perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PIDANA MATI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (STUDI TENTANG EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA MATI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NO.1 TAHUN 2002 JO UNDANGUNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DAN UNDANGUNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : NURUL KOMALASARI E1107049
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN MOTTO
”Di dalam ketakutan ada kebenaran sejati,bahwa cara untuk mengatasi ketakutan itu adalah dengan menghadapinya”. (puccino) ”Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. (Al-Hadist) ’’Rasa percaya diri adalah kunci rahasia pertama dari sukses seseorang’’. (Ralph.W.Emerson)
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
SKRIPSI INI, PENULIS PERSEMBAHKAN KEPADA :
·
ALLAH S.W.T., YANG MEMBERIKAN RIDHA-NYA
·
AYAHANDA DAN IBUNDA TERCINTA YANG SENANTIASA MENDIDIK, MENGASIHI, MENYAYANGI DAN MENDOAKAN KU
·
KELUARGA BESARKU TERSAYANG, RAIHLAH YANG KAMU INGINKAN DAN TERBAIK UNTUK KALIAN. SEMOGA TERCAPAI CITA-CITAMU
DAN
KEBAHAGIAAN
SELALU
BARSAMA
KALIAN. ·
SELURUH DOSEN DAN STAF FAKULTAS HUKUM UNS.
·
ALMAMATERKU.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
NURUL KOMALASARI, 2011. PIDANA MATI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (STUDI TENTANG EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA MATI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NO.1 TAHUN 2002 JO UNDANGUNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DAN UNDANGUNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA). FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA. Penelitian ini bertujuan Untuk mengkaji lebih dalam tentang efektivitas sanksi pidana mati dalam PerPu No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme dan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam menanggulangi kejahatan dibidang narkotika dan terorisme. Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum empiris sosiologis yang bersifat analisis yaitu dengan cara meneliti langsung dilapangan atau data primer tentang keberadaan pidana mati di Indonesia. Lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Polres Jakarta Utara. Sumber data yang digunakan meliputi data primer dan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wakasat Reskrim Polres Jakarta Utara, pakar hukum dan tokoh masyarakat, serta data sekunder berupa bahan pustaka. Teknik pengumpulan data dengan mempelajari, membaca,dan mencatat bukubuku, literatur, peraturan perundang-undangan dan dokumen.Teknik analisa data menggunakan teknik analisis (content analysis) dengan model memanfaatkan buku dan dokumen untuk ditarik kesimpulan yang sahih.Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Sanksi Pidana Mati yang terapkan pada Tindak Pidana Narkotika dan Tindak Pidana Terorisme tidak efektif dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu, faktor subtansi kaidah hukum, faktor aparatur penegak hukum, faktor kesadaran hukum, faktor sarana atau fasilitas hukum. kendala-kendala yang dihadapi dalam penjatuhan sanksi pidana mati yaitu di bagi menjadi 3 alasan, yaitu: legal justice, moral justice dan social justice. Akan tetapi hukuman mati dapat dilakukan, meskipun hal tersebut sama saja menghilangkan nyawa seseorang dan bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, namun yang menjadi permasalahan adalah jika si pelaku kejahatan telah melakukan kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain ataupun melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kata Kunci: Pidana Mati, Terorisme, Narkotika.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
NURUL KOMALASARI,2011. DEATH PENALTY LAW SYSTEM IN INDONESIA (STUDY ON THE EFFECTIVENESS OF SANCTIONS IN DEATH PENALTY ACT OF TERRORISM AND THE LAW NARCOTICS). FACULTY OF LAW, SEBELAS MARET UNIVERSITY OF SURAKARTA. This study aims to examine more deeply about the effectiveness of sanctions the death penalty in the Government Regulation No.1 of 2002 revised by the Act No.15 of 2003 on Terrorism and the Law No.35 of 2009 on Narcotics in tackling crime in the field of narcotics and terrorism. This legal research including the type of legal research that is empiris sociological analysis is to examine how observations or primary data on the existence of capital punishment in Indonesia. Location of research conducted at North Jakarta District Court and North Jakarta Police. Data sources used include the primary data and interviews with the North Jakarta District Court Judge, Criminal Police Wakasat North Jakarta, legal experts and community leaders, as well as secondary data from library materials. Data collection techniques by studying, reading, and record books, literature, laws and documents. Data analysis techniques using content analysis with a model utilizing books and documents for the conclusions drawn are valid. Based on the results showed that the criminal sanctions which apply to the Dead Crime Narcotics and Crime Terrorism is not effective because of the factors that influence is, the substance of the rule of law factors, factors of law enforcement officials, legal awareness factor, factor means or facility of the law. constraints faced in the imposition of capital punishment that is divided into three reasons, namely: legal justice, moral justice and social justice. However, the death penalty can be done, although it is the same as removing someone's life and contrary to the provisions of human rights, namely the right to life, but the problem is if the perpetrator has committed a crime that eliminates the lives of others or commit crimes against humanity.
Keywords: Death Penalty, Terrorism, Narcotics.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik. Penulisan hukum ini dengan judul : “PIDANA MATI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA(STUDI TENTANG EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA MATI DALAM PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN NO.1 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DAN UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA)”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya. Namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik material maupun non material sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada : 1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS dan selaku pembimbing I, yang telah menyediakan waktu, arahan dan pikirannya untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Bapak Sabar Slamet, S.H.,M.H., selaku pembimbing II penulisan hukum (skripsi), yang telah menyediakan waktu, arahan dan pikirannya untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini. 3. Bapak Rehalemken Ginting, S.H.,M.H., selaku ketua bagian hukum pidana. 4. Ibu Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum., selaku pembimbing akademis. 5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan Fakultas Hukum UNS. 6. Bapak Yulisar, S.H, M.H., sebagai Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Bapak Yuldi Yusman, S.E, M.Si., sebagai Wakasat Reskrim Polres Jakarta Utara yang telah memberikan waktu dan bantuannya untuk saya dalam melakukan penelitian. 7. Ayahanda dan Ibunda tercinta’’Beliau adalah kaki tangan ALLAH yang di ciptakan untuk ku,yang telah memberikan doa, dorongan, perhatian, dan kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis. 8. Seluruh keluarga besarku tersayang terima kasih atas semangat dan doanya. 9. Untuk M. Luky Prasetyo thank’s for eferything. 10. Teman – teman seperjuangan ninik, sry, dewi, intan, pondra, rieshan, souky, dimas, senkly dan ucil yang telah bersama – sama menuntut ilmu di Fakultas Hukum UNS. 11. Temen – temen angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS’ 12. Untuk iva, neetha, ninik, sry, dan dewi, trima kasih atas dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 13. Untuk hifni, giska, jefri, eky dan elvira, yang udah bersama – sama magang di Sekretariat Negara Jakarta dan yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta,
commit to user ix
November 2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ....................................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................................
v
ABSTRAK .....................................................................................................................
vi
ABSTRACT ...................................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
A. Latar Belakang...........................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................
5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................
5
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................
6
E. Metode Penelitian........................................................................... ...........
7
F. Sistematika Penelitian ...............................................................................
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
13
A. Kerangka Teori............................................................................... ...........
13
1. Tinjauan Tentang Pidana ......................................................................
13
a.
Pengertian Pidana ..........................................................................
13
b.
Jenis-Jenis Pidana ..........................................................................
13
2. Tinjauan Umum Pemidanaan ...............................................................
18
a. Perkembangan Teori Pemidanaan .................................................
18
b.
Teori Pemidanaan ..........................................................................
22
c. Dasar Alasan Penghapus Pidana di Indonesia ...............................
25
3. Tinjauan Umum Efektivitas Hukum ....................................................
28
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Tinjauan Umum Pidana Mati.................................................................
35
a. Pengertian Pidana Mati......................................................................
35
b. Teori Pendukung Pidana Mati............................................................
38
c. Sanggahan Terhadap Teori Pendukung Pidana Mati.......................... 39 5. Data Penerima Hukuman Mati di Indonesia...........................................
42
B. Kerangka Pemikiran ..................................................................................
44
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............................................
46
A. Efektivitas Sanksi Pidana Mati Yang Terdapat Dalam Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 JO Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Terorisme Dan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam Menanggulangi Kejahatan.....................
46
1. Gambaran Umum Aturan Mengenai Sanksi Pidana Mati Dalam Peraturan Perundang-Undangan ..........................................................
46
2. Efektivitas Sanksi Pidana Mati Dalam Peraturan Perundang-
undangan No.1 Tahun 2002 Jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Terorisme...............................................................................
48
3. Efektivitas Sanksi Pidana Mati Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ...........................................................
56
B. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Oleh Aparat Penegak Hukum Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dan Narkotika ..........................................................................
66
BAB IV PENUTUP .......................................................................................................
70
A. Simpulan ....................................................................................................
70
B. Saran ..........................................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................
71
LAMPIRAN ..................................................................................................................
74
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Model Analisis Interaktif .............................................................................
11
Gambar 2 : Tabel Kasus Pidana Mati di Indonesia ........................................................
42
Gambar 3 : Skematik Kerangka Pemikiran ....................................................................
44
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum diartikan sebagai seperangkat aturan, nilai atau norma untuk mengatur kehidupan manusia. Karena memang disamping sebagai alat kontrol sosial, hukum juga sering disebut sebagai social engenering (alat rekayasa sosial). Namun demikian hukum dalam artian luas dapat juga diartikan sebagai perilaku manusia itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo Menurutnya hukum diartikan sebagai perilaku manusia karena perilaku manusia seringkali mengintervensi normativitas dari hukum itu sendiri, sebagai contoh ketika seseorang membaca sebuah aturan kemudian dalam benak pikiran orang tersebut berpendapat bahwa adalah sebuah keharusan untuk bertindak sesuai dengan apa yang ada dalam aturan tersebut. Dari sini dapat kita lihat bahwa korelasi hukum dengan perilaku manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Fenomena yang sering kita lihat dalam konteks di negara kita adalah bahwa dari sekian banyak regulasi yang sudah dibuat oleh pemerintah terkadang belum juga berangkat dari landasan sosiologis, produk hukum yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah terkadang juga tanpa melalui kajian yang serius yang berangkat dari realita sosial masyarakat. Sehingga kehadiran sebuah undang-undang terkadang belum juga menciptakan masyarakat yang sadar hukum. Keadilan yang sering dianggap sebagai cita-cita dari sebuah hukum masih saja tergadaikan, demikian juga aparat
penegak
hukum
sebagai
aparat
yang seharusnya
mampu
mencerminkan perilaku hukum justru terkadang sering berbuat melanggar hukum. Melihat fenomena tersebut nampaknya efektivitas hukum kita masih menuntut usaha keras dari berbagai pihak. Maka dari itu menurut Sajtipto Rahardjo bahwa berbicara soal hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum meliputi substansi, struktur dan kultur hukum. commit to user Kesemuanya itu sangat berpengaruh terhadap efektivitas kinerja sebuah hukum. 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keefektifan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut. Efektivitas hukum yang dimaksud berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yakni hukum yang diberlakukan berlandaskan pada landasan yuridis, sosiologis maupun filosofis. Di era modern seperti saat ini, penerapan Pidana mati banyak menuai Pro dan Kontra. Ada masyarakat yang setuju akan pemberlakuan pidana mati bagi mereka yang telah terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Namun tidak sedikit pula masyarakat yang mengecam pemberlakuan hukuman mati tersebut, khususnya hukuman mati di Indonesia. Banyaknya kelompok - kelompok yang berbeda pendapat terhadap penerapan hukuman mati, memacu timbulnya situasi yang kurang kondusif di dalam masyarakat. “Hal itu dapat kita lihat pada saat akan dieksekusinya beberapa terpidana mati seperti Fabianus Tibo, Marinus Riu, dan Dominggus Dasilva (Tibo cs) serta terpidana mati bom bali Amrozi cs, dan masih banyak lagi terpidana mati dengan
kasus
lain
yang
telah
dieksekusi”
(http://heri-bertus.blogspot.
com/2009/04/pidana-mati-hak-untuk-hidup.html, diakses 22 Februari 2011). Dalam hal eksekusi mati terhadap Trio Bomber Bali I yaitu Amrozi cs, Ada sekelompok masyarakat yang merasa “senang” dengan dilakukannya dieksekusinya tersebut. Ada rasa keadilan yang telah didapat setelah eksekusi dilakukan bagi mereka yang telah di jatuhi pidana mati. Pidana mati disini diartikan sebagai “pemberian efek jera” terhadap pelaku sebagai akibat dari perbuatan para terpidana mati. Namun esensi dari “efek jera” itu sendiri menyiratkan bahwa penjatuhan sanksi pidana yang telah diatur dalam undangundang telah diartikan berlainan yaitu untuk balas dendam terhadap si pelaku kejahatan (http:// heri-bertus. blogspot. com/2009/04/ pidana –mati –hak -untukhidup.html, diakses 22 Februari 2011). Pidana mati di Indonesia akan terus menjadi perdebatan yang tiada henti. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, antara kalangan yang setuju dengan alasan memberikan efek jera, maupun yang tidak setuju dengan argumentasi pelanggaran terhadap hak hidup seseorang. Dalam Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana masih dipertahankan hukuman mati karena lebih didasarkan pada pertimbangan mencari jalan tengah commit to user untuk pendukung dan penentang pidana mati di Indonesia, yang sama kuatnya. 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Penerapan hukuman mati di Indonesia merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Dasarnya adalah Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang dulu bernama Wetboek van Strafrecht (W.v.S). Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. ”Keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan”. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 89 (Jimly Asshidiqie, 1997: 56). Dalam hukum pidana dikenal ada bermacam-macam penjatuhan sanksi pidana. Salah satu sanksi yang paling berat adalah pidana mati. Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi serious crimes. Pidana mati disamping sebagai hukuman yang paling berat juga merupakan hukuman yang umumnya sangat menakutkan terutama bagi terpidana yang sedang menanti eksekusi. Pidana mati dalam sejarah hukum pidana sudah lama diperdebatkan. Ada dua pandangan yang muncul. Pandangan pertama, setuju atas keberadaan pidana mati karena menilai sanksi pidana itu setimpal dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dan dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat, sehingga pidana mati masih relevan untuk dilaksanakan. Adapun alasan-alasan umum yang diberikan oleh golongan yang menyetujui pidana mati, seperti Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Garafalo, Lambroso, H.G. Rambonnet, dan H.B Vos adalah : 1. Orang-orang berbahaya harus dilenyapkan agar tidak mengganggu dan menghalangi kemajuan masyarakat. 2. Sebagai Perwujudan pembalasan. 3. Jika seorang penjahat besar yang dimasukan dalam penjara tidak dibunuh maka ketika ia bebas ia akan mengulangi perbuatan lagi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Yang tidak dibebaskan akan menimbulkan kesulitan dan kekacaun dalam penjara. 5. Menakutkan orang lain hingga tidak berani turut berbuat. Pandangan kedua, menolak keberadaan pidana mati karena beranggapan bahwa sanksi pidana tersebut sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab (Muladi,1984 :150). Berdasarkan sistem hukum Indonesia terdapat beberapa kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, antara lain: makar, menghasut atau mengajak negara lain untuk menyerang Republik Indonesia; melindungi atau menolong musuh yang berperang melawan Republik Indonesia; membunuh kepala negara sahabat; pembunuhan yang direncanakan; pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati; pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati; menganjurkan pemberontakan atau huru hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang; melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang; pemerasan dengan kekerasan; penyalah gunaan senjata api; tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan; tindak pidana ekonomi; Pemberantasan kegiatan subversif; kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan; psikotropika; narkotika; korupsi; kejahatan terhadap hak Asasi Manusia; terorisme. Kejahatan- kejahatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan serius yang perlu ditanggulangi (Mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (e-mail:
[email protected]) diakses 22 Februari 2011). Meskipun pidana mati telah diatur di dalam berbagai peraturan perundangundangan namun di dalam kenyataannya khususnya dibidang terorisme dan narkotika, diatur dan dijatuhkannya pidana mati tidak membawa dampak menguranginya kejahatan dibidang terorisme dan narkotika. Namun justru kejahatan dibidang terorisme dan narkotika semakin meningkat saja. Oleh karena itu penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai efektivitas sanksi pidana mati dalam peraturan perundang-undangan no.1 tahun 2002 jo undang-undang No.15 tahun 2003 tentang Terorisme dan undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka judul skripsi yang penulis tulis adalah “PIDANA MATI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (STUDI TENTANG PERATURAN
EFEKTIVITAS
SANKSI
PIDANA
PERUNDANG-UNDANGAN
NO.1
MATI TAHUN
DALAM 2002
JO
UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG TERORISME DAN UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang yang penulis paparkan diatas, maka permasalahan yang timbul dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Apakah sanksi pidana mati yang terdapat dalam Peraturan Perundangundangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme dan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika efektif dalam menanggulangi kejahatan dalam bidang terorisme dan narkotika?
2. Kendala-kendala apakah yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme dan narkotika ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulis dalam penelitian yang berkaitan dengan pengambilan judul penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif : Penelitian ini bertujuan untuk a) Untuk mengkaji lebih dalam tentang efektivitas sanksi pidana mati dalam Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme dan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam menanggulangi kejahatan dibidang narkotika dan terorisme . b) Untuk mengkaji kendala – kendala yang dihadapi aparat penegak hukum dalam penjatuhan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme dan narkotika. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Tujuan Subyektif : a) Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam penyusunan penulisan hukum guna melengkapi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b) Untuk memperluas dan mengembangkan wawasan berpikir, menambah kemampuan menulis, khususnya dalam penulisan hukum pidana mengenai keefektivitasan sanksi pidana mati dalam Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Narkotika. c) Meningkatkan kualitas penelitian penulis dan pengetahuan penulis serta mengetahui kesesuaian antara teori yang didapat penulis dari perkuliahan.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, wawasan yang lebih kongkrit bagi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, umumnya bagi aparat penegak hukum, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan pidana mati dalam sistem hukum pidana nasional yang akan datang dan hasil penelitian ini diharapkan pula memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan keefektivan sanksi pidana mati dalam Undang-Undang Terorisme dan Undang-Undang Narkotika. commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam menangani dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat peradilan pidana terutama hakim dalam mengenakan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana tertentu yang diancam dengan pidana mati.
E. Metode Penelitian Penelitian adalah untuk kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakberatan dari suatu gejala atau hipotesa yang ada. “Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten” (Soerjono Soekanto,2006 :42). Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum sosiologis atau empiris. “Penelitian sosiologis yaitu penelitian yang pada awalnya yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian di lanjutkan dengan penelitian data primer di lapangan atau terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto,2006:52). 2. Sifat Penelitian Dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. “Penelitian deskritif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data seteliti mungkin tentang manusia atau gejala-gejala lainnya” (Soerjono Soekanto,2006:10).commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang ini dengan jalan mengumpulkan data dan menyusun
atau
mengklasifikasikannya
seterusnya
menganalisa
dan
menginteprestasikan untuk kemudian diperoleh suatu hasil. 3. Spesifikasi Penelitian Dilihat dari sudut pandang sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian yang lebih mendekatkan pada pendekatan deskriptif analisis. Dengan pendekatan deskriptif, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran dan mampu untuk mendeskripsikan permasalahan sebagaimana mestinya. Pendekatan deskriptif pada penelitian ini juga bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Sedangkan pendekatan analisis dilaksanakan untuk memberikan suatu hasil analisa atas data-data yang telah didapatkan dari lapangan maupun dari sumber hukum primer maupun sumber hukum sekunder dan data primer serta data sekunder. 4. Sumber Data Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. “Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder” (Soerjono Soekandi,2004:12). a. Data Primer Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu : Merupakan sejumlah data atau fakta yang diperoleh secara langsung dari suatu penelitian lapangan melalui wawancara tersusun maupun spontan dengan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wakasat Reskrim Polres Jakarta Utara, Pakar Hukum, Tokoh Mayarakat dan masyarakat umum. b. Data sekunder. Adapun data sekunder yang diperlukan adalah data diperoleh dari commit to user study kepustakaan dan dokumentasi yang ada kaitannya dengan masalah
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
yang diteliti, baik dari hasil-hasil penelitian terdahulu, peraturan-peraturan, buku-buku literatur, dokumen-dokumen, majalah, koran dan lain-lain yang ada kaitannya dengan pelaksanaan pidana mati dan eksistensinya dalam sistem hukum di Indonesia. Kemudian di dalam penelitian juga diperlukan Bahan Hukum Primer maupun Bahan Hukum Sekunder yang meliputi: 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang ada kaitannya dengan permasalahan diatas terdiri dari: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. c) Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 jo UndangUndang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme. d) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2) Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. c. Sumber Data Tertier “Sumber data tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder”. Ini biasanya diperoleh dari media internet, kamus ensiklopedia dan sebagainya (Soerjono Soekanto,2006 :113). 5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat
penting
dalam
penulisan.
Dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara (interview), penulis melakukan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wakasat Reskrim Polres Jakarta Utara, dan Pakar Hukum. b. Studi Pustaka, merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara menginfentariskan dan mempelajari bahan-bahan commit to user
yang berupa
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan
digilib.uns.ac.id
perundang-undangan,
buku-buku,
tulisan-tulisan
dan
dokumen-dokumen lainnya yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. 6. Teknik Analisis Data Analisa
data
adalah
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, ketegorisasi, dan satuan uraian dasar. Mengingat data yang terkumpul adalah data kualitatif, maka dalam mengolah data dan menganalisisnya peneliti menggunakan analisis data kualitatif dan analisis data interaktif. ”Yang dimaksud dengan analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh” (Soerjono Soekanto,1986:250). Dalam proses analisis terdapat tiga komponen utama, dimana ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan menentukan hasil akhir analisis. Adapun tiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari fieldnot. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. b. Sajian Data Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel sebagai pendukung narasinya. commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
c. Penarikan Simpulan dan Verifikasi ”Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut perlu diverifikasi agar mantap
dan
benar-benar
bisa
dipertanggungjawabkan”
(HB.
Sutopo,2002:91). Menurut H.B. Sutopo skema cara kerja analisis data interaktif tersebut adalah sebagai berikut: (H.B. Sutopo,2002 :96). Pengumpulan data
Reduksi data
Sajian data
Penarikan simpulan/verifikasi Gambar 1 : Model Analisis Interaktif
Aktifitas yang dilakukan dengan proses siklus antara komponen – komponen tersebut menghasilkan data yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka hasilnya disajikan secara deskriptif, yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data-data yang diperoleh.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Sistematika Penelitian Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai aturan yang baku dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum ini terdiri atas empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang Pidana, tinjauan umum tentang Tindak Pidana, tinjauan umum tentang Pidana Mati, tinjauan umum tentang Sistem Hukum Pidana Nasional.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu, Apakah sanksi pidana mati yang terdapat dalam Peraturan Perundangundangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2993 tentang Terorisme dan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika efektif dalam menggurangi kejahatan dan Kendala-kendala apakah yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penjatuhan pidana mati.
BAB IV
: PENUTUP Dalam bab ini berisi tantang simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait
dengan bahasan penulisan hukum ini. commit to user DAFTAR PUSTAKA
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tetang Pidana a.
Pengertian Pidana Pada dasarnya pidana adalah sama dengan penderitaan. Perbedaanya
hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan, dari pada penderitaan yang dijatuhi oleh pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut sebagai hukuman. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara, juga bertujuan untuk mencegah bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. b. Jenis-Jenis Pidana Kitab Undang – Undang Hukum Pidana sebagai induk pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 10 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana, dimana dibedakan adanya pidana pokok dan pidana tambahan. 1) Pidana pokok terdiri dari: a) Pidana mati Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah kejahatankejahatan yang dianggap sangat berat saja, seperti: (a) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat 3 jo 129) (b) Kejahatan-kejahatan
pembunuhan
terhadap
orang-orang
tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya (Pasal 140 (3), 340) (c) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor commit to user yang sangat memberatkan (Pasal 365 ayat (4), 368 ayat (2))
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(d) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444). Sanksi
pidana mati
tidak
dengan
mudah
dijatuhkan,
menggunakan upaya pidana mati selalu diancamkan juga alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara setinggi-tingginya 20 tahun. b) Pidana penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Batas waktu pidana penjara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Namun pada umumnya batas maksimum hukuman penjara selama lima belas tahun dan dapat menjadi lebih lama lagi yaitu selama 20 tahun, apabila : (a) Kejahatan yang dilakukan diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup. (b) Ada gabungan perkara. (c) Ada pengulangan melakukan kejahatan (recidivist). (d) Melakukan kejahatan dalam kedudukan sebagia Pegawai Negeri (Moeljatno, 1987:68). Seseorang yang dipidana penjara akan kehilangan hak-hak tertentu: (a) hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu (b) hak memangku jabatan politik (c) hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan (d) hak mendapat ijin tertentu (e) hak untuk mengadakan asuransi hidup (f) hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan (g) hak untuk kawin (h) beberapa hak sipil lainya(Moeljatno, 1987:74). c) Pidana kurungan Pidana kurungan relatif sama dengan pidana penjara namun pada pidana kurungan batas waktu minimal satu hari dan maksimal satu tahun. Perbedaan pidana penjara dengan pidana kurungan adalah sebagai berikut : (a) Pidana penjara dijalankan di penjara maupun dalam wilayah Negara, sedangkan pidana kurungan dijalankan dalam wilayah commit to user terpidana bertempat tinggal. 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
(b) Terpidana penjara wajib bekerja lebih berat selam 9 jam tiap hari, sedangkan terpidana kurungan bekerja lebih ringan selama 8 jam. (c) Terpidana kurungan mempunyai hak pistole, yaitu hak untuk memperbaiki hidup dengan biaya sendiri (S.R.Sianturi, 2002:468). Pidana kurungan diancamkan pada tindak pidana yang dianggap ringan seperti tindak pidana kealpaan dan pelanggaran. Ada dua macam pidana kurungan, yaitu : (a) Hukuman pidana kurungan principal. Hukuman kurungan principal dijatuhkan oleh hakim sebagai hukuman pokok yang harus dijalankan oleh terpidana, tidak bisa diganti dengan hukuman pokok yang lain, dengan membayar denda misalnya. (b) Hukuman pidana kurungan subsidair. Hukuman kurungan subsidair ini dimungkinkan apabila terpidana tidak mau atau tidak mampu atau hanya mampu sebagian saja untuk membayar hukuman pokok berupa denda. Dalam menjatuhkan hukuman kurungan subsidair, lamanya paling banyak adalah 6 bulan dan dapat menjadi 8 bulan dalam hal gabungan, ulang kejahatan, maupun kejahatan dalam jabatan (S.R.Sianturi, 2002:470). d) Denda Pidana denda banyak diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga bagi kejahatan-kejahatan ringan maupun culpa, pidana denda sering dijadikan alternatif dari pidana kurungan. Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban, seseorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Minimum pidana denda adalah Rp.0,25 (dua puluh lima sen) x 15. Maksimumnya
tidak
ditentukan
secara
umum
melainkan
ditentukan dalam pasal-pasal tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adakalanya ditentukan dalam 1 atau 2 pasal bagian terakhir dari perundangundangan tersebut, untuk norma-norma tindak pidana yang ditentukan dalam beberapa pasal yang mendahuluinya. Pidana tutupan ditambahkan kedalam Pasal 10 hukuman pokok berdasarkan Undang - Undang No. 20 Tahun 1946, yang maksudnya untuk mengganti hukuman penjara bagi orang yang melakukan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan yang pelaksanaannya perlu diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan (Jan Remmelink, 2003:53). Tempat dan menjalani pidana tutupan dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalani Undang - Undang No. 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Penetapan Presiden tahun 1948, yang dikenal dengan Penetapan Presiden tentang rumah tutupan. 2) Pidana tambahan terdiri dari: Ada 3 jenis pidana tambahan: a)
Pencabutan hak-hak tertentu. Hak-hak terpidana yang dengan putusan Hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, atau dalam aturan hukum lainnya, ialah : (a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu. (b) Hak memasuki angkatan bersenjata. (c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. (d) Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri. (e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri. (f) Hak menjalankan pencaharian yang tertentu. commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
b)
digilib.uns.ac.id 17
Perampasan barang-barang tertentu. Perampasan barang-barang terpidana yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berupa : (a) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. (b) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. (c) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh Hakim diserahkan kepada Pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
c)
Pengumuman putusan hakim. Apabila
Hakim
memerintahkan
supaya
putusan
diumumkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu, dan atas biaya terpidana. Pidana
pengumuman
putusan
hakim
terutama
dimaksudkan untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan dari seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal tindak pidana tertentu. Didalam Kitab Undang-undang hukum Pidana hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam pidana tambahan ini, yaitu : (a) Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam waktu perang (pasal 128 ayat 3). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barangbarang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa (Pasal 206 ayat2). (c) Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati (Pasal 361). (d) Penggelapan (Pasal 377). (e) Penipuan (Pasal 395). (f) Tindakan merugikan pemiutang (Pasal 405 ayat 2).
2. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan a. Perkembangan Teori Pemidanaan Seiring dengan perkembangan zaman hukum pun juga pastinya ikut berkembang. Segala fenomena yang baru berkembang dalam masyarakat ikut memengaruhi hukum yang telah ada sebelumnya hingga mengharuskan tiap otoritas negara membuat pembaruan hukum agar sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, tak terkecuali kebutuhan masyarakat atas hukum pidana yang lebih “modern”. Dalam rangka membuat pembaruan hukum pidana diperlukan teoriteori yang mendasari tiap perubahan itu, hal itu terjadi mengingat “teori” merupakan alat atau sarana untuk membuat suatu analisis sistematis yang bisa diikuti dan/atau diuji serta diterima oleh orang lain sehingga terjadilah spekulasi akademik yang dapat dinalar. Teori tidak membicarakan atau membahas tentang benar dan salah dalam suatu persoalan hingga mengakibatkan teori itu berhenti membahas persoalan tersebut, akan tetapi suatu teori akan terus berkembang menolak atau menerima proses pembentukan atau perubahan sosial dalam masyarakat. Teori-teori hukum pidana diperlukan untuk menjelaskan fenomena sosial dalam bidang hukum pidana yang sedang berkembang di dalam masyarakat dan juga untuk mengolah sejumlah data yang belum mempunyai arti. Contohnya latar commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
belakang suatu kejahatan, latar belakang suatu tindakan anarkis, dan latar belakang korporasi dijadikan salah satu subjek hukum. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pembaruan hukum pidana memerlukan landasan teori, yang mana teori tersebut merupakan teori yang telah berkembang atau sudah lebih maju dari teori sebelumnya. Teori yang telah
berkembang
akan
menjawab
tekanan-tekanan
terhadap
teori
sebelumnya, hingga walau pada akhirnya teori tersebut akan mendapat tekanan dan digantikan oleh teori yang baru lagi. Diantara
teori-teori
yang
berkembang
adalah
teori
tentang
pemidanaan serta alasan pembenar pemidanaan, yang bertujuan untuk mencegah sistem pidana tidak menjadi “ancaman” dan sistem pemidanaan harus memperhitungkan kenyataan-kenyataan kemanusiaan dan sosial, serta mencoba untuk membuat ukuran-ukuran yang sedapat mungkin jelas dan efisien. Masalah pemidanaan merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana olehnya sebelum menjelaskan teori tentang pemidanaan maka sepertinya perlu sedikit membahas tentang kerangka konseptual yang memengaruhi
tujuan
pemidanaan.
Hal-hal
yang
mengenai
tujuan
pemidanaan harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana, aliran-aliran tersebut adalah Aliran Klasik, Aliran Modern, dan Neo Klasik. Aliran Klasik berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daadstrefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Aliran Modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran commit toberdasarkan user ini menolak pandangan pembalasan kesalahan yang subyektif.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksifiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Aliran Neo Klasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana(Barda Nawawi Arief, 2007:65-66). Tentang teori pemidanaan, awal dari teori ini adalah teori retributive view atau pandangan negatif, Pandangan retributif berpandangan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Teori tersebut dianggap melihat ke belakang. Perkembangan selanjutnya berkembanglah teori utilitarian atau teleogis. Teori ini melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). Berkembangnya teori retributif-teleogis merupakan perkembangan selanjutnya. Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan ini mencoba mengintegrasikan pandangan retributif dan utilitarian hingga menghasilkan sebuah pemaduan dari fungsi kedua pandangan tersebut menjadi retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah : 1) Pencegahan umum dan khusus; 2) Perlindungan masyarakat; 3) Memelihara solidaritas masyarakat dan 4) Pengimbalan/pengimbangan (Barda Nawawi Arief, 2007:76-78). Teori rehabilitasi ini akhirnya dikritik karena menganggap tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Dari tekanan terhadap tujuan rehabilitasi itu lahirlah “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Selain model keadilan terdapat juga model lain yaitu restorative model. Menurut Muladi secara rinci restorative model mempunyai beberapa karakteristik yaitu: 1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik; 2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan; 3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; 4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; 5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; 6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; 7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; 8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab; 9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik; 10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan commit to user ekonomis; dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative (Muladi, 2001:98). Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan
keadilan
apapun.
Kemudian
restorative justice
juga
mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
b. Teori Pemidanaan 1) Teori Absolut atau Mutlak Menurut teori-teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apa dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. Kegiatan pembalasan, atau disebut juga sebagai vergelding yang menurut banyak orang dijelaskan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hati yang dijadikan suatu ukuran, tetapi faktor lainnya kurang diperhatikan. Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita karena kejahatan itu, maka "kepuasan hati" itu terutama ada pada si oknum itu. Dalam hal pembunuhan, kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya dan masyarakat umumnya. Dengan meluasnya kepuasan hati ini pada sekumpulan orang, maka mudah juga meluasnya sasaran pembalasan kepada orang-orang lain commitdari to user dari si penjahat, yaitu pada sanak keluarga atau kawan-kawan karib. Maka 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
unsur pembalasan , meskipun dapat dimengerti, tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana. Perlu diketahui bahwa, kata vergelding atau "pembalasan" ini biasanya dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukan dasar dari teori "absolut" tentang Hukum Pidana (absolute strafrechtstheorien). Van Bemmelen dalam buku karya bersama dengan Van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht." Jilid II halaman 12 dan 13 mengemukakan unsur naastenliefde (cinta kepada sesama manusia) sebagai dasar adanya norma-norma yang dilanggar oleh para penjahat. Cinta sesama manusia ini mendasari larangan mencuri, menipu, membunuh, menganiaya, dan sebagainya. Dengan dasar ini maka kejahatan sudah selayaknya ditanggapi dengan suatu pidana yang dilimpahkan kepada si penjahat. Tidak perlu dicari lain alasan.Jadi kini ada nada absolut atau mutlak pula. Nada kemutlakan ini juga terdapat pada sikap Prof.Mr.R.Kranenburg, yang mendasarkan pidana pada keinsafan-keadilan (rechtsbewustzijn) dari sesama warga dari suatu negara. Menurut Hazewinkel-Suringa, selaras dengan Kranenburg yang merupakan penulis Leo Polak, yang mempergunakan keinsafan-kesusilaan (zadelijk bewustzijn) sebagai dasar pidana. Sedangkan Kant dan Hegel dapat digolongkan kepada kelompok yang menganut teori-teori absolut dalam hal hukum pidana. Kant terkenal sebagai seorang filsuf yang mengutarakan gagasan-gagasannya sebagai apa yang menurut Ia sendiri merupakan pikiran yang murni atau yang praktis, dan atas pikiran semacam inilah oleh Kant didasarkan kemutlakan pidana sebagai follow up dari kejahatan. Sedangkan menurut Hegel pidana dianggap mutlak harus ada kemestiannya sebagai reaksi dari suatu kejahatan (www.hukumpositif.com). 2) Teori-teori Relatif atau Nisbi Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga pada masa depan. Oleh karena itu, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian teori-teori ini juga dinamakan teori-teori "tujuan" (doeltheorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukannya itu tidak terulang lagi (prevensi). Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan, bahwa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi special, hal yang membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi general diusahakan agar para oknum semua sama takut akan menjalankan kejahatan. Sebagai penganut prevensi special oleh Zevenbergen disebutkan dua penulis, yaitu Van Hamel dan Grolman. Sedangkan sebagai penganut prevensi general oelh Zevenbergen, Van Hattum, dan Hazewinkel-Suringa disebutkan terutama Paul Anselm Feuerbach, yang menitikberatkan pada ancaman dengan pidana yang termuat dalam peraturan hukum pidana (www.hukumpositif.com). Hal ini disebabkan, karena digunakannya pandangan pengertian psychologischedwang, yang berarti bahwa dengan ancaman pidana ini orang-orang didorong secara psikis tidak secara fisik, untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu, teori relatif lainnya, telah melihat bahwa usaha untuk dengan menjatuhkan pidana memperbaiki si penjahat agar menjadi orang baik, yang tidak akan lagi melakukan kejahatan. Menurut Zevenbergen, ada tiga macam "memperbaiki si penjahat" ini, yaitu perbaikan "yuridis, perbaikan "intelektual" dan perbaikan "moral", yang berarti perbaikan "yuridis" lebih mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati Undang-Undang, perbaikan "intelektual" lebih mengenai cara berpikir si penjahat agar Ia insaf akan jeleknya kejahatan, sedangkan perbaikan "moral" lebih mengenai rasa kesulitan si penjahat, agar Ia menjadi orang yang bermoral tinggi (Mustakim dan Petrus Andhi C, 2001:78). Zevenbergen menunjukan pembela dari ketiga macam perbaikan ini masing-masing Stelzer, Groos, dan Kraus. Konsekuensi dari teori-teori Relatif antara lain jika menurut teori "relatif" atau teori-teori "tujuan" ini menjatuhkannya pidana digantungkan kepada kemanfaatannya bagi masyarakat, maka ada konsekuensi logis, seperti dalam mencapai tujuan "prevensi" atau "memperbaiki si penjahat", tidak hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif dianggap baik, maka pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana. Tindakan ini misalnya berupa mengawasi saja tindak-tanduk si penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial, untuk menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat yang berguna (beveiligings-maatregelen) (Mustakim dan Petrus Andhi C, 2001:80).commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
3) Teori-teori Gabungan (Verenigings-Theorien) Apabila ada dua pendapat yang diametral berhadapan satu sama lain, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Juga kini, di samping teori-teori absolut dan teori-teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga, yang di satu pihak mengakui adanya unsur "pembalasan" (vergelding) dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur "prevensi" dan unsur "memperbaiki penjahat", yang melekat pada tiap pidana. Zevenbergen menganggap dirinya termasuk golongan ketiga ini, dan menunjuk nama-nama Beling, Binding, dan Merkel sebagai eksponeneksponen penting dari teori "gabungan" ini. Van Hattum menunjuk Pompe, sedangkan Hazenwinkel-Suringa menunjuk Hugode Groot, Rossi dan Taverne sebagai tokoh-tokoh dari golongan teori "gabungan" ini (www.hukumpositif.com). c. Dasar alasan penghapus pidana di Indonesia 1.
Alasan
pembenar
(rechtvaardigingsgrond)
yaitu
alasan
yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana ( strafbaarfeit ) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon. yang dimaksud alasan pembenar, yaitu : a) Keadaan darurat, sesungguhnya tidak dinyatakan secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keadaan darurat merupakan bagian dari daya paksa yang relatif (vis compulsiva), namun bukan merupakan daya paksa psikis. Dalam keadaan darurat pelaku dihadapkan pada tiga pilihan yang saling berbenturan, yaitu : 1) Perbenturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum: seseorang yang dalam keadaan tertentu dihadapkan pada dua pilihan yang masing – masing dilindungi oleh hukum dan apabila yang satu ditegakkan maka yang lain akan dilanggar atau dikorbankan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Perbenturan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum: seseorang dihadapkan pada keadaan untuk memilih untuk menegakkan kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum. 3) Perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hokum seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang masing-masing merupakan kewajiban hukum dan apabila yang satu ditegakkan maka yang lain akan dilanggar atau dikorbankan (Moeljatno, 1987:138). Keadaan darurat merupakan alasan pembenar, karena lebih banyak berkaitan dengan perbuatannya daripada unsur subjektif pelakunya. Dalam keadaan darurat asas subsidiaritas (upaya terakhir) dan proporsionalitas (seimbang dan sebanding dengan serangan) harus dipenuhi. b) Pembelaan terpaksa. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 49. Berkaitan dengan prinsip pembelaan diri. Dalam pembelaan terpaksa ada perbuatan yang melanggar kepentingan hukum orang lain, namun perbuatan tersebut dibenarkan oleh hukum karena memenuhi syarat – syarat yang ditentukan undang – undang, yakni : perbuatan tersebut dilakukan karena ada serangan atau ancaman serangan yang bersifat seketika serangan atau ancaman serangan tersebut bersifat melawan hukum serangan tersebut ditujukan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik milik sendiri maupun orang
lain,
pembelaan
tersebut
harus
dilakukan
dengan
memperhatikan asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus dipenuhi. c) Melaksanakan ketentuan undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti materiil, yaitu setiap peraturan yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang yang berlaku dan mengikat umum. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 50. Orang yang melakukan perbuatan yang commit to user melanggar hukum dalam rangka melaksanakan undang-undang 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
dapat dibenarkan. Asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas harus dipenuhi. d) Menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. Dapat digunakan bila ada hubungan subordinasi antara orang yang memberi perintah dan yang menerima perintah, serta berada dalam lingkungan pekerjaan yang sama. Yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 51 ayat (1). 2. Alasan
pemaaf
menghapuskan
(schuldduitsluitingsgrond)
yaitu
kesalahan
berkaitan
terdakwa,
alasan
yang dengan
pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon. Digunakan bila tindak pidana yang didakwakan telah terbukti dan tidak ada alasan pembenar. Alasan pemaaf terdiri dari : a) Tidak mampu bertanggungjawab. Diatur dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yakni mereka yang cacat jiwanya, baik disebabkan oleh gangguan psikis maupun gangguan fisik. Walaupun hakim tidak menjatuhkan pidana Karena jiwanya cacat, namun hakim dapat menetapkan terdakwa dirawat di rumah sakit. b) Daya paksa. Diatur dalam Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi. c) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Syarat yang harus dipenuhi adalah pelaku harus berada dalam situasi pembelaan terpaksa dan pembelaan yang melampaui batas tersebut dilakukan karena adanya goncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh commit to user serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum. Harus ada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hubungan kausal antara serangan atau ancaman serangan dengan kegoncangan jiwa. d) Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah. Diatur dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Alasan – alasan penghapus pidana tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Tanpa adanya alasan penghapus pidana seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan suatu tindak pidana dapat dijatuhi pidana walaupun tidak ada maksud untuk melanggar ketentuan hukum tersebut, atau telah dilakukan sikap hati-hati atau tidak ada kesalahan pada orang tersebut. Baik alasan penghapus pidana yang tertulis maupun tidak tertulis dapat mencegah adanya putusan hakim yang tidak adil. Dengan dianutnya sifat melawan hukum materiil dan alasan tidak ada kesalahan sama sekali, hakim dapat selalu menghasilkan putusan yang sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat. 3) Tinjauan Umum Efektivitas Hukum Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam perspektif efektivitas hukum. Persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Untuk membahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu penerapan hukum. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu : a) Faktor Hukum Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya. Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu. Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut. b) Faktor Penegak hukum Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian commit to userperanan penting, kalau peraturan petugas penegak hukum memainkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J.E. Sahetapy yang mengatakan : Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. “Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan” (Sahetapy, 1978 : 111). Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut. Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya. Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim. c) Faktor Sarana dan fasilitas Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang commit user baik, bagaimana petugas dapattomembuat berita acara mengenai suatu
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
kejahatan. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. d) Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum. e) Faktor Kebudayaan Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang (Soerjono Soekanto,2006 : 101-107). Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas. Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
efektifitas hukum. Namun sistematika dari kelima faktor ini jika bias optimal, setidaknya hukum dinilai dapat efektif. Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya kelima faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan atau kondisi yang melingkupi penerapan suatu hukum. Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah “abu-abu” tidak jelas dan samar-samar bahkan kerapkali dipermainkan untuk kepentingan tertentu sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak bersalah sama sekali bisa di hukum dan orang yang bersalah menjadi bebas. Di negeri ini telah banyak contoh-contoh kasus, semisal kasus Ryan yang cukup menjadi sorotan karena dalam kasus pembunuhan ini terjadi salah tangkap pelaku yang sebenarnya. Bisa dibayangkan bagaimana penegak hukum bekerja tanpa bukti awal yang mengeratkan sehingga seseorang ditangkap lalu di tahan. Mencermati kasus Ryan ini sungguh menarik membahasnya dalam ranah hukum, dimana profesionalisme penegak hukum yang prosesnya diawali dari Polri, jaksa dan hakim (penegak hukum), dituntut untuk menjunjung tinggi hukum. Dalam hukum dikenal asas praduga tak bersalah sekaligus asas praduga bersalah. Polisi dituntut untuk menjadikan asas ini sebagai suatu bekal dalam bertindak terutama dalam melakukan penangkapan. Tetapi menurut Achmad Ali, membicarakan asas praduga ini haruslah berhati-hati karena masyarakat bisa saja keliru memahami, khususnya membicarakan asas praduga bersalah. Polisi dalam profesionalismenya bekerja bisa saja menganut asas praduga bersalah karena mungkin telah cukup kuat bukti, namun dalam proses hukum haruslah mengedepankan asas praduga tak bersalah (Syamsuddin Pasamai, 2003:56) . commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
Achmad Ali dalam bukunya menjelajahi kajian empiris terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada Garda terdepan karena Polisi yang paling banyak berhubungan langsung dengan warga masyarakat, dibandingkan dengan Penegak Hukum lainnya yang berada “dibalik tembok tinggi” perkantoran tempat mereka bekerja sehari-hari.Oleh karena itu sikap dan keteladanan Personal Kepolisian menjadi salah satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap penegak hukum, yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka. Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan Polisi menurut Achmad Ali merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya ketentuan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, maka selain faktor-faktor tersebut, ada juga pandangan lain seperti ajaran realisme yaitu pengindentikan hukum dengan proses pengadilan. Salmond, misalnya memperbaiki pandangan kaum positivis, khususnya uraian Austin tentang wujud atau sifat hukum yang memodifikasi pendekatan positivisme itu menjadi pendekatan yang realistis (http://heri-bertus. blogspot.com/2008/03 /efektivitas-hukum.html. diakses 10 Oktober 2011). Salmon mendefinisikan hukum sebagai sekumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh Negara melalui peradilan. “Hukum boleh tumbuh di luar kebiasaan maupun dunia praktek, tetapi bagi Salmond, ia baru memperoleh karakter hukum nanti pada saat ia diakui dan diterapkan oleh pengadilan dalam putusan yang dijatuhkannya” (L.J. van Apeldoorn, 2004:20). Menurut Salmond melalui definisi hukumnya yang dikaitkan dengan Pengadilan, menuntut agar tujuan hukum ditukarkan pada jaminan keadilan. Pandangan-pandangan Salmond ini di kecam dan di bantah bahwa keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum.” Dimasa moderen ini, tujuan hukum seperti yang tampak diterima, secara universal adalah terjaminnya ketertiban di dalam masyarakat, kebahagian sebesar-besarnya warga masyarakat dan merekonsiliasi atau penyesuaian antara keinginan seseorang dengan kebebasan orang lain” (L.J. van Apeldoorn, 2004: 23). Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala. Bahkan ada pula ilmuwan yang pernah mengungkapkan commit to user kekecewaannya selama mengamati pelaksanaan penegakan hukum di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Negara yang berlambang Burung Garuda ini, dengan lantang mempublikasikan pernyataannya dalam suatu tulisan, bahwa seandainya Negara, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak peduli pada Penegakan Hukum, maka orang-orang yang cinta hukum tidak boleh putus asa (http://heri-bertus.blogspot.com/2008/03/efektivitas-hukum.html. diakses 10 Oktober 2011). Hal ini, diungkapkan Syamsuddin Pasamai bahwa dimana pada “hakikatnya persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum”. Artinya hukum benar-benar berlaku secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis (Syamsuddin Pasamai, 2003 : 195). Berkenaan dengan morfologi antara efektivitas hukum dengan persoalan-persoalan di sekitar penerapan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut, tidak jarang ditemukan ada warga masyarakat yang memvonis bahwa keadaan Pemerintah (arti luas) di Indonesia, secara empiric mencerminkan bahwa penerapan pelaksanaan dan Penegakan hukum ternyata masih belum atau kurang efektif. Hal ini disebabkan fungsi hukum belum dijalankan sebagaimana mestinya sehingga berakibat tidak dapatnya diwujudkan tujuan-tujuan postif dari hukum. Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa “efektivitas hukum berarti keberhasilan keberhasilan, kemajemukan atau kekujaraban hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai” ( L.J. van Apeldoorn, 2004:289). Pandangan L.J. Van Apeldoorn ini, memandang “efektifnya suatu hukum dilihat dari output, bila di sana-sini masih saja terjadi berbagai pelanggaran-pelanggaran hukum, kriminalitas masih marak dilakukan di mana-mana dengan berbagai modus operasional baru”, maka disinilah hukum dipertanyakan, walaupun dengan ini dapat saja dibantah bahwa bukan hanya hukumnya saja tetapi termasuk pelaksanaan hukumnya (L.J. van Apeldoorn, 2004:330). commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Pertanyaan yang patut untuk dijawab, karena masih saja ada pelanggaran hukum, kenapa orang masih saja mencuri, kenapa orang masih saja ada yang membunuh, kenapa masih saja saja orang melanggar lalu lintas, kenapa masih saja ada yang korupsi dan sederet lagi pertanyaanpertanyaan yang seakan tidak habis untuk dipertanyakan, sementara hukumnya yang mengatur jelas dengan sangsi-sangsinya. Jawaban dari semua ini adalah bahwa efektivitas hukum hanya dapat terlaksana dengan baik, manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak hukumnya serta masyarakat yang mensupport ke arah itu.
4) Tinjauan Umum Pidana Mati a. Pengertian Pidana Mati “Pidana mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan
atas
seseorang
akibat
perbuatannya”
(www.hukumpositif.com). Menurut Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Namun saat ini eksekusi pidana mati tidak lagi menurut Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut, namum berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 eksekusi pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak oleh sebuah regu tembak hingga mati. Hukuman Pidana Mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Umum dan Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan commit to user pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lagi sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku adalah hukuman gantung. Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ini secara tegastegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan, baik dilingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati dengan tata cara sebagai berikut : 1) Dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. 2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, keculai jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu (pasal 2). 3) Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) bertanggung jawab untuk pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. 4) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang KAPOLDA lain, maka KAPOLDA tersebut merundingkannya dengan KAPOLDA itu. 5) KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya. 6) Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi. 7) 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. 8) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya atau pesannya itu diterima oleh jaksa Tinggi/ Jaksa tersebut. 9) Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan. 10) Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. 11) Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. 12) Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA yang bertanggung commit to user jawab membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari
36
perpustakaan.uns.ac.id
13) 14) 15) 16) 17) 18)
19) 20)
21)
22)
23) 24) 25)
26)
digilib.uns.ac.id 37
seorang Bintara (Brigadir - sekarang), 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI). Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/ jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ jaksa dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh Jaksa. jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak segera memerintahkan kepada Bintara regu penembak commit to user pengakhir dengan menekankan untuk melepaskan tembakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. 27) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter. 28) Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain. 29) Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan yang ditentukan oleh agama/ kepercayaan yang dianut terpidana. b. Teori Pendukung Pidana Mati Tidak ada permasalahan hukum yang lebih mendatangkan banyak reaksi dari masyarakat umum selain perdebatan mengenai hukuman mati. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman dari sudut pandang sosial, hukum, dan agama. Oleh karenanya, permasalahan ini telah meningkatkan suhu perdebatan hampir di seluruh negara, sehingga menjadi amatlah penting untuk menghadirkan berbagai dimensi signifikansi sesungguhnya dari perspektif keadilan sosial dan hukum. Kebutuhan untuk menghadirkan permasalahan yang klasik ini, dalam kerangka perpaduan yurisprudensi yang progresif dan realisme yang ada, merupakan salah satu yang harus dilakukan jika semangat masyarakat umum, khususnya para pemerhati hukum, terhadap permasalah sosial memang ingin dilayani dengan sungguh-sungguh (Pan Mohammad Faiz. 2007. “Death Penalty And Right To Life”. Jurnal Death Penalty And Right To Life). Ada beberapa teori yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hukuman mati, antara lain: teori Absolut, teori Relatif dan teori Gabungan. Menurut teori Absolut, syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, siapa yang mengakibatkan penderitaan, maka ia pun harus menderita. Hal tersebut tampak dalam pendapat Immanuel Kant. “Di dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan umum. Hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan” (Jan Remmelink,2003:600). commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Teori kedua adalah teori Relatif. ”Teori Relatif adalah penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu”. Hal tersebut tampak dalam pendapat Feuerbach dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan (Jan Remmelink, 2003:603). Teori ketiga adalah teori Gabungan. Thomas Aquinas membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum (Jan Remmelink, 2003:604). c. Sanggahan terhadap Teori Pendukung Pidana Mati. Hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup adalah hak yang paling fundamental, merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Hak untuk hidup dijamin oleh Pasal 28 Undang- Undang Dasar 1945 yang selaras dengan sila kedua Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Secara sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah bahwa hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup (http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal =pers&id=41, diakses 26 Febuari 2011). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh masalah lainnya seperti kemiskinan atau aparat huku/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Berdasarkan data Amnesty International sekitar 92 negara dari seluruh wilayah di dunia telah menghapuskan hukuman mati bagi semua jenis tindak kejahatan. Sementara itu, 10 negara juga telah menghapuskan hukuman mati kecuali bagi tindak kejahatan tertentu. Negara- negara tersebut sudah jelas tidak menganut Pancasila sebagai filosofi dalam membentuk produk- produk hukumnya tetapi mereka sudah selangkah lebih maju dalam penghargaan hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling asasi (http://www.amnesty.org/en/deathpenalty/). Bahwa hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28 huruf I ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 dan cacat ideologi karena tidak sesuai dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila. Berdasarkan hal- hal tersebut maka sebaiknya dilakukan pengujian produk hukum dengan ancaman hukuman mati terhadap Konstitusi. Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati misalnya dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), UndangUndang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UndangUndang No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang. Lima pembatasan spesifik terhadap hukuman mati dari ketentuan-ketentuan Pasal 6 (2) dan 6 (6) International Covenant on Civil and Political Right, Yaitu : commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Pertama adalah hukuman mati tidak bisa diterapkan kecuali pada kejahatan paling serius dan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan berlangsung. Jadi, meskipun Pasal 6 tidak menghapuskan hukuman mati, tapi ia membatasi penerapannya pada ‘kejahatan yang paling serius’ dan Komite Hak Asasi Manusia menegaskan kebutuhan Negara-negara pihak pada kovenan untuk meninjau ulang hukum pidana mereka dalam masalah ini. Pembatasan kedua hukuman mati dalam pasal 6 ialah keharusan tiadanya perampasan kehidupan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kovenan, sehingga misalnya mesti ada jaminan pemeriksaan yang adil, mesti tidak ada diskriminasi dalam hukuman mati dan metode eksekusi mesti tidak sampai pada penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pembatasan ketiga ialah bahwa hukuman mati hanya bisa dilaksanakan sesuai dengan putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang. Syarat ini juga bertujuan mencegah perampasan kehidupan yang sewenang-wenang dan menjamin keadilan sebagaiman juga merupakan kepatuhan pada proses hukum yang semestinya. Pembatasan keempat ialah bahwa siapa saja yang dihukum mati berhak meminta pengampunan atau keringanan hukuman dan bisa di beri amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman. Hak atas pengampunan, keringanan hukuman, atau pemberian amnesti muncul setelah putusan dan penghukuman akhir oleh pengadilan tinggi. Ini terkait dengan pelaksanaan hukuman setelah pemeriksaan pengadilan yang tidak berpihak pada proses hukum yang semestinya. Pembatasan Kelima ialah bahwa hukuman mati tidak bisa dikenakan pada remaja di bawah umur 18 tahun dan tidak bisa di laksanakan pada wanita hamil. Dengan pembatasan ini, Kovenan secara mutlak melarang penghukuman mati remaja di bawah 18 tahun terhadap kejahatan apapun, termasuk kejahatan yang paling serius. Dalam kasus wanita hamil, mereka bisa dijatuhi hukuman mati atas ‘kejahatan paling serius’, tapi hukuman tidak bisa dilangsungkan sampai kelahiran bayinya (Hasliddin. 2011 .”Kajian HAM Terhadap Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Pembunuhan Di Kota Kendari”. Jurnal Kajian HAM Terhadap Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Pembunuhan Di Kota Kendari. Vol 3).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5). Data Penerima Hukuman Mati di Indonesia No Nama 1. Agung Widodo 2. Harnowo Dewanto (alias Oki) (19911992) 3. Zaenal Arifin alias Ipin bin Maryono 4. Mochamad Syamsudin 5. Aris Setiawan 6. Koh Kim Chea (Malaysia, 1991) 7. 8.
Koptu Soedjono La Aja bin La Feely
9.
Rois alias Iwan Dharmawan Mutho (Bom di Kedutaan Australia, Jakarta, 2004) Ahmad Hasan alias Agung Cahyono (Bom di Kedutaan Australia, Jakarta, 2004) Edi Setiono (alias Abas alias Usman) (Bom Atrium Mall, Jakarta, 2001) Taufik bin Abdullah Halim (Malaysia) (Bom Atrium Mall, Jakarta, 2001) Humphrey Ejike (alias Doctor) (Nigeria) Gap Nadi (alias Papa) (Nigeria)
10.
11. 12.
13. 14.
15. Ek Fere Dike Ole Kamala (alias Samuel) (Nigeria) 16. Eugene Ape (alias Felixe) (Nigeria)
Proses Hukum 2002 Grasi dan kasasi ditolak
Ditahan di Jakarta Jakarta
2001 Putusan MA (2000) 1997 PN Batam (1992) Banding Putusan MA (1988) PN Ujung Pandang (1988) PT DKI Jakarta (13/09/2005)
Jakarta Jakarta Jakarta Cipinang, Jakarta Jakarta Jakarta
PT DKI Jakarta (14/09/2005)
Jakarta
PN Jakarta Pusat (2002) Banding PN Jakarta Pusat (2002) Banding
Jakarta
PN Tanjung Pinang, Riau (12/6/06) -
Cipinang, Jakarta Cipinang, Jakarta Cipinang, Jakarta Cipinang, Jakarta Cipinang, Jakarta Cipinang, Jakarta Cipinang, Jakarta Cipinang, Jakarta Jakarta Jakarta
-
17. Martin Anderson (alias Belo) (Ghana)
PN Jakarta Selatan
18. Seck Osmone (Nigeria)
PN Jakarta Selatan
19. Sastra Wijaya
PN Jakarta Barat (2005) Banding PN Jakarta Barat (2005) Banding PN Jakarta Barat (2001) PN Jakarta Barat (2006)
20. Yuda (alias Akang) 21. Ken Michael (Nigeria) 22. Federikk Luttar (Zimbabwe)
Gambar 2 : Tabel Kasus Pidana Mati Di Indonesia commit to user
42
Jakarta
Jakarta
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
Penjelasan : Berdasarkan tabel diatas, kejahatan yang sering dijatuhkan pidana mati yaitu kejahatan terorisme dan narkotika. Karena kejahatan tersebutlah yang paling banyak di lakukan oleh masyarakat, dan kejahatan tersebut juga yang terdapat sanksi pidana matinya. Dan dalam tabel di atas juga, yang paling banyak dijatuhi pidana mati untuk kasus narkotika yaitu warga asing. Karena warga asing tersebut sering melakukan penyelundupan narkotika ke Indonesia untuk dijual kembali di Indonesia. Sedangkan untuk kasus lainnya yang sering dijatuhi pidana mati yaitu kasus terorisme yang sering dilakukan oleh warga negara Indonesia sendiri. Para teroris itu mengatasnamakan Islam dengan melakukan jihad dengan cara melakukan pengeboman besar-besaran. Meskipun pidana mati telah sering kali dijatuhkan, namun itu tidaklah mengurangi angka kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan data di atas, bahkan setiap tahun selalu ada yang dijatuhi pidana mati. Pidana mati dengan angka kejahatan bukanlah hubungan yang bisa dijadikan korelasi, karena tidaklah setara untuk dibandingkan. Hal demikian disebabkan karena hukum tidak bisa dilihat secara sistematis. Adakalanya suatu perbuatan tindak pidana tidak sesuai dengan hukuman pidana yang dijatuhkan. Pada dasarnya angka kejahatan hanya bisa dilihat dari kesadaran masyarakat terhadap hukum yang mengatur, bukan dari banyaknya atau beratnya sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Jadi telah terbukti bahwa walupun ada sebagian tindak pidana yang masih diancam dengan pidana mati tidak menjamin para pelaku tindak pidana merasa takut. Para pelaku tindak pidana serta masyarakat pada umumnya masih mengganggap belum adanya kepastian hukum, hukum masih dipandang tidak berpihak terhadap masyarakat kecil.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Pidana Mati
Undang-Undang Narkotika
Undang-Undang Terorisme
Efektivitas
Kendala dalam memutus Pidana Mati Gambar 3: Skematik Kerangka Pemikiran
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Penjelasan: Dalam hal ini, penulis mengkaji mengenai sanksi pidana mati yang telah menjadi wacana di masyarakat. Sanksi pidana mati banyak ditemukan di beberapa undang-undang negara Indonesia, untuk itu penulis akan lebih lanjut membahas yaitu khususnya di dalam undang-undang terorisme dan undang-undang narkotika, karena kedua undang-undang tersebut sekarang ini marak terjadi.untuk itu maka penulis terlebih dahulu akan menginventarisir pasal-pasal yang ada di kedua undang-undang tersebut. Dalam penerapannya di dalam masyarakat, undang-undang terorisme dan
undang-undang narkotika tersebut
belum
sepenuhnya dipahami oleh masyarakat umum. Maka oleh karena itu penulis berupaya menjelaskan mengenai keefektifitasan undang-undang narkotika dan undang-undang terorisme. Untuk menguji keefektifan kedua undang-undang tersebut maka diperlukan penelitian langsung maupun kepustakaan. Dalam mewujudkan keefektifasan itu penulis menemukan beberapa kendala yang di hadapi oleh para aparat penegak hukum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III PEMBAHASAN A. Efektivitas sanksi pidana mati yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme dan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam menanggulangi kejahatan. 1. Gambaran umum aturan mengenai sanksi pidana mati dalam peraturan perundang-undangan. Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia. Dari pendekatan historis dan teoritik. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan. Dalam perkembangannya teori ini mengalami perubahan yang signifikan. Hingga saat ini tujuan pemidanaan tidak lagi ditujukan untuk memberikan efek jera akan tetapi lebih kepada rehabilitasi terhadap terpidana, yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat. Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya. Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut: “Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan” http://jurnalhukum.blangspot.com/2007/05/penelitianhukum-hukuman-mati-dan-hak.html. Dalam Rancangan Undang - Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana masih dipertahankan hukuman mati karena lebih didasarkan pada pertimbangan mencari jalan tengah untuk pendukung dan penentang pidana mati di Indonesia, yang sama kuatnya. Penerapan hukuman mati di Indonesia merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Dasarnya adalah commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang dulu bernama Wetboek van Strafrecht (W.v.S). Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok: 1. Hukuman mati 2. Hukuman penjara 3. Hukuman kurungan 4. Hukuman denda b. Pidana tambahan: 1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu 2. Perampasan barang yang tertentu 3. Pengumuman keputusan Hakim Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP misalnya ; a. Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara b. Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia c. Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang d. Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat e. Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu f. Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati g. Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati h. Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara i. Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang j. Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan Hukuman mati tidak saja diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai bagian dari tindak pidana umum, Pemerintah menerbitkan pula peraturan perundang-undangan lain, misalnya, UndangUndang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang tentang Narkotika, Undang-Undang
tentang
Psikotropika,
dan
Undang-Undang
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Efektivitas sanksi pidana mati dalam Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme. a) Uraian tentang aturan sanksi pidana mati dalam Peraturan Perundangundangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Di dalam Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai sanksi pidana mati, yaitu : 1) Pasal 6, yang menyatakan : ”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau commit to user ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. 2) Pasal 9, yang menyatakan : ”Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. 3) Pasal 10, yang menyatakan : ”Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
senjata
kimia,
senjata
biologis,
radiologi,
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hakhak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Pasal 14, yang menyatakan : “Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup”. 5) Pasal 19, yang meyatakan : “Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun”. Dari penjelasan paal-pasal di atas bahwa diketahui satu persamaan pokok mengenai terorisme yaitu hal-hal yang bersifat terror dan menyangkut masyarakat umum. Dijelaskan pula di dalam pasal-pasal di atas bahwa pidana mati di dalam Undang-undang Terorisme hanya terdapat didalam pasal yang khusus, yang telah penulis jabarkan di atas. b) Aturan pidana mati dalam peraturan internasional. Di dalam Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme, dalam salah satu pasal di dalamnya terdapat pasal yang mengatur mengenai kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas terorisme. Yaitu terdapat dalam Pasal 43, yang berbunyi : “Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kegiatan terorisme internasional sudah terbukti sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara dimana korban mati atau luka berat sangat to user banyak dan kerusakan commit bangunan dan fasilitas publik tidak dapat
50
perpustakaan.uns.ac.id
dihindarkan
digilib.uns.ac.id 51
sehingga
sulit
untuk
tidak
memberikan
beban
pertanggungjawaban yang sangat berat terhadap para pelaku terorisme internasional tersebut. Kegiatan terorisme internasional telah diatur dalam beberapa konvensi internasional menentang terorisme internasional dan pemerintah
Indonesia
termasuk
negara
penandatangan
konvensi
internasional tentang pemberantasan pendanaan untuk terorisme (1999) dan terikat kepada Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 tahun 2001 yang menegaskan kewajiban seluruh negara anggota PBB termasuk Indonesia untuk antara lain melakukan pembekuan tanpa ditunda-tunda seluruh aset dan keuangan dan yang memfasilitasi kegiatan terorisme. Di Pendanaan
dalam
Konvensi
Terorisme
(1999)
Internasional dan
tentang
Kovensi
Pemberantasan
Internasional
tentang
Pemberantasan Pemboman oleh Teroris (1997) telah dibedakan antara terorisme internasional dan terorisme domestik di mana ketentuan Pasal 3 dari kedua konvensi tersebut menegaskan bahwa ketentuan dalam konvensi tidak berlaku terhadap kegiatan seseorang yang terjadi disatu negara dan dilakukan oleh warga negara yang bersangkutan kecuali terlibat yurisdiksi negara lain di dalamnya. Pada tahun 2003 akhirnya Indonesia meratifikasi konvensi internasional mengenai terorisme yang di tuangkan dalam Undang-Undang No.15 tahun 2003 tentang Terorisme. PBB sebagai salah satu organisasi internasional di dunia telah menjadi pusat pengkajian akan perjanjian-perjanjian internasional yang berkenaan dengan terorisme. Ada 12 perjanjian internasional yang berkaitan dengan terorisme, walaupun sangat terbatas, yaitu : 1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (“Tokyo Convention,” 1963). 2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague Convention,” 1970) 3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (“Montreal Convention,” 1971) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973) 5. International Convention Against the Taking of Hostages (“Hostages Convention,” 1979) 6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials Convention,” 1980) 7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, (1988) 8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (1988) 9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988) 10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection (1991) 11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997 UN General Assembly Resolution) 12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (1999) Cyber-terorisme Selain
kurang
efektifnya
pengaturan
internasional
karena
didasarkan pada pelaksanaannya yang masih sangat memprihatinkan, dunia internasional nampaknya harus bekerja keras untuk memprediksi jenis aksi-aksi terorisme di masa depan. Aksi terorisme di masa depan dapat dipastikan lebih destruktif dengan cara yang lebih modern, yaitu tehnologi komputer. Untuk saat ini belum ada konvensi internasional yang mengatur mengenai terorisme dengan alat tehnologi komputer, atau lebih dikenal dengan cyber-terorisme. Ketergantungan dunia yang global akan komputer commit to user membuat rentan sistem akses pada teknologi internet. 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
“The vulnerabilities created by access to information, and to information architecture, outstrip by far, those of any analogous reference point in the history of civilization. Every hacker, criminal and government with the equipment, minimal expertise, and raw determination to intrude has the capability of bringing harm to both individuals and structures” Potensi destruktif akan sangat besar, mengingat era informasi dimana hampir seluruh dunia sudah terkoneksi dengan tehnologi internet. Segala ketentuan internasional yang ada akan menjadi rancu jika terorisme dilancarkan dengan teknologi komputer. Ketentuan internasional yang mengatur permasalahan non-armed attack, yaitu penyerangan tanpa kekerasan sangatlah terbatas, salah satu dari sedikit ketentuan yang dapat mengatur tehnologi komputer ini adalah dengan resolusi Majelis Umum PBB no. 3314, pun kekuatan ketentuan ini masih sangat dapat diperdebatkan, “…the use of armed force by a state against the sovereignty, territorial integrity or political independence of another state, or in any manner inconsistent with the Charter…” c) Pelaksanaan sanksi pidana mati dalam Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 2002 jo Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Untuk memberikan penjelasan mengenai persoalan efektivitas pidana
mati
dalam
Undang-Undang
Terorisme,
maka
penulis
menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan sanksi pidana mati di dalam undang – undang terorisme terdapat 4 faktor yaitu : 1. Faktor Substansi Kaidah Hukum Substansi atau materi dari suatu produk peraturan perundangundangan merupakan faktor yang cukup penting untuk diperhatikan dalam penegakkan hukum, tanpa substansi atau materi yang baik dari suatu peraturan perundang-undangan rasanya sangat sulit bagi aparatur penegak hukum untuk dapat menegakkan peraturan perundangan to user secara baik pula, dan commit hal tersebut sangat ditentukan atau dipengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketika proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan. Menurut penulis, substansi kaidah hukum dalam pengaturan pidana mati dalam undang-undang terorisme sudah baik. Karena halhal yang diatur dalam peraturan perundangan tersebut telah dirumuskan secara jelas, tegas, sistematis dan mudah untuk dimengerti oleh semua pihak, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi setiap orang yang membaca peraturan perundangan tersebut. Pendapat penulisan di atas diperkuat dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan mengenai substansi kaidah hukum dalam Undang-undang Terorisme dengan beberapa pakar hukum yaitu Hakim Pegadilan Negeri Jakarta Utara, Wakasat Reskrim Polres Jakarta Utara dan Dosen Pidana Universitas Sebelas Maret Surakarta dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum yang terdapat dalam Undangundang Terorisme dapat dikatakan sudah baik karena didalam peraturan perundangan tersebut telah dirumuskan secara jelas, tegas, sistematis dan mudah dimengerti oleh semua pihak tanpa terkecuali, sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kejahatan di dalam tindak pidana terorisme. 2. Faktor Aparatur Penegak Hukum Dalam hal faktor aparatur penegak hukum dimana mempunyai fungsi yang penting yaitu sebagai pengadil dan juga eksekutor para pelaku tindak pidana terorisme. Dari hasil penelitian penulis menpunyai pandangan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia yang terdiri dari Polisi, Hakim dan Jaksa mempunyai peran masing-masing dalam hal menentukan nasib dari terpidana kasus terorisme oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa dari faktor aparatur penegak hukum masih terjadi penyimpangan maupun kesalahan. Pendapat penulis ini diperkuat oleh hasil penelitian yang penulis lakukan dengan cara commit to user wawancara dengan pakar hukum dan tokoh masyarakat yang telah
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
penulis sebut di atas mempunyai pandangan yang sama dengan penulis. Pandangan mereka dapat penulis simpulkan bahwa aparatur penegak hukum masih lemah dalam pelaksanaan sanksi pidana mati dikarenakan adanya interfensi dari suatu Lembaga Negara dan masih ditemukannya aparat penegak hukum yang korup. Para penegak hukum pun kurang konsisten dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum sehingga membuat masyarakat kehilangan rasa keadilan dan krisis kepercayaan kepada aparat penegak hukum.
3. Faktor Kesadaran Hukum Menurut Soerjono Soekanto, “terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu bagi tahapan berikutnya, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum. Demikian juga Lawrence Friedmann mengkatogerikam budaya hukum sebagai moralitas dalam konteks pemikiran sistem hkum”. Menurutnya aspek budaya hukum dianggap sebagai kesadaran hukum yang muncul sebagai tingkah laku yang didasari oleh suara bathiniyah yuridis. Dengan demikian munculnya kesadaran manusia untuk menjalankan hukum sesuai dengan kaidah normatif dibungkus oleh moralitas seseorang sebagai pencerminan dari moralitas religi yang dianut (Soerjono Soekanto, 2006:105). Menyangkut tindak pidana terorisme, penurut penulis tidak adanya kesadaran hukum dan sikap apatis terhadap hukum yang berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme karena kurang adanya pemahaman yang baik terhadap hukum dan rasa kekecewaan terhadap penegakkan hukum yang sudah ada. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan mengenai hal ini penulis mendapatkan kesimpulan bahwa kesadaran hukum dapat berkembang dengan baik apabila adanya sosialisasi hukum yang intensif kepada masyarakat serta peraturan dan penegakkan hukum yang ada harus konsisten dan dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipertanggungjawabkan, maka kesadaran hukum itu akan terwujud dengan sendirinya didalam diri masyarakat. 4. Faktor Sarana atau Fasilitas Hukum Pendapat penulis mengenai sarana atau fasilitas hukum sangat penting dalam menjamin terwujudnya efektivitas hukuman mati di Indonesia. Ruang lingkup yang dimaksud adalah meliputi sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Seperti tempat pelaksanaan hukuman mati dan petugas eksekusi yang dilakukan oleh Brimob. Dalam hal menentukan tempat pelaksanaan kendala yang sering terjadi adanya pro-kontra di masyarakat tempat rencana hukuman mati itu akan dilaksanakan. Mengenai petugas eksekusi kendala yang muncul biasanya berasal dari psikologi si eksekutor. Dari hal tersebut diatas terlihat bahwa sarana yang ada belum siap dalam hal pelaksanaan hukuman mati. Dengan adanya berbagai macam faktor dan perundang-undangan yang telah dijelaskan diatas, kenyataannya pidana mati sama sekali tidak mempengaruhi pengurangan angka kejahatan dalam bidang terorisme. Contohnya, kasus Amrozi dan Imam Samudra yang telah dieksekusi pidana mati pada tahun 2008. Namun kejahatan dalam bidang terorisme masih saja berlangsung sampai saat ini, bahkan kejahatan tersebut terus saja bertambah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pidana mati tidak efektif dalam menanggulangi kejahatan dibidang terorisme.
3. Efektivitas sanksi pidana mati dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. a) Uraian tentang aturan sanksi pidana mati dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat didalamnya beberapa pasal yang mengatur mengenai sanksi pidana mati, yaitu : to user 1) Pasal 116 ayat 2, yang commit menyatakan :
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
”Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.
2) Pasal 118 ayat 2, yang menyatakan : “Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)” 3) Pasal 119 ayat 2, yang menyatakan : “Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”. 4) Pasal 121 ayat 2, yang menyatakan : “Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur commitpaling to user hidup, atau pidana penjara singkat 5 (lima) tahun dan paling
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”. 5) Pasal 133 ayat 1, yang menyatakan : “Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)”. Pasal-pasal di atas menjelaskan bahwa masih adanya sanksi pidana mati di dalam Undang-undang Narkotika. Dimana setiap pasal mempunyai criteria tertentu mengapa masih di cantumkan sanksi pidana mati, tetapi dari pasal-pasal di atas terdapat persamaan yaitu hanya tertuju pada orang yang mengedarkan atau memproduksi. Serta masih adanya sanksi pidana mati di dalam Undang-undang Narkotika mempertegas bahwa Narkotika adalah sebuah ancaman serius bagi Negara dan juga masyarakat.
b) Aturan pidana mati dalam peraturan internasional. Masalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional karena itu, upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan
narkotika
dalam
negeri
commit to user
58
harus
disenergikan
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
diitegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional. Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk : 1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional. 2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan 3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menmgulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius. Dalam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control (UNDCP). Badan ini secara commitProgramme to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolosi ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan : (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika; (b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan. Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ESEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional
ASEAN
ini
meliputi
kegiatan-kegiatan
bersama
untuk
meningkatkan : 1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika. 2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika 3. Membentuk badang koordinasi di tingkat nasional; dan 4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan commit to user internasional. 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional. c) Pelaksanaan sanksi pidana mati dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk memberikan penjelasan persoalan efektivitas pidana mati dalam Undang-Undang Terorisme, penulis menggunakan teori Soerjono Soekanto yang terdapat 5 teori, yaitu : 1) Faktor Subtansi Kaidah Hukum Faktor Subtansi Kaidah Hukum, yang di dalam penulisan ini hanya akan dibatasi pada Undang-undang Narkotika saja. Undang-undang Narkotika telah mengalami pembaharuan dengan maksud agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis, dan mencegah serta memberantas peredaran narkotika yang menunjukkkan kecendrungan semakin meningkat. Dalam perubahan undang-undang narkotika mengatur mengenai pemberatan ancaman pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Diatur pula mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu BNN. Secara normatif Undang-undang Narkotika sudah baik dan seharusnya mampu mencegahdan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana narkotika karena undang-undang tersebut mengatur ancaman pidana yang lebih berat daripada undang-undang sebelumnya dan memberikan sanksi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pidana mati kepada pelaku, memenuhi asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undang, seperti tidak berlaku surut (asas legalitas), kemudian tidak terdapat norma yang kabur, norma kosong maupun konflik norma dalam undang-undang tersebut, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
sehingga seharusnya dapat
dilaksanakan secara maksimal oleh para penegak hukum dalam praktik. Namun berdasarkan data-data di atas dapat diketahui bahwa undangundang Narkotika tidak efektif. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak menerapkan hukum. Di dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakimaan, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Selama ini pihak penegak hukum bukan saja gagal menangkal tindak pidana narkotika tetapi mungkin saja ikut membantu kelancaran pelaksanaan dan atau terlibat tindak pidana narkotika maupun sebagai pengguna narkotika.
2) Faktor Aparatur Penegak Hukum Aspek kelembagaan yang dibangun untuk penegakan hukum (law enforcement) penyalahgunaan narkotika didasarkan pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 dengan membentuk satu badan khusus yang disebut Badan Koordinasi Pelaksana (BaKoLak) untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan (pencegahan maupun penindakan) masalahmasalah keamanan negara. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dimasukkan sebagai salah satu masalah nasional yang dapat mengancam ketertiban umum dan keamanan negara selain tindak pidana uang palsu, subversi, penyelundupan, korupsi, dan kenakalan remaja. commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Lemahnya kinerja penegakan hukum (law enforcement) tidak saja karena faktor perundang-undangan narkotika (substance), tetapi juga karena kinerja aparat penegak hukum (structure) dalam penanggulangan (pencegahan maupun penindakan) tindak pidana narkotika. Kelemahan dari faktor UU Narkotika 1997 antara lain : (a) jarak antara ancaman pidana minimum khusus dengan maksimum khusus (toleransi disparitas) sangat jauh dan bervariasi tanpa disertai dengan pedoman penentuannya; (b) tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum pedoman penjatuhan pidana (sentencing standard guidelines), sehingga memberi peluang judicial discretion yang terlalu luas bagi hakim dalam memutus perkara narkotika; (c) terdapat inkonsistensi dalam penggunaan prinsip pencantuman ancaman pidana, karena terdapat beberapa pasal yang tidak mengatur ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus sedangkan pasal-pasal yang lain mengaturnya; (d) tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh nkorporasi hanya diancam dengan pidana dengan disertai dengan pidana tambahan seperti pencabutan ijin atu penutupan sebagaian atau keseluruhan korporasi; (e) ancaman pidana denda untuk korporasi jumlahnya milyaran rupiah tanpa menegaskan ancaman minimum khususnya, sehingga memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana dengan dengan minimum umum yang jumlahnya sangat kecil bagi suatu korporasi, Sedangkan, kelemahan dari kenerja aparat penegak hukum (polisi), jaksa maupun hakim) dalam penanaggulangan tindak pidana narkotika dapat ditinjau dari aspek-aspek seperti berikut : (a) personalitas dan moralitas aparat penegak hukum (personality and morality), manajemen dan sarana penegakan hukum (management and equipment/facilities), sistem rekruitmen dan promosi (recruitment and promotion system), serta sistem penghargaan dan penghukuman (reward and punisment system). Integritas moral menjadi fundamental ketika seseorang memilih profesi sebagai aparat penegak commit hukumto dan user keadilan; integritas moral dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
personalitas seorang akan diuji dalam pelaksanaan wewenang dan swadharma penegakan hukum, karena profesi penegak hukum merupakan profesi (swadharma) yang mulai dan terhormat (honorable and respectable profession). Agar aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya secara efesien, efektif, dan profesional, maka harus didukung oleh sistem manajemen, sarana dan fasilitas yang memadai, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) penegak hukum. Hal ini harus dimulai dari penataan sistem rekruitmen dan promosi yang konsisten dan obyektif, disertai dengan sistem rewart bagi yang berprestasi dan penjatuhan punisment bagi yang berwanprestasi dalam kinerja penegakan hukum. 3) Faktor Kesadaran Hukum Dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, pasal 56 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, bahkan dalam pasal 57 ayat (1) disebutkan untuk setiap pengadilan agar dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu, dengan demikian para Advokat/pengacara mempunyai kewajiban moral dan undang-undang wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Dengan ketentuan Undang-Undang tersebut dapat dipahami bahwa kultur kesadaran hukum tidak hanya diwujudkan kepada masyarakat (yustiabelen) sebagai pihak (in person) tetapi juga kultur kesadaran hukum diwujudkan pula kepada Advokat/Pengacara sebagai pihak formil yang bersentuhan dengan kasus dari pihak individu/badan dimana Advokat/Pengacara itu sebagai kuasa hukumnya, jangan sampai terjadi dalam membantu pihak-pihak pada proses persidangan melupakan nilai keadilan, tetapi harus mampu berbuat adil commit to user bersalah secara hukum, jangan dalam arti jika memang kliennya memang
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
sampai memperjuangkan secara mati-matian membela yang salah apalagi sampai terjadi suatu permainan teknologi jahat tersistem dengan menjalin hubungan dosa melanggar hukum kepada penegak hukum lain yang menangani kasusnya, apalagi terhadap kasus pidana terjadi jalinan hubungan dosa teknologi jahat dengan aparat hukum selain hakim (jaksa maupun polisi) maka akan rusaklah hukum dan keadilan. Dengan demikian membangun kesadaran hukum masyarakat diperlukan menegakkan
keberanian
masyarakat
sendi-sendi
keadilan,
untuk
membela
kesadaran
dirinya
masyarakat
guna untuk
menghargai proses hukum dengan menjunjung tinggi hukum, tidak berbuat anarkis, berbuat semena-mena, dan kejam. Masyarakat maupun pemberi bantuan hukum harus menjunjung tinggi aspek moral (akhlakul karimah), menghindari segala bentuk penyuapan. Dengan demikian kultur hukum kesadaran masyarakat dan kesadaran penegak hukum yang membantu masyarakat pencari keadilan harus dibangun diatas landasan hukum dan moral yang baik (basic of the law and good morality) agar efektifitas hukum di Indonesia dapat diwujudkan. 4) Faktor Sarana atau Fasilitas Hukum Faktor berikutnya adalah sarana atau fasilitas yang mendukung penegakaan hukum.Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin upaya pemberantasan tindak pidana narkotika berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Dalam hal menentukan keefektivan hukuman mati dalam Undang-undang Narkotika peran sarana atau fasilitas hukum dalam hal eksekusi hukuman mati kendala yang dihadapi mengenai tempat dan waktu pelaksanaan serta eksekutor pelaksana hukuman mati. Dengan adanya berbagai macam faktor dan perundang-undangan yang commit to user telah dijelaskan diatas, kenyataannya pidana mati sama sekali tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempengaruhi pengurangan angka kejahatan dalam bidang narkotika. Contohnya, kasus Namaona Denis warga Negara Afrika Selatan yang telah dieksekusi pidana mati pada tahun 2008. Namun kenyataannya kejahatan dalam bidang narkotika masih saja berlangsung sampai saat ini, bahkan kejahatan tersebut terus saja bertambah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pidana mati tidak efektif dalam menanggulangi kejahatan dibidang narkotika.
B. Kendala – kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penjatuhan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme dan narkotika. Proses penjatuhan pidana yang terkandung dalam setiap vonis hakim bisa dibaca dan dimaknai secara baik oleh masyarakat. Masyarakat bisa melihat paradigma berpikir hakim dalam mempertimbangkan orientasi tujuan pemidanaan, mulai yang tersederhana yaitu teori pembalasan (retributive theory) atau teori absolut, kemudian teori utilitarian atau teori relatif sampai dengan teori gabungan. Teori ‘detterent’ khususnya teori pencegahan umum (general detterent) untuk menimbulkan rasa takut terhadap pidana mati dalam rangka pencegahan kejahatan. Adapun kendala-kendala dalam penjatuhan putusan pidana mati yaitu : a. Legal Justice 1) Alat Bukti Di dalam suatu tindak pidana di perlukan setidaknya tiga alat bukti untuk dapat di ajukan ke muka persidangan. Oleh sebab itu alat bukti menjadi kendala utama dalam penjatuhan putusan pidana mati. 2) Aparat Penegak Hukum Di Indonesia, seperti dalam semua sistem peradilan kejahatan, penerapan pidana mati bisa membuat kegagalan peradilan yang tidak mungkin diperbaiki. Kekhawatiran ini ditambah dengan masalah di dalam sistem peradilan Indonesia yang telah dikenal luas. Ada bukti bahwa userdikenai pidana mati, gagal untuk peradilan dalam beberapacommit kasus toyang
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
menegakkan
standar
internasional.
Pelanggaran-pelanggaran
yang
dilaporkan ke Amnesty International adalah: a) Kurangnya akses ke pengacara Beberapa orang yang telah dijatuhi pidana mati telah ditolak aksesnya untuk mendapatkan pembela pada tingkat pra-peradilan, menolak mereka atas hak untuk mempersiapkan pembelaan, dalam konflik KUHP dan standar internasional untuk mendapatkan pemeriksaan pengadilan yang adil. Juga ada kekhawatiran bahwa dalam beberapa kasus, mereka yang telah ditolak permohonan grasinya, telah ditolak aksesnya untuk bertemu pembela menjelang eksekusi mereka. Dalam hal orang asing, di mana akses ke anggota keluarga tidak dimungkinkan, hal ini berarti telah meniadakan akses mereka ke dunia luar. b) Kurangnya akses ke penerjemah Dalam beberapa kasus, ada laporan-laporan tentang orangorang asing yang tidak didampingi penerjemah, baik selama interogasi awal maupun pada saat diadili. Hal ini telah menghalangi mereka untuk mendapatkan hak mengerti secara penuh tentang tuntutan terhadap mereka, supaya bisa mempersiapkan pembelaan dengan cukup. Komite HAM PBB telah menyatakan bahwa hak untuk mendapatkan penerjemah merupakan “kepentingan dasar dalam kasus-kasus di mana ketidaktahuan tentang bahasa yang digunakan oleh suatu pengadilan atau kesulitan untuk mengerti bisa merupakan hambatan utama terhadap hak untuk membela”. Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik juga menjamin hak seorang tersangka “untuk mendapatkan bantuan penerjemah secara bebas bila dia tidak bisa mengerti atau tidak bisa berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan”. b. Moral Justice (rasa kemanusiaan) Untuk dapat mencapai tujuan diterapkannya pidana mati maka commit user sebaiknya pelaksanaan pidana matitodilaksanakan secara cepat dan terukur.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rentang waktu yang sangat lama, antara vonis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan waktu pelaksanaan pidana mati oleh aparat yang berwenang, yang sering terjadi di Indonesia, bisa menyebabkan tujuan pidana dan pemidanaan menjadi sulit untuk dicapai. Dan hal ini bisa menimbulkan double jeopardy (penderitaan ganda). Keadaan seperti ini yang membuat problematika yang membawa pengaruh cukup besar terhadap pelaksanaan eksekusi dalam kasus-kasus pidana mati. Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak terkira. Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970. Namun hingga kini, 37 tahun berselang, ia belum dieksekusi. Ini sesuatu yang tidak adil. Dia harus menjalani tiga hukuman yakni hukuman mati, hukuman penjara selama 37 tahun, dan hukuman psikologis. Kemudian kasus Bom Bali dengan terpidana mati, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron yang ditunda pelaksanaan eksekusinya yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Agustus 2006. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang hampir sama dengan dua kasus tersebut. c. Social Justice Opini Publik (Pro dan Kontra) Pada saat terjadi suatu kasus pidana yang dituntut hukuman mati, maka di masyarakat akan timbul opini dan perdebatan. Pro dan kontra yang berkembang akan mempengaruhi para penegak hukum dalam memutus hukuman mati.dampak baiknya ini menjadi alat kontrol commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
secara tidak langsung terhadap para penegak hukum untuk lebih waspada dalam menangani kasus tersebut. Pro dan kontra yang terjadi juga dapat mengakibat hal buruk terhadap para penegak hukum, karena apabila terjadi putusan yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat padahal sesuai dengan bukti dan fakta persidangan. Maka dikawatirkan akan terjadi konflik di masyarakat yang bisa berujung pada kerusuhan dan tindakan anarkhis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN 1. Sanksi Pidana Mati yang terapkan pada Tindak Pidana Narkotika dan Tindak Pidana Terorisme tidak efektif dikarenakan masih banyaknya kasus yang terjadi mengenai Tindak Pidana Narkotika dan Terorisme di masyarakat. Jadi walaupun hukuman mati tetap diterapkan tidak mempengaruhi para pelakunya untuk takut dan menjadi jera. 2. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kendala-kendala yang dihadapi dalam penjatuhan sanksi pidana mati yaitu di bagi menjadi 3 alasan, yaitu: legal justice, moral justice dan social justice. Akan tetapi hukuman mati dapat dilakukan, meskipun hal tersebut sama saja menghilangkan nyawa seseorang dan bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, namun yang menjadi permasalahan adalah jika si pelaku kejahatan telah melakukan kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain ataupun melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
B. SARAN 1.
Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
2.
Pemerintah Indonesia harus menghapus hukuman mati dari sistem hukum didasarkan pada alasan-alasan di atas. Hukuman mati bagi tindak pidana terorisme dan narkotika dapat digantikan dengan pidana penjara seumur hidup dan apabila dimungkinkan dapat dilakukan penyuluhan atau pendidikan terhadap para pelaku. commit to user
70