TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENILAIAN PENERAPAN HUKUM OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh JUHARTINI NIM. E0005026
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENILAIAN PENERAPAN HUKUM OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE
Oleh JUHARTINI NIM. E0005026
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 1 Mei 2009
Dosen Pembimbing
Co. Pembimbing
Kristiyadi, SH., M.Hum
Budi Setiyanto, SH., M.H
NIP. 131569273
NIP. 131568283
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENILAIAN PENERAPAN HUKUM OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE Oleh JUHARTINI NIM. E0005026 Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari
: Selasa
Tanggal
: 19 Mei 2009
DEWAN PENGUJI
1.
Edy Herdyanto, S.H., M.H :................. Ketua
2.
Budi Setiyanto, S.H., M.H : ................ Sekertaris
3. _____________________ _____________________.................... : _____________________ Anggota Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum
iii
NIP. 131570154 PERNYATAAN
Nama
: Juhartini
NIM
: E0005026
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: Tinjauan Yuridis Tentang Penilaian Penerapan Hukum Oleh Judex Facti Sebagai Dasar Pemeriksaan Kasasi Oleh Hakim Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Bank Mandiri Dengan Terdakwa E.C.W Neloe adalah betul-betul karya sendiri. Hal-Hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini. Surakarta, 21 April 2009 yang membuat pernyataan
Juhartini NIM. E0005026
iv
ABSTRACT Juhartini, E0005026, 2009. A JURIDICAL REVIEW ON THE ASSESSMENT OF LAW IMPLEMENTATION BY JUDEX FACTI AS A FOUNDATION OF APPEAL EXAMINATION BY THE SUPREME COURT’S JUDGE IN MANDIRI BANK CORRUPTION CRIME WITH THE ACCUSED E.C.W. NELOE. Law Faculty of Sebelas Maret University. This research studies and answer the problem concerning the criteria that judex facti perhaps has made a mistake in applying the law as the foundation of appeal case examination by the Supreme Court’s judge in the Mandiri Bank corruption crime case with the accused E.C.W Neloe and the assessment whether there is or not the error law application by judex facti as the foundation of appeal case examination by the Supreme Court’s judge in the Mandiri Bank corruption crime case with the accused E.C.W Neloe. This study belonged to a normative law research that was descriptive in nature. The research data employed was secondary one consisting of law materials (primary, secondary, tertiary). The type of study in this law research was what the judge decided in concerto and is systemized as the judges through, judicial process. The study employed a case approach. Technique of collecting data employed was documentary study or literary study. Technique of analyzing data used was content analysis. The basis of appeal case examination on the freedom verdict in the Mandiri Bank corruption crime case with the accused E.C.W Neloe and friends include: firstly, the impure liberation reason that is misinterpretation on the criminal action element in the accusation letter, the inclusion of non-juridical element, beyond the authority; secondly, the reason of appeal on Article 253 clause (1) KUPHAP and Article 30 clause (1) of Act No. 5 of 2004 about the Amendment of Act No. 14 of 1985 about the Supreme Court in which the law regulation is not applied or applied improperly or breaking the prevailing law that is to state that the accused’s action belongs to the civil case but it is decided as free, the accusation is proved but is freed, is decided as free but is required to pay any case charge, the trial method is not implemented according to the Law that indicates the conviction that the accused is not guilty in the trial, beyond the authority limit that is the absolute authority because the material test is conducted to the word “can” in Act No. 31 of 1999 jo. Act No. 2000 of 2001 about the Eradication of Corruption Crimes, negligent in fulfilling the obligatory condition according to the legislation that threats such negligence with the cancellation of pertained verdict that only considers the witness a de charge proposed by the accused’s lawyer and does not consider the letter evidence. There is law error implementation by judexfacti based on the Supreme Court judge’s deliberation that judex facti makes the law error application, exceeds his authority, conducts material test, and makes the law verification implementation error.
v
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul: “TINJAUAN JURIDIS TENTANG
PENILAIAN PENERAPAN HUKUM OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE”. Penyusunan
skripsi
ini
dimaksudkan
untuk
memenuhi
persyaratan dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Hukum Hukum
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta.
Banyak
sebagian
pada Fakultas hambatan
yang
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan surat keputusan ijin skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan 2. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Suranto, S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Ibu Subekti, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik Penulis selama menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
vi
5. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan memberikan berbagai petunjuk dalam penulisan skripsi ini. 6. Bapak Budi Setiyanto, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan memberikan berbagai petunjuk dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu kapada penulis selama menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Ibundaku tercinta yang selalu mendoakan, memberikan semangat, berjuang dan berkorban serta memberikan arti kehidupan yang sangat berharga bagiku. 9. Ayahandaku yang telah berjuang menghidupi keluarga. 10. Adekku Ayu dan Aster tersayang yang selalu menjadi semangat dan inspirasiku menjalani hidup ini. 11. Lek Ernita, Kak Yan, keponakanku Nia,dan Intan di Bengkulu yang selalu memberikan semangat. 12. Teman-teman terbaikku Rina-Rani, Lia, Ana, Mbak Selty, Mbak Wulan, Tina, Dini, Leni, Cintya, Rose, Dita, Mbak Lia dan Anak-Anak Kost Annisa 1 yang selalu memberikan bantuan, pengalaman, pengetahuan dan cerita hidup yang unik kepadaku. 13. Teman-temanku angkatan 05 yang selalu semangat. Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapat imbalan dari Allah SWT. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi pembaca.
Surakarta, 8 Maret 2009
vii
Juhartini E0005026
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ...........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN ...........................................................................
iv
ABSTRAK .........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .......................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................
1
A. Latar Belakang .....................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................................
6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ...............................................................................
7
E. Metode Penelitian ................................................................................
8
F. Sistematika Skripsi .............................................................................. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 16 A. Kerangka Teori .................................................................................... 16 1. Tinjauan Umum Tentang Judex Facti (Hakim) dan Kekuasaan Kehakiman ..................................................................................... 16 a) Pengertian Hakim ....................................................................... 16 b) Pengertian Hakim Agung ........................................................... 17 c) Kedudukan dan Kekuasaan Hakim ............................................ 17 d) Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab Hakim ......................... 19
viii
2. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Kasasi ............................ 21 a) Pengertian Kasasi ....................................................................... 21 b) Alasan Kasasi ............................................................................. 24 c) Putusan Yang Dapat Dimintakan Kasasi .................................... 25 d) Tata Cara Permohonan Kasasi ................................................... 26 e) Tata Cara Pemeriksaan Kasasi ................................................... 29 f) Putusan Mahkamah Agung ........................................................ 31 3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi .......................... 33 a) Pengertian Tindak Pidana ........................................................... 33 b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................. 39 c) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi ............................................. 41 d) Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ..................................... 47 B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 49 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 51 A. Hasil Penelitian .................................................................................... 51 1.
Kasus Posisi ................................................................................ 51
2.
Identitas Terdakwa ..................................................................... 52
3.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ................................................ 54
4.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ................................................. 54
5.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ................................ 55
6.
Alasan Kasasi (Memori Kasasi) Jaksa Penuntut Umum ............. 56
7.
Alasan Kasasi (Kontra Memori Kasasi) Kuasa Hukum Terdakwa
8.
Pertimbangan Mahkamah Agung ............................................... 57
9.
Amar Putusan Mahkamah Agung .............................................. 57
B. Pembahasan ......................................................................................... 59 1.
Kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan dalam menerapan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe ................................ 59
2.
Penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung
ix
56
dalam perkara tindak pidana korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe ................................................................................... 86 BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 104 A. Simpulan .............................................................................................. 104 B. Saran .................................................................................................... 106 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
xi
DAFATAR TABEL 1. Alasan Pembebasan Tidak Murni ........................................................ 82 2. Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) UndangUndang No. 5 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung ....................................... 83 3. Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung terhadap alasan kasasi (memori kasasi) jaksa penuntut umum ............................................... 96 4. Bentuk dan jenis tindak pidana korupsi kasus korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe dkk ................................................... 102 LAMPIRAN
x
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. ______________.2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Adnan Buyung Nasution dkk. 1999. Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. ___________.2005. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta. Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Leden Marpaung. 2000. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Lexy J Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
xi
M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika. Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Otje Salman dan Anton F. Susanto. 2005. Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wirjono Prodjodikoro. 1974. Bunga Rampai Hukum. Jakarta : Ichtiar Baru Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan No. 1144/K/Pid/2006. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankkan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
xii
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Makalah Chatamarrasjid. 2005. Komisi Yudiasial Mewujudkan Checks and Balances Untuk Menghindari Tirani Yudikatif. Makalah Disampaikan pada Kuliah Perdana Mahasiswa Baru Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, pada tanggal 27 Agustus 2005. Rizky Argama. 2006. ”Tanggung Jawab Profesi Hakim Sebagai Aktor Utama
Penyelenggara
Kekuasaan
Kehakiman
di
Indonesia”.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kamus Fockema Andreae. 1983. Kamus Istilah Hukum. Bina Cipta. Garner. A. Bryan . 1999. Black’s Law Dictionary. St Paul Minn: West Group. Hassan. Shadily. 2006. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. J.C.T.Simorangkir dkk. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
xiii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi adalah suatu persoalan yang sangat populer saat ini. Korupsi merupakan hal yang dapat merobohkan sendi-sendi kehidupan suatu bangsa. Seluruh negara-negara di belahan dunia sangat gigih dalam memerangi korupsi. Negara Indonesia sebagai negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi terus berupaya memberantas korupsi. Segala upaya dilakukan pemerintah dalam memerangi korupsi. Di Indonesia korupsi merupakan suatu budaya yang telah melekat serta berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Di semua bidang di Indonesia tidak lepas dari korupsi. Bidang pemerintahan yang memilki catatan tertinggi dalam jumlah korupsi yang memperjelas bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga. Di bidang-bidang swasta seperti perbankkan juga cukup mendukung tingginya angka korupsi di Indonesia.
Pada bulan Mei 2005 polisi menangkap 3 (tiga) direktur Bank Mandiri yang diduga melakukan korupsi, mereka adalah E.C.W Neloe selaku Direktur Utama PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, I Wayan Pugeg selaku Direktur Risk Management PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, M Soleh Tasripan selaku EVP Coordinator Corporate & Gevernement PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Para direktur tersebut diajukan kepersidangan karena sebagai pemutus kredit melakukan pemberian kredit Bridging Loan sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) kepada PT. Cipta Garaha Nusantara (PT. CGN). Pemberian kredit tersebut bertujuan untuk memberikan dana kepada
xiv
PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) guna membeli aset-aset PT. Tahta Medan. Para direktur tersebut langsung menyetujui pemberian kredit sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) kepada PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) tanpa memperhatikan norma-norma umum perbankkan dan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu: 1.
Memastikan bahwa pemberian kredit telah sesuai dengan ketentuan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kredit (BPPK); 2. Memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit (ArtikeI 520 Kebijakan Perkreditan PT. Bank Mandiri (KPBM) Februari 2000 dalam Putusan No. 1144/K/Pid/2006). Perkara tersebut diajukan dan diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara No. 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel. Pada tanggal 20 Februari 2006 perkara tersebut diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan putusan bebas. Putusan tersebut dijatuhkan dengan pertimbangan bahwa perkara tersebut merupakan ruang lingkup hukum perdata bukan ruang lingkup hukum pidana. Putusan majelis hakim tersebut membuat sorotan publik karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah banyak menjatuhkan putusan bebas untuk perkara-perkara korupsi.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diperkirakan memiliki unsur-unsur pertimbangan yang menurut teori hukum tidak sesuai. Di dalam putusannya majelis hakim membebaskan ketiga terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum padahal dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum terbukti. Dapat dilihat dari pertimbangan majelis hakim tersebut maka seharusnya putusan yang dijatuhkan adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum pidana. Di dalam hukum pidana dikenal jenis-jenis putusan (M.Yahya Harahap, 2000: 347-358): 1.
Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Baik wewenang mengadili secara absolut maupun relatif.
xv
2.
Putusan dakwaan batal demi hukum berdasarkan Yurisprudensi
Putusan
Mahkamah
Agung
Registrasi
Nomor
808/K/Pid/1984 tanggal 6 Juni yang menyatakan : “Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”. 3.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima. Putusan ini dijatuhkan dalam hal tidak adanya aduan pada delik aduan, nebis en idem, atau lampau waktu.
4.
Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan ini dijatuhkan bilamana dakwaan yang didakwaan terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana.
5.
Putusan bebas Pasal 191 ayat (1) KUHAP, dijatuhkan bilamana terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan.
6.
Putusan pemidanaan pada terdakwa Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Putusan ini dijatuhkan bilamana terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Berpedoman dari hukum positif yang ada tersebut maka menanggapi putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maka jaksa penuntut umum menyatakan sikap tidak menerima putusan tersebut dengan mengajukan upaya hukum kasasi.
Hukum positif Indonesia mengatur mengenai upaya hukum sebagai upaya apabila para pihak tidak menerima atau tidak puas dengan putusan dari majelis hakim tingkat pertama. Ada 2 macam upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dalam hukum pidana yaitu banding (Pasal 233 ayat (1) KUHAP)
xvi
dan kasasi (Pasal 244 KUHAP), dan upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana yaitu kasasi untuk kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Untuk upaya hukum yaitu kasasi yang diajukan terhadap putusan bebas maka penuntut umum harus bisa membuktikan bahwa putusan bebas tersebut bukan merupakan putusan bebas murni. Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983 (Reg. No. 274 K/Pid/1983), memutuskan tentang persepsi kata “bebas” pada Pasal 244 KUHAP yakni bebas murni, sedangkan terhadap perkara yang terbukti bukan bebas murni dapat diajukan kasasi (M. Yahya Harahap, 2000: 545). Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dan No. 1 K/Pid/2000 tanggal 22 September 2000 yang intinya berisi tentang kasasi untuk putusan bebas tidak murni. Dalam mengajukan kasasi telah diatur secara tegas dan jelas mengenai alasan-alasan dalam mengajukan kasasi. Di dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya; b.
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya”. Di dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung memuat alasan-alasan kasasi dalam Pasal 30 yang berbunyi sebagai berikut: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. selain menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
xvii
c.
selain memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”. Dalam Undang-Undang tersebut kemudian diadakan perubahan yaitu dalam Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 14 tahun 1985 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung pada Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”. Pada intinya dari ketiga peraturan tersebut, KUHAP, Undang-Undang No 14 Tahun 1984 jo Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung alasan pengajuan kasasi adalah sama seperti yang diatur didalam KUHAP. Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi yang berwenang memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat kasasi mempergunakan dasar hukum tersebut dalam menerima dan memeriksa perkara kasasi yang diajukan. Dalam putusan bebas perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe dkk yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diperkirakan banyak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan hukum positif, maka dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi oleh penuntut umum guna mencapai
keadilan.
Mahkamah
Agung
dalam
putusannya
No.1144/K/Pid/2006 yang intinya mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel, menjatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun kepada terdakwa E.C.W Neloe dkk dan denda sebesar
xviii
Rp
500.000.00,00 (lima ratus juta rupiah). Dalam menjatuhkan putusan tersebut tentunya
majelis
hakim
kasasi
mempunya
berbagai
pertimbangan-
pertimbangan sebagai dasar dari putusan tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan
judul:
“TINJAUAN
JURIDIS
TENTANG
PENILAIAN
PENERAPAN HUKUM OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE”. B. Rumusan Masalah
Permusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan sesuai dengan yang dikehendaki.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas perumusan masalah yang penulis kaji adalah sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe ? 2. Bagaimana penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah
xix
Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Dan suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui apa kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe. b. Mengetahui penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe. 2. Tujuan Subyektif a. Menambah dan memperluas pengetahuan penulis dalam bidang hukum khususnya Hukum Acara Pidana dan Pidana. b. Memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
xx
D. Manfaat Penelitian
Di dalam setiap penelitian diharapkan adanya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil sehubungan dengan penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, hukum acara pidana dan pidana pada khususnya. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b. Meningkatkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
E. Metode Penelitian
Penelitian secara ilmiah adalah suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut, xxi
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut (Soerjono Soekanto, 1986: 2). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini yaitu : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji: 2007: 13). Tipe kajian dan konsep dalam penelitian hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto ada 5 jenis yaitu (Otje Salman dan Anton F.Susanto, 2005: 78): 1) Hukum sebagai asas kebenaran dan keadilan bersifat kodrati dan universal. 2) Hukum adalah norma positif di dalam sistem Perundang-Undangan hukum nasioanal. 3) Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inkonkreto dan tersistematisasi sebagai judges through, judicial processes. 4) Hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembagakan. Eksis sebagai variabel sosial yang empirik. 5) Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.
xxii
Tipe kajian dan konsep dalam penelitian hukum ini termasuk kedalam jenis yang ketiga yaitu hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inkonkreto dan tersistematisasi sebagai judges through, judicial processes. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang berupa putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Mahkamah Agung No.1144/K/Pid/2006.
2. Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesahipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 1986: 10). Penelitian yang bersifat deskriptif ini dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang apa yang menjadi kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi dan bagaimana penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
3. Pendekatan Penelitian
xxiii
Dalam penelitian hukum yang berbentuk skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kasus yaitu kasus korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe. Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam Yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian (Johnny. Ibrahim, 2005: 321). Kasus tersebut sangat menarik untuk diteliti karena terdakwa diputus bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan padahal dakwaan jaksa penuntut umum dinyatakan terbukti tetapi perbuatan terdakwa dinyatakan sebagai perbuatan dalam ruang lingkup hukum perdata. Diperkirakan banyak sekali hal-hal di luar hukum positif terdapat dalam putusan tersebut yang dijadikan dasar jaksa penuntut umum dalam mengajukan kasasi. Penulis menggunakan pendekatan kasus untuk mengetahui apa yang menjadi kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan
dalam
menerapkan
hukum,
sehingga
menjadi
dasar
pemeriksaan kasasi dan bagaimana penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe dari putusan kasasi tersebut. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah data sekunder. Dalam penelitian hukum normatif data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007: 13).
xxiv
5. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini yaitu data sekunder yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, Perundang-Undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, Yurispridensi, Traktat dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang sampai saat ini masih berlaku (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007: 13). Yang menjadi bahan hukum primer dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan, UndangUndang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UndangUndang No. 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung No.1144/K/Pid/2006, Yurisprudensi. b. Bahan Hukum Sekunder
xxv
Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan saterusnya (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007: 13). Yang menjadi bahan hukum sekunder dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah buku-buku, makalah atau literatur yang berkaitan atau membahas tentang hukum acara pidana, hukum pidana, upaya hukum dan tindak pidana korupsi. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007: 13). Yang menjadi bahan hukum tertier dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah kamus istilah hukum, kamus hukum, black’s law dictionary, kamus Inggris-Indonesia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto, 1986: 21). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka, yaitu pengumpulan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier.
xxvi
7. Teknik Analisis Data
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” (Soerjono Soekanto, 1986: 21). Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah content analysis atau kajian isi. Pengertian kajian isi menurut Weber adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Pengertian kajian isi menurut Krippendroff adalah teknik penelitian yang diamanfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksnya (Krippendroff dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Ciri-ciri content analysis atau kajian isi menurut Guba dan Lincoln yaitu proses mengikuti aturan, proses sistematis, kajian isi merupakan proses yang diarahkan untuk menggeneralisasikan,
kajian
isi
mempersoalkan
isi
yang
termanifestasikan, kajian isi menekankan analisis secara kuantitatif, namun hal itu dapat pula dilakukan bersama analisis kualitatif (Guba dan Lincoln dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220).
F. Sistematika Skripsi Sistematika skripsi yang disusun oleh penulis adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah,
tujuan
penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
xxvii
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah Kerangka Teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai Tinjauan Umum tentang Judex Facti (Hakim) dan Kekuasaan Kehakiman diantaranya yaitu : Pengertian Hakim, Pengertian Hakim Agung, Kedudukan dan Kekuasaan Hakim, Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab Hakim, Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Kasasi diantaranya yaitu pengertian kasasi, alasan kasasi, putusan yang dapat dimintakan kasasi, tata cara permohonan kasasi, tata cara pemeriksaan kasasi, putusan Mahkamah Agung, Tinjauan
Umum
tentang
Tindak
Pidana
Korupsi
diantaranya pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana korupsi, jenis-jenis tindak pidana korupsi, bentuk-bentuk tidak pidana korupsi. Yang kedua mengenai Kerangka Pemikiran. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu yang pertama adalah Hasil Penelitian yang terdiri dari kasus posisi, identitas terdakwa, dakwaan jaksa penuntut umum, tuntutan jaksa penuntut umum, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, alasan kasasi (memori kasasi) dari jaksa penuntut umum, alasan kasasi (kontra memori kasasi) dari kuasa hukum terdakwa, pendapat
Mahkamah Agung, Amar Putusan
Mahkamah Agung. Yang kedua adalah Pembahasan yang terdiri: 1. Kriteria bahwa judex facti kemungkinan melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung xxviii
dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe. 2. Penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe. BAB IV : PENUTUP Bab akhir ini berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori 1.
Tinjauan Umum tentang Judex Facti (Hakim) dan Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Kamus Istilah Hukum terdapat pengertian judex facti sebagai berikut: Judex, hakim, sebagai dalam ungkapan tetap, judex facti, hakim yang memeriksa duduknya perkara, sebagai kebalikan dari Mahkamah Agung, yang dalam kasasi hanya mempertimbangkan persoalan hukum, unsur judex, hakim tunggal (hakim Pengadilan Negeri, hakim polisi, hakim anak-anak dsb, judex a quo, hakim xxix
yang putusannya diminta orang naik banding hudex ad quem, hakim, kepada siapa orang meminta banding (Fockema Andreae, 1983: 227). Dalam Kamus Hukum terdapat pengertian judex adalah hakim, judex facti adalah hakim mengadili fakta-fakta (bukan hakim kasasi) (J.C.T.Simorangkir dkk, 2005: 78). a) Pengertian Hakim Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili”. Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: “Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang”. b) Pengertian Hakim Agung
Pengertian hakim agung terdapat dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yang menyebutkan bahwa: “Hakim Agung adalah hakim anggota pada Mahkamah Agung”. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung). c) Kedudukan dan Kekuasaan Hakim
xxx
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada. Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macammacam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat hukum pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27). Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi
xxxi
kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya. Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada Yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut dengan Doktrin. Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak memihak disini tidak diartikan secara harafiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang benar. Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP (Andi Hamzah, 2005: 99-101). d) Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab Hakim
xxxii
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia dengan berpedoman pada kode etik IKAHI berdasarkan pada PANCA DHARMA HAKIM yakni Kartika, Cakra, Candra, Tirta, Sari (Chatamarrasjid, 2005: 7). Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban-kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut : 1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004). 2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004). 3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 2004). 4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri
xxxiii
mesipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No.4 Tahun 2004). 5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 29 ayat (5) Undang-Undang No.4 Tahun 2004). 6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya menurut agamanya (Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004). Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (Rizky Argama, 2006: 11) : 1)
Tanggung Jawab Moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan normanorma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan.
2)
Tanggung Jawab Hukum adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum.
3)
Tanggung Jawab Teknis Profesi adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
xxxiv
2. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Kasasi Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, (Pasal 1 butir 12 KUHAP). Upaya hukum merupakan langkah untuk mencari keadilan. a)
Pengertian Kasasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti kasasi sebagai berikut: “Pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai benar dengan Undang-Undang, hak kasasi hanyalah hak Mahkamah Agung” (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Leden Marpaung, 2000: 3). Dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae dimuat arti kasasi sebagai berikut: “Cassaatie, kasasi, pembatalan, pernyataan tidak berlakunya keputusan Hakim rendahan oleh Mahkamah Agung demi kepentingan kesatuan peradilan. Istimewa kasasi dari keputusan, penetapan atau pernyataan lainnya oleh Mahkamah Agung, karena melanggar bentuk yang diharuskan dengan ancaman batal, karena melanggar ketentuan hukum atau melampaui kekuasaan peradilan” (Fockema Andreae, 1983: 67). Dalam buku Peristilahan Hukum dalam Praktek terbitan Kejaksaan Agung (1985) dimuat arti kasasi sebagai berikut (Kejaksaan Agung dalam Leden Marpaung, 2000: 4) : Kasasi: pembatalan putusan atau perbaikan keputusan pengadilan bawahan oleh Mahkamah Agung karena pengadilan bawahan itu telah: a. Melampaui batas kewenangannya; xxxv
b. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh sesuatu ketentuan Undang-Undang yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan; c. Salah menerapkan atau melanggar sesuatu peraturan hukum yang berlaku. Mr. M.H.Tirtaamidjadja merumuskan pengertian kasasi sebagai berikut: Kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat tertinggi yaitu keputusan-keputusan yang tak dapat dilawan atau tidak dapat dimohon bandingan, baik karena kedua jalan hukum ini tidak diperbolehkan oleh UndangUndang, maupun oleh karena ia telah dipergunakan (Mr.M.H. Tirtaamidjadja dalam Leden Marpaung, 2000: 4). Prof. Oemar Seno Adji, SH menyatakan antara lain sebagai berikut: “Kasasi ditujukan untuk menciptakan kesatuan hukum dan oleh karenanya menimbulkan kepastian hukum. Ia (kasasi) bertujuan untuk menciptakan suatu kesatuan hukum disamping hendak menjamin kesamaan dalam peradilan” (Prof. Oemar Seno Adji, SH dalam Leden Marpaung, 2000: 5). Mr.Wirjono Projodikoro (Mantan Ketua Mahkamah Agung) menjelaskan arti kasasi sebagai berikut: “Kasasi yang berarti pembatalan adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain” (Mr.Wirjono Projodikoro dalam Leden Marpaung, 2000: 4).
Dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undangxxxvi
Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung dapat diambil kesimpulan tentang arti kasasi adalah: Pasal 29 Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung: “Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan”. Pasal 30 Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a.
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b.
selain menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c.
selain memenuhi syarat-syarat yang diwajibakan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian
itu
dengan
batalnya
putusan
yang
bersangkutan”. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo UndangUndang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut:
xxxvii
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a.
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b.
salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c.
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian
itu
dengan
batalnya
putusan
yang
bersangkutan”.
Jadi dari pengertian kedua Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan kasasi adalah: pembatalan putusan atau penetapan pengadilan tingkat banding atau terakhir karena tidak sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku. Tidak sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku dapat berupa: a)
tidak
berwenang
atau
melampaui
batas
wewenang; b) selain menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c) selain memenuhi syarat-syarat yang diwajibakan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. b) Alasan Kasasi
xxxviii
Alasan kasasi telah ditentukan secara limitatif oleh UndangUndang yaitu terdapat dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Alasan kasasi yang dibenarkan menurut Pasal 253 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut: a.
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya;
b.
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang;
c.
apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
wewenangnya. Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung diatur mengenai alasan kasasi yang berbunyi : a.
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b.
salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c.
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”.
c)
Putusan Yang Dapat Dikasasi 1)
Terhadap semua “Putusan Pengadilan Negeri” dalam “Tingkat Pertama dan Tingkat Terakhir”.
2)
Terhadap semua “Putusan Pengadilan Tinggi” yang diambilnya pada “Tingkat Banding”.
3)
Tentang Putusan Bebas xxxix
Putusan bebas yang dapat dimintkan kasasi adalah putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) atau sering juga disebut sebagai putusan pembebasan yang terselubung (verkapte vrijspraak) sedangkan untuk putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi. Dalam bukunya M. Yahya Harahap menerangkan bahwa putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) atau sering juga disebut sebagai putusan pembebasan yang terselubung (verkapte vrijspraak) yaitu (M. Yahya Harahap, 2000:545) : - Apabila
putusan
pembebasan
itu
didasarkan
pada
“penafsiran yang keliru” terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. - Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui kewenangannya: · Baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau relatif. · Maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam putusan pembebasan itu telah turut dipertimbangkan
dan
dimasukkan
unsur-unsur
nonyuridis. d) Tata Cara Permohonan Kasasi Tata cara permohonan kasasi adalah sebagai berikut: 1) Permohonan Diajukan Kepada Panitera Dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat
xl
pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa. Jangka waktu diatur secara tegas di dalam UndangUndang. 2) Yang Berhak Mengajukan Permohonan Kasasi Dalam Pasal 244 KUHAP ditegaskan bahwa yang berhak mengajukan permohonan kasasi adalah terdakwa dan atau penuntut umum. Dan menurut Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 No. M. 14-PW.07.03 pada angka 24 lampiran tersebut menyebutkan bahwa dimungkinkan permintaan kasasi diajukan oleh seorang kuasa, asal untuk itu terdakwa membuat “surat kuasa khusus” secara tersendiri yang sengaja dibuat untuk, memberi kuasa mengajukan permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2000: 548). 3) Tenggang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi Tenggang waktu yang dibenarkan Undang-Undang untuk mengajukan kasasi adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diberitahukan, Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Terlambat dari batas waktu 14 (empat belas) hari mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur seperti yang ditegaskan dalam Pasal 246 ayat (2) KUHAP. Menurut hukum apabila permohonan kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 (empat belas) hari maka dengan sendirinya hak untuk mengajukan kasasi gugur, terdakwa dianggap menerima putusan, untuk itu panitera membuat akta penerimaan putusan. 4) Akta Permohonan Kasasi
xli
Bentuk dan pembuatan akta permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245 ayat (2) KUHAP, istilah dalam Pasal itu adalah “surat keterangan”. Tidak ada perbedaan arti antara surat keterangan dengan akta kasasi, hanya saja akta kasasi adalah istilah yang lazim digunakan. Bentuk dan tata cara pembuatan akta kasasi menurut Pasal 245 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut : 1) Panitera menulis permohonan dalam sebuah “Surat Keterangan”. 2) Akta kasasi harus ditandatangani panitera dan pemohon. 3) Akta kasasi dilampirkan dalam “Berkas Perkara”. 5) Permintaan Kasasi Wajib Diberitahukan Dalam ketentuan Pasal 245 ayat (3) KUHAP, panitera “wajib” memberitahukan permintaan kasasi yang diterimanya kepada pihak yang lain. Pihak yang lain disini maksudnya adalah terdakwa pada satu pihak dan penuntut umum
pada
pihak
yang
lain.
Jadi
panitera
wajib
menyampaikan pemberitahuan baik kepada terdakwa apabila penuntut umum yang mengajukan, kepada penuntut umum apabila terdakwa yang mengajukan baik kedua-duanya, terdakwa maupun penuntut umum apabila kedua-duanya sama-sama mengajukan permohonan kasasi. 6) Pemohon Wajib Mengajukan Memori Kasasi Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon kasasi adalah membuat memori kasasi, Pasal 248 ayat (1) KUHAP. Kewajiban mengajukan memori kasasi bersifat imperatif yaitu memiliki sanksi yang tegas, kerena
xlii
tanpa memori kasasi gugur haknya untuk mengajukan kasasi Pasal 248 ayat (4) KUHAP. Tenggang waktu mengajukan memori kasasi adalah 14 hari setelah permohonan kasasi diajukan Pasal 248 ayat (1) KUHAP. 7) Tenggang Waktu Menyerahkan Memori Kasasi Dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP telah ditentukan tenggang waktu mengajukan memori kasasi yaitu 14 (empat belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi diajukan. Jadi tenggang waktu tersebut telah diatur secara tegas apabila tidak memenuhi atau melewati tenggang waktu yang diajukan mengakibatkan gugur haknya untuk mengajukan kasasi. 8) Tanda Terima Penyerahan Memori Dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa panitera menerima penyerahan memori kasasi, panitera memberikan surat tanda terima. Surat tanda terima tersebut sebagai bukti penyerahan memori kasasi bagi pemohon. 9) Kewajiban Panitera Memberi Bantuan Kewajiban panitera memberikan bantuan untuk membuat memori kasasi ditegaskan dalam Pasal 248 ayat (2) KUHAP. Hal ini bertujuan untuk membantu terdakwa yang awam tentang hukum guna membuat memori kasasi. 10) Kontra Memori Kasasi Dalam Pasal 248 ayat (6) KUHAP yang intinya berisi tentang
memberikan
hak
kepada
pihak
lain
untuk
mengajukan “kontra memori kasasi” atas kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi. Kontra memori kasasi
xliii
merupakan “hak” dimana “hak” tersebut bisa digunakan bisa juga tidak. Kontra memori kasasi sebagai tanggapan terhadap memori kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi. Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari panitera menyampaikan kontra memori kasasi kepada pihak yang mengajukan memori kasasi Pasal 248 ayat (7) KUHAP. 11) Tambahan Memori dan Kontra Memori Dalam Pasal 249 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kesempatan untuk menambah memori kasasi atau kontra memori kasasi dengan tenggang waktu selama 14 (empat belas) hari. Menambah hal-hal yang dianggap perlu dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi guna kelengkapan dari yang diajukan terdahulu. e)
Tata Cara Pemeriksaan Kasasi Tata cara pemeriksaan kasasi adalah sebagai berikut: 1) Pemeriksaan Dilakukan dengan Sekurang-kurangnya 3 (tiga) Orang Hakim Dalam Pasal 253 ayat (2) KUHAP diatur mengenai pemeriksaan yang dilakukan oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Jadi minimal harus 3 hakim apabila terjadi pemeriksaan dengan hakim tunggal maka mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (2) KUHAP pemeriksaan tersebut tidak sah.
2) Pemeriksaan Berdasar Berkas Perkara
xliv
Dalam pemeriksaan kasasi yang diperiksa adalah berkas-berkas perkara Pasal 253 ayat (2) KUHAP yaitu berkas (M. Yahya Harahap, 2000:575) : -
Berita acara pemeriksaan dari penyidik.
-
Berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan.
-
Semua surat-surat yang timbul dipersidangan yang ada hubungannya dengan perkara.
-
Putusan pengadilan tingkat pertama.
-
Atau
putusan
tingkat
terakhir
(putusan
tingkat
banding). 3) Pemeriksaan Tambahan Apabila Mahkamah Agung berpendapat perlu adanya pemeriksaan tambahan maka pemeriksaan tambahan dapat dilakukan. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan menjatuhkan “putusan sela”. Putusan
sela
dijatuhkan
sebelum
Mahkamah
Agung
menjatuhkan putusan akhir yang bertujuan untuk menambah kelengkapan keterangan dalam mengambil putusan akhir. Putusan sela tersebut dapat ditujukan kepada pengadilan yang diperintahkan guna melakukan pemeriksaan tambahan dan bisa juga pemeriksaan tambahan dilakukan sendiri oleh Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2000: 575). 4) Tenggang Waktu Pemeriksaan Perkara yang Terdakwanya Berada dalam Tahanan Dalam Pasal 253 ayat (5) huruf b KUHAP, apabila Mahkamah
Agung xlv
mengeluarkan
penetapan
perintah
penahanan terhadap terdakwa, dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkan penetapan, Mahkamah Agung “wajib” memeriksa perkara tersebut. Di dalam perkara kasasi yang terdakwanya
ditahan
Undang-Undang
mewajibkan
Mahkamah Agung untuk memeriksa dalam waktu 14 (empat belas) hari dari tanggal penetapan perintah penahanan dikeluarkan terdakwanya
sedangkan tidak
untuk
ditahan
perkara
kasasi
Undang-Undang
yang tidak
memberikan ketentuan (M. Yahya Harahap, 2000: 576). f)
Putusan Mahkamah Agung 1) Menyatakan Kasasi Tidak Dapat Diterima Putusan ini dijatuhkan dalam tingkat kasasi apabila permohonan kasasi yang diajukan “tidak memenuhi syaratsyarat formal” yang diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, Pasal 248 ayat (1) KUHAP yaitu: (a) Permohonan kasasi terlambat diajukan. (b) Tidak mengajukan memori kasasi. (c) Memori kasasi terlambat disampaikan. 2) Putusan Menolak Permohonan Kasasi Putusan ini dijatuhkan pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung apabila (M. Yahya Harahap, 2000: 589) : (a) Permohonan kasasi telah memenuhi syarat formal. (b) Pemeriksaan perkara telah sampai menguji hukumnya. (c) Akan tetapi putusan yang dimintakan kasasi tidak mengandung kesalahan dalam penerapan hukum telah xlvi
sebagaimana mestinya, cara mengadili sudah sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan, dan dalam mengadili tidak melampaui batas wewenangnya. Jadi putusan ini
dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap
putusan yang dikasasi tidak melanggar ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan atau Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, putusan yang dikasasi sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan atau Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 3) Mengabulkan Permohonan Kasasi Putusan ini dijatuhkan apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dikasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan pengadilan yang dikasasi mengandung pelanggaran ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP yaitu: a. peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya; b.
cara mengadili tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang;
c.
pembatalan putusan atas alasan tidak berwenang mengadili.
dan atau Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan
xlvii
atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yaitu: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
Perundang-Undangan
kelalaian
itu
dengan
yang
batalnya
mengancam
putusan
yang
bersangkutan. 4) Pemberitahuan Putusan Mahkamah Agung Pemberitahuan putusan Mahkamah Agung terhadap terdakwa dan penuntut umum diatur dalam Pasal 257 KUHAP yang tata caranya berpedoman dalam Pasal 226 dan Pasal 243 KUHAP yang berarti segala sesuatu yang menyangkut (M. Yahya Harahap, 2000: 605): -
Pemberian petikan putusan kasasi kepada terdakwa atau penasehat hukumnya.
-
Pemberian salinan putusan kasasi kepada penyidik dan penuntut umum maupun terhadap terdakwa atau penasehat hukumnya yang berpedoman pada Pasal 226 KUHAP. - Pengiriman salinan putusan dan berkas perkara kasasi. - Pemberitahuan isi putusan kasasi kepada terdakwa, harus berpedoman pada Pasal 243 KUHAP.
3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi
xlviii
1) Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu (Adami Chazawi, 2002: 67). Srafbaar feit adalah delik, peristiwa pidana: peristiwa yang diancam hukuman yang dapat mengakibatkan tututan hukuman, khusus dalam hukum pidana umum, berdasarkan ancaman hukuman dalam ketentuan UndangUndang ditetapkan sebelumnya (Fochema Andreae, 1983: 544). Istilah-istilah
yang
pernah
digunakan
baik
dalam
Perundang-Undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan istilah srafbaar feit adalah (Adami Chazawi, 2002: 67-76): 1.
Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam Perundang-Undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan Perundang-Undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr.Wirjono Prodjodikoro, S.H.
2.
Peristiwa pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R.Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana”, Mr.Drs. H.J van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang “Hukum Pidana Indonesia”,. Pembentuk UndangUndang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
3.
Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang disebut strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam beberapa
literatur, xlix
misalnya
Prof.Drs.E.Utrecht,S.H,
walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana). Prof.A.Zaenal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Prof.Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku beliau “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana. 4.
Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku PokokPokok
Hukum
Pidana
yang
ditulis
oleh
Mr.M.HTirtaamidjaja. 5.
Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr.Karni dalam buku beliau “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”.
6.
Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-Undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
7.
Perbuatan pidana digunakan oleh Prof.Mr.Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas Hukum Pidana”.
Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada 7 istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah srafbaar feit (Belanda). Srafbaar feit terdiri dari 3 kata yakni straf, baar dan feit. Dari 7 istilah yang digunakan sebagi terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
l
Di dalam hukum pidana dikenal ada dua pandangan tentang pengertian dari tindak pidana yaitu pandangan monisme dan pandangan dualisme. Pandangan monisme berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana harus memenuhi unsur yaitu: 1. Perbuatan orang atau korporasi; 2. Melanggar aturan hukum; 3. Sifat melawan hukum; 4. Kesalahan; 5. Mampu bertanggungjawab atau dapat dipidana.
Menurut pandangan monisme pelaku tindak pidana pasti dipadana, tidak ada pemisahan antara tindak pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Para ahli yang menganut pandangan monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana antara lain: 1. J.E Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 3. H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam
li
dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang oleh karena itu dapat dipersalahkan. 4. Simons, yang merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.
Pandangan dualisme berpendapat bahwa tindak pidana (criminal act) berbeda dengan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) atau memisahkan antara tindak pidana (criminal
act)
dan
pertanggungjawaban
pidana
(criminal
responsibility). Menurut pandanagan dualisme pelaku tindak pidana
belum
tentu
kemampuannya
untuk
dijatuhi
pidana
bertanggungjawab.
tergantung
pada
Para
yang
ahli
menganut pandangan dualisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana antara lain: 1. Moeljatno, menggunakan istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2. Pompe, yang merumuskan bahwa strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 3. Vos, merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan PerundangUndangan.
lii
4. R.Tresna,
walaupun
menyatakan
sangat
sulit
untuk
merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau menarik suatu definisi yang menyatakan bahwa peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan Perundang-Undangan lainnya
terhadap
perbuatan
mana
diadakan
tindakan
penghukuman. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat yaitu: 1) Harus ada suatu perbuatan manusia; 2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan hukum; 3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan; 4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; 5) Terhadap
perbuatan
itu
harus
tersedia
ancaman
hukumannya dalam Undang-Undang. Dalam hal pertanggungjawaban dalam hukum pidana menganut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld), walaupun tidak dirumuskan dalam Undang-Undang, tetapi dianut dalam praktik. Tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban atas perbuatan. Orang yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya (Adami Chazawi, 2002:147).
liii
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai saat ini menganut pandangan dualisme karena dalam KUHP kita terdapat BAB III yaitu “Tentang Hal-Hal Yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana” khususnya Pasal 44, 48, 49, 50, 51. Pasal 44 KUHP berisi tentang tidak dipidana karena jiwanya cacat. Pasal 48 KUHP berisi tentang perbuatan pidana yang karena daya paksa tidak dipidana. Pasal 49 KUHP ayat (1) KUHP berisi tentang pembelaan terpaksa tidak dipidana. Pasal 49 ayat (2) KUHP berisi tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pasal 50 KUHP berisi tentang melaksanakan perbuatan ketentuan Undang-Undang tidak dipidana. Pasal 51 ayat (1) KUHP berisi tentang melaksanakan perintah jabatan yang diberikan penguasa yang berwenang tidak dipidana. Yang termasuk ke dalam jenis alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar adalah Pasal 49 ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP, Pasal 51 ayat (1) KUHP dan yang termasuk alasan pemaaf adalah Pasal 44 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 ayat (2) KUHP. 2) Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari kata corruption, artinya kecurangan atau perubahan, dan penyimpangan. Kata sifat corrupt berarti juga buruk, rusak, tetapi juga menyuap, sebagai bentuk sesuatu yang buruk (M.Dawam Rahardjo dalam Adnan Buyung Nasution dkk, 1999: 19). Corruptie adalah terutama dipakai bagi pegawai negara yang mendapat uang sogok yaitu menerima pemberian dan sebagainya, sedangkan mereka tahu, bahwa pemberian ini dimaksudkan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya (Fochema Andreae, 1983: 83).
liv
Dalam Webster’s New American Dictionary (1985), kata corruption diartikan sebagai decay (lapuk), contamination (kemasukan sesuatu yang merusak) dan impurity (tidak murni). Sedangkan kata corrupt dijelaskan sebagai “to become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk, buruk atau tengik), juga “to induce decay in something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus) (Webster’s New American Dictionary (1985) dalam Adnan Buyung Nasution dkk, 1999: 19).
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruptie atau corruptus corrumpore (Fockema Andreae (1951) dalam Lilik Mulyadi, 2000: 16). Carl Friedrich dalam artikelnya “Political Pathologi” melukiskan korupsi sebagai berikut: Pola korupsi dapat disebut terjadi apabila seseorang pemegang kekuasaan yang ditugaskan untuk mengerjakan sesuatu, yaitu seorang petugas (fungsionalis) dan penguasa kantor telah diberi hadiah uang atau yang lain secara melanggar hukum guna mengambil tindakan yang menguntungkan pemberi hadiah dan dengan demikian merugikan kepentingan umum (Carl Friedrich dalam Adnan Buyung Nasution dkk, 1999: 24). Jacob Van Klaveren dalam artikelnya “The Concept of Corruption” mendefinisikan korupsi sebagai berikut: Seorang pegawai yang korup memandang kantor umum sebagai sebuah bisnis darimana ia berusaha mendapatkan pendapatan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian kantor itu menjadi “unit maksimisasi”. Besarnya pendapatannya
lv
tergantung pada keadaan pasar dan bakatnya untuk menemukan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kurva permintaan masyarakat (Jacob Van Klaveren dalam Adnan Buyung Nasution dkk, 1999: 24). Dalam Black’s Law Dictionary terdapat arti korupsi sebagai berikut: Corruption 1. Deparavity, pervesion, or taint an impairment of integrity,
virtue,
or
moral
principle,
esp,
the
impairment of a public official’s duties by bribery. 2. The act of doing simething with an intent to give some advantege inconsistante with official duty and the rights of other, a fiduciary’s of official’s use of a station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the right’s of other (Garner A. Bryan, 1999: 348). Yang penulis terjemahkan sebagai berikut: Korupsi 1. Keburukan, perbuatan yang tidak wajar, perusakan yang mencemari kejujuran dan kebaikan atau prinsip moral yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dengan penyuapan. 2. Perbuatan melakukan sesuatu dengan maksud memberikan sesuatu keuntungan yang tidak wajar yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.
lvi
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, ...”. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat ditarik unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut : 1. unsur melawan hukum; 2. perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. 3) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi
Jenis-jenis tindak pidana korupsi menurut Adami Chazawi adalah sebagai berikut (Adami Chazawi, 2005: 20-31): a) Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi (1) Tindak Pidana Korupsi Murni Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan tugas atau pekerjaan pegawai negeri atau pelaksaan pekerjaaan yang bersifat publik.
lvii
Atas dasar kepentingan hukum yang dilindungi dalam hal dibentuknya tindak pidana korupsi kelompok ini dapat dibedakan lagi menjadi empat kelompok yaitu: (a) Tindak
pidana
korupsi
yang dibentuk dengan
substansi untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keuangan negara dan perekonomian negara. Tindak pidana korupsi ini dimuat dalam Pasal 2, 3, 8 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (b) Tindak
pidana
korupsi
yang
dibentuk
untuk
melindungi kepentingan hukum terhadap kelancaran tugas-tugas dan pekerjaan pegawai negeri atau orangorang
yang
pekerjaannya
berhubungan
dan
menyangkut kepentingan umum. Tindak pidana korupsi ini berasal dan termasuk kejahatan terhadap penguasa umum dalam Bab VIII KUHP. Tindak pidana korupsi yang dimaksud ialah Pasal 220, 231 KUHP, dan Pasal 5, 6 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (mengadopsi Pasal 209 dan 210 KUHP). (c) Tindak
pidana
korupsi
yang
dibentuk
untuk
melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan umum bagi barang atau orang atau keselamatan negara dalam keadaaan perang dari perbuatan yang bersifat
menipu.
Tindak
pidana
korupsi
ini
dirumuskan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
lviii
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang substansinya mengadopsi dari rumusan Pasal 387 dan 388 KUHP (masuk bab kejahatan penipuan atau bedrog). (d) Tindak
pidana
melindungi
korupsi
yang
kepentingan
terselenggaranya
tugas-tugas
dibentuk
hukum publik
untuk
mengenai atau
tugas
pekerjaan pegawai negeri. Tindak pidana korupsi ini seperti yang dirumuskan dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (mengadopsi dari Pasal 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP). (2) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan disini diatur dalam tiga Pasal yakni Pasal 21, 22, 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b) Atas Dasar Subjek Hukum Tidak Pidana Korupsi (1) Tindak Pidana Korupsi Umum Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, lix
akan tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua orang termasuk dalam kelompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 220, 231 KUHP Jo Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara Negara Tindak
pidana korupsi
pegawai
negara dan
atau
penyelenggara negara adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Rumusan tindak pidana korupsi ini terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B dan 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (mengadopsi Pasal 421, 422, 429, 430 KUHP).
c) Atas Dasar Sumbernya (1) Tindak Pidana Korupsi yang Bersumber pada KUHP
lx
Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu: (a) Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan aslinya dalam KUHP yang bersangkutan,
tetapi
substansinya
sama.
Yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (b) Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada PasalPasal tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem pemidanaannya. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
yang
merupakan hasil saduran dari Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi. (2) Tindak Pidana Korupsi yang oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi.
Dirumuskan Sendiri sebagai Tindak Pidana Korupsi
lxi
Tindak pidana ini merupakan tindak pidana asli yang dibentuk oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang termasuk dalam
kelompok
ini
ialah
tindak
pidana
korupsi
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. d) Atas Dasar Tingkah Laku atau Perbuatan Dalam Rumusan Tindak Pidana (1) Tindak Pidana Korupsi Aktif Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif adalah tindak pidana korupsi rumusannya
mencantumkan
unsur
yang dalam
perbuatan
aktif.
Perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang. Tindak pidana korupsi aktif ini terdapat dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, 21, 22 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP. (2) Tindak Pidana Korupsi Pasif atau Tindak Pidana Korupsi Negatif Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur
tingkah
lakunya
lxii
dirumuskan
secara
pasif.
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat aktif. Tindak pidana korupsi pasif terdapat dalam Pasal 7, 10 sub b, 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo 231 KUHP, 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. e) Atas Dasar Dapat-Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau Perekonomian Negara (1) Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (tindak pidana formil). (2) Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan
kerugian
keuangan
negara
atau
perekonomian negara (tindak pidana formil dan materiil). 4) Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi a) Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi (Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). b) Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan jabatan, atau kedudukan (Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
lxiii
c) Tindak
pidana
korupsi
suap
dengan
memberikan
atau
menjanjikan sesuatu (Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). d) Tindak pidana korupsi suap pada hakim dan advokad (Pasal 6 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). e) Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan NKRI (Pasal 7 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). f) Korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga (Pasal 8 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). g) Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar (Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). h) Tindak pidana korupsi pegawai negeri merusakkan barang, akta, surat, atau daftar (Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). i) Korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan (Pasal 11 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
lxiv
j) Korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau hakim, adavokat menerima hadiah atau janji, pegawai negeri memaksa membayar, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan (Pasal 12 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). k) Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi (Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). l) Korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). m) Tindak pidana yang berhubungan dengan hukum acara pemberantasan korupsi. n) Tindak pidana pelanggaran terhadap Pasal 220, 231, 421, 422, 429 dan 430 KUHP (Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
B. Kerangka Pemikiran Dalam hal telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh E.C.W Neloe dkk dan pengadilan tingkat pertama menjatuhkan putusan bebas terhadap para terdakwa. Jaksa penuntut umum dapat melakukan upaya hukum yaitu kasasi, tetapi harus membuktikan bahwa putusan tersebut bukan merupakan putusan bebas murni. Kasasi yang diajukan kepada Mahkamah
lxv
Agung harus memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Dalam memeriksa dan memutus perkara kasasi Mahkamah Agung memilki berbagai pertimbangan. Dalam perkara kasasi hakim Mahkamah Agung memeriksa sesuai dengan ketentuan limitatif pengajuan kasasi yaitu Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, apakah judex facti melakukan kesalahan atau tidak dalam penerapan hukum. Mengenai kerangka pemikiran akan penulis gambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Hakim (Judex Facti)
Hakim PN
Hakim PT
TP Korupsi
Bebas Ada / Tidak Kesalahan ?
Kasasi
MA
Alasan Pembebasan Tidak Murni dan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun lxvi 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Putusan MA Bagan 1. Kerangka Pemikiran
BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian 1.
Kasus Posisi
E.C.W Neloe dan kedua rekannya yaitu I Wayan Pugeg dan M.Soleh Tasripan dihadapkan dipersidangan dengan dakwaan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dalam kurun waktu dari Juli 2002 sampai dengan April 2005. Ketiganya didakwa melakukan tindakan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain maupun korporasi. Tindakan tersebut dilakukan ketiga terdakwa yang berkasnya digabung dengan cara memberikan kredit Bridging Loan kepada PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) dengan mengabaikan asas-asas perkreditan yang sehat.
lxvii
Kedudukan ketiga terdakwa sebagai pihak yang berwenang memutus kredit. Kredit tersebut diberikan dengan tujuan untuk pembelian aset-aset PT. Tahta Medan, pembangunan menara Tiara Tower, dan renovasi hotel Tiara Medan. Padahal PT. Tahta Medan telah dijual BPPN kepada PT. Trimanunggal Mandiri Persada. Dalam nota kredit pembelian PT. Tahta Medan oleh PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) dilkakukan kepada PT Manunggal Wiratama padahal jelas bahwa PT. Tahta Medan telah dibeli oleh PT Trimanunggal Mandiri Persada dengan harga ±Rp. 97.000.000.000,00 (sembialn puluh tujuh milyar). Jadi ada kelebihan dana sebesar ±Rp. 63.000.000.000,00 (enam puluh tiga milyar rupiah). Pemberian kredit yang dilakukan oleh ketiga terdakwa sebagai pihak yang berwenang memutus kredit jelas melanggar asas-asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-hatian karena telah salah dalam memberikan informasi yaitu pembelian PT. Tahta Medan dari PT. Manunggal Wiratama yang seharusnya adalah PT. Trimanunggal Mandiri Persada. Jaminan yang diberikan PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) kepada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, tidak sebanding dengan kredit yang diberikan. Jaminan yang diberikan berupa surat tagihan hutang PT. Tahta Medan padahal jelas PT. Tahta Medan dijual BPPN karena bermasalah tidak mungkin perusahaan yang bermasalah atau tidak sehat dapat mengembalikan hutang yang sangat besar jumlahnya. Pemberian fasilitas kredit yang dilakukan oleh ketiga terdakwa kepada PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) melanggar asas-asas perkreditan yang sehat dimana PT. Cipta Graha Nusanatara (PT. CGN) adalah PT yang baru berdiri selama 6 (enam) bulan sebelum ketiga terdakwa menyetujui kredit. Menurut Ketentuan Pedoman Pelaksanaan Kredit bahwa debitur harus memiliki neraca laba atau rugi selama tiga tahun terakhir dan neraca tahun yang sedang berjalan dan untuk kredit lebih
lxviii
dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) harus diaudit oleh akuntan publik terdaftar.
Ketiga terdakwa didakwa dengan dakwaan subsider oleh jaksa penuntut umum. Ketiga terdakwa tersebut dijatuhi putusan bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terhadap putusan tersebut jaksa penuntut umum langsung mengajukan upaya hukum kasasi. Dalam putusan bebas tersebut banyak terdapat unsur-unsur non yuridis yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim yang dijadikan alasan kasasi oleh jaksa penuntut umum.
2.
Identitas Terdakwa: I.
Nama
: EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE;
Tempat Lahir
: Makassar;
Umur/ Tanggal Lahir : 61 tahun/ 7 Novenber 1944; Jenis Kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat Tinggal
: Jalan Permata Intan IV/ Blok X Kav-A, Permata Hijau, Jakarta Selatan;
lxix
Agama
: Kristen;
Pekerjaaan
: Mantan Direktur Utama PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk;
II.
Nama
: I WAYAN PUGEG;
Tempat Lahir
: Gianyar;
Umur/ Tanggal Lahir : 58 tahun/ 17 Februari 1947; Jenis Kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat Tinggal
: Jalan Metro Pondok Indah No. 99, Jakarta Selatan;
Agama
: Hindu;
Pekerjaaan
: Mantan Dir. Risk Management PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk;
III.
Nama
: M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM;
Tempat Lahir
: Pati;
Umur/ Tanggal Lahir : 49 tahun/ 15 Agustus 1956; Jenis Kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat Tinggal
: Jalan Sriwijaya Raya No. 19 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan;
Agama
: Islam;
lxx
Pekerjaaan
: Mantan EVP Coordinator Corporate & Goverment PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
3.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Ketiga terdakwa tersebut di atas didakwa dengan bentuk dakwaan subsider yang intinya sebagai berikut: a. Primair Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. b. Subsidair Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. c. Lebih Subsidair Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. d. Lebih Subsidair Lagi Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. lxxi
4.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Tuntutan jaksa penuntut umum intinya sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE, terdakwa I WAYAN PUGEG serta terdakwa M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan primair; b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE, terdakwa I WAYAN PUGEG serta terdakwa M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM dengan pidana penjara masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan, dan membayar denda masing-masing sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) subsider 12 (dua belas) bulan kurungan; c. Menyatakan barang bukti berupa dokumen yang tercantum dalam daftar adanya barang bukti dirampas untuk negara yang diperhitungkan untuk pengembalian kerugian negara; d. Menetapkan agar para terdakwa dibebani membayar biaya perkara ini masing-masing Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
lxxii
5.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/PN. Jak. Sel, tanggal 20 Februari 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut: a. Menyatakan bahwa para terdakwa: -
EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE;
-
I WAYAN PUGEG;
-
M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM.
tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan kepada mereka; b. Membebaskan para terdakwa tersebut dari seluruh dakwaan tersebut; c. Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan negara; d. Mengembalikan hak-hak para terdakwa dalam kedudukan, kemampuan, harkat serta martabatnya; e. Memerintahkan barang bukti berupa dokumen yang tercantum dalam daftar barang bukti dikembalikan kepada masing-masing terdakwa; f. Membebankan kepada masing-masing terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
lxxiii
6.
Alasan Kasasi (Memori Kasasi) dari Jaksa Penuntut Umum Alasan kasasi dari jaksa penuntut umum pada intinya sebagai berikut: a. Putusan bebas yang dijatuhkan bukan putusan bebas murni. b. Judex facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. c. Judex facti telah melampaui batas wewenangnya. Majelis hakim (judex facti) telah melanggar Pasal 253 ayat (1) huruf a dan c KUHAP, dan Pasal 30 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
7.
Alasan Kasasi (Kontra Memori Kasasi) Kuasa Hukum Terdakwa Alasan kasasi dari kuasa hukum terdakwa pada intinya sebagai berikut: a. Unsur melawan hukum tidak terpenuhi atau tidak terbukti. b. Penerapan hukum pembuktian tidak sebagaimana mestinya. c. Pertimbangan hukum dalam putusan a quo yang saling bertentangan. d. Penerapan hukum salah atau hukum diterapkan secara tidak benar Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung .
lxxiv
e. Unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi tidak terbukti.
8.
Pertimbangan Mahkamah Agung Pertimbangan Mahkamah Agung tentang alasan kasasi dari kuasa hukum terdakwa dan jaksa penuntut umum yang pada intinya sebagai berikut: a. Kuasa Hukum Terdakwa 1) Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kuasa hukum terdakwa dalam menafsirkan unsur “setiap orang”. 2) Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kuasa hukum terdakwa dalam menafsirkan unsur “melawan hukum”. 3) Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kuasa hukum terdakwa karena telah dianalisis atas dasar fakta-fakta hukum yang ada dan benar. b. Jaksa Penuntut Umum 1) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa adalah terbukti namun perbuatan tersebut berada dalam ruang lingkup hukum perdata, maka putusan seharusnya merupakan pembebasan tidak murni. 2) Pertimbangan aspek hukum korporasi dan tanggungjawab korporasi. 3) Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan.
lxxv
9.
Amar Putusan Mahkamah Agung Amar Putusan Mahkamah Agung No. 1144/K/Pid/2006 yang diputus pada hari Kamis tanggal 13 September 2007, intinya sebagai berikut: § Menolak permohonan kasasi para pemohon kasasi I/para terdakwa: §
EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE;
§
I WAYAN PUGEG;
§
M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM.
§ Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi II jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. § Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel, tanggal 20 Februari 2006. § Mengadili Sendiri: 1. Menyatakan para terdakwa: I. EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE, II. I WAYAN PUGEG, III. M SHOLEH TASRIPAN, SE,MM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Korupsi secara bersamasama dan berlanjut”; 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa-terdakwa I, II, III tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) tahun; 3. Menetapkan lamanya terdakwa-terdakwa I, II, III berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
lxxvi
4. Menghukum terdakwa-terdakwa I, II, III dengan hukuman denda masing-masing sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka kepada masing-masing terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan; 5. Menetapkan barang bukti berupa dokumen yang tercantum di dalam daftar barang bukti dirampas untuk negara; 6. Membebankan terdakwa I, II, III tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan 1.
Kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
Dasar pemeriksaan perkara kasasi berpedoman pada Pasal 253 ayat (1) KUHAP yaitu: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan: a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
lxxvii
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang; c. apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
wewenangnya”. dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. UndangUndang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yaitu: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”. Berpedoman pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel tanggal 20 Februari 2006 yang pada intinya membebaskan para terdakwa dari seluruh dakwaan jaksa penuntut umum yang berarti putusan tersebut merupakan putusan bebas. Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dan No. 1 K/Pid/2000 tanggal 22 September 2000 yang intinya berisi tentang kasasi untuk putusan bebas tidak murni. Untuk putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maka dapat dimintakan upaya hukum kasasi dengan membuktikan bahwa putusan bebas yang dijatuhkan tersebut bukan merupakan putusan bebas murni. Putusan bebas tidak murni adalah (M.Yahya Harahap, 2000: 545) :
lxxviii
- Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada “penafsiran yang keliru” terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. - Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui kewenangannya: · Baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau relatif. · Maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam putusan pembebasan itu telah turut dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur nonyuridis.
Yang pertama harus dilakukan jaksa penuntut umum sebelum menguraikan alasan kasasi yang diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UndangUndang No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung adalah membuktikan dan menguraikan bahwa putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah putusan bebas tidak murni karena sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas yang dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP adalah putusan bebas murni.
Berdasarkan alasan kasasi dari jaksa penuntut umum yang termasuk ke dalam alasan pembebasan tidak murni kategori pertama yaitu “penafsiran yang keliru” terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan adalah alasan nomor 1(c) dan alasan nomor 2(a). Dalam alasan nomor 1(c) jaksa penuntut umum lxxix
menyatakan bahwa majelis hakim tidak konsisten menerapkan ketentuan tindak pidana yang didakwakan karena disatu sisi majelis hakim dalam membuktikan unsur “barang siapa” dan unsur “yang dengan melawan hukum” serta unsur “memperkaya orang lain atau korporasi” berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan disisi lain membuktikan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Alasan tidak konsisten yang dikemukakan jaksa penuntut umum tersebut dikarenakan kesalahan mejelis hakim dalam menafsirkan unsur tindak pidana yang didakwakan yang dalam hal ini penafsiran mejelis hakim tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penafsiran terhadap unsur tindak pidana korupsi atau terhadap tindak pidana korupsi harus sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penjelasan UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa tindak pidana (delik) korupsi merupakan tindak pidana (delik) formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dalam hal majelis hakim (judex facti) menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dalam menafsirkan unsur tindak pidana korupsi maka menurut penulis lxxx
hal tersebut tidak tepat atau salah. Dalam hal ini majelis hakim (judex facti) telah salah atau keliru menafsirkan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Penafsiran unsur tindak pidana korupsi harus berpedoman pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya karena sudah diatur secara tegas dan rinci jadi majelis hakim tidak perlu mencari penafsiran diluar Undang-Undang tersebut.
Dalam alasan nomor 2(a) jaksa penuntut umum menyatakan bahwa majelis hakim telah salah atau keliru dalam penafsirkan unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu unsur “dapat merugikan keuangan negara” dengan alasan bahwa: 1) Menafsirkan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dimana Undang-Undang tersebut berlaku untuk seorang bendahara sebagai subjek hukumnya. 2) Tidak menafsirkan unsur tindak pidana yang didakwakan secara utuh dan lengkap tentang unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” akan tetapi hanya mendefinisikan “kerugian negara”. 3) Majelis hakim tidak menggunakan penafsiran secara konkret sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantaasn Tindak Pidana Korupsi. 4) Majelis hakim menyatakan unsur “setiap orang” yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya orang lain
lxxxi
maka seharusnya menyatakan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” juga telah terbukti. 5) Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 813/K/Pid/1987 Tanggal 29 Juni 1989 yang menentukan bahwa “jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan terdakwa tersebut tidak perlu pasti jumlahnya, sudah cukup ada kecenderungan timbulnya kerugian negara”, seharusnya majelis hakim menggunakan penafsiran secara konkret seperti yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung tersebut. 6) Penafsiran majelis hakim bertentangan dengan asas “vooltoid” (telah selesai), karena perbutan terdakwa yang dengan melawan hukum memperkaya orang lain telah selesai jadi tidak ada hubungannya dengan pembayaran cicilan yang dilakukan PT. Cipta Graha Nusantara. 7) Majelis mendasarkan penafsiran bahwa perbuatan para terdakwa termasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata karena didasarkan pada perjanjian kredit yang jatuh tempo per September 2007 sementara perbutan pidana para terdakwa telah selesai. 8) Majelis hakim telah salah menafsirkan unsur “dapat”, yaitu menafsirkan kata “dapat” adalah suatu hal dapat atau suatu hal yang tidak dapat, tidak bedasarkan penjelasan resmi UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 9) Majelis hakim menafsirkan kata “dapat” berdasarkan angan-angan belaka dengan berpendapat bahwa kata “dapat” sudah saatnya dihapuskan, sementara sudah ada penjelasan resmi UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
lxxxii
10) Majelis hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang tidak didakwakan, karena didalam dakwaan jaksa penuntut umum tidak mendakwakan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara ataupun menjunctokan dengan UndangUndang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. 11) Majelis hakim telah memutarbalikkan fakta atas keterangan ahli Muhamad Yusuf. 12) Majelis hakim telah memutarbalikkan fakta atas keterangan ahli Prof. DR. Rudy Prasetya. 13) Majelis hakim telah memutarbalikkan fakta atas ketrangan ahli K.C Komala.
Berdasarkan alasan nomor 2(a) tersebut, dalam menafsirkan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah salah atau keliru menafsirkan unsur tersebut. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dijelasakan bahwa tindak pidana (delik) korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Jadi telah ada atau belum adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang dalam jumlah tertentu tidak menjadi persoalan bagi jaksa maupun hakim dalam membuktikan, menilai dan menjatuhkan putusan, apabila unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan terpenuhi maka dapat dijadikan dasar bagi majelis hakim dalam memutus perkara tindak pidana (delik) korupsi.
lxxxiii
Penafsiran majelis hakim tentang unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara menurut penulis salah atau keliru karena sudah jelas ada ketentuan yang mengatur secara rinci dan konkret yaitu dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jadi apabila sudah ada aturannya secara konkret tidak perlu mencari dasar hukum yang lain dalam menilai suatu unsur tindak pidana (delik) korupsi kecuali tidak diatur secara rinci dan konkret.
Dalam menilai suatu unsur tindak pidana (delik) harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat apabila tidak maka putusan yang dijatuhkan tidak sesuai atau tidak sejalan dengan tujuan penegakan hukum yaitu keadilan. Dalam tindak pidana (delik) korupsi telah dibuat aturan yang rinci dan konkret, aturan tersebut dijadikan pedoman guna penegakan hukum bagi tindak pidana (delik) korupsi yang bertujuan untuk memberantas penyakit korupsi di segala bidang. Apabila pelaksanaan penerapan hukum tidak sesuai dan tidak sejalan dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka tujuan dari adanya Undang-Undang tersebut yaitu memberantas tindak pidana korupsi tidak bisa terwujud. Untuk alasan nomor 1(c) dan 2(a) penulis masukkan ke dalam alasan pembebasan tidak murni kategori pertama yaitu “penafsiran yang keliru”.
lxxxiv
Berdasarkan alasan kasasi jaksa penuntut umum diatas yang termasuk alasan pembebasan tidak murni kategori yang kedua yaitu “melampaui wewenang absolut maupun relatif dan melampaui wewenang dalam arti memasukkan dan mempertimbangkan unsurunsur non yuridis” yaitu alasan nomor 3(a) angka 1 dan angka 2, 5(e), dan 5(f). Dalam alasan nomor 3(a) jaksa penutut umum menerangkan bahwa majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas wewenang baik wewenang absolut maupun relatif serta turut mempertimbangkan unsur-unsur non yurudis dalam putusannya dengan alasan yaitu (pertimbangan majelis hakim (judex facti) dalam rekaman DVD Komisi Pemberantasan Korupsi menit ke 11.25 sid 11.27 yang diucapkan pada sidang Kamis 20 Februari 2006 dalam acara pembacaan putusan): 1) "Menimbang, bahwa akan tetapi rasa-rasanya sekarang di tubuh Pemerintah Indonesia sudah ada pergeseran visi dan tujuan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, kalau dulu masih mementingkan aspek penegakan hukumnya, tetapi sekarang sudah bergeser hanya mementingkan kembalinya uang negara dan mengesampingkan aspek penegakan hukumnya. Kalau pada awalnya dengan lantang pemerintah berkata mari kita berantas korupsi dan kita tangkap serta adili semua pelakunya karena menyengsarakan rakyat Indonesia, akan tetapi sekarang pemerintah dengan lembut mengatakan, “anda akan diampuni dan tidak diajukan ke persidangan asalkan saja anda mau membuat pernyataan bahwa anda mau mengembalikan uang yang telah anda korup. Dan lewat media massa sering dikatakan bahwa orang-orang yang dulu mendapat predikat koruptor, sekarang dengan senyum melangkah di karpet merah bak pahlawan penyelamat uang rakyat dan negara " ; 2) Majelis hakim (judex facti) telah melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena dalam pertimbangan putusan halaman 225
lxxxv
paragraf 2 yaitu: “Menimbang bahwa menurut majelis bahwa di dalam Undang-Undang yang baru sudah saatnya kata "dapat" harus dihapuskan karena bukan hal yang sulit untuk membuktikan adanya kerugian negara itu. Melalui kerjasama lintas disiplin ilmu yang ada, dari ahli accounting, ahli perbankan, ahli computer, dan ahli komunikasi lainnya, maka yang semula dianggap sulit sehingga meski dicantumkan kata “dapat” sekarang bukan lagi hal yang sulit atau justru semakin sangat mudah ". Dalam alasan nomor 5(d), 5(e) dan 5(f) di terangkan jaksa penuntut umum sebagai berikut: Alasan 5(d): 1) “Menimbang bahwa akan tetapi rasa-rasanya sekarang di tubuh pemerintah Indonesia sudah ada pergeseran visi dan tujuan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi kalau dulu masih mementingkan aspek penegakan hukumnya tetapi sekarang sudah bergeser hanya mementingkan kembalinya uang negara dan mengesampingkan aspek penegakan hukumnya. Kalau pada awalnya dengan lantang pemerintah berkata mari kita berantas korupsi dan kita tangkap serta adili semua pelakunya karena menyengsarakan
rakyat
Indonesia,
akan
tetapi
sekarang.
Pemerintah dengan lembut mengatakan, "please come in baby atau welcome to Indonesia" anda akan diampuni dan tidak diajukan ke persidangan asalkan saja anda mau membuat pernyataan bahwa anda mau mengembalikan uang yang telah anda korup. Dan lewat media massa sering dikatakan bahwa orang-orang yang dulu mendapat predikat koruptor, sekarang dengan senyum melangkah di karpet merah sebagai pahlawan penyelamat uang rakyat dan negara" ;
lxxxvi
2) Bahwa apabila majelis hakim tidak melampaui kewenangannya yaitu bila tidak melakukan uji materiel terhadap kebijakan pemerintah dalam upaya menangani pengembalian kerugian negara dalam permasalahan BLBI yang tidak relevan dalam perkara a quo, maka perbuatan para terdakwa yang dengan melawan hukum telah memperkaya orang lain adalah sudah dapat merugikan keuangan negara, sehingga seharusnya unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" adalah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; dengan demikian seharusnya majelis hakim menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Alasan 5(e): (1)Pelampauan kewenangan majelis hakim tersebut terlihat dalam putusan a quo halaman 225 paragraf 2 dipertimbangkan sebagai berikut : "Menimbang, bahwa menurut majelis hakim bahwa di dalam Undang-Undang yang baru sudah saatnya kata dapat dihapuskan karena bukan hal yang sulit untuk membuktikan adanya kerugian negara itu. Melalui kerjasama lintas disiplin ilmu yang ada, dari ahli accounting, ahli perbankan, ahli computer dan alat komunikasi lainnya, maka yang semula dianggap sulit sehingga mesti dicantumkannya kata “dapat”, sekarang bukan lagi hal yang sulit atau justru semakin sangat mudah; (2)Bahwa apabila majelis hakim, tidak melampaui kewenangannya dalam melakukan uji materiel terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka perbuatan para terdakwa yang melawan hukum dan memperkaya orang lain adalah sudah dapat merugikan keuangan negara, sehingga unsur "dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara" seharusnya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; dengan demikian seharusnya majelis hakim menyatakan para terdakwa bersalah lxxxvii
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana didakwakan ; Alasan 5(f): 1) "Menimbang, bahwa akan tetapi rasa-rasanya sekarang di tubuh pemerintah Indonesia sudah ada pergeseran visi dan tujuan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, kalau dulu masih mementingkan aspek penegakan hukumnya, tetapi sekarang sudah bergeser hanya mementingkan kembalinya uang negara dan mengesampingkan aspek penegakan hukumnya. Kalau pada awalnya dengan lantang pemerintah berkata mari kita berantas korupsi dan kita tangkap serta adili semua pelaku-nya karena menyengsarakan
rakyat
Indonesia,
akan
tetapi
sekarang
pemerintah dengan lembut mengatakan, "please come in baby atau welcome to Indonesia" anda akan diampuni dan tidak diajukan ke persidangan asalkan saja anda mau membuat pernyataan bahwa anda mau mengembalikan uang yang telah anda korup. Dan lewat media massa sering dikatakan bahwa orang-orang yang dulu mendapat predikat koruptor, sekarang dengan senyum melangkah di karpet merah sebagai pahlawan penyelamat uang rakyat dan negara" ; 2) Bahwa
apabila
kewenangannya
majelis
hakim
mempertimbangkan
tidak
melampaui
unsur-unsur
yang
batas non
yuridis, maka perbuatan para terdakwa yang melawan hukum dan memperkaya orang lain adalah sudah dapat merugikan keuangan negara, sehingga unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" seharusnya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; dengan demikian seharusnya majelis hakim menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana didakwakan.
lxxxviii
Berdasarkan alasan nomor 3(a) angka 1, alasan nomor 5(d) dan alasan nomor 5(f) tersebut, menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas wewenang karena dalam pertimbangan tersebut tidak ada unsur yuridisnya. Pertimbangan majelis hakim (judex facti) tersebut hanyalah sebuah pendapat atau opini mengenai pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana (delik) korupsi oleh pemerintah atau dengan kata lain majelis hakim (judex facti) telah menilai kinerja pemerintah selama ini dalam rangka penegakan hukum tindak pidana (delik) korupsi. Pertimbangan majelis hakim (judex facti) tersebut tidak ada hubungannya dengan perkara korupsi yang telah diperiksa dalam hal ini perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan.
Berpedoman pada Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang pada intinya bahwa majelis hakim (judex facti) mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan persidangan. Jadi menurut KUHAP putusan yang akan dijatuhkan majelis hakim (judex facti) harulah berdasarkan surat dakwaan dan segala sesuatu yang telah terbukti selama persidangan atau memberikan penilaian terhadap segala sesuatu yang terbukti bukan menilai kinerja pemerintah dalam hal penegakan hukum tindak pidana (delik) korupsi. Menurut pendapat penulis salah atau keliru apabila majelis hakim (judex facti) memasukkan unsur pertimbangan yang non jurudis apalagi tidak ada hubungannya dengan perkara yang telah diperiksanya.
Berpedoman pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, lxxxix
memuat pula Pasal tertentu dari peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Jadi menurut hukum positif baik KUHAP maupun Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mengakomodir tentang ketentuan non yuridis yang dapat dijadikan dasar pertimbangan di dalam menjatuhkan suatu putusan.
Untuk alasan nomor 3(a) angka 2, dan alasan nomor 5(e) menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas wewenang yaitu wewenang absolut. Majelis hakim (judex facti) telah melakukan uji materiil terhadap kata “dapat” yang terdapat di dalam rumusan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Uji materiil terhadap Undang-Undang merupakan kompetensi absolut atau wewenang absolut dari Mahkamah Konstitusi hal ini sesuai dengan Pasal 24c ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi pada intinya sama yaitu “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
xc
b. Memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik dan; d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Wewenang absolut dari pengadilan negeri adalah menurut Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Sebagaimana yang telah diatur didalam hukum positif maka menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas wewenang absolut yaitu melakukan uji meteriil terhadap kata “dapat” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena salah atau keliru apabila Pengadilan Negeri melakukan uji meteriil terhadap Undang-Undang yang wewenang tersebut merupakan wewenang absolut dari kekuasaan kehakiman yang lain yaitu Mahkamah Konstitusi.
Di negara Indonesia kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh 2 (dua) lembaga negara yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya sama berbunyi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
xci
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Tugas dan wewenang dari masing-masing lembaga negara pemegang kekuasaan kehakiman baik Mahkmah Agung dan Mahkamah Konstisusi telah diatur di dalam peraturan Perundang-Undangan secara tegas yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Jadi dalam melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing telah ada aturan yang jelas dan tegas. Untuk alasan nomor 3(a) angka 2 dan alasan nomor 5(e) penulis masukkan ke dalam alasan pembebasan tidak murni kategori kedua yaitu “melampaui wewenang absolut maupun relatif dan melampaui wewenang dalam arti memasukkan dan mempertimbangkan unsur-unsur non yuridis” atau ketegori alasan kasasi “tidak berwenang atau melampaui batas wewenang” yaitu Pasal 253 ayat (1) huruf c KUHAP atau Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Berdasarkan penjelasan penulis di atas maka alasan pembebasan tidak murni telah terpenuhi. Alasan pembebasan tidak murni yang telah terpenuhi yaitu majelis hakim (judex facti) telah salah atau keliru menafsirkan unsur tindak pidana (delik) korupsi yaitu unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang disebut dalam surat dakwaan, majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas xcii
wewenang yaitu wewenang absolut kerena telah melakukan uji materiil terhadap kata “dapat” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan majelis hakim (judex facti) telah turut mempertimbangkan dan memasukkan unsur-unsur non yuridis yaitu pendapat tentang pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana (delik) korupsi oleh pemerintah Republik Indonesia selama ini.
Yang kedua harus dilakukan jaksa penuntut umum adalah menguraikan alasan kasasi dengan berpedoman pada Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan alasan kasasi jaksa penunut umum di atas yang termasuk alasan kasasi kategori Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP atau Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. yaitu “peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya atau salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” menurut penulis adalah alasan nomor 1(a), 1(b), 1(d), 4(a), 4(b), 4(c), 5(g).
Dalam alasan nomor 1(a) diterangkan oleh jaksa penuntut umum bahwa pertimbangan majelis hakim (judex facti) sebagai berikut : 1) Menimbang bahwa benar menurut majelis hakim, bahwa pemberian kredit itu termasuk dalam lingkup perjanjian (contract) yang merupakan lingkup hukum perdata;
xciii
2) Menimbang bahwa oleh karena pemberian kredit itu adalah suatu perjanjian, maka seharusnya persoalan ini juga harus dilihat secara utuh dan menyeluruh tidak dipotong-potong, diawali dari SPK, nilai besaran kreditnya, persyaratan yang ditentukan dalam Surat Perjanjian Pemberian Kredit adanya restrukturisasi dan yang paling penting adalah kapan waktu jatuh tempo pelunasan terjadi kredit tersebut.
Berpedoman pada pertimbangan majelis hakim (judex facti) tersebut menurut pendapat penulis majelis hakim (judex facti) tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya karena apabila dalam pertimbangannya majelis hakim (judex facti) menilai bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh para terdakwa merupakan ruang lingkup perjanjian (contract) yang berarti masuk kedalam bidang hukum perdata maka berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP maka putusan yang seharusnya dijatuhkan terhadap para terdakwa adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum bukan putusan bebas. Jadi jelas bahwa putusan majelis hakim (judex facti) yang membebaskan para terdakwa adalah salah atau keliru, kerena putusan bebas berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah apabila dari hasil pemeriksaan persidangan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya secara sah dan meyakinkan tidak terbukti maka terdakwa diputus bebas.
Putusan
yang
dijatuhkan
majelis
hakim
(judex
facti)
bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku dimana KUHAP sebagai hukum positif sudah mengatur secara tegas tentang jenis-jenis putusan yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan yaitu putusan bebas Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan lepas dari segala tuntutan hukum
xciv
Pasal 191 ayat (2) KUHAP, putusan pemidanaan Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Dalam alasan nomor 1(b) jaksa penuntut umum menerangkan bahwa unsur setiap orang, unsur yang dengan melawan hukum hukum, unsur memperkaya orang lain telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan oleh majelis hakim (judex facti) yaitu dalam pertimbangan majelis hakim (judex facti) halaman 211 paragraf 1 dan paragraf 2. Berpedoman pada alasan kasasi nomor 1(b) menurut penulis majelis hakim (judex facti) tidak menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya atau peraturan hukum diterapkan tidak sebagaimana mestinya karena antara dasar hukum pertimbangan dengan putusan yang dijatuhkan tidak sesuai disatu sisi majelis hakim (judex facti) menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan terbukti tetapi putusan yang dijatuhkan putusan bebas, dan disatu sisi majelis hakim (judex facti) perpendapat bahwa dakwaan jaksa penuntut umum terbukti tapi bukan merupakan perbuatan pidana tetapi putusan yang dijatuhkan putusan bebas.
Pertimbangan majelis hakim (judex facti) antara satu dan yang lainnya saling bertentangan dan antara pertimbangan dengan jenis putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan KUHAP, karena menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP apabila dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas, Pasal 191 ayat (2) KUHAP apabila dakwaan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana (delik) maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum, Pasal 193 ayat (1) KUHAP apabila terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan maka terdakwa dijatuhi pidana.
xcv
Dalam alasan nomor 1(d) jaksa penuntut umum menguraikan alasan yang pada dasarnya sama dengan alasan nomor 1(a) bahwa apabila majelis hakim (judex facti) berpendapat bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana melainkan hubungan keperdataan maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Menurut penulis alasan ini benar karena sesuai dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Berpedoman pada alasan tersebut maka menurut penulis majelis hakim (judex facti) tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Dalam alasan nomor 4(a), 4(b), 4(c) jaksa penutut umum menerangkan bahwa majelis hakim (judex facti) dalam amar putusannya menyatakan membebaskan para terdakwa tersebut dari seluruh dakwaan tersebut dan membebankan kepada masing-masing terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) (amar putusan butir 2 dan butir 6). Berdasarkan alasan kasasi tersebut maka menurut penulis majelis hakim (judex facti) tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya karena menurut Pasal 222 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “siapapun yang diputus pidana dibebani biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum biaya perkara dibebankan pada negara”. Jadi apabila majelis hakim (judex facti) konsisten dengan putusannya maka para terdakwa tidak dibebani biaya perkara karena KUHAP mengatur demikian secara tegas dan jelas. Dalam alasan nomor 5(g) jaksa penuntut umum menerangkan bahwa majelis hakim (judex facti) telah mengadili perkara a quo di luar dakwaan jaksa penuntut umum dengan alasan dalam menafsirkan unsur xcvi
“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” majelis hakim (judex facti) menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Berdasarkan alasan kasasi tersebut maka menurut penulis majelis hakim (judex facti) tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya karena berdasarkan pada Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang pada intinya berisi
majelis
hakim
(judex
facti) mengadakan
musyawarah sebelum menjatuhkan putusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Jadi surat dakwaan menjadi pedoman bagi majelis hakim (judex facti) dalam malakukan pemeriksaan selama persidangan dan dalam menjatuhkan putusan.
Berdasarkan alasan kasasi jaksa penuntut umum di atas yang merupakan alasan kasasi kategori Pasal 253 ayat (1) huruf b KUHAP yaitu “cara mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang” menurut penulis adalah alasan nomor 3(a) angka 3. Dalam alasan kasasi nomor 3(a) angka 3 jaksa penuntut umum menerangkan bahwa : 3(a) angka 3 - Bahwa pertimbangan majelis hakim tersebut memperlihatkan sikap yang memihak kepada para terdakwa sehingga terbukti dengan sikap majelis hakim yang demikian, maka majelis hakim telah menyatakan para terdakwa tidak bersalah melakukan perbuatan korupsi sebagaimana didakwakan ;
Berdasarkan alasan kasasi tersebut menurut penulis cara mengadili
yang
dilakukan
majelis
xcvii
hakim
(judex
facti) tidak
dilaksanakan menurut Undang-Undang karena berdasarkan Pasal 158 KUHAP yang berisi yaitu “hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa”. Berbeda dengan pendapat jaksa penuntut umum bahwa alasan nomor 3 (a) angka 3 dikategorikan sebagai alasan bahwa
majelis
hakim
(judex
facti)
telah
melampaui
batas
wewenangnya. Menurut penulis ketentuan yang diatur berdasarkan Pasal 158 KUHAP itu berhubungan atau termasuk cara yang harus dilakukan oleh majelis hakim (judex facti) dalam memeriksa perkara atau menjalankan suatu proses peradilan. Tidak boleh menunjukkan sikap mengenai salah atau tidaknya terdakwa di dalam sidang menurut penulis merupakan cara yang diatur oleh Undang-Undang yaitu KUHAP dalam menjalankan suatu peradilan khususnya peradilan pidana.
Sikap atau pernyataan merupakan implementasi dari suatu ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang yaitu KUHAP berupa cara, yaitu cara mengadili yang harus diimplementasikan atau diterapkan oleh majelis hakim (judex facti) dalam proses persidangan. Apabila jaksa penuntut umum berpendapat bahwa alasan nomor 3(a) angka 3 masuk ke dalam kategori lampau wewenang maka wewenang yang mana, wewenang absolut atau relatif. Wewenang absolut berkaitan dengan wewenang mengadili antar badan peradilan yang berada dalam naungan Mahkamah Agung yang terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), sedangkan wewenang relatif adalah wewenang mengadili antar pengadilan dalam suatu wilayah hukum tertentu atau wewenang xcviii
mengadili antara satu pengadilan negeri dengan satu pengadilan negeri yang lain (M. Yahya Harahap, 2002: 92). Menurut penulis salah atau keliru apabila alasan nomor 3(a) angka 3 dimasukkan ke dalam alasan lampau wewenang karena tidak bisa dicari alasan wewenang yang mana yang dilampaui majelis hakim (judex facti).
Berdasarkan alasan jaksa penuntut umum di atas yang merupakan alasan kasasi kategori Pasal 30 ayat (1) huruf c UndangUndang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yaitu “lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan” menurut penulis adalah alasan nomor 5(a), 5(b), dan 5(c). Dalam alasan nomor 5(a), 5(b), jaksa penuntut umum menerangkan bahwa dalam pertimbangan majelis hakim (judex facti) hanya mempertimbangkan keterangan saksi a de charge yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa seperti yang dituangkan dalam putusan halaman 226 sampai dengan halaman 228 putusan a quo. Berdasarkan alasan jaksa penuntut umum di atas menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan bersangkutan karena menurut Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP “pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa” maka dasar dari suatu pertimbangan adalah harus berpedoman pada fakta dan keadaan berserta pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan selama persidangan. Fakta yang dimaksud adalah fakta-fakta yang terungkap dipersidangan berdasarkan hasil dari pembuktian jaksa penuntut umum. xcix
Pembuktian dalam perkara pidana harus berdasarkan alat bukti yang telah ditetapkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Apabila telah terpenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan memperoleh keyakinan hakim maka terdakwa dapat atau boleh dijatuhi pidana hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP. Dalam majelis hakim (judex facti) hanya memasukkan pertimbangan berdasarkan saksi a de charge saja maka menurut penulis tidak tepat kerena semua keterangan yang diberikan ahli di depan persidangan yang mendukung pembuktian tindak pidana (delik) yang dilakukan terdakwa haruslah turut dipertimbangkan sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan. Dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP memuat ketentuan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yaitu salah satunya ketentuan dalam huruf d mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hanya saksi a de charge yang dijadikan pertimbangan menurut penulis hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Untuk alasan nomor 5(c) jaksa penuntut umum menerangkan bahwa majelis hakim (judex facti) tidak mempertimbangkan alat bukti surat seperti yang tertuang dalam putusan a quo halaman 228 sampai dengan 229. Menurut penulis tidak mempertimbangkan alat bukti surat berarti majelis hakim (judex facti) telah melanggar Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP karena berdasarkan pasal tersebut pertimbangan disusun berdasarkan fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh selama pemeriksaan persidangan, mengingat surat merupakan salah satu alat bukti yang ditetapkan Undang-Undang yaitu Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka seharusnya alat bukti surat yang mendukung
c
pembuktian tindak pidana (delik) yang dilakukan terdakwa turut dijadikan pertimbangan guna menjatuhkan putusan.
Jadi berdasarkan alasan tersebut untuk alasan nomor 5(a), 5(b) dan 5(c) penulis masukkan kedalam kategori “lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kalalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”. Berbeda dengan pendapat jaksa penuntut umum bahwa alasan nomor 5(a), 5(b) dan 5(c) dimasukkan ke dalam kategori “salah menerapkan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya” yaitu Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Dalam putusan bebas kasus tindak pidana (delik) korupsi dengan terdakwa E.C.W Neloe ini maka sesuai dengan Pasal 199 ayat (1) KUHAP maka surat putusan bukan pemidanaan memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP kecuali huruf e, f dan h yaitu tuntutan pidana sebagaimana dalam surat tuntutan, pasal peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, serta hal memberatkan dan meringankan, pernyataan kesalahan terdakwa disertai semua unsur yang telah terpenuhi dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Jadi untuk alasan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tetap berlaku pada putusan bebas. Apabila tidak dipenuhi maka Pasal 197 ayat (2) KUHAP berlaku dengan akibat putusan batal demi hukum. Antara Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP saling berhubungan. Menurut penulis salah atau keliru apabila jaksa penuntut umum hanya melihat Pasal 197 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang berdiri sendiri karena Pasal 197 ayat (1) ci
KUHAP memiliki akibat yang diatur di dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan alasan tersebut maka alasan nomor 5(a), 5(b) dan 5(c) penulis masukkan ke dalam kategori “lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”.
Berdasarkan seluruh penjelasan penulis di atas maka alasan kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) UndangUndang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang N0. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung seluruhnya telah terpenuhi. Dengan terpenuhinya alasan pembebasan tidak murni dan seluruh alasan kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung maka dapat dijadikan dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung guna menjatuhkan putusan pada tingkat kasasi terhadap kasus tindak pidana korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe. Untuk memudahkan pemahaman terhadap pembahasan penulis di atas di bawah ini akan penulis paparkan hasil pembahasan rumusan masalah yang pertama yaitu dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe ke dalam bentuk tebel sebagai berikut: Alasan Kasasi Putusan Bebas Alasan Pembebasan Tidak Murni dan Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
cii
A. Alasan Pembebasan Tidak Murni No 1
Alasan Nomor 1(c), 2(a)
Kategori Penafsiran
Peraturan Yang Dilanggar keliru
- Undang-Undang
No.
31
terhadap tindak pidana
Tahun 1999 Jo Undang-
atau unsur tindak pidana
Undang No. 20 Tahun 2001
dalam surat dakwaan.
Tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi - Penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Tahun
2001
Pemberantasan
No.
20
Tentang Tindak
Pidana Korupsi 2
3(a) angka 1, Memasukkan unsur non
- Pasal 182 ayat (4) KUHAP
5(d), 5(f)
- Pasal 25 ayat (1) Undang-
yuridis sebagai dasar pertimbangan.
Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan
Kehakiman 3
3(a) angka 2, Melampaui
batas
5(e)
yaitu
wewenang wewenang absolut.
- Pasal 24c ayat (1) UndangUndang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 - Pasal 10 ayat (1) UndangUndang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah
Konstitusi - Pasal 12 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kehakiman
ciii
Kekuasaan
Tabel. 1
B. Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) UndangUndang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
No 1
Alasan Nomor
Kategori
Peraturan Yang Dilanggar
1(a), 1(b), 1(d), - Peraturan hukum tidak
- Pasal 182 ayat (4) KUHAP
4(a), 4(b), 4(c),
diterapkan
atau
- Pasal 191 ayat (2) KUHAP
5(g)
diterapkan
tidak
- Pasal 222 ayat (1) KUHAP
sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP) atau; - Salah
menerapkan
hukum atau melanggar hukum yang berlaku (Pasal 30 ayat (1) huruf
b
Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004
Jo
Undang-
Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang
Perubahan
atas
Undang-Undang
No.
14
tahun
1985
civ
Tentang
Mahkamah
Agung). 2
3(a) angka 2, Tidak berwenang atau 5(e)
- Pasal 24 c ayat (1) Undang-
melampaui
batas
Undang
wewenang
yaitu
Republik Indonesia Tahun
wewenang
absolut
(Pasal
253
ayat
Dasar
Negara
1945
(1)
- Pasal 10 ayat (1) Undang-
huruf c KUHAP atau
Undang No. 24 Tahun 2003
Pasal 30 ayat (1) huruf a
Tentang
Undang-Undang No. 5
Konstitusi
Mahkamah
Tahun 2004 Jo Undang-
- Pasal 12 ayat (1) Undang-
Undang No. 3 tahun
Undang No. 4 Tahun 2004
2009
Tentang
Tentang
Perubahan atas Undang-
Kekuasaan
Kehakiman
Undang No. 14 tahun 1985
Tentang
Mahkamah Agung). 3
3(a) angka 3
Cara
mengadili
dilaksanakan
tidak
Pasal 158 KUHAP
menurut
Undang-Undang (Pasal 253 ayat (1) huruf b KUHAP). 4
5(a), 5(b), 5(c)
Lalai memenuhi syarat
Pasal 197 ayat (1) huruf d
yang
diwajibkan
KUHAP
peraturan
Perundang-
Undangan
yang
mengancam
kelalaian
itu
batalnya
dengan
putusan
yang
bersangkutan (Pasal 30
cv
ayat
(1)
huruf
c
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo UndangUndang No. 3 Tahun 2009
Tentang
Perubahan atas UndangUndang No. 14 tahun 1985
Tentang
Mahkamah Agung). Tabel. 2 Anatomi alasan kasasi jaksa penuntut umum terdiri dari 5 nomor yaitu: 1) 1 (a, b, c, d) 2) 2 (a) 3) 3 (a) 4) 4 (a, b, c) 5) 5 (a, b, c, d, e, f, g) Seluruh alasan kasasi jaksa penuntut umum tersebut telah penulis masukkan ke dalam seluruh alasan kasasi terhadap putusan bebas yaitu alasan pembebasan tidak murni dan alasan kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang telah disertai dengan alasan dan penjelasannya. 2.
Penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
cvi
Dalam pemeriksaan perkara di tingkat kasasi berpedoman pada alasan kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Agung berdasarkan penilaian pada alasan kasasi (memori kasasi) yang diajukan oleh jaksa penuntut umum maupun alasan kasasi (kontra memori kasasi) yang diajukan oleh kuasa hukum dari terdakwa. Penilaian terhadap alasan kasasi atau memori kasasi dan kontra memori kasasi tersebut dijadikan dasar dalam menentukan putusan terhadap perkara yang dimintakan kasasi.
Sebelum menjatuhkan putusan pada tingkat kasasi majelis hakim Mahkamah Agung melakukan penilaian terhadap alasan kasasi atau memori kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dan alasan kasasi (kontra memori kasasi) yang diajukan oleh pengacara atau kuasa hukum terdakwa. Berdasarkan pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung terhadap alasan kasasi terdakwa (kontra memori kasasi terdakwa) yaitu mengenai alasan kasasi ke-1 dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat majelis hakim Mahkamah Agung alasan kasasi terdakwa ini tidak dapat dibenarkan karena majelis hakim (judex facti) telah melakukan kesalahan dalam menafsirkan pengertian “setiap orang” dengan “pengertian pelaku”. Menurut majelis hakim Mahkamah Agung para terdakwa yang telah dihadirkan dipersidangan termasuk pengertian “setiap orang atau perorangan sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dapat diminta pertanggungan jawab atas semua perbuatan yang dilakukannya, kerena itu “unsur setiap orang” dalam rumusan delik tersebut telah terpenuhi. Jadi majelis hakim (judex facti) telah melakukan kesalahan dalam menafsirkan unsur setiap orang.
cvii
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi, jadi para terdakwa yaitu Edward Cornellis William Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Tasripan, SE, MM adalah orang perseorangan yang menurut penulis termasuk ke dalam pengertian setiap orang. Di dalam UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur secara tegas mengenai pengertian setiap orang jadi dalam menafsirkannya harus sesuai dengan Undang-Undang tersebut dan tidak perlu menafsirkan lain. Mengenai alasan-alasan kasasi ke-2 dan ke-3 dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat majelis hakim Mahkamah Agung alasan kasasi terdakwa (kontra memori kasasi terdakwa) tidak dapat dibenarkan kerena tentang “sifat melawan hukum” telah cukup jelas diatur di dalam UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jadi tidak perlu mengutip pendapat para ahli hukum. Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan Perundang-Undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan atau bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
cviii
Mengenai alasan-alasan ke-4 dan ke-5 majelis hakim Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan tersebut dengan alasan bahwa telah dianalisis atas dasar fakta-fakta hukum yang ada dan benar. Jadi untuk keseluruhan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh terdakwa (kontra memori kasasi terdakwa) semuanya tidak dibenarkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung.
Untuk alasan kasasi (memori kasasi) yang diajukan oleh jaksa penuntut umum majelis hakim Mahkmah Agung memberikan pertimbanganpertimbangan. Didalam pertimbangan huruf A majelis hakim Mahkamah Agung memberikan pertimbangan terhadap alasan kasasi jaksa penuntut umum, dalam pertimbangan huruf B dan C memberikan pertimbangan dasar hukum dan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yaitu dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan kasus korupsi oleh mantan-mantan direktur Bank Mandiri. Dalam dasar hukum dan pertimbangan huruf B dan C membahas mengenai terdakwa sebagai subjek hukum dan mengenai perbankan serta alasan-alasan penjatuhan pidana terhadap para terdakwa.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A membenarkan alasan-alasan kasasi jaksa penuntut umum dengan alasan bahwa majelis hakim (judex facti) telah salah menerapkan hukum. Majelis hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaksa penuntut umum dapat membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri bukan putusan bebas murni karena dasar-dasar pertimbangan “judex facti” adalah pemberian kredit yang termasuk di dalam ruang lingkup hukum perdata jadi menurut majelis hakim Mahkamah Agung perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa adalah terbukti namun temasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata maka seharusnya putusan yang di jatuhkan adalah lepas dari segala tuntutan hukum. Menurut penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
cix
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka 1 menjelaskan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya kerena lebih menekankan pada aspek hukum perdata. Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena titik tekan atau fokus dari kasus yang diperiksa judex facti adalah perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para terdakwa, yaitu memberikan kredit bridging loan sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (160 Milyar Rupiah) yang menyalahi prosedur UndangUndang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan dan Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri kepada PT. Cipta Graha Nusantara jadi fokusnya pada perbuatan yang telah dilakukan oleh para terdakwa sebagai pemutus kredit bukan pada perjanjian kredit atau kontraknya.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka 2 menjelaskan bahwa judex facti telah keliru dalam menerapkan hukum khususnya didalam pembahasan “sifat melawan hukum”, dalam UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan pengertian yang jelas tentang sifat melawan hukum jadi tidak perlu mengutip dari pendapat para ahli hukum. Menurut penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur tentang sifat melawan hukum untuk tindak pidana (delik) korupsi yaitu dalam sifat melawan hukum yang materiil dan sifat melawan hukum yang formil (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Jadi apabila dalam Undang-Undang nya sudah diatur secara tegas dan jelas tidak perlu mencari pengertian atau pendapat lain.
cx
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka 3 menjelaskan bahwa judex facti telah melampaui wewenangnya karena memberikan
penilaian
atas
kebijakan
pemerintah
dalam
praktek
pemberantasan tindak pidana (delik) korupsi . Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena menilai kebijakan pemerintah bukan merupakan kompetensi atau wewenang dari pengadilan negeri hal ini sesuai dengan Pasal 84 ayat (1) KUHAP “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka 4 menjelaskan bahwa judex facti telah melakukan uji materiil terhadap salah satu pasal dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu mengusulkan kata “dapat” dihapuskan dari pasal tersebut. Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena dengan mengusulkan kata “dapat” untuk dihapuskan berarti majelis hakim judex facti telah melakukan uji meteriil terhadapat kata “dapat” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan hal tersebut adalah salah atau keliru. Melakukan uji materiil Undang-Undang adalah wewenang absolut dari Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24c ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) UndangUndang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam pertimbangan mejelis hakim Mahkamah Agung huruf B angka 1 menjelaskan bahwa para terdakwa adalah subjek hukum yang berwenang untuk memutuskan diberi atau tidak diberikannya kredir kepada debitur. cxi
Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis Mahkamah Agung benar karena para terdakwa yaitu E.C.W Neloe adalah mantan Direktur Utama PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, I Wayan Pugeg adalah mantan Direktur Risk Management PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan M. Sholeh Tasripan adalah
mantan
EVP
Coordinator
Corporate
&
Goverment
yang
berkedudukan sebagai pemutus kredit diberikannya kredit sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) kepada saksi Edyson Direktur Utama PT. Cipta Graha Nusantara.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf B angka 2 menjelaskan bahwa terdakwa harus atau wajib memenuhi atau tidak melanggar Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Pebankkan dan ketentuan khusus PT. Bank Mandiri yang dituangkan dalam Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM). Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena berdasarkan fakta persidangan yang tertuang pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/PN. Jak Sel tanggal 20 Februari 2006 menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti tetapi perbuatan itu termasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata, dapat diartikan bahwa perbuatan para terdakwa memberikan kredit sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (160 Milyar) kepada PT.Cipta Graha Nusantara yang melanggar Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan dan ketentuan khusus PT. Bank Mandiri yang dituangkan dalam KPBM adalah terbukti.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf B angka 3 menjelaskan bahwa terdakwa telah melanggar prinsip kehati-hatian serta asas perkreditan yang sehat pada hakekatnya telah mengabaikan prinsipprinsip “Good Corporate Governance” yang berada dalam ranah Undangcxii
Undang Perbankkan, dan kemudian mengakibatkan timbulnya kerugian negara yang jumlahnya amat besar. Menurut pendapat penulis pertimbangan mejelis hakim Mahkamah Agung benar karena yang menjadi titik persoalan dalam perkara ini adalah pemberian kredit yang melanggar aturan UndangUndang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Pebankkan dan ketentuan khusus PT. Bank Mandiri yang dituangkan dalam Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) dan perbuatan tersebut termasuk ke dalam ranah hukum pidana yaitu tindak pidana (delik) korupsi seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan kepada perjanjian (contract) kreditnya yang termasuk ke dalam ruang lingkup perdata.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C yang terdiri dari sembilan dasar pertimbangan yang berhubungan dengan kasus korupsi para terdakwa yang khususnya pada pertimbangan mengenai perbankkan, pertanggungjawaban para terdakwa sebagai direksi, perbuatan para terdakwa, dan persoalan jatuh tempo. Dalam pertimbangan huruf C angka 1 majelis hakim Mahkamah Agung menjelaskan bahwa Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan dimana dalam hal direksi melakukan tindak pidana maka dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum pidana hal tersebut seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Pebankkan. Dalam Undang-Undang Perbankkan diatur tentang sanksi pidana dan sanksi administratif yang dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila ada ketentuan yang dilanggar oleh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank. Dalam pertimbangan huruf C angka 2 majelis hakim Mahkamah Agung menjelaskan bahwa Bank Mandiri sebagai badan usaha “bank” sebagai bank yang harus tunduk dengan peraturan Perundang-Undangan perbankkan yaitu Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang cxiii
No. 7 Tahun 1992 Tentang Pebankkan dan berdasarkan Undang-Undang tersebut direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka 3 menjelaskan bahwa Bank Mandiri sebagai PT. Terbuka yang merupakan milik negara atau sebagai BUMN dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai
penyelenggaraan
pemerintahan
seperti
ketentuan
tentang
pemberantasan korupsi. Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka 4 menjelaskan bahwa sebagai BUMN yang mengelola kekayaan negara maka tindakan melawan hukum yang dilakukan direksi atau pegawai Bank Mandiri yang merugikan atau dapat merugikan Bank Mandiri dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf c angka 5 menjelaskan bahwa perbuatan para terdakwa sebagai suatu yang tidak semata menyalahgunakan wewenang yaitu menggunakan wewenang tidak sesuai tujuan, tetapi sebagai perbuatan di luar hukum (out of law), karena itu bersifat sewenang-wenang (willekeur atau arbitrary). Terdakwa meletakkan diri diatas hukum, bukan tunduk pada hukum.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka 6 menjelaskan bahwa alasan tindakan, untuk menghindari Bank Mandiri akan dituntut membayar sejumlah US.$. 31 juta adalah suatu alasan yang dibuatbuat, karena bukan Bank Mandiri sebagai pemegang saham PT. Tahta Medan, Pemegang saham adalah “Dana Pensiun Bank Mandiri”, suatu badan yang mempunyai kedudukan hukum di luar Bank Mandiri (lihat keterangan Komisaris Dana Pensiun Bank Mandiri). Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka 7 menjelaskan bahwa persetujuan para terdakwa dalam pengalihan utang pemohon kredit bertentangan dengan logika atau akal sehat kerena PT. Tahta Medan dijual BPPN kerena cxiv
bermasalah dan tidak masuk akal apabila semua pinjaman pemohon kredit dialihkan dan apakah mampu PT. Tahta Medan membayar kepada Bank Mandiri, walaupun sudah mampu membayar itupun dilakukan tidak tepat waktu.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka 8 menjelaskan bahwa mengenai pinjaman yang belum jatuh tempo, persoalan hukum yang dihadapi adalah perbuatan para terdakwa yang merugikan negara bukan soal jatuh tempo. Menurut penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena persoalan hukum dalam kasus ini adalah perbuatan para terdakwa yang termasuk kedalam tindak pidana (delik) korupsi bukan pada perjanjian (contract) kreditnya yang belum jatuh tempo. Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka 9 menjelaskan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum yaitu dalam unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” karena unsur tersebut telah secara jelas terbukti dan perbuatan para terdakwa tersebut telah selesai secara sempurna walaupun baru akan jatuh tempo tahun 2007. Menurut
penulis
unsur
“dapat
merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian negara” jelas terbukti hal tersebut dapat dilihat dari pemberian kredit bridging loan sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) kepada PT. Cipta Graha Nusantara guna pembelian PT.Tahta Medan dan membangun tiara tower dari PT. Tri Manunggal Mandiri Persada yang mendapat sisa kredit sebesar Rp. 63.000.000.000,00 (enam puluh tiga milyar rupiah) karena perbuatan para terdakwa dan pembangunan tiara tower yang sampai saat ini terlantar jadi sudah sangat jelas adanya kerugian negara (melanggar Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan).
cxv
Majelis hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan juga bahwa semua unsur dakwaan primair jaksa penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan karena pemohon kasasi jaksa penunutut umum dapat membuktikan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum pembuktian dan pembebasan terdakwa bukanlah bebas murni, tidak ada alasan pemaaf dan pembenar bagi terdakwa, hal yang memberatkan: 1.
Para Terdakwa sebagai orang-orang yang secara profesional telah berpengalaman berpengetahuan mengenai seluk beluk perbankan melakukan perbuatan yang tercela, yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan ;
2.
Jumlah kredit yang besar yang diberikan dalam keadaan kondisi Negara dan masyarakat membutuhkan pembangunan ekonomi kerakyatan, diberikan kepada pengusaha yang tidak bergerak di bidang usaha yang produktif, dan cenderung KKN ;
3.
Para Terdakwa sengaja melakukan perbuatan yang melanggar asas kehatihatian, ketertiban umum dan nilai-nilai kepatutan ;
4.
Dalam kondisi Negara sedang giat-giatnya memberantas korupsi, malahan terdakwa melakukan perbuatan korupsi ;
Hal-hal yang meringankan : - Para terdakwa belum pernah dihukum ;
Berikut ini penulis akan memaparkan bentuk dan jenis tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan. Menurut pendapat penulis perbuatan para terdakwa secara bersama-sama dengan melawan hukum memutus kredit sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) yang telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara termasuk ke dalam bentuk tidak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
cxvi
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan para terdakwa tersebut berdasarkan substansi objek tindak pidana termasuk kedalam jenis tindak pidana korupsi murni kerena objeknya dalam kasus tersebut adalah menyangkut keuangan negara dan perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa tersebut berdasarkan substansi subjek hukum tindak pidana korupsi termasuk ke dalam jenis tindak pidana korupsi umum karena subjek dari tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut adalah mantan-mantan direktur Bank Mandiri sebagai perseorangan yang bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara karena berpedoman pada pertimbangan majelis hakim huruf C angka 3 yang menjelaskan bahwa Bank Mandiri adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jadi status pegawainya adalah pegawai swasta.
Perbuatan para terdakwa berdasarkan sumbernya temasuk ke dalam jenis tindak pidana korupsi yang bersumber pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung memperkaya orang lain yaitu saksi Edyson selaku direktur utama PT. Cipta Graha Nusantara yang mengakibatkan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa berdasarkan tingkah laku atau perbuatan dalam rumusan tindak pidana termasuk ke dalam jenis tindak pidana korupsi aktif karena telah memperkaya orang lain yaitu saksi Edyson selaku direktur utama PT. Cipta Graha Nusantara dengan cara memberikan kredit bridging loan sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah).
cxvii
Perbuatan para terdakwa berdasarkan dapat atau tidaknya merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara termasuk ke dalam jenis dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara kerena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa adanya kelebihan kredit sebesar Rp. 63.000.000.000,00 (enam puluh tiga milyar rupiah) yang diperoleh PT. Tri Manunggal Mandiri Persada dan membangunan tiara tower yang sampai saat ini terbengkalai jadi kerugian negara jelas ada. Untuk memudahkan pemahaman atas pembahasan penulis terhadap rumusan masalah yang kedua yaitu penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandir dengan terdakwa E.C.W Neloe ke dalam bentuk tabel sebagai berikut: Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Untuk Alasan Kasasi (Memori Kasasi) Jaksa Penuntut Umum
No 1
Pertimbangan
Hasil Pertimbangan
Huruf A angka 1 Judex facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya.
2
Huruf A angka 2 Judex facti keliru dalam menerapkan hukum.
3
Huruf A angka 3 Judex facti telah melampaui batas wewenang.
4
Huruf A angka 4 Judax facti telah melakukan uji materiil UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5
Huruf B angka 1 Para terdakwa sebagai subjek hukum yaitu pemutus kredit sebesar Rp. 160.000.000,00 (seratus enam puluh milayar rupiah) kepada saksi Edyson selaku direktur utama PT. Cipta Graha Nusantara.
6
Huruf B angka 2 Para terdakwa harus atau wajib memenuhi atau tidak melanggar Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
cxviii
Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankkan dan ketentuan khusus PT. Bank Mandiri yang dituangkan dalam Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM). 7
Huruf B angka 3 Para terdakwa melanggar Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan dan Artikel 530 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) yaitu tentang prinsip kehati-hatian.
8
Huruf C angka 1 Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan dimana direksi dapat diminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana.
9
Huruf C angka 2 Bank Mandiri sebagai badan usaha “bank” sebagai bank dimana direksi melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggungjawaban pidana.
7
Huruf C angka 3 Bank Mandiri sebagai BUMN yang dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan
mengenai
penyelenggaraan
pemerintahan seperti ketentuan tentang pemberantasan korupsi. 8
Huruf C angka 4 Tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi atau pegawai Bank Mandiri yang merugikan atau dapat merugikan Bank Mandiri dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi.
9
Huruf C angka 5 Perbuatan para terdakwa sebagai suatu yang tidak semata
menyalahgunakan
wewenang
yaitu
menggunakan wewenang tidak sesuai tujuan, tetapi sebagai perbuatan di luar hukum (out of law), karena itu bersifat sewenang-wenang (willekeur atau arbitrary). Terdakwa meletakkan diri di atas hukum, bukan tunduk
cxix
pada hukum. 10
Huruf C angka 6 Alasan tindakan para terdakwa, untuk menghindari Bank Mandiri akan dituntut membayar sejumlah US.$. 31 juta adalah suatu alasan yang dibuat-buat, karena bukan Bank Mandiri sebagai pemegang saham PT. Tahta Medan, Pemegang saham adalah “Dana Pensiun Bank
Mandiri”,
suatu
badan
yang
mempunyai
kedudukan hukum di luar Bank Mandiri (lihat keterangan Komisaris Dana Pensiun Bank Mandiri). 11
Huruf C angka 7 Persertujuan para terdakwa sangat nyata bertentangan dengan logika atau akal sehat. PT. Tahta Medan dikuasai dan kemudian dijual BPPN karena bermasalah. Apakah masuk akal, kalau semua pinjaman pemohon kredit dialihkan kepada PT. Tahta Medan yang oleh BPPN dilelang karena menjadi beban belaka. Apakah masuk diakal kalau PT Tahta Medan dapat disulap begitu kilat sehingga mampu membayar kepada Bank Mandiri, dikatakan PT. Tahta Medan mampu membayar dibuktikan dengan angsuran tetapi dari jumlah yang sudah dibayar sangat kecil dibandingkan dengan kewajiban, itupun dilakukan tidak tepat waktu.
12
Huruf C angka 8 Dikatakan masa pinjaman belum jatuh tempo, persoalan hukum yang dihadapi adalah perbuatan terdakwa yang merugikan negara, bukan soal jatuh tempo. Perbuatan terdakwa yang dengan sengaja melanggar prinsipprinsip
perbankan
seperti
asas
kehati-hatian
menciptakan pinjaman yang tidak diatur oleh hukum, tanpa menyetujui pengalihan utang kepada PT. Tahta Medan yang bermasalah dan lain-lain hal seperti dipertimbangkan di atas secara nyata telah merugikan
cxx
Bank Mandiri sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak lain dari kerugian negara. 13
Huruf C angka 9 Terbukti majelis hakim Judex Facti telah salah menerapkan hukum, khususnya dalam unsur merugikan atau
dapat
merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian negara. Bahwa Judex Facti secara jelas menyatakan karena telah terbukti unsur memperkaya orang lain atau suatu korporasi yang dalam hal ini PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN), karena telah menerima kucuran dana sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) sebagai akibat dari perbuatan para terdakwa secara kolektif didalam jabatannya yang bersifat melawan hukum karena melanggar
prinsip
kehati-hatian
tidak
cermat
sebagaimana digariskan didalam Pasal 2 UndangUndang No. 7 Tahun 1992 sebagai-mana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan, sehingga dengan Bridging Loan PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN), telah memperoleh sisa kredit sebesar Rp. 63.000.000.000,00 (enam puluh tiga milyar rupiah) yang kemudian menjadi keuntungan PT. Tri Manunggal Mandiri sebagai penjual PT. Tahta Medan kepada PT. Cipta Graha Nusantara, suatu keuntungan yang didapat karena terdakwa tidak melaksanakan secara benar asas-asas perbankan yang mengakibatkan kerugian negara. 14
Dakwaan JPU
- Semua unsur-unsur dakwaan primair telah terbukti secara sah dan meyakinkan karena pemohon kasasi jaksa penuntut umum telah dapat membuktikan bahwa Judex
Facti
cxxi
telah
salah
menerapkan
hukum
pembuktian dan pembebasan para terdakwa bukanlah pembebasan murni. - Karena semua unsur dakwaan primair telah terbukti dan pada diri para terdakwa tidak ada alasan pemaaf dan pembenar, maka para terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan kepada para terdakwa harus dijatuhi pidana. 15
Hal Memberatkan
1. Para terdakwa sebagai orang-orang yang secara profesional telah berpengalaman berpengetahuan mengenai
seluk
beluk
perbuatan
yang
tercela,
perbankan yang
melakukan menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankkan; 2. Jumlah kredit yang besar yang diberikan dalam keadaan
kondisi
negara
dan
masyarakat
membutuhkan pembangunan ekonomi kerakyatan, diberikan kepada pengusaha yang tidak bergerak di bidang usaha yang produktif, dan cenderung KKN; 3. Para terdakwa sengaja melakukan perbuatan yang melanggar asas kehatihatian, ketertiban umum dan nilai-nilai kepatutan; 4. Dalam
kondisi
memberantas
negara korupsi,
sedang malahan
giat-giatnya terdakwa
melakaukan perbuatan korupsi. 16
Hal
Para terdakwa belum pernah dihukum.
Meringankan Tabel. 3
Anatomi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung untuk alasan kasasi (memori kasasi) jaksa penuntut umum terdiri dari: 1) Haruf A angka (1, 2, 3, 4);
cxxii
2) Huruf B angka (1, 2, 3); 3) Huruf C angka (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9); 4) Pertimbangan dakwaan jaksa penuntut umum; 5) Hal yang memberatkan; 6) Hal yang meringankan.
Semua pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung di atas telah penulis paparkan dengan jelas disertai dengan pendapat dan alasannya. Berdasarkan pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung tersebut maka penulis simpulkan bahwa ada kesalahan penerapan hukum oleh judex facti yaitu: 1) Salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya; 2) Keliru dalam menerapkan hukum; 3) Telah melampaui batas wewenangnya; 4) Telah melakukan uji materiil; 5) Salah menerapkan hukum pembuktian. Bentuk dan Jenis Tindak Pidana (Delik) Korupsi Kasus Korupsi Bank Mandiri dengan Terdakwa E.C.W Neloe dkk No 1
Kategori Berdasarkan bentuknya.
Bentuk - Tindak pidana korupsi dengan
memperkaya
diri sendiri, orang lain atau
suatu
korporasi
cxxiii
Jenis
seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 31
Tahun
1999
Undang-Undang
No. Jo No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2
Berdasarkan substansi tindak
- Tindak objek
pidana
korupsi
pidana
korupsi
korupsi
murni.
pidana
korupsi. 3
Berdasarkan substansi
subjek
hukum
tindak
- Tindak umum.
pidana korupsi. 4
Berdasarkan
- Tindak
pidana
sumbernya.
yang
bersumber
pada
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001
Tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana Korupsi. 5
Berdasarkan
- Tindak
tingkah laku atau
pidana
korupsi
pidana
korupsi
aktif.
perbuatan dalam rumusan
tindak
pidana. 6
Berdasarkan
- Tindak
cxxiv
dapat
atau
yang
dapat
merugikan
tidaknya
keuangan negara dan atau
merugikan
perekonomian negara.
keuangan negara dan
atau
perekonomian negara. Tabel. 4
cxxv
BAB IV Simpulan dan Saran
A. Simpulan 1. Kriteria bahwa judex facti telah melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe. Telah terpenuhinya semua unsur alasan kasasi untuk putusan bebas pada perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe yaitu: a. Alasan Pembebasan Tidak Murni 1) Penafsiran keliru terhadap unsur tindak pidana dalam surat dakwaan yaitu salah menafsirkan kata “dapat” dan menafsirkan unsur dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. 2) Memasukkan unsur non yuridis yaitu memberikan pendapat dan penilaian terhadap kinerja pemerintah selama ini dalam
cxxvi
penegakan hukum perkara-perkara korupsi di Indonesia, yang dimasukkan sebagai pertimbangan putusan judex facti. 3) Melampaui batas wewenang, yaitu wewenang absolut karena melakukan uji meteriil terhadap kata “dapat” dalam UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 1) Peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya atau salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku yaitu menyatakan perbuatan terdakwa masuk dalam ruang lingkup hukum perdata tapi diputus bebas, dakwaan terbukti tapi diputus bebas, diputus bebas tapi dalam amar putusan diperintahkan membayar biaya perkara. 2) Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang yaitu menunjukan sikap yakin bahwa para terdakwa tidak bersalah dalam persidangan. 3) Melampaui batas wewenang yaitu wewenang absolut karena melakukan uji materiil terhadap kata “dapat” dalam UndangUndang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4) Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan PerundangUndangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan yaitu hanya mempertimbangkan saksi
cxxvii
a de charge yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa dan tidak mempertimbangkan alat bukti surat.
2. Ada kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe yaitu: Berdasarkan pertimbangan hakim Mahkamah Agung bahwa judex facti: a) Salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya; b) Keliru dalam menerapkan hukum; c) Telah melampaui batas wewenangnya; d) Telah melakukan uji materiil; e) Salah menerapkan hukum pembuktian. Tindak pidana korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe dkk termasuk ke dalam bentuk tidak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan ke dalam beberapa kategori jenis tindak pidana korupsi yaitu: 1) Tindak pidana korupsi murni; 2) Tindak pidana korupsi umum; 3) Tindak pidana korupsi yang bersumber pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
cxxviii
4) Tindak pidana korupsi aktif; 5) Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara.
B. Saran 1. Untuk para praktisi hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim agar lebih hatihati dan cermat dalam mengkaji dan menilai suatu perkara yang sedang ditangani baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan, pada tahap penjatuhan putusan sampai pada upaya hukum agar selalu mencerminkan keadilan dan kepastian hukum guna mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum dan instansi penegak hukum. 2. Agar para penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim diharapkan memiliki dan meningkatkan kemampuan, kualitas pengetahuan hukum yang layak dan cukup agar memperkecil tingkat kesalahan dalam penanganan perkara-perkara pidana pada khususnya misalnya banyak dibekali dengan pendidikan dan pelatihan kemahiran dan sebagainya. 3. Para penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim harus dibekali dengan pengetahuan hukum dan pengetahuan penunjang yang up to date agar penanganan terhadap kasus-kasus yang merupakan tindak pidana khusus yang sedang marak terjadi bisa menghasilkan suatu putusan yang berkualitas jangan sampai terjadi seperti dalam kasus yang penulis angkat diatas bahwa jaksa penuntut umum dalam mengklasifikasikan alasan kasasi masih belum tepat dan tidak disertai dengan dasar hukum, judex facti dalam memutus perkara masih bingung atau campur aduk antara perkara pidana dan perdata, antara pertimbangan yang satu dengan pertimbangan yang lain saling bertentangan, tidak menerapkan KUHAP yang sebenarnya adalah hal pokok dalam penegakan hukum pidana, tidak
cxxix
memiliki kemampuan analisis yang tajam dan tepat dalam setiap penggunaan dasar hukum bagi pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. 4. Dalam pemilihan perekrutan bagi penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim khususnya harus dilakukan dengan jujur dan cermat karena untuk penegak hukum dibutuhkan orang-orang yang berkualitas pintar dan cerdas secara intelektual dan punya kepribadian yang baik dan luhur guna mewujudkan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.
cxxx