perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN TEORITIS TENTANG ANTINOMY NORMEN (KONFLIK NORMA) ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG ADVOKAT TERKAIT DENGAN
KEWAJIBAN MEMEGANG KERAHASIAN KLIEN BAGI ADVOKAT (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PASURUAN, PUTUSAN NOMOR : 101/PID.B/2007/PN.PSR)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh FARIED MUHAMMAD YAMIN NIM. E0008340
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
S
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Man Jadda Wajadaa. (Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil)
Segala hal yang sulit akan terasa lebih mudah jika sebelumnya ditata dengan baik (Kristiyadi, S.H., M.Hum.)
Untuk memahami hati dan pikiran seseorang, Jangan melihat apa yang telah diraihnya, Lihatlah apa yang telah dia lakukan untuk menggapai cita-citanya (Kahlil Gibran)
Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak (Aldus Huxley)
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah. (Thomas Alva Edison)
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati... sebuah karya yang sederhana ini, penulis persembahkan kepada :
1. Dzat yang Maha Agung, Allah SWT, penguasa alam semesta & pemilik hidupku 2. Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat yang senantiasa kita nantikan safaatnya di akhirat kelak 3. Keluargaku
tercinta (ayahanda
Drs. Dwi Isunaryono M.M., ibunda
Dra. Nurhasanah Latief S.H., M.M., M.Kn.) terima kasih atas cinta yang tak pernah padam, atas kepercayaan & harapan yang diberikan untukku. 4. Nenekku tercinta Hj. Asroriah Latief, terima kasih atas doa yang selama ini telah dipanjatkan untuk kesuksesanku. 5. Kakakku tercinta Drajat Muhammad Nur S.H., S.E., M.Kn., Rizka Dian Rachmawati S.E., M.Si., dan Kenfitria Diah Wijayanti, S.S., M.Hum. 6. Pamanku H. Muhammad Nasir Latief, S.S., MA., terima kasih atas dukungannya selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya 7. Yang tersayang Dian Wahyuningtiyas, S.Ked, makasih atas doa dan dukungannya selama ini. 8. Untuk kakak angkatku Elfa Roza, S.H., yang selalu memberikan inspirasi serta mendukung dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Erwan Adi, Nur Saefodin, Ananda Mega W, Adhiputro Pangarso, Tabah Ikrar, Mahendra Hengki, Eric Mustika W, Enggar Santoso, Hengki Rama, Teuku Agam Gifari, Heri Susanto, Triyono, Shoffa Salsabila Al Fafa dan Olvita Winastesia, terima kasih sobat-sobatku semua atas dukungannya hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi. Aku bangga dengan kalian, semoga tetap dijaga persahabatan kita.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsiku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan bapak, ibu dan teman-teman semua menjadi amalan kebaikan dan mendapat balasan pahala dari Allah SWT. Amin... 11. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Faried Muhammad Yamin, E0008340. 2012. KAJIAN TEORITIS TENTANG ANTINOMY NORMEN (KONFLIK NORMA) ANTARA UNDANG–UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN UNDANG–UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERKAIT DENGAN KEWAJIBAN MEMEGANG KERAHASIAN KLIEN BAGI ADVOKAT (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PASURUAN, PUTUSAN NOMOR
101/PID.B/2007/PN.PSR).
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban menyimpan kerahasiaan bagi klien advokat dan langkah yang ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, bersifat preskriptif. Jenis bahan yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan melalui pengumpulan peraturan perundangundangan, buku, dan dokumen lain yang mendukung, diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Psr. Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan analisis dengan metode deduksi yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Premis
Minor
yaitu Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan
Nomor
101/Pid.B/2007/PN.Psr. Dari kedua hal tersebut, kemudian dapat ditarik suatu konklusi guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah bagaimanakah terjadinya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban menyimpan kerahasiaan bagi klien advokat dan bagaimanakah langkah yang ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma sebagaimana tersebut di atas. commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan: Pertama, timbulnya pertentangan norma (antinomy normen) disebabkan oleh karena adanya bidang pekerjaan yang sama (dalam penelitian ini adalah penegak hukum pidana). Kepolisian oleh undang-undang diberikan landasan hukum khususnya dalam penegakan hukum pidana atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, lebih khusus pernyataan yaitu dalam Pasal 7, disisi lain advokat atas dasar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 khususnya Pasal 16 serta Pasal 18, kedua undang-undang tersebut berada dalam kedudukan yang sama. Kedua, Untuk mengatasi adanya pertentangan norma yang dapat dilakukan oleh hakim adalah melalui reinterpretasi (penafsiran kembali) dalam hal ini reinterpretasi terhadap hak imunitas advokat, tidak ditafsirkan secara mutlak, tetapi hendaknya dibalik hak melekat kewajiban yang harus ditaati.
Kata kunci :
Antinomy Normen, Advokat, Kerahasian Klien
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Faried Muhammad Yamin, E0008340. 2012. A THEORETICAL STUDY ON ANTINOMY NORMEN (NORM CONFLICT) BETWEEN THE ACT NUMBER 8 OF 1981 ABOUT CODE OF CRIMINAL PROCEDURE AND ACT NUMBER 18 OF 2003 ABOUT ADVOCATE RELATED TO OBLIGATION OF KEEPING THE CLIENT SECRET FOR THE ADVOCATE (A CASE STUDY ON VERDICT OF PASURUAN FIRST INSTANCE COURT, VERDICT NUMBER 101/PID.B/2007/PN.PSR). FACULTY OF LAW OF SURAKARTA SEBELAS MARET UNIVERSITY. This research aims to find out the norm conflict occurrence between the Act Number 8 of 1981 about Code of Criminal Procedure and Act Number 18 of 2003 about Advocate related to confiscation problems with the obligation of keeping the client secret for the Advocate and the measures the judge takes in dealing with the norm conflict. This study was a normative law research that is prescriptive in nature. The type of material used consisted of primary and secondary law materials. Technique of collecting law materials used in this research was library study through collecting legislations, book, and other documents, such as Verdict of Pasuruan First Instance Court Number 101/Pid.B/2007/PN.Psr. In this law writing, the writer used a deductive analysis method departing from mayor premise proposition namely Code of Criminal Procedure and minor premise namely Verdict of Pasuruan First Instance Court Number 101/Pid.B/2007/PN.Psr. From both premises, a conclusion was drawn to get an answer to the problem formulation “how does the norm conflict occur between the Act Number 8 of 1981 about Code of Criminal Procedure and Act Number 18 of 2003 about Advocate related to confiscation problems with the obligation of keeping the client secret for the Advocate and the measures the judge takes in dealing with the norm conflict, as mentioned above. Based on the result of research and discussion, it could be concluded that: commit to user firstly, the norm conflict (antinomy normen) occurred because of the same work x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
area (in this case criminal law enforcer). Police officer, by constitution, was given legal foundation, particularly in enforcing the criminal procedural laws based on the provisions of Act Number 8 of 1981 about Code of Criminal Procedure, particularly the statement in Article 7, on the other hand advocate, based on the Act Number 18 of 2003 particularly Articles 16 as well as 18, both of them were on the same position. Secondly, to deal with such norm conflict, the judge could take such measures as reinterpretation in this case reinterpretation on advocate immunity that was not interpreted absolutely, but to the right is inherent the obligation that should be obeyed.
Key words : Antinomy Normen, Advocate, Client secret
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr. wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TEORITIS TENTANG ANTINOMY NORMEN (KONFLIK NORMA) ANTARA UNDANG– UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN UNDANG–UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERKAIT DENGAN KEWAJIBAN MEMEGANG KERAHASIAN KLIEN BAGI ADVOKAT (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PASURUAN, PUTUSAN NOMOR 101/PID.B/2007/PN.PSR).
Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan hukum ini membahas tentang terjadinya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban menyimpan kerahasiaan bagi klien advokat dan langkah yang ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis dengan besar hati akan menerima segala masukan yang dapat memperkaya pengetahuan penulis di kemudian hari. Dengan selesainya penulisan hukum ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan, beserta Bapak/Ibu Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dalam penyusunan penulisan hukum ini.
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum. yang telah memberikan segala ilmu dan dengan penuh kesabaran membimbing
serta mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) ini dengan baik. 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah membantu menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku dosen bagian Hukum Acara yang telah memberikan banyak ilmu selama saya menjadi mahasiswa di FH UNS. 5. Bapak Dr. M. Hudi Asrori S, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis belajar di kampus Fakultas Hukum UNS. 6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama penulis belajar di kampus Fakultas Hukum UNS. 7. Ayahanda dan Ibunda tercinta (Drs. Dwi Isunaryono M.M., dan Dra. Nurhasanah Latief S.H., M.M., M.Kn.) serta kakakku tersayang Drajat Muhammad Nur S.H., S.E., M.Kn., Rizka Dian Rachmawati S.E., M.Si., dan Kenfitria Diah Wijayanti, S.S., M.Hum. yang senantiasa memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsiku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan bapak, ibu dan teman-teman semua mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Amin. Demikian,
semoga
penulisan
hukum
ini
dapat
bermanfaat
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
Surakarta, 25 Juni 2012 Penulis
commit to user xiii
Faried Muhammad Yamin
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...............................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................
iv
HALAMAN MOTTO .............................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................
vi
ABSTRAK ..............................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ............................................................................
x
DAFTAR ISI...........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xiv
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN ...........................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................
4
C. Tujuan Penelitian .....................................................
4
D. Manfaat Penelitian ...................................................
5
E. Metode Penelitian.....................................................
6
F. Sistematika Penelitian ..............................................
9
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................
10
A. Kerangka Teori .........................................................
10
1.
Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana
10
2.
Tinjauan Umum tentang Penyitaan ...................
12
3.
Tinjauan Umum tentang Norma .......................
22
4.
Tinjauan tentang Antinomy Normen..................
23
5.
Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 ....................................................... commit to user B. Kerangka Pemikiran ................................................. xiv
23 30
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III.
digilib.uns.ac.id
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............
32
A. Hasil Penelitian ........................................................
32
1.
Kasus Posisi ......................................................
32
2.
Identitas Terdakwa ............................................
33
3.
Dakwaan Penuntut Umum ................................
33
4.
Keterangan Para Saksi.......................................
36
5.
Tuntutan Penuntut Umum .................................
50
6.
Pertimbangan Hakim .........................................
51
7.
Putusan Hakim ..................................................
62
B. Pembahasan ..............................................................
63
1.
Analisis Penggunaan Putusan Pengadilan Terjadinya Pertentangan Norma Antara sebagai Novum olehNomor Terpidana Undang-Undang 8 dalam Tahun
1981
Pengajuan Kembali PerkaraDengan Tentang Peninjauan Hukum Acara Pidana Korupsi dalam Perspektif Undang-Undang NomorKitab 18 UndangTahun 2003 Undang Hukum Acara Pidana.......................... Tentang Advokat……………………………. 2.
63
Analisis Langkah Kesesuaian Yang Ditempuh Penggunaan Hakim PutusanDalam ......................... Pengadilan sebagai Novum oleh Terpidana Menyelesaikan Pertentangan Norma dalam (antinomy Pengajuan normen)............................................ Peninjauan Kembali
65
PENUTUP .......................................................................
68
A. Simpulan ..................................................................
68
B. Saran .........................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
69
BAB IV.
LAMPIRAN
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran ..........................................
commit to user xvi
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam suatu negara menentukan situasi yang berdasarkan hukum (rechstaats), kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif. Kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tindakan pemeriksaan dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan situasi konkrit dan menyelesaikan persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara impansial berdasarkan hukum sebagai patokan objektif (Lili Rasjidi, 2004: 93). Kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim. Pengertian hakim bisa diartikan dua pengertian, pertama sebagai orang yang mengadili perkara di pengadilan, kedua sebagai orang yang bijak. Pada dasarnya tugas hakim adalah memberikan putusan dalam setiap perkara atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapakan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai-nilai hukum dan perilaku serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan konflik serta impersial berdasarkan hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh manapun, terutama dalam mengambil keputusan. Dalam melaksanakan tugasnya, hakim diharuskan untuk bekerja profesional, bersih, dan bijaksana, serta mempunyai rasa kepekaan sosial yang tinggi. Putusan hakim akan secara begitu dihargai dan mempunyai nilai kewibawaan, jika putusan tersabut dapat merefleksikan nilai-nilai keadilan hukum masyarakat dan merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mandapatkan kebenaran dan keadilan. Sebelum hakim memutus suatu perkara, maka hakim akan menanyakan kepada hati nuraninya sendiri, apakah putusan ini nantinya adil dan bermanfaat atau sebalilnya, sehingga seorang hakim memilih otak yang cerdas disertai hati nurani yang bersih (Rudi Suparmono dalam Ahmad Rifai, 2010: 3). commit to user 1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam hukum dikenal prinsip hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau hukumnya tidak ada. Kondisi yang demikian dapat teratasi dengan prinsip/asas “ius curia novit”, yaitu hakim dianggap tahu tentang segala macam aturan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya diharapkan untuk dapat bekerja secara profesional, dalam arti hakim dalam menjalankan pekerjaannya mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang pernah dipelajari untuk menyelasaikan kasus konkrit yang dihadapi. Melalui putusan yang dijatuhkan dalam menyelesaikan kasus konkrit yang dihadapi, akan dapat diukur tingkat keprofesionalan hakim, hakim yang profesional dalam memutuskan perkara, salah satu parameter yang dapat dipergunakan sebagai tolak ukur adalah dengan mengajukan pendapat Gustav Radbruch yang antara lain mengatakan bahwa hukum utamanya putusan hakim harus mengandung unsur keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum. Dengan mendasarkan pendapat Gustav Radbruch tersebut, dapat dikemukakan bahwa putusan hakim semestinya mengutamakan rasa keadilan, selanjutnya seandainya keadilan belum terpenuhi setidak-tidaknya melihat pada unsur kemanfaatan, meskipun kemungkinan agak mengurangi adanya kepastian hukum. Negara indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda melalui prinsip konkordansi menganut hukum eropa kontinental (civil law). Ciri utama sistem hukum eropa kontinental adalah mengutamakan hukum yang tertulis dalam bentuk undang-undang. Metode yang demikian untuk diterapkan pada kondisi saat ini yang menampakkan dinamika masyarakat penegakkan hukum, dalam hal ini hakim dalam mengadili suatu perkara mengikuti konsep hukum progresif adalah : 1.
Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan dibimbing oleh pandangan atau pemikiran secara mandiri, dengan berpijak pada pandangan bahwa hukum itu untuk mengabdi kepada manusia.
2.
Penemuan hukum yang berdasarkan pada nilai-nilai hukum, kebenarannya dan keadilan serta etika juga moralitas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3.
3 digilib.uns.ac.id
Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, atas melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat yang sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi serta keadaan masyarakat. Selanjutnya dikemukakan, bahwa menganut hukum progesif dibutuhkan
hakim yang cerdas, memiliki moralitas, serta mampu memberikan putusan yang bersifat inovatif atas perkara yang ditanganinya. Atas dasar hal ini dikatakan bahwa tugas hakim yang ideal adalah untuk menemukan hukumnya atas suatu perkara. Pengertian penemuan hukum menurut Utrecht dalam Ahmad Rivai terjadi apabila terjadi suatu peraturan perundangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim ini dinamakan penemuan hukum (Ahmad Rifai, 2010: 23). Soedikno Mertokusumo tentang penemuan hukum mengatakan penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, yang dipergunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan dipertanggung jawabkan dalam ilmu hukum. Menurut Philipus M. Hadjon, dalam proses penerapan azas hukum secara teknis operasional dapat ditempuh melalui dua cara yaitu, melalui penalaran induksi dan deduksi. Penanganan perkara atas suatu sengketa di pengadilan negeri selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat dan mereka-reka probabilitasnya. Setelah langkah induksi diperoleh maka diikuti penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum. Dalam identifikasi hukum sering kali dijumpai adanya keadaan, kekosongan hukum, pertentangan norma hukum serta norma yang kabur (Philipus M. Hadjon, 2005: 71). commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Khususnya tentang pertentangan norma, hakim Pengadilan Negeri Pasuruan pernah menangani perkara yang demikian ini, yakni ketika dua orang terdakwa
yaitu
Terdakwa
I
MOCH.
ANSORI
serta
Terdakwa
II
SUGIARTO, S.H. selaku kuasa hukum MOCH ANSORI menolak untuk menyerahkan sertifikat sebagai barang bukti kepada penyidik Polres Pasuruan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ke dalam bentuk skripsi dengan judul : KAJIAN TEORITIS TENTANG
ANTINOMY
NORMEN
(KONFLIK
NORMA)
ANTARA
UNDANG–UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN UNDANG–UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERKAIT DENGAN KEWAJIBAN MEMEGANG KERAHASIAN KLIEN BAGI ADVOKAT (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PASURUAN, PUTUSAN NOMOR 101/PID B/2007/PN.PSR).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah terjadinya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban menyimpan kerahasiaan bagi klien advokat ?
2.
Bagaimanakah langkah yang ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma sebagaimana tersebut di atas ?
C.
Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian sudah barang tentu memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan tersebut tidak terlepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.
Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui terjadinya pertentangan norma antara UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban memegang kerahasiaan bagi klien.
b.
Untuk mengetahui penyelesaian yang ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokad terkait masalah penyitaan dengan kewajiban menjaga kerahasiaan bagi klien.
2.
Tujuan Subjektif a.
Sebagai wahana bagi penulis untuk melatih ketajaman khususnya dalam menelaah permasalahan hukum yang timbul dalam praktek penerapan hukum pada umumnya, serta Hukum Acara Pidana pada khususnya.
b.
Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis ketahui agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D.
Manfaat Penelitian
Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteluiti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Manfaat Teoritis a.
Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak khususnya para penegak hukum apabila menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan pertentangan norma.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menambah bahan referensi di perpustakaan khususnya yang terkait dengan masalah Hukum Acara Pidana. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Manfaat Praktis a.
Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus
untuk
mengetahui
kemampuan
penulis
dalam
mengimplementasikan ilmu yang diperoleh. b.
Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, yang berkaitan dengan pertentangan norma.
E.
Metode Penelitian
Setiap kegiatan penelitian dilakukan dengan mendasarkan metode-metode tertentu, maksud penggunaan metode penelitian sudah barang tentu agar penelitian yang dilakukan dapat terarah dan terukur. Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Jenis Penelitian Menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki yang dimaksudkan dengan penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-pripsip hukum, doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan pendapat Peter Mahmud Marzuki tersebut, maka penulis menetapkan penelitian hukum yang akan penulis lakukan adalah penelitian hukum normatif dalam hal ini penulis berupaya untuk menemukan aturan, prinsip-prinsip hukum, serta doktrin-doktrin dalam hal terjadinya pertentangan norma, dalam hal ini norma dalam hukum acara pidana dengan norma tentang advokat..
2.
Sifat Penelitian Setiap penelitian dilihat dari sifatnya memiliki sifat yang berbedabeda, dalam menentukan sifat penelitian penulis mengikuti pendapat Peter Mahmud Marzuki yang mengatakan bahwa penelitian hukum ditinjau dari sifatnya merupakan penelitian yang bersifat perskriptif atau terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari commit user nilai-nilai keadilan, validitas aturanto hukum, konsep-konsep hukum, dan
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
norma hukum sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. 3.
Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum adalah pendekatan undang–undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Dari beberapa pendekatan tersebut, penulis akan mengunakan pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus dipilih karena dalam penulisan hukum ini penulis ingin mengetahui cara penyelesaian yang ditempuh oleh hakim apabila terjadi pertentangan norma antara UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban menjaga kerahasiaan bagi klien.
4.
Jenis Sumber Hukum Sumber Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum sekunder. Sumber hukum sekunder mempunyai ruang lingkup yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 141).
5.
Sumber Bahan Hukum a.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum atau bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah : 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara commit to user Pidana.
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
3.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
4.
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Psr.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan hukum primer seperti : 1.
Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan dan yang berkaitan dengan masalah ini
2. 6.
Beberapa buku yang terkait dengan masalah penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi. Teknik pengumpulan bahan hukum ini penulis lakukan dengan cara mempelajari, membaca dan mencatat bukubuku, literatur-literatur, catatan-catatan perundang-undangan, serta putusan hakim yang hal kaitannya dengan isi hukum yang dipergunakan dalam menyusun penulisan hukum ini yang selanjutnya dikatagorikan menurut pengelompokan yang tepat.
7.
Teknik Analisa Bahan Hukum Analisa bahan hukum merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Agar bahan yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan yang tepat dari permasalahan, maka perlu teknik analisis bahan hukum yang tepat, analisis bahan hukum merupakan langkah untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Adapun analisis bahan hukum yang diterapkan oleh penulis adalah melalui metode diduksi yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Analisis deduktif menggunakan premis mayor dikaitkan dengan premis minor melalui silogism untuk menetapkan konklusi (kesimpulan).
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F.
Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I
:
PENDAHULUAN Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah ,tujuan penelitian, manfaat penelitian , metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi).
BAB II
:
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II penulis kemukakan tinjuan pustaka yang terdiri atas kajian teoritis dan kerangka pemikiran kajian teoritas berisi tentang Tinjauan Hukum Acara Pidana yang terdiri atas pengertian Hukum Acara Pidana, garis besar materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tinjauan tentang penyitaan, tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pengertian Norma, serta pengertian Konflik Norma. Selanjutnya dikemukakan kerangka pemikiran yang mengemukakan bagan serta uraian dalam bentuk narasi mengenai penyelesaian tentang konflik norma.
BAB III
:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis kemukakan hasil penelitian tentang Konflik Norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat beserta penyelesaiannya oleh hakim.
BAB IV
:
PENUTUP Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. 1.
Kerangka Teori
Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana a.
Pengertian Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana diberikan definisi oleh beberapa sarjana dengan
berbagai
pengertian,
adapun
definisi-definisi
tersebut
sebagaimana dikutip oleh R. Atang Ranoemihardja sebagai berikut : 1)
De Bos Kemper Sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan Undang-Undang yang mengatur bilamana Undang-Undang Hukum pidana dilanggar, negara menggunakan haknya untuk menghukum.
2)
Simons Mengatur bilamana negara dengan alat-alat perlengkapannya mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman.
3)
R. Atang Ranoemihardja Hukum Acara Pidana adalah merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang acara peradilan (R. Atang Ranoemihardja, 1984: 9). Sedangkan Moch. Faisal Salam mengemukakan ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang mengatur prosedur agar pelaku pelanggaran dan kejahatan dapat dihadapkan kemuka sidang pengadilan dinamakan hukum pidana formil. Dengan kata lain bahwa hukum pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
commit to user 10
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1)
Tindakan-tindakan apa yang harus diambil apabila dugaan, bahwa terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang.
2)
Apabila benar terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui, siapa pelakunya dan bagaimana cara melakukan penyelidikan terhadap pelakunya.
3)
Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik dapat menangkap, menahan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan.
4)
Untuk
membuktikan
apakah
benar-benar
tersangka
telah
melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti, menggeledah badan dan tempat-tempat serta menyita barang-barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut. 5)
Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri, selanjutnya pemeriksaan telah sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dengan dijatuhkan pidana (Moch. Faisal Salam, 2001: 3).
b.
Tujuan Hukum Acara Pidana Menurut pendapat Moch. Faisal Salam, tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran
yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwanya melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan apakah orang yang didakwakan dapat dipersalahkan (Moch. Faisal Salam, 2001: 1). Pendapat dari R. Atang Ranoemihardja, tujuan Hukum Acara commit to user Pidana untuk menegakkan hukum pidana serta peraturan pemeriksaan
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
alat yang lain yang ada ancaman pidananya, sehingga dengan demikian setiap peraturan atau Undang-Undang yang ada saksi pidananya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
(R. Atang Ranoemihardja,
1984 : 15). c.
Garis Besar Materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan sumber utama bagi pedoman pelaksanaan Hukum Acara Pidana di Indonesia. Secara garis besar materi peraturan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Ketentuan Umum. 2) Ketentuan Tentang Penyidikan. 3) Ketentuan Tentang Penuntutan. 4) Ketentuan Tentang Bidang Pengadilan. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam skripsi ini penulis memandang perlu untuk sedikit mengemukakan pengertian penyidikan. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 (KUHAP) penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari sesuatu mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Selanjutnya atas dasar pengertian dari penyidikan tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam rangka penyidikan ini, terdapat satu proses yang merupakan rangkaian dalam penyidikan yaitu penyitaan.
2.
Tinjauan Umum Tentang Penyitaan. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan “pembuktian” to user (Pasal 1 butir 16 KUHAP). dalam penyidikan, penuntutancommit dan peradilan
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tujuan penyitaan, untuk kepentingan "pembuktian", terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan (Nur Hidayat, 2008: 64). “Benda sitaan menurut kamus bahasa Indonesia adalah benda adalah harta atau barang yang berharga dan segala sesuatu yang berwujud atau berjasad. Sitaan berarti perihal mengambil dan menahan barang-barang sebagiannya yang dilakukan menurut putusan hakim atau oleh polisi (W.J.S. Poerwadarminta, 2008: 132).” Berdasarkan
pengertian
(penafsiran
otentik/Authentieke
interpretatie) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa benda yang disita/benda sitaan yang dalam beberapa pasal KUHAP (Pasal 8 ayat (3) huruf b, Pasal 40, Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat 2, Pasal 181 ayat (1), Pasal 194, Pasal 197 ayat (1) huruf i, Pasal 205 ayat (2)) dinamakan juga sebagai “barang bukti” adalah berfungsi (berguna) untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Akan tetapi apabila perumusan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut dihubungkan dengan BAB XVI bagian keempat KUHAP yang mengatur tentang “pembuktian dan putusan” dalam Acara Pemeriksaan Biasa (Pasal 183 s/d Pasal 202), ternyata tidak terdapat suatu ketentuan pun, yang mengatur atau menegaskan mengenai peranan/kegunaan/fungsi dari “barang bukti” (benda sitaan) dalam kaitangnya dengan “pembuktian”. Bahkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP secara jelas diterapkan bahwa yang dimaksud dengan “alat bukti yang sah” adalah: a.
Keterangan saksi;
b.
Keterangan ahli;
c.
Surat;
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d.
Petunjuk;
e.
Keterangan terdakwa. Hal tersebut dapat diartikan bahwa diluar 5 (lima) macam alat bukti
yang sah tersebut tidak ada lagi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut dalam praktek hukum bukan saja dapat membingungkan, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan kekaburan pengertian dan permasalahan. Dalam praktik peradilan tidak jarang terjadi hakim menunda persidangan disebabkan barang bukti/benda sitaan oleh penuntut umum belum /tidak dapat diajukan dimuka persidangan atau yang diajukan hanya sebagian kecil dari barang bukti sebagai contoh (sample). Selain itu dalam praktek hukum ada kalanya berkas perkara hasil penyidikan oleh Penuntut Umum dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk agar benda/barang tertentu disita (misalnya pisau/pedang/pistol yang digunakan untuk melakukan pembunuhan) guna diajukan sebagai barang bukti di depan persidangan. Dalam praktek penegakan hukum dan dikalangan masyarakat sebutan barang bukti ternyata lebih populer daripada sebutan benda sitaan. Dan dalam pemberitaan media massa penyebutan alat bukti dan barang bukti sering kali dikacaukan. a.
Fungsi Benda Sitaan/Barang Bukti Dalam Pembuktian. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP dapat diketahui secara jelas bahwa benda sitaan/barang bukti tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena dalam perumusan Pasal 1 butir 16 KUHAP secara jelas dinyatakan bahwa tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap suatu benda adalah dimaksudkan untuk kepentingan “pembuktian” maka pertanyaan tersebut dapat dijawab bahwa barang bukti mempunyai manfaat/fungsi dan nilai dalam upaya pembuktian, walaupun benda sitaan tersebut dapat berbicara. Akan tetapi dalam praktik penegakan hukum/peradilan barang barang bukti tersebut commit dan to user ternyata dapat dikembangkan dapat memberikan keterangan yang
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berfungsi/bernilai sebagai alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli (visum at repertum ) dan keterangan terdakwa. Misalnya sebuah benda berupa senjata api atau senjata tajam setelah disita menjadi barang bukti kemudian ditunjukan dan ditanyakan kepada saksi dan saksi tersebut memberikan keterangan bahwa barang bukti tersebut oleh tersangka/terdakwa telah digunakan untuk melakukan pembunuhan/penganiayaan. Kemudian keterangan saksi tersebut
diperkuat
dengan
keterangan
tersangka/terdakwa
yang
membenarkan keterangan saksi tersebut. Demikian pula mayat korban pembunuhan kedokteran
setelah
dilakukan
kehakiman
pemeriksaan
(laboratorium
ilmiah
forensic)
oleh
Ahli
kemudian
hasil
pemeriksaan dituangkan ke dalam VER yang isinya bersesuaian dan memperkuat keterangan saksi dan keterangan tersangka/terdakwa, maka benda sitaan/benda mati yang berubah bentuk menjadi VER tersebut dengan sendirinya mempunyai nilai dan kekuatan sebagai alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan ahli. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa benda sitaan/barang bukti meskipun bukan alat bukti yang sah, tetapi dalam praktik
penegakan
hukum
ternyata
dapat
dikembangkan
dan
mempunyai manfaat/kegunaan/fungsi dalam upaya pembuktian dan atau setidak-tidaknya dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan memperkuat “keyakinan” Hakim (Pasal 181 KUHAP). Disamping itu dengan diajukannya barang bukti didepan persidangan, maka hakim melalui putusannya dapat secara sekaligus menetapkan status hukum dari barang bukti yang bersangkutan, yaitu dapat ditetapkan untuk diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerimanya kembali, atau dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 194 jo 197 ayat (1) huruf i KUHAP). commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyitaan Seperti halnya ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindakan penggeledahan, maka KUHAP menetapkan bahwa pejabat yang melakukan penyitaan adalah pejabat Penyidik (Pasal 1 butir 16 jo Pasal 38 s/d Pasal 46 KUHAP). Sesuai dengan ketentuan tersebut, apabila Penuntut Umum atau hakim memerlukan suatu benda untukdisita sebagai
barang bukti/alat
bukti
maka pelaksanaan
penyitaannya dilakukan oleh Penyidik. Dalam hal Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan menganggap perlu dilakukan penyitaan terhadap suatu benda sebagi barang bukti atau alat bukti maka melalui wewenang dalam prapenentuan memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan. Apabila dalam pemeriksaan persidangan Hakim menganggap perlu dilakukan penyitaan terhadap suatu benda, maka untuk keperluan tersebut Hakim mengeluarkan “penetapan” yang berisi perintah untuk melakukan penyitaan. Penetapan Hakim tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 13 jo 14 huruf j KUHAP oleh Penuntut Umum diteruskan kepada Penyidik untuk dilaksanakan penyitaannya. c.
Tata Cara Penyitaan Dalam Keadaan Biasa Kalau di simak ketentuan-ketentuan dalam KUHAP dapat disimpulkan bahwa penyitaan tersebut adalah saudara kembarnya penggeledahan. Karena dalam praktik penegakan hukum kedua macam tindakan tersebut pada umumnya selalu berjalan bersamaan, seiring sejalan dan searah setujuan. Pelaksanaan penyitaan pada umumnya didahului atau dibarengi dengan tindakan penggeledahan dengan tata cara sebagai berikut : 1)
Penyitaan Dilakukan dengan Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri Setempat. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) to user KUHAP tindakancommit penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
setelah ada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka sebelum penyidik melakukan tindakan penyitaan wajib terlebih dahulu mengajukan surat permintaan izin penyitaan kepada Pengadilan Negeri setempat yaitu ketua Pengadilan Negeri dimana barang benda tetap yang akan disita itu berada. Sedangkan untuk penyitaan benda bergerak pemberian izinnya tetap dilakukan oleh Ketua sesuai dengan locus delictinya (Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 20). Untuk kepentingan praktis pada umumnya permintaan
izin
penyitaan
dilakukan
bersamaan
dengan
permintaan izin penggeledahan (dengan formulir Serse : dan A.8.01). 2)
Penyidik Menunjukan Tanda Pengenal Setelah mendapatkan Surat Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri, kemudian sebelum melakukan penyidikan, penyidik tersebut terlebih dahulu wajib menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang yang menguasai benda yang akan disita (Pasal 128 KUHAP). Disamping kedua macam surat tersebut, dalam praktik hukum pejabat/petugas pelaksana penyitaan harus dapat menunjukkan Surat Perintah Penyitaan (model Serse : A.8) yang ditanda tangi oleh Pimpinan instansi penyidik. Ketentuan tersebut
dimaksudkan untuk
menjamin
terciptanya kepastian hukum, bahwa pelaksanaan penyitaan tersebut benar-benar dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. 3)
Memperlihatkan Benda yang Akan Disita Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang
dari mana benda itu disita atau keluarganya disertai
permintaan keterangan tentang benda yang akan disita itu, dengan disaksikan Kepala Desa/Lurah/Ketua RW/Ketua RT dan 2 orang commit to user saksi (Pasal 129 ayat (1) KUHAP).
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4)
Membuat Berita Acara Pemeriksaan Penyidik Membuat Berita Acara Penyitaan (model Serse: A.11.11) yang dibacakan dihadapan orang dari mana benda itu
disita
atau
keluarganya
dengan
disaksikan
Kepala
Desa/Lurah/Ketua RW/Ketua RT dan 2 (dua) orang warga setempat, kemudian ditanda tangani oleh Penyidik dan orang yang menguasai benda yang disita atau keluarganya serta 3 (tiga) orang sebagai tersebut diatas (Pasal 129 ayat (2) KUHAP); Dalam hal orang yang menguasai benda yang disita atau keluarganya menolak membubuhkan tanda tangannya pada Berita Acara Penyitaan tersebut, maka akan dicatat dalam BA Penyitaan dengan menyebutkan alasannya (Pasal 129 ayat (3) KUHAP). 5)
Menyampaikan Turunan Berita Acara Penyitaan Setelah Berita Acara Penyitaan ditanda tangani oleh para pihak sebagai tersebut pada Pasal 129 ayat (2) KUHAP, kemudian turunannya/tembusannya (copy-nya) disampaikan kepada atasan Penyidik dan kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya serta Kepala Desa/Lurah/Ketua RW/Ketua RT (Pasal 129 ayat (4) KUHAP).
6)
Membungkus Benda Sitaan Terhadap benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 jo Pasal 39 jo Pasal 129 KUHAP dilakukan pembungkusan/penyegelan Barang Bukti (formulir model Serse : A. 11.12). Sebelum benda sitaan/barang bukti dibungkus/disegel terlebih dahulu harus dicatat mengenai berat dan atau jumlah menurut jenisnya, ciri dan sifat khas, tempat, hari, dan tanggal penyitaan, identitas orang darimana benda itu disita dan lain-lain. Kemudian diberi lak dan cap jabatan serta ditandatangani oleh Penyidik (Pasal 130 ayat (1) KUHAP). commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, Penyidik memberikan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) diatas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda sitaan tersebut (Pasal 130 ayat (2) KUHAP). d.
Tata Cara Penyitaan Dalam Keadaan Perlu Dan Mendesak. Untuk memberikan kesempatan kepada Penyidik bertindak secara cepat maka dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik
dapat
melakukan
penyitaan
tanpa
terlebih
dahulu
mendapatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Tetapi penyitaan dengan cara demikian hanya dapat dilakukan atas benda bergerak dan segera dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna memperoleh persetujuan (Pasal 38 ayat (2) KUHAP). Mengenai apa yang dimaksud sebagai keadaan yang perlu dan mendesak dapat berpedoman pada penjelasan Pasal 34 ayat (1) KUHAP yaitu bilamana ditempat itu diduga kuat terdapat benda yang dapat disita yang dikhawatirkan segera dimusnahan atau dipindahkan sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat. Mengenai pelaksanaan penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak tata caranya tetap mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 128, Pasal 129, Pasal 130 KUHAP seperti halnya mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan biasa. e.
Tata Cara Penyitaan Dalam Keadaan Tertangkap Tangan Dalam keadaan tertangkap tangan wewenang Penyidik untuk melakukan penyitaan lebih diperluas lagi, yaitu tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri Penyidik dapat secara langsung menyita benda dan alat : 1)
Yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, atau
2)
Benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 commit to user KUHAP).
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3)
Menyita berbagai paket atau surat/surat kawat, surat teleks dan sejenisnya dan atau benda yang pengakutannya/pengirimannya melalui kantor pos, jawatan/perusahaan komunikasi atau pengangkutan,
sepanjang
paket/surat/benda
tersebut
diperuntukkan bagi tersangka/terdakwa dan atau yang berasal daripadanya.
Dan
kepada
pejabat
Kantor
Pos
dan
Telekomunikasi/jawatan/Perusahaan komunikasi/pengangkutan yang bersangkutan harus diberikan surat Tanda Penerimaan (Pasal 41 KUHAP). Di lingkungan penyidik Polri digunakan formulir model Serse : A.8.0 (Surat Tanda Penerimaan). Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 111 KUHAP dalam keadaan tertangkap tangan setiap orang berhak untuk melakukan
penangkapan
dan
menyita
barang
bukti
untuk
segera/secepatnya/pada kesempatan pertama diserahkan kepada penyidik/penyelidik terdekat. f.
Tata Cara Penyitaan Terhadap Surat/Tulisan Lain Dalam KUHAP Pasal 41 diatur tentang penyitaan surat/surat kawat/surat teleks dan surat yang sejenis dalam keadaan tertangkap tangan, dan Pasal 42 mengatur tentang penyitaan surat/tulisan dari orang yang menguasai surat yang berasal/ditujukan/diperuntukan bagi tersangka/terdakwa atau merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Sedangkan yang diatur dalam Pasal 43 adalah mengenai penyitaan surat atau tulisan lain mereka/orang tertentu yang menguasai/menyimpan, yang menurut Undang-Undang berkewajiban untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, misalnya surat/tulisan yang disimpan Notaris. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 tersebut tidak berlaku untuk surat/tulisan yang menyangkut rahasia negara. Penyitaan surat/tulisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHAP hanya dapat dilakukan oleh commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penyidik
“dengan
persetujuan”
dari
orang
/pejabat
yang
menyimpannya menurut undang-undang. Dalam hal orang/pejabat yang menyimpan surat/tulisan tersebut tidak memberikan persetujuan terhadap tindakan penyitaan oleh Penyidik, maka penyitaan hanya dapat dilakukan dengan surat ijin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undangundang menentukan lain. g.
Penyerahan Benda Yang Dapat Disita Kepada Penyidik Untuk kepentingan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan dan pengadilan) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang (setiap orang) yang menguasai benda yang dapat disita sebagai barang bukti/alat pembuktian agar menyerahkan kepada penyidik, termasuk berbagai surat/tulisan yang berasal dari tersangka/terdakwa atau ditujukan kepadanya, kepunyaannya atau diperuntukan baginya, jika benda (surat/tulisan) itu merupakan alat untuk melakukan tindak pidana (Pasal 42 KUHAP). Penyerahan
benda/surat/tulisan
dari
orang
yang
menguasainya tersebut dapat dikatakan sebagai “penyitaan secara tidak
langsung”,
dan
kepada
orang
yang
menyerahkan
benda/surat/tulisan tersebut diberikan “Surat Tanda Penerima” (model Serse : A.8.02). h.
Benda Yang Dapat Disita KUHAP mengatur dan memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Akan tetapi benda yang dapat disita terbatas pada benda-benda yang ada hubungannya dengan terjadinya tindak pidana. Jika tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik tersebut adalah semata-mata untuk kepentingan “pembuktian” dalam pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Oleh karena itu tindakan penyitaan yang commit to user tidak ada hubungannya dengan tindak pidana dapat dianggap/dinilai
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai tindakan penyitaan yang tidak sah (bertentangan dengan hukum). Dan terhadap pejabat yang melakukan penyitaan yang tidak sah tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian melalui praperadilan (Pasal 95 KUHAP). Adapun mengenai benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan telah diatur secara rinci dalam Pasal 39 KUHAP, yaitu sebagai berikut: 1)
Benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2)
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3)
Benda
yang
dipergunakan
untuk
menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana; 4)
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;
5)
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan (Pasal 39 ayat (2) KUHAP). Benda yang berada dalam suatu penyitaan perkara perdata
atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan, sepanjang benda tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP.
3.
Tinjauan Umum Tentang Norma Menurut pendapat Marwan Mas, kaidah atau norma merupakan tata tertib yang berwujud kumpulan peraturan peraturan hidup tentang bagaimana manusia sebagai individu bertindak dalam kehidupan sosialnya serta bagaimana manusia menhindari perbuatan akan menimbulkan yang akan menimbulkan gangguan terhadap kepentingan manusia lainnya. Kaidah atau commit to user(Marwan Mas, 2004: 41). norma berarti aturan hukum atau penilaian
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut pendapat H. Riduan Syahrani beliau berkesimpulan bahwa norma bertujuan untuk menjaga agar hubungan individu dalam masyarakat selalu harmonis, maka perlu adanya petunjuk hidup. Petunjuk hidup biasanya dinamakan norma (kaidah) yang merupakan pedoman, patokan, atau ukuran untuk berperilaku yang pantas dalam kehidupan di dalam masyarakat. Selanjutnya dikemukakan norma norma yang mengatakan segala macam hubungan antara individu terdapat 4 (empat) macam, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum (Riduan Syahrani, 1999: 15).
4.
Tinjauan Tentang Antinomy Normen Di dalam kamus bahasa Inggris maupun bahasa Belanda tidak diketemukan pengertian Antinomy, untuk memberikan pengertian Antinomi Norma (Antinomy Norm), maka penulis mengutip pendapat dari Ahmad Rivai yang antara lain mengatakan : dalam identifikasi aturan hukum sering kali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in hes recht), konflik antar norma hukum (Antinomy Norm) dan norma yang kabur (vage norm) atau norma yang tidak jelas. Antinomy Normen dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai konflik norma / pertentangan norma (Ahmad Rivai, 2010: 90).
5.
Tinjauan Tentang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 a.
Pengertian Advokat Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam Undang-Undang Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Menurut Brigid Coleman. A, Advokat diartikan sebagai berikut : Lawyer is a representative of clients, an officer of the legal system and a public citizen having special responsibility for the quality of justice.”A lawyer’s varied roles include advisor, advocate, negotiator, intermediary, and evaluator. Lawyers are generally concerned only with legal issues and conditions that directly affect a specific case.9 In addition, the legal profession commonly reflects an individualistic and noncollaborative view. Finally, social justice is not an explicit goal of the legal profession. Lawyers see justice as the efficient result of an adversarial system; as long as they serve their clients well, justice is served in that process (Pengacara adalah wakil dari klien yang memiliki tanggung jawab khusus untuk menegakkan keadilan. Pengacara mempunyai peran yang bervariasi, termasuk advokat, perunding, perantara dan penilai. Pengacara pada umumnya hanya peduli dengan masalah hukum dan kondisi yang secara langsung mempengaruhi kasus tertentu. Selain itu, profesi hukum umumnya mencerminkan pandangan individualis dan nonkolaborasi. Akhirnya, keadilan sosial bukanlah tujuan eksplisit dari profesi hukum. Pengacara melihat keadilan sebagai hasil yang efisien dari sistem bermusuhan, selama mereka melayani klien mereka dengan baik, keadilan dilayani dalam proses itu) (Brigid Coleman, 2001: 134).
Sedangkan Elizabeth F. Loftus, mengartikan Advokat dengan : Lawyers’ litigation forecasts play an integral role in the justice system. In the course of litigation, lawyers constantly make strategic decisions and/or advise their clients on the basis of their perceptions and predictions of case outcomes. The study investigated the realism in predictions by a sample of attorneys (n _ 481) across the United States who specified a minimum goal to achieve in a case set for trial. They estimated their chances of meeting this goal by providing a confidence estimate. After the cases were resolved, case outcomes were compared with the predictions. Overall, lawyers were overconfident in their predictions, and calibration did not increase with years of legal experience. Female lawyers were slightly bettercommit calibrated than their male counterparts and to user showed evidence of less overconfidence. In an attempt to
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
reduce overconfidence, some lawyers were asked to generate reasons why they might not achieve their stated goals. This manipulation did not improve calibration (Pengacara litigasi memainkan peran integral dalam sistem peradilan. Dalam litigasi, pengacara terus-menerus membuat keputusankeputusan strategis dan/atau menyarankan klien mereka berdasarkan persepsi dan prediksi kasus hasil mereka. Studi diselidiki menggunakan prediksi yang nyata dengan sampel pengacara di amerika serikat minimal untuk mencapai tujuan tertentu dalam kasus yang ditetapkan untuk diadili. Mereka memperkirakan peluang mereka untuk memenuhi tujuan ini dengan menyediakan perkiraan melalui kepercayaan. Setelah kasus-kasus diselesaikan, hasilnya dibandingkan dengan prediksi. Secara keseluruhan, pengacara yang terlalu percaya diri dalam prediksinya dan hasil teraan tidak meningkatkan pengalaman hukum pada tahun-tahun berikutnya. Pengacara wanita sedikit lebih baik dalam hasil teraannya daripada pengacara pria yang menunjukkan bukti percaya diri yang terlalu berlebihan. Dalam upaya untuk mengurangi kepercayaan diri yang terlalu berlebihan, beberapa pengacara dimintai alasan mengapa mereka tidak bisa mencapai tujuan mereka. Manipulasi ini tidak meningkatkan hasil teraan) (Elizabeth F. Loftus, 2010: 133). Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Sebagai konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan commit to userhakim selain wajib mengikuti menyesesaikan perkara, seorang
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa harus menggali nilainilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan. Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien. b.
Kewajiban Advokat Kewajiban Advokat menurut Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Advokat, seorang advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Advokat
berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. Selanjutnya dalam menjalankan tugasnya seorang advokat wajib untuk menjunjung tinggi etika yang telah ditentukan commit to user dalam kode etik advokat.
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kode etik advokat sangat berkaitan erat dengan Ethika. Ethika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Ethika moral ini menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang mencakup theori nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang buruk, dan theori tentang perilaku “conduct” tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Moral ini berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama atau kepercayaan maupun adat-kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai dasar ideologi Negara dan pandangan hidup dan jati diri bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan ethika moral bangsa Indonesia, termasuk sila Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menunjukkan bahwa, seluruh bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya adalah seorang Advokat. Dari ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dapat disimpulkan bahwa seorang advokat, dalam menjalankan profesinya, harus selalu berpedoman kepada : 1).
Kejujuran
profesional
(professional
honesty)
sebagaimana
terungkap dalam Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dalam kata-kata “Oleh karena tidak sesuai dengan keahilannya”, dan 2).
Suara hati nurani (dictate of conscience). Keharusan bagi setiap advokat untuk selalu berpihak kepada yang benar dan adil dengan berpedoman kepada suara hati nuraninya berarti bahwa bagi advokat Indonesia tidak ada pilihan kecuali menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he who pays the piper calls the tune” karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah commit to user pelacuran profesi advokat.
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keperluan bagi advokat untuk selalu bebas mengikuti suara hati nuraninya adalah karena di dalam lubuk hati nuraninya, manusia menemukan suatu satu hukum yang harus ia taati. Suara hati nurani senantiasa mengajak manusia untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat. Hati nurani adalah inti yang paling rahasia dan sakral dari manusia. Di sana ia berada sendirian dengan Allah, suara siapa bergema dalam lubuk hatinya. Makin berperan hati nurani yang benar, maka makin banyak advokat akan meninggalkan sikap dan perilaku sesuka hati dan berusaha dibimbing oleh kaidah-kaidah moral yang objektif. Dalam proses penegakan hukum ini, kita para lawyers baik di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maupun di bidang pemberian jasa hukum harus berperan secara positif-konstruktif untuk ikut menegakkan hukum yang berkeadilan. Janganlah berperan secara negatif-destraktif dengan menyalahgunakan hukum, sehingga akhirakhir ini muncul tuduhan adanya “mafia peradilan”, penyelewengan hukum, kolusi hukum dan penasehat hukum yang pinter-busuk (“advocaat in kwade zaken”) yang memburamkan Negara kita sebagai Negara hukum. Satu-satunya profesi yang menyandang predikat sebagai profesi terhormat (officium nobile) adalah Advokat. Predikat itu sesungguhnya bukan “gelar kehormatan” yang diberikan masyarakat atau penguasa, karena para advokat telah berjasa kepada masyarakat dan Negara. Akan tetapi, predikat itu muncul karena tanggung jawab yang dibebankan kepada advokat. Dalam kode etik advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan bahwa Kode Etik Advokat Indonesia merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan
profesi,
yang
menjamin
dan
melindungi
namun
membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, commitlawan to userberperkara, rekan advokat atau pengadilan, negara, UUD,
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Advokat sebagai profesi hukum (officium nobile) dalam menjalankan profesinya harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung
tinggi
Kode
Etik
dan
Sumpah
Profesi
(file:///D:/01.%20data%20new/urgensi-pembentukan-dewan-etikaprofesi-advokat-nasional-broleh--dr-frans-h-winarta-sh-mh.htm>(Diakses, Rabu 20 Juni 2012 pukul 11.55 WIB). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kode etik yang mengatur mengenai kepribadian advokat sangat berkaitan erat dengan Ethika, yang bertujuan agar orang hidup bermoral baik dan berkepribadian luhur (berkharakter), sesuai dengan ethika moral yang dianut oleh kesatuan/lingkungan hidupnya (dalam hal ini adalah Negara Indonesia yang berdasarkan dan berideologikan Pancasila). Sehingga, sudah sepantasnya jika seseorang advokat harus memiliki kepribadian yang luhur dan mulia, berkaitan dengan predikat yang disandangnya sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.
Kerangka Pemikiran
UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap benda – benda milik tersangka/terdakwa Menolak Penyitaan
Penasehat Hukum Tersangka Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat
Terjadi Pertentangan Norma
Pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terkait tentang penyitaan terhadap benda-benda milik tersangka dengan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dan kewajiban memegang kerahasiaan bagi klien. commitKerangka to user Pemikiran Gambar 1. Skematik
Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya termasuk perlindungan. atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan :
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana Penyidik memliki hak untuk dapat melakukan penyitaan terhadap benda-benda milik tersangka /terdakwa, akan tetapi pada kenyataannya didalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 seorang advokat juga memiliki hak untuk menolak penyitaan dan kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya,serta seorang Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan. atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan. Atas dasar tersebut maka timbul pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terkait tentang penyitaan terhadap benda-benda milik tersangka dengan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dan kewajiban memegang kerahasiaan bagi klien. Atas dasar tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang pertentangan norma tersebut dan cara penyelesaian yang ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma sebagaimana tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. 1.
Hasil Penelitian
Kasus Posisi Dalam perkara ini ada 2 (dua) orang terdakwa yaitu I. H. Moch. Ansori Alias H. As’ari yang mengaku sebagai pemilik sertifikat Hak Milik No. 94/Kel.Sebani, Kota Pasuruan a.n. Subakti yang menolak untuk disita penyidik dari Polresta Pasuruan, dengan membawa Surat Perintah Penyitaan Barang Bukti No. Pol. SP.Ta/97/XI/2005/Reskrim tanggal 21 Nopember, 2005
dan
Penetapan
Penyitaan
dari
Pengadilan
Negeri
Pasuruan
Nomor.W.10.25P1.03.07/61/PN Psr, pihak Penyidik yang menanyai perkara pidana penggelapan yang dilakukan tersangka Moch. Munip dengan alasan terdakwa I telah membeli tanah tersebut dari tersangka Moch Munip, sedangkan pihak Penyidik berkeyakinan bahwa sebelumnya tanah tersebut telah dijual oleh tersangka Moch Munip kepada Rudi Harsono. Terdakwa I kemudian meminta bantuan hukum kepada terdakwa II Sugiarto, SH, seorang advokat untuk membela hak-haknya, dan kemudian sertifikat dimaksud diserahkan terdakwa I kepada terdakwa II, ternyata terdakwa II tidak mau menyerahkan sertifikat tersebut dengan alasan hal itu bertentangan dengan Pasal 5, 16 dan 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Atas hal tersebut, penyidik Polresta Pasuruan kemudian menetapkan terdakwa I dan terdakwa II melanggar Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP, yaitu kedua terdakwa telah melakukan yang menyuruh lakukan atau turut melakukan perbuatan itu, dengan sengaja, mencegah, merintangi atau menggagalkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri.
commit to user 32
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Identitas Terdakwa a.
Terdakwa I Nama lengkap
: H. Moch. Ansori alias H. As’ari
Tempat lahir
: Pasuruan
Umur/tanggal lahir : 54 tahun / 30 Juni 1953 Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Jl. Raya Mendalam, Ds. Mendalan, Kec. Winogan, Kabupaten Pasuruan
b.
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Terdakwa II Nama lengkap
: Sugianto, SH
Tempat lahir
: Bangli
Umur/tanggal lahir : 42 tahun / 2 Nopember 1964 Jenis kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Perum Permata Asri Blok M No. 14 RT. 01 RW.05 Kel. Gerpeng, Kec. Bangli, Kab. Pasuruan
3.
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Advokat
Dakwaan Penuntut Umum Bahwa mereka terdakwa H. Moch. Ansori alias H. As'ari baik bertindak sendiri maupun bersama-sama dengan terdakwa Sugianto, S.H., pada hari Kamis, tanggal 8 Desember 2005 sekitar jam 11.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Desember 2005 atau setidaktidaknya dalam tahun 2005, bertempat di Kantor Sat Reskrim Polresta commit user tempat lain yang masih termasuk Pasuruan, atau setidak-tidaknya padatosuatu
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
daerah hukum Pengadilan Negeri Pasuruan, mereka terdakwa telah melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu, dengan sengaja, mencegah, merintangi, atau menggagalkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri itu, dalam menjalankan suatu peraturan undang-undang, perbuatan mana dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, awalnya penyidik dari Polresta Pasuruan, yaitu Hendra Trio Wijaya telah menangani perkara pidana penggelapan yang dilakukan oleh tersangka Mochamad Munip dengan objek Sertifikat Hak Milik No. 94, Kel. Sebani, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan atas nama Subakti yang saat itu sertifikat berada di tangan terdakwa H. Mochamad Ansori dengan alamat Jl. Slamet Riyadi Kel. Gentong, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan. Kemudian pada tanggal 3 Desember 2005 sekitar pukul 11.00 WIB, Hendra Trio Wijaya bersama Denny Wahyu Promintodarko selaku penyidik Polresta Pasuruan mendatangi lagi ke rumah terdakwa H. Mochamad Ansori dengan alamat di Jalan Slamet Riyadi Kel. Gentong, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan, dengan membawa Surat Perintah Penyitaan Barang Bukti No. PoL: SP.Ta/97/XI/2005/Reskrim, tanggal 21 November 2005 dan Penetapan Penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor: W-10.D.25.PI.03.07.161/PN.Psr., namun tidak bertemu dengan terdakwa H. Mochamad Ansori dan ditemu, oleh kedua anaknya yang bernama Lutfi dan Munir, kemudian Hendra dan Denny menunjukkan Surat Perintah Penyitaan dan Penetapan Izin Penyitaan Barang Bukti Sertifikat No. 94 atas nama Subakti tersebut dari Pengadilan Negeri Pasuruan serta menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan penyidik dari Polresta Pasuruan tersebut dan kedua anaknya terdakwa H. Mochamad Ansori menolak dengan alasan karena khawatir sertifikat tersebut dalam persidangan jatuh ke tangan pelapor Rudi Harsono kemudian kedua penyidik Polresta Pasuruan kembali pulang ke Polresta Pasuruan. commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemudian pada tanggal 6 Desember 2005, Hendra Trio Wijaya dan Siswanto serta Denny selaku penyidik Polresta Pasuruan mendatangi rumah H.
Mochamad
Ansori
di
Winongan,
Kabupaten
Pasuruan,
untuk
mengantarkan surat panggilan dan juga menjelaskan akan melakukan penyitaan sertifikat dengan menunjukkan Surat Perintah Penyitaan dengan Nomor: SP.Ta/97/XI/2005/Reskrim dan juga menunjukkan Penetapan Penyitaan
dari
Pengadilan
Negeri
Pasuruan
dengan
Nomor:
W-
10.D.25.PL03.07.161/PN.Psr, tanggal 29 November 2005, namun setelah dijelaskan H. Mochamad Ansori menolak/tidak mengizinkan Sertifikat No. 94 atas nama Subakti untuk dilakukan penyitaan, malah sertifikat tersebut diseraiikan/dikuasakan kepada Sugianto, S.H., selaku Penasihat Hukumnya. Kemudian atas kejadian tersebut di atas pada tanggal 8 Desember 2005 sekitar jam 10.00 WIB terdakwa Sugianto, S.H.; datang ke Sat Reskrim Polresta Pasuruan untuk memenuhi panggilan dengan dasar panggilan Nomor: SPgI/152/XII/2005/Reskrim, dan pada waktu itu Kasat Reskrim AKP Sunardi Riyono, S.H.; menjelaskan akan menyita Sertifikat Hak Milik No. 94, Kel. Sebani, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan atas nama Subakti, namun setelah dijelaskan terdakwa Sugianto, S.H., tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tersebut dengan alasan sertifikat tersebut setelah dalam persidangan akan jatuh ke tangan pelapor, yaitu Rudi Harsono lalu dibuatkan Berita Acara Penolakan Penyerahan Barang Bukti Sertifikat Nomor 94 atas nama Subakti, dan saat itulah Kasat Reskrim membuat laporan polisi dengan Nomor: K/LP/373/XII/ 2005/Reskrim, tanggal 8 Desember 2005 dengan tersangka H. Mochamad Ansori dan Sugianto, S.H., menghalang-halangi penyitaan barang bukti berupa Sertifikat Nomor 94 atas nama Subakti dalam perkaranya Moch. Munip tersebut; Perbuatan mereka terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 216 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4.
36 digilib.uns.ac.id
Keterangan Para Saksi Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil dakwaannya, Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah di persidangan, yang pada pokoknya sebagai berikut. Saksi 1: Hendra Trio Wijaya a.
Bahwa saksi adalah anggota Polresta Pasuruan yang ikut membantu menangani perkara penggelapan sertifikat tanah dengan tersangka Moch. Munip, dengan saksi pelapor Rudi Harsono;
b.
Bahwa dari pengembangan pemeriksaan tersangka Moch. Munip, diketahui sertifikat tanah tersebut aslinya ada pada terdakwa I.H. Ansori;
c.
Bahwa untuk itu dibuatkan surat penyitaan yang ditandatangani oleh Kasat Reskrim Polresta Pasuruan untuk menyita sertifikat tersebut.
d.
Bahwa pada tanggal 3 Desember 2005, saksi bersama dengan dua orang rekannya, yaitu Denny Wahyu dan Siswanto datang ke rumah terdakwa I H. Ansori di Gentong dengan membawa surai perintah penyitaan dan penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan untuk melakukan penyitaan terhadap sertifikat s tanah tersebut;
e.
Bahwa saat itu terdakwa I H. Ansori tidak ada di rumah dan saksi hanya bertemu dengan dua orang anak H. Ansori, yang setelah saksi perlihatkan surat penyitaan dan penetapan Pengadilan Negeri Pasuruan tersebut, akan tetapi kedua anaknya terdakwa I H. Ansori tidak mengizinkan sertifikat tanah itu disita dengan alasan khawatir nantinya akan jatuh ke tangan Rudi Harsono;
f.
Bahwa pada tanggal 6 Desember 2005, saksi bersama dua rekannya itu kembali mendatangi terdakwa I H. Anshori di rumahnya di Winongan, dengan memperlihatkan surat penyitaan dan penetapan dari Pengadilan Negeri untuk melakukan penyitaan sertifikat tanah tersebut, akan tetapi terdakwa I H. Ansori mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut telah commit to useryaitu Sugianto (terdakwa II); diserahkan kepada Kuasa Hukumnya,
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g.
Bahwa kemudian dibuatkan surat panggilan untuk menghadap ke Polresta Pasuruan untuk terdakwa I, dan selanjutnya pada tanggal 8 Desember 2005, terdakwa I dengan didampingi Kuasa Hukumnya yaitu terdakwa II, datang menghadap penyidik dan juga Kasat Reskrim, akan tetapi terdakwa I dan terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tanah tersebut kepada penyidik dengan dasar hukum UndangUndang Advokat, walaupun Kasat Reskrim telah menunjukkan surat penyitaan dan penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri;
h.
Bahwa pada tanggal 14 Desember 2005, setelah dibuatkan panggilan untuk terdakwa I, yang datang kepada penyidik adalah Kuasa Hukumnya, yaitu terdakwa II, dan saat itu di hadapan saksi dan beberapa anggota penyidik Polresta Pasuruan serta Kasat Reskrim, terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tanah dengan tetap mengacu pada Undang-undang Advokat, sehingga dibuatkan berita acara
penolakan
untuk
menyerahkan
sertifikat
tanah
yang
ditandatangani oleh terdakwa II, i.
Bahwa atas penolakan tersebut, maka oleh Kasat Reskrim Polresta Pasuruan dibuatkan surat laporan polisi atas tindakan terdakwa I dan II yang menghalang-halangi penyidikan Polisi dengan tidak mau menyerahkan sertifikat tanah tersebut, tertanggal 14 Desember 2005.
j.
Bahwa terdakwa I menjadi saksi dalam perkaran Moch. Munip pada saat penyidikan di Polresta Pasuruan dan kemudian menjadi saksi pula dalam tingkat persidangan di Pengadilan Negeri Pasuruan;
k.
Bahwa saksi hanya mendengar saja ada surat kuasa dari terdakwa I kepada terdakwa II dalam mendampingi terdakwa I ke penyidik;
l.
Bahwa saksi menribPnarkan barang bukti yang ditunjukkan terhadapnya di persidangan oleh Majelis Hakim; Atas keterangan saksi yang pertama tersebut, terdakwa I tidak
keberatan, sedangkan terdakwa II menyatakan bahwa ia juga pernah datang ke Polresta Pasuruan pada tanggal 6 Desember 2005, sedangkan keterangan user saksi yang lainnya, terdakwa commit II tidak to keberatan;
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
Terhadap keberatan terdakwa II tersebut, saksi menyatakan tetap pada keterangannya tersebut; Saksi II: Denny Wahyu Promintodarko a.
Bahwa saksi adalah penyidik pembantu Polresta Pasuruan yang menangani perkara penggelapan sertifikat tanah dengan tersangka Moch. Munip, dan saksi pelapor Rudi Harsono;
b.
Bahwa dari pemeriksaan terhadap tersangka Moch. Munip, diketahui sertifikat tanah tersebut aslinya ada pada terdakwa I H. Ansori;
c.
Bahwa menurut tersangka Moch. Munip, senifikat tanah tersebut atas nama Subakti, dan telah menjadi milik dari Moch. Munip karena merupakan warisan dari orang tuanya;
d.
Bahwa setahu saksi, Moch. Munip dan Subakti adalah kakak beradik;
e.
Bahwa kemudian tanah itu dijual oleh Moch.Munip kepada Rudi Harsonc dan ada kwitansinya yang saat ini ada pada berkas perkara Moch. Munip;
f.
Bahwa kemudian Rudi Harsono meminta Moch. Munip untuk mengurus akta jual beli dan sertifikat tanah tersebut agar menjadi atas nama Rudi Harsono, tetapi oleh Moch. Munip ternyata setifikat tanah itu digadaikan kepada terdakwa I H. Ansori;
g.
Bahwa dalam perkara penggelapan atas nama tersangka Moch. Munip tersebut, terdakwa I menjadi saksi;
h.
Bahwa kemudian untuk keperluan penyidikan perkara itu, maka dibuatkan surat penyitaan atas sertifikat tanah tersebut yang ditandatangani oleh Kasat Reskrim Polresta Pasuruan dan dimintakan pula penetapan izin khusus penyitaan atas sertifikat tersebut" dari Pengadilan Negeri Pasuruan;
i.
Bahwa pada tanggal 3 Desember 2005, saksi bersama dengan dua orang rekannya, yaitu Hendra Trio Wijaya dan Siswanto datang ke rumah terdakwa I H. Ansori di Gentong dengan membawa surat penyitaan dan juga penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan commit to usersertifikat iaraah itu; untuk melakukan penyitaan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
j.
39 digilib.uns.ac.id
Bahwa saat itu terdakwa I H. Ansori tidak akta di rumah dan hanya ditemui oleh dua orang anak H. Ansori, yang setelah saksi perlihatkan surat penyitaan dan penetapan Pengadilan Negeri Pasuruan tersebut, kedua anak terdakwa I H. Ansori tidak mengizinkan sertifikat tanah itu disita dengan alasan khawatir nantinya akan jatuh ke tangan saksi pelapor Rudi Harsono;
k.
Bahwa pada tanggal 6 Desember 2005, saksi bersama dua rekannya tersebut kembali mendatangi terdakwa I H. Ansori di rumahnya di Winongan, dengan memperlihatkan surat penyitaan dan penetapan dari Pengadilan Negeri untuk melakukan penyitaan sertifikat tanah tersebut, tetapi terdakwa I H. Anshori mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut telah diserahkan kepada Kuasa Hukumnya, yaitu Sugianto (terdakwa II);
l.
Bahwa surat perintah penyitaan dibuat 2 (dua) kali oleh saksi sendiri karena upaya penyitaan dilakukan dua kali, yaitu pada tanggal 3 dan 6 Desember 2005, dan batas waktu surat penyitaan tersebut 1 x 24 jam;
m.
Bahwa kemudian dibuatkan surat panggilan untuk menghadap ke Polresta Pasuruan untuk terdakwa I, dan selanjutnya pada tanggal 8 Desember 2005, terdakwa II sebagai Kuasa Hukum terdakwa I, datang menghadap penyidik dan juga Kasat Reskrim, tetapi terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tanah tersebut kepada penyidik dengan dasar hukum Undang-Undang Advokat, walaupun telah ditunjukkan surat penyitaan dan penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri oleh Kasat Reskrim;
n.
Bahwa pada tanggal 14 Desember 2005, setelah dibuatkan panggilan untuk terdakwa I, yang datang kepada penyidik adalah terdakwa II sebagai Kuasa Hukum terdakwa I, dan saat itu dihadapkan saksi dan beberapa anggota penyidik Polresta Pasuruan serta Kasat Reskrim, terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tanah dengan dasar Undang-undang Advokat, sehingga dibuatkan berita acara penolakan to user untuk menyerahkan commit sertifikat tanah yang ditandatangani oleh
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
terdakwa II, o.
Bahwa atas penolakan tersebut, maka oleh Kasat Reskrim Polresta Pasuruan dibuatkan surat laporan politi atas tindakan terdakwa I dan II yang menghalangi proses penyitaan pada tanggal 14 Desember 2005;
p.
Bahwa terdakwa I dalam tingkat penyidik menjadi saksi dalam perkara penggelapan a.n tersangka Moch. Munip, yang kemudian diadili dan dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Pasuruan.
q.
Bahwa saksi tidak membaca surat kuasa dari terdakwa I kepada terdakwa II tetapi saksi melihatnya saat dipegang oleh Kasat Reskrim;
r.
Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang ditunjukkan terhadapnya di persidangan oleh Majelis Hakim; Atas keterangan saksi yang kedua ini, terdakwa I tidak keberatan,
sedangkan terdakwa II akan menanggapinya dalam pembelaan: Saksi III: Sunardi Riyono.S.H. a.
Bahwa sebagai Kasa Reskrim Polresta Pasuruan saksi mendapat laporandar saksi pelapor Rudi Harsono mengenai penggelapan/penipuan atas sertifikat tanah No. 04, atas nama Subakti yang dilakukan oleh Moch. Kunip;
b.
Bahwa kemudian dilakukan penyidikan dengan tersangka Moch. Munip dan ternyata sertifikat tersebut telah digadaikan Moch. Munip kepada terdakwa/ H. Ansori sehingga untuk kepentingan pembuktian perkara maka dilakukan upaya penyitaan sertifikat tanah tersebut dari H. Ansori.
c.
Babwa pada tanggal 3 Desember 2005.dilakukan upaya penyitaan sertifikat oleh bawahan saksi, yaitu Siswanto sebagai Kanit dengan dua orang anggotanya, yaitu Denny Wahyu, Hendra Trio Wijaya yang datang ke rumah terdakwa I H. Ansori di Gentong, tetapi tidak berhasil;
d.
Bahwa pada tanggal 6 Desember 2005, dilakukan upaya penyitaan yang kedua oleh 3 (tiga) orang bawahan saksi tersebut, di rumah terdakwa I di Winongan, tetapi juga tidak berhasil; commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e.
Bahwa menurut anggota saksi tersebut, alasan terdakwa I tidak mau menyerahkan sertifikat tanah itu karena takut jatuh ke tangan Rudi Harsono sehingga sertifikat diserahkan kepada terdakwa II sebagai Kuasa Hukumnya;
f.
Bahwa dalam kedua upaya penyitaan tersebut, ketiga anggota saksi tersebut selalu disertai dengan surat perintah penyitaan yang ditandatangani oleh saksi, tetapi saksi tidak ingat berapa kali surat perintah penyitaan itu dibuat;
g.
Bahwa kepada terdakwa I sudah dijelaskan oleh anggota saksi, bahwa tujuan penyitaan ini adalah untuk kepentingan penangkapan, penyidikan dan pembuktian dalam perkara Moch. Munip dan bukan untuk dikembalikan kepada saksi pelapor Rudi Harsono seperti yang dikhawatirkan terdakwa I;
h.
Bahwa terdakwa II sebagai kuasa hukum dari terdakwa l, pernah 3 (tiga) kali datang menghadap,saksi di Kantor Polresta Pasuruan dalam rangka mewakili terdakwa I dan ada surat kuasanya untuk mendampingi terdakwa I dalam tingkat penyidikan sampai dengan persidangan;
i.
Bahwa kepada terdakwa II, saksi selalu memberitahukan maksud penyitaan ini untuk kepentingan proses hukum dan pembuktian dalam perkara pidana berupa penggelapan atas nama tersangka Moch. Munip sebagaimana Pasal 38 dan 46 KUHAP, dan bukan untuk dikembalikan kepada saksi pelapor Rudi Harsono;
j.
Rahwa pada tanggal 8 Desember 2005, terdakwa II datang menghadap saksi untuk wakili terdakwa I, dan tetap menolak penyitaan tersebut dengan asalan melindungi kliennya sesuai Pasal 18 Undang-undang Advokat;
k.
Bahwa saksi berdiskusi dengan teman-teman di Pengadilan Negeri dan setelah itu saksi membuat laporan polisi dengan dasar Pasal 216 KUHP, yaitu terdakwa I dan terdakwa II menghalangi upaya penyidikan oleh Polisi; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
l.
42 digilib.uns.ac.id
Bahwa kemudian pada tanggal 14 Desember 2005, terdakwa II datang menghadap saksi kembali, dan setelah dijelaskan oleh saksi, terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tersebut dengan alasan yang sama Pasal 18 Undang-Undang Advokat, maka dibuatkan berita acara penolakan penyitaan sertifikat, yang ditandatangani oleh terdakwa II;
m.
Bahwa setahu saksi, Moch. Munip dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara, di mana Moch. Munip tidak banding, sehingga perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan sekarang Moch. Munip telah selesai menjalani masa pidananya;
n.
Bahwa saksi tidak pernah melihat sertifikat tanah tersebut yang asli, dan hanya melihat fotokopinya saja dan sertifikat itu atas nama Subakti;
o.
Bahwa masa berlakunya Surat Perintah Penyitaan itu adalah 2 x 24 jam
p.
Bahwa surat persetujuan penyitaan diterbitkan jika penyitaan sudah dilakukan oleh penyidik, sedangkan surat izin khusus diterbitkarn sebelum penyitaan dilakukan oleh penyidik;
q.
Bahwa saksi membuat dulu surat perintah penyitaan dan kemudian meminta surat izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan;
r.
Bahwa saksi membenArkan barang bukti yang ditunjukkannya di persidangan oleh Majelis Hakim; Atas keterangan saksi ketiga ini, terdakwa I tidak keberatan,
sedangkan terdakwa II menyatakan bahwa ia menolak perintah penyitaan tersebut dengan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan yang lainnya akan, ditanggapi dalam pembelaan; Atas tanggapan terdakwa II, saksi ketiga ini tetap pada keterangannya; Saksi IV: Rudi Harsono a.
Bahwa saksi adalah saksi pelapor dalam nerkara penggelapan sertifikat tanah atas nama Subakti milik saksi yang dilakukan oleh Moch. Munip;
b.
Bahwa tanah tersebut telah saksi beli dari Moch. Munip dengan harga Rp17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah); commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Bahwa sebelumnya Moch. Munip mempunyai utang kepada saksi sebesar Rp13.500.000,- (tiga belas juta lima ratus ribu rupiah) dan belum dibayar hingga satu tahun, lalu saksi hanya menambah uang sebesar Rp4.000.000,- (empat juta rupiah) untuk menambah pembelian tanah tersebut dari Moch. Munip;
d.
Bahwa jual beli dilakukan di rumah Subakti dengan menandatangani sebuah surat jual beli di bawah tangan dan kwitansi, di mana saksi sebagai pembeli, Subakti sebagai penjual dan Moch. Munip serta suaminya Subakti sebagai saksi jual beli tanah ,tersebut, dan ; kemudian sertifikat diserahkan kepada saksi;
e.
Bahwa dari Subakti, saksi tahu tanah tersebut adalah milik Moch. Munip yang dihibahkan oleh orang tuanya, tetapi belum dibalik nama kepada Moch. Munip, dan hubungan Subakti dengan Moch. Munip adalah kakak beradik;
f.
Bahwa karena saksi tinggal di Surabaya, maka satu minggu kemudian saksi meminta tolong kepada Moch. Munip yang tinggal di Pasuruan untuk mengurus akta jual beli ke Notaris dan juga sertifikat balik nama tanah tersebut menjadi atas nama saksi;
g.
Bahwa saksi memang belum menyerahkan biaya pengurusan atas tanah tersebut kepada Moch. Munip;
h.
Bahwa setelah sekitar 3 (tiga)/4 (empat) bulan kemudian saksi menanyakan kepada Moch. Munip, tetapi katanya masih dalam proses;
i.
Bahwa setelah lama menanti, akhirnya saksi tahu dari kakak ipar Moch. Mursip, yaitu Mulia Drajad bahwa tanah tersebut telah dijual lagi oleh Moch.
Munip
kepada
H.
Ansori
dan
saat
diminta
pertangggungjawabannya, Moch. Munip tidak juga mengembalikan tanah tersebut kepada saksi, sehingga saksi melaporkan Moch. Munip ke Polresta Pasuruan; j.
Bahwa Moch. Munip telah diproses hingga kemudian diadili dan dinyatakan terbukti bersalah menggelapkan sertifikat tanah milik saksi commitselama to user1(satu) tahun. dan dijatuhi hukuman penjara
perpustakaan.uns.ac.id
k.
44 digilib.uns.ac.id
Bahwa setahu saksi, saat ini sertifikat tanah ada pada pengacaranya H. Ansori;
l.
Bahwa saksi tidak tahu barang, bukti dalam perkara ini; Atas keterangan saksi yang keempat ini, baik terdakwa I tidak
keberatan sedangkan terdakwa II akan menanggapinya dalam pembelaan; Saksi V: Moch Munip a.
Bahwa saksi diberi tanah dari ayahnya saksi yang saat tanah itu dibeli oleh ayah saksi, diatasnamakan kakaknya saksi, yaitu Subakti, kemudian tanah tersebut diberikan oleh ayahnya saksi kepada saksi;
b.
Bahwa karena saksi punya utang kepada Rudi Harsono sebesar Rp12 juta lebih, maka tanah.itu kemudian dijual kepada Rudi Harsono dengan harga Rp17.500.000,- (tujuh juta lima ratus rupiah);
c.
Bahwa jual beli hanya di bawah tangan dan ada kwitansinya di mana kemudian sertifikat tanah itu diserahkan kepada Rudi Harsono;
d.
Bahwa satu minggu setelah jual beli itu, Rudi Harsono datang lagi ke saksi dan meminta tolong agar sertifikat tanah itu dibalik nama menjadi namanya Rudi Harsono, tetapi Rudi Harsono tidak memberikan biaya untuk pengurusan balik nama sertifikat tersebut;
e.
Bahwa karena memerlukan uang, sertifikat tanah tersebut kemudian saksi gadaikan kepada H. Anshori seharga Rp7.000.000,- (tujuh juta rupiah) di mana sebelumya saksi pernah punya utang kepada H. Ansori sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah);
f.
Bahwa harga pasaran tanah tersebut saat itu adalah Rp15.000.000,(lima belas juta rupiah):
g.
Bahwa saksi tidak pernah menjual tanah itu kepada H. Ansori hanya mengadaikan saja, dan pada kertas segel yang ditulis oleh saksi di rumah H Ansori di Gentong, ditulis, ditulis jual beli karena atas keinginan H. Ansori dan terdakwa menulisnya karena butuh uang dan yang menjadi saksi adalah Pak Umar;
h.
Bahwa uang gadai itu, saksi gunakan untuk usaha mebel, tetapi tidak commit to user berkembang, sehingga saksi tidak bisa membayar kepada H. Ansori;
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
i.
Bahwa Rudi Harsono tidak mengetahui kalau sertifikat tanah miliknya, saksi gadaikan kepada H. Ansori;
j.
Bahwa atas perbuatan tersebut, kemudian saksi diproses oleh Polresta Pasuruan hingga sampai diadili di Pengadilan Negeri Pasuruan;
k.
Bahwa saat saksi diadili itu, H. Ansori dijadikan sebagai saksi. tetapi barang buktinya adalah fotocopy dari sertifikat tanah tersebut, sedangkan sertifikat aslinya tidak pernah diperlihatkan di persidangan karena H. Ansori tidak membawanya saat menjadi saksi dalam perkara itu padahal Majelis Hakim menyuruh H. Ansori untuk memperlihatkan sertifikat tersebut;
l.
Bahwa setelah pemeriksaan saksi sebagai terdakwa dalam perkara penggelapan itu selesai, H. Ansori pernah mau memperlihatkan sertifikat tanah itu di persidangan, tetapi tidak diterima oleh Majelis Hakim;
m.
Bahwa oleh Majelis Hakim, saksi dinyatakan bersalah melakukan penggelapan sertifikat tanah tersebut dan dijatuhi hukuman penjara selama 1, (satu) tahun, dan
sekarang saksi telah selesai menjalani
hukuman tersebut; Atas keterangan saksi yang kelima ini, terdakwa I keberatan karena tanah itu bukan digadaikan, tetapi dijual kepada terdakwa I oleh saksi Moch. Munip, sedangkan terdakwa II akan menanggapinya dalam pembelaan; Atas bantahan terdakwa I saksi menyatakan tetap dengan keterangannya: Menimbang, bahwa selain itu Penuntut Umum mengajukan saksi ahli di persidangan, tetapi saksi ahli tersebut tidak dapat dihadirkan di persidangan, sehingga Penuntut Umum memohon kepada Majelis Hakim untuk membacakan keterangan saksi ahli sebagainya keterangannya di Berita Acara Pemeriksaan (ahli) yang dibuat oleh Penyidik Polwi Malang di bawah sumpah, tetapi terdakwa II keberatan atas hal tersebut, dan atas hal tersebut, kemudian Majelis Hakim menpersilakan Penuntut Umum untuk membacakan to user pokok-pokok dari keterangancommit ahli tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id
a.
46 digilib.uns.ac.id
Bahwa mengenai Pasal 43 KUHAP dalam kaitannya dengan penolakan penyitaan yang dilakukan Advokat, jika beranjak dari ketentuan pasal ini, di mana Advokat dapat membatalkan tindakan penyitaan atas surat tulisan (sertifikat dapat dianggap sebagai surat), bilamana dia menyatakan ketidaksetujuannya atas tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik, tetapi pembatalan yang dilakukan oleh Advokat tersebut menjadi tidak berlaku kalau ada tindakan penyitaan itu mendapat izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat;
b.
Bahwa dalam Pasal 43 KUHAP ada ketentuan, bahwa hal-hal yang diatur seperti tersebut di atas dapat disimpangi, dapat dikecualikan kalau Undang-Undang menentukan lain. Undang-Undang menentukan lain tersebut adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, di mana dalam Pasal 18 ayat (2) menurut Sugianto, S.H., memberikan hak kepada Advokat untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan penyitaan atas surat/dokumen (sertifikat termasuk dalam pengertian surat/dokumen) sifatnya mutlak tidak dapat diganggu gugat. Padahal seperti diuraikan di atas pengertian serta pemaknaan pasal tersebut harus dikaitkan dengan pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 itu sendiri maupun ketentuan lain yang berkaitan dengan pengaturan penyitaan yang ada dalam Undang-Undang lain, yakni dalam KUHAP maupun Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; dokumen dari tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik. Akan tetapi, hendaknya di balik hak tersebut, Pengacara juga mempunyai kewajiban dalam rangka melakukan pembelaan terhadap kliennya.
c.
Bahwa dalam Pasal 1 ayat (1.3) Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dinyatakan bahwa: "Advokat dalam melakukan tugasnya, tidak sematamata mencari imbalan materi, tetapi terutama berjuang untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab"; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
d.
47 digilib.uns.ac.id
Bahwa ketentuan tersebut kemudian dimantapkan dalam lafal, sumpah Advokat sebagaimana Pasal 4 ayat (2) poin 3 UU No.1 Tahun 2003 berisikan: "Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagal pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dai bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan";
e.
Bahwa dalam Pasal 39 jo. Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dalam memberikan bantuan hukum, Advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan;
f.
Bahwa dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas dan kewajiban Advokat tidak sekadar membela kepentingan kliennya saja. Lebih dari itu Advokat berusaha dan bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam membela kepentingan kliennya, jika Advokat lebih mengedepankan haknya daripada kewajibannya, maka tidak ditutup, kemungkinan perbuatannya dapat dianggap sebagai upaya untuk mempersulit atau menghalang-halangi proses penyidikan. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar etika keadvokatan serta sumpah Advokat dan juga melanggar ketentuan hukum yang berlaku;
g.
Bahwa tindakan Advokat yang menolak menyerahkan sertifikat yang akan disita oleh penyidik, padahal sudah dijelaskan oleh penyidik pentingnya sertifikat bagi kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan dalam rangka penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran yang juga diharapkan oleh klien dan masyarakat, maka perbuatan penolakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 KUHP;
Saksi Ahli: H. Haryono Mintaroem, S.H., M.S. a.
Bahwa saksi adalah Dosen Pengajar mata kuliah Hukum Pidana, Hukum Pidana Korupsi, Hukum Pidana Ekonomi, dan mata kuliah to userpada Fakultas Hukum Universitas Kejahatan Nyawa dan commit Harta Benda
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Airlangga di Surabaya sejak tahun 1976 sampai dengan sekarang; , b.
Bahwa menurut saksi saat H. Moch. Ansori membeli tanah dari Moch. Munip prosesnya tidak sesuai dengan peraturan/ketentuan yang berlaku karena : 1)
Penjual tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah seperti sertifikatnya tanah tersebut bukan atas nama penjual tersebut, yaitu Moch. Munip;
2)
Kalaupun tanah tersebut bukan milik Moch. Munip, tetapi saat dijual, tidak dapat menunjukkan surat kuasa dari
yang
berhak/memiliki tanah dengan sertifikat atas nama Subakti; 3)
Jual beli tidak dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);
4)
Jika dilakukan di bawah tangan, seharusnya disaksikan oleh Kepala Desa yang membawahi wilayah di mana tanah itu terletak;
c.
Bahwa jika perbuatan membeli tanah dalam kondisi seperti di atas, maka pembelian tanah yang dilakukan oleh H. Moch. Ansori dari Moch. Munip. dapat dikatakan perbuatan itu dikategorikan sebagai perbuatan dalam Pasal 480 KUHP, yaitu penadahan;
d.
Bahwa jika tanah itu dijual oleh Moch. Munip dengan sertifikat bukan atas namanya, dan Moch. Munip tidak dapat menunjukkan dasar hukum tentang
asal-muasal
tanah
dan
sertifikat
tersebut
sampai
dikuasai/dimiliki, kemudian yang bersangkutan menjualnya, seharusnya calon pembeli mengetahui atau setidaknya dapat menduga tanah berikut sertifikatnya berasal dari perbuatan melawan hukum atau dari suatu kejahatan; e.
Bahwa tindakan yang dilakukan oleh H. Moch. Ansori yang tidak menyerahkan sertifikat tanah pada saat penyidik akan melakukan penyitaan sertifikat tanah SHM No. 94 atas nama Subakti yang dikuasainya tersebut, dan malah diserahkan kepada pengacaranya, yaitu Sugianto, S.H. (terdakwa II), tidak serta-merta dianggap sebagai commit Pasal to user perbuatan pidana sebagaimana 216 KUHP;
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f.
Bahwa kalau tindakan yang dilakukan menolak penyitaan yang dilakukan penyidik, kemudian dia meminta bantuan hukum kepada pengacaranya agar mendapat pembelaan dari pengacaranya: Untuk maksud itu, kemudian menceritakan kasus yang dihadapinya berikut menyerahkan sertifikat tersebut kepada pengacaranya dalam rangka keperluan pembelaan, maka tindakan atau perbuatan H. Moch. Ansori tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan dimaksud dalam Pasal 216 KUHP.
g.
Bahwa penyidik mempunyai kewenangan melakukan penyitaan sebagaimana Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP dalam rangka penyidikan, sehingga Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita menyerahkan benda tersebut kepadanya
untuk
kepentingan
pemeriksaan
dan
kepada
yang
menyerahkan benda tersebut harus diberikan tanda terima; h.
Bahwa dalam rangka kepentingan penyidikan bila memang diperlukan, penyidik dapat melakukan pengambil alihan atau penyimpanan suatu barang termasuk suatu sertifikat guna kelengkapan pembuktian yang sedang dilakukannya. Penyitaan dilakukan sebagaimana Pasal 38 KUHAP, dan benda yang disita paling tidak termasuk disebutkan dalam Pasal 39 KUHAP;
i.
Bahwa penyitaan sifatnya tidak untuk seterusnya tetapi hanya untuk sementara guna kepentingan penyidikan, penuntutan bahkan juga untuk proses peradilan (Pasal 1 angka 16 KUHAP). Jika nantinya pemeriksaan dalam tingkat penyidikan dianggap telah selesai, atau perkara tidak jadi dilakukan penuntutan, atau pemeriksaan perkara sudah diputus di persidangnn maka benda sitaan akan dikembalikan kepada yang berhak (Pasa1 46 KUHAP);
j.
Bahwa tidak benar kekhawatiran terdakwa H.Moch Ansori dan/atau pengacaranya bahwa nantinya kalau diserahkan
sertifikat tersebut,
besar kemungkinan akan hilang atau diserahkan kepada orang kepada commitatau to user orang lain yang tidak berhak, akan disalahgunakan oleh penyidik.
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jika hal tersebut terjadi, maka
penyidik dapat dituntut melakukan
perbuatan sebagaimana Pasal 372 KUHP atau Pasal 417 KUHP; k.
Bahwa dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dapat ditafsirkan memberikan perlindungan hukum dengan memberikan hak perlindungan atas berkas dan
5.
Tuntutan Penuntut Umum Menimbang
bahwa
di
persidangan
Penuntut
Umum
telah
mengajukan tuntutan atas diri terdakwa yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: a.
Menyatakan bahwa I H. Mochammad Ansori bin H. As’ari dan terdakwa II Sugianto, S.H., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana: “Secara bersama-sama dengan sengaja tidak menurut perintah atau permintaan yang keras, yang dilakukan menurut undang-undang oleh Pegawai Negeri yang diwajibkan mengawasi atau Pegawai Negeri yang diwajibkan atau dikuasakan mengusut atau memeriksa tindak pidana atau menghalang-halangi atau menggagalkan suatu pekerjaan yang diusahakan oleh salah seorang Pegawai Negeri itu, untuk menjalankan suatu peraturan perundangundangan. Melanggar Pasal 216 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam Surat Dakwaan”.
b.
Menjalankan pidana terhadap terdakwa I H. Mochammad Ansori bin H. As’ari dan terdakwa II Sugianto, S.H., masing-masing dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 5 (lima) bulan;
c.
Menyatakan barang bukti berupa: 1)
1 (satu) lembar Berita Acara Penolakan Penyerahan Barang Bukti untuk dilakukan penyitaan, tanggal 14 Desember 2005;
2)
3 (tiga) lembar fotocopy Penetapan Penyitaan Nomor : W.10.D.25.Pi.03.07.161./PN. Psr, tanggal 29 November 2005 commit to user yang telah dilegalisir;
perpustakaan.uns.ac.id
3)
51 digilib.uns.ac.id
Surat Putusan dari Hakim Pengadilan Negeri Pasuruan dalam perkara a.n. Mohammad Munif Nomor: 05/Pid.B/2006/PN.PSR, tanggal 15 Maret 2006 (fotocopy dilegalisir PN Pasuruan);
Terlampir dalam berkas Perkara d.
Menetapkan agar para terdakwa membayar biaya perkara masingmasing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah)
6.
Pertimbangan Hakim Menimbang, bahwa untuk menentukan alasan apakah yang diajukan oleh terdakwa II tersebut, yaitu sertifikat akan jatuh ke tangan saksi pelapor Rudi Harsono dan alasan Pasal 43 KUHAP dan Pasal 18 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat itu beralasan menurut hukum ataukah tidak, maka Majelis hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut : Menimbang, bahwa menurut Pasal 17 KUHAP bahwa dalam rangka penyidikan suatu perkara pidana, penyidik dapat melakukan tindakan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan; Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 39 KUHAP dinyatakan bahwa benda yang dapat disita tersebut adalah: a.
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b.
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.
Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana’
d.
Benda yang khusus dibuat dan diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan;
f.
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara commit to user pidana.
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) KUHAP bahwa: “ Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan”: Menimbang, bahwa dengan demikian dalam perkara pidana penggelapan sertifikat tanah No. 94 a.n. Subakti, dengan tersangka Moch. Munip, ternyata sertifikat tanah tersebut dikuasai oleh terdakwa I, maka guna kelengkapan
pembuktian,
kemudian
penyidik
berwenang
untuk
memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita tersebut, yaitu terdakwa I untuk menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan saat penyerahan sertifikat tanah tersebut akan diberikan tanda penerimaannya; Menimbang, bahwa menurut Pasal 46 KUHAP, jika nantinya pemeriksaan dalam tingkat penyidikan dianggap telah selesai, atau perkara tidak jadi dilakukan penuntutan, atau pemeriksaan perkara sudah diputus dipersidangan, maka benda sitaan akan dikembalikan kepada yang berhak; Menimbang, bahwa dengan demikian kekhawatiran dari terdakwa I maupun terdakwa II, yaitu jika sertifikat tanah No. 94 a.n. Subakti yang dikuasai oleh terdakwa I diserahkan kepada penyidik, nantinya akan hilang atau diserahkan kepada orang lain yang tidak berhak, atau akan disalahgunakan oleh penyidik, adalah alasan yang berlebihan dan terlalu dibuat-buat, sehingga kekhawatiran alasan tersebut tidak berdasarkan hukum, karena yang menentukan kepada siapa sertifikat tanah tersebut akan dikembalikan adalah saat setelah selesainya persidangan dengan penjatuhan pidana terhadap terdakwa, di mana Majelis hakim dalam amar putusannya akan menentukan status dari barang bukti tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf I KUHAP, dan bukan Penyidik atau Penuntut Hukum; commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 43 KUHAP menyatakan bahwa; “Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut
undang-undang
untuk
merahasiakannya,
sepanjang
tidak
menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undangundang menentukan lain”: Menimbang, bahwa terdakwa II menolak tindakan penyataan yang dilakukan oleh penyidik terhadap sertifikat tanah No. 94 a.n. Subakti dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 KUHAP tersebut di atas di mana selaku Advokat dari terdakwa I, ia menyatakan menolak dan tidak menyetujui penyataan terhadap sertifikat tanah yang dikuasai oleh kliennya tersebut; Menimbang,
bahwa
terhadap
hal
tersebut,
Majelis
hakim
berpendapat, bahwa jikalau bertitik tolak pada ketentuan Pasal 43 KUHAP, di mana benda yang akan disita, yang dalam perkara ini berupa sertifikat tanah yang bukan merupakan surat atau dokumen rahasia Negara, seharusnya tidak memerlukan persetujuan dari advokat, yang nota bene buka pula sebagai orang berkewajiban untuk merahasiakan sertifikat tanah tersebut, sehingga seharusnya dengan surat perintah penyataan dari penyidik saja, cukup untuk advokat tersebut menyerahkan sertifikat tanah untuk disita sebagai barang bukti dalam proses pembuktian perkara pidana, apalagi jika surat perintah penyataan dari penyidik tersebut dilengkapi pula oleh penetapan izin khusus untuk melakukan penyataan tersebut, maka dengan adanya Penetapan izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri Pasuruan, maka dengan adanya Penetapan izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor: W.10.D.25.Pi.03.07.161/PN.Psr., tanggal 29 November 2005, harus ditaati oleh semua pihak, maka penolakan penyataan yang dilakukan oleh advokat (dalam hal ini terdakwa II Sug anto, S.H.), demi hukum tidak berlaku lagi bagi. Sehingga seharusnya sebagai salah satu pilar penegak hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka terdakwa II sebagai orang yang mengerti akan proses hukum commit user makna yang terkandung dalam pidana, harus memahami dalam artito luas,
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
Pasal 43 KUHAP tersebut dan tidak memberikan penafsiran sendiri yang sempit, keliru dan menyesatkan yang hanya ditujukan untuk kepentingannya saja, sehingga sudah seharusnya demi hukum terdakwa II menyerahkan sertifikat tanah itu kepada penyidik untuk dilakukan penyataan, dan bukan sebaliknya menghalang-halangi tindakan penyataan tersebut, mengingat terdakwa I dan terdakwa II mengetahui bahwa sertifikat tersebut dikuasainya dengan proses melawan hukum dalam perkara pidana a.n. terdakwa Moch. Munip dan terdakwa I H. Ansori alias H. Asári dalam perkara pidana terdsebut hanyalah sebagai saksi saja dan bukan dalam kapasitas sebagai terdakwa; Menimbang, bahwa mengenai adanya ketentuan dalam Pasal 43 KUHAP di mana adanya kata-kata:”kecuali undang-undang menentukan lain”, Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut; Menimbang, bahwa dalam rangkaian pemeriksaan proses perkara ini, maka terdakwa II sebagai seorang advokat, tentu saja mendalilkan undang-undang yang dikecualikan itu adalah Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, terutama Pasal 18 yang berisikan: a.
Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oelh Undang-undang.
b.
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyataan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat, dapat ditafsirkan bahwa advokat dapat memberikan perlindungan hukum atas berkas dan dokumen dari tindakan peyitaan yang dilakukan penyidik. Akan tetapi, hendaknya dibalik hak tersebut, selanjutnya sebagaimana ketentuan Pasal 15, advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela kliennya tetap berpegangan commit to user pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan;
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
Menimbang, bahwa dengan demikian secara expressis verbis, status advokat diakui sebagai penegak hukum yang disertai pula dengan berbagai hak kekebalan hukum (imunitas) dalam menjalankan profesinya dan menyimpan kerahasiaan klien yang dimiliki Advokat, tetapi di sisi lain advokat mempunyai kewajiban pokok sebagai penegak hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan, yang tidak boleh diabaikan oleh setiap advokat yang dituangkan dalam Kode Etik Profesi yang menjadi ramburambu etika untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi yang wajib ditaati dan dipatuhi oleh setiap individu advokat yang rentan terhadap berbagai godaan materiil maupun kepentingan sesaat. Kemudian yang lebih penting lagi adalah adanya aturan perundang-undangan yang harus tetap ditaati dan dijunjung tinggi oleh Advokat sebagai bagian dari aparat penegak hukum; Menimbang, bahwa dalam Pasal 3 Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dinyatakan bahwa:”Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”; Menimbang, bahwa dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan advokat sebagai bagian dalam sistem peradilan yang memiliki kekebalan hukum, tidak boleh hanya dilihat atau diartikan dalam arti sempit yang subjektif saja seolah-olah tugas atau hak Advokat hanya sekadar untuk membela kepentingan klien semata-mata sehubungan dengan profesinya sebagai pemberi jasa hukum, akan tetapi lebih dari itu hendaknya dilihat dari fungsinya dalam arti luas, di mana Advokat mempunyai kewajiban melalui jasa hukum untuk berusaha dan bertujuan mencari kebenaran dan keadilan, dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan; Menimbang, bahwa terhadap pendapat Penasihat hukum terdakwa II yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 merupakan lex specialis, sehingga seharusnya tidak menggunakan atur dalam KUHP dan commit to usermerupakan hukum pidana formil bukan dalam KUHAP, di mana KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
atau hukum acara yang mengatur tata cara untuk mempertahankan hukum pidana materiil, termasuk salah satunya adalah KUHP di samping banyak ketentuan perundang-undangan hukum pidana yang lainnya, sehingga menurut pandangan Majelis Hakim ketentuan-ketentuan mengenai penyitaan sebagaimana yang terdapat dalam KUHAP merupakan ketentuan pokok atau hukum acara yang harus menjadi pedoman aparat penegak hukum secara keseluruhan. Sehingga tidak dapat diperbandingkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang merupakan salah satu hukum pidana materiil; Menimbang, bahwa selain itu dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak terdapat tindak pidana yang mengatur mengenai perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan suatu proses penyidikan suatu perkara yang dilakukan oleh Polisi, maka sudah tepat dan benar Penuntut Umum mengajukan dakwaan terhadap terdakwa II secara bersama-sama dengan terdakwa I dengan Pasal 216 KUHP, karena ketentuan pidana dalam Bab XI, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 hanyalah mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang bukan advokat menjalankan pekerjaan profesi Advokat dengan bertindak seolah-olah sebagai Advokat; Menimbang, bahwa selain itu, dalam Asas-Asas Hukum yang menyatakan bahwa kepentingan hukum publik lebih diutamakan daripada kepentingan hukum privaat, artinya tindakan yang dilakukan untuk kepentingan yang berkaitan dengan publik akan lebih didahulukan daripada tindakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan yang berkaitan dengan pribadi/privaat. Oleh akrena itu, tindakan Penyidik Polresta Pasuruan dalam melakukan penyidikan suatu perkara yang dilaporkan kepadanya, sehingga memerlukan tindakan hukum berupa penyitaan untuk kepentingan proses pembuktian perkara pidana merupakan suatu tindakan untuk kepentingan publik, yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat, haruslah didahulukan dan tidak dalam penegakan hukum dan keadilan, sedangkan apa yang commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan oleh terdakwa II sebagai advokat/kuasa hukum dan terdakwa I adalah untuk kepentingan pribadi dari terdakwa I; Menimbang, bahwa secara logika hukum, jika perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa II sebagai advokat dalam membela kliennya yaitu terdakwa I dilakukan juga secara meluas dan terorganisir, maka akan terjadi preseden buruk dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia di masa mendatang, terutama dalam proses perkara pidana, di mana pribadi-pribadi yang sedang menghadapi proses hukum dan tuntutan hukum atau perkaranya kemudian diproses oleh penyidik atau penuntut umum, dapat saja menurut hukum tidak dapat dibuktikan tindak pidana yang dilakukannya tersebut, semata-mata oleh karena barang-barang bukti yang ada hubungannya dengan tindak pidana tersebut, baik yang dikuasai oleh orang yang diduga melanggar tindak pidana ataupun oleh pihak lain baik yang ada hubungannya dengan perkara tersebut maupun tidak, yang kemudian dikuasai secara perseorangan dan menolak untuk dilakukan tindakan penyataan atau telah diserahkan oleh pribadi-pribadi tersebut kepada advokat yang mempunyai hak imunitas dan perlindungan akan suatu berkas atau dokumen, apalagi jikalau hak tersebut diartikan secara sempit oleh advokat yang bersangkutan, sebagai hak yang mutlak tanpa mengindahkan kewajiban, kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan dan penegakan hukum secara keseluruhan, maka dapat dipastikan akan terjadi kebuntuan/kemacetan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan, yang berakibat pula pada proses di tingkat peruntutan dan persidangan, sehingga tidak jarang para pelaku tindak pidana akan melenggang bebas karena unsur kesalahannya tidak dapat dibuktikan hanya oleh karena tidak adanya barang bukti dalam perkara pidana tersebut; Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam membela kepentingan kliennya
tersebut,
advokat
lebih
mengedepankan
haknya
daripada
kewajibannya, maka perbuatan advokat tersebut, yang dalam perkara ini, terdakwa II sebagai advokat dari terdakwa I, yang menolak untuk commit to user menyerahkan sertifikat tanah No. 94, a.n. Subakti yang akan dilakukan
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyataan untuk kepentingan proses pembuktian dalam perkara pidana penggelapan yang dilakukan oleh tersangka Moch. Munip, dan apalagi penyidik dalam melakukan tindakan penyataan itu, sudah membekali diri dengan surat perintah penyataan dan penetapan izin khusus dari penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan, maka Majelis Hakim berpendapat tindakan terdakwa II tersebut telah termasuk sebagai tindakan turut serta menghalanghalangi proses penyidikan yang sedang dilakukan oleh penyidik Polresta Pasuruan atau dapat dikategorikan peran daripada terdakwa II adalah sebagai mededader/medepleger, sekaligus sebagai intelectuere dader; Menimbang, bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 16 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa:”Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dalam iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”, yang kemudian dikaitkan dengan
ketentuan
Pasal
18
ayat
(2)
yang
menyatakan
bahwa:
“ Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien untuk pihak yang berwenang dan atau masyarakat”, Majelis sangat menyetujui isi dari pasal tersebut, tetapi dalam perkara a quo, Majelis Hakim melihat adanya iktikad tidak baik sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya sebagai mens rea
dari terdakwa II yang membela kliennya
tersebut, yaitu terdakwa I, bukan dalam sidang pengadilan, tetapi pada saat masih dalam proses awal pemeriksaan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka Moch. Munip di tingkat penyidikan, sehingga seharusnya terdakwa II membantu memperlancar jalannya proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan bukan berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan penyataan sertifikat tanah dengan melakukan pembelaan secara berlebihan terhadap kliennya, yaitu terdakwa I sebagai kliennya dengan dalih hak imunitas advokat, seolah-olah terdakwa II sendiri sebagai pihak materil yang langsung menghadapi perkara a quo; Menimbang, bahwa dari uraian pertimbangan di atas, Majelis user Hakim melihat ada tindakan commit lain daritoterdakwa II sebgai advokat, yang dapat
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikategorikan melanggar Kode etik Profesi
dan
Sumpah Advokat serta
melanggar logika penegakan hukum dalam proses penegakan Kode Etik Profesi Advokat sebagaimana ketentuan Bab IX Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; Menimbang, bahwa selain itu selanjutnya berdasarkan keterangan saksi-saksi Rudi Harsono, Moch. Munip, dan terdakwa I M. Ansori, yang dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan Penuntut Umum berupa Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan, nomor: 05/Pid.B/2006/PN.PSR, tanggal 15 maret 2006, atas nama terdakwa yang bersifat alternatif, yaitu dakwaan melakukan penggelapan atau penipuan terhadap setifikat tanah No. 94 a.n. Subakti, ternyata dalam amar putusannya Pengadilan Negeri Pasuruan menyatakan bahwa terdakwa Moch. Munip dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan”, dan oleh karena itu terhadap terdakwa Mochamad Munip dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdezaak) serta telah dijalani oleh terdakwa Mochamad Munip; Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga berpendapat, bahwa apa yang didalilkan oleh terdakwa II dimana dalam proses perkara pidana a.n. Moch. Munip, walaupun tidak ada barang bukti sertifikat tanah tersebut, tetapi ternyata perkara pidana tersebut dapat terus berjalan sebagai suatu alasan sepihak yang dicari-cari oleh terdakwa II sebagai dasar untuk membenarkan perbuatan terdakwa II yang sebenarnya bertentangan dengan kode etik profesi dan peraturan perundangan-undangan sebagaimana yang telah dipertimbangkan di atas; Menimbang, bahwa berdasarkan atas uraian-uraian pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat unsur ketiga ini telah terpenuhi dan terbukti oleh perbuatan terdakwa I dan terdakwa II; Menimbang, bahwa dengan demikian atas dasar keseluruhan pertimbangan dari ketiga unsur tersebut, maka Majelis Hakim berkeyakinan commit to userJo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, seluruh unsur-unsur dari Pasal 216 KUHP
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut hadap terdakwa I dan terdakwa II haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Secara Bersama-Sama Mencegah, Merintangi atau Menggagalkan Proses Penyidikan Suatu Perkara”; Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara ini berlangsung, Majelis Hakim tidak menemukan adanya hal-hal atau keadaan-keadaan yang meniadakan ataupun yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada diri terdakwa I dan terdakwa II, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar, sehingga Majelis Hakim memandang terdakwa I dan terdakwa II, dalam keadaan mampu untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang telah dilakukannya; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas diri terdakwa I dan terdakwa II tersebut, Majelis Hakim akan memperhatikan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari terdakwa I dan terdakwa II sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa I dan terdakwa II, sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP; Hal-hal yang memberatkan : 1)
Perbuatan terdakwa I menghambat proses pembuktian dalam perkara pidana;
2)
Perbuatan terdakwa II sebagai Advokat dapat menjadi preseden buruk dalam proses perkara pidana dan upaya penegakan hukum secara keseluruhan;
3)
Terdakwa II sebagai advokat dalam menjalankan tugas profesinya kurang mengindahkan kode etik profesi dan peraturan perundangundangan; Hal-hal yang meringankan :
Terdakwa I dan terdakwa II berlaku sopan di persidangan, sehingga memperlancar jalannya sidang; commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa pidana yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa I sebagai pleger/deder dan terdakwa II sebagai mendedader/mendepleger, telah setimpal dengan perbuatan dan berat serta sifat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa-terdakwa, dan telah sesuai pula dengan rasa keadilan hukum dan keadilan masyarakat serta dalam kerangka lebih luas untuk penegakan hukum dan keadilan; Menimbang, bahwa Majelis Hakim melihat bahwa jika upaya penal policy dipilih oleh Majelis Hakim, yaitu berupa penjatuhan pidana penjara selama waktu tertentu terhadap terdakwa I maupun terdakwa II, akan menimbulkan beberapa konsekuensi bagi keduanya antaar lain berupa stigma negatif yang akan terus melekat sepanjang hidup, produktivitas para terdakwa dalam bekerja terhambat, penjara dapat merupakan sekolah kejahatan (school of crime), maka Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Pasal 14a KUHP, akan menjatuhkan pidana percobaan terhadap terdakwa I dan terdakwa II yang lamanya akan ditentukan sebagaimana dalam amar putusan, dengan harapan agar para terdakwa dapat merenung tentang tidak akan terjadi lagi di kemudian hari; Menimbang, bahwa mengenal barang bukti yang diajukan dalam perkara ini, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut : a.
1 (satu) lembar Berita Acara Penolakan Penyerahan barang bukti untuk dilakukan penyitaan, tertinggal 14 Desember 2005;
b.
3
(tiga)
lembar
fotocopy
Penetapan
Penyitaan
Nomor:W.10.D25.Pi.03.07.161 /PN.Psr, tanggal 29 November 2005 yang telah dilegalisir; c.
Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan, No. 05/Pid.B/2006/PN.Psr tertanggal 15 Maret 2006, atas nama terdakwa Moch, Munip bin As’ari; Menurut Majelis Hakim, barang-barang tersebut berkaitan erat
dengan perkara ini, maka barang-barang bukti tersebut akan tetap dilampirkan dalam berkas perkara; commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7.
Putusan Hakim MENGADILI: Dalam Eksepsi: Menolak Ekspesi terdakwa II. Dalam Pokok Perkara : a.
Menyatakan terdakwa I H. Mochamad Ansori alias H. As’ari dan terdakwa II Sugianto, S.H., telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja secara bersamasama mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penyidikan suatu perkara”;
b.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I dan terdakwa II oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan;
c.
Menetapkan pidana tersebut tidak akan dijalankan, kecuali jika dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, oleh karena terdakwa I dan terdakwa II dipersilahkan melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 5 (lima) bulan terakhir;
d.
Memerintahkan barang bukti berupa: 1)
1 (satu) lembar berita acara penolakan penyerahan barang bukti untuk dilakukan penyitaan, tertinggal 14 Desember 2005;
2)
3 (tiga) lembar fotocopy Penetapan Penyitaan Nomor: W.10. D.25.Pi.03.07. 161/PN.Psr, tanggal 29 November 2005 yang telah dilegalisir;
3)
Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan, No. 05/Pid.B/2006/PN.Psr., tertinggal 15 Maret 2006, atas nama terdakwa Moch. Munip bin As’ari;
Tempat terlampir dalam berkas perkara.
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.
1.
Pembahasan
Terjadinya Pertentangan Norma Antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Berdasarkan pemaparan penelitian yang telah penulis kemukakan tersebut, yakni timbulnya pertentangan norma (antinomy normen) dalam hal ini tindakan penyidik di satu sisi untuk melakukan penyitaan barang bukti yang dikuasai oleh tersangka, disisi lain tindakan advokat untuk tetap tidak mau menyerahkan obyek penyitaan (sertifikat tanah) merupakan pokok timbulnya pertentangan norma. Dikatakan demikian oleh karena tindakan penyidik untuk melakukan penyitaan adalah merupakan kewenangan yang sah yang dimiliki oleh penyidik atas dasar ketentuan undang-undang yang menjadi pedoman pelaksanaannya. Sebagaimana diketahui bahwa pedoman utama penyidik untuk melakukan tugasnya dalam penegakan hukum (proses dalam acara pidana) adalah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perihal kewenangan penyidik dalam Pasal 7 KUHAP yang antara lain bunyi perumusannya, Penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut: a.
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b.
Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c.
Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memberikan tanda pengenalan diri tersangka.
d.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.
Memanggil seseorang untuk di dengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
h.
64 digilib.uns.ac.id
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.
Menghentikan penyidikan
j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Sedangkan tindakan advokat untuk tidak bersedia menyerahkan
sertifikat yang menjadi obyek penelitian bagi penyidik, bagi advokat merupakan konsekuensi dari kewenangan yang dimilikinya berdasarkan ketentuan undang-undang yang menjadi landasan kerjanya. Seperti diketahui tentang keberadaan advokat diatur oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Lebih tepat lagi mengenai hal ini diatur dalam beberapa pasal berikut ini. Pasal 16 antara lain perumusannya: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam persidangan”. Pasal 18 (1)
Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
(2)
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk hubungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat. Atas dasar uraian di atas jelaskah dapat diketahui bahwa kedua
Undang-undang yang mengatur kewenangan masing-masing pihak yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bagi Kepolisian untuk melakukan tugasnya, dalam pihak bagi advokat (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003) berada dalam kedudukan yang sama, bahkan secara substansi bagi keduanya berada dalam lingkup bidang pekerjaan yang senafas, yakni sebagai penegak hukum. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang to user Kepolisian Negara Republikcommit Indonesia khususnya Pasal 2 yang antara lain
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbunyi : “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan untuk advokat hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang advokat khususnya Pasal 5 ayat (1): “Advokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya oleh karena kedua undang-undang tersebut berada dalam posisi sejajar dalam heirarchi tata urutan berlakunya peraturan perundang-undangan. Maka disinilah timbul permasalahan. Dikatakan demikian oleh karena dalam posisi yang sejajar satu dengan yang lain, diantara undang-undang tersebut tidak bisa mengesampingkan, sehingga disinilah terjadi pertentangan norma (konflik norma). Peraturan yang satu sejajar dengan yang lainnya, kondisi demikian oleh hakim diambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Tindakan penyidik untuk melakukan penyitaan berada dalam lingkup hukum acara pidana sebagai hukum publik, sedangkan tindakan advokat dalam melindungi harta benda klien lebih merupakan tindakan dalam hukum privat.
2.
Langkah Yang Ditempuh Hakim Dalam Menyelesaikan Pertentangan Norma (antinomy normen) Langkah yang ditempuh Hakim dalam menyelesaikan pertentangan norma, Hakim berpedoman pada berlakunya beberapa asas dalam peraturan perundangan-undangan yang antara lain meliputi: a.
Lex Posterior derogat Legi Priori : Peraturan yang baru didahulukan dari pada peraturan yang lama. Artinya undang-undang yang baru diutamakan pelaksanaannya dari pada undang-undang yang lama yang mengetahui hal yang sama, apabila dalam undang-undang yang baru tersebut tidak mengatur pencabutan undang-undang lama. commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Lex Superior derogat Legi Inferiori : hukum yang lebih tinggi diutamakan pelaksanaannya dari pada hukum yang lebih rendah.
c.
Lex Specialis derogat Legi Generalis : Hukum yang khusus lebih diutamakan dari pada hukum yang umum. Artinya suatu ketentuan yang bersifat mengatur secara umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang lebih khusus yang mengatur hal yang sama. Langkah praktis yang dapat diambil oleh hakim dalam menyaksikan
pertentangan norma diantaranya melalui pengingkaran, penafsiran kembali, pembatalan dan pembetulan. Terhadap hal ini hakim dapat diketahui bahwa hakim cenderung untuk mempergunakan langkah penafsiran kembali. Hakim dalam rangka untuk menyelesaikan pertentangan norma, dalam hal ini tentang kewenangan penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan di satu sisi, sedangkan di sisi lain “hak immunitas advokat atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Mengingat bahwa kedua undang-undang tersebut sama kekuatannya, maka hakim bersikap fleksibel, dikatakan demikian oleh karena antara “Penyidik” dengan “Advokat”, kedua-duanya merupakan alat negara penegak hukum. Oleh karena itu sikap fleksibel dalam penafsiran kembali ini harus diterapkan oleh hakim, hal ini tampak jelas manakala hakim menetapkan tindakan advokat untuk tidak menyerahkan sertifikat, lebih merupakan tindakan yang kurang tepat dikatakan demikian, oleh karena penyerahan sertifikat sebagai barang bukti dalam perkara pidana tanggung jawab sepenuhnya berada pada pihak penegak hukum yang melakukan penyitaan. Selanjutnya tentang kewajiban penjamin kerahasiaan klien yang didampingi, tidak dapat berlaku bagi kasus tersebut, mengingat bahwa sertifikat bukanlah termasuk sesuatu yang harus dirahasiakan oleh advokat terhadap para pihak. Justru dalam rangka konteks penegak hukum ketidak bersediaaan advokat untuk menyerahkan sertifikat harus ditafsir sebagai tindakan melawan hukum. commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Meskipun status advokat adalah sebagai penegak hukum yang dibekali dengan berbagai hak kekebalan hukum (immunitas) dalam menjalankan profesinya dan menyimpan kerahasiaan klien, tetapi advokat tidak boleh mengabaikan kode etik profesi. Kode etik profesi advokat menjadi pedoman bertindak dan berperilaku bagi advokat sekaligus sebagai penjaga martabat dan kehormatan profesi advokat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan atas uraian yang telah penulis kemukakan, maka penulis dapat memberikan simpulan atas hasil penelitian yang penulis lakukan dikaitkan dengan landasan teori yang ada hal-hal sebagai berikut : 1.
Timbulnya pertentangan norma (antinomy normen) disebabkan oleh karena adanya bidang pekerjaan yang sama (dalam penelitian ini adalah penegak hukum pidana). Kepolisian oleh Undang-Undang diberikan landasan hukum khususnya dalam penegakan hukum pidana atas dasar ketentuan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, lebih khusus pernyataan yaitu dalam Pasal 7, disisi lain advokat atas dasar UndangUndang Nomor 18 tahun 2003 khususnya Pasal 16 serta Pasal 18, kedua Undang-Undang tersebut berada dalam kedudukan yang sama.
2.
Untuk mengatasi adanya pertentangan norma yang dapat dilakukan oleh hakim adalah melalui reinterpretasi (penafsiran kembali) dalam hal ini reinterpretasi terhadap hak imunitas advokat, tidak ditafsirkan secara mutlak, tetapi hendaknya di balik hak melekat kewajiban yang harus di taati.
B.
Saran-Saran
Berdasarkan simpulan tersebut saran yang penulis kemukakan adalah : 1.
Perlunya bagi para penegak hukum, khususnya hakim untuk selalu meningkatkan, dan mengasah ketajaman analisis hukum, mengingat hakim adalah merupakan penegak hukum yang merupakan gerbang akhir bagi masyarakat untuk mendambakan keadilan hukum yang di peroleh melalui putusan yang dijatuhkan.
2.
Khususnya bagi pembentuk undang-undang untuk senantiasa berpikir dan bersikap terarah sehingga produk undang-undang yang dihasilkan tidak menimbulkan adanya permasalahan dalam praktek. commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Buku Lili Rasjidi. 2004. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Ahmad Rivai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: UGM Press. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. . 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. R. Atang Ranoemihardja. 1984. Hukum Acara Pidana. Bandung: Tarsito. Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar Maju Marwan Mas. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Jurnal Brigid Coleman. A. 2001. “Lawyers Who Are Also Social Workers: How to Effectively Combine Two Different Disciplines to Better Serve Clients Brigid Coleman”. Journal of Law & Policy. Vol. 7 No. 131. Elizabeth F. Loftus. 2010. “INSIGHTFUL OR WISHFUL: Lawyers’ Ability to Predict Case Outcomes”. University of California Psychology, Public Policy, and Law. Vol. 16 No. 2. Nur Hidayat. 2008. “Tanggung Jawab Yuridis Benda Sitaan dalam Perkara Pidana”. Jurnal Yustitia. Volume 8, No.1. commit to user 69
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pustaka Maya file:///D:/01.%20data%20new/urgensi-pembentukan-dewan-etika-profesi-advokatnasional-broleh--dr-frans-h-winarta-sh--mh.htm>(Diakses, Rabu 20 Juni 2012 pukul 11.55 WIB. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 101/Pid B/2007/PN.Psr
commit to user