perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DENGAN PENUNTUT UMUM SEBAGAI PEMOHON DALAM PERKARA PENGHANCURAN ATAU PERUSAKAN BARANG (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 15 PK/PID/2006)
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Oleh : Fatia Aldila Firdeaz NIM. E0008150
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK FATIA ALDILA FIRDEAZ, E0008150, ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DENGAN PENUNTUT UMUM SEBAGAI PEMOHON DALAM PERKARA PENGHANCURAN ATAU PERUSAKAN BARANG (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 15 PK/PID/2006) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang berdasarkan ketentuan KUHAP hanya dapat diajukan oleh Terpidana atau ahli warisnya. Namun, dalam praktik jaksa penuntut umum juga mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Salah satunya adalah kasus penghancuran atau perusakan barang yang diangkat dalam penulisan hukum ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah konstruksi hukum penuntut umum dalam mengajukan peninjauan kembali pada kasus ini serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan peninjauan kembali tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan pendekatan kasus. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Penulis menggunakan metode penalaran deduktif dalam penelitian ini dengan teknik analisa bahan hukum secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa penuntut umum menjabarkan empat alasan berupa kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari Hakim Mahkamah Agung yang memutus kasasi sebelumnya sebagai dasar pengajuan peninjauan kembali pada perkara penghancuran atau perusakan barang atas nama terdakwa Soetyawati alias Ahua Binti Kartaningsih ini. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan peninjauan kembali sendiri sebagian besar berdasarkan yurisprudensi dengan kasus yang serupa. Kata kunci : Pertimbangan Hakim, Peninjauan Kembali, Kasus Perusakan atau Penghancuran Barang
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT FATIA ALDILA FIRDIEAZ, E0008150, STUDY JURIDICAL CONSIDERATION OF ATTORNEY GENERAL JUDGE IN ACCEPTING PROPOSAL JUDGE JUDICIAL REVIEW WITH PUNISHMENT OF FREE FROM ALL LAW PROSECUTIONS WITH PUBLIC PROSECUTOR AS APPLICATOR IN CRIME OF DAMAGING AND BREAKING UP GOODS ( CASE STUDY OF ATTORNEY GENERAL PUNISHMENT NO. 15/PK/PID/2006) , Law Faculty of Sebelas Maret University Surakarta. Judicial Review is law effort which based on the rule of KUHAP can only applied by punished or inheritors, but in practice public prosecutor also apply for Judicial Review. One of them is the crime of breaking up and damaging goods performed by person which is analyzed in this law script. This research aims to know what law construction of public prosecutor is in apply reviewing in this case and what becomes ground of judge consideration in fulfilling the judicial review. This study constitutes normative law which is prescriptive with case approach. Technique of law material collecting used in this research is library research, the writer used method of deductive reasoning with qualitative law material analysis. Based on the result of the research and analysis, it can be gaine conclusion that public prosecutor simplify four reasons of judge`s mistakes or the real wrong from the judge of general attorney who made previous cassation as ground of reviewing to breaking up and damaging goods crime on behalf defendant, Soetyawati alias Ahua Binti Kartaningsih. Judge consideration in fulfilling reviewing based on jurisprudence with alike case. Keywords: Judge`s Consideration, Judicial Review, Damaging or Breaking Up Goods Case
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil (Mario Teguh) Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi pencapaian kecemerlangan hidup yang diidamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa kesenangan adalah cara gembira menuju kegagalan (Mario Teguh) Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah 2:216) “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah.” (HR. Muslim). Selalu melihat akibat positif dari suatu hal negatif yang terjadi ( Penulis)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini Penulis persembahkan kepada : ·
Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna, yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah bagi hamba-Nya.
·
Ayah dan Mama, semoga dapat menjadi salah satu sumber kebahagiaan dan memberikan senyum kebanggan bagi kalian.
·
Kakak-kakakku yang tercinta.
·
Sahabat-sahabatku,
warna
dalam
hidupku. ·
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan sembah sujud kepada Allah SWT yang telah memberikan jalan, kelancaran, kemudahan, dan segala ridho-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DENGAN PENUNTUT UMUM SEBAGAI PEMOHON DALAM PERKARA PENGHANCURAN ATAU PERUSAKAN BARANG (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 15 PK/PID/2006). Secara garis besar penulisan hukum skripsi ini membahas mengenai salah satu isu hukum yang banyak menimbulkan perdebatan yaitu tentang pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum. Dalam penulisan hukum ini menyoroti mengenai apakah yang menjadi konstruksi hukum penuntut umum dalam mengajukan penin jauan kembali dan apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali tersebut. Penyusunan penulisan hukum ini sendiri mempunyai tujuan utama untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret; 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku pembimbing penulisan skripsi ini yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingannya serta terima kasih untuk segala arahan dan masukan bagi tersusunnya skripsi ini dengan baik. commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
ABSTRACT....................................................................................................
vi
MOTTO .........................................................................................................
vii
PERSEMBAHAN ...........................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
DAFTAR BAGAN .........................................................................................
xiii
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
6
D. Manfaat Penelitian..................................................................
7
E. Metode Penelitian ...................................................................
8
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................
11
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori .......................................................................
13
1. Tinjauan Tentang Upaya Hukum .....................................
13
a.
Pengertian Upaya Hukum ........................................
13
b. Macam Upaya Hukum..............................................
14
2. Tinjauan Pertimbangan Hakim ........................................
23
a.
Perimbangan yang Bersifat Yuridis .........................
23
b. Pertimbangan yang Bersifat Non-Yuridis ................
25
3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penghancuran atau commit to user Perusakan barang ............................................................. xi
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran ...............................................................
31
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Konstruksi hukum Penuntut Umum dalam Mengajukan PK Atas Putusan Lepas dari Segala Tuntuntan Hukum Pada Perkara Penghancuran atau Perusakan Barang .......................
33
1.
Kasus Posisi ....................................................................
33
2.
Identitas Terpidana ..........................................................
33
3.
Dakwaan ..........................................................................
34
4.
Tuntutan Pidana ..............................................................
36
5.
Amar Putusan Pengadian Negeri ....................................
36
6.
Amar Putusan Pengadilan Tinggi....................................
37
7.
Amar Putusan Kasasi ......................................................
38
8.
Alasan-Alasan Permohonan Peninjauan Kembali Oleh Penuntut Umum ..............................................................
39
Pembahasan .....................................................................
45
B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Mengabulkan Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Penuntut Umum Atas Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Perkara Penghancuran dan Perusakan Barang ..........
53
9.
1.
Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali .....................
53
2.
Amar Putusan Peninjauan Kembali ................................
65
3.
Pembahasan .....................................................................
66
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan.................................................................................
72
B. Saran .......................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
75
LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
A. Bagan Kerangka Pemikiran ...............................................................
commit to user
xiii
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat sistem hukum yang bersatu padu dengan lembaga peradilan dan penegak hukum sebagai wujud dari predikat Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat). Keduanya merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan (Romli Atmasasmita, 2010: 3). Sehingga, selain berkaitan erat dengan aparat penegak hukum, kelangsungan hukum di Indonesia juga sangat berkaitan erat dengan lembaga peradilan. Lembaga peradilan disebut baik, apabila prosesnya berlangsung secara jujur, bersih dan tidak memihak, disamping itu juga harus memenuhi prinsip-prinsip yang sifatnya terbuka, korektif, dan rekorektif. Demi keadilan dan kebenaran putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan. Oleh karena itu hukum menyediakan sarana atau upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusan yang disebut upaya hukum. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP, upaya hukum merupakan hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi, atau hak Terdakwa untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali. Maka dari itu, pihak yang bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan mengajukannya kepada pengadilan yang diberi kekuasaan untuk itu jika yang bersangkutan menghendakinya. Dengan diajukannya upaya hukum oleh terdakwa atau penuntut umum terhadap putusan hakim, maka tujuan upaya hukum tersebut adalah (Djoko Prakoso, 1986: 275): commit to dibuat user oleh instansi yang sebelumnya a. Untuk memperbaiki kesalahan yang
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
b. Untuk kesatuan dalam peradilan c. Sebagai perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang hakim atau pengadilan Upaya hukum sendiri diatur dalam Bab XVII dan Bab XVIII, dimana masing-masing bab mengatur mengenai upaya hukum biasa yang terdiri dari banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa yang terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum terhadap putusan yang telah berkekekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat (1). Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Memperhatikan bunyi Pasal 263 ayat (1) tersebut, dapat diketahui bahwa peninjauan kembali hanya bisa dilakukan oleh Terpidana atau ahli warisnya terhadap segala putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tapi tidak untuk putusan bebas ataupun lepas dari tuntutan hukum. Hal inilah yang seringkali menimbulkan perdebatan sekaligus pertanyaan, apakah pihak lain yang juga berkepentingan dalam suatu perkara seperti jaksa penuntut umum, saksi, keluarga korban, ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan upaya hukum juga? Hal yang sangat wajar ketika seorang terdakwa diputus bebas ataupun lepas dari tuntutan hukum di tingkat akhir, pihak jaksa penuntut umum maupun keluarga korban merasa tidak adil dan ingin mengajukan upaya hukum. Dalam prakteknya, pengajuan peninjauan kembali oleh penuntut umum terhadap putusan bebas ataupun lepas dari tuntutan hukum pernah terjadi. Kasus yang paling terkenal dan seringkali dijadikan yurisprudensi bagi peristiwa hukum konkrit yang sejenis adalah kasus Muchtar Pakpahan. Dalam user kasus ini, hakim Mahkamahcommit Agungtomengabulkan permohonan peninjauan
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
kembali yang diajukan oleh Jaksa Agung yang tertuang dalam putusan Pk/Pid/1996 tanggal 25 Agustus 1996. Dari hal ini, berbagai pandangan pun muncul, pertama, dari sudut hukum acara pidana, KUHAP tidak memberikan kesempatan bagi jaksa penuntut umum maupun pihak-pihak lainnya untuk mengajukan peninjauan kembali dikarenakan dasar logika yang dikandung Pasal 263 KUHAP adalah kepentingan Terpidana sendiri (Parman Soeparman, 2007:7). Namun di sisi lain, adanya kasus-kasus Peninjauan Kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum membuka kesempatan bagi kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali atas berbagai kasus yang diputus bebas ataupun lepas dari tuntutan hukum. Hal ini didasari dari adanya pandangan bahwa kesempatan itu harus diberikan, dilihat dari sisi kepentingan korban, maka hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali sudah sepantasnya diberikan pula kepada Jaksa Penuntut umum. Sebenarnya KUHAP telah memberikan kesempatan bagi Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum, yaitu upaya hukum kasasi demi kepentingan umum dimana upaya hukum ini merupakan sisi lain dari upaya hukum luar biasa. Sehingga, apabila penuntut umum merasa suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu merugikan bagi kepentingan umum ataupun tidak sesuai dengan keadilan, kebenaran, maupun tujuan penegakan hukum, undang-undang memberikan kesempatan bagi Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Maka dari itu, hak mengajukan peninjauan kembali merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada Terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Dengan demikian, melalui upaya hukum luar biasa, sisi kepentingan umum dan kepentingan Terpidana telah terpenuhi secara berimbang (Yahya Harahap, 2002:616). Kasus Muchtar Pakpahan sendiri sejenis dengan kasus yang penulis angkat sebagai bahan kajian penulisan hukum. Kasus ini bermula pada saat commit to user Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih melakukan perusakan kunci rumah
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dilakukannya dengan cara menarik kunci hingga rusak. Perbuatannya ini dilakukan sebanyak dua kali, sehingga membuat Muhtar Zaini selaku pemilik yang menguasai rumah melaporkan perbuatan Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih ke polisi. Setelah menjalani proses sidang pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jambi, hakim kemudian memutus perkara ini yang dituangkan dalam putusan nomor 239/Pid.B/2003/PN.Jbi tanggal 7 Agustus 2003 dengan menyatakan bahwa Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan dipidana penjara selama 4 (empat) bulan. Atas putusan pengadilan di tingkat pertama tersebut Terdakwa pun mengajukan banding dan memohon pada Pengadilan Tinggi Jambi untuk membatalkan putusan
tersebut. Banding yang diajukan terdakwa tersebut
diterima dan melalui putusan Pengadilan Tinggi Jambi No.70/Pid/2003/PT.Jbi tanggal 7 Oktober 2003, putusan pada pengadilan tingkat pertama pun dibatalkan yang sekaligus membebaskan terdakwa. Kemudian atas putusan bebas itu jaksa penuntut umum mengajukan kasasi, namun kasasi tersebut ditolak dan terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan kasasi ini tertuang pada putusan Mahkamah Agung RI No.384 K/Pid/2004 tanggal 21 September 2004. Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, jaksa penuntut umum pada tanggal 28 Juli 2005 mengajukan peninjauan kembali. Kemudian dengan segala pertimbangannya, pada tanggal 19 Juni 2006, melalui putusan No.15 PK/Pid/2006 hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pengajuan peninjauan kembali tersebut. Dalam putusan tersebut Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana pengrusakan dan dihukum selama 4 (empat) bulan penjara. Putusan Hakim Mahkamah Agung yang mengabulkan peninjauan kembali tersebut tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan, dimana pertanyaan yang pertama muncul commit toadalah user apakah yang menjadi dasar
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertimbangan
Hakim
Mahkamah
Agung
mengabulkan
permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum? Selain itu, bagaimana Hakim Mahkamah Agung memutus suatu perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap berupa putusan lepas dari tuntutan hukum? Disinilah terdapat realita hukum yang sangat bertentangan, di satu sisi, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang bersifat limitatif telah dengan tegas melarang jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun di sisi lainnya, Mahkamah Agung justru mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti dan menganalisisnya Penulis mengangkatnya melalui penulisan skripsi dengan judul : ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA
PERMOHONAN
PENINJAUAN
KEMBALI
ATAS
PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM DENGAN PENUNTUT UMUM SEBAGAI PEMOHON DALAM PERKARA PENGHANCURAN ATAU PERUSAKAN BARANG (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 15 PK/PID/2006)
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konstruksi hukum penuntut umum dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada perkara penghancuran atau perusakan barang? 2. Bagaimanakah
pertimbangan
Hakim
Mahkamah
Agung
dalam
mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh penuntut umum atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum perkara penghancuran atau pengrusakan PK/Pid/2006?
barang
dalam putusan commit to user
Mahkamah
Agung
No.15
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai, hal ini untuk memberi arah yang jelas dalam melangkah agar sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui konstruksi hukum penuntut umum dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam perkara penghancuran atau perusakan barang. b. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh penuntut umum atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum perkara penghancuran atau pengrusakan barang dalam putusan Mahkamah Agung No.15 PK/Pid/2006 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperluas dan menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis di bidang Hukum Acara Pidana khususnya mengenai pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diajukan oleh penuntut umum pada perkara penghancuran atau perusakan barang. b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian Suatu penilitian tentunya diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut.Begitu pula dalam penelitian ini, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan banyak manfaat serta kontribusi yang positif baik itu bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca serta pihak lannya. Manfaat yang diharapkan dari penelitian hukum ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur bagi penelitian hukum sejenisnya pada tahap selanjutnya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemecahan atas permasalahan yang berkaitan dengan apa yang menjadi obyek yang diteliti. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan menjadi sarana bagi Penulis untuk mengembangkan kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama di bangku kuliah. b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum, Hakim, Advokat dan Terdakwa ketika mengajukan upaya hukum.
commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, ataupun doktrin-doktrin hukum yang berguna untuk menjawab isu-isu hukum yang dihadapi ( Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35 ). Penelitian merupakan suatu upaya pencarian yang bernilai edukatif dimana hasil dari pencarian tersebut dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu. Agar penelitian hukum dapat dianggap sebagai penelitian ilmiah, maka penelitian tersebut harus memenuhi unsur-unsur, dimana salah satu unsur tersebut adalah menggunakan metode tertentu dalam melakukan penelitian (Bambang Waluyo, 1991 : 6). Maka dari itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. (Bambang Waluyo, 1991 : 14). 2. Sifat penelitian Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan normanorma hukum. Merujuk pada hal tersebut, maka penelitian hukum ini bersifat preskriptif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35) commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian berfungsi agar peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicari jawabannya. Peter Mahmud Marzuki membagi pendekatan penelitian hukum ini menjadi 5 jenis yaitu : (Peter Mahmud Marzuki, 2006:93) a) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) b) Pendekatan kasus (case approach) c) Pendekatan historis (historical approach) d) Pendekatan perbandingan (comparative approach) e) Pendekatan konseptual (conceptual approach) Penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu-isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Meskipun pendekatan kasus ini bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus tersebut dipelajari untuk mendapatkan gambaran apakah kasus tersebut berdampak pada dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum (Johny Ibrahim, 2006 :321) 4. Sumber Data Penelitian Peter Mahmud Marzuki membagi sumber data penelitian ini menjadi dua yaitu : a) Bahan hukum primer Bahan hukum
yang mempunyai otoritas atau bersifat
autoritatif. Bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatancommit to user catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 PK/PID/2006. b) Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), dimana bahanbahan hukum didapatkan melalui membaca, mengkaji, dan mempelajari buku literatur, hasil penelitian terdahulu, dan membaca dokumen yang berhubungan dengan penelitian. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penulis
menggunakan
metode
penalaran
deduktif
dalam
penelitian ini. Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor. Hadjon memaparkan bahwa premis mayor merupakan suatu aturan hukum, sedangkan premis minor adalah fakta hukum. Dari kedua hal ini nantinya akan ditarik suatu kesimpulan commit to user atau conclusion. (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47)
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian hukum, teknik analisa bahan hukum
yang
digunakan adalah teknik kualitatif. Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh bahan hukum yang terkumpul untuk kemudian dikualifikasikan. Analisi kualitatif sering disebut dengan analisis penelitian yang mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti, dan mengkaji objek secara utuh.
F. Sistematika Penulisan Hukum Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab dimana setiap babnya terbagi lagi menjadi sub-sub bagian agar memudahkan pemahaman penelitian ini. Hal ini disesuaikan dengan aturan baku dalam penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi)
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi mengenai kerangka teori dan juga kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tentang tinjauan umum mengenai upaya hukum, tinjauan hukum tentang pertimbangan hakim,
dan
tinjauan
hukum
mengenai
tindak
pidana
penghancuran atau perusakan barang. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA Bab ini menguraikan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan. Sesuai dengan rumusan masalah dari penelitian commit to user ini, maka penulis akan membahas mengenai konstruksi hukum
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penuntut umum dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada perkara penghancuran atau perusakan barang serta pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh penuntut umum atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum perkara penghancuran atau pengrusakan barang dalam putusan Mahkamah Agung No.15 PK/Pid/2006. BAB IV
: PENUTUP Dalam bab ini memaparkan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang juga didasarkan pada pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya serta saran-saran dari penulis yang relevan terhadap permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam KUHAP, pengertian upaya hukum tercantum dalam bab 1 mengenai ketentuan umum tepatnya pada Pasal 1 butir 12. Upaya hukum diartikan sebagai hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak Terdakwa untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Definisi mengenai upaya hukum juga dikemukakan oleh Djoko Prakoso yang mengutip pendapat dari R. Atang Ranoemihardja, S.H., upaya hukum adalah suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan hakim yang dianggapnya kurang adil atau kurang tepat. Jadi apabila terdakwa atau penuntut umum menganggap keputusan hakim kurang tepat atau dianggapnya tidak adil maka baik terdakwa maupun penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum (Djoko Prakoso, 1986:275). Menurut pandangan doktrina, upaya hukum pada pokoknya memiliki maksud agar : 1) Diperoleh kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operasi yustitie) 2) Melindungi tersangka dari sewenang-wenang dari hakim.
tindakan-tindakan
yang
bersifat
3) Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam jalannya peradilan. 4) Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun jaksa memberikan keterangan-keterangan baru. ( Lilik Mulyadi, 2007: 235) commit to user
13
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dapat disimpulkan bahwa upaya hukum merupakan suatu sarana baik bagi pihak Terdakwa maupun penuntut umum untuk mencari putusan yang dirasa adil bagi mereka. Sehingga dalam upaya hukum inilah kedua belah pihak akan kembali menguatkan argumentasi hukum mereka untuk mendapatkan putusan seadil-adilnya bagi mereka. b. Macam-macam Upaya Hukum KUHAP membagi upaya hukum menjadi dua yaitu upaya hukum biasa yang terangkum pada Bab XVII dan upaya hukum luar biasa yang terangkum pada Bab XVIII. 1) Upaya hukum biasa Upaya hukum biasa merupakan upaya hukum terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum ini terdiri dari banding dan kasasi. a) Upaya hukum banding Di dalam KUHAP sendiri tidak terdapat pengertian yuridis mengenai apa itu banding. Namun, berbagai pendapat dari para ahli memberikan pengertian mengenai upaya hukum banding. Mr. P. Van Bemmelen berpendapat bahwa banding adalah“een toesting van vonnis in eeste aanleg op zijn justheid, voor zover het wordt bestreden yang artinya suatu pengujian atas ketepatan dari putusan pengadilan tingkat pertama, yang disangkal kebenarannya” (Muhammad Rusli, 2007: 248) Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Mr. P. Van Bemmelen, Andi Hamzah menyebutkan bahwa “banding” adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk “menolak putusan” pengadilan, dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi serta untuk menguji ketepatan penerapan hukum
dari putusan pengadilan tingkat pertama”
(Muhammad Rusli, 2007:to248) commit user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pendapat lain dikemukakan oleh Lily Rosita dan Hari Sasangka, dimana menurut mereka banding adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas putusan pengadilan negeri” (Lily Rosita dan Hari Sasangka, 2003 :269). Dalam pelaksanaannya, banding diatur dalam Bagian Kesatu Bab XVII KUHAP. Pada ketentuan Pasal 67 KUHAP, terdapat aturan mengenai pembatasan permintaan banding. Dimana terdapat putusan yang tidak dapat dimintai banding yaitu putusan bebas (Vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag Van Rechts Vervolging ) dan putusan acara cepat. (Yahya Harahap, 2002 : 460). Banding sebenarnya memiliki dua tujuan, yaitu : (1) Menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya. (2) Sebagai pemeriksaan baru untuk perkara tersebut secara keseluruhan. Dari tujuan banding tersebut, dapat dikatakan bahwa banding merupakan suatu revisi bagi putusan sebelumnya. Menurut J.M. Van Bemmelen yang dikutip oleh Andi Hamzah, pemeriksaan banding disebut juga dengan judicium novum yaitu merupakan suatu penilaian baru. Dimana dalam hal ini, dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli, dan surat-surat baru. (Andi Hamzah, 2008: 292) b) Upaya hukum kasasi. Kasasi diambil dari bahasa Perancis “cassation” yang berarti memecah atau membatalkan. Kasasi menjadi salah satu upaya hukum yang diberikan bagi terdakwa dan penuntut umum commit to user apabila keberatan atau tidak menerima putusan pengadilan yang
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dijatuhkan kepadanya. Kasasi merupakan suatu hak yang melekat pada terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi yang apabila di dalamnya terdapat hal-hal sebagai berikut : (Lily Rosita dan Hari Sasangka, 2003 :269). (1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; (2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; (3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Kasasi bertujuan untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan cara membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum (Andi Hamzah, 2008: 298). Dari sini terlihat bahwa kasasi merupakan salah satu upaya untuk menegakkan keadilan dan mencapai kepastian hukum. Pada
Pasal
253
KUHAP,
diatur
mengenai
alasan
permohonan kasasi yaitu: (1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya. (2) Apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. (3) Apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
wewenangnya. Pada dasarnya kasasi merupakan suatu hak, maka digunakan tidaknya sarana hukum ini tergantung pada terdakwa atau penuntut umum sendiri. Apabila mereka menganggap putusan banding yang dijatuhkan oleh pengadilan tinggi tidak adil dan tidak memuaskan, maka mereka dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung. commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagai imbangan dari hak ini, maka timbul “kewajiban” bagi pejabat pengadilan untuk menerima permintaan kasasi yang dimohonkan itu. 2) Upaya hukum luar biasa Upaya hukum luar biasa merupakan upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Inilah yang membedakannya dengan upaya hukum banding dan kasasi yang dapat diajukan terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. KUHAP menggolongkan upaya hukum luar biasa ini menjadi dua yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. a) Kasasi demi kepentingan hukum Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Maksud dari upaya hukum luar biasa ini seperti kasasi biasa yaitu agar hukum diterapkan secara benar, sehingga ada kesatuan dalam peradilan. Akan tetapi ia tidak boleh merugikan kepentingan para pihak (Ramdlon Naning, 1984 : 223). Dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP, wewenang untuk melakukan pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini hanya diberikan kepada jaksa agung. Maka dari itu, Terdakwa atau ahli warisnya dan penasihat hukumnya maupun penuntut umum tidak diperkenankan untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum meskipun mereka merasa penting untuk mengajukan upaya hukum tersebut. Kasasi demi kepentingan hukum memiliki maksud untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan. Jika terdapat suatu permasalahan atau sesuatu yang meragukan, maka akan diserahkan commit pada Mahkamah to user Agung untuk memutuskannya.
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Putusan tersebut nantinya dapat diambil oleh hakim yang lebih rendah sebagai pegangan (Andi Hamzah, 2008 : 303). Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Hal ini diatur dalam Pasal 259 ayat (2). Oleh karena itu, apapun putusan dari kasasi demi kepentingan hukum tidak akan berpengaruh terhadap terdakwa. b) Peninjauan Kembali Dari sekian banyak peraturan yang mengatur mengenai peninjauan kembali, tidak ada satu Pasal pun yang menyatakan secara tegas mengenai definisi dari peninjauan kembali ini. Beberapa ahli hukum mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari peninjauan kembali : Menurut Soediryo, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang diapakai untuk memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi. Hadari Djenawi Tahir memberikan definisi terhadap peninjauan kembali sebagai upaya hukum yang mengatur tentang tata cara melakukan peninajuan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Rusli Muhammad, 2007: 285)
Darwan Print yang dikutip dari JTC Simorangkir mengatakan bahwa herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap di semua tingkat pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Lain halnya dengan definisi peninjauan kembali menurut M.H. Tirtaatmaja. Menurutnya herziening adalah suatu jalan untuk memperbaiki suatu keputusan yang telah menjadi tetap. Sehingga, tidak dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan hakim (Rusli Muhammad, 2007: 285) commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari berbagai pendapat di atas, maka peninjauan kembali memiliki unsur-unsur sebagai berikut : (1) Meninjau kembali (2) Memperbaiki atau merubah (3) Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap Ilmu hukum acara pidana mensyaratkan
pengajuan
peninjauan kembali yang harus memenuhi syarat formil dan materiil yang ditentukan di dalam KUHAP. (1) Syarat formil Syarat-syarat formil untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali yaitu : (a) Terdapat putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. (b) Berupa putusan yang memuat pemidanaan, yang artinya bukan merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. (c) Diajukan oleh Terpidana ataupun ahli warisnya. (d) Diajukan kepada panitera pengadilan yang mengeluarkan putusan pada tingkat pertama. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 263 ayat (2) jo. Pasal 264 ayat (1) KUHAP. (e) Peninjauan kembali belum pernah diajukan baik oleh Terpidana atau ahli warisnya atau dengan kata lain peninjauan kembali hanya boleh dilakukan satu kali. Pasal 268 ayat (3) KUHAP) (Leden Marpaung, 2000 : 74) (2) Syarat materiil Sedangkan syarat materiil dari pengajuan peninjauan kembali
yang merupkan alasan atau dasar user263 ayat (2) KUHAP) : pengajuannyacommit yaitu ( to Pasal
dalam
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(a) Keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang dimaksud disini adalah keadaan baru yang bersifat dan mempunyai kualitas “menimbulkan dugaan kuat” : (i) Seandainya apabila keadaan baru tersebut ditemukan dan diketahui untuk kemudian dikemukakan pada saat sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum. (ii) Seandainya keadaan baru tersebut ditemukan dan diketahui pada saat sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. (iii) Keadaan baru tersebut dapat menjadi alasan dan faktor
untuk
menjatuhkan
putusan
dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan dari apa
yang
telah
diputuskan.
(Yahya
Harahap,
2000:620) (b) Apabila
dalam
berbagai
putusan
terdapat
saling
bertentangan. Maksudnya di sini adalah jika dalam pelbagai putusan menyatakan bahwa suatu telah terbukti, namun hal yang dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah dinyatakan terbukti tersebut ternyata bertentangan
satu
dengan
yang
lainnya.
(Rusli
Muhammad, 2007: 285) (c) Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan. Hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan dan
kekeliruan.
commit to user
Inilah sebabnya maka
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekhilafan maupun kekeliruan dapat saja terjadi pada semua tingkat peradilan. Seperti halnya upaya hukum yang lain, untuk mengajukan peninjauan kembali undang-undang menetapkan tata caranya dalam Pasal 264 KUHAP yaitu : (1) Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama. (2) Permintaan peninjauan kembali disertai alasan-alasannya. Alasan-alasan tersebut dapat diutarakan secara lisan yang dicatat oleh panitera yang menerima peninjauan kembali tersebut. (3) Permintaan peninjauan kembali oleh panitera ditulis dalam surat
keterangan
yang
ditandatangani
panitera
serata
pemohon, dicatat dalam daftar dan dilampirkan dalam berkas perkara. (4) Ketua Pengadilan Negara menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. (5) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan penuntut umum ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. (6) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, penuntut umum, pemohon, dan panitera dan berdasarkan berita acara tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani hakim dan panitera. (7) Ketua
pengadilan
melanjutkan
permintaan
peninjauan
kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara to user pemeriksaan commit dan berita acara pendapat kepada Mahkamah
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Agung yang tembusan kata pengantarnya sampai kepada pemohon dan penuntut umum. Terdapat
prinsip-prinsip
peninjauan kembali.
yang
melekat
pada
upaya
Prinsip-prinsip ini semestinya perlu
ditingkatkan dalam hal penerapannya agar dalam proses dan pelaksanaanya dapat berjalan sebagaimana mestinya.(Yahya Harahap, 2002 : 639) (1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula. Prinsip ini terdapat pada Pasal 266 ayat (3), dimana pada dasarnya peninjauan kembali ini memang ditujukan bagi Terpidana untuk membela kepentingannya agar dapat terlepas dari ketidakbenaran hukum. Maka akan menjadi bumerang pagi diri pemohon sendiri apabila putusan yang dijatuhkan justru melebihi putusan semula. (2) Permintaan
peninjauan
kembali
tidak
menangguhkan
pelaksanaan putusan. Pengajuan peninjauan kembali buklan merupakan alasan yang dapat menghambat atau menghapus pelaksanaan putusan, sehingga proses permohonan dapat dilakukan di saat pelaksanaan putusan sedang berjalan pula. (3) Permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Hakim
Mahkamah
Agung
yang
memeriksa
permohonan peninjauan kembali dapat memutus permohonan peninjauan kembali berupa : (a) Menolak permintaan peninjauan kembali (b) Menerima permintaan peninjauan kembali. Dalam hal ini Hakim membenarkan alasan-alasan yang diutarakan to user pemohon,commit membatalkan putusan yang dimintakan
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peninjauan menjatuhkan
kembali,
dan
putusan
mengadili
yang
dapat
sendiri
serta
berupa(Leden
Marpaung, 2000: 78) : (i) putusan bebas (ii) putusan lepas dari segala tuntutan hukum (iii)putusan tidak dapat menerima tuntutan dari Penuntut Umum (iv) Putusan yang menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 2. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim KUHAP menyatakan bahwa putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Putusan merupakan hasil dari pemeriksaan persidangan yang dikeluarkan oleh majelis hakim, maka dalam mengambil keputusan seorang hakim harus mempertimbangkan segala sisi dari kasus yang sedang diperiksanya agar diperoleh putusan yang seadil-adilnya. Pertimbangan hakim tersebut harus meliputi pertimbangan yang bersifat yuridis maupun non yuridis. a. Pertimbangan bersifat yuridis Pertimbangan ini berupa pertimbangan yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang yang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan. Hal-hal tersebut diantaranya : commit to user 1) Dakwaan jaksa penuntut umum
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana yang di dalamnya berisi identitas terdakwa dan juga uraian mengenai tindak pidana yang didakwakan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan. (Rusli Muhammad , 2007 :212) 2) Keterangan Terdakwa Pasal 184 KUHAP menggolongkan keterangan terdakwa sebagai salah satu alat bukti. Keterangan terdakwa menurut Pasal 189 ayat (1) adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Oleh karena itu, dalam persidangan terdakwa menjelaskan mengenai perbuatan yang ia lakukan atau apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Yahya Harahap menguraikan beberapa asas yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menilai apakah keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang, yaitu : a) Keterangan dinyatakan dalam sidang pengadilan b) Keterangan tersebut berisi mengenai perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ( Yahya Harahap, 2002 : 320 )
3) Keterangan saksi Keterangan saksi dapat dijadikan alat bukti apabila keterangan tersebut mengenai suatu peristiwa pidana yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri. Selain itu, keterangan tersebut harus disampaikan dalam persidangan di bawah sumpah. Melalui keterangan saksi commit inilah akan terungkap perbuatan pidana yang to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi dan memperjelas siapa pelakunya. Maka dari itu, keterangan saksi seringkali menjadi pertimbangan utama bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. 4) Barang bukti Barang bukti merupakan semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan. (Rusli Muhammad , 2007 :214). Di dalam KUHAP, pengaturan mengenai barang bukti ini tercantum pada Pasal 46 ayat (2),Pasal 181, dan Pasal 194 (2). Fungsi utama dari barang bukti adalah untuk menambah keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa ( Djoko Prakoso, 1988 : 146 ). Dari barang bukti inilah hakim dapat lebih mengetahui bagaimana tindak pidana dilakukan oleh terdakwa ataupun apa akibat dari perbuatan pidana terdakwa, dan juga apa hasil dari perbuatan tersebut. Melalui barang bukti ini juga jaksa penuntut umum dapat memperkuat dakwaan yang diberikan pada terdakwa. 5) Pasal-pasal peraturan hukum pidana Pasal-pasal peraturan pidana ini bermula pada surat dakwaan jaksa penuntut yang diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa. Pasal-pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau tindakan oleh hakim (Rusli Muhammad , 2007 :215). Pasal 197 KUHAP menentukan bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Berdasarkan ketentuan inilah maka setiap putusan pengadilan selalu mempertimbangkan Pasalpasal atau peraturan hukum yang menjadi dasar pemidanaannya. b. Pertimbangan nonyuridis Pertimbangan yang dapat digolongkan sebagai pertimbangan to user dilakukannya perbuatan pidana, nonyuridis antara laincommit latar belakang
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akibat-akibat yang ditimbulkan, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan keluarga terdakwa, serta faktor agama. (1) Latar belakang perbuatan terdakwa Hal ini merupakan motivasi atau dorongan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dorongan ini dapat berupa dalam berbagai macam hal, misalnya saja karena keadaan ekonomi. Keadaan ekonomi yang semakin sulit merupakan faktor utama yang sangat umum dijumpai menjadi penyebab dilakukannya tindak pidana oleh terdakwa. (2) Akibat perbuatan terdakwa Setiap perbuatan pidana pasti menimbulkan akibat atau korban yang merugikan pihak lain. Namun, tidak selamanya akibat ini menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. (3) Kondisi diri terdakwa Kondisi diri terdakwa ini meliputi kondisi fisik dan juga psikis sebelum ia melakukan perbuatan pidana, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya. (4) Keadaan sosial ekonomi terdakwa KUHP maupun KUHAP tidak mengatur mengenai keadaan sosial ataupun ekonomi terdakwa harus dipertimbangkan di dalam menjatuhkan putusan. Hal ini berbeda dengan konsep KUHP baru dimana terdapat ketentuan mengenai pedoman pemidanaan yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Berdasarkan konsep tersebut, salah satu yang harus menjadi pertimbangan hakim adalah keadaan ekonomi dan sosial pelaku pidana, misalnya tingkat pendapatan dan biaya hidupnya. (Rusli Muhammad , 2007 :219). commit to user (5) Faktor agama terdakwa
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hakim terikat pada ajaran agama yang terletak pada kepala putusan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Hal ini juga harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan (Rusli Muhammad , 2007 :220). c. Tinjauan tentang Tindak Pidana Penghancuran atau Perusakan barang a) Pengertian Tindak Pidana Dalam bahasa Belanda istilah tindak pidana dikenal dengan strafbaar feit. Tindak pidana yang sering disebut juga dengan delik adalah suatu perbuatan dimana pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Para ahli memberikan pendapatnya mengenai unsur-unsur dari tindak pidana, salah satunya adalah Moeljatno yang berpendapat bahwa terjadinya tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : (Adami Chazawi, 2001 : 79) 1) Perbuatan 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum) 3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar) Dari unsur-unsur yang dikemukakan oleh Moeljatno di atas, dapat diketahui bahwa subjek dari tindak pidana ialah seseorang manusia. Meskipun dalam perkembangannya badan hukum dapat dikenai sebagai subjek dari tindak pidana. Subjek tersebut harus melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum, dan karena perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tersebut, maka orang tersebut dapat dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang commit to user berlaku.
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Wirjono Projodikoro, wujud perbuatan dari tindak pidana dapat dilihat dari unsur-unsur perumusannya pada Pasal-Pasal yang terdapat pada KUHP. Misalnya saja tindak pidana mencuri, perbuatannya dirumuskan sebagai mengambil barang. Hal ini merupakan perumusan secara formal, yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu gerakan tertentu dari badan seseorang. Selain itu, terdapat perumusan secara materiel, yaitu memuat mengenai akibat yang disebabkan oleh perbuatannya. Akibat ini adalah suatu kerugian pada kepentingan
orang
lain
ataupun
kepentingan
negara.(Wirjono
Pojodikoro, 2002: 56). Kejahatan perusakan dan penghancuran benda (verneiling of beschadiging van goederen), diatur pada KUHP buku kedua bab XXVII. Terdapat 6 Pasal yaitu Pasal 406 sampai dengan 412, mengatur tentang kejahatan-kejahatan yang mengandung unsur merusak atau tingkah laku yang mengandung sifat demikian terhadap suatu benda. Pada Pasal 406 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai lagi atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Dari ketentuan Pasal tersebut di atas, seseorang dapat dikatakaan melakukan tindak pidana penghancuran atau perusakan barang apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1) Unsur-unsur objektif : a) Perbuatan : (1) Menghancurkan Perbuatan menghancurkan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan merusak pada suatu benda sedemikian rupa commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehingga benda tersebut tidak dapat diperbaiki lagi. Hancur adalah sama sekali rusak. ( Moch. Anwar S.H. , 1982 : 75) (2) Merusakkan. Merusakkan adalah perbuatan merusak terhadap suatu benda yang menimbulkan akibat yang tidak berat terhadap benda itu, ataupun hanya sebagian dari benda tersebut yang terkena akibatnya.Benda masih dapat digunakan.( Moch. Anwar, 1982 : 76) (3) Membikin tidak dapat dipakai. Membikin tidak dapat dipakai adalah suatu perbuatan yang dilakukan pada suatu benda yang membuat benda tersebut tidak dapat dipakai lagi seperti fungsi benda tersebut yang seharusnya. b) Objek : (1) Suatu benda. Benda disini merupakan sesuatu yang menjadi obyek perusakan, penghancuran, maupun membikin tidak dapat dipakai dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. (2) Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Bahwa objek dari perusakan, penghancuran, maupun membikin tidak dapat dipakai bukanlah barang bebas, namun di bawah kekuasaan perorangan maupun kelompok orang. 2) Unsur-unsur subjektif : a) Dengan sengaja. Dalam hal ini petindak dengan sadar melakukan perbuatan yang dilakukannya dan juga menghendaki akibat yang ditimbulkannya. b) Melawan hukum. commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dapat diartikan bahwa melawan hukum itu petindak memiliki kesadaran
bahwa
melakukan
perbuatan
merusak,
menghancurkan, maupun membikin tidak dapat dipakai lagi barang yang bukan miliknya adalah bertentangan dengan hukum. Bertentangan dengan hukum harus diartikan secara luas bukan saja dengan hukum tertulis atau undang-undang, akan tetapi bertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat. Bertentangan dengan yang dikehendaki artinya perbuatan itu tidak boleh dilakukan. Dalam Pasal 406 ayat 1 ini, unsur dengan sengaja terpisah dari kata-kata melanggar hukum dengan kata “dan”. Menurut Wirjono Projodikoro, hal ini berarti petindak atau pelaku tidak perlu tahu bahwa ia melanggar hukum dengan perbuatannya. Tetapi ia harus tahu bahwa barang itu kepunyaan orang lain baik seluruhnya ataupun sebagian. (Wirjono Projodikoro, 2002 : 75)
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Kasus penghancuran atau perusakan barang NO.15 PK/PID/2006
Tingkat Pengadilan Negeri dijatuhi pidana
Upaya Hukum
Banding, diputus bebas
Banding (Ps 233-243 KUHAP)
PU mengajukan Kasasi, ditolak dan diputus lepas dari tuntutan hukum
Kasasi Pasal 244 KUHAP : dapat diajukan kecuali putusan bebas
PU mengajukan peninjauan kembali.
Peninjauan Kembali Pasal 263 ayat (1) : diajukan oleh Terpidana atau ahli warisnya kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
Pertimbangan hakim MA memutus PK berupa pemidanaan
Keterangan : Hukum menyediakan sarana atau upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusan yang disebut upaya hukum. Upaya hukum yang pertama kali dapat commitoleh to user dilakukan setelah perkara diputus Pengadilan tingkat pertama adalah
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
banding. Begitu pula yang dilakukan oleh terdakwa pada kasus penghancuran atau perusakan barang NO. 15 PK/PID/2006. Setelah diputus pidana selama empat bulan penjara, yang bersangkutan mengajukan banding. Pada tingkat banding, terdakwa diputus bebas. Terhadap putusan bebas ini, anehnya penuntut umum mengajukan kasasi. Padahal di dalam Pasal 244 KUHAP dengan jelas mengatur bahwa kasasi dapat diajukan kecuali terhadap putusan bebas. Kasasi tersebut ditolak dan terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum oleh hakim Mahkamah Agung. Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, jaksa penuntut umum dengan segala konstruksi hukumnya pada tanggal 28 Juli 2005 mengajukan peninjauan kembali. Kemudian dengan segala pertimbangannya, pada tanggal 19 Juni 2006 ,melalui putusan
No.15 PK/Pid/2006 hakim
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pengajuan peninjauan kembali tersebut. Dalam putusan tersebut Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana pengrusakan dan dihukum selama 4 (empat) bulan penjara. Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah diatur di dalam KUHAP. Menjadi hal yang menarik untuk dikaji, karena secara jelas Pasal 263 ayat 1 mengatur bahwa peninjauan kembali hanya boleh diajukan oleh Terdakwa atau ahli warisnya, dan kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Hukum Penuntut Umum Dalam Mengajukan Peninjauan Kembali Atas Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Pada Perkara Penghancuran Atau Perusakan Barang 1. Kasus Posisi Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih didakwa melakukan perusakan atau penghancuran barang milik korban yaitu Muhtar Zaini, penyewa rumah petak milik orangtua terpidana. Berlatarbelakang tidak pernah dihuninya rumah petak yang disewakan pada korban dan tidak dibayarnya uang sewa, membuat Terdakwa nekat untuk memaksa masuk rumah tersebut. Terdakwa masuk rumah petak yang disewakan tersebut dengan cara merusak kunci dan pintu dan kemudian mengeluarkan barangbarang yang ada di dalamnya. Setelah mengetahui kunci dan pintu rumah yang disewanya rusak, korban memperbaiki dan mengganti kunci baru, namun ternyata keesokan harinya kunci tersebut dirusak lagi oleh terdakwa. Hal inilah yang membuat korban kesal dan melaporkan perbuatan terdakwa kepada kepolisian. 2. Identitas Terpidana Nama
: Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih
Tempat lahir
: Jambi
Umur / tanggal lahir
: 43 Tahun/4 Juli 1960
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kebangsaan
: Indonesia commit to user
33
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tempat tinggal
: Lrg. Gembira Rt.01/01, Kelurahan Tanjung Pinang, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi
Agama
: Budha
Pekerjaan
: Tidak Ada
3. Dakwaan Terdakwa didakwa oleh penuntut umum secara alternatif yaitu : PERTAMA: Bahwa ia Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat Terdakwa dengan pasti, dalam bulan November 2002 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2002 sampai dengan Tahun 2003, bertempat Lorong Gembira Rt.01/01, Kelurahan Tanjung Pinang, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi atau setidak-tidaknya pada salah satu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jambi di Jambi, dengan sengaja membinasakan atau merusakkan sesuatu rumah atau bangunanbangunan, perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang yaitu sebuah rumah/satu unit rumah petak/bedeng yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut: Bahwa rumah dalam keadaan kosong dan pintu rumah dikunci dibuka paksa dengan ditarik pintu oleh Terdakwa sampai terbuka, lalu Terdakwa masuk kedalam rumah, kemudian ditutup kembali pintu yang sudah dirusak, dikunci oleh Terdakwa, dengan rantai sepeda, oleh pelapor Muhtar Zaini selaku pemilik yang menguasai rumah tersebut kunci rantai sepeda tersebut diganti dengan kunci baru, oleh Terdakwa kunci pintu yang baru dipasang tersebut dibuka lagi secara paksa hingga rusak oleh Terdakwa dengan jalan ditarik, lalu masuk rumah dan lalu Terdakwa mengecat rumah tersebut bagian depannya; commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Atas perbuatan tersebut Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat 1 ke-e KUHP atau; KEDUA : Bahwa ia Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih pada waktu serta tempat sebagaimana diterangkan dalam dakwaan pertama di atas, dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, berupa pinti rumah dan kunci rumah milik Muhtar
Zaini,
yang
dilakukan
Terdakwa
dengan
cara-cara
sebagaimana telah diterangkan dalam dakwaan pertama di atas Atas perbuatan tersebut Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 406 ayat 1 KUHP atau; KETIGA: Bahwa ia Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih pada waktu serta tempat sebagaimana diterangkan dalam dakwaan pertama di atas, dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan, tiada melakukan atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan sesuatu perbuatan lain ataupun dengan perbuatan yang tak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain, ataupun ancaman dengan perbuatan yang tak menyenangkan akan melakukan sesuatu itu, baik terhadap orang itu maupun orang lain, dimana Terdakwa secara paksa membuka/merusak pintu rumah berikut kunci milik Muhtar Zaini, yang dilakukan Terdakwa dengan cara cara sebagaimana telah diterangkan dalam dakwaan pertama di atas Atas perbuatan tersebut Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 335 ayat ( 1 ) ke 1e KUHP
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
4. Tuntutan Pidana a. Menyatakan Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan melawan hak merusakkan pintu, kunci, kusen dan WC sehingga tidak dapat dipakai lagi, yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, jika dinilai dengan uang kerugian setidak-tidaknya lebih dari Rp.250,sebagaimana diatur dalam Pasal 406 ayat ( 1) KUHP dalam surat dakwaan kedua; b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan penjara dikurangi selama ditahan; c. Menyatakan barang bukti berupa : 1) Satu lembar Surat Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Petak tanggal 15 Desember 1965 dikembalikan kepada yang berhak yaitu Muhtar Zaini; 2) Sertifikat Tanah Nomor 32 dikembalikan kepada yang berhak yaitu Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih; 3) Satu Unti rumah petak di Rt.01/01, Kelurahan Tanjung Pinang, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi, dikembalikan kepada penyewa melalui Muhtar Zaini; d. Menetapkan agar Terdakwa jika ternyata bersalah dan dijatuhi pidana, dibebani membayar biaya perkara Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri
Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor :239/Pid.B/2003/ PN.Jbi tanggal 7 Agustus 2003 sebagai berikut : a. Menyatakan Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih tersebut di atas telah commit terbuktitosecara user sah dan meyakinkan bersalah
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan melawan hak melakukan pengrusakan terhadap barang sehingga tidak dapat dipakai lagi; b. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan; c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa supaya dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; d. Menetapkan Terdakwa agar dikeluarkan dari tahanan rumah; e. Menetapkan agar barang bukti berupa 1 (satu) lembar surat perjanjian sewa menyewa rumah petak tanggal 15 Desember 1965 dikembalikan kepada yang berhak yaitu Muhtar Zaini, Sertifikat tanah No.32 dikembalikan kepada yang berhak yaitu Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih.
6. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Amar putusan Pengadilan Tinggi Jambi No. 70/Pid/2003/PT.Jbi tanggal 7 Oktober 2003 : b. Menyatakan permohonan banding dari Terdakwa dapat diterima; c. Membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Jambi
Nomor
:239/Pid.B/2003/ PN.Jbi tanggal 7 September 2003 yang dimohonkan banding tersebut; MENGADILI SENDIRI a. Menyatakan Terdakwa Soetiyawati alias AHUA binti Kartaningsih tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadap dirinya; b. Membebaskan Terdakwa dari semua dakwaan; c. Menetapkan agar Terdakwa dibebaskan dari penahanan rumah yang sedang dijalaninya; d. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan , harkat dan martabatnya; e. Menetapkan agar barang bukti berupa commit to user :
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surat perjanjian sewa menyewa rumah petak tanggal 15 Desember 1965 yang bermeterai dikembalikan kepada Kenaza Zaini alias Tjoa Kang Guan, sedang yang tidak bermeterai tetap terlampir dalam berkas perkara; Sertifikat tanah No.32 Kelurahan Tanjung Pinang, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi Propinsi Jambi dikembalikan kepada Terdakwa;
7. Amar Putusan Kasasi Amar putusan Mahkamah Agung RI No.384 K/Pid/2004 tanggal 21 September 2004 yang amar lengkapnya sebagai berikut : a. Menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAMBI tersebut; b. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jambi tanggal 7 Oktober 2003 No.70/Pid/2003/PT.Jbi; DAN MENGADILI SENDIRI; a. Menyatakan Terdakwa Soetiyawati alias AHUA binti Kartaningsih tersebut di atas terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan/tindak pidana; b. Melepaskan ia Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum; c. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; d. Menetapkan agar barang bukti berupa : 1) Surat perjanjian sewa menyewa rumah petak tanggal 15 Desember 1965 yang bermeterai dkembalikan kepada Kenaza Zaini alias Tjoa Kang Guan, sedang yang tidak bermeterai tetap terlampir dalam berkas perkara; 2) Sertifikat Hak Milik No.32 Kelurahan Tanjung Pinang Darat, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi Propinsi Jambi dikembalikan kepadaTerdakwa;
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Rumah yang berdiri di atas tanah tersebut, dalam sertifikat Hak Milik di atas yakni di Rt.01/01 Lorong Gembira, Kelurahan Tanjung Pinang Darat, 4) Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi atas nama The A Tie dikembalikan/ diserahkan kepada Terdakwa ; e. Membebankan biaya perkara dalam tingkat Kasasi ini kepada Negara.
8. Alasan-Alasan Permohonan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali dimana dalam kasus ini adalah penuntut umum pada pokoknya sebagai berikut : a. Judex juris tidak mempertimbangkan sama sekali dalam pertimbangan hukumnya tentang memori kasasi dari pemohon kasasi, akan tetapi judex juris langsung menyatakan menolak kasasi jaksa penuntut umum. Bahwa untuk lebih jelasnya akan kami kutip pertimbangan hukum judex juris yang kurang pertimbangan hukumnya tersebut pada halaman 8 alinea 1 yang menyatakan : “Menimbang,
bahwa
oleh
karena
Permohonan
Kasasi
Jaksa/Penuntut Umum ditolak dan Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan, maka biaya perkara dibebankan kepada Negara”; Bahwa pertimbangan hukum judex juris yang secara langsung menolak permohonan Kasasi dari Jaksa Penuntut Umum tanpa pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas secara yuridis formil adalah memperlihatkan suatu kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dari Majelis Hakim Kasasi, karena kurang pertimbangan hukumnya yang mengakibatkan putusan judex yuris tersebut sudah sepatutnya dibatalkan oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali; commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bahwa secara yuridis apabila judex yuris dalam pertimbangan hukumnya mempertimbangkan memori Kasasi dari Pemohon Kasasi (Jaksa Penuntut Umum), yang antara lain dalam memori kasasinya menyatakan: Bahwa secara yuridis formil antara Terdakwa dengan penyewa (saksi korban) belum ada pemutusan hubungan sewa menyewa rumah petak tersebut, sehingga menurut hukum dan secara yuridis penyewa masih berhak menguasai rumah yang disewanya; Bahwa, oleh karena secara formil belum ada pemutusan hubungan sewa penyewa rumah, maka sudah pasti secara materiel juga belum ada penyerahan oleh penyewa (saksi korban kepada pihak yang menyewakan (Terdakwa). Sehingga tindakan Terdakwa yang telah melakukan pengrusakan terhadap pintu rumah, kunci, kusen, dan WC serta membuang kunci gembok yang baru dibeli dan dipasang yang merupakan milik penyewa (saksi korban) dan mengeluarkan harta benda milik penyewa dari rumah yang disewanya tersebut adalah suatu tindak pidana yang dimaksud dan diatur dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP sebagaimana surat dakwaan kedua; Bahwa apabila judex yuris dalam pertimbangan hukumnya mempertimbangkan memori Kasasi dari Jaksa Penuntut Umum, tentunya putusan perkara ini akan menjadi lain dan sudah pasti perbuatan terdakwa akan terbukti melanggar ketentuan Pasal 406 ayat (1) KUHP dan Terdakwa dijatuhi hukuman; Bahwa sebagai bahan kajian dan pertimbangan hukum, di dalam ketentuan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.313 K/Sip/1960 tertanggal 19 Oktober 1960, dikatakan: “Penjualan sebidang tanah tidak mengakibatkan putusnya perjanjian sewa menyewa yang telah ada antara penyewa dengan pemilik tanah yang lama”. Dan diperkuat pula berdasarkan yurisprudesni Mahkamah Agung RI No.1400 K/Sip/1974 tertanggal 18 November 1975, menyatakan : “Karena commit to user Penggugat membeli bangunan tersebut dalam keadaan terisi oleh
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tergugat dengan hak sewa, Penggugat tidak dapat menuntut pengosongan dengan alasan ia telah memiliki dan membutuhkan ruangan- ruangan yang dipakai Tergugat (azas koop breekt geen huur)”; Bahwa berdasarkan ketentuan 2 (dua) putusan yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut di atas sudah jelas bahwa hubungan sewa menyewa antara saksi korban dan orang tua Terdakwa masih tetap sah berlaku dan tidak menyebabkan putusnya sewa menyewa tersebut walaupun telah terjadi jual beli atas objek sewa, apalagi dalam perkara ini rumah petak (objek sewa tersebut) belum pernah diperjual belikan, sehingga secara yuridis hubungan sewa menyewa antara pihak orang tua Terdakwa dengan penyewa (saksi korban) tetap sah dan berlaku, dan karenanya penyewa masih berhak menguasai rumah yang disewanya tersebut. Maka secara yuridis Terdakwa selaku anak dari pemilik rumah perak yang disewakan tersebut adalah tidak berhak untuk merusak kunci, pintu rumah dan kusen, WC, serta mengeluarkan harta benda milik si penyewa yang ada dalam rumah sewaan tersebut, dan perbuatan Terdakwa tersebut adalah perbuatan melawan hukum yang merusak hak (kebendaan) si penyewa (saksi korban); Bahwa apabila sekiranya memori kasasi Jaksa Penuntut Umum sebagaimana hal tersebut di atas dipertimbangan dalam pertimbangan hukumnya oleh judex yuris, maka seharusnya Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHP Ex Dakwaan Kedua dan Terdakwa haruslah dijatuhi hukuman dan bukannya dilepaskan dari segala tuntutan hukum b. Bahwa judex yuris dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 7 pada poin menimbang (alinea I) juga telah memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata (ex Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP). Hal ini sebagaimana kami kutip pertimbangan hukum judex yuris tersebut adalah sebagaimana berikut : commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“ Menimbang, bahwa terlepas dari keberatan-keberatan Kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa oleh karena sejak tahun 1977 (selama 5 tahun lebih) rumah sewa sudah tidak dipergunakan lagi oleh penyewa rumah/pelapor, dan juga selama itu tidak pernah dibayar dan telah diminta secara baik-baik namun juga tidak diberikan……dst”. Bahwa pertimbangan hukum judex yuris tersebut di atas jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP. Karena secara fakta hukum pada tahun 1977 (seribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh) hubungan sewa menyewa masih berlangsung dan pelapor (saksi korban) pada kurun waktu tahun 1977 (seribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh) tersebut masih mendiami dan menempati rumah yang disewanya a quo; Bahwa kekhilafan yang nyata dari pertimbangan majelis Hakim Agung tersebut di atas yaitu: “Pertimbangan hukum yang menyatakan: bahwa rumah sengketa (rumah sewa) sudah tidak dipergunakan sejak tahun 1977 (seribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh); Padahal sejak terjadinya sewamenyewa antara saksi korban dengan orang tua Terdakwa pada tahun 1965 sebagaimana bukti surat sewa yang telah disita dan diajukan sebagai bukti surat sewa dalam perkara ini, secara fakta hukum rumah sewa tersebut masih dihuni oleh saksi korban sejak 1965 sampai dengan terjadinya peristiwa pengrusakan pintu kusen rumah tersebut, karena rumah sewa tersebut baru ditinggalkan selama kurang lebih 2 (dua) bulan oleh si penyewa yaitu tepatnya pada bulan Juni 2002, akan tetapi penguasaan penyewa tetap dan barang-barang perabotan berupa lemari dan barang-barang lain-lain milik penyewa tetap ada dalam rumah tersebut dan rumah sewa tersebut tetap dikunci oleh si penyewa (saksi korban); Bahwa akan tetapi ternyata Terdakwa dalam kurun waktu pada to user bulan November 2002commit telah membongkar paksa dengan cara merusak
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kunci dan kusen rumah sewa tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas terbukti kekhilafan yang nyata dari judex yuris dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa rumah sewa sudah tidak dipergunakan lagi sejak tahun1977 (seribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh) oleh si penyewa adalah pertimbangan yang sangat keliru, dan tidak dapat dibenarkan maka sudah jelas sepatutnya putusan judex yuris untuk dibatalkan oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali; Bahwa untuk membuktikan rumah sewa tetap dihuni dan dikuasai oleh penyewa dapat Jaksa/Penuntut Umum buktikan dari Novum surat-surat keterangan Camat setempat tertanggal 28 Juni 2005……(bukti Novum – 1 terlampir); Bahwa secara fakta hukum pembayaran sewapun masih terus dilakukan pembayarannya oleh pelapor (saksi korban), akan tetapi Terdakwa tidak mau menerimanya, maka pelapor /saksi korban terpaksa membayar sewa rumah petak tersebut dengan cara konsignasi pembayaran rumah sewa kepada Terdakwa melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri; (vide bukti konsignasi pembayaran uang sewa rumah petak oleh pelapor kepada Terdakwa melalui kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri Jambi), akan tetapi Terdakwa tetap tidak mau menerima pembayaran uang sewa tersebut dari si penyewa, (bukti novum-2 terlampir); Bahwa secara fakta hukum berdasarkan bukti Konsignasi Penitipan Uang kepada pihak Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh pelapor maupun surat keterangan Camat Jambi Timur yang menyatakan bahwa rumah petak tersebut masih didiami sampai dengan tahun 2002 oleh pihak pelapor (cq pembantu pelapor), maka secara fakta hukum jelas pertimbangan hukum judex yuris sebagaimana tersebut di atas yang menyatakan bahwa sejak tahun 1977, rumah sewa sudah lagi tidak dipergunakan oleh pelapor dan pelapor juga tidak pernah membayar uang sewa adalah pertimbangan yang mengandung commit to user kekeliruan dan kekhilafan yang nyata dari judex yuris dan karenanya
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jaksa Penuntut Umum selaku Pemohon Peninjauan Kembali berkesimpulan secara hukum sudah sepatutnya putusan Kasasi dalam perkara ini untuk dibatalkan; c. Bahwa putusan judex juris dalam perkara ini juga mengandung unsur suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, yaitu judex juris dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 7 baris ke-30. “Menimbang…..sehingga meskipun Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah atau
terhapus
unsur
melawan
hukumnya,
sehingga bukanlah
merupakan perbuatan pidana”; Bahwa secara yuridis pertimbangan hukum judex yuris tersebut di atas adalah pertimbangan hukum yang keliru dan mengandung kekhilafan Hakim yang nyata, dan karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah merupakan salah satu alasan hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bagi Jaksa Penuntut Umum dalam hal mengajukan permohoanan Peninjauan Kembali ini; Bahwa oleh karena judex yuris dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 7 baris ke 30 a quo menyatakan bahwa: Perbuatan pidana yang dituduhkan kepada Terdakwa telah dinyatakan judex yuris di dalam amar putusannya malah membebaskan/melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum, yang seharusnya secara limitatif yuridis justru putusan judex yuris a quo adalah putusan yang harus bersifat pemidanaan
(condemnatoir/putusan
yang
bersifat
menghukum
Terdakwa) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, maka sudah sepatutnya putusan judex yuris tersebut haruslah dibatalkan oleh majelis Hakim Peninjauan Kembali; d. Bahwa judex yuris memutus dan mengadili serta menandatangani putusan hanya 2 (dua) orang hakim yang mengakibatkan putusan batal demi hukum; Bahwa putusan Kasasi tersebut telah dibacakan dan commitKasasi to useryang terdiri dari: Sdr. H. Sunardi diputus oleh Majelis Hakim
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Padang, SH. (selaku Hakim Ketua) dan Sdr. Prof. DR.H. Muchsin, SH. serta Sdr. Prof. DR. H. Kaimuddin Salle, SH. (Hakim-Hakim Anggota) pada tanggal 21 September 2004 (vide putusan Kasasi halaman 8 terakhir). Akan tetapi anehnya/ kejanggalannya putusan judex yuris tersebut hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang hakim anggota yakni sdr. Prof. DR.H. Muchsin, SH. serta Sdr. Prof. DR. H. Kaimuddin Salle, SH. dengan alasan karena Ketua Majelis Hakim Sdr. H. Sunardi Padang, SH. telah meninggal dunia pada tanggal 4 Desember 2004; Bahwa suatu hal yang sangat naif dan ganjil apabila Ketua Majelis Sdr. H. Sunardi Padang, SH. setelah membacakan putusannya pada tanggal 21 September 2004 tidak menandatangani putusan tersebut, dan putusan tersebut baru ditandatangani oleh 2 (dua) orang Hakim Anggota pada tanggal 4 Desember 2004 dengan alasan karena Ketua Majelis Sdr. H. Sunardi Padang, SH. baru meninggal dunia pada tanggal 4 Desember 2004 oleh karenanya putusan Kasasi tersebut adalah batal demi hukum.
9. Pembahasan Konstruksi hukum digunakan ketika hukumnya tidak atau belum ada, atau hukumnya tidak mengatur, dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum (legal vacuum) terhadap suatu hal. Dalam suatu hal hukumnya tidak mengatur, maka digunakan penerobosan hukum seperti dalam kasus a quo. Penerobosan Hukum dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap ketentuan dalam KUHAP mengenai Peninjauan Kembali. Upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa dimana memberikan kesempatan bagi Terdakwa untuk meninjau kembali putusan yang telah berkekuatan tetap yang dijatuhkan kepadanya. Pada Pasal 263 ayat 1 KUHAP telah diatur bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh Terdakwa atau commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ahli warisnya. Selain itu, sekalipun upaya ini dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun terdapat pengecualian, dimana terhadap putusan bebas dan putusan lepas dari tuntutan hukum tidak dapat diajukan. Menurut Yahya Harahap pengecualian ini logis karena tujuan peninjauan kembali dimaksudkan agar Terdakwa dapat membela kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya. (Yahya Harahap, 2002 : 616) Jelas, pengajuan peninjauan kembali oleh penuntut umum pada kasus ini tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP. Tidak hanya itu, penuntut Umum melakukan penerobosan-penerobosan hukum, yaitu mengajukan kasasi terhadap putusan bebas dimana secara tegas dalam Pasal 244 KUHAP telah diatur bahwa kasasi dapat diajukan terhadap semua putusan kecuali putusan bebas. Selain itu penuntut umum juga mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum. Pasal 263 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa : Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar : a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata. commityang to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Alasan pada poin pertama pengajuan peninjauan kembali pada kasus perusakan atau penghancuran barang dengan Terdakwa Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih adalah judex juris yang tidak mempertimbangkan sama sekali dalam pertimbangan hukumnya tentang memori kasasi dari pemohon kasasi. Dalam hal ini, pemohon berpendapat bahwa judex juris yang langsung menolak kasasi yang diajukan oleh penuntut umum telah membuktikan adanya kekhilafan hakim. Sebab apabila judex juris mempertimbangkan memori kasasi dari pemohon kasasi maka putusan perkara ini akan menjadi lain dan tentunya perbuatan dari Terdakwa akan terbukti melanggar ketentuan Pasal 406 ayat (1) KUHP dan terdakwa dijatuhi hukuman. Menurut penulis, alasan peninjauan kembali di atas tidak tepat. Hal ini dikarenakan dalam melakukan pemeriksaan kasasi tidak selamanya Mahkamah Agung hanya bertitik tolak pada memori kasasi yang diajukan oleh pemohon. Atas “alasan sendiri” Mahkamah Agung dapat menilai tepat tidaknya putusan yang dikasasi. Sebagai kekuasaan tertinggi kehakiman yang bertindak mengawasi tegaknya hukum dan keadilan, Hakim Mahkamah Agung dapat melakukan hal tersebut. Jika dianggapnya perlu, dapat menyingkirkan memori kasasi dan langsung menilai dan memutus atas alasan sendiri. Tentu saja hal ini dilakukan apabila semua keberatan kasasi yang diajukan tidak satupun mengenai sasaran makna yang terkandung pada 253 ayat (1). (Yahya Harahap, 2002 : 590) Selanjutnya, alasan diajukannya peninjauan kembali adalah pada pertimbangannya, judex juris menyatakan bahwa sejak tahun 1977 atau selama lebih dari lima tahun rumah sewa sudah tidak pernah dipergunakan lagi dan selama itu pula uang sewa tidak pernah dibayarkan meskipun telah diminta baik-baik. Pertimbangan hukum judex juris inilah yang menurut penuntut umum menunjukakan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Hal ini dikarenakan to user secara fakta hukum, commit sejak terjadinya sewa-menyewa antara saksi
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
korban dengan orang tua Terdakwa pada tahun 1965 hingga terjadinya peristiwa perusakan pintu kusen rumah tersebut, rumah sewa itu masih dihuni oleh saksi korban. Namun memang, selama dua bulan rumah tersebut ditinggalkan oleh si penyewa akan tetapi penguasaan penyewa tetap dan barang-barang perabotan milik penyewa masih ada dalam rumah. Penuntut umum juga berargumen secara fakta hukum pembayaran sewa juga masih terus dilakukan pembayarannya oleh saksi korban, akan tetapi Terdakwa tidak mau menerimanya. Hal inilah yang membuat saksi korban terpaksa membayar yang sewa dengan cara konsinyasi pembayaran rumah sewa kepada Terdakwa melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri. Argumentasi penuntut umum di atas, dikuatkan melalui bukti novum -1 yang membuktikan rumah sewa masih tetap dihuni dan dikuasai oleh penyewa. Novum ini berupa surat keterangan Camat setempat tertanggal 25 Juni 2005. Selain itu penuntut umum juga melampirkan bukti novum -2 berupa konsinyasi pembayaran uang sewa rumah petak oleh saksi korban kepada Terdakwa melalui kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri Jambi yang membuktikan bahwa saksi korban masih tetap membayar uang sewa rumah. Alasan kedua peninjauan kembali yang tersebut di atas, sudah sesuai dengan apa yang ditentukan pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Pertimbangan judex juris memperlihatkan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Diajukannya dua novum yang
berupa pembuktian tetap dihuninya rumah tersebut dan tetap dibayarnya uang sewa rumah merupakan
bukti baru yang dapat
dijadikan landasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali atau dengan kata lain, novum yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali ini merupakan bukti yang bersifat menentukan. Pada alasan peninjauan kembali selanjutnya, penuntut umum commit topertimbangan user mempermasalahkan mengenai hukum judex juris yang
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana. Hal ini menjadi salah satu yang membuat penuntut umum mengajukan peninjauan kembali dengan menjabarkan mengenai Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang berbunyi “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Atas dasar ketentuan inilah penuntut umum mengajukan peninjauan kembali atas putusan kasasi yang berupa lepas dari tuntutan hukum. Terhadap hal yang dijabarkan pada poin ketiga alasan peninjauan kembali ini, penulis berpendapat bahwa hal tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan ketentuan pada Pasal 263 ayat 3 KUHAP ini hingga sekarang masih menimbulkan perdebatan. Peninjauan kembali oleh Penuntut Umum telah dengan tegas tidak diperbolehkan dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, namun dikarenakan bunyi Pasal tersebut yang dapat menimbulkan multi tafsir, yaitu rumusannya yang mencantumkan kata-kata ”kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” justru menimbulkan ketidakjelasan. Hal ini dikarenakan disitu terdapat kata ”kecuali” yang dapat ditafsirkan terdapat hal lain yang tidak dikecualikan oleh undang-undang yang boleh dilakukan oleh Jaksa penuntut umum. ( Marcus Priyo Gunarto. 2009:475) Selain itu, terdapat aturan-aturan lain yang seolah-olah memberikan kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukannya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 23 ayat 1 Undangundang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila commit tertentu to user yang ditentukan dalam UU.” terdapat hal atau keadaan
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ketentuan inilah yang sering dijadikan argumentasi hukum bagi Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali karena merasa mereka merupakan bagian dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam kasus tersebut. Aturan lain yang sering dijadikan pijakan bagi Penuntut Umum menempuh upaya peninjauan kembali khususnya bagi putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang berbunyi “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Bunyi Pasal ini secara tersirat dapat disimpulkan bahwa apabila putusan berupa lepas dari tuntutan hukum, maka putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali. Dari ketentuan inilah jaksa penuntut umum membangun argumentasi hukumnya untuk membenarkan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali olehnya khususnya dalam kasus perusakan atau penghancuran barang oleh terdakwa Soetyawati alias Ahua binti Kartaningsih. Menurut penulis, dikarenakan penafsiran ketentuan Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang masih menimbulkan perebatan, maka seyogyanya alasan ini tidak diajukan. Alasan terakhir pemohon peninjauan kembali adalah putusan kasasi yang telah dibacakan dan diputuskan pada tanggal 21 September 2004 tidak ditandatangani oleh Ketua Majelis yaitu H. Sunardi Padang, SH dan hanya ditandatangani oleh dua orang hakim anggota yaitu Prof. DR. H. Muchsin, SH dan Prof. DR. H. Kaimuddin Salle, SH. Hal ini terjadi dikarenakan Ketua Majelis telah meninggal dunia pada tanggal 4 Desember 2004. Oleh karena alasan inilah penuntut umum berpendapat bahwa putusan Kasasi seharusnya batal commit to user demi hukum.
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan uapabila diucpkan di sidang yang terbuka untuk umum. Selain itu, ketentuan lain yang mengatur mengenai putusan terdapat pada Pasal 197 yang berbunyi : Ayat (1) putusan pemidanaan memuat a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan f) Pasal
peraturan
perundang-undangan
yang
menjadi
dasar
pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau commit to user dibebaskan;
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera; Ayat (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ayat (3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini. Apabila dicermati, maka tidak ada ketentuan yang mensyaratkan tanda tangan Ketua Majelis dalam suatu putusan. Berdasarkan hal ini, maka alasan peninjauan kembali yang mempermasalahkan mengenai tidak adanya tandatangan Ketua Majelis pada putusan kasasi merupakan alasan yang kurang tepat. Selama putusan tersebut dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum dan memenuhi hal-hal yang terdapat pada ketentuan Pasal 197 KUHAP, maka putusan tersebut sah dan berkekuatan hukum. Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh penuntut umum di atas, maka dapat dikatakan alasan peninjauan kembali yang menjadi salah satu syarat penting dalam pengajuannya telah dipenuhi. Namun kembali pada ketentuan KUHAP Pasal 263 ayat (1) jelas dari sisi kepastian hukum, peninjauan kembali yang diajukan terhadap putusan lepas dari segala tuntutan telah melanggar nilai-nilai kepastian hukum. Namun perlu diketahui, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Gustav Radbruch yang juga telah menjadi suatu doktrin, bahwa dalam hukum terdapat 3 nilai , yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Untuk memperoleh keadilan, dalam hal ini adalah keadilan bagi saksi korban, maka kepastian dapat dikesampingkan. Letak konstruksi hukum penuntut umum dalam mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan lepas yang sesungguhnya secara normatif dalam kuhap tidak diperbolehkan adalah hal-hal yang menegaskan dan menekankan keadilan bagi saksi korban. commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konstruksi hukum Penuntut Umum dalam mengajukan PK terhadap putusan bebas dapat dilihat dari alasan-alasan PK dimana terdapat poin-poin yang memperhatikan keadilan bagi saksi korban. Tepatnya pada poin kedua yang menjadi alasan pengajuan peninjauan kembali, dimana judex juris yang menyatakan bahwa saksi korban tidak pernah membayar uang sewa dari tahun 1977 dan juga tidak lagi menempati rumah sewa tersebut bertolak belakang dengan fakta hukum yang dipaparkan dalam persidangan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan hakim pada tingkat kasasi memutus Terdakwa dengan putusan lepas dari tuntutan hukum. Maka dari itu, penuntut umum yang dapat dikatakan mewakili pihak korban merasa perlu meninjau kembali putusan kasasi tersebut sebagai jalan bagi pihaknya untuk mencari serta menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama pada hukum.
B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Mengabulkan Peninjauan Kembali Yang Diajukan Oleh Penuntut Umum Atas Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Perkara Penghancuran Atau Perusakan Barang Dalam Putusan Mahkamah Agung
1. Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali Pertimbangan Hakim Dalam Menerima Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Penuntut Umum : Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan apakah permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum/saksi korban/pihak ketiga yang berkepentingan tersebut secara formil dapat diterima, mengingat Pasal 263 ayat 1 KUHAP secara limitatif sekali, menentukan bahwa yang berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali hanya Terdakwa commit to user atau ahli warisnya dan putusan
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dapat dimohonkan Peninjauan Kembali tidak boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan hukum; Menimbang, bahwa sehubungan dengan hal tersebut Mahkamah Agung menganggap perlu untuk mengemukakan hal-hal sebagai berikut : a. Bahwa ditinjau dari teori dan praktek yurisprudensi, dibenarkan melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau overrule maupun depature. Akan tetapi, ada yang berpendapat penafsiran ekstensif tidak dibenarkan dalam bidang hukum acara. Alasannya, hukum acara (terutama acara pidana) adalah “hukum publik” yang bersifat “imperative”, prinsipnya sebagai hukum public yang bersifat imperative, berfungsi sebagai the rule of the game. Tidak boleh dikesampingkan melalui penafsiran luas oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ketentuan hukum acara tidak boleh dikesampingkan
melalui
tindakan
diskresi
(discretion)
atau
kebijaksanaan, tindakan yang seperti itu dianggap: Mengakibatkan terjadinya proses pemeriksaan yang tidak sesuai dengan hukum acara atau undue process; Dan setiap pemeriksaan yang undue process merupakan pelanggaran dan perkosaan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa; Oleh karena itu, proses penyelesaian perkara yang menyimpang dari hukum acara, dikualifikasikan sebagai unfair trial (peradilan yang tidak jujur); Bertitik tolak dari argumentasi ini, pada prisipinya tidak boleh melakukan penafsiran atau diskresi yang luas dalam penerapan hukum acara. Setiap tindakan yang mengesampingkan ketentuan acara, dianggap melanggar asas due process dan fair trial. Oleh karena itu, penafsrian luas terhadap hukum acara dapat menjerumuskan penegakan hukum ke arah : where law ends, tyranny begin (ungkapan ini tertulis pada pintu masuk Departemen of justice di Washington DC); Sehubungan dengan itu, putusan No.55 PK/Pid/1996 yang mengembangkan (to growth) commit ketentuan to user Pasal 263 KUHAP atas alasan atau menyimpangi (overrule)
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepentingan umum dan keadilan moral, tidak dapat dibenarkan karena melanggar prinsip due process dan fair trial serta sifat imperative yang menjurus kepada peradilan “tirani”; Akan tetapi, sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum publik yang berifat imperative, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi
apabila
hal
itu
dibutuhkan
untuk
mencapai
proses
penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice; Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan: tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut, dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan publik memang diakui “imperative” , tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang dapat “dilenturkan” (flexible) dikembangkan (growth) bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep :to improve the quality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini, Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi state decisis melalui “extensive interpretation”: Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberi hak kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas (…terdakwa atau penunut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas); Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan (overrule) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan, bukan pembebasan murni. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau “bertentangan dengan undang-undang “(dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya :to improve the quality of justice and to reduce in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa; Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti itu sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas, demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis Peninjauan Kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” (injustice) karena didasarkan ada alasan “non yuridis “ ( M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar Grafika, Edisi commit to user Kedua, hal. 642 - 643 );
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistim
hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding ). Dengan kata lain, hakim/pengadilan dalam sistem hukum kita, yang pada dasarnya tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law ). Karena itu walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem yang terbuka (open system ). Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan/hakim diatas harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada. (H.Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Penerbit P.T ALUMNI, Edisi Pertama, Cetakan ke – 1, hal. 15 – 16 ); c. Bahwa fungsi, kewajiban dan tugas dari Pengadilan/ hakim berdasarkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004, dapat disimpulkan dari ketentuanketentuan sebagai berikut : 1) Pasal 5 (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda bedakan orang. (2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan 2) Pasal 16 ayat 1 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 3) Pasal 28 ayat 1 commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat “ ; d. Bahwa sejalan dengan jiwa ketentuan-ketetuan undang-undang tersebut adalah pendapat dari Hamaker dalam karangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter yang antara lain menyatakan bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi Hymans (dalam karangannya Het recht der werklijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan “hukum dalam makna sebenarnya” (het recht der werkelijkheid) (Acmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis),Cet.ke II (Kedua),2002,Hal .140 }. e. Bahwa dari putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 Nomor : 55 PK/Pid/1996, tanggal 2 Agustus 2001 Nomor : 2 Agustus 2001 Nomor : 3 PK/PID/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Nopember 2001 Nomor : 4 PK/PID/ 2000, dapat disimpulkan secara
global
alasan
diterimanya
secara
formal
permohonan
Peninjauan Kembali dari Jaksa Penuntut Umum dan Pihak ketiga yang berkepentingan, sebagai berikut : 1) Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana/ahli warisnya akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle rechtsvervolging. Karena dalam konteks ini yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP. 2) Konsekuensi logis aspek demikian, maka Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana to user suatu putusan pengadilan yang tersebut pada ayatcommit (2) terhadap
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
telah
memperoleh
kekuatan
hukum
tetap
dapat
diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak dikuti oleh suatu pemidanaan” juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh Terdakwa atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehinga dalam hal ini adalah logis bila hak untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tersebut diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. 3) Berdasarkan azas legalitas serta penerapan azas keseimbangan Hak Azasi antara kepentingan perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali) dengan kepentingan Umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut dapat pula mengajukan permintaan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap, yang merupakan putusan bebas dan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Alasan ini adalah sesuai dengan model yang tertumpu pada konsep daaddader-strafrecht yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal.5) dan selaras pula dengan tujuan hukum dari pandangan hidup Pancasila, yaitu Pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun yang menjadi korban tindak pidana. 4) Berdasarkan asas legalitas dan pengawasan horizontal serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 maka commit to user membuat peraturan sebagai Mahkamah Agung berwenang
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
pelengkap tentang cara menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur oleh Undang-undang. Untuk mengisi kekosongan, kekurangan Hukum maka Pasal 263 ayat ( 1 ) KUHAP mengenai permohonan Peninjauan Kembali oleh hanya Terdakwa atau ahli warisnya dalam perkara pidana ini mesti dilenturkan berdasarkan kekurangan dan kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara, sehingga mencakup juga permohonan peninjauan kembali oleh “Pihak Ketiga Yang Berkepentingan” sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP atau “PihakKetiga Yang Berkepentingan” dalam Pasal 21 UU Nomor 14 Tahun 1970 atau Jaksa Agung atau Pihak yang berkepentingan lainnya dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980. 5) Bahwa berdasarkan asas legalitas dan asas pengawasan horizontal dalam Pasal 80 KUHAP serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 berikut penjelasan asasnya maka dalam acara pemeriksaan Peninjauan Kembali untuk memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan permohonan praperadilan ini Mahkamah Agung berlandaskan kebutuhan dan kekosongan hukum sehingga berakibatkan ketidakpastian hukum sekaligus merupakan suatu kebutuhan dalam acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali atas permohonan praperadilan maka ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai putusan pengadilan mesti dilenturkan kembali hingga mencakup putusan Pengadilan (dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAPPasal 81 KUHAP) serta putusan praperadilan (Pasal 77 s/83 KUHAP) dan bukan hanya sekedar putusan pemidanaan yang telah berkekuatan tetap . 6) Meskipun hukum acara pidana tidak menganut asas stare decisis atau the binding force of precedent, namun untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in Court decision), Majelis Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan user Kembali kasus commit Gandhi to Memorial School) telah cendrung
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
mengikuti putusan Peninjauan Kembali tanggal 25 Oktober 1996 Nomor : 55 PK/Pid/ 1996 dalam kasus Dr.Muchtar Pakpahan, SH,MA yang logika hukumnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (reasonable) dan in casu Mahkamah Agung akan pula mengikuti putusan Mahkamah Agung tanggal 20 November 2001 Nomor: 4 PK/PID/2000. Bahwa alasan lain untuk mengikuti putusan–putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya tersebut , karena putusan–putusan a quo merupakan “ pedoman “ dalam memeriksa dan mengadili perkara yag sama, dan selain itu merupakan pula sumber hukum dan pembentukan hukum ; f. Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman tujuan hukum acara pidana, yaitu” Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan i.c khususnya Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum, korban tindak pidana dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Sehingga akan ada pergeseran prespektif dari ketentuan hukum pidana yang offender oriented menjadi victim oriented, dan keadilan retributive menjadi keadilan sosiologis atau yang dikenal sebagai keadilan restoratif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
g. Bahwa berdasarkan kajian teoritik melalui pandangan doktrin dari Arif Gosita dan J.E.Sahetapy bahwa hak korban mempunyai hak antara lain berhak menggunakan upaya hukum (recht middelen), yang menurut Mahkamah Agung merupakan perlindungan korban kejahatan dalam ruang lingkup prosedural, yang telah dimiliki pula oleh Jaksa Penuntut Umum, yang pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun secara individual, akan tetapi apa yang dilakukannya dalam praktek peradilan sering tidak memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan. Sehingga karena itu bagi korban kejahatan baik secara kolektif maupun secara individual harus dapat diberikan upaya hukum, dan memperhatikan yurisprdensi tersebut diatas, upaya hukum yang dimungkinkan adalah Peninjauan Kembali Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan Peninjauan Kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan saksi korban, sebagai bahan komparatif perlu dikemukakan ketentuanketentuan sebagai berikut : a. Pasal 248 ayat 3 Undang-Undang No .31 Tahun 1997, menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan “; b. Articel 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan“ 1. The convicted person or , after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused ‘s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person”s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that …………………” commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Article 203 dan 204 Criminal Procedure Law Of The People”s Republic of China No. 64 yang mulai berlaku sejak 17 Maret 1996 masing-masing menentukan 1) Articlel 203 “:A party or his legal representative or his near relative may present a petition to a People’ s Procuratorate regarding a legally effective judgment or order, however, execution of the judgment or order shall not be suspended “ ; 2) Article 204 “If a petition presented by a party or his legal representative or his near relative conforms to any of the following conditions , the People’ s Court shall retry the case “ ; d. Article 148 Chapter V Procedure for Ajudication Supervision dari The Criminal Law of The People ‘s Republic of China yang berlaku sebelum tahun 1996 menentukan “ Parties, victims and their family members or other citizens may present petitions regarding judgments or orders that have already become legally effective to the People’ s Court or the people” s procuratorates, but the execution of such judgments or orders cannot be suspended “ Menimbang,
bahwa
dalam
hubungan
dengan
permintaan
Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung mengenai tujuan hukum akan mengikuti ajaran Radbruch yang menggunakan “asas prioritas” dimana prioritas pertama selalu “keadilan” , barulah “kemanfaatan”, dan terakhir barulah “ kepastian” sehingga karena itu Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara membentuk hukum acara sendiri demi untuk keadilan, kemanfaatan dan baru kepastian hukum. Menimbang, bahwa untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, menerapkan asas hukum “Pengayoman” , dan asas dalam
“Model
Keseimbangan Kepentingan”, memberikan commit to user perlindungan secara prosedural kepada korban tindak pidana, dan
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mewujudkan keadilan sosiologis atau keadilan restorative, dengan memperhatikan
yurisprudensi–yuriprudensi,
doktrin–doktrin
dan
ketentuan perundang-undangan tersebut diatas, maka Mahkamah Agung akan melakukan penafsiran ekstensif atas Pasal 263 ayat 1 KUHAP jo Pasal 23 ayat 1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004, sehingga yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali bukan hanya Terdakwa atau ahli warisnya saja tetapi juga Jaksa Penuntut Umum, korban tindak pidana dan pihak ketiga yang berkepentingan dalam praperadilan, sedangkan istilah putusan pengadilan dilenturkan kembali hingga mencakup keputusan pengadilan (dalam Pasal 156, Pasal 81 KUHAP ), putusan praperadilan (Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP) dan bukan sekedar pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap ; Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Penuntut Umum Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Mengenai keberatan Ad.II Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Hakim Kasasi dengan jelas meperlihatkan suatu kekilafan atau suatu kekeliruan, i.c sebagai judex yuris telah memeriksa kembali mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, dan dalam menilai hasil pembuktian a quo telah membuat kekhilafan atau kekeliruan, dengan menyatakan salah satu unsur dari tindak pidana dalam Pasal 406 KUHP adalah tidak terbukti, padahal berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan dipersidangan dan dalam Memori Peninjauan Kembali, menurut pendapat Majelis Hakim Peninjauan Kembali, adalah terbukti rumah sengketa masih dihuni oleh saksi korban sejak tahun 1965 sampai dengan terjadinya pengrusakan pintu/kusen rumah tersebut dan walaupun pada bulan Juni commit to user tahun 2002 saksi korban meninggalkan rumah sewa tersebut, tetapi
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sewa rumah masih berlangsung dan barang–barang milik saksi korban masih berada dirumah sewa tersebut Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan Ad.II tersebut diatas, tanpa mempertimbangkan keberatan/alasan Peninjauan Kembali selebihnya, menurut pendapat Majelis Hakim Peninjauan Pemohon : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jambi dan membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 21 September 2004, Nomor : 384 K / Pid / 2004 serta Mahkamah Agung mengadili kembali perkara ini dengan mengambil alih alasan dan pertimbangan putusan Pengadilan Negreri Jambi tanggal 7 Agustus 2003, Nomor : 239 / PID . B /2003 / PN.JBI, yang memang sudah tepat dan benar ; Menimbang, bahwa karena Termohon Peninjauan Kembali harus dipidana, maka biaya perkara ini dalam semua tingkatan peradilan dibebankan kepadanya ; Memperhatikan Pasal–Pasal dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Undang–undang Nomor 8 Tahun 1981, dan Undangundang Nomor : 14 tahun 1985 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;
2. Amar Putusan Peninjauan Kembali MENGADILI a. Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon : Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jambi tersebut ; b. Membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 21 September 2004 Nomor : 384 K /Pid / 2004 ; DAN MENGADILI KEMBALI a. Menyatakan Terdakwa : SOETIYAWATI alias AHUA binti KARTANINGSIH tersebut diatas terbukti secara sah dan commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meyakinkan
telah
bersalah
melakukan
tindak
pidana
:
PERUSAKAN ; b. Menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 4 ( Empat ) bulan ; c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; d. Menetapkan barang – barang bukti sebagai berikut : e. 1 ( satu ) lembar surat perjanjian sewa menyewa rumah petak tertanggal 15 Desember 1965 dikembalikan kepada Muhtar Zaini ; f. Sertifikat tanah No. 32 dikembalikan kepada Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih ; g. 1 (satu) unit rumah petak di RT. 01 / 01 Kel. Tanjung Pinang, Kec. Jambi Timur Kota Jambi penguasaannya dikembalikan kepada Penyewa melalui Muhtar Zaini ; h. Membebankan biaya perkara pada semua tingkatan peradilan kepada Termohon Peninjauan Kembali, yang dalam tingkat Peninjauan Kembali sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
3. Pembahasan Dari poin-poin pertimbangan hakim yang telah dijabarkan di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar dasar pertimbangannya dalam menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh penuntut umum berasal dari yurisprudensi yaitu : a.
Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor55PK/Pid/1996 atas nama Terdakwa DR. Muchtar Pakpahan, SH. MA.
b.
Kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993)
c.
Putusan MA No.3/PK/PID/2001 dalam perkara Ghandi Memorial
d.
Putusan Mahkamah commit Agung to tanggal user 28 Nopember 2001 Nomor : 4 PK/PID/ 2000
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
Yurisprudensi yang dijadikan pijakan ini adalah putusan-putusan hakim terdahulu yang serupa dengan perkara ini yaitu menerima upaya hukum yang diajukan oleh penuntut umum baik itu kasasi ataupun peninjauan kembali. Menurut CST Kansil, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain peraturan perundang-undangan, traktat/perjanjian, kebiasaan, dan doktrin (Ishaq, 2008:106).
Yurisprudensi merupakan
putusan hakim terdahulu yang sering dijadikan dasar oleh hakim kemudian mengenai masalah yang serupa. Penggunaan yurisprudensi sebagai pedoman dalam menjatuhkan putusan oleh hakim bergantung pada suatu sistem peradilan yang dianut masing-masing negara. Pada negara yang menganut common law, berlaku asas precedent (stare decisis) dimana menentukan bahwa hakim terikat atau tidak boleh menyimpang dari keputusan yang lebih dahulu dari hakim yang lebih tinggi atau sederajat di tingkatnya. ( Ishaq, 2008:108) Hal ini disebabkan dalam sistem hukum common law adanya ‘peranan’ yang diberikan kepada seorang hakim yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis (pola pikir induktif). Berbeda dengan negara-negara yang menganut system hukum civil law. Hakim tidak terikat pada keputusan hakim terdahulu. Sistem peradilan disini mengikat hakim pada peraturan undang-undang. Disini hakim berpikir secara deduktif dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus, sehingga putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (Sudikno commit to user berdasarkan sistem hukum yang Mertokususmo, 1995 : 101) Sehingga
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dianut tersebut, hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Seiring dengan perkembangan zaman dimana keadaan masyarakat pun telah berubah, maka pada masa sekarang ini tidak lagi ditemukan kehidupan mutlak civil law system yang menempatkan hakim sebagai “penafsir hukum” (Ahmad Kamil & M.Fauzan, 2008:42). Di Indonesia sendiri misalnya, dikarenakan negara kita ini merupakan negara bekas jajahan Belanda maka apabila dicermati, sistem hukum kita ini lebih condong pada civil law. Akan tetapi, pada prakteknya sistem common law juga mempengaruhi sistem peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hakim-hakim yang menjadikan yurisprudensi sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan suatu putusan salah satunya adalah Hakim Mahkamah Agung pemeriksa peninjauan kembali kasus yang diangkat penulis pada penelitian hukum ini. Meskipun dalam kenyataan praktik peran dan kewenangan badanbadan peradilan untuk bertindak sebagai “judge made law” yang mencipta lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum itu diakui, namun kedudukan formilnya tetap berada di bawah hukum perundang-undangan. Yurisprudensi memang diakui sebagai sumber hukum, namun penempatannya secara hierarkis berada pada urutan di bawah perundang-undangan. Hal ini berarti mengharuskan Hakim untuk mendahulukan
penerapan
undang-undang
daripada
yurisprudensi
.(Ahmad Kamil & M.Fauzan, 2008:43) Seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak selamanya ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan harus lebih diutamakan daripada yurisprudensi itu dijalankan. Dalam hal-hal tertentu secara kasuistik,
yurisprudensi
justru
dipilih
dan
dimenangkan
dalam
pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi. Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu aturan Pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan berikut ini : commit to user (Ahmad Kamil & M.Fauzan, 2008:43)
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Didasarkan pada Alasan Kepatutan dan Kepentingan Umum Pada hal ini, Hakim harus mampu membandingkan serta mengkaji antara nilai kepatutan dan keadilan yurisprudensi disbanding apa yang dirumuskan dalam Pasal undang-undang yang bersangkutan. b) Cara Mengunggulkan Yurisprudensi Melalui “Contra Legem” Apabila setelah mengkaji secara mendalam Hakim berkeyakinan bahwa
nilai
bobot
yurisprudensi
lebih
potensial
dan
efektif
mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum, maka undang-undang akan dikesampingkan dengan cara contra legem, sehingga yurisprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar rujukan hukum menyelesaikan perkara. c) Yurisprudensi Dipertahankan dengan Melenturkan Ketentuan Undangundang Cara lainnya adalah dengan cara tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi dan bersamaan dengan itu ketentuan Pasal undang-undang yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperative menjadi fakultatif. Apabila merujuk dari teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa keputusan Hakim Mahkamah Agung dalam menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh penuntut umum pada kasus ini adalah hal yang dapat dibenarkan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan peninjauan kembali pada perkara ini didasarkan atas alasan yang dikemukakan oleh penuntut umum dalam pengajuannya. Dari empat alasan yang diajukan, hanya satu yang dijadikan pijakan hakim untuk mengeluarkan putusan. Kekhilafan hakim pada putusan kasasi yang
menyatakan bahwa
Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang dirumuskan pada Pasal 406 KUHP merupakan hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus peninjauan kembali ini. Majelis hakim berpendapat bahwa sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada dengan diperkuat bukti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
baru, maka selayaknya Terdakwa semestinya dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum. Pertimbangan hakim di atas yang menjadi dasar keluarnya putusan pemidanaan berupa pidana penjara selama empat bulan bagi terpidana. Lagi-lagi putusan ini merupakan putusan yang bertentangan dengan undang-undang. Hal ini dikarenakan di dalam KUHAP tepatnya pada Pasal 266 ayat (3) dengan jelas diatur bahwa putusan yang dijatuhkan dalam peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Berdasar ketentuan ini, maka seharusnya hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana penjara selama empat bulan atau bahkan tidak dapat menjatuhkan putusan berupa pemidanaan. Hal ini disebabkan pada putusan kasasi Terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, sehingga ia dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Jelas dalam hal ini Hakim Mahkamah Agung kembali melakukan penerobosan hukum. Menurut penulis, penerobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung ini memang dapat menciderai kepastian hukum dan keadilan bagi Terdakwa. Namun, didasarkan pada aliran hukum progresif, dimana hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia dapat melihat dan menggunakannya, maka hukum itu dapat dilenturkan agar dapat mencapai tujuannya. Aliran hukum progresif juga menyatakan bahwa hakim tidak bisa dibiarkan untuk hanya melakukan konstruksi logis dalam membuat putusan. Hal ini pun senada dengan pendapat Yahya Harahap yang juga dicantumkan dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan a quo bahwa sifat hukum acara sebagai ketentuan publik memang imperatif, tetapi tidak seluruhnya absolut. Ada ketentuan yang dapat ”dilenturkan” (flexible), dikembangkan (growth), bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan commit todalam user suatu konsep : to improve the rasa keadilan dan kemanusiaan
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
quality of justice and to reduce injustice.
Apabila didasarkan pada
pendapat ini, maka putusan hakim pada kasus a quo dapat dibenarkan, jika sekiranya putusan yang akan dijatuhkan hakim itu lebih memberikan keadilan, maka hal tersebut harus diambil meskipun mengesampingkan kepastian hukum. Secara teori hierarki pengadilan juga turut berpengaruh terhadap putusan pengadilan. Hal tersebut ditegaskan Lee Epstein and Tonja Jacobi sebagai berikut : If the hierarchy of justice affects the decisions judges reach, asmany social scientistsmaintain, so too might the separation-ofpowers system. The basic idea is that for judges to render efficacious decisions—those that other actors will respect and with which they will comply—the judge must attend to the preferences and likely The authors used Shepard’s categories (e.g., “followed,” “criticized”) to categorize positive and negative treatments of Supreme Court cases. actions of members of the elected branches who could override or otherwise thwart their decisions (Lee Epstein and Tonja Jacobi,2010 : 351) Terjemahan bebas : Apabila hirarki keadilan mempengaruhi jangkauan keputusan hakim, sebagai penegak ilmuwan sosial, begitu juga dengan sistem pemisahan kekuasaan. Ide dasarnya adalah bahwa bagi para hakim untuk membuat keputusan yang efektif dimana pihak lain akan menghormati dan akan mematuhi, hakim juga harus mematuhi dengan lebih memilihnya dan seperti Para penulis menggunakan kategori Shepard (misalnya, "diikuti", "dikritik") untuk mengkategorikan cara-cara positif dan negatif dari kasus Mahkamah Agung. Tindakan dari anggota cabang terpilih yang mengesampingkan atau sebaliknya yang menggagalkan keputusan mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : 1. Konstruksi hukum penuntut umum dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum pada perkara penghancuran atau perusakan barang atas nama terdakwa Soetyawati alias Ahua Binti Kartaningsih ini terdapat empat poin. Dimana pada setiap poinnya dijabarkan mengenai kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari Hakim Mahkamah Agung yang memutus kasasi sebelumnya. Pada poin pertama, penuntut umum berpendapat bahwa Judex juris yang tidak mempertimbangkan sama sekali dalam pertimbangan hukumnya tentang memori kasasi dari pemohon kasasi. Kemudian penuntut umum juga menyatakan judex juris yang menyatakan bahwa selama lebih dari lima tahun rumah sewa sudah tidak pernah dipergunakan lagi dan selama itu pula uang sewa tidak pernah dibayarkan meskipun telah diminta baik-baik, merupakan. pertimbangan hukum judex juris inilah yang menunjukakan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Selanjutnya penuntut umum mendasarkan pengajuan peninjauan kembali oleh pihaknya ini pada Pasal 263 ayat (3) KUHAP, dimana pada ketentuannya memang dapat menimbulkan multi tafsir yang membuat dimungkinkannya penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Meskipun sebenarnya Pasal 263 ayat (1) telah jelas menyatakan bahwa peninjauan kembali merupakan hak terpidana dan ahli warisnya. Hingga kini hal ini pun masih menjadi perdebatan. Pada poin terakhir penuntut umum mendasarkan pengajuan peninjauan kembali pada putusan kasasi yang tidak ditandatangani oleh Ketua Majelis Hakim. Mengenai hal ini, pada ketentuan mengenai syarat sahnya suatu surat putusan pemidanaan yang terdapat pada Pasal 197 commit to user syarat yang mengharuskan KUHAP tidak mengatur mengenai
72
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditandatanganinya Ketua Majelis Hakim. 2. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh Penuntut Umum atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum perkara penghancuran atau pengrusakan barang dalam putusan Mahkamah Agung No.15 PK/Pid/2006berasal dari yurisprudensi dengan kasus serupa. Yurisprudensi memang diakui sebagai sumber hukum, namun penempatannya secara hierarkis berada pada urutan di bawah perundang-undangan. Meskipun demikian, dalam prakteknya, tidak selamanya hal ini berlaku, dengan penilaian dan pendekatan-pendekatan yurisprudensi terkadang justru dimenangkan apabila terdapat pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi. Hal inilah yang terjadi pada kasus ini. Sampai saat ini pengajuan peninjauan kembali oleh Penuntut Umum ini masih menimbulkan perdebatan. Ketentuan dalam KUHAP yang dapat menimbulkan multitafsir dan tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai masalah ini, menjadi suatu masalah yang tak kunjung selesai dalam praktek peradilan pidana di Indonesia. Ketidakseragaman putusan, ketidakpastian hukum, dan pengenyampingan ketentuan undang-undang harusnya dapat dihentikan dengan pengaturan yang lebih jelas. Hal ini agar unsur-unsur dalam penegakan hukum berupa kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan dapat terakomodasi secara seimbang dan proporsional. B. Saran-Saran 1. Pengaturan mengenai pengajuan upaya hukum peninjauan kembali yang terdapat pada KUHAP saat ini perlu direvisi dan dilengkapi lagi dengan mempertegas dan memperjelas ketentuan-ketentuannya. Diperlukan limitasi-limitasi yang jelas mengenai siapa yang berhak untuk mengajukan dan atas keputusan yang seperti apa dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali agar pada prakteknya tidak terjadi penafsiran dan pendapat yang berbeda dari berbagai kalangan. commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Pada praktek peradilan pidana yang akan datang, para penegak hukum seyogyanya berorientasi pada aturan formal mengenai peninjauan kembali yang telah diformulasikan dalam KUHAP yang merupakan landasan yuridis formal praktek acara pidana demi tercapainya kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Apabila memang menurutnya diperlukan terobosan mengenai formulasi Peninjauan Kembali yang memang diperbolehkan diajukan oleh Penuntut Umum berdasarkan rasa keadilan,maka diperlukan suatu aturan yang khusus dan lebih rinci. Selain itu, perumusan ketentuan tersebut harus memperhatikan pula dengan nilai-nilai keadilan. Tetapi keadilan merupakan hal yang sulit untuk dinilai apalagi dicapai. Nilai keadilan di mata hakim, praktisi hukum lainnya, maupun masyarakat terkadang tidak sama atau bahkan bertolak belakang. Hal inilah yang seharusnya menjadi acuan agar kedepannya dilakukan revisi undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan dan tentunya menjamin kepastian hukum berbagai pihak.
commit to user