Kewenangan mahkamah konstitusi dalam pengujian peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Daniek Okvita K. NIM E.0006097
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING i
Penulisan Hukum (Skripsi)
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANGUNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh DANIEK OKVITA K. NIM. E0006097
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 09 Juli 2010
Dosen Pembimbing
Co. Pembimbing
Aminah, S.H., M.H.
Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.
NIP. 195105131981032001
NIP. 197006212006042001
PENGESAHAN PENGUJI
ii
Penulisan Hukum (Skripsi) KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Oleh DANIEK OKVITA K NIM. E0006097 Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari
: Senin
Tanggal
: 26 Juli 2010
DEWAN PENGUJI 1. Sunarno Danusastro, S.H.,M.H. NIP. 194712311975031001 Ketua Penguji
: ………………………
2. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. NIP. 197006212006042001 Penguji I
: ……………………….
3. Aminah, S.H.,M.H. NIP. 195105131981032001 Penguji II
: ……………………….
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. NIP. 196109301986011001 PERNYATAAN
iii
Nama : Daniek Okvita K. NIM
: E0006097
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 10 Juli 2010 yang membuat pernyataan
Daniek Okvita K NIM. E0006097
ABSTRAK
iv
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendasar mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menerima, memproses, dan memutus perkara mengenai pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam hal dasar konstitusionalitas dan pertimbangan hukum para Hakim Mahkamah Konstitusi menguji pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum dalam konsep hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto, maka penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yang bersifat penelitian terhadap sistematik hukum dan penelitian terhadap perbandingan hukum. Bentuk penelitian ini ialah penelitian preskriptif dan terapan, yang mendapatkan saran guna mengatasi masalah. Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan undangundang, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi dokumen dan bahan pustaka melalui dokumen resmi (putusan), buku-buku literatur, peraturan perundangundangan, serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga negara yang berhak menafsirkan konstitusi telah menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun hal itu itu tidak ada landasan secara yuridisnya. Sebagai dasar hukumnya hanyalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukkan Perpu itu sejajar dengan undangundang, dengan didukung alasan-alasan hukum lain diantaranya penafsiran sosiologis yaitu akan kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi melakukan langkah progresif untuk mengamankan hukum dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang objek pengujiannya berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian pada perkara yang sama putusan tersebut dijadikan yurisprudensi dalam Putusan Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar.
v
Indonesia sudah seharusnya mengadopsi pula bahwa peradilan untuk segala peraturan perundang-undangan di Indonesia dijadikan satu atap di Mahkamah Konstitusi.
Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
ABSTRACT Daniek Okvita Kusumaningrum, E0006097. 2010. THE CONSTITUTIONAL COURT’S AUTHORITY IN REVIEW THE ACT-ALTERNATE GOVERNMENTAL REGULATION AGAINST INDONESIAN
vi
REPUBLIC’S 1945 CONSTITUTION. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. This research has a purpose to know deeper about the authority of constitution court in receiving, processing, and determining lawsuit of actalternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution, particularly in the term of constitutional foundation and legal deliberation of the Constitutional Court’s Judges in Review act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution. This research belongs to a law research type in the law concept what is determined by a judge in concreto, thus this research involves to normative law research—study both of systematic law and appealing law. The type of this research is prescriptive and applied methods to overcome the research problem. The research approaches cover law approach, case approach, and applied approach. The used data type is secondary data. The sources of the secondary data come from primary, secondary, and tertiary of law material. The data collecting technique is document study such as legitimate document, literature books, the written legislation and moreover, the data gathering technique comes from electronic media relating to the research. The data analyzing technique uses deductive logic which is started from major premise submission (general expression) and then cone to minor premise (particularity), then a conclusion is got from the both premises. Based on the discussion, there is a conclusion of the reseach that is Constitutional Court as the only state institution that has the right to construe t constitution has a power to do that the Constitutional Court is authorized to review the act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution, even though that matter has no base juridically. As the legal foundation there is Act Number 10 of 2004 about legislation formation setting up the legislation equal with the law which is supported by the other argumentations including sociology interpretation about the society need and legal certainty. The Constitutional Court commited progressive step to secure the law from authority manipulation potension. This matter has been proven by the presence of Constitutional court decision No 138/PUU-VII/2009 about the Review of ActAlternate Governmental Regulation Number 4 of 2009 about the Amendment of Act Number 30 of 2002 about concerning corruprion eradication committee about testing law surrogate of government regulation. Then at the same case that decision become jurisprudence in the court decision No 145/PUU-VII/2009 over about the Review of Act-Alternate Governmental Regulation Number 4 of 2008 about financial system safety net toward the constitutional. Indonesia shloud make any legislation justice under the umbrella of constitutional court. Keywords: Constitutional Court, Judicial Review, Act-Alternate Governmental Regulation.
vii
MOTTO
viii
“... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqaroh: 216)
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lau dirahasiakannya, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan kendali (di mulutnya) dari api neraka.” (HR. Abu Dawud)
Sepanjang hidup aku akan mengalami kemenangan dan kekalahan. Tapi aku tidak akan pernah menyesal, karena aku tahu bahwa telah menjadikan setiap saat dalam hidupku berarti. Terkadang kita harus mengalami kekalahan dulu untuk mencapai kemenangan. (Beth Wiliams)
Aku selalu siap untuk belajar; tapi aku tidak selalu suka untuk diajari. (Winston Churchil)
PERSEMBAHAN
ix
Karya kecil ini penulis persembahkan : ·
Allah SWT, Tiada Tuhan selain Engkau dan tiada sekutu bagi-Nya;
·
Rasul-ku
Muhammad
SAW,
suri
tauladan yang terbaik; ·
Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa tak
pernah
lelah
mendukung
mendo’akan
mengapai
dan
cita-cita,
kesuksesan dan kebahagiaanku; ·
Kakakku di surga, kau adalah inspirasi, dan adikku, kau adalah motivasi;
·
Keluarga
besarku
yang
selalu
mendoakanku; ·
Almamaterku, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
·
Semua guru dan dosenku yang telah mendidikku;
·
Semua orang-orang yang telah dengan tulus menyayangiku dengan caranya masing-masing;
KATA PENGANTAR
x
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang
atas
limpahan
nikmat-Nya
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) MAHKAMAH
KONSTITUSI
PEMERINTAH
DALAM
PENGGANTI
sehingga
penulis
dapat
dengan judul: “KEWENANGAN PENGUJIAN
PERATURAN
UNDANG-UNDANG
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. ALLAH SWT yang telah menciptakanku dan memberikan limpahan nikmat kepada penulis. 2. Nabi Besar Muhammad SAW, junjunganku dan juga suri tauladan yang terbaik. 3. Keluarga kecilku yang selalu menemani setiap detik hidupku, Ayahku tercinta Sutatmo, Bundaku tercinta, Sri Sulastri, Kakakku di surga, Danang Yanuar, Adikku Asa, terima kasih untuk yang selalu membahagiakanku. Tak bisa banyak ku kan memberi, namun lihatlah itu adalah sebagai ketulusan yang murni dari dasar hati ini. 4. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Ibu Aminah, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi sekaligus juga selaku Pembimbing Skripsi ini yang tidak lelah berbagi ilmu dan memberi masukan. 6. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H selaku Pembimbing Skripsi yang di dalam kesibukan beliau telah bersedia meluangkan waktu serta pikirannya untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya skripsi ini.
xi
7. Sunarno Danusastro, S.H.,M.H., selaku Ketua Penguji, terima kasih atas banyak masukan dan sarannya. 8. Ibu Diana Tantri C, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik terimakasih atas bimbingan, cerita, petuah hidup dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga kedepannya dapat penulis amalkan. 10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi. 11. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas bantuannya yang memudahkan penulis mencari bahan-bahan referensi untuk penulisan penelitian ini. 12. Segenap staff dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang selama ini telah memberikan pelayanan dan menjalin hubungan yang baik dengan penulis. 13. Keluarga besarku tercinta yang selalu mendoakan dan mendukungku. 14. Gadis-gadis tersayangku yang kan selalu ku nikmati detil keindahan dan canda tawa yang menyemarakkan dunia ini, untuk : Andryana Damayanti, Sheila Kusumah, Arifiati Dian, Erlina Hapsari, Arunda Fatetani, Isnana Ratnamurti, Kunthi Utami, Nino Bernyoman, dan Nunkie Hernawati. Kami tumbuh dewasa bersama dan saling membagi suka duka. 15. Rekan-rekan seperjuanganku yang telah berjuang bersama, Mutmaini, Anin, Andri, Agus, Farit, Amel, Ulin, mbak Fitri, mbak Nana, mbak Nunik, mbak Putri, mbak Atika, mas Rosyid, mas Tri Rahmat, mas Hendri, Nana, Pipin, Wisnu, Adel, Chandra, Angga, Dhaniar, Gilang, Afian, Mas Ibnu. Mari kita buat lembaran kehidupan yang lebih bermakna unutk dikenang di kemudian hari. Terima kasih atas dukungan dan segalanya, Mamox, Irson Argo, Sudadi, Irawan, David, Rio, Fajri, Doni.
xii
16. Sobat-sobat, Angkatan 2006, tali silahturahmi itu akan selalu terjalin kawan. Tanpa aku lupakan banyak hal dari Fakultas Hukum dari seluruh angkatan. Kaliyan menyenangkan. 17. BEM FH UNS dan KSP Principium tempat penulis menempa diri, mengabdi dan wadah bagi penulis untuk mengaktualisasikan diri selama menjadi mahasiswa, organisasi yang begitu berharga bagi penulis yang memberikan banyak pengalaman, persahabatan, kasih sayang, tanggung jawab dan banyak kisah yang tidak mungkin terlupakan. 18. Seluruh Guru serta teman-teman TK, SD, SMP, dan SMU yang telah menjadi bagian hidup penulis. 19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga sebuah karya kecil ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, 10 Juli 2010 Penulis,
Daniek Okvita K. E0006097
DAFTAR ISI Halaman
xiii
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
HALAMAN MOTTO .....................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................
viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Rumusan masalah ...................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ..................................................................
7
E. Metode Penelitian ...................................................................
8
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori…………………………………………….....
17
1. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi……….……………..
17
a. Istilah Konstitusi...........................................................
17
b. Pergertian Konstitusi....................................................
17
c. Sifat Konstitusi.............................................................
18
d. Substansi Konstitusi......................................................
19
e. Fungsi Konstitusi..........................................................
20
f. Perubahan Konstitusi.....................................................
21
g. Penafsiran Konstitusi....................................................
22
2. Tinjauan Tentang Umum Tentang Mahkamah Konstitusi..
25
a. Riwayat Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.......................................................................
25
b. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi......................................................................
xiv
26
c. Kewenagan Mahkamah Konstitusi...............................
27
d. Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi secara Rinci, khususnya Kewenangan Pengujian UndangUndang.........................................................................
28
e. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi..........................
29
1) Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi....
29
2) Hukum Acara Umum..............................................
30
3) Hukum Acara Khusus : Pengujian Undang-Undang
36
3. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Undang-Undang........
40
a. Pengertian Pengujian Undang-Undang........................
40
b. Tiga Model Utama Pengujian Undang-Undang...........
43
4. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang..................................................................
45
a. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang.........................................................................
45
b. Pengertian Undang-Undang.........................................
47
c. Pembandingan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan Undang-Undang...................
48
B. Kerangka Pemikiran................................................................
51
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945……..………………………………..
53
1. Amanat Konstitusi terhadap Kewenangan oleh Mahkamah
53
2. Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945...
61
a. Pengujian Undang-Undang Secara Materiil................
65
b. Pengujian Undang-Undang Secara Formil...................
67
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Sebagai
xv
Objek Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi.....
70
B. Pertimbangan-Pertimbangan Hukum Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945....... ……………………….
81
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................
86
B. Saran.......................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
90
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada Prinsipnya setiap negara harus berlandaskan pada sebuah sistem ketatanegaraan yang baik yaitu dalam penyelenggaraan pelaksanaan kehidupan ketatanegaraannya. Sistem ketatanegaraan antara negara yang satu dengan negara yang lain tentulah tidak sama persis karena setiap bangsa dan negara memiliki ciri khas dan karakter sendiri-sendiri. Sistem ketatanegaraan tersebut diantaranya meliputi sistem pemerintahan, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem politik, dan lain-lain yang berhubungan dengan berjalannya suatu negara. Terdapatnya ciri khas dan karakter tiap-tiap negara mendorong negara tersebut untuk mengkombinasikan beberapa sistem ketatanegaraan sehingga didapatkan sistem ketatanegaraan yang dirasa sesuai dengan kondisi negara tersebut. Hal ini boleh-boleh saja karena memang tidak ada standar baku yang harus diikuti, yang ada adalah standar/ norma-norma umum yang boleh dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Begitupula Indonesia, menganut sistem ketatanegaraan sendiri yang tentunya telah disesuaikan dengan kepribadian dan karakteristik Indonesia sebagai negara berdaulat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, kultur masyarakat, budaya, beragam etnis, serta terdiri dari ribuan pulau. Dalam rangka mencari sistem ideal yang menampung beragam kepentingan dan unsur-unsur keberagaman Indonesia tersebut, sistem ketatanegaraan kita telah mengalami banyak perubahan fundamental dari masa ke masa. Indonesia dalam sepanjang sejarahnya mengalami berbagai perubahan dalam hal sistem ketatanegaraan namun tetap mempunyai pedoman yang kokoh, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak akan mengalami perubahan, karena jikalau menglami perubahan adalah sama dengan membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila ialah sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di
xvii
Indonesia. Sedangkan UUD 1945 ialah sebagai pedoman tertinggi pelaksanaan penyelenggaraan negara, atau yang disebut Konstitusi (dalam arti sempit). Indonesia juga menganut asas pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Ketiganya memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang jelas dan terang diatur dalam Konstitusi. Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan seluruh yang disebut pemerintah yang menjalankan pemerintahan. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan yang membuat legislasi atau undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan yudikatif di Indonesia ada pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung adalah kekuasaaan yudikatif yang membawahi peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan agama. Sedangkan Mahkamah Konstitusi, sering disebut sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution) yaitu mengawal tetap tegaknya pelaksanaan konstitusi secara benar dan lurus. Mulanya perdebatan mengenai pengujian produk hukum berupa undangundang itu menjadi kewenangan siapa yang akhirnya memunculkan gagasan perlu adanya lembaga baru untuk menanganinya. Mahkamah Agung adalah satu-satunya lembaga kekuasaan yudikatif tertinggi yang ada di Indonesia, sebelum adanya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung hanya berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Undang-undang adalah produk hukum dari dua lembaga tinggi negara, yaitu Presiden dan DPR, sehingga ada yang berpendapat tidak mungkin bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang bisa diuji, hanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang boleh mengujinya, yang merupakan lembaga tertinggi negara pada saat itu. Pertimbangan lain, bahwa undang-undang yang dikeluarkan oleh dua lembaga tinggi negara tidak boleh diuji oleh lembaga tinggi negara yang setingkat. Maka dalam perubahan UUD 1945 ketiga dibentuklah sebuah lembaga tinggi negara di bidang yudikatif yang bertugas menangani hal tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi. Selain itu MPR juga diposisikan sebagai lembaga tinggi negara biasa yang
xviii
setingkat dengan lembaga negara lainnya dan bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Lalu dengan adanya perubahan Konstitusi tersebut berarti sedikit banyak telah mengubah sistem ketatanegaraan yang ada. Salah satu perubahannya adalah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dan lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai tambahan kekuasaan yudikatif. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang terbentuk atas perubahan Konstitusi ketiga pada tahun 2001. Kata “Mahkamah Konstitusi” telah disebutkan pada Pasal 24 UUD 1945, dan dijabarkan kemudian pada Pasal 24C. Pasal 24C ayat (1) berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.” Pada ayat (2)-nya menyatakan tentang satu kewajiban dari Mahkamah Konstitusi yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau yang biasa disebut impeachment. Dilihat dari namanya sudah terdapat kata “Konstitusi” maka kewenangan dan kewajibannya keseluruhan berhubungan dan diatur dengan Konstitusi. Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi, “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewengannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Selanjutnya atas amanat Konstitusi tersebut, berbagai proses dilaksanakan untuk membentuk suatu lembaga baru tersebut. Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, kemudian disepakati oleh Pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu pula, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan tersebut maka dikenallah kemudian satu lagi lembaga
xix
tinggi negara, yaitu Mahkamah Konstitusi. “Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rangka mewujudkan negara demokrasi yang berdasarkan hukum sebagaimana termaksud dalam Pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” (Muhammad Bahrul Ulum dan Dizar Al Farizi, 2009:84). Mahkamah Konstitusi sangat dikenal dengan salah satu kewenangannya, yang memang menjadi dasar awal pembentukannya, yaitu pengujian undangundang (PUU) terhadap UUD. Gagasan mengenai PUU ini adalah guna perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara yang merasa dirugikan dengan adanya norma pada undang-undang. Oleh karena itu, secara awam Mahkamah Konstitusi dikatakan adalah lembaga yang hanya untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar walaupun sebenarnya Mahkamah Konstitusi masih punya kewenangan yang lain sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi yaitu memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, membubarkan partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta satu kewajibannya untuk memberikan putusan atas pendapat DPR tentang impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sesuai Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, permohonan pengujian undangundang itu dapat berupa pengujian materiil dan pengujian formil. Perkembangannya pengujian undang-undang ini ternyata tidak sebatas pada permasalahan umum seperti kedudukan hukum (legal standing) pemohon ataupun implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi. Adanya pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi menjadi sorotan menarik. Bahwasannya secara yuridis hal ini tidak diatur tetapi ada dalam prakteknya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan menguji undang-undang, tidak ada tambahan frasa “atau
xx
peraturan yang setingkat”. Praktek ketatanegaraan ini dapat saja terjadi, hal ini juga diungkapkan Thomas Poole, ”Judicial review has become normal or normalized, then, a basic accoutrement of the rule of law within a constitutional democracy. (This does not mean that it has become uncontroversial. Public law being a form of politics, it could hardly be so). But a competing, anti-normalizing tendency is fast becoming a defining theme of 21st century politics.” (Thomas Poole: 2010) Pengujian Perpu terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi juga memunculkan analisis mengenai perbandingan Perpu dibandingkan undangundang. Karena sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukkan Perpu itu sejajar dengan undang-undang, bahwa Perpu itu satu nafas dengan undang-undang. Maka analisis berikutnya ialah mencari persamaan serta perbedaan diantara Perpu dan undang-undang baik secara materiil dan formil, yang menjadi salah satu dasar Mahkamah Konstitusi dapat menguji Perpu. Pengujian Perpu juga dapat diajukan untuk pengujian materiil dan pengujian formil, karena notabene-nya pengujian Perpu adalah sama dengan pengujian undang-undang biasa. Dengan alasan tersebut maka Mahkamah Konstitusi telah menerima, memproses, hingga memutus Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada pro dan kontra dibalik pengujian Perpu ini oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa apakah memang Mahkamah Konstitusi itu benar-benar berwenang dalam pengujian undang-undang yang objeknya berupa Perpu. Dengan adanya praktek pengujian Perpu melalui Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 menandakan seakan-akan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan yang baru yaitu pengujian terhadap objek berbentuk Perpu. Mahkamah Konstitusi dipandang menyalahi secara yuridis, namun dibenarkan dengan unsur sosiologis yaitu kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum. Maka sebagai pembenaran pula,
xxi
putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 akan menjadi yurisprudensi pada perkara yang sama nantinya oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dibuktikan pada Putusan Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar yang menggunakan yurisprudensi dari Putusan Perkara Nomor 138/PUUVII/2009. Pengujian Perpu terhadap UUD 1945 telah terjadi pada prakteknya diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Terdapat hal-hal penting dan menarik berkaitan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu terhadap UUD 1945 yang kemudian telah menginspirasi Penulis untuk menganalisis lebih mendalam dan secara yuridis melalui penelitian yang berjudul “Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
Dalam
Pengujian
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah terurai di atas maka secara spesifikasi, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa dasar konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? 2. Apa pertimbangan-pertimbangan hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian pada prinsipnya harus memiliki suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan arah yang tepat dalam pelaksanaan penelitian. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
xxii
1. Tujuan Objektif a. untuk mengetahui yang menjadi dasar secara konstitusionalitas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan-pertimbangan hukum bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Tujuan Subjektif a. menambah dan mengembangkan pengetahuan, wawasan, serta kemampuan penulis dalam mengkaji permasalahan yang berada pada lingkup bidang hukum tata negara, khususnya mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. c. menerapkan ilmu dan teori yang telah didapat serta dipelajari selama masa perkuliahan.
D. Manfaat Penelitian Dengan adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan, sehingga memberikan nilai dan daya guna pada hasil penulisan hukum ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis mengharapkan adanya manfaat dari penulisan hukum ini ialah: 1. Manfaat Teoritis
xxiii
a. hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya seta bidang ilmu hukum tata negara pada khususnya. b. hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam kepustakaan mengenai Mahkamah Konstitusi tertuama dalam hal pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. hasil penelitian ini nantinya dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-penelitian yang sejenis dan berkaitan.
2. Manfaat Praktis a. memberikan jawaban dan penjelasan atas permasalahan yang diteliti. b. menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penalaran serta membentuk pola pikir ilmiah.
E. Metode Penelitian Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, konsep hukum itu ada lima yaitu (1) Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (law as what ought to be). Tipe kajiannya adalah filsafat hukum, metode penelitian logika-deduksi, berpangkal pada premis normatif. (2) Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Tipe kajiannya ajaran hukum murni yang mengkaji law as it is written in the books, metode penelitian doktrinal, logika deduksi dan berorientasi positif. (3) Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto, tersistematisasi sebagai judge made law. Mengkaji law as it is decides by judges through judicial
xxiv
processed, metode penelitian doktrinal, non doktrinal, logika induktif. (4) Hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel sosial yang empiris. Tipe kajiannya sosiologi hukum, mengkaji law as it is in society, metode penelitian non doktrinal, penelitinya menggunakan sosiolog orientasi struktural. (5) Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Tipe kajian sosiologi atau antropologi hukum, mengkaji law is it is in (human) action, non-doktrinal. Pada angka (1), (2), dan (3) merupakan penelitian hukum normatif (norma), sedangkan angka (4) dan (5) merupakan penelitian hukum empirik (sosial). Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum dalam konsep hukum yang ketiga, yaitu hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto, tersistematisasi sebagai judge made law. Karena pada dasarnya hal yang akan diteliti adalah suatu peristiwa hukum yang tidak diatur yuridis namun ada dalam prakteknya dan itu hasil dari yang diputuskan hakim. Penelitian ini masuk dalam angka (3) sehingga penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif.
2. Sifat Penelitian Sesuai pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup (Soerjono Soekanto, 2001: 3-14): 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum 2. Penelitian terhadap sistematik hukum 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal 4. Penelitian terhadap perbandingan hukum 5. Penelitian terhadap sejarah hukum. Menurut uraian tersebut, penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang mempunyai sifat
xxv
penelitian terhadap sistematik hukum dan perbandingan hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum yaitu kedudukan sederajat Perpu dan UU sesuai UU Nomor 10 Tahun 2004. Penelitian terhadap perbandingan hukum yaitu dalam hal ini membandingkan analisis formil dan analisis materiil terhadap Perpu dan UU.
3. Bentuk Penelitian Berdasarkan teori Soetiono (Makalah S2: Macam-Macam Penelitian), yakni bentuk penelitian itu terdiri dari diagnostik, preskiptif, dan evaluatif. Bentuk penelitian yang sesuai dengan penelitian hukum ini adalah penelitian preskriptif atau terapan, yaitu penelitian untuk mendapatkan saran guna mengatasi masalah. Begitu pula dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki bahwa ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22). Penelitian ini diawali mencari sebab yang diakhiri dengan mencari saran atas masalah yang ada. Sebab sebagai permulaan ialah dengan diterima, diproses, dan diputusnya pengujian Perpu terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian menjadi pro dan kontra terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu, oleh karena itu akan dibahas saran dan teori tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu tersebut.
4. Pendekatan Penelitian Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach) yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Jhonny Ibrahim, 2007: 299). Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan
xxvi
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Jhonny Ibrahim dari kelima pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut (Jhonny Ibrahim, 2005: 246). Penelitian hukum ini menurut beberapa pendekatan di atas yang paling relevan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan mendekati masalah yang akan diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian hukum ini hukum dikonsepkan sebagai norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Pengkajian dilakukan hanya terbatas pada peraturan tertulis terkait pokok dari permasalahan yang diangkat. Pendekatan undang-undang (statute approach) itu didasarkan pada empat undangundang dan satu putusan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Putusan Mahkamah
Konstitusi
Perkara
Nomor
138/PUU-VII/2009.
Untuk
pendekatan kasus (case approach), diambil dari isi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009, terutama pada pendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) para hakim yang terdapat pada lampiran putusan. Pendekatan perbandingan (comparative approach) yaitu membandingkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang secara analisis materiil dan analisis formil yang meliputi
xxvii
perbandingan
kewenagan
judicial
review
dengan
negara
lain,
perbandingan UU dan Perpu, serta pembedaan uji materiil dan uji formil.
5. Jenis Data Penelitian Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku referensi, jurnal, makalah, artikel intenet, dan sebagainya yang berkaitan serta mendukung pokok bahasan yang dikaji.
6. Sumber Data Penelitian Sumber data yang diambil sesuai dengan penelitian hukum ini ialah sumber data sekunder. Sebagaimana data sekunder mencakup (Soerjono Soekanto, 2006: 52): a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam penelitian hukum ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari norma atau kaedah dasar, ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan,
serta
Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai obyek penelitiannya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku referensi terkait kasus yang diteliti, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
xxviii
hukum, jurnal hukum, makalah hukum dan media cetak (koran, majalah). c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dapat berupa artikel internet, ensiklopedia, maupun kamus.
7. Teknik Pengumpulan Data Penelitian hukum ini didasarkan pada teknik pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka ini meliputi usaha-usaha pengumpulan data dengan cara mendatangi perpustakaan, dengan membaca, mengkaji, dan mempelajari dokumendokumen resmi bahan penelitian, buku-buku referensi, karangan ilmiah terutama di bidang hukum, artikel hukum, makalah, dan sebagainya yang berkaitan pokok bahasan yang akan dibahas dan dikaji.
8. Teknik Analisis Data Pada teknik analisis data, penelitian hukum ini menggunakan teknik analisis dengan logika deduktif. Jhonny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernand Areif Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang individual (Jhonny Ibrahim, 2006: 249). Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan major (pernyataan bersifat umum), kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47). Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif ialah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian mengerucut pada bagian yang lebih khusus, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal yang lebih spesifik tersebut. Sehingga pada hal yang
xxix
umum ialah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undangundang, hal yang khususnya terjadi praktek pengujian terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diatur secara formil.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika pemulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari empat bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta patokan dari karya ini. Berupa pijakan perkembangan kewenangan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang yang objeknya ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang secara formil tidak diatur. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini mengenai Tinjaun Pustaka berisi subbab Kerangka Teori dan subbab Kerangka Pemikiran. Pada Kerangka Teori memuat berbagai pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga memudahkan para pembacanya. Dimulai dari tinjaun mengenai Konstitusi, Negara Hukum, Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undnag-Undang (Judicial Review), dan Peraturan Pengganti Undang-Undang
(serta
pembandingannya
dengan
Undang-
Undang). Pada subbab Kerangka Pemikiran, dibuat sebuah bagan untuk menyederhanakan pola pikir serta alur arah dari tulisan ini.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
xxx
Bab ini merupakan bab inti dan paling penting. Memaparkan dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju. 1. Dasar konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang
terhadap
pembentukan
UUD
Mahkamah
1945.
Mencakup
Konstitusi
terutama
landasan dalam
kewenangannya pengujian undang-undang. Analisis pula mengenai pembandingan antara UU dan Perpu. Dari hal tersebut, didapat hasil bahwasannya substansi Perpu ialah sama dengan UU sehingga kedudukan Perpu sederajat dengan UU. Dibandingkan pula dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain. Maka dari hal-hal tersebut terdapat dasar mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu. 2. Pertimbangan-pertimbangan hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini, penulis menggunakan salah satunya studi kasus pada Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari putusannya didapat
data
mengenai
berbagai
pertimbangan
Hakim
Konstitusi dalam menguji Perpu (adanya concerring opinion dan dissenting opinion). Serta didukung berbagai teori yang kuat guna mendukung kedudukan atas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu.
BAB IV
: PENUTUP
xxxi
Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan tetap harus merujuk pada pokok rumusan masalah yang ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan. Untuk saran, lebih bersifat universal yang memunculkan ide untuk menciptakan keadaan lebih baik terutama dalam kaitannya dengan inti dari penulisan ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori a. Tinjauan Umum tentang Konstitusi a. Istilah Konstitusi Istilah konstitusi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, hanya saja konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis. Hal Ini terbukti faham Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang biasa. Perbedaan di antara dua istilah tersebut yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada. Istilah konstitusi itu sendiri pada mulanya berasal dari perkataan bahasa Latin, constitution yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip (Jimly Asshiddiqie, 2006:119).
b. Pengertian Konstitusi Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal
xxxii
(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undangundang yang menjadi dasar (ground) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar. Undang Undang Dasar (Konstitusi) adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pembatasan ini adalah kutipan dari alinea pertama Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Undang undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis sedang disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum
dasar
yang
timbul
dan
terpelihara
dalam
praktek
penyelenggraan negara, meskipun tidak tertulis”. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. (Jimly Asshiddiqie, 2006:35). Sedangkan C.S.T Kansil mengartikan UUD 1945 adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada Peraturan Perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh negara itu (Indonesia). (C.S.T Kansil, 1984: 59). Konstitusi di satu pihak (a) menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain, (b)
memberikan
legitimasi
terhadap
kekuasaan
pemerintahan.
Konstitusi juga (c) berfungsi sebagai instrument untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) (Jimly Asshiddiqie, 2006:24).
c. Sifat Konstitusi
xxxiii
Dalam teori ilmu hukum, konstitusi dikenal memiliki sifat yang flexible (luwes) atau rigid (kaku), tertulis dan tidak tertulis. 1) Flexible dan rigid Sifat konstitusi yang flexible atau rigid ditentukan dengan dua kriteria, yaitu: a) Dari cara merubah/ perubahan konstitusi. Suatu konstitusi dikatakan bersifat flexible (luwes), apabila prosedur atau cara perubahannya tidak diperlukan cara-cara yang istimewa, yakni cukup dilakukan badan pembuat Undang-Undang biasa. Sebaliknya suatu konstitusi dikatakan rigid (kaku) perubahannya mensyaratkan dengan cara yang istimewa, misalnya dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum. b) Apakah konstitusi itu mudah ataukah sulit untuk mengikuti perkembangan zaman. Konstitusi yang bersifat flexible adalah konstitusi yang dengan
mudah
mengikuti
perkembangan
zaman,
dan
sebaliknya konstitusi yang rigid adalah konstitusi yang sulit untuk mengikuti perkemangan zaman. 2) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis Suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam satu atau beberapa naskah, sedangkan yang disebut dengan konstitusi tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu yang mengatur suatu pemerintahan, akan tetapi dalam banyak hal diatur dalam konvensi (kebiasaan) atau undangundang biasa, yang tingkatnya lebih rendah dari konstitusi itu sendiri. Satu-satunya negara yang mempunyai konstitusi yang tidak tertulis hanyalah Inggris, namun prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam konstitusi di Inggris dicantumkan dalam Undang-Undang biasa, seperti misalnya Bill Of Right.
xxxiv
d. Substansi Konstitusi Dengan demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut (B. Hestu Cipto Handoyo, 2003:41-42): 1) terjaminnya perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak asasi manusia daspek individu (klasik) maupun aspek sosial politik (HAM modern). 2) pemisahan kekuasaan. Untuk mempertegas unsur ini, maka mekanisme hubungan
antar
lembaga tinggi
negara harus
dimasukkan di dalam konstitusi. 3) legalitas
pemerintahan.
Tidak
dapat
dipungkiri
bahwa
pemerintahan (dalam arti luas) berdasarkan rambu-rambu hukum sangat dibutuhkan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan yang ada. 4) peradilan yang bebas. Konstitusi harus mengakomodasi persoalan ini, khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum dalam tataran implementasi. Tidak retorika politik semata.
e. Fungsi Konstitusi Dengan demikian, menurut penulis, fungsi-fungsi konstitusi dapat dirinci sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, 2006:27-28): 1) fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara. 2) fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara. 3) fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga negara. 4) fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. 5) fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara. 6) funsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).
xxxv
7) fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity of nation). 8) fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony). 9) fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang social dan ekonomi. 10) fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat (social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas.
f. Perubahan Konstitusi Perubahan itu dirasa perlu, seperti halnya dalam UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 37. Manakala salah satu atau beberapa pasalnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sudah dirasa tidak mampu lagi memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi masyarakat. Tetapi bicara kapan seharusnya suatu konstitusi itu perlu dirubah, maka persoalannya lebih terletak dalam bidang politik ketimbang hukum tata negara. Karena itu betapapun sukarnya suatu konstitusi untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa menghendaki, maka perubahan itu dapat diwujudkan. Sebaliknya batapapun mudahnya suatu konstitusi itu untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa tidak menghendaki perubahan, maka konstitusi itu tidak akan pernah dirubah. Untuk merubah suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar itu tergantung pada bunyi pasal perubahan dalam konstitusi/ UndangUndang Dasar tersebut. Sesuai dengan pembagian konstitusi flexible dan rigid, maka sudah tentu bagi konstitusi yang tergolong flexible jauh lebih mudah untuk dirubahnya, sehingga K.C. Wheare mengatakan perubahan perubahnnya cukup dengan “the ordinary legislative process” seperti di New Zealand. Sedangkan untuk konstitusi yang tergolong rigid, menurut Sri Soemantri yang
xxxvi
berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut: 1) oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu. 2) oleh rakyat melalui suatu referendum. 3) oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk negara serikat. 4) dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan. Begitu juga dengan Ismail Suny mengemukakan dalam sebuah karangannya, bahwa proses perubahan konstitusi dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu: 1) perubahan resmi. 2) penafsiran hakim. 3) kebiasaan ketatanegaraan/ konvensi. Dalam praktek ketatanegaraan, kebiasaan ketatanegaraan sering berfungsi merubah ketentuan yang telah ada, meskipun sebenarnya kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan tersebut,
tetapi
dalam
praktek
karena
berlakunya
kebiasaan
ketatanegaraan, maka ketentuan tersebut menjadi huruf mati atau tidak diikuti. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan tersebut akan berlaku kembali, manakala kebiasaan ketatanegaraan itu ditinggalkan.
g. Penafsiran Konstitusi Jon Roland, salah seorang senator Amerika Serikat yang memiliki intensi yang tinggi terhadap hukum konstitusi telah mengemukakan
prinsip-prinsip
mengenai
penafsiran
konstitusi
(Principles of Constitutional Interpretation) dibedakan 7 (tujuh) prinsip,
yaitu
(http://yancearizona.files.wordpress.com/2008/11/
penafsiran-mk-terhadap-pasal-33-uud-1945.pdf): 1) Textual
xxxvii
Penafsiran tekstual didasarkan pada kata-kata yang aktual dari hukum tertulis, jika makna dari kata-kata tersebut tidak ambigu. Penafsiran tekstual adalah penafsiran yang tidak lari dari teks atau naskah hukum tertulis. Penafsiran ini bersifat restriktif karena membatasi penafsiran pada ketentuan yang telah ada dari teks tertulis yang akan ditafsirkan. Disamping penafsiran restriktif, penafsiran letterlijk/ harafiah, arti kata atau istilah, penafsiran gramatikal, bahkan penafsiran otentik dapat dimasukkan sebagai bagian dari penafsiran tekstual. 2) Historical Dalam Penafsiran Historis atau Historical Interpretation, keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang aktual dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan kepada pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah dan pengesahan undang-undang tersebut, demikian juga terhadap konstitusi atau aturan dasar. Kadang-kadang penafsiran ini disebut sebagai sejarah legislasi, dan untuk putusan pengadilan disebut sejarah kasus. Suatu analisa tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan dengan analisa sejarah. 3) Functional Functional interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat berupa keterkaitan secara horizontal, sesama undang-undang, maupun yang bersifat vertikal. Disamping meninjau keterkaitan antara norma hukum, functional interpretation juga mempertimbangkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi suatu undang-undang. 4) Doctrinal Doctrinal interpretation melakukan penafsiran berdasarkan sumber-sumber hukum, yaitu dari sesuatu yang dianggap sebagai sebuah doktrin. Doktrin-doktrin tersebut lahir pada masa lalu,
xxxviii
didasarkan kepada praktik yang berlaku atau pendapat hukum dari ahli hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi pengadilan. Namun hal tersebut harus dibedakan dengan penafsiran berdasarkan sejarah (historical interpretation), karena doktrin dimaknai kaidah-kaidahnya yang berlaku lama. 5) Prudential Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum atau kepentingan para pihak (masyarakat) dalam perkara, seperti memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat publik, efisiensi kinerja pemerintah, menghindarkan dari pengaruh banyak hal, atau dari tekanan politis, seperti satu pertimbangan, menghindari mengganggu suatu kegiatan suatu lembaga, juga motivasi yang utama untuk metoda yang berkenaan dengan doktrin. juga meliputi seperti pertimbangan apakah suatu kasus adalah "siap" diputuskan, atau apakah perbaikan yang administratif menjelang diambil keputusan. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dikategorikan menggunakan metode penafsiran prudensial, antara lain putusan pengujian Undang-undang APBN berkaitan prioritas alokasi anggaran pendidikan sedikitnya sebesar 20% dari total APBN. Undang-undang APBN yang tidak secara eksplisit memprioritaskan anggaran pendidikan sebesar 20% adalah bertentangan dengan Undang Undang Dasar, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta membatalkan ketentuan Undangundang APBN yang belum meletakkan 20% dari total APBN untuk anggaran pendidikan, karena bila ketentuan itu dibatalkan, maka akan diberlakukan Undang-undang APBN tahun lalu yang lebih sedikit persentasenya untuk anggaran pendidikan. 6) Equitable Penafsiran Ekuitabel atau Equitable Interpretationa bisa juga disebut penafsiran etis. Dimana keputusan didasarkan pada
xxxix
perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari para pihak, dan apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan apa hukum (tertulis). Sering kali ditempatkan pada kasus di mana fakta tidak cukup untuk mengantisipasi atau memadai dari pembuat undangundang. Ciri pokok dari equitable interpretation adalah adanya dua atau lebih variabel yang dipertimbangkan oleh hakim. 7) Natural Dalam Penafsiran Natural, Keputusan didasarkan pada apa yang diwajibkan atau anjuran dari hukum yang alamiah, atau barang kali dari sifat-sifat dasar manusia, dan pada apa yang bersifat jasmaniah atau secara ekonomis mungkin atau dapat dilakukan, atau pikiran yang bersifat aktual. Penafsiran yang bersifat natural ini dapat dilihat dari putusan-putusan hakim yang memaparkan benda-benda secara alamiah, baik itu perilaku manusia maupun kejadian alam.
b. Tinjauan Umum tentang Mahkamah Konstitusi a. Riwayat Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi yang membahwa kejatuhan pemerintahan orde baru di tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat drastis dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Diawali dengan perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999, yang membatasi masa jabatan Presiden hanya untuk dua kali masa jabatan, dan penguatan DPR yang memegang kekuasaan
membentuk
undang-undang,
telah
disusul
dengan
perubahan kedua yang telah mengamandir UUD 1945 lebih jauh lagi. Perubahan kedua meliputi banyak hal, tetapi yang paling menonjol adalah dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA. Perubahan ketiga telah membawa perubahan lebih jauh dengan diperintahkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dapat diberhentikan dalam
xl
masa jabatannya karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum dengan tidak hanya melalui proses politik, tetapi harus terlebih dahulu melalui proses hukum dalam pemeriksaan dan putusan MK yang menyatakan kesalahannya atas pelanggaran hukum yang dituduhkan. Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) pada waktu itu, yang tidak pernah terjadi secara mulus melalui proses konstitusional yang baik, merupakan kondisi sosial politik yang telah mendorong lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Perubahan ketiga UUD 1945 juga mengadopsi pembentukan MK
sebagai lembaga yang
berdiri sendiri disamping MA dengan kewenangan yang diuraikan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal
III
dibentuknya MK
Aturan
Peralihan
UUD
1945
memerintahkan
selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.
Sebelum dibentuk, segala kewenangan MK
dilakukan oleh MA.
Tanggal 13 Agustus 2003 UU MK disahkan, kemudian tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik, dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003 (Maruarar Siahaan, 2006:8-10).
b. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi Mengenai kedudukan, tugas, fungsi, visi dan misi Mahkamah Konstitusi, penulis mengutip pada buku karangan Abdul Mukhtie Fadjar yang berjudul “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”, yaitu sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:118-120): Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kedudukan MK adalah: a) merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman; b) merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan c) sebagai penegak hukum dan keadilan.
xli
Sedangkan tugas dan fungsi MK berdasarkan Penjelasan Umum UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution). Atas dasar kedudukan, tugas, dan fungsi MK tersebut, maka visi dan misi MK dirumuskan dalam Blue Print MK sebagai berikut: a) Visi MK: Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. b) Misi MK: Ø Mewujudkan
Mahkamah
Konstitusi
sebagai
salah
satu
kekuasaan kehakiman yang terpercaya. Ø Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.
c. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Untuk mengawal konstitusi, MK mempunyai kewenangan menangani
perkara-perkara
konstitusi/ketatanegaraan
tertentu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut: a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; b) memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara; c) memutus pembubaran partai politik;
xlii
d) memutus perselisihan hasil pemilihan umum; e) memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
(selanjutnya
disebut
impeachment). Dengan demikian, perkara-perkara ketatanegaraan lainnya, seperti pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, dan impeachment DPRD terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, tidak termasuk dalam kewenangan MK, melainkan menjadi kewenangan MA, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:120).
d. Pelaksanaan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi secara Rinci, khususnya Kewenangan Pengujian Undang-Undang. Pelaksanaan kewenangan konstitusional MK secara rinci adalah sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:120-121): Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945: a) Diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU MK dan telah dilengkapi dengan PMK Nomor 06/PMK/2005; b) Subyek hukum yang dapat menjadi pemohon adalah: i) perorangan WNI, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; iii) badan hukum publik atau privat; atau iv) lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/ kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945; c) Obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah undangundang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian mengenai apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai
xliii
atau tidak dengan ketentuan UUD 1945, dan pengujian secara materiil, yaitu pengujian mengenai apakah materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945; Dalam kurun waktu dua tahun usia MK telah dilakukan pengujian tidak kurang dari 65 undang-undang, dengan putusan ada yang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, tidak diterima, dan ada yang ditolak.
e. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 1) Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Menurut mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, asasasas dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi itu ialah sebagai berikut (Maruarar Siahaan, 2006:63-78): a) Persidangan Terbuka untuk Umum Pasal 40 ayat (1) UU MK menentukan secara khusus bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas hakim. b) Independen dan Imparsial Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. c) Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Murah Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan
xliv
penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon tidak dikenal dalam acara MK. Semua biaya yang menyangkut persidangan di MK dibebankan pada biaya negara. d) Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem) Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di peradilan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa mempunyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing. e) Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan Mekanisme
constitutional
control
harus
digerakkan
pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK memeriksa tanpa diajukan dengan satu permohonan. f) Ius Curia Novit Dengan kata lain bahwa pengadilan dianggap mengetahui hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak perkara karena berpendapat hukumnya tidak jelas.
2) Hukum Acara Umum Hukum Acara Umum MK yang dimuat dalam Pasal 28 s.d. Pasal 49 UUMK mencakup pengaturan hal-hal sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:129-138): a) Susunan hakim dan sifat persidangan (Pasal 28 UUMK): 1) Dalam keadaan biasa, MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam Sidang Pleno MK dengan 9 (sembilan)
xlv
orang hakim, kecuali dalam keadaan luar biasa Sidang Pleno MK dengan 7 (tujuh) orang hakim. 2) Sidang Pleno MK dipimpin oleh Ketua MK, kecuali apabila Ketua MK berhalangan. Apabila Ketua dan Wakil Ketua MK berhalangan pada waktu bersamaan, Sidang Pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota MK (ayat 3). 3) Sifat persidangan MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang sifatnya tertutup dan rahasia [Pasal 40 ayat (1)]. Bahkan apabila persidangan MK tersebut untuk pembacaan/ pengucapan putusan, jika sifat terbuka untuk umum tidak terpenuhi berakibat putusan MK tidak mempunyai kekuatan hukum [Pasal 28 ayat (5) dan (6)]. 4) Panel Hakim: Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) UU MK, sebelum sidang pleno, MK dapat membentuk Panel Hakim yang anggotanya minimal 3 (tiga) orang hakim Konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
b). Pengajuan Permohonan (Pasal 29 s.d. Pasal 31 UUMK): 1) Semua perkara yang diajukan ke MK dilakukan secara tertulis dalam bentuk permohonan, bukan gugatan. Selain itu, yang secara eksplisit disebutkan ada pihak Termohon hanyalah
untuk
sengketa
kewenangan
konstitusional
lembaga Negara, sedangkan untuk pembubaran partai, perselisihan hasil pemilu, dan impeachment adanya pihak Termohon bersifat implisit, dan bahkan untuk pengujian konstitusionalitas
undang-undang
tidak
ada
pihak
Termohon, DPR dan Pemerintah (Presiden) hanya pemberi keterangan sebagai pembentuk undang-undang.
xlvi
2) Permohonan harus dalam bahasa Indonesia, dibuat dalam rangkap 12 (dua belas), dan ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya. 3) Permohonan wajib menguraikan dengan jelas mengenai perkara apa yang dimohonkan. 4) Permohonan minimal harus memuat identitas Pemohon, uraian tentang dasar/alasan permohonan (posita) terkait perkara Konstitusi tersebut Pasal 30, dan hal yang diminta untuk diputus (petitum), serta didukung alat bukti (Pasal 31). Alat bukti surat/dokumen cukup fotocopy yang sudah dilegalisasi (oleh notaris atau Panitera MK/Peradilan Umum) dan dibubuhi materai secukupnya sesuai ketentuan perundang-undangan.
c). Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang (Pasal 32 sd. 35 UUMK): 1) Panitera MK memeriksa kelengkapan permohonan, bagi yang belum memenuhi ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UUMK wajib melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan
kekuranglengkapan
tersebut
diterima
pemohon, sedangkan bagi yang telah lengkap dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (Pasal 32 UUMK). 2) Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara (Pasal 33 UUMK). 3) Setelah permohonan diregistrasi dalam BRPK, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, MK menetapkan hari sidang pertama (Pasal 34).
xlvii
4) Permohonan dapat ditarik kembali oleh pemohon, sebelum atau selama masih dalam pemeriksaan MK yang berakibat permohonan tidak dapat diajukan kembali oleh Pemohon (Pasal 35).
d). Alat Bukti (Pasal 36 sd 38 UUMK) : 1. Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak ialah : a) surat atau tulisan; b) keterangan saksi; c) keterangan ahli; d) keterangan para pihak; e) petunjuk; dan f) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu [Pasal 36 ayat (1) UUMK]. 2. Alat bukti huruf a harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, jika tidak, maka alat bukti tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah yang ditentukan oleh MK dalam forum perisidangan MK [Pasal 36 ayat (2), (3), dan (4)]. 3. Alat bukti yang diajukan ke persidangan dinilai oleh MK dengan memperhatikan kesesuaian alat bukti yang satu dengan yang lain (Pasal 37). Menurut Penjelasan Pasal 37 yang dimaksudkan alat bukti di sini adalah alat bukti berupa petunjuk. 4. Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan MK [Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2)]. 5. Para pihak yang merupakan lembaga Negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 38 ayat 3). 6. Saksi yang telah dipanggil secara patut menurut hukum tidak hadir tanpa alasan yang sah, dapat dihadirkan secara paksa oleh MK dengan bantuan polisi.
xlviii
e). Pemeriksaan Pendahuluan (Pasal 39 UUMK) Sebelum pemeriksaan pokok perkara, melalui Panel Hakim (khususnya untuk perkara pengujian konstitusionalitas undang-undang mengadakan
dan
perselisihan
sidang
hasil
Pemeriksaan
Pemilu),
Pendahuluan
MK untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, serta
wajib
memberi
nasihat
kepada
Pemohon
untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Pemeriksaan Pendahuluan terbuka untuk umum.
f). Pemeriksaan Persidangan (Pasal 40 s.d. Pasal 44 UUMK) 1. Persidangan MK terbuka untuk umum [Pasal 40 ayat (1)]. 2. Dalam
persidangan,
hakim
Konstitusi
memeriksa
permohonan, alat-alat bukti, para pihak yang berperkara, keterangan pihak terkait (ad informandum), dan keterangan lisan dan/atau tertulis lembaga Negara yang terkait dengan permohonan yang wajib menyampaikan penjelasan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim Konstitusi diterima (Pasal 41 UUMK). 3. Saksi dan ahli
yang dipanggil wajib hadir untuk
memberikan keterangan (Pasal 42); 4. Pemohon dan/atau Termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu (Pasal 43), apabila didampingi bukan oleh kuasanya, harus ada surat keterangan khusus yang diserahkan kepada hakim Konstitusi dalam persidangan (Pasal 44).
g). Putusan (Pasal 45 s.d. Pasal 49 UUMK)
xlix
1) Prosedur pembuatan putusan (Pasal 45) sbb. : a) MK memutus berdasarkan UUD 1945, sesuai alat bukti dan keyakinan hakim; b) Putusan MK yang mengabulkan minimal didasarkan 2 (dua) alat bukti; c) Putusan MK wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; d) Putusan diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) secara musyawarah untuk mufakat; e) Dalam
RPH
setiap
hakim
wajib
menyampaikan
pendapat hukum (legal opinion); f) Dalam hal musywarah RPH tidak mencapai mufakat, diadakan RPH berikutnya; g) Dalam hal RPH setelah berusaha sungguh-sungguh tetap tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak; h) Apabila pengambilan putusan dengan suara terbanyak tidak tercapai, suara terakhir ketua sidang RPH menentukan; i) Putusan MK dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak; j) Dalam hal putusan tidak tercapai dengan mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam putusan (dissenting opinion). 3) Putusan MK ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera (Pasal 46). 4) Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 47).
l
5) MK memberi putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 6) Struktur putusan MK harus memuat (Pasal 48 ayat 2): a) kepala
putusan
BERDASARKAN
berbunyi:
“DEMI
KETUHANAN
KEADILAN
YANG
MAHA
ESA”; b) identitas pihak; c) ringkasan permohonan; d) pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; e) pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; f) amar putusan; dan g) hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera. 7) MK wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam tenggat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 49).
3) Hukum Acara Khusus : Pengujian Undang-Undang Dalam hal ini karena hanya akan dikhususkan pada kewenangan pengujian undang-undang, maka hukum acara khusus yang akan dipaparkan juga hanya sebatas hukum acara khusus mengenai pengujian undang-undang yaitu sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:138-144): Prosedur pengujian konstitusionalitas undang-undang (Pasal 50 s.d. 60). Prosedur
pengujian
konstitsionalitas
undang-undang
mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Undang-undang
yang
dapat
Wewenang MK (Pasal 50):
li
dimohonkan
pengujian/
Pasal 50 UU MK telah membatasi undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji MK, yaitu undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945; menurut Penjelasan Pasal 50 yang dimaksud “setelah perubahan UUD 1945” adalah setelah Perubahan Pertama, yaitu tanggal 19 Oktober 1999. Namun setelah diucapkannya Putusan Perkara No. 066/PUUII/2004 pada tanggal 12 April 2005, MK berwenang menguji semua undang-undang yang dimohonkan ke MK.
b) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon [Pasal 51 ayat (1) UUMK]: Pasal 51 ayat (1) UUMK telah menentukan tentang siapa subyek hukum yang memiliki legal standing untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yaitu: 1) perorangan warga negara Indonesia (WNI) termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; atau 2) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI; atau 3) badan hukum publik
atau privat; atau 4)
lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya (menurut Penjelasan, “hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”) dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap dirugikan tersebut dalam permohonannya [Pasal 51 ayat (2) UUMK].
c) Jenis pengujian undang-undang: Ada 2 (dua) jenis pengujian
undang-undang
pengujian, yaitu:
lii
yang
dapat
dimohonkan
1) Pengujian formal (formele toetsings), yaitu pengujian mengenai apakah pembentukan sebuah undang-undang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945; 2) Pengujian materiil (materiele toetsings), yaitu pengujian apakah materi muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang (termasuk Penjelasannya) bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 51 ayat 3 huruf b). Pemohon harus menguraikan dengan jelas tentang jenis pengujian undang-undang yang dimohonkan; jika pengujian formal yang dimohonkan, petitumnya menyebut keseluruhan undang-undang yang dimohonkan pengujian dibatalkan, tetapi jika yang dimohonkan pengujian materiil, maka hanya pasal, ayat,
dan/atau
bagian
undang-undang
yang
dianggap
bertentangan dengan pasal-pasal tertentu UUD 1945 yang dalam petitum dimohonkan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, harus diuraikan dengan jelas pula posita atau alasan/ argumentasi hukumnya.
d) Proses pengujian: 1) Permohonan
yang
telah
diregistrasi
dalam
BRPK
disampaikan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja diregistrasi (Pasal 52). Mengapa disampaikan kepada DPR dan Presiden, karena menurut UUD 1945, DPR dan Presiden adalah pembentuk undang-undang yang perlu mengetahui bahwa undangundang bentukannya sedang diuji di MK dan perlu didengar keterangannya (Pasal 54), tetapi tidak berstatus sebagai Termohon. 2) MK juga memberitahu MA tentang adanya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diregistrasi dalam
liii
BRPK (Pasal 53), karena ada kemungkinan undang-undang yang sedang diuji tersebut adalah undang-undang yang menjadi batu uji sebuah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujian di MA [vide Pasal 24A ayat (1) UUD 1945]; 3) Selain DPR dan Presiden (Pemerintah), MPR juga dapat didengar keterangannya terutama terkait dengan risalah rapat mengenai maksud perubahan pasal dalam UUD. Keterangan MPR, DPR, dan Presiden berupa keterangan tertulis dan lisan, serta dapat dilengkapi alat bukti tulis/surat dan keterangan saksi dan ahli (Pasal 54 UU MK); 4) dalam praktek juga dapat didengar keterangan pihak terkait (ad informandum) dan bahkan pihak terkait tersebut juga dapat mengajukan saksi dan ahli; 5) Pemohon, DPR, Pemerintah, dan pihak terkait juga diberi kesempatan mengajukan kesimpulan akhir.
e) Putusan: 1) Amar putusan terhadap permohonan yang tidak memenuhi syarat kewenangan MK dan legal standing menyatakan “permohonan tidak dapat diterima (niet onvanvankelijk verklaard)” [Pasal 56 ayat (1) UUMK]. 2) Amar putusan terhadap permohonan yang beralasan menyatakan “permohonan dikabulkan” [Pasal 56 ayat (2) UUMK], dan MK menyatakan dengan tegas materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 [Pasal 56 ayat (3) UUMK], serta menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat (1) UUMK].
liv
3) Amar putusan terhadap permohonan pengujian formal yang terbukti pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 menyatakan “permohonan dikabulkan [Pasal 56 ayat (4) UUMK]” dan menyatakan bahwa undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat (2) UUMK]. 4) Amar putusan terhadap permohonan pengujian undangundang yang baik pembentukan (uji formal) maupun materi muatannya (uji materiil) yang tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945 menyatakan “permohonan ditolak [Pasal 56 ayat (5) UUMK]”. 5) Putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan [Pasal 57 ayat (3) UUMK]. 6) Putusan MK mengenai pengujian konstitusionalitas undangundang disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA (Pasal 59 UUMK).
f) Lain-lain: 1) Undang-undang yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 58 UUMK), jadi dalam hal ini tidak dikenal putusan sela. 2) Berlaku asas “nebis in idem”, yaitu bahwa materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (Pasal 60 UUMK).
c.
Tinjauan Umum tentang Pengujian Undang-Undang
lv
a. Pengertian Pengujian Undang-Undang Dari beberapa buku yang saya baca, tidak ada secara detail mendefinisikan tentang pengujian undang-undang (judicial review). Namun yang banyak dibahas ialah mengenai peristilahannya. Karena masih diperdebatkan dan menuai pro-kontra mengenai istilah yng sebaiknya dipakai, yaitu antara istilah pengujian konstitusional (constitutional review) dan hak uji (judicial review). Meskipun di Indonesia, istilah yang digunakan yaitu pengujian undang-undang (judicial review). ‘Judicial review’ lebih luas dari dari ‘constitutional review’ karena objek yang diujinya tidak hanya mengenai produk hukum berbentuk
undang-undang,
tetapi
mencakup
pula
peraturan
perundang-undangan. Tetapi, ‘judicial review’ dapat pula mencakup pengertian yang lebih sempit, karena subjek yang mengujinya hanya hakim atau lembaga judicial, sedangkan ‘constitutional review’ bisa lebih luas tergantung lembaga mana yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar suatu negara (Jimly Asshiddiqie, 2005:4). Istilah ‘judicial review’ jelas tidak sama dengan ‘constitutional review’, dan berbeda pula dengan pengertian ‘judicial preview’ seperti dalam sistem Perancis. Kalau orang berbicara mengenai hak atau kewenangan untuk menguji, maka baru kita dapat menggunakan istilah hak untuk menguji atau hak uji, yang dalam bahasa Belandanya disebut ‘toetsingsrecht’. Jika hak uji (toetsingsrecht) itu diberikan kepada hakim, maka namanya ‘judicial review’ atau review oleh lembaga peradilan. Jika kewenangan untuk menguji itu diberikan kepada lembaga legislatif, maka namanya bukan ‘judicial review’ melainkan ‘legislative review’. Jika yang melakukan pengujian itu adalah pemerintah, maka namanya tidak lain dari ‘executive review’, bukan ‘judicial review’ (Jimly Asshiddiqie, 2005:6). Dari pendapat Prof. Jimly tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengujian undang-undang yang ada di Indonesia diistilahkan ‘judicial
lvi
revew’. Karena dilakukan oleh lembaga peradilan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sedangkan objek dari pengujiannya ialah undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengertian dari hak menguji lebih banyak ditemukan. Meskipun dalam hal ini hak menguji itu kemudian dibedakan menjadi hak menguji materiil dan hak menguji formil, dengan pengertian masingmasing. Istilah hak menguji (toetsingsrecht) dan judicial review terlebih dahulu dikemukakan untuk menghindari silang pendapat yang berkaitan dengan penggunaan kedua istilah ini. Istilah toetsingsrecht berasal dari bahasa Belanda, yang berarti hak menguji, sedangkan judicial review berasal dari bahasa Inggris, yang berarti peninjauan oleh lembaga peradilan. Pada dasarnya, kedua istilah ini mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau (Iriyanto A. Baso Ence, 2008:102-103). Sedangkan pada literatur lain, arti hak menguji (judicial review) adalah hak untuk menguji apakah suatu peraturan perundangan itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang tingkatannya lebih tinggi (Muh. Ridhwan Indra, 1987:133). Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan istilah tetapi maksud dan tujuannya adalah sama yaitu kekuasaan untuk menguji suatu ketentuan undang-undang apakah bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi. Serta adanya perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan penghargaan terhadap konstitusi sebagai norma dasar. Baik di dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji, yaitu: 1) hak menguji formal (formale toetsingsrecht) 2) hak menguji material (materiele toetsingsrecht) Yang dimaksud dengan hak menguji formal ini adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti
lvii
undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku atau tidak. Sedang, hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sri Soemantri, 1982:5-8). Definisi dari Sri Soemantri sangat menjadi pedoman bagi adanya wacana
hak
menguji,
sehingga
banyak
tulisan-tulisan
yang
mendasarkan pada pengertian beliau. Pengertian tersebut masih bersifat
umum,
dititkberatkan
yang
kepada
oleh
Dr.
masalah
Wirjono apakah
Prodjodikoro,
SH
Undang-Undang
itu
bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan Moh. Kusnardi dan Bintan R. Siragih, SH menambahkan nilai rohaniah terhadap suatu peraturan perundangan apakah peraturan itu sudah logis atau bermanfaat sehingga dapat dipertanggungjawabkan (Samsul Wahidin, 1984:6-7). Sebagaimana pula pengertian dari Sri Soemantri di atas yang kemudian dikemukakan oleh Suripto dalam suatu tulisannya di artikel internet. Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material
tersebut,
maka
dapat
diartikan
bahwa
(Suripto,
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=116&id=518&option=com _content&task=view): 1) hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD. 2) hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki eksekutif.
lviii
b. Tiga Model Utama Pengujian Undang-Undang Sampai dengan sekarang, setidaknya sudah lebih dari 100-an negara di dunia yang telah mengadopsikan sistem pengujian kostitusional
(constitutional
review).
78
negara
diantaranya
membentuk lembaga khusus untuk menjalankan fungsi pengujian itu, sementara di negara-negara lainnya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang sudah ada sejak sebelumnya. Dari beberapa model pengujian yang ada di dunia terdapat tiga model yang dapat disebut paling penting yaitu Model Amerika Serikat (Supreme Court), Model Austria (Bunderverfassungsgerichtshof),
dan
Model
Perancis
(Coensil
Constitutionnel). Berikut penjabaran masing-masing model tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2005:93-147):
a) Model Amerika Serikat Model “Judical Review” menurut tradisi Amerika Serikat didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803. Dalam model ini, pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan status sebagai the Guardian of the Constitution. Karena itu, penerapan sistem ‘judicial review’ atau ‘constitutional review’itu tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada.
b) Model Austria Proses
pengujian
konstitusionalitas
dalam
model
ini
dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-hakimnya yang mempunyai keahlian khusus di bidang ini. Lembaga Mahkamah Konstitusi ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang berwenang menjalangkan ‘constitusional
lix
review’ dengan kedudukan yang tersendiri di luar Mahkamah Konstitusi dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-cabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas politik. Model inilah yang dianut oleh Indonesia, dengan membentuk lembaga baru dalam rangka menjalankan kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Di kebanyakan negara dengan sistem hukum civil law memang menggunakan model ini dengan berlandaskan pada centralized system. c) Model Perancis UUD Perancis tahun 1958 menentukan adanya lembaga baru yang disebut ‘Conseil Constitutinnel’, melengkapi lembaga peradilan tertinggi di bidang hukum administrasi yang sudah ada sejak sebelumnya, yaitu “Conseil d’Etat”. Sejak dibentuk, lembaga inilah yang sering dikaitkan dengan ‘Mahkamah Konstitusi’ Perancis, meskipun sebutannya adalah ‘dewan’ (conseil), bukan ‘mahkamah’ (cour).
d. Tinjauan Umum tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) a. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Definisi awal mengenai peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu) didapatkan dari berbagai peraturan perundangan tertulis. Dalam UUD 1945 dapat dijadikan sumber adalah pada Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1). Pasal 5 ayat (2) berbunyi, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.” Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
lx
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 sebelum amandemen
menyatakan,
"Pasal
ini
mengenai
noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.” Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUD 1945 tersebut, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, ditetapkan oleh Presiden tanpa mendapat persetujuan dari DPR terlebih dahulu. Persetujuan DPR diberikan setelah Perpu ditetapkan, yaitu “dalam persidangan berikut ”meskipun dari sini masih disangsikan atas dua hal yaitu apa yang dimaksud dengan “keadaan kegentingan yang memaksa” dan kapan jangka waktu dari “persidangan berikutnya” yang harus merujuk pada Peraturan Tata Tertib DPR (Rosjidi Ranggawidjaja, 1998:71). Definisi kedua terdapat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.” Di samping Undang-Undang yang merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Indonesia, dikenal pula adanya peraturan yang mempunyai hierarkhi setungkat dengan UndangUndang yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945 (Maria Farida Indrati S., 2007:191).
lxi
Untuk memudahkan, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang ini biasanya disingkat “Perpu”. Dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang disebut dengan istilah “undang-undang darurat”. Kecuali terhadap sebutannya yang berlainan, tidak ada perbedaan yang prinsipil antara Perpu menurut UUD 1945 dan undang-undang darurat menurut Konstitusi RIS dan UUDS 1950 itu (Jimly Asshiddiqie, 2006:209).
b. Pengertian Undang-Undang (UU) Sebagaimana pada definisi Perpu, definisi UU terdapat pada peraturan perundangan, yaitu terdapat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka
3
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2004
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi, “Undangundang adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.” Dalam bukunya, Maria Farida Indrati memberikan pengertian Undang-Undang sebagai berikut: “Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden seperti ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 UUD 1945.” Pasal 5 ayat (1) berbunyi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Sedangkan, pada Pasal 20: (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
lxii
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Sebagai suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden) UndangUndang merupakan peraturan perundangan tertinggi, yang di dalamnya telah dapat dicantumkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa, serta merupakan peraturan yang sudah dapat langsung berlaku dan mengikat umum (Maria Farida Indrati S., 2007:186). Undang-undang
itu
selalu
berisi
segala
sesuatu
yang
menyangkut kebijaksanaan kenegaraan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar di bidang-bidang tertentu yang memerlukan persetujuan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Produk undang-undang ini merupakan bentuk hukum peraturan yang paling tinggi statusnya di bawah Undang-Undang Dasar (Jimly Asshiddiqie, 2006:204-205).
c. Pembandingan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dengan Undang-Undang (UU) Dalam hal membandingkan antara UU dan Perpu ini yang menjadi dasar hukum ialah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sesuai tata urutannya bahwa kedudukan UU dan Perpu ini adalah sederajat, satu nafas, jelas tercantum pada jenis dan hierarkhi pada Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
lxiii
2) Undang-Undang/
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-
Undang; 3) Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden; 5) Peraturan Daerah. Pertimbangan kedua pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu pada materi muatannya, yang tercantum pada Bab III. Pasal 9 berbunyi, ”Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang sama dengan materi muatan Undang-Undang.” Ketentuan tersebut sinkron pula pada Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 (sebelum amandemen) diuraikan, bahwa Perpu merupakan implementasi
“hak
untuk
membentuk
peraturan
darurat”
(noodverordeningsrecht) dari Presiden. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu “exeption”, dengan harapan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Jadi pengecualiannya hanya pada proses atau tata cara pembentukan, bukan pada substansi. Oleh karena Perpu tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya, ini menunjukkan bahwa substansi Perpu adalah sama dengan substansi Undang-Undang. Oleh sebab itu pula kedudukan Perpu sama atau sederajat dengan Undang-Undang (Rosjidi Ranggawidjaja, 1998:72). Dari ketentuan Pasal 22 UUD 1945 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang (Maria Farida Indrati S., 2007:191). Dasar yang lain dalam pembandingan UU dan Perpu ialah mengenai fungsinya, sebagaimana ditulis Maria Farida Indrati. Perpu
lxiv
merupakan
peraturan
perundang-undangan
yang
mempunyai
kedudukan setingkat dengan undang-undang. Berdasarkan alasan tersebut, maka fungsi Perpu adalah sama dengan fungsi UU, yaitu (Maria Farida Indrati S., 2007:215-221): 1) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang tegas-tegas menyebutnya. Sebagai
contoh
:
Pasal
2
(1)
tentang
susunan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Pasal 6 (2) tentang syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6A (5) tentang tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 2) Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945. Fungsi ini dirumuskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 alinea IV. 3) Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya. 4) Pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti: a) organisasi, tugas dan susunan lembaga (tinggi) negara b) tata hubungan antara negara dan warga negara dan antara warga negara/ penduduk timbal balik.
lxv
2. Kerangka Pemikiran MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
KEWENANGAN
UUD 1945 Pasal 24C ayat (1)
UU MK Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (1) huruf a
UU KK Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 29 ayat (1) huruf a
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)
PERBANDINGAN PERPU DAN UU (UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
Analisis Formil
Analisis Materiil
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI PERPU lxvi
Keterangan:
Berdasarkan bagan di atas dapat menggambarkan lebih jelas alur berprosesnya penelitian ini. Pada kata umumnya ialah mengenai Mahkamah Konstitusi, berada pada kotak paling atas, karena penelitian pada dasarnya akan menganalisis tentang Mahkamah Konstitusi. Hal apa yang akan dianalisis lebih lanjut ialah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Ada empat kewenangan dan satu kewajiban dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun hanya terkait kewenangan pengujian undangundang (judicial review) yang menjadi pokok pembahasan. Karena kewenangan Mahkamah
Konstitusi
pengujian
undang-undang
ini
telah
mengalami
perkembangan, yaitu munculnya pengujian terhadap objek berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal ini terbukti dengan diterimanya dan diprosesnya Perkara 138/PUU-VII/2009 mengenai permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pengganti Undang-Undang ini tidak diatur secara formil namun ternyata ada prakteknya. Berdasarkan hal tersebut, analisis dimulai dari pembandingan UU dan Perpu. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum atas pembandingan UU dan Perpu tersebut. Dari situlah disimpulkan bahwa kedudukan UU dan Perpu itu adalah sederajat, substansi dari Perpu ialah sama dengan UU. Analisis terdiri dari analisis materiil dan analisis formil, yang dalam hal ini mencakup pula pengujian Perpu ini dilihat dari uji materiil dan uji formil Mahkamah Konstitusi. Analisis semakin diperkuat dengan pembandingan dengan lxvii
sistem
peradilan
peraturan
perundnag-undangan
di
negara-negara
lain.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pengganti Undang-Undang menjadi pro dan kontra dalam pelaksanaannya, berbagai alasan menjadi dasarnya. Keadaan inilah yang menjadi titik fokus penulisan ini yang akan memaparkan, apa yang menjadi dasar konstitusional kewenangan serta pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1. Amanat Konstitusi terhadap Kewenangan oleh Mahkamah Konstitusi Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kemudian dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 (2) dan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR 9 November 2001. Permasalahan yang diatur adalah soal kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi serta beberapa hal mengenai hakim konstitusi. Pengaturan lebih lanjut
lxviii
mengenai Mahkamah Konstitusi dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, dan telah disetujui dalam bentuk UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU Mahkamah Konstitusi yaitu menyangkut masalah pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan oleh UUD, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan Mahkamah Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi diletakkan sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung. Sedangkan Pasal 24C (1 & 2) mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antarlembagaa negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pembubaran politik. Selain itu, wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Menegaskan kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan
kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menengakkan hukum dan keadilan. Pasal 3 menentukan Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitution) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (interpreter of constitution). Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan
lxix
Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, setiap
penyelenggaraan
pemerintahan
selalu
terbangun
oleh
dan
berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan konstitusi. Dengan konsekuensi itu juga Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Begitu pula yang dikatakan Mariangela Benedetti pada jurnalnya yang berjudul Global Judicial Review: A Remedy Against Fragmentation?, “This protection concerns the subsequent moment to the accomplishment of the discretion power. It has judicial power because it is carried out in front of specific bodies, which have the power to review the legitimacy of the measure, or the behavior, taken by the public administration.” Oleh karenanya Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dan pelindung HAM (the protector of human rights). Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia. Upaya pembentukan Mahkamah Konstitusi bukan sesuatu yang mudah terimplementasi dalam realitas kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Pada tingkat internasional, perkembangan politik di negara yang tengah mengalami proses transisi politik pada periode 1990-an seperti Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Ceko, telah mengakomodasi
lxx
pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusinya dan pada sistem kekuasaannya. Alasan utama berbagai negara itu membentuk Mahkamah Konstitusi dapat dijamin konsistensinya dan adanya mekanisme yang memungkinkan terjadinya kontrol terhadap kekuasaan agar tidak mengingkari
nilai
dasar
yang
diatur
dalam
konstitusi.
Dalam
perkembangan nasional, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu (Iriyanto A. Baso Ence. 2008:113): a. ada lack of authority, karena dalam sistem hukum di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur limitatif soal hak uji materiil (undangundang terhadap konstitusi). Oleh karena itu, berbagai undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah dipersoalkan; b. ada fakta politik terjadinya kelembagaan antara lembaga kepresidenan dan DPR, yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan pengangkatan Ketua Mahkamah Agung; c. adanya pandangan bahwa Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga lainnya untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan lainnya di luar Mahkamah Agung. Beberapa faktor pemicu pembentukan Mahkamah Konstitusi secara teoritis atau praktis dapat dipahami dan cukup rasional. Terbatasnya hak uji materiil Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya belum dilandasi oleh pertimbangan filosofis dan sosiologis, tetapi lebih mengedepankan aspek yuridis dan politisnya. Dilihat dari segi yuridis, terbatasnya kewenangan hak uji materiil oleh Mahkamah Agung karena adanya komitmen membagi kekuasaan semata. Namun faktor ketiadaan mekanisme yang mengatur hak uji materiil undang-undang terhadap konstitusi dan faktor keberadaan Mahkamah Agung yang belum sepenuhnya menjalankan kewenangannya menjadi dasar kuat membentuk Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
lxxi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian UndangUndang UUD telah meletakkan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review). Kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat 1 UUD 1945), sedangkan pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24A ayat 1 UUD 1945). Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD merupakan suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara hukum dan demokrasi. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara hukum dan demokrasi telah mendapatkan penengasannya. Ada 3 (tiga) pendekatan yang berkaitan dengan keberadaan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap undang-undang (Iriyanto A. Baso Ence. 2008:138): 1) pendekatan yuridis, sesuai asas lex superiori derogat lex inferiori, bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah, maka suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD; 2) pendekatan politis, bahwa kebutuhan akan judicial review sangat diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu undang-undang tidak bertentangan dengan UUD, karena pada hakikatnya suatu undangundang dibuat untuk melaksanakan UUD; 3) pendekatan pragmatis, bahwa kebutuhan terhadap judicial review sangat
diperlukan
untuk
mencegah
praktek
penyelenggaraan
pemerintahan negara yang tidak sesuai atau menyimpang dari UUD. Tanpa judicial review kiranya sulit menegakkan UUD 1945. Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi sesuai amanat UUD 1945 memberikan prospek yang baik pada penyelenggaraan
lxxii
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Artinya, pengujian undang-undang sebagai upaya mengidentifikasi, menyelidiki lebih komprehensif, dan kemudian menilai secara objektif, akan menghindarkan atau mencegah undang-undang menyalahi atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar. Filosofi yang dikenal dan dipahami negara-negara hukum modern, bahwa pengujian undang-undang (judicial review) sebagai kontrol antar lembagalembaga negara untuk terwujudnya cita negara hukum yang demokratis. Tegasnya, pengujian undang-undang adalah persoalan fundamental dalam kehidupan sebuah negara hukum. Pemberian wewenang menguji undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi
dianggap
cukup
tepat
menurut
Fatkhurohman,
dkk,
sebagaimana dituliskan dalam buku ”Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi”, dengan alasan: Pertama, menurut paham konstitusionalisme, kedudukan UUD adalah sebagai bentuk peraturan yang tertinggi, sehingga hakim harus memiliki wewenang untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap undangundang yang bertentangan dengan UUD. Kedua, asumsi bahwa undang-undang merupakan produk politik yang seringkali mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan keputusan, sehingga perlu dikontrol. Dengan diberikannya wewenang menguji kepada Mahkamah Konstitusi, hal itu mendorong mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Ketiga, berdasarkan hasil amandemen UUD 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), yaitu kekuasaan kehakiman terbagi dalam cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Menyerahkan kewenangan menguji kepada peradilan biasa hanya akan mengundang kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap proses dan hasilnya, karena peradilan di bawah Mahkamah Agung selama ini tenggelam dan
lxxiii
mengabdi kepada kekuasaan. Selain itu, peradilan biasa, terutama para hakimnya belum berpengalaman dalam menguji konstitusi. Pengujian UU bersifat konstitusionalitas namun tidak hanya merujuk UUD saja, termasuk juga asas-asas umum konstitusi atau asas-asas yang terkandung dalam UUD. Dalam praktek bisa berupa kebiasaan ketatanegaraan maupun putusan pengadilan. Menyangkut asas-asas umum konstitusi, misalkan Penjelasan Umum UUD 1945 menegaskan prinsip negara
hukum
dan
sistem
konstitusional,
maka
pada
dasarnya
mencerminkan prinsip pembatasan kekuasaan dan tercipta mekanisme untuk mencegah dilampauinya batas-batas itu. Selanjutnya kedua prinsip ini mengkehendaki sebuah tertib hukum dimana jika terjadi pertentangan hukum harus bisa dibatalkan dan masalah wewenang menguji adalah persoalan hukum dan semestinya yang berwenang adalah kekuasaan kehakiman. Dalam menjalankan kewenangan ini khususnya pengujian UU, Mahkamah Konstitusi menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas formal UU dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab mewujudkan tujuan norma hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan Mahkamah Konstitusi yang ingin dicapai tidak semata-mata sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana sesuai rumusan bunyi UU, namun di sisi lain mengabaikan keadilan dan kepastian hukum. Berdasarkan Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu bertugas menegakkan hukum dan keadilan yang ditempatkan dalam posisi sama yang satu tidak lebih diutamakan dari yang lain. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”. Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum yang adil”. Kepastian hukum tidak jarang mengalahkan pencari keadilan di
lxxiv
sebuah lembaga peradilan yang seharusnya memberikan keadilan. UU sendiri meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita hukum dan nilai-nilai konstitusi. Pengalaman masa lalu membuktikan sebuah undang-undang tidak serta merta mencerminkan karakter yang responsif dan sesuai kepentingan rakyat dan menjadi cerminan nilai yang terkandung dalam cita-cita negara hukum yang demokratis. Prinsip penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali sedalam-dalamnya untuk merasakan keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan undang-undang (procedural justice). Dalam mengadili perkara dengan mandat konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak hanya terpaku kepada bunyi UU yang terkadang justru bertentangan dan mengabaikan kepastian hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi diharuskan mencari keadilan substantif yang oleh UUD 1945, UU, prinsip-prinsip umum konstitusi dan peradilan diakui keberadaannya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sendiri juga menegaskan, ”Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar Undang UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.” Bukti dan keyakinan hakim menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan substantif. Upaya tidak terpaku kepada bunyi UU, maka dikenal antara lain putusan konstitusional bersyarat
(conditionally
constitutional),
inkonstitusional
bersyarat
(conditionally unconstitutional), putusan sela dalam pengujian UU, putusan yang berlaku surut dan lain sebagainya. Selanjutnya, UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan secara formil dan materiil (Pasal 50 ayat 3). Pengujian secara formal menelaah apakah cara-cara pembentukan undang-undang telah memenuhi prosedur pembentukan berdasarkan ketentuan dan yang diatur oleh UUD 1945. Sedangkan pengujian undang-undang secara materiil ialah untuk
lxxv
memeriksa, menyelidiki kemudian menilai, apakah muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Berdasarkan
makna
hak
menguji
materiil
tersebut,
dapat
digarisbawahi bahwa pada dasarnya hak menguji materiil bertujuan menyelediki, menguji, dan menilai apakah isi suatu peraturan perundangundangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajat atau tingkatannya. Berkenaan dengan hak menguji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, secara teoritis dapat dikemukakan bahwa hak menguji materiil cenderung menilai dan menyatakan suatu undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu UUD. Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan adanya kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundangundangan, dalam hal ini adalah undang-undang, harus memperhatikan dua aspek yaitu materi dan proses. Salah satu aspek tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.
2. Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Untuk pertama kalinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, ada lembaga yang wenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD, serta berfungsi sebagai penafsir UUD (the interpreter of constitution). Sebagai permulaan, kewenangan ini diberikan kepada MPR, sambil menunggu terbentuknya sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Ketentuan ini sebagaiamana diatur dalam Pasal 5 Tap MPR Nomor III/MPR/2000, yang menyebutkan:
lxxvi
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. (3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi. (4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat. Kewenangan uji konstitusionalitas pada lembaga MPR tidak diperpanjang, sebab hal ini dirasa tidaklah tepat, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akemik RUU Mahkamah Konstitusi, dalam naskah akademik tersebut disebutkan bahwa penyerahan kewenangan uji konstitusionalitas kepada MPR tidaklah tepat, karena: (1) Kewenangan ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan permasalahan hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan, sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Sementara keanggotaan di dalam MPR terdiri dari berbagai macam latar belakang yang semuanya berorientasi pada kepentingan politik, karena merupakan wakil partai; (2) Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, sementara DPR merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang, sehingga agak janggal apabila pihak yang membuat undang-undang menguji sendiri produknya. (3) Pengujian terhadap undang-undang merupakan sebuah kewenangan khusus yang memerlukan waktu dan tenaga, sehingga akan tidak efektif apabila dilakukan oleh anggota MPR yang mempunyai jadwal yang padat dan mekanisme kerja tersendiri. Amandemen Ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedangkan kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Implementasi atas amandemen UUD 1945 telah ditentukan dalam UU Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal 31 ayat (1), Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang. Tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Mahkamah lxxvii
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam naskah akademik RUU Mahkamah Konstitusi disebutkan salah satu alasan mengapa perlu ada perubahan terhadap UUD 1945 adalah sebagai berikut: UUD 1945 sangat singkat karena hanya terdiri dari 37 pasal. Oleh penyusunnya, UUD 1945 diharapkan dapat disempurnakan pada masa berikutnya. Sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa dinamika kehidupan bernegara berkembang dengan pesat, sementara sifat UUD 1945 yang singkat dan supel tersebut tetap dipertahankan. Pada akhirnya muncul permasalahan, karena masing-masing pihak memberikan penafsiran terhadap UUD 1945 berdasarkan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Hal ini tidak jarang menimbulkan konflik ketatanegaraan antara lembaga negara dalam interaksi dan interelasinya ketika menjalankan kewenangannya. Salah satu point penting dari hasil amandemen konstitusi adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan fungsi uji konstitusionalitas. Sedangkan Mahkamah Agung yang telah dikenal sebelumnya hanya diberikan hak sebatas pengujian legalitas. Artinya menurut Prof. Dr. Jimly Assidiqy, bahwa pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan undangundang. Memperhatikan kondisi factual yang terjadi pasca terjadinya beberapa konflik ketetanegaraan, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi setidaknya di dorong oleh tiga alasan: a. bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa antar lemabaganegara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa
lxxviii
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netaral untuk menyelesaikan sengketa tersebut; b. sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratios yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusioonalitas UU terhadap UUD; c. ada kasus aktual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada siding istimewa MPR tahun 2001. Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak didasarkan atas alasan politis semata. Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu lembaga yang berkewajiban menailai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang dapat mentebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya. Pada awalnya telah terjadi perdebatan yang sengit untuk merubah tentang judicial review, tentang siapa yang berwenang untuk menguji atas ketentuan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. Yaitu pada waktu UUD 1945 dilakukan amandemen dalam bagian judicial review sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiel atas UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui Mahkamah Konstitusi yang seharusnya berwenang sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR/III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian oleh Lembaga MPR ini tidaklah dapat dikatagorikan sebagai judicial review, karena sama sekali tidak dilakukan
lxxix
oleh hakim, melainkan oleh legislator. Namun demikian ketentuan demikian ini sangatlah keliru karena memberikan wewenang kepada lembaga yang tidak tepat. Tim ahli MPR menentangnya dengan dengan alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat membentuk
kompartemen
baru.
Meskipun
TAP
MPR
Nomor
III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya, ketentuan mengenai legislative review yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin dapat dilaksanakan karena memang isinya keliru total. Fungsi pengujian Undang-undang adalah fungsi yang bersifat permanen dan rutin, sedangkan forum MPR tidak bersifat tetap atau tidak rutin. Ketua MA mendukung pendapat itu, pertentangan aturan adalah persoalan hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan peradilan, bukan badan politik seperti DPR atau MPR.
a. Pengujian Undang-Undang Secara Materiil Dalam teori tentang pengujian (toetsing), dibedakan antara materrile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formeele zin (undangundang dalam arti formal). Kedua bentuk penguian tersebut oleh UU Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undangundang dan materi muatan undang-undang adalah pengujia materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formal. Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa dalam permohonannya, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa (a) pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau (b) materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. artinya, objek pengujian atas suatu
lxxx
undang-undang sebagai produk hukum (by product) tidak selalu terkait dengan materi undang-undang, melainkan dapat pula terkait dengan proses pembentukan undang-undang itu. Jika pengujian undang-undang dilakukan atas materinya, maka pengujian
demikian
disebut
pengujian
materiil
yang
dapat
berakibatkan dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang bersangkutan.
Pada
umumnya,
Mahkamah
Konstitusi
hanya
membatalkan bagian-bagian saja dari materi muatan suatu undangundang yang diuji itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan selebihnya tetap berlaku sebagaimana adanya. Yang dimaksud dengan materi muatan undang-undang itu, isi ayat, pasal, frasa, dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu undangundang. Dapat terjadi bahwa yang dianggap bertentangan dengan UUD hanyalah satu anak kalimat dalam satu ayat, atau satu kata dalam suatu kalimat. Bahkan lebih ekstrim lagi, secara teoritis, dapat saja yang dinilai bertentangan dengan UUD hanyalah satu koma atau satu titik atau pun karena satu huruf yang seharusnya ditulis dengan huruf besar diketik dengan huruf kecil. Sebaliknya, yang dimaksud dengan bagian dari undang-undang itu dapat pula berupa keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan dari suatu bab undang-undang yang bersangkutan. Jiak keseluruhan suatu bab undang-undang itu dinyatakan bertentangan dengan UUD, maka keseluruhan bab itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sedangkan bagian-bagian lain dari undangundang itu yang tidak dianggap bertentangan tetap mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan wajib dilaksanakan sebagaimana mestinya. Soal lain yang juga penting ialah soal isi konsideran ”menimbang” atau pun ”mengingat” dalam suatu undang-undang. Jika terdapat kesalahan, kekurangan, atau kelebihan dalam rumusan konsideran, apakah hal itu dapat dinilai oleh Mahkamah Konstitusi dan
lxxxi
penilaian semacam itu dapat disebut sebagai pengujian materiil pula. Lazim dipahami bahwa yang dimaksud dengan isi atau materi undangundang adalah pasal-pasal dan termasuk penjelasan undang-undang itu sendiri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal undangundang tersebut dan karenanya bersifat mengikat pula secara hukum. Akan tetapi, jika yang diuji adalah rumusan konsideran yang dianggap bertentangan
dengan
mengakibatkan
UUD,
keseluruhan
maka
bukankah
undang-undang
hal
itu
itu
dapat
menjadi
tidak
mengikat juga, karena dibatalkannya isi konsideran itu. Berkenaan dengan hal ini, sebenarnya tergantung kepada penilaian hakim konstitusi sendiri untuk memutuskannya. Jika dilihat dari segi materiil, berarti hal-hal yang dipersoalkan itu dilihat sebagai materi
muatan
undang-undang
yang
seharusnya
tidak
boleh
bertentangan dengan UUD 1945. Namun pada sisi lain, jika dilihat sebagai pengujian formil, berarti yang dipersoalkan adalah segi-segi form, format, dan formulasi serta proses pembentukannya undangundang itu yang tidak mengikat prosedur-prosedur konstitusional yang seharusnya. Terlepas dari kedua kemungkinan pilihan tersebut, yang jelas, dikabulkannya permohonan mengenai hal-hal seperti ini dapat mengakibatkan bahwa keseluruhan undang-undang itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagaimana dalam pengujian formil. Karena itu, meskipun dikelompokkan sebagai pengujian materiil sekalipun, akibat hukum putusannya sama saja dengan pengujian formil, yaitu keseluruhan undang-undang itu dapat dinyatakan tetap berlaku mengikat atau dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Pengujian Undang-Undang Secara Formil Secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing) itu adalah pengujian atas suatu produk hukum,
lxxxii
bukan dari segi materinya. Bentuk suatu undang-undang, memang bukanlah menyangkut isinya, akan tetapi pengujian formil itu sendiri tidak identik dengan pengujian atas undang-undang, meskipun pengujian atas bentuk dapat saja disebut sebagai salah satu pengujian formil. Pengujian atas proses pembentukan undang-undang memang dapat
digolongkan
sebagai
pengujian
formil,
karena
bukan
menyangkut isi undang-undang. Tetapi pengujian formil tersebut tidak hanya menyangkut proses pembentukan undang-undang dalam arti sempit, melainkan mencakup pengertian yang lebih luas. Pengujian formil itu mencakup juga pengujian mengenai aspek bentuk undangundang itu, dan bahkan mengenai pemberlakuan undang-undang, yang tidak lagi tergolong sebagai bagian dari proses pembentukan undangundang. Oleh karena itu, pengertian yang dapat dikembangkan dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu bersifat sangat kompleks. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formalnya adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat, oleh institusi yang tepat, dan menurut prosedur yang tepat. Jika dijabarkan, dari ketiga kriteria ini, pengujian formil itu dapat mencakup: 1) pengujian atas pelakasanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang,
baik
dalam
pembahasan
maupun
dalam
pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang; 2) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang; 3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan 4) pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
lxxxiii
Mengenai prosedur atau tata cara pembentukan suatu undangundang, pada pokoknya telah diatur dalam UUD 1945. akan tetapi rincian pengaturan mengenai hal itu, ditentukan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ukuran yang dipakai untuk menilai pelaksanaan prosedur pembentukan undang-undang itu tentu adalah UUD 1945. Akan tetapi, karena prosedur rinciannya terdapat dalam undang-undang, maka sepanjang menyangkut hal-hal yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, materi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu juga harus dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hukum konstitusi. Hal demikian juga berlaku di berbagai negara seperti Jerman, Austria, dan sebagainya. Kita tidak boleh memahami persoalan hukum konstitusi itu hanya terbatas pada teks konstitusi, tetapi apa yang diatur dalam undang-undang sebagai elaborasi normatif yang berasal dari norma konstitusi itu harus pula diperlakukan sebagai bagian yang terpisahkan dari hukum konstitusi itu sendiri. Oleh karena itu, alat pengukur untuk menilai konstitusinalitas pembentukan suatu undangundang serta hal-hal lain di luar materi undang-undang, di samping UUD adalah juga UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Bukankah undang-undang ini memang dibentuk khusus untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan proses pembentukan dan hal-hal lain yang tidak termasuk dalam pengertian materi undangundang. Mengenai format atau bentuk undang-undang, lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukannya, serta hal-hal lain, juga dinilai dengan menggunakan ukuran UUD beserta UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud di atas. Jika misalnya, suatu rancangan undang-undang yang ditetapkan bukan oleh DPR, melainkan oleh DPD, tentu tidak boleh
lxxxiv
disahkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945. Karena DPD bukanlah lembaga yang berwenang untuk menentukan telah dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah atas sesuatu rancangan undang-undang. Atau, jika suatu rancangan undangundang inisiatif DPD telah mendapat persetujuan DPR, jika pembahasannya
tidak
melibatkan
Pemerintah,
maka
tentunya
rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan oleh Presiden sesuai UUD 1945. Semua ini berkenaan dengan soal yang apabila suatu undang-undang diuji maka pengujiannya itu disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing). Keempat kategori pengujian formil tersebut di atas, dapat disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu pengujian atas proses pembentukan undang-undang dan atas pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, pengertian demikian diwadahi dalam Pasal 4 ayat (3) dengan menyatakan bahwa ”pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian materiil”. Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan bentuk tepat, institusi yang tepat, atau prosedur yang tepat seperti yang dimaksud di atas, atau yang berkaitan dengan keempat kemungkinan tersebut di atas, dapat disebut pengujian formil atas suatu undang-undang.
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Sebagai Objek Judicial review oleh Mahkamah Konstitusi Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang
(Perpu)
memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti
lxxxv
undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan tersebut dipertegas di dalam Pasal 1 angka (4) dan Pasal 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa syarat utama penetapan sebuah Perpu oleh Presiden yaitu adanya suatu keadaan ”kegentingan yang memaksa”. Namun hingga saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terukur tentang apa yang dimaksud dengan hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yang dapat menjadi alasan keluarnya Perpu. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, memberikan penjelasan bahwa pasal tersebut mengenai noodverordeningsrecht Presiden, dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal 22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula oleh DPR. Maka dari itu, persepsi yang timbul di sebagian masyarakat bahwa hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus merujuk pada UndangUndang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Namun demikian, hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Keterangan tersebut tertuang secara jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the interpreter of constitution terhadap perkara Nomor
lxxxvi
003/PUU-III/2005 mengenai perkara Judicial review UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. Terlebih lagi, dalam praktik ketetanegaraan selama ini, dari berbagai Perpu yang pernah dikeluarkan oleh Presiden menunjukkan adanya kecenderungan penafsiran hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan peraturan setingkat undang-undang. Sehingga kemudian, Mahkamah memberikan rambu-rambu agar hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” dalam sebuah Perpu yang selanjutnya akan dikeluarkan oleh Presiden, agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsideran ”Menimbang” dari Perpu yang bersangkutan Mengenai materi muatan Perpu, dijelaskan dalam Pasal 9 UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan UndangUndang. Kembali kepada Pasal 8, dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UndangUndang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: (1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan; (6) keuangan negara; dan diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Untuk tata cara penetapan Perpu menjadi UU diatur dalam Pasal 25 UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyebutkan: (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (2) Pengajuan
lxxxvii
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; (3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku; (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Terhadap Perpu tersebut kemungkinan dapat terjadi 2 (dua) proses pengujian yang melibatkan lembaga yang berhak untuk melakukan pengujian (toetsingsrecht), yaitu legislative review yang dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislator, dan judicial review pada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan. Legislative review adalah ketika produk Perpu untuk ditetapkan menjadi UU harus melalui lembaga DPR guna memperoleh persetujuan, apakah Perpu tersebut layak untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Kemudian pengujian lainnya dapat juga dilakukan di hadapan Mahkamah Konstitusi. Saat ini memang masih terjadi perdebatan tersendiri mengenai dapat-tidaknya suatu Perpu dijadikan obyek judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi, karena UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya mengatakan bahwa judicial review dapat dilakukan atas suatu UU terhadap UUD. Namun, produk Perpu pun sebenarnya dapat juga dijadikan obyek pengujian terhadap UUD, dengan alasan: (1) Materi muatan yang terkandung di dalam UU maupun Perpu adalah sama; (2) Antara UU dan Perpu mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga jika Mahkamah Konstitusi tidak
lxxxviii
berwenang maka tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan pengujian terhadap sebuah Perpu, termasuk Mahkamah Agung sekalipun, karena kewenangan Mahkamah Agung hanyalah melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU di atasnya; (3) Seandainya Perpu tidak dapat dijadikan obyek judicial review oleh lembaga judisial manapun, maka besar kemungkinan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden akan berpotensi untuk menjelma menjadi hukum otoriter, represif, sewenang-wenang, dan bergerak sesuai kehendak penguasa dengan libido kekuasaan belaka, meskipun hal tersebut hanya terjadi beberapa saat (hingga DPR melaksanakan sidang) namun dapat menimbulkan korban yang meluas, karena dapat dilakukan secara berulang-ulang tanpa batasan atau koridor-koridor konstitusional. Meskipun berbagai ketentuan yuridis menetapkan, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji undangundang terhadap UUD 1945, objek pengujiannya adalah produk hukum berupa undang-undang. Ditinjau dari segi bentuknya, Perpu itu adalah peraturan di bawah undang-undang dan karena itu seharusnya dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Dari segi namanya saja, yaitu Peraturan Pemerintah dimana sudah jelas bahwa Perpu itu bukanlah undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ditinjau dari segi isinya, Perpu itu sesungguhnya adalah undang-undang, dan karena itu dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan bukanlah diuji oleh Mahkamah Agung. 2 (dua) hal tersebut dapat dikaitkan pada dua jenis pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam hal pengujian materiil dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Perpu, karena substansi Perpu adalah sama dengan undang-undang. Namun, Perpu itu tidak dapat diuji secara formil, karena proses pembentukannya sangat berbeda dibanding undangundang.
lxxxix
Namun yang perlu digarisbawahi, pun seandainya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang memeriksa judicial review atas suatu Perpu, logika sederhananya adalah kita hanya tinggal menunggu waktu saja ketika Perpu tersebut disahkan untuk menjadi sebuah produk UU maka kemudian dapat diajukan sebagai permohonan judicial review kembali. Bila semua proses pembentukan Perpu menjadi sebuah UU berjalan dengan lancar, dan jikalau ada permohonan judicial review atas peraturan perundang-undangan tersebut ternyata juga tidak dikabulkan, maka tidak akan terjadi permasalahan atau akibat negatif apapun, karena notabene-nya telah terbukti secara hukum keabsahan dari lahirnya peraturan perundangundangan tersebut. Pada posisi diantara pro dan kontra itu, untuk mengajukan persoalan Perpu ini menjadi perkara pengujian baik ke Mahkamah Konstitusi maupun ke Mahkamah Agung dapat dianggap tidak tepat. Perkara pengujian terhadapnya baru dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi apabila Perpu tersebut telah resmi mendapat persetujuan DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang. Karena begitulah apa yang tertuang dan diamanatkan sesuai UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. Pada di sisi lain, untuk diajukan ke Mahkamah Agung juga tidak tepat, mengingat batu ujinya di Mahkamah Agung adalah Undang-Undang. Jika Perpu diuji oleh Mahkamah Agung, sudah pasti norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Kewenangan Mahkamah Agung itu sebatas pengujian legalitas undang-undang, sehingga tidak relevan Perpu itu diuji pada Mahkamah Agung. Hal lain bahwa sesuai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menempatkan Perpu itu sejajar dengan UU, maka menjadi tidak logis ketika objek pengujian dan batu ujinya berada satu tingkat.
xc
Perdebatan antara pro dan kontra ini tentu sah-sah saja sepanjang sama-sama mempunyai dasar dan untuk kepentingan bangsa dan negara. Selanjutnya peristiwa ini dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara lain, mengenai pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Beberapa negara memberikan kewenangan judicial review termasuk didalamnya pengujian
konstitusionalitas,
hanya
kepada
suatu
pengadilan
konstitusionalitas khusus atau tingkat pengadilan tertentu atau dalam bentuk lain, bukan kepada setiap hakim pada sistem pengadilan biasa. Tidak setiap hakim di semua tingkat pengadilan dapat melakukan pengujian konstitusionalitas, sehingga kedudukannya tersendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah yang disebut dengan centralized system. Centralized System adalah sistem pengujian konstitusionalitas yang kewenangannya diberikan kepada pengadilan konstitusionalitas khusus, bukan kepada sistem pengadilan biasa. Model ini sering disebut pula sebagai ”The Keselnian Model”, yang biasanya diterapkan di
negara-negara
dengan
sistem
hukum
civil
law.
Sebagai
perbandingan dalam hal fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenagan pengujian undang-undang serta bagaimana peradilan peraturan perundnag-undangan itu maka dapat melihat dari keberadaan Mahkamah Konstitusi di Austria, Mahkamah Konstitusi Federal Jerman, Mahkamah Konstitusi di Thailand, dan Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan. Pertama, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Austria untuk menguji undang-undang tercatat sebagai kewenangan yang paling pokok. Yang diuji adalah norma umum dan abstrak yang terkandung baik dalam bentuk undang-undang Federal (Federal Statutes) maupun konstitusi negara bagian (Gestze). Permohonan uji dapat diajukan oleh lembaga negara dan/atau individu negara yang mengalami kerugian akibat sebuah perundang-undangan yang diberlakukan pemerintah. Berdasarkan Pasal 139 Konstitusi Austria Tahun 1920, mengenai
xci
pengujian legalitas peraturan di bawah UU, peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Federal ataupun negara bagian dapat dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan lembaga atau perorangan warga negara. Bahkan berdasarkan Pasal 140 A Konstitusi Austri tahun 1920, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan menguji legalitas atau konstitusionalitas perjanjian internasional sesuai dengan derajatnya dalam hierarki norma hukum. Kedua, Keberadaan Jerman sebagai negara federal menyebabkan memiliki mekanisme yang berbeda dalam penegakan konstitusi. Mahkamah Konstitusi Jerman terbagi dalam dua bagian yang disebut senat (Act, 1993). Senat pertama berwenang menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Sedangkan senat kedua berwenang menyelesaikan yang berkaitan dengan lembaga negara. Judicial review di Jerman meliputi pengujian norma hukum secara konkrit (concrete norm control) dan pengujian undang-undang secara umum (abstract norm control). Pada pengujian norma abstrak inilah, bentuk perundang-undangan yang diuji berupa undang-undang (laws), keputusan (decrees), dan peraturan perundangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Federal atau negara bagian (federal state). Secara khusus mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman pengujian peraturan perundang-undangan diatur lebih lanjut dalam Pasal 100 sebagai berikut: Pertama, jika pengadilan memutuskan bahwa suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi suatu negara bagian, keputusan dari sengketa negara bagian atau dengan konstitusi negara federal, harus dimintakan keputusan terlebih dahulu dari Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga berlaku jika peraturan hukum negara bagian bertentangan dengan konstitusi negara federal atau jika peraturan hukum negara bagian bertentangan dengan peraturan hukum federal. Kedua, jika di dalam sengketa hukum terdapat keraguan suatu aturan dalam hukum adat mengenai hak dan kewajiban warga bertentangan dengan peraturan
xcii
hukum negara federal pengadilan. Semua bentuk pelanggaran konstitusi apakah konstitusi negara federal atau negara bagian keputusannya berasal dari Mahkamah Konstitusi negara federal. Pengadilan negara bagian dapat memeriksa dan menguji sengketa peraturan hukum negara yang bertentangan dengan UUD negara bagian tetapi keputusannya harus dimintakan kepada Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Ketiga, Mahkamah Konstitusi di Thailand merupakan salah satu lembaga baru dalam konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung, Mahkamah Administrasi, dan Mahkamah Militer. Pengujian undang-undang terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi di Thailand agak berbeda. Pokok sengketa dalam Mahkamah Konstitusi adalah petisi dimana suatu aturan hukum sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengajukan gugatan harus melalui dua tahap yakni melalui ombudsman kemudian diseleksi untuk menentukan yang layak diajukan di sidang Mahkamah Konstitusi. Suatu petisi masyarakat tidak dapat langsung diajukan ke Mahkamah Konstitusi melainkan harus melewati seleksi ombudsman. Keempat, Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang diatur dalam konstitusi Afrika Selatan menempatkan posisi Mahkamah Konstitusi sebagai mahkamah tertinggi untuk semua persoalan yang menyangkut Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara, institusiinstitusi publik ataupun badan-badan swasta dapat mengajukan permohonan perkara yang menyangkut masalah-masalah konstitusi harus dimulai dengan mengajukannya ke Pengadilan Tinggi, jadi tidak langsung kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutus final konstitusionalitas undang-undang yang diproduksi oleh Parlemen (Act of Parliament), termasuk untuk membatalkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh parlemen pusat dan daerah (provincial or parliamentary legislation), ataupun tindakan dari Presiden. Di samping itu, Mahkamah memberi jawaban definitif atas
xciii
permintaan pembatalan suatu ketentuan hukum yang dimohonkan oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, atau pengadilan lainnya. Dalam konteks di Indonesia, sudah ada 2 (dua) permohonan dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang objek pengujiannya berupa Perpu, yaitu Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dan kemudian menjadikannya
yurisprudensi
pada
Perkara
Nomor
145/PUU-
VII/2009. Dalam hal ini, alasan-alasan hukum lebih diutamakan dibanding dasar hukumnya. Karena pada dasarnya, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu terhadap UUD tidak mempunyai dasar hukum secara yuridis yang kuat. Hanya ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 yang dapat dijadikan dasaran paling yuridis menyatakan bahwa kedudukan Perpu itu sejajar dengan UU. Dasar lain yang paling penting yaitu memberikan kewenangan pada MK untuk menguji perpu adalah lebih kepada pertimbangan sosiologis/ kebutuhan masyarakat dan perkembangan kehidupan ketatanegaraan yang ada saat ini. Mahkamah Konstitusi melakukan langkah
progresif
untuk
mengamankan
hukum
dari
potensi
penyalahgunaan kekuasaan. Mahkamah Konstitusi harus mengambil peran karena kalau tidak, akan terjadi peluang penyalahgunaan kekuasaan dan permainan politik yang dapat menghancurkan dunia hukum kita kalau Mahkamah Konstitusi menutup pintu terhadap pengujian perpu. Mahkamah Konstitusi harus menguji Perpu karena muncul fakta baru yang menjadi polemik masyarakat terkait dengan penerbitan Perpu oleh Presiden. Hal ini pula yang terjadi pada 2 (dua) Perpu yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Terutama polemik Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), Dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Desember 2008, DPR RI telah membuat keputusan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tidak diterima. Dengan demikian, maka Perpu Nomor 4 Tahun 2008
xciv
telah terbukti ditolak dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut. Namun faktanya, Pemerintah tetap menganggap Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tidak atau belum pernah ditolak oleh DPR RI, dengan alasan bahwa DPR RI tidak secara nyata menyatakan menolak, karena sebagian fraksi ada yang menyatakan menolak, sebagian yang lain menyatakan menerima, bahkan ada fraksi yang menyatakan belum menerima. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya sebagai pengawal dan penafsir tertinggi terhadap konstitusi (The guardian and the interpreter of the constitution), seyogyanya dapat memberikan putusan demi kepastian hukum, sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
xcv
B. Pertimbangan-Pertimbangan
Hukum
Kewenangan
Mahkamah
Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Bahwa ketika permasalahan mengenai Mahkamah Konstitusi itu berwenang atau tidak untuk menguji Perpu, sebenarnya didasarkan pada diterima, diproses, dan diputusnya Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi yang disitu jelas objeknya berupa Perpu. Hingga pada lampiran putusannya dinyatakan adanya concuring opinion dan dissenting opinion antara para hakim yang memperdebatkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu. Meskipun akhirnya ketujuh hakim menyatakan berwenang sehingga perkara itu pun hingga pada tahap putusan. Namun tidak ada salahnya ketika hal itu kemudian harus dilihat dari dua sisi mengenai pro dan kontranya Mahkamah Konstitusi menguji Perpu. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan judicial review atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sebab menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar, tanpa menyebut Perpu maupun peraturan yang setingkat. Maka ketika Mahkamah Konstitusi memproses pengujian Perpu terlebih
xcvi
dahulu menelaah mengenai kewenangannya dalam pengujian Perpu, meskipun sebenarnya prosesnya sama seperti pengujian undang-undang biasa. Kemudian, mempertimbangkan mengenai kedudukan Perpu yang sama dengan Undang-Undang dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia sehingga dapat diuji di Mahkamah. Dari sudut isi sebuah Perpu itu mengatur materi muatan UndangUndang. Artinya isi Perpu itu sebenarnya adalah Undang-Undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya merupakan hak subjektif Presiden. Dalam kasus kebutuhan
akan
Undang-Undang
sangatlah
tertentu dimana mendesak
untuk
menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara. Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan
secara materiil dengan UUD 1945. Dengan
demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi UndangUndang. Bahwa pengujian Perpu oleh lembaga yudisial (judicial review) atau oleh lembaga lain merupakan “perampasan” atas hak dan kewenangan
xcvii
konstitusional DPR yang diberikan oleh UUD 1945. Sebab Pasal 22 UUD 1945 memberi hak kepada DPR untuk menilai sebuah Perpu pada persidangan berikutnya, apakah Perpu itu akan disetujui sebagai UndangUndang ataukah tidak. Kesamaan isi antara Undang-Undang dan Perpu tetap tidak dapat dijadikan alasan bagi lembaga selain DPR untuk menguji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945; apalagi kalau kesamaan isi itu hanya karena Perpu diartikan sebagai “undang-undang dalam arti materiil,”
sebab di dalam hukum tata negara semua jenis peraturan
perundang-undangan, mulai dari UUD sampai Peraturan Desa, adalah undang-undang dalam arti materiil. Namun akhir-akhir ini ada perkembangan penting dalam ketatanegaraan
kita Perpu
dapat
diuji
konstitusionalitasnya oleh
Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran konstitusi. Dalam kaitan antara perkembangan ketatanegaraan dan pengujian Perpu ini melihat perlunya penafsiran atas isi UUD 1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatik melainkan harus menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis yaitu akan kebutuhan masyarakat. Sehingga alasan-alasan hukum lebih kuat
dan
menonjol
dalam
hal
Hakim
Mahkamah
Konstitusi
mempertimbangkan kewenangannya menguji Perpu. Dalam Putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dijelaskan bahwa ada
dissenting
opinion
yang
menjadi
alasan
untuk
menyetujui
dilakukannya judicial review terhadap Perpu oleh Mahkamah Konstitusi adalah hal-hal sebagai berikut: 1. Penilaian untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR dilakukan pada masa sidang berikutnya sesuai Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 10 tahun 2004 disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka,
xcviii
Perpu itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Dalam kenyataannya Perpu yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Seperti diketahui Perpu a quo diundangkan pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perpu a quo tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau Perpu tidak dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat mungkin suatu saat ada Perpu yang dikeluarkan tetapi DPR tidak membahasnya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perpu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar segera ada kepastian dapat atau tidak dapat terus berlakunya sebuah Perpu. 2. Timbul juga polemik tentang adanya Perpu yang dipersoalkan keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata disetujui dan tidak nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana kedudukan hukum sebuah Perpu yang tidak disetujui tetapi tidak ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perpu yang tidak secara tegas mendapat persetujuan dari DPR “mestinya” tidak dapat dijadikan Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai Perpu, tetapi secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini bahwa “kesemestian” tersebut masih dipersoalkan, sehingga sebuah Perpu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak ditolak secara nyata) masih terus diberlakukan sampai dipersoalkan keabsahan hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Dalam keadaan ini
xcix
menjadi wajar jika Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu. 3. Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perpu oleh DPR ada juga pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR harus diganti dengan Undang-Undang Pencabutan atau Undang-Undang Pengganti. Karena tidak ada kejelasan batas atau titik waktu maka dalam pengalaman sekarang ini ada Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR tetapi RUU penggantinya atau pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu menjadi wajar pula, demi tegaknya konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perpu. 4. Dapat terjadi suatu saat Perpu dibuat secara sepihak oleh Presiden tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang untuk membahasnya karena situasi tertentu, baik karena keadaan yang sedang tidak normal maupun karena sengaja dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar DPR tidak dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti itu ada Perpu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara tertentu secara sepihak dengan alasan kegentingan yang memaksa sehingga ada Perpu yang terus dipaksakan berlakunya sementara persidanganpersidangan DPR tidak dapat diselenggarakan. Dengan memperhatikan kemungkinan itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas Perpu. Berdasarkan hal-hal tersebut maka Hakim menetapkan Perpu dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi melalui penekanan pada penafsiran sosiologis dan teleologis, sekaligus bahwa Putusan ini akan diajdikan yurisprudensi. Penekanan pilihan atas penafsiran yang demikian memang agak mengesampingkan penafsiran historis dan gramatik, bahkan keluar dari original intent ketentuan tentang Perpu sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 UUD 1945. Hal ini perlu dilakukan justru untuk melindungi kepentingan original intent pasal-pasal dan prinsip-prinsip lain yang juga
c
ada di dalam UUD 1945. Pilihan pandangan ini semata-mata didasarkan pada prinsip dalam menjaga tegaknya konstitusi yakni “tidak boleh satu detik pun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi melanggar konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian yudisial.”
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan kewenangan pengujian undangundang mengalami beberapa problematika. Salah satunya ialah mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian yang objeknya Perpu. Hal ini terbukti dengan diterima, diproses, dan diputusnya Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Penganti UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi yang secara yuridis tidak diatur, namun seakan dipaksakan dengan dasar untuk menjaga kepastian hukum, kemudian
dibenarkan
dengan
jalan
Mahkamah
Konstitusi
membuat
yurisprudensi alias acuan bagi kasus serupa di masa mendatang. Oleh karena itu, berbagai analisis telah dilakukan penulis yang memaparkannya melalui dua sisi yaitu baik sisi yang pro dan kontra mengenai hal kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu. Ketentuan yang membagi kewenangan pengujian undang-undang itu menjadi pengujian materiil dan pengujian formil. Sehingga dalam hal pengujian Perpu ini, jika dilihat dari pengujian materiil menyatakan Perpu ini dapat diuji materiil oleh Mahkamah Konstitusi. Karena materi muatan Perpu dan UU itu sama, sesuai dengan hierarkinya yang sejajar. Sedangkan pengujian formil memfokuskan pada proses pembentukannya sehingga secara formil ini Perpu tidak dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah untuk menguji
ci
perpu yang memang bermaterikan undang-undang itu hanya dapat dilakukan apabila sudah diuji, dinilai, dibahas, atau apa pun namanya dalam forum politik di DPR dan DPR menyetujuinya menjadi undang-undang. Berbagai alasan Mahkamah Konstitusi memang berwenang menguji Perpu, yang salah satu alasan kuat yaitu karena perkembangan dalam ketatanegaraan Indonesia sehingga tidak boleh ada satu detik pun ada hukum yang bertentangan dengan konstitusi. Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran konstitusi. Bahwa Perpu akan diuji karena isinya memang undang-undang. Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi, sekaligus mengantisipasi ketidakseriusan DPR untuk membahas perpu guna menyatakan pendapat ditolak atau tidak. Kewenangan pengujian perpu ini juga dimaksudkan untuk mendesak DPR lebih tertib hukum.
cii
B. Saran Sebagai saran akan dipaparkan secara umum, terutama dalam rangka peningkatan kualitas keseluruhan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara. Karena pada fokus pembahasan penulisan yaitu berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sehingga untuk memberikan rekomendasi harus melalui proses amandemen UUD 1945. Banyak wacana bergulir di sekitar kiprahnya Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan konstitusi, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang diamanatkan oleh Konstitusi maka satu-satunya cara ialah melalui amandemen UUD 1945. Pengujian
konstitusionalitas
undang-undang
yang
dilakukan
oleh
Mahkamah Konstitusi dalam negara hukum yang demokratis seperti Indonesia, adalah hal urgensial dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi perlu memperhatikan pula aspek perlindungan hak asasi warga negara dan keadilan hukum bagi seluruh masyarakat tercermin dalam putusannya. Pertimbangan-pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi selain tekstual, perlu pula memperhatikan atau mengkritisi kondisi konstekstual, sehingga lebih realistis dan objektif memberikan putusannya dalam pengujian undang-undang. Kekuasaan hak menguji undang-undang, judicial review seharusnya diletakkan pada satu lembaga saja yaitu Mahkamah Konstitusi, agar pengujian konstitusional dan legalitas dapat dilaksanakan secara maksimal. Sehingga sebagai rekomendasinya, kewenangan pengujian semua jenis produk hukum (mulai dari pengujian undang-undang hingga pada pengujian peraturan daerah serta putusan yang dibuat oleh hakim pada peradilan biasa) ada di tangan Mahkamah Konstitusi, beserta kewenangan peradilan impeachment, dan
ciii
penyelesaian sengketa antar lembaga negara, sedangkan seluruh peradilan administrasi
berada
pada
Mahkamah
Agung
termasuk
kewenangan
penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum. Rekomendasi lain yang sifatnya non yuridis, bahwa untuk kelancaran kerja Mahkamah Konstitusi dibuthkan pula pengawasan. Pengawasan ini baik dari
internal
maupun
secara
eksternal
untuk
mencegah
timbulnya
penyimpangan-penyimpangan yang menghambat kinerja dari Mahkamah Konstitusi. Pengawasan ini diperlukan untuk menjaga intgritas dan memertahankan performa kelembagaan yang lebih baik. Pengawasan secara terpadu, yaitu dengan dengan pendekatan kelembagaan (institutional approach) yang dilakukan oleh internal kelembagaan Mahkamah Konstitusi dan pendekatan sistem (system approach) yang meletakkan unsur eksternal dan masyarakat luas sebagai bagian penting dalam sistem pengawasan. Pengawasan oleh masyarakat ini, dapat dilakukan melalui DPR, media massa, teoritisi dan praktisi hukum, perguruan tinggi, maupun lmebaga swadaya masyarakat. Pengawasan dilakukan guna menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, karena Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang tengah sangat dipercaya satusatunya sebagai penafsir konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Mukhtie Fadjar. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
civ
B. Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. C.S.T Kansil. 1984. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Iriyanto A. Baso Ence. 2008. Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi. Bandung: Alumni. Jimly Asshiddiqie. 2004. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Makalah. Disampaikan pada Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, pada tanggal 23 Maret 2004. Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. _______________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press. _______________. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press. _______________. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press. Johny Ibrahim. 2005. Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia. ____________. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia. ____________. 2007. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia. Leonard W. Levy. 2005. Judicial Review. Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya Dalam Negara Demokrasi. Bandung: Nusamedia. Maruarar Siahaan. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
cv
Mariangela Benedetti. “Global Judicial Review: A Remedy Against Fragmentation?”. PhD Candidate in Administrative Law Faculty of Law, University of Rome “La Sapienza”. Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius. Muhammad Bahrul dan Dizar Al Farizi. 2009. “Implementasi dan Implikasi Putusan MK Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia”. Jurnal Konstitusi. Vol. 6, No. 3. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Muh. Ridhwan Indra. 1987. Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara & Hak Menguji Menurut UUD. Jakarta: Sinar Grafika. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Pan Mohamad Faiz Kusumawijaya. 2005. Gonjang-Ganjing Perpu Tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung. http://jurnalhukum.blogspot.com. Diakses tanggal 16 Mei 2010. Peter Mahmud Marzuki. 2006. “Penelitian Hukum”. Jakarta: Sinar Garafika. Rosjidi
Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Ilmu
Perundang-undangan
Samsul Wahidin. 1984. Hak Menguji Materiil Menurut UUD 1945. Jakarta: Cendana Press. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. Soetandyo Wignjosoebroto. Konsep Hukum dalam Materi Perkuliahan Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum. Soetiono. Macam-Macam Penelitian. Makalah S2. Sri Soemantri. 1982. Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Alumni. Suripto. 2007. Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review). http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=116 &id=518&option=com_content&task=view. Diakses tanggal 20 Maret 2010. Tim Penyusun. 2004. Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
cvi
Thomas Poole. 2010. ”Judicial Review at the Margins: Law, Power, and Prerogative”. LSE Law, Society and Economy Working Papers 5/2010 London School of Economics and Political Science Law Department. Yance Arizona. 2007. Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 Undnag-Undnag Dasar Negara Republik Tahun 1945.http://yancearizona.files.wordpress.com/2008/11/penafsiran-mkterhadap-pasal-33-uud-1945.pdf. Diakses tanggal 21 April 2010.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076.
cvii