perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010)
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Bayu Satria Setiadi NIM. E0008307
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Bayu Satria Setiadi
NIM
: E0008307
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul KAJIAN TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 2 Juli 2012 yang membuat pernyataan
Bayu Satria Setiadi E.0008307
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Bayu Satria Setiadi, E 0008307. 2012. KAJIAN TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang kesesuaian alasan-alasan pengajuan Peninjauan Kembali serta pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam memutus Peninjauan Kembali perkara Penghinaan Presiden dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan pengajuan Peninjauan Kembali serta pertimbangan Hakim dalam memutus pengajuan Peninjauan Kembali ini telah sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHAP atau belum. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah jenis penelitian normatif, penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach), yaitu dengan mempelajari penerapan norma-norma hukum yang dilakukan dalam praktek hukum, teknik pengumpulan bahan hukum adalah teknik studi pustaka, sifat penelitian preskriptif. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum yang masih relevan dengan permasalahan yaitu berwujud bahan hukum primer (undang-undang yang relevan), bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, koran, makalah, dan majalah, serta artikel internet). Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon Peninjauan kembali telah sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP meskipun ada yang kurang sesuai yakni mengenai novum. Kemudian mengenai pertimbangan Hakim, penulis menyimpulkan bahwa Hakim telah melakukah kekhilafan dalam memutus Peninjauan Kembali ini karena Hakim tidak menerapkan asas legalitas maupun retroaktif yang nyatanya menguntungkan bagi Terpidana. Hakim telah salah menafsirkan Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHAP. Oleh karena itu harus segera diterbitkan satu ketentuan yang mengatur mengenai keberadaan Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHAP ini sehingga tidak lagi menimbulkan multi tafsir yang berakibat seseorang tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Kata Kunci: peninjauan kembali, penghinaan presiden, eggi sudjana
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Bayu Satria Setiadi, E 0008307. 2012. A STUDY OF FILING REVIEW AND CONSIDERATION OF JUSTICE OF THE SUPREME COURT CASE IN CRIME WITH PRESIDENT insult convicted EGGI SUDJANA (CASE STUDY DECISION NO. 153 PK/PID/2010). Faculty of Law Sebelas Maret University. This research aimed to assess the reasons’ suitability of the submission of judicial review as well as considerations of judicial review judges in deciding cases Insult the President with the provisions of Law No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings (Criminal Code). The purpose of this study was to determine that the reason for filing of judicial review and consideration of the Judge in deciding judicial review of this filing was suitable with Article 263 paragraph (2) Criminal Code or not. The research method used in the writing of this law was a kind of normative research, the authors used a case approach (case approach), ie by studying the application of legal norms in practice of law, the collection of legal materials engineering is the technique of book study, prescriptive nature of the study. The sources of legal materials used were still the source of legal material relevant to the problems of the shape of primary legal materials (relevant legislation), secondary legal materials (text books are written by legal experts, law journals, the opinion of the scholars, scientific works, newspapers, papers, and magazines, and internet articles). Based on this research, it can be concluded that the reasons put forward by the applicant review of compliance was suitable with the provisions of Article 263 paragraph (2) Criminal Code despite the poor fit of the Novum. Then in case of the consideration of the Judge, the authors concluded that the judge had been done a mistaks in deciding judicial review because the judge did not apply the principle of legality and retroactivity which in fact it gave a favor to defendants. The judge had misinterpreted Article 1 paragraph (1) and (2) Criminal Procedure Code. Therefore, a stipulation regarding to the existence of Article 1 paragraph (1) and (2) Criminal Procedure Code should be immediately published so that the multiple interpretations that made someone lose their justice can be reduced. Keywords: review, insult the president, eggi sudjana
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (QS 13:11)
“ALL IS WELL” (three idiots)
“Sesali masa lalu karena ada kekecewaan dan kesalahan, kemudian jadikan penyesalan itu sebagai senjata untuk masa depan agar tidak terjadi kekecewaan dan kesalahan lagi” (penulis)
PERSEMBAHAN Kupersembahkan sebuah karya dari hasil kerjaku untuk orang-orang yang tak terhingga menghiasi jejak-jejak nafasku. Tak pernah kuhenti mengucap syukur Alhamdulillah karena aku memiliki kalian yang indah. Skripsi ini kupersembahkan untuk : 1. Bapak WR Setiadi, S.H. dan Ibu Jemitri tercinta yang selalu memberikan doa, cinta, dan kasih sayang serta segalanya untukku, semoga aku bisa membuat kalian bangga dan membahagiakan kalian; 2. Mbah Kung dan Alm. Mbok e yang selalu memberi kasih sayang serta motivasi dan semangat kepada penulis; 3. Farida Nursari yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini; 4. Para pembimbing skripsiku yang telah membimbing; 5. Sahabat serta Almamaterku; 6. Pihak yang telah membantu penulisan penelitian ini. commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010)” ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam setiap proses penyelesaian penulisan hukum (skripsi) ini tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dengan segala kerendahan hati, dan semoga kebaikan pihak-pihak yang telah membantu akan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Terima kasih saya haturkan kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah mengorbankan segenap tenaga dan pikiran demi kemajuan Fakultas Hukum UNS; 2. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memotivasi penulis agar selalu bersemangat memperbaiki prestasi akademik; 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Penulisan Hukum (skripsi) I yang telah membimbing, dan memotivasi penulis dalam proses penyelesaian penulisan hukum ini; 4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. Selaku Pembimbing Penulisan Hukum (skripsi) II yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dengan sabar untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini;
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Bapak dan Ibu Dosen serta staf karyawan Fakultas Hukum UNS atas segala bantuan, ilmu, wawasan, dan pelajaran yang telah diberikan kepada penulis 6. Kedua orang tua penulis, Bapak WR Setiadi, S.H. dan Ibu Jemitri, tercinta yang selalu memberikan doa, cinta,
dan kasih sayang serta
segalanya untuk penulis; 7. Mbah Kung dan Alm. Mbok e yang selalu memberi kasih sayang serta motivasi dan semangat kepada penulis; 8. Farida Nursari yang selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini; 9. Sahabat seperjuanganku Bhirawa dan Tito; 10. Teman-teman FH UNS 2008; 11. Teman-teman kos gedeath (Mas Faisal, Mas Edo, Mas Burhan, Jalu, Henry,
Seto,
ShiJack)
yang
sudah
memberi
motivasi
dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini; 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan, saran tetap penulis harapkan. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini khususnya, dan pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 2 Juli 2012
Penulis
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... .iii PERNYATAAN.................................................................................................... .iv ABSTRAK ...............................................................................................................v ABSTRACT ........................................................................................................... vi HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................................x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1 B. Rumusan Masalah ..............................................................................4 C. Tujuan Penelitian ...............................................................................4 D. Manfaat Penelitian .............................................................................5 E. Metode Penelitian...............................................................................6 F. Sistematika Penulisan Hukum .........................................................10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori.................................................................................12 1. Tinjauan Umum Upaya Hukum Peninjauan Kembali ...............12 2. Tinjauan Tentang Dasar Hukum Pengajuan Peninjauan Kembali......................................................................................13 commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Tinjauan Tentang Yang Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali......................................................................................24 4. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim .................................24 B. Kerangka Pemimkiran ......................................................................29
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................................32 1. Kasus Posisi ...............................................................................32 2. Identitas Terpidana ....................................................................34 3. Dakwaan ....................................................................................34 4. Tuntutan .....................................................................................36 5. Putusan Pengadilan Negeri ........................................................36 6. Putusan Pengadilan Tinggi ........................................................37 7. Putusan Kasasi Mahkamah Agung ............................................38 B. Pembahasan ......................................................................................39 1. Analisis Kesesuaian Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Terpidana Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si. Terhadap Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana .................................................................39 2. Analisis Kesesuaian Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali Terhadap Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ....................................................61 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................70 B. Saran .................................................................................................70 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran .................................................................29 Tabel 1. Komparasi Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dengan Ketentuan dalam KUHAP ..................................................................................................................53 Tabel 2. Komparasi Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali dengan Ketentuan dalam KUHAP .......................................................................................................63
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara republik yang dipimpin oleh seorang presiden. Tindakan penghinaan kepada presiden merupakan suatu tindakan yang secara tidak langsung juga menghina negara karena kedudukan presiden sebagai kepala negara. Pasal 134 KUHP menyatakan bahwa Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sejak terjadinya gerakan reformasi tahun 1998, kebebasan berpendapat setiap masyarakat warga negara Indonesia menjadi suatu hal yang dijunjung tinggi. Sejak saat itu sering terjadi unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengkritik pemerintah ataupun hal-hal lain yang menyangkut isu yang sensitif di masyarakat. Sering dalam unjuk rasa tersebut terjadi berbagai macam tindakan yang cenderung mengarah ke tindakan anarkis. Tidak jarang pula presiden dan wakil presiden menjadi ajang pelampiasan kekesalan masyarakat yang marah dengan keadaan negara ini. Berlindung di bawah payung bernama demokrasi, para pengunjuk rasa seolah tidak memperhatikan lagi kedudukan presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara. Argumentasi klasik untuk melindungi kebebasan berpendapat sebagai suatu hak dasar (fundamental right) menurut John Stuart Mill adalah hal tersebut sangat penting untuk menemukan esensi dari adanya suatu kebenaran. Bahkan, Alan Howard dalam bukunya “Free Speech” (1998) berpendapat bahwa pengertian memberikan pendapat secara luas, termasuk yang bernada menyerang, tetap harus diberikan perlindungan yang sama apapun itu bentuknya (Pan Mohamad Faiz. Pencabutan Pasal Penghinaan Presiden. http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/12/pencabutan-pasal-penghinaanpresiden.html). commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Kasus yang penulis angkat untuk diteliti adalah sebuah kasus yang menurut penulis sangat menarik untuk dikaji. Seorang pengacara bernama Eggi Sudjana menyebut nama Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ikut menerima mobil mewah dari salah seorang pengusaha media. Karena pernyataannya ini, Eggi Sudjana ditetapkan menjadi tersangka hingga akhirnya divonis bersalah di pengadilan. Eggi Sudjana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana penghinaan dengan sengaja terhadap presiden. Oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi Sudjana dipidana penjara selama 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan (Andi Saputra. PK Ditolak, Eggi Sudjana Jadi Terpidana Kasus Penghinaan Presiden. http://news.detik.com/read/2011/08/27/002736/1712270/10/pk-ditolakeggi-sudjana-jadi-terpidana-kasus-penghinaan-presiden). Pada saat proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berjalan, Eggi Sudjana melakukan uji materi pasal yang didakwakan kepada dirinya ke Mahkamah Konstitusi. Pada saat sebelum vonis dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis KUHP yang didakwakan kepada Eggi Sudjana dinyatakan sudah tidak mempunyai hukum yang mengikat lagi atau tidak berlaku lagi. Namun demikian Eggi Sudjana tetap dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah di vonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi melakukan upaya hukum banding dan juga kasasi, namun hakim tetap memutus yang bersangkutan bersalah dan pengajuan kasasinya pun ditolak oleh Hakim Mahkamah Agung. Pada akhirnya Eggy mengajukan permohonan peninjauan kembali, namun Hakim Mahkamah Agung masih tetap menolak peninjauan kembali yang diajukannya dan menetapkan putusan hakim pada tingkat peradilan sebelumnya tetap berlaku. Keganjilan muncul ketika Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP yang digunakan untuk menjerat Eggi Sudjana telah dinyatakan tidak berkekuatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
hukum yang mengikat atau telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Namun Eggi Sudjana tetap di vonis bersalah. Hal ini menjadi tanda tanya besar di masyarakat, bagaimana mungkin seseorang tetap divonis bersalah ketika pasal yang menjeratnya telah tidak berlaku lagi. Dalam hukum pidana dikenal ada asas retroaktif yaitu sebuah asas yang menyatakan bahwa apabila ada peraturan terbaru yang sifatnya meringankan seorang terdakwa maka peraturan itulah yang harus di terapkan. Pasal 1 ayat (2) KUHP menyatakan Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Salah satu alasan pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh terpidana Eggi Sudjana adalah pertimbangan hakim kasasi yang menyatakan putusan pengadilan tingkat banding yang mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 013022/PUU-IV/2006 adalah tindakan yang benar, sedangkan menurut pihak terpidana hal itu adalah keliru. Akan tetapi Majelis hakim Peninjauan Kembali menolak alasan tersebut disebabkan bukan merupakan alasan mengajukan Peninjauan Kembali. Kasus tersebut menjadi suatu permasalahan terhadap hukum di Indonesia. Asas hukum pidana yang berlaku pun tidak memberikan penjelasan dengan pasti bagaimana seharusnya diterjemahkan sehingga masing-masing pihak dapat menerjemahkan sesuai dengan pengertian masing-masing. Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana menulis seharusnya dilihat terlebih dahulu apa yang menyebabkan suatu undang-undang diubah. Jika perubahan atas undang-undang disebabkan atas patut atau tidak patut dipidananya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan, maka itu adalah perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Dan jika perubahan itu timbul karena sifat sementaranya suatu aturan, atau waktu berlakunya suatu aturan itu telah habis, maka itu bukan termasuk dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Berdasarkan uraian masalah tersebut maka penulis tertarik untuk membahas
masalah
tersebut
dengan
judul
:
“KAJIAN
TERHADAP
PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH
AGUNG
DALAM
PERKARA
TINDAK
PIDANA
PENGHINAAN PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010)”.
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk mencari jawaban dari masalah yang diteliti menjadi lebih terarah, jelas dan sistematis. Maka perumusan masalah yang diambil yang berhubungan dengan judul tersebut adalah : 1.
Apakah pengajuan peninjauan kembali oleh pemohon pada perkara nomor 153 PK/PID/2010 telah sesuai dengan ketentuan KUHAP?
2.
Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus peninjauan kembali perkara nomor 153 PK/PID/2010 telah sesuai dengan ketentuan KUHAP?
C. Tujuan Penelitian Setiap hal yang dilakukan pada dasarnya selalu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diteliti. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Tujuan objektif a.
Untuk mengetahui bahwa upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh pemohon tersebut telah sesuai dengan ketentuan KUHAP. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
b.
Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus peninjauan kembali tersebut telah sesuai dengan KUHAP.
2.
Tujuan subjektif a.
Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis, khususnya dalam bidang hukum acara pidana mengenai ketentuan penerapan terhadap peraturan yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
b.
Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian hukum adalah suatu bentuk proses untuk mendapatkan aturanaturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk mendapatkan jawaban dari isu-isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 35). Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan mempunyai manfaat bagi penulis dan orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian hukum ini antara lain : 1.
Manfaat Teoritis a.
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya terutama yang berhubungan dengan pengajuan Peninjauan Kembali.
b.
Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penulisan maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2.
Manfaat Praktis a.
Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
b.
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta memberikan jawaban mengenai prosedur atau proses pengajuan Peninjauan Kembali.
c.
Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. (Peter Mahmud Marzuki 2010 : 35) 1.
Jenis Penelitian Ditinjau dari jenisnya penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.
2.
Sifat Penelitian Sifat dalam penelitian hukum ini adalah preskriptif dan terapan. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang bersifat preskiptif dan terapan. Sebagai ilmu yang mempunyai sifat tersebut, ilmu hukum mempelajari diantaranya tujuan hukum, nilai-nilai atas keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Serta sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, ramburambu atau batasan-batasan dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki 2010 : 22). Sifat preskiptif dalam penelitian ini adalah penulis akan mempelajari mengenai putusan Mahkamah Agung nomor 153 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
PK/PID/2010 tentang putusan atas Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Eggi Sudjana mengenai perkara penghinaan kepada presiden. Kemudian penulis akan mengkaji mengenai dasar pemohon Peninjauan Kembali dalam mengajukan permohonannya serta dasar pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Peninjauan Kembali tersebut. 3.
Pendekatan Penelitian Penelitian hukum dimulai dengan melakukan pengumpulan terhadap bahan-bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu putusan hukum. Dalam penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan penelitian, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis atau sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis
(historical approach),
pendekatan kasus
(case
approach). (Peter Mahmud Marzuki 2010 : 93). Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach), yaitu dengan mempelajari penerapan norma-norma hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Model penelitian dengan pendekatan kasus dipilih karena dalam penulisan hukum ini penulis mencari ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan Hakim dalam memutus suatu perkara. (Peter Mahmud Marzuki 2010 : 119). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Sumber Penelitian Hukum Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum membedakan sumber-sumber penelitian hukum menjadi sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mempunyai otoritas. Bahan-bahan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan untuk bahan-bahan sekunder dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer dan sekunder seperti berikut: a.
Bahan-Bahan Hukum Primer: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; 4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; 5) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006; 7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 153 PK/PID/2010.
b. Bahan-Bahan Hukum Sekunder: 1) Buku-buku yang mendukung atau berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti; 2) Jurnal
hukum
yang
mendukung
atau
berkaitan
dengan
permasalahan; 3) Penelitian hukum terdahulu yang mendukung atau berkaitan dengan permasalahan; 4) Kamus hukum; 5) Artikel di media cetak maupun elektronik yang mendukung atau berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah studi kepustakaan. Setelah isu atau permasalahan hukum ditetapkan, penulis kemudian mencari bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang akan dikaji. Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum menulis apabila penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan, yang harus dilakukan oleh peneliti adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan permasalahan hukum terebut. Oleh karena itulah untuk memecahkan suatu permasalahan hukum, peneliti harus menelusuri banyak berbagai produk undang-undang. Bahkan ada kalanya undang-undang yang tidak langsung berkaitan dengan permasalahan hukum yang hendak dipecahkan harus menjadi bahan hukum bagi penelitian tersebut. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis adalah metode deduksi. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang berifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dahadapi (Johny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan. Akan tetapi di dalam argumementasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 47). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa logika deduktif atau pengolahan hukum dengan cara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus. Dalam penelitian ini, bahan hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan
perundang-undangan
beserta
dokumen-dokumen
yang
dapat
membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahapan terakhir adalah menarik kesimpulan dari bahan hukum yang diperoleh.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum yang terdiri dari empat bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Adapun sistematika yang diperinci adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian hukum, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian hukum ini. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini. Penulis akan memaparkan mengenai landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang akan penulis gunakan. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan umum tentang peninjauan kembali, tinjauan umum tentang dasar hukum pengajuan peninjauan kembali, tinjauan umum tentang yang dapat mengajukan peninjauan kembali, dan tinjauan umum tentang putusan Hakim. Selain itu untuk mempermudah alur berpikir terdapat pula kerangka pemikiran yang disertakan pula dalam bab ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu apakah pengajuan peninjauan kembali oleh pemohon pada perkara nomor 153 PK/PID/2010 telah sesuai dengan ketentuan KUHAP serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus peninjauan kembali perkara nomor 153 PK/PID/2010 telah sesuai dengan ketentuan KUHAP. BAB IV: PENUTUP Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil pembahasan dan penelitian yang dilakukan, serta saran-saran yang dapat penulis berikan sebagai bahan evaluasi atau perbaikan. DAFTAR PUSTAKA Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum baik langsung maupun tidak langsung. LAMPIRAN Berisi instrumen-instrumen penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1.
Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian secara nyata tentang upaya hukum peninjauan kembali, oleh karena itu kita harus mencari pengertian peninjauan kembali ini dengan memahami secara menyeluruh pasal demi pasal yang mengatur tentang upaya hukum peninjauan kembali ini. Darwan Prinst dalam bukunya Hukum Acara Pidana Dalam Praktik menulis peninjauan kembali dapat diajukan atau dimohonkan atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap di semua tingkat pengadilan. Pasal 263 ayat (2) KUHAP menjelaskan tentang alasan mengajukan peninjauan kembali : a.
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.
apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.
apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah putusan secara sah diberitahukan kepada terdakwa, sejak saat itu melekat sifat putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Maka sejak saat itu commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
dapat diajukan peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Atau dengan kata lain peninjauan kembali dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi serta Kasasi Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hak mengajukan peninjauan kembali merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. (M Yahya Harahap, 2010 : 615). Prosedur pengajuan Peninjauan Kembali : a.
Permintaan pemeriksaan Peninjauan Kembali diajukan kepada Panitera pengadilan dimana perkaranya diputus dalam tingkat pertama peradilan.
b.
Pemeriksaan dilakukan oleh Hakim yang berbeda dengan Hakim yang sebelumnya memeriksa perkara yang sama pada tingkat peradilan sebelumnya dan ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri.
c.
Dihadiri Pemohon Peninjauan Kembali dan Jaksa dapat menyampaikan pendapatnya.
d.
Setelah itu atas pemeriksaan Peninjauan Kembali dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, Pemohon Peninjauan Kembali dan Panitera. Berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera.
e.
Ketua Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan Peninjauan Kembali dilampiri berkas perkara semula ke Mahkamah Agung, salinan surat pengirimannya dikirimkan pada Jaksa dan pemohon Peninjauan Kembali. (Luhut M.P. Pangaribuan, 2008 : 106).
2.
Tinjauan Tentang Dasar Hukum Pengajuan Peninjauan Kembali Sebelum berlakunya KUHAP, maka belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
berisi mengenai kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik pada perkara perdata maupun pidana. Mengenai Perkara Pidana dalam Perma Mahakamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tersebut tercantum dalam Pasal 9, yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan dengan alasan: a.
Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaankeadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan;
b.
Apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu siding masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. (Andi Hamzah 2011 : 304-305). Kemudian undang-undang yang mengatur tentang upaya hukum
Peninjauan Kembali yang berlaku sampai sekarang adalah: a.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 angka (12) Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
Pasal 263 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Pasal 264 1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali. 3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan
permintaan
tersebut
dan
untuk
itu
panitera
membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. 5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan. Pasal 265 1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). 2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. 3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. 4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa. 5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan. Pasal 266 1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya. 2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a) apabila Mahakamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan
kembali
itu
tetap
berlaku
disertai
dasar
pertimbangannya; b) apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjauhkan putusan yang dapat berupa: (1) putusan bebas; (2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum; (3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
(4) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Pasal 267 1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali. Pasal 268 1) Permintaan
peninjauan
kembali
atas
suatu
putusan
tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. 2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya. 3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Pasal 269 Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. b.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Pasal 34 Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV bagian keempat undang-undang ini. Pasal 66 1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya (1) satu kali. 2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. 3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi. Pasal 67 Permohonan peninjauan kembali putusan perkara yang telah memperoleh kekuaatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; 3) Apabila telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
4) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus dipertimbangkan sebas-sebabnya; 5) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atas sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; 6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Pasal 68 1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berpekara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. 2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Pasal 69 Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk: 1) Yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; 2) Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; 3) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
4) Yang tersebut pada huruf e sejak putusan terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Pasal 70 1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh permohonan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. 2) Mahkamah agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Pasal 71 1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alas an yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. 2) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut. Pasal 72 1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud: a) Dalam hal permohona peninjauan kembali didasarkan atas alas an sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau b agar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya; b) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan salah satu alasan yang tersebut pada Pasal 67 huruf c sampai dengan hurtuf f agar dapat diketahui. 2) Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali. 3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut, yang salinanya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui. 4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. 5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak dapat diadakan surat menyurat antara pemohon dan/ atau pihak lain dengan Mahkamah Agung. Pasal 73 1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat
Banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau
meminta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud. 2) Mahkamah Agung dapat meminta pemeriksaan dari Jaksa Agung atau dari pejabat lainyang diserahi tugas penyidikan apabila diperlukan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
3) Pengadilan yang dimaksud ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita acara pemeriksaan
tambahan
serta
pertimbangan
sebagaimana
dimaksudkan ayat (1), kepada Mahkamah agung. Pasal 74 1) Dalam
hal
Mahkamah
Agung
mengabulkan
permohonan
peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan
peninjauan
kembali
tersebut
dan
selanjutnya
memeriksa dan memutus sendiri perkaranya. 2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan. 3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan. Pasal 75 Mahkamah agung mengirim salinan putusan atas permohonan peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam Tingkat Pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan dengan memberikan salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Pasal 76 Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan secara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana. c.
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. 2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. 3.
Tinjauan Tentang Yang Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah meperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Oleh karena itu meskipun ada pihak lain yang merasa dirugikan atas suatu putusan pengadilan, maka tidak dibenarkan dalam hukum pihak lain tersebut mengajukan peninjauan kembali. Tujuan dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk melindungi serta mempertahankan hakhak terpidana atas adanya putusan Hakim yang salah yang tidak dapat dimintakan revisi atau perubahan melalui upaya hukum biasa. Berdasarkan tujuan pembentukannya, maka wajar jika Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan oleh Jaksa. (Adami Chazawi, 2006 : 264)
4.
Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim a.
Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai
kewajiban-kewajiban
atau
tanggung
jawab
hukum.
Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: 1) Tanggung jawab moral Adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan normanorma yang berlaku dalam lingkungan
kehidupan
profesi
yang
bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan. 2) Tanggung jawab hukum. Adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar ramburambu hukum. 3) Tanggung jawab teknis profesi. Adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya. b.
Pengertian Putusan Hakim Menurut buku yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, pengertian putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan atau dinilai dengan seksama yang dapat berupa tulisan maupun lisan (Leden Marpaung, 1992 : 406). Kemudian KUHAP juga memberikan pengertian terhadap pengertian putusan pengadilan, yakni pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
dalam undang-undang. Selain kedua pengertian tersebut ada pula yang mengartikan putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Banyaknya penafsiran mengenai arti putusan ini tidak lain disebabkan oleh karena undang-undang yang dianut Indonesia adalah undang-undang milik Belanda yang selain peraturan undang-undang, istilah hukum pun diikuti oleh Indonesia, kemudian istilah-istilah tersebut diterjemahkan oleh ahli bahasa dan bukan oleh ahli hukum. Hal inilah yang kemudian menimbulakn banyak arti terhadap istilah-istilah hukum. Banyak pihak yang menyebut putusan pengadilan dengan keputusan pengadilan, padahal kedua kata tersebut adalah sangat berbeda (Lilik Mulyadi, 2000 : 145). c.
Dasar Putusan Hakim. Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian. Pembuktian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perkara pidana karena dalam perkara pidana, tugas utama hakim adalah mencari kebenaran materiil. Pembuktian di sidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan didukung adanya keyakinan hakim. Pasal 184 KUHAP menyebutkan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi
dan
bahwa
terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya. Yang diamaksud dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yaitu berarti merupakan dua diantara alat-alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: 1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
3) Surat 4) Petunjuk 5) Keterangan terdakwa Putusan hakim dilakukan setelah masing-masing hakim yakni hakim ketua serta hakim anggota menyampaikan pendapat atau pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya masing-masing atas perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Hal ini diatur dalam Pasal 182 KUHAP. d.
Pertimbangan Hakim. Setiap putusan hakim yang dikeluarkan oleh hakim harus disertai pertimbangan hakim sebagai pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara mengenai dasar pertimbangan mengapa hakim memberikan putusan yang demikian berdasarkan undang-undang yang ia gunakan untuk memeriksa tindak pidana tersebut. Hakim sebelum mengambil putusan terlebih dulu menyusun suatu pertimbangan yang disusun secara ringkas, mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Hal ini diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. 2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan
yang
tidak
berdasarkan
undang-undang
atau
pertimbangan yang berdasarkan peraturan di luar Undang-Undang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
e.
Putusan Hakim Pada nyatanya, putusan hakim dapat berupa: 1) Putusan Pemidanaan, yaitu putusan yang pada amarnya berupa penjatuhan pidana atau putusan yang berisi hukuman atau dapat juga dikatakan sebagai putusan yang berisi pernyataan salah terhadap terdakwa. Hal ini sesuai asas tiada pidana tanpa kesalahan yang terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 183 KUHAP. Karena adanya kesalahan maka terdakwa dipidana oleh pengadilan dibebani untuk membayar biaya perkara. 2) Putusan Bebas, yakni hakim akan memberikan putusan bebas apabila kesalahan yang disangkakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. 3) Putusan Lepas, yakni putusan yang dijatuhkan apabila perbuatan terdakwa yang terbukti itu bukan merupakan suatu tindak pidana, atau hilang sifat melawan hukumnya perbuatan karena dibenarkan oleh undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP. Kemudian yang disebut dengan hilang sifat melawan hukum suatu perbuatan karena sebab yang dibenarkan undangundang karena terdapat dua alasan, yaitu: a) Alasan Pemaaf, yaitu suatu alasan yang menghapus kesalahan orang yang melakukan perbuatan pidana. Alasan pemaaf diatur dalam Pasal 44 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 KUHP. b) Alasan Pembenar, yaitu suatu alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan pidana sehingga perbuatan tersebut menjadi dibenarkan. Alasan pembenar diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP, Pasal 51 Ayat (1) KUHP.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
B. Kerangka Pemikiran
Studi Kasus Penghinaan Presiden oleh Eggi Sudjana
Didakwa Melanggar Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 134 dan 136 bis KUHP Pengadilan Negeri memutus bersalah melanggar Pasal 134 dan 136bis KUHP
Banding dan Kasasi
Pengadilan Tinggi Menguatkan putusan Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung menolak Kasasi
Permohonan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Menolak Permohonan Peninjauan Kembali Terpidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan : Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan bahwa kasus ini bermula ketika Eggi Sudjana memberikan pernyataan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima sebuah mobil mewah dari seorang pengusaha. Pernyataan ini disampaikan di hadapan wartawan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian Eggi Sudjana diajukan ke pengadilan karena melanggar Pasal 134 dan 136 bis KUHP. Namun, ketika proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berlangsung, Eggi Sudjana mengajukan uji materi Pasal 134 dan 136 bis serta Pasal 137 KUHP ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keluar, putusan Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu keluar dengan putusan menyatakan Pasal 134 dan 136 bis serta Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atas keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Hakim Pengadilan Negeri Jakarta pusat pada akhirnya tetap memutus Eggi Sudjana secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan dijatuhi hukuman 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Eggi kemudian banding akan tetapi Pengadilan Tinggi justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Eggi Sudjana kemudian melakukan kasasi namun lagi-lagi usaha Eggi gagal karena Mahkamah Agung menolak kasasi Eggi Sudjana. Setelah itu Eggi Sudjana melakukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Salah satu alasan yang dikemukakan Eggi Sudjana dalam memori peninjauan kembali nya adalah hakim judex facti dan judex juris telah melakukan kekhilafan dengan tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut Pasal 134 dan 136 bis KUHP. Namun Mahkamah Agung justru menolak permohonan peninjauan kembali Eggi Sudjana dengan salah satu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
alasan bahwa judex facti maupun judex juris tidak melakukan kekhilafan maupun suatu kekeliruan yang nyata, dimana menurut Mahkamah Hukum alasan-alasan yang diajukan oleh Eggi Sudjana tidak sesuai dengan alasan pengajuan peninjauan kembali yang ada dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Pada bab ini penulis menyajikan berbagai bahan hukum yang diperoleh selama melakukan penelitian, bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan analisa kasus yang telah menjadi berkas perkara. Berkas perkara di sini yang dipelajari adalah berkas perkara yang telah diputus pada pengadilan tingkat Peninjauan Kembali yaitu di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kasus atau berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan data dari dokumen putusan perkara yang tercatat di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun kasus tersebut di atas dapat didefinisikan sebagai berikut, yaitu putusan peninjauan Kembali perkara Mahkamah Agung Nomor : 153 PK/PID/2010 dalam perkara Peninjauan Kembali dengan terpidana Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si. Untuk mengetahui lebih rinci dan mendalam tentang berkas perkara tersebut, maka berikut ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian yang telah diperoleh 1. Kasus Posisi Kasus ini berawal pada hari selasa tanggal 3 Januari 2006 sekitar pukul 12.00 Wib di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Eggi Sudjana seorang pengacara menyebut nama Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ikut menerima mobil mewah dari salah seorang pengusaha media. Karena pernyataannya ini, Eggi Sudjana ditetapkan menjadi tersangka hingga akhirnya divonis bersalah di pengadilan. Eggi Sudjana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana penghinaan dengan sengaja terhadap presiden. Oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi Sudjana dipidana penjara commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
selama 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan (Andi Saputra. PK Ditolak, Eggi Sudjana Jadi Terpidana Kasus Penghinaan Presiden). Pada saat proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berjalan, Eggi Sudjana melakukan uji materi pasal yang didakwakan kepada dirinya ke Mahkamah Konstitusi. Pada saat sebelum vonis dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis KUHP yang didakwakan kepada Eggi Sudjana dinyatakan sudah tidak mempunyai hukum yang mengikat lagi atau tidak berlaku lagi. Namun demikian Eggi Sudjana tetap dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi melakukan upaya hukum banding dan juga kasasi, namun hakim tetap memutus yang bersangkutan bersalah dan pengajuan kasasinya pun ditolak oleh Hakim Mahkamah Agung. Pada akhirnya Eggy mengajukan permohonan peninjauan kembali, namun Hakim Mahkamah Agung masih tetap menolak peninjauan kembali yang diajukannya dan menetapkan putusan hakim pada tingkat peradilan sebelumnya tetap berlaku. Keganjilan muncul ketika Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP yang digunakan untuk menjerat Eggi Sudjana telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum yang mengikat atau telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Namun Eggi Sudjana tetap divonis bersalah. Hal ini menjadi tanda tanya besar di masyarakat, bagaimana mungkin seseorang tetap divonis bersalah ketika pasal yang menjeratnya telah tidak berlaku lagi. Dalam hukum pidana dikenal ada asas retroaktif yaitu sebuah asas yang menyatakan bahwa apabila ada peraturan terbaru yang sifatnya meringankan seorang terdakwa maka peraturan itulah yang harus di terapkan. Pasal 1 ayat (2) KUHP menyatakan Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
yang paling menguntungkannya. Salah satu alasan pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh terpidana Eggi Sudjana adalah pertimbangan hakim kasasi yang menyatakan putusan pengadilan tingkat banding yang mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 013-022/PUUIV/2006 adalah tindakan yang benar, sedangkan menurut pihak terpidana hal itu adalah keliru. Akan tetapi Majelis hakim Peninjauan Kembali menolak alasan tersebut disebabkan bukan merupakan alasan mengajukan Peninjauan Kembali. 2. Identitas Terdakwa Nama
: Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si.;
Tempat lahir
: Jakarta;
Umur/tanggal lahir
: 47 Tahun/3 Desember 1959;
Jenis kelamin
: Laki- laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat tinggal
: Vila Pajajaran Permai Jalan Sultan Agung No. 1 RT. 05/06 Kelurahan Babakan, Kota Bogor, Jawa Barat;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Advokat.
3. Dakwaan Bahwa Ia, Terdakwa Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si, pada hari Selasa tanggal 3 bulan Januari tahun 2006 sekitar jam 12.00 Wib atau setidaktidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2006, bertempat di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jalan Veteran III Nomor 2 Jakarta Pusat, atau setidak- tidaknya ditempat-tempat lain dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden, dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak dimuka umum dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau dihadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung, yaitu dengan cara-cara antara lain sebagai berikut: a. Bahwa pada awalnya Terdakwa berada di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah dalam rangka kepentingan kliennya atas nama ECW NELOE; b. Bahwa selanjutnya ketika berada di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dihadapan orang lain atau dihadapan pers baik dari kalangan media cetak dan elektronik diantaranya Reporter RCTI, TPI, Metro TV, Detik Com, Radio Elsinta, wartawan Rakyat Merdeka, Kompas, Republika, yaitu diantaranya saksi Alexander Zulkarnain (Reporter RCTI), saksi Ubaidillah (Kameramen TPI), Terdakwa telah mengemukakan atau mengucapkan perkataan- perkataan yang menyerang nama baik, martabat atau keagungan Presiden Republik Indonesia, yakni diantaranya: 1) “……yang ingin saya klarifikasi dengan Ketua KPK atau jajaran KPK, bahwa ada pengusaha yang memberikan mobil mungkin jenisnya Jaguar kurang lebih begitu, kepada Kementerian Sekab dan Juru Bicara Presiden juga Presiden yang kemudian dipakai oleh anaknya” ; 2) “…….oleh karena itu keberanian untuk mengungkap ada pada KPK yang katanya pemberantasan korupsi tidak pandang bulu, ini terjadi disekitar istana dan orang istana yang melakukan” ; 3) “……..pengusahanya itu namanya Hary Tanu, ya pers tahu lah” ; c. Bahwa kata- kata yang dikemukakan atau diucapkan oleh Terdakwa, yang dimaksudkan Terdakwa, “Presiden” adalah Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia saat itu, dan Terdakwa mengetahui bahwa kata- kata yang dikemukakannya atau diucapkannya akan didengarkan dan diketahui oleh Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Yudhoyono) serta orang lain, sebab diucapkan dihadapan pers, baik dari kalangan media cetak maupun elektronik yang akan menyiarkannya sehingga akan didengarkan dan diketahui pula oleh seluruh Rakyat Indonesia ; d. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 134 jo. Pasal 136 bis Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ; 4. Tuntutan a. Menyatakan Terdakwa Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si bersalah melakukan tindak pidana “Penghinaan Presiden” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP, sesuai Surat Dakwaan; b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 4 (empat) bulan, dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan; c. Memerintahkan barang bukti berupa : 1) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers Terdakwa yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran III No. 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI; 2) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers Terdakwa yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, reporter RCTI; agar tetap terlampir dalam berkas perkara; d. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah). 5. Putusan Pengadilan Negeri Pada tanggal 22 Februari 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan
putusan
dengan
nomor
putusan
1411/PID.B/2006/PN.JKT.PST yang amar putusannya sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
a. Menyatakan bahwa Terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah: Melakukan Tindak Pidana “Penghinaan Terhadap Presiden” b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, dengan perintah bahwa pidana itu tidak akan dijalankan kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, oleh karena Terpidana sebelum lewat tanggal 6 (enam) bulan masa percobaan melakukan perbuatan yang dapat dipidana; c. Memerintahkan barang bukti berupa : 1) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran III No. 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI; 2) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers Terdakwa yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, reporter RCTI; Tetap terlampir dalam berkas perkara; d. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). 6. Putusan Pengadilan Tinggi Pada tanggal 7 Juni 2007 Pengadilan Tinggi Jakarta mengeluarkan putusan dengan nomor putusan 159/PID/2007/PT.DKI yang amar putusannya sebagai berikut: a. Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut; b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 22 Februari 2007
No.
1411/PID.B/PN.JKT.PST
dengan
perbaikan
mengenai
kwalifikasi kesalahan Terdakwa sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
1) Menyatakan bahwa Terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah: Melakukan Tindak Pidana “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden”; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, dengan perintah bahwa pidana itu tidak akan dijalankan, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, oleh karena Terpidana sebelum lewat 6 (enam) bulan masa percobaan melakukan perbuatan yang dapat dipidana; c. Memerintahkan barang bukti berupa: 1) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers EGGI SUDJANA yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jalan Veteran III No. 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI; 2) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers EGGI SUDJANA yang dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jalan Veteran III No. 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, reporter RCTI; Tetap terlampir dalam berkas acara; d. Membebankan biaya perkara sebesar kepada Terdakwa dalam kedua tingkat peradilan dan dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah). 7. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Pada tanggal 24 September 2008 Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan putusan dengan nomor putusan 70 K/Pid/2008 yang amar putusannya sebagai berikut: a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa: Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si tersebut; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
b. Mebebankan Pemohon Kasasi/ terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). B. Pembahasan 1. Analisis Kesesuaian Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Terpidana Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si. Terhadap Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Guna mengetahui kesesuaian Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Terpidana terhadap ketentuan KUHAP, berikut penulis paparkan mengenai alasan Pengajuan Peninjauan Kembali yang selanjutnya akan dianalisis dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang mengatur mengenai alasan-alasan Pengajuan Peninjauan Kembali. Pertanyaan yang ingin diselesaikan penulis adalah apakah semua alasan-alasan tersebut termasuk sebagai alasan Pengajuan Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) tersebut. a. Alasan Upaya Peninjauan Kembali Alasan- alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1) Bahwa dalam putusan a quo, Majelis Hakim Kasasi dalam pertimbangannya menyatakan “bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi DKI Jakarta) tidak salah menerapkan hukum/ melanggar hukum”, senyatanya pertimbangan tersebut adalah salah atau merupakan pertimbangan hukum yang nyata-nyata khilaf atau keliru karena hal-hal sebagai berikut: 2) Bahwa Judex Facti cenderung telah melanggar hukum karena tidak menerapkan peraturan hukum dengan telah mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13-22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006, yang amarnya berbunyi sebagai berikut: MENGADILI: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
a) Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk seluruhnya; b) Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c) Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya; 3) Bahwa dengan demikian, terbukti secara sah menurut hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya menguntungkan pemohon, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir menguji undang-undang i.c Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24c ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, telah dikesampingkan atau dilanggar oleh Judex Facti; 4) Bahwa Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., dalam bukunya “Berjalan di Ranah Hukum”, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, menyatakan: “Bahwa yang dimaksud dengan pengujian Undang-Undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 (c) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut di atas adalah menguji secara konstitusionalitas suatu undang-undang, yakni menguji sejauh mana undang-undang yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
bersangkutan bersesuaian atau bertentangan (tegengesteld) dengan Undang-Undang Dasar. Constitutie is de hoogste wet? Manakala Mahkamah
Konstitusi
memandang
suatu
undang-undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar maka undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat”; Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Uji Materi terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP amarnya telah menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal l34, Pasal 136 bis, dan Pasa 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya,
akan
tetapi
telah
dikesampingkan
dan
tidak
dipertimbangkan oleh Judex Facti dalam mengadili dan menjatuhkan pidana pada pemohon peninjauan; Dengan demikian terbukti putusan a quo telah salah atau khilaf dalam mempertimbangkan dan menerapkan hukum berkenaan dengan eksistensi dan daya laku Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 1322/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006; 5) Bahwa terbukti pertimbangan hukum dalam putusan a quo telah dipertimbangkan secara keliru dan khilaf dan cenderung bertentangan dengan konstitusional ataupun undang-undang, berdasarkan hal-hal sebagai berikut : Bahwa secara nyata putusan a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menyatakan sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.” 6) Bahwa Dr. Ny. Komariah Emong Sapardjaja, S.H dalam bukunya “Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Bandung: Alumni, 2002, hal. 5-6, mengutip M.S. Groenhuijsen, menyatakan sebagai berikut: “………ada empat makna yang terkandung dalam pasal ini. Dua dari yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang (de wet gevende macht), dan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, dan keempat terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.” 7) Bahwa selanjutnya Dr. Ny. Komariah Emong Sapardjaja, S.H dalam bukunya yang sama, pada hal 6-7, mengutip Lieven Dupont, menyatakan sebagai berikut: “Asas ini mengandung asas perlindungan, yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa di zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan didalam suatu Negara hukum liberal pada waktu itu. Sekarang pun keterikatan negara-negara hukum modern terhadap asas ini mencerminkan keadaan bahwa tidak ada suatu kekuasaan negara yang tanpa batas terhadap rakyatnya dan kekuasaan negara pun tunduk pada aturanaturan hukum yang telah ditetapkan.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
8) Bahwa
dengan
demikian,
prinsip
“nullum
delictum”
yang
menggariskan secara mutlak, bahwa seseorang baru dapat dinyatakan telah melakukan “perbuatan pidana”, yaitu apabila perbuatan yang telah diperbuat tersebut, terlebih dahulu dalam suatu undang-undang dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dilakukan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dilakukan orang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, dari ketentuan tersebut terlihat adanya kehendak bahwa hanya pembentuk undang- undang sajalah
yang
dapat
menentukan
perbuatan
apa
dan
yang
bagaimanakah yang dilarang dan diancam pidana. Dengan kata lain Hakim tidak diberi kebebasan untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah dilarang dan diancam pidana dengan pidana barang siapa yang melakukannya; 9) Bahwa juga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pemohon Peninjauan Kembali, menurut hukum seharusnya dinyatakan dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechts ver volging) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) UndangUndang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, karena tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pada tanggal 4 Desember 2006 oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 13-22/PUU-IV/2006; Oleh karena itu terbukti putusan a quo dalam pertimbangan hukumnya telah menggunakan dasar hukum yang tidak mengikat lagi, karena telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 1322/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006, sehingga putusan a quo sepatutnya dibatalkan; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
10) Bahwa selain itu juga putusan a quo mengabaikan dan mengkhianati ketentuan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, yang menyatakan sebagai berikut: “Jika ada perubahan dalam perundang- undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” 11) Bahwa Dr. Andi Hamzah, S.H, dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hal 54, menyatakan sebagai berikut: “Ketentuan ini logis, karena Pasal 1 ayat (1) pun yang memuat asas undang-undang tidak berlaku surut itu bermaksud untuk melindungi kepentingan orang-orang dari perbuatan sewenang wenang penguasa. Dengan sendirinya ketentuan seperti tersebut dimuka bermaksud senada dengan itu. Jangan sampai peraturan yang kemudian keluar yang lebih berat dapat dikenakan kepada Terdakwa. Tetapi kalau menguntungkan justru diberlakukan.” 12) Bahwa untuk ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, Dr. Andi Hamzah, S.H, dalam buku yang sama hal. 55 dan hal. 58, mengutip Memorie van Teolichting (Memori Penjelasan) WvS N, menyatakan sebagai berikut: Hal. 55: “………., perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan hukum materiel yang secara hukum pidana mempengaruhi penilaian perbuatan.” Hal. 58: Memorie van Teolichting (Memori Penjelasan) juga mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) tidak berlaku terhadap peraturanperaturan
yang
bersifat
sementara,
walaupun
dibentuknya
berdasarkan kekuatan dan untuk melaksanakan suatu undangundang.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
13) Bahwa untuk perubahan ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, Prof. Moeljatno, S.H, dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, cetakan 7, hal. 33-34, menyatakan sebagai berikut: “Disini ternyata bahwa tidak tiap-tiap perubahan perundang-undangan dapat dipandang sebagai perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP. Harus dilihat lebih dulu apakah yang mendorong pembuat UndangUndang untuk mengadakan perubahan. Jika yang mendorong adalah perubahan pandangan tentang patut atau tidak patut dipidananya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan, maka itu adalah perubahan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.” 14) Bahwa berkenaan dengan yang dimaksud dengan ketentuan yang paling menguntungkan S.R Sianturi dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta Alumni, 1996, hal. 79, menyatakan: “………dari perumusan ayat (2) Pasal 1 KUHP, ternyata bahwa Undang-Undang yang harus digunakan pada saat hakim menjatuhkan putusannya tidak tergantung pada saat terjadinya
sesuatu
tindakan,
melainkan
kepada
kepentingan
Terdakwa.” 15) Bahwa dengan demikian, menurut dan secara hukum, bilamana ada kejadian seseorang telah berbuat yang melanggar undang-undang, sedangkan sebelum peristiwa itu diputuskan oleh hakim, kemudian undang-undang itu diubah sedemikian rupa, sehingga perbuatan semacam itu tidak dilarang lagi, maka orang itu tidak dapat di hukum, bukanlah hal tersebut menganut azas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi sebagai undang-undang yang baru lebih menguntungkan kepada Terdakwa, sehingga undang-undang itulah yang dipakai; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
16) Bahwa selain itu juga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimaksud, konsekwensi juridis dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya, wajib diterapkan dan atau diberlakukan terhadap
Pemohon,
karena putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut sebagai ketentuan yang paling menguntungkan pemohon; 17) Bahwa juga seharusnya menurut hukum, putusan a quo menjatuhkan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, oleh karena terdapat keadaan bahwa bilamana tindak pidana yang didakwakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan, namun pada saat majelis hendak menjatuhkan pidana, tindak pidana tersebut telah dicabut oleh undang-undang atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 1322/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006; Bahwa berdasarkan uraian-uraian sebagai tersebut diatas, menurut hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang meniadakan Pasal 134, Pasal 136 bis, 137 KUHP adalah patut dijadikan dasar pemidanaan suatu perbuatan yang telah dilakukan, dengan demikian terbukti putusan kasasi yang
dimohonkan
peninjauan
kembali
telah
mengabaikan
dan
mengkhianati Pasal 1 ayat (2) KUHAP, sehingga sepatutnya putusan yang dimohonkan peninjauan kembali dibatalkan; Bahwa terbukti pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan lainnya, yaitu untuk selengkapnya dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Pemohon Peninjauan Kembali buktikan dengan uraian alasan-alasan hukum sebagai berikut: 1) Bahwa sebelum sidang berlangsung untuk memutuskan putusan Judex Facti, terbukti telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13-22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006, yang menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal 137 KUHP bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya, sehingga pertimbangan hukum putusan a quo tidak mengikat lagi; 2) Bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang RI No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; 3) Bahwa juga Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana dimaksud Pasal 47 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; 4) Bahwa Pasal 263 ayat (2) huruf b Undang- Undang RI No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan: “apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan lainnya.”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
5) Bahwa Drs. H. Adami Chazawi, S.H., dalam bukunya Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana (Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat), Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 80-83, yang menyatakan sebagai berikut: “Dua atau lebih putusan pengadilan harus memenuhi syarat berikut ini: a) Antara pelbagai putusan itu harus terdapat hubungan yang erat. b) Dua atau lebih putusan tersebut harus sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. “Dua atau lebih putusan tersebut tidak harus semuanya putusan perkara pidana, tetapi boleh juga yang satu putusan perkara pidana, sementara yang lain putusan perkara perdata atau putusan tata usaha, ……….dst.” “Syarat mengajukan permintaan PK dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b KUHAP
berlatar
belakang
pada
kepastian
hukum
(rechtzekerheid). Kepastian hukum menjadi tujuan utama penegakan
hukum.
Keadilan
akan
terangkum
dengan
ditegakkannya kepastian hukum. Demi kepastian hukum, tidak dibenarkan adanya dua atau lebih putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan
hukum
tetap
yang
isinya
saling
bertentangan.” Bahwa dari uraian diatas, maka terbukti putusan a quo telah bertentangan dengan asas hukum pidana sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 ayat (2) KUHP dan bertentangan dengan juga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13-22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006, sehingga demi kepastian hukum, tidak dibenarkan adanya dua atau lebih putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang isinya saling bertentangan, oleh karena itu sepatutnya putusan kasasi yang dimohonkan Peninjauan Kembali dibatalkan;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
Tambahan memori Peninjauan Kembali: 1) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimaksud, maka secara juridis konsekwensi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam putusan perkara Uji Materi atas Pasal 134, Pasal 136 bis, dan 137 KUHP yang dinyatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan permuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya,
sesuai Putusan Uji Materi Nomor 13-22/PUU-IV/2006
tertanggal 4 Desember 2006, maka terhadap Pemohon Peninjauan Kembali Wajib diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan; 2) Bahwa sejak awal putusan Judex Facti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi dan Putusan Kasasi sangat jelas dan terang telah mengandung kekhilafan dan kekeliruan Hakim yang nyata, bahkan telah tidak cukup memberikan pertimbangan hukumnya (onvoldo ende gemotiveerd) serta cenderung telah melanggar hukum dan bertendensi telah menyalahgunakan kewenangannya (abused of power) karena telah tidak menerapkan peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya dengan mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang, sesuai ketentuan UndangUndang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Uji Materi atas Pasal 134, Pasal 136 bis, dan 137 KUHP, dimana pasal-pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan permuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana, sesuai Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUUcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, dengan demikian putusan Judex Facti yang dikeluarkan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 22 Februari 2007 dengan tetap menerapkan ketentuan Pasal 134, 136 bis pada Pemohon Peninjauan Kembali adalah putusan yang salah dan khilaf bahkan cenderung adalah tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum (abused of power), karena pada saat putusan tersebut dikeluarkan dasar hukum yang dijadikan dasar pemidanaan pada Pemohon Peninjauan Kembali yaitu Pasal 134 dan 136 bis telah dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, tidak mempunyai kekuatan mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya dalam Lembaran Negara, dengan demikian entah dasar hukum apa yang telah diterapkan oleh Majelis Hakim Judex Facti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada saat itu, yang celakanya telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 7 Juni 2007 serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 24 September 2008?? Sungguh ironis dan menyedihkan cara- cara penegakan hukum di Negara Republik yang kita cintai ini……????!! 3) Bahwa dalam hukum tidak dibenarkan adanya putusan Hakim yang semata- mata berdasarkan penafsiran- penafsiran, dugaan-dugaan atau kesimpulan-kesimpulan yang melahirkan keyakinan Hakim yang tidak berdasarkan dalil-dalil hukum yang benar, dan tidak diterapkannya suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau tata cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan
diperkenankan
undang-undang
melampaui
dan
kewenangannya,
pengadilan
tidak
sebagaimana
yang
dimaksud dalam Pasal 263 ayat 2 (a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
Tentang Terdapatnya Kejadian Baru Atau Novum. 1) Bahwa disamping alasan-alasan tersebut, Pemohon Peninjauan Kembali telah pula menemukan keadaan baru atau novum yang mempunyai sifat dan kualitas Pembuktian sehingga bila dikemukakan pada saat sidang perkara ini tengah berlangsung dapat menjadi faktor alasan bahwa putusan hakim dalam perkara adalah jelas-jelas telah mengandung suatu kekeliruan atau kekhilafan yang nyata bahkan Majelis Hakim Kasasi cenderung telah melanggar hukum karena tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya dengan telah mengesampingkan Putusan
Mahkamah
Konstitusi
yang
merupakan
kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 24 tahhun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Uji Materi atas Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang dinyatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya, sesuai Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, sehingga permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ini dapat diterima dan dimenangkan atau dikabulkan dalam perkara a quo, yaitu berupa: -
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Permohonan Uji Materi Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP yang dianggap bertentangan dengan Pasal 27, 28 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 perkara Nomor 013-022/PUU-MK/2006 (Bukti P-1)
Bukti mana membuktian baik langsung maupun tidak langsung, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali dalam hal ini Terdakwa/ Pemohon commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
Peninjauan Kembali dulu Pemohon Kasasi secara hukum tidak dapat dihukum melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dikarenakan pasal-pasal yang dijadikan dasar dakwaan pidana pada Terdakwa setelah dilakukan uji materi sesuai Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, yang dalam Putusan perkara Uji Materi tersebut memutuskan bahwa Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya dan oleh karenanya sudah merupakan ketentuan hukum dan undang-undang (due Process of law) wajib membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan (vide bukti P-1); 2) Bahwa dari alasan tersebut di atas, maka sejak Pemohon Peninjauan Kembali mengajukan permohonan dalam perkara ini, telah terbukti bahwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai pada putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Kasasi yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara telah melakukan kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam menerapkan hukum dan dalam memutus perkara a quo, bahkan Majelis Hakim Kasasi cenderung telah melanggar hukum karena tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya dengan telah mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, sesuai ketentuan Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, karena ketiadaan Bukti-bukti dimaksud dalam permohonan ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
b. Analisis Tabel 1. Komparasi Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dengan Ketentuan dalam KUHAP No
Alasan Pengajuan Peninjauan
Ketentuan Undang-Undang No. 8
Kembali
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
1.
-
-
Bahwa dalam putusan a quo, Majelis Hakim Kasasi dalam pertimbangannya menyatakan “bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi DKI Jakarta) tidak salah menerapkan hukum/melanggar hukum”, senyatanya pertimbangan tersebut adalah salah atau merupakan pertimbangan hukum yang nyatanyata khilaf atau keliru karena hal- hal sebagai berikut: Bahwa Judex Facti cenderung telah melanggar hukum karena tidak menerapkan peraturan hukum dengan telah mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1322/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006, yang amarnya berbunyi sebagai berikut: MENGADILI: a) Menyatakan permohonan para Pemohon di kabulkan untuk seluruhnya; b) Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab UndangUndang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 263 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau sebuah kekeliruan yang nyata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
-
2.
-
c) Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya; Bahwa dengan demikian, terbukti secara sah menurut hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya menguntungkan pemohon, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir menguji undang- undang i.c Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24c ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, telah dikesampingkan atau dilanggar oleh Judex Facti; Dan seterusnya………….. Bahwa sebelum sidang berlangsung untuk memutuskan putusan Judex Facti, terbukti telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13-22/PUUIV/2006 tanggal 4 Desember 2006, yang menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal
Pasal 263 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa
Apabila
dalam
pelbagai
putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
-
-
3.
-
137 KUHP bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya, sehingga pertimbangan hukum putusan a quo tidak mengikat lagi; Bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UndangUndang RI No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; Bahwa juga Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana dimaksud Pasal 47 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 24 C UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945; Dan seterusnya…………… Bahwa disamping alasan-alasan tersebut, Pemohon Peninjauan Kembali telah pula menemukan keadaan baru atau novum yang mempunyai sifat dan kualitas
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
Pasal 263 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa Apabila terdapat keadaan baru yang
commit to user
menimbulkan
dugaan
kuat,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Pembuktian sehingga bila dikemukakan pada saat sidang perkara ini tengah berlangsung dapat menjadi faktor alasan bahwa putusan hakim dalam perkara adalah jelas- jelas telah mengandung suatu kekeliruan atau kekhilafan yang nyata bahkan Majelis Hakim Kasasi cenderung telah melanggar hukum karena tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya dengan telah mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, sesuai ketentuan UndangUndang Nomor 24 tahhun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Uji Materi atas Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya, sesuai Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, sehingga permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ini dapat diterima dan dimenangkan atau dikabulkan dalam perkara a quo, yaitu berupa:
bahwa
jika
keadaan
itu
sudah
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
-
-
-
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Permohonan Uji Materi Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP yang dianggap bertentangan dengan Pasal 27, 28 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 perkara Nomor 013-022/PUU-MK/2006 (Bukti P-1);Bukti mana membuktian baik langsung maupun tidak langsung, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali dalam hal ini Pemohon Peninjauan Kembali dulu Pemohon Kasasi secara hukum tidak dapat dihukum melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dikarenakan pasal-pasal yang dijadikan dasar dakwaan pidana pada Terdakwa setelah dilakukan uji materi sesuai Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUUIV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, yang dalam Putusan perkara Uji Materi tersebut memutuskan bahwa Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP dinyatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana mestinya dan oleh karenanya sudah merupakan ketentuan hukum dan undangundang (due Process of law) wajib membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan. Dan seterusnya……………. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
Sesuai menjelasakan
dengan
tabel
mengenai
komparasi
alasasan-alasan
diatas,
penulis
Pemohon
akan
Peninjauan
Kembali dalam mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. 1) Kekhilafan Hakim Alasan pertama yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali adalah mengenai adanya kekhilfan atau kesalahan Hakim judex facti dalam menerapkan hukum yang ada. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang Hakim mempunyai kewajibankewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban Hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Diantaranya adalah: Pasal 5 (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pasal 6 (1) Tidak seorang
pun dapat dihadapkan di depan pengadilan,
kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undangundang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
Menurut penulis alasan pertama ini merupakan alasan yang sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melihat Majelis Hakim pada tingkat peradilan sebelumnya yang tidak secara tepat dan jelas mempertimbangkan
adanya
putusan
yang
dikeluarkan
oleh
Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut Pasal 134, pasal 136 bis serta Pasal 137 KUHP dan menyatakan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Seharusnya secara mudah Majelis Hakim pada tingkat Pengadilan Negeri hingga Kasasi dapat dengan mudah memberikan putusan lepas dari tuntutan hukum terhadap terpidana karena memang Pasal yang menjerat terpidana telah tidak berlaku lagi. 2) Dasar dan Alasan Putusan Bertentangan Dalam
hal
dasar
dan
alasan
putusan
yang
saling
bertentangan satu dengan yang lain, Pemohon Peninjauan Kembali memberikan alasan yakni putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri hingga Kasasi adalah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006. Alasan yang kedua ini menurut pandangan penulis juga telah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Dalam Putusan perkara Uji Materi tersebut memutuskan bahwa Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi Pengadilan Negeri hingga Kasasi tetap menyatakan bahwa terpidana atau Pemohon Peninjauan Kembali bersalah atas ketentuan dalam Pasal yang telah tidak berlaku tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
3) Adanya Keadaan Baru (Novum) Pemohon Peninjauan Kembali juga mengajukan alasan berupa novum atau keadaan baru yang patut diduga apabila keadaan baru tersebut diketahui sebelum keluarnya putusan maka hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Novum dalam perkara pidana bisa diperoleh dari alat bukti surat maupun saksi. Isi novum tersebut berupa keadaan baru yang sebelumnya ketika perkara diperiksa di tingkat peradilan pertama, keadaan baru itu belum diungkap dalam persidangan. Novum adalah suatu fakta, dan fakta haruslah melekat pada suatu alat bukti. Alat bukti tersebut bukan berupa surat saja, namun dalam perkara pidana juga termasuk alat bukti saksi. Suatu fakta barulah dapat disebut novum apabila memenuhi syarat-syarat: a) Pertama, yang dimaksud novum (surat bukti yang bersifat menentukan) adalah bukti surat yang isinya memuat suatu fakta yang sudah terdapat/ yang sudah ada pada saat sidang pemeriksaan perkara tersebut di tingkat pertama sebelum perkara itu diputus oleh pengadilan pemeriksa tingkat pertama tersebut. b) Kedua, namun fakta yang sudah ada dalam suatu surat itu belum diajukan dan diperiksa atau terungkap di dalam persidangan ketika perkara diperiksa dan sebelum diputus, melainkan baru diketahui/ditemukan setelah perkara diputus; c) Ketiga, apabila diajukan dan diperiksa dan dipertimbangkan oleh pengadilan, maka putusan pengadilan akan berlainan dengan putusan pengadilan yang terakhir. Namun novum yang dikemukakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
022/PUU-IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah dikeluarkan sejak sebelum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keluar. Seharusnya pada tingkat peradilan sebelumnya yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga Kasasi sudah selayaknya Majelis Hakim mengetahui adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Jadi menurut penulis Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor
013-022/PUU-IV/2006
tersebut
bukanlah suatu novum.
2. Analisis
Kesesuaian
Pertimbangan
Hakim
Peninjauan
Kembali
Terhadap Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Guna mengetahui kesesuaian Pertimbangan Hakim oleh Majelis Hakim terhadap ketentuan KUHAP, berikut penulis paparkan mengenai pertimbangan Hakim Pengajuan Peninjauan Kembali yang selanjutnya akan dianalisis dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang mengatur mengenai alasan-alasan Pengajuan Peninjauan Kembali. Pertanyaan yang ingin diselesaikan penulis adalah apakah semua pertimbangan-pertimbangan tersebut sesuai dengan alasan Pengajuan Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) tersebut. a. Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali. Bahwa
alasan-alasan
dari
Pemohon
Peninjauan
Kembali/Terpidana tersebut tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut : 1) Bahwa dalam putusan Judex Juris maupun Judex Facti tidak terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata ; 2) Bahwa alasan Peninjauan Kembali pada pokoknya tentang adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006 yang menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah dipertimbangkan oleh Judex Facti maupun Judex Juris secara tepat dan benar ; 3) Bahwa perbuatan yang dilakukan/didakwakan kepada Terdakwa terjadi pada tanggal 3 Januari 2006 sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi dijatuhkan pada tanggal 6 Desember 2006 sehingga terhadap perkara a quo tidak berlaku surut dan tidak dapat dipertimbangkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut; Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena tidak termasuk dalam salah satu alasan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP ; Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan pasal 266 ayat (2) a KUHAP permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali ; Pada tanggal 3 Agustus 2011 Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengeluarkan
putusan
dengan
nomor
putusan
153
PK/PID/2010 yang amar putusannya sebagai berikut: 1) Menolak permohonan peninjauan kembali dari terpidana : Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si. tersebut; 2) Menetapkam bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku; 3) Membebankan Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
b. Analisis. Tabel 2. Komparasi Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali dengan Ketentuan dalam KUHAP No
Pertimbangan Hakim
Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
1.
Bahwa dalam putusan Judex Juris maupun Judex Facti tidak terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata.
2.
Bahwa alasan Peninjauan Kembali pada pokoknya tentang adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006 yang menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah dipertimbangkan oleh Judex Facti maupun Judex Juris secara tepat dan benar
3.
Pasal 263 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau sebuah kekeliruan yang nyata.
Pasal 263 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Bahwa perbuatan yang Pasal 1 KUHP (asas legalitas) dilakukan/didakwakan kepada menyatakan bahwa: Terdakwa terjadi pada tanggal 3 - Ayat 1 Suatu perbuatan tidak Januari 2006 sedangkan Putusan dapat dipidana, kecuali Mahkamah Konstitusi dijatuhkan pada berdasarkan ketentuan tanggal 6 Desember 2006 sehingga perundang-undangan pidana terhadap perkara a quo tidak berlaku yang telah ada. surut dan tidak dapat dipertimbangkan - Ayat 2 Bilamana ada berdasarkan Putusan Mahkamah perubahan dalam perundangKonstitusi tersebut undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Sesuai dengan tabel komparasi diatas penulis akan menjelasakan mengenai Pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam memutus permohonan Peninjauan Kembali yang dimohonkan oleh Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali. 1) Mengenai Kekhilafan Hakim Judex Juris dan Judex facti Majelis Hakim Peninjauan Kembali menilai bahwa judex juris dan judex facti tidak melakukan kekhilafan dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Terhadap pertimbangan ini penulis memberikan pendapat bahwa Majelis Hakim Peninjauan kembali telah secara salah menafsirkan hukum yang seharusnya diterapkan. Hakim yang memutus perkara ini dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Kasasi telah melakukan kekhilafan yang nyata yakni tidak menerapkan asas legalitas maupun asas retroaktif. Pada saat putusan pengadilan tingkat pertama yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijatuhkan, Pasal yang digunakan untuk menjerat Terdakwa (Pemohon Peninjauan Kembali) pada saat itu telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu kaidah undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, bermakna undang-undang dimaksud not legally binding. Mahkamah tidak membatalkan kaidah undang-undang tetapi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, lazim dipahami pula dalam makna buiten effect stellen. Manakala suatu ayat, pasal, dan/ atau bagian undang-undang (atau undang-undang secara keseluruhan) dinyatakan Mahkamah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka undang-undang tersebut kehilangan kekuatan hukum mengikat selaku kaidah (atau rechtsnorm) (HM. Laica Marzuki, 2006 : 5). Namun justru Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan ketika Pasal tersebut masih berlaku dan menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa berlaku surut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
2) Mengenai Novum Mengenai penyertaan novum atau keadaan baru oleh Pemohon
Peninjauan
Kembali
disini
Majelis
Hakim
tidak
memberikan pertimbanganya dan menurut penulis sudah tepat karena novum yang dijukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali bukanlah novum atau keadaan baru, melainkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah diketahui sejak sebelum putusan Hakim sebelumnya atau sudah dipertimbangkan oleh putusan Hakim sebelumnya, meskipun menurut penulis kurang tepat pertimbangan Majelis Hakim pada peradilan tingkat sebelumnya yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga Majelis Hakim Kasasi mengenai adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tersebut. 3) Mengenai Asas Legalitas dan Asas Retroaktif Hakim yang menjatuhkan putusan Pengajuan Peninjauan Kembali ini telah melakukan tafsir yang salah terhadap Pasal 1 ayat (2) KUHP yang isinya adalah Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP merupakan suatu perubahan peraturan yang menguntungkan bagi Terdakwa pada saat itu, jadi bila Hakim benar-benar memahami ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP ini maka tidak akan ada pemidanaan bagi Terdakwa, karena ada dua ketentuan yang keduanya sama menguntungkan bagi Terdakwa, apalagi jika ketentuannya sudah tidak ada, maka sudah tidak ada dasar bagi Majelis Hakim tersebut untuk memutuskan perkara tersebut, merujuk pada asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa Suatu perbuatan tidak dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada. Pada saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus perkara ini, Pasal tersebut telah dicabut dan bisa dikatakan tidak ada lagi peraturan tersebut. Perlu diketahui bahwa tindak pidana penghinaan presiden itu bukan merupakan suatu perbuatan yang karena sifat dasarnya adalah kejahatan tapi merupakan perbuatan yang
menjadi
suatu
tindak
pidana
karena
undang-undang
mengaturnya sebagai tindak pidana sehingga perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yg memiliki sifat jahat. Syarat suatu perbuatan dapat dipidana adalah sebagai berikut: a) Adanya perbuatan b) Perbuatan tersebut sesuai dengan isi aturan hukum c) Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (bertentangan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada di Indonesia) d) Perbuatan tersebut harus diancam dengan sanksi pidana e) Dalam perbuatan tersebut harus ada kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang dapat dipidana apabila kelima syarat tersebut dipenuhi. Salah satu syarat tidak terpenuhi maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana. Pada perkara ini
seharusnya Hakim
mempertimbangkan syarat-syarat tersebut yakni “Perbuatan tersebut sesuai dengan isi aturan hukum” dan “Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum”. Mengacu pada hal tersebut Hakim seharusnya memutus lepas dari segala tuntutan hukum terhadap Terdakwa. Kemudian Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan pada saat Pasal yang mengaturnya masih berlaku dan berpendapat bahwa suatu peraturan hukum itu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
tidak boleh berlaku surut. Hal ini lah yang kemudian sampai saat ini menjadi perdebatan banyak ahli hukum mengenai keberadaan asas retroaktif dan asas non-retroaktif. Asas Non-retroaktif atau lebih dikenal dengan asas legalitas mengatur bahwa suatu perbuatan dapat dipidana ketika telah diatur sebelumnya dan peraturan yang baru tidak dapat berlaku surut. Munculnya asas ini adalah karena ditakutkan apabila suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku surut maka nantinya akan menjadi alat penguasa untuk melakukan
tindakan
sewenang-wenang
terhadap
orang
atau
kelompok yang tidak disukainya. Dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah: a) Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. b) Pidana itu juga sebagai paksaan psikis. Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat. Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundangundangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam beberapa hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Pemberlakuan asas retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
a) Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan Pasal 28 J Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan
maksud
semata-mata
untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. b) Ketentuan
internasional
memberikan
peluang
untuk
memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, Tokyo dan sebagainya sebagaimana telah diauraikan sebelumnya. c) Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatankejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum. d) Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban. e) Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan oleh PBB. f)
Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional). Selain itu Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. Alasan Mahkamah Konstitusi mencabut berlakunya Pasal 134, 136bis dan 137 KUHP adalah karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang pada khusunya mengenai keadilan bagi setiap warga negara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Peninjauan Kembali Nomor 153 PK/PID/2010 penulis memberi kesimpulan sebagai berikut: 1.
Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali Alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali telah sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Namun novum yang diajukan oleh Pemohon adalah tidak tepat karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah diketahui sebelum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keluar atau sudah diketahui jauh sebelum Pengajuan Peninjauan Kembali.
2.
Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali Majelis
Hakim
telah
secara
jelas
melakukan
kesalahan
penerjemahan asas legalitas dan asas retroaktif yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP. Majelis Hakim seharusnya dengan mudah memberikan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap Pemohon Peninjauan Kembali karena peraturan atau Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tersebut adalah bersifat menguntungkan Pemohon. Namun tampaknya Majelis Hakim belum bersifat netral atau bisa dikatakan masih “berpihak”. Sangat terkesan Majelis Hakim berupaya memaksakan pemidanaan terhadap Pemohon karena kasusnya adalah menghina Presiden. B. Saran 1.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) haruslah memberikan suatu penafsiran tunggal terhadap berlakunya asas legalitas dan asas retroaktif agar tidak terjadi lagi commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
berbagai macam penafsiran yang berbeda oleh para pihak yang berperkara di pengadilan. 2.
Hakim haruslah bersifat netral dan tidak memaksakan pemidanaan yang berkesan sebagai ajang pembalasan dari pemerintah atas perbuatan Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali. Hakim haruslah dapat bersifat obyektif dan dapat memberikan keadilan terhadap semua lapisan masyarakat.
3.
Asas legalitas dan asas retroaktif adalah asas yang sangat mendasar dan seharusnya tidak boleh bersifat multi tafsir dan apabila multi tafsir terhadap kedua asas ini terus berlangsung maka dapat berakibat buruk terhadap sistem peradilan dan pemidanaan di Indonesia.
commit to user