Jejak Langkah I
Pendidikan yang tidak Direncanakan
A. Lahir Hingga Bersekolah di Plaju (1959–1961) Umar Said lahir di Ungaran, Semarang pada 3 Januari 1940. Umar pernah tinggal sebentar di Kudus selama pengungsian pada masa perang mempertahankan kemerdekaan. Di masa perang kemerdekaan itu, Umar, sebagai anak-anak yang sudah tidak mempunyai ayah, terkesan dengan kakak laki-lakinya sebagai sosok pejuang yang cerdik dan hebat, menurut pandangan Umar. Dengan cara yang tidak dapat dibayangkannya, sang kakak mampu mencuri perlengkapan seperti kasur, selimut, dan persenjataan dari sebuah tangsi militer Belanda. Suatu inisiatif keberanian berpadu dengan strategi yang meninggalkan rasa kagum pada Umar kecil. Ibunda Umar yang sudah menjanda memiliki tekad yang kuat agar Umar terus melanjutkan sekolahnya. Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, setelah tamat Sekolah Rakyat (sekarang disebut Sekolah Dasar), sang ibu terpaksa mengirim Umar untuk ikut pamannya, agar Umar dapat meneruskan sekolah SMP dan SMA di Solo. Setiap hari, |
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
Umar menempuh perjalanan jauh untuk bersekolah. Rumah pamannya berada di luar wilayah kota Solo, sedangkan sekolahnya ada di pusat kota. Paman Umar yang berprofesi sebagai petugas pemberantasan penyakit menular pada Dinas Kesehatan Pemda Solo selalu ditugaskan berkeliling dari desa ke desa tempat terjadinya penyakit menular. Ini membuat Umar banyak bergaul dengan orang-orang desa yang sederhana dan bersahaja. Namun, Umar pun terbiasa bergaul dengan kalangan bangsawan, karena teman-teman sekolahnya kebanyakan berasal dari kalangan ini. Kehidupan pergaulan Umar membuatnya menjadi remaja yang bisa menempatkan diri, baik di kalangan orang berpunya maupun tak berpunya. Tahun 1959 setelah tamat SMA, Umar yang bercita-cita menjadi insyinyur pertanian mendaftar ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Meskipun terlambat mendaftar, Umar berhasil diterima di IPB. Namun apa daya, ketiadaan biaya kuliah kembali menjadi kendala. Akhirnya dengan terpaksa, ia memutuskan untuk batal berkuliah di kampus idamannya itu. Umar kemudian pindah ke Jakarta, menumpang hidup di rumah kakak laki-lakinya yang berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai guru di sana. Sang kakak dan istrinya baru saja menamatkan Sekolah Guru Atas (SGA). Pada masa itu, tamatan SGA adalah guru-guru bergengsi. Untuk dapat diterima di SGA, mereka harus melewati berbagai seleksi ketat dan aneka persyaratan yang berat. Umar pun ikut menikmati fasilitas tempat tinggal kakaknya yang diberikan pemerintah Bung Karno: sebuah hotel kelas menengah bernama Hotel Jacatra. Umar muda sangat terkesan dengan kebijakan ini. Meskipun bukan hotel berbintang, pemerintahan Bung Karno menunjukkan penghargaan yang tinggi pada para guru dan benar-benar memperhatikan kesejahteraan mereka. Di Jakarta, Umar berusaha masuk sekolah apa pun sedapatnya, karena kegiatan belajar tahun ajaran baru sudah dimulai. Umar masuk Akademi Teknik Nasional (ATN), suatu sekolah yang gedungnya masih menumpang pada sekolah lain. Belajarnya pun malam hari, karena siang |
|
hari dosen-dosennya bekerja di Jawatan Kereta Api, Kantor Pekerjaan Umum, atau instansi lainnya. Maka, tak heran bila setiap sore selalu saja ada pengumuman bahwa dosennya berhalangan datang, dan mahasiswa diminta menyalin isi buku pada halaman sekian hingga sekian. Pada masa itu buku adalah barang yang sangat langka. Buku-buku yang dipelajari di ATN adalah buku-buku teknik mesin, dan mahasiswa diminta mandiri belajar dengan menyalin bagian buku tentang cara menghitung kekuatan sambungan paku keling. Hingga sebulan bersekolah di ATN, Umar mulai gelisah. Ia merasa kecewa sampai detik itu belum pernah bertemu yang namanya dosen. Ia juga merasa kasihan terhadap kakaknya yang harus membiayai sekolah, sementara mereka berdua pasangan muda yang tentunya harus memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Kegelisahan itu ia bawa sembari keluyuran naik sepeda di siang hari, sambil menantikan waktunya kuliah di malam hari. Masa itu, naik sepeda keliling Jakarta masih terasa nyaman. Jalanan masih lengang. Kendaraan roda dua dan roda empat pun masih sedikit. Umar bersepeda untuk mencari peluang pendidikan yang lain yang lebih baik sekaligus tanpa harus membebani hidup kakaknya. Hingga suatu saat, dengan mengenakan celana pendek dan wajah polos, Umar mengajukan permohonan untuk bertemu Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Pendidikan yang waktu itu dijabat Bapak Hutasoit. Beruntunglah Umar, Pak Sekjen tidak memberlakukan prosedur maupun urusan protokoler yang rumit, suatu hal yang tidak mungkin terjadi di masa kini. Dengan mudah, ia langsung bisa bertemu Pak Hutasoit di ruang kerjanya. Dengan mengumpulkan segala keberanian, Umar memohon agar Bapak Hutasoit dapat mengirimnya sekolah ke luar negeri secara gratis. Ia sadar, permintaan ini bisa jadi akan membuat Pak Hutasoit menganggapnya kurang waras. Bagaimana mungkin ia, dengan penampilan seadanya dan hanya berbekal nekad, bisa mendapatkan peluang pendidikan seideal itu? Namun Umar tak peduli. Dia tahu dia harus mencoba dan |
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
berusaha. Dengan keyakinan diri dan keterampilannya berkata-kata, Umar menyatakan permohonannya dengan lugas dan percaya diri. Pak Hutasoit sempat tertegun beberapa saat, dan akhirnya memberikan informasi bahwa memang ada sesekali program pengiriman mahasiswa ke luar negeri. Namun sayang sekali, saat itu belum ada lagi kesempatan tersebut. Mendapat jawaban demikian, Umar tidak kecewa. Yang penting ia sudah berusaha. Pertemuan di Kementerian Pendidikan itupun dengan cepat dilupakan Umar. Suatu waktu ketika Umar sedang bersepeda di siang hari seperti biasanya, dilihatnya pengumuman bahwa perusahaan minyak milik Belanda yang mempunyai kegiatan eksplorasi, produksi, dan pengolahan di Indonesia sedang mencari pemuda-pemuda lulusan SMA untuk dididik menjadi ahli minyak. Perusahaan itu bernama Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) atau Perusahaan Minyak Batavia yang merupakan cabang dari Royal Dutch Shell yang dibangun tahun 1907. Tanpa menunda-nunda, Umar segera mengajukan lamaran. Puji syukur, lamaran Umar diterima dan diperbolehkan untuk mengikuti serangkaian tes masuk yang dilaksanakan di Gedung Adhuc Stat (sekarang Gedung Bappenas) di Jalan Diponegoro, dan gedung Wanita di sebelah Gedung Adhuc Stat. Tanpa ia sangka, jumlah pelamar ternyata luar biasa membludak. Nyali Umar sempat menciut, merasa pesimis akan kalah dalam persaingan. Tes diselenggarakan selama beberapa hari. Setiap pagi hari, selalu diumumkan nomor-nomor peserta tertentu yang diminta menghadap panitia untuk mengambil uang jalan. Umar sempat tertarik dengan uang jalan itu. Bukankah menguntungkan, diberi uang dengan cuma-cuma? Apalagi Umar sangat membutuhkan uang. Kantongnya sangat tipis, nyaris tak ada uang yang ia miliki saat itu. Namun, pada hari ketiga Umar baru mengerti, mereka yang dipanggil untuk diberi uang jalan itu adalah pelamar yang tidak lulus tes. Mereka tidak pernah muncul lagi setelah menerima uang jalan.
|
|
Hingga hari terakhir tes, Umar sangat bersyukur ia tidak pernah dipanggil untuk menerima uang jalan. Malah, justru ia terpilih untuk wawancara lisan. Umar sempat merasa heran, kok bisa lulus, padahal saingannya begitu banyak? Belakangan ia baru tahu, rupanya BPM bukan hanya mencari pemuda yang semata-mata pandai, tapi juga mencari yang keadaan ekonominya terbatas alias miskin. Menurut BPM, kalau calon siswa mereka adalah pemuda miskin, maka setelah lulus pendidikan, mereka tidak akan tergoda untuk pindah ke perusahaan lain, dengan iming-iming gaji BPM yang lebih tinggi daripada gaji pegawai negeri. Setelah lulus uji kesehatan, Umar diterima sebagai siswa Pendidikan Ahli Minyak (PAM) atau disebut oleh orang Belanda dengan Petroleum College. Selain dirinya, ada satu lagi yang diterima yaitu seorang siswa dari Ambon. Persamaan dengan dirinya, siswa asal Ambon tersebut juga miskin, tinggalnya di lingkungan tempat sampah. Kampus PAM terletak di Plaju, Sumatera Selatan. Memasuki tahun kedua sekolah, BPM kemudian diambil alih oleh Shell, dan kemudian menjadi Shell Indonesia. Namun demikian, program PAM tetap dilanjutkan karena kebutuhan pekerja yang cukup tinggi. Pendidikan ini ditujukan untuk mencetak tenaga kerja terampil dengan posisi pertama sebagai pengawas lapangan. Pengawas lapangan adalah jabatan di atas mandor, sedang mandor sendiri adalah pekerjaan yang membawahi para pekerja kasar. Tugas pengawas lapangan adalah membimbing mandor dan pekerja kasar dalam membongkar peralatan kilang yang ada di Plaju. Umar mengambil jurusan Pemeliharaan Peralatan Mekanik Kilang. Umar sendiri tidak tahu pasti mengapa mengambil jurusan tersebut. Dia asal pilih saja. Semuanya terasa serba kebetulan yang tidak direncanakan. Selama sekolah di PAM, Umar sama sekali tidak mendapat pelajaran teori. Semua proses belajar dilakukan di lapangan. Ia dan teman-teman sekelas dilatih bagaimana membuka peralatan besar di Kilang Plaju. Bentuk ujiannya adalah menggambar dan menyebut nama semua alat yang digunakan untuk bekerja. Dengan demikian, mereka tidak akan keliru saat bekerja di lapangan kelak.
|
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
Pelajaran yang lain adalah sistem kodifikasi, yaitu sistem penomoran untuk logistik. Semua barang diberi nomor kode dengan spesifik, sehingga jika disebutkan kodenya, maka spesifikasi barangnya tidak mungkin salah. Pengkodean ini bermanfaat untuk pemesanan barang yang datang dari luar negeri. Saat ini mungkin hanya NATO yang masih memakai sistem pengkodean tersebut yang dikenal dengan NATO Codification System (NCS). Selama pendidikan, Umar dan teman-temannya tinggal di asrama PAM yang terletak di dalam kompleks perusahaan. Tinggal di sana telah mengubah cara Umar dalam memandang dunia. Umar yang berasal dari keluarga tak berpunya, kini tak lagi dihinggapi penyakit minder. Kepala asrama, Bapak Jack West, telah berhasil mengikis rasa rendah diri muridmurid. Beliau adalah keturunan Tionghoa-Belanda yang beristrikan wanita Belanda. Pak West mengajarkan untuk menegakkan kepala ketika berbicara dengan siapapun, termasuk kepada Belanda yang ada di Plaju. Jika siswa minder, maka dia akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan semua orang, baik dengan atasan maupun dengan bawahan. Hal utama yang juga diterapkan di asrama dalam kehidupan sehari-hari adalah kedisiplinan semi militer. Semua siswa harus disiplin mulai dari kebiasaan makan, belajar, tidur, hingga olah-raga. Selain itu, setiap siswa harus belajar menjadi pemimpin. Setiap siswa diberi tugas menjadi komisaris asrama selama seminggu. Tugas komisaris adalah mengawasi kepatuhan siswa pada peraturan sekolah maupun asrama. Di sini semua siswa dilatih sekaligus kepemimpinannya. Semua harus mampu memiliki kewibawaan dalam memimpin, memastikan bahwa instruksiinstruksinya ditaati, dan sebagainya.
B. Melanjutkan Sekolah ke Baku, Azerbaijan (1961-1967) Setamat dari PAM tahun 1961, semua siswa mendapat jatah liburan selama satu bulan. Umar berlibur ke tempat tinggal kakaknya di Hotel
|
|
Jacatra yang masih setia menjadi guru di Jakarta. Kebiasaan menyusuri Jakarta di siang hari dengan sepeda pun kembali ia lanjutkan. Suatu siang di Jalan Gajah Mada, nampak anak-anak muda sedang bergerombol di depan kantor Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam). Umar yang penasaran mendekat untuk mencari tahu ada keramaian apa gerangan. Ternyata, sedang ada pembukaan lamaran untuk pengiriman sekolah ke luar negeri. Inilah yang sedang dicari-cari Umar Said. Ia teringat upayanya dua tahun lalu sebelum sekolah di Plaju, ketika menghadap Bapak Hutasoit di Kementerian Pendidikan. Rupanya, keinginan untuk terus mencari ilmu adalah hasrat terpendam yang tak pernah padam. Dengan semangat, Umar segera kembali ke rumah kakaknya. Setelah mengambil ijazah PAM dan ijazah SMA, Umar langsung kembali lagi ke kantor Perdatam dan mencari petugas yang mengurus lamaran beasiswa ke luar negeri. Sebetulnya, saat itu Umar belum tahu bidang studi apa yang tersedia. Namun ia tidak peduli. Dalam batinnya, ini adalah tiket emas untuk dapat melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Setelah menemukan petugas tersebut, Umar segera memperlihatkan ijazah PAM miliknya. Petugas itu pun langsung mengantarkan Umar kepada atasannya, seorang bapak berperawakan pendek dan gemuk. Setelah berbincang sebentar, bapak itu langsung mencatat nama Umar Said sebagai salah satu pemuda yang diterima untuk diberangkatkan ke luar negeri. Bapak tersebut adalah Syarif Achmad Lubis, seorang insinyur tamatan Teknik Kimia ITB. Bagi Umar Said, Pak Lubis adalah salah seorang yang berjasa dalam mengubah perjalanan hidupnya. Kini, ketika Pak Lubis sudah meninggal, sebagai bentuk terima kasih Umar Said hanya bisa memanjatkan doa semoga Allah menerima semua amal ibadah Pak Lubis, diberikan tempat terbaik disisi-Nya dan diampuni kesalahankesalahannya. Betapa gembiranya Umar diterima sekolah di luar negeri. Rupanya, ijazah PAM di Plaju tersebut sangat berharga karena dianggap ada sangkut |
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
pautnya dengan dunia pertambangan. Semuanya adalah jalan takdir yang tidak direncanakan sebelumnya. Beberapa hari kemudian, pemerintah mengumumkan pemuda-pemuda yang diterima akan diberangkatkan ke Uni Soviet untuk belajar tentang perminyakan. Pada saat itu Presiden Soekarno berencana agar putra-putri Indonesia siap mengelola kekayaan alam Indonesia. Sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke berbagai negara. Sedianya negara yang dituju untuk belajar perminyakan adalah Amerika Serikat dan Italia. Tetapi Amerika menolak karena mencium rencana Soekarno untuk nasionalisasi bisnis perminyakan dan pertambangan. Karena Uni Soviet yang mau menerima, maka diberangkatkanlah calon mahasiswa ke negeri Beruang Putih ini. Menunggu proses pemberangkatan menjadi saat yang tidak mudah bagi Umar. Liburan tamat sekolah PAM sudah habis, sudah waktunya Umar harus kembali ke Shell di Plaju untuk bekerja sebagai pengawas mandor. Hatinya gundah gulana. Tanggal keberangkatan ke luar negeri belum keluar, tetapi panggilan tugas dari Shell sudah datang. Pihak PAM memintanya bergegas ke Plaju. Akhirnya sebagai jalan keluar, Umar berangkat kembali ke Plaju, seraya berpesan kepada kakaknya agar segera mengirim telegram apabila ada panggilan untuk berangkat ke Soviet. Isi telegram yang ia minta adalah kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Apakah ini kebohongan? Tentu tidak, karena nyatanya sang ayah telah meninggal dunia pada tahun 1945. Jadi Umar tidak berbohong, tetapi “not telling the whole truth”. Di Plaju, Umar ditempatkan di bagian inspeksi yang bertugas memetakan tiang-tiang di dalam pabrik yang keropos terkena karat. Umar menelusuri tiang demi tiang dan mencatat di area tertentu pabrik yang terdapat serangan karat pada tiang dengan kategori sangat parah. Umar menunjukkan hasil temuan pemetaan pada atasannya yang berkebangsaan Inggris. Sang atasan puas dengan hasil kerja Umar. Ia pun tidak terlampau terkejut dengan temuan tersebut, sebab di area itu terdapat unit pembuatan asam sulfat. Tiupan angin membawa uap asam sulfat yang memakan tiang-tiang besi. Pekerjaan pemetaan belum |
|
lagi tuntas, Umar menerima telegram dari kakaknya yang mengabarkan ayah Umar meninggal. Umar menunjukkan telegram tersebut kepada atasannya. Sang atasan pun serta merta meminta kepada bagian perjalanan untuk memberangkatkan Umar segera ke Jakarta dengan pesawat kesempatan pertama. Sudah satu bulan lamanya sejak telegram tersebut, Umar yang diberangkatkan ke Jakarta tak kunjung kembali ke Plaju. Maka, dicarilah Umar oleh pihak kantor Shell. Mereka tak tahu, Umar Said sudah tak ada di negeri Indonesia. Nun jauh di sana, ia sedang menggigil kedinginan di Kiev Ukraina, seraya bersusah payah belajar bahasa Rusia. Upayanya ini membuahkan hasil. Baru tiga bulan saja belajar, Umar sudah fasih berbahasa Rusia. Bahkan berkelahi dengan orang lokal pun, Umar menggunakan bahasa Rusia. Ia berkelahi karena merasa benar dalam sebuah perselisihan. Rupanya selain kemampuannya menyerap bahasa asing, Umar juga memiliki bakat keberanian seperti kakaknya yang seorang pejuang’45. Dalam studinya, Umar mengambil jurusan Teknik Kimia Minyak. Mahasiswa Indonesia mengambil berbagai jurusan berlainan; ada yang geologi, geofisika, eksploitasi, kimia ataupun marketing, yang kesemuanya dalam ruang lingkup dunia perminyakan. Umar memilih jurusan Teknik Kimia Minyak sebab teringat fenomena bau-bauan yang khas di kilang minyak Plaju. Dari dulu Umar penasaran setiap kali dari kilang-kilang terkadang tercium bau wangi seperti nasi liwet, dan terkadang tercium juga bau sengak tidak sedap. Intuisi Umar mengatakan bahwa baubauan ini pastilah ada kaitannya dengan sifat-sifat kimiawi. Tetapi karena di Akademi Plaju hanya praktek lapangan, Umar tidak menemukan penjelasannya. Di Uni Soviet, terdapat beberapa sekolah perminyakan. Sekolah yang tertua adalah yang ada di Baku, Azerbaijan. Seluruh rombongan Indonesia diberangkatkan untuk belajar perminyakan di Baku, setelah sebelumnya belajar bahasa Rusia di Kiev Ukraina.
|
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
Selama lima tahun kehidupan mahasiswa, mahasiswa Indonesia termasuk yang banyak inisiatif di kalangan mahasiswa asing. Barangkali karena jumlahnya terbanyak setelah Vietnam. Pada suatu musim panas, mahasiswa Indonesia menyelenggarakan Ganefo, meniru Ganefo-ya Soekarno. Ganefo ini akronim dari Games of the Emerging Forces, yaitu semacam acara olahraga antar negara, mirip seperti olimpiade, namun pesertanya adalah negara-negara berkembang. Bung Karno sendiri juga yang menyatakan bahwa pelaksanaan Ganefo ini untuk menandingi Olimpiade. Semua mahasiswa asing dan lokal diundang untuk ikut bertanding. Upacara pembukaannya tidak lazim bagi penduduk lokal, karena mereka belum pernah melihat bendera asing berbaris diiringi lagu Bridge on The River Kwai. Semua kontingen tiap negara membawa bendera negaranya, kecuali kontingen Soviet yang membawa bendera organisasi pemudanya yaitu bendera Komsomol. Kontingen Indonesia sebagai panitia penyelenggara mengikuti semua pertandingan, tetapi lucunya tidak ada yang menang. Mahasiswa Indonesia juga mempunyai band yang selalu tampil di berbagai acara perayaan sekolah. Band ini sebenarnya sederhana, namun selalu dinantikan oleh semua mahasiswa karena sering memainkan lagu-lagu Barat dari band Amerika atau Inggris yang menjadi favorit saat itu, misalnya The Beatles. Lagu-lagu Barat ini bisa jadi dianggap kurang hormat pada pemerintah Soviet. Band mahasiswa Indonesia ini tak kehilangan akal, mereka menggubah lagu-lagu Indonesia menjadi berbahasa Rusia, misalnya Strana Radnaya Indoneziya (Rayuan Pulau Kelapa). Tak ketinggalan, lagu-lagu asli Indonesia juga ternyata cukup digemari, misalnya Butet dan Panon Hideung. Lagu Strana Radnaya Indoneziya menjadi sangat terkenal dikalangan mahasiwa. Mereka yang berjasa memperkenalkan Indonesia melalui lagu-lagu ini adalah Yusmal Yusuf pemain gitar melodi, Aminuddin (alm.) pemain gitar pengiring, Subijanto pemain gitar bas, Herlan Adim (alm.) sebagai penyanyi, Daria Kartawirja (alm.) juga sebagai penyanyi, Yahsan Asril memainkan kencrengan, Suminta memukul ketipung. |
10
|
Ada pula Sukrisman tukang jahit yang membuatkan seragam untuk band Indonesia. Sementara Hariadi dan kawan-kawan lainnya sebagai pengelola peralatan. Umar Said sendiri bertindak sebagai master of ceremony, pembawa acara yang sekaligus tukang pidato. Mahasiswa Indonesia yang telah selesai masa studinya kembali ke Indonesia tepat pada 20 Februari 1967, ketika Presiden Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka Jakarta. Surat tersebut keluar setelah serangkaian peristiwa politik sejak pidato pertanggungjawaban Soekarno yang disebut Nawaksara dibacakan pada sidang MPRS 22 Juni 1966. MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato “Pelengkap Nawaksara” pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967, namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama. Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967, Soekarno menyerahkan kekuasaan yang berarti Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Sesampai di Jakarta, semua mahasiswa diminta pulang ke daerah asal masing-masing. Umar kembali ke kediaman ibundanya. Karena Umar tak sempat bekerja di Shell yang bergaji melimpah, sang ibunda tetap dengan kondisi ekonomi terbatas seperti dulu. Baru saja sampai di rumah ibunya, tetangga Umar memberitahukan bahwa dari siaran radio nasional terdapat sejumlah nama yang dipanggil untuk segera kembali ke Jakarta, salah satunya nama Umar Said sebagai mahasiswa alumni Uni Soviet. Maka, bergegaslah Umar memenuhi panggilan negara, yaitu ditempatkan di kilang minyak Cepu. Ternyata panggilan itu bukan untuk segera disuruh bekerja tetapi dikarantina selama tiga bulan di Cepu, karena mungkin dianggap berbahaya melepaskan sarjana tamatan Rusia di tengah masyarakat.
|
11
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
C. Menjadi Korban Stigma “Eks Soviet” Pasca Peristiwa G-30-S PKI (1967) Ketika masih di Baku, suatu sore di hari-hari terakhir kelulusan, Umar bertemu dengan salah seorang temannya mahasiswa dari Iran yang juga mengambil studi di Baku sebagai kandidat doktor. “Umar, di negara kamu ada coup d’etat, lho,” kata sang teman dengan singkat. Hanya informasi itu saja yang dia dengar, tanpa ada informasi lebih jelas siapa yang melakukan kudeta, siapa yang dikudeta. Dia mendengar informasi tersebut dari radio Iran. Secara geografis, letak kota Baku dekat dengan Iran, dan radio Iran termasuk saluran yang tidak diganggu oleh pemerintah Soviet. Karena informasinya teramat minim, maka Umar acuh saja. Dalam benaknya, Presiden Soekarno sudah pernah menghadapi peristiwaperistiwa dalam negeri seperti PRRI, Permesta, dan sejenisnya. Ia pikir, barangkali yang terjadi adalah peristiwa serupa itu. Tetapi beberapa hari berikutnya, terjadi kehebohan di Kedutaan Republik Indonesia di Moskow. Edaran resmi dari Atase Militer KBRI Moskow mengabarkan, di Indonesia telah terjadi perebutan kekuasaan. Presiden Republik Indonesia selamat, dan semua mahasiswa Indonesia diminta menandatangani pernyataan tetap mendukung pemerintah RI dibawah Presiden Soekarno. Umar dan semua kawan-kawannya dari Indonesia pun ikut tanda tangan. Informasi-informasi yang berseliweran di Kedutaan kemudian menjadi serba tak jelas dan simpang siur. Pihak KBRI pun kelihatannya bingung dengan apa yang sebenarnya sedang berlangsung di tanah air. Setelah pulang ke Indonesia, baru Umar dan teman-teman sesama mahasiswa yang pernah belajar di Rusia menyadari, bahwa memberikan dukungan kepada Bung Karno menjadi “haram”. Mereka beruntung, sepertinya lembar pernyataan yang pernah ramai-ramai ditandatangani itu dan pasti disimpan di Kedutaan mungkin sudah dimusnahkan oleh Kedutaan RI di Moskow sendiri, sehingga Umar dan kawan-kawannya tidak pernah ditangkap. Para pegawai Kedutaan RI, termasuk atase militer |
12
|
yang meminta semua tanda tangan pernyataan setia juga tandatangan. Itu semua semata-mata karena bingung. Sebelum pulang ke tanah air, mahasiswa dibekali surat bebas G-30S (clearance) oleh Atase Militer KBRI Moskow. Sepanjang karir Umar kemudian, banyak sekali surat clearance yang harus ia urus, mulai dari polisi, RT, kantor, Koramil, dan entah dari mana lagi, hanya karena Umar pernah sekolah di Uni Soviet. Surat clearance itu pun ternyata bisa terbit cepat bila ada “uang rokok” yang tidak begitu besar. Uang rokok ini fungsinya hanya untuk mempercepat terbit surat, dan bukan untuk mengubah yang tidak clear menjadi clear. Biasanya surat clearance ini sangat ditunggu-tunggu, karena diperlukan sebagai pelengkap untuk urusan administrasi lainnya. Bagi Umar, surat clearance dari KBRI Moskow adalah yang paling bermutu dan berkesan, karena surat itu dibuat berdasar catatan dan pengetahuan yang obyektif dan benar-benar menunjukkan keadaan yang sesungguhnya dari setiap mahasiswa. Hal ini wajar karena sebelum terjadi peristiwa G-30-S PKI pun, KBRI Moskow sudah kenal betul semua mahasiswa Indonesia yang jumlahnya sedikit itu. Surat clearance lain yang berkesan adalah yang diperoleh dari Cepu tahun 1967 setelah menjalani karantina selama 3 bulan. Umar dan calon pekerja lainnya yang berjumlah sekitar 50 orang, harus menjawab pertanyaan yang berlembar-lembar hingga kelelahan. Saking banyaknya jawaban yang standar dan cenderung membosankan, Umar sampai ragu apakah lembar-lembar jawaban itu nantinya benar-benar dibaca oleh petugas keamanan ataukah tidak. Dugaannya, hanya orang-orang tertentu yang sudah masuk daftar hitam saja yang benar-benar diamati dan tidak akan mendapat clearance. Karantina selama tiga bulan itu disebut “Kursus Penyesuaian Mental dan Aptitute”, yang sepertinya menjadi cikal bakal Penataran P4. Kegiatannya antara lain adalah pendidikan Pancasila, olah raga, baris-berbaris, serta pembahasan tentang apa itu Orde Baru dan bagaimana kejahatankejahatan yang dilakukan PKI. |
13
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
Kursus ini mendapat pengawasan ketat sepanjang siang dan malam terus menerus oleh dua orang tentara berpangkat sersan. Tugas kedua sersan ini adalah untuk melihat semua perilaku peserta karantina. Mereka sampai mengetahui segala gerak-gerik Umar dan teman-temannya, baik di dalam maupun di luar jam pendidikan. Hingga lagu apa yang dinyanyikan Umar di kamar mandi pun, mereka pasti tahu. Setelah tiga bulan berlalu dan persyaratan administratif terpenuhi, akhirnya semua calon pekerja mendapatkan surat clearance karena mereka semua dianggap tidak terindikasi memiliki kaitan dengan PKI. Setelah surat clearance didapat, semua peserta mulai disebar ke berbagai area kerja Pertamina. Umar sendiri ditempatkan di kilang minyak Cepu. Masa-masa setelah G-30-S PKI adalah masa-masa yang berat bagi Umar dan kawan-kawannya yang menyandang status alumsi sekolah Soviet. Walaupun sudah mendapat surat-surat clearance, mereka terus dicurigai membawa ideologi komunis. Setiap akan melakukan penugasan ke luar negeri, mereka harus menjalani prosedur pemeriksaan (screening). Sudah ratusan kali Umar menjalani screening, dan selalu lulus pula karena memang dirinya tidak pernah ada keterkaitan aktivitas politik selama menimba ilmu di Uni Soviet. Banyak pihak yang tidak memahami, bahwa mahasiswa Indonesia seperti Umar Said yang dikirim ke Soviet waktu itu adalah dalam program resmi pemerintah Indonesia. Memang ada pengiriman mahasiswa aktivis PKI yang bersekolah di Universitas Patrice Lumumba di Moskow yang berangkat atas rekomendasi PKI. Tetapi karena gairah Bung Karno untuk memajukan pendidikan tinggi anak muda Indonesia, Bung Karno pun meminta tempat bagi mahasiswa non aktivis partai untuk bisa sekolah di universitas tersebut. Sayangnya, masyarakat menyamaratakan bahwa setiap tamatan perguruan tinggi di Soviet pastilah komunis. Padahal, yang benar-benar mahasiswa kader PKI umumnya tidak pernah pulang ke Indonesia. Mereka memilih eksodus dan tinggal di Eropa Barat. Sedangkan mahasiswa lain yang pulang ke Indonesia umumnya bukan kader PKI. Sayangnya, cap eks-Soviet ini sulit dihilangkan hingga berpuluh
|
14
|
tahun. Sampai lama-kelamaan Umar pun enjoy saja dengan stigma eksSoviet. Di tengah masa karirnya, Umar pernah menghadapi fitnah terkait stigma eks-Soviet. Suatu kali setelah mengabdi sekian tahun sebagai pegawai negeri sipil, Umar diberi tugas untuk menetapkan pemenang lelang pengadaan barang dan jasa. Umar sebenarnya tidak tertarik dengan pekerjaan semacam itu. Ia lebih menyukai tantangan penelitian dan analisa. Baginya, pekerjaan penentu pemenang lelang kurang ada sisi ilmiahnya, dan tidak akan menambah kepandaiannya. Menurut Umar apa pun hasil panitia lelang, maka itulah yang akan menjadi ketetapan dasar hukum untuk proses lebih lanjut. Di suatu hari jelang penentuan pemenang lelang, Umar mendapat panggilan dari tim screening di Departemen Pertambangan dan Energi (sekarang Kementerian ESDM) untuk memberikan penjelasan perihal seorang saudara kandung Umar. Rupanya ada laporan yang yang menyatakan bahwa ada seorang pejabat eks-Soviet yang memiliki saudara di luar negeri dan tidak pernah pulang ke Indonesia. Setelah Umar mencari informasi lebih lanjut, laporan tersebut ternyata bersumber dari seorang pejabat di departemen yang sama yang sedang menjagokan salah satu peserta lelang tetapi akhirnya kalah. Sehingga dicarilah dosa Umar Said dengan delik adik Umar seorang pelarian politik. Tuduhan ini sangat serius dan bisa membuat Umar diberhentikan seketika. Laporan tuduhan itu sama sekali tidak berdasar. Umar memang memiliki adik kandung perempuan yang bersuamikan seorang pegawai Departemen Luar Negeri yang waktu itu sedang berdinas di KBRI Australia. Dia tidak pulang selama bertahun-tahun karena dinasnya belum selesai. Semuanya jelas dan tuntas. Meskipun diterpa tuduhan, peristiwa tersebut tidak mengubah sikap dan pendirian Umar terhadap keputusan pemenang lelang. Umar berpesan kepada tim lelang agar tetap bekerja cermat mengikuti prosedur dan aturan yang ada, tidak perlu mempersoalkan siapa di belakang peserta lelang, agar mudah dalam bekerja, tepat dalam mengambil keputusan, dan tidak mudah diprotes orang lain. |
15
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
“Jika kita tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pekerjaan, kita tidak perlu takut memutuskan berdasarkan aturan yang ada. Di jaman reformasi ini, banyak sekali pejabat takut memutuskan dan melempar pengambilan keputusan ke ‘atas’ dengan analisis yang tidak konklusif. Pihak dari atas melempar lagi ke samping atau ke bawah. Pengambilan keputusan menjadi terlalu lama, dan akhirnya banyak pekerjaan birokrasi yang terbengkalai. Itu semua terjadi karena takut dituduh berbuat menyimpang oleh KPK, jaksa, atau polisi. Karena manusia itu mempunyai sifat lupa akan hal-hal yang sudah lama berlangsung, sebaiknya semua pertimbangan yang pernah dipakai dalam pengambilan keputusan dituliskan dengan jelas dan catatannya disimpan. Catatan seperti itu, suatu saat akan berguna dalam hidup yang masih penuh dengan keraguan ini.” (Umar Said, 2014)
D. Melanjutkan Pendidikan Master ke Ecole Nationale Superieure du Petroles et Des Moteurs (ENSPM) Rueil Malmaison, Perancis (1972-1974) Tahun 70-an semasa mengabdi di LEMIGAS, seusai melakukan kajian kelayakan kilang Cilacap, Umar mendapati pengetahuan teknoekonominya sangat kurang. Pada saat yang sama LEMIGAS menjalin kerjasama dengan Institute Francais du Petrole (IFP), salah satunya dalam bidang pendidikan. Barangkali karena telah ikut dalam tim yang membuat kajian kelayakan tekno-ekonomi kilang Cilacap, Umar diberi penghargaan sebagai calon yang akan disekolahkan ke Perancis.
|
16
|
Sumber: 1 Tahun LEMIGAS Mengabdi Gambar 1. Gedung utama LEMIGAS tempo dulu
Setelah wawancara dengan Monsieur Jean Masseron, Direktur Ecole Nationale Superieure du Petroles et Des Moteurs (ENSPM), Umar masuk dalam rombongan kedua yang dikirim ke sekolah tinggi minyak di pinggiran kota Paris yaitu di ENSPM. Umar mengambil jurusan Ekonomi dan Manajemen Perminyakan. Tentu itu bukan pilihan Umar sendiri, tetapi sebagai konsekuensi dari pekerjaan yang dilakukan Umar sebelumnya. Jurusan Ekonomi dan Managemen Perminyakan di ENSPM mempersiapkan para sarjana tingkat S1 bidang teknik dari Perancis dan negara lain untuk menempuh pendidikan master yang selanjutnya dipersiapkan menjadi calon eksekutif perusahaan minyak. Di jurusan ini diajarkan semua bidang kegiatan minyak, mulai dari geologi hingga marketing. Meskipun bukan bertujuan untuk membentuk tenaga ahli teknik, namun semua mahasiswa harus paham keseluruhan proses teknik tersebut, termasuk segala istilah dan bahasa teknik. Tujuannya adalah agar mampu membuat analisis dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi lapangan. Selain itu, mahasiswa juga belajar teori ekonomi, analisa risiko, game theory, akuntansi dan cara menyampaikan ide secara singkat dan jelas. Karena banyak yang harus dipelajari, masa belajar di jurusan ini bisa mencapai dua puluh tiga bulan, sementara jurusan lain cukup dua belas bulan. |
17
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
ENSPM terletak di Rueil Malmaison, dipinggiran kota Paris. Di kota itu, banyak yang bisa dilihat dan dikunjungi. Umar dapat menghabiskan akhir pekan dengan nyaman, berkeliling Paris karena sistem sekolah di ENSPM tidak ada pekerjaan rumah atau tugas kuliah. Sudah menjadi kebiasaan, orang Paris menghindari bekerja pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga ENSPM pun tidak pernah memberi pekerjaan rumah untuk akhir pekan. Semua tugas harus selesai di sekolah. Suatu hal baru yang belum pernah Umar alami sebelumnya.
Sumber: Koleksi Pribadi Gambar 2. Umar Said sewaktu belajar di Perancis
Umar sempat mengalami kesulitan belajar di ENSPM karena belum mahir berbahasa Perancis. Bulan-bulan awal, Umar sering salah menerima penjelasan berupa angka karena cara orang Perancis menyebut tujuh puluh adalah enam puluh-sepuluh. Menyebut delapan puluh adalah empat kali dua puluh. Menyebut sembilan puluh adalah delapan puluhsepuluh. Kalau berbicara, orang Perancis suka menggunakan banyak anak kalimat. Pendengar yang tidak memahami cara berpikir orang Perancis bisa kehilangan arah. Umar juga sangat sering harus membuat esai yang cukup memusingkan. Akan tetapi, semua tantangan ini ia hadapi, karena ia yakin bahwa pengalaman-pengalaman tersebut sangat berharga dan menjadi pelajaran penting tentang berbagai hal terkait kebijakan energi. |
18
|
Bagi Umar, banyak sekali pelajaran yang bisa ia petik ketika mendalami studi Ekonomi dan Manajemen Perminyakan, yang ia sebut sebagai ‘wisdom’. Wisdom yang masih relevan dan bermanfaat hingga sekarang adalah: Pertama, jangan percaya mentah-mentah terhadap angka-angka ramalan ahli geologi, sebab ahli geologi selalu memberi harapan tinggi. Ini wajar, karena jika tidak memberi harapan, tentu tidak akan ada perusahaan yang bersedia memberi dana untuk eksplorasi minyak. Sehingga, terapkanlah ‘diskon’ dari angka yang disodorkan ahli geologi sebelum menjadi bahan keputusan. Berapa besar diskon tersebut, tergantung profil ahli geologinya. Jika ahli tersebut sudah terbukti sering menemukan minyak, maka diskonnya kecil saja. Jika ahli geologi tersebut masih baru, maka diskonnya diperbesar. Diskon dilakukan untuk melindungi kepentingan perusahaan, agar jangan sampai dengan mudahnya dana investasi habis tanpa mendapatkan minyak. Informasi geologi dari suatu wilayah sangat penting untuk analisis pengambilan keputusan investasi. Akan tetapi, minyak adalah barang yang tidak kelihatan di permukaan dan tidak dapat dicari informasi pembanding dari sumber lain. Hanya ahli geologi dan timnya yang paling tahu, mereka melakukan analisis berdasarkan keilmuannya. Meski demikian, tidak ada seorang pun yang tahu persis keadaan sebenarnya di dalam perut bumi. Kedua, keputusan untuk mendanai kegiatan hulu tidak boleh mendadak dan hanya dilakukan sekali, melainkan harus dilakukan bertahap tergantung nilai expected monetary value yang didapat. Nilai ini diperoleh sebagai hasil perkalian volume hidrokarbon perkiraan dari ahli geologi, harga hidrokarbon (minyak atau gas), dan nilai probabilitas angka geologi tersebut. Ketiga, karena tingkat resiko yang cukup tinggi atau bahkan tidak bisa dihitung, maka bagilah resiko kegagalan dengan perusahaan lain. Jika gagal, maka resiko ini dibagi. Demikian pula sebaliknya, jika untung maka keuntungan juga harus dibagi. Keempat, apa pun teori atau teknologi mencari hidrokarbon, hanya pemboran yang dapat membuktikan ada tidaknya minyak jauh di perut |
19
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
bumi. Gambar satelit yang canggih sekalipun hanya mampu menemukan kondisi geologi yang layak menjadi rumah bagi minyak atau gas. Rumah itu ada isinya atau kosong, hanya bisa dibuktikan dengan pemboran. Kelima, cadangan minyak di bawah tanah tidak seperti telaga, tetapi berada dalam pori-pori kecil lapisan pasir atau lapisan lainnya. Sebagai pembanding, bayangkan betapa sulitnya mengambil kembali minyak yang sudah dituang ke dalam pasir. Jika minyak bisa diambil, tentu pasirnya masih berbau minyak, menandakan sebagian besar minyak masih tertinggal di pasir karena lengket. Cara mendapatkan minyak yang lengket pada pasir adalah mencucinya dengan sabun, itu pun tidak akan didapatkan seratus persen minyaknya. Begitulah gambaran analogi proses produksi minyak. Kesulitan menambang minyak lebih besar karena pasir ada di kedalaman tiga kilometer di perut bumi, dan penambang hanya mempunyai satu lubang kecil untuk melakukan segala upaya mengangkat minyak. Makin lama, makin sedikit jumlah minyak yang bisa diangkat, tetapi biaya pengangkatan minyak semakin mahal, sebab harus memakai bahan kimia untuk penyabunan tadi. Keenam, minyak dalam tanah ibarat limun dalam botolnya. Jika botol itu dibuka mendadak, limun akan menyembur keluar, tetapi semburan itu akan cepat habis. Yang tertinggal adalah limun di dalam botol yang harus dibuka sedikit demi sedikit agar sebanyak mungkin cairan bisa keluar. Ini sebabnya produksi minyak tidak boleh digenjot sesuka kebutuhan APBN misalnya. Ada aturan flow rate yang harus dipatuhi. Ketujuh, teori ekonomi tentang pembentukan harga yang mengacu pada marginal cost tidak berlaku dalam minyak. Harga minyak adalah harga politik atau harga persekongkolan. Sejak jaman industri, minyak didominasi oleh ‘The Seven Sisters’, yakni harga minyak ditetapkan oleh manajemen tujuh perusahaan minyak raksasa. Kemudian penetapan harga sempat diambil alih oleh OPEC. Moamar Khadafi dari Libya pernah memanfaatkan penutupan terusan Suez oleh perang Yom Kippur untuk menaikkan harga minyaknya. Selanjutnya, kendali harga diambil alih oleh Saudi. Sekarang, harga minyak “basah” ditetapkan oleh pedagang minyak “kertas”. Ekspektasi dan isu politik lebih kuat menentukan |
20
|
harga. Minyak Brent dianggap yang menetapkan harga minyak dunia, tetapi produsen minyak Brent sesungguhnya melihat ke kiri ke kanan dalam menetapkan harga. Harga bisa tiba-tiba melambung atau anjlok hanya karena isu politik. Isu dan ekspektasi sebenarnya hanya mampu mengubah riaknya saja. Tetapi general price level minyak tidak jelas siapa yang menetapkannya sekarang ini. Bukan OPEC dan bukan Saudi lagi. Kedelapan, investasi kilang minyak selalu memberikan return yang tipis, akan tetapi kilang minyak selalu saja dibangun (oleh orang yang paham), karena minyak mentah tidak dapat dipakai langsung oleh konsumen, namun harus diolah atau ‘dimasak’ terlebih dahulu. Pembiayaan investasi kilang menggunakan oblikasi (bond) yang ongkosnya selalu lebih rendah dari return kilang. Makin kompleks suatu kilang, maka biaya (cost) akan semakin tinggi, dan semakin tinggi pula return-nya. Pembuatan produk petrokimia akan meningkatkan return kilang. Ongkos mengolah minyak berat lebih tinggi dibanding ongkos mengolah minyak ringan. Minyak di Indonesia adalah minyak ringan dan berkadar belerang rendah. Kesembilan, kilang didirikan sedekat mungkin dengan konsumen karena dua alasan. Satu, mengangkut minyak mentah dapat dilakukan dalam jumlah sangat besar melalui laut dengan Very Large Crude Carrier (VLCC) sehingga ongkosnya turun. Sedangkan kapal tanker pengangkutan produk lebih kecil dan ongkos menjadi mahal. Dua, mendekatkan kilang dengan konsumen akan menjaga mutu produk minyak, sebab mutu produk mudah rusak dalam perjalanan jauh. Kesepuluh, keuntungan pemasaran yang utama berasal dari produk petrokimia dan minyak pelumas. BBM dan aspal merupakan produk yang memberi keuntungan moderat saja. Penjualan bahan bakar kualitas tinggi dapat mendongkrak profitabilitas. Tidak ada perusahaan minyak menjual BBM yang sepenuhnya mengandalkan pasokan dari kilang sendiri. Mereka selalu mengambil produk dari kilang terdekat, bahkan mungkin dari kilang milik pesaingnya. Mereka menjual merek karena konsumen kebanyakan melihat merek, bukan siapa yang membuatnya.
|
21
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
Pesan Moral “Dari beberapa pelajaran itu saya melihat banyak yang salah dalam praktek pengusahaan minyak dan persepsi masyarakat di Indonesia. Politisi di DPR masih sering ‘berbunyi aneh’ yang menunjukkan ketidak tahuan mereka akan sifat alam. Politisi mempertanyakan mengapa produksi turun tetapi ongkos naik (Wisdom Kelima). Mungkin saja memang ada korupsi dalam produksi migas, tetapi memang sulit menarik minyak yang makin sedikit tertinggal dalam pori-pori batuan. Sifat alam memang seperti itu. Kilang pengolahan minyak baru sering dikatakan tidak ekonomis dan minta insentif berlebihan. Padahal dari jaman dahulu, return kilang memang tipis (Wisdom Kedelapan). Semua kilang Pertamina yang ada sekarang ini, dibangun oleh negara melalui APBN. Setelah selesai dibangun, diserahkan ke Pertamina untuk dioperasikan. Kenapa sekarang kita risau jika Pertamina tidak mau membangun kilang? Pertamina oleh undang-undang BUMN diharuskan membuat laba. Jadi kalau Pertamina menghindari melakukan investasi yang memberi return kecil, itu akibat dari kemauan UU. Jika kita cukup cerdik, APBN masih sangat mampu membiayai pembangunan kilang baru, seperti dulu. Kilang baru adalah untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dan itu memang kewajiban pemerintah menjamin ketahanan energi nasional. Prof. M. Sadli (almarhum), Menteri Pertambangan dan Energi (19731978), pernah berkunjung ke LEMIGAS dan meminta disiapkan paparan tentang pembentukan harga minyak. Saya mendapat tugas dari pimpinan LEMIGAS untuk menyiapkan bahan dan sekaligus memaparkannya. Saya paparkan dengan data bahwa tidak ada kaitan sama sekali antara marginal cost dengan harga minyak di pasar (Wisdom Ketujuh). Barangkali dengan fakta bahwa tidak ada teori di belakang pembentukan harga minyak, beliau sebagai Menteri Pertambangan dan Energi mengubah bagian kontraktor dari 40% menjadi hanya 15% dari nilai Net Operating Income (NOI)**. Beliau mengatakan kepada para kontraktor bahwa yang menaikkan harga minyak kan bukan kontaktor. Tetapi OPEC, termasuk pemerintah Indonesia, yang menaikkan harga. Jadi wajar jika wind fall-nya untuk negara. Dengan hanya 15% tetapi harga yang lebih tinggi, kontraktor juga mendapat tambahan penghasilan dibanding 40% dengan harga lama. Kontrak pun diamandemen untuk meningkatkan pendapatan negara.” (Umar Said, 2014) ** NOI adalah sales revenue dikurangi ongkos mengangkat
|
22
|
E. Melanjutkan Pendidikan Doktor ke Madison, Wisconsin (1982-1985) Tahun 1978, di Departemen Pertambangan dan Energi dibentuk direktorat jenderal baru yaitu Direktorat Jenderal Energi (DJE). Direktur Jenderal (Dirjen) Energi yang pertama adalah Prof. DR. Samaun Samadikun (alm.), seorang ahli listrik dan nuklir dari ITB. Salah satu direkturnya adalah Prof. DR. Artono Arismunandar (alm.) yang juga ahli listrik di PLN. Belum begitu lama DJE terbentuk, berlangsung pertemuan IndonesiaAmerika mengenai kebijakan energi nasional. Karena Prof. Samaun dan Prof. Artono masih baru di bidang kebijakan energi, maka Pak Wijarso yang diharapkan bisa hadir dalam pertemuan itu. Pak Wijarso adalah Dirjen Migas, secara ex officio menjadi Ketua Panitia Tetap Energi (PTE), suatu tim interdepartemen yang bertugas menyiapkan konsep-konsep kebijakan energi untuk menteri dan kabinet. Karena sibuk, Pak Wijarso tidak bisa hadir di pertemuan dan menugaskan Umar Said untuk membantu Prof. Samaun. Umar sudah lama membantu Pak Wijarso (alm.) menangani kebijakan energi. Pak Wijarso menganggap Umar Said memahami kebijakan energi dan mengetahui isu-isu terkini di bidang energi. Singkat cerita, dalam pertemuan bilateral tersebut, dari pihak Amerika ada seorang profesor dari Universitas Wisconsin yang bernama Prof. Wesley Foell. Dia bersimpati dengan Indonesia, karena istrinya adalah seorang Belanda yang lahir di kota Lahat, Sumatra Selatan. Prof. Wesley Foell sendiri adalah keturunan Jerman. Orang tuanya pindah ke Amerika sebelum Nazi berkuasa. Setelah pertemuan formal berlalu, Prof. Foell masih terus berkomunikasi dengan Umar Said dan banyak bertanya tentang kebijakan energi Indonesia. Rupanya dia juga sedang mencari kandidat mahasiswa S2 dan S3 untuk Universitas Wisconsin dengan biaya dari United States Agency for International Development (USAID). Memang demikianlah cara negara maju membantu negara berkembang. Mereka mengupayakan |
23
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
agar belanja tunainya dinikmati oleh pihaknya sendiri. Pihak negara berkembang hanya akan menerima manfaatnya saja. Contohnya dengan memberi beasiswa USAID, sebetulnya pemerintah Amerika sedang memutar anggaran belanjanya di perekonomian dalam negerinya sendiri. Belanja yang dikeluarkan oleh USAID akan jatuh ke Universitas Wisconsin. Biaya rutin yang dikeluarkan mahasiswa untuk sewa kamar, makan, pakaian, transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya akan berputar dalam perekonomian lokal Amerika. Umar menceritakan awal mula Umar melanjutkan pendidikan S3 di Wisconsin: “Tahun 1981, saya sudah mulai jenuh dengan kegiatan kebijakan energi yang begini-begini saja. Saya berkecimpung bersama praktisi terutama Pak Dirjen Migas, tugasnya cuma satu: apa pun kebijakannya, pendapatan negara dari minyak harus naik. Pak Harto, selaku Presiden, rupanya sangat memperhatikan penerimaan negara dari minyak itu. Saya ingin sekolah lagi. Kebetulan dalam salah satu pertemuan energi Indonesia Amerika saya berbicara banyak dengan salah satu anggota delegasinya. Dia Profesor Wesley Foell namanya. Dia tanya apa saya berminat mengambil “master”. Dia bisa usahakan bea siswa dari USAID. Setelah setahun lebih melewati berbagai prosedur administrasi, saya bisa diterima untuk mendapat beasiswa USAID. Tetapi karena program master, beasiswa hanya dua tahun. Tapi it’s okay, saya bilang bismillahirrahmirrahim saya berangkat. Eh, taunya saya tidak diijinkan LEMIGAS. Saya menghadap Pak Wijarso, menyampaikan bahwa saya dapat beasiswa dari USAID apa saya boleh berangkat. Saya tambahi bumbu, dengan sekolah lagi, kalau saya pulang nanti dan membantu pak Wi lagi, paper-paper Pak Wi akan menjadi lebih bagus. “Aku melu sekolah entuk opo ora?” Jawab Pak Wi. “Bapak itu tidak perlu sekolah lagi. Bapak sudah jadi dirjen, biar saya saja.” Pungkas saya. Saya bawa rekomendasi Pak Wi ke LEMIGAS. Jadi ini saya ditugaskan oleh Dirjen untuk sekolah. Terus saya mohon Profesor Samaun untuk |
24
|
juga memberikan rekomendasi. Profesor Artono Arismunandar juga memberikan. Dapat dua rekomendasi dari orang profesor dan satu Dirjen, lalu saya bawa ke USAID dan diterima, Jadilah saya berangkat. (Umar Said, 2014) Dalam sistem di Amerika, salah satu unsur penilaian kinerja seorang profesor adalah kemampuannya mendatangkan sumber-sumber pendanaan. Jadi Umar Said dicatatnya sebagai salah satu kandidat Profesor Wesley Foell, untuk dibiayai USAID. Soal kemampuan akademis, Prof. Foell mempunyai hak untuk kandidatnya. Ini yang disebut simbiose mutualistis. Saling membantu. Profesor Foell membantu saya mendapat beasiswa dan saya membantu Prof. Foell meningkatkan penerimaan bagi universitasnya. Yang harus ditempuh dan tidak dapat dinegosiasikan adalah nilai test bahasa Inggris (TOEFL/Test of English as a Foreign Language). Umar pun terpaksa belajar TOEFL dulu. Lulus TOEFL, Umar resmi menjadi mahasiswa Universitas Wisconsin. Semua ilmu yang sudah pernah Umar pelajari di Paris ternyata tidak diakui oleh sistem pendidikan di Amerika untuk S2, karena ENSPM memang bukan universitas. Jadi, Umar dianggap lulusan S1 murni. Umar diharuskan mengambil S2 terlebih dahulu sebelum mengambil S3, atau boleh langsung mendaftar sebagai graduate student untuk S3 tetapi tanpa jaminan akan mendapat S2. Umar memilih menempuh resiko kedua. Ia cukup yakin akan bisa studi S3 dengan cukup baik karena sudah pernah belajar di Paris. Hanya karena ENSPM tidak dikategorikan universitas, maka kredit nilainya tidak dapat ditransfer. Bertindak sebagai official major advisor Umar Said adalah Prof. Charles J. Cicchetti, seorang profesor ekonomi dan lingkungan. Tetapi karena Prof. Cicchetti juga menjabat Ketua Wisconsin Public Servive Commission, maka aktivitasnya luar biasa sibuk. Umar lebih banyak konsultasi kepada Prof. Wesley Foell. Waktu berjalan, studi Umar di Wisconsin telah sampai di penghujungnya. Ia telah selesai menyusun model menggunakan tabel input-output Indonesia tahun 1980, untuk melakukan berbagai simulasi penggunaan energi menggunakan model, dan menulis tesis. Tibalah saatnya Umar siap |
25
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
untuk menempuh ujian akhir di hadapan Komite Penasehat. Celakanya, Prof. Charles Cicchetti sudah pindah ke Boston. Dalam pemikiran Umar, ganti advisor sama dengan bunuh diri karena harus mengulang dari nol lagi. Jika berganti advisor, yang baru belum tentu setuju dengan metode yang dipakainya dan apa yang Umar telah tuliskan. Umar pun berkonsultasi dengan Prof. Wesley Foell dan anggota komite lainnya. Umar menyatakan kesediaannya jika harus menempuh ujian dua kali. Pertama di Boston untuk ujian dengan Prof. Cicchetti, dan kemudian ujian lagi di hadapan anggota Komite Penasehat lainnya di Madison. Tetapi “para dewa” dari universitas tidak menyetujui ujian dua kali, dengan alasan apa yang ditanyakan oleh Prof. Cicchetti selaku major advisor Umar, tidak akan bisa diketahui oleh advisor yang lain. Pertimbangan tersebut cukup fair. Timbul pemikiran inisiatif dari Umar Said untuk menempuh ujian secara teleconference. Prof. Cicchetti setuju asal angggota komite lainnya juga setuju. Segera Umar menghubungi USAID selaku sponsor yang membiayai sekolah untuk memfasilitasi biaya penyelenggaraan teleconference. Umar berargumen jika USAID tidak menyetujui pembiayaan teleconference, maka USAID harus mensponsori Umar selama tiga tahun lagi. Lagi-lagi Umar memang jitu memberikan alasan pertimbangan. Padahal dalam batin Umar, kalaupun USAID tidak setuju melanjutkan pembiayaan, maka sebenarnya Umar tidak bisa menuntut apa-apa. Bahkan kemungkinan terburuknya Umar harus pulang, tanpa gelar S3, dan tanpa gelar S2 yang diambilnya dengan potong kompas. Alhamdulillah, pihak USAID setuju, pihak administrasi Graduate School di Universitas Wisconsin juga setuju, dan anggota komite juga setuju. Maka suatu pagi di bulan Oktober 1985, Umar Said menempuh ujian akhir di hadapan seluruh anggota Komite Penasehat kecuali Prof. Cicchetti dan sebuah peralatan video conference untuk berhubungan dengan Prof. Cicchetti di Boston. Umar mempertahankan disertasinya yang berjudul Input-Output Energy Analysis: Energy Implications of The Fourth FiveYear Development Plan for Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat umum dan singkat. Sidang berlangsung lancar, Umar pun lulus.
|
26
|
Selesai ujian, Umar melapor ke Graduate School. Mereka mengatakan ini pertama dan terakhir bagi Universitas Wisconsin mengijinkan pelaksanaan ujian secara teleconference. Dalam benak Umar, “Yo wis embuh.”
|
27
|
Birokrat Tekno Ekonomi Migas Indonesia | Umar Said
|
28
|