perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh SHINTA UTAMI NIM.E0007211
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Oleh Shinta Utami NIM.E0007211
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari
: Selasa
Tanggal : 20 Juli 2010
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Shinta Utami
NIM
: E0007211
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Maret 2011
yang membuat pernyataan
Shinta Utami NIM.E0007211 commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Shinta Utami, E0007211. 2011. TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi hukum mengenai pengaturan kewenangan dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang mengaturnya. Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji bagaimana pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta taraf sinkronisasi hukum mengenai kewenangan tersebut berdasarkan peraturan yang mengaturnya yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Analisis penelitian yang digunakan adalah silogisme deduktif dengan pengumpulan sumber penelitian untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta sinkronisasi hukum mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu terdapat didalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13 UU Kepolisian, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Pasal 6, Pasal 7 huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 serta Pasal 43 sampai dengan Pasal 45 UU KPK, Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33 UU Tipikor. Sedangkan taraf sinkronisasi horosontal kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang telah mengaturnya sesungguhnya terdapat sinergisitas antar instansi yang menanganinya sesuai dengan aturan yang telah mengaturnya. Kata Kunci : sinkronisasi hukum, kewenangan penyelidikan dan penyidikan, commit to user tindak pidana korupsi.
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Shinta Utami, E0007211. 2011. A STUDY OF LAW SYNCHRONIZATION OF PERUSAL AND INVESTIGATION COMPETENCE OF CORRUPTION CRIMINALITY (A STUDY TOWARDS UU NO. 2 YEAR 2002 ABOUT REPUBLIK OF INDONESIA POLICE DEPARTEMENT, UU NO. 16 YEAR 2004 ABOUT HOUSE OF PROSECUTION, UU NO. 8 YEAR 1981 ABOUT KUHAP, UU NO. 30 YEAR 2002 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS COMISSION, UU NO. 31 YEAR 1999 jo UU NO. 20 YEAR 2001 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS). Faculty of Law of SEBELAS MARET UNIVERSITY. This law essay is aimed at finding how the synchronization of law about the regulation of competence in perusal and investigation towards corruption criminality based on the rule that regulate it. This law essay is a normatuve law research prescription, that examine how the rule about perusal and investigation fowards corruption criminality ang law synchronization degree about that compentence based on the rule that regulate it, that is UU No. 2 Year 2002 about Republik Of Indonesia Police Departement, UU No. 16 Year 2004 about House Of Prosecution, UU No. 8 Year 1981 about KUHAP, UU No. 30 Year 2002 about Corruption Criminality Dismiss Comission, UU No. 31 Year 1999 Jo UU No. 20 Year 2001 about Corruption Criminality Dismiss. Secondary source used is primary law materials, secondary law materials and tertiary law materials. The law material source collection technique used is literature study and internet recomendation. The research analysis used in this reaserch is deductive syllogism with research source is processed and is analyzed to solve the problem examined. The last stage is infering all the research source processed, so it can be found about the perusal and investigation competence towards corruption criminality and the synchronization of law about perusal and investigation competence towards corruption criminality. Based on the research, it can be infer that the regulation about perusal and investigation competence towards corruption criminality that is stated in Chapter 1 number 8 until 13 UU Republik of Indonesia Police, Chapter 30 verse (1) letter d UU House of Prosecution, Chapter 1 verse (4) and Chapter 6 verse (1) KUHAP, Chapter 6, Chapter 7 letter a, Chapter 8 verse (2), (3), (4), Chapter 9, Chapter 10, Chapter 11, Chapter 12, Chapter 38 until Chapter 41, Chapter 43 until Chapter 45 UU Corruption Criminality Dismiss Comission, Chapter 25, 26, 28, 29, 30, 32, and 33 UU Corruption Criminality Dismiss.. meanwhile, the horizontal synchronization degree of perusal on investigation towards corruption criminalitybased on the regulation that had been regulated is in fact there is a synergy between instances that handle it based on the regulation that regulate it. Key words: Law synchronization, perusal and investigation competence, corruption criminality. commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun
terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan kalau kamu memutar balikkan kenyataan atau enggan
menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S.An-Nisa 4 : 135 ) Hiduplah bersama Al-quran, baik dengan cara menghafal, membaca,
mendengarkan, maupun merenungkannya. Sebab ini obat yang mujarab untuk mengusir kesedihan dan kedukaan. (Dr. Aidh Al Qarni, La Tahzan)
Terkadang Tuhan memberikan kita cukup kebahagiaan untuk membuat kita belajar bagaimana untuk tidak melupakan-Nya dengan bersyukur dan
memberikan cukup cobaan membuat kita belajar bagaimana untuk tetap kuat dan berproses. (Penulis)
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Karya kecil ini Penulis persembahkan kepada : ·
Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna, Maha mendengar doa manusia dan
memberi jalan untuk setiap kesulitan ·
dan kemudahan hamba-NYA
Baginda Rasulullah Muhammad SAW,
yang telah menyampaikan kebenaran-
kebenaran dari Allah SWT kepada kita hamba-Nya
yang
terlalu
kecil
·
hadapan-Nya
·
dan harapanmu adalah kekuatanku
·
semangatku
·
pengalamanku
di
Ibu dan Bapak, doamu adalah energiku Simbah, sujud dan doamu adalah Kakakku teman berbagiku, gudang Fakultas Hukum UNS
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas setiap kasih sayang-Nya, berkah dan rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “TELAAH SINKRONISASI HUKUM
KEWENANGAN
PENYELIDIKAN
DAN
PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penanganan tindak pidana korupsi seperti halnya dengan tindak pidana lain di awali dengan penyelidikan dan penyidikan. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus, dalam penanganan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi (tindak pidana khusus) dimiliki oleh beberapa instansi yang memiliki kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, diantaranya alah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di atur di dalam beberapa aturan perundang-undangan yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga terlihat seperti adanya tumpang tindik kewenangan antar instansi dalam penanganan commit to userkorupsi. Oleh karena itu adanya penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi untuk menjelaskan sinergisitas kewenangan antar instansi-instansi yang berwenang tersebut Untuk itu, mengenai pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi harus diatur secara jelas agar terlihat sinergisitas antar pihak yang mempunyai kewenangan tersebut dan tidak terlihat adanya tumpang tindih kewenangan dalam penanganan korupsi di Indonesia dan dapat tetap berjalan secara maksimal. Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak, dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang telah memberikan banyak masukan, saran dan motivasi bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H., selaku pembimbing II yang dengan sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi serta bersedia menyediakan waktu, pemikiran dan berbagi ilmu dengan penulis. 4. Ibu Kus Sunaryatun, S.H.,M.H., selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini. 6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan anggota PPH yang banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. 7. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum. 8. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu mengantarkan kepergianku dengan penuh commit toserta user selalu menyambut kepulanganku doa, harapan dan nasehat-nasehatnya
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan senyum dan perhatiannya. Terima kasih atas setiap cinta, doa, kasih sayang, perhatian, harapan, dukungan, motivasi, semangat dan segala yang telah kalian berikan yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. 9. Simbah tercinta, terimakasih disela-sela setiap sujud dan doamu tak lupa selalu ada doa untukku. 10. Kakak terbaik didunia, Sulistyo Utomo teman berbagi yang telah memberikan pandangan dan bantuan cukup ilmu bagi Penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 11. Saudara-saudara dan keluarga besar atas doa dan dukungan yang luar biasa kepada penulis. 12. Sahabat-sahabat motivasiku, Lina “partner in crime” sahabat yang selalu memberikan bantuan dan informasi selama hampir 4 tahun ini, Venni sahabat ceriaku teman berbagi cerita, Tyas sahabat saling menopang teman untuk saling menguatkan. Suka, duka, tawa dan tangis pernah mewarnai kebersamaan kita dan kita selalu bertahan dalam keadaan apapun untuk tetap menjadi satu dari awal sampai ujung kapanpun dibawah pedoman yang selalu kita ingat bersama “Perbedaan Itu Indah!!”. 13. Sahabat-sahabat yang dipertemukan ketika Magang di Kejaksaan Negeri Karanganyar : Mey, Wawan, Mas Agung, Mas Sukma, Puspita, Dhika, Mardiyan. Tak akan pernah sekeping kenanganpun akan terlupakan dari kebersamaan kita yang hanya 1 bulan saja. 14. Sahabat malamku, Mey, Wawan, Mas Agung dan Mas Sukma terimakasih untuk hari-hari dan setiap malam yang kita lewati bersama. Walau hanya sekedar kopi yang terkadang selalu menjadi teman bekumpul kita tapi rajutan impian selalu terukir untuk menjadi semangat dan batu loncatan kita. Tarimakasih dan maav atas segala kejutan yang terkadang menimbulkan tawa ataupun amarah itu semua tak luput dari kealpaan dari diri pribadi untuk kebersamaan kita. 15. Sahabat perjuangan, kawan untuk saling berproses : Dayat, Gopal, Padank, to user Refi, Yuda, Mia, Citra, Dina,commit Riri, Desi, Hangga keluarga dalam satu tubuh
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengurus HMI Kom FH UNS serta mas-mas yang telah membagi banyak ilmu dan pandangan hidup untuk merubah dunia : Mas Didit, Mas Yasser, Mas Anung, Mas Ridho, Mas Aldi, Mas Okki, Mas Aji, Mas Arman, Yedi, Mas Martin, Mas Wisnu. 16. Keluarga keduaku, teman hidup bersama di kota Solo yang menumbuhkan arti keluarga antara kita “Kethoprak” : Wulan, Lina, Dasri, Duden, Nopek, Nia, Huzna, Dek Aning. Terimakasih atas perhatian dan bantuan serta canda tawa yang mewarnai rumah kontrakan kita, walau hanya sekedar “gubuk” tetapi banyak cerita tertoreh bersama. 17. Rahadian Anhar Ansori “kawan dalam bersaing” makasih untuk semua waktunya sudah menjadi teman berbagi, menjadi pendengar dan penasehat yang baik dan terimakasih untuk selalu mengingatkan tentang ajaran agama. 18. Sahabat senyum dan tawa : Prisil, Enggar, Lisa, Radit walau tak bisa menempuh ilmu di kota yang sama dengan kalian tetapi terimakasih untuk semua waktu, canda, tawa, cerita yang telah kalian luangkan dan bagi bersama. Terima kasih untuk mau menampungku di Jogja ketika Solo terkadang membuat lengah. Tetap saling berbagi semangat dalam keadaan apapun. Bangkitkan kawan disaat dia terjatuh. 19. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS, teman-teman PETITUM 2010, teman-teman Kru DepDok (Hafidz, Mamo, Ebik, Yayas, Ocki, Yudha) terimakasih atas kekompakan kita dan ilmu yang kita dapat bersama. Tak pernah ada kata sesal pernah berada diantara kalian. 20. Para pihak “di belakang layar” yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang lebih atas jasa-jasa yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau Skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi subtansi ataupun teknis penulisan. Untuk itu sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat penulis harapkan demi commit to user perbaikan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga penulisan hukum ini
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi, praktisi maupun masyarakat umum. Surakarta,
Maret 2011
Penulis
SHINTA UTAMI
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. v ABSTRAK
....................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ............................................................................................... viii HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... ix KATA PENGANTAR .............................................................................................. x DAFTAR ISI
....................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xviii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B.
Perumusan Masalah ............................................................................. 7
C.
Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
D.
Manfaat Penelitian ................................................................................. 8
E.
Metode Penelitian ................................................................................... 9
F.
Sistematika Penulisan Hukum ................................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Kerangka Teori ....................................................................................... 15 1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Hukum ................................................. 15 2. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan .................................... 16 a.
Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ...................................... 16
b. Pengertian Penyelidik dan Penyidik ............................................. 18 c.
Tugas dan wewenang Penyelidik................................................... 19
d. Tugas dan wewenang Penyidik ..................................................... 21 3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi ............................................. 24 commit to user a. Pengertian Korupsi ....................................................................... 24
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 27 c.
Pembagian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 29
d. Faktor-faktor timbulnya korupsi .................................................... 33 4. Tinjauan tentang Undang-Undang Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ................................................................................................. 35 a.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI ..... 35
b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.... 36 c.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.............. 38
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ......................................... 38 e.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .......................................................................................... 39
B. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 41
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK, UU Tipikor ...................................................................................................... 42 1.
Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian ................................................ 42
2.
Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kejaksaan ................................................. 45
3.
Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam KUHAP ........................................................... 47
4.
Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ............................................................................................... 51
5.
Pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 60 commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenanagn Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor ...................................... 64
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ................................................................................................... 75 B. Saran ....................................................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran ..................................................................... 42
commit to user
xviii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi semakin lama semakin menunjukkan era persaingan dan kemajuan di segala bidang mulai saling berhadapan. Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang tidak mau untuk ketinggalan dalam melalui era ini, sehingga mau tidak mau masyarakatnyapun harus dapat menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Seiring dengan fenomena di atas, tidak hanya persaingan dan kemajuan di segala bidang saja yang mencuat ke permukaan, tetapi kebutuhan masyarakatpun juga semakin meningkat, bahkan meningkatnya berbagai kebutuhan tersebut tidak senada dengan meninggkatnya daya beli dan pendapatan masyarakat yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal inilah yang akhirnya dapat memunculkan barbagai cara untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Berbagai inovasi akhirnya muncul, masyarakat semakin produktif, namun tidak jarang cara-cara negatif juga ikut bermunculan. Menghalalkan segala cara untuk memenuhi berbagai kebutuhan menjadi hal yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat tanpa mempedulikan kepentingan orang lain bahkan kepentingan negara sekalipun jika
perlu
akan
dikorbankan.
Perampokan,
pencurian,
penggelapan,
penyelundupan, penipuan dan berbagai bentuk kejahatan lainnya terjadi. Itu semua dapat terjadi seakan-akan disebabkan karena faktor ekonomi, seiring dengan kemajuan dan persaingan yang semakin meningkat. Di sini peran penegak hukum sangatlah penting untuk menciptakan kehidupan yang selaras dengan tujuan Pancasila dan UUD 1945. dalam system penegakan hukum di peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi Polisi, Jaksa, serta Hakim (bahkan termasuk Penasihat Hukum) di dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di commit ini to user pengadilan. Para pelaksana hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana. Di dalam hukum acara pidana diatur dengan jelas apa tugas dan kewenangan masing-masing alat negara yang bekerja dalam sistem peradilan pidana. Secara nyata pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum sangatlah marak terjadi di masyarakat bahkan di kalangan penegak hukum itu sendiri. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum ini merupakan tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat bahkan Negara itu sendiri. Tindak pidana yang saat ini menjadi sorotan masyarakat adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Masalah korupsi itu sendiri merupakan masalah yang besar dan ruwet yang dihadapi oleh negara kita saat ini. Masalah korupsi merupakan masalah banyak seginya, banyak sangkut pautnya dan tidak tentu pangkalnya. Andi Hamzah berpendapat, masalah korupsi telah mendunia. Buktinya telah ada konvensi internasional mengenai pemberantasan korupsi, jadi penentuan peringkat korupsi Indonesia yang demikian tingginya masih dapat dipertanyakan
kebenarannya,
melihat
negara
lain
yang
sampai
mempergunakan kekuatan militer untuk merebutkan kekayaan negara lain, ini sudah meningkat dari persoalan korupsi individual atau kelompok ke korupsi negara (Andi Hamzah, 2004:13) Korupsi merupakan suatu bentuk tindak pidana yang dianggap suatu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), karena korupsi dapat menjegal dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Semenjak reformasi pada tahun 1998, sejak lengsernya pemerintahan Orde baru, dimana pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto tersebut dianggap tidak bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), suara-suara tentang perlawanan terhadap korupsi mulai terdengar. Bahkan termuat pula dalam agenda cita-cita reformasi sendiri yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998 tertanggal 13 November tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan antara lain bahwa upaya pemberantasan KKN to user harus dilakukan secara tegascommit kepada siapapun juga, baik pejabat negara,
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mantan pejabat negara, keluarga dan kroni-kroninya, maupun pihak swasta atau
pengusaha
konglomerat
termasuk
Presiden
Soeharto
(http://www.komisihukum.go.id/konten.php/ diakses tanggal 9 September 2010 pukul 22.15 WIB). Penanganan terhadap perkara-perkara korupsi haruslah dilakukan secara serius, karena seperti yang telah disebutkan di atas korupsi dapat menjegal dan melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka daripada itu Peraturan Perundangundangan yang mengaturnyapun harus diupayakan secara efektif dapat menjerat setiap menggeliatnya praktek-praktek korupsi, jadi Peraturan Perundang-undangan tersebut juga harus dapat digunakan secara dinamis dan fleksibel dari zaman ke zaman. Namun karena tidak dapat dibuat Undangundang tentang korupsi yang semacam itu, maka terpaksa Undang-undang korupsi selalu diganti setiap undang-undang tersebut sudah dianggap tidak efektif lagi. Usaha pemberantasan korupsi selain telah diadakan pembaharuan sumber pokok hukum pidana korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, telah dibentuk dan diberlakukan pula berbagai perangkat peraturan perundang-undangan lainnya sebagai penunjang dan pelengkap dasar hukum bagi pemerintah, dalam usaha memberantas korupsi di Indonesia. Hendaknya dicermati bahwa dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan perundangan-undnagan akan berakibat penegakan hukum dalam mengatasi korupsi menjadi beres. Anggapan tersebut tidak benar, karena penyebab utamanya bukanlah pada perangkat hukumnya, tetapi pada penegak hukumnya. Dahulu gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara banyak turut campur dalam urusan penegakan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Dalam era reformasi saat ini bukan saja penyelenggara negara userdari kekuatan poitik yang ada di (eksekutif) yang ikut campur,commit tetapi tojuga
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
partai politik atau kalangan politikus yang ada di DPR termasuk DPR daerah. Lebih parah lagi bila pengaruh itu menggunakan uang. Tidak dapat di pungkiri dan telah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di rusak oleh adanya budaya suap (termasuk kategori korupsi) yang memang sulit dibuktikan secara hukum. Kesungguhan pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi adalah komitmen yang tidak dapat dipungkiri, harus dilaksanakan secara konsekuen penuh tantangan dan resiko, walaupun kendala sangat komplek, tetapi peraturan yang telah ada dijadikan sebagai pedoman kerja bagi aparat penegak hukum. Setiap pelaku kejahatan korupsi tentu harus dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Ajimbar, 2007:5) Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada instutusi penegak hukum (Jawahir Thontowi, 2007:2). Kasus korupsi yang juga menjadi masalah di negaranegara lain memunculkan pernyataan bahwa bukti data kuantitatif mengenai korupsi sebenarnya bisa didapatkan dari sumber resmi pemerintah seperti lembaga statistik pemerintah namun data semacam itu hanya sedikit yang dipublikasikan secara riil (Daniel Levy, 2007:1-2). Dalam pemeriksaan perkara pidana di Indonesia secara normatif (substansi) menunjuk kepada peraturan induk yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), beserta aturan lain yang memiliki keterkaitan denagn ketentuan tersebut. Tahapan pemeriksaan dalam aturan itu dapat digambarkan sebagai berikut: a. Tahap Penyelidikan; b. Tahap Penyidikan;
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Tahap Penuntutan; d. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; e. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa; f. Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Dalam tahap pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan merupakan fungsi yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode yang menyatu dengan fungsí penyidikan sebagaimana yang ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini : “Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara lepada penuntut umum. Latar belakang motivasi dan urgensi perkara diintrodusirkan fungsi penyelidikan, antara lain adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan denagn konsekuensi di gunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan daat atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan statu penyidikan diperlukan adanya taktik, teknik, pengetahuan, modus operandi yang variatif serta kejelian, ketepatan dan kecepatan untuk mengungkapkan alat-alat bukti lain yang dapat berupa surat-surat, baik asli maupun fiktif, neraca dan jurnal-jurnal pembukuan dan lain-lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara melawan hukum sebagaimana elemen terpenting dari tindak pidana korupsi. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penanganan tindak pidana korupsi khususnya pada tahap penyelidikan dan penyidikan terdapat ketidak harmonisan bahkan tumpangtindih penanganan terhadap masalah tersebut karena dilakukan oleh beberapa lembaga yang kesemuanya merasa mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Sehinggga muncul sindiran dari masyarakat bahwa lembaga-lembaga penegak hukum tersebut saling berebut rejeki satu sama lain. Rebutan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus (seperti korupsi) antara polisi, jaksa dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya membuat masyarakat mengkritik bahwa antara lembaga penegak hukum tersebut tengah terlibat “perkelahian” untuk mendapat “rejeki” yang besar. Untuk itu perlu dilihat kembali lembaga mana yang benar-benar penting dan perlu untuk menanggulangi korupsi secara optimal dengan peraturan perbandingan tugas dan wewenang dalam penanganan tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian di atas, menarik penulis untuk meneliti tentang sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di tinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka penulis mengkaji lebih mendalam di dalam sebuah penulisan hukum dengan judul
“TELAAH
SINKRONISASI
HUKUM
KEWENANGAN
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31
TAHUN
1999
jo
UU
NO.
20
TAHUN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”.
commit to user
2001
TENTANG
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu pembatasan masalah. Pokok permasalahan yang hendak menjadi tujuan penulis yaitu terbatas pada masalah yang berkaitan dengan sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat dari UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga agar tidak terjadi penyebutan berulangulang mengenai produk-produk hukum diatas maka selanjutnya akan disebutkan dengan UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor. Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang dan mengacu dari judul penelitian hukum, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor? 2. Bagaimana
taraf
sinkronisasi
horisontal
pengaturan
kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor?
C. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan masalah. Karena itu, tujuan penelitian sebaiknya dirumuskan berdasarkan rumusan masalahnya. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian metodologi penelitian . Oleh karenanya, tujuan penelitian yang baik adalah user rumusannya operasional dancommit tidak to bertele-tele. Dari tujuan inilah, dapat
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001:71) Selain itu, tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk
mengetahui
pengaturan
kewenangan
penyelidikan
dan
penyidikan tindak pidana korupsi dalam produk hukum di Indonesia. b. Untuk
mengetahui
taraf
sinkronisasi
horisontal
pengaturan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam produk hukum di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor. b. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan skripsi sebagai persyaratan wajib guna mencapai derajat sarjana (S1) di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun orang lain baik sekarang dan di masa yang akan datang. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini sebagai berikut:
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi di bidang karya ilmiah serta bagi penelitian dan penulisan hukum sejenis di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberikan data dan informasi mengenai sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di lihat dari UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor. b. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak dalam melaksanakan tugas menangani perkara tindak pidana korupsi. c. Sebagai praktek dan teori penelitian dalam bidang hukum dan juga sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah.
E. Metode Penelitian Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang di tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu research, yang berasal dari kata re (kembali) dan search (meneliti). Dengan demikian artinya ”mencari kembali”. Suatu penelitian secara ilmiah dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan keyakinan bahwa setiap gejala akan dicari sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul. Pentingnya dilaksanakan penelitian hukum ialah untuk mengembangkan disiplin hukum dan ilmu commit perguruan to user hukum sebagai salah satu tridarma tinggi. Penelitian hukum itu
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
bertujuan untuk membina kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang obyektif, metodik, dan sistemati (Hilman Hadikusuma, 1995:8). Sebuah tulisan baru dapat dirasakan bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara obyektif, karena didukung oleh informasi yang teruji kebenarannya. Untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang dilaksanakan, maka perlu dikumpulkan fakta dan data yang menyangkut masalahnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian. Tanpa adanya metode dan teknik penelitian maka hasil penelitian itu diragukan kebenarannya (Hilman Hadikusuma, 1995:58). Adapun metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum ini adalah jenis penelitia hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau disebut juga data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum disusun secara sistematis dan juga dikaji untuk selanjutnya dapat ditarik kesimpulan atas apa yang diperoleh. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Sifat dari ilmu hukum adalah ilmu yang preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22). Penelitian ini bersifat Preskriptif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009:35). 3. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum ada lima pendekatan, yaitu: pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan kasus (Case approach), pendekatan histories commit toperbandinagn user (Historical approach), pendekatan (Comparative approach),
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
dan pendekatan konseptual (Conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2009:93). Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang diangkat yaitu pendekatan perundang-undangan. Pendekatan undang-undang (Statute approach) dilakukan dengan menelaah beberapa undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut denagn isu hukum yang sedang diteliti oleh penulis. Dalam hal ini penulis akan menelaah UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundnag-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undanng-undang, dan putusan hukum. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamuskamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:141). Sumber data yang diperguanakn dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu : a) Bahan hukum primer Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini: (1) Kitab Undang-Undnag Hukum Acara Pidana. (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. commit16toTahun user 2004 tentang Kejaksaan. (3) Undang-Undang Nomor
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(4) Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (5) Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi b) Bahan hukum sekunder Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi: (1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum. (2) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana. (3) Kamus-kamus hukum dan ensiklopedia. (4) Jurnal-jurnal hukum. (5) Literatur dan hasil penelitian lainnya. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam hal penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan melalui studi pustaka yaitu dengan cara mengkaji, membaca, dan mempelajari bahan-bahan pustaka, baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel dari media massa maupun internet, jurnal, makalah, dokumen, serta bahanbahan lain yang berhubungan denagn pokok bahasan daalm penelitian ini. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan hukum terkumpul, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan ialah mengolah atau menganalisis bahan. Teknik analisis bahan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah interpretasi dan silogisme dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penelitian hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar untuk kemudian memberikan objek yang akan diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut Aristoteles commit to user berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005:46) Peter Mahmud membedakan interpretasi menjadi beberapa macam, yaitu
interpretasi
interpretasi
berdasar kehendak
sistematis,
interpretasi
pembentuk
historis,
Undang-Undang,
interpretasi
teologis,
interpretasi antisipatoris, dan interpretasi modern (Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107). Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode interpretasi antara lain adalah sebagai berikut: a. Interpretasi berdasarkan kata Undang-Undang Interpretasi ini berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam Undang-Undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan terhadap katakata dalam undang-undang yang singkat, padat, tajam dan akurat mengenai apa yang dimaksud oleh undang-undang tersebut dan tidak mengandung kata yang multi tafsir atau arti yang bermacam-macam. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari Undang-Undang sebagai perintah maupun larangan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112). b. Interpretasi sistematis Interpretasi yang menilik keterkaitan antara undang-undang yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang memiliki hubungan saling ketergantungan asas yang mendasarinya satu sama lain. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki, 2005:112).
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk
memberikan
gambaran
secara
mneyeluruh
mengenai
user aturan baku dalam penulisan sistematika penulisan yang commit sesuai to denagn
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum, maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Dalam menyajikan penelitian ini penulis menyusunnya dalam sistematiak penulisan sebagai berikut: BAB I:
PENDAHULUAN Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, kerangka Teoritis, dan Metode Penelitian.
BAB II:
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, penulis menguraikan teori-teori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang meliputi tinjauan tentang sinkronisasi hukum, tinjauan tentang penyelidikan dan penyidikan, tinjauan tentang tindak pidana korupsi, tinjauan tentang undang-undang penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan
tentang
pengaturan
kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor dan taraf sinkronisasi horisontal pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor. BAB IV: PENUTUP Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini. commit to user DAFTAR PUSTAKA
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Sinkronisasi Hukum Sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur
suatu
bidang
tertentu
(http://www.penataan
ruang.net/Bab4.pdf/ diakses tanggal 16 Oktober 2010 pukul 01.30 WIB). Sinkronisasi hukum dapat dilakukan baik secara vertikal (beda derajat)
ataupun
secara
horizontal
(sama
derajat/
sederajat).
Sinkronisasi secara vertikal merupakan sinkronisasi yang didasarkan atas hierarki suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya antar Undang-Undang 1945 dengan Ketetapan MPR atau dengan peraturan pelaksanaannya, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan sebagainya. Untuk itu perhatikan beberapa asas perundang-undangan, yaitu (Amiruddin, 2004:129): a) Undang-undang tidak berlaku surut. b) Asas lex superior (lex superior derogat legi inferior); Undangundang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah. c) Asas lex specialis (lex specialis derogat legi generalis); Undangundang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. d) Asas lex poterior (lex posterior derogat legi priori); Undangundang yang berlaku belakangan, mengalahkan undang-undang yang terdahulu. e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan sinkronisaasi horizontal merupakan sinkronisasi terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang berbagai bidang yang mempunyai hubungan commit to userfungsional, konsisten yang sama
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
derajatnya. Penelitian ini, disamping mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai perundang-undangan bidang tertentu, juga dapat
mengungkapkan
kelemahan-kelemahan
yang
ada
pada
perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan demikian peneliti dapat membuatrekomendasi agar perundnagundangan tersebut dilakukan amandemen. Misalnya sinkronisasi antara Undanng-Undang dengan Peraturan Pemerintah atau antara Keputusan Presiden dengan Keputusan Presiden. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya
maka
semakin
detail
dan
operasional
materi
muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.
2. Tinjauan Umum tentang Penyelidikan dan Penyidikan a) Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan Penyelidikan berasal dari kata ”selidik” yang berarti memeriksa dengan saksama atau mengawasi gerak-gerik musuh sehingga penyelidikan dapat diartikan sebagai pemeriksaan, penelitian, atau pengawasan (Rusli Muhammad, 2007:52) Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan Penyidikan atau yang biasa disebut Pengusutan, commit disebut to user Opsporing adalah merupakan dalam istilah asingnya
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
persiapan perlengkapan untuk melakukan suatu penuntutan (verpolging)
dengan
kata
lain
merupakan
dasar
untuk
melaksanakan penuntutan. Karena itu tak dapat dilakukan penuntutan sebelum dilakukan penyidikan atau pengusutan. Perbuatan penyidik atau mengusut adalah merupakan usaha atau tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu, serta siapakah yang terlibat dalam perbuatan itu. Dan suatu penyidikan atau pengusutan diakhiri dengan suatu kesimpulan, bahwa atas perkara tersebut akan diadakan penuntutan atau tidak (K. Wantjik Saleh, 1983:58). Perlu diketahui bahwa telah dilakukan penyidikan mungkin tidak akan dilakukan penuntutan, karena Badan Penuntut Umum dapat mempergunakan asas opportunitet yang tidak akan melakukan penuntutan dengan alasan kalau dilakukan penuntutan maka kerugian negara akan lebih besar. Berdasar Pasal 1 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa: “Penyidikan ádalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya”. Sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana, tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum ditemukan siapa pembuatnya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari pekerjaan penyelidikan. Karena menurut Pasal 1 ayat (5), pekerjaan penyelidikan itu dilakukan untuk mencari peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Jadi, hasil penyelidikan adalah menemukan peristiwa yang diduga tindak pidana yang berarti tindak pidana yang disebut dalam Pasal 1 ayat (2) tadi user terang. Walaupun belum terang masih dugaan saja,commit artinyatobelum
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena masih berupa dugaan (subjektif penyelidik), tetapi telah dapat ditentukan untuk dilakukan penyelidikan. Dasar untuk menarik dugaan adanya atau terjadinya tindak pidana yang belum terang tadi ialah adanya alat bukti permulaan, alat bukti permulaan itu dalam praktik disandarkan pada adanya laporan polisi, atau temuan
penyelidik.
Demikian
kiranya isi
pengertian
dari
penyidikan (Adami Chazawi, 2005:381).
b) Pengertian Penyelidik dan Penyidik Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 ayat (1) KUHAP). Penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik apabila terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana. Secara umum tindak pidana bisa diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, yang apabila dilakukan, akan dikenai ancaman hukuman oleh undang-undang. Hal ini berarti bahwa suatu tindak pidana harus mempunyai unsur melawan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum dan atas pelanggaran tersebut diancam dengan hukuman pidana (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:2). c) Tugas dan Wewenang Penyelidik Berdasarkan definisi tersebut diatas jelaslah bahwa fungsi penyelidikan atau tugas daripada penyelidik merupakan suatu kesatuan
dengan
fungsi
penyidikan,
penyelidikan
hanya
merupakan suatu cara, salah satu tahap dari penyidikan, yaitu tahap yang seyogyanya dilakukan lebih dahulu sebelum melangkah pada tahap-tahap penyidikan selanjutnya. Menurut Pasal 4 KUHAP penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Di dalam buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP dijelaskan latar belakang,
motivasi,
dan
urgensi
diintrodusirnya
fungsi
penyelidikan yaitu: 1) Adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia. 2) Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa. 3) Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi. 4) Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Kewenangan penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP, menyatakan bahwa: commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Penyelidik sebagaimana diatur dalam Pasal 4: (a) Karena kewajibannya mempunyai wewenang: (1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; (2) Mencari keterangan dan barang bukti; (3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (b) Atas perintah penyidik dapat dilakukan tindakan berupa: (1) Penangkapan,
larangan
meninggalkan
tempat,
penggeledahan dan penyitaan; (2) Pemeriksaan dan penyitaan surat; (3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang; (4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. 2) Penyelidik
membuat
dan
menyampaikan
laporan
hasil
pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik. Secara formal prosedural, suatu proses penyidikan sudah dimulai
dilaksanakan
sejak
dikeluarkannya
Surat
Perintah
Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik. Setelah pihak kepolisian menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal ini selain untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dari pihak kepolisian, dengan adanya Surat Perintah Penyidikan tersebut adalah sebagai jaminan terhadap pelindungan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1991:36). commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Tugas dan Wewenang Penyidik Sesuai dengan pengertian dari penyidikan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP, maka tugas pokok dari seorang penyidik adalah: a) Mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. b) Menemukan tersangka (Leden Marpaung, 2001:17). Untuk menunjang tugas utama penyidik agar berjalan dengan lancar, maka penyidik diberi kewenangan utuk melaksanakan kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: ”Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang adanya tindak pidana. b) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian. c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka. d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka ataupun saksi. h) Mendatangkan
seorang
ahli
yang
diperlukan
dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara. i) Mengadakan penghentian penyidikan. j) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab.” Hukum acara kita membatasi pelaksanaan penyidikan tersebut sedemikian rupa agar jangan sampai melanggar hak-hak asasi yang commitindividu to user dan penyidik wajib menghormati paling pokok dari setiap
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
asas-asas tersebut, yaitu antara lain asas-asas (Mohammad Amari, 2003:6) : a) Praduga tak bersalah (presumtion of innocence); b) Persamaan di muka hukum (equality before the law); c) Hak memperoleh bantuan hukum/penasehat hukum (legal and assistance); d) Peradilan yang cepat, sederhana, murah, serta bebas dan jujur; e) Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang. Jika memperhatikan keseluruhan ketentuan didalam KUHP, dapat diketahui bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana Sumber bahan masukan suatu tindak pidana ke dalam pross peradilan pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya suatu perbuatan tindak pidana dapat diperoleh penyidik dari berbagai sumber, yaitu dari: (a) Laporan; (b) Pengaduan; (c) Tertangkap tangan; (d) Diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil penyelidikan. 2) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian Yang dimaksud dengan ”tempat kejadian” adlah tempat dimana telah dilakukan sesuatu tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan ”melakukan tindakan pertama” di etmpat kijadian itu adalah melakukan segala macam tindakan yang oleh penyidik telah dipandang perlu untuk (P.A.F. Lamintang, 1984:76): (a) Menyelamatkan nyawa korban atau harta kekayaan orang. commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) Menangkap pelakunya apabila pelaku tersebut masih berada dalam jangkauan penyidik untuk segera ditangkap. (c) Menutup
tempat
kejadian
bagi
siapa
pun
yang
kehadirannya disitu tidak diperlukan untuk menyelamatkan nyawa korban, untuk menyelamatkan harta kekayaan orang atau untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dengan maksud agar tempat kejadian itu tetap berada dalam keadaan yang asli untuk memudahkan penyelidikan dan penyidikan. (d) Menemukan,
menyelamatkan,
mengumpulkan
dan
mengambil barang-barang bukti serat bekas-bekas yang dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjukpetunjuk tentang identitas pelaku atau dari pelakupelakunya, tentang cara-cara atau alat-alat yang telah dipergunakan oleh para pelakunya dan untuk melemahkan alibi yang mungkin saja akan dikemukakan oleh seorang tersangka apabila ia kemudian berhasil ditangkap. (e) Menemukan saksi-saksi yang diharapkan dapat membantu penyidik untuk memecahkan persolan yang sedang ia hadapi dan memisahkan saksi-saksi tersebut agar mereka itu tidak dapat berbicara satu dengan yang lain, dan lainlain. 3) Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi Berdasar Pasal 7 ayat (1) KUHAP, selama dalam tahap penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksisaksi lain yang diperlukan. 4) Melakukan upaya paksa yang diperlukan Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap commit to user kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menguasai suatu barang, atau kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun. 5) Pembuatan berita acara penyidikan Pada berita acara juga dilampirkan semua berita acara keterangan tersangka dan saksi, berita acara penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya jika hal tersebut telah benar-benar dilakukan dalam rangka penyidikan suatu perbuatan pidana. 6) Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum Apabila penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi a) Pengertian Korupsi Korupsi
berasal
dari
bahasa
Latin
”Corruptio”
atau
”Corruptus”. Yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa seperti Inggris ”Corruption”, bahasa Belanda ”Korruptie” yang berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan tak beres dalam jawatan, pemalsuan dan sebagainya kemudian muncul dalam bahasa Indonesia ”Korupsi”. Definisi korupsi dalam kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary adalah “ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas”(Robert Klitgaard dan Selo Soemardjan 2001:29). Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa (IGM Nurdjana, 2010:14-15): 1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidak jujuran. 2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan to user uang sogok dancommit sebagainya.
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Perbuatan yang kenyataannya menimbulakn keadaan yang bersifat buruk, perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidak jujuran, sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup. Arti kata Korupsi oleh Purwadarminta disimpulkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1979): ”Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya” (BPKP, 1999:267-268). Istilah ”korupsi” sering kali selalu diikuti dengan istilah kolusi dan nepotisme yang selalu dikenal dengan singkatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). KKN saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secar serius dan mendesak, sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
negara
yang
bersangkutan. Transparency International definisi tentang korupsi yaitu sebagai: ”Perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi”(Pope J, 2003:6). Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi : 1) Menyalahgunakan kekuasaan; 2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik di sektor publik maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya). Beberapa pengertian korupsi menurut John A. Gardiner dan David J. Olson sebagaimana yang dikutip oleh Martiman commit userProdjohamidjojo, 2001:8-12): Prodjohamidjojo antara lainto(M.
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar Jacob Van Klaveren mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaannya diusahakan pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin. 2) Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan M. Mc. Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan dikatakan korup apabila menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam tugas dan jabatannya padahal seharusnya tidak boleh melakukan hal demikian selama menjalankan tugas. J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari penngaruh bagi kepentingan pribadi. 3) Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum Carl J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil
langkah
yang
menyediakan hadiah dan
menolong
siapa
saja
yang
dengan demikian benar-benar
membahayakan kepentingan umum. 4) Rumusan korupsi dari sisi pandangan sosiologi Makna korupsi secara sosiologi dapat dilihat dari makna korupsi sebagaimana yang dikemukakan oleh Syeh Hussein commit to bahwa: user ”Seperti halnya dengan semua Alatas yang mengatakan
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat saja. Yang mungkin ialah membuat gambaran yang masuk akal mengenai gejala tersebut agar kita dapat memisahkannya dari gejala lain yang bukan korupsi. Korupsi adalah
penyalahgunaan
kepercayaan
untuk
kepentingan
pribadi”(SH Alatas, 1987:1). Berdasarkan beberapa pengertian tentang korupsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan
yang
bertentangan
dengan
nilai-nilai
keadilan
masyarakat. Pengertian tentang korupsi ini sering kali tidak dapat dibedakan ataupun dicampuradukkan dengan pengertian kolusi dan nepotisme. Hal ini disebabkan oleh karena ketiga perbuatan itu mempunyai batasan yang sangat tipis dan dalam praktiknya sering kali menjadi satu kesatuan tindakan atau merupakan unsur-unsur dari perbuatan korupsi. Pengertian tersebut diatas berdasarkan unsur-unsur mutlak atau pokok korupsi, berupa: a. Adanya pelaku atau pelaku-pelaku korupsi; b. Adanya tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku yang dalam hal ini dapat membentuk moral (aspek agama), etika (aspek profesi), maupun peraturan perundang-undangan (aspek hukum); c. Adanya unsur merugikan keuangan/ kekayaan negara atau masyarakat, langsung atau tidak langsung, serta d. Adanya unsur atau tujuan untuk kepentingan atau keuntungan pribadi/ keluarga/ golongan. b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi adalah merupakan salah satu dari pada sekian banyak macam tindak pidana. Dalam ilmu hukum pidana commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masalah tindak pidana adalah merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Berbagai masalah dalam hukum pidana seolah terpaut dan berselingkar dengan persoalan tindak pidana. Oleh karena itu memahami pengertian tindak pidana sangatlah penting sekali. Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda strafbaar feit atau delict. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan sedang strafbaar berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, tindakan (Evi Hartanti, 2005:5). Dalam pengertian ini tindak pidana adalah rumusan tentang perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang disertai ancaman suatu pidana terhadap siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila istilah tersebut digabungkan dengan kata korupsi akan menjadi tindak pidana korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertiannya ialah rumusan-rumusan tentang segal perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ciri-ciri perbuatan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: 1)
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2)
Korupsi pada umumnya melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, dimana kewajiban dan keuntungan itu tidaklah senantiasa berupa uang. commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3)
Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk
menyelubungi
perbuatannya
dengan
berlindung dibalik pembenaran hukum. 4)
Mereka
yang
terlibat
korupsi
adalh
mereka
yang
menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 5)
Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya badan publik atau masyarakat umum.
6)
Setiap bentuk korupsi merupakn suatu pengkhianatan kepercayaan.
7)
Setiap bentuk korupsi menggunakan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu.
8)
Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat berdasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan khusus.
c) Pembagian Tindak Pidana korupsi Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999
jo
Undang-undang
No.
20
Tahun
2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut dirumuskan dalam Pasal : 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 21, 22, 23 (menarik Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP), dan 24. Dari pasal-pasal tersebut ada 44 rumusan tindak pidana korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan dan dikelompokkan sebagai berikut: 1) Atas Dasar Substansi Obyek Tindak Pidan Korupsi Atas dasar substansi obyeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis: commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(a) Tindak Pidana Korupsi Murni Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang substansi obyeknya mengenai hal yang berhubungan denngan
perlindungan hukum
terhadap
kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara, perekonomian
negara,
dan
kelancaran
pelaksanaan
tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. (b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi obyeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 2) Atas Dasar Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi Atas dasar subyek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok: (a) Tindak Pidana Korupsi Umum Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk korporasi. (b) Tindak
Pidana
Korupsi
Pegawai
Negeri
dan
atau
Penyelenggara Negara Tindak pidana pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Tindak pidana korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan jabatan atau dapat disebut sebagai kejahatan jabatan khusus.. commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Atas Dasar Sumbernya Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dapat dikelompokan menjadi dua sebagai berikut: (a) Tindak Pidana Korupsi yang Bersumber pada KUHP Tindak pidna korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut: §
Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001, rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda denagn rumusan aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama.
§
Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan
sistem
pemidaannya. (b) Tindak Pidana Korupsi yang oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sendiri sebagai Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli yang dibentuk oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undanng-Undang No. 20 Tahun 2001. yang termasuk dalam
kelompok
ini
ialah
tindak
pidana
korupsi
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, dan 24. 4) Atas Dasar Tingkah Laku/ Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara commitaktif to user tindak pidana korupsi dan tindak pidana korupsi pasif.
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(a) Tindak Pidana Korupsi Aktif Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif ialah tindak pidana yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang. (b) Tindak Pidana Korupsi Pasif atau Tindak Pidana Korupsi Negatif Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat aktif (disebut perbuatan pasif). Di dalam kehidupan seharihari, ada kalanya seseorang berada dalam situasi dan atau kondisi tertentu, dan orang itu diwajibkan (disebut kewajiban hukum) untuk melakukan suatu perbuatan (aktif) tertentu. Apabila dia tidak menuruti kewajiban hukumnya untuk berbuat (aktif) tertentu tersebut, artinya dia telah melanggar kewajiban hukumnya untuk berbuat tadi, maka dia dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana pasif tertentu. 5) Atas Dasar Dapat-Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau Perekonomian Negara Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: §
Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
§
Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan
kerugian
keuangan
negara
atau
perekonomian negara. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terdapat unsur/syarat dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara terdapat dalam Pasal: 2, 3, 15 jo 2 dan 3 (sepanjang percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat itu dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3). Demikian juga tindak pidana dalam Pasal 16 disyaratkan dapat menimbulkan
kerugian
negara sepanjang orang ayang berada di luar wilayah hukum RI itu memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3. sedangkan terhadap bentukbentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasalpasal berikutnya (ini yang terbanyak) tidak memerlukan unsur atau syarat dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. d) Faktor-faktor timbulnya Korupsi. Menurut Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis tetapi ada dua hal yang jelas sebagai faktor timbulnya korupsi, yaitu: §
Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya). commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
§
Rangsangan
dari
luar
(dorongan
teman-teman,
adanya
kesempatan, kurang kontrol). Sedangkan menurut Andi Hamzah mengiventariskan beberapa penyebab tindak pidana korupsi antara lain: §
Kurangnya
gaji
pegawai
negeri
dibandingkan
denagn
kebutuhan yang makin meningkat. §
Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.
§
Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien yang memberikan peluang orang untuk korupsi.
§
Modernisasi pengembangbiakan korupsi. Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah
keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah: (a) Keterikatan positif pada pemerinyahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi. (b) Administrasi yang efisien serta penyesuaian struktur yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi. (c) Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan. (d) Berfungsinya suatu sistem yang anti korupsi. (e) Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi.
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan dasar pelaksanaan
tugas
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia.
Sebelumnya, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepoisian Negara Republik Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3710) sebagai penyempurnaan dari UndangUndang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2289). Undang-Undang ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradap berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan penegasan watak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasatya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secra teknik profesi dan terutama hak asasi manusia. commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang ini menampung pula pengaturan tentang keanggotaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang meliputi pengaturan tertentu mengenai hak anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia baik hak kepegawaian , maupun hak politik, dan kewajibannya tunduk pada kekuasaan peradilan umum.Substansi lain yang baru dalam Undang-Undang ini adalah diaturnya lembaga kepolisian nasional yang tugasnya memeberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republil Indonesia sehingga kemandirian dan profesionalisme Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat terjamin. b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ini merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia karena sudah tidak sesuai lagi maka perlu
dilakukan
perubahan
secara
komprehensif
dengan
membentuk undang-undang ini. Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang disempurnakan, antara lain: 1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan
dalam
melaksanakan
fungsi,
tugas,
dan
wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaancommit lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan. 2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai
jenjang
pendidikan
dan
pengalaman
dalam
menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai denagn profesionalisme dan fungsi kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian , usia pensiun jaksa yang semula 58 tahun ditetapkan menjadi 62 tahun. 3) Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. 4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. 5) Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan mempunyai kewenangan untuik dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, peraturan ini yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum. Sebelum undang-undang ini, yang berlaku adalah ”Reglemen Indonesiayang dibaharui” atau yang terkenal dengan nama ”Het Herziene Inlandsch Reglement” atau H.I.R (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana ini wajib didasarkan pada falsafah/ pandangan hidup bangasa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi warganegara maupun asas-asas. Kitab Undang-Undang ini tidak saja memuat ketentuan tentang tatacara dari suatu proses pidana, tetapi kitab ini pun juga memuat hak dan kewajiban dari mereka yang ada dalam suatu proses pidana dan memuat pula hukum acara pidana Mahkamah Agung setelah dicabutnya undang-undang Mahkamah Agung (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1950) oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965. d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai suatu badan khusus pemberantasan tindak pidana korupsi yang selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
mempunyai
kewenangan
melakukan
koordinasi
dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi disamping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali di bentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam UndangUndang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan denagn Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku. e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan perubahan dari
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang ini ditambahkan mengenai ”pembuktian terbalik”. Selain itu diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatam perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan memperoleh kekuatan hukum commitpengadilan to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi itu diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dana atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Selanjutnya dalam Undang-Undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima
juta
rupiah).
Ketentuan
ini
dimaksudkan
untuk
menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Disamping itu dalam Undang-Undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai denagn asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka pemikiran Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Terjadi tindak pidana diatur oleh KUHP Penyelidikan diatur oleh KUHAP dilaksanakan oleh Kepolisian Penyidikan diatur oleh KUHAP dilaksanakan oleh Kepolisian & Kejaksaan
Tindak pidana khusus diatur dalam Undang-Undang tersendiri Tindak pidana korupsi diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor guna menemukan keselarasan dan keserasian kewenangannya
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain: Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 1. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hal ini termuat di dalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13, yaitu : a. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. b. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. c. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasakan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. e. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang. f. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Kepolisian merupakan segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas-tugas pokok tercantum di dalam Pasal 13, antara lain: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b. Menegakkan hukum, dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Didalam tugas pokok penegakkan hukum, Kepolisian Nagara Republik Indonesia mempunyai tugas dan wewenang salah satunya yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana. Hal tersebut diperjelas didalam Pasal 14 ayat (1) huruf g yang berbunyi commit to user ”Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Dalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Maka Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk juga tindak pidana korupsi. Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana sesuai ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) huruf g, h, dan i, dalam menjalankan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang antara lain melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang serat mencari keterangan dan barang bukti. Keterangan dan barang bukti yang dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya. Selain itu didalam Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa dalam menjalankan tugas yang dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; commit user dalam lingkungan jabatannya; c. Harus patut, masuk akal, dan to termasuk
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.
2. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kejaksaan Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan dari Pasal tersebut memperlihatkan dengan jelas akan kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu di dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan yang lainnya adalah melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Dalam hal ini dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Tidak dilakukan terhadap tersangka; b. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara; commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. d. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik. Berdasar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan RI
di dalam melakukan penegakkan hukum tidak diatur
mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyelidikan terhadap suatu tindak pidana karena kewenangan penyelidikan oleh Kejaksaan untuk menangani suatu tindak pidana seperti korupsi kewenangan penyelidikan tersebut telah melekat dengan kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Kejaksaan dalam menangani suatu tindak pidana. Pada umumnya, Kejaksaan mempunyai tugas utama adalah Penuntutan di bidang Peradilan Pidana termasuk didalamnya pada tindak pidana korupsi. Namun mengenai kewenangan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi, kewenangannya melekat pada kewenangan penyidikan. Disamping itu, untuk kesempurnaan penyelesaian suatu perkara pidana baik mengenai perkaranya itu sendiri maupun mengenai cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan hukum orang yang kena perkara yang selalu harus menajdi pedoman bagi para pejabat dalam mengerjakan perkara-perkara itu, jaksa perlu turut campur tangan di dalam segala tindakan-tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula perkara itu diungkap. Maka untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan penuntutan perkara itu pada sidang peradilan, jaksa perlu mempunyai wewenang penyidikan. Guna menjamin lancarnya penyidikan dan penuntutan
perkara-perkara
tindak
pidana,
sewaktu-waktu
jaksa
menganggap perlu dapat diadakan pertemuan dengan penyidik lainnya. Jaksa yang berfungsi sebagai penuntut umum, juga merupakan penyidik atau pengusut yang paling luas dan penting karena tugasnya pengusutan dari permulaan sampai akhir, penyidikan lanjutan dan commit to useralat penyidikan terhadap perkara mengawasi serta mengkoordinasikan
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
tertentu. Untuk itu jaksa wajib melengkapi berkas pemerikasaan perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Maka dalam perkara tindak pidana korupsi, pihak Kejaksaan juga mempunyai peran dalam hal melakukan penyidikan.
3. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam KUHAP Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Dari ketentuan Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 5 KUHAP dapat diperinci terhadap fungsi dan wewenang penyelidik adalah (Lilik Mulyadi, 2000:37-38): a. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan hukum dapat berupa: 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; 2) Mencari keterangan dan barang bukti; 3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal commit to user diri;
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan perintah penyidik dapat berupa: 1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 2) Pemeriksaan dan penyitaan surat; 3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang; 4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik c. Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik: Untuk itu, penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan yang dimaksud ”tindakan lain” adalah tindakan penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: 1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) Selaras
dengan
kewajiban
hukum
yang
mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan; 3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;dan 5) Menghormati hak asasi manusia. Sedangkan mengenai penyidikan atau ”opsporing” itu menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana ditentukan Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan mengenai syarat kepangkatan pejabat sebagaimana tersebut diatas berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) KUHAP dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dapat disebutkan bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi negara RI itu sekurangkurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang penyidikan
adalah berpangkat
sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Gol II/b) atau yang disamakan dengan itu. Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat pejabat penyidik berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi ke atas, maka berdasarkan Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatan adalah penyidik. Penyidik pejabat polisi negara tersebut ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain (Pasal 2 ayat (3), (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983). Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 diangkat oleh Menteri Kehakiman RI atas usul departemen yang membawahi pegawai tersebut. Wewenang pengangkatan ini dapat dilimpahkan (didelegasikan) Menkeh RI sebagaimana ditentukan Kepmenkeh
RI
Nomor:
M.08-UM.01.06
Tahun
1963
sebelum
pengangkatan tersebut dilakukan oleh Menkeh RI, terlebih dahulu meminta pertimbangan Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI. Adapun
apabila
dilihat
fungsi
dan
wewenang
penyidik
berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHAP maka dapat berupa: a) Penyidik pejabat polisi negara RI karena kewajibannya mempunyai wewenang: commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang adanya tindak pidana. 2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian. 3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka. 4) Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan
dan
penyitaan. 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. 6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. 7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka ataupun saksi. 8) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 9) Mengadakan penghentian penyidikan. 10) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab b) Penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaanya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Apabila melalui visi tugas dan wewenang, maka sebenarnya antara Penyelidikan dan Penyidikan merupakan fungsi yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metoda yang menyatu dengan fungsi penyidikan sebagaimana ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini (Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1982:27): ”Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan,melainkan hanya merupakan salah commit to sub userdaripada fungsi penyidikan, yang satu cara atau metoda atau
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan; tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan, antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.” Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu penyidikan diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang menjadi modus operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan tersangkanya.
4. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud ”kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait commit to dengan user perkara tindak pidana korupsi,
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
atau keadaan dan situasi apapun dengan alasan apapun (Ermansjah Djaja, 2008 : 185). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK mempunyai kekuatan ekstra dibandingkan aparat penegak hukum lainnya. Selain dapat melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan (fungsi yang selama ini dipegang oleh Polisi), KPK juga dapat melaksanakan fungsi penuntutan (fungsi yang selama ini di pegang oleh Kejaksaan). Berdasarkan alasan-alasan tertentu, KPK bahkan diberi kewenangan untuk mengambil alih proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas suatu tindak pidana korupsi yang sebelumnya ditangani oleh aparat penegak hukum lainnya (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk dilaksanakan sendiri oleh KPK. Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. c. Melakukan penyelidikan, peenyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Untuk menjelaskan Pasal 6 huruf a mengenai koordinasi tersebut maka Pasal 7 huruf a menyebutkan bahwa: ”Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam commit toPemberantasan user Pasal 6 huruf a, Komisi Korupsi berwenang
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.” Pasal 8 yang menyatakan tentang kewenangan Komisi pemberantasan Korupsi dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi tercantum dalam ayat (2), (3), (4) yaitu: (2) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korusi yang sedang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. (4) Penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 9 menyatakan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan : a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti. b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yangs esungguhnya. d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung korupsi. e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat commit to user dipertanggungjawabkan.
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 10 menyatakan bahwa: ”Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.” Pasal 11 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 12 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait. e. Memerintahkan
kepada
pimpinan
atau
atasan
tersangka
untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang dipriksa. h. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri. i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Sedangkan isi dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 juga mengenai ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 38 menyatakan bahwa: (1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi. (2) Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Pasal 39 menyatakan bahwa: (1) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi commit to user dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. (2) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 menyatakan bahwa: a. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. b. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi. c. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada commit to user peradilan militer dan peradilan umum.
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Ketentuan mengenai penyelidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Pengaturan mengenai penyelidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah sebagai berikut :
Pasal 43 (1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Pasal 44 (1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan
bukti
permulaan
yang
cukup
tersebut,
penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. (3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan. (4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau kejaksaan
wajib
melaksanakan
koordinasi
dan
melaporkan
perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi. b. Ketentuan mengenai penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Pengaturan mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah sebagai berikut : Pasal 45 (1) Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Pasal 46 (1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini. (2) Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka. Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan. Pasal 47 (1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan commit user Negeri berkaitan dengan tugasto penyidikannya.
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat : a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita. b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan penyitaan. c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut. d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan, dan e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut. (4) Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. Pasal 48 Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka. Pasal 49 Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti. Pasal 50 (1) Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut commitoleh to user telah dilakukan penyidikan kepolisian atau kejaksaan, instansi
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan
5. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 25 menyatakan bahwa: ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”. Di dalam penjelasan Pasal 25 disebutkan bahwa ”apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk commit to user didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
pada setiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Makna dari kalimat tersebut adalah penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana korupsi daripada penyelesaian penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana yang bukan tindak pidana korupsi. Walaupun pada dasarnya semua perkara hukum yang diproses sampai di sidang pengadilan harus dilakukan dengan cepat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penyelesaian perkara tindak pidana korupsi tetap harus didahulukan dibanding perkara tindak pidana yang lain walaupun perkara pidana yang lain tetap juga harus diselesaikan secepatnya sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 26 menyatakan bahwa: ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Didalam Pasal 26 tersebut yang dimaksud dengan ”hukum acara pidana yang berlaku” adalah: a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tersangka tindak pidana korupsi yang statusnya adalah masyarakat sipil. b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana korupsi yang statusnya adalah anggota militer. Adapun yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini” adalah bahwa yang menjadi dasar hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 28 menyatakan bahwa: ”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka”. Rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sama persis dengan rumusan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni: ”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka”. Pasal 29 menyatakan bahwa: (1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. (2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Jenderal Bank Indonesia sesuai dengan commit to user peraturan perundang-undangan yang berlaku.
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(3) Gubernur
Bank
Indonesia
berkewajiban
memenuhi
permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap. (4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi. (5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran. Di dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini bertujuan
untuk
meningkatkan
efektivitas
penyidikan,
penuntutan,
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait. Demikian pula dalam alinea ke-1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dijelaskan
bahwa
untuk
memperlancar
proses
penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Dengan berdasarkan kepada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa penyidik dan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 30 menyatakan bahwa: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
”Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi”. Dalam penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa: ”Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”. Pasal 33 menyatakan bahwa: ”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan padahal secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, KUHAP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Indonesia pada saat ini. Setiap pergantian periode kepemimpinan selalu to user menjanjikan akan melakukancommit tindakan hukum dalam pemberantasan tindak
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pidana korupsi. Namun tindakan pemberantasan tersebut selalu tidak berjalan dengan optimal sehingga tanda-tanda bahwa masalah korupsi telah dapat diatasi belum dapat dilihat secara nyata. Pemberantasan tindak pidana korupsi memang pada dasarnya tidak semudah apa yang kita pikirkan, karena korupsi seperti telah membudaya pada masyarakat negara kita. Sehingga secara bertahap, tindak pidana korupsi harus segera ditangani, setidak-tidaknya dapat berkurang dan harus dilenyapkan semua. Salah satu langkah penanganan masalah tindak pidana korupsi ini yaitu dengan pembentukan lembaga penanganan masalah tindak pidana korupsi yang dilakukan baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Selain itu, penanganan masalah korupsi juga diatur didalam beberapa peraturan tertulis yaitu dibentuknya peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi serta lembaga yang berwenang dalam penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi. Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan adanya proses penyelidikan dan penyidikan. Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dimana tindak pidana ini termasuk didalam tindak pidana khusus diatur baik didalam peraturan perundangundangan yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain: Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang to user Pemberantasan Tindak Pidanacommit Korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana terpadu, tidak lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk melaksanakan hukum meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana terpadu adalah melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara. Semenjak diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan hanya dalam hal tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana korupsi. Namun dalam hal kewenangan penyidikan yang di miliki oleh Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, didalam kewenangan penyidikan tersebut juga melekat kewenangan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi. Setelah lahirnya Undang-Undang Kepolisian yang baru tahun 2002 yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI membuat semakin rancu lagi kewenangan yang telah ada, dimana terdapat arahan bahwa polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan merupakan penyidik tunggal terhadap segala bentuk tindak pidana (baik tindak pidana umum maupun khusus). Pengaturan mengenai kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi menimbulkan pertentangan perundang-undangan yang melahirkan tumpang tindih kewenangan, sehingga timbul kesan perebutan penanganan perkara tindak pidana khusus, dalam hal ini perkara korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut dapat juga diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dengan diambil alihnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan dari Kepolisian atau Kejaksaan oleh KPK tidak menghilangkan permasalahan kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi, karena ketiga instansi tersebut secara yuridis-normatif sama-sama mempunyai kewenangan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Dengan hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari Kepolisian atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan penyelidikan dan penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, walau commit to user alasan tertentu, namun dirasakan pengambilalihan tersebut harus disebabkan
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
oleh Kepolisian atau Kejaksaan dalam menangani penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan prosedur serta tidak menimbulkan alasan tertentu yang dapat diambilalih penyelidikan dan penyidikan oleh KPK, KPK kadang memandang penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan baik oleh Kepolisian maupun Kejaksaan tersebut kurang baik sehingga perlu diambil alih penyelidikan dan penyidikannya. Pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu memang mempunyai kewenangan yang sama dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi karena kedua pihak tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Berlakunya Undang-Undang Kepolisian yang baru yaitu UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 dimana dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g menyebutkan : “Kepolisian Negara RI bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Pengaturan mengenai wewenang penyelidikan oleh pihak Kepolisian juga diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”. Sedangkan wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu: commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Hal ini berarti kewenangan penyelidikan dan penyidikan semua jenis tindak pidana termasuk tindak pidana khusus (tindak pidana korupsi) dimiliki oleh Kepolisian, padahal Kejaksaan juga mempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dimana didalam kewenangan penyidikan tersebut melekat pula kewenangan penyelidikan yang di lakukan oleh bagian Intelejen di tubuh Kejaksaan. Kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan dalam melakukan penyidikan diatur didalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang
Nomor
16
Tahun
2004
tentang
Kejaksaan
yang
menyebutkan : “Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Dimana dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan kewenangan tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan dari Pasal tersebut sehingga memperlihatkan dengan jelas akan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan diatas, maka baik Kepolisian maupun Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tehadap tindak pidana korupsi dan dalam hal kewenangan ini, kedua institusi tersebut mempunyai dasar hukum yang mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki baik oleh Kepolisian maupun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sesuai dengan yang telah dijelaskan diatas. Maka terlihat bahwa antara Kepolisian dan Kejaksaan memiliki kewenangan yang sama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat dianggap adanya tumpang tindih kewenangan dalam menangani suatu perkara. Meskipun kedua institusi tersebut mempunyai kewenangan yang sama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan kewenangan yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut diatur didalam peraturan perundangundangan yang didalamnya mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing institusi tersebut namun sesungguhnya tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan karena kedua pihak tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem peradilan pidana, Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini harus dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan baik dalam penanganan suatu tindak pidana (baik tindak pidana umum maupun khusus). Jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana terutama korupsi juga mempunyai landasan dasar hukum yaitu pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. KUHAP yang dikenal sebagai karya agung bangsa Indonesia karena telah melakukan perubahan fundamental dalam Hukum Acara Pidana melalui Undang-Undang No. 8 tahun 1981 perubahan fundamental tersebut antara lain di bidang Penyidikan. Pada waktu HIR Penyidikan dapat dilakukan oleh banyak instansi, kedudukan Jaksa sebagai Penuntut dapat sekaligus sebagai, Koordinator Penyidikan. Setelah berlakunya KUHAP wewenang Penyidikan dialihkan kepada Polri sebagai Penyidik Utama dan PPNS dengan kewenangan terbatas sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. Dalam pelaksanaan Penyidikan di bawah Koordinasi Penyidik commit to user Polri dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan Penyidikan
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Pasal 6, Pasal 7 ayat (2)), Pasal 107 dan Pasal 109 ayat (3) KUHAP. Ketentuan-ketentuan dalam KUHAP sudah merupakan sistem Peradilan Pidana Terpadu dan adanya saling kontrol dengan menempatkan para penegak Hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing. Pasal 284 KUHAP merupakan pasal mengenai Ketentuan Peralihan, suatu ketentuan untuk menjamin agar tidak terjadi kekosongan dalam hukum (rechts vacuum) dengan menghubungkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang yang lama HIR dan Undang-undang yang baru KUHAP. Fungsinya sebelum dapat dilaksanakannya seluruh ketentuan yang berada dalam Undang-undang yang baru, maka terbitlah Ketentuan Peralihan Pasal 284 KUHAP yang berbunyi : 1. Terhadap perkara yang ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan Undang-Undang ini. 2. Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan UndangUndang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UndangUndang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan Pasal 284 ayat (2) berbunyi : 1. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan. 2. Yang
dimaksud
sebagaimana
dengan
tersebut
ketentuan
pada
khusus
Undang-Undang
acara tertentu
pidana ialah
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain : a. Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955). b. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001). Dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undangcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Rumusan ayat (2) pasal 284 KUHAP dengan menjelaskan bahwa terhadap semua perkara setelah 2 (dua) tahun berlakunya KUHAP, mutlak dilakukan sebagaimana diatur oleh KUHAP. Adapun batasan-batasan terhadap pengecualian adalah bersifat sementara, sehingga kata “Sementara“ dan “Sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi“ merupakan keharusan untuk tidak membiarkan ketentuan-ketentuan tersebut tetap berlaku, dan harus segera disesuaikan dengan ketentuan KUHAP yang menginginkan adanya kodifikasi dan unifikasi. Peraturan pemerintah No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, dalam peraturan pemerintah ini mengenai penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 17 yang berbunyi: “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik Jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan ”. Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pasal ketentuan peralihan dari periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada penuntut umum sepanjang mengenai tindak pidana tertentu. Terlepas dari ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHAP khususnya mengenai peraturan peralihan yang disebut dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP sebab peraturan peralihan ini mempunyai kaitan yang agak khusus terhadap fungsi dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum. Karena peraturan peralihan pada ayat ( 2 ) melibatkan jaksa / penuntut umum sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu, justru jaksa yang berwenang melakukan penyidikan. Namun di dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “Dalam waktu 2 ( dua ) tahun setelah undang-undang ini, diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Dalam beberapa tindak pidana khusus, masih ada wewenang Jaksa melakukan penyidikan, oleh karena undang-undang tindak pidana khusus itu sendiri menyebut secara tegas tentang wewenang Jaksa melakukan penyidikan, seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain. Meskipun begitu, adanya pengecualian tersebut di atas sama sekali bukan berarti mengurangi keabsahan penerapan KUHAP sebagai hukum acara pidana bagi semua perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana khusus sepanjang tindak pidana khusus tersebut tidak mengatur sendiri hukum acaranya secara keseluruhan. Juga sama sekali tidak mengurangi prinsip diferensasi fungsional yang memberi wewenang tunggal kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai instansi yang diberi wewenang penyidikan. Berkaitan dengan hal tersebut apa yang diatur pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pengecualian atas prinsip umum diatas, dimaksudkan: 1. Untuk menjaga jangan terjadi kevakuman pelaksanaan penyidikan, disebabkan
undang-undang
tindak
pidana
khusus
sendiri
telah
melimpahkan wewenang penyidikan kepada jaksa / penuntut umum. Hal ini, disebabkan karena Polri saat itu tidak dapat menjangkaunya, sehingga bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam penegakan hukum. 2. Pengecualian ini tidak mengurangi arti prinsip-prinsip umum secara permanen dalam ketentuan Pasal 284 ayat (2), yakni: a) Pengecualian tersebut bersifat sementara. b) Hanya mengenai ketentuan-ketentuan khusus acara pidana yang terdapat pada undang-undang pidana khusus. c) Sampai adanya perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang commit to user dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dianggap perebutan kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan penyidikannya
maka
sebelumnya
antara
Kepolisian
dan
Kejaksaan
melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut. Selain itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam penanganan tindak pidana korupsi sebenarnya telah ada instansi-instansi yang telah mempunyai kewenangan berdasarkan hukum untuk menangani kasus korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, namun KPK ini dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dirasa belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999
jo
Undang-Undang Nomor
20
Tahun
2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai Ketentuan lain-lain yang menyebutkan bahwa: 1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. 4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang. Walaupun KPK memiliki kewenangan yang sama dengan Kepolisian dan Kejaksaaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi namun kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan juga penuntutan yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang tertera di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain: 1.
Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2.
Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3.
Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sehingga untuk tindak pidana korupsi yang tidak tergolong dalam ketiga kategori diatas penanganan penyelidikan dan penyidikannya dapat dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan walaupun tidak menutup kemungkinan juga tindak pidana korupsi yang tergolong dalam kategori diatas juga dapat ditangani oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan selama ada koordinasi antara ketiga instansi tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan, alasan pengambilalihan wewenang penanganan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang KPK yaitu: 1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. 4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi. 5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif. 6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tersebut maka Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Pasal 68 Undang-Undang KPK mengenai Ketentuan Peralihan juga menegaskan: “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”.
commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan 1. Pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundangundangan antara lain: a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hal ini termuat di dalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13. b. Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
dan
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana ditentukan Pasal 6 ayat (1) KUHAP. d. Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Pengaturan mengenai penyelidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 sedangkan pengaturan mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33. 2. Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan adanya proses penyelidikan dan penyidikan. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga negara antara lain: Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi tersebut diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana terpadu, tidak lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk melaksanakan hukum meteriil.
Posisi
melaksanakan
Kejaksaan
fungsi
dalam
penuntutan
peradilan terhadap
pidana suatu
terpadu
perkara.
adalah
Semenjak
diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan hanya dalam hal tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki baik oleh commitsuatu to user Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah hal yang dapat dianggap perebutan
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan penyidikannya maka sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut. Dengan hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari Kepolisian
atau
Kejaksaan,
KPK
dapat
melakukan
pengambilalihan
penyelidikan dan penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, walau pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu, hal ini diatur dalam Pasal 8, 9, dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidikan pada Pasal 26 yaitu dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku ataupun ditentukan lain dalam undang-undang tersebut.
B. Saran 1. Perlu adanya ketegasan dan pengaturan yang jelas mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Hukum Acara Pidana sehingga tidak terluhat adanya tumpang tindih kewenangan dalam menanganinya. 2. Adanya pembagian kewenangan antara Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK yang diatur secara jelas baik dalam Undang-Undang yang mengatur tiap instansi tersebut maupun di dalam Undang-Undang hukum acara pidana dan tindak pidana korupsi sehingga dapat tumbuh sinergisitas antar instansi commit to user tersebut dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.