Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
1
Pengkajian Intensifikasi & Ekstensifikasi Pendidikan Untuk Menggapai Layanan Pendidikan Kepada Peserta Didik yang Selama Ini Tidak Terlayani
1. Pendahuluan Dalam rangka penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun, Pemerintah melalui Inpres No. 5 Tahun 2006 telah menegaskan tentang Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dan Buta Huruf. Inpres tersebut merupakan kelanjutan dari Inpres No. 1 Tahun 1994 tentang Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2004. Kebijakan ini tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan dan target tidak tercapai di antaranya karena krisis ekonomi yang puncaknya terjadi pada tahun 1998. Oleh karena itu, penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dijadwal ulang dan ditargetkan tuntas pada akhir tahun 2008. Indikator dan target yang digunakan dalam penuntasan Wajar Dikdas adalah Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/setara dan Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/sederajat secara nasional mencapai sekurang-kurangnya 95 persen. Target penuntasan Wajar Dikdas pada tahun 2008/2009 hampir dapat dicapai yang ditunjukkan oleh data APM SD/setara tahun 2007/2008 sebesar 94,9 persen dan APK SMP/setara 92,52 persen (Balitbang Depdiknas, 2007). Dengan demikian, dalam waktu satu tahun terakhir ini, pemerintah perlu mengejar target peningkatan 0,1 persen untuk APM SD/setara, dan 2,48 persen untuk APK SMP/setara. Walaupun target penuntasan Wajar Dikdas secara nasional hampir tercapai, namun kesenjangan pencapaian antar-provinsi dan terlebih lagi antar-kab/kota ditemukan masih tinggi. Disamping itu, angka yang tersisa sebesar 5 persen dari target tuntas Wajar Dikdas secara nasional menunjukkan bahwa masih terdapat kelompok anak usia Dikdas yang belum mendapatkan layanan pendidikan dasar. Terdapat berbagai kelompok anak-anak yang selama ini tidak terjangkau (the unreached groups) oleh pelayanan pendidikan yang ada. SEAMEOUNESCO (MONE, 2008) memberikan pengertian kelompok ‗the unreached‘ ke dalam 11 kategori, yaitu mereka yang: (i) tinggal di daerah terpencil; (ii) tinggal bersama masyarakat budaya terpencil; (iii) perempuan dan para ibu yang tinggal di daerah terpencil; (iv) rawan putus sekolah; (v) hidup berpindah-pindah, tinggal di pengungsian, tanpa identitas penduduk; (vi) anak jalanan, korban perdagangan anak; (vii) anak yang tinggal di daerah konflik, bencana, atau penjara; (viii) anak yatim piatu dan tidak terpelihara; (ix) anak dari keluarga miskin; (x) mempunyai kebutuhan khusus, termasuk mereka yang menyandang cacat; dan (xi) menyandang HIV/AIDS. Selain ke 11 kategori tersebut, pada kasus di Indonesia ditambahkan satu kategori lainnya yakni anak atau penduduk
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
2
yang tinggal di daerah perbatasan dan anak dari orangtua yang bekerja sebagai TKI/TKW. Kelompok anak yang belum terlayani pendidikan dapat tersebar di berbagai wilayah baik di pedesaan dan daerah terpencil maupun di perkotaan. Kelompok-kelompok ini perlu diidentifikasi jenis dan karakteristiknya, serta pendidikan seperti apa yang mereka butuhkan sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Selama ini mereka tidak terjangkau oleh layanan pendidikan yang ada baik oleh jalur pendidikan formal maupun non-formal, termasuk oleh berbagai program pendidikan alternatif yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat. Program pendidikan kesetaraan Paket A, Paket B, SMP Terbuka, SD kecil, SD-SMP Satu Atap, SD Pamong, atau bentuk-bentuk pendidikan layanan khusus yang diprakarsai pihak swasta seperti sekolah rimba, sekolah anak-anak miskin, gelandangan, dan anak jalanan karena satu dan lain sebab nampaknya baru diakses oleh sejumlah kecil anak-anak yang mempunyai kondisi hidup sangat sulit. Untuk itu perlu suatu kajian dalam rangka lebih mengefektifkan program yang ada atau memperbaiki program layanan pendidikan agar dapat lebih menyentuh masyarakat yang belum mendapat layanan pendidikan tersebut. Pengkajian ini bertujuan untuk memperoleh bahan kebijakan dalam rangka meningkatkan layanan Dikdas bagi anak-anak berusia 7-15 tahun yang selama ini belum terlayani. Secara lebih khusus, pengkajian bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang (i) karakteristik anak usia Dikdas yang belum terlayani Dikdas; (ii) kebutuhan utama dan kebutuhan pendidikan mereka; (iii) program pendidikan dasar yang ada di sekitar lingkungan mereka; (iv) faktorfaktor penyebab belum terlayaninya oleh program Dikdas yang ada; dan (v) strategi pemenuhan kebutuhan pendidikan yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kualitatif. Walaupun demikian, beberapa data kuantitatif yang relevan juga disajikan untuk melengkapi analisis yang dilakukan. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yang difokuskan pada kelompok anak tidak terjangkau yang berada di wilayah pedesaan. Itulah sebabnya semua lokasi penelitian adalah kabupaten. Dalam studi ini dipilih tujuh kabupaten yang menurut data dari Pusat Statistik Pendidikan memiliki APK SMP/setara dan nilai rata-rata UN yang rendah, serta masuk dalam kategori daerah tertinggal menurut versi Kantor Kementrian Percepatan Daerah Tertinggal. Selanjutnya pada setiap kabupaten dipilih kecamatan dengan angka putus atau tidak melanjutkan sekolah yang tinggi. Selanjutnya, di setiap kecamatan sasaran dipilih sekolah dan satu desa atau lebih yang memiliki banyak anak putus dan/atau tidak melanjutkan sekolah. Di sekolah atau desa itu dipilih 8-10 anak dan orangtua/wali mereka untuk diwawancarai.
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
3
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data, yaitu: daftar isian, pedoman wawancara, dan pedoman pengamatan. Untuk memperoleh validitas empirik dilakukan ujicoba instrumen. Instrumen ini digunakan setelah validitas dan reliabilitasnya teruji. Sesuai dengan karakteristik penelitian yang dilakukan, data yang dihasilkan dari kuesioner dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif untuk melihat kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sedangkan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dan studi dokumen dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif model interaktif yang secara simultan terdiri dari tahapan: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan/verifikasi. Juga dilakukan analisis sistem untuk menentukan strategi layanan pendidikan dasar yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik dari masing-masing daerah. Hasil analisis data baik deskriptif maupun kualitatif, digunakan sebagai dasar untuk menyusun rekomendasi untuk meningkatkan layanan dikdas yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Strategi layanan ini tidak hanya sifatnya kasuistis, disesuaikan dengan karakteristik siswa dan daerah yang bersangkutan tetapi juga mempertimbangkan berbagai komponen yang berkaitan dengan kebijakan layanan pendidikan yang sudah dan akan ada.
2. Temuan Penelitian Temuan utama dari studi ini pada dasarnya menkonfirmasi apa yang diperkirakan sebelumnya yaitu isue tentang putus dan/atau tidak sekolah yang sangat kompleks penyebabnya. Sedangkan temuan lain yang terkait dengan tujuan khusus studi akan dikaitkan dengan temuan utama tersebut, seperti temuan lain di bawah ini tentang topologi wilayah, PAD, sumber dana daerah, anggaran pendidikan, angka DO dan angka melanjutkan. Pada umumnya keadaan topografi wilayah kabupaten yang disurvey berbentuk perbukitan dengan iklim panas. Namun demikian ada juga daerah yang memiliki topografi dataran rendah yang beriklim panas, serta perbukitan dengan iklim cukup sejuk. Topografi wilayah yang berbentuk perbukitan disertai dengan buruknya infrastruktur jalan serta tidak ada atau terbatasnya sarana transportasi umum, mengindikasikan bahwa terdapat kendala geografis dan terbatasnya infrastruktur dalam mengakses layanan pendidikan yang tersedia. Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten yang disurvey umumnya tergolong rendah, yaitu berkisar antara Rp 2,7 M hingga Rp 88 M. PAD paling rendah dimiliki Kab. Kaur yang merupakan daerah pemekaran dari Kab. Bengkulu Selatan, sedangkan PAD paling tinggi dimiliki Kab. Garut. Sumber
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
4
PAD umumnya berasal dari pajak dan retribusi daerah, tidak ada atau sangat kecil proporsi PAD yang bersumber dari hasil Minyak Bumi dan Gas (Migas). Sebagian besar sumber dana Pemerintah Daerah di wilayah kabupaten yang disurvey masih bergantung pada dana dari Pemerintah Pusat, melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada umumnya APBD 2008 setelah perubahan, proporsi pendapatan dari DAU adalah yang paling besar. Anggaran pendidikan yang dimiliki kabupaten yang disurvey cukup bervariasi. Untuk belanja langsung pendidikan (anggaran diluar gaji pegawai) nilainya berkisar Rp 26,6 M s.d. Rp 94 M. Bila dihitung berdasarkan proporsi terhadap total APBD untuk belanja langsung daerah, pada umumnya proporsinya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (di atas 20 persen), yaitu dari 23 sd 28 persen. Namun demikian, angka proporsi yang cukup tinggi tersebut belum secara optimal mendukung program pembangunan pendidikan, karena nilai nominal APBD-nya yang rendah. Sedangkan anggaran pendidikan dan anggaran program Wajar Dikdas tahun 2008 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Anggaran pendidikan di luar gaji Kab
Garut Sampang Donggala Sumba Barat Bangka Selatan Kaur
Jumlah (dalam Rp juta) 94.054 80.000 35.172 45.848 47.337 26.633
% terhadap total belanja langsung daerah 24,28% 23,21% 28,70% -
Anggaran Prog. Wajar Dikdas Jumlah (dalam Rp juta)
% terhadap total belanja langsung daerah
69.240 3.570 27.325 21.037 33.940
73,62% 4,46% 77,68% 45,89% 71.84%
17.815
-
Ditinjau dari angka absolute, jumlah lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs paling tinggi dimiliki oleh Kab Garut sebanyak 55.591 orang, sedangkan dilihat dari proporsi, angka tertinggi berada di Kab Sampang sebesar 29,06 persen. Sedangkan, Kab Kaur memiliki jumlah dan proporsi lulusan yang tidak melanjutkan paling rendah, yaitu hanya 48 orang atau 2,80 persen. Kinerja pendidikan dasar yang diukur dengan indikator APM dan APK menunjukkan bahwa untuk tingkat SD/setara pemerataannya jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat SMP/setara. Kinerja pendidikan dasar yang dikaji dari jumlah dan angka DO menunjukkan bahwa untuk tingkat SD/MI, jumlah Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
5
DO tertinggi terdapat di Kab Sampang dengan jumlah 2.312 orang dengan proporsi mencapai 7,31 persen. Sementara itu, untuk tingkat SMP/MTs jumlah DO paling tinggi dimiliki oleh Kab Kaur dan Kab Sumba Barat, masing-masing berjumlah 589 orang dan 587 orang, dengan proporsi 9,10 persen dan 10,42 persen. Ada berbagai kemungkinan faktor yang menyebabkan seorang anak akhirnya putus atau tidak melanjutkan sekolahnya, dan berbagai penyebab itu seringkali berkaitan. Dari berbagai faktor itu faktor ekonomi merupakan faktor yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap putus atau tidak melanjutkan sekolah. Namun demikian, faktor ekonomi ini tidak mesti berkaitan dengan ketidakmampuan orangtua membiayai anaknya ke sekolah, ini bisa merupakan akibat dari pilihan anak untuk bekerja dan mendapatkan uang. Secara rinci faktor-faktor yang menyebabkan anak putus dan/atau tidak sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Ketidakmampuan Ekonomi Terkait dengan kemiskinan, walaupun pada tingkat pendidikan dasar tidak lagi dipungut biaya, namun ada biaya-biaya yang tetap harus dikeluarkan orangtua seperti untuk seragam, buku dan biaya transportasi. Hal ini didukung hasil studi BOS yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan yang menemukan bahwa pada tahun 2006 ada 70,3 persen otangtua dari siswa SD dan SMP yang tidak membayar iuran sekolah apapun. Jumlah itu menurun pada tahun 2007 menjadi sebesar 50,9 persen dan menjadi hanya 39,6 persen pada tahun 2008. Walaupun jumlah mereka yang putus sekolah karena miskin mungkin tidak banyak, namun sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa mereka sebetulnya masih berminat untuk bersekolah. Keputusan seorang anak untuk bekerja dan tidak bersekolah dipengaruhi oleh berbagai hal yang mungkin berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Tuntutan orangtua agar anak membantu meringankan bebannya merupakan sebab putus sekolah. Hampir dapat dipastikan bahwa keluarga yang mempunyai anak yang tidak sekolah adalah keluarga miskin. Ciri-ciri kemiskinan itu tampak dari kondisi rumah, selain itu dari latar belakang keluarga anak yang tidak sekolah adalah orangtua buruh tani, mempunyai anak banyak, dan orangtua tidak lengkap. 2) Jarak dari Rumah ke Sekolah Jauh Jarak merupakan faktor lain yang menyebabkan sejumlah anak, terutama lulusan SD, tidak melanjutkan ke SMP. Ini terutama terjadi pada lokasi yang sulit atau yang tidak ada alat transportasi umumnya. Adanya SD-SMP Satu Atap cukup membantu sebagian dari mereka yang sebelumnya tidak bisa mengakses SMP. Namun, karena sekolah ini baru ada di sebagian kecil wilayah yang memerlukannya, misalnya hanya satu di setiap kecamatan, maka masih ada mereka yang tetap tidak bisa mengakses sekolah karena faktor jarak. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
6
Kebijakan lain yang diprakarsai oleh Depdiknas jauh sebelum SDSMP Satu Atap dan sekarang masih tetap dilaksanakan untuk meningkatkan akses terhadap mereka yang tidak bisa atau tidak mau bersekolah di sekolah reguler adalah dengan diadakannya SMP Terbuka, Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SMP. Sayangnya, karena program-program ini keterlaksanaannya tergantung pada adanya partisipasi anggota masyarakat yang mau melakukan sesuatu atau berkorban untuk peningkatan pendidikan pada lingkungan masyarakat di tempat tinggal mereka, maka keberadaannya di setiap lokasi yang memerlukannya menjadi tidak terjamin. Selain itu kemungkinan terjadi bahwa mereka yang menjadi target baik pendidikan kesetaraan maupun SMP Terbuka tidak mengetahui adanya lembagalembaga yang melaksanakan program itu di lingkungan mereka. 3) Opportunity Cost Hilangnya opportunity cost jika seorang anak bersekolah nampaknya lebih menjadi faktor ekonomi yang dominan yang menyebabkan seorang anak putus sekolah terutama di tingkat SMP. Banyak anak usia SMP, walaupun ada juga mereka yang di usia SD, memilih untuk bekerja dan mendapatkan uang baik untuk keperluan mereka sehari-hari maupun untuk bersenangsenang. Dalam kasus ini sekolah nampaknya kurang menarik bagi anakanak itu. 4) Kurang Memahami Manfaat Pendidikan Pengaruh teman yang juga tidak bersekolah nampaknya menjadi faktor yang sangat mempengaruhi seorang anak untuk akhirnya putus atau tidak melanjutkan sekolah. Dorongan orangtua agar mereka kembali ke sekolah, nampaknya tidak cukup kuat untuk membuat mereka berubah pikiran. Kenyataan bahwa sebagian besar orangtua mereka juga tidak lulus SD jelas sangat tidak menolong mereka untuk menjelaskan pentingnya bersekolah. Gaya hidup bersenang-senang serta bisa mendapatkan uang dengan mudah (seperti dengan cara ―ngelimbang‖ pada kasus di Kab Bangka Selatan) jelas lebih menarik pada sebagian anak yang menurut guru maupun pejabat Dinas Pendidikan, nampaknya berpendapat bahwa orang bersekolah untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan orang bekerja untuk mendapatkan uang. 5) Sekolah Tidak Menarik (Kurang Menyenangkan) Ditemukan kasus anak putus sekolah karena sering dimarahi atau ditegur gurunya. Berbagai kasus kekerasan oleh guru ke siswa dan dari siswa ke siswa yang muncul di media massa juga mengindikasikan kurang ramahnya sekolah pada anak-anak. Selain itu, kondisi sekolah tidak cukup menarik untuk sebagian anak untuk tetap belajar di situ, ditambah dengan sering absennya guru sekolah itu dan mempunyai komitmen mengajar yang rendah. Konsep sekolah yang ramah terhadap anak mungkin sekali tidak
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
7
diketahui dan kalaupun tahu guru-guru tidak mempunyai gambaran dan dukungan sehingga konsep itu bisa terwujud. 6) Lingkungan Sosial Kondisi dimana anak yang putus sekolah mempunyai teman lain yang juga putus sekolah ditemukan di semua responden anak. Ini menunjukkan kuatnya pengaruh teman ketika seorang anak memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Pengaruh teman ini diakui juga oleh sebagian besar orangtua sebagai penyebab utama putus sekolah. Selain itu banyak anak putus sekolah mempunyai orangtua yang tidak tamat SD, dan sebagian besar mempunyai saudara yang putus sekolah. Keadaan ini jelas tidak kondusif untuk terciptanya suasana yang mampu mendorong anak untuk belajar. Dalam situasi seperti ini anak-anak melihat putus sekolah adalah sesuatu yang biasa. Kondisi ini juga mengakibatkan rendahnya dukungan orangtua secara akademis ketika anak belajar di rumah. 7) Kemampuan Akademis Kemampuan akademis anak yang putus sekolah bervariasi, ada yang baik dan ada yang kurang. Namun dalam banyak kasus ditemukan lulusan SD tidak mau melanjutkan ke SMP antara lain karena memiliki kemampuan akademik yang rendah dibanding teman-teman lainnya. 8) Faktor Budaya Penyebab lain seorang anak tidak bersekolah adalah faktor budaya. Sebagai contoh adalah sejumlah besar masyarakat Sampang yang lebih menghargai pendidikan di pesantren daripada di sekolah. Pada mereka yang lebih menyukai belajar di pesantren, pendidikan non-formal setara SD (ULA) dan setara SMP (WUSTHO) juga mulai dikembangkan sejak tahun 2006. Banyaknya adat istiadat yang masih diikuti membawa dampak kurangnya perhatian orangtua terhadap pendidikan sehingga anak dapat putus sekolah, karena umumnya prioritas mereka lebih kepada adat/tradisi. Pada faktor budaya yang lebih ekstrim, dimana lembaga sekolah sama sekali ditolak, terdapat pada beberapa suku di Indonesia. Salah satunya adalah Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penolakan Suku Baduy dalam maupun luar baik terhadap lembaga pendidikan formal maupun non-formal. Walaupun ada di antara mereka yang sebetulnya berminat untuk menimba ilmu seperti anak atau orang lainnya namun ikatan adat tidak memungkinkan keinginannya itu terpenuhi. Keaksaraan fungsional yang pada beberapa tahun terakhir diusahakan oleh beberapa anggota Suku Baduy yang mempunyai keberanian untuk mengajak anak-anak untuk bisa membaca dan menulis nampaknya belum sepenuhnya didukung oleh pemerintah. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
8
Selain sebab-sebab di atas, ada berbagai sebab lain yang jelas mempengaruhi partisipasi anak dalam bersekolah namun belum dikaji secara lebih dalam oleh studi ini. Sebagai contoh, anak-anak dari suku yang berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lainnya terutama di hutan, anak-anak yang menyandang cacat atau kebutuhan khusus lainnya (misalnya karena autis dan disleksia), dan anak-anak yang hidup di jalanan dan/atau harus bekerja adalah anak-anak yang mempunyai kondisi yang sulit untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dasar. Pelaksanaan kebijakan-kebijakan seperti itu nampaknya belum optimal. Sumbangan yang diberikan untuk peningkatan partisipasi belumlah optimal. Kendala utamanya adalah ketergantungan pada partisipasi anggota masyarakat untuk mengelola pelaksanaan kebijakan-kebijakan tadi. Selain itu, informasi tentang keberadaan program-program yang berkaitan dengan penuntasan Wajar itu seringkali tidak diketahui oleh anggota masyarakat yang dituju.
3. Rekomendasi a. SD-SMP Satu Atap perlu diperbanyak, bahkan perlu dikaji untuk kemungkinan kedua sekolah itu di bawah satu manajemen, tidak hanya di daerah-daerah yang selama ini kurang terjangkau tetapi juga di daerah lain. Ini untuk mengatasi isue-isue yang berkaitan dengan rendahnya transisi dari SD ke SMP. Dijadikannya dua sekolah itu menjadi satu manajemen bisa membantu menyederhanakan sistem penerimaan siswa SMP dan diduga akan lebih menjamin keberlanjutan lulusan SD ke SMP. b. Perluasan lembaga pendidikan dasar akan menjadi sangat mahal jika dalam satu lembaga hanya terdapat sedikit siswa karena rasio guru:siwa menjadi sangat kecil. Untuk mengatasi hal itu perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan pendekatan multi-grade teaching. Dengan pendekatan ini guru diharapkan akan memperoleh bekal kemampuan dan sarana penunjang yang relevan untuk mengajar siswa-siswa lebih dari satu kelas yang berbeda. c. Pengembangan sekolah yang ramah terhadap anak yang juga lebih inklusif perlu dilakukan agar anak merasa nyaman dan bisa berpartisipasi dalam belajar. Anak-anak yang selama ini putus sekolah karena ‘malas‘, ‘bodoh‘, atau cacat diharapkan menjadi lebih betah di sekolah karena sekolah lebih aman dan nyaman bagi anak serta dengan guru-guru yang bisa mengakomodasi perbedaan yang ada. Sekolah yang lebih ramah anak dan inklusif ini juga bisa mencegah putus sekolah pada kelas-kelas awal. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa sebagian besar anak-anak di pedesaan tidak menempuh pendidikan prasekolah sebelum masuk ke SD sehingga kesiapan belajar (school readiness) mereka rendah. Pengembangan sekolah agar lebih inklusif dan ramah terhadap anak merupakan agenda UNESCO yang didukung oleh banyak negara, termasuk Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
9
Indonesia. Inisiatif itu perlu dikembangkan untuk menjamin tidak ada anak yang ter-ekslude dari sistem pendidikan serta persekolahan yang ada. Beberapa ‘sekolah inklusif‘ telah mulai dikembangkan dengan difasilitasi oleh Depdiknas, dalam hal ini Direktorat Pembinaan SLB. Pengembangan pendidikan inklusif dan ramah anak pada sekolah-sekolah dengan sumberdaya yang terbatas merupakan tantangan yang perlu dijawab dengan studi pengembangan melibatkan berbagai pihak. d. Untuk mendukung multi-grade teaching, sekolah yang ramah anak dan inklusif, dukungan pemerintah kepada guru dengan wujud misalnya pelatihan, sarana-prasarana, peningkatan kesejahteraan, dan penyediaan informasi yang terus menerus (misalnya dengan teknologi informasi dan komunikasi) mutlak diperlukan. e. Pada suku-suku terasing, program keaksaraan fungsional perlu lebih digalakkan bekerjasama dengan anggota masyarakat yang mempunyai minat dan akses untuk berhubungan dengan suku-suku tersebut. Berbagai dukungan terhadap mereka, misalnya buku-buku, harus dijamin penyediaannya sehingga orang-orang seperti seorang anggota Suku Baduy luar yang mengajar anak-anak sukunya membaca dan menulis serta Butet Manurung (yang mengajar anak-anak rimba di Jambi) menjadi lebih mudah menjalankan tujuan mulia mereka. f. Studi ini menfokuskan pada anak-anak yang putus sekolah di wilayah pedesaan. Walaupun anak-anak yang putus sekolah lebih banyak pada mereka yang tinggal di pedesaan, namun tidak berarti mereka yang putus sekolah di perkotaan yang karena jumlahnya sedikit menjadi tidak perlu diperhatikan. Anak-anak yang bekerja baik di jalanan maupun di tempat lain yang banyak di antaranya tidak bersekolah adalah bukti nyata adanya sebagian anak yang tidak terjangkau pelayanan pendidikan dasar. Selain itu anak-anak-anak yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus baik karena menyandang kelainan atau mempunyai kesulitan belajar khusus (misalnya autis dan disleksia) bisa terdapat baik di kota maupun di desa. Studi pada kelompok-kelompok itu sangat diperlukan untuk mengetahui mengapa dan bagaimana mereka tidak bersekolah, putus atau tidak melanjutkan sekolah.
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
10
Pengkajian Pelaksanaan Pendidikan “Gratis” di Beberapa Daerah di Indonesia
1. Pendahuluan Pemberlakukan wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar (Wajar Dikdas) berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Hal tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45), Amandemen ke-4 pasal 31 ayat (2) yang berbunyi: ―Setiap Warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya‖. Amanat UUD 45 tersebut ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dalam beberapa pasal antara lain Pasal 34 ayat (2): ―Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Dalam upaya mewujudkan amanat undang-undang tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menuangkan secara rinci ke dalam kebijakan dan program. Di tingkat Pusat, pemerintah menetapkan kebijakan pendanaan massal pendidikan dengan meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan BOS Buku pada jenjang Dikdas. BOS dimaksudkan untuk menutup biaya minimal operasi pembelajaran yang secara minimal memadai untuk menciptakan landasan yang kokoh bagi upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan. Dengan kebijakan BOS tersebut, pemerintah akan mewujudkan ―pendidikan dasar gratis‖, yang diartikan sebagai bebas biaya secara bertahap (Renstra Depdiknas 2005-2009, hal. 21). Penyelenggaraan pendidikan bebas pungutan juga banyak direspon oleh berbagai kebijakan di daerah, terlebih sejak diberlakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat, banyak kontestan yang memanfaatkan isu pendidikan murah dan gratis agar mendapat simpati pemilih. Beberapa kepala daerah yang sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan kebijakan sekolah gratis. Berkaitan dengan tuntutan konstitusi tentang pendidikan bebas pungutan dan kondisi atau fakta yang ditemukan di lapangan, selama ini belum terhimpun informasi secara sistematis tentang model-model kebijakan pendidikan gratis yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Padahal informasi ini sangat berguna bagi pemerintah khususnya Depdiknas sebagai bahan dalam penetapan kebijakan tentang pendidikan dasar bebas pungutan.
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
11
Pengkajian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama tahun 2008, bertujuan untuk memperoleh informasi tentang model-model pelaksanaan pendidikan gratis di kabupaten/kota, dan mengkaji dampak penerapan pendidikan gratis di tingkat sekolah dan orangtua. Pengkajian tahap kedua pada tahun 2009 dikembangkan model pendidikan gratis, termasuk sharing pendanaan pendidikan antara pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota dalam rangka mewujudkan pendidikan gratis yang bermutu. Studi ini menggunakan dua bentuk metode penelitian, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi fenomena pendidikan gratis melalui pendekatan studi kasus, yaitu menelaah secara mendalam segala aspek kebijakan pendidikan gratis di beberapa kabupaten/kota yang telah menjalankan kebijakan pendidikan gratis. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan melalui survey ke sekolah-sekolah dan orangtua siswa. Kabupaten/kota yang dijadikan lokasi penelitian dipilih secara purposif dengan kriteria, (i) telah melaksanakan kebijakan Dikdas gratis selama lebih dari satu tahun; (ii) memiliki kemampuan keuangan daerah dari berbagai kategori (rendah, sedang, tinggi) berdasarkan indikator kapasitas fiskal; (iii) tersebar di wilayah kawasan Indonesia bagian Barat, Timur, dan pulau Jawa. Berdasarkan kriteria tersebut terpilih 11 kab/kota, yaitu: Kab. Bengkalis, Kab Indragiri Hulu, Kab. Musi Banyuasin (Muba), Kab. Bantul, Kab. Sukohardjo, Kota Pekalongan, Kab. Kutai Kartanegara, Kota Balikpapan, Kab. Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Kab. Gowa, dan Kab. Sumbawa Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengisian angket, studi dokumen, dan focus group discussion (FGD). Responden yang dipilih adalah pengelola program pendidikan gratis di Bappeda, dan Dinas Pendidikan, serta kepala sekolah dan orangtua. Data dan informasi yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Alat pengumpul data yang digunakan adalah Panduan Wawancara dan Daftar Kebutuhan Data Sekunder. Panduan Wawancara terdiri dari enam jenis, yaitu: a. b. c. d. e. f.
Panduan Wawancara Dinas Pendidikan Provinsi Panduan Wawancara Bappeda Provinsi Panduan Wawancara Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota Panduan Wawancara Bappeda Kabupaten/Kota Panduan Wawancara Kepala Sekolah, Panduan Wawancara Orangtua Siswa.
Analisis data ditinjau dari jenis data yang tersedia, untuk jenis data kuantitatif, digunakan metode analisis statistik deskriptif, sedangkan untuk jenis data kualitatif dipakai metode deskriptif kualitatif.
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
12
2. Temuan 2.1 Model Pelaksanaan Pendidikan Gratis di Kabupaten/Kota 2.1.1
Pengertian Pendidikan Gratis
Ada dua garis besar pengertian tentang pendidikan gratis yang diberikan oleh kab/kota yang melaksanakan pendidikan gratis, yaitu: 1) Pelayanan pendidikan tanpa pembebanan pembayaran kepada orangtua/wali siswa, karena pemerintah telah memberi subsidi pengganti segala jenis pungutan yang semula dibebankan kepada orangtua/siswa. Dengan demikian siswa dibebaskan dari segala jenis pungutan oleh sekolah atau sekolah tidak boleh lagi memungut biaya kepada orangtua/siswa. 2) Bantuan biaya pendidikan bagi siswa atau pendidikan bersubsidi. Daerah yang memberikan pengertian tersebut, tidak secara tegas mengeluarkan peraturan yang melarang sekolah memungut biaya kepada orangtua/siswa, sehingga masih memungkinkan adanya pungutan di sekolah-sekolah. Namun demikian, adanya subsidi pendidikan diharapkan dapat membantu meringankan orangtua dalam membiayai sekolah anaknya. 2.1.2
Dasar Hukum Pelaksanaan
Dasar hukum pelaksanaan pendidikan gratis yang ditetapkan oleh pemerintah daerah cukup beragam, dari mulai tidak secara tegas menetapkan peraturan tertulis sampai pada penetapan dengan Peraturan Daerah (Perda). Daerah yang tidak menetapkan peraturan tertulis disebabkan pembebasan biaya di sekolah hanya merupakan himbauan dengan alasan setelah adanya BOS dari Pusat dan tambahan bantuan operasional sekolah dari Pemda, diharapkan dana sekolah mencukupi untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Sedangkan bagi daerah yang secara tegas melarang sekolah untuk memungut biaya kepada orangtua/siswa, pada umumnya menetapkan peraturan tertulis melalui Surat Keputusan (SK) Bupati/Walikota, Peraturan Bupati/Walikota, dan/atau Perda. 2.1.3
Tujuan Program Pendidikan Gratis
Tujuan program pendidikan gratis yang ditetapkan kab/kota adalah satu atau kombinasi dari tujuan berikut ini. 1) Membebaskan biaya sekolah pada satuan dan status pendidikan yang menjadi sasaran program; 2) Meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan pendidikan;
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
13
3) Memperluas akses pendidikan untuk mempercepat penuntasan program Wajar Dikdas 9 tahun dan mewujudkan pendidikan berkualitas, termasuk mengurangi angka putus sekolah dan meningkatkan APM/APK; 4) Meningkatkan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan; 5) Meningkatkan manajemen pendidikan untuk mewujudkan standar biaya pendidikan dan pendidikan bermutu. 2.1.4
Sasaran
Sasaran program pendidikan gratis bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu (i) satuan pendidikan; dan (ii) kelompok masyarakat. Ditinjau dari satuan pendidikan, sasarannya bisa satu atau gabungan berikut ini, 1) TK+RA negeri, atau negeri & swasta; 2) SD+MI negeri, atau negeri & swasta; 3) SMP+MTs negeri, atau negeri & swasta; 4) SMA+MA+SMK negeri, atau negeri & swasta. Ditinjau dari kelompok masyarakat, sasaran program pendidikan gratis adalah: 1) Hanya kelompok masyarakat miskin yang dibuktikan dengan kartu atau surat keterangan; 2) Semua siswa pada satuan pendidikan yang menjadi sasaran program. 2.1.5
Jenis Pembiayaan dan Besaran Biaya
Sebagai konsekuensi dari pemberlakuan pendidikan gratis, beberapa daerah menganggarkan biaya dalam bentuk salah satu atau kombinasi berikut ini. 1) Tambahan Biaya Operasional Sekolah Kebutuhan operasional sekolah di daerah yang memberlakukan pendidikan gratis, selain dipenuhi oleh pemerintah Pusat melalui BOS, juga ditambahkan dari anggaran daerah. Satuan biaya yang dipakai adalah: (i) biaya satuan per siswa per bulan atau per tahun (seperti BOS); dan/atau (ii) biaya satuan per sekolah per bulan atau per tahun. Selain kedua jenis biaya tersebut, sebagian daerah ada yang merinci menurut penggunaannya seperti subsidi uang pangkal, biaya SPP/komite, ulangan semester, ujian akhir, dll. Sebagian daerah memberikan tambahan operasional berdasarkan Rencana Program
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
14
Sekolah (RPS) atau Rencana Anggaran dan Program Belanja Sekolah (RAPBS). Besar tambahan biaya operasional sekolah dari anggaran daerah cukup beragam, yaitu: (1) TK/RA negeri: Rp 10.000 s.d. 15.000 per siswa/bulan; Sebagian daerah memberikan Rp 17 s.d. 22 juta per sekolah; (2) SD/MI negeri dan swasta: Rp 2.500 s.d. 17.500 per siswa/bulan; Sebagian daerah memberikan Rp 125.000 s.d. 150.000 per siswa/tahun; Daerah lain memberikan Rp 4.600.000 s.d. 15.000.000 per sekolah/tahun; Selain itu, sebagian daerah memberikan dana menurut komponen penggunaan, yaitu: bantuan siswa baru Rp 10.000 per siswa/tahun, ulangan semester Rp 11.000 per siswa/ semester, ujian akhir Rp 25.000 per peserta, dan bimbingan belajar Rp 20.000 per siswa/tahun; (3) SMP/MTs negeri dan swasta: Rp 3.500 s.d. 30.000 per siswa/bulan; Rp. 200.000 s.d. 575.000 per siswa/tahun; Sebagian daerah memberikan Rp 5 juta s.d. 40 juta per tahun; Daerah lain memberikan Rp 2 juta per rombongan belajar; (4) SMA/MA/SMK negeri dan/atau swasta: Rp 21.250 s.d. 125.000 per siswa/bulan; Sebagian daerah memberikan Rp 900.000 s.d. 1.020.000 per siswa/tahun; Daerah lain memberikan Rp 13 juta s.d. 110 juta per sekolah/tahun. 2) Bantuan Siswa Miskin Bantuan siswa miskin diberikan dalam berbagai bentuk yaitu beasiswa, bantuan kelengkapan sekolah dan transportasi, pembebasan biaya di sekolah, dan subsidi retrival. Besar bantuan dana yang diberikan cukup beragam, yaitu: (1) SD/MI: Rp 25.000 per siswa miskin/bulan; Rp 240.000 s.d. 300.000 per siswa miskin/tahun; bantuan uang pangkal di sekolah swasta Rp 300.000 per siswa miskin per tahun. (2) SMP/MTs: Rp. 35.000 per siswa miskin/bulan; Rp. 300.000 s.d. 419.000 per siswa/tahun; bantuan uang pangkal siswa miskin di sekolah swasta Rp 600.000 per siswa miskin per tahun; subsidi retrival Rp 1 juta/siswa miskin/tahun. (3) SMA/MA/SMK: Rp 50.000 s.d. 55.000 per siswa miskin/bulan; Rp 300.000 per siswa miskin/tahun; bantuan uang pangkal di sekolah swasta Rp 800.000 s.d. Rp 1 juta per siswa miskin/tahun dan subsidi retrival Rp 1 juta per siswa miskin/tahun. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
15
(4) Sebagian daerah memberikan dalam bentuk perlengkapan sekolah seperti buku dan pakaian seragam. 3) Tunjangan Kesejahteraan Tenaga Pendidik dan Kependidikan Besar tunjangan kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan dibedakan menurut salah satu atau kombinasi dari komponen berikut: satuan pendidikan, tempat tugas (terpencil atau tidak), status PNS atau Non PNS, pangkat/golongan, dan profesi/jenis tugas (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, pustakawan, staf TU, satpam, dll). Insentif pada umumnya diberikan setiap bulan yang besarnya bervariasi dari Rp 75.000 hingga Rp 850.000. Selain dalam bentuk insentif per bulan, sebagian daerah memberikan insentif dalam bentuk lain yaitu menurut jumlah jam mengajar, uang makan harian, dll. 4) Bantuan Buku Dari 11 kab/kota yang disurvey, hanya dua kabupaten yang mengalokasikan dana untuk bantuan buku. Dalam memberikan bantuan buku, kabupaten tertentu ada yang merinci menurut jumlah judul buku per siswa per tahun, namun ada juga yang hanya mengalokasikan dana untuk pembelian buku teks pelajaran, dan buku referensi di perpustakaan. 2.1.6
Mekanisme Penyaluran Dana
Penyaluran dana pendidikan gratis diatur menurut jenisnya. Dana tambahan operasional sekolah umumnya disalurkan langsung ke rekening sekolah (seperti BOS). Tunjangan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan umunya langsung diambil ke kantor Bagian Keuangan Setda atau Dinas Pendidikan yang dikoordinir oleh kepala sekolah/bendahara. Bantuan siswa miskin umumnya dikirim kepada siswa yang dikoordinir oleh sekolah atau diberikan kepada sekolah untuk menambahkan biaya operasional sekolah, sehingga siswa miskin bisa sekolah dengan gratis. Sementara itu, untuk bantuan berupa barang seperti buku dan perlengkapan sekolah bagi siswa miskin, mekanisme penyaluran langsung diberikan oleh Pemda yang dikoordinir oleh sekolah. Untuk lebih jelasnya, model pelaksanaan pendidikan gratis di sebelas Kabupaten/Kota yang disurvey secara ringkas disajikan pada Tabel 1.
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
14 Tabel 1. Model Pelaksanaan Pendidikan Gratis Di Kabupaten/Kota (Menurut Bunyi Dasar Hukumnya) No 1
Pengertian Pembebasan dan pelarangan segala jenis pungutan oleh sekolah terhadap orangtua
Dasar Hukum (selain ketentuan BOS) Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Bupati/ Walikota tentang Pelayanan Pendidikan Gratis (Pembebasan & pelarangan pungutan)
Sasaran Satuan Pendidikan Bebas SD/MI s.d. SM b)
Jenis c) 1. Operasional;
Komponen yang Dibiayai Satuan Besar (Rp) - Rp/siswa/thn;
- Rp/sekolah/thn;
Bebas SD/MI s.d. SMP/MTs b) Bebas SD/MI b) 2. Insentif guru;
- Kombinasi keduanya - Rp/orang/bulan
3. Bantuan siswa miskin d) - Rp/siswa/thn; - Perlengkapan sekolah 4. Buku teks pelajaran 2
Subsidi pendidikan (tidak secara tegas membebaskan dan melarang pungutan)a)
Ket:
a) b) c) d)
e)
Peraturan Bupati/ Walikota tentang Subsidi Pendidikan
SD : 30.000 – 720.000 SMP : 42.000 – 1.720.000 SM : 252.500 – 1.500.000 ada 2 pola: - menurut RAPBS; - - menurut satuan dan tipe sekolah
- Block grant ke sekolah;
- sama utk semua sat dik; - berbeda berdasarkan sat dik dan lokasi SD: 240.000 – 300.000 SMP: 300.000 – 600.000 SM: 300.000 – 600.000
- Diambil ke Bag Keu Setda, atau kantor Disdik
- judul buku/siswa /thn
SD/MI s.d. SM (untuk SD/MI gratis)
SD/MI s.d. SM (untuk SD/MI SMP/MTs gratis) Walaupun namanya subsidi tetapi bagi jenjang tertentu di kab tertentu sudah mencukupi, sehingga dapat menggratiskan pendidikan Ada yang negeri saja dan ada yang negeri dan swasta Bisa semua atau bisa sebagian jenis biaya pada satu Kab/Kota Siswa miskin selain bebas pungutan, masih mendapatkan beasiswa, yang dapat berbentuk uang tunai atau perlengkapan sekolah. Sekolah menerima uang tunai dari Pemda, kemudian membelikan perlengkapan bagi siswa miskin. Untuk Kab/Kota di Prov. Riau dan Prov. Sulsel, mendapat tambahan dana dari APBD provinsi, dan untuk Sulsel PerGub juga melarang pungutan.
Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Meknisme Penyaluran
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
15 2.2 Profil Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Pendidikan Gratis Pendidikan gratis tidak hanya dilaksanakan oleh daerah kaya, namun juga oleh daerah kurang kaya (ditinjau dari kapasitas fiskal, dan APBD). Dalam pelaksanaannya, memang terdapat perbedaan alokasi anggaran yang disediakan oleh Pemda, yaitu menyangkut jenis dan besar komponen biaya pendidikan yang disediakan Pemda sebagai kompensasi pelaksanaan pendidikan gratis. Namun demikian, faktor yang sebenarnya paling menentukan sehingga daerah ―berani‖ menerapkan pendidikan gratis adalah kuatnya komitmen pimpinan daerah terhadap pendidikan. Keputusan pengalokasian dana pendidikan untuk menunjang program pendidikan gratis cukup bervariasi baik dari sisi komponen yang digratiskan maupun jumlah nominal dana per komponen pembiayaan. Besaran dana per komponen tersebut, selain mempertimbangkan kondisi keuangan Pemda tetapi juga mempertimbangkan besarnya jumlah siswa di kabupaten/kota tersebut. Sumber PAD kabupaten/kota yang melaksanakan pendidikan gratis cukup bervariasi. Untuk daerah yang cukup kaya umumnya dipenuhi dari pembagian keuntungan hasil eksplorasi SDA terutama minyak bumi dan gas (Migas). Daerah tersebut adalah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sedangkan sumber PAD di daerah lain yang tidak terlalu kaya umumnya diperoleh dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil produksi pertanian. Besarnya PAD kabupaten/kota yang melaksanakan pendidikan gratis berkisar dari yang paling rendah Rp21,272,865,687 (Kota Pekalongan) hingga yang paling tinggi Rp 819,636,927,164 (Kabupaten Indragiri Hulu). Kabupaten/kota yang memiliki PAD rendah, sumber utama untuk pemenuhan kebutuhan belanja daerah masih sangat tergantung pada dana yang disediakan oleh pemerintah Pusat melalui dana perimbangan, DAU, dan DAK. Belanja daerah dan belanja pendidikan terkait dengan besarnya penerimaan yang diperoleh pemerintah daerah. Semakin tinggi penerimaan daerah, akan semakin tinggi belanja daerahnya, termasuk di dalamnya belanja untuk sektor pendidikan. kebijakan alokasi anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen sebenarnya perlu ditinjau kembali serta dilengkapi dengan berbagai persyaratan kriteria yang mengakomodasi adanya perbedaan kemampuan fiskal daerah, jumlah penduduk dan siswa yang dilayani, serta komponen biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung pemerintah. Berdasarkan indikator APK dan APM, kinerja pendidikan kabupaten/kota yang melaksanakan pendidikan gratis menunjukan bahwa pada tingkat SD/setara belum semuanya mencapai target nasional. Bila dibandingkan dengan rerata nasional, angka pencapaian APK dan APM di
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
16 kab/kota yang melaksanakan pendidikan gratis masih banyak yang berada di bawah angka rerata nasional. 2.3 Dampak Kebijakan Pendidikan Gratis Di Tingkat Sekolah Kepala sekolah berpendapat bahwa kebijakan pendidikan gratis di tingkat sekolah berpengaruh terhadap berbagai aspek pembelajaran dan manajemen sekolah, yaitu: 1) Dalam aspek pembiayaan, di Kab/Kota yang memberlakukan pendidikan gratis secara ketat, semua kepala sekolah tidak berani lagi memungut biaya pendidikan kepada siswa, walaupun banyak yang mengeluhkan bahwa kebutuhan biaya operasional riil-nya lebih besar dari kompensasi dana yang diberikan oleh Pemerintah. Dalam memenuhi kebutuhan biaya sekolah, kepala sekolah banyak yang mengusulkan agar diterapkan ―subsidi silang‖ yakni membebaskan biaya sekolah bagi siswa yang tidak mampu, sedangkan bagi orangtua yang mampu tetap diminta partisipasinya untuk membantu biaya sekolah. 2) Dalam aspek partisipasi anak bersekolah, tampak adanya peningkatan jumlah calon siswa yang mendaftar dan penurunan angka putus sekolah (DO). 3) Dalam aspek kondisi sarana dan prasarana, pengaruh positif hanya ditemukan pada daerah yang dalam menerapkan kebijakan pendidikan gratisnya menyertakan alokasi anggaran yang cukup besar untuk pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana sekolah. 4) Dalam aspek pelaksanaan PBM, pendidikan gratis memberikan pengaruh positif karena kebutuhan dana operasional telah dipenuhi oleh Pemerintah. 5) Dalam aspek profesionalisme guru, tidak tampak adanya pengaruh pendidikan gratis secara langsung. 6) Dalam aspek kegiatan ekstrakurikuler, pada daerah-daerah yang melarang sekolah melakukan pungutan padahal dana yang diberikan Pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai operasional sekolah, lebih memilih mengurangi kegiatan ekstrakurikuler . 7) Dalam hal partisipasi orangtua terhadap program sekolah, secara umum tidak nampak perubahan yang berarti. 2.4 Dampak Kebijakan Pendidikan Gratis Di Tingkat Orangtua Menurut pandangan orangtua, pendidikan gratis cukup positif dalam membantu meringankan beban biaya pendidikan. Orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri hampir semua menyatakan bahwa sekolah sudah tidak lagi memugut biaya untuk keperluan operasional
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
17 penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta sebagian besar menyatakan masih ada beberapa jenis pungutan dari sekolah untuk menutupi kekurangan biaya operasionalnya. Selain itu, orangtua juga menyatakan bahwa pendidikan gratis dapat meningkatkan aktivitas belajar anak di sekolah dan di rumah. Kendala-kendala yang dihadapi oleh kab/kota sampel yang belum menerapkan pendidikan gratis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. No 1
Kab/Kota Kota Tangerang
2
Kab Tasikmalaya
3
Kab Brebes
4
Kab Lebak
5
Kab Blora
6
Kab Karanganyar
Alasan belum menerapkan Pendidikan Gratis Perlu kajian khusus untuk menentukan komponen biaya yang termasuk dalam kriteria gratis; Dengan adanya standar minimal biaya operasional satuan pendidikan dari BNSP, maka perlu ada tambahan biaya diluar BOS; Perlu dihitung secara cermat rata-rata BOSP tiap jenjang pendidikan; Kemampuan APBD masih terbatas dlm memberikan kompensasi kepada sekolah untuk menerapkan kebijakan biaya pendidikan gratis, karena berdasarkan analisa sementara sebagian besar pungutan di sekolah untuk menutupi pengeluaran kesejahteraan pegawai; Kota tangerang sudah menghitung BOSP rata-rata tiap jenjang pendidikan dan akan dipergunakan untuk menjadi landasan kebijakan dalam menentukan besaran BOSP. Keterbatasan anggaran/APBD (khususnya sumber PAD) Prioritas masih pada pembangunan infrastruktur setelah pengembangan Kab Tasikmalaya menjadi Kota dan Kabupaten. Pendidikan gratis dikhwatirkan menurunkan standar pelayanan minimum (SPM) dan kualitas pendidikan. Kemampuan APBD terbatas; Belum adanya dukungan dari provinsi. Dana APBD belum mampu mendukung pembiayaan pendidikan gratis; Berdasarkan hasil perhitungan, kebutuhan dana untuk pendidikan gratis wajar dikdas dalam satu tahun mencapai Rp 49.718.040.000, dukungan dari BOS Rp 32.718.040.000, sehingga masih kekurangan Rp 17.000.000.000; Pendapatan asli daerah Rp 32.416.000.000 apabila dipergunakan untuk menutupi kekurangan tersisa Rp 15.416.000.000 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan SKPD lain. Terbatasnya kemampuan keuangan daerah.
3 Rekomendasi Dalam melaksanakan pendidikan gratis, disarankan: 1) Pemerintah Pusat perlu merumuskan beberapa model pendidikan gratis sebagai acuan bagi Pemda yang disesuaikan dengan kelompok karakteristik Kabupaten/Kota, antara lain ditinjau dari tingkat kemampuan keuangan daerah dan jumlah siswa yang dilayani. Komponen model setidaknya meliputi pengertian pendidikan gratis, tujuan, dasar hukum pelaksanaan, sasaran, komponen dan besaran biaya, mekanisme pendanaan, monitoring dan evaluasi. Saran ini akan ditindaklanjuti pada
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
18 tahun 2009 melalui kegiatan pengembangan model pendidikan gratis yang bermutu. 2) Pemerintah Pusat bersama Provinsi dan Kab/Kota perlu merumuskan pola dan mekanisme sharing pendanaan pendidikan gratis dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah (mampu dan kurang mampu). 3) Pemda perlu menetapkan perangkat peraturan dan panduan pelaksanaan di daerahnya masing-masing setelah memastikan model pendidikan gratis yang akan diimplementasikan di daerahnya. 4) Pemerintah dan Pemda perlu mensosialisasikan pendidikan gratis ke seluruh stakeholder pendidikan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
19
Studi Efektivitas Pelaksanaan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tunai
1. Pendahuluan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Ke-empat Pasal 31 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib menyelesaikan pendidikan minimal setingkat pendidikan dasar. Pada bagian lain dari undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai pendidikan dasar. Adanya kebijakan pemerintah tentang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang merupakan program untuk memenuhi amanat perundangundangan tersebut dan dalam rangka meringankan beban orangtua siswa dalam membiayai pendidikan anak mereka, memerlukan dana yang besar. Apalagi target penuntasan program Wajar tersebut telah ditetapkan akan dicapai pada tahun 2008/2009 dengan indikator Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI mencapai 95 persen dan Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs adalah 95 persen yang dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2006. Keterbatasan anggaran yang tersedia menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk mengalokasikan dana pendidikan secara bertahap. Salah satu program tersebut adalah pemberian bantuan dana ke lembaga pendidikan formal penyelenggara pendidikan dasar baik negeri maupun swasta untuk keperluan biaya operasional di lembaga pendidikan masing-masing yang disebut dengan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS telah dilaksanakan mulai tahun pelajaran 2005/2006. Pada tahun 2005/2006, secara keseluruhan terdapat sebanyak 170.872 SD/MI dengan jumlah siswa 28.978.965 orang dan 36.351 SMP/MTs dengan jumlah siswa 10.295.348 orang. Besar dana BOS yang diberikan untuk SD/MI adalah Rp235.000 dan untuk SMP/MTs adalah Rp324.500 per siswa per tahun. Pada tahun 2006/2007, besar dana BOS ditingkatkan menjadi Rp 254.000 per siswa per tahun untuk SD/MI/Salafiyah Ula dan Rp354.000 untuk SMP/MTs/Salafiyah Wustha. Lembaga sasaran BOS mulai tahun ajaran 2007/2008 ini diperluas dengan SMP Terbuka reguler, Tempat Kegiatan Belajar (TKB) Mandiri, dan Madrasah Diniyah Formal yang juga menyelenggarakan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (Dikdasmen dan Depag, 2007). Secara umum studi ini bertujuan untuk menghasilkan alternatif bahan kebijakan dalam meningkatkan efektivitas Program BOS pada jenjang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
20 pendidikan dasar. Secara khusus studi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang: 1) Efektifitas substansi pemberian dana BOS pada jenjang pendidikan dasar; 2) Efektivitas manajemen pelaksanaan Program BOS di tingkat pendidikan dasar; dan 3) Dampak pemberian BOS Tunai terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam membiayai pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei dengan sasaran utama kepala sekolah dan orangtua murid. Sedangkan pendekatan kualitatif lebih ditujukan pada pengambil kebijakan di daerah, Tim Manajemen BOS pusat, kabupaten/kota dan propinsi, dan orangtua siswa. Populasi studi ini adalah SD dan SMP yang menerima dana BOS Tunai baik negeri maupun swasta. Pada tahun 2007 jumlah siswa SD yang dialokasikan untuk menerima dana BOS adalah 26.046.328 orang, sedangkan untuk SMP adalah 9.111.160 orang. Pada tahun 2008 jumlah siswa SD yang dialokasikan akan menerima dana BOS berdasarkan data siswa tahun ajaran 2007/2008 adalah 26.744.239 orang dan tahun ajaran 2008/2009 diperkirakan sejumlah 26.980.404, sedangkan untuk SMP adalah 8.852.030 (2007/2008) dan 9.178.086 (2008/2009) (Mandikdasmen, 2008). Sampel ditentukan dengan metode cluster stratified sampling. Sampel ditetapkan dalam 2 strata. Mula-mula ditentukan sampel kabupaten/kota dengan cara mengelompokkan kabupaten/kota ke dalam beberapa cluster kabupaten/kota sejenis. Di masing-masing kabupaten/kota sampel, dipilih SD dan SMP sampel. Sedangkan sampel orangtua dipilih di masing-masing sekolah berdasarkan keterwakilan kelas. Provinsi sampel yang terpilih adalah Banten, Gorontalo, Papua Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumater Utara. Pemilihan sampel kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan tingkat kemiskinan setiap kabupaten/kota yang ditunjukkan oleh persentase penduduk miskin. Di setiap daerah dipilih sebanyak 24 sekolah sampel yang terdiri dari sekolahsekolah jenjang pendidikan dasar. Pemilihan sampel sekolah juga mempertimbangkan lokasi sekolah yang dapat memenuhi kriteria perkotaan dan pedesaan serta jumlah siswa yang terdaftar di sekolah tersebut (school size). Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif evaluatif, yaitu menggambarkan, melihat kecenderungan atau menyajikan informasi yang diperoleh kemudian membandingkannya dengan ketentuan atau pedoman yang telah ada.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
21
2. Temuan 2.1 Efektivitas Pemberian Dana BOS 2.1.1
Peranan BOS dalam Mengurangi Beban Orangtua Siswa
Peran BOS dalam mengurangi beban orangtua siswa dapat dilihat dari berkurangnya beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh orangtua siswa melalui berkurangnya berbagai iuran yang dibayarkan orangtua siswa ke sekolah. Pembahasan pada bagian ini mencakup pembahasan mengenai banyaknya jenis iuran dan besaran nilainya yang dikaitkan dengan jenis sekolah, status sekolah, pendapatan orangtua siswa, dan kuantil kemiskinan kabupaten/kota. 1) Banyaknya Jenis Iuran Berdasarkan informasi dari orangtua siswa pada studi sebelumnya (Puslitjaknov, 2006; Puslitjaknov, 2007), terungkap bahwa persentase orangtua siswa yang tidak diminta membayar biaya sekolah1 (banyaknya jenis jenis iuran 0) pada tahun 2006/2007 adalah lebih rendah dari persentase pada tahun sebelumnya, yaitu dari 70,3 persen pada tahun 2005/2006 menjadi 50,9 persen pada tahun 2006/2007; dan dari studi ini, pada tahun 2007/2008 persentase orangtua siswa yang bebas iuran ini juga mengalami penurunan yakni menjadi 39,6 persen. Persentase orangtua siswa dengan banyak jenis iuran satu atau lebih tampak cenderung meningkat dari persentase satu tahun sebelumnya. Perkembangan persentase banyak jenis iuran demikian mengindikasikan bahwa beban biaya pendidikan yang ditanggung orangtua siswa tahun terakhir ini lebih tinggi daripada beban biaya satu tahun sebelumnya. Apabila dibedakan berdasarkan jenis sekolah, persentase orangtua siswa yang bebas iuran menyatakan tidak diminta membayarkan iuran ke sekolah (bebas iuran) di SD, 48,5%, adalah lebih besar dibandingkan dengan persentasenya di SMP, 26,3%. Persentase orangtua siswa dengan banyaknya iuran lebih dari satu jenis di SMP lebih tinggi dibandingkan dengan di SD. Kebutuhan biaya di SMP memang lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan biaya di SD. Meningkatnya banyaknya jenis iuran ini tampaknya merupakan gejala umum terkait dengan meningkatnya RAPBS sekolah yang diantaranya dapat disebabkan oleh makin tingginya kebutuhan biaya 1
Dalam analisis, orangtua siswa yang menuliskan 0 pada item jawaban mengenai besarnya iuran yang dibayarkan ke sekolah diinterpretasikan sebagai tidak diminta bayaran pada jenis iuran yang bersangkutan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
22 operasional di masing-masing sekolah sesuai dengan kenaikan berbagai barang kebutuhan operasional. 2) Jenis-jenis Iuran yang Dibayarkan ke Sekolah Penarikan berbagai iuran dari sekolah kepada orangtua siswa sangat beragam antar sekolah. Ada sekolah yang meminta biaya untuk komponen iuran tertentu, ada pula yang tidak, bahkan ada sekolah yang tidak memungut biaya apapun kepada orangtua siswa. Iuran komite merupakan komponen biaya yang dipungut oleh paling banyak sekolah pada tiga tahun terakhir, yang kemudian diikuti oleh komponen pendaftaran siswa baru dan uang perpisahan. Persentase sekolah yang menarik uang komite menurun drastis setelah tahun pertama Program BOS, yaitu 50,3 persen pada tahun 2004/2005 menjadi 31,2 persen pada tahun 2005/2006, yang kemudian sedikit meningkat pada tahun 2006/2007 menjadi 33,8 persen. Pada tahun 2007/2008 persentase sekolah yang menarik iuran bulanan ini, yaitu sebesar 32,4 persen, cenderung tidak berubah dibandingkan dengan tahun 2006/2007. Penurunan yang drastis dari masa sebelum BOS juga terjadi pada iuran untuk pendaftaran siswa baru, yaitu dari 39,8 persen sebelum BOS menjadi 28,3 persen tahun pertama BOS dan 24,5 persen pada tahun kedua BOS. Adapun pada tahun 2007/2008 terjadi kenaikan menjadi 26,9 persen. Iuran-iuran itu ada yang peruntukannya tertentu dan ada pula yang dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan. Iuran yang peruntukannya jelas adalah iuran untuk buku teks, LKS, les, kursus komputer, dan kegiatan ekstra-kurikuler lainnya. Iuran yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan yang tidak spesifik adalah iuraniuran pendaftaran siswa baru, pendaftaran ulang, dan iuran komite sekolah. 3) Iuran Bulanan Iuran bulanan, yang dikenal juga sebagai iuran komite atau SPP, merupakan isu penting sehubungan dengan program BOS. Tanpa mengecilkan biaya lainnya, pembayaran iuran bulanan adalah beban yang paling terasa berat bagi orangtua siswa karena sifat pembayarannya yang rutin setiap bulan. Di beberapa sekolah, iuran bulanan juga merupakan sumber pembiayaan utama bagi operasional sekolah. Rata-rata besarnya iuran bulanan di SD swasta, SMP negeri, dan SMP swasta lebih tinggi pada tahun 2007/08 dibandingkan dengan rata-ratanya pada tahun 2006/07, pada setiap tingkat kelas. Adapun di SD negeri rata-rata iuran ini lebih tinggi pada tahun 2006/07 dibandingkan dengan tahun 2007/08. Pola pembandingan yang sama
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
23 tampak apabila rata-rata tersebut dihitung secara keseluruhan; di SD swasta, SMP negeri, maupun SMP swasta rata-ratanya pada tahun 2007/08 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-ratanya pada tahun 2006/07, tetapi di SD negeri rata-ratanya pada tahun 2007/08 lebih rendah dibandingkan dengan rata-ratanya pada tahun 2006/07. Ratarata besarnya iuran ini menggambarkan besaran beban orangtua siswa untuk pembayaran iuran bulanan di sekolah-sekolah yang memungut iuran bulanan. 4) Persentase Sekolah yang Menarik Iuran Bulanan Peranan BOS dalam meringankan beban orangtua siswa dalam hal meniadakan pembayaran iuran bulanan ke sekolah telah dikonfirmasi pada studi-studi terdahulu (Lembaga Penelitian SMERU, 2005; Puslitjaknov, 2006; Puslitjaknov, 2007), bahwa persentasi sekolah yang tidak memungut iuran bulanan meningkat secara tajam dari masa sebelum ada BOS. Sementara itu hasil studi terakhir (Puslitjaknov, 2007) menunjukkan adanya peningkatan persentase sekolah yang menarik iuran bulanan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Adanya peningkatan persentase sekolah yang menarik iuran bulanan pada dua tahun terakhir tampaknya tidak dapat dihindari mengingat meningkatnya kebutuhan sekolah (RAPBS) untuk kegiatan pembelajaran. Peranan BOS dalam hal ini adalah menghambat peningkatan yang jauh lebih tinggi seandainya tidak ada program BOS. Persentase sekolah yang menarik iuran bulanan pada dua tahun terakhir ini (29,81 % tahun 2006/07, 32.36% tahun 2007/08) masingmasing lebih rendah dari persentasenya pada masa sebelum adanya BOS tahun 2004/2005, yaitu sebesar 50,3 persen (Puslitjaknov, 2007). 5) Besarnya Iuran Bulanan Rata-rata besarnya iuran bulanan di SD swasta, SMP negeri, dan SMP swasta lebih tinggi pada tahun 2007/08 dibandingkan dengan rataratanya pada tahun 2006/07, pada setiap tingkat kelas. Adapun di SD negeri rata-rata iuran ini lebih tinggi pada tahun 2006/07 dibandingkan dengan tahun 2007/08. Rata-rata besarnya iuran ini menggambarkan besaran beban orangtua siswa untuk pembayaran iuran bulanan di sekolah-sekolah yang memungut iuran bulanan. Sementara itu, berdasarkan informasi dari orangtua siswa, ratarata besarnya iuran bulanan menunjukkan angka yang jauh lebih rendah. Rendahnya angka rata-rata dari orangtua siswa ini adalah wajar adanya karena sebagian responden orangtua siswa yang miskin, dari sekolah yang sama membayar iuran bulanan yang lebih rendah dari besarnya iuran di sekolah yang bersangkutan. Di beberapa
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
24 sekolah yang ada pembayaran iuran bulanan ada kebijakan khusus untuk siswa miskin, antara lain dengan pengurangan iuran bulanan. 6) Keberpihakkan pada Siswa Miskin Tujuan pemberian dana BOS salah satunya adalah untuk membantu meringankan beban biaya pendidikan siswa miskin, walau dana BOS yang diterima sebagian sekolah belum mencukupi untuk membiayai seluruh biaya kegiatan operasional sekolah. Namun dengan adanya kebijakan dari Diknas, pemda, dan sekolah dalam pemanfaatan dana BOS untuk membantu siswa miskin agar tidak putus sekolah, hal ini menunjukan keberpihakan BOS pada siswa miskin. 7) Keberpihakkan pada Tingkat Sekolah Membandingkan persentase orangtua siswa yang dikenai iuran bulanan tahun 2006/07 dan tahun 2007/08 pada berbagai kelompok pendapatan tampak bahwa pada kelompok yang pendapatannya kurang dari Rp0,5 juta, Rp0,5-1 juta, Rp1-1,5 juta, dan Rp1,5-2 juta, persentase yang dipungut adalah berkurang dari tahun 2006/07 ke 2007/08. Sebaliknya, pada kelompok yang pendapatannya Rp2-2,5 juta, dan lebih dari Rp2,5 juta, persentase yang dipungut bertambah dari tahun 2006/07 ke 2007/08. Lebih jauh, persentase orangtua siswa yang pendapatannya kurang dari Rp1,5 juta per bulan yang bebas biaya (banyaknya jenis iuran nol) mengalami penurunan dari tahun ajaran 2005/2006 hingga tahun 2007/2008, baik di SD maupun SMP. Secara umum di SD cenderung lebih tinggi daripada di SMP. 8) Keberpihakan pada Tingkat Kabupaten Kabupaten/kota dikelompokkan menjadi lima kelompok kuantil berdasarkan persentase penduduk miskin. Kuantil-1 adalah kabupaten/kota dengan persentase kemiskinan paling rendah (paling kaya), sedangkan kuantil-5 adalah kabupaten/kota dengan persentase kemiskinan paling tinggi (paling miskin). Rataan iuran bulanan pada daerah kaya (kuantil 1 dan 2) cenderung meningkat dari tahun 2005/2006 (Rp13.344) hingga tahun 2007/2008 (Rp20.979). Sementara untuk daerah miskin (kuantil 3, 4, dan 5) cenderung menurun dari tahun 2005/2006 hingga tahun 2007/2008. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan iuran bulanan yang dibebankan kepada orangtua siswa oleh sekolah umumnya terjadi di kabupaten/kota yang persentase kemiskinannya rendah, yakni kuantil 1 dan 2. Rataan pengeluaran orangtua siswa per bulan untuk biayabiaya tersebut ada perbedaan antara kabupaten/kota kaya dengan kabupaten/kota miskin. Pada daerah kaya (kuantil 1 dan 2), yaitu Rp
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
25 63.085 dan Rp59.415 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah miskin (kuantil 1, 2, 3) yaitu Rp41.909, Rp53.551, dan Rp29.527. Pada daerah paling kaya (kuantil 1) rataan pengeluaran orangtua siswa perbulan kurang lebih 2,5 kali rataan pengeluaran orangtua siswa perbulan pada daerah paling miskin (kuantil 5). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pada tiap kuantil orangtua siswa samasama dibebani dengan berbagai pembiayaan oleh sekolah, namun rataan besarannya berbeda antara sekolah yang berada di daerah kaya dengan sekolah yang berada di daerah miskin. Persentase orangtua siswa yang dibebaskan iuran bulanan ada perbedaan antara kabupaten/kota kaya dengan kabupaten/kota miskin. Pada daerah kaya (kuantil 1 dan 2), untuk tahun 2007/2008 ada 49,46 dan 54,24 persen orangtua siswa yang dibebaskan iuran bulanan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan daerah miskin (kuantil 1, 2, 3) yaitu 76,34, 83,90, dan 78,71 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pada tiap kuantil ada orangtua siswa yang dibebaskan iuran bualan oleh sekolah, namun untuk daerah miskin persentasenya cenderung lebih besar. Kecenderungan ini ada kesamaan antara tahun 2006/2007 dengan tahun 2007/2008. 2.1.2
Peranan Program BOS pada Akses Pendidikan
Gambaran akses pendidikan pada bagian ini ditinjau pada tingkat sekolah yaitu pada persentase putus sekolah (drop out, DO) dan ketidakhadiran siswa. Angka DO dan ketidakhadiran siswa yang rendah berasosiasi dengan akses pendidikan yang baik.
1) Angka Putus Sekolah Persentase DO pada empat semester terakhir menunjukkan penurunan yang konsisten. Persentase DO pada periode Januari – Juni 2008 sebesar 0,45%, lebih rendah dari tingkat DO pada periode Juli – Desember 2007 yaitu sebesar 0,48%. Tingkat DO pada periode Juli – Desember 2006 dan Januari – Juni 2007 masing-masing sebesar 0,64% dan 0,61%. Angka DO SMP konsisten lebih tinggi dari angka DO SD, angka DO sekolah swasta konsisten lebih tinggi dari angka DO sekolah negeri. Aksesibilitas yang kurang baik di SMP dibandingkan dengan SD dapat dikaitkan dengan besarnya biaya sekolah di SMP dibandingkan dengan biaya pendidikan di SD. Sebagai gambaran, rata-rata iuran bulanan SMP pada umumnya lebih tinggi daripada ratarata iuran bulanan SD, juga persentase sekolah yang menarik iuran bulanan adalah lebih tinggi pada SMP dibandingkan dengan SD.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
26
2) Ketidakhadiran Siswa Rata-rata ketidakhadiran siswa adalah rendah dalam empat tahun terakhir. Angka rata-rata ketidakhadiran siswa serendah-rendahnya adalah 0,37% yaitu pada SMP swasta pada September 2007, dan setinggi-tingginya adalah 0,81% yaitu pada SD swasta pada April 2007. 2.1.3
Peranan Program BOS pada Peningkatan Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan ditinjau dalam hal kualifikasi guru, angka kelulusan dan angka melanjutkan, serta angka angka mengulang kelas. 1) Angka Kelulusan dan Angka Melanjutkan Angka kelulusan SD dan SMP tahun 2006/2007 cukup tinggi, yaitu 97,86%. Secara umum angka kelulusan SD (99,49%) lebih tinggi daripada angka kelulusan SMP (95,19%), adapun angka kelulusan sekolah negeri (98,33%) lebih tinggi daripada angka kelulusan sekolah swasta (96,67%). Angka melanjutkan SD (ke SMP) dan SMP (ke SMA) tahun 2006/2007 cukup tinggi, yaitu 96,82%. Secara umum angka melanjutkan SD (98,50%) lebih tinggi daripada angka melanjutkan SMP (93,98%), adapun angka melanjutkan sekolah negeri (97,15%) lebih tinggi daripada angka melanjutkan sekolah swasta (95,96%). 2) Angka Mengulang Kelas Angka mengulang kelas tampak menurun dari tahun 2006/07 (3,04%) ke tahun 2007/08 (1,77%). Penurunan angka mengulang ini tampaknya terjadi baik pada SD negeri, SD swasta, SMP negeri, maupun SMP swasta.
2.2 Efektivitas Manajerial BOS 2.2.1
Perencanaan
Perencanaan pada tingkat pengelolaan BOS kabupaten dan sekolah dapat meliputi kegiatan: 1) Pendataan; 2) Alokasi dana BOS; 3) Sosialisasi Program BOS. 1) Pendataan Permasalahan yang dihadapi oleh Tim Manajemen BOS Kabupaten/Kota pada tahun 2007/2008 masih sama dengan tahun
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
27 2006/2007 yaitu, mengenai fluktuasi jumlah siswa antar waktu, lokasi sekolah yang jauh, dan biaya pendataan yang masih kurang. Sedangkan permasalahan pendataan yang dialami oleh Tim Manajemen BOS Provinsi antara lain adalah: (1) Memanipulasi data jumlah siswa oleh sekolah tertentu; (2) Kurang akuratnya data siswa dari sekolah; (3) Keterlambatan penyampaian data oleh sekolah; (4) Kesalahan menuliskan jumlah siswa yang ada di sekolah oleh beberapa SD; (5) Proses validasi data masih rumit; (6) Ada sebagian kecil sekolah belum terdata oleh kabupaten/kota, sehingga harus ada data susulan; (7) Kesalahan data akibat dari mutasi siswa, dan adanya kesalahan entry data oleh tim manajemen BOS kabupaten/kota; (8) Masih ada keterlambatan data/perbaikan data dari kabupaten/kota. 2) Alokasi Dana Rata-rata alokasi jumlah siswa secara keseluruhan provinsi sampel yang mengalami kekurangan adalah 2,18 persen, dan yang kelebihan sebanyak 7,82 persen pada tahun 2007. Sedangkan tahun 2008 yang mengalami kekurangan dan kelebihan sebanyak 1,46 persen. Ada penurunan rata-rata distorsi kelebihan dan kekurangan jumlah siswa secara keseluruhan provinsi sampel dari tahun 2007 ke tahun 2008, yaitu distorsi kekurangan sebesar 0,72 persen, dan distorsi kelebihan sebesar 6,36 persen. 3) Sosialisasi Sebagai indikator ketersampaiannya informasi dari program BOS adalah dimilikinya buku panduan BOS oleh pengelola BOS baik di tingkat provinsi hingga sekolah. Semua Tim Manajemen BOS Kabupaten/kota sudah memiliki buku Panduan BOS edisi 2007, sedangkan sekolah yang memiliki buku Panduan BOS edisi 2007 sebanyak 58,22 persen. 2.2.2
Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan yang akan dibahas adalah tentang penyaluran, penerimaan, penggunaan/pemanfaatan dana BOS oleh sekolah, dan ketercukupan dana BOS untuk operasional sekolah. 1) Penyaluran Dana Penyaluran pada semester ganjil (periode Juli-Desember) dana BOS masuk rekening sekolah lebih baik (tepat waktu) dibanding pada semester genap (periode Januari-Juni) yang pada termin I selalu mengalami keterlambatan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
28 2) Penerimaan Dana BOS Oleh Sekolah Bulan penerimaan dana BOS oleh sekolah sebagian besar mengalami keterlambatan, hal ini berkaitan dengan waktu penyaluran dana BOS oleh tim manajemen BOS kabupaten/kota. Keterlambatan dalam penerimaan dana BOS akan berdampak pada proses kegiatan belajar mengajar (KBM), dan pengelolaan BOS, karena untuk menanggulangi keterlambatan dan agar pelaksanaan KBM tetap berjalan umumnya kepala sekolah melakukan tindakan meminjam dana kepada pihak lain. 3) Pemanfaat/Penggunaan Dana BOS Oleh Sekolah Terjadi pergerseran komponen pengalokasian dana untuk pembelian buku pelajaran pokok dan penunjang dari tahun 2006/2007 ke tahun 2007/2008 yang mungkin disebabkan adanya program BOS Buku. Secara keseluruhan sekolah dalam penggunaan dana BOS masih banyak mengalokasikan untuk pembiayaan honor bulanan guru dan tenaga honorer baik pada tahun 2006/2007 maupun tahun 2007/2008 4) Ketercukupan Dana BOS Untuk Biaya Operasional Persentase sekolah yang menyatakan dana BOS memadai untuk biaya operasional sekolah sejak tahun 2006 hingga sekarang (2008) mengalami penurunan. Bantuan untuk Tim Manajemen BOS Kabupaten/kota yang berasal dari dana APBD untuk tahun 2007 ke tahun 2008 mengalami penurunan juga. Pengalokasian dana APBD kabupaten/kota untuk operasional sekolah untuk tahun 2008 sebagian besar sama dengan tahun sebelumnya. Jika dana APBD ditambah maka dialokasikan untuk komponen biaya operasional sekolah yang belum tercakup dalam juklak BOS seperti, biaya perjalanan dinas, membayar kelebihan jam mengajar, menambah pengadaan mebeler, dan pengadaan buku, serta insentif guru di daerah terpencil, untuk kesejahteraan personel sekolah. 2.3 Peran dan Dampak Program BOS terhadap Pengelolaan Pendidikan di Daerah Pada bagian ini disajikan temuan studi yang menggambarkan tingkat ketergantungan daerah dan sekolah dalam pendanaan pendidikan melalui Program BOS serta pengaruhnya terhadap kebijakan dan peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan pendidikan. 1) Tingkat Ketergantungan Sekolah terhadap Dana BOS untuk Pembiayaan Operasional Sekolah Sekitar 7,7 persen sekolah di setiap kabupaten/kota yang menyatakan menolak dana BOS karena alasan tidak membutuhkannya. Sekolah yang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
29 menolak Dana BOS seluruhnya adalah sekolah swasta, baik tingkat SD maupun SMP. Sekolah swasta yang menolak Dana BOS seluruhnya adalah sekolah yang termasuk kategori ―sekolah kaya‖, artinya sekolahsekolah tersebut memperoleh dana dari sumber orangtua siswa yang relatif ―kaya‖ dan/atau dari perusahaan/yayasan pembina. 2) Kontribusi Dana BOS dalam Pemenuhan Biaya Operasional Sekolah Rata-rata total biaya operasional sekolah tahun ajaran 2007/2008 sejumlah Rp185,305 juta, kontribusi dana BOS dalam memenuhi kebutuhan biaya tersebut adalah yang terbesar, yaitu rata-rata 58,27 persen, diikuti oleh sumber dari orangtua siswa (20,87 persen), dan baru di tempat ketiga dari APBD Kapaten/Kota, yaitu hanya sekitar 7,36 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa Program BOS sangat strategis bagi keberlangsungan proses pembelajaran di sekolah pada tingkat pendidikan dasar. Jika terjadi keterlambatan atau bahkan tidak cairnya dana BOS dapat dipastikan akan mengganggu kegiatan pembelajaran di sekolah. 3) Peranan BOS dalam Meningkatkan Kemampuan Keuangan Sekolah Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) disusun bersama oleh Kepala Sekolah dengan Komite Sekolah. RAPBS dapat menunjukkan kapasitas keuangan yang dimiliki sekolah dengan merinci rencana penerimaan menurut sumber-sumbernya dan rencana penggunaan dana menurut pos-pos pembiayaan. Meskipun pada umumnya RAPBS yang dibuat sekolah memperlihatkan total penerimaan yang sama jumlahnya dengan rencana penggunaan (balance), namun total dana tersebut dapat memberikan indikasi tingkat kemampuan keuangan (Kapasitas Fiskal) sekolah dalam menyelenggarakan kegiatan belajar- mengajar (KBM) dalam satu tahun pelajaran. Berdasarkan analisis pada aspek penerimaan sekolah dalam empat tahun terakhir, diketahui bahwa total penerimaan sekolah dari berbagai sumber selain gaji PNS selalu mengalami peningkatan. Peningkatan yang sangat berarti terjadi antara pada tahun 2005/2006, yaitu tahun pertama kali Program BOS diluncurkan. Pada tahun ajaran 2004/2005, rata-rata total penerimaan sekolah hanya sejumlah Rp34,383 Juta, kemudian melonjak lebih dari dua kali lipat pada tahun ajaran 2005/2006 menjadi Rp110,811 Juta. Pada tahun 2006/2007, rata-rata total penerimaan sekolah kembali meningkat menjadi Rp181,220 Juta, dan menjadi 185,305 Juta pada tahun 2007/2008. Pelonjakan rata-rata total penerimaan sekolah pada tahun 2005/2006 dan tahun 2007/2008 berasal dari peningkatan penerimaan dari seluruh sumber, namun yang paling besar pengaruhnya adalah penerimaan dari Dana BOS Tunai.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
30 4) Kontribusi APBD dalam Pembiayaan Operasional Sekolah Pada tahun 2007/2008, terdapat sekitar 60 persen kabupaten/kota yang memberikan bantuan dana operasional ke sekolah-sekolah di wilayahnya, sementara pada sekitar 40 persen kabupaten/kota lainnya tidak memberikan bantuan berupa dana, melainkan berupa barang atau bantuan lainnya. Bantuan Pemda dalam bentuk uang biasanya diberikan kepada SD dan SMP Negeri berupa biaya rutin dan gaji/tunjangan guru PNS, sementara untuk SD dan SMP Swasta biasanya dalam bentuk barang atau block grant. Bagi kabupaten/kota yang pada tahun 2007 dan sebelumnya mengalokasikan APBD nya untuk membantu Biaya Operasional ke sekolah-sekolah, ternyata pada tahun 2008, sebanyak 40 persen tetap mengalokasikan dana operasional dalam jumlah yang sama, sebanyak 35 persen justru menambah alokasi dana, sebanyak 5 persen mengurangi jumlahnya, dan terdapat sekitar 20 persen kabupaten/kota yang bahkan menghilangkan alokasi dana operasional tersebut. 5) Dampak Program BOS terhadap Alokasi Anggaran Daerah untuk Sektor Pendidikan Berdasarkan data yang diperoleh dari 31 Kabupaten/kota yang terpilih sebagai sampel dalam studi ini diketahui bahwa rata-rata total APBD daerah untuk tahun 2008 meningkat dibanding tahun 2007, termasuk anggaran untuk sektor pendidikan. Rata-rata persentase APBD kabupaten/kota untuk sektor pendidikan keseluruhan adalah sekitar 71,53 persen pada tahun 2007 dan berkurang menjadi sekitar 61,01 persen pada tahun 2008. Apabila anggaran sektor pendidikan diluar biaya gaji pendidik dan tenaga kependidikan, maka pada tahun 2007 rata-rata APBD Sektor Pendidikan di kabupaten/kota sampel telah memenuhi amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu lebih dari 20 persen, namun pada tahun 2008 menurun menjadi sekitar 17,76 persen. Penurunan ini disebabkan karena peningkatan jumlah APBD lebih banyak dialokasikan untuk sektor lain di luar sektor pendidikan. 6) Keberadaan Instrumen Hukum (Perda, Keputusan Bupati/ Walikota) Tentang Biaya Pendidikan Tingkat Dasar Sebanyak 80,8 persen kabupaten/kota yang menjadi sampel studi ini ternyata tidak memiliki instrumen hukum yang mengatur tentang biaya pendidikan tingkat dasar, baik berbentuk Peraturan Daerah, Peraturan Bupati/Walikota, Keputusan Bupati/Walikota atau yang sejenisnya. Daerah yang menyatakan memiliki aturan tentang biaya pendidikan dasar hanya sekitar 19,2 persen, dan aturan yang mereka miliki adalah berbentuk Peraturan Bupati/Walikota, atau Keputusan Bupati/Walikota. Sebanyak 79,9 persen menyatakan bahwa aturan yang dikeluarkan tersebut dapat
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
31 berjalan secara efektif, sementara 23,1 persen sisanya menyatakan peraturan tersebut tidak efektif karena tidak ada sanksi hukum, sementara sekolah membutuhkan tambahan biaya yang hanya dapat dipungut dari orangtua siswa. 7) Dampak Program BOS terhadap Peningkatan Kemampuan Aparat Daerah Sejak adanya Program BOS, lebih dari separuh kabupaten/kota atau sekitar 56,5 persen telah melaksanakan kegiatan peningkatan kapasitas personil pendidikan (kepala sekolah). Jenis-jenis kegiatan yang dilakukan daerah dalam rangka peningkatan kapasitas personil tersebut antara lain: Workshop Pengelolaan Dana BOS, Pelatihan administrasi keuangan, Manajemen sekolah, dan perpajakan. Kegiatan-kegiatan tersebut sebagian besar dibiayai dengan dana APBD (safe guarding), yaitu sekitar 80,8 persen daerah, namun terdapat juga sebanyak 19,2 persen daerah yang membiayainya dari APBD. 8) Dampak Program BOS terhadap Pengalokasian APBD Dampak keberadaan Program BOS terhadap pengalokasian APBD untuk sektor pendidikan pada umumnya positif (46,15%), sebanyak 15,38 persen menyatakan tidak berpengaruh apa-apa (tetap), namun terdapat sekitar 7,69 persen responden yang menyatakan keberadaan BOS menyebabkan alokasi anggaran pendidikan dari APBD menjadi berkurang. 9) Dampak Program BOS terhadap Mutu Pendidikan Dampak keberadaan Program BOS terhadap mutu pendidikan pada umumnya positif. Peningkatan mutu tersebut dapat dilihat melalui berbagai indikator, antara lain: peningkatan APK dan APM Pendidikan Dasar, Peningkatan Angka Kelulusan Siswa SD dan SMP, Mengurangi Angkan Putus Sekolah (Drop Out, DO), meningkatkan mutu guru, perubahan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan semakin tersedianya alat peraga, dan lain sebagainya.
10) Dampak Program BOS terhadap Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan Dampak keberadaan Program BOS terhadap partisipasi masyarakat di sektor pendidikan dasar sebagian besar positif (73,08%), sebanyak 23,08 persen responden menyatakan partisipasi masyarakat menurun, dan sebagian kecil lainnya (3,85%) menyatakan tetap. Menurut responden yang menyatakan partisipasi meningkat utamanya dalam bentuk perhatian dan antusiasme dalam memberikan perhatian terhadap kualitas pendidikan dasar. Sementara responden yang menyatakan partisipasi masyarakat
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
32 justru menurun setelah adanya BOS lebih dimaksudkan pada berkurangnya iuran atau pungutan lain yang dibayarkan orangtua siswa. 11) Dampak Program BOS terhadap Tata Kelola Sekolah Dampak keberadaan Program BOS terhadap Tata Kelola Sekolah oleh Kepala Sekolah, hampir seluruh Responden (96,15%) menyatakan terjadi perbaikan. Indikatornya adalah sistem administrasi sekolah yang lebih rapi dan teratur, kapasitas kepala sekolah dan guru yang meningkat, kegiatan di sekolah lebih terencana sejak awal, sekolah lebih transparan dan akuntabel. Meskipun demikian, masih ditemui sekitar 3,85 persen responden yang menyatakan bahwa tidak terjadi perubahan dalam tata kelola sekolah diakibatkan oleh sikap kepala sekolah yang tidak transparan dalam mengelola dana BOS. 2.4 Kontribusi Daerah dalam Mendukung Program BOS di Daerah 1) Alokasi Dana dari APBD untuk Pembiayaan Manajemen Program BOS (Dana Safe Guarding) Dari sejumlah 31 kabupaten/kota yang menjadi sampel dalam studi ini, pada tahun 2007, hanya sebagian kecil (20%) yang mendapatkan alokasi dana dari APBD untuk Tim Manajemen BOS, bahkan pada tahun 2008 jumlahnya menurun menjadi hanya sekitar 12,5 persen. Sebagian besar pemerintah kabupaten/kota hanya mengandalkan dana safe guarding yang berasal dari APBN melalui provinsi. Dari sejumlah kabupaten/kota yang mendapatkan alokasi dana APBD tahun 2007, rata-rata besar alokasi dana dari APBD untuk Tim Manajemen BOS adalah Rp 65 Juta, meningkat menjadi Rp 105,7 Juta pada tahun 2008. 2) Pengendalian dan Proses Pencairan Hampir 75 persen responden kepala sekolah mengatakan bahwa untuk mencairkan dana BOS dari rekening sekolah, diperlukan adanya surat persetujuan dari pihak Dinas Kabupaten/Kota setempat. Frekuensi penarikan dana dari rekening sekolah yang terbanyak adalah 1 kali tiap 3 bulan (61,6%), tidak tentu (29,5%), dan terdapat sekitar 8,9 persen responden yang menarik dana setiap bulan.
3. Rekomendasi 1) Beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh orangtua siswa pada dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan oleh
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
33 meningkatnya tuntutan peningkatan mutu pendidikan, dan peningkatan kebutuhan secara keseluruhan dari tahun ke tahun. Melihat gejala peningkatan ini, perlu meninjau kembali besarnya bantuan dana BOS yang dihubungkan dengan tuntutan peningkatan mutu dan keadaan ekonomi secara keseluruhan, antara lain menghubungkan dengan tingkat inflasi dan tuntutan peningkatan kesejahteraan pada umumnya. Mengingat kondisi tersebut, maka dana BOS perlu ditingkatkan dengan harapan perbaikan pembelajaran dan mutu pendidikan akan semakin meningkat. 2) Tingkatkan pemberdayaan UPTD atau kantor cabang dinas kecamatan dalam proses pendataan di tingkat kabupaten/kota. 3) Tingkatkan cara sosialisasi dengan menggunakan media massa seperti koran, agar masyarakat luas lebih mengetahui dan memahami pelaksanaan program BOS yang diharapkan nantinya dapat berdampak pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan sekolah. 4) Tingkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
34
STUDI EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) BUKU
1. Pendahuluan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Pasal 5 butir (1) menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dalam rangka memenuhi amanat konstitusi pada tahun 2006, pemerintah telah meluncurkan program bantuan operasional sekolah khusus untuk membeli buku pelajaran yang disebut Program BOS Buku. Program ini diberikan ke semua sekolah yang sebelumnya telah menerima dana BOS Buku. Bantuan yang diberikan dimaksudkan untuk memfasilitasi kepemilikan buku pelajaran dengan sasaran setiap siswa memiliki satu buku untuk masing-masing mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Program BOS buku merupakan bantuan pemerintah dalam bentuk dana hibah (grant) sudah seharusnya tepat sasaran dan digunakan sebagaimana peruntukannya, yaitu memfasilitasi siswa atau sekolah dengan buku teks. Terkait BOS Buku sudah dilakukan studi pada tahun 2007 secara terbatas, dan dilanjutkan pada tahun 2008 untuk mengetahui efektivitas program BOS Buku. Secara umum studi dimaksudkan untuk menghasilkan bahan kebijakan tentang Program BOS Buku. Secara khusus ditujukan memperoleh gambaran tentang: (1) Efektivitas penyelenggaraan; (2) Efektivitas pencapaian hasil; dan (3) Kebijakan daerah terkait pemenuhan kebutuhan Buku di Sekolah Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei dengan sasaran utama kepala sekolah dan orangtua murid, pengelola BOS Kabupaten/Kota dan Propinsi. Sedangkan pendekatan kualitatif lebih ditujukan pada pengambil kebijakan di daerah, Tim Manajemen BOS Propinsi, kabupaten/kota dan orangtua siswa. Populasi studi ini adalah SD dan SMP yang menerima dana BOS Tunai baik negeri maupun swasta. Jumlah siswa yang dialokasikan untuk menerima dana BOS pada tahun 2007 untuk SD dan SMP masing-masing adalah 26.046.328 orang dan 9.111.160 orang. Jumlah siswa SD yang dialokasikan akan menerima dana BOS pada tahun ajaran 2007/2008 adalah 26.744.239 orang dan diperkirakan sejumlahnya meningkat menjadi
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
35 26.980.404 pada tahun ajaran 2008/2009, sedangkan untuk SMP sebanyak 8.852.030 (tahun ajaran 2007/2008) dan menjadi 9.178.086 orang (tahun ajaran 2008/2009) (Mandikdasmen, 2008). Sampel ditentukan dengan metode cluster stratified sampling yang ditetapkan dalam 2 strata. Mula-mula ditentukan sampel kabupaten/kota dengan cara mengelompokkan kabupaten/kota ke dalam beberapa cluster kabupaten/kota sejenis. Selanjutnya di masing-masing kabupaten/kota sampel, dipilih SD dan SMP sampel. Sampel orangtua siswa dipilih di masing-masing sekolah berdasarkan keterwakilan kelas. Provinsi sampel yang terpilih adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Papua, dan Papua Barat. Pemilihan sampel kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan tingkat kemiskinan setiap kabupaten/kota yang ditunjukkan oleh persentase penduduk miskin. Di setiap daerah dipilih sebanyak 24 sekolah sampel yang terdiri dari satuan pendidikan dasar. Pemilihan sampel sekolah juga mempertimbangkan lokasi sekolah yang dapat memenuhi kriteria perkotaan dan pedesaan serta jumlah siswa yang terdaftar di sekolah tersebut (school size). Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif evaluatif, yaitu menggambarkan, melihat kecenderungan atau menyajikan informasi yang diperoleh kemudian membandingkannya dengan ketentuan atau pedoman yang telah ada.
2. Temuan 2.1 Penyelenggaraan Program BOS Buku 1) Proses Pendataan Pelaksana program BOS Tunai dan BOS Buku dikelola dalam manajemen yang sama yaitu oleh tim manajemen BOS, baik itu di tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Oleh sebab itu proses pendataan untuk program BOS Tunai dan BOS Buku juga dilaksanakan secara bersama-sama. Mekanisme pendataan jumlah siswa yang ditempuh dalam rangka program BOS tidak mengalami perubahan sejak awal program (tahun 2005) hingga sekarang (tahun 2008), yaitu Tim Manajemen BOS Provinsi meminta data ke dinas pendidikan kabupaten/kota, sedangkan dinas pendidikan kabupaten/kota meminta data ke pihak sekolah.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
36 2) Alokasi Dana BOS Buku Dasar pengalokasian dana BOS Buku di setiap provinsi sampel pada tahun 2007 dan 2008 umumnya dilakukan berdasarkan jumlah siswa di SD/SDLB, dan di SMP/SMPLB pada tahun bersangkutan yang diusulkan oleh kepala sekolah melalui Dinas pendidikan masing-masing kabupaten/kota dan ada juga yang menggunakan data tahun sebelumnya. Data jumlah siswa di suatu sekolah yang digunakan oleh Tim Manajemen BOS Provinsi untuk pengalokasian dana BOS Buku dalam dua tahun terakhir umumnya adalah data bulan Juli atau Agustus, baik pada tahun ajaran 2006/2007 maupun tahun ajaran 2007/2008. Pengalokasian dana BOS Buku umumnya tidak mengalami kendala berarti. Adanya ketidaksesuaian alokasi di beberapa daerah disebabkan antara lain penambahan sekolah baru dan fluktuasi jumlah siswa antar waktu. Pengalokasian dana BOS Buku pada tahun 2007 dan 2008 untuk daerah yang telah menerima tiga buku sekaligus tidak lagi dilakukan, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang telah menerima tiga buah buku pada tahun 2006. Sedangkan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tidak memperoleh bantuan dana BOS Buku karena adanya masalah administrasi yang belum terselesaikan hingga sekarang. 3) Sosialisasi Program BOS Buku Pelaksanaan sosialisasi BOS Buku tidak dilakukan setiap tahun secara khusus tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan pelaksanaan sosialisasi BOS Tunai atau kegiatan sejenis lainnnya. Sosialisasi juga dilakukan jika ada perubahan pedoman. Begitu pula dengan buku panduan BOS Tunai dan BOS Buku tergabung menjadi satu. Buku panduan BOS dinyatakan cukup jelas sehingga sebagian kecil (6,5%) anggota Tim Manajemen Kabupaten/Kota yang belum mengikuti kegiatan sosialisasi dapat memahami aturan pengelolaan program BOS Buku melalui buku pedoman tersebut. Waktu pelaksanaan sosialisasi pada tahun 2006 paling banyak dilaksanakan pada bulan Maret (21,7%), pada tahun 2007 paling banyak dilakukan pada bulan Mei (20,0%), sedangkan untuk tahun 2008 paling banyak dilakukan pada bulan Maret dan April (33,3%). Pada umumnya (82,1%) Tim Manajemen Kabupaten/Kota melakukan sosialisasi program BOS Buku secara khusus kepada pihak sekolah. Dalam sosialisasi, selain pihak sekolah, pihak terkait yang paling sering hadir adalah Dewan Pendidikan. Cara sosialisasi yang dilakukan adalah berupa workshop, surat edaran, media cetak atau media elektronik. Cara sosialisasi yang digunakan oleh sekolah adalah menyampaikan pengumuman pada saat rapat orangtua siswa, mengumumkan secara
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
37 tertulis di papan pengumuman sekolah, dan mengedarkan surat kepada orangtua siswa. Terkait dengan permasalahan sosialisasi program BOS Buku, sebagian kecil (20,70%) tim manajemen kabupaten/kota menyatakan menemukan kendala dalam sosialisasi program. Permasalahan yang ditemukan antara lain adalah kurangnya dana, kurangnya tenaga yang melakukan sosialisasi, kurangnya pemahaman kepala sekolah SD, dan terlalu banyak peserta dalam kegiatan sosialisasi sehingga para peserta tidak terlalu fokus. 4) Pemahaman Orangtua Siswa terhadap Program BOS Buku Hasil kajian menunjukkan masih ada orangtua siswa (25,8%) yang belum mengetahui tentang Program BOS Buku. Sedangkan orangtua siswa yang mengetahui Program BOS Buku menyatakan mengetahui program tersebut paling banyak secara berturut-turut dari sekolah, televisi, siswa (anak sendiri), koran, dan radio. Sebagian besar orangtua siswa (60,8%) telah mengetahui jenis dan asal buku yang dibeli sekolah. Namun untuk menentukan buku yang akan dibeli dari dana BOS Buku ternyata hanya melibatkan sebagian kecil (20,8%) orangtua siswa. Hal ini tampaknya karena sosialisasi program BOS Buku masih kurang. 5) Prosedur Penyaluran dan Penggunaan Dana BOS Buku (1) Proses Penyaluran Dana BOS Buku Penyelenggaraan program BOS-Buku didahului oleh pendataan di tingkat sekolah untuk melihat jumlah siswa setiap sekolah di seluruh Indonesia. Permintaan data siswa umumnya dilakukan pada awal tahun ajaran atau sekitar bulan Agustus. Data yang dikumpulkan tersebut digunakan sebagai usulan memperoleh dana BOS Tunai maupun BOS Buku untuk masing-masing sekolah. Menurut pengelola BOS Buku, data jumlah siswa yang diminta umumnya (87,7%) dapat diperoleh sesuai jadwal yang ditentukan, sedangkan sekolah yang terlambat memberikan data maka pemberian dana menggunakan data tahun sebelumnya. Adapun kendala utama dalam pendataan tersebut antara lain adalah terjadinya fluktuasi jumlah siswa antar waktu akibat mutasi siswa, minimnya biaya pendataan, lokasi sekolah yang jauh sehingga sulit di data, dan kurangnya tenaga untuk menangani pendataan di dinas kabupaten/kota dan di sekolah. Secara keseluruhan alokasi pemberian dana BOS-buku umumnya (93,5%) telah sesuai jumlah siswa yang ada di sekolah.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
38
(2) Pemanfaatan Dana BOS Buku Dana BOS Buku diterima sekolah umumnya dalam bentuk uang yang disalurkan langsung ke rekening sekolah dan dimanfaatkan sekolah sesuai peruntukannya. Penentuan jenis buku yang dibeli umumnya melibatkan guru dan sebagian kecil komite/dewan sekolah. Disamping dalam bentuk uang, sebagian kecil sekolah menerima bantuan dalam bentuk buku teks. Sekolah-sekolah yang menerima buku secara langsung menyatakan terbantu dengan pemberian buku tersebut, namun buku yang diberikan kadang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah/siswa. Buku yang dibeli dari dana BOS Buku diprioritaskan pada mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional, seperti buku matematika, Bahasa Indonesia, IPA, atau Bahasa Inggris (SMP). Buku-buku yang dibeli dinyatakan telah sesuai petunjuk pelaksanaan (Juklak) BOS Buku (87,8%). Disamping itu, ada juga sekolah yang membeli buku agama atau buku lainnya, terutama bila buku-buku untuk mata pelajaran yang diujikan secara nasional telah dimiliki. 6) Monitoring Dan Pelaporan
(1) Monitoring Menurut Tim Manajemen BOS Provinsi, mereka (83,33%) telah melakukan monitorng dan evaluasi (monev) program BOS Buku dengan sasaran tim manajemen kabupaten/kota dan sekolah penerima BOS Buku dan hal itu dibenarkan oleh tim manajemen kabupaten/kota. Pelaksanaan monev ternyata hanya di beberapa kabupaten/kota saja (sampling) kaena keterbatasan dana dan tenaga. Pihak lainnya yang melakukan monitoring pada tahun 2007 menurut Tim Manajemen BOS kabupaten/kota adalah pusat (67,7%), provinsi (83,3%), dan lainnya seperti BPKP (10%). (2) Pelaporan Laporan pertanggungjawaban penggunaan dana BOS Buku ternyata belum dilakukan oleh senua sekolah. Banyaknya sekolah yang membuat laporan dana BOS Buku pada tahun 2006 adalah sebanyak 91,00 persen dan sebesar 91,7 persen pada tahun 2007, sedangkan pada tahun 2008 telah ada sekolah yang membuat laporan walaupun dana BOS Buku belum cair. 2.2 Pencapaian Hasil dari Program BOS Buku 2.2.1
Ketersediaan Buku Pelajaran di Sekolah
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden kepala sekolah diketahui bahwa jumlah rata-rata buku pelajaran dan buku penunjang lainnya yang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
39 dimiliki sekolah pada semester genap (Juli-Desember) tahun 2007 meningkat bila dibandingkan dengan jumlah rata-rata buku yang dimiliki sekolah pada semester sebelumnya (Januari-Juni 2007). Peningkatan tersebut utamanya nampak pada jenis buku penunjang lainnya, sementara untuk jenis buku pelajaran (buku teks) tidak nampak peningkatan yang berarti, bahkan dikatakan menurun karena buku teks yang dipinjamkan kepada siswa banyak yang belum dikembalikan ke sekolah. Jenis-jenis buku yang dimiliki sekolah bervariasi menurut jenis, jenjang, dan kualitas sekolah. Secara keseluruhan, terdapat 12 jenis buku yang dapat ditemui di SD dan SMP, namun yang paling banyak ditemui adalah buku Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Pada Tahun 2008, jumlah ketiga jenis buku tersebut di sekolah mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2007. Penurunan ini disebabkan karena pada tahun 2008, buku-buku tersebut dipinjamkan kepada siswa untuk di bawa pulang dan banyak yang belum dikembalikan ke sekolah. 2.2.2
Akses Siswa Terhadap Buku Pelajaran
Kepemilikan buku Matematika, Bahasa Indonesia, Agama, PPKn, untuk SD dan SMP sebagian besar dimiliki siswa dengan cara meminjam dari sekolah. Buku teks Fisika, Biologi, Bahasa Inggris untuk SMP sebagian besar dimiliki siswa dengan cara meminjam dari sekolah. Buku teks Bahasa Inggris, serta lainnya untuk SD sebagian besar dimiliki siswa dengan cara membeli. Demikian juga buku teks Penjaskes dan lain untuk SMP dimiliki sebagian siswa dengan cara membeli, dan Penjaskes untuk SD juga dimiliki siswa dengan cara meminjam. Dilihat secara keseluruhan buku teks yang dimiliki oleh siswa merupakan hasil meminjam dari sekolah. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah diperoleh informasi bahwa buku teks yang dibeli melalui dana BOS Buku dipinjamkan kepada siswa untuk dibawa pulang (88,97%), namun sebanyak 11,03 persen sekolah lainnya menyatakan buku-buku tersebut hanya dapat dibaca di sekolah karena jumlahnya tidak mencukupi untuk dibawa pulang oleh setiap siswa. Sementara itu, bagi sekolah yang meminjamkan buku kepada siswa untuk dibawa pulang, sebagian besar (74,73%) kepala sekolah menyatakan bahwa buku teks dipinjamkan kepada siswa selama satu semester atau lebih lama, sementara 25 persen sisanya menyatakan buku teks dipinjamkan antara satu hari sampai satu bulan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
40 2.2.3
Beban Orangtua Siswa untuk Pembelian Buku
Berdasarkan informasi yang diperoleh, sebagian kecil (±30%) orangtua siswa masih membeli buku mata pelajaran dengan harga satuan rata-rata Rp21.000 hingga Rp32.000. Di samping membeli buku pelajaran, orangtua siswa juga membeli lembar kerja siswa (LKS) dengan harga Rp7.000 hingga Rp12.000 per eksemplar. Berdasarkan informasi di atas dapat dikatakan bahwa sebagian besar orangtua siswa tidak lagi membeli buku mata pelajaran dan LKS, sedangkan sebagian kecil lainnya menyatakan masih membeli buku mata pelajaran dan LKS atas prakarsa sendiri atau dianjurkan oleh guru. Ditinjau dari rata-rata pengeluaran orangtua siswa untuk pembelian buku teks pertahun, maka pada tahun 2005/2006 rata-rata pengeluaran orangtua untuk membeli buku teks adalah sebesar Rp133.270, kemudian pada tahun 2006/2007 turun menjadi Rp125.762 atau turun 6 persen, dan pada tahun 2007/2008 turun kembali menjadi Rp 120.617 atau turun 4 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ini diperkirakan karena diluncurkannya bantuan Program BOS Buku. 2.2.4
Keberadaan Buku Di Sekolah
Rasio jumlah buku dan jumlah siswa untuk beberapa jenis buku yang digunakan di sekolah dalam kurun waktu dua tahun terakhir menunjukkan beberapa jenis buku telah mencukupi atau hampir mencukupi seperti buku Matematika, buku Bahasa Indonesia, baik untuk SD maupun untuk SMP, buku Bahasa Inggris untuk SMP, buku Fisika, dan buku IPA, sedangkan ketersediaan buku mata pelajaran lainnya yang tampaknya masih sangat kurang adalah buku IPS dan Bahasa Inggris untuk SD, buku agama, PPKn, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan untuk SD maupun SMP. Keadaan tersebut diperkirakan karena keterbatasan dana BOS Buku yang disediakan pemerintah sehingga sekolah memperioritaskan pembelian buku-buku mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Dilihat lebih lanjut tentang ketersediaan buku dua tahun terakhir ternyata tidak terlihat adanya peningkatan yang berarti. Hal itu tampaknya disebabkan pemberian bantuan BOS Buku hanya sebanyak tiga jenis buku teks, sementara pihak sekolah dapat saja menggunakan dana BOS Buku tersebut untuk membeli jenis buku lainnya. Menurut kepala sekolah sebagian besar sekolah (67,60%) sudah memiliki perpustakaan tersebut. Umumnya (86,80%) buku-buku yang dibeli menggunakan dana BOS Buku disimpan di rak buku secara baik. Berdasarkan informasi yang diperoleh menunjukan bahwa sebagian besar sekolah (87,40%) telah memiliki daftar buku teks yang dibeli menggunakan dana BOS Buku.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
41 2.2.5
Dampak Program BOS Buku
Berdasarkan persepsi kepala sekolah program BOS Buku berdampak positif terhadap jumlah anak yang bersekolah, kehadiran siswa, aktivitas pembelajaran, kinerja guru, serta perhatian orangtua terhadap pendidikan. Dampak yang paling menonjol adalah pada aspek aktivitas pembelajaran (97,9%). Hal ini dapat dimaklumi mengingat buku sebagai sumber belajar yang sangat diperlukan oleh siswa dan guru. Hampir seluruh kepala sekolah (99%) menyatakan bahwa program BOS Buku membantu anak dari keluarga kurang mampu. Meskipun program BOS Buku bersifat umum, namun bagi kalangan orangtua kurang mampu manfaatnya sangat terasa, karena mereka tidak perlu lagi bersusah payah mengalokasikan dana untuk membeli buku teks. Menurut hampir seluruh orangtua siswa, adanya program BOS Buku memberi pengaruh positif terhadap aktivitas belajar dan prestasi anak. Hampir seluruh orangtua siswa menyatakan bahwa anak semakin rajin belajar dan bersekolah (96,6%) dan nilai ulangan semakin baik (94%). 2.3 Kebijakan Daerah Terkait Pemenuhan Kebutuhan Buku Di Sekolah Pada tahun 2006 terdapat 35,5 persen daerah yang mengalokasikan dana untuk pengadaan buku teks, kemudian meningkat menjadi 38,7 persen pada tahun 2007 karena adanya himbauan dari pemerintah pusat agar daerah mengalokasikan anggaran untuk melengkapi kebutuhan teks di sekolah selain tiga jenis buku yang telah disediakan oleh pusat melalui program BOS Buku. Pada tahun 2008 nampak bahwa terjadi penurunan persentase daerah yang kembali mengalokasikan anggaran untuk pengadaan buku teks di sekolah. Hal ini disebabkan disebagian daerah jumlah buku teks telah dipenuhi kebutuhannya pada tahun sebelumnya. Rata-rata besar dana yang dialokasikan daerah untuk pengadaan buku teks di sekolah menunjukkan pola yang sama dengan persentase daerah yang mengalokasikan dana untuk pengadaan buku teks dalam tiga tahun terakhir, yaitu mengalami kenaikkan pada tahun 2007, dan mengalami penurunan pada tahun 2008. Bentuk bantuan pemerintah daerah (pemda) terkait dengan pengadaan buku pada umumnya adalah memberikan bantuan kepada sekolah dalam bentuk buku. Di Musi Banyuasin misalnya, pada tahun 2008 pemerintah daerah memberikan bantuan dalam bentuk buku sebanyak delapan jenis/judul buku per siswa untuk memenuhi seluruh kebutuhan buku teks siswa, selain buku-buku yang telah dipenuhi melalui program BOS Buku.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
42
3. Rekomendasi 1) Sistem pendataan sekolah dan jumlah siswa masih menjadi kendala yang harus diatasi dengan cara mempercepat pembangunan sistem jaringan informasi mulai dari pusat hingga ke sekolah, agar pelaksanaan pendataan menjadi lebih mudah dan akurat. 2) Dalam pemanfaatan dana BOS Tunai diperbolehkan untuk membeli buku teks atau buku penunjang, dan ada bantuan dari pemerintah daerah yang mengalokasikan dana APBD untuk pengadaan buku di sekolah. Untuk itu perlu ada aturan yang jelas dan konkrit terhadap program pengadaan Buku di sekolah, dan keberlangsungan program BOS Buku perlu ditinjau kembali untuk tahun-tahun mendatang. 3) Adanya pengelola sekolah yang tidak membolehkan siswa meminjam buku untuk dibawa pulang sebagai dampak dari keharusan penggunaan buku untuk beberapa tahun dapat mengorbankan efektivitas penggunaan buku. Untuk itu sekolah seharusnya mengutamakan kepentingan siswa dalam penggunaan buku. Untuk pemeliharaan dan penambahan kekurangan buku sekolah dan pemerintah daerah harus menganggarkan dana khusus itu.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
43
STUDI PENDANAAN PENDIDIKAN DI DAERAH
1. Pendahuluan Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XIII tentang Pendanaan Pendidikan disebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat. Namun dalam UU yang sama, Bab VIII Tentang Wajib Belajar, disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya Wajib Belajar minimal pada jenjang Pendidikan Dasar tanpa memungut biaya. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut sangat tegas bahwa pembiayaan pendidikan, meskipun menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, namun khusus untuk pendidikan dasar menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini ditunjang dengan kewajiban 20 persen APBN maupun APBD untuk dialokasikan kepada sektor pendidikan agar tanggungjawab yang seharusnya dipikul masyarakat dalam hal pembiayaan pendidikan menjadi berkurang. Meskipun demikian, hingga saat ini masyarakat masih merasa beban biaya pendidikan yang tinggi dan memberatkan. Hal ini disebabkan karena banyak sekolah masih membebani masyarakat dengan berbagai pungutan, meskipun Pemerintah telah memberikan dana operasional melalui Program BOS dan BOS Buku, serta program pembiayaan pendidikan lainnya yang diberikan oleh beberapa daerah dalam rangka mendukung Program BOS dan BOS Buku. Secara umum studi ini bertujuan untuk menghasilkan bahan kebijakan tentang pembiayaan pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang efisien dan efektif dalam menjamin keberlangsungan kegiatan belajar mengajar dan pengurangan beban masyarakat dalam membiayai pendidikan anak-anak mereka. Secara khusus studi ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui kebijakan daerah dalam pembiayaan pendidikan, khususnya jenjang pendidikan dasar; 2) Mengetahui kapasitas keuangan dan komposisi pembiayaan di tingkat satuan pendidikan dasar; dan 3) Mengetahui peran Program BOS dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah dan orangtua siswa. Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah gabungan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei dengan sasaran utama kepala sekolah dan orangtua murid. Sedangkan pendekatan kualitatif lebih ditujukan pada pengambil kebijakan di daerah, provinsi, dan kabupaten/kota, serta orangtua siswa.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
44 Populasi studi ini adalah SD/MI dan SMP/MTs negeri dan swasta yang berada dibawah binaan Dinas Pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2007, jumlah SD/MI di Indonesia berjumlah 44.591 buah, terdiri dari 37.247 SD/MI Negeri dan 7.344 SD/MI Swasta. Sedangkan, jumlah SMP/MTs pada tahun 2007 adalah 13.001 buah, terdiri dari 5 987 SMP/MTs Negeri dan 7.014 SMP/MTs Swasta (PSP-Balitbang Depdiknas, 2008). Sampel ditentukan dengan metode cluster stratified sampling. Sampel ditetapkan dalam 2 strata. Mula-mula ditentukan sampel kabupaten/kota dengan cara mengelompokkan kabupaten/kota ke dalam beberapa cluster kabupaten/kota sejenis. Di masing-masing kabupaten/kota sampel, dipilih SD dan SMP sampel. Sedangkan sampel orangtua dipilih di masing-masing sekolah bedasarkan keterwakilan kelas. Provinsi yang menjadi sampel sebanyak 12 yaitu, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo, Papua, dan Papua Barat. Pemilihan sampel kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan tingkat kemiskinan setiap kabupaten/kota yang ditunjukkan oleh persentase penduduk miskin. Di setiap kabupaten/kota dipilih sebanyak 24 yang terdiri dari SD dan SMP. Pemilihan sampel sekolah juga mempertimbangkan lokasi sekolah yang dapat memenuhi kriteria perkotaan dan pedesaan serta jumlah siswa yang terdaftar di sekolah tersebut (school size). Instrumen yang digunakan untuk pejabat Diknas dan orangtua siswa adalah pedoman wawancara serta untuk kepala sekolah adalah kuesioner. Data dan informasi yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara mendeskripsikan hasil wawancara dan studi terhadap berbagai dokumen yang terkait dengan pembiayaan pendidikan pada satuan pendidikan serta analisis secara kuantitatif untuk data yang dikumpulkan melalui kuesioner. Selain itu dianalisis dengan metode deskriptif evaluatif terhadap setiap variabel yang dapat mengindikasikan dampak berbagai kebijakan daerah mengenai pembiayaan pendidikan dasar.
2. Temuan Pada bagian ini akan dibahas mengenai kebijakan daerah dalam pembiayaan pendidikan, kapasitas keuangan di tingkat sekolah, dan peran program BOS dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah. 2.1 Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Daerah (Kabupaten/Kota)
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
45 1) Dasar Hukum Pembiayaan Pendidikan di Daerah Salah satu dasar hukum dari pembiayaan pendidikan di daerah yaitu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang mana pada Bab XIV Pasal 50 ayat (5), mengamanatkan bahwa pemerintah kabupaten/kota mempunyai tugas dan tanggungjawab utama dalam mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Meskipun tanggungjawab utama berada di tingkat kabupaten/kota, namun sumber dana untuk sektor pendidikan di setiap daerah tidak semata-mata mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun juga berasal dari DAU, DAK, dan Block Grant (misalnya BOS) dari pemerintah pusat. Penggunaan untuk sektor pendidikan, DAU dan dana dari PAD dalam pengalokasiannya sangat ditentukan oleh proses politik yang terjadi di daerah. Dalam pelaksanaannya sebagian kecil (19,2%) kabupaten/kota yang memiliki instrumen hukum yang mengatur tentang pembiayaan pendidikan dasar, baik berbentuk peraturan daerah, peraturan Bupati/Walikota, keputusan Bupati/Walikota atau yang sejenisnya. Dari sejumlah kabupaten/kota yang menyatakan memiliki aturan, sebanyak 79,9 persen menyatakan bahwa aturan yang dikeluarkan tersebut dapat berjalan secara efektif, sementara 23,1 persen sisanya menyatakan peraturan tersebut tidak efektif karena tidak ada sanksi hukum, sementara sekolah membutuhkan tambahan biaya yang hanya dapat dipungut dari orangtua siswa. 2) Besar Alokasi Dana Pendidikan dalam APBD Total APBD daerah sampel untuk sektor pendidikan pada tahun 2007 ratarata Rp145.053 milyar dan meningkat sekitar 20,51 persen pada tahun 2008 menjadi Rp174.802 Milyar. Namun demikian, persentase peningkatan total anggaran untuk sektor pendidikan tersebut lebih rendah dari persentase peningkatan APBD secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan komposisi anggaran untuk sektor pendidikan (di luar biaya personil) terhadap total APBD menurun dari 23,38 persen pada tahun 2007 menjadi 21,16 persen pada tahun 2008. Variasi besar alokasi APBD untuk sektor pendidikan merupakan cerminan dari kemampuan keuangan daerah yang ditunjukkan oleh total APBDnya. Berdasarkan data total APBD kabupaten/kota tahun 2008, kabupaten/kota dengan total APBD yang lebih tinggi tidak menjamin lebih tingginya alokasi anggaran untuk sektor pendidikan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
46 2.2 Kapasitas Keuangan Tingkat Satuan Pendidikan Dasar 1) Mekanisme Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan rencana kegiatan sekolah selama satu tahun yang mencakup; (1) kegiatan pokok yaitu kegiatan belajar mengajar dan pembinaan kesiswaan, (2) kegiatan penunjang proses belajar mengajar, serta pada sekolah tertentu (3) kegiatan peningkatan mutu, dan (4) pembangunan fisik yang dikaitkan dengan dana yang digunakan. Tujuan penyusunan RAPBS adalah : (1) Sebagai pedoman bagi penyelenggara sekolah dalam penggunaan dana selama satu tahun, (2) sebagai acuan penyusunan pertanggungjawaban sekolah yang merupakan perwujudan akuntabilitas sekolah, (3) sebagai acuan bagi aparat pengawasan baik struktural, fungsional maupun pengawasan masyarakat dalam penyelenggaran manajemen keuangan sekolah, dan (4) sebagai tolok ukur pelaksanaan evaluasi manajemen keuangan yang dilakukan sekolah. Mekanisme penyusunan RAPBS adalah sebagai berikut: (1) Kepala sekolah mengadakan rapat sekolah yang dihadiri seluruh guru, karyawan dan komite (ketua dan sekretaris) untuk persiapan penyusunan RAPBS. Agenda utama rapat adalah menyampaikan sumber pembiayaan dan besarnya dana yang akan diterima sekolah dalam tahun pelajaran berjalan serta meminta seluruh guru,TU dan Komite untuk mempersiapkan usulan kebutuhan. (2) Kepala sekolah dibantu staf tata usaha menyiapkan format-format yang diperlukan dalam penyusunan RAPBS sesuai kebutuhan, (3) Kepala membagikan format analisis kebutuhan alat/bahan/sarana dan biaya kepada seluruh komponen sekolah. (4) Kepala sekolah bersama staf tata usaha melakukan rekapitulasi dan meneliti kebutuhan alat/bahan/sarana dan biaya, (5) Kepala sekolah mengadakan rapat bersama untuk menentukan skala prioritas disesuaikan dengan anggaran yang ada dan menentukan jadwal waktu pelaksanaan belanja alat/bahan dan pembiayaan dan hasilnya, (6) Kepala sekolah dan staf tata usaha/ petugas yang ditunjuk memilah dan mengelompokkan kebutuhan anggaran berdasarkan sumber pembiayaan, (7) Kepala sekolah dan staf tata usaha/guru yang ditunjuk merekap pembiayaan, (8) Kepala sekolah dan staf tata usaha /guru yang ditunjuk melaksanakan finalisasi dokumen RAPBS
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
47 (9) Kepala sekolah mengadakan rapat bersama seluruh guru dan karyawan dan pengurus komite (ketua dan sekretaris) membahas draf RAPBS final. (10) Komite sekolah mengadakan rapat dengan seluruh anggota untuk membahas draf final RAPBS, (11) Hasil pembahasan rapat anggota komite sekolah disampaikan kepada kepala sekolah untuk dilaksanakan. (12) Kepala sekolah dengan mempertimbangkan masukan rapat anggota komite merevisi draf final RAPBS menjadi APBS yang ditandatangani oleh kepala sekolah, ketua komite dan dimintakan pengesyahan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. (13) Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota mengadakan penelitian kebenaran administratif APBS. (14) Dokumen APBS yang telah disyahkan didistribusikan kepada (a) komite, (b) kepala sekolah, (c) tata usaha, (d) urusan kurikulum, (e) urusan humas, (6) urusan sarpras, (7) urusan kesiswaan dan (8) Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
2) Penerimaan Sekolah Berdasarkan analisis total penerimaan sekolah dari berbagai sumber selain gaji PNS dalam empat tahun terakhir selalu mengalami peningkatan. Peningkatan yang sangat berarti terjadi antara pada tahun 2005/2006, yaitu tahun pertama kali program BOS diluncurkan. Pada tahun ajaran 2004/2005, rata-rata total penerimaan sekolah hanya sejumlah Rp34.383 Juta, kemudia melonjak lebih dari dua kali lipat pada tahun ajaran 2005/2006 menjadi Rp110.811 Juta. Pada tahun 2006/2007, rata-rata total penerimaan sekolah kembali meningkat menjadi Rp181.220 Juta, dan menjadi 185.305 Juta pada tahun 2007/2008. Pada tahun 2007/2008, terdapat dua jenis penerimaan yang mengalami penurunan, yaitu penerimaan dari APBD kabupaten/kota, dan BOS Buku. Penurunan jumlah penerimaan BOS Buku pada tahun 2008 diakibatkan oleh berkurangnya alokasi dana dari pusat untuk BOS Buku terkait dengan kebijakan pemotongan anggaran, sementara penurunan penerimaan dari APBD kabupaten/kota disebabkan karena dana APBD yang sebelumnya dialokasikan untuk membantu biaya operasional sekolah dialihkan ke sektor lain.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
48 2.3 Peran Program BOS dalam Pemenuhan Kebutuhan Pembiayaan Pendidikan Tingkat Dasar 1) Pengaruh Program BOS terhadap Kebijakan Pembiayaan Pendidikan oleh Daerah Sebanyak 46,15% kabupaten/kota menyatakan, dampak keberadaan program BOS terhadap pengalokasian APBD untuk sektor pendidikan pada umumnya positif, sebanyak 15,38 persen menyatakan tidak berpengaruh apa-apa (tetap), dan sekitar 7,69 persen responden yang menyatakan keberadaan BOS menyebabkan alokasi anggaran pendidikan dari APBD menjadi berkurang. Pada tahun 2007/2008, terdapat sekitar 60 persen kabupaten/kota yang memberikan bantuan dana operasional ke sekolah-sekolah di wilayahnya, sementara 40 persen kabupaten/kota lainnya tidak memberikan bantuan berupa dana, melainkan berupa barang atau bantuan lainnya. Bantuan Pemda kab/kota dalam bentuk uang biasanya diberikan kepada SD dan SMP Negeri berupa biaya rutin dan gaji/tunjangan guru PNS, sementara untuk SD dan SMP Swasta biasanya dalam bentuk barang atau block grant. Bagi kabupaten/kota yang pada tahun 2007 dan sebelumnya mengalokasikan APBD nya untuk membantu Biaya Operasional ke sekolah-sekolah, ternyata pada tahun 2008, sebanyak 40 persen tetap mengalokasikan dana operasional dalam jumlah yang sama, sebanyak 35 persen justru menambah alokasi dana, sebanyak 5 persen mengurangi jumlahnya, dan terdapat sekitar 20 persen kabupaten/kota yang bahkan menghentikan alokasi dana operasional tersebut. Berdasarkan data di tersebut nampak bahwa pada sebagian besar kabupaten/kota, keberadaan program BOS tidak berpengaruh terhadap jumlah alokasi APBD yang sebelumnya dialokasikan untuk membiayai operasional sekolah, bahkan alokasi dana tersebut di sejumlah kabupaten/kota justru menambah cukup banyak (sekitar 35%) alokasi anggarannya. Kondisi menunjukkan bahwa daerah memiliki komitmen yang cukup tinggi untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan pendidikan dasar. Namun demikian, pada sekitar seperempat (25%) kabupaten/kota, keberadaan program BOS menyebabkan daerah mengurangi atau bahkan menghentikankan pengalokasian dana untuk biaya operasional sekolah dan mengalihkan guna membiayai keperluan lainnya. 2) Partisipasi Pembiayaan Pendidikan oleh Masyarakat Sebanyak 73,08 persen responden menyatakan keberadaan program BOS terhadap partisipasi masyarakat di sektor pendidikan dasar berdampak
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
49 positif, dan sebanyak 23,08 persen responden menyatakan partisipasi masyarakat menurun, serta sebagian kecil lainnya (3,85%) menyatakan tidak memberi dampak apapun terhadap partisipasi masyarakat. Peningkatan partisipasi masyarakat utamanya dalam bentuk perhatian dan antusiasme untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar. Sementara responden yang menyatakan partisipasi masyarakat justru menurun setelah adanya BOS lebih dimaksudkan pada berkurangnya iuran atau pungutan lain yang dibayarkan orangtua siswa.
3. Rekomendasi 1) Guna menjamin terpenuhinya kebutuhan biaya pendidikan yang memadai pada jenjang pendidikan dasar diperlukan kemauan politis (political will) yang kuat dari pemimpin daerah dan sebaiknya dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan setingkat Perda agar dapat menjamin keberlangsungan kebijakan tersebut dalam jangka panjang. 2) Beberapa aspek penting yang perlu diatur dalam kebijakan pembiayaan pendidikan dasar di daerah antara lain mengatur tentang komponen biaya yang boleh atau tidak boleh dipungut oleh sekolah atau jenis biaya dan nilai maksimum pungutan yang diperkenankan kepada orangtua siswa. Kebijakan tersebut sebaiknya diberi label ―Pendidikan Gratis‖, namun perlu disosialisasikan juga tentang pengertian ―gratis‖ tersebut kepada orangtua siswa dan stakeholder lainnya agar terdapat komitmen yang kuat dalam menjalankan dan menimbulkan kepedulian dari masyarakat untuk mengawasinya. 3) Meskipun Pemerintah Pusat telah dan akan terus meningkatkan besar alokasi anggaran untuk program pendanaan pendidikan di daerah, namun pemerintah daerah diharapkan tetap memenuhi kebutuhan biaya minimal (foundation level), untuk kegiatan pembelajaran di sekolah sementara program-program pembiayaan dari Pusat, seperti BOS merupakan penunjang.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
50
Pengkajian Pembukaan dan Penutupan Program Studi di Perguruan Tinggi
1. Pendahuluan Perguruan Tingi (PT) adalah salah satu lembaga penghasil sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan negara lain di era globalisasi. Sehubungan dengan itu, pemerintah menetapkan tiga pilar kebijakan pendidikan melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN-2003), Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (20052009) bidang pendidikan serta peraturan perundangan yang mendukungnya. Dalam rangka menghadapi pengaruh globalisasi, pemerintah (Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI), Depdiknas) pada tahun 2003 telah membuat kerangka pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang (KPPTJP IV) atau higher education long term strategy (HELTS). Dalam KPPTJP IV (2003-2010) tersebut, paradigma baru pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia diarahkan kepada tiga isu utama, yaitu: a) peningkatan daya saing bangsa (nation’s competitiveness), b) otonomi (autonomy), c) pengelolaan pendidikan dan peningkatan kesehatan organisasi penyelenggaraan pendidikan tinggi (organizatinal health). Selanjutnya, Mendiknas mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi; Kepmen Diknas Nomor 184/U/2001 tentang Pedoman Pengawasan Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana, dan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Depdiknas Nomor 108/DIKTI/Kep/2001 tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembukaan Program Studi, dan Surat Dirjen Dikti Nomor 302/D/T/2003 tentang Evaluasi Ijin. Menindaklanjuti hal tersebut, Dirjen Dikti dalam surat Keputusan Dikti No 204/DK/SK/2008 mengatakan 761 program studi baru dari 167 perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) akan dibuka. Pembukaan program studi baru tersebut mempertimbangkan berbagai hal, antara lain: kebutuhan masyarakat masa depan, program sebuah program studi (prodi) baik akademis maupun non akademis, best practicenya, dan aspek politik. Untuk menghadapi perkembangan ini, beberapa perguruan tinggi melakukan perubahan dengan menata program studinya yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan kemampuan riset untuk mencapai pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
51 (economy). Namun, pembukaan dan penutupan program studi tersebut menimbulkan pro dan kontra mengingat menurut sebagian kalangan, pembukaan dan penutupan prodi tersebut tidak berdasarkan alasan yang substansial. Banyak lulusan PT yang tidak terserap oleh dunia kerja apalagi mengatasi persoalan global sekarang ini. Produk PT terutama produk program studi tertentu bukan hanya tidak diminati lagi oleh pasar kerja tapi juga sudah jenuh dan kurang bermutu bahkan ijazahnya tidak sah. Disamping itu, banyak perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar dan memaksa diri untuk membuka program studi (Prodi) baru karena mengikuti trend tanpa melakukan kajian, studi, dan analisis yang komprehensif mengenai kebutuhan tenaga kerja yang akan diisi oleh produk prodi dari PT tertentu. Kondisi ini disinyalir pula oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal yang mengatakan bahwa pembukaan dan penutupan program studi sangat tergantung dari analisa perguruan tinggi. Ki Supriyoko (2008) mengomentari pula bahwa ―Pembukaan prodi sepertinya sekedar ganti baju. Pasalnya, standar yang dipakai Dikti hingga kini masih limbung. Tak hanya soal peluang kerja, tetapi yang lebih prinsip adalah nihilnya paradigma keilmuan yang belum terlihat sebagai blue print yang standar, baik nasional, regional, apalagi internasional‖. Akibatnya, jenuhnya pasar terhadap lulusan program itu lantaran jumlah lulusan telah berlimpah. Ketidakjelasan alasan yang mendasari pembukaan/penutupan program studi tersebut mengakibatkan banyak produk prodi dari PT yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disamping itu, bukan hanya prodi baru yang banyak dibuka, tetapi banyak PT baru yang tidak jelas pendiriannya. Akibatnya, pendirian PT dan pembukaan prodi baru tersebut sangat merugikan masyarakat karena bukan hanya produk Prodi atau produk PT sudah jenuh tapi juga tidak berkualitas. Peningkatan kualitas dan daya saing prodi dalam menghadapi era globalisasi bisa dipastikan tidak akan tercapai. Selain itu, Dalam membuka prodi, Dikti mensyaratkan 30 mahasiswa dalam satu angkatan dan adanya persyaratan minimal rasio dosen. Untuk kelompok ilmu eksakta, rasio dosen dan mahasiswa 1:20 dan kelompok ilmu sosial 1:30. Hal ini menjadi bumerang bagi PT yang tidak siap atau PT yang kurang mampu melaksanakan ketentuan tersebut. Namun demikian, masih banyak PT yang membuka program studi baru tanpa memperhatikan persyaratan yang telah ditetapkan Depdiknas (Dikti). Lebih memprihatinkan lagi, ada PT yang membuka prodi tanpa ijin dari Dikti dan lebih aktif mempromosikan keunggulanya untuk membohongi masyarakat. Hal ini sangat merugikan calon mahasiswa telah tergiur dengan promosi tersebut dan bisa dipastikan mutu prodi-prodi itu tidak sesuai dengan yang dipromosikan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
52 Hasil penelitian Balitbang Diknas tahun 2006 terungkap bahwa secara keseluruhan, kondisi mutu PT berdasarkan status akreditasi di berbagai prodi yang ada di Indonesia baik yang terdapat di PT negeri maupun swasta belum menggembirakan. Hampir separuh (48,32%) dari sekitar 13.000-an prodi tersebut baru berhasil memperoleh akreditasi B. Dampak dari kegiatan semacam itu antara lain banyak prodi yang terpaksa ditutup. Diantara prodi yang ditutup tersebut, terdapat empat prodi yang berkaitan dengan teknologi informasi (TI), keuangan dan perbankan, komputer akuntansi, manajemen informatika, teknik komputer, teknik informatika, dan akutansi. Umumnya, jenjang diploma satu, dua, dan tiga, padahal peranan TIK saat ini menjadi salah satu faktor yang fundamental dalam membangun daya saing suatu negara. Data perguruan tinggi yang tutup tersebut terlihat dalam tabel berikut:
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan penelitian yang komprehensif mengenai pembukaan dan penutupan program studi di perguruan tinggi. Masalah penelitian adalah: 1) Bagaimana perencanaan, proses, pelaksanaan, kendala dan cara mengatasi kendala, evaluasi, pengawasan dalam membuka prodi, dan peran pemerintah (Dikti-Depdiknas)?, 2) Apa sebab sebuah prodi ditutup?, 3) Apa dampak penutupan program studi?, 4) Bagaimana cara mengatasi dampak yang terjadi dan cara menghindari penutupan program studi?, 5) Faktor apa yang paling penting dalam
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
53 menentukan kebijakan penutupan prodi?, dan 6) Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh Diknas (Dikti) jika PT yang membuka prodi dan melaksanakan kuliah kelas jauh?. Tujuan Umum penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai pembukaan dan penutupan program studi di Perguruan Tinggi. Lebih khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai: 1) Pembukaan program studi di Perguruan Tinggi (PT) meliputi: perencanaan, perijinan, proses, pelaksanaan, kendala, cara mengatasi kendala, pengawasan, dampak, dan peran pemerintah (Diknas/Dikti) dan lembaga lain.
2) Penutupan program studi di Perguruan Tinggi (PT) meliputi: sebab penutupan prodi, dampak penutupan program studi, cara mengatasi dampak yang terjadi, dan cara menghindari penutupan program studi. Ruang lingkup penelitian meliputi pembukaan dan penutupan program studi pada Perguruan Tinggi (PT) yang berbadan hukum negara (BHMN), perguruan tinggi negeri (PTN), dan perguruan tinggi swasta (PTS).
2. Kajian Pustaka Kajian pustaka ini membahas mengenai hakekatnyapenyelenggaraan pendidikan tinggi). pembukaan dan penutupan program studi di PT yang mencakup tujuan pembukaan prodi, kualitas prodi, manfaat prodi, dan peran utama program studi dan perguruan tinggi.
3. Metode Penelitian Pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian adalah ini adalah pendekatan campuran kuantitatif dan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Populasi penelitian adalah semua pejabat/dan mantan pejabat, serta ketua/anggota lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat di perguruan tinggi (PT) di enam propinsi yaitu: Nusa Tenggara Barat (NTB), propinsi Bali, propinsi Daerah Khusus Yogyakarta (DIY), Propinsi Jawa Barat, Propinsi Sumatera Barat, dan propinsi Sumatera Utara. Sedangkan sample penelitian adalah 160 responden yang dipilih secara purposive terdiri atas pejabat dan mantan pejabat, ketua dan anggota lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat di PT swasta dan negeri, yaitu: Pimpinan/Mantan Pimpinan PT
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
54 yang menangani bidang Pendidikan, seperti Pembantu/Mantan Pembantu Rektor I, Dekan/Mantan Dekan Fakultas, Pembantu/Mantan Pembantu Dekan I, Ketua/Mantan Ketua Jurusan, Ketua/Mantan Ketua Prodi, dan Dosen (senior) yang menjadi anggota senat akademik atau pernah menjadi senat akademik. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2008 selama 7 bulan mulai bulan April sampai bulan Oktober 2008.. Alat dan teknik pengumpulan data penelitian adalah: 1) instrumen pembukaan dan penutupan prodi, 2) pedoman studi dokumentasi, dan 3) pedoman wawancara dan pedoman Focus Group Discussion (FGD). Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan memprosentasekan jawaban nara sumber (responden). Hal ini dilakukan untuk mengetahui berapa banyak nara sumber yang menjawab pertanyaan atau yang memberi pernyataan dalam setiap butir instrumen yang ditanyakan. Teknik memprosentasekan jawaban nara sumber seperti ini boleh digunakan seperti yang dikatakan oleh Arikunto (2000:352) bahwa data prosentase (yang dinyatakan dalam bilangan merupakan ukuran kuantitatif) dan hanya merupakan langkah awal dari keseluruhan penelitian. Selanjutnya, data yang telah diprosentasekan tersebut dikualitatifkan dan dinyatakan dalam sebuah predikat yang menunjukkan pernyataan keadaan ukuran kualitas dalam bentuk paling besar, sedang, kecil atau paling baik, baik, kurang baik dan tidak puas, kurang memuaskan, memuaskan, dan sangat memuaskan. Data yang sudah dikualitatifkan tersebut dibahas secara sistematis yaitu dengan cara menguraikan, mensintesis, membandingkan, mengkombinasikan dengan hasil penelitian orang lain, membandingkan dengan teori dan memberikan komentar atau argumentasi. Proses analisis, penilaian, dan pengecekan data dilakukan selama penelitian berlangsung. Prosedur tersebut dilakukan agar data yang dianalisis tersebut bisa mendekati kebenaran sesuai dengan prosedur analisis data kualitatif seperti yang dianjurkan oleh Strauss dan Corbin (1990:62) yang menekankan pentingnya membandingkan dan menanyakan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan data tersebut. Hal ini juga ditegaskan oleh Moleong (2000: 6-7) bahwa penelitian kualitatif lebih mementingkan proses dari pada hasil. Oleh karena itu, data tersebut dapat dibandingkan dengan catatan lapangan, dokumen resmi atau dokumen pribadi.
4. Hasil Penelitian Umum: Pembukaan dan Penutupan Program Studi Secara administrasi, sebagian besar Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta mengikuti aturan dan syarat pembukaan Prodi yang ditetapkan oleh
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
55 Dikti, namun pelaksanaanya khususnya di sebagian PTS, syarat-syarat tersebut banyak dimanipulasi terutama tenaga pengajar. Banyak PTS yang meminjam nama professor atau doktor dari PTN dimana seorang guru besar didaftar namanya sebagai guru besar tetap yayasan padahal seorang guru besar tersebut sudah mempunyai tugas tetap di PTN. Disamping itu, ditemukan juga bahwa sebagian besar PT tidak secara cermat melakukan penelitian dan analisis kebutuhan pasar untuk prodi yang akan dibuka. Selanjutnya, dalam membuka prodi perlu keterlibatan Asosiasi Profesi (Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Psikologi, Ikatan Sarjana Pendidikan, Ikatan Sarjana Pertanian, dsb) dalam proses pembukaan dan penutupan program studi untuk memberi masukan mengenai bidang yang diperlukan. Alasan yang mendasar dalam membuka prodi baru di PT adalah sebagian besar responden mengatakan untuk: 1) memenuhi permintaan pasar kerja di masyarakat, b) memperluas layanan pendidikan tinggi bagi masyarakat, dan c) pengembangan IPTEK. Kendala utama dalam proses perijinan pembukaan prodi adalah sebagian besar PT khususnya PTS sulit mendapatkan tenaga dosen/tenaga ahli seperti tenaga profesor dan tenaga doktor. Untuk mengatasi kendala tersebut, PT meminjam tenaga dari PT lain dan mengangkat tenaga yang sudah pensiun. Kebijakan penutupan prodi merupakan salah satu cara untuk memecahkan masalah di prodi yang bersangkutan karena hal ini akan membantu mahasiswa baru tidak menjadi korban. Disamping itu, Diknas (Dikti) dalam mengahadapi maraknya program kelas jauh yang dilaksanakan oleh beberapa PT akhir-akhir ini harus: a) mengambil tindakan tegas dengan menutup prodi tersebut, b) tidak mengakui ijazah dari prodi tersebut, c) bekerjasama dengan pihak keamanan untuk menutup prodi tersebut dan menangkap pelakunya, dan d) memberikan sanksi tegas bagi penyelenggara untuk menimbulkan efek jera dengan mencabut ijin penyelenggaraannya. Jika PT yang membuka prodi dan melaksanakan kuliah kelas jauh tersebut ternyata berkembang dan mampu memenuhi tuntutan masyarakat dan produknya terserap pasar, Diknas (Dikti) sebaiknya: a) membiarkan prodi tersebut berjalan dan b) membantu prodi tersebut dengan melakukan pembinaan. Khusus: Pembukaan Program/Jurusan 1) Perencanaan Dalam membuka dan menutup program studi, secara adminstrasi Perguruan Tinggi (PT) melaksanakannya berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Depdiknas/Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Secara umum dalam merencanakan pembukaan prodi, PT membuka prodi berdasarkan ketentuan pemerintah dan kebutuhan pasar,
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
56 namun diantara PT tersebut masih banyak yang tidak melakukan prosedur tersebut. Disamping itu, PT tertentu hanya mengikuti persyaratan adminstrasi saja tapi dalam pelaksanaan kegiatan prodi tidak dilakukan. 2) Proses Dalam membuka dan menutup prodi, proses pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: kurangnya pengawasan dari Depdiknas (Dikti) di tempat PT yang membuka prodi baru tersebut. Dalam menentukan kebijakan pembukaan prodi tersebut, banyak PT yang membuka prodi tidak berdasarkan hasil penelitian/kajian terutama dilihat dari aspek: preservasi, pengembangan ilmu, profesi, kebutuhan dan politik pasar. 3) Pelaksanaan Pelaksanaan pembukaan prodi banyak yang tidak sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan sebelumnya. Prodi di PTS khususnya di PTS di daerah banyak yang melaksanakan kegiatan perkuliahan yang tidak sesuai dengan persyaratan pelaksanaan prodi. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa PTS-PTS tersebut melaksanakan kegiatan prodinya hanya dua kali sebulan dan memperoleh ijazah kurang dari waktu yang ditetapkan. Disamping itu, prodi-prodi yang dibuka oleh PT-PT tersebut banyak yang tidak mampu memprediksi kebutuhan prodi itu sendiri sesuai dengan kebutuhan pasar terutama prediksi jangka panjang. Akibatnya, banyak prodi yang ditutup kegiatanya karena produknya sudah terlalu banyak dan tidak dipakai oleh pasar karena kualitasnya sangat rendah. Lebih rinci ditemukan bahwa pelaksanaan pembukaan prodi adalah:
(1)
Secara adminisrasi sebagian besar Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta mengikuti aturan dan syarat pembukaan Prodi yang ditetapkan Dikti, namun pelaksanaanya khususnya di sebagian PTS, syarat-syarat tersebut banyak dimanipulasi terutama mengenai tenaga pengajar. Banyak PTS yang meminjam nama profesor atau doktor dari PTN dimana seorang guru besar didaftar namanya sebagai guru besar tetap yayasan padahal seorang guru besar tersebut sudah mempunyai tugas tetap di PTN.
(2)
Kegiatan belajar termasuk kurikulum banyak yang tidak sesuai dengan komitmen PT ketika mengajukan izin membuka prodi, misalnya: PT melaksanakan kuliah untuk memperoleh ijazah S1 diperlukan waktu minimal 4 tahun atau delapan semester dengan beban jumlah kredit tertentu. Namun pelaksanaanya hanya kurang dari ketentuan tersebut.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
57
(3)
Sebagian besar (63,81%) responden mengatakan bahwa PT dalam membuka prodi tidak berdasarkan hasil penelitian lembaga penelitian atau lembaga lain (LP3/KP3 dan hanya berdasarkan desk evaluation.
(4)
Sebagian besar (60%) responden mengatakan faktor yang banyak digunakan oleh PT untuk menentukan kebijakan pembukaan prodi adalah berdasarkan portofolio.
(5)
Sebagian besar PT sudah mempunyai SOP dalam membuka dan menutup program studi dikatakan oleh sebagian besar (60,18%) responden.
(6)
Ketersedian best practise pada tingkat Akademis dan Non-akademis terungkap bahwa sebagian besar (71,43%) responden mengatakan ada, misalnya: Pada tingkat akademis, untuk menghasilkan program studi yang mampu mencapai tujuan prodi, adalah: a) pembuatan kurikulum, b) inovasi pembelajaran sehingga lulusan dapat memperoleh kompetensi seperti yang diharapkan, dan c) penelitian mengenai potensi daerah. Pada tingkat non akademis adalah pengembangan soft skill dalam organisasi.
(7)
Keunggulan yang ditawarkan oleh prodi dalam bidang akademik diperoleh informasi bahwa PT mempromosikan teknologi informasi keilmuwan, melaksanakan berbagai best practise dalam pembelajaran, mempromosikan bidang keilmuan yang dibutuhkan dalam era globalisasi (penguasaan ilmu pengetahuan dan bahasa asing), mempromosikan metode atau sistem kuliah yang inovatif, dan menampilkan prospek masa depan mahasiswa.
(8)
Keunggulan yang ditawarkan oleh prodi dalam bidang NonAkademik terungkap bahwa sebagsian besar (17,94%) responden menawarkan beasiswa. Selain pilihan tersebut di atas, ada keunggulan lain yang ditawarkan oleh prodi dalam bidang non akademik, yaitu bantuan financial yang membutuhkan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
(9)
Sebagian besar (63,08%) responden mengatakan perlunya Depdiknas dan Asosiasi Profesi membantu proses pembukaan prodi pada tingkat akademis yaitu: 1) memberikan pertimbangan, 2) tukar menukar informasi dan fasilitasi, 3) kajian kebutuhan tenaga kerja, 4) mendampingi, mengevaluasi, dan memberi solusi penyelesaian jika terjadi hambatan, 5) membuat aturan yang jelas, dan 6) memberi dana beasiswa bagi dosen.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
58
(10) Kerjasama antar PT dalam membuka Prodi baru adalah saling membantu dalam menyediakan tenaga dosen.
(11) Prodi yang bersifat sesaat bisa buka dan ditutup setiap saat (alternate year)‖, artinya program studi yang layak dapat ditawarkan kepada masyarakat setiap lima tahun sekali. Evaluasi program ―alternate year‖ dapat dilakukan oleh badan/panitia adhoc. 4) Pengawasan Pengawasan pembukaan dan penutupan prodi yang dilakukan oleh unit terkait terhadap PT yang membuka prodi seperti Depdiknas (Dikti dan Kopertis), belum dilakukan sesuai dengan rencana awal. Mengenai SOP, baru sebagian PT terutama negeri yang mempunyai SOP untuk Sistem Penjaminan Mutu pelaksanaan Prodi, sedangkan kebanyakan PT swasta tidak mempunyai SOP. Pengawasan dilakukan oleh internal PT yang bersangkutan berjalan dengan baik walaupun belum maksimal. Dikti belum melakukan pengawasan sampai pada tingkat PT. Kopertis belum melakukan pengawasan khususnya pada PT swasta. Badan Akreditasi Nasional (BAN) baru sampai pada ketentuan saja, tapi dalam prakteknya belum semua dilakukan pada tingkat PT. 5) Peran Diknas/lembaga lain Peran Dikti selama ini masih terkait pada penyeleksian kelengkapan administrasi pembukaan prodi oleh PT. Peran Depdiknas (Dikti) di tingkat akademis tidak banyak, hanya ikut memberikan saran dalam menentukan program dan menentukan kriteria pembukaan prodi. Dikti belum menilai dan memverifikasi semua data dan persyaratan yang diajukan oleh PT dan belum mengawasi pelaksanaanya untuk melihat keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Disamping itu, Dikti belum mengadakan monitoring dan evaluasi secara berkala mengenai prodi yang dibuka. Dikti baru menentukan kriteria pembukaan prodi. 6) Kendala Kendala, halangan atau kesulitan yang dihadapi dalam menentukan kebijakan pembukaan prodi di Perguruan Tinggi (PT) bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Kendala lain adalah kurangnya hasil penelitian yang bermutu dan mampu memberikan saran pada PT, kurangnya dana, dan terbatasnya sumber daya khususnya tenaga guru besar dan doktor dalam bidang yang sesuai dengan prodi yang dibuka.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
59 Penutupan Program Studi Dalam penutupan prodi, berikut terungkap beberapa temuan, yaitu: 1) Alasan penutupan prodi adalah prodi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, lulusan prodi sudah terlalu banyak/jenuh sehingga tidak terserap oleh dunia kerja dan biaya operasional prodi terlalu mahal. 2) PT menyampaikan rencana penutupan prodi ke DIKTI sebelum menutup prodi terungkap sebesar 82,14% responden. Alasanya adalah mengikuti mekanisme yang ada agar Dikti bisa mengkaji kelayakan prodi termasuk peminat prodi tersebut. 3) Dampak dari penutupan prodi bagi PT terungkap sebagian besar (85%) responden mengatakan berdampak pada: 1) dosen tidak, termanfaatkan, 2) hilangnya kesempatan mahasiswa untuk mendapatkan ijazah dan gelar sesuai dengan target, pemborosan biaya, dan waktu, 3) karyawan non edukatif banyak yang mengangsur, dan 4) alat-alat laboratorium yang mahal & canggih tidak digunakan. 4) Upaya yang dilakukan oleh PT untuk mengatasi dampak dari penutupan prodi bagi dosen terungkap sebagian besar (60%) responden mengatakan dosen dialihkan ke prodi lain yang relevan di PT yang bersangkutan, 7,14% responden mengatakan pemutusan hubungan kerja dengan dosen dan diberi pesangon sesuai kontrak, dan 2,86% responden mengatakan dosen dimutasikan ke PT lain yang relevan. 5) Tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak penutupan prodi bagi mahasiswa terungkap bahwa sebagian besar (77,61%) responden mengatakan mahasiswa dialihkan ke prodi yang serumpun di PT yang bersangkutan dan 22,39% responden mengatakan mahasiswa dialihkan ke prodi lain yang sejenis di PT lain. 6) Upaya yang dilakukan oleh PT dalam mengatasi kemungkinan penutupan prodi terungkap bahwa 18,25% responden mengatakan memperbaiki kurikulum program studi sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan kebutuhan masyarakat. 7) Tidak semua program studi kalau sudah tidak layak ditutup tapi diberi kesempatan untuk memperbaiki programnya. Apabila suatu saat program studi tersebut sudah memenuhi persyaratan dapat dibuka kembali dikatakan oleh hampir semua (93,33%) responden. 8) Lembaga yang menetapkan penutupan prodi di PT terungkap sebesar 18,25% responden mengatakan Senat Universitas, 28,57% responden mengatakan Rektor, 18,25% responden mengatakan persetujuan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
60 Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas, dan 6,35% responden mengatakan Kopertis/Yayasan. 9) Faktor yang paling penting dalam menentukan kebijakan penutupan prodi di PT adalah sebesar 23,23% responden mengatakan kebutuhan PT, 10,10% responden mengatakan kebutuhan lapangan kerja/masyarakat, 3,03% responden mengatakan aspek sosial, politik, dan budaya. 10) Sebagian besar (51,09%) responden mengatakan setuju dengan kebijakan penutupan prodi yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat karena hal itu membantu memecahkan masalah di prodi yang bersangkutan. 11) Tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh Diknas (Dikti) dalam menghadapi maraknya program kelas jauh yang dilaksanakan oleh beberapa PT akhir-akhir ini diperoleh informasi bahwa sebagian besar (57,80%) responden mengatakan mengambil tindakan tegas dengan menutup prodi tersebut. 12) Tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh Diknas (Dikti) jika PT yang membuka prodi dan melaksanakan kuliah kelas jauh tersebut dan ternyata berkembang dan mampu memenuhi tuntutan masyarakat dan produknya terserap pasar diperoleh informasi bahwa 3,16% responden mengatakan membiarkan program studi itu terus beroperasi, 53,68% responden mengatakan membantu program studi tersebut dengan melakukan pembinaan, dan 43,16% responden mengatakan menggabungkan atau merger dengan program yang serupa dengan PT lain di daerah tersebut. 13) Upaya yang dilakukan oleh PT dalam mengatasi kemungkinan penutupan prodi adalah mengkaji ulang sistem pendidikan pada prodi tersebut, memperbaiki kurikulum prodi sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan kebutuhan masyarakat, bekerjasama dengan prodi lain di PT lain, prodi dimerger dengan prodi yang serumpun dalam PT itu sendiri atau merger dengan prodi yang serumpun di PT lain, diakusisi atau diambil alih oleh PT lain atau PT asing. 14) Yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak penutupan prodi bagi mahasiswa adalah mahasiswa dialihkan ke prodi yang serumpun di PT yang bersangkutan ke prodi lain yang sejenis di PT lain. 15) Dalam mengahadapi maraknya program kelas jauh yang dilaksanakan oleh beberapa PT akhir-akhir ini, Dikti mengambil tindakan tegas dengan menutup prodi tersebut, tidak mengakui ijazah dari prodi tersebut, dan bekerjasama dengan pihak keamanan untuk menutup program tersebut dan menangkap pelakunya.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
61
5. Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan Berdasarkan temuan penelitian dapat disimpulkan, sebagai berikut: Pembukaan dan penutupan program studi (prodi) oleh perguruan tinggi (PT) belum semuanya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Depdiknas. Masih banyak PT yang membuka prodi tidak berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang komprehensif mengenai tujuan, manfaat prodi, dan kajian kebutuhan masyarakat serta kebutuhan masa depan prodi itu sendiri. Persyaratan yang ditetapkan oleh Depdiknas belum semuanya diikuti oleh PT yang membuka prodi baru. PT baru memenuhi ketentuan adminstrasi saja dan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan khususnya PT swasta. Ketentuan yang mengharuskan adanya tenaga profesional seperti profesor atau doktor dalam bidang yang sesuai dengan prodi yang dibuka belum terpenuhi sehingga banyak PT yang meminjam nama profesor dan doktor dari PT lain untuk memenuhi syarat administrasi pembukaan prodi. Untuk Program Diploma dan S1 harus menyediakan dosen yang berkualifikasi minimal S2 sebanyak 4 orang dan S1 sebanyak 2 orang, S2 harus menyediakan dosen yang berkualifikasi minimal S3 sebanyak 4 orang dan S2 sebanyak 2 orang, S3 harus menyediakan dosen yang berkualifikasi minimal Profesor sebanyak 4 orang dan doktor sebanyak 2 orang. Dijumpai adanya kasus di PT swasta yang meminjam nama profesor dari PTN sebagai tenaga dosen tetap di Yayasan tersebut, padahal professor tersebut adalah pegawai negeri dan tidak diperkenankan untuk menjadi dosen tetap pada universitas swasta. Ada sejumlah profesor yang namanya tercantum di berbagai universitas swasta sebagai dosen tetap. Kalau dicerna secara mendalam, maka seorang profesor tidak akan mungkin mampu mengajar di berbagai universitas swasta, apalagi ketentuan sebagai seorang profesor harus mengajar di Universitasnya untuk sejumlah mata kuliah, di universitas swastapun harus memenuhi sejumlah mata kuliah/jam/kredit/hari dan seterusnya. PT swasta mencantumkan nama profesor atau seorang doktor sebagai syarat adminstrasi saja. DIKTI belum atau tidak memeriksa secara teliti aturan yang dikeluarkannya sehingga ada kesan bahwa swasta dengan mudah membuka program baru atau jurusan baru. Organisasi profesi di Indonesia belum berperan secara nyata dalam proses pembukaan dan penutupan Prodi. Tercatat baru organisasi profesi kedokteran seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beserta organisasi para dokter spesialis dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) yang telah berkontribusi dalam pengembangan kurikulum bahkan menentukan program studi.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
62 5.2 Saran 1) Untuk Dikti a) Tidak memberikan izin membuka prodi bagi PT yang tidak memenuhi persyaratan atau yang hanya memenuhi persyaratan administrasi saja b) Bekerjasama dengan Pemda dan aparat yang berwajib serta masyarakat untuk memantau pelaksanaan kegiatan prodi. Disamping itu, Dikti bisa memberikan tugas khusus pada PT yang berkualitas di daerah tersebut atau membentuk TIM pemantau sehingga dapat juga ikut memonitor pelaksanaan kegiatan prodi. c) Melakukan cross-check pada personil yang didaftar namanya sebagai tenaga dosen di tempat PT asalnya atau di tempat lain. Selain itu, Dikti perlu membuat data base untuk nama dosen di seluruh PT baik swasta maupun negeri. d) Membentuk Tim khusus untuk melaksanakan monitoring rutin dan berkelanjutan (kontinuitas) sejak perencanaan sampai pelaksanaan pembukaan Program Studi di PT e) Dikti dan PT disarankan untuk bekerjasama dengan Asosisasi Profesi di tingkat akademis terutama untuk membantu proses pembukaan prodi. f) Dikti perlu menawarkan ―alternate year‖, artinya program studi yang layak dapat ditawarkan kepada masyarakat setiap lima sekali. Evaluasi program ―alternate year‖ dapat dilakukan oleh badan/panitia adhoc. g) Dikti disarankan untuk menjembatani PT-PT yang akan dimerger dan memberi saran pada PT yang akan merger untuk membentuk konsorsium ‗Merger‖ yang terdiri atas PT-PT yang akan dimerger, Asosiasi Profesi, Pemda, dan Akuntan Publik. h) Untuk mengimplementasikan UU No. 20 Tahun 2005 pasal 50, sebelum terbentuknya ―lembaga evaluasi yang independen‖; Pemerintah (Ditjen DIKTI) dapat membentuk badan/panitia ―adhoc‖ yang dapat memberikan masukan untuk mengambil keputusan dalam pembukaan dan penutupan program studi. i) Pemda dan Dikti disarankan bekerjasama untuk melihat kepentingan pembukaan prodi oleh PT di daerah yang berkaitan dengan kebijakan publik (aspek politik) dan kebutuhan masyarakat sehingga tidak akan merugikan kepentingan daerah dan negara.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
63 2) Perguruan Tinggi a) Melakukan studi kelayakan mengenai kebutuhan masyarakat dan masa depan PT sebelun membuka program studi baru, bekerjasama dengan lembaga penelitian lain, masyarakat, dan asosiasi profesi sehingga produk dari prodi dapat dimanfaatkan di masyarakat dan dunia kerja serta terjaminya keberlangsungan prodi tersebut. b) Melakukan penggabungan atau merger program studi yang ditutup dengan program studi yang serupa atau berdekatan. c) PT berkoordinasi dengan lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan masyarakat serta peneliti-peneliti baik secara individu maupun peneliti-peneliti yang berada di daerah dan di lembaga-lembaga pemerintahan seperti di BAPPEDA untuk:
Meneliti mengenai kebutuhan prodi dan kebutuhan masyarakat mengenai prodi yang akan dibuka,
Mensosialisasikan hasil penelitian mengenai kebutuhan masyarakat sehingga prodi yang akan dibuka dapat menampung aspirasi masyarakat dan produknya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sosialisasi dapat pula dilakukan melalui sistem jaringan kegiatan masyarakat seperti lembagalembaga sosial seperti lembaga dakwah, posyandu, RT, RW, kelurahan, kecamatan, dan lain-lain.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
64
Penelitian Kebijakan dan Implementasi Program Penelitian dan Pengabdian Masyarakat pada Perguruan Tinggi
1. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu investasi yang sangat penting untuk menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) khususnya dalam pesaingan di era global saat ini. Melalui pendidikan, maka bangsa Indonesia akan mampu merencanakan dan menyiapkan tenaga terdidik yang mempunyai kemampuan bersaing dengan negara lain. Disamping itu, disadari bahwa perguruan tinggi (PT) merupakan lembaga pendidikan yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu guna memenuhi kebutuhan pembangunan. Mutu perguruan tinggi yang merata dan sesuai dengan kebutuhan wilayah menjadi hal yang penting dalam pembangunan daerah, terutama di era otonomi daerah. Oleh karena itu, program di PT harus dilihat keuntungan dan masa depan mahasiswa. Sehungungan dengan itu, pemerintah menetapkan tiga pilar kebijakan pendidikan melalui Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN-2003), Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2005-2009) bidang pendidikan serta peraturan perundangan yang mendukungnya. Untuk itu, dalam melaksanakan undang-undang tersebut Depdiknas menetapkan Renstra tahun 2005-2009 yang memuat program yang berkaitan dengan program strategis penelitian dan pengembangan pendidikan. Program tersebut mengacu pada pilar pemerataan dan perluasan akses, serta peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing perguruan tinggi. Tujuanya adalah: Pertama: meningkatkan pemerataan dan perluasan akses bagi semua warga melalui program-program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor. Kedua: meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi dalam rangka menjawab kebutuhan pasar kerja, serta pengembangan iptek, untuk memberikan sumbangan secara optimal bagi penigkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Berkaitan dengan program pemerintah tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui informasi mengenai program pengabdian masyarakat yang dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian. Masalah penelitian ini adalah: 1) Bagaimana kebijakan program penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi baik perguruan tinggi (PT) negeri maupun swasta, 2) Bagaimana implementasi kebijakan penelitian dan pengabdian masyarakat yang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
65 dilaksanakan oleh PT negeri dan swasta selama ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, 3) Bagaimana pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh PT untuk peningkatan keilmuan dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam kegiatan perekayasaan, inovasi serta difusi teknologi, dan 4) Bagaimana pelaksanaan pengabdian masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh PT selama ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai: 1) kebijakan program penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi (PT) baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, 2) implementasi kebijakan penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh PT negeri dan swasta selama ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, 3) pemanfaatan hasilhasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh PT untuk peningkatan keilmuan dan/atau ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam kegiatan perekayasaan, inovasi serta difusi teknologi, dan 4) pelaksanaan pengabdian masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh PT selama ini. Ruang lingkup penelitian ini adalah kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di perguruan Tinggi (BHMN, PTN dan PTS).
2. Kajian Literatur Kajian pustaka ini membahas teori mengenai penelitian, yaitu penelitian kebijakan (Policy Research), analisis aebijakan yang mencakup definisi Kebijakan, proses, dan produk penelitian kebijakan serta pengabdian pada masyarakat.
3. Metode Penelitian Pendekatan penelitian adalah pendekatan campuran kuantitatif dan kualitatif, sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Populasi penelitian adalah semua pejabat/dan mantan pejabat, serta ketua/anggota lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat di perguruan tinggi (PT) di propinsi Daerah Khusus Yogyakarta (DIY), propinsi Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), propinsi Bali, propinsi Sumatera Barat, dan propinsi Sumatera Utara. Sample penelitian diambil secara purposive yaitu 160 responden yang terdiri atas pejabat dan mantan pejabat serta ketua dan anggota lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat di PT negeri dan swasta. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2008 selama 7 bulan mulai bulan April sampai bulan Oktober 2008.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
66 Alat dan teknik pengumpulan data penelitian adalah: kuesioner, pedoman studi dokumentasi, pedoman wawancara, dan pedoman Focus Group Discussion (FGD). Analisis data menggunakan teknik analisis kuantitatif (prosentase) dan analisis kualitatif. Data dianalisis dengan teknik kuantitatif yaitu memprosentasekan jawaban nara sumber (responden). Hal ini dilakukan untuk mengetahui berapa banyak nara sumber yang menjawab pertanyaan atau yang memberi pernyataan dalam setiap butir instrumen yang ditanyakan. Teknik memprosentasekan jawaban nara sumber seperti ini boleh digunakan seperti yang dikatakan oleh Arikunto (2000:352) bahwa data prosentase (yang dinyatakan dalam bilangan merupakan ukuran kuantitatif) dan hanya merupakan langkah awal dari keseluruhan penelitian. Selanjutnya, data yang telah diprosentasekan tersebut dikualitatifkan dan dinyatakan dalam sebuah predikat yang menunjukkan pernyataan keadaan ukuran kualitas dalam bentuk paling besar, sedang, kecil atau paling baik, baik, kurang baik dan tidak puas, kurang memuaskan, memuaskan, dan sangat memuaskan. Data yang sudah dikualitatifkan tersebut dibahas secara sistematis yaitu dengan cara menguraikan, mensintesis, membandingkan, mengkombinasikan dengan hasil penelitian orang lain, membandingkan dengan teori dan memberikan komentar atau argumentasi (Emzir dkk 1995:18-19). Proses analisis, penilaian, dan pengecekan data dilakukan selama penelitian berlangsung dan dilakukan berulang kali. Prosedur tersebut dilakukan agar data yang dianalisis tersebut bisa mendekati kebenaran sesuai dengan prosedur analisis data kualitatif seperti yang dianjurkan oleh Strauss dan Corbin (1990:62) yang menekankan pentingnya membandingkan dan menanyakan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan data tersebut. Hal ini juga ditegaskan oleh Moleong (2000: 6-7) bahwa penelitian kualitatif lebih mementingkan proses dari pada hasil. Oleh karena itu, data tersebut dapat dibandingkan dengan catatan lapangan dan dokumen resmi atau dokumen pribadi.
4. Hasil Penelitian 4.1 Kebijakan Program Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Yang Dilakukan Oleh Perguruan Tinggi Baik Perguruan Tinggi (PT) Negeri Maupun Swasta
Kebijakan program penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi (PT) negeri dan swasta berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti)
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
67 Depdiknas. Secara umum, kebijakan program penelitian dan pengabdian pada masyarakat tersebut sebagian besar dapat dilaksanakan oleh PT seperti yang dikemukakan oleh mayoritas (84.34%) responden. Namun, sebagian responden mengatakan tidak dapat menerapkan kebijakan tersebut karena belum ada standar mutu penelitian sebagai dasar pelaksanaan, sosialisasi pelaksanaan program masih kurang, dan belum ada payung penelitian. Kebijakan penelitian PT memprioritaskan pilar peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan diungkapkan oleh sebagian (46.46%) responden. Selanjutnya, dasar dalam menentukan kegiatan penelitian di PT adalah: 1) profesionalisme para penelitinya, 2) kaidah dan metode ilmiah/keilmuan (scientific research) secara obyektif, logis, dan sistematis, 3) etika penelitian sesuai dengan Ethical Peer Reviewer, dan 4) visi, misi (Renstra) PT. Dari kebijakan tersebut diperoleh informasi bahwa 24.39% responden mengatakan Visi, Misi (Renstra) PT, dan 30.89% responden mengatakan semua aspek di atas. Sementara dalam menentukan kegiatan pengabdian masyarakat terungkap bahwa mayoritas (52.38%) responden mengatakan berdasarkan masalah yang dihadapi oleh PT, sesuai dengan Renstra Depdiknas, usulan stakeholders, dan kebutuhan masyarakat. Dalam kebijakan pelaksanaan pengabdian pada masyarakat di PT ditemukan bahwa hampir semua (92.54%) responden mengatakan harus berdasarkan pada hasil penelitian atau merupakan aplikasi/hasil penelitian. 4.2 Implementasi Kebijakan Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Yang Dilaksanakan Oleh PT Negeri Dan Swasta Selama Ini Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Tinggi
Kebijakan penelitian yang dilaksanakan oleh PT berdasarkan kebijakan umum penelitian yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas. Disamping itu, PT juga menetapkan kebijakan sendiri terutama lembaga/individu pelaksana penelitian, yaitu dilaksanakan oleh lembaga penelitian, departemen/jurusan/prodi, dosen secara individu atau kelompok seperti yang dikatakan oleh sebagian besar (27.62%) responden. Disamping itu, lembaga lain yang mendapat tugas khusus dalam rangka penelitian dan aplikasi hasil riset adalah inkubator bisnis. Selanjutnya, dalam perencanaan penelitian jangka menengah dan jangka panjang, PT (Pusat, Departemen, Prodi) atau individu dosen sudah mempunyai “Road Map” penelitian dikatakan oleh (50%) responden, sedangkan sistem jaminan mutu (quality assurance) internal untuk kegiatan penelitian di PT tidak ada seperti yang dikatakan oleh sebagian besar (53.05%) responden.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
68 Sementara dalam meningkatkan kualitas pengabdian pada masyarakat, PT mempunyai cara, antara lain: 1) melaksanakan studi kelayakan, 2) menerapkan hasil penelitian, 3) menambah dana pengabdian pada masyarakat, 4) pengembangan metodologi PAR (Participaty Active Reseacrh), 5) relevansi penelitian dan kebutuhan masyarakat, 6) meningkatkan IPTEK bagi masyarakat, 7) membuat penelitian terapan dan penelitian tepat guna, dan minat masyarakat terhadap iptek. Selanjutnya, pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan, PT tidak menghadapi kendala yang berarti seperti yang dikemukakan oleh sebagian besar (54,05%) responden. Namun, sebagian (45,95%) responden mengatakan ada kendala, karena: 1) antara lembaga penelitian dan lembaga pengabdian masyarakat terpisah, 2) sosialisasi program penelitian berjalan dengan baik namun sosialisasi P2M dirasakan kurang, 3) kemampuan metodologi peneliti masih rendah. Khususnya mengenai pelaksanaan penelitian, kendala yang dihadapi menurut sebagian besar (53,19%) responden adalah kurangnya biaya dan masih kurangnya minat dosen untuk mengusulkan proposal kegiatan pengabdian masyarakat untuk program-program multi tahun seperti UJI, Sibermas&Vucer Multi Tahun, dan kurangnya ide-ide baru dari dosen yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain dana dari Dikti, masing-masing PT menyediakan dana penelitian sendiri untuk mengembangkan penelitian prioritas/unggulan dalam meningkatkan keterampilan dosen diungkapkan oleh sebagian besar (68,35%) responden. Selanjutnya, untuk membantu pemerintah daerah/pusat, PT memberikan saran kebijakan sesuai dengan hasil penelitian, mengadakan seminar, simposium, lokakarya, pelatihan tentang hasil penelitian, dan menyebarluaskan informasi mengenai hasil penelitian, sedangkan untuk meningkatkan mutu pengabdian pada masyarakat, PT bekerja sama dengan masyarakat diungkapkan oleh semua (97,26%) responden.
4.3 Pemanfaatan Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan yang Dilakukan oleh PT Untuk Peningkatan Keilmuan dan/atau Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terutama dalam Kegiatan Perekayasaan, Inovasi serta Difusi Teknologi
Hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh PTN/PTS dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan serta kemampuan dosen dikatakan oleh sebagian besar (56.96%) responden. Sebagian (26.2%) responden mengatakan tidak dapat dimanfaatkan karena penerapan hasil penelitian memerlukan dukungan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
69 berbagai unsur politik, ekonomi, dan sosial. Sementara hasil penelitian dalam meningkatkan jumlah buku ajar dan publikasi penelitian di jurnal (nasional, internasional), mempercepat perolehan hak paten dan meningkatkan kemampuan masyarakat masih sangat kurang.
4.4 Pelaksanaan Pengabdian Masyarakat yang Berkaitan Pemanfaatan Hasil-Hasil Penelitian yang Dilakukan oleh PT
dengan
Bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi (PT) adalah pendidikan dan pelatihan masyarakat, pelayanan masyarakat, serta kaji tindak dari ipteks yang dihasilkanya. Manfaat program pengabdian masyarakat bagi pelaksanaan pendidikan di PT adalah: 1) untuk pengembangan kelembagaan dan mutu pendidikan, 2) mahasiswa mampu mengidentifikasi serta memberi solusi suatu masalah sebagai dasar analisis menyikapi fenomena masyarakat, 3) melatih calon sarjana untuk terjun di masyarakat, dan 4) mengembangkan IPTEK. Selain program tersebut di atas, ditemukan bahwa kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh PTN/PTS tidak berdasarkan hasil penelitian seperti yang dikemukakan oleh sebagian besar (81.43%) responden karena: 1) belum ada standar mutu penelitian sebagai dasar pelaksanaan, 2) sosialisasi pelaksanaan program masih kurang, 3) belum ada payung penelitian, 4) biaya yang tersedia masih kurang. Disamping itu, ada kendala lain seperti yang dikatakan oleh 84.81% responden, yaitu:1) belum semua hasil penelitian menjadi kebutuhan masyarakat, 2) masih banyak hasil penelitian yang belum tuntas diselesaikan dan perlu waktu, 3) biaya, sarana/pelaksana, 4) kemampuan masyarakat dalam menerapkan hasil penelitian sangat kurang, 5) hasil penelitian belum memberikan solusi yang jelas mengenai masalah yang dihadapi masyarakat , 6) dosen terlalu banyak mengajar sehingga kurang berkesempatan meneliti dan mengabdi, 7) kultur masyarakat yang homogen, 8) kurang siapnya Pemda menerima PT, 9) kebijakan pemerintah Pusat dan Pemda tidak sinkron, 10) ada kalanya hasil penelitian jika diterapkan pada pengabdian membutuhkan peralatan yang cukup mahal harganya, 11) kurangnya dana pengabdian pada masyarakat 12) hasil penelitian masih bersifat sangat mendasar, 13) hasil penelitian ilmu murni/dosen lebih sulit diterapkan langsung daripada hasil penelitian bidang ilmu terapan sehingga hasil penelitian yang dilakukan tidak mampu memberikan solusi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kegiatan pengabdian pada masyarakat di PT terungkap bahwa (52.38%) responden mengatakan berdasarkan masalah yang dihadapi oleh PT, sesuai dengan Renstra Depdiknas, usulan stakeholders, dan kebutuhan masyarakat. Disamping itu, aspek yang perlu diperhatikan agar hasil kegiatan pengabdian pada masyarakat maksimal dan berkualitas harus memperhatikan kebutuhan lingkungan dan tempat pelaksanaan kegiatan, potensi sumber daya,
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
70 infrastruktur, sarana/prasarana yang tersedia, usulan stakeholders, kebutuhan mahasiswa, dan kebutuhan PT seperti yang dikatakan oleh sebagian besar (48.35%) responden. Hasil-hasil penelitian yang telah dimanfaatkan dalam kegiatan pengabdian pada masyarakat sejak dua tahun terakhir antara lain: 1) penyulingan minyak dari kulit manis, 2) peningkatan mutu biji Cacao melalui bistek, 3) masalah organisasi keagamaan, 4) kehidupan umat beragama, 5) pemberdayaan madrasah, 6) pemberdayaan masyarakat adat, 7) perbaikan teknologi peralatan dalam bidang pengolahan pertanian & pasca panen, 8) peningkatan produksi pertanian dan peternakan, 9) peningkatan kesehatan masyarakat, 10) perluasan akses & peningkatan mutu pendidikan di sekolah dan madrasah, 11) pelatihan teknologi tepat guna, 12) implementasi kebijakan dalam peningkatan mutu pembelajaran berdasarkan KTSP, 13) pemetaan potensi keagamaan masyarakat, 14) klasifikasi masyarakat (prasejahtera, sejahtera I dan seterusnya), 15) pembuatan penangkaran kentang, dan 16) pembuatan penangkaran padi. Bentuk kerjasama antar lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang telah dilaksanakan PT terungkap selama ini baru pada taraf tukar informasi seperti yang dikatakan oleh 42.86% responden. Disamping itu, 33.33% responden mengatakan dengan cara mengikutsertakan dosen dan mahasiswa dalam pertukaran peneliti antar lembaga. Selain untuk meningkatkan hasil penelitian untuk pengabdian masyarakat, peningkatan pemanfaatan hasil penelitian untuk kebijakan diperlukan koordinasi dengan stakeholders/penentu kebijakan misalnya: Pemda, Dikti, dan Kementerian Riset dan Teknologi: 1) agar manfaatnya dapat dilihat secara nyata, 4) untuk menentukan arah & kebijakan penelitian, 5) dapat digunakan untuk masukan dalam pengembangan program, dan 6) dapat dijadikan dasar dalam mentukan kebjiakan pembanguan tahun berikutnya. Sedangkan mereka yang mengatakan tidak berkoordinasi adalah kebanyakan penelitian dilaksanakan hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk kepentingan administratif dosen peneliti yang bersangkutan. Demikian halnya, Dikti perlu meningkatkan kerjasama dengan PT dan menetapkan kebijakan penelitian yang dapat dimanfaatkan dalam pengabdian pada masyarakat.
5. Simpulan dan Saran 5.1 Simpulan Berdasarkan temuan penelitian dapat disimpulkan bahwa kebijakan program penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi (PT) baik negeri maupun swasta berdasarkan pada kebijakan umum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas dan kebijakan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
71 masing-masing PT. Namun, masih banyak PT yang belum mampu melaksanakan kebijakan tersebut dengan konsekwen. Hal ini disebabkan belum adanya standar mutu penelitian, belum ada payung penelitian yang standar, dan masih kurangnya sosialisasi pelaksanaan program di PT. Oleh sebab itu, PT menyesuaikan kebijakan tersebut dengan kemampuan dan pandangan masing-masing PT untuk dijadikan standar penelitian. Standar ini berbeda antara PT yang satu dengan yang lainya sehingga penelitianpun berbeda dan kemampuan peneliti dan dosen di masing-masing PT yang sangat bervariasi. Ada PT yang sudah mampu mengikuti standar yang ditetapkan oleh Dikti, namun kebanyakan PT terutama PT swasta banyak yang masih kurang dari standar yang ditetapkan. Kebijakan umum yang dilakukan oleh kebanyakan PT lebih cenderung mengedepankan pilar peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing dibanding dengan pilar lainya karena pilar ini dianggap mampu menarik minat mahasiswa dan menjadi unggulan PT. Kenyataan yang sesunguhnya bahwa masih banyak PT belum mampu melaksanakan janjinya untuk melaksanakan pilar yang mereka jadikan sebagai unggulan terutama PT swasta di berbagai daerah. Selanjutnya, kebijakan penelitian di PT berdasarkan pada profesionalisme para penelitinya dan mengikuti kaidah metode penelitian keilmuan, etika penelitian sesuai dengan Ethical Peer Reviewer, dan Visi, Misi (Renstra). Demikian halnya program P2M yang menjadi unggulan dalam meningkatkan kemampuan dosen dan mahasiswa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi baik untuk bahan ajar atau pemanfaatan dalam kegiatan pengabdian masyarakat tidak banyak yang dapat digunakan atau tidak bisa diaplikasikan secara langsung. Kebijakan dan program penelitian tersebut belum bisa diterapkan dalam kegiatan penelitian yang sesungguhnya. Hal ini terlihat dari hasil-hasil penelitian PT yang belum banyak digunakan dalam kegiatan pengabdian masyarakat dan juga dalam pemanfatan untuk peningkatan dan penambahan bahan ajar, masih sangat kurangnya yang dipublikasi di jurnal (nasional, internasional), dan perolehan hak paten masih sangat kurang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian PT belum banyak yang dapat digunakan untuk peningkatan kemampuan masyarakat yang masih sangat jauh dari harapan Selanjutnya, penelitian bukan hanya dilaksanakan oleh lembaga penelitian tapi juga dilaksanakan oleh departemen/jurusan/prodi dan dosen secara individu dan kelompok termasuk inkubator bisnis. Hal ini menunjukan bahwa PT sudah mulai melaksanakan kerjasama dengan institusi busines sehingga hasil penelitianpun dapat digunakan oleh lembaga bisnis. Ini juga dapat dikatakan bahwa kebebasan penelitian bukan hanya pada lembaga penelitian yang ada di PT atau individu dan kelompok dosen tapi juga lembaga lainpun sudah bisa memanfaatkan hasil penelitian PT. Kemandirian
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
72 lembaga penelitian juga sulit dijadikan sebagai satu-satunya lembaga yang berhak meneliti karena ada kebebasan bagi dosen secara individu atau kelompok untuk melakukan penelitian. Akibat dari kebebasan ini, maka hasilhasil penelitian masih banyak yang tidak terkontrol sehingga mutu penelitian tersebut banyak yang tidak dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat. Disamping itu, pemisahan lembaga penelitian dan lembaga pengabdian masyarakat berdampak pada kurangnya sharing ilmu pengetahuan diantara dosen sehingga kemampuan metodologi penelitian dosen terutama dosen muda tidak berkembang. Akibatnya, program penelitian dan hasil-hasil penelitian banyak yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pengabdian masyarakat, tidak mampu meningkatkan dan memberi sumbangan peningkatan pengetahuan dan teknologi pada PT dan dosen serta mahasiswa. Dalam melaksanakan kegiatan penelitian, penelitian-penelitian yang dibiayai oleh Dikti belum bisa diterapkan semua oleh PT karena masingmasing program tersebut mempunyai kendala termasuk kurangnya informasi tentang program yang dibuat oleh Dikti dan kajian akademik PT yang kurang relevan. Berkaitan dengan road map penelitian yang ada di PT dapat disimpulkan bahwa sebagian PT belum mampu membuat rencana strategis PT dalam bidang penelitian baik rencana jangka pendek maupun rencana jangka menengah. Hal ini juga akan berdampak pada kegiatan penelitian yang hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan sesaat dan belum mampu merencanakan penelitian yang dibutuhkan baik oleh PT maupun oleh masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Selain itu dapat disimpulkan bahwa program penelitian di PT hanya berdasarkan pada kegiatan yang disuguhkan oleh Dikti atau Depdiknas dan belum mampu memprediksi masalah yang akan diteliti dalam jangka waktu tertentu dan yang mampu meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bermanfaat bagi masyarakat. Peningkatan kualitas pengabdian masyarakat pada PT dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah kegiatan berikut akan mampu meningkatkan kualitas pengabdian masyarakat sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Langkah kegiatan yang dilakukan PT adalah:1) melaksanakan studi kelayakan, 2) menerapkan hasil penelitian, 3) menambah dana pengabdian pada masyarakat, 4) pengembangan metodologi PAR (Participaty Active Reseacrh), 5) relevansi penelitian dan kebutuhan masyarakat, 6) meningkatkan IPTEK bagi masyarakat, 7) membuat penelitian terapan dan penelitian tepat guna, dan minat masyarakat terhadap iptek kualitas pengabdian masyarakat meningkat bertambah. Selanjutnya, peningkatan mutu pengabdian pada masyarakat yang sebaiknya dilakukan oleh PT melalui kerjasama dengan masyarakat merupakan langkah tepat untuk melihat kebutuhan masyarakat yang akan dibantu sehingga pelaksanaan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
73 pengabdian masyarakat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di tempat pelaksanaan penelitian dan pengadian masyarakat. Selanjutnya mengenai pelaksanaan pengabdian masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh PT selama ini disimpulkan bahwa masih banyak PT menghadapi kendala seperti kekurangan sumber daya peneliti/dosen yang berkualitas dan mampu melaksanakan penelitian serta mempunyai dedikasi dalam melaksanakan pengabdian masyarakat. Disamping itu, dosenpun lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar dan kurang berminat melaksanakan penelitian dan pengabdian masyarakat. Untuk mengatasi ini PT masih mengandalkan bantuan dana dari pemerintah dan belum mampu mencari sumber dana lain. Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh PTN/PTS tidak berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa program-program yang telah dibuat dan kebijakan yang ditetapkan baik oleh PT maupun oleh Dikti belum semua dapat dilaksanakan oleh PT. Hal ini terjadi karena PT belum mampu membuat program penelitian dan standar mutu penelitian sebagai dasar pelaksanaan atau menuntaskan penelitian dalam jangka waktu yang ditetapkan, kurangnya biaya dan sarana/prasarana, dan kurangnya penelitian PT yang berdasarkan kebutuhan masyarakat 5.2 Saran 5.2.1
Depdiknas (Dikti)
1) Dikti perlu menyebarluaskan informasi program penelitian dan pengabdian masyarakat bukan hanya melalui surat ke PTN/PTS dan PTAI tapi juga melalui sosialisasi dengan jaringan penelitian dan internet ke PT terutama PT swasta 2) Dikti perlu membantu PT terutama dosen untuk meningkatkan kemampuanya dengan memberikan kesempatan yang seluasluasnya bagi dosen untuk melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar, workshop, melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, dan membuat program magang bagi dosen untuk penelitian. 3) Dikti meningkatkan pemantauan dan monitoring mengenai pelaksanaan kebijakan dan program PT yang dikeluarkan agar pelaksanaanya sesuai dengan tujuan kebijakan 4) Dikti perlu membuat program dan skema PPM yangg baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan industri dan P2M perlu memetakan unggulan lokal yang harus dilakukan oleh PT
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
74 5) Dikti perlu melakukan koordinasi antar lembaga peneliti (Dikti/Lipi/Ristek/ LPND/Departemen terkait), industri dengan PT untuk menjalin kerjasama baik dalam pendanaan maupun dalam membuat road map riset dan database sehingga tidak tumpang tindih. 5.2.2
Purguruan Tinggi (PT)
1) PT perlu meningkatkan kemampuan peneliti dan dosen dengan cara memberikan kesempatan pada dosen untuk meneliti dan melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat. Oleh sebab itu, perlu ada kabijakan ketersediaan proporsi waktu meneliti bagi dosen dan mengurangi beban mengajar bagi dosen, tidak melibatkan dosen secara rutin pada pekerjaan administrasi. Selanjutnya, PT melakukan pembinaan dan pemberian insentif dan reward pada setiap dosen yang melakukan penelitian. Untuk kenaikan pangkat dosen persyaratan pengabdian kepada masyarakat minimal satu dan melaksanakan penelitian berbasis skill. 2) PT harus membuat kebijakan standar dan kriteria penelitian yang tepat yang harus diikuti oleh semua peneliti baik lembaga penelitian maupun dosen secara individu atau kelompok. 3) PT perlu konsekwen melaksanakan kebijakan penelitian yang telah ditetapkan agar penelitian lebih terarah dan menghasilkan penelitian yang bermanfaat untuk peningkatan ilmu pengetauan dan teknologi serta penerapanya dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang lebih aplikatif. Oleh sebab itu, PT perlu membuat daerah/industri kecil binaan agar hasil penelitian dan pengabdian masyarakat lebih nyata sebagai implementasi Tridharama PT. 4) PT perlu bekerjasama dengan masyarakat dalam merencanakan, mengimplementasikan, menilai hasil penelitian, dan melaksanakan monitoring kegiatan pengabdian masyarakat. Disamping itu, PT perlu mencari dukungan dan bekerjasama dengan pihak lain termasuk unsur politik, ekonomi, sosial. Kerjasama dengan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) untuk mensosialisasikan hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat termasuk sumber daya yang dimiliki oleh PT sangat diperlukan agar pemerintah daerah dapat memilih dan memanfaatkan hasil-hasil penelitian PT. Selanjutnya, PT juga perlu menawarkan program penelitian yang bisa dimanfaatkan langsung oleh Pemda.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
75 5) PT perlu membuat program penelitian jangka menengah dan jangka panjang (road map) penelitian dan bekerjasama dengan stakeholder dalam penelitian dan pengabdian masyarakat. 6) PT perlu melaksanakan sosialisasi semua bentuk penelitian dengan memperbanyak workshop penulisan proposal penelitian dan lebih ditekankan pada tingkat jurusan. Disamping itu, PT perlu meningkatkan anggaran penelitian dan pengabdian masyarakat dengan bekerjasama atau melalui alokasi dana dari pemerintah (Dikti, Pemda, dan PT). 7) PT perlu membuat kebijakan penelitian bagi dosen untuk mengembangkan ilmu penegeahuan, dan hasilnya dapat digunakan sebagai bahan ajar mata kuliah yang diajarkan. Dengan demikian hasil-hasil penelitian bukan sekedar laporan ke universitas atau untuk menambah kredit, tapi dimanfaatkan sebagai bahan ajar atau penemuan ilmu baru untuk pengembangan keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. 5.2.3
Lembaga Lain
Dalam melaksanakan dan memanfaatkan hasil penelitian PT, lembaga lain (inkubator bisnis) disarankan untuk mengikuti standar penelitian yang ditetapkan PT dan bekerjasama dengan PT.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
76
Penyelenggaraan Pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini Melalui Pendidikan BCCT
1. Pendahuluan Sumber daya manusia (SDM) yang baik merupakan faktor kunci bagi suksesnya pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengembangan SDM yang menyeluruh dan memperhatikan aspek perkembangan anak, sejak usia dini (0-6 tahun) yang merupakan masa-masa emas perkembangan. Pentingnya pengembangan anak usia dini juga disadari oleh pihak Pemerintah. Adanya Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Anak Usia Dini (disingkat PAUD) Pasal 28. PAUD juga terdapat dalam Renstra 2005-2009. PAUD dapat dilakukan melalui jalur formal, informal dan nonformal. Permasalahan yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan PAUD lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan akademik, yang pada prosesnya seringkali mengabaikan tahapan perkembangan anak. Hal ini bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya PAUD. Saat ini metode pembelajaran PAUD yang diterapkan oleh Direktorat PAUD adalah pendekatan BCCT. Pendekatan BCCT adalah pendekatan PAUD yang berfokus pada anak, dimana proses pembelajarannya berpusat di arena main. BCCT dikembangkan oleh Creative Center for Chilhood Research and Training (CCCRT) yang berkedudukan di Florida Amerika Serikat. BCCT diadopsiuntuk memperbaiki praktek penyelenggaraan PAUD yang ada. Sampai sejauh ini belum diketahui sejauhmana program BCCT sudah terlaksana dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh para pendidik. Untuk mendapat informasi itulah kajian ini dilakukan. Tujuan umum evaluasi ini yaitu untuk mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan PAUD terutama yang berkaitan dengan pendekatan BCCT. Sedangkan tujuan khususnya adalah mendapatkan informasi tentang kesenjangan antara yang seharusnya menurut BCCT dan pelaksanaan PAUD yang senyatanya (baik menurut Panduan yang dikeluarkan Direktorat PAUD maupun pelaksanaan di lapangan/kelompok bermain). Lingkup penelitian ini adalah lembaga PAUD non-formal, dengan sasaran pendidik PAUD, pengelola lembaga PAUD non-formal, peserta didik, orangtua, pejabat Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota. Output yang ingin dicapai adalah mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan PAUD dengan pendekatan BCCT. Sedangkan outcome yang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
77 ingin dicapai adalah terpenuhinya tugas-tugas perkembangan anak. Hasil evaluasi penyelenggaraan PAUD dengan pendekatan BCCT akan bermanfaat bagi penyusunan program dan kebijakan PAUD. Dengan harapan, dampak positif yakni peningkatan mutu PAUD akan tercapai. Calon pemakai hasil evaluasi ini adalah Direktorat Pendidikan Nonformal dan Informal, Direktorat TK/SD Ditjen Mandikdasmen Depdiknas.
2. Metodologi Pendekatan yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan BCCT adalah evaluasi program. Evaluasi program dilakukan dengan membandingkan tujuan yang akan dicapai melalui BCCT dan yang senyatanya dicapai. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara mendalam, dan observasi. Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi, dan kuesioner. Populasi dalam evaluasi ini adalah seluruh penyelenggara BCCT. Evaluasi ini menggunakan teknik non probability sampling. Terdapat enam propinsi yang dipilih sebagai sampel. Pemilihan propinsi dilakukan berdasarkan pembagian wilayah yaitu wilayah Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Tengah. Keenam propinsi tersebut yaitu Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Sulawesi Selatan, dan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Setiap propinsi dipilih dua kabupaten/kota dan setiap kabupaten/kota diambil tiga lembaga PAUD (Kelompok Bermain).
3. Temuan Dan Pembahasan Profil lembaga PAUD. Hasil evaluasi menemukan bahwa lembaga PAUD sampel mayoritas merupakan Kelompok Bermain, diantaranya juga sekaligus menyelenggarakan Tempat Penitipan Anak dan juga merupakan Satuan PAUD Sejenis. Sebagian besar penyelenggara lembaga PAUD tidak mengetahui kebijakan PAUD non formal pada tingkat propinsi maupuan kabupaten. Sedangkan mengenai kebijakan PAUD yang berasal dari lembaga PAUD diketahui oleh para pendidik sehingga materi atau hal-hal yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak usia dini dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Input Karakteristik Peserta Didik Peserta didik di setiap lembaga PAUD bervariasai, dari latar belakang hingga jumlah pesertanya. Jumlah peserta didik mulai dari 35 anak sampai dengan 60 anak. Usia anak memiliki jangkauan usia dari usia 2
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
78 tahun sampai dengan 6 tahun, dengan jumlah yang paling banyak adalah anak dengan usia 3 sampai dengan 5 tahun. Perbandingan peserta didik antara laki-laki dan perempuan dapat dikatakan hampir seimbang. Kebijakan mengenai usia sasaran lembaga PAUD dijelaskan pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan usia anak mulai 0 hingga 6 tahun. Sedangkan, menurut buku Beyond Centers and Circle Time (BCCT) konsep BCCT, fokus pada menciptakan, pengalaman yang sesuai dengan perkembangan untuk anak-anak berusia 3 tahun hingga usia taman kanak-kanak. Dari hal ini dapat dilihat adanya kesenjangan antara teori dengan kebijakan itu sendiri. Akan tetapi, dapat diketahui bahwa usia peserta didik di lembaga PAUD sampel sudah sesuai dengan kebijakan yakni pedoman penyelenggaraan PAUD. Teori BCCT belum menjelaskan tentang jumlah peserta didik maupun latar belakang peserta. Meskipun demikian terdapat harapan bahwa jumlah peserta tidak melebihi kapasitas yang dapat diberikan oleh lembaga PAUD maupun kemampuan pendidik untuk menangani. Oleh karena itu peserta didik yang ada di setiap lembaga PAUD dengan segala variasinya, diharapkan dapat cukup efektif membantu tumbuh kembang anak. Selanjutnya, mayoritas lembaga PAUD tidak memberikan layanan imunisasi bagi peserta didiknya. Hanya satu lembaga PAUD yang memberikan layanan imunisasi bagi peserta didiknya karena pendidik di lembaga PAUD tersebut merupakan kader POSYANDU terdekat dari lembaga PAUD. Penyelenggaraan ini tidak terkait dengan kebijakan ataupun teori. Sehingga tidak dapat dilihat kesenjangannya. Karakteristik Pendidik Karakteristik pendidik di setiap lembaga PAUD bervariasi dari jumlah hingga latar belakang pendidikan. Mayoritas lembaga PAUD sampel memiliki jumlah pendidik antara enam sampai dengan sepuluh orang dengan rata-rata berlatar belakang pendidikan SMA dan sederajat. Pendidik dengan latar belakang pendidikan S2 juga ada hanya saja jumlahnya sedikit sekali. Pengalaman mengikuti pelatihan juga bervariasi, setidaknya satu sampai dengan tiga orang pendidik di setiap lembaga PAUD sampel sudah pernah mengikuti pelatihan ataupun seminar mengenai penyelenggaraan BCCT. Variasi juga terdapat pada pengalaman mengajar yang dimiliki pendidik Pendidik dengan pengalaman waktu mengajar paling lama terdapat di provinsi Jawa Barat yaitu selama lebih dari 22 tahun. Pengetahuan yang dimiliki guru mengenai BCCT, tingkat perkembangan anak, dan pentingnya bermain bagi anak dapat dikatakan belum mendalam secara aplikatif. Pemahaman secara mendalam mengenai
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
79 BCCT hanya terlihat pada pendidik lembaga PAUD di provinsi Jawa Barat. Selain itu, pendidik yang memiliki pemahaman teoritis biasanya berlatar belakang pendidikan S1. Berdasarkan penjelasan diatas, kualifikasi mayoritas pendidik di seluruh PAUD sampel dapat dikatakan hampir memenuhi syarat atau kualifikasi sebagai pendidik PAUD. Syarat yang belum sepenuhnya dimiliki oleh mayoritas pendidik adalah mengenai pemahaman akan tumbuh kembang anak termasuk didalamnya pemahaman akan pentingnya bermain bagi anak usia dini. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat PAUD belum mengatur secara khusus mengenai jumlah rasio ideal antara guru dan murid. Jumlah pendidik di setiap lembaga PAUD bervariasi. Mayoritas lembaga PAUD sampel memiliki jumlah pendidik antara enam sampai dengan sepuluh orang. Dua lembaga PAUD sampel memiliki jumlah pendidik lebih dari 15 orang. Namun salah satu lembaga PAUD hanya memiliki dua orang pendidik. Perbandingan jumlah guru dengan jumlah murid bervariasi mulai dari satu guru berbanding delapan anak sampai dengan satu guru berbanding dua puluh anak. Mengenai pembagian tugas setiap pendidik, setiap lembaga PAUD sampel memiliki kebijakan yang berbeda. Ada pendidik yang bertanggungjawab atas kelas atau kelompok, ada pendidik yang secara khusus menjadi penanggungjawab salah satu sentra. Hal tersebut, juga belum diatur dalam kebijakan atau perundang-undangan khusus dari Direktorat PAUD. Tugas pendidik yang diatur dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT hanyalah dalam hal proses pembelajaran seperti penataan lingkungan main, penyambutan anak, main pembukaan, transisi 10 menit, dan kegiatan inti. Teori maupun konsep asli BCCT juga tidak menyatakan jumlah ideal maupun latar belakang pendidik. Namun dengan jelas tercantum bahwa pendidik harus memiliki pengetahuan dan teori mengenai tingkat perkembangan anak serta pentingnya bermain bagi anak. Hal inilah yang belum terlihat di lapangan. Karakteristik Kurikulum Seluruh lembaga PAUD sample menggunakan metode BCCT sebagai metode pembelajaran utama. Namun penggunaan metode BCCT di mayoritas lembaga PAUD dapat dikatakan belum seluruhnya sesuai konsep asli BCCT. Masih ada pemahaman yang belum menyeluruh sehingga pelaksanaan metode BCCT belum maksimal. Beberapa lembaga PAUD juga menggabungkan metode belajar ataupun kurikulum belajar lain sebagai tambahan untuk melengkapi metode BCCT.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
80 Dapat diketahui bahwa pelaksanaan BCCT di lapangan tidak bertentangan dengan kebijakan walau pelaksanaannya belum sempurna. Kebijakan juga memperbolehkan memodifikasi BCCT. Namun, berdasarkan teori dan konsep BCCT jelas terdapat ketidaksesuaian karena tidak dilakukan dengan maksimal. Hal ini dapat terjadi karena konsep BCCT yang ada dalam buku Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT berbeda penekanan dengan buku BCCT asli. Pada buku Penerapan Pendekatan BCCT menekankan BCCT sebagai suatu pendekatan yang berfokus pada anak di sentra main dan di dalam lingkaran. Sedangkan pada buku BCCT menjelaskan BCCT itu sendiri sebagai suatu kurikulum yang menenekankan pada jenis permainan yang dimainkan anak. Sarana Pembelajaran Hampir seluruh lembaga PAUD sampel memiliki empat sampai dengan enam sentra. Pada umumnya adalah sentra persiapan, bahan alam dan sifat cair, balok, main peran, dan ibadah atau imtaq (iman dan taqwa). Sentra lainnya adalah sentra memasak, seni atau musik, olah tubuh atau olahraga, dan sentra aksara atau matematika. Namun, salah satu lembaga PAUD sample hanya memiliki dua sentra yaitu sentra konstruktif dan sentra peran. Di lembaga tersebut terkadang menyelenggarakan sentra bahan alam dengan jadwal yang tidak pasti. Fasilitas umum sudah cukup baik, namun ada empat lembaga PAUD yang dinilai peneliti belum memadai untuk kegiatan bermain anak atau dengan jumlah peserta didik yang banyak. Alat permainan yang dapat dikatakan cukup lengkap dan memadai untuk jumlah murid hanya alat permainan konstruktif. Di beberapa lembaga PAUD diantaranya, untuk mengatasi kekurangan peralatan, ada pendidik yang kreatif menciptakan alat permainan konstruktif dari peralatan bekas. Mengenai sarana pembelajaran, belum ada kebijakan yang mengatur mengenai sarana pembelajaran dalam buku Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT. Sedangkan, dalam buku konsep asli BCCT, sudah terdapat tercantum tentang pengaturan sarana pembelajaran di lembaga PAUD. Salah satu contohnya yaitu kebijakan mengenai penataan sentra, dijelaskan dalam buku BCCT, agar ruang kelas dapat diatur dengan fleksibel. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sarana pembelajaran di lembaga PAUD sampel sudah cukup sesuai dengan BCCT. Waktu Pembelajaran Berdasarkan temuan, diketahui bahwa lembaga PAUD sampel memiliki kebijakan berbeda-beda mengenai jadwal pembelajaran. Jumlah waktu pembelajaran setiap lembaga bervariasi, yaitu antara 2 sampai dengan 3 jam 30 menit. Sedangkan untuk jumlah durasi waktu bermain antara 1 jam 30 menit sampai dengan 2 jam. Setiap lembaga PAUD sampel memiliki
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
81 jadwal kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya kedalam sebuah RKH atau rencana kegiatan harian. Jadwal kegiatan harian dan waktu bermain anak yang sudah disusun tersebut dinilai mayoritas lembaga PAUD sudah cukup efektif. Dalam buku konsep BCCT dan Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT sudah mencantumkan contoh waktu pembelajaran atau jadwal kegiatan harian dari lembaga PAUD. Antara kebijakan dan BCCT terdapat pandangan yang sesuai mengenai waktu pembelajaran. Secara khusus, dalam pedoman atau kebijakan tercantum bahwa proses pembelajaran terhadap anak dimulai dari main pembukaan sampai dengan kegiatan penutup yang masing-masing memiliki durasi waktu yang sudah disarankan. Hasil temuan dilapangan sudah sesuai dengan kebijakan yang ada. Berdasarkan BCCT dan teori pendukung, penyusunan jadwal kegiatan sangat penting untuk dapat merencanakan kegiatan yang mengembangkan anak. Bila tidak dilakukan, maka kegiatan akan menjadi tidak terarah. Lembaga PAUD sampel sudah sesuai dengan arahan BCCT dan juga teori, namun pelaksanaannya masih perlu diperbaiki. Masih terdapat lembaga PAUD yang belum cukup efektif dalam menyusun jam bermain dan kegiatannya. Proses Pembelajaran 1) Iklim Pembelajaran Mayoritas lembaga PAUD telah membagi kegiatan pembelajaran menjadi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Dalam penyusunan jadwal kegiatan, disusun secara bersama-sama oleh seluruh pendidik dan pihak penyelenggara lembaga tersebut. Secara umum ada kesesuaian antara jadwal dengan pelaksanaan namun pada kondisi khusus jadwal kegiatan di lembaga tidak dapat terlaksana sepenuhnya. Setidaknya 85 persen lembaga PAUD sampel sudah mampu menciptakan interaksi antara guru dan murid secara positif. Ditegaskan pula dengan mengunakan kurikulum BCCT juga dapat meningkatkan kedekatan antara pendidik dan murid. Pedoman Pendekatan Penerapan BCCT dan buku konsep asli BCCT terdapat pembahasan yang mengatur interaksi antara guru dan murid namun tidak dijelaskan secara rinci. Sehingga antara kebijakan dan konsep asli BCCT sejalan dalam memandang interaksi antara guru dan murid. Menurut konsep asli BCCT, interaksi yang positif sangat baik untuk tumbuh kembang anak. Dengan demikian mayoritas lembaga PAUD sampel sudah
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
82 mampu menciptakan interaksi antara guru dan murid secara positif sesuai dengan teori maupun konsep asli BCCT dan kebijakan. 2) Penerapan Kurikulum Hampir 90 persen lembaga PAUD sampel, menyusun jadwal berdasarkan aktivitas yang dilakukan di dalam sentra dan membagi kegiatan menjadi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir sesuai dengan buku Pedoman Pelaksanaan Penerapan BCCT. Dari hasil temuan disimpulkan bahwa keuntungan penggunaan kurikulum BCCT, yaitu anak mempelajari banyak hal tanpa perasaan tertekan, hubungan antara pendidik dan murid menjadi dekat, melatih anak untuk berani mengungkapkan pendapat, anak mampu untuk berekspresi dan mengeksplor dirinya, meningkatkan kreativitas dan keaktifan anak dalam melakukan kegiatan. Hambatan dalam pelaksanaan BCCT juga dialami oleh beberapa lembaga PAUD, yaitu kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya pendidik atau guru, usia anak yang terlalu kecil sehingga diperlukan pengawasan lebih dari pendidik, kurangnya referensi selain buku pedoman BCCT, penciptaan alat bermain, penghasilan dan peran guru yang tidak sesuai yang memicu angka guru yang keluar masuk lembaga PAUD. 30 persen lembaga PAUD sampel masih kekurangan alat permainan yang menunjang kegiatan bermain. Beberapa lembaga menyiasatinya dengan membuat alat permainan sendiri dengan menggunakan bahan-bahan daur ulang. Sudah ada kebijakan yang mengatur penerapan kurikulum dalam menyusun jadwal kegiatan. Pada Pedoman Pendekatan Penerapan BCCT terdapat contoh jadwal kegiatan yang sudah sesuai dengan pedoman BCCT. Jadwal kegiatan yang ada sudah memliki kesesuaian dengan kurikulum BCCT. Dalam buku konsep asli BCCT tercantum penerapan BCCT dalam menyusun jadwal kegiatan beserta contoh jadwal kegiatan. Berdasarkan temuan tergambar bahwa penyusunan jadwal kegiatan di sebagian besar lembaga PAUD sampel sesuai dengan konsep asli BCCT dan teori yang mendukungnya serta Pedoman Pendekatan Penerapan BCCT. 3) Penggunaan Materi dan Sumber Bermain Menurut sebagian pendidik, tidak ada mainan atau sentra main yang paling diminati atau sering dimainkan oleh murid. Begitupun untuk
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
83 mainan atau sentra yang tidak diminati. Jenis mainan yang paling disukai anak yaitu permainan balok dan puzzle. Pada satu lembaga PAUD jenis permainan yang kurang disukai anak yaitu meronce. Lembaga PAUD lainnya tidak menjelaskan mengenai mainan yang tidak disukai anak. Kemudian mengenai sentra, sentra yang paling sering dimainkan yaitu sentra balok. Sedangkan, sentra yang paling jarang dimainkan yaitu sentra persiapan dan sentra ibadah. Belum ada kebijakan yang mengatur mengenai penggunaan materi dan sumber bermain, baik dalam buku Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT maupun buku konsep asli BCCT. Kebijakan yang ada hanya berkaitan dengan material-material yang mendukung suatu permainan. Walaupun demikian, lembaga PAUD tetap diharapkan dapat menggunakan materi dan sumber bermain sebaik mungkin untuk memberikan pengalaman bermain yang kaya pada anak. 4) Main Sensorimotor Seluruh lembaga PAUD telah melakukan kegiatan main sensorimotor sesuai dengan pedoman BCCT. Pada sebagian Provinsi, variasi jenis permainan sensorimotornya lebih banyak bila dibandingkan dengan sebagian lembaga lainnya. Namun, pada beberapa lembaga PAUD di satu Provinsi, frekuensi dalam main sensorimotor khususnya main bahan cair sangat jarang dilakukan. Jenis main sensorimotor yang disukai anak yaitu main bahan cair, main adonan (play dough), finger painting, dan main bola. Sebanyak 85 persen lembaga PAUD sampel dapat menjelaskan dampak main sensorimotor meliputi aspek kognitif, fisik, sosioemosional, dan bahasa. Dampak main sensorimotor yaitu: 1) melatih kemampuan motorik kasar dan halus; 2) mengenal tekstur; 3) mengenalkan konsep baru; 4) melatih komunikasi; 5) meningkatkan interaksi; 6) belajar mengendalikan emosi; 7) meningkatkan kemampuan berpikir; 8) kosa kata bertambah; 9) belajar berbagi; serta 10) melatih imajinasi. Namun, sebanyak 15 persen lembaga PAUD lainnya masih belum dapat menjelaskan dampak main sensorimotor secara lengkap, hanya mencakup aspek fisik saja. Kendala main sensorimotor di sebagian besar lembaga PAUD, yaitu masih terbatasnya sarana prasarana, kurangnya tenaga pendidik, dan karakteristik anak yang terlalu aktif atau terlalu pasif. Menurut pendidik, hasil atau dampak dari bermain sensorimotor terhadap murid bervariasi, antara 1 sampai dengan 6 bulan. Pedoman Pendekatan Penerapan BCCT menjelaskan tentang contoh kegiatan main sensorimotor, meliputi main air dan main bahan alam, bahan-bahan atau alat-alat yang menunjang permainan sensorimotor, variasi kegiatan main, dan manfaat permainan secara
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
84 umum. Namun tahapan pijakan-pijakan secara umum terhadap semua jenis permainan, tidak dibahas spesifik setiap permainan. Secara keseluruhan, lembaga PAUD sampel telah melaksanakan tahapan-tahapan scaffolding dalam melaksanakan main sensorimotor, yaitu scaffolding lingkungan, scaffolding sebelum main, scaffolding saat main, dan scaffolding setelah main. Namun lembaga PAUD di sebagian Provinsi melakukan tahapan di dalam scaffolding yang lebih lengkap dibandingkan dengan lainnya. Dapat dikatakan bahwa tidak semua lembaga PAUD sampel melakukan scaffolding sesuai dengan konsep asli BCCT. Secara umum, lembaga PAUD sampel sudah sesuai dengan kebijakan mengenai permainan sensorimotor. Namun, beberapa lembaga PAUD sampel ada yang melakukan variasi melebihi dari yang tercantum di dalam kebijakan. Saat melakukan pijakan pengalaman sebelum main, dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT tercantum sebelas tahapan pijakan yang harus dilaksanakan yaitu: Pendidik dan anak duduk melingkar. Pendidik memberi salam pada anak-anak, menanyakan kabar anak-anak. Pendidik meminta anak-anak untuk memperhatikan siapa saja yang tidak hadir (mengabsen). Berdoa bersama, mintalah anak secara bergilir siapa yang akan memimpin doa hari ini. Pendidik menyampaikan tema hari ini dan dikaitkan dengan kehidupan anak. Pendidik membacakan buku yang terkait dengan tema. Setelah membaca selesai, pendidik menanyakan kembali isi cerita. Pendidik mengaitkan isi cerita dengan kegiatan main yang akan dilakukan anak. Pendidik mengenalkan semua tempat dan alat main yang akan dilakukan anak. Dalam memberi pijakan, pendidik harus mengaitkan kemampuan apa yang diharapkan muncul pada anak, sesuai dengan rencana belajar yang sudah disusun. Pendidik menyampaikan bagaimana aturan main (digali dari anak), memilih teman main, memilih mainan, cara menggunakan alat-alat, kapan memulai dan mengakhiri main, serta merapikan kembali alat yang sudah dimainkan. Pendidik mengatur teman main dengan memberi kesempatan kepada anak untuk memilih teman mainnya. Apabila ada anak yang hanya memilih anak tertentu sebagai teman mainnya, maka pendidik agar menawarkan untuk menukar teman mainnya. Setelah anak siap untuk main, pendidik mempersilahkan anak untuk mulai bermain. Agar tidak berebut serta lebih tertib, pendidik dapat menggilir kesempatan setiap anak untuk mulai
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
85 bermain, misalkan berdasarkan warna baju, usia anak, huruf depan anak, atau cara lainnya agar lebih teratur. Berdasarkan temuan di lapangan, sebelum melaksanakan permainan sensorimotor mayoritas lembaga PAUD sampel sudah melakukan hampir seluruh tahapan pijakan pengalaman sebelum main seperti yang tercantum diatas. Contohnya pendidik mendemonstrasikan konsep yang akan diberikan, mendiskusikan aturan dan harapan bermain, memberitahu cara mengunakan alat main sensorimotor, mendesain dan mengimplementasikan urutan-urutan bermain. Sedangkan untuk tahapan membacakan buku cerita yang sesuai dengan tema, tidak seluruh lembaga PAUD sampel melaksanakannya. Hanya sebagian kecil lembaga PAUD sampel yang melaksanakan seluruh tahapan pijakan pengalaman sebelum main dalam bermain sensori motor. Saat melakukan pijakan pengalaman selama main, dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT tercantum sembilan tahapan pijakan yang harus dilaksanakan yaitu: Pendidik berkeliling diantara anak yang sedang bermain. Memberi contoh cara main pada anak yang belum bisa menggunakan bahan/alat. Memberi dukungan berupa pernyataan positif tentang pekerjaan yang dilakukan anak. Memancing dengan pertanyaan terbuka untuk memperluaskan cara main anak. Memberikan bantuan pada anak yang membutuhkan. Mendorong anak untuk mencoba dengan cara lain, sehingga anak memiliki pengalaman main yang kaya. Mencatat yang dilakukan anak (jenis main, tahap perkembangan, dan tahap sosial.) Mengumpulkan hasil kerja anak. Bila waktu sisa 5 menit, pendidik memberitauhkan pada anak-anak untuk bersiap-siap menyelesaikan kegiatan mainnya. Berdasarkan temuan di lapangan, selama melaksanakan permainan sensorimotor mayoritas lembaga PAUD sampel sudah melakukan seluruh tahapan pijakan pengalaman selama main seperti yang tercantum diatas. Contohnya pendidik mencontohkan cara penggunaan alat permainan, memancing anak dengan memberikan pertanyaan mengenai permainannya, mendorong anak untuk lebih mengeksplor permainannya, dan sebagainya. Saat melakukan pijakan pengalaman setelah main, dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT tercantum enam tahapan pijakan yang harus dilaksanakan yaitu:
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
86
Bila waktu bermain habis, pendidik memberitahukan saatnya membereskan. Membereskan alat dan bahan yang sudah digunakan dengan melibatkan anak-anak. Bila anak belum terbiasa untuk membereskan, pendidik bisa membuat permainan yang menarik agar anak ikut membereskan. Saat membereskan, pendidik menyiapkan tempat yang berbeda untuk setiap jenis alat, sehingga anak dapat mengelompokkan alat main sesuai dengan tempatnya. Bila bahan main sudah dirapikan kembali, satu orang pendidik membantu anak membereskan baju anak (menggantinya bila basah), sedangkan pendidik lainnya dibantu orangtua membereskan semua mainan hingga semua rapi di tempatnya. Bila anak sudah rapi, mereka diminta duduk melingkar bersama pendidik. Setelah semua anak duduk dalam lungkaran, pendidik menanyakan pada setiap anak kegiatan main yang tadi dilakukannya. Kegiatan menanyakan kembali (recalling) melatih daya ingat anak dan melatih anak mengemukakan gagasan dan pengalaman mainnya (memperluas perbendaharaan kata anak).
Berdasarkan temuan di lapangan, mayoritas lembaga PAUD sampel sudah melakukan seluruh tahapan pijakan pengalaman setelah main seperti yang tercantum diatas. Contohnya pendidik memberitahukan saat berberes-beres, membantu peserta didik yang basah bajunya, menanyakan kembali pengalaman bermain anak, dan sebagainya. 5) Main Konstruktif Sebagian besar lembaga PAUD telah melakukan kegiatan main konstruktif sesuai dengan pedoman BCCT. Jenis permainan konstruktif yang paling disukai anak, yaitu main balok dan main puzzle. Tujuan dari main konstruktif dapat dijelaskan dengan baik oleh pendidik pada seluruh lembaga PAUD. Tidak seluruh lembaga PAUD sampel mengetahui dampak dari bermain konstruktif. Menurut pendidik, hasil atau dampak dari bermain konstruktif terhadap murid bervariasi, antara 1 sampai dengan 6 bulan. Hambatan dalam pelaksanaan main konstruktif secara umum, yaitu kurangnya alat permainan konstruktif akibat kurangnya dana dan alat permainan yang mahal sert karakteristik anak. Pedoman Pendekatan Penerapan BCCT menjelaskan secara umum mengenai main konstruktif yaitu mengenai bahan-bahan atau alat-alat yang digunakan untuk main konstruktif dan manfaat permainan, beserta contoh kegiatannya. Namun tahapan pijakan-
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
87 pijakan secara umum terhadap semua jenis permainan, tidak dibahas spesifik setiap permainan. Lembaga PAUD sampel telah melaksanakan tahapan-tahapan scaffolding dalam melaksanakan main konstruktif, yaitu scaffolding lingkungan, scaffolding sebelum main, scaffolding saat main, dan scaffolding setelah main. Namun lembaga PAUD di sebagian Provinsi melakukan tahapan scaffolding lebih lengkap dibandingkan dengan sebagian Provinsi lainnya. Dapat dikatakan bahwa tidak semua lembaga PAUD sampel melakukan sesuai dengan konsel asli BCCT. Secara umum, lembaga PAUD sampel sudah sesuai dengan kebijakan mengenai permainan konstruktif. Namun, beberapa lembaga PAUD ada yang melakukan variasi melebihi dari yang tercantum dalam kebijakan. 6) Main Peran Seluruh lembaga telah melakukan kegiatan main peran sesuai dengan pedoman BCCT. Walaupun ada beberapa lembaga PAUD yang memiliki jenis main peran yang lebih bervariasi dibandingkan lembaga PAUD lainnya. Pada beberapa lembaga di sebagian Provinsi sangat jarang atau bahkan belum pernah melaksanakan main peran. Hal itu dikarenakan minimnya fasilitas untuk main peran. Jenis main peran tersebut yaitu main alat rumah tangga, main supermarket, main astronot, dan sandiwara boneka. Pendidik dari seluruh lembaga PAUD sampel dapat menjelaskan peran guru dalam main peran, tujuan dari main peran, serta mengetahui dampak dari bermain peran. Menurut pendidik di sebagian lembaga PAUD sampel, hasil atau dampak dari bermain peran terhadap murid bervariasi, antara 6 sampai dengan 12 bulan. Secara umum, hambatan atau kendala main peran, yaitu kurangnya alat permainan edukatif akibat kurangnya dana ataupun alat permainan yang mahal, karakteristik anak, anak tidak mengetahui peran yang dilakukan, dan perilaku anak yang berebut alat permainan. Namun, hambatan tersebut tidak terjadi pada lembaga PAUD di Jawa Barat. Pedoman Pendekatan Penerapan BCCT menjelaskan tentang contoh kegiatan main peran, pembagian main peran menjadi main peran mikro dan main peran makro. Dijelaskan pula secara umum mengenai jenis kegiatan main peran dan manfaat main peran, namun penjelasan tersebut belum mengkaitkannya dengan tahapan perkembangan anak. Namun tahapan pijakan-pijakan secara umum terhadap semua jenis permainan, tidak dibahas spesifik setiap permainan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
88 Secara keseluruhan, lembaga PAUD sampel telah melaksanakan tahapan-tahapan scaffolding dalam melaksanakan main peran, yaitu scaffolding lingkungan, scaffolding sebelum main, scaffolding saat main, dan scaffolding setelah main. Namun, pada lembaga PAUD di sebagian Provinsi ada yang melakukan tahapan scaffolding lebih lengkap dibandingkan dengan sebagian Provinsi lainnya. Dapat dikatakan bahwa tidak semua lembaga PAUD sampel melakukan main drama sesuai dengan konsep asli BCCT. Namun secara umum, lembaga PAUD sampel sudah sesuai dengan kebijakan mengenai permainan peran. Akan tetapi beberapa lembaga PAUD ada yang melakukan variasi melebihi dari yang tercantum dalam kebijakan. Tujuan dari main konstruktif dapat dijelaskan dengan baik oleh pendidik pada seluruh lembaga PAUD. Secara umum, tujuan dari main konstruktif, yaitu: 1) mengenalkan konsep baru kepada anak (konsep bentuk, warna, dan ukuran); 2) meningkatkan daya imajinasi anak; 3) mengembangkan kreativitas; 4) mengenalkan konsep keruangan; 5) mengenalkan konsep matematika dan geometris; 6) melatih otak dan daya pikir anak; 7) mengembangkan motorik kasar dan halus; dan 8) symbolic thingking. Para pendidik di sebagian lembaga PAUD, bisa menjelaskan dampak bermain konstruktif yang meliputi aspek perkembangan fisik, sosial-emosional, kognitif, dan bahasa. Secara umum, dampak main konstruktif yaitu: 1) melatih anak untuk berhitung; 2) mengembangkan kemampuan imajinasi anak; 3) melatih kemampuan motorik anak (motorik kasar dan motorik halus); 4) mengingkatkan kemampuan interaksi anak; 5) anak belajar untuk menghormati teman; 6) peningkatan kosa kata; 7) mengembangkan logika berpikir; 8) mengetahui bentuk keaksaraan; 9) mengenal bentuk-bentuk baru; 10) melatih anak saling bekerja sama; 11) melatih kesabaran; dan 12) melatih kemampuan problem solving. Sedangkan, pendidik di sebagian Provinsi tidak memberikan jawaban mengenai dampak main konstruktif. Hal tersebut dikarenakan, para pendidik menganggap bahwa jawaban atas dampak main konstruktif sama dengan jawaban tujuan main konstruktif. Hambatan atau kendala dalam melaksanakan main konstruktif tidak ditemui pada lembaga PAUD di Provinsi Jawa Barat. Hal itu dikarenakan, para guru sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup mengenai BCCT, sehingga dapat mengatasi segala masalah-masalah atau kendala dalam permainan konstruktif. Sedangkan, pada lembaga PAUD di Provinsi lainnya mengalami kendala atau hambatan dalam pelaksanaan main konstruktif. Secara umum, hambatan atau kendala main konstruktif, yaitu: 1) kurangnya
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
89 alat permainan konstruktif; 2) kurangnya dana; 3) alat permainan yang mahal; 4) karakteristik anak. Pendidik pada sebagian lembaga PAUD menjelaskan harapan dari main konstruktif. Harapan main konstruktif terhadap perkembangan anak, yaitu: 1) menumbuhkan kemandirian anak; 2) anak semakin bisa bersosialisasi; 3) mampu konsentrasi dalam melakukan sesuatu; 4) berkembangnya kemampuan kognitif; 5) berkembangnya kemampuan bahasa; 6) anak bisa disiplin; 7) mampu bekerjasana; 8) anak bisa berpikir logis; 9) berkembangnya kemampuan emosi anak; 10) bekembangnya kemampuan kognitif. Secara keseluruhan, dalam melaksanakan kegiatan bermain konstruktif, lembaga PAUD telah melaksanakan tahapan-tahapan pijakan yang terdapat dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT dalam melaksanakan main sensorimotor. Bentuk pijakan tersebut yaitu pijakan pengalaman sebelum main, pijakan pengalaman selama main, dan pijakan pengalaman setelah main. Namun, pada sebagian kecil lembaga PAUD sampel ada yang melakukan tahapan pijakan yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan lainnya. Saat melakukan pijakan pengalaman sebelum main, dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT tercantum sebelas tahapan pijakan yang harus dilaksanakan yaitu: Pendidik dan anak duduk melingkar. Pendidik memberi salam pada anak-anak, menanyakan kabar anak-anak. Pendidik meminta anak-anak untuk memperhatikan siapa saja yang tidak hadir (mengabsen). Berdoa bersama, mintalah anak secara bergilir siapa yang akan memimpin doa hari ini. Pendidik menyampaikan tema hari ini dan dikaitkan dengan kehidupan anak. Pendidik membacakan buku yang terkait dengan tema. Setelah membaca selesai, pendidik menanyakan kembali isi cerita. Pendidik mengaitkan isi cerita dengan kegiatan main yang akan dilakukan anak. Pendidik mengenalkan semua tempat dan alat main yang akan dilakukan anak. Dalam memberi pijakan, pendidik harus mengaitkan kemampuan apa yang diharapkan muncul pada anak, sesuai dengan rencana belajar yang sudah disusun. Pendidik menyampaikan bagaimana aturan main (digali dari anak), memilih teman main, memilih mainan, cara menggunakan alat-alat, kapan memulai dan mengakhiri main, serta merapikan kembali alat yang sudah dimainkan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
90
Pendidik mengatur teman main dengan memberi kesempatan kepada anak untuk memilih teman mainnya. Apabila ada anak yang hanya memilih anak tertentu sebagai teman mainnya, maka pendidik agar menawarkan untuk menukar teman mainnya. Setelah anak siap untuk main, pendidik mempersilahkan anak untuk mulai bermain. Agar tidak berebut serta lebih tertib, pendidik dapat menggilir kesempatan setiap anak untuk mulai bermain, misalkan berdasarkan warna baju, usia anak, huruf depan anak, atau cara lainnya agar lebih teratur.
Berdasarkan temuan di lapangan, sebelum melaksanakan permainan konstruktif mayoritas lembaga PAUD sampel sudah melakukan hampir seluruh tahapan pijakan pengalaman sebelum main seperti yang tercantum diatas. Contohnya pendidik mendemonstrasikan konsep yang akan diberikan, mendiskusikan aturan dan harapan bermain, memberitahu cara mengunakan alat main konstruktif, mendesain dan mengimplementasikan urutan-urutan bermain. Sedangkan untuk tahapan membacakan buku cerita yang sesuai dengan tema, tidak seluruh lembaga PAUD sampel melaksanakannya. Hanya sebagian kecil lembaga PAUD sampel yang melaksanakan seluruh tahapan pijakan pengalaman sebelum main dalam bermain konstruktif, seperti memberitahu cara menggunakan alat permainan, mengajak anak berdiskusi mengenai peraturan dan harapan dari kegiatan bermain, dan menjelaskan periode dan jeda bermain. Saat melakukan pijakan pengalaman selama main, dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT tercantum sembilan tahapan pijakan yang harus dilaksanakan yaitu: Pendidik berkeliling diantara anak yang sedang bermain. Memberi contoh cara main pada anak yang belum bisa menggunakan bahan/alat. Memberi dukungan berupa pernyataan positif tentang pekerjaan yang dilakukan anak. Memancing dengan pertanyaan terbuka untuk memperluaskan cara main anak. Memberikan bantuan pada anak yang membutuhkan. Mendorong anak untuk mencoba dengan cara lain, sehingga anak memiliki pengalaman main yang kaya. Mencatat yang dilakukan anak (jenis main, tahap perkembangan, dan tahap sosial.) Mengumpulkan hasil kerja anak. Bila waktu sisa 5 menit, pendidik memberitahukan pada anak-anak untuk bersiap-siap menyelesaikan kegiatan mainnya.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
91 Berdasarkan temuan di lapangan, selama melaksanakan permainan konstruktif mayoritas lembaga PAUD sampel sudah melakukan seluruh tahapan pijakan pengalaman selama main seperti yang tercantum diatas. Contohnya pendidik mencontohkan cara penggunaan alat permainan, memancing anak dengan memberikan pertanyaan mengenai permainannya, mendorong anak untuk lebih mengeksplor permainannya, mengobservasi dan mendokumentasikan kemajuan dan perkembangan bermain anak. dan sebagainya. Saat melakukan pijakan pengalaman setelah main, dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT tercantum enam tahapan pijakan yang harus dilaksanakan yaitu: Bila waktu bermain habis, pendidik memberitahukan saatnya membereskan. Membereskan alat dan bahan yang sudah digunakan dengan melibatkan anak-anak. Bila anak belum terbiasa untuk membereskan, pendidik bisa membuat permainan yang menarik agar anak ikut membereskan. Saat membereskan, pendidik menyiapkan tempat yang berbeda untuk setiap jenis alat, sehingga anak dapat mengelompokkan alat main sesuai dengan tempatnya. Bila bahan main sudah dirapikan kembali, satu orang pendidik membantu anak membereskan baju anak (menggantinya bila basah), sedangkan pendidik lainnya dibantu orangtua membereskan semua mainan hingga semua rapi di tempatnya. Bila anak sudah rapi, mereka diminta duduk melingkar bersama pendidik. Setelah semua anak duduk dalam lungkaran, pendidik menanyakan pada setiap anak kegiatan main yang tadi dilakukannya. Kegiatan menanyakan kembali (recalling) melatih daya ingat anak dan melatih anak mengemukakan gagasan dan pengalaman mainnya (memperluas perbendaharaan kata anak). Berdasarkan temuan di lapangan, setelah melaksanakan permainan konstruktif sebagian lembaga PAUD sampel sudah melakukan seluruh tahapan pijakan pengalaman setelah main seperti yang tercantum diatas. Contohnya pendidik memberitahukan saat berberes-beres, menanyakan kembali pengalaman bermain anak, dan sebagainya. Sebagian lembaga PAUD sampel lainnya tidak melakukan recalling terhadap pengalaman bermain. Sementara itu, masih ada satu lembaga PAUD sampel yang tidak melaksanakan pijakan pengalaman setelah main yang sesuai dengan kebijakan. Kegiatan beres-beres di lembaga tersebut tidak terlaksana dengan baik karena banyak murid yang sudah meninggalkan kelas sehingga pendidik yang membereskan semua mainan secara terburu-buru dan tidak rapi sehingga dicontoh oleh tiga sampai empat murid.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
92 7) Prosedur Evaluasi dan Pemanfaatan Hasil Secara keseluruhan, tujuan dari prosedur evaluasi sudah dipahami oleh tiap-tiap lembaga di seluruh Provinsi. Tujuan dari prosedur evaluasi yaitu untuk mengetahui atau memahami kemajuan anak selama belajar di lembaga, baik dalam segi perkembangan ataupun segi bermain. Pada sebagian lembaga PAUD juga menambahkan tujuan prosedur evaluasi yaitu mengetahui tingkat keaksaraan anak. Beberapa lembaga PAUD menambahkan tindak lanjut dari dilakukannya evaluasi tersebut, yaitu dengan memantau perkembangan anak selama bermain dan memperlihatkan hasil kerja anak pada orang tua.
Sementara itu mengenai evaluasi program yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program, mayoritas lembaga PAUD sampel tidak melaksanakannya secara khusus. Selama ini, evaluasi terhadap program ataupun kegiatan hanya dilakukan ketika sedang melakukan rapat antar guru ataupun guru dengan pengelola. Rapat tersebut biasanya membicarakan sejauh mana program dapat berjalan lancar sesuai dengan jadwal dan juga tujuan yang sudah ditetapkan. Ketika ada jadwal yang tidak berjalan seperti yang sudah direncanakan ataupun ada tujuan bermain yang tidak tercapai, biasanya lembaga PAUD sampel berusaha mencari cara baru untuk mensiasatinya atau dengan mengulang lagi permainan tersebut sampai tujuan bermain bisa tercapai. Kurang lebih sebanyak 80 persen lembaga PAUD telah melakukan prosedur evaluasi terhadap bermain dan perkembangan anak, berupa catatan harian, catatan bulanan atau tiga bulanan, dan rapor yang dilaporkan persemester. Beberapa lembaga PAUD juga menambahkan form checklist untuk melakukan evaluasi perkembangan. Secara umum, hasil evaluasi harian, bulanan, atau tiga bulanan dilaporkan kepada orangtua dalam bentuk laporan deskriptif. Kemudian hasil evaluasi enam bulanan atau persemester dilaporkan dalam bentuk tertulis atau rapor dan juga portofolio. Secara keseluruhan, tujuan dari prosedur evaluasi sudah dipahami oleh tiaptiap lembaga di seluruh Provinsi. Prosedur evaluasi kemajuan program belum ada dalam buku konsep asli BCCT. Penjelasan secara lengkap baru sebatas mengenai prosedur evaluasi perkembangan anak. Kebijakan mengenai prosedur
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
93 evaluasi dan pemanfaatan hasil diatur dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT. Pelaksanaan evaluasi perkembangan anak yang dilakukan oleh Lembaga PAUD sampel sudah sesuai dengan teori BCCT. Namun, masih ada beberapa lembaga PAUD yang belum sesuai. Di lain hal, secara umum Lembaga PAUD sampel tidak melakukan evaluasi program. Hal ini tidak sesuai dengan kebijakan yang mengatur mengenai evaluasi, di mana seharusnya dilakukan evaluasi perkembangan maupun evaluasi program. Hasil Perkembangan Anak Berdasarkan hasil pengecekan perkembangan anak pada seluruh lembaga PAUD, didapatkan data bahwa anak berada pada tingkat perkembangan yang cukup baik, normal, dan tidak ada kelainan maupun kebutuhan khusus. Pengamatan di lapangan cukup sesuai dengan data yang diberikan, di mana anak yang dijadikan sampel menunjukkan ciri yang tidak jauh berbeda dengan aspek-aspek dalam developmental checklist. Anak dengan usia lebih besar juga memiliki tingkat perkembangan yang lebih baik dibandingkan anak dengan usia lebih kecil. Dari uraian tersebut diperoleh hasil bahwa: 1) Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap teori dan konsep asli BCCT dengan kebijakan yang dikeluarkan Direktorat PAUD dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT, sebagian besar diperoleh kesesuaian. Namun masih terdapat kesenjangan antara lain dalam hal usia kelompok sasaran, karakteristik pendidik, penekanan konsep BCCT, prinsip perkembangan anak, sarana pembelajaran, proses pembelajaran, interaksi antar guru, penggunaan materi dan sumber bermain, pijakan di setiap jenis pijakan, dan prosedur evaluasi program. 2) Berdasarkan analisis yang dilakukan, secara umum pelaksanaan BCCT di lapangan sudah sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan Direktorat PAUD dalam Pedoman Penerapan Pendekatan BCCT. Akan tetapi masih terdapat sedikit kesenjangan dalam hal pemahaman dan pengetahuan pendidik, penerapan metode BCCT dalam kurikulum, tahapan pijakan atau scaffolding di setiap tiga jenis permainan, dan prosedur evaluasi program. 3) Berdasarkan analisis antara pelaksanaan BCCT di lapangan dengan konsep asli BCCT serta teori pendukungnya, secara umum sudah sesuai namun masih terdapat beberapa kesenjangan. Kesenjangan tersebut antara lain dalam hal usia sasaran peserta didik, pemahaman atau pengetahuan pendidik, penggunaan kurikulum beserta penerapannya, sarana pembelajaran, variasi permainan serta bentuk scaffolding di tiga jenis permainan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
94
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
95 4. SARAN 1) Pedoman penerapan pendekatan BCCT perlu direvisi kembali dengan penambahan dan penerapan metode BCCT dalam kurikulum, tahapan pijakan atau scaffolding di setiap tiga jenis permainan, dan prosedur evaluasi program. 2) Pendekatan BCCT ini perlu disebarluaskan kepada penyelenggara dan pendidik PAUD melalui pelatihan, pelaksanaan, serta pemantauan pendekatan BCCT itu sendiri. 3) Pendekatan BCCT dapat dijadikan bahan kebijakan pelaksanaan PAUD di Indonesia
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
96
Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Keluarga
1. Pendahuluan Berbagai studi yang dilakukan para ahli gizi menyimpulkan bahwa pembentukan kecerdasan pada masa usia dini dan dalam kandungan ternyata sangat tergantung pada asupan gizi yang diterima. Orangtua harus memperhatikan gizi anak dan punya pengetahuan serta kemampuan bersikap yang benar ketika berinteraksi dengan anaknya dan harus berperan dalam mengoptimalkan fungsi otak anak. Hasil-hasil studi di bidang neurologi juga menjelaskan masa emas perkembangan anak yakni pada usia di bawah 4 tahun di mana perkembangan intelektual telah mencapai tentang pertumbuhan otak 50%. Kenyataan bahwa rendahnya derajat kesehatan, gizi, dan pendidikan pada anak usia dini lebih banyak terjadi pada anak yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tinggal di wilayah pedesaan, serta di wilayah dengan penyediaan layanan sosial dasar yang tidak memadai (Bappenas, 2006). Peran keluarga yang tidak optimal diindikasikan oleh rendahnya derajat kesehatan ibu, rendahnya tingkat pendidikan ibu, dan pola asuh anak yang kurang optimal. Sementara itu kesiapan sekolah anak usia dini juga masih belum optimal. Tantangan yang dihadapi pada saat ini adalah bagaimana membuat para orangtua dan para pengasuh memahami hakekat pendidikan, mengerti apa makna belajar dan mengajar, arti masa kanak-kanak, kebutuhan anakanak, sehingga mereka dapat memberikan pelayanan yang bermanfaat, dapat melindungi, dan mau menghormati anak usia dini sebagai manusia yang memiliki hak, potensi, dan kemampuan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, Puslitjaknov bekerjasama dengan Direktorat PAUD akan mengembangkan PAUD berbasis keluarga yang berisikan penanaman nilainilai budaya dan norma-norma kehidupan, serta proses pembelajaran yang benar yang dibutuhkan anak usia dini sesuai dengan potensi yang dimiliki anak. Pengembangan pendidikan anak usia dini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan orangtua dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak usia dini, terutama pengelolaan kegiatan pembelajaran di rumah oleh orangtua dengan pendekatan scaffolding sesuai dengan tahapan tumbuh kembang dan karakteristik anak. Pendekatan scaffolding menekankan pada pentingnya pendampingan orangtua/pengasuh/orang dewasa dalam kegiatan anak. Tujuan dari pengembangan PAUD berbasis keluarga ini adalah tersusunnya model dan pedoman yang meliputi pengelolaan kegiatan pembelajaran di rumah oleh orangtua. Hasil yang diharapkan adalah perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan fisik anak meningkat. Dampak
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
97 yang diharapkan adalah agar orangtua memiliki kemampuan dalam mendidik anak usia dini, sehingga berdampak pula pada peningkatan mutu PAUD. Model ini diharapkan dapat digunakan oleh Direktorat PAUD, lembaga PAUD, pemerintah daerah, dan orangtua anak usia dini. Lingkup pengembangan model pengembangan pendidikan ini adalah model pendidikan anak usia dini informal melalui keluarga. Sedangkan, sasaran dari pengembangan model ini adalah Orangtua/keluarga yang mempunyai anak usia dini yang tidak ikut dalam layanan di lembaga PAUD formal, penyelenggara PAUD, dan pendidik PAUD. Pendekatan penelitian dalam pengembangan model pendidikan anak usia dini adalah quasi experimental design (rancangan semi eksperimental) yaitu disain penelitian yang menggunakan kelompok eksperimen (yang mencoba model) tetapi tidak ada kelompok kontrol (yang tidak mencoba model). Populasi dalam pengembangan PAUD berbasis keluarga adalah seluruh penyelenggara program PAUD. Namun karena keterbatasan yang dihadapi maka pemilihan propinsi dilakukan berdasarkan pembagian wilayah yaitu wilayah Indonesia bagian Barat (Propinsi Jawa Barat, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat) dan Indonesia bagian Tengah (Propinsi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo). Variabel yang digunakan adalah kebutuhan anak usia dini, kompetensi yang perlu dikuasai orangtua/keluarga dalam pendidikan anak usia dini, dan kompetensi pendidik yang bisa dikuasai orangtua/keluarga. Sumber data dari pengembangan model ini adalah orangtua dan pendidik dari anak usia dini. Cara yang digunakan dalam pengembangan model PAUD berbasis keluarga adalah wawancara mendalam dan pengamatan/observasi. Alat yang digunakan dalam pengembangan model ini adalah pedoman wawancara dan pedoman pengamatan/observasi. Pengembangan model PAUD berbasis keluarga menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis hasil wawancara.
2. Temuan Penelitian Dalam studi pengembangan pendidikan anak usia dini ini dihasilkan dua hal yaitu modelnya sendiri tentang pembelajaran PAUD berbasis keluarga dan panduan bagi orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai pada anak usia dini. Berikut diuraikan model dan panduan PAUD berbasis keluarga.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
98 2.1 Model Pembelajaran PAUD Berbasis Keluarga Model pembelajaran PAUD berbasis keluarga berisikan tentang: 1) pentingnya orangtua menyelenggarakan PAUD berbasis keluarga; 2) Karakteristik anak usia dini (usia 2-4 tahun); 3) Karakteristik orangtua dan lingkungan yang baik bagi proses tumbuh kembang anak; 4) Memulai mengembangkan PAUD berbasis keluarga di rumah; dan 5) Target pencapaian hasil PAUD berbasis keluarga. 1) Pentingnya Orangtua Menyelenggarakan PAUD Berbasis Keluarga Keluarga merupakan sebuah sistem interaksi untuk membangun suatu hubungan berlanjut. Keluarga juga merupakan sebuah entitas organik. Artinya, setiap perilaku dan peristiwa yang berlangsung di dalam keluarga akan berpengaruh terhadap perilaku anggota keluarga itu sendiri. Pendidikan yang memfokuskan pada pengaruh orangtua dan model responsi orangtua terhadap perilaku anak di dalam keluarga dikenal sebagai pendidikan berbasis sistem keluarga (a family-system approach). Peran keluarga sangat besar terhadap tumbuh kembang anak. Pada awal perkembangan anak, orangtua memiliki peran sangat besar dalam mengembangkan kecerdasan intelektual dan emosional. Sebagian ahli berpendapat bahwa keluarga merupakan tempat awal bagi anak untuk menumbuh-kembangkan kemampuan sosial. Literatur tentang peran orangtua dalam menumbuh-kembangkan anak sangat banyak dijumpai. Dalam beberapa penelitian disimpulkan bahwa perilaku orangtua yang baik, seperti: sikap hangat, perhatian, dan yang tidak baik, seperti: bermusuhan, terlalu protektif, khawatir, dan sebagainya, berpengaruh terhadap kondisi anak dalam hal kognisi (pikiran), afeksi (emosi), dan konasi (perilaku). Mengetahui karakteristik perkembangan anak sangat penting bagi orangtua anak usia dini, mengingat anak tengah berada pada fase golden age, di mana segala perlakuan yang diberikan kepada anak pada fase ini dapat mempengaruhi kehidupan anak di masa depan. Dengan mengenali karakteristik perkembangan anak, orangtua di rumah dapat menentukan perlakuan yang tepat bagi anak sesuai dengan usia atau tahap perkembangannya. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan orangtua sebelum dapat mengembangkan pendidikan anak usia dini di rumah adalah memperhatikan perkembangan anak. Namun demikian, yang juga penting untuk dipahami oleh orangtua adalah bahwa tahap perkembangan pada masing-masing anak berbeda. Contohnya, ada anak yang cepat berbicara tetapi lambat berjalan, atau sebaliknya. Sebagian ahli mengatakan bahwa toleransi untuk keterlambatan perkembangan anak adalah enam bulan. Orangtua memang tidak dapat memaksakan anak untuk selalu berada pada tahap
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
99 perkembangan rata-rata. Yang dapat dilakukan orangtua jika anak mengalami keterlambatan perkembangan adalah memberikan dukungan, stimulasi, dan latihan. Atau jika keadaan tersebut berlanjut, orangtua dapat membawa anak untuk diperiksa oleh tenaga profesional (dokter, psikolog, dan lain-lain). Perlu diingat bahwa intervensi pada anak yang mengalami keterlambatan perkembangan harus dilakukan sesegera mungkin, agar keluhan dapat diidentifikasi dan ditangani sebelum menjadi lebih kompleks. 2) Karakteristik Anak Usia Dini (usia 2-4 tahun) (1) Pentingnya Memahami Perkembangan Anak Perkembangan anak adalah segala perubahan yang terjadi pada anak, dilihat dari berbagai aspek, antara lain aspek fisik (motorik kasar dan motorik halus), sosial-emosional, kognitif dan bahasa, serta psikososial (bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungannya). Masing-masing aspek tersebut memiliki tahapan-tahapan sendiri. Misalnya pada usia 1 bulan, bayi menggerakkan tangan dan kakinya untuk aspek motorik kasar dan menolehkan kepalanya untuk aspek motorik halus. (a) Perkembangan Fisik Secara umum, anak-anak tumbuh dengan cepat pada usia antara 36 tahun tetapi sedikit lebih lambat sebelum kisaran usia itu. Pada usia 3 tahun, anak-anak sudah mulai kehilangan penampilan mereka yang seperti bayi dan mulai menjadi lebih ramping dan sedikit lebih atletik. Pertumbuhan otot dan kerangka membuat anak-anak menjadi semakin kuat. Tulang rawan mereka berubah menjadi tulang yang padat dan dengan cepat menjadi semakin keras dan kuat. Ini memperkokoh tubuh anak-anak dan melindungi organ-organ dalamnya. Perubahan ini berkoordinasi dengan kematangan otak dan sistem saraf dan meningkatkan kemampuan motorik. Peningkatan kapasitas sistem pernapasan dan sistem sirkulasi membangun stamina fisik anak dan menjaganya tetap sehat, selama itu diikuti dengan perkembangan sistem imun. Dari segi kesehatan, batuk, pilek, dan sakit perut, merupakan bagian penyakit yang sering dialami anak-anak usia dini. Penyakit ringan ini hanya berlangsung beberapa hari dan jarang yang cukup serius sehingga membutuhkan penanganan dokter. Perkembangan fisik anak terbagi menjadi dua jenis, yaitu perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus. Berdasarkan sumber yang diperoleh, perkembangan motorik kasar
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
100 dan halus pada anak dapat dilihat dari rentang usia 2 tahun dan 4 tahun. Anak usia dini mengalami kemajuan besar dalam gross motor skill, seperti berlari dan melompat yang melibatkan otot secara keseluruhan. Anak-anak memiliki keahlian yang berbedabeda, tergantung pada bakat genetik mereka dan kesempatan untuk belajar dan melatih keterampilan motoriknya.
Perkembangan Motorik Kasar Perkembangan motorik kasar terkait dengan gerakan-gerakan atau aktivitas fisik pada anak yang melibatkan banyak anggota tubuh. Contohnya adalah berjalan, berlari, melangkah, menggerakkan sesuatu, dan melompat. Pada anak usia 2 tahun, perkembangan motorik kasar anak berkembang tetapi tidak sepesat pada anak usia 3 tahun dan 4 tahun. Pada usia 2 tahun, anak sudah dapat berjalan, berlari kecil.
Perkembangan Motorik Halus Sebaliknya, dari pengertian motorik kasar, kegiatan motorik halus mencakup gerakan-gerakan atau aktivitas fisik yang melibatkan sebagian kecil anggota tubuh. Contohnya adalah menulis dan menggambar. Pada anak usia 2 tahun, kemampuan menulis dan menggambar belum muncul. Anak mampu memegang pensil dan membuat coret-coretan yang tidak bermakna tetapi berpola, misalnya bergelombang, zig zag, dan sebagainya.
(b) Perkembangan Kognitif Pada usia 2 tahun, anak-anak mencoret-coret dengan pola, seperti garis vertikal dan zigzag. Pada usia 3 tahun, anak-anak menggambar bentuk; lingkaran, persegi panjang, bujur sangkar, segitiga atau silang, kemudian menggabungkannya menjadi desain yang kompleks. Tahap piktorial yang khas pada anak, akan dimulai pada usia 4 tahun. Ini mencerminkan perkembangan kognitif gambaran kemampuan dalam menggambar.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
101 Pada usia 2 hingga 4 tahun yang tergolong ke dalam usia dini, secara kognitif anak mengembangkan sistem representasi dan mulai menggunakan simbol-simbol. Cara berpikir anak masih belum logis. Pada periode ini, skema merepresentasikan obyek di luar pandangan anak, namun anak belum menggunakan nalar secara logis. Ini berarti bahwa anak sudah memiliki kemampuan membayangkan, berimajinasi, dan mengganti obyek asli dengan obyek yang ada dalam pikirannya. Misalnya, berpura-pura bicara di telepon dengan menggunakan kotak pensil. Akan tetapi, anak belum mampu menggunakan logika dalam membuat kesimpulan. Anak mungkin akan kesulitan untuk menjelaskan kenapa ia menggunakan tempat pensil sebagai telepon, bukan benda yang lain. (c) Perkembangan Psikososial Perkembangan sosial emosional berhubungan dengan kemampuan anak dalam aspek sosial dan regulasi emosi. Menurut teori Erikson, manusia selalu dihadapkan pada tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada setiap tahapnya. Piihannya adalah dua, yaitu apakah ia berhasil memenuhi tugas tersebut atau tidak. Secara umum, pada anak berusia 2 tahun mulai muncul perilaku akan ketaatan beragama seperti sholat, berdoa sebelum makan, dan lain-lain, tetapi hanya sebatas diperkenalkan. Anak belum memahami makna kegiatan tersebut meskipun melakukannya, itupun belum secara sempurna. Perilaku tantrum (mengamuk) masih berlanjut. Anak memiliki kecemasan akan berpisah yang tinggi dimana mereka merasa takut akan kepergian orangtua mereka. Selain itu, kebiasan anak mengisap jempol juga berkurang dan anak mulai bekerja sama dalam melaksanakan toilet training. Dalam bermain, anak mulai bermain secara paralel, tidak bisa untuk berbagi mainannya kepada temannya atau masih posesif. Rentang perhatian anak juga mulai lebih panjang. Menginjak usia 3 dan 4 tahun, perilaku yang berhubungan dengan ketaatan menjalani ritual keagamaan bertambah meskipun pemahamannyapun belum ada. Biasanya, orangtua mulai memperkenalkan ibadah pada usia ini. Anak mulai mengimitasi (meniru) perilaku orang dewasa seperti perilaku peran gender, misalnya meniru ayah membaca koran atau meminta ikut dengan ibu belanja ke pasar. Kemandirian anak mulai berlanjut, perilaku tantrum (mengamuk) mulai menurun.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
102 Selain itu, kecemasan berpisah dengan orangtua tetap berada pada puncaknya, namun anak mulai belajar untuk mengatasinya dengan menggunakan objek peralihan untuk kenyamanan mereka, seperti selimut atau mainan yang mereka sayangi. Dalam hal toilet training, anak menguasai bagaimana mengontrol buang air kecil dengan memulai mengontrolnya pada saat akan pergi tidur. Namun wajar jika anak masih mengompol. (2) Karakteristik umum perkembangan anak Pada umumnya, aspek perkembangan anak yang acapkali dibahas pada berbagai literatur, buku-buku, atau media publikasi lainnya berkisar seputar aspek fisik atau motorik (mencakup motorik halus dan kasar), kognitif (berkaitan dengan proses berpikir anak), bahasa (sebagian ahli menggabungkan aspek kognitif dan bahasa dengan alasan bahwa keduanya berkaitan), sosial (kemampuan anak untuk menjalin hubungan sosial), emosional (kemampuan anak dalam regulasi emosi), dan psikososial. Untuk mempermudah bahasan, maka karakteristik perkembangan anak yang akan diuraikan dalam model ini meliputi perkembangan fisik, kognitif, dan sosial emosional. 3) Karakteristik orangtua dan lingkungan yang baik bagi proses tumbuh kembang anak (1) Bagaimana Orangtua Sebaiknya Terlibat? Terdapat tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar anak mengalami proses tumbuh kembang yang optimal, yaitu kebutuhan fisik atau biomedis, kebutuhan emosi atau kasih sayang, dan kebutuhan stimulasi atau pendidikan. Kebutuhan fisik dapat dipenuhi apabila anak mengkonsumsi makanan yang sesuai dengan kebutuhan umurnya, pemantauan tumbuh kembang, pemeriksaan kesehatan, pengobatan, rehabilitasi, imunisasi, pakaian, pemukiman yang sehat dan lain-lain. Kebutuhan emosi meliputi segala bentuk hubungan yang erat, hangat dan menimbulkan rasa aman serta percaya diri sebagai dasar bagi perkembangan selanjutnya. Sedangkan kebutuhan stimulasi atau pendidikan meliputi segala aktivitas yang dilakukan yang mempengaruhi proses berpikir, berbahasa, sosialisasi, dan kemandirian seorang anak. Untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut, orangtua sebaiknya mengetahui apa kebutuhan anak dan bagaimana cara memenuhinya. Kebutuhan anak secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
103 (a) Kebutuhan akan Kesejahteraan Emosional Kesejahteraan emosional memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dan kesehatan anak. Anak usia pra-sekolah yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang tidak kondusif atau penuh dengan stres (orang tua bercerai, kesulitan keuangan, orang tua yang tidak bekerja) akan mengalami gangguan pernapasan, masalah pencernaan, dan penyakit lainnya bila dibandingkan dengan anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang baik. Gangguan emosional yang berlebihan akan menganggu produksi hormon pertumbuhan dalam tubuh dan menimbulkan psychosocial dwarfism atau gangguan pertumbuhan yang akan muncul diantara usia 2 sampai 15 tahun. Karakteristik khusus dari gangguan tersebut yang akan muncul adalah tinggi badan yang sangat kurang, menurunnya sekresi hormon pertumbuhan, tulang yang rapuh, dan masalah serius dalam penyesuaian diri. (b) Kebutuhan akan Kebiasaan Tidur yang Baik Tidur berhubungan dengan pertumbuhan tubuh, karena untuk hormon pertumbuhan dihasilkan oleh tubuh saat anak tidur. Anak yang cukup tidur akan memiliki kondisi yang baik untuk bermain, belajar, melakukan fungsi positif dalam keluarga. Anak yang sulit tidur akan mengganggu waktu tidur orang tua sehingga akan menimbulkan stres dalam keluarga. Jika kesulitan tidur tersebut terjadi berulang-ulang, biasanya faktor yang mempengaruhinya adalah adanya ketakutan tertentu atau masalah dengan pengaturan waktu tidur yang dilakukan oleh orang tuanya. Anak yang sering terbangun di malam hari dan tidak bisa tidur kembali, dapat dikatakan anak tersebut mengalami masalah tidur.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
104 (c) Kebutuhan akan Nutrisi yang Tepat Nafsu makan anak usia dini tidak dapat diprediksi, terkadang anak mau makan namun di lain waktu menjadi tidak nafsu makan. Anak menjadi pemilih makanan. Pengurangan nafsu makan pada anak usia dini itu termasuk hal yang normal, orangtua tidak peru khawatir namun tetap harus memperhatikan kebutuhan nutrisi anak sudah terpenuhi atau belum. Orangtua sebaiknya menyeimbangkan asupan gizi yang diberikan kepada anak, mulai dari karbohidrat (nasi, kentang, roti), protein (ayam, telur, tempe, tahu), mineral (sayur-sayuran), dan vitamin (buah-buahan). Jangan lupakan bahwa anak usia dini membutuhkan susu, terutama yang mengandung bahan-bahan yang diperlukan untuk perkembangannya. Anak biasanya mengikuti pilihan makan dan kegiatan makan dari orang yang dikaguminya (orang tua atau teman sebayanya). Contoh seorang ibu yang suka minum susu dan soft drink (coca-cola, fanta, atau sejenisnya), maka anaknya yang berusia 5 tahun akan memiliki minuman kesukaan yang sama dengan orang tuanya. Jadi, peran orangtua sangat besar dalam membentuk kebiasaan makan yang baik pada anak. (d) Kebutuhan akan Perlindungan dari Penyakit Penyakit bisa disebabkan oleh gizi buruk. Gizi buruk akan mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak. Penyakit yang dialami anak akan mengurangi nafsu makan anak dan menghambat tubuh dalam menyerap makanan. Kesehatan anak harus mendapat perhatian orangtua dengan segera membawa anaknya yang sakit ke tempat pelayanan kesehatan terdekat, agar tidak membahayakan jiwanya. Anak yang sehat pada umumnya akan tumbuh dengan baik. Berbeda dengan anak yang mudah sakit biasanya pertumbuhannya terganggu. Oleh karena itu setiap orangtua perlu memberikan makanan ekstra pada setiap anak sesudah menderita suatu penyakit. Anak yang menderita penyakit berat seperti asma, sakit jantung, sakit ginjal, dan lain-lain tidak hanya terganggu tumbuh kembangnya tetapi juga pendidikannya. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan perhatian ekstra pada anaknya.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
105 (e) Kebutuhan akan Perlindungan dari Kecelakaan Resiko terjadi kecelakaan pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan, hal tersebut dikarenakan aktivitas anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan. Karakteristik temperamental anak, kemarahan, mood yang negatif, kurang hati-hati memiliki hubungan dengan terjadinya kecelakaan pada anak. Faktor lain yang ikut mempengaruhi kecelakaan yaitu kemiskinan, pendidikan orang tua, dan banyaknya jumlah anak dalam satu rumah. Anak juga sering mengalami kecelakan pada tempat bermain. Untuk itu, perlu disediakan alat-alat permainan yang tidak memiliki potensi untuk mencelakakan anak. Jika orang tua tidak memiliki perhatian terhadap keamaan anaknya, maka anak akan memiliki resiko tinggi untuk mengalami kecelakaan. Anak membutuhkan pengawasan orangtua agar terhindar dari kecelakaan. (f) Kebutuhan akan Imunisasi Pada beberapa negara, jumlah anak yang terkena penyakit menurun drastis karena adanya imunisasi pada anak-anak. Pemberian imunisasi pada anak adalah penting untuk mengurangi kemungkinan anak terserang penyakit. Penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi misalnya penyakit tuberculosis, diphteri tetanus, pertusis, polio, campak, dan hepatitis B. Sekarang bahkan telah masuk di Indonesia vaksin MMR untuk mencegah campak, parotis, dan rubela (campak Jerman). Dengan melaksanakan imunisasi yang lengkap maka diharapkan dapat di cegah timbulnya penyakit-penyakit yang menimbulkan cacat dan kematian. (g) Kebutuhan akan Bermain Sebagian orangtua beranggapan bahwa bermain hanya buangbuang waktu, anak sebaiknya belajar menulis dan membaca. Padahal, bermain merupakan hal yang sangat penting salam mendukung perkembangan anak. Para ahli sepakat bahwa bermain adalah ―pekerjaan‖ anak-anak. Bermain menstimulasi pembelajaran fisik, sosial, emosional, dan kognitif pada tahun-tahun awal kehidupan. Anak membutuhkan waktu, ruang, materi, dan dukungan orangtua, serta pendidik anak usia dini yang terlatih dan penuh perhatian. Anak usia dini membutuhkan waktu dan peluang untuk dapat memperoleh manfaat bermain. Terlepas dari kesiapan anak
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
106 memasuki sekolah, orangtua harus menyediakan kesempatan bagi anak untuk bermain sesuka mereka. Bermain adalah bagian alami yang membentuk setiap anak sehat. Kecintaan anak akan belajar berhubungan secara baik dengan semangat untuk bermain. Ketika bermain, anak-anak terlihat seperti sedang bekerja sepanjang hari. Ketika anak sedang berkonsentrasi penuh mengerjakan sesuatu, dari hal tersebutlah anak belajar. Oleh karena itu, orangtua harus mengerti kebutuhan anak akan bermain dan sebisa mungkin mendampingi anak bermain. Pendampingan orangtua akan memastikan bahwa anak mendapatkan pembelajaran yang tepat dari kegiatan mainnya. (2) Memahami Pentingnya Bermain pada Anak Usia Dini Bermain pada anak usia dini sangat penting untuk mengoptimalkan perkembangan kognitif, sosial, emosional, motorik, dan bahasa. Kemampuan bermain adalah salah satu kriteria prinsip kesehatan mental. Bermain adalah sebuah jalan keluar bagi kreativitas anak dan merupakan bagian penting dari kehidupan anak. Dengan bermain kreatif, anak tumbuh dan berkembang. Hilangnya bermain pada anak akan memiliki konsekuensi yang serius bagi anak dan juga masa depan anak itu sendiri. Orangtua, guru, dan ahli kesehatan mental menyatakan keprihatinannya mengenai anak yang tidak bermain. Beberapa kebijakan atau tugas di rumah atau sekolah telah menghilangkan permainan yang terbuka dan berpusat pada diri anak sehingga anak tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi segala hal di sekitarnya. Sekarang ini makin banyak sekolah yang menggeser bermain dan mengutamakan pencapaian akademik. Banyak sekolah baru yang dibangun tanpa adanya area bermain. Hal ini dapat menyebabkan anak terasing dari pengalaman sekolahnya. Tiga jenis bermain yang dianjurkan untuk diterapkan kepada anak adalah bermain sensorimotor (permainan yang merangsang indera dan fisik), bermain dramatik (permainan peran, pura-pura atau sandiwara), dan bermain konstruktif (permainan membangun sesuatu). Permainan tersebut penting karena mendukung segala aspek perkembangan anak. Menyelenggarakan tiga jenis main tersebut di rumah bukanlah hal yang sulit dan membutuhkan biaya besar. Jika orangtua kreatif, maka orangtua dapat menciptakan lingkungan main dan menyediakan alat main yang baik bagi anak di rumah.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
107 (a) Menyelenggarakan Kegiatan Main di Rumah Dalam menyelenggarakan kegiatan bermain di rumah sebagai pendidikan bagi anak usia dini, orang tua perlu memperhatikan bahwa ciri-ciri bermain adalah:
Menyenangkan. Tidak memiliki tujuan kerja, yaitu tidak boleh ada pemaksaan tujuan dari luar diri anak. Bersifat spontan dan volunter. Bermain berarti anak aktif melakukan kegiatan. Memiliki hubungan yang sistematis dengan sesuatu yang bukan bermain, seperti kreativitas, pemecahan masalah, belajar bahasa, perkembangan peran sosial, perkembangan kognitif, dan sebagainya.
Setelah mengenali ciri bermain, maka orangtua dapat menciptakan lingkungan rumah yang mendukung pembelajaran bagi anak usia dini di rumah masing-masing. Oleh karena itu, lingkungan yang baik untuk anak usia dini adalah lingkungan yang menyediakan:
Kesempatan untuk bermain, baik di dalam ruangan ataupun diluar ruangan. Kesempatan bagi anak untuk berinteraksi dengan orang dewasa dan anak-anak lain yang memperkaya bahasanya. Pengalaman dengan musik, boneka, dongeng, dan permainan dramatik untuk memperkaya perkembangan bahasa. Orang dewasa yang mencontohkan dan mendorong perkembangan anak akan pemecahan masalah. Bermacam-macam alat permainan yang mendukung tiga jenis permainan (sensorimotor, dramatik, dan konstruksi). Kesempatan sehari-hari bagi anak untuk bermain dengan bermacam-macam alat permainan. Orang dewasa yang memiliki pengetahuan akan perkembangan anak dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mendukung perkembangan anak.
Lingkungan sebaik apapun tidak akan berperan optimal terhadap perkebangan anak tanpa adanya peran orangtua sebagai pendamping utama anak dalam kegiatan PAUD berbasis keluarga. Orangtua sebaiknya menemani anak saat bermain. Peran yang dapat dilakoni orangtua pada saat anak bermain di antaranya:
Hargai anak saat bermain dan komunikasikan kepada anak mengenai permainan sedang dilakukannya. Contohnya: orang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
108
tua berkata kepada anaknya, ―Mama menyukai cara kamu bermain, Nak.‖ Jika memungkinkan, orang tua ikut bermain bersama anak, terutama pada tahun-tahun awal usia anak. Jika orang tua memiliki perhatian dan ikut berpartisipasi dalam permainan anak, maka anak akan mendapatkan pesan bahwa bermain itu penting untuk dirinya. Ciptakan suasana yang menyenangkan. Saat anak tidak bisa berkarya lagi dengan permainannya, orangtua sebaiknya menawarkan alat mainan baru, atau mainan lama dengan aturan baru, atau berikan pengalaman baru kepada anak seperti jalan-jalan. Sediakan permainan yang aman untuk anak. Orang tua harus mengecek keamanan peralatan bermain anak.
(b) Belajar melalui Bermain Indoor dan Outdoor Anak usia dini membutuhkan kegiatan bermain yang seimbang antara jenis satu dengan yang lainnya, yakni indoor (di dalam ruangan) dan outdoor (di luar ruangan). Anak usia dini memerlukan dukungan orang dewasa. Orangtua dapat memfasilitasi kegiatan bermain anak dengan cara:
Menyediakan periode yang panjang tanpa gangguan (45-60 menit) untuk kegiatan bermain bebas dan spontan anak. Menyediakan berbagai materi untuk kegiatan bermain yang berbeda-beda; misalnya balok dan lego, tanah liat, air, bajubaju dan alat-alat sandiwara. Menyediakan lingkungan untuk bermain. Membiarkan anak bermain dengan tujuannya sendiri. Mau bermain bersama anak dalam konteks yang mereka inginkan. Menunjukkan ketertarikan terhadap kegiatan bermain anak, bertanya, menawarkan bantuan, dan terlibat jika anak menginginkannya.
Orangtua juga seharusnya mengetahui pentingnya kegiatan bermain outdoor, karena kegiatan bermain outdoor dapat berkontribusi besar terhadap perkembangan fisik anak. Setidaknya, anak dapat mengetahui kekuatan mereka. Misalnya seberapa tinggi anak dapat memanjat, seberapa kencang detak jantung anak saat berlari, dan sebagainya. Keuntungan menerapkan kegiatan bermain outdoor pada anak adalah orangtua dapat menyediakan:
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
109
Pengalaman yang kaya dan beragam yang mendukung perkembangan anak. Kesempatan untuk bermain aktif secara fisik dan penuh semangat. Kesempatan untuk menemukan tantangan dan resiko dalam bermain. Kesempatan untuk mengembangkan kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi fisik. Materi alami yang dapat dimainkan secara bebas dan spontan oleh anak.
Berikut ini tips bagi orang tua agar kegiatan bermain menyenangkan dan bermanfaat bagi anak:
Sediakan alat permainan yang sesuai dengan taraf kematangan anak. Perhatikan faktor keamanan, derajat kesulitan permainan, kegunaan, daya tahan alat. Tempat bermain harus aman, cukup luas/lapang dan bersih. Waktu bermain sesuai dengan keadaan anak. Seorang anak sering menghabiskan waktunya untuk bermain sampai melupakan kegiatan lain seperti makan dan istirahat. Menjadi teman bermain. Anak membutuhkan teman bermain agar perkembangan emosionalnya optimal. Memperkenalkan anak dengan alat permainan yang dapat merangsang perkembangan anak. Pendekatan terhadap anak memerlukan kesabaran, dan tidak lupa memberikan pujian. Berikan petunjuk sesuai dengan kebutuhan anak, tidak terlalu banyak atau sedikit.
(c) Memupuk dan Mengembangkan Potensi Anak Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam memupuk dan mengembangkan potensi anak balita, yaitu:
Memberikan rangsangan pada seluruh indera. Memberi kebebasan pada anak untuk bergerak dengan aman. Memberi kesempatan untuk berbicara, bertanya, dan bercerita. Memberi contoh model untuk ditiru. Memberikan kesempatan bermain dengan memperhatikan unsur benda, alat, teman, dan ruangan untuk bermain Memberi keleluasaan bagi anak untuk mengenali obyek nyata, misalnya pada usia tertentu orang tua dapat mengajarkan anak membedakan hewan yang bertelur dan beranak dengan mengajak mereka menyaksikan hewan tersebut secara langsung.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
110
Memberi kesempatan untuk mengamati, mengerti, menerapkan disiplin, nilai-nilai agama dan moral.
(3) Menyediakan Sarana Pembelajaran bagi Anak Sarana Pembelajaran harus mendukung ketiga jenis permainan (sensorimotor, dramatik dan juga konstruktif). Selain itu sarana harus aman untuk anak-anak. Dalam hal ini tidak terbuat dari bahan-bahan yang membahayakan dan juga pada beberapa permainan diperlukan pendamping pada saat anak bermain. Sarana pembelajaran terdiri dari berbagai ruang ataupun tempat yang dapat difungsikan sebagai tempat bermain yang dapat berubah sesuai dengan jenis permainan yang dimainkan. Teori dan penelitian mendukung kebutuhan anak-anak untuk lingkungan yang teratur dan dapat diprediksi baik itu di rumah maupun di sekolah. Lingkungan bagi anak-anak kecil seharusnya direncanakan dengan berkonsentrasi pada pengelompokkan dan pengaturan materi (bahan) bermain, penggunaan warna, pengaturan peralatan dan furnitur, dan jumlah serta jenis materi bermain yang dipilih. Kemampuan untuk mengelompokkan objek dengan tiga variabel minimum (warna, bentuk, dan ukuran) adalah sebuah keahlian penting yang harus dikembangkan anak-anak agar dapat membaca. Secara umum sarana yang dipersiapkan dibagi ke dalam ketiga jenis permainan yakni: 1) bermain sensorimotor (Climbing Gym, bola dengan variasi ukuran untuk melempar dan menangkap, area pasir, tricycle), 2) bermain dramatik/peran (kompor, tempat cuci piring, kain dan piring, lemari cabinet dengan piring/cangkir/makanan, meja dengan dua kursi, tempat tidur boneka bayi, boneka, kursi tinggi, kursi goyang, pakaian, sepatu, dompet, topi dll, area ruang tengah dengan sofa, kursi, meja kopi; water table dengan air busa, 2 boneka bayi, kain cuci / spons, meja dengan popok, pakaian bayi dan tempat bedak kosong); 3) bermain konstruktif (blok-blok unit (400+) dengan orangorang, mobil dan binatang Rumah/apartemen Lego dengan orangorang dan furnitur (2 set komplet dengan tambahan orang-orang) diatas sebuah meja; tong abu-abu dengan manik-manik, tali, dan kartukartu gantung; kapur tulis dengan empat keras dan cat (10-12 warna) untuk melukis kanvas; buku-buku cerita; alat-alat tulis pensil, pulpen kecil, beberapa jenis kertas; meja gambar dengan spidol, crayon, gunting, kertas berwarna, pasta dan kertas manila; kartu-kartu pola mosaik dengan bentuk-bentuk berwarna; meja ―take-a-part‖ dengan obeng, sekrup, kacamata pelindung; lantai puzzle). Sarana-sarana permainan ini dapat digunakan tidak hanya untuk satu jenis permainan saja. Orangtua dan guru dapat
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
111 menggunakan alat permainan dramatik misalnya untuk bermain konstruktif dan sebagainya. Pemilihan alat permainan pun tidak didasarkan pada banyaknya jenis ataupun mahalnya mainan anak. Akan tetapi berdasarkan kebermanfaatan dan kegunaan alat itu sebagai sarana untuk anak bermain dan dari hal tersebut anak dapat berkembang. (4) Memulai mengembangkan PAUD berbasis keluarga di rumah Bagi sebagian orangtua, istilah pengembangan PAUD berbasis keluarga, apalagi yang diselenggarakan sendiri oleh orangtua di rumah, bisa jadi masih menimbulkan kesan tidak mungkin atau sulit dilakukan. Sebagian orangtua lainnya ingin mengembangkannya, tetapi mengalami kebingungan mengenai bagaimana untuk memulainya. Pada bagian ini akan diuraikan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan orangtua di rumah sebagai langkah nyata dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Langkah ini merupakan langkah awal yang tidak rumit, dan sangat mudah untuk diterapkan. Bagian ini secara lebih jelas dan rinci dipaparkan pada buku Panduan Praktis Mengoptimalkan Tumbuh Kembang Anak Usia Dini (2-4 Tahun) di Rumah. (5) Target pencapaian hasil PAUD berbasis keluarga Pada dasarnya, target yang ingin dicapai dari pemberian model ini adalah kondisi anak yang sesuai dengan karakteristik perkembangan anak. Anak dapat dikatakan bertumbuh dan berkembang secara optimal apabila anak telah memenuhi tugas-tugas perkembangan yang ditunjukkan oleh rata-rata anak usia 2-4 tahun. Terdapat beberapa indikator perilaku sehari-hari yang selayaknya muncul pada anak usia 2-4 tahun dilihat dari aspek fisik, kognitif (bahasa), dan psikososial (emosional). Indikator perilaku digunakan agar orangtua dapat lebih mudah menemukan dan memahami sejauh mana tugas–tugas perkembangan telah dipenuhi oleh anaknya karena dapat dilihat dari perilaku anak sehari-hari. 2.2 Panduan Bagi Orangtua Tentang PAUD Berbasis Keluarga Panduan terdiri dari tujuh bagian, yang kesemuanya bertujuan untuk mengarahkan orangtua secara mudah dan praktis mengoptimalkan tumbuh kembang anak usia dini dan mencakup seluruh aspek kehidupan anak. Berikut ringkasan ketujuh bagian tersebut:
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
112 1) Meningkatkan Kesejahteraan Emosional Anak usia dini membutuhkan dukungan emosional, cinta, dan perhatian dari orangtuanya. Pemberian cinta dan kasih sayang dilakukan setiap saat dan tanpa batas, sehingga anak akan merasa aman, nyaman, hangat, serta memiliki ikatan batin yang kuat dengan orangtuanya. Perasaan-perasaan tersebut berhubungan dengan kesejahteraan emosional anak. Kesejahteraan emosional akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dan kesehatan anak. Anak dengan kesejahteraan emosional yang baik, akan mampu mengelola perasaan dirinya, memiliki motivasi, dan kemampuan sosial yang baik saat dewasa. 2) Menyusun Kebiasaan Tidur yang Baik Tidur mempengaruhi pertumbuhan tubuh anak karena saat tidur tubuh akan memproduksi hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan dan pembentukan tulang yang kuat bagi anak. Anak yang memiliki waktu tidur yang cukup akan memiliki kondisi tubuh yang baik sehingga anak akan mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Jumlah waktu tidur pada anak berusia 2 sampai dengan 3 tahun yaitu 12 sampai dengan 13 jam /hari. Sedangkan, jumlah waktu tidur yang dibutuhkan anak berusia 4 sampai dengan 6 tahun yaitu selama 10 s/d 11 jam/hari. 3) Memberikan Nutrisi dan Makanan yang Tepat Di usia balita, seorang anak membutuhkan berbagai nutrisi untuk membantu memaksimalkan perkembangan otak dan juga menjaga tubuhnya sehat dan kuat. Nutrisi yang tepat dan lengkap akan memberikan dampak yang positif bagi tumbuh kembang otak dan juga fisik. Nutrisi adalah zat yang dibutuhkan manusia agar berfungsi dengan normal baik dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan. Nutrisi disebut juga sebagai zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Nutrisi yang tidak seimbang ataupun nutrisi yang tidak baik menimbulkan masalah pada tumbuh kembang anak. Nutrisi yang seperti ini banyak dikaitkan dengan kondisi yang disebut gizi buruk. Zat gizi adalah bahan-bahan kimia dalam makanan yang memberikan energi bagi tubuh. Tubuh dapat menghasilkan sebagian zat gizi yang diperlukannya. Zat tersebut dinamai zat gizi esensial. Tetapi, ada juga zat gizi yang tidak dapat dihasilkan tubuh (zat gizi non esensial) seperti: asam amino (protein), asam lemak tertentu, vitamin dan mineral yang diperoleh dari bahan makanan. Zat gizi dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu makronutrisi dan mikronutrisi.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
113 4) Menghindari Penyakit Penyakit bisa datang pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja, termasuk sekolah atau tempat bermain anak. Padahal daya tahan tubuh si kecil dalam menangkal ‗serbuan‘ kuman penyakit lebih rendah dari orang dewasa. Ada enam penyakit infeksi yang paling banyak diderita oleh anak usia dini, yakni demam berdarah, influenza, ISPA (infeksi saluran pernapasan atas), infeksi telinga, gastroenteritis serta mata merah. Beberapa akan dijelaskan lebih lanjut. Jika lembaga PAUD atau sekolah memiliki kebijakan untuk mengantisipasi berkembangnya suatu wadah infeksi, misalnya dengan program imunisasi massal, sebenarnya sekolah tetap menjadi tempat yang cukup ‗aman‘ bagi anak untuk bereksplorasi dan mengenal ‗dunia kecilnya‘. Orangtua juga perlu mengetahui berbagai cara penularan penyakit. Tidak semua anak yang terkena infeksi atau sudah kemasukan kuman penyakit pasti jatuh sakit atau menunjukan gejala penyakit. Karena, hal itu sangat tergantung pada tingkat daya tahan tubuh atau sistem kekebalan tubuh anak. 5) Mencegah Terjadinya Kecelakaan Peran orangtua yang paling penting salah satunya adalah menjaga keselamatan anak sejak mereka lahir. Dalam hal ini orangtua berkewajiban menjaga anak agar terhindar dari kecelakaan. Kecelakaan pada anak yang dimaksud mengacu kepada kecelakaan yang tidak direncanakan atau disengaja, yakni kecelakaan yang tidak dapat dicegah oleh orang lainnya. Jenis-jenis kecelakaan yang sering dialami oleh anak usia dini meliputi tabrakan di dalam kendaraan, kecelakaan di tempat penyebrangan jalan, tengelam, keracunan, luka akibat senjata tajam/api, terbakar, jatuh, serta menelan benda asing. Usaha-usaha yang dapat dilakukan orangtua adalah menciptakan lingkungan yang aman bagi anak merupakan hal yang sangat penting. 1) Memberikan Imunisasi Sejak Bayi. Imunisasi adalah suatu cara menimbulkan atau meningkatkan kekebalan anak secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila anak tersebut kelak terpapar dengan penyakit tersebut maka ia tidak akan mengalami sakit tersebut atau setidaknya hanya sakit ringan. Lima jenis imunisasi pada anak di bawah satu tahun yang harus dilakukan, yakni BCG (bacillus calmette-guerin), DPT (diphteri pertusis tetanus), polio, campak, dan hepatitis B. Puskesmas atau posyandu terdekat biasanya menyediakan layanan pemberian imunisasi. Imunisasi BCG dilakukan sekali pada bayi usia 0-11 bulan, sedangkan DPT diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
114 interval minimal empat minggu. Imunisasi polio diberikan empat kali pada bayi 0-11 bulan dengan jarak minimal setiap empat minggu. Sedangkan campak diberikan satu kali pada bayi usia 9-11 bulan. Terakhir, imunisasi hepatitis B harus diberikan tiga kali pada bayi usia 1-11 bulan, dengan interval minimal empat minggu. Yang harus diingat bagi orangtua adalah mengulang imunisasi pada anak untuk jenis imunisasi tertentu. Berikut ini dilampirkan jadwal imunisasi yang dapat digunakan orangtua sebagai panduan dalam memberikan imunisasi bagi anak. 2) Memahami Pentingnya Bermain. Pentingnya bermain di antaranya untuk mengoptimalkan perkembangan kognitif, sosial, emosional, fisik, dan bahasa pada anak usia dini. Tiga jenis permainan yang dianjurkan yakni sensorimotorik (misalnya bermain biji-bijian, air, pasir), dramatik (bermain peran seperti dokter-dokteran, rumah-rumahan, dan sebagainya) dan konstruktif (misalnya bermain lego, puzzle, menyusun balok-balok). Untuk mendukung perkembangan yang optimal pada anak, terdapat pula hal-hal yang mempengaruhi dan juga yang perlu diperhatikan oleh orangtua dalam membimbing anaknya dalam bermain. Kemampuan bermain adalah salah satu kriteria dari kesehatan mental. Bermain kreatif adalah sebuah aktivitas pusat dari anak yang sehat. Bermain memungkinkan anak untuk menyelami isi kehidupan dan membuat kehidupannya sendiri. Bermain adalah sebuah jalan keluar bagi kreativitas anak dan merupakan bagian penting dari kehidupan anak. Peran orangtua amat diperlukan untuk menyeimbangkan antara kegiatan main anak dengan kegiatan lain. Oleh karena itu orangtua perlu untuk memahami sifat dasar bermain, perkembangan bermain, manfaat sosial, emosional, dan intelektual dalam bermain, hubungan antara bermain dengan kesehatan anak dan juga bagaimana lingkungan rumah yang membantu perkembangan anak dalam bermain. Dengan adanya penyusunan model dan panduan bagi orangtua tentang PAUD, maka disimpulkan bahwa: (1) Ternyata Model pembelajaran PAUD informal ini sangat dibutuhkan bagi pengembangan anak usia dini, baik dari aspek kebutuhan anak sendiri maupun dari aspek orangtua (keluarga) dalam menanamkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan anaknya. Selain itu model pembelajaran ini merupakan bentuk pelayanan pengembangan anak usia dini agar anak menjadi sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia. (2) Model ini dirasakan orangtua (keluarga) sangat penting karena model ini membahas tentang pentingnya orangtua menyelenggarakan PAUD berbasis keluarga, karakteristik anak usia dini (usia 2 – 4 tahun), karakteristik orangtua dan lingkungan yang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
115 baik bagi proses tumbuh kembang anak, memulai mengembangkan PAUD berbasis keluarga di rumah, dan adanya target pencapaian hasil PAUD berbasis keluarga. (3) Panduan pembelajaran PAUD bagi orangtua (keluarga) sangat didukung oleh berbagai pihak baik penyelenggara PAUD, pendidik PAUD, maupun orangtua. Alasannya panduan pembelajaran PAUD ini dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam membimbing, mendampingi, dan mengajarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan bagi anak usia dini. Selain itu panduan pembelajaran PAUD berisikan a) Meningkatkan kesejahteraan emosional; b) Menyusun kebiasaan tidur yang baik; c) Memberikan nutrisi dan makanan yang tepat; d) Menghindari penyakit; e) Mencegah terjadinya kecelakaan; f) Memberikan imunisasi sejak bayi; dan g) Memahami pentingnya bermain.
3. Saran Kebijakan 1) Perlu sosialisasi tentang Model Pembelajaran PAUD Informal dan Panduan Bagi Orangtua tentang PAUD Informal ini, terutama sosialisasi kepada Direktorat PAUD yang menangani anak usia dini. Selain itu model dan panduan ini perlu disosialisasi dan disebarluaskan kepada penyelenggara dan pendidik PAUD. 2) Perlu adanya sosialisasi bagi orangtua yang memiliki anak usia dini tentang panduan PAUD informal ini. 3) Model dan panduan pembelajaran PAUD informal ini dapat dijadikan bahan kebijakan bagi terselenggaranya PAUD di keluarga.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
116
Pengkajian Efektivitas Pembelajaran Menggunakan E-Learning
2. Pendahuluan Pembelajaran menggunakan e-learning memberikan banyak keuntungan. Aizirman Djusan (2007) mengungkapkan keuntungan pembelajaran dengan e-learning a.l. (i) dimungkinkan terjadinya distribusi pendidikan ke semua penjuru tanah air dan kapasitas daya tampung yang tidak terbatas karena tidak memerlukan ruang kelas, (ii) proses pembelajaran tidak terbatas oleh waktu seperti halnya tatap muka biasa (iii) pembelajaran dapat memilih topik atau bahan ajar yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing, (iv) lama waktu belajar juga tergantung pada kemampuan masing-masing pelajar/siswa, (v) pembelajaran dapat dilakukan secara interaktif, sehingga menarik pelajar/siswa, (vi) memungkinkan pihak berkepentingan (orangtua siswa maupun guru) dapat turut serta menyukseskan proses pembelajaran, dengan cara mengecek tugas-tugas yang dikerjakan siswa secara on-line Upaya pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di bidang pendidikan mendapat dukungan yang sangat serius dari pemerintah. Mendiknas dalam sambutannya pada upacara Hardiknas menyampaikan bahwa salah satu kebijakan terobosan yang berskala massal selama kurun waktu tahun 2005—2007 adalah: ‖Penerapan TIK secara massal untuk epembelajaran dan e-administrasi‖. Namun demikian, pembelajaran dengan e-learning membutuhkan investasi yang sangat besar terutama investasi pada infrastruktur e-learning dan pelatihan dan pengembangan SDM khususnya guru-guru agar dapat melakukan pembelajaran menggunakan e-learning. Indonesia melalui Depdiknas telah melakukan investasi besar-besaran agar e-learning dapat diterapkan dalam pembelajaran. Agar semua investasi tersebut tidak sia-sia, maka perlu dilakukan pengkajian terhadap efektivitas pembelajaran dengan elearning. Hasil pengkajian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan pembelajaran dengan e-learning di Indonesia.
3. Tujuan Pengkajian bertujuan untuk memperoleh saran kebijakan dalam rangka peningkatan pembelajaran dengan menggunakan metode e-learning. Secara lebih rinci, pengkajian ini bertujuan untuk:
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
117 1) mengetahui faktor pendukung penyelenggaraan e-learning di sekolah, 2) mengetahui kondisi teknologi, metode penyajian materi, dan interaksi antara guru-siswa, dan 3) mengetahui manfaat pembelajaran menggunakan e-learning.
4. Metodologi Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui cakupan pemanfaatan e-learning untuk pembelajaran dalam menunjang tujuan pendidikan nasional. Populasi pengkajian ini adalah SMA dan SMK yang menerima bantuan dari Depdiknas melalui Pustekkom maupun melalui Dit. PSMK) untuk dapat melakukan pembelajaran menggunakan e-learning. Sampel provinsi studi ini terdiri atas 7 provinsi yaitu (i) Jatim, (ii) Jateng, (iii) Jabar, (iv) Banten, (v) Kalbar (vi) Sumsel, dan (vii) NTT. Responden pengkajian ini adalah siswa, guru dan kepala sekolah.
5. Temuan dan Analisis Untuk menyatakan sesuatu tentang efektivitas pembelajaran menggunakan elearning, pengkajian ini mencoba meninjaunya dari ada tidaknya manfaat yang diperoleh khususnya oleh pengguna setelah mengikuti pembelajaran menggunakan e-learning. Ada tidaknya manfaat e-learning dapat dirasakan apabila e-learning terselenggara. E-learning sendiri dapat terselenggara apabila seluruh persyaratan pembelajaran menggunakan e-learning terpenuhi termasuk faktor pendukung penyelenggaraannya. Faktor pendukung penyelenggaraan e-learning: Yang dimaksud dengan faktor pendukung di sini a.l.: 1) Kebijakan sekolah terkait penyelenggaraan e-learning: penyelenggaraan pembelajaran menggunakan e-learning akan meningkat apabila ada kebijakan sekolah untuk mendukungnya. Sebagian besar sekolah sampel telah memiliki kebijakan pendukung tersebut. Kebijakan-kebijakan sekolah tersebut terkait tentang: penyediaan infrastruktur TIK, pengembangan kemampuan guru terkait TIK, dan pemanfaatan sarana TIK untuk pembelajaran.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
118 2) Sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan e-learning di sekolah, meliputi ruang belajar dan daya listrik. Ruang belajar merupakan faktor pendukung karena tidak mungkin pembelajaran menggunakan e-leraning terjadi di luar ruangan, khususnya untuk pembelajaran online. Ruang belajar bukan merupakan masalah bagi sekolah, karena jenis ruangan ini umumnya sudah dimiliki oleh sekolah. Selanjutnya daya listrik merupakan faktor pendukung yang sangat utama dalam pembelajaran menggunakan e-learning. Tanpa listrik komputer tidak akan dapat dihidupkan. Tentang pentingnya daya listrik ini disadari benar oleh sekolah. Ditemunukan bahwa sebagian besar sekolah sampel selain menyewa listrik dari PLN, juga mengadakan generator pembangkit tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik di sekolahnya. Ketika faktor-faktor pendukung memadai dan seluruh persyaratan penyelenggaraan e-learning terpenuhi maka pembelajaran menggunakan elearning dapat diterapkan. Dari penyelenggaran pembelajaran menggunakan e-learning ini akan diperoleh manfaat. Namun demikian, manfaat itu baru dapat dirasakan apabila pembelajaran menggunakan e-learning tersebut memenuhi tiga aspek yang menjadi dasar pengukuran efektivitas cara pembelajaran ini yaitu aspek teknologi, aspek metode penyajian materi, dan aspek interaksi. Aspek Teknologi: Dari aspek ini terlihat bahwa sekolah sudah cukup siap untuk menyelenggarakan e-learning. Indikator kesiapan sekolah dapat dilihat dari cukup memadainya kepemilikan komputer yang terkoneksi internet di sekolah. Indikator dari memadainya kepemilikan komputer adalah besarnya persentase siswa yang menyampaikan bahwa rasio komputer siswa saat dilaksanakan online learning yang cukup baik. Ditemukan pada sekolahsekolah yang pernah menyelenggarakan online learning bahwa lebih dari 90 persen ssiswa menyampaikan rasio komputer siswa saat dilakukan online learning adalah berkisar antara 1 komputer untuk 1 siswa dan 1 komputer untuk 5 siswa. Indikator kesiapan sekolah lainnya yaitu hampir seluruh sekolah sampel sudah memiliki koneksi internet, dan juga dukungan brainware yang cukup baik, yaitu lebih dari 60 persen guru sudah bisa mengakses internet secara mandiri. Aspek Penyajian Materi: Metode penyajian materi pembelajaran menggunakan e-learning adalah online dan offline learning dan juga blended learning (campuran dari kedua cara ini). Pembelajaran secara online merupakan yang paling sedikit dilakukan, khususnya untuk mata pelajaran non komputer atau ICT. Untuk mata
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
119 pelajaran non komputer, baru sekitar 50 persen siswa yang menyatakan pernah mengikuti pembelajaran secara online. Untuk mata pelajaran komputer/ICT pembelajaran secara online sudah cukup banyak dilakukan. Kurang lebih 65 persen siswa menyatakan pernah mengikuti pelajaran komputer menggunakan intenet secara online. Pembelajaran secara offline sudah lebih banyak dilakukan. Cara yang paling banyak dilakukan adalah guru mendownload materi kemudian diajarkan atau dipelajari bersama siswa. Sudah sekitar 84 persen siswa menyatakan pernah mengikuti pembelajaran secara offline dimana guru mendownload materi di internet kemudian dipelajari bersama. Hal ini menunjukkan bahwa guru sudah mulai aktif menggunakan bahan belajar dari internet. Pembelajaran secara offline lainnya yaitu guru menugaskan siswa mendownload materi/modul khususnya di edukasi.net untuk dipelajari, kemudian guru mengevaluasinya. Tercatat sudah sekitar 53 persen siswa menyampaikan pernah mendapat tugas untuk men-download materi/modul dari internet untuk dipelajari. Hal ini menunjukkan upaya guru untuk memperkenalkan edukasi.net sebagai salah satu sumber belajar. Selain melalui edukasi.net, sudah banyak guru yang juga mulai memperkenalkan internet sebagai salah satu sumber belajar bagi siswa. Dengan persentase yang sama yaitu 53 persen, siswa menyampaikan pernah menapat tugas mencari artikel/bahan di internet untuk dipelajari. Aspek interaksi: Interaksi yang dimaksud disini yaitu interaksi yang terjadi antara guru dan siswa ketika dilakukan e-learning baik secara online maupun offline. Banyak guru yang memberikan Pekerjaan Sekolah (PS) maupun Pekerjaan Rumah (PR) kepada siswa terkait materi yang dipelajari secara online maupun offline. Sebagi contoh untuk pembelajaran secara online untuk mata pelajaran non komputer, tercatat sekitar 83 persen siswa menyampaikan bahwa gurunya memberikan PS dan sekitar 91 persen menyampaikan mendapat PR. Tugas ini umumnya dinilai oleh guru. Tercatat 94 persen siswa menyampaikan PS mereka dinilai oleh guru, dan 99 persen siswa menyampaikan PR mereka dinilai oleh guru. Hal yang sama dengan persentase yang kurang lebih sama terjadi untuk pembelajaran secara offline. Dari persentase yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa interaksi yang sangat intensif telah terjadi ketika dilakukan pembelajaran menggunakan e-learning. Manfaat E-learning Ketika teknologi yang dipakai mendukung penyelenggaraan e-learning, kemudian metode pembelajaran e-learning yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan siswa, ternyata banyak siswa yang merasa senang belajar dengan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
120 e-learning. Hal ini menimbulkan terjadi interaksi yang memberikan dampak positip bagi siswa. Siswa mendapat manfaat nyata yaitu tambahan pengetahuan setelah mengikuti pembelajaran dengan e-learning baik secara online maupun offline. Hal ini dapat dilihat dari temuan berikut. Sebanyak 98,9 persen siswa yang pernah belajar menggunakan online learning untuk mata pelajaran komputer menyatakan mendapat tambahan pengetahuan atau tambahan ilmu setelah belajar menggunakan cara tersebut. Selanjutnya sebanyak 99 persen siswa yang pernah belajar menggunakan online learning untuk mata pelajaran non komputer yang paling sering menggunakan pembelajaran secara online menyampaikan mendapat manfaat yaitu tambahan pengetahuan dari pembelajaran seperti ini. Untuk pembelajaran offline dimana guru men-download materi dari internet kemudian diajarkan kepada siswa, sebanyak 96 persen siswa menyampaikan mendapat tambahan pengetahuan setelah mengikuti cara pembelajaran seperti ini. Untuk pembelajaran offline dimana siswa ditugasi guru men-download materi dari internet khusus dari edukasi.net, sebanyak 80 persen menyatakan senang melaksanakan tugas seperti ini. Selanjutnya sebanyak 96 persen yang mendapat tugas ini menyampaikan mendapat tambahan pengetahuan setelah mengikuti cara pembelajaran seperti ini. Untuk pembelajaran offline lainnya lagi dimana siswa ditugasi guru men-download materi dari internet di luar edukasi.net, sebanyak 88 persen menyatakan senang melaksanakan tugas seperti ini. Selanjutnya sebanyak 99 persen yang mendapat tugas ini menyampaikan mendapat tambahan pengetahuan setelah mengikuti cara pembelajaran seperti ini.
6. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Dari analisis pengkajian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran menggunakan e-learning di SMA/SMK khususnya di sekolah-sekolah yang mendapat bantuan dari pemerintah cukup efektif. Efektifnya pembelajaran menggunakan e-learning ini karena didukung oleh teknologi atau infrastruktur yang cukup memadai dan didukung pula oleh pilihan cara penyampaian materi yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, yaitu online learning apabila dukungan internet memadai dan juga secara offline. Indikator yang menunjukkan efektifnya pembelajaran menggunakan elearning ini antara lain karena tingginya interaksi yang terjadi antara siswa dan guru. Guru yang melakukan pembelajaran baik secara online atau offline umumnya memicu terjadi interaksi dengan cara memberikan PS atau PR
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
121 kepada siswa. Guru pun tidak sekedar memberi PS atau PR saja tetapi guru menindaklanjutinya dengan menilai hasil PS atau PR siswa. Dengan adanya interaksi yang cukup intensif ini memberikan hasil yang sangat positif bagi siswa. Sebagian besar siswa atau umumnya lebih dari 90 persen siswa menyampaikan bahwa mereka mendapat tambahan pengetahuan setelah mengikuti pembelajaran menggunakan e-learning baik online maupun offline. Tentunya efektivitas pembelajaran menggunakan e-learning akan kian meningkat apabila dukungan dari hardware, netware, dan juga brainware yang semakin baik. Dari segi hardware rasio siswa komputer sudah cukup baik, karena sebanyak 90 persen siswa menyampaikan ketika dilakukan pembelajalaran online rasio komputer siswa adalah 1 komputer untuk 1 hingga 5 siswa ketika. Tentu hasilnya akan lebih baik lagi apabila rasio komputernya adalah 1 untuk satu siswa. Netware juga perlu diperhatikan karena meskipun sudah hampir seluruh sekolah telah memiliki sambungan internet, namun itu tidak berimplikasi bahwa bandwidht-nya memadai untuk dapat melakukan pembelajaran online. Demikian pula halnya dengan brainware. Baru sekitar 60 persen guru yang sanggup membuka internet secara mandiri, artinya masih banyak guru yang belum bisa mengakses internet secara mandiri. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dan belajar dari pengalaman sekolah-sekolah yang sudah menyelenggarakan e-learning dimana e-learning terbukti cukup efektif dalam menambah pengetahuan bagi siswa, maka disarankan beberapa hal berikut: 1) Sekolah-sekolah yang sudah mulai menyelenggarakan e-learning agar terus mempertahankan atau meningkatkan cara pembelajaran ini. Guruguru agar memberi tugas-tugas kepada siswa untuk mend-download materi di internet atau secara khusus di edukasi.net, karena pada homepage ini dapat ditemukan berbagai modul yang sangat membantu meningkatkan pengetahuan baik bagi guru sendiri maupun bagi siswa. Jika siswa bisa men-download sendiri materi dari internet, maka sebaiknya guru juga harus sanggup men-download materi tersebut dari internet, artinya guru juga harus aktif mengaktualisasikan dirinya dengan perkembangan TIK. 2) Sekolah-sekolah (tidak hanya tingkat SLTA tapi juga tingkat di bawahnya) yang belum menyelenggarakan pembelajaran menggunakan e-learning agar mempertimbangkan untuk menyelenggarakan cara pembelajaran ini, paling tidak ketika infrastruktur sekolah belum memadai atau mendukung penyelenggaraan e-learning secara online, sekolah bisa memulainya dengan offline learning yaitu guru men-download materi atau modul di internet kemudian dipelajari bersama, atau guru menugaskan siswa mendownload materi dari internet untuk dipelajari.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
122 3) Pemerintah baik Pusat maupun daerah agar penyelenggaraan e-learning antara lain dengan cara:
terus
mendukung
(1) Meningkatkan bantuan infrastuktur ke sekolah-sekolah yang sudah menyelenggarakan e-learning agar rasio komputer siswa saat pembelajaran online learning membaik. Bantuan itu harus mempertimbangkan kepemilikan arus listrik yang memadai , karena bantuan akan mubasir apabila arus listrik yang diperlukan tidak memadai. Selain itu pelatihan untuk guru terkait pemanfaatan ICT agar terus ditingkatkan mengingat banyak guru masih belum bisa mengakses internet secara mandiri. Pembelajaran menggunakan internet online akan meningkat apabila didukung pula dengan internet dengan bandwidth memadai. Jadi, bantuan untuk peningkatan bandwidth juga sangat diperlukan. (2) Mengadakan bantuan ke sekolah-sekolah yang belum menyelenggarakan e-learning. Terobosan pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan ICT secara masal untuk e-pembelajaran dan e-administrasi perlu didukung, karena pembelajaran menggunakan e-learning memberikan dampak yang sangat positif bagi siswa, sebagaimana yang ditemukan dalam pengkajian ini. Tentunya bantuan pengadaan infrastruktur ICT tersebut harus tetap memperhatikan kemampuan guru dalam pemanfaatannya. Di sekolah-sekolah yang sudah mendapat bantuan komputer untuk menyelenggarakan pembelajaran menggunakan e-leraning saja masih ada sebagian guru yang belum bisa mengakses ICT, apalagi dengan sekolah-sekolah yang belum menyelenggarakan. Untuk itu, bantuan infrastruktur ICT agar simultan dengan pengadaan pelatihan untuk guru terkait ICT.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
123
Pengkajian Profesionalisme Pendidik: Studi Kebutuhan Peningkatan Kompetensi Guru
1. Pendahuluan Pentingnya guru dalam pendidikan hingga sekarang ini masih sangat dirasakan karena kemutakhiran teknologi tidak dapat menggantikan peran guru. Melihat pentingnya peran guru tersebut, maka guru sudah sepantasnya profesional dalam melaksanakan tugasnya. Namun dari hasil-hasil penelitian menunjukkan kualitas guru di Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Hal itu disebabkan berbagai faktor, antara lain pengadaan guru pada era orde baru dan setelahnya yang dilakukan melalui crash program, sehingga lebih mengutamakan kuantitas. Faktor lain adalah kurangnya penghargaan/kesejahteraan guru dibandingkan profesi lainnya, sehingga profesi guru kurang diminati oleh masyarakat. Oleh karenanya tak heran apabila para siswa lulusan sekolah menengah yang menjadi calon guru kebanyakan bukan lulusan terbaik. Untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, antara lain dengan membuat undang-undang tentang guru dan dosen, membentuk direktorat tersendiri yang khusus menangani pendidik dan tenaga kependidikan, memberi beasiswa pendidikan, membuat program sertifikasi guru dan lain-lain. Informasi tentang keterlaksanaan dan efektivitas dari upaya yang telah dan sedang dilakukan perlu dipantau secara terus menerus guna perbaikan di masa depan. Sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No.16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, maka profesionalisme guru perlu ditingkatkan secara sistematis, baik oleh pemerintah maupun atas upaya setiap individu guru. Salah satu upaya pemerintah yang sedang gencargencarnya dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah program sertifikasi tenaga pendidik. Guru yang profesional harus dapat menunjukkan kinerja yang baik. Profesionalisme guru akan dapat meningkat apabila guru memiliki motivasi untuk maju, didukung oleh berbagai fasilitas dan diberi kesempatan untuk meningkatkan kapasitasnya yang berasal dari lingkungan tempat mengajar maupun dari luar sekolah. Peningkatan profesionalisme guru yang dilakukan ternyata mengalami berbagai hambatan antara lain, seperti keterbatasan dana
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
124 dan sarana-prasarana, sulit mengimplementasikan undang-undang, ketidaksinambungan dan kurang terfokusnya program, serta kurangnya pemahaman tentang profesionalisme guru. Studi ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan terkait kebutuhan guru, upaya yang dilakukan, serta kendala yang ditemui guru dalam meningkatkan kompetensinya. Pendekatan yang digunakan dalam mendapatkan data dan informasi yang diperlukan adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan cara penyebaran kuesioner dan wawancara. Sampel propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah dipilih secara purposif. Sumber informasi adalah pihak dinas pendidikan kota/kabupaten yang mengetahui masalah kompetensi guru di wilayahnya, kepala sekolah dan guru dari setiap sekolah sampel. Guru yang menjadi responden terdiri dari guru yang telah bersertifikat, guru yang telah D4/S1 tapi belum bersertifikat, dan guru belum D4/S1 yang belum bersertifikat. Jumlah keseluruhan responden guru adalah 291 orang.
2. Temuan Studi Secara keseluruhan tidak terlihat perbedaan berarti antara kelompok guru yang telah bersertifikat, belum bersertifikat, dan belum D4/S1 dalam hal kebutuhan, upaya, dan hambatan untuk meningkatkan kompetensinya. Kebutuhan guru untuk meningkatkan kompetensinya meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional (penguasaan materi), sesuai tuntutan undang-undang dan standar nasional pendidikan. Kebutuhan guru guna meningkatkan kompetensinya cenderung terfokus pada kompetensi professional (penguasaan materi pembelajaran) dan kompetensi pedagogik (metode pembelajaran). Sedangkan kompetensi lainnya cenderung kurang diperhatikan. Guru umumnya lebih memilih pelatihan, workshop, penataran, atau seminar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sementara pendidikan lanjutan atau pendidikan profesi tampaknya masih kurang diminati. Berikut ini diuraian selengkapnya temuan studi dilihat dari karakteristik guru, kebutuhan dan upaya meningkatkan kompetensi guru serta kendala yang dihadapi guru dan pihak terkait lainnya. 2.1 Karakteristik Guru Dilihat secara keseluruhan, usia rata-rata guru yang menjadi responden adalah 45 tahun dan pengalaman mengajar sekitar 19 tahun. Melihat rata-rata usia dan pengalaman mengajar yang dimiliki, maka mereka seharusnya sudah cukup profesional dalam bidangnya. Namun berdasarkan hasil studi, ternyata kemampuan para guru tersebut masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Program sertifikasi guru tampaknya baru dapat meningkatkan kesejahteraan guru yang memperoleh sertifikat. Hal itu dapat dilihat dari gambaran, bahwa guru-guru yang bersertifikat rata-rata lebih tinggi tingkat kesejahteraannya dibanding guru-guru yang belum bersertifikat. Ini merupakan implikasi dari
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
125 tunjangan profesi yang diperoleh. Dapat ditambahkan, bahwa semua responden berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di mana sistem penggajiannya mengikuti golongan kepangkatan yang dimiliki. Dengan demikian guru yang belum D4/S1 tentu saja memiliki rata-rata kepangkatan dan gaji lebih rendah, sehingga berimplikasi pada tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Ditinjau dari kesesuaian mata pelajaran yang diajarkan dan latar belakang jurusan/program studi di perguruan tinggi, ternyata masih terdapat cukup banyak (±18,6 % persen) guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang jurusan atau mengajar lebih dari satu mata pelajaran. Terjadinya keadaan itu antara lain disebabkan adanya ketentuan mengajar minimum 24 jam/per minggu bagi guru yang ingin mengikuti sertifikasi, distribusi guru yang tidak merata, dan kekurangan/kelebihan guru di sekolah-sekolah tertentu, yang diperkirakan dapat berdampak pada penurunan kualitas proses belajar mengajar. 2.2 Kebutuhan dan Upaya Meningkatkan Kompetensi Pedagogik Kompetensi pedagogik guru terdiri dari: (1) Pemahaman karakteristik siswa; (2) Penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran; (3) Melakukan pengembangkan kurikulum; (4) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik; (5) Menyelenggarakan kegiatan pengembangan; (6) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi; (7) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik; (8) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; (9) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; (10) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; dan (11) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Dalam meningkatkan kompetensi pedagogik, para guru juga membutuhkan kegiatan ilmiah, seperti pelatihan, membaca buku, seminar/workshop, dan lainnya. Kebutuhan lainnya adalah buku-buku yang relevan, alat bantu/alat peraga, sarana prasarana teknologi informasi, kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)/ observasi, kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran(MGMP)/ forum ilmiah, pengetahuan tentang pengembangan kurikulum, berdiskusi dengan siswa, kegiatan studi banding dan pendidikan lanjutan yang dibiayai oleh pemerintah. Sementara kebutuhan akan pendidikan lanjutan kurang diminati karena memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya yang besar. Secara keseluruhan terlihat bahwa upaya guru untuk meningkatkan kompetensi pedagogik adalah mengikuti kegiatan ilmiah (seperti pelatihan, seminar, workshop) yang dimaksudkan terutama untuk mendapatkan sertifikat dalam rangka penilaian portofolio pada program sertifikasi pendidik. Adapun materi yang dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kompetensi pedagogik adalah model-model pembelajaran (antara lain Contextual Teaching Learning(CTL), Pembelajaran Aktif Kreatif dan Efektif Menyenangkan, dan lesson study), penyusunan perangkat dan media pembelajaran, evaluasi hasil belajar, kecerdasan majemuk dan PTK.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
126 2.3 Kebutuhan dan Upaya Meningkatkan Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian meliputi kompetensi untuk: (1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; (2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa; (4) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan (5) Menjunjung tinggi kode etik profesi. Dalam rangka meningkatkan kompetensi kepribadian, guru menyatakan membutuhkan kegiatan pelatihan atau seminar atau ceramah dan buku-buku tentang agama/sosial/ kebudayaan/etika dan pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Adapun upaya yang ditempuh untuk meningkatkan kompetensi kepribadian, antara lain dengan membaca buku dan mengikuti seminar tentang agama/sosial/kebudayaan/etika, berupaya menjadi teladan, mentaati ajaran agama, berprilaku adil/jujur, berpikir positif, bertanggungjawab terhadap profesi, disiplin, hidup bersahaja, menggali potensi diri/meningkatkan prestasi, dan belajar dari pengalaman. Materi yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan kompetensi kepribadian antara lain adalah materi tentang pengembangan diri, ESQ, keagamaan, pemahaman kebudayaan, kedisiplinan, dan etika. 2.4 Kebutuhan dan Upaya Meningkatkan Kompetensi Sosial Kompetensi sosial terdiri dari kompetensi untuk: (1) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif; (2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun; (3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; dan (4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain. Dalam rangka meningkatkan kompetensi sosial sebagian guru menyatakan membutuhkan pelatihan/penataran, buku tentang berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun, kegiatan pendalaman agama, mengenal budaya setempat, dan ketersediaan ruang kerja yang nyaman untuk berinteraksi. Upaya-upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan kompetensi sosial antara lain dengan memperbanyak membaca buku referensi, memperluas pergaulan di masyarakat (bersosialisasi), terlibat sebagai pengurus dalam kegiatan sosial/keagamaan di sekolah dan masyarakat, berkomunikasi dengan komunitas profesi guru. Adapun materi yang dibutuhkan dalam pelatihan, seminar, workshop untuk meningkatkan kompetensi sosial antara lain adalah pengetahuan tentang etika sosial/pergaulan, keimanan/keagamaan, kemasyrakatan, kebudayaan, dan komunikasi.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
127 2.5 Kebutuhan dan Upaya Meningkatkan Kompetensi Profesional Kompetensi profesional terdiri dari kompetensi untuk: (1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu; (2) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu; (3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif; (4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan (5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional guru umumnya membutuhkan pelatihan/penataran guna menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang mereka ajarkan, buku yang relevan, seminar/workshop, pendidikan lanjutan dan atau beasiswa untuk pendidikan lanjutan, sarana dan prasarana penunjang misalnya komputer/internet, kegiatan MGMP dan kegiatan penelitian. Beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kompetensi profesional, antara lain dengan mengikuti pelatihan terkait materi pembelajaran, kursus bahasa Inggris dan/atau komputer, dan pendidikan lanjutan (hanya sebagian kecil responden). Materi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi profesional adalah pendalaman materi pelajaran, statistika dan metode penelitian, karya tulis ilmiah, keterampilan komputer, dan pemahaman tentang profesionalisme guru. Terkait kebijakan sertifikasi pendidik para guru umumnya memberi tanggapan positif. Mereka menilai kebijakan sertifikasi guru dapat meningkatkan kualitas guru dan dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Sebaliknya, guru yang menilai kebijakan sertifikasi guru tidak meningkatkan kualitas guru memberi alasan ―tidak ada perbedaan kualitas antara guru yang telah menerima tunjangan sertifikasi dan guru tidak bersertifikat‖. Alasan lainnya adalah proses memperoleh sertifikat dengan portofolio sulit, hanya bersifat administratif dan tidak berdampak langsung terhadap peningkatan kemampuan guru. Terkait dengan kebijakan pendidikan profesi, hampir semua responden menyadari pentingnya pendidikan profesi sebagai suatu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru. 2.6 Upaya pihak terkait Meningkatkan Kompetensi Guru Upaya dalam meningkatkan kompetensi guru yang ditempuh sekolah antara lain dengan memfasilitasi guru untuk mengikuti pelatihan, penataran, seminar, dan lokakarya serta memberikan penghargaan kepada guru berprestasi. Dinas pendidikan kabupaten/kota umumnya memiliki program peningkatan kompetensi guru. Bentuk program yang dilaksanakan adalah pelatihan, workshop, dan pendidikan lanjutan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berkomitmen untuk meningkatkan kualitas guru mengalokasikan dana
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
128 beasiswa pendidikan lanjutan (S1) untuk guru-guru yang telah memenuhi syarat. Dalam upaya meningkatkan kompetensi guru yang dilakukan oleh guru maupun oleh pihak terkait lainnya, seperti sekolah. Dinas Pendidikan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, departemen/dinas terkait, atau pihak yang peduli, ditemukan berbagai kendala, antara lain kekurangan dana, kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya informasi, kekurangan waktu dan tidak dapat meninggalkan sekolah saat proses belajar mengajar berlangsung, guru tidak mendapat kesempatan, belum ada program, kendala geografis, dan guru kurang motivasi. 3. Saran 1) Ditjen PMPTK/LPMP/P4TK, Ditjen Dikti, dan Ditjen Mandikdasmen perlu berkoordinasi dalam menyelenggarakan kegiatan dan mengembangkan materi untuk peningkatan kompetensi, khususnya kompetensi sosial dan kepribadian. Terkait dengan dua kompetensi ini diperlukan kriteria yang jelas untuk mengukur kompetensi tersebut. Perlu kejelasan tentang materi pelatihan dan lembaga penyelenggara kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kompetensi guru serta hasil dari kegiatan tersebut harus terukur.
2) LPMP sebagai perpanjangan tangan pusat, dinas pendidikan setempat dan perguruan tinggi perlu berkoordinasi dalam mengupayakan peningkatan kualitas dan efektifitas kegiatan yang terkait dengan peningkatan kompetensi guru, utamanya kegiatan yang mengeluarkan sertifikat. Hal itu perlu dilakukan mengingat adanya indikasi penyimpangan dalam mendapatkan sertifikat pelatihan, seminar atau sejenisnya untuk keperluan mengikuti program sertifikasi pendidik melalui penilaian portofolio. Sertifikasi pendidik melalui penilaian portofolio seharusnya hanya berupa crash program yang waktunya harus dibatasi karena penilaian portofolio selama ini masih kurang dapat meningkatkan profesionalisme guru. Program pendidikan profesi dan pendidikan lanjutan seharusnya lebih diutamakan untuk meningkatkan kompetensi guru.
3) Pemberian sertifikat dalam suatu kegiatan seharusnya lebih ketat dan selektif, dalam arti materi pelatihan haruslah esensial dan keberhasilannya didasarkan pada penilaian yang objektif agar kualitas/profesionalisme guru meningkat dari hasil kegiatan yang diikuti. Berikut ini adalah beberapa contoh materi pelatihan untuk meningkatkan empat kompetensi guru: (1) Kompetensi pedagogik,
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
129 antara lain model-model pembelajaran, seperti CTL, Pakem, dan lesson study, penyusunan perangkat dan media pembelajaran, evaluasi hasil belajar, kecerdasan majemuk, dan penelitian; (2) Kompetensi sosial, antara lain etika sosial/pergaulan, keimanan/keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, dan komunikasi; (3) Kompetensi profesional antara lain pendalaman materi pelajaran, materi mengenai statistika dan metode penelitian, karya tulis ilmiah, keterampilan komputer, dan pemahaman tentang profesionalisme guru; (4) Kompetensi kepribadian antara lain materi tentang pengembangan diri, ESQ, keagamaan, pemahaman kebudayaan, kedisiplinan, dan etika.
Untuk meningkatkan profesionalisme guru, kepala sekolah dan pemerintah daerah perlu memotivasi para guru dan mengupayakan kegiatan peningkatan kompetensi guru dengan cara membuat perencanaan secara sistematis, pengalokasian dana (seperti beasiswa) dan pengadaan dan peningkatan kualitas sarana prasarana pendukung yang ada di lembaga pendidik tenaga kependidikan/LPTK, seperti sarana infornmasi dan teknologi. Hal ini peril dilakukan terutama di daerah-daerah yang masih belum memiliki sarana pendukung tersebut.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
130
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
131
KKG/MGMP dan Pemberdayaannya
1. Pendahuluan Peran guru menjadi strategis apabila dikaitkan dengan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang memiliki kemampuan berkompetisi. Dalam situasi global dewasa ini, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi mutakhir menjadi makin penting sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth). Guru dapat menjadi pintu masuk dalam upaya meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi, agar dapat memetik manfaat dari situasi global guna meningkatkan taraf hidup masyarakat kita. Sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi menuntut kualitas hasil pendidikan yang tinggi pula. Untuk itu mutlak diperlukan adanya pendidik dan tenaga kependidikan yang bukan hanya secara akademik memenuhi persyaratan, tetapi juga pengetahuan dan kemampuan mengajar yang memadai. Upaya pembinaan itu sendiri sudah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, salah satunya melalui pembentukan wadah Kelompok Kegiatan Guru (KKG) SD dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) SMP, SMA dan SMK. Wadah KKG/MGMP yang mempunyai prinsip dari, oleh, dan untuk guru diharapkan dapat menjadi entry point peningkatan pengetahuan dan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan fungsi utamanya. Wadah ini berfungsi ganda. Selain merupakan tempat berkumpul bagi guru untuk membahas dan memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan tugas mengajarnya secara bersama-sama, KKG/MGMP juga sebagai lembaga pengimbasan pengetahuan dan kemampuan dari guru yang satu ke guru yang lain. Aktivitas yang dilaksanakan KKG dan MGMP sangat bervariasi, mulai dari penyiapan silabus implementatif, bahan ajar, metode, penilaian proses dan hasil belajar, lembar kerja, dan pengembangan alat peraga. Persoalannya, meski KKG dan MGMP sudah dibentuk sejak lama di berbagai sekolah dan daerah, namun keberadaan wadah ini nampak belum memperlihatkan hasil yang diharapkan. Harapan bahwa KKG/MGMP mampu mendongkrak kualitas hasil pendidikan (makro maupun mikro), kurang menunjukkan hasil yang memuaskan. Meski demikian, pihak Departemen Pendidikan Nasional melalui Ditjen PMPTK tetap mempunyai komitmen yang tinggi untuk mempertahankan dan memberdayakan KKG/MGMP. Wadah ini tetap dipandang strategis untuk melakukan pembinaan dan pengimbasan peningkatan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan guru. Berbagai pertanyaan dapat diajukan terhadap wadah KKG/MGMP tersebut, terutama terkait dengan upaya pemberdayaannya. Berkenaan dengan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
132 hal itulah penelitian ini diajukan, yakni mengkaji KKG/MGMP secara mendalam dan matang, agar akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan untuk mengajukan alternatif rekomendasi guna memberdayakan wadah tersebut.
2. Tujuan Studi ini bertujuan:
1) melakukan pemetaan profil KKG/MGMP, terutama terkait dengan aspek manajemen, aktivitas, dan pendanaan; 2) mengidentifikasi dan mengetahui manfaat terhadap kinerja guru;
keberadaan KKG/MGMP
3) mengetahui aspek-aspek yang diperlukan untuk kemampuan profesional guru melalui KKG/MGMP; 4) mengidentifikasi tantangan pemberdayaan KKG/MGMP;
dan
kendala
yang
pengembangan dihadapi
dalam
5) mengidentifikasi faktor yang dapat mendorong peran KKG/MGMP dalam rangka meningkatkan kinerja guru; 6) menganalisis
pelaksanaan KKG/MGMP terkait dengan upaya pemberdayaan wadah tersebut agar mencapai hasil seperti yang diharapkan, terutama sebagai wadah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru dalam menjalankan tugas dan fungsi mengajarnya.
3. Sampel penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh KKG/MGMP di Indonesia. Terkait dengan tujuan penelitian, maka sumber data yang akan diakses terdiri dari berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan KKG/MGMP dari tingkat pusat s.d. sekolah. Dari 33 provinsi seluruh Indonesia dipilih secara acak 6 provinsi (2 Jawa dan 4 luar jawa) dengan teknik cluster random sampling, yaitu provinsi dikelompokkan menjadi 3 region (region KBI, KTI, dan Jawa-Bali). Secara acak dari KBI diplih 2 provinsi, KTI dipilih 2 provinsi, dan Jawa-Bali dipilih 2 provinsi. Dari setiap provinsi dipilih masing-masing secara purposif 1 kota dan 1 kabupaten. Selanjutnya dari setiap kabupaten/kota dipilih masingmasing 2 KKG/MGMP yang pernah dapat blockgrant dan 3 KKG/MGMP tidak mendapat blockgrant. Total sampel KKG dan MGMP masing-masing adalah sebanyak 60. Pada setiap KKG/MGMP diambil sebagai responden
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
133 sebanyak 2 orang yang terdiri atas 1 pengurus KKG/MGMP dan 1 orang anggota KKG/MGMP. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan pedoman wawancara sebagai instrumen penelitian. Kuesioner disampaikan langsung kepada para responden. Wawancara diperlukan untuk melengkapi data yang belum diberikan responden melalui kuesioner penelitian.
4. Temuan Gambaran tentang hasil studi yang membahas tentang tujuan itu tertuang dalam laporan utama, yang tidak dipaparkan dalam tulisan ini. Satu hal yang perlu digarisbawahi, dari hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa pemberdayaan KKG/MGMP masih mengandung banyak permasalahan dan kendala. Berbagai upaya masih perlu diwujudkan agar mekanisme KKG/MGMP mampu melibatkan partisipasi anggotanya untuk mencapai tujuan dan hasil seperti yang diharapkan. Terdapat sejumlah aspek yang perlu disoroti yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi upaya pemberdayaan KKG/MGMP. Aspek-aspek tersebut mencakup persoalan organisasi, pengelolaan kegiatan, Guru Inti/narasumber/fasilitator/tutor, pendanaan, proses monitoring dan evaluasi, hubungan kerjasama dengan pihak-pihak di luar organisasi KKG/MGMP, serta pengembangan TIK.
Organisasi KKG/MGMP Organisasi KKG/MGMP umumnya masih tergolong sederhana yang kepengurusannya terdiri dari seorang Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. Meski demikian hampir keseluruhan responden mengatakan, perlunya kepengurusan KKG/MGMP yang tidak terlalu kompleks dan menjadi organisasi baku yang cenderung formal. Kondisi ini hanya akan mengarah pada kerumitan tersendiri dalam pengelolaan organisasi, yang belum tentu akan menjadikan KKG/MGMP efisien dan efektif. Apabila terdapat upaya penambahan dalam struktur organisasi KKG/MGMP, haruslah bersifat terbatas dan benar-benar dirasakan kebutuhannya, misalnya pembentukan bagian untuk melakukan pembinaan dan pengembangan kerjasama dengan pihak-pihak di luar KKG/MGMP. Penyusunan oraganisasi dengan terlalu banyak unsur dikhawatirkan akan menyita waktu dan tenaga guru-guru yang mendapat posisi tertentu sehingga akan mengurangi waktu untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai guru. Apabila hal ini terjadi, upaya meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik cenderung tidak terbukti. Harus dihindarkan munculnya pameo: KKG/MGMP hanya menghasilkan guru yang bertambah pintar tetapi peserta didik tetap bergelut dengan hasil belajar yang kurang memuaskan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
134 Menurut sebagian besar anggota KKG/MGMP, yang terpenting untuk dilaksanakan dewasa ini adalah meningkatkan kompetensi dan kinerja pengurus dalam mengelola wadah KKG/MGMP. Oleh sebab itu selayaknya pengurus KKG/MGMP perlu mendapatkan pelatihan manajemen agar mampu mengelola organisasinya secara baik. Pengelolaan Kegiatan Sebagai organisasi profesi, KKG dan MGMP secara umum melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan, mulai dari penyusunan perencanaan/program kerja, implementasi, sampai dengan evaluasinya, khususnya yang dilakukan untuk jangka waktu setahun. Proses ini umumnya melibatkan sejumlah pihak yaitu Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, staf Dinas Pendidikan Kab/Kota, dan LPMP. Dalam konteks ini, keterlibatan pihak-pihak di luar KKG/MGMP terbatas sebagai pendamping dan fasilitator saja, sehingga mereka tidak mencampuri terlalu dalam pengelolaan organisasi ini. Hal itu sejalan dengan prinsip yang dikandung dalam KKG/MGMP sebagai wadah pembelajaran yang bersumber dari, oleh, dan untuk guru sendiri, sehingga segala sesuatunya terpulang kepada guru. Penerapan prinsip tersebut akan memunculkan sense of belonging guru terhadap wadah KKG/MGMP sebagai forum meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan pemecahan masalah yang dihadapi guru secara bersama. Rasa dan sikap memiliki itu lebih lanjut akan memunculkan tanggungjawab (responsibility) guru sebagai wadah perkumpulan mereka untuk memberdayakan seperti yang diharapkan. Keterlibatan dan intervensi yang terlalu dalam dari pihak luar terhadap wadah KKG/MGMP hanya akan memunculkan anggapan sebagai organisasi bentukan pihak atasan, dengan kecenderungan menjalankannya hanya merupakan suatu kewajiban yang bersifat rutinitas atau hanya takut terkena teguran atau sanksi semata dari pihak atasan. Tenaga Pengajar/Fasilitator/Tutor Upaya melaksanakan seluruh kegiatan KKG/MGMP tidak terlepas dari keberadaan Guru Inti sebagai pembimbing, fasilitator, dan pemberi arahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajarannya. Hal ini sejalan dengan konsep keberadaan KKG/MGMP sebagai kelanjutan dari Pelatihan PKG di masa lalu, yang telah menghasilkan Guru Inti untuk melakukan pengimbasan pengetahuan dan kemampuan kepada guru-guru lain yang belum memperoleh pelatihan PKG tersebut. Persoalannya adalah, apakah Guru Inti yang bertindak sebagai pembimbing, fasilitator, pelatih, tutor dalam memberikan pelatihan terhadap guru-guru anggota KKG/MGMP sudah benar-benar memenuhi kualifikasi dan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
135 kompetensi yang diharapkan apalagi jika tidak atau kurang memadai hasil belajar peserta didiknya. Situasi seperti ini jelas akan mengarah pada munculnya sikap keraguan terhadap kemampuan Guru Inti, sehingga mekanisme KKG/MGMP pun cenderung tidak mengarah pada hasil seperti yang diharapkan. Atas dasar itu hendaknya pihak yang terkait perlu memikirkan upaya membentuk kompetensi Guru Inti yang memadai, sehingga benar-benar dapat mengimbaskan pengetahuan dan kemampuannya pada anggota KKG/MGMP. Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) perlu diberdayakan seoptimal mungkin, terutama dalam menjalankan peran dan fungsinya untuk menghasilkan Guru-guru Inti yang dibutuhkan tersebut. Pendanaan Upaya memberdayakan KKG/MGMP pada dasarnya tidak terlepas dari keperluan dana untuk mendukung segenap kegiatan yang dijalankan oleh wadah ini. Dana yang diperlukan bukan hanya tertuju untuk memberikan bantuan transportasi dan konsumsi guru, tetapi juga keperluan lainnya, seperti pengadaan sumber belajar, media belajar, alat peraga, sampai dengan pemberian honorarium tenaga pengajar/fasilitator/tutor. Sejumlah KKG/MGMP memang telah menerima bantuan blockgrant dari LPMP maupun Dinas Pendidikan setempat, namun banyak pula masih bertumpu pada bantuan yang diberikan oleh sekolah. Dari keterangan pengurus KKG/MGMP yang menerima bantuan blockgrant tersebut, informasi bahwa dasarnya dana yang tersedia masih kurang mencukupi untuk mendukung kebutuhan dan melaksanakan kegiatan KKG/MGMP. Bahkan tidak jarang anggotanya menomboki dari saku mereka sendiri untuk mengikuti pelatihan yang mereka selenggarakan. Dapat dibayangkan bagaimana dengan ketersediaan dana pada KKG/MGMP yang tidak menerima bantuan blockgrant tersebut dan sepenuhnya bersumber dari kemurahan hati sekolah masing-masing. Persoalan dana kegiatan di KKG/MGMP ini memang memerlukan perhatian khusus, karena langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi animo dan motivasi guru dalam mengikuti pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar mereka. Suka atau tidak suka, ketersediaan dana yang memadai dapat menjadi stimulus untuk meningkatkan motivasi yang tinggi dalam menjalankan pelatihan di KKG/MGMP. Motivasi akan lebih tinggi apabila didukung oleh narasumber yang berkualitas dan kompeten dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam pembelajaran mereka. Sebaliknya, jika keikutsertaan dalam kegiatan KKG/MGMP hanya dipandang sebagai suatu kesengsaraan, kerugian finansial, dan kurang bermanfaat bagi mereka, maka wadah itu akan cenderung ditinggalkan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
136 Mekanisme KKG/MGMP sebagai wadah yang diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru, niscaya tidak akan terbukti. Implikasinya, upaya meningkatkan kualitas hasil belajar melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan guru pun tidak akan terwujud. Monitoring dan Evaluasi Dalam perjalanan KKG/MGMP sebagai wadah pengimbasan, peningkatan pengetahuan dan kemampuan guru yang bertumpu dari, oleh, dan untuk guru, tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada guru. Pemantauan eksternal, dalam arti dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten, perlu dilakukan guna mengendalikan kegiatan/program yang dijalankan oleh KKG/MGMP. Melalui pemantauan itu dapat diketahui, apakah wadah KKG/MGMP dan pelaksanaan kegiatan/program untuk segenap aspek yang menyertainya sudah berjalan baik atau sebaliknya masih banyak mengandung kelemahan dan kekurangannya. Tindakan pemantauan itu memang telah dilaksanakan selama ini oleh berbagai pihak, namun oleh guru masih dinilai kurang memiliki efek positif dan tidak dapat digunakan sebagai refleksi untuk melihat kelemahan dan kekurangan KKG/MGMP. Harapan mereka, agar proses pemantauan yang dilakukan bukan hanya berguna untuk konsumsi pihak-pihak tersebut saja, tetapi mampu memberikan masukan terhadap KKG/MGMP guna memperbaiki pengelolaan kegiatan selanjutnya. Proses pemantauan pun perlu dilakukan dengan instrumen yang jelas dan terarah yaitu, yang benar-benar dapat digunakan untuk mengetahui keefektifan pengelolaan kegiatan KKG/MGMP, dan menilai hasil pembelajaran yang dilakukan oleh guru melalui wadah tersebut. Tuntutan serupa ditujukan pada proses evaluasi yang dilaksanakan terhadap pengelolaan KKG/MGMP ini. Sama halnya dengan tindakan monitoring di atas, sejauh ini tidak diketahui efek positif dari tindakan evaluatif yang dilaksanakan oleh pihak-pihak tersebut, terutama terkait dengan upaya perbaik pengelolaan wadah dan kegiatan KKG/MGMP serta keberhasilan guru dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guruguru penerimanya, atau sebaliknya. Atas dasar itu, masih diperlukan pengembangan instrumen evaluatif yang sistematis dan terarah baik oleh pihak-pihak yang berkompeten agar dapat memberikan informasi yang diperlukan. Hasil evaluasi haruslah benarbenar dapat memberikan masukan bermakna guna memperbaiki dan memberdayakan KKG/MGMP, serta mencapai hasil seperti yang diharapkan, yakni sebagai wahana peningkatan pengetahuan dan kemampuan guru. Hasil evaluasi yang baik menjadi dasar bagi sejumlah pihak yang berkepentingan untuk memberikan perlakuan (treatment) yang diperlukan guna menutupi kelemahan dan kekurangan yang ada serta memperbaiki dan memberdayakan peran dan fungsi KKG/MGMP. Di lain pihak, keberadaan KKG/MGMP pun harus memunculkan dampak positif bagi peningkatan hasil belajar peserta didik di sekolah-sekolah
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
137 tempat asal anggotanya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan guru melalui wadah KKG/MGMP cenderung kurang bermakna apabila tidak diikuti dengan peningkatan pula terhadap hasil belajar peserta didiknya. Biar bagaimana pun, tujuan pembentukan wadah KKG/MGMP merupakan upaya meningkatkan kualitas hasil pendidikan peserta didik, sehingga harus bermuara terhadap pencapaian hasil tersebut. Dengan kata lain, tolok ukur keberhasilan atau kekurangberhasilan KKG/MGMP harus ditinjau dari keberhasilan atau kekurangberhasilannya dalam meningkatkan pencapaian hasil belajar peserta didik di sekolah-sekolah tempat asal guru yang menjadi anggota. Hubungan Kerjasama dengan Pihak Luar Meski wadah KKG/MGMP bertumpu pada prinsip dari, oleh, dan untuk guru, namun dalam pengelolaan dan pemberdayaannya tidak terlepas dari pentingnya keterlibatan pihak lainnya. Pihak yang utama terkait langsung dengan pelaksanaan KKG/MGMP adalah kepala sekolah berupa pemberian ijin dan bantuan fasilitas lainnya yang diperlukan bagi guru untuk mengikuti kegiatan/program KKG/MGMP. Kenyataannya, memang pihak sekolah melalui kepala sekolah telah memberikan kontribusinya kepada guru, khususnya bantuan dana transportasi guru untuk mengikuti pelatihan di KKG/MGMP, meski bentuk kerjasamanya seringkali kurang mencukupi. Terkait dengan upaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru melalui KKG/MGMP tersebut, perlu kiranya pihak sekolah menjalin kerjasama yang saling mendukung dengan Komite Sekolah. Berbagai peran dan fungsi Komite Sekolah ini perlu diberdayakan, khususnya dalam memberikan dukungan dana yang diperlukan oleh guru untuk mengikuti kegiatan pelatihan di KKG/MGMP. Jalinan hubungan lain yang perlu dikembangkan oleh KKG/MGMP adalah dengan pengawas, Dinas Pendidikan setempat, dan LPMP. Berbagai peran dapat diwujudkan oleh pihak-pihak tersebut, antara lain berupa dukungan nara sumber, fasilitas, dana, informasi kebijakan, dan sebagainya. Namun hal yang perlu dihindari adalah, jangan sampai sejumlah pihak tersebut campur tangan terlalu dalam terhadap pengelolaan KKG/MGMP karena dapat memunculkan kecenderungan bersikap pasif, miskin kreatif, dan ketergantungan. Pengembangan TIK Menurut sebagian besar responden di KKG/MGMP yang dikaji, wadah ini memerlukan fasilitas internet untuk mendukung proses pembelajaran mereka. Melalui internet dapat dipacu peran KKG/MGMP guna meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan e-pembelajaran dan e-administrasi. Terlebih lagi karena dihadapkan pada perkembangan dan perubahan lingkungan yang pesat dewasa ini, sehingga mereka amat memerlukan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
138 pengetahuan tentang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pemanfaatan internet akan memudahkan mereka untuk memperoleh informasi dan pengetahuan dengan cara men-downloadnya, baik yang terkait dengan materi pembelajaran guru-guru maupun lainnya. Isue kebutuhan internet ini semakin mengemuka karena kenyataan banyaknya guru yang sulit memperoleh bahan ajar maupun sumber pengayaan lainnya. Atas dasar itu, penggunaan internet oleh KKG/MGMP dinilai dapat mendukung dan memecahkan kesulitan guru dalam memperoleh sumber belajar dan informasi lainnya. Peluang Sertifikasi KKG/MGMP merupakan wadah pertemuan guru untuk membahas segenap hal yang terkait dengan tugas mengajar guru dan sarana untuk peningkatan pengetahuan dan kemampuan mereka semuanya. Atas dasar itu sebagian besar responden guru menaruh harapan, KKG/MGMP mempunyai peran dalam mempercepat proses sertifikasi. Bagi guru yang lulus uji sertifikasi dapat meningkatkan kesejahteraan karena akan memperoleh tunjangan profesi yang perbulannya sebesar gaji mereka.
5. Rekomendasi Dari temuan studi ini, sejumlah rekomendasi diajukan di bawah ini: 1) Dalam upaya memberdayakan KKG/MGMP hendaknya perlu dihindarkan pembentukan kepengurusan organisasi yang terlalu kompleks. KKG/MGMP sebagai wadah pertemuan guru untuk membahas dan memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan tugas mengajarnya, cukup memiliki struktur organisasi sederhana dan bersifat luwes. Perluasan dengan melibatkan guru dalam kepengurusan dapat membawa beban bagi guru yang bersangkutan yang (mungkin) membutuhkan tenaga dan waktu ekstra tersendiri. Jangan sampai guru malah terbenam dengan kesibukkan tugas-tugas di KKG/MGMP, menyita waktu guru, sehingga dapat mengurangi tanggung jawab dan kewajiban utamanya sebagai pengajar; 2) Penerapan KKG/MGMP pada dasarnya bertumpu pada prinsip dari, oleh, dan untuk guru, sehingga maju atau mundurnya wadah ini tergantung dari mereka sendiri. Pendampingan dari pihak-pihak yang terkait memang dibutuhkan dalam upaya pemberdayaan KKG/MGMP, namun harus dihindarkan adanya campur tangan yang terlalu dalam dari pihak-pihak tersebut yang justru dapat menghambat perkembangannya. 3) Upaya pemberdayaan KKG/MGMP sangat tergantung pada ketersediaan dana yang memadai. Meski sejumlah KKG/MGMP telah memperoleh
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
139 bantuan blockgrant, besaran dana yang ada dirasa kurang mencukupi. Pada KKG/MGMP yang tidak menerima blockgrant, tidak jarang guru harus mengeluarkan dana tersendiri guna mengikuti pelatihan di KKG/MGMP. Pada guru-guru ini satu-satunya sumber untuk membantu mereka mengikuti kegiatan KKG/MGMP adalah sekolah. Ketersediaan dana memadai dibutuhkan untuk membantu transportasi guru, konsumsi, pembelian bahan ajar, membayar honor nara sumber yang diperlukan, pengadaan alat peraga, dan sebagainya. Namun, tentu saja harus diimbangi dengan mekanisme pertanggungjawaban baik keuangan maupun subtansi. Yang terakhir ini untuk menjamin bahwa dana yang digunakan benar- benar bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. 4) Upaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru melalui KKG/MGMP memerlukan pemberian bimbingan dan arahan dari nara sumber, terutama Guru Inti, yang memiliki kompetensi dan kualitas yang memadai. Untuk ini peran LPMP amat diperlukan untuk membina guruguru Inti dalam meningkatkan kemampuan mereka. 5) Diperlukan pengembangan instrumen monitoring dan evaluasi yang mampu memberikan gambaran tentang yang sebenarnya dilaksanakan dan dicapai oleh KKG/MGMP. Selanjutnya informasi dan monitoring dan evaluasi ini bisa digunakan menjadi bahan refleksi untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan wadah dan kegiatan organisasi ini dan menjadi pelajaran untuk pelaksanaan pada masa berikutnya. 6) Untuk mendukung proses pembelajaran gurur-guru di KKG/MGMP memerlukan bantuan seperangkat alat komputer dan internet agar dapat mengakses informasi dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Ini terutama untuk mengatasi kesulitan memperoleh bahan ajar dan pengayaan materi. 7) Salah satu upaya untuk lebih memberdayakan KKG/MGMP yang perlu dipertimbangkan adalah mengkaji berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan oleh ini untuk mendukung para anggotanya dalam mengikuti uji sertifikasi.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
140
Pengkajian Kesesuaian Pendidikan Terhadap Kebutuhan Pembangunan Nasional dan Daerah dan Kebutuhan Peserta Didik (Kesesuaian Pendidikan Menengah Terhadap Pasar Kerja)
1. Pendahuluan Dalam kerangka memenuhi tuntutan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari angkatan kerja lulusan pendidikan menengah di industri, maka pengkajian ini akan diarahkan pada kesesuaian pendidikan menengah terhadap kebutuhan industri. Kenyataan yang ada sekarang menunjukan adanya perbedaan antara tenaga kerja siap latih dan tenaga kerja siap pakai. Beberapa industri besar dengan teknologi maju memerlukan karyawan baru yang memiliki kemampuan berfikir analisis-kritis, sedang keterampilan kerjanya dilatih oleh industri yang bersangkutan. Melihat kondisi ini maka lulusan yang dibutuhkan oleh industri adalah lulusan sekolah menengah atas (SMA). Namun kenyataan lain juga menunjukkan bahwa sekolah menengah kejuruan (SMK) yang bagus lulusannya di-‖inden‖ oleh perusahaan-perusahaan besar yang memiliki teknologi maju. Salah satu informasi yang akan dicari dalam pengkajian ini adalah ‖Bagaimana karakter lulusan pendidikan menengah yang sebenarnya dibutuhkan oleh dunia kerja?‖ Industri pada umumnya menginginkan lulusan SMK yang memiliki mental dasar sikap dan mental kerja serta menguasai teknologi terkini. Ini dapat dilihat dari sangat lakunya lulusan SMK yang sudah memiliki reputasi keterampilan lulusannya, seperti SMK PIKA, SMK Mikhael, dan beberapa SMK lainnya. Kondisi tersebut pada umumnya tidak dapat dipenuhi oleh lulusan SMK yang belum memiliki keahlian spesifik. Artinya banyak SMK yang kurang siap dengan tuntutan industri tersebut. Renstra 2005-2009 mengamanatkan bahwa peningkatan mutu dan kesesuaian diharapkan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan daya saing bangsa. Dalam renstra tersebut, peningkatan mutu dan kesesuaian diarahkan pada pencapaian kecakapan akademik dan non akademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Perluasan inovasi pembelajaran dalam rangka mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan, serta tingkat, perkembangan peserta didik. Pencapaian mutu pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP)
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
141 diantaranya standar isi dan proses. Akselerasi pendidikan kejuruan agar selalu dapat mengacu dan memenuhi tuntutan lapangan kerja, standar kualifikasi kerja, profesionalisme, dan produktifitas kerja yang terus berkembang dalam memenuhi standar nasional dan internasional (butir 11, hal 26). Kajian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan kebijakan pemberian layanan satuan pendidikan menengah terkait dengan kesesuaiannya dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah yang tercermin dari kebutuhan dunia industri, serta kebutuhan peserta didik agar peserta didik dapat secara langsung memasuki dunia kerja. Secara operasional kajian ini ingin mendapatkan data dan informasi berkenaan dengan: karakteristik sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia kerja, kinerja lulusan pendidikan menengah di dunia kerja saat ini, kondisi sistem pendidikan menengah saat ini, dan strategi penciptaan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
2. Metode Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksplanatif, karena mencoba mencari hubungan atau pengaruh antara dua sisi. Pertama kondisi sistem pendidikan baik sekolah menengah umum maupun sekolah menengah kejuruan, sebagai pemasok tenaga kerja. Pada sisi ini studi diarahkan untuk melihat faktor-faktor yang terkait dengan proses pembelajaran yang ada di SMA maupun SMK dalam menghasilkan tenaga terampil, serta bagaimana kondisi SMA maupun SMK sekarang dan upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan menyingkapi kondisi demikian. Sementara itu, sisi kedua diarahkan guna mengetahui bagaimana kebutuhan dunia kerja saat ini dan karakteristik SDM yang dibutuhkan oleh dunia kerja tersebut. Selain itu pada sisi kedua ini juga berusaha menggali informasi mengenai bagaimana kinerja lulusan sekolah menengah dan upaya apa yang dilakukan dunia kerja terhadap lulusan sekolah menengah yang telah bekerja di tempat kerja tertentu. Lingkup studi dari dunia kerja adalah sektor industri yang termasuk pada sektor industri skala besar dan skala menengah. Sedangkan dari sisi dunia pendidikan akan dibatasi pada sekolah menengah formal SMA dan SMK utamanya sekolah negeri yang berada di bawah tanggung jawab Depdiknas. Dari sisi Dunia Kerja beberapa sektor industri yang menjadi sasaran dalam studi adalah sektor industri yang dapat mewakili skala besar dan menengah. Sektor industri yang dimaksud adalah : otomotif, telekomunikasi, perhotelan, Garmen (produksi tekstil dan pengolahan hasil tekstil), makanan dan minuman, farmasi dan obat tradisional, manufaktur, Retail, jasa.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
142 Dari sisi Satuan Pendidikan sekolah yang menjadi sasaran pengkajian adalah SMA dan SMK yang berada di tingkat kabupaten/kota yang dapat dikategorikan menjadi SMA baik, dilihat dari pencapaian hasil UN. Sedangkan SMK yang menjadi sasaran adalah SMK yang masuk dalam empat kelompok yaitu 1 SMK kelompok Teknologi, 1 SMK kelompok Bisnis dan Manajemen, 1 SMK Pariwisata, dan 1 SMK Pertanian. Pengkajian dilaksanakan pada 6 provinsi yaitu provinsi Sumatera Utara, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
3. Temuan Penelitian Analisis dari Sisi Kebutuhan (Dunia Kerja) Karakteristik SDM yang dibutuhkan dunia kerja diperoleh melalui seleksi yang dilakukan oleh perusahaan. Hasil penelitian menunjukan pada tahapan seleksi kebanyakan peserta tidak lulus pada tahap seleksi wawancara. Adapaun faktor penyebab kegagalan terbesar adalah kurang bisa memperlihatkan sikap kemampuan, kemauan, dan komitmen kerja yang baik (Attitude).Disamping itu perusahaan mempertimbangkan juga integritas calon pegawai tanpa melihat kemampuan skill atau lainnya karena calon pegawai dapat dilatih setelah mereka masuk kerja. Penempatan karyawan pada tempat tugas di perusahaan yang memperhatikan berdasarkan latar belakang pendidikannya hampir berbanding dengan penempatan tanpa melihat latar belakang pendidikan. Alasan perusahaan melaksanakan karyawan baru yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan ini karena pihak perusahaan yakin bahwa karyawan pada posisi tempat kerja tertentu, baik pada level pendidikan yang sesuai maupun pendidikan yang lebih rendah, bisa melakukan pekerjaan melalui pelatihan. Kerjasama yang pada umumnya dilakukan dengan sekolah dalam rangka menyediakan tenaga kerja baru diperusahaan dilakukan sejak awal ketika perusahaan dilibatkan dalam evaluasi dan penyusunan kurikulum, proses belajar mengajar dengan memberi bantuan tenaga pengajar sesuai dengan keahliannya dan kebutuhan sekolah, memberi kesempatan anak didik untuk magang di perusahaan, penyebaran informasi kebutuhan tenaga kerja dan penyelenggaraan bursa kerja. Dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) di perusahaan, sebagian besar perusahaan menerapkan pola jenjang karir bagi karyawan. Yang utama dipertimbangkan adalah prestasi kerja karyawan. Pola jenjang karir tersebut dilakukan melalui tes kenaikan pangkat. Penyiapan SDM dilakukan oleh sebagian besar perusahaan, pertama kali dengan memberikan masa percobaan atau pelatihan pegawai. Masa
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
143 percobaan antara perusahan satu dengan lainnya cukup bervariasi, ada yang lamanya 3 bulan dan 6 bulan. Biasanya masa percoban 3- 6 bulan dilakukan untuk karyawan yang memiliki keahlian yang sedang diperlukan oleh perusahaan. Perusahaan merasa perlu memberikan pelatihan awal dan training sebagai tambahan pekerja mendapatkan keterampilan. Perlunya pemberian training pada karyawan baru diperkuat dengan informasi yang diperoleh dari karyawan yang menyatakan bahwa training bukan hanya menambah pengetahuan tetapi mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Sebagian perusahaan tidak selalu memberikan keterampilan tambahan kepada karyawan baru, alasannya keterampilan yang mesti dimiliki dalam bekerja akan secara berangsur- angsur diperoleh selama proses berjalan, dan karyawan baru juga dalam posisi masa ujicoba. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perusahaan lebih membutuhkan pekerja yang siap latih dibanding yang siap kerja. Perusahaan menghargai lulusan yang memiliki keahlian tertentu yang atrinya perusahaan mengakui sertifikat dari keahlian yang dimiliki oleh pekerja. Penerimaan karyawan pada umumnya menggunakan sistem kontrak, minimal satu tahun. Jika dalam masa kontrak karyawan menunjukkan kinerja yang sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan maka kontrak tersebut dapat diperpanjang. Analisis dari sisi Penyedia (Dunia Pendidikan) 1) Sekolah Menengah Atas (SMA) Pola seleksi calon peserta didik baru yang dilakukan oleh sekolah menengah melalui empat cara yaitu (1) gabungan antara tes khusus dan non tes (dengan dokumen kelulusan SMP), (2) dengan tes khusus, (3) tanpa tes khusus (hanya dengan dokumen kelulusan SMP), dan (4) tanpa tes dan tanpa pertimbangan dokumen kelulusan. Dari keempat cara ini, ada yang melakukan dengan salah satu cara dan ada yang menggunakan lebih dari 1 cara. Jumlah peserta didik per rombongan belajar bervariasi yaitu berjumlah antara 25-30, 31-35, dan lebih dari 35. Yang terbanyak adalah lebih dari 35 orang per rombongan belajar. Keberadaan dokumen pendukung pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan /KTSP (referensi, bahan ajar, buku-buku, jurnal, dan lain-lain untuk semua mapel) dimiliki oleh sebagian besar sekolah dengan kelengkapan yang bervariasi. Demikian juga dengan dokumen pengembangan silabus untuk semua mata pelajaran, dokumen pengembangan sistim penilaian, dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau satuan pembelajaran (SP) untuk semua mata pelajaran di sekolah, dan dokumen pembagian tugas mengajar. Selain itu
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
144 sekolah juga memiliki dokumen tentang kompetensi (standar kompetensi yang diujikan) yang harus dikuasai lulusan. Sebagian besar sekolah melakukan pengembangan kurikulum muatan lokal. Muatan lokal yang diberikan tentang materi pengelolaan sumber daya alam, pelestarian budaya, pelestarian sumber daya alam, dan muatan lokal lainnya. Rata-rata tingkat pemahaman guru terhadap KTSP sebagai dasar pembuatan rencana persiapan pembelajaran (RPP) baik. Demikian juga guru dalam penggunaan metode pembelajaran di kelas, seperti ceramah, tanya jawab, penugasan, diskusi, bervariasi. Kesesuaian penggunaan ―metode pembelajaran‖ terhadap karakteristik substansi mata pelajaran (sesuai tuntutan kompetensi) juga baik. Mata pelajaran yang diajarkan dianggap sudah relevan dengan permintaan dunia kerja karena ada assessment langsung dari perusahaan ke beberapa sekolah. Namun ada kendala karena alat praktek di perusahaan dan di sekolah yang berbeda. Peserta didik pada sekolah menengah atas (SMA) tidak secara khusus diberikan pembekalan untuk mencari kerja karena rata-rata peserta didiknya melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Namun beberapa sekolah memiliki kebijakan untuk memberikan bekal pengembangan diri yang mereka sebut bekal kemandirian melalui muatan life skills misalnya tata boga, sablon, seni, IT, manajemen usaha, dan entrepreneur. Bekal yang paling penting adalah ditanamkannya jiwa kemandirian dan motivasi agar mereka mau berusaha. Beberapa sekolah juga memberikan kursus atau pelatihan penggunaan TIK khususnya pemakaian komputer kepada pendidik (guru) agar penguasaan TIK ini tidak hanya dimiliki oleh guru yang memberikan pelajaran TIK tapi juga kepada mereka yang tidak mengajar bidang ini. Pelatihan diberikan oleh guru komputer. Dengan pelatihan ini guru-guru tidak hanya menguasai atau memahami cara penggunaan komputer saja tetapi juga dapat menggunakan komputer untuk menulis soal-soal ulangan yang kemudian diserahkan kepada sekolah untuk di-print dan diperbanyak. Demikian juga dengan penguasaan Bahasa Inggris, beberapa sekolah mewajibkan semua guru untuk mengikuti kursus/pelatihan bahasa Inggris yang diberikan oleh guru bahasa Inggris di sekolah yang bersangkutan kepada rekan-rekannya. 2) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pada sekolah yang tergolong baik, dalam bekerja selama ini karakteristik lulusannya mengutamakan keselamatan kerja, taat azas dan waktu. Sebaliknya, pada beberapa sekolah, motivasi peserta didik untuk belajar kurang, dan sebagian besar diantara mereka ini bekerja di industri lokal.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
145 Alasan bagi peserta didik yang langsung bekerja, adalah karena latar belakang keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah. Di beberapa sekolah, peserta didik ini mendapatkan beasiswa penuh bantuan khusus murid (BKM) dari perusahaan dan sebagian besar (sekitar 350 peserta didik pada SMKN 1 Bogor) bebas biaya sekolah. Pola seleksi calon peserta didik baru oleh sekolah menengah kejuruan dilakukan melalui empat cara yaitu (i) gabungan antara tes khusus dan non tes (dengan dokumen kelulusan SMP), (2) dengan tes khusus, (3) tanpa tes khusus (hanya dengan dokumen kelulusan SMP), dan (4) tanpa tes dan tanpa pertimbangan dokumen kelulusan. Dari keempat cara ini, ada yang melakukan dengan salah satu cara dan ada yang menggunakan lebih dari 1 cara. Seperti halnya pada SMA, jumlah peserta didik per rombongan belajar pada SMK juga bervariasi yaitu berjumlah antara 25-30, 31-35, dan lebih dari 35. Yang terbanyak adalah lebih dari 35 orang per rombongan belajar. Kesan umum kedisiplinan peserta didik yang dilihat dari cara berpakaian, kehadiran dan ketertiban sebagian besar baik. Keberadaan dokumen pendukung pengembangan KTSP (referensi, bahan ajar, buku-buku, jurnal, dan lain-lain untuk semua mata pelajaran) dimiliki oleh sebagian besar sekolah dengan kelengkapan yang bervariasi. Demikian juga dengan dokumen pengembangan silabus untuk semua mata pelajaran, dokumen pengembangan sistim penilaian, dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau satuan pembelajaran (SP) untuk semua mata pelajaran di sekolah, dan dokumen pembagian tugas mengajar. Selain itu sekolah juga memiliki dokumen tentang kompetensi (standar kompetensi yang diujikan) yang harus dikuasai lulusan. Kesesuaian antara mata pelajaran yang diajarkan dengan permintaan dunia kerja dianggap sudah relevan karena selain ada uji kompetensi dari dunia usaha, secara rutin ada reviu terhadap bahan ajar dari dunia usaha. Beberapa perusahaan juga memberi masukan pada kurikulum, pada SKKN ada yang dikurangi dan ditambah berdasarkan masukan dari DUDI. SMK memang diperuntukkan bagi mereka yang akan melanjutkan ke dunia kerja, maka tidak ada bekal khusus yang diperuntukkan bagi peserta didik sebagian sekolah mempersiapkan SDM dengan cara meningkatkan kompetensi guru dapat menunjang meningkatkan kemampuan peserta didik. Salah satu pembekalan dengan Prakerin (praktek kerja di industri) dan praktek di sekolah. Beberapa sekolah lainnya memberikan skill akademik tambahan untuk bahasa Inggris dan Matematika. Sedangkan pengembangan diri peserta didik melalui pembinaan kesenian/keterampilan dilakukan oleh semua sekolah dan semua menunjuk guru yang bertanggung jawab memberikan pembinaan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
146 Sekolah telah menerapkan pembekalan aspek pengembangan diri kepada peserta didik, tidak menjadi mata pelajaran tersendiri tetapi masuk dalam mata pelajaran pendidikan agama, pendidkan kewarganegaraan, bimbingan konseling, dan pelajaran lainnya. Upaya lain yang dilakukan sekolah dalam pemberian bekal kepada siswa untuk terjun ke dunia industri adalah dengan (i) menyalurkan mereka ke beberapa perusahaan, (ii) membuka bursa kerja di sekolah (dengan tes yang dilakukan di sekolah), (iii) membentuk team teaching terutama dalam praktek, (iv) mendatangkan guru tamu, (v) meningkatkan wawasan pengetahuan dan keterampilan dengan program magang guru di perusahaan untuk mensinergikan kemampuan guru dan kebutuhan dunia industri akan lulusan, (vi) mengirim guru mengikuti seminar, pelatihan atau praktek kerja ke luar negeri, (vi) peningkatan kompetensi guru dalam bahasa Inggris dan Informasi Teknologi. Hampir semua sekolah mengembangkan kurikulum muatan lokal. Guru menggunakan metode pembelajaran di kelas, seperti ceramah, tanya jawab, penugasan, diskusi, bervariasi. Kesesuaian penggunaan ―metode pembelajaran‖ terhadap karakteristik substansi mata pelajaran (sesuai tuntutan kompetensi) juga baik. Mata pelajaran yang diajarkan dianggap sudah relevan dengan permintaan dunia kerja karena ada assessment langsung dari perusahaan ke beberapa sekolah. Namun ada kendala alat praktek di perusahaan dan di sekolah berbeda. Penerapan TIK dalam proses pembelajaran di kelas yang paling banyak dilakukan adalah pada 50-74,9% mata pelajaran. Sementara, penerapan TIK dalam proses pembelajaran di laboratorium sudah dilakukan pada hampir semua mata pelajaran. Penerapan penggunaan Bahasa Asing (Inggris) sebagai pengantar dalam proses pembelajaran belum dilakukan pada semua mata pelajaran, baru dilakukan pada kurang dari 50% mata pelajaran. Sebagian besar sekolah telah memiliki Laboratorium bahasa tetapi penggunaannya belum optimal. Guru bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris), selalu memberikan latihan, pekerjaan rumah, atau ujian yang bersifat mengarang (menulis dengan model deskriptif, naratif, maupun argumentatife). Tugas berupa karangan yang ditulis peserta didik setelah dikoreksi guru selalu dikembalikan. Di samping tugas tertulis guru bahasa (baik bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris) membekali peserta didik dengan materi percakapan/membaca. Guna menunjang peningkatan pembelajaran, maka sebagian besar sekolah mempunyai kerjasama dengan sekolah lain salah satunya dalam bentuk sister school. Di samping itu sebagian besar sekolah juga
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
147 mempunyai kerjasama dengan dunia industri. Beberapa sekolah mendatangkan tenaga (nara sumber) dari perusahaan. Hampir semua sekolah memiliki kerjasama khusus dengan industri dalam pelaksanaan praktek kerja lapangan (PKL). Selain itu, dalam rangka menunjang proses pembelajaran, sebagian besar sekolah memiliki guru/ tenaga ahli dari industri yang menjadi tenaga tidak tetap/ konsultan di sekolah. Sebagian besar sekolah juga mempunyai kerjasama dengan asosiasi profesi. Selain itu perusahaan memberikan kontribusi berupa bantuan peralatan untuk menunjang proses pembelajaran, mesin untuk praktek, dan memberikan masukan untuk kurikulum (pendampingan validasi kurikulum, serta mengirim guru terbang ke sekolah. Sebagian besar guru bidang keahlian belum memiliki sertifikasi kompetensi keahlian. Upaya sekolah dalam mensinergikan kemampuan guru dan kebutuhan dunia industri akan lulusan sudah dilakukan dengan meningkatkan wawasan pengetahuan dan keterampilan dengan program magang guru di perusahaan. Namun upaya ini baru dilakukan oleh kurang dari 50% sekolah. Selain itu, sebagian besar guru pernah kerja di industri.Sebagian besar sekolah memiliki unit jasa produksi dan pernah menawarkan produknya ke industri. Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja lulusan SMK adalah Bisnis dan Manajemen bidang yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah perdagangan dan administrasi perkantoran. Sedangkan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja lulusan Teknik adalah teknik mesin dan elektro, pada SMK pariwisata adalah tata boga, pada SMK pertanian adalah teknologi hasil pertanian (THP) dan pengawasan mutu (quality control). Sedangkan perusahaan yang paling banyak menyerap lulusan untuk keempat jenis SMK itu adalah perdagangan (retail), otomotif/spareparts kendaraan, elektronik, pariwisata seperti hotel, dan industri lokal lainnya. Salah satu kendala yang dihadapi sekolah dalam kesesuaian dengan dunia kerja atau industri adalah dalam hal peralatan (mesin) yang dimiliki sekolah tidak sesuai dengan yang dimiliki perusahaan. Karena mesin yang dimiliki sekolah sudah out of date sedangkan mesin yang ada pada perusahaan adalah jenis yang baru. Hal ini menjadi kesulitan sendiri bagi peserta didik karena apa yang dipraktekkan di sekolah tidak sesuai dengan yang ada di dunia kerja.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
148
4. Simpulan dan Saran Simpulan 1) Kurikulum di sekolah sudah diupayakan sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan industri (DUDI) melalui reviu kurikulum yang dilakukan oleh sekolah dengan melibatkan DUDI. 2) Bekal yang diberikan dari sekolah menengah terutama SMA bagi peserta didik untuk mengantisipasi jika mereka tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi adalah life skill yang mencakup keterampilan dan penanaman jiwa mandiri. Sedangkan bekal dari SMK tidak ada secara khusus karena di sekolah sudah diberikan program Prakerin (praktek kerja industri) dan magang/PKL. Dengan minimnya bekal yang diberikan di sekolah, kebanyakan perusahaan selalu memberikan keterampilan tambahan bagi pekerja baru walaupun pekerja yang bersangkutan ditempatkan pada tempat kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Disamping itu juga memberikan masa ujicoba. 3) Peningkatan proses pembelajaran sudah dilakukan sekolah dengan cara menjalin hubungan kerjasama dengan asosiasi profesi, lembaga kursus dan dunia industri melalui program guru terbang (pakar/ahli dari asosiasi profesi, lembaga kursus, dan industri datang ke sekolah), program guru magang di industri, dan program magang/PKL peserta didik. 4) Salah satu kendala yang dihadapi sekolah dalam kesesuaian dengan dunia kerja atau industri adalah dalam hal peralatan (mesin) yang dimiliki sekolah tidak sesuai dengan yang dimiliki perusahaan. Karena mesin yang dimiliki sekolah sudah out of date sedangkan mesin yang ada pada perusahaan adalah jenis yang baru. Hal ini menjadi kesulitan sendiri bagi peserta didik karena apa yang dipraktekkan di sekolah tidak sesuai dengan yang ada di dunia kerja. 5) Pada umumnya perusahaan akan memilih karyawan yang memiliki integritas kerja, pengetahuan, kemampuan skill, dan komunikasi dan berkepribadian baik. Namun demikian pada kebanyakan calon pekerja akan mengalami kegagalan atau tidak lulus pada saat seleksi spikologi dan wawancara yang materinya berkaitan dengan kepribadian, kemauan kerja, inovasi, dan pola pikir serta kemampuan berkomunikasi.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
149 Saran Kebijakan 1) Lulusan SMK perlu memiliki sertifikat kompetensi yang disahkan oleh Asosiasi Profesi sebagai bukti kemampuannya dalam suatu bidang tertentu. Untuk itu maka sistem pendidikan di SMK harus mengikutsertakan Uji Kompetensi yang murah dan bermutu bagi siswa SMK pada tingkat akhir evaluasi diluar sistem ujian nasional. 2) Sistem pendidikan menengah, baik SMA maupun SMK perlu memberikan bekal kemampuan matematika, kemampuan kerja dasar, kemampuan sosial, kemampuan berkomunikasi, logika penalaran dan ICT sebagaimana diharapkan oleh dunia kerja sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan kemampuan dengan sarana dan prasarana yang ada di dunia kerja, walaupun sarana yang ada berupa peralatan baru yang tidak sama dengan peralatan yang digunakan di sekolah. 3) Untuk mengetahui perkembangan informasi yang ada dunia kerja maka sekolah perlu menjalin dan meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja, dengan demikian akan menjadi pertimbangan bagi sekolah dalam membekali lulusannya.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
150
Pengkajian Kesesuaian Pendidikan Terhadap Kebutuhan Pembangunan Nasional Dan Daerah Dan Kebutuhan Peserta Didik (Kesesuaian Pendidikan Tinggi Terhadap Pasar Kerja)
1. Pendahuluan Dalam menghadapi persaingan bebas di era globalisasi dibutuhkan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, salah satunya adalah melalui pendidikan tinggi. Kesesuaian pendidikan terhadap kebutuhan pembangunan nasional yang berkaitan dengan pilar kedua, Renstra Depdiknas tahun 2005-2009 mengamanatkan peningkatan mutu dan relevansi yang diharapkan dapat secara efektif meningkatkan daya saing bangsa. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan non akademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing diarahkan, antara lain, pada akselerasi pendidikan agar selalu dapat mengacu dan memenuhi tuntutan lapangan kerja, standar kualifikasi kerja, profesionalisme, dan produktifitas kerja yang terus berkembang dalam memenuhi standar nasional dan internasional. Pada saat ini terjadi dua masalah terkait dengan relevansi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Pertama, adanya kelompok yang berpegangan bahwa relevansi pendidikan tinggi menuntut adanya kesesuaian antara pendidikan yang ditempuh dengan pekerjaan yang ditekuni setelah lulus; dan kedua, ada pihak yang berpegangan bahwa sebuah pendidikan tinggi dikatakan relevan dengan dunia kerja asal lulusannya mampu diterima di dunia kerja apapun bidang yang didalami selama pendidikan dengan bidang kerja yang ditekuni saat ini. Di dunia kerja berkembang fakta adanya bidang kerja yang kelebihan tenaga kerja dan ada yang kekurangan tenaga kerja. Untuk yang kelebihan tenaga kerja tersebut, maka akan dihasilkan sebuah femonema pengangguran terdidik yang semakin lama jumlahnya semakin besar. Pengangguran terdidik ini, diprediksi terjadi karena: (i) banyaknya lowongan kerja yang tidak terisi karena kekurangan tenaga kerja dengan keterampilan memadai; (ii) tuntutan dan tantangan kompetisi yang mewujud pada kebutuhan tenaga kerja terampil tidak dapat dipenuhi oleh pencari kerja; (iii) tidak dimilikinya kemampuan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
151 minimal lulusan yang harus dimiliki lulusan pendidikan tinggi ditinjau dari segi dunia kerja, yaitu kemampuan berkomunikasi, kemampuan kepemimpinan, dan kemampuan melakukan pekerjaan. Pengkajian ini bertujuan untuk menghasilkan alternatif bahan kebijakan pemberian layanan Pendidikan Tinggi sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, serta kebutuhan peserta didik. Secara operasional tujuan pengkajian adalah memperoleh gambaran tentang mekanisme pembentukan keahlian melalui pendidikan tinggi, meliputi kinerja sistem pendidikan tinggi dalam mencetak lulusan yang memiliki kompetensi siap masuk dunia kerja dan menerapkan ilmu yang ditekuninya, memperoleh gambaran kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh lulusan pendidikan tinggi yang secara umum diperlukan dunia kerja, dan memperoleh gambaran sistem penempatan (placement), dan on-the-job training untuk mengisi jabatan dan kompetensi, serta pembinaan karir.
2. Metode Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksplanatif, karena mencoba mencari hubungan atau pengaruh antara dua sisi. Pertama kondisi sistem pendidikan di Perguruan Tinggi, sebagai pemasok tenaga kerja. Pada sisi ini studi diarahkan untuk melihat faktor-faktor yang terkait dengan efektifitas dan efisiensi dari sistem pendidikan yang ada di Perguruan Tinggi, dalam menghasilkan tenaga terampil, serta bagaimana kondisi Perguruan Tinggi sekarang dan upayaupaya perbaikan yang telah dilakukan menyingkapi kondisi demikian. Sementara itu, sisi kedua diarahkan guna mengetahui bagaimana kebutuhan dunia kerja saat ini dan karakteristik SDM yang dibutuhkan oleh dunia kerja tersebut. Selain itu pada sisi kedua ini juga berusaha digali informasi mengenai bagaimana kinerja lulusan Perguran Tinggi dan upaya apa yang dilakukan dunia kerja terhadap lulusan Perguruan Tinggi yang telah bekerja di tempat kerja tertentu. Pada sisi dunia pendidikan, lingkup dibatasi pada perguruan tinggi negeri baik jalur akademik maupun keguruan. Sedangkan dari sisi dunia kerja akan dibatasi pada sektor industri yang meliputi sektor pertanian, sektor manufaktur/pengolahan, dan sektor jasa. Dari sisi dunia pendidikan yang dijadikan sasaran dalam pengkajian adalah dipilih Fakultas Teknik dan Sosial untuk jenjang S1, mengingat jurusan tersebut ditenggarai sebagai Fakultas yang menyebabkan over demand, serta khusus Fakultas Teknik, sebagai fakultas yang banyak menyuplai tenaga kerja. Sementara program pendidikan Diploma pada fakultas Teknik, dan Program diploma pada Fakultas Ekonomi, dengan pertimbangan yang hampir sama dengan yang dilakukan Jenjang Strata 1.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
152 Sedangkan dari sisi dunia kerja sasaran dibatasi pada dunia kerja untuk memilih calon tenaga kerja baru dapat dibedakan menjadi jenis sektor industri yang meliputi sektor industri pertanian, manufaktur/ pengolahan, dan sektor jasa. Mengingat luasnya dunia kerja, maka ditetapkan dunia kerja yang menjadi objek penelitian merupakan industri yang diklasifikasikan sebagai industri besar dan sedang, dikarenakan pertimbangan bahwa industri tersebut, menyerap banyak tenaga kerja. Menurut BPS, yang dimaksud dengan industri besar adalah industri yang jumlah pekerjanya 100 orang atau lebih, industri sedang adalah industri dengan jumlah pekerja antara 20-99 orang.
3. Temuan Penelitian Berikut adalah hasil pengkajian yang diperoleh dari program sarjana dan program diploma. 3.1 Analisis dari Sisi Kebutuhan (Dunia Kerja) Dunia kerja mempunyai persyaratan khusus bagi calon karyawannya, yang ditetapkan melalui standar minimal. Standar minimal merupakan batasan minimal kompetensi lulusan yang diterima di dunia kerja. ini ditandai oleh batas indek prestasi dalam mata pelajaran matematika, bahasa, dan IPA/IPS dan soft skills yang mencakup kepribadian, juga keterampilan khusus. Sementara itu beberapa perusahaan menyatakan lebih mementingkan kepribadian pelamar yaitu motivasi bekerja, kejujuran, dedikasi dan etos kerjanya. Standar kompetensi yang biasanya diukur adalah dalam bidang pengetahuan, bahasa, serta kepribadian dan kepemimpinan. Kemampuan bahasa termasuk bahasa asing pada pekerja dibutuhkan karena banyak peralatan yang menggunakan istilah bahasa asing. Sedangkan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi khususnya dibutuhkan bagi karyawan yang banyak berurusan dengan orang asing. Sebagian besar perusahaan memiliki persyaratan bahwa jurusan pelamar (latar belakang pendidikan) harus sama dengan posisi pekerjaan yang dilamar. Hal ini menunjukkan pentingnya kesesuaian antara pendidikan dan pekerjaan yang ditekuni. Senada dengan harapan perusahaan, dari sisi pekerja juga mengharapkan dalam bekerja mengharapkan adanya yang akan di kalulan. Dari hasil menunjukan bahwa sebagian besar pekerja tertarik untuk melamar pekerjaan pada suatu perusahaan karena alasan sesuai dengan latar belakang pendidikan, bukan sekedar karena gajinya besar atau lokasinya dekat dengan tempat tinggal, walupun kedua hal itu juga merupakan salah satu daya tarik bagi pelamar untuk melamar di suatu perusahaan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
153 Sebagian besar perusahaan mensyaratkan standar lain berupa penguasaan komputer, kompetensi kepribadian dan kepemimpinan. di samping itu perusahaan juga mensyaratkan kemampuan keterampilan di luar bidang keahliannya. Kesesuaian antara pendidikan dan pekerjaan yang ditekuni merupakan hal penting yang dipertimbangkan dalam penerimaan pegawai. Agar pendidikan yang didapat di perguruan tinggi sesuai dengan pekerjaan maka sebagian besar perguruan tinggi mengirim mahasiswa untuk mengikuti magang di perusahaan. Namun sebagian besar pekerja mengatakan bahwa keahlian yang paling mempengaruhi mereka diterima bekerja adalah dari bangku kuliah, walaupun mereka sudah pernah mengikuti kursus, dan on the job training. Ada juga yang menyatakan bahwa bekal keahlian dari pengalaman kerja sebelumnya sangat mempengaruhi mereka diterima bekerja di perusahaan yang sekarang. Dalam rangka mempersiapkan lulusan perguruan tinggi menjadi karyawan yang siap kerja, perusahaan mengangkat karyawan menjadi karyawan tetap langsung setelah menjalani on the job training (OJT). Setiap perusahaan menerapkan ketentuan adanya masa percobaan bagi karyawan baru, namun waktu dan lamanya berbeda, di samping itu juga memberikan training. Namun demikian, menurut sebagian besar karyawan, training yang diberikan hanya menambah pengetahuan yang diperoleh selama kuliah. Agar karyawan siap kerja, sebagian perusahaan menempatkan karyawan sesuai dengan posisi yang dilamar saat itu. Kepercayaan perusahaan terhadap kesiapan karyawan baru untuk bekerja dapat dikatahui dari pemberian tanggung jawab pekerjaan. Setelah dinyatakan diterima sebagai karyawan di tempat kerja, dan memasuki masa percobaan, sebagian besar karyawan langsung diberikan tanggung jawab pekerjaan. Faktor yang menyebabkan karyawan tidak langsung diangkat menjadi pegawai tetap adalah kurang berinovasi. Perusahaan mempunyai harapan terhadap perguruan tinggi, terutama agar materi pendidikan yang disampaikan sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Disamping itu perusahaan juga mengharapkan agar pendidikan menanamkan motivasi bagi mahasiswanya untuk mencoba dan berkarya menghasilkan sesuatu yang baru. Pendidikan seharusnya memberikan dorongan dan kesempatan bagi anak didiknya untuk mengeluarkan ide/pendapatnya sehingga dapat berkembang menjadi penemuan/inovasi baru di bidang-bidang yang diminati masing-masing peserta didik. Cara yang dilakukan perusahaan untuk mencapai harapan tersebut adalah menjalin hubungan kerjasama antar keduanya, sehingga dunia pendidikan tahu apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
154 3.2 Analisis dari sisi Penyedia (Dunia Pendidikan): Untuk membekali mahasiswa agar siap terjun ke dunia kerja, perguruan tinggi membekali dengan pemberian kuliah yang sesuai dengan persyaratan yang diajukan oleh perusahaan yaitu kemampuan Bahasa Asing (bahasa Inggris) dengan skor minimal TOEFl/IELTS 400 – 450, materi perkuliahan yang dapat diterapkan di tempat bekerja, bekal yang lebih bersifat aplikatif seperti UKM, dan pengetahuan tentang tata cara melamar pekerjaan. Perguruan tinggi juga melakukan kerjasama dengan perusahaan dan asosiasi profesi dalam penyelenggaraan program pelatihan, peningkatan keahlian, program magang (mahasiswa maupun dosen), pemanfaatan dosen yang bekerja di industri. dalam hal kerjasama dengan perusahaan ada perguruan tinggi yang sudah menjalin dengan cukup banyak perusahaan yaitu antara 1-9 perusahaan. Namun demikian kerjasama tersebut belum dilaksanakan secara maksimal karena lebih banyak pekerja yang menyatakan bahwa ketika mereka menjadi mahasiswa tidak pernah mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan. Disamping itu juga perguruan tinggi mejalin kerjasama dengan ikatan alumni terutama dalam hal informasi tentang kebutuhan kerja perusahaan. Kenyataan lainnya menunjukan bahwa bekal yang didapatkan dari bangku kuliah belum dianggap memadai. Ini terlihat dari banyaknya responden yang mengikuti kursus setelah selesai kuliah. Namun demikian sebagian besa lulusan mengakui bahwa bekal pendidikan formal terakhir yang ditempuh bermanfaat untuk memperoleh pekerjaan yang saat ini dijalani. Dalam kaitannya dengan era globalisasi sebagian besar fakultas/ jurusan dalam penyusunan kurikulum telah mencerminkan keunggulan global. Hal ini mengindikasikan bahwa perguruan tinggi telah membekali materi pembelajaran dan menyiapkan lulusannya memiliki wawasan yang tidak saja untuk bekerja pada tingkat nasional tetapi juga internasional. Sementara sebagian besar fakultas/jurusan) telah menyusun kurikulum yang mengandung isi tentang kapita selekta dunia usaha/dunia kerja. Hal ini menunjukan bahwa fakultas telah berupaya memberikan kepada calon lulusannya materi yang erat dengan dunia kerja. dengan harapan lulusannya memiliki kesiapan pengetahuan tentang lingkungan dan tuntutan yang ada di dunia kerja. Upaya yang dilakukan fakultas untuk mencetak lulusan yang memiliki kompetensi siap masuk dunia kerja dan mampu mengisi atau menciptakan lapangan kerja, sebagian besar perguruan tinggi berusaha menyusun materi kurikulum yang telah disesuaikan dengan kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja, dengan cara mengikutsertakan stakeholders (dunia kerja) dalam penyusunan kurikulum. Dalam rangka ikut mendukung dikembangkannya potensi daerah sebagaian besar fakultas/Jurusan telah memasukan unsur
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
155 keunggulan lokal dalam pengembangan kurikulum. Dengan cara tersebut maka lulusan dapat menggali dan memanfaatkan potensi alam di lingkungannya sehingga dapat menciptakan lapangan kerja. Di fakultas diterapkan mata kuliah sosial pada mata kuliah lainnya yaitu mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB), berperilaku berkarya dan keahlian berkarya (MKB) ke dalam mata kuliah yang diajarkan. Disamping itu Sebagian besar fakultas/jurusan telah menerapkan pembekalan aspek pengembangan diri kepada mahasiswa. Sebagian besar menyatakan pembekalan aspek pengembangan diri masuk menjadi mata kuliah tersendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa fakultas/jurusan telah memberikan bekal pengembangan diri kepada lulusan melalui materi yang dituangkan dalam kurikulum agar lulusan dapat dengan mudah menyesuaiakan diri dengan lingkungan kerjanya. Begitu pentingnya materi pengembangan diri ini sehingga dibutuhkan mata kuliah khusus pengembangan diri yang tidak digabungkan dengan mata kuliah lain. Semua fakultas/jurusan pada program sarjana dalam penyusunan sistem evaluasi telah mencerminkan penilaian yang komprehensif terhadap seleksi masuk calon mahasiswa, proses pembelajaran, kurikulum, dan evaluasi terhadap kompetensi mahasiswa atau lulusan Hal ini menunjukan bahwa perguruan tinggi telah berupaya untuk selalu mengevaluasi dan merevisi mekanisme kinerjanya. Sebagian besar fakultas/jurusan menyatakan telah menerapkan dalam mata kuliah tersendiri pembekalan aspek pengembangan diri kepada mahasiswa. Usaha ini dimaksudkan agar lulusan dapat dengan mudah menyesuaiakan diri dengan lingkungan kerjanya.
4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Simpulan Bekal yang paling besar manfaatnya bagi karyawan yang berasal dari perguruan tinggi, baik lulusan S1 maupun Diploma adalah apa yang didapat di bangku kuliah atau pendidikan formal. Namun demikian bekal ini dirasakan tidak cukup bagi para calon karyawan sehingga mereka mencari tambahan pengetahuan melalui kursus di luar bidang yang diajarkan di perguruan tinggi. Sejalan dengan itu pihak perusahaan menganggap bekal pendidikan dari perguruan tinggi masih perlu ditingkatkan melalui pemberian training dan masa percobaan. Sementara itu, dari sisi perguruan tinggi sendiri sudah berupaya untuk lebih meningkatkan kualifikasi lulusannya melalui materi yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja dan industri (DUDI) dan pemberian bekal
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
156 entrepreneurship dan technopreunership kepada mahasiswa, misalnya melalui pengembangan unit kerja/jasa produksi, serta kerjasama dengan DUDI baik melalui pemberian kuliah oleh praktisi dari dunia kerja maupun program magang di perusahaan. Semua fakultas/jurusan menganggap bahwa penyusunan kurikulum yang dilakukan sudah berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Namun demikian kebijakan untuk mengikut sertakan stakeholders dalam menyusun kurikulum belum dilakukan oleh semua fakultas/jurusan. 4.2 Saran Kebijakan 1) Perguruan tinggi perlu lebih meningkatkan kompetensi lulusannya baik dalam hal peningkatan pengetahuan, logika matematika, bahasa dan kepribadian agar lebih mudah menyesuaikan diri dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. 2) Perlunya kebijakan peningkatan koordinasi dan kerjasama antara departemen pendidikan sebagai penyedia tenaga kerja, departemen tenaga kerja sebagai penyalur tenaga kerja dan DUDI sebagai pengguna tenaga kerja sehingga antara pendidikan dan tuntutan dari DUDI bersinergi. 3) Perlunya peningkatan kerjasama antara perguruan tinggi dengan industri dalam hal: (i) penyusunan kurikulum agar materi yang diberikan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan; (ii) praktek kerja sehingga lulusan bisa lebih mudah menyesuaikan, baik dalam hal sosialisasi dengan lingkungan kerja dan pemakaian perangkat kerja yang ada di industri; (iii) riset produk industri dilakukan oleh perguruan tinggi, (iv) rekrutmen lulusan untuk lebih mensosialisasikan informasi kebutuhan tenaga kerja kepada lulusan. 4) Perguruan tinggi perlu memiliki dan mengaktifkan unit kerja/jasa produksi karena merupakan sarana yang tepat dan efektif bagi mahasiswa dalam memparaktekkan keahliannya dan mempromosikan hasilnya kepada pihak luar, serta sebagai sarana strategis untuk menawarkan lulusannya kepada pihak dunia kerja yang relevan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
157
Analisis Kebijakan:
Pelaksanaan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia
1. Pendahuluan Latar Belakang Masalah. Pembukaan UUD‘45 secara tegas mengemukakan, bahwa negara Republik Indonesia didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pasalpasal dalam UUD‘45 memuat hak-hak yang dimiliki manusia Indonesia, seperti menjamin kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat; hak beragama; dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah terlebih dahulu mencanangkan penerapan HAM dari pada deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948. Keseriusan pemerintah tentang HAM terbukti dengan berbagai ratifikasi instrumen dan konvenan HAM internasional yang telah ditetapkan dalam berbagai peraturan, kebijakan dan program. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 40 Tahun 2004 Tentang RANHAM Indonesia Tahun 20042009, merupakan salah satu perwujudan dari upaya untuk meningkatkan penghormatan, pemenuhan, serta perlindungan HAM. Di bidang pendidikan, programnya antara lain adalah mendiseminasikan dan mengajarkan HAM serta memonitor, mengevaluasi, dan melaporkan pelaksanaannya. Dalam konteks pemenuhan hak pendidikan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 4 telah mengamanatkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjungtinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Renstra Depdiknas Tahun 2005-2009 diarahkan juga memberikan perhatian dan perlakuan adil terhadap kelompok yang sulit dijangkau; pengarusutamaan genjer, peserta didik yang memiliki cacat atau perlu perhatian khusus, penduduk di daerah khususl, anak-anak miskin, dsb. Dalam konteks pendidikan HAM, Depdiknas antara lain telah membentuk Tim Nasional Pendidikan HAM. Tugas Tim tersebut antara lain adalah: mengkoordinasi dan menyusun rencana aksi; membentuk jaringan kerja dengan sekolah, perguruan tinggi (PT), pemerintah daerah, media masa dan badan internasional serta stakeholder lain; memfasilitasi pengembangan program pendidikan HAM; dan berperan serta dalam pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan tentang pendidikan HAM. (Kepmendiknas Nomor 103/P/2006)
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
158 Kendati telah dua kali dicanangkan RANHAM Indonesia, dan Depdiknas telah mengambil langkah-langkah dalam mencapai keberhasilan pendidikan HAM, namun sejauh ini belum diketahui posisi penerapan HAM di Indonesia. Atas dasar itu diperlukan tindakan evaluatif untuk menilai dan mengetahui perkembangan dan posisi pendidikan HAM di Indonesia. Pemerintah Indonesia berkewajiban melaksanakan berbagai ratifikasi instrumen internasional dan melaporkannya secara periodik kepada badan dunia yang menangani masalah HAM. Rumusan Masalah. Pemerintah telah menunjukkan keseriusan dan berupaya memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya dalam penerapan HAM di Indonesia. Namun, sejauh ini belum diketahui secara komprehensif mengenai: Bagaimana implemantasi pendidikan HAM di Indonesia pada saat ini?. Terkait dengan hal tersebut, dipertanyakan pula: Peraturan dan Kebijakan apa saja yang terkait dan menjadi dasar Pendidikan HAM tersebut?; bagaimanakah pelaksanaan (Best Practiec) nilai-nilai HAM?, dan permasalahan dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam Pendidikan HAM?. Tujuan dan Lingkup. Secara umum kajian ini bertujuan untuk memperoleh bahan rekomendasi kebijakan yang diperlukan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pendidikan HAM di Indonesia. Lebih khusus, kajian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang: (1) Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan yang Terkait dengan Pendidikan HAM; (2) Implementasi (Best Practiec) nilai-nilai HAM Melalui jenjang Pendidikan; dan (3) Permasalahan dan hambatan yang dihadapi dalam Pendidikan HAM. Mengenai lingkup, kajian ini merupakan studi awal tentang implementasi pendidikan HAM terbatas pada lingkup studi pada jalur pendidikan formal, di lingkungan SD, SMP, SMA, dan PT. Metodologi. Lokasi dan sasaran studi ini adalah di tingkat pusat dan daerah. Sumber data di tingkat pusat adalah para pejabat Dephukham, Depag, Pusat Kurikulum (Balitbang Depdinas), Dirjen Pembinaan Dikdasmen, Sekretariat Jenderal Depdiknas, dan Komnas HAM. Di tingkat daerah lokasi studi didasarkan pada pendekatan kawasan, dua provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yaitu DIY dan Jatim, dan tiga provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KBI), yaitu NTB, Sulsel, dan Kalbar. Di setiap provinsi ditentukan secara porposif satu kabupaten/kota dengan sumber data Kepala Dinas Pendidikan/Anggota panitia Ranham, Kepsek dan guru PKn, Agama, dan IPS, serta guru kelas. Di setiap provinsi menggali pula data dari Dekan/ ketua jurusan/program Pusham di UII Yogyakarta, Ubaya Surabaya, Unram Mataram, Untan Pontianak, dan UNM Makasar. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD), Wawancara, dan studi kepustakaan. FGD melibatkan pihak-pihak yang berkompeten di tingkat pusat dan daerah dengan pengelompokan sesuai dengan karakteristik jabatan dan profesi. FGD di pusat dilaksanakan untuk pejabat Dephukham, Pusat Kurikulum (Balitbang Depdinas), Dirjen Pembinaan Dikdasmen,
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
159 Sekretariat Jenderal Depdiknas, sedangkan di daerah dilakukan oleh Guru dan Kepala Sekolah. Wawancara dilakukan untuk menjaring Ketua Pusham dan Dekan/Ketua Program/Jurusan, dan Kepala Dinas Pendidikan Kota/Kab. Data dan informasi dianalisis secara kualitatif melalui pengungkapan secara mendalam tentang kebijakan, pelaksanaan dan hambatan pendidikan HAM, mengakategorikan, mengkomparasikan (Contras and Compare), menginterpretasi dan penyimpulan.
2. Hasil dan Pembahasan Peraturan dan Kebijakan Pendidikan HAM Pelaksanaan pendidikan HAM di Indonesia tidak terlepas dari dasar konstitusional dan kebijakan yang secara historis berkembang sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Dari sisi konstitusional, UUD 1945 telah memberi landasan dan mengatur tentang hak-hak manusia warganegara Indonesia. Hakhak tersebut dijamin, dikembangkan dan dilindungi oleh negara, serta menjadi dasar bagi usaha merealisasi dan mencapai tujuan masyarakat sejahtera. (Bahar, 1997). Amandemen kedua terhadap UUD 1945, lebih menegaskan aturan-aturan mengenai hak-hak manusia, dalam memberikan perlindungan, peningkatan, pengembangan, pemenuhan hak-hak manusia sebagai syarat utama perwujudan dari masyarakat berakhlak, demokratis dan sejahtera. Hak atas pendidikan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional terkait pula dengan tema kesetaraan dan keadilan gender antara lakilaki dan perempuan. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 1984 melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 merupakan Ratifikasi dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan tersebut, pemerintah Indonesia juga telah memberikan perhatian dan kebijakannya terhadap anak yang berada di daerah khusus/daerah terpencil, kelompok minoritas, serta anak jalanan. Salah satu kebijakan Depdiknas adalah melakukan peningkatan pemerataan dan perluasan akses pendidikan dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik melalui berbagai pola pelayanan pendidikan. Kebijakan ini sekaligus sebagai perwujudan dari Keppres Nomor 36 Tahun 1990 yang merupakan ratifikasi dari konvensi HAM untuk memberikan pendidikan yang layak. Pada tahun 1993 dibentuk Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan keputusan presiden Nomor 50 Tahun1993. Tuntutan untuk menerapkan ketentuan universal tentang HAM secara konsisten dan konsekuen kian mengemuka sejak tahun 1998. Memasuki era reformasi, mulai muncul komitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip deklarasi universal HAM
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
160 secara serius. Undang-Undang RI Nomo 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia) Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. XVII/MPR/1998 tentang HAM; Keppres RI Nomor 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; serta pembentukan Menteri HAM di tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan HAM dalam naungan Departemen Hukum dan HAM. Khusus mengenai HAM telah diterbitkan peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, yang lebih lanjut diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang No. 39/1999, menetapkan nilai-nilai utama HAM yang dipandang bersifat universal dan langgeng; yakni Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak dapat terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Keseriusan, kewajiban, dan tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, memajukan, memenuhi dan melindungi HAM, lebih lanjut diwujudkan melalui Keppres Nomor 129 Tahun 1998 Tentang RANHAM Indonesia Tahun 1998-2003 yang berakhir pada bulan Desember 2003, kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 Tentang RANHAM Indonesia Tahun 2004 – 2009. Untuk melaksanakan RANHAM Indonesia tersebut dibentuk suatu Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Panitia Nasional merupakan Kelompok Kerja yang diketuai oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang anggotanya terdiri dari unsur instansi pemerintah, lembaga nasional, serta para pakar dan unsur masyarakat, dengan tugas utama melakukan koordinasi pelaksanaan RANHAM Indonesia, yang mencakup: (1) Penguatan dan Pembentukan institusi pelaksana RANHAM, (2) Persiapan ratifikasi Instrumen HAM Internasional, (3) Persiapan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, (4) Diseminasi dan Pendidikan HAM, (5) Penerapan Norma dan Standar HAM, dan (6) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Sejalan dengan penerapan RANHAM ini telah diratifikasi pula kovenan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dengan dikeluarkannya UU Nomor 11 Tahun 2005, dan kovenan hakhak sipil dan politik dengan dikeluarkannya UU Nomor 12 Tahun 2005. Salah satu instansi/lembaga pemerintah yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab pelaksanaan RANHAM adalah Departemen Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
161 Nasional. Pada dasarnya perhatian pada nilai-nilai HAM bukan merupakan hal baru dalam pembangunan bidang pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraan wajib belajar SD (6 tahun) yang dimulai tahun 1984 lalu merupakan salah satu contoh perhatian dan pemenuhan hak atas pendidikan anak Indonesia usia sekolah yang kemudian dikembangkan menjadi wajib belajar 9 tahun yang sampai saat ini hampir mencapai ketuntasannya. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas secara langsung ditegaskan kepedulian pemerintah terhadap penerapan nilai-nilai HAM. Dalam bidang pendidikan, UU No. 20/2003 BAB III Pasal 4 menyatakan bahwa ―Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi‖. Sedangkan dalam pasal 11 selanjutnya dinyatakan: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun Depdiknas juga telah membentuk Tim Nasional Pendidikan HAM (Kepmendiknas Nomor 103/P/2006), antara lain bertugas mengkoordinasi dan menyusun rencana aksi; membentuk jaringan kerja dengan sekolah, perguruan tinggi (PT), pemerintah daerah, media masa dan badan internasional serta stakeholder lain; memfasilitasi pengembangan program pendidikan HAM; dan berperan serta dalam pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan tentang pendidikan HAM. Tabel 1: Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan HAM Tahun 1945 1984 1990 1993
1998
Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan HAM UUD 1945 Hak-hak manusia warga negara Indonesia dijamin, dikembangkan dan dilindungi oleh negara Undang-Undang No. 7/1984 Ratifikasi dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Keputusan Presiden No. 36/1990 Ratifikasi dari Konvensi Hak-Hak Asasi Anak-Anak Keputusan Presiden No. 50/1993 Pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Undang-Undang No. 5/1998 Ratifikasi dari Konvensi Melawan Penyiksaan dan Kekejaman, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, Hukuman Lainnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Keputusan Presiden RI Nomor 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia
1999
2000
Pembentukan Menteri HAM di tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan HAM dalam naungan Departemen Hukum dan HAM. Keputusan Presiden No. 29/1999 Ratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
162 Tahun 2004 2005 2006
Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan HAM Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden No. 40/2004 Rencana Nasional Aksi Hak-Hak Asasi Manusia, 2004-2009 Undang-Undang No. 11/ 2005 Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Dalam Hal Ekonomi, Sosial dan Budaya Undang-Undang No. 12/2005 Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Kepmendiknas Nomor 103/P/2006 Pembentukan Tim Nasional Pendidikan HAM
Dari uraian dan Tabel.1 dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar peraturan perundang-undangan, dan kebijakan tentang HAM cenderung memberikan dasar-dasar tentang penerapan dan perlakuan HAM di Indonesia, sedangkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan khusus yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan HAM masih terbatas dan belum eksplisit, sehingga belum dapat dijadikan pedoman serta pencapaian target bagi pemerintah Kabupaten/Kota, dan di tingkat sekolah dalam melaksanakan pendidikan HAM. Implementasi Nilai-Nilai HAM di PT 2.2.1 Pendidikan dan Pengajaran Pendidikan dan Pengajaran HAM di PT dilaksanakan melalui pemberian materi secara monolitik dan integratf. Monolitik artinya materi nilai-nilai HAM disampaikan melalui mata kuliah yang berdiri sendiri, sedangkan integratif penyampaian materi menjadi bagian dari mata kuliah tertentu yang relevan dan terkait dengan materi HAM. Materi HAM yang disampaikan secara monolitik diberikan sebagai mata kuliah wajib dan pilihan. Mata kuliah wajib artinya semua mahasiswa diharuskan mengikuti mata kuliah tersebut, sedangkan mata kuliah pilihan merupakan mata kuliah yang tidak diharuskan diikuti oleh mahasiswa. Pada umumnya PT yang diteliti, khususnya di Fakultas Hukum, menyelenggarakan pembelajaran HAM melalui mata kuliah yang berdiri sendiri dan secara integratif, seperti yang dilakukan oleh Unram, Ubaya dan Untan. Kasus serupa terjadi di UGM, seperti tampak dalam Tabel: 2.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
163 Tabel 2: Pendidikan HAM Pada Program Sarjana (S1) dan Magister (S2) Fakultas Hukum UGM
No A 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Program/jurusan Sarjana (S1) Perdata Pidana Tata Negara Hukum Internasional
1.
Hukum Agraria Pendidikan & Latihan Kemahiran hukum Pasca sarjana (Magister/S2) Hukum Agraria
2.
Hukum Internasional
3.
Hukum Tata Negara
B
Materi HAM
SKS
Status (W/P)
Hukum penegakkan HAM Hukum Humaniter Internasional Hukum HAM Internasional HAM di bidang agraria Praktek Hukum Humaniter
2 2 2 2 2
P W W W W
Ham di bidang Agraria Hukum Humaniter Internasional HAM Internasional Hukum Penegakan HAM
2 2 2 2
P P P P
Pendidikan HAM Pada Program Sarjana (S1) Fakultas Hukum UGM pada Mata Kuliah HAM menjadi mata kuliah wajib (W) pada jurusan/program Hukum Internasional (Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM Internasional; Hukum Agraria (HAM di bidang agraria); Pendidikan & Latihan Kemahiran hukum (Praktek Hukum Humaniter) dengan 2 satuan Kredit Semester (SKS) per semester, sedangkan di jurusan/program Tata Negara terdapat mata kuliah Hukum Penegakkan HAM sebagai mata kuliah Pilihan (P) dengan 2 SKS per semester. Selain sebagai mata kuliah wajib dan pilihan, materi HAM juga terkandung di beberapa mata kuliah lain. Dalam silabus program S1, misalnya, terdapat mata kuliah yang mangandung unsur HAM yang termuat pada mata kuliah Ilmu Negara, yang membahas negara dalam pengertian abstrak. Dari pengertian tersebut diuraikan tentang asal mula, hakikat, tujuan, kekuasaan, sistem pemerintahan, bentuk negara, hak asasi manusia, dll, begitu pula mata kuliah hukum tata negara juga menguraikan tentang hak asasi manusia. Berbeda dengan mata kuliah hukum agraria, yang lebih banyak membahas seputar ruang lingkup hukum agraria dan hak atas tanah. Di tingkat Pasca sarjana (Magister/S2) mata kuliah HAM dijadikan mata kuliah Pilihan (P) di tiga jurusan/program yakni jurusan/program Hukum Agraria (Ham Di bidang Agraria), Hukum Internasional (mata kuliah Hukum Humaniter Internasional dan HAM Internasional); dan pada jurusan/program Hukum Tata Negara (Hukum Penegakan HAM). Terkait dengan implementasi nilai-nilai HAM secara integratif, diselenggarakan ke dalam mata kuliah yang relevan dengan materi HAM. Misalnya pada mata kuliah Kewiraan, Pancasila, Ilmu Budaya Dasar, Pendidikan Agama,
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
164 dan jenis mata kuliah yang diajarkan di Fakultas hukum atau di fakultas lain. 2.2.2 Kegiatan Pusham PT Pusham di lingkungan PT menunjukkan peran yang cukup berarti dalam menerapkan dan melaksanakan pendidikan HAM. Pusham di lima perguruan tinggi, yakni Pusham UII Yogyakarta, Ubaya Surabaya, Unram Mataram, Untan Pontianak, dan UNM Makasar umumnya telah melaksanakan penerapan HAM sesuai dengan prinsip Tridharma PT mencakup kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat diselaraskan dengan variasi dan ciri khas masing-masing daerah. Sebagian besar kegiatan Pusham didanai oleh lembaga internasional dan atau instansi pemerintah. Dari hasil penelitian terhadap Pusham, terdapat kesamaan pola dalam pelaksanaan kegiatan terkait dengan upaya mempromosikan dan penguatan HAM. Berpijak pada orientasi sekaligus tujuan, kegiatan Pusham HAM umumnya mencakup: (1) Sosialisasi Kampanye, Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) HAM serta Penerbitan untuk Kepsek dan Guru, (3) Kajian Akademik HAM, (4) Penelitian, dan (5) Monitoring dan Advokasi HAM. Sosialisasi (Kampanye) dan Diklat HAM. Kegiatan Sosialisasi dan Kampanye dilaksanakan terhadap berbagai sasaran masyarakat umum, instansi pemerintah, dosen, guru, advokat, mahasiswa, kepolisian, satpol PP, dan masyarakat kalangan tertentu, termasuk kalangan bawah (kelompok rentan). Tema pelatihan HAM antara lain mencakup HAM secara umum, Instrumen HAM internasional dan nasional, HAM anak, HAM perempuan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tujuannya antara lain untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang HAM (diseminasi). Bersamaan dengan itu, sosialisasi nilai HAM dilaksanakan oleh Pusham melalui kegiatan Diklat yang ditujukan kepada masyarakat luas maupun sekolah (kepala sekolah, guru, dan siswa). Berbagai jenis pendidikan dan pelatihan dapat diidentifikasi, seperti: Pelatihan HAM berperspektif gender bagi guru dan siswa di beberapa sekolah TK-SMA; pelatihan HAM bagi guru-guru pengajar PKn; Pelatihan HAM berperspektif gender bagi aparatur pemerintah dan penegak hukum; pelatihan HAM berperspektif gender untuk menghapus perdagangan manusia; pelatihan mengenai hukum pengungsi dan HAM untuk anggota polisi, dsb. dengan materi Diklat HAM Dasar, Gender, UU HAM, dan Metode Pengajaran. Pusham juga melaksanakan penyuluhan tentang HAM di terhadap kepala sekolah, guru-guru di sekolah, khususnya Guru PKn dan Guru Agama. Kasus khusus dilaksanakan oleh Pusham UII Yogyakarta, melalui wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada guru PKn SMP dan SMA di wilayah DIY dan Jawa tengah, dengan tujuan agar guru dapat memahami materi HAM, menyusun perencanaan, dan menerapkannya dalam pembelajaran di sekolah.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
165 Dalam upaya menyebarluaskan nilai-nilai HAM dilaksanakan juga melalui penerbitan buku-buku, buletin, newsletter, dan komik yang ditujukan kepada masyarakat umum dan warga sekolah. Pusham UII Yogyakarta misalnya, telah menerbitkan buku Penulisan Buku Panduan Hak Asasi Manusia untuk Guru Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Pendistribusian untuk seluruh Sekolah di DIY (2007), dan Pengantar HAM untuk Perguruan Tinggi. Buku-buku ini telah didistribusikan ke berbagai daerah, khususnya fakultas hukum untuk dijadikan sebagai referensi perkuliahan. Di samping itu, diterbitkan sejumlah buku modul dan bacaan pengayaan sesuai dengan profesi dan latar belakang masyarakat, antara lain untuk kepolisian, LSM, dan masyarakat pinggiran. Pusham seringkali menerima surat dari berbagai sekolah untuk memberikan buku-buku HAM dan memberikan bantuan pembelajaran PKn yang berkaitan dengan HAM. Guru PKn dan lainnya umumnya belum menguasai materi HAM, kesulitan mendapatkan buku referensi yang tepat. Oleh sebab itu, penerbitan buku merupakan upaya Pusham untuk merespons kebutuhan yang dirasakan oleh guru-guru pengampu mata pelajaran PKn. Kegiatan Akademik. Kegiatan yang bersifat akademik dilaksanakan Pusham melalui seminar dan workshop, dengan audiens berasal dari pakar perguruan tinggi, instansi formal, tokoh masyarakat, kepala sekolah dan guru. Seminar dan workshop yang diselenggarakan tidak hanya mencakup materi nilai HAM, tetapi juga aspek-aspek lain yang berhubungan dengan penerapan nilai HAM yang dikaitkan dengan kondisi yang terjadi saat ini, kepada berbagai kalangan masyarakat. Beberapa contoh penyelenggaraan seminar dan workshop antara lain perspektif HAM kaitannya dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia, lemahnya penegakan hukum, munculnya potensi konflik vertikal dan horisontal yang melibatkan berbagai elemen dan komponen masyarakat, kondisi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Pembahasan yang bersifat kontekstual seringkali diangkat dalam kegiatan tersebut, antara lain maslah KDRT, Penggusuran, Perburuhan, Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, dsb. Diskusi akademis tentang beberapa isu penting mengenai sifat legal hak ekonomi, sosial dan budaya serta umumnya diarahkan pada perlunya standar, indikator, dan target nasional dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak tersebut oleh negara, dan mengidentifikasi masalah, tantangan dan strategi dalam menerapkan pengawasan yang efektif atas hak ekonomi, sosial dan budaya. Penelitian, Advokasi, dan Monitoring. Berbagai penelitian yang dilaksanakan oleh Pusham umumnya terkait dengan kondisi pelaksanaan HAM untuk berbagai bidang kehidupan. Sejumlah contoh hasil penelitian yang pernah dilaksanakan, antara lain mengenai: Profil Pekerja Rumah Tangga; Perempuan dan Karier dalam Perubahan Sosial; Penelitian
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
166 Evaluasi Kinerja Komnas HAM; Pendekatan Peka Gender Dalam Proses Penarikan Anak yang Dilacurkan; Penelitian tentang penegakan HAM oleh di suatu instansi; Penelitian faktor-faktor yang mendorong timbulnya kekerasan terhadap perempuan; dan sebagainya. Salah satu yang spesifik terkait dengan pendidikan, tampak dari penelitian dan pengembangan mengenai Model Pendidikan HAM. Beberapa Pusham juga memberikan pelayanan pendampingan dan mediasi pada kasus-kasus yang menimpa warga dalam kasus TKW/TKI, hak anak, KDRT, Hak wanita, dan penggusuran. Model Pendidikan HAM Dalam Sekolah Formal. Terkait dengan kegiatan monitoring, Pusham terkait umumnya melakukannya terhadap pelaksanaan peraturan dan kebijakan HAM, terutama konsistensi dan pada instansi yang berkompeten, baik di tingkat pusat maupun daerah. Contoh, monitoring terhadap penerapan HAM Anak, perempuan, perlindungan terhadap TKW, dan hak-hak lain menyangkut pendidikan, pekerjaan, serta sosial, ekonomi, dan budaya dsb. Hambatan yang masih dihadapi oleh PUSHAM dalam upaya desiminasi dan pendidikan HAM, khususnya melalui jalur sekolah, antara lain adalah kurangnya dukungan dana dari pemerintah setempat untuk melaksanakan kegiatan PUSHAM selanjutnya. Disamping itu pemerintah setempat masih kurang memperhatikan upaya desiminasi dan pendidikan HAM dalam program kerja daerah. Pelaksanaan Pendidikan HAM di Sekolah Mata Pelajaran Terkait Dengan HAM Pendidikan hak asasi manusia secara historis telah ditambahkan dan diintegrasikan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sejak beberapa dekade lalu. Nama Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran mulai digunakan sejak empat dekade silam. Pada akhir 1970-an, mata pelajaran tersebut diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Hak asasi manusia dikaitkan dengan isi dari mata pelajaran tersebut yang meliputi: kemanusiaan, patriotisme, hukum dan perintah, koperasi, perdamaian dan keselarasan, keberanian, keadilan, solidaritas, saling menghargai, hak dan kewajiban, tanggungjawab, kebebasan, kontrol diri, keterbukaan pikiran, sensitivitas dan semangat berkeluarga. Pada saat ini PMP tidak diajarkan lagi, selanjutnya diganti dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). (Oka, 2002). Pendidikan HAM pada saat ini tidak menjadi mata pelajaran tersendiri (otonom) melainkan terintegrasi pada mata pelajaran lain, terutama kewarganegaraan, agama, sejarah, dan IPS. Nilai-nilai HAM yang terinegrasi dalam mata pelajaran tersebut dalam kurikulum dan pembelajaran umumnya bersifat tersembunyi (Nadiroh, 2004), secara eksplisit tidak dinyatakan sebagai HAM. Di antara mata pelajaran yang memuat materi HAM, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran yang
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
167 mengandung banyak nilai-nilai HAM baik secara tersembunyi maupun secara spesifik dijadikan sebagai bahasan dan kompetensi dasar. Keputusan Kementerian Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang Standar Materi Pendidikan memuat dasar pembelajaran sebagai berikut: (1) pemikiran kritis, rasional dan kreatif terhadap isu-isu kewarganegaraan; (2) berpartisipasi aktif, berpartisipasi secara bertanggungjawab dan bertindak cerdas di masyarakat dan nasional dan menunjukkan perilaku anti korupsi; (3) mengembangkan diri secara positif dan demokratis agar menjadi anggota masyarakat yang berkarakter Indonesia sehingga dapat hidup berdampingan dengan negara lain; (4) berinteraksi dengan negara lain, secara langsung maupun tidak langsung, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi; dan (5) Berkenaan dengan pendidikan HAM, ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menurut Standar Materi Pendidikan meliputi pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam pendidikan yang mencakup: "Hak dan kewajiban anak-anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen hak asasi manusia nasional dan internasional, peningkatan hak asasi manusia, penghargaan dan perlindungan." Muatan pendidikan HAM dalam PKn termuat dalam kurikulum untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliah (MA)/Madrasah Aliah Kejuruan (MAK). Tujuan umum PKn adalah terwujudnya pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Materi dan nilai-nilai HAM dicanangkan dalam tujuan khusus dan ruang lingkup PKn. Tujuan dan ruang lingkup pembelajaran PKn yang memuat HAM dioperasionalisasikan dalam Standar Kompensi (SK) dan Standar Kompetensi Dasar (SKD) yang harus dicapai peserta didik menurut tingkatan (kelas) dan waktu (per semester) untuk setiap satuan pendidikan Sosialisasi dan Kebijakan Sekolah Tentang HAM Kepala sekolah dan guru memiliki pemahaman tentang HAM antara lain melalui kegiatan sosialisasi HAM. Beberapa guru PKn dan beberapa guru Agama serta kepala sekolah pernah mengikuti kegiatan kegiatan tentang HAM, melalui sosialisasi atau bentuk pertemuan lainnya yang membahas HAM. Kegiatan dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain pemerintah daerah, Komnasham, Depag Provinsi, PT setempat, dan LSM. Materi sosialisai antara lain mengenai: (1) HAM dalam pembelajaran PKn, (2) HAM dan UU perlindungan anak, (3) Hak anak memperoleh pendidikan, HAK anak sebagai peserta didik, (3) Konsep HAM yang disepakati dalam
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
168 Universal Declartion Of Human Right, (4) Toleransi antar umat beragama di sekolah, (5) Masyarakat indonesia masyarakat pluralis, dan (6) perlunya penghormatan, berkeadilan, kesetaraan setiap kelompok golongan terhadap kelompok golongan lain. Ada beberapa sekolah yang telah mencanangkan sosialisasi HAM dengan mengundang pihak luar sekolah, misalnya satu sekolah mengundang pakar HAM dan Hukum dari PT setempat. Kegiatan yang dilaksanakan adalah memberikan materi pembelajaran HAM kepada guru dan siswa tanpa melihat perbedaan agama, golongan dan ras. Tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan hak yang sama dalam kegiatan ekstra maupun intra kurikuler dan implementasi ke dalam mata pelajaran IPS, PKn dan Agama Islam. Tujuan lain adalah memberikan hak kepada setiap siswa untuk mengikuti program pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan, serta memprogramkan penilaian perilaku siswa. Pada umumnya sekolah telah mengamil kebijakan untuk menerapkan nilai-nilai HAM di sekolah melalui kegiatan pembelajaran di kelas, kegiatan ekstrakurikuler, dan program wawasan Wiyata Mandala, yakni menciptakan lingkungan sekolah yang aman, tertib, rindang, bersih, dan indah. Kegiatan ekstrakurikuler dan wawasan Wiyata Mandala melaksanakan dan menerapkan nilai-nilai HAM secara tersembunyi, karena umumnya tidak secara eksplisit menyebut HAM. Namun sasaran akhir, berbagai kegiatannya termuat pencapaian nilai-nilai HAM untuk para siswa. Melalui kegiatan ekstra kurikuler hampir semua sekolah memprogramkan pengembangan nilai-nilai HAM dengan memperhatikan persamaan gender, kebebasan berpendapat, hak dan kewajiban, tanggungjawab, dsb; melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti: PMR, Pramuka, Jurnalistik, KIR, dakwah, Olimpiade, Mading, Bakti sosial (valentine day, natal, paskah), kesenian (seni suara, seni tari) Olah raga (golf, basket, renang). Siswa juga diberi kesempatan memilih berbagai kegiatan yang disediakan oleh sekolah, sesuai keinginan siswa tanpa dipaksakan. Kegiatan ini memberi kesempatan anak mengekspresikan diri dan mengembangkan diri melalui keikutsertaan siswa dalam beberapa kegiatan ekstra dengan memberikan pelayanan yang sama tanpa ada diskriminasi. Siswa diberi kebebasan untuk beribadah sesuai agama yang dianut, memberi keleluasaan siswa mengenal HAM melalui buku-buku, majalah, dan akses internet di perpustakaan, mengikuti ceramah yang relevan dengan HAM, mengadakan diskusi, tugas kelompok dan bermain peran. Sekolah juga mulai menerapkan kebebasan kepada siswa untuk menanyakan atau menyatakan pendapat tentang materi pelajaran yang belum jelas dan menghargai pendapat orang lain. Beberapa sekolah juga
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
169 melaksanakan pendidikan HAM untuk guru, karyawan, dan warga sekolah lainnya dilaksanakan di luar sekolah seperti melalui kegiatan Outbond, pengenalan lingkungan, studi tour, pengajian, kegiatan retreat untuk mengingatkan kembali hakikat manusia ciptaan Tuhan. Untuk mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, beberapa kali sekolah bahkan melakukan aksi sosial misalnya membantu memberikan kas RT/RW, dan sembako untuk sejumlah warga. Agar terwujud lingkungan sekolah yang aman, tertib, rindang, bersih, dan indah dalam rangka program wawasan Wiyata Mandala, hampir semua sekolah menetapkan aturan dan tata tertib sekolah, menetapkan hak dan kewajiban baik untuk guru dan siswa; mengatur piket guru dan siswa untuk kebersihan dan ketertiban sekolah, merekrut penjaga/satpam sekolah, mengadakan gotongroyong untuk pembersihan lingkungan sekolah, dean program penghijauan lingkungan sekolah. Gambaran Pembelajaran HAM Kebijakan penerapan KTSP menuntut kemampuan guru untuk dapat menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belajar secara mandiri. Perencanaan pembelajaran untuk masing-masing mata pelajaran mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang dioperasional ke dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dengan demikian, upaya mengintegrasikan nilai-nilai HAM ke dalam mata pelajaran pun memerlukan kreativitas dan kemampuan guru untuk memasukkannya ke dalam perencanaan pembelajaran tersebut. Dibanding dengan mata pelajaran lain, guru PKn relatif lebih mudah menyusun perencanaan pembelajaran yang mencakup nilai-nilai HAM, karena telah diterjemahkan ke dalam kompetensi dasar tertentu. Sebaliknya untuk guru-guru mata pelajaran lain relatif lebih mengalami kesulitan untuk memasukkan nilai-nilai HAM dalam perencanaan pembelajaran dengan cara menyesuaikan dengan kompetensi dasar yang relevan, yang dengan sendirinya menuntut sikap kreatif, kritis, dan cermat. Kemudahan maupun kesulitan yang dihadapi masing-masing guru mata pelajaran, diduga berkonsekuensi logis terhadap upaya pelaksanaan pembelajaran nilai-nilai HAM tersebut. Beberapa orang Kepala Sekolah menyadari akan hal itu, bahwa penyebaran dan penanaman nilai HAM amat tergantung dari peran guru di sekolahnya. Kepala Sekolah telah pula membagikan sejumlah buku/literatur untuk dapat digunakan sebagai referensi oleh guru untuk mengintegrasikan nilai-nilai HAM ke dalam mata pelajaran yang menjadi tugas mengajarnya. Sebagai contoh, dalam penjelasan mengenai hewan kambing, guru tidak hanya menguraikan materi pelajaran dari sudut anatomi yang dimiliki oleh hewan tersebut, tetapi juga mendekatinya dari sudut agama dan sosial. Dari sudut agama, guru menambahkan makna pengorbanan umat muslim melaksanakan penyembelihan hewan kambing
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
170 di hari raya tertentu, yakni sebagai ketaqwaan dan kepasrahan terhadap penciptanya. Dari sudut sosial, daging kambing yang dikorbankan dibagikan kepada kaum fakir-miskin agar mereka memperoleh hak untuk dapat menikmatinya. Dalam pelaksanaan pendidikan HAM, hasil kajian lapangan memang memperlihatkan adanya variasi cara mengajar dari masingmasing guru. Dalam pembelajaran HAM, guru PKn biasanya lebih menggunakan metode pembelajaran yang variatif yang disesuaikan dengan topik bahasan, mulai dari penggunaan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, simulasi, demonstrasi, bermain peran, dan sebagainya. Di sejumlah SD dan SMP pembelajaran dibantu dengan sumber belajar berupa kliping koran, /majalah tentang penerapan nilai HAM agar mudah dipahami dan aktual. Di SD di kelas pemula, yaitu di kelas 1,2, dan 3 pendekatan pembelajaran dilaksanakan secara tematik, di mana guru menentukan tema tertentu yang kemudian diuraikan dalam berbagai mata pelajaran; untuk kelas IV, V, dan VI pendidikan nilai HAM dilaksanakan melalui mata pelajaran PKN. Di samping itu nilai HAM dapat diintegrasikan pula dalam mata pelajaran lainnya. Di samping itu penyebaran dan penanaman nilai-nilai HAM dilaksanakan pula melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan pramuka, outbond, OSIS, dan lainlainnya. Di tingkat SMA penanaman nilai HAM melalui pelajaran PKn lebih bervariasi lagi mulai dari penggunaan metode ceramah, diskusi, kerja kelompok dan belajar mandiri (KTSP), simulasi, mengkaji dari berbagai peristiwa yang terkait dengan permasalahan HAM, misalnya penggusuran, kekerasan rumah tangga/keluarga, demokratisasi, kebebasan pers, dan lain-lainnya. Sebaliknya, guru mata pelajaran lain cenderung kurang menggunakan variasi metode, dan lebih memusatkan perhatian pada penggunaan metode ceramah atau pun pemberian contoh-contoh. Dalam tahapan evaluasi pembelajaran, hampir semua guru baik, guru PKn, IPS, agama, maupun guru kelas, mengalami kesulitan dalam melakukan penilaian hasil pembelajaran HAM secara komprehensif untuk ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. siswa. Di antara para guru diketahui hanya sebagian kecil saja yang menyatakan pernah mengevaluasi secara menyeluruh. Penilaian tentang hasil belajar siswa tentang HAM umumnya hanya dilaksanakan dalam tataran kognitif, dan hanya sebagian menilai perilaku siswa. Penilaian yang dilakukan oleh hampir semua guru terbatas pada penilaian yang sifatnya formatif dan sumatif pada saat proses pembahasan bab atau sub bab mengenai nilainilai terkait dengan HAM. Hasil penilaian hasil belajar akhir pada HAM tidak pernah terlihat secara jelas. Ini terjadi karena sifatnya integratif, bukan sebagasi mata pelajaran yang berdiri sendiri (otonom), maka
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
171 penilaian akhir hanya tampak pada masing-masing mata pelajaran, misalnya hasil pembelajaran PKn, Agama, dan mata pelajaran IPS. Beberapa sekolah dan guru lebih menekankan pengamatan terhadap perilaku siswa sehari-hari yang secara tidak langsung untuk mengetahui penerapan nilai-nilai HAM, seperti sikap toleransi terhadap perbedaan agama, sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan, tindak perkelahian antar siswa, dan lain-lainnya. Meski demikian mereka menyarankan, agar pendidikan HAM ini lebih terprogram secara jelas dan terarah di sekolah untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman warga sekolah, salah satunya melalui intensitas pembinaan dan pengarahan yang rutin. Untuk mendukung langkah-langkah ini, sekolah amat mengharapkan pemberian buku-buku, majalah, dan lain sejenisnya yang memadai mengenai HAM untuk dijadikan referensi dalam upaya diseminasi dan pendidikan HAM di sekolah. Peran Panitia RANHAM Daerah Dalam Pendidikan HAM Panitian Ranham Kota/Kabupeten umumnya belum melaksanakan program yan dicanangkan secara optimal, utamanya dalam mendiseminasikan dan mengajarkan HAM, serta memonitor, mengevaluasi, dan melaporkan pelaksanaannya. Bahkan ada di antaranya cenderung masih bersikap pasif. Salah satu faktor yang dihadapi adalah belum terdapatnya pencanangan kebijakan dan program yang jelas dan tiadanya target pendidikan HAM, baik dalam Renstra Daerah maupun di tingkat Dinas Pendidikan kota/kabupaten. Oleh sebab itu, prioritas terhadap pendidikan nilai HAM melalui sekolah, belum ada pengalokasian dana khusus. Ketiadaan alokasi dana kerapkali membawa Dinas Pendidikan dalam posisi dilematis: Di satu sisi mendukung kewajiban dan tanggung jawab dalam mendiseminasikan melalui pendidikan HAM di sekolah, di sisi lain kurang didukung oleh alokasi dana dari APBD untuk keperluan tersebut. Kecenderungan terjadinya sikap kurang aktif disebabkan terutama disebabkan belum ada target dan alokasi dana yang khusus ditujukan untuk terselenggaranya pendidikan HAM secara lebih optimal. Permasalahan dan Hambatan Dalam Pendidikan HAM di Sekolah Meski pemerintah telah memperlihatkan komitmen tinggi dalam menjunjung nilai-nilai HAM, namun diseminasi dan pendidikan HAM melalui jalur sekolah masih dihadapi sejumlah hambatan atau kendala, sebagai berikut.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
172 1) Kebijakan Kurang Terukur Depdiknas telah menetapkan kebijakan dan melaksanakan program yang memperhatikan pemenuhan HAM atas pendidikan, seperti penerapan Wajar 9 tahun, pendidikan berwawasan gender, dan layanan pendidikan di daerah khusus. Namun, kebijakan dan program pendidikan HAM relatif masih minim. Salah satu akibatnya pihakpihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di daerah dan sekolah kurang memiliki landasar yang kuat dan terukur. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana strategis (Renstra) Depdiknas, Depag, dan Depkumham belum memperlihatkan kebijakan yang lebih spesifik dan terpadu yang dapat untuk mencanangkan pendidikan HAM, sehingga pihak-pihak terkait tidak memiliki kejelasan dalam mengagendakan program pendidikan yang urgen bagi tercapainya tujuan pendidikan HAM. 2) Koordinasi Antar Berbagi Pihak Yang Berkepentingan Upaya pelaksanaan RANHAM telah diupayakan sampai di tingkat Panitia RANHAM di kota dan Kabupaten. Pada umumnya kegiatan yang dilaksanakan di tingkat kota/kabupaten masih bersifat temporer, dan belum ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak lain yang berkepentingan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Pusham dan LSM yang bergerak di bidang HAM, namun kegiatan yang dilakukan itu tidak dalam koordinasi dan perencanaan Panitia RANHAM di Kota/Kabupaten. Pelaksanaan Program Sosialisasi dan Diklat pendidikan HAM di sejumlah daerah umumnya dilakukan oleh Pusham dan LSM yang dibiayai oleh pihak luar negeri. Dalam pelaksanaann di lapangan, Pusham dan LSM memberitahukan dan minta ijin kepada Dinas Pendidikan dan Kandepag setempat, bukan dalam kerangka Panitia RANHAM di Kota/ Kabupaten. Kegiatan Sosialisasi dan Diklat yang berada dalam lingkup RANHAM adalah yang diselenggarakan oleh RANHAM Pusat atau Provinsi. Demikian pula penerbitan buku-buku HAM yang dilakukan untuk pembelajaran HAM, banyak pihak yang melakukannya antara lain dari Dephukham, Komnas HAM, Pusham dan LSM, umumnya tidak ada koordinasi. Oleh sebab itu, agak kesulitan untuk melakukan fungsi mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan guna menjamin terlaksananya kegiatan RANHAM. 3) Pemahaman Kepala Sekolah dan Guru Tentang HAM Kurang Masih sedikit Kepala Sekolah dan guru yang memahami secara mendalam tentang konsep, materi dan cara mengintegrasikan HAM dalam pembelajaran di sekolah. Di antara guru yang relatif memahami konsep dan materi HAM adalah guru PKn. Kendati demikian para
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
173 guru PKn juga masih mencari metodologi pengajaran yang tepat, termasuk cara penilaiannya; sedangkan guru mata pelajaran yang lain yang lain umumnya merasa tidak memiliki kewajiban khusus untuk mengintegrasikan pendidikan HAM. Selain itu, para kepala sekolah dan guru umumnya belum memiliki sumber belajar yang cukup sebagai bahan untuk melaksanakan program pendidikan HAM di sekolahnya. Sumber belajar tentang HAM berupa buku teks, buku bacaan lepas, maupun CD dan VCD masih sangat terbatas di perpustakaan sekolah maupun dimiliki oleh para guru. Pemahaman tentang HAM dan kepemilikan sumber belajar umumnya diperoleh para Kepala sekolah dan Guru yang pernah mengikuti sosialisasi dan Diklat. Namun kegiatan sosialisasi dan Diklat tentang pendidikan HAM tersebut masih dilakukan secara terbatas, baik pelaksananya maupun pesertanya. Oleh sebab itu, pemahaman para Guru dan Kepala Sekolah tentang HAM dan pengintegrasiannya dalam mata pelajaran masih minim. 4) Alokasi Dana Pendidikan HAM Belum Diperhatikan Upaya yang telah dilaksanakan selama ini dalam kaitan dengan diseminasi dan pendidikan HAM adalah masih terbatasnya jumlah dan jangkauan dalam memberikan pelatihan kepada Kepala Sekolah dan guru. Permasalahan ini kian mengemuka apabila dihadapkan pada jumlah guru kelas di SD/MI dan guru mata pelajaran di satuan pendidikan yang lebih tinggi yang semestinya memperoleh pelatihan dalam memahami HAM dan dapat mengintegrasikan dalam proses pembelajaran di kelas. Pemberian pelatihan kepada guru-guru terhadap nilai-nilai HAM sudah barang tentu memerlukan langkah sistematis dan terencana, didukung oleh dana yang mncukupi. Dinas Pendidikan kota/kabupaten setempat memang menghadapi kendala ketiadaan alokasi dana khusus untuk pendidikan HAM.
3. Rekomendasi Dalam upaya meningkatkan proses dan hasil pendidikan HAM di masa yang akan datang direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut. 1) Perlu adanya kebijakan pendidikan nasional yang lebih jelas, spesifik dan terukur dalam menetapkan pendidikan HAM sebagai hak-hak sipil, politik, ekonomi, politik, sosial, dan budaya bagi peserta didik pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Secara nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana strategis (Renstra) Depdiknas, Depag, dan Depkumham perlu mencanangkan pendidikan HAM sebagai bagian agenda pendidikan yang urgen dan terukur. Kebijakan tersebut diperlukan sebagai acuan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan HAM di seluruh Indonesia. Bersamaan dengan itu, pemerintah Daerah (Provinsi, Kota/Kab)
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
174 perlu mengagendakan pendidikan HAM bagi sekolah di wilayahnya, sehingga terjadi konsistensi kebijakan pendidikan HAM dari pusat sampai daerah dan sekolah; 2) Perlu intensifikasi koordinasi antar departemen, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), PT dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam melaksanakan RANHAM sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Salah satu unsur strategis dalam koordinasi tersebut adalah berfungsinya peran dan mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan guna menjamin terlaksananya kegiatan RANHAM. 3) Sosialisasi pentingnya HAM dan pendidikan HAM masih perlu digalakkan secara intensif, terkoordinir, menggunakan konsep, materi dan pemahaman HAM yang sama, terhadap pejabat pendidikan di daerah, kepala sekolah, Koordinator Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru SD, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk guru SMP dan SMA pada mata pelajaran PKn, Agama, Sosial, dan lainnya yang relevan. Pada sasaran guru, oleh karena pendidikan HAM dilaksanakan secara integratif pada mata pelajaran yang relevan maka perlu pembimbingan khusus tentang pengembangan KTSP yang menyangkut pokok bahasan HAM dalam perencanaan dan pelaksanaan mengajar di kelas, termasuk cara penilaian yang tidak semata menyandarkan pada aspek kognitif. Dalam perencanaan dan pelaksanaan mengajar guru perlu dibekali sumber, bahan, dan media pembelajaran HAM yang memadai baik berupa buku teks, buku bacaan lepas, maupun CD dan VCD. Dalam jangka panjang dapat diadakan secara merata untuk guru PPKN, Agama, Sosial lainnya, bahkan untuk semua siswa. 4) Perlu adanya alokasi dana atau anggaran tersendiri di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang terkait dengan upaya diseminasi dan pendidikan HAM di lingkungan sekolah maupun masyarakat luas yang berumber dari APBN dan APBD maupun sumber-sumber lainnya. 5) Perlu upaya yang berkelanjutan dalam meningkatkan jumlah dan mutu SDM yang kompeten di bidang HAM dan Pendidikan HAM. Depdiknas, Dephukham, dan Depag serta instansi yang berkepentingan lainnya perlu memberikan sumbangan yang signifikan melalui, misalnya dengan memberikan bea siswa, dan kemudahan kepada para dosen dan tenaga di berbagai instansi untuk melanjutkan studi program S2, S3 dengan konsentrasi HAM dan Pendidikan HAM baik di dalam maupun di luar negeri. Bersamaan dengan itu, Dirjen Dikti perlu mendorong dan memberi kesempatan kepada PT untuk membuka program studi khusus HAM. Peningkatan jumlah dan kompetensi penatar tentang HAM juga segera dilakukan, baik melalui Diklat dan peningkatan kompetensi lain di bidang HAM. Komnas HAM, Depdiknas, (Dirjen Dikti) dan Pusham perlu bekerjasama dalam pemetaan kebutuhan penatar melalui Diklat pendidikan HAM. Ini diperlukan untuk memberikan pelatihan kepada
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
175 Guru agar memahami HAM dan kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai HAM ke dalam pembelajaran.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
176
Analisis Kebijakan Pendidikan:
Pendidikan Untuk Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia
1. Latar Belakang Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development/ESD) merupakan konsep dinamis yang mencakup sebuah visi baru pendidikan yang mengusahakan pemberdayaan orang segala usia untuk turut bertanggungjawab dalam menciptakan sebuah masa depan berkelanjutan. ESD tidak bermakna sama dengan pendidikan tentang pembangunan berkelanjutan atau sekedar transfer pengetahuan. ESD berurusan dengan upaya mengubah perilaku kita bagi transformasi masyarakat yang positif dengan menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ESD itu sendiri, yakni: (1) Penghargaan atas martabat dan hak asasi manusia untuk semua orang di seluruh dunia dan komitmen pada keadilan sosial dan ekonomi bagi semua, (2) Penghargaan atas hak asasi manusia dari generasi masa depan dan komitmen pada pertanggungjawaban antar generasi, (3) Penghargaan dan kepedulian bagi komunitas kehidupan yang lebih luas dengan semua keragamannya yang melibatkan perlindungan dan pemulihan pada ekosistem bumi, dan (4) Penghargaan atas keragaman budaya dan komitmen untuk membangun secara lokal dan global sebuah budaya toleransi, nirkekerasan dan perdamaian. ESD di Indonesia dilaksanakan sejak PPB dalam sidang umumnya pada sesi ke 57 tahun 2002 mendeklarasikan periode 2005-2014 sebagai Decade Education for Sustainable Development (DESD). ESD dilaksanakan dengan melibatkan pemangku kepentingan, yakni (1) pemerintah dan Komisi Nasional UNESCO, (2) masyarakat, (3) sektor swasta, (4) lembaga pendidikan formal, (5) masyarakat adab (civil society), (6) media, dan (7) lembaga internasional. Depdiknas adalah salah satu pemangku kepentingan ESD. Depdiknas sebagai leading sector pendidikan memiliki peran penting bagi pelaksanaan ESD di Indonesia. Bahkan Mendiknas dalam Rapat Sosialisasi ESD di Depdiknas pada tanggal 21 Agustus 2008 menyatakan ESD adalah roh dari pendidikan, seperti halnya pendidikan untuk semua (education for all) dan konsep pembelajaran sepanjang hayat (life long learning). ESD bukan sebuah konsep pendidikan murni, tetapi sekaligus menggabungkan konsep pembangunan dari perspektif ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan demikian ESD adalah sebuah konsep multidisiplin.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
177 2. Tujuan Tujuan studi ini adalah: (1) Mengetahui kebijakan bidang pendidikan yang terkait dengan pelaksanaan ESD di Indonesia, (2) Mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran ESD di Indonesia, dan (3) Mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan ESD di Indonesia. 3. Metode Studi ini dilakukan pada lima wilayah di Indonesia, yakni Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Yogyakarta, Propinsi Bali, dan Propinsi Kalimantan Timur. Sasaran studi adalah SD, MI, Paket A, SMP, MTs, Paket B, SMA, MA, SMK, dan Paket C. Responden untuk masing-masing sekolah/program paket adalah guru/tutor dan kepala sekolah/pengelola program paket. Data yang diharapkan dikumpulkan menggunakan kuesioner. Kuesioner diberikan kepada masing-masing responden. Data tentang kebijakan pendidikan dikumpulkan melalui diskusi dengan pimpinan unit-unit terkait di lingkungan Depdiknas. 4. Temuan Studi Kebijakan Bidang Pendidikan yang Terkait dengan Pelaksanaan ESD di Indonesia Pemerintah Indonesia sejak lama telah mencanangkan kebijakan dan berbagai program pendidikan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip, nilai, dan praktek pembangunan berkelanjutan ke dalam semua aspek pendidikan dan pembelajaran. Pada tahun 2005 kebijakan dan berbagai program pendidikan tersebut lebih ditegaskan lagi, sesuai dengan kesepakatan bangsa Indonesia dalam forum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang mendeklarasikan periode 2005-2014 sebagai dekade pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (decade of education for sustainable development/DESD) agar dapat mengembangkan standard kualitas dalam pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai ESD dalam perspektif sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan telah tersirat dalam amanat undang-undang, kebijakan dan program. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjungtinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Renstra Depdiknas(2005-2009) berupaya memenuhi amanat tersebut dengan memperluas akses pendidikan bagi anak usia 0-6, baik laki-laki maupun perempuan dan bagi penduduk buta aksara
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
178 usia 15 tahun ke atas; serta memberikan perhatian dan perlakuan adil terhadap kelompok yang sulit dijangkau; pengarusutamaan gender, peserta didik yang memerlukan perhatian khusus, daerah perbatasan terpencil, perbatasan, daerah konflik, anak-anak miskin, yatim-piatu, jalanan dan pekerja, dsb; dan peningkatan pengendalian internal Depdiknas dengan instansi lain yang terkait. Permendinas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi di Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan No 14 tahun 2007 tentang Standar Isi Program Paket A, Paket B, dan Paket C memuat nilai-nilai ESD. Kebijakan Mendiknas tersebut telah mengakomodir nilai-nilai tentang HAM, keamanan, kesetaraan gender, Keragaman budaya dan pemahaman lintas-budaya, pengurangan kemiskinan, Pencegahan dan penanganan bencana, tanggungjawab bersama, dan akuntabilitas sebagai perwujudan dari kebijakan ESD. Salah satu implementasi lintas sektor dari ESD di Indonesia adalah penandatanganan kesepakatan bersama antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan pada tahun 2005, yang selanjutnya dijadikan payung bagi pelaksanaan seluruh kegiatan pendidikan lingkungan hidup, baik yang dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun oleh Departemen Pendidikan Nasional, serta oleh pihak-pihak terkait lainnya. Program Depdiknas yang terkait dengan nilai-niai ESD untuk perspektif Sosial Budaya dicanangkan melalui kegiatan: (1) pengembangan model untuk penguatan kebangsaan dan cinta tanah air, (2) Model integrasi kesetaraan jender, Pengarusutamaan Gender (PUG), Pendidikan perempuan, (3) Model kurikulum penerapan pendidikan multikultur, (4) Pedoman pembelajaran pendidikan budi pekerti, (5) Pengembangan pendidikan kesehatan reproduksi, (6) Panduan integrasi pendidikan dan pencegahan HIV/AIDS dalam mata pelajaran, (7) Materi flu burung, dsb; perspektif Ekonomi antara lain mengembangkan: (1) Pendidikan kecakapan hidup (lifeskills), (2) pendidikan keterampilan kewirausahaan, (3) pengelolaan usaha, dsb; sedangkan pada perspektif Lingkungan, antara lain melalui pengembangan: (1) Model kurikulum pendidikan yang menerapkan visi SETS (science, environment, technology, dan society), (2) pendekatan pembelajaran ramah anak dan ramah lingkungan dan pemanfaatan limbah, (3) pendidikan pertanian ramah lingkungan dan teknologi, (4) Basic Science education untuk teknologi ramah lingkungan, (5) model pendidikan berwawasan lingkungan: laut, hutan, gunung; dan (6) Bahan bacaan peserta didik ―siap menghadapi bencana". Program Depdiknas tersebut telah dicanangkan sampai di tingkat satuan pendidikan dalam pembelajaran di setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, melalui kegiatan pembelajaran di kelas (intra kurikuler), ekstra kurikuler, maupun melalui pelaksanaan program wawasan Wiyata Mandala
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
179 dalam rangka pembentukan iklim sekolah yang kondusif , yakni: aman, tertib, indah, bersih, dan kekeluargaan. Pelaksanaan pembelajaran ESD di Indonesia Pelaksanaan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (ESD) telah diakomodir melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan ESD melalui jalur pendidikan formal (sekolah) dan nonformal pelaksanaannya menunjukkan temuan yang bervariasi sebagai berikut. Pada Pendidikan Formal 1) Kegiatan Intrakurikuler Hampir semua sekolah/madrasah melaksanakan Pendidikan berwawasan ESD secara integratif pada mata pelajaran, dan tidak ada satupun satuan pendidikan yang mencanangkannya sebagai mata pelajaran yang mandiri (monolitik). Pendidikan berwawasan ESD perspektif Sosial budaya berkaitan dengan HAM, Keamanan, Kesetaraan gender, Keragaman budayapemahaman, Kesehatan, dan HIV/AIDS di SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, pembelajaran di kelas umumnya dilaksanakan melalui mata pelajaran sosial humaniora, sedangkan mata pelajaran yang bersifat eksak sangat sedikit disampaikan. Hal yang sama terjadi pada pelaksanaan ESD perspektif ekonomi yang mencakup kemiskinan, Pengurangan kemiskinan, Tanggung jawab bersama dan ekomomi global. Sedanghkan yang berperspektif lingkungan yang mencakup: Sumber daya alam (SDA), Perubahan cuaca, Pembangunan perdesaan, dan Pencegahan dan penanganan bencana lebih banyak dilakisanakan melalui pembelajaran pada mata pelajaran yang bersifat eksak. Metode pembelajaran yang digunakan di SM cukup bervariasi. Namun di SD/MI cenderung dominan menggunakan ceramah, sedang di tingkat pendidikan yang lebih atas lebih bervariasi, selain ceramah digunakan pula metode inkuiri, diskusi, tanya jawab, dengan tekanan pada metode simulasi. Sumber belajar yang digunakan umumnya masih berbasis pada buku pegangan guru/tutor dan buku teks siswa untuk mata pelajaran masing-masing. ICT umumnya belum didayagunakan sebagai sumber dan media pembelajaran. Buku referensi ESD baik yang berperspektif sosial budaya, ekonomi, dan budaya masih terbatas, sehingga sumber belajar untuk ESD dan pengintegrasiannya dalam pembelajaran pada masing-masing mata pelajaran juga terbatas. Evaluasi pembelajaran ESD tercakup dalam penilaian hasil belajar masing-masing mata pelajaran, sehingga tidak tampak secara nyata hasil belajar ESD.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
180 2) Kegiatan Ekstrakurikuler Nilai-nilai ESD juga ditanamkan melalui Ekstra-kurikuler pada semua sekolah, sebagai kegiatan pelengkap pembelajaran intra kurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan untuk mengembangkan bakat dan minat siswa, sehingga setiap sekolah memiliki keberagaman kegiatan yang disesuaikan dengan bakat dan minat siswa serta kemampuan sumberdaya sekolah. Jenis kegiatan kegiatan tersebut antara lain: Olah raga dan kesenian yang ditujukan untuk kesehatan, rekreasi, kebersamaan, keindahan, disiplin, sportifitas, dsb; Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Palang Merah Remaja (PMR) untuk memupuk kepedulian, hidup sehat, kebersihan diri dan lingkungan; Pramuka, Paskibra, dan Pecinta Alam yang mengajarkan kemandirian, tanggungjawab, disiplin, kepesulian; dsb. Nilai-nilai ESD telah tercakup dalam pengembangan minat dan bakat melalui kegiatankegiatan tersebut. Hampir semua sekolah mewajibkan setiap siswa untuk mengikuti kegiatan ini. 3) Pelaksanaan Program Wawasan Wiyata Mandala Sekolah umumnya melaksanakan Program Wawasan Wiyata Mandala melalui Pembentukan Iklim Sekolah yang kondusif dengan dengan upaya menciptakan lingkungan pembelajaran yang berdasar pada ketertiban, kesehatan, keamanan, kebersihan, kekeluargaan, keselamatan, dan kerindangan (K7). Guru berupaya menjadi central role modelpelaksanaan program tersebut dan) dan penanaman nilainilai kepada siswa agar bersikap dan perilaku sesuai nilai-nilai K7 tersebut. Tampak bahwa beberapa nilai-nilai ESD telah ditumbuhkan melalui Pelaksanaan Program Wawasan Wiyata Mandala. Hampir semua sekolah masih menerapkan program ini yang sejak tahun 2002 telah dicanangkan oleh Depdiknas, melalui Direktorat Kesiswaan. Pendidikan Nonformal 1) Pendidikan berwawasan ESD dilaksanakan melalui jalur Pendidikan Nonformal antara lain lewat Pendidikan Kesetaraan pada Kelompok Belajar Paket A, Paket B, dan C. Pada umumnya pembelajaran dalam kelompok tersebut dilaksanakan oleh guru mata pelajaran rumpun, yakni rumpun mata pelajaran IPS, Humaniora dan Rumpun Mata pelajaran MIPA, sehingga tenaga pendidiknya tidak sebanyak guru di sekolah/madrasah. Konsentrasi pembelajarannya cenderung berfokus pada mata pelajaran yang di UN kan, sedangkan mata pelajaran yang lain porsinya tidak semaksimal mata pelajaran yang di UN kan. 2) Kendati demikian, Hampir semua Kelompok Belajar Paket A, Paket B, dan C. Telah melaksanakan Pendidikan berwawasan ESD secara integratif pada mata pelajaran yang diajarkan para tutor. Sebagaimana
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
181 di sekolah, pendidikan berwawasan ESD perspektif sosial, ekonomi dan lingkungan telah diakomodir melalui pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan tutor rumpun. Metode pembelajaran yang digunakan cenderung dominan menggunakan ceramah. Metode simulasi dan praktek diterapkan saat melaksanakan pendidikan keterampilan (life skills) yang sering dilaksanakan pada Kelompok Belajar Paket A, Paket B, dan C. Sumber belajar yang digunakan umumnya masih berbasis pada modul dan buku pegangan tutor. Sumber dan media pembelajaran lain masih sangat terbatas. Evaluasi pembelajaran dilakukan oleh tutor rumpun untuk mata pelajaran yang diajarkan, sedangkan hasil belajar ESD tidak tampak secara nyata. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan ESD di Indonesia Sampai dengan saat ini, pelaksanaan pembelajaran ESD belum sepenuhnya mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Beberapa hambatan yang menjadi faktor kendala pencapaian pendidikan ESD adalah: (1) Kepala sekolah/ ketua program dan guru/ tutor baik pada pendidikan formal maupun nonformal belum memahami tentang ESD, baik secara konsep, tujuan, kebijakan, program, maupun cara pengintegrasian dalam mata pelajaran; (2) Sosialisasi ESD di tingkat satuan pendidikan masih minim, bahkan sebagian besar kepala sekolah/ ketua program dan guru/tutor) belum pernah mengikuti sosialisasi tentang ESD; (3) Guru/ tutor umumnya kesulitan dalam mengintegrasikan nilai-nilai ESD dalam pembelajaran, ditambah dengan referensi sumber pembelajaran yang terbatas, serta (4) terbatasnya dana untuk sosialisasi dan pelaksanaan pembelajaran ESD. 5. Rekomendasi Temuan Berkenaan dengan temuan studi dan simpulan, dalam rangka meningkatkan ESD di Indonesia di masa depan, disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut. 1) Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas tahun 2010-2014 perlu menetapkan kebijakan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan (ESD) secara lebih jelas dan terukur mencakup perspektif sosial budaya, ekonomi dan lingkungan pada setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, melalui kegiatan pembelajaran di kelas (intra kurikuler), ekstra kurikuler, maupun melalui pelaksanaan program wawasan WiyataMandala. Dalam perspektif lingkungan, kebijakan perlu mendasarkan pada kesepatan bersama antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
182 2) Kebijakan dan program ESD perlu disosialisasikan dengan lebih intensif dan terkoordinir yang ditujukan kepada pihak-pihak pejabat pendidikan di tingkat provinsi, kota/kabupaten, terlebih terhadap kepala sekolah/ ketua program dan guru/ tutor, agar memiliki pemahaman ESD, baik secara konsep, tujuan, kebijakan, program, maupun cara pengintegrasian dalam mata pelajaran, serta dapat mencanangkannya secara jelas dalam kegiatan ekstrakurikuler dan program Wawasan Wiyata Mandala di satuan pendidikannya. Depdiknas dan instansi terkait (Kementerian Lingkungan Hidup, Depkes, Degag, dsb.) serta Dinas Pendidikan Provinsi, kota/kabupaten perlu bersinergi mewujudkan kegiatan ini dengan memberikan dukungan sumberdaya yang diperlukan.
3) Agar para guru dan tutor dapat merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran nilai-nilai ESD dengan baik maka perlu diadakan pembekalan tentang pengintegrasian nilai-nilai ESD dalam setiap mata pelajaran yang relevan, cara pendekatan/metode pembelajaran yang sesuai dan tepat, serta pengadaan sumber, bahan, dan media pembelajaran nilai-nilai ESD yang memadai baik berupa buku teks, buku bacaan lepas, maupun CD dan VCD. Berkaitan dengan itu, perlu pengadaan buku dan referensi serta media pembelajaran, baik sebagai bacaan umum tentang ESD maupun yang lebih spesifik tentang ESD dalam setiap mata pelajaran. Depdiknas dan Depag hendaknya mengupayakan pengadaan panduan pembelajaran yang berwawasan ESD melalui kegiatan intrakurikuler, ekstra kurikuler dan kegiatan Wawasan Wiyata mandala, dan referensi lain yang diperlukan dalam pembelajaran di kelas.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
183
Pengkajian Akuntabilitas Kinerja Pendidikan:
Dampak Akreditasi Terhadap Upaya Pembinaan Sekolah/Madrasah Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan
1. Pendahuluan Berbagai penelitian lembaga internasional menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negaranegara tetangga di Asia Tenggara (Pusat Penelitian Pendidikan Lemlit UM, 2003). Melihat kondisi tersebut Pemerintah (dalam hal ini Depdiknas), memprioritaskan kebijakan pembangunan pendidikan nasional tahun 20052009 pada tiga pilar pembangunan pendidikan yaitu (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, (3) serta penguatan tatakelola dan akuntabilitas, dan citra publik (Renstra Depdiknas 2005-2009). Salah satu bentuk akuntablitias publik yang dilakukan secara obyektif, adil, dan transparan adalah akreditasi. Untuk sekolah/madrasah, akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) melalui peraturan Mendiknas Nomor 29 Tahun 2005. Tujuan akreditasi adalah: (i) memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, (ii) memberikan pengakuan peringkat kelayakan dan memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait. Sementara itu, manfaat akreditasi adalah untuk identitas sekolah/madrasah, acuan dalam upaya peningkatan mutu dan rencana pengembangan sekolah/madrasah, umpan balik dalam usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga sekolah/madrasah, motivator, dan bahan informasi meningkatkan dukungan. Studi ini mengkaji hasil pelaksanaan, dampak, dan persepsi sekolah terhadap akreditasi sekolah/madrasah. Secara khusus studi ini bertujuan untuk 1)Mengetahui hasil pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah yang dilaksanakan pada tahun 2007; 2) Mengkaji dampak akreditasi terhadap kegiatan, pembinaan, dan upaya peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah; 3) Mengetahui Persepsi sekolah, pembina, dan masyarakat terhadap akreditasi sekolah/madrasah; 4) Mengidentifikasi hambatan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan maupun tindak lanjut hasil akreditasi; dan 5) Memberikan saran rekomendasi kebijakan terkait dengan pelaksanaan akreditasi madrasah dan sekolah.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
184
2. Temuan Penelitian Pengkajian tentang akreditasi diperoleh hasil sebagai berikut: Hasil dan Koordinasi Pelaksanaan Akreditasi Terkait dengan pelaksanaan akreditasi, sampai dengan tahun 2007, diketahui bahwa akreditasi SMA/MA masih menggunakan perangkat yang lama. Laporan hasil akreditasi yang dibuat oleh BAP-S/M terdiri dari 1) sertifikat akreditasi, 2) hasil penilaian per komponen akreditasi, 3) catatan, saran/rekomendasi assessor per komponen kepada sekolah/madrasah, dan 4) laporan akreditasi secara umum, kepada sekolah/madrasah, kepala pemerintah provinsi, dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, Kantor Wilayah Departemen Agama, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan. Belum semua BAP-S/M mengirimkan semua dokumen hasil akreditasi tersebut kepada sekolah/madrasah, gubernur, dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, Kantor Wilayah Departemen Agama, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan. Hal tersebut merupakan hambatan bagi masing-masing instansi untuk menindaklanjuti hasil akreditasi. Dengan kata lain instansi terkait sebagai lembaga pembina belum sepenuhnya menggunakan hasil akreditasi sebagai dasar pembinaan sekolah/madrasah. Pembinaan yang dilaksanakan masih didasarkan pada program umum yang disusun per tahun. Dalam pembinaan untuk menindaklanjuti hasil akreditasi, belum ada koordinasi antara instansi terkait dan dana yang tersedia di sekolah/madrasah belum mencukupi. Pelaksanaan akreditasi pada sebagian besar sekolah/madrasah masih mengeluarkan biaya. Selain itu dalam penilaian akreditasi masih terdapat perbedaan persepsi asesor yang dipengaruhi oleh subyektivitasnya terhadap komponen-komponen akreditasi sehingga merugikan pihak sekolah/madrasah. Dampak Pelaksanaan akreditasi di sekolah/madrasah memiliki dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung dalam hal ini adalah upaya/ tindak lanjut sekolah/madrasah yang langsung dilaksanakan setelah satuan pendidikan mendapat hasil penilaian akreditasi. Sedangkan dampak tidak langsung adalah dampak pembinaan yang diupayakan oleh instansi-instansi yang terkait dengan sekolah/madrasah setelah mereka mendapatkan laporan hasil akreditasi dari BAP-S/M. Upaya tindak lanjut yang dilakukan oleh sekolah terkait hasil akreditasi adalah:
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
185 KOMPONEN
AKREDITASI UPAYA PEMBINAAN
Kurikulum dan Pembelajaran
A
B
Administrasi dan manajemen sekolah
Diadakannya pelatihan bagi para guru, TIK, Media pembelajaran dan diberikannya fasilitas internet.
Menyusun KTSP, Menindak lanjuti KTSP
Dokumen kurikulum dan alat bantu ajar
Pembukuan dokumen, mengadakan pertemuan rutin
C
Buku mata pelajaran 1=2org, setiap guru menyusun perangkat pembelajaran, PBM harus mengacu silabus, var PBM, tindak lanjut mengadakan buku mata pelajaran, ws susun silabus, RPP
TT
Perlu diadakannya pertemuan rutin bulanan
A
Pendokumentasian dokumen PBM
B
Organisasi dan
Pemetaan administrasi dan manajemen, usaha tertib administrasi
Membuat program jangka panjang dan menengah
C
penyusunan program jangka panjang, menengah, susun aturan tulis, temu rutin
TT
Membuat program tahunan, menengah dan jangka panjang.
A
-
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
186 KOMPONEN
AKREDITASI UPAYA PEMBINAAN Tingkatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan
kelembagaan B sekolah/madrasah
Sarana dan prasarana
C
penyusunan struktur organisasi dan uraian tugas, kerjasama, libatkan komite sekolah
TT
Melengakapi kekurangan dari struktur organisasi
A
mohon bantuan meubelair ke dinas pendidikan kota
B
Ketenagaan
Penambahan sarana yg kurang, dekati dinas
Pengikatan sarana perpustakaan, labolatorium dan internet
C
Penambah fasilitas labolatorium perpustakaan, tindak lanjut pengadaan komputer, mengajukan proposal bantuan
TT
pengadaan meja kursi guru
A
Memohon tenaga pendidik dan subsidi kuliah S1
kurang guru mata pelajaran sosiologi dan geografi, tindak lanjut sejak tahun 2007 sudah punya guru tsb
B
Data penghargaan bagi karyawan
C
Perlu tenaga pengajar dan administrasi, tindak lanjtut pengajuan permohonan guru dan administrasi ke dinas pendidikan kota
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
187 KOMPONEN
Pendanaan dan pembiayaan
Peserta didik
Peran serta masyarakat
AKREDITASI UPAYA PEMBINAAN TT
Minta tenaga dari dinas
A
-
B
melengkapi program pengembangan bakat
C
Melakukan subsidi silang, tindak lanjut data siswa kurang mampu untuk minta bantuan
TT
memperbaiki RAPBS
A
tingkatkan kompetensi lewat program matrikulasi
kualitas input siswa rendah, tindak lanjut tahun 2007 menaikkan kualitas input siswa
B
-
C
Fasilitasi sarana untuk pengembangan bakat, optimal OSIS, tindak lanjut perbaikan sarana, pemberdayaan OSIS, ikutserta siswa dalam kegiatan
TT
melengkapi tatatertib dan sanksi
A
mengaharapkan orangtua/masyarakat tingkatkan sarpras, tindak lanjut labolatorium komputer
B
laporkan kegiatan ke orangtua/masyarakat
C
Sekolah berharap kerjasama dengan komite, tindak lanjut melibatkan komite
TT
-
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
188 KOMPONEN
AKREDITASI UPAYA PEMBINAAN
Lingkungan dan budaya sekolah madrasah
A B
Aktif dalam mencari dan bertukar informasi
C
Penyusunan program OSIS lingkungan,pembuatan taman,tindak lanjut, lakukan kegiatan bersih dan tata taman
TT
Pembiasaan dan keteladanan
Tindak lanjut pembinaan dinas pendidikan terkait hasil akreditasi dapat dilihat dalam tabel di bawah. Namun hasil akreditasi tidak secara langsung dijadikan sebagai salah satu dasar program pembinaan sekolah/madrasah oleh Disdik Kab/Kota. Program pembinaan disusun setiap tahun berdasarkan rapat koordinasi oleh Disdik Kab/Kota yang secara tidak langsung program pembinaan tersebut sama dengan rekomendasi hasil akreditasi. Pembinaan terhadap S/M No
Komponen Upaya
1.
Kurikulum dan pembelajaran
- Melaksanakan pembinaan teknis KTSP
Pihak yang Terlibat Kerjasama - Pengawas dan pelaksana teknis
- Pelatihan PTK kepada guru 2.
Administrasi dan manajemen S/M
- Pelatihan untuk Pengawas dan - Pengawas, Perguruan Tinggi Kepala Sekolah dan Widyaswara
3.
Organisasi dan kelembagaan S/M
- Pelatihan Manajemen sekolah - Pengawas, Komite Sekolah dan Kepala sekolah
4.
Sarana dan prasarana
- Menganggarkan secara bertahap melalui APBD
5.
Ketenagaan
- Pelatihan untuk meningkatkan - Pengawas, Bappeda dan kompetensi guru BKD
6.
Pendanaan dan pembiayaan
- Mendorong Pemda/DPRD agar menganggarkan dana
- Legislatif
- Komite Sekolah, Dewan Pendidikan dan legislatif
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
189 Pembinaan terhadap S/M No
Komponen Upaya
Pihak yang Terlibat Kerjasama
lebih besar 7.
Peserta didik
- Pelatihan/bimbingan potensi peserta didik
- Kepala Sekolah, Bimbingan Konseling dan Kominte Sekolah
8.
Peran serta masyarakat
- Mendorong peran serta masyarakat melalui Komite Sekolah
- Dewan Pendidikan, Komite Sekolah dan Pemda
9.
Lingkungan dan budaya S/M
- Pelatihan manajemen sekolah - Kepala Sekolah, Komite Sekolah dan Alumni sekolah
Tindak lanjut pembinaan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)terkait hasil akreditasi adalah: No 1.
2.
3.
Komponen
Upaya Pembinaan yang Dijalankan
Pihak yang terlibat kerjasama
Kurikulum dan pembelajaran
Pengembangan silabus untuk setiap mata pelajaran sesuai dengan kurikulum
- Widyaswara
Administrasi dan manajemen
Mengikutsertakan guru pada diklat
- Dinas Pendidikan
Organisasi dan kelembagaan S/M
Penekanan pada aspek kerjasama antar - LPTK lembaga - Dinas Pendidikan Kab/Kota
- Dinas Pendidikan Kab/Kota
- Kanwil Depag
- Kanwil Depag 4.
Sarana dan prasarana
Fasilitasi /sosialisasi standar laboratorium dan perpustakaan
- Widyaswara - Dinas Pendidikan - Kanwil Depag
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
190 No
Komponen
Upaya Pembinaan yang Dijalankan
Pihak yang terlibat kerjasama
5.
Ketenagaan
Beasiswa bagi guru berprestasi
- Dinas Pendidikan Provinsi dan Kab/Kota
6.
Pendanaan dan Pembiayaan
-
7.
Peserta didik
Meningkatkan kualitas belajar siswa - Dinas pendidikan melalui perlombaan dan supervisi - Kanwil Depag
-
- LPTK 8.
Peran serta masyarakat
Pelibatan orangtua siswa dalam peningkatan mutu sekolah/madrasah
- LPTK - Dinas Pendidikan Kab/Kota
9.
Lingkungan dan budaya S/M
-
-
Program pembinaan yang dilakukan oleh Kanwil Depag terhadap Madrasah dilakukan berdasarkan program yang sudah direncanakan dari Departemen Agama (Pusat). Program tersebut secara tidak langsung sekaligus merupakan tindak lanjut dari rekomendasi hasil akreditasi. Dapat dikatakan bahwa Kanwil Depag belum secara khusus memberikan pembinaan terhadap madrasah berdasarkan rekomendasi hasil akreditasi. Persepsi Sebagian besar sekolah/madrasah memiliki persepsi yang baik terhadap akreditasi, namun mereka tidak setuju jika akreditasi dijadikan satu-satunya acuan untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Peringkat akreditasi dibagi menjadi 3, yaitu A, B, dan C. Pada umumnya sekolah/ madrasah yang memiliki status akreditasi A dan B merasa bangga, sedangkan sekolah/madrasah yang memiliki status akreditasi C tidak merasa bangga. Hal ini karena status akreditasi C menunjukkan kualitas dan standar kelayakan pendidikan sebuah sekolah yang rendah, sehingga responden cenderung tidak merasa bangga terhadap status akreditasi C.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
191 3. Saran Kebijakan Berdasar hasil penelitian dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut: (1) Sosialisasi tentang pelaksanaan, fungsi, serta manfaat akreditasi perlu diperluas baik kepada instansi-instansi terkait (Kepala Pemerintah Provinsi, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama, Kepala Kantor Departemen Agama, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) maupun kepada masyarakat, (2) BAP S/M perlu mengirimkan dan memastikan dokumen hasil akreditasi sampai kepada instansi terkait (3) Pemerintah daerah perlu memberikan bantuan dana agar pelaksanaan akreditasi benarbenar bebas dari biaya, (4) Pelatihan kepada asesor perlu ditingkatkan agar asesor benar-benar memahami proses akreditasi sehingga tidak terjadi lagi ketidakseragaman dalam penilaian sekolah/madrasah, Untuk menghindari subyektifitas assesor dalam memberikan penilaian perlu dilaksanakan penilaian silang antar daerah (kab/kota) (5) BAP-S/M perlu meningkatkan koordinasi dengan Kanwil Depag, Disdik provinsi, Kab/Kota, LPMP dan Pemerintah Daerah terkait dalam upaya pembinaan sekolah/madrasah berdasarkan hasil akreditasi, dan (6) Hasil akreditasi hendaknya menjadi dasar pembinaan sekolah/madrasah.
Kumpulan Ringkasan Eksekutif Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan