KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Almaarif Mahmud NIM. E0005074
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010 1
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah)
Oleh Almaarif Mahmud NIM. E0005074
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 14 April 2010 Dosen Pembimbing
Waluyo, S.H., M.Si. NIP. 196808131994031001
2
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah) Oleh Almaarif Mahmud NIM. E0005074 Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari Tanggal
: :
DEWAN PENGUJI 1. Wida Astuti, S.H. Ketua
:..................................................................
2. Rahayu Subekti, S.H., M.Hum. Sekretaris
:..................................................................
3. Waluyo, S.H., M.Si. Anggota
:..................................................................
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 196109301986011001
3
PERNYATAAN
Nama : Almaarif Mahmud NIM
: E0005074
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : KAJIAN
YURIDIS
MENGENAI
PEMBERHENTIAN
SEMENTARA
PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah) adalah betul-betul karya sendiri. Halhal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 10 April 2008 Yang membuat pernyataan
Almaarif Mahmud NIM. E0005074
4
ABSTRAK Almaarif Mahmud. 2010. KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah). Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga terlibat tindak pidana penipuan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk mengetahui apa implikasi hukum yang timbul dari pemberhentian sementara bagi Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Lokasi penelitian ini di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data penulis lakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan pejabat terkait. Penulis melakukan wawancara sebagai keterangan tambahan dan validasi terhadap datatertulis di perpustakaan. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dengan menggunakan metode logika deduktif yang berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor kemudian dari kedua premis ini akan ditarik suatu kesimpulan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, berkaitan dengan jangka waktu penetapan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing terhadap Pegawai Negeri Sipil tersebut tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara dari Pegawai Negeri Sipil, sehingga kepastian hukum belum sepenuhnya terwujud. Implikasi hukum pemberhentian sementara terhadap kewajiban dalam tugas jabatan negeri untuk sementara diberhentikan dengan maksud untuk memperlancar proses peradilan dan kinerja institusi sehingga pemberhentian sementara tersebut memenuhi aspek kemanfaatan. Adapun implikasi hukum pemberhentian sementara terhadap hak sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu, berupa pengurangan gaji 50 % terhadap Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Pengurangan gaji tersebut diberikan karena Pegawai Negeri Sipil yang dikenai pemberhentian sementara tersebut untuk sementara tidak menjalankan tugas dan pekerjaannya. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap memenuhi rasa keadilan. Kata Kunci: pemberhentian sementara, pegawai negeri sipil, implikasi hukum
5
ABSTRACT Almaarif Mahmud. 2010. JURIDICIAL INVESTIGATION OF TEMPORARY DISMISSAL OF CIVILIAN PUBLIC SERVANT WHO WAS SUSPECTED TO BE INVOLVED BY DOING AN INJUSTICE DECEPTION (Case Study at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic of Indonesia Central Java). Law Faculty of Eleventh March University. This research aims to know suitability between procedure of temporary dismissal to Civilian Public Servant who was suspected to be involved by doing an injustice deception with the law and regulation and also to know the arising law implications of temporary dismissal of Civilian Public Servant at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic Of Indonesia Central Java. This Research represents a normative and descriptive law research. This Research location is at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic of Indonesia Central Java. Writer used a secondary data. Writer used data collecting technique by bibliography studying and interviewing some officers related. Writer carried out some interviews as additional description and validation to data written in library. After data gathered, writer analysed qualitatively by using deductive logic method started from major proffering premise then minor premise and after that from both premise will be pulled the conclusion. Based on result of the research, it could be concluded that the procedure of temporary dismissal execution from country occupation to Civilian Public Servant at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic of Indonesia Central Java has appropriated to law and regulation that has been going into effect. However, related to the duration of the Head of Regional Office of Law and Human Rights Department of Republic of Indonesia Central Java’s Decision Number: W9-1013-Kp.05.05- 2009 about temporary dismissal to that Civilian Public Servant was not appropriated with Article 2 verse (1) Governmental Regulation Number 4 Year 1966 about Dismissal/Temporary Dismissal from Civilian Public Servant, so that rule of law was not completely existed. Law implications of the temporary dismissal concerning to the obligation in a duty was temporarily stopped with a purposes to smoothen the process of jurisdiction and institution works, so that temporary dismissal fulfilled the benefit aspect. There was also a law implication to the right as a Civilian Public Servant formed of 50 % salary reduction to that civilian Public Servant. The Salary reduction was given because the temporary dismissal Civilian Public Servant did not run his duty and work. According to that, temporary dismissal execution from country occupation has fulfilled a sense of justice. Keywords: temporary dismissal, civilian public servant, law implication
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan suatu penulisan hukum. Penulisan hukum yang dilakukan mengkaji secara yuridis pelaksanaan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil serta implikasi hukum yang timbul dengan studi kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Penulis berkeyakinan bahwa penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna karena masih banyaknya keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penulis. Oleh sebab itulah penulis masih mengharapkan masukan, saran serta kritik yang membangun dari para pembaca sekalian. Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada: 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini. 2. Bapak Waluyo, S.H., M.Si., selaku Pembimbing yang telah bersedia memberikan waktu, arahan dan bimbingannya kepada penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini. 3. Bapak Winarno, S.H., M.S., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama masa perkuliahan sekaligus pada penyusunan penulisan hukum ini. 4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian penulisan hukum.
7
5. Bapak dan Ibu Dosen Hukum serta karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 6. Bapak Tulus Basuki, Bc.IP., S.Sos., M.M., selaku Kepala Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta yang telah memberikan informasi dan data selamadalam penelitian yang penulis lakukan. 7. Bapak Drs. Yuri Priyanto selaku Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor Wilayah ementerian Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia Jawa Tengah yang telah memberikan informasi dan data selamadalam penelitian yang penulis lakukan. 8. Bapak Sudiyono, S.Ip., selaku Kepala Seksi Bimbingan Teknis Badan Kepegawaian Negara Yogyakarta yang telah memberikan informasi dan data selamadalam penelitian yang penulis lakukan. 9. Serta semua pihak yang baik secara fisik maupun psikis telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penelitian, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, 10 April 2010
Penulis
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...............................................................iii HALAMAN PERNYATAAN................................................................................iv ABSTRAK...............................................................................................................v KATA PENGANTAR...........................................................................................vii DAFTAR ISI...........................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1 B. Rumusan Masalah.....................................................................................5 C. Tujuan Penelitian......................................................................................5 D. Manfaat Penelitian....................................................................................6 E. Metode Penelitian.....................................................................................7 F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................16 A. Kerangka Teori.......................................................................................16
9
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum.......................................................16 2. Tinjauan Tentang Sifat Hukum...........................................................17 3. Tinjauan Tentang Tujuan Hukum.......................................................18 4. Tinjauan Tentang Hukum Administrasi Negara.................................19 5. Tinjauan Tentang Keputusan Tata Usaha Negara...............................27 6. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri Sipil..............................................29 7. Tinjauan
Tentang
Pemberhentian
Sementara
Pegawai
Negeri
Sipil.....................................................................................................42 B. Kerangka Pemikiran...............................................................................49
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAN..........................................52 A. Pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jawa
Tengah
yang
diduga
terlibat
tindak
pidana
penipuan..................................................................................................52 1. Jejak kasus dugaan tindak pidana penipuan oleh Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah........................................................52 2. Pelaksanaan Pemberhentian Sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan..............................................................................................56 3. Kesesuaian prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana
penipuan
dengan
peraturan-perundangan
yang
berlaku.................................................................................................62
10
B. Implikasi hukum yang timbul karena pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah............................................65
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN.....................................................................70 A. Simpulan.................................................................................................70 B. Saran.......................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................72
11
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran.................................................................49
12
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Perintah Penahanan Kejaksaan Negeri Cilacap.......................76 Lampiran 2. Berita Acara Pelaksanaan Perintah Penahanan.................................77 Lampiran 3. Surat Keputusan Pemindahan Pegawai Negeri Sipil.........................78 Lampiran 4. Surat Keputusan Pemberhentian Sementara PNS.............................79 Lampiran 5. Surat Keterangan Penghentian Pembayaran......................................81 Lampiran 6. Putusan No. 58/Pid.B/2009/Pn.Clp. A.n. Eko Purwantoro...............83
13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan “jembatan emas”, demikian kata Presiden pertama kita sekaligus proklamator kemerdekaan, Bung Karno. Melalui jembatan emas itu bangsa Indonesia meninggalkan kegelapan alam penjajahan dan memasuki alam kemerdekaan dengan penuh sinar harapan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dikeluarkan sehari setelah proklamasi, tercantum cita-cita dan tujuan nasional kita. Bangsa Indonesia tentunya bertekad untuk mewujudkan Negara yang dikelola dengan tata pemerintahan yang baik (good governance) untuk mengisi kemerdekaan. Lebih lanjut lagi bangsa Indonesia juga ingin mewujudkan pembangunan yang inklusif dengan desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga seluruh rakyat di segala penjuru Indonesia dapat merasakan manfaat pembangunan secara adil dan bermartabat. Tidak bisa dipungkiri bahwa Pegawai Negeri Sipil merupakan tulang punggung pemerintahan dalam rangka menyelengarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional seperti apa yang telah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Djoko Prakoso, 1992: 2). Pemerintah mengatur ruang lingkup Pegawai Negeri Sipil dalam suatu Undang-Undang. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan Undang-Undang mengenai kepegawaian adalah dalam rangka usaha mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
14
Pegawai Negeri Sipil sebagai alat pemerintah (aparatur pemerintah) memiliki keberadaan yang sentral dalam membawa komponen kebijaksanaan-kebijaksanaan atau peraturan-peraturan pemerintah guna terealisasinya tujuan nasional. Komponen tersebut terakumulasi dalam betuk pendistribusian tugas, fungsi dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil. Dengan adanya pergeseran paradigma dalam pelayanan publik, secara otomatis hal tersebut akan menciptakan perubahan sistem dalam hukum kepegawaian dengan adanya penyesuaian-penyesuaian dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewajiban dari Pegawai Negeri Sipil meliputi penataan kelembagaan birokrasi pemerintahan, sistem dan penataan manajemen kepegawaian (Sri Hartini, 2008: 3). Aspek yuridis Pegawai Negeri Sipil berada dalam ranah Hukum Administrasi Negara yang mengatur bagaimana Negara dengan alat-alat perlengkapan Negaranya melaksanakan kewenangannya secara aktif di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu alat perlengkapan Negara dalam penyelenggaraan pembangunan. Sebagai salah satu usaha untuk menjamin pelaksanaan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya, maka setiap Calon Pegawai Negeri Sipil pada saat pengangkatannya menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat sumpah pegawai (Nainggolan, 1985: 261). Pengaturan mengenai sumpah atau janji Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pokok Kepegawaian namun pengaturan secara khusus telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Angkatan Perang (Djoko Prakoso, 1992: 43). “Sumpah atau janji pegawai adalah suatu kesanggupan pegawai untuk mentaati keharusan atau untuk tidak melakukan larangan yang ditentukan yang diikrarkan di hadapan atasan pejabat yang berwenang menurut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” (Ahmad Ghufron, 1991: 17). Dengan diucapkannya sumpah itu berarti ada keterikatan religius antara seorang Pegawai Negeri Sipil terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang akan menjadi sebuah tanggung jawab spiritual dalam melaksanakan tugas agar sesuai dengan koridor keagamaan di mana koridor keagamaan tentunya mengajarkan kebajikan bagi pemeluknya. Pentingnya aspek keagamaan yang melandasi tingkah laku Pegawai Negeri Sipil dinyatakan Abdun Noor dalam jurnalnya sebagai berikut.
15
Without the existence of such a realization, people’s perception of ethics is bound to be smoky and would become dependent on expediency. As a result, the concept of should and shouldn’t would be a relative phenomenon. This may then be subjected to misuse for personal or group interest. As man’s requirements are dependent on ever changing social environment, in such a process, it becomes difficult to determine any stable ethical standard (Abdun Noor, 2008: 71-72). Abdun Noor beranggapan bahwa tanpa adanya kesadaran tentang keagamaan, persepsi masyarakat mengenai etika menjadi kabur dan akan bergantung pada kelayakan. Sebagai hasilnya, konsep “seharusnya dan tidak seharusnya” menjadi suatu relativitas. Keadaan tersebut bisa saja dimanfaatkan kepada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sebagaimana kebutuhan manusia yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan sosial, dalam prosesnya akan sulit untuk menentukan ukuran etika yang stabil. Dewasa ini, kita sering memperoleh informasi dari berbagai media baik media cetak maupun media elektronik tentang banyak pelanggaran bahkan kejahatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang menyandang status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hal tersebut sangat disayangkan karena Pegawai Negeri Sipil sebagai tauladan masyarakat. Negara mengatur mengenai seorang Pegawai Negeri Sipil yang terjerat kasus pidana dalam penjelasan atas Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang berbunyi, untuk menjamin kelancaran pemeriksaan, maka Pegawai Negeri Sipil yang disangka oleh pejabat yang berwajib melakukan tindak pidana kejahatan,
dikenakan
pemberhentian
sementara
sampai
adanya
putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut adalah pemberhentian sementara dari jabatan negeri bukan pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Apabila pemeriksaan oleh yang berwajib telah selesai atau telah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan ternyata bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tidak bersalah, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut direhabilitasikan terhitung sejak dikenakan pemberhentian sementara. Rehabilitasi
16
yang dimaksud mengandung pengertian, bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diaktifkan dan dikembalikan pada jabatan semula. Apabila setelah pemeriksaan oleh pengadilan telah selesai dan ternyata Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bersalah dan oleh sebab itu dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat diberhentikan. Hal tersebut di atas terjadi pada seorang Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sedang menjalani masa pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil karena adanya dugaan atas delik penipuan yang dia lakukan. Dalam pertimbangan surat perintah penahanan
Nomor
print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009
disebutkan
beberapa
pertimbangan. Oknum Pegawai Negeri Sipil tersebut diduga telah melakukan tindak pidana penipuan terhadap empat orang korban yang dijanjikannya pada Bulan September 2006 untuk dilantarkan agar masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membayar uang kepada oknum tersebut masing-masing sebesar Rp. 40.000.000,(empat puluh juta rupiah). Pada bulan Januari 2007, terdakwa menyerahkan Surat Keputusan diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), namun sampai sekarang keempat korban belum dipanggil untuk bekerja di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hasil pemeriksaan berkas perkara penyidik, diperoleh bukti yang cukup, terdakwa diduga telah melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan dan dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana maka dikeluarkan perintah penahanan. Atas dugaan keterlibatannya dalam kasus tersebut di atas, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut diberhentikan sementara dari jabatan negeri. Adanya tindakan administratif berupa pemberhentian sementara dari jabatan negeri yang diterapkan kepada Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di atas, menunjukkan bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi
17
Manusia Kantor Wilayah Jawa tengah telah memberikan kesempatan kepada pihak yang berwajib untuk melanjutkan proses pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tanpa campur tangan dari instansi manapun. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis melakukan penelitian terhadap pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil dalam bentuk penulisan
hukum
dengan
judul:
“KAJIAN
YURIDIS
MENGENAI
PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi penulisan ini dengan melakukan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku? 2. Apa implikasi hukum yang timbul karena pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto, 2007: 118-119). Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu: tujuan objektif dan tujuan subjektif. Dalam penelitian ini, tujuan objektif dan tujuan subjektif adalah: 18
1. Tujuan Objektif Tujuan objektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, tujuan objektifnya adalah sebagai berikut. a. Untuk mengetahui kesesuaian prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Untuk mengetahui implikasi hukum pemberhentian sementara bagi Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif yaitu tujuan penelitian diihat dari tujuan pribadi penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, tujuan subjektifnya adalah sebagai berikut. a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang ilmu hukum secara teoritis maupun praktis dalam lingkup Hukum Administrasi Negara bidang Hukum Kepegawaian khususnya mengenai pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil. b. Untuk melengkapi syarat akademis guna meraih gelar sarjana bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat merupakan salah satu alasan dilakukannya penelitian ini karena besarnya nilai dari suatu penelitian ditentukan dari besarnya manfaatnya. Dengan manfaat itu maka tidak sia-sia dilakukannya penelitian ini.
19
1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yaitu manfaat yang berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum yang konseptual. Dalam penulisan ini manfaat teoritis terdiri dari: a. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberi
dorongan
untuk
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum baik teori dan praktek dalam
lingkup
Hukum
Administrasi
Negara
khususnya
dalam
pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis merupakan manfaat dari penelitian hukum ini yang berkaitan dengan cara penyelesaian perkara yang ada dan yang akan ada. Manfaat praktis dari penulisan ini adalah sebagai berikut. a. untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti; b. dapat memberikan masukan, data dan informasi mengenai eksistensi Pegawai Negeri Sipil; c. sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini. E. Metode Penelitian Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi: penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu (Johnny Ibrahim, 2006: 25-26).
20
Suatu penelitian ilmiah agar dapat berjalan dengan baik maka diperlukan suatu metode penelitian yang baik dan tepat pula. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun peranan metode penelitian ilmiah dalam suatu peneltian adalah (Soerjono Soekanto, 2007:7): 1. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik dan lengkap; 2. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner; 3. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui; 4. memberikan pedoman mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metodologi merupakan unsur yang sangat penting dalam penelitian untuk memperoleh data yang akurat, relevan dan lengkap. Dalam mencari data mengenai suatu masalah diperlukan suatu metode penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau
21
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup (Soerjono Soekanto 2007:13-14): a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematik hukum; c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; d. perbandingan hukum; e. sejarah hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian terhadap sistematik hukum, yaitu meneliti sistematika hukum yang digunakan dalam pelaksanaan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil yang diduga terlibat tindak pidana penipuan. 2. Sifat penelitian Di dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Menurut Soerjono Soekanto, maksud penelitian bersifat deskriptif ini adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori atau dalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2007: 10). Penulis menggambarkan mengenai pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Pegawai Negeri Sipil yang terjerat kasus hukum pidana. Penulis menggambarkan semua data yang diperoleh secara jelas dan rinci untuk kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. 3. Pendekatan Penelitian Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)
22
yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johnny Ibrahim, 2006: 299). Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93). Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut (Johnny Ibrahim, 2006: 300). Dari beberapa pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan serta menganalisis permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah. 4. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder. “Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya” Amiruddin, dkk, 2004: 30).
23
Data sekunder diperoleh dari bahan-bahan hukum yang terdiri atas: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari kaidah dasar (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006: 13). Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu: 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri; 5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1980 tentang Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri Sipil; 6) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; 7) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil; 8) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil; 9) Surat Perintah Penahanan dari Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap Nomor: PRINT-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 tertanggal 03 Februari 2009 terhadap tersangka staf pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pasir Putih Nusakambangan;
24
10) Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-313-Kp.04.10. Tahun 2009 tertanggal 6 Pebruari 2009 tentang Pemindahan Pegawai Negeri Sipil; 11) Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing; 12) Surat
Keterangan
Penghentian
Pembayaran
Kantor
Pelaksana
Perbendaharaan Negara Cilacap. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan
hukum
sekunder,
yaitu
bahan-bahan
yang
erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud, 2006: 141). Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku atau literatur, artikel-artikel dan jurnal-jurnal yang terkait dengan masalah yang penulis teliti. c. Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. 5. Teknik Pengumpulan Data Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap dan memiliki nilai validitas
yang
tinggi.
Untuk
mengumpulkan
data
tersebut
penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
25
a. Studi Kepustakaan Penelitian ini penulis lakukan dengan cara meneliti data yang berupa dokumen-dokumen yang didapatkan dari Kantor Regional I Badan Kepegawaian Negara Yogyakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah, Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pasir Putih Nusakambangan serta Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta, mengkaji bahan-bahan pustaka dengan membaca dan mempelajari buku-buku literatur serta peraturan perundang-undangan terkait dengan masalah yang penulis teliti. b. Wawancara Wawancara ini penulis lakukan sebagai pelengkap dan validasi terhadap data yang penulis peroleh dan juga sebagai keterangan tambahan. Wawancara dilakukan dengan pejabat-pejabat di berbagai instansi terkait seperti Kantor Regional I Badan Kepegawaian Negara Yogyakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah, Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pasir Putih Nusakambangan serta Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta. 6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian
menjadi
suatu
laporan.
“Analisis
data
adalah
proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan suatu tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data” (Lexy J. Moleong, 2002: 103). Dalam penulisan skripsi ini, setelah data yang diperlukan terkumpul melalui penelitian yang dilakukan penulis, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Penulis menggunakan analisis data kualitatif yaitu berupa keterangan yang diberikan oleh pihak dari Kantor Regional I Badan Kepegawaian Negara Yogyakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
26
Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah, Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pasir Putih Nusakambangan serta Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta, baik secara lisan maupun tertulis, kemudian data tersebut diteliti dan diuraikan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan secara sistematis. Cara pengolahan data yang dilakukan penulis adalah dengan metode logika deduktif. Metode deduktif ini berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor kemudian dari kedua premis ini akan ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud, 2006: 47). Pola dan sistematika penalaran logika deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian menjabarkannya pada hal yang lebih khusus. F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi kerangka teori yang terdiri dari tinjauan umum tentang hukum, tinjauan tentang sifat hukum, tinjauan tentang tujuan hukum, tinjauan tentang Hukum Administrasi Negara, tinjauan tentang Keputusan Tata Usaha Negara, tinjauan tentang Pegawai Negeri Sipil dan tinjauan tentang pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil serta berisi kerangka pemikiran penulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penulisan hukum ini.
27
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yakni mengenai kesesuaian antara prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta implikasi hukum pemberhentian sementara bagi Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. BAB IV PENUTUP Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran. DAFTAR PUSTAKA Berisi mengenai daftar literatur-literatur yang dapat dipergunakan oleh penulis yang dijadikan sebagai data kepustakaan dalam penelitian ini. LAMPIRAN Berisi mengenai daftar lampiran sebagai data kepustakaan yang diperoleh dari proses penelitian.
28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan umum tentang hukum Pertanyaan yang sering muncul di benak setiap orang ketika pertama kali mempelajari ilmu hukum adalah mengenai apakah sebenarnya hukum itu. Dahulu biasanya orang akan memberikan definisi yang indah-indah mengenai hukum. Namun pada dasarnya definisi hukum itu sulit dibuat karena karena menurut W.L.G. Lemaire hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu ke dalam suatu definisi (C.S.T. Kansil, 1989: 36). Definisi hukum sangat sulit karena para sarjana hukum memiliki pendapat yang berbeda-beda walaupun ada kesamaan, beberapa definisi hukum oleh para sarjana meliputi (C.S.T Kansil, 1989: 38): a. S.M. Amin Dalam bukunya yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum”, hukum dirumuskan sebagai, “kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara”. b. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Dalam buku yang disusun bersama berjudul “Pelajaran Hukum Indonesia” telah diberikan definisi hukum sebagai berikut, “hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan
29
resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”. c. M. H. Tirtaatmidjaja Dalam
buku
beliau
“Pokok-Pokok
Hukum
Perniagaan”
ditegaskan bahwa “Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya”. Sebagai kaidah (norma) hukum dapat dirumuskan sebagai berikut: “hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tatatertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan” (E. Utrecht, 1989: 3). 2. Tinjauan tentang sifat hukum Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat (ubi socitas ibi ius), sebab antara keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Hal ini dikarenakan hukum memiliki sifat universal dan hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan) dengan tidak ada satupun segi kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan hukum (Titik Triwulan Tutik, 2006: 34). Tata-tertib dalam masyarakat dapat terwujud apabila masyarakat tersebut menaati kaidah-kaidah hukum yang ada, akan tetapi realitanya tidak semua orang mau menaatinya. Agar hukum itu efektif, maka hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Hukum merupakan peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang agar menaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau mematuhinya.
30
Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh menaatinya menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Selain itu, hukum juga memiliki sifat luwes dimana pengaturannya menyesuaikan dengan perubahan yang ada atau perkembangan masyarakat saat ini. Dengan sifatnya yang selalu menyesuaikan perkembangan masyarakat saat inilah, maka hukum diharapkan mampu memberikan arahan dan pedoman bagi setiap orang dalam bertindak. 3. Tinjauan tentang tujuan hukum Tujuan hukum ialah apa yang hendak dicapai oleh hukum. Pada dasarnya hukum itu berlaku dan untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta ketentraman dan ketertiban. Berkenaan dengan tujuan hukum, terdapat beberapa pendapat para sarjana ilmu hukum yang diantaranya sebagai berikut: a. Subekti mengatakan bahwa, “hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
Hukum
melayani
tujuan
Negara
tersebut
dengan
menyelenggarakan keadilan dan ketertiban” (C.S.T. Kansil, 1989: 41). b. Van Apeldorn mengatakan bahwa, “tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan yang adil” (C.S.T. Kansil, 1989: 42). c. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa, “tujuan hukum berdasarkan cita-cita hukum Pancasila, adalah melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang. Dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara adil, tiap manusia
memperoleh
kesempatan
yang
luas
dan
sama
untuk
31
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh” (Titik Triwulan Tutik, 2006: 33). Dari pendapat-pendapat di atas, maka tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 4. Tinjauan tentang Hukum Administrasi Negara a. Peristilahan Administrasi Negara Penggunaan istilah Hukum Administrasi Negara (HAN) sedikit banyak dipengaruhi oleh keputusan/ kesepakatan pengasuh mata kuliah Fakultas Hukum pada pertemuan di Cibulan tanggal 26-28 Maret 1973. Sebelum itu, dalam kurikulum minimal tahun 1972, istilah yang digunakan dalam SK Menteri P dan K tanggal 30 Desember 1972 No. 0198/U/1972 adalah Hukum Tata Pemerintahan. Meskipun istilah Hukum Tata Pemerintahan tercantum dalam SK tersebut diatas, namun dalam kenyataan penggunaan istilah itu oleh beberapa fakultas hukum terutama fakultas hukum universitas negeri (yang kemudian diikuti juga oleh berbagai fakultas hukum universitas swasta) tidak seragam. Istilah-istilah yang beranekaragam itu adalah: Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha
Negara
dan
Hukum
Administrasi
Negara
(http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/hukum-administrasinegara.html). Soewarno
Handayaningrat
dalam
bukunya
“Administrasi
Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional” menengahkan sebagai berikut: Administrasi Negara merupakan bagian dari administrasi umum. Ilmu Administrasi Negara merupakan cabang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pada halaman 2 juga diketengahkan pendapat Leonard D.White bahwa Administrasi Negara terdiri atas semua kegiatan Negara dengan maksud untuk menunaikan dan melaksanakan kebijakan Negara. Pada halaman 3 diketengahkan pendapat Dimock dan Koening tentang Administrasi
32
Negara dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, Administrasi Negara
adalah
kegiatan Negara dalam
melaksanakan
kekuasaan
politiknya. Dalam arti sempit, Administrasi Negara adalah kegiatan eksekutif
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
(Soewarno
Handayaningrat, 1982: 2-3). b. Peristilahan Hukum Adminstrasi Negara Deskripsi dari J. Oppenheim mengetengahkan perbedaan terhadap tinjauan Negara oleh Hukum Tata Negara dan oleh Hukum Administrasi. Hukum Tata Negara menyoroti Negara dalam keadaan bergerak. Pendapat selanjutnya dijabarkan oleh C.Van Vollenhoven dalam definisi Hukum Tata Negara dan definisi Hukum Administrasi. Hukum Tata Negara adalah keseluruhan peraturan hukum yang membentuk alatalat perlengkapan Negara dan menentukan kewenangan alat-alat perlengkapan Negara tersebut. “Hukum Administrasi adalah keseluruhan ketentuan yang mengingat alat-alat perlengkapan Negara, baik tinggi maupun rendah, setelah alat-alat itu akan menggunakan kewenangankewenangan ketatanegaraan” (Philipus M. Hadjon etc, 2005: 23). Hukum
Administrasi
menurut
Logeman
ialah,
“Hukum
Administrasi meliputi peraturan-peraturan khusus, yang disamping hukum positif yang berlaku umum, mengatur cara-cara organisasi Negara ikut serta dalam lalu lintas masyarakat” (Philipus M. Hadjon etc, 2005: 23). Van Apeldorn menjelaskan bahwa, “Hukum Administrasi Negara dalam arti materiil ialah keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan oleh para pendukung kekuasaan (penguasa) yang diserahi suatu tugas pemerintahan dalam melakukan tugas pemerintahan itu“ (CST. Kansil, 1984: 29). “Struijcken menyebutkan Hukum Administrasi Negara sebagai peraturan-peraturan tentang cara bagaimana badan-badan pemerintah harus menjalankan kewajibannya“ (CST. Kansil, 1984: 29).
33
Menurut de La Basseour Caan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Administrasi Negara adalah, ”himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab maka Negara berfungsi (beraksi). Maka peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara tiap-tiap warga (Negara) dengan pemerintahnya” (SF. Marbun, 2001: 45). Menurut E. Utrecht Hukum Administrasi Negara atau yang disebut sebagai Hukum Pemerintahan adalah “menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambstdragers) Administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus” (SF. Marbun, 2001: 46). Menurut Muchsan, Hukum Administrasi Negara dirumuskan sebagai “hukum mengenai struktur dan kefungsian administrasi Negara” (SF. Marbun, 2001: 46). Menurut Prajudi Atmosudirdjo Hukum Administrasi Negara adalah “hukum yang mengenai pemerintah beserta aparatnya yang terpenting yakni Administrasi Negara” (SF. Marbun, 2001: 46). Atau merupakan “hukum yang mengatur wewenang, tugas fungsi dan tingkah laku para pejabat administrasi Negara…, bertujuan untuk menjamin adanya Administrasi Negara yang bonafide, artinya: yang tertib, sopan, berlaku adil dan objektif, jujur efisien dan fair (sportif)” (SF. Marbun, 2001: 47). Dari beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan peraturan
yang
berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Jadi Hukum Administrasi Negara berisi aturan main yang berkenaan dengan fungsi organ-organ pemerintahan. Ada tiga arti Hukum Administrasi Negara, yaitu: 1) Sebagai aparatur Negara, aparatur pemerintahan, atau institusi politik (kenegaraan); artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah
34
mulai dari Presiden, Menteri (termasuk Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal), Gubernur, Bupati, dan sebagainya, singkatnya semua organ yang menjalankan Administrasi Negara; 2) Sebagai fungsi atau aktivitas, yakni sebagai kegiatan pemerintahan, artinya sebagai kegiatan mengurus kepentingan Negara; 3) Sebagai proses teknis penyelenggaraan Undang-Undang, artinya meliputi segala tindakan aparatur Negara dalam menyelenggarakan Undang-Undang (CST. Kansil, 1997: 4). Dari ketiga arti dari Hukum Administrasi Negara di atas, maka Hukum Administrasi Negara jelas memegang peranan penting bagi aparatur Negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Betapa pentingnya Hukum Administrasi Negara, sehingga Van Vollenhoven mengatakan bahwa: Pejabat-pejabat Pemerintahan tanpa ketentuan Hukum Tata Negara seperti burung yang lumpuh sayapnya, karena tidak mempunyai kewenangan atau ada keragu-raguan tentang ini; pejabat-pejabat pemerintahan tanpa ketentuan-ketentuan dalam Hukum Administrasi laksana burung bebas dengan sayapnya, karena mereka dapat mempergunakan kewenangannya sekehendak hatinya (Amrah Muslimin, 1985: 10). c. Administrasi Negara dalam lapangan pekerjaannya Kekuasaan pemerintah yang menjadi objek kajian Hukum Administrsi Negara sangat luas, maka tidak mudah menentukan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara. Menurut C.J.N. Versteden, berbeda dengan hukum perdata dan hukum pidana, Hukum Administrasi Negara tidak dapat dikodifikasi. Dengan kata lain, keseluruhan atau sebagian besar tidak dapat dikumpulkan dalam satu kitab undang undang umum. Keanekaragaman dan perkembangan yang pesat dari Hukum Administrasi ini membuat kodifikasi umum itu tidak memungkinkan (Ridwan, HR, 2006: 38-39). Alasan yang hampir senada dikemukakan pula oleh E. Utrecht, dengan mengutip pendapat A.M. Donner yaitu:
35
Hukum Administrasi Negara itu sukar untuk dikodifikasi karena dua alasan. Pertama, peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara berubah lebih cepat dan sering mendadak, sedangkan peraturan-peraturan-peraturan hukum privat dan hukum pidana hanya berubah secara berangsur-angsur saja. Kedua, pembuatan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara tidak di dalam satu tangan. Di luar pembuat Undang-Undang pusat hampir semua departemen dan pemerintah daerah otonom membuat juga peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara sehingga lapangan Hukum Administrasi Negara saat itu sangat beraneka warna dan tidak bersistem. Karena tidak dapat dikodifikasi, maka sukar diidentifikasi ruang lingkupnya dan yang dapat dilakukan hanyalah membagi bidang-bidang atau bagian-bagian HAN (Ridwan, HR, 2006: 39). C.J.N. Versteden menyebutkan bahwa secara garis besar Hukum Administrasi Negara meliputi bidang pengaturan antara lain: 1) peraturan mengenai penegakan ketertiban dan keamanan, kesehatan dan kesopanan, dengan menggunakan aturan tingkah laku bagi warga Negara yang ditegakkan dan ditentukan lebih lanjut oleh pemerintah; 2) peraturan yang ditujukan untuk memberikan jaminan sosial bagi rakyat; 3) peraturan-peraturan mengenai tata ruang yang ditetapkan pemerintah; 4) peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemeliharaan dari pemerintah termasuk bantuan terhadap aktivitas swasta dalam rangka pelayanan umum; 5) peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemungutan pajak; 6) peraturan-peraturan mengenai perlindungan hak dan kepentingan warga Negara terhadap pemerintah; 7) peraturan-peraturan
yang
berkaitan
dengan
penegakan
hukum
administrasi; 8) peraturan-peraturan mengenai pengawasan organ pemerintah yang lebih tinggi terhadap organ yang lebih rendah; 9) peraturan-peraturan
mengenai
kedudukan
hukum
pegawai
pemerintahan (Ridwan, HR, 2006: 41).
36
Ada penulis yang menyebutkan bahwa Hukum Administrasi Negara mencakup hal-hal di antaranya: 1) sarana-sarana
(instrumen)
menyeimbangkan
dan
bagi
penguasa
mengendalikan
untuk
berbagai
mengatur, kepentingan
masyarakat; 2) mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat dalam proses penyuluhan dan pengendalian tersebut termasuk proses penentuan kebiksanaan; 3) perlindungan hukum bagi warga masyarakat; 4) menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan
pemerintahan yang baik
(Ridwan, HR, 2006: 43-44). Dari pemaparan beberapa pendapat sarjana di atas, dapatlah disebutkan bahwa Hukum Administrasi adalah hukum yang berkenaan dengan pemerintahan dalam arti sempit (bestuursrechet of administratief recht omvat regels, die betrekking hebben op de administratie) yaitu hukum yang cakupannya secara garis besar mengatur hal-hal antara lain: 1) perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik; 2) kewenangan pemerintah (dalam melakukan perbuatan di bidang publik tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa dan bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum sehingga diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum; 3) akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintah itu; 4) penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintahan (Ridwan, HR, 2006: 44). Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang tertuang dalam bebagai peraturan perundang-undangan dan hukum administrasi
tidak
tertulis
yang
lazim
disebut
asas-asas
umum
37
pemerintahan yang layak (algemene beginselen van behoorlijke bestuur), keberadaan dan sasaran dari hukum administrasi adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan pemerintah dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu Negara hukum. Dengan demikian, keberadaan Hukum Administrasi Negara dalam suatu Negara hukum merupakan qonditio sine quanon (Ridwan, HR, 2006: 4445). d. Asas-asas umum pemerintahan yang baik Supaya alat perlengkapan Negara, dalam hal ini Administrasi Negara dapat menjalankan tugasnya secara baik, maka Administrasi Negara memerlukan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah penting yang timbul, di mana peraturan penyelesaiannya belum ada atau belum dibuat oleh badan legislatif. Kemerdekaan tersebut disebut Freis Ermessen. Tentu saja kemerdekaan ini tidaklah boleh dijalankan sedemikian rupa sehingga merugikan warga, tanpa alasan yang patut. Apabila suatu perlengkapan Negara
yang diberi
kewenangan tertentu, tidak mempergunakan
kewenangannya sesuai dengan tujuan yang telah diberikan oleh peraturan yang menjadi dasarnya dapat dikatakan bahwa alat perlengkapan itu telah melakukan “detournement de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang). Istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur. Pengertian “behoorlijk” bukanlah “baik”, melainkan “sebaiknya” atau “sepatutnya”, dengan demikian, terjemahannya menjadi “Asas-asas Umum Pemerintahan yang Sebaiknya”. Ada juga ahli yang mengganti kata “baik” dengan “layak”, sehingga menjadi “Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak” (Ridwan, HR, 2006: 245). Beberapa pengertian asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam beberapa bahasa: 38
1) Di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB); 2) Di Inggris dikenal “The Principal of Natural Justice”; 3) Di Perancis “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”; 4) Di Belgia “Aglemene Rechtsbeginselen”; 5) Di Jerman “Verfassung Sprinzipien”; 6) Di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan beberapa asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu: 1) Asas Kepastian Hukum Adalah asas dalam rangka Negara Hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara. 2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara. 3) Asas Kepentingan Umum Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. 4) Asas Keterbukaan Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara.
39
5) Asas Proporsionalitas Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara. 6) Asas Profesionalitas Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7) Asas Akuntabilitas. Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan
penyelenggara
Negara
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ridwan, HR, 2006: 254255). 5. Tinjauan tentang Keputusan Tata Usaha Negara a. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1958 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Rumusan Pasal 1 angka 3 mengandung elemen-elemen utama sebagai berikut. 1) penetapan tertulis; 2) (oleh) badan atau pejabat Tata Usaha Negara; 3) tindakan Hukum Tata Usaha Negara; 4) konkret, individual; 40
5) final; 6) akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Philipus M. Hadjon etc, 2005: 138). Penulis dalam penelitian ini mengkaji Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing terhadap Pegawai Negeri Sipil Lembaga Pemasyarakatan Klasa IIA Pasir Putih Nusakambangan yang diduga terlibat dalam tindak pidana penipuan. b. Perkecualian dalam Keputusan Tata Usaha Negara Setelah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ketentuan Pasal 2 diubah sehingga yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut. 1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; 3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; 5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
41
7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. c. Perluasan Keputusan Tata Usaha Negara Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan. 1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. 2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. 3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan,
Badan
atau
Pejabat
Tata
Usaha
Negara
yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan (R. Wiyono, 2008: 54). 6. Tinjauan tentang Pegawai Negeri Sipil a. Pengertian Pegawai Negeri Untuk memperoleh pengertian Pegawai Negeri, pegangan pokok tentunya berada pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian, namun ada baiknya bila diketahui pula pengertian maupun peristilahan mengenai Pegawai Negeri yang ada pada peraturan sebelumnya yang pernah berlaku. Kalau menengok peraturan-peraturan yang berlaku pada zaman kolonial, maka baik dalam BBL 1938 (Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren 1938) maupun BAG
42
1949 (Betalingsregeling Ambtenaren en Gopensioneerden 1949) tidak akan dijumpai tentang pengertian yang mendeskripsikan Pegawai Negeri itu. Hanya di dalam BBL 1938 menggunakan istilah Landsdienaren (Pengabdi Negara) dan BAG 1949 menggunakan istilah Ambtenaar (Pegawai Negeri). Sedangkan siapa saja yang diangkat menjadi Pegawai Negeri, Prof. Dr. J.H.A Logemann dalam “Over de theorie van een stellig staatsrecht” (1984) berpendapat bahwa Pegawai Negeri (ambtenaar) adalah tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas publik (openbare dienstbetrekking) dengan Negara. Mengenai hubungan dinas publik ini J.H.A Logemann lebih lanjut menjelaskan bahwa hubungan dinas publik itu terjadi jika seseorang mengikatkan dirinya untuk tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan tertentu dengan mendapatkan penghargaan berupa gaji dan beberapa keuntungan lain. Jadi seseorang yang mempunyai hubungan dinas publik dengan Negara, yang berarti dia menjadi Pegawai Negeri, tidak akan menolak dan menerima tanpa syarat pengangkatannya dalam suatu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah (Sudibyo Triatmodjo, 1983: 26-27). Dengan demikan kalau diikuti pendapat Prof. Dr. J.H.A Logemann, pemerintah berhak dengan tanpa persesuaian kehendak dari pihak Pegawai Negeri yang bersangkutan (eenzijdig) mengangkat dalam jabatan yang ditetukan, sehingga perbuatan pemerintah di sini dapat disebut dengan perbuatan hukum yang bersegi satu (Sudibyo Triatmodjo, 1983: 27). Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian maka telah ditemukan pengertian Pegawai Negeri karena dalam Undang-Undang ini telah diberi rumusan tentang apa yang dimaksud dan diartikan dengan Pegawai Negeri. Rumusan tersebut terdapat dalam Pasal 1 huruf a yang berbunyi, “Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
43
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku .” Kalau memperhatikan rumusan di atas maka akan didapatkan empat unsur yang harus dipenuhi seseorang agar dapat disebut sebagai Pegawai Negeri. Empat unsur tersebut ialah: 1) Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat yang ditentukan; 2) diangkat oleh pejabat yang berwenang; 3) diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri/ tugas Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4) digaji oleh Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri bekerja dalam suatu sistem pemerintahan yang biasa disebut dengan birokrasi. Birokrasi berasal dari kata bureucracy (Bahasa Inggris bureu+cracy) diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada
instansi
yang
sifatnya
administratif
maupun
militer
(http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi). Beberapa ahli dalam jurnal yang ditulis oleh Awal Hossain Mollah menyatakan pendapatnya mengenai pengertian birokrasi sebagai berikut. There is no consensus on the definition of the term ‘bureaucracy’. It appears to mean different things to different people. According to H. Finer, bureaucracy is an institution composed of “government officials who are permanent, paid and skilled” (Bhuyan, 1998:833). Bureaucracy has been defined as a government by officials who tend to dominate in policy-making. Bureaucracy is also seen as a system of rule. This conceptualization of bureaucracy, as a rule by officials to the virtual exclusion of all others, is found in a variety of authors. German Sociologist, Max Weber called it a rational-legal
44
authority which operates on the basis of formal rules and regulations (Weber, 1947). Since the bureaucratic system of rule is based on the knowledge and the expertise of officials, there is a potential for erosion of the power of the non-specialist, who is placed in command of the bureaucratic administration (Warwick, 1974:2) (Awal Hossain, 2008: 88). Awal Hossein Mollah dalam jurnalnya mengutip pendapat beberapa ahli bahwa, tidak ada persetujuan umum pada definisi dari istilah “birokrasi”. Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda. Menurut H. Finer, birokrasi adalah institusi yang tersusun dari “perangkat-perangkat pemerintahan yang secara permanen digaji dan
terlatih” (Bhuyan,
1998:833). Birokrasi telah didefinisikan sebagai pemerintahan yang diselenggarakan oleh pegawai-pegawai yang cenderung berwenang dalam pembuatan kebijakan. Birokrasi juga dilihat sebagai sistem peraturan. Konseptualisasi dari birokrasi ini yang sebagai sebuah peraturan yang lazim dikeluarkan oleh para pejabat kepada seluruh perangkat pelaksana, ditemukan dalam keanekaragaman dari penyusun peraturannya. Sosiolog Jerman, Max Weber menyebutnya sebagai kewenangan peraturan rasional yang berjalan pada dasar dari kaidah-kaidah formal dan peraturanperaturan (Weber 1947). Sejak sistem peraturan birokrasi didasarkan pada pengetahuan dan keahlian dari pejabat-pejabat, ada potensi terjadinya pengikisan kekuatan dari yang bukan ahlinya diletakkan pada pimpinan administrasi birokrasi (Warwick, 1974: 2). Dalam penulisan ini, istilah birokrasi digunakan dalam konteks pemerintahan yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah. b. Yang termasuk Pegawai Negeri Sipil Tidak semua Pegawai Negeri Sipil termasuk dalam Pegawai Negeri. Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu bagian dari Pegawai Negeri. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1974
tentang
Pokok-Pokok 45
Kepegawaian Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari: 1) Pegawai Negeri Sipil; 2) Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan 3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pegawai Negeri Sipil terdiri pula dari: 1) Pegawai Negeri Sipil Pusat; 2) Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pembedaan Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil daerah disinggung oleh Bagus Sarwana dalam jurnalnya yang menyebutkan bahwa: Pegawai Negeri Sipil dibedakan menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibayarkan berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, sedangkan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibayarkan berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Bagus Sarwana, 2006: 162). Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian terhadap salah seorang Pegawai Negeri Sipil yang termasuk dalam Pegawai Negeri Sipil Pusat. c. Hak, kewajiban, larangan, hukuman disiplin dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil 1) Hak Pegawai Negeri Sipil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian menetapkan hak bagi Pegawai Negeri Sipil, sebagai berikut: a) hak atas
gaji
yang layak sesuai dengan pekerjaan dan
tanggungjawabnya (Pasal 7);
46
b) hak atas cuti (Pasal 8); c) hak memperoleh perawatan dikala ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya (Pasal 9 ayat 1); d) hak memperoleh tunjangan dikala menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkan Pegawai Negeri yang bersangkutan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga (Pasal 9 ayat 2); e) hak memperoleh uang duka bagi keluarga dari Pegawai Negeri yang tewas (Pasal 9 ayat 3); f) hak atas pensiun (Pasal 10). 2) Kewajiban Pegawai Negeri Sipil Kewajiban Pegawai Negeri menurut Sastra Djatmika yang diuraikan Sri Hartini dalam jurnalnya dibagi dalam tiga golongan, yaitu: a) kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan; b) kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas dalam jabatan, melainkan dengan kedudukannya sebagai Pegawai Negeri pada umumnya; c) kewajiban-kewajiban lain (Srihartini, 2009: 74). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian kewajiban Pegawai Negeri antara lain: a) setiap Pegawai Negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 4);
47
b) wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab (Pasal 5); c) wajib menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa Undang-Undang (Pasal 6). Lebih khusus, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil mengatur tentang kewajiban Pegawai Negeri Sipil yakni: a) setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah; b) mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri atau pihak lain; c) menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil; d) mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e) menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaikbaiknya; f) memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum; g) melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab; h) bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara;
48
i) memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil; j) segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan dan material; k) mentaati ketentuan jam kerja; l) menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik; m) menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaik-baiknya; n) memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing; o) bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya; p) membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya; q) menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya; r) mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya; s) memberikan
kesempatan
kepada
bawahannya
untuk
perundang-undangan
tentang
mengembangkan kariernya; t) mentaati
ketentuan
peraturan
perpajakan; u) berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil dan terhadap atasan; v) hormat menghormati antara sesama Warga Negara yang memeluk agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berlainan; w) menjadi teladan sebagai Warga Negara yang baik dalam masyarakat;
49
x) mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku; y) mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang; z) memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin (Djoko Prakoso, 1992: 106-107). 3) Larangan Pegawai Negeri Sipil Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil bagi para Pegawai Negeri Sipil diberlakukan larangan, sebagai berikut: a) melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, pemerintah atau Pegawai Negeri Sipil; b) menyalahgunakan wewenangnya; c) tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk Negara asing; d) menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik Negara; e) memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, ataupun meminjamkan barang-barang, dokumen atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah; f) melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan atau orang lain dialam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara; g) melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya;
50
h) menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; i) memasuki tempat-tempat yang dapat mencerminkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil kecuali untuk kepentingan jabatan; j) bertindak sewenag-wenang terhadap bawahannya; k) melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani; l) mengahalangi jalanya tugas kedinasan; m) membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain; n) bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintahan; o) memiliki saham/ modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya; p) memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut
dapat
langsung atau
tidak langsung menentukan
penyelenggaraanatau jalannya perusahaan; q) melakukan kegiatan uasaha dagang, baik resmi maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang memangku jabatan eselon I; 51
r) melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain. (Djoko Prakoso, 1992: 107-109). 4) Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil Hubungan sebab akibat
yang terjadi
karena adanya
pertentangan terhadap kewajiban yang tidak ditaati atau larangan yang dilanggar menimbulkan sanksi. Sanksi yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah hukuman disiplin. Jenis hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang terdapat pada Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil khususnya pada Pasal 6 ayat (1) terdiri dari: a) Tingkat hukuman disiplin terdiri dari: (1) hukuman disiplin ringan; (2) hukuman disiplin sedang; (3) hukuman disiplin berat. b) Jenis hukuman ringan terdiri dari: (1) teguran lisan; (2) teguran tertulis; (3) pernyataan tidak puas secara tertulis. c) Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari: (1) penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun; (2) penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun; (3) penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
52
d) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari: (1) penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama satu tahun; (2) pembebasan dari jabatan; (3) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil; (4) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Menurut Tedi Sudrajat, Penegakan hukuman disiplin Kepegawaian dipengaruhi oleh struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukumnya. Penjelasanya adalah sebagai berikut. a) Dari aspek struktur hukum, mekanisme penjatuhan hukuman yang sifatnya ringan dan sedang sulit untuk diterapkan pada si pelanggar karena dipengaruhi oleh sistem delegasi secara hierarkis dan struktural. b) Dari aspek substansi hukum, PP No. 30 Tahun 1980 tidak memenuhi syarat hukum yang efektif karena kaidah hukumnya tidak jelas, menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi setiap pejabat yang berwenang, sanksi yang diberikan tidak tepat karena penentuan pelanggaran yang ditujukan dalam PP tersebut masih belum jelas serta menimbulkan ketidakpastian dalam penjatuhan hukuman. c) Dari aspek budaya hukum, adanya pengaruh antara kondisi dalam lingkungan kerja dan dengan budaya kerja, dalam arti kecenderungan sesama pegawai untuk membiarkan terjadinya pelanggaran (budaya permisif), yang didukung dengan kurangnya fungsi kontrol dan evaluasi terhadap pelanggaran. Untuk menegakkan hukuman disiplin diperlukan sistem hukum yang baik dengan cara mengubah paradigma dalam Hukum Kepegawaian yang bukan hanya diperlukan sistem hukum yang baik dengan cara mengubah paradigma dalam Hukum Kepegawaian yang bukan hanya berorientasi pada pelaksanaan tugas namun berorientasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini akan berkaitan dengan prinsip meritrokasi dimana inti dari prinsip ini adalah jenis penguatannya (reinforcement) melalui reward and punishment. Prinsip tersebut akan 53
mengarah pada penegakan hukuman disiplin yang natural dan berimbang, yang di dalamnya akan terkandung aspek kompetisi dan aspek peningkatan kualitas SDM aparatur yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya (Tedi Sudrajat, 2008: 54). 5) Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menetapkan bahwa Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat karena: a) atas permintaan sendiri; b) mencapai batas usia pensiun; c) perampingan organisasi pemerintah; atau d) tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat (Pasal 23 ayat (1)). Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
juga menetapkan bahwa
Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat karena: a) melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan selain pelanggaran sumpah/janji karena tidak setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah; atau; b) dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 4 (empat) tahun.
54
Pegawai Negeri Sipil juga diberhentikan tidak dengan hormat, karena: a) dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman empat tahun atau lebih; atau b) melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat (Pasal 23 ayat (4). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil mengatur beberapa hal sebagai berikut. a) pemberhentian atas permintaan sendiri; b) pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun; c) pemberhentian karena adanya penyederhanaan organisasi; d) Pemberhentian
karena
melakukan
pelanggaran
atau
tindak
pidana/penyelewengan; e) pemberhentian karena tidak cakap jasmani atau rohani; f) pemberhentiaan karena meninggalkan tugas; g) pemberhentian karena meninggal dunia atau hilang; h) pemberhentian karena hal-hal lain. 7. Tinjauan tentang Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan tahanan sementara oleh pejabat yang berwajib karena disangka telah melakukan suatu tindak pidana kejahatan dikenakan pemberhentian sementara. Untuk kepentingan peradilan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang didakwa telah melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran atas jabatan maupun kejahatan atau pelanggaran atas hukum pidana dan kemudian berhubungan dengan itu oleh pihak yang berwajib dikenakan penahanan, maka mulai saat penahanan harus dikenakan pemberhentian sementara (Sudibyo Triatmodjo, 1983: 170).
55
Dalam penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian disebutkan bahwa Untuk menjamin kelancaran pemeriksaan, maka Pegawai Negeri Sipil yang disangka oleh pejabat yang berwajib melakukan tindak pidana kejahatan dikenakan pemberhentian sementara sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut adalah pemberhentian sementara dari jabatan negeri bukan pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Apabila pemeriksaan oleh yang berwajib telah selesai atau telah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan ternyata bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tidak bersalah, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut direhabilitasikan terhitung sejak dikenakan
pemberhentian
sementara.
Rehabilitasi
yang
dimaksud
mengandung pengertian, bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diaktifkan dan dikembalikan pada jabatan semula. Apabila setelah pemeriksaan oleh pengadilan telah selesai dan ternyata Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bersalah dan oleh sebab itu dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat diberhentikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 23 ayat (3) huruf b, ayat (4) huruf a, dan ayat (5) huruf c. Keputusan
pemberhentian
sementara
Pegawai
Negeri
Sipil
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
2003
tentang
Wewenang
Pengangkatan,
Pemindahan,
dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil diatur mengenai pemberhentian sementara dari jabatan Negeri. Substansi mengenai hal tersebut tertulis dalam. Pasal 18 Presiden menetapkan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional Jenjang Utama atau jabatan lain yang pengangkatan dan 56
pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi. Pasal 19 (1) Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Pusat
menetapkan
pemberhentian
sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya yang menduduki jabatan struktura eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menduduki jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. Pasal 20 (1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan : a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Propinsi; b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon III ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. Pasal 21 (1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan :
57
a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota; b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten/Kota yang menduduki jabatan struktural eselon IV dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. Dari pengaturan-pengaturan diatas yang terkait dengan objek penelitian yang penulis lakukan Surat Keputusan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian pusat yang kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya dalam hal ini Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah. Secara khusus pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil diatur dalam
Peraturan
Pemerintah
Nomor
4
Tahun
1966
tentang
Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri. Pengaturannya adalah sebagai berikut. Pasal 2 (1) Untuk kepentingan peradilan seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan berhubung dengan itu oleh pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara. (2) Ketentuan menurut ayat (1) Pasal ini dapat pula diperlakukan terhadap seorang Pegawai Negeri yang oleh pihak berwajib dikenakan tahanan sementara karena didakwa telah melakukan suatu pelanggaran hukum pidana yang tidak menyangkut pada jabatannya dalam hal pelanggaran
58
yang dilakukan itu berakibat hilangnya pengharapan dan kepercayaan atas diri pegawai yang bersangkutan atau hilangnya martabat serta wibawa pegawai itu. Dari pengaturan-pengaturan di atas yang terkait dengan objek penelitian yang penulis lakukan, penyebab dikeluarkannya Surat Keputusan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil adalah karena Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diduga melakukan tindak pidana penipuan yang dalam Pasal 2 ayat (1) di atas tersirat dan tersurat adanya upaya penegakan hukum terhadap kasus tersebut yang prosesnya tidak dapat diganggu oleh jabatan dan tanggung jawab seseorang sebagai Pegawai Negeri Sipil. Dalam ayat (2) Pasal yang sama, pemberhentian sementara juga dilakukan karena tindak pidana yang disangkakan terhadapnya mengakibatkan hilangnya pengharapan dan kepercayaan atas diri pegawai yang bersangkutan atau hilangnya martabat serta wibawa pegawai itu. Implikasi
yang
timbul
akibat
keluarnya
Surat
Keputusan
Pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil adalah mengenai hak dan kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian sementara mengakibatkan timbulnya pembatasan dalam hal penggajian. Sistem penggajian untuk Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara telah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri yang berbunyi sebagai berikut. Pasal 4 (1) Kepada seorang Pegawai Negeri yang dikenakan pemberhentian sementara menurut pasal 2, ayat (1) peraturan ini: a. jika terdapat petunjuk-petunjuk yang cukup meyakinkan bahwa ia telah melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar
59
50% (lima puluh perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya terakhir; b. jika belum terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas tentang telah dilakukannya pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya terakhir. (2) Kepada seorang Pegawai Negeri yang dikenakan pemberhentian sementara menurut pasal 2 ayat (2) peraturan ini mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya terakhir. (3) Bagian gaji yang dimaksudkan dalam ayat (1) dan (2) diatas berjumlah paling rendah Rp 200, - (dua ratus rupiah), sedangkan pecahan rupiah dibulatkan menjadi satu rupiah. Terkait dengan kasus yang penulis teliti, Surat Keputusan Pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil mengenakan pemberlakuan gaji sebesar 50% pada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Di lain sisi mengenai implikasi pemberhentian sementara terkait dengan kewajibannya Pegawai Negeri Sipil mengalami pembatasan dalam hal kewajibannya melaksanakan fungsi jabatan dan tanggung jawab tugas yang ada padanya. Karena Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menepuh proses hukum untuk kasus yang disangkakan kepadanya, maka dia tidak diwajibkan untuk melaksanakan kewajibannya tersebut. Pemberhentian sementara dari jabatan negeri adalah pemberhentian yang menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi bekerja pada suatu satuan organisasi Negara, tetapi masih berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada dasarnya pemberhentian sementara dari jabatan negeri bukan merupakan sanksi, tetapi merupakan tindakan administratif yang ditujukan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan oleh pihak yang berwajib terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut adalah pemberhentian 60
sementara dari jabatan negeri bukan pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil (Penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999).
61
B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
proses hukum Pegawai Negeri Sipil yang diduga terlibat tindak pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri
Pasal 284 ayat (2) KUHAP
dugaan delik penipuan
Surat Perintah Penahanan No. Perintah: 36/0.3.17/Ep.1/02/2009
Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing
implikasi hukum
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
62
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang merupakan unsur aparatur Negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mencapai apa yang dimaksudkan tersebut diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung
jawab
dalam
menyelenggarakan
tugas
pemerintahan
dan
pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam upaya pembentukan sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana tersebut di atas diperlukan upaya meningkatkan manajemen Pegawai Negeri Sipil. Namun secara kodrati seorang Pegawai Negeri Sipil adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan dan kelemahan. Keterbatasan dan kelemahan tersebut memungkinkan seorang Pegawai Negeri Sipil melakukan perbuatan yang melawan hukum, termasuk perbuatan melawan hukum pidana atau yang biasa disebut dengan delik. Hal tersebut di atas terjadi pada seorang Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai Pegawai di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Pegawai Negeri Sipil tersebut sedang menjalani masa pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil karena dugaan delik penipuan yang dilakukannya. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka selanjutnya proses pemeriksaan dilakukan untuk membuat terang suatu perbuatan yang diduga memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Sampai pada ditemukannya temuan-temuan dan bukti-bukti yang mengarah kepada fakta bahwa Pegawai Negeri Sipil tersebut melakukan perbuatan melawan hukum pidana yaitu penipuan maka keluar Surat Perintah 63
Penahanan. Di lain sisi, dalam konteks Hukum Kepegawaian yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah
Nomor
4
Tahun
1966
tentang
Pemberhentian/
Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri pada Pasal 2 ayat (1) diamanatkan untuk melakukan pemberhentian sementara kepada Pegawai Negeri Sipil yang didakwa telah melakukan tindak pidana dan karena itu dikenakan penahanan. Implementasi dari perturan tersebut adalah dengan diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing. Hukum harus ditegakkan, sehingga proses hukum yang berlangsung sesuai asasnya diselenggarakan dengan cepat. Dengan demikian Pegawai Negeri Sipil yang terjerat kasus hukum pidana diberhentikan sementara untuk kelancaran proses tersebut. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, akan penulis sajikan sebuah penelitian yang akan penulis teliti mengenai prosedur pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil serta implikasi hukum yang timbul.
64
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pemberhentian Sementara Terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang Diduga Terlibat Tindak Pidana Penipuan 1. Jejak kasus dugaan tindak pidana penipuan oleh Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah Penulis melakukan penelitian terhadap kasus dugaan tindak pidana penipuan oleh Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah, atas nama Eko Purwanto yang terjadi pada sekitar bulan Januari 2007 sampai dengan Maret 2007. Pada saat dugaan tindak pidana penipuan itu dilakukan sampai keluarnya perintah penahanan tanggal 3 Pebruari 2009, Eko Purwantoro adalah seorang Pegawai Negeri Sipil dengan satuan kerja di Unit Pelaksana Teknis Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan, namun pada tanggal 6 Pebruari 2009 keluar Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-313-Kp.04.10- Tahun 2009 yang menetapkan, Eko Purwantoro dipindahkan ke satuan kerja Unit Pelaksana Teknis Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta. Eko Purwanto yang bertempat di Jalan Belimbing nomor 538 Rt. 02 Rw. 01 Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap diduga dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, yang dilakukan terdakwa. Kejadian itu bermula pada bulan Sepember 2006 di mana di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerima pendaftaran sebagai
65
Calon Pegawai Negeri Sipil dan Eko Purwanto sebagai Pegawai Negeri Sipil di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan mengetahui hal tersebut dan bersedia membantu Hendi Hermawan, Upit Piter Pitoyo dan Dedy Wahyudi untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun beberapa persyaratan yang diperlukan antara lain berupa: foto copy ijazah terakhir, daftar riwayat hidup, foto copy KTP, pas foto ukuran 3x4 sebanyak tiga lembar, surat keterangan dokter, foto copy akta kelahiran, surat keterangan bebas HIV dan narkotik, surat lamaran kerja dan uang Rp. 100.000,- untuk blangko formulir pendaftaran. Selain persyaratan tersebut, Hendi Hermawan, Upit Piter Pitoyo dan Dedy Wahyudi juga harus menyediakan masing-masing Rp. 40.000.000,- namun Eko Purwanto baru meminta Rp. 10.000.000,sebagai tanda jadi, sedangkan sisanya sebesar Rp. 30.000.000,- dibayar setelah keluarnya Surat Keputusan atas diterimanya sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Eko Purwanto berjanji apabila tidak diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil, uang yang sudah diterima olehnya akan dikembalikan, namun sampai sekarang uang tersebut belum dikembalikan semuanya. Kemudian pada suatu hari setelah mengikuti seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hendi Hermawan, Upit Piter Pitoyo dan Dedy Wahyudi memberikan sejumlah uang kepada Eko Purwanto di rumahnya di Jalan Belimbing nomor 538 Rt. 02 Rw. 01 Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap atas permintaan Eko Purwanto yang katanya uang tersebut akan dipergunakan sebagai uang pelicin agar yang bersangkutan bisa lulus dalam mengikuti seleksi sehingga menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada kenyataannya uang tersebut oleh Eko Purwanto dipergunakan untuk keperluan sendiri sehingga ketiga orang tersebut sampai sekarang tidak menjadi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
66
Perbuatan
yang
dilakukan
oleh
Eko
Purwanto
akhirnya
menjadikannya sebagai tersangka dalam kasus ini. Hal tersebut terjadi ketika Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap mengeluarkan Surat Perintah Penahanan No. Prin: 36/0.3.17/Ep.1/02/2009 pada tanggal 3 Pebruari 2009 untuk melakukan penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terhadap tersangka Eko Purwanto yang diduga telah melakukan tindak pidana penipuan terhitung mulai tanggal 3 Pebruari 2009 selama dua puluh hari. Proses persidangan di Pengadilan Negeri Cilacap atas kasus dugaan tindak pidana penipuan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil atas nama Eko Purwantoro mengungkap fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan para saksi dan sejumlah barang bukti. Saksi-saksi yang dihadirkan sebanyak empat orang seluruhnya adalah saksi dari Penuntut umum yang diajukan untuk memberatkan terdakwa. Saksi-saksi yang hadir antara lain adalah Dwi Haryono, Ahmad Tarmidzi, Upit Piter Pitoyo dan Diah Mintarsih. Para saksi mengaku telah menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa Eko Purwantoro, namun saksi dan anak saksi tidak kunjung diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum antara lain. a. 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama Upit Piter Pitoyo; b. 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama Hendi Hermawan; c. 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama Dedy Wahyudi; d. 1 (satu) lembar kwitansi penyerahan uang senilai Rp. 6.500.000,Dengan berbagai bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum maka terdakwa didakwa dengan Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP. Dengan berbagai pertimbangan maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cilacap memutuskan bahwa dakwaan Penuntut Umum yaitu Pasal 378 KUHP sesuai
67
dengan perbuatan terdakwa dan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan dengan unsur-unsur sebagai berikut. a. barang siapa; b. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak; c. baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan perkataan-perkataan bohong; d. membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang membuat utang atau menghapus piutang. Majelis Hakim pengadilan Negeri Cilacap pada putusan No. 28/Pid.B/2009/Pn. Clp. mengeluarkan putusan-putusan yakni: a. menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan; b. menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; c. memerintahkan agar supaya terdakwa tetap ditahan; d. memerintahkan supaya barang bukti berupa: 1) 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama Upit Piter Pitoyo dikembalikan kepada Upit Piter Pitoyo; 2) 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama Hendi Hermawan dikembalikan kepada Hendi Hermawan; 3) 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama Dedy Wahyudi dikembalikan kepada Dedy Wahyudi; 4) 1 (satu) lembar kwitansi penyerahan uang senilai Rp. 6.500.000,dikembalikan kepada Nasiyem;
68
e. membebankan terdakwa untuk membayar untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-.
2. Pelaksanaan Pemberhentian Sementara Terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang Diduga Terlibat Tindak Pidana Penipuan Surat Perintah Penahanan Nomor Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap untuk melakukan penahanan terhadap Pegawai Negeri Sipil Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan atas nama Eko Purwantoro menjadikan statusnya pada saat itu sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana penipuan. Secara administratif Kepegawaian untuk mempermudah proses persidangan maka Eko Purwantoro diberhentikan sementara dari Jabatan Negeri. Secara normatif pemberhentian sementara terhadap Eko Purwantoro ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tertanggal 9 Juni 2009. Pelaksanaan Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan melalui beberapa prosedur sebagai berikut. a. Penerbitan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009. 1) Koordinasi antara Kejaksaan Negeri Cilacap dengan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan Surat
Perintah
Penahanan
Nomor
Print-
36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap untuk menahan terdakwa 69
Eko Purawanto, Pegawai Negeri Sipil di satuan kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan disikapi oleh pejabat struktural instansi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan untuk keperluan Kepegawaian. Tindak lanjut yang dilakukan adalah dengan melakukan komunikasi dengan instansi terkait, Kejaksaan Negeri Cilacap mengenai kasus dugaan penipuan yang melibatkan salah satu Pegawai Negeri Sipil Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan. Kejaksaan Negeri Cilacap dalam kasus ini meyakinkan instansi
Lembaga
Pemasyarakatan
Klas
IIA
Pasir
Putih
Nusakambangan bahwa telah ditemukan petunjuk-petunjuk dan buktibukti yang mengarah kepada fakta bahwa salah satu Pegawai Negeri Sipil Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana penipuan dan oleh karena itu perlu dilakukan penahanan untuk kelancaran proses hukum. Menyikapi hasil komunikasi dengan Kejaksaan Negeri Cilacap maka Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan melanjutkan proses administratif Kepegawaian selanjutnya. 2) Pemberitahuan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah Lembaga
Pemasyarakatan
Klas
IIA
Pasir
Putih
Nusakambangan melakukan komunikasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor wilayah Jawa Tengah mengenai hasil pengkajian antara Kejaksaan Negeri Cilacap dengan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan mengenai penahanan terdakwa Eko Purawanto, yang dikuatkan dengan Surat Perintah
Penahanan
Nomor
Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009
yang
70
dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap. Komunikasi dilakukan dengan lisan dan tertulis. Secara lisan Pejabat struktural Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan aktif melakukan pembicaraan langsung maupun kontak telepon untuk mendiskusikan kasus dugaan tindak pidana penipuan dan penahanan Eko Purawanto, dengan para pejabat di divisi-divisi terkait di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah. Secara tertulis Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan melayangkan Surat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan tertanggal 3 Maret 2009 Nomor: W9.Egg.KP.11.01-57 perihal pemberitahuan penahanan Eko Purwanto. 3) Penetapan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah menerima informasi lisan maupun tertulis terkait penahanan Eko Purawanto. Membaca Surat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan tertanggal 3 Maret 2009 Nomor: W9.Egg.KP.11.01-57 perihal pemberitahuan penahanan Eko Purwanto dan Surat Perintah Penahanan Nomor Print36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap maka keluarlah Keputusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah. Keputusan tersebut dirumuskan dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing. Dalam keputusan tersebut, pada pokoknya berisi hal-hal sebagai berikut.
71
a) judul Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing. b) konsiderans Memuat berbagai pengkajian terhadap Surat Perintah Penahanan Nomor Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009
yang dikeluarkan pada
tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap serta Surat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan
tertanggal
3
Maret
2009
Nomor:
W9.Egg.KP.11.01-57 perihal pemberitahuan penahanan Eko Purwanto, Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah. Pertimbangan lain yang digunakan adalah untuk kepentingan pemeriksaan lebih lanjut dipandang perlu dengan segera memberhentikan sementara (skorsing) kepada Pegawai Negeri Sipil atas nama Eko Purwanto. c) dasar hukum Dasar hukum yang digunakan dalam penerbitan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing ini antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Jo. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang Wewenang pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (LN Tahun 2000 Nomor 193);
72
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil; (4) Peraturan
Pemerintah
Nomor
4
Tahun
1966
tentang
Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil; (5) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2005 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Adapun beberapa perturan yang menjadi perhatian dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah No: W9-1013-Kp.05.05-1043. 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing yakni, (1) SE Kepala BAKN Nomor 12/SE/1975 tanggal 14 Oktober 1975 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil; (2) SE Kepala BAKN Nomor 23/SE/1980 tanggal 30 Oktober tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. d) diktum Bagian
diktum
Surat
Keputusan
Kepala
Kantor
Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05-
Tahun
2009
tentang
Pemberhentian
Sementara/ Skorsing berisi beberapa penetapan sebagai berikut. (1) Pegawai Negeri Sipil yang namanya tersebut dalam lajur 2 (Eko Purwantoro) diberhentikan sementara (skorsing) terhitung mulai tanggal sebagaimana tersebut dalam lajur 5 (3 Pebruari 2009) dan kepadanya diberikan gaji pokok sebagaimana tersebut dalam lajur 6 (Rp. 666.450,-) ditambah dengan penghasilan
lainnya
yang
sah
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku terhitung seperti yang
73
tersebut dalam lajur 7 (1 Maret 2009) di dalam lampiran Surat Keputusan ini; (2) apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan diadakan perubahan sebagaimana mestinya. e) penutup Berisi tempat dan tanggal ditetapkannya Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah tersebut, disertai tanda tangan dan nama lengkap dari pejabat yang berwenang menetapkan keputusan tersebut, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah. f) tembusan b. Penginformasian Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah kepada instansi-instansi terkait. Setelah Keputusan pemberhentian sementara ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah penyampaian keputusan tersebut secara tertulis kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah tersebut, tembusan Keputusan disampaikan kepada: 1) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Jakarta; 2) Inspektur Jenderal Dep. Hukum dan HAM RI di Jakarta; 3) Sekretaris Jenderal Dep. Hukum dan HAM RI di Jakarta; 4) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Dep. Hukum dan HAM RI di Jakarta; 5) Kepala Badan Kepegawaian Negara di Jakarta Up. Deputi Bidang Mutasi Kepegawaian di Jakarta; 6) Kepala Kantor Regional I BKN di Yogyakarta;
74
7) Kepala Kantor Tata Usaha Anggaran Semarang II di Semarang; 8) Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Cilacap; 9) Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan
Klas
IIA
Pasir
Putih
Nusakambangan. 3. Kesesuaian prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan dengan peraturan-perundangan yang berlaku Dari data yang penulis peroleh dari pejabat-pejabat yang berwenang dan terkait dengan objek penelitian yang telah penulis lakukan, prosedur pelaksanaan pemberhentian sementara Eko Purwanto, Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang secara khusus diatur dalam Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri. Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah
Nomor
4
Tahun
1966
tentang
Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri, berbunyi: ”Untuk kepentingan peradilan seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan yang berhubung dengan itu oleh pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara”. Unsur dakwaan yang terdapat dalam pasal tersebut pada kasus ini adalah dikeluarkannya Surat Perintah Penahanan Nomor Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap untuk menahan terdakwa Eko Purawanto, Pegawai Negeri Sipil Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan. Unsur dakwaan tersebut adalah penyebab atau alasan diberlakukannya pemberhentian sementara terhadap Eko Purwanto, seorang Pegawai Negeri Sipil sekaligus tersangka kasus penipuan.
75
Masih terkait dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri dalam hal penetapan tanggal mulai diberlakukannya Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil. Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing mengatur mengenai tanggal mulai diberlakukannya Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil, Eko Purwantoro adalah pada tanggal 3 Pebruari 2009. Hal tersebut sudah sesuai dengan salah satu esensi dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri yang mengamanatkan bahwa mulai saat penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara, karena tanggal pemberlakuannya sesuai dengan tanggal keluarnya Surat Perintah Penahanan No. Prin: 36/0.3.17/Ep.1/02/2009 pada tanggal 3 Pebruari 2009 dari Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap untuk melakukan penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terhadap tersangka Eko Purwanto yang diduga telah melakukan tindak pidana penipuan terhitung mulai tanggal 3 Pebruari 2009 selama dua puluh hari. Menurut keterangan yang diperoleh dari Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah, penetapan Surat Keputusan Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil dilakukan dengan banyak pertimbangan dan pengkajian. Selain dengan adanya faktor tersebut, kondisi birokrasi internal dan banyaknya urusan administrasi Kepegawaian yang menumpuk mengakibatkan penetapan Surat Keputusan Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri mengalami keterlambatan. Hal tersebut terbukti karena
tanggal
keluarnya
Surat
Perintah
Penahanan
No.
Prin:
36/0.3.17/Ep.1/02/2009 dari Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap terbit pada tanggal 3 Pebruari 2009, sedangkan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah No: W9-1013-
76
Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing baru ditetapkan empat bulan kemudian, yaitu pada tanggal 1 Juni 2009. Penetapan Surat Keputusan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil yang terlambat selama empat bulan agak mencederai amanat dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Pegawai Negeri. Hal tersebut dikarenakan oleh isi pasal tersebut mengatur bahwa mulai saat penahanan harus dikenakan pemberhentian sementara. Tanggal pemberlakuan pemberhentian sementara sudah sesuai dengan tanggal penahannya, namun dalam waktu empat bulan status hukum kepegawaian Eko Purwantoro sebagai Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah menjadi kabur dan ngambang. Di bagian akhir Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-1013Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing, tertera tanda tangan, nama lengkap, jabatan dan Nomor Induk Pegawai dari pejabat yang menetapkan Keputusan tersebut, yaitu Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bapak Drs. Bambang Margono, M.H. Berdasarkan hal tersebut, maka Keputusan Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Eko Purwantoro, Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Pegawai Negeri Sipil Lembaga tersebut adalah pegawai golongan II/b dengan pangkat
Pengatur Muda Tingkat
I.
Yang berwenang
memberhentikan sementara Pegawai Negeri tersebut adalah Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penetapan keputusan oleh Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia telah memenuhi ketentuan perundangundangan yang telah diatur dalam beberapa pasal mengenai Pemberhentian
77
Sementara dari Jabatan Negeri pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003, tertulis pada:
Pasal 19 (1) Pejabat
Pembina
Kepegawaian
Pusat
menetapkan
pemberhentian
sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya yang menduduki jabatan struktur, eselon II ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. (2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menduduki jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu. B. Implikasi Hukum yang Timbul Karena Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah Implikasi hukum dalam hal ini dimaksudkan pada akibat yang timbul dari terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W91013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing terhadap Eko Purwantoro, Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Implikasi hukum yang timbul terkait dengan kewajiban dan haknya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sebagai Pegawai Negeri Sipil, Eko Purwantoro memiliki tugas dan kewajiban untuk mengabdi kepada Negara dengan melaksanakan tugas jabatan yang diberikan kepadanya sesuai dengan keputusan dari pejabat yang berwenang.
78
Setelah keluarnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-313-Kp.04.10. Tahun 2009 tertanggal 6 Pebruari 2009 tentang Pemindahan Pegawai Negeri Sipil, Eko Purwantoro diberikan tugas dan jabatan sebagai staf di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Kelas I Surakarta. Setelah diberlakukannya pemberhentian sementara terhadapnya, maka demi kelancaran proses hukum yang dilaluinya berjalan dengan lancar, tugas jabatan sebagai staf yang diembannya untuk sementara diberhentikan. Hal tersebut merupakan perwujudan dari penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok kepegawaian yang berbunyi, “untuk menjamin kelancaran pemeriksaan, maka Pegawai Negeri Sipil yang disangka oleh pejabat yang berwajib melakukan tindak pidana kejahatan,
dikenakan
pemberhentian
sementara
sampai
adanya
putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut adalah pemberhentian sementara dari jabatan Negeri bukan pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil”. Dari hal tersebut maka dapat diketahui bahwa pemberhentian sementara Eko Purwantoro dari jabatan Negeri yang meliputi pemberhentian sementara dalam pelaksanaan tugas jabatan dan fungsi pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan merupakan suatu implikasi hukum dari keluarnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing. Selain berakibat pada kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil, implikasi hukum terbitnya keputusan pemberhentian sementara terhadap Eko Purwantoro, Pegawai Negeri Sipil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah juga berakibat pada hak kepegawaian yang dimilikinya. Hak yang dimaksud penulis adalah gaji. Keputusan pemberhentian sementara mengamanatkan untuk diberikan kepada Eko Purwantoro gaji sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari gaji pokok
79
yang diterimanya terakhir dengan jumlah Rp.666.450,- dan selain itu terhadapnya diberikan tambahan penghasilan lain yang sah berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku terhitung mulai diberlakukannya pemotongan gaji tersebut yaitu 1 Maret 2009. Besarnya gaji tersebut didasarkan pada pertimbangan dari hasil pengkajian bersama antara pejabat-pejabat struktural sebagai tim penyelesaian kasus-kasus kepegawaian setelah berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Cilacap. Dari pengkajian tersebut diperoleh petunjuk yang menguatkan keterlibatan Eko Purwantoro, dalam kasus dugaan tindak pidana penipuan. Pemberian gaji 50% dari gaji pokok terakhir terkait dengan pemberhentian sementara Eko Purwantoro telah sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil, berbunyi: “Kepada seorang Pegawai Negeri yang dikenakan pemberhentian sementara menurut Pasal 2 ayat (1) peraturan ini: a. jika terdapat petunjuk-petunjuk yang cukup meyakinkan bahwa ia telah melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya terakhir; b. jika belum terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas tentang telah dilakukannya pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya terakhir”. Berdasarkan peraturan di atas dan terkait dengan temuan beberapa petunjuk yang mengarah kepada fakta bahwa Eko Purwantoro melakukan tindak pidana penipuan, maka kebijakan yang diambil oleh Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal penetapan gaji selama yang bersangkutan diberhentikan sementara telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
80
Di sisi lain, tanggal penetapan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W91013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing yaitu pada tanggal 9 Juni 2009 ternyata menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Tertulis dalam Surat Keputusan tersebut mengenai pemberlakuan pemberian gaji 50% dari gaji pokok yang diterima terakhir ditetapkan pada tanggal 1 Maret 2009. Pada
kenyataannya,
ada
perbedaan
persepsi
mengenai
bulan
mulai
diberlakukannya pemotongan gaji. Menurut Kantor Pelaksana Perbendaharaan Negara Cilacap, pemberlakuan pemotongan gaji dimulai sesuai dengan pemberlakuan pemberhentian sementara yaitu bulan Februari 2009. Dengan demikian, yang bersangkutan, Eko Purwantoro, menerima gaji penuh sebelum keluarnya penetapan Surat Keputusan tersebut yaitu 1 Juni 2009 karena Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara tidak memiliki dasar normatif untuk memotong gajinya. Pada tanggal 1 Juni 2009 pada saat ditetapkannya surat pemberhentian sementara, gaji bulan itu terlanjur terbayar 100% karena sudah diusulkan sehingga yang bersangkutan, Eko Purwantoro memperoleh gaji 100% selama pemberhentian sementara adalah lima bulan terhitung dari bulan Februari sampai dengan Juni 2009. Menurut keterangan yang penulis peroleh dari staf bendahara di Unit Pelaksana Teknis Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta, tempat Eko Purwantoro dipindah tugaskan, untuk tetap mempertahankan amanat dari Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil khususnya di huruf a, maka pemotongan gaji sebesar 50% dilakukan mulai bulan setelah ditetapkannya Surat Keputusan Pemberhentian Sementara sampai dengan keluarnya keputusan baru yang mengganti dan mencabut keputusan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil tersebut. Sedangkan jumlah gaji penuh yang diterimanya pada bulan Februari sampai Juni 2009 dikembalikan kepada Negara sebesar pemotongan yang dikenakan terhadapnya dengan memotong gaji pada bulan setelah ditetapkannya Surat Keputusan Pemberhentian Sementara yaitu mulai bulan Juli 2009 sampai dengan bulan Nopember 2009. 81
Dengan dasar Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing dan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-313Kp.04.10. Tahun 2009 tentang Pemindahan Pegawai Negeri Sipil bendahara Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan mengajukan usulan penghentian pembayaran kepada Kantor Pelaksana Perbendaharaan Negara Cilacap. Akhirnya pada tanggal 10 Juli 2009 keluarlah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran dari Kantor Pelaksana Perbendaharaan Negara Cilacap. Pembayaran gaji bulan Juli 2009 termasuk cicilan pengembalian uang Negara serta pemotongan 50% dari gaji pokok terakhir masih dibayarkan oleh Kantor Pelaksana Perbendaharaan Negara Cilacap karena sudah diusulkan. Untuk bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Nopember 2009 cicilan pengembalian uang Negara serta pemotongan 50% dari gaji pokok terakhir dibayarkan oleh Kantor Pelaksana Perbendaharaan Negara Surakarta karena yang bersangkutan telah berstatus sebagai pegawai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta. Demikian adalah kronologi pelaksanaan pemotongan 50% gaji terakhir Eko Purwantoro sebagai implikasi hukum terkait pemberhentian sementara terhadapnya menyangkut hak kepegawaiannya. Walaupun menurut penulis sudah memenuhi rasa keadilan, namun keterlambatan terbitnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing
mengakibatkan
pelaksanaannya
juga
menjadi
terlambat
dan
menimbulkan fenomena baru di mana gaji Eko Purwantoro dipotong dua kali yaitu 50% terkait pemberhentian sementara dan 50% terkait pembayaran cicilan gaji pada saat Surat Keputusan pemberhentian sementaranya belum ditetapkan.
82
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Eko Purwantoro Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah telah dilaksanakan sesuai ketentuan Kepegawaian di setiap lini konstitusional. Terkait dengan lamanya penetapan Keputusan Tata Usaha Negara mengenai pemberhentian sementara dalam kasus ini membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu empat bulan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu, kepastian hukum belum sepenuhnya terwujud dengan baik. 2. Pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Eko Purwantoro Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah menimbulkan implikasi hukum yang berkenaan dengan kewajiban dan hak yang dimilikinya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kewajibannya sebagai Pegawai Negeri dalam hal pelaksanaan tugas jabatan, untuk sementara dihentikan karena yang bersangkutan harus menempuh proses peradilan. Selain itu, pemberhentian sementara dari jabatan negeri diharapkan agar stabilitas kerja di instansi tetap terjaga. Terkait dengan hak yang dimilikinya sebagai Pegawai Negeri Sipil, pemberhentian sementara mengakibatkan adanya pemotongan gaji sebesar 50% dari gaji pokok terakhir yang diterimanya. Pemotongan gaji tersebut diberikan karena Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tidak lagi
83
menjalankan tugas dan pekerjaannya sehingga ia tidak memiliki hak untuk mendapat gaji penuh meskipun masih berstatus Pegawai Negeri Sipil. Terkait dengan keterlambatan penetapan Surat Keputusan pemberhentian sementara sehingga yang bersangkutan menerima gaji penuh dalam masa pemberhentian sementara yang diberlakukan, maka ia diwajibkan untuk mengganti karena kelebihan
gaji
yang diterimanya menjadi hutang terhadap Negara.
Berdasarkan hal tersebut, pemberhentian dari jabatan negeri sebagai implikasi hukum terhadap kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil telah memenuhi asas kemanfaatan dan pelaksanaan pemotongan gaji sebagai implikasi hukum terhadap haknya sebagai Pegawai Negeri Sipil telah memenuhi rasa keadilan. B. Saran 1. Pelaksanan pemberhentian sementara terhadap Eko Purwantoro Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hendaknya ditetapkan secara cepat tanpa mengurangi kehati-hatian agar implikasi hukum yang timbul karena proses peradilan dapat diselaraskan dengan implikasi hukum yang timbul terkait dengan administrasi kepegawaian. 2. Proses peradilan khususnya pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana penipuan oleh Eko Purwantoro Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebaiknya dilaksanakan dengan waktu yang sesingkatsingkatnya untuk menghindari kerugian bagi keuangan Negara, karena semakin lama diperiksa maka semakin banyak Negara membayar seorang Pegawai yang tidak berkontribusi terhadap kinerja di instansi akibat pemeriksaannya. 3. Setelah keluar putusan tetap dari Pengadilan Negeri Cilacap yang memvonis bersalah Eko Purwantoro, Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam kasus tindak pidana penipuan, maka seharusnya pejabat yang berwenang segera mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara untuk menetapkan sikap mengenai status Kepegawaiannya dalam hal penjatuhan hukuman disiplin.
84
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku Ahmad Ghufron dan Sudarsono. 1991. Hukum Kepegawaian Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Amirudduin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo. Amrah Muslimin. 1985. Beberapa Asas Dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi. Bandung: Alumni. C.S.T. Kansil. 1984. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia. .1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka .1997. Modul Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Pradnya Paramita Djoko Prakoso. 1992. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. E. Utrecht. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Lexy J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remja Rosdakarya. Muchsan. 1988. Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri Sipil. Yogyakarta: Liberty.
85
Nainggolan, H. 1985. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Peter Mahmud Marzuki.
2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. Philipus
M.
Hadjon
etc.
2005.
Pengantar
Hukum
Administrasi
Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. R. Wiyono. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. SF. Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soewarno
Handayaningrat.
1982.
Administrasi
Pemerintahan
Dalam
Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung. Sri Hartini, Setiadjeng Kadarsih dan Tedi Sudrajat. 2008. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Sudibyo Triatmodjo.1983. Hukum Kepegawaian Mengenai Kedudukan Hak Dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Balai Aksara. Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Dari Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
28
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
86
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Peraturan
Pemerintah
Nomor
4
Tahun
1966
tentang
Pemberhentian/
Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980 tentang Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Dari Jurnal Bagus Sarwana. 2006. “Analisisis Terhadap Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Media Hukum. Volume 13 Nomor 2. Yogyakarta. Tedi Sudrajat. 2008. “Problematika Penegakan Hukuman Disiplin Kepegawaian”. Jurnal Dinamika Hukum. Volume 8 Nomor 3. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Abdun Noor. 2008. “Ethics, Religion and Good Governance”. Good Governance in Rural Developmen. Volume 3 No. 2. Comilla: JOOGA. Awal Hossain Mollah. 2008. “Bureaucracy and Accountability: The Case of Bangladesh”.
International Journal on Governmental Financial
Management. Volume 8 No. 1. Virginia: The International Consortium on Governmental Financial Management Alexandria, Virginia United States of America. Sri Hartini. 2009. “Kewajiban Pegawai Negeri Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)”. Jurnal Dinamika Hukum.Volume 9 Nomor 1. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
87
Dari Internet Caray
Label.
Hukum
Administrasi
Negara.
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/hukum-administrasinegara.html > [21 Nopember 2009 pukul 19.35 WIB]. Wikipedia.
Birokrasi-Wikipedia
bahasa
Indonesia,
ensiklopedia
bebas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi> [23 Maret 2010 pukul 19.29 WIB].
88