BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Untuk menjaga konsistensi produksi beras dan oleh karena urgensi dari pangan itu sendiri maka dibutuhkan sebuah program yang bisa lebih mengarahkan petani dalam pencapaiannya. Upaya pencapaian tersebut bisa dilakukan dengan peningkatan produksi dan produktifitas melalui intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi dan deversifikasi. Namun yang menjadi kendala adalah alih fungsi lahan-lahan produktif akibat perkembangan perkotaan dapat mengancam ketersediaan pangan. Untuk itu peningkatan produksi padi hanya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan sumberdaya yang ada yaitu Intensifikasi, rehabiltasi lahan dan deversifikasi. Selain dari urgensi dari pangan itu sendiri, keberlanjutan dari pencapaian swasembada beras yang telah dicapai pada Tahun 2010 akan tetap menjadi strong point (kekuatan utama) dari Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Salah satu langkah yang ditempuh adalah bagaimana semua pihak dapat memberdayakan secara maksimal segala sumberdaya Pertanian. Produktivitas padi nasional Indonesia dalam skala regional cukup tinggi dan menonjol dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia, kecuali Cina, Jepang, dan Korea. Namun keberhasilan peningkatan produksi beras nasional yang didukung oleh Revolusi Hijau belum diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani. Sejak lebih dari 10 tahun terakhir, gejala pelandaian produksi dan penurunan total faktor produksi (TFP) makin jelas terlihat, apalagi jika terjadi anomali iklim. Oleh karena itu, tanpa upaya terobosan yang didukung oleh inovasi 1
teknologi dan strategi yang jitu maka peningkatan produksi dan pendapatan petani sulit ditingkatkan (Balitpa, 2002). Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa jumlah produksi padi nasional sepanjang 2014 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0,63 persen menjadi 70,83 juta ton dari realisasi produksi 2013 sebanyak 71,28 juta ton. Berdasarkan Provinsi, penurunan produksi padi terbesar terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara daerah yang naik produksinya antara lain Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur (BPS, 2014) Produksi padi tahun 2014 (ASEM) sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami penurunan sebesar 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan tahun 2013. Penurunan produksi padi tahun 2014 terjadi di Pulau Jawa sebesar 0,83 juta ton, sedangkan produksi padi di luar Pulau Jawa mengalami kenaikan sebanyak 0,39 juta ton. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 41,61 ribu hektar (0,30 persen) dan penurunan produktivitas sebesar 0,17 kuintal/hektar (0,33 persen) (BPS, 2015). Penurunan produksi padi tahun 2014 sebanyak 0,45 juta ton (0,63 persen) terjadi pada subround Januari–April dan subround Mei–Agustus masing-masing sebanyak 0,83 juta ton (2,56 persen) dan 0,22 juta ton (0,94 persen), sementara pada subround September Desember produksi padi mengalami kenaikan sebanyak 0,60 juta ton (3,74 persen) dibandingkan dengan produksi pada subround yang sama tahun 2013 (year-on-year) (BPS, 2015).
2
Gambar 1.1. Perkembangan Produksi Padi Per Wilayah (BPS, 2015) Penurunan jumlah produksi padi pada tahun 2014 memberi torehan buruk bagi produksi padi nasional yang selama tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan. BPS mencatat pada 2011 lalu total produksi padi nasional mencapai 65,76 juta ton, terdiri dari 34,4 juta ton hasil produksi Pulau Jawa dan 31,35 juta ton produksi hasil luar Jawa. Pada 2012 jumlahnya naik menjadi 69,06 juta ton (36,53 juta ton hasil produksi sawah di Jawa dan 32,53 juta ton dari luar Jawa); kemudian pada 2013 total produksi meningkat jadi 71,28 juta ton (37,49 juta ton dari Jawa dan 33,79 juta ton dari luar Jawa) (BPS, 2014). Setelah swasembada beras nasional tercapai kembali pada tahun 2008 salah satu tantangan yang dihadapi dalam rangka ketahanan pangan adalah bagaimana mempertahankan swasembada beras tersebut. Dalam kaitan ini Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) merupakan andalan pemerintah dan program tersebut dilaksanakan di seluruh propinsi (Balai Besar Penelitian Padi, 2009).
3
Sulawesi Barat merupakan Propinsi ke-33 yang terbentuk pada Tahun 2004 berdasarkan UU No 26 Tahun 2004. Saat pembentukan Sulawesi Barat terdiri atas 5 Kabupaten yaitu Mamuju, Majene, Polewali Mandar, Mamasa dan Mamuju Utara, dan terakhir melalui UU Nomor 4 Tahun 2013 pembentukan daerah otonomi baru (DOB) yaitu Kabupaten Mamuju Tengah menggenapkan jumlah Kabupaten di sulawesi barat menjadi 6 (enam) kabupaten. Dalam perjalanannya selama 8 Tahun, Sulawesi Barat menunjukkan geliat yang signifikan, dimana pertumbuhan ekonomi Propinsi termuda ini menunjukkan trend yang positif. Sektor pertanian merupakan penopang utama struktur perekonomian Sulawesi Barat, sehingga tumbuhnya perekonomian Sulawesi Barat tidak lepas dari tumbuhnya sektor pertanian. Meskipun masih tergolong muda, tapi geliat perekonomian di Propinsi termuda ini begitu mencengangkan, pertumbuhan ekonomi 15,1% merupakan angka yang fantastis untuk sebuah wilayah baru dan telah menjadi fakta bahwa dari angka fantastis tersebut sektor Pertanian merupakan kontributor terbesar jika dilihat dari indikator PDRB (Bappeda Sulbar, 2010) Bebarapa tahun terakhir produksi tanaman pangan Provinsi Sulawesi Barat terus meningkat. Produksi padi khususnya, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya produksi padi mengalami peningkatan kurang lebih sebesar 7,93% dari 412.338 ton menjadi 445.030 ton. Dengan jumlah produksi padi sawah sebesar 431 .965 ton dan padi ladang 13.065 ton, Provinsi Sulawesi Barat bisa dikatakan mampu memenuhi kebutuhan penduduknya tehadap padi (BPS, 2014)
4
Gambar 1.2. Grafik Produksi Padi Sulawesi Barat 2006-2013 (BPS Sulbar, 2014) Naiknya nilai trend produksi di Sulawesi Barat tidak berarti secara otomatis dapat dikatakan bahwa sektor pangan khususnya komoditas padi dikatakan berkembang dengan baik, oleh karena secara keseluruhan nilai produktivitas padi di Sulawesi Barat masih cukup rendah untuk dapat berkontribusi pada nilai rata-rata produktivitas padi di luar wilayah jawa. Ada kesenjangan atau gap nilai produktivitas padi antara wilayah jawa dan luar jawa, berikut angka perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi berdasarkan wilayah dapat dilihat pada tabel berikut ini
5
Tabel 1.1. Perkembangan Luas Panen, produktivitas dan Produksi per wilayah
Sumber : BPS, 2015 Angka produktivitas luar jawa yang rendah bukan hanya menjadi masalah utama, akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya usahatani padi ditingkat petani, apakah secara produksi optimal dan telah menggunakan input yang efisien dan berujung pada peningkatan pendapatan petani atau kesejahteraan petani. Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang ternyata mampu meningkatkan
produktivitas
padi
dan
efisiensi
input
produksi.
PTT
menggabungkan semua komponen usahatani terpilih yang serasi dan saling komplementer untuk mendapatkan hasil panen yang optimal dan kelestarian lingkungan. PTT merupakan good agronomic practises yang meliputi a) penentuan pilihan komoditas adaptif sesuai dengan agroklimat dam musim tanam b) varietas unggul adaptif dan benih bermutu tinggi, c) pengelolaan tanah, air, hara dan tanaman secara optimal d) pengendalian hama secara terpadu dan penanganan panen dan pasca panen secara tepat (Hotimah H, 2011).
6
Teknologi
merupakan
desain
tindakan
instrumental
yang
dapat
menurunkan ketidakpastian hubungan sebab-akibat dalam usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan (Rogers 1995). Oleh karena itu, penggunaan teknologi dalam usahatani diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani. Hal ini selaras dengan tujuan penyelenggaraan SLPTT yaitu untuk mempermudah petani dalam menerima inovasi teknologi PTT yang baru serta meningkatkan
motivasi
petani
dalam
penerapan
teknologi
yang
dapat
meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani padi serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, organism pengganggu tanaman (OPT) dan iklim secara terpadu (Diperta Jabar 2013) . Produksi beras nasional cenderung mengalami penurunan seiring dengan terjadinya deteriosasi dan penurunan kesuburan tanah akibat intensifikasi yang berkelanjutan. Salah satu upaya mengatasi kondisi tersebut dapat ditempuh melalui pendekatan pengelolaan tanaman (padi) terpadu (PTT) yang perupakan bentuk sinergisme antar komponen intensifikasi budidaya padi termasuk efisiensi pemupukan (Rachman dan Saryoko, 2008). Kabupaten Polewali Mandar merupakan sentra penghasil beras di Sulawesi Barat. Dari 5 (lima) kabupaten yang ada di Sulawesi Barat, Kabupaten Polewali Mandar merupakan daerah yang memiliki produksi beras tertinggi yang kemudian disusul oleh Kabupaten Mamuju.
Selain memiliki angka produksi
tinggi, produktivitas rata-rata juga menunjukkan angka yang tertinggi dibanding 4 (empat) kabupaten lainnya.
Berikut ini dapat dilihat tabel luas panen,
produktivitas dan produksi menurut kabupaten di Sulawesi Barat
7
Tabel 1.2. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Sulawesi Barat Kabupaten
Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju Mamuju Utara Sulawesi Barat
2011 Produktivitas Produksi
2012 Produktivitas Produksi
(Ku/Ha) 4.44
(Ton) 9 464
(Ku/Ha) 3.68
(Ton) 9 830
5.41
178 534
5.24
156 290
3.73 4.62
59 019 99 909
4.47 4.97
71 602 154 095
18 757
4.81
20 520
83 796
4.92
412 338
4.92 4.79
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2013 Produksi dan produktivitas padi yang tinggi di Kabupaten Polewali Mandar belum menunjukkan atau belum berbanding lurus dengan kesejahteraan petani, hal ini menjadi perhatian banyak pihak, kenapa keadaan kesejahteraan petani yang menggeluti usahatani padi sawah di Kabupaten Polewali Mandar belum mengalami peningkatan.
8
I.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat penerapan komponen PTT padi sawah di Kabupaten Polewali Mandar ? 2. Apakah tingkat penerapan komponen PTT padi sawah memiliki pengaruh terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi di Kabupaten Polewali Mandar ? 3. Apakah tingkat penerapan komponen PTT padi sawah akan memberi pengaruh terhadap efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi pada usahatani padi sawah ? I.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tingkat penerapan komponen teknologi PTT padi di Kabupaten Polewali Mandar 2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat penerapan komponen PTT padi terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi di Kabupaten Polewali Mandar 3. Untuk mengetahui pengaruh tingkat penerapan komponen teknologi PTT padi terhadap efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi
9
I.4. Manfaat Penelitian 1. Memberi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan sektor pertanian khususnya pengembangan usahatani padi di Kabupaten Polewali Mandar dan dapat menjadi bahan masukan dalam penyempurnaan design pengembangan sektor tanaman pangan untuk komoditas padi di Polewali Mandar. 2. Pemerintah Daerah dan segenap stakeholder pertanian sebagai pemangku kebijakan dan pemberi kontribusi dalam pengembangan sektor pertanian 3. Petani yang dapat membangun usahatani padi yang dikelolah menjadi menguntungkan 4. Penulis dapat lebih memahami dan memperdalam permasalahan dan solusi dari pengembangan usahatani padi.
10