perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : ADI CHAHYA NUGRAHA E0006049
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2010
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK
oleh : ADI CHAHYA NUGRAHA NIM. E0006049
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 31 Desember 2010
Pembimbing I,
Pembimbing II,
EDY HERDYANTO, S.H., M.H. MUH. RUSTAMAJI, S.H.,M.H. NIP.1957291985031002 NIP. 198210082005011001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK oleh : ADI CHAHYA NUGRAHA NIM. E 0006049 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Selasa
Tanggal
: 18 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1.Bambang Santosa S.H., M.Hum. : ................................................................ NIP. 196202091989031001 Ketua 2.Muh. Rustamaji, S.H., M.H. NIP. 198210082005011001 Sekretaris
: ................................................................
3.Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 1957291985031002 Anggota
: ................................................................
Mengetahui : Dekan,
Muhammad commit Jamin, to user S.H., M.Hum. NIP. 19610930 198601 1 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: ADI CHAHYA NUGRAHA
NIM
: E 0006049
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) berjudul TELAAH
URGENSI
KONSEPSI
RESTORATIVE
JUSTICE
BERDASARKAN UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK, adalah betul-betul karya sendiri. Halhal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 31 Desember 2010 yang membuat pernyataan
ADI CHAHYA NUGRAHA NIM. E 0006049
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK ADI CHAHYA NUGRAHA, E0006049. 2011. TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai konsep restorative justice dalam United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters. Dari hasil telaah itulah akan menjadi dasar bagi penulis untuk menemukan solusi bagi anak delinkuen yang berhadapan dengan hukum sebagai upaya memberikan perlindungan bagi anak delinkuen dalam proses peradilan pidana anak. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptifyang bertujuan untuk menemukan jawaban atas isu hukum mengenai konsep restorative justice dalam sistem peradilan anak. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi pustaka yaitu dengan pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diklarifikasi menyesuaikan dengan masalah untuk kemudian dibahas, dipaparkan, dan untuk selanjutnya dianalisis dengan teknik silogisme untuk membangun logika hukum. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, pertama program restorative justice dengan sasaran untuk mencapai perdamaian dan resolusi perselisihan kemudian membangun kembali hubungan dipandang sebagai metode utama untuk mencapai keadilan dan mendukung korban, pelaku dan untuk kepentingan masyarakat. Dalam perlaksanaan proses konsep restorative justice diserahakan kepada negara masing-masing, dan restorative justice melengkapi dan bukan mengantikan sistem peradilan anak yang sudah ada. Kedua, metode Restorative Justice menjadi salah pilihan dan solusi yang tepat untuk melengkapi penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep sebagai salah satu perlindungan bagi anak yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak-hak anak. Menurut konsep reastorative justice, dalam menyelesaikan tindak pidana yang terjadi, korban akan mengemukakan alasan menurut pemikiran dan pandangannya tentang tindak pidana yang terjadi. Kata kunci : Restorative justice, tindak pidana anak, perlindungan anak commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT ADI CHAHYA NUGRAHA, E0006049. 2011. REVIEW OF RESTORATIVE JUSTICE CONCEPTION URGENCY BASED ON UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS IN JUVENILE JUSTICE SYSTEM. FACULTY OF LAW, UNIVERSITY OF SEBELAS MARET. The purpose of this research is to know in depth about the concept of restorative justice in the United Nations, Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters. From the results of the review, it will be the basis for the writer to find solutions for Juvenile delinquent who deal with the law as an effort to provide protection for Juvenile delinquent children in the criminal justice process. This research is a normative laws prescriptive used to find answers of legal issues regarding the concept of restorative justice in juvenile justice system. By using the statute approach and conceptual approach. Type of legal materials that the writer use are the primary legal materials and secondary legal materials. Collection of legal materials techniqu is done by literature study which is to collect primary legal materials and secondary legal materials clarified with the problem to be discussed, presented, and then analyzed with of law syllogism a technique to build the logic. Based on the research results and generated discussion it creates conclutions, first, restorative justice program with goals to achieve peace and resolution of disputes and then rebuild the relationship are seen as the primary method for achieving justice and support victims, perpetrators and the interest of society. The process of the concept of restorative justice is implement to their respective countries, and restorative justice as acomplement and it is not replace the juvenile justice system that already exists. Second, the method of Restorative Justice become of the one choice and the right solution to complete the result of criminal cases committed by children, because it was the concept of the protection of children is putting the best interests of the child and does not ignore the rights of children. According to the concept of reastorative justice, to solve the crime that occurred, the victim will be argued by the thoughts and views on crime that occurs. Keywords: Restorative justice, juvenile delinquent, child protection
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. (Q.S. An-Nisa ayat 135)
No Pain No Gain ( No Name )
“Hal terburuk akan terjadi saat Anda membanding-bandingkan diri Anda dengan orang lain, pasalnya, Anda akan selalu kalah. Saya lebih percaya dengan kemampuan saya" ( Jose Mourinho )
Kemampuan ada batasnya namun usaha adalah tidak terbatas, sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain ( Penulis dan All Star Tri Motor FC )
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
My special thanks to… Penulis dengan sepenuh hati mempersembahkan karya ini kepada :
1. Specially untuk Bapakku Mustajab dan Ibuku Alwiyatun, karya ini aku persembahkan spesial untuk kalian, terkhusus yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, mendoakan, mendidik, dan mencurahkan segalanya demi terwujudnya segala hal yang terbaik bagi diri penulis, yang semua itu tak akan habis diungkapkan dengan kata-kata, tak dapat tergantikan, dan tak ternilai dengan apapun. Kalianlah orang tua juara satu. 2. Adikku B. N. Rahmawaty aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. 3. Untuk Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) ”Principium” Fakultas Hukum UNS, berbagai kenangan yang terbalut tawa, senyum manis kakak-kakak, kawan-kawan serta adik-adik akan selalu kukenang. Seseorang di dalamnya terimakasih atas semuanya. 4. Sahabat-sahabatku Erik, Doyok, Juni, Himza, Haris, Rudi Plentus, Didit, Fajar, Aji Bege, Faryd, Zaki, Andri, Pras, Lian, Gurindo, Dawud, Puguh terima kasih untuk waktunya selama ini kawan, jangan lupakan saya bila kita semua sukses nanti. 5. Buat kontrakan Marmos Arya, Andri, Jalal, Hakim, Muji, Ade, Apit, Ongho, Yusuf, Wisnu, David terima kasih telah menemani memperjuangkan masa depan di masa perkuliahan ini. 6. Kawanku All Star Tri Motor FC, Hanung, Danni, Qomar dll. 7. Kawan-kawanku angkatan 2006 Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret untuk semuanya terima kasih sekali. 8. Kawan-kawanku mahasiswa Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret. commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini dengan judul : “TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK”. Penulisan Hukum ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) ini tidak terlepas dari dukungan serta bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia hidup serta nikmat keimanan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini. 2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga akhir jaman. 3. Bapak Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Dr. Hari Purwadi, S.H, M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus selaku Dosen commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembimbing Pertama dalam Penulisan Hukum ini, yang telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan. 6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Kedua Penulisan Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya. Terima kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis butuhkan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi dengan tangan terbuka. 7. Bapak Bambang Santosa S.H, M.Hum selaku ketua dewan panguji yang telah mamberikan masukan saran dan kritik untuk penulisan hukum ini. 8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih penulis haturkan, atas ilmu yang telah diberikan pada penulis. 9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan. 10. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang dan peluh harap yang diberikan. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi diri pribadi penulis maupun para pembaca. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta, Desember 2010 Penulis
commit to user
x
Adi Chahya Nugraha
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI…………………………………
iii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………..
iv
ABSTRAK……………………………………………………………….....
v
ABSTRACT………………………………………………………………..
vi
MOTTO…………………………………………………………………….
vii
PERSEMBAHAN………………………………………………………….
viii
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
xi
DAFTAR TABEL………………………………………………………….
xiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
xiv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….
1
A. Latar Belakang………………………………………………….
1
B. Rumusan Masalah………………………………………………
6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………..
6
D. Manfaat Penelitian………………………………………………
7
E. Metode Penelitian……………………………………………….
8
F. Sistematika Penulisan Hukum…………………………………..
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………..
14
A. Kerangka Teori…………………………………….……………
14
1. Tinjauan Umum Tentang Anak……………………………..
14
a). Pengertian Anak…………………………………………
14
b). Pengertian Anak Nakal………………………………….
14
2. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice………………
16
a). Pengertian Restorative Justice………………………….
16
b). Dasar Restorative Justice………………………………. commit to user
20
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c). Variasi Penerapan Restorative Justice…………………. 3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Anak…………………
21 23
a). Pengadilan Anak………………………………………..
23
b). Putusan terhadap Anak Nakal…………………………..
26
4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak………………
27
a). Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Pidana terhadap Anak…………………………………………………….
27
b). Tujuan Perlindungan dalam Proses Peradilan terhadap Anak…………………………………………………….
28
B. Kerangka Pemikiran…………….………………………………
30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………
32
A. Konsep Restorative Justice dalam Basic principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters 2000…………………………………………………………….
32
B. Konsep Restorative Justice Dalam Melengkapi Penyelesaian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum………………………..
51
BAB IV PENUTUP……………………………………………………......
70
A. Simpulan………………………………………………………..
70
B. Saran……………………………………………………………
71
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...
73
LAMPIRAN………………………………………………………………..
76
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel
1.
Perbandingan
Keadilan
Restoratif
dan
Keadilan
Retributif…………………………………………………………………....
18
Tabel 2. Pergeseran Keadilan Retributif kepada Keadilan Restoratif terhadap Penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana………………………..
19
Tabel 3. Batas Usia Minimal Anak Pelaku Tindak Pidana di Berbagai Negara………………………………………………………………………
54
Tabel 4. Anak Nakal di Seluruh Indonesia Tahun 2008……………………
62
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran…………………………………..
commit to user
xiv
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak adalah generasi penerus bangsa yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Anak memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada terutama sistem peradilan,
karena anak belum matang secara fisik maupun psikis.
Perlindungan anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
kesejahteraan
anak. Di
samping itu kenakalan anak disebabkan
karena pengaruh lingkungan, terutama lingkungan di luar rumah. Kebanyakan remaja bermain di luar rumah, berkumpul dengan teman-temanya baik teman di rumah maupun teman satu sekolah, atau teman satu kelompok. Kalau temantemanya di lingkungannya tersebut berbuat yang tidak baik, biasanya si anak tersebut terpengaruh sikapnya, tanpa menilai terlebih dahulu. Sikap mudah terpengaruh ini tidak lepas dari perkembangan pribadi remaja (Gatot Supramono, 2000:4). Hak anak merupakan hak yang melekat dalam diri seorang anak yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Banyak faktor yang
memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan, baik sebagai pelaku maupun korban. Dibentuknya undang-undang tentang pengadilan anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai gejala umum yang harus diterima sebagai suatu fakta sosial. commit to user
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam perjalanan pengaturannya masalah hukum pidana anak mengalami perkembangan. Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan pembentukan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindugan Anak dimaksudkan sebagai upaya untuk perlindungan anak. Akan tetapi dalam pelaksanaanya
sistem peradilan anak di
Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya dilakukan penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak dalam lembaga pemasyarakatan yang meninggalkan trauma dan sifat negatif terhadap anak. Pengadilan Anak dibentuk memang sebagai upaya pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang (Bambang Waluyo, 2000:102). Anak
yang
diduga
melakukan
tindak
pidana,
tidak
tertutup
kemungkinannya untuk ditahan di rumah tahanan negara, menjadi tahanan rumah atau kota. Penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat. Penahanan terhadap seorang anak yang terlibat tindak pidana, pada pokoknya tetap berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa penahanan dapat dilakukan apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan dengan pidana penjara lima tahun ke atas. Lamanya waktu penahanan untuk tiap tingkatan pemeriksaan tidak sama dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Pengadilan Anak memberikan waktu lebih pendek dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kasus Raju di wilayah Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumatra Utara ternyata menjadi titik tolak bagi dunia hukum dan peradilan anak di Indonesia. Sebagaimana dilansir Berita Harian Kompas yang memberitakan kasus Raju, telah menimbulkan berbagai tanggapan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang bermunculan dari para pemerhati commit anak di to negeri userini. Aparat penegak hukum sudah
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumatra Utara itu sebenarnya sudah prosedural, sesuai dengan ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati anak Indonesia. Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus Raju dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-undang Pengadilan Anak. Berbagai kelemahan formulasi corak atau model sistem peradilan anak dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak kembali dipertaruhkan, padahal Undang-undang ini dianggap formulator sebagai model peradilan anak yang lebih baik dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya. Adapun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyangkut masalah proses hukum terutama Pasal 50 s/d 68 selain Pasal 64 Kitab Undang-undang Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
(http://hukumadil.blogspot.com
/2009/04/urgensi-paradigma-restorative-justice. html>[30 Juli 2010 Pukul 20.30 WIB]). Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir dari aparat penegak hukum terkait, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Pengadilan Anak, maupun Undang-undang Perlindungan Anak. Akan tetapi, realita menunjukkan antara teori dengan praktik kerap kali terjadi kesenjangan di negeri ini. Bahkan, penerapan hukum sering dirasakan oleh si lemah begitu keras, kaku, dan salah kaprah. Ketika produk hukum di Indonesia masih banyak mengandung celaan hukum, Konvensi Hak-hak Anak merupakan instrument ini mengatur tentang anak yang dituangkan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 44/25 tentang Convention on The Right of the Child (CRC), telah disahkan pada tanggal 20 November 1989. Pada intrumen tersebut, ketentuan khusus yang mengatur tentang anak pelaku delinkuen tercantum dalam Article 40. Dalam article tersebut antara lain terkandung prinsip-prinsip perlindungan hak-hak anak pelangar hukum commit to user yang secara umum menonjolkan asas kesejahteraan anak serta asas
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
proporsionalitas. Prinsip Beijing Rules mengatur anak pelaku tindak pidana dihindarkan dari pidana penjara. Penjatuhan pidana merupakan upaya terakhir, karena penjatuhan pidana terhadap pelaku anak berakibat anak masuk lembaga pemasyarakatan anak (Marlina, 2009:12). Anak adalah anak, bukan orang dewasa yang kecil, sehingga dalam proses hukumanpun dibedakan dari orang dewasa. Ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran dan menjadi dasar landasan menyelenggarakan proses peradilan pidana bagi anak. Pertama bahwa anak yang melakukan tindak pidana bukanlah dipandang sebagai penjahat, tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan.
Kedua
pendekatan
yuridis
terhadap
anak
hendaknya
lebih
mengutamakan persuasive-edukatif dan pendekatan kejiwaan/psikologi, yakni sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, bersifat degradasi proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan, dan kemandirian anak dalam arti yang wajar (Waluyadi, 2009:146). Menghadapi persoalan di atas, tentunya kata menghukum bukan menjadi harga mati, oleh karena bertentangan dengan keadilan, sehingga yang terpenting adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip yang bersifat prosedural dan mencari alternatif hukuman yang paling sesuai dengan kondisi anak dan demi kebaikan serta kesejahteraan anak. Upaya penangulangan kejahatan dengan pendekatan
nonpenal
merupakan
bentuk
upaya
penanggulangan
berupa
pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan media massa. Konsep restorative justice merupakan bentuk alternatif penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak terkait dalam tindak pidana yang terjadi. United Nations Children and Education Fund (UNICEF) mengelar kongres yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, beberapa lembaga swadaya masyarakat dari beberapa negara mensponsori sejumlah sesi pertemuan to user untuk secara khusus berdiskusicommit tentang perlindungan terhadap anak yang
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berkonflik dengan hukum. Sejak itu berbagai minat dan program serta kebijakan dengan menggunakan pendekatan ini dilakukan diberbagai negara dan menjadi topik yang mengemuka. Pada Tahun 1995 itu pula, dalam sejumlah sesi pertemuan di kongres yang dilaksanakan di Kairo ini, dibicarakan secara tajam dan mendalam hal-hal yang teknis berkaitan dengan penggunaan pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara pidana anak. Hingga pada kongres selanjutnya yang digelar pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan restorative
justice
(http://evacentre.blogspot.com/p/
restorative-justice-di-
indonesia.html>[30 Juli 2010 Pukul 20.45]). Konsep restorative justice telah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana, dengan duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang. Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Model peradilan anak restorative justice berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar pada model peradilan restoratif ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak. Kaitannya dengan penulisan hukum ini, Penulis ingin mengkaji mengenai konsep restorative justice dalam sistem peradilan anak. Penulis kemudian mengangkat topik tersebut dalamcommit penulisan hukum dengan judul : “TELAAH to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
URGENSI
KONSEPSI
RESTORATIVE
JUSTICE
BERDASARKAN
UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK”.
B. Rumusan Masalah Penelitian hukum diperlukan adanya suatu perumusan masalah sebagai informasi yang mengandung pertanyaan atau yang dapat dipertanyakan. Berdasarkan hal di atas dan latar belakang, maka dalam penelitian ini peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsep restorative justice berdasarkan United Nations Basic Principles On The Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters dalam sistem Peradilan Anak ? 2. Apakah konsep Restorative Justice dapat melengkapi dalam penyelesaian penanganan anak yang berkonflik dengan hukum ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka ada suatu tujuan yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Oleh karena itu dalam penyusunan penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui konsep restorative justice dalam peradilan anak di Indonesia. b. Untuk
mengetahui
konsep restorative justice dalam
penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum.
commit to user
melengkapi
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tujuan Subyektif a. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar Strata Satu dalam bidang Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret. b. Mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran dan pengetahuan untuk lebih meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang penulis dapat selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian Dalam suatau penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun mafaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharap dapat memberikan sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan bidang ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Acara Pidana pada khususnya, yang utamanya berkaitan dengan penggunaan konsep restorative justice dalam Peradilan Anak. b. Penelitian ini diharap memperbanyak wawasan dan pengalaman serta pengetahuan, dan sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharap memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan penelitian ini. b. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran dan pola kritis bagi pihak terkait, dan berkenaan dengan memberikan solusi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Metode Penelitian Di dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan suatu faktor yang penting dalam menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan dibahas, metode merupakan cara utama yang akan digunakan untuk mencapai tingkat ketelitian yang dihadapi. Dalam penulisan hukum ini digunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau doktrinal. Hutchinson mendefinisikan penelitian hukum doktrinal sebagai berikut, “Doctrinal Research : Research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of difficulty and, perhaps, predicts future devolepment” (Peter Mahmud Marzuki, 2008:32). Penelitian doktrinal adalah penelitian yang menyertakan eksposisi yang sistematis pada aturan pemerintah berupa kategori peraturan khusus, analisis
hubungan
antar
aturan,
penjelasan
tentang
kesulitan
dan
kemungkinan, prediksi perkembangan peraturan yang akan datang. 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Dalam usaha memperolah bahan hukum yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan metode penelitian preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas keadilan, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008:22). Berdasarkan penjelasan di atas, dikaitkan upaya penulis untuk menemukan jawaban atas konsep restorative justice dalam Peradilan Anak di commitrestorative to user justice dalam hal perlindungan Indonesia serta penggunaan konsep
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anak terkait anak yang berkonflik dengan hukum. Konsep restorative justice dalam melengkapi penanganan anak delinkuen. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Pendekatanpendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan
historis
(historical
approach),
pendekatan
komperatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Adapun penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang dihadapi, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dengan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Undang-undang yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum kemudian konsep yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah konsep restorative justice, dalam United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsepkonsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93-95).
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Untuk memecahkan isu
hukum sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamuskamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141). a. Bahan Hukum Primer 1). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2). Kitap Undang-undang Hukum Pidana; 3). Kitap Undang-undang Hukum Acara Pidana; 4). Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5). Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang akan digunakan di dalam penelitian hukum ini adalah buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainya yang memiliki korelasi dengan isu hukum yang akan diteliti di dalam penelitian hukum ini. 5. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum Berdasakan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka untuk memperolah bahan hukum yang mendukung kegiatan penulisan hukum commit to user ini, maka pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
studi kepustakaan atau bahan pustaka, baik dari media cetak maupun elektronik. 6. Tehnik Analisis Bahan Hukum Tehnik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah silogisme dan interpretasi. Silogisme merupakan metode argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-premis yang menyatakan permasalahan yang berlainan. Dalam mengambil konklusi harus mengambil sandaran untuk berpijak. Sandaran umum dihubungkan dengan permasalahan yang lebih khusus melalui term yang ada pada keduanya (Peter Mahmud Marzuki, 2008:100). Metode yang lazim digunakan di dalam penalaran hukum adalah metode deduksi. Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2008:47).
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk mempermudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka peneliti menjabarkan dalam bentuk sitematika penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi atas sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini. Adapun sitematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pada Bab ini diketengahkan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka teori ini penulis mengetengahkan landasan teori dari para pakar maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan umum tentang Anak, tinjauan umum tentang Restorative Justice, tinjauan umum tentang Pengadilan Anak, tinjauan umum tentang Perlindungan Anak. Selain itu, guna memberikan gambaran terkait logika berfikir penulis dalam memecahkan problematika isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, maka dalam bab ini juga disertakan kerangka pemikiran. B. Kerangka Pemikiran meliputi skema konsep dari alur pemikiran penulis dalam melakukan penelitian ini. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan memaparkan dan membahas hasil penelitian dari bahan hukum yang berkaitan dengan isu hukum yang diketengahkan. Guna mempermudah dalam memaparkan dan membahas hasil penelitian, maka penulis membaginya dalam dua tahap berdasarkan rumusan masalah yang ada. 1. Tahap pertama, penulis membahas mengenai konsep Restorative Justice berdasarkan United Nations Basic
Principles On The
Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters dalam sistem Peradilan Anak. 2. Tahap kedua, penulis, membahas mengenai konsep Restorative Justice dalam melengkapi dalam penyelesaian penanganan anak yang berkonflik dengan hukum guna mewujudkan perlindungan bagi anak.
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV : PENUTUP Dalam bab ke empat, penulis akan memberikan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya serta saran penulis terhadap beberapa kekurangan yang ditemukan dan sekiranya perlu diperbaiki dalam penelitian. DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka mencakup bahan hukum baik primer maupun bahan hukum sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal-jurnal, dan artikel dari media elektronik. LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Anak a. Pengertian Anak Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa : “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Berdasarkan undang-undang diatas maka anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum pernah menikah. Oleh karena itu, anak tidak dapat dikenaan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena berpikir dan dan berada dalam pengawasan orang tua atau walinya. b. Pengertian Anak Nakal Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, perbuatan melanggar hukum dilakukan seseorang anak di kualifikasi sebagai perbuatan “nakal”, sehingga terhadap anak pelaku pelanggaran tersebut diberikan istilah “anak nakal”. Sebagai mana di tegaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak menyatakan secara jelas status dan kedudukan anak. commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
Pengertian anak nakal berbasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah : 1). anak yang melakukan tindak pidana; atau 2). anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pengertian delinquency menurut Simanjuntak yang dikutip oleh Marlina (Marlina, 2009:39) adalah : 1). Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan pemerkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelaggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para deliquent. 2). Juvenile delinquent adalah pelaku yang terdiri dari anak (berumur di bawah 21 tahun), yang termasuk yuridiksi Pengadilan Anak/Junenile Court. Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency ini menurut Adler yang dikutip oleh Wagianto (Wagianti Soetodjo, 2006:13-14) adalah : 1).
Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
2).
Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan mengacaukan ketraman lingkungan sekitar;
3).
Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, sering membawa korban jiwa;
4).
Membolos sekolah lalu berlandangan sepanjang jalan bersembunyi ditempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacamcommit to user macam kejurjanaan dan tindakan asusila;
perpustakaan.uns.ac.id
5).
16 digilib.uns.ac.id
Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggaggu, menggarong, melakukan pembunuhan, dan pelangaran lainya;
6).
Berpesta sambil mabuk-mabukan yang menggaggu sekitarnya;
7).
Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensantoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi balas dendam, dan kekecewaan;
8).
Kecanduan dan ketagihan narkoba yang erat kaitanya dengan tindak kejahatan;
9).
Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan akses kriminal;
10). Komersialosasi seks, pengguguran jani oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu yang tidak kawin; 11). Tindakan radial dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja. 2. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice a. Pengertian Restorative Justice Dalam United Nations Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters mendefinisikan proses restorative justice adalah : "Restorative process" means any process in which the victim, the offender and/or any other individuals or community members affected by a crime actively participate together in the resolution of matters arising from the crime, often with the help of a fair and impartial third party. Examples of restorative process include mediation, conferencing and sentencing circles (United Nations, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters, article 3 ). commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut United Nations Basic
Principles on the Use of
Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, proses restorative jusstice berarti proses di mana korban, pelanggar dan/atau anggota masyarakat atau individu lain yang terpengaruh oleh suatu kejahatan dengan aktif mengambil bagian bersama-sama di dalam berbagai hal yang timbul dari kejahatan, sering dengan bantuan suatu pihak ketiga tak berat sebelah dan adil. Restorative Justice adalah proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, dan masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan semua kerugian yang diderita oleh semua pihak (Marlina, 2009 : 31). Tujuan konsep pendekatan restorative justice adalah mencapai konsensus mengenai solusi yang paling baik untuk menyelesaikan konflik. Keadilan restoratif merupakan suatu cara baru dalam melihat peradilan pidana yang berpusat pada perbaikan kerusakan dan kerugian korban dan hubungan antarmanusia, daripada menghukum pelaku tindak pidana. Negara yang direpresentasikan oleh institusi-institusi penegak hukum, tidak mengambil alih penyelesaian konflik yang merupakan kejahatan, karena suatu tindak pidana dalam keadilan restoratif tidak dipandang sebagai kejahatan terhadap negara, tetapi terhadap anggota masyarakat yang menjadi korban. Kriteria Restorative Justice antar lain : a) Kasus kenakalan anak yang tidak mengorbankan kepentingan orang banyak. b) Kenakalan anak tidak mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat, cacat. c) Kenakalan anak yang bukan kejahatan susila serius dan menyangkut kehormatan. commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 1 Perbandingan Konsep Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif
No.
1.
Retributive Justice
Kejahatan
dirumuskan
pelanggaran hakekat
sebagai Kejahatan
terhadap
konflik dari
Restorative Justice
negara, pelanggaran kejahatan orang lain,
dikaburkan dan ditekan. 2.
dirumuskan
sebagai
seseorang
terhadap
dan
diakui
sebagai
konflik.
Perhatian diarahkan pada penentuan Titik perhatian kesalahan pada masa lalu.
pada
pemecahan
masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.
3.
Hubungan
para
pihak
bersifat Sifat normatif dibangun atas dasar
perlawanan, melalui proses teratur dialog dan negosiasi. dan bersifat normatif. 4.
Penetapan
untuk Restitusi sebagai sarana perbaikan
penderitaan
para pihak,
penjeraan dan pencegahan.
rekonsiliasi
dan
restorasi sebagai tujuan utama. 5.
Keadilan
dirumuskan
dengan Keadilan
kesengajaan dan dengan proses.
dirumuskan
sebagai
hubungan hak, dinilai atas dasar hasil.
6.
Kerugian
sosial
yang
digantikan dengan yang lain. 7.
Masyarakat
berada
pada
satu Sarana perhatian pada perbaikan sosial. garis Masyarakat merupakan fasilitator
samping dan ditampilkan secara di dalam proses restoratif. abstrak oleh negara. 8.
Peran korban dan pelaku kejahatan Aksi diarahkan dari negara pada commit to user diakui, baik dalam masalah maupun pelaku tindak pidana. penyelesaian hak-hak dan
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebutuhan korban, pelaku kejahtan di
dorong
untuk
melakukan
pertanggung jawaban. 9.
Pertanggungjawaban
si
pelaku Pertanggungjawaban
tindak pidana dirumuskan dalam dirumuskan rangka pemidanaan. 10.
si
sebagai
pelaku dampak
pemahaman terhadap perbuatan dan
Tindak pidana dirumuskan
untuk memutuskan yang terbaik. dalam Tindak pidana dipahami dalam
terminology hukum yang bersifat konteks menyeluruh, moral, sosial teoritis dan murni tanpa
dimensi dan ekonomis.
moral, sosial dan ekonomis. 11.
Stigma
kejahatan
tidak dapat Stigma
dapat
dihapus
restoratif.
dihilangkan. Sumber : Jurnal Rena Yulia
Tabel 2 Pergeseran Keadilan Retributif kepada Keadilan Restoratif terhadap Penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana
Tema Pokok
Keadilan Retributif
Keadilan Restoratif
Orientasi keadilan Kepada pelanggar dan Kepada kepentingan karena pelanggarannya korban Kejahatan
Melanggar negara
Melanggar perseorangan
hak
Korban
Negara
Orang yang dirugikan langsung, masyarakat, negara dan pelanggar sendiri
Sistem Peradilan Mengadili pelanggar Menyelesaikan to user konflik Pidana dan commit menjatuhkan antara
dengan
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemidanaan
pidana rasionalisasi pembalasan
sebagai pelanggar korbannya
Pidana pembalasan pelanggaran pidana
bersifat Pertanggung jawaban atas pelanggar terhadap hukum akibat perbuatannya
Korban dalam Bersifat pasif Sistem Peradilan Pidana
dengan
Bersifat aktif
Sumber : Jurnal Mahmud Mulyadi. b. Dasar Restorative Justice United Nations, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice. Prinsip-prinsip restorative justice antara lain sebagai berikut (Unicef, 2004 : 357) : 1). Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; 2). Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya
secara konstruktif; 3). Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya; 4). Menciptakan
forum
masalah; menetapkan
untuk
bekerjasama
hubungan
langsung
kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.
commit to user
dalam dan
menyelesaikan nyata
antara
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Variasi Penerapan Restorative Justice Bentuk-bentuk praktek restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan New Zealand dapat dikelompokan dalam empat praktek yang menjadi dasar pioneer penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation (VOM), Conferencing/Family Group Conferencing (FGC), Circles, dan Restorative Board/Youth Panels (Marlina, 2009:180-196) : 1). Victim Offender Mediation (VOM) Program Victim Offender Mediation pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seprti Norwegia dan Firlandia. Tujuan dilaksanakan Victim Offender Mediation adalah memberikan penyelesaian terhadap peristiwa yang terjadi, di antaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang mengkoordinasikan dan memfasilitasi pertemuaan. Sasaran dari Victim Offender Mediation adalah proses penyembuhan korban dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan berbicara secara sukarela serta memberikan kesempatan pada pelaku belajar terhadap akibat dari perbuatanya
dan
mengambil
tanggung
jawab
langsung
atas
perbuatanya itu serta membuat rencana penyelesaian yang terjadi. 2). Conferencing/Family Group Conferencing (FGC) Conferencing/Family
Group
Conferencing
dikembangkan
pertama kali di Negara New Zealand pada tahun 1989 dan di Australia pada tahun 1991 dan mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa Maori. Tujuanya adalah mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggungjawaban bersama. Sasaranya memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. 3). Circles Pelaksanan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon, Canada. Circles sama halnya dengan Conferencing yang dalam pelaksanaanya memperluas partisipasi para peserta dalam proses mediasi di luar korban dan pelaku utama. Tujuanya membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat, dan pihak lainya yang berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran yang ingin di capai adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki
dirinya
dengan
tanggungjawab
penyelesaian
kesepakatan. 4). Restorative Board/Youth Panels Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance setelah melihat respon yang baik dari warga terhadap studi yang dilakukan oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan yang menjadi dasarnya. Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak
dengan melibatkan pelaku, korban,
masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan anti commit to user rugi bagi korban atau masyarakat. Sasaranya adalah peran aktif
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
anggota masyarakat secara langsung dalam proses peradilan tindak pidana, kemudian memberikan kesempatan kepada korban dan anggota masyarakat untuk melakukan dialog secara langsung dengan pelaku. 3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Anak a. Pengadilan Anak Pengadilan Anak sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah sebuah pengadilan
yang
diselengarakan untuk menangani pidana khususnya bagi perkara anakanak. Dalam undang-undang ini memang dinyatakan untuk menangani perkara pidana, Pasal 3 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya sekedar menyebutkan : “Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undangundang ini” . Kompentensi absolute Pengadilan Anak ada pada Badan Peradilan Umum, artinya bahwa Pengadilan Anak itu adalah bagian dari Badan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara Anak Nakal dan bermuara pada Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi. Kompetensi relatif Pengadilan Anak, adalah sesuai dengan tempat kejadian kenakalan anak. Maksudnya, adalah pengadilan yang berwenang mengadili perkara itu adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kejadian tindak pidana yang terjadi. Undang-undang Pengadilan Anak dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas yang memedakannya dengan sidang perkara pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut (Maidin Gultom, 2008:86-88) : 1).
Pembatasan umur (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 ayat (1) Undangundang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : orang yang dapat disidangkan commit dalam acara Pengadilan Anak ditentukan secara to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
limitatif, yaitu minimum berusia 8 (delapan) tahun dan maksimal berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah; 2).
Ruang lingkup masalah yang dibatasi: masalah yang diperiksakan di sidang Pengadilan Anak, hanya menyangkut perkara Anak Nakal saja. Sidang anak hanya berwenang memeriksa perkara pidana. Sidang Pengadilan Anak hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Anak Nakal (Pasal 21 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak);
3).
Di tanggani oleh pejabat khusus: perkara Anak Nakal ditanggai pejabat khusus yaitu Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak; a). Penyidik adalah Penyidik Anak, syarat untuk ditetapkan sebagai Penyidik Anak adalah : (1). Telah berpegalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. (2). Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. b). Hakim adalah Hakim Anak. Hakim pada Sidang Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usulan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak adalah : (1). Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2). Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami maslah anak. c). Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak. Penuntutan terhadap Anakcommit Nakal to dilakukan oleh Penuntut Umum, yang user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Syarat untuk ditetapkan sebagai Penuntut Umum Anak adalah : (1). Telah berpangalaman sebagai Penuntut Umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. (2). Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. 4).
Peran Pembimbang Kemasyarakatan : Undang-undang Nomor 3 tahun
1997
tentang
Pengadilan
Anak
mengakui
peranan
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, Pekerja Sosial Relawan; 5).
Suasana pemeriksaan adalah kekeluargaan: pemeriksaan perkara dipengadilan dilakukan dalam suasana kekeluragaan, karena itu Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum tidak memakai toga;
6).
Keharusan Splitsing: anak tidak boleh disidangkan/diadili bersama orang dewasa baik berstatus sipil maupun militer;
7).
Acara pemeriksaan tertutup: acara pemeriksaan perkara di Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup, dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997);
8).
Diperiksa oleh Hakim tunggal: hakim yang memeriksa perkara di Pengadilan Anak, baik di tinggkat pertama, banding, atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal. Apabila tindak pidana diancam dengan pidana penjara diatas 5 (lima) tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, perkara diperiksa dengan hakim majelis; commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
9).
Masa penahan lebih singkat: masa penahanan terhadap anak lebih singkat yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dibandingkan dengan masa penahanan terhadap orang dewasa;
10). Hukuman yang lebih ringan: hukuman yang dijatuhkan terhadap Anak Nakal lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal terhadap Anak Nakal adalah 10 (sepuluh) tahun. b. Putusan Anak Nakal Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menerangkan bahwa terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhi pidana atau tindakan. 1). Pidana terhadap Anak Nakal Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. a). Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : (a). pidana penjara; (b). pidana kurungan; (c). pidana denda; atau (d). pidana pengawasan. b). Selain pidana pokok, Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. 2). Tindakan yang dilakukan Hakim kepada Anak Nakal a). Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b). menyerahkan
kepada
negara
untuk
mengikuti
pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; c). menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, commit to user dan latihan kerja;
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d). semua tindakan harus disertai dengan teguran oleh hakim.
4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak a. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum terhadap Anak Pada tanggal 26 januari 1990 di New York, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatagani Konvensi Hak-hak Anak 1989. selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 1990 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child. Dengan demikian, dalam upaya melakukan perlindungan anak melalui hukum pidana, sewajarnya memperhatikan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak tersebut, khusus dinyatakan dalam Articel 37 dan Articel 40. Artikel 37 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai berikut (Barda Nawawi Arief, 2000:158-159) : 1). Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainya yang kejam. Tidak manusiawi dan merendahkan martabat; 2). Pidana mati maupun penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia dibawah 18 tahun; 3). Tidak seorang anakpun dapat dirampas kemerdekaanya secara melawan hukum atau sewenang-wenang penangkapan, penahanan, dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek; 4). Setiap anak yang dirampas kemerdekaanya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia; 5). Anak yang dirampas kemerdekaanya akan dipisahkan dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan/kontak dengan keluarganya; commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6). Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperolah bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya dimuka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tepat atas tindakan terhadap dirinya itu. Article 40 tersebut antara lain terkandung prinsip-prinsip perlindungan hak-hak anak pelangar hukum yang secara umum. Prinsipprinsip tersebut antara lain (Nanang Sambas, 2010:193-194) : 1). Perlakuan hak anak secara memadai sesuai tingkatan pemahaman anak, mengusahakan anak menguasai rasa hormat pada pihak lain, sambil berusaha mengintegrasikan anak kembali ke masyarakat : 2). Asas legalitas; 3). Asas presumption of innocence; 4). Penjelasan tuduhan dan pemberian bantuan hukum; 5). Pemeriksaan yang fair dengan melibatkan orang tua dan penasehat hukum anak; 6). Pemberian tindakan pada anak oleh lembaga yang berwenang sesuai hukum yang berlaku; 7). Pemberian juru bahasa; 8). perlindungan “privacy” anak. b. Tujuan Perlindungan Hukum dalam Proses Peradilan terhadap Anak Berikut ini tujuan perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan bila anak berkonflik dengan hukum (Barda Nawawi Arief, 1992:113) : 1). Memajukan Kesejahteraan Anak Sasaran pertama ini merupakan fokus utama dalam hukum commitanak-anak, to user yang menangani pelanggar khususnya di dalam sistem
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih menekankan atau mengutamankan kesejahteraan anak. Bahwa prinsip ini berarti menunjang prinsip untuk menghadiri penggunaan sanksi yang
semata-mata
bersifat
pidana
atau
semata-mata
bersifat
menghukum. 2). Prinsip Proposionalitas Ditegaskan bahwa sasaran yang kedua, yaitu prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata. Proses peradilan anak harus juga dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Anak yang Berhadapan dengan Hukum Pidana Anak
Proses Peradilan Anak
Pengaruh Buruk Proses Peradilan bagi Anak
Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Kelemahan dan Kekurangan
Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters
Restorative Justice
Perlindungan Anak
Gambar 1 Skematik Kerangka Pemikiran Keterangan : Kerangka pikir tersebut merupakan alur pikiran penulis dalam menggambarkan, mengurai dan menemukan jawaban dari permasalahan commit to user yang penulis angkat dalam penelitian hukum yaitu konsep restorative
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
justice dalam sistem peradilan anak sebagai upaya perlindungan terhadap anak dari pengaruh buruk proses pengadilan. Banyaknya anak yang melakukan tindak pidana yang membuat anak tersebut menjalani proses peradilan. Sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Proses peradilan yang akan di jalani anak yang berkonflik dengan hukum akan membuat pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental, maupun psikis anak tersebut. Anak memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada terutama sistem peradilan. Penanganan kasus anak pelaku tindak pidana dengan jumlah dan bentuk beragam, diperlukan usaha negara untuk menetapkan Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Proses Peradilan Anak berdasarkan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang bertujuan untuk menangulagi kejahatan terhadap anak dan melindungi anak dari pengaruh buruk proses peradilan, akan tetapi dalam undang-undang tersebut masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Dalam menangani anak delinkuen diperlukan upaya atau model peradilan anak yang baru. Berdasarkan Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters, menawarkan solusi bagi anak yang berkonflik dengan hukum yang mana akan melibatkan pihak pelaku dan pihak korban yaitu konsep restorative justice. Konsep restorative justice merupakan salah satu cara untuk upaya perlindungan anak dari pengaruh buruk proses peradilan. Hal-hal tersebut menjadi
gambaran
landasaan
berfikir
penulis
dalam
meninjau
permasalahan proses peradilan anak bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu penulis akan mencoba untuk menelaah konsep Restorative Justice dalam sistem perdilan anak di Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Anak 1. Konsep Restorative Justice dalam Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters 2000 Gagasan praktik keadilan restoratif yang semula berangkat dari kajian-kajian akademis dan wacana para aktivis akhirnya ditetapkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai pedoman penanganan kejahatan dalam Basic principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters pada tahun 2000. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), program keadilan restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Bertujuan memulihkan kedamaian dan hubungan yang rusak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggung jawab (Hadi Supeno, 2010:209). Berdasarkan Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters, prinsip-prinsip dasar penggunaan program konsep restorative justice, sebagai berikut : 7. Restorative processes should be used only with the free and voluntary consent of the parties. The parties should be able to withdraw such consent at any time during the process. Agreements should be arrived at voluntarily by the parties and contain only reasonable and proportionate obligations. Dalam articles 7 Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters menjelaskan bahwa proses restoratif harus digunakan hanya dengan persetujuan bebas dan sukarela dari para pihak. Para pihak harus dapat menarik kembali persetujuan tersebut setiap saat selama proses tersebut. Perjanjian harus disetujui secara sukarela oleh para pihak dan commit to user berisi kewajiban hanya wajar dan proporsional.
32
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
8. All parties should normally acknowledge the basic facts of a case as a basis for participation in a restorative process. Participation should not be used as evidence of admission of guilt in subsequent legal proceedings. Dalam articles 8 Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters menjelaskan bahwa semua pihak biasanya harus mengakui fakta-fakta dasar kasus sebagai dasar untuk partisipasi dalam proses restoratif. Partisipasi tidak boleh digunakan sebagai bukti pengakuan bersalah dalam proses hukum selanjutnya. 9. Obvious disparities with respect to factors such as power imbalances and the parties' age, maturity or intellectual capacity should be taken into consideration in referring a case to and in conducting a restorative process. Similarly, obvious threats to any of the parties' safety should also be considered in referring any case to and in conducting a restorative process. The views of the parties themselves about the suitability of restorative processes or outcomes should be given great deference in this consideration. Dalam articles 9 Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters menjelaskan bahwa perbedaan yang jelas berkaitan dengan faktor-faktor seperti ketidakseimbangan kekuasaan dan usia para pihak, daluarsa atau kapasitas intelektual yang harus dipertimbangkan dalam merujuk kasus dan dalam melakukan proses restoratif. Demikian pula, ancaman jelas bagi keselamatan setiap pihak juga harus dipertimbangkan dalam merujuk kasus apapun dan dalam melakukan proses restoratif. Pandangan para pihak sendiri tentang kesesuaian proses restoratif atau hasil harus diberikan penghormatan yang besar dalam pertimbangan ini. 10. Where restorative processes and/or outcomes are not possible, criminal justice officials should do all they can to encourage the offender to take responsibility vis-à-vis the victim and affected communities, and reintegration of the victim and/or offender into the community. Dalam articles 10 Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters menjelaskan bahwa proses restoratif apabila hasilnya tidak memungkinkan, para aparat commit to userpenegak hukum harus melakukan
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
semua yang mereka bisa untuk mendorong pelaku untuk bertanggung jawab masyarakat korban dan terkena dampak, dan reintegrasi korban dan / atau tersangka pelaku ke masyarakat. Prinsip dasar pelaksanaan program konsep restorative justice menurut Basic principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters pada tahun 2000, sebagai berikut : 11. Guidelines and standards should be established, with legislative authority when necessary, that govern the use of restorative justice programmes. Such guidelines and standards should address: (a). The conditions for the referral of cases to restorative justice programmes; (b). The handling of cases following a restorative process; (c). The qualifications, training and assessment of facilitators; (d). The administration of restorative justice programmes; (e). Standards of competence and ethical rules governing operation of restorative justice programmes. Article 11 menjelaskan mengenai pedoman dan standar harus ditetapkan, dengan otoritas legislatif bila diperlukan dengan pembentukan peraturan-perundangan, yang mengatur penggunaan program keadilan restoratif. Pedoman dan standar tersebut harus tepat, meliputi : kondisi rujukan kasus untuk program keadilan restoratif; penanganan kasus berikut proses restoratif; kualifikasi, pelatihan dan penilaian fasilitator; administrasi program keadilan restoratif; standar kompetensi dan aturan etika yang mengatur pelaksanaan program keadilan restoratif. 12. Fundamental procedural safeguards should be applied to restorative justice programmes and in particular to restorative processes: (a). The parties should have the right to legal advice before and after the restorative process and, where necessary, to translation and/or interpretation. Minors should, in addition, have the right to parental assistance; (b). Before agreeing to participate in restorative processes, the parties should be fully informed of their rights, the nature of the process and the possible consequences of their decision; (c). Neither the victimcommit nor the should be induced by unfair to offender user means to participate in restorative processes or outcomes.
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
Pengamanan prosedural fundamental harus diterapkan untuk program keadilan restoratif dan khususnya untuk proses restoratif antara lain : para pihak harus memiliki hak untuk mendapatkan penasihat hukum sebelum dan sesudah proses restoratif dan, bila perlu untuk penerjemahan dan / atau interpretasi. Sebelum menyetujui untuk berpartisipasi dalam proses restoratif, para pihak harus sepenuhnya diberitahu tentang hak-hak mereka, sifat proses dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan mereka. Baik korban maupun pelaku harus di induksi dengan cara adil untuk berpartisipasi dalam proses restoratif. 13. Discussions in restorative processes should be confidential and should not be disclosed subsequently, except with the agreement of the parties. 14. Judicial discharges based on agreements arising out of restorative justice programmes should have the same status as judicial decisions or judgements and should preclude prosecution in respect of the same facts (non bis in idem). 15. Where no agreement can be made between the parties, the case should be referred back to the criminal justice authorities and a decision as to how to proceed should be taken without delay. Lack of agreement may not be used as justification for a more severe sentence in subsequent criminal justice proceedings. Diskusi dalam proses restoratif harus bersifat rahasia dan tidak boleh diungkapkan kemudian, kecuali dengan persetujuan para pihak. Keputusan yudisial berdasarkan perjanjian yang timbul dari program keadilan restoratif memiliki status yang sama dengan keputusan pengadilan atau penilaian dan harus menghalangi penuntutan sehubungan dengan fakta yang sama. Apabila kesepakatan tidak dapat dibuat antara para pihak, kasus tersebut harus dirujuk kembali kepada otoritas peradilan pidana anak. Kelemahan dalam perjanjian tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk hukuman yang lebih berat dalam proses peradilan pidana selanjutnya. 16. Failure to implement an agreement made in the course of a restorative process should be referred back to the restorative programme or to the criminal justice authorities and a decision as to commit to user how to proceed should be taken without delay. Failure to implement
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
the agreement may not be used as justification for a more severe sentence in subsequent criminal justice proceedings. Kegagalan untuk melaksanakan suatu perjanjian yang dibuat dalam proses restoratif harus dirujuk kembali ke program restoratif atau kepada otoritas peradilan pidana anak dan keputusan mengenai bagaimana untuk melanjutkan harus diambil tanpa penundaan. Kegagalan untuk melaksanakan perjanjian tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk hukuman yang lebih berat dalam proses peradilan pidana selanjutnya. 20. Facilitators should receive initial training before taking up facilitation duties and should also receive in-service training. The training should aim at providing skills in conflict resolution, taking into account the particular needs of victims and offenders, at providing basic knowledge of the criminal justice system and at providing a thorough knowledge of the operation of the restorative programme in which they will do their work. Peran fasilitator sangatlah pokok dalam proses peradilan restoratif. Fasilitator harus direkrut dari semua bagian dari masyarakat dan pada umumnya harus memiliki pemahaman yang baik tentang budaya lokal dan masyarakat. Mereka harus mampu menunjukkan penilaian yang baik dan keterampilan interpersonal yang diperlukan untuk melakukan proses restoratif. Fasilitator harus melakukan tugas mereka dengan cara yang tidak memihak, berdasarkan fakta-fakta kasus tersebut dan pada kebutuhan dan keinginan para pihak. Mereka selalu harus menghormati martabat para pihak dan memastikan bertindak hormati terhadap satu sama lain. Fasilitator harus bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang aman dan tepat untuk proses restoratif. Mereka harus peka terhadap kerentanan pihak. Fasilitator harus menerima pelatihan awal sebelum mengambil tugas-tugas fasilitasi dan juga harus menerima pelatihan in-service. Pelatihan ini harus bertujuan
memberikan
ketrampilan
dalam
resolusi
konflik,
dengan
memperhatikan kebutuhan khusus korban dan pelaku, untuk memberikan pengetahuan dasar dari sistem peradilan pidana anak dan untuk memberikan pengetahuan menyeluruh tentang pengoperasian program restoratif di mana commit to user mereka akan melakukan yang bekerja.
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
Victim-offender mediation programmes (also known as victimoffender reconciliation programmes) were among the earliest restorative justice initiatives. These programmes are designed to address the needs of crime victims while insuring that offenders are held accountable for their offending. The programmes can be operated by both governmental agencies and not-for-profit organizations and are generally restricted to cases involving less serious offences. Referrals may come from the police, the prosecutors, the courts and probation offices (United Nations, 2006:17). Korban-pelaku program mediasi yang berada dalam proses keadilan restoratif adalah inisiatif para pihak. Program ini dirancang untuk memenuhi penyelesaian kejahatan, sementara korban menjamin bahwa pelaku harus bertanggung jawab terhadap korban. Program program dapat dioperasikan oleh lembaga pemerintah dan tidak untuk organisasi nirlaba dan umumnya walaupun terbatas pada kasus yang kurang serius. Arahan dapat berasal dari polisi, jaksa, pengadilan dan Balai Pemasyarakatan. Ketika proses berlangsung sebelum hukuman, hasil dari mediasi biasanya dibawa kembali ke jaksa atau hakim untuk dipertimbangkan. Proses mediasi korban pelaku dapat juga digunakan dengan baik selama penahanan pelaku dan bisa menjadi bagian dari proses rehabilitasi. Proses mediasi lebih mungkin untuk sepenuhnya memenuhi tujuan jika korban dan pelaku bertemu tatap muka, dapat mengekspresikan perasaan mereka langsung satu sama lain, dan mengembangkan pemahaman baru tentang situasi. Dengan bantuan seorang fasilitator yang terlatih, mereka bisa mencapai kesepakatan yang akan membantu mereka berdua membawa penutupan dengan insiden. Bahkan, fasilitator biasanya bertemu dengan kedua belah pihak sebelum pertemuan tatap muka dan dapat membantu mereka mempersiapkan diri untuk kesempatan itu. Hal ini dilakukan untuk memastikan, antara hal-hal lain, bahwa korban tidak kembali menjadi korban kejahatan oleh pelaku dan bahwa pelaku mengakui tanggung jawab insiden dan tulus dalam ingin bertemu korban. As emphasized in the Basic Principles, restorative justice programmes complement rather than replace the existing criminal justice system. A restorative intervention can be used at any stage of the criminal justice commit toamendments user process, although in some instances to existing laws may be
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
required. Generally speaking, there are within a criminal justice system four main points at which a restorative justice process can be successfully initiated: (a) at the police level (pre-charge); (b) prosecution level (postcharge but usually before a trial), (c) at the court level (either at the pre-trial or sentencing stages; and, (d)corrections (as an alternative to incarceration, as part of or in addition to, a non-custodial sentence, during incarceration, or upon release from prison (United Nations, 2006:13). Seperti ditekankan dalam prinsip-prinsip dasar, program keadilan restoratif melengkapi dan bukan menggantikan sistem peradilan pidana anak yang ada. Intervensi keadilan restoratif dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana anak, meskipun dalam beberapa kasus dibutuhkan untuk mengamandemen undang-undang yang ada. Secara umum, ada empat poin utama dalam sistem peradilan pidana anak, proses keadilan restoratif dapat berhasil dimulai: (a) di tingkat polisi, (b) tingkat penuntutan, (c) di tingkat pengadilan, dan (d) evaluasi (sebagai alternatif penahanan, sebagai tambahan dengan atau setelah dibebaskan dari penjara). Polisi dapat juga menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam pengambilan keputusan mereka ketika mereka dipanggil untuk menanganai kasus dalam situasi kasus yang kecil. Dalam pelaksanaannya diserahkan kepada negara masing-masing apakah akan ditempatkan dalam peraturan perundang-undang dan membentuk lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memfasilitasi proses peradilan restoratif. Di dalam hukum pidana anak Belanda, ditentukan sanksisanksi yang diterapkan bagi anak-anak usia tertentu. Peraturan perundangundangan pidana anak terdapat dalam Bab VII A, “Ketentuan Khusus untuk Anak” Buku I Wet Van Strafrecht-Sr. Di Belanda terdapat lembaga yang melaksanakan peradilan anak restoratif yang bekerja sama dengan para penegak hukum yang bernama biro HALT (Het Alternatif). Kebijakan penyelesaian secara alternatif ( oleh biro HALT ) tidak dilihat sebagai bentuk pengenaan sanksi, melainkan sebagai suatu melakukan transaksi dalam bentuk pembayaran sebagai jaminan atau pembayaran ganti rugi dan sebagainnya. Petugas biro HALT hanya memfasilitasi berlangsungnya proses commit to user penyelengaraan penyelesaian konflik tersebut, sementara petugas kepolisian
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
hanya menjadi saksi, dan setelah itu petugas kepolisian melaporkan hasilnya penyelesaian itu ke penuntut umum, bersamaan dengan itu, gugur pula hak penuntutan pidana penuntut umum atas pelaku anak delinkuen ini (Paulus Hadisuprapto, 2006:37-44). JAIBG has its origins in Public Law 105-119, November 26, 1997, and is based on Title III of HR 3. Congress initially appropriated $250 million for the JAIBG program, designed to provide funds for states and units of local government to combat youth crime and increase accountability on the part of juveniles in the juvenile justice system. As such, it is the major federal legislative initiative in the field of juvenile justice and has spanned both the Clinton and Bush administrations. Four specific mandates are included in HR 3, and participating states and units of local government must have these in effect within 1 year of receipt of funding: (a) treat 15-year-olds as adults if they commit serious violent acts, (b) impose sanctions on every juvenile offender who commits a delinquent or criminal act or who violates probation, (c) establish a minimum system of records relating to prior adjudication, and (d) ensure that state law does not prevent juvenile court judges from issuing court orders against parents, guardians, or custodians (Lynn S. Urban, 2003:457). JAIBG adalah lembaga yang memfasilitasi program keadilan restoratif di Amerika, yang memiliki asal-usul hukum masyarakat, dan didasarkan pada Judul III dari HR 3. Kongres awalnya dialokasikan $ 250.000.000 untuk program JAIBG, yang dirancang untuk menyediakan dana bagi negara-negara bagian dan unit pemerintah negara bagian untuk memerangi kejahatan anak dan meningkatkan akuntabilitas pada bagian anak dalam sistem peradilan anak. Dengan demikian, itu adalah inisiatif legislatif utama federal di bidang peradilan anak dan telah berlangsung. Empat perintah spesifik adalah tercakup di HR 3: (a) perlakukan anak umur 15 tahun sebagai orang dewasa jika mereka melakukan tindakan kejam serius, (b ) mengenakan sanksi terhadap setiap pelaku anak yang melakukan tindak pidana atau yang melanggar masa percobaan, (c) membuat sistem minimum catatan yang berkaitan dengan ajudikasi sebelumnya, dan (d) memastikan bahwa status hukum tidak mencegah hakim pengadilan anak-anak dari keputusan untuk mengembalikan kepada
orang tua, wali. Keempat mandat memberikan tulang punggung
sanksi dan hukuman yang menekankan pada orientasi JAIBG. Pelaksanaan to user program JAIBG menyoroti commit berbeda disebabkan oleh perbedaan antara
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akuntabilitas, hukuman, dan filsafat keadilan restoratif dan alamat bagaimana perbedaan-perbedaan ini mempengaruhi hukuman peradilan anak. JAIBG belum menghasilkan serangkaian praktek atau filsafat di pengadilan anak. Sebaliknya, ada kemampuan untuk melindungi, sanksi, dan keadilan restoratif yang bervariasi dari satu yurisdiksi yang lain. As more and more restorative justice programmes begin to develop and community demand for these processes grow, the state undertakes a policy-focused process of legitimation. First, requests from communities and practitioners for policy and financial support for their restorative justice processes are received by state officials. Second, state officials (those working in the system, such as court workers, probation officers, etc) demand that clarity and certainty about the place and function of restorative justice be provided (see Probation Officers Association of Ontario Inc, 2000). And third, the state provides policy direction and financial support, which in turn creates mechanisms for enveloping community-driven practice within the rubric of the formal justice system (Juan Marcellus Tauri, 2009:3-4). Perlunya standarisasi untuk peradilan restoratif karena semakin banyak anak delikuen dan mulai dikembangkan untuk permintaan masyarakat, kemudian negara melakukan proses kebijakan yang berfokus pada legitimasi. Pertama, permintaan dari masyarakat dan praktisi kebijakan dan dukungan keuangan untuk proses keadilan restoratif yang di bebankan kepada negara. Kedua, para penegak hukum dan masyarakat
menuntut kejelasan dan
kepastian tentang tempat dan fungsi keadilan restoratif diberikan dalam peraturan perundang-undangan. Dan ketiga, negara memberikan arah kebijakan dan dukungan keuangan, yang pada gilirannya menciptakan mekanisme untuk praktik berbasis masyarakat dalam rubrik sistem peradilan formal. Ini adalah konteks
managerial negara terfokus bahwa proses
standarisasi keadilan restoratif yang terjadi di wilayah hukum barat. Pemerintah federal di Kanada telah mengembangkan seperangkat pedoman untuk keadilan restoratif program berdasarkan pedoman model yang dikembangkan oleh PBB namun disesuaikan dengan keadaan negara tersebut untuk menjawab kekhawatiran masyarakat Kanada. Pemerintah pusat di Selandia Baru dalam proses mengembangkan berbagai alat yang menjamin commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
standarisasi rancangan program dengan pengiriman, pelatihan dan akreditasi para penegak hukum.
2. Upaya Menuju Praktik Restorative justice atau Keadilan Restoraitf di Indonesia Di Indonesia pengembangan konsep restorative justice merupakan sesuatu yang baru, yang mana kota Bandung menjadi salah satu tempat pelaksanaan pilot project Unicef tentang pengembangan konsep restorative justice pada tahun 2003 (Marlina, 2009:203). Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyinggung mengenai penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai uapaya yang terakhir dan sebisa mungkin menghindari proses peradilan dan pidana penjara. Upaya melaksanakan restorative justice, tidak berarti perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan pemidanaan, karena hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu, antara lain (Marlina, 2009:205) : a. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (first offender); b. anak tersebut masih sekolah; c. tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang mengganggu/ merugikan kepentingan umum; d. orangtua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut secara lebih baik. Keadilan restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampakcommit to user dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang merupakan tindak pidana. Dengan demikian, dalam konstruksi pemikiran peradilan restoratif dan keadilan restoratif yang dihasilkannya, perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak sematamata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional. Jalan menuju ke keadilan restoratif tidak begitu mudah karena menyangkut perspektif sistem peradilan itu sendiri. Maka yang pertama sekali harus dilakukan adalah membangun hasrat untuk mengubah paradigma yang ada dengan paradigma baru yang lebih beradap atau komitmen untuk melindungi anak dari kekerasan dalam proses peradilan. Beberapa langkah untuk menuju praktik keadilan restoratif harus dilakukan sebagaimana disebutkan sebagai berikut (Hadi Supeno, 2010:211-221) : a. Sistem peradilan anak lahir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengistilahkan pengadilan anak bukan peradilan anak yang merupakan pengkhususan dari sebuah peradilan yaitu peradilan umum untuk menyelenggarankan pengadilan anak. Akibatnya, Undang-undang Nomor 3
Tahun
1997
tentang
Pengadilan
Anak
pada
akhirnya
tidak
mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak, melainkan hanya mengadili perkara pidana saja. Hal tersebut jauh dari upaya perlindungan terhadap anak sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002. Pastikan namanya sistem peradilan anak, bukan sistem peradilan pidana anak, karena sejak awal paradigma ini tidak mengenal pemidanaan terhadap anak. Saat ini di Indonesia, ada empat sistem peradilan : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Selama ini pengadilan anak masuk dalam sistem peradilan commit to user umum. Inilah sebagai usaha untuk melahirkan sistem peradilan anak,
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena begitu anak berhadapan dengan hukum, anak harus menyesuaikan diri dan dipaksakan untuk menerima dalil-dalil yang dikenakan terhadap orang dewasa. Anak hanya dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil sehingga perlakuan yang diterima adalah perlakuan yang selama ini dikenakan terhadap orang dewasa, baik pada proses penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, maupun persidangan. Kalaupun ada undangundang, yang ada adalah Undang-undang Pengadilan Anak, bukan Undang-undang Peradilan Anak. Undang-undang Pengadilan Anak tunduk pada sistem peradilan umum. Tak pelak bila pasal-pasalnya yang tercantum dalam Undang-undang Pengadilan Anak tersebut berkerangka pada peradilan orang dewasa, jauh dari pemihakan akan masa depan anak dan perlindungan anak. b. Semua pilar peradilan anak harus memiliki persepsi yang sama Pilar-pilar peradilan anak mencakup masyarakat, polisi, jaksa, hakim,
penasihat
hukum,
balai
pemasyarakatan,
dan
lembaga
pemasyarakatan. Masing masing memiliki peran, tetapi sangat berbeda dari model retributif. 1). Masyarakat Dalam model keadilan restoratif peran masyarakat sangat dominan sejak dari pemahaman sampai pelaksanaan sistem peradilan itu sendiri. Peradilan restoratif akan gagal apabila masyarakat tidak siap melaksanakannya, maka yang pertama sekali yang harus dilakukan adalah pendidikan publik. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan dari skenario penerapan keadilan restoratif antara lain adalah pertama, kesan watak koruptif dari para polisi di Indonesia yang biasa menerima suap dari masyarakat. Kedua, masyarakat hanya mempunyai satu referensi bahwa siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum harus dipenjara, tidak peduli masyarakat yang melakukan adalah seorang anak.
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2). Polisi Dalam model keadilan retributif, peran polisi sangat dominan. Masyarakat
yang
mendapati
pelaku
pelanggar
hukum
akan
melaporkannya kepada polisi. Tiga tugas utama polisi sebagai pelayan masyarakat, pelindung masyarakat, dan penegak hukum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
Proses Pengadilan Anak baik
buruknya diserahkan sepenuhnya kepada polisi, dan masyarakat tahu jadi, tanpa ikut terlibat dalam proses. Pada model keadilan restoratif yang terjadi adalah sebaliknya, masyarakat mayor dan polisi minor. Peran polisi sebatas sebagai mediator, fasilitator, atau pengawas. Polisi menunjuk pasal-pasal ketentuan peraturan perundang-undangan, lalu para aktor masyarakat dipersilakan mencari jalan keluar terbaik agar terjadi proses perbaikan, pemulihan hubungan, reinteregrasi, konsiliasi, dan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, dengan penerimaan masyarakat kembali terhadap pelaku tanpa stigma apapun terhadap pelaku. The police role in the restorative process will differ significantly depending on the type of restorative model considered. In some of them, the police have virtually no role to play, in others they can participate fully in the intervention. In some instances, police officers can act as a facilitators or convenors of the process and may even help participants reach decisions and resolutions consistent with community views. Care should be taken to ensure that the role of the police is balanced and that the statutory requirements of their position do not compromise the restorative process. As well, it is important to point out that the police enjoy greater discretionary powers in some jurisdictions than in others (United Nations, 2006:62). Peran polisi dalam proses restoratif akan berbeda secara signifikan tergantung pada jenis model restoratif dipertimbangkan. Dalam beberapa dari mereka, polisi hampir tidak memiliki peran untuk bermain, di lain mereka dapat berpartisipasi penuh dalam intervensi. Dalam beberapa kasus,commit polisi to dapat userbertindak sebagai fasilitator dan
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahkan mungkin membantu peserta mencapai keputusan dan konsisten dengan pandangan masyarakat. Legislasi dapat memberikan kerangka di mana polisi dapat menjadi lebih ekstensif terlibat dalam praktek-praktek keadilan restoratif, meskipun sifat khusus dari keterlibatan ini belum muncul. Di Kanada misalnya, Undang-Undang Hukum Pidana Anak secara khusus meningkatkan keterlibatan polisi sebagai agen rujukan untuk program restoratif, dan dalam praktek restoratif polisi kembali ke peran asli polisi sebagai penjaga perdamaian. Opsi yang layak untuk keterlibatan polisi dalam program restoratif meliputi: a). Melayani sebagai sumber rujukan untuk program restoratif; b). Menjelaskan proses keadilan restoratif bagi korban, pelaku dan peserta lain; c). Berpartisipasi di antara banyak lainnya dalam proses berbasis masyarakat; d). Memfasilitasi proses keadilan restoratif; e). Melakukan sesi keadilan restoratif dan konferensi; f). Menggunakan
pendekatan
restoratif
untuk
menyelesaikan
perselisihan dan konflik dalam kasus yang sederhana; g). Bermain peran dalam memantau pelaksanaan perjanjian restoratif dan pelaporan pelanggaran. 3). Jaksa Pada masa transisi, ketika model keadilan retributif masih menjadi bagian sistem peradilan umum, peran jaksa cukup penting, yakni memutus apakah sebuah peristiwa pelanggaran hukum harus diterima dan dilanjutkan
ke pengadilan anak ataukah ditolak dan
disarankan agar kepolisian melakukan disversi. Namun, pada model commit to user keadilan restoratif, peran jaksa menjadi kecil. Peran yang tetap
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diberikan bersama polisi menjadi mediator dan fasilitator proses pengambil keputusan oleh masyarakat. In most jurisdictions, prosecutors play a key role in the operation of restorative justice programmes and, in the absence of legislation or other guidelines, they exercise considerable discretion in determining which cases are suitable for a particular restorative process. A recent review of restorative processes in a number of common law and civil law nations found that public prosecutors were the most common gatekeepers to restorative programmes. In both common law and civil law countries, prosecutors are able to refer cases to restorative processes, the latter role having more recently emerged with the enactment of legislation in a number of jurisdictions. While the use of restorative processes at the post- charge stage is within the discretionary purview of the prosecutor in common law countries, in civil law countries, referral at this stage has generally remained within the purview of judges. Many jurisdictions now include prosecutor-level referral processes for both juveniles and adults (United Nations, 2006:63). Peran jaksa dalam proses restoratif akan berbeda secara signifikan tergantung pada jenis model restoratif dipertimbangkan. Di kebanyakan
yurisdiksi,
jaksa
memainkan
peran
kunci
dalam
penyelenggaraan keadilan restoratif program, dan dengan tidak adanya undang-undang
atau
pedoman
lainnya,
mereka
menerapkan
kebijaksanaan yang cukup besar dalam menentukan kasus yang cocok untuk proses restoratif. Sebuah tinjauan baru-baru ini proses restoratif di sejumlah negara untuk hukum pidana menemukan bahwa penuntut umum adalah penjaga gerbang yang paling umum untuk program restoratif. Hukum pidana, jaksa dapat merujuk kasus ke proses restoratif. Banyak yurisdiksi mencakup proses rujukan jaksa baik untuk anak dan orang dewasa. Dalam pembentukan proses restoratif dalam yurisdiksi, penting bahwa jaksa terlibat dalam diskusi dari awal dan pelatihan yang dan informasi yang diberikan kepada jaksa sehingga mereka dapat mengerti prinsip-prinsip keadilan restoratif dan menghargai potensi keuntungan penggunaan pilihan ini untuk anak dan orang dewasa.
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4). Hakim Seperti halnya jaksa, peran hakim juga kecil karena prinsip keadilan restoratif sejati tidak mengenal pengadilan anak. Disini keadilan restoratif dapat dipilah menjadi dua pandangan besar yaitu : pertama restoratif sebagai salah satu metode dari berbagai metode pemidanaan anak. Pandangan ini manganggap restorative justice hanya digunakan dalam hal-hal tertentu, katakanlah untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Pandangan dari kelompok ini masih menerima pemidanaan terhadap anak, dengan persyaratan beratnya kenakalan yang dilakukan anak dan usia pelaku. Sedangkan pandangan kedua, yang diistilahkan keadilan restoratif sejati, menampik sama sekali pemidanaan terhadap anak, apapun alasanya, sepanjang dia belum berusia 18 tahun, anak tidak boleh dipidanakan dan hanya boleh dikenai tindakan. Pada masa
trasisi,
hakim
bisa
berperan
secara
optimal
dengan
mempertimbangkan prespektif anak sehingga hukuman yang dijatuhkan sangat ringan, tidak sampai pemenjaraan. Pada saat keadilan restoratif sejati telah diterapkan, hakim seperti halnya jaksa, bila masih akan diperankan, sebatas peninjau, fasilitator, atau pengawas implementasi peradilan anak. 5). Penasihat Hukum Pada model keadilan restoratif tidak memerlukan panasihat hukum, pelaku dan korban hanya didampingi keluarganya dipertemukan langsung
dalam
sebuah
forum
yang
dikendalikan
aktor-aktor
masyarakat. Dalam proses seperti sidang keluarga, pelaku langsung mengemukakan apa yang dipikirkan, demikian juga korban atau keluarga korban mengemukakan apa yang dipikirkan secara langsung. Hukum tawar-menawar secara manusiawi, dan boleh jadi yang menentukan hukuman adalah pelakunya sendiri setelah menyadari perilakunya telah menimbulkan kerugian atau membahayakan pihak lain. to user Oleh karena itu, tidak commit ada proses pembelaan, banding, kasasi, atau
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peninjauan kembali. Kalaupun sidang keluarga tidak bisa berlangsung dalam waktu sekali, tetaplah tidak memerlukan jasa penasihat hukum. Disini pengacara kehilangan kesempatan untuk mengatur persidangan agar berlangsung lama, alot, dan rumit dalam menyelesaikan persoalan delinkuensi anak. 6). Balai Pemasyarakatan Balai pemasyarakatan (Bapas) merupakan unit di bawah Kementerian
Hukum
dan
HAM
dengan
tugas
melaksanakan
pembimbingan dan pendampingan klien pemayarakatan.
Dalam
praktiknya selama ini, Bapas kurang berperan. Jumlah Bapas hanya 70 unit sedangkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ada 228, 16 diantaranya adalah Lapas anak dengan jumlah narapidana 184 ribu. Selain itu, kualitas sumber daya manusia Bapas juga tidak memadai. Apabila tugas dan fungsi Bapas dilaksanakan dengan
serius maka
keberadaan lembaga ini bisa mengurangi kriminalisasi anak melalui rekomendasi-rekomendasi yang diberikan kepada polisi, jaksa, maupun hakim, dan karena itu akan lebih banyak lagi anak yang diselamatkan dari pemidanaan dan pemenjaraan. Pada keadilan restoratif yang akan di bangun, Bapas harus mereformasi diri secara mendasar. Petugas Bapas bukanlah orang-orang birokrat yang berkerja secara mekanis, tetapi para professional
yang memiliki tanggung jawab pembimbingan dan
bertanggung jawab menganalisis kasus demi kasus yang pertimbanganya akan menjadi referensi para aktor peradilan restoratif. 7). Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau penjara tidak ada lagi dalam model keadilan restoratif. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi reformasi pelayanan pada beberapa lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang misalnya, telah melakukan berbagai upaya pembaharuan dengan menciptakan Lapas commit to user anak bukan sebagai tempat yang menyeramkan. Bangunan dicat terang,
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
taman-taman di lingkungan Lapas dibangun. Para sipir tidak memakai keki, tetapi lengan panjang berdasi. Anak-anak diajari ketrampilan hidup, dari pertanian hingga elektronik. Namun betapa baiknya Lapas, itu tetaplah penjara, tempat anak dipidanakan, divonis salah, diberikan label sebagai narapidana dengan segala konsekuensi logisnya. Di semua Lapas anak di Indonesia, anak-anak yang sekadar mencuri handphone, atau berkelahi layaknya dunia anak, dipenjara dicampurkan dengan pelaku pengguna dan pengedar narkoba, pelaku kekerasan dangan pemberatan bahkan pembunuhan. Itulah yang memberikan banyak kesempatan bahwa penjara adalah sekolah kejahatan dengan biaya negara karena anak yang masuk ke Lapas hanya karena kenakalannya, setelah keluar boleh jadi akan menjadi penjahat besar dengan referensi perilaku kriminal yang jauh lebih berkualitas. Dalam model keadilan restoratif sejati tidak mengenal pidana dan pemenjaraan terhadap anak. Tempat yang layak bagi anak adalah rumah dan sekolah tempat dia belajar dan bersosialisasi, menjalani kehidupan yang wajar bersama teman sebaya dalam lingkungan orangtuanya. 8). Pekerja Sosial Profesional Pekerja Sosial Profesional akan memiliki peran besar dan dominan
dalam
pendekatan
keadilan
restoratif.
Pekerja
Sosial
Profesional yang akan tampil paling awal dan paling depan dalam proses mediasi pelaku dan korban kenakalan anak. Demikian juga dalam pelaksanaan hukuman tindakan keberadaan Pekerja Sosial Profesional dalam lembaga-lembaga kereksial menjadi keharusan.
Kebanyakan pelanggaran serius yang dilakukan anak di Negara Kanada akan dikembalikan ke peradilan formal untuk mendapatkan hukuman penjara. Untuk tipe pelaku tertentu dan pelanggaran tertentu restorative justice bukan merupakan pilihan yang tepat. Adanya kesulitan untuk commit to user membuat rasa percaya masyarakat terhadap pelaksanaan restorative justice
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada kasus-kasus yang berat. Selain itu, alasan adanya tindakan residivis oleh pelaku anak setelah menjalani proses restorative justice membuat pertanyaan masyarakat apabila harus mengulangi proses tersebut beberapa kali terhadap pelaku yang sama. Terjadinya re-offending terhadap anak pelaku setelah menjalankan restorative justice membuat anak harus menjalani proses peradilan formal kembali. Kegagalan restorative justice dikarenakan gagalnya pelaksanaan kesepakatan restitusi oleh pelaku. Pelaksanaan restorative justice yang dilaksanakan dengan kurangnya pelatihan dalam mengatasi konflik dan tehnik memfasilitasi/mediasi dan pelaksanaannya kurang sempurna akan menyebabkan kurangnya keberhasilan dalam pelaksanaan (Marlina, 2009:228-229). Dalam kenyataannya, upaya perlindungan terhadap anak melalui sistem peradilan pidana anak terkadang tidak semulus yang dibayangkan. Justru proses sistem peradilan pidana anak bisa menjadi wilayah kekerasan baru yang menimpa anak-anak delinkuensi. Hal ini bisa terjadi karena adanya persepsi aparat yang menyamakan anak dengan orang dewasa sehingga proses pemeriksaannya disamakan dengan orang dewasa. Penyebab lainnya juga ditengarai karena belum adanya visi yang jelas antara aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana anak tentang penanganan dan perlindungan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu mekanisme kerja peradilan pidana anak telah dikritik juga sebagai suatu mekanisme yang tidak sistemik. Pelaksanaan keadilan restoratif di berbagai negara menunjukan beberapa keberhasilan. Beberapa negara telah melaksanakan dan berhasil dalam pelaksanaan keadilan restoratif dalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan memakai bentuk-bentuk yang sesuai dan mempunyai akar di negara masingmasing.
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Konsep Restorative Justice Dalam Melengkapi Penyelesaian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum 1. Kriminalisasi Anak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sesungguhnya dibuat berawal dari semangat untuk melindungi hak-hak anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum, menyusul diratifikasinya Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Namun, karena pemahaman yang kurang memadai dan mind-set
peradilan anak masih belum berperspektif
anak, yang terjadi subtansi Undang-undang Pengadilan Anak bukan untuk melindungi anak, tetapi untuk mengadili anak. Arus utama yang berkembang di kalangan penegak
hukum kemudian adalah satu pembenaran atau
legitimasi untuk mengadili anak. Yang lebih menyedihkan lagi adalah undangundang ini hanya menyangkut tata cara pengadilannya, tetapi subtansi pasalpasal tindak pidana kiblatnya tetap sama dengan orang dewasa, yaitu Kitap Undang-undang
Hukum
Pidana
warisan
penjajah
kolonial
Belanda.
Akibatnya, keberadaan Undang-undang Pengadilan Anaknya sedikit saja memberikan perbedaan perlakuan terhadap anak dibandingkan dengan masa sebelum lahirnya instrument regulasi pengadilan anak tersebut. Anak tetap dipidana. Para polisi dan jaksa tetap sibuk mencari pasal-pasal untuk mengkriminalisasi anak. Lapas anak menjadi penuh penghuni (Hadi Supeno, 2010:142). Pertimbangan utama diundangkanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak karena pemerintah hendak mewujudkan suatu penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum secara lebih baik daripada yang terdahulu dan penanganannya memperhatikan kepentingan anak, sehingga anak yang berkonflik dengan hukum tidak dirugikan secara fisik dan mental. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum sepenuhnya dikategorikan sebagai hukum pidana anak dan hukum acara pidana anak. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan hukum khusus atau lex specialis sedangkan commit to user KUHP dan KUHAP merupakan hukum umum atau lex generalis.
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak secara normatif sedikit banyak banyak telah memberikan rambu-rambu penanganan anak pelaku delinkuen, ternyata dalam pelaksanaannya tidak terwujud. Sebaliknya penanganan anak justru cenderung membebaskan stigma pada diri anak dan pada gilirannya akan menjadi faktor pendorong bagi anak-anak itu untuk mengulagi perbuatanya lagi di masyarakat pada masa mendatang. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, masih ada beberapa kelemahan dan kekurangannya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa ketentuan antara lain sebagai berikut : a. Aspek konsideran Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dari aspek konsideran, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah tertinggal jauh dengan semangat perlindungan anak yang berkembang dalam masyarakat pada 10 tahun terakhir, seiring dengan arus besar reformasi masyarakat Indonesia. Dalam Pasal 28B Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, misalnya dikemukakan tentang jaminan hak setiap anak untuk memperoleh hak atas kelangsungan hidup dari segala kekerasan dan diskriminasi. Pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang semestinya menjadi basis semua pihak dan kalangan ketika membicarakan soal perlindungan anak. Kenyataannya, dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak membicarakan sama sekali semangat tersebut sehingga terjadi ketidakharmonisan undang-undang yang diharapkan sebagai alat untuk menangani anak yang lebih baik lagi. Posisi konsideran sangat penting karena pokok-pokok pikiran dalam konsideranlah sangat penting karena pokok-pokok pikiran dalam konsideranlah yang akan dibreakdown pada semua pasal dalam sebuah undang-undang. Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak memberikan dasar bagi commit pembentukan to userinstitusi pengadilan anak (child
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
court) karena yang dilegalisasi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanyalah sidang anak nakal. Pembinaan terhadap peradilan anak tidak bisa dikembangkan hanya sebatas sidang anak saja, tanpa membentuk institusi peradilan anak (Hadi Supeno, 2010:144-145). Dari prespektif di atas dapat dikatakan bahwa Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dan Undangundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam hal perlindungan bagi anak karena Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dibentuk untuk melindungi anak yang berkonflik dengan hukum. b. Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan bahwa “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Dengan demikian anak-anak nakal yang berumur 16 tahun dan pernah kawin sebagaimana disyaratkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan kehilangan haknya sebagai anak, yang berarti mengalami kemungkinan hukuman seperti orang dewasa (Nanang Sambas, 2010:83). Definisi ini menjadi sia-sia karena kecuali usia pertanggunjawaban hukum yang terlalu muda, juga penyebutan “…belum pernah kawin”. Ini bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan
yang melihat anak tidak berdasarkan status kawin atau
belum kawin. Dalam Undang-undang Perlindungan Anak, definisi anak adalah: “Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk yang masih dalam kandungan”. Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengkriminalisasikan anak karena seseorang yang dikatakanlah baru berusia 12 tahun tetapi sudah kawin, ketika melakukan tindakan kenakalan, dia tidak diperlakukan sebagai anak, tetapi diperlakukan sebagai commit orang to userdewasa (Hadi Supeno, 2010:146).
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel. 3 Batas Usia Minimal Anak Pelaku Tindak Pidana di Beberapa Negara Negara
Batas Usia Minimal Amerika Serikat 8 Tahun Australia 8 Tahun Inggris 12 Tahun Belanda 12 Tahun Jepang 14 Tahun Korea 14 Tahun Filipina 7 Tahun Taiwan 14 Tahun Iran 6 Tahun Srilangka 8 Tahun Kamboja 15 Tahun Malaysia 7 Tahun Sumber : Buku Marlina (2009:73-74)
Batas Usia Maksimal 18 Tahun 16 Tahun 16 Tahun 18 Tahun 20 Tahun 20 Tahun 18 Tahun 18 Tahun 18 Tahun 16 Tahun 18 Tahun 18 Tahun
Telah disepakati dalam konvensi Beijing Rules, usia anak yang dapat di ajukan dalam peradilan anak adalah dua belas (12) tahun, tetapi masih banyak negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) termasuk Indonesia yang batas anak yang dapat diajukan ke peradilan anak kurang dari dua belas (12) tahun. Dalam pasal ini juga menghapuskan hak anaknya menjadi hak orang dewasa setelah ia menikah. Hal ini tidak sesuai dengan Indonesia, karena masih banyak pernikahan dini di Indonesia yang bila nanti ia melakukan tindak pidana maka ia tidak diproses sesuai dengan hukum pidana anak tetapi dengan hukum pidana untuk orang dewasa. Anak tetaplah anak bukan orang dewasa yang bertubuh kecil. c. Pasal 1 Ayat
(2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak menyebutkan bahwa “Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.” commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kualifikasi anak nakal sangat
luas bila dibandingkan dengan
kualifikasi tindak pidana bagi orang dewasa. Ketentuan yang menyatakan bahwa kualifikasi anak nakal termasuk anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut undang-undang maupun peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Jelas telah memperlakukan anak sangat berlebihan, karena perumusan
tersebut
dapat
menjerat
terhadap
anak
dengan
mengkategorikan sebagai anak pelanggar hukum, hanya karena melakukan tindakan-tindakan “nakal”. Sementara bagi orang dewasa perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang wajar, sehingga tidak dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang patut diberikan sanksi (Nanang Sambas, 2010:83). Pada frase “… maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan.”merupakan kalimat yang berbahaya dalam konteks perlindungan anak dan kepastian hukum bagi anak. Ketika anak divonis nakal karena telah melakukan perbuatan terlarang menurut peraturan perundang-undangan, walaupun dapat diperdebatkan, hal itu masih bisa diterima. Namun, ketika seorang anak dinyatakan nakal hanya karena melakukan peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, sungguh sulit untuk diterima nalar berkeadilan. Frasa tersebut bisa ditangkap untuk mengantikan hukum informal yang sangat luas, dari adat istiadat, local wisdom, etika, sampai aturan kesepakatan. Dalam masyarakat begitu banyak aturan hukum masyarakat yang berlaku (Hadi Supeno, 2010:147). Perbedaan tentang kejahatan dan pelangaran terhadap anak dan orang dewasa menimbulkan ketidakadilan. Yang dimana apabila orang dewasa melakukan pelanggaran tetap sebagai pelanggaran dan bila anak melakukan pelanggaran maka itu termasuk kejahatan. Terutama saat anak melakukan pelanggaran terhadap norma yang berlaku dalam masyarakat mereka dapat ditangkap dan menjalani proses peradilan anak. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan bahwa “Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Batas umur tanggung jawab kriminal adalah delapan (8) tahun, padahal ketentuan yang telah disepakati masyarakat international sebagai mana ditegaskan dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice Tahun 1985, adalah 12 tahun (Nanang Sambas, 2010:83). Dalam Pasal 4 ini sama dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengenai batas minimal anak yang dapat di ajukan ke proses peradilan anak. yang menunjukan bahwa begitu mudahnya anak delinkuen menjalani proses peradilan anak. e. Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyatakan bahwa “Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindakan pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan oleh penyidik.” Anak berumur di bawah 8 tahun yang diduga melakukan tindak pidana dapat diperiksa oleh penyidik, apabila menurut hasil pemeriksaan anak tersebut masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya,
penyidik
menyerahkan
kembali
anak
tersebut
pada
penanggungjawabnya. Akan tetapi, bila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat anak tersebut sudah tidak dapat dibina oleh penanggungjawabnya, anak tersebut akan diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan (Nanang Sambas, 2010:83). Bahwa ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah umur anak terlalu rendah karena terhadap commit to user anak dalam usia itu dilakukan proses hukum pro justicia terhadap sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
mana KUHP maupun penjelasan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sama seperti halnya melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal umur 8 tahun ke atas walaupun bedanya hanya untuk penyidikan saja, dan tidak untuk diajukan kesidang anak. Lebih dari itu, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini tetap mempersamakan perlakuan proses penyidikan seperti halnya penyidikan pro justicia yang diajukan ke sidang anak (seperti halnya ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Oleh karena itu, pemerikasaan penyidik terhadap anak nakal berusia sekurang-kurangnya 8 tahun untuk diajukan ke Sidang Anak (dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) dengan pemeriksaan penyidik untuk anak kurang 8 tahun (Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) adalah sama saja karena yang diberlakukan adalah KUHAP juga oleh penyidik (Hadi Supeno, 2010:162). Anak berhak memperoleh perlindungan karena mereka sedang berkembang. Apabila dalam usia kurang dari delapan (8) tahun ia melakukan tindakan kejahatan atau pelangaran dipengaruhi beberapa faktor yang bukan murni kemauanya sendiri, seperti pengaruh lingkungan, pergaulan ataupun karena suruhan orang dewasa. Maka anak kurang dari delapan (8) tahun alangkah baiknya dikembalikan kepada orang tua bila orang tuanya tidak mampu medidiknya dapat di masukan ke lembaga sosial. f. Pasal 22 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menyatakan bahwa “Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Dalam pasal ini dapat diinterpretasikan bahwa ada dua hal yang bisa dikenakan terhadap Anak Nakal, yaitu pidana (straaf) dan tindakan commit to user (maatregel). Sepintas pasal ini tidak memuat ketentuan yang aneh, tetapi
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
pasal ini akar dari segala pemidanaan terhadap anak. Keberatan atas ketentuan penjatuhan pidana, dan hanya bisa menerima perlakuan tindakan terhadap anak yang terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Alasannya adalah anak adalah manusia yang masih dalam proses menentukan kedewasaannya. Semua yang masih dilakukan untuk sampai pada tataran kedewasaan adalah proses belajar (Hadi Supeno, 2010:167). Anak hendaknya dijauhkan dari proses peradilan apalagi dari pemidanaan, karena bila anak masuk dalam proses peradilan, anak tersebut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang akan menekan perkembangan mental dan psikologisnya.
Perlindungan anak terhadap
proses peradilan yang lama dan menekan perkembangan anak dapat dilakukan tanpa adanya pemidanaan. Belum tentu anak yang dipidana akan jera terhadap kejahatan yang pernah ia lakukan. Yang terpenting adalah didikan dari orang tua dan masyarakat sekitar. Bila terpaksa harus mendapatkan hukuman bukan di lembaga pemayarakat tetapi di lembaga yang tidak berstigma negatif bila anak didik ditempat tersebut. g. Pasal 23 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengaturan jenis pidana yang lebih mengedepankan ancaman sanksi pidana badan sebagaimana ditegaskan dalan Pasal 23 Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak mencerminkan filosofi pembinaan yang dapat melindungi bagi masa depan anak. Walaupun lamanya hanya setengah dari ancaman sanksi bagi orang dewasa (Nanang Sambas, 2010:84). Pemenjaraan di Indonesia sangat tidak manusiawi. Banyak anak-anak yang dipenjara dicampur dengan orang dewasa. Menurut Unicef, ada sekitar 6.000 anak yang ditahan atau dipenjara, 84 % diantaranya ditempatkan pada penjara dewasa. Dari 33 provinsi di Indonesia, hanya ada 16 Lapas Anak akan memasukan anak yang tidak memiliki Lapas Anak akan dimasukkan anak yang melanggar commit user hukum pada Lapas Dewasa. Kalautodipaksakan masuk Lapas Anak, berarti
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
anak harus berjauhan dengan orangtuanya (Hadi Supeno, 2010:187). Lembaga pemasyarakat untuk anak terbatas kapasitasnya, adanya percampuran di lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa juga digunakan untuk anak. Walaupun lembaga pemasyarakat untuk anak sudah di bentuk sedemikian rupa sesuai yang di anjurkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Lembaga pemasyarakatan sudah mempunyai stigma negatif dari masyarakat bahwa baik orang dewasa maupun anak yang masuk ke lembaga pemasyarakatan adalah orang yang pernah melakukan kejahatan yang harus dihindari. Klep pengamanan yang sebetulnya
sangat dibutuhkan dalam
penanganan kasus-kasus anak pelaku delinkuen ini ialah disversi, penanganan anak pelaku delinkuen diluar jalur yustisial konvensional, berupa pelayanan sosial, perbaikan kerugian korban dan sebagainya, tidak diakomodasi oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sehingga tidak mengherankan bila begitu anak-anak pelaku delinkuen terperangkap dalam mesin peradilan pidana anak, otomatis menjadi klien mesin peradilan pidana anak, dan konsekuensi ialah stagmatisasi (Paulus Hadisuprapto, 2006:23). Ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 yang belum mengatur mengenai disversi. Disversi, penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen, disversi menghindarkan anak dari proses peradilan anak yang menimbulkan stigma negatif bagi anak delinkuen. Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard Minimum Rule for the Administration of Junevile Justice, atau Beijing Rules merupakan ketentuan dasar pemberlakuan disversi bagi anak delinkuen. Terhadap tindak pidana ringan seperti pencurian ringan dan penganiayaan ringan, polisi berhak memberikan peringatan dan tindakan diversi. Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang commit topelaku user anak menjadi pelaku kriminal
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di Amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem peradilan pidana formal. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan. Tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum. Penghindaran penangkapan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari pelaksanaan diversi (Marlina, 2008:97). Program diversi dapat menjadi bentuk keadilan restoratif jika (Ruben Achmad, 2005 : 6) : a. mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya; b. memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi korban; c. memberikan kesempatan bagi korban untuk ikut serta dalam proses; d. memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga; e. memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana. Kriminalisasi terhadap anak delinkuen memerlukan upaya penanganan yang lebih guna melengkapi penanganan anak delinkuen. Berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) diratifikasi oleh hampir semua anggota Perserikatan Bnangsa-bangsa, yang menandakan bahwa semua bangsa di dunia sepakat dan sepaham untuk terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam KHA tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasi KHA berdasarkan Kepres Nomor 36 Tanggal 25 Agustus 1990. Proses peradilan anak harus menjujung tinggi hak-hak anak sebagai upaya untuk melindungi anak dari commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaruh buruk proses peradilan anak. Apabila anak masuk dalam proses peradilan anak, maka anak tersebut akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, yang akan menjadi tekanan terhadap anak delinkuen untuk berkembang menjadi dewasa. Dengan adanya kriminalisasi tersebut maka dibutuhkan suatu model penanganan anak delinkuen yang lebih manusiawi dan menjujung hak anak. Perlindungan anak tidak seharusnya memasukan anak ke dalam proses peradilan anak yang panjang dan berbelit-belit apalagi dijatuhkan pidana penjara, dengan pidana penjara belum tentu anak tersubut jera akan kejahatan yang telah ia lakukan.
2. Konsep Restorative Justice atau Keadilan Restoratif dalam Melengkapi Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia terdapat banyak narapidana anak, contoh di Jawa Tengah hampir semuanya pelajar, sebagian besar berpendidikan SMP (51%), berpendidikan SD (31%), dan SMA (18%). Sebagian besar berumur antara 1217 tahun (81%), dan sisanya diatas 17 tahun. Mereka berurusan dengan petugas hukum karena melakukan perbuatan yang masuk kategori tindak pidana terhadap harta benda, tindak pidana terhadap badan/nyawa, tindak pidana perusakan fasilitas umum, tindak pidana di bidang lalu lintas, sebagaian besar tindak pidana yang dilakukan adalah perusakan fasilitas umum dan lalu lintas, sedangkan tindak pidana terhadap badan /nyawa hanya (6,1%). Jenis sanksi yang dijatuhkan kepada mereka lebih di dominasi sanksi pidana (80%), dibandingkan dengan yang dijatuhi sanksi tindakan (20%). Mereka dijatuhi pidana sebagaian besar berupa pidana penjara (62%), sisanya (18%) di jatuhi pidana bersyarat. Sementara mereka yang dijatuhi sanksi tindakan umumnya berupa pengembalian pada orangtua (13%), sisanya (7%) dikenakan tindakan berupa penyerahan anak kepada negara untuk dididik atau anak negara (Paulus Hadisuprapto, 2006:19). commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seorang anak yang benama Raju yang berusia 8 (delapan) tahun ditangkap, ditahan, dan diadili hanya karena berkelahi dengan teman sebayanya, dan kemudian akhirnya dia juga dikembalikan kepada orang tua setelah media massa mengungkapnya ke publik. Kasus-kasus tersebut akan bermunculan apabila tidak dilakukan langkah-langkah konkret dan mendasar untuk membebani sistem peradilan anak. Ada beberapa sebab mengapa perlakuan anak delinkuen seperti kasus Raju terus berlanjut. Pertama adalah adanya hukum positif yang mengkriminalisasi anak dan melegitimasi perlakuan aparat kepada anak-anak, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak karena sifatnya lebih mengadili bukan melindungi anak delinkuensi. Kedua, perlindungan anak yang belum digunakan terhadap anak delinkuensi. Ketiga, kultur kerja aparat penegak hukum belum mengacu pada prespektif hak asasi manusia, selalu mendahulukan pendekatan kekerasan dan balas dendam terhadap perlakuan anak delinkuensi. Tabel 4 Anak Nakal di Seluruh Indonesia Tahun 2008
Provinsi
Jumlah Anak Nakal
Nanggroe Aceh Darusalam
1.823
Sumatra Utara
19.103
Sumatra Barat
5.340
Riau
3.652
Jambi
5.477
Sumatra Selatan
2.061
Bengkulu
2.390
Lampung
4.011
Bangka Belitung
322
Kepulauan Riau
122
DKI Jakarta
commit to user
1.179
perpustakaan.uns.ac.id
Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali
63 digilib.uns.ac.id
3.092 11.324 844 10.699 2.528 716
Nusa Tenggara Barat
14.108
Nusa Tenggara Timur
8.194
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
12.259 626
Kalimantan Timur
8.636
Kalimantan Selatan
3.671
Sulawesi Utara
19.894
Sulawesi Tengah
13.963
Sulawesi Selatan
5.721
Sulawesi Tenggara
7.186
Gorontalo
3.677
Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total di Indonesia
473 12.871 8.790 356 3.470 198.578
Sumber : buku Hadi Supeno (2010:73) Masih banyaknya anak berkonflik dengan hukum yang melewati proses peradilan dan masih banyak pula anak berkonflik dengan hukum yang dijatuhi pidana penjara. Konsep restorative justice bisa dijadikan masukkan dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Ciri pembedaan model restoratif dengan model-model sebelumnya commit to userdelinkuen anak. Menurut model terletak pada cara memandang perilaku
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
restoratif perilaku delinkuen anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tujuan utama adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatanya dan konsiliasi serta rekonsiliasi di kalangan korban, pelaku, dan masyarakat. Sudah saatnya Undang-undang Pengadilan Anak memberikan peluang pengaturan mengenai konsep ini sehingga ditemukan upaya penyelesaian kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan memberikan rasa tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Selain itu juga bisa memberikan nuansa edukatif kepada korban dan pelaku untuk saling menghargai terhadap sesama dalam mencapai kebahagian kehidupan bersama. Anak merupakan korban, korban dari pendidikan dan perlakuan orang tuanya, korban dari kebijakan pemerintah lokal, korban dari lingkugan sosial yang memberikan tekanan psikis, korban dari kemajuan tehnologi, korbandari kepentingan orang dewasa. Peradilan Anak model restoratif juga berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan, dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak (Paulus Hadisuprapto, 2006:32). Helen Cowie dan Dawn Jeniffer seperti yang dikutip oleh Hadi Supeno (2010:203) mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restoratif sebagai berikut : a. Perbaikan, bukanlah tentang memperolah kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan. b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi memalui proses komunikasi yang terbuka dan commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
langsung, antara korban dan pelaku kriminal, yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain. c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orangtua dapat memperolah proses yang adil. Maksudnya agar meraka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain. Model keadilan restoratif diharap menyentuh 3 aspek dalam perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu pencegahan, penanganan, rehabilitasi dan reintegrasi. Namun perlu di ingat bahwa tidak semua pihak dapat melakukan 3 aspek yang ada dengan pertimbangan bahwa semakin banyak yang terlibat dalam penaganan langsung anak delinkuen dapat memberikan imbas dan hambatan secara tehnis mengenai keadilan restoratif, sehingga dalam proses penanganan, rehabilitasi dan reintegrasi hanya membutuhkan komponen inti dan komponen lain sebagai pendukung dalam tahap pencegahan (Nur Rochaeti, 2008:246). Dalam model keadilan restoratif, hukuman terhadap pelaku delinkuensi tetap ada, tetapi hukuman itu diletakkan sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan sebagai balas dendam dan
pemidanaan. Hukuman dalam kerangka proses pendidikan
bukanlah hukuman yang melemahkan semangat hidup apalagi mematikan masa depan anak, tetapi justru harus berfungsi mencerahkan secara moral dan mendewasakan sebagai pribadi yang utuh. Karena itu, hukumannya bukan pidana, tetapi tindakan, melalui apa yang disebut pendidikan paksa. Anak memang dipaksa, tetapi dipaksa untuk tumbuh berkembang bebas dan sampai pada kedewasaan diri. Beberapa pilihan bergantung ringan dan beratnya kenakalan yang dilakukan anak seperti : a. Pelaku dikembalikan kepada orangtua secara penuh dengan sejumlah catatan, misalnya pelaku datang ke rumah korban untuk meminta maaf dan memberikan ganti rugi yang di musyawarahkan dalam posisi sejajar; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
b. Pelaku menjalani kerja sosial, yang dilakukan setelah selesai jam sekolah, sesuai tingkatan usia, kondisi kesehatan, lokasi tempat tinggal, kemampuan fisik, dan sebagainya; c. Pelaku di masukan di lembaga pendidikan sosial, panti sosial, dan tempat-tempat lainya, lembaga pendidikan khusus yang dibangun dan dipersiapkan untuk mendidik anak-anak yang memiliki kelainan delinkuensi ini. Target dari penghukuman anak bukanlah menghasilkan kejeraan atau tidak, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pelaku ini menyadari kekeliruanya, bisa memulihkan hubungan secara damai, dan anak memperolah kedewasaan diri setelahnya. Apabila anak mendapatkan pidana penjara belum tentu anak tersebut jera terhadap perbuatan yang telah ia lakukan, ada kemungkinan di dalam penjara anak tersebut mendapatkan pengetahuan yang lebih dari narapidana anak yang lain atau bahkan mendapatkan teman untuk melakukan tindak pidana. Anak yang telah melewati semua tahap sistem peradilan pidana kembali mengulangi kejahatanya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal implikasi model peradilan anak restoratif di Indonesia,adalah (Paulus Hadisuprapto, 2006:46) : a. Reformasi sistem perundang-undangan (sustansial dan prosedural) pengadilan anak dengan cara mengadopsi prinsip-prinsip peradilan anak restoratif. b. Mempertimbangkan potensi yang dimiliki Balai Pemasyarakatan (Bapas), Bapas perlu diperdayakan bukan saja sebagai lembaga yang memberikan laporan sosial anak pelaku delinkuen dalam sistem peradilan pidana anak melainkan, sebagai lembaga penyelengara berlangsungnya rekonsiliasi dalam bentuk family group conference. Bila nantinya peradilan restoratif dengan sangat terpaksa memutuskan bahwa pelaku delinkuensi anak harus dihukum di tempat khusus, tidaklah sulit untuk menempatkan hukuman pada anak yang melakukan delinkuensi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
berat, atau tidak cukup hanya dikembalikan kepada orangtuanya. Yang dibutuhkan adalah sifat kreatif untuk menciptakan tempat yang sesuai dengan misi perlindungan anak. Katakanlah untuk nama tidak menggunakan kata “pemasyarakatan”, tetapi dapat digunakan pendidikan sosial atau lembaga rehabilitasi yang penting tidak menimbulkan label dan kontaminasi pada pemidanaan atau pemenjaraan yang bersifat negatif. Prinsip yang harus dikembangkan pada tempat ini adalah (Hadi Supeno, 2010:224-226) : a.
Lokasi tidak memungkinkan putusnya komunikasi anak dengan orangtua.
b.
Memastikan tidak dirampasnya hak pendidikan anak sesuai atau jenis jenjang pendidikan sebelum anak masuk ke dalam lembaga rehabilitasi sosial.
c.
Harus ada klasifikasi jenis delinkuensi yang dilakukan anak. Katakanlah anak korban penggunaan narkoba harus dipisahkan dari anak yang melakukan tindakan asusila, atau anak pelaku kekerasan dengan pemberatan sampai pembunuhan.
d.
Program atau silabus yang harus diselesaikan anak pelaku delinkuensi bukanlah kegiatan yang berpotensi menimbulkan praktik kekerasan dan penyiksaan, tetapi bantuan dan bimbingan proses pendewasaan anak sebagai warga masyarakat yang harus saling mencintai, menjaga harmoni sosial, bekerja sama, dan memelihara perdamaian dengan siapapun.
e.
Pengelola dan pembibing utama pada rumah rehabilitasi sosial adalah para pekerja sosial professional yang disiapkan memang untuk membantu pendidikan anak yang berkonflik dengan hukum. Para pekerja profesional tersebut ini didampingi para psikolog, guru, rohaniawan, dan lainya, tetapi bukan petugas yang pekerjaannya mengancam dan menyiksa.
f.
Tersedia sarana untuk pengembangan bakat dan minat anak didik sehingga anak tidak merasa memperoleh ketrampilan praktis sebagai bekal kehidupan kelak. commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g.
Suasana kehidupan keluarga dan kekeluargaan harus dibangun sehingga anak tidak merasa ada perampasan kemerdekaannya. Anak boleh melakukan apa saja, kecuali tindakan kenakalan yang merugikan, menyakiti, dan membahayakan orang lain.
h.
Para anak didik tidak perlu diberikan pakaian seragam khusus, kecuali seragam sekolah.
i.
Para pembimbing tidak perlu menggunakan pakaian seragam khusus yang terkesan sebagai birokrat, tetapi cukup pakaian yang familier, yang bisa menunjukan keakraban antara pembimbing dan anak didik.
j.
Bagi anak didik yang diduga diasumsikan bisa membahayakan orang lain, bisa dilakukan pengawasan khusus tetapi anak itu tidak perlu diisolasi. Betapapun beratnya pelanggaran hukum yang dilakukan, anak tersebut adalah anak, maka yang dilakukan adalah sebuah tindakan kenakalan bukan kriminal. Dalam prespektif perlindungan anak, walaupun dia pelaku, sesungguhnya dia adalah korban dari perlakuan dan kebijakan orang dewasa.
k.
Lembaga Pendidikan Khusus Anak tidak boleh menjadi laboraotrium bebas tempat semua peneliti, LSM, atau lembaga mana saja datang berganti mewawancarai anak didik silih berganti, karena selain bisa mengganggu proses belajar, juga menimbulkan trauma psikososial karena
harus
selalu
mengigat
kembali
peristiwa
yang
tidak
menyenangkan dirinya dan berakibat menjalani kehidupan terpisah dengan keluarganya. l.
Pemerintah harus membuat standar pelayanan minimal dari lembaga pendidikan khusus ini agar dimana pun anak memperolah pelayanan lembaga ini, kesenjangannya tidak terlalu jauh.
m. Pada masa transisi, para eks petugas lembaga pemasyarakatan anak yang memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi khusus bisa ditempatkan pada lembaga pendidikan khusus ini, tetapi eks bangunan Lapas atau commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lapas anak tidak boleh dipergunakan sebagai lembaga pendidikan khusus dalam sistem peradilan restoratif karena akan menstigma bahwa sesungguhnya hanya ganti nama saja, tetapi intinya anak tetaplah sedang menjadi narapidana.
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Keadilan restoratif dalam peradilan anak dapat memberikan perlindungan kepada anak khususnya bagi anak delinkuen, yang sebagai mana diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan dalam Undang-undang 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pelaksanaan konsep keadilan dilakukan dengan tujuan menghindarkan anak dari implikasi atau stigma negatif sistem peradilan pidana yang ada, menghindarkan anak akan masuk sistem peradilan pidana anak dan menghilangkan label penjahat terhadap anak yang telah terlanjur menjadi korban dari sistem dan perkembangan lingkungan pergaulan yang ada. Peran serta masyarakat dan para penegak hukum sangatlah besar guna tercapainya peradilan anak dengan restorative justice. Model peradilan anak restoratif di Indonesia dilakukan dengan cara mereformasi sistem peraturan perundang-undangan tentang pengadilan anak dengan mengakomodasi prinsip-prinsip dasar model peradilan anak restoratif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Dari seluruh uraian penulis dalam BAB I sampai dengan BAB III, maka penulis dapat mengambil kesimpulan berdasarkan yang telah dibahas sebagai berikut : 1. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengeluarkan prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman penanganan kejahatan dalam Basic principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters pada tahun 2000. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), program restorative justice dengan sasaran untuk mencapai perdamaian dan resolusi perselisihan kemudian membangun kembali hubungan dipandang sebagai metode utama untuk mencapai keadilan dan mendukung korban, pelaku dan untuk kepentingan masyarakat. Dalam perlaksanaan proses konsep restorative justice diserahakan kepada negara masing-masing. Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan seperti ditekankan dalam prinsip-prinsip dasar tersebut. Restorative justice dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan anak, meskipun di beberapa negara mengamandemen undang-undung yang ada untuk dapat menerapkan restorative justice ini. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyinggung mengenai penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya yang terakhir dan sebisa mungkin menghindari proses peradilan dan pidana penjara. 2. Dalam penanganan kasus anak delinkuensi ada hal yang penting adalah belum terdapat mekanisme evaluasi terhadap sistem peradilan anak oleh lembaga independen di Indonesia. Masa depan anak yang melakukan tindak commit to user pidana yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan akan hancur
70
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akibat sistem peradilan anak yang kurang tepat bagi anak, terlebih lagi di Indonesia jumlah Lembaga Pemasyarakatan yang khusus bagi anak jumlahnya sedikit dan jumlah anak delinkuensi semakain banyak. Sehingga anak delinkuensi sejumlah besar anak masih ditempatkan di lembaga bercampur dengan terpidana dewasa. Pelanggaran atas hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child/CRC) telah terjadi dalam penempatan anak di Lapas. Sehingga metode restorative justice menjadi salah pilihan dan solusi yang tepat untuk melengkapi penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep sebagai salah satu perlindungan bagi anak yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak-hak anak. Menurut konsep reastorative justice, dalam menyelesaikan tindak pidana yang terjadi, korban akan mengemukakan alasan menurut pemikiran dan pandangannya tentang tindak pidana yang terjadi. Pandangan pererta terhadap permasalahan yang dibahas akan memunculkan hal baru sebagai hal utama yang akan dibahas dalam proses restorative justice. Dengan mempidananya seorang anak tidak akan menyelesaikan masalah bahwa anak tesebut akan berubah menjadi anak yang baik, dan konsep restorative justice mengupayakan agar tidak ada Raju-Raju yang lain.
B. Saran
1. Meratifikasi Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000). 2. Kordinasi dari masyarakat dan para penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim, Bapas dalam penanganan masalah anak delinkuen dengan konsep restorative justice mana yang dapat di lakukan restorative justice mana yang dapat diproses dalam peradilan anak. commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat akan kesadaran hukum yang memberikan pengetahuan mengenai hukum, serta memberikan pengetahuan tentang pelaksanaan konsep restorative justice dalam penanganan anak delinkuen agar tercipta kedamaian. 4. Mengamandemen Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan meratifikasi prinsip-prinsip dasar konsep restorative justice dalam Basic principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, kemudian konsep restorative justice di tuangkan dalam perubahan Undang-undang Pengadilan Anak. 5. Pembentukan badan independent yang mempunyai kewenangan untuk memfasilitasi pelaksanaan konsep restorative justice, yang mana badan tersebut di amanatkan oleh Undang-undang Pengadilan Anak yang baru.
commit to user