali mejadi isu internasional sejak runtuhnya Ottoman Empire Turkey. Akibatnya Palestina dan negara-negara eks Ottoman Empire Turkey lainnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Berdasarkan isi mandat Liga Bangsa-Bangsa yang diadopsi dari Deklarasi Balfour tahun 1917 di dalamnya menyatakan dukungan untuk pendirian suatu negara di tanah air Palestina untuk orang Yahudi (Orang Yahudi adalah bangsa dan kelompok etnoreligius, berasal di Israel atau Ibrani dari Timur). Berangkat dari semangat Deklarasi Balfour ini komunitas Yahudi yang menyebar keseluruh dunia bertekat untuk mendirikan negara di tanah Palestina. Secara teologis, zionis (bentuk nasionalisme dari Yahudi dan budaya Yahudi yang mendukung negara bangsa Yahudi di wilayah yang didefinisikan sebagai Tanah Israel) menganggap bahwa Palestina sebagai tanah mereka dalam perjanjian lama yang dinyatakan kawasan itu sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan” (promised land) untuk bangsa Israel, sebaliknya secara historis, rakyat Palestina menyatakan kami bangsa Palestina berada di negeri kami ini sejak jaman Umar Bin Khatab (Unahar Ilyas, Arab harus bersatu Hadapi Israel, Suara merdeka, 11 Januari 2009). commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sekitar 100.000 orang pindah ke Palestina antara 1920-1929, ketika waktu itu ada 750.000 orang penduduk Palestina. Disamping itu peristiwa haloucoust pembantaian Yahudi oleh NAZI (The National Socialist German Workers Party, adalah sebuah partai politik yang berkuasa di Jerman antara 1920 dan 1945) membuat semua komunitas Yahudi lari dari daratan Eropa. Zionis memegang kendali penuh atas perpindahan ini. Orang-orang Yahudi yang menginjakan kaki di Palestina ditemui oleh kelompok Zionis yang menentukan dimana mereka akan tinggal
dan
pekerjaan
apa
yang
akan
mereka
dapat
(Aryuni
Yuliantiningsih,2009: 111). Selama konflik antara Israel dan Palestina yang muncul pada tahun 1948, Israel sudah menduduki 77,4% dari wilayah Palestina dan memaksa 800 ribu penduduk Palestina untuk bermigrasi keluar dari wilayah Palestina (UN.2008. http://unispal.un.org UNISPAL.NSF/525734 / 800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Mereka jauh mengungsi ke daerah lain di Palestina seperti Tepi Barat dan Jalur Gaza atau ke negaranegara Arab yang berdekatan dengan Palestina seperti Yordania, Suriah, Lebanon, Mesir, dan Irak. Kemudian, dengan pecahnya perang antara Arab dan Israel tahun 1967, pemerintah Zionis berhasil menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza sehingga memaksa sejumlah besar warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza berangkat ke Yordania. Israel pada tahun 1948 menetapkan suatu kebijakan dengan jalan mengusir orang-orang Arab yang berada di Palestina. Setiap desa atau pemukiman Arab yang tidak menyerahkan kepada kekuatan Yahudi akan dihancurkan dan orang-orangnya diusir. Dengan cara ini 400 desa Palestina terhapus dari peta selama 1948-1949. Hak milik yang ditingalkan oleh orang Palestina dikuasai oleh orang-orang Yahudi atas dasar hukum hak milik yang ditempati. Organisasi Zionis menggunakan tekanan dan kekuatan untuk megusir orang-orang Palestina dari tanahnya yang telah mereka tempati selama berabad-abad, sehingga sekarang orang-orang Palestina commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya
diberi
tempat
di
jalur
Gaza
(Arzu
Merali
and
Javad
Sharbaf,2009:64). Jalur Gaza adalah wilayah berbentuk persegi panjang sepanjang pantai Mediterania antara Israel dan Mesir. Mayoritasnya sekitar 1,4 juta penduduk pengungsi Palestina, banyak dari mereka telah tinggal di kampkamp pengungsi selama puluhan tahun; 80 persen hidup dalam kemiskinan pada
pertengahan
2007
(Anonim.2010.http://topics.nytimes.com/
top/news/international/countriesandterritories/gaza_strip/index.html, diakses tanggal 17 Juli 2012). Sejak saat itu muncullah beberapa kali perperangan antara Israel dan Palestina. Sejak dahulu sebenarnya sudah ada perundingan tetapi selalu dilanggar oleh Israel. Palestina sendiri mencatat munculnya Yasser Arafat dan PLO (Palestine Liberation Organitation adalah organisasi politik dan paramiliter yang diciptakan pada tahun 1964 ini diakui sebagai wakil sah satu-satunya rakyat Palestina oleh PBB dan lebih dari 100 negara), serta Fatah (partai politik utama di Palestina dan faksi terbesar dari
Organisasi
dilakukan
sampai
Pembebasan muncul
Palestina).
perundingan
Perundingan-perundingan Oslo
yang
menjanjikan
kemerdekaan bagi Palestina, namun lagi-lagi Israel tidak menepati janji. Karena selalu tidak ditepati maka rakyat Palestina melawan dengan intifadah (melempar batu). Para pejuang intifadah ini kemudian bergabung dalam Harakat al Muwaqawwamatul Islamiyah (HAMAS) atau Gerakan Perlawanan Islam. Akibat dari setiap perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak selalu tidak ada gunanya dan resolusi PBB tidak bisa dijalankan atau jika Israel melanggar perjanjian tersebut tidak muncul sanksi dari PBB, maka HAMAS bertekat merebut Palestina dengan berperang. Sampai sekarang ada dua faksi yang memegang peranan penting di Palestina yaitu HAMAS dan Fatah. Pada saat terjadi perbedaan pendapat antara HAMAS dan Fatah, ketika Yasser Arafat masih hidup, to user perbedaan tidak sampaicommit menimbulkan sengketa karena HAMAS
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
menghormati pemimpin Palestine Liberation Organitation (PLO) itu. Namun begitu Yasser Arafat meninggal dan digantikan oleh Mahmod Abbas sengketa tak terdamaikan, bahkan Abbas dikudeta di daerah Gaza. Gaza kemudian dibagi menjadi dua tepi yaitu Tepi Barat (Fatah) dan Jalur Gaza (HAMAS). Pada bulan Januari 2006 dilakukan pemilu demokratis pertama di Palestina yang dimenangkan oleh HAMAS, akan tetapi Amerika, Eropa dan sekutu tidak mengakui hasil pemilu. HAMAS diboikot dengan tujuan agar rakyat menderita dan meminta agar Mahmud Abbas menjadi pemimpin, namun rakyat Palestina pro HAMAS bersedia menderita karena melihat bahwa HAMAS lebih tulus dan Islami daripada Fatah yang sekuler. Sekarang Israel berencana untuk menghancurkan HAMAS dan ingin menundukan Fatah. Dalam protokoler Israel hanya ada dua cara untuk menghadapi musuh yaitu didominasi dan dihancurkan. Fatah cenderung bisa didominasi sedangkan HAMAS hanya hilang jika dihancurkan(Anonim.2010.http://topics.nytimes.com/top/news/internation al/countriesandterritories/gaza_strip/index.html, dikses tanggal 17 Juli 2012). Sampai saat ini dominasi Israel terhadap Palestina masih saja terus berlangsung. Hal ini terlihat dari dilakukannya Operasi Cast Lead, yaitu serangan 22 hari di Gaza pada 27 Desember 2008- 20 Januari 2009 yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, hampir 1.400 warga Palestina menjadi korban, termasuk lebih dari 300 anak tewas. Israel juga melakukan blokade di Jalur Gaza yang mengakibatkan sekitar 1,5 juta penduduk Palestina tidak bisa keluar dari Jalur Gaza sehingga mereka hanya mengandalkan bantuan-bantuan internasional saja untuk bertahan hidup. Pada bulan Mei 2009, pasukan Israel menewaskan sembilan orang di atas kapal sebuah armada bantuan di perairan internasional yang bertujuan untuk melanggar blokade dengan maksud untuk memberikan bantuan terhadap masyarakat Palestina di Jalur Gaza. Laporan penyiksaan commit to user dan perlakuan buruk lainnya sering dilakukan, tetapi hampir tidak ada
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyelidikan yang dilakukan. Sekitar 6.000 warga Palestina tetap tinggal di penjara-penjara Israel dan diperlakukan dengan tidak adil (Amnesty International.2009.http://www.amnesty.org/en/region/israel-occupiedpalestinian-territories/report-2011.html, diakses tanggal 17 Juli 2012).
5.
Tinjauan Umun tentang Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, dan Statuta Roma 1998 a. Konvensi Jenewa 1949 Sumber hukum humaniter terdiri dari konvensi Den Haag 1899 dan 1907 beserta Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Den Haag mengatur mengenai cara dan alat perang. Konvensi Jenewa mengatur mengenai perlindungan korban perang. Konvensi Jenewa terdiri atas beberapa perjanjian pokok, yaitu (Arlina Permanasari dkk, 1999:32): 1)
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field; (Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perlindungan tentara yang sakit atau terluka di medan darat)
2)
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked of Armed Forces at Sea; (Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perlindungan tentara yang sakit atau terluka di medan laut)
3)
Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War; (Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perlakuan terhadap tawanan perang)
4)
Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time
of
War.
(Konvensi
Jenewa
yang
mengatur
tentang
perlindungan terhadap penduduk sipil). Hukum Jenewa pada dasarnya merupakan lanjutan serta menambah/melengkapi ketentuan-ketentuan yang dimuat di dalam hukum Den Haag (Masyur Effendi, 1994:34). Konvensi Jenewa tahun 1949 terdiri commit to user dari empat konvensi seperti yang sudah dijelaskan diatas. Walaupun
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
demikian secara ekspisit Konvensi Jenewa I, II, III dan tahun 1949 itu tidak menetapkan batasan pengertian belligerent, kombatan, ataupun anggota angkatan perang, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 juga tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Tetapi dalam konvensikonvensi ini menetapkan orang yang dilindungi dalam masing-masing konvensi tersebut. Orang-orang yang dilindungi dalam Konvensi Jenewa I, II dan III tahun 1949 terdiri dari enam kelompok orang yang sama, yakni: 1)
Anggota angkatan perang dari pihak yang terkait;
2)
Anggota milisi, anggota barisan sukarelawan, anggota gerakan perlawanan dari pihak yang bertikai yang memenuhi persyaratan tertentu;
3)
Anggota angkatan perang dari penguasa yang tidak diakui negara penahan;
4)
Anggota yang menyertai angkatan perang tanpa menjadi anggotanya;
5)
Anggota awak kapal sipil atau pesawat terbang sipil dari pihak yang bertikai;
6)
Peserta levee an masse. (Penduduk wilayah belum diduduki, yang saat musuh mendekat atas kemauan sendiri dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal mereka memikul senjata secara terangterangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang). Orang sipil yang dilindungi Konvensi Jenewa IV tahun 1949
tidaklah mencakup seluruh orang sipil. Orang sipil yang dilindungi Konvensi ini pada umumnya hanyalah orang sipil yang berada di tangan musuh, baik di wilayah musuh, di wilayah yang diduduki musuh, walaupun wilayah pertempuran. Adapun pelindungan yang ditetapkan bagi mereka itu diantaranya adalah (Fadilah Agus , 1997:46): commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1)
Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang musuh yang menguasainya di wilayah pihak yang bertikai, di wilayah pendudukan, di interniran;
2)
Bantuan kantor penerangan;
3)
Penghormatan pribadi manusia;
4)
Penghormatan hak-hak dasar pribadi manusia pria maupun wanita;
5)
Larangan penghukuman kolektif, penyanderaan, penghinaan;
6)
Kesempatan meninggalkan wilayah musuh;
7)
Jaminan
mendapatkan
makan
dan
obat-obatan
di
wilayah
pendudukan. Konvensi Jenewa IV tahun 1949 juga mengatur perlindungan orang sipil yang lebih luas. Hal itu disebabkan karena perlindungan itu mencangkup pada orang sipil warga negara musuh, warga negara netral, warga negara sekutu yang tidak memiliki hubungan diplomatik normal dengan negara yang menguasainya dan mereka yang tidak mempunyai kewarganegaraan. Walaupun bukan merupakan sumber pertama dari HHI, KonvensiKonvensi Jenewa 1949 sering dikatakan sebagai sumber utama dari HHI modern (Rina Rusman, 2005:1).
b. Protokol Tambahan I dan II/1977 Protokol Tambahan 1977 yang resminya disebut : Protokol Additional to the Genewa Convention of 12 August 1949 disahkan pada tanggal 10 Juni 1977. Pada saat itu para wakil yang menghadiri konverensi diplomatik menandatangani sebuah final act dan dokumen resmi diserahkan kepada pemerintah negara Federasi Switserland sebagai depositor. Sampai pertengahan tahun 1993 Protokol I sudah diratifikasi oleh 120 negara, sedagkan Protokol II oleh 110 negara (GPH Haryomataram,1994:99).
Sedangkan
menurut
data
dari
ICRC
(International Red Cross Comitte) sejauh ini Protokol Tambahan II sendiri commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sudah
diratifikasi
sebanyak
166
negara
(ICRC,2012.http://www.icrc.org/Protokol-Additional-to-the-GenewaConvention,diakses tanggal 1 Juli 2012). Perbedaan angka ini disebabkan karena suatu negara yang hendak meratifikasi protokol tersebut tidak diharuskan meratifikasi sekaligus dua protokol tersebut, tetapi suatu negara dapat memilih salah satu protokol saja untuk diratifikasi. Protokol Tambahan I mengatur baik perlindungan terhadap yang luka-luka, sakit, korban karam, orang sipil (civilians) maupun alat dan cara berperang (means and methods of warfare). Protokol Tambahan I Tahun 1977 menetapkan antara lain : 1)
Larangan menyerang orang sipil;
2)
Keharusan melakukan perbuatan perang secara hati-hati demi untuk melindungi orang sipil;
3)
Larangan melakukannya kekerasan terhadap orang sipil;
4)
Larangan pemindahan paksa orang sipil;
5)
Jaminan untuk mendapatkan bantuan;
6)
Kesempatan memberikan bantuan korban pertikaian bersenjata. Sesuai dengan namanya maka Protokol Tambahan 1977 ini
menambah dan menyempurnakan isi dari Konvensi Jenewa 1949. Jadi, protokol ini tidak menghapus atau meniadaan Konvensi jenewa 1949. Protokol ini terdiri dari 2 bagian, yaitu : Protokol I yang mengatur Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional (International Armed Conflict). Protokol tambahan ini memuat banyak ketentuan baru dan terutama memberi definisi dari beberapa pengertian penting seperti : kombatan, sasaran/objek militer, civil defence, dan sebagainya (Michael N. Schmitt, 2011:40) . Pengertian mengenai objek atau sasaran militer diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Protokol I tahun 1977 sebagai berikut: “military objectives are limited to those objects which by their nature, location, purpose or use make an effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage.” Dengan demikian yang dimaksud objek militer adalah objek-objek yang karena sifat, lokasi, tujuan atau penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif kepada suatu aksi militer dan yang penghancurannya atau penetralannya pada situasi dan saat tertentu memberikan suatu keuntungan militer yang nyata. Berarti suatu objek sipil, misalnya rumah sakit atau rumah ibadah, apabila penggunaannya memberikan suatu kontribusi militer yang efektif kepada suatu operasi militer maka ia pada saat itu ia menjadi objek militer. Apabila tidak digunakan untuk tujuan militer lagi maka objek tersebut tidak lagi merupakan objek militer. Salah satu ketentuan baru yang terdapat dalam Protokol Tambahan I/1977 adalah mengenai suatu organisasi baru yang diperkenalkan dalam lingkup hukum humaniter. Organisasi itu disebut dengan Perlindungan Masyarakat (Civil Defence). Organisasi ini adalah organisasi yang bertugas untuk melindungi penduduk sipil terhadap akibat bencana alam mapun akibat peperangan (Fadillah Agus.2010.http://pusham.uii.ac.idham 15Chapter9.pdf , diakses tanggal 17 Juli 2012). Selain Protokol Tambahan I, ada pula Protokol Tambahan II. Protokol Tambahan II ini mengembangkan dan menambah Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, yang mengatur tentang konflik bersenjata yang tidak bersifat Internasional (Non-Internasional Armed Conflict). Protokol ini menekankan pada perlakuan manusiawi terhadap mereka yang lukaluka, sakit, korban karam, serta juga orang-orang sipil, yang menjadi korban dalam konflik bersenjata yang tidak bersifat Internasional (GPH Haryomataram, 1994:103).
a. The Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (Statuta Roma 1998) Statuta Roma adalah perjanjian yang membentuk Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court), yurisdiksi dan commit to user fungsi Pengadilan Kriminan Internasional diatur dengan ketentuan-
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
ketentuan dalam Statuta ini. Statuta ini diadopsi pada konferensi diplomatik di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002. Setelah melakukan perundingan selama bertahuntahun yang bertujuan untuk mendirikan pengadilan internasional yang permanen untuk menghukum orang yang melakukan pelanggaran HAM berat, PBB mengadakan sidang umum selama lima minggu di Roma pada bulan Juni 1998. Dari sidang tersebut berhasil membuat suatu kesepakatan untuk mendirian suatu pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen. Pada tanggal 17 Juli 1998, Statuta Roma diadopsi oleh 120 suara, dengan 21 negara abstain. Tujuh negara yang memberikan suara menentang perjanjian itu Irak, Israel, Libya, RRC, Qatar, Amerika Serikat, dan Yaman. Dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998, membatasi yurisdiksi ICC terbatas pada kejahatan yang oleh seluruh masyarakat internasional dianggap paling serius yaitu: 1)
Kejahatan genosida;
2)
Kejahatan terhadap kemanusiaan;
3)
Kejahatan perang;
4)
Agresi Yurisdiksi temporis ICC juga diatur dalam Pasal 11 Statura Roma
1998 yaitu pengadilan mempunyai yurisdiksi hanya berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya statuta ini, dan apabila suatu negara menjadi pihak pada statuta ini setelah tanggal mulai diberlakukan, maka ICC hanya dapat melaksanakan yurisdiksi berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang dilakukan setelah diberlakukannya statuta ini di negara yang bersangkutan. Negara yang menjadi pihak pada Statuta Roma 1998 dapat dikenai yurisdiksi ICC berkaitan dengan kejahatan-kejahatan serius seperti yang dijelaskan pada Pasal 5 Statuta Roma 1998. Namun ICC juga dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di negara yang bukan pihak, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
asalkan dibuat suatu perjanjian seperti yang dijelaskan dalam Pasal 12 Statuta Roma 1998. ICC memiliki tiga bentuk kewenangan untuk memeriksa suatu sengketa (Pasal 13 Statuta Roma 1998). 1) Atas permintaan negara peserta dimana terjadi pelanggaran HAM. ICC dapat melaksanakan yurisdiksi dengan menggunakan permintaan negara peserta apabila salah satu negara merupakan pihak pada statuta ini atau telah menerima yurisdiksi ICC yang berupa: a) Negara di wilayah yang pelanggaran terjadi atau apabila kejahatan dilakukan di atas sebuah kapal atau pesawat, negara yang mencatatkan kapal atau pesawat itu; b) Negara dimana orang yang didakwa melakukan kejahatan sebagai kebangsaannya. 2) Referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan kewenangan Bab VII Piagam PBB. ICC dapat melaksanakan yurisdiksi dengan menggunakan Referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tidak memandang locus delicti, maksudnya ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di wilayah negara yang bukan anggota Statuta Roma 1998. 3) inisiatif dari jaksa ICC (in propio motu) Seperti halnya penggunaan permintaan negara peserta, ICC hanya dapat melaksanakan yurisdiksi dengan menggunakan permintaan negara peserta apabila salah satu negara merupakan pihak pada statuta.
6.
Kriteria Pelanggaran-Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil Masyarakat di beberapa negara maju telah dapat membedakan antara Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ringan atau yang dapat disebut Human Rights Violation dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat atau yang dapat disebut Gross Violation of Human Right. commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM ringan juga diatur secara eksplisit di dalam Protokol Tambahan I/1977 yaitu:
1)
Pembunuhan;
2)
Penyiksaan;
3)
Perlakuan buruk atau deportasi penduduk sipil;
4)
Pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang;
5)
Perampokan harta benda milik pribadi atau negara;
6)
Penghancuran semena-mena kota atau desa atau perusakan yang tidak terkait dengan keperluan militer. Istilah kejahatan serius terhadap HAM biasanya ditujukan
terhadap kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanaity), dan kejahatan perang (war crimes). Ketiga kejahatan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam suatu konflik tidak semua pelanggaran penduduk sipil merupakan kejahatan genosida tapi mungkin juga berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan
dan
kejahatan
perang.
Kejahatan-kejahatan
tersebut
dikualifikasikan sebagai delicta jure gentium (hukum bangsa-bangsa) dan merupakan pengingkaran terhadap jus cogens (hukum pemaksa yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa di dunia) (Eddy.O.S. Hiariej,2010:2). Berikut ini penulis akan menjelaskan ketiga jenis pelanggaran HAM berat menurut Statuta Roma 1988: 1)
Genocide atau Kejahatan Genosida Berdasarkan Pasal 6 Statuta Roma: “any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group”, maksudnya adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a)
Membunuh anggota kelompok; commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b)
Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c)
Menciptakan
kondisi
kehidupan
kelompok
yang
akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d)
Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e)
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Unsur-unsur genosida menurut pendapat dari Raphael
Lemkin yang dikutip oleh Rudi M. Rizki antara lain adalah (Rudi M. Rizki,2005:3): a)
Pemusnahan kelompok etnis;
b)
Tidak harus berarti pemusnahan segera suatu bangsa;
c)
Adanya unsur niat yg sudah direncanakan;
d)
Ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama bangsa;
e)
Dengan cara memecah belah institusi politik, sosial, budaya, bahasa, perasaan kebangsaan, dll;
f)
Pemusnahan kesehatan,
terhadap martabat
keamanan bahkan
pribadi,
kehidupan
kemerdekaan, individu
suatu
kelompok; g)
fisik dan mental yang serius terhadap satu orang atau lebih. Raphael Lemkin, seorang Yahudi kelahiran Polandia,
mengemukakan pendapatnya tentang istilah genosida, yaitu : “A coordinated strategy to destroy a group of people, a process that could be accomplished through total annihilation as well as strategies that eliminates key element of the group’s basic existance, including language, culture, and economic infrastructuere”. Pendapat dari Raphael Lemkin dapat diartikan sebagai berikut, suatu strategi yang bertujuan untuk menghancurkan suatu kelompok orang, suatu proses yang dapat diselesaikan pemusnahan total dan strategi commit to user yang mengeliminasi elemen-elemen penting dalam kebutuhan dasar
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kelompok, termasuk bahasa, budaya, dan infrastruktur ekonomi (Arie Siswanto, 2005:50). Pendapat lain dikemukakan oleh Yoran Dienstein, yang menyatakan bahwa esensi dari genosida bukanlah pemusnahan kelompok target
secara aktual, melainkan
kehendak
untuk
memusnahkan kelompok tersebut (intent to destroy instead of actual destruction)
(Yoram
Dienstein,1975:5).
Yoran
Dienstein
berpendapat bahwa esensi dari definisi ini membawa dua macam konsekuensi logis. Pertama, ketika suatu kelompok dimusnahkan tanpa si pelaku memiliki kehendak untuk menimbulkan akibat tersebut, genosida tidak dianggap ada. Kedua, pembunuhan terhadap seorang individu bisa saja dikategorikan sebagai genosida manakala pembunuhan itu merupakan serangkaian dari tindakan yang dimaksudkan untuk memusnahkan kelompok tempat individu itu menjadi bagiannya (Yoram Dienstein,1975:5) . Secara umum terdapat tiga hal penting yang menjadi unsur utama dari kejahatan genosida, yaitu: a)
Act (dalam hal ini adalah menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian);
b)
Intent (niat atau dengan maksud);
c)
Victim Group (korban atau kelompok yang dilindungi).
Tiga elemen ini merupakan unsur pembentuk suatu tindakan dikategorikan sebagai genosida atau bukan (Mahrus Ali,2011:123). Berdasarkan beberapa pengertian tentang genosida di atas dapat disipulkan bahwa genosida adalah tindakan yang terencana yang ditunjukan untuk menghancurkan eksensi dasar dari sebuah bangsa atau suatu kelompok entitas,yang diarahkan kepada individuindividu yang menjadi anggota kelompok yang bersangkutan. Pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 96 tentang The user Crime Of genocidecommit yang tomenyatakan bahwa genosida adalah
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan yang mengguncang nurani manusia. 2)
Crimes Against Humanity atau Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Berdasarkan Pasal 7 Statuta Roma: “Crime Against Humanity means any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack”, maksudnya adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan terdiri dari: a)
Serangan yang ditujukan kepada penduduk sipil, diartikan sebagai perbuatan yang terdiri dari serangkaian tindakan seperti (murder,extermination, enslavement, dan sebagainya), yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan suatu negara atau kebijakan organisasional untuk melakukan tindakan-tindakan;
b)
Pemusnahan, diartikan sebagai tindakan yang meliputi juga penerapan
kondisi
tertentu
yang
bersifat
mengancam
kehidupan secara sengaja, antara lain hambatan akses terhadap makanan dan obat-obatan yang diperkirakan bisa membawa kehancuran bagi sebagian penduduk; c)
Perbudakan, dimaknai sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut,khususnya perempuan dan anakanak;
d)
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, diartikan sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lain dari tempat dimana penduduk itu berada commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara sah, tanpa dasar yang bisa dibenarkan oleh hukum internasional; e)
Penyiksaan, yaitu pengenaan rasa sakit atau penderitaan fisik maupun mental secara sengaja atas seseorang yang ditahan atau dibawah kekuasaan pelaku. Meski demikian, rasa sakit atau penderitaan yang bersifat inherent, insidental atau sematamata muncul dari pengenaan sanksi yang sah tidak dapat dikategorikan sebagai “penyiksaan”;
f)
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
g)
Penindasan, dimaknai sebagai penyangkalan keras secara sengaja terhadap hak-hak dasar manusia dengan cara yang bertentangan
dengan
hukum
internasionaldengan
dasar
identitas kelompok atau identitas kolektif; h)
Kejahatan apartheid (perbuatan yang tidak manusiawi yang sama dengan sifat-sifat genosida yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasialatau suatu kelompok atau kelompok-kelopok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu).
i)
Penghilangan
paksa,
diartikan
sebagai
penangkapan,
penahanan, atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik, yang kemudian diikuti penolakan (dari pelaku) untuk perampasan kemerdekaan atau untuk memberi keterangan keberadaan orang yang ditangkap, dengan maksud untuk
menjauhkan
orang-orang
yang
dirampas
kemerdekaannya dari perlindungan hukum dalam waktu yang lama. commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Arie Siswanto ada dua ciri penting suatu kejahatan dapat diklasifikasikan ke dalam kejahatan kemanusiaan,yaitu (Arie Siswanto, 2005:59): a)
Dilakukan dalam konflik bersenjata (armed conflict) yang bersifat interasional maupun yang bersifat internal,
b)
Ditujukan kepada penduduk sipil (directed againts civilian population) Menurut
Bassiouni,
kualifikasi
kejahatan
terhadap
kemanusiaan terdiri dari lima, unsur yaitu (Cherrif M. Bassiouni, 1992:248): a)
Kejahatan khusus yang dilakukan sebagai bagian dari kebijakan negara;
b)
Tindakan yang didasarkan kepada penekanan dan diskriminasi terhadap suatu grup yang personalitasnya dapat diidentifikasi;
c)
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan sebagai kejahatan dalam hukum pidana nasional suatu negara;
d)
Hal itu dilakukan oleh petugas atau pejabat negara atau agenda-agenda terkait dalam pelaksanaan kebijakan;
e)
Kejahatan khusus tersebut dapat diakitkan kepada perang diatas hukum. Terdapat dua kategori kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam pengadilan Nuremberg, yaitu: (Mahrus Ali,2011:137): a)
Pembunuhan, pemusnahan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang diarahkan ke penduduk sipil sebelum atau selama perang;
b)
Persekusi atas dasar politik atau ras keagamaan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa crimes against
humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pelanggaran terhadap
hukum
atau
kebiasaan-kebiasaan
perang,
seperti
pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil commit to user dengan mengasingkan mereka, mengerjakan mereka secara paksa,
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam, membunuh mereka, atau memperlakukan orang di laut secara demikian; merampas milik negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan secara berkelebihan, atau membinasakannya tanpa adanya alasan keperluan militer. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana tersebut.
3)
War Crimes atau Kejahatan Perang Pasal 8 Statuta Roma 1998 menyatakan definisi tentang kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang baik itu militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa dan juga Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal
merupakan
kejahatan
perang
(Geiffrey
Ribertson
QC.2002:409). Tindakan-tindakan yang termasuk kedalam kejahatan perang atau war crimes berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998 adalah: a)
Pembunuhan sengaja;
b)
Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi,
termasuk
percobaan-percobaan biologi; c)
Perbuatan yang dikendaki untuk menimbulkan penderitaan yang dalam, atau luka badan maupun kesehatan yang serius;
d)
Perusakan secara luas dan perampasan terhadap milik seseorang, tidak berdasarkan keperluan militer dan dilakukan secara melawan hukum dan serampangan; commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e)
Pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi lainnya untuk melayani dalam ancaman kekuasaan musuh;
f)
Upaya untuk menghalang-halangi yang dilakukan dengan sengaja terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi yang mana mereka memiliki hak untuk mendapatkan Mahkamah secara adil dan sewajarnya;
g)
Deportasi secara melawan hukum atau pemindahan atau penahanan secara melawan hukum;
h)
Penyanderaan. Tindakan yang termasuk kedalam kejahatan perang atau
War Crimes berdasarkan Pasal 3 Statuta ICTY
(International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) adalah: a)
Mempergunkan senjata-senjata beracun atau senjata lain yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;
b)
Penghancuran kota atau pedesaan yang tidak dikarenakan tujuan militer;
c)
Penghancuran
atau
pembombardiran
objek
sipil
yang
dipertahankan seperti kota, desa, tempat tinggal dan gedunggedung; d)
Menghancurkan bangunan-bangunan penting dan bersejarah;
e)
Mengambil alih fasilitas publik atau fasilitas pribadi. Tindakan yang termasuk kedalam kejahatan perang 1949
atau War Crimes berdasarkan Pasal 3 Konvensi Jenewa I/1949 Meliputi beberapa tindakan seperti : a)
Membahayakan nyawa seseorang, melakukan pembunuhan termasuk dengan semua cara, mutilasi, penyiksaan dan perawatan yang semena-mena;
b)
Melakukan tindakan yang menjatuhkan kehormatan dan harga
c)
diri seseorang termasuk tindakan mempermalukan seseorang; commit to user Mengambil sandera;
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d)
Melakukan eksekusi tanpa pengadilan yang layak. Tindakan yang termasuk kedalam kelompok kejahatan
perang atau War Crimes berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998 adalah : a)
Pelanggaran-pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, yang mencakup tindakantindakan seperti: pembunuhan disengaja, penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, sengaja menyebabkan penderitaan yang berat, perampasan barang-barang tanpa pertimbangan keperluan militer, deportasi, penyanderaan.
b)
Pelangaran-pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata, seperti : sengaja mengarahkan serangan ke penduduk sipil, sengaja mengarahkan serangan pada sasaran sipil, sengaja menyerang organisasi bantuan kemanusiaan, sengaja menyerang kotakota, pemukiman-pemukiman yang bukan merupakan sasaran militerm menyerang kombatan, menyalahgunakan gencatan senjata, menyerang bangunan-bangunan seperti tempat ibadah dan situs bersejarah, menyatakan pengamunan tidak diberikan, penghapusan hak-hak warga negara musuh, mengunakan senjata yang dilarang seperi gas beracun dan peluru yang mudah menyebar, pemerkosaan, perbudakan seksual,prostitusi paksa, pemandulan paksa, mendaftarkan anak-anak usia 15 tahun kebawah kedalam angkatan bersenjata nasional.
c)
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Pasal 3 yang secara sama didapati di dalam bab keempat Konvensi Jenewa 1949 (common article 3 to the four Genewa Convention of 1949), dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional. commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d)
Pelanggaran-pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata noninternasional, sesuai dengan kerangka hukum internasional. Secara umum dapat disimpulkan bahwa unsur esensial dari
War Crimes atau Kejahatan Perang yaitu adanya pengetahuan dari pelaku bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari kebijakan penguasa atau organisasi. Pasal 6 Piagam Nuremberg menegaskan, para pemimpin, organisator, instigator (agitator) dan mereka yang membantu berperanserta untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi untuk melakukan kejahatan tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang melaksanakan rencana tersebut (Eddy Djunaedi Karnasudirdja,2003:12) Jenis-jenis pelanggaran terhadap penduduk sipil yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah sebagai berikut (Mohamad Rangga Rambe.2009:25): 1)
Konvensi Jenewa I, II, III, IV Tahun 1949 a)
Pembunuhan disengaja;
b)
Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (termasuk percobaan biologis);
c)
Menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan dan kesehatan.
2)
Konvensi Jenewa I, II, III Tahun 1949 Pengerusakan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan sewenang-wenang.
3)
Konvensi Jenewa III, IV Tahun 1949 a)
Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh. commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b)
Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam konvensi. Jenis-jenis kejahatan perang terhadap penduduk sipil berdasarkan
hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional (ICRC,2003.http://www.icrc.org/ihl.nsf/WebART/58508?OpenDocument, diakses tanggal 17 Juli 2012): 1)
Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap warga sipil individu tidak mengambil bagian langsung dalam permusuhan;
2)
Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap objek sipil, yaitu, objek yang bukan sasaran militer;
3)
Sengaja mengarahkan serangan terhadap personil, instalasi, bahan, unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian sesuai dengan Piagam PBB, selama mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada warga sipil atau objek sipil di bawah hukum internasional dari konflik bersenjata;
4)
Sengaja melakukan serangan dalam pengetahuan bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidental nyawa atau luka kepada warga sipil atau kerusakan objek sipil atau kerusakan meluas, jangka panjang dan parah pada lingkungan alam;
5)
Menyerang atau membombardir, dengan cara apapun, kota, desa, tempat tinggal atau bangunan yang dipertahankan dan tempat yang bukan sasaran militer;
6)
Membunuh atau melukai kombatan yang sudah menyerah (hors de combat);
7)
Penyalahgunaan bendera gencatan senjata, bendera atau lambang militer dan seragam musuh atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta lambang-lambang khas dari Konvensi Jenewa, yang mengakibatkan kematian atau cedera serius pribadi; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
8)
56 digilib.uns.ac.id
Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat yang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka bukan sasaran militer;
9)
Melakukan penjarah terhadap harta milik penduduk sipil;
10)
Menggunakan racun atau senjata beracun, gas beracun atau lainnya
11)
Menggunakan senjata, proyektil dan bahan dan metode peperangan yang alam untuk menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu;
12)
Melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa;
13)
Sengaja menggunakan kelaparan warga sipil sebagai metode perang dengan mencabut pasokan bantuan bagi mereka dari objek sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup;
14)
Merekrut atau mendaftarkan anak di bawah usia 15 tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan. Dari beberapa jenis-jenis pelanggaran terhadap penduduk sipil
yang telah diungkapkan diatas dapat disimpulkan, bahwa kriteria pelanggaran terhadap penduduk sipil dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelangaran HAM ringan dan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat tidak bisa disamakan begitu saja dengan pelanggaran HAM ringan. Karena walaupun hanya berbeda satu kata “berat”, sebenarnya perbedaannya sangat luar biasa dan mendasar, baik mengenai tipologi perbuatannya maupun sanksi hukumnya.
7.
Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Sebelum Perang Dunia pertama, kewenangan untuk menghukum warga negara mereka sendiri atau musuh yang tertangkap tentara karena user melakukan pelanggaran commit terhadapto hukum dan kebiasaan perang pada
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umumnya diserahkan kepada negara (Michael N. Schmitt, 2011:35). Seiring berjalannya waktu, sekarang ini apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter khususnya terhadap pelanggaran HAM berat sudah terdapat beberapa alternatif mekanisme penegakan yang dapat ditempuh, untuk dapat menghukum para pelaku kejahatan perang itu, yaitu: 1)
Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Dapat menggunakan National Court atau Mekanisme Nasional atau bisa juga disebut dengan prinsip exhaustion of local remedies. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa I memberikan
kewajiban
bagi
Pihak
Peserta
Agung
untuk
menghormati dan menjamin penghormatan (to respect and to ensure the respect) terhadap Konvensi. Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasalpasal yang terdapat pada Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana
efektif
kepada
setiap
orang
yang
melakukan
atau
memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan
menggunakan mekanisme peradilan nasional commit toPerdana user Wiratraman,2007:11). bersangkutan (R.Herlambang
yang
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2)
Melalui mahkamah Ad Hoc kejahatan perang Dalam hukum pidana terdapat prinsip yang dianggap fundamental yaitu asas legalitas yang tertuang dalam adagium “nullum delictus nulla poena sine praevia lege poenali”. Berdasarkan prinsip ini seseorang tidak dapat dianggap melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana apabila sebelumnya tidak ada kriminalisasi formal terhadap tindakan yang dilakukan. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dituntut atau dihukum apabila pada waktu melakukan belum dinyatakan sebagai tindak pidana. Pasal 11 Statuta Roma 1998 juga mencerminkan hal yang sama mengenai asas legalitas ini. Dalam pasal ini menegaskan bahwa yurisdiksi ICC hanya mencakup kejahatan yang dilakukan setelah Statuta Roma 1998 mulai berlaku yaitu tanggal 1 Juli 2002, jadi berdasarkan Pasal 11 Statuta Roma ini ICC tidak memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan yang dilakukan sebelum tanggal 1 Juli 2002. Ketentuan lain juga terapat dalam Pasal 23 Statuta Roma 1998 yang berbunyi “a person convicted by the court may be punishment only accordance with the statute”. Sementara itu, Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma mengatur bahwa tidak seorangpun dapat dimintai pertanggung jawaban pidana berdasarkan ketentuan statuta atas perbuatan yang dilakukan sebelum berlakunya statuta. Sehingga untuk mengadili suatu pelanggaran HAM berat, termasuk pelanggaran berat hukum perang yang terjadi sebelum Statuta Roma mulai berlaku merupakan yurisdiksi dari pengadilan ad hoc. Di bawah ini akan dibahas beberapa mahkamah ad hoc yang berwenang mengadili kejahatan perang yaitu: commit to user a) Mahkamah Nuremberg
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk menadili penjahat perang
Nazi,
Jerman.
Mahkamah
Nuremberg
dibentuk
berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau bisa juga disebut dengan Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya Mahkamah ini menjatuhkan hukuman ke 24 tersangka (Mohamad Rangga Rambe.2009:77). Adapun tiga bentuk pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Nuremberg menurut Pasal 6 Piagam Nuremberg adalah: (1) Kejahatan
Terhadap
Perdamaian
(crimes
againts
peace),seperti perencanaan, persiapan, inisiasi, pelaksaan perang agresi atau perang yang melanggar perjanjian. (2) Kejahatan
Perang (Crimes
War),pelangaran
terhadap
hukum-hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran itu termasuk tetapi tidak terbatas dapa pembunuhan, perlakuan buruk, deportasi ntuk dijadikan budak, pembunuhan sandera, perampasan barang-barang publik. (3) Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan
(crimes
againts
humanity), seperti pembunuhan, pemusnahan, deportasi, penganiyayaan atas dasar politik, rasial atau keagamaan dan tindakan lain yang tidak manusiawi yang dilakukan terhadap populasi sipil sebelum atau selama perang berlangsung. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan pula tanggung jawab individual dari pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Berarti para pelaku kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau berdasarkan perintah dari negara. Pasal 7 Piagam Nuremberg secara tegas menyatakan “The official position of defendants, whether as heads of State or responsible officials in Goverment commit Departemens, shall not to beuser considered as freeing them from
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
responbility
or
mitigating
punishment”.
Pasal
8
Piagam
Nuremberg secara eksplisit menyebutkan “The fact that the defendant acted pursuant to order of his Goverment of a superior shall not free from him responsibility, but maybe considered in mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so requires”. Berdasarkan kedua pasal tersebut terlihat jelas bahwa kedudukan resmi pelaku tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab. Kejahatan yang dilakukan atas perintah pemerintah atau atasan, tidak dapat membebaskan pelaku dari tanggung jawab dan dijadikan dasar untuk mengurangi hukuman (Eddy.O.S.Hiariej,2010:51). Mahkamah Nuremberg terdiri dari empat orang hakim ditambah dengan empat orang hakim pengganti yang berasal dari keempat negara yang menandatangi statuta yaitu Amerika, Inggris, Perancis, dan Soviet. b) Mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far East) Mahkamah Tokyo mengadili para penjahat perang Jepang. Mahkamah Tokyo dibentuk pada 19 Januari 1946. Berbeda dengan Piagam Nuremberg, yang disusun oleh beberapa negara yang memenangi Perang Dunia II, Piagam Tokyo dibentuk berdasarkan pernyataan atau proklamasi Komandan Pasukan Tertinggi Sekutu di Timur Jauh, Jendral Douglas McArthur. Mahkamah Tokyo terdiri dari 11 hakim yang semuanya ditunjuk oleh Jendral Douglas Mac Arthur (ICRC,2004:77). Jurisdiksi Mahkamah Tokyo yang diatur dalam Pasal 5 Piagam Mahkamah Tokyo hampir sama dengan jurisdiksi Mahkamah Nuremberg yaitu ada tiga jurisdiksi, masing-masing kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang rumusannya secara substansi sama. commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mahkamah Tokyo mengatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika sang pelaku melakukan tindakan tersebut
dalam
kapasitasnya
sebagi
pejabat
resmi
(Eddy.O.S.Hiariej,2010:69).
Selain kedua mahkamah
tersebut, ada beberapa bentuk
mahkamah Ad Hoc yang dibuat untuk mengadili kejahatan pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum dibentuknya Statuta Roma 1998, antara lain: a) Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (International
Criminal
Tribunal
for
the
Former
Yugoslavia/ICTY) untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan serius humaniter yang terjadi di Yugoslavia; b) Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) untuk menyelesaikan masalah genosida di Rwanda. c) Pengadilan Khusus yang dibuat untuk Sierra Leone, untuk menyelesaikan konflik internal yang terjadi di Sierra Leone semenjak tahun 1991. d) Majelis Luar Biasa untuk Kamboja, untuk menyelesaikan kasus killing field di Kamboja. Perlu diketahui bahwa pembentukan mahkamah-mahkamah semacam ini bersifat Ad Hoc atau khusus/sementara, yang berarti mahkamah tersebut dibentuk hanya untuk mengadili kejahatan khusus yang terjadi di negara yang bersangkutan dan hanya dibentuk dalam jangka waktu tertentu saja. Untuk Mahkamah Nuremberg dan Tokyo dibentuk oleh pihak yang menang perang, sedangkan untuk commit to user dibentuk oleh PBB. Berikut ini mahkamah Yugoslavia dan Rwanda
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah beberapa penjelasan mengenai mahkamah kriminal untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Mahkamah Rwanda (ICTR): a) Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (International
Criminal
Tribunal
for
the
Former
Yugoslavia/ICTY) Mahkamah
Kriminal
Internasional
untuk
bekas
Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dibentuk berdasar Resolusi DK PBB No. 808 (22 Febuari 1993) dan No. 827 (25 Mei 1993). Tujuan dari dibentuknya Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) adalah: (1) Membawa
ke
pengadilan
orang-orang
yang
diduga
bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan serius humaniter, (2) Memberikan keadilan kepada para korban, (3) Menghalangi kejahatan-kejahatan lebih lanjut, (4) Memberikan kontribusi terhadap pemulihan perdamaian dengan meminta pertanggungjawaban dari orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan serius hukum humaniter internasional. Yurisdiksi dari ICTY adalah pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949, kejahatan terhadap hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak seperti Mahkamah Nuremberg, ICTY tidak dapat memeriksa perkara secara in absentia. Jika pengadilan tidak mampu
menghadirkan
terdakwa
maka
penuntut
dapat
mempresentasikan kasusnya ke majelis pemeriksa. Berdasarkan bukti yang ada, selanjutnya majelis akan menentukan apakah user mempercayai bahwa terdakwa ada dasar yangcommit rasionalto untuk
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan
kejahatan
dan
dapat
mengeluarkan
jaminan
penahanan internasional yang diberikan kepada semua negara. Prosedur ini dapat dipandang sebagai quasi in-absentia. Rumusan kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICTY lebih rinci bila dibandingkan dengan London Charter yang melahirkan Nuremberg Trial. Yurisdiksi ICTY meliputi kejahatan baik yang termasuk International armed conflict maupun non international armed conflict dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang termasuk dalam Statuta ICTY hanya apabila dilakukan dalam suatu konflik bersenjata. ICTY dapat dikatakan sebagai direct enforcement system, artinya upaya melaksanakan pembentukan suatu mahkamah internasional, mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan internasional secara langsung tanpa melalui hukum nasional negara tersebut (Eddy.O.S.Hiariej,2010:145). b) Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dibentuk berdasarkan Resolusi DK PBB No. 955 Tanggal 8 November 1994. Pada tanggal 25 Februari 1995 berdasarkan resolusi 977, Dewan Keamanan PBB memutuskan lokasi ICTR berada di Arusha, Tanzania. Tujuan dari dibentuknya mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan genosida di Rwanda dan pelanggaran serupa lainnya yang dilakukan di wilayah negara tetangga dan di Rwanda antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994 (Arlina Permatasari,1999;181). Genosida yang dilakukan di Rwanda dilakukan oleh suku Hutu yang melakukan pembantaian terhadap suku minoritas, yaitu suku Tutsi. Yurisdiksi dari International Criminal Tribunal for commit to user Rwanda/ICTR menyangkut tiga hal, yaitu:
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Ratione matriae, meliputu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaranggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II. (2) Ratione temporis, kejahatan yang dilakukan antara 1 Januari 1994-31 Desember 1994. (3) Ratione personae et ratione loci, kejahatan yang dilakukan oleh orang Rwanda dan non warga Rwanda di wilayah teritorial Rwanda dan negara tetangganya. Struktur ICTR terdiri dari tiga trial chamber dan satu appeals chamber. Para hakim dipilih oleh Majelis Umum PBB dar daftar yang diusulkan oleh Dewan Keamanan. Hakim-hakim ICTR terpilih dari berbagai macam sistem hukum di dunia yang mewakili negara anggota PBB. Mereka dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan kemudian padat dipilih kembali. Trial dan appeals chamber beranggotakan 16 hakim dan tidak boleh dari mereka berasal dari negara yang sama. Masing-masing chamber terdiri dari tiga hakim, sedangkan untuk appeals chamber terdiri dari lima hakim. ICTR memiliki concurrent jurisdiction yaitu prinsip yang digunakan dalam memperluas yurisdiksi territorial yaitu antara negara tempat terjadinya suatu tindak pidana dengan negara yang menerima akibatnya ataupun dengan negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri dan sekaligus primary jurisdiction
yaitu
kekuasaan
mengadili/lingkup
kuasa
kehakiman terhadap pengadilan nasional baik itu di Rwanda maupun di negara lainnya. Pengadilan secara in absentia dilarang, sedangkan asas pertanggungjawaban yang berlaku adalah tanggungjawab individu (individual responsibility). ICTR juga memberlakukan asas nebis in idem, kecuali apabila karakter perbuatan yang diadili oleh pengadilan nasional tidak commit to user berkaitan dengan karakter Statuta Tribunal atau bilamana tidak
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ada jaminan terhadap sikap tidak memihak (impartiality), kebebasan (independence) atau peradilan yang efektif dalam pengadilan nasional (Eddy.O.S.Hiariej,2010:175).
3)
Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998 tanggal 17 Juni 1998 yang dihadiri oleh 162. Mahkamah ini bersifat sangat permanen untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes). ICC bekerja apabila pengadilan nasional tidak mau (Unwilling) dan tidak mampu (unable). Menurut Pasal 58 Statuta Roma 1998, ICC berwenang untuk mengadili atas empat macam kejahatan yaitu: a)
Tindak pidana Genosida
b)
Tindak pidana terhadap kemanusiaan
c)
Tindak pidana perang/kejahatan-kejahatan perang
d)
Kejahatan agresi Menurut Arie Siswanto, tindak pidana yang termasuk
kedalam yurisdiksi ICC adalah, yaitu (Arie Siswanto, 2005;45) : a)
Genocide (Kejahatan Genosida),
b)
Crimes
Againts
Humanity
(Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan), c)
Crimes of War (Kejahatan Perang), dan
d)
Crimes of Agression (Kejahatan Terhadap Agresi) . Di dalam Pasal 1 Statuta Roma menyatakan, bahwa
International Criminal Court established under statute shall be complementary to national criminal jurisdiction (Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di bawah Statuta Roma akan merupakan pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional), artinya jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional baru akan dilaksanakan commit to user jika proses peradilan yang efektif melalui tindakan hukum di
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkat
nasional
tidak
dapat
dilaksanakan.
Prinsip
Komplementaritas mengarisbawahi bahwa Mahkamah Pidana Internasional tidak dimaksudkan untuk mengantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak tersedia. Jika suatu negara tidak mau (unwilling) atau tidak manpu (unable) mengadili pelaku kejahatan perang maka ICC baru dapat melaksanakan yurisdiksinya. Apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila mahkamah nasional tidak mau dan/atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan (Mohamad Rangga Rambe,2008:409). Dengan demikian Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki jurisdiksi secara langsung terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh jurisdiksi ICC, tetapi melalui suatu pernyataan untuk mengikatkan diri dan menjadi sepihak dengan Statuta Roma 1998. ICC mulai berlaku secara efektif sejak tahun 2002 ketika sudah mencapai 60 negara yang mertifikasi (Boer Mauna, 2005;263). Sampai saat ini Amerika dan Israel belum meratifikasi Statuta Roma 1998. Walaupun Amerika dan Israel belum meratifikasi Statuta Roma 1998 bukan berarti negara ini tidak bisa dibawa ke ICC. Secara umum Statuta Roma 1998 menegaskan bahwa ICC bisa menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah negara pihak dalam Statuta Roma 1998, tetapi dalam Pasal 4 ayat (2) Statuta Roma 1998 mengatakan bahwa ICC pun dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di dalam wilayah negara bukan pihak, commitkhusus. to user selama dibuat perjanjian
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998 juga mengatur bahwa yurisdiksi teritorial ICC tergantung pada inisiatif pengajuan kasus ke ICC. Apabila suatu kasus kejahatan internasional dirujuk ke penuntut umum ICC oleh negara pihak dalam Statuta Roma 1998 atau diselidiki oleh inisiatif penuntut umum sendiri, maka Statuta Roma 1998 mensyaratkan agar negara dimana pelanggaran terjadi (locus delicti) atau negara tempat kewarganegaraan pelaku haruslah negara pihak dalam Statuta Roma. Tetapi apabila suatu kasus dirujuk ke penuntut umum oleh Dewan Keamanan PBB maka Statuta Roma 1998 tidak menegaskan tentang aspek teritorialitas tempat terjadinya pelanggaran (locus delicti) maupun aspek nasionalisme pelakunya. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa dalam hal inisiatif, apabila suatu perkara datang dari DK PBB, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di wilayah negara yang bukan pihak atas kejahatan yang dicakup oleh ICC yang pelakunya bukan warga negara dari negara pihak dalam Statuta Roma 1998. Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) Statuta Roma 1998 juga menyiratkan bahwa negara yang bukan merupakan negara pihak dalam Statuta Roma 1998 juga dapat memiliki posisi yang sama seperti negara pihak, sepenjang negara itu membuat deklarasi untuk menerima yurisdiksi ICC. Terdapat 18 orang hakim yang bertugas selama 9 tahun tanpa dapat dipilih kembali dalam ICC. Para hakim dipilih berdasarkan dua per tiga suara Majelis Negara Pihak, yang terdiri dari negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini. Jaksa akan bertindak atas penyerahan dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu). Kasus-kasus yang tidak dapat diterima oleh Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma adalah: commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a)
Kasus yang sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali jika negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat melakukan penyidikan atau penuntutan.
b)
Kasus yang telah diselidiki oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut dan negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali jika keputusan itu timbul dari ketidaksediaan atau ketidakmampuan negara untuk benar-benar melakukan penuntutan.
c)
Orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang merupakan pokok pengaduan itu (asas ne bis in idem).
d)
Kasus yang tidak cukup memadai sebagai pembenaran tindakan Mahkamah selanjutnya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Mahkamah
Pidana Internasional tidak mengakui prinsip Nebis in idem, namun ada pengecualian jika proses perkara dalam pengadilan lain itu bertujuan untuk (Mahrus ali,2011:57): a)
Bertujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana untuk kejahatan yang berada dibawah yurisdiksi mahkamah;
b)
Tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak sesuai dengan norma-norma mengenai proses yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang, dalam keadaan ini, idak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke pengadilan.
Berdasarkan jenis-jenis mekanisme penegakan hukum humaniter yang telah dijelaskan diatas,dapat disimpulkan bahwa mekanisme penegakan hukum humaniter dibagi menjadi 2 bagian yaitu: commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1)
Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional.
2)
Mekanisme Internasional yang mencakup : a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang yang digunakan untuk mengadili kejahatan perang sebelum Statuta Roma berlaku. b) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court /ICC) yang digunakan untuk mengadili kejahatan perang setelah Statuta Roma berlaku.
commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A. Kerangka Pemikiran
Proses pelaksanaan penelitian dan penulisan hukum ini merupakan suatu rangkaian pemikiran yang diarahkan secara sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kerangka pemikiran dalam penulisan hukum ini dapat dilihat pada bagan berikut ini :
Konvensi Jenewa IV Tahun 1949
Protokol Tambahan I Tahun 1977
Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil
Konflik antara Israel dengan Palestina
Konflik di Jalur Gaza 26 Desember 2008-20 Januari 2009
Pelanggaran
Mekanisme Penegakan Hukum terhadap Perlindungan Penduduk Sipil
Konvensi Jenewa I-IV/1949
Statuta Roma 1998
DK PBB
Exhaustion of Local Remedies
ICC
Ad Hoc
commit to user
Terjadi Banyak Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan Bagan : Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan sering dikatakan sebagai sumber utama dari HHI modern, karena didalamnya mengatur tata cara dan perlindungan terhadap pihak-pihak apabila terjadi sengketa. Dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan I dijelaskan tentang perlindungan bagi penduduk sipil pada saat terjadi konflik yang meliputi siapa-siapa saja yang boleh dan tidak boleh diserang dalam konflik bersenjata internasional dan perlindungan bagi penduduk sipil. Salah satu contoh kasus konflik bersenjata internasional adalah konflik antara Israel dengan Palestina. Konflik antara Israel-Palestina ini telah terjadi kurang lebih selama 44 tahun sejak tahun. Serangan Israel ke Palestina yang barubaru ini terjadi adalah serangan ke Jalur Gaza pada tanggal 26 Desember 2008-20 Januari 2009, yang mana serangan itu banyak memakan korban dari pihak sipil, anak-anak,maupun perempuan. Padahal dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan I/1977 sudah diatur secara tegas mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional. Berdasarkan fakta-fakta pelanggaran yang terjadi dalam Operation Cast Lead maka dapat digunakan mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran pendudu sipil untuk menyelesaikan konflik antara Israel-Palestina ini. Adapun alternatif mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran pendudu sipil yang daat digunakan adalah berdasarkan Konvensi Jenewa I-IV/1949 dapat menggunakan mekanisme nasional (Exhaustion of Local Remedies), melalui Statuta Roma 1998 dapat menggunakan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan melalui Persetujuan dari DK PBB dapat menggunakan Mahkamah Ad Hoc.
commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN
1. Konflik Israel-Palestina Di Jalur Gaza tangal 27 Desember 2008-20 Januari 2009 (Operation Cast Lead) Konflik antara Israel dengan Palestina sudah terjadi sangat lama, bahkan sejak tahun 1948 Israel telah menduduki wilayah Palestina. Sudah bukan merupakan suatu rahasia lagi apabila faktor utama yang menyebabkan konflik ini adalah masalah perebutan wilayah antara bangsa Israel dan rakyat Palestina seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Akibat keinginan Israel untuk menduduki wilayah Palestina, Israel menggunakan angkatan bersenjatanya untuk menyerang Palestina, pasukan Israel melakukan pengusiran, perampokan, dan pembantaian terhadap penduduk Palestina sehingga mengakibatkan menyusutnya wilayah Palestina
sebagaimana
ditunjukkan
peta
berikut
(ArlinaPermanasari.2009.
http://arlina100.wordpress.com/2009/01/04/israel-dan-pendudukan-asing-ataspalestina-konflik-bersenjata-yang-harus-diakhiri/,diakses
tanggal
23
Desember
2012):
Berdasarkan Gambar 1,commit terlihat bahwa wilayah Palestina mengalami to user penyusutan sejak dari tahun 1946. Kawasan yang dimiliki oleh warga Palestina
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semakin mengecil, sehingga menyebabkan penduduk lokal mengalami kesulitan dalam mobilitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibat pendudukan Israel terhadap wilayah Palestina, hak warga Palestina untuk hidup secara layak dan hidup sebagai bangsa yang merdeka untuk memenuhi kebutuhannya sebagai manusia meliputi hak untuk pendidikan, pekerjaan, serta hidup dalam lingkungan yang aman dan damai sebagaimana warga negara di negara-negara pada umumnya dirampas oleh pendudukan Israel. Isu Palestina mengandung sejarah panjang terkait konflik bersenjata yang tiada henti memakan korban jiwa. Berikut data-data yang dikumpulkan seputar konflik peperangan di Jalur Gaza yang dikumpulkan dari lembaga-lembaga kemanusiaan internasional yang digunakan dalam studi maupun laporan seputar konflik Palestina-Israel, hingga tahun 2009, yang dirangkum oleh Oxford Research (Justin Alexander. 2009: 115), antara lain : Tabel 1. Perbedaan Tindak Kekerasan yang dilakukan Oleh Pihak Palestina dan Israel Kekerasan yang dilakukan oleh
Kekeasan yang dilakukan oleh
Palestina (HAMAS)
Pasukan Israel (IDF)
Tujuan
pertempuran
dalam Tujuan
serangan
untuk
menanggapi penyerangan IDF ke menguasai/menduduki jalur Gaza jalur Gaza Dalam serangan menggunakan Serangan Mortir dan roket
udara
pesawat,dan tujuannya
helikopter untuk
pembunuhan musuh
menggunakan
baik
(HAMAS)
yang
melakukan itu
kepada ataupun
penduduk sipil Dengan
menggunakan
bom Dengan menembakan artileri
bunuh diri Dengan menanam bahan peledak Menggunakan penembak jitu dari di terowongan di bawah tanah perbatasan benteng commit to user atau di bangunan
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Serangan dengan menggunakan Serangan-serangan bom mobil, di perbatasan
menggunakan
kapal
dengan laut
dan
menembaki ke arah jalur Gaza menyerangan pasukan israel di Pemusnahan rumah dan tanah dalam terowongan
dengan menggunakan buldoser
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang menggunakan kekuatan militer tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar di kalangan penduduk sipil, sehingga menyebabkan pelanggaran hak-hak warga negara yang berada dalam kondisi perang. Serangan bom, penembakan, penyerangan kapal dan penggusuran rumah dan lahan merupakan bentuk-bentuk tindakan yang menyebabkan pelanggaran hak-hak penduduk sipil, khususnya di kalangan pihak Palestina. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kekerasan yang dilakukan pihak Israel bersifat lebih agresif bila dibandingkan dengan serangan yang dilakukan oleh pihak HAMAS dan korban yang dapat ditimbulkan akibat serangan pasukan Israel inipun lebih massive dibandingkan dengan serangan kekerasan dari pihak HAMAS. Sampai sekarang perdamaian antara kedua belah pihak masih belum terwujud, baru-baru ini konflik antara Israel dengan Palestina kembali terjadi. Konflik ini terjadi dalam kurun waktu sekitar dua minggu, dimulai sekitar tanggal 27 Desember 2008-20Januari 2009 yang dikenal dengan nama Operation Cast Lead 20 Januari2009(UN.2009.http://unispal.un.org/unispal.nsf/9a798adbf322aff38525617b0 06d88d7/c9af039f6045bd0c85257876006ecaf7?OpenDocument&Highlight=0,operat ion,lead,cast, diakses tanggal 2 November 2012).
a. Latar Belakang Operation Cast Lead Operation Cast Lead dilakukan antara 27 Desember 2008 - 20 Januari 2009 oleh pasukan Israel untuk menghentikan serangan roket dan mortir dari HAMAS yang ditujukan ke wilayah Israel. Dari 4 November - 18 Desember 2008, HAMAS menembakkan sekitar 213 roket dan 126 mortir ke Israel. Lebih dari 20 Qassam roket ditembakkan ke Israel selatan dari Gaza pada Rabu 17 Desember 2008. Sebagai tanggapan, pasukan Israel melakukan empat serangan udara terhadap sasaran commit to user HAMAS di Jalur Gaza pada Rabu 17 Desember 2008. Tanggal 18 Desember 2008
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
HAMAS mengumumkan dengan pasti bahwa tidak akan memperpanjang gencatan senjata dengan Israel, HAMAS hanya akan memperbaharui gencatan senjata jika Israel keluar dari Tepi Barat, dimana Israel masih melakukan kampanye penangkapan, serta mengakhiri blokade bantuan dan perdagangan melalui persimpangan Erez di Gaza (SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport .org/chronology/israelpalestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Hal inilah yang membuat marah para pemimpin Israel, sehingga pada hari Kamis 25 Desember 2008 Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengeluarkan "menit terakhir" menarik diri bagi warga Palestina di Gaza untuk menghentikan serangan roket ke Israel. Tetapi tidak ada tanda-tanda pelunakan dari sikap HAMAS di Jalur Gaza (SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israel palestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012).
b. Kronologis Operation Cast Lead Berikut ini merupakan kronologis serangan Israel ke Palestina semenjak tanggal 27 Desember 2008 sampai 20 Januari 2009 (Operation Cast Lead) (SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israelepales tine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). 1) 27 Desember 2008 - (Cast Lead Day 1) Pada pukul 11:33, jet Israel menghantam HAMAS, upacara wisuda di akademi polisi HAMAS dibom, sehingga menewaskan 200 korban. Israel melancarkan serangan udara ke Gaza untuk menjawab serangan roket dan mortir HAMAS, menewaskan setidaknya 229 warga sipil Palestina. 2) 28 Desember 2008 - (Cast Lead Day 2) Kampanye udara Israel terus berlangsung, mengakibatkan 280 warga Palestina tewas. Target udara Israel adalah kantor polisi, terowongan penyelundupan senjata, dan rumah komandan HAMAS. Serangan udara Israel mengenai Universitas Islam dan
membidik
terowongan
penyelundupan
di
Jalur
Gaza
yang
menghubungkan Gaza ke dunia luar. Pesawat tempur Israel menyerang Kota Gaza, kota-kota Utara Jabalia, Beit Hanoun dan Beit Lahia, kota Rafah di Gaza Selatan dan Ben Yunis, dan camp-camp pengungsi di Gaza commit to user tengah, Pesawat tempur Israel juga berhasil memukul pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
HAMAS dan kantor-kantor keamanan, masjid dan TV stasiun. Warga sipil, termasuk personil HAMAS diperingatkan melalui telepon maupun oleh selebaran sebelum rumah mereka diserang. HAMAS menembakkan roket dan mortir ke Israel Selatan sekitar 60 per hari. Beberapa roket mendarat di dekat Ashdod, 38-40 km (23 mil) dari Jalur Gaza, dan satu di Ashkelon. 3) 29 Desember 2008 - (Cast Lead Day 3) militan Gaza menembakkan lebih dari 50 roket dan mortir ke Israel, menewaskan dua orang, seorang di kota Ashkelon dan lain Israel di sebuah peternakan komunal, Nahal Oz, dekat Gaza. Pasukan Israel menghancurkan Kementerian Dalam Negeri Palestina di Gaza dan membuat setidaknya lima serangan terhadap Universitas Islam di Jalur Gaza, yang diduga digunakan untuk merancang dan memproduksi roket oleh HAMAS. Israel mengumumkan wilayah-wilayah seputar Jalur Gaza sebagai zona militer tertutup. Angkatan Udara Israel menghancurkan 40 terowongan sepanjang rute Philadelphi, dekat perbatasan Israel-Mesir, yang digunakan untuk menyelundupkan senjata ke HAMAS. Pada agresi tanggal 29 Desember 2008 Jalur Gaza berhasil dikuasai oleh Israel. Angkatan Udara Israel juga menghancurkan sebuah pusat senjata di Gaza yang digunakan untuk mengembangkan dan memproduksi roket-roket Qassam. Pada sekitar pukul 18:00 Senin malam, pasukan Israel menembaki sebuah kendaraan HAMAS sarat dengan puluhan rudal jenis Grad di daerah Jabaliya, di Jalur Gaza. Menurut penilaian pasukan Israel, rudal sedang dipindahkan oleh HAMAS ke lokasi persembunyian baru, karena HAMAS takut bahwa lokasi sebelumnya menjadi sasaran oleh pasukan Israel. 4) 30 Desember 2008 - (Cast Lead Day 4) Pasukan Israel menyerang kantor Perdana Menteri HAMAS Ismail Haniyeh yang terletak di Kota Gaza sepanjang Senin malam atau Selasa pagi. Kantor Haniyeh adalah pusat untuk dukungan, perencanaan dan pendanaan kegiatan perlawanan terhadap Israel. Selain itu, kantor menteri HAMAS lainnya di wilayah commit to user yang sama diserang. Dalam serangan menjelang fajar, pesawat tempur
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Israel menembakkan rudal ke Kota Gaza. Selama serangan udara, 37 bangunan bertingkat yang merupakan inti dari kompleks pemerintah HAMAS
yang
menjadi
sasaran.
Bangunan-bangunan
termasuk
Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Tenaga Kerja dan Departemen Konstruksi dan Perumahan. Pasukan Israel menyerang 35 target tambahan, termasuk: terowongan di daerah perbatasan Rafah, fasilitas penyimpanan senjata, pos-pos HAMAS, dan tempat peluncur roket. Angkatan laut Israel juga menyerang sejumlah target di Jalur Gaza, termasuk pos-pos HAMAS, camp-camp pelatihan. Akibat serangan ini sekitar 363 warga Palestina dilaporkan telah tewas, 1.700 orang mengalami luka-luka. 5) 31 Desember 2008 - (Cast Lead Day 5) Roket HAMAS mencapai Beersheva untuk pertama kalinya, 43 km dari Gaza. Pasukan Israel dan Angkatan Laut Israel menyerang sekitar 20 target milik HAMAS lainnya sebagai kelanjutan dari Operation Cast Lead, diantaranya adalah bangunan perumahan Kementerian HAMAS yang terletak di kompleks El-Hawwa. Beberapa terowongan penyelundupan di sepanjang Rute Philadelphi yang digunakan oleh HAMAS untuk mengangkut senjata dan sebagai akses pasukan HAMAS masuk dan keluar dari Gaza terkena serangan Israel. Sebuah manufaktur persenjataan dan fasilitas penyimpanan di pusat Gaza juga terkena serangan Israel. Sebuah pusat komando kepolisian HAMAS di Rafah, serta pos otoritas HAMAS di pesisir pantai yang berdekatan dengan Kota Gaza menjadi sasaran. Selain itu, Angkatan Laut Israel menargetkan sejumlah pos-pos HAMAS dan tempat peluncuran roket. Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan Mesir tidak akan sepenuhnya membuka perbatasan ke Gaza, kecuali Presiden Palestina Mahmoud Abbas memegang kendali di sana. Mesir telah membuka penyeberangan untuk memungkinkan warga Palestina terluka masuk untuk perawatan medis, dan pemerintah Mesir juga memungkinkan adanya bahan makanan dan obat-obatan yang akan dikirimkan ke Gaza. 6) 1 Januari 2009 - (Cast Lead Day 6) Pasukan Israel berhasil menewaskan commit to user Nizar Rayyan beserta keluarganya, pemimpin garis keras HAMAS yang
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
telah mengumumkan bahwa HAMAS tidak akan membuat perdamaian dengan Israel. Kabarnya, pasukan Israel menembakkan rudal peringatan di atap rumahnya, supaya ia pergi, tapi ia dan keluarganya memutuskan untuk tetap berada di dalam rumah. Pasukan Israel juga menyerang rumah Nabil Amrin, seorang pemimpin senior HAMAS di Jalur Gaza. Amrin adalah komandan Batalyon untuk cabang militer HAMAS. Rumah Amrin digunakan untuk menyimpan senjata dan amunisi. Pada saat yang sama para pejuang Palestina menembakkan roket-roketnya semakin gencar ke wilayah Utara Israel. Pejabat kesehatan Palestina mengatakan korban tewas dalam serangan udara enam hari diluncurkan di Gaza oleh Israel pada hari Sabtu meningkat menjadi 403 orang Palestina, dan lebih dari 2.000 orang terluka. Dewan Keamanan PBB telah bertemu untuk membahas masalah kekerasan di Gaza, namun gagal menyepakati resolusi gencatan senjata. Negara-negara Arab untuk mendorong resolusi untuk menuntut segera gencatan senjata. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon menuduh Israel menggunakan kekuatan yang tidak proporsional terhadap warga Palestina dan menyerukan gencatan senjata segera. Delegasi dari negara-negara Arab menyerukan resolusi mengutuk tindakan Israel di Gaza dan meminta agar menghentikan semua aksi militer. 7) 2 Januari 2009 - (Cast Lead Day 7) Pasukan Israel menyerang Mamduq Jammal. Jammal adalah komandan batalyon HAMAS yang juga terlibat dalam peluncuran roket dan bertanggung jawab dalam regu yang meluncurkan roket di daerah Kota Gaza. Target Israel lainnya dintaranya adalah: a) Sebuah bangunan perguruan tinggi di El-Atatra yang diduga digunakan oleh HAMAS untuk menembakkan roket ke Israel dan juga digunakan sebagai tempat persembunyian dan ruang perakitan senjata oleh HAMAS. b) Rumah Ismail Renam yaitu pemimpin operasi di Bet-Lehiya, terletak di utara Jalur Gaza, yang berfungsi sebagai fasilitas penyimpanan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
senjata, khusus untuk peralatan meluncurkan roket. Renam memiliki peran sentral dalam peluncuran roket jenis Grad melawan Israel. c) Rumah Azadin Hadad, yang digunakan untuk mengatur kegiatan HAMAS dan sebagai tempat pertemuan bagi HAMAS. Hadad adalah kepala kelompok militer HAMAS di bagian Timur Kota Gaza. d) Sebuah kendaraan HAMAS yang memuat senjata ke tempat penyimpanan di Nuseirat beserta 64 truk bantuan kemanusiaan ke Gaza. Serangan roket ke Israel terus berlangsung, HAMAS meluncurkan sekitar 30 proyektil ke Israel (atau 60 menurut laporan lain, dengan roket mencapai sejauh Asdod dan Beersheva). Pemimpin HAMAS, Khaled Meshaal, menegaskan bahwa jika Israel melancarkan serangan darat di Gaza, HAMAS akan menculik tentara Israel. 8) 3 Januari 2009 - (Cast Lead Day 8) Israel menolak usulan gencatan senjata dalam jangka waktu 48 jam dengan Menteri Luar Negeri Prancis Sarkozy dan Israel siap untuk serangan darat. Pasukan cadangan Israel (sekitar dua brigade) berkumpul di luar Jalur Gaza. Mereka melakukan persiapan untuk melakukan serangan ke Palestina. Israel menembakkan banyak peluru pada apa yang tampak di Gaza tidak peduli itu objek sipil maupun bukan dan mengirimkan tank-tank dan infantri untuk berperang dengan HAMAS. Israel menewaskan Abu Zakaria al-Jamal, seorang komandan bersenjata HAMAS. Menjelang malam, pasukan darat Israel mulai memasuki Gaza. Pesawat milik pasukan Israel menghantam kendaraan yang mengangkut komandan senior HAMAS Mohammed Ma'aruf. Ma'aruf adalah bagian dari militer HAMAS dan menjabat sebagai seorang perwira HAMAS. 9) 4 Januari 2009 - (Cast Lead Day 9) Pasukan Israel melaporkan membunuh puluhan pasukan HAMAS. Pasukan Senior HAMAS, Hussam Hamdan, yang bertanggung jawab atas peluncuran roket jenis Grad ke Bersyeba dan Ofakim, juga tewas dalam serangan pasukan Israel di Khan Yunis pada Minggu sore, bersama dengan Muhammad Hilo, yang juga tewas dalam serangan udara yang sama. Hilo bertanggung jawab atas terbunuhnya StafSersan. Dvir Emmanueloff, dari unit pengintai Golani di Khan Yunis. Stafcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
Sersan Dvir Emmanueloff dibunuh oleh pecahan peluru mortir shell dalam bentrokan dengan HAMAS dekat Jabalya. 10) 5 Januari 2009 - (Cast Lead Day 10) Tiga tentara Israel tewas, satu terluka parah, dan 20 tentara terluka ringan akibat serangan roket HAMAS. Pasukan Israel menyerang puluhan terowongan penyelundupan yang digunakan oleh HAMAS di sepanjang perbatasan Rafah. Selama operasi ini pasukan Israel menghantam puluhan tempat persembunyian HAMAS. Pasukan udara dan artileri juga membantu pasukan darat dengan menyerang orang bersenjata yang mendekati mereka dan daerah tempat HAMAS menembakkan roket ke pasukan Israel. Pasukan Israel menyerang lebih dari 40 target tambahan termasuk sejumlah fasilitas penyimpanan senjata. Pasukan Israel juga menyerang sebuah. 11) 6 Januari 2009 - (Cast Lead Day 11) – Pasukan Israel di Gaza Utara menembak seorang calon pembom bunuh diri , menyebabkan dia meledak. Rumah Imam Siam di camp pengungsi Jabaliya diserang oleh pasukan Israel dan mengakibatkan Siam dibunuh. Dia adalah salah satu militan senior HAMAS di Jalur Gaza yang mendirikan program organisasi pelucuran roket, dan juga kepala program artileri HAMAS di seluruh Jalur Gaza. Pasukan Israel menyerang sekitar 50 sasaran di Gaza, termasuk: a) Sekitar 10 tempat penyimpanan senjata HAMAS, beberapa di antaranya berada di rumah anggota senior organisasi: Mahmad Shatiwi seorang komandan batalyon HAMAS, Osama Tabesh seorang komandan HAMAS, Abu Bassel Wadi seorang komandan HAMAS, Ashraff Jouda seorang komandan senior HAMAS. b) Tempat pertemuan bagi para anggota senior HAMAS. c) Dua markas polisi HAMAS. d) Terowongan tempat menyelundupkan senjata. Menurut satu sumber, pesawat Israel menyerang sebuah sekolah UNRWA di Beit Hanoun setelah sekolah berulang kali menjadi sumber roket dan mortir terhadap Israel. Menurut sumber lain sekolah putri di camp commit to user pengungsi Jabalya terkena mortir pasukan Israel. Warga sipil Palestina
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
ditampung di sekolah tersebut. PBB marah dan bersikeras bahwa pasukan Israel telah menembaki sekolah milik UNRWA, menewaskan lebih dari 40 orang tak berdosa. 12) 7 Januari 2009 - (Cast Lead Day 12) – Lebih dari 20 roket diluncurkan dari Jalur Gaza ke Israel, melukai dua penduduk Israel. Pesawat Israel menyerang lebih dari 40 target sepanjang hari, termasuk sejumlah terowongan penyelundupan di Selatan Gaza, 14 lokasi peluncuran roket, sebuah pos HAMAS, 9 terowongan digali di bawah rumah, dan fasilitas penyimpanan senjata dan melukai sekitar 20 penduduk sipil Palestina. 13) 8 Januari 2009 - (Cast Lead Day 13) – Dewan Keamanan PBB lewat Resolusi 1.860 menyerukan gencatan senjata segera. 14 negara memilih untuk itu, Amerika Serikat abstains. Baik Israel dan HAMAS mengabaikan resolusi itu. Israel memulai tiga jam serangan setiap sore pukul 01:00-04:00. Empat roket Grad dan dua roket Qassam diluncurkan selama jeda tersebut, 14 roket dan mortir diluncurkan lainnya sepanjang hari. 223 warga negara asing yang diizinkan masuk ke Israel menyusul permintaan dari pemerintah masing-masing. Pasukan infanteri menemukan sebuah terowongan yang berisi berbagai senjata termasuk rudal RPG, AK-47 senapan serbu, detonator untuk bahan peledak, granat, dan pisau. Dua perwira pasukan bersenjata Israel dan satu tentara tewas selama operasi. PBB mengklaim pasukan Israel telah menabrak truk dengan seorang pekerja bantuan, dan PBB mengutuk Israel. 14) 9 Januari 2009 (Cast Lead Day 14) - Pasukan Israel menyerang sekitar 70 target, termasuk 15 daerah peluncurkan roket, terowongan, rumah personil HAMAS, fasilitas penyimpanan senjata. Sekitar 500.000 penduduk sipil Palestina dideportasi keluar dari wilayah Palestina dengan maksud agar Israel bisa memperluas wilayahnya sampai ke Palestina. Sekitar 216 rumah hancur, 107 di Tepi Barat dan 109 di Gaza. Juga 680 rumah rusak parah. Sebelum merusak dan menghancurkan rumah-rumah penduduk Palestina, commit to user pasukan Israel juga menjarah harta benda yang dimiliki oleh penduduk
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
Pelestina yang dianggap berharga. Sedangkan yang tidak dianggap berharga turut dihanguskan bersamaan dengan rumah mereka. 15) 10 Januari 2009 (Cast Lead Day 15) - Amir Mansi, komandan program pelucuran roket HAMAS di wilayah Kota Gaza, dibunuh oleh tembakan pasukan bersenjata Israel. Mansi yang juga otoritas terkemuka HAMAS yang berkaitan dengan program peluncuran rudal Grad. Mansi juga aktif dalam menembakkan puluhan roket ke Israel, menewaskan dan melukai warga sipil Israel. Serangan pasukan Israel mencapai sekitar 60 target termasuk situs peluncurkan roket, terowongan, pabrik senjata, peluncur rudal anti-pesawat dan seorang pembom bunuh diri akan meledak sendiri. 16) 11 Januari 2009 (Cast Timbal Day 16) - Pasukan Israel menyerang sekitar 60 target yang berbeda, termasuk terowongan penyelundupan, situs meluncurkan roket, dan sel-sel HAMAS. Sekitar 20 roket dan mortir diluncurkan ke Israel, termasuk rudal Grad yang mengenai taman kanakkanak di Ashdod. 17) 12 Januari 2009 (Cast Timbal Day 17) - Sebuah serangan dari pasukan wanita HAMAS yang mencoba melakukan bom bunuh diri digagalkan. Dalam satu insiden, pasukan Israel menembaki warga sipil Palestina yang sedang berada di sebuah masjid. Sekitar 20 roket dan mortir yang diluncurkan oleh HAMAS terhadap Israel. 18) 13 Januari 2009 (Cast Lead Day 18) - Pasukan Israel menemukan sebuah terowongan sepanjang Jalur Gaza sampai ke Israel yang memungkinkan untuk serangan HAMAS berskala besar di dekat Nahal Oz. HAMAS menembakkan total 18 roket dan mortir ke Israel. 19) 14 Januari 2009 (Cast Lead Day 19) - Pasukan Israel menyerang dan menewaskan dua komandan HAMAS Walid Za'abud dan Muhamad Dash keduanya terlibat dalam peluncuran roket, serta pembuatan 15 terowongan penyelundupan. HAMAS menembakkan total 14 roket dan mortir ke Israel. 20) 15 Januari 2009 (Cast Lead Day 20) - Pasukan Israel membunuh menteri dalam negeri HAMAS, Said Siam, saudaranya Ia'ad dan Salah Abucommit to user Sharah, kepala dinas keamanan HAMAS. Pasukan Israel menyerang 70
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
sasaran, termasuk sebuah masjid Rafah dan lima fasilitas penyimpanan senjata. Lebih dari 25 roket dan mortir yang diluncurkan oleh HAMAS ke Israel. 21) 16 Januari 2009 (Cast Lead Day 21) - Pasukan Israel sudah menyerang sekitar 50 target, termasuk situs peluncurkan roket dan terowongan penyelundupan. Lebih dari 20 roket dan mortir ditembakkan dari Jalur Gaza menghantam Israel di antara kota-kota Ashdod dan Gat Qiryat. Lima warga sipil dilaporkan terluka. 22) 17 Januari 2009 (Cast Lead Day 22) - Pasukan Israel menghancurkan lebih dari seratus terowongan, 10 situs peluncurkan roket. Sekitar 20 roket dan mortir ditembakkan ke Israel oleh HAMAS. 23) 18 Januari 2009 (Cast Lead Day 23) - gencatan senjata Israel dimulai pada 2:00. HAMAS terus menembakkan roket tetapi mengumumkan gencatan senjata pada pukul 4:00. 24) 21 Januari 2009 - Para tentara Israel meninggalkan Palestina.
c. Ringkasan dari Operasi Cast Lead Dalam 22 hari pertempuran sekitar 1.400 warga Palestina tewas diklaim oleh laporan dari pihak Palestina, sementara Pasukan Israel memperkirakan 1.100 - 1.200 korban yang meninggal. Dari jumlah tersebut, pasukan Israel memperkirakan bahwa setidaknya 700-750 adalah pejuang HAMAS. Palestina mengklaim bahwa 400 anakanak dan setidaknya 700 adalah penduduk sipil. HAMAS menembakkan sekitar 600 proyektil ke Israel termasuk roket Grad dimodifikasi yang melanda sejauh 43 kilometer jauhnya (UN.2009.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CD A4579468525734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Selain menewaskan banyak penduduk sipil, konflik antara Israel-Palestina juga menyebabkan tewasnya anak-anak dibawah umur. Menurut PCHR (Palestinian Center for Human Rights) yaitu suatu badan hukum independen yang didedikasikan untuk perlindungan hak asasi manusia dan penegakan prinsip-prinsip demokrasi di wilayah pendudukan, dalam laporannya yang berjudul “War Crimes Againts Children: A PCHR Investigation into Palestinian Children Killed by Israeli Forces commit to user in Gaza Strip 27 December 2008 – 18 Januari 2009” jumlah korban dari pihak anak-
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anak di bawah umur yang menjadi korban dari konflik Israel-Palestina dalam Operasi Cast Lead adalah: Tabel. 2. Jumlah Korban Usia Anak-Anak Pada Konflik di Jalur Gaza 27 Desember 2008-18 Januari 2009 Jumlah Korban Anak-Anak
Jenis Kelamin
Usia
Laki-Laki
Perempuan
30
20
10
≤6
29
14
15
6 s.d. 11
83
65
18
12 s.d. 17
Menurut sumber-sumber Israel, 3 warga sipil Israel dan 10 tentara tewas oleh tindakan musuh. Salah seorang tentara Israel terkena roket atau mortir di Negev Barat, tiga orang tewas dalam insiden tembak dan satu tewas ketika sebuah peluru Israel meledak. HAMAS mengklaim telah menewaskan 49 warga Israel, sementara yang mengalami luka-luka hanya 48 orang. Pada akhir operasi, Israel secara sepihak mengumumkan gencatan senjata dengan HAMAS dan HAMAS pun menyetujuinya. Israel memperoleh beberapa janji bahwa penyelundupan senjata oleh HAMAS di Jalur Gaza akan dihentikan (OHCRH.2010.http://www2.ohchr.org/english/bodies/hr council/docs/12session/UN-HumanRightsCouncilReport-of-the-Fact-FindingMission -of- the -Gaza-Conflict, diakses tanggal 15 Agustus 2012). Operasi itu menyebabkan sejumlah infrastruktur dan properti sipil di Gaza mengalami kerusakan besar serta banyak korban sipil. Barbara Lubin seorang aktivis LSM HAM di Palestina memberikan kesaksian bahwa ada seorang ibu yang sedang berada di dalam rumahnya di sekitar jalur Gaza dengan sepuluh anaknya ketika tentara Israel memasuki rumahnya. Para prajurit Israel itu kemudian membawa kelima anak dari ibu itu untuk dijadikan “hadiah kepada Israel” dan membunuh kelima anak yang lainnya. PBB juga bersikeras bahwa Israel telah menembaki commit toJabalya, user menewaskan 43 pengungsi yang sebuah sekolah putri di kamp pengungsi berlindung di sekolah. Penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa mortir Israel
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
ditembakkan pada area luar sekolah (RajiSourani.2012.http://www.aljazeera.com indepth/opinion/2012/11//20121117115136211403.html, diakses tanggal
20 juli
2012). Perwakilan PBB dan beberapa organisasi internasional membuat tuduhan bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang berdasarkan adanya bukti-bukti. Termasuk tuduhan bahwa Israel telah menggunakan fosfor putih sebagai senjata di Gaza, tuduhan bahwa Israel telah menggunakan uranium, dan tuduhan bahwa serangan di Gaza adalah mirip dengan serangan Nazi di Ghetto,Warsawa (Anonim.2011.http://www.voiceofpalestine.com//inter-Penyakit-Kanker-Warga-Ga za-Meningkat30%-Akibat-Bom-Fosfor-Putih-Israel.htm, diakses tanggal 11 april 2009). Korban dan kerusakan yang terjadi dalam Opertion Cast Lead disebabkan oleh sejumlah faktor: 1) Pasukan Israel menggunakan penduduk sipil dan anak-anak sebagai perisai. 2) Pasukan Israel dalam serangannya juga menyerang masjid, sekolah-sekolah dan rumah-rumah yang diduga sebagai tempat penyimpanan senjata dan tempat meluncurkan roket. 3) Pasukan Israel juga menyerang penduduk sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik, atau setidaknya siapa saja yang bukan merupakan anggota penuh dari salah satu kelompok perlawanan. Seperti kepolisian Gaza, anak-anak dari berbagai usia yang, dan para anggota organisasi bantuan. Kasus antara Israel dengan Palestina ini bisa dikatakan rumit karena tidak seperti kasus-kasus international armed conflict atau konflik bersenjata internasional seperti biasanya yang subjek-subjeknya adalah negara. Dalam kasus ini kedudukan Palestina belum jelas karena Palestina belum diakui oleh PBB sebagai suatu negara. Padahal kedudukan hukum negara-negara yang bersengketa ini penting di dalam menentukan hukum yang akan digunakan untuk mengatur suatu konflik bersenjata. Walaupun dalam kasus ini Palestina belum tercatat sebagai anggota resmi PBB, tetapi PBB melalui resolusi Majelis Umum PBB No. 3237 tanggal 22 November 1974, PLO commit to user (Palestine Liberation Organization) diberi status sebagai peninjau tetap pada PBB.
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
Selain itu beberapa negara-negara di dunia juga telah memberikan pengakuan diplomatik penuh kepada PLO, seperti PM Austria, Bruno Kreisky pada tanggal 13 Maret 1980, India pada tanggal 26 Maret 1980 juga telah memberikan pengakuannya terhadap PLO. Pada Oktober 1981 pemerintah Uni Soviyet juga telah memberikan pengakuan diplomatik terhadap PLO. Indonesia bahkan juga telah meresmikan pembukaan kedubes Palestina di Jakarta tanggal 19 Oktober 1989 (Boer Mauna,2005:81). Dalam perkembangannya sekarang, sejak sidang Majelis Umum PBB yang diadakan tanggal 30 November 2012 PBB telah mengakui peningkatan status Palestina sebagai negara pemantau non anggota dari status sebelumnya peninjau pada PBB yang diwakili PLO (UN.2012. http://www.un.org/News/Press/docs/2012/ga11317. doc.htm,diakses tanggal 3 desember 2012). Mengenai klasifikasi konflik antara Israel-Palestina, Advisory opinion ICJ tahun 2004 tentang Legal Consequences Construction Wall Palestinian Territory menjelaskan bahwa konflik antara Israel-Palestina adalah konflik internasional. Di dalam paragraf ke-4 Advisory opinion ICJ tahun 2004 menjelaskan bahwa: “Applicable law. United Nations Charter-General Assembly resolution 2625 (XXV)Illegality of any territorial acquisition resulting from the threat or use of forceRight of peoples to self determination. International humanitarian law-Regulations annexed to the Fourth Hague Convention of 1907-Fourth Geneva Convention of 1949-Applicability of Fourth Geneva Convention in the Occupied Palestinian Territory-Human rights law-International Covenant on Civil and Political Rights-International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights-Convention on the Rights of the Child -Relationship between international humanitarian law and human rights law- Applicability of human rights instruments outside national territoryApplicability of those instruments in the Occupied Palestinian Territory.” Berdasarkan isi paragraf-4 Advisory opinion ICJ tahun 20042004 tentang Legal Consequences Construction Wall Palestinian Territory terlihat bahwa PBB dalam menentukan hukum yang berlaku juga mengacu terhadap aturan-aturan Konvensi Jenewa IV/1949 secara keseluruhan, tidak hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa IV/1949, sehingga dapat disimpulkan bahwa PBB dalam hal ini menganggap bahwa situasi pendudukan oleh Israel terhadap Palestina, hukum yang diberlakukan adalah hukum yang berlaku untuk situasi konflik bersenjata internasional, sehingga konflik antara commit tosebagai user suatu konflik internasional (Moaz Israel dengan Palestina dapat dikategorikan Zatari and Jonathan Molony,2010:24).
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebenarnya, terlepas dari situasi konflik bersenjata tersebut diatas, sedikitdikitnya ada 4 situasi yang dianggap sama (dari segi pemberlakuan HHI) dengan konflik bersenjata internasional, yaitu: a. Perang yang diumumkan yang terjadi antara 2 negara atau lebih, (Pasal 2 paragraf 1dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949) b. Setiap bentuk sengketa bersenjata yang timbul antara 2 negara atau lebih walaupun salah satu pihak tidak mengakui keadaan perang (Pasal 2 paragraf 1 dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949) c. Semua kasus pendudukan sebagian atau seluruh wilayah suatu negara, bahkan jika pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan bersenjata (Pasal 2 paragraf 2 dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949). d. Sengketa bersenjata antara bangsa yang bertempur melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing serta melawan rejim rasis dalam melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasibnya, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerjasama antar Negara sesuai Piagam PBB; setelah perwakilan bangsa tersebut menyatakan dan mendaftarkan kemampuannya untuk menerapkan HHI. Penting dipahami bahwa kemampuan dan kenyataan ketaatan suatu pihak yang berperang (khususnya kelompok bersenjata non negara) dalam melaksanakan HHI bukan secara otomatis menyebabkan pihak yang berperang tersebut memperoleh kedudukan atau status hukum sebagai negara (Rina Rusman,2012). Berdasarkan fakta-fakta tersebut jelas sekali tampak bahwa walaupun Palestina belum diakui sebagai suatu negara, PLO atau gerakan pembesasan nasional Palestina telah diakui sebagai suatu organisasi yang kedudukannya setara dengan negara, sehingga konflik antara Israel dengan Palestina ini dapat dikatakan sebagai suatu konflik bersenjata internasional. Karena konflik ini dikatakan sebagai konflik bersenjata internasional maka dapat diberlakukan Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977 sebagai aturan hukum internasional yang akan digunakan untuk mengatur konflik bersenjata antara Israel dengan Palestina. commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. PEMBAHASAN
1. Bentuk Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil Dalam Konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza Pada Tahun 2008-2009 Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa perang merupakan bagian dari peradaban manusia. Akan tetapi manusia seakan tidak pernah belajar dan selalu mengulanginya. Padahal terbukti bahwa perang hanya menghasilkan korban nyawa, kekerasan serta dendam. Sejak 27 Desember 2008, Israel melakukan serbuan ke wilayah Gaza. Tindakan itu mendapat kecaman dan kutukan dari masyarakat internasional. Meskipun demikian Israel tetap melancarkan aksinya hingga secara sepihak menghentikan serangan setelah 22 hari lamanya. Beragam alasan diucapkan oleh otoritas Israel atas serbuan mereka ke Gaza. Alasan utama yang dikemukakan Israel adalah aksi mereka merupakan bagian dari bela-diri (self defence) dan hal tersebut dibenarkan menurut ketentuan Pasal 51 Piagam PBB yang berbunyi: “Nothing in the present charter shall impair the inherent rights of individual or collective set defence if an armed attack occurs against a member of the united nations, until the security council has taken measures necessary to maintain international peace and security”. Inti bunyi Pasal 51 Piagam itu menyatakan anggota PBB memang diperbolehkan mempertahankan diri bila ada serangan bersenjata terhadap wilayahnya. Namun, upaya mempertahankan diri itu harus dilakukan melalui cara-cara yang diatur lewat piagam ini dan dilaporkan ke Dewan Keamanan PBB. Tindakan bela-diri tersebut memang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Bela diri merupakan sebuah hak yang dimiliki oleh setiap negara untuk melindungi diri dan kepentingannya. Penggunaan kekerasan bersenjata (armed forces) pada dasarnya memang dilarang berdasarkan hukum internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya instrumen hukum yang melarang penggunaan kekerasan bersenjata, akan tetapi Pasal 51 Piagam PBB merupakan pengecualian dari prinsip tersebut. Berbeda dengan tindakan bela-diri (self defence) yang dibenarkan menurut ketentuan Pasal 51 Piagam PBB, tindakan agresi merupakan suatu yang dilarang. Ketentuan ini disepakati setelah perang dunia kedua berakhir. Dalam Piagam Nuremburg bagian annex, Pasal 6 (a) dinyatakan bahwa: commit to user “ planning, preparation, initiatiaon or waging of a war of aggression, or a war in violation of international treaties, agreements or assurances, or participation
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
in a common plan, or conspiracy for the accomplishment of any of the foregoing are crimes against peace entailing individually responsibility. Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or execution of the common plan or conspiracy are responsible for all acts performed by any person in execution of such plan.” Ketentuan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa agresi merupakan bagian dari kejahatan perdamaian (crimes against peace) yang mensyaratkan pertanggungjawaban individual. Piagam tersebut menyatakan bahwa larangan atas perang sebagai kebijakan luar negeri yang diambil oleh tiap negara. Akan tetapi definisi dan ciri dari agresi belum mendapat kesepakatan masyarakat internasional. Kesepakatan definisi tersebut baru lahir pada tahun 1974, melalui resolusi Majelis Umum No. 3314 (XXIX), tentang Definition of Aggression. Pasal 1 resolusi tersebut menjelaskan agresi sebagai:“…is the use of armed force by a state against the sovereignty, territorial integrity or political independence of another state, or in any other manner inconsistent with the charter of the united nations, as set out in this definition”. Definisi agresi tersebut merupakan pengulangan apa yang telah diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB bahwa “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nation”. Maksud dalam pasal ini adalah bahwa setiap negara harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun atau dengan kata lain setiap negara dilarang untuk menggunakan kekerasan bersenjata dalam hubungan internasionalnya. Resolusi Majelis Umum membagi agresi menjadi dua. Pertama, A war of aggression (perang agresi) yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap perdamaian. Kedua,
Aggression
(agresi)
yang menimbulkan
tanggungjawab
internasional.
Konsekuensi dari pembedaan tersebut adalah jika sebuah negara melakukaan A war of aggression (perang agresi) maka tanggungjawab dijatuhkan pada pribadi sebagai pelanggaran pidana internasional, namun jika sebuah negara hanya melakukan Aggression (agresi) maka tanggungjawabnya dibebankan kepada negara dengan melakukan reparasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Apabila melihat ketentuan di atas, maka dapat dikategorikan bahwa tindakan Israel ke Gaza memenuhi unsur definisi agresi dan bukan merupakan suatu tindakan bela diri. Serangan yang dilakukan oleh Israel telah melanggar wilayah kedaulatan Palestina. Tujuan Israel yang ingin menjatuhkan HAMAS, juga telah melanggar kemerdekaan politik di Palestina karena telah diketahui bersama bahwa HAMAS merupakan kekuatan politik yang sah di Palestina (Gaza) setelah mereka memenangkan pemilu pada Juni 2007. Pasal 51 menyatakan bahwa bela diri merupakan hak yang dimiliki oleh setiap negara. Hak tersebut timbul apabila negara tesebut telah diserang oleh negara lain (if armed attack occurs). Ketentuan telah terjadinya serangan bersenjata menurut Louis Henkin adalah terbatas atas apa yang telah dinyatakan dalam piagam. Ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama, adalah serangan bersenjata telah terjadi jika telah terjadi pengiriman tentara ke wilayah negara lain. Pendapat ini dikuatkan dengan pendapat mahkamah internasional dalam kasus Nikaragua. Kedua, adalah serangan bersenjata telah terjadi jika telah terjadi tembakan pertama. Akan tetapi pembuktian untuk menyatakan siapa yang telah melakukan tembakan pertama sangatlah sulit. Dalam pelaksanaan hak bela diri, hukum internasional juga mengatur bahwa tindakan tersebut tidak boleh berlebihan. Hak tersebut dilaksanakan hanya untuk memulihkan keadaan seperti semula (Entebee Case) (Musthafa Abd Rahman,2002:24). Kasus agresi Israel ke Gaza yang dianggap sebagai tindakan bela diri oleh Israel tidaklah tepat. Pertama, harus dibuktikan terlebih dahulu apakah serangan roket yang dilakukan oleh HAMAS merupakan opening shot yang memberikan hak kepada Israel untuk melakukan tindakan bela diri. Untuk membuktikan apakah HAMAS memang benar telah melakukan opening shoot terhadap Israel perlu dilakukan oleh penyelidikan oleh tim khusus oleh PBB. Kedua, agresi yang dilakukan oleh Israel tidak memenuhi prinsip-prinsip dalam tindakan bela diri. Agresi tersebut terlalu eksesif dan tidak membedakan antara objek sipil dan militer yang sebagimana diatur dalam hukum humaniter internasional. Dengan demikian maka tindakan yang dilakukan oleh Israel dapat dikategorikan sebagai perang agresi sehingga dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap perdamaian. Agresi tersebut juga dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan perang (war crime) dan masuk dalam cakupan yurisdiksi International commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Criminal Court (ICC) yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Statuta Roma 1998. Kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel ini tentu saja harus ada yang bertanggung jawab (penjahat perang). Berdasarkan ketentuan hukum internasional (Definition of Agsression, 1974) maka pihak yang telah merencanakan dan melaksanakan serangan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Dalam hal ini, maka pemimpin Israel (presiden, perdana menteri dan pejabat militer) dapat dimintai pertanggungjawaban di ICC. Adanya beban pertanggungjawaban terhadap pimpinan suatu negara dalam kasus pidana internasional pun telah terjadi pada kasus pembantaian warga Bosnia-Herzegovina dimana Slobodan Milosevic yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden Serbia dan Radovan Karadjic sebagai panglima militer Serbia, kemudian keduanya diadili sebagai pelaku pelanggaran HAM berat. Perlindungan penduduk sipil dalam hukum internasional terdiri dari perlindungan pada masa perang dan damai. Dalam masa perang, terangkum dalam Hukum Humaniter Internasional sedangkan dalam masa damai terdapat dalam Hukum Hak Asasi Manusia. Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam hukum humaniner Internasional terdapat dalam Konvensi Jenewa ke IV tahun 1949 dan dalam Protokol Tambahan I tahun 1977. Istilah orang yang dilindungi pertama-tama merujuk pada orang-orang yang tergabung dalam peperangan atau pertikaian bersenjata yang telah menjadi korban perang. Dalam arti yang lebih luas orang-orang yang dilindungi meliputi penduduk sipil yang jatuh ke tangan musuh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 dan 13 Konvensi Jenewa IV/1949. Article 4 “Persons protected by the Convention are those who, at a given moment and in any manner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or occupation, in the hands of a Party to the conflict or Occupying Power of which they are not nationals. Nationals of a State which is not bound by the Convention are not protected by it. Nationals of a neutral State who find themselves in the territory of a belligerent State, and nationals of a co-belligerent State, shall not be regarded as protected persons while the State of which they are nationals has normal diplomatic representation in the State in whose hands they are.” Berikut ini adalah bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil yang dilakukan commit to user oleh pasukan Israel dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lead terhadap Konvensi Jenewa IV/1949. Pelanggran yang dilakukan oleh pasukan Israel dapat kategori menjadi 2 jenis kejahatan internasional yang termasuk dalam kriteria pelanggaran HAM berat yaitu: a. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk kedalam kategori Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity) adalah sebagai berikut : 1) Pendudukan Wilayah Selama Opertion Cast Lead setidaknya pasukan Israel telah melakukan beberapa pelanggaran terhadap bunyi Pasal 47 Konvensi Jenewa IV/1949 mengatur tentang Pendudukan Wilayah. Dalam bunyi Pasal 47 disebutkan bahwa orang-orang yang dilindungi yang ada di wilayah yang diduduki, bagaimanapun dan dalam keadaan apapun tidak akan kehilangan manfaat dari Konvensi Jenewa IV/1947 karena perubahan yang diadakan dalam lembaga-lembaga atau pemerintahan suatu wilayah sebagai akibat dari pendudukan wilyah. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat perlindugan bagi warga sipil Palestina di dalam masa perdudukan wilayah oleh Israel. Berdasarkan data yang dihimpun Pusat HAM Palestina, dalam agresi Israel ke jalur Gaza pada akhir Desember 2008 sampai awal Januari 2009 saja sekitar 1.400 warga Palestina yang terdiri dari 400 anak-anak dan setidaknya 700 adalah warga sipil selebihnya adalah pasukan HAMAS (UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA45794685 25734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Dari fakta-fakta jumlah korban yang jatuh diatas tampak jelas bahwa Israel dalam agresinya ke Jalur Gaza telah melanggar Konvensi Jenewa IV 1949 khususnya Pasal 47 yang seharusnya dalam melakukan perang harus dapat membedakan mana yang merupakan objek perang maupun warga sipil dan juga memberikan suatu perlindungan bagi warga sipil di daerah konflik.
2) Penangkapan dan Penghapusan Kebebasan terhadap Penduduk Sipil Israel juga melakukan beberapa pelanggaran terhadap Pasal Pasal 31 Konvensi
Jenewa
IV/1949 mengatur tentang Penangkapan dan commit to user Penghapusan Kebebasan terhadap Penduduk Sipil Opertion Cast Lead.
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 31 memberikan perlindungan bagi penduduk sipil bahwa mereka tidak
diperkenankan
mendapatkan
tindakan
apapun
yang
dapat
menimbulkan penderitaan jasmani ataupun pemusnahan orang-orang yang dilindungi oleh konvensi. Tetapi pada kenyataannya dalam Opertion Cast Lead tentara-tentara Israel sering melakukan penangkapan kepada penduduk-penduduk sipil tanpa adanya alasan yang jelas, tercatat jumlah tawanan mencapai 7.200 orang dan 5.866 diantaranya terdaftar dalam data departemen tawanan Palestina, mereka tersebar dalam 25 penjara Israel, diantaranya ada 103 orang wanita, 465 orang diantaranya adalah anakanak. Sedangkan jumlah tawanan yang menderita penyakit kronis 834 orang yang tidak mendapatkan perawatan apapun di dalam penjara (UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA45794685 25734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Dari fakta-fakta diatas sangat jelas bahwa Israel mengesampingkan bunyi Pasal 31 Konvensi Jenewa IV/1949 karena mereka telah melakukan penghapusan kebebasan terhadap warga sipil yang seharusnya dilindungi dalam konvensi dan tidak ikut di dalam pertikaian, terlebih lagi anak-anak yang seharusnya dapat mengecap pendidikan tetapi malah dimasukan kedalam penjara.
3) Penyiksaan terhadap Penduduk Sipil di dalam tahanan Dalam Opertion Cast Lead prosedur standar hukuman teringan yang ada di penjara Israel adalah ditutup matanya selama berhari-hari dan diikat disuatu tempat yang tidak terlindung dari sinar matahari. Hukuman tambahan yang diberikan adalah dengan memberi pukulan dan mencabut kuku para penghuni penjara dan mematahkan jari-jari mereka, para tahanan digunakan sebagai alat latihan tembak bagi tentara Israel, menuangkan air keras kebadan tawanan. Didalam penjara Israel juga tidak ada
perawatan
bagi
orang
yang
sakit
(OHCRH.2010.http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/12se ssion/UN-HumanRightsCouncilReport-of-the-Fact-Finding-Mission-ofthe-Gaza-Conflict, diakses tanggal 15 Agustus 2012). Hal ini sangat commit to user bertentangan dengan bunyi Pasal 31 dan 37 Konvensi Jenewa IV/1949
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengatur tentang Penyiksaan terhadap Penduduk Sipil di dalam Tahanan. Sudah dijelaskan diatas bahwa dalam Pasal 31 dinyatakan bahwa penduduk sipil tidak diperkenankan mendapatkan tindakan apapun yang dapat menimbulkan penderitaan jasmani, sehingga kekerasan yang dilakukan oleh pasukan Israel di dalam penjara bisa dikategorikan melanggar pasal ini. Selain Pasal 31, Pasal 37 juga mengatur perlindungan penduduk sipil bahwa penduduk sipil yang berada dalam kurungan akan diperlakukan secara manusiawi. Hal ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh pasukan Israel.
4) Deportasi dan Penggusuran terhadap Penduduk Sipil Selama Opertion Cast Lead setidaknya pasukan Israel telah melakukan beberapa pelanggaran terhadap bunyi Pasal 49 tentang Deportasi dan Penggusuran terhadap Penduduk Sipil. Sekitar 500.000 penduduk sipil Palestina dideportasi keluar dari wilayah Palestina dengan maksud agar Israel
bisa
memperluas
wilayahnya
sampai
ke
Palestina
(AmnestyInternasional.2009.http://www.amnesty.org/en/news-and-updates /report/impunity-war-crimes-gaza-southern-israel-recipe-further-civiliansuffering-20090702, diakses tanggal 20 Juli 2012). Selain melakukan pendeportasian maka juga berlangsung proses pembumihangusan dan penghancuran rumah-rumah penduduk baik di desa maupun kota. Hal ini bertentangan dengan bunyi Pasal 49 yang melarang pemindahan paksa baik secara individu ataupun secara masal demikian pula deportasi penduduk sipil ke wilayah negara lain apapun alasannya. Israel telah merampas hak-hak warga Palestina untuk hidup dan tinggal di tanah yang sebenarnya merupakan milik mereka.
5) Pelanggaran Hak Anak-anak Pelanggaran lain yang dilakukan oleh Israel selama Opertion Cast Lead adalah pelanggaran terhadap Pasal Pasal 24 dan Pasal 50 Konvensi Jenewa IV/1949 tentang Perlindungan Hak-hak anak. Sebuah laporan lembaga commit to user kemanusiaan resmi Amerika Serikat, mencatat krisis kesehatan melanda
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
anak-anak Palestina akibat 22 hari agresi Israel ke Palestina, sekitar 22,5% dari anak-anak Palestina mengalami kekurangan gizi. Pasukan Bersenjata Israel membunuh 108 anak, 99 di Gaza selama Opertion Cast Lead. Tanggal 28 Desember 2008, sebuah pesawat Israel menembakkan dua rudal di sejumlah warga sipil Palestina berkumpul di dekat Masjid alIhsan. Sembilan kematian mengakibatkan, termasuk enam anak, dan 12 lainnya luka-luka (UN.2009.http://www.un.org/children/conflict/documents/A.HRC.10.22.pdf, diakses tanggal 17 Juli 2012). Berdasarkan fakta diatas tampak jelas bahwa seakan Israel tidak menghiraukan bunyi pasal 24 dan 50 Konvensi Jenewa IV/1949. Dalam pasal-pasal tersebut sudah dengan jelas disebutkan bahwa pihak dalam pertikaian harus mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin bahwa anak-anak dibawah lima belas tahun, yatim piatu, atau yang terpisah dari keluarga sebagai akibat perang tidak terlantar dan juga kekuatan pendudukan wajib, berkerjasama dengan pemerintah lokal untuk memfasilitasi kerja yang tepat dari semua lembaga yang ditujukan untuk perawatan dan pendidikan anak-anak. Tetapi faktanya di lapangan serangan yang dilakukan oleh pasukan Israel tidak pandang bulu, bahkan korban yang jatuh paling banyak adalah anak-anak.
6) Pembatasan persediaan makan dan kesehatan bagi penduduk korban konflik Menurut laporan Palang Merah Internasional (ICRC) menyebutkan bahwa selama Opertion Cast Lead pasukan Israel menangkap sejumlah warga Palestina dan ditahan untuk diintrogasi dalam kondisi yang tragis tanpa diberi makan, minum dan fasilitas kesehatan. ICRC menyebut israel telah menggelar kejahatan terhadap kemanusiaan (ICRC.2012.http://www.icrc. org/customaryhl/eng/docs/v1_rul_rule47, diakses tanggal 16 September 2012). Dikatakan sebagai pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan kerena seperti yang telah diatur dalam Pasal 55 Konvensi Jenewa IV/1949 tentang pembatasan persediaan makan dan kesehatan bagi penduduk korban konflik bahwa pihak yang melakukan pendudukan dalam hal ini commit to user Israel memiliki tugas memastikan pasokan makanan dan medis bagi
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
penduduk agar tidak terjadi kesengsaraan bagi penduduk yang wilayahnya diduduki jika sumber daya wilayah yang diduduki tidak memadai. Tetapi kenyataannya Israel malah membuat tembok pembatas di sekelilig Palestina yaitu di jalur Gaza dan tepi Barat sehingga organisasi bantuan tidak bisa masuk ke wilayah Palestina untuk memberikan bantuan.
b. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk kedalam kategori Kejahatan Perang (war crimes) adalah sebagai berikut : 1) Larangan pembentukan kawasan rumah sakit di wilayah perang Sepanjang Operasi Cast Lead, ratusan warga Gaza tidak diberi akses ke rumah sakit Israel maupun di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem. Akibatnya, 29 warga sipil meninggal termasuk 17 perempuan dan 10 anakanak. (ICRC.2012.http://www.icrc.org/customaryhl/eng/docs/v1_rul_rule 47, diakses tanggal 16 September 2012). Padahal dalam Pasal 14 Konvensi Jenewa IV/1949 di dalamnya telah diatur bahwa pembentukan kawasankawasan rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan dengan persetujuan bersama antara pihak-pihak yang bersangkutan, tujuan pembentukan kawasan ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada penduduk sipil yang rentan terhadap akibat peperangan. Tetapi dalam kenyataannya pelaksanaan dari bunyi pasal ini tidak ada, Israel malah tidak memberi akses bagi ratusan warga Gaza untuk menuju rumah sakit yang mengakibatkan banyak dari mereka yang akhirnya meninggal dunia. Jangankan membuat suatu rumah sakit yang ditujukan bagi penduduk sipil korban konflik di Palestina, yang ada Israel malah membuat suatu tembok yang mengelilingi Palestina sehingga Palestina seakan terpisah dari dunia luar (Legal Consequences Construction Wall Palestinian Territory).
2) Penghancuran Ekonomi Sepanjang Opertion Cast Lead, pasukan bersenjata Israel di Jalur Gaza terus membatasi setiap bantuan yang diberikan oleh dunia luar terhadap rakyat Palestina dalam bentuk yang bermacam-macam, seperti akses commit to user makanan, obat-obatan, bahan bakar, listrik, dan kebutuhan lainnya ditolak
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehingga jumlah persediaan kebutuhan pokok yang mereka miliki menyedihkan dan terbatas. Tidak jarang para pasukan Israel juga merampas secara paksa harta-harta yang dimiliki oleh penduduk Palestina. Akibat
dari
perbuatan
pasukan
Israel
ini
adalah
telah
terjadi
bencanakemanusiaan,meliputi(UN.2009.http://www.unocha.org/cap/appea ls/mid-year-review-consolidated-appeal-occupied-palestinian-territory200980%, diakses tanggal 15 agustus 2012) a)
warga Gaza menderita kemiskinan;
b) Pengangguran melebihi 55%; c) Warga Negara palestina tidak diberi izin untuk bepergian, baik untuk bekerja maupun belajar di luar negeri; d) Terjadi kemunduran dalam bidang industri, pertanian, konstruksi, transportasi karena tidak terdapatnya bahan bakar dan listrik, dan dasar kebutuhan bahan baku yang mencukupi. Pasal 53 Konvensi Jenewa IV/1949 menyatakan bahwa melarang setiap pengerusakan oleh kekuasaan pendudukan dari pada harta benda yang bergerak, maupun tidak bergerak milik orang sipil perseorangan atau kolektif maupun milik organisasai sosial badan umum kecuali diperlukan untuk kepentingan militer. Dari fakta yang sudah dijelaskan diatas dapat dikatakan bahwa memang Israel telah melanggar isi dari Konvensi Jenewa IV/1949 khususnya bunyi Pasal 53. Berdasarkan fakta diatas pembatasan dan penjarahan yan dilakukan oleh pasukan Israel terhadap penduduk Palestina sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan militer Israel. Sehingga menurut Pasal 53 hal tersebut bisa digolongkan menjadi suatu pelanggaran.
3) Pelanggaran Terhadap Organisasi Bantuan Kemanusiaan Bunyi Pasal 30 Jenewa IV/1949 yang menyatakan apabila pekerja bantuan kemanusiaan haruslah dilindungi didalam melaksanakan tugas-tugasnya di daerah sengketa. Sedangkan Pasal 63 Konvensi Jenewa IV/1949 menyatakan bahwa kekuasaan pendudukan mengakui Palang Merah commit to user (Bulan Sabit Merah) sebagai organisasi kemanusiaan yang memberikan
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bantuan terhadap korban konflik. Masyarakat bantuan lain akan diizinkan untuk melanjutkan kegiatan kemanusiaan mereka di bawah kondisi yang sama. Dalam Pasal 30 dan 63 Konvensi Jenewa IV/1949 sudah jelas diatur didalamnya mengenai perlindungan terhadap organisasi bantuan, tetapi Israel tetap saja melanggar kedua bunyi pasal tersebut. Dalam Opertion Cast Lead tanggal 8 Januari 2009 (Cast Lead Day 12), Israel telah menabrak truk dengan seorang pekerja bantuan kemanusiaan didalamnya sehingga mengakibatkan pekerja kemanusiaan tersebut mengalami lukaluka. Pesawat Israel juga menyerang sebuah sekolah UNRWA di Beit Hanoun pada tanggal 6 Januari 2009 - (Cast Lead Day 10). Akibatnya 40 orang warga sipil Palestina yang ditampung di sekolah tersebut tewas dan beberapa sukarelawan yang kebetulan ada ditempat itu juga mengalami luka-luka
akibat
serangan
udara
Isael
(SecurityCouncil.2009.
http://www.securitycouncilreportorg/chronology/israelpalestine.php?page= 9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Hal ini memperlihatkan bahwa pelindungan bagi organisasi bantuan dalam konflik Israel-Palestina ini masih sangat rendah karena banyaknya sukarelawan yang malah menjadi korban.
4) Penjarahan harta benda milik penduduk sipil oleh tentara Israel Pasal 33 Konvensi Jenewa IV/1949 mengatur tentang segala bentuk penjarahan itu dilarang, dan konvensi ini selain melindungi terhadap orang dan tetapi juga memberikan perlindungan terhadap harta benda mereka dari perampasan. Selama Opertion Cast Lead 216 rumah hancur, 107 di Tepi Barat dan 109 di Gaza. Juga 680 rumah rusak parah. Sebelum merusak dan menghancurkan rumah-rumah penduduk Palestina, pasukan Israel juga menjarah harta benda yang dimiliki oleh penduduk Pelestina yang dianggap berharga. Sedangkan yang tidak dianggap berharga turut dihanguskan bersamaan dengan rumah mereka (SecurityCouncil.2009. http://www.securitycouncilreportorg/chronology/israelpalestine.php?page= 9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Hal ini dianggap melanggar bunyi commit to user Pasal 33 karena seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Pasal 33
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
menyebutkan segala bentuk penjarahan itu dilarang sehingga walaupun dengan alasan apapun penjarahan yang dilakukan oleh pasukan Israel tidak dapat dibenarkan apalagi menjarah barang milik penduduk sipil yang sudah menderita akibat konflik.
5) Sandera Pasal 34 Konvensi Jenewa IV/1949 mengatur tentang pengambilan sandera dilarang. Tetapi dalam kenyataanya, pasukan Israel selama Opertion Cast Lead telah menggunakan warga sipil Palestina sebagai “tameng manusia” (human shield) termasuk dari kalangan anak-anak di bawah umur dan wanita. Pasukan Israel memaksa mereka memeriksa rumah-rumah anggota HAMAS atau yang dicurigai sebagai anggota HAMAS dengan ditodongkan senjata. Sehingga apabila terjadi serangan dari HAMAS warga sipil itu lah yang akan terkena serangan pertama kali (R.AdeMuhammad,M.Han.2010.http://luar- negeri.kompasiana.com/2010 /11/17/strategi-perisai-manusia-hamas, diakases tanggal 2 November 2012). Dalam Pasal 34 sudah diatur secara tegas mengenai pelarangan pengambilan sandra, tetapi pasukan Israel tetap menggunakan praktek kotor ini dalam memburu pejuang Palestina. Mereka tak sungkan-sungkan menjadikan rakyat sipil sebagai tameng. Sehingga Pasukan Israel dapat dikatakan telah melanggar Pasal 34.
6) Pelarangan untuk meninggalkan daerah konflik bagi penduduk sipil Palestina Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa latar belakang dari konflik antara Israel dengan Palestina ini adalah mengenai masalah perebutan tanah. Israel menganggap bahwa tanah Palestina merupakan suatu tanah promise land yang dijanjikan oleh Tuhan kepada Israel, tetapi warga Palestina menganggap bahwa tanah Palestina adalah tanah milik mereka yang sah akibat dari adanya Deklarasi Balfour. Berdasarka fakta sejaah tersebut pasukan Israel dari awal terjadinya konflik ini sampai commit to user dengan Opertion Cast Lead memiliki tujuan yang sama yaitu merebut
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tanah Palestina untuk dijadikan wilayah Israel, oleh karena itu mereka berusaha agar warga Palaestina segera meninggalkan wilayah Palestina. Usaha untuk mengusir warga Palestina yang dilakukan pasukan bersenjata Israel menggunakan kekerasan yang berlebihan dan tidak proporsional, yaitu melalui pemboman, pembunuhan yang ditargetkan, serangan, dan serangan oleh pemukim Israel. Dalam lima hari pertama Opertion Cast Lead, Israel menggunakan udara besar-besaran, tanah, dan kekuatan laut terhadap penduduk sipil tak berdaya terjebak di dalam Gaza dikepung. Pasukan Israel juga malakukan pembatasan gerakan bagi warga Palestina yang ketat di Jalur Gaza dengan memberlakukan ratusan pos pemeriksaan dan tembok pemisahan dibangun di atas tanah Palestina sehingga Palestina tidak dapat berkomunaksi dengan dunia luar. Penyeberangan perbatasan Gaza telah ditutup selama lebih dari dua tahun di bawah kebijakan hukum Israel (AmnestyInternasional.2009.http:// www.amnesty.org/en/news-andupdates/report/impunity-war-crimes-gaza-southern-israel-recipe-furthercivilian-suffering-20090702, diakses tanggal 20 Juli 2012). Perlakuan Israel terhadap warga sipil Palestina ini melanggar Pasal Pasal 35 Konvensi
Jemewa
IV/1949
yang
mengatur
tentang
hak
untuk
meninggalkan daerah konflik bagi penduduk sipil. Inti dari pasal itu menyebutkan bahwa semua orang yang dilindungi yang mungkin memiliki keinginan untuk meninggalkan wilayah konflik, selama terjadi konflik, berhak untuk melakukannya, kecuali keberangkatan mereka bertentangan dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Warga sipil Palestina memiliki hak untuk meninggalkan wilayah Palestina yang saat itu terjadi konflik menurut Pasal 35 karena kondisi Palestina tidak aman dan dapat membahayakan nyawa mereka, tetapi kenyataannya Pasukan Israel menutup semua akses keluar bagi warga Palestina sehingga mereka ikut menderita akibat dampak dari serangan Israel.
Selain Konvensi Jenewa IV/1949 perlindungan penduduk sipil juga diatur dalam Protokol Tambahan I/1977, Berikut ini adalah bentuk Pelanggaran Terhadap commit to user Penduduk Sipil yang dilakukan oleh pasukan Israel Dalam Konflik Israel-Palestina di
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jalur Gaza Pada Tahun 2009 Terhadap Protokol Tambahan I/1977. Sama seperi pembahasan sebelumnya pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel juga dapat kategori menjadi 2 jenis kejahatan Internasional yang termasuk dalam kriteria Pelanggaran HAM Berat yaitu: a. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk kedalam kategori Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity) adalah sebagai berikut : 1) Pelanggaran terhadap perlindungan orang-orang sipil Pasal 11 Protokol Tambahan I/1977 sudah mengatur secara tegas tentang perlidungan penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata, tetapi masih saja Israel melakukan pelanggaran terhadap aturan ini. Pada tanggal 16 Januari 2009 (Cast Lead Day 20) pasukan bersenjata Israel menyerang sekitar 50 target HAMAS di kota Ashdod dan Gat Qiryat yang menyebabkan 5 warga sipil terluka akibat serangan tersebut. Pasukan Israel juga menggelar aksi pembantaian massal terhadap warga sipil Palestina di lapangan selama agresi yang berlangsung 23 hari itu. Sejumlah kesaksian warga yang selamat menyebutkan bahwa Israel membantai sejumlah keluarga, seperti yang terjadi dengan keluarga Samuni di kampung Zaitun (Selatan kota Gaza). Nail Samuni warga Palestina yang selamat dari pembantaian itu menegaskan, dirinya menyaksikan pembunuhan Hamdi Samuni dengan mata kepalanya sendiri dimana pasukan Israel memburunya sambil ditembaki kemudian dibawa bersama sejumlah korban lain dengan buldoser dan dimutilasi. Ia juga menyaksikan bagaimana pasukan israel membunuh dan mengejar keluarga Samuni yang terdiri dari Walid Samuni, ibunya, orang tuanya, dan empat saudaranya dengan ditembaki secara keroyokan oleh pasukan Israel. Padahal jelas sekali tercantum dalam Pasal 11 Protokol Tambahan I/1977 bahwa penduduk sipil tidak boleh dibahayakan jiwanya dan haruslah dilindungi
pada
saat
terjadi
konflik
bersenjata
(SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/is raelpalestine.php?page=9,diakses tanggal 17 Agustus 2012). Berdasarkan commit to user fakta diatas jelas sekali apabila pasukan Israel dapat dikatakan melanggar
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bunyi Pasal 11 Protokol Tambahan I/1977, karena dalam ayat (1) dikatakan bahwa penduduk sipil dalam hal ini warga Palestina harus diberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keutuhan jasmani atau rohani. Selain itu penduduk sipil juga tidak boleh dibahayakan jiwanya oleh suatu tindakan yang sengaja maupun yang tidak sengaja. Ayat (2) dijelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilrang contohnya mutilasi, penggunakan tubuh manusia sebagai bahan percobaan ilmiah, dan pencangkokan. Seharusnya walaupun dalam kondisi konflik, para pihak yang bersengketa tetap harus menjunjung tinggi adanya perlindungan HAM bagi warga sipil tidak boleh melegalkan segala macam cara untuk mencapai kemenangan.
2) Pelanggaran terhadap prinsip pembedaan (distincion principle) Selama periode Opertion Cast Lead, pasukan bersenjata Israel membunuh sekitar 1417 warga Palestina. Dari jumlah tersebut, 926 adalah warga sipil, termasuk 313 anak-anak dan 116 perempuan. Jumlah terluka berjumlah 4336, sebagian besar laki-laki menjadi sipil, wanita, dan anak-anak. (UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA45794685 25734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Seharusnya didalam suatu konflik baik itu yang bersifat internastional armed conflict maupun noninternational armed conflict harus ada pembedaan antara kombatan maupun non-kombatan (penduduk sipil), dimana hal itu berpengaruh terhadap pihak-pihak yang boleh diserang didalam suatu konflik. Hal ini juga diatur dalam Pasal 48 Protokol Tambahan I/1977 yang intinya dalam konflik bersenjata harus ada pembedaan terhadap penduduk sipil dan kombatan, sehingga seragan harus diarahkan hanya terhadap sasaransasaran militer saja. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan pasukan Israel lebih cenderung untuk mengabaikan peraturan tersebut. Mereka melakuan serangan tanpa membedakan kombatan maupun bukan akibatnya banyak korban dari warga sipil. commit to user
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Pelanggaran terhadap perlindungan bagi penduduk sipil Sejumlah kantor berita dan UNISPAL menyatakan bahwa pasukan Israel selama Opertion Cast Lead menangkap sekitar 300 warga Palestina dan membantai sebagian mereka secara brutal dan kejam di lapangan. UNISPAL mengatakan bahwa pasukan Israel membantai sejumlah tawanan baik satu-satu atau masal. Mereka juga membunuh anak-anak dan wanita dengan cara disuruh keluar satu-satu dari rumah dan dibunuh. Terkadang pasukan israel menyuruh beberapa warga masuk rumah dan diberondong dengan peluru bersama-sama. Pasukan Bersenjata Israel juga melakukan pembunuhan yang disengaja dan pelanggaran terhadap hak untuk hidup bagi warga Palestina, sejumlah serangan udara dan serangan darat memang disengaja ditargetkan ke warga sipil di Gaza. 926 warga sipil meninggal, termasuk 313 anak-anak dan 116 perempuan meningggal akibat serangan pasukan Israel (UN.2008. http://unispal.un.org/ UNISPAL. NSF/0/BE07C80CDA4579468525734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Hal ini bertentangan dengan bunyi Pasal 51 Protokol Tambahan I/1977, dalam pasal tersebut dikatakan mengenai penduduk sipil harus mendapatkan perlindungan umum terhadap bahaya-bahaya yang timbul dari operasi-operasi militer, tidak boleh menjadi sasaran serangan. Tindakan-tindakan
atau
ancaman-ancaman
kekerasan
yang tujuan
utamanya adalah menyebarkan teror bagi penduduk sipil dilarang. Perbuatan pasukan bersenjata Israel ini tidak hanya menyebarkan teror ke penduduk sipil Palestina tetapi juga sudah menjadikan warga Palestina menjadi sasaran dari serangan mereka. Apapun bentuk serangannya, walaupun serangan yang ditujukan ke penduduk sipil itu tidak disengaja tetap tidak bisa dibenarkan, terlebih apabila serangan itu memang ditujukan ke penduduk sipil dengan tujuan untuk melumpuhkan HAMAS, hal ini sangat tidak bisa dibenarkan sebab penduduk sipil yang mayoritas adalah anak-anak dan perempuan bukannya objek sasaran serangan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
4) Pelanggaran terhadap pertolongan bagi kepentingan penduduk sipil Dalam Pasal 69 Protokol Tambahan I/1977 dijelasakan bahwa para pasukan militer berkewajiban untuk memberikan persediaan bahan makanan dan kesehatan, sejauh kemampuan yang ada padanya dan tanpa pembedaan yang merugikan, dan juga harus menjamin penyediaan pakaian, perlengkapan tidur, alat-alat perlengkapan tempat berlindung, perbekalan-perbekalan lainnya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil di wilayah pendudukan dan obyek-obyek yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan keagamaan. Israel tampaknya mengabaikan bunyi Pasal 69 dalam Opertion Cast Lead, jangankan memberikan kesempatan untuk penduduk Palestina untuk melaksanakan ritual keagamaan, dalam beberapa serangannya ke Jalur Gaza, masjidmasjid di Palestina menjadi sasaran serangan pasukan bersenjata Israel seperti yang terjadi dalam serangan pasukan bersenjata Israel pada tanggal 15 Januari 2009 (Cast Lead Day 19). Selain itu laporan ICRC menyebutkan bahwa pasukan Israel menangkap sejumlah warga Palestina dan ditahan untuk diintrogasi dalam kondisi yang tragis tanpa diberi makan, minum dan fasilitas kesehatan (ICRC,2003. http://www.icrc.org/ihl .nsf/WebART/58508?OpenDocument, diakses tanggal 17 Juli 2012). Israel telah melanggar hak asasi warga Palestina untuk mendapatkan kebebasan dan juga hak mereka untuk memperoleh kehidupan yang layak, hal ini sangat memperihatinkan karena bukan hanya terjadi kali ini saja tetapi sudah terjadi bertahun-tahun mulai dari konflik antara Israel-Palestina mulai berlangsung.
5) Pelanggaran terhadap perlindungan bagi wanita dan anak-anak Menurut PBB dalam Opertion Cast Lead menyebutkan bahwa pasukan Israel menggunakan warga sipil Palestina sebagai “tameng manusia” termasuk dari kalangan anak-anak di bawah umur dan wanita selama perang berlangsung. Dalam serangannya ke Jalur Gaza pada tanggal 11 commit to user Januari 2009 (Cast Timbal Day 15), pasukan Israel taman kanak-kanak di
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
Ashdod yan menyebabkan korban sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Sebanyak 19 anak-anak dan tiga perempuan meninggal akibat serangan pasukan Israel ke Ashdod ini (UN.2009.http://www.un.org/childr en/conflict/documents/A.HRC.10.22.pdf, diakses tanggal 17 Juli 2012). Tindakan Israel dengan menyerang anak-anak dan perempuan sudah melanggar ketentuan dalam HHI, dalam HHI penduduk sipil saja diberikan perlindungan secara ketat dalam konflik bersenjata, terlebih lagi anak-anak dan perempuan yang juga termasuk kedalam golongan penduduk sipil. Perlindungan terhadap perempuan diatur dalam Pasal 76 Protokol Tambahan I/1977, sedangkan perlindungan terhadap anak-anak diatur dalam Pasal 77 Protokol Tambahan I/1977. Dalam kedua pasal tersebut dijelaskan bahwa baik perempuan maupun anak-anak sama-sama harus mendapatkan penghormatan khusus dan harus dilindungi, dan hukuman mati tdak boleh dilaksanakan terhadap perempuan maupun anak-anak. Pengaturan perlindungan perempuan dan anak-anak dalam kedua pasal tersebut sudah jelas, tetapi lagi-lagi Israel tidak mematuhi bunyi pasal tersebut dengan menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai sasaran serangan.
b. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk kedalam kategori Kejahatan Perang (war crimes) adalah sebagai berikut : 1) Pelanggaran terhadap perlindungan dan perawatan Sepanjang Operasi Cast Lead, ratusan warga Gaza tidak diberi akses ke rumah sakit Israel maupun di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem. Akibatnya, 29 warga sipil meninggal termasuk 17 perempuan dan 10 anakanak. Sedangkan jumlah tawanan Israel yang menderita penyakit kronis yaitu sebanyak 834 orang yang tidak mendapatkan perawatan apapun di dalam penjara (ICRC.2012.http://www.icrc.org/customaryhl/eng/docs/v1 rul_rule47,diakses tanggal 16 September 2012). Berdasarkan fakta diatas, dapat dikatakan bahwa pasukan berenjata Israeltelah melanggar bunyi Pasal 10 Protokol Tambahan I/1977. Pasal tersebut mengatur bahwa semua commit to user yang luka atau sakit dari pihak manapun mereka harus dihormati dan
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
dilindungi, dalam segala keadaan mereka itu harus diperlakukan secara perikemanusiaan dan tidak boleh ada perbedaan diantara mereka. Dalam kenyataannya Israel kurang memperhatikan perlindungan dan perawatan bagi penduduk Gaza. Selain tidak diberikan akses menuju ke rumah sakit, di Gaza sendiri juga hanya terdapat beberapa rumah sakit yang tidak sebanding dengan jumlah korban yang berjatuhan akibat serangan Israel. Selain itu juga terdapat perbedaan apabila yang menjadi korban adalah warga Israel maka prosedur perawatannya akan lebih jika dibandingkan dengan warga gaza.
2) Pelanggaran terhadap perlindungan satuan kesehatan Pasukan Bersenjata Israel berulang kali menyerang ambulan dan pekerja medis. PCHR mencatat tiga pembunuhan satuan kesehatan dalam Opertion Cast Lead. Banyak lainnya terluka, beberapa serius. Serangan yang dilakukan pasukan Israel ketika para satuan kesehatan sedang melakukan misi kemanusiaan untuk membantu mereka yang terluka dan sekarat (ICRC.2012.http://www.icrc.org/customaryhl/eng/docs/v1_rul_rul
e47,
dia- kses tanggal 16 September 2012). Seperti yang terjadi dalam serangan pasukan Israel ke jalur Gaza tanggal 8 Januari 2009 (Cast Lead Day 12), PBB mengklaim pasukan Israel telah menabrak truk yang mengangkut bantuan bagi penduduk Palestina, yang menyebabkan seorang anggota satuan kesehatan tewas (SecurityCouncil.2009. http://www.securitycouncil report.org/chronology/israelpalestine.php?page=9,diakses
tanggal
17
Agustus 2012). Tindakan Israel itu tidak dapat dibenarkan karena dalam HHI, satuan kesehatan itu memiliki imunitas artinya tidak dapat dijadikan objek serangan. Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 12 Protokol Tambahan I/1977 yang menyebutkan bahwa satuan kesehatan harus dihormati dan dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan. Apabila mungkin Pihak-Pihak dalam sengketa harus menjamin satuan kesehatan ditempatkan pada obyek-obyek militer tidak membahayakan keselamatan mereka. Jadi yang seharusnya dilakukan oleh pasukan commit to user bersenjata Israel terhadap para satuan keamanan adalah memberikan suatu
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jaminan perlindungan bagi mereka agar selamat dalam menjalankan tugasnya bukan dijadikan sebagai salah satu objek serangan seperti yang dilakukan saat ini.
3) Pelanggaran terhadap penggunaan senjata-senjata dalam konflik bersenjata Dalam konflik antara Israel dengan Palestina sudah terjadi sangat lama, bahkan dimulai setelah berakhirnya Perang Dunia I, terjadi perbedaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Palestina maupun Israel seperti yang sudah dijelaskan dalam tabel 1 diatas. Walaupun kekerasan yang dilakukan oleh masing- masing pihak menggunakan kekuatan militer menyebabkan kerugian yang sangat besar di kalangan warga sipil dari kedua belah pihak, tetapi PBB menegaskan bahwa reaksi Israel atas serangan roket perlawanan Palestina tidak sepadan. Zionis Israel juga dinilai tidak mengambil langkah memadai untuk menghindari jumlah korban sipil akibat serangan bom. Bahkan PBB mengeluar laporan bahwa Israel menggunakan
bom
fosfor
putih
di
wilayah
padat
penduduk
(Anonim.2011.http://www.voiceofpalestine.com//inter-Penyakit-KankerWarga-Gaza-Meningkat30%-Akibat-Bom-Fosfor-Putih-Israel.htm, diakses tanggal 11 april 2009). Peraturan mengenai penggunaan senjata-senjata dalam konflik bersenjata sebenarnya sudah diatur didalam Pasal 35 Potokol Tambahan I/1977, dalam Pasal 35 sudah dibatasi mengenai penggunakan senjata dalam konflik bersenjata, bahwa senjata-senjata yang boleh digunakan hanyalah senjata-senjata yang tidak mengakibatkan kerusakan yang hebat, meluas dan berjangka waktu lama terhadap keadaan lingkungan alam. Selain itu juga dilarang menggunakan senjata-senjata, projektil-projektil dan bahan-bahan dan cara-cara peperangan yang bersifat mengakibatkan luka (injury) yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Dalam Opertion Cast Lead terbukti bahwa Israel menggunakan bom fosfor putih di wilayah padat penduduk. Bom fosfor ini menimbulkan luka yang berlebihan bagi penduduk sipil. Bom fosfor putih mengakibatkan luka bakar yang parah sampai menembus tulang manusia. Bom fosfor commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
putih merupakan senjata yang telah dilarang digunakan dalam perang (Aryuni Yuliantiningsih, 2009:115).
4) Pelanggaran terhadap cara-cara dalam berperang Pada tanggal 3 Januari 2009 (Cast Lead Day 7) pasukan bersenjata Israel melakukan operasi tiga hari di Nablus dan kamp-kamp pengungsi tetangga, melukai 38 warga Palestina dan menangkap 31 lainnya. Mereka menembak tanpa pandang bulu terhadap “apa saja yang bergerak," termasuk
kru
medis,
ambulans,
dan
rumah
sakit.
(Security
Council.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israelpales tine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Dalam Pasal 40 Protokol Tambahan I/1977 dikatakan bahwa dilarang memerintahkan bahwa tidak boleh ada seorangpun dibiarkan hidup. Tetapi dalam serangannya ke Palestina tanggal 3 Januari 2009, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, memerintahkan untuk menembakan terhadap apa saja yang bergerak yang jelas-jelas melanggar bunyi Pasal 40.
5) Pelanggaran terhadap perlindungan objek-objek sipil Pada tanggal 29 Desember 2008 (Cast Lead Day 3), pasukan bersenjata Israel menghancurkan Kementerian Dalam Negeri Palestina di Gaza dan membuat setidaknya lima serangan terhadap Universitas Islam di Jalur Gaza. Berdasarkan laporan PBB, kerusakan total terjadi pada 3530 rumah di Jalur Gaza dan lebih dari 2850 rumah lainnya rusak parah, sementara 52.900 rumah lainnya rusak ringan (SecurityCouncil.2009.http://www. sec uritycouncilreport.org/chronology/israelpalestine.php?page=9,diakses tang gal 17 Agustus 2012). Ini menunjukkan bahwa rumah, sekolah, dan objek sipil lainnya menjadi target penuh selama agresi Israel di Jalur Gaza Palestina. Hal tersebut sangat bertentangan dengan bunyi Pasal 52 ayat (1) yang menyatakan objek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan. Serangan-serangan harus dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer. Sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya, letak commit to user tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
efektif bagi aksi militer. Rumah warga Palestina, Kementerian dalam Negeri Palestina dan Universitas Islam di Jalur Gaza dalam kondisi ini adalah objek sipil yang harusnya tidak boleh diserang oleh pasukan bersenjata Israel. Dikatakan sebagai objek sipil karena objek-objek tersebut tidak memiliki sumbangan yang efektif bagi aksi militer. Objek tersebut hanya digunakan untuk keperluan warga sipil saja.
6) Pelanggaran terhadap penyerangan tempat-tempat ibadah di Palestina Selain merusak objek-objek sipil, pasukan bersenjata Israel juga melakukan penyerangan yang mengakibatkan rusaknya tempat ibadah di Palestina. Selama agresi, pesawat tempur Israel dan roket-roketnya menggempur habis puluhan masjid di Jalur Gaza. Israel menghancurkan 45 masjid dan lebih dari 165 masjid rusak ringan. Pada tanggal 13 Januari 2009 atau Cast Lead Day 17 Pasukan Bersenjata Israel melakukan penyerangan ke salah satu Masjid di Palestina yang dianggap oleh Pasukan Israel menjadi tempat persembunyian para anggota HAMAS. Tanggal 15 Januari (Cast Lead Day 19) Pasukan Bersenjata Israel juga menyerang sebuah masjid Rafah. Ini menunjukkan bahwa masjid dan tempat ibadah itu menjadi target penuh selama agresi Israel di Jalur Gaza Palestina (SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/is raelpalestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Dalam HHI, setiap angkatan bersenjata selain dilarang untuk menyerang objek-objek sipil juga dilarang untuk menyerang tempat-tempat ibadah dan juga tempat bersejarah yang diatur dalam Pasal 53 Protokol Tambahan I/1977. Tetapi dalam kenyataannya tempat ibadah menjadi target sasaran utama pasukan bersenjata Israel dalam agresinya. Hal ini sangat tidak dibenarkan dan Israel jelas-jelas telah melakukan suatu kejahatan perang (war crimes).
7) Pelanggaran Terhadap Wartawan Selama Opertion Cast Lead, pasukan bersenjata Israel juga melakukan penyerangan terhadap beberapa wartawan. Mereka sengaja ditargetkan commit to user untuk mencegah meluasnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
oleh pasukan bersenjata Israel terhadap warga sipil Palestina. Pelanggaran yang dilakukan berupa pembunuhan, penolakan akses ke daerah-daerah tertentu, penahanan, penyitaan, perusakan harta milik wartawan, pemukulan, pelecehan, dan intimidasi. Selama Opertion Cast Lead seorang wartawan tewas dan 28 luka-luka lain Israel (UN.2008. http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA4579468525734800 500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Pasal 79 Protokol Tambahan I/1977 telah mengatur secara tegas tentang kedudukan wartawan dalam konflik bersenjata. Dikatakan bahwa wartawan-wartawan yang melakukan tugastugas pekerjaanya yang berbahaya di daerah-daerah sengketa bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil, artinya setiap wartawan yang sedang melakukan tugasnya baik itu berasal dari wilayah kedua pihak yang sedang bersengketa maupun dari negara lain memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama seperti perlindungan terhadap penduduk sipil. Jadi intinya tindakan pasukan bersenjata Israel terhadap para wartawan yang sedang pertugas di Jalur Gaza yang dengan sengaja menjadikannya sebagai objek serangan sangat tidak dibenarkan. Seharusnya para wartawan tersebut dilindungi dalam menjalankan tugasnya bukan dijadikan objek serangan dengan alasan apapun. Konflik antara Israel-Palestina dapat dikategorikan sebagai perang karena perlu diketahui sebelumnya apabila salah satu syarat dari perang adalah tidak perlu disetujui oleh seluruh pihak yang turut serta dalam peperangan. Jadi apabila salah satu pihak saja menyetujui suatu perang maka hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai perang.
2. Mekanisme Penegakan Hukum Terhadap Perlindungan Penduduk Sipil Ditinjau Dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998 Dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009 Reaksi masyarakat Internasional terhadap agresi Israel ke Palestina cukup keras. Masyarakat Internasional telah menuduh Israel melakukan kejahatan perang seperti yang sudah penulis bahas dalam rumusan masalah pertama dan ingin menuntut commit to user Israel ke Mahkamah Internasional. Tim pencari fakta PBB telah menyelidiki dan
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
terbukti Israel memang telah melakukan kejahatan perang. Wacana untuk membawa Pemerintah Israel dan pejabatnya ke Pengadilan Internasional sudah menjadi perhatian masyarakat internasional sejak perang Arab tahun 1948. Kemudian pasca serangan Israel ke Jalur Gaza tanggal 27 Desember 2008 sampai 18 Januari 2009 (Operation Cast Lead), wacana tersebut kembali mengemuka. Dalam HHI apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter ada tiga alternatif mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil yang dapat ditempuh untuk menghukum para pelaku kejahatan perang tersebut seperti yang sudah penulis jabarkan dalam bab sebelumnya. Pada bab ini penulis akan menjabarkan satu per satu alternatif mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil yang kemungkinan dapat ditempuh untuk mengadili Israel yang telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai perlidungan terhadap penduduk sipil yang diatur dalam Konvesi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998. Ketiga mekanisme tersebut adalah: a. Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Mekanisme yang pertama adalah dengan menggunakan menggunakan National Court atau Mekanisme Nasional. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Konvensi Jenewa I, Pasal 50 (1) Konvensi Jenewa II, Pasal 129 (1) Konvensi Jenewa III dan Pasal 146 (1) Konvensi Jenewa IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan. Maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Pasal 17 Statuta Roma 1998 mengatur bahwa satu kejahatan itu pasti terjadi di wilayah nasional suatu negara maka harus ada jaminan adanya penuntutan yang efektif dengan mengambil tindakan hukum ditingkat nasional, maka didasarkan asas kedaulatan negara tindakan hukum ditingkat nasional haruslah dilakukan lebih dahulu, namun jika proses peradilan yang efektif melalui tindakan hukum ditingkat nasional tidak dapat berjalan barulah ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya. Mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang mengacu kepada proses pengadilan nasional ini disebut commit to user sebagai prinsip exhaustion of local remedies.
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil melalui hukum nasional (exhaustion of local remedies) tidak dapat dilaksanakan karena adanya hal-hal sebagai berikut: 1) Negara tersebut sungguh-sungguh “Unwilling” (ketidaksediaan) atau “Unable” (tidak mampu); 2) Negara telah mengambil keputusan tidak menuntut seseorang itu karena “Unwillingnes” (keengganan) atau “Inability” (Ketidakmampuan). Pasal 17 ayat 2b dan c Statuta Roma 1998 mengatur yang dimaksud dengan “Unwillingness” adalah: a) Proses
pemeriksaan
yang
bertujuan
melindungi
orang
yang
bertanggungjawab tersebut dari tindak pidana; b) Penundaan dalam proses pemeriksaan; c) Proses pemeriksaan tidak independen atau memihak. Sedangkan yang dimaksud dengan “inability” dalam Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma 1998 ialah ketidakmampuan sesuai dengan kondisi yang obyektif karena kehancuran secara total atau substansial atau tidak tersediannya sistem peradilan nasionalnya, negara tidak dapat menangkap tersangka atau mendapatkan bukti dan saksi yang diperlukan atau sebaliknya tidak mamapu melakukan proses pemeriksaan. Jadi yang dimaksud dengan peradilan nasioanal tidak dapat berjalan dengan efektif adalah jika terdapat “Unwilling”, ”Unable”, ”Unwillingness”, “Inability”. Apabila negara nasional telah mengambil keputusan untuk mengadili seseorang tetapi berdasarkan “Unwillingness” (keengganan) dalam arti untuk melindungi terdakwa atau pemeriksaan dilakukan tidak independen atau memihak, maka perkara yang sudah diadili oleh pengdilan nasional tersebut dapat diadili lagi oleh ICC sehingga dengan mengesampingkan asas Ne bis in idem. Prinsip-prinsip yurisdiksi yang berkaitan dengan exhaustion of local remedies yaitu (R.Herlambang Perdana Wiratraman,2007:11 ):
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
1) Prinsip Yurisdiksi Teritorial Prinsip yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction principle) adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya terhadap peristiwa pidana (internasional) yang terjadi di wilayah negaranya; 2) Prinsip yurisdiksi personal Prinsip yurisdiksi personal (personal/nationalitet jurisdiction principle) adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukum pidana nasionalnya terhadap peristiwa pidana (internasional) yang dilakukan oleh atau korbannya warga negaranya, dimanapun peristiwa pidana itu terjadi; Prinsip ini dibagi dua yaitu prinsip yurisdiksi personal aktif dan prinsip yurisdiksi personal pasip. a) Prinsip yurisdiksi personal aktip adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukum pidana nasionalnya terhadap peristiwa pidana (internasional) yang dilakukan oleh warga negaranya, dimanapun peristiwa pidana itu terjadi. b) Prinsip yurisdiksi personal pasif adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukum pidana nasionalnya terhadap peristiwa pidana (internasional) dimana korbannya adalah warga negaranya, dimanapun peristiwa pidana itu terjadi; 3) Prinsip yurisdiksi protektif Prinsip yurisdiksi atas dasar perlindungan (protective jurisdiction principle) adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya terhadap peristiwa pidana yang terjadi di luar wilayah negaranya dan dilakukan oleh atau korbannya bukan warga negaranya, tetapi peristiwa pidana (internasional) tersebut membahayakan kepentingan keamanan, politik dan ekonomi negaranya. 4) Prinsip yurisdiksi universal Prinsip yurisdiksi universal (univesal jurisdiction principle) adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya terhadap peristiwa pidana, yang terjadi di luar wilayahnya dan dilakukan oleh serta commit to user korbannya bukan warga negaranya, tetapi peristiwa pidana itu merupakan
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peristiwa pidana internasional (delicto ius gentium atau international crimes ataupun crimes under international law). Mekanisme pertama yang menyebutkan bahwa negara peratifikasi konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 harus menerbitkan undangundang nasional yang memberikan sanksi yang efektif bagi pelaku kejahatan. Seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Belgia, Kanada, Belanda, Inggris dan Spanyol yang dalam perundangan nasionalnya menerapkan berlakunya yurisdiksi internasional untuk pelaku kejahatan internasional. Meskipun belum tentu efektif namun dapat dijadikan alternatif untuk menyeret dan mengadili para petinggi-petinggi Israel. Akan tetapi mekanisme ini akan sangat sulit ditempuh karena sampai saat ini Israel belum meratifikasi konvensi Jenewa 1949 dan tidak mungkin akan menghukum pelaku dengan hukum nasionalnya karena Israel ingin melindungi pelaku kejahatan yang dilakukan oleh warga negaranya sendiri. Sebenarnya Israel mampu saja untuk mengadili para warga negaranya yang telah melakukan pelanggran HAM berat di Palestina karena Israel sudah memiliki sistem peradilan nasional dan dapat dengan mudah menangkap para tersangka atau mendapatkan bukti dan saksi yang diperlukan , tetapi Israel tidak bersedia untuk melakukannya “Unwilling” karena sudah pasti apabila Israel akan bertujuan untuk melindungi warga negaranya secara habishabisan dari tanggungjawab pidana di dalam pengadilan. Maka sangat tidak mungkin untuk mengandalkan mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil ini untuk mengadili Israel atas kejahatan perang yang sudah dilakukan. Walaupun dengan menggunakan sistem pengadilan nasional (exhaustion of local remedies) tidak dapat diadili, tetapi apabila negara nasional telah mengambil
keputusan
untuk
mengadili
seseorang
tetapi
berdasarkan
“Unwillingness” (keengganan) dalam arti untuk melindungi terdakwa atau pemeriksaan dilakukan tidak independen atau memihak, maka perkara yang sudah diadili oleh pengdilan nasional tersebut dapat diadili lagi oleh ICC sehingga dengan mengesampingkan azas Ne bis in idem. commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) Pengadilan pidana inernasional atau dalam bahasa Inggris di sebut Internasional Criminal Court (ICC) merupakan lembaga hukum independen dan permanen yang dibentuk oleh negara-negara internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes).
Prinsip
kerjanya adalah melengkapi hukum nasional suatu negara, ICC bekerja apabila Mahkamah Nasional tidak mau (Unwilling) dan tidak mampu (unable) (Arie Siswanto, 2005;45). ICC memiliki beberapa yurisdiksi yang menyangkut tentang pihakpihak dan peristiwa-peristiwa yang dapat diadili di dalam ICC, yaitu (Arie Siswanto,2005:39): 1) Yurisdiksi personal Meliputi warga negara pihak, warga negara bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi Mahkamah dan warga negara bukan negara pihak, namun kasusnya diajukan ke Mahkamah berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Hal tersebut berlaku untuk setiap individu baik pejabat diplomatik maupun pemerintahan dan berlaku untuk para komandan atau para pejabat sipil lainnya, kecuali mereka yang berumur dibawah 18 tahun. 2) Yurisdiksi teritorial Berlaku atas kejahatan pelanggaran HAM berat adalah di wilayah negara peserta Statuta Roma 1998, negara yang mengakui yurisdiksi atas dasar ad hoc declaration dan perluasan yurisdiksi terhadap kapal dan pesawat udara yang terdaftar di negara pihak. 3) Yurisdikasi temporis ICC menganut prinsip asas legalitas, maksudnya adalah seseorang tidak dapat dianggap melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana apabila sebelumnya tidak ada kriminalisasi formal terhadap tindakan yang dilakukan itu. Hal ini diatur dalam Pasal 11 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ICC tidak memiliki kewenangan untuk menanngani kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelum tanggal 1 Juli 2002. commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Yurisdiksi Ratione personae ICC memiliki yurisdikasi atas orang (natural person), dengan demikian ICC tidak berwenang mengadili legal person, termasuk negara dan organisasi internasional. Oleh karena itu dalam ICC dikenal prinsip pertanggung jawaban individu (individual responsibility). Prinsip pertanggung jawaban individu dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998 dimana
dikatakan
bahwa
posisi
pelaku
tidak
menghapus
pertanggungjawaban pidana atapun mengurangi hukumannya. 5) Yurisdiksi Ratione materiae Jenis-jenis kejahatan yang dapat dicakup oleh yurisdiksi ICC berdasarkan Pasal 5-8 Statuta Roma 1998 adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Mekanisme kedua adalah dengan menggunakan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel sebenarnya termasuk salah satu kewenangan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai pengadilan tetap yang mulai berlaku efektif semenjak tahun 2002. Israel, selama berkonflik dengan Palestina dituduh telah melakukan berbagai kejahatan berat dalam lingkup hukum internasional. Dengan berbagai bukti banyaknya korban jiwa dan serangan-serangan dari Israel terhadap penduduk sipil Palestina yang selalu disiarkan ke publik, hal ini menjadikan keyakinan bahwa memang Israel telah melakukan suatu tindakan sistematis dan terencana untuk melenyapkan penduduk Palestina. Pelaku yang dianggap paling bertanggung jawab atas tindakan pembantaian dan pengusiran massal rakyat Palestina dari tanah kelahirannya adalah para pemimpin yang memerintahkan tindakan tersebut. Pemimpin-pemimpin Israel sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam keluarnya perintah keji terhadap penindasan rakyat Palestina, adalah merupakan suatu kejahatan perang dan kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia dan sangat berat hukumannya. Tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin Israel itu bisa diproses di ICC, karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma, bahwa yurisdiksi ICC adalah terbatas pada kejahatan internasional yang paling serius. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
Terlepas dari kemampuan ICC untuk menghukum para penjahat perang Israel tersebut, sebagai salah satu metode menghentikan konflik berkepanjangan Israel-Palestina, ada hal prinsipil yang menyebabkan tidak bisanya ICC mengambil alih permasalahan itu, yaitu masalah keterikatan dan eksistensi yurisdiksi ICC. Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh yurisdiksi ICC tersebut, tetapi melalui suatu pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Roma 1998 (Boer Mauna, 2003: 263). Kemudian, syarat utama bagi eksisnya yurisdiksi itu oleh Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998 dinyatakan dalam hal: 1) kejahatan yang dilakukan terjadi di dalam wilayah negara peserta; atau 2) kewarganegaraan dari si pelaku adalah negara yang menjadi negara peserta atas Statuta. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998 bahwa ICC hanya berlaku bagi negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998, sedangkan Israel belum meratifikasi Statuta Roma 1998. Oleh karena Israel tidak mengikatkan diri atau menjadi negara peserta pada Statuta ICC (Statuta Roma), maka ICC tentunya tidak akan bisa memproses kasus penjahat perang bagi para pemimpin Israel. Para pemimpin Israel yang seharusnya dapat diadili sebagai penjahat perang, namun terbentur dengan syarat formal pada Statuta Roma 1998. Maka, usaha untuk menghentikan konflik Israel-Palestina melalui ICC menjadi tak berarti. Namun demikian dalam Pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa ICC memiliki kewenangan untuk mengadili negara nonperatifikasi Statuta Roma 1998 dengan syarat negara tersebut haruslah membuat suatu pernyataan penerimaan yurisdiksi ICC atau perjanjian khusus yang isinya negara tersebut harus menundukan diri dan menerima yurisdiksi ICC. Sehingga menurut pendapat penulis, Israel dapat dituntut ke mahkamah internasional atas kejahatan kemanusiannya terhadap penduduk sipil Palestina berdasarkan Pasal 12 ayat (3) juncto Pasal 4 ayat (2). Pasal 13 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa ICC memiliki tiga kewenangan untuk memeriksa kejahatan internasional, jika terdapat suatu kenyakinan bahwa salah satu/seluruh pihak melakukan kejahatan internasional commit to user sesuai yang disebutkan dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 telah terjadi:
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
1) Atas permintaan negara peserta di mana terjadi pelanggaran HAM. 2) Referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan kewenangan Bab VII Piagam PBB. 3) Inisiatif dari jaksa ICC. Kewenangan pertama rasanya sangat susah untuk dilaksanakan karena salah satu pihak yang bersengketa yaitu Israel tidak akan mau apabila sampai membawa masalah ini sampai ke ICC karena pasti mereka akan melindungi warga negaranya dari tuduhan telah melakukan pelanggaran HAM. Selain itu Palestina sendiri belum meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai negara peserta. Kewenangan kedua dengan menggunakan Referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Yurisdiksi teritorial ICC mengatakan bahwa apabila suatu kasus dirujuk ke penuntut umum oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan kewenangan Bab VII Piagam PBB, Statuta Roma 1998 tidak menegaskan tentang aspek teritorialitas tempat kejadian pelanggran (locus delicti) maupun aspek nasionalitas pelakunya. Dengan kata lain apabila suatu perkara datang dari referensi dari Dewan Keamanan PBB, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di wilayah negara yang bukan pihak dalam Statuta Roma 1998. Jadi cara untuk membawa Israel ke ICC adalah dengan menggunakan referensi dari Dewan Keamanan PBB. Tetapi dalam prakteknya tidak semudah itu untuk menggunakan referensi Dewan Keamanan PBB untuk membawa Israel ke ICC. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tidak akan pernah memberikan referensi terhadap masalah ini untuk diselesaikan ke ICC karena adanya faktor hak veto dari Amerika Serikat yang merupakan sekutu dari Israel. Masyarakat internasional sebenarnya dapat terus mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengadili Israel di ICC, namun kendalanya resolusi ini harus didukung dengan suara bulat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu: Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Republik Rakyat Cina, dan Perancis. Amerika Serikat sebagai sekutu Israel,dan memiliki kedudukan sebagai anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB memiliki hak veto yang pasti akan digunakan pada saat usul pemberian referensi terhadap masalah Israel-Palestina untuk commit to user diselesaikan ke ICC, sesuai dengan isi dari doktrin Negroponte yang dikeluarkan
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Amerika sejak 26 Juli 2002 dimana menyatakan bahwa Amerika Serikat akan selalu siap menentang setiap resolusi Dewan Keamanan PBB yang berusaha untuk menghukum Israel. Hal itu tentu saja akan membatalkan keputusan DK PBB untuk menyelesaikan kasus Israel-Palestina melalui ICC. Inilah salah satu kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto (Pan Mohamad Faiz,2006;1). PBB
melalui
Dewan
Keamanan
(DK)
sudah
beberapa
kali
mengeluarkan Resolusi untuk meminimalisir konflik di negara yang bertikai tersebut, tetapi Israel tidak pernah mematuhinya. Sebulan sejak dikeluarkannya Resolusi DK PBB No. 1850 tanggal 16 Desember 2008 yang berisi meminta kepada Israel dan Palestina untuk menahan diri dan melanjutkan upaya-upaya perundingan dan penyelesaian sengketa secara damai. Israel malahan menggempur habis wilayah Palestina dengan Opertion Cast Lead. Lebih ironis lagi, pertemuan darurat DK PBB gagal menghasilkan Resolusi baru yang lebih tegas untuk memaksa Israel menghentikan serangannya dan membuka blokade jalur Gaza. Sebelumnya sudah ada Resolusi No. 242, 338, 1397 dan 1515, namun kesemuanya itu tidak berarti apa-apa bagi Israel. Bahkan Israel terangterangan melecehkan semua Resolusi ini dengan membangun tembok-tembok yang menutup dan memblokade Gaza. Puncaknya, Israel bahkan mengabaikan Advisory Opinion atas permintaan Majelis Umum PBB yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional di tahun 2004 dengan tetap meneruskan pembangunan tembok-tembok tersebut. Berdasarkan berbagai pelanggaran terhadap hukum internasional diatas, setidaknya terdapat dua kewenangan yang dimiliki DK PBB untuk menghentikan kejahatan perang dan kemanusiaan oleh Israel. Pertama, DK PBB harus berani menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 13 (b) Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili pelaku kejahatan perang dan kemanusiaan. Komandan pasukan Israel bahkan sampai dengan Kepala Negara Israel harus dihadapkan ke persidangan pidana atas jatuhnya korban dan harta benda penduduk sipil di Gaza. Kedua, untuk mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi, DK PBB harus berani commit to user menggunakan kewenangannya untuk memberikan sanksi tegas terhadap Israel.
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Supaya efektif, sanksi ini dapat berupa embargo perdagangan sementara atau dalam kurun waktu tertentu sampai dengan Israel bersedia mematuhi ketentuan hukum internasional. Bahkan bila langkah ini masih dianggap kurang, DK PBB harus berani menggunakan kekuatan bersenjata sebagaimana yang dimandatkan oleh Pasal 42 Piagam PBB. Masalahnya, penggunaan kewenangan oleh DK PBB hanya bisa terwujud bila kelima negara pemegang hak veto setuju secara bulat untuk mengeluarkan Resolusi berisi dua hal diatas. Salah satu saja tidak setuju, maka sulit untuk dapat menghentikan kejahatan Israel. Reformasi dalam tubuh DK PBB adalah suatu hal yang mutlak untuk dilakukan
segera.
Sejak
pertengahan
90-an,
beberapa
negara
telah
berunglangkali menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan hak veto, sebab hal itu sama saja memberikan jaminan atas ekslusifitas dan dominasi peran negara angota tetap Dewan Keamanan. Walaupun anggota tetap mengakui bahwa hak veto seharusnya merupakan upaya terakhir, tetapi faktanya mereka menggunakan hak veto secara berulang kali. Penyalahgunaan hak istimewa tersebut pada akhirnya justru menimbulkan kekacauan sistem di dalam tubuh Dewan Keamanan, membuat semakin tidak demokratis, jauh dari sebuah arti legitimasi, dan seringkali dirasakan sangat
tidak efektif. Oleh karenanya,
diperlukan adanya reformasi di dalam tubuh Dewan Keamanan PBB yaitu upaya untuk menghilangkan pemberian hak veto yang dianggap sebagai akar permasalahan utama dari ketidakefektifan Dewan Keamanan selama ini. Namun hambatan utamanya adalah dapat dipastikan bahwa negara anggota tetap akan senantiasa melakukan penolakan setiap adanya keinginan reformasi dari sistem pengambilan suara yang telah ada, sebab memenuhi tuntutan reformasi tersebut sama saja melempar posisi mereka jauh menjadi tidak diperhitungkan lagi dalam politik global. Sepanjang reformasi ini masih belum terjadi Israel akan terus mendapatkan
perlindungan
dari
sekutunya
yang
memiliki
hak
veto.
Ketidakadilan masih akan terus berlanjut dan rakyat sipil akan terus menjadi korbannya (Pan Mohamad Faiz,2006:1). Dalam penggunaan inisiatif jaksa ICC (in propio motu) sebenarnya ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila negara tempat pelanggaran terjadi commit to user (locus delicti) atau negara tempat kewarganegaraan pelaku haruslah negara
perpustakaan.uns.ac.id
121 digilib.uns.ac.id
pihak atau negara yang telah menerima yurisdiksi ICC dalam statuta Roma 1998 seperti bunyi Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998. Tetapi dalam bunyi Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa ICC bisa menjalankan fungsi dan kewenangannya di negara yang bukan pihak, asalkan membuat suatu deklarasi atau pernyataan yang didaftarkan yang isinya negara tersebut telah menundukan diri, menerima berlakunya yurisdiksi mahkamah yang berkaitan dengan kasus tersebut, dan negara harus bekerjasama dengan mahkamah untuk dapat menyelesaikan kasus tersebut. Penggunaan in propio motu bisa saja dilakukan dalam kasus ini asalkan salah satu pihak baik itu Israel maupun Palestina membuat suatu perjanjian khusus seperti yang disebutkan dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma 1998. Selain itu, penggunaan inisiatif jaksa ICC (in propio motu) sudah pernah dilakukan terhadap Presiden Sudan Umar Hasan Ahad al-Bashir. Meskipun Sudan bukan negara peserta ICC, namun karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat (kejahatan kemanusiaan) maka Umar Hasan Ahad al-Bashir diajukan oleh jaksa ICC untuk diadili di ICC. Hal ini juga sama seperti kasus konflik antara Israel-Palestina, walaupun Israel belum meratifikasi Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar dari ICC tetapi Israel telah dianggap melakukan pelanggaran HAM berat (Eka an Aqimuddin,2010;1). Hal ini bisa saja terjadi karena seperti yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya bahwa salah satu sumber dari hukum internasional adalah hukum kebiasaan internasional, maka keputusan hakim terdahulu juga dapat digunakan sebagai sumber hukum internasional. Ada beberapa pertimbangan-pertimbangan yang dapat menguatkan pendapat penulis apabila Israel memang dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yaitu: (a) H. Donnedieu de Vabres menyatakan memidana dengan melanggar asas legalitas memang tidak adil, tetapi tidak menghukum orang yang bersalah karena kejahatan yang dilakukannya jauh lebih tidak adil. (b) “Strong Radbruch argument of the superior and compelling needs of justice”. Artinya, kendatipun perbuatan terdakwa adalah legal, namun perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga keadilan membenarkan commit to user untuk menghukum perbuatan tersebut sekarang. Oleh karena itu,
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penghukuman yang diberikan saat ini adalah retroaktif, namun ini adalah contoh dimana penghukuman yang bersifat retroaktif dibenarkan karena prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi derajadnyamengalahkan prinsip non-retroaktif. (c) Knowledge of Guitl and/or Knowedge that the Action Could be Subject to letter Punishment. Argumen tersebut mengandung arti meskipun perbuatan itu legal dilakukan pada saat itu, si pelaku sesungguhnya mengetahui (a) bahwa dalam beberapa pertimbangan penting perbuatan itu salah, dan/atau (b) bahwa perbuatan tersebut dapat dihukum yang dijatuhkan kemudian hari. (d) General Principles of Justice Override Existing Domestic Law. Prinsip ini menyatakan, “ bahwa jikalau pun perbuatan ini secara formal sah menurut rezim hukum sebelumnya, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga sesungguhnya menurut rezim hukum sebelumnya pun perbuatan itu tidak sungguh-sungguh legal karena perbuatan itu telah melanggar prinsip-prinsip umum keadilan yang mengesampingkan hukum positif yang berlaku saat itu. (e) Non-retroactive through Re-interpretation of the prior law. Artinya, perbuatan
tersebut
sedemikian
tercelanya
sehingga
sesungguhnya
berdasarkan hukum yang berlaku sebelumnya pun tidak benar-benar legal secara
formal.
Jika
hukum
nasional
yang
berlaku
sebelumnya
diinterprestasikan dengan tepat, meskipun didasarkan atas hukum yang berlaku pada saat itu pun perbuatan tersebut seharusnya telah dihukum, namun hukuman itu telah diinterprestasikan sedemikian rupa sehingga tidak menghukum perbuatan tersebut. (f) Clear Violation of Prior Law. Maksudnya, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga perbuatan tersebut bahkan tidak benar-benar legal secara formal berdasarkan hukum yang berlaku sebelumnya; hukum tersebut, melalui setiap interprestasi yang masuk akal, menghukum perbuatan itu pada saat dilakukan. (g) Kendati Israel belum meratifikasi Konvensi Jenewa IV/1949 tentang commit to user perlindungan penduduk sipil dan Protokol Tambahan I/1977 tentang
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
perlindungan korban pertikaian dalam konflik internasional, tetapi konvensi tersebut sudah merupakan hukum kebiasaan internasional yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Begitu pula yang tercantum di dalam Mahkamah Tokyo pada saat mengadili kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang yang pada saat itu belum meratifikasi konvensi Den Haag. Perlu diketahui lebih lanjut bahwa didalam Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) dikenal dengan adanya asas tanggung jawab individu. Artinya bahwa kedudukan resmi pelaku tidak dapat dijadikan alasan untuk mengindarkan diri dari tanggung jawab pidana. Kejahatan yang dilakukan atas perintah atasan atau pemerintah, tidak dapat membebaskan pelaku dari tanggung jawab dan dijadikan dasar untuk mengurangi hukuman. Adanya asas tanggung jawab individu semakin menguatkan kembali pendapat penulis bahwa Israel dapat dituntut ke mahkamah internasional. Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) dapat menuntut para petinggi pemerintahan Israel yang menjadi otak serangan Israel ke Palestina. Para petinggi pemerintahan Israel tidak dapat mengelak terhadap tuduhan pelanggaran hukum humaniter yang mereka lakukan berdasarkan perintah negara, sehingga secara individu mereka tidak dapat dimintai pertanggung jawaban. Jalan keluar terakhir yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan antara Israel-Palestina adalah dengan penjatuhan sanksi hukum internasional yang luas. Ini bisa dilakukan melalui sebuah kebijakan embargo bagi Israel. Selain itu, kebijakan mengasingkan Israel dari pergaulan internasional pun patut diterapkan. Dengan embargo ekonomi, Israel secara otomatis akan merasakan akibatnya. Pendapatan menjadi semakin terkikis dan bukan tidak mungkin Israel tidak akan bisa lagi menghimpun kekuatannya untuk menggempur Palestina, karena bagian vital suatu negara, yaitu ekonomi telah diserang melalui kebijakan embargo. Pengasingan Israel dari pergaulan internasional dengan cara pemutusan hubungan diplomatik, harus dilakukan. Melalui mekanisme tersebut, Israel tidak commit to user akan mendapat sokongan bantuan baik materiil maupun immateriil, sehingga
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
bisa dipastikan kekuatan Israel dalam segala hal akan tumpul. Maka, dengan kondisi yang lemah, Israel akan sulit untuk terus melancarkan serangan ke Palestina. Selain itu, tanpa didukung oleh negara lain, Israel nantinya diharapkan akan menjadi sadar dan tidak egois terhadap segala bentuk usaha penyelesaian konflik dengan Palestina. Namun, usaha embargo dan pemutusan hubungan diplomatik maupun pengasingan akan terwujud apabila mendapat dukungan dari seluruh masyarakat internasional. Harus ada political will dari setiap negara untuk menyelesaikan dan mengakhiri konflik Israel-Palestina ini. Diperlukan kerja sama yang solid demi terciptanya kehidupan dunia internasional yang rukun dan damai.
c. Melalui Mahkamah Ad Hoc Dalam Pasal 11 Statua Roma 1998 menyatakan bahwa yurisdiksi ICC hanya mencangkup kejahatan yang dilakukan setelah Statuta Roma 1998 mulai berlaku yaitu tanggal 1 Juli 2002. Dengan kata lain setiap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma menjadi yurisdiksi ICC untuk mengadilinya. Tetapi tidak semua negara di dunia menjadi anggota ICC sehingga tidak semua pelanggaran berat bisa dibawa ke ICC. Dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa ICC dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah yang bukan merupakan negara pihak apabila terdapat perjanjian khusus. Penulis rasa pasal ini kurang efektif, karena apabila suatu negara non pihak tidak membuat suatu perjanjian khusus yang mengikatkan diri terhadap Statuta Roma 1998, maka yurisdiksi ICC tidak dapat digunakan. Padahal tujuan dari ICC adalah untuk untuk mengakhiri impunity bagi yang melakukan kejahatan dan mengupayakan pencegahan terjadinya kejahatan, tentu saja hal ini sangat bertentangan dari tujuan utama dibuatnya ICC. Dalam Statuta Roma 1998, penyelesaian untuk negara non anggota juga masih minim pengaturannya, hanya Pasal 13 ayat (2) yang mengatur penggunaan referensi Dewan Keamanan PBB untuk penyelesaian untuk negara non anggota, selebihnya tentang pengaturan penyelesaian negara non anggota tidak dijelaskan lebih lanjut. Bunyi Pasal 13 ayat (2) menurut penulis sangat commit to user tidak efektif apabila digunakan untuk menyelesaikan kasus kejahatan yang salah
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
satu negara yang menjadi korban belum terdaftar sebagai anggota PBB seperti kasus Israel-Palestina. Apalagi kita tahu apabila Israel memiliki dukungan dari sekutunya yaitu Amerika Serikat yang menjadi salah satu anggota DK PBB, yang pastinya akan mengeluarkan hak veto apabila DK PBB mengeluarkan referensinya untuk membawa kasus Israel-Palestina ke ICC. Dari hasil penjabaran penulis diatas, dapat disimpulkan apabila ICC kurang memberikan perlindungan terhadap negara-negara yang belum menjadi anggota. Disinilah menurut penulis peran dari Mahkamah Ad Hoc berada. Di dalam Statuta Roma 1998 memang tidak ada pasal yang mengatur secara tegas tentang kedudukan Mahkamah Ad Hoc ketika ICC telah dibentuk, tetapi berdasarkan pembukaan Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa kejahatan yang paling serius menurut masyarakat internasional tidak dapat dibiarkan tanpa adanya ganjaran dan untuk mengakhiri impunity bagi yang melakukan kejahatan tidak menutup kemungkinan dapat dibentuknya suatu mahkamah Ad Hoc. Selain itu, tujuan pokok dari HHI adalah untuk menjamin hak-hak asasi manusia yang fundamental dari berbagai jenis pelanggaran tanpa adanya diskriminasi, hal ini semakin memperkuat alasan untuk dibentuknya, mahkamah Ad Hoc apabila memang terdapat alasan yang mendesak yaitu ICC tidak dapat mengadili suatu kasus. Perlu diingat apabila pembentukan mahkamah Ad Hoc ini haruslah dengan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Masyarakat internasional bisa saja terus mendesak Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pengadilan Ad Hoc untuk Israel, namun kendalanya resolusi ini haruslah mendapat dukungan penuh dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Republik Rakyat Cina, dan Prancis. Maksudnya dari kelima anggota Dewan Keamanan PBB itu harus mendukung untuk dibentuknya pengadilan Ad Hoc tersebut. Apabila ada satu saja negara angota tetap Dewan Keamanan PBB yang melakukan hak veto, maka akan menggagalkan pembentukan pengadilan Ad Hoc untuk Israel. Sebenarnya Pembentukan pengadilan Ad Hoc ini sarat dengan nuansa politik yang tinggi, Amerika Serikat yang dikenal sebagai sekutu Israel pasti akan mengeluarkan hak veto-nya untuk commit to user menggagalkan pembentukan pengadilan Ad Hoc untuk Israel. Sehingga sudah
perpustakaan.uns.ac.id
126 digilib.uns.ac.id
pasti pembentukan pengadilan Ad Hoc ini akan gagal apabila hanya dengan menggunakan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB saja. Sebenarnya ada jalan keluar lain yang dapat memungkinkan untuk dibentunya pengadilan Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus Israel-Palestina tanpa menggunakan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Memang secara prosedural pembentukan suatu pengadilan Ad Hoc haruslah berdasarkan pada persetujuan dari Dewan Kemanan PBB seperti pembentukan ICTY dan ICTR, tetapi tidak menutup kemungkinan apabila Majelis Umum PBB mengambil alih peran yang seharusnya dimiliki oleh Dewan Keamanan ini. Boer Mauna dalam bukunya mengatakan bahwa kemacetan yang terjadi dalam Dewan Keamanan PBB akhirnya menyebabkan Majelis Umum dalam prakteknya memainkan peranan yang cukup penting. Pasal 10 Piagam PBB menyatakan bahwa: Majelis Umum dapat membahas semua persoalan atau hal-hal yang termasuk kedalam kerangka Piagam atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan fungsi salah satu organ yang tercantum dalam Piagam dan membuat rekomendasi-rekomendasi kepada anggota-anggota PBB atau ke Dewan Keamanan. Mengenai masalah pemeliharaan perdamaian, Pasal 11 ayat 2 Piagam PBB menyatakan bahwa: Majelis dapat membahas dan membuat rekomendasi-rekomendasi mengenai semua persoalan yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan internasional yang diajukan oleh salah satu anggota PBB atau Dewan Keamanan PBB atau oleh negara bukan anggota PBB. Jadi Majelis Umum memiliki kewenangan atas berbagai persoalan apakah persoalan itu merupakan suatu sengketa atau keadaan. Mengenai keadaan, Majelis Umum memiliki suatu intervensi langsung dalam dua hal. Pertama menurut Pasal 11 ayat (3), Majelis dapat menarik perhatian Dewan Keamanan PBB terhadap semua keadaan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Selanjutnya menurut Pasal 14, Majelis Umum dapat mengusulkan tindakan-tindakan untuk penyelesaian sengketa secara damai semua keadaan, tanpa memandang asal-usul, yang mungkin mengganggu kesejahteraan umum atau membahayakan hubungan baik antar bangsa. Istilah penyelesaian sengketa secara damai ini mempunyai arti yang sangat luas. Hal ini juga memungkinkan untuk merubah suatu keadaan tertentu yang ada tetapi tidak commit to user
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sesuai dengan suasana dan yang dapat menimbulkan kekacauan internasional (Boer Mauna,2008:220). Fungsi dan kekuasaan Majelis Umum Menurut Bab IV Pasal 10-17 Piagam PBB, Majelis Umum dapat: 1) Mempertimbangkan dan membuat rekomendasi mengenai prinsip-prinsip umum kerja sama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, termasuk perlucutan senjata; 2) Mendiskusikan pertanyaan yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan internasional dan, kecuali sengketa atau situasi saat ini sedang dibahas oleh Dewan Keamanan, membuat rekomendasi di atasnya; 3) Mendiskusikan,
dengan
pengecualian
yang
sama,
dan
membuat
rekomendasi pada setiap pertanyaan dalam lingkup Piagam atau mempengaruhi kewenangan dan fungsi dari setiap organ Perserikatan Bangsa-Bangsa; 4) Memulai penelitian dan membuat rekomendasi untuk meningkatkan kerjasama politik internasional, pengembangan dan kodifikasi hukum internasional, realisasi hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kemanusiaan, bidang budaya, pendidikan dan kesehatan; 5) Membuat rekomendasi untuk penyelesaian damai dari setiap situasi yang bisa merusak hubungan persahabatan antara negara-negara; 6) Menerima dan mempertimbangkan laporan dari Dewan Keamanan dan badan-badan PBB; 7) Mempertimbangkan dan menyetujui anggaran PBB dan menetapkan penilaian keuangan dari negara-negara Anggota; 8) Memilih non-anggota tetap Dewan Keamanan dan anggota lain dewan Bangsa Bangsa dan organ dan, atas rekomendasi dari Dewan Keamanan, menunjuk Sekretaris Jenderal. Berdasarkan resolusi PBB No. 377 (V) tentang "Uniting for Peace" yang dikeluarkan pada November 1950, Majelis Umum juga dapat mengambil tindakan jika Dewan Keamanan gagal untuk bertindak, karena suara yang commit to user negatif dari anggota Dewan Keamanan permanen, dalam kasus di mana
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tampaknya menjadi ancaman bagi pelanggaran, ketenangan perdamaian atau tindakan agresi. Majelis Umum dapat mempertimbangkan hal tersebut segera dengan maksud untuk membuat rekomendasi kepada anggota untuk langkahlangkah kolektif untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional (UN.2012.http://www.un.org/en/ga/about/background.shtml, diakses tanggal8 November 2012). Penggunaan kewenangan Majelis Umum apabila terjadi kemacetan dalam Dewan Keamanan PBB sudah pernah digunakan didalam penyelesaian masalah di Sierra Leone dan Invasi Korea Utara ke Korea Selatan tahun 19501953. Pada kasus di Sierra Leone, pengadilan khusus yang dibuat untuk Sierra Leone berbeda dari pengadilan kejahatan perang untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). ICTY dan ICTR didirikan oleh Resolusi Bab VII Dewan Keamanan, Sedangkan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone dibentuk berdasarkan perjanjian yang dibentuk oleh persetujuan yang dibuat antara PBB dan Sierra Leone. Persetujuan yang dikeluarkan oleh PBB lewat Dewan Keamanannya untuk membentuk suatu lembaga pengadilan di Sierra leone ini berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1315 pada tanggal 14 Agustus 2000 yang telah diadopsi oleh dewan keamanan PBB. Dengan kata lain pembentukan pengadilan Ad Hoc di Sierra Leone ini terwujud berkat rekomendasi dari Majelis Umum. Lembaga Pengadilan Ad Hoc di Sierra Leone ini menggunakan sistem pengadilan baru yaitu Pengadilan campuran atau Hybrid Court atau Internationalised Domestic Criminal Tribunals . Maksud dari campuran disini adalah, bahwa peradilan pidana internasional diselenggarakan atas kerjasama internasional dan negara yang bersangkutan yang akan menyidangkan perkara pidana internasional. Campuran disini juga dapat diartikan adanya bantuan pendanaan
dalam
mempersiapkan
diselenggarakannya
peradilan
pidana
internasional tersebut dari masyarakat internasional. PBB beranggapan, bahwa PBB memiliki tanggungjawab untuk pendanaaan, sumberdaya manusia, menyediakan hakim-hakim, penuntut umum melalui sumbangan-sumbangan atau kontribusi dari Negara lainnya (Ilias Bantekas dan Susan Nash, 2003: 397). Sedangkan peran Majelis Umum PBB dalam kasus invasi Korea Utara commit to user ke Korea Selatan tahun 1950-1953 adalah Majelis umum mengambil tindakan
perpustakaan.uns.ac.id
129 digilib.uns.ac.id
karena Dewan Keamanan dirasakan gagal untuk bertindak, karena adanya suara yang negatif untuk menyelesaikan kasus ini dari anggota Dewan Keamanan permanen. Perang Korea dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953 sebenarnya adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan, tetapi perang ini juga disebut "perang yang dimandatkan" (proxy war) antara Amerika Serikat dan sekutunya dengan komunis Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet yang kesemuanya adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Disebut sebagai "perang yang dimandatkan" (proxy war) karena sarat dengan nuansa politis sebab sekutu utama Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Britania Raya sedangkan sekutu utama Korea Selatan adalah RRC dan Rusia. Sehingga setiap akan dibuat suatu lembaga pengadilan Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus ini pasti selalu mendapatkan veto dari masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan yang tidak lain adalah sekutu dari kedua negara yang berkonflik. Negara-negara sekutu pasti tidak rela apabila dibuat suatu lembaga pengadilan Ad Hoc untuk kasus Perang Korea karena akan merugikan mereka. Disinilah diperlukan campur tangan dari Majelis Umum ketika dirasa terdapat “Dead Lock” dalam Dewan Keamanan PBB. Majelis Umum memberikan suatu rekomendasi untuk mengakhiri sengketa antara pihakpihak yang terkait dengan menggunakan jalan damai yang kemudian dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB. Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Seungman Rhee, menolak menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut. Berdasarkan kedua contoh campur tangan dari Majelis Umum ini sesungguhnya dalam kasus Israel-Palestina, Majelis Umum juga dapat mengambil alih kasus tersebut sebab Dewan Keamanan PBB dirasa sudah tidak dapat lagi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan hak veto yang terus dikeluarkan oleh Amerika Serikat apabila ingin mencapai kesepakatan tentang pembentukan pengadilan Ad Hoc untuk Israel. Hal ini bisa saja terjadi karena seperti yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya bahwa salah satu sumber commit to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari hukum internasional adalah hukum kebiasaan internasional, maka keputusan pengadilan terdahulu juga dapat digunakan sebagai sumber hukum internasional. Majelis
umum
bisa
merekomendasikan
untuk
membuat
suatu
pengadilan Ad Hoc dengan sistem campuran atau Hybrid Court seperti yang terjadi di Sierra Leone atau dengan metode penyelesaian secara damai lewat penandatanganan persetujuan gencatan senjata dengan syarat kedua negara harus menghormati adanya perjanjian itu. Keugulan dengan menggunakan sistem pengadilan Hybrid Court adalah sistem pengadilan ini menggunakan dua sistem yaitu sistem nasional dan sistem internasional. Dengan menggunakan sistem nasional, penuntutan kejahatan dapat dilakukan terhadap peristiwa pidana (internasional) dimana korbannya adalah warga negaranya, dimanapun peristiwa pidana itu terjadi sehingga bisa dilakukan penuntutan secara efektif (prinsip yurisdiksi personal pasif), sedangkan dengan menggunakan sistem internasional dalam hal ini PBB dapat melengkapi apabila hukum domestik terdapat masalahmasalah hambatan dari sistem hukum domestik seperti amnesti, imunitas, tidak memadainya kapasitas atau sumber daya pada level nasional, ketidakjelasan atau tidak memadai kemandirian dari sistem hukum domestik dengan memberi bantuan seperti pendanaaan, sumber daya manusia, menyediakan hakim-hakim, penuntut umum melalui sumbangan-sumbangan atau kontribusi dari negara lainnya(HighonetEthel.2010.http://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent .cgi?article=1005&context=student_papers&seiredir=1#search=%22restructurin g%20hybrid%20court%22, diakses tanggal 2 November 2012). Diharapkan dengan menggunakan sistem peradilan yang seperti ini masalah pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang lama bisa segera terselesaikan sehingga tidak menjadi berlarut-larut dan ditakutkan dapat mengganggu keamanan di dunia.
commit to user
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV KESIMPULAN
Dari perumusan masalah yang penulis kemukakan serta pembahasannya maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza Pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009 dapat dikategorikan menjadi dua jenis kategori kejahatan yaitu Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity)
dan
kategori
Kejahatan Perang (war crimes). 2. Mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil ditinjau dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998 dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009 a. Dengan menggunakan ICC Mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil melalui ICC dapat diselesaikan melalui referensi Dewan Keamanan PBB tetapi dengan syarat harus ada reformasi dalam tubuh PBB dahulu sebelumnya untuk menghilangkan hak veto yang selalu menghalangi penyelesaikan konflik ini. Selain itu juga dapat menggunakan inisiatif jaksa ICC (in propio motu) seperti yang pernah dilakukan terhadap presiden Sudan Umar Hasan Ahad al-Bashir. b. Dengan menggunakan pengadilan Ad hoc Memang secara prosedural pembentukan pengadilan Ad Hoc itu harus berdasarkan persetujuan Dewan Keamanan
PBB tetapi tidak menutup
kemungkinan apabila Majelis Umum mengambil alih peran Dewan Keamanan dengan
membuat suatu rekomendasi yang kemudian dipatuhi oleh Dewan
Keamanan apabila terjadi dead lock dalam Dewan Keamanan PBB. Hal ini juga pernah digunakan untu menyelesaikan kasus di Sierra Leone dan invasi Korea Utara ke Korea Selatan 1950-1953.
commit to user