perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009)
Oleh DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 22 Maret 2011 Dosen Pembimbing,
Pembimbing I
Pembimbing II
Bambang Santoso, S.H., M.Hum
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
NIP. 1962 0209 198903 1 001 NIP. 1982 1008 200501 1 001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009) Oleh DIAH TRIANI ANDARI NIM E1107140 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada
:
Hari
: Selasa
Tanggal
: 12 April 2011
DEWAN PENGUJI (1) Kristiyadi, S.H., M.Hum
: ………………………………
Ketua (2) Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
: ……………………………….
Sekretaris (3) Bambang Santoso, S.H., M.Hum
: ………………………………..
Anggota Mengetahui Dekan
Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum commit to user NIP. 1961 0930 198601 1 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Diah Triani Andari
NIM
: E1107140
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN
KASASI
TERHADAP
PUTUSAN
BEBAS
YANG
DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 22 Maret 2011 Yang membuat pernyataan
Diah Triani Andari NIM. E1107140
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” ~Q.S. Ar-Ra’d: 11~
“The road to success is not to be run upon by seven-leagued boots… Step by step, little by little, bit by bit that is the way to wealth, that is the way to wisdom, that is the way to glory.” ~Sir Thomas Fowell Buxton~
“Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang berbeda” ~Dale Carnegie~
“Waktu terbaik untuk berbahagia adalah sekarang… Tempat terbaik untuk berbahagia adalah di sini…. Dan cara terbaik untuk berbahagia adalah membahagiakan orang lain” ~Mario teguh~
“When life give you a hundred reasons to cry, show that life that you have a thousand reasons to smile J” ~Penulis~
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Sebuah karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada: ♥ Dzat yang Maha Agung, ﷲSWT, penguasa alam semesta & pemilik hidupku ♥ Ayahku Slamet Sugiarto & Ibuku Healty Andari S.Pd atas cinta yang tak pernah padam, atas kepercayaan & harapan yang kalian ciptakan untuk ku… kasih sayang dan juga pengorbanan yang telah diberikan sampai saat ini… ♥ Kakak-kakak dan Keponakan-keponakanku tercinta yang telah meramaikan hariku dan menyayangi dengan segenap hati: Mas As’Nain Ika Hadmawan, S.E & Mbak Rulyanthi Diah Krisanti, S.S serta Dik Khansa Anindya Runansya Mas Son Rokhaniawan Perdata, S.T & Mbak Diah Dwi Andari, S.Pd serta Dik Kaylynn Syafrina Putri Sondi ♥ My soulmate someday, someone, somewhere, somehow…J ♥ Untuk Keluarga Besar Soerjadi… Nenek ku tercinta, Om-om dan Tante-tante, serta Sepupu-sepupu tersayang… Dik Wulan, Dik Riris, Dik Henny, Dik Lia, Bagus, Nia, Mei, Doan dan Dik Rara
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
♥ Sahabat-sahabatku, seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa yang membosankan bersama kalian, kenangan-kenangan bersama yang tak mungkin terlupakan Rosy, Neri, Bellinda, & Kiki Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya "Persahabatan bagaikan music, Alunan nadanya bisa berhenti sekarang dan kemudian, akan tetapi rangkaian nada yang telah tercipta tetap teruntai selamanya" ♥Keluarga Besar “Griya Dicma” disinilah kita bersama menjadi suatu keluarga,,, Mbak Jojo, Mbak Uwie, Mbak Yola, Mbak Ida, Nindy, Hima, Mbak Lirih, Mbak Fafa, Mbak Rani, Mbak Fetri, Mbak Dian, Uci, Nina, Ester, Wilis, Mbak Nita, Mbak Dewi, Mbak Maya… serta Mas Kris dan Mbak Kris Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya… begitu menyenangkan bisa mengenal kalian kakak-kakak dan adik-adik ku. ♥ Teman-teman ku seperjuangan angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS yang tak bisa aku sebutkan satu persatu, semoga kita semua menjadi orang yang sukses dan selalu menjaga tali persaudaraan kita.. Buktikan kepada dunia kita mampu menjadi orang yang sukses dan berguna bagi nusa dan bangsa. ♥Almamater tercinta, Universitas Sebelas Maret Surakarta commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK DIAH TRIANI ANDARI, E1107140. 2011. KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang jika dianalisis berdasarkan ketetuan Pasal 244 KUHAP dan untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Ditinjau dari sifatnya maka penelitian ini bersifat penelitian preskriptif. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach). Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan atau teknik dokumentasi, dengan menggunakan buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen seperti berkas perkara, dan sebagainya. Teknik analisis bahan hukum dengan logika deduktif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa kasasi terhadap putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan Terdakwa TJHANG SE NGO alias ANGO memang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP. Akan tetapi demi terwujudnya kepastian dan keadilan hukum kasasi atas putusan bebas dapat diajukan oleh penuntut umum dengan pertimbangan bahwa putusan tersebut merupakan putusan bebas tidak murni dan terdapat kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, terdapat kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan/atau adanya tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Dalam memori kasasi harus diuraikan dimana terdapat/terletak kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, bagaimana bentuk kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan bagaimana bentuk tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Sehingga dalam memori kasasi Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan ketiga hal tersebut yaitu, a) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. commit user Penuntut Umum Kata Kunci : Putusan Bebas, Kasasi, NalartoHukum
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
DIAH TRIANI ANDARI, E1107140. 2011. KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009). Faculty of Law Sebelas Maret University. This research was aimed to know clearly about filing cassation by Public Prosecutors toward acquittals that was fell down by Sanggau District Court in human trafficking case when it was analyzed based on the provision of Article 244 Criminal Procedure Code, and to know legal reasoning the Public Prosecutors as the basic of filing cassation toward acquittals that was fell down by Sanggau District Court in human trafficking case. This research used normative legal research. Based on the characteristic, this research was categorized as prescriptive research. This research also used case approach. A legal material that is used is primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. To collect the data, this research used literature study or documentation technique by using books, legislation, documentation, such as file cases, and others. Whereas to analyzed the legal materials used deductive logic. The research finding got that the filing cassation by Public Prosecutors toward acquittals that was fell down by Sanggau district court in human trafficking case that was faced TJHANG SE NGO or ANGO as defendant was not suitable with the provision of Article 244 Criminal Procedure Code. However, in order to realize certainty and justice cassation of acquittals could be proposed by public prosecutors using consideration that the decision was an acquittals which are not pure and there is mistake/ error in applying the law court, there are mistakes/ errors or omissions court in how to adjudicate and/ or any court action that have exceeded the authority. In cassation have to be described where the location of mistakes/ errors court was in applying the law, and how the form of action court that have exceeded the limit its authority. So, in cassation, Prosecutors had to prove three things, such as, a) whether a legal rule is applied or not applied properly, b) whether it is correct that the way to adjudicate is not implemented suitable with the law, c) whether it is correct that the court have exceeded the limit of the authority.
Keywords: Free Decision, Cassation, the Public Prosecutor Legal Reason
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur Alhamdullilah penulis panjatkan, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul ” KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009)” dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai mengenai pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdaganagn orang jika dianalisis berdasarkan ketetuan Pasal 244 KUHAP serta nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam perkara perdagangan orang. Pada saat ini belum banyak penelitian yang mengangkat mengenai kasasi terhadap putusan bebas. Dalam pelaksanaanya banyak terjadi pro dan kontra atas kasasi atas putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum yang dianggap menerobos ketentuan Pasal 244 KUHAP. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama kepada : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Bapak Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dalam penyusunan penulisan hukum ini. 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dalam penyusunan penulisan hukum ini. 4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum, selaku pembimbing I penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini. 5. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku pembimbing II penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini. 6. Alm. Bapak Gusdan Hanung, S.E., S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan nasehat kepada penulis. 7. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program Non Reguler yang banyak mengarahkan dan memberi nasehat selama masa perkuliah. 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan. 9. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini. 10. Seluruh staff tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan, pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas bantuannya. 11. Ayahku Slamet Sugiarto & Ibuku Healty Andari, S.Pd terimakasih atas user cinta yang tak pernah commit padam,to pengertian, fasilitas, dukungan dan
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepercayaan atas segala jalan yang saya pilih dan keputusan yang saya buat, hanya dengan Ridho kalian saya dapat berada di sini hingga saat ini, harapan yang kalian ciptakan untukku. Kasih sayang dan juga pengorbanan yang telah diberikan sampai saat ini. 12. Kakak-kakak
dan
Keponakan-keponakanku
tercinta
yang
telah
meramaikan hari-hariku, Mas As’Nain Ika Hadmawan, S.E &
Mbak
Rulyanthi Diah Krisanti, S.S, serta Khansa Anindya Runansya. Mas Son Rokhaniawan Perdata, S.T. &
Mbak Diah Dwi Andari, S.Pd, serta
Kaylynn Syafrina Putri Sondi. My soulmate someday, someone, somewhere, somehow. 13. Untuk Keluarga Besar Soerjadi. Nenek ku tercinta, Om-om dan Tantetante, serta Sepupu-sepupu tersayang. Dik Wulan, Dik Riris, Dik Heny. 14. Sahabat-sahabatku, seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa yang membosankan bersama kalian, kenangan-kenangan bersama yang tak mungkin terlupakan. Rosy, Neri, Bellinda, & Kiki. Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya. “Persahabatan bagaikan musik, Alunan nadanya bisa berhenti sekarang dan kemudian, akan tetapi rangkaian nada yang telah tercipta tetap teruntai selamanya.” 15. Keluarga Besar “Griya Dicma” disinilah kita bersama menjadi suatu keluarga, Mbak Jojo, Mbak Uwie, Mbak Yola, Mbak Ida, Nindy, Hima, Mbak Lirih, Mbak Fafa, Mbak Rani, Mbak Fetri, Mbak Dian, Uci, Nina, Ester, Wilis, Mbak Nita, Mbak Dewi, Mbak Maya serta Mas Kris dan Mbak Kris. Semoga kita dapat menjadi saudara selamanya. Begitu menyenangkan bisa mengenal kalian kakak-kakak dan adik-adikSku. 16. Teman-temanku seperjuangan di Fakultas Hukum UNS angkatan 2007 dan yang tak bisa aku sebutkan satu persatu, semoga kita semua menjadi orang yang sukses. Teman-teman magang di BPN Karanganyar, Arina, Tika, dan Windha. Serta teman-teman team Mootcourt Pidana, Mootcourt Perdata, dan Mootcourt TUN. 17. Teman-teman dan sahabat-sahabatku. Teman semasa SMA yang sampai commit toteman-teman user saat ini sudah seperti keluarga, X.3, XI.IA.5, XII.IA.5,
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bunder, Mely, Rian, Niar, Nina, Angga, Imam, Ayub, Dinnul, dan temanteman yang lain yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. 18. Sahabat-sahabatku semasa SMA sampai sekarang Ningsih, Dita, Otong. Kawan-kawanku Andhis, Rico, Cendy terimakasih untuk semua, Ofan, Angga, Hutma makasih udah antar jemput aku berangkat dan kembali dari Magetan ke Solo, Eka, dan Radit. Kalian yang telah memberikan warna dalam hidupku dan menjadi kisah dalam hidupku. Mengajarkan ku banyak hal, membuatku mengerti banyak hal bersama kalian saudara ku. 19. Almamaterku, seluruh para penghuni Fakultas Hukum UNS yang beragam, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang indah dan membuatku sangat bersyukur bisa mengenal kalian semua. 20. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu tersusunnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi Penulis maupun para pembaca.
Surakarta, 22 Maret 2011
Penulis
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................
iii
PERNYATAAN...................................................................................................
iv
HALAMAN MOTTO...........................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN...........................................................................
vi
ABSTRAK............................................................................................................ viii ABSTRACT..........................................................................................................
ix
KATA PENGANTAR..........................................................................................
x
DAFTAR ISI......................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR............................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xvii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah................................................................
1
B. Perumusan Masalah......................................................................
10
C. Tujuan Penelitian..........................................................................
10
D. Manfaat Penelitian........................................................................
11
E. Metode Penelitian.........................................................................
12
F. Sistimatika Skripsi........................................................................
16
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................
18
A.
Kerangka Teori….....................................................................
18
1.
Tinjauan Tentang Putusan................................................
18
a. Pengertian Putusan.....................................................
18
b. Jenis-Jenis Putusan.....................................................
18
Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi.........................
26
a. Pengertian Upaya Hukum.........................................
26
2.
b. Upaya Hukum Kasasi................................................ 26 3.
Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang..... 36 commit to user a. Pengertian Tindak Pidana ......................................... 36
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Pengertian Perdagangan............................................
38
c. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang.........
39
Tinjauan Tentang Penuntut Umum..................................
46
a. Pengertian Penuntut Umum......................................
46
b. Wewenang Penuntut Umum.....................................
47
Kerangka Pemikiran.................................................................
35
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.................................
50
A. Hasil Penelitian...........................................................................
50
B.
59
4.
B. BAB III
Pembahasan................................................................................. 1. Kesesuaian Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang dengan Ketetuan Pasal 244 KUHAP...........
59
2. Nalar Hukum Penuntut Umum sebagai Dasar Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Bebas yang Diajukan oleh Pengadilan Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang...... 72 BAB IV
PENUTUP...........................................................................................
79
A. Simpulan.......................................................................................
79
B. Saran..............................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
82
LAMPIRAN..........................................................................................................
87
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Kerangka Pemikiran
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Fotocopy Putusan Mahkamah Agung mengenai perkara Tindak
Pidana Perdagangan
TJHANG
SE
NGO
alias
Orang dengan Terdakwa ANGO
K/PID.SUS/2008, Tanggal 7 Januari 2009
commit to user
xvii
Nomor
795
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perdagangan manusia atau yang dikenal dengan istilah human trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi maka semakin berkembang pula modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan. Masalah perdagangan perempuan dan anak, akhir-akhir ini muncul menjadi suatu masalah yang banyak diperdebatkan baik ditingkat regional maupun internasional. Sebenarnya perdagangan manusia bukanlah hal baru, namun isu demikian beberapa tahun belakangan kembali muncul ke permukaan dan menjadi perhatian tidak saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah
transnasional.
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak, Linda Gumelar prihatin, karena kasus perdagangan manusia di Indonesia setiap tahun grafiknya semakin menanjak. Salah satu modus yang dilakukan pelaku, dengan cara pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Apalagi jumlah yang paling besar hampir 70% korbannya adalah perempuan. Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah perdagangan manusia di Indonesia mencapai 607 kasus, pada tahun 2010, yang melibatkan sebanyak 857 orang pelakunya. Dan para korbannya orang dewasa 1.570 orang (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%). Korban yang diperdagangkan, dieksploitasi secara seksual maupun kerja paksa. Setiap tahunnya, ada kenaikan 450.000 orang Indonesia yang diperdagangkan dengan modus sebagai tenaga to user kerja ke luar negeri. Dari jumlah commit itu, sekitar 46% terindikasi kuat menjadi korban
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(http://www.kabarbisnis.com/ kasusperdaganganmanusia/ diakses pada tanggal 14 Februari 2011 pukul 19.00 WIB). Perdagangan orang melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak bahkan bayi sebagai “korban”, sementara agen, calo, atau sindikat bertindak sebagai yang “memperdagangkan (trafficker)”. Para germo, majikan atau pengelola tempat hiburan adalah “pengguna” yang mengeksploitasi korban untuk keuntungan mereka yang seringkali dilakukan dengan sangat halus sehingga korban tidak menyadarinya. Termasuk dalam kategori pengguna adalah lelaki hidung belang atau pedofil yang mengencani perempuan dan anak yang dipaksa menjadi pelacur, atau penerima donor organ yang berasal dari korban perdagangan orang. Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks. Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2005: 8) Masalah perdagangan orang ini dapat dikatakan seperti fenomena gunung es, mengingat data yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan. Memang banyak yang tidak melapor dikarena malu, dianggap aib dan tidak ingin memperpanjang kasusnya. Memerangi perdagangan orang tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengingat perdagangan orang memiliki sindikat, jaringan dan sumber daya yang besar. Selain itu, para pelakunya pun seringkali memindahkan jalur transportasi yang kurang mendapat pengawasan dan tidak ada efek jera pada pelaku tindak pidana perdagangan orang ini. commit to user
xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Salah satu hal yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah perdagangan orang, terutama wanita dan anak-anak, adalah salah satu ladang bisnis yang menggiurkan. Uang yang berputar dalam kegiatan ini mencapai miliaran dolar per tahun. Amerika Serikat adalah primadona bagi aktivitas perdagangan orang. Setiap tahun ada sekitar 50 ribu orang yang melintas-batas untuk masuk ke AS. Korban terbesar perdagangan orang berasal dari Asia, yakni 225 ribu orang dari Asia Tenggara, 115 ribu dari Asia Selatan. Dalam Laporan tentang Perdagangan Manusia (TIP) 2009, Departemen Luar Negeri AS memasukkan setiap negara ke dalam salah satu tingkat (tier) seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Manusia (TVPA) tahun 2000. TVPA memberikan panduan upaya-upaya untuk memerangi tindak perdagangan manusia. Negara yang sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA masuk kategori Tier 1. Negara yang menunjukkan upaya signifikan untuk memenuhi standar minimum masuk kategori Tier 2. Adapun negara yang sama sekali tidak memenuhi standar minimum dan tidak menunjukkan upaya yang signifikan masuk kategori Tier 3. Menurut Laporan tentang Perdagangan Manusia pada 2009, pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pembasmian perdagangan manusia. Meskipun begitu, berbagai upaya yang signifikan telah dilakukan. Pemerintah memperbaiki tindakan penegakan hukum atas kejahatan perdagangan manusia. Namun pemerintah tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam upaya mengatasi perdagangan buruh yang dilakukan melalui praktek-praktek rekrutmen eksploitatif oleh PJTKI yang kuat secara politik. Selain itu, hanya ada sedikit laporan tentang upaya mengadili, memvonis, dan menghukum para pejabat penegak hukum serta militer Indonesia yang terlibat dalam perdagangan manusia, meskipun ada laporan tentang korupsi yang melibatkan perdagangan manusia (http://www. google.com/KegentinganMasalah-Perdagangan-Orang/ diakses tanggal 12 Februari 2011 pukul 22.00 WIB). Pemerintah terus melanjutkan kerja sama dengan berbagai lembaga commit to user swadaya masyarakat dan organisasi internasional dalam upaya meningkatkan
xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesadaran akan praktek perdagangan manusia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, yang bertindak sebagai unsur utama pemerintah dan koordinator untuk Gugus Tugas Anti Perdagangan Manusia Nasional, menyiapkan konsep rencana tindakan nasional 2009-2013 mengenai perdagangan manusia. Beberapa provinsi dan kabupaten membentuk rencana tindakan lokal dan komite anti-perdagangan manusia. Indonesia, menurut laporan itu, masuk kategori Tier 2. Menurut data dari IOM, ancaman perdagangan manusia terbesar yang dihadapi para pria dan wanita Indonesia adalah yang disebabkan oleh kondisi kerja paksa dan sistem kerja ijon di banyak negara Asia terutama Malaysia, Singapura, Jepang, dan Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Para wanita dan anak perempuan Indonesia diperdagangkan ke Malaysia dan Singapura untuk dipaksa menjadi pelacur, serta ke berbagai pelosok daerah di Indonesia untuk dipaksa menjadi pelacur dan pekerja paksa. Kasus trafficking atau perdagangan orang yang banyak terjadi di Indonesia salah satunya adalah melalui pos lintas batas Entikong Indonesia-Serawak Malaysia. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Cabang Entikong Anton, berdasarkan data tindak pidana perdagangan manusia yang berhasil diungkap di perbatasan entikong Indonesia-Sarawak Malaysia mengalami kecenderungan menurun bila tahun 2007 sebanyak 35 kasus, maka tahun 2009 menjadi 30 kasus. Sementara, untuk tahun 2010 delapan kasus tiga diantaranya sudah putus sedangkan sisanya masih dalam proses. Sedangkan Perkara tindak pidana umum yang telah ditangani kejaksaan Entikong tahun 2010 sebanyak 30 kasus. Untuk kasus perdagangan orang atau traffiking seluruhnya telah diputuskan di Pengadilan Negeri Sanggau dengan hukuman rata-rata tiga tahun penjara. Namun demikian, secara umum tindak pelanggaran hukum di wilayah perbatasan terus meningkat. Tahun 2008, sebanyak 60 kasus pidana umum dan tahun 2009 meningkat menjadi 75 kasus. Terhadap kasus trafficking atau perdagangan manusia ini, terdapat salah satu kasus yang diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Sanggau. Kasus tersebut kemudian diajukan kasasi oleh Penuntut Umum. Kasus tersebut adalah yang melibatkan Tjhang Se Ngo alias commit to userTjhang Se Ngo alias Ango selaku Ango. Pada bulan April tahun 2007 Terdakwa
xxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pribadi bukan atas nama PJTKI mendatangi rumah saksi korban Djap Bui Cu alias Bui Cu, saksi korban Li San ku, saksi korban Ernawati Liu alias Erna, saksi korban Lui Mui Fung alias Mui Fung, saksi korban Cin Chu Tjung, saksi korban Ku Mi Lie alias Mili, saksi korban Elsa Tjia untuk menawarkan pekerjaan kepada masing-masing saksi korban sebagai pelayan restoran di Negara Malaysia dengan gaji RM 300 sampai dengan RM 700 per bulan, kemudian Terdakwa meminta kepada masing-masing saksi korban untuk biaya penginapan serta biaya makan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan untuk pembuatan passport dibuat oleh masing-masing saksi korban, Akta Kelahiran, KTP, Surat Ijin Orang Tua. Setelah passport tersebut jadi yaitu passport 48 (passport kunjungan) tidak dapat digunakan untuk bekerja ke luar negeri, kemudian Terdakwa tanpa melalui PJTKI bersama dengan para saksi korban berangkat dari Singkawang menuju Entikong dengan menggunakan kendaraan mini bus. Terdakwa dalam memberangkatkan para saksi korban tidak mendapatkan pelatihan, memiliki surat izin lulus kompetensi, surat kesehatan atau psikologi, asuransi, surat perjanjian persetujuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Secara nyata jelas sekali perbuatan yang dilakukan oleh Tjhang Se Ngo alias Ango melanggar kentuan pidana, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, akan tetapi putusan Pengadilan Negeri Sanggau beramar “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (vrijspraak)”. Sebagai reaksi atas putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau tersebut, maka pada tanggal 6 Maret 2008 Penuntut Umum mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Terhadap putusan Pengadilan, pihak-pihak yang tidak puas dapat melakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa perlawanan, commithukum to user luar biasa berupa kasasi demi banding, dan kasasi, maupun upaya
xxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepentingan hukum dan peninjauan kembali (Herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judex factie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Haruslah dipahami bahwa SK Menteri dan Yurisprudensi, sebagaimana Tap MPR Nomor III Tahun 2000 bukan termasuk dalam Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum adalah merupakan suatu bentuk sikap yang wajar apabila ada pihak-pihak yang membantah dan menyatakan tidak puas dengan adanya suatu putusan pidana yang dianggapnya merugikan. Untuk menyikapi hak hukum bagi pihak-pihak tersebut, peradilan pidana telah memberikan ruang guna melakukan upaya hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya pada Bab XVII dan Bab XVIII, yakni berupa upaya hukum banding dan kasasi. Hal itu berbeda apabila Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa, dengan amar putusan yang menyebutkan, ”Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan”. Bahwa terhadap putusan bebas itu, secara tegas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menutup upaya hukum kasasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 244 (KUHAP). Dalam pasal itu disebutkan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamh Agung, kecuali terhadap putusan bebas”. Larangan untuk melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas tersebut juga diperjelas lagi dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bab VI tentang Upaya Hukum Biasa, yang menyatakan, ”Jika Pasal 244 dihubungkan dengan Pasal 67 maka jelaslah bahwa terhadap putusan bebas, tanpa melihat apakah putusan bebas itu murni atau tidak murni, commit to user tidak dapat diminta banding atau kasasi”.
xxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meskipun demikian, dalam praktiknya dengan tanpa mengindahkan Pasal 244 KUHAP, pihak jaksa penuntut umum (JPU) selalu saja memaksakan kehendak menggunakan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas dengan dalih bahwa telah ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas tersebut. Yurisprudensi sebagaimana yang dimaksud oleh jaksa penuntut umum adalah merupakan putusan Mahkamah Agung yang pada saat itu mengacu pada produk eksekutif yakni berupa Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang di dalamnya menyebutkan, ”Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan, dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
didasarkan
pada
yurisprudensi”
(http://www.infohukum.com/Kasasi-
Terhadap-Putusan-Bebas-Murni/ diakses tanggal 12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB). Bahwa terhadap keputusan Menkeh tersebut, kemudian Mahkamah Agung dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan juga menjelaskan yang pada intinya, dengan mempertimbangkan hak asasi serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, sehingga putusan bebas murni merupakan vekregen recht, oleh karena itu Mahkamah Agung berpendapat Pasal 244 KUHAP hanya berlaku bagi putusan yang bersifat murni dan bukan bagi yang bersifat putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging). Terlepas dari itu semua, haruslah dipahami bahwa Surat Keputusan Menteri dan Yurisprudensi, sebagaimana Tap MPR RI Nomor III Tahun 2000 bukan termasuk dalam Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum, dan dapat dilihat pula pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, oleh karenanya menurut asas lex superior derogat legi inferiori, sangatlah tidak patut apabila jaksa penuntut umum melanggar Pasal 244 KUHAP. commit to user
xxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Guna diperolehnya kepastian hukum bagi semua pihak serta agar tidak terjadi contra legem (yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terangterangan “bertentangan” dengan undang-undang) dalam penegakan hukum, semestinya Mahkamah Agung bersikap tegas untuk kembali berpegang pada undang-undang yang dalam hal ini KUHAP dalam menjalankan fungsi Pasal 244 KUHAP. Mahkamah Agung semestinya menerbitkan sebuah peraturan atau setidak-tidaknya memberikan petunjuk kepada Pengadilan Tinggi selaku voorpost di wilayah hukumnya, agar tidak memproses upaya hukum “luar biasa” JPU, yaitu permohonan kasasi atas putusan bebas sebagaimana dimaksud dengan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP. Menurut Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP pun hanya menggunakan kata “bebas”. KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni. Rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertimbangan Mahkamah Agung: “Demi hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi”. Nanti, Mahkamah Agunglah yang memutuskan apakah
suatu
putusan
bebas
murni
atau
bebas
tidak
murni.
(http://www.hukumonline.com/kasasiatasvonisbebasyangmenerobosKUHAP/ diakses tanggal 12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB). Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan Pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari Mahkamah Agung, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). Mahkamah Agung justru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk commit to user Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang
xxv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: “1. terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; 2. tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi”. (M. Yahya Harahap, 2000: 523) Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu keluar, Mahkamah Agung menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap, suatu putusan dikatakan bebas tidak murni lazim juga disebut pembebasan terselubung (verkapte vrispraak) apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya. Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak menunggu Mahkamah Agung bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah argumentasi Jaksa Penuntut Umum cukup kuat, tentu saja Mahkamah Agung yang akan menilai. Dengan berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan kemukakan. Oleh karena itu penulis menuangkan sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul : KAJIAN ATAS NALAR HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN NEGERI SANGGAU DALAM PERKARA PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS DALAM MA NO. 795 K/PID.SUS/2008, TANGGAL 7 JANUARI 2009)
commit to user
xxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Setiap penulisan ilmiah yang akan dilakukan selalu berangkat dari masalah. Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sarana. Perumusan masalah adalah segala sesuatu yang akan dijadikan sasaran atau mengenai hal apa yang sebenarnya akan diteliti dalam suatu penelitian. Perumusan masalah akan memudahkan bagi penulis untuk mengerjakan dan dapat mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Perumusan masalah dapat juga dikatakan sebagai inti dari suatu penelitian karena akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan. Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut: 1. Apakah pengajuan kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang sesuai dengan ketetuan Pasal 244 KUHAP? 2. Bagaimanakah nalar hukum Penuntut Umum sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Sanggau dalam perkara perdagangan orang?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan objektif a. Untuk mengetahui secara jelas mengenai kesesuian pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan ketetuan Pasal 244 KUHAP. commit to user
xxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam perkara perdagangan orang. 2. Tujuan subjektif a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terutama mengenai teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. b. Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis a. Mengetahui deskripsi secara jelas pengajuan kasasi oleh penuntut umum terhadap putusan bebas yang dihadapkan dengan Pasal 244 KUHAP. b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan sebagai bahan referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengatahuan. 2. Manfaat praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus
untuk
mengetahui
kemampuan
penulis
dalam
mengimplementasikan ilmu yang diperoleh. b. Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya commit dan hukum acara pidana padato user khususnya, yang berkaitan dengan
xxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengajuan kasasi oleh penuntut umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri.
E. Metode Penelitian Suatu penelitian haruslah menggunakan metode yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh penulis. Sedang dalam penentuan metode mana yang akan digunakan, penulis harus cermat agar metode yang dipilih nantinya tepat dan jelas sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat tercapai. Sebelum menguraikan mengenai metode penelitian, maka terlebih dahulu akan dikemukakan tentang pengertian metode itu. Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos”, yang berarti cara kerja, upaya, tahu jalan suatu kegiatan pada dasarnya adalah salah satu upaya, dan upaya tersebut bersifat alamiah dalam mencari kebenaran yang dilakukan dengan mengumpulkan data sebagai dasar penentuan kebenaran yang dimaksud (Koentjaraningrat, 1993: 22). Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989 : 4). Metodologi penelitian dan penelitian ini meliputi: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan struktur, dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi. Dalam hal ini yang dilakukan adalah meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan to user hukum primer, bahan hukumcommit sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-
xxix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 32). 2. Sifat Penelitian Ditinjau dari sifatnya maka penelitian ini bersifat penelitian preskriptif. “Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 22).
3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. “Pendakatanpendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan
historis
(historical
approach),
pendekatan
komparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)” (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 93). Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach).
4. Jenis Bahan Hukum Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data primer lebih bersifat sebagai penunjang.
commit to user
xxx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Sumber Bahan Hukum Yang dimaksud dengan sumber bahan hukum dalam penelitian adalah subyek dimana data diperoleh. Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian normatif adalah sumber bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Bahan hukum primer Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV. 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 6) Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. 7) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.14PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP). 8) Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan. 9) Putusan Mahkamah Agung Nomor 795 K/PID.SUS/2008, Tanggal 7 Januari 2009.
commit to user
xxxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan topik penelitian. c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yang merupakan penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi : bahan dari internet yang relevan dengan penelitian ini dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, serta Kamus Hukum.
6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu teknik interaktif yang meliputi interview dan observasi berperan serta dan teknik non interaktif yang meliputi observasi tak berperan serta dan content analisis dokumen. Untuk memperoleh bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini, yang disesuaikan dengan pendekatan normatif dan jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis adalah dengan studi kepustakaan atau teknik dokumentasi, yaitu menelaah bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka ini menggunakan penelusuran terhadap katalog. Yang dimaksud dengan katalog yaitu merupakan suatu daftar yang memberikan informasi mengenai koleksi yang dimiliki dalam suatu perpustakaan.
7. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan teknik analisis bahan hukum dengan logika deduktif. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip penjelasan Philiphus M. Hadjon, menjelaskan bahwa metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi user (penyataan bersifat umum). berpangkal dari pengajuan commit premisto mayor
xxxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian diajukan premis minor (penyataan bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 47). Jadi pengelolaan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal yang sifatnya khusus. Dalam penelitian ini bahan hukum yang diperoleh dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian kepustakaan, peraturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma tersebut dalam mengumpulkan data, kemudian data diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Kemudian tahap yang terakhir menarik kesimpulan yang telah diolah.
F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam subsub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan tinjauan tentang putusan, tinjauan tentang upaya hukum kasasi, tinjauan tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan tinjauan tentang Penuntut Umum. Sedangkan dalam commit to user
xxxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam hal ini penulis membahasa dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya: 1. Untuk
mengetahui
secara
jelas
mengenai
kesesuian
pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang dengan ketetuan Pasal 244 KUHAP. 2. Untuk mengetahui nalar hukum Penuntut Umum Sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Pengadilan Negari Sanggau dalam perkara perdagangan orang. BAB IV
: PENUTUP Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
xxxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Putusan a. Pengertian Putusan Menurut ketentuan Pasal 1 butir ke-11 KUHAP, “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang”. Sedangkan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikerluarkan oleh Kejaksaan agung RI tahun 1985 adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan putusan merupakan terjemahan dari kata “vonis”, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan (Lilik Mulyadi, 2006 : 52). Dalam ketentuan Pasal 182 ayat 6 KUHAP bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan permufakatan yang bulat, kecuali hal ini telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara yaitu: 1) Putusan diambil dengan suara terbanyak 2) Jika dengan cara ini tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
b. Jenis-jenis Putusan Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak pada surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan meliputi apa yang didakwakan dalam surat terdakwa terbukti, atau tindak pidana yang to userBertitik tolak pada kemungkinandidakwakan tidak terbukticommit sama sekali.
xxxv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemungkinan di atas, putusan yang dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara bisa berbentuk sebagai berikut : 1) Putusan Bebas Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspaark) atau acquittal. Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa ”tidak dipidana”. Berikut beberapa pengertian putusan bebas (vrijspraak) yang dikemukakan oleh kalangan doktrina, diantaranya: Djoko Prakoso mengemukakan, Vrijspraak adalah putusan hakim yang mengandung pembebasan terdakwa, karena peristiwaperistiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidangan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti (Djoko Prakoso, 1985: 270). Menurut Soekarno, bahwa Vrijspraak adalah, Salah satu dari beberapa macam putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Soekarno, 1978: 15). Harun M. Husein berpendapat sesuai dengan rumusan pengertian bebas dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP, maka dapat kita definisikan bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Harun M. Husein, 1992: 108). Sehubungan dengan putusan bebas ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirjono Projodikoro yang dikutip oleh Harun M. commit to useryang tersebut dalam surat tuduhan Husein, ”Kalau peristiwa-peristiwa
xxxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(dakwaan) seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak terbukti,
maka
terdakwa
harus
dibebaskan
dari
tuduhan
(vrijgesproken)” (Harun M. Husein, 1992: 108). Dalam praktek peradilan, putusan bebas dibagi menjadi : a) Putusan bebas Murni (de “zuivere vrijspraak”) Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89 ). Pandangan Mahkamah Agung, bahwa hanya pembebasan murnilah yang tidak dapat diajukan dalam pemeriksaan kasasi (Oemar Seno Adjie, 1985:163). b) Putusan Bebas Tidak Murni (niet zuivere vrijspraak) Oleh Prof. Van Bemellen pernah diajukan beberapa putusan bebas tidak murni, yang mestinya bersifat lepas dari segala tuntutan hukum. Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundangundangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti (Oemar Seno Adjie, 1985:167). Yurisprudensi konstan dari Mahkamah Agung menyatakan bahwa tidak bisa diajukan upaya hukum terhadap putusan bebas, dan masih membuka untuk pemeriksaan dalam tingkat kasasi terhadap putusan bebas tidak murni. Maka yurisprudensi ini dijadikan dasar bagi Mahkamah Agung untuk mengadakan pemeriksaan terhadap putusan bebas tidak murni. Menurut Oemar Seno Adjie (Oemar Seno Adjie, 1985:164), putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut : commit to user
xxxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. b) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya.
Untuk mengetahui dasar putusan yang berbentuk putusan bebas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 191 ayat (1) yang menjelaskan, apabila pengadilan berpendapat: (1) Dari hasil pemeriksaan ”di sidang” pengadilan (2) Kesalahan
terdakwa
atas
perbuatan
yang
didakwakan
kepadanya ”tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan
Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan: a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim. b) Tidak memenuhi asas batas minimun pembuktian Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh salah satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam ketentuan Pasal 183 sekaligus terkandung dua asas. Pertama, asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan prinsip hukum pembuktian, di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti commitdengan to user keyakinan hakim atas kebenaran harus pula dibarengi
xxxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesalahan terdakwa. Kedua, Pasal 183 juga mengandung asas batas minimun pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah.
Sedangkan di dalam KUHP, Buku Kesatu Bab III terdapat beberapa
pasal
yang
mengatur
tentang
hal-hal
yang
mengahapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa. a) Pasal 44, apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa ”tidak dapat dipertanggung- jawabkan” kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, gila, epilepsi, melankolik, dsb. b) Pasal 45, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun. c) Pasal 48, orang yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan dalam keadaan ”pengaruh daya paksa” (overmacth) baik yang bersifat daya paksa batin atau fisik. d) Pasal 49, orang yang terpaksa melakukan perbuatan pembelaan karena ada serangan ancaman seketika itu juga baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain atau terhadap kehormatan kesusilaan. e) Pasal 50, orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana, terdakwa harus diputus dengan putusan bebas.
Berdasarkan
pendapat
dari
beberapa
sarjana
dan
yurisprudensi, akhirnya didapat suatu kesimpulan terkait dengan pengertian dari putusan bebas murni (zuivere vrijspraak) dan putusan bebas tidak murni (onzuivere vrijspraak), sebagai berikut, bahwa dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah putusan commit to user
xxxix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bebas itu mengandung pembebasan yang murni atau tidak murni. Kriteria dimaksud, adalah: a) Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila: Pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas suatu istilah dalam surat dakwaan, atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya. b) Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana yang didakwakan.
2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hakim Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasarkan kriteria: a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan; b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena: a) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP); b) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa atau overmacht (Pasal 48 KUHP); c) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP); d) Adanya ketentuan Undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan e) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP). commit to user
xl
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dan dapat dilihat juga hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut ”tidak merupakan tindak pidana” tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.
3) Putusan Pemidanaan Bentuk
putusan
pemidanaan
diatur
dalam
Pasal
193.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah
melakukan
perbuatan
yang
didakwakan
kepadanya,
pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terdakwa, atau dengan penjelasan lain apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang ditentukan dalam Psasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidanya.
4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili Berdasarkan ketentuan Pasal 147 KUHAP, yang berbunyi: “Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.” Menurut M. Yahya Harahap (M. Yahya Harahap, 2000: 336) : Yang pertama dan utama diperiksa adalah apakah perkara yang dilimpahkan penutut umum tersebut termasuk wewenang Pengadilan user Negeri tersebut atau commit tidak. to Seandainya Ketua Pengadilan Negeri
xli
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 84: a) Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan b) Sekalipun
terdakwa
bertempat
tinggal,
berdiam
terakhir,
diketemukan atau ditahan di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan,dan sebagainya.
5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni ”Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”
6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan penuntut umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat (3) dan Pasal 156 ayat (1). Dengan menghubungkan kedua pasal tersebut Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yan menyatakan dakwaan batal demi hukum. Baik hal itu oleh karena permintaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukum dalam eksepsi maupun atas wewenang hakim karena jabatannya. Dakwaan batal demi hukum dijatuhkan karena Jaksa Penuntut commit user tidak cermat, kurang jelas, dan Umum dalam menyusun surat to dakwaan
xlii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak lengkap. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung, Registrasi Nomor: 808/K/Pid/1984 tanggal 6 Juni yang menyatakan, ”Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”. Adapun beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum yakni: a) Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan; b) Tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan; atau c) Dakwaan kabur atau obscuur libel, karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan dilakukan.
b. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi a. Pengertian Upaya Hukum Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama, maka baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum diberikan hak untuk mengajukan keberatan atau menolak putusan atau yang di dalam KUHAP dikenal dengan istilah upaya hukum. Menurut ketentuan Pasal 1 butir ke-12 KUHAP, Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
b. Upaya Hukum Kasasi 1) Pengertian Upaya Hukum Kasasi Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan commit toperadilan. user demi untuk mencapai kesatuan Semula berada di tangan raja
xliii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan hukum yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum. Jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya di bawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya (Andi Hamzah, 2002:292). Kemudian dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu : (1) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim); (2) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya; (3) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Menurut Syafruddin Kalo (Syafruddin Kalo, 2007: 46), Dalam bahasa Belanda Cassatie dalam bahasa Inggris Cassation dan dalam bahasa Perancis Caesei yang artinya “pembatalan putusan pengadilan bawahan (yang telah dijatuhkan)”, oleh Mahkamah Agung dengan dasar : a) Transgression, melampaui batas wewenang; b) Misjudge, salah menetapkan atau melanggar peraturan hukum yang berlaku; atau c) Negligent; adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh suatu ketentuan undang-undang yang mengancam commit to userputusan itu sendiri. kelalaian itu dan bmembatalkan
xliv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kasasi
adalah
pembatalan
atas
keputusan
Pengadilan-
pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 juncto Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (http://www.google.com/
kasasi,pengertian-dan-prosedurnya/
NM.
WahyuKuncoro,SH diakses tanggal 12 Oktober 2010). Kasasi merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Upaya hukum kasasi diatur di dalam Pasal 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258 KUHAP. Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan uitbouwen dan voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan
perkembangan
dari
masyarakat
dan
khususnya
keadaan
sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika kehidupan masyarakat itu sendiri (Oemar Seno Adji, 1985:43).
2) Maksud dan Tujuan Upaya Hukum Kasasi Tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum
dengan
jalan
membatalkan
putusan
yang
bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum (Andi Hamzah, 2002:292). commit to user
xlv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maksud dan tujuan kasasi erat kaitannya dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi, dalam memimpin dan mengawasi pengadilan bawahan, demi terciptanya kesatuan dan keseragaman penerapan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Adapun maksud dan tujuan kasasi adalah sebagai berikut (Harun M. Husein, 1992: 50) : a) Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan (Pengadilan Negeri atau pengadilan Tinggi) Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan ini meliputi: (1) Memperbaiki kesalahan penerapan hukum. (2) Memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalam cara mengadili. (3) Memperbaiki kesalahan pengadilan bawahan yang berupa tindakan melampaui batas wewenangnya. b) Menciptakan dan membentuk hukum baru. c) Terciptanya keseragaman penerapan hukum.
3) Alasan-alasan Pengajuan Upaya Hukum Kasasi Alasan-alasan pengajuan kasasi adalah sebagai berikut: a) Alasan Kasasi yang Dibenarkan menurut Undang-undang Alasan kasasi sudah ditentukan secara ”limitatif” dalam Pasal 253 ayat (1). Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1). Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) terdiri dari : (1) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; (2) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut commit to user ketentuan undang-undang; dan
xlvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(3) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Sedapat mungkin di dalam permohonan kasasi dapat memperlihatkan
bahwa
putusan
pengadilan
yang
dikasasi
mengandung: (1) kesalahan penerapan hukum; (2) atau pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan undangundang; dan (3) atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, baik hal itu
mengenai
wewenang
absolut
maupun
relatif
atau
pelampauan wewenang dengan cara memasukkan hal-hal yang nonyuridis dalam pertimbangannya. (M. Yahya Harahap, 2000: 544) b) Alasan Kasasi yang Tidak Dibenarkan Undang-undang (1) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan Pengadilan menguatkan
Tinggi
tanpa
putusan
pertimbangan
Pengadilan
Negeri,
yang tidak
cukup dapat
dibenarkan dalam pemeriksaan Kasasi. Permohonan kasasi alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu: (a) Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum dan tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang ada padanya; (b) Malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan commit to user Pengadilan Negeri masih dalam batas wewenang yang
xlvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan mengambil
alih
putusan
Pengadilan
Negeri
yang
dianggap telah tepat. M. Yahya Harahap, 2000: 546) (2) Keberatan atas Penilaian Pembuktian Keberata kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1). Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. (3) Alasan Kasasi yang Bersifat Pengulangan Fakta Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah ”pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi ini tidak
dibenarkan
undang-undang.
Menurut
M.
Yahya
menjelaskan ”Pengulangan fakta adalah mengulang-ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakan baik dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding.” (M. Yahya Harahap, 2000: 548) Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakan pada pemeriksaan pengadilan terdahulu. (4) Alasan yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon dalam memori kasai, mengemukakan keberatan ynag menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan dari putusan perkara yang bersangkutan. ”Keberatan yang seperti ini dianggap irrelevant, karena berada di luar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan” (M. Yahya Harahap, 2000 : 549). (5) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda Keberatan semacam ini pada prinsipnya tidak dapat commitperaturan to user perundang-undangan, karena dibenarkan dalam
xlviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidk takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. Pada prinsipnya mengenai berat ringannya hukuman adalah wewenang judex factie, dan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi sepanjang hukuman itu masih dalam batas ancaman hukuman minimun atau maksimum. Akan tetapi, kalau terjadi pengurangan hukuman sedemikian rupa drastisnya tanpa mengemukakan dasar alasan pertimbangan ditinjau dari segi kejahatan yang dilakukan terdakwa terhadap pengurangan hukuman yang seperti ini dapat dibenarkan sebagai alasan kasasi (M. Yahya Harahap, 2000: 551). (6) Keberatan Kasasi atas Pengembalian Barang Bukti Alasan kasasi semacam ini pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan, karena tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. ”Ketentuan semacam ini dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung Nomor 107 K/Kr/1977 tanggal 16 Oktober 1978 memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 16/1976 tanggal 28 Oktober 1976” (M. Yahya Harahap, 2000: 551). (7) Keberatan Kasasi Mengenai Novum Didalam kasasi hal-hal yang diperiksa mengenai halhal yang telah ”pernah diperiksa” sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik yang dalam sidang
Pengadilan
Negeri maupun dalam tingkat banding. Pengajuan dalam keberatan kasasi terhadap ”hal baru” atau ”novum” tidak dapat dibenarkan karena tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Hal to user Mahkamah Agung Nomor 468 ini tercantum commit dalam putusan
xlix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
K/Kr/1979 tanggal 18 Juni 1980, ”Bahwa keberatan yang diajukan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena hal yang dikemukakan adalah hal baru yang tidak pernah diajukann melalui pemeriksaan judex factie” (M. Yahya Harahap, 2000: 552).
Berdasarkan alasan dalam KUHAP Pasal 253 (1) maka putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dibatalkan karena: a) Peraturan
hukum
tidak
diterapkan
atau
diterapkan
tidak
sebagaimana mestinya, Makamah Agung Mengadili perkara tersebut. b) Cara megadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan UndangUndang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan
yang
memutus
perkara
yang
bersangkutan
memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. c) Pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain untuk mengadili perkara tersebut.
Alasan pengajuan kasasi dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung : a) Apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaanya. b) Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut undang-undang menurut undang-undang.
4) Prosedur Pengajuan Upaya Hukum Kasasi Adapun pengajuan kasasi dalam perkara pidana tunduk pada commit to user Nomor 14 Tahun 1985 yang ketentuan Pasal 54 Undang-Undang
l
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menegaskan, dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Adapun prosedur pengajuan kasasi dalam perkara pidana adalah sebagai berikut : a) Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi. b) Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas (Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985). Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya. Alasan pengajuan kasasi yang dibenarkan secara hukum hanyalah alasan-alasan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang; atau apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (Pasal 253 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). c) Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (Pasal 46 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985). d) Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985). commit to user
li
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e) Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (Pasal 47 ayat (2) UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985). f) Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985). Apabila tenggang waktu 14 hari telah lewat tanpa diajukan permohonan
kasasi
oleh
yang
bersangkutan,
maka
yang
bersangkutan dianggap menerima putusan. Apabila dalam tenggang waktu 14 hari, pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur. Atas anggapan menerima putusan atau terlambat mengajukan permohonan kasasi, maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara. g) Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985).
Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi. Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan. Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya. Perlu diingat, berdasarkan Pasal 247 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, Permohonan kasasi hanya commit to user dapat dilakukan satu kali.
lii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-Undang di Indonesia menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa Belanda
straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu
straafbaar dan feit. Perkataan feit dalan bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat dihukum”. Sehingga jika diartikan secara harafiah straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum”. Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai straafbaarfeit. Menurut P.A.F. Lamintang pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan ”starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ”starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan (P.A.F. Lamintang, 1997:181). Pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli lain yaitu : 1) Simon, artinya tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum (Sudarto, 1990 : 41). 2) Van Hamel, unsur-unsur tindak pidana antara lain, perilaku manusia, dirumuskan dalam perundang-undangan, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan patut dipidana (Sudarto, 1990 : 41). commit to user
liii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Metzger, perbuatan dalam arti yang luas, bersifat melawan hukum, secara pribadi dapat dipertanggungjawsabkandan diancam dengan pidana (Sudarto, 1990 : 41). 4) Wiryono Projodikoro, Pelanggaran norma-norma dalam tiga dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana (Wiryono Projodikoro, 2002: 1). 5) Vos, perilaku manusia, diancam pidana oleh Undang-undang kecuali terdapat dasar untuk menghapuskannya (Sudarto, 1990 : 42). Moeljatno
menggunakan
istilah
“perbuatan
pidana”,
yang
didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2002 : 54). Dari berbagai pengertian straafbaarfeit (tindak pidana) tersebut di atas, maka untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur-unsur yang dipenuhi, antara lain : 1) perbuatan (manusia); 2) memenuhi rumusan undang-undang (syarat formil); dan 3) bersifat melawan hukum (syarat materiil). Menurut Moeljanto, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana harus memenuhi unsur-unsur atau elemen tertentu (Moeljatno, 2002 : 63), yaitu : 1) Kelakuan dan akibat; 2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3) Keadaan tambahan yang memberatkan; 4) Unsur melawan hukum yang objektif; atau 5) Unsur melawan hukum yang subjektif.
commit to user
liv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur-unsur Tindak Pidana yaitu: 1) Unsur Subyektif Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku ditinjau dari segi batinnya, yaitu: a) kesengajaan (dolus) atau kealpaan(culpa); b) niat atau maksud dengan segala bentuknya; c) ada atau tidaknya perncanaan untuk melakukan perbuatan tersebut; dan d) adanya perasaan takut, seperti yang disebut dalam Pasal 308 KUHP (takut diketahui telah melahirkan bayi). 2) Unsur Obyektif Yang berhubungan dengan keadaan lahiriyah ketika tindak pidana itu dilakukan dan berada di luar batin si pelaku, yaitu : a) sifat melawan hukum dari perbuatan itu; b) kualitas atau kedudukan pelaku, misal sebagai ibu, pegawai negeri sipil, hakim; c) kausalitas yaitu hubungan sebab akibat yang terdapat didalamnya misalnya apakah dengan pukulan yang ringan itu yang merupakan matinya korban, apakah bukan karena penyebab yang lain. Contoh Pasal 362 KUHP.
b. Pengertian Perdagangan Perdagangan atau perniagaan pada umumnya, ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu ditempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan (C.S.T Kansil, 1985:1). Perdagangan menurut Kamus Hukum, yang berasal dari kata dasar “dagang”, berarti perbuatan yang berkaitan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. “Istilah perdagangan, apabila sama artinya dengan perdagangan commit to userDagang, berarti : membeli untuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum
lv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dijual lagi dan kemudian menjual, maka seorang yang membeli saja atau yang menjual saja, tidak termasuk istilah berdagang” ( Wirjono Prodjodikoro, 1980:85).
c. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang 1) Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang Fenomena perempuan
atau
Perdagangan dikenal
Manusia
dengan
istilah
khususnya Trafficking
anak
dan
bukanlah
merupakan hal yang asing lagi dewasa ini. “Traffiic” dalam Edisi kedelapan Black’s Law Dictionary adalah To trade or deal in goods, illicit drugs or other contraband”. (Bryan A. Garner, 2004: 1534). Perdagangan
manusia
ini
diartikan
sebagai
suatu
fenomena
perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ketempat lain, yang kemudian dibebani utang untuk biaya proses berimigrasi ini. Dalam KUHP diatur mengenai perdagangan orang. Pasal 297 KUHP menyebutkan, ”Perdagangan orang adalah perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun”. Definisi
mengenai
perdagangan
orang
mengalami
perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour commit or services, to user slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen,
lvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentukbentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”). Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a) (Syafrudin. Jurnal. Vol 7. 2008: 134).
Definisi tentang perdagangan anak dan perempuan menurut GAATW (Global Alliance Againts Trafficking In Women) Tahun 1997, adalah seluruh aktivitas yang meliputi perekrutan dan atau transport seseorang anak perempuan di dalam atau melewati batas nasional untuk dijual, bekerja, atau melayani laki-laki dengan cara kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung atau dengan ancaman kekerasan, memanfaatkan posisi dominan, biro perbudakan, penipuan, atau bentuk-bentuk paksaan dan kekerasan yang lain (Riza Nizarli, 2006: 6). PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dalam Sidang Umum Tahun 1994 menentang perdagangan perempuan dan anak perempuan adalah sebagai berikut : Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual ekonomi, sebagaimana juga tindakan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu pekerja gelap, dan adopsi palsu commit to user
lvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan. Deklarasi Stockholm membatasi trafficking sebagai: “illicit clandestine movement of persons across borders with the end goal of forcing these persons into sexually or economically oppressive and exploitative situation for profit of recruiters, trafickers and crime syndicates” (ECPAT, 1999) (Lindra Darnela. Jurnal. Vol. 2. 2007 : 4). Jika
diterjemahkan
secara
bebas,
dapat
berarti
pergerakan/perpindahan orang secara rahasia dan terlarang dengan melintasi perbatasan wilayah (lokasi) dengan tujuan akhir untuk memaksa orang-orang tersebut masuk ke dalam situasi yang secara seksual atau ekonomi bersifat menekan dan eksploitatif dan memberikan keuntungan bagi para perekrut, trafficker dan sindikat kejahatan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak digunakan pengertian (definisi) trafficking, sebagai berikut : Trafficking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafficking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antardaerah dan antarnegara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan pengangkutan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan ancaman dan penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lainlain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual ( termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (Achie Sudiarti, 2007 : 186). commit to user
lviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mengenai perdagangan orang secara umum di atur pula pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menyebutkan, Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2) Unsur-unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang a) Adanya proses perekrutan dan pemindahan manusia baik itu lintas wilayah maupun negara; b) Ada
pihak-pihak
yang
mendapatkan
keuntungan
dengan
memanfaatkan perempuan dan anak untuk melakukan sebuah pekerjaan (dibayar atau tidak), sebagai hubungan kerja yang eksploitatif (secara ekonomi atau seksual), baik itu TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan paksa, atau pekerjaan lainnya; c) Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan kekanakannya dimanfaatkan dan dieksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, guna kepentingan pihakpihak tertentu dengan cara paksa, disertai ancaman, maupun tipuan atau penculikan. Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa korban yang menyatakan persetujuan yang dalam hal ini dipahami bahwa situasi-situasi tertentu yang mengakibatkan para korban setuju, misalnya karena desakan kebutuhan ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain sebagainya.
commit to user
lix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Konvensi ILO No. 182 pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah : Pertama, segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. Kedua, pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. Ketiga, pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. Keempat, pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak (Supriyadi Widodo Eddyono, 2005:16, diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182). Di Indonesia ditemukan beberapa bentuk perdagangan manusia menurut Ruth Rosenberg (Ruth Rosenberg, 2003:41), yakni: a) Buruh Migran; b) Pembantu Rumah Tangga; c) Pekerja Seks komersial (PSK); d) Perbudakan Berkedok Pernikahan dan Pengantin Pesanan; e) Bentuk-bentuk Eksploitasi dan Perdagangan Lain: Buruh Ijon, Pekerja Jermal, Anak Jalanan, Perkebunan/Industri Rumah Tangga, Adopsi, Perdagangan Narkoba Internasional dan Pekerja Hiburan.
commit to user
lx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Pihak-pihak yang Terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam perdagangan orang terdapat beberapa pihak yang terkait (Ruth Rosenberg, 2003: 60), yaitu : a) PJTKI – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia karena tindakan-tindakan mereka seperti memaksa seorang perempuan untuk terus bekerja bahkan setelah perempuan tersebut meminta untuk berhenti atau kembali kerumah (buruh ijon), menyuruhnya melakukan pekerjaan yang berbeda dengan yang dijanjikan serta mencegah seorang perempuan untuk menemui keluarganya saat dia berada di tempat penampungan. b) Calo – Mereka terlibat perdagangan manusia saat mereka mengatur pemalsuan surat-surat atau saat mereka berbohong mengenai alasan mereka merekrut TKW. c) Pemerintah – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat pegawai pemda terlibat dalam pemalsuan dokumen atau saat mereka mengabaikan pelanggaran ketenagakerjaan seperti pada tempat penampungan. d) Majikan – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia jika mereka memaksa orang lain untuk bekerja pada kondisi yang eksploitatif. e) Calo pernikahan – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat perempuan mengalami kondisi yang eksploitatif dalam pernikahan yang telah mereka atur. Mereka bertanggung jawab bahkan jika mereka tidak menyadari keadaan eksploitatif pernikahan yang telah diatur tersebut. f) Orang tua dan kerabat – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat mereka dengan sadar “menjual” anak atau anggota keluarga mereka kepada agen, calo atau majikan. Mereka juga terlibat jika mereka menerima pembayaran dimuka untuk kerabat mereka tersebut yang sekaligus menjerat orang tersebut kedalam jeratan hutang. commit to user
lxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g) Suami – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat mereka menikahi dan memindahkan istri mereka dengan tujuan membawa mereka ke kondisi yang eksploitatif.
5) Faktor-faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan bukanlah fenomena yang sederhana, dan faktorfaktor yang membuat perempuan dan anak semakin rentan terhadap perdagangan bersifat kompleks dan saling terkait satu sama lain (Ruth Rosenberg, 2003: 25). b) Kemiskinan. Kemiskina telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan berbagai strategi untuk penghidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu melakukan pekerjaan apapun yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman. c) Ketenagakerjaan. Semakin sempitnya lapangan kerja dewasa ini tidak seimbang dengan pertambahan penduduk yang tinggi, sehingga banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan penghasilan. d) Pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan menyulitkan perempuan dan anak untuk mencari pekerjaan lain atau jalan lain agar dapat membantu perekonomian keluarga mereka. e) Migrasi. Banyak orang melakukan migrasi di dalam maupun ke luar negeri untuk mencari pekerjaan menjadi korban dari perdagangan perempuan dan anak tanpa menyadari telah terjadi penipuanuntuk menjebak mereka. f) Kondisi
keluarga,
karena
pendidikan
rendah,
keterbatasan
kesempatan ketidaktahuann akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain fakor yang commit to user keluarga. merupakan titik lemah ketahanan
lxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g) Sosial budaya, anak seolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidakadilan gender atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah masih tumbuh di tengah kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. h) Media massa, masih belum memberikan perhatian penuh terhadap berita dan informasi yang utuh dan lengkap tentang trafiking, dan belum memberikan kontribusi yang optimal pula dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru sering kali memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografi yang mendorong menguatnya kegiatan trafiking dan kejahatan susila lainnya.
d. Tinjauan Tentang Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum KUHAP memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6a KUHAP). Penuntut Umum adalah yang diberi wewenang oleh UndangUndang untuk melaukan penunutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6 b KUHAP). Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuasaan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan Penuntut Umum menurut Pasal 1 angka 2 adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. commit to user
lxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Wewenang Penuntut Umum Menurut Pasal 14 KUHAP Penuntut umum mempunyai wewenang sebagai berikut : 1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) membuat surat dakwaan; 5) melimpahkan perkara ke pengadilan; 6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada erdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7) melakukan penuntutan; 8) menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; dan 10) melaksanakan penetapan hakim.
commit to user
lxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Pemeriksaan Perkara Pidana Tingkat Pertama
Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP)
Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP)
Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango (Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang)
Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP)
Bebas Tidak Murni/Lepas Dari Segala Tuntutan
·
Penuntut Umum
Upaya Hukum Kasasi
Syarat Kasasi Pasal 244 KUHAP
Pertimbangan (nalar hukum) Penuntut Umum dalam mengajukan Kasasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran commit to user
lxv
·
Yurispridensi Nomor 275 K/Pid/1983 Kepmen Nomor M.14PW.07.0 3 Tahun 1983
Diterobos oleh Penuntut Umum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan kerangka pemikiran : Suatu perkara pidana yang muncul, diadili dan diperiksa pada Pengadilan
Negeri
tingkat
pertama.
Hasil
pemeriksaan
tersebut
menghasilkan tiga macam putusan yaitu Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP, Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Pasal 191 ayat (2), Pemidanaan (Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (Herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judex factie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP yang menjelaskan “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamh Agung, kecuali terhadap putusan bebas”. Namun dalam praktiknya Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini dan dengan mengacu pada Yurispridensi Nomor 275 K/Pid/1983 dan Kepmen Nomor M.14PW.07.03 Tahun 1983, hampir semua putusan bebas oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi dengan membuktikan bahwa putusan bebas tersebut merupakan putusan bebas tidak murni/lepas dari segala tuntutan.
commit to user
lxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Paparan mengenai perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 795 K/PID.SUS/2008, dengan terdakwa TJHANG SE NGO alias ANGO: 1. Kasus Posisi Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango pada hari Rabu tanggal 16 Mei 2007 sekira jam 14.00 Wib pada bulan Mei 2007 bertempat di PPLB (Pos Pemeriksaan Lintas Batas) Entikong, Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau, membawa Warga Negara Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasikan di luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango selaku pribadi bukan atas nama PJTKI mendatangi rumah saksi korban Djap Bui Cu alias Bui Cu, saksi korban Li San ku, saksi korban Ernawati Liu alias Erna, saksi korban Lui Mui Fung alias Mui Fung, saksi korban Cin Chu Tjung, saksi korban Ku Mi Lie alias Mili, saksi korban Elsa Tjia untuk menawarkan pekerjaan kepada masing-masing saksi korban sebagai pelayan restoran di Negara Malaysia dengan gaji RM 300 sampai dengan RM 700 per bulan, kemudian Terdakwa meminta kepada masingmasing saksi korban untuk biaya penginapan serta biaya makan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan untuk pembuatan passport untuk masingmasing saksi korban, Akta Kelahiran, KTP, Surat Ijin Orang Tua. Terdakwa tanpa melalui PJTKI bersama dengan para saksi korban berangkat dari Singkawang menuju Entikong dengan menggunakan kendaraan mini bus. Terdakwa dalam memberangkatkan para saksi korban tidak mendapatkan pelatihan, memiliki surat izin lulus kompetensi, surat kesehatan atau psikologi, asuransi, surat perjanjian persetujuan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Kemudian setibanya di PPLB (Pos Pemeriksaan Lintas Batas) commit to user Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau pada saat Terdakwa akan
lxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengecap passport di Kantor Imigrasi Entikong untuk berangkat ke Negara Malaysia Terdakwa dan para saksi korban berhasil diamankan oleh petugas Imigrasi Entikong dan petugas Kepolisian Resort Sanggau yang sedang melakukan operasi Bunga untuk diproses lebih lanjut. Atas perkaranya tersebut terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango didakwa melanggar kententuan pidana, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, akan tetapi putusan Pengadilan Negeri Sanggau beramar “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (vrijspraak)”.
2. Identitas Terdakwa Nama
: TJHANG SE NGO alias ANGO
Tempat lahir
: Sebale/Singkawang
Tanggal lahir
: 15 Mei 1960
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat tinggal
: Jalan Kuala Permai No. 12 Kelurahan Kuala, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang
Agama
: Kong Hu Chu
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
3. Dakwaan Penuntut Umum a. Dakwaan Kesatu 1) Primair Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi : “Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar commit to Indonesia user wilayah negara Republik dengan maksud untuk
lxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).” 2) Subsidair Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berbunyi: “Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” b. Dakwaan Kedua 1) Primair Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang berbunyi : “Dipidana dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang: a) Menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b) Menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau c) Menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.”
commit to user
lxix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Subsidair Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri jo Pasal 53 ayat (1) ke-1 KUHP.
4. Tuntutan Penuntut Umum a. Menyatakan Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan unsur barang siapa membawa Warga Negara Indonesia dengan maksud dieksploitasikan di luar wilayah Negara Republik Indonesia membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang; b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango berupa pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan dan denda Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 8 (delapan) bulan penjara; c. Menyatakan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) buah buku paspor Nomor M 804118 atas nama Tjhang Se Ngo alias Ango yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan, dikembalikan kepada Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango ; 2) 1 (satu) buah buku pasport Nomor AJ 301777 atas nama Ernawati Liu yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding pemberangkatan; 3) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448962 atas nama Li San Ku yang dikeluarkan
Kantor
Imigrasi
Singkawang
Pemberangkatan; commit to user
lxx
berikut
Boarding
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448914 atas nama Cin Cu Tjung yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan ; 5) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448535 atas nama Djap Bui Cu yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan; 6) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448696 atas nama Liu Mui Fung yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan; 7) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448650 atas nama Ku Mie Lie yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan; 8) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448659 atas nama Elsa Thjia yang dikeluarkan
Kantor
Imigrasi
Singkawang
berikut
Boarding
Pemberangkatan; 9) Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) ;
5. Amar Putusan a. Amar Putusan Pengadilan Negeri Sanggau, Nomor 144/pid.B/2007/ PN.Sgu, tanggal 25 Februari 2008, yang amar lengkapnya sebagai berikut: 1) Menyatakan Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia dalam dakwaan Kesatu Primair Penuntut Umum. 2) Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Kesatu Primair. 3) Menyatakan Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango tidak terbukti commit to user secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
lxxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana Perdagangan Orang dalam dakwaan Kesatu Subsidair Penuntut Umum. 4) Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Kesatu Subsidair tersebut. 5) Menyatakan Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menempatkan warga Negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri dalam dakwaan Kedua Primair Penuntut Umum. 6) Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Kedua Primair tersebut. 7) Menyatakan Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan percobaan menempatkan warga Negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri dalam dakwaan Kedua Subsidair Penuntut Umum. 8) Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Kedua Subsidair tersebut. 9) Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 10) Menetapkan barang bukti berupa : a) 1 (satu) buah buku paspor Nomor M 804118 atas nama Tjhang Se Ngo alias Ango yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan, dikembalikan kepada Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango. b) 1 (satu) buah buku paspor Nomor AJ 301777 atas nama Ernawati Liu yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan. c) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448962 atas nama Li San Ku yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan.commit to user
lxxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448914 atas nama Cin Cu Tjung yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan. e) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448535 atas nama Djap Bui Cu yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan. f)1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448696 atas nama Liu Mui Fung yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan. g) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448650 atas nama Ku Mie Lie yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan. h) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448659 atas nama Elsa Thjia yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan. 11) Membebankan biaya perkara ini kepada Negara sebesar Nihil.
b. Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 795 K/PID.SUS/2008, Tanggal 7 Januari 2009 Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex factie/Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum, karena berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan terbukti adanya perbuatan Terdakwa yang telah membantu melakukan percobaan menempatkan 7 (tujuh) WNI untuk bekerja di luar negeri, dengan meminta kepada 7 (tujuh) orang saksi korban tersebut untuk memberikan uang masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,- kepada Terdakwa untuk biaya pengurusan passport, perjalanan dan makan, serta kepada para saksi korban ditawarkan untuk dipekerjakan pada Restoran di Malaysia, commit to user
lxxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sedangkan Terdakwa melakukan perbuatan tersebut selaku pribadi bukan sebagai PJTKI; Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut di atas, maka terbukti Terdakwa telah membantu melakukan percobaan menempatkan WNI untuk bekerja di Luar Negeri, sehingga Terdakwa harus dinyatakan bersalah dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana Mahkamah Agung akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan: Hal yang memberatkan : Perbuatan Terdakwa merugikan orang lain dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Hal-hal yang meringankan : 1) Terdakwa belum pernah dihukum; 2) Terdakwa berterus terang dan bersikap sopan; 3) Terdakwa mengidap penyakit komplikasi; Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor 144/Pid.B/2007/PN.SGU, tanggal 25 Februari 2008, tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera di bawah ini; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan dibebankan kepada Terdakwa ; Memperhatikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ; commit to user
lxxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MENGADILI 1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sanggau tersebut; 2) Membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Sanggau,
No.
144/Pid.B/2007/ PN.SGU, tanggal 25 Februari 2008;
MENGADILISENDIRI 1) Menyatakan Terdakwa Tjhang Se Ngo alias Ango telah terbukti secara sah
dan
meyakinkan
melakukan
tindak
pidana
“Percobaan
menempatkan WNI untuk bekerja di luar Negeri”; 2) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun; 3) Menetapkan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4) Menghukum Terdakwa membayar denda sebesar Rp 200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan penjara; 5) Menyatakan barang bukti berupa : a) 1 (satu) buah buku paspor Nomor M 804118 atas nama Tjhang Se Ngo alias Ango yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut
Boarding
Pemberangkatan,
dikembalikan
kepada
Terdakwa Tjang Se Ngo alias Ango; b) 1 (satu) buah buku pasport Nomor AJ 301777 atas nama Ernawati Liu yang dikeluarkan Kantor migrasi Singkawang berikut Boarding pemberang-katan; c) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448962 atas nama Li San Ku yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan; d) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448914 atas nama Cin Cu Tjung yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut commit to user Boarding Pemberangkatan;
lxxv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448535 atas nama Djap Bui Cu yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan; f) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448696 atas nama Liu Mui Fung yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberang-katan; g) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448650 atas nama Ku Mie Lie yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan; h) 1 (satu) buah buku paspor Nomor P 448659 atas nama Elsa Thjia yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Singkawang berikut Boarding Pemberangkatan; 6) Menghukum Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan 1. Kesusaian Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang dengan Ketetuan Pasal 244 KUHAP Pengajuan kasasi terhadap putusan bebas oleh Penuntut Umum selalu menimbulkan kontroversi. Sebagian kalangan menilai langkah penuntut umum ini menabrak aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP secara tegas menyatakan terhadap putusan bebas, tidak boleh diajukan upaya kasasi. Ketentuan itu secara lengkap berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” commit to user
lxxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penuntut Umum menggunakan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas dengan dalih bahwa telah ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas tersebut. Dalam hal ini kebijakan tersebut dimotori oleh pihak eksekutif kala itu, yakni Departemen Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI. Nomor M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam butir 19 pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut ditetapkan, bahwa, “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi berdasarkan situasi, kondisi demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi” (M. Yahya Harahap, 2000: 523). Sedangkan putusan
Hakim Mahkamah
Agung
yang menjadi
yurisprudensi pertama terhadap putusan bebas dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) adalah Putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 275/K/Pid/1983 dengan mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum atas kasus Raden Sonson Natalegawa (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Yurisprudensi Mahkamah Agung pertama tersebut di atas menjadi acuan dan dasar pembenar secara yuridis normatif bagi Jaksa Penuntut Umum untuk memanfaatkan hak dan ruang dalam mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan hakim yang di tingkat pemeriksaan pengadilan negeri mendapat putusan bebas (vrijspraak). Dalam hal ini peran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam konteks penegakan hukum. Setelah munculnya yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Kemudian diikuti dengan yurisprudensi tentang kasasi commit terhadap putusan bebas selanjutnya : to user
lxxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Putusan MA Reg. Nomor 892K/Pid/1983 tanggal 4 Desember 1984, menyatakan bahwa Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa, yaitu guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan bawahannya itu. b. Putusan MA Reg. Nomor 532 K/Pid/1984 tanggal 10 Januari 1985, menyatakan bahwa putusan bebas tidak dapat dibanding, tetapi dapat langsung dimohonkan kasasi. c. Putusan MA Reg. No. 449K/Pid/1984 tanggal 2 September 1988, menyatakan bahwa Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya sendiri bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, harus menerima permohonan kasasi tersebut. d. Putusan MA Reg. No.449K/Pid/1984 tanggal 8 Mei 1985 menyatakan bahwa seharusnya terhadap putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri itu, jaksa langsung mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. e. Putusan MA Reg. Nomor 321 K/Pid/1983, yang isinya adalah : 1.
Menimbang bahwa namun demikian sesuai Yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut, permohonan kasasi tidak dapat diterima.
2. Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu berdasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaannya dan bukan di dasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu, Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (meskipun mengenai hal ini tidak diajukan sebagai keberatan kasasi) Mahkamah Agung atas commit to user
lxxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dasar pendapatnya bahwa pembebasan
itu bukan merupakan
pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut. f. Putusan MARI Nomor 759 K/ Pid/1984, tanggal 8 Mei 1985 : Permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima, karena permohonan kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut merupakan pembebasan yang tidak murni. g. Putusan MARI Nomor : 1454 K/Pid/1985, tanggal 19 Maret 1987 : Mahkamah Agung selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahan yang membebaskan terdakwa guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan bawahan itu.
Putusan Mahkamah Agung ini melahirkan yurisprudensi bahwa putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi. Mahkamah
Agung
dalam
putusan
tersebut,
pada
pertimbangannya
menyatakan bahwa “apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, Mahkamah Agung wajib menelitinya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut.” Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi. Namun penuntut umum dalam mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan bebas harus dapat membuktikan dalam commit totersebut user bukan merupakan pembebasan memori kasasinya bahwa pembebasan
lxxix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
murni. Timbulnya kewajiban untuk membuktikan bahwa putusan tersebut berupa pembebasan yang tidak murni itu, disebabkan adanya ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. Jadi dengan kata lain bahwa terhadap putusan bebas murni tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi, sedangkan terhadap putusan bebas tidak murni dapat dilakukan upaya hukum kasasi langsung tanpa banding. Bila dibandingkan antara ketentuan Undang-Undang ( Pasal 244 KUHAP) dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung terdapat pertentangan. Dimana Berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Namun dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung atau dalam prakteknya terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi. Mengenai hal ini, Mahkamah Agung dalam Rapat Kerja Gabungan I Tahun 1983 memberikan penjelasan bahwa Mahkamah Agung memperkenankan permintaan kasasi atas putusan bebas, ialah untuk menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi yang membebaskan terdakwa. Namun demikian, bukan berarti disini bahwa Mahkamah Agung akan selalu membatalkan putusan bebas yang dimintakan kasasi tersebut. Dalam setiap putusan kasasi atas putusan bebas, Mahkamah Agung selalu mempertimbangkan apakah putusan bebas yang dimintakan kasasi itu mengandung pembebasan yang murni sifatnya. Bila ternyata, putusan yang dimintakan kasasi itu mengandung pembebasan murni sifatnya, maka Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa permohonan kasasi yang bersangkutan tidak dapat diterima (Harun M. Husein, 1992: 121 ). Dalam praktek peradilan, putusan bebas dibedakan menjadi putusan bebas murni, dan putusan bebas tidak murni. Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti. Sedangkan Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut : commit to user
lxxx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. b. Dalam
menjatuhkan
putusan
pengadilan
telah
melampaui
batas
kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya ( Oemar Seno Adjie, 1989:164 ). Tentu saja terjadinya adanya contra legem (yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan “bertentangan” dengan undangundang) antara ketentuan Pasal 244 KUHAP dengan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Putusan MARI Nomor 275 K/Pid/1983. Menurut Hans Kelsen, dalam buku Maria Farida Indrati S. dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma lagi yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm) (Maria Farida Indrati S, 2007: 38). Di dalam Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan
Peraturan
Perundang-Undangan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000,
Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Pasal 2 Tap MPR Nomor III Tahun 2000 adalah : a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; c. Undang-undang; commitUndang-undang to user d. Peraturan Pemerintah Pengganti (Perpu);
lxxxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Peraturan Pemerintah; f. Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur; g. Peraturan Daerah. Menurut
Undang-undang
Nomor
10
Tahun
2004
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan pengertian tersebut, maka peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menentukan bahwa sumber hukum dari segala sumber hukum negara adalah Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. Sedangkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan harus bersumber pada UUD 1945 dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. commit to user
lxxxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karena jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas merupakan hierarki, maka kekuatan hukumnya adalah sesuai dengan hierarki tersebut. Yang dimaksud hierarki di sini adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi dasar peraturan perundangundangan yang lebih rendah. Apabila antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, konsekuensinya dapat dijadikan alasan untuk melakukan pengujian secara materiil (judicial review). Dalam hal kedudukan hukum peraturan perundang-undangan lain yang sudah ada sebelum Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundangundangan diundangkan, namun tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut maka terhadap jenis peraturan perundang-undangan di luar yang disebutkan dalam Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam praktek, jenis peraturan perundang-undangan di luar yang disebutkan dalam Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundangundangan banyak sekali, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat Berdasarkan Tap MPR Nomor III Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut di atas, KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981) merupakan userpaling tinggi berbentuk Undangsuatu merupakan instrumen commit hukum to yang
lxxxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
undang, dan haruslah dipahami bahwa Surat Keputusan Menteri dan Yurisprudensi, sebagaimana Tap MPR Nomor III Tahun 2000 dan Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan bukan termasuk dalam Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum adalah merupakan suatu bentuk sikap yang wajar apabila ada pihak-pihak yang membantah dan menyatakan tidak puas dengan adanya suatu putusan pidana yang dianggapnya merugikan. Untuk menyikapi hak hukum bagi pihak-pihak tersebut, peradilan pidana telah memberikan ruang guna melakukan upaya hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya pada Bab XVII dan Bab XVIII, yakni berupa upaya hukum banding dan kasasi. Fungsi Peraturan Menteri itu sendiri menurut peraturan perundangundangan adalah : a. Menyelenggarakan
pengaturan
secara
umum
dalam
rangka
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya (Pasal 17 ayat (1) UUD 1945). b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan presiden, karena menteri Negara adalah pembantu Presiden (Pasal 17 ayat (1) UUD 1945) c. Menyelenggarakan ketentuan lebih lanjut dalam undang-undang yang secara tegas menyebutnya (Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 tahun 2004). d. Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang secara tegas menyebutnya (Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 tahun 2004). Keputusan Menteri tidak dapat memuat ketentuan yang bersifat pengaturan. Kebutuhan untuk mengatur hal-hal yang bersifat normatif, standart, operasioanal, dan prosedur (NSOP) seharusnya menggunakan instrumen hukum “peraturan menteri” yang ditetapkan apabila diperintahkan commit to user oleh peraturan yang lebih tinggi.
lxxxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Soetandyo Wignjosoebroto menjelaskan mengenai pengertian hukum. Dimana pengertian hukum tersebut adalah : a. Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (law as what ought to be). b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. c. Hukum
adalah
apa
yang diputuskan
oleh
hakim
in
concreto,
tersistematisasi sebagai judge made law. d. Hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel sosial yang empiris. e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Dan apabila dijkaji dengan menggunakan pengertian hukum yang diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto di atas maka pada asasnya yurisprudensi adalah hukum (judge made law) dan mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak (Pasal 1917 KUH Perdata) serta mengikat berlandaskan asas Res Judicata Proveri ate Habetur. Dikaji dari perspektif sumber hukum maka Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam artian formal. Dikaji dari aspek terminologinya maka yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum (Rechtsgeleerdheid). Sebagai istilah teknis yuridis di Indonesia, sama pengertiannya kata “Jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan “Jurisprudence” dalam bahasa Perancis, yaitu yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap. Dalam bahasa Inggris maka terminologi “Jurisprudence” diartikan sebagai teori ilmu hukum, sedangkan pengertian yurisprudensi dipergunakan dalam rumpun sistem “Case Law” atau “Judgemade Law”. Kemudian kata “Jurisprudenz” dalam bahasa Jerman berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit (aliran Ajaran Hukum). Istilah teknis bahasa Jerman untuk pengertian yurisprudensi, adalah kata “Ueberlieferung” (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979: 56). commit to user
lxxxv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Yurisprudensi adalah tidak sama dengan undang-undang (undangundang formal) bahkan tidak dapat disamakan dengan peraturan perundangundangan (undang-undang materil). Tidak ada satu pun doktrin hukum di dunia yang mempersamakan antara keduanya. Kedudukan undang-undang dan yurisprudensi adalah sama-sama sebagai sumber hukum, seperti halnya dengan doktrin, kebiasaan, ketatanegaraan, dan konvensi. Dengan demikian sistem Peradilan di Indonesia menganut prinsip adanya Kebebasan Hakim (independence of judiciary), konsekuensinya antara lain Hakim tidak terikat kepada putusan Hakim terdahulu. Selain dilihat dari pembentuknya, dimana yurisprudensi dibuat berdasarkan
kekuasaan
yudikatif
sedangkan
undang-undang
dibuat
berdasarkan kekuasaan legislatif, perbedaan antara yurisprudensi dan undangundang bila dilihat dari kekuatan mengikatnya. Yurisprudensi hanya berlaku dan mengikat secara terbatas bagi para pihak yang berperkara, sedangkan undang-undang berlaku dan mengikat secara umum. Bahwa sistem hukum nasional Indonesia yang mengacu pada sistem hukum Eropa Continental (Civil Law) berbeda dengan sistem hukum di Amerika, Inggris dan semua negara bekas jajahannya yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Perbedaan ini nampak dalam tempat, kedudukan dan peran dari pada Yurisprudensi. Dalam sistem hukum nasional Indonesia, Yurisprudensi bukan merupakan undang-undang karena yurisprudensi merupakan keputusan yang baru memiliki kedudukan sebagai referensi (sumber hukum) bilamana telah menjadi yurisprensi tetap (paste yurisprudensi). Namun hal itupun dapat, berubah sesuai dengan perkembangan jaman, perubahan perkembangan, pemikiran hukum di Mahkamah Agung. Berbeda halnya dengan sistem hukum Anglo Saxon yang mengenal prinsip judge made law, yaitu hukum yang dibuat oleh hakim, yurisprudensi memegang kedudukan dan peranan sebagai undangundang. Yurisprudensi tidak dikenal di dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi demi terwujudnya kepastian dan keadilan hukum tentunya to user harus menyelaraskan antara commit substansi hukum, struktur hukum dan kultur
lxxxvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum dengan hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif di dalam kehidupan sehari-hari, sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Prinsip asas legalitas tersebut tentunya harus dipatuhi oleh para hakim pada saat menyusun putusan pengadilan. Akan tetapi, pada prakteknya seorang hakim diberikan kebebasan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004) yakni dengan menelaah kembali sumber-sumber hukum yang berlaku. Adanya ruang kebebasan bagi hakim tentunya sangat berpengaruh dalam menemukan dasar pertimbangan hukum apabila dirasakan belum cukup hanya dengan menggunakan undangundang. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber-sumber hukum yang berlaku. Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan tingkat kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Penilaian hakim menggunakan dasar pertimbangan hukum yurisprudensi merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat kelemahan-kelemahan dalam sistem hukum positif. Arti penting yurisprudensi selain memudahkan hakim menangani permasalahan hukum sebagai
dasar
pertimbangan
hukum
menyusun
putusan
pengadilan,
yurisprudensi juga dirasakan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kebutuhan hukum masyarakat seyogyanya ditempatkan sebagai persoalan penting menuju transisi peradilan yang bebas dan tidak memihak agar tidak terjadi pelecehan terhadap keadilan dan kebenaran. Dengan demikian, alternatif menggunakan yurisprudensi sebagai salah satu dasar pertimbangan hukum menjawab persoalan masyarakat yang notabene belum diatur dalam undang-undang tidak dapat dibenarkan. Karena menyalahi dari commit to userdengan dasar keadilan. pada kewajiban tegaknya sebuah kebenaran
lxxxvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kasasi terhadap putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang memang tidak sesuai dengan ketentuan Pasak 244 KUHAP. Akan tetapi demi terwujudnya kepastian dan keadilan hukum kasasi atas putusan bebas dapat diajukan oleh penuntut umum dengan pertimbangan bahwa putusan tersebut merupakan putusan bebas tidak murni dan terdapat kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, terdapat kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan/atauadanya tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Dan di dalam setiap putusan kasasi atas putusan bebas, Mahkamah Agung selalu mempertimbangkan apakah putusan bebas yang dimintkan kasasi tersebut, merupakan pembebasan murni atau pembebasan tidak murni sifatnya. Apabila ternyata putusan yang dimintakan kasasi itu mengandung pembebasan murni maka sesuai dengan yurisprudensi yang ada, Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa permohonan kasasi yang bersangkutan tidak dapat diterima. Jadi sebelum mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, penuntut umum harus terlebih dahulu memeriksa secara seksama apakah putusan tersebut merupakan putusan bebas murni atau putusan bebas tidak murni. Hakim menggunakan dasar pertimbangan hukum yurisprudensi yang merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat kelemahan-kelemahan dalam sistem hukum positif. Arti penting yurisprudensi selain memudahkan hakim menangani permasalahan hukum sebagai dasar pertimbangan hukum menyusun putusan pengadilan, yurisprudensi juga dirasakan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena putusan hakim tidak selamanya memberikan rasa keadilan bagi para pihak, dalam hal ini adalah jaksa penuntut umum. Sehingga berdasarkan inisiatif jaksa penuntut umum diajukanlah kasasi tanpa banding.
commit to user
lxxxviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Nalar Hukum Penuntut Umum sebagai Dasar Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Bebas yang Diajukan oleh Pengadilan Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang Nalar hukum Penuntut Umum yang digunakan sebagai dasar pengajuan kasasi terhadap putusan bebas yang diajukan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang adalah sebagai berikut : a. Bahwa judex facti tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yakni judex facti dalam merumuskan putusan tidak berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dibenarkan oleh Terdakwa, melainkan berdasarkan Terdakwa dan saksi Ku Mui Kim (Saksi A decharge), tidak meneliti secara cermat dan mengupas secara mendalam semua alat bukti yang diajukan di muka persidangan, yaitu sebagai berikut : 1) Keterangan saksi Tjung Cin Cu, saksi Liu Mui Fung alias Mui Fung yang
diperkuat
dengan
pernyataan
Terdakwa
membenarkan
keterangan saksi tersebut, dikaitkan dengan keterangan saksi Bayu Afrizal, saksi Drs. Agus Dwianto, Rusmadi dan Hanafi, S.Sos. (masing-masing sebagai saksi Polisi dan saksi ahli) akan didapatkan alat bukti petunjuk (Vide Pasal 183 ayat (2) KUHAP) 2) Pertimbangan Majelis Hakim pada halaman 24 jelas tidak mendasarkan kepada uraian fakta di persidangan dan karena uraian Majelis Hakim tersebut apabila dikaitkan dengan uraian/rumusan putusan Majelis Hakim pada halaman 15 s/d 17 adalah tidak bersesuaian, sehingga sangatlah tidak tepat keterangan saksi Tjung Cin Cu, saksi Liu Mui Fung alias Mui Fung yang memberikan keterangan berbeda dan dikaitkan dengan keterangan saksi-saksi lainnya, dianggap memberikan keterangan yang sama dengan saksi Ku Mie Lie, Djab Bui Cu, Ernawarti Liu dan saksi Elsa Tjia, sehingga hal ini dijadikan dasar oleh
Majelis Hakim untuk
membebaskan dari unsur Kedua Dakwaan Kesatu Subsidair Pasal user 39 Tahun 2004, disinilah letak 102 ayat (1) huruf acommit UU RItoNomor
lxxxix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesalahan Majelis Hakim dalam meneliti secara cermat dan menghubungkan keterangan saksi-saksi dengan alat bukti yang ada; b. Bahwa judex facti dalam mengadili dan memutuskan perkara tidak melaksanakan cara mengadili menurut undang-undang, yakni : 1) Dalam surat salinan putusan judex facti tidak memuat atau mempertimbangkan (mengenyampingkan) keterangan saksi Hanafi, S.Sos., saksi Rusmadi (saksi ahli) yang juga telah didengar dan diminta keterangannya dalam persidangan (Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP); 2) Dalam surat salinan putusan judex facti juga tidak memuat atau mempertimbangkan keterangan saksi ahli dan saksi Bayu Afrisal.
Dalam mengajukan kasasi, pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya. Memori kasasi menurut Subekti dan Tjitrosoedibio yang dikutip Harun M. Husein dalam bukunya, memori kasasi adalah risalah yang memuat alasan-alasan atau keberatankeberatan yang diajukan terhadap putusan yang dimohonkan kasasi, yaitu putusan hakim banding (pengadilan Tinggi) (Harun M. Husei, 1992: 86). Dalam memori kasasi, alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi sebagai dasar permintaannya hendaklah diuraikan secara jelas dan rinci. Tidak cukup pemohon hanya menguraikan alasan dengan mengutip begitu saja alasan-alasan kasasi sebagai mana diuraikan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yaitu “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. commit to user
xc
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam memori kasasi harus diuraikan dimana terdapat/terletak kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, bagaimana bentuk kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan bagaimana bentuk tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut (Harun M. Husein, 1992: 86). Sehingga dalam memori kasasi Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan ketiga hal tersebut. a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; Peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut : Bahwa alasan yang dikemukakan oleh penuntut umum di atas telah menyebutkan secara jelas mengenai letak dari
kesalahan/kekeliruan
pengadilan dalam menerapkan hukum yaitu dalam merumuskan putusan tidak berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dibenarkan oleh Terdakwa, melainkan berdasarkan Terdakwa dan saksi Ku Mui Kim (Saksi A decharge), tidak meneliti secara cermat dan mengupas secara mendalam semua alat bukti yang diajukan di muka persidangan. Pertimbangan Majelis Hakim tidak mendasarkan kepada uraian fakta di persidangan dan karena uraian Majelis Hakim tersebut apabila dikaitkan dengan uraian/rumusan putusan Majelis Hakim adalah tidak bersesuaian, sehingga sangatlah tidak tepat keterangan saksi Tjung Cin Cu, saksi Liu Mui Fung alias Mui Fung yang memberikan keterangan berbeda dan dikaitkan dengan keterangan saksi-saksi lainnya, dianggap memberikan keterangan yang sama dengan saksi Ku Mie Lie, Djab Bui Cu, Ernawarti Liu dan saksi Elsa Tjia, sehingga hal ini dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk membebaskan dari unsur Kedua Dakwaan Kesatu Subsidair Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, disinilah letak kesalahan
Majelis
Hakim
dalam
meneliti
secara
cermat
dan
menghubungkan keterangan saksi-saksi dengan alat bukti yang ada. Bahwa judex facti dalam mengadili dan memutuskan perkara tidak commit to userundang-undang yakni dalam surat melaksanakan cara mengadili menurut
xci
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
salinan putusan judex facti tidak memuat atau mempertimbangkan (mengenyampingkan) keterangan saksi Hanafi, S.Sos., saksi Rusmadi (saksi ahli) yang juga telah didengar dan diminta keterangannya dalam persidangan (Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP) dan dalam surat salinan putusan judex facti juga tidak memuat atau mempertimbangkan keterangan saksi ahli dan saksi Bayu Afrisal. Bahwa perlu diingat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP disebutkan bahwa Keterangan Saksi sebagai salah satu alat bukti dalam perkara pidana yaitu yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari apa yang diketahuinya itu. Keterangan saksi sebagai alat bukti ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yaitu apa yang saksi nyatakan dimuka persidangan. Alat bukti ini merupakan yang paling utama, tetapi agar keterangan saksi ini dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian. Keterangan saksi yang dihadirkan di persidangan yang saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu akan sangat tidak berguna dan merupakan pemborosan waktu. Kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum yaitu dalam merumuskan putusan tidak berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dibenarkan oleh Terdakwa, melainkan berdasarkan Terdakwa dan saksi Ku Mui Kim (Saksi A decharge), tidak meneliti secara cermat dan mengupas secara mendalam semua alat bukti yang diajukan di muka persidangan serta pertimbangan Majelis Hakim tidak mendasarkan kepada uraian fakta di
persidangan,
sehingga
dalam
terjadinya
kesalahan/kekeliruan
pengadilan dalam menerapkan hukum ini menunjukkan bahwa putusan ini merupakan putusan bebas tidak murni dan merupakan alasan untuk diajukanya upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. commit to user
xcii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; Pasal 197 KUHAP ayat (1) KUHAP huruf d dalam surat putusan pemidanaan memuat: 1) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” 2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. 3) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan 4) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa 5) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan 6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai kedaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa 7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal 8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan 9) Ketentuan
kepada
siapa
biaya
perkara
dibebankan
dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti 10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu 11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera commit to user
xciii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bahwa dalam surat salinan putusan judex facti tidak memuat atau mempertimbangkan (mengenyampingkan) keterangan saksi Hanafi, S.Sos., saksi Rusmadi (saksi ahli), saksi Bayu Afrisal, yang juga telah didengar dan diminta keterangannya dalam persidangan (Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP). Bahwa di persidangan telah terungkap fakta bahwa terdakwa yang telah membantu melakukan percobaan menempatkan 7 (tujuh) WNI untuk bekerja di luar negeri, dengan meminta kepada 7 (tujuh) orang saksi korban tersebut untuk memberikan uang masing-masing sebesar Rp 5.000.000,- kepada Terdakwa untuk biaya pengurusan passport, perjalanan dan makan, serta kepada para saksi korban ditawarkan untuk dipekerjakan pada Restoran di Malaysia, sedangkan Terdakwa melakukan perbuatan tersebut selaku pribadi bukan sebagai PJTKI Hal-hal tersebut di atas yang sebenarnya merupakan fakta hukum, tetapi kenyataannya dalam putusan hakim hal ini sama sekali tidak mempertimbangkan hal tersebut yang termasuk fakta hukum yang menentukan terdakwa salah atau tidak. Dengan demikian mengacu pada Pasal 197 ayat 2, maka putusan ini batal demi hukum.
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Ketidaktepatan menerapkan sanksi dapat merupakan hal yang melampaui wewenang, misalnya didalam hal, mengurangi atau menambah sanksi yang telah ditentukan undang-undang (Leden Marpaung, 2000: 45). Merujuk pada hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Sanggau tidak menerapkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam : 1) Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang seharusnya terdakwa diputus dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. commit to user
xciv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 2) Pasal 102 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Dipidana dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang: a) Menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b) Menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau c) Menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Dengan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan keterangan saksi-saksi, dalam hal ini terdakwa justru dibebaskan. Dengan demikian, pengadilan
dalam menjatuhkan
melampaui wewenangnya.
commit to user
xcv
putusan telah terbukti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua pokok masalah yang telah dilakukan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Kesusaian Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang dengan Ketetuan Pasal 244 KUHAP Bahwa kasasi terhadap putusan bebas yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan Negeri Sanggau dalam perkara perdagangan orang memang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP. Akan tetapi demi terwujudnya kepastian dan keadilan hukum kasasi atas putusan bebas dapat diajukan oleh penuntut umum dengan pertimbangan bahwa putusan tersebut merupakan putusan bebas tidak murni dan terdapat kesalahan/kekeliruan
pengadilan
dalam
menerapkan
hukum,
terdapat
kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan/atau adanya tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut. Dan di dalam setiap putusan kasasi atas putusan bebas, Mahkamah Agung selalu mempertimbangkan apakah putusan bebas yang dimintkan kasasi tersebut, merupakan pembebasan murni atau pembebasan tidak murni sifatnya. Apabila ternyata putusan yang dimintakan kasasi itu mengandung pembebasan murni maka sesuai dengan yurisprudensi yang ada, Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa permohonan kasasi yang bersangkutan tidak dapat diterima. Jadi sebelum mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, penuntut umum harus terlebih dahulu memeriksa secara seksama apakah putusan tersebut merupakan putusan bebas murni atau putusan bebas tidak murni. Hakim menggunakan dasar pertimbangan hukum yurisprudensi yang merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat kelemahan-kelemahan dalam sistem hukum positif. Arti penting yurisprudensi selain memudahkan hakim menangani permasalahan hukum sebagai dasar commit to user
xcvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertimbangan hukum menyusun putusan pengadilan, yurisprudensi juga dirasakan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena putusan hakim tidak selamanya memberikan rasa keadilan bagi para pihak, dalam hal ini adalah jaksa penuntut umum. Sehingga berdasarkan inisiatif jaksa penuntut umum diajukanlah kasasi tanpa banding. 2. Nalar Hukum Penuntut Umum sebagai Dasar Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Bebas yang Diajukan oleh Pengadilan Sanggau dalam Perkara Perdagangan Orang Dalam memori kasasi harus diuraikan dimana terdapat/terletak kesalahan/kekeliruan pengadilan dalam menerapkan hukum, bagaimana bentuk kekeliruan/kesalahan atau kelalaian pengadilan dalam cara mengadili dan bagaimana bentuk tindakan pengadilan yang telah melampaui batas wewenangnya tersebut (Harun M. Husei, 1992: 86). Sehingga dalam memori kasasi Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan ketiga hal tersebut yaitu, a) apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b) apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c) apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
B. Saran 1. Terhadap putusan bebas yang diputuskan hakim, hendaklah Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil dari negara dalam penegakkan keadilan dan hukum, mampu mengkritisi karena bisa jadi putusan tersebut bukan merupakan putusan bebas murni, mungkin saja terjadi kekeliruan/kesalahan dalam penerapan hukumnya. 2. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang, pembentuk KUHAP hendaknya mereformulasikan secara jelas esensi Pasal 244 KUHAP tersebut, yakni dengan merumuskan mengenai hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak menggunakan commit to user
xcvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penafsiran dalam menyelesaikan kasus-kasus yang oleh pengadilan negeri diputus bebas. 3. Hakim Pengadilan Negeri hendaknya di dalam memutus suatu perkara terlebih dahulu memeriksan alat-alat bukti yang ada dengan cermat dan teliti, sehingga tidak terjadi kekeliruan/kesalahan dalam putusan yang dikeluarkan, karena tindak pidana perdagangan orang ini jelas-jelas merugikan orang lain.
commit to user
xcviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Achie Sudiarti Luhulima. 2007. Bahan Ajar tentang Hak Perempuan, UU No. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Jakarta: Yayasan Obor.
Bryan A. Garner. 2004. Black’s Law Dictionary. United States of America.
C.S.T Kansil. 1985. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
Djoko Prakoso. 1985. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hari Sansangka dan Lili Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bandung: CV. Mandar Maju.
Harun M. Husein. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2005. Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons). Jakarta.
Leden Marpaung. 2000. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi commit to user Muatan). Yogyakarta: Kanisius
xcix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Oemar Seno Adji. 1985. KUHAP Sekarang. Jakarta: Erlangga.
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Merzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-undangan dan Yurisprudensi. Bandung: Alumni.
Rd. Achmad S. Soema Di Pradja. 1981. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung :Alumni.
Rosenberg, Ruth (Ed.), 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. International Catholic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS). Jakarta.
Soekarno. 1978. Dalil Verkapte Onslag Van Rechtvervolging. Pengayoman.
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto. commit to user
c
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Supriyadi Widodo Eddyono. 2005. Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP. Jakarta : ELSAM.
Wirjono Prodjodikoro. 1980. Tindak – Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Jakarta-Bandung : PT Eresco.
Dari Jurnal Lindra Darnela. Juli-Desember 2007. ”Trafficking in Women sebagai Akibat Tidak Terpenuhinya Hak-hak Dasar: Suatu Tinjauan Hukum Internasional”. Jurnal Yin Yang. Vol 2 No 2. STAIN Purwokerto.
Syafrudin. Desember 2008. ”Human Trafficking: Perbudakan Modern dan Aspek Hukum Dalam Penanggulangannya”. Jurnal Al-Adalah. Vol 7 No 2.
Dari Makalah Riza Nizarli,S.H.,M.H. 2006. ”Penegakan Hukum dalam Rangka Perlindungan HAM Perempuan dan Anak yang Menjadi Korban Trafficking. Makalah. Disampaikan pada Workshop, Penguatan Materi tentang Konsep HAM Perempuan dan Gender dalam Mata Kuliah di Fakultas Hukum dan Syar’iah , kerjasama Fakultas Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation, Hotel Polonia, Medan, tanggal 15-17 Juli 2006.
Syafruddin Kalo S.H., M.HUM. 2007. ”Hukum Pidana dalam Teori dan Praktek”. Makalah. Disampaikan dalam Program Pendidikan Khusus Profesi Advokat Asosiasi Advokat Indonesia Cabang Medan Kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Tahun 2007.
Dari Undang-undang Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV. commit to user
ci
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuaasaan Kehakiman
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000
Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak.
Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP commit to user (TPP KUHAP).
cii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari Internet Kasasi
atas
Vonis
Bebas
yang
Menerobos
KUHAP.
http://www.hukumonline.com/kasasi-atas-vonis-bebas-yangmenerobos-KUHAP.html > [12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB].
Kelik
M
Nugroho.
Kegentingan
Masalah
Perdagangan Orang.
http://www.google.com/kegentingan-masalah-perdagangan-orang.html> [12 Februari 2011 pukul 22.00 WIB].
M.
Sofyan
Lubis.
Kasasi
Terhadap
Putusan
Bebas
Murni.
http://www.infohukum.com/Kasasi-Terhadap-Putusan-BebasMurni.html> [12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB].
N.M.
Wahyu
Kuncoro.
Kasasi,
Pengertian
dan
Prosedurnya.
http://www.google.com//kasasi,-pengertian-dan-prosedurnya.html> [12 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB].
http://www.kabarbisnis.com/kasusperdaganganmanusia.html> [14 Februari 2011 pukul 19.00 WIB].
commit to user
ciii