ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)
Penulisan Hukum ( Skripsi ) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH NIM : E0006198
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN AL- MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)
OLEH PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH NIM : E0006198 Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Maret 2010 Dosen Pembimbing Skripsi
Soehartono, S.H, M.Hum NIP. 195604251985031002
ii
3
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (Studi Terhadap Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)
Oleh Pratami Wahyudya Ningsih NIM : E0006198 Telah diterima dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari : Selasa Tanggal : 30 Maret 2010
DEWAN PENGUJI 1. Harjono, S.H.,M.H : ……………………….. Ketua 2. Th. Kussunaryatun,S.H,.M.H : ……………………….. Sekertaris 3. Soehartono,S.H.,M.Hum : ………………………. Anggota
Mengetahui, Dekan
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP.1961 0930 1986 011001
iii
4
PERNYATAAN
Nama
: Pratami Wahyudya Ningsih
NIM
: E0006198
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (STUDI TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 18 Maret 2010 Yang menyatakan
(Pratami Wahyudya Ningsih) NIM. E 0006198
iv
5
ABSTRAK Pratami Wahyudya Ningsih, 2010, ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg). Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini mengkaji mengenai dasar pertimbangan hakim yang digunakan untuk memutus perkara gugatan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang tertuang dalam putusan nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga, dan untuk mengetahui kesesuaian dasar pertimbangan hakim yang tertuang dalam putusan tersebut dengan pengaturan pembiayaan AlMusyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah berupa putusan hakim nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama dan Referensi Fatwa DSN No. 08/DSNMUI/IV/2000 tentang akad pembiayaan Al-Musyarakah. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola berfikir deduktif serta tinjauan yuridis yang bersifat logis dan sistematis. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu dasar pertimbangan yang digunakan Hakim yang tertuang dalam Putusan nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tersebut diantarannya adalah Tergugat tidak pernah hadir di persidangan, maka sengketa diputus dengan verstek, Tergugat telah memenuhi unsurunsur wanprestasi sesuai dengan ketentuan hukum positif dan dalil-dalil syar’i sehingga Tergugat menjadi pihak yang kalah. Kedua, kesesuaian Putusan nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terletak pada BAB III mengenai ingkar janji dan BAB VI mengenai ketentuan Al-Musyarakah. Kata Kunci : Pengadilan Agama, dasar pertimbangan Hakim, dan Al-Musyarakah.
v
6
ABSTRACT Pratami Wahyuda Ningsih, 2010, AN ANALYSIS ON THE JUDGE’S DECISION IN THE LAWSUIT OF AL MUSYARAKAH FUNDING CONTRACT OBLIGATION COMPLIANCE IN PURBALINGGA RELIGION COURT (A Study on the Decision Number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG). Law Faculty of UNS. This research aims to examine the rationale of the Judge’s deliberation used for deciding the lawsuit of Al-Musyarakah funding contract included in the decision number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG, released by the Purbalingga religion court, and to find out the compatibility of the rationale of the Judge’s deliberation included in such decision with the regulation of Al-Musyarakah funding in the Supreme Court’s Regulation Number 2 of 2008 about the Compilation of Syariah Economic Law. This study belongs to a normative law research that is preskriptife in nature, because it is a scientific research to find the truth based on the logic of law discipline from the normative aspect. The law material types the writer uses include the primary and secondary law material. The primary law material includes: the judge’s decision no: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG, Act No. 7 of 1989 about the Religion Court, Act No. 3 of 2006 about the First Amendment of Act No. 7 of 1989 about the Religion Court, Supreme Court’s Regulation Number 2 of 2008 about the Compilation of Syariah Economic Law, Act No. 50 of 2009 about the Second Amendment of Act No. 7 of 1989 about the Religion Court and Instruction (Fatwa) Reference of DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 about the Al-Musyarakah funding agreement. Meanwhile the secondary law materials used include: literary material, document, archive, article, magazine, and literature relevant to the research object. Technique of collecting law material employed was the content identification primary and secondary law materials from the literary study. Techniques of analyzing data used were syllogism and interpretation methods, using deductive thinking pattern as well juridical review that is logical and systematic in nature. Based on the result of research and discussion, it can be concluded that: firstly, the rationale the judge uses included in the decision number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG include: the accused is never present in the trial, so that the dispute is decided as verstek, the accused has met the element of contract breach according to the positive law and syar’i proposition, so that the accused is the loser. Secondly, the compatibility of decision number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG with the Supreme Court’s Regulation Number 2 of 2008 about the Compilation of Syariah Economic Law lies in the Chapter III about the promise denial and Chapter VI about the provision of Al-Musyarakah. Keywords: Religion Court, Rationale of Judge’s Deliberation, and Al-Musyarakah.
vi
7
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan baik. Penulisan hukum ini membahas mengenai dasar pertimbangan hakim yang digunakan dalam memutus perkara gugatan pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang tertuang dalam putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga, selain itu penulis juga memaparkan menganai kesesuaian dasar pertimbangan Hakim yang digunakan untuk memutus perkara tersebut dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dikeluarkan dengan alasan untuk mengisi kekosongan hukum. Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan referensi
mengenai
bahan
terkait,
mengingat
putusan
nomor
:
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga tersebut hingga penulis menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini adalah satusatunya putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama sejak berlakunya Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan baik oleh pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis hendak mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-sesarnya kepada : 1. Allah SWT. Dimana hanya dengan rahmat dan ridho-Nya penulisan hukum (skripsi) ini dapat selesai.
vii
8
2. Nabi Muhammad SAW. Sebagai Nabi besar yang memberikan suri teladan yang sempurna bagi umat-nya. 3. Bapak Drs. H. Joko Riyanto,S.H., M.M dan Ibu Hj. Wiwik Dwi Wahyuti sebagai orang tua, Pratiwi Fatmasari Ningrum dan Pratama Rachmad Wijaya sebagai satu keluarga yang selalu memberi semangat dan mendoakan. 4. Ibu Hj. Surip Priyo Sumarto (Alm) dan Hj. Sri Wiji Priyo Sumarto (Alm) sebagai nenek yang semasa hidupnya senantiasa menyayangi dan sangat berjasa dalam kehidupan Penulis. 5. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS. 6. Bapak Syafrudin Yudo Wibowo S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik. 7. Bapak Soehartono S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing dan Penguji, yang telah membimbing penulis hingga penilisan hukum ini dapat diselesaikan dengan baik. 8. Bapak Harjono, S.H.,M.H. dan Ibu Th. Kussunaryatun, S.H,.M.H. selaku dosen penguji penulisan hukum ini. 9. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku ketua Pengelola Penulisan Hukum Fakultas Hukum UNS. 10. Bapak Muhammad Rustamaji S.H., M.H. selaku dosen yang mendorong penulis untuk menjadi insan yang kreatif dan memperoleh prestasi nonakademik. 11. Para dosen FH di semua bagian, Bagian Hukum Acara, Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Perdata, Bagian Hukum dan Masyarakat, Bagian Hukum Tata Negara, Bagian Hukum Administrasi Negara, serta Bagian Hukum Internasional, untuk ilmu yang tak akan terputus. Yang semoga berguna bagi penulis dan menjadi amalan yang tak terputus.
viii
9
12. Mahendro Adiutomo, Amd. Kekasih yang setia menjaga cinta dan telah mendedikasikan banyak waktu untuk penulis. 13. Erika Rovita Maharani, Erlina Septiyaningrum, Dian Rachma Fitria dan Hanifah Endah Setyowati, sahabat yang senantiasa mendukung dan membawa keceriaan dalam hari-hari Penulis. 14. Keluarga besar KSP Principium FH.UNS yang telah menjadi sosok keluarga, mendewasakan, memberikan ilmu keorganisasian, pengetahuan ilmiah, prestasi dan pengalaman yang sangat luar biasa. Terkhusus Kakak-kakak teladan KSP Principium FH UNS Arif Maulana, S.H sebagai inspirator bagi Penulis untuk selalu bersemangat dalam hidup, Mas Nurrahman Aji Utomo kakak yang selalu membuat tersenyum dan membawa keceriaan, Mbak Recca Ayu Hapsari, Mbak Aci Ariesta, Mbak Fitri Kurniati sebagai sosok kakak yang memberikan banyak motifasi, pengalaman dan masukan bagi Penulis. 15. Teman-teman SD Muhammadiyah 1 Surakarta angkatan 1994, Teman-teman SMP Batik Ska angkatan 2000, Teman-teman SMA Negeri 3 Surakarta angkatan 2004, Teman-teman F.Hukum UNS angkatan 2006 yang senantiasa menyayangi dan menjaga persahabatan yang tak terputus. Salam semangat dan sukses selalu untuk kita. 16. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang telah diberikan.
Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaraokatuh
ix
10
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ..................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. iv ABSTRAK ...............................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................................
x
DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ........................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................
8
E. Metode Penelitian..............................................................................
9
F. Sistematika Penulisan........................................................................ 15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritik 1.
2.
3.
Tugas dan Kewenangan Hakim dalam Penemuan Hukum a.
Tugas dan Kewajiban Hakim…………………………… 17
b.
Penemuan Hukum oleh Hakim…………………………… 19
Sejarah, Tugas dan Kewajiban Peradilan Agama a.
Sejarah Pengaturan Peradilan Agama di Indonesia …… . 20
b.
Tugas dan Kewajiban Peradilan Agama………………… 26
Bentuk, Susunan dan Kekuatan Putusan Pengadilan Agama a.
Bentuk dan Macam Putusan Pengadilan Agama ……… . 30
b.
Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama …………… 33
x
11
c. 4.
Kekuatan Putusan Pengadilan Agama ………………… . 36
Pengertian, Dasar Hukum dan Ketentuan Al-Musyarakah a.
Pengertian Al-Musyarakah …………………………… .. 40
b.
Dasar Hukum Al-Musyarakah ………………………… . 41
c.
Ketentuan Al-Musyarakah ………………………… ....... 42
B. Kerangka Pemikiran …………...…………………................…....... 47 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ................................................................................. 51 B. Pembahasan……………………………………………………...... . 55 1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan AgamaPurbalingga ……………………...……………………
55
2. Kesesuaian dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan AlMusyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah........................................................................... 67 BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................................................... 76 B. Saran
........................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
12
DAFTAR BAGAN
Skema penyaluran dana Al-Musyarakah……………………………..……. Bagan Kerangka Pemikiran ............................................................................
xii
46 47
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan agama adalah salah satu pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia. Keberadaan peradilanagama, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25 Ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”. Sedangkan dalam Pasal 25 Ayat (3) menyatakan bahwa “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa peradilan agama hanya dapat menyelesaikan perkara tertentu yang dialami oleh orang-orang tertentu. Maksud dari orang-orang tertentu adalah peradilan agama hanya diperuntukan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa ; Pengadilan agama berwenang menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Seiring dengan perkembangan zaman yang ada, dan guna membawa kepada kemaslahatan umat khususnya dalam bidang perekonomian yang semakin berkembang pesat, maka peraturan mengenai peradilan agama yang tidak lain adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirasa kurang sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan ketata negaraan Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
1
2
Yudhoyono telah mengesahkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta baru-baru ini telah disahkan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Salah satu materi penting dalam amandemen pertama tersebut adalah mengenai perluasan kewenangan dari pengadilan agama, sedangkan perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut lebih menitik beratkan pada pengadilan khusus dan Hakim ad hoc, keamanan dan kesejahteraan Hakim. Perluasan kewenangan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak lain adalah kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syari’ah. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa: Pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; 1. Perkawinan; 2. Waris; 3. Wasiat; 4. Hibah; 5. Wakaf; 6. Zakat; 7. Infaq; 8. Shadaqah; 9. Ekonomi syari’ah. Dengan adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka tugas dan wewenang pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. “Ekonomi syari’ah, dapat diartikan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi yang berupa barang dan jasa yang
3
bersifat material di antara orang-orang yang beragama Islam, yang didasari oleh syariat
Islam”
(http://agustianto.niriah.com/2008/04/03/peradilan-agama-dan-
sengketa-ekonomi-syari’ah/). “Ekonomi syari’ah dapat dikatakan menjadi salah satu dari dua sisi sistem ekonomi yang secara pararel berlaku di Indonesia bersama-sama dengan sistem ekonomi kapitalis yang dipraktikan oleh hukum konvensional dan bukan perbuatan hukum, maka siapa saja yang berhubungan dengan ekonomi syari’ah tanpa membedakan agama harus tunduk pada sistem yang dianut ekonomi Islam, termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa” (Chatib Rasyid, 2009: 157). Kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang tertib, makmur dan berkeadilan dengan menjujung asas syari’ah Islam. Sedangkan karakteristik ekonomi yang berbasis syari’ah adalah memiliki tujuan untuk menuju kesejahteraan yang menyeluruh secara seimbang ( individu-sosial, dunia-akhirat, alam-sosial). Ekonomi syari’ah juga tidak hanya sebatas pada perbankan syari’ah, namun mencakup berbagai ruang lingkup perekonomian yang mendasarkan pada pengetahuan
dan
nilai-nilai
syari’ah
Islam
(http://www.mail-
archive.com/ekonomi-syari’
[email protected]/msg00711.html). Pergerakan
ekonomi
syari’ah
sejatinya
dapat
diwujudkan
dalam
pembiayaan-pembiayaan syari’ah yang ada. Pembiayaan yang berbasis syari’ah tersebut dapat dibedakan menjadi dua pembiayaan, yaitu pembiayaan syari’ah melalui lembaga ekonomi bank dan pembiayaan syari’ah melalui lembaga ekonomi bukan bank. Lembaga ekonomi yang berbasis syari’ah melalui lembaga bank terelalisasi dengan adanya bank-bank syari’ah yang dewasa ini kian menjamur. Karena semakin diminatinya sistem syari’ah yang ada, maka bank yang sejatinya bank konvensional berbondong-bondong untuk membuka produk dengan menerapkan sistem syari’ah. Perlu diketahui bahwa mengenai perekonomian Islam
4
terkhusus
masalah
perbankan
syari’ah
yang
menjadi
pelopor
dari
perkembangannya adalah negara Swis yang memiliki latar belekang bukan negara Islam. Hal ini menjadi sebuah bukti bahwa sebenarnya ekonomi syari’ah adalah suatu hal yang sangat diminati oleh masyarakat luas. Seperti yang telah Penulis kemukakan, bahwa syari’ah Islam menjadi dasar dari pembiayaan syari’ah yang ada, namun bukan berarti operasional pembiayan berbasis syari’ah tidak akan menemui suatu kendala atau sengketa. Hal tersebut dapat terlihat dengan adannya perkara ekonomi syari’ah yang telah diputus Pengadilan
Agama
Purbalingga,
yaitu
dengan
putusan
nomor
:
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tentang perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah menjadi perkara ekonomi syari’ah yang pertama kali diselesaikan melalui jalur pengadilan di Indonesia. Dalam perkara tersebut terdapat dua pihak, yaitu AW dan MR selaku direktur utama dan direktur operasional dari PT. BPR SBMP selaku Penggugat melawan HRW dan H selaku Tergugat. Perkara gugatan tersebut muncul bermula dengan adannya akad perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah nomor : 123/MSA/VII/05 tertanggal 20 Juli 2005 para Tergugat telah menerima pemberian modal pembiayaan musyarakah sebesar Rp. 30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah) dari Penggugat untuk keperluan modal usaha dagang gula merah dan kelontong. Pada kenyataanya, Tergugat tidak menggunakan modal yang diterima tersebut sesuai dengan perjanjian, yaitu untuk modal usaha dagang gula merah dan kelontong akan tetapi digunakan untuk keperluan lain. Berdasarkan hal tersebut Penggugat merasa dirugikan maka Penggugat mengajukan perkara tersebut ke pengadilan untuk diselesaikan melalui jalur hukum. Dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah tersebut terdapat peran Hakim sebagai pengambil keputusan yang tidak lain adalah figur sentral dalam proses peradilan yang dituntut untuk membangun kecerdasan intelektual, moral
5
dan spiritual serta dapat melakukan adanya penemuan hukum. “Hakim melakukan penemuan hukum, karena ia dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik untuk diselesaikan, jadi sifatnya konklitif. Hasil penemuan hukumnya adalah hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan” (Bambang Sutiyoso, 2009 : 41). Penemuan hukum yang menggunakan Hakim sebagai subyeknya, maka hasil penemuan Hakim tersebut dapat dijadikan sumber hukum pula. Perluasan kewenangan tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi aparatur peradilan agama, terutama Hakim. Para Hakim ini dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit, yang artinya bahwa Hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Keniscayaan Hakim untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai sebuah pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar, hal tersebut sesuai dengan adagium res judikata pro veriate habetur. Berdasarkan hal tersebut, setiap Hakim pengadilan agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian syari’ah. Hal tersebut sejalan dengan kutipan yang menerangkan bahwa ”Memang, para Hakim Pengadilan Agama telah memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam, namun karena selama ini Pengadilan Agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan perekonomian syari’ah, maka
wawasan
yang
dimilikinya
pun
tentu
masih
terbatas”
(http://www.badilag.net/menggagas-legalitas-hukum-ekonomi-syari’ah-politikhukum.html). Operasional ekonomi syari’ah memang di dasarkan pada prinsip syari’ah Islam, namun dalam pelaksanaanya tetap menuai masalah. Hal tersebut dapat tercermin dengan perkara ekonomi syari’ah yang telah ditangani oleh Pengadilan Agama
Purbalingga
yang
telah
diputus
dengan
Nomor
Putusan
6
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg. Sebagaimana putusan nomor register Pengadilan Agama
Purbalingga
dan
telah
diputus
dengan
Putusan
Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, problematika yang muncul ketika itu adalah berkaitan dengan belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur ekonomi syari’ah yang bersifat khusus, menjadikan Hakim Pengadilan Agama harus berjuang keras menggali dan menemukan hukum dalam berbagai sumber hukumnya. Sementara itu, pada tahun 2008 Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga tinggi negara menunjuk sebuah tim melalui Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 097/SK/X/2006, yang menghasilkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah yang memuat ketentuan mengenai ekonomi syari’ah (http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=5905 ). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut seakan menjadi sebuah jawaban atas kurang jelasnya mengenai ekonomi syari’ah dan kelanjutan atau peraturan pelaksana dari Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tidak lain berisi ketentuan mengenai ekonomi syari’ah. Tujuan dari dikeluarkannya peraturan tersebut adalah demi kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sehingga peraturan ini dapat dijadikan rujukan bagi para Hakim untuk memutus perkara ekonomi syari’ah. Perluasan kewenangan absolut mengenai ekonomi syari’ah ini memang belum lama terjadi, begitu pula dengan permasalahan yang dipersengketakan di pengadilan agama pun masih sangat terbatas dan tergolong menjadi sebuah sengketa baru. Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dengan pembiayaan AlMusyarakah sebagai sengketa yang ditangani oleh Pengadilan Agama Purbalingga
7
menjadi sebuah sengketa ekonomi syari’ah yang pertama kali ditangani oleh Pengadilan Agama di Indonesia yang menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk dikaji. Bertitik tolak dari hal-hal yang telah Penulis paparkan yang menjadi dasar dan latarbelakang dari penulisan hukum yang akan Penulis tuangkan dengan judul : ”Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Gugatan Pemenuhan Kewajiban Akad Pembiayaan Al-Musyarakah di Pengadilan Agama Purbalingga (Studi Terhadap Putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)”. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang Penulis ketengahkan dan hendak ditemukan jawabannya dalam penelitian ini adalah : 1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga? 2. Apakah dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga sudah sesuai dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dalam Penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad
8
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga; b. Untuk mengetahui kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. 2. Tujuan Subjektif a.
Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan Penulis di bidang Hukum Acara khususnya terkait dengan Hukum Acara Pengadilan Agama;
b.
Guna memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar S1 dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Di dalam penelitian ini diharapkan adannya manfaat dan kegunaan, karena
nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan Penulis dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan bidang Hukum Acara Peradilan Agama pada khususnya.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan terkait dengan kajian mengenai Hukum Acara Pengadilan Agama khususnya mengenai putusan Pengadilan Agama dalam perkara
9
ekonomi syari’ah serta hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis a.
Guna mengembangkan penalaran ilmiah dan wacana keilmuan Penulis serta untuk mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh melalui bangku perkuliahan.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan tambahan pengetahuan bagi semua pihak yang bersedia menerima dan tertarik dengan masalah yang diteliti serta bermanfaat bagi para pihak yang berminat pada permasalahan yang sama. E. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. ”Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistim; sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangangan dalam suatu kerangka tertentu” (Soerjono Soekanto, 2006: 42). Sedangkan ”metode penelitian adalah cara dan langkah-langkah yang efektif dan efisien untuk mencari dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah” (Soerjono Soekanto, 2006 : 43 ). Metode penelitian yang digunakan Penulis memuat uraian yang berisi beberapa hal sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Adapun yang dimaksud penelitian hukum normatif adalah ”suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya” (Johnny Ibrahim, 2005:57). Sedangkan Peter Mahmud
10
Marzuki mendefinisikan ”penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”(Peter Mahmud Marzuki, 2009:35). 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 22). Dari hasil telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di dalam litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna keperluan praktik hukum dibutuhkan penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 37). Berdasarkan definisi penelitian hukum yang dikemukakan, maka hal tersebut telah sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatanpendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan
historis
(historical
approach),
pendekatan
comparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93). Adapun dalam penelitian ini Penulis hanya menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). “Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral” (Johnny Ibrahim, 2005:302). Menurut
11
Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Metode Penelitian Hukum menjelaskan “bahwa pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani” (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93). Dalam penelitian ini Penulis menggunakan studi kasus (case study). ”Studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek
hukum”
(Peter
mahmud
Marzuki,
2009:94).
Penelitian
ini
menggunakan studi kasus, karena kasus yang digunakan Penulis hanya satu, yaitu kasus gugatan pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang ditangani oleh Pengadilan Agama Purbalingga. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada dalam penelitian hukum adalah bahan hukum, maka dalam hal ini Penulis menggunakan istilah bahan hukum. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan “bahwa untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan adannya sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas” (Peter Mahmud Marzuki,2009:141). Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan Hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
12
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,2009:141). Dalam penelitian hukum ini Penulis menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari : a.
Putusan Nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tentang gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang Penulis peroleh melalui web resmi Pengadilan Agama Purbalingga dengan alamat http://pa.purbalingga.ptasemarang.net/images/Data/putusan/put_1047. pdf;
b.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
c.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
d.
Undang-undang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman; e.
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
f.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah;
g.
Ref Fatwa DSN Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000.
Bahan hukum sekunder yang Penulis gunakan meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer
13
dan sekunder hasil dari studi kepustakaan atau studi dokumen, baik dari media cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorisasi menurut jenisnya. Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut disebut studi pustaka. 6. Teknik Analisis Mengingat jenis penelitian ini adalah normatif, maka teknik analisis yang Penulis gunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola berfikir deduktif serta suatu tinjauan yuridis yang bersifat logis dan sistematis. Yuridis dapat diartikan sebagai ” suatu tinjauan yang disesuaikan dengan pemikiran Penulis dan disusun dengan mencari hubungan antara pemikiran dan teori-teori yang telah diteliti yang semuanya itu
dihubunngkan
dengan
ketentuan-ketentuan
yang
berlaku”
(http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20/silogismedangeneralisasikajian-tugas-makalah/). Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. ”Penafsiran oleh Hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang”(Sudikno Mertokusumo, 2003:169). Metode interpretasi yang akan digunakan oleh Penulis dalam penelitian ini merupakan penjabaran dari putusan-putusan Hakim. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul mengenal hukum disebutkan bahwa ”dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam menemukan suatu hukum dapat disimpulkan adanya metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal), historis, sistematis, teleologis, perbandingan hukum dan futuristis”(Sudikno Mertokusumo,
14
2003:169). Adapun metode interpretasi yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi sistematis. Menurut Sudikno Mertokusumo interpretasi sitematis tidak lain adalah ”terjadinya undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas dari sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian
dari
keseluruhan
sistem
perundang-undangan
dengan
jalan
menghubungakan dengan undang-undang lain disebut interpretasi sistematis atau logis” (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 172). Sedangkan yang dimaksud dengan silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme tersebut disusun dari dua proposisi atau yang sering disebut pernyataan dan terdiri dari satu kesimpulan (http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20/silogisme-dan-generalisasikajian-tugas-makalah/). Silogisme yang Penulis gunakan adalah silogisme dengan menggunakan pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh khusus atau penerapan aturan. Menurut Philipus M. Hadjon dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki, menyatakan bahwa ”silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional. Logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan premis minor adalah fakta hukum. Dan dari keduannya kemudian dapat ditarik suatu konklusi” (Peter Mahmud Marzuki,2009: 47). Berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dari tiga preposisi statement yang terdiri dari premise, yaitu dasar penarikan kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung suatu
15
kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dari yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir deduktif ini orang bertolak dari suatu teori prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum berdasarkan hal tersebut diterapkan kepada fenomena-fenomena khusus dan mengambil kesimpulan yang berlaku bagi fenomena tersebut (http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20/silogisme-dan-generalisasikajian-tugas-makalah/). ”Penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari penggunaan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion”(Peter Mahmud Marzuki,2009: 47). F.Sistematika Penulisan Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun susunannya adalah sebagai berikut ; BAB I. PENDAHULUAN Pada bab ini Penulis mengemukakan latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika Penulisan hukum. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini Penulis mengetengahkan landasan teori dari para pakar maupun doktrin hukum berdasarkan litertur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan mengenai Hakim, Pengadilan Agama, Putusan Hakim Pengadilan Agama, dan Al-Musyarakah. Guna memberikan gambaran secara utuh mengenai penelitian ini Penulis juga memberikan kerangka pemikiran.
16
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu pertimbangan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dan kesesuaian Hakim
Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg
dengan
putusan
pengaturan
mengenai Al-Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. BAB IV. PENUTUP Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat Penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan Penulisan hukum ini.
17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tugas dan Kewenangan Hakim dalam Penemuan Hukum a. Tugas dan Kewenangan Hakim Di dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa ”Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Sedangkan dalam Pasal 11 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa ”Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”. Hakim memiliki kedudukan dan peran yang penting demi tegaknya Negara Hukum. Secara khusus Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatur kekuasaan kehakiman ini dalam Pasal 24 dan Pasal 25. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan bahwa ”kekuasaan
kehakiman
ialah
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”. Berdasarkan hal tersebut maka diwujudkan jaminan dalam undang-undang tentang Hakim. Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, Hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan. Adapun beberapa tugas dan kewajiban Hakim dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 antara lain ;
17
18
1) Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 2) Hakim dan Hakim konstitusi harus memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum; 3) Hakim dan Hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Menurut Bambang Sutiyoso tugas pokok Hakim dalam bidang peradilan (teknis yuridis) adalah sebagai berikut (Bambang Sutiyoso, 2005:125-126); 1) Menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadannya; 2) Menggali menurut hukum dengan tidak membedakan orang; 3) Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan; 4) Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinnya. Dengan tugas yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa Hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu keberadaanya sangat penting dalam penegakan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Adapun secara konkret tugas Hakim dalam mengadili suatu perkara melalui tiga tindakan secara bertahap (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005 : 126-127) : 1) Mengkonstatir (mengkonstatasi) yaitu mengakui atau membenarkan telah terjadinnya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka persidangan. Syaratnya adalah peristiwa konkret itu harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian Hakim tidak boleh menyatakan suatu peristiwa konkret itu benar-benar terjadi. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti juga membuktikan atau menganggap telah terbukti peristiwa tersebut; 2) Mengkualifisir (mengkualifikasi) yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana atau seperti apa. Dengan kata lain mengkualifisir adalah
19
menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. 3) Mengkonstituir (mengkonstitusi) atau memberikan konstitusinnya, yaitu Hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada yang bersangkutan. Di sini Hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwannya). Dalam memberikan putusan Hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu : keadilan, kepastian hukumnya dan kemanfaatannya. b. Penemuan Hukum oleh Hakim Penemuan hukum, pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum yang sangat luas cakupannya. Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuan atau peneliti hukum, para penegak hukum (Hakim, Jaksa, dan Pengacara atau Advokat), direktur perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sekalipun. Menurut bambang Sutiyoso, ”penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertantu, dalam penemuah hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit” (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005 : 128). ”Hakim melakukan penemuan hukum, karena ia dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikan, jadi sifatnya konfliktif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan”( Bambang Sutiyoso, 2006: 41). Berdasarkan hal tersebut, penemuan hukum oleh Hakim itu sekaligus dapat dikayakan sebagai sumber hukum juga.
20
2. Sejarah, Tugas, dan Kewajiban Peradilan Agama a. Sejarah Pengaturan Peradilan Agama di Indonesia Peradilan agama adalah peradilan yang dilandasi oleh ketentuan Islam. Begitu pula dengan sejarah ada dan diakuinya peradilan agama di Indonesia. Keberadaan peradilan agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada masa kerajaan. Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu peradilan pradata dan peradilan padu. Materi hukum peradilan pradata bersumber dari ajaran Hindhu dan ditulis dalam pakem. Sedangkan peradilan padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prateknya, peradilan pradata
menangani
persoalan-persoalan
yang
berhubungan
dengan
wewenang Raja, sedangkan peradilan padu menangani perosalan-persoalan yang tidak berhubungan dengan wewenang Raja. Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah Raja Mataram menggantikan dengan sistem peradilan serambi yang berasaskan Islam. Penggantian tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga integrasi dari wilayah Kerajan Mataram itu sendiri (http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2931). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, peradilan agama mendapat pengakuan
secara
resmi.
Pada
tahun
1882
Pemerintah
Kolonial
mengeluarkan Staatsblad Nomor 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi peradilan agama dan hukum Islam di Indonesia. Karena staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun 1937 keluarlah Staatsblad 1937 Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh peradilan agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah lain yang berhubungan dngan harta benda, terutama tanah. Sejak peristiwa tersebut kompetensi peradilan agama hanya
21
terbatas
pada
masalah
perkawinan
dan
masalah
perceraian
saja
(http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2931). Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa peradilan agama setelah pada masa tersebut tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pegukuhan dari peradilan negeri. Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Kementiran Agama. Departemen Agama dimungkinkan konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 menunjukkan
dengan
jelas
maksud-maksud
untuk
mempersatukan
administrasi nikah, talak dan rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri. Dalam rentang waktu 12 tahun sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ada tujuh hal yang dapat di ungkapkan yang terkait langsung dengan Peradilan Agama di Indonesia: 1) Berkaitan
dengan
penyerahan
Kementrian
Agama
melalui
Penetapan Pemerintah Nomor 5 sampai dengan tanggal 25 maret 1946; 2) Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946; 3) Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948; 4) Masa Indonesia RIS (Republik Indonesia Serikat) tanggal 27 Desember 1946 – 17 Agustus 1950; 5) Lahirnya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951; 6) Lahirnya Undang-undang Nomor 32/1954.
Peradilan agama dalam rentang waktu lebih kurang 17 tahun, yakni tahun 1957-1974 mengalami perkembangan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah dan Undang-undang yakni Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957,
22
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1970 dan penambahan kantor dan cabang kantor peradilan agama. Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1964 disah Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-undang tersebut, Peradilan Negara Republik
Indonesia
menjalankan
dan
melaksanakan
hukum
yang
mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Namun tidak lama kemudian, Undang-undang ini diganti dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam Undang-undang baru tersebut ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Ditegaskan demikian karena sejak tahun 1945-1966 keempat lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh, melainkan disana sini masih mendapatkan intervensi dari kekuasaan lain. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 merupakan undang-undang organik, sehingga perlu adanya undang-undang lain sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu undang-undang yang berkait dengan peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, termasuk juga peradilan agama. Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hingga menjelang lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ada dua hal yang menonjol dalam perjalanan Peradilan Agama di Indonesia; 1) Tentang proses lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974
23
2) Tentang lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah diperbaharui Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Sebelum diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, peradilan agama di Indonesia adalah beraneka nama dan dikategorikan sebagai peradilan kuasai, karena berdasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka semua putusan pengadilan agama harus dikukuhkan oleh peradilan umum. Ketentuan ini membuat pengadilan agama secara de facto lebih rendah kedudukannya dari pada peradilan umum. Padahal secara yuridis formal dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ada empat lingkup Peradilan di Indonesia, yaitu : 1) Peradilan umum; 2) Peradilan Agama; 3) Peradilan Militer; 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia yang memiliki kedudukan setara. Kesetaraan empat lingkup peradilan tersebut merupakan koreksi terhadap ketentuan yang terdapat dalam Staatblad 1882 Nomor 152 dan Statblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610 tentang Peraturan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, Staatblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639 tentang Peraturan Kerapatan Qadi dan Qadi besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan
24
Madura (Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 99) yang telah menempatkan peradilaan agama berada di bawah peradilan umum. Koreksi yang dilakukan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut bukan hannya tidak ditindaklanjuti dengan mengeluarkan peraturan organik yang dapat membuat peradilan agama mampu melaksanakan putusannya secara mandiri, namun sebaliknya, empat tahun kemudian, Pasal 63 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengembalikan peradilan agama secara utuh kepada peradilan kuasi dengan cara mengharuskan setiap putusan peradilan agama dikukuhkan oleh peradilan umum. Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga kewenangan absolut peradilan agama yang didasarkan pada : 1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatblad 1882 Nomor 152 dan Staatblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610); 2) Peraturan tentang kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagai Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639); 3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar jawa dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 Nomor 99). Ketentuan-ketentuan di atas dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga sejak itu pula lembaga pengukuhan yang terdapat dalam Staatblad 1882 Nomor 152 jo. Staatblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610, Staatblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639, Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar Jawa
25
dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 nomor 99) dan Pasal 63 Ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan oleh Pasal 107 Ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tidak berlaku lagi. Pernyataan tidak berlaku terhadap semua peraturan hukum tersebut menempatkan peradilan agama sebagai peradilan yang sesungguhnya (court of law), sehingga sejak itu peradilan agama mempunyai susunan peradilan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan kewenangan absolut yang terunifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 49 serta hukum acara yang jelas menurut Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebenarnya kemunculan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dianggap terlambat karena masyarakat semakin membutuhkan wadah untuk memperkarakan hak yang dilanggar oleh orang lain, namun tidak menimbulkan suatu gejolak yang berarti. Hal ini sesuai dengan yang pemikiran Soehartono yang mengatakan bahwa “keterlambatan pengesahan dan pengundangannya (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989) bukan berarti mengurangi makna kehadirannya (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989), tetapi sebagai akibat kandungan “sensitivitas” yang melekat pada batang tubuhnya” (Soehartono,2004:757). Seiring dengan berkembangnya masyarakat, maka ditemukan dua hal yang cukup mengganjal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu mengenai pilihan hukum dan penyelesaian sengketa hak milik serta sengketa kewenangan mengadili. Berkenaan dengan hal ini maka pada tanggal 28 Februari 2006 dikeluarkan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian
26
diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan perubahan tersebut tersurat bahwa amandemen ini membawa perubahan besar dalam Peradilan Agama khususnya mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam menangani masalah ekonomi syari’ah. Dewasa ini telah disahkan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tidak lain menitik beratkan pada pengaturan mengenai pengadilan khusus dan Hakim ad hoc, serta keamanan dan kesejahteraan Hakim. Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mencantumkan bahwa “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang Islam”. Sedangkan Pasal 2 Undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa “Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”. Berdasarkan kedua difinisi tersebut jelas bahwa peradilan agama adalah lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan yang didasarkan pada ketentuan Islam dan diperuntukan bagi orang-orang yang beragama Islam. b. Tugas dan Kewajiban Peradilan Agama Pasal 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
27
hukum dan keadilan berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Berdasarkan hal tersebut pengadilan agama adalah sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman disamping tiga peradilan lainnya yaitu peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Peradilan agama, dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dinyatakan, “bahwa selain mempunyai tugas pokok juga mempunyai tugas tambahan, yaitu dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi Pemerintah di daerah hukum apabila diminta”. Pasal 52 Ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama menyebutkan bahwa “Pengadilan agama dapat melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diserahkan kepadannya berdasarkan undangundang”. Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa; Pengadilan agama berwenang menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; 1) perkawinan; 2) kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; 3) wakaf dan shadaqah. Setelah mengalami perubahan maka Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama disebutkan bahwa;
28
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ; 1) Perkawinan; 2) Kewarisan; 3) Wasiat; 4) Hibah; 5) Wakaf; 6) Zakat; 7) Infaq; 8) Shadaqah dan 9) Ekonomi syari’ah. Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi". Berdasarkan pasal tersebut maka, sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan peradilan agama mengemban tugas khusus pada bidang-bidang tertentu sesuai undang-undang. Dimana ia berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan permusuhan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang ada. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, pengadilan agama harus memperhatikan batasan-batasan kewenangannya dan beberapa hal berikut ini; 1) Kompetensi Absolut ”Di Indonesia terdapat empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan
29
peradilan militer. Batas antara masing-masing lingkungan ditentukan oleh bidang yurisdiksi tersebut masing-masing melaksanakan fungsi kewenagan mengadili” (Yahya Harahap, 2003 101-102). Pasal 47 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ”lingkungan peradilan agama adalah salah satu di antara lingkungan peradilan khusus sama halnya seperti peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, yakni melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara “tertentu” dan terhadap rakyat tertentu”. Begitu pula berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal tersebut mencantunkan perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama, di luar sengketa tersebut pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan memutus perkaranya. Sifat kewenangan masingmasing lingkungan peradilan bersifat absolut. Apa yang telah ditentukan
menjadi
kekuasaan
peradilan,
menjadi
kewenangan
yurisdiksi mutlak
atau
lingkungan
baginnya
untuk
memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan mutlak ini disebut “kompetensi absolut” atau “yurisdiksi absolut”. Dengan adanya pembatasan kewenangan ini bertujuan untuk memberikan ketentraman dan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan mengenai lingkungan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkarannya. 2) Kompetensi relatif Kekuasaan atau kewenangan relatif adalah kekuasaan atau kewenangan yang diberikan antar pengadilan dalam lingkungan
30
badan peradilan yang sama. Pengaturan kompetensi relatif terdapat dalam Pasal 118 HIR yang secara garis besar menyatakan gugatan diajukan ke pengadilan wilayah hukum tempat tinggal Tergugat, apabila Tergugat lebih dari satu dan bertempat tinggal di wilayah hukum yang berbeda gugatan diajukan di salah satu tempat tinggal Tergugat, jika tempat tinggal Tergugat tidak diketahui atau ghaib maka gugatan diajukan ke pengadilan wilayah hukum Penggugat atau jika tuntutannya mengenai benda tetap maka diajukan di mana benda tetap itu berada atau jika ditentukan rempat kedudukan hukum dalam suatu akta maka gugatan diajukan di pengadilan dimana tempat kedudukan hukum ditentukan. 3. Bentuk, Susunan dan Kekuatan Putusan Peradilan Agama a. Bentuk dan Macam Putusan Pengadilan Agama Salah satu tugas pokok pengadilan agama adalah mengadili atau memutus perkara yang diajukan kepadannya yang dituangkan dalam putusan. ”Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak”(Sudikno Mertokusumo, 2002: 02). Berdasarkan hal tersebut, putusan yang diucapkan oleh Hakim di persidangan adalah harus sama dengan amar putusan yang tertulis (vonis). ”Putusan Pengadilan Agama adalah dalam bentuk tertulis dan pengadilan agama adalah lembaga yang berwenang untuk membuat putusan sesuai dengan kewenangan absolut yang diberikan kepadannya” (Chatib Rasyid, 2009: 119). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
31
Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa yang dimaksud perkara yang diterima di pengadilan adalah termasuk perkara voluntair. Dengan demikian, perkara yang diajukan ke pengadilan agama adalah perkara contentiosa (persengketaan) dan perkara voluntair (gugat yang bersifat permohonan) (Chatib Rasyid, 2009: 119). Dalam penjelasan Pasal 60 Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama disebutkan ada dua produk pengadilan agama, yaitu putusan dan penetapan. Putusan disebutkan sebagai keputusan pengadilan atas perkara gugatan karena adannya suatu sengketa, sedangkan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan. Adapun macam-macam putusan dalam pengadilan agama dapat dibagi dua, yaitu; 1). Putusan Sela Putusan sela adalah putusan yang dujatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela, yaitu; a) Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuaitu guna mengadakan putusan akhir; b) Putusan Interlacutoir, yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian; c) Putusan Incidental, yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden, seperti putusan yang bertujuan untuk menghentikan prosedur biasa; d) Putusan Provisionol, yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi dalam hal penggugat meminta agar diadakan tindakan pendahuluan sebelum putusan akhir dijatuhkan(Chatib Rasyid, 2009: 119).
32
2). Putusan akhir ”Putusan akhir adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu menyelesaikan perkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”(Abdul Manan, 2000: 173). Putusan akhir apabila dilihat dari amarnya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu (Chatib Rasyid, 2009: 118-119); a) Putusan condemnatoir, yaitu yang amarnya bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Amar yang bersifat condemnatoir tersebut dirinci sebagai berikut ; (1) menghukum atau memerintahkan untuk menyerahkan; (2) menghukum atau memerintahkan untuk pengosongan; (3) menghukum atau memerintahkan untuk membegi; (4) menghukum atau memerintahkan untuk melakukan sesuatu; (5) menghukum atau memerintahkan untuk menghentikan sesuatu; (6) menghukum atau memerintahkan untuk membayar sesuatu; (7) menghukum atau memerintahkan untuk membongkar; (8) menghukum atau memerintahkan untuk tidak melakukan sesuatu. b) Putusan Declaratoir adalah putusan yang amarnya menyatakan, bahwa keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum. Misalnya ”Menyatakan sah atau tidak suatu perbuatan hukum. Amarnya dimulai dengan menyatakan.......”; c) Putusan Konstitutif adalah putusan yang bersifat mengentikan atau menimbulkan hukum baru. Misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan. Contoh ”Menyatakan bahwa perkawinan antara A dan B putus karena. Disamping itu, seorang Hakim harus memperhatikan asas-asas putusan yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG. Adapun asas-asas putusan tersebut adalah dalam Pasal 178 HIR adalah sebagai berikut :
33
a) Pada waktu bermusyawarah, Hakim, karena jabatannya, wajib melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (Rv. 39, 41; IR. 184.); b) Hakim itu wajib mengadili semua bagian tuntutan; c) Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut(Rv. 50). Sedangkan asas yang termuat dalam Pasal 189 RBG dan Pasal 13 dan Pasal 50
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah : a) Wajib mengadili seluruh bagian gugatan; b) Diucapkan di muka umum atau dalam sidang terbuka untuk umum. Pelanggaran terhadap asas yang kedua ini dapat menyebabkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum; c) Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Larangan ini disebut ultra petitum partium; d) Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Putusan yang tidak memuat dasar dan alasan yang jelas dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dan mengakibatkan putusan seperti itu dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. b. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan penjelasannya ditemukan dua macam produk pengadilan agama, yaitu putusan dan penetapan. Kedua hal tersebut harus dibuat secara tertulis dengan susunan sebagai berikut ; 1). Kepala Putusan Kepala putusan memuat hal-hal sebagai berikut ; a) judul,yaitu : PUTUSAN b) Nomor putusan
34
c) Irah-irahan, yaitu kalimat ”BISMILLA HIRRAHMAAN IRROHIM” yang diikuti dengan kalimat ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; 2) Identitas Identitas dalam putusan sama dengan identitas yang ada dalam surat gugatan atau permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu sekurang-kurangnya memuat nama, umur, dan alamat para pihak yang berperkara. 3) Duduk Perkara Dalam bagian tentang duduk perkara sebuah putusan harus mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 195 R.bg / Pasal 184 HIR dan Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu memuat hal-hal sebagai berikut ; a) Gugatan yang diajukan Penggugat; b) Jawaban dan tanggapan yang diajukan Tergugat, termasuk didalamnya eksepsi, jawaban terhadap pokok perkara, tuntutan provisi dan rekonvensi. c) Fakta kejadian dalam persidangan, hal ini dapat berupa sikap para pihak yang berperkara di persidangan, keterangan saksi dan keterangan yang diperoleh dari para pihak tentang alat bukti yang diajukan para pihak; d) Duduk perkara, adalah menguraikan seluruh fakta yang terakumulasi mulai dari fakta yang terdapat dalam surat gugatan sampai pada kesimpulan.
35
4) Pertimbangan Hukum Pertimbangan hukum adalah suatu tahap dimana Majelis Hakim
mempertimbangkan
fakta
yang
terungkap
selama
persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban dan eksepsi dari Tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan meteriil yang mencapai batas minimal pembuktian. Dalam memutus perkara Hakim harus mempunyai alasanalasan
hukum
yang
menjadi
dasar
pertimbangan.
Dasar
pertimbangan tersebut bertitik tolak dari ketentuan sebagai pasalpasal
tertentu
dari
peraturan
kebiasaan, yurisprudensi
dan
perundang-undangan, doktrin hukum.
hukum
Sebagaimana
tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 50 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa ”segala putusan pengadilan harus
memuat
alasan-alasan
dan
dasar-dasar
putusan
dan
mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum”. 5) Amar / Diktum putusan Amar atau diktum putusan adalah jawaban atas petitum yang dimintakan oleh Penggugat, sama ada petitum dalam bagian eksepsi, provisi, konvensi maupun dalam rekonvensi. Berdasarkan Pasal 189 Ayat (3) R.bg, Hakim dilarang mengabulkan atau memutus lebih dari yang diminta (petitum).
36
6) Penutup Dalam bagian penutup disebutkan kapan perkara tersebut diputuskan dan kapan diucapkan dengan menyebutkan susunan majelis Hakim yang memutus perkara serta susunan Majelis Hakim yang hadir pada saat putusan diucapkan dengan tidak boleh melupakan pencantuman Panitera yang ikut bersidang sebagai pembantu Majelis Hakim. Selain hal tersebut, juga harus dicantumkan tentang hadir atau tidaknya Penggugat dan Tergugat pada saat putusan diucapkan. Adanya musyawarah Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan harus sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. 189 Ayat (1) R.Bg. sementara itu, tanggal dijatuhkannya putusan adalah sama dengan tanggal musyawarah Majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut. Tanggal putusan yaitu tanggal hari pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum oleh ketua sidang dengan dihadiri oleh Hakim anggota dan dibantu oleh panitera yang turut bersidang. Putusan ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang, Hakim Anggota dan Panitera yang turut bersidang, dengan pembubuhan materai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) pada tanda tangan. c. Kekuatan Putusan Pengadilan Agama Putusan pengadilan agama memiliki tiga macam kekuatan pembuktian diantarannya adalah; 1) Kekuatan mengikat kepada para pihak Putusan pengadilan agama yang dijatuhkan oleh Hakim adalah untuk menyelesaikan perkara yang terjadi antara Penggugat dan
37
Tergugat dengan menetapkan siapa yang berhak serta menentukan hukumnya. Menurut Yahya Harahap putusan pengadilan agama bersifat mengikat kepada beberapa pihak, diantaranya adalah (Yahya Harahap, 2003 : 310); a) Terhadap pihak yang berperkara b) Terhadap orang yang mendapat hak dari merk, dan c) Terhadap ahli waris mereka. Oleh karena putusan mempunyai kekuatan mengikat maka para pihak yang telah ditentukan mempunyai kewajiban untuk metaati putusan yang ada. Mukti Arta dalam meyebutkan bahwa putusan Hakim memiliki kekuatan mengikat yang dapat diartikan sebagai berikut (Mukti Arta.1996:264-265); a) b) c) d)
e)
f)
g)
h)
Putusan Hakim itu mengikat pada para pihak yang berperkara dan yang terlibat dalam perkara itu; Para pihak harus tunduk dan menghormati putusan itu; Terikatnya para pihak kepada putusan Hakim ini, baik dalam arti positif maupun negatif (Pasal 1917, 1920 BW, 134 Rv); Mengikat dalam arti positif, yakni bahwa apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar (Res judicata pro veritate habetur), dan tidak dimungkinkan pembuktian lawan; Mengikat dalam arti negatif, artinya bahwa Hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta pokok perkara yang sama (nebis in idem), (Pasal 134 Rv); Putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dirubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang luar biasa (yaitu Reguest civil dan derdent verzet); Segala pertimbangan Hakim yang dijadikan dasar putusan serta amar putusan (dictum) merupakan satu kesatuan dan mempunyai kekuatan mengikat; Sedang mengenai hasil konstatiring Hakim (penetapan) mengenai kebenaran peristiwa tertentu dengan alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.
38
2) Kekuatan Pembuktian ”Putusan pengadilan agama berbentuk tertulis, oleh karena itu putusan pengadilan agama dapat digolongkan kepada akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna” (Chatib Rasyid, 2009: 119). Berdasarkan hal tersebut maka putusan pengadilan dapat dijadikan alat bukti yang sempurna tentang penyelesaian apa yang disengketakan oleh para pihak. Selanjutnya putusan pengadilan agama tersebut dapat digunakan oleh para pihak untuk alat bukti untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama, kasasi ke Mahkamah Agung RI atau mengajukan permohonan ekseskusi apabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia melakukan isi putusan pengadilan agama tersebut secara suka rela. Mukti Arta menyebutkan bahwa putusan Hakim memiliki kekuatan pembuktian yang bararti bahwa (Mukti Arta. 1996:265); a) Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu; b) Putusan Hakim menjadi bukti dalam kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya; c) Putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu (tindak pidana) (Pasal 1918 dan 1919 Bw); d) Demikian pula putusan perdata menjadi bukti dalam sengketa perdata mengenai hal itu; e) Apa yang diputuskan Hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pula (nebis in idem). Salah satu keistimewaan dan perbedaan putusan pengadilan agama dengan yang lainnya adalah adanya doktrin-doktrin dari AlQur'an, hadits dan aqwal fuqaha. Karenanya jika kita meneliti putusan-putusan yang terdapat pada buku yurisprudensi terutama buku
39
yurisprudensi lama, kita akan menemukan banyak sekali dalil-dalil AlQur'an, hadits maupun aqwal fuqaha yang dijadikan sandaran pertimbangan dalam putusan. 3). Kekuatan Eksekutorial Putusan
pengadilan
agama
yang mempunyai
kekuatan
eksekutorial hanyalah putusan yang bersifat condemnatoir yang kepala putusannya tercantum kata ”BISMILLAHI-RRAHMANIRRAHIM” dan diikuti dengan kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Chatib Rasyid, 2009: 120). Berdasarkan kata ” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” inilah yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan-putusan pengadilan. Pasal 57 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama jo Pasal 4 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa maksud dari putusan memiliki kekuatan eksekutorial adalah mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara suka rela. Putusan Hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yakni kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Dengan berlakunnya Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 (sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka pengadilan agama telah
40
dapat melaksanakan sendiri tindakan eksekusi atas putusan yang dijatuhkan itu tidak diperlukan lagi lembaga pengukuhan dan fiat eksekusi oleh pengadilan negeri (Mukti Arto.1996 : 265). 4. Pengertian, Dasar, dan Ketentuan Al-Musyarakah a. Pengertian Al-Musyarakah Al-Musyarakah atau yang biasa disebut Musyarakah berasal dari kata “syirkah” yang berarti percampuran. Secara Fiqih, Musyarakah berarti : “akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan” (Muhammad, 2009:114). Definisi lain menyebutkan bahwa Musyarakah adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek di mana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggungjawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing (Muhammad, 2008:9). Selain itu, di dunia Internasional Al-Musyarakah diartikan sebagai “a partnership of limited duration for the purpose of completing a specific project, and wich allows patners to shere losses based on the proportion of their capital contribution”( Hegazy, Walid S, 2007 : 581). Arti dari pendapat tersebut kurang-lebih adalah Al-Musyarakah merupkan suatu kemitraan antara durasi terbatas untuk tujuan menyelesaikan suatu proyek tertentu, dan yang memungkinkan mitra untuk berbagi kerugian berdasarkan proporsi kontribusi modal mereka. b. Dasar Hukum Al-Musyarakah Al-Musyarakah, yang tidak lain merupakan salah satu transaksi keuangan yang berbasis syari’ah, selama ini dasar yang digunakan dalam bertransaksi adalah menggunakan Ayat-Ayat dalam Al-Qur’an, apabila di dalam Al-Qur’an belum mencantumkan secara lengkap maka dapat diperjelas dengan menggunakan Hadist dan pendapat para Ulama’. Hal
41
tersebut sesuai dengan pendapat dari Timur Kuran, yaitu “The Qur'an contains verses that address issues such as distribution and pricing, but it is not, after all, a treatise in economics. The traditions of early Islam (Sunna), rich as they are in commentary concerning such matters as contracting, taxation, property rights, and inheritance, do not speak to every contemporary issue” (Timur Kuran, 1995:8). Adapun dasar hukum Al-Musyarakah adalah sebagai berikut; 1). Al-Qur’an Ayat-Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan atau dasar akad pembiayaan syari’ah adalah : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskanya. Dan hendaklah seorang Penulis diantara kalian menuliskannya dengan benar. Dan jenganlah Penulis enggan menuliskannya, sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan Rabb-nya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya” (Al-Baqarah :282). Ayat lain yang menunjukan adannya perkongsian secara adil dapat tersurat pada; “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yang demikian itu sangat sedikit” (QS ash-Shad:24). 2). Hadis Hadis Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi Musyarakah dari Hadis Qudsi yang diriwAyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “Allah SWT telah berkata kepada saya; menyertai dua pihak yang sedang berkongsi
42
selama salah satu dari keduannya tidak menghkianati yang lain, seandainya berkhianat maka saya keluar dari penyertaan tersebut” (HR.Abu
Daud).
Sementara
itu
beberapa
Perowi
juga
meriwAyatkan bahwa “Rakhmat Allah SWT tercurah atas dua pihak yang sedang berkongsi selama mereka tidak melakukan pengkhianatan, manakala berkhianat maka bisnisnya akan tercela dan keberkatanpun akan sirna dari padanya” (HR. Abu Daud, Baihaqi dan Al-Hakam). Adapun keniscayaan dari orang-orang yang
berbuat
penyelewengan
terhadap
apa
yang
telah
disepakatinnya dapat tersurat dalam hadis yang berbunyi “sesungguhnya orang-orang yang mengelola harta Allah dengan tidak benar, maka bagi mereka api neraka pada hari kiamat” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadis Rasulullah yang diriwAyatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, yang ada dalam bukum Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah yang ditulis oleh Manshur Ali Nashif menuliskan bahwa “ Tunaikanlah amanat kepada orang yang mempercayaimu, dan jangan sekali-kali engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat terhadap mu (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)” (Manshur Ali Nashif, 2002:676). c. Ketentuan Al-Musyarakah Di dalam praktiknya Al-Musyarakah memiliki bentuk kerjasama yang terbagi dalam beberapa golongan, di antarannya adalah (Muhammad, 2008:135); 1)
Syirkah Al’Inan, penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak harus sama jumlahnya dan keuntungannya dibagi secara proporsional dengan jumlah modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan;
43
2)
3) 4) 5)
Syirkah Al Mufawadhah, peserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama dilakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata; Syirkah Al abdan/ Al Amal, perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama; Syirkah Al Wujuh, perserikatan tanpa modal; Syirkah Al Mudharabah, bentuk kerjasama antara pemilik modal seseorang yang punya keahlian dagang dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Ketentuan lain mengenai Al-Musyarakah terdapat dalam Fatwa DSN Nomor:08/DSN-MUI/IV/2000 yang mengatur mengenai ; 1)
Pernyataan ijab dan qobul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut; a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad); b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kotrak; c. Akad dituangkan secara tertulis, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi moderen.
2)
Pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan hal-hak sebagai serikut ; a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan; b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil; c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal; d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja; e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingan sendiri.
44
3)
Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian) a. Modal (1) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainnya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainnya. Jika modal dalam bentuk aset, harus lebih dahulu disepakati oleh para mitra; (2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal Musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan; (3) Pada prinsipnya, dalam penyaluran dana musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinnya penyimpangan, Pemodal dapat meminta jaminan. b. Kerja (1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaanya merupakan dasar dari pelaksanaan Musyarakah akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinnya; (2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam Musyarakah atas nama pribadi dan wakil mitrannya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak. c. Keuntungan (1) Keuntungan harus dikualifikasikan dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian Musyarakah; (2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungandan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra; (3) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
45
d. Kerugian Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing modal. Adapun aspek teknis yang berlaku bagi Al-Musyarakah adalah sebagai berikut (Muhammad. 2008;116); 1) Secara teknis Al-Musyarakah, kesepakatan antara kedua belah pihak sangat diperlukan dalam menentukan keputusan dan memperlancar urusan. Dua belah pihak masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta bersama menjaga amanah dana masyarakat; 2) Dokumentasi, adalah syarat transaksi yang harus dilakukan antara kedua belah pihak sebagai bukti dari perjanjian; 3) Saksi, merupakan alat bukti bagi Hakim untuk memutuskan perkara. Saksi harus orang yang adil bijaksana, tidak cacat mata, bisa bicara (bukan bisu), dan juga tidak cacat hukum. 4) Wanprestasi, diberlakukan bila nasabah melalukan cidera janji, yaitu tidak menepatijanjinya dalam perjanjian. Dalam hukum Islam, seseorang diwajibkan untuk mematuhi setiap perjanjian atau amanah yang dipercayakan kepadannya, sebagaimana yang tercantum dalam Qs. Al-Anfal Ayat 27 yang berbunyi ”Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada mu, sedang kamu mengetahui”. Dalam sistem Al-Musyarakah terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal. Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di bank konvensional sebagai sarana pembiayaan. Secara konkret, bila kita memiliki usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, kita bisa menggunakan produk AlMusyarakah ini. Inti dari pola Al-Musyarakah adalah, bank syari’ah dan kita secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan untuk menjalankan usaha. Porsi bank syari’ah akan diberlakukan sebagai penyertaan dengan pembagian keuntungan yang
46
disepakati bersama. Dalam bank konvensional, pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja. Penyaluran dana Al-Musyarakah memiliki tujuan untuk digunakan oleh lembaga pembiayaan untuk memfasilitasi pemenuhan sebagian kebutuhan permodalan guna menjalankan usaha atau proyek yang disepakati. Nasabah (peminjam) bertindak sebagai pengelola usaha dan lembaga pembiayaan sebagai mitra dapat sebagai pengelola usaha sesuai dengan kesepakatan. Adapun skema penyeluran dana Al-Musyarakah dapat digambarkan sebagai berikut (Muhammad.2008:139); Lembaga penyalur
Nasabah Proyek usaha
Keuntungan / kerugian
Bagi hasil keuntuang / kerugian Gambar 1 Skema penyaluran dana Al-Musyarakah Berdasarkan bagan tersebut dapat terlihat bahwa lembaga penyalur modal sebagai penyedia dana, sesuai dengan kemampuannya. Bersama nasabah, bekerjasama untuk melakukan suatu usaha tertentu sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Keuntungan usaha yang dijalankan didasarkan pada profit and loss sharing atau revenue sharing.
47
B. Kerangka Pemikiran
Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Pembiayaan ekonomi syari’ah
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 3. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008
Al-Musyarakah
Wanprestasi
Penyelesaian sengketa
Luar Pengadilan
Pengadilan
HAKIM
Pertimbangan Hakim
Putusan Nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg Gambar 2 Bagan Kerangka Pemikiran
48
Keterangan; Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan tambahan kewenangan kepada pengadilan agama sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 49 yaitu pengadilan agama berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta munculnya Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah bersifat sebagai perubahan, sehingga ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 masih berlaku sepanjang tidak dirubah dalam Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mempunyai andil besar dalam kewenangan peradilan agama, di dalam undang-undang tersebut ditambahkan kewenangan peradilan agama yaitu untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah diartikan sebagai aktifitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi baik barang atau jasa yang bersifat material, yang didasari oleh syariat
islam
(http://agustianto.niriah.com/2008/04/03/peradilan-agama-dan-
sengketa-ekonomi-syari’ah/). Secara garis besar ekonomi syari’ah adalah ekonomi yang berlandaskan pada syari’ah Islam, sehingga siapapun yang menggunakan ketentuan syari’ah, tunduk pada ketentuan syari’ah yang ada. Pergerakan ekonomi syari’ah dapat terlihat melalui pembiayaan-pembiayaan syari’ah yang ada. Salah satu pembiayaan syari’ah yang ada adalah Al-Musyarakah atau yang sering disebut Musyarakah atau syirkah. Al-Musyarakah tidak lain adalah suatu kesepakatan diantara dua pihak atau lebih dimana salah satu pihak meminjamkan sejumlah uang kepada pihak yang lain untuk dipergunakan sebagai modal usaha yang
49
ketentuannya didasarkan pada kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak(Muhammad.2008:115). Pembiayaan Al-Musyarakah yang didasarkan pada kesepakatan yang dibuat sendiri oleh pihak yang ada senyatanya tidak begitu saja terhindar dari adanya wanprestasi. Dengan adanya sengketa mengenai Al-Musyarakah ini sejatinya dapat diselesaikan dengan dua alternatif penyelesaian, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan kesepakatan yang ada atau dengan cara diselesaikan di pengadilan. Apabila dibawa ke peradilan, maka yang berhak menangani adalah peradilan agama. Dalam hal ini Penulis mengangkat salah satu kasus yang ada di Purbalingga yaitu perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tentang sengketa gugatan akad pembiayaan Al-Musyarakah. Dewasa ini sengketa ekonomi syari’ah yang diselesaikan melalui jalur peradilan memang masih sangat minim, bahkan setelah Penulis mencari di berbagai Pengadilan Agama di Indonesia sengketa tersebut adalah satu-satunya sengketa ekonomi syari’ah yang pernah terjadi sejak Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hingga munculnya Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Mengingat belum ada yurisprudensi dalam sengketa ekonomi syari’ah sebelumnya, maka hal ini menjadi sebuah fenomena baru dalam Peradilan Agama di Indonesia yang sangat menarik untuk dikaji. Dalam memeriksa dan memutus perkara ekonomi syari’ah tentu saja Hakim harus mempertimbangkannya dengan fakta-fakta hukum yang ada serta ketentuan-ketentuan baik hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan agama maupun syari’ah Islam, karena pengadilan agama tidak lain adalah pengadilan yang berlandaskan pada syari’ah Islam.
50
Walaupun ekonomi syari’ah adalah suatu sistim perekonomian yang didasarkan pada syariat Islam, bukan berarti ekonomi syari’ah dioperasionalkan tanpa masalah. Setelah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama disahkan, hingga tahun 2008 masih terdapat suatu kekosongan hukum, karena peraturan yang mengatur mengenai ekonomi syari’ah secara khusus masih belum ada, sehingga dalam memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg belum digunakan peraturan secara khusus mengenai ekonomi syari’ah. Dewasa ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah yang berisikan mengenai ketentuan-ketentuan ekonomi syari’ah seakan menjadi tindak lanjut dari keberadaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peraturan Mahakamah Agung tersebut menjadi sebuah titik terang dan menjadi pedoman bagi Hakim dalam memutus perkara ekonomi syaria’ah. Putusan Pengadilan Agama Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg adalah premis mayor yang Penulis kaji secara lebih mendalam khususnya mengenai dasar pertimbangan Hakim dalam memutus sengketa tersebut dan kesesuaian dasar pertimbangan Hakim putusan tersebut dengan ketentuan mengenai Al-Musyarakah yang ada dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
51
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Di dalam bab III yang merupakan inti dari penulisan hukum berisi hasil penelitian yang Penulis laksanakan dengan mengkaji dasar pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor:1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga yaitu putusan mengenai perkara gugatan pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah, dimana putusan tersebut mengacu pada Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagaimana yang diketahui bahwa hingga dewasa ini putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama mengenai ekonomi syari’ahsetelah berlakunnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 hanya putusan
Nomor:1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg.
Kemudian
Penulis
juga
mengkaji
mengenai kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor: 1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang Penulis laksanakan dengan mengkaji putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dan peraturan lainya mengenai ekonomi syari’ah, maka Penulis kemukakan hal-hal berikut: 1.
Dasar pertimbangan
Hakim
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg
dalam memutus perkara
mengenai
gugatan
Nomor :
pemenuhan
akad
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga; 2.
Kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam
51
52
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Sebelum kedua hal tersebut Penulis uraikan, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu data yang dimuat dalam putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga yang Penulis sajikan serta Penulis bahas meliputi: 1.
Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg.
2.
Para Pihak a. Penggugat A.W., umur 40 tahun, pekerjaan Direktur Utama PT.BPR Syari’ah B.M.P, bertempat tinggal di Rt.07/Rw.03, Desa Senon, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga dan M.R bin D.S, pekerjaan Direktur Operasional PT BPR Syari’ah B.M.P, bertempat tinggal di Desa Sendang Tirto, Kecamatan Berbak, Kabupaten Sleman. b. Tergugat H.R., umur 33 tahun, beragama Islam, pekerjaan dagang, bertempat tinggal di Rt.02/Rw.05, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga dan H, umur 29 tahun, pekerjaan dagang, bertempat tinggal di Rt.02/Rw.05 Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga.
3. Duduk Perkara Bahwa berdasarkan akad perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah nomor:123/MSA/VII/05 tertanggal 20 Juli 2005 para Tergugat telah menerima pemberian modal atau pembiayaan Al-Musyarakah sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dari Penggugat untuk keperluan modal dagang gula merah dan kelontong.
53
Bahwa para Tergugat telah dengan sengaja tidak menggunakan modal atau pembiayaan yang diterima dari Penggugat sesuai yang diperjanjikan yaitu untuk modal usaha dagang gula merah dan kelontong akan tetapi untuk keperluan lain sehingga merugikan pihak Penggugat dan oleh karenannya Penggugat berhak untuk seketika menarik kembali modal atau pembiayaan yang telah diberikan. Bahwa Penggugat telah melakukan berbagai upaya penagihan, akan tetapi para Tergugat selalu ingkar janji dan tidak ada itikad untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya. Bahwa para Tergugat segera memenuhi kewajiban untuk membayar atau mengembalikan pembiayaan Al-Musyarakah yang telah diterima kepada Penggugat berdasarkan akad perjanjian pembiayaan
Al-
Musyarakah Nomor : 123/MSA/VII/05 tertanggal 20 Juli 2005 yang perinciannya pertanggal 31 Oktober 2006 sebagai berikut : a. Pokok Pembiayaan
Rp. 29.080.000,-
b. Denda Ta’widh
Rp. 7.729.569,-
c. Biaya APHT
Rp.
Total
262.000,- +
Rp. 37.071.569,-
Jumlah tersebut akan terus bertambah karena bagi hasil dan atau denda Ta’widh, serta biaya-biaya yang timbul karenannya, sampai seluruh kewajibannya dibayar lunas. Bahwa apabila para Tergugat tidak melaksanakan kewajibankewajibannya terhadap Penggugat, Penggugat memohon sita eksekusi terhadap tanah berikut bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya, beserta segala sesuatu yang ditempatkan, ditanam, maupun yang berada di atas tanah dan bangunan-bangunan tersebut termasuk mesin-mesin yang karena sifatnya, peruntukannya oleh undang-undang dianggap
54
sebagai benda tetap, milik para Tergugat yang telah diikat Hak tanggungan, sebagaimana yang tersebut di bawah ini : a.
Tanah hak milik nomor : 00332/Desa Cipaku, yang terletak di Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Purbalingga, Kecamatan Mrebet, Desa Cipaku seluas 598 M2 (lima ratus sembilan puluh delapan meter persegi) sebagaimana diuraikan dalam surat ukur nomor 224/Cipaku/2201 tertanggal 5 Pebruari 2001 sertifikat tertanggal 27 Maret 2001 tertulis atas nama Harni;
b.
Sebagaimana yang tersebut dalam sertifikat Hak Tanggungan Nomor : 00069/2006, tanggal 1 Pebruari 2006 jo akta Hak Tanggungan Nomor : 30/2006 tanggal 13 Januari 2006 yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“ yang dibuat dihadapan HP, Sarjana Hukum, Notiaris di Purbalingga
4.
Tuntutan a. Mengabulkan gugatan Penggugat b. Menetapkan para Tergugat telah wanprestasi ; c. Menghukum
para
Tergugat
untuk
memenuhi
kewajiban-
kewajibannya; d. Meletakan Sita Eksekusi terhadap barang-barang jaminan e. Menetapkan secara hukum Kantor Lelang dan atau KP2LN Purwokerto untuk melaksanakan lelang jaminan ; f. Menghukum para Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini ; Atau apabila pengadilan agama berpendapat lain, mohon agar perkara ini diputus menurut hukum dengan seadil-adilnya
55
5. Putusan a) Menyatakan para Tergugat yang telah dipanggil dengan patut untuk menghadap dipersidangan, tidak hadir ; b) Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek untuk sebagian ; c) Menyatakan para Tergugat telah melakukan wanprestasi; d) Membatalkan
Akad
Perjanjian
pembiayaan
Al-Musyarakah
Nomor: 123/MSA/VII/05,tanggal 20 Juli 2005; e) Menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang sebesar Rp. 37.071.569,- (tiga puluh tujuh juta tujuh puluh satu ribu lima ratus enam puluh sembilan rupiah) dengan perincian pembayaran: (1) Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,(2) Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,(3) Biaya APHT Rp. 262.000,f) Menolak dan tidak dapat diterima selain dan selebihnya; g) Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 261.000,- (dua ratus enam puluh satu ribu rupiah). B. Pembahasan 1.
Dasar
pertimbangan
Hakim
dalam
memutus
perkara
Nomor:
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga. Dalam Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan putusan dengan pertimbangan: a.
Menimbang, bahwa para Tergugat tidak hadir di persidangan dan tidak menyuruh orang lain hadir sebagai wakilnya, padahal telah
56
dipanggil dengan patut dan tidak ternyata ketidak hadirannya itu disebabkan suatu halangan yang sah, maka harus dinyatakan para Tergugat tidak hadir dan putusan atas perkara ini dapat dijatuhkan dengan verstek, sesuai dengan Pasal 125 HIR dan dalil syar’i dalam Kitab I’anatuth Thalibien Juz IV halaman 238 yang berbunyi : ﺎﻀﻘﻟﺍو ء ﻲﻠﻋ ﺎﻏ ﺐﺋ ﻦﻋ ﺪﻠﺒﻟﺍ وﺍ ﻦﻋ ﺲﻠﺠﻤﻟﺍ رﺍﻮﺘﺑ وﺍ زﺰﻌﺗ ﺰﺋﺎﺟ ﻧ ﺎ ﻥﺎﻛ ﻲﻋﺪﻤﻟﺍ ﺔﺠﺣ Artinya: "Memutus atas Tergugat yang ghaib (tidak ada) di wilayah yurisdiksi atau Tergugat tidak hadir dalam persidangan sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila Penggugat mempunyai hujjah”. b.
Menimbang, bahwa Majelis akan mempertimbangkan hal-hal yang digugat oleh Penggugat dalam surat gugatannya, apapun mempunyai hujjah atau tidak;
c.
Menimbang, bahwa Majelis akan mempertimbangkan tentang para Tergugat telah melakukan wanprestasi. Dalam surat gugatan Penggugat dijelaskan para Tergugat telah dengan sengaja mengalihkan pembiayaan modal usaha dagang gula merah dan kelontong sesuai dengan akad perjanjian untuk digunakan keperluan lain dan Penggugat telah melakukan berbagai upaya penagihan, akan tetapi para Tergugat tidak ada i’tikad baik untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya;
d.
Menimbang, bahwa menurut Subekti, bahwa debitur dapat dikatakan wanprestasi/lalai apabila tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjiknnya;
57
e.
Menimbang, bahwa berdasar pertimbangan tersebut, Majelis berpendapat bahwa para Tergugat harus dinyatakan telah melakukan wanprestasi;
f.
Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tidak secara tegas mohon agar akad perjanjian pembiayaan AlMusyarakah Nomor:123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005 dibatalkan, namun Penggugat mohon agar pokok pembiayaan dikembalikan kepadanya.
Dalam
hal
Majelis
berpendapat
hanyalah karena keterbatasan pengetahuan Penggugat tentang hukum, hakekatnya Penggugat mohon agar akad perjanjian dengan para Tergugat sebagai mana tersebut di atas untuk dibatalkan; g.
Menimbang, bahwa Wahab Az Zuhaili di dalam Kitabnya Al Fiqhul Islamy Waadillatuh menjelaskan bahwa akan perjanjian yang tidak dilaksanakan atau dialihkan pelaksanaannya dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain seperti yang terjadi dalam kasus perkara ini, yaitu dari pembiayaan dagang gula merah dan kelontong dialihkan kepada yang lain, maka akad perjanjian itu dapat dibatalkan (fasakh) dan dengan dibatalkannya akad perjanjian itu, maka akad perjanjian tersebut telah berakhir;
h.
Menimbang, bahwa berdasar pertimbangan tersebut dan berdasar pula kepada Al-Qur’an surat Al-Maidah Ayat (1) : دﻮﻘﻌﺎﻟﺑ اﻮﻓوأ اﻮﻨﻣأ ﻦﯾﺬﻟا ﺎﮭﯾأ ﺎﯾ
58
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad yang telah kamu buat itu “. Dan Hadits riwAyat Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Daruqutni : ﻢﮭﻃوﺮﺷ ﻰﻠﻋ ﻥﻮﻤﻠﺴﻤﻟا Artinya : “ Orang-orang Islam terikat pada akad perjanjian yang mereka buat ”. Berdasarkan dalil tersebut, maka Majelis berpendapat bahwa akad perjanjian pembiayaan Al -Musyarakah Nomor : 123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005 harus dibatalkan; i.
Menimbang, bahwa Penggugat menuntut agar para Tergugat dihukum untuk membayar kewajiban-kewajibannya kepada Penggugat yang terdiri dari : 1) Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,2) Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,3) Biaya APHT Rp. 262.000,Majelis berpendapat bahwa tuntutan tersebut telah berdasar hukum karena telah sesuai dengan pasal 8 dan pasal 19 Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005 sehingga gugatan Penggugat sepanjang tuntutan tersebut dapat dikabulkan;
j.
Menimbang, bahwa Penggugat juga menuntut agar para Tergugat membayar tambahan bagi hasil dan atau denda Ta’widh serta biaya-biaya yang timbul karenanya, sampai seluruh kewajibannya dibayar lunas. Majelis berpendapat bahwa tuntutan Penggugat tersebut tidak berdasar hukum karena permbiayaan, yang macet harus berada dalam status quo, baik mengenai jumlah pokok pembiayaan, nisbah, Ta’widh atau ganti rugi dan sebagainya; hal ini sesuai dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung Nomor : 2899
59
K/Pdt/1994, tanggal 15 Pebruari 1996, oleh karena itu gugatan Penggugat sepanjang tuntutan tersebut harus ditolak; k.
Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya pada petitum 4 dan 5 memohon agar pengadilan meletakan sita eksekusi dan menetapkan secara hukum kantor lelang dan atau KP2LN Purwokerto untuk melaksanakan lelang jaminan. Majelis berpendapat bahwa permohonan tersebut prematur, karena sita eksekusi dan lelang adalah merupakan proses eksekusi yang baru bisa dimohonkan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap dan para Tergugat tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela. Oleh karena itu gugatan Penggugat sepanjang sita eksekusi dan lelang harus dinyatakan tidak dapat diterima;
l.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan sebagain dan menolak serta tidak dapat diterima selain dan selebihnya;
m. Menimbang, bahwa oleh karena para Tergugat adalah pihak yang kalah, maka berdasar Pasal 181 HIR para Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara; Dari uraian mengenai dasar pertimbangan Hakim tersebut, maka dapat dianalisis sebagai berikut: a.
Dalam persidangan para Tergugat ternyata tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal para Tergugat telah dipanggil secara patut serta ketidak hadirannya tidak disebabkan karena suatu halangan yang sah, hal tersebut disebut dengan gaib . Berdasarkan hal tersebut putusan Nomor : 1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan
60
Agama Purbalingga tersebut diputus dengan verstek sebagian. Penjatuhan putusan secara verstek tersebut dilakukan apabila Tergugat tidak hadir dan tidak mengutus orang lain sebagai wakil atau kuasannya yang sah dan tidak pula mengajukan eksespsi formil, maka Hakim Ketua Majelis dapat menjatuhkan salah satu dari dua alternatif yaitu menjatuhkan putusan verstek telah diatur dalan Pasal 125 Ayat (1) HIR yang berbunyi “Jika tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (verstek), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan (RV. 78; IR. 102, 122 d,t.)” atau memanggil Tergugat sekali lagi sebagai mana yang diatur dalam Pasal 126 HIR yang berbunyi “Dalam hal tersebut pada kedua pasal di atas ini, pengadilan negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil sekali iagi untuk menghadap pada hari persidangan
lain,
yang
diberitahukan
oleh
ketua
dalam
persidangan kepada pihak yang datang; bagi pihak yang datang itu, pemberitahuan itu sama dengan panggilan”. Selain itu ketentuan verstek juga telah termuat dalam dalil syar’i putusan yang berbunyi” ﺔﺠﺣ ﻲﻋﺪﻤﻟﺍ ﻊﻣ ﻥﺎﻛ ﻥﺍ ﺰﺋﺎﺟ ﺐﺋ ﺎﻏ ﻲﻠﻋ ءﺎﻀﻘﻟﺍو Artinya:"Hakim boleh memutuskan perkara atas orang yang gaib, apabila ada hujjah yang dikemukakan Penggugat". Terdapat pula pendapat Ulama’ yang menyatakan bahwa; ﻘﻟﺍوﻀﺎ ء ﻲﻠﻋ ﺎﻏ ﺐﺋ ﻦﻋ ﺪﻠﺒﻟﺍ وﺍ ﻦﻋ ﺲﻠﺠﻤﻟﺍ رﺍﻮﺘﺑ وﺍ زﺰﻌﺗ ﺰﺋﺎﺟ ﻧ ﺎ ﻥﺎﻛ ﻤﻟﺍﻲﻋﺪ ﺔﺠﺣ Artinya: “Memutus atas Tergugat yang ghaib (tidak ada) di wilayah yurisdiksi atau Tergugat tidak hadir dalam persidangan
61
sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila Penggugat mempunyai hujjah”. Maksud dari pendapat tersebut adalah Hakim boleh memutus perkara atas orang yang tidak berada di tempat (gaib) atau dari majelis Hakim, baik ketidak hadirannya itu bersembunyi atau alasan lain, adalah diperbolehkan apabila penggugat mempunyai bukti yang kuat atas ketidak hadirannya tersebut. Putusan verstek dapat dikabulkan apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut (Chatib Rasyid dan Syaifudin.2009:79): 1) Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut; 2) Tergugat tidak hadir di persidangan dan juga tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa atau wakilnya yang sah dan tidak ternyata ketidak hadirannya itu disebabkan oleh sesuatu halangan/alasan yang sah; 3) Tergugat mengirim eksepsi kewenangan relatif; 4) Penggugat hadir di persidangan dan mohon putusan; 5) Gugatan telah beralasan dan tidak melawan hukum. Penjatuhan putusan tanpa hadirnya Tergugat dapat diputus dengan verstek
dengan
ketentuan
bahwa
terdapat
saksi
untuk
pembuktiannya, sehingga pembuktian masih tetap dilaksanakan. Pembuktiannya juga harus terdapat saksi yang sah, hal ini sesuai dengan pendapat Ulama’ yaitu berbunyi: ﺎﻣو ﺪﺼﻘﯾ ﮫﺑ لﺎﻤﻟﺍ ﻊﯿﺒﻟﺎﻛ ﺓرﺎﺟﻻﺍو ﺔﺒﮭﻟﺍو و ﺔﯿﺻﻮﻟﺍ ﻦھﺮﻟﺍو ﻦﻤﻀﻟﺍو ﺪھﺎﺸﺑ ﻦﯿﺗأﺮﻣﺍو ﺖﺒﺜﯾو لﺎﻤﻟﺍ Artinya:"Ditetapkan harta dan segala sesuatu yang menyangkut dengan harta seperti jual beli, kontrak upah kerja, hibah, wasiat, gadai dan jaminan utang dengan pembuktian kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan". ﻥﺎﻓ زﺰﻌﺗ زﺰﻌﺘﺑ وﺍ رﺍﻮﺗ وﺍ ﺔﺒﯿﻏ زﺎﺟ ﮫﺗﺎﺒﺛﺍ ﺔﻨﯿﺒﻟﺎﺑ
62
Artinya: ''Apabila dia enggan (tergugat), bersembunyi atau memang dia ghaib (tidak diketahui alamatnya) maka perkara ini diputus berdasarkan bukti-bukti (kesaksian)”. b.
Dalam memberikan putusan, Hakim mempertimbangkan gugatan Penggugat yang tertuang dalam surat gugatanya, dengan melihat bahwa gugatan tersebut benar-benar mempunyai alasan atau tidak.
c.
Dalam putusan tersebut para Tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi dengan pertimbangan bahwa para Tergugat telah dengan sengaja mengalihkan pembiayaan modal usaha dagang gula merah dan kelontong untuk keperluan lainnya dan Penggugat telah melakukan berbagai upaya untuk menagih namun tidak ada itikad baik dari para Tergugat. Pertimbangan ini juga didasarkan pada pendapat Subekti yang tercantum dalam putusan, yang menyatakan bahwa ”Debitur dapat dikatakan wanprestasi atau lalai apabila tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinnya atau memenuhinnya tetapi tidak seperti yang diperjanjikan” (Putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg). Berdasarkan hal tersebut, maka Tergugat telah masuk dalam kriteria tidak memenuhi kewajibannya, sehingga para Tergugat dinyatakan telah wanprestasi.
d.
Apabila dikatakan bahwa para Tergugat telah melakukan wanprestasi
atau
penyimpangan
atas
akad
nomor
:
123/MSA/VII/2005, maka akad tersebut dibatalkan, dasar yang digunakan hanya mengunakan dalil-dalil mengenai pembiayaan syari’ah. Pertimbangan tersebut didasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Maidah (5) Ayat (1) yang berbunyi bahwa : ﺎﯾ ﺎﮭﯾأ ﻦﯾﺬﻟا اﻮﻨﻣأ اﻮﻓوأ دﻮﻘﻌﺎﻟﺑ
63
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu". Selain itu juga berdasarkan pada Dalam sebuah hadits riwAyat Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Daruqutni, yang berbunyi: ﻢﮭﻃوﺮﺷ ﻰﻠﻋ ﻥﻮﻤﻠﺴﻤﻟﺍ Artinya:"Orang-orang Islam itu terikat pada akad perjanjian yang mereka buat". Walaupun kedua dasar tersebut memang tepat namun masih terdapat Ayat yang dapat digunakan, diatarannnya adalah ; QS. al-Isra Ayat 34 yang berbunyi: ﻻﻮﺌﺴﻣ ﻥﺎﻛ ﺪﮭﻌﻟﺍ ﻥﺍ ﺪﮭﻌﻟﺎﺑ ﺍﻮﻓوﺍ و Artinya: "Dan tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya". Namun dalam hal ini, Penggugat tidak mengajukan gugatan untuk membatalkan akad Al-Musyarakah nomor 123/MSA/VII/05 tertanggal 20 Juli 2005. Pembatalan akad tersebut adalah dikarenakan pendapat Hakim untuk menafsirkan tuntutan dari Penggugat yang ada, yaitu untuk mengembalikan pokok pembiayaan kepadanya. e.
Dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa “Penggugat telah mengalami kerugian akibat perbuatan para Tergugat, sehingga Tergugat diharuskan membayar; 1)
Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,-
2)
Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,-
3)
Biaya APHT Rp. 262.000,-“.
Berdasarkan rincian di atas, dapat diketahui bahwa pada akta Nomor:123/MSA/VII/2005 tertanggal 20 Juli 2005 para Tergugat telah menerima pemberian modal / pembiayaan sebesar Rp.
64
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) namun dalam petitum dan pertimbanganya dituliskan pokok pembiayaan hanya sebesar Rp 29.080.000,- ( dua puluh sembilan juta delapan puluh ribu rupiah). Hakim menggabulkan sesuai dengan tuntutan yang diajukan Penggugat sebesar Rp 29.080.000,- (dua puluh sembilan juta delapan puluh ribu rupiah). Sedangkan denda Ta’widh adalah denda yang dibebankan kepada pihak yang kalah karena telah melakukan kesalahan dalam hal ini adalah telah melakukan wanprestasi, sehingga denda Ta’widh tersebut diberikan sebagai suatu bentuk kemanusiaan atau ganti rugi. Pengaturan mengenai denda Ta’widh tersebut sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/pbi/2005 Tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip syari’ah yang memuat bahwa; 1) Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad dan mengakibatkan kerugian pada Bank; 2) Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang(opportunity loss/al-furshah aldha-i’ah); 3) ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam, Istishna’ serta Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai; 4) ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan Bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
65
5) klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam Akad dan dipahami oleh nasabah; dan 6) Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Bank dengan nasabah. Keenam poin tersebut telah terpenuhi dalam pembiayaan AlMusyarakah Nomor:123/MSA/VII/2005, karena bank mengalami kerugian secara riil karena pembiayaan Al-Musyarakah yang telah macet dan pemberian ganti rugi serta besarnya ganti rugi telah diatur dalam perjanjian atau akad pembiayaan Al-Musyarakah Nomor:123/MSA/VII/2005.
Sedangkan
APHT
adalah
Akta
Pembebanan Hak Tanggungan. Pengaturan mengenai hak tanggungan tersebut, terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah menjelaskan bahwa: Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pengaturan dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk dilunaskan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap Kreditor-kreditor yang lain. Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, dijelaskan oleh Purwahid Patrik yang mengatakan bahwa (Purwahid Patrik.2001:53-54): Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa debitor cidera janji (wanpretasi) maka kreditor pemegang Hak
66
Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Maksud APHT dalam putusan tersebut adalah biaya pendaftaran APHT yang dibebankan pada hak atas tanah yang menjadi tanggungan dari akad tersebut yaitu tanah hak milik nomor :00332/Desa Cipaku, yang terletak di Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Purbalingga, Kecamatan Mrebet, Desa cipaku seluas 598 M2 (lima ratus sembilan puluh delapan meter persegi). Sebagaimana
sertifikat
hak
tanggungan
tersebut
dengan
Nomor:00069/2006, tertanggal 1 Februari 2006 jo Akta Hak Tanggungan Nomor : 30/2006 tertanggal 13 Januari 2006 yang dibuat dihadapan seorang Notaris di Purbalingga. f.
Dalam putusan tersebut Penggugat menuntut agar para Tergugat membayar tambahan bagi hasil dan atau denda Ta’widh serta biaya-biaya yang timbul karenannya, sampai kewajibannya dibayar lunas. Dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa tuntutan Penggugat tersebut tidak berdasar hukum karena pembiayaan yang macet harus berada dalam status quo, baik mengenai jumlah pokok pembiayaan, nisbah, Ta’widh/ ganti rugi dan sebagainnya. Hal tersebut didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor :2899/K/Pdt/1994 tertanggal 15 Februari 1996, oleh karena itu gugatan Penggugat sepanjang tuntutan
tersebut
harus
ditolak.
Mengenai
hal
tersebut
pertimbangan Hakim menyatakan pembayaran biaya atau denda Ta’widh harus ditolak. g.
Permohonan eksekusi yang diajukan oleh Penggugat dinyatakan tidak diterima, hal tersebut dengan pertimbangan bahwa
67
permohonan tersebut bersifat prematur, karena sita eksekusi dan lelang adalah merupakan proses eksekusi yang baru dapat dimohonkan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan para Tergugat tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela. h.
Karena para Tergugat adalah pihak yang kalah, maka berdasar Pasal 181 Ayat (1) HIR yang mencantumkan bahwa ; Barangsiapa dikalahkan dengan keputusan Hakim, akan dihukum pula membayar biaya perkara. Akan tetapi biaya perkara itu semuanya atau sebagian boleh diperhitungkan antara suami-istri, keluarga sedarah dalam garis lurus, saudara laki-laki dan saudara perempuan, atau keluarga semenda dalam derajat yang sama; begitu pula halnya jika masing-masing pihak dikalahkan dalam hal-hal tertentu. Pasal 181 Ayat (3) HIR juga mencantumkan bahwa ; Biaya perkara yang diputuskan dengan keputusan tanpa kehadiran, harus dibayar oleh pihak yang dikalahkan, meskipun la menang perkara sesudah membantah atau meminta banding, kecuali kalau pada waktu diperiksa bantahannya atau bandingnya, ternyata bahwa ia tidak dipanggil dengan sah. Dalam perkara yang penulis angkat, para Tergugat adalah pihak yang kalah serta tidak hadir dalam persidangan, berdasarkan hal tersebut telah memenuhi kriteria berdasarkan Pasal 181 Ayat (1) dan (3) HIR, maka para Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
2.
Kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
68
Dalam pembahasan yang kedua, Penulis menguraikan alasan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Konpilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dan menggunakan pengaturan mengenai akad, ingkar janji dan sanksinya pada Bab III dan pengaturan mengenai syirkah atau Al-Musyarakah Bab VI pada peraturan tersebut guna menyesuaikan dengan pertimbangan Hakim yang digunakan sebagai dasar untuk mengeluarkan putusan Nomor:1047/Pdt.g/2006/PA.Pbg. Peraturan Mahkamah Agung yang Penulis gunakan adalah peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2008, memang peraturan tersebut keluar setelah putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg diputus, namun Peraturan Mahkamah Agung tersebut Penulis pilih karena dewasa ini pengaturan mengenai ekonomi syari’ah yang digunakan sebagai rujukan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara masih sangat terbatas. Hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut dianggap sebagai prestasi monumental sebagai pedoman bagi para Hakim dalam Lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar. Mahkamah Agung memiliki fungsi mengatur yaitu; a.
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi
69
kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 79 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung). b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang. Mahkamah Agung juga sebagai Lembaga Tinggi Negara yang bertugas untuk melakukan pembinaan terhadap pengadilan agama. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Salah satu pembinaan tersebut adalah pembinaan secara teknis, pembinaan ini secara garis besar meliputi penerimaan perkara, pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan putusan. Pada umumnya pembinaan teknis peradilan dilakukan Mahkamah Agung dalam berbagai bentuk dan cara, yang paling umum melalui Surat Edaran atau Peraturan Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung bertujuan untuk memberi pembinaan kepada para Hakim mengenai cara penanganan parkara tertentu. Baik Surat edaran maupun Peraturan Mahkamah Agung dapat melihat hal-hal yang berkenaan dengan petunjuk dan pedoman hukum acara atau hukum materil( Yahya Harahap.2003:103). Fungsi dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut dapat dijadikan sebagai peraturan darurat untuk menghindari kekosongan hukum, yang berbeda hanya pada payung hukumnya (umbrella provision). Belum adanya instrument hukum yang memadai bagi Hakim dalam mengemban amanah tersebut, patut dikhawatirkan dalam menangani perkara yang sama muncul putusan yang
70
berdisparitas, seperti adegium different judge different sentence. Dalam perspektif teori hukum, hal ini berbenturan dengan prinsip kepastian hukum. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum ekonomi Syari’ah seolah menjadi sebuah jawaban atas banyaknya kebingungan yang timbul setelah adanya perluasan kewenangan peradilan agama, yaitu mengenai ekonomi syari’ah. Setelah adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, maka Penulis menyesuaikan dasar pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dengan ketentuan AlMusyarakah yang ada dalam ketentuan tersebut, sehingga peraturan tersebut selanjutnya dapat menjadi rujukan bagi para Hakim untuk memutus perkara ekonomi syari’ah. Adapun dasar atau alasan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah adalah untuk kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf I beserta penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pertadilan Agama, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara, Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah perlu dibuat pedoman bagi Hakim mengenai hukum ekonomi menurut prinsip syari’ah. Dalam pembahasan berikut Penulis paparkan berurutan dari BABIII dan BAB IV. a. Kesesuaian dengan BAB III Mengenai Pembatalan Akad Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pengaturan mengenai
71
akad pembiayaan khususnya mengenai ingkar janji dan sanksinya diatur dalam BAB III, yaitu (1) Pada Pasal 36 disebutkan bahwa para pihak dianggap melakukan ingkar janji apabila karena kesalahannya ; a) Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya; b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; atau d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Dalam putusan nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan Pengadilan Agama Purbalingga tersebut Hakim menyatakan Tergugat telah wanprestasi dengan alasan gugatan dari Penggugat yang menyatakan bahwa para Tergugat telah dengan sengaja mengalihkan pembiayaan modal usaha dagang gula merah dan kelontong sesuai dengan akad perjanjian untuk digunakan keperluan lain serta didasarkan pada pendapat Subekti yang tercantum dalam putusan, yang menyatakan bahwa debitur dapat dikatakan wanprestasi / lalai apabila tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinnya atau memenuhinnya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. Berdasarkan hal tersebut maka walaupun Peraturan Mahkamah Agung tersebut belum dijadikan dasar namun alasan yang digunakan adalah alasan yang sama. Pada Pasal 36 tersebut yang telah memenuhi kriteria terhadap kasus wanprestasi yang penulis angkat adalah terdapat dalam dua poin, yaitu: a) Poin ”a’ yang mencantumkan ”Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya”, dalam hal ini
72
para Tergugat tidak menggunakan modal usaha yang telah diterima sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dengan pihak bank, yaitu untuk modal berdagang gula merah dan kelontong. b) Poin ”d” yang mencantumkan ”Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan”, berdasarkan hal tersebut para Tergugat telah dengan sengaja mengalihkan pembiayaan untuk kegiatan konsumtif lain yang seharusnya tidak diperbolehkan dalam akad. (2) Pasal 37 menyebutkan bahwa ”Pihak dalam akad melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dalam putusan tersebut tertera bahwa perjanjian AlMusyarakah dibuat pada tanggal 20 Juli 2005 dan perkara terdaftar di Kepanitraan Pengadilan Agama Purbalingga pada tanggal 23 November 2006, hal tersebut telah lewat waktu jatuh tempo piutang yang jatuh pada tanggal 20 juli 2006, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk ingkar janji. (3) Pasal 38 menyebutkan bahwa
”Pihak dalam akad yang
melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi; a) b) c) d) e)
Membayar ganti rugi; Pembatalan akad; Peralihan risiko; Denda; dan/atau Membayar biaya perkara
73
Di dalam putusan tersebut tergugat dihukum untuk membayar pokok perkara, denda Ta’widh dan biaya APHT, akad
Nomor
123/MSA/VII/2005
dinyatakan
telah
dibatalkan, serta para Tergugat telah dihukum untuk membayar biaya perkara. Keseluruhan hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 38 tersebut. (4) Pasal 39 menyebutkan bahwa; Sanksi pembayaran gantu rugi dapat dijatuhkan apabila ; a) Pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji; b) Sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauakannya; c) Pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang dilakukannya tidak dibawah paksaan. Berdasarkan Pasal tersebut, pertimbangan Hakim yang digunakan sebagai dasar untuk memutus perkara telah memenuhi ketentuan Pasal 39 poin ”a”dan pon ”b”. Tergugat setelah dinyatakan melakukan wanprestasi tetap tidak melaksanakan putusan Hakim dengan suka rela, dan para Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang dilakukan adalah tidak dibawah paksaan. b. Kesesuaian Dengan BAB VI mengenai Syirkah (Al-Musyarakah) Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pengaturan mengenai akad pembiayaan khususnya mengenai syirkah diatur dalam BAB VI, yaitu; (1) Pasal 134 menyatakan ”Syirkah dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan syirkah wujuh”.
74
Sedangkan Pasal 135 menyatakan bahwa ” Syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah ’inan, syirkah mufawaadhah, dan syirkah Mudharabah”. Berdasarkan difinisi tersebut maka perkara yang ada dalam putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg adalah syirkah Al-Amwal jenis Mudharabah. Hal ini didasarkan pada perjanjian Nomor:123/MSA/VII/2005 adalah kesepakatan antara dua pihak , dimana pihak bank sebagai shohibul maal yang memberikan modal kepada nasabah, serta nasabah
sebagai
berdagang.
Dua
pihak hal
yng
tersebut
memiliki sebagai
keterampilan kriteria
dari
pembiayaan syirkah jenis Mudharabah. (2)
Pasal 138 menyebutkan bahwa ”Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak atau lebih yang memiliki keterampilan untuk melakukan usaha bersama”. Hal tersebut merupakan ketentuan syarat dari Al-Musyarakah. Dimana dalam perkara gugatan Al-Musyarakah tersebut dilakukan oleh Tergugat yang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk berdagang.
(3)
Pasal 139 menyatakan; a) Kerjasama dapat dilakukan antara pemilik modal dengan pihak yang mempunyai keterampilan untuk menjalankan usaha; b) Dalam kerjasama Mudharabah, pemilik modal tidak turut serta dalam menjalankan perusahaan; c) Keuntungan dalam kerjasama Mudharabah dibagi berdasarkan kesepakatan; dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
75
Berdasarkan pasal tersebut menyatakan mengenai kriteria dari pembiayaan syirkah, ketiga poin tersebut telah memenuhi kriteria dari pembiayaan yang dilakukan dalam kasus yang penulis angkat. Kesesuaian tersebut adalah kerjasama
telah
dilakukan
oleh
pihak
bank
yang
memberikan modal usaha, dan nasabah yang memiliki keterampilan usaha dagang, pihak bank sebagai pemilik modal tidak turut serta dalam melakukan usaha, serta di keuntuangan yang didapat seharusnya dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah para pihak lakukan, namun dalam kasus yang Penulis angkat tidak ada keuntungan yang dibagi karena pembiayaan telah macet dan pihak bank mengalami kerugian. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah merupakan peraturan yang memuat mengenai kriteria dan lebih cenderung mengatur pada akad atau perjanjian pembiayaan syari’ah, peraturan ini sangat sejalan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Walaupun Peraturan Mahkamah Agung tersebut dikeluarkan dua tahun setelah putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan
oleh
Pengadilan
Agama
Pubalingga,
namun
pertimbangan yang digunakan oleh Hakim untuk memutus putusan tersebut telah sesuai dengan Peraturan Mahakamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
76
BAB IV. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah Penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan
Hakim
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg
dalam
mengenai
memutus perkara gugatan
Nomor :
pemenuhan
akad
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga. Dalam
putusan
Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg,
Majelis
Hakim menjatuhkan putusan terhadap Tergugat sebagai pihak yang kalah berdasarkan pertimbangan yang secara garis besar, yaitu sebagai berikut: a. Bahwa gugatan Penggugat dikabulkan dengan vestek untuk sebagaian, hal ini di dasarkan karena para tergugat tidak hadir dalam persidangan walaupun dan tidak menyuruh orang lain untuk untuk hadir sebagai wakilnya, padahal para Tergugat telah dipanggil secara patut serta ketidak hadirannya tidak disebabkan karena suatu halangan yang sah. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 125 Ayat (1) HIR. Selain itu ketentuan verstek juga telah termuat dalam dalil syar’i yang berbunyi” ءﺎﻀﻘﻟﺍو ﻲﻠﻋ ﺎﻏ ﺐﺋ ﺰﺋﺎﺟ ﻧ ﺎ ﻥﺎﻛ ﻊﻣ ﻲﻋﺪﻤﻟﺍ ﺔﺠﺣ Artinya:"Hakim boleh memutuskan perkara atas orang yang gaib, apabila ada hujjah yang dikemukakan Penggugat". Terdapat pendapat Ulama’ yang menyatakan bahwa; ءﺎﻀﻘﻟﺍو ﻲﻠﻋ ﺎﻏ ﺐﺋ ﻦﻋ ﻟﺍﺪﻠﺒ وﺍ ﻦﻋ ﺲﻠﺠﻤﻟﺍ رﺍﻮﺘﺑ وﺍ زﺰﻌﺗ ﺰﺋﺎﺟ ﻧ ﺎ ﻥﺎﻛ ﻲﻋﺪﻤﻟﺍ ﺔﺠﺣ Artinya: " Memutus atas Tergugat yang ghaib (tidak ada) di wilayah yurisdiksi atau Tergugat tidak hadir dalam persidangan
76
77
sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila Penggugat mempunyai hujjah”. b. Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para Tergugat, telah memenuhi
unsur-unsur
wanprestasi
yaitu
sesuai
dengan
pendapat dari Subekti yang tertcantum di dalam putusan, yang menyatakan bahwa ”Debitur dapat dikatakan wanprestasi apabila tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinnya atau memenuhinnya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan” (Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg). Kesesuaian tersebut karena para Tergugat telah tidak melakukan apa yang telah diperjanjikannya. c. Bahwa akad perjanjian Al-Musyarakah dinyatakan batal dengan didasarkan pada pendapat Wahab Az Zuhaili di dalam Kitabnya Al Fiqhul Islamy Waadillatuh menjelaskan bahwa akan perjanjian
yang
tidak
dilaksanakan
atau
dialihkan
pelaksanaannya dari satu pekerjaan ke pekerjaan serta berdasar pula kepada Al-Qur’an surat Al Maidah Ayat (1) : ﺎﯾ ﺎﮭﯾأ ﻦﯾﺬﻟا اﻮﻨﻣأ اﻮﻓوأ دﻮﻘﻌﺎﻟﺑ Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad yang telah kamu buat itu “. Dan Hadits riwAyat Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Daruqutni : ﻥﻮﻤﻠﺴﻤﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﮭﻃوﺮﺷ Artinya : “ Orang-orang Islam terikat pada akad perjanjian yang mereka buat ”. d. Bahwa tuntutan Tergugat yang terdiri dari; 1. Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,2. Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,-
78
3. Biaya APHT Rp. 262.000,Hal tersebut telah sesuai dengan Pasal 8 dan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia nomor : 7/46/PBI/2005, sehingga Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat. e. Bahwa Penggugat menuntut agar para Tergugat membayar tambahan bagi hasil dan atau denda Ta’widh serta biaya yang timbul karenannya sampai kewajibannya dibayar lunas, tuntutat tersebut ditolak oleh majelis Hakim dengan dasar bahwa tuntutan Tergugat tersebut tidak berdasar hukum, karena pembayaran yang macet harus pada status quo, baik mengenai jumlah pokok pembiayaan, nisbah, Ta’widh/ ganti rugi dan sebagainya, hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 2899/K/Pdt/1994 tertanggal 15 Februari 1996. f. Bahwa karena para Tergugat adalah menjadi pihak yang kalah maka para Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara, hal ini sesuai dengan Pasal 181 Ayat (1) HIR yang berbunyi “Barangsiapa dikalahkan dengan keputusan Hakim, akan dihukum pula membayar biaya perkara. Akan tetapi biaya perkara itu semuanya atau sebagian boleh diperhitungkan antara suami-istri, keluarga sedarah dalam garis lurus, saudara laki-laki dan saudara perempuan, atau keluarga semenda dalam derajat yang sama; begitu pula halnya jika masing-masing pihak dikalahkan dalam hal-hal tertentu”. 2.
Kesesuaian
pertimbangan
Hakim
dalam
putusan
nomor
:
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam Peraturan
79
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Adapun kesesuaian antara dasar pertimbangan Hakim untuk memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan AlMusyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah secara garis besar terdapat dalam: a. Pasal 36, mencantumkan “bahwa seseorang dikatakan ingkar janji apabila tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya dan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh
dilakukan”.
Dalam
putusan
Nomor
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, Hakim menyatakan Tergugat telah wanprestasi dengan alasan gugatan dari Penggugat yang menyatakan bahwa para Tergugat telah dengan sengaja mengalihkan pembiayaan modal usaha dagang gula merah dan kelontong sesuai dengan akad perjanjian untuk digunakan keperluan lain. Berdasarkan hal tersebut para Tergugat telah tidak memenuhi kewajibannya dan melakukan apa yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian, maka alasan yang digunakan adalah alasan yang sama. b. Pasal 37 menyebutkan bahwa ”Pihak dalam akad melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dalam putusan tersebut tertera bahwa perjanjian
80
Al-Musyarakah dibuat pada tanggal 20 Juli 2005 dan perkara terdaftar di Kepanitraan Pengadilan Agama Purbalingga pada tanggal 23 November 2006, hal tersebut telah lewat waktu jatuh tempo piutang yang jatuh pada tanggal 20 juli 2006, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk ingkar janji. c. Pasal 38, Di dalam putusan tersebut tergugat dihukum untuk membayar pokok perkara, denda Ta’widh dan biaya APHT, yang hal ini sesuai dengan yang dituntut oleh Penggugat, karena Hakim tidak boleh memutus melebihi apa yang menjadi tuntutan (ultra petita). Sehingga pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara tersebut sudah sesuai dengan ketentuan pada Pasal 38. d. Pasal 39, Berdasarkan Pasal tersebut, pertimbangan Hakim yang digunakan sebagai
dasar untuk memutus perkara telah
memenuhi ketentuan pasal tersebut. Diantarannya para Tergugat setelah
dinyatakan
melakukan
wanprestasi
tetap
tidak
melaksanakan putusan Hakim dengan suka rela, perjanjian yang dibuat telah lampau waktu tetapi para Tergugat tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikannya. e. Pasal 134, berdasarkan difinisi syirkah pada pasal tersebut maka perkara
yang
ada
dalam
putusan
nomor
:
1047/Pdt.g/2006/PA.Pbg tersebut adalah syirkah Al-Amwal jenis Mudharabah. f. Pasal 138 menyebutkan bahwa ”Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak atau lebih yang memiliki keterampilan untuk melakukan usaha bersama”. Hal tersebut merupakan ketentuan
81
syarat dari Al-Musyarakah. Dimana dalam perkara gugatan AlMusyarakah tersebut dilakukan oleh Tergugat yang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk berdagang. g. Berdasarkan Pasal 139 hanya menyatakan mengenai kriteria dari pembiayaan syirkah, yang secara garis besar mengenai ketentuan jatuh tempo, bagi hasil, wanprestasi, ganti rugi, penyelesaian sengketa dilaksanakan sesuai dengan akad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Walaupun Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dikeluarkan dua tahun setelah putusan nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Pubalingga diputus, namun pertimbangan yang digunakan oleh Hakim untuk memutus putusan tersebut telah sesuai dengan Peraturan Mahakamah Agung nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah khususnya mengenai pembiayaan Al-Musyarakah dan ketentuan menganai akad pembiayaan. B. Saran Setelah mengetahui dasar pertimbangan Hakim yang digunakan dalam memutus
perkara
Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg
tentang
gugatan
pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dan kesesuaiannya dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum ekonomi Syari’ah, Penulis hendak memberi saran sebagai berikut : 1.
Hendaknya dalam memutus perkara, selain berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, Hakim harus mendasarkan putusan pada ketentuan teori mengenai obyek sengketa.
82
2.
Dengan adanya perluasan kewenangan Pengadilan Agama, yaitu kewenangan untuk memutus perkara ekonomi syari’ah hendaknya para Hakim Pengadilan Agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syari’ah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam.
3.
Selama ini yurisprudensi mengenai putusan Pengadilan Agama dalam memutus perkara ekonomi syari’ah masih sangat terbatas, maka dengan adanya putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dapat dijadikan yurisprudensi yang dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam pemeriksaan dan memutus perkara ekonomi syari’ah.
4.
Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah adalah suatu momentum yang luar biasa, sehingga peraturan tersebut dapat menjadi salah satu rujukan bagi Hakim dalam memutus perkara ekonomi syari’ah.
5.
Dengan adanya perluasan kewenangan Peradilan Agama, yaitu dalam ekonomi syari’ah dan setelah dikeluarkanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, maka hendaknya perlu dibentuk kodifikasi hukum ekonomi syari’ah dalam sebuah Kitab Undang Undang Hukum Ekonomi Syari’ah (KUHES), sehingga kepastian hukum dalam memutus sengketa ekonomi syari’ah dapat tercapai.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan. 2000. Pokok-pokok Hukum Perdata dan Kewenangan Peradilan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Al-Qur’an dan Terjemahanya. Semarang: PT Karya Toha. Azhari
akmal Tarigan. Marhaban Kompilasi Hukum ekonomi Syari’ah. http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=5 905>[ 22 November 2009 pukul 10.46].
Bambang Sutiyoso. 2009. Metode Penemuan hukum. Yogyakarta: UII Perss. _______________ dan Sri Hastuti Puspita Sari. 2005. Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Chatib Rasyid dan Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta:UII Perss. Dossuwanda.Silogismedangeneralisasi.http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20 /silogisme-dan-generalisasi-kajiantugas-makalah/ >[22 November 2009 pukul 10.22]. Hendri Tanjung. Konsep Manajemen Syari’ah dalam Pengupahan Karyawan Perusahaan.http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2931>[10 September 2009 pukul 11.10]. Hegazy, Walid S. Contemporary Islamic Finance: Dari sosioekonomi Idealisme ke Legalisme Murni. Chicago Journal of International Law 7, Nomor 2. Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. Manshur Ali Nashif. 2002. Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah SAW. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Muhammad. 2008. Sistem dan Prosedur operasional bank syari’ah. Yogyakarta: UII Perss. _______________. 2009. Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syari’ah. Yogyakarta : UII Perss.
84
Muhammad Syafi'i Antonio. Bangun Bisnis yang Sehat dengan Manajemen Syari’ah. http://www.mailarchive.com/ekonomisyari’
[email protected]/msg00711. html>[10 September 2009 pukul 10.59]. Mukti Arto.1996. Praktek Peradilan Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. PengadilanAgamaPurbalingga.http://papurbalingga.ptasemarang.net/images/Data/put usan/put_1047.pdf. >[2 September 2009 pukul 10.12]. Purwahid Patrik.2001.Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Soehartono. 2004. Gejala Transformasi Hukum Islam ke Dalam Hukum Nasional. Jurnal Hukum Yustisia. Edisi 64, Nomor9. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Perss. Subekti dan Tjitrosudibio.1996. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pradya Paramita. Jakarta. Sudikno Mertokusumo. 2003. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty.Jogyakarta. _______________.2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty SuhartoNomorhttp://www.badilag.net/menggagas-legalitas-hukum-ekonomi-syari’ahpolitik-hukum.html>[21 Januari 2010 pukul 13.12]. Timur Kuran. 1995. Islamic Economics and the Islamic Subeconomy. Jounal of Economic Perspectives. Volume 9, Number 4. Yahya Harahap. 2003. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta : Sinar Grafika. Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 08/Dsn-Mui/Iv/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah Peraturan Bank Indonesia nomor : 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
85
Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.