PENINGKATAN KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN PANGAN MELALUI TEKNOLOGI PRODUKSI SAPI POTONG Oleh : Zulfanita
Abstrak Rencana pembangunan peternakan jangka panjang akan berada dalam ruang tahun 2005 – 2020. Dalam ruang waktu tersebut, berlangsung pasar bebas regional dan pasar bebas dunia (WTO) tahun 2020. Program pembangunan pertanian kedepan tentu tidak terlepas dari usaha mengantisipasi perdagangan bebas pada tahun 2003 (AFTA)
keadaan perubahan tersebut. Era berpengaruh nyata
terhadap
perkembangan sub sektor peternakan terutama usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Hal ini disebabkan peluang pasar bagi produsen daging sapi dengan jumlah penduduk yang mencapai 200 juta jiwa serta diikuti perkembangan ekonomi nasional
serta pendapatan perkapita
penduduk Indonesia yang secara drastis
meningkat. Saat ini pasokan sapi potong lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat karena ketidak seimbangan pertambahan populasi sehingga terjadi impor bakalan dan daging sapi. Hal ini merupakan salah satu kelemahan daya saing di pasar global oleh karena itu perlu digalang kerjasama yang sinergi antara masyarakat peternak, peneliti, pengusaha dan pemerintah dalam organisasi yang bergerak dalam bidang penelitian peternakan dengan mengaitkan secara utuh dan berkesinambungan ketersediaan dan kebutuhan teknologi produksi sapi potong di Indonesia sehingga potensi pasar yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh peternak dan pengusaha sapi potong dengan membangun basis pasar nasional yang kuat melalui peningkatan daya saing sehingga mampu mengimbangi
sapi
bakalan dan daging impor dari luar negeri.
1
1.Pendahuluan
Kebijakan pembangunan peternakan akan menjadi hal penting bagi pemerintah Indonesia mengingat peran sektor peternakan yang sangat signifikan dalam menopang perekonomian dan kehidupan sosial rakyat Indonesia. Dalam hal ini subsektor peternakan merupakan salah satu bidang yang memiliki nilai strategis karena kontribusinya pada penyediaan pangan nasional. Pembangunan peternakan memiliki nilai penting dalam ketahanan pangan dan upaya mencerdaskan sumber daya manusia Indonesia karena fungsi protein hewani daging sapi mampu menjadi agen pembangunan. Populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,22 % atau sebanyak 10 ,8 juta ekor. Kondisi ini masih belum mencukupi kebutuhan dengan tingkat defisit sebesar 1,6 juta ekor (14,5%) dari populasi ideal 12,4 juta ekor. Kemampuan produksi daging sapi dari populasi yang tersedia pada tahun 2006 hanya mencapai 290,56 ribu ton, sementara kebutuhan daging sapi mencapai 410,9 ribu ton dengan tingkat konsumsi sebesar 1,84 kg/kapita/tahun atau mengalami defisit sebesar 29,5% (Luthan, 2006, Hal 8). Permintaan daging sapi diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk, perbaikan ekonomi masyarakat dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani.
2. Sistem Usaha Peternakan Sapi Potong Melalui Pola Agribisnis Era pasar bebas (AFTA) dan WTO
merupakan tantangan
yang harus
dihadapi dan dipersiapkan serta merupakan peluang dan tantangan yang sangat besar bagi usaha dan pengembangan peternakan sapi potong. Program pengembangan usaha peternakan sapi potong harus dilakukan secara efektif dan efisien sehingga produk yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Hal ini dapat dicapai apabila pemanfaatan sumber daya dilakukan secara tepat dan optimal serta memanfaatkan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kondisi sosial
2
masyarakat dan agroekologi setempat. Faktor – faktor lain misalnya, kelembagaan, sarana dan prasarana serta peraturan –peraturan harus mendukung secara konsisten dan berkelanjutan (Putu 1997, Hal.50). Perkembangan usaha sapi potong di Indonesia dimasa yang akan datang harus melalui pola agribisnis yang berwawasan lingkungan yaitu peternakan rakyat tetap sebagai tulang punggung , industri , industri peternakan yang berskala besar sebagai
pendukung dan kekurangannya dipenuhi oleh impor produk luar
negeri.faktor- faktor yang perlu diperhatikan dalam melaksnakan pengembangan peternakan sapi potong adalah sumber daya yang tersedia yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya pakan ternak yang berkesinambungan. Proses budidaya yang perlu mendapat perhatian yaitu, bibit, ekologi dan teknologi serta lingkungan strategis yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangannya. Beberapa permasalahan yang dihadapi yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan sapi potong antara lain: 1. Peningkatan permintaan (1,45% pertambahan penduduk ) tidak dapat diimbangi dengan kelahiran ternak sapi hanya sekitar 20 % pertahun 2. Tingginya pemotongan betina produktif dan betina bunting. Angka statistic menunjukkan setiap tahun sekitar 200.000 ekor betina yang dipotong 3. Masih ada gangguan penyakit reproduksi ternak 4. Keterbatasan modal dalam dan luar negeri, akibatnya sulit membantu peternak agar berusaha
dalam skala usaha yang ekonomis yang akan dapat
memberikan pendapatan yang layak dan kesejahteraan bagi keluarganya 5. Kondisi peternak yang belum menguasai teknologi pakan dengan baik, belum mampu mengakses sumber permodalan serta pemeliharaan belum dapat memperpendek jarak antar kelahiran (Luthan, 2006, Hal.10 ).
3
3. Ketersediaan dan kebutuhan teknologi produksi sapi potong a. Teknologi Produksi dan Reproduksi Ditinjau dari proses produksi, usaha peternakan sapi potong dapat dibagi sesuai dengan tujuan pemeliharaan, yaitu; (1) Usaha pemuliabiakan ternak (breeding) dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan sapi yang mempunyai kualitas genetik yang baik, ditinjau dari aspek reproduksi, pertumbuhan dan kualitas produksi daging; (2) Usaha penggemukan (fattening) dengan tujuan untuk mendapatkan produksi daging yang tinggi dan mempunyai kualitas yang baik dan (3) Usaha kombinasi antara breeding dan fattening dimulai dari usaha
seleksi induk dan pejantan,
breeding, reproduksi, pemeliharaan anak (pedet), calon induk dan pejantan, serta pemeliharaan
haasil sapi bakalan untuk usaha penggemukan (Ngadiyono, 2004,
Hal.15)). Usaha peningkatan produksi dan produktivitas ternak
sapi telah lama
dilakukan melalui teknologi Inseminasi Buatan (IB), karena teknologi tersebut merupakan teknologi tepat guna dalam rangka peningkatan produksi, mutu genetik ternak dan meningkatkan populasi. Hasil evaluasi IB nasional tahun 2005 menunjukkan bahwa pelaksanaan IB secara teknis yang ditunjukkan dengan rata – rata S/C = 1,1 – 2 dan CR = 63 % serta angka kelahiran 95 % telah berhasil dengan baik dan manfaatnya semakin dirasakan oleh para peternak , maka upaya peningkatan pelaksanaan IB perlu didukung oleh semua pihak terkait. Keberhasilan IB ditentukan oleh 4 faktor utama yaitu a) kualitas sperma; 2) kondisi dan kesiapan dari betina calon akseptor; 3) kemampuan petani dalam mendeteksi birahi; 4) ketrampilan dari inseminator. (Luthan, 2006, Hal 16). Hasil IB yang masih rendah perlu mendapat perhatian yang serius dari semua fihak yang terkait seperti lembaga penelitian, perguruan tinggi maupun lembaga yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan IB dan masalahnya dilapangan harus dikaji secara seksama serta dicari jalan pemecahan yang efektif karena teknologi IB merupakan
teknologi tepat guna
yang secara langsung
4
menunjang program peningkatan produktivitas sapi lokal di pedesaan terutama dalam pembentukan populasi dasar.
b. Teknologi Pakan Ternak Indonesia merupakan
salah satu Negara tropis dikawasan
khatulistiwa
dengan areal yang cukup luas maka persediaan bahan pakan ternak sebenarnya bukan merupakan kendala didalam usaha peternakan sapi potong. Pasokan pakan hijauan alternatif berupa limbah pertanian misalnya jerami dapat dimanfaatkan meskipun nilai nutrisinya rendah. Sentuhan teknologi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan nilai nutrisi maupun konsumsi dari sapi potong. Peranan teknologi pakan sangat penting dan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ternak. Penerapan teknologi pakan ternak di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para peneliti di perguruan tinggi dan instansi baik pakan hijauan maupun konsentrat. Tujuan dan manfaat teknologi pakan ternak antara lain: 1) konservasi, 2) mengubah ukuran partikel, 3) mengubah kadar air, 4) mengubah densitas pakan, 5) mengubah palatabilitas, 6) mengubah nilai nutrisi, 7) menghilangkan/mengurangi anti nutrisi 8) menstabilkan kualitas, 9) mengurangi jamur dan substansi toksik lainnya, 10) mengurangi ruang penyimpanan, 11)meningkatkan mekanisasi, 12) proteksi nutrien, 13) suplemen nutrien, 14) menggunakan bahan aditif, serta 15) menstimulasi proses fermentasi (Soejono, 2006, Hal. 144). Penyusunan ransum ternak diatur dengan memperhatikan kandungan zat pakan yang harus dipenuhi seperti protein, energi, TDN, mineral Ca dan P dan didasarkan atas besar tubuh dan bobot badan sapi pada saat penggemukan. Usaha komersial sapi potong seperti feedlot atau usaha sapi potong secara intensif maka kualitas pakan diatur sedemikian rupa sehingga memberikan suatu kualitas yang dibutuhkan untuk menunjang
pertumbuhan secara optimal serta menghasilkan
daging yang sesuai standar.
5
Teknologi pakan ternak yang digunakan dalam usaha penggemukan dikenal dengan Grain Fed yang berarti usaha penggemukan sapi potong bakalan dengan konsentrat ( 80 – 85 %) dan rumput sebanyak 15% - 20 % (Putu, 1997, Hal. 55). Dengan pemberian konsentrat yang lebih tinggi menyebabkan sering terjadinya acidosis atau asam lambung sehingga perlu dicari suatu teknologi untuk meningkatkan pH. Hal yang penting adalah perlunya upaya terobosan agar bahan penyusun konsentrat tersebut dapat berasal dari produk lokal yang tersedia secara berkesinambungan dan murah serta tidak berkompetisi dengan keperluan dan usaha lainnya
c. Manajemen Pemeliharaan Sapi potong yang dipelihara petani peternak mayoritas secara tradisional dan belum berkembang kearah industri atau usaha agribisnis. Usaha ternak tradisional adalah kegiatan usaha dalam memanfaatkan ternak dengan cara yang bersifat statis menurut tradisi turun temurun, tanpa sepenuhnya mengikuti prinsip – prinsip ekonomi. Pola pemeliharaan tradisional ini tetap bertahan di Indonesia, karena: (1) Tenaga kerja
berasal dari anggota keluarga yang secara ekonomi tidak
diperhitungkan, (2) Biaya pakan relatif kecil dan pakan diperoleh dari lingkungan disekitar peternak, (3) Orientasi usaha sebagai usahatani dengan motivasi utama sebagai tabungan dan (4) Pemeliharaan sapi tidak terlepas
dari kegiatan untuk
mengolah lahan pertanian (Ngadiyono, 2004, Hal.22). Usaha peternakan rakyat dengan jumlah pemilikan kecil, yaitu sekitar 2 sampai dengan 5 ekor. Apabila sapi yang dipelihara lebih dari 5 ekor termasuk induk dan anak, maka pengadaan bahan pakan untuk sapi bertambah dan dinilai melebihi kapasitas dan diluar jangkauan peternak. Pada perusahaan komersial dengan jumlah pemeliharaan
sapi skala besar, usaha
breeding atau kombinasi
breeding dan
fattening kemungkinan besar dapat dilaksanakan melalui manajemen ranch dengan syarat tersedia lahan yang luas dan memiliki daya tampung yang cukup besar bagi sapi potong yang akan dipelihara dengan sistem rotation grazing dalam suatu ranch.
6
Tersedia cukup air, potensi lahan memenuhi syarat untuk pengembangan berbagai jenis rumput legume, termasuk kondisi suhu, cuaca
dan iklim yang cocok untuk
persyaratan hidup sapi Sistem pemeliharaan sapi selain breeding dan fattening adalah pemeliharaan sapi potong dengan sistem kereman yaitu sapi dipelihara selama 4 – 6 bulan dengan diberi pakan utama berupa hujauan dengan pakan tambahan berupa dedak atau limbah pertanian . Tujuan pemeliharaan system kereman adalah untuk memanfaatkan hasil kotorsan ternak berupa pupuk kandang atau kompos. Penelitian yang ditujukan untuk mempelajari perbedaan pada pemeliharaan diperkampungan ternak berbeda tidak nyata dengan diluar perkampungan ternak (kandang individu)
yaitu
masing –
masing 0,40
dan
0,30
kg/ekor/hari
(Sugiharto,2004 dalam Ngadiyono, 2004, Hal 191 -202 ). Hasil ini memberi petunjuk bahwa
srtategi pemeliharaan dan pemberian pakan yang berbeda
dapat
mempengaruhi pertambahan berat badan. Penelitian dan pengembangan sapi potong perlu
memperhatikan kondisi lingkungan
pakan dan manajemen sapi potong
sebelum menentukan bangsa sapi yang akan diusahakan karena faktor interaksi genetik dan limgkungan .
d. Teknologi Pasca Panen Teknologi pasca panen terutama untuk penanganan keseluruhan belum mendapat perhatian
daging sapi secara
yang sesuai dengan standard mutu dan
jaminan keamanan dari mulai pemotongan sampai penyajian untuk konsumen di Indonesia ( Putu, et al.,1997, Hal. 57).
1) Teknologi pemotongan sapi potong Daging sapi yang berkualitas setelah pemotongan perlu penanganan yang baik karena pemotongan sapi dalam keadaan stress akan menghasilkan daging yang berwarna gelap sehingga mempengaruhi penampilan bagi konsumen . Oleh karena itu ternak perlu dipuasakan selama 12 jam. Proses rigormortis pada karkas dipercepat
7
agar dapat meningkatkan keempukan pada daging dengan mempergunakan teknologi pengempukan yang disebut electric stimulation . alat ini dibedakan dua macam yaitu rangsangan listrik dengan voltase rendah dan tinggi. Pemakaian voltase rendah digunakan setelah pemotongan dan voltase tinggi digunakan setelah 30 menit pemotongan. Proses pemotongan pada rumah potong hewan telah mengikuti aturan yang ditentukan tetapi program kebersihan dan sanitasi belum dilaksakan secara efektif.
2) Teknologi Pelayuan Daging yang segar dan baru dipotong belum dapat dikatakan berkualitas prima karena proses rigomortis (pelayuan) yang belum sempurna sehingga daging terasa alot. Untuk mengatasai masalah ini dan meningkatkan keempukan
maka
dibutuhkan proses pelayuan (ageing). Djoyowidagdo (1978) dalam Putu (1997, Hal.57 ), telah mempelajari teknologi pelayuan pada suhu ruang 10 -17 º C selama 24 jam dan dilanjutkan dengan proses chilling pada suhu ruang 0 -4 º C selama 48 – 216 jam terhadap penyusutan berat karkas selama 24 jam pelayuan pada suhu 10 – 17 jam adalah 1,78 % untuk sapi PO dan 1,92% pada sapi Bali sedangkan pada proses chilling dari 24 – 216 jam berkisar antara 2,78 – 7,19% untuk sapi PO dan 2,57 – 7,425 untuk sapi Bali. Sedangkan Putu (1997), telah mempelajari suatu metode utuk mengurangi penyusutan karkas selama 36 jam proses penyimpanan dengan metode penyimpanan air dingin atau spray chilling. Dengan perlakuan tersebut setiap 3 dan 6 jam menghasilkan penyusutan karkas yang rendah yaitu 0,72% dan 0,85% dibandingkan dengan perlakuan setiap 12 jam dengan penyusutan 1,12% dan tanpa spray chilling dengan penyusutan 1,46%.
3) Teknologi Pengolahan Daging yang berkualitas dihasilkan dari karkas yang dilayukan dan disimpan selama 12- `4 jam pada suhu 0-6 º C dengan kelembaban 85 – 90% dan kecepatan angina 0,1 – 0,2 m/detik. Pemotongan daging dapat dipermudah dengan proses
8
pendinginan. Teknologi pengolahan daging sapi di Indonesia masih sangat sederhana hal ini disebabkan belum adanya spesifikasi konsumen dan belum adanya standar kualitas yang dibutuhkan oleh konsumen. Dinegara – negara maju seperti Amerika, Australia dan Eropa sudah ada standar berdasarkan USDA yang sudah menentukan jenis potongan setiap bagian otot daging (Putu, 1997, Hal 58). Program pemotongan daging untuk pasar domestik belum ditata secara intensif sehingga keuntungan yang diperoleh produsen relatif rendah. Hal ini disebabkan karena jenis potongan daging menentukan kualitas dan harga daging tersebut.Oleh sebab itu perlu dibuat standar atau spesifikasi potongan daging nasional yang dapat dipergunakan sebagai acuan oleh semua fihak termasuk produsen daging maupun konsumen dalam menentukan kualitas dan harga yang beredar dipasar nasional utamanya dalam mengantisipasi pasar bebas dan persaingan impor. Program pengepakan produk akhir sangat memegang peranan penting untuk memberikan jaminan dalam mempertahankan kualitas dan mencegah kontaminasi bakteri serta pembusukan daging karena produk daging beresiko tinggi sehingga perlu penanganan, pengolahan maupun penyimpanan.
4) Teknologi Penyimpanan Teknologi penyimpanan daging di Indonesia dilaksanakan dalam rangka mempertahankan mutu dan memperpanjang daya simpan daging sapi yang telah dilayukan dipergunakan larutan asam oleh Trivantini dan Sirait, 1988 dalam Putu (1997) dengan waktu pembusukan daging segar selama 12 – 18 jam. Sedangkan Siregar dan Siswani (1988) dalam Putu et al (1997) mempelajari pengaruh waktu dan suhu penyimpanan yaitu 27 º C dan suhu pembekuan - 2,5 º C terhadap pembekuan daging sapi PO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dsaging yang disimpan dengan suhu kamar mengalami pembusukan pada jam ke – 25 dan busuk sempurna pada jam ke – 37. Penyimpanan pada suhu 0 – 8 º C menyebabkan pembusukan pada hari ke – 22 dan penyimpanan dengan pembekuan ternyata daging masih segar pada hari ke – 30.
9
e. Kemitraan Peternakan di Indonesia sebagian besar masih merupakan peternakan rakyat. Untuk mendorong berkembangnya dunia peternakan di Indonesia, pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta untuk melakukan investasi pada usaha peternakan. Kemitraan usaha peternakan sapi potong adalah hubungan bisnis usaha peternakan yang melibatkan kelompok tani yang berperan sebagai plasma serta perusahaan peternakan berperan sebagai inti. Program kemitraan yang sudah berjalan adalah program peternakan inti rakyat (PIR) pakan ternak dan PIR penggemukan sapi potong. Perusahaan /swasta skala besar
perlu dikembangkan
dalam konsep kemitraan agribisnis dengan skala menengah dan kecil serta skala rumah tangga sehingga diharapkan terbentuk win–win partnership. Oleh karena itu usaha agribisnis on farm yang umumnya masih lemah dipelukan
pembinaan
penyertaan kelompok agar mampu bekerja sejajar dengan usaha skala besar melalui pelaksanaan kegiatan pemberdayaan mulai dari tingkat petani/peternak, kelompok tani, koperasi sampai perusahaan besar dengan cara kemitraan usaha.
f. Pemasaran Daging Sapi Prinsip dasar pemasaran daging adalah memuaskan kedua belah fihak yaitu produsen dan konsumen. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat bagi produsen dalam menghasilkan produk daging yang berkualitas prima serta aman dikonsumsi oleh konsumen dengan memperhatikan spesifikasi atau standar yang diperlukan oleh konsumen dan harga yang memadai. Pemasaran daging secara tradisional masih dengan metode yang sangat sederhana yaitu dijual segar
tanpa memperhatikan
metode penanganan yang sempurna, misalnya suhu, kebersihan dan sanitasi lingkungan. Dalam sistem pemasaran tradisional kualitas produk belum memegang peranan penting dan dikontrol sepenuhnya oleh produsen, sedangkan pemasaran pada era pasar bebas standar kualitas dikontrol sepenuhnya oleh konsumen.
Sebagai
contoh adalah pemasaran daging di supermarket yang sudah menerapkan teknologi penanganan sempurna, daging yang dijual berdasarkan kualitas dan metode prosesing
10
serta distribusi kepada konsumen dengan baik dan harga relatif sama dibanding pasar tradisional.
4. Simpulan Berdasarkan uraian diatas, hal - hal yang perlu mendapat perhatian yang serius dalam mengantisipasi dan meningkatkan daya saing nasional pada era perdagangan bebas yaitu; 1. Populasi induk ditingkatkan dengan memproduksi sapi bakalan melalui teknologi Inseminasi Buatan (IB) karena IB merupakan teknologi tepat guna dalam peningkatan produksi, mutu genetik ternak dan meningkatkan populasi sehingga mampu mensubsitusi sapi bakalan impor yang terus meningkat setiap tahun. 2. Perkembangan usaha sapi potong dimasa datang harus melalui pola agribisnis
yang berwawasan lingkungan, yaitu peternakan rakyat
sebagai tulang punggung, industri peternakan sebagai pendukung serta memperhatikan dan memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya pakan yang berkesinambungan. 3. Daya guna pakan ditingkatkan dengan introduksi teknologi pakan ternak yang sudah dikembangkan antara lain, konservasi,mengubah palatibilitas, mengubah nilai nutrisi, proteksi nutrien, mengurangi jamur,
menggunakan
bahan
aditif,
suplemen
nutrien
serta
menstimulasi proses fermentasi 4. Kualitas daging produksi dalam negeri ditingkatkan
dengan
memanfaatkan semaksimal mungkin teknologi pasca panen dan quality control yaitu tidak memotong sapi dalam keadaan stres karena akan mempengaruhi hasil daging, ternak dipuasakan selama 12 jam sebelum dipotong, menggunakan teknologi pengempukan dengan rangsangan listrik, teknologi pelayuan pada suhu 10 - 17º C selama 24
11
jam, teknologi penyimpanan dengan pembekuan agar mutu daging dapat dipertahankan sehingga dapat memberikan jaminan keamanan bagi konsumen. 5. Perusahaan/swasta skala besar perlu dikembangkan dengan kemitraan agribisnis dengan skala menengah dan kecil dengan melibatkan kelompok tani sebagai plasma dan perusahaan peternakan sebagai inti 6. Kemampuan daya saing pemasaran ditingkatkan dengan memproduksi produk berkualitas, misalnya dengan memperhatikan suhu ruang, kebersihan dan sanitasi alat, petugas penjual daging melakukan seleksi daging yang dijual berdasarkan kualitas serta distribusi daging yang baik yang diberikan oleh produsen, efisiensi biaya produksi, misalnya perlu dibuat standar atau spesifikasi potongan daging nasional yang dapat dipergunakan sebagai acuan oleh semua fihak termasuk produsen daging maupun konsumen dalam menentukan kualitas dan harga yang beredar dipasar nasional sehingga dapat menentukan harga jual yang relatif lebih rendah.
12
Daftar Pustaka Luthan, F. 2006. Menyongsong Rencana Kecukupan Daging Tahun 2010. Prosiding Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ngadiyono,N, 2004. Pengembangan Sapi Potong dalam Rangka Penyediaan Daging Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar 7 Oktober 2004. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Putu, I.G., Dwiyanto,K., P.Sitepu., Soediana,T.D. 1997. Ketersediaan dan Kebutuhan Teknologi Produksi Sapi Potong. Proseding Seminar Peternakan .Departemen Pertanian. Bogor. Soejono, M. 2006. Menyongsong Rencana Kecukupan Daging Tahun 2010. Prosiding Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas. Fakultas Peternakan. Universitas Gajdah Mada. Jogyakarta.
13
14
15
16