ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID.SUS/2007)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : FEBRI DWI HARTANTI NIM : E0005018
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID.SUS/2007)
Disusun oleh : FEBRI DWI HARTANTI NIM : E0005018
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum. NIP. 131 863 79
ii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID.SUS/2007) Disusun oleh : FEBRI DWI HARTANTI NIM : E0005018 Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 14 Juli 2009
TIM PENGUJI 1. Kristiyadi, S.H., M. Hum.
: ......................................................
NIP. 131596273 Ketua 2. Edy Herdyanto, S.H.. M.H.
: ......................................................
NIP. 131472194 Sekretaris 3. Bambang Santoso, S.H., M Hum.
: ......................................................
NIP. 131863797 Anggota MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. NIP.131 570 154
iii
ABSTRAK
FEBRI DWI HARTANTI. E 0005018.ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PUTUSAN MA NO.15 K/ PID.SUS/2007). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pengajuan kasasi oleh kejaksaan negeri Pemalang dan pertimbangan hakim Agung dalam menolak kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah (studi putusan no. 15 k/ pid.sus/2007) Penelitian ini merupakan penelitian normatif atau doktrinal yang bersifat deskriptif dengan menggunakan jenis data sekunder. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. Jenis data sekunder yaitu data yang didapat dari sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Sehingga kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiil atau mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil kesimpulan / verifikasi dan akan diperoleh kebenaran obyektif. Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dasar pengajuan kasasi kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah di Pemalang dengan Terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah adalah judex factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum. Sedangkan Pertimbangan Hakim Agung adalah bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex factie tidak salah menerapkan hukum.
iv
MOTTO
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala ( dari kebajikan ) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya. -( QS. Al-Baqarah: 286 )-
Motivasi adalah langkah pertama untuk mencapai keberhasilan, karena motivasi adalah pelahir tindakan pertama, yang bisa menjadi langkah awal dari langkah-langkah berikutnya yang cemerlang - Penulis -
Ingatlah, kualitas yang prima tidak menjamin keberhasilan bagi siapapun, tetapi penggunaan yang bersungguh-sungguh dari kualitas apapun yang Anda miliki itu lah jalan terbaik menuju jaminan yang Anda inginkan. Selalu, berupayalah untuk menjadi yang terbaik dalam yang Anda lakukan - Penulis -
Bukan besar atau kecil yang membuat engkau menang atau gagal, tetapi jadilah yang terbaik siapapun engkau adanya - Douglas Mallock Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin kembali esok, maka manfaatkan waktumu sebaik mungkin - Penulis Sebuah pribadi dibentuk oleh koleksi kebiasaannya - Penulis -
v
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada : §
Allah SWT yang Maha Segalanya yang selalu memberikan yang terbaik dalam setiap detik episode kehidupan
§
ibuku
dan
babeku
yang
telah
memberi dukungan dan doanya yang begitu besar dalam hal apapun §
masdung mengarahkanku
yang untuk
salalu menjadi
pribadi yang mandiri, membantu dan menyemangati setiap waktu; §
sahabat-sahabat
terbaikku
begitu berharga dalam hidupku;
vi
yang
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: “ANALISIS DASAR
PENGAJUAN
PERTIMBANGAN
KASASI
MAHKAMAH
PENUNTUT AGUNG
UMUM
DALAM
DAN
MEMUTUS
PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PUTUSAN MA NO.15 K/ PID.SUS/2007)”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril yang diberikan oleh berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan skripsi. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi . 3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi yang telah menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya untuk memberikan ilmu, bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga untuk memberi nasihat serta mendengar keluh kesah penulis. 4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
vii
5. Ibu Rofikah, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan, cerita dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya. 7. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi. 8. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas bantuannya yang memudahkan penulis mencari bahan-bahan referensi untuk penulisan penelitian ini. 9. Kedua orang tua, Babeku tersayang pak Mucshon dan Ibuku tercinta Sri Hartini, yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada kata yang dapat mewakili rasa terima kasih atas segala yang telah diberikan. Semoga Ananda dapat membalas budi jasa kalian dengan memenuhi harapanharapan yang ibu dan babe inginkan.. 10. Abangku tercinta ( Masdung / Kodrat Muh Hartanto ) yang selalu memberikan kasih sayang, arahan, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam bentuk apapun, walaupun kita jauh dan susah untuk berkumpul tapi kasih sayangmu begitu besar semoga Ade bisa membuatmu bangga. 11. Eyang putriku yang memberi semangat kepada penulis untuk tetap semangat.. 12. Om Budi yang selalu memberikan nasihat, dukungan serta wejangan mengenai nilai-nilai kehidupan dan beberapa hal keagamaan.. 13. Mulya Jati Milarti dan Caecar Asmara Juda Halilintar sahabat terbaikku terimakasih atas banyak hal yang begitu berharga yang menjadikanku lebih mengenal pergaulan dan berkawan yang baik dengan sesama. 14. Sahabat-sahabatku tercinta Gank HIT yang sudah kuanggap saudaraku sendiri (“Miemi” teman seperjuanganku makasi banyak atas perhatian yang begitu besar yang selalu mengarahkanku untuk mengambil jalan terbaik walaupun
viii
kadang aku sendiri tak menghiraukan. Makasi ya!, “Ayu” kan selalu kuingat jasamu
anter
jemput
aku
kuliah,
selau
dengerin
curhatku,
selalu
mengarahkanku, “Ratih” Mamiku apapun itu yang kita alami jadikan pembelajaran diri dan janganlah di sesali makasi atas bantuannya, ”Intan” yang semakin hari semakin positif-positif aja ayo Lanjutkan!, “Febri” Pribadimu sungguh memotivasiku untuk menjadi lebih baik, Oiya ayo cari calon suami yang baik, “Yellin” Makasi untuk semuanya and tetep semangat untuk menggapai dowble degree...keren, “Ika” Bekerja yang rajin dan gapailah cita dan cintamu seperti yang kau inginkan, “Iis” kalau sudah sampai wamena tetep ingat aku ya..) Untuk semuanya makasih telah dengan setia mendengar keluh kesah penulis dan memberi bantuan, semangat, serta dukungan yang luar biasa untuk menyelesaikan skripsi. Maaf telah banyak merepotkan kalian. 15. Untuk Farid Rizal sudah tak bisa merangkai kata lagi cuma bisa bilang makasih untuk semuanya. Banyak hal baru yang dapat kuperoleh darimu. 16. Sahabat-sahabatku Iwan (Momot) , Anggun, Deddy, Bram, Siweng makasih uda mau main-main bareng dan sukses buat kalian.. 17. Teman-teman kosku mbak Mita, dek Ipin, Dhita, tante Lukma, teteh Neny, Mbak Kingkin, Mbak Lely yang tak henti-hentinya mengingatkanku belajar hidup dengan orang lain dan menemani hari-hariku di kos. 18. Temen- temen Reza, Ruri, Evi, Endah, Isty, Puri, Fai, Putra, Ria, Febty, Ijup, Ratna, Prima, Arif, Pambudi, Dilla, Andan, Eko Joko, Adit, Kotrek, Hendrik, Rudy makasih telah menemani hari-hariku di FH 19. Seluruh teman-teman angkatan 2005 FH UNS yang mengisi hari-hari kuliah penulis selama ini. 20. Temen-temen Angkatan 2004 Mbak Lina makasi atas dukungannya sekaligus menjadi temen berbagi cerita dan konsultanku, Mbak Ria, Mbak Ninda, Mbak Dyah makasi telah banyak mengajarkanku hidup dan makasi selalu mengajakku jalan-jalan jangan sampai silaturrahmi kita putus. 21. Seluruh Guru serta teman-teman SD, SMP, SMU yang telah menjadi bagian hidup penulis.
ix
22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Juli 2009 Penulis
FEBRI DWI HARTANTI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................
iii
ABSTRAK ...................................................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ..................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................
vii
DAFTAR ISI................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Perumusan Masalah................................................................
7
C. Tujuan Penelitian....................................................................
7
D. Manfaat Penelitian..................................................................
8
E. Metode Penelitian ...................................................................
9
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori .......................................................................
15
1. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim Hakim……….
15
a. Pengertian Putusan…………….……………………..
15
b. Jenis-Jenis Putusan.......................................................
15
c. Sahnya Suatu Putusan..................................................
18
d. Putusan pada Tingkat Pertama dan Terakhir..............
19
e. Putusan dalam Tingkat Banding.................................
20
f. Pertimbangan Hakim dalam Putusan...........................
22
2. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Agung .....................
xi
25
a. Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Agung..........
25
b. Fungsi Mahkamah Agung........……………………... .
26
3. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi...........................
29
a. Pengertian Upaya Hukum Kasasi.. ..............................
29
b. Kasasi Sebagai Upaya Hukum..…....……………..
30
c. Maksud dan Tujuan Upaya Hukum Kasasi..................
30
d. Tata Cara Pengajuan Kasasi.......................................
32
e. Alasan Kasasi.............................................................
33
f. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi...................................
37
4. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan ...............................
39
a. Pengertian Kejaksaan................................................
39
5. Tinjauan Umum Tentang Money Politics......................
39
a. Pengertian Tentang Money Politics..........................
39
b. Pengertian Tentang Money Politics Dalam Pilkada..
39
B. Kerangka Pemikiran………………………………………..
42
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pengajuan Kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang dalam Perkara Money Politics dalam pemilihan Kepala Daerah………………………………………………… 44 B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Menolak Pengajuan Kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang Dalam Perkara Money Politics Dalam Pemilihan Kepala Daerah..........................................69
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ................................................................................
74
B. Saran.......................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi terhadap warga negara. Untuk membangun demokrasi secara menyeluruh dan bertanggungjawab perlu adanya penegakan demokratisasi secara konsisten. Penegakan demokratisasi di Indonesia memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua bahwa membangun demokrasi tidaklah mudah. Membangun demokrasi yang diharapkan membawa kesejahteraan masyarakat tidak akan dicapai bila hanya melakukan perubahan sistem ataupun aturan prosedural saja, namun juga menyangkut budaya/culture dari elit politik maupun warga negara secara keseluruhan. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung merupakan satu langkah maju dalam penegakan demokratisasi di Indonesia yang telah dibangun sejak era reformasi 1998. Sebagaimana bunyi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 18 ayat (4) yang bunyinya “ Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokasi untuk menggerakkan jalur roda pemerintahan. Fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan tersebut. Dalam konteks struktur kekuasaan, Kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Jabatan publik artinya kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat atau publik, hal tersebut akan berdampak kepada rakyat dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyatnya. Pelaksanaan Pilkada langsung juga merupakan peristiwa penting untuk menjaring pemimpin yang lebih baik sebagai kepala daerah di tiap-tiap wilayah di Indonesia.. Pilkada merupakan rekrutmen politik dimana rakyat menyeleksi tokoh-tokoh lokal yang1mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Dalam kehidupan politik di daerah, Pilkada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya sejajar dengan pemilihan legislatif terbukti kepala daerah dan DPRD setara dan menjadi mitra. Aktor utama Pilkada adalah 1
xiii
rakyat, Parpol, pasangan calon kepala daerah dan KPUD ( Komisi Pemilihan Umum Daerah ) sebagai penyelenggara. Keputusan politik untuk memilih sistem Pilkada secara langsung bukan datang dengan tiba-tiba. Banyak faktor yang mendorong munculnya sistem pilkada langsung tersebut. Adapun faktor-faktor pendorong tersebut adalah sistem pemilihan perwakilan (lewat DPRD) diwarnai banyak kasus, rakyat dapat berperan langsung, peluang terjadinya politik uang (money politics)akan makin menipis, peluang campur tangan partai politik berkurang dan pada Pilkada secara langsung hasil yang diperoleh akan lebih obyektif. Salah satu yang dianggap mendorong pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung (dibandingkan Pilkada melalui perwakilan) adalah peluang terjadinya politik uang (money politics) akan makin menipis. Berkurangnya kemungkinan money politics logikanya adalah menyuap jutaan rakyat jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyuap beberapa puluh orang. Hal tersebut benar adanya, akan tetapi bukan berarti penyimpangan demokrasi yang bernama money politics ini akan berkurang secara signifikan. Bisa saja terjadi transformasi money politics jika semula kepada puluhan orang menjadi masyarakat luas (sekaligus terhadap beberapa orang yang ditokohkan dan ditaati). Logikanya jika semula miliaran rupiah disebar kepada beberapa puluh orang maka modus yang baru dari money politics mungkin dengan jumlah yang juga miliaran rupiah, tapi penyebarannya lebih luas. Tentu saja penyimpangan berupa penyuapan tersebut tidak lepas dari penyimpangan lain yaitu menyangkut dana kampanye terlarang. Masalah politik uang (money politics) tampaknya kembali akan terus mewarnai kancah politik kita, khususnya pada pelaksanaan pilkada secara langsung. Bentuk politik uang (money politics) dikaitkan dengan masalah suap-menyuap dengan sasaran memenangkan salah satu kandidat pasangan calon tertentu dalam suatu Pilkada. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Bagian VIII mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah terdapat ketentuan mengenai politik uang (money politics) ini, khususnya pada Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah terdapat larangan dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilih atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu Para penyidik dan penuntut umum pun untuk kasus-kasus politik uang (money politics) pada pemilu juga mengakui bahwa secara teknis memiliki kemampuan untuk menyidik dan menuntut tindak pidana semacam ini. Tetapi, perlu dicatat bahwa pada kenyataanya terdapat tiga kasus politik uang (money politics) yang berhasil disidang dan diputuskan oleh pengadilan, secara modus operandi tidak terlampau sulit dan melibatkan jumlah materi yang relatif kecil serta dilakukan bukan oleh tokoh-tokoh penting partai melainkan rakyat kecil.
xiv
Pada kenyataannya sulit membawa penyimpangan dana kampanye ke pengadilan. Dalam konteks inilah pengawasan dan penegakan hukum untuk menangani politik uang (money politics) terkait dengan faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Problem utamanya adalah apakah ketentuan yang ada sudah memadai untuk mengawasi dan menangani politik uang (money politics). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Pasal 23 huruf e yaitu kewenangan untuk mengawasi terletak pada pundak Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu dengan meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum. Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan ini dimiliki oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Undang-undang memang tidak menjelaskan secara langsung peran pengawas pemilu dalam mengawasi dana kampanye, tetapi tugas dan kewenangan pengawas Pilkada hampir sama dengan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) yaitu mengawasi semua tahapan, menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang terakit dengan pelaksanaan Pilkada, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada, dan meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian apabila Pengawas Pilkada dalam tugas proaktifnya menemukan pelanggaran dana kampanye atau menerima laporan pelanggaran dana kampanye maka ia dapat melakukan tindakan berupa meneruskan kepada instansi yang berwenang. Jika hal itu mengandung unsur pidana berarti kepada penyidik. Dengan demikian pengawas Pilkada tidak perlu menunggu adanya hasil audit dana kampanye, pertama karena menurut undang-undang audit dana kampanye itu diserahkan kepada KPUD (bukan kepada pengawas Pilkada); dan kedua, karena hasil audit itupun baru diserahkan dalam waktu cukup lama. Perlu diantisipasi bahwa pelanggaran-pelanggaran yang ada, sesuai Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus dilaporkan paling lama 7 hari sesudah pelanggaran terjadi. Dengan demikian masalah pelanggaran mengenai dana kampanye inipun jika diketahui harus cepat dilaporkan sehingga dapat ditangani. Artinya, kepada warga masyarakat yang berhak memilih, memantau, serta peserta pemilu yang mengetahui adanya politik uang (money politics) ini diharap segera melaporkan kepada pengawas pemilu, sesuai ketentuan dan waktu yang diatur dalam undang-undang, tanpa menunggu audit yang baru bisa diketahui lama sesudah Pilkada berakhir. Sebagaimana yang terjadi di wilayah hukum Pemalang telah terjadi praktek politik uang (money politics) berupa suap-menyuap untuk memenangkan salah satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah
xv
secara langsung. Perkara tersebut sudah diketahui oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kemudian diserahkan kepada pihak yang berwenang yaitu penyidik dan diproses hukum sebagaimana mestinya dengan terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah yang telah di dakwa oleh penuntut umum Kejaksaan Negeri Pemalang telah melanggar Pasal 117 ayat (2) yang bunyinya : “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).” Perkara ini sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Pemalang hingga Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Putusan Pengadilan Negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum (Pasal 182 ayat (8) KUHAP). Terdakwa atau penuntut umum dalam hal putusan pengadilan yang dijatuhkan memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum, pikir-pikir, ataupun menerima putusan pengadilan tersebut. Apabila mengajukan upaya hukum, terdakwa dan/atau penasihat hukumnya atau penuntut umum dapat mangajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi guna memeriksa perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara banding tersebut dapat memberikan putusan yang pada pokoknya sama dengan putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan ataupun dapat memiliki pertimbangan lain yang berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri. Dalam putusan pengadilan pada tingkat banding, terdakwa ataupun penuntut umum dapat pula mengajukan upaya hukum terakhir yaitu kasasi ke Mahkamah Agung. Mengajukan permohonan kasasi, pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasi dan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah mengajukan permohonan kasasi, pemohon harus sudah menyerahkannya kepada panitera, dan atas penyerahan itu, panitera memberikan surat tanda terima. Surat tanda terima yang dibuat panitera atas penerimaan memori kasasi tersebut, dalam praktek dikenal sebagai Akta
xvi
Penerimaan Risalah Kasasi. Kewajiban pemohon kasasi untuk mengajukan memori kasasi dalam tenggang waktu yang ditentukan tersebut bersifat imperatif. Bila pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi atau menyarahkan memori kasasi melampaui tenggang waktu yang ditentukan, maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi yang didasarkan pada permasalahan penerapan hukum, dengan sendirinya dalam memori kasasi harus diuraikan permasalahan penerapan hukum yang dimintakan untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung. Karena itu untuk dapat menyusun memori kasasi yang memenuhi syarat, memerlukan pengetahuan hukum acara pidana yang luas, di samping itu dituntut pula kemampuan (kejelian) untuk mempelajari dan meneliti putusan pengadilan yang akan dimintakan kasasi. Pemohon kasasi harus mampu menemukan dimana letak kesalahan atau kekeliruan dalam putusan pengadilan, guna dikemukakan sebagai alasan permohonan kasasi.
Dengan berdasarkan uraian diatas Penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut diatas merupakan latar belakang permasalahan yang Penulis akan kemukakan. Oleh karena itu Penulis menuangkan sebuah penulisan yang berbentuk
penulisan
hukum
dengan
judul
:
“ANALISIS
DASAR
PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS PEMILIHAN KEPALA DAERAH ( STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID. SUS /2007 ). B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
xvii
1. Apakah dasar pengajuan kasasi penuntut umum dalam perkara money politics pemilihan kepala daerah? 2. Bagaimanakah
pertimbangan
Mahkamah
Agung
dalam
memutus
pengajuan kasasi penuntut umum dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah? C. TUJUAN PENELITIAN Setiap penelitian mempunyai tujuan-tujuan yang merupakan acuan dan dasar kegiatan penelitian agar penelitian terarah dan mengenai sasaran. Maka berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan penulisan hukum ini adalah. 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui dasar pengajuan kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang terhadap putusan Mahkamah Agung dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah. b. Untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus permohonan kasasi Penuntut Kejaksaan Negeri Pemalang terhadap putusan Mahkamah Agung dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah. 2. Tujuan Subyektif : a. Sebagai sarana penulis guna turut serta menyumbangkan gagasan pemikiran untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya serta bidang ilmu hukum acara pidana pada khususnya. b. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya mengenai money politics dalam pemilihan kepala daerah. c. Untuk
melengkapi
syarat
akademis
guna
memperoleh
gelar
kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
xviii
d. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh selama kuliah guna mengatasi masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat. D. MANFAAT PENELITIAN Dalam setiap penelitian tentu sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a.
Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum acara pidana yang berkaitan dengan money politics dalam pemilihan kepala daerah.
b.
Diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.
2. Manfaat Praktis a.
Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b.
Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya penyelesaian perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah.
c.
Sebagai praktek dan teori penelitian dalam bidang hukum dan juga sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode ilmiah.
E. METODE PENELITIAN
xix
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha yang mana dilakukan menggunakan metode ilmiah. Suatu laporan penelitian akan disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan metode penelitian yang tepat. Metode Penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak benaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. 1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian normatif dapat diartikan sebagai penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1994:14). 2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat (Amirudin dan Z. Asikin, 2004: 25). Dalam penelitian ini Penulis menggambarkan mengenai dasar pengajuan kasasi oleh Kejaksaan Negeri Pemalang dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara Money Politics dalam pemilihan kepala daerah.
xx
3. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder. 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Putusan MA Nomor 15 K/ PID. SUS /2007. 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. 6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. 7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik 9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
xxi
10) Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 11) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1977. b. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah dan internet. c. Bahan hukum tersier atau penunjang. Bahan hukum tersier atau penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya : a) Kamus Bahasa Indonesia b) Kamus Hukum
5. Teknik Pengumpulan Data Suatu penelitian pasti akan membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian, lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis teknik pengumpulan data yaitu : studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto,1986 : 21). Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber yang ditemukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan), yaitu pengumpulan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dokumen serta artikel. 6. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan
xxii
tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2007 : 183). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Metode analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2001 : 250). Ada tiga komponen pokok dalam tahapan analisis data, yaitu: a) Data Reduksi yaitu merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyerdehanaan dan abstraksi data kasar yang ada dalam field not. Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung, hasilnya data dapat disederhanakan dan ditransformasikan melalui seleksi ketat, ringkasan serta penggolongan dalam suatu pola. b) Data Display adalah rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset yang dilakukan, sehingga peneliti akan mudah memahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan c) Conclution Drawing dari awal pengumpulan data, peneliti harus mengerti apa arti hal-hal yang ditelitinya, dengan catatan peraturan, pola-pola, pernyataan konfigurasi yang mapan dan arahan sebab akibat sehingga memudahkan dalam pengambilan kesimpulan. F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 ( empat ) bab, yaitu tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bagian yang dimaksud untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini Penulis akan mengemukakan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
xxiii
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim, Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Kasasi, Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Agung, Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan dan Tinjauan Umum Tentang Money Politics. Pembahasan yang kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan hasil penjelasan dari penelitian, yang berupa dasar pengajuan kasasi penuntut umum Kejaksaan Negeri Pemalang dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam menolak pengajuan kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi simpulan dan saran berdasarkan analisa dari data yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap pembahasan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
xxiv
1. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP memberikan penjelasan mengenai putusan pengadilan adalah ”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. b. Jenis-jenis Putusan Mengenai putusan apa yang dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2006 : 347). Ada beberapa jenis bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan, yaitu: 1) Putusan Bebas Adalah
putusan
yang
dijatuhkan
apabila
pengadilan
berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya ”tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana (Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Terhadap putusan pengadilan berupa putusan bebas (vrijspraak)
tidak
diperkenankan
mengajukan
permohonan
pemeriksaan banding. Apabila putusan bebas ini dijatuhkan ternyata terdakwa berada dalam tahanan, maka terdakwa diperintahkan dibebaskan seketika itu juga. 13 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Adalah putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan, apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Terdapat kesalahan dalam melukiskan peristiwa yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan, sehingga tidak sesuai perumusan ketentuan peraturan pidana yang didakwakan (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
xxv
3) Putusan Pemidanaan Adalah
putusan
yang
dijatuhkan
apabila
pengadilan
berpendapat dan menilai bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, dimana telah terpenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti dan hakim yakin bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa bersalah telah melakukannya (193 ayat (1) KUHAP). 4) Penetapan tidak Berwenang Mengadili Bisa terjadi sengketa mengenai wewenang mengadili terhadap suatu perkara. Pasal 147 KUHAP, memperingatkan Pengadilan Negeri, setelah menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mempelajari berkas perkara. Yang pertama dan utama yang diperiksanya, apakah perkara yang dilimpahkan penuntut umum tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri yang dipimpinnya. Seandainya ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 84 KUHAP, yaitu karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan
dalam
daerah
hukum
Pengadilan
Negeri
yang
bersangkutan, atau sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah Pengadilan Negeri lain, sedang saksi-saksi yang dipanggilpun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan. 5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan tidak Dapat Diterima Berpedoman pada Pasal 156 ayat (1) KUHAP yaitu : ”Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut
xxvi
umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.” 6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan penuntut umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) yang bunyinya ”Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum” dan didasarkan pada Pasal 156 ayat (1) yang bunyinya: ”Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.” Pengadilan
Negeri
dapat
menjatuhkan
putusan
yang
menyatakan dakwaan batal demi hukum, baik hal itu oleh karena atas permintaan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum dalam eksepsi, maupun atas wewenang hakim karena jabatannya. Alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan batal demi hukum, apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. c. Sahnya Suatu Putusan Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 195 KUHAP yaitu apabila diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Memperhatikan bunyi ketentuan Pasal 195 KUHAP dapat diambil pengertian :
xxvii
1) sahnya putusan serta supaya putusan mempunyai kekuatan hukum, harus diucapkan di sidang pengadilan “yang terbuka untuk umum”. Putusan yang diucapkan dalam “sidang tertutup” dengan sendirinya “tidak sah” dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karana itu, putusan yang diucapkan secara tertutup tidak mempunyai daya eksekusi. 2) semua putusan “tanpa kecuali”, harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan diucapkan dalam sidang yang dihadiri terdakwa, kecuali apabila perkara yang diadili tersebut perkara disersi atau perkara lalu lintas, maka pengadilan dapat memutus perkara tanpa hadirnya terdakwa. Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala haknya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 ayat (3) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu : 1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan. 2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo Pasal 233 ayat (2) KUHAP). 3) Hak meminta penagguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) KUHAP jo Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi) 4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196
xxviii
ayat (2) KUHAP. (Pasal 196 ayat (3) jo Pasal 233 ayat (2) KUHAP). 5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa “selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi” (Pasal 196 ayat (3) KUHAP). d. Putusan pada Tingkat Pertama dan Tingkat Terakhir Dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP, dinyatakan bahwa ”dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan tingkat terakhir,
kecuali
dalam
hal
dijatuhkan
pidana
perampasan
kemerdekaan, terdakwa dapat minta banding”. Bila dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 205 ayat (1) yang mengatur tentang acara pemerksaan tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500,00 (Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah) dan penghinaan ringan. Kemudian dihubungkan dengan judul Bab XVI Bagian Keenam, yakni acara pemeriksaan cepat, baru dapar diperoleh tentang pengertian yang terkandung dalam Pasal 205 ayat (3). Pengertiannya adalah bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim tunggal dalam acara pemeriksaan cepat adalah putusan pada tingkat pertama dan tingkat terakhir. Maksudnya putusan demikian tidak dapat dimintakan banding (hubungkan dengan ketentuan Pasal 67 KUHAP). Karena putusan tersebut adalah putusan pada tingkat pertama yang sekaligus merupakan putusan pada tingkat terakhir, kecuali terhadap putusan yang mengandung perampasan kemerdekaan. e. Putusan dalam Tingkat Banding
xxix
Dikaitkan dengan upaya hukum kasasi, maka putusan Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding yang perlu dibahas adalah bentuk-bentuk putusan pada tingkat banding tersebut. Bentuk-bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi sesuai dengan ketentuan Pasal 241 KUHAP adalah : putusan yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri; putusan yang mengubah atau memperbaiki putusan Pengadilan Negeri; dan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri. 1) Putusan Pengadilan Tinggi yang Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri. Putusan dalam bentuk ini akan dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi apabila: a) Putusan Pengadilan Negeri dapat dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi, karena proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang (hukum acara pidana); b) Dalam pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, hukum telah diterapkan sebagaimana mestinya, artinya tidak ada kesalahan penerapan hukum dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri; c) Penerapan hukum pembuktian, yang menyangkut tentang alat bukti, sistem penggunaan alat bukti dan penilaian alat bukti telah dilaksanakan sebagainama mestinya sesuai dengan ketentuan undang-undang. d) Pertimbangan - pertimbangan, argumentasi - argumentasi dan kesimpulan Pengadilan Negeri untuk sampai kepada diktum (amar) putusan, sudah tepat dan benar menurut penilaian Pengadilan Tinggi. 2) Putusan yang Mengubah atau Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri
xxx
Bila Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan alasan, pertimbangan, kesimpulan, serta amar dalam putusan Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Tinggi melakukan perbaikan atau penyempurnaan terhadap hal-hal dimana Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan Pengadilan Negeri. Jadi perbaikan atau penyempurnaan itu dapat hanya meliputi amar putusan Pengadilan Negeri saja, dapat pula meliputi hanya pada pertimbangan dan kesimpulannya saja, dan dapat pula penyempurnaan oleh Pengadilan Tinggi itu meliputi pertimbangan dan kesimpulan serta amar putusan Pengadilan Negeri. 3) Putusan yang Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Dalam hal Pengadilan Tinggi secara keseluruhan tidak sependapat dengan putusan Pengadilan Negeri yang dimintakan pemeriksaan ulangnya pada tingkat banding, maka Pengadilan Tinggi sesuai dengan kewenangannya yang ada padanya akan membetalkan putusan Pengadilan Negeri dimaksud. Dalam hal Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Tinggi mengadili sendiri perkara tersebut dan menjatuhkan putusan sendiri. Berbagai macam alasan yang dapat dijadikan dasar oleh Pengadilan Tinggi untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri adalah : mulai dari alasan pembuktian; yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana; surat dakwaan batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP; dan dakwaan tidak dapat diterima baik oleh karena alasan daluarsa atau nebis in idem; maupun putusan Pengadilan Negeri tidak memuat hal-hal yang disebut Pasal 197 ayat (1) KUHAP. f.
Pertimbangan Hakim dalam Putusan
xxxi
Pertimbangan hakim dalam memberi berbagai macam putusan, dapat dibagi dalam dua kategori. Menurut Rusli Muhammad dalam memberikan telaah kepada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya, kategori itu adalah (Rusli Muhammad, 2006:124). 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain. a) Dakwaan jaksa penuntut umum Dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. b) Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa menurut KUHAP dalam Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri. c) Keterangan saksi Salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. d) Barang-barang bukti Pengertian barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi: (1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana; (2) Benda
yang
dipergunakan
secara
langsung
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan;
xxxii
untuk
(3) Benda
yang
digunakan
untuk
menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana; (4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana; (5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. e) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya. Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsurunsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana tersebut. Dan pasalpasal tersebut dijadikan dasar pemidanaan oleh hakim (Pasal 197 KUHAP). 2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis Dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu: a) Latar belakang terdakwa Pengertian latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal. b) Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan tedakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam. c) Kondisi diri terdakwa
xxxiii
Pengertian kondisi terdakwa dalam pembahasan ini adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial terdakwa.
d) Keadaan sosial ekonomi terdakwa Baik dalam KUHP maupun KUHAP tidak ada suatu aturan yang mengatur dengan tegas mengenai keadaan social ekonomi terdakwa dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Namun didalam konsep KUHP yang baru, bahwa pembuat, motif, dan tujuan dilakukanya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, riwayat hidup, dan keadaan sosial ekonomi pembuat, sikap, dan tindakan si pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan. e) Agama terdakwa Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan. 2. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Agung a. Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Agung Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan kewenangan yaitu sebagaimana dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa: 1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a) Permohonan kasasi;
xxxiv
b) Sengketa tentang kewenangan mengadili; c) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan ayat (1), Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam Mahkamah Agung. Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung,
menyebutkan
bahwa:
“Mahkamah
Agung
memutus
permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.” Pasal 30 Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilanpengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: 1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; 2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; 3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.” b. Fungsi Mahkamah Agung 1) Fungsi Peradilan (Fungsi Yustisia) Fungsi Yustisia adalah fungsi yang terpenting dari Mahkamah Agung, dikatakan terpenting karena fungsi yustisia tersebut
sangat
menentukan
(mempengaruhi)
jalannya
penyelenggaraan peradilan. Fungsi Yustisia dimaksud adalah fungsi Mahkamah Agung dalam bidang peradilan. Mengenai tugas
xxxv
peradilan, walaupun hanya menyangkut bagian dari fungsi tersebut, fungsi pemegang monopoli dari peradilan kasasi dalam posisinya sebagai puncak tunggal dari semua lingkungan peradilan yang ada. 2) Fungsi Yudicial Review Fungsi Yudicial Review adalah fungsi Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil suatu produk perundang-undangan. Pelaksanaan hak menguji materiil itu dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Sehubungan dengan hal ini dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, digariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a)
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara meteriil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang;
b)
Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang-undang atas dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
c)
Putusan
tentang
pernyataan
tidak
sahnya
peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
3) Fungsi Pengawasan dan Pembinaan Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas di bidang peradilan, Mahkamah Agung mempunyai fungsi pengawasan tertinggi dalam hal: a)
Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
b)
Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim dari semua lingkungan peradilan dalam melaksanakan tugasnya;
xxxvi
c)
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan tentang hal-hal yang bertalian dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan;
d)
Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan dari semua lingkungan peradilan.
4) Fungsi Pertimbangan Fungsi
Mahkamah
Agung
untuk
memberikan
pertimbangan kepada lembaga tinggi negara, diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu ” Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.” 5) Fungsi Mengatur Apabila dalam pelaksanaan atau dalam penyelenggaraan peradilan, terdapat hal-hal yang belum diatur dalam undangundang dan hal itun dipandang segera untuk diatur demi kelancaran penyelenggaraan peradilan, maka Mahkamah Agung berwenang untuk mengatur hal dimaksud. Kewenangan Mahkamah Agung mengatur hal demikian itu, diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu ” Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut halhal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undangundang ini.” 3. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Kasasi a. Pengertian Upaya Hukum Kasasi
xxxvii
Dalam Pasal 153 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa pemeriksaan tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP dan Pasal 248 KUHAP, guna menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya. Pasal 244 KUHAP mengatur tentang putusan pengadilan tingkat terakhir yang dapat dimintakan kasasi dan para pihak (terdakwa atau penuntut umum) yang dapat mengajukan permohonan kasasi. Pasal 248 KUHAP mengatur tentang kewajiban mengajukan alasan dan memasukan memori kasasi oleh pemohon kasasi. Jika pengertian kata ”kasasi” dan pengertian ”upaya hukum” tersebut diatas, kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan upaya hukum kasasi adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara mengajukan
permohonan
kepada
Mahkamah
Agung
guna
membatalkan putusan pengadilan tersebut, dengan alasan (secara alternatif/kumulatif) bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi tersebut, perturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, dan cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, serta pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Dengan berpedoman pada Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka arti “kasasi” adalah pembatalan putusan atau penetapan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir karena tidak sesuai dengan ketentuan
xxxviii
perundang-undangan yang berlaku. Tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat terjadi berupa: 1) Melampaui batas kewenangannya yang ditentukan perundangundangan; 2) Penerapan yang tidak tepat atau keliru; 3) Melanggar hukum yang berlaku; 4) Tidak memenuhi syarat yang ditentukan perundang-undangan. b. Kasasi Sebagai Upaya Hukum Dikatakan kasasi sebagai upaya hukum karena kasasi adalah salah satu bentuk dari upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terdakwa atau penuntut umum apabila ia tidak dapat menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir. Kasasi sebagai upaya hukum dapat berbentuk kasasi biasa (yang diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum) dan kasasi demi kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung (sebagai upaya hukum luar biasa). Kasasi biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan kasasi demi kepentingan hukum diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung. c. Maksud dan Tujuan Upaya Hukum Kasasi Maksud dan tujuan kasasi erat kaitannya dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi dalam memimpin dan mengawasi pengadilan rendahan, demi terciptanya kesatuan dan keseragaman penerapan hukum dalam wilayah negara kita. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, diatur fungsi dan wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia yang terdiri dari :
xxxix
1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 2) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara meteriil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang; 3) Mahkamah Agung mempunyai wewenang pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan dari semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. 4) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya; 5) Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan; 6) Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi; 7) Mahkamah Agung dan pemerintah melakukan pengawasan atas penasihat hukum dan notaris; 8) Mahkamah Agung memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain. Dalam hubungannya dengan fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung tersebut, maksud dan tujuan kasasi adalah : 1) Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi) Dalam hal ini Mahkamah Agung, melalui koreksi atas putusan pengadilan bawahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki
xl
dan meluruskan kesalahan atau kekeliruan penerapan hukum. Maksudnya
agar
peraturan
hukum
benar-benar
diterapkan
sebagaimana mestinya; agar cara mengadili dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; agar pengadilan bawahan dalam mengadili tidak melampaui batas wewenangnya. 2) Menciptakan dan membentuk hukum baru Penciptaan atau pembentukan hukum baru tersebut, bukanlah berarti Mahkamah Agung membentuk peraturan-peraturan hukum baru dalam kapasitasnya sebagai pembentuk undang-undang. Disini bukanlah dimaksud bahwa Mahkamah Agung telah bertindak sebagai badan legislatif. Menciptakan hukum baru di sini,
dalam
arti
bahwa
Mahkamah
Agung
melalui
Yurisprudensinya menciptakan sesuatu yang baru dalam praktek hukum. Penciptaan hukum baru tersebut, dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum yang menghambat jalannya peradilan. Terciptanya keseragaman penerapan hukum. d. Tata Cara Pengajuan Kasasi Dalam KUHAP, telah ditetapkan tentang tata cara pengajuan permohonan kasasi sebagai berikut: 1) Cara mengajukan permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245 KUHAP, yang menetapkan bahwa permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari setelah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa; 2) Permohonan kasasi tersebut oleh panitera dicatat dalam sebuah surat keterangan yang disebut akta permintaan kasasi yang
xli
ditandatangani oleh pemohon kasasi dan panitera dan dicatat dalam suatu daftar yang dilampirkan pada berkas perkara; 3) Dalam Pasal 245 ayat (3) KUHAP, ditegaskan bahwa dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa, maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain; 4) Dalam Pasal 247 ayat (4) KUHAP, ditegaskan pula bahwa permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali. Pengaturan lebih lanjut tentang hal ini, terdapat dalam Pasal 43 UndangUndang Nomor Republik Indonesia 14 tahun 1985 jo UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 tahunj 2004 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal tersebut diatur tentang tidak hanya tentang berapa kali permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. e. Alasan Kasasi 1) Kasasi yang dibenarkan menurut undang-undang Alasan kasasi sudah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan kasasi dilakukan Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Sejalan dengan itu, permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Yang harus diutarakan dalam memori kasasi adalah keberatan atas putusan yang dijatuhkan pengadilan kepadanya, karena isi putusan itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
xlii
Alasan kasasi
yang
diperkenankan
atau
yang dapat
dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP terdiri dari: (a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; (b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; (c) Apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
kewenangannya. Ketiga hal ini keberatan kasasi yang dibenarkan undangundang sebagai alasan kasasi. Di luar ketiga alasan ini, keberatan kasasi ditolak karena tidak dibenarkan undang-undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif dengan sendirinya serta sekaligus membetasi wewenang Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut. Di luar ketiga hal itu, undangundang tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan memeriksanya. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mengajukan permohonan kasasi, harus benar-benar memperhatikan keberatan kasasi yang disampaikan dalam memori kasasi, agar keberatan itu dapat mengenai sasaran yang ditentukan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. 2) Alasan kasasi yang tidak dibenarkan oleh undang-undang (a) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Alasan
kasasi
yang
memuat
keberatan,
putusan
Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi. Percuma pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan
xliii
Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undangundang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang ada padanya, malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri, masih dalam batas wewenang yang ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat. (b) Keberatan atas Penilaian Pembuktian Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Keberatan kasasi dapat dibenarkan Mahkamah Agung atas alasan judex factie atau pengadilan tidak salah menerapkan hukum telah melanggar sistem dan batas minimal pembuktian, karena pengadilan telah menjatuhkan pemidanaan tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Padahal Pasal 294 HIR telah menentukan sistem dan batas minimum pembuktian, yang menegaskan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa kecuali jika kesalahannya dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Demikian juga penagasan Pasal 300 HIR, yaitu keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. (c) Alasan Kasasi yang Bersifat Pengulangan Fakta Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah ”pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi seperti
xliv
ini tidak dibenarkan undang-undang. Arti pengulangan fakta ialah mengulang-ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakan baik dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding. Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakan pada pemeriksaan pengadilan yang terdahulu. (d) Alasan yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon dalam
memori
kasasi,
mengemukakan
keberatan
yang
menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan dalam putusan perkara yang bersangkutan. Keberatan kasasi yang sepertin ini dianggap irrelevant, karena berada di luar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak menganai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan. (e) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda Keberatan semacam ini pun pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan undang-undang, sebab tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang bsar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi.
(f) Keberatan Kasasi Atas Pengembalian Barang Bukti Alasan kasasi semacam ini pun tidak dapat dibenarkan. Pengembalian barang bukti dalam perkara pidana adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan
xlv
kasasi. Pengadilan sepenuhnya berhak menentukan kepada siapa barang bukti dikembalikan. (g) Keberatan kasasi Mengenai Novum Suatu prinsip yang juga perlu diingat dalam masalah kebaratan kasasi harus mengenai hal-hal yang telah ”pernah diperiksa” sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding. Berarti suatu hal yang diajukan dalam keberatan kasasi, padahal hal itu tidak pernah diperiksa dan diajukan baik pada pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding, tidak dapat dibenarkan karena tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengajuan hal seperti itudalam kebaratan kasasi dianggap ”hal baru” atau ”novum”. f. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi 1) Pemeriksaan Dilakukan dengan Sekurang-kurangnya Tiga Orang Hakim Majelis yang paling kecil pada lembaga Mahkamah Agung terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang Hakim Agung, sedangkan majelis besar terdiri dari semua Hakim Agung yang disebut full chamber atau en banc. Namun dalam melaksanakan tugas peradilan sehari-hari dalam memeriksa perkara kasasi, tidak selamanya dilakukan oleh majelis lengakap. Jika perkara kasasi sederhana, cukup diperiksa dan diputus oleh majelis kecil yang terdiri dari tiga orang hakim. Salah satu diantaranya bertindak sebagai ”ketua majelis”, sedangkan yang dua orang berkedudukan sebagai ”hakim anggota”. 2) Pemeriksaan Berdasar Berkas Perkara
xlvi
Pemeriksaan perkara pada peradilan kasasi pada umumnya tidak langsung secara lisan. Berbeda dengan tata cara pemeriksaan perkara pada tingkat Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Negeri, sidang pemeriksaan perkara dilakukan secara langsung dalam suatu ruang sidang dengan cara menghadirkan terdakwa dan saksi-saksi serta dihadiri penuntut umum maupun penasihat hukum. Jelasnya pemeriksaan dilakukan secara lisan. Lain halnya pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Pemeriksaan dilakukan tanpa dihadiri terdakwa, saksi dan penuntut umum. Memang seandainya ada urgensi dan relevansi, secara kasuistik Mahkamah Agung dapat melakukan pemeriksaan langsung mendengar keterangan saksi dan atau terdakwa (hearing) dalam ruang sidang yang lengkap dihadiri terdakwa, penuntut umum, penasihat hukum dan saksi-saksi, seperti jalannya pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri, tetapi jarang terjadi dalam praktek. 3) Pemeriksaan Tambahan Tidak selamanya pemeriksaan perkara pada tingkat pertama dan tingkat banding telah tuntas dilakukan. Sering dijumpai kekurangan pemeriksaan yang dianggap sangat penting dan menentukan dalam mengambil putusan. Maksud pemeriksaan tambahan bertujuan untuk manambah dan melengkapi pemeriksaan yang dianggap perlu. Mungkin sesuatu yang oleh pengadilan dianggap tidak penting dan diabaikan, dianggap penting oleh Mahkamah Agung. Misalnya pemeriksaan saksi yang masih kurang lengkap atau masih ada hal-hal yang perlu ditanyakan kepada terdakwa. 4. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian Kejaksaan
xlvii
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dari rumusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan, dengan demikian dalam hal melaksanakan kekuasaan negara maka kejaksaan merupakan salah satu aparat negara. Kekuasaan tersebut menurut Pasal 1 ayat (2) dilaksanakan secara merdeka. Kejaksaan adalah satu dan tidak dipisah-pisahkan (Pasal 1 ayat (3)). Hal-hal tersebut perlu dipahami untuk mengetahui kedudukan kejaksaan baik dalam pemerintahan maupun selaku pengemban tugas negara. 5. Tinjauan Umum Tentang Money Politics a. Pengertian Tentang Money Politics Di Indonesia, praktik politik uang (money politics) hampir sama dengan praktik korupsi konvensional yang sulit untuk dibuktikan keberadaanya. Secara teoritis, praktik politik uang merupakan bentuk lain dari korupsi politik (Pope dalam Leo Agustino 2009:131). Banyak faktor yang menjadi penyebab praktik politik uang sulit dibuktikan. b. Pengertian Tentang Money Politics Dalam Pilkada Menurut amanat Undang-Undang Otonomi Daerah yang baru (Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) bahwa kepala daerah (bupati, wali kota dan gubernur) harus dipilih secara langsung yang koheren dengan penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung di tingkat pusat/nasional. pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi di level lokal.
xlviii
Pemilihan kepala daerah secara langsung secara esensial bertujuan untuk lebih menguatkan legitimasi politik penguasa di daerah. Namun, dalam konteks lain terjadi kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi karena Pilkada langsung diindikasikan kuat akan makin menyuburkan budaya money politics. Faktor-faktor itu, menurut Abdul Asri biasanya berasal dari kondisi internal masyarakat pemilih dan juga faktor eksternal atau lingkungan tempat Pilkada diselenggarakan. Beberapa faktor internal yang mendorong terjadinya politik uang antara lain kesulitan ekonomi dan kemiskinan yang masih melanda sebagian besar pemilih, baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan. Faktor kemiskinan dan beban hidup yang berat membuat mereka mudah dibujuk dan dipengaruhi oleh sejumlah uang dan imbalan material lainnya. Demikian juga faktor mentalitas dan rendahnya kualitas pendidikan serta pengetahuan pemilih semakin melengkapi ketidak berdayaan pemilih ketika berhadapan dengan praktik politik uang (Abdul Asri dalam Leo Agustino 2009:131). Faktor eksternal yang cukup besar pengaruhnya adalah buruknya kualitas produk perundang-undangan yang mengatur politik uang dan lemahnya upaya penegakan hukum terhadapnya. Berbagai aturan hukum yang melarang praktik politik uang (money politics) biasanya sangat umum, normatif, dan kabur, sehingga memunculkan berbagai bentuk penafsiran. Pelaku politik uang (money politics) biasanya akan menafsirkan aturan itu dengan kepentingannya. Tersedianya sejumlah celah hukum (loopheles) juga meningkatkan kesempatan pelaku untuk menghindari jeratan hukum. Berbagai dalih dan argumen hukum akan mudah diperoleh dan digunakan sebagai alibi untuk menutupi praktik politik uang (money politics), sehingga pada akirnya aparat penegak hukum pun akan kesulitan untuk mengumpulkan bukti yang cukup sebagai alat untuk menyeret pelaku pengadilan.
xlix
Politik uang (money politics) adalah perbuatan yang sangat berbahaya bagi proses demokrasi. Hasil Pilkada Langsung akan menyimpang dari tujuan awalnya jika praktik politik uang tidak bisa diminimalisir. Pilkada yang diselenggarakan dalam batas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah pemilih yang juga lebih sedikit tentu sangat rawan praktik politik uang (money politics). Lagi pula masing-masing kandidat tentu mempunayi hubungan yang lebih intens dan dekat dengan pendukungnya. Ketentuan yang memberikan definisi tentang politik uang (money politics) secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian pada ayat (2)-nya, pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD ( Yahya Harahap, 2005:86).
6. Kerangka Pemikiran
l
Hakim Pertimbangan Putusan Money Politics
Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP)
Tolak
Lepas dari Segala Tuntutan Hukum ( Pasal 191 ayat (2) KUHAP)
Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP)
Terima
Upaya Hukum
JPU
Gambar Kerangka Pemikiran
Terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Pemalang berupa suap-menyuap untuk memenangkan salah satu pasangan calon tertentu, terkait atas Perkara Money Politics telah melanggar ketentuan dalam Pasal 117 ayat 2 Undang-Undang Republik indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perkara tersebut selanjutnya diserahkan kepada pihak yang berwenang dan diproses secara hukum sebagaimana mestinya. Dalam putusannya Pengadilan Negeri Pemalang telah memutus bahwa terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dinyatakan telah bersalah.
li
Putusan
pengadilan
tingkat
pertama
dan
tingkat
banding
menyatakan bahwa terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dipidana penjara dan diwajibkan untuk membeyar pidana denda. Upaya hukum setelah banding adalah upaya hukum tingkat kasasi. Atas putusan tersebut penuntut umum Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung terkait perkara ini. Karena putusan Pengadilan Negri Pemalang dan juga putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah dirasa kurang memuaskan. Atas pengajuan kasasi itu Mahkamah Agung menyatakan menolak pengajuan kasasi yang diajukan oleh penuntut umum Kejaksaan Negeri Pemalang. Upaya hukum tingkat kasasi hanya memeriksa berkaitan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 253 KUHAP.
BAB III HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pengajuan Kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang dalam Perkara Money Politics dalam Pemilihan Kepala Daerah. 1. Kasus Posisi
lii
Pada hari Sabtu tanggal 26 November 2005 sekitar pukul 10.00 WIB Eni Kusrini Binti Dullah yang bertempat tinggal di rumah Dullah dusun Setikung desa Sekayu RT03/ RW 02 Kec. Comal Kab. Pemalang melakukan praktek money politics. Awalnya Dullah yang disuruh oleh Sudono (Kepala Desa Sekayu) untuk membagi-bagikan 32 buah bungkusan sembako masing-masing berisi 1 kg beras, dua buah sarimi kepada warga dusun Setikung, karena tidak sempat membagi-bagikan kepada warga dusun Setikung, Dullah menyuruh Eni Kusrini untuk membagi-bagikan 32 buah bungkusan sembako tersebut langsung kepada warga dusun Setikung. Dan setelah mendapat perintah dari Dullah tepatnya pada hari Sabtu tanggal 26 November 2005 sekitar pukul 10.00 WIB di rumah Dullah. Suatu hari Eni Kusrini mendatangi Darsono “ ini senbako buat kamu” lalu dijawab Darsono “dari siapa?” Eni Kusrini menjawab dari pak Lurah( Sudono)selanjutnya setelah menerima bungkusan itu yang berisi 1 Kg beras, dua buah sarimi dan satu lembar contoh suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macross SH,_ Junaidi SH. MM tampak jelas dan Eni Kusrini juga bilang kepada Darsono untuk jangan lupa memilih no 2 yaitu pasangan calon Bupati HM. Macroes SH.- HM. Junaedi SH. MM. Eni Kusrini juga mendatangi Purwanto dan menyuruhnya untuk mengambil beras di rumahnya pak RT ( Dullah) dan sewaktu Purwanto mengambil satu bungkusan sembako berisi 1 kg beras, dua buah sarimi, dan satu lembar surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes SH- HM Junaedi SH. MM. Juga kepada Ranyi, Darkiyah, Kastini, Nurani masing-masing mendapat satu bungkus semabako berisi 1 Kg beras, dua buah sarimi, dan contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH – HM. Junaedi , SH.MM. 42 Berdasarkan penelitian Panitia Pengawas Daerah Pemalang memasukkan perbuatan seperti ini dalam kategori tindak pidana dalam pemilihan daerah. Selanjutnya Eni Kusrini diperiksa oleh Penyidik. 2. Identitas Terdakwa Nama Tempat lahir Umur/Tanggal lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Tempat tinggal
: ENI KUSRINI binti DULLAH ; : Pemalang ; : 25 Tahun/16 Nopember 1980 ; : Perempuan ; : Indonesia ; : Dusun Setikung Desa Sekayu RT. 03/RW. 02 Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang ; Agama : Islam ; Pekerjaan : Ibu rumah tangga ; 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
liii
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang dalam surat dakwaannya mengajukan dakwaan terhadap terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dengan dakwaan tunggal sebagai berikut : Bahwa ia terdakwa ENI KUSRINI BINTI DULLAH pada hari Sabtu tanggal 26 Nopember 2005 sekitar pukul 10.00 Wib atau setidak-tidaknya pada bulan Nopember 2005 atau setidak-tidaknya suatu waktu tertentu dalam tahun 2005, bertempat di rumah Dullah Dusun Setikung Desa Sekayu Rt.03/Rw.02 Kec. Comal Kab. Pemalang atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Pemalang, dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, Perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut : Bahwa berawal dari Dullah yang disuruh oleh Sudono (Kepala Desa Sekayu) untuk membagi-bagikan 32 buah bungkusan sembako masing -masing berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi kepada warga Dusun Setikung, karena tidak sempat membagikan kepada warga dusun Setikung Dullah menyuruh terdakwa untuk membagibagikan 32 buah bungkusan sembako tersebut langsung kepada warga Dusun Setikung. Setelah mendapat perintah dari Dullah pada hari Sabtu tanggal 26 Nopember 2005 sekitar pukul 10.00 Wib di rumah Dullah Hal. 2 dari 6 hal. Put. No. 15 K/Pid.Sus/2007 terdakwa membagibagikan sembako tersebut kepada warga Dusun Setikung diantaranya yaitu : a. Kepada Darsono, dengan cara terdakwa mengatakan "ini sembako buat kamu" dan dijawab oleh Darsono "dari siapa?" terdakwa menjawab dari Pak Lurah (Sudono) selanjutnya setelah Darsono menerima sembako berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi dan satu lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH. - HM. Junaedi, SH.,MM tampak
jelas, terdakwa
kemudian mengatakan kepada Darsono dengan kata-kata "jangan lupa nomor 2 (pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH. - HM. Junaedi, SH.MM). b. Kepada Purwanto dengan cara terdakwa mengatakan "Pur sana ngambil beras di rumahnya Pak RT (Dullah) dan sewaktu Purwanto mengambil satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi dan satu lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan
liv
calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM tampak jelas, terdakwa mengatakan " Pur ini beras dari Pak Lurah, jangan lupa nomor 2 (pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi, SH.MM) juga kepada Ranyi, Darkiyah, Kastini, Nurani masingmasing mendapat satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras dan dua buah Sarimi dan contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi, SH.MM tampak jelas. Akhirnya
terdakwa
berhasil
membagi-bagikan
32
bungkus
sembako tersebut dan contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi, SH.MM tampak jelas kepada warga Dusun Setikung Desa Sekayu Kec. Comal Kab. Pemalang. Bahwa dari hasil kajian Panitia Pengawas Daerah Pemalang perbuatan terdakwa tersebut masuk kategori tindak pidana dalam pemilihan dimintai
kepala daerah, keterangan
akhirnya
oleh
terdakwa
diperiksa
untuk
penyidik Polres Pemalang;Perbuatan
terdakwa ENI KUSRINI BINTI DULLAH tersebut di atas diatur dan diancam pidana dalam pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. 4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum: Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan tuntutan kepada terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : a. Menyatakan
terdakwa ENI KUSRINI BINTI
DULLAH terbukti
secara sah bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja memberi
atau menjanjikan uang atau materi
lainnya kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, sebagaimana diatur dalam pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ; b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ENI KUSRINI BINTI
lv
DULLAH dengan pidana 4 (empat) bulan ; c. Menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) Subsidair 1 (satu) bulan kurungan ; d. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) Kg beras, 2 (dua) buah Sarimi dikembalikan kepada saksi Sudono dan 1 (satu) lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH HM. Junaedi, SH.MM tampak jelas dirampas untuk dimusnahkan ; e.
Menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
5. Putusan
Pengadilan
Negeri
Pemalang
Nomor
:
05/PID.B/
2006/PN.PML. tanggal 25 Januari 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut : a. Menyatakan terdakwa ENI KUSRINI binti DULLAH tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Dengan sengaja memberikan materi lainnya kepada seseorang supaya memilih pasangan calon tertentu ; b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 2 (dua) bulan ; c. Menetapkan bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena terpidana disalahkan melakukan tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama : 6 (enam) bulan ; d. Menghukum
terdakwa
untuk
membayar
denda
sebesar
Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama: 1 (satu) bulan ; e. Menyatakan barang bukti berupa : I (satu) kg beras, 2 (dua) bungkus sarimi dikembalikan kepada saksi Sudono bin Turah, sedangkan 1 (satu) lembar contoh surat suara pemilihan bupati dan wakil bupati Pemalang dengan gambar calon bupati : HM. Machroes, SH.MH HM. Junaedi, SH.MM dirampas untuk dimusnahkan ;
lvi
f. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) ; Hal. 4 dari 6 hal. Put. No. 15 K/Pid.Sus/2007 ; 6. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang Nomor : 105/Pid/2006/PT.Smg. tanggal 11 Juli 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut : a. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum ; b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pemalang tanggal 25 Januari 2006 Nomor 05/Pid.B/2006/PN.Pml., yang dimintakan banding tersebut ; c. Membebankan
biaya
perkara
kepada
terdakwa
dalam
kedua
tingkat pengadilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.5.000,(lima ribu rupiah) ; 7. Alasan-Alasan Permohonan
Kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan
Negeri Pemalang Alasan kasasi menurut Undang-Undang sudah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan kasasi dilakukan Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Sejalan dengan itu, permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Yang harus diutarakan dalam memori kasasi adalah keberatan atas putusan yang dijatuhkan pengadilan kepadanya, karena isi putusan itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP terdiri dari: a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.
lvii
Ketiga hal ini keberatan kasasi yang dibenarkan undang-undang sebagai alasan kasasi. Di luar ketiga alasan ini, keberatan kasasi ditolak karena tidak dibenarkan undang-undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif dengan sendirinya serta sekaligus membetasi wewenang Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut. Di luar ketiga hal itu, undang-undang tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan memeriksanya. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mengajukan permohonan kasasi, harus benar-benar memperhatikan keberatan kasasi yang disampaikan dalam memori kasasi, agar keberatan itu dapat menganai sasaran yang ditentukan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Adapun mengenai alasan kasasi yang tidak dibenarkan oleh undang-undang adalah: a) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi. Percuma pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang ada padanya, malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri, masih dalam batas wewenang yang ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat. b) Keberatan atas Penilaian Pembuktian Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Keberatan kasasi dapat dibenarkan Mahkamah Agung
lviii
atas alasan judex factie atau pengadilan tidak salah menerapkan hukum telah melanggar sistem dan batas minimal pembuktian, karena pengadilan telah menjatuhkan pemidanaan tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Padahal Pasal 294 HIR telah menentukan sistem dan batas minimum pembuktian, yang menegaskan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa kecuali jika kesalahannya dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Demikian juga penagasan Pasal 300 HIR, yaitu keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. c) Alasan Kasasi yang Bersifat Pengulangan Fakta Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah ”pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi seperti ini tidak dibenarkan undang-undang. Arti pengulangan fakta ialah mengulangulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakan baik dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding. Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakan pada pemeriksaan pengadilan yang terdahulu. Sebagai contohnya pada waktu pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri, pemohon talah mengemukakan keadaan dan fakta-fakta, keudian hal tersebut kembali lagi diutarakan dalam memori kasasi menjadi alasan kasasi. Keberatan kasasi yang sepeerti itu tidak dibenarkan undang-undang, dan Mahkamah Agung menganggapnya sebagai pengulangan fakta yang tidak perlu dipertimbangkan dalam tingkat kasasi. d) Alasan yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan dalam putusan perkara yang
lix
bersangkutan. Keberatan kasasi yang sepertin ini dianggap irrelevant, karena berada di luar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak menganai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan. e) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda Keberatan semacam ini pun pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan undang-undang, sebab tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang bsar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. Keberatan tidak dibenarkan Mahkamah Agung dengan pertimbangan bahwa mengenai besar kecilnya denda adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi. f) Keberatan Kasasi Atas Pengembalian Barang Bukti Alasan kasasi semacam ini pun tidak dapat dibenarkan. Pengembalian barang bukti dalam perkara pidana adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengadilan sepenuhnya
berhak
menentukan
kepada
siapa
barang
bukti
dikembalikan.
g) Keberatan kasasi Mengenai Novum Suatu prinsip yang juga perlu diingat dalam masalah kebaratan kasasi harus mengenai hal-hal yang telah ”pernah diperiksa” sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding. Berarti suatu hal yang diajukan dalam keberatan kasasi, padahal hal itu tidak pernah diperiksa dan diajukan baik pada pemeriksaan sidang Pengadilan
lx
Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding, tidak dapat dibenarkan karena tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengajuan hal seperti itudalam kebaratan kasasi dianggap ”hal baru” atau ”novum”. Memperhatikan akan akta permohonan kasasi No. 02/Akta Pid/2007/PN. Pemalang yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Pemalang yang menerangkan, bahwa pada tanggal 5 Maret 2007 Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan Tinggi tersebut. Memperhatikan memori kasasi tanggal 15 Mart 2007 dari Jaksa/ Penuntut Umum sebagai pemohon Kasasi yang diterima di kepaniteraan pengadilan Negeri Pemalang pada tanggal 16 Maret 2007. Menimbang, bahwa putusan pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 20 Februari 2007 dan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 15 Maret 2007 serta memori Kasasinya telah diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 16 Maret 2007 dengan demikian permohonan Kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undangundang, oleh karena itu permohonan kasasi itu formal dapat diterima. Bahwa permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah telah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang di Pemalang pada bulan Maret 2007 Nomor: 02/Akta. Pid/2007/PN. Pml, jadi masih dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang. Juga memori kasasi ini diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Bahwa Pengadilan Tingi Jawa Tengah yang telah menjatuhkan putusan yang Amarnya berbunyi seperti tersebut diatas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut putusan Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dalam masa percobaan 6 (enam) bulan belum memenuhi rasa keadilan baik menurut peraturan perundangundangan maupun rasa keadilan bagi masyarakat karena pemerintah sedang menggalakkan pemilihan Kepala Daerah secara demokratis dan terbebas dari money politics. Alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon Kasasi Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut :
lxi
Bahwa judex factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum karena perbuatan terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah tidak termasuk ruang lingkup sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 106 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tetapi perbuatan terdakwa adalah merupakan pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melangar Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 106 berbunyi: (1)
Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2)
Keberadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(3)
Pengajuan keberatan kepada mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan Tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala derah dan wakil kepala daerah kabupaten atau kota.
(4)
Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
(5)
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.
(6)
Mahkamah
Agung
dalam
melaksanakan
kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada
lxii
pengadilan tinggi untuk memutus engketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota. (7)
Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.
Pasal 117 ayat (2) berbunyi : ” Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara menjadi tidak sah,....” 8. Pembahasan Menyatakan terdakwa ENI KUSRINI binti DULLAH tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana " Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara menjadi tidak sah,....” a.
Analisis unsur yuridis Majelis Hakim 1) Setiap orang; 2) Dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang; 3) Supaya tidak menggunakan hak pilihnya; 4) Atau memilih pasangan calon tertentu; 5) Atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu; 6) Sehingga surat suara menjadi tidak sah;
Sehubungan dengan unsur-unsur tersebut fakta yang terungkap dipersidangan adalah sebagai berikut : Ad.1. Unsur ” Setiap orang”
lxiii
Menurut Kamus Hukum orang adalah manusia dalam pengertian khusus, manusia sebagai ganti diri ketiga yang tidak pasti ,diri sendiri atau manusia sendiri. Setiap orang maksudnya tiap-tiap manusia dalam pengertia khusus, tiap-tiap manusia sebagai ganti diri ketiga yang tidak pasti, tiap-tiap diri sendiri atau tiap-tiap manusia sendiri. Dalam hal ini setiap orang yang dimaksud adalah Eni Kusrini Binti Dullah yang dalam perkara ini bertindak sebagai terdakwa sebagaimana telah dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara menjadi tidak sah. Ad. 2. Unsur ” Dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dengan sengaja adalah memang direncanakan; memang diinginkan atau dikehendaki dan menurut Hoge Raad 21 Mei 1990 menyebutkan bahwa apabila suatu perbuatan yang sengaja dilakukan tidak boleh tidak harus menimbulkan kerusakan, maka dalam kesengajaan untuk berbuat itu tercakup kesengajaan untuk merusak. Memberikan materi dalam perkara money polititics dalam bentuk bermacam-macam. Materi yang dimaksud berupa: a. Uang Uang menurut Kamus Hukum adalah alat pengukur atau standart pengukur nilai yang sah, kertas emas, perak atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara. Dalam perkara money politik dalam Pilkada di Pemalang tidak memberikan uang dengan maksud agar memilih pasangan calon tertentu.
b. Barang Barang yang diberikan bermacam-macam bentuknya. Dalam perkara ini barang yang diberikan berupa satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi dan satu lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM. Ad. 4. Unsur ” Supaya tidak menggunakan hak pilihnya”
lxiv
Supaya tidak menggunakan disini terdapat unsur kesengajaan dengan pengaruh untuk mencapai suatu tujuan tertentu yaitu agar tidak menggunakan hak pilihnya. Hak pilih itu sendiri menurut Kamus Hukum adalah hak yang dimiliki dan melekat pada setiap warga negara untuk memilih wakil dalam lembaga perwakilan rakyat yang merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pemilihan umum yang demokratis. Hak pilih terdiri atas hak pilih aktif dan hak pilih pasif. Hak pilih aktif adalah hak yang dimiliki dan melekat pada seeorang untuk memilih wakil dalam lembaga perwakilan rakyat. Hak pilih pasif adalah hak yang dimiliki seseorang untuk dipilih dan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Ad. 5. Unsur ”Atau memilih calon pasangan tertentu” Memilih menurut kamus adalah mengambil suatu keputusan atas sesuatu dengan kepercayaan yang dia miliki terhadap hal tersebut. Dalam perkara money politics yang dimaksud adalah memilih pada saat Pilkada secara langsung dengan memilih pasangan calon tertentu yaitu pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM.
Ad. 6. Unsur ” Atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu” Menggunakan hak pilih dengan cara tertentu yaitu dengan cara memberikan sejumlah materi untuk mempengaruhi para pemilih menentukan pilihanya sehingga pemilu secara LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) tidak terlaksanakan dengan baik. Dalam perkara ini terdakwa mempengaruhi dengan memberikan sejumlah materi berupa satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi dan satu lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM. Ad. 7. Unsur ”Sehingga surat suara tidak sah” Surat suara menurut kamus berupa suatu kertas berisi gambar pasanga calon dan nomornya untuk digunakan sebagai sarana dalam peilihan wakil pemerintahan di Indonesia yang dilakukan setiap lima tahun sekali baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden Republik Indonesia. Dalam perkara ini surat suara itu ditujukan sebagai sarana dalam pemilihan kepala daerah di Pemalang. Tidak sah menurut Kamus Hukum adalah tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku, segala
lxv
sesuatu yang diakui kebenarannya, pasti otentik (asli, sah, dapat dipercaya). Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 2 (dua) bulan .Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 (1), penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Adapun dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim bahwa terdakwa pelaku tindak pidana tersebut. Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Pertimbangan hakim dalam memberi berbagai macam putusan, dapat dibagi dalam dua kategori. Menurut Rusli Muhammad dalam memberikan telaah kepada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya, kategori itu adalah (Rusli Muhammad, 2006:124). Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain. a. Dakwaan jaksa penuntut umum Dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. b. Keterangan terdakwa
lxvi
Keterangan terdakwa menurut KUHAP dalam Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri c. Keterangan saksi Salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. d. Barang-barang bukti Pengertian barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi: (1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana; (2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan; (3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; (4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana; (5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. e. Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya. Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana tersebut. Dan pasal-pasal tersebut dijadikan dasar pemidanaan oleh hakim (Pasal 197 KUHAP).
lxvii
Pidana penjara yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Pemalang didasarkan atas fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Ketika menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa majelis hakim harus mempertimbangkan juga beberapa aspek non yuridis terdakwa. Dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu: a.
Latar belakang terdakwa Pengertian latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.
b.
Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan tedakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.
c.
Kondisi diri terdakwa Pengertian kondisi terdakwa dalam pembahasan ini adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial terdakwa.
d.
Keadaan sosial ekonomi terdakwa Baik dalam KUHP maupun KUHAP tidak ada suatu aturan yang mengatur dengan tegas mengenai keadaan social ekonomi terdakwa dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Namun didalam konsep KUHP yang baru, bahwa pembuat, motif, dan tujuan dilakukanya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, riwayat hidup, dan keadaan sosial ekonomi pembuat, sikap, dan tindakan si pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan.
e.
Agama terdakwa
lxviii
Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan. Menimbang beberapa penjelasan tersebut diketahui bahwa putusan Hakim pengadilan Negeri Pemalang telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ada yaitu apa yang diputus hakim telah sesuai dengan batas minimum dan tidak melampaui batas maximum atas Pasal 117 ayat (2) yang pada pengenaan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak (sepuluh juta rupiah). Dengan adanya Putusan Pengadilan Tinggi Pemalang tersebut Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan permohonan kasasi, dimana tata cara pengajuan permohonan kasasi adalah sebagai berikut : 1)
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri Pemalang, dalam waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Pemalang. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 11 Juli 2006 dan JPU mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 15 Maret 2007 serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Pemalang pada tanggal 16 Maret 2007 dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima
2)
Permohonan kasasi tersebut oleh Panitera Pengadilan Negeri Pemalang dicatat dalam sebuah surat keterangan yang disebut akta permintaan kasasi yang ditandatangani oleh pemohon kasasi yaitu Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang serta panitera dan dicatat dalam suatu daftar yang dilampirkan pada berkas perkara;
lxix
Dalam Pasal 245 ayat (3) KUHAP, ditegaskan bahwa dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa, maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam hal ini Panitera Pengadilan Negeri Pemalang wajib memberitahukan kepada Terdakwa. Dasar dari pengajuan permohonan kasasi yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah: Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo UndangUndang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.” Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.” Bahwa permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dengan terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah tersebut telah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang di Pemalang pada tanggal Maret 2007 Nomor: 02/Akta.Pid/ 2007/PN.Pml, jadi masih dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang. Memori Kasasi telah di serahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara money politics dalam Pilkada di Pemalang tersebut putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dalam masa percobaan 6 (enam) bulan belum memenuhi rasa keadilan baik menurut peraturan perundang-undangan maupun rasa keadilan bagi masyarakat karena pemerintah sedang menggalakkan
lxx
pemilihan kepala daerah secara demokratis dan terbebas dari money politic. Bahwa perbuatan terdakwa tidak termasuk ruang lingkup sengketa sebagaimana diatur dalam pasal 106 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah, tetapi perbuatan terdakwa adalah merupakan pidana yaitu melanggar ketentuan pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 113 Peraturan Pemerintah Nomor: 6 Tahun 2005 dan mengingat ketentuan pasal 244, 245, 248, 253 KUHAP atau Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14PN.07.03 Tahun 1983, Yurisprudensi. Keberatan kasasi atas berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Mengenai alasan tersebut : Bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum karena dalam persidangan telah terbukti bahwa terdakwa telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, sebagaimana diatur dalam pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ; Menurut pendapat Penulis, Jaksa Penuntut Umum kurang tepat dalam dakwaannya . Dalam surat dakwaanya Jaksa Penuntut Umum menggunakan bentuk dakwaan tunggal untuk menjerat terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah. Hal ini dirasa sangat beresiko karena dalam penyusunan surat dakwaan ini hanya didakwakan satu perbuatan pidana dan hanya dicantumkan satu pasal yang dilanggar. Penyusunan dakwaan ini sangat mengandung resiko karena kalau dakwaan satu-satunya ini gagal dibuktikan dalam persidangan maka tidak ada alternative lain kecuali terdakwa dibebaskan. Dalam pratek kadang-kadang ditemui suatu keadaan perkara yang berdasarkan bukti-bukti yang ada sulit dicari alasan untuk mendakwa secara tunggal. Penyusunan surat dakwaan tunggal merupakan penyusunan surat dakwaan yang teringan jika dibandingkan dengan surat dakwaan lain, karena penuntut umum hanya memfokuskan pada sebuah permasalahan saja. Hal ini berarti bahwa penyusunan surat dakwaan tunggal mempunyai sifat sederhana yaitu sederhana dalam perumusannya maupun sederhana dalam pembuktian dan penerapan hukumnya.
lxxi
Menurut pendapat Penulis akan lebih baik jika Jaksa Penuntut Umum menggunakan susunan dakwaan subsidair. Dakwaan subsider ini umumnya dalam lingkup suatu perbuatan yang paralel / satu jurusan yang dalam dakwaan disusun berdasar pada urutan berat ringannya perbuatan yang tentu akan berbeda tentang berat ringan ancaman pidananya. Dalam dakwaan ini terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secar berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidan teringan. Pembuktian dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti.lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Pada Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah terdapat larangan dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilih atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu (substansi pasal ini sama persis dengan substansi Pasal 139 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pelaku dari perbuatan terakhir ini dapat dijatuhi hukuman 2 hingga 12 bulan dan/atau denda Rp 1.000.000,- hingga Rp 10.000.000,-. Dari sudut sanksinya beberapa tindak pidana politik uang (money politics) di atas relatif lebih berat dibanding tindak pidana lainnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah. Pelanggaran atas beberapa perkara money politics di atas selain diancam sanksi pidana juga dikenakan pembatalan sebagai calon sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) yang menyatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran ini berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mengenai berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan suatu hukuman melampaui batas maximum yang ditentukan atau hukuman yang dijatuhkan kurang cukup dipertimbangkan. Begitu pula mengenai besar kecilnya denda juga merupakan wewenang judex factie yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi, kecuali jika denda yang dijatuhkan melampaui batas maximum yang diatur undang-undang. Dari pertimbagan yang singkat itu dapat diambil kaidah hukum :
lxxii
a. Kalau hukuman atau denda yang dijatuhkan masih dibawah batas maximum ancaman pidana yang di dakwakan, pengadilan tidak salah menerapkan hukum,dan berwenang menjatuhkan pidana badan atau denda asal tidak melampaui batas maximum ancaman hukuman. b. Tapi apabila hukuman atau denda yang dijatuhkan melampaui batas maximum ancaman hukuman, pengadilan salah menerapkan hukum dan terhadapnya dapat dibenarkan permohonan kasasi. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex factie (Pengadilan Tinggi Pemalang) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak; Menimbang, bahwa oleh karena para Pemohon Kasasi/para Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ; Memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Menolak Pengajuan Kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang Dalam Perkara Money Politics Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 153 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa pemeriksaan tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP dan Pasal 248 KUHAP, guna menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagainama mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya. Pasal 244 KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas.
lxxiii
Mahkamah Agung, memiliki fungsi terpenting yaitu fungsi yustisia. Fungsi yustisia tersebut sangat menentukan (mempengaruhi) jalannya penyelenggaraan peradilan. Fungsi Yustisia dimaksud adalah fungsi Mahkamah Agung dalam bidang peradilan. Mengenai tugas peradilan, walaupun hanya menyangkut bagian dari fungsi tersebut, fungsi pemegang monopoli dari peradilan kasasi dalam posisinya sebagai puncak tunggal dari semua lingkungan peradilan yang ada. Dalam melaksanakan fungsi peradilan tersebut, pemeriksaan perkara kasasi masih didampingi dengan fungsi untuk memutuskan sengketa yurisdiksi antara hakim dan pengadilan, kemudian memutus dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan arbitrase. 1. Dasar Pertimbangan Hakim Agung atas Pengajuan Kasasi oleh Kejaksaan Negeri Pemalang dalam Perkara Money Politics dalam Pemilihan Kepala Daerah: Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi/judex factie tidak salah menerapkan hukum dan mengenai berat ringannya hukuman dalam perkara ini adalah wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan suatu hukuman melampaui batas maksimum yang ditentukan atau hukuman yang dijatuhkan kurang cukup dipertimbangkan ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak ; Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ; Memperhatikan Undang-Undang No.4 tahun 2004, Undang-Undang No.8 tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ; Putusan Hakim Mahkamah Agung berbunyi : a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pemalang tersebut ; b. Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; 2. Pembahasan
lxxiv
Putusan kasasi yang amarnya menolak permohonan kasasi ialah : a) permohonan kasasi memenuhi syarat formal; b) pemeriksaan perkara telah sampai menguji mengenai hukumnya; c) akan tetapi putusan yang dikasasi tidak ternyata mengandung kesalahan dalam penerapan hukum sebagaimana mestinya; Putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang dikasasi dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan telah meneliti dengan seksama segala sesuatu keberatan yang diajukan pemohon dalam memori kasasi. Namun, segala keberatan tidak memenuhi sasaran alasan kasasi yang dibenarkan undangundang sebagaimana yang dirinci dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Ad.1. ”permohonan kasasi memenuhi syarat formal” Mengenai hal ini bahwa permohonan kasasi yang dianggap sah dan memenuhi syarat formal, diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, Pasal 248 KUHAP yaitu : Permohonan kasasi diajukan oleh orang yang berhak untuk itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Yang berhak mengajukan permohonan kasasi ialah terdakwa atau kuasanya yang ditunjuk khusus untuk itu atau penuntut umum. Permohonan kasasi disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu pada tingkat pertama, dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan pengadilan yang dikasasi diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan kasasi dalam waktu 14 hari terhitung sejak permohonan kasasi diajukan seperti yang diatur dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP. Dalam Perkara ini syarat-syarat formalnya sudah terpenuhi sebagaimana mestinya. Ini berarti dari segi formal permohonan kasasi dapat diterima. Ad.2. ”pemeriksaan perkara telah sampai menguji mengenai hukumnya” Jika permohonan kasasi telah memenuhi syarat formal maka permohonan dapat diterima, barulah Mahkamah Agung berwenang memeriksa pokok perkara atau mengenai hukum yang bersangkutan dengan perkara kasasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 245, apabila Mahkamah Agung setelah memeriksa permohonan kasasi berpendapat permohonan telah memenuhi syarat formal yang ditentukan Pasal-pasal 245,246, dan Pasal 248 KUHAP maka Mahkamah Agung dapat memeriksa mengenai hukumnya serta memutuskan untuk menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.
lxxv
Ad.3. ”akan tetapi putusan yang dikasasi tidak ternyata mengandung kesalahan dalam penerapan hukum sebagaimana mestinya; Putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang dikasasi dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan telah meneliti dengan seksama segala sesuatu keberatan yang diajukan permohon dalam memori kasasi. Namun segala keberatan yang diajukan tidak mengenai sasaran alasan kasasi yang dibenarkan undang-undang sebagaimana yang dirinci dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Ini berarti putusan yang dikasasi sudah tepat hukumnya. Cara mengadilinyapun telah benar dilaksanakan pengadilan menurut ketentuan undang-undang serta pengadilan tidak melampaui batas wewenangnya dalam mengadili dan memutus perkara yang di kasasi. Maka dalam hal ini Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan kasasi. Menurut hemat Penulis, Mahkamah Agung tepat dalam putusannya yaitu menolak kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang menimbang beberapa alasan kasasi yang telah diajukan. Mahkamah Agung tidak salah dalam menerapkan hukumnya, semua telah sesuai dengan peraturan yang ada.
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Dasar Pengajuan kasasi kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah di Pemalang dengan Terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah adalah judex factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum karena perbuatan terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah tidak termasuk ruang lingkup sengketa sebagaimana diatur dalam
lxxvi
Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tetapi perbuatan terdakwa adalah merupakan pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melangar Pasal 117 ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang bunyinya : ” Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara menjadi tidak sah,....”. 2. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung adalah : a. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex factie tidak salah menerapkan hukum lagi pula mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan. Keberatan
semacam
itu
tidak
dapat
dipertimbangkan
dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat Kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan UndangUndang dan atau Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud 74 dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 tahun 1981) ; b. Bahwa disamping itu Mahkamah Agung berdasarkan wewenang pengawasannya juga tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas wewenangnya, oleh karena itu permohonan Kasasi Jaksa/Penuntut Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima ; c. Bahwa oleh karena Mahkamah Agung menolak
Permohonan
Kasasi/Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa dinyatakan bersalah,
lxxvii
maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada terdakwa ;
B. Saran 1. Kepada Jaksa Penuntut Umum sebaiknya dalam membuat dakwaannya untuk perkara-perkara pidana tidak memakai dakwaan tunggal karena dakwaan tunggal sangat mengandung resiko, jika dakwaan tersebut tidak terbukti maka terdakwa akan bebas dan tidak ada alternatif pasal lain yang dapat menjerat terdakwa. 2. Kepada pemerintah Republik Indonesia perlu membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Buku Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. CST. Kansil. 1986. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK). Jakarta: Bina Kasara. HB Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press. Henry P. Panggabean. 2001. Fungsi Mahkamah agung Dalam Praktik Seharihari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Ilham Gunawan. 1994. Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum Dan Stabilitas Politik. Yogyakarta: PT. Karya Unipress Leo Agustino. 2009. Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lexi J. Moleong. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. M.Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. Rusli. Muhammad. 2006.Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta:
lxxviii
Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1994. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Peraturan Perundang – undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1977.
lxxix