KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH
ERLINA SEPTIYANINGRUM NIM : E. 0006120
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
Disusun Oleh : ERLINA SEPTIYANINGRUM NIM : E. 0006120
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Dosen Pembimbing
Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H, M.M NIP. 197210082005012001
PENGESAHAN PENGUJI
3
Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
Oleh : Erlina Septiyaningrum NIM. E0006120
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari Tanggal
Pada : : Kamis : 25 Maret 2010 DEWAN PENGUJI
1.
Pius Tri Wahyudi, S.H, M.Si Ketua
: ……………………………
2. Waluyo, S.H, M.Si Sekretaris
: ..……………………………
3. Dr. I Gusti Ayu KRH, S.H, M.M Anggota
: ……………………………
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 196109301986011001 PERNYATAAN
4
Nama
: Erlina Septiyaningrum
NIM
: E0006120
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) yang berjudul:
KAJIAN
YURIDIS
PENYELESAIAN
SENGKETA
LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN
PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
YANG
BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 16 Maret 2010 Yang membuat pernyataan
Erlina Septiyaningrum NIM. E0006120
5
ABSTRAK Erlina Septiyaningrum, 2010. KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Intervensi terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melaksanakan kegiatan pembangunan secara berkelanjutan. Tetapi, beberapa pelaku pembangunan masih melaksanakan kegiatan pembangunan dengan tidak berkelanjutan. Hal ini antara lain menyebabkan terjadinya kasus pencemaran dan perusakan lingkungan yang merupakan condisio sine quanon terjadinya sengketa lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat memberikan jawaban keadilan ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia, kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan solusinya, serta penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan sumber penelitian dilakukan dengan teknik riset kepustakaan dan teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi (gramatikal). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela dan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian ahli). Akan tetapi, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia masih mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia. Kata Kunci: penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
6
ABSTRACT Erlina Septiyaningrum, 2010. A JURIDICAL REVIEW ON THE SETTLEMENT OF LIVING ENVIRONMENT DISPUTE OUTSIDE THE COURT AS AN ATTEMPT OF REALIZING THE SUSTAINABLE, ENVIRONMENT-ORIENTED DEVELOPMENT IN INDONESIA. Law Faculty of Sebelas Maret University. Intervention to the environment in the implementation of development is inevitable. Such problems can be addressed by implementing a sustainable development activity. However, many developers still implement unsustainable development practice. It results in the pollution case and environmental destruction constituting condisio sine quanon evoking the environmental dispute. The settlement of environmental dispute outside the court can give the justice response amid the public’s distrust against the judicature institution. For that reason, in this study, the researcher examines and answers the problems about the settlement of environmental dispute outside the court in Indonesia, the weakness of the environmental dispute settlement outside the court and the solution, as well as the environmental dispute settlement in realizing a sustainable, environmentoriented development. This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature with statutory approach. This research employed the secondary type and research source consisting of primary and secondary law materials. Technique of collecting research sources employed was literary research and technique of analyzing data used was deductive and interpretative thinking techniques. The result of research shows that based on the provision in Acts No. 32 of 2009, No. 30 of 1999, and Governmental Regulation Number 54 of 2000, the settlement of living environment dispute outside the court is the parties’ voluntary choice and it only applies to the dispute included in the civil area. The environment dispute settlement outside the court is taken based on an agreement among the parties with arbitration or alternative dispute settlement (conciliation, negotiation, mediation, consultation, expert judgment). However, the environment dispute settlement outside the court in Indonesia, viewed from the regulation, still has some weaknesses. Nevertheless, the environment dispute settlement outside the court inherent to the policy of living environment protection and management in Indonesia still supports the sustainable, environment-oriented development in Indonesia. Keywords: the environment dispute settlement outside the court, the sustainable, environment-oriented development
7
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan ridhoNya, penulisan hukum (skripsi) ini dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia ditinjau dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dengan terselesainya penulisan hukum, penulis hendak mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Allah SWT, atas kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. Tiada daya dan upaya kecuali atas kekuatan dan ijin dari-Nya. 2. Mama, Papa, dan Elisa Hermawati (kakak), terima kasih untuk doa, kekuatan, dan dorongan yang selalu diberikan. 3. Rohmat Subekti, S.H. atas setiap kesetiaan, kesabaran, dan pengertian yang menenangkan. 4. Bapak Mohammad Jamin S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS. 5. Ibu I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H.,M.M. selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan dengan baik. 6. Bapak Mohammad Rustamaji, S.H, M.H, Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H, M.Hum, Ibu Anjar Si CN, S.H, M.Hum, dan Bapak Moelyanto,S.H, M.H yang telah banyak membekali penulis dengan ketrampilan menulis.
8
7. Bapak Suranto, S.H, Bapak Joko Sugiyatno, dan Ibu Barsedyani yang telah banyak memberikan pengetahuan non-akademik bagi penulis. 8. Bapak Prasetyo Hadi P, S.H, M.S yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi asisten dosen dan seluruh Dosen di Fakultas Hukum UNS yang telah membekali penulis dengan ilmu hukum dan menanamkan kecintaan penulis terhadap hukum. 9. Sulistyo Probo Winahyo, Diana Dewi Kusumaningrum, Fatmawati Nurul Handayani Kusuma Wardani, Galih Ahmad, Hermawan Fathoni, dan Rofi Farih, sahabat yang dengan komitmen selalu memberikan cinta, keceriaan, dan harapan. 10. Erika Rovita Maharani, Pratami Wahyudya Ningsih, Dian Rachma Fitria, dan Hanifah Endah Setyowati yang telah menggoreskan kenangan indah selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum UNS. 11. Amel, Sinta, Corry, Radit, Anna, Fera, Seto, Rohmadi, Andri, AW, Ita, Mbak Nana, Mbak Athina, Mas Irawan, Chandra, Wisnu, Adel, Ayu, Giska, Ririn, Beta, dan seluruh keluarga besar BEM serta KSP ”Principium” Fakultas Hukum UNS yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk pendewasaan dan ilmu keorganisasian. 12. Staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS dan Perpustakaan Pusat UNS atas keramahan dan bantuannya.
Surakarta, 18 Maret 2010 Penulis
9
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………… B. Perumusan Masalah…………………………………………….. C. Tujuan Penelitian………………………………………………... D. Manfaat Penelitian……………………………………………..... E. Metode Penelitian……………………………………………….. F. Sistematika Skripsi…………………………………………….... BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori………………………………………………….. 1. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup a. Pengertian Lingkungan Hidup…….…………………….. b. Hubungan Lingkungan Hidup dengan Manusia ……… 2. Tinjauan Tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup a. Tinjauan tentang Pencemaran Lingkungan Hidup 1) Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup .....…….. 2) Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Hidup.………… 3) Baku Mutu Lingkungan Hidup……………..……….. b. Tinjauan tentang Perusakan Lingkungan Hidup 1) Pengertian Perusakan Lingkungan Hidup .....………. 2) Jenis-Jenis Perusakan Lingkungan Hidup.…………… 3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup ……….. 3. Tinjauan Tentang Sengketa Lingkungan Hidup a. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup………………… b. Pihak-Pihak dalam Sengketa Lingkungan Hidup............... 4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa a. Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Peradilan (Litigasi)............................................................................. b. Penyelesaian Sengketa di Luar Lembaga Peradilan (NonLitigasi).............................................................................. 5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan a. Pengertian Pembangunan ................................................ b. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan ................................................
1 6 6 7 7 11 14 14 15
17 17 18 19 20 21 23 24
26 29
35 35
10
c. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan ................................................ B. Kerangka Pemikiran…………………………………………… BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pembahasan……………………………………………………..... 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia …………………………………………………... 2. Kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan solusinya ……………………………………. 3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ……………………………………... BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………….... B. Saran…………………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR DAFTAR PUSTAKA
38 42 44 44 65
56 74 82 83
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Intervensi Pembangunan terhadap lingkungan Gambar 2. Kerangka Berfikir Gambar 3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Gambar 4. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Gambar 5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa Gambar 6. Pilihan Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, dalam hidupnya manusia akan selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraannya. Upaya yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan
kesejahteraannya
tersebut
antara
lain
adalah
dengan
memanfaatkan sumber-sumber yang disediakan oleh alam untuk kegiatan pembangunan. Pembangunan adalah upaya secara sadar memanfaatkan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia dan meningkatkan kesejahterannya (Soekarman Moesa, 2002: 6). Dengan demikian, lingkungan hidup merupakan bagian mutlak dalam kegiatan pembangunan. Seiring dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, ilmu pengetahuan
dan
teknologi
mulai
dikembangkan
guna
mendukung
pelaksanaan pembangunan. Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berat secara efektif digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan membangun industri-industri berat untuk memenuhi kebutuhan manusia, alam secara drastis telah terganggu keseimbangannya (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003:
177).
Jika
dibiarkan,
pembangunan
yang
diharapkan
dapat
meningkatkan kesejahteraan manusia justru akan menurunkannya karena lingkungan tidak lagi mampu mendukung kehidupan yang sehat (Imam Supardi, 2003: 216). Intervensi terhadap lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan memang tidak dapat dihindari. Tetapi, permasalahan tersebut dapat diselesaikan
dengan
melaksanakan
kegiatan
pembangunan
secara
berkelanjutan. Dengan pembangunan berkelanjutan, daya dukung lingkungan terhadap kegiatan pembangunan akan tetap terjaga sehingga peningkatan
13
kesejahteraan sebagai hasil kegiatan pembangunan tidak hanya akan dirasakan oleh generasi sekarang, tetapi juga oleh generasi masa depan.
e
d Kualitas lingkungan (Q)
3
c 2
b
f
1 a
Waktu (t) Gambar 1. Intervensi Pembangunan terhadap lingkungan
Pembangunan merupakan intervensi terhadap lingkungan yang mengganggu keseimbangan lingkungan dan membawanya ke keseimbangan baru yang terletak pada kualitas lebih tinggi (b, c, d). Dengan demikian pembangunan membawa lingkungan ke arah kualitas yang lebih tinggi seperti yang digambarkan oleh garis e. Dalam usaha ini harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung tingkat hidup yang lebih tinggi tidak rusak sehingga tidak terjadi keambrukan seperti yang digambarkan oleh garis f. Pembangunan harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Otto Soemarwoto, 2003: 16). Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia tercermin dalam dua bentuk pengakuan terhadap konstitusionalisasi norma hukum lingkungan. Pertama, mengakui
subjective rights
dalam
pengelolaan
lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, pengakuan bahwa elemen berwawasan lingkungan merupakan elemen penting dalam perekonomian nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jimly Asshiddiqie, 2009: vi).
14
Ketentuan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun
diselenggarakan
1945 berdasar
mengatur atas
bahwa:
demokrasi
”Perekonomian ekonomi
dengan
nasional prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Berdasarkan ketentuan tersebut, walaupun tidak secara jelas menekankan pembangunan berkelanjutan sebagai arah dan pola pembangunan, namun ketentuan pasal tesebut dapat ditafsirkan memberi arah pembangunan ekonomi
yang didasarkan pada konsep pembangunan
berkelanjutan (Jimly Asshiddiqie, 2009: vii). Realitasnya, beberapa pelaku kegiatan pembangunan masih melaksanakan kegiatan pembangunan dengan tidak berkelanjutan. Hal ini antara lain terwujud dengan masih terjadinya kasus pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai dampak negatif pembangunan. Ketentuan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui bahwa: ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Ketentuan tersebut dipertegas kembali dalam Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur bahwa: ”Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Diakuinya hak tersebut dalam konstitusi dan undang-undang menempatkan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 163). Dengan demikian, setiap orang yang merasa haknya terlanggar karena kegiatan pembangunan yang mencemari dan merusak lingkungan dapat melakukan tuntutan sehingga lahir sengketa lingkungan. Tuntutan atas pelanggaran hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam kasus sengketa lingkungan tidak hanya berupa
15
tuntutan pemberian ganti kerugian, tetapi juga berupa tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Hal ini terkait dengan lingkungan hidup sebagai bagian mutlak dalam kehidupan manusia (N.H.T. Siahaan, 2004: 2). Dalam pembangunan, tuntutan masyarakat tersebut akan turut menguntungkan kegiatan pembangunan karena dengan perbaikan kondisi lingkungan, pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa lingkungan hidup sebagai unsur utamanya (Jimly Asshiddiqie, 2009: 134). Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis agar penyelesaian sengketa lingkungan tidak hanya dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa tetapi juga lingkungan hidup sehingga pembangunan berkelanjutan dapat terwujud. Setiap orang yang merasa dilanggar haknya dapat menggunakan lembaga formal untuk membantu memperoleh haknya (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 163). Lembaga formal tersebut tidak hanya berupa lembaga peradilan, tetapi juga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai sarana penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan menempatkan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai sarana penyelesaian sengketa yang telah diakui eksistensinya di Indonesia. Keberadaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai sarana penyelesaian sengketa di luar pengadilan semakin diperkuat eksistensinya dalam Ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur bahwa: ”Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan”. Penyelesaian sengketa dengan melalui pengadilan atau yang lazim disebut sebagai penyelesaian sengketa secara litigasi bersifat pertentangan antar para pihak (Adi Sulistiyono, 2006: 4). Penyelesaian sengketa melalui
16
jalur litigasi dalam perkembangannya mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena dianggap tidak netral atau memihak. Hal ini terus berkembang seiring dengan mafia peradilan yang sudah berurat dan berakar, bergerak secara sistemik dan terorganisir di Indonesia (Juanda Kartawidjaya, 2009: 1). Minimnya kepercayaan publik terhadap litigasi dapat digambarkan dari hasil jejak pendapat berbagai media masa, diantaranya yang dilakukan oleh harian Kompas. Terkait dengan putusan pengadilan, hasil jejak pendapat tersebut menunjukkan bahwa 45,3% responden menilai bahwa putusan pengadilan berdasarkan pada pertimbangan uang, 30,5% menilai karena pertimbangan politik dan hanya 9.3% responden yang masih percaya bahwa putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum (R. Ginting, 2009: 3). Penyelesaian
sengketa
lingkungan
di
luar
pengadilan
dapat
memberikan jawaban keadilan ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Di samping itu, penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga memberikan keuntungan bagi pengusaha dengan terjaganya kerahasiaan sehingga nama baik perusahaan tidak akan tercemar dan bagi pemerintah dengan berkurangnya beban perkara pada lembaga peradilan. Berlatar dari hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Peradilan dalam penelitian
yang berjudul: ”Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai Upaya Mewujudkan Pembangunan Indonesia”.
Berkelanjutan
yang
Berwawasan
Lingkungan
di
17
B. Rumusan Masalah Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas secara lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penting bagi peneliti untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yang dirumuskan penulis adalah: 1. Bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia? 2. Apakah kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia dan solusinya? 3. Apakah penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui
penyelesaian
sengketa lingkungan
hidup
di
luar
pengadilan di Indonesia. b. Mengetahui kelemahan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia dan solusinya. c. Mengetahui penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang ilmu hukum yang dalam hal ini lingkup hukum administrasi negara, khususnya hukum lingkungan. b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
18
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah peneliti peroleh agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum lingkungan pada khususnya. b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam pembangunan hukum nasional di bidang lingkungan hidup. c. Menambah referensi keilmiahan bagi pihak-pihak yang concern terhadap lingkungan hidup. 2. Manfaat Praktis a. Menjadi wahana bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2006: 43). Metodologi merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2006: 43). Adapun
19
Metode yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian yang peneliti lakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan melakukan analisis terhadap undang-undang, khususnya yang terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat penelitian preskriptif , yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu (Soerjono Soekanto, 2006: 10). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan saran-saran untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan
terkait
dengan
penyelesaian
sengketa lingkungan di luar pengadilan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai dasar pijakan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan.
20
3. Pendekatan Penelitian Pendekatan (approach) yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan
perundang-undangan.
Menurut
Peter
Mahmud
Marzuki, pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 94). Dalam penelitian ini, pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. 4. Jenis Sumber Penelitian Jenis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber penelitian sekunder. Sumber penelitian sekunder adalah sumber penelitian yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya (Soerjono Soekanto, 2006: 12). Sumber-sumber penelitian dalam hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahanbahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). a. Bahan-bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
21
3) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. b. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa: 1) Jurnal. 2) Buku. 3) Makalah. 4) Artikel internet. 5. Teknik Pengumpulan Sumber Penelitian Teknik pengumpulan sumber penelitian yang peneliti pergunakan adalah teknik riset kepustakaan (library research). Riset pustaka dilakukan dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh sumber penelitiannya. Riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahanbahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan (Mestika Zed, 2004: 1-2). Riset pustaka ini peneliti lakukan dengan mengumpulkan, membaca, mencatat, serta mengolah bahan-bahan penelitian terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 6. Teknik Analisis Sumber Penelitian Teknik analisis sumber penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik berfikir deduksi dan interpretasi (gramatikal). Deduksi artinya berfikir dari umum (premis mayor) ke khusus (premis minor) (Sudikno Mertokusumo, 2003: 176). Teknik berfikir deduksi dilakukan peneliti dengan berfikir dari premis mayor bahwa lingkungan hidup merupakan unsur utama dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Sebagai premis minor, peneliti akan mengkaji apakan penyelesaian sengketa lingkungan
22
hidup di luar pengadilan dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mendesak pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan memperbaiki kondisi lingkungan. Dengan cara berfikir dari premis mayor ke premis minor tersebut, peneliti akan sampai pada suatu simpulan apakah penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan turut mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan atau tidak. Teknik berfikir deduksi yang dilakukan oleh peneliti di dukung dengan interpretasi gramatikal. Interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata, atau bunyinya (Sudikno Mertokusumo, 2003: 171). Dalam penelitian ini peneliti akan menafsirkan ketentuan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata, atau bunyinya untuk mengetahui makna dari ketentuan peraturan perundangan tersebut. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan mencakup latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skipsi.
23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini peneliti akan menguraikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literaturliteratur yang peneliti gunakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka teori tersebut mencakup: A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Lingkungan Hidup a. Pengertian lingkungan hidup b. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup 2. Tinjauan tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup a. Tinjauan tentang pencemaran lingkungan hidup 1) Pengertian pencemaran lingkungan hidup 2) Jenis-jenis pencemaran lingkungan hidup 3) Baku mutu lingkungan hidup b. Tinjauan tentang perusakan lingkungan hidup 1) Pengertian perusakan lingkungan hidup 2) Jenis-jenis perusakan lingkungan hidup 3) Kriteria Baku kerusakan lingkungan hidup 3. Tinjauan tentang Sengketa Lingkungan Hidup a. Pengertian sengketa lingkungan hidup b. Pihak-pihak dalam sengketa lingkungan hidup 4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa a. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui lembaga peradilan (litigasi) b. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar lembaga peradilan (non-litigasi)
24
5. Tinjauan
tentang
Pembangunan
Berkelanjutan
yang
Berwawasan Lingkungan a. Pengertian pembangunan b. Pengertian
pembangunan
berkelanjutan
yang
berwawasan lingkungan c. Prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
yang
berwawasan lingkungan B. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini peneliti akan menjawab rumusan masalah sebagai berikut. 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia. 2. Kelemahan Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia dan solusinya. 3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dalam
mendukung
pembangunan
berkelanjutan
yang
berwawasan lingkungan.
BAB IV PENUTUP Dalam bab ini peneliti akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa kekurangan yang menurut peneliti perlu diperbaiki. DAFTAR PUSTAKA
25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup a. Pengertian Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah suatu sistem kompleks yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme (Prabang Setyono, 2008: 1). Lingkungan hidup adalah semua benda, daya, dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya (N.H.T Siahaan, 2004: 4). Adapun ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi lingkungan hidup sebagai: ”kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Berdasarkan
definisi
tersebut
dapat
ditegaskan
bahwa
lingkungan hidup merupakan bagian mutlak dalam kehidupan manusia. Manusia dan lingkungan hidup memiliki hubungan yang bersifat timbal balik. Terlebih manusia mencari makan dan minum serta memenuhi kebutuhan lainnya dari ketersediaan sumber-sumber yang diberikan oleh lingkungan hidup dan kekayaan alam sebagai sumber utama dan terpenting bagi pemenuhan kebutuhannya (N.H.T Siahaan, 2004: 2-3). Lingkungan hidup yang memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, oleh karena itu dalam Konstitusi Negara Kesatuan
26
Republik Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di integrasikan sebagai salah satu bagian dari hak asasi setiap manusia. Hal tesebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. b. Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungan. Setiap
bentuk
aktivitas
yang
dilakukan
oleh
manusia
akan
mempengaruhi lingkungan. Demikian juga manusia yang dalam setiap aktivitasnya akan selalu dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan hidup merupakan bagian mutlak dari kehidupan manusia (N.H.T. Siahaan, 2004: 2). Manusia mendapatkan usur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan. Semakin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan hidupnya yang diambil dari lingkungan maka semakin besar pula perhatian manusia terhadap lingkungan. Perhatian dan pengaruh manusia terhadap lingkungan makin meningkat pada zaman teknologi maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam semakin meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya, hasil sampingan dari industri berupa asap dan limbah mulai menurunkan kualitas
lingkungan
hidup.
Kegiatan
manusia
tersebut
dapat
mengakibatkan bermacam-macam gejala, baik positif maupun negatif terhadap lingkungan hidup (Imam Supardi, 2003: 73).
27
1) Peran manusia yang negatif terhadap lingkungan hidup adalah: a) Berkurangnya persediaan sumber daya alam karena eksploitasi secara terus-menerus. b) Punahnya species tertentu yang merupakan sumber plasma nutfah. c) Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi ekosistem binaan yang labil karena terus memerlukan energi. d) Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu kestabilan tanah. e) Masuknya energi dan limbah bahan/senyawa lain ke dalam lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah yang akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan hidup. 2) Peran manusia yang positif terhadap lingkungan hidup adalah: a) Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tetap dan tetap serta bijaksana terutama dalam pemakaian sumber daya alam yang tidak terbaharui. b) Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman jenis flora dan fauna serta mencegah terjadinya bahaya banjir. c) Melakukan proses daur ulang serta pengelolaan limbah agar kadar bahan pencemar yang terbuang ke lingkungan tidak melampaui ambang batas. d) Melakukan sistem pertanian secara tumpang sari atas multikultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah pertanian miring dibuat terasiring guna mencegah derasnya erosi serta hanyutnya lapisan tanah yang mengandung unsur humus.
28
e) Membuat peraturan, organisasi, perundang-undangan untuk melindungi dan mencegah lingkungan dari kerusakan, serta melestarikan aneka jenis satwa dan makhluk hidup yang ada. 2. Tinjauan tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup a. Tinjauan tentang Pencemaran Lingkungan Hidup 1) Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup Ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi pencemaran lingkungan hidup sebagai ”masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. 2) Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Hidup Jenis-jenis pencemaran yang dapat digolongkan dalam degradasi lingkungan fisik adalah (Prabang Setyono, 2008: 36-37): a) Pencemaran Air Sumber pencemaran air adalah pergelandangan kota (urban dwelles) yang membuang sampah dimana mereka berada, pembuangan kotoran dari pabrik dan industri, penghuni kota dengan sampah-sampahnya dan kotoran hasil cucian (detergen dan sebagainya). Pencemaran melalui air berbahaya karena di dalam air yang tercemar dikandung bakteri, virus, dan bahan-bahan kimiawi yang berbahaya. b) Pencemaran Udara Sumber-sumber pencemaran udara adalah kendaraan bermotor yang banyak memadati jalanan kota, emisi atau kotoran melalui asap pabrik, kepadatan penduduk dan
29
pembakaran sampah, pembukaan daerah melalui tebang dan bakar yang mengakibatkan uudara dipenuhi dengan carbon monoxide, nitrogen oxide, dan sulfat oxide. c) Pencemaran Suara Suara yang dikategorikan sebagai pencemaran dan dapat merusak telinga adalah suara-suara yang melebihi 75 decibel. Pencemaran suara dapat mengakibatkan terganggunya saraf dan konsentrasi kerja. Suara-suara yang sudah mencapai 145 decibel dan secara terus-menerus di dengar dapat menimbulkan rasa sakit. 3) Baku Mutu Lingkungan Hidup Tidak
seluruh
bentuk
aktivitas
manusia
terhadap
lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan hidup. Hanya bentuk-bentuk aktivitas manusia yang melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan saja yang dapat dikatakan sebagai pencemaran lingkungan hidup. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa baku mutu lingkungan hidup merupakan ukuran untuk menentuan terjadi atau tidaknya pencemaran lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi baku mutu lingkungan hidup sebagai, ”ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup”.
30
Adapun baku mutu lingkungan hidup meliputi (Pasal 20 ayat (2) dan penjelasannya): a. Baku mutu air, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. b. Baku mutu air limbah, yaitu ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimesukkan ke media air. c. Baku mutu air laut, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. d. Baku mutu udara ambien, ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam udara ambien. e. Baku mutu emisi, yaitu ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. f. Baku mutu gangguan, yaitu ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. g. Baku mutu lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Tinjauan tentang Perusakan Lingkungan Hidup 1) Pengertian Perusakan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan
memberikan
definisi
dan
Pengelolaan
kerusakan
Lingkungan
lingkungan
hidup
Hidup sebagai
”perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku lingkungan hidup”.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 16
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ditegaskan bahwa perusakan lingkungan hidup adalah ”tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
31
Berdasarkan
kedua
definisi
tentang
kerusakan
dan
perusakan lingkungan hidup tersebut, dapat dipahami adanya perbedaan yang signifikan antara kerusakan dan perusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup mencakup segala bentuk perubahan terhadap lingkungan, baik yang terjadi karena alam maupun karena aktifitas manusia. Sedangkan kerusakan lingkungan hidup lebih menekankan pada aspek ”tindakan orang” yang menimbulkan perubahan terhadap lingkungan. Pembedaan tersebut perlu ditekankan karena keduanya akan menimbulkan impikasi yuridis yang berbeda. 2) Jenis-Jenis Perusakan Lingkungan Hidup Berdasarkan
definisi
kerusakan
lingkungan
hidup
sebagaimana telah diuraikan dapat ditegaskan bahwa pada prinsipnya, kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat adanya ”perubahan” lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup dapat terjadi karena aktivitas alam atau manusia. Perubahan lingkungan hidup yang terjadi akibat aktivitas manusia cenderung diartikan sebagai perusakan lingkungan, sedangkan perubahan yang terjadi akibat aktivitas alam cenderung diartikan sebagai kerusakan lingkungan. Perubahan lingkungan yang terjadi secara alamiah akibat aktivitas alam dapat bersifat revolusioner, seperti letusan gunung api, badai, topan, gempa bumi, dan lain-lain, atau dapat pula bersifat evolusioner, selektif, dan seimbang. Perubahan lingkungan yang terjadi secara alamiah, hampir tidak mengakibatkan perubahan yang sama sekali mengakibatkan hancurnya ekologi global (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003: 176).
32
Perubahan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas manusia saat ini masih merupakan faktor pengubah lingkungan yang sangat mengkhawatirkan. Perubahan tersebut antara lain terjadi karena pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol dan tidak seimbang dengan peningkatan kualitas atau kemampuan dalam mengelola sumber daya (Zoer’aini Djamal Irwan, 2005: 3). Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, manusia melakukan berbagai kegiatan. Akan tetapi karena minimnya kualitas dan kemampuan dalam mengelola sumber daya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berat secara efektif digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan membangun industri-industri berat untuk memenuhi kebutuhan manusia, alam secara drastis telah terganggu keseimbangannya (Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003: 177). Kegiatan-kegiatan yang
telah
dilakukan
oleh
manusia
yang
mengakibatkan
lingkungan dalam kondisi krisis antara lain adalah kegiatan pertambangan, perusakan hutan, kegiatan industri yang tidak berwawasan lingkungan, dan perilaku masyarakat yang membabi buta (Sudarsono, 2007: 1). 3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Dalam kasus pencemaran lingkungan, tidak seluruh bentuk aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup merupakan pencemaran lingkungan hidup. Demikian pula dalam perusakan
lingkungan.
Hanya
aktivitas
manusia
yang
menimbulkan akibat tertentu yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang telah ditetapkan saja yang dapat dikategorikan sebagai perusakan lingkungan hidup. Ketentuan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
33
tentang Pemeliharaan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
memberikan definisi kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagai ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim (Pasal 21 ayat (2)). Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi (Pasal 21 ayat (3)): a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. Sedangkan yang dimaksud dengan kriteria baku kerusakan tanah untuk prduksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat diteggang berkaitan dengan kegiatan prduksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budidaya dan hutan. b. kriteria baku kerusakan terumbu karang, yaitu ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang. c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, yaitu pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. d. kriteria baku kerusakan mangrove e. kriteria baku kerusakan padang lamun f. kriteria baku kerusakan gambut g. kriteria baku kerusakan karst h. dan kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada parameter, antara lain (Pasal 21 ayat (4): a. kenaikan temperatur
34
b. kenaikan permukaan air laut c. badai, dan/atau d. kekeringan 3. Tinjauan Tentang Sengketa Lingkungan Hidup a. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup Sengketa lingkungan merupakan species dari genus sengketa yang bermuatan konflik maupun kontroversi di bidang lingkungan. Ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi sengketa lingkungan hidup adalah “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup”. Dampak terhadap lingkungan merupakan pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/kegiatan (Pasal 1 angka 26). Pembangunan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Di samping menghasilkan produk yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia pada khususnya, pembangunan juga mengakibatkan dampak negatif berupa pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan karena limbah (Imam Supardi, 2003: 165). Dapat dikatakan bahwa dampak terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 merujuk pada pencemaran atau kerusakan lingkungan sebagai akibat pembangunan. Dari pengertian sengketa lingkungan tersebut, sengketa lingkungan di format sebagai akibat in concreto keberadaan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Tanpa adanya pencemaran dan perusakan lingkungan, tidak ada sengketa lingkungan. Sengketa lahir dari adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan,
sehingga
pencemaran
dan
kerusakan
lingkungan
merupakan conditio sine quanon bagi timbulnya sengketa lingkungan
35
(Suparto Wijoyo, 1999: 6). Dapat pula dikatakan bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan jika ditinjau dari teori conditio sine qua non merupakan syarat-syarat terjadinya sengketa lingkungan yang jika tidak dipenuhi tidak akan terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan (Moeljatno, 2002: 92). Suatu sengketa tidak hanya mengenai perselisihan pihak-pihak ansich, tetapi perselisihan yang mengandung dan melahirkan tuntutan (gugatan). Dari uraian tersebut dapat ditarik unsur-unsur dalam sengketa lingkungan hidup, yaitu (Pius Tri Wahyudi, 2010): 1) Sengketa lingkungan hidup merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. 2) Sengketa
lingkungan
hidup
pada
hakekatnya
merupakan
perselisihan hak (subjective rights) yang melahirkan gugatan 3) Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai sebab timbulnya
sengketa
lingkungan
meliputi
pencemaran
dan
perusakan lingkungan yang aktual dan potensial. b. Pihak-Pihak dalam Sengketa Lingkungan Hidup Sengketa
lingkungan
hidup
adalah
perselisihan
yang
melibatkan dua pihak atau lebih. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi, dalam ketentuan Undang-Undang tersebut secara lebih lanjut, tidak ditemukan pengaturan mengenai siapa yang dimaksud dengan para pihak. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut dalam Pasal 1 angka 7 memberikan pengaturan bahwa yang dimaksud dengan para pihak adalah ”subyek hukum, baik menurut
36
hukum perdata maupun hukum pubilk yang bersengketa di bidang lingkungan hidup”. Subyek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban. Manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak ia lahir dan berakhir sejak ia meninggal. Subyek hukum dalam hukum perdata merujuk pada istilah ”orang” atau ”persoon”
yang terdiri dari (Amiek
Sumindriyatmi, dkk, 2005: 25): 1) Manusia (natuurlijk persoon) 2) Badan hukum (rechtspersoon) Indonesia sebagai negara hukum mengakui setiap orang sebagai manusia, artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subyek hukum. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa ”segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya” (Amiek Sumindriyatmi, dkk, 2005: 25). Artinya, dalam kasus sengketa lingkungan setiap orang (baik manusia maupun badan hukum) baik yang merasa dirugikan atas terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup maupun pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup berkedudukan sebagai pihak dalam sengketa lingkungan. Dalam bahasa hukum, pihak-pihak
tersebut
dapat
dikonfigurasikan
sebagai
pelaku
pencemaran atau perusakan dan korban pencemaran atau perusakan (Waluyo, 2006: 57). 4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa Upaya penyelesaian sengketa dalam bidang perdata dapat ditempuh melalui lembaga peradilan maupun di luar lembaga peradilan sesuai dengan kesepakatan para pihak.
37
a. Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (litigasi) Metode penyelesaian sengketa paling konvensional adalah litigasi (proses pengadilan). Penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi untuk mendapatkan keadilan menggunakan pendekatan melalui sistem perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose sollution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi ini bersifat pertentangan antara para pihak. Proses litigasi selalu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (a winner) dan pihak yang lain sebagai kalah (a loser) (Adi Sulistiyono, 2006: 4). Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dimulai dengan pengajuan gugatan penggugat ke Pengadilan Negeri. Setelah itu, sebelum dilaksanakan proses pemeriksaan, penyelesaian perkara perdata diawali dengan upaya mendamaikan para pihak yang dilakukan oleh hakim. Jika upaya mendamaikan tersebut berhasil, maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang diajukan ke sidang pengadilan (acte van vergelijk) dimana para pihak wajib mentaati dan memenuhi perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut berkekuatan sebagai putusan hakim yang tidak dapat dilakukan upaya hukum (Marianna Sutadi, 2004: 27). Apabila upaya pendamaian tersebut tidak berhasil, maka
ditempuh
proses
pemeriksaan
perkara
perdata.
Proses
pemeriksaan perkara pasca dilakukannya upaya perdamaian adalah pembacaan gugatan dan diberi kesempatan kepada penggugat untuk merubah atau mencabut gugatannya kalau dikehendaki. Tahap selanjutnya penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban tergugat. Setelah itu, penggugat diberi kesempatan untuk replik penggugat dan diikuti dengan tergugat yang mengajukan duplik tergugat. Setelah tahap tersebut, penggugat dan tergugat masing-
38
masing diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti untuk kemudian ke dua belah pihak diberi kesempatan untuk mengajukan kesimpulan sebelum majelis hakim akhirnya menjatuhkan putusan. Apabila para pihak tidak tidak menerima putusan hakim Pengadilan Negeri, maka para pihak dapat menempuh upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Tetapi apabila para pihak menerima putusan tersebut, maka selanjutnya akan dilaksanakan eksekusi (Amiek Sumindriyatmi, dkk, 2005: 74). Jalur litigasi yang mengandalkan perangkat lembaga peradilan sebagai institusinya telah mewabah penggunaannya selaras dengan semakin derasnya infiltrasi hukum modern disetiap penjuru dunia. Dalam konstelasi sistem hukum modern keberadaan lembaga peradilan diantaranya
mengemban
tugas
menyelesaikan
sengketa
untuk
menegakkan rule of law. Keberadaan pengadilan yang dimaksudkan sebagai sarana fasilitatif untuk menegakkan wibawa hukum dengan jalan memberikan akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat sengketa. Akan tetapi di dalam perkembangannya, penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi dihinggapi formalitas yang berlebihan, tidak efektif dan efisien, mahal, perilaku hakim yang memihak, dan putusan hakim yang seringkali mengecewakan pencari keadilan (Adi Sulistiyono, 2006: 6-7). Proses peradilan menuai banyak kritik yang menujukkan pada kelemahan-kelemahan sistem peradilan, yaitu (Emmy Yuhassarie, dkk, 2004: xix): 1) Waktu Proses persidangan yang berlarut-larut atau terlalu lama dan menempatkan suatu keputusan yang benar-benar final dan mengikat (karena ”hak” para pihak untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali, bantahan, dan lain-lain). Waktu tidak bisa di kontrol oleh para pihak.
39
2) Biaya mahal Biaya pengadilan di beberapa negara dianggap mahal (khusunya bagi masyarakat pedalaman, hal ini ditambah dengan biaya transportasi). Hal ini ditambah dngan sistem peradilan yang mempunyai prosedur yang bertingkat-tingkat. Mahalnya biaya tersebut ditambah dengan biaya pengacara. 3) Adversary Proses beracara dalam pengadilan memaksa para pihak untuk saling menyerang. 4) Prosedur yang ketat Dengan adanya prsedur beracara yang rigid, kadangkala menghilangkan keluwesan para pihak untuk mencari inovasi alternatif-alternatif
penyelesaian.
Seringkali
kepentingan
sebenarnya dari pihak yang bersengketa tidak tercermin dalam gugatan/tuntutan yang diajukan. 5) Lawyer Oriented Karena sistem prosedua yang kompleks dalam peradilan, maka hanya pihak yang mempunyai keahlian saja yang dapat beracara di pengadilan. Oleh karena itu, pihak yang bersengketa banyak mendelegasikan semuanya kepada pengacaranya, dimana acapkali pengacara tidak mengerti benar-benar kepentingan klien. 6) Win-lose sollution Sistem peradilan pada nilai benar atau salah. 7) Hubungan putus Dengan adanya sistem win-lose maka (untuk kasus perdata atau bisnis) hubungan para pihak menjadi putus. 8) Memicu konflik baru Karena untuk menyelamatkan muka dan telah terputusnya hubungan, hal tersebut dapat memicu konflik lagi.
40
b. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan (non-litigasi) Mekanisme penyelesaian sengketa di banyak negara, termasuk Indonesia, kini telah berkembang khususnya di bidang keperdataan. Perkembangan ini terdorong oleh kenyataan bahwa pada umumnya penyelesaian
sengketa
melalui
pengadilan
(court
system)
membutuhkan biaya yang sangat besar dan birokrasi pengadilan yang sangat rumit (N.H.T Siahaan, 2004: 330-331). Litigation is a difficult, time consuming, and costly process that must comply with complex procedural rules (Henry R Cheeseman, 2000: 42). The use of court system to resolve businnes and other dispute can take years and cost thousand, if not millions, of dollars in legal fees and expenses. In commercial litigation, the normal bussines operations of the parties are often disrupted. (Henry R Cheeseman, 2000: 62). Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan atau Alternative Dispute Resolution (Selanjutnya disebut ADR) merupakan ekspresi responsif (dissatisfication) terhadap penyelesaian sengketa melalui proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig (berteletele). Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya minat dan perhatian terhadap ADR, yaitu: pertama, perlunya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa; kedua, untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; ketiga, memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan sehingga setiap sengketa yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu, akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain. Para pihak dapat memilih ketentuan yang terbaik (Suparto Wijoyo, 1999: 92-93). ADR merupakan salah satu sarana peningkatan akses kepada keadilan.
ADR
dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan
suatu
41
permasalahan keluar dari sistem formal pengadilan kepada suatu forum yang lebih murah, cepat, dekat, dan tidak mengintimidasi. Keberadaan ADR sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Net Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBG). Semula ADR diatur dalam pasal 615 s/d 651 RV. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka ketentuan-ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku (Abd. Rahmad, 2010). Terdapat beberapa pendapat mengenai ADR. Pertama, ADR adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain. Kedua, ADR adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat penyelesaian sengketa melalui ADR tidak dilakukan oleh pihak ketiga. Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. ADR disini hanya terbatas pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya. Ketiga, ADR adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian sengketa yang diatur oleh peraturan perundangundangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan sebagainya.
42
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara implisit menganut paham bahwa arbitrase merupakan hal yang berbeda dengan Alternatif Penyelesaian Ssengketa sehingga judul undang-undang tersebut adalah Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Wicipto Setiadi, 2010). Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, penyelesaian sengketa di luar pengadilan (ADR) dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Alternatif Penyelesaian Sengketa Pengertian
alternatif
penyelesaian
sengketa
telah
diperkenalkan sebagai suatu institusi atau lembaga yang dipilih para pihak yang mengikat apabila timbul beda pendapat atau sengketa (Suyud Margono, 2004: 107). Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melaui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). a) Konsultasi Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada keharusan bagi klien untuk mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi, konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum sebagaimana diminta oleh kliennya. Selanjutnya, keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri
43
oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut (Abd. Rahmad, 2010). b) Negosiasi Negosiasi
adalah
Penyelesaian
sengketa
melalui
perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan (Bambang Pramudyanto, 2008: 12). In the process of negotiation, negotiators themselves come to an agreement on a notion of justice which will govern the disposition of the items in conflict, and if they do not, negotiations will not be able to proceed any further to a conclusion (I. William Zartman, 1996: 3). c) Mediasi Mediation is a process in which a mediator facilitates communication and negotiation between parties to assist them in reaching a voluntary agreement regarding their dispute (Tiffany T. Smith, 2009: 2). Mediasi memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut (Marta Amnan, 2008: 10). (1)
Para pihak secara suka rela bersedia dan berkeinginan untuk
menyelesaikan
sengketa
secara
musyawarah
dengan bantuan mediator. (2)
Mediator adalah netral dan tidak memihak, disetujui para pihak, dan bersedia melakukan mediasi.
(3)
Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan selama perundingan, namun perlu membatu para pihak yang bersengketa untuk mencari solusi penyelesaian sengketanya.
(4)
Para pihak berkeinginan untuk mencapai kesepakatan.
44
d) Konsiliasi Konsiliasi
adalah
upaya
penyelesaian
sengketa
(lingkungan) melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Bantuan pihak ketiga netral dalam konsiliasi lazimnya bersifat pasif atau terbatas pada fungsi prosedural, sedangkan mediator memainkan peran aktif dalam membantu
para
pihak
untuk
menyelesaikan
sengketa
lingkungan (Bambang Pramudyanto, 2008: 6). e) Penilaian Ahli Penilaian Ahli dalam alternatif penyelesaian sengketa berupa pendapat hukum yang bersifat mengikat dari lembaga arbitrase. Ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian (Budhy Budiman, 2010). Pendapat arbitrase adalah pendapat yang mengikat yang diberikan oleh suatu lembaga arbitrase yang diajukan oleh para pihak dalam suatu kontrak terhadap suatu masalah atau hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Konsekuensi yuridis dari adanya pendapat ini adalah
para
pihak
terikat
terhadap
pendapat
tersebut
sebagaimana keterikatan atas suatu kontrak. Jadi, apabila para pihak melanggar pendapat tersebut sama artinya seperti melanggar kontrak (wanprestasi) (Munir Fuady, 2003: 97). 2) Arbitrase Arbitration is a form of ADR in which the parties choose an impartial third party to hear and decide the dispute (Henry R
45
Cheeseman, 2000: 62). Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan batasan arbitrase sebagai “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa yang lebih formal jika dibandingkan dengan negosiasi, mediasi, atau konsiliasi. Arbitrase yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan masalah menurut kebijaksanaan para ahli (arbitrator) dan tidak berhenti sampai disini, akan tetapi keputusan arbiter juga menerapkan ketentuan-ketentuan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. Penyelesaian secara arbitrase penting karena tidak perlu formalitas yang ketat, lebih murah, memuaskan karena ditangani oleh arbitrator yang dipilih berdasarkan keahliannya, berproses melalui arbitrase akan memelihara dan menjamin kerahasiaan para pihak yang bersengketa, tepat karena setelah para pihak bersengketa dan sengketa tersebut diselesaikan dengan arbitrase, para pihak dapat berhubungan kembali (Hero Prahartono, 2005: 1370). Arbitrase pada umumnya dipakai dalam lingkungan bisnis, dan biasanya pihak yang terlibat menyepakati melalui sistem klausul
perjanjian
berupa
menundukkan
diri
(submission)
menyerahkan penyelesaian kasus yang timbul kepada pihak ketiga yang bersifat netral yang bertindak sebagai arbitrator. Proses peyelesaiannya dapat dilakukan dalam suatu badan tertentu sebagai arbitral tribunal, yang di Indonesia dikenal dengan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Badan arbitral tribunal diberi
46
kewenangan penuh oleh para pihak
yang terlibat untuk
menyelesaikan sengketa. Sifat putusannya adalah langsung/final dan banding kepada para pihak (N.H.T Siahaan, 2004: 330-333). 5. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan yang
Berwawasan
Lingkungan a. Pengertian Pembangunan Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan. Mengubah keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik (Imam Supardi, 2003: 73). Pembangunan adalah upaya secara sadar memanfaatkan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia (Soekarman Moesa, 2002: 6). Pembangunan itu berhasil apabila sasarannya tercapai dan bermanfaat bagi rakyat banyak serta apabila masyarakat terlibat dalam proses pembangunan tersebut (Prabang Setyono, 2008: 16). Pembangunan bertujuan setingkat demi setingkat mengubah keseimbangan lingkungan menuju kualitas lingkungan yang dianggap lebih tinggi. Karena itu tidak mungkin pelaksanaan pembangunan tidak mengganggu keseimbangan lingkungan. Dalam pembangunan, lingkungan atau keseimbangan lingkungan tidak dapat dilestarikan. Yang harus dilestarikan bukanlah lingkungan itu sendiri atau keseimbangan lingkungan, melainkan kemampuan lingkungan untuk mendukung pembangunan dan tingkat hidup yang lebih tinggi (Otto Soemarwoto, 2003: 25-26). Keseimbangan lingkungan diubah menjadi keseimbangan yang baru (Imam Supardi, 2003: 73). b. Pengertian
Pembangunan
Berkelanjutan
yang
Berwawasan
Lingkungan Pembangunan Indonesia berorientasi pada pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yaitu pembangunan
47
dengan penghematan penggunaan sumber daya dan pertimbangan jauh ke depan (Zoer’aini Djamal Irwan, 2005: 28). Pembangunan berkelanjutan
mengandung
arti
lingkungan
dapat
mendukung
pembangunan secara terus-menerus karena tidak habisnya sumber daya yang menjadi modal pembangunan. Modal itu sebagian berupa modal buatan manusia seperti ilmu, teknologi, pabrik, dan prasarana lingkungan, sebagian lagi modal itu berupa sumber daya alam, baik yang dapat terbaharui maupun yang tidak dapat terbaharui (Otto Soemarwoto, 2003: 14-15). Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Terdapat tiga hal penting yang tercakup disini, yaitu (Gatot P Soemartono, 1996: 199): 1) Pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana. 2) Pembangunan berkesinambungan sepanjang masa. 3) Peningkatan kualitas hidup. Laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan memberikan
definisi
pembangunan
berkelanjutan
sebagai
pembangunan yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan yang sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Otto Soemarwoto, 2003: 14). Komisi Dunia Bidang Lingkungan dan Pembangunan merumuskan konsep pokok dalam pembangunan, yaitu berorientasi pada kebutuhan dan keterbatasan. Tujuan pembangunan tersebut harus dapat dicapai
48
dengan memperhatikan enam permasalahan pokok, yaitu (Soekarman Moesa, 2002: 6): 1) Pengendalian pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya manusia 2) pemeliharaan daya dukung lingkungan 3) pengendalian ekosistem dan jenis (species) sebagai sumber daya bagi pembangunan 4) pengembangan industri 5) mengantisipasi krisis energi sebagai penopang utama industrialisasi 6) pengendalian pengembangan lingkungan. Terdapat lima pokok ikhtiar yang perlu dikembangkan dengan sungguh-sungguh
untuk
melaksanakan
pembangunan
yang
berwawasan lingkungan, yaitu (Gatot P Soemartono, 1996: 200-201): 2) Menumbuhkan
sikap
kerja
berdasarkan
kesadaran
saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Diperlukan sikap kerjasama dengan semangat solidaritas antar sektor, antar daerah, antar negara, dan antar generasi. 3) Kemampuan menyerasikan kebutuhan dan kemampuan sumber alam dalam menghasilkan barang dan jasa. Kebutuhan manusia yang terus meningkat perlu dikendalikan untuk disesuaikan dengan pola penggunaan sumber alam secara bijaksana. 4) Mengembangkan sumber daya menusia agar mampu menanggapi tantangan pembangunan tanpa merusak lingkungan. 5) Mengembangkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat sehingga tumbuh menjadi kesadaran berbuat. 6) Menumbuhkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dapat mendayagunakan
dirinya
untuk
menggalakkan
partisipasi
masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup. Istilah pembangunan berkelanjutan (sustuinable development) secara resmi baru dipergunakan di Indonesia pada tahun 1997, yaitu
49
dengan dicantumkannya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Istiah resmi yang dipergunakan dalam Undang-Undang ini adalah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Adapun dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), istilah ini dipersingkat menjadi pembangunan berkelanjutan saja. Istilah lain yang biasa dipergunakan berkaitan dengan ide pembangunan bekelanjutan adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan (Jimly Assiddiqie, 2009: 135). Merujuk dari uraian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa pada
hakekatnya
berkelanjutan,
perbedaan
pembangunan
penggunaan berkelanjutan
istilah yang
pembangunan berwawasan
lingkungan, maupun pembangunan yang berwawasan lingkungan hanya merupakan permasalahan redaksional. Kesemuanya dari istilah tersebut pada akhirnya bermuara pada satu arti, yakni upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya, kedalam
proses
pembangunan
yang
menjamin
kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Jimly Assiddiqie, 2009: 135). c. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Menjaga
kemampuan
lingkungan
untuk
mendukung
pembangunan merupakan usaha untuk mencapai pembangunan jangka panjang yang menyangkut jangka waktu antar generasi merupakan bentuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Otto Soemarwoto, 2003: 26). Terdapat tiga prinsip utama pembangunan berkelanjutan, yaitu (A. Sonny Keraf, 2002: 175-180):
50
1) Prinsip Demokrasi Prinsip
demokrasi
menjamin
agar
pembangunan
dilaksanakan sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat demi kepentingan bersama seluruh rakyat. Terdapat beberapa aspek penting dalam prinsip demokrasi, yaitu: a) Agenda utama pembangunan adalah agenda rakyat demi kepentingan rakyat. Pemerintah harus menjamin bahwa agenda dan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan memang benar-benar berasal dari rakyat dan untuk kepentingan bersama seluruh rakyat. b) Partisipasi
masyarakat
dalam
merumuskan
kebijakan
pembangunan dan dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan adalah keharusan moral dan politik. c) Akses informasi yang jujur dan terbuka tentang agenda pembangunan dan proses perumusan agenda pembangunan tersebut. d) Akuntabilitas publik tentang agenda pembangunan, proses perumusan
kebijakan
pembangunan,
dan
implementasi
pembangunan tersebut. Agenda pembangunan berasal dari rakyat
demi
kepentingan
rakyat
banyak,
harus
ada
pertanggungjawaban publik tentang sejauh mana aspirasi rakyat di dengar, diakomodasi, dan diwujudkan serta sejauh mana tujuan pembangunan telah benar-benar diwujudkan dengan komitmen dan upaya serius dari semua pihak. 2) Prinsip Keadilan Prinsip keadilan pada dasarnya menjamin bahwa: 1. Semua orang dan kelompok masyarakat mempunyai peluang yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan dan kegiatankegiatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
51
2. Distribusi beban dan manfaat secara proporsional antara semua orang dan kelompok masyarakat sesuai dengan peran dan kontribusinya dalam pembangunan. Dalam konteks ini berlaku prinsip bahwa mereka yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan pembangunan harus menanggung kerugian terbesar akibat proses pembangunan, khususnya dibidang lingkungan hidup akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup serta membayar secara proporsional kerugian yang ditimbulkan termasuk proporsionalitas dalam hal lingkup dan besarnya kerugian akibat kerusakan dan pencemaran yang ditimbulkan. 3. Peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sama atau proporsional dari sumber ekonomi yang ada. Oleh karena itu, sumber daya ekonomi yang ada harus dimanfaatkan secara arif dan kerusakannya harus dipulihkan sedemikian rupa agar menjamin bahwa generasi yang akan datang mempunyai peluang yang sama untuk menikmati tingkat kehidupan yang relatif sama dengan generasi sekarang. 4. Kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau dikompensasi secara seimbang atau proporsional baik oleh negara maupun oleh kelompok yang menimbulkan kerugian tersebut. 3) Prinsip Keberlanjutan Prinsip keberlanjutan pada dasarnya menjamin bahwa: a) Terdapat rancangan agenda pembangunan dalam dimensi visione jangka penjang untuk melihat dampak pembangunan, baik positif maupun negatif dalam segala aspeknya, tidak hanya dalam dimensi jangka pendek.
52
b) Memilih alternatif pembangunan yang lebih hemat sumber daya dan mampu mensinkronkan aspek konservasi dengan aspek kemanfaatan secara arif. c) Menggunakan pola-pola pembangunan dan konsumsi yang hemat energi, hemat bahan baku, dan hemat sumber daya alam. d) Menerapkan prinsip produksi bersih dengan melakukan seleksi yang ketat terhadap proses produksi, teknologi, bahan baku, manajemen minimalisasi limbah dalam setiap kegiatan pembangunan dan kegiatan kegiatan produksi ekonomi.
53
B. Kerangka Berfikir Manusia Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lingkungan Hidup
Pembangunan
Pencemaran dan Perusakan lingkungan Pelanggaran terhadap hak setiap orang atas lingkungan hdiup yang baik dan sehat
Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan
Sengketa Lingkungan Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan - Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 - Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 - Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
-
-
Kelemahan Pasal 6 ayat (7) dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
Solusi
Gambar 2. Kerangka Berfikir
Keterangan: Manusia dalam kehidupannya akan selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan tersebut, manusia
54
melaksanakan
kegiatan
pembangungan.
Kegiatan
pembangunan
dapat
memberikan dampak positif terhadap manusia berupa tercapainya kesejahteraan, tetapi jika tidak dilaksanakan secara bijaksana, kegiatan pembangunan justru akan merugikan manusia. Salah satu bentuk dampak negatif dari pelaksanaan pembangunan yang merugikan manusia adalah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Terhadap pelanggaran hak tersebut, masyarakat berhak untuk mengajukan tuntutan sehingga melahirkan sengketa lingkungan. Dalam sengketa lingkungan, tuntutan korban pencemaran dan/atau perusakan tidak hanya berupa pemberian ganti kerugian, tetapi juga tuntutan untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Jika dikaitkan dengan pembangunan, tuntutan masyarakat tersebut turut menguntungkan kegiatan pembangunan karena dengan perbaikan kondisi lingkungan, pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan mendorong masyarakat untuk lebih memilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Akan tetapi, dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut masih ditemukan beberapa kelemahan. Oleh karena itu, perlu dicari solusi agar penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia dapat menjadi langkah strategis guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
55
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan di Indonesia Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Penyelesaian
sengketa
lingkungan
diluar
pengadilan
berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela. Hal ini secara implisit tertuang dalam ketentuan Pasal 84 ayat (1) yang mengatur bahwa: “Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan”. Kebebasan tersebut diberikan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan para pihak yang bersengketa (penjelasan Pasal 84 ayat (1)). Kebebasan para pihak untuk memilih penyelesaian sengketanya di luar lembaga peradilan bukan merupakan kebebasan mutlak. Terdapat beberapa pembatasan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32
56
Tahun 2009. Pertama penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak dapat diterapkan terhadap tindak pidana lingkungan hidup (Pasal 85 ayat (2)). Jadi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan hanya berlaku untuk sengketa dalam ranah perdata. Meskipun demikian, pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak secara otomatis menutup penuntutan perkara secara pidana. Penuntutan terhadap perkara pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tetap dapat dilakukan meskipun para pihak telah menempuh upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Kedua, dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan, para pihak tidak dapat secara serta merta mengajukan penyelesaian sengketanya melalui lembaga peradilan. Pembatasan ini tertuang dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) yang mengatur bahwa: “gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa”. Artinya, pengajuan kembali suatu sengketa lingkungan ke pengadilan mensyaratkan adanya pernyataan tidak berhasil yang d iberikan oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup yang sama untuk menjamin kepastian hukum (Penjelasan Pasal 84 ayat (3)). Berdasarkan penjelasan tersebut, pembatasan yang tertuang dalam Pasal 84 ayat (1) tersebut memiliki dua tujuan, yakni tujuan antara dan tujuan akhir. Mencegah lahirnya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa yang sama merupakan tujuan antara pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan akhir, yakni jaminan kepastian hukum. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai (Pasal 85 ayat (1)): a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
57
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Bertumpu
pada
ketentuan
tersebut,
penyelesaian
sengketa
lingkungan di luar pengadilan tidak hanya memiliki tujuan finansial, tetapi juga tujuan nonfinansial. Tujuan finansial terletak dalam ganti kerugian yang menekankan pada aspek monetery settlement. Tujuan nonfinansial berwujud tindakan tertentu yang sifatnya non monetary settlement terdiri atas tindakan memasang atau memperbaiki Unit Pengelolaan Limbah (UPL) sehingga limbah sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang ditentukan, memulihkan fungsi lingkungan, dan menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran-perusakan lingkungan (Suparto Wijoyo, 1999: 116). Upaya pencapaian kesepakatan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 85 ayat (1) tersebut dapat dilakukan oleh para pihak dengan negosiasi atau melibatkan pihak ketiga, baik itu mediator, arbiter, atau pihak ketiga lainnya. Kebebasan para pihak untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tersebut diatur dalam Pasal 85 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa: “Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”.
58
Penggunaan istilah ”dapat” dalam ketentuan tersebut memberikan implikasi terbukanya kesempatan bagi para pihak dalam suatu sengketa untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yang timbul diantaranya melalui mekanisme selain mediasi atau arbitrase sesuai kesepakatan para pihak. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 85 ayat (3) tersebut secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut. Arbitrase Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan (Pasal 85 ayat (1))
Mediasi Mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya sesuai kesepakatan para pihak
Gambar 3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
2. Penyelesaian
sengketa
lingkungan
diluar
pengadilan
berdasarkan
Ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memang tidak secara khusus mengatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berkedudukan sebagai dasar pijakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 secara umum mengatur mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur 2 (dua) bentuk mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
yaitu
arbitrase
dan
alternatif
penyelesaian
sengketa.
59
Penyelesaian sengketa dengan arbitrase dapat dilaksanakan dengan arbiter tunggal atau majelis arbiter, sedangkan penyelesaian sengketa dengan alternatif penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut. Arbiter Tunggal (Pasal 14) Arbitrase (Pasal 1 angka 1) Majelis Arbiter (Pasal 15) Konsultasi
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
Negosiasi Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 1 angka 10)
Mediasi Konsiliasi Penilaian Ahli
Dari skema tersebut, penyelesaian sengketa lingkungan dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 dapat diuraikan sebagai berikut. a. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan arbitrase Ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 memberikan definisi arbitrase sebagai: “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dari definisi tersebut, perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
60
ditempatkan sebagai syarat dilaksanakannya penyelesaian sengketa dengan arbitrase. Oleh karena itu, kedudukan perjanjian arbitrase dalam suatu sengketa memiliki posisi yang penting. Terutama jika dikaitkan dengan hak para pihak untuk mengajukan kembali penyelesaian sengketanya melalui Pengadilan. Ketentuan Pasal 3 menegaskan bahwa: ”Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Ketentuan tersebut dipertegas kembali dalam rumusan Pasal 11 ayat (1) yang mengatur bahwa: ”Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. Artinya, dengan adanya suatu perjanjian arbitrase, secara otomatis menghapuskan hak para pihak untuk mengajukan kembali penyelesaian sengketanya ke muka pengadilan. Dalam kasus sengketa lingkungan, sengketa terjadi karena adanya kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak terhadap lingkungan. Artinya, dalam kasus sengketa lingkungan perjanjian arbitrase tidak mungkin dibuat sebelum timbulnya sengketa. Memperjanjikan pencemaran dan perusakan lingkungan (dampak lingkungan) sebagai sumber sengketa lingkungan adalah hal yang tidak logis (Sudarsono, 2007: 345). Terhadap kondisi demikian, ketentuan Pasal 1 angka 3 memberikan kemungkinan bagi para pihak dalam suatu sengketa lingkungan untuk mengajukan penyelesaian sengketanya melalui arbitrase dengan mengatur bahwa perjanjian tertulis adalah: “suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang di buat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
61
timbul sengketa”. Dari ketentuan tersebut, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengakui dua bentuk perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum timbunya sengketa (kontraktual) dan perjanjian
arbitrase
yang
dibuat
pasca
timbulnya
sengketa
(nonkontraktual). Para pihak dalam suatu sengketa lingkungan tetap memiliki kesempatan untuk memilih arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketanya dengan membuat perjanjian arbitrase pasca lahirnya sengketa lingkungan (nonkontraktual). Perjanjian tersebut harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatanganinya, maka perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Perjanjian penyelesaian sengketa diluar pengadilan harus memuat hal-hal sebagai berikut agar tidak dinyatakan batal demi hukum (Pasal 9): a. masalah yang dipersengketakan b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak c. nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter atau majelis arbiter d. tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan e. nama lengkap sekretaris f. jangka waktu penyelesaian sengketa g. pernyataan kesediaan dari arbiter h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Pasca
dibuatnya
perjanjian
nonkontraktual
tersebut,
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan arbitrase dapat segera dilaksanakan. Para pihak dapat memilih untuk menyelesaikan sengketanya dengan bantuan arbiter tunggal atau majelis arbiter.
62
1) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan arbiter tunggal Penyelesaian sengketa dengan arbiter tunggal diatur dalam Pasal 14. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa dengan arbiter tunggal dilakukan oleh arbiter yang disepakati oleh para pihak. Kesepakatan mengenai penunjukkan arbiter tunggal tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari. Jika tidak, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal dengan berdasar pada daftar nama yang disampaikan oleh para pihak atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase dengan memperhatikan rekomendasi maupun keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan. 2) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dengan mejelis arbiter Penyelesaian sengketa dengan majelis arbiter diatur dalam ketentuan Pasal 15. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, pembentukan majelis arbiter dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk memilih satu orang arbiter. Dengan dipilihnya dua orang arbiter oleh masingmasing pihak, maka para arbiter memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter ketiga yang akan berkedudukan sebagai ketua majelis arbiter. Akan tetapi jika para arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas hari) tidak berhasil berhasil menunjuk arbiter ketiga, maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga. Terhadap pengangkatan arbiter oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak dapat diajukan upaya pembatalan.
63
Para pihak dalam suatu sengketa lingkungan memiliki kebebasan untuk menunjuk dan mengangkat arbiter yang akan berkedudukan sebagai arbiter tunggal maupun mejelis arbiter tersebut. Akan tetapi, kebebasan tersebut bukan kebebasan mutlak. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) memberikan pembatasan bahwa pihak-pihak yang dapat ditunjuk dan diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat sebagai berikut. a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 tahun c. tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun. Sebagaimana kebebasan yang dimiliki oleh para pihak untuk menunjuk dan mengangkat arbiter, pihak-pihak yang dipilih sebagai arbiter turut memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak penunjukkan tersebut. Penerimaan atau penolakan tersebut wajib diberitahukan secara tertulis kepada para pihak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan atau pengangkatan. Arbiter yang telah menerima penunjukkan atau pengangkatan tersebut tidak dapat begitu saja menarik diri dari perundingan. Harus terdapat persetujuan para pihak setelah arbiter yang bersangkutan mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak. Jika para pihak menerima pengunduran diri tersebut, maka pembebasan tugas arbiter akan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase dimulai dengan penyampaian surat tuntutan dari pemohon kepada arbiter atau majelis arbiter dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
64
Dalam surat tuntutan tersebut harus memuat sekurangkurangnya (Pasal 38 ayat (2)): a) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak; b) uraian singkat tentang sengketa dis ertai dengan lampiran buktibukti; dan c) isi tuntutan yang jelas. Dengan diterimanya surat tuntutan dari pemohon tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 39, arbiter atau majelis arbiter menyampaikan satu salinan surat tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tuntutan. Dalam jawabannya tersebut, termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan pula untuk menanggapi. Pasca diterimanya jawaban dari termohon, arbiter atau ketua majelis arbiter menyerahkan salinan jawaban tersebut kepada pemohon. Penyerahan salinan tersebut disertai pula dengan perintah agar para pihak atau kuasa mereka menghadap ke muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Perintah untuk menghadap tersebut harus dilakukan secara patut. Terhadap perintah mengahadap tersebut, ketidakhadiran pemohon dan termohon memiliki implikasi yang berbeda. Ketidakadiran pemohon pada hari yang telah ditetapkan tanpa adanya suatu alasan yang sah membawa akibat gugurnya tuntutan. Tetapi apabila termohon yang tidak hadir dan tidak terdapat alasan yang sah, maka arbiter atau majelis arbiter akan melakukan panggilan sekali lagi. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2), dalam waktu
65
paling lama 10 (sepuluh) hari sejak pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan yang sah termohon juga tidak hadir, maka pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan untuk seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berlandaskan hukum. Kehadiran para pihak ke muka persidangan pada hari yang telah ditetapkan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dilakukan untuk mengusahakan perdamaian. Jika perdamaian tersebut berhasil, maka arbiter atau majelis arbiter membuat suatu akta perdamaian yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Akan tetapi jika upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, pemeriksaan terhadap pokok perkara akan dilanjutkan. Dengan dilanjutkannya pemeriksaan terhadap pokok perkara tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) para pihak diberi kesempatan terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing pihak serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendirian dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1), arbiter atau mejelis arbiter dapat menghadirkan seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar keterangannya. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase berdasarkan ketentuan Pasal 48 ayat (1) harus dilakukan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk. Akan tetapi apabila diperlukan, dengan persetujuan para pihak jangka waktu tersebut dapat diperpanjang. Berdasarkan ketentuan Pasal 33, arbiter atau majelis arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila: a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai satu hal tertentu
66
b. sebagai akibat ditetapkannya putusan provisionil atau putusan sela lainnya c. dianggap perlu oleh arbiter atau mejelis arbiter untuk keperluan pemeriksaan Upaya penyelesaian sengketa dengan arbitrase tersebut dilakukan
untuk
menghasilkan
putusan
arbitrase.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 57, putusan tersebut harus dijatuhkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemeriksaan ditutup. Putusan arbiter tersebut harus memuat (Pasal 54 ayat (1)): a. kepala putusan yang berbunyi: ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” b. nama lengkap dan alamat para pihak c. uraian singkat sengketa d. pendirian para pihak e. nama lengkap dan alamat arbiter f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbiter mengenai keseluruhan sengketa g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat mengenai keseluruhan sengketa h. pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbiter i. amar putusan j. tempat dan tanggal putusan k. tandatangan arbiter atau majelis arbiter Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1), dalam jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembacaan putusan harus sudah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri agar dapat dilaksanakan. Ketentuan Pasal 60 menegaskan bahwa putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak. Oleh karena itu, terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Meskipun demikian, pasca dilakukannya pendaftaran putusan arbiter atau majelis arbiter ke Panitera Pengadilan Negeri, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan. Upaya pembatalan putusan arbitrase bukan merupakan upaya hukum biasa, tetapi merupakan
67
upaya hukum yang luar biasa (Munir Fuady, 2003: 106). Putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding hanya karena ketidakpuasan salah satu pihak semata, tetapi karena alasan-alasan sebagai berikut. (Pasal 70). a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (3), terhadap permohonan pembatalan tersebut Ketua Pengadilan Negeri harus sudah menjatuhkan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima. Konsekuensi hukum terhadap putusan arbitrase yang telah dibatalkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat berupa (Munir Fuady, 2003: 111): a) Batalnya seluruh atau sebagian isi putusan tersebut. Hal ini harus ditentukan secara tegas dalam pembatalan oleh ketua pengadilan negeri. b) Ketua pengadilan negeri dapat memutus bahwa perkara tersebut diperiksa kembali oleh: (1) arbiter yang sama; atau (2) arbiter yang berbeda; atau (3) tidak mungkin lagi diselesaikan melaui arbitrase. Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung dalam hal ini harus sudah menjatuhkan putusan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding tersebut diterima.
68
b. Penyelesaian Sengketa Lingkungan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ketentuan Pasal 1 angka 10 mengatur bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah: “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Berdasarkan ketentuan Pasal
6,
penyelesaian
sengketa
lingkungan
dengan
alternatif
penyelesaian sengketa dimulai dengan proses negosiasi antara para pihak dalam jangka waktu maksimal 14 hari. Jika negosiasi tersebut berhasil, maka para pihak merumuskan kesepakatan yang telah dibuat dalam suatu kesepakatan tertulis untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Akan tetapi jika negosiasi yang dilaksanakan oleh para pihak tidak menghasilkan suatu kesepakatan, maka penyelesaian sengkata dapat dilakukan dengan bantuan penasehat ahli maupun mediator. Mediator atau penasehat ahli yang ditunjuk oleh para pihak dalam jangka waktu maksimal 14 hari harus sudah berhasil mempertemukan kedua belah pihak dalam suatu kesepakatan. Jika kesepakatan tersebut belum tercapai maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk mediator yang akan memfasilitasi penyelesaian sengketa para pihak. Dalam jangka waktu maksimal 7 hari lembaga alternatif penyelesaian sengketa harus sudah menunjuk mediator dan dalam jangka waktu maksimal 30 hari harus sudah tercapai kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis. Sama halnya dengan putusan arbitrase, kesepakatan tertulis yang dibuat oleh para pihak tersebut bersifat final dan mengikat para pihak serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka
69
waktu maksimal 30 hari sejak pendaftaran. Sejak tanggal pendaftaran tersebut, para pihak wajib melaksanakan kesepakatan tertulis tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari. Dengan demikian, dalam hal penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan dengan alternatif penyelesaian sengketa telah melahirkan suatu kesepakatan tertulis yang dibuat para pihak, maka hak para pihak untuk mengajukan kembali perkaranya ke Pengadilan Negeri menjadi gugur. Demikian pula dengan upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para pihak dengan negosiasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli tersebut pada hakekatnya merujuk pada satu tujuan yang sama, yaitu tercapainya kesepakatan antara para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Oleh karena itu, jika upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak tidak berhasil merumuskan suatu
kesepakatan,
maka
para
pihak
dapat
memilih
untuk
menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
70
Penyelesaian
sengketa
lingkungan
dengan
alternatif
penyelesaian sengketa berdasarkan ketentuan Pasal 6 secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut. Sengketa Lingkungan
Negosiasi
14 hari
bantuan penasehat ahli maupun madiator
14 hari
Kesepakatan Tertulis
7 hari Menghubungi lembaga alternatif penyelesaian sengketa
Menunjuk mediator bantuan
Mediasi 30 hari
30 hari
arbitrase atau arbitrase ad hoc 30 hari Putusan Arbitrase
Pengadilan Negeri
Gambar 5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Ketentuan dalam Pasal 6 tersebut mengatur penyelesaian sengketa dengan negosiasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli kedalam satu rangkaian. Akan tetapi, mekanisme penyelesaian sengketa tersebut tidak harus dilaksanakan secara runut sebagaimana dituangkan dalam Pasal 6 tersebut. Misalnya, para pihak tanpa terlebih dahulu melakukan mediasi dengan bantuan seorang atau lebih mediator yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dapat langsung mengajukan penyelesaian sengketanya melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase.
71
3. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Peraturan Pemerintah berfungsi menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang secara tegas menyebutnya atau menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam undang-undang yang mengatur meskipun tidak secara tegas mengaturnya (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007 : 249). Demikian pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengamanatkan bahwa: (1)
(2)
(3)
Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di atur dengan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 diundangkan dan
mulai berlaku secara efektif pada tanggal 17 Juli 2000. Pada awal pembentukannya, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Meskipun demikian, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 masih dinyatakan berlaku sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 karena amanat dalam Pasal 124 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur bahwa:
72
”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di ganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”. Tidak berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 84 ayat (2) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 yang secara implisit mengakui bahwa penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela, ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 juga mengatur bahwa: “penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela”. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, dalam hal para pihak telah memilih untuk menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan. Ketentuan tersebut agak berbeda dengan ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur bahwa gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan yang ditempuh para pihak dinyatakan tidak berhasil. Mundurnya salah satu atau para pihak dalam penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tidak diakui sebagai penyebab lahirnya hak para pihak untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 dilaksanakan dengan bantuan pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan (arbiter) maupun yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan (mediator atau pihak ketiga lainnya). Secara skematis pilihan
73
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Arbitrase (Pasal 14 dan Pasal 19) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
Mediasi atau Pihak Ketiga lainnya (Pasal 15 dan Pasal 20)
Gambar 6. Pilihan Penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000
Terkait
dengan
penyelesaian
sengketa
lingkungan
melalui
arbitrase, Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 menyatakan diri tunduk pada ketentuan arbitrase, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam ketentuan Pasal 19 yang mengatur bahwa: “tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase tunduk pada ketentuan arbitrase”. Demikian halnya dengan pihak yang dapat ditunjuk sebagai arbiter, ketentuan Pasal 14 mengamanatkan bahwa: “anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase”. Oleh karena itu, dalam Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tidak ditemukan pengaturan mengenai arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa dengan mediasi atau pihak ketiga lainnya dilakukan dengan bantuan seorang atau lebih mediator atau pihak ketiga lainnya yang ditunjuk dan diterima para pihak yang bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui mediasi atau pihak ketiga lainnya bermuara pada lahirnya
74
kesepakatan tertulis di atas kertas bermaterai. Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak ditandatanganinya kesepakatan oleh para pihak. Kesepakatan tersebut antara lain memuat mengenai (Pasal 24 ayat (1)): a. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; b. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; c. uraian singkat sengketa; d. pendirian para pihak; e. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya; f. isi kesepakatan; g. batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; h. tempat pelaksanaan isi kesepakatan; i. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan. Terkait dengan isi, kesepakatan tersebut dapat berisi antara lain (Pasal 24 ayat (2)): a. bentuk dan besarnya ganti rugi; dan/atau b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan. Tindakan tertentu tersebut antara lain melakukan penyelamatan dan/atau tindakan penanggulangan dan/atau pemulihan lingkungan hidup. Tidakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama di kemudian hari (Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf b). Dalam upaya pencapaian kesepakatan tersebut para pihak memiliki kebebasan untuk menunjuk mediator atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan (selanjutnya disebut lembaga penyedia jasa) yang akan membantu menyelesaikan
sengketanya. Akan tetapi, kebebasan yang
diberikan kepada para pihak tersebut bukanlah kebebasan mutlak. Ketentuan dalam Pasal 15 memberikan pembatasan bagi pihak-pihak yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya.
75
”anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau pihak ketiga lainnya oleh para pihak harus memenuhi syarat sebagai berikut. a. disetujui oleh para pihak yang bersengketa; b. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; c. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang besengketa; d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; e. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya”. Pembatasan tersebut multak diperlukan untuk menjamin mediator atau pihak ketiga lainnya bersikap netral dan tidak memihak. Tidak dipenuhinya syarat-syarat penunjukan serta adanya keberpihakan mediator atau pihak ketiga netral memberikan implikasi batal atau tidak sahnya penunjukan tersebut. Akibatnya, mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri atau para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya (Pasal 22 ayat (2)). Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia ditinjau dari ketiga peraturan perundangan tersebut pada intinya mengatur bahwa: 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela. 2. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata. 3. Penyelesaian
sengketa
lingkungan
di
luar
pengadilan
ditempuh
berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian ahli).
76
B. Kelemahan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan di Indonesia dan Solusinya Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan. Bentukbentuk kelemahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. 1. Pelaksanaan kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase sebagai output dari penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sangat digantungkan pada itikad baik para pihak Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kelemahan penyelesaian sengeketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Pelaksanaan putusan arbitrase atau kesepakatan bersama sebagai output dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan sangat digantungkan pada itikad baik para pihak (Abd. Rahmad, 2010). Pendaftaran putusan arbitrase atau kesepakatan bersama kepada Pengadilan Negeri yang diwajibkan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (7) dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 serta Pasal 24 ayat (5) Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 hanya bertujuan untuk mendapatkan akta pendaftaran. Tidak sekaligus memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri untuk melaksanakan eksekusi. Permasalahan timbul bilamana output penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut berwujud kesepakatan tertulis. Ketentuan Pasal 6 ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanya mengatur bahwa: ”kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran”. Ketentuan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maupun Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 belum memberikan
77
pengaturan bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan kesepakatan tertulis yang telah dibuat oleh para pihak. Berbeda dengan kesepakatan tertulis, terhadap putusan arbitrase bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan putusan tersebut maka berdasarkan permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan Negeri dapat memaksakan pelaksanaan (eksekusi). Meskipun demikian,
pengajuan
permohonan
tersebut
dapat
menimbulkan
permasalahan baru karena secara otomatis akan berpengaruh terhadap jangka waktu eksekusi yang semakin mundur. Terlebih ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, maupun Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tidak diatur mengenai jangka waktu maksimal bagi para pihak untuk pelaksanaan putusan arbitrase. Permasalahan ini dapat diatasi dengan pemberian perintah pelaksanaan eksekusi dari Pengadilan Negeri bersamaan dengan pendaftaran kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri. Jadi bilamana salah satu pihak tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase dalam suatu jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan, Pengadilan Negeri dapat secara langsung melakukan paksaan tanpa harus adanya prosedur pengajuan permohonan eksekusi oleh salah satu pihak yang akan kembali memakan waktu. Ketentuan tersebut tentu akan lebih selaras pula dengan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan. 2. Tidak terdapat batasan yang jelas mengenai kesusilaan dan ketertiban umum sebagai salah satu hal yang harus dinilai oleh Ketua Pengadilan
78
Negeri untuk mengabulkan atau menolak permohonan eksekusi putusan arbitrase yang diatur dalam Ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada intinya mengatur bahwa dalam hal terdapat permohonan eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan putusan arbitrase harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Artinya, terdapat dua kemungkinan dalam pengajuan permohonan eksekusi. Pertama, jika Ketua Pengadilan Negeri menilai bahwa putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum maka Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan eksekusi tersebut dan pelaksanaannya dapat segera dilakukan sesuai dengan eksekusi putusan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kedua, jika Ketua Pengadilan Negeri menyatakan putusan arbitrase tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 serta dianggap bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka Ketua Pengadilan Negeri akan menolak permohonan eksekusi tersebut. Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri, baik yang menerima maupun menolak permohonan eksekusi, tidak terbuka upaya hukum apapun. Permasalahan timbul karena kewenangan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan perintah eksekusi yang didasarkan pada penilaian terhadap kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak diikuti dengan parameter atau pengaturan yang jelas dalam hal bagaimana kesusilaan dan ketertiban umum tersebut dilanggar. Tidak terdapat batasan, pengertian, atau penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan ketertiban umum dan kesusilaan dalam undang-undang tersebut.
79
Terkait dengan besarnya pengaruh penafsiran ketertiban umum dan kesusilaan terhadap diterima atau tidaknya permohonan eksekusi putusan arbitrase, maka untuk lebih menjamin kepastian hukum perlu adanya pembatasan yang jelas terkait dengan hal ini dalam peraturan perundangan tersebut. Tidak adanya pembatasan ketertiban umum dan kesusilaan merupakan celah besar yang menjadi kelemahan dan dengan mudah dapat disalahgunakan oleh para pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk mengingkari putusan arbitrase (Nurfaqih Irfani, 2010: 13). 3. Syarat-syarat pengangkatan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 masih kurang jelas ratio legis-nya. Pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan putusan atau tidak dalam suatu sengketa memiliki peran yang besar dalam tercapainya kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Terlebih dalam arbitrase dimana pihak ketiga mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan putusan yang bersifat final, berkekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tidak hanya bertujuan untuk mengasilkan kesepakatan atau putusan yang mengakomodir
kepentingan
para
pihak
tetapi
juga
kepentingan
lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan.
80
Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat
mendukung
pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan
yang
berwawasan lingkungan di Indonesia. Tindakan perbaikan terhadap lingkungan disertai dengan tindakan pencegahan agar pencemaran dan/atau perusakan lingkungan serta dampak negatif terhadap lingkungan tidak terjadi lagi, sehingga daya dukung lingkungan terhadap pelaksanaan pembangunan dapat tetap terlestarikan. Pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan. Agar penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) tersebut, maka dibutuhkan pihak ketiga yang benar-benar memiliki kompetensi dalam bidang lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa dengan pihak ketiga yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang lingkungan hidup hanya akan menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan para pihak yang bersengketa, tanpa memperhatikan kepentingan lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa: Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat: a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai denganderajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atasputusan arbitrase; dan e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan akan dilaksanakan oleh anggota dari lembaga penyedia jasa tersebut. Lembaga penyedia jasa tersebut dapat merupakan lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat atau pemerintah. Untuk lembaga penyedia
81
jasa yang dibentuk oleh masyarakat, ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 mengatur bahwa: Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. a. cakap melakukan tindakan hukum b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya c. memiliki pengalaman serta aktif dibidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya. d. Memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan Sedangkan untuk menjadi anggota dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk pemerintah, syarat-syarat untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa yang dibentuk masyarakat tersebut berlaku seluruhnya dan ditambah syarat tidak adanya keberatan dari masyarakat. Permasalahannya adalah penentuan kriteria memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan 5 (lima) tahun untuk mediator tidak jelas dihitung darimana serta apakah hal itu berlangsung secara terus menerus atau tidak (Slamet Hariyanto, 2010). Seharusnya kriteria semacam itu diatur secara lebih rinci sehingga dapat lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Terlebih pihak ketiga memiliki peran besar dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan agar kesepakatan atau putusan yang dibuat tidak hanya menguntungkan para pihak
yang bersengketa,
tetapi
juga mengakomodir kepentingan
lingkungan. 4. Terdapat celah hukum dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 serta pertentangan antara ketentuan tersebut dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
82
Ketentuan Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengatur bahwa: ”gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa”. Ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 mengatur bahwa: ”dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik dua hal yang mendasari lahirnya hak para pihak untuk mengajukan kembali penyelesaian sengketanya kepada pengadilan, yaitu: 1. upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa; atau 2. salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan. Terkait dengan hak para pihak tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi kelemahan dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Terlebih apabila salah satu pihak dalam sengketa memiliki itikad buruk, misalnya berniat mengulur waktu untuk memulihkan kondisi lingkungan dan memberikan ganti rugi kepada korban pencemaran dan/atau perusakan. Pertama, dalam ketentuan tersebut tidak terdapat parameter yang jelas dalam hal bagaimana suatu upaya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat dikatakan tidak berhasil. Hal ini dapat menimbulkan masalah bilamana salah satu pihak sudah mengetahui indikasi akan kalah (dalam penyelesaian sengketa dengan arbitrase yang bersifat win-lose sollution).
83
Kedua, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 yang me-legal-kan pengajuan kembali sengketa lingkungan ke muka persidangan karena salah satu pihak menarik diri dari perundingan tersebut semakin memberikan celah atau mempermudah salah satu pihak yang memiliki
itikad
buruk
untuk
mengajukan
kembali
penyelesaian
sengketanya melalui lembaga peradilan. Terlebih ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah
tersebut
tidak
mensyaratkan
pernyataan
pengunduran diri tersebut harus dibuat secara tertulis. Pernyataan tertulis tentang tidak berhasilnya penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagai syarat pengajuan kembali penyelesaian sengketa ke muka persidangan menurut penulis lebih efektif dipergunakan karena lebih menjamin kepastian hukum. Pernyataan tidak berhasil yang dibuat secara tertulis tersebut harus dilampirkan dalam gugatan pengadilan (N.H.T Siahaan, 2009: 315). Hal ini sebagai upaya untuk mencegah lahirnya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum. Ketiga, ketentuan tersebut jika ditinjau dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 terdapat pertentangan. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menegaskan bahwa: ”Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Ketentuan tersebut dipertegas kembali dengan ketentuan Pasal 11 yang mengatur bahwa: (1) Adanya suatu perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
84
Hal-hal tertentu yang diamanatkan dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut antara lain berupa kewenangan pengadilan untuk menentukan arbiter yang akan membantu menyelesaikan sengketa lingkungan di luar pengadilan dalam hal tidak terdapat kesepakatan para pihak dalam penunjukkan arbiter tunggal atau para arbiter dalam penunjukkan ketua majelis arbiter. Selain itu pengadilan negeri memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan terkait dengan eksekusi putusan arbitrase. Artinya, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa lingkungan di luar pengadilan yang dituangkan dalam suatu perjanjian arbitrase telah menggugurkan hak para pihak untuk mengajukan kembali sengketanya kepada lembaga peradilan. Jika para pihak telah memilih untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui proses di luar pengadilan, maka para pihak tidak lagi dapat memilih penyelesaian melalui pengadilan (Gunawan Widjaja, 2002: 31). Inkonsistensi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 jelas terlihat karena melalui ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 19, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 telah menyatakan diri tunduk pada ketentuan tentang arbitrase (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Menurut Fuller sebagaimana dikutip oleh Satjipto Raharjo, tidak boleh terdapat aturan yang saling bertentangan merupakan salah satu asas yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan perundangan. Apabila tidak dipenuhi maka gagalah hukum disebut sebagai hukum (Satjipto Raharjo, 2006: 136). Oleh karena itu, revisi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan melakukan penyesuaian antara peraturan perundangan yang satu dengan peraturan perundangan yang menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan. Tujuannya untuk meniadakan pertentangan antara peraturan perundangan yang bermuara pada lemahnya kepastian hukum.
85
5. Ketentuan mengenai batal atau tidak sahnya penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 kurang jelas implikasi yuridisnya. Keberpihakan mediator dalam proses penyelesaian sengketa dapat mengakibatkan penunjukan mediator atau pihak ketiga tersebut tidak sah atau batal. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 bahwa: Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukkan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan: a. mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan, dan/atau b. mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan syaratsyarat yang seharusnya dipenuhi. Ketentuan Pasal 22 ayat (2) mengatur bahwa: ”dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri, atau b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya. Pengaturan
tersebut
berlaku
bila
para
pihak
menempuh
penyelesaian sengketa melalui mediasi atau pihak ketiga lainnya. Jika para pihak menempuh penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 para pihak dapat mengajukan tuntutan hak ingkar. Hal yang perlu ditegaskan dalam ketentuan tersebut adalah mengenai batal atau tidak sahnya penunjukan mediator atau pihak ketiga, batal demi hukum atau dapat dibatalkan (Gunawan Widjaja, 2002: 35). Hal ini penting karena keduanya memiliki implikasi yuridis yang berbeda. Dapat dibatalkan memiliki implikasi penyelesaian sengketa yang telah ditempuh para pihak tetap dianggap terjadi jika para pihak tidak membatalkannya. Sedangkan batal demi hukum memiliki implikasi penyelesaian sengketa yang telah ditempuh dianggap tidak pernah ada.
86
C. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia memang masih memiliki beberapa kelemahan. Tetapi kelemahan tersebut tidak menjadikan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tidak mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia turut berperan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Prinsip keadilan dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan pada dasarnya menjamin bahwa (A. Sony Keraf, 2002: 178-179): 5. Semua orang dan kelompok masyarakat mempunyai peluang yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan dan kegiatan-kegiatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. 6. Pihak yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan pembangunan harus menanggung kerugian terbesar akibat proses pembangunan. 7. Dalam dibidang lingkungan hidup, pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan hidup wajib membayar secara proporsional kerugian yang ditimbulkan. 8. Peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sama atau proporsional dari sumber ekonomi yang ada. 9. Kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau dikompensasi secara seimbang atau proporsional baik oleh negara maupun oleh kelompok yang menimbulkan kerugian tersebut. Penyelesaian
sengketa
lingkungan
di
luar
pengadilan
dapat
dipergunakan sebagai sarana untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut secara lebih efektif. Kesepakatan tertulis atau putusan arbitrase sebagai output dari penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat dipergunakan sebagai sarana bagi korban pencemaran atau perusakan untuk menekan pihak
87
yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan pembangunan (dalam hal ini pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan) untuk menanggung kerugian terbesar akibat proses pembangunan, antara lain dengan memberikan ganti kerugian secara proporsional kerugian yang ditimbulkan, melakukan rehabilitasi terhadap lingkungan, mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan kembali, dan lain-lain. Tujuannya, agar generasi sekarang maupun generasi yang akan datang mendapatkan manfaat yang sama dari sumber ekonomi yang ada sehingga pembangunan dapat berkelanjutan. Hal ini selaras pula dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Di Indonesia penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat diselesaikan dengan arbitrase, konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia sering diselesaikan dengan cara negosiasi atau mediasi (Bambang Pramudyanto, 2008: 6). Beberapa contoh kasus sengketa lingkungan yang diselesaikan dengan mediasi adalah: 1. Sengketa antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah (selanjutnya disebut KKL) di Kabupaten Karanganyar. Sengketa antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah lahir karena adanya dugaan telah terjadinya suatu peristiwa pencemaran dan/atau kerusakan yang diakibatkan oleh keberadaan PT Palur Raya. Dugaan adanya pencemaran dan/atau perusakan tersebut dibuktikan dengan (Waluyo, 2006: 47): a. air sumur penduduk mengalami kekeringan hingga kedalaman 20 meter;
88
b. hasil panen pertanian merosot tajam baik dari segia kualitas maupun kuantitas terutama disebelah barat pabrik atau tempat pembuangan limbah padat; c. tanah mengalami kerusakan akibat resapan limbah padat dan cair yang dibuang oleh PT Palur Raya; d. Sungai mengalami pendangkalan akibat kandungan dalam limbah cair dan padat; e. kualitas udara disekitar pabrik sangat buruk; f. bau (odor) akibat pembuangan limbah padat menimbulkan gangguan kenyamanan pada masyarakat disekitar pabrik; g. seringnya terjadi kerusakan jalan umum yang membelah pabrik akibat lalu lalang truk-truk yang mengangkut barang yang keluar masuk PT Palur Raya. Terhadap
sengketa
tersebut,
para
pihak
memilih
untuk
menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Mediasi antara PT Palur Raya dan KKL tersebut dimulai pada tanggal 10 Juli 2000 dan berakhir pada tanggal 22 Juli 2000. Pelaksanaan mediasi tersebut memberikan hasil berupa kesepakatan mediasi yang pada intinya berisi (Kesepakatan Mediasi antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah): a. PT Palur Raya wajib menghilangkan polusi udara berupa bau busuk yang menyengat sebagai akibat limbah yang dihasilkan. b. PT
Palur Raya wajib menghentikan pencemaran dan perusakan
terhadap air baik terhadap air sungai, air tanah, air sumur, dan sawah serta lahan-lahan pertanian yang berlokasi di dekat PT Palur Raya dengan menaati ketentuan ambang batas baku mutu lingkungan hidup. c. PT Palur Raya wajib menghilangkan pencemaran udara yang berupa asap-asap dan gas beracun yang membahayakan kesehatan manusia dan dan makhluk hidup lainnya sebagai akibat atau bersumber dari limbah yang dihasilkan dengan menaati ketentuan ambang batas baku mutu lingkungan hidup. d. PT Palur Raya wajib melaksanakan rehabilitasi terhadap komponen lingkungan hidup yang tercemar dan rusak sebagai akibat limbah yang dihasilkan.
89
e. PT Palur Raya wajib memberikan ganti rugi baik materiil maupun imateriil kepada korban yang secara langsung dan nyata mengalami kerugian sebagai akibat dari limbah yang dihasilkan. f. PT Palur Raya memberikan ijin kepada korban untuk berkoordinasi dengan
Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
Kabupaten
Karanganyar untuk melakukan kontrol dan monitoring terhadap limbah yang dihasilkan PT Palur Raya. g. PT Palur Raya wajib memberikan laporan secara tertulis berupa dokumen Upaya Pengolahan Lingkungan dan Upaya Pengelolaan Lingkungan) kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Karanganyar dengan tembusan kepada KKL setiap 3 (tiga) bulan sekali selama PT Palur Raya berproduksi. Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Pihak PT Palur Raya dan KKL sepakat untuk membentuk tim independen yang akan bertugas menghitung dan membuktikan seberapa besar dan jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh PT Palur Raya (Ratri Nugroho, 2003: 74). Hasil penelitian
dari
tim
idependen
tersebut
akhirnya
menimbulkan
permasalahan kembali karena PT Palur Raya hanya sanggup membayar ganti kerugian sebesar Rp. 1.100.000.000,00 (satu milyar saratus juta rupiah). Padahal perhitungan tim independen menunjukkan angka Rp. 7.299.569.706,00 (tujuh milyar dua ratus sembilan puluh sembilan juta lima ratus enam puluh sembilan ribu tujuh ratu enam rupiah) sebagai ganti kerugian dan biaya rehabilitasi terhadap lingkungan. Meskipun demikian, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan yang dilaksanakan oleh PT Palur Raya dan KKL tersebut dapat dikatakan berhasil karena atas prakarsa dari Menteri Negara Lingkungan Hidup, permasalahan tersebut dapat diatasi karena berdasarkan kesepakatan tanggal 1 April 2002 pihak korban bersedia untuk menerimanya ganti rugi tersebut (Waluyo, 2006: 50).
90
2. Sengketa antara PT Indo Acidatama Chemical Industri (selanjutnya disebut PT. IACI) dengan dengan sebagian masyarakat petani di Desa Sroyo dan Kemiri, Kabupaten Karanganyar. Sengketa antara PT. IACI dan masyarakat yang terjadi tahun 19992000 dilatarbelakangi oleh adanya dugaan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah cair yang dihasilkan oleh PT IACI. Dugaan adanya pencemaran tersebut oleh masyarakat disekitar perusahaan dibuktikan dengan (Waluyo, 2006: 47): a. keruhnya (warna coklat pekat) air sungai sroyo; b. timbul gejala gatal-gatal yang dirasakan oleh sebagian masyarakat yang menggunakan sungai sebagai tempat kebutuhan mereka sehari-hari, misalnya pencari pasir dan peternak; c. perubahan warna air pada sumur milik penduduk di sekitar perusahaan; d. terjadinya penurunan permukaan air sumur penduduk di sekitar pabrik terutama waktu musim kemarau; e. timbulnya bau busuk yang menyengat; f. meningkatnya korosifitas/pengeroposan; g. penurunan secara drastis hasil produksi pertanian dari petani yang lahannya dialiri limbah cair dari perusahaan. Penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan para pihak dengan membentuk tim pengendalian limbah PT IACI yang beranggotakan sembilan orang dan dikenal dengan nama tim sembilan. Anggotaanggotanya mewakili pihak perusahaan, pihak korban, dan pihak ketiga netral (Waluyo, 2006: 48). Sebagai hasilnya, PT IACI dalam forum Tim sembilan bersedia mengganti kerugian dan mengakui telah menyebabkan pencemaran yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Selanjutnya ditunjuk lembaga HIALI (Himpunan Ahli Lingkungan) Surakarta untuk menghitung besarnya kerugian dan kewajiban yang harus dibayar perusahaan (PiusTri Wahyudi, 2010). 3. Kasus pencemaran Sungai Sambong di Batang antara PT Indonesia Miki Industries dan masyarakat sekitar.
91
Sengketa antara PT Indonesia Miki Industries dan masyarakat yang menjadi korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan diselesaikan melalui mediasi selama 1 (satu) tahun 27 (dua puluh tujuh) hari. Penyelesaian sengketa tersebut mencapai hasil sebagai berikut (Bambang Pramudyanto, 2008: 26). a. PT Indonesia Miki Industries menyerahkan bantuan/dana sebesar Rp 53.925.000,00 (lima puluh tiga juta sembilan ratus dua puluh lima ribu rupiah) kepada 328 (tiga ratus dua puluh delapan) orang warga melalui Bupati yang akan digunakan untuk meningkatkan pengembangan usaha. b. Kasus Sungai Sambong dianggap sudah selesai dan masyarakat tidak akan menuntut kembali. c. PT Indonesia Miki Industries Group bersedia mengolah limbahnya sesuai dengan baku mutu limbah yang ditetapkan. d. Pengaturan bantuan atau dana dari PT Indonesia Miki Industries Group kepada masyarakat semua pihak sepakat untuk menyerahkan sepunuhnya kepada Bupati Batang. e. Untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditandatangani kesepakatan ini akan dilakukan pemantauan oleh PT Indonesia Miki Industries Group, Pemerintah Daerah dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pusat. Mekanisme pemantauan ditetapkan oleh Bapedal Pusat. f. Setelah 6 (enam) bulan dari ditanda tanganinya kesepakatan ini akan dilakukan evaluasi bersama. Dari contoh-contoh kasus tersebut dapat dipaparkan bahwa hasil penyelesaian
sengketa
lingkungan
di
luar
pengadilan
tidak
hanya
mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa, tetapi juga kepentingan lingkungan. Hal ini telah sejalan dengan ketentuan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur bahwa: Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan. Jika
ditinjau
dari
konsep
pembangunan
berkelanjutan
yang
berwawasan lingkungan, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
92
mampu
mengembalikan
kemampuan
lingkungan
untuk
mendukung
pelaksanaan pembangunan dan tingkat hidup yang lebih tinggi karena adanya perbaikan terhadap kondisi lingkungan. Akhirnya, aspek lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan akan terpenuhi. Dengan adanya perbaikan terhadap kondisi lingkungan, maka kemampuan lingkungan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan akan tetap terjaga sehingga hasil dari pelaksanaan pembangunan tidak hanya akan dinikmati oleh generasi sekarang, tetapi juga generasi masa depan. Di samping itu, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat dipergunakan sebagai alternatif yang dapat ditempuh masyarakat ditengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan untuk menuntut haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Akan tetapi, jika dikaji dari segi peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan masih memiliki beberapa kelemahan sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya. Dalam contoh kasus yang telah dipaparkan, kelemahan tersebut antara lain tercermin dalam tindakan PT Palur Raya yang mengingkari hasil penelitian tim independen dan berbuntut pada tindakan PT Palur Raya yang menggugat tim independen melalui Pengadilan Negeri Yogyakarta (Ratri Nugroho, 2003: 76). Meskipun sengketa tersebut akhirnya dapat diselesaikan dengan prakarsa Kementrian Lingkungan Hidup, tetapi hal ini tentu akan kembali memakan waktu. Menyikapi permasalahan tersebut, perlu segera diambil tindakan tegas dan nyata dari pemerintah dengan melakukan revisi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagai wujud komitmen pemerintah melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Terlebih sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah terlepas dari berbagai kepentingan, seperti kepentingan negara, pemilik modal, rakyat, maupun lingkungan sendiri dan
93
perebutan kepentingan ini selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan (I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, 2006: 72). Kelemahan-kelemahan yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya hendaknya dijadikan bahan pertimbangan revisi sehingga ke depannya pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat tertata secara lebih sistematis, komprehensif, dan aplikatif sehingga akan lebih mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia.
94
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan di Indonesia ditinjau dari ketiga peraturan perundangan tersebut pada intinya mengatur bahwa: a. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak yang bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000. b. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan hanya berlaku terhadap sengketa yang termasuk dalam ranah perdata sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 84 ayat (1) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009. c. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan ditempuh berdasarkan kesepakatan para pihak dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian ahli) sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Pasal 14, 15, 19, dan Pasal 20, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000, dan Pasal 1 angka 1 serta Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
95
2. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia jika ditinjau dari pengaturannya masih memiliki beberapa kelemahan, yakni: a.
Pelaksanaan
putusan
arbitrase
atau
kesepakatan tertulis sebagai output dari penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sangat digantungkan pada itikad baik para pihak. b. Tidak terdapat batasan yang jelas mengenai kesusilaan dan ketertiban umum sebagai salah satu hal yang harus dinilai oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk mengabulkan atau menolak permohonan eksekusi putusan arbitrase. c. Syarat-syarat pengangkatan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 masih kurang jelas ratio legis-nya. d. Terdapat celah hukum dalam ketentuan Pasal 84 ayat (3) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 serta pertentangan antara ketentuan tersebut dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. e. Ketentuan mengenai batal atau tidak sahnya penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 kurang jelas implikasi yuridisnya.
3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagai bagian inheren dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
96
B. Saran
1. Perlu segera diambil tindakan tegas dan nyata dari pemerintah dengan melakukan revisi terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan sebagai wujud komitmen pemerintah melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 2. Kelemahan-kelemahan
yang
telah
dipaparkan
dalam
pembahasan
sebelumnya hendaknya dijadikan bahan pertimbangan revisi sehingga ke depannya pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan dapat tertata secara lebih sistematis, komprehensif, dan aplikatif sehingga akan lebih mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia.
97
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku A Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas. Adi Sulistiyono. 2006. Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia. Surakarta: UNS-Press. Amiek Sumindriyatmi, dkk. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Gatot P Soemartono. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Gunawan Widjaja. 2002. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Henry R Cheeseman, 2000. The Legal and Regulatory Environment (Contemporary Perspectives in Business). United States : PrenticeHall, Inc. Imam Supardi. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Bandung: PT. Alumni. Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution (Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Jakarta: Rajagrafindo Persada. Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: CV. Mandar Maju. Maria Farida Indriati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan). Kanisius: Yogyakarta. Mestika Zed. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Munir Fuady. 2003. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.
98
N.H.T Siahaan. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. . 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam. Otto
Soemarwoto. 2003. Analisis Mengenai Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Dampak
Lingkungan.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. . 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana. Prabang Setyono. 2008. Cakrawala Memahami Lingkungan. Surakarta: UNS Press. Satjipto Raharjo. 2006. Hukum dalam Jagad Ketertiban. Jakarta: UKI Press. Soekarman Moesa. 2002. Ilmu Lingkungan: Ekosistem, Manusia, dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Sudarsono. 2007. Negeriku Menuai Bencana Ekologi Mengabaikan Norma Agama, Adat dan Hukum (Reposisi dan Revitalisasi Penegakan Hukum Lingkungan antara Harapan, Impian, dan Kenyataan. Yogyakarta: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa. . 2007. Mengedalikan Dampak Pemanasan Global dengan Kearifan Lingkungan. Yogyakarta: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa. Sudikno Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty Suparto Wijoyo, 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Suyud Margono. 2004. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase. Jakarta: Ghalia Indonesia. Zoer’aini Djamal Irwan, 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta : Bumi Aksara.
99
B. Peraturan Perundangan Kesepakatan Mediasi antara PT Palur Raya dan Konsorium Korban Limbah.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Peradilan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. C. Majalah atau Jurnal Hero Prahartono. 2005. “Penyelesaian Sengketa Perusahaan Multinasional melalui Arbitrase”. Majalah Hukum Yustisia. Tahun XVII Edisi 68. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani. 2006. “Krisis Air, Illegal Logging, dan Penegakan Hukum Lingkungan”. Yustisia Jurnal Hukum. Tahun XVII Edisi 69. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. I William Zartman. 1996. “Negotiation As A Search For Justice”. International Negotiation Journal. Vol. 1, No. 1. Tiffany T. Smith. 2009. “Mediating Culture: Is Mediation an Appropriate Forum for Employment Discrimination Claims Despite Cultural Differences?”. Ohio State Journal on Dispute Resolution. Volume 7, Issue 1. Waluyo. 2006. “Identifikasi Penyebab dan Pola Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Wilayah Kabupaten Karanganyar”. Yustisia Jurnal Hukum. Tahun XVII Edisi 69. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
100
D. Makalah Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni. 2008. ”Hukum Kontrak”. Makalah. Disampaikan pada perkuliahan hukum kontrak di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Bambang Pramudyanto. 2008. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan Cara Negosiasi”. Makalah. Disampaikan pada pendidikan dan pelatihan alternative penyelesaian sengketa lingkungan (APS) di Serpong, pada tanggal, 17 sampai 21 November 2008. Emmy Yuhassarie, dkk. 2004. “Mediasi dan Access to Justice”. Makalah. Disampaikan dalam rangkaian lokakarya terbatas masalah-masalah kepailitan dan wawasan hukum bisnis lainnya, pada 17-18 Februari 2004 di Jakarta. Juanda Kartawidjaya. 2009. ”Gerakan Aktif Ati Korupsi Versus Mafia Peradilan”. Makalah. Disampaikan pada seminar akademik BEM FH UNS, pada tanggal 15 Desember 2009. Marianna Sutadi. 2004. “Pendayagunaan Perdamaian menurut Pasal 130 HIR/154 R.Bg dan Potensinya dalam Mewujudkan Keadilan yang Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan”. Makalah. Disampaikan dalam rangkaian lokakarya terbatas masalah-masalah kepailitan dan wawasan hukum bisnis lainnya, pada 17-18 Februari 2004 di Jakarta. Marta Amnan. 2008. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan Menggunakan Pihak ke Tiga Netral”. Makalah. Disampaikan pada pendidikan dan pelatihan alternative penyelesaian sengketa lingkungan (APS) di Serpong, pada tanggal, 17 sampai 21 November 2008. R. Ginting. 2009. ”Mafia Peradilan sebagai Kejahatan Sistemik”. Makalah. Disampaikan pada seminar akademik BEM FH UNS, pada tanggal 15 Desember 2009.
E. Hasil Penelitian Ratri Nugroho. 2003. ”Studi Pelaksanaan Mediasi pada Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup antara PT Palur Raya dengan sebagian Masyarakat Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar”. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
101
F. Internet Abd. Rahmad. Peranan Alternative Dispute Resulution dalam Penyelesaian Perkara Perdata. http://padangtoday.com/index.php?today=article&j=2&id=155> [6 Feb 2010 pukul 02:15 WIB]. Budhy Budiman. Penyelesaian Sengketa Perdata melalui Lembaga Arbitrase (Kajian terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). http://isrard.multiply.com/journal/item/2/lembaga_arbitrase> [10 Feb 2010 17:46 WIB]. Nurfaqih Irfani. Beberapa Permasalahan yang Timbul dalam Praktik Arbitrase di Indonesia (Kritisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). http://irfaninurfaqih.files.wordpress.com/2009/06/aps2published.pdf> [10 Feb 2010 17:18 WIB] Pan Mohamad Faiz. Klausul Arbitrase dan Pengadilan (Kemungkinan Diajukannya PerkaraDengan Klausul Arbitrase Ke Muka Pengadilan.) .http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausularbitrase-dan-pengadilan_18.html> [9 Februari 2010 pukul 15:52 WIB]. Pius Tri Wahyudi. Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan di Wilayah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo. http://www.scribd.com/doc/12969535/e010201> [9 Februari 2010 pukul 15:34 WIB]. Slamet Hariyanto. Menggagas Revisi UU Nomor 30 Tahun 1999 . http://slamethariyanto.wordpress.com/2008/12/20/menggagas-revisiuu-nomor-30-tahun-1999-bagian-ii-habis/> [2 Feb 2010 pukul 18:32 WIB]. Wicipto Setiadi. 2010. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). http://www.legalitas.org/?q=node/21> [19 Feb 2010 pukul 08:14 WIB].