perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Anjar Lea Mukti Sabrina NIM. E0007008
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN
Oleh : Anjar Lea Mukti Sabrina NIM. E0007008
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 17 Juni 2011 Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Bambang Santoso, S.H., M.Hum
Pembimbing II
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
commit to user PENGESAHAN PENGUJI
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN
Oleh : Anjar Lea Mukti Sabrina NIM. E0007008
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari
: Selasa
Tanggal
: 12 Juli 2011
DEWAN PENGUJI 1. Kristiyadi, S.H., M.Hum
:
(.......................................)
:
(.......................................)
:
(.......................................)
Ketua 2. Bambang Santoso, S.H, M.Hum Sekretaris 3. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. Anggota Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP. 19570203 198503 2 001 commit to user PERNYATAAN
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nama
: Anjar Lea Mukti Sabrina
NIM
: E0007008
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK
HUKUM
PENYIDIK
POLISI
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN adalah betulbetul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 17 Juni 2011 Yang membuat pernyataan
Anjar Lea Mukti Sabrina NIM. E0007008
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Anjar Lea Mukti Sabrina, E 0007008. 2011. KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG PERPAJAKAN.Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan koordinasi antara Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan, dan upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum dalam penyidikan tindak pidana pajak. Penelitian ini merupakan penelitian normatifbesifat preskriptif, mengenai pengaturan koordinasi antara Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan ditinjau dari KUHAP, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.Bahan hukum yang digunakan yaitu mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Analisis yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis dengan metode pendekatan perundang-undangan dengan pendekatan konsep. Dalam hal ini analisis dilakukan dengan mengklasifikasi pasal-pasal dari undang-undang dan hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan berdasarkan pendekatan penelitian guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan,kesatu bahwaantara Penyidik POLRI dengan Penyidik PNS memiliki hubungan kerja meliputi pelaksanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, pemberian petunjuk yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsionalyang secara tersurat dicantumkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) huruf f serta disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan penyidikan tindak pidana pajak harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI. Kedua, bahwadalam mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum, khususnya pada pelaksanaan wewenang penyidikan antar institusi penyidik, maka perlu ditetapkan strategi penanggulangannya agar dapat terwujud kepastian hukum yang dilakukan melalui penetapan kebijakan, strategi dan upaya antara lain : POLRI melaksanakan penataan struktur dan personil pengemban fungsi Korwas PPNS pada Mabes POLRI sampai tingkat Polres dengan tujuan agar Penyidik POLRI dapat berperan sebagai koordinator dan pendukung fungsi dan peran PPNS dalam melakukan penyidikan yang berintegrasi guna mewujudkan penegakan hukum di Indonesia;Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka terwujudnya aparat penegak hukum yang profesional;Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis; dan Mengupayakan pembentukan dan/ atau perbaikan peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum. Kata kunci: Koordinasi, Penyidikan, Tindak Pidana Pajak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Anjar Lea Mukti Sabrina, E 0007008. 2011. THEORETICALSTUDYCOORDINATIONBETWEENINVESTIGATIONL AW ENFORCEMENT OFFICIALSPOLICE INVESTIGATORSREPUBLIC OF INDONESIATO THE CIVIL SERVANTCRIMEINVESTIGATIONINTHE FIELD OF TAXATION. Law Faculty of SebelasMaretUniversity. This research has purpose to know the coordination arrangements between the Republic of Indonesia State Police Investigator (INP) with the Civil Servant (investigators) in the investigation of criminal offenses in taxation, and efforts to realize the synergistic coordination between law enforcement agencies in criminal tax investigations. This is a normatif research with prescriptive characteristic,concerning the coordination arrangements between the Republic of Indonesia State Police Investigator (INP) with the Civil Servant (investigators) in the tax field investigation of criminal offenses in terms of the Criminal Procedure Code, Act No. 2 of 2002 on the Indonesian National Police, and Act No. 16 of 2009 concerning General Provisions and Tax Procedures. The law material used included primary and secondary law material. Procedure of collecting data used in this research was library study. The analysis was done using analytical techniques to approach legislation with the concept approach. In this case the analysis was done by classifying the articles of the law and the results will be presented in a descriptive way is by telling and describing based approach to research to get answers to the formulation of a problem that has been determined. Based on the results of research and discussion of the resulting conclusion, that the unity between the Police Investigator Investigator civil servants working relationships include the implementation, coordination, supervision, coaching, giving directions based on the joints of a functional relationship as otherwise expressly provided in the Law of the Republic of Indonesia National Police no. 2 of 2002 Article 14 paragraph (1) f and is mentioned in Article 44 paragraph (1) of Act No. 16 of 2009 concerning General Provisions and Tax Procedures that the Civil Service in the Directorate General of Taxation is investigating tax crime should be under the coordination and supervision of Police Investigator. Second, that in realizing the synergistic coordination between law enforcement agencies, particularly on the implementation of inter-institutional investigation authority of investigators, it is necessary to set out a strategy to overcome in order to materialize the legal certainty which is done through the establishment of policies, strategies and efforts include: Police carry out the arrangement of the structure and personnel coordinator function bearers Supervisory Police investigators at the Police Headquarters until the police resort to the end that police investigators can act as a coordinator and support functions and the role of investigators in conducting investigations in order to realize the integration of law enforcement in Indonesia; Improving the quality of law enforcement officers in order to realize law enforcement officers professional; Improve coordination between law enforcement agencies to create an effective cross-agency relationship is synergistic, and promote the establishment and/ or improvement of legislation related to law enforcement in order to create legal certainty. Key words: Coordination, Investigation, Crime Tax commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S. Alam Nasyrah (94): 6)
Dunia ini sanggup untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak untuk kerakusannya (Mahatma Gandhi).
Cara untuk menjadi di depan adalah memulai sekarang. Jika memulai sekarang, tahun depan anda akan tahu banyak hal yang sekarang tidak diketahui dan anda tidak akan mengetahui masa depan jika anda menunggu-nunggu (William Feather).
Hati nurani yang bersih tidak takut dakwaan atau fitnah (Penulis).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: ¥ Allah
SWT
yang
telah
memberikan
kenikmatan tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. ¥ Alm. Ayahanda tercinta yang telah tenang di sisi-Nya, semoga mendapat tempat terbaik di surga. ¥ Ibu tercinta yang senantiasa mendukung kuliah,
memberikan
doa
dan
nasihat,
semangat, cinta dan kasih sayang serta kerja keras yang tak ternilai harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi seorang Sarjana Hukum. ¥ Teman-temanku yang telah memberi warna kehidupan selama penulis menyelesaikan studi di institusi pendidikan. ¥ Almamater. ¥ Diriku sendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’allaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK HUKUM PENYIDIK POLISI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
DALAM
PENYIDIKAN
TINDAK
PIDANA
BIDANG
PERPAJAKAN”. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik materiil maupun non materiil yang diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan hukum. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi. 3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum selaku pembimbing skripsi dan pembimbing Mootcourt Community (MCC)yang telah memberikan bimbingan, masukan, arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini serta memberi semangat commit to user penulis untuk bisa lulus bulan September.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H selaku pembimbing seminar dan pembimbing Mootcourt Community (MCC), KSP “Principium“, dan FOSMI FH UNS yang juga telah banyak memberi saran untuk pengembangan skripsi penulis, berbagi berbagai pengalaman selama menjadi dosen dan telah membimbing, berdiskusi, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS. 5. Ibu Djuwityastuti S.H., M.Hselaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS. 6. Ibu Siti Warsini, S.H., M.H selaku pembimbing Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) penulis di Kejaksaan Negeri Surakarta yang selalu memberi perhatiandan bimbingan kepada peserta magang di Kejaksaan Negeri Surakarta. 7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas. 8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai pendaftaran ujian skripsi. 9. Bapak Widiarso, S.H dan Ibu Sugiyarti, S.H selaku Pembimbing Mitra Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) di Kejaksaan Negeri Surakarta yang telah banyak membimbing penulis mengenai teknis penanganan perkara pidana, Bapak Sugeng H, S.H., M.H selaku Kepala Kejaksaan Negeri Surakarta yang telah menerima penulis sebagai peserta magang. 10. Teman-teman seperjuanganku di Mootcourt Community FH UNS mulai dari Tim Prof. Sudarto II UNDIP 2010 dan Tim Djoko Soetomo VI UI 2010 angkatan 2006, 2007 dan 2008 terima kasih atas kebersamaan, persahabatan dan kekeluargaan yang indah. Semoga menjadi pengalaman berharga bagi kita semua. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11. Para pendahulu MCC FH UNS yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih untuk pelajaran berharga yang kalian berikan selama ini, semoga penulis bisa segera menyusul kesuksesan yang sudah kalian raih. 12. Teman-teman seperjuanganku di Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMI FH UNS) dan Kelompok Study dan Penelitian (KSP ”Principium” FH UNS) terima kasih atas kebersamaan, persahabatan dan kekeluargaan yang indah. Semoga menjadi pengalaman berharga bagi kita semua. 13. Teman-temanku KMM di Kejaksaan Negeri Surakarta (Arif, Aris, Beni, Bintang, Fathul, Pandu, Tri dan Yurisa) terima kasih atas kerja sama kalian selama magang di Kejaksaan Negeri Surakarta. 14. Temen-temanseperjuangan angkatan 2007 FH UNS yang tidak bisa disebutkan satu per satu, tanpa kalian kuliahku selama di FH UNS tidak akan berwarna. 15. Untuk semua guru-guruku di MI Al-Falah Beran, Ngawi; SMP Negeri 5 Ngawi; dan SMA Negeri 1 Ngawi yang telah mengajar dan membagi ilmunya dan mengantar penulis hingga memperoleh gelar sarjana, tanpa mereka mungkin penulis tidak bisa meraih cita-cita. 16. Teman-temanku penghuni Wisma PutriKusumawati (KW’s Family) yang selalu memberikan warna di tiap hariku. Para sesepuh KW: Mbak Lina, Mbak Nani, Mbak Irma, Mbak Nunik, Mbak Wiwik, Mbak Yani, Mbak Mut, Mbak Mega, Mbak Cyla, Mbak Wike, dll, terima kasih atas nasihat, bimbingan dan kebersamaan kalian selama ini. Para penghuni setia KW: Mbak Dhini, Vina, Lina, Anik, Atun, Uyi, Tyas, Wardha, Dewi, Aminah, Niken, Afif dan Beta. Terima Kasih atas kebersamaan kalian selama ini. 17. Skripsi ini tidak hanya penulis dedikasikan kepada setiap orang yang telah memberi inspirasi bagi penulis tetapi juga untuk seseorang yang akan mengisi hidup penulis kelak dikemudian hari. 18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi khalayak akademika civitas hukum serta berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis juga sadar bahwa penulisan hukum ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Kritik dan saran yang konstruktif sangat peneliti harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, 17 Juni 2011
Penulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI............................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN..............................................................................iv ABSTRAK............................................................................................................. v HALAMAN MOTTO.......................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN......................................................................... viii KATA PENGANTAR.......................................................................................... ix DAFTAR ISI........................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. ........ 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1 B. Perumusan Masalah.................................................................................... 8 C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 8 D. Manfaat Penelitian...................................................................................... 9 E. Metode Penelitian...................................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................... 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 17 A. Kerangka Teori.......................................................................................... 17 1. Tinjauan Umum Tentang Penyidik..................................................... 17 a) Pengertian Penyidik...................................................................... 17 b) Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia................................. 17 c) Penyidik Pegawai Negeri Sipil..................................................... 18 2. Tinjauan Umum Tentang Penyidikan................................................. 20 a) Pengertian Penyidikan.................................................................. 20 b) Penyidikan Tindak Pidana Pajak.................................................. 23 3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Bidang Perpajakan............ 32 a) Pengertian Tindak Pidana Pajak................................................... 32 user b) Penuntutan Tindakcommit Pidana to Pajak.................................................. 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran.................................................................................. 38 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................... 40 A. Pengaturan Koordinasi Antara Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Penyidikan Tindak PidanaBidang Perpajakan.............................40 B. Upaya Mewujudkan Koordinasi Yang Sinergis Antar Institusi Penegak Hukum Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan..............57 BAB IV PENUTUP............................................................................................ 70 A. Simpulan.................................................................................................. 70 B. Saran........................................................................................................ 72 DAFTAR PUSTAKA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara, baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya, pajak belum merupakan suatu pungutan tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara. Seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai, dan lain sebagainya. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk orang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai dengan jumlah uang yang diperlukan untuk membayar orang lain yang menggantikan melakukan pekerjaan itu yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang kaya yang memiliki status sosial yang tinggi dan orang kaya tadi (Rochmat Soemitro, 1977: 1). Melalui terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad pertengahan, pajak mendapat tempat yang lebih mantap di antara berbagai pendapatan negara. Dengan bertambah luasnya tugas-tugas negara, maka dengan sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan itu, maka pembayaran pajak yang tadinya bersifat sukarela berubah menjadi pembayaran yang ditetapkan oleh negara dalam bentuk undang-undang dan dapat dipaksakan (H. Bohari, 2004: 2). Di dalam melaksanakan fungsi dan peranan pemerintah bagi tercapainya tujuan bernegara sekaligus juga sebagai tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, timbulnya hak dan kewajiban dalam bentuk uang maupun to user yang dapat dinilai dengan uang commit merupakan konsekuensi logis yang tidak dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dihindari. Hak dan kewajiban yang tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai perwujudan keuangan negara ini telah diatur dengan jelas di dalam konstitusi Indonesia. Rangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melaksanakan program-program pembangunan nasional yang tercermin dari angka-angka pengeluaran negara dalam APBN, memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit jumlahnya. Usaha pembangunan yang memerlukanpembiayaan yang besar ini menuntut
pemerintah
segera
melakukan
usaha-usahaintensifikasi
dan
ekstensifikasi dalam rangka meningkatkan penerimaan negara sebagaikonsekuensi dari
kebijakan
umum
dan
jangka
panjang
sejak
tahun
pertama
berjalannyaprogram-program pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang bertumpu padaasas kemandirian mengisyaratkan tumbuhnya kesadaran nasional bahwa pembiayaanpembangunan mengharuskan sedapat mungkin dari penerimaan yang berasal darisumber-sumber dalam negeri baik dari penerimaan pajak (langsung dan tidak langsung)maupun penerimaan non-tax (bukan pajak). Perekonomian dunia yang dilanda krisis, dan berlangsung berkepanjangan telahmemberikan dampak yang tidak diinginkan terhadap perekonomian Indonesia. Dalamusaha untuk memperkecil pengaruh yang ditimbulkan resesi dunia pada masa-masa itu,terutama dalam penerimaan negara melalui APBN, pemerintah mengambil berbagailangkah kebijakan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi nasional, sertamenciptakan landasan yang kuat guna berlangsungnya kelancaran prosespembangunan. Salah satu kebijakan yang telah diambil adalah melakukan penyesuaian terhadap perundang-undangan di bidang perpajakan. Hukum mempunyai peranan penting sebagai pendukung fiskal ditinjau dariadanya kemungkinan ketidaktaatan masyarakat dalam memenuhi kewajiban fiskalnyaataupun kebocoran penerimaan negara, yang pada akhirnya berdampak pada tidakterkumpulnya dana-dana tersebut.Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah tersebut terdiri dari usaha yangmemakai hukum pidana maupun usaha yang tidak memakai hukum pidana antara lainmelalui penyuluhan-penyuluhan, perbaikan administrasi perpajakan dan lainsebagainya, termasuk peningkatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
integritas aparat pelaksana undang-undang di bidang fiskal (Erly Suandy, 2002: 7). Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan meningkatnya komunikasi dan interaksi antar individu menyebabkan potensi terjadinya beragam permasalahan antar individu atau kelompok masyarakat. Permasalahan yang sering muncul seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah munculnya berbagai jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi seperti, pencucian uang (money laundering), korupsi, cyber crime, tindak pidana perpajakan,dll. Banyak pihak yang mengkritisi kinerja Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku aparatur negara pengemban fungsi pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini muncul mengingat pada masa itu kinerja aparat polisi bagi sebagian pihak dianggap kurang responsif dan tidak profesional, bahkan terkesan militeristik, khususnya dalam mengatasi berbagai permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat. Sudah
terlampau
lama
POLRI
berada
dalam
lingkungan
“pertanggungjawaban tumpang tindih” (overlapping responsibility) dalam alam “dua doktrin” yang berbeda. Tidak jelas apakah bertanggungjawab sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia (ABRI/ TNI) sesuai dengan “Doktrin Pertahanan Keamanan” atau sebagai Polisi dalam melaksanakan fungsi law enforcement sesuai dengan “Doktrin Ketertiban Masyarakat” (public order). Akibat dari tumpang tindih tanggung jawab tersebut, terjadi “upaya bercorak duplikasi” (a duplication of effort) (M. Yahya Harahap, 2002: 93). Seiring dengan berpisahnya POLRI dari ABRI/ TNI pada tanggal 1 April 1999, agar polisi mampu menampilkan performa yang ideal sebagaimana harapan masyarakat. Karena itu, polisi dari waktu ke waktu secara konsisten dan konsekuen melakukan berbagai pembenahan di segala aspek menuju polisi yang mandiri. Kemandirian kepolisiantersebut bukan dimaksudkan untuk menjadikan polisi sebagai institusi yang tertutup dan berorientasi ego sektoral tanpa menjalin commit to user guna mendukung terwujudnya relasi dengan institusi lain, namun dimaksudkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab polisi sebagai abdi negara yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (http://elisatris.wordpress.com/koordinasi-antarinstitusi-penegak-hukum/). Perlunya polisi untuk secara konsisten dan konsekuen melakukan pembenahan bertujuan agar polisi mampu menjaga eksistensinya di tengah perubahan lingkungan yang begitu cepat, mengingat polisi dalam kenyataannya senantiasa dihadapkan pada beragam tantangan yang semakin berat dan kompleks. Sekalipun demikian, ditengah-tengah pembenahan yang dilakukan kepolisian menuju performa yang profesional, bermoral, dan modern, tidak jarang polisi harus berhadapan dengan kritikan dari masyarakat terkait performa dari anggota/ institusi yang dianggap belum sesuai dengan harapan masyarakat. Upaya yang dilakukan pembuat undang-undang dalam mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan yang cenderung meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas adalah
menyusun peraturan perundang-undangan yang
memberikan kewenangan pada institusi lain di luar POLRI untuk terlibat dalam proses penyidikan. Harapannya, proses penyidikan dapat diperiksa dan diselesaikan secara cepat, tepat dan bermuara pada terungkapnya suatu peristiwa tindak pidana. Adapun institusi sipil yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan suatu kasus pidana adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).Dalam praktik penegakan hukum, bukan hal aneh apabila aparat kepolisian harus berhadapan dengan aparat penegak hukum lainnya dalam proses penyidikan suatu perkara pidana.
Misalnya,
POLRI
dengan
Kejaksaan
dalam
menangani
kasus
korupsi, POLRI dengan TNI Angkatan Laut dalam menangani kasus pidana di wilayah perairan, serta POLRI dengan PPNS untuk penanganan kasus tindak pidana khusus, seperti kasus Hak atas Kekayaan Intelektual, Kehutanan, Kepabeanan, Pencucian Uang (money laundering), Korupsi, cyber crime, Perpajakan dan sebagainya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Munculnya PPNS sebagai institusi di luar POLRI untuk membantu tugastugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari kedua undang-undang tersebut tampak jelas bahwa eksistensi PPNS dalam proses penyidikan ada pada tataran pembantu, sehingga tidak dapat disangkal lagi kendali atas proses penyidikan tetap ada pada aparat kepolisian, mengingat kedudukan institusi POLRI sebagai Koordinator Pengawas (Korwas), sehingga menjadi hal yang kontra produktif apabila muncul pandangan bahwa PPNS dapat berjalan sendiri dalam melakukan penyidikan tanpa perlu koordinasi dengan penyidik utama yaitu POLRI
(http://elisatris.wordpress.com/kedudukan-ppns-dalam-penegakan-
hukum/). Upaya mendudukan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana tampaknya bukan lagi sekedar wacana, namun sudah mengarah pada upaya pelembagaan, akibatnya dalam praktik penegakan hukum, tidak jarang muncul tumpang tindih kewenangan antara PPNS dan aparat kepolisian.Saat ini banyak undang-undang tindak pidana khusus yang materinya memberikan kewenangan kepada PPNS untuk melakukan penyidikan kasus tindak pidana tertentu. Di dalam undang-undang tersebut, diatur prosedur penyidikan oleh PPNS baik secara materiil maupun formil. Namun, ketentuan undang-undang yang mengatur PPNS itu bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undangundang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana dalam proses pembentukan undang-undang itu terkesan mengabaikan asas-asas harmonisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Salah satu contohnya adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Undang-undang ini mengatur prosedur penyidikan oleh PPNS Pajak yang bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian commit to user Negara Republik Indonesia yang menempatkan POLRI hanya mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kewenangan koordinasi, tanpa bisa melakukan penyidikan langsung.Menurut Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berbunyi: “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan”. Dalam undang-undang ini, kepolisian memang tidak bisa langsung menyidik perkara, melainkan harus meminta bantuan PPNS pada Direktorat Jenderal Pajak. Polisi tidak mempunyai kewenangan menyelidiki kasus pajak, polisi hanya bisa melakukan pengawasan terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Kendala ini yang menjadikan polisi seolah-olah tidak serius dan lambat dalam menuntaskan kasus mafia pajak tersebut.
Padahal,
kendalanya
ada
pada
harmonisasi
undang-undang
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d48233251e53/kabareskrimkeluhkan-disharmoni-hukum-acara-). Munculnya kesan bahwa anggota POLRI kurang profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya selaku aparat penegak hukum sebenarnya tidak dapat dibebankan kepada anggota/ institusi POLRI semata, namun dipengaruhi pula oleh faktor eksternal, di antaranya koordinasi yang lemahdan kurang sinergis dengan instansi penegak hukum (penyidik) lainnya. Sebagaimana diketahui berdasarkan sistem hukum nasional, di luar POLRI banyak institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana. Akibat lemahnya koordinasi antar institusi penegak hukum menyebabkan munculnya tarik menarik kewenangan antara instansi penegak hukum yang pada akhirnya bermuara pada melemahnya proses penegakan hukum secara keseluruhan. Pada dasarnya, alasan dikeluarkannya POLRI dalam menangani kasus pajak secara langsung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dahulu karena adanya kekhawatiran terhadap sikap kepolisian yang kerap mengintervensi perkara
pajak
dinilai
berdampak
negatif
di
dalam
kasus
perpajakan
(http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d2cdd22f2133/kasus-gayus-tak-tuntasto user komisi-iii-salahkan-ppns-pajak). commit Sehingga dikhawatirkan POLRI tidak serius
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menangani kasus perpajakan. Kondisi disharmonis antara aparat penyidik POLRI dengan penyidik pada institusi lain, dapat dipastikan akan memunculkan persepsi negatif terkait kinerja lembaga-lembaga tersebut yang pada akhirnya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum (termasuk aparat penegak hukum). Padahal, peran aparatur penegak hukum dalam konteks penegakan hukum menempati posisi yang sangat strategis dan menentukan menuju terciptanya supremasi hukum. Sekarang semakin disadari bahwa seiring dengan perkembangan jaman dan tindak pidana yang semakin meningkat, maka akan lebih berbahaya lagi jika POLRI tidak bisa masuk menangani kasus pajak tersebut. Kewenangan penyidikan dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut lebih diberatkan kepada PPNS di Direktorat Jenderal Pajak. Namun, setelah melihat kasus Gayus ini, tampaknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus berpikir ulang. Pasalnya, akibat pembatasan-pembatasan itu, polisi berdalih kesulitan membongkar kasus mafia pajak Gayus secara tuntas. Oleh karena itu, hendaknya diperlukan adanya revisi undang-undangnantinyaakan memasukkan POLRI dan PPNS Direktorat Jenderal Pajak bisa bersama-sama melakukan penyidikan secara langsung dalam menangani
kasus-kasus
pajak
(http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d2cdd22f2133/kasus-gayus-tak-tuntaskomisi-iii-salahkan-ppns-pajak). Oleh karena itu, memandang pentingnya terwujud koordinasi yang sinergis antar aparat penegak hukum, khususnya dalam kerangka penegakan hukum, sebagai salah satu wujud membangun kebersamaan/ kemitraan (partnership building), maka perlu disusun strategi guna peningkatan koordinasi antar instansi penegak hukum. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan menuangkan dalam penelitian hukum dengan judul “KAJIAN TEORITIK KOORDINASI PENYIDIKAN ANTARA APARAT PENEGAK
HUKUM
PENYIDIK
POLISI
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM commit to userPERPAJAKAN”. PENYIDIKAN TINDAK PIDANA BIDANG
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah yang tegas dapat menghindari pengumpulan bahan hukum yang tidak diperlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun, dan menganalisa bahan hukum. Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI dengan PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan ? 2. Bagaimanakah upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum dalampenyidikan tindak pidana pajak ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut : 1.
Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI dengan PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan; dan b. Untuk mengetahui upaya yang dapat ditempuh guna mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum dalampenyidikan tindak pidana pajak.
2.
Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai koordinasi penyidikan antar aparat penegak hukum penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana bidang commit to user perpajakan; dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penelitian hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain.Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Acara Pidana secara teoritis khususnya mengenai koordinasi penyidikan antar aparat penegak hukum penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam penyelesaian kasus pajak yang dianggap menimbulkan tarik menarik kewenangan antar institusi guna pengembangan ilmu pengetahuan; dan b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengetahui lebih jauh mengenai prosedur penyidikan oleh PPNS Direktorat Jenderal Pajak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelesaian tindak pidana pajak dalam bentuk konsep maupun teori hukumnya. 2. Manfaat Praktis a. Menambah ilmu dan pengalaman penulis di bidang penelitian karya ilmiah khususnya karya penelitian ilmu hukum; b. Hasil
penelitian
dapat
memberikan
jawaban
atas
permasalahan-
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan penelitian ini; dan c. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa fakultas hukum khususnya dalam menyikapi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
prosedur penyidikan POLRI dan PPNS untuk penyelesaian kasus tindak pidana pajak.
E. Metode Penelitian Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41). Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006: 26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006: 28). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Ditinjau dari sudut penelitian hukum, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006: 57). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu structured whole of system (Johnny Ibrahim, 2006: 57). Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu, sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan penulis mengenai koordinasi penyidikan antara aparat penegak hukum penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan, sehingga dibutuhkan penalaran dari aspek hukum normatif, yang merupakan ciri khas hukum normatif (Johnny Ibrahim, 2006: 127). Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum yang diangkat. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsepkonsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22). Di dalam penelitian ini penulis memberikan preskriptif mengenai latar belakang
dan
tujuan
koordinasi
penyidikan
antara
aparat
penegak
hukumpenyidikPolisi Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan serta implikasinya terhadap hukum di Indonesia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Pendekatan Penelitian Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (satute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny Ibrahim, 2006: 300). Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. a. Pendekatan Perundang-undangan Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu penulis harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : 1) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. 2) All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. 3) Sistematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis. Pendekatan perundang-undangan yakni Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan digunakan untuk mengkaji sinkronisasi antara berbagai aturan hukum yang mengatur mengenai koordinasi penyidikan antara aparat penegak hukum commit to user penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dengan penyidik pegawai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan dalam menyelesaikan kasus pajak, kemudian digunakan untuk mengkaji penyelesaian kasus pajak yang terjadi di Indonesia. b. Pendekatan Konsep Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadang kala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstrakkan dari halhal yang particular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandang praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis bahan hukum yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa bahan hukum sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undangundang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dalam penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan yang diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif, maka dalam teknik analisis yang digunakan penulis adalah metode interpretasi dan metode silogisme. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan mengenai undang-undang agar ruang lingkupnya dapat diterapkan dengan suatu peristiwa tertentu. Dengan menggunakan metode ini diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan metode silogisme dengan teknik analisis deduksi. Metode deduksi adalah metode yang commitmayor, to userkemudian diajukan premis minor berpangkal dari pengajuan premis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 47). Artinya bahwa melakukan pengolahan analisis bahan dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang diteliti.Premis mayor dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan, sedangkan premis minor dalam penelitian ini meliputi koordinasi dan pengawasan penyidikan antara Penyidik POLRI dan PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan.
F. Sistematika Penelitian Hukum Untuk
mempermudah
pemahaman
mengenai
pembahasan
dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiaptiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyusun sistematika penelitian hukum sebagai berikut : Bab I
: PENDAHULUAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
Bab II
: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori yang menjadi landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan hukum ini. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang teori Penyidik dan Penyidikan serta tinjauan tentang Tindak Pidana Pajak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Bab III
digilib.uns.ac.id
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI dengan PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan serta upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum dalampenyidikan tindak pidana perpajakan.
Bab IV
: PENUTUP Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Penyidik a. Pengertian Penyidik Menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 ayat (1), “Penyidik adalah pejabat POLRI atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”. Dari pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan orang yang berhak bertugas sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu : 1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI). 2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
b. Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) Menurut PP No. 27 tahun 1983, Syarat dan kepangkatan pejabat penyidik POLRI : 1) Pejabat Penyidik Penuh Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik penuh” harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu : a) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua; b) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Penyidik Pembantu Menurut Pasal 3 PP No. 27 tahun 1983, pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu”, yaitu : a) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/ a); b) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masingmasing untuk mendapatkan hasil guna dan daya guna yang optimal di dalam proses penyidikan perkara tindak pidana, serta menghindari akibat hukum yang tidak diinginkan seperti misalnya tuntutan pra peradilan, ganti rugi dan rehabilitasi, atau bahkan sampai dibebaskannya terdakwa dari segala tuntutan dan tuduhan hukum sebagai akibat dari keteledoran dari penyidik, maka tiap Pejabat Polisi yang melaksanakan tugas penyidikan harus memegang teguh dan menjalankan semua asasasas dalam penyidikan. Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi pejabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sektor kepolisian, Peraturan Pemerintah memperkenankan pejabat penyidik dipangku oleh seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah.
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan commitpenyidik to user pembantu, yang bersangkutan kepolisian menjadi pejabat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik pembantu lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik. Penyidik pembantu tidak harus terdiri dari anggota POLRI, tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil POLRI sesuai dengan keahlian khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu. Misalnya, ahli kimia atau ahli patologi. Kalau pegawai sipil POLRI yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik pembantu mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab di kalangan anggota POLRI sendiri, yang memiliki syarat kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu dalam buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dapat disimpulkan bahwa: 1) Disebabkan terbatasnya tenaga POLRI yang berpangkat tertentu sebagai
pejabat
penyidik.
Terutama
daerah-daerah
sektor
kepolisian di daerah terpencil masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara; 2) Oleh karena itu, seandainya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua POLRI, sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah Sektor Kepolisian. Hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar kemungkinan pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di daerah-daerah (M. Yahya Harahap, 2002: 112). Menurut Pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “Penyidik pajak adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat commit to user Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan
digilib.uns.ac.id
penyidikan
tindak
pidana
di
bidang
perpajakan,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang hukum acara pidana yang berlaku”. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI”.
2. Tinjauan Tentang Penyidikan a. Pengertian Penyidikan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua 1989 halaman 837 dikemukakan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa; menyidik; menyelidik; mengamat-amati” (Harun M. Husein. 1991: 1). Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 1 ayat (2) menentukan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi to user dan guna menentukan commit tersangkanya”.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penyidikan sejajar dengan pengertian pengusutan yang berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang, segera setelah mereka dengan jalan apapun mendapat kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Penyidikan mencakup penyelidikan tindak pidana atau pengaduan, memanggil, dan memeriksa saksi-saksi termasuk merubah
status
penahanan
tersangka,
menggeledah,
menyita,
memeriksa surat yang dalam keadaan tertentu dapat meminta keterangan dari ahli, membuat resume hasil penyidikan dan memberitahukan penyidikan kepada penuntut umum. Sebelum
dilakukan
kegiatan
penyidikan
akan
dilakukan
penyelidikan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 1 ayat (5) memberi pengertian penyelidikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menentukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Tugas utama dari penyelidik adalah penerimaan laporan dan pengaturan serta menghentikan orang yang dicurigai untuk dilakukan pemeriksaan. Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana tertulis pada Pasal 1 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut, maka dapat dikatakan, “Penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh
pejabat
penyelidik
dalam
rangka
mempersiapkan
suatu
penyelidikan terhadap suatu tindak pidana” (Harun M. Husein, 1991: 55). Hal ini dilatarbelakangi bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana menampilkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut melakukan penyidikan dengan konsekuensi menggunakan upaya paksa, perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau commit to user keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terjadi tersebut benar merupakan suatu tindak pidana dan dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Oleh karena itu M. Yahya Harahap
dalam
“Penyelidikan
Harun
merupakan
M.
Husein
tindakan
(1991: tahap
55)
pertama
mengatakan, permulaan
penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukanlah suatu tindakan atau fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari penyidikan”. Yang dimaksud dengan penyelidik adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, yaitu dari pangkat Bharada sampai dengan Jenderal penuh. Semua tindakan yang dilakukan dalam rangka proses penyidikan di atas dibuat secara tertulis yang untuk selanjutnya diberkaskan dalam satu bendel berkas. Selanjutnya apabila penyidikan dianggap sudah selesai barulah berkas perkara dikirimkan kepada penuntut umum, berikut tersangka dan barang bukti. Jika oleh penuntut umum dianggap telah cukup maka tugas dan wewenang penyidik telah selesai, sedangkan jika menurut penuntut umum masih terdapat kekurangan, maka penyidik harus melengkapi kekurangan tersebut. Untuk meringankan beban penyidik, pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga telah diatur adanya penyidik pembantu, yakni Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan yang berlaku. Wewenang penyidik pembantu hampir sama dengan penyidik pada umumnya, kecuali pada kewenangan penahanan. Dalam hal penahanan, penyidik pembantu harus menunggu terlebih dahulu pelimpahan wewenang dari penyidik. Dalam pembuatan berita acara dan berkas perkara juga tidak langsung diserahkan kepada Penuntut Umum, tetapi diserahkan kepada penyidik, kecuali dalam perkara dengan acara pemeriksaan singkat. Penyidikan membawa konsekuensi semakin profesionalnya aparat penyidik dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi to user wewenang khusus untuk itu. masalah perpajakan commit yang diberi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemberian wewenang ini dengan tetap memperhatikan fungsi koordinasi dengan penyidik dari Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang fungsinya sebagai pemegang utama wewenang dalam penyidikan tindak pidana.
b. Penyidikan Tindak Pidana Pajak Menurut Pasal 44 Undang-undang No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu akan dapat menunjukkan adanya tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”. Penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Berdasarkan KEP - 02/PJ.7/1990, 24 Desember 1990, “Bukti permulaan adalah keadaan dan/ atau bukti-bukti berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberi petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh wajib pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada negara”. Seseorang dinyatakan telah melakukan tindak pidana pajak apabila telah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh pemeriksa pajak dan diperoleh bukti-bukti bahwa wajib pajak benar telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pemeriksaan
merupakan
serangkaian
kegiatan
untuk
mencari,
mengumpulkan, dan mengolah data, dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Kalau dalam KUHAP terdapat proses (istilah) penyelidikan, maka dalam tindak pidana pajak tahap penyelidikan commit to user sebagai awal untuk menentukan suatu peristiwa diduga sebagai tindak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pidana dapat disamakan dengan proses pemeriksaan yang mempunyai tujuan sama yaitu mencari bukti permulaan. Jika dari bukti permulaan ada indikasi ke arah tindak pidana, maka langkah berikutnya adalah melakukan penyidikan. Setelah wajib pajak diperiksa, misalnya dengan memeriksa buku-buku, catatan-catatan, bukti pembukuan, dan dokumen pendukung lainnya diperoleh bukti adanya tindak pidana di bidang perpajakan, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Proses penyidikan terhadap tindak pidana pajak dilakukan oleh penyidik pajak yaitu Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik dimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diangkat oleh Menteri Kehakiman menjadi penyidik. Sekalipun PPNS Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan, namun dalam pelaksanaannya tetap berkoordinasi dengan pihak kepolisian sebagai penyidik tunggal dengan tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Penyidik pajak yang melakukan penyidikan mempunyai wewenang yang cukup besar sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penyidik pajak yang melakukan penyidikan mempunyai wewenang : 1) Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; 2) Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 3) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 4) Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumendokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 5) Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; 6) Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; 7) Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada angka 5; 8) Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 9) Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 10) Menghentikan penyidikan; 11) Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan Penyidikan, meliputi : 1) Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyidikan yang ditandatangani oleh Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) atau Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak; 2) Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat POLRI, sesuai dengan ketentuan yang diatur undang-undang hukum acara pidana yang berlaku; 3) Untuk menambah atau melengkapi petunjuk dan bukti permulaan yang sudah ada, penyidik pajak berwenang memanggil tersangka, saksi, atau saksi ahli melalui surat panggilan. Dalam hal yang dipanggil tidak ada di tempat maka surat panggilan diterimakan kepada keluarganya atau Ketua RT atau Ketua RW atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Apabila tersangka atau saksi atau saksi ahli tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan, kepadanya diterbitkan dan disampaikan panggilan kedua. Apabila masih bersikap sama maka penyidik pajak dapat meminta bantuan POLRI untuk menghadirkan yang bersangkutan; 5) Sebelum penyidikan dimulai, penyidik pajak harus memberitahukan kepada tersangka hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum serta menjelaskan apa yang disangkakan kepadanya dengan jelas dan dalam bahasa yang dimengerti; 6) Apabila saksi diperkirakan tidak dapat hadir pada saat persidangan maka pemeriksaan terhadapnya dilakukan terlebih dahulu diambil sumpahnya oleh penyidik pajak; 7) Apabila tersangka atau saksi dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah Indonesia maka penyidik pajak dapat segera meminta bantuan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencekalan; 8) Penyidik pajak dapat melakukan penggeledahan, pemeriksaan tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, penyitaan, mengambil alih dan/ atau menyimpan barang-barang tertentu; 9) Dalam melakukan penyidikan, penyidik pajak harus memperhatikan asas hukum dan norma penyidikan yang berlaku (http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id= 153). Asas-asas hukum yang berlaku dalam penyidikan termasuk : 1) Asas Praduga Tak Bersalah Adalah bahwa setiap orang yang disangka dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Asas Persamaan di Muka Hukum Adalah bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di muka hukum tanpa perbedaan. 3) Asas Hak Memperoleh Bantuan/ Penasehat Hukum Adalah bahwa setiap tersangka perkara tindak pidana di bidang perpajakan wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya sejak dilakukan pemeriksaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadapnya(http://www.pajakonline.com/engine/learning/v iew.php?id=153). Norma Penyidikan, meliputi : 1) Dalam melakukan tugasnya penyidik pajak harus berlandaskan kepada ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan hukum pidana yang berlaku; 2) Penyidik pajak sebagai penegak hukum wajib memelihara dan meningkatkan sikap terpuji sejalan dengan tugas, fungsi, wewenang serta tanggung jawabnya; 3) Penyidik pajak harus membawa tanda pengenal pajak dan surat perintah penyidikan pada saat melakukan penyidikan; 4) Penyidik dapat dibantu oleh peetugas pajak lain atas tanggung jawabnya berdasarkan izin tertulis dari atasannya; 5) Penyidikan dilaksanakan berdasarkan Laporan Bukti Permulaan dan Surat Perintah Penyidikan; 6) Penyidik pajak dalam setiap tindakannya harus membuat Laporan dan Berita Acara (http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id= 153). Penyidikan pajak menjadi hal yang paling ditakuti oleh setiap wajib pajak, apalagi wajib pajak yang tersangkut kasus-kasus perpajakan. Langkah ini adalah bentuk penegakan hukum yang paling keras dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Meskipun harus diakui langkah-langkah hukum hingga tingkat penyidikan harus melalui proses yang panjang, terutama mutu informasi atau data yang menunjang harus benar-benar matang. Tidak bisa serta merta menentukan penyidikan pada wajib pajak. Beberapa langkah yang pada umumnya dilalui untuk mencapai pada proses penyidikan, antara lain, pertama, diawali dengan adanya informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP). Sumber awal ini menjadi bahan bagi petugas pajak melalui proses pengolahan. Setelah dilakukan pengolahan, hasil tersebut dinilai untuk menentukan langkah atau tindak lanjut yang akan dilakukannya. Apabila hasil olahan IDLP memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti maka hasil tersebut bisa menjadi bukti permulaan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kedua, bukti permulaan ini akan disertai dengan langkah BAP (Berita Acara Permintaan Keterangan). Hasil berita acara permintaan keterangan ini menjadi bahan pertimbangan bagi Direktorat Jenderal Pajak menentukan keputusan penyidikan. Penyidikan akan dilakukan bila terlihat adanya unsur pidana yang diperoleh dari proses berita acara permintaan keterangan. Namun, apabila dari bukti permulaan tidak menunjukkan adanya tindak pidana yang dilakukan wajib pajak, maka secara otomatis kasus tersebut akan ditutup. Begitu pula sebaliknya, apabila terbukti tindak pidana maka tindakan ditingkatkan pada level penyidikan. Proses penyidikan mengandung dua klausul yakni pertama, penyidikan yang berakhir dengan diserahkannya hasil penyidikan ke pengadilan. Dan kedua, hasil penyidikan tidak diproses di pengadilan, dengan catatan wajib pajak yang disidik membayar denda setelah adanya persetujuan dari Menteri Keuangan dan Jaksa Agung. Dalam
melaksanakan
penyidikan,
penyidik
pajak
dapat
menghentikan penyidikannya apabila : 1) Tidak terdapat cukup bukti; 2) Peristiwanya bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; 3) Peristiwanya telah kadaluwarsa; 4) Tersangkanya meninggal dunia; 5) Dengan alasan untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan dengan syarat : a) Wajib pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan; b) Wajib pajak membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan (Erly Suandy, 2003: 113). Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan. Tindak pidana di bidang perpajakan itu sendiri commit daluwarsa (tidak dapat dituntut) setelah lampau to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menegaskan, jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim serta untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumendokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang selama 10 (sepuluh) tahun. Selain penyidik pajak, Menteri Keuangan dan Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas dasar untuk kepentingan penerimaan negara. Menurut Pasal 44B Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan mengenai, “Penghentian dimaksud hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan” (Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2001: 69). Pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dihitung sebesar: 1) Jumlah kerugian pada pendapatan negara yang tercantum dalam berkas perkara dalam hal penghentian penyidikan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum; atau 2) Jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung oleh penyidik atau ahli yang dituangkan dalam laporan kemajuan dalam hal penghentian penyidikan dilakukan pada saat penyidikan masih berjalan (Muhammad Rustamaji, 2010: 8-9). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara, meliputi : 1) Untuk memperoleh penghentian penyidikan, Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dengan memberikan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak; dan 2) Permohonan berikut tembusannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan pernyataan yang berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan melunasi dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. Ketentuan mengenai tata cara penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung, meliputi : 1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan; dan 2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan (Muhammad Rustamaji, 2010: 8). Proses permohonan penghentian penyidikan wajib pajak, meliputi : 1) Setelah menerima permohonan dari Wajib Pajak, Menteri Keuangan meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penelitian dan memberikan pendapat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan; 2) Dalam rangka menindaklanjuti permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meminta kepada Wajib Pajak untuk menyerahkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dan ditambah dengan commit toberupa user denda sebesar 4 (empat) kali sanksi administrasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan; 3) Berdasarkan permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri Keuangan yang paling sedikit memuat: a) Nama Wajib Pajak; b) Nomor Pokok Wajib Pajak; c) Nama tersangka; d) Kedudukan/jabatan tersangka; e) Tahun pajak; f) Tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan; g) Tahapan perkembangan penyidikan; h) Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan ; i) Jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan j) Pendapat Direktorat Jenderal Pajak (Muhammad Rustamaji, 2010: 9). Keputusan Menteri Keuangan atas permohonan penghentian penyidikan, meliputi : 1) Dengan memperhatikan hasil penelitian, Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangannya dapat menyetujui atau menolak permohonan Wajib Pajak; 2) Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan mengajukan surat permintaan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan; 3) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan untuk menghentikan penyidikan yang meliputi: a) Pertimbangan untuk kepentingan penerimaan negara; dan b) Kesanggupan Wajib Pajak melunasi pajak dan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B UndangUndang KUP dengan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account. 4) Dalam hal Menteri Keuangan menolak permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak (Muhammad Rustamaji, 2010: 9) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keputusan Jaksa Agung atas permohonan penghentian penyidikan, meliputi : 1) Dalam hal Jaksa Agung menyetujui permintaan Menteri Keuangan untuk menghentikan penyidikan, Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk memerintahkan Wajib Pajak agar mencairkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account dengan menggunakan surat setoran pajak; 2) Setelah menerima surat setoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan mengenai pelunasan tersebut kepada Jaksa Agung sebagai syarat penghentian penyidikan; 3) Berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan Menteri Keuangan; 4) Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Penyidik melalui Menteri Keuangan; 5) Setelah menerima Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan, Penyidik menghentikan kegiatan penyidikan dan memberitahukan kepada tersangka atau keluarganya, dan kepada Penuntut Umum melalui Kepolisian selaku Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Muhammad Rustamaji, 2010: 9-10). 3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Bidang Perpajakan a. Pengertian Tindak Pidana Pajak “Dalam kepustakaan hukum dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana (delict) adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dipidana. Apabila ketentuan yang dilanggar berkaitan dengan undang-undang perpajakan, disebut dengan tindak pidana pajak dan pelakunya dapat dikenakan hukum pidana” (Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2001: 65). Sedangkan pengertian tindak pidana pajak dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal commit to 38 userdan Pasal 39 membedakan adanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sifat pidana yang bisa dilakukan yaitu sifat kealpaan dan sifat kesengajaan. Pasal 38 UU KUP menyatakan, Setiap orang yang karena kealpaannya : 1) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; 2) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pasal 39 UU KUP menyatakan dalam ayat (1), (2), dan (3) adalah sebagai berikut : 1) Ayat (1), Setiap orang yang dengan sengaja : a) Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; c) Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; d) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; e) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; f) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. 2) Ayat (2), “Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan”. 3) Ayat (3), commit user Setiap orang yang to melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak. Pembagian sifat kealpaan dan kesengajaan dalam Undang-undang Pajak pada prinsipnya sama dengan pembagian sifat pidana dalam KUHP. Kalau kedua pasal di atas ditujukan kepada wajib pajak, maka Pasal 41 UU KUP ditujukan kepada pejabat pajak (fiskus), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : 1) Ayat (1), “Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah)”. 2) Ayat (2), “Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau
seseorang
yang
menyebabkan
tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)”. 3) Ayat (3), “Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.” Dari ketiga Pasal di atas, nampak ada keseimbangan (keadilan) dalam undang-undang pajak, karena siapapun orangnya baik wajib pajak maupun fiskus tanpa terkecuali, apabila melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang pajak akan ditindak/ dipidana sesuai dengan berat ringannya kesalahan yang dilakukan. Namun demikian, perlu diingat bahwa terhadap pejabat yang akan dituntut pidana dapat commit to user dilakukan sepanjang ada pengaduan dari orang yang merasa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerahasiannya dilanggar, yang dalam ilmu hukum disebut delik aduan (klachtdelik). Dengan kata lain, sekalipun pejabat melanggar ketentuan Pasal 41 UU KUP bisa tidak dituntut seandainya wajib pajak yang merasa kerahasiannya dilanggar tidak melakukan pengaduan kepada pihak Kepolisian sebagai pihak penyidik. Dalam Undang-undang Perpajakan diatur adanya 2 (dua) macam sanksi yang dapat diterapkan kepada wajib pajak apabila wajib pajak melanggar undang-undang pajak yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sumber hukum lain yang digunakan sebagai acuan dalam praktik penegakan hukum pajak (law enforcement)di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sekalipun KUHP mengatur masalah tindak pidana secara umum, namun KUHP dapat diberlakukan untuk tindak pidana pajak sepanjang undang-undang perpajakan tidak mengatur secara tersendiri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan, “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika undangundang ditentukan lain”. Sedangkan KUHAP dalam hukum acara dalam rangka menegakkan hukum formal merupakan hukum acara untuk menegakkan semua ketentuan pidana yang diatur termasuk ketentuan pidana dalam undang-undang perpajakan.
b. Penuntutan Tindak Pidana Pajak Pada dasarnya proses beracara dalam tindak pidana pajak sama dengan perkara pidana pada umumnya sebagaimana diatur dalam KUHAP yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan putusan hakim pengadilan negeri. Setelah proses penyidikan selesai dilakukan oleh penyidik pajak, penyidik menyampaikan hasil penyidikannya commit to usersebagaimana diatur Pasal 44 ayat kepada penuntut umum (kejaksaan)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(3) UU KUP. Setelah kejaksaan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan, selanjutnya pengadilan melakukan pemeriksaan dan memutuskan perkara yang disebut dengan penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 KUHAP). Sebelum hakim mengeluarkan putusannya, hakim akan melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang ada. Alat-alat bukti yang dipakai hakim mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHAP yang meliputi : 1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; 5) Keterangan terdakwa. Menurut Pasal 183 KUHAP, “Putusan yang akan dijatuhkan hakim harus memenuhi 3 (tiga) hal sebelum hakim menjatuhkan putusan, yaitu : 1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah; 2) Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi; dan 3) Bahwa terdakwa yang telah melakukan tindak pidana tersebut”. Sekalipun putusan hakim tidak selamanya berupa penjatuhan pidana, tahapan menunggu putusan hakim tentu merupakan saat yang sangat penting bagi terdakwa karena nasib terdakwa akan ditentukan berdasarkan putusan hakim tersebut. Pasal 1 ayat (11) KUHAP menegaskan adanya 3 (tiga) jenis putusan hakim dalam perkara pidana, yaitu : 1) Penjatuhan pidana commit (pemidanaan); to user 2) Putusan bebas (vrijspraak); dan
perpustakaan.uns.ac.id
3) Putusan
digilib.uns.ac.id
lepas
dari
segala tuntutan
hukum
(ontslag
van
allerechtsver volging). Jika hasil dari pemeriksaan sidang pengadilan hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka hakim mengambil putusan menjatuhkan pidana dengan pidana penjara atau kurungan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Sebaliknya, apabila hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, dakwaan yang dilakukan penuntut umum kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan hakim, maka hakim akan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak). Artinya, berdasarkan penilaian hakim atas bukti-bukti yang diajukan penuntut umum, hakim tidak mendapat keyakinan bahwa terdakwa bersalah (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Sebaliknya, apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti dalam sidang pengadilan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, maka hakim akan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 192 ayat (2) KUHAP) (Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2001: 70)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Ambiguitas Prosedur Penyidikan dalam UU KUP dengan UU KEPOLISIAN
POLRI
PPNS
1. Bagaimanakah pengaturan koordinasi antara penyidik POLRI dengan PPNS dalam penyidikan tindak pidana bidang perpajakan ? 2. Bagaimanakah upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum dalam penyidikan tindak pidana pajak ?
Proses Penyidikan Tindak Pidana Pajak
POLRI (UU No. 2 Tahun 2002)
PPNS Dirjen Pajak (UU No. 16 tahun 2009)
Hasil Penyidikan/ Solusi
Gambar 1. Skema Koordinasi Penyidikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan : Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, undang-undang ini mengatur prosedur penyidikan oleh PPNS Dirjen Pajak yang bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dimana POLRI hanya mempunyai kewenangan koordinasi, tanpa bisa melakukan penyidikan langsung. Dalam undang-undang ini, kepolisian memang tidak bisa langsung menyidik perkara, melainkan harus meminta bantuan PPNS pada Direktorat Jenderal Pajak. Polisi tidak mempunyai kewenangan menyelidiki kasus pajak, polisi hanya bisa melakukan pengawasan terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Kendala ini yang menjadikan polisi seolah-olah tidak serius dan lambat dalam menuntaskan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Akibat lemahnya koordinasi antar institusi penegak hukum menyebabkan munculnya tarik menarik kewenangan antara instansi penegak hukum yang pada akhirnya bermuara pada melemahnya proses penegakan hukum secara keseluruhan. Seiring dengan perkembangan jaman dan tindak pidana yang semakin meningkat, maka akan lebih berbahaya lagi jika POLRI tidak bisa masuk menangani kasus pajak tersebut. Kewenangan penyidikan dalam Undangundang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut lebih diberatkan kepada PPNS di Direktorat Jenderal Pajak.
Akibat
pembatasan-pembatasan
itu,
polisi
berdalih
kesulitan
membongkar kasus mafia pajak secara tuntas. Oleh karena itu, penulis memandang pentingnya terwujud koordinasi yang sinergis antar aparat penegak hukum, khususnya dalam kerangka penegakan hukum, sebagai salah satu wujud membangun kebersamaan/ kemitraan (partnership
building),
maka
perlu
disusun
strategi
guna
peningkatan koordinasi antar instansi penegak hukum antara penyidik POLRI dengan PPNS Dirjen Pajak dalam penyidikan tindak pidana pajak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Koordinasi Antara Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Penyidikan Tindak Pidana Bidang Perpajakan Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur hubungan kerja antara Penyidik POLRI dengan Penyidik PNS. Hubungan itu meliputi pelaksanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, pemberian petunjuk yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsional. Menurut petunjuk teknis No.Pol.Juknis/05/XI/1983 yang dimaksud hubungan kerja tersebut adalah hubungan
fungsional
antara
Penyidik
POLRI
dengan
PPNS
yang
dimaksudkan untuk mewujudkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan peranan POLRI dengan instansi lainnya dalam rangka pelaksanaan penyidikan di bidang tindak pidana tertentu. Kedudukan
kedua
penyidik
ini
saling
berkaitan.
Penyidik
POLRI
memberitahukan petunjuk dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan, sedangkan PPNS yang menguasai tindakan operasionalnya atau hal-hal lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut (Bambang Sukarjono, 2008: 13). Koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, PPNS, dan Pengamanan Swakarsa merupakan salah satu tugas POLRI yang secara tersurat dicantumkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) huruf f. Koordinasi itu diartikan sebagai suatu hubungan kerjasama, khususnya dalam bekerjasama tugas-tugas penyidikan antara Penyidik POLRI dan PPNS dalam hal bidang tertentu dan dalam rangka meningkatkan kemampuan itu sendiri. Sementara pengawasan itu sendiri diartikan sebagai pengamatan atau pembinaan agar pelaksanaan penyidikan dalam proses hukum itu tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembinaan atau bantuan yang diberikan POLRI kepada PPNS itu diminta atau tidak diminta, POLRI wajib untuk melakukan itu karena menurut KUHAP sendiri bahwa penyidik itu adalah POLRI. Keberadaan PPNS itu erat kaitannya dengan perkembangan organ dan fungsi kepolisian dalam masyarakat. Jadi, semula sebelum terbentuk negara, fungsi kepolisian diemban oleh setiap warga negara. Saat ini fungsi kepolisian hanya merupakan salah satu bagian dari fungsi pemerintahan negara. Keberadaan PPNS ini sebetulnya merupakan satu fenomena dari perkembangan fungsi kepolisian secara keseluruhan. Oleh karena itu, keberadaan PPNS ini juga harus dilihat dalam keseluruhan fungsi kepolisian secara seutuhnya. PPNS sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang bisa memberdayakan masyarakat dalam membangun kemitraan dengan POLRI. Kepolisian di dalam KUHAP disebutkan sebagai koordinasi dan pengawas tapi bukan kepada instansinya, namun kepada kegiatan penyidikannya. Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah POLRI yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa dalam melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dalam dimensi yuridik, fungsi kepolisian terdiri atas : 1. Fungsi Kepolisian Umum Fungsi Kepolisian Umum berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang berdasarkan undang-undang
dan/ atau peraturan perundang-
undangan meliputi semua lingkungan kuasa hukum (lingkungan kuasa soal-soal, lingkungan kuasa orang, lingkungan kuasa tempat, dan lingkungan kuasa waktu). Pengemban fungsi kepolisian umum sesuai UU No. 2 Tahun 2002 adalah POLRI, sehingga tugas dan wewenangnya dengan sendirinya akan mencakup keempat lingkungan kuasa soal tersebut di atas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Fungsi Kepolisian Khusus Fungsi Kepolisian Khusus berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang oleh atau atas kuasa undang-undang secara khusus ditentukan untuk satu lingkungan kuasa. Badan-badan pemerintahan yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian khusus di bidangnya masing-masing dinamakan alat-alat kepolisian khusus.Kepolisian khusus sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, berada dalam lingkungan instansi tertentu seperti : Bea Cukai, Perpajakan, Imigrasi, Kehutanan, Pengawasan Obat dan Makanan, Paten dan Hak Cipta. Di antara pejabat pengemban fungsi kepolisian khusus, ada yang diberi kewenangan represif yustisial selaku penyidik dan disebut Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sistem Peradilan Pidana terkandung di dalamnya gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan) yang secara keseluruhan berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yang berwujud resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang). Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem terpadu”. Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing aparat. Pada pokoknya, sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan oleh empat fungsi utama, yaitu : 1. Fungsi Pembuatan Undang-undang (Law Making Function) Fungsi ini dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah atau badan lain berdasar delegated legislation yang diharapkan hukum yang diatur dalam undang-undang “tidak kaku” (not rigid). Sedapat mungkin “fleksibel” (flexible) yang bersifat cukup akomodatif commit to user terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Fungsi Penegakan Hukum (Law Enforcement Function) Tujuan obyektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan “tata tertib sosial” (social order) : a. Penegakan Hukum Secara Aktual (the Actual Enforcement Law) meliputi tindakan : 1) Penyelidikan dan Penyidikan (investigation); 2) Penangkapan (arrest) dan Penahanan (detention); 3) Persidangan Pengadilan (trial); dan 4) Pemidanaan (punishment) dan Pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender). b. Efek Preventif(Preventive Effect) Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana. 3. Fungsi Pemeriksaan Persidangan Pengadilan (Function of Adjudication) Fungsi pemeriksaan ini merupakan sub fungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum serta pejabat pengadilan yang terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan : a. Kesalahan terdakwa (the determination of guilty); dan b. Penjatuhan hukuman (the imposition of punishment). 4. Fungsi Memperbaiki Terpidana (the Function of Correction) Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan Sosial Terkait dan Lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua lembaga-lembaga
yang
berhubungan
dengan
penghukuman
dan
pemenjaraan terpidana, merehabilitasi pelaku pidana agar dapat kembali menjalani kehidupan normal dan produktif (M. Yahya Harahap, 2002: 9091). Penyidik POLRI bila dilihat dari sistem peradilan pidana merupakan salah satu mata rantai dalam sistem tersebut. POLRI merupakan salah satu sub sistem peradilan pidana yang terdiri dari Sub Sistem Kepolisian (dalam hal ini commit to user Penyidik POLRI), Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keempat Sub Sistem tersebut mempunyai peranan masing-masing yang satu sama lain saling berkaitan. Dalam kerangka pemahaman sistem tersebut, maka Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut. Masing-masing memang berdiri sendiri dan menjalankan pekerjaan yang berbeda-beda tetapi semuanya tetap merupakan satu kesatuan. Jika diperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP terlebih jika dihubungkan dengan beberapa bab dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti Bab V (Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan,
Penyitaan
dan
Pemeriksaan
Surat)
serta
Bab
XIV
(Penyidikan), ruang lingkup, wewenang dan kewajiban penyidik adalah sangat luas. Ruang lingkup wewenang pejabat penyidik diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) KUHAP sebagai berikut : a. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; dan j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungiawab. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP serta Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI, dalam melaksanakan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis PPNS, POLRI berkewajiban : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Mengawal PPNS dalam melakukan penyidikan terhadap Undangundang yang menjadi kewenangannya agar pelaksanaannya berjalan secara profesional dan berkas hasil penyidikannya memenuhi syarat formil dan meteriil, dimana Penyidik POLRI memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS sesuai Pasal 107 ayat (1) KUHAP, baik bantuan teknis, taktis, upaya paksa maupun konsultasi/ petunjuk teknis penyidikan; b. Pemberian bantuan penyidikan dilaksanakan setelah pemberitahuan dimulainya penyidikannya dan atas dasar tersebut PPNS dalam memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI (sesuai dengan Pasal 107 ayat (2) KUHAP), demikian juga hasil penyidikannya diserahkan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI (sesuai dengan Pasal 107 ayat (3) KUHAP); c. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan tentang teknis dan taktis penyidikan terhadap calon PPNS dengan melakukan koordinasi dengan instansi yang memiliki PPNS; d. Meningkatkan kemampuan PPNS di bidang teknis dan taktis penyidikan; e. Memberikan dukungan tenaga pengajar kepada instansi yang melaksanakan pelatihan/ penataran PPNS/ calon PPNS; f. Memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rangka pengangkatan PPNS yang diusulkan instansinya; g. Memberikan lencana tanda kewenangan penyidik dan Kartu Tanda PPNS (KTPPNS) setelah diangkat menjadi PPNS; h. Melaksanakan
pendataan
terhadap
PPNS
dan
mengikuti
perkembangan penugasannya bekerja sama dengan departemen/ instansi terkait; i. Melaksanakan pendataan dan evaluasi kasus-kasus yang ditangani PPNS. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah memperhatikan ruang lingkup wewenang di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa proses penyidikan sejatinya bukan proses yang sederhana, karena itu tidak setiap institusi dapat melaksanakannya. Apalagi hanya dilakukan oleh institusi yang tugas pokoknya sejatinya bukan sebagai penyidik karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahan prosedural yang berpotensi menyebabkan terlanggarnya hak asasi seseorang. Dilibatkannya PPNS yang sejatinya merupakan bagian dari institusi eksekutif dalam proses penyidikan tindak pidana lebih banyak dilatarbelakangi kondisi faktual di lingkungan internal POLRI, dimana POLRI masih memiliki berbagai kekurangan sumber daya, diantaranya : 1. Sumber Daya Manusia Harus diakui bahwa sampai sekarang kondisi sumber daya manusia POLRI masih menghadapi kendala, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Belum seimbangnya ratio antara jumlah anggota POLRI dan masyarakat berdampak pada minimnya personil POLRI yang memiliki kualifikasi sebagai penyidik, sedangkan secara kuantitas, masih banyak anggota POLRI yang belum memahami materi (substansi) kasus pidana tertentu. Misalnya, pemahaman tentang kasus perpajakan. Oleh karena itu, keterlibatan PPNS dalam penyidikan suatu tindak pidana tertentu sejatinya merupakan upaya mengatasi kendala tersebut. Namun demikian, dalam tataran taktis dan teknis penyidikan kendali tetap ada pada aparat POLRI sebagai penyidik utama. 2. Sarana Prasarana Dilihat pada kasus-kasus tertentu, institusi POLRI belum memiliki sarana prasarana penyidikan yang relatif memadai dibandingkan dengan PPNS. Misalnya untuk penindakan kasus perpajakan hingga sekarang, sarana prasarana pendukung penyidikan yang dimiliki POLRI masih belum memadai sehingga membutuhkan keterlibatan PPNS. 3. Anggaran Sebagaimana diketahui bersama, anggaran yang dialokasikan khusus commit tosuatu user tindak pidana relatif kecil untuk melakukan penyidikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibandingkan kebutuhan riil, apalagi jika lokasi penyidikan saling berjauhan dan melintasi batas wilayah. Karena itu, keterlibatan PPNS dalam melakukan penyidikan diharapkan dapat meminimalisir kendala anggaran. Dengan memperhatikan pada beberapa kendala di atas, dapat dijelaskan bahwa keterlibatan PPNS dalam tugas-tugas penyidikan tidak pada tataran taktis dan teknis penyidikan karena sudah sejak awal instansi tersebut dibentuk hanya untuk membantu aparat POLRI dalam melakukan penyidikan, sehingga upaya melembagakan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan
tugas
penyidikan
dikhawatirkan
akan
berdampak
pada
tercederainya proses penegakan hukum. Oleh karena itu, agar pada saat melaksanakan kewenangan melakukan penyidikan antara PPNS dan Penyidik POLRI tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, KUHAP telah mengatur hubungan di antara masing-masing institusi sebagai berikut : 1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkedudukan di bawah : a. Koordinasi Penyidik POLRI; dan b. Di bawah pengawasan Penyidik POLRI. 2. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik POLRI memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP); 3. Penyidik PNS tertentu, harus melaporkan kepada Penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh PPNS ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada Penuntut Umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP); 4. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada Penuntut Umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada Penuntut Umum dilakukan PPNS melalui Penyidik POLRI (Pasal 107 ayat (3) KUHAP); 5. Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada Penyidik POLRI, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada commit to user Penyidik POLRI dan Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perlu mendapat perhatian dalam hal penghentian penyidikan oleh PPNS adalah meskipun pada saat pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya, PPNS cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada Penyidik POLRI, tidak perlu diberitahukan kepada Penuntut Umum. Namun, dalam hal penghentian penyidikan, disamping harus memberitahukan penghentian tersebut kepada Penyidik POLRI, juga harus memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada Penuntut Umum; dan 6. Hal lain yang dapat dijadikan sebagai alasan sehingga kewenangan PPNS dalam melakukan penyidikan tidak dapat dipisahkan dari kedudukan POLRI sebagai Koordinasi Pengawas (Korwas), PPNS dapat ditinjau dari kerangka Sistem Peradilan Pidana. Sebagaimana diketahui dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana, institusi utama yang menjadi pilar penopang berjalannya sistem tersebut adalah kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Apabila PPNS yang sejatinya merupakan sub ordinasi dari lembaga eksekutif diperkenankan untuk langsung melakukan tugas-tugas penyidikan menggantikan kedudukan POLRI sebagai penyidik, maka dikhawatirkan proses penegakan hukum nasional yang selama ini dibangun atas landasan Sistem Peradilan Pidana akan tercederai mengingat eksekutif tidak masuk dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana. Oleh karena itu, agar Sistem Peradilan Pidana tidak tercederai dengan masuknya PPNS sebagai institusi penyidik, maka KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa PPNS tidak diperkenankan untuk secara langsung menyerahkan hasil pemeriksaan kepada Jaksa Penuntut Umum tetapi kepada Penyidik POLRI. Diberikannya kewenangan pada institusi lain untuk melakukan penyidikan, di satu sisi akan memudahkan dalam pengungkapan suatu kasus tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat penyidik kepolisian dalam melaksanakan tugas penyidikan, seperti kendala sumber daya manusia, sarana-prasarana, anggaran dan sebagainya, sehingga keterlibatan institusi tersebut dalam tugas penyidikan dapat membantu proses commit to user penegakan hukum. Namun di sisi lain, hal tersebut dapat menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kondisi disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik kewenangan antar institusi dan bermuara pada terhambatnya proses penegakan hukum. Beberapa faktor penyebab yang menurut penulis menjadi pemicu munculnya kondisi disharmonis, diantaranya : 1. Kemampuan aparat Penyidik POLRI masih belum memadai sebagaimana yang diharapkan, baik secara kualitas (penguasaan teknis dan taktis penyidikan) maupun kuantitas (ratio ketersediaan aparat penyidik dengan kasus yang ditangani serta penyebaran jumlah penyidik). Selain itu, kelemahan sumber daya manusia dapat pula muncul dari aspek cultural yaitu sikap-sikap aparat penyidik yang arogan, tidak memiliki sifat melayani, manipulatif, diskriminatif dan sebagainya; 2. Koordinasi lintas instansi belum berjalan secara sinergis. Pelaksanaan koordinasi antara aparat penegak hukum POLRI dengan PPNS belum berjalan dengan baik, sehingga di lapangan masih muncul tarik menarik kewenangan untuk melakukan pernyidikan; 3. Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi penyidik dalam menjalankan kewenangannya masih menyisakan beragam permasalahan, seperti : a. Adanya perundang-undangan yang bertentangan satu dengan yang lain, baik dari aspek substansi maupun hierarkinya (ketentuan yang statusnya di bawah bisa bertentangan/ mengalahkan ketentuan yang lebih tinggi, misalnya: Peraturan Pemerintah (PP/ KEPPRES) bertentangan dengan Undang-undang); b. Masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari produk zaman Belanda sehingga tidak mampu mengakomodir perkembangan yang ada, namun eksistensinya tetap dipertahankan; c. Masih ditemukan perundang-undangan yang mengamanatkan segera dibentuknya peraturan pelaksana namun sampai sekarang belum dibentuk; d. Masih ada perundang-undangan yang substansinya tidak jelas sehingga commit to user memunculkan multitafsir.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada dasarnya, wewenang PPNS bersumber pada ketentuan undangundang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya. Jadi, di samping Pejabat Penyidik POLRI, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan. Keberadaan PPNS ini juga memiliki landasan sosiologis, jika kita merujuk pada semakin berkembangnya bentuk kejahatan dan pelanggaran sektoral, perkembangan ini jelas membutuhkan penyidik spesifik yang memahami benar seluk beluk peraturan perundang-undangan dan bentuk tindakan kriminal dalam wilayah kerja yang spesifik. Hal mana yang akan sangat sulit dilakukan jika banyaknya permasalahan sektoral ini diserahkan tunggal kepada penyidik kepolisian dengan pola pendidikan kepenyidikan umum yang mereka dapatkan. Masalah sebenarnya lebih pada persoalan lemahnya koordinasi dan peraturan perundang-undangan
yang melangkahi KUHAP.
Persoalan
koordinasi antara penyidik pejabat kepolisian dan PPNS telah diatur dalam Pasal 107 KUHAP, dimana ditentukan bahwa dalam melaksanakan penyidikan PPNS berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian, bahkan proses penyerahan berkas perkara penyidikan kepada Penuntut Umum, berdasarkan Pasal 107 ayat (3) KUHAP ditentukan harus melalui penyidik kepolisian. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa kedudukan dan wewenang PPNS dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI, yaitu : 1. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik POLRI memberikan petunjuk kepada pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 Ayat (1) KUHAP); 2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, harus melaporkan kepada Penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan ini oleh PPNS ada ditemukan bukti yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada Penuntut Umum (Pasal 107 Ayat (2) KUHAP); 3. Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada Penuntut Umum. Cara penyerahannya kepada Penuntut Umum dilakukan PPNS melalui Penyidik POLRI (Pasal 107 Ayat (3) KUHAP); 4. Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada Penyidik POLRI maka penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada Penyidik POLRI dan Penuntut Umum sesuai dengan Pasal 109 Ayat (3) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2002: 113 - 114). Dengan demikian, pegawai negeri sipil yang melakukan penyidikan tindak pidana pajak harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI. Tindak pidana di bidang perpajakan menyangkut aspek yang sering bersifat teknis sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan yang sukar diharapkan dari para penyidik pejabat POLRI. Oleh karena itu, diperlukan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Direktorat Jenderal Pajak yang mengadakan penyidikan di bidang perpajakan yang diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP (Erly Suandy, 2002: 250). Selain itu, disebutkan pula dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi : “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan”. Pemberian wewenang kepada PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sama sekali tidak mengurangi wewenang pejabat Penyidik POLRI untuk melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan. Penyidik POLRI diminta atau tidak diminta memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada PPNS untuk melakukan penyidikan tindak pidana pajak. Pemberian petunjuk dan bantuan tersebut antara lain meliputi hal-hal commit to user teknis dan taktis penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
laboratorium. Oleh karena itu, PPNS sejak awal memberitahukan tentang penyidikan yang sedang dilakukan kepada Penyidik POLRI. Setelah itu, hasil penyidikan berupa berkas perkara, tersangka dan barang bukti disampaikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI. Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat PPNS hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana khusus tadi. Kewenangan Pejabat PPNS dalam bidang perpajakan diatur dalam Pasal 44 Ayat (2) Undang-undang No. 16 Tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penyidik pajak yang melakukan penyidikan mempunyai wewenang : 1. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; 2. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 4. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 5. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; 6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; 7. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada angka 5; 8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang commit to user perpajakan;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 10. Menghentikan penyidikan; 11. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
di
bidang
perpajakan
menurut
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Kewenangan penyidik yang dimuat dalam Pasal 7 KUHAP, apabila dibandingkan dengan Pasal 44 Ayat (2) Undang-undang Nomor 16 tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak tidak mempunyai kewenangan dalam hal : 1. Melakukan penangkapan dan penahanan; 2. Melakukan pemeriksaan dan surat; 3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4. Mendatangkan seorang ahli; serta 5. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungiawab (Tambah Sembiring, 2006: 84). Berdasarkan hasil pembahasan ini, penulis berpendapat bahwa seorang Polisi yang mengatakan bahwa polisi terkesan kurang serius dan lamban dalam menangani kasus pajak yang disebabkan karena adanya harmonisasi undang-undang tersebut adalah salah. Karena ketentuan mengenai PPNS sudah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil tertentu yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai commit to user wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI”. Sehingga hal ini bukan menjadi alasan seorang polisi tidak bisa melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pajak, melainkan kedua instansi tersebut harus melaksanakan fungsi koordinasi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.Para pejabat pegawai negeri sipil di bidang perpajakan tersebut melaksanakan tugasnya setelah memperoleh pendidikan dan pelatihan dari POLRI. Sebagai ilustrasi kasus perkara tindak pidana pajak yang ditangani oleh PPNS adalah terkait dengan penanganan perkara mafia pajak yang melibatkan Terdakwa Gayus Halomoan P. Tambunan, POLRI telah melakukan langkahlangkah, yaitu sebagai berikut : 1. Membentuk
Tim
Khusus
Penyidik
Independen
yang
melakukan
penyidikan terhadap dugaan Tindak Pidana Korupsi (suap menyuap) dan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diduga dilakukan oleh Gayus Tambunan. Dari hasil penyidikan yang telah dilakukan POLRI telah menetapkan 8 (delapan) orang tersangka yaitu : GT; HH; LAM; AK; A KUN; SJ; AR dan SS; 2. Dari rangkaian kegiatan penyidikan yang telah dilakukan, disimpulkan terdapat 4 kelompok pelaku yang berperan mempengaruhi proses penegakan hukum dari tahap penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan sehingga terdakwa Gayus Tambunan divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Tangerang. Keempat kelompok pelaku tersebut adalah sebagai berikut : a. Kelompok I adalah : para pelaku dari dari orang-orang yang terkait dengan perkara gayus Tambunan yaitu : GT; HH; AK; LAM; A KUN; dan SJ; b. Kelompok ke 2 adalah : para penyidik dan/ atau atasan penyidik yang melakukan penyidikan perkara Gayus Tambunan; c. Kelompok ke 3 adalah : para Jaksa Penuntut Umum yang melakukan proses penelitian dan penuntutan perkara Gayus Tambunan; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Kelompok ke 4 adalah : para Hakim yang menyidangkan perkara Gayus Tambunan; 3. Pengembangan penyidikan perkara yang mengarah pada dugaan keterlibatan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menangani perkara terdakwa Gayus Tambunan, POLRI telah melakukan koordinasi dengan Jaksa Agung RI dan Ketua Mahkamah Agung RI untuk keperluan pemeriksaan jaksa maupun Hakim untuk mengungkap kasus tersebut secara
tuntas.
Tindak
lanjut
penyidikan
akan
diarahkan
pada
pengembangan permasalahan dalam bidang perpajakan yang diduga melibatkan oknum aparat Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Gayus H. Tambunan tentang adanya dugaan terjadinya mafia kasus perpajakan, dapat disimpulkan 5 modus operandi yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan dan atas jasanya tersebut yang bersangkutan memperoleh komisi dari wajib pajak. Kelima modus operandi tersebut sebagai berikut : 1. Modus ke-1 : pengaturan nilai pajak, dapat digambarkan sebagai berikut : Pada modus operandi ini, wajib pajak dengan bantuan konsultan pajak bekerja sama dengan petugas pemeriksa dari Dirjen Pajak melakukan kesepakatan untuk menurunkan nilai pajak dengan mengatur dokumen/
administrasi
perpajakan
sebagai
dukungan
atas
hasil
pemeriksaan tersebut dengan memberikan fee kepada petugas pajak yang melakukan penurunan nilai penghitungan pajak tersebut. 2. Modus ke-2 : penyelesaian keberatan wajib pajak pada tingkat Direktorat Keberatan dan Banding, dapat digambarkan sebagai berikut : Modus ini terjadi pada wajib pajak yang mengajukan keberatan setelah menerima surat ketetapan pajak dari Dirjen Pajak yang diajukan ke Direktorat Keberatan dan Banding Dirjen Pajak. Terdapat 2 kemungkinan atas pengajuan keberatan tersebut yaitu : a. Keberatan ditolak Terhadap keberatan yang ditolak, maka wajib pajak mengajukan commit to user banding ke pengadilan pajak dengan meminta bantuan pegawai pajak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk mengurus sidang banding untuk melakukan kolusi dengan Hakim di pengadilan banding agar putusan banding diterima sehingga wajib pajak tidak diwajibkan membayar pajak (nol) atau nilai pajaknya diturunkan/ lebih rendah dari nilai keberatan. b. Keberatan diterima Sedangkan keberatan yang diterima, maka kewajiban membayar pajak tersebut diabaikan dengan melakukan rekayasa data-data perpajakan. Atas pengurusan terhadap keberatan ini, maka petugas pajak yang mengurus akan memperoleh fee, walaupun telah merugikan pajak yang harusnya masuk ke negara. 3. Modus ke-3 : penyelesaian keberatan wajib pajak pada tingkat pengadilan banding, dapat digambarkan sebagai berikut : Keberatan wajib pajak yang ditolak pada tingkat Direktorat Keberatan dan Banding akan diajukan ke Pengadilan Pajak. Dalam proses banding ini akan terdapat 3 komponen yang akan berinteraksi yaitu negara yang diwakili oleh petugas pajak pada Dirjen Pajak, Hakim pengadilan pajak yang sebagian besar adalah mantan pegawai pajak dan wajib pajak. Gayus sering mewakili negara dalam sidang banding keberatan pajak sehingga yang bersangkutan yang menyusun memori banding atas SKP pajak yang disusunnya sendiri. Akibatnya dalam sidang tersebut, dengan mudah wajib pajak dimenangkan sehingga tidak membayar pajak kepada negara. Atas perbuatan ini Gayus atau pegawai pajak yang commited dalam modus ini (mewakili negara untuk memenangkan banding wajib pajak) akan mendapatkan fee dari wajib pajak. 4. Modus ke-4 : konsultan pajak gelap, dapat digambarkan sebagai berikut : Dalam modus operandi ini, pegawai pajak bertindak selaku konsultan gelap wajib pajak yang menjadi obyek pemeriksaannya, sehingga yang bersangkutan dapat mengatur SPT dan tidak melakukan commit to user pemeriksaan atas SPT wajib pajak. Bilamana wajib pajak mengajukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keberatan/ banding di pengadilan pajak maka pegawai pajak yang merangkap sebagai konsultan tersebut akan mengatur dan mengurus proses dalam sidang banding di Pengadilan Pajak. 5. Modus ke-5 : menahan surat ketetapan pajak, dapat digambarkan sebagai berikut : Petugas pajak yang melakukan pemeriksaan telah membuat kesepakatan dengan wajib pajak untuk memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi atas nilai pajak yang diturunkan. Setelah ada pemberitahuan nilai pajak dari Dirjen Pajak ternyata SKP wajib pajak tidak segera diberikan karena deal yang telah disepakati belum diberikan. Wajib pajak yang ditahan SKP nya ini kemudian meminta bantuan kepada pegawai pajak (Gayus) untuk mengurus SKP yang ditahan tersebut dengan menghubungi
Maruli
Manurung.
Selanjutnya,
Maruli
Manurung
menghubungi Irjen Depku untuk melakukan pemeriksaan terhadap penahanan SKP wajib pajak sehingga SKP tersebut dikeluarkan.
B. Upaya Mewujudkan Koordinasi Yang Sinergis Antar Institusi Penegak Hukum Dalam Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan Penyidik POLRI sebagai koordinasi dan pengawasan (Korwas) PPNS mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberikan bantuan penyidikan yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsional. Korwas PPNS tersebut perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas PPNS agar pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS terhadap tindak pidana tertentu, khususnya tindak pidana pajak yang menjadi dasar hukumnya dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Pada dasarnya, pelaksanaan tugas koordinasi,
pengawasan
dan
bantuan
teknis
dilaksanakan dalam tiga bentuk kegiatan yaitu :
commit to user
kepada
PPNS
dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Hubungan Tata Cara Kerja Agar Terjalin Kerjasama yang Serasi Hubungan tata cara pelaksanaan kooordinasi dan pengawasan terhadap PPNS dilakukan dalam dua bidang, yaitu bidang pembinaan dan bidang operasional. a. Bidang Pembinaan Meliputi hubungan kerja secara koordinatif fungsional dalam rangka
pelaksanaan
koordinasi,
pengawasan
dan
pembinaan
dilaksanakan langsung oleh Direktorat Reserse Cq. Sub Direktorat Koordinator dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada kesatuan wilayahnya. Hubungan kerja ini dilaksanakan secara horisontal fungsional dengan tidak menutup kemungkinan hubungan yang bersifat diagonal antara POLRI (satuan reserse mulai dari Mabes POLRI sampai dengan Polres) dan unsur PPNS dengan pengaturan sebagai berikut : 1) Tingkat kantor kabupaten berhubungan langsung dengan unsur PPNS pada Satuan Serse Kepolisian Resort; 2) Tingkat kecamatan langsung ke Kepala Kepolisian Sektor; 3) Tingkat Kanwil berhubungan dengan unsur Korwas PPNS pada Satuan Serse Kepolisian Daerah atau Kepolisian Wilayah; 4) Tingkat Departemen berhubungan dengan Korwas PPNS pada Direktorat Reserse Kepolisian Republik Indonesia. Pelaksanaan hubungan kerja maupun koordinasi tidak harus dilaksanakan sesuai tingkat hubungan kerja seperti di atas. Disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh PPNS misalnya penyidikan yang berhubungan dengan masalah nasional, bisa saja PPNS daerah bisa langsung berkoordinasi serta dalam pengawasan Direktorat Reserse Kepolisian Republik Indonesia Cq. Sub Direktorat Koordinator dan Pengawasan PPNS. Bidang pembinaan dalam rangka hubungan kerja yang koordinatif dapat juga berupa pendidikan yang pada prinsipnya dilaksanakan oleh commit to user Sub Direktorat Koordinator dan Pengawasan PPNS Direktorat Serse
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(SubDit Korwas PPNS) dengan mekanisme pelaksanaannya yang dapat diatur sebagai berikut : 1) Dilaksanakan oleh masing-masing Departemen di pusat maupun daerah dengan koordinasi dan pengawasan dari Sub Direktorat Koordinator dan Pengawasan PPNS (SubDit Korwas PPNS) dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia; 2) Dilaksanakan oleh unsur Korwas pada setiap Kepolisian Daerah dengan
koordinasi
dan
pengawasan
dari
Sub
Direktorat
Koordinator dan Pengawasan PPNS (SubDit Korwas PPNS); 3) Desentralisasi oleh Sub Direktorat Koordinator dan Pengawasan PPNS untuk Penyidik PPNS (SubDit Korwas PPNS) dari seluruh departemen, artinya pendidikan dapat dilaksanakan sendiri oleh setiap
Departemen
dengan
melakukan
kerjasama
seharusnya
pendidikan
dengan
Kepolisian Republik Indonesia. Menurut
pendapat
penulis,
PPNS
dilaksanakan secara menyeluruh dari tingkat kabupaten sampai pusat yang dilakukan oleh setiap departemen yang berkoordinasi dengan Kepolisian
Republik
Indonesia,
sehingga
daerah
tidak
perlu
mengadakan pendidikan sendiri. b. Bidang Operasional Dalam mekanisme pelaksanaan koordinasi dan pengawasan di bidang operasional, pada hakekatnya merupakan implementasi pasalpasal dalam KUHAP yang menjadi dasar hukum. Bentuk mekanisme koordinasi dan pengawasan PPNS dilaksanakan secara timbal balik antara PPNS dengan Penyidik POLRI dalam rangka pelaksanaan penyidikan. Secara kronologis, mekanisme koordinasi tersebut adalah sebagai berikut : 1) Dalam hal PPNS melaksanakan penyidikan tindak pidana tertentu yang termasuk lingkup bidang tugasnya, maka PPNS menerima laporan/ pengaduan wajib memberitahukan hal itu kepada Penyidik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
POLRI (Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) untuk kemudian diteruskan kepada Penuntut Umum; 2) Penyidik POLRI memberikan petunjuk-petunjuk baik diminta atau tidak
diminta berdasarkan
tanggung jawabnya dan
wajib
memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan; 3) Petunjuk yang diberikan meliputi petunjuk teknis, taktis dan yuridis. Sedangkan bantuan penyidikan meliputi bantuan teknis, bantuan
taktis
dalam
upaya
paksa/
penindakan
apabila
wewenangnya tidak dimiliki PPNS; 4) Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh PPNS ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan ke Penuntut Umum, maka PPNS wajib melapor hal itu kepada Penyidik POLRI tentang perkembangan penyidikannya; 5) Dalam hal PPNS memerlukan bantuan untuk melakukan upaya paksa/
penindakan
yang
wewenangnya
tidak
dimiliki
oleh PPNS yang bersangkutan, maka untuk tindakan tersebut dimintakan bantuan kepada Penyidik POLRI; 6) Permintaan
bantuan
upaya
paksa
harus
disertai
laporan
perkembangan penyidikan dan alasan/ pertimbangan serta keadaan untuk menentukan perlunya dilakukan upaya paksa; 7) Dalam hal penggeledahan dan penyitaan yang akan dilakukan oleh PPNS, maka ijin penggeledahan dan penyitaan diatur sebagai berikut : a) Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukumnya memberikan wewenang penggeledahan, maka surat ijin dialamatkan langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan tembusan kepada Penyidik POLRI; b) Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tidak mengatur, maka surat permintaan ijin dimintakan kepada Penyidik POLRI. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8) Atas permintaan tersebut, Penyidik POLRI dapat mengabulkan atau menolaknya dan kemudian memberitahukan keputusan tersebut kepada PPNS disertai pertimbangan serta alasanalasannya; 9) Dalam
hal
permintaan
dikabulkan
dan
penindakan
telah
dilaksanakan, maka tanggung jawab yuridis yang mungkin timbul sebagai akibat penindakan tersebut menjadi tanggung jawab bersama; 10) Apabila PPNS menghentikan penyidikan, wajib memberikan laporan kepada Penyidik POLRI dan Penuntut Umum. Hal ini dilakukan karena kurang cukup bukti untuk melakukan proses penyidikan; 11) Apabila penyidikan tindak pidana telah selesai, maka PPNS segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI. Berkas perkara yang diserahkan terdiri 3 (tiga) rangkap dengan rincian : a) 1 (satu) berkas untuk Penyidik POLRI; b) 2 (dua) berkas untuk Penuntut Umum. Penyerahan ini dimaksudkan agar Penyidik POLRI dapat meneliti kelengkapan berkas perkara berkaitan dengan petunjuk dan bantuan yang telah diberikan kepada PPNS. 12) Apabila berkas perkara telah diterima oleh Penyidik POLRI, maka tanggung jawab yuridis secara proporsional ada pada Penyidik POLRI.
Apabila
PPNS
menghentikan
penyidikan,
wajib
memberikan laporan kepada Penyidik POLRI dan Penuntut Umum. Hal ini dilakukan karena kurang cukup bukti untuk melakukan proses penyidikan. 2. Pembinaan Teknis Pembinaan teknis terhadap PPNS dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti : pembentukan PPNS, pembinaan kemampuan PPNS, commit to user dan pembinaan sistem laporan. Sebagai pembina teknis PPNS, Penyidik
perpustakaan.uns.ac.id
POLRI
digilib.uns.ac.id
memberikan
saran-saran
tentang
urgensi
kebutuhan
dan
keberadaan PPNS dari sesuatu departemen/ instansi serta mengajukan saran tentang rencana formasi organik PPNS. Untuk mewujudkan rencana tersebut, maka departemen/ instansi yang bersangkutan mengusulkan pengangkatan PPNS kepada Menteri Kehakiman dengan tembusan kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Atas usulan pengangkatan PPNS tersebut POLRI memberikan pertimbangan. Masalah pembinaan kemampuan PPNS merupakan tanggung jawab Penyidik POLRI. Hal ini disebabkan karena komponen penyidikan dalam sistem peradilan pidana sepenuhnya dipertanggungjawabkan kepada POLRI. Kegiatan pembinaan teknis ini dapat dilakukan melalui pendidikan di bidang penyidikan, latihan-latihan penyegaran bagi PPNS yang telah mengikuti
pendidikan,
melaksanakan
coaching
clinic,
melayani
permintaan tenaga pengajar/ ceramah, penataran, rapat koordinasi secara berkala antara Penyidik POLRI dan PPNS, mempersiapkan piranti lunak perundang-undangan yang dibutuhkan PPNS, dan lain-lain. Dalam pembinaan sistem laporan, PPNS wajib melaporkan data perkara pidana yang ditanganinya kepada Penyidik POLRI secara berkala. Penyidik POLRI melaksanakan sistem pengumpulan, pengolahan dan penyajian data perkara-perkara yang ditangani PPNS serta membuat analisa dan evaluasi untuk kepentingan kebijaksanaan pembinaan PPNS. 3. Bantuan Operasional Penyidikan Bantuan operasional penyidikan terhadap PPNS wajib diberikan oleh Penyidik POLRI terhadap PPNS baik diminta atau tidak diminta dalam rangka koordinasi dan pengawasan PPNS dari sejak awal penyidikan sampai dengan akhir penyidikan. Bantuan tersebut dapat diberikan dalam tiga tahap proses penyidikan, yaitu sebagai berikut : a. Pada Tahap Awal Penyidikan Pada tahap ini, Penyidik POLRI melakukan penelitian dan memberikan petunjuk yuridis kepada PPNS untuk menentukan apakah commit to user suatu tindak pidana atau bukan, kasus yang akan ditangani merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
menentukan
digilib.uns.ac.id
cara
bertindak
yang
tepat
dalam
rangka
proses penyidikan, melakukan koordinasi dan penelitian terhadap kelengkapan administrasi penyidikan dan memberikan bantuan upaya paksa apabila diperlukan oleh PPNS yang bersangkutan. b. Pada Tahap Pelaksanaan Penyidikan Pada tahap ini, Penyidik POLRI mengikuti dan mengarahkan perkembangan hasil penyidikan yang dilakukan oleh PPNS yang bersangkutan. Penyidik POLRI juga dapat membantu pelaksanaan upaya paksa dimana PPNS yang bersangkutan tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila ada gelar perkara Penyidik POLRI mengikutinya untuk mencari upaya pemecahan masalah terhadap kendala-kendala yang dihadapi PPNS selama proses penyidikan. c. Pada Tahap Akhir Penyidikan Pada tahap ini, Penyidik POLRI dapat mengadakan penelitian dan memberikan petunjuk serta arahan yuridis terhadap berkas perkara yang dibuat oleh PPNS dan membantu menyerahkan berkas perkara tersebut ke Penuntut Umum (Bambang Sukarjono, 2008: 13-15). Memperhatikan pada munculnya disharmonis dalam penegakan hukum, khususnya pada pelaksanaan wewenang penyidikan antar institusi penyidik, maka perlu ditetapkan strategi penanggulangannya agar dapat terwujud kepastian hukum yang dilakukan melalui penetapan kebijakan, strategi dan upaya, diantaranya yaitu : 1. Kebijakan Dengan memperhatikan koordinasi penegakan hukum antar institusi di Indonesia yang belum sesuai dengan harapan, maka perlu dirumuskan kebijakan sebagai berikut : mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum melalui peningkatan sumber daya manusia, perbaikan koordinasi antar institusi penegak hukum serta pembentukan dan perbaikan perundang-undangan terkait dengan penegakan hukum sebagai upaya membangun kemitraan (partnership building). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Langkah
digilib.uns.ac.id
dan
kebijakan
dalam
mengoptimalisasi
pelaksanaan
koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis PPNS, secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Bersamaan
dengan
rencana
restrukturisasi
organisasi,
POLRI
melaksanakan penataan struktur dan personil pengemban fungsi Korwas PPNS pada Mabes POLRI sampai tingkat Polres dengan tujuan agar Penyidik POLRI dapat berperan sebagai koordinator dan pendukung fungsi dan peran PPNS dalam melakukan penyidikan yang berintegrasi guna mewujudkan penegakan hukum di Indonesia; b. Penataan kembali juklak/ juknis tentang Korwas PPNS untuk disesuaikan dalam bentuk Peraturan Kapolri dengan fungsi sebagai berikut : 1) Peraturan Kapolri No. 25 Tahun 2007 tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan PPNS yang telah disahkan Kapolri dan dicatat/ diundangkan pada Lembaran Negara yang disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Peraturan ini berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi Reserse di bidang Korwas PPNS; 2) Di bidang operasional, Peraturan Kapolri No. 25 Tahun 2007 telah dijabarkan dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2010 tentang Manajeman Penyidikan Bagi PPNS yang telah disahkan oleh Kapolri dan dicatat/ diundangkan pada Lembaran Negara yang disahkan Menteri Hukum dan HAM. Peraturan Kapolri ini berisi petunjuk teknis lengkap yang disertai dengan lampiran/ format administrasi penyidikannya dalam proses
penyidikan
yang
dilakukan oleh PPNS mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan/ pengendalian penyidikan beserta pelaksanaan Korwasnya oleh Penyidik POLRI; 3) Dibidang Pembinaan, Peraturan Kapolri Nomor 25 Tahun 2007 telah dijabarkan dalam : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil; b) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; c) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil; 4) Keberadaan PPNS merupakan suatu hal mutlak yang diperlukan berkaitan dengan perkembangan masyarakat yang menunjukkan berkembangnya varian kasus hampir disemua domain Departemen terkait. Suatu hal yang menjadi kendala manakala dihadapkan pada kenyataan
bahwa
suatu
peristiwa
pidana
pada
umumnya
merupakan ranah concursus realis (suatu perbuatan melanggar beberapa ketentuan pidana/ undang-undang). Dengan melihat hal tersebut, maka menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari keberadaan Penyidik POLRI selaku koordinator dalam menjembatani keterbatasan undang-undang yang mengatur PPNS yang terbatas pada undang-undang tersebut. Di sisi lain, PPNS merupakan unsur badan eksekutif bila dikaitkan dengan
pembagian
kewenangan
dalam
pemerintahan
yang
membagi tiga bidang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Maka badan eksekutif yang melakukan fungsi yudikatif perlu dijembatani oleh suatu badan yang secara institusional diakui bagian dari sub sistem yudikatif, dalam hal ini adalah POLRI. Oleh karena itu, perlu kiranya Penyidik POLRI diberikan wadah dalam setiap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Strategi Berdasarkan landasan kebijakan di atas, dirumuskan beberapa strategi, yaitu : a. Meningkatkan
kualitas
aparat
penegak
hukum
dalam
rangka
terwujudnya aparat penegak hukum yang profesional; b. Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas institusi yang sinergis; c. Mengupayakan
pembentukan
dan/
atau
perbaikan
peraturan
perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum. 3. Upaya Dalam rangka mewujudkan strategi yang telah ditentukan, upaya yang dapat dikembangkan, antara lain : a. Strategi 1. Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka terwujudnya aparat penegak hukum yang professional, diwujudkan melalui upaya : 1) Memberikan kesempatan pada aparat penegak hukum untuk mengikuti pendidikan dan kejuruan; 2) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan antar sesama aparat penyidik dalam kasus-kasus tertentu agar diperoleh persamaan persepsi dalam penanganan kasus pidana; 3) Kerjasama dengan perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan aparat penyidik terkait pelaksanaan tugas; 4) Mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia yang transparan dan professional; 5) Menetapkan pedoman dan prosedur pembinaan anggota; 6) Pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum secara fair. b. Strategi 2. Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis yang dilakukan commit to user melalui upaya :
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang timbul terkait koordinasi lintas instansi; 2) Meningkatkan pembentukan lembaga kerjasama antar instansi terkait; 3) Membentuk
lembaga
pengawas
yang
bertugas
mengawasi
pelaksanaan tugas masing-masing institusi; 4) Melakukan integrasi dan sinkronisasi pelayanan masyarakat agar mekanisme pelayanan dapat berjalan dengan sederhana, cepat dan tidak tumpang tindih; 5) Masing-masing instansi bertemu secara periodik baik formal maupun informal untuk membicarakan berbagai permasalahan yang timbul terkait masalah koordinasi sekaligus menemukan solusinya; 6) Peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar aparat penegak hukum yang bertujuan untuk memperoleh kesamaan pandang dalam melaksanakan tugas penyidikan; 7) Menyusun Memorandum of Understanding (MoU) yang berisikan kerjasama dan koordinasi lintas instansi terkait penegakan hukum. c. Strategi 3. Mengupayakan pembentukan dan/ atau perbaikan peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum. Diwujudkan melalui upaya : 1) Membentuk kelompok kerja khusus yang bertugas untuk melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap menjadi penyebab munculnya kondisi disharmonis antar aparat penegak hukum; 2) Melakukan inventarisasi terhadap beberapa produk perundangundangan yang dianggap sebagai penyebab munculnya kondisi disharmonis; 3) Menyusun pokok-pokok pikiran dan Naskah Akademik terkait koordinasi antara aparat penegak hukum; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Melakukan konsultasi atau temu wicara dengan pakar hukum pidana guna memperoleh masukan terkait kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan; 5) Mengadakan seminar, workshop atau pertemuan ilmiah lainnya yang diselenggarakan baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan perguruan tinggi dengan topik koordinasi lintas instansi dalam penyidikan kasus tindak pidana; 6) Melakukan studi banding ke negara-negara yang sudah memiliki kerangka kerjasama dan koordinasi antar aparat penegak hukum yang baik; 7) Mengkaji ulang berbagai perangkat hukum yang selama ini menjadi sumber munculnya tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum antar aparat penegak hukum, menyusun pokok pokok pikirannya, naskah akademiknya untuk kemudian disiapkan draft amandemennya; 8) Mengusulkan pengubahan atau penggantian perundang-undangan yang dipandang menghambat sinergitas antar instansi; 9) Melakukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait adanya undang-undang yang saling bertentangan; 10) Mengalokasikan/
meningkatkan
anggaran
untuk
pengkajian
undang-undang. Perlunya upaya harmonisasi dan sinkronisasi kewenangan penyidikan antara POLRI sebagai penyidik dan PPNS Pajak dalam berbagai Rancangan Undang-Undang, antara lain terkait dengan wewenang PPNS Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan penyidikan tindak pidana pajak untuk mengurangi munculnya kondisi disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik kewenangan antar institusi yaitu antara PPNS Dirjen Pajak dengan aparat kepolisian yang pada akhirnya bermuara pada melemahnya proses penegakan hukum secara keseluruhan. Seiring dengan perkembangan jaman dan tindak pidana yang semakin meningkat, maka akan lebih berbahaya lagi jika POLRI commit to user tidak bisa masuk menangani kasus pajak tersebut guna meninindak-lanjuti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyidikan yang akan diarahkan pada pengembangan permasalahan dalam bidang perpajakan yang diduga melibatkan oknum aparat Direktorat Jenderal Pajak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pengaturan koordinasi penyidik POLRI dan penyidik PNS dapat dicermati pada Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur hubungan kerja antara Penyidik POLRI dengan Penyidik PNS. Hubungan itu meliputi pelaksanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, pemberian petunjuk yang didasarkan pada sendisendi hubungan fungsional. Koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, PPNS, dan Pengamanan Swakarsa merupakan salah satu tugas POLRI yang secara tersurat dicantumkan dalam Undangundang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) huruf f. Selain itu, disebutkan pula dalam Pasal 44 ayat (1) Undangundang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi : “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan”. Pemberian wewenang kepada PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sama sekali tidak mengurangi wewenang pejabat Penyidik POLRI untuk melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan. Pegawai negeri sipil yang melakukan penyidikan tindak pidana pajak harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI. Oleh karena itu, diperlukan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Direktorat Jenderal Pajak yang mengadakan penyidikan di bidang perpajakan yang diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Para pejabat pegawai negeri sipil di bidang perpajakan tersebut melaksanakan tugasnya setelah memperoleh pendidikan dan pelatihan dari POLRI. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Upaya mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum, khususnya pada pelaksanaan wewenang penyidikan antar institusi penyidik, maka perlu ditetapkan strategi penanggulangannya agar dapat terwujud kepastian hukum yang dilakukan melalui penetapan kebijakan, strategi dan upaya, diantaranya yaitu : a. Kebijakan 1) Bersamaan
dengan
rencana
restrukturisasi
organisasi,
POLRI
melaksanakan penataan struktur dan personil pengemban fungsi Korwas PPNS pada Mabes POLRI sampai tingkat Polres dengan tujuan agar Penyidik POLRI dapat berperan sebagai koordinator dan pendukung fungsi dan peran PPNS dalam melakukan penyidikan yang berintegrasi guna mewujudkan penegakan hukum di Indonesia; 2) Penataan kembali juklak/ juknis tentang Korwas PPNS untuk disesuaikan dalam bentuk Peraturan Kapolri. b. Strategi 1) Meningkatkan
kualitas
aparat
penegak
hukum
dalam
rangka
terwujudnya aparat penegak hukum yang profesional; 2) Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas institusi yang sinergis; 3) Mengupayakan
pembentukan
dan/
atau
perbaikan
peraturan
perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum. c. Upaya 1) Meningkatkan
kualitas
aparat
penegak
hukum
dalam
rangka
terwujudnya aparat penegak hukum yang professional; 2) Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis; 3) Mengupayakan
pembentukan
dan/
atau
perbaikan
peraturan
perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Saran
1. Dalam pelaksanaan kerja sama penyidikan tindak pidana pajak, seharusnya Penyidik memahami kedudukan serta wewenangnya dalam penyidikan tersebut sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, karena penyidikan tindak pidana pajak adalah wewenang penuh dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak. Penyidik POLRI hanya membantu dalam proses penyidikan seperti bantuan upaya paksa dalam penyidikan serta menerima berkas perkara dari PPNS Dirjen Pajak untuk kemudian diperiksa sebelum diserahkan kepada Penuntut Umum. 2. Upaya mengedepankan POLRI dalam kerangka penegakan hukum sebenarnya mengandung konsekwensi kebijakan yang luas dan memiliki implikasi politis yang tidak ringan. Menempatkan kedudukan POLRI sebagai pintu gerbang proses dimulainya penegakan hukum tidak cukup hanya dengan adanya pemisahan POLRI dari TNI. Yang lebih penting adalah pengembalian wewenang yaitu mengembalikan seluruh kewenangan yang seharusnya berada di tangan POLRI dan menghilangkan semua tugas/ fungsi yang semestinya tidak diemban oleh POLRI. Konsekwensi dari pengembalian wewenang tersebut adalah munculnya kebutuhan untuk memberdayakan POLRI di segala bidang, sehingga POLRI mampu menangani segala jenis hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan yang dihadapi masyarakat, yang pada akhirnya akan bermuara pada terwujudnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan koordinasi dan pengawasan antar institusi yang terkait dalam penegakan hukum, serta sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan melakukan penyidikan agar diperoleh pemahaman yang tepat terkait tugas dan kewenangan masing-masing institusi. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat mempersempit jurang pemisah di antara masing-masing institusi sekaligus dapat mewujudkan institusi penyidik yang saling melengkapi. commit to user