perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN )
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI NIM. E0007170
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Nabella Artha Ayu Sofyana Putri
NIM
: E0007170
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: PEMBATALAN
PERKAWINAN
DAN
AKIBAT
HUKUMNYA
DI
PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan Hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 28 Maret 2011 yang membuat pernyataan
Nabella Artha Ayu S.P NIM. E0007170
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI. E0007170. 2011. PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/ PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan dan untuk mengetahui akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan dalam putusan perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA tentang poligami tanpa ijin Pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang bersifat deskriptif. Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama Karanganyar karena di Pengadilan Agama ini pernah diputus perkara pembatalan perkawinan yang disebabkan karena poligami tanpa ijin Pengadilan yaitu perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA. Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu hasil wawancara Majelis Hakim pemeriksa perkara serta wawancara terhadap Termohon II dan data sekunder berupa putusan Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA serta literatur-literatur lain yang menunjang penelitian ini yang diperoleh dari studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan studi kepustakaan dengan teknik analisa data kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Alasan tersebut dapat menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Pembatalan perkawinan memberikan akibat kepada para pihak yang dibatalkan dan pihak lain. Adapun akibat hukumnya bagi pihak yang dibatalkan adalah putusnya hubungan perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap dan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan, sehingga anak tersebut tetap mendapatkan hak-haknya di mana kedua orang tua wajib memelihara, mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Terhadap pembagian harta bersama harus dibagi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku akan tetapi jika pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka para pihak yang dibatalkan tersebut tidak berhak atas harta bersama sebelumnya, serta terhadap pihak ketiga yang mengadakan hubungan keperdataan terhadap pihak yang dibatalkan perkawinannya tersebut tetap ada meskipun setelah adanya pembatalan perkawinan. commit to user Kata Kunci: Pembatalan Perkawinan, Poligami, Akibat Hukum Pembatalan. v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT NABELLA ARTHA AYU SOFYANA PUTRI. E0007170. 2011. PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/ PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. This research aims to find out the legal basis for judges in deciding the cancellation of a marriage in the Karanganyar religion court and to find out the legal consequences for Husband and Wife to the cancellation of marriage in the decision case Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA about polygamy without court permission. This study belongs to an empirical research that is descriptive in nature. This research was taken place in Karanganyar religion court because in this court is ever the case terminated due to cancellation of polygamous marriage without the permission of the Court case Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA The type of data used are primary data that is the result of an interview panel of judges who is examiners case and interview against Respondent II and secondary data in the form of decision Number 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA as well as other literature that support this research obtained from literature studies. Data collection techniques were used interviews and literature study with qualitative data analysis techniques. Based on research conducted, it can be concluded that the legal basis for religious court judges in deciding on the cancellation of marriage Karanganyar is contained in Article 71 subparagraphs (a) Compilation of Islamic Law is a husband to do polygamy without permission of the Court. These reasons can make a marriage can be canceled by the Religious Courts. Cancellation of marriage give effect to the parties that were canceled and others. As for the legal consequences for those who aborted were started after the marriage breakup Court permanent legal force and the marriage shall be deemed to have never existed. The decision is not retroactive cancellation of marriage to children born of marriages that were canceled, so the child will still get his rights in which both parents must nurture, educate, provide a living, and entitled to the inheritance from his father and the obligation is valid until the child marries or can stand alone and this obligation shall continue even though both parents marriage break up. On the division of community property should be divided in accordance with the provisions of applicable law but if the cancellation of a marriage based on the earlier marriage, the parties that were canceled are not entitled to the property together before, as well as against third parties who entered into civil relations of the parties canceled marriage is still there even after the cancellation of the marriage. Key words: Cancellation Marriage, Polygamy, Legal Due Cancellation.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Motto dan Persembahan
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kami miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya ”. ( Q.S. An- Nisa ayat: 3 )
“ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ”. ( Q.S. Ar Ra’ad : 11 )
“ Sesungguhnya setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan ”. ( Q.S. Al-Insyiroh : 6 )
Karya kecil ini Ku persembahan untuk:
1. ALLAH S.W.T, Robb semesta Alam. 2. Papa dan Mama tercinta atas kasih sayangnya, bimbingan, nasehat serta doa yang selalu menyertai langkahku 3. Kakak, adik yang selalu memberi motivasi. 4. Saudara serta Sahabat-sahabatku
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan berkat, rahmat dan kasih sayang-Nya yang begitu besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan PEMBATALAN
PERKAWINAN
DAN
AKIBAT
HUKUMNYA
judul: DI
PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS PERKARA NOMOR 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA TENTANG POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ). Penulisan hukum (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian guna emperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr.dr. Much Syamsul Hadi, Sp.KJ. Selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta; 2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret; 3. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian; 4. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin, kesempatan, dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 5. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini; commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Bapak Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini; 7. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H.,MH. selaku Pembimbing Akademik penulis atas segala bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitaas Sebelas Maret Surakarta; 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; 9. Segenap karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; 10. Bapak Drs. H. Ahmad Akhsin, S.H.M.H selaku Ketua Pengadilan Agama Karanganyar yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Karangayar dan telah membantu penulis dalam memberikan bantuan informasi mengenai data yang diperlukan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai; 11. Ibu Dra.Hj.Emi Suyati, S.H. selaku Hakim Pengadilan Agama Karangayar yang telah membantu penulis dalam memberikan bantuan informasi mengenai data yang diperlukan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai; 12. Ibu Tri Purwani S.H,M.H atas bantuan mengurus ijin dan kesediaannya dalam memberikan bimbingan serta memberikan pengarahan; 13. Seluruh Staf dan Karyawan Pengadilan Agama Karanganyar atas waktu, informasi dan bantuannya; 14. Kedua orang tua tercinta, Papa dan mama yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, baik materiil maupun spirituil; 15. Kakak dan adikku tercinta yang selalu memberikan doa dan memberikan semangat dalam penyusunan skripsi ini; 16. Sahabatku ( Desi, Dyah, Heru, Itang, Vicky, Venny, Rini, Vina dan commit doa to user Ambar ) yang selalu memberikan dan semangat;
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17. Sahabat dalam kelompok lingkaran kecil ( Aya, Fitri, Nia, Ririn, Lilin, Adel, Anita ) atas ukhuwah yang kita jalin bersama. 18. Kelurga besar FOSMI FH UNS terima kasih atas ukhuwah dan ilmu yang diberikan kepada penulis. 19. Kelurga besar KSP Principium FH UNS ( Kelompok Studi Penelitian ) tempat penulis banyak menimba ilmu di luar dari kelas pekuliahan ; 20. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2007 atas kebersamaanya menemani penulis menimba ilmu di FH UNS; 21. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan hukum (skripsi) ini; Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca dan memerlukan.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………....................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI …………………............……...
iii
HALAMAN PERNYATAAN .....................................................................
iv
ABSTRAK………………………………………………………………….
v
ABSTRACT………………………………………………………………..
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN........................…………………………
vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
xi
DAFTAR BAGAN…………………………………………………………
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN……………………………………………..
1
A. Latar Belakang ...............……...........………………………
1
B. Rumusan Masalah …………………………………………
3
C. Tujuan Penelitian ……………………………………...…...
4
D. Manfaat Penelitian ………………………………………....
4
E. Metode Penelitian …………………………………………
5
F. Sistematika Penulisan Hukum ……………………………..
11
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….
13
A. Kerangka Teori……………………………………………...
13
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama……………………..
13
a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama…….......
13
b. Asas-asas Umum Peradilan Agama………………...
15
c. Kompetensi Peradilan Agama………………………
19
d. Kewenangan Mengadili Oleh Pengadilan Agama....
23
e. Produk Pengadilan Agama.........................................
25
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Tinjauan tentang Perkawinan.........................................
29
a. Pengertian Perkawinan........ ………………………
29
b. Tujuan Perkawinan..................................................
30
c. Asas-Asas Perkawinan............................................
31
d. Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Islam.........................................................................
33
3. Tinjauan tentang Poligami.............................................
36
a. Pengertian Poligami……………………………….
36
b. Alasan-Alasan dan Syarat-Syarat Poligami.............
39
c. Tata Cara Poligami..................................................
40
4. Tinjauan tentang Pembatalan Perkawinan……………
42
a. Pengertian Pembatalan Perkawinan........................
42
b. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan
BAB III
Perkawinan.............................................................
44
c. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan.................
44
d. Tata Cara Pembatalan Perkawinan.........................
45
e. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan.................
46
5. Tinjauan tentang Efektifitas Hukum………………..
47
a. Substansi...............................................................
47
b. Struktural..............................................................
47
c. Kultur Hukum (Budaya Hukum)..........................
47
B. Kerangka Pemikiran...........................................................
48
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………
50
A. Hasil Penelitian .....................................................................
50
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pembahasan ..........................................................................
56
1. Dasar hukum putusan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar……………………....
56
2. Akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar..............
BAB IV
63
PENUTUP……………………………………………………… 70 A. Simpulan …….....………………………………………......
70
B. Saran ………………………………………………..............
72
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR BAGAN
Gambar 1. Model Analisis Interaktif …..…………………………………
10
Gambar 2. Kerangka Pemikiran…………………………………………….
48
commit to user
xiii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun demikian manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain ( zoon politicon ). Manusia diciptakan oleh Allah S.W.T agar beribadah dan bertaqwa kepadaNya, sesuatu hal yang bernilai ibadah salah satu di antaranya adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan bagi umat Islam perkawinan merupakan sunatullah dan fitroh setiap manusia. Menurut Ahmad Azhar Basyir, dengan jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan ( Ahmad Azhar Basyir, 2000 : 1 ). Berdasarkan Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Selain terdapat dalam UndangUndang Dasar 1945, perkawinan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia melakukan perkawinan bertujuan untuk taat kepada perintah Allah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
S.W.T untuk memperoleh keturunan yang sah dengan mendirikan rumah tangga yang damai, bahagia, dan kekal. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami ( asas monogami ), namun realita yang terjadi dalam masyarakat banyak yang melakukan poligami. Salah satu kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di Pengadilan Agama Karanganyar adalah seorang pria melakukan perkawinan dengan seorang wanita tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin istri pertama maupun tanpa izin pengadilan, perkawinan tersebut dapat terjadi karena seorang pria tersebut memberikan keterangan yang tidak benar yang mengaku status perjaka, padahal pria tersebut telah beristri yang masih terikat perkawinan yang sah dengan istri pertama. Dalam hal ini harus dilakukan pembatalan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri. 2. Suami atau Istri. 3. Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan. 4. Pejabat yang ditunjuk oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perceraian itu putus ( Mohd. Idris Ramulyo, 1996 : 178 ). Pembatalan perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap to usermaupun terhadap harta bendanya. suami, istri, anak keturunanya,commit keluarganya
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Suatu pembatalan perkawinan pasti akan berakibat putusnya ikatan perkawinan serta perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak sah, maka perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya akan kembali pada status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Pembatalan perkawinan bagi umat Islam dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: ”Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka penulis tertarik dalam penulisan hukum ini untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul ” PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR ( STUDI KASUS
PERKARA
NOMOR
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra
TENTANG
POLIGAMI TANPA IJIN PENGADILAN ) “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan? 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar?
commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penuli melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan. b. Untuk mengetahui akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam memperluas pemahaman arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktek, khususnya Hukum Acara Peradilan Agama. b. Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap guna penyusunan penulisan hukum ( skripsi ) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis a. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat pada umumnya tentang dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan. b. Mengetahui akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kontribusi dan pengembangan bagi ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Peradilan Agama pada khusunya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
E. Metode Penelitian
Istilah “Metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan sebagai berikut: 1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian. 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan. 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur ( Soerjono Soekanto, 2010:5 ). Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu. Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan
yang
timbul
dalam
gejala
bersangkutan
(
Soerjono
Soekanto,2010:42-43 ). Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna to user mengembangkan dan mengujicommit kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dituangkan dalam penulisan ilmiah ( skripsi ). Adapun metode penelitian dalam penulisan hukum ini meliputi: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah jenis penelitian hukum empiris atau “ sosiologis “. Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian dilanjutkan pada data primer di lapangan atau terhadap masyarakat” ( Soerjono Soekanto, 2010:52 ). Penelitian ini mengkaji mengenai dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta akibat hukum bagi suami istri terhadap putusan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar. Terhadap dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar, didapatkan peneliti melalui suatu proses wawancara ( interview ) yang dilakukan peneliti dengan mengajukan pertanyaan
mengenai
pengetahuan
serta
pengalaman
hakim
untuk
memperoleh kebenaran fakta dalam kehidupan nyata yang didukung dengan menelaah
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
studi
kepustakaan, untuk masalah mengenai akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut didapatkan peneliti melalui suatu proses wawancara ( interview ) dengan Termohon II, maka penelitian ini adalah penelitian hukum empiris.
2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya ( Soerjono Soekanto,2010:10 ). Penelitian ini memberikan gambaran yang lengkap mengenai dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut.
3. Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian penulisan hukum ini adalah Pengadilan Agama Karanganyar. Lokasi tersebut dipilih karena berkas perkara yang dikaji dalam penelitian hukum ini diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama Karanganyar, sehingga berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
4. Jenis Data Secara umum, di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat ( data empiris ) dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder ( Soerjono Soekanto, 2010:51 ). Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer Data primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan atau di lokasi penelitian. Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari sejumlah fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan. Dalam penelitian ini, data primer berupa hasil wawancara dengan Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra serta hasil wawancara dengan Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ). b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan, melainkan diperoleh dari studi kepustakaan, yang
terdiri
Putusan
Pengadilan Agama Karanganyar Nomor user peraturan perundang-undangan, 0679/Pdt.G/2010/PA.Kracommit serta todari
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
buku-buku, dokumen, bahan-bahan kepustakaan dan sumber tertulis lainnya.
5. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sumber Data Primer Merupakan sumber data yang berasal dari pihak-pihak yang ada hubungannya langsung dengan masalah dalam penelitian. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra di Pengadilan Agama Karanganyar yang mengetahui dan memiliki pengalaman mengenai obyek penelitian serta wawancara dengan Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ). b. Sumber Data Sekunder Merupakan sumber data yang mendukung sumber data primer, yaitu
peraturan
perundang-undangan
yang
berhubungan
dengan
permasalahan yang diteliti penulis, antara lain Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, bahan hukum sekunder berupa buku-buku di bidang hukum yang berhubungan dengan permasalahan Pengadilan
yang
Agama
diteliti Karanganyar
dan berkas perkara serta putusan Nomor
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra
tentang pembatalan perkawinan karena poligami tanpa ijin Pengadilan.
6. Teknik Pengumpulan Data a. Interview ( Wawancara ) Wawancara merupakan cara memperoleh data dengan cara to user melakukan tanya jawab commit secara mendalam dengan sumber data primer,
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yaitu
hakim
yang
memeriksa
dan
mengadili
perkara
Nomor
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra di Pengadilan Agama Karanganyar dan Termohon II ( istri kedua yang dibatalkan perkawinannya ). Dengan teknik wawancara mendalam ini akan mengungkap pengalaman dan pengetahuan ekspilisit dari hakim di Pengadilan. Dengan ini penulis membuat responden lebih terbuka dan leluasa dalam memberikan informasi
atau
data
untuk
mengemukakan
pengetahuan
dan
pengalamannya terutama yang berkaitan dengan dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan serta akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut. b. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data sekunder, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu, dan bahan kepustakaan lain yang digunakan sebagai acuan penulis yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah ”analisa kualitatif” yaitu suatu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data secara deskriptif analisis. Artinya apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh ( Soerjono Soekanto, 2010:250 ). Jadi dalam hal ini proses pengumpulan data dan analisa data dilakukan secara bersamaan. Teknik analisa data meliputi tiga tahapan, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan dengan verifikasinya. Di antaranya tahap-tahap tersebut dilakukan pembentukan siklus sehingga data yang terkumpul direduksi lalu ditarik sebuah kesimpulan/konklusi. commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Heribertus Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah : a. Reduksi Data Merupakan proses seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan dari data-data sehingga kesimpulan akhir penelitian dapat dilakukan. b. Penyajian Data Merupakan suatu rangkaian informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian yang dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti. c. Kesimpulan dan Verifikasi Dari permulaan data, seorang penganalisis kualitatif melakukan pencatatan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi atau pernyataan, alur sebab akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung ( Heribertus Sutopo, 1988 : 34-36 ). Untuk lebih jelasnya, analisis data kualitatif model interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi
Gambar 1. Model Analisis Interaktif ( Heribertus Sutopo . 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif ) Maksud model analisis interaktif ini, pada waktu pengumpulan data peneliti selalu membuat reduksi sajian data. Reduksi dan sajian data commitdan to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajiannya, maka peneliti dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data ( Heribertus Sutopo, 1988 : 38 ).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sitematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baku dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sitematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 ( empat ) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I
: Pendahuluan Pada bab Pendahuluan ini penulis memberikan gambaran awal tentang penelitian meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitan, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
:
Tinjauan Pustaka Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tentang tinjauan mengenai Pengadilan commit Poligami, to user Pembatalan Perkawinan, dan Agama, Perkawinan,
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Efektifitas Hukum. Pada kerangka pemikiran berisi mengenai konsep pemikiran penulis tentang pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya menurut Undang-Undang Perkawinan.
BAB III
: Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian Yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Terhadap putusan pembatalan perkawinan tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap suami istri; anak hasil perkawinan dari pihak yang dibatalkan; harta benda; dan pihak ketiga. B. Pembahasan Pada
bab
ini
dijelaskan
dan
diuraikan
mengenai
pembahasan penulis yang meliputi: 1. Dasar hukum putusan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar. 2. Akibat hukum bagi suami istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar.
BAB IV
:
Penutup Pada bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan pembahasan, serta memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap temuan-temuan selama penelitian yang menurut penulis memerlukan perbaikan.
Daftar Pustaka Lampiran commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama Hukum Acara Peradilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya ( H.A.Mukti Arto, 1996:9 ). Sumber hukum acara Peradilan Agama terdapat dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menetapkan tentang Hukum Acara yang berlaku pada peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. 1) Peraturan Perundang-undangan Tentang Hukum Acara Perdata yang Berlaku Di Lingkungan Peradilan Agama dan Di Peradilan Umum, yaitu: a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan dan Pelaksanaannya. b) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. 2) Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Di Peradilan Umum, yaitu: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
a) HIR ( Het Herziene Inlandsche Reglement ) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang diperbarui). b) RBG ( Rechts Reglement Buitengewesten ) atau disebut juga Reglemen untuk daerah seberang, maksudnya untuk daerah luar jawa dan madura. c) RSV ( Reglement opde Burgelijke Rechts Vordering ) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Road van justitie. d) BW ( Burgeljke Wetboek ) atau disebut juga Kitab UndangUndang Hukum Perdata Eropa. 3) Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Khusus Di Pengadilan Agama, yaitu: a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. b) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. c) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. e) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Islam. 4) Sumber-Sumber Lainnya a) Peraturan Mahkamah Agung RI. b) Surat Edaran Mahkamah Agung RI. c) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. d) Kitab-kitab Fikih dan sumber-sumber tidak tertulis lainnya. Hal ini sejalan dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Mardani, 2009:61-62). commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya, hukum acara khusus ini meliputi kewenangan relatif Pengadilan Agama, pemanggilan, pembuktian, biaya perkara serta pelaksanaan putusan ( Mukti Arto,1996:9 ). Selain dari Hukum Acara Perdata di Pengadilan Umum yang berlaku di Pengadilan Agama, Hukum Acara Perdata khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
yang menjadi pijakan Pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, adalah bidang acara perdata yang menyangkut
persengketaan
dalam
perkawinan.
Hukum
acara
persengketaan dalam bidang perkawinan diatur dalam Pasal 65 sampai Pasal 91 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
b. Asas-asas Umum Peradilan Agama Asas umum Peradilan Agama adalah asas hukum tertentu dalam bidang hukum acara yang secara khusus dimiliki oleh Pengadilan Agama. Asas-asas ini untuk sekedar membedakan dengan asas khusus yang melekat pada masalah tertentu merupakan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan Undang-undang dan keseluruhan rumusan pasal. Oleh karena itu, pendekatan interprestasi, penerapan, dan pelaksanaanya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum, di antaranya yaitu: 1) Asas Personalitas KeIslaman. Dalam asas ini dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan Pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara-perkara antar orang-orang yang beragama Islam. Asas personalitas keIslaman yang melekat pada Peradilan commit to user Agama yaitu di antaranya:
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam. b) Perkara-perkara yang dipersengketakan harus mengenai perkaraperkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, wakaf, sedekah dan ekonomi syari’ah. c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam. Patokan asas personalitas keIslaman didasarkan pada patokan umum dan patokan pada saat terjadi hubungan hukum. Patokan umum berarti apabila seseorang telah mengaku beragama Islam maka bagi dirinya telah melekat asas personalitas keIslaman, patokan saat terjadinya hubungan hukum adalah pada saat terjadi hubungan hukum kedua belah pihak yang berperkara sama-sama beragama Islam dan hubungan hukum yang mereka laksanakan berdasarkan hukum Islam, maka sengketanya mutlak dan absolut tunduk menjadi kewenangan peradilan agama. 2) Asas Kebebasan/Kemerdekaan. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas kebebasan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang kehakiman
Nomor
adalah
48
kekuasaan
Tahun negara
2009, yang
yaitu
Kekuasaan
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Tujuan memberikan kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan yaitu agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan serta benar-benar dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan commit to usertersebut, salah satu prinsip penting hukum. Sejalan dengan ketentuan
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 3) Asas Upaya Mendamaikan. Asas ini mewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat pengadilan. Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak yang berperkara, tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan, sehingga kedua belah pihak pulih kembali dan suasana rukun dan persaudaraan serta tidak dibebani dendam yang berkepanjangan. Peranan hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara terbatas pada anjuran, nasehat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang itu diminta oleh kedua belah pihak. 4) Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum di Kecualikan Dalam Perceraian. Asas ini menerangkan bahwa Undang-Undang menghendaki agar jalannya persidangan tidak hanya diketahui oleh para pihak yang berperkara tetapi juga oleh publik. Tujuannya adalah agar persidangan berjalan secara Fair, menghindari adanya pemeriksaan yang sewenang-wenanng atau menyimpang. Pada prinsipnya sidang pemeriksaan di Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali UndangUndang menetukan lain atau hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Ketentuan sidang terbuka untuk umum dikecualikan dalam perkara perceraian, hal ini diatur dalam Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua commit to user Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Agama jo. Pasal 33 dan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan pemeriksaan perkara perceraian tertutup untuk umum akantetapi dalam pembacaan putusan terbuka untuk umum. 5) Asas Legalitas. Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membedabedakan orang. Asas legalitas mengandung pengertian rule of law dimana pengadilan berfungsi dan berwenang menegakkan hukum harus berlandaskan hukum serta tidak bertindak di luar hukum. Hakim dilarang menjatuhkan hukuman yang bertentangan dengan hukum. 6) Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat,
namun
demikian
dalam
pemeriksaan
perkara
tidak
mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Tujuannya adalah agar suatu proses pemeriksaan di pengadilan relatif tidak memakan waktu lama sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri, serta proses persidangan yang tidak berbelit-belit dan sering mundur dalam jadwal persidangan. 7) Asas Equality. Asas ini artinya adalah persamaan hak dan kedudukan di depan hukum sehingga tidak boleh ada diskriminasi, yang membedakan kedudukan orang di depan sidang pengadilan. Hakim tidak boleh membeda-bedakan perlakuan pelayanan berdasarkan status sosial, ras agama, suku, jenis kelamin, dan budaya. 8) Asas Membantu Para Pencari Keadilan. Asas ini menjelaskan bahwa hakim tidak hanya berfungsi to user sebagai pemimpin commit jalannya persidangan dan mencari serta
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menentukan hukum penyelesaian suatu sengketa atau perkara yang diajukan kepadanya. Namun, hakim juga berfungsi memberi solusi terbaik sekaligus memberi bantuan kepada para pihak yang berperkara secara obyektif dan menjunjung tinggi rasa keadilan serta berusaha keras mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. ( Mardani, 2009: 37-45 ).
c. Kompetensi ( wewenang ) Peradilan Agama Kompetensi ( wewenang ) Peradilan Agama terdiri atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif: 1) Kompetensi Absolut Kompetensi absolut adalah kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya. Misalnya: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam itu menjadi kewenangan Peradilan Umum, jadi terhadap kekuasaan absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. ( Roihan A. Rasyid, 1991:27 ). Kekuasaan absolut Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama ada dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 jo
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi syari’ah. Adapun penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut : Pasal 49 Penyelesaiancommit sengketa tidak hanya dibatasi di bidang to user perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Huruf a Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: 1. Izin beristri lebih dari seorang; 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan commit toperkawinan user untuk melakukan campuran;
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Huruf b Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Huruf c Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Huruf d Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Huruf e Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Huruf f Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Huruf g Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah commit to user Subhanahu Wata'ala.
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Huruf h Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Huruf i Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah. 2) Kompetensi Relatif Kompetensi relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama sesuai tempat dan kedudukannya, Pengadilan agama berkedudukan di kota atau ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kota
atau
kabupaten.
Pengadilan
Tinggi
Agama
berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi. Kompetensi relatif Peradilan Agama merujuk pada Pasal 118 ayat (1) HIR menganut asas actor sequitur forum rei ( bahwa yang berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat ). Namun, ada beberapa pengecualian yang tercantum dalam Pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) yaitu sebagai berikut: a) Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan yang diajukan to user kepada pengadilancommit di tempat tinggal Penggugat.
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Apabila tempat tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat tinggal penggugat. c) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang itu terletak. d) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut ( Mardani,2009:53-54 ). Di dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kompetensi relatif ada beberapa perbedaan dalam pengaturannya, dalam perkara bidang perkawinan yaitu cerai talak dan cerai gugat diajukan ke Pangadilan Agama adalah diatur secara khusus dalam Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan untuk perkara waris, hibah, wakaf, wasiat, shadaqah, zakat, infak dan ekonomi syari’ah, gugatan atau permohonan diajukan ke Pengadilan Agama sesuai ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum yaitu diatur dalam Pasal 118 HIR/ 142 Rbg ( Afandi Mansur, 2009:77 ).
d. Kewenangan Mengadili Oleh Pengadilan Agama Kewenangan lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang ini”. commit to user
dalam
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kewenangan mengadili di Pengadilan Agama ada dua yaitu meliputi: 1) Golongan Rakyat Tertentu. Asas personalitas keIslaman yang berbunyi “Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang
sebagaimana penjelasan
beragama
dimaksud umumnya
Islam
dalam dinyatakan
mengenai
perkara
undang-undang bahwa
tertentu
ini”.
Dalam
Pengadilan
Agama
merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam. Karenanya asas ini dapat dijadikan acuan aturan mengenai siapa saja yang dapat mengajukan perkara di pengadilan agama. Asas personalitas keIslaman yang melekat pada pengadilan agama yaitu sebagai berikut ( Mardani, 2009: 37-38 ): a) Pihak-pihak yang berperkara/bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam. b) Perkara-perkara yang di persengketakan harus mengenai perkaraperkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, wakaf, sedekah, dan ekonomi Syariah. c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam dan diselesaikan berdasarkan hukum Islam, maka para pihak tetap tunduk kepada kewenangan Pengadilan Agama walaupun pada saat terjadi sengketa salah satu pihak sudah beralih ke agama lain. 2) Perkara-perkara Tertentu. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diketahui bahwa perkara-perkara tertentu yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara ditingkat pertama to user Islam di bidang perkawinan, antara orang-orang commit yang beragama
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqoh, dan ekonomi Syariah. Jadi perkara-perkara di luar perkara tersebut bukan menjadi wewenang dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama juga mempunyai kewenangan memberikan keterangan
atau nasihat
mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat serta memberi penetapan “itsbat” terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Mentri Agama mengeluarkan penetapan secara rasional untuk penetapan I ( satu ) Ramadhan dan I ( satu ) Syawal.
e. Produk Pengadilan Agama Di dalam Pengadilan Agama terdapat dua jenis perkara, yaitu jenis perkara voluntair dan contentius. Terdapat dua cara mengajukan perkara di Pengadilan Agama, untuk perkara contentious diajukan dalam bentuk gugatan dan untuk perkara voluntair diajukan dalam bentuk permohonan. Permohonan ialah suatu surat pemohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung suatu sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Dalam
permohonan ada istilah pemohon dan
termohon. Peradilan perdata yang menyelesaikan perkara pemohonan disebut juirisdictio voluntaria ( peradilan yang tidak sebenarnya ). Disebut demikian karena ketika itu sebenarnya hanya menjalankan fungsi executive power bukan yudicative power. Namun, di lingkungan Peradilan Agama dalam perkara perkawinan, walaupun disebut permohonan tidak mutlak berarti voluntaria. Misalnya, permohonan cerai talak dan izin poligami, walaupun menggunakan istilah permohonan tetapi termasuk perkara contentiosa. Suami berkedudukan commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai pemohon, sedangkan istri berkedudukan sebagai termohon ( Mardani, 2009: 80-81 ). Produk Peradilan Agama ada 2 yaitu: 1) Putusan ( Vonis / Al-qadha’u ) Putusan yaitu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan ( kontentius ). a) Macam-Macam Putusan: (1) Putusan akhir. Putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang tidak atau belum menempuh semua tahap pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir dari tahap pemeriksaan tetapi telah telah mangakhiri pemeriksaan yaitu: (a) Putusan Gugur. (b) Putusan verstek yang tidak diajukan verzet. (c) Putusan yang menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa ( H.A. Mukti Arto, 1996:246 ). Dilihat dari sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan putusan akhir itu terbagi menjadi 3 ( tiga ) macam yaitu: (a) Putusan Deklaratoir Putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut menurut hukum. Putusan ini terjadi dalam dalam putusan permohonan talak, gugat cerai karana perjanjian ta’lik talak, penetapan ahli waris yang sah, penetapan adanya harta bersama, penetapan hak perawatan anak oleh ibunya, perkara volunter dan seterusnya. commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) Putusan Konstitutif Putusan yang menciptakan dan menimbulkan keadaan
baru,
berbeda
dengan
keadaan
hukum
sebelumnya. Putusan konstitutif terapat pada putusan pembatalan perkawinan, putusan verstek, guagatan cerai bukan karena ta’lik talak dan seterusnya. (c) Putusan Kondemnatoir Putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu atau
tidak
melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi
prestasi. Putusan ini
mempunyai kekuatan eksekutorial, yang bila terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka atas permohonan penggugat putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh Pengadilan Agama yang memutusnya. Putusan ini diterapkan diantaranya pada penyarahan pembagian harta bersama, penyerahan hak nafkah
iddah,
mut’ah
dan
sebagainya
( Mardani,2009:120-121 ). (2) Putusan sela. Putusan
yang
dijatuhkan
masih
dalam
proses
persidangan sebelum putusan akhir dibacakan dengan tujuan untuk memperjelas dan memperlancar persidangan. (3) Putusan serta-merta. Putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu relatif lama, lalu ada suatu gugatan dari salah satu pihak, agar putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan agama dilaksanakan terlebih dahulu, tidak lagi commityang to user menunggu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Kekuatan Hukum Putusan Putusan pengadilan mempunyai 3 ( tiga ) kekuatan, yaitu sebagai berikut: (1) Kekuatan Mengikat Putusan hakim mengikat para pihak yang berperkara. Kekuatan mengikat suatu putusan ada yang dalam arti positif dan dalam arti negatif. Dalam arti positif, yaitu bahwa yang telah diputus hakim harus dianggap benar. Dalam arti negatif, yaitu bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang sama, pokok perkara yang sama, dan pihak yang sama ( nebis in idem ). (2) Kekuatan Pembuktian Artinya putusan hakim telah memperoleh kepastian hukum, bukti kebenaran hukum, dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta dapat dijadikan bukti dalam sengketa perdata yang sama. (3) Kekuatan Eksekutorial Yaitu kekuatan untuk dilaksanakan putusan peradilan itu secara paksa oleh aparat negara. 2) Penetapan ( Itsbat / Beschiking ) Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah produk Peradilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya ( jurisdictio voluntaria ), karena hanya ada pemohon yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan maka diktum penetapan tidak pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan ( declaratoir ) dan menciptakan ( constitutoir ). Misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya. Pada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum. Sedangkan kekuatan hukum penetapan adalah berlaku untuk user luar ( pihak ketiga ) tetapi pihak-pihak maupuncommit untukto dunia
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.
2. Tinjauan tentang Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Perkawinan mempunyai beberapa pengertian baik menurut Perundang-undangan, maupun menurut Hukum Islam: 1) Perkawinan Menurut Perundang-undangan. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi Perkawinan menurut UndangUndang Nomor l Tahun 1974 tidak memandang perkawinan hanya sebagai ikatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan perikatan keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 ” bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pengertian perkawinan yang sah menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam Pasal 26 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”. Hal tersebut berarti KUHPerdata hanya mengakui perkawinan perdata yaitu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh KUH Perdata, sehingga terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh suatu agama tertentu. commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Perkawinan Menurut Hukum Islam. Perkawinan dalam Islam adalah akad yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara. Dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I Hukum Perkawinan pada Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Arti perkawinan menurut hukum Islam dapat dilihat di dalam AlQur'an, Surat Ar-Ruum ayat ( 21 ) yang berbunyi: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau ikatan keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan mempunyai nilai ibadah artinya sebagai akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat, dan untuk membina keluarga yang damai dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah ( http://eprints.undip.ac.id /16842/1/BUDI_CAHYONO ).
b. Tujuan Perkawinan Tujuan Perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur commit user ). oleh Syari’ah ( Soemiyati, S.H,to 1982:12
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Didalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundang-undangan adalah untuk kebahagiaan suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan ( Hilman Hadikusuma:1990,22 ). Selain itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa ” Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur serta untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, dan sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya didunia ini juga mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat” ( Mohd. Idris Ramulyo, 1996:26-27 ).
c. Asas-asas Perkawinan Beberapa asas yang berkenaan dengan perkawinan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu antara lain: 1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. 2) Sahnya perkawinan bilamana dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Undang-Undang Perkawinan ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat commit to user beristeri lebih dari satu.
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Calon suami/isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan,
agar dapat
mewujudkan
tujuan
perkawinan secara baik. 5) Menganut prinsip untuk mempersulit perceraian. 6) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam pergaulan masyarakat maupun dalam kehidupan rumah tangga. Menurut Hukum Islam, asas-asas dalam perkawinan adalah sebagai berikut: 1) Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan. 2) Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang laki-laki sebab ada ketentuan larangan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang harus diindahkan. 3) Perkawinan bertujuan membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal selama-lamanya. 4) Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri. 5) Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga dimana tanggung jawab keluarga ada pada suami. 6) Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami namun hukum Islam tidak menutup rapat kemungkinan untuk berpoligami sepanjang persyaratan keadilan diantara isteri dapat terpenuhi dengan baik ( Penjelasan Umum Mengenai Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ). Pengertian dari monogami adalah suatu asas dalam UndangUndang Perkawinan menurut Pasal 3 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 dikatakan bahwa: “ Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang commitisteri. to userSeorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami ”.
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kesimpulannya perkawinan menganut asas monogami tetapi Undang-Undang Perkawinan memberikan pengecualian kepada mereka yang menurut agama dan hukumnya mengizinkan seseorang boleh beristeri lebih dari seorang. Undang-Undang memberikan syarat yang cukup berat yaitu berupa pemenuhan dan syarat yang tertentu serta izin dari Pengadilan. Dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (2) Undang- Undang Nomor l Tahun 1974 yang berbunyi: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dengan adanya pasal tersebut berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami terbuka karena tidak menganut kemungkinan dalam keadaan terpaksa seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin Pengadilan apabila ada alasan yang dapat dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Seperti yang ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An- Nisa ayat ( 3 ) yang berbunyi: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kami miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya ”. d. Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam Menurut Djamil Latief, putusnya perkawinan menurut hukum Islam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: ( Djamil latief, 1985:38 ) 1) Kematian suami atau istri Kematian suami atau istri dalam arti hukum adalah putusnya ikatan perkawinan. Jika istri yang meninggal dunia seorang suami boleh kawin lagi dengan segera, tetapi seorang janda yang kematian suami, harus menunggu jangka lewatnya waktu tertentu sebelum dapat kawin lagi, jangka waktu ini disebut iddah. 2) Perceraian
commit to user a) Tindakan pihak suami
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Talak Perkataan talak berasal dari kata thallaqa, berarti melepaskan ( umpama seekor burung ) dari sangkarnya atau melepaskan ( seekor binatang ) dari rantainya. Jadi menthalaq istri berarti melepaskan istri atau membebaskannya dari ikatan perkawinan atau menceraikan istri. (2) Ila’ Mengila’ istrinya ialah seorang suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya. Dengan sumpah ini berarti seorang istri telah ditalak oleh suami. (3) Dhihar Suatu talak yang jatuh karena ucapan atau sumpah suami yang mempersamakan istrinya seperti ”punggung ibunya” yang artinya suami tidak akan lagi mengumpuli istrinya. Apabila suami
sebelum
empat
bulan
mencabut
ucapannya dan kemudian rujuk maka suami tersebut diwajibkan membayar denda, sedangkan apabila melebihi empat bulan tidak dicabut ucapannya maka jatuhlah talak. b) Tindakan pihak istri Dengan Tafwild yaitu pendelegasian kekuasaan kepada seseorang untuk menjatuhkan talaknya kepada istrinya. Seseorang itu bisa orang lain dan bisa istrinya sendiri. Dalam hal ini terdapat kemungkinan terjadinya perceraian oleh tindakan pihak istri. c) Persetujuan kedua belah pihak (1) Khulu’ Sering diistilahkan talak tebus artinya talak yang terjadi karena inisiatif pihak istri dengan ketentuan istri harus membayar ’iwald kepada suami. Terjadinya talak ini dan besarnya ’iwald harus berdasarkan kesepakatan dan kerelaan suami istri. commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Mubara-ah Perceraian yang terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak dari suami istri yang sama-sama ingin memutuskan ikatan perkawinan dan kedua belah pihak telah merasa puas hanya dengan kemungkinan terlepas dari ikatan masingmasing. d) Keputusan Hakim (1) Ta’lik talaq Ta’lik talaq ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan sebelumnya. (2) Fasakh Yaitu rusak atau batalnya perkawinan atas permintaan yang salah satu pihak kepada pengadilan agama karena ditemukan cela salah satu pihak yang merasa tertipu atas halhal
yang
belum
diketahui
sebelum
berlangsungnya
pernikahan. (3) Syiqaq Yaitu talak yang terjadi karena perselisihan suami istri yang tidak dapat didamaikan oleh hakim yang ditunjuk dari pihak suami dan dari pihak istri. (4) Li’an Adalah putusnya perkawinan karena menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, suatu ikatan perkawinan dapat putus karena: 1) kematian; 2) perceraian,dan commit to user 3) atas keputusan pengadilan.
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Tinjauan tentang Poligami a. Pengertian Poligami Poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua pokok kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak, gamein berarti kawin. Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa Indonesia disebut "Permaduan". Poligami dirumuskan sebagai sistem perkawinan antara
seorang
pria
dengan
lebih
dari
seorang
isteri
( http://eprints.undip.ac.id/18175/1/ Mochamad Soleh Alaidrus ). Nussbaum argues that polygamy is ‘a structurally unequal practice’. This inequality lies in the fact that polygamy as practised today normally permits only men to marry multiple wives and it does not normally permit women to marry more than one husband. In fact, Nussbaum
argues
that
‘the
most
convincing’
argument
againstpolygamy is that ‘men are permitted plural marriages, and women are not’. Javaid Rehman argues given the changes in the social, political and legal environment, the continuation of the practice of polygamy demands a substantial explanation. Many of its historic reasons within the Islamic world for justifying polygamous marriages ( for example, the surplus of women and loss of men through battles and armed conflict) are no longer tenable ( 2007: 115 ) ( Thom Brooks New Castle University, New Castle Law School, Philosophical Topics, Vol.37 No.2 PP.109-122:2009 ). Nussbaum berpendapat bahwa poligami adalah praktek yang secara struktural tidak sama. Hal ini terletak pada ketidaksetaraan kenyataan bahwa poligami yang sekarang dipraktekkan biasanya izin hanya laki-laki untuk menikah banyak istri dan biasanya tidak mengizinkan wanita untuk menikah lebih dari satu suami. Selain itu menurut pendapat Javaid Rehman mengingat perubahan lingkungan sosial, politik dan hukum, kelanjutan praktek poligami menuntut penjelasan substansial. Dalam dunia Islam dapat membenarkan commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pernikahan poligami ( misalnya, surplus perempuan dan hilangnya pria melalui pertempuran dan konflik bersenjata ) ( 2007: 115 ). Persoalan poligami sudah dikenal jauh sebelum agama Islam datang. Islam datang untuk mengatur Poligami. Poligami diatur di dalam Al Qur'an, Surat An-Nisa ayat ( 3 ) yang berbunyi: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terdapat (hakhak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." Menurut Ahmad Azhar Basyir, poligami yang diatur dalam Surat An Nisa ayat ( 3 ) tersebut, merupakan jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim. Dahulu orang-orang Arab suka kawin dengan anak perempuan yatim yang diasuhnya, dengan maksud agar dapat ikut makan hartanya dan tidak usah memberi mas kawin. Untuk menghindari agar orang jangan sampai berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim itu, seorang lakilaki diperbolehkan kawin dengan perempuan lain, dua, tiga sampai empat orang. Tetapi itu pun dengan syarat harus berbuat adil (Achmad Azhar Basyir, 2000:38). Syarat harus berbuat adil bagi pria yang berpoligami merupakan suatu yang tidak akan terlaksana, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga, karena ketidakmungkinan berbuat adil ini telah disebutkan dalam Surat An Nisa ayat ( 129 ) yang berbunyi: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari bunyi Surat An Nisa ayat ( 129 ) tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang berlaku adil secara mutlak hanya Allah. Negara Indonesia telah mempunyai Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang di dalamnya antara lain mengatur poligami. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu pada saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya ( Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ). Atas dasar hal tersebut, maka di Indonesia telah terjadi unifikasi hukum dalam bidang perkawinan yang belaku bagi semua warga negara Indonesia tanpa memandang mereka berasal dari golongan penduduk apa dan mereka berasal dari daerah mana. Dengan demikian UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 juga berlaku bagi warga negara Indonesia yang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tunduk
kepada
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata) ( http://eprints.undip.ac.id/18175/1/ Mochamad Soleh Alaidrus ). Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya ditentukan bahwa : “Poligami hanya diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang pria beristri lebih dari seorang.“ Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada huruf c yang menyatakan bahwa Undangundang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya seorang pria dapat beristeri lebih dari seorang. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menutup pintu bagi pria untuk beristeri lebih dari seorang, hal ini tidak berarti membuka pintu dalam arti seluas-luasnya karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan pembatasan yang sangat berat. commit to user Pembatasan itu diatur dalam Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
Tahun 1974. Seorang pria yang telah diizinkan oleh hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya untuk beristeri lebih dari seorang, ia terlebih dahulu harus dapat menunjukkan alasan-alasan dari syarat-syarat yang secara limitatif telah ditentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
b. Alasan-alasan dan Syarat-syarat Poligami Alasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristeri lebih dari seorang, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan; Apabila salah satu dari alasan di atas dapat dipenuhi, maka alasan tersebut masih harus didukung oleh syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasa15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu : a. Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri b. Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persetujuan yang dimaksud ayat (1) huruf a tersebut, tidak diperlukan lagi oleh seorang suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau tidak ada kabar dari isteri selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat panilaian dari Hakim Pengadilan ( Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ). Persetujuan dalam Pasa1 5 ayat (1) huruf a Undangcommit to user Undang Nomor 1 Tahun 1974 dipertegas oleh Pasal 41 huruf b
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu : “Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan
lisan,
persetujuan
itu
harus
diucapkan
di
depan
Pengadilan.” Sedangkan kemampuan seorang suami dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu : Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperhatikan : i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan. Selanjutnya jaminan keadilan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu: Ada atau tidaknya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka dengan menyatakan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
c. Tata Cara Berpoligami Tata cara poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang menetapkan sebagai berikut : 1) Seorang suami yang bermaksud beristeri lebih dari satu, wajib mengajukan permohonan secara tertulis, disertai dengan alasanalasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 4 dan 5 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kepada Pengadilan. Bagi suami yang beragama Islam permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Pemeriksaan permohonan poligami harus dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh ) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya; 3) Dalam melakukan pemeriksaan ada dan tidaknya alasan-alasan dan syarat-syarat untuk poligami, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isterinya yang bersangkutan. 4) Apabila Pengadilan berpendapat, bahwa cukup bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberi putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Khusus mengenai suami yang beragama Islam, Menteri Agama pada tanggal 19 Juli 1975 mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Kewajiban Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan peraturan perundangundangan perkawinan bagi yang beragama Islam. Peraturan Menteri Agama tersebut baru berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, adalah pelaksanaan teknis yang harus dipatuhi oleh Hakim. Pengadilan Agama dalam memberikan putusan/penetapan izin poligami maupun oleh Pejabat Nikah dalam menyelenggarakan perkawinan ( http://eprints.undip.ac.id/18175/1/ Mochamad Soleh Alaidrus ). Permohonan izin beristeri lebih dari seorang tidak mengandung sengketa, oleh sebab itu pada hakekatnya merupakan tindakan administratif. Dalam Hukum Acara Perdata, hal ini merupakan Jurisdictio Voluntaria, yang pemeriksaan dan putusannya merupakan tindakan adminitratif, sedangkan bentuk putusan dalam Jurisdictio Voluntaria merupakan penetapan ( beschiking ). Apabila belum ada izin dari Pengadilan untuk beristri lebih dari seorang maka Pegawai Pencatat
Perkawinan
dilarang
melangsungkan,
meyaksikan poligami. commit to user
mencatat
atau
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
4. Tinjauan tentang Pembatalan Perkawinan a. Pengertian Pembatalan Perkawinan Pembatalan berasal dari kata batal yaitu gagal, menganggap tidak sah, tidak jadi maupun tidak sah ( Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Sulchan Yasyin ). Di dalam Islam pembatalan perkawinan disebut fasakh, arti fasakh adalah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama ( Soemiyati:1982:113 ). Ditinjau dari sebab-sebab yang dapat merusakkan perkawinan, fasakh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: fasakh yang berkehendak kepada putusan hakim yakni melalui proses Pengadilan dan fasakh yang tidak berkehendak kepada putusan Pengadilan yaitu pada waktu suami istri mengetahui adanya sebab yang merusakkan perkawinan, ketika itu juga perkawinannya telah batal menurut hukum tanpa melalui putusan Pengadilan ( AL-ADALAH Jurnal Kajian Hukum Vol.7 No.1. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 71082836) Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian ”dapat ” pada diartikan bisa atau tidak bisa batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain (http://excellentlawyer.blogspot.com/2010/06/pencegahan-dan-pembatalan-perkawinan. html ) Berdasarkan Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan batal demi hukum di antaranya: 1) Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak Raj’i; 2) Seorang suami yang menikahi isterinya yang dili’annya; 3) Seorang suami yang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhinya dengan talak tiga kali, kecuali bila bekas isteri terebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas; 5) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 6) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri; 7) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan sesusuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan; 8) Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari isteri, atau sebagai bibi, atau kemenakan dari isteri. Selanjutnya berdasarkan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan apabila: 1) Seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama; 2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui msih menjadi isteri pria lain secara sah; 3) Perempuan yang dikawini masih dalam keadaan masa tunggu (iddah); 4) Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan,sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; 6) Perkawinan dilaksanakan karena paksaan; 7) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; 8) Perkawinan dilakukan dengan penipuan, penipuan yang dimaksud adalah seorang pria yang mengaku sebagai jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui beristeri sehingga terjadi poligami tanpa ijin Pengadilan, demikian juga terhadap penipuan mengenai identitas diri. Pengaturan mengenai batalnya perkawinan diatur dalam Bab IV Pasal 22 sampai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam, serta dalam Bab VI Pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam ketentuan
ini
mengatur
mengenai
syarat-syarat,
alasan-alasan
pembatalan perkawinan dan tata cara pembatalan perkawinan. Secara tegas dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 commit to user menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh Pengadilan. Ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya.
b. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh: 1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. 2) Suami atau isteri. 3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. 4) Pejabat yang ditunjuk tersebut Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Sedangkan menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum
Islam
yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan adalah: 1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri. 2) Suami atau Istri 3) Pejabat yang berwenang megawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang. 4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67. c. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam melakukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 27 Undangcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasanalasannya tersebut di antaranya : 1) Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang; 2) Wali nikah yang melakukan perkawinan ini tidak sah; 3) Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi; 4) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; 5) Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Sedangkan menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 71 dan 72 Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan-alasan pengajuan pembatalan perkawinan yaitu: 1) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; 2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud; 3) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; 4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; 5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; 6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan; 7) Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; 8) Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. d. Tata Cara Pembatalan Perkawinan Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya. Sedangkan mengenai pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diatur di dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 di mana dalam hal pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan commit to user sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Tata cara
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
pengajuan gugatan perceraian bagi yang beragama Islam diatur lebih lanjut dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: 1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. 2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnua meliputi tempat kediaman Tergugat. 3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertenpat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama.
e. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai keputusan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Selanjutnya diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan tidak berlaku surut terhadap: 1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; 2) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; 3) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
5. Tinjauan Umum tentang Efektivitas Hukum Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum dapat berjalan efektif apabila komponen-komponen penting di dalamnya berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Komponen-komponen tersebut terdiri dari tiga, yaitu : a. Substansi Substansi merupakan hasil nyata dari sistem hukum. Bentuknya dapat berupa hukum in concreto ( kaidah hukum individual ) dan hukum in absrtacto ( kaidah hukum umum ). Kaidah hukum individual muncul tidak serta merta kerena kekuatan-kekuatan sosial tetapi timbul dari kekuatan dan kepentingan yang terekspresi dalam bentuk tuntutan. ( Lawrence M. Friedman, 2009: 195-196 ). Sedangkan, kaidah hukum umum muncul dalam masyarakat disebabkan setiap masyarakat atau setiap kelompok membutuhkan cara tertentu untuk menyelesaikan sengketa dan menegakkan norma-norma yang esensial. Di sisi lain, ketika kehidupan sosial menjadi semakin kompleks, publik tidak lagi bisa menegakkan norma-norma hanya melalui tekanan informal dan norma-norma yang terinternalisasi. Pada titik ini, kelompok tersebut merasakan kebutuhan akan adanya struktur formal ( Lawrence M. Friedman, 2009: 189-190 ).
b. Struktural Struktural merupakan bagian dari sistem hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme. Sistem hukum yang dimaksud ini yaitu aparat penegak hukum. Contohnya adalah lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum.
c. Kultur Hukum ( Budaya Hukum ) Kultural merupakan pola-pola sikap dan perilaku terhadap sistem to user hukum. ( Lawrence M. commit Friedman, 2009: 254-255 ).
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Perkawinan
- Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan - Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Rukun dan SyaratSyarat Perkawinan Terpenuhi
Rukun dan SyaratSyarat Perkawinan Tidak Terpenuhi
Perkawinan Sah
Perkawinan Tidak Sah
Pembatalan Perkawinan
Dapat Dibatalkan ( Poligami Tanpa Izin Pengadilan )
Batal Demi Hukum
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Suami Istri
Anak Hasil Perkawinan
Harta Bersama
Pihak Ketiga
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Manusia diciptakan oleh Allah S.W.T
agar beribadah dan bertaqwa
kepadaNya, sesuatu hal yang bernilai ibadah salah satu di antaranya adalah commitsalah to user perkawinan. Perkawinan merupakan satu peristiwa yang sangat penting
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
dalam kehidupan masyarakat dan bagi umat islam perkawinan merupakan sunatullah dan fitroh setiap manusia. Perkawinan yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Dalam suatu perkawinan terdapat rukun dan syaratsyarat yang harus dipenuhi, apabila dua hal tersebut terpenuhi maka perkawinan tersebut sah akan tetapi jika kedua hal tersebut tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan dapat dibagi menjadi dua yaitu yang batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Putusnya perkawinan tidak hanya disebabkan karena perceraian dan kematian saja melainkan termasuk putusan perkawinan disebabkan oleh putusan hakim. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan suatu perkawinan. Pembatalan perkawinan dapat terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dilakukan dan dapat pula terjadi karena sesuatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah dilakukan dan hidup perkawinan berlangsung. Hal-hal yang dapat meyebabkan pembatalan perkawinan di antaranya adalah seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama; perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi; perkawinan dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang; wali nikah yang melakukan perkawinan tidak sah; perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain secara sah; perempuan yang dikawini masih dalam keadaan masa tunggu ( iddah ); perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; dan Perkawinan dilakukan dengan penipuan, penipuan yang dimaksud adalah seorang pria yang mengaku sebagai jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui beristeri. Akibat hukum pembatalan perkawinan tersebut akan memberikan dampak terhadap para pihak yaitu terhadap suami dan istri; anak keturunannya; commit harta benda serta terhadap pihak ketiga.to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penulis telah melakukan penelitian mengenai Pembatalan Perkawinan dan Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Karanganyar. Penulis meneliti perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Karanganyar, yaitu perkara Nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA tentang Pembatalan Perkawinan karena Poligami Tanpa Ijin Pengadilan. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan di Pengadilan Agama Karanganyar maka untuk lebih jelasnya penulis sajikan data sebagai berikut: 1.
Nomor Perkara
: 0679/Pdt.G/2010/PA.KRA
2.
Pemohon
: MKY binti SJR, umur 24 tahun, agama Katholik,
pekerjaan -, bertempat tinggal di Kabupaten Boyolali. 3.
Termohon I
: FB bin SPR, umur 23 tahun, agama Islam,
pekerjaan dagang, bertempat tinggal di Kabupaten Boyolali. 4.
Termohon II
: WT binti SKR, umur 29 tahun, agama Islam,
pekerjaan buruh, bertempat tinggal di Kabupaten Karanganyar. 5.
Duduk Perkara
:
Bahwa
Pemohon
telah
mengajukan
surat
permohonan pembatalan nikah tertanggal 21 Juni 2010 yang kemudian terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama tersebut dengan register Nomor : 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra, tanggal 21 Juni 2010 yang pada pokoknya mengajukan hal-hal sebagai berikut : a. Pada tanggal 12 Januari 2008, Pemohon dengan Termohon I melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah nomor : 3309 PK 2007 000015 tanggal 12 Januari 2008 yang dikeluarkan oleh Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali ; b. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon sudah commit to orang user tua Pemohon selama 1 bulan pernah tinggal bersama di rumah
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemudian pisah pisahan 2.5 tahun dan sekarang kumpul lagi di rumah orang tua Pemohon selama 1 minggu dan sudah hidup rukun dan hamonis (ba'da dukhul) dan sudah dikaruniai anak 1 orang bernama FERNANDO RANER umur 2.5 tahun ; c. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Pemohon berstatus perawan, sedangkan Termohon I berstatus perjaka atau belum pernah menikah dan sampai gugatan pembatalan perkawinan ini diajukan antara Pemohon dan Termohon I belum pernah bercerai; d. Bahwa tanpa sepengetahuan dan tanpa seijin Pemohon selaku isteri, Termohon I telah melangsungkan perkawinan dengan Termohon II pada 06 April 2009 di hadapan pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan Kerjo sebagaimana kutipan akta nikah nomor 73/04/IV/2009 ; e. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Termohon I telah memberikan keterangan yang tidak benar yaitu dengan mengaku berstatus perjaka padahal sesungguhnya Termohon I berstatus pria beristeri karena masih terikat perkawinan yang syah dengan Pemohon ; f. Bahwa dengan demikian Termohon I tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan dengan Termohon II sehingga perkawinan Termohon I dan Termohon II menjadi tidak sah dan haruslah dinyatakan batal serta tidak mempunyai kekuatan hukum ; g. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Karanganyar berkenan untuk memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
PRIMAIR : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon ; 2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Termohon I (FB bin SPR) dengan Termohon II (WT binti SKR) yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kerjo pada tanggal 06 April 2009; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
3. Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah nomor: 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Kerjo tidak berkekuatan hukum; 4. Membebankan biaya perkara ini menurut hukum yang berlaku;
SUBSIDAIR : Jika Pengadilan Agama Karanganyar berpendapat lain mohon memberikan putusan yang seadil-adilnya ;
6.
Upaya Perdamaian oleh Majelis Hakim Bahwa, pada hari sidang yang telah ditentukan para pihak telah datang dan menghadap dipersidangan dan setelah Majelis mendamaikan tidak berhasil, lalu pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan Pemohon tersebut yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon.
7.
Jawaban Termohon Bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, para Termohon telah mengajukan jawaban secara lisan dipersidangan yang pada pokoknya membenarkan dan tidak membantah dalil-dalil serta alasan Pemohon.
8.
Alat bukti yang diajukan oleh Pemohon Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonan Pemohon, Pemohon telah mengajukan bukti berupa : a. Surat : 1) Foto copy Kutipan Akta Perkawinan yang diterbitkan Kantor Kependuduk dan Catatan Sipil Boyolali No. 3309 PK.2007 000015 tanggal 12 Januari 2008 (bukti P.1); 2) Foto copy Kutipan Akta Nikah yang diterbitkan KUA Kec. Kerjo Kab. Karanganyar No. 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 (bukti P2); 3) Foto copy KTP a.n. FB No. 33.1316.110387.0003 tanggal 02 Juli 2009 commit to user (bukti P.3) ;
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Saksi : 1) TNP bin SDRS, umur 37 tahun yang memberikan keterangan dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut: - Bahwa saksi mengatahui Termohon I dan Termohon II suami istri yang menikah pada tanggal 06 April 2009 di KUA Kec. Kerjo Kab. Karanganyar ; - Bahwa pada saat menikah status Termohon I jejaka dan status Termohon II adalah perawan ; - Bahwa pada sat menikah yang menjadi wali adalah Bapak SKR ayah Termohon II ; - Bahwa saksi mengetahui status sipil Termohon I jejaka disebabkan pada waktu pindah ke Kec. Kerjo membawa Kartu Keluarga (KK) orang tuanya yang tertera statusnya jejaka ; 2) MYD bin PWR, umur 48 tahun, yang memberikan keterangan dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut : - Bahwa saksi mengaku kenal Termohon I dan Termohon II; - Bahwa saksi mengetahui perkawinan Termohon I dan Termohon II setelah mengecek di register nikah yang ada di KUA Kec. Kerjo ; - Bahwa saksi mengetahui pada saat menikah status sipil Termohon I jejaka dan status Termohon II adalah perawan ; - Bahwa yang menjadi wali nikahnya pada saat itu adalah Bapak SKR ayah Termohon II ;
Bahwa
terhadap
keterangan
saksi-saksi
tersebut,
para
pihak
membenarkannya. Bahwa Pemohon dan para Termohon mencukupkan keterangan serta hanya mohon putusan yang seadil-adilnya. Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka hal-hal yang tercatat dalam berita acara persidangan perkara ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9.
54 digilib.uns.ac.id
Pertimbangan Hukum Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas ; Menimbang bahwa dalil posita angka 1, 2 dan 3 surat permohonan sesuai keterangan Pemohon yang dibenarkan para Termohon dan dikuatkan keterangan para saksi, maka harus dinyatakan terbukti bahwa Pemohon dan Termohon I adalah suami istri sah yang menikah pada tanggal 12 Januari 2008 di hadapan PPN Kantor Catatan Sipil Kab. Boyolali sebagaimana dalam Kutipan Akta Pernikahan No. 3309 PK 0007 000015 tanggal 12 Januari 2008 yang dikeluarkan oleh Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Boyolali, sudah mempunyai seorang anak bernama FERNANDO umur 2.5 tahun, pada saat menikah Pemohon berstatus sipil perawan dan Termohon I perjaka serta keduanya belum pernah bercerai ; Menimbang bahwa posita angka 4, sesuai keterangan Pemohon yang dibenarkan para Termohon dan dikuatkan keterangan saksi-saksi harus dinyatakan terbukti Termohon I tanpa seijin Pemohon telah melangsungkan perkawinan dengan Termohon II pada tanggal 06 April 2009 dihadapan PPN Kantor Urusan Agama Kab. Karanganyar sebagaimana tersebut dalam Kutipan Akta Nikah No. 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 ; Menimbang bahwa posita angka 5 sesuai keterangan Pemohon dan pengakuan Termohon I yang dikuatkan keterangan PPN/Kepala KUA Kec. Kerjo Kab. Karanganyar harus dinyatakan pada saat menikah lagi, Termohon I mengaku berstatus sipil jejaka dengan cara memberikan surat keterangan palsu ; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka harus dinyatakan terbukti bahwa perkawinan Temrohon I dengan Termohon II, Termohon I berstatus masih atau telah beristri sehingga perkawinannya dengan Termohon II merupakan pernikahan kedua atau perkawinan tersebut merupakan poligami yang seharusnya memenuhi ketentuan pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perkawinan, jo pasal 40, 41 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 serta pasal 55 dan 56 serta pasal 21 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ; Menimbang bahwa oleh karena perkawinan Termohon I dengan Termohon II sebenarnya merupakan perkawinan poligami yang harus memenuhi ketentuan pasal-pasal diatas, sementara Termohon I untuk pelaksanaan perkawinan tersebut dengan memalsu data status sipil dan tanpa seijin Pemohon, maka perkawinan yang kedua Termohon I tersebut dapat dibatalkan. Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan tersebut diatas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa dalam perkawinan Termohon I dan Termohon II telah terbukti melanggar aturan-aturan hukum yang harus dipenuhi apabila seorang laki-laki hendak beristri lebih dari seorang, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa permohonan Pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai ketentuan pasal 22, 23 dan 24 UndangUndang No. 1 tahun 1974, jo pasal 37, 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, jo pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, sehingga oleh karena itu permohonan Pemohon aquo haruslah dikabulkan ; Menimbang bahwa oleh karena perkawinan Termohon I dengan Termohon II dibatalkan, maka Majelis perlu menetapkan Akta Nikah No. 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 yang diterbitkan KUA Kec. Kerjo Kab. Karanganyar harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap Termohon I dan Termohon II dan oleh karenannya akta perkawinan tersebut haruslah dicoret dari register; Menimbang bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 89 ayat (1) UndangUndang nomor: 7 tahun 1989 biaya perkara yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon ; 10. Amar Putusan Mengingat pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan hukum syara' yang berhubungan dengan perkara ini ; commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MENGADILI 1. Mengabulkan permohonan Pemohon ; 2. Membatalkan perkawinan antara Termohon I (FB bin SPR) dengan Termohon II (WT binti SKR) yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kerjo Kab. Karanganyar pada tanggal 06 April 2009; 3. Menetapkan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah nomor : 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kec. Kerjo Kab. Karanganyar tidak mengikat secara hukum ; 4. Memerintahkan kepada PPN / Kepala KUA Kec. Kerjo Kab. Karanganyar untuk mencoret register Akta Nikah No. 73/04/IV/2009 tanggal 06 April 2009 ; 5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini ditetapkan sebesar Rp. 401.000,- (empat ratus satu ribu rupiah) ;
B. Pembahasan
1. Dasar Hukum Putusan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Pengadilan Agama Karanganyar mempunyai wewenang memeriksa perkara sesuai kewenangan absolutnya yang berdasarkan pada Pasal 2 dan 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 2 ini Pengadilan Agama terikat dengan asas Personalitas KeIslaman dalam memeriksa, memutus, menyelesaiakan perkara di antara orang-orang yang beragama Islam. Penulis melakukan wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Karanganyar yaitu: Ahmad Akhsin ( Selaku Hakim Ketua ) dan Emi Suyati ( Selaku Hakim Anggota commit ) pada to hariuser Senin tanggal 17 Januari 2011 di
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
Pengadilan Agama Karangayar. Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim Ahmad Akhsin dan Emi Suyati yang dilakukan penulis, Pengadilan Agama Karanganyar mempunyai wewenang memeriksa perkara sesuai kewenangan absolutnya dalam Pasal 2 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan terikat dengan asas Personalitas keIslaman. Berdasarkan ketentuan tersebut Pengadilan Agama Karanganyar menentukan mengenai siapa-siapa saja yang dapat mengajukan perkara, kemudian mengenai perkara yang dapat diajukan pemeriksaannya di Pengadilan Agama adalah bidang Perkawinan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Shodaqoh, dan Ekonomi Syariah dengan dasar inilah suatu perkara dapat diajukan pemeriksaannya oleh para pihak di Pengadilan Agama. Salah satunya perkara pembatalan perkawinan tersebut ( Wawancara dengan Ahmad Akhsin dan Emi Suyati pada hari Senin tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.30 WIB ). Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan bagi umat islam perkawinan merupakan sunatullah dan fitroh setiap manusia. Perkawinan yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam suatu perkawinan terdapat rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, apabila dua hal tersebut terpenuhi maka perkawinan tersebut sah akan tetapi jika kedua hal tersebut tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan dapat dibagi menjadi dua yaitu yang batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Putusnya perkawinan tidak hanya disebabkan karena perceraian dan kematian saja melainkan termasuk putusan perkawinan disebabkan oleh putusan hakim. Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan suatu perkawinan. Berdasarkan Pasal 22 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila commit to user untuk melakukan perkawinan. para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan. Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam melakukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan-alasannya tersebut di antaranya: a. Perkawinan
yang
dilangsungkan
di
hadapan
Pegawai
Pencatat
Perkawinan yang tidak berwenang; b. Wali nikah yang melakukan perkawinan ini tidak sah; c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi; d. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 71 dan 72 Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan-alasan pengajuan pembatalan perkawinan yaitu: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud; c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan; g. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; h. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; suami atau isteri; pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Salah satu kasus permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan di
Pengadilan
Agama
Karanganyar
dalam
Putusan
Nomor
0679/Pdt.G/2010/PA.Kra dimana Pemohon menerangkan dalam surat permohonannya adalah sebagai berikut: a. Bahwa pada tanggal 12 Januari 2008, Pemohon dengan Termohon I melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah nomor: 3309 PK 2007 000015 tanggal 12 Januari 2008 yang dikeluarkan oleh Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten Boyolali. b. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon sudah pernah tinggal bersama dirumah orang tua Pemohon selama 1 bulan kemudian pisah-pisahan 2,5 tahun dan sekarang kumpul lagi di rumah orang tua Pemohon selama 1 minggu dan sudah hidup rukun dan harmonis ( ba’da dukhul ) dan sudah dikaruniai anak 1 orang bernama FERNANDO RANER umur 2,5 tahun. c. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Pemohon berstatus perawan, sedangkan Termohon I berstatus perjaka atau belum pernah menikah dan sampai gugatan pembatalan perkawinan ini diajukan antara Pemohon dan Termohon I belum pernah bercerai. d. Bahwa tanpa sepengetahuan dan tanpa seijin Pemohon selaku istri, Termohon I telah melangsungkan perkawinan dengan Termohon II pada 06 April 2009 di hadapan pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan Kerjo sebagaimana kutipan akta nikah nomor 73/04/IV/2009. commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Bahwa pada waktu melangsungkan perkawinan Termohon I telah memberikan keterangan yang tidak benar yaitu dengan mengaku berstatus perjaka, padahal sesungguhnya Termohon I berstatus pria beristri karena masih terikat perkawinan yang sah dengan Pemohon. f. Bahwa dengan demikian Termohon I tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan dengan Termohon II, sehingga perkawinan Termohon I dan Termohon II menjadi tidak sah dan haruslah dinyatakan batal serta tidak mempunyai kekuatan hukum. Menurut Ahmad Akhsin dan Emi Suyati dalam wawancara yang dilakukan penulis, yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut adalah selain perkara yang diajukan tersebut merupakan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama Karanganyar, perkawinan yang dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan karena Termohon I berstatus masih atau telah beristri, sehingga perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II tersebut merupakan poligami yang seharusnya memenuhi ketentuan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 40, 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Pasal 55 dan 56 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu permohonan Pemohon telah terbukti menurut hukum sesuai ketentuan Pasal 22, 23, dan 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 37 dan 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar karena alasan-alasan pembatalan perkawinan terpenuhi yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Selain itu, yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan
Agama
Karanganyar
dalam
memutuskan
pembatalan
perkawinan tersebut adalah perkawinan yang dilangsungkan tersebut melanggar syarat administratif yaitu pemalsuan identitas yang berupa pemalsuan status calon suami yang mengaku perjaka padahal calon suami commit to user tersebut pria beristri yang masih terikat perkawinan yang sah. ( Wawancara
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
dengan Ahmad Akhsin dan Emi Suyati pada hari Senin tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.30 WIB ). Menurut penulis, permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Pemohon tersebut dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Karanganyar dengan pertimbangan dasar hukum dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dalam perkara ini Termohon I ( Fajar ) memiliki dua orang Istri yaitu: Wigatiningsih ( Termohon II ) dan Margaretha ( Pemohon sebagai Istri pertama ) dan perkawinan kedua antara Termohon I dengan Termohon II tersebut tidak diketahui dan tanpa seijin Pemohon sebagai Istri pertama. Perkawinan kedua tersebut dapat terjadi karena Termohon I telah melakukan penipuan status yang mengaku masih perjaka, maka perkawinan tersebut dapat dilaksanakan. Padahal dalam perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II atau perkawinan poligami tersebut dilakukan tanpa seijin Pengadilan, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Karanganyar mengabulkan permohonan Pemohon dengan membatalkan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II. Selain itu, yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar terdapat dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam di mana seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Sehingga teori Lawrence M. Friedman mengenai komponen struktural sudah diterapkan oleh hakim Pengadilan Agama Karanganyar sebagai badan peradilan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum. Menurut penulis, selain perkawinan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar, Termohon I ( Fajar ) dapat dikenai Pasal 280 KUHP yang diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam Pasal 280 KUHP tersebut disebutkan bahwa ” Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal sengaja tidak memberitahukan kepada pihak lainnya commit user bahwa ada penghalangnya yang sahtodiancam dengan pidana penjara paling
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
lama lima tahun apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut perkawinan lalu dinyatakan tidak sah”. Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa ” Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal, dengan maksud untuk memakai, atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun ”. Dalam kasus ini yang termasuk pemalsuan surat adalah pemalsuan identitas yang dilakukan oleh calon suami dengan memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak. Hal ini menjadi peran penting dari pegawai pencatat perkawinan untuk melakukan penelitian dalam melaksanakan tugasnya apabila ada larangan dan pelanggaran menurut peraturan yang berlaku maka perkawinan tersebut dapat dicegah. Hal ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang disebutkan bahwa ” Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang ”. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dlam Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini harus dipenuhi syaratcommit to user syarat:
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Apabila sebelum perkawinan kedua, Termohon I ( Fajar ) meminta ijin Pengadilan Agama untuk poligami, maka Pengadilan Agama tidak memberikan ijin poligami karena dari ketiga syarat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut tidak terdapat dalam diri Pemohon ( Margaretha sebagai istri pertama ), Pemohon masih dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri, tidak menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan serta Pemohon tersebut dapat melahirkan keturunan karena dengan perkawinannya dengan Termohon I ( Fajar ) dikaruniai satu orang anak yang bernama Fernando.
2. Akibat Hukum yang Ditimbulkan bagi Suami Istri Terhadap Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar. Sebuah perkawinan dapat timbul masalah yang tidak diinginkan yang berupa putusnya perkawinan yang bisa berupa kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Putusnya perkawinan oleh putusan pengadilan berupa pembatalan perkawinan, apabila dalam sebuah perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Salah satu alasan perkawinan dibatalkan adalah seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama dan perkawinan dilakukan dengan penipuan, penipuan yang dimaksud termasuk dalam ketentuan Pasal 263 KUHP yang disebutkan bahwa ” Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal, dengan maksud untuk memakai, atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut to user diancam jika pemakaian tersebut seolah-olah isinya benar dancommit tidak dipalsu,
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Dalam kasus ini yang termasuk pemalsuan surat adalah pemalsuan identitas yang dilakukan oleh seorang pria yang mengaku perjaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui beristeri, sehingga terjadi poligami tanpa ijin Pengadilan Agama. Menurut Ahmad Akhsin dan Emi Suyati dalam wawancara yang dilakukan penulis, pembatalan perkawinan membawa akibat hukum terhadap suami istri, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, harta bersama, dan pihak ketiga. Jika syarat-syarat dalam suatu perkawinan tidak terpenuhi, maka hal ini akan membawa akibat hukum terhadap status perkawinan yang menjadi tidak sah karena seorang suami tersebut melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Status suami istri tersebut menjadi kembali seperti sebelum adanya perkawinan dan status batalnya perkawinan akan berlaku setelah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; Batalnya suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari perkawinan orang tuanya yang telah dibatalkan perkawinannya oleh putusan pengadilan. b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi commit user segala perbuatan perdata atau to perikatan yang diperbuat suami isteri
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebelum
pembatalan
perkawinan
tetap
berlaku,
dan
ini
harus
dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga ketentuan ini bertujuan untuk melindungi pihak ketiga ( Wawancara dengan Ahmad Akhsin dan Emi Suyati pada hari Senin tanggal 17 Januari 2011 pukul 12.30 WIB ). Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Termohon II ( Wigatiningsih sebagai istri yang dibatalkan perkawinannya ), akibat hukum dari putusan pembatalan perkawinan tersebut adalah putusnya hubungan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II. Dalam perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II dikaruniai seorang anak yang bernama Kelvin yang berusia 2 tahun, akan tetapi setelah putusan pembatalan perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, akibatnya anak tersebut tidak mendapatkan nafkah dari Termohon I. Mengenai pembagian harta bersama tidak dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II ( Wawancara dengan Wigatiningsih pada hari ahad tanggal 16 Januari 2011 Pukul 09.00 WIB ). Menurut penulis, suatu pembatalan perkawinan akan berakibat putusnya hubungan suami istri ( Fajar dengan Wigatiningsih ) yang pernah menjalin hubungan ikatan perkawinan. Perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah dan perkawinannya tersebut menjadi putus sehingga hubungan suami istri di antara keduanya menjadi tidak sah dan haram untuk melakukan persetubuhan, bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; Batalnya suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari perkawinan orang tuanya yang telah dibatalkan. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur commit user anak di mana kedua orang tua mengenai kewajiban orang tua to dengan
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Berdasarkan Pasal 75 huruf b Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa: ” Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut ”. Terdapat juga di dalam Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam bahwa: ” Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya ”. Selain itu mengenai pemeliharaan anak juga diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam bahwa: ” Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya ”. Jadi biaya pemeliharaan anak tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun perkawinan tersebut telah dibatalkan. Selain itu, ayah tetap mempunyai hubungan nasab dengan anaknya dan anak yang dilahirkan tersebut tetap mempunyai hak waris dari orang tuanya. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Termohon I telah melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena putusan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, Maka anak yang dilahirkan dari perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II tetap mendapatkan hak-haknya dimana kedua orang tua wajib memelihara, mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Dikaitkan dengan teori efektivitas hukum menurut commit to user substansi mengenai peraturan Lawrence M. Friedman, komponen
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam tidak efektif di dalam masyarakat khususnya dalam perkara nomor 0679/Pdt.G/2010/PA.Kra, karena dalam perkara tersebut Termohon I ( suami ) melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ayah kandung dari Kelvin ( anak dari hasil perkawinannya dengan Termohon II ) sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama tersebut suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Terhadap harta bersama ini berlaku ketentuan bahwa jika terjadi perceraian hidup, maka masing-masing ( janda dan duda ) berhak mendapatkan sebagian atau separoh dari harta bersama mereka. Jadi terhadap perkawinan yang fasakh karena melanggar larangan perkawinan, maka masing-masing pihak mendapatkan separoh dari harta bersama mereka ( Jurnal Hukum Pro Justisia, Volume 26 No 4. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 26408371390.pdf ). Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Termohon II mengenai pembagian harta bersama tidak dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II. Menurut penulis, seharusnya Termohon I dan Termohon II melakukan pembagian harta bersama seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 commit to user putusan pembatalan perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak berlaku surut terhadap suami istri yang bertindak dengan itikad baik akan tetap memperoleh hak-haknya yang diperoleh dari perkawinan yang dibatalkan tersebut seperti haknya dalam suatu perkawinan yang sah. Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa ” Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama
yang
terjadi
sejak
perkawinannya
masing-masing
”.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b dan Pasal 94 Kompilasi
Hukum
Islam
disebutkan
apabila
suatu
pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka bagi para pihak yang perkawinannya dibatalkan tersebut tidak berhak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan keduanya, atau seterusnya. Hal ini karena harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan mengenai perbuatan keperdataan yang dilakukan oleh para pihak yang dibatalkan perkawinannya dengan pihak ketiga diatur dalam Pasal 98 KUHPerdata disebutkan bahwa pembatalan suatu perkawinan tidak akan merugikan hak-hak pihak ketiga yang ada hubungan hukum dengan bekas suami istri pada waktu masih ada perkawinan tersebut, selain itu disebutkan juga dalam Pasal 75 huruf c Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik sebelum putusan pembatalan perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum to user dan ini harus dilaksanakan oleh pembatalan perkawinan commit tetap berlaku
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suami isteri tersebut. Sehingga pihak ketiga yang beritikad baik agar tidak dirugikan. Misalnya: A dan B adalah pasangan suami istri ( sebagai pihak yang menyewakan ) menyewakan sebuah rumah dengan hak milik atas nama A dan B kepada C ( sebagai Penyewa ) selama 5 tahun dengan harga Rp60.000.000,-/tahun ( Enam puluh juta rupiah per tahun ), C ( sebagai Penyewa ) membayar uang sewa kepada A dan B ( sebagai pihak yang menyewakan ) secara mengangsur, akantetapi dalan jangka waktu 1 tahun, perkawinan antara A dan B dibatalkan oleh Pengadilan Agama karena syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi, perjanjian keperdataan yaitu perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut tetap akan dilindungi atau tetap ada walaupun terjadi pembatalan perkawinan antara A dan B. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak orang lain agar tidak dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan perkawinan tersebut berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian keperdataan, misalnya perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian.
commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab terdahulu, maka penulis menarik dua kesimpulan yang menjadi pokok bahasan dari penulisan hukum ini, yaitu: 1. Adapun yang menjadi dasar hukum bagi hakim Pengadilan Agama Karanganyar dalam memutuskan pembatalan perkawinan tersebut adalah: Perkawinan yang dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan karena memenuhi salah satu unsur yang terdapat di dalam Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yaitu seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan. Perkawinan yang dilangsungkan ini juga melanggar syarat administratif yaitu pemalsuan identitas calon suami yang mengaku status perjaka padahal calon suami tersebut pria yang terikat perkawinan yang sah dengan Istri pertama. Perbuatan pelanggaran terhadap syarat administratif perkawinan yang berupa pemalsuan identitas yang termasuk dalam pemalsuan surat tersebut dapat diancam dengan pidana. 2. Akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Karanganyar tersebut adalah perkawinan tersebut menjadi putus sehingga hubungan suami istri diantara keduanya menjadi tidak sah dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Selain akibat hukum bagi Suami Istri terhadap pembatalan perkawinan tersebut, putusan pembatalan perkawinan terdapat didalam Pasal 28 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu: a. Akibat Hukum terhadap anak keturunan Putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak commit to userdibatalkan, sehingga anak tersebut yang dilahirkan dari perkawinan yang
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetap mendapatkan hak-haknya di mana kedua orang tua wajib memelihara, mendidik, memberikan nafkah, dan berhak atas waris dari ayahnya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
b. Akibat Hukum terhadap harta benda Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama tersebut suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, akantetapi apabila suatu pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu, maka bagi para pihak yang perkawinannya dibatalkan tersebut tidak berhak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan keduanya, atau seterusnya. Hal ini karena harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
c. Akibat hukum terhadap pihak ketiga Pengaturan terhadap hak-hak orang lain atau pihak ketiga yang membuat perjanjian keperdataan terhadap pihak yang dibatalkan perkawinannya
tersebut
tetap
diakui
meskipun
setelah
adanya
pembatalan perkawinan. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hakhak orang lain agar tidak dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan perkawinan tersebut berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian keperdataan, misalnya perjanjian sewa menyewa yang dibuat sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian. commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Saran
Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran sehubungan dengan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah khususnya
hendaknya berkaitan
memberikan dengan
sosialisasi
hukum
kepada
perkawinan
agar
masyarakat masyarakat
memahami aturan dalam hukum perkawinan serta tidak melakukan poligami liar yang mereka anggap sah padahal menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan tidak sah, sehingga mengakibatkan adanya pembatalan perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap semua pihak. 2. Sebaiknya sebelum melangsungkan perkawinan, calon suami maupun calon istri harus secara cermat meneliti mengenai status dari masing-masing pihak. Selain itu Pegawai Pencatat Nikah harus lebih hati-hati dan teliti dalam memeriksa syarat-syarat perkawinan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan berakibat perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
commit to user