perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.6.PK/PID/2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
MUTIADANARWIDYA S.S NIM : E0007169
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang sebab Aku ini Allahmu;Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong engkau;Aku akan memegang engkau dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10) “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga” (Pengkhotbah 9:10) “Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita dan berusaha mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa” (Hamka) ”Tuhan menitipkan kelebihan di setiap kekurangan. Ia menitipkan kekuatan di setiap kelemahan. Ia menitipkan sukacita di setiap dukacita. Ia menitipkan harapan di setiap keraguan akan hari esok dan Tuhan berjanji untuk menjadikan semua indah pada waktunya” (Tes. Tia Danar Widya)
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih kepada : 1. Tuhan Yesus Kristus akan cinta kasihNya yang luar biasa diberikan dalam kehidupanku dan menjadikan hidupku berarti. 2. Kedua orang tuaku tercinta Ayah Ir. Sudiro dan Bunda Susmiyati, S.Pd atas segala kasih sayang, cinta, perhatian dan didikan untuk hidup dalam Tuhan Yesus. 3. Pengisi hati, atas segala kasih sayang, doa, semangat dan perhatian untukku. 4.Seluruh keluarga besarku dan sahabat-sahabatku atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Mutiadanarwidya S.S,2011.TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.6.PK/PID/2009).Fakultas Hukum UNS. Penelitian Hukum ini menelaah dari segi yuridis mengenai kedudukan hukum lembaga swadaya masyarakat dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi nomor 6.PK/PID /2009. Penelitian yang dilakukan ini termasuk penelitian normatif yang bersifat preskriptif yang mengunakan data sekunder, dimana Penulis mengumpulkan datadata yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis putusan, buku literatur, dan perundang-undangan. Kemudian dari semua data yang terkumpul dilakukan analisa data deduksi dengan metode silogisme. Tujuan Penelitian Hukum ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum dari lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa alasan lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi adalah sebagai berikut:Pertama alasannya disebabkan mengenai masalah adanya kesalahan penerapan peraturan hukum oleh hakim tunggal pemeriksa Praperadilan pada putusannya. Kedua pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi dikarenakan Judex Facti salah menerapkan hukum.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan judul “ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI MUNGKID
DALAM
PENGAJUAN
KASASI
DAN ALAS
HUKUM
FORMIL HAKIM MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN KASASI PERKARA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS NOMOR 2631 K/PIDSUS/2009”. Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syaratsyarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.. Atas berbagai bantuan yang telah banyak membantu Penulis selama melaksanakan studi sampai terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini, maka pada kesempatan kali ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang kepada : 1. Ibu Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2. Bapak Edy Herdyanto,SH.MH selaku Ketua Bagian Hukum Acara. 3. Bapak Bambang Santoso,S.H,M.Hum selaku Pembimbing Akademik Penulis dan selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing Penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini. 4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta. 6. Kedua orang tuaku yang telah memberikanku doa, kasih sayang, dan didikan yang menjadi kekuatan dan bekal dalam menjalankan kehidupan ini. 7. Keluarga Besar penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan. 8. Sahabat-sahabatku Angkatan 2007 Reguler, Teman-teman Angkatan 2007 Reguler, teman-teman kuliah, dan semua pihak yang membantu dalam penulisan hukum ini. Penulis menyadari
bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima dengan senang hati Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan Pengetahuan dan Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya. Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum ini, atas amal baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v ABSTRAK ....................................................................................................... vi ABSTRAK (BAHASA INGGRIS)..................................................................vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6 E. Metode Penelitian ....................................................................... 7 F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori............................................................................ 11 1. Tinjauan Umum tentang Lembaga Swadaya Masyarakat..... 11 a. Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat..................... 12 b. Peran dan ciri Lembaga Swadaya Masyarakat................ 12 2. Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan ................................. 13 a. Pengertian Pra Peradilan ................................................. 13 b. Tujuan Pra Peradilan ....................................................... 13 c. Wewenang Pra Peradilan dan Acara Pra Peradilan......... 14
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali ...................... 16 a. Tujuan Peninjauan Kembali ............................................ 16 b. Alasan Peninjauan Kembali ............................................ 16 c. Pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali ....... 18 d. Tata cara Peninjauan kembali ......................................... 18 e. Asas-asas Peninjauan Kembali ....................................... 19 4. Tinjauan Umum tentang Korupsi.......................................... 21 a.
Istilah Korupsi ................................................................. 21
b. Pengertian Perbuatan Korupsi......................................... 22 c. Macam-macam korupsi ................................................... 23
B. Kerangka Pemikiran.................................................................... 27
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan............................... 30 1. Deskripsi Kasus..................................................................... 30 2. Identitas Lengkap Pemohon dan Termohon Pra Peradilan ... 32 3. Alasan Pemohon mengajukan Pra Peradilan......................... 32 4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan .......................... 33 5. Alasan-alasan Pengajuan Kasasi ........................................... 33 6. Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali ........................... 38 7. Pembahasan ...........................................................................42 B. Kedudukan
Hukum
Lembaga
Swadaya
masyarakat
Sebagai
Pemohon Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan ........................................... 47 1. Pertimbangan Hakim PK ...................................................... 47 2. Amar Putusan Hakim Kasasi ................................................ 53 3. Pembahasan........................................................................... 56
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ..................................................................................... 60 B. Saran-Saran ................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–hak asasi manusia, misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk me Hukum merupakan upaya dari dari suatu Negara untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak dan demi kepentingan umum. Hal ini tidak terlepas dari tujuan nasional Negara Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajuklan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan
bangsa
serta
melaksanakan
ketertiban
dunia
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara hukum atau “Rule of Law” dalam arti menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal, seperti : Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak-hak asasi, legalitas dari tindakan Negara/pemerintahan dalam arti tindakan aparatur Negara yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas. Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam tindak pidana dibuktikan dengan adanya proses peyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, pra peradilan,
pemeriksaan sidang,
pembuktian, kemudian putusan pengadilan yang dilakukan oleh hakim sebagai pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
mengadili. Semua proses tersebut dilakukan dengan menjunjung tinggi keadilan demi tetap tegaknya hukum. Terhadap putusan pengadilan yang tidak memuaskan terdakwa atau penuntut umum, maka dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Berbagai upaya hukum tersebut diadakan untuk menjamin hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karena hakim adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dan juga kekhilafan. Jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan dan pembagian kekuasaan dalam Negara, serta pemerintahan berdasarkan hukum tersebut harus dijamin dalam suatu konstitusi. Selain itu, konstitusi tersebut harus pula menjamin kemerdekaan warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan sebagainya, dengan kata lain harus menjamin kehidupan berdemokrasi. Untuk itu semua harus ada lembaga yang bertugas menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum, yaitu :Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang. Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia dikenal adanya upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi diatur dalam Bab XVII KUHAP, sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII KUHAP. Upaya hukum dapat dilakukan terdakwa maupun penuntut umum terhadap putusan hakim pada tingkat Pengadilan Negeri dengan mengajukan banding, kecuali terhadap putusan bebas. Apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan Pengadilan Tinggi, maka dapat mengajukan kasasi. Upaya hukum banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa, yang diatur dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
KUHAP Bab XVII. Sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah Peninjauan Kembali. Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa, karena sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (gezag van gewijsde) tidak bisa diubah lagi. Asas kepastian hukum itu disebut neb is in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama. Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi. Tujuan dibukanya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk menemukan kebenaran hukum dan keadilan yang sesungguhnya. Namun demikian, demi kepastian hukum maka Peninjauan Kembali ini hanya dapat dilakukan satu kali saja. Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar : 1. terdapat keadaan baru (Novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 2. dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. 3. putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian di revisi dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, menetapkan bahwa "setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap". Ketentuan ini dikenal sebagai "asas praduga tidak bersalah"( presumption ofinnocence ), yang kemudian diatur oleh KUHAP di dalam Penjelasan Umum sub 3.e. dengan rumusan yang sama. Jika dilihat dari kaca mata hukum, maka Undang-undang No. 14 tahun 1970 merupakan salah satu dari latar belakang dan landasan yuridis lahirnya Undang-undang No.8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara Pidana. Hal tersebut di atas merupakan salah satu dari dasar hukum dan latar belakang lahirnya praperadilan sebagai salah satu fungsi dan wewenang Pengadilan Negeri yang melembaga dan menjadi satu kesatuan di dalanmya. Dalam rangka menegakkan keadilan dan kepastian hukum pembuat undang-undang menciptakan suatu mekanisme atau sistem dalam KUHAP tentang praperadilan yang merupakan suatu lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan maupun tindakan lain yang dilakukan penyidik atau penuntut umum. Diadakannya suatu lembaga praperadilan seperti yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah untuk
kepentingan
pengawasan
terhadap
perlindungan
hak-hak
tersangka/terdakwa atas upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Keberadaan praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi (hak-hak tersangka dan terdakwa) manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara harizontal. Yang dimaksud dengan pengawasan secara horizontal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan terhadap lembaga penyidik dan penuntut umum yang sifatnya sejajar dalam pelaksanaan penegakan hukum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Seperti halnya pemeriksaan kasasi terhadap putusan praperadilan, maka KUHAP juga tidak mengatur tentang pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) terhadap putusan praperadilan. Akan tetapi dalam praktik hukum sudah pernah terjadi pemeriksaan peninjauan kembali oleh MA terhadap putusan praperadilan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970. Dengan demikian, pemeriksaan peninjauan kembali (PK) tetap dapat dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan telaah yurudis mengenai kedudukan LSM dalam permohonan peninjauan kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya. Untuk itu penulis terdorong untuk menulis Penulisan Hukum dengan judul “TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA
PERADILAN
TENTANG
KEABSAHAN
PENGHENTIAN
PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (Studi Kasus Putusan MA No. 6/ PK/ Pid/ 2009)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah Lembaga Swadaya masyarakat mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon pemeriksanaan peninjauan kembali terhadap putusan para peradilan tentang keabsahan penhentikan penyidikan perkara korupsi ? 2. Apakah terhadap putusan para peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara dapat diajukan peninjauan kembali? commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan para peradilan tentang keabsahan penhentian penyidikan perkara korupsi b. Untuk mengetahui langkah hukum yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan para peradilan tentang keabsahan penhentian penyidikan perkara korupsi. 2. Tujuan Subjektif a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang sangat berarti bagi penulis. c. Memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
a. Merupakan salah satu sarana bagi Penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk sedikit memberi sumbangan pengetahuan dan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya. c. Untuk mendalami teori–teori yang telah Penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian 1.Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 10).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif dan teknis atau terapan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 41). 3. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histories (historical approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93). Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus. 4. Jenis dan Sumber Penelitian Jenis sumber penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa jenis sumber penelitian sekunder, yaitu informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsiparsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Bahan hukum yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah: a. Bahan Hukum Primer, yang meliputi : 1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
4) Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 6/ PK/ Pid/ 2009 b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, majalah, koran, makalah dan lain sebagainya khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri dari kamus, dan bahan bahan dari internet.
5. Teknik Pengumpulan Sumber Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka dan rujukan internet untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.
6. Teknik Analisis Penelitian Dalam penelitian ini, permasalahan hukum akan dianalisis dengan dengan logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M.Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, pengunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip pendapat Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual ( Johnny Ibrahim, 2008:249). F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dari isi penulisan hukum, maka penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat bab. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori yang melandasi penelitian hukum. Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan umum tentang tinjauan tentang lembaga swadaya masyarakat, tinjauan tentang pra peradilan, tinjauan tentang peninjauan kembali dan tinjauan tentang korupsi.
BAB III :
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan
yaitu
tentang
kedudukan
lembaga
swadaya
masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang penghentian pengyidikan perkara korupsi. BAB IV :
PENUTUP Bab ini akan berisi mengenai simpulan dan saran terkait dengan pembahasan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau sering disebut dengan nama lain Non Government Organization (NGO) atau organisasi non pemerintah (Ornop) dewasa ini keberadaanya sangat mewarnai kehidupan politik di Indonesia. Diperkirakan saat ini lebih dari 10.000 LSM beroperasi di Indonesia baik ditingkat
nasional, propinsi maupun di tingkat
kabupaten/kota, dimana dari tahun ketahun jumlah ini semakin bertambah. Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan ekonomi dan kemajuan teknologi informasi merupakan faktor-faktor yang mendorong terus bertambahnya jumlah LSM di Indonesia. Bergulirnya era reformasi menggantikan era orde baru dikuti pula dengan peningkatan jumlah LSM. Jika pada tahun 1997 ditaksir ada sekitar 4000-7000 LSM, maka pada tahun 2008 jumlah LSM menurut Departemen Dalam Negeri menjadi sekitar 13.500 LSM. Iklim segar yang dibawa oleh angin reformasi menciptakan keleluasaan yang luas dalam upaya-upaya penyaluran aspirasi. Kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan berkumpul dijamin penuh oleh undang-undang. Dominasi pemerintah pada masa orde baru yang dijalankan melalui depolitisasi atau partisipasi terkontrol yang bertujuan untuk menjamin hegemoni pemerintah dan mengontrol masyarakat melalui pembatasan kegiatan partai politik dan organisasi sosial dengan dalih menciptakan kestabilan politik, semakin terkikis oleh tuntutantuntutan untuk mengurangi fungsi kontrol pemerintah terhadap masyarakat dan dilain pihak meningkatkan kemandirian masyarakat dalam segala aspek kehidupan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan bidangbidang lainnya. Ruang politik yang semakin terbuka lebar pada era reformasi, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
seiring dengan diberikannya kebebasan yang luas memberikan kesempatan pada kelompok-kelompok masyarakat untuk berekspresi dalam berbagai bentuk organisasi sosial politik non pemerintah dengan mengusung berbagai asas dan tujuan masing-masing. Tidak ada lagi hegemoni ideologi yang dijalankan lewat berbagai undang-undang yang mendudukan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi seperti pada masa orde baru yang menyebabkan aktifitas LSM
dipandang
mempunyai
peran
signifikan
dalam
proses
demokratisasi. Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan karakteristik khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor politik-pemerintah maupun swasta (private sector), sehingga mampu menjalankan tugas tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor tersebut. Berbeda dengan organisasi politik yang berorientasi kekuasaan dan swasta yang berorientasi komersial, secara konsepsional, LSM memiliki karakteristik yang bercirikan: nonpartisan, tidak mencari keuntungan ekonomi, bersifat sukarela, dan bersendi pada gerakan moral. Ciri-ciri ini menjadikan LSM dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi oleh ikatan-ikatan motif politik dan ekonomi. Ciri-ciri LSM tersebut juga membuat LSM dapat menyuarakan aspirasi dan melayani kepentingan masyarakat yang tidak begitu diperhatikan oleh sektor politik dan swasta. Kemunculan LSM merupakan reaksi atas melemahnya peran kontrol lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik, dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya LSM, terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan LSM adalah bagaimana mengontrol kekuasaan Negara, tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah. Meuthia Ganie-rochman menyebut pola hubungan LSM pada masa ini sebagai pola hubungan yang konfliktual, dimana dari sisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi LSM.
2. Tinjauan Tentang Pra Peradilan a.
Pengertian Pra Peradilan Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”Pra Peradilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti ”Pra Peradilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan (Andi Hamzah, 1996:1). Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang : 1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. 3) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
b.
Tujuan Pra Peradilan Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun. HIR
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
tidak memberi hak dan upaya untuk memintakan perlindungan dan koreksi. Bertahun-tahun pun tersangka ditahan, dianggap lumrah dan tersangka tidak mempunyai daya untuk mengadukan nasibnya kepada siapapun, karena HIR tidak memiliki lembaga yang berwenang untuk menguji sah atau tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka. Berpijak dari pengalaman suram di masa HIR, pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi, penilaian dan pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama pemeriksaan berlangsung dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan. c.
Wewenang Pra Peradilan 1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa 2) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. 3)
Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi
4) Memeriksa permintaan rehabilitasi d.
Acara Pra Peradilan Acara Pra Peradilan untuk ketiga hal yaitu pemeriksaan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah
tidaknya suatu
penghentian penyidikan
atau
penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut : 1)
Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang
2)
Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15 penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
3)
Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambatlambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya
4)
Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Pra Peradilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.
5)
Putusan Pra Peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan Pra Peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1 sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).
6)
Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut di atas harus memuat harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP)
7)
Selain daripada yang tersebut pada butir 6, putusan hakim itu memuat pula : (a)
dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
(b)
Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
(c)
Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi yang diberikan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16 sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya. (4)
Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantukan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
3. Tinjauan tentang Peninjauan Kembali a. Tujuan Peninjauan Kembali Peninjauan Kembali pertama kali diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969 baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana tetapi belum dapat dijalankan karena masih diperlukan peraturan lebih lanjut mengenai beberapa persoalan. Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki putusan yang berkekuatan hukum tetap. Tujuannya agar pengadilan benar-benar menjalankan keadilan, agar sendi-sendi hukum yang asasi di masyarakat
terlindungi
(Usman
Hamid,
http://www.hukumonline.com). b. Alasan Peninjauan Kembali Peninjauan
kembali dapat diajukan atas dasar alasan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu : (1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
(2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu ternyata telah bertentangan satu sama lain. (3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP tersebut maka terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan oleh terdakwa atau ahli warisnya sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan seperti dalam Pasal 266 KUHAP, sebagai berikut : (1) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan bahwa permintaan Peninjauan Kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya. (2) Apabila Mahkamah Agung mambenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dinyatakan Peninjuauan Kembali itu dan menyatakan putusan yang dapat berupa : (a) Putusan bebas. (b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. (c) Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18 (d) Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
c.Pihak Yang Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai orang yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, maka dibuka kemungkinan bagi terdakwa atau ahli warisnya untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, terhadap suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan pengecualian putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1)
KUHAP tersebut,
maka permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh penasehat hukum tanpa ada kuasa dari terpidana sendiri harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena diajukan oleh orang yang tidak berhak. Demikian juga permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana harus pula dinyatakan tidak dapat diterima, karena sebagai istri belum menjadi ahli waris berhubung terpidana masih hidup dan tidak mendapat surat kuasa dari terpidana sehingga belum berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:298 ). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya dan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak memuat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jadi hak ini tidak diberikan kepada Jaksa Agung. d. Tata Cara Peninjauan Kembali. Tata cara pengajuan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Permintaan Peninjauan Kembali diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
b) Permintaan Peninjauan Kembali disertai alasan-alasannya. Alasan-alasan tersebut dapat diutarakan secara lisan yang dicatat oleh panitera yang menerima Peninjauan Kembali tersebut. c) Permintaan Peninjauan Kembali oleh panitera ditulis dalam surat keterangan yang ditandatangani panitera serta pemohon, dicatat dalam daftar dan dilampirkan pada berkas perkara. d) Ketua Pengadilan Negari menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan Peninjauan Kembali, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali itu memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. e) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan penuntut umum ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. f) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, penuntut umum, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani hakim dan panitera. g) Ketua pengadilan
melanjutkan permintaan Peninjauan
Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan kata pengantarnya sampai kepada pemohon dan penuntut umum. e. Asas-Asas Peninjauan Kembali. 1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Asas tersebut diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang menegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan putusan yang melebihi putusan
pidana semula, commit to user
yang
diperkenankan
adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20 menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4 KUHAP. Asas pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula ini sejalan dengan tujuan yang terkandung dalam lembaga upaya Peninjauan Kembali yaitu membuka kesempatan
kepada
terpidana
untuk
membela
kepentingannya agar terlepas dari ketidakbenaran penegakan hukum ( M.Yahya Harahap, 2002:639 ). 2) Permintaan
Peninjauan
Kembali
tidak
menangguhkan
pelaksanaan putusan. Asas tersebut tidak mutlak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan eksekusi. Peninjauan Kembali tidak merupakan alasan yang menghambat apalagi menghapus pelaksanaan
pelaksanaan
putusan
sehingga
proses
permohonan Peninjauan Kembali dapat berjalan namun pelaksanaan putusan juga tetap berjalan. Dalam hal-hal yang eksepsional
dapat dilakukan
penangguhan penghentian pelaksanaan putusan sehingga ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP dapat sedikit diperlunak menjadi permintaan Peninjauan Kembali tidak secara mutlak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan. Anjuran Pasal 268 ayat (1) KUHAP tersebut banyak yang menyalahgunakan sehingga sikap yang seperti itu dapat menimbulkan bahaya dan keguncangan dalam pelaksanaan penegakan hukum, yang dikehendaki dalam Pasal tersebut ialah sikap dan kebijaksanaan yang matang dan beralasan serta mengkaitkan dengan jenis pidana maupun sifat dan kualitas yang menjadi landasan permintaan Peninjauan Kembali ( M.Yahya Harahap, 2002: 640 ).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
3) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Pasal 283
ayat (3) KUHAP membenarkan atau
memperkenankan Peninjauan Kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja. Asas ini disebut sebagai asas Nebis In Idem yang dikemukakan dalam Pasal 76 KUHP, sedang dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 1918 BW. Asas ini juga berlaku terhadap permintaan Kasasi dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum. Dalam Peninjauan Kembali, asas ini lebih menyentuh rasa keadilan karena asas ini merupakan suatu tantangan antara kepastian hukum dengan rasa keadilan dan dengan berani mengorbankan keadilan dan kebenaran demi tegaknya kepastian hukum ( M.Yahya Harahap, 2002:640 ).
4. Tinjauan tentang Korupsi Korupsi berasal dari kata latin “ Corruptio “ atau “ Corruptus “ yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “ Corruption “, dalam bahasa Belanda “ Korruptie “ dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “ Korupsi “. Korupsi secara harafiah berarti jahat atau busuk, sedangkan I. A. N Kramer ST menterjemahkan sebagai busuk, rusak, atau dapat disuap. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak, atau suap ( Darwan Prinst, 2002 : 1 ). Istilah korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum di Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt / Perpu / 013 / 1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang-Undang No. 24 / Prp / 1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,yang kemudian sejak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang No. 31 tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 ( dua ) tahun kemudian ( 16 Agustus 2001 ) dan kemudian diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001. Pengertian korupsi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan yang ada di masyarakat, dengan munculnya UndangUndang No. 3 Tahun 1971, pengertian korupsi mengalami perkembangan karena adanya beberapa Pasal di dalam KUHP yang dimasukkan ke dalam ketentuan Undang-Undang tersebut. Pengertian dari perbuatan korupsi tercantum dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ), untuk ayat 1 yaitu : (1) Barangsiapa melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung dapat merugikan
keuangan negaradan atau
perekonomian Negara atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. (2) Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan Negara. (3) Barangsiapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 337, 415, 416, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP. (4) Barangsiapa yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu. (5) Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti tersebut dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada pihak yang berwajib. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu : “ Barangsiapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 melihat dari 2 segi Tindak Pidana Korupsi yaitu Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif. Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut : (1)
Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara ( Pasal 2 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 ).
(2)
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ).
(3)
Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan memgingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 ).
(4)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).
(5)
Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena ada hubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya ( Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).
(6)
Memberi atau menjanjikan kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ( Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
(7)
Pemborong, ahli bangunan yang ada pada waktu membuat bangunan, atau menjual bahan bangunan yang ada pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan
keamanan
orang
atau
barang,
atau
keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ). (8)
Setiap orang yang bertugas
mengawasi pembangunan
atau
penyerahan barang bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a ( Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 ). (9)
Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara
Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ). (10)
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyeahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan
sengaja
membiarkan
perbuatan
curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c ( Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ). (11)
Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk semantara waktu, dengan sengaja menggelapkan yang satu surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut ( Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(12)
Pegawai negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi ( Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ). (13)
Pegawai Negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jawaban umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja mengelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai kerena jabatannya. Atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, kta, surat, atau daftar tersebut ( Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(14)
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud mengantungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau meneima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi diinya sendiri ( Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ). (a) Pada waktu menjalankan tugas m,eminta, menerima, atau memotong
pembayaran
kepada
Pegawai
Negeri
atau
Penyelenggara Negara yang lain atau Kas Umum tersebut mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang ( huruf f ). (b) Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan, atau menyerahkan barang seolah-olah merupakan hutang pada dirinya, padahal diketahui bahwa hal trsebut bukan merupakan hutang ( huruf g ). (c) Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah Negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan perundang-undangan, telah mergikan orang yang berhak padahal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26 dikethui bahwa
perbuatan
tersebut
bertentangan
dengan
peraturan perundang-undangan, atau (d) Baik langsung ataupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya ( huruf i ). (15)
Memberi
hadiah kepada pegawai
negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan itu ( Pasal ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ). Sedangkan Korupsi Pasif sebagai berikut : (1)
Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau idak bertentangan dengan kewajiban ( Pasal ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(2)
Hakim atau Advokad yang menerima pemberian janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili ( Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(3)
Orang yang menerima menyerahkan bahan dan keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang Nomo 20 Tahun 2001 ( Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(4)
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negra yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atu menurut piiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
hubungan dengan jabatannya ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ). (5)
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan agar melakukan atau tidak melkukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatanny yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 12 huruf a dari huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(6)
Hakim menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkaran yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili ( Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(7)
Setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubunggan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya ( Pasal 12 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 ) (R. Wiyono, 2005).
B. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik tinjauan pustaka dan paparan latar belakang di atas, dalam kaitannya dengan masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini, dapat penulis sajikan bagan kerangka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
pemikiran yang tentunya akan membantu dan memberikan gambaran yang lebih riil mengenai alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian ini.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penjelasan Kerangka Pemikiran Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi. Tujuan dibukanya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk menemukan kebenaran hukum dan keadilan yang sesungguhnya. Namun demikian, demi kepastian hukum maka Peninjauan Kembali ini hanya dapat dilakukan satu kali saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Terhadap putusan praperadilan dapat atau tidaknya diajukan upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 83 KUHAP, yang isinya: Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding; Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1)
KUHAP tersebut, maka
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh penasehat hukum tanpa ada kuasa dari terpidana sendiri harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena diajukan oleh orang yang tidak berhak. Demikian juga permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana harus pula dinyatakan tidak dapat diterima, karena sebagai istri belum menjadi ahli waris berhubung terpidana masih hidup dan tidak mendapat surat kuasa dari terpidana sehingga belum berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan
1. Deskripsi Kasus Pada bulan September Tahun 2005 telah dilakukan penyidikan dugaan tindak pidana penggelapan dan atau penyimpangan pajak oleh PPNS Dirjen Pajak terhadap tersangka Paulus Tumewu selaku Dirut PT. Ramayana Lestari Sentosa. Berdasar Surat Nomor B.5845/0.1.4/Epp.2/II/2005 tertanggal 15 Nopember 2005, Kejaksaan Tinggi Jakarta menyatakan hasil pemeriksaan atas perkara tersebut sudah lengkap (P21). Kejaksaan Tinggi dalam perkembangan penanganan perkara ini telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dengan alasan tersangka telah membayar kekurangan dan dendanya. Berdasar KUHAP Pasal 140 penghentian penuntutan adalah karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, Penuntutan dihentikan demi hukum dalam KUHP Pasal 76, 77, 78 dan seterusnya antara lain ne bis in idem, tersangka meninggal dunia, dan kadaluarsa Berdasar argumen tersebut tidak
terdapat alasan penghentikan
penuntutan berdasar tersangka telah membayar kerugian Negara, penghentian penuntutan harus berdasar karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. Dengan demikian tindakan Termohon mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan adalah tidak sah karena tidak berdasar ketentuan sebagaimana diatur KUHAP.
2. Identitas Lengkap Pemohon dan Termohon Pra Peradilan a. Pemohon
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
1) Nama Tempat lahir
: BOYAMIN : Ponorogo
Tanggal lahir : 20 Juli 1968 Jenis kelamin : Laki-laki Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal : Jl. Jamsaren No.60 Serengan Surakarta Pekerjaan 2) Nama
: Swasta : SUPRIYADI
Tempat lahir
: Kebumen
Tanggal lahir
: 8 Pebruari 1981
Jenis kelamin : Laki-laki Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal : Jl.Asahan II/3 Rt.02 Rw.15 Bencongan Curug, Tangerang Pekerjaan
: Mahasiswa
Para Pemohon Peninjauan Kembali selaku untuk dan atas nama PERKUMPULAN MASYARAKAT ANTI KORUPSI INDONESIA (MAKI) dahulu Pemohon Praperadilan b. Termohon Pra Peradilan PEMERINTAH R.I.
Cq.
JAKSA
AGUNG R.I.
Cq.
KEPALA
KEJAKSAAN TINGGI DKI JAKARTA, berkedudukan di Jl. H.R.Rasuna Said No.2 Jakarta Selatan; Termohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Praperadilan.
3. Alasan Pemohon Mengajukan Pra Peradilan a. Bahwa pertimbangan penghentian penuntutan atas dasar tersangka telah membayar kerugian Negara dan atau membayar kekurangan menjadikan seorang warga Negara istimewa dan kebal hukum. Hal ini sungguh bertentangan dengan azas kesamaan di depan hukum dan azas kepastian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
hukum. Pengembalian dan atau pembayaran kekurangan tidak menghapus pidana; b. Bahwa dalam UU Perpajakan harus dibedakan denda sebagai sangsi administrasi
dan
denda
sebagai
sangsi
pidana.
Apabila
pelanggaran/kejahatan pajak telah memasuki tahapan penyidikan maka yang berlaku adalah sangsi pidana, artinya pembayaran kekurangan dan denda harus berdasar keputusan yang dikeluarkan Majelis Hakim persidangan pidana. Denda sebagai sangsi administrasi hanya berlaku apabila belum/tidak dilakukan proses pidana berupa penyidikan, apalagi sudah dinyatakan lengkap (P21) maka pembayaran tidak menghapus pidananya; c. Bahwa berdasar ketentuan Pasal 44 B UU No.6 Tahun 2000 Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan atas
dasar permintaaan Menteri
Keuangan, dengan demikian kewenangan Termohon sebagai bagian dari lembaga Kejaksaan adalah menghentikan Penyidikan, bukan Penuntutan Penghentian Penuntutan tetap harus berdasar ketentuan KUHAP; d. Bahwa dengan dinyatakan lengkap (P21) perkara ini maka penyidikan telah selesai dan kewenangan berpindah kepada Jaksa selaku Penuntut Umum, dengan demikian proses penyidikan sudah tidak dihentikan lagi; (e) Bahwa karenanya tindakan Termohon sebagaimana tersebut di atas jelas dan nyata sebagai bentuk penuntutan yang dilakukan secara tidak sah dan melawan hukum sehingga oleh karenanya harus dibatalkan dan atau batal demi hukum dan selanjutnya Termohon diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan KUHAP; (f) Bahwa berdasar Pasal 80 KUHAP, sebagai pihak yang berkepentingan kami wajib melakukan tindakan hukum permohonan Pra peradilan atas dihentikannya Penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum; (g) Bahwa berdasar poin 12 sebelumnya dijelaskan pihak ketiga yang berkepentingan dapat diartikan secara luas sehingga masyarakat dapat mengajukan permohonan pra peradilan. Masyarakat disini dapat diwakili oleh LSM atau Ormas. Hal ini didasarkan pada pendapat Yahya Harahap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
yang menyatakan apabila tidak ada pelapor atau penyidik yang mengajukan pra peradilan, maka masyarakat yang diwakili oleh LSM atau Ormas dapat mengajukannya; (h) Bahwa berdasar hal-hal tersebut di atas jelas dan nyata, Pemohon selaku Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Anti Korupsi yang berdasar UU Nomor 28 Tahun 1999 jo UU Nomor 31 Tahun 1999, mempunyai hak dan kewajiban
serta
berperan
bersama-sama
dalam
menciptakan
penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme; (i) Bahwa oleh karenanya atas tindakan Termohon tersebut, jelas dan nyata kepentingan Pemohon dan seluruh Warga Masyarakat Indonesia dan terciptanya penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek KKN menjadi terhambat justru oleh aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga demi kepastian pelaksanaan dan penegakan hukum, Pemohon mengajukan permohonan pra peradilan ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan a. Menolak permohonan Pemohon tersebut untuk seluruhnya; b. Menyatakan bahwa penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Termohon berdasarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan No.KEP- 01/EP.2/01/2007 tanggal 16 Januari 2007 adalah sah menurut hukum; c. Menghukum pihak Pemohon untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).
5. Alasan Pengajuan Peninjuan Kembali a. Bahwa hakim tunggal pemeriksa permohonan Praperadilan Nomor 05/Pra/2007/PN.Jaksel telah membuat putusan menolak permohonan praperadilan a quo;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
b. Bahwa hakim tunggal pemeriksa Praperadilan telah melakukan Kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam putusannya. Kekhilafan yang dilakukan hakim tunggal adalah membuat pemahaman yang sama atas penghentian penyidikan atas dasar Undang-Undang Perpajakan dan pengehentian penuntutan atas dasar KUHAP. Termohon hanya berwenang menghentikan penyidikan atas dasar Undang-Undang perpajakan dan tidak berwenang menghentikan penuntutan atas dasar Undang-Undang perpajakan. Untuk penghentian penuntutan
harus
berdasar
Perpajakan
sama
sekali
KUHAP
tidak
karena
mengaturnya.
Undang-Undang Untuk
jelasnya
permasalahan ini akan diulas poin-poin berikutnya. c. Bahwa putusan Praperadilan a quo telah keliru menerapkan UndangUndang perpajakan dan KUHAP, dimana Termohon Peninjauan Kembali tidak berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas perkara a quo dengan dasar sebagai berikut: 1) Bahwa pada kurun waktu bulan September tahun 2005 telah dilakukan penyidikan dugaan tindak pidana penggelapan dan atau penyimpangan pajak oleh PPNS Dirjen Pajak terhadap tersangka Paulus Tumewu selaku Dirut PT. Ramayana Lestari Sentosa; 2) Bahwa
berdasar
surat
Nomor
B.5845/0.1.4/Epp.2/11/2005
tertanggal 15 November 2005, Termohon Peninjauan Kembali menyatakan hasil pemeriksaan atas perkara tersebut sudah lengkap (P.21); 3) Bahwa Termohon Peninjauan kembali dalam perkembangan penanganan perkara ini telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dengan alasan tersangka telah membayar kekurangan dan dendanya; 4) Bahwa berdasar KUHAP Pasal 140 penghentian penuntutan adalah karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, Penuntutan dihentikan demi hukum dalam KUHP Pasal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
76,77, 78 dan seterusnya dirumuskan antara lain nebis in idem, tersangka meninggal dunia, dan kadaluwarsa (M. Yahya Harahap, Pembahasan Hal. 16 dari 19 hal. Put. No.6 PK/Pid/2008 Permasalahan
dan
Penerapan
KUHAP,
Penyidikan
dan
Penuntutan, edisi Kedua, Sinar Grafika, September 2000 halaman 426); 5) Bahwa berdasar argumen poin 5 tidak terdapat alasan penghentian penuntutan berdasar tersangka telah membayar kerugian negara. Penghentian Penuntutan harus berdasar karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penuntutan dihentikan demi hukum. Dengan demikian tindakan Termohon mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan adalah tidak syah karena tidak berdasar ketentuan sebagaimana diatur KUHAP; 6) bahwa pertimbangan penghentian penuntutan atas dasar Tersangka telah membayar kerugian negara dan atau membayar kekurangan menjadikan seorang warga negera istimewa dan kebal hukum. Hal ini sungguh bertentangan dengan azas kesamaan di depan hukum dan azas kepastian hukum. Pengembalian dan atau pembayaran kekurangan tidak menghapus pidana; 7) Bahwa dalam Undang-Undang Perpajakan harus dibedakan denda sebagai sanksi administrasi dan denda sebagai sanksi pidana. Apabila pelanggaran/kejahatan pajak telah memasuki tahapan penyidikan maka yang berlaku adalah sanksi pidana, artinya pembayaran kekurangan dan denda harus berdasar Keputusan yang dikeluarkan Majelis Hakim persidangan pidana. Denda sebagai sanksi administrasi hanya berlaku apabila belum/tidak dilakukan proses pidana berupa penyidikan, apalagi sudah dinyatakan lengkap (P21) maka pembayaran tidak menghapus pidananya; 8. Bahwa berdasar ketentuan Pasal 44 B Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2000 Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan atas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
dasar
permintaan
Menteri
Keuangan,
dengan
demikian
kewenangan Termohon Kasasi sebagai bagian dari lembaga Kejaksaan adalah menghentikan Penyidikan, bukan Penuntutan. Penghentian Penuntutan tetap harus berdasar ketentuan KUHAP; 8) Bahwa dengan telah dinyatakan lengkap (P21) perkara ini maka proses penyidikan telah selesai dan kewenangan berpindah kepada Jaksa selaku Penuntut Umum. Dengan demikian proses penyidikan sudah tidak bisa dihentikan lagi; 9) Bahwa karenanya tindakan Termohon sebagaimana tersebut di atas jelas dan nyata sebagai bentuk penghentian penuntutan yang dilakukan secara tidak sah dan melawan hukum sehingga oleh karenanya harus dibatalkan dan atau batal demi hukum dan selanjutnya termohon diperintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan KUHAP; 10) Bahwa harus dipahami Pemohon Peninjauan Kembali adalah sebagai pihak ketiga berkepentingan sehingga berhak dan berkewajiban mengajukan penggelapan pajak
Praperadilan
yang merugikan
karena
menyangkut
keuangan negara dan
kepentingan umum. Selaku warga masyarakat berkewajiban berperan serta untuk mempunyai kepedulian dan tujuan terhadap pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di wialyah Negara Republik Indonesia sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Pemerintahan yang bersih bebas dari KKN; 11) Bahwa berdasar Pasal 80 KUHAP, sebagai pihak ketiga yang berkepentingan
kami
wajib
melakukan
tindakan
hukum
permohonan Praperadilan atas dihentikannya penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum. (M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua Grafika, September 2000 HALAMAN 11);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
12) Bahwa berdasar
poin
12 dijelaskan
pihak
ketiga
yang
berkepentingan dapat diartikan secara luas sehingga masyarakat dapat mengajukan permohonan Praperadilan. Masyarakat disini dapat diwakili oleh LSM atau Ormas. Hal ini didasarkan pada pendapat Yahya Harahap yang menyatakan apabila tidak ada pelapor atau penyidik yang mengajukan Praperadilan, maka masyarakat yang diwakili
oleh LSM
atau
Ormas
dapat
mengajukannya; 13) Bahwa berdasar hal-hal tersebut di atas jelas dan nyata, Pemohon Peninjauan kembali selaku Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Anti Korupsi yang berdasar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, mempunyai hak dan kewajiban serta berperan bersama-sama dalam menciptakan penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme; 14) Bahwa oleh karenanya atas tindakan Termohon Peninjauan kembali tersebut, jelas dan nyata kepentingan Pemohon Peninjauan Kembali dan seluruh warga masyarakat Indonesia akan terciptanya penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek KKN merasa dirugikan karena pemberantasan KKN menjadi terhambat justru oleh aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga demi kepastian
pelaksanaan
dan
penegakan
hukum,
Pemohon
Peninjauan kembali mengajukan permohonan Peninjauan kembali atas putusan Praperadilan.
6.
Pertimbangan Hakim PK a. Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 29 Mei 2007 No. 05/Pid.Prap/2007/ PN.JAK.SEL diberitahukan kepada pemohon pada tanggal 5 Juni 2007, kemudian pemohon / kuasa pemohon
telah
mengajukan permohonan commit to user
peninjauan
kembali
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
sebagaimana tercantum dalam akte permohonan peninjauan kembali di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 26 Juli 2007 Nomor : 11/Akta.Pid/PK/2007/ N.Jak.Sel; b. Menimbang, bahwa secara umum terlebih dahulu perlu dipertimbangkan apakah permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, saksi korban pihak ketiga yang berkepentingan dalam Praperadilan secara formil dapat diterima, mengingat Pasal 263 ayat 1 KUHAP dengan limitatief sekali menentukan bahwa yang berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali hanya terpidana atau ahli ahliwarisnya dan putusan yang dapat dimohonkan Peninjauan Kembali tidak boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan hukum ; c.Menimbang, bahwa mengenai hal tersebut Mahkamah Agung pertamatama akan memperhatikan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001, dan putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Nopember 2001 No.4 PK/PID/2000 yang telah menerima secara formal peninjauan kembali yang diajukan oleh Pihak ketiga yang berkepentingan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut : 1) Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
2) Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undang-undang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu : (a)
Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung;
(b)
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung;
(c)
Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;
(d)
Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan kembali (PK);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
(e)
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum;
(f)
Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali;
(g)
Berdasarkan asas legalitas dan pengawasan horizontal serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 maka Mahkamah Agung Berwenang Membuat peraturan sebagai pelengkap tentang cara menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur oleh Undang- Undang. Untuk mengisi kekosongan, kekurangan Hukum maka Pasal 263 ayat ( 1 ) KUHAP Mengenai permohonan Peninjauan Kembali oleh hanya terpidana atau ahli warisnya dalam perkara pidana ini mesti dilenturkan berdasarkan kekurangan dan kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara, sehingga mencakup juga permohonan peninjauan kembali oleh “Pihak Ketiga Yang Berkepentingan” Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 80
KUHAP atau “Pihak Ketiga Yang
Berkepentingan” dalam Pasal 21 UU Nomor 14 Tahun 1970 atau Jaksa Agung atau Pihak yang berkepentingan lainnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41 dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.
(h)
Bahwa berdasarkan asas legalitas dan asas pengawasan horizontal dalam Pasal 80 KUHAP serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 berikut penjelasan asasnya maka dalam acara pemeriksaan Peninjauan Kembali untuk
memeriksa
dan
mengadili
serta
menyelesaikan
permohonan praperadilan ini Mahkamah Agung berlandaskan kebutuhan dan kekosongan hukum sehingga berakibatkan ketidakpastian hukum sekaligus merupakan suatu kebutuhan dalam acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali atas permohonan praperadilan maka ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai putusan pengadilan mesti dilenturkan kembali hingga mencakup putusan Pengadilan (dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP (Pasal 81 KUHAP) serta putusan praperadilan (Pasal 77 s/83 KUHAP) dan bukan sekedar putusan pemidanaan yang telah berkekuatan tetap . (i)
Meskipun hukum acara pidana tidak menganut asas stare decisis atau the binding force of precedent, namun untuk memelihara
keseragaman
putusan
Mahkamah
Agung
(consistency in Court decision), Majelis Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali kasus Gandhi Memorial School) telah cendrung mengikuti putusan Peninjauan Kembali tangal 25 Oktober 1996 Nomor : 55 PK/Pid/ 1996 dalam kasus Dr.Muchtar Pakpahan, SH,MA yang logika hukumnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (reasonable) dan akan pula mengikuti putusan Mahkamah Agung tanggal 20 November 2001 Nomor: 4 PK/PID/2000. Bahwa alasan lain untuk mengikuti putusan – putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya tersebut , karena putusan – putusan a quo merupakan “ pedoman “ dalam memeriksa dan mengadili
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42 perkara yang sama , dan selain itu merupakan pula sumber hukum dan pembentukan hukum ;
7. Pembahasan
Praperadilan adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti sepanjang proses penyidikan atau upaya paksa yang dilakukan didasarkan kepada aturan dalam KUHAP. Tidak semua putusan pra peradilan dimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan. Di dalam proses sidang pemeriksaan pra peradilan tentunya akan mempertimbangkan fakta baik secara yuridis maupun fakta materiil. Apabila dalam KUHAP tentunya pra peradilan tersebut dimenangkan juga telah diatur dalam KUHAP. Dikabulkannya praperadilan juga harus ditinjau lagi secara adil apakah karena suatu sebab yang disengaja atau suatu sebab yang berasal dari luar proses penyidikan. Adanya pra peradilan adalah untuk menjaga agar penyidik tidak sewenang-wenang serta untuk mengawal agar proses penyidikan dan atau penuntutan berjalan dengan mekanisme yang diatur di dalam KUHAP. Yang terpenting di dalam suatu proses penyidikan adalah penyidik harus bersikap netral, professional dan proporsional. Apabila kita yakin bahwa proses penuntutan tersebut
telah dilaksanakan
secara
professional dan tidak memihak saya rasa tidak ada yang perlu dirisaukan dan juga dikhawatirkan. Satu hal yang tidak kalah penting adalah harus segera dihapus anggapan bahwa praperadilan adalah suatu hal yang tabu bagi penyidik. Begitu pula dengan atasan penyidik atau pihak-pihak lain yang berkompeten
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
terhadap proses penyidikan. Untuk mengurangi kesalahan dan keberpihakan penyidik dalam proses penyidikan. Pengawas penyidikan juga dijabat oleh seorang perwira yang memiliki pengalaman yang cukup di bidang penyidikan. Kerja pengawas penyidikan ini bersifat independen. Selain itu mekanisme pengawasan internal juga berlaku terhadap setiap keberatan atau komplain dari pihak-pihak tertentu. Hal ini tidak lain menunjukkan adanya transparansi di dalam proses penyidikan. Oleh karena itu pra peradilan adalah suatu hal yang wajar dalam proses penyidikan dan untuk menjamin hak-hak tersangka atau pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan. Permohonan Praperadilan dapat dilakukan oleh pihak lain atau kuasa tersangka / terdakwa dengan alasan demi tegaknya hukum dan keadilan karena tersangka / terdakwa telah ditangkap / ditahan / dituntut/ diadili / dikenakan tindakan lainnya tanpa alasan berdasar undang-undang selain itu biasa terjadi karena kekeliruan orangnya ataupun kekeliruan tentang hukum yang diterapkan.
Oleh
kewenangan
karena
untuk
itu
melakukan
semua
lembaga
penangkapan,
yang
mempunyai
penggeledahan
atau
penyitaan, penuntutan dan penahanan boleh dipraperadilankan, akan tetapi terdapat
peraturan
yang
membebaskan
hakim
walaupun
hakim
mempunyai hak untuk penahanan terhadap tersangka / terdakwa yaitu melalui keputusan menteri kehakiman republik Indonesia no. m 14 pw 07.03 tahun 1983. Putusan Praperadilan menurut Pasal 82 ayat 3 KUHAP harus jelas memuat dasar dan alasannya. Isi putusan itu memuat hal-hal sebagai berikut diatur dalam Pasal 82 ayat 3 KUHAP 1. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan
masing-masing harus segera membebaskan
tersangka. 2. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
3. Dalam
putusan
menetapkan
bahwa
suatu
penangkapan
atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugiandan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkannya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya. 4. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. Putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding kecuali terhadap putusan Praperadilan yang menetapakan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, untuk itu penyidik atau penuntut umum dapat memintakan putusan akhir kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan (Pasal 83 KUHAP ). Upaya hukum atas putusan Praperadilan yang menyatakan suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah tidak dapat dilakukan penyidik atau penuntut umum, baik upaya banding sesuai Pasal 83 KUHP juga upaya hukum kasasi. KUHAP tidak mengatur upaya hukum kasasi untuk putusan Praperadilan, namum sebagai dasar hukum tidak dapatnya dilakukan upaya hukum kasasi atas putusan Praperadilan yaitu keputusan menteri kehakiman republik Indonesia nomor M.14 . PW .07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 yang termuat dalam angka 23 yang menyatakan untuk putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dengan alasanbahwa: 1. Ada keharusan penyelesaian secara cepat dari perkara-perakara Praperadilan sehingga jika masih dimungkinkan kasasi, maka hal tersebut tidak akan dapat dipenuhi. 2. Perkara Praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri sebagai wewenang pengawasan horizontal dari pengadilan negeri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Terhadap putusan praperadilan dapat atau tidaknya diajukan upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 83 KUHAP, yang isinya: 1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding; 2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Melihat perumusan Pasal 83 KUHAP, nampaklah bahwa pada prinsipnya putusan praperadilan tidak dapat dimintakan upaya-upaya hukum, baik upaya hukum biasa ataupun upya hukum luar biasa. Namun, prinsip tersebut tidaklah mutlak karena penyidik atau penuntut umum dapat melakukan upaya hukum banding atas putusan praperadilan yang menyatakan suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, dan putusan banding ini merupakan putusan akhir. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam hal permintaan putusan akhir sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, maka surat permintaan tersebut setelah diterima/dicatat dalam Register Kepaniteraan kemudian dikirim ke Pengadilan Tinggi dengan memperlakukan ketentuanketentuan pada acara permohonan banding, baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya. Meskipun Pedoman Pelaksanaan KUHAP menyebutkan demikian, dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.M.14-PW.07.03 Tahun 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, tanggal 10 Desember 1983 menegaskan kembali tentang waktu acara praperadilan dalam tingkat pemeriksaan banding. Dalam poin 12 lampiran tersebut ditentukan bahwa dalam hal banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, penyidik atau penuntut umum harus mengajukan banding ke pengadilan tinggi dalam waktu tujuh hari setelah putusan praperadilan. Pengadilan tinggi dalam waktu tiga hari setelah menerima berkas perkara dari pengadilan negeri, harus sudah menetapkan hari sidang, dan dalam waktu tujuh hari terhitung tanggal sidang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
yang ditetapkan itu, harus sudah memberikan putusannya. Antara penetapan hari sidang dan tanggal sidang tidak boleh lebih dari tiga hari. Selanjutnya, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi. KUHAP sama sekali tidak mengaturtentang hal ini, akan tetapi dalam Lampiran
Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
No.
M.14.PW.07.03 Tahun 1983, poin 23, dengan judul “Putusan Praperadilan Dalam Hubungannya Dengan Kasasi” dijelaskan bahwa untuk putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi. Alasan tidak dibenarkannya putusan praperadilan dibanding atau kasasi, adalah adanya keharusan penyelesaian secara cepat dari perkara-perkara praperadilan, yang jika hal tersebut (upaya hukum) dimungkinkan, maka perkara praperadilan akan berlarut-larut dan tidak akan diselesasikan secara cepat. Alasan lainnya karena wewenang pengadilan negeri yang dilakukan dalam praperadilan hanya dimaksudkan sebagai wewenang pengawasan horisontal dari pengadilan negeri atas upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum. Kemudian timbul pertanyaan apakah terhadap putusan praperadilan itu dapat diajukan upaya hukum luar biasa? Mengenai upaya hukum luar biasa dalam praperadilan, KUHAP tidak mengatur secara tegas, karenanya diserahkan kepada praktek peradilan melalui yurisprudensi untuk mengaturnya, dalam hal ini hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat agar dapat mengisi kekosongan hukum dengan melakukan penemuan hukum yang tetap terikat kepada undang-undang yang berlaku. Dalam praktek, upaya hukum peninjauan kembali terhadap praperadilan pernah dikabulkan, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 tanggal 28 November 2001. Permohonan ini diajukan oleh Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera (IKBLA) Arief Rachman Hakim Eksponen 66 Samarinda yang diwakili oleh H. Iskandar Hutualy, selaku ketua. Dalam kaitannya dengan asas peradilan pidana yang sederhana, cepat, biaya ringan, maka pemeriksaan praperadilan yang belum masuk pada materi kasus, terlihat inkonsisten dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
asas itu. Harapan ke depan, masalah pemeriksaan praperadilan sebaiknya hanya sampai di tingkat Pengadilan Negeri saja, agar tidak berlarut-larut. Meskipun Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan bahwa jika suatu perkara suatu perkara mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan praperadilan tersebut gugur, namun sudah selayaknya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tentang upaya hukum luar biasa terhadap putusan agar terdapat aturan yang lebih tegas (karena suatu perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan, waktunya sangat bervariasi, bisa cepat, bisa sangat lama).
B. Kedudukan Hukum Lembaga Swadaya Masyarakat Sebagai Pemohon Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan
1.
Pertimbangan Hakim PK terhadap Kedudukan Hukum LSM a) Menimbang, bahwa pendirian Mahkamah Agung tersebut selain untuk memelihara
keseragaman
putusan,
karena
menurut
pendapat
Mahkamah Agung dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut, terkandung “penemuan hukum” yang selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin dan azas-azas hukum, sebagaimana dapat disimpulkan dari hal-hal sebagai berikut : 1)
Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ; “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembalii kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang” tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaancommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, tidak menjelaskan “tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” dan terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud “fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana” selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa; 2) Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu: (a)
Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP,
(b)
Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49 terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;
(c)
Bahwa sehubungan dengan adanya ketidak jelasan dalam Pasal 263 KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapatpendapat sebagai berikut : 1) Bahwa penganut Doktrin “Sens-clair (la doctrine du sensclair) berpendapat bahwa “penemuan hukum oleh hakim” hanya dibutuhkan jika : · Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau · Peraturannya sudah ada tetapi belum jelas;
(3) Bahwa LIE OEN HOCK berpendapat : “ Dan apabila kita memperhatikan
Undang-undang,
ternjata
bagi
kita,
bahwa
undangundang tidak sadja menundjukkan banjak kekurangankekurangan, tapi seringkali djuga tidak djelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanja kententuan undang-undang itu atau artinja suatu kata jang tidak djelas dalam suatu ketentuan undangundang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang setjara gramatikal atau historis, baik “recht maupun wetshistoris”; (Lie Oen Hock Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada Pengresmian Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hal. 10 dari 19 hal. Put. No.6 PK/Pid/2008 Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Djakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11); (4). Bahwa M. YAHYA HARAHAP berpendapat : “ Akan tetapi sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice; Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin
aparat
penyidik,
penuntut
dan
peradilan
dapat
menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan public memang diakui
“imperative”, tetapi tidak
seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang dapat “ dilenturkan” (flexible) dikembangkan (growth) bahkan disingkarkan (overrule) sesuai
dengan
tuntutan
perkembangan
rasa
keadilan
dan
kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui “extensive interpretation”. Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberikan hak” kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas” ( terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas); Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan (overruled) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau “ bertentangan dengan undang-undang” (dalam hal ini bertentangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
dengan Pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya : to improve the quality of justice and reduce in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa; Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti itu sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong
Majelis
peninjauan kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan
kepada
penuntut
umum
membuktikan
bahwa
pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” (in justice) karena didasarkan ada alasan “non yuridis” (lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua hlm. 642-643); Bahwa doktrindoktrin tersebut di atas adalah sesuai dengan tugas Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum berdasarkan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaah Kehakiman yang menentukan “bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan Pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi
tersebut
dapat
disimpulkan
antara
lain
dari
pertimbangan hukum yang berbunyi “Berdasarkan azas legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK)); (5) Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang tertumpu pada konsep “daad – dader- strafrecht “ yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm.5) dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana; (6). Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadiankejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. 6. Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman R.I, ”Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara
melakukan
penafsiran
ekstensif
terhadap
ketentuan-
ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum; b. Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan
sebagai
bahan
perbandingan
ketentuan-ketentuan
sebagai berikut : 1) Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”; 2) Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan . The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused”s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that………….”; 3) Artikel 357 Reglement of de Straf Vondering (SV) (S.1847-40) menentukan “De aanvrage tot herzienning wordt bij het Hooggerechtshof aangebracht door het indienen van een vordering door den procureur-generaal of door het indienen van een vorzoekschrift door een veroordeelde te wiens aanzien het arrest of vonnis in kracht van gewijsde is gegaan, door een bijzonder daartoe schriftelijk gemachtigde of door zijn raadsman. Het bepaalde bij art. 120 vindtovereenkomstige toepassing, met dien verstande dat de bemoeeienis, bedoeld bij het tweede lid van dat art, aan den president van het Hooggerechtshof is opgedragen. (Sv.3563, 358v.);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
4) Article 203 dan 204 Criminal Procedure Law Of The People”s Republic of China No. 64 yang mulai berlaku sejak 17 Maret 1996 masing-masing menentukana. Articlel 203 “:A party or his legal representative or his near relative may present a petition to a People’ s Procuratorate regarding a legally effective judgment or order, however, execution of the judgment or order shall not be suspended “ ; b. Article 204 “If a petition presented by a party or his legal representative or his near relative conforms to any of the following conditions , the People’ s Court shall retry the case “ ; 5) Article 148 Chapter V Procedure for Ajudication Supervision dari The Criminal Law of The People ‘s Republic of China yang berlaku sebelum tahun 1996 menentukan “ Parties, victims and their family members or other citizens may present petitions regarding judgments or orders that have already become legally effective to the People’ s Court or the people” s procuratorates, but the execution of such judgments or orders cannot be suspended 6) Pasal 4 ayat 1 PERMA No.1 Tahun 1969 menentukan “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung”; 7) Pasal 10 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1980 menentukan “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan”; c. Menimbang, bahwa berdasarkan alasan –alasan tersebut di atas Pemohon Peninjauan kembali, yaitu Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi sebagai pihak ketiga yang berkepentingan berhak diberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali; d. Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas dan oleh karena permohonan peninjauan kembali tersebut beserta alasanalasannya telah diajukan dengan cara-cara yang ditentukan undang-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
undang maka permintaan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali/Pemohon Praperadilan
(cq. Perkumpulan
Masyarakat Anti Korupsi) tersebut, secara formal dapatlah diterima.
2. Pembahasan Permohonan Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa karena sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang sudah berkekuatan hukukm tetap (gezag van gewijsde) tidak bisa diubah lagi. Asas kepastian hukum itu disebut neb is in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama. Peninjauan Kembali disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan Peninjauan Kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-Undang Mahkamah Agung. Fungsi Mahkamah Agung dalam peradilan Peninjauan Kembali (PK) adalah mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung ketidak adilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim. Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara limitatif menegaskan bahwa terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
kekuatan hukum tetap. Namun dalam prakteknya, Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dan sudah beberapa kali pula permohonan itu diterima oleh Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa KUHAP tidak menyebutkan secara eksplisit apakah Jaksa dilarang atau diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali. Dalam hal ini
Jaksa Penuntut
Umum menggunakan penafsiran
ekstensifikasi atau diperluas, dimana hal ini bertentangan dengan asas legalitas yang merupakan dasar dari hukum acara pidana di Indonesia. Dalam putusannya, Mahkamah Agung juga menggunakan penafsiran ekstensifikasi sehingga menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa dengan alasan – alasan yang jelas. Pada prinsipnya KUHAP memang melindungi kepentingan terpidana, namun dengan diajukannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum maka kepentingan terpidana ikut terancam. Oleh karena itu, agar asas legalitas tetap tercapai maka perlu dilakukan perubahan oleh pemerintah dalam hukum acara atau undang – undang yang berlaku di Indonesia yaitu mengenai apakah Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan atau tidak mengajukan peninjaun kembali. Jika sudah dinyatakan secara tegas maka baik Jaksa maupun Mahkamah Agung harus mengikuti ketentuan yang berlaku. Menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya terbatas pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap praktek hukum yang ada dan melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu di kalangan hakim, jaksa, dan advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan dalam proses hukum semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa. MA, Jaksa Agung, dan PERADI, sebagai organisasi yang didirikan dan berfungsi mengemban amanat UU Advokat, harus bersama-sama mencari sarana hukum yang mungkin untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
membebaskan mereka yang kemudian dipidana setelah sebelumnya menurut putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dipidana. .
Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP. Konsekwensi logis dari aspek demikian maka Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali. Berdasarkan asas legalitas dan pengawasan horizontal serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 maka Mahkamah Agung Berwenang
Membuat
peraturan
sebagai
pelengkap
tentang
cara
menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur oleh Undang- Undang. Untuk mengisi kekosongan, kekurangan Hukum maka Pasal 263 ayat ( 1 ) KUHAP Mengenai permohonan Peninjauan Kembali oleh hanya terpidana atau ahli warisnya dalam perkara pidana ini mesti dilenturkan berdasarkan kekurangan dan kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
sehingga mencakup juga permohonan peninjauan kembali oleh “Pihak Ketiga Yang Berkepentingan” Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP atau “Pihak Ketiga Yang Berkepentingan” dalam Pasal 21 UU Nomor 14 Tahun 1970 atau Jaksa Agung atau Pihak yang berkepentingan lainnya dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut : 1. Pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan secara normatif menurut ketentuan Pasal 83 KUHAP, pada prinsipnya putusan praperadilan tidak dapat dimintakan upaya-upaya hukum, baik upaya hukum biasa ataupun upya hukum luar biasa. Namun, prinsip tersebut tidaklah mutlak karena penyidik atau penuntut umum dapat melakukan upaya hukum banding atas putusan praperadilan yang menyatakan suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, dan putusan banding ini merupakan putusan akhir. Dalam perkara penggelapan pajak dengan tersangka Paulus Tumewu ternyata permintaan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan yang dijaukan oleh LSM ternyata dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Pertimbangan hakim dalam
menerima
permohonan
PK
tersebut
disadarkan kepada yurisprudensi sebelumnya dan bertujuan agar tercapai keseragaman dalam putusan badan peradilan. 2. Mahkamah
Agung
berpendapat
Lembaga
swadaya
masyarakat
mempunyai kedudukan hukum sebagai pemohon peninjauan kembali dalam perkara pra Peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan. Pendapat ini didasarkan kepada asas-asas hukum, pendapat ahli dan yurisprudensi yang ada. LSM dapat dikategorikan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, sehingga mempunyai kedudukan hukum yang sama sebagaimana terpidana atau hali waris sebagai pemohon peninjauan kembali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61 B. Saran-Saran
1.Agar tidak terjadi diskriminasi dalam proses penegakan hukum, maka seyogianya Mahkamah Agung selalu memegang teguh sikap konsistensi dalam memberikan putusan bagi para pencari keadilan 2.Hakim hakim Mahkamah Agung tidak boleh terpaku pada pemikiran legal formal dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, namun juga mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanfaatan, agar putusan yang dijatuhkan bisa memberikan keadilan yang bersifat substansial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
commit to user