PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNG WISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA
TRIYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Februari 2013
Triyono NIM H352100021
ABSTRACT TRIYONO. The Economic Assessment and Carrying Capacity of Pari Island Marine Tourism in Thousand Islands of DKI Jakarta Province. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and SUHARSONO. The economic assessment and carrying capacity of Pari island marine tourism in Thousand islands of DKI Jakarta province are intended to determine the land suitability of Pari island for the marine tourism, to estimate the physical carrying capacity of Pari island for the marine tourism, to estimate the economic values of Pari island for the marine tourism and the economic impacts for the local people. The analysis of tourism land suitability shows that the group of Pari island in accordance with the parameter of brightness and flow velocity is really appropriate with the parameter of the types of coral reefs and reef fish species, is appropriate with margin and is sufficiently appropriate with the live coral cover; and in accordance with the width parameter is of the potential for 361,5 ha diving and 939,55 ha snorkeling activities. The carrying capacity of the group of Pari island for diving tourism is 1.287 people/day, for snorkeling tourism is 2.787 people/day, for mangrove tourism is 504 people/day, and for beach tourim is 2.572 people/day. The results showed the total economic value of marine tourism in Pari island about 12.365.824.221,25 IDR or 192.314.529,10 IDR per hectare/year. Keynesian Local Income Multiplier value of cash flow marine tourism activities in Pari Island showed a value of 1,48, Income Multiplier Ratio Type I and Income Multiplier Ratio Type II with value of 1,09, and 1,14.The recommendations for the marine tourism development in Pari island are among other: the settlement of land ownership status; involvement, capacity development, and community empowerment; the opening of direct transport access toward Pari island; the improvement of infrastructures and tourism supporting facilities. Keywords : Carrying Capacity, Economic Assessment, Economic Impacts, Marine Tourism, Pari Island
RINGKASAN TRIYONO. Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan SUHARSONO. Pulau Pari adalah gugusan pulau yang di atas terumbu karangnya berdiri Pulau Pari itu sendiri dan pulau-pulau kecil lainnya yakni Pulau Burung, Pulau Tikus, Pulau Tengah dan Pulau Kongsi. Kawasan ini memiliki potensi alam yang indah serta memiliki tiga ekosistem tropis yang lengkap yakni hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang termasuk keanekaragaman sumberdaya hayati lainnya. Gugusan pulau yang berada di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan ini sedang berkembang wisata baharinya. Perkembangan wisata bahari yang ditandai dengan meningkatnya jumlah pengunjung tentunya membawa dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar. Mengingat potensi yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari untuk kegiatan pariwisata maka penelitian yang berkaitan dengan penilaian ekonomi dan daya dukung wisata bahari di wilayah ini sangat penting dilakukan. Penelitian ini memiliki tujuan yaitu : (1) menentukan kesesuaian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari, (2) mengestimasi nilai daya dukung fisik Pulau Pari untuk wisata bahari, (3) mengestimasi nilai ekonomi Pulau Pari untuk wisata bahari dan dampak ekonominya bagi masyarakat lokal. Penelitian ini dilakukan di Pulau Pari Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa wisata bahari sedang berkembang di wilayah ini. Evaluasi lahan digunakan untuk mengetahui kesesuaian lahan di Pulau Pari untuk wisata bahari. Konsep daya dukung kawasan digunakan untuk mengetahui daya dukung fisik kawasan wisata bahari di Pulau Pari. Estimasi nilai ekonomi keberadaan wisata bahari di Pulau Pari menggunakan metode pendekatan biaya perjalanan atau travel cost method (TCM) dan dampak ekonomi wisata bahari bagi masyarakat lokal diukur menggunakan efek pengganda (multiplier) dari aliran uang yang terjadi. Potensi yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari menjadi daya tarik wisatawan sebagai objek wisata bahari. Analisis kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari menunjukkan gugusan Pulau Pari sesuai menurut parameter kecerahan dan kecepatan arus, sangat sesuai menurut parameter jenis terumbu karang dan jenis ikan karang, sesuai marginal dan cukup sesuai untuk tutupan karang hidupnya serta menurut parameter kedalamannya memiliki potensi untuk kegiatan selam seluas 361,5 ha dan snorkeling seluas 939,55 ha. Daya dukung fisik gugusan Pulau Pari sebagai kawasan wisata bahari menunjukkan jumlah maksimum pengunjung yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas adalah 1.287 orang/hari untuk wisata selam, 2.787 orang/hari untuk wisata snorkeling, 504 orang/hari untuk wisata mangrove, dan 2.572 orang/hari untuk wisata pantai. Wisata bahari di Pulau Pari memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat lokal dengan munculnya unit-unit usaha untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja lokal dari masyarakat Pulau Pari. Nilai ekonomi total dari keberadaan gugusan Pulau Pari sebagai objek wisata bahari adalah sebesar Rp. 12.365.824.221,25 per tahun atau Rp.
192.314.529,10 per hektar per tahun. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung fisik akan memberikan nilai ekonomi total sebesar Rp. 171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp. 2.670.083.520,- per hektar per tahun. Besarnya dampak ekonomi langsung, tidak langsung, dan induced ditunjukkan oleh nilai multiplier dimana Nilai keynesian local multiplier dari aliran uang kegiatan wisata bahari di Pulau Pari sebesar 1,48 yang berarti bahwa dengan jumlah pengunjung rata-rata per bulan mencapai 1.482 orang pengunjung dan pengeluaran rata-rata setiap pengunjung sebesar Rp. 262.636,- maka pengeluaran wisatawan setiap bulannya akan memberikan dampak pendapatan pada masyarakat lokal sebesar Rp. 576.852.210,53. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung fisik akan memberikan dampak peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar Rp. 8.008.981.837,91. Nilai ratio income multiplier Tipe I di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,09 artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran pengeluran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung (berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ratio income multiplier Tipe II di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinya peningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,14 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Rekomendasi bagi pengembangan wisata bahari di Pulau Pari kedepannya antara lain : penyelesaian status kepemilikan lahan; pelibatan, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan masyarakat; penguatan peraturan dan kelembagaan; pembukaan akses langsung transportasi menuju Pulau Pari; peningkatan pra sarana dan sarana pendukung wisata; dan kajian spasial serta dampak wisata bahari terhadap kualitas lingkungan dan perairan Pulau Pari. Kata Kunci : Dampak Ekonomi, Daya Dukung, Pulau Pari, Penilaian Ekonomi, Wisata Bahari
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENILAIAN EKONOMI DAN DAYA DUKUNG WISATA BAHARI DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA
TRIYONO
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Luky Adrianto, MSc
Judul Tesis
Nama NIM
: Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta : Triyono : H352100021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi Ketua
Prof (R) Dr Suharsono Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 8 Januari 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai Oktober 2012 ini adalah wisata bahari, dengan judul Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin dan Bapak Prof (R) Dr Suharsono selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Luky Adrianto, MSc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis dapat melanjutkan studi pascasarjana pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Ketua Program Studi dan rekan-rekan PS. ESK 2010 yang selalu memberikan motivasi dan dukungan. Tak lupa pula penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf UPT Loka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari LIPI dan pelaku usaha wisata bahari serta semua pihak di Pulau Pari yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam pengumpulan data. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2013
Triyono
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 2 April 1983 dari ayah Sochib Hadi Pranoto dan Ibu Sriningsih (Alm). Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari Program Studi Manajemen Agribisnis IPB dan pada tahun 2006 lolos sebagai calon PNS di UPT Loka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari LIPI dan sampai saat ini tercatat sebagai PNS dengan jabatan sebagai Kandidat Peneliti di satuan kerja tersebut. Pada tahun 2010 melalui program beasiswa dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi pascasarjana dan diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkulihaan, penulis tetap aktif membantu Program Pendidikan dan Kesiapsiagaan Masyarakat menghadapi bencana atau disebut Program Community Preparedness (COMPRESS) LIPI dan menghasilkan beberapa buku terkait kesiapsiagaan bencana. Penulis berkesempatan mengikuti kerjasama dengan peneliti Jepang dalam proyek penelitian tentang bencana gempa bumi dan gunung api serta berkesempatan mengikuti simposium internasional di Jepang.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat Penelitian 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1 1 4 5 5 6
II. TINJUAN PUSTAKA 2.1. Ekonomi Pariwisata 2.2. Wisata Bahari 2.3. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Wisata Bahari 2.4. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari 2.5. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari
7 7 12
III. KERANGKA PEMIKIRAN
30
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengambilan Contoh 4.4. Metode Analisis 4.4.1. Kesesuaian Lahan 4.4.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari 4.4.3. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari 4.4.4. Dampak Ekonomi Wisata Bahari bagi Masyarakat Lokal
33 33 33 35 35 35 36 37
V. KONDISI UMUM PULAU PARI 5.1. Lokasi Penelitian 5.2. Kondisi Kependudukan 5.2.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 5.2.2. Tingkat Pendidikan Penduduk 5.2.3. Mata Pencaharian 5.3. Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Pari
41 41 42 42 44 46 47
16 22 25
39
VI.
KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG FISIK KAWASAN WISATA BAHARI 6.1. Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari 6.1.1. Kecerahan Perairan 6.1.2. Kedalaman 6.1.3. Kecepatan Arus 6.1.4. Tutupan Karang Hidup 6.1.5. Jenis Terumbu Karang 6.1.6. Jenis Ikan Karang 6.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari Pulau Pari
VII. PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI 7.1. Potensi Wisata Bahari di Pulau Pari 7.1.1. Mangrove 7.1.2. Terumbu Karang 7.1.3. Padang Lamun 7.1.4. Biota lain yang Berasosiasi dengan Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang 7.2. Karakteristik Wisatawan 7.3. Persepsi Wisatawan terhadap Wisata Bahari 7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan 7.5. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP MASYARAKAT LOKAL 8.1. Dampak Ekonomi Langsung 8.2. Dampak Ekonomi Tidak Langsung 8.3. Dampak Ekonomi Induced 8.4. Nilai Efek Pengganda atau Multiplier 8.5. Dampak Aktivitas Wisata Bahari bagi Masyarakat di Pulau Pari IX.
SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan 9.2. Saran
54 54 55 57 59 60 64 65 67 73 73 73 74 76 76 77 81 85 89
92 97 103 105 106 109 112 112 113
DAFTAR PUSTAKA
115
LAMPIRAN
119
DAFTAR TABEL 1
Jenis dan Sumber Data
34
2
Matrik Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Bahari
36
3
Jumlah Penduduk Menuruh Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012
43
Jumlah Penduduk Menurut Pulau-Pulau yang Berpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012
44
Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012
45
Tingkat Pendidikan Penduduk menurut Pulau-Pulau Berpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012
46
Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurut Mata Pencaharian Tahun 2012
46
Kecerahan Perairan (m) Pulau Pari pada Dua Stasiun Penelitian selama Bulan Pengamatan
56
9
Luas Perairan di Gugusan Pulau Pari menurut Kedalaman
57
10
Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari berdasarkan Parameter Tutupan Karang Hidup
63
11
Kelimpahan Ikan Karang di Gugusan Pulau Pari
66
12
Nilai Parameter Daya Dukung Fisik Kawasan untuk Setiap Kategori Wisata Bahari
68
Nilai Daya Dukung Fisik Kawasan di Gugusan Pulau Pari untuk Setiap Kategori Kegiatan Wisata Bahari
71
14
Hasil Uji Asumsi dari Model Regresi Linear
86
15
Hasil Estimasi Parameter Model Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari
88
16
Hasil Estimasi Surplus Konsumen
90
17
Perkiraan komponen Biaya Paket Wisata ke Pulau Pari (per Orang)
95
4
5
6
7
8
13
18
Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal
106
19
Perkiraan Jumlah Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari
107
20
Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Lokal pada Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari
107
Nilai Parameter untuk Estimasi Nilai Multiplier Wisata Bahari di Pulau Pari
108
Nilai Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Bahari di Pulau Pari Tahun 2012
108
21
22
DAFTAR GAMBAR 1
Sistem Kepariwisataan
7
2
Konsumsi, Waktu Terbayar dan Tidak Terbayar
10
3
Kegiatan wisata bahari
14
4
Kerangka Pemikiran Penelitian
32
5
Lokasi Pengambilan Data Kecerahan Perairan Pulau Pari
56
6
Peta Bathimetri Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari
58
7
Lokasi Pengamatan Penilaian Status dan Kondisi Terumbu Karang di Gugusan Pulau Pari
60
8
Klasifikasi Habitat (Ekosistem) di Gugusan Pulau Pari
69
9
Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012
78
10
Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah
78
11
Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari
80
12
Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari
81
13
Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata
82
14
Persepsi Wisatawan terhadap Pra Sarana dan Sarana di Pulau Pari
84
15
16
17
18
Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan, Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata dan Aksestabilitas
85
Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalam Wisata Bahari
92
Jenis Profesi Responden sebelum Berusaha di Bidang Wisata Bahari
93
Sebaran Homestay di Lingkungan RT Pulau Pari menurut Jenis dan Jumlah Pemilik
99
DAFTAR LAMPIRAN 1
Data Responden Wisatawan Pulau Pari
120
2
Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari : Model Linear
122
Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari : Model Double-Log
124
Output Regesi Fungsi Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari : Model Double-Log (Step Wise)
126
Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari : Model Linear
134
Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari : Model Double-Log
139
3
4
5
6
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km (WRI 2001) memiliki 17.504 pulau-pulau kecil (KKP 2011). Kawasan pulau-pulau kecil menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang produktif sebagai modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun (seagrass), perikanan, kawasan konservasi, dan wisata bahari maupun lainnya. Di masa yang akan datang dengan meningkatnya jumlah penduduk dan potensi pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia, maka sumberdaya alam dan jasa yang berada di kawasan ini semakin memegang peranan penting. Pulau-pulau kecil memiliki potensi kelautan yang cukup besar. Pulau-pulau kecil memiliki potensi perikanan didukung oleh adanya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi serta bernilai ekonomi. Keunikan, keindahan, dan nilai yang ada di pulaupulau kecil berupa keanekaragaman kekayaan alam maupun sosial budaya dapat dimanfaatkan bagi pengembangan wisata bahari sebagai daerah tujuan wisata. Potensi ini berpeluang menghasilkan devisa bagi Indonesia dari kunjungan wisatawan mancanegara (Kemenbudpar 2004). Data statistik menunjukkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia selama tahun 2011 sebanyak 7.649.731 wisman atau naik sebesar 9,24 persen dibandingkan tahun 2010. Selanjutnya, pada tahun 2011 terjadi peningkatan pada rata-rata pengeluaran wisman dari tahun sebelumnya (2010), yaitu US$ 1.118,26 per kunjungan (US$ 142,69 per hari). Penerimaan devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2011 juga menunjukkan peningkatan sebesar 12,51 persen dibandingkan tahun 2010, dimana selama tahun 2011 penerimaan devisa sebesar US$ 8.554,39 juta. Lain halnya dengan wisatawan nusantara (wisnus), jumlah wisnus pada tahun 2011 tercatat sebanyak 89.112 ribu orang, dimana jumlah tersebut lebih rendah dari tahun 2010 yang tercatat
2
sebanyak 122.312 ribu orang. Hal ini disebabkan baru angka sementara yang dihimpun dari triwulan I-III. Dilihat dari rata-rata perjalanan wisnus, pada tahun 2011 rata-rata perjalanan wisnus tercatat 1,94 hari
dengan pengeluaran per
perjalanan sebesar Rp. 662,68 ribu atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya dimana rata-rata perjalanan wisnus pada tahun 2010 tercatat hanya sebanyak 1,92 hari dengan pengeluaran per perjalanan sebesar Rp. 641,76 ribu (Kemenparekraf 2012). Keseluruhan angka tersebut diatas, mencerminkan kemampuan sektor pariwisata dalam meningkatkan pendapatan nasional baik dalam bentuk pemasukan devisa negara dari wisman maupun perputaran uang di dalam negeri. Salah satu kawasan wisata bahari di Indonesia adalah Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta merupakan suatu wilayah dengan karakteristik dan potensi alam yang berbeda dengan wilayah DKI Jakarta lainnya. Secara administratif melalui UU No. 34/1999 dan PP No. 55/2001, Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya dari sebuah kecamatan menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Wilayah ini merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri atas 110 pulau dengan luas lautan 6.997,50 km2 dan luas daratan pulaunya sekitar 864,59 hektar. Secara administrasi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri dua kecamatan yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kepulauan Seribu yang terbentang dari Kawasan Teluk Jakarta sampai Pulau Sebira memiliki potensi sumberdaya alam berupa pulau-pulau karang yang kecil dengan keindahan alam yang bagus serta kawasan perairan dangkal yang potensial untuk budidaya laut. Di beberapa pulau-pulaunya terdapat berbagai ekosistem seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove serta berbagai jenis ikan. Didukung letaknya yang dekat dengan daratan Jakarta, maka Kepulauan Seribu memiliki potensi untuk pemanfaatan wisata bahari. Selama tahun 2010, Kepulauan Seribu dikunjungi oleh 231.020 orang pengunjung. Dari jumlah tersebut, wisatawan nusantara (wisnus) masih mendominasi sebagai pengunjung di Kepulauan Seribu, dimana jumlah wisnus selama tahun 2010 sebanyak 226.234 orang sedangkan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang mengunjungi Kepulauan Seribu tercatat sebanyak
3
4.786 orang. Dari 9 pulau di Kepulauan Seribu yang dikunjungi wisatawan, Pulau Tidung merupakan pulau yang mencapai jumlah pengunjung terbanyak selama tahun 2010 yakni 99.295 orang. Pulau yang paling sedikit dikunjungi wisman adalah Pulau Harapan hanya 41 orang dan pulau yang paling sedikit dikunjungi wisnus adalah Pulau Putri, yaitu sebanyak 784 orang pengunjung (BPS 2011). Salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang sedang berkembang wisata baharinya adalah Pulau Pari di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Pulau ini merupakan gugusan pulau yang terdiri dari pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Pari, Pulau Burung, Pulau Tikus, Pulau Tengah, dan Pulau Kongsi. Tiga ekosistem tropika lengkap yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari seperti mangrove, padang lamun, karang merupakan daya tarik wisata dari gugusan pulau ini di samping keanekaragaman sumberdaya hayati, panorama alam dan keindahan bawah lautnya. Lokasinya yang dapat diakses dari berbagai alternatif dengan jarak tempuh yang singkat dari Jakarta semakin memudahkan wisawatan untuk berkunjung ke kawasan tersebut. Selama ini kawasan gugusan Pulau Pari hanya dikenal sebagai tempat untuk objek penelitian sedangkan aspek pariwisatanya belum banyak dikenal. Gugusan Pulau Pari juga merupakan tempat mata pencaharian penting bagi hampir seluruh masyarakat Pulau Pari terutama dari budidaya rumput laut selain menangkap ikan. Jumlah produksi dan lahan potensial yang dimiliki untuk kegiatan budidaya rumput laut pernah menjadikan Pulau Pari sebagai salah satu sentra produksi rumput laut di Kepulauan Seribu. Adanya berbagai penyakit yang menyerang rumput laut menyebabkan jumlah produksi rumput laut mulai menurun dan sebagian besar masyarakat mulai beralih dengan membuka usaha di bidang wisata bahari, disamping melihat pesatnya kegiatan wisata bahari di Pulau Tidung. Mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki Pulau Pari untuk wisata bahari maka penilaian ekonomi wisata bahari perlu dilakukan. Suatu penilaian ekonomi pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan wisata bahari penting dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana aktivitas pariwisata di wilayah ini memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat lokal di Pulau Pari. Di sisi lain, agar pengembangan wisata bahari di Pulau Pari dapat
4
dilakukan secara lestari dan berkelanjutan maka analisis daya dukung fisik sangat diperlukan. Diharapkan dari analisis tersebut diatas dapat menghasilkan informasi untuk digunakan dalam rangka pengembangan wisata bahari di Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
1.2. Perumusan Masalah Gugusan Pulau Pari yang terletak di utara Teluk Jakarta memiliki keunikan ekosistem tropika yang khas dan lengkap berupa ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang berikut sumberdaya hayati yang dikandungnya. Secara keseluruhan ekosistem tersebut telah memberikan produk dan jasa lingkungan penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya maupun masyarakat pada umumnya. Gugusan Pulau Pari merupakan tempat mata pencaharian penting bagi hampir seluruh masyarakat Pulau Pari sebagai pembudidaya rumput laut dan nelayan. Keunikan dari Gugusan Pulau Pari tersebut menyebabkan pulau ini dikenal sebagai laboratorium hidup/alam dan digunakan sebagai lokasi penelitian serta pusat pendidikan dan pelatihan di bidang ilmu kelautan oleh berbagai perguruan tinggi maupun instansi/lembaga terkait. Lokasinya yang dekat dari Teluk Jakarta menyebabkan gugusan Pulau Pari mendapat tekanan dan ancaman lingkungan sehingga berdampak pada menurunnya kualitas air dan hasil budidaya rumput laut yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat di Pulau Pari. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab menurunnya produksi rumput laut di pulau ini antara lain penanganan pasca panen yang tidak memperhatikan lingkungan laut sebagai lahan budidaya. Pembudidaya membuang air limbah yang digunakan untuk mencuci rumput laut langsung ke laut. Hal tersebut diduga memperburuk kualitas air di sekitar lahan budidaya rumput laut yang selanjutnya mempengaruhi produksi rumput laut. Menyadari potensi gugusan Pulau Pari yang memiliki keindahan alam dan ekosistem tropika yang lengkap serta didorong oleh berkembangnya sektor pariwisata bahari di pulau lainnya seperti di Pulau Tidung, maka sebagian masyarakat mulai mengembangkan usaha wisata bahari di Pulau Pari dengan pertimbangan
ekonomi.
Apabila
beralihnya
matapencaharian
masyarakat
5
dikarenakan oleh faktor ekonomi semata dan pemanfaatan untuk kegiatan wisata bahari dilakukan secara berlebihan serta cenderung merusak lingkungan (dengan jumlah pengunjung yang tidak dibatasi tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan) maka dapat menurunkan kelestarian lingkungan Pulau Pari yang memiliki ekosistem tropika yang lengkap. Pemanfaataan berlebih ini pada jangka panjang dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kesesuian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari? 2. Berapa besar daya dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk wisata bahari? 3. Berapa besar nilai ekonomi wisata bahari dan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal di Pulau Pari?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan kesesuaian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari. 2. Mengestimasi nilai daya dukung fisik Pulau Pari untuk wisata bahari. 3. Mengestimasi nilai ekonomi Pulau Pari untuk wisata bahari dan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk : 1. Menghasilkan informasi mengenai kesesuaian lahan dan daya dukung fisik Pulau Pari untuk wisata bahari, serta potensi ekonomi wisata bahari dan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. 2. Menunjukkan apakah wisata bahari yang dikelola oleh masyarakat Pulau Pari memiliki peluang memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat lokal disesuaikan dengan kesesuaian lahan dan daya dukungnya.
6
3. Memberikan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam pengelolaan dan pengembangan kegiatan wisata bahari di Pulau Pari ke depan.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi kesesuaian lahan, daya dukung fisik kawasan, penilaian dan dampak ekonomi wisata bahari di Pulau Pari. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan terbatas pada evaluasi lahan tingkat tinjau dengan kesesuaian lahan secara kualitatif pada penggunaan lahan secara umum untuk pariwisata bahari. Penghitungan daya dukung fisik kawasan meliputi aktivitas selam, snorkeling, wisata mangrove serta wisata pantai sebagai kegiatan utama yang dapat dilakukan wisatawan di Pulau Pari. Penelitian ini membatasi pada usaha wisata bahari yang dilakukan/dikelola oleh masyarakat lokal Pulau Pari. Pengukuran nilai ekonomi hanya dilakukan secara parsial pada direct use value dan tidak pada total economic value. Dampak dari kegiatan wisata bahari yang diteliti adalah dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Penghitungan dampak ekonomi kegiatan wisata bahari yang dilakukan hanya dampak dari perputaran uang di tingkat lokal dari pengeluaran wisatawan. Penilaian dampak ekonomi tidak meliputi dampak dari proyek pembangunan pariwisata secara keseluruhan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekonomi Pariwisata Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat. Sebagai suatu aktivitas manusia, pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangan kompleks (Damanik & Weber 2006). Dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau menjalin hubungan yakni : 1) permintaan atau kebutuhan, 2) penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu sendiri, 3) pasar dan kelembagaan yang berperan untuk menfasilitasi keduanya, dan 4) pelaku atau aktor yang menggerakan ketiga elemen tersebut. Pada Gambar 1 ditampilkan keterkaitan antar unsur tersebut sebagai sistem pariwisata.
KEBIJAKAN PARIWISATA
a
c
b
e
d
PERMINTAAN
PENAWARAN
c
PRODUK
PASAR/PELAKU PARIWISATA Keterangan : a. Mendorong; b. Mengendalikan; c. Mempengaruhi; d. Mengembangkan dan memasarkan ; e. Membeli Gambar 1 Sistem Kepariwisataan (Sumber : Steak et al. 1999 in Damanik & Weber 2006)
8
Motivasi yang kuat untuk melakukan perjalanan wisata dijadikan dasar dalam mempelajari permintaan wisata. Unsur-unsur penting dalam permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya (produk dan jasa) wisata (Damanik & Weber 2006). Perjalanan wisata merupakan kegiatan manusia yang memiliki kebutuhan, keinginan, harapan yang berbedabeda setiap orang. Mengadakan perjalanan wisata dimungkinkan karena ada faktor uang yang dapat digunakan secara bebas (disposable income), tersedianya waktu senggang (leisure time) pada saat kesehatan mendukung serta adanya kemauan untuk melakukan perjalanan (Yoeti 2008). Preferensi dan anggaran individu merupakan faktor kunci penentu permintaan terhadap pariwisata. Individu akan mempertimbangkan menghabiskan sejumlah uang untuk pengeluaran liburan/wisata atau mengkonsumsi barang dan jasa lain. Ukurannya tergantung pada jumlah jam kerja yang terbayar per periode waktu (pasokan tenaga kerja), dan penghasilan dikenakan pajak yang tersedia untuk pembelian barang dan jasa. Individu akan mengalami pilihan (trade off) antara waktu yang terbayar untuk bekerja dengan waktu yang tak terbayar. Beberapa orang akan memilih memperoleh lebih banyak pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan yang dibayar, sementara yang lain lebih memilih lebih banyak waktu yang tak terbayar untuk kegiatan rekreasi atau rumah tangga dan oleh karena itu akan menghabiskan waktu tak terbayar daripada waktu yang terbayar untuk bekerja. Jika individu memilih waktu yang terbayar untuk bekerja, tingkat pendapatan akan naik tetapi akan mengorbankan waktu luang dan rumah tangga. Sebaliknya, jika individu memilih waktu luang maka akan mengurangi pendapatan. Bagaimanapun, waktu luang untuk melepas ketegangan melalui kegiatan rekreasi (pariwisata) diperlukan sehingga antara waktu luang dengan pendapatan diperhitungkan sebagai biaya korbanan (opportuinity cost) (Cooper 2008 in Stabler et al. 2010). Setiap kombinasi dari waktu yang terbayar dengan waktu yang tak terbayar memberikan jumlah yang berbeda dalam menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk konsumsi barang dan jasa. Kombinasi yang berbeda dari konsumsi dan waktu terbayar serta tak terbayar diilustrasikan pada Gambar 2.
9
Sumbu vertikal menunjukkan nilai konsumsi dan pendapatan. Sumbu horisontal menunjukkan waktu yang terbayar dan tak terbayar yang berlainan arah. Titik OC menunjukkan konsumsi maksimum yang dapat dicapai, sehingga menghabiskan waktu maksimum yang dibayar untuk bekerja. Individu yang tidak dibayar dalam pekerjaan memiliki kombinasi konsumsi dan waktu yang tak terbayar ditunjukan oleh B, dengan titik OC* merupakan nilai konsumsi yang diperoleh individu ketika menganggur melalui tunjangan pengangguran. Garis CBU merupakan garis anggaran dengan kemiringan menunjukkan tingkat remunerasi dimana jika tingkat upah naik maka akan semakin curam. Individu akan menerima kepuasan yang sama dari kombinasi pilihan konsumsi dengan waktu yang tak terbayar pada kurva indiferen yang digambarkan oleh kurva I1I1 dan I2I2. Maksimisasi kepuasan akan terjadi pada pilihan antara konsumsi dan waktu tak terbayar dimana kurva indeferen bersinggungan dengan garis anggaran yakni titik D (pada kurva indefern I1I1) dan titik E (pada kurva I2I2). Pendapatan yang dihasilkan dari waktu yang terbayar untuk bekerja dan pilihan antara konsumsi yang dibelanjakan dari pekerjaan yang dibayar serta waktu yang tak terbayar (luang) untuk melakukan wisata merupakan hal yang dipertimbangkan secara bersamaan. Perubahan tingkat remunerasi untuk bekerja akan membawa perubahan dalam konsumsi dan waktu yang tak terbayar.
10
Konsumsi, Pendapatan
I2 C
E
C2
I2 I1 D
I1
C1 C*
O
B
U2 U1 Waktu Tak Terbayar
U
Waktu Terbayar
Gambar 2. Konsumsi, Waktu Terbayar dan Tak Terbayar (Sumber : Stabler et al. 2010)
Antara satu faktor dengan faktor lain yang mempengaruhi permintaan berwisata terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Mempunyai waktu luang saja tidak cukup, karena untuk berwisata perlu uang, meskipun tidak selalu dalam jumlah besar. Waktu luang dan uang juga belum menjamin munculnya permintaan wisata jika, misalnya, sarana untuk mewujudkan aktivitas wisata itu tidak tersedia. Jadi orang ingin berwisata, dalam arti bersedia untuk melakukan wisata, apabila mereka mempunyai waktu luang dan uang serta sarana yang tersedia berfungsi baik. Waktu luang, uang, sarana dan pra sarana merupakan permintaan potensial wisata (Freyer 1993; Mundt 1998 in Damanik & Weber 2006). Permintaan dalam pariwisata dibagi atas dua yaitu permintaan potensial dan permintaan aktual. Permintaan potensial adalah sejumlah orang yang berpotensi untuk melakukan perjalanan wisata (karena memiliki waktu luang dan punya tabungan relatif cukup). Sedangkan yang dimaksud dengan permintaan aktual adalah orang-rang yang sedang melakukan perjalanan wisata pada suatu
11
daerah tujuan wisata tertentu (Yoeti 2008). Permintaan potensial harus ditransformasikan menjadi permintaan aktual yakni pengambilan keputusan wisata. Pengambilan keputusan wisata berlangsung secara bertahap, mulai dari tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata, sampai keputusan itu sendiri. Munculnya kebutuhan untuk berwisata didorong oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, psikologi, dan lain-lain. Proses pengambilan keputusan untuk berwisata merupakan proses yang kompleks karena banyak hal yang harus dipertimbangan oleh wisatawan. faktor kepribadian, daya tarik objek daerah tujuan wisata, ketersediaan sumberdaya, jarak dan kondisi lingkungan wisata, semuanya menentukan keputusan tersebut. Freyer (1993) in Damanik & Weber (2006) menyebutkan bahwa pertimbangan penting yang dilakukan orang sebelum mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan yaitu biaya, daerah tujuan wisata, bentuk perjalanan, waktu dan lama berwisata, akomodasi yang digunakan, dan moda transportasi. Yoeti (2008) menyatakan terdapat dua faktor penentu permintaan pariwisata yakni : 1) general demand factors dan 2) factors determining spesific demand. Faktor yang pertama merupakan faktor secara umum permintaan terhadap barang dan jasa industri pariwisata tergantung antara lain oleh purchasing power, demographic structure and trends, social and cultural factors, travel motivations and attitudes, serta opportunities to travel dan tourism marketing intensity. Faktor kedua merupakan faktor secara khusus yang menentukan permintaan terhadap daerah tujuan wisata yakni diantaranya harga, daya tarik wisata, kemudahan berkunjung, informasi dan layanan sebelum kunjunga, serta citra. Berbeda dengan permintaan terhadap barang dan jasa yang biasa, permintaan dalam industri pariwisata memiliki karakter tersendiri yang tidak dijumpai pada barang dan jasa pada umumnya (Yoeti 2008). Dalam industri pariwisata yang ditawarkan adalah produk dan jasa wisata. Produk wisata adalah semua produk yang diperuntukan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut
12
(Damanik & Weber 2006). Menurut Yoeti (2008) ciri atau karakter dari industri pariwisata: sangat dipengaruhi oleh musim; terpusat pada tempat-tempat tertentu; bersaing dengan permintaan akan barang-barang mewah; tergantung tersedianya waktu senggang; tergantung teknologi transportasi; dan aksesibilitas. Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara produk dan jasa wisata dengan potensi wisata. Produk dan jasa wisata harus sudah siap dikonsumsi oleh wisatawan. Sebaliknya potensi wisata adalah semua objek (alam, buatan, budaya) yang memerlukan banyak penanganan agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan. Elemen penawaran wisata terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Atraksi diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan. Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata mulai dari darat, laut, sampai udara. Akses ini tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan, dan keselamatan. Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan. Semakin lengkap dan terintegrasinya ketiga unsur penawaran wisata yakni atraksi, aksesibilitas, dan amenitas maka semakin kuat posisi penawaran dalam wisata kepariwisataan. Karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil memperkuat posisi penawaran tersebut namun kualitas produk yang ditawarkan harus mutlak diperhatikan. Kualitas produk terkait dengan empat hal yakni keunikan, otentitas, originalitas dan keragaman. Oleh karenanya karakteristik pulau-pulau kecil yang telah dimiliki harus dipertahankan sehingga keunggulan produk dan jasa yang ditawarkan dapat dipertahankan dalam persaingan pasar untuk mendukung peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.
2.2. Wisata Bahari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan
13
oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pulau-Pulau Kecil yang didefinisikan dalam Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan luas kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya merupakan daya tarik wisata yang memiliki keunikan, keindahaan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Kepentingan pariwisata merupakan salah satu yang diprioritaskan dalam rangka pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya. Wisata bahari adalah salah satu bentuk khusus dari ekowisata yang kegiatannya berlangsung di dalam kawasan pesisir, lingkungan laut maupun dikeduanya. Kegiatan ekowisata memungkinkan orang untuk merasakan lingkungan alam dengan konsisten dengan menggunakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Wisata bahari merupakan kegiatan yang mencoba untuk membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut yang alami. Wisata bahari dapat dilakukan di laut dan bagian daratan pulau maupun keduanya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan dalam wisata bahari meliputi : melihat ikan paus, lumba-lumba, hiu, anjing laut ataupun hewan laut lainnya; menyelam dan snorkeling; perjalanan wisata berbasis alam dengan kapal permukaan ataupun kapal selam; berjalan-jalan menyusuri pesisir dan pantai serta mengunjungi kehidupan masyarakat (Hoctor 2001). Basiron (1997) mendefinisikan pariwisata secara umum sebagai aktivitas orang/manusia yang melakukan perjalanan jangka pendek dan sementara di luar lingkungan dan kegiatan normal yang biasanya dilakukannya. Definisi ini kemudian diperluas untuk wisata bahari yang menunjukkan perjalanan jangka pendek dan sementara yang dilakukan oleh orang di luar lingkungan dan kegiatan normal dalam lingkup laut. Sektor wisata bahari mencakup kegiatan di laut dan pesisir, transportasi, hotel dan restaurant, resort pulau dan pantai, serta olahraga dan rekreasi pantai.
14
Menurut Tourism Development International (2007) wisata bahari (marine tourism) adalah bagian dari sektor industri pariwisata dimana wisatawan mengambil bagian di kegiatan rekreasi aktif dan pasif dalam liburan atau perjalanan yang dilakukan di perairan pantai, garis pantai, maupun di daerah pedalaman daratan pulau. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal, wisatawan dan pengunjung per hari tersebut dikategorikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Kegiatan Wisata Bahari
Kegiatan rekreasi yang terspesialisasi
Kegiatan rekreasi yang tidak terspesialisasi -Eksplorasi/Berjalan di pesisir pantai -Renang dan aktivitas di pantai -Berkendara di pantai (termasuk melihat laut dari titik pandang tertentu) -Trip/Kunjungan menggunakan perahu (termasuk ke pulau) -Trip menggunakan kapal ferri -Kunjungan menggunakan kapal pesiar -Pergi ke pusat kunjungan (akuarium, museum, bangunan bersejarah, dll) -Kegiatan dan festival yang berhubungan dengan laut -Terapi kesehatan (misalnya : Thallasotherapy)
Perairan :
Motor : -Trip perahu : cepat/petualangan -Trip perahu : satwa liar -Akses perahu : menyelam -Memancing di laut menggunakan perahu -Ski air -Jet ski
Non Motor : -Selancar angin -Berperahu kayak di laut (termasuk surfing dengan kayak) -Berperahu kayak dan kano di sungai -Berlayar/jelajah/balap menggunakan perahu, keelboat -Balap dayung -Rafting (menggunakan perahu karet) -Surfing -Snorkeling
Pantai : -Panjat tebing -Melintasi permukaan laut -Berkuda -Parasailing -Memancing -Arkeologi kelautan -Berlayar dengan model boat -Menonton dan mengamati satwa liar dan burung
Gambar 3 Kegiatan Wisata Bahari Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman daya tarik wisata di pulaupulau kecil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, daya tarik wisata yang berbasis sumberdaya alam daratan (seperti hutan, gunung, sungai, danau maupun pantai) dan sumberdaya laut (seperti terumbu karang, gua, gunung api bawah laut). Kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya (cultural heritage) baik yang bersifat nyata (tangible) seperti situs, makam, istana,
15
maupun yang bersifat tidak nyata (intangible) seperti pertunjukan budaya atau tradisi budaya masyarakat (Kemenbudpar 2004). Selain kedua jenis pariwisata yang memanfaatkan langsung potensi sumberdaya (alam dan budaya), juga terdapat wisata buatan yang pada intinya juga memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Wisata buatan pada hakikatnya merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat menjadi objek dan daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja, pendidikan, olahraga, atau taman rekreasi (theme park). Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang alam, olahraga pantai, pengamatan satwa, jelajah hutan, mendaki gunung, dan lain sebagainya. Kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam (diving), selancar angin (parasalling), selancar (surfing), memancing (fishing), ski-air, berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain sebagainya. Kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan menangkap ikan, mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan sehari-hari, melihat adat istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat bangunan rumah-rumah nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para nelayan, dan lain sebagainya. Berdasarkan tujuannya kegiatan wisata dapat dibedakan menjadi wisata minat khusus dan wisata umum. Wisata minat khusus merupakan suatu bentuk perjalanan dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai suatu jenis objek atau kegiatan yang ditemui atau dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Dalam wisata minat khusus, wisatawan terlibat secara aktif pada berbagai kegiatan di lingkungan fisik atau komunitas yang dikunjunginya. Sementara itu kegiatan wisata umum atau kegiatan rekreasi dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dilaksanakan pada waktu luang secara bebas dan menyenangkan. Dalam kegiatan rekreasi tidak ada tujuan khusus yang ingin dicapai dan memang untuk bersenang-senang. Pengembangan kegiatan rekreasi saat ini diarahkan pada kegiatan rekreasi edukatif, yang bertujuan agar wisatawan mendapatkan tambahan pengalaman atau pengetahuan yang bermanfaat.
16
Mengingat karakteristik pulau pulau kecil dan keterbatasan daya dukungnya, maka pengembangan kegiatan wisata di pulau-pulau kecil lebih diarahkan pada pengembangan kegiatan wisata minat khusus sebagai kegiatan utama, dan kegiatan wisata rekreasi edukatif sebagai kegiatan pendukung. Penyelenggaraan
pengembangan
pariwisata
di
pulau-pulau
kecil
harus
menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, serta sensistif terhadap budaya masyarakat lokal (Kemenbudpar 2004). Oleh karena itu konsep marine ecotourism sedang digalakkan. Sejak 1970-an, konsep pertama dari ekowisata dan kemudian pariwisata berkelanjutan telah dikembangkan dalam upaya untuk melawan pariwisata massal dan menawarkan model yang memberikan negatif namun memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal dan konservasi, sekaligus menawarkan pengalaman yang lebih bagi para wisatawan (Honey & Krantz 2007). Menurut Garrod et al. (2002) Wisata bahari dengan pendekatan konsep ekowisata difokuskan kepada : kenyamanan dan apreasiasi terhadap alam yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan manajemen; memaksimalkan keberlanjutan; memprioritaskan lingkungan;
perlindungan
kerjasama
antar
lingkungan; pemangku
mengutamakan
kepentingan;
pendidikan
pemasaran
yang
bertanggungjawab; dan pemantauan dan evaluasi yang sesuai.
2.3. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Wisata Bahari Kecenderungan meningkatnya pasar pariwisata internasional untuk berwisata di kawasan yang masih alami memberikan peluang pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil. Di lain pihak pulau-pulau kecil memiliki daya dukung yang terbatas, yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk suatu kegiatan, termasuk kegiatan pariwisata. Karakteristik pulau yang kecil, umumnya berakibat pada keterbatasan sumberdaya air, kerentananan terhadap ancaman bencana alam, penduduk yang relatif miskin, serta keterisolasian dari wilayah lain, sehingga pengembangan kegiatan pariwisata di pulau-pulau kecil berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu pulaupulau kecil perlu diberdayakan secara optimal dan lestari sesuai dengan
17
karakteristik dan potensinya masing-masing. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan menjadi hal
yang harus
diprioritaskan (Kemenbudpar 2004). Tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil yaitu : batasan fisik (luas pulau); batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi); dan keunikan budaya. Secara biofisik pulau kecil memiliki karakteristik yang menonjol yaitu : tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; peka dan rentan terhadap berbagai tekanan dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia; dan memiliki sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (Bengen 2000; Ongkosongo 1998; Sugandhy 1998 in Kemenbudpar 2004). Oleh karena itu dengan karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil dan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan pariwisata, maka pengembangan pariwisata bahari harus memperhatikan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup. Permasalahan yang sering muncul di dalam pembangunan di suatu kawasan adalah tumpah tindihnya peruntukkan lahan dan atau pembangunan yang tidak mengikuti ketentuan peruntukan lahan yang telah ditetapkan. Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus direncanakan dan dikembangkan secara ramah lingkungan dengan tidak menghabiskan atau merusak sumberdaya alam dan sosial, namun dipertahankan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan (Kemenbudpar 2004). Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Terdapat dua kategori kesesuain lahan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yakni kesesuaian lahan kualitatif dan kuantitatif. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan pada pemadanan kriteria masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan sifat-sifat lahannya, sedangkan kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasarkan angka-angka nilai masing-masing karakteristik lahan.
18
Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Penggunaan lahan dapat dibedakan dalam dua kategori yakni penggunaan lahan secara umum dan penggunaan lahan secara rinci. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum dan biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau (reconaissance). Penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Evaluasi lahan dapat dibedakan dalam tiga intensitas kerincian yaitu : reconaissance (tinjau), semi detail (setengah rinci, sedang), dan detail (rinci). Evaluasi lahan reconaissance dilakukan secara kualitatif dan analisa hanya dilakukan dengan sangat umum. Evaluasi lahan semi detail dilakukan dengan tujuan-tujuan yang lebih khusus, misalnya studi kelayakan untuk suatu proyek dan evaluasi lahan dilakukan sebaiknya secara kuantitatif. Evaluasi detail merupakan survei untuk perencanaan yang telah pasti, biasanya dilakukan setelah kepastian melaksanakan proyek tersebut dipastikan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Dalam pembangunan di suatu kawasan, penggunaan lahan untuk tujuan tertentu seharusnya sesuai dengan peruntukannya. Penyusunan rencana kawasan pariwisata merupakan kegiatan inti selanjutnya dari seluruh perencanaan pengembangan pariwisata (Kemenbudpar 2004). Salah satu aspek penting dalam perencanaan kawasan adalah penyusunan dan penetapan zonasi kawasan. Diperolehnya informasi mengenai kesesuaian lahan maka penetapan zonasi kawasan untuk penggunaan tertentu dapat dilakukan. Pengertian zonasi adalah membagi area dalam suatu tapak ke dalam beberapa area (zona) yang sesuai dengan tata guna lahan. Jenis-jenis zonasi yang umum digunakan dalam pengembangan pariwisata adalah (Kemenbudpar 2004) :
19
1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang umumnya tidak melebihi 60% luas kawasan zonasi intensif dan memperhatikan daya dukung lingkungan. 2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter sumberdaya alam. Dalam zona ini kegiatan pengunjung harus dapat dikontrol dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya untuk pengunjung kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandangm papan penunjuk dan informasi. 3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau, atau memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Kawasan yang dikembangkan kegiatan wisata bahari dengan konsep ekowisata sangat tergantung dari aspek kesesuaian dan daya dukung, utamanya daya dukung ekologi yang berkaitan dengan kondisi sumberdaya yang menjadi objek wisata. Aspek kesesuaian akan menentukan jenis kegiatan wisata yang akan dikembangkan, termasuk layak atau tidaknya suatu kawasan untuk dijadikan objek wisata, atau justru sebaliknya dilakukan konservasi. Penentuan kesesuaian suatu kawasan untuk dikembangkan sebagai objek wisata berdasarkan setiap parameter kesesuaian (Yulianda 2007). Setelah melakukan analisis terhadap kesesuaian kegiatan wisata bahari, maka langkah selanjutnya adalah mengitung kemampuan daya dukung lingkungan untuk masing-masing kegiatan yang akan dikembangkan. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda
20
sehingga perencanaan pariwisata di pulau-pulau kecil secara spatial akan bermakna dan menjadi penting (Kemenbudpar 2004). Secara umum ragam daya dukung wisata di pulau-pulau kecil dapat meliputi (Kemenbudpar 2004) : 1. Daya Dukung Ekologis yang merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu pulau. 2. Daya Dukung Fisik yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. Daya dukung fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamananan pengunjung. 3. Daya Dukung Sosial yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasaan pengunjung di pulau-pulau kecil. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dibedakan atas : 1. Daya Dukung Ekologis, dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis kawasan atau ekosistem yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland) antara lain rawa.
Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada vegetasi, habitat satwa, degredasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian, penerapan
21
teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau lingkungan suatu tempat.
2. Daya Dukung Fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. Terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga ekologis.
3. Daya Dukung Ekonomi, merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha secara ekonomi. 4. Daya Dukung Sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat kenyamanan (comfortability) dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasaan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (individu, kelompok) pemakai
22
ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasaan pemakai kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan.
2.4. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, juga menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan, dan sebagainya. Manfaat-manfaat tersebut sering tidak dikuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Mengingat pentingnya fungsi-fungsi ekonomi dan non-ekonomi dari sumberdaya alam, tantangannya adalah bagaimana memberikan nilai yang komprhensif terhadap sumberdaya alam tersebut. Dalam hal ini nilai tersebut tidak saja nilai pasar (market value) barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Permasalahan-permasalahab tersebut kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non pasar (Fauzi 2004). Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus/CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus/PS) (Grigalunas and Conger 1995; Freeman III 2003 in Adrianto 2006). Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, produsers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih
23
besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi 2004). Nilai ekonomi suatu komoditas (goods) atau jasa (services) diartikan sebagai “berapa yang harus dibayar” dibanding “berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdaya eksis dan menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka “kemampuan membayar (willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa mempermasalahkan
apakah
kita
secara
nyata
melakukan
proses
pembayaran/payment atau tidak (Barbier et al. 1997 in Adrianto 2006). Secara terminologi, nilai ekonomi diterminologikan sebagai Total Economic Value (TEV). Dalam konteks ini, TEV merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/penggunanaan (Use Value/UV) dan nilai ekonomis berbasis bukan pemanfaatan/penggunaan (Non Use Value/NUV). Use Value terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value/DUV), nilai ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value/IUV), dan nilai pilihan (Bequest Value). Sementara itu, nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan (NUV) terdiri dari dua komponen nilai yaitu nilai bequest (Bequest Value/BV) dan nilai eksistensi (Existence Value/EV) (Barton 1994; Barbier 1993; Freeman III 2002 in Adrianto 2006). Secara umum, valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu releaved preference methods dan stated preference methods. Releaved preference methods merupakan teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah travel cost, hedonic pricing, dan random utility model. Sedangkan stated preference methods merupakan teknik valuasi yang didasarkan
24
pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden. Salah satu teknik yang dikenal luas dalam kategori ini adalah teknik Contingent Valuation (Fauzi 2004). Salah satu metode yang digunakan untuk menduga nilai ekonomi sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar adalah metode biaya perjalanan (travel cost method). Metode ini beranjak dari asumsi dasar bahwa setiap individu baik aktual maupun potensial bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan manfaat tertentu tanpa harus membayar biaya masuk (entry fee). Namun demikian, walaupun asumsinya tidak ada biaya masuk, namun secara aktual ditemukan pengunjung yang berasal dari lokasi yang jauh dari objek yang dikunjungi. Dalam konteks ini terdapat perbedaan “harga” yang harus dibayar antar pengunjung untuk mendapatkan manfaat yang sama. Kondisi ini dalam teori ekonomi dianggap sebagai representasi dari permintaan (demand) pengunjung (konsumen) terhadap manfaat tersebut (Adrianto 2006). Tujuan dasar dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya tersebut. Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas bersifat dapat dipisahkan (Fauzi 2004). Secara umum terdapat dua teknik sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM yakni : pendekatan sederhana melalui zonasi dan pendekatan individual TCM dengan menggunakan data sebagian besar dari survei. Asumsi dasar yang digunakan dalam TCM agar penilaian sumberdaya alam tidak bias antara lain : (a) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (b) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (c) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (Fauzi 2004).
25
2.5. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari Pengembangan kegiatan pariwisata di pulau-pulau kecil berpotensi memberikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Dampak tersebut dapat dilihat dari segi fisik alami, sosial, budaya, maupun ekonomi. Dalam Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil, pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus melalui pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang berdaya saing global dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi dan budaya serta pembangunan daerah. Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus menggunakan prinsip berkelanjutan dimana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumberdaya alam, serta sensitif terhadap budaya masyarakat lokal. Analisis dampak ekonomi memberikan perkiraan yang nyata dari saling ketergantungan ekonomi dan peran pentingnya pariwisata dalam perekonomian suatu daerah. Kegiatan pariwisata melibatkan biaya ekonomi, termasuk biaya langsung yang dikeluarkan oleh bisnis pariwisata, biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pengembangan infrastruktur serta biaya terkait yang ditanggung oleh individu dalam masyarakat. Dampak ekonomi pariwisata merupakan pertimbangan penting dalam perencanaan dan pembangunan ekonomi suatu negara, daerah dan masyarakat. Dampak ekonomi juga merupakan faktor penting dalam keputusan pemasaran dan manajemen. Masyarakat perlu memahami kepentingan relatif dari pariwisata ke daerahnya termasuk kontribusi pariwisata terhadapat kegiatan ekonomi di daerahnya tersebut (Stynes 1997). Sebuah analisis dampak ekonomi kegiatan pariwisata menggambarkan kontribusi kegiatan pariwisata terhadap perekonomian di suatu daerah. Analisis dampak ekonomi menelusuri arus pengeluaran yang terkait dengan kegiatan pariwisata di suatu daerah untuk mengidentifikasi perubahan dalam penjualan, penerimaan pajak, pendapatan dan pekerjaan karena aktivitas pariwisata. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tersebut meliputi : survei pengeluaran pengunjung; analisis data statistik ekonomi dari pemerintah; model basis ekonomi; model input-output; dan pengganda (Frechtling 1994).
26
Pariwisata memiliki berbagai dampak ekonomi. Dampak ekonomi tersebut berasal dari kontribusi para wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata. Kontribusi tersebut antara lain dalam bentuk penjualan, keuntungan, pekerjaan, pendapatan pajak, dan pendapatan bagi masyarakat lokal di daerah wisata. Kontribusi wisatawan merupakan pengaruh langsung dari pengeluaran wisatawan seperti penginapan, makan, transportasi, hiburan, dan perdagangan ritel. Analisis dampak ekonomi kegiatan pariwisata di suatu daerah biasanya berfokus pada perubahan dalam hal penjualan, pendapatan dan pekerjaan dari sektor wisata (Stynes 1997). Menurut Stynes (1997) analisis dampak ekonomi dilakukan dengan menelusuri aliran arus uang dari pengeluaran wisatawan. Aliran pertama (efek langsung) dari arus uang wisatawan dilakukan dengan melihat kemana arus uang dari pengeluaran wisatawan tersebut. Alternatif aliran uang dapat langsung ke penyedia jasa wisata; dalam bentuk gaji atau upah untuk rumah tangga yang menyediakan tenaga kerja di sektor pariwisata; serta pajak dan biaya yang dibayarkan oleh wisatawan, rumah tangga, dan pengusaha tersebut. Aliran kedua dari arus uang di sektor pariwisata adalah dengan melihat adakah kebocoran atau uang mengalir ke daerah lain yang disebabkan wisatawan, rumah tangga, pengusaha ataupun pemerintah membelanjakan uangnya ke luar daerah wisata tersebut. Dampak ekonomi dari pariwisata dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni dampak langsung (direct), tidak langsung (indirect) dan induced. Dampak ekonomi total merupakan penjumlahan dari dampak langsung, tidak langsung dan induced dalam suatu wilayah. Dampak langsung adalah perubahan yang berhubungan dengan dampak langsung dari pengeluaran wisatawan. Misalnya, peningkatan jumlah wisatawan yang menginap semalam di hotel langsung akan meningkatkan penjualan kamar di sektor hotel. Penjualan akomodasi hotel dan terkait dalam pembayaran hotel untuk upah, gaji, pajak, perlengkapan dan jasa adalah efek langsung dari pengeluaran wisatawan. Dampak tidak langsung merupakan perubahan yang dihasilkan dari perputaran pengeluaran dari penerimaan di sektor industri pariwisata. Perubahan dalam penjualan dan pendapatan industri yang memasok sektor pariwisata misalnya merupakan efek
27
tidak langsung dari perubahan dalam penjualan hotel. Perubahan di sektor industri yang memasok sektor pariwisata juga akan menyebabkan perubahan di sektor lain yang mendukung sektor yang memasok sektor pariwisata tersebut. Dampak induced merupakan perubahan aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari pengeluaran rumah tangga yang pendapatannya diperoleh secara langsung atau tidak langsung sebagai akibat dari pengeluaran wisatawan. Misalnya tenaga kerja yang bekerja di hotel maupun sektor pendukung pariwisata menghabiskan pendapatan mereka untuk perumahan, makanan, transportasi, dan lainnya di daerah lokal (Stynes 1997). Namun jika industri yang memperoleh dampak langsung mendatangkan input dari luar lokasi maka perputaran uang tidak menimbulkan dampak tidak langsung melainkan kebocoran (leakage) manfaat yang pada akhirnya menciptakan kebocoran ekonomi di daerah wisata tersebut (Linberg 1996 in Wijayanti 2009). Beberapa studi telah dilakukan untuk mengestimasi dampak ekonomi pariwisata. Hunt (2008) melakukan studi untuk melihat dampak ekonomi dari kegiatan yang berhubungan dengan Rodney Cape-Okkari Marine Reserve di Selandia Baru. Dampak ekonomi diukur dengan variabel seperti total output, nilai tambah, pendapatan rumah tangga, dan tenaga kerja. Survei menunjukkan bahwa sekitar 60 persen pengunjung di Rodney merupakan wisatawan harian atau tidak menginap dan menghabiskan rata-rata $ 29 per orang. Sekitar 30 persen pengunjung bermalam di wilayah tersebut dan menghabiskan rata-rata $ 137 per perjalanan. Total output di Rodney tergantung pada keberadaan marine reserve diperkirakan bernilai $ 18,6 juta per tahun. Terkait dengan ouptput tersebut, total nilai tambah dari kegiatan pariwisata di Rodney sebesar $8,2 juta per tahun dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 173 Full Time Equivalent (FTE) dan menyediakan sepuluh jenis pekerjaan cadangan yang berhubungan dengan wisata laut. Selanjutnya Cisneros et al. (2011) mengkaji kegiatan ekowisata di Belize yang merupakan sektor penting dan sedang berkembang pesat. Analisis dilakukan dengan melihat perputaran aliran uang dari kegiatan ekowisata untuk memperkirakan manfaat ekonomi tahunan yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
setiap
tahun,
hampir
160.000
pengunjung
telah
28
menghasilkan lebih dari US$ 128 juta dan menyerap 4.000 pekerja. Kegiatan ekowisata yang dilakukan termasuk memancing, melihat ikan hiu dan paus, menyelam dan snorkeling di pantai dan terumbu karang. Semua kegiatan tersebut telah memberikan kontribusi terhadap ekonomi pesisir dan memperkuat citra Belize sebagai tujuan wisata menarik. International Centre for Tourism and Hospitality Research, Bounemouth University (2010) telah melakukan penilaian dampak dan kontribusi ekonomi pariwisata satwa liar di Skotlandia. Penilaian dampak ekonomi tersebut meliputi estimasi nilai pariwisata satwa liar dari jumlah dan pengeluaran pengunjung, memperkirakan kontribusi nilai pariwisata satwa liar terhadap perekonomian di Skotlandia, dan memperkirakan dampak ekonomi bersih yang berasal dari pariwisata satwa liar. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak ekonomi bersih dari pariwisata satwa liar mencapai £ 65 juta dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 2.763 FTE. Dampak ekonomi tertinggi berada di kawasan dataran tinggi dan kepulauan senilai £ 32 juta dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.386 FTE. Secara total sebanyak 1,12 juta perjalanan yang dibuat setiap tahun tujuan utamanya adalah melihat satwa liar, dimana 56 persen perjalanan tersebut dibuat oleh wisatawan domestik dan £ 276 juta dihabiskan dalam perjalanan tersebut atau sekitar 75 persen dihabiskan oleh wisatawan domestik. Secara regional, pariwisata satwa liar terkonsentrasi di dataran tinggi dan kepulauan dengan sekitar 50 persen melakukan perjalanan satwa liar dan 45 persen pariwisata satwa liar pada malam hari. Penelitian ini membagi pariwisata satwa liar menjadi tiga kelompok yaitu di daratan, laut dan pantai. Dari ketiga kelompok tersebut pengeluaran wisatawan terbesar adalah di daratan yakni sebesar £ 114 juta, lalu diikuti oleh pariwisata satwa liar di pantai dengan pengeluaran wisatawan sebesar £ 100 juta dan terendah dalah pengeluaran wisatawan di laut dengan pengeluaran sebesar £ 63 juta. Dari dampak ekonominya, pariwisata satwa liar di daratan memiliki dampak ekonomi bersih terbesar yakni mencapai £ 27 juta dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.136 FTE. Sementara itu dampak ekonomi bersih dari pariwisata satwa liar di pantai sebesar £ 24 juta dengan menyerap sebanyak 995 FTE pekerja tambahan. Dan pariwisata satwa liar di laut memberikan dampak ekonomi bersir sebesar £ 15 juta dengan menyerap 633 FTE
29
pekerja tambahan. Karena pengeluaran tambahan yang dibuat seperti untuk akomodasi, barang dan jasa lebih tinggi maka dampak ekonomi bersih didominasi oleh wisatawan yang menginap daripada yang tanpa bermalam. Wisatawan tanpa menginap memberikan dampak ekonomi hanya sebesar £ 3 juta dengan menyerap 140 FTE pekerja tambahan, sedangkan wisatawan yang menginap telah memberikan dampak ekonomi sebesar £ 62 juta dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 2.623 pekerja tambahan. Dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pariwisata telah memberikan dampak ekonomi di suatu wilayah. Dampak ekonomi tersebut dilihat dari aliran uang wisatawan dalam hal ini pengeluaran yang memberikan dampak pada penyediaan tenaga kerja di sektor-sektor pendukung kegiatan wisata.
III. KERANGKA PEMIKIRAN Pulau Pari yang terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta merupakan gugusan yang terdiri dari beberapa pulau di sekitarnya yakni Pulau Pari itu sendiri, Pulau Kongsi, Pulau Tikus, Pulau Tengah, dan Pulau Burung. Sebagai gugusan pulau, Pulau Pari memiliki ekosistem yang khas dan lengkap dari sebuah ekosistem tropika seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, maupun sumberdaya hayati lainnya seperti ikan, moluska, ekhinodermata, dan lain-lain. Kelengkapan ekosistem yang dimiliki oleh Pulau Pari menjadikan pulau ini sebagai laboratorium
alam
bagi
penelitian
di
bidang
kelautan
oleh
berbagai
instansi/lembaga maupun perguruan tinggi. Perairan Pulau Pari juga menjadi lahan bagi penduduk yang bermukim di pulau ini maupun disekitarnya untuk mencari ikan maupun membudidayakan rumput laut. Beberapa dekade Pulau Pari dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut di Kepulauan Seribu. Lokasinya yang dekat dengan daratan DKI Jakarta, menjadikan perairan Pulau Pari mendapat tekanan berupa limbah/sampah yang berasal dari tiga belas sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Perairan Pulau Pari juga mendapat tekanan dari dalam sendiri berupa limbah rumah tangga penduduk di pulau ini yang langsung dibuang ke laut. Kondisi ini diduga menjadi salah satu penyebab produksi rumput laut di pulau ini merosot drastis bahkan tidak menghasilkan sama sekali. Di samping itu, faktor lain seperti penanganan pasca panen rumput laut (yakni membuang air yang digunakan untuk mencuci rumput laut langsung ke laut) juga diduga turut memperburuk produksi rumput laut di Pulau ini. Melihat kondisi tersebut dan perkembangan usaha wisata bahari di pulau sekitarnya seperti Pulau Tidung, serta potensi alam yang dimiliki oleh Pulau Pari, menjadikan sebagian masyarakat mulai beralih mata pencaharian dengan membuka usaha di bidang wisata bahari. Masyarakat Pulau Pari membuka usaha wisata bahari seperti penginapan, penyewaan perlengkapan snorkeling dan selam, penyewaan sepeda maupun penyewaan kapal. Masyarakat di pulau ini juga mulai berbenah diri menyiapkan lingkungan untuk mendukung kegiatan wisata bahari di
31
Pulau Pari di antaranya dengan membuka wisata pantai yang dahulunya semak belukar maupun lainnya yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Potensi keindahan alam dan kelengkapan ekosistem tropika yang dimiliki serta berkembangnya sektor pariwisata bahari di Kepulauan Seribu menjadikan Pulau Pari sebagai salah satu alternatif tujuan wisata bahari. Namun, apabila matapencaharian masyarakat Pulau Pari di sektor wisata bahari hanya alasan ekonomi dikhawatirkan pemanfaatan sumberdaya untuk kegiatan wisata bahari berlebihan dan cenderung merusak dengan tidak adanya pembatasan jumlah wisatawan yang sesuai dengan daya dukung. Kondisi tersebut dapat berpotensi merusak lingkungan sehingga dapat menurunkan fungsi Pulau Pari sebagai tujuan wisata bahari yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat di Pulau Pari. Oleh karena itu dengan kondisi yang ada perlu dilakukan penilaian ekonomi dan daya dukung wisata bahari di Pulau Pari. Berdasarkan alur pikir yang telah diuraikan di atas maka pendekatan penelitian yang akan dilakukan adalah dengan kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan untuk wisata bahari, nilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan (travel cost method (TCM)), dan dampak ekonomi wisata bahari bagi masyarakat lokal. Kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 4. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan informasi potensi ekonomi, kesesuaian lahan, dan daya dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk wisata bahari, serta dampak ekonomi wisata bahari bagi masyarakat lokal. Informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan bagi pengembangan wisata bahari di Pulau Pari kedepannya.
32
Laboratorium alam untuk penelitian di bidang kelautan oleh instansi/lembaga/ perguruan tinggi
Sumberdaya di Gugusan Pulau Pari : -Terumbu Karang -Mangrove -Padang Lamun -Sumberdaya hayati lainnya
Potensi Wisata Bahari Pulau Pari
Kesesuaian Lahan untuk wisata bahari
Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari
Nilai Ekonomi Wisata Bahari
Lahan budidaya Rumput laut bagi masyarakat lokal
Usaha Wisata Bahari
Faktor-faktor yang mendorong usaha wisata bahari
Dampak Ekonomi Wisata Bahari bagi Masyarakat Lokal
Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pari Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian
Analisis Deskrip tif
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilakukan pada Bulan Mei-Oktober 2012 di Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Pulau Pari sudah dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut, namun belakangan ini produksi menurun bahkan tidak menghasilkan sama sekali dikarenakan oleh berbagai faktor. Melihat pesatnya perkembangan wisata bahari di Pulau Tidung dan pulau sekitarnya, masyarakat lokal Pulau Pari mulai berusaha di sektor pariwisata dengan potensi wisata bahari yang dimiliki pulau tersebut.
4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian mengenai penilaian ekonomi wisata bahari dan dampak ekonomi wisata bahari bagi masyarakat lokal. Data ini diperoleh dengan menyebarkan daftar pertanyaan berupa kuisioner kepada pengunjung dan pelaku usaha (masyarakat lokal) wisata bahari di Pulau Pari. Selain itu untuk mendapatkan informasi yang lebih detail dilakukan wawancara mendalam kepada masyarakat lokal yang berusaha di sektor wisata bahari di Pulau Pari. Data sekunder dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian mengenai kesesuaian lahan dan daya dukung fisik kawasan. Data sekunder lain yang relevan dalam mendukung pembahasan penelitian diperoleh dari laporan berbagai instansi/lembaga seperti Badan Pusat Statistik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, maupun dari studi literatur berupa jurnal, buku, hasil penelitian. Secara ringkas mengenai jenis dan sumber data disajikan dalam Tabel 1.
34
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data No
Tujuan Penelitian
Sumber Data Data Sekunder
Jenis Data
Data
Kuantitatif
1
Mengetahui kesesuaian lahan untuk wisata bahari di Pulau Pari
2
Mengetahui daya dukung fisik kawasan
Data primer dan sekunder
Kuantitatif Luas Area yang dapat dimanfaatkan Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata Unit area untuk kategori tertentu
3
Mengestimasi nilai ekonomi wisata bahari di Pulau Pari
Data Primer
Kuantitatif
Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Umur Jarak Biaya transportasi, akomodasi, dan biaya lainnya
4
Dampak ekonomi Data wisata bahari primer terhadap masyarakat lokal di Pulau Pari
Kuantitatif
Pendapatan pemilik usaha Upah tenaga kerja Biaya modal Retribusi (pajak) Jumlah resturant/warung makan
5
Faktor-faktor yang mendorong usaha wisata bahari
Kualitatif
Data primer
Tutupan karang hidup Genus karang Genus ikan karang Kecerahan perairan Kecepatan arus Kedalaman terumbu karang Ketebalan mangrove Kerapatan mangrove Jenis mangrove Jenis biota Tinggi pasang surut Luas Area
Pendapat responden (petani rumput laut/pemilik usaha/masyarakat lokal) tentang hal-hal yang mendorong bermatapencaharian di sektor wisata bahari
35
4.3. Metode Pengambilan Contoh Responden dalam penilaian ekonomi wisata bahari di Pulau Pari adalah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Sebanyak 33 wisawatan yang sedang berkunjung pada saat penelitian menjadi responden dan diambil secara sengaja (accidental sampling). Responden dalam penilaian dampak ekonomi wisata bahari di Pulau Pari adalah penduduk lokal yang menjadi pelaku usaha wisata bahari. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yakni memilih penduduk lokal yang menjadi pelaku usaha di sektor wisata bahari. Sebanyak 30 penduduk lokal menjadi responden dalam penilaian dampak ekonomi wisata bahari.
4.4. Metode Analisis 4.4.1. Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan di Pulau Pari bagi wisata bahari. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan terbatas pada evaluasi lahan tingkat tinjau (reconaissance) dengan kesesuaian lahan secara kualitatif pada penggunaan lahan secara umum untuk pariwisata bahari. Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk pariwisata bahari secara umum dengan menggunakan parameter-parameter yaitu kecerahan perairan, jenis terumbu karang, jenis ikan karang, tutupan karang hidup, kecepatan arus, dan kedalaman (Modifikasi Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Yulianda 2007). Kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari disajikan pada Tabel 2. Sifat atau kualitas lahan yang dimiliki di Pulau Pari dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari yang kemudian dibagi dan didefinisikan secara kualitatif serta dikelompokkan sebagai berikut :
36
S1
=
Sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
S2
=
Cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembataspembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.
S3
=
Sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembataspembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.
N
=
Tidak sesuai. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar atau permanen, masih memungkinkan diatasi tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besar atau permanen, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
Tabel 2 Matrik Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Bahari Parameter S1 S2 S3 N Kecerahan perairan (m) 15-20 10-15 5-10 <5 Jenis terumbu karang (Sp) >100 75-100 20-75 <20 Jenis ikan karang (Sp) >70 50-70 20-50 <20 Tutupan karang hidup (%) >70 50-70 20-50 <20 Kecepatan Arus (m/det) 0-0,17 0,17-0,34 0,34-0,51 >0,51 Kedalaman (m) : -Selam 6-15 >15-20 >20-30 >30 -Snorkeling 1-3 >3-6 >6-10 >10&<1 Sumber : Dimodifikasi dari Hardjowigeno & Widiatmaka (2001) dan Yulianda (2007)
4.4.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari Analisis daya dukung fisik kawasan wisata bahari di Pulau Pari menggunakan konsep daya dukung kawasan (Yulianda 2007). Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung
37
dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Daya dukung kawasan (DDK) dihitung menggunakan formulasi sebagai berikut : =
....................................................................................(4.1)
Dimana : DDK = Daya Dukung Kawasan (orang) K
= Potensi ekologis pengunjung per unit area (orang)
Lp
= Luas area yang dapat dimanfaatkan (m2)
Lt
= Unit area untuk kategori tertentu (m2)
Wt
= Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam/hari)
Wp
= Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (jam/hari)
4.4.3. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari Untuk menduga nilai ekonomi wisata bahari di Pulau Pari digunakan metode pendekatan biaya perjalanan atau travel cost method (TCM). Metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Dengan mengetahui pola dari pengeluaran konsumen, maka dapat mengkaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya tersebut (Fauzi 2004). Tahap pertama dari TCM (Adrianto 2006) adalah menduga jumlah kunjungan berdasarkan fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan terhadap kunjungan seperti yang ditampilkan dalam persamaan (4.5):
38
= (
Dimana :
,
,
,
……..,
)+
..................................................... (4.5)
V
= Tingkat kunjungan (Kali)
X1
= Biaya yang dikeluarkan untuk berwisata (Rp/Kunjungan)
X2
= Biaya yang dikeluarkan menuju lokasi alternatif (Rp/Kunjungan)
X3
= Jumlah rombongan (Orang)
X4
= Lama menginap (Malam)
X5
= Waktu yang dibutuhkan ke Pulau Pari (Menit)
X6
= Waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (Jam)
X7
= Waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (Menit)
X8
= Usia (Tahun)
X9
= Pendidikan (Tahun)
X10
= Pendapatan (Rp/Bulan)
Kemudian langkah kedua adalah menduga fungsi biaya perjalanan dengan persamaan : =
+
+ ………+
+∈
..................................................... (4.6)
Dengan menggunakan teknik regresi (Ordinary Least Square), maka
parameter β0, β1........., β10 dapat diestimasi. Surplus rata-rata individu kemudian dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan : =
......................................................................................................... (4.7)
Dimana : Vi
= Tingkat kunjungan individu
β1
= Nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) kemudian dapat
diestimasi dengan menggandakan nilai surplus konsumen rata-rata individu pada persamaan diatas dengan total kunjungan pada tahun tertentu dengan menggunakan persamaan :
39
=
..................................................................................................(4.8)
Dimana : TCS
= Total consumers surplus
CSi
= Konsumen surplus individu
Vt
= Total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke-t)
4.4.4. Dampak Ekonomi Wisata Bahari bagi Masyarakat Lokal Faktor-faktor yang mendorong masyarakat lokal berusaha di sektor wisata bahari diperoleh dari pendapat/alasan responden melalui pertanyaan dalam kuisioner maupun wawancara mendalam. Jawaban dari responden dianalisis secara deskriptif dilengkapi dengan tabulasi/diagram. Dampak ekonomi wisata bahari terhadap masyarakat lokal dilakukan dengan menelusuri arus pengeluaran uang dari wisatawan yang terkait dengan wisata bahari di Pulau Pari. Langkahnya dimulai dari identifikasi perubahan dalam pendapatan pelaku usaha wisata bahari, serta pendapatan dan pengeluaran penduduk lokal yang bekerja di usaha wisata bahari. Dampak ekonomi diukur dengan menggunakan efek pengganda (multiplier) dari aliran uang yang terjadi. Efek pengganda ini dihitung menggunakan Program Microsoft Excel 2007. Dalam mengukur dampak ekonomi kegiatan wisata bahari di tingkat lokal, digunakan dua tipe pengganda, yaitu (META 2001) : 1. Keynesian Local Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan berapa besar pengeluaran wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. 2. Ratio Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran wisatawan berdampak pada keseluruhan ekonomi lokal (dampak tidak langsung dan dampak induced).
40
Secara matematis dirumuskan :
,
Dimana :
,
=
.................................................. (4.2)
=
=
................................................. (4.3) ................................................ (4.4)
E
= Jumlah pengeluaran wisatawan (Rupiah)
D
= Pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung dari E (Rupiah)
N
= Pendapatan lokal yang diperoleh secara tidak langsung dari E (Rupiah)
U
=Pendapatan lokal yang diperoleh secara induced dari E (Rupiah).
V. KONDISI UMUM PULAU PARI
5.1. Lokasi Penelitian Secara geografis Pulau Pari terletak antara 050 50’ LS hingga 050 52’ LS dan 1060 34’ BT hingga 1060 38’ BT. Daerah ini terletak di Laut Jawa, tepatnya di sebelah utara DKI Jakarta dan Tangerang. Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2001 tentang pembentukan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Pulau Pari termasuk ke dalam Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kelurahan Pulau Pari merupakan gugusan pulau dan perairan laut dengan 12 pulau yang tersebar di perairan lautnya termasuk Pulau Pari itu sendiri. Sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dua pulau yang diperuntukan sebagai kawasan pemukiman di Kelurahan Pulau Pari adalah Pulau Lancang Besar dan Pulau Pari itu sendiri. Kelurahan Pulau Pari terdiri atas 4 Rukun Warga (RW) dan 14 Rukun Tetangga (RT), adapun RW 04 terletak di Pulau Pari. Lokasi Pulau Pari dapat ditempuh dari tiga akses utama yakni dermaga Rawasaban-Tangerang, dermaga Kali Adem-Muara Angke Jakarta, dan dermaga Muara Angke-Jakarta (pada hari libur saja). Perjalanan dari dermaga RawasabanTangerang dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam menggunakan kapal kayu reguler yang beroperasi dengan jadwal pemberangkatan pukul 12.00 wib tiap harinya dan keesokan harinya kembali ke Tangerang dari dermaga Pulau Pari pada pukul 06.00 wib tiap harinya. Tarif kapal per orang dari dermaga Rawasaban-Tangerang dikenakan Rp. 15.000,-. Dari dermaga Kaliadem-Muara Angke Jakarta, Pulau Pari dapat ditempuh kurang lebih 1,5 jam menggunakan kapal speedboat Kerapu milik Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta yang beroperasi tiap hari dengan dua waktu pemberangkatan yakni pukul 08.00 wib dan pukul 12.00 wib. Jika kondisi cuaca tidak memungkinkan keberangkatan yang kedua yakni pada pukul 12.00 wib dapat dibatalkan. Untuk menggunakan kapal ini, per orangnya dikenakan tarif Rp. 26.000,- dan orang yang akan berangkat diharuskan mengantri
42
lebih dini agar mendapat kursi sebab kapal kerapu ini tidak hanya melayani tujuan ke Pulau Pari saja tetapi dalam satu perjalanan juga melayani tujuan ke pulaupulau lain di Kepulauan Seribu. Kapal kerapu tersebut akan kembali ke Jakarta pada hari yang sama yakni pada pukul 10.00 wib dan 15.00 wib dari Pulau Pari. Pada akhir pekan atau hari libur, penumpang dapat menggunakan kapal kayu yang berangkat dari dermaga Muara Angke pada pukul 07.00 wib dan dikenakan tarif Rp. 35.000,- per orang. Kapal kayu tersebut melayani berbagai tujuan pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Kapal ini akan kembali lagi ke Jakarta pada keesokan harinya pada pukul 12.00 wib dari Pulau Pari.
5.2. Kondisi Kependudukan 5.2.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Kelurahan Pulau Pari merupakan gugusan pulau dan perairan laut yang mempunyai
luas
wilayah
daratan
94,67
hektar.
Berdasarkan
statistik
kependudukan di RT sampai bulan Januari 2012, jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Pari mencapai sebanyak 2.372 jiwa yang terdiri dari 1.229 laki-laki dan 1.143 perempuan. Meskipun tidak ada perbedaan yang cukup mencolok antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan namun jumlah penduduk laki-laki memiliki proporsi yang lebih banyak yakni mencapai 51,81 persen dibanding penduduk perempuan yang hanya mencapai 48,19 persen. Rasio jenis kelamin adalah 107, yang berarti pada setiap 100 perempuan terdapat 107 laki-laki. Klasifikasi jumlah penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin terlihat di Tabel 3.
43
Tabel 3 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 Kelompok Umur Laki-Laki (Tahun) (Jiwa) 0-4 110 5-9 125 10-14 112 15-19 111 20-24 105 25-29 127 30-34 109 35-39 102 40-44 89 45-49 66 50-54 57 55-59 42 60-64 26 65-69 30 70-74 11 75 keatas 7 Jumlah 1.229 Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
Perempuan (Jiwa) 114 118 118 99 92 116 105 97 81 67 45 33 26 20 5 7 1.143
Jumlah (Jiwa) 224 243 230 210 197 243 214 199 170 133 102 75 52 50 16 14 2.372
Klasifikasi jumlah penduduk Kelurahan Pulau Pari berdasarkan kelompok umur yang terlihat dari Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi penduduk cenderung semakin kecil pada kelompok umur yang lebih tua. Penduduk yang berusia di bawah 15 tahun sebanyak 697 jiwa atau sebesar 29,38 persen. Struktur penduduk Kelurahan Pulau Pari termasuk kategori umur ‘sedang’. Penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 1.595 jiwa atau 67,24 persen. Penduduk lanjut usia/lansia (65 ke atas) sebanyak 80 jiwa atau 3,37 persen. Kelurahan Pulau Pari memiliki dua pulau yang berpenduduk yakni Pulau Lancang Besar dan Pulau Pari. Pulau Pari merupakan pulau berpenduduk yang lebih luas dibanding Pulau Lancang Besar. Adapun luas Pulau Pari sendiri mencapai 41,32 hektar atau 73,20 persen sedangkan luas Pulau Lancang Besar hanya mencapai 15,13 hektar atau 26,80 persen. Berdasarkan jumlah penduduk, meskipun Pulau Pari adalah pulau terluas namun jumlah penduduknya lebih sedikit dibanding Pulau Lancang Besar yang luas pulaunya lebih kecil. Hal ini dikarenakan Pulau Lancang Besar menjadi pusat pemerintahan Kelurahan Pulau
44
Pari dimana berdiri kantor Kelurahan Pulau Pari. Jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Pari menurut pulau-pulau yang berpenduduk terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah Penduduk menurut Pulau-Pulau yang Berpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 Nama Pulau
Laki-Laki (Jiwa)
Pulau Lancang Besar Pulau Pari Jumlah Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
761 468 1.229
Perempuan (Jiwa) 693 450 1.143
Jumlah (Jiwa) 1.454 918 2.372
Jumlah penduduk menurut pulau-pulau yang berpenduduk di Kelurahan Pulau Pari seperti yang tercatat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa Pulau Lancang Besar berpenduduk lebih banyak dibanding dengan Pulau Pari. Penduduk di Pulau Lancang Besar mencapai 1.454 jiwa atau 61,30 persen dengan kepala keluarga (KK) sebanyak 444 KK sedangkan penduduk di Pulau Pari hanya mencapai 918 jiwa atau 38,70 persen dengan kepala keluarga (KK) sebanyak 265 KK. Berdasarkan luas dan jumlah penduduk, maka kepadatan penduduk di Pulau Lancang Besar lebih padat dibanding Pulau Pari dengan kepadatan penduduk mencapai 96 jiwa/ha sedangkan kepadatan penduduk di Pulau Pari mencapai 22 jiwa/ha. Penduduk yang relatif tidak padat di Pulau Pari berpeluang terjadinya migrasi ke pulau tersebut.
5.2.2. Tingkat Pendidikan Penduduk Jumlah penduduk dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Pulau Pari masih rendah. Keadaan ini digambarkan dengan jumlah penduduk yang berpendidikan tamat akademi/perguruan tinggi hanya mencapai 1,52 persen dari jumlah penduduk keseluruhan di Kelurahan Pulau Pari yang berjumlah 2.372 jiwa. Meskipun demikian penduduk di Kelurahan Pulau Pari kebanyakan telah menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Keadaan ini digambarkan dengan jumlah penduduk yang berpendidikan tamat SLTP mencapai 20,40 persen sedangkan yang berpendidikan tamat SMA mencapai 17,92 persen
45
dari total penduduk di Kelurahan Pulau Pari. Tingginya persentase penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang berpendidikan SMP dikarenakan SMA hanya berdiri di pulau tertentu saja di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sehingga penduduk yang berkeinginan melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA mengharuskan menuju ke pulau dimana SMA tersebut berada. Tabel 5 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012 Uraian Belum Sekolah Belum Tamat SD Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/Perguruan Tinggi Total Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
Jumlah (Jiwa) 247 375 424 381 484 425 36 2.372
Pulau Pari merupakan pulau yang memiliki bangunan sekolah sampai dengan jenjang pendidikan SMP. Di pulau ini terdapat SD dan SMP yang berada di lokasi yang sama sehingga penduduk mengenalnya dengan sekolah satu atap. Tingkat pendidikan penduduk Pulau Pari dapat dilihat pada Tabel 6 yang menunjukkan bahwa penduduk di Pulau Pari kebanyakan berpendidikan tamat SD yakni mencapai 20,26 persen dari jumlah penduduk Pulau Pari yang mencapai 918 jiwa. Penduduk Pulau Pari yang berpendidikan akademi/perguruan tinggi hanya mencapai 1,31 persen atau sebanyak 12 orang, sedangkan jumlah penduduk yang berpendidikan SLTP sama dengan SMA masing-masing mencapai 17,21 persen dari jumlah penduduk di Pulau Pari.
46
Tabel 6 Tingkat Pendidikan Penduduk menurut Pulau-Pulau Berpenduduk di Kelurahan Pulau Pari Tahun 2012 Uraian
Pulau Lancang Besar (Jiwa) Belum Sekolah 139 Belum Tamat SD 256 Tidak Tamat SD 247 Tamat SD 195 Tamat SLTP 326 Tamat SLTA 267 Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 24 Jumlah 1.454 Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
Pulau Pari (Jiwa) 108 119 177 186 158 158 12 918
5.2.3. Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Pulau Pari dari angkatan kerja pada usia produktif (15 s/d 60 tahun) mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan lainnya sebagai PNS, TNI, Polri, Buruh, Pedagang dan Wiraswasta. Jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang bermatapencaharian sebagai nelayan meencapai 64,34 persen. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian terlihat Tabel 7. Tabel 7 Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Pari Menurut Mata Pencaharian Tahun 2012 Mata Pencaharian Nelayan Tani (rumput laut) Pedagang Karyawan swasta TNI/Polri Pegawai Negeri Sipil Buruh Pensiunan Lainnya Total Sumber : Kelurahan Pulau Pari (2012)
Jumlah (Orang) 543 115 27 16 8 32 26 2 75 844
47
Tabel 7 menunjukkan bahwa selain sebagai nelayan, terdapat penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang berprofesi sebagai petani rumput laut. Jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang berprofesi sebagai petani rumput laut mencapai 13,63 persen. Kelurahan Pulau Pari pernah dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Pulau Pari lainnya adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil. Jumlah Penduduk yang berprofesi sebagai PNS mencapai 3,79 persen. Seiring berkembangnya kegiatan wisata bahari di Kepulauan Seribu, terdapat penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang mulai bermatapencaharian di bidang wisata bahari misalnya penyedia kebutuhan-kebutuhan wisatawan (penginapan, makanan, sewa kapal snorkeling, sepeda), pendamping wisatawan (guide) maupun lainnya. Tabel 6 hanya memperlihatkan jumlah penduduk di Kelurahan Pulau Pari yang bermatapencaharian sebagai pedagang yang mencapai 3,20 persen dari jumlah angkatan kerja pada usia produktif (15 s/d 60 tahun). Data yang ada belum membedakan menurut pulau-pulau yang berpenduduk (Pulau Lancang Besar dan Pulau Pari). Hasil penelitian Whouthuyzen (2008) menunjukkan bahwa bidang pekerjaan utama penduduk di Pulau Pari adalah petani rumput laut (43%), nelayan (31%), sedangkan sisanya bermacam-macam pekerjaan antara lain guru, PNS, wiraswasta dan lainnya.
5.3. Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Pari Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 1986 Tahun 2000 tentang pemecahan, pembentukan, penetapan, batas dan luas kecamatan-kecamatan di Kepulauan Seribu, gugusan Pulau Pari terdiri dari tujuh buah pulau dengan peruntukan masing-masing yaitu Pulau Karang Kudus (pariwisata), Pulau Biawak (penghijauan), Pulau Tengah (rekreasi/penghijauan), Pulau Kongsi (rekreasi/pariwisata), Pulau Burung (rekreasi/pariwisata), Pulau Pari (Perumahan), dan Pulau Tikus (penghijauan Laut) (Mulia 2004). Selama ini kawasan gugusan Pulau Pari lebih dikenal sebagai tempat untuk melakukan penelitian, sedangkan aspek pariwisatanya belum banyak dikenal. Kawasan gugusan Pulau Pari dengan keunikan ekosistemnya memiliki potensi untuk wisata bahari. Keberadaan gugusan Pulau Pari dengan segala potensi yang dimilikinya
48
diharapkan mampu menjadi salah satu kawasan wisata yang handal dan memberikan kontribusi peningkatan kesejahteraan bagi penduduk lokal. Berkembangnya wisata bahari di Kepulauan Seribu dan di saat menurunnya hasil panen rumput laut membuat penduduk lokal mulai menjadikan gugusan Pulau Pari sebagai lokasi tujuan wisata bahari. Berawal dari dorongan biro perjalanan wisata, penduduk lokal membuka kawasan di Pulau Pari untuk dijadikan sebagai objek wisata bahari. Pengelolaan kawasan wisata di Pulau Pari tidak terlepas pula dari permasalahan lama yang terjadi di wilayah ini. Status kepemilikan dan penggunaan lahan di Pulau Pari menjadi permasalahan yang sampai saat ini belum tuntas antara penduduk lokal dengan pihak yang mengklaim memiliki hak kepemilikan serta izin menggunakan dan mengembangkan lahan di Pulau Pari. Ketiadaan dokumen sah yang dimiliki, menjadikan penduduk lokal sulit leluasa mengembangkan dan menggunakan lahan di Pulau Pari terutama untuk mendirikan bangunan atau mengembangkan/memperluas bangunan pada lahan baru. Dalam pemanfaatannya penduduk lokal hanya dapat menggunakan lahan secara terbatas. Penduduk tidak diperbolehkan membuat bangunan baru secara permanen di lahan lain selain yang ditempati selama ini oleh penduduk. Landasan bagi penduduk lokal untuk mengembangkan wisata di Pulau Pari adalah Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I DKI Jakarta Nomor 1592 Tahun 1982 tentang pembagian lahan atau tanah di Pulau Pari. Dalam surat keputusan tersebut Pulau Pari dibagi kedalam tiga zonasi pemanfaatan yaitu 50 persen untuk kawasan pariwisata, 40 persen untuk daerah pemukiman dan sekitar 10 persen untuk daerah penelitian kelautan (Mulia 2004). Legal formal inilah yang sampai dengan saat ini masih menjadi landasan bagi sebagian penduduk lokal dalam memanfaatkan Pulau Pari sebagai kawasan wisata di tengah berbagai permasalahan mengenai status kepemilikan dan hak guna lahan yang masih belum tuntas sampai saat penelitian ini dilakukan. Terdapat beberapa lokasi yang menjadi objek wisata khususnya di Pulau Pari. Lokasi tersebut antara lain Pantai Pasir Perawan yang terletak di sisi utaratimur Pulau Pari dan Pantai Kresek yang terletak di sisi barat-selatan serta ujung
49
barat Pulau Pari yang merupakan lokasi dimana pusat penelitian kelautan milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berada. Pantai perawan di sisi utaratimur Pulau Pari dahulunya merupakan lahan dengan tutupan semak belukar yang kemudian oleh penduduk lokal dibenahi dan saat ini menjadi tujuan utama wisata bahari di Pulau Pari. Pasir putih dan ombak yang tenang serta pemandangan mangrove di depan pantainya menjadikan pantai pasir perawan ramai dikunjungi oleh wisatawan. Lokasi pantai pasir perawan merupakan lahan yang diklaim menjadi hak milik penduduk setempat dan turun-temurun diwariskan kepada keturunannya. Oleh karena itu pengelolaan wisata di pantai pasir perawan dikelola oleh keluarga yang umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan tersebut. Di Pantai pasir perawan berdiri beberapa warung makan yang pemiliknya mempunyai hubungan keluarga. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di pantai ini antara lain tempat duduk umum dilengkapi dengan saung-saung beratapkan jerami serta fasilitas umum seperti toilet umum, lapangan olahraga volley maupun sepak bola kecil (futsal). Untuk masuk ke pantai pasir perawan, wisatawan dikenakan tarif masuk sebesar Rp. 3.500,- per orang. Umumnya biaya tarif masuk ini sudah termasuk di dalam harga paket wisata dari biro perjalanan sehingga apabila wisatawan menggunakan jasa biro perjalanan tinggal menyebutkan nama biro perjalanannya. Selanjutnya, pengelola pantai perawan akan menagihkan pada guide yang membawa wisatawan tersebut. Tarif masuk yang dikenakan ini kemudian dikelola untuk digunakan dalam pengembangan fasilitas maupun kebersihan pantai pasir perawan. Untuk kebersihan pantai perawan terdapat petugas yang setiap pekannya akan membersihkan pantai perawan setelah wisatawan kembali ke Jakarta. Berbeda dengan pantai pasir perawan, kawasan wisata pantai kresek yang terletak di sisi selatan-barat Pulau Pari tidak dikelola secara kekeluargaan dan merupakan kawasan yang masih open access dimana belum dikenakan tarif masuk. Pantai kresek juga menawarkan pantai berpasir putih dengan pemandangan langsung ke arah daratan Jakarta. Di lokasi ini berdiri warung yang menyediakan minuman dan makanan kecil seperti mie rebus dan lainnya dimana pemilik warung adalah penduduk lokal setempat yang sekaligus membersihkan pantai ini setiap pekan setelah wisatawan kembali ke Jakarta.
50
Di sisi ujung barat Pulau Pari, berdiri fasilitas penelitian milik LIPI dimana memiliki daya tarik sebagai objek wisata bagi wisatawan. Selain pantainya di sisi selatan dan utara, lokasi di dermaga barat LIPI sering pula dijadikan oleh wisatawan sebagai lokasi menunggu waktu terbenamnya matahari. Lokasi ini dikelola oleh satuan kerja LIPI bernama Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari dengan fasilitas penelitian seperti laboratorium maupun pra sarana pendukung seperti penginapan untuk peneliti, ruang rapat serta ruang display koleksi biota laut. Pra sarana dan sarana yang berada di lokasi tersebut difungsikan untuk kegiatan khusus penelitian kelautan serta untuk pendidikan dan pelatihan dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang kelautan. Lokasi LIPI di Pulau Pari sering pula digunakan oleh LIPI untuk mengadakan wisata edukasi kelautan dengan peserta seperti berasal dari sekolah, perguruan tinggi maupun perusahaan swasta. Untuk memasuki lokasi LIPI, wisatawan tidak dikenakan tarif dan masih diperkenankan masuk untuk menikmati objek wisata di lokasi tersebut. Wisatawan umum dapat menyewa penginapan LIPI sebagai tempat menginap selama di Pulau Pari jika fasilitas tersebut tidak sedang digunakan. Sebelum berkembangnya rumah-rumah penduduk lokal yang disewakan sebagai tempat menginap, fasilitas penginapan LIPI menjadi satu-satunya alternatif menginap bagi masyarakat umum yang berkunjung ke Pulau Pari. Berkembangnya kegiatan wisata bahari dengan meningkatnya jumlah pengunjung ke Pulau Pari dapat berpotensi mengganggu kegiatan penelitian kelautan yang sedang dilakukan khususnya penelitian yang harus terhindar dari pengaruh kegiatan manusia. Kondisi ini dapat berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan antara LIPI dengan pengunjung serta masyarakat lokal. Oleh karena itu pengelolaan kawasan LIPI perlu mempertimbangkan berbagai kepentingan dari stakeholder terkait. Lokasi LIPI memiliki daya tarik wisata namun di sisi lain seperti sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I DKI Jakarta Nomor 1592 Tahun 1982 merupakan bagian dari 10 persen Pulau Pari yang diperuntukan untuk daerah penelitian kelautan. Oleh karena itu solusi dari potensi
51
permasalahan yang akan muncul tersebut perlu diselesaikan secara bersama-sama melibatkan stakeholder terkait (LIPI, operator wisata, masyarakat) untuk mendapatkan solusi yang terbaik tanpa ada pihak yang dirugikan. Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari telah memberikan dampak berupa terciptanya unit-unit usaha yang berhubungan dengan kegiatan wisata bahari. Unit-unit usaha tersebut antara lain penyewaan homestay, kapal, alat snorkeling, sepeda, catering maupun warung-warung makan. Kegiatan wisata bahari telah pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal menjadi operator wisata, pemandu wisatawan (guide) dan tenaga memasak. Homestay mulai bermunculan seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan ke Pulau Pari. Homestay di Pulau Pari merupakan rumah penduduk lokal yang difungsikan/disewakan sebagai tempat menginap bagi wisatawan. Jenis homestay di Pulau Pari terdiri dari homestay ber-AC dan non-AC. Pengelolaan homestay tersebut langsung dikelola oleh pemilik rumah yang menjadikan rumahnya sebagai tempat penginapan bagi wisatawan. Beberapa pemilik rumah memasang papan nama yang menunjukkan bahwa rumahnya disewakan sebagai tempat penginapan. Dalam pengelolaan homestay tersebut, pemilik rumah sebagian besar sudah memiliki hubungan dengan operator wisata yang juga merupakan penduduk lokal Pulau Pari. Hubungan kekeluargaan dan kedekatan umumnya melatarbelakangi bentuk hubungan antara operator wisata dengan pemilik homestay. Pemilik rumah tidak kesulitan mencari wisatawan karena umumnya operator wisata akan mengarahkan wisatawan tersebut ke homestayhomestay yang memiliki hubungan dengan operator wisata tersebut. Pada kondisi peak season pemilik rumah hanya tinggal menyiapkan dan menunggu wisatawan masuk ke dalam rumahnya. Pemilik rumah umumnya akan keluar dan menggunakan halaman belakang rumah untuk hunian sementara atau menumpang pada sanak saudara lainnya apabila rumahnya disewakan sebagai tempat menginap. Pemilik homestay umumnya juga memiliki unit usaha lain seperti penyewaan alat snorkeling dan sepeda. Sama halnya pemilihan homestay, operator wisata juga akan mengutamakan menyewa alat snorkeling maupun sepeda dari pelaku usaha yang memiliki hubungan kedekatan/kekeluargaan.
52
Unit usaha lain yang muncul dengan adanya kegiatan wisata bahari di Pulau Pari adalah penyewaan kapal untuk snorkeling. Unit usaha ini umumnya dimiliki oleh penduduk lokal yang memiliki kapal. Sama halnya dengan pengelolaan homestay, pengusahaan penyewaan kapal untuk kegiatan snorkeling berhubungan langsung dengan operator wisata yang telah memiliki kedekatan maupun hubungan keluarga. Artinya operator wisata akan mengutamakan menggunakan kapal untuk snorkeling dari penduduk lokal yang memiliki hubungan kedekatan dan kekerabatan dengannya. Pengoperasian kapal untuk kegiatan snorkeling tersebut juga umumnya dijalankan bukan oleh pemilik kapal. Pemilik kapal akan mempekerjakan sanak saudaranya untuk mengoperasikan kapal dan nantinya akan bagi hasil dengan pemilik kapal tersebut. Khusus untuk kapal yang digunakan sebagai wisata olahraga air (water sport) adalah milik investor dari Jakarta yang dititipkan kepada penduduk lokal untuk dioperasikan dan nantinya berbagi hasil dari pendapatan yang diperoleh. Kegiatan wisata bahari turut pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal diantara sebagai operator wisata, pemandu wisatawan maupun tenaga memasak. Dahulu, operator wisata merupakan penduduk lokal yang menjadi pemandu wisatawan (guide), karena pengalamannya sebagai guide maka memutuskan untuk menjadi operator wisata. Operator wisata umumnya menerima limpahan wisatawan dari biro perjalanan wisata di Jakarta maupun menerima wisatawan langsung yang akan berkunjung ke Pulau Pari. Penduduk lokal yang menjadi guide umumnya merupakan sanak saudara dari operator wisata maupun teman dekat atau tetangga dekat rumahnya. Demikian pula penduduk lokal yang menjadi tenaga memasak umumnya merupakan tetangga rumah dari pemilik usaha catering. Unit-unit usaha yang muncul akibat adanya kegiatan wisata bahari di Pulau Pari akan dipungut iuran oleh Forum Pemuda Wisata Bahari Pulau Pari (FORSIR). Adapaun unit usaha yang dipungut iuran adalah pemilik homestay, kapal, alat snorkeling, dan usaha catering. Besaran tarif iuran tersebut berbeda menurut jenis usahanya. Pemilik homestay akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 15.000,- untuk per homestay per malam. Pemilik kapal yang kapalnya digunakan
53
untuk aktivitas snorkeling akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- tergantung besar kapasitas kapal. Tarif iuran yang dikenakan kepada pemilik kapal adalah untuk per kapal per sekali snorkeling, sedangkan pemilik usaha water sport akan digunakan tarif iuran sebesar Rp. 500,- per orang dan untuk pemilik sampan akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 5.000,- per sampan untuk sekali jalan. Pemilik usaha penyewaan alat snorkeling akan dikenakan tarif iuran Rp. 1.000,- untuk satu set alat snorkeling per sekali pakai, sedangkan iuran sebesar Rp. 500,- per orang akan dikenakan kepada pemilik usaha catering. Forum Pemuda Wisata Bahari (FORSIR) Pulau Pari dibentuk pada tanggal 1 April 2012 dikukuhkan dengan SK Lurah Pulau Pari No. 04/1.823.621/2012 tentang pembentukan dan pengukuhan FORSIR Pulau Pari. Kepengurusan FORSIR terdiri dari ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara dengan anggota merupakan para pemilik unit usaha wisata bahari di Pulau Pari. Anggota FORSIR yang merupakan pemilik unit usaha wisata bahari akan dikenakan iuran per pekannya apabila unit usaha yang dimiliki digunakan oleh wisatawan. Adapun pemilik unit usaha akan dikenakan iuran dengan besaran tarif seperti pada uraian sebelumnya. Iuran ini selanjutnya akan dikelola oleh pengurus FORSIR untuk digunakan dalam pengembangan fasilitas di Pulau Pari. Iuran yang dipungut dari para pemilik unit usaha kemudian dialokasikan sebanyak 70 persen yang terdiri dari 50 persen untuk peningkatan kapasitas di Pulau Pari seperti penambahan tempat sampah dan kebersihan ataupun lainnya yang berhubungan dengan fasilitas pendukung wisatawan, sedangkan 20 persennya digunakan untuk kegiatan masyarakat yang terbagi atas lima pos yakni untuk ke Rukun Warga, masjid, madrasah, santunan anak yatim, dan pemakaman.
VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG FISIK KAWASAN WISATA BAHARI
6.1. Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 merupakan produk hukum terbaru yang mengatur mengenai tata ruang dan peruntukan wilayah di Provinsi DKI Jakarta termasuk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dalam peraturan daerah tersebut pola ruang daratan (pulau) di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu meliputi sebagai kawasan terbuka hijau; kawasan permukiman; kawasan taman arkeologi; kawasan pariwisata; kawasan lindung yang berada di Cagar Alam Pulau Bokor dan Suaka Margasatwa. Menurut peraturan daerah tersebut penggunaan ruang daratan Pulau Pari ditetapkan sebagai kawasan permukiman. Untuk mendukung perwujudan kawasan permukiman sebagai kawasan wisata nelayan sebagai objek tujuan wisata dapat dibangun wisma dan/atau penginapan, serta sentra usaha rakyat termasuk pusat pelayanan jasa wisata. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tersebut tidak tersurat secara detail menyebutkan pulau-pulau mana saja yang diperuntukan untuk kawasan pariwisata. Peraturan Daerah tersebut hanya menyebutkan bahwa rencana pengembangan kawasan pariwisata dilaksanakan di pulau peruntukan pariwisata, dan pemanfaatan diarahkan untuk usaha pariwisata yang bersifat terbuka untuk umum. Usaha pariwisata yang dimaksud didukung dengan peningkatan kualitas lingkungan daratan pulau dan perairan laut sekitarnya, dengan wajib menjaga dan merehabilitasi ekosistem terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun agar tetap baik, tumbuh dan lestari. Kawasan gugusan Pulau Pari adalah daerah yang memiliki keunikan tersendiri dengan ekosistem khas perairan tropis yang lengkap seperti terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun. Selama ini kawasan gugusan Pulau Pari hanya dikenal sebagai tempat untuk objek penelitian sedangkan aspek pariwisatanya belum banyak dikenal. Gugusan Pulau Pari dapat menjadi tujuan wisata bahari bagi penduduk dari luar pulau. Wisata utama dari Pulau Pari adalah
55
keindahan laut dan ekosistem khas perairan tropis yang dimilikinya. Wisatawan yang datang mengunjungi Pulau Pari dapat melakukan berbagai aktivitas diantaranya snorkeling dan scuba diving sambil mengenal beragam tumbuhan dan hewan di ekosistem terumbu karang, memancing ikan, mengunjungi tempat budidaya rumput laut dan ikan maupun perkampungan penduduk lokal. Potensi yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari tersebut menjadikan daerah ini mulai dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Melihat potensi yang dimiliki oleh Pulau Pari untuk kegiatan wisata bahari maka analisis kesesuaian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari dilakukan. Evaluasi lahan digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan Pulau Pari untuk wisata bahari. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe-tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001). Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk pariwisata bahari secara umum dengan menggunakan parameterparameter yaitu kecerahan perairan, jenis terumbu karang, jenis ikan karang, tutupan karang hidup, kecepatan arus, dan kedalaman (Dimodifikasi dari Hardjowigeno & Widiatmaka 2001; Yulianda 2007).
6.1.1. Kecerahan Perairan Kecerahan perairan gugusan Pulau Pari menggunakan data yang dikumpulkan oleh Abrar (2011). Kecerahan gugusan Pulau Pari diukur di dua lokasi yakni ST1-pari dan ST2-tikus. Stasiun penelitian ST1-pari berada antara selatan-barat Pulau Pari atau selatan-Timur Gugus Pulau Pari pada posisi 050 52’ 212’’ LS dan 1060 36’ 754’’ BT. Sementara itu ST2-tikus berada pada sisi utara Pulau Tikus atau utara-barat Gugus Pulau Pari dengan posisi 050 51’ 168’’ LS dan 1060 34’ 795’’ BT. Peta lokasi pengambilan data seperti terlihat pada Gambar 5. Pengamatan dilakukan dengan interval waktu setiap satu bulan yaitu Maret sampai Agustus 2010 (T0-T5) dan interval waktu 3 bulan yaitu September sampai November 2010 (T5-T6).
56
ST2-Tikus
ST1-Pari
Gambar 5 Lokasi Pengambilan Data Kecerahan Perairan Pulau Pari (Sumber : Whouthuyzen et al. 2008) Hasil pengukuran kecerahan perairan pada ST1-pari menunjukkan adanya variasi setiap bulan pengamatan. Secara umum nilai kecerahan semakin menurun selama bulan pengamatan, walaupun terjadi fluktuatif dengan kisaran tertinggi mencapai 14 meter pada saat T0 dan terendah adalah 5 meter pada saat T6. Kondisi kecerahan yang sama juga terlihat pada stasiun ST2-tikus yaitu cenderung menurun selama bulan pengamatan walaupun terjadi kenaikan saat akhir pengamatan. Nilai kecerahan paling tinggi mencapai 17 meter pada waktu T1 dan nilai paling rendah yaitu 8 meter pada T3 dan T6 (Abrar 2011). Kecerahan perairan pada dua lokasi pengamatan selama bulan pengamatan terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kecerahan Perairan (m) Pulau Pari pada Dua Stasiun Penelitian selama Bulan Pengamatan Stasiun
T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
ST1-pari
14
12
7
7
10
13
5
ST2-tikus
9
17
11
8
10
12
8
Sumber : Abrar (2011)
Kecerahan perairan Pulau Pari pada dua stasiun penelitian selama bulan pengamatan yang terbaca dari Tabel 8 menunjukkan bahwa kecerahan perairan Pulau Pari 5-17 meter. Kecerahan perairan terendah yakni 5 meter terukur pada T6 di ST1-pari sedangkan kecerahan perairan tertinggi yakni 17 meter terukur
57
pada T1 pada ST2-tikus. Dari data di kedua stasiun peneltian selama bulan pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata kecerahan perairan Pulau Pari adalah 10,21 meter. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan pariwisata bahari maka kecerahan perairan pulau pari masuk kedalam kategori S2 yang berarti sesuai untuk kegiatan parwisata bahari.
6.1.2. Kedalaman Kedalaman di sekitar gugusan Pulau Pari berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Whouthuyzen et al. (2008). Pemetaan perairan dangkal gugusan Pulau Pari dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi kedalaman. Pemetaan perairan dangkal dilakukan menggunakan data citra satelit FORMOSAT beresolusi 8 meter dengan mengaplikasikan algoritma. Pada algoritma tersebut dibutuhkan data kedalaman in situ yang diukur menggunakan Echo Sounder Garmin 420-C yang dipasang pada perahu motor kerja yang dilengkapi pula dengan GPS, sehingga diperoleh data kedalaman berikut koordinatnya (lintang dan bujur). Luasan perairan dangkal di gugusan Pulau Pari menurut kedalaman dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 6.
Tabel 9 Luas Perairan di Gugusan Pulau Pari menurut Kedalaman Kedalaman (m)
Luas (Ha)
<1
6,62
1-2
452,31
2-4
400,44
4-6
86,80
6-8
61,64
8-10
54,60
10-20
245,27
20-30
212,54
>30
4089,57
Sumber : Wouthuyzen et al. (2008)
58
Gambar 6 Peta Bathimetri Perairan Dangkal Gugusan Pulau Pari (Sumber : Whouthuyzen et al. 2008) Gugusan Pulau Pari merupakan gugusan pulau-pulau yang termasuk ke dalam tipe pulau karang timbul dan pulau dataran rendah. Terumbu karang mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut
(Asriningrum 2005 in Abrar
2011). Rataan terumbu adalah bagian terumbu paling luas yaitu dengan panjang berkisar 400-1500 meter tegak lurus garis pantai pulau terdekat arah ke laut lepas. Saat pasang, rataan terumbu digenangi air sampai kedalaman 1 meter dan dapat terpapar 0,3-0,4 meter di atas permukaan laut saat surut terendah. Pada bagian tertentu, di rataan terumbu ditemukan cekungan-cekungan (goba) yang selalu tergenang saat air laut surut dengan kedalaman berkisar 2-15 meter (Abrar 2011). Luas perairan gugusan Pulau Pari menurut kedalaman yang terlihat pada Tabel 9 menunjukkan bahwa gugusan Pulau Pari memiliki kedalaman perairan yang beragam. Dari Tabel 9 terlihat bahwa perairan gugusan pulau pari berkedalaman > 30 m merupakan yang terluas yakni mencapai 4089,57 hektar kemudian diikuti oleh perairan yang berkedalaman 1-2 m dan 2-4 m dengan luas masing-masing berturut-turut seluas 452,31 hektar dan 400,44 hektar. Abrar (2011) menyatakan bahwa perairan gugus Pulau Pari termasuk gugusan Kepulauan Seribu dengan tipe perairan dangkal pesisir dengan kedalaman berkisar antara 15-40 meter. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari,
59
maka kedalaman perairan gugusan pulau Pari dapat dikelompokan kedalam kategori kesesuaiannya menurut aktivitasnya antara lain selam dan snorkeling. Sesuai dengan matrik kesesuaian lahan, kedalaman yang cocok untuk kegiatan selam adalah 6-20 meter sedangkan kedalaman yang cocok untuk kegiatan snorkeling adalah 1-6 meter. Menurut kriteria tersebut maka luasan gugusan Pulau Pari yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan selam seluas 361,51 hektar dan untuk kegiatan snorkeling seluas 939,55 hektar.
6.1.3. Kecepatan Arus Perairan gugus Pulau Pari termasuk kedalam perairan pedalaman semi terbuka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pesisir di sepanjang Teluk Jakarta dan Utara Banten serta gerakan massar air dari Laut Cina Selatan dan Timur Indonesia. Tipe perairan seperti ini sangat dinamis dan turbulensi tinggi sehingga kualitas perairan sangat dipengaruhi oleh substrat dasar perairan, kondisi lokal geologisnya dan pengaruh aktivitas dan pengembangan di daratan dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Tipe perairan gugus Pulau Pari telah memberikan karakteristik pola oseanografi secara lokal antara lain pola arus. Pola arus secara umum menjadi bagian pola arus Perairan Indonesia yang sangat terpengaruh oleh musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur dan peralihan diantaranya (Abrar 2011). Kecepatan arus untuk menganalisis kesesuaian lahan pariwisata bahari Pulau Pari menggunakan data yang diukur oleh Abrar (2011). Peta lokasi pengambilan data seperti terlihat pada Gambar 5. Kecepatan arus yang diukur merupakan kecepatan arus permukaan. Pada stasiun ST1-pari kecepatan arus permukaan tertinggi mencapai 0,3 m/dt pada bulan pengamatan T4 dan terendah 0,01 m/dt pada bulan pengamatan T2. Variasi kecepatan arus permukaan di stasiun ST1-pari pada setiap bulan pengamatan tidak begitu berbeda dengan ratarata 0,13 m/dt. Fluktuasi kecepatan arus permukaan yang terjadi pada stasiun ST2-tikus juga tidak terlalu bervariasi dengan rata-rata cenderung sama dengan stasiun ST1-pari yaitu 0,1 m/dt. Kecepatan arus permukaan terendah pada ST-2 tikus mencapai 0,025 m/dt pada T1 sedangkan tertinggi mencapai 0,2 m/dt pada T4. Berdasarkan parameter kesesuaian lahan pariwisata bahari Pulau Pari, maka
60
kesesuaian kecepatan arus di Pulau Pari berada pada kategori S1 artinya sangat sesuai.
6.1.4. Tutupan Karang Hidup Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan dangkal daerah tropis yang juga ada di perairan gugusan Pulau Pari. Penilaian status dan kondisi terumbu karang di Pulau Pari menggunakan data Wouthouyzen, dkk (2008) yang dilakukan pada empat stasiun yang mewakili sisi Utara-Barat dan Selatan-Timur Gugus Pulau Pari. Data ini digunakan untuk mengetahui parameter kesesuaian lahan yakni tutupan karang. Empat stasiun yang dimaksud terdiri dari Pulau Kudus-Utara (PRL01), Pulau Tikus-Barat (PRL02), Pulau Pari-Selatan (PRL03) dan Pulau Pari-Timur (PRL04). Peta lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 7.
PRL01
PRL02
PRL04
PRL03
Gambar 7 Lokasi Pengamatan Penilaian Status dan Kondisi Terumbu Karang di Gugusan Pulau Pari (Sumber : Whouthuyzen et al. 2008)
61
Pulau Kudus terletak pada bagian sisi utara gugus Pulau Pari. Status lahan merupakan hak milik perorangan yang saat ini dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan dengan bangunan rumah dan dermaga, sedangkan pada rataan terumbunya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan budidaya rumput laut. Perairan Pulau Kudus sangat terbuka dengan gelombang dan arus kuat, terutama musim timur, perairannya jernih dengan jarak pandang 8-10 meter. Rataan terumbu pendek dengan jarak dari pantai ± 300 meter, didominasi oleh dasar berpasir dan patahan karang mati dengan ditumbuhi lamun dan makro algae. Lereng terumbu cukup landai dengan kedalaman mencapai 15-20 meter. Koloni karang mulai ditemukan pada daerah belakang tubir dan semakin berkembang pada tubir dan lereng terumbu sampai kedalam 10 meter. Tutupan bentik terumbu Pulau Kudus cukup bervariasi dan didominasi oleh pertumbuhan algae dengan tutupan mencapai 54 peresen, terutama dari kelompok turf algae. Biota bentik lain yang berasosiasi dengan terumbu jarang dengan tutupan hanya mencapai 2 persen. Tutupan karang mati baik yang sudah ditumbuhi lumut ataupun belum sangat terendah dengan tutupan hanya mencapai 3 persen namun bentik abiotik tidak ditemukan. Total tutupan karang hidup di Pulau Kudus mencapai 41 persen terdiri dari Acropora 5 persen dan non Acropora 36 persen. Stasiun PRL02 berada pada sisi barat Pulau Tikus yang merupakan perairan terbuka relatif tenang dengan gelombang dan arus tidak terlalu kuat dan dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut dan perikanan tangkap terutama dari alat tangkap sero dan bagan tancap. Pantai sangat landai berpasir putih dengan vegetasi cemara laut dan ketapang serta perdu-perduan. Rataan terumbu karang cukup luas dengan panjang mencapai ± 700-800 meter dari pantai memiliki dasar berpasir dan substrat keras dari karang mati. Terdapat cekungan laut antara pulau dengan rataan terumbu luar (goba) dengan kedalaman 10-15 meter. Tubir dan lereng terumbu sangat jelas, dangkal dan landai dengan kedalaman mencapai 20 meter. Bentik terumbu didominasi oleh pertumbuhan algae dengan tutupan mencapai 39 persen terutama dari kelompok turf algae. Bentik terumbu dalam bentuk karang mati cukup rendah dengan tutupan hanya mencapai 2 persen
62
sedangkan bentik abiotik cukup tinggi yaitu 25 persen terutama dari dasar berpasir dan patahan karang mati. Biota lainnya yang berasosiasi dengan terumbu jarang dengan tutupan hanya mencapai 2 persen terutama dari kelompok soft coral dan biota benthos lainnya. Tutupan karang hidup di lokasi ini mencapai 32 persen yang terdiri dari 2 persen Acropora dan 30 persen non Acropora. Stasiun PRL03 berada pada sisi selatan Pulau Pari yang merupakan perairan terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat terutama saat musim timur, keruh dengan jarak pandang 5-6 meter. Rataan terumbu cukup luas dan panjang 700 meter lebih dengan dasar berpasir dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makro algae. Dasar perairan di belakang tubir lebih didominiasi oleh substrat keras dari bongkahan karang mati serta ada endapan patahan karang (rampat karang) yang muncul kepermukaan saat air surut. Tubir karang cukup jelas dengan lereng terumbu landai sampai kedalaman 15 meter. Pada stasiun ini bentik terumbu didominasi oleh pertumbuhan karang keras dengan tutupan 50 persen terutama keompok Non Acropora, sedangkan kelompok Acropora tidak ada. Dominasi bentik terumbu berikutnya adalah pertumbuhan algae dengan tutupan mencapai 38 persen yakni dari kempok turf algae, sedangkan tutupan biota lain sangat rendah yaitu hanya 1 persen dari kemunculan biota sponge. Bentik terumbu dari tutupan karang mati dan abiotik rendah, masing-masing 6 persen dan 5 persen. Stasiun PRL04 berada pada sisi timur Pulau Pari yang merupakan perairan terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat terutama saat musim timur, relatif jernih dengan jarak pandang mencapai 8-10 meter. Rataan terumbu tidak terlalu luas dengan panjang mencapai 300-400 meter dari pantai. Dasar perairan rataan terumbu didominiasi oleh pasir dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makro algae. Tubir karang tidak jelas dengan lereng terumbu agak curam sampai kedalaman 20-25 meter. Pada stasiun ini tutupan bentik algae dan biota yang berasosiasi lainnya sangat rendah masing-masing 6 persen dan 2 persen ditandai dengan kemunculan turf algae, sponge, dan soft coral. Karang mati cukup tinggi dengan tutupan mencapai 17 persen sedangkan bentik abiotik juga cukup tinggi mencapai 20 persen. Di lokasi ini tutupan karang hidup paling tinggi dibanding ketiga lokasi
63
(PRL01, PRL02, PRL03) yang mencapai 55 persen dengan didominasi oleh tutupan karang keras yaitu mencapai 40 persen dari non Acropora dan 15 persen dari Acropora. Hasil pengamatan pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup tertinggi mencapai 55 persen yakni pada sisi timur Pulau Pari (PRL04) sedangkan tutupan karang hidup terendah berada pada Pulau Tikus (PRL02) dengan tutupan karang mencapai 32 persen. Kondisi terumbu karang pada sisi selatan-timur gugus Pulau Pari cenderung berada dalam kondisi yang lebih baik dibanding sisi utara baratnya. Tabel 10 menunjukkan persentase tutupan karang hidup di Pulau Pari berdasarkan parameter tutupan karang hidup untuk menunjukkan kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari di Pulau Pari.
Tabel 10 Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari berdasarkan Parameter Tutupan Karang Hidup No
Lokasi
Tutupan Karang
Kategori*
Kondisi**
Hidup (%) 1
Stasiun
PRL01
(Pulau
41
Kudus-Utara) 2
Stasiun
PRL02
Stasiun
PRL03
(Pulau
32
Stasiun
PRL04
S3=sesuai
Sedang
marginal (Pulau
50
Pari Selatan 4
Sedang
marginal
Tikus-Barat) 3
S3=sesuai
S2=cukup
Baik
sesuai (Pulau
Pari-Timur)
55
S2=cukup
Baik
sesuai
Sumber : Whouthuyzen et al. (2008) Keterangan : *) >70% : S1, 50-70% : S2, 20-50 : S3, <20% : N; (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001) **)75-100% : Sangat Baik, 50-74,9% : Baik, 25-49,9% : Sedang, 0-24,9% : Rusak (Kepmen LH No. 4 Tahun 2001)
Kesesuaian lahan Pulau Pari berdasarkan parameter tutupan karang hidup seperti yang terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sisi Utara-Barat Pulau Pari sesuai marginal untuk pariwisata bahari sedangkan sisi Selatan-Timur Pulau
64
Pari cukup sesuai. Berdasarkan kondisinya, sisi Selatan-Timur Pulau Pari memiliki kondisi terumbu karang yang baik dibandingkan sisi Utara-Barat yang kondisinya cukup. Oleh karena itu daerah sisi Selatan-Timur Pulau Pari merupakan salah satu area (spot) yang dapat direkomendasikan sebagai lokasi untuk menikmati keindahan pesona bawah laut.
6.1.5. Jenis Terumbu Karang Pengamatan keanekaragaman karang di gugusan Pulau Pari telah dimulai sejak 20 tahun yang lalu. Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Suharsono dan Kiswara tahun 1981 ditemukan 87 jenis karang batu. Sebaran jenis lebih tinggi ditemukan pada sisi selatan Pulau Pari yaitu 87 jenis, sedangkan pada sisi utara mencapai 57 jenis. Jenis karang Montipora ramose merupakan jenis utama diikuti oleh Heliopora coerulea (Kiswara & Suharsono 1991). Selanjutnya Suharsono (1995) dari hasil inventarisasi panjang selama periode 1985-1994 melaporkan bahwa 187 jenis dari 59 genera ditemukan di sepanjang gugus Pulau Pari. Brown et al. (1983) melakukan pengamatan jenis-jenis karang di sepanjang rataan terumbu gugus Pulau Pari yakni 3 stasiun pada sisi utara-barat dan 2 stasiun pada sisi selatan-timur. Hasil pengamatan mencatat 88 total jenis dari 28 genera dimana 74 jenis ditemukan pada sisi selatan-timur (2 stasiun) dan 43 jenis pada sisi utara-barat (3 stasiun). Genus Acropora mendominasi dan menunjukkan pola zonasi pada bagian terluar rataan terumbu (dekat tubir) pada semua stasiun pengamatan. Jenis Acropora pulchra memperlihatkan dominasi dan menunjukkan pola tidak bergabung dengan zonasi yang ada pada bagian rataan ke arah daratan dari rataan terumbu terluar. Acropora digitifera menempati rataan bagian tengah ke arah laut lepas, sedangkan Acropora hyacinthus mengkoloni pada pinggiran rataan yang menghadap ke arah laut lepas. Santoso (1985) juga telah melakukan pengamatan keanekaragaman jenis karang batu di rataan, goba dan lereng terumbu Pulau Tikus Gugus Pulau Pari selama bulan Mei-Juni 1984. Hasil penelitian mencatat total 46 jenis karang batu dari 24 genera dan 12 famili. Genus Porites dan Montipora mempunyai sebaran paling luas dan merupakan jenis yang dominan.
65
Manuputty et al. (1998) telah melakukan pengamatan sebaran jenis karang batu secara vertikal pada bulan April 1995 di dua stasiun yaitu sisi selatan (back reef) dan sisi utara (front reef) gugus Pulau Pari. Total jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 156 jenis dimana kedua stasiun memperlihatkan hasil yang berbeda yaitu 105 jenis dari 12 suku pada sisi selatan dan 125 jenis dari 12 suku pada sisi utara. Pada sisi selatan, karang batu dari suku Faviidae dan Acroporidae berkembang baik dan mendominasi pada kedalaman di bawah 5 meter. Di sisi utara didominasi oleh suku Acroporidae dan Faviidae terutama pada kedalaman 1-5 meter. Suku Acroporidae memperlihatkan jumlah jenis yang beragam pada kedua sisi terutama dari pertumbuhan bercabang (19 jenis) dan Montipora (5 jenis). Studi pengamatan jenis karang juga telah dilakukan pada tahun 2008 oleh Whouthuyzen et al. (2008). Pengamatan dilakukan pada 4 stasiun yaitu 2 stasiun pada sisi utara-barat dan 2 stasiun pada sisi selatan-timur. Total jumlah jenis karang batu yang ditemukan adalah 135 jenis dimana jumlah jenis pada sisi selatan timur lebih tinggi yaitu 121 jenis dibanding sisi utara barat yang sebanyak 97 jenis. Famili Faviidae mendominasi jumlah jenis yaitu mencapai 31 jenis diikuti oleh jenis-jenis dari Famili Acroporidae yaitu 30 jenis. Keragaman jenis karang dari hasil berbagai pengamatan yang diuraikan menunjukan bahwa catatan keragaman jenis karang tertinggi mencapai 187 jenis dari 59 genera dari inventarisasi yang dilakukan selama periode 1985-1994 (Suharsono 1995). Hasil inventariasi terakhir yang dilakukan oleh Whouthuyzen et al. (2008) menunjukkan bahwa keragaman jenis karang mencapai 135 jenis. Hasil evaluasi terakhir ini telah menunjukkan penurunan keanekaragaman jenis, namun berdasarkan pengamatan yang terakhir ini memperlihatkan bahwa kesesuaian lahan Pulau Pari untuk pariwisata bahari berada pada kategori S1 artinya sangat sesuai berdasarkan parameter jenis terumbu karangnya yang mencapai lebih dari 100 jenis.
6.1.6. Jenis Ikan Karang Parameter lainnya untuk kesesuaian lahan pariwisata bahari adalah jenis ikan karang. Data potensi ikan karang yang digunakan dalam analisis ini
66
menggunakan data sekunder yang merupakan hasil kajian potensi ikan karang yang dilakukan pada bulan Mei 2008 oleh Whouthuyzen et al. (2008) di Pulau Pari. Data potensi ikan karang dilakukannya dengan menggunakan 2 pendekatan yaitu menggunakan line intercept transect (LIT) dan metode secara cepat yakni rapid reef assessment (RRA) untuk mendapatkan gambaran secara spasial tentang potensi ikan karang di gugusan Pulau Pari.
Ikan dikelompokan menjadi 3
kategori, yakni ikan indikator (ikan yang dapat menunjukkan kesehatan suatu terumbu karang), ikan mayor (ikan di luar ikan target dan ikan indikator, berukuran kecil dan bergerombol atau soliter, serta berpotensi sebagai ikan hias yang juga memiliki nilai ekonomis), dan ikan target (ikan yang menjadi target penangkapan karena memiliki potensi ekonomis), Kelimpahan ikan karang pada tubir terumbu karang di gugusan Pulau Pari terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Kelimpahan Ikan Karang di Gugusan Pulau Pari Parameter
Kelompok Ikan Mayor
Indikator LIT
RRA
LIT
RRA
Target LIT
RRA
Jumlah Famili
1
1
20
11
12
11
Jumlah Spesies
12
8
93
67
61
46
Total Spesimen
153
63
4.651
1.142
2.641
630
Densitas (ekor/m2)
0,08
0,16
2,33
2,86
1,32
1,58
Densitas rata-rata (ekor/m2) Kelimpahan (ekor)
0,12
2,59
1,45
30.873
686.483
383.720
Keterangan : LIT =line intercept transect, RRA=rapid reef assessment
Sumber : Whouthuyzen et al. (2008) Kelimpahan ikan karang di gugusan Pulau Pari yang terlihat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kelimpahan ikan terbanyak adalah pada jenis ikan mayor dengan kelimpahan mencapai 686.483 ekor. Jenis ikan karang dengan kelimpahan ikan terendah di gugusan Pulau Pari adalah jenis ikan indikator dengan kelimpahan mencapai 30.873 ekor. Berdasarkan dua metode pengamatan yakni LIT dan RRA, jumlah spesies ikan karang di gugusan Pulau Pari masing-masing berturut-turut sebanyak 166 spesies (LIT) dan 121 spesies (RRA). Berdasarkan
67
dua metode pengamatan baik LIT maupun RRA, jenis ikan mayor merupakan jenis ikan yang memiliki jumlah spesies terbanyak (tercatat 93 spesies (LIT) dan 67 spesies (RRA)) sedangkan ikan indikator merupakan jenis ikan yang memiliki jumlah spesies terendah (tercatat 12 spesies (LIT) dan 8 spesies (RRA)). Dengan jumlah spesies ini maka berdasarkan kriteria parameter jenis ikan karang kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari gugusan Pulau Pari berada pada kategori S1 artinya sangat sesuai untuk pariwisata bahari yang memiliki jenis ikan karang >70. Adapun komposisi jenis ikan mayor didominasi dari dua famili yakni Labridae
dengan
jenis
Cirrhilabrus
cyanopleura,
Thalassoma
lunare,
Halichoeres hortulanus, dan famili Pomacentridae, dengan jenis berbagai ikan betok laut seperti Amblyglyphidodon curacao, A. Leucogaster, Abudefduf sexfasciatus, Chromis weberi dan Neopomacentrus azysron. Ikan target didominasi oleh jenis-jenis ikan ekor kuning (Caesio terres dan Pterocaesio pisang) dari famili Caesionidae, ikan kakatua (Scarus ghoban) serta ikan beronang/samandar (Siganus virtagus) dari famili Siganidae. Untuk ikan indikator didominasi oleh Chaetodon octofasciatus yang merupakan jenis kepe-kepe yang lebih dapat beradaptasi pada perairan dekat pantai dengan sedimen cukup tinggi atau dekat dengan padang lamun (Whouthuyzen et al. 2008).
6.2. Daya Dukung Fisik Kawasan Wisata Bahari Pulau Pari Berkembangnya Pulau Pari sebagai salah satu tempat tujuan wisata bahari memberikan peluang ekonomi bagi penduduk lokal dengan meningkatnya jumlah pengunjung. Di sisi lain, Pulau Pari sebagai pulau kecil memiliki daya dukung yang terbatas, yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatannya untuk suatu kegiatan, termasuk kegiatan pariwisata agar terjaga kelestarian lingkungannya. Jumlah maksimum pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem di Pulau Pari diperlukan untuk diketahui agar pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem khususnya untuk kegiatan wisata bahari tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik dan tingkat kenyamanan pengguna sumberdaya terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Daya dukung fisik kawasan dilakukan dengan menghitung jumlah maksimum
68
pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Dasar kajian pemanfaatan ruang menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan perikanan dan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, dimana areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10 persen dari luas zona pemanfaatan. Dasar ini digunakan mengingat gugusan Pulau Pari dimanfaatkan pula sebagai laboratorium alam untuk lokasi penelitian sehingga kelestariannya harus tetap dipertahankan. Adapun perhitungan daya dukung fisik kawasan menggunakan nilai parameter untuk setiap kategori wisata bahari yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Nilai Parameter Daya Dukung Fisik Kawasan untuk Setiap Kategori Wisata Bahari Jenis Kegiatan
K (orang)
Unit Area (Lt)
Waktu yang
Total
Dibutuhkan
Waktu 1
(Wp)
hari (Wt)
2
1000 m2
2 jam
8 jam
Wisata Snorkeling
1
300 m
2
3 jam
6 jam
Wisata Mangrove
1
100 m2
3 jam
8 jam
Wisata Pantai
1
50 m2
3 jam
6 jam
Wisata Selam
Sumber : Hutabarat et al. (2009); de Vantier and Turak (2004) in Hilyana (2011); Yulianda (2007) Dilihat dari klasifikasi habitatnya, gugusan Pulau Pari memiliki ekosistem khas perairan tropis yang khas khususnya ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Hasil citra satelit ALOS AVNIR-2 tanggal 3 Agustus 2009 menunjukkan klasifikasi habitat di gugusan Pulau Pari yang mencakup 6 kelas yakni : 1) perairan, 2) terumbu karang, 3) padang lamun, 4) mangrove, 5) hamparan pasir putih, dan 6) habitat lainnya yakni daratan (Whouthuyzen et al. 2009), sehingga tidak salah bahwa gugusan pulau ini dimanfaatkan sebagai laboratorium penelitian dan akhir-akhir ini dikunjungi oleh wisatawan sebagai tujuan wisata bahari. Klasifikasi habitat (ekosistem) di gugusan Pulau Pari terlihat pada Gambar 8. Potensi alam yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari dimanfaatkan
69
oleh wisatawan melalui berbagai aktivitas kegiatan wisata diantara menikmati pantai, snorkeling dan selam, jelajah hutan mangrove maupun aktivitas lainnya. Daya dukung fisik kawasan dihitung dengan membatasi kategori kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di gugusan Pulau Pari yakni hanya untuk wisata selam, wisata snorkeling, wisata mangrove dan wisata pantai. Hal ini disebabkan kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh wisatawan di Pulau Pari.
Keterangan : Laut/lagoon, dalam dan dangkal lagoon total luas: 296,1 ha; Terumbu : terumbu luar, dalam, beting karang total luas : 172,4 ha; Lamun lebat, sedang campur pasir total luas : 288,9 ha; Mangrove total luas : 18,9 ha; Daratan total luas : 64,3 ha; Pasir putih total luas : 221 ha.
Gambar 8 Klasifikasi Habitat (Ekosistem) di Gugusan Pulau Pari (Sumber : Whouthuyzen et al. 2009)
70
Data untuk perhitungan daya dukung fisik kawasan kegiatan wisata selam dan snorkeling menggunakan luasan menurut kesesuaian kedalamannya. Luasan menurut kesesuaian kedalaman untuk kegiatan selam dan snorkeling berturut-turut adalah 361,51 ha dan 939,55 ha. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10 persen dari luas zona pemanfaatan, sehingga luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam dan snorkeling masing-masing berturut-turut adalah 36,15 ha dan 93,95 ha. Yulianda (2007) mengemukakan bahwa wisata selam dan snorkeling harus mempertimbangkan kondisi komunitas karang, karena persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang di suatu kawasan memiliki tutupan karang 70 persen, maka luas areal selam di terumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah 70 persen dari luas hamparan karang. Rata-rata tutupan karang hidup di gugusan Pulau Pari menunjukkan 44,50 persen, sehingga luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam maupun snorkeling masing-masing berturut-turut adalah seluas 16,09 ha (44,50 persen x 36,15 ha) dan 41,81 ha (44,50 persen x 93,95 ha). Mangrove di gugusan Pulau Pari mencakup mangrove sejati maupun vegetasi yang berasosiasi dengan mangrove. Mangrove di gugusan Pulau Pari memiliki luas 18,9 ha yang menyebar di sisi utara garis pantai Pulau Pari, sekeliling Pulau Burung, Pulau Tengah dan spot-spot di Pulau Kongsi. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka areal mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata adalah 10 persen, sehingga luas mangrove yang direkomendasikan untuk kegiatan wisata adalah seluas 1,89 ha. Luasan habitat lainnya yang digunakan sebagai data untuk menghitung daya dukung fisik kawasan dari kategori wisata pantai adalah daratan. Luasan daratan digunakan sebagai data dengan pertimbangan bahwa meskipun pada umumnya wisatawan melakukan wisata pantai di pantai yang berpasir putih tetapi terdapat pasir putih di gugusan Pulau Pari hanya berupa gosong yang hanya akan muncul ketika air laut surut dan tidak nampak lagi ketika air laut pasang (lihat Gambar 5). Data luasan pantai di Pulau Pari yang dapat dimanfaatkan untuk wista pantai juga belum tersedia. Oleh karena itu luas daratan digunakan sebagai data untuk menghitung daya dukung fisik kawasan dari kategori wisata pantai. Data
71
klasifikasi habitat menunjukkan daratan di gugusan Pulau Pari memiliki luas 64,3 ha. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994, maka luas pantai yang direkomendasikan untuk kegiatan wisata adalah seluas 6,43 ha. Nilai daya dukung fisik kawasan di gugusan Pulau Pari untuk setiap kategori kegiatan wisata bahari ditampilkan pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai Daya Dukung Fisik Kawasan di Gugusan Pulau Pari untuk Setiap Kategori Kegiatan Wisata Bahari No
Jenis Kegiatan
Nilai DDK (orang/hari)
1
Wisata Selam
1.287
2
Wisata Snorkeling
2.787
3
Wisata Mangrove
504
4
Wisata Pantai
2.572
Sumber : data diolah (2012)
Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai daya dukung fisik kawasan untuk kegiatan wisata selam dan snorkeling dengan jumlah kunjungan yang dapat ditolerir berturut-turut adalah 1.287 orang/hari dan 2.787 orang/hari. Untuk kegiatan wisata mangrove jumlah kunjungan yang dapat ditolerir adalah 504 orang/hari, sedangkan untuk kegiatan wisata pantai, jumlah kunjungan yang dapat ditolerir adalah 2.572 orang/hari. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Forum Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR) Pulau Pari menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pengunjung selama bulan April sampai dengan Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan atau 370 orang setiap pekannya (sabtu-minggu). Jika diasumsikan bahwa pengunjung melakukan kegiatan per kategori wisata bahari pada waktu yang bersamaan maka kondisi pemanfaatan saat ini masih berada di bawah daya dukung fisik kawasan untuk kategori kegiatan wisata selam, snorkeling, dan mangrove serta pantai sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya sampai dengan batas nilai daya dukung fisik kawasan yang tersajikan pada Tabel 13. Demikian pula pada kondisi peak season dimana jumlah pengunjung tercatat sebanyak 2.950 orang (data bulan Agustus 2012) atau
72
sebanyak 737 orang setiap pekan (sabtu-minggu) menunjukkan bahwa kondisi saat ini masih di bawah daya dukung daya dukung fisik kawasan untuk kategori kegiatan wisata selam, snorkeling, dan mangrove serta pantai. Namun mengingat keterbatasan jumlah penginapan maka wisatawan perlu untuk dibatasi. Hal ini untuk menghindari pula meningkatnya sampah maupun limbah air karena adanya aktivitas wisawatan yang dapat berpotensi mempengaruhi kondisi lingkungan dan perairan di Pulau Pari.
VII. PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI 7.1. Potensi Wisata Bahari di Pulau Pari Gugusan Pulau Pari memiliki potensi sebagai objek wisata bahari. Potensi tersebut berupa keindahan alam darat maupun bawah laut berupa tiga ekosistem lengkap yang mencirikan ekosistem khas perairan tropis yakni terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Pada rataan terumbunya dijumpai pula keanekaragaman sumberdaya hayati yang cukup melimpah seperti ikan, krustasea, moluska, dan ekhinodermata. Gugusan Pulau Pari memiliki pantai dengan pasir putih seluas 221 ha yang menjadi daya tarik menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati wisata bahari. Di Pulau Pari sendiri, beberapa pantai dengan pasir putih mulai dikembangkan dan dibuka oleh penduduk lokal menjadi objek wisata diantaranya seperti Pantai Pasir Perawan yang berada di sisi timur-utara Pulau Pari dan menjadi salah satu objek wisata utama yang menjadi daya tarik wisatawan. Pantai dengan pasir putih lainnya yang dapat dijumpai di Pulau Pari adalah Pantai Kresek yang berada di sisi barat-selatan Pulau Pari. Di beberapa pulau lain masih dalam gugusan Pulau Pari juga menawarkan pantai dengan pasir putih seperti Pulau Tikus. Berikut diuraikan potensi wisata bahari utama yang dapat ditemui di gugusan Pulau Pari sebagai objek wisata.
7.1.1. Mangrove Mangrove bersama padang lamun dan terumbu karang merupakan ekosistem di wilayah tropis. Selain memiliki fungsi ekologis, mangrove belakangan ini mulai meningkat dikunjungi sebagai tujuan ekowisata. Di gugusan Pulau Pari, mangrove dapat ditemukan di empat pulau yakni Pulau Pari itu sendiri, Pulau Burung, Pulau Tengah, dan Pulau Kongsi dengan keanekaragaman jenis yang cukup tinggi. Total luas mangrove di gugusan Pulau Pari mencapai 18,9 ha. Hasil pengamatan mangrove dengan metode check-list menunjukkan bahwa terdapat 30 jenis mangrove di gugusan Pulau Pari yang terdiri atas 11 jenis mangrove sejati dan 19 jenis vegetasi yang berasosiasi dengan mangrove atau mangrove ikutan/palsu. Ditinjau dari keanekaragaman jenis mangrove baik jenis mangrove sejati, maupun mangrove ikutan pada keempat pulau di Gugusan Pulau
74
Pari, maka Pulau Pari memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang tertinggi, yaitu 28 jenis (93,3 persen), disusul Pulau Tengah dengan 22 jenis (73,3 persen), Pulau Kongsi dengan 11 jenis (36,7 persen) dan terendah Pulau Burung dengan 6 jenis (20 persen). Ditinjau dari presentasi kehadirannya, maka jenis mangrove sejati, Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba merupakan jenis mangrove yang memiliki nilai persentase kehadiran tertinggi (100 persen), disusul R. apiculata, Lumnitzera racemosa dan Pemphis acidula dengan persentase kehadiran masingmasing 75 persen. Dari jenis mangrove ikutan, Cerbera manghas merupakan jenis dengan persentase kehairan tertinggi (100 persen), disusul oleh Morinda citrifolia, Pandanus
odoratissima,
Pongamia
pinnata,
Stachitarpheta
jamaicensis,
Terminalia catappa dan Thespesia populnea dengan persentase kehadiran masingmasing 75 persen (Whouthuyzen et al. 2009). Hasil pengamatan mangrove di gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa jumlah spesies mangrove baik mangrove sejati maupun ikutan yang teramati cukup banyak namun kerapatan tegakannya tidak merata antara satu spesies dengan spesies lain. Rhizopora stylosa sangat dominan sedangkan yang lainnya sedikit sekali ditemukan. Dilihat dari kepadatan poon, walaupun Pulau Pari memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang tinggi namun kepadatan pohonnya relatif rendah dibandingkan Pulau Burung yang memiliki kepadatan tertinggi disusul oleh Pulau Tengah. Data basal area menunjukkan pula bahwa mangrove yang ditemui di Pulau Pari memiliki pohon berukuran kecil, jika dibandingkan dengan Pulau Kongsi yang memiliki ukuran pohon lebih besar disusul Pulau Burung dan Pulau Tengah. Ditinjau dari kelebatan maka vegetasi mangrove yang termasuk kategori cukup lebat hanya terdapat di Pulau Pari, Pulau Tengah dan Pulau Burung, sedangkan di Pulau Kongsi mangrove hanya terdapat di beberapa spot pada tepi pantau dengan lebar hanya beberapa meter saja, dan di Pulau Tikus tidak terdapat mangrove dalam bentuk koloni melainkan hanya beberapa batang pohon saja.
7.1.2. Terumbu Karang Ekosistem khas tropis lainnya yang dapat menjadi objek wisata bahari di gugusan Pulau Pari adalah terumbu karang. Gugusan Pulau Pari memiliki total
75
luas terumbu mencapai 172,4 ha.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh
Whouthuyzen et al. (2008) pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa status terumbu karang berada dalam kategori sedang dan baik. Terumbu pada sisi selatan-timur gugus Pulau Pari cenderung berada pada kondisi yang lebih baik dibanding sisi utara-baratnya. Kondisi terumbu karang di sisi utara barat digambarkan di dua pulau yakni Pulau Kudus dan Pulau Tikus. Rataan terumbu di Pulau Kudus memiliki jarak pendek dengan jarak dari pantai kurang lebih 300 meter, didominisi oleh dasar berpasir dan patahan karang mati dengan ditumbuhi lamun dan makro algae. Lereng terumbu cukup landai dengan kedalaman mencapai 15-20 meter. Koloni karang mulai ditemukan pada daerah belakang tubir dan semakin berkembang pada tubir dan lereng terumbu sampai kedalaman 10 meter. Total tutupan karang hidup di Pulau Kudus mencapai 41 persen sehingga berada dalam kondisi sedang dengan tutupan tertinggi didominasi oleh jenis non Acropora. Sementara itu di Pulau Tikus, rataan terumbu cukup luas dengan panjang mencapai kurang lebih 700-800 meter dari pantai dengan dasar berpasir dan subtrat keras dari karang mati. Terdapat cekungan laut antara pulau dengan rataan terumbu luar (goba) dengan kedalaman 10-15 meter. Tubir dan lereng terumbu sangat jelas, dangkal dan landai dengan kedalaman mencapai 20 meter. Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Tikus berada dalam kondisi sedang dengan total tutupan karang hidup mencapai 32 persen yang didominasi oleh jenis non Acropora. Kondisi terumbu karang di sisi selatan-timur gugus Pulau Pari terwakili oleh Pulau Pari sisi selatan dan timur. Pada sisi selatan Pulau Pari, rataan terumbu cukup luas yang memiliki panjang 700 meter lebih dengan dasar berpasir dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makro algae. Dasar perairan di belakang tubir lebih didominasi oleh substart keras dari bongkahan karang mati serta ada endapan patahan karang yang muncul ke permukaan saat air surut. Tubir karang cukup jelas dengan lereng terumbu landai sampai kedalaman 15 meter. Kondisi terumbu karang pada daerah ini berada dalam kondisi baik dengan total tutupan karang mencapai 50 persen yang didominasi oleh jenis non Acropora. Di sisi timur Pulau Pari, rataan terumbu tidak terlalu luas dengan panjang mencapai 300-400 meter dari pantai. Dasar perairan rataan terumbu didominasi oleh pasir
76
dan patahan karang mati ditumbuhi lamun dan makroalgae. Tubir karang tidak jelas dengan lereng terumbu agak curam sampai kedalaman 20-25 meter. Tutupan karang hidup di daerah ini merupakan yang tertinggi yaitu mencapai 55 persen yang didominasi oleh jenis non Acropora, dengan demikian terumbunya berada dalam kondisi baik. Hasil pengamatan terhadap keanekaragaman jenis biota karang di gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tertinggi tercatat sebanyak 187 jenis dari 59 genera yang diinventarisasi selama periode 1985-1994. Data terakhir yakni pada tahun 2008, tercatat keanekaragaman jenis biota karang di gugusan Pulau Pari mencapai 135 jenis. Jenis-jenis biota karang di gugusan Pulau Pari dapat dilihat pada uraian sub bab kesesuaian lahan.
7.1.3. Padang Lamun Gugusan Pulau Pari dengan ekosistem khas tropis yang lengkap memiliki padang lamun dengan luas mencapai 288,9 ha. Padang lamun tersebar di sekitar garis pantai pulau-pulau yang berada di gugusan Pulau Pari yakni Pulau Pari, Pulau Burung, Pulau Tengah, Pulau Kongsi dan Pulau Tengah. Padang lamun di gugusan Pulau Pari meskipun cukup luas, namun keanekeragamananya sedang. Pada tahun 2009 tercatat hanya ada 5 jenis lamun yang terdapat di gugusan pulau ini yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halopila ovalis, Siringodium isoetifolium, dan Cymodocea rotundata dengan dominasi jenis adalah Enhalus acoroides. Ditinjau dari frekuensinya, jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai yang relatif tinggi di Pulau Burung Bagian Utara, Pulau Tengah dan Pulau Tikus, sedangkan di lokasi lain yakni Pulau Burung bagian timur, barat dan Pulau Kongsi nilainya lebih rendah.
7.1.4. Biota lain yang Berasosiasi dengan Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang
Hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan ekosistem yang menjadi habitat bagi biota laut lainnya. Banyak biota laut berasosiasi dengan ekosistem tersebut yang memiliki nilai ekonomis sebagai tangkapan penduduk lokal maupun memiliki daya pikat yang tinggi yang dapat menarik wisatawan
77
untuk melihat maupun mempelajari lebih detail jenisnya. Jenis biota laut berasosiasi dengan mangrove, lamun maupun terumbu karang yang dapat dijumpai di gugusan Pulau Pari antara lain ikan karang, ekhinodermata dan moluska. Jenis-jenis ikan karang yang dapat ditemukan di gugusan Pulau Pari telah diuraikan pada sub bab kesesuaian lahan. Fauna yang tergolong dalam kelompok ekhinodermata di gugusan Pulau Pari diantaranya adalah kelompok bintang laut, teripang, binatang mengular, bulu babi dan lili laut. Pada rataan terumbu karang di beberapa lokasi di gugusan Pulau Pari ditemukan sekitar 13 jenis yang terdiri : 1) bintang laut (7 jenis) yang didominasi oleh sand dolar, 2) teripang (2 jenis) terdiri dari jenis Holuthuria atra dan H. nobilis dengan H. atra merupakan jenis yang dominan, 3) Bintang mengular (2 jenis) dengan jenis yang dominan adalah Synapta sp, 4) bulu babi (2 jenis) terdiri dari jenis Diadema setosum yang mendominasi dan Echinothrix. Dilihat dari komposisi jenis ekhinodermata yang ada, bulu babi memiliki populasi yang tinggi mencapai 5-241 individu per 20 m2. Dari dua lokasi yakni Pulau Tikus dan Pulau Pari menunjukkan bahwa Pulau Tikus memiliki keanekaragaman fauna ekhinodermata yang lebih tinggi dibandingkan Pulau Pari. Biota lainnya yang dapat ditemukan di gugusan Pulau Pari adalah krustasea, moluska, spon dan asedean. Pada tahun 2009 terdokumentasi 12 jenis kepiting dan 1 jenis udangudangan, 25 jenis gastropoda (kelompok keong-keongan), 23 jenis pelicipoda atau bivalvia
(kelompok
kerang-kerangan).
Spons
dan
asedean
memiliki
keanekaragaman jenis yang cukup bervariasi, sedikitnya berhasil terdokumentasi 14 jenis spons dan 4 jenis asedean (Whouthuyzen et al. 2008, 2009).
7.2. Karakteristik Wisatawan Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh Pulau Pari menjadikan pulau ini belakangan mulai ramai dikunjungi oleh wisatawan. Mulai dibukanya pantai pasir perawan yang berada di sisi timur dari Pulau Pari menjadikan lokasi ini menjadi daya tarik utama bagi wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berfluktuasi tiap bulannya. Pencatatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau ini mulai dilakukan oleh Forum Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR) Pulau
78
Pari dari bulan April 2012. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari tersaji pada Gambar 9. 2.950 3.000 2.500 2.000 1.500
1.212
1.022
1.052
1.173
Mei
Juni
Juli
1.000 500 April
Agustus
Gambar 9 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung ke Pulau Pari Tahun 2012
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari seperti yang tersaji pada Gambar 9 memperlihatkan bahwa selama bulan April sampai dengan Agustus 2012 jumlah wisatawan yang berkunjung bervariasi per bulannya dan mencapai tingkat kunjungan diatas seribu pengunjung tiap bulannya. Rata-rata jumlah pengunjung selama bulan April-Agustus 2012 mencapai 1.482 orang/bulan. Jumlah pengunjung tertinggi tercapai pada bulan Agustus 2012 sebanyak 2.950 orang oleh karena pada bulan tersebut merupakan hari libur lebaran/idul fitri, sedangkan jumlah pengunjung terendah tercatat pada bulan Mei 2012 yang hanya mencapai 1.022 orang. Gambar 10 memperlihatkan asal daerah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. 3% 6%
Jakarta
15%
Depok Tangerang
6% 3%
67%
Serpong Bandung Solo
Gambar 10 Jumlah Wisatawan Pulau Pari menurut Asal Daerah
79
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya berasal dari sekitar Jakarta. Hasil penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 7 menunjukkan sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berasal dari Jakarta mencapai 67 persen. Pada saat penelitian dilakukan terdapat wisatawan yang berasal dari luar Jakarta seperti dari Bandung dan Solo berturut-turut mencapai 15 persen dan 3 persen. Asal daerah wisatawan lainnya berasal dari Serpong, Tangerang dan Depok. Wisatawan ke Pulau Pari umumnya datang bersama-sama rombongan satu biro perjalanan berkisar 2-26 orang. Tujuan utama wisawatan berkunjung ke Pulau Pari adalah untuk berekreasi dengan kegiatan rekreasi utama yang dilakukan antara lain snorkeling, menikmati pantai dan bersepeda. Untuk berekreasi di Pulau Pari, pengunjung umumnya menginap 1-2 malam. Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari dapat menggunakan berbagai alternatif lokasi penyebrangan dan
jenis transportasi. Hasil penelitian
menunjukkan mayoritas wisatawan menyebrang dari lokasi penyebrangan Muara Angke-Jakarta dan Rawasaban-Tangerang. Lokasi penyebrangan yang menjadi pilihan terbanyak pengunjung adalah dari Muara Angke-Jakarta meskipun dengan lama tempuh di laut yang cukup lama dibandingkan dari Rawasaban-Tangerang. Hal ini disebabkan wisatawan umumnya menggunakan jasa paket biro perjalanan dan sebagian besar biro perjalanan tersebut memberangkatkan wisatawannya dari Muara Angke-Jakarta yang lebih dikenal dibanding dermaga RawasabanTangerang. Dari daerah asal, wisatawan umumnya menggunakan kendaraan umum untuk menuju lokasi penyebrangan yang kemudian melanjutkan perjalanan sampai di Pulau Pari menggunakan kapal kayu. Wisatawan yang menggunakan jasa biro perjalanan akan dikenakan tarif harga paket wisata ke Pulau Pari antara Rp. 300.000,- sampai Rp. 475.000,- per pengunjung untuk menginap 2 hari 1 malam. Tarif harga paket akan semakin murah jika jumlah rombongan lebih banyak. Tarif yang dikenakan oleh biro perjalanan ini umumnya sudah termasuk biaya transportasi kapal kayu, makan, menginap,
sepeda,
snorkeling,
barbeque
dan
guide.
Wisatawan
yang
menggunakan jasa ini berarti hanya akan mengeluarkan biaya untuk keperluan pribadi selama di Pulau Pari. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan selama berkunjung di Pulau Pari adalah sebesar Rp. 427.850,-. Biaya ini sudah
80
termasuk harga paket untuk biro perjalanan dan biaya keperluan pribadi selama di Pulau Pari. Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya didominasi oleh pemuda-pemudi dengan usia 21-26 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari berkisar antara 19-36 tahun. Usia wisatawan paling muda adalah berusia 19 tahun sebanyak 3 persen, sedangkan usia paling tua adalah berusia 36 tahun sebanyak 6 persen. Wisatawan terbanyak yang mengunjungi Pulau Pari adalah pengunjung dengan usia 23 tahun yang mencapai 18 persen. Adapun dilihat dari jenis kelamin, wisatawan Pulau Pari mayoritas didominasi oleh pengunjung pria daripada wanita. Pendidikan utama dari wisatawan Pulau Pari seperti yang tersaji pada Gambar 11 menunjukkan bahwa wisatawan Pulau Pari berpendidikan cukup tinggi. Wisatawan Pulau Pari didominasi oleh wisatawan dengan pendidikan sarjana (S1) yang mencapai 67 persen. Pendidikan terendah dari wisatawan adalah SMU sedangkan pendidikan tertinggi adalah pasca sarjana (S2/S3). Wisatawan dengan pendidikan diploma (D1/D3) menempati jumlah terbanyak kedua yang mencapai 13 persen. Wisatawan dengan pendidikan pasca sarjana (S2/S3) paling sedikit hanya mencapai 9 persen sedangkan wisatawan tingkat pendidikan terendah yakni SMU mencapai 11 persen. 9%
11% 13%
SMU D1/D3
67%
S1 S2/S3
Gambar 11 Tingkat Pendidikan Wisatawan Pulau Pari
Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta. Gambar 12 memperlihatkan jenis-jenis pekerjaan dari wisatawan Pulau Pari. Jenis pekerjaan terbanyak dari para
81
wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari adalah sebagai karyawan swasta. Jumlah wisatawan Pulau Pari yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta mencapai 72 persen. Jenis pekerjaan lain yang terbanyak setelah karyawan swasta adalah sebagai wirausaha. Jumlah wisatawan yang bekerja sebagai wirausaha mencapai 11 persen. Jenis-jenis pekerjaan lainnya dari wisatawan Pulau Pari adalah pegawai negeri sipil, karyawan BUMN, pelajar, dan lainnya. Dilihat dari jumlah pendapatan, wisatawan Pulau Pari memiliki pendapatan Rp. 500.000,sampai dengan Rp. 8.000.000,-. Rata-rata tingkat pendapatan wisatawan Pulau Pari sebesar Rp. 3.850.000,-. 7% 4% 4% 2% 11%
PNS BUMN Swasta
72%
Wirausaha Pelajar Lainnya
Gambar 12 Jenis Pekerjaan Wisatawan Pulau Pari
7.3. Persepsi Wisatawan Terhadap Wisata Bahari Gugusan Pulau Pari menawarkan potensi wisata bahari yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Wisata bahari yang merupakan kegiatan yang membangun dan memelihara hubungan antara pariwisata dengan lingkungan laut menawarkan produk dan jasa yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Produk wisata bahari meliputi semua yang diperuntukan atau dapat dikonsumsi oleh wisatawan selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima oleh wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut (Wijayanti 2009). Untuk memberikan layanan produk dan jasa sesuai yang diinginkan oleh pengunjung, maka penilaian persepsi wisatawan terhadap layanan produk dan jasa yang ditawarkan di Pulau Pari perlu diketahui. Informasi ini berguna bagi pemangku kepentingan khususnya pengelola objek
82
wisata untuk terus meningkatkan pelayanan dan kenyamanan bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Pari. Daya tarik utama wisata bahari di Pulau Pari antara lain berupa pantai, panorama bawah laut, dan mangrove. Daya tarik wisata tersebut umumnya mendapatkan penilaian baik oleh pengunjung. Pantai dinilai sangat baik oleh pengunjung sebagai daya tarik wisata yang menarik di Pulau Pari dibandingkan lainnya. Pantai dinilai sangat baik oleh 21 persen pengunjung sedangkan panorama bawah laut dan mangrove berturut-turut dinilai sangat baik oleh 11 persen dan 7 persen pengunjung (lihat Gambar 13). Pantai-pantai yang menjadi objek wisata utama di Pulau Pari antara lain adalah Pantai Pasir Perawan di sisi timur utara Pulau Pari yang baru-baru ini merupakan semak belukar lalu dibuka oleh penduduk lokal menjadi pantai bersih dan berpasir putih. Objek pantai lainnya di Pulau Pari yang dapat dikunjungi adalah Pantai Kresek yang terletak di sisi selatan-barat Pulau Pari yang juga menawarkan pantai bersih dan berpasir putih.
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Sangat Buruk Buruk Sedang Baik Sangat Baik
Panorama bawah laut
Pantai
Mangrove
Gambar 13 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Daya Tarik Wisata
Aktivitas wisata yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari terkait dengan penilaiannya terhadap objek wisata bahari yang terdapat di pulau tersebut. Seperti diuraikan sebelumnya, pantai dan panorama bawah laut merupakan dua objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertingggi dari
83
wisatawan. Demikian pula, aktivitas menikmati pantai dan panorama bawah laut merupakan dua aktivitas utama yang paling banyak dilakukan oleh wisatawan. Aktivitas yang banyak dilakukan oleh wisatawan di Pulau Pari adalah snorkeling, dimana sebanyak 94 persen wisatawan melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas menikmati pantai merupakan aktivitas terbanyak kedua yang dilakukan oleh wisatawan di Pulau Pari. Sebanyak 87 persen wisatawan mengemukakan bahwa menikmati panti merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan selama di Pulau Pari. Aktivitas lainnya yang dilakukan juga oleh wisatawan selama berwisata di Pulau Pari diantaranya bersepeda (dilakukan oleh 68 persen wisatawan), berperahu (dilakukan oleh 23 persen wisatawan), memancing (dilakukan oleh 9 persen wisatawan). Hasil perhitungan nilai daya dukung fisik kawasan di Pulau Pari untuk kegiatan wisata pantai maupun snorkeling
sebagai aktivitas terbanyak yang
dilakukan oleh wisatawan menunjukkan bahwa pemanfaatan saat ini masih di bawah nilai daya dukung fisiknya. Apabila pemanfaatan potensi Pulau Pari untuk kegiatan wisata pantai atau snorkeling akan ditingkatkan sampai dengan batas nilai daya dukung fisiknya maka perlu diiringi peningkatan pra sarana dan sarana pendukung wisata di Pulau Pari. Peningkatan tersebut terutama pada atribut pra sarana dan sarana yang masih dinilai buruk oleh pengunjung atau yang tidak tersedia. Empat pra sarana dan sarana utama yang mendapatkan penilaian buruk oleh wisatawan yakni penunjuk arah, toilet, toko cenderamata dan informasi (lihat Gambar 14). Penunjuk arah mendapatkan penilaian buruk terbanyak dari pengunjung. Penunjuk arah dinilai buruk oleh sebanyak 32 persen pengunjung sedangkan toilet, toko cinderamata dan informasi dinilai buruk berturut-turut oleh sebanyak 24 persen, 21 persen dan 19 persen pengunjung. Adapun pra sarana dan sarana yang dinilai tidak tersedia menurut pengunjung antara lain toko cinderamata, tempat sampah, dan penyewaan peralatan selam.
84
120% 100% 80% 60%
Tidak Tersedia
40%
Buruk
20%
Sedang
0%
Baik Sangat Baik
Gambar 14 Persepsi Wisatawan terhadap Pra sarana dan Sarana di Pulau Pari Hasil wawancara yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari menghendaki beberapa penambahan pra sarana dan sarana pendukung seperti tempat sampah, toilet umum, tempat duduk, dan papan informasi untuk di beberapa titik strategis di Pulau Pari. Beberapa fasilitas pendukung seperti tokotoko souvenir atau cenderamata dan olaharga raga air juga dikehendaki untuk ditambah di Pulau Pari. Peningkatan tersebut diharapkan memberikan dan menambah kenyamanan bagi wisatawan. Di samping pra sarana dan sarana pendukung yang sudah dibahas diatas, faktor lain seperti aksestabilitas, keamanan, penerimaan masyarakat lokal dan pelayanan pengelola objek wisata perlu mendapatkan perhatian pula dalam pengembangan wisata bahari di Pulau Pari. Faktor-faktor tersebut umumnya mendapatkan penilaian baik oleh wisatawan. Meskipun demikian, faktor seperti akses dari ibukota, akses antar pulau dan keamanan masih mendapatkan penilaian buruk oleh wisatawan (lihat Gambar 15). Masih terbatasnya jam beroperasi kapal dari Jakarta menuju ke Pulau Pari maupun ke pulau-pulau disekitarnya tiap harinya menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan wisata bahari di Pulau Pari. Demikian pula faktor keamanan, beberapa kejadian hilangnya barang pribadi milik wisatawan pernah dilaporkan. Oleh karena itu untuk menghindari kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan, para pengunjung diharapkan turut
85
waspada dan memperhatikan barang-barang milik pribadinya mengingat jumlah wisatawan ke Pulau Pari semakin meningkat.
100% 80% 60% 40%
Buruk
20%
Sedang
0%
Baik Sangat Baik
Gambar 15 Persepsi Wisatawan terhadap Atribut Wisata : Keamanan, Masyarakat Lokal, Pengelola Objek Wisata, dan Aksestabilitas
7.4. Pendugaan Fungsi Permintaan Estimasi fungsi permintaan diperoleh dari data wawancara menggunakan kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari. Pendugaan fungsi permintaan menggunakan data dari 33 kuisioner wisatawan yang telah melalui proses telaah kelengkapan data dari 50 wisatawan yang berhasil diwawancarai. Fungsi permintaan diperoleh dengan menduga tingkat kunjungan berdasarkan fungsi biaya perjalanan dan beberapa faktor lain yang terkait dengan permintaan terhadap kunjungan. Terdapat sepuluh variabel yang diduga mempengaruhi tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Model permintaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linear dan doublelog. Selanjutnya kedua model tersebut diduga menggunakan teknik regresi linear
86
sederhana atau Ordinary Least Square (OLS) dengan bantuan program Minitab 15 dan Microsoft Excel 2007. Untuk mendapatkan model yang terbaik maka kedua model tersebut dilakukan evaluasi. Evaluasi ini dimaksudkan untuk melihat apakah estimasi parameter benar-benar sesuai dengan teori dan memuaskan secara statistik. Uji asumsi dari model regresi linear digunakan untuk menentukan model terbaik yakni uji normalitas regresi, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Hasil uji asumsi dari model regresi linear pada dua model tersebut ditunjukkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil Uji Asumsi dari Model Regresi Linear Uji Asumsi
Jenis Uji
Nilai Hasil Uji Model Linear
Double-log
Kesimpulan Uji terhadap Asumsi Linear Double-log
Normalitas
Kolomogorov Smirnov
P-value=0,065
P-value<0,01
Terpenuhi
Tidak terpenuhi
Multikolinearitas
VIF
VIF=1,219-2,461
VIF=1,346-2,535
Terpenuhi
Terpenuhi
Heteroskedastisitas
Glesjer
P-value=0,084
P-value=0,160
Terpenuhi
Terpenuhi
Autokorelasi
Durbin Watson
DW=2,27351
DW= 2,56828
Terpenuhi
terpenuhi
Hasil uji asumsi model regresi linear seperti yang terlihat pada Tabel 14 menunjukkan bahwa dari keempat jenis uji asumsi yang dilakukan hanya model linear yang memenuhi keempat asumsi model regresi linear. Model double-log memenuhi asumsi model regresi linear kecuali untuk uji normalitas. Hasil uji normalitas pada model double-log menunjukan bahwa sisaan dari model tersebut tidak menyebar normal sehingga apabila model ini digunakan untuk menduga dengan metode OLS maka menghasilkan dugaan parameter yang bersifat bias dimana rata-rata dari semua kemungkinan dugaan tidak sama dengan nilai parameter atau sebenarnya. Jika asumsi-asumsi model regresi lienar tidak terpenuhi maka penduga OLS tidak bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Hasil evaluasi model menunjukkan bahwa model linear merupakan model yang terbaik untuk menduga fungsi permintaan wisata bahari di Pulau Pari.
87
Fungsi permintaan yang diperoleh adalah tingkat kunjungan wisatawan (V) yang dalam hal ini frekuensi kunjungan (sebagai variabel tidak bebas) dipengaruhi oleh variabel bebas seperti biaya yang dikeluarkan (X1), biaya yang dikeluarkan untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2), jumlah rombongan (X3), lama menginap (X4), waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6), waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10). Dengan menggunakan regresi linear sederhana diperoleh model fungsi permintaan wisata bahari ke Pulau Pari yaitu : = 1,5551936 − 9,53489E − 07 X − 4,78448E − 08 X − 0,014464442 X +0,398488341 X − 6,02852E − 05 X − 0,003624112 X + 0,00052631 X + 0,007890149 X − 0,029104889 X
−2,75774E − 08 X
................................................................................(7.1)
Hasil pemodelan regresi linear sederhana menggunakan Program Microsoft Excel menunjukan bahwa fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari memiliki nilai signifikansi F sebesar 0,002499911 yang artinya model signifikan dengan tingkat kepercayaan 5 persen. Tingkat signifikansi model ditunjukan oleh nilai R-square. Fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari memiliki nilai Rsquare sebesar 0,654727101, yang dapat diartikan bahwa variabel tidak bebas yakni tingkat kunjungan dapat dijelaskan oleh kesepuluh variabel bebas sebesar 65,47 persen sedangkan sisanya sebesar 34,53 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Adapun hasil estimasi parameter dari model permintaan wisata bahari Pulau Pari ditunjukkan oleh Tabel 15.
88
Tabel 15 Hasil Estimasi Parameter Model Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari Variabel Intercept X1a X2c X3b X4a X5 X6b X7 X8 X9 X10
Koefisien 1,5551936 -9,535E-07 -4,784E-08 -0,0144644 0,39848834 -6,029E-05 -0,0036241 0,00052631 0,00789015 -0,0291049 -2,758E-08
t Stat 2,3086177 -2,3686972 -1,4756464 -1,6419997 2,7946296 -0,0549217 -1,7734370 0,9081339 0,5001765 -0,7288623 -0,9614766
P-value 0,03074298 0,02705268 0,15420869 0,11480901 0,01056357 0,95669659 0,09000167 0,37364855 0,62191727 0,47377422 0,34676195
Keterangan : tanda a, b dan c menunjukkan taraf nyata koefisien regresi masing-masing variabel berturut-turut pada α = 5%, 10% dan 20%
Hasil estimasi parameter dari model permintaan wisata bahari di Pulau Pari pada Tabel 15 menunjukkan bahwa hanya beberapa parameter saja yang mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan ke Pulau Pari. Pada taraf nyata 5 persen hanya dua variabel saja yang mempengaruhi tingkat kunjungan yakni biaya yang dikeluarkan (X1) dan lama menginap (X4) , sedangkan pada taraf nyata 10 persen variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat kunjungan wisata bahari di Pulau Pari adalah biaya yang dikeluarkan (X1), jumlah rombongan (X3), lama menginap (X4), dan waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari (X6). Pada taraf nyata 20 persen selain variabel X1, X3, X4, dan X6, tingkat kunjungan juga dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan untuk alternatif kunjungan ke tempat lain (X2). Dari hasil estimasi fungsi permintaan wisata bahari Pulau Pari menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk ke Pulau Pari (X5), waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi alternatif (X7), usia (X8), pendidikan (X9), dan pendapatan (X10) tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kunjungan pada taraf nyata 20 persen. Kelima variabel yang berpengaruh nyata (α=5%) pada tingkat kunjungan hanya variabel X4 yakni lama menginap yang berpengaruh positif, sedangkan keempat variabel lain yakni X1, X2, X3, dan X6 berpengaruh negatif terhadap tingkat kunjungan. Nilai koefisien X4 positif artinya semakin lama menginap
89
maka semakin tinggi tingkat kunjungan. Nilai koefisien dari variabel biaya yang dikeluarkan (X1) menunjukkan negatif artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan maka semakin berkurang frekuensi kunjungan wisata. Variabel berikutnya yang memiliki nilai koefisien negatif adalah X3 dan X6. Nilai koefisien varibel X3 dan X6 menunjukkan nilai negatif artinya semakin banyak rombongan maka frekuensi kunjungan akan semakin rendah dan semakin lama waktu yang dihabiskan untuk wisata di Pulau Pari maka semakin rendah tingkat kunjungan. Varibel lain yang berpengaruh negatif adalah X2 yakni biaya yang dikeluarkan untuk menuju ke lokasi alternatif lain. Nilai koefisien dari variabel X 2 menunjukkan nilai negatif artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk menuju ke lokasi alternatif tersebut maka semakin rendah tingkat kunjungan ke Pulau Pari. Variabel X2 yang berpengaruh negatif bertentangan dengan asas manfaat ekonomi dimana kecenderungan orang akan memilih biaya yang rendah untuk berwisata, sehingga semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan untuk ke lokasi alternatif maka wisatawan cenderung tidak akan memilih lokasi wisata alternatif tersebut. Hal ini diduga oleh faktor kepuasan dan preferensi dari wisatawan terhadap objek wisata, sehingga meskipun biaya yang dikeluarkan mahal tapi jika memberikan/mendapatkan kepuasan, wisatawan akan tetap melakukan perjalanan wisata ke lokasi alternatif tersebut. Dugaan ini dibuktikan pula dari variabel tingkat pendapatan yang tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kunjungan wisatawan atau dengan kata lain tingkat kunjungan wisatawan ke suatu lokasi tidak dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dari wisatawan tersebut.
7.5. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari Persamaan permintaan wisata bahari Pulau Pari yang diperoleh sebelumnya digunakan untuk menghitung nilai ekonomi (economic value) dari keberadaan objek wisata. Nilai Ekonomi dari keberadaan wisata bahari di Pulau Pari diestimasi dengan menggunakan nilai surplus konsumen. Nilai ekonomi total wisata bahari diestimasi dengan mengkalikan nilai suprlus konsumen rata-rata individu dengan total kunjungan pada tahun tertentu. Hasil estimasi parameter surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 16.
90
Tabel 16 Hasil Estimasi Surplus Konsumen Keterangan Jumlah Kunjungan (orang/tahun)a Luas wilayah (ha)b Surplus konsumen rata-rata individu Total surplus konsumen dalam 1 tahun Total surplus konsumen dalam 1 tahun per hektar Keterangan :
Nilai Estimasi 17.784,00 64,30 695.334,25 12.365.824.221,25 192.314.529,10
a) Rata-rata jumlah pengunjung selama April-Agustus 2012 sebesar 1.482 orang dikalikan dengan 12 bulan b) Luas daratan (Whouthuyzen et al. 2009)
Hasil estimasi surplus konsumen seperti yang terlihat pada Tabel 15 menunjukkan bahwa surplus konsumen rata-rata individu sebesar Rp. 695.334,25. Jumlah kunjungan per tahun diestimasi dari data Forum Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR) Pulau Pari yang baru melakukan pencatatan pada bulan April 2012 dengan total kunjungan rata-rata per bulannya selama bulan April sampai September 2012 mencapai 1.482 orang sehingga total dalam satu tahun mencapai 17.784 orang. Dengan total kunjungan sebanyak tersebut maka total surplus konsumen (nilai ekonomi total) untuk wisata bahari di Pulau Pari mencapai Rp. 12.365.824.221,25,- atau Rp. 192.314.529,10 per hektar per tahun. Nilai ekonomi total dari adanya wisata bahari di Pulau Pari tersebut merupakan nilai dari perhitungan jumlah aktual pengunjung yang datang berdasarkan data FORSIR. Pemanfaatan Pulau Pari untuk wisata bahari masih memberikan peluang untuk ditingkatkan. Pemanfaatan tersebut disesuaikan dengan penilaian dan aktivitas yang sering dilakukan oleh wisatawan serta nilai daya dukung fisik kawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, pantai merupakan objek wisata yang mendapatkan penilaian sangat baik tertinggi dari pengunjung dan aktivitas menikmati pantai merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh pengunjung di Pulau Pari. Nilai daya dukung fisik kawasan Pulau Pari untuk kegiatan wisata pantai sebesar 2.572 orang/hari. Jika diasumsikan bahwa tiap akhir pekan (sabtu-minggu) wisatawan datang hanya untuk menikmati pantai maka dalam satu bulan jumlah pengunjung maksimal yang dapat ditampung sebanyak 20.576 orang. Jumlah pengunjung potensial tersebut memberikan nilai ekonomi total sebesar Rp. 171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp.
91
2.670.083.520,- per hektar per tahun. Nilai ini menunjukkan bahwa apabila pemanfaatan Pulau Pari untuk wisata bahari (khususnya pantai) akan ditingkatkan sampai dengan batas nilai daya dukungnya maka pemanfaatan tersebut akan berpotensi memberikan nilai ekonomi total lebih besar. Potensi nilai ekonomi total tersebut akan diperoleh jika diiringi dengan peningkatan pra sarana dan sarana pendukung serta faktor-faktor lain seperti diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
VIII. DAMPAK EKONOMI WISATA BAHARI TERHADAP MASYARAKAT LOKAL Potensi wisata bahari yang dimiliki oleh gugusan Pulau Pari telah mengundang perhatian bagi wisatawan dalam negeri maupun luar negeri untuk menikmati objek wisata di pulau ini. Hadirnya wisatawan ke Pulau Pari membawa efek atau pengaruh terhadap kondisi masyarakat seperti segi ekonomi. Dampak hadirnya wisatawan ke Pulau Pari terlihat dari peran dan keterlibatan masyarakat yang turut memanfaatkan kegiatan wisata bahari untuk mendapatkan sumber penghasilan pada segi ekonomi. Wisata bahari dijadikan peluang peningkatan pendapatan bagi sebagian masyarakat Pulau Pari baik sebagai sumber mata pencaharian utama maupun sampingan dari membuka usaha wisata bahari maupun dengan terciptanya lapangan pekerjaan di bidang wisata.
42% 58%
Utama Sampingan
Gambar 16 Persentase Mata Pencaharian Masyarakat Pulau Pari dalam Wisata Bahari Gambar 16 memperlihatkan persentase mata pencaharian masyarakat Pulau Pari dalam kegiatan wisata bahari. Gambar 16 menunjukkan sebanyak 58 persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan mata pencaharian utama sedangkan sisanya yakni sebanyak 48 persen responden menyatakan bahwa usaha di bidang wisata bahari merupakan usaha sampingan. Responden yang menyatakan sebagai usaha utama terdiri dari masyarakat yang beralih mata pencaharian dari mata pencaharian sebelumnya diantaranya sebagai pembudidaya rumput laut dan nelayan, maupun yang sebelumnya berprofesi lain. Gambar 17 memperlihatkan persentase jenis profesi sebelum beralihnya
93
responden ke usaha di bidang wisata bahari. Responden yang menyatakan usaha di bidang wisata bahari sebagai usaha sampingan umumnya berprofesi utama sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru.
Pembudidaya rumput laut
25% 50% 25%
Nelayan Lainnya
Gambar 17 Jenis Profesi Responden sebelum Berusaha di Bidang Wisata Bahari Jenis profesi responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari seperti yang terlihat pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa telah terjadi peralihan profesi dari sebelumnya sebagai pembubidaya rumput laut ke usaha di bidang wisata bahari. Gambar 14 menunjukkan sebanyak 50 persen responden sebelumnya adalah berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut dan 25 persen sebagai nelayan dan profesi lainnya. Wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor yang mendorong beralihnya profesi ke usaha di bidang wisata bahari dari pembudidaya rumput laut diantaranya oleh rusaknya rumput laut karena penyakit dan kondisi air di lingkungan perairan yang tidak mendukung pertumbuhan rumput laut. Responden sebelumnya yang berprofesi sebagai nelayan umumnya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta susahnya mendapatkan ikan di laut menjadikan mereka beralih berusaha di bidang wisata bahari. Profesi lainnya dari responden sebelum berusaha di bidang wisata bahari antara lain seperti tenaga kerja di sektor jasa maupun industri di Jabodetabek. Dampak ekonomi dari kegiatan wisata di Kepulauan Seribu khususnya di Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka telah diteliti oleh Wijayanti (2009). Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari tercipta dari aliran uang yang berasal dari transaksi antara wisatawan dengan unit usaha setempat. Begitupun
94
dampak ekonomi wisata bahari di Pulau Pari tercipta dari aliran uang dari transaksi wisatawan dengan unit-unit usaha yang muncul di Pulau Pari. Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan wisatanya diantaranya akomodasi (penginapan), konsumsi, penyewaan alat, transportasi lokal, souvernir maupun jasa pemandu (guide). Jika kebutuhan ini dapat dipenuhi oleh penduduk lokal melalui unit usaha yang didirikan maka terjadi transaksi ekonomi antara pendatang (wisatawan) dengan masyarakat lokal. Artinya terjadi aliran uang dari luar pulau ke dalam pulau. Jika hal ini terjadi terus menerus dan memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal, maka tercipta manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dari kegiatan wisata namun sayangnya tidak semua pengeluaran wisatawan dinikmati oleh masyarakat lokal. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa tidak semua pengeluaran wisatawan sampai ke lokasi objek wisata di Pulau Pari. Hal tersebut disebabkan oleh mayoritas wisatawan yang datang ke Pulau Pari umumnya menggunakan jasa biro perjalanan dengan membeli harga paket yang ditawarkan oleh biro perjalanan tersebut. Harga paket wisata yang ditawarkan oleh biro perjalanan relatif beragam tergantung jumlah rombongan. Semakin banyak rombongan semakin murah harga paket wisatanya. Harga paket yang ditawarkan oleh biro perjalanan umumnya berkisar antara Rp. 300.000,- sampai dengan Rp. 475.000,- per orang untuk paket menginap 1 malam. Biro perjalanan selanjutnya akan melempar tamunya tersebut ke operator di Pulau Pari untuk melaksanakan kegiatan wisata bahari sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan dalam harga paket. Operator di Pulau Pari yang merupakan penduduk lokal akan menyiasati budget yakni harga paket yang sudah diambil keuntungan sebelumnya oleh biro perjalanan di Jakarta dengan memberikan fasilitas-fasilitas sesuai yang ditawarkan dalam harga paket tersebut. Perkiraan komponen biaya paket wisata ke Pulau Pari terlihat pada Tabel 17.
95
Tabel 17 Perkiraan Komponen Biaya Paket Wisata ke Pulau Pari (per Orang) Keterangan Sepeda Alat snorkeling Konsumsi makan Barbeque Penginapan Jasa pemandu (guide) Kapal snorkeling Kapal dari Jakarta Tarif masuk pantai pasir perawan Total biaya pengeluaran per wisatawan Pendapatan operator wisata di Pulau Pari Pendapatan biro jasa wisata di Jakarta Harga Paket 2 hari 1 malam
Biaya (Rp) 15.000 25.000 50.000 10.000 50.000 15.000 20.000 60.000 3.500 248.500 21.500 80.000 350.000
Proporsi* 4% 7% 14% 3% 14% 4% 6% 17% 1% 71% 6% 23% 100%
Keterangan : *) proporsi terhadap harga paket wisata ke Pulau Pari untuk 2 hari 1 malam
Komponen biaya paket wisata ke Pulau Pari per orang seperti yang terlihat pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa total biaya pengeluaran per wisatawan untuk 2 hari 1 malam sebesar Rp. 248.500,-. Total biaya pengeluaran ini menunjukkan bahwa tidak semua pengeluaran terjadi di Pulau Pari, terdapat biaya pengeluaran yang terjadi di lokasi maupun di luar Pulau Pari. Adapun biaya pengeluaran dari wisatawan yang sampai di lokasi Pulau Pari sebesar 53 persen yang meliputi biaya pengeluaran untuk sepeda, alat snorkeling, konsumsi makan, barbeque, penginapan, jasa pemandu (guide), dan kapal snorkeling. Transaksi ini belum ditambah dengan transaksi lain yang sampai pula ke Pulau Pari yakni tarif masuk ke Pantai Pasir Perawan sebesar 1 persen dan marjin keuntungan sebesar 6 persen yang merupakan pendapatan dari masyarakat Pulau Pari yang berprofesi sebagai operator wisata bahari. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat Pulau Pari sebagai operator wisata bahari tergantung dari jumlah pengunjung yang ditangani. Hasil wawancara dengan operator wisata di Pulau Pari menyatakan bahwa umumnya mereka akan menerima lemparan wisatawan dari biro perjalanan wisata di Jakarta pada harga kisaran Rp. 270.000,- sampai dengan Rp. 300.000,-. Oleh karena itu dengan asumsi harga paket yang ditawarkan per orangnya sebesar Rp. 350.000,dan operator wisata di Pulau Pari menerima lemparan wisatawan dari biro
96
perjalanan di Jakarta minimal pada harga Rp. 270.000,- maka dengan komponen biaya pengeluaran pada Tabel 17, operator wisata akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 21.500,- per wisatawan atau sebesar 6 persen. Uraian di atas menyimpulkan bahwa transaksi yang terjadi di Pulau Pari mencapai sebesar 60 persen yang terdiri atas 53 persen transaksi berupa pengeluaran untuk sepeda, alat snorkeling, konsumsi makan, barbeque, penginapan, jasa pemandu (guide), dan kapal snorkeling; 6 persen pendapatan bagi operator wisata, dan 1 persen sebagai tarif masuk ke pasir perawan yang digunakan untuk kebersihan dan pembenahan fasilitas di pantai pasir perawan. Transaksi ini belum termasuk pengeluaran pembelian souvenir oleh para wisatawan (yang besarnya tergantung masingmasing wisatawan) maupun pengeluaran lainnya seperti sewa sampan. Secara umum, dilihat dari proporsi biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan untuk berekreasi menunjukkan sebesar 40 persen terjadi di luar Pulau Pari. Transaksi ini merupakan transaksi berupa pengeluaran untuk transportasi kapal kayu dari Jakarta menuju ke Pulau Pari dan pendapatan yang diterima oleh biro perjalanan wisata di Jakarta. Biaya transportasi kapal kayu dari Jakarta menuju Pulau Pari sebesar Rp. 60.000,- atau mencapai 17 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan yakni sebesar Rp. 350.000,- per orang. Biro perjalanan kebanyakan memberangkatkan wisatawannya dari Muara Angke-Jakarta sehingga transaksi ini menjadi pemasukan bagi kapal kayu yang umumnya dioperasikan oleh pemilik kapal dari pulau lain di Kepulauan Seribu. Komponen biaya pengeluaraan wisatawan lainnya yang terjadi di luar Pulau adalah sebagai pendapatan dari biro perjalanan wisata. Biro perjalanan wisata memperoleh pendapatan sebesar 23 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan sebesar Rp. 350.000 per orang. Dilihat dari besarnya, maka pendapatan biro perjalanan wisata bahari di Jakarta lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh operator wisata di Pulau Pari yang hanya sebesar 6 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan (dengan asumsi harga paket yang ditawarkan adalah Rp. 350.000,- per orang). Transaksi-transaksi yang terjadi di luar Pulau ini belum ditambah dengan biaya transportasi dari masing-masing asal daerah wisatawan yang besarnya tergantung dari jarak dan jenis transportasi yang digunakan.
97
8.1. Dampak Ekonomi Langsung Dampak ekonomi langsung dari kegiatan wisata bahari adalah perubahan yang berhubungan dengan dampak langsung dari pengeluaran wisatawan. Dampak ekonomi langsung merupakan manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat berupa pendapatan yang diterima dari transaksi pengeluaran wisatawan. Ketika wisatawan mengeluarkan sejumlah uang untuk melakukan permintaan terhadap produk dan jasa di tingkat lokal maka pada akhirnya akan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat lokal yang menyediakan berbagai pemenuhan kebutuhan para wisatawan di lokasi tersebut. Dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan dirasakan langsung oleh pemilik unit usaha. Dampak ekonomi ini berupa pendapatan pemilik dari unit usaha di Pulau Pari. Unit usaha yang ada di Pulau Pari merupakan pihak penerima dampak langsung dari pengeluaran wisatawan. Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari telah menciptakan aktivitas ekonomi dari aliran uang yang berasal dari wisatawan. Aliran uang tersebut memberikan dampak ekonomi dari transaksi wisatawan dengan unit-unit usaha yang muncul di Pulau Pari. Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan wisatanya diantaranya akomodasi (penginapan), konsumsi, penyewaan alat, transportasi lokal, souvenir. Berbagai kebutuhan tersebut telah memunculkan unitunit usaha yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat Pulau Pari. Unit-unit usaha tersebut umumnya hanya beroperasi pada akhir pekan (sabtu-minggu) dan hari libur nasional mengingat hanya pada akhir pekan dan hari libur nasional sajalah wisatawan banyak yang berkunjung ke Pulau Pari. Berdasarkan persentase pengeluaran wisatawan di lokasi maka dapat diperkirakan besarnya perputaran uang yang terjadi di dalam Pulau, khususnya pada akhir pekan. Data yang tercatat oleh FORSIR Pulau Pari menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pengunjung setiap bulannya mencapai 1.482 orang. Hasil penelitian menunjukkan pengeluaran rata-rata wisatawan untuk satu kali kunjungan adalah Rp. 427.848 per orang. Jika rata-rata jumlah pengunjung pada akhir pekan adalah 371 orang maka total pengeluaran wisatawan sekitar Rp. 158.517.684,- dimana sekitar 60 persennya atau mencapai Rp. 95.110.610,merupakan perputaran uang terjadi di dalam pulau dan sisanya sekitar 40 persen
98
atau mencapai Rp. 63.407.074,- merupakan perputaran uang yang terjadi di luar pulau. Perputaran uang yang terjadi dari adanya pengeluaran wisatawan akan jauh lebih besar jika pemanfaataan wisata bahari di Pulau Pari ditingkatkan sampai dengan batas nilai daya dukung fisiknya. Dari nilai daya dukung fisik wisata pantai (sebagai objek wisata yang mendapat penilaian sangat baik tertinggi dari pengunjung) misalnya, menunjukkan jumlah wisatawan per pekan yang dapat ditampung adalah sebanyak 5.144 orang. Dengan jumlah tersebut maka perputaran uang yang terjadi dari adanya pengeluaran wisatawan adalah sebesar Rp. 2.200.850.112,- setiap pekannya dimana sebesar 60 persen atau Rp. 1.320.510.067,2 terjadi di lokasi Pulau Pari Pari dan sisanya sebesar 40 persen atau Rp. 880.340.044,8 terjadi di luar lokasi Pulau Pari. Tingginya perputaran uang yang terjadi membuka peluang usaha bagi masyarakat lokal. Khususnya masyarakat lokal bermodal yang berinisiatif untuk membuka unit usaha terkait dengan pemenuhan kebutuhan wisatawan. Jumlah pengunjung yang terus meningkat untuk melakukan kegiatan wisata bahari di Pulau Pari menarik masyarakat lokal menyediakan hunian atau homestay bagi wisatawan yang menginap. Sebelum kegiatan wisata bahari berkembang di Pulau Pari akhir-akhir ini, hanya terdapat penginapan yang merupakan fasilitas milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Umumnya
yang menggunakan
fasilitas penginapan milik LIPI adalah mahasiswa dari perguruan tinggi maupun peneliti yang akan melakukan penelitian di Pulau Pari. Data yang dihimpun oleh FORSIR Pulau Pari sampai dengan bulan September 2012, di Pulau Pari terdapat sebanyak 49 unit homestay terbagi atas 23 AC dan 26 non-AC yang dimiliki oleh 46 orang penduduk Pulau Pari. Homestay-homestay ini mayoritas merupakan rumah penduduk yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai penginapan untuk wisatawan. Jika pada akhir pekan maupun libur nasional rumah tersebut disewakan sebagai penginapan maka pemilik beserta keluarga yang menghuni akan keluar rumah dan menggunakan dapur atau halaman luar di belakang rumahnya maupun menumpang ke rumah saudara sebagai tempat sementara untuk tidur. Gambar 18 menunjukkan sebaran jumlah homestay di lingkungan RT Pulau Pari menurut jenis dan pemilik.
99
46
50 40
26 23
30 20 10
8 10 3
17 910
6
non-AC AC
15 9
Pemilik
314
0 RT 01 RT 02 RT 03 RT 04
Total
Gambar 18 Sebaran Homestay di Lingkungan RT Pulau Pari menurut Jenis dan Jumlah Pemilik Sebaran homestay di Pulau Pari seperti yang terlihat pada Gambar 11 menunjukkan bahwa jumlah homestay ber-AC lebih sedikit dibandingkan homestay non-AC. Jumlah homestay terbanyak terdapat di lingkungan RT 02 yakni mencapai 19 homestay yang dimiliki oleh 17 orang pemilik dan terdiri dari 9 homestay non-AC dan 10 ber-AC, sedangkan jumlah homestay paling sedikit berada di lingkungan RT 4 yang hanya dimiliki oleh 4 orang pemilik dan terdiri dari 3 homestay non-AC dan 1 homestay ber-AC. Harga tarif homestay di Pulau Pari bervariasi per malamnya tergantung dari tipe dan jumlah orang yang menghuni homestay tersebut. Untuk homestay yang ber-AC tarifnya berkisar antara Rp. 500.000,- sampai Rp. 700.000,- per malam, sedangkan untuk homestay yang non-AC tarifnya berkisar antara Rp. 300.000 sampai Rp. 350.000,- per malam. Homestay di Pulau Pari umumnya dimiliki oleh penduduk lokal yang rumahnya sudah permanen dan layak untuk disewakan ke wisatawan. Untuk menyewakan rumahnya menjadi homestay, penduduk lokal umumnya hanya mengeluarkan modal untuk menambahkan pendingin ruang berupa AC maupun kipas angin. Komponen biaya operasional tiap bulannya berupa biaya voucher listrik, air dan pembelian peralatan kebersihan rumah seperti pengharum ruangan, cairan pembersih kamar mandi, lantai ataupun lainnya.
Selain pengeluaran
tersebut, pemilik homestay diwajibkan membayar iuran kepada FORSIR setiap rumahnya dihuni oleh wisatawan. Besaran iuran yang dibayarkan tersebut adalah sebesar Rp. 15.000,- untuk per homestay per malam. Pemilik homestay tidak
100
mengeluarkan biaya untuk membayar tenaga kerja sebab pada umumnya pemilik homestay sendiri yang akan membersihkan dan menyiapkan rumahnya untuk siap disewakan kepada wisatawan. Umumnya pemilik homestay ini juga memiliki unit usaha lain di luar penyewaan homestay seperti penyewaan peralatan snorkeling, kapal, dan catering. Aktivitas wisata bahari di Pulau Pari telah memunculkan unit usaha untuk kegiatan wisatawan yakni penyewaan kapal. Unit usaha penyewaan kapal yang ada di Pulau Pari diantaranya adalah penyewaan kapal untuk snorkeling, kapal untuk water sport (banana boat) dan perahu sampan untuk berkeliling antar pulau. Unit usaha ini pada umumnya diusahakan oleh penduduk Pulau Pari yang sebelumnya telah memiliki kapal. Penduduk pulau yang memiliki kapal memanfaatkan peluang dari wisata bahari dengan menyewakan kapalnya untuk keperluan kegiatan wisata bahari para wisatawan di Pulau Pari. Jumlah unit usaha penyewaan kapal di Pulau Pari terdiri dari 20 unit kapal untuk snorkeling, 2 unit kapal untuk water sport (banana boat), dan 10 unit sampan untuk berperahu menjelajahi pulau-pulau di gugusan Pulau Pari. Pemilik unit usaha kapal mendapatkan pendapatan dari penyewaan kapal. Kapal yang disewakan untuk kegiatan snorkeling dari pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00 dihargai Rp. 300.000,- sampai Rp. 600.000,- tergantung kapasitas muatan kapal. Wisatawan yang akan melakukan water sport akan dikenakan tarif Rp. 35.000,- per orang untuk satu kali permainan, sedangkan wisatawan yang hendak berkeliling pulau-pulau di gugusan Pulau Pari akan dikenakan tarif Rp. 30.000,- per sampan dengan kapasitas sampan maksimal 6 orang. Adapun komponen biaya yang dikeluarkan oleh pemilik unit usaha ini diantaranya adalah biaya bahan bakar, biaya perawatan mesin dan kapal, dan iuran wajib ke FORSIR. Bahan bakar yang dibutuhkan untuk sekali snorkeling adalah sebanyak 10-15 liter, sehingga dengan harga bahan bakar mencapai Rp. 6.000,- pemilik unit usaha ini akan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 90.000,- (untuk 15 liter bahan bakar per sekali snorkeling). Sementara itu, pemilik unit usaha water sport mengeluarkan biaya bahan bakar sebanyak 30 liter untuk operasional kapal banana boat dalam satu hari atau senilai Rp. 180.000,-. Biaya perawatan mesin dan kapal meliputi biaya ganti oli 3 bulan sekali sebanyak 10 liter atau senilai Rp. 280.000,- dan
101
biaya pengecatan kapal 3 kali dalam setahun senilai Rp. 700.000,- per sekali pengecatan. Iuran wajib dibayarkan kepada FORSIR dari jenis unit usaha penyewaan kapal berbeda-beda. Pemilik kapal yang digunakan untuk snorkeling akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- per kapal untuk sekali snorkeling, sedangkan pemilik usaha water sport (banana boat) akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 500,- per orang dan pemilik sampan akan dikenakan tarif iuran sebesar Rp. 5.000,- per sampan untuk sekali jalan. Unit usaha lain sebagai dampak ekonomi langsung dari adanya aktivitas wisatawan di Pulau Pari adalah jasa penyewaan alat seperti alat snorkeling, dan sepeda. Di Pulau Pari terdapat sebanyak 20 orang yang memiliki usaha penyewaan sepeda dan 15 orang pemilik usaha penyewaan alat snorkeling. Alatalat yang disewakan oleh pemilik usaha penyewaan alat snorkeling adalah berupa satu set alat yang terdiri dari snorkel, fin dan leafjacket. Alat snorkeling disewakan dengan tarif berkisar Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 25.000,- per set sedangkan sepeda disewakan dengan tarif Rp. 15.000,- per sepeda. Saat penelitian ini dilakukan belum terlihat penduduk lokal yang menyediakan penyewaan alat diving. Komponen biaya yang dikeluarkan untuk pemilik unit usaha penyewaan alat snorkeling umumnya tidak ada. Perawatan hanya dilakukan dengan membersihkan menggunakan air tawar setelah digunakan. Jika ada alat snorkeling yang hilang itupun menjadi tanggungjawab wisatawan. Berbeda dengan pemilik alat snorkeling, pemilik sepeda harus mengeluarkan biaya ekstra mengingat sepeda yang rentan korosi akibat air asin dan jika terdapat kerusakan akibat pemakaian oleh wisatawan maka wisatawan tidak dikenakan biaya. Pemilik sepeda akan mengeluarkan biaya perawatan berupa penggantian spare part yang berkisar antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 165.000,- tiap bulannya. Sama halnya dengan pemilik unit usaha lain, pemilik alat snorkeling juga dikenakan iuran wajib ke FORSIR yang besarnya Rp. 1.000,- untuk satu set alat snorkeling per sekali pakai, namun untuk pemilik sepeda tidak dikenakan iuran wajib oleh FORSIR mengingat banyak biaya pengeluaran untuk perbaikan dan perawatan oleh pemilik sepeda. Adanya wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari memberikan peluang ekonomi untuk menyediakan kebutuhan primer berupa makanan maupun
102
kebutuhan lainnya berupa oleh-oleh buah tangan dalam bentuk souvenir khas dari Pulau Pari. Kebutuhan tersebut memunculkan unit-unit usaha seperti usaha catering, warung makan dan toko souvenir. Data yang diperoleh dari FORSIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk Pulau Pari yang berusaha di bidang catering sebanyak 7 orang, sedangkan dari pantauan selama penelitian terdapat sekitar 6 unit warung makan berdiri di Pantai Pasir Perawan dan 2 unit warung makan di Pantai Kresek. Warung ini menyediakan makanan dan minuman ringan seperti mie rebus, kopi, teh dan minuman kaleng/botol. Jumlah tersebut belum termasuk warung-warung yang berdiri di jalan-jalan utama Pulau Pari. Sementara itu, jumlah toko souvenir di Pulau Pari berkisar 3-5 unit dengan berbagai cenderamata yang dijual seperti kaos, kerajinan dari kerang-kerangan, maupun keripik sukun khas Pulau Pari. Penghasilan pemilik usaha catering bervariasi tergantung dari jumlah wisatawan yang dilayani. Umumnya untuk harga paket makan sebanyak 3 kali, pemilik usaha catering akan mengenakan harga sebesar Rp. 50.000,- per orang. Harga tersebut belum termasuk harga untuk barbeque dengan tarif per orang sebesar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- tergantung jumlah orang dan jenis ikan yang diminta. Paket menu makanan dari pemilik catering meliputi nasi, lauk, sayur, buah, kerupuk dan air mineral. Komponen pengeluaran dari pemilik usaha catering dan warung makan umumnya hampir sama diantaranya meliputi biaya input/bahan baku yang besarnya tergantung jumlah wisatawan dan ramainya pengunjung, biaya pemeliharaan alat makan dan masak berkisar Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- per bulan, dan biaya transport ke darat berkisar Rp. 50.000,- setiap kali belanja. Pemilik usaha catering akan merekrut tenaga kerja lokal apabila jumlah wisatawan yang dilayani mengalami peningkatan, sehingga pemilik catering akan mengeluarkan biaya upah tenaga kerja berkisar Rp 100.000,- sampai dengan Rp. 150.000,- per orang yang membantu masak. Pemilik usaha catering juga akan mengeluarkan biaya untuk iuran wajib ke FORSIR dengan besaran Rp. 500,- per orang. Dampak ekonomi langsung lainnya dari adanya kegiatan wisata di Pulau Pari adalah peningkatan pendapatan penduduk lokal sebagai operator wisata.
103
Seperti uraian sebelumnya, wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari umumnya menggunakan jasa biro perjalanan wisata dari Jakarta. Biro perjalanan wisata di Jakarta selanjutnya akan melimpahkan ke operator wisata di Pulau Pari untuk melaksanakan paket wisata sesuai dengan fasilitas pada harga yang disepakati. Pendapatan penduduk lokal sebagai operator wisata diperoleh dari selisih harga bersih paket wisata dari biro perjalanan dikurangi biaya riil yang dikeluarkan bagi keperluan wisatawan selama melakukan aktivitas wisata bahari ke Pulau Pari. Besaran selisih ini dari uraian sebelumnya diperkirakan mencapai 6 persen. Artinya penduduk lokal sebagai operator wisata akan memperoleh penghasilan sebesar 6 persen dari harga paket wisata yang ditawarkan kepada konsumen.
8.2. Dampak Ekonomi Tidak Langsung Munculnya unit usaha di lokasi wisata Pulau Pari membuka kesempatan kerja bagi penduduk lokal. Meskipun pada umumnya unit usaha dijalankan oleh pemilik usaha sendiri, namun pemilik usaha akan membutuhkan tambahan tenaga kerja dari penduduk lokal. Tambahan tenaga kerja tergantung pada jumlah wisatawan dan kondisi musim. Umumnya pemilik unit usaha akan membutuhkan tambahan pekerja pada musim libur panjang nasional seperti hari raya lebaran maupun pergantian tahun. Unit usaha yang secara rutin membutuhkan tenaga kerja adalah pemilik usaha catering dan operator wisata. Pemilik usaha catering membutuhkan tenaga kerja untuk membantu memasak sedangkan operator wisata membutuhkan tenaga kerja sebagai pendamping wisatawan (guide). Tenaga kerja yang bekerja di unit usaha adalah penerima dampak tidak langsung dari pengeluaran wisata, yaitu berupa upah yang diterima dari unit usaha tempat mereka bekerja. Tingginya tingkat kunjungan terutama pada masa libur panjang memberikan kesempatan bagi penduduk lokal untuk menjadi tenaga kerja di unitunit usaha yang berhubungan dengan kegiatan wisata bahari. Meskipun bersifat musiman, namun pada masa musim kunjungan ramai, pemilik operator wisata misalnya akan membutuhkan banyak tenaga pendamping wisatawan atau guide. Wawancara yang dilakukan dengan ketua FORSIR menyatakan bahwa saat ini terdapat 50 orang penduduk Pulau Pari yang berprofesi sebagai guide. Satu orang
104
guide biasanya akan menangani sebanyak 10-15 orang. Jika diasumsikan dalam satu bulan rata-rata pengunjung sejumlah 1.482 sehingga dalam satu pekan jumlah pengunjung sebanyak 371 maka kebutuhan tenaga pendamping atau guide adalah sebanyak 38 orang (dengan asumsi 1 pendamping/guide mendampingi 10 wisatawan). Umumnya penduduk lokal yang menjadi tenaga pendamping atau guide adalah pemuda dengan usia yang relatif masih muda yakni rata-rata berusia 24 tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap sebelumnya. Sebagai tenaga pendamping wisatawan atau guide, pemuda penduduk Pulau Pari akan mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 150.000,- untuk 2 hari. Dalam satu bulan dengan asumsi menjadi guide selama akhir pekannya, maka pendapatan yang diperoleh pemuda Pulau Pari sebagai guide berkisar sebesar Rp. 600.000,- per bulan. Kebutuhan jumlah guide untuk mendampingi wisatawan akan meningkat apabila jumlah wisatawan yang ditampung sesuai dengan nilai daya dukung fisiknya. Berdasarkan nilai daya dukung fisik untuk wisata pantai, jumlah pengunjung yang dapat ditampung sebanyak
2.572 orang/hari atau 5.144
orang/pekan (sabtu-minggu). Dengan jumlah tersebut maka kebutuhan guide yang dibutuhkan untuk mendampingi wisatawan sebanyak 514 orang guide tiap pekannya (dengan asumsi bahwa 10 wisatawan membutuhkan 1 orang guide). Kebutuhan jumlah guide tersebut memberikan peluang kesempatan kerja yang akhirnya memberikan total pendapatan bagi 514 orang penduduk lokal Pulau Pari sebesar Rp. 77.100.000,- setiap pekannya. Tingkat kunjungan yang meningkat pada musim ramai kunjungan telah membuat kebutuhan konsumsi makan wisatawan juga meningkat. Kondisi ini menyebabkan pemilik usaha catering akan menambah tenaga kerja untuk memasak.
Umumnya tenaga kerja yang direkrut untuk membantu memasak
adalah ibu-ibu rumah tangga tetangga rumah maupun memiliki hubungan saudara/keluarga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan. Dari bekerja sebagai tenaga memasak, ibu-ibu rumah tangga umumnya mendapatkan bayaran sekitar Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 250.000,- untuk memasak selama 2 hari. Besaran bayaran dari pemilik usaha catering kepada tenaga kerja yang memasak tergantung dari jumlah wisatawan yang dilayani. Seperti halnya kebutuhan guide,
105
apabila pemanfaatan wisata bahari di Pulau Pari akan ditingkatkan sampai dengan nilai daya dukung fisiknya maka jumlah kebutuhan tenaga memasak untuk melayani wisatawan juga meningkat. Kebutuhan sumberdaya manusia untuk unit usaha sejauh ini masih dapat dipenuhi oleh penduduk lokal Pulau Pari. Tidak seperti sumberdaya manusia yang masih dapat dipenuhi dari dalam Pulau, kebutuhan akan input/bahan baku unitunit usaha wisata bahari di Pulau masih dipenuhi dari luar Pulau yakni daratan. Bahan pangan utamanya dibeli oleh penduduk Pulau Pari di Tangerang. Pemilik unit usaha di Pulau Pari umumnya berbelanja kebutuhan-kebutuhan usahanya di Pasar Sepatan Tangerang. Bukan hanya bahan pangan, bahkan untuk ikan saat ini juga sulit dipenuhi dari Pulau Pari. Sulitnya ikan ini disebabkan oleh jarangnya ikan yang diperoleh oleh nelayan dan sebagian nelayan lebih memilih untuk beralih profesi sebagai tenaga pendamping atau guide
yang sudah pasti
menghasilkan dibandingkan harus menangkap ikan yang kadang tak menentu hasilnya. Jika nelayan mendapatkan tangkapan ikan biasanya sudah dipesan langsung oleh pemilik usaha catering.
8.3. Dampak Ekonomi Induced Kegiatan wisata bahari di Pulau Pari selain memberikan dampak ekonomi langsung dan tidak langsung, juga memberikan dampak ekonomi induced. Dampak ekonomi induced merupakan dampak lanjutan dari pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja lokal dari unit usaha dimana mereka bekerja. Dampak ini berasal dari pengeluaran sehari-hari tenaga kerja lokal. Penghasilan yang diterima oleh tenaga kerja lokal pada unit-unit usaha tersebut umunya sebagian besar habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari yakni utamanya pangan. Sebagai tenaga pendamping atau guide upah yang diterima sebesar Rp. 150.000,- dan jika setiap akhir pekan menerima pekerjaan sebagai guide maka tenaga kerja lokal tersebut akan mendapatkan penghasilan sebanyak Rp. 600.000,per bulan. Ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai tenaga memasak jika diasumsikan upah yang didapat minimal Rp. 100.000,- dan setiap akhir pekan menerima pekerjaan sebagai tenaga pemasak maka akan mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 400.000,-. Penghasilan sebagai tenaga kerja lokal
106
tersebut terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan harian apalagi kebutuhan lainnya sehingga terkadang bergantung kepada keluarga maupun suami. Tabel 18 menunjukkan proporsi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal dari penghasilannya sebagai tenaga kerja pada unit-unit usaha di Pulau Pari.
Tabel 18 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal Komponen Kebutuhan Pangan Listrik Transport lokal Lainnya
Proporsi Pengeluaran 16% 7% 3% 74%
Proposi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal seperti yang terlihat pada Tabel 18 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran terbesar tenaga kerja lokal dari penghasilannya sebagai tenaga kerja pada unit-unit usaha di Pulau Pari adalah utamanya untuk kebutuhan lain yang mencapai 74 persen seperti untuk membantu biaya anak sekolah. Proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan harian mencapai 16 persen dan sisanya untuk membantu biaya listrik dan transport lokal.
8.4. Nilai Efek Pengganda atau Multiplier Wisata Bahari di Pulau Pari menunjukkan memberikan kontribusi ekonomi terhadap penduduk lokal. Dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari ini berupa dampak ekonomi langsung, tidak langsung dan induced. Dampak ekonomi langsung berupa terbukanya kesempatan usaha dengan berdirinya berbagai unit-unit usaha untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama di Pulau Pari seperti homestay, penyewaan alat snorkeling, catering, penyewaan kapal snorkeling, water sport, penyewaan sepeda, warung makan/kelontong/souvenir, dan operator wisata. Tabel 19 memperlihatkan perkiraan jumlah unit usaha wisata bahari di Pulau Pari.
107
Tabel 19 Perkiraan Jumlah Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari Unit Usaha Jumlah (orang) Homestay Pemilik Alat Snorkeling Catering Kapal Snorkeling Water sport Pemilik Sepeda Warunga Operator wisata Total Sumber : Wawancara dengan pengurus FORSIR dan pengamatan lapangan a
46 15 7 20 2 20 30 20 160
termasuk warung makan, kelontong, souvenir
Hadirnya unit-unit usaha di Pulau Pari berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal Pulau Pari sebagai tenaga pendamping (guide) dan tenaga memasak. Penyerapan tenaga kerja pada unit-unit usaha ini sebagai dampak ekonomi tidak langsung dari kegiatan wisata bahari di Pulau Pari. Selain dampak ekonomi langsung dan tidak langsung, kegiatan wisata bahari juga menghasilkan dampak ekonomi induced. Dampak ekonomi induced merupakan dampak lanjut dari pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja lokal dari unit usaha tempat mereka bekerja. Dampak ini berasal dari pengeluaran sehari-hari tenaga kerja lokal. Tabel 20 memperlihatkan perkiraan jumlah tenaga kerja lokal dari adanya kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.
Tabel 20 Perkiraan Jumlah Tenaga Kerja Lokal pada Unit Usaha Wisata Bahari di Pulau Pari Pekerjaan
Jumlah
Guide Tenaga masak Total Sumber : Wawancara dengan pengurus FORSIR a
50 14a 64
perkiraan per 1 unit catering mempekerjakan 2 orang
Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di Pulau Pari dapat diukur dengan menggunakan nilai efek pengganda atau multiplier dari aliran
108
uang yang terjadi. Terdapat dua nilai pengganda berdasarkan META (2001) dalam mengukur dampak ekonomi kegiatan pariwisata di tingkat lokal yaitu : 1) keynesian local income multiplier yang menunjukkan seberapa besar pengeluaran wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan 2) ratio income multiplier
yang menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang
dirasakan dari pengeluaran wisatawan berdampak pada keseluruhan ekonomi ekonomi lokal. Nilai efek pengganda atau multiplier dari kegiatan wisata bahari di Pulau diestimasi dari nilai paramater seperti yang terlihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Nilai Parameter untuk Estimasi Nilai Multiplier Wisata Bahari di Pulau Pari Parameter Rata-rata pendapatan pemilik usaha Rata-rata pendapatan tenaga kerja lokal Rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal Rata-rata pengeluaran wisatawana Rata-rata pengunjungb
Nilai (Rp/Bulan) 3.170.526 748.000 339.000 262.636 1.482
Keterangan : aPengeluaran per pengunjung yang terjadi di Pulau Pari per sekali kunjungan b Data April-Agustus 2012 versi FORSIR
Nilai efek pengganda atau multiplier dari wisata bahari di Pulau Pari kemudian diperoleh dengan mengestimasi jumlah pengunjung dan pelaku usaha serta tenaga kerja lokal dari kegiatan wisata bahari di Pulau Pari seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 22.
Tabel 22 Nilai Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Bahari di Pulau Pari Tahun 2012 Kriteria Keynesian Local Income Multiplier Ratio Income Multiplier Tipe I Ratio Income Multiplier Tipe II
Nilai Mutiplier 1,48 1,09 1,14
Nilai keynesian local multiplier dari aliran uang kegiatan wisata bahari di Pulau Pari seperti yang terlihat pada Tabel 22 menunjukkan nilai sebesar 1,48 artinya peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak
109
pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 1,48 rupiah. Nilai keynesian local multiplier ini diperoleh dari penjumlahan antara pendapatan unit usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluaran tenaga kerja lokal yang kemudian dibagi dengan pengeluaran wisatawan. Dengan jumlah pengunjung rata-rata per bulan mencapai 1.482 orang pengunjung dan pengeluaran rata-rata setiap pengunjung sebesar Rp. 262.636,- maka pengeluaran wisatawan setiap bulannya akan memberikan dampak pendapatan pada masyarakat lokal sebesar Rp. 576.852.210,53. Dampak ini akan lebih besar jika pemanfaatan wisata bahari di Pulau Pari (khususnya wisata pantai) di tingkatkan sampai dengan batas nilai daya dukung fisiknya. Dengan jumlah pengunjung maksimal yang dapat ditampung sesuai nilai daya dukung fisik wisata pantai yakni 20.576 orang/bulan maka pengeluaran wisatawan akan memberikan dampak peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar Rp. 8.008.981.837,91. Nilai ratio income multiplier Tipe I di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,09 artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran pengeluran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung (berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ini dihasilkan dari penjumlahan antara pendapatan pemilik unit usaha dan pendapatan tenaga kerja lokal kemudian dibagi dengan pendapatan pemilik unit usaha. Nilai ratio income multiplier Tipe II di Pulau Pari menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinya peningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,14 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Nilai ini dihasilkan dari penjumlahan antara pendapatan unit usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluaran tenaga kerja lokal dibagi dengan pendapatan pemilik unit usaha.
8.5. Dampak Aktivitas Wisata Bahari bagi Masyarakat di Pulau Pari Wisata bahari di Pulau Pari meskipun belum mendapat perhatian yang memadai dari Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
110
namun kegiatan ini turut berkontribusi pada kesejahteraan masyakat lokal yang ditunjukkan oleh nilai multiplier. Adanya wisata bahari menjadi alternatif matapencaharian untuk mendapatkan pendapatan di saat terpuruknya budidaya rumput laut maupun sulitnya hasil tangkapan ikan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal Pulau Pari. Oleh karena itu wisata bahari di Pulau Pari dapat dikembangkan dengan menyediakan berbagai fasilitas pendukung ditengah terbatasnya fasilitas yang selama ini hanya dikembangkan oleh masyarakat lokal Pulau Pari dari iuran yang masuk ke Forum Pemuda Wisata Pesisir (FORSIR). Hadirnya wisata bahari di Pulau Pari umumnya tidak menggangu bagi masyarakat lokal. Responden masyarakat yang diwawancarai umumnya menyatakan dengan keberadaan wisatawan dari adanya kegiatan wisata bahari tidak merasa terganggu ataupun dirugikan. Sebanyak 80 responden masyarakat menyatakan tidak merasa terganggu atau dirugikan dengan keberadaan wisatawan sedangkan hanya 20 persen responden masyarakat yang menyatakan keberadaan wisataan akan mengganggu atau merugikan. Responden yang menyatakan tidak merasa terganggu atau dirugikan dengan keberadaan wisatawan umumnya beralasan bahwa keberadaan wisatawan dapat membuka kesempatan usaha dan lapangan pekerjaan sebagai tambahan pendapatan ditengah tidak adanya rumput laut dan sulitnya ikan. Sementara responden yang merasa terganggu atau dirugikan mengkhawatirkan bahwa keberadaan wisatawan akan membuat keramaian atau keributan, mempengaruhi lingkungan laut dan membawa perubahan budaya atau sosial di masyarakat. Wisata bahari yang telah memberikan dampak ekonomi positif pada masyarakat lokal diharapkan oleh responden masyarakat untuk dikembangkan. Pengembangan yang diharapkan terutama fasilitas umum pendukung untuk kenyamanan wisatawan di Pulau Pari. Peningkatan fasilitas umum pendukung untuk wisatawan selama ini merupakan bentuk kontribusi mandiri masyarakat lokal dari iuran yang dipungut oleh FORSIR. Untuk pengembangan wisata bahari di Pulau Pari sebanyak 53 persen responden menghendaki pengolaan wisata bahari di Pulau Pari tetap oleh masyarakat (community based) dengan alasan jika diusahakan oleh swasta dikhawatirkan masyarakat tidak mendapatkan manfaat,
111
sedangkan sebanyak 43 persen menyatakan bahwa sebaiknya pengusahaan wisata bahari di Pulau Pari dikelola bersamaan antara swasta dengan masyarakat dengan harapan terdapat kerjasama dan adanya peningkatan fasilitas umum untuk kegiatan wisata bahari. Pengembangan wisata bahari di Pulau Pari selain memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat lokal juga berpotensi memberikan dampak terhadap lingkungan di daratan maupun perairan Pulau Pari. Persepsi responden masyarakat lokal Pulau Pari
yakni sebanyak 67 persen menyatakan bahwa
dengan adanya wisata bahari di Pulau Pari, kondisi lingkungan/perairan di pulau semakin membaik, sedangkan 20 persen menyatakan tidak ada perubahan dan sisanya 13 persen menyatakan terdapat kerusakan dengan adanya wisata bahari. Alasan responden yang menyatakan kondisi lingkungan/perairan semakin baik adalah dengan adanya wisata bahari tata kelola lingkungan semakin dibenahi oleh masyarakat dalam upaya menerima kunjungan wisatawan dan masyarakat pulau semakin rajin menjaga kebersihan. Kondisi lingkungan dan kualitas perairan Pulau Pari perlu diteliti atau ditinjau untuk mengetahui pengaruh dari adanya aktivitas wisatawan. Aktivitas wisatawan menghasilkan sampah dan kotoran pada saluran pembuangan air sehingga akan berpengaruh pada kondisi lingkungan maupun perairan laut Pulau Pari mengingat jumlah wisatawan terus meningkat dan keterbatasan dari Pulau Pari sebagai pulau kecil.
IX. SIMPULAN DAN SARAN
9.1. Simpulan 1. Analisis kesesuaian lahan secara umum untuk pariwisata bahari menunjukkan bahwa gugusan Pulau Pari sesuai menurut parameter kecerahan dan kecepatan arus, sangat sesuai menurut parameter jenis terumbu karang dan jenis ikan karang, sesuai marginal dan cukup sesuai menurut parameter tutupan karang hidupnya serta menurut parameter kedalamannya memiliki potensi untuk kegiatan selam seluas 361,5 ha dan snorkeling seluas 939,55 ha. 2. Daya dukung fisik gugusan Pulau Pari sebagai kawasan wisata bahari menunjukkan jumlah maksimum pengunjung yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas adalah 1.287 orang/hari untuk wisata selam, 2.787 orang/hari untuk wisata snorkeling, 504 orang/hari untuk wisata mangrove, dan 2.572 orang/hari untuk wisata pantai. 3. Nilai ekonomi total dari keberadaan gugusan Pulau Pari sebagai objek wisata bahari adalah sebesar Rp. 12.365.824.221,25 per tahun atau Rp. 192.314.529,10 per hektar per tahun. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung fisik akan memberikan nilai ekonomi total sebesar Rp. 171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp. 2.670.083.520,- per hektar per tahun. 4. Perputaran uang dari pengeluaran wisatawan setiap pekannya memberikan kontribusi ekonomi ditingkat lokal sebesar 60 persen atau mencapai Rp. 95.110.610,- sebagai transaksi yang terjadi di lokasi Pulau Pari, sisanya sebesar 40 persen atau mencapai Rp. 63.407.074,- merupakan transaksi yang terjadi di luar lokasi Pulau Pari. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung fisik setiap pekannya akan memberikan kontribusi ekonomi ditingkat lokal sebesar Rp. 1.320.510.067,2 sebagai transaksi yang terjadi di lokasi Pulau Pari dan sisanya sebesar Rp. 880.340.044,8 merupakan transaksi yang terjadi di luar lokasi Pulau Pari.
113
5. Besarnya dampak ekonomi dari adanya wisata bahari di Pulau Pari ditunjukkan oleh nilai multiplier. Nilai keynesian local multiplier dari aliran uang kegiatan wisata bahari di Pulau Pari sebesar 1,48 yang berarti bahwa dengan jumlah pengunjung rata-rata per bulan mencapai 1.482 orang pengunjung dan pengeluaran rata-rata setiap pengunjung sebesar Rp. 262.636,- maka pengeluaran wisatawan setiap bulannya akan memberikan dampak pendapatan pada masyarakat lokal sebesar Rp. 576.852.210,53. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung fisik akan memberikan dampak peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar Rp. 8.008.981.837,91. Nilai ratio income multiplier Tipe I menunjukkan nilai sebesar 1,09 artinya peningkatan 1 rupiah pendapatan unit usaha dari pengeluaran pengeluran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,09 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tidak langsung (berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal). Nilai ratio income multiplier Tipe II menunjukkan nilai sebesar 1,14 artinya peningkatan 1 rupiah pengeluaran wisatawan akan mengakibatkan peningkatan sebesar 1,14 rupiah pada total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak langsung, dan induced (berupa pendapatan pemilik usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal).
9.2. Saran 1. Mengingat semakin berkembangnya wisata bahari di Pulau Pari maka di masa yang akan datang potensi konflik antara masyarakat lokal dengan pihak swasta yang selama ini mengklaim memiliki hak atas lahan di Pulau Pari dapat terjadi. Oleh karenanya status kepemilikan dan hak guna maupun pemanfaatan lahan di Pulau Pari mendesak perlu diselesaikan. Pengembangan wisata bahari di masa yang akan datang tetap perlu melibatkan masyarakat lokal dengan pertimbangan untuk kesejahteraan masyarakat serta mengingat sejak awal masyarakat lokal yang telah merintis pulau ini sebagai daerah tujuan wisata meskipun dengan keterbatasan pra sarana dan sarana.
114
2. Pemda perlu mengatur dengan regulasi terkait batas tarif masuk ke pantai perawan dan iuran yang ditarik oleh FORSIR kepada pelaku usaha di Pulau Pari termasuk dalam penggunaannya sehingga akuntabilitas dapat dipertanggungjawabkan. 3. Akses langsung dari Jakarta menuju Pulau Pari selama ini menggunakan kapal cepat milik Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta maupun kapal kayu yang dioperasikan oleh pemilik kapal dari pulau lain yang terbatas dalam jadwal keberangkatan dan kapasitas penumpang. Oleh karenanya Suku Dinas Perhubungan Propinsi DKI Jakarta perlu memberikan ijin pembukaan rute transportasi kapal dari Jakarta ke Pulau Pari yang dioperasikan oleh pemilik kapal dari Pulau Pari. Langkah ini tentunya perlu didukung dengan peningkatan dan perbaikan fasilitas dermaga penyebrangan serta insentif yang mendorong pemilik kapal Pulau Pari mau beroperasi melayani rute tersebut. 4. Mengingat potensi wisatawan tidak hanya berasal dari dalam negeri namun wisatawan mancanegara juga mulai berdatangan ke Pulau Pari maka Suku Dinas Pariwisata maupun dinas terkait perlu memberikan peningkatan kapasitas tenaga lokal sebagai pendamping dan memberikan pembinaan kepada para pelaku usaha wisata bahari di Pulau Pari. 5. Perlu dilakukan kajian analisis spasial yang komprehensif untuk menentukan zonasi peruntukan gugusan Pulau Pari sesuai dengan kesesuaian/kecocokan lahan per kategori kegiatan wisata dan daerah perlindungan laut. 6. Perlu dilakukan kajian kualitas air dan lingkungan gugusan Pulau Pari untuk mengetahui dampak dari meningkatnya wisatawan yang melakukan kegiatan wisata bahari di Pulau Pari.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar M. 2011. Kelulusan hidup rekrutmen karang (Scleractinia) di perairan gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Adrianto L. 2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2011. Kepulauan Seribu dalam Angka 2011. Jakarta (ID) : BPS Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Basiron MN. 1997. Marine tourism industry : trends and prospects. Di dalam : The National Seminar on The Development of Marine Tourism Industry in South East Asia; 1997 Sept 25-28; Langkawi, Malaysia. Bengen DG. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID) : Kantor Kementrian Lingkungan Hidup RI dan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Kelautan. Brown BE, MC Holley, L Sya’rani and M Le Tissier. 1983. Coral assemblages of reef flats around Pulau Pari, Thousand Island, Indonesia. Washington DC (US) : The Smithsonian Institution. Cisneros Montemayor AM, Sumaila UR. 2011. The economic value and potential threats to marine ecotourism in Belize. Di dalam : Palomares MLD, Pauly D, editor. Too Precious to Drill: the Marine Biodiversity of Belize [Fisheries Centre Research Reports 19(6)]. Columbia : University of British Columbia, Fisheries Centre [ISSN 1198-6727]. hlm 161-166. Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata. Yogyakarta (ID) : CV Andi Offset. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID) : PT Gramedia Pustaka Utama. [FORSIR] Forum Pemuda Wisata Pesisir. 2012. Catatan jumlah wisatawan Pulau Pari April-Agustus 2012. Unpublished. Frechtling, Douglas C. 1994. Assessing the economic impacts of travel and tourism-Measuring economic costs. Di dalam : Travel, Tourism and Hospitality Research, second edition. J.R. Brent Ritchie and Charles R. Goeldner, editor. New York (US) : John Wiley and Sons Inc.
116
Garrod B, Julie C. Wilson, David M. Bruce. 2002. Defining Marine Tourism : A Delphy Study [Internet]. [diunduh 2012 Mar 21]. Tersedia pada : http://users.aber.ac.uk/bgg/wp4.pdf. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Hilyana S. 2011. Optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Hoctor Z. 2001. Marine ecotourism a marketing initiative in West Clare. Marine Resource Series No. 21 [ISSN 13934643]. Honey M, Krantz D. 2007. Global Trends In Coastal Tourism. Washington DC (US) : Stanford University and Washington DC, Center on Ecotourism and Sustainable Development. Hunt L. 2008. Economic Impact Analysis of the Cape Rodney Okakari Point (Leigh) Marine Reserve on the Rodney District. Wellington (AU) : MAF Biosecurity New Zealand. International Centre for Tourism and Hospitality Research, Bournemouth University. 2010. The Economic Impact of Wildlife Tourism in Scotland. Scotland : The Scottish Government. Kelurahan Pulau Pari. 2012. Profil Kelurahan Pulau Pari. Jakarta (ID) : Kelurahan Pulau Pari. [Kemenbudpar] Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.67/UM.001/MKP/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID) : Kemenbudpar. [Kemeneg LH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2001. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta (ID) : Kemeneg LH. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Jakarta (ID) : Kementrian Kelautan dan Perikanan. [Kemenparekraf] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012. Perkembangan Wisatawan Mancanegara 2007-2011 [Internet]. [diunduh 2012 Apr 3]. Tersedia pada : http://www.budpar.go.id/userfiles/file/perkembanganwisman2007-2011.pdf.
117
[Kemenparekraf] Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012. Perkembangan Wisatawan Nusantara 2006-2011 [Internet]. [diunduh 2012 Apr 3]. Tersedia pada : http://www.budpar.go.id/budpar/asp/detil.asp?c=87&id=1191. Kiswara W, Suharsono. 1991. Sebaran karang batu di rataan terumbu pantai Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Teluk Jakarta. Oseanologi di Indonesia No 24. Jakarta (ID) : LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Mannuputy A.E.W. 1998. Sebaran vertikal karang batu dan pertumbuhannya di Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu : Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut Pesisir III; Oseanografi, Lingkungan dan Biologi. Jakarta (ID) : LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Mannuputy A.E.W, Giyanto, Winardi, Sasanti, Djuwariah RS. 2006. Manual Monitoring Kesehatan Terumbu Karang (Reef Health Monitoring). Jakarta (ID) : LIPI, CRITC Coremap. [META] Marine Ecotourism for Atlantic Area. 2001. Planning for Marine Ecotourism in The EU Atlantic Area. University of The West Of England, Bristol. Mulia D. 2004. Alternatif pengembangan gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu sebagai objek ekowisata bahari di DKI Jakarta [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia. ----------------------------------------. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia. ----------------------------------------. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia. ---------------------------------------. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia. --------------------------------------. 1994. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Jakarta (ID) : Pemerintah Republik Indonesia.
118
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Jakarta (ID) : Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Santoso U. 1985. Studi kepadatan dan penyebaran karang batu di Pulau Tikus, Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta [karya ilmiah]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Stabler M, Papatheudorou A, and Sinclair MT. 2010. The Economic of Tourism. 2nd Edition. London: Routledge. Stynes, Daniel J, Vanessa Arnold, editor. 1997. Economic Impacts of Tourism : A Handbook for Tourism Professionals. Illionis : Illionis Bereau of TourismIllionis Department of Commerce and Community Affairs. Suharsono. 1995. Coral and coral reefs of Pari Island complex and their uses. Di dalam : Proceedings Fourth LIPI-JSPS Joint Seminar on Marine Science; 1994 Nov 15-18; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID) : LIPI-JSPS. hlm 33-41. Tourism Development International. 2007. A Strategy and Action Plan for The Development of Marine Tourism and Leisure in Lough Foyle and Carlingford Laough Areas. Carlingford : The Lough Agency East Border Region Commitee North West Region Cross Border Group. Whouthuyzen S, Hindarti D, Yulianto K, Hermanto B, Abrar M, Mira S, Triyono, Pratiwi RS, Novianty H, Rosmawati A et al. 2009. Evaluasi status ekosistem dan sumberdaya hayati laut di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [laporan akhir]. Jakarta (ID) : UPT loka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi, Pulau Pari LIPI. -----------------------. 2008. Evaluasi status ekosistem dan sumberdaya hayati laut di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [laporan akhir]. Jakarta (ID) : UPT loka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi, Pulau Pari LIPI. Wijayanti P. 2009. Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [WRI] World Resources Institute. 2001. Coastline Length. Virginia : World Resources Institute. Yoeti OA. 2008. Ekonomi Pariwisata : Introduksi, Informasi dan Implementasi. Jakarta (ID) : PT Kompas Media Nusantara. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen MSP-FPIK IPB. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
LAMPIRAN
120
r"
zo O\ Lfi S
rrJ t'J
h... (}
\O CO {
O\ Ur S
t+J" t\)
sD td H ,J
E
rt
F'r
lrd.
tD H
'*) t-.*
trt
f
tt
t-
U
3(} ?. ,f Id r-)
$D
&s t{
sD
w $
u) B.
{r)
'Is
o s gr
O. r-r
tsi\^l
t,
td
(Jt $
Lrt S
LJ u}
Ut
uJ u)
Ld w
(JJ
p F F .6 p p s) s) s) s) p p oocl(}ooaaaaaaaaaa 66666-OAAaaaaaaa 6 6 5 - 6 6 O O O
s)
p?I
O O O,,O O C} O
f.J
X
so
{
s0
td. (d
t.+
tr
{
s- *;FF.
€F=rt H FFX S t+,-
Sl
s0
t{
F.,
X hJ
IJ
rroq
I
re Fhn
1r,..1
lrl
l-t
,-l
1...r
t-l
l-.
,-l
UJC)OOC}()O
X (.^)
r{ >t (DH
6.H NJ
[,*}
IQ
N)
l.l
N)
r-r
li
F-r
t...r
t-r
t-.
F-.
t=r
F-r
FtrE
l-l
r*a
t.r
,-l
lrl
t-r
f.t)
(7x)
t-r
)-l
t*r
b,J ur Lh (.n t,J L^ \O \O S Q\ !4 LJ !t .'OOOOC}oOO<>OOC}OOO
{ { -.1 -J t-t t.t t.J s t")
N)
+
F-.r r-.-r }-. -"t }-r o ct\ sN E s t. tQ c) t{ +\ t,J LJ
tlJ
+
t+r
S
!P oo + <}
K
s$0 ro
lEr
L.
ETEFEEf ir= ,+
+Ezr =.'tr (D 6 ='r, -.:. b
s
r$$
X UI
X o\
()'
|+rWSt.Jr-rhJ(rJLl)t-rlnrS-.e|.?
t$ 6 t.; o' t..r s \o o\ o\ or tJ 5; \o W \1 \1 66b{jbOo<><>O<=OOOcrO (, t\) tr) N) t^) t, NJ hJ b..J tr) tr} tQ FJ hJ ..F, (lr (Jr (--) }" \O Lh Fd (.rJ ol S\ O\ E +* or (}t \J Js.
686'FS E H T+F t9 * E.sffi
X {
F1 v) !e
X @
r,
o a. lJ
l-r
6!.
srf
X \o
)d
hd
+ .u, + + + .*l + !^ .u, !A 1J + !^ O O O C) (} O O O a A A !4 b,J *-I 6606OOO(}oaaa!t!.aa pppS).<>.o9.oPPPPPPPP
.u,
OOOO(}O(}OOAOAAAAA 666-OOOclclaAaaaaA 566-O()()(}(}OO(}OOOO
o I'r 14 !4
p tr ro
w=r *)
i-l
a*l l.i l-r
ld.
5c'i-r
OOooOoOoOooorjrjO
E si H
Ft
o H I
iJ
OA
7r sIr TJ
66556600aaaaaaaa 55566--eOOC)o(}ooo
1..l !.r !^, .+\ 1.t S N !'.) *E cl Cl ur ,.h. (} O (n u) ut !4 A ? (1r hl tl u,-6q>oOOAQaaaaaaa
(D
E-e' tro,
uJ *.I qg \l t") tl} # ; 6 tr O *I b.J t:} *-l + aP y .<> .c) ? P yr yt $> .o .o i5 F .<> S) .o .u, ()booooaaaaaaaaaa ur
lr.a
F, lJ.
s
"(, s,
F+ so h+
X O
1.7L
F s
zo
a+
!n se t{ ,4
t.rJ L$ (a, ral tJ t1) \) (, t\) r*r O \O OO \.I
}1} trJ t$ tl'J tt"} N.} t"} O\ (,r ,.F. UJ tQ t-r (}
h.r t..'* r*r \O OO {
r
E" ':j Ft
l-
(Jr
L\T
5(D H
Li-)
rfi
i-t +n
EH I3 rd'
tJn (J\
b.)
BEd
st\)
trss'
,_...r
0"
uJ r..}} uJ { u,} +L L^) s P .E h.} t* tJ }'J ur s tJrl OO OO OO O (, r-, OO O X (} \O S \O fi *.I m ::I A !n !^ !^ S) .o :J !^ O .Y O O (} C) O O tr) O so ooooooobRoobclbclc>b soo O(}OOC}OOOX(}OOO(}(}OO 6(}OOO()OC)\JOOOOOOOO *.I
H'< ,f Fe
00
{
}\) b.J t\) Lh u)'r.... (}) .,E\ (,l C} t\} b $ O q3 q3 q3 ur 1rr rJr (} O O O O (, .C) $) t\) s) s) 5) s) s) OOAC)C)C}(}O(}OC}OO(}OO(} t'-) (}O(}OOOC)OO(}OOOOC}O(} O(}O()OOOAO(}(}PO(}OOO
Pp
p
i3
$oa
fa' r-. 3;W
tD
$
b
t"J
(,r
(} () O O p P p p s) p
p
$s
X
s[=g* E h'Fx S. *)
-
X t.J
$iJ
50a
F1
sm
A oo
-J
tJ
(Jr t{ &
r-r ,-r (, (,
S
S
S
&
ur
hJ iJ
#H
X s
g$B**x F
X LN
'u
_.I
t
J tr) tQ }-r r-r r-, tr) t.") t{
t',,J hJ N
l.-) t'J tJ NJ
F"}
l-r
t*l
sO \o
hrr
tEr
\O \O \O (}\ (a) tfi \O t*} (}(}OOL^(}OAtlTOOO(}O(}O(}
l-l
(}
t-I
1...*
tEr
l-l
$.J (l1 tJr (Jr (A
l-l
N) \O
OO
ir.(
-j.(D =
o&f gr*t
b.J
.oo
o\ o\ o\ *,J
e
$s E
tJ|
C}
X (}J
flF
..-l
\o
id
t{ tJ
Oo
-I (.,l
O \o
l{
EE
F-r
(, o\
t-J
IJtr' rE
I tt..} tQ t1} (}r S\ Ch hJ {
o H
q.,/ pn
hJ t'J tJ N) $.b.r$t\},.,FssN
F.r.r 1.*
hJ
l.'.r
.$ t"trooO(}OO$$S
t-.{
t1}
NJ
Ii.<
X o\
'-' E tid (}-
a*A'FF dg;BE'
oo
;"I (.}r t...1
(}t \.1 (Jr oo
i-l
t-.J
lEa
t$\oo'mL^oo\ot\) O(}OOOOO(}
l-l
inl
tr")
&.
l..i
).-.rr t,
o\o\&N0000oo\m OOO(}C)C)(}(}O
)-r
tt.J
"T \o
(} (.1"} t'J ttJ N) tr) tl) lE t.J r*r FJ (r) t,tl) t'") t{ rrr tg tJ t'J t..} t'J ('1,) (;t1 -$ \o OO O\ Q1'-r C) hJ { [r)
E*[fS
X {
e
X oo
V)
t\)
(.r)
sD
4
l*f
o
Cl'\
s & t$ st\)
O.
t.-J
tr
X \o
pq.
p
FU
.w oo tJt
sO Ch
po + !^ I$ lrt + $ I',) !=) :- 9, .oo r(.|r I\) tJr O t'J {Jt { L}t (..r t$ (} (} O (Jr (rr Ur (..r O Lr O L.t () (} ur O (} O O O C) O (} O O O p s> p p .(} .o s) P P s) .o p p P s) p s) OOOOOOOO(}CC}C)OOOC}O C}C}O(}OOOOOO(}()OOOOO (}OOO(}OOOOOOOOC}(}OC}
o
,) (}. l.{
Fe tY,
Ol r.+ 0s t{
X (}
122
H,dfr
XXXS s) sD I. I. s0p$rc, (ffCI-F' o(D(D (+}t.-}t*t
zo
o(D(D
E
3
s?
ld
lr*
ld
B
iJ.
sidPg3.q3
fl i'
(D
s\
$?w !-
|-t
o lr{ )J
s tr
H ES:g] l.a i-,
a:l
7
L.l l-a
+ir hl-a
t..
,4r'H (_i
tr
$*E,E ag.H 5**OrIIfrV A:Tr/)
cg l\.. A) (t
SD
q(! Ca
r-,1
fa
\o h)
Ca
F} *l H tia -
V1
\J
"b$"6 (, \.I O rroolru
Fr
+.Esur ss@(/l
\ht
q
tra
f) $
\
rr) $a.\ ca
TPTG &(}O(}J
t$ b_) o
'"o
-ol
A oo (}L0{S t$
(Jr uJ
(, o\
S(}O\O r-r OO
trt\OtJt(} QO-JS\O O-J{t-r t"rJ OO t$ SA{t.J C)OOrdO F-. ...1 (} +r t-r
oo
r\|.
r: h
11 h
Fi
.F
iJ
c t-l )-a
{-+
TJ ?/ ara
?+
fr
(D
$a H (D
w lJr
f?J ld
t-. td P
LrI
sq
w lrd
OO OO
r
FU
t} q
t{ l..J ld3 t,{
r{
o.s"s) "o
Irrd
f, U)
UJtr)t-t
tt)oo\ifi
.P Ot\)N}{ OO
pt,) "s) s .p o\ -s)
o
.(E
iJ
-iK #H.
FU?
t}
lja
F n,
h R
\ s\ .i
{ra hl
H
{\a{
*.I
OO
J= ,l- Jt, NS\.1 .E Ch -.I b') St { S-JO\ i.)) NJ \O ssoit*r t-. b") *uhrt..} \J OO
{
(!.+
,r
!4 v)
80 se
t{ tJ
{ )rl
w
(.fl
o
so
{.+
,.,|.- ,L (, "o. b i,; &{O\O (,.t r.i.e OO \oo\olo\ \o \o s \oor{{ {+tN){
"slpJsJ} l-r l-r O l-..-r
tJr
tr.}
SS\.lO OOt-}O{ Oq}{Jt$ \OOOl\Jt\J OO\O\\O r-r \o oo
O(} O tJ or-J\.I
s w ss
w\,
t'>
:rr
C}r (.lt
*l mo\ l-r (.r)
OO
r-r
>,
N tr/)
l+r l-,
$s Fl lrra
L/T (} F-'' r-r t\)
JN
po
(.fl
sD t tra
E E
l-l
C) tr)
*.J
{
frl
|r.J
-..1
)\. {J
€
K o' $ o
r |d. H
ta
_&,!rp -j* bt, l*, Lh {
;*.
OO r.+)
r''-
HTFE {O(}t+) Lrr -.I
rd
9uJ
Oo
uJ
Ir)OOO\
oo
+L
\o \o
\o td
r: l.rr
NJ
\O b,J
m
t'.J Lrr
{
*.I
BTTH \o
O tJ
UJ
O\
\O OuJmur O \o o\ (r) Ct\ {
--
p(3 fi'
Lrr
f.r OO(}A 'o "o (JJOO=
\J
\I
l.r
uv{
\O -OLalmLrt O\OO\tl) tr)O\{N} oou)m(Jl
o .+J
"o
J--
\./
L'\
':
F-.r
ETrH (,O(}(}\ \OOo{-l
N
\O
\ $
t\ *il
(b
\o
(er
'c>
s
.
tt
l-a
tQooom {(, OO o\
.
ry
tr l-a lrd
\t riJ
tt) c) s\r iJ
s
\
fl (} pD
Ft
t23
XXXXXXX s)$srslE)srs, s)s?slB)E)ElFD crqctFCrscr Ft
Fl
Fl
Fl
-.
-.
-.
-r
o(D(Dooo(D
Fl F.
ld
l-r
lJ
lFa
l-*
i-.-r
\O
OO
{
O\
I
I') *.I
(, _..I
sfrJ\-I
Ft
Ft
-.
-.
ld
|d
(,Jr
a "O *5 "O .4. .O '-O -a ..9 -e t\)OOOt;)\O \O{OuJffiOo I-... & O O\O(,ltQt\)Oo SOt*JArlroo rr
S
.S)
(rJ
O\
1..1rr .}.
L.-r
tt-'
(+)
t.)
t,r
r-r
O
OO O\ OoSU)t-rOS t-. \O \O
}) oa
p "s) JI} _s) "s) "s) oo,=oo=r (.,r)F-d(}(},().s
I
oo
o\ oo t\) (+)
frl I
O oo
\O t.lt O \O\tLrtOO(.,r (.rJ{*-.I&\O\O r.-i .'N \O (/r \O { SN(.}TLhUT(.,T
t,J
FF.t
tt.J
(+) Lft
*-I (}\
(} \.t
;3 C)
Ju
\O t$ r-t
t'.) \O
rttt
.S) ;* -S) "P "S) tJt *.1 *.I \O \O (}ltr}(}(}{t,Jr\O r*TmC)OOUJSs. hir. .}1 OO *"1 { O\ O\ O\ t.J orU)Ur\OO-JO\
,O t
& o\ -.I
Ol
F.r
\o
Ur
t ,oo
\-l
O (}\ O
\o rn I
O
oo
,t"'}
\o (} o\ F1
I (}
oo
p C)
O
lE
\o
(}
o\ F1 t
O oo
r.:r t+J (,
.\ t+) -.t
*.I
(}\
p_s).pppp Solu)g>\OO
qt'J{\O(rrH t+.tF..r(aJOO\(} *.I \O O\ O {}*r&O\O.n\ r-.i OO $r { (Jt O\ hJ t* tr){trr\.I\O{
Irll
O\ O\ (..fi
(.^ L^}
('A
l* "S) "$) "$) q) t-.r .u C1
J3 ;c q} rqr
(} r*r '$ \OmO\-"IuJ{O r-rt{{&uJ{ oo{N(JrrCl.\(}\(4) O\ C}\ Cl.\ t$ {(+)(}l-i0Or-r wS6OO\OL,.)
t..J
tJ
O\
t\)
O\
N
t\)
Ur
l-r
O\
IEJttJOOOO
ppp-p"p"s) C)O<}C)OO\ L^SOOO\O *.I { O\ C)OttJh'rr=r(} oo$oot$€\uJ ao\ot\)\oHs \O (, |'..} O\bJor*.Im\O t^)(}F..irO5;$
.5) -p "s) "s) "s) FErC)OOOY F..NJOI-rO=
\t/
\-/
\./
"p p "p OOOC)(}O\
L^SOOO\O (,+) |Er O {O\{ChhJN O t=J O qp*soowou) OO \O b,J \O t, t1} O\ t\) O\
\.r'
\J
JC} "$) (} i-r \O (,h *.I
t1; F.ir F-, |.--r Oo
L) "s)
A O & O\ \O
124
Ftfrfr
XXXXXXF
OIDID
s 3.q9 i;' P sDw
srg?s)$srsr'i FlFtFtFBr
B.
Ll
.
DDD)$SD0s3r1tJ ggCrfgCfFn
LJ.
rI
.
g,
(}
-.
td
(}t}(,0(D(}(D (}\ (Jt S l'.r) l*J ld
Id
ld
ld
)-d
lrd
l-'
o ,J
z,
o
A?Pfr= il ESig.a E EH*
-r Li
t, Ft
/-1 1}
H
'W
iJ
=:
Hl-rr J'
H
Fr ltd tr
o
t\./ 6.)
s) Fl
Ft t-a
r\ \{
o
r'+
rs Ft
DO
(b
t-a
r+
h V)
N
s\
(D
s \.4
oa rr1
Ft ra
v7
(}
rrr t\4. \J
(\
rh ha..
ttt C)AOOTO\ uA.uuvAU O-v$i-rO-Vg1.
A
\
(t
&Ot+J+rt'JSS o\{\o{oto\o o\ssAF-.r\o OOf=iOOOt;"J{m ur\O&{Ur&\O ()&O*.IOOClr\O (Jt t, (.i)
AVV{
k) hl
U1
,.'h, -..1 \O \O *"I t.")
UJ t$ l...r t\) b.JO
!\L ia.
PrJ
ta
1tr H i
0q (t)
(}(}O
(.ln --I -u HOOHS fi(}1r.rto\ \O N.) * t'J O bJ (, \O l*r q3 tJ trJ *.I t.}) CF\' { (, r-r OO \O
r
)rl
U2
OO *.1 OO OO |-.
|c{
EH FdV fi ts.
li[[HE Arun,-w=w ll
r*r
s
ov
td.
m l-r
N)
*-I tr.} OO
t+}
Fd
'q
o t{
*, l-l r l.{
ld
i-} (.+
s$o t{
Ca H
c)ooorrr-,..-
b(.1) "p r-,
(\'
"O
t$ O\ $C)SO\t'JC)uJ \o t\} o\ oo \O l.l) FJ .Fr (.*)HtJ(rJ(}.b,O\ tdH\O(+)*'JOOO l',J *\ tr} H
-p O
",..-
"U,
t, U) oo LdItJ -.I ,..'.. -..I
rtl \ra iJ h
\ st
s..
tq \..{
(,
i'-r \O
\
*)
,].') "S) r ()(JrS (,
\t
\o oo (} hJ OO r-.r
Lfi
\o
t\)
-.I Ut t".) b) ur \O Lrr tE(Jt(Jt
sLnoo
{ ldr
V) sD f'+ $s
Ed sD F tJ
$i 4 |-f
p
tltr
.l*FJTJQpJ^)$ (.r}lILnttJ\oo\u)
u) Nl tJ Cl C) O w suro\(.,looso (* r.ir* (}\ -.1 t J F....l t, (, ttJ OO \O Lh) rrr
r-r +' OO O\ \O
teJ O Oo tJ C) (} O\ t"J \O
(} t,J (, \,1 rEr
O U) Ur u) \O C> t J t-.) (, {
OF'.
f\L
Ca ha.
s
F,rr.
OOOC)OO
CI\sooosuroo OO \O \O O r-i trr \O Oo tr) O \O & )..-. { O\ m |..r 0O trJ t*r rr-. lttt
.S).S),P*O
ltha I\J
x*a
\
Gi'I
s $
f"
I o
+l
'-t(*)OOOOOAS \O OO )sr O\ OO 6; t\)(}OOLhOO Lh(}l-t[r-JAOF.iT(,^) OO\oooot$O-.I tJt $, *.1 r-r t+) { Ur-.IOA+\Lht.a) (.l-l(.}tfio\(r)\-)lrr
<>G 5o5\o Ot$-vOOFdOo OO tJ O\ O L^) (, c\ \o oo (, \O \o Oow{\.ILASO
g.\
\O
VVUUUV
NJ
c)
\(\\$
(rt N) a\
Y \j
\ $
ffi\O\OOOurOoO \o O(Jl.aE.=.lrn,t*O *".1 (4 (, \o tQ {(, o\ o\ \$ OO \-I a\ -.I L$ L*} \O \O(Jr-JO\HL$& tttt r *S)-e"Sl;c r-r r-r r-r 1t'1 .$)
<} J/J \
\OOOI;rO\OOOg' tQ()OCIt"rTOO t;rt O r-r t1) OO l-r C)o\cooot9(}{ *"-l Fi{ (, { (..1r1 .\ L^{Og\$LAUJ (j) (, O\ CF\ t+J *.I
o<>
tl.)
\O
t-t t
-a
\$\o
lr,
q)
t"r
s
ol
(a 's
5o&\o
uuvuvv
ONJ-*A()r-rOO t.JOOc}\O('})\ONJ (,tO\\OOOLr)\O(} Ootr{{tJrS() oo\o\oooLhooo O("l\&{rnrtr)O t.a)O\\Otr){*.I {(rt+)\Ot+)AO*-I (}\ F-..r \O (Jr {
\o
tJJ
S
N)S Lrr O\ (r) \O l*r t$ F\t -.I t\}
{(, r*r (l\
VVU/-\UUV
HSO-V(.A)OO \O\iO{)*-IOO t, t,111 F.-r O ur O\ -.JO\OOOO\(JtttJ r..I [1} O f-r (}\ .."I O\
.F)
s
v, (,l
s& o\
O
{
tJt
\o
s
p
O O
C) (,^}
\o \o H
s
tQ
.
T3
€ lld
s E s) t H
4 l-,
aa
K
o P,. o U o (i ld
F
Cf
(} ld
r t
o
sa
125
XXXX $srg?p s, $D s, Cf CT CT FlFrFtFt
d.
-.
-t
(D(?oo
t-i
t-
ld
t-t
\O OO
-. sl
CT li*
*.1
p "t) *p p O OOO I
I
tJ
oo
s \o !-l
ch
o\
(..t
F)
C
LN
t*)
{s oo
Ch oo (Jr
()\t(} C}\ g*\ N) l"ir
t...)
\O
O\ tr} l*r O\ S L+) t\) t\) tJ Or-rS
"s) (} tJ "s) +\ 'p OO\O\
\o \o rjr (,r\OO F..i S \o{o
'*lCt\O oo c,\
(,..r{t$
F
I
\O
s I
s) (Jr "s) (}tJC) "s)
F...r O\ S O\{5 *.I hJ *"i t,.) o Lh o\00{ o\ \O tr) l-r \.1 t')Ow ."J SUrtlr
t\}
o\
{
UJ
,o o\ (} (l)
oo
\o o\
oo
s
l-l
p\O .p *.I "s) \O \o oo {}-r.$.
o\
O\ \O O\i$ r-. { oo oo HLd(.lr
Ot
C)
(}\
tt,
O(}C} oo s F-r +ttrUJ (.r.) t,J *..1 { \o O\ot\O OOLh(} o (rr (}\ (} F-r t
,O
{o\ {
u\,v
OO *.I PO\N
{
\oN{
OO oo o\ -v O LA(.r)H oo O\ F-.r (-{-) t-} OOOt\) \OO (J| \O \O *"I oa tl} F..r (.rr t.r) I\)\Ot\J r-r (rJ S $
p
uvA.
{
p I
ttt
-$) OO "p S
"s) r*r
{.}) S oo ..J \,1 w tJ \o O\ (}\ \O OO Lfr O O (Jr O\ (} r-.. OO { -i r..r ch N) 6 *.I lr.ra
{
\o[*){
O(}
UVA
Oo UJ O\ *u (} Lh i""'r tj) I-. oo O oooN) t,,J { l.r-. \O C)
"O (Jr oo
r$
s
\o\o{
tQ F.-r (rr tt.J \O t\) t...r(*)^b
126
XXXT
sssq H E.H.8
'{frfr sOr0b Id*gts.qg
\{ t\\
s s +E \s rDoo lrl
(,
Fd
i.r-a
t{
t-r
i)td
u
z
c
v) id.
'A
LJ t{ ).J
$ f$
*,tE**
aHsxE F o rnn
6 X Fl
1..+
\IA rd '.
r
rr) *a 'd
>h.
/+) (t
)o
x(\
ca CA
Fo
0 \.
i.rl,
(}
aJ
Ca
rrt (3(3(}{
a $
L"<}b"c, SN}C\\O & tn *.I \os(}J00 l-d (,l
PJsFP Fr..r (rh
$
gr\
q
rri j
$
b,J (}) L|r (}\ [,".) (}\ (tJ Lh S Ur Lrt hStt \ra Tr}OFJId \D *.1 O\ OO tri*.
\
{
R t\ fiJ q\
U2
0O
U2
(Jl
SL Lr) t'J OO UJ OOS+"..tr. U) S Lh OO F-r
(-l) I.J bJ Ld \O
s\|!
o S\\O(}S \o t\) o qJt (ilJ FE lrr Ut
&t\)s(3 \o 00 N)
i,II
=7-
=
3=
lEr
Ft
cs F (' (-.
qE 4EsS
H
FfD,T r-.\j
r<= urw
o
oq
4
(D
(l) ir- ' FI1
g H h,
oa
w l.'d. ,lJ
t-l
P P P.r'* OOrrr(;lJ
rir{ ibr
J}j* (} (, LfiS \o5 oo tJ tJt hJ oo& H oo (Jt t-l)
s.
Ur
l.-.r .}. H L.")
-r
('})
U)
\.' \ c)s\o& is $ Oo O\ C,-\ F.) (rh q,|I t'J Oo O\ (}\ hJ OO 0O t*)
t.'ct .\a
I
trrr. {
ts U) t"lr \O {oo\ooo o\ \o \o o\
E..
I.J
(JT
s &{
(}
3 3 ld.
,) .+ tr, si t{ t{
hJ
{
F.i.
lrl
w
r
So
p
rl TOUJ(.rI
"oo "o\ L IJ r-r \O tr.) N)
\O**S\O wtr){o\ bJ S O\ UIC)L^{ O\ F OO rJl\o(}\o Hoot$\o
(}
i\
C4 lr*
*.I
s
lrr
F-i
I
*.J
{\l
(}Hi-.t,
\O hJ --,I (Jr O -".I { O\ tll
f"t
o h")
+ $
tt n J}-p-plo C) O tJ \O B'
(}U)Our
\) ft OOUJOOO (}\ *I \. +b tJ (n (rJ F-r \O \o { t.'J \O Ur u \o Ur OO Ch UJ $\ *.I (} t-d -I UJ (Jt (,|t CF\ I
t'*..
rtt
+.9\&{ AO OO ..F t'J{{tr)
h
sra
N) U) .h,
$ \o
\
*"I
I
*.I
\$ o\
tt
PJ}P}O (}(}bJ\O
C)(+)(}Lrr ooul(}oo
t..) .5 (}\ { (nUJH\O
\\c
Lrr OO O\ *.I \.1 (}
tb \a
-.,1
tr) \O
w
{(}
|\ c4
Lrt
(r)
Frr
(";|1 (.,;l-) t_n (}\
u o\
sD
lqrr t)
sD
H
lrrd r
H\J t-/. t-. ld se
tr
E
o\
s)
"t*)
H l*,
Lr)
O -".t \.{ *J rra
t
p(} C} \-J
td
oo oo
soo
F")
K
o
O' (D
-..I b'-) (+)
{
\ (^ ("}) C) *" \o {+rN)OO ("lJ Ur (.tl -.I u \o *L O\ .$ -.I o\ *F -.I 0O *-I 0O *.1 tJ t")
oo oo "bJ t-. *r 1b {fi (-}) (} {,*.t"JOO U) Lh Lfi
tr) o\ UrO *J O\
{\O
OOOU) (}u)(}u) r.}) oo o 00 \U OO (} F-r (.r} O\,.h.FO\ (, O\ t..) t..) a r_lTj *.(t o
PPP tJO\tJ-
sD
"s) Frr
O\ UJ rd, OO Lr) ,-r
\rv\rv
p,O.,O,\ N)O{'F oo oo u) r-dS*rUJ
?-|
frd
U o ca H.
$o \I rrJ
n R \IJ
r\{ \r hJ
o (\ r.J
l-l *-J
Cf f=a
rD I
f'{
/A
\./
ra Cn F{*
t\\+t *.J Ui
(t \..r/
127
-1 frfr o(Dir
z c
stdSs B.qg
-/1
s)V) l-' td o l-t
tr
tJ
sie.xF oiijnfr 6 \.,H Fa
trd
'
H ''
ta.J '?/ l-a
cr) 1n
$
I"J
H
(} ilb (.$ oo b,J
oo (Jr
Ur Fr
+*
-
\os N) tJr
m'*. \t F. &c) \o Lir
!a q
t4) (\
)o
x(\
a \. ir}
H
(*} ir.) bJ&00
.
Vi %
o]
q
a?,r
F S& 7,5
C)O uu4\, tdq;l'-uOO
(}
O =I tr} Fir \O F. -.I -I Fr.r N)5u)00 NJ(}(}\O U.}-t\OUrO
t'")
Ca q G r< F.L
U2
q
O
\O
$ h
C.)=
tr
FE7
S
11
l}
-r
er.s F
$9
L,
XXXXXX gr o) s) or qD s, Ft
Fl
Fl E'
FI
Fl
Fl
l-l
l-..f
Fd
|-f
F.rd
|-l
sa)s?A)nra) (]rcro-Efcr
oot}oo(D r.-.r \O OO -.I O\ & O
t? E
X
Jrt
X \o
I
C} ,O
ll
OOO
,{{ra AA\JA.\.1 \J \J
{,
\-/
Lr)
,,
O IlJ t$ Fr {+)
\O
\O t-n $\ \O t./n rd-lulso oo Sf_rOO\\O F.r +O\OOo+ -I A FJ -.I (,
\O
w -"I
(.,r
p -(} -F) -p *(} "s) C) .s t'J O C) t=r Ur C)LNLNt$(} tJ +so\\ooo oo ..FSt;rt.tlC>
w -.1 & \O N) ur 0lo 0'o b,J { uJ
*.I
50\ (r\ -",1
Fd t\} tJ ul -I l+) tJr tJ tg OO *..1 (|\ trir. \O
\O
PF
-S) -p 13 p _l* (nO(}UJl-r(1\
J*)
(}
oo ltl
ir'-r
tQ OO !, &c) s. *.I O\ C4j uJ o\ F...rr t$ bJ t'J (JJ
(}{
F.j
\o (} 6
--.I (+) & & (.1) O\ SC)\OO\r**" u) u) oo 00 c) oo \O 0O LA OO *'I N") *r OOO(JTFi0O N) UIN)tsSOO h.* .}. Fr.r ts t-{ Ur -IOO N) 6 -.I +h
"slp"slp"pp (Jr \O \O --I t'J
JJ (,.l.) t--. UJ
{J
\q
r.}}
{{c\{$o\c) Fi.l O\ t-r
O
r$
o\ 1\) (\ rd (\ I
(}
\
\O
O F.ir
\O C)OMUJNJ AHO\b)t;r\O ,{r, \O O\ Frr t-..t O tr") S g\ l'") S OO (,}r Ui { (.,r tA} *L (J} F. Ur U) tJ UJ
fr7
IUl fi\ s{ :h(\ oo a lJr
C) U)
I
F> frd
rttt
"ppFpp W(^C>OF.r !.ri. \O
\O -I $, \o \O U) -I (r} b-) o\ (}oosoouJ i-.* (, O\ OO {-"I t-a \DOOObJS \o clr.l){{{ & \o Frr OO t.) OO \O Lr)
{ oo
'a-.
J}pppp 0OUrrd(}O\
hJ (+-) t$ h") Fir *. OO O\ *.I \O \o .r\O-I.rS t'.) UJ tJ O -"I L.^) 6 o\&ou)F (, u) f-. Ut -".I
Fi..l
lrd t{
o\ \O t-*
t.r.r
O\ \O tr..+ OO Fd tlJ
ppppp-s) ttttl
t.r..t OO Ut
(}
Frd
C) UJ {r. r_r \O \D \O \O Lr} --l U) -I t\) o\(}oo&oow (d F. }-i O\ OO { { \O(}Oot'J*'
\o(}w{{{ s. F- l.rr OO bJ \O
(} Fi'r OO t*1 OO \O
s) (}
FF"Slp"p OO (, i"rr O
{ oo
O\ t"") UJ ($ b'J ii"d *" OO O\ -l \O
\o +\o{ss t\) (.1) t'J (} -.1 (, o\ o\*\(}(,J& (.^)
o\
r-r{ tl} tr) O\
\O
128
2f 7
ASFWK H H,H?g s:
\-X
fi a-''+
$Eg.HE O tIIN 7
6 UA. H Fll*f
HllJ .,
cn
i>
?,ne
f\-r t4l
(\
H
\$
H
lrl
oo
,}l
(r:
A)
(}
o \ (\a
ca q
s Rl\
PJ3P l-d o\' {
Lh b,J (}
&ur{.u' (.r) { O\
\O $, OO +I O t,.) (.l.)+OSL.d tr) Hl OO
Fir tJ Ot U)
3r. lrl (..L .r-
oo
rd ld
\O
{ O\
XXXXXXXXT' .= '{r,
t\ u)
E!HHHHEEHs \r\ s s s s s s B- &E s o(}oooo(}o G} t.l
nE.
cs -rt --
t...i OO {
C\
(}
(4} N)
.F
s$
Frrr
,.dxut l-l
r-{ 'J
l-J -\t
X ;-I
X \o
t
O
(} (,l) ,
lttt
PPJ>PPPF;-t A(}OwFd(}*rC)
(}Fdte)\OSbJO\\O \O \O t.r) O\ Ur Lh IJI (.r) O\ L$ (} -.I .h o\ OO C) { O\ F-. { \o r..d*s\o(}\&c).F (.r) tJ oo tr... t$ \O L$ @ UJNJ\OOO(}O\SO\ UJ Ut OO 0 \t OO L/h ,
A{{A.{{A{
\J \J
(\
0O L|) iri: +' U) o \O Fd' a t{.
OO \O
l-r (}\
so\ { (Jh
1.4
iJ
1r)
CIOO(}Fd
.r-OO'-=OOtrz=UJ O tJr t\) (Jh hJ Fr..r (Jn t.J Fd iri t*.J Ur OO C> \O { t.t.;
UJ
\sr
{UJtdLhL$0OOO\ Fri \D ld S\ C) tr-{ (,l O\ Lh L}) LA sl O (J.t *. l.-* c> \o (Jl oo *' (*) F.rr (Jt O\
.ht \O
O\ & t\) NJ *-I S (}\ F.i ld
.H
cl ftai
\o N) F.r (.}t
\O Or
ttttt
J>J>J>,r*j,J};PJ,JY, Lfi OUJFi.i{&\O0ON}
\ost.'loo+(J|hi{oo(J| [a (.r} Lr) 0O C) { F+ t,J 0O -.I s (}\ o\ot\}t$bJooN){ t$ tJt 0O r-r O +. O Fr.^r O gt\ OO OO S Ln { __.t (n +r fi OOt.J(,rtN)O\S-lUJ 1r..N,
1r.rL
l.rl{
,
(.^
p}J "s}J}"ppp (} \O *I tr") (} O.,-
r=r
f.H C,t\tJSC)t")UJ(}{ lw {O\gt\q}FdO\(}{ r-d Ln 0o \o o\ \o o\ rJr a H *^..I \OOL$\OHO\\OS UJ (.lJ5(l.\F..*(Jt91.*J;'n t\. N) OO OO O *.I UJ Lh) S \-' (\ \.I q}{.'$.r-rrEr\O\O(} (+) rJJ \O { U) \O tlJ \O Ur
Ut -."I
F.
ttlrrtt
"sl.,5}p"s).s)pppF r-.dSC)(}F-rb.JC){(eJ uJ rJt\o\D{o\oordo \osr-,oooobJ{{ o\ Ur UJ { & O F.rd \O
,1b' Lh N) C} c)
hi=r
i-} t$
r.lJ\c{lt&\oN)\or-,{ \t \oAs{Fi'oo\o.=ul \O (1UJOOTd\OG\Or;lt o\0o00{&&5b.Jr-r
P C) *.t
(.lr
sO s tJ u)
<>OO
u
r,
u
-^
&cr
u
u
,FFdC)*r-OO.r-OO {(eJbJO\FJUJtr)-.I OO UJ +" ld (*) tJ r.d\O(}\SUJ(}\OOO(.r) FJ L$ La r-r Fr-r \O FrJ S N) .'.J -O\ UJ u) \O *\O \t (}\ NJ { \O --I \o Lh (Jr o\ tr) t.lJ
rrttttr pJ}"pJ}FpJ}pF (} ()
r
/r+
I-.
OO
t,)
\o
OO
(} OO ("r1
Fi..r
-a r*. t'!s
\\c u \s
\)
Fra '
s(\
\\o
(4 u) \o o\ OO \o rd
<} tJI
tt.")
+" b,J C> *.1 (t) (,h UJ \O -".t O\ OO F-i. A (}\ \O \O Frr OO OO t'..) { { F (r1UJ-I-}s.(}hE\OF-r0O s t h N,J o C} rid .-.I uJ Ir.) U) \O(,t\+\Ot.J\OF.{\t \O +S*.IHOO\O(>Ur O\ 0O0O-.t&s..b.Nlt=r h.....
f'',
$
s\
u
l'\.
\) t (t
\\c 34 s\s o\
<=Oc>&Or\o
"O P "O "O ;p "Oo F) ".b. ",{ (}) t.} C}\ tr} UJ bJ -.t -.I OOLr)St*(rtr)FdOO (x r{'1 \O(}\&(rJO\OOO \c hJ L$ tA F..r Fr.r (.1) OO 4} C) iid (.1) +" t$ \O fd, (.1l1 t J s,. $" *,\0O{\O{L$Ot}) tJ \.I \O \O O\ N) { (J| OO \() Lr) \o rJt (i o\ l.J L$ \o rd s\
s
ce
rt]A ..a Ft dt\i Rt" \l1Y
\
129
XXXXXXXT qEHHHHHE s6'5"5.5'5'5'6" s s s s s ss s\ i.
r.
ir
B.
H.
FJ.
(}
-r
tr.ir
O
OO O\
.$.
(-l)
-1-1
r: (\ tr)
$t (a
\
Fr;l
UJ
d Fr{
tt.J r*l N)OOC)HLrrN)S \o r-rOO("}1SO\\tS th & t OO f-r S O\ * & (}\ \O [,J OO O\ t-.] t.) \) H
Ut
00 F-.r
tJr
\o o\ o\
w tj
\ \
<>rtrJ,lr&S,qJr "(} ,l* "OO b "OO L \ OUrLdhJ\C++ t'.J (}1 Lh Lrt r.-. O (} f4 (\ bJ\ooot{s(}o\ ta lira (Jr(}(}OooofiL^) (+J O\ (-r.) tQ t-r \O A UJ (, N) tr) (}\ -.I \O L'*)\ouJNJ\OCF!S {r.rl q
(}(}(3(}(}t*rr ,(} (n -S) "t-r b "C> i,;
'<} bo +. v
o\ \0urC){}\OO(} o\ +OOO(,OOONJ
(ns00\oN)o\i & &\JO\ESUJ\O o\ H
>t+!a!{\iorrl 1...) O\ O tJ O
t.rJ t'",) t.Q LA {
*;
t,J O "(} "u, .l*
UJ \O +. 0O Lrr S \O (.lJ t\) (}\ tJ
0O tn OO Fir Ur CO O\ r-. { (}\ FSS ,1-\ Lr'
O\ +r ooo UJS ti It\
m(.rl {N} (.l|t (.rrSU)
oo
"o\
tirr
hJ
(u
a
,A \./
i:) -tt N)(} Li)
I 11
a td
\O+LO\O{O(} u) { { \.} (,rt F...r O\ oo
)t
$
r\' i.{
00
I
ld. lrJ lri ld
a (}
"C, "6, ;.- iJ t-+ tr.) O (;r t J r..r. (r\ Lls, \. "g1 L
MO\(})ornur& \O \O O\ -J (.1) O ttJ (} S & Fr.r OO (n
C)
(n
Ca Fr{
(}(}C)C}(}OFTT
UJ
.A
z c
(\
ltll
C)
g? l-.
s
1...) Fd
C}O(}OOO "O "(} f- irJ "t-- "C, "J}. J*I FJ f-r -- \O (n t".) --i t\) \OtJr(}\OLrrtl){(, O\ Lr) \O \O C) (.r) -.I N) (Jttt.)HFT*CF\(}\(} \O(}tdO-J{Lh*.1 (Jrt.tJ(.lJ(.,tOO{(}(+} td \O F,{ (.1) OO Ln UJ F=r F...r (.11 F-i l.rr \O t.lt t.J tt )
(,
nfr -l bb o E.E S IdSs
sUJ
co oo
A
O\
rlrtt
f" 'F>J>.S>J>;,-P-t>F 0 t-r$q}i-r*ruO{O\ (1-)+"OOOAN{FrrQJ tt.J t''J O\ *..I O\ {>, Ur bJ 0O+rtab.JO\O{tE {OO(nCE^-JC\(}\.F t\.) -.1 O l'.J { OO tQ OO rrr O lFr (/h O { ()\ (J\ S UJ t*J { O\ tJ U) \D
td
G
u \o
rfj {\ (t
\c
o\
(-,171
TJ (} 5 & b,J C) $ (;1 H (rJ Ld q3 OO t'..) *"I tl1 t$ \O (,r OO ("lJ O\ U.) 0O \O \o (}J N) {oooouJt\)\ooo u o\\o{A{{o\o \o \O \O F-d O f-r O\ \t t.I o\
\
F-r {Jr 0O r*
OO tr)
tttt
O(}OTOO.r "s b "-'Jc "o \ w .tr.OOOOTJ{HL$ t-J NIot{O\St.rru} lrl
{
oo F,J
-.I
s
"o'
f" $ -1 Q
$ \o
\
F.-r & l".lt tlJ (} \O { OOtJTOO-IO\O\5 *.I O tr) --I OO t'J OO 34 O i-r{ (,h O { O\ (}\ \o s\ UJt\){O\TQIJ)\D
$
I
\D PPJ3-s)o O ;F.b"fic}"oA"oo .*JtJtd(,(+)-v5 {s bJSN)HOI',JO
w {tJt;TClOOUJ\O (Jt (-r)
N)OOtJJSU)OO\O -.I OO 0O (.lJ tt) \O
\o{s{{(}\(}
OO
O (\ c\ a \lr}
oo
<><>c>O&<> \o "e t}' b -<> J* "oo $ (.}) -u *.1 { i:> 1...) H $,
I
t\,)
n
"C>
b") tJ
JTJ
\ I *\o \o
o\ \o \O lFr A Fd O\ { l..I tJ t1) r-r tjr OO F{ OO t,J o\
T
O
tJt
ih. {t .l
130
XXXXXXB' 01s3olo)olo);.i Fl Fl Fl F,t 'rd.
Ft !l .
Ft Hr
*1 frfr o(Dt} -(9
s + s + + +E O(}CD(}(D$ J.
dr
-.
Fd (l.\ $, UJ t -)
F-.r
B.qg sidPs
o
o td
tr
Z,
q)u l-r lJ.
,)
N \
$H.gHE Otr]frF 6 X '-u) lrt
tiia.
a
L*
VA. li.a
$ $
ce f
F trE 4 E q+a+Li. r
llJ l.l
fq LLjF El 7-t :Jl.>Y
Ftr? b
,fr h (\
\
00
OD
(is
H
EA
+2
A rl
q Rr
sq ?: !l..l\
a \)
Itltt
',slFpppp;r O ClUlt-.O&N)
(\ Llr un N) -J t") (,J \O {..1r1 (.14 Fd (}\ 0O Fd -.1 (\ j .$N)O*.I-.IOO tJr\O+UJN)O\ \O s (.lrS*"tt'J{&N} lril gtl \O L$ O\ F-r' (.h *-.I t\) q) OO r-r LA O\ t-t r..I i}
q
rr.,i
\
(}C)O(}Oti.d "s "<> .F i3 tid
(.;x) (';l)
ri.rr
=r-
0O
(}\ U) (e) S\ \O hJ F*r { .hO\*LrtSFirC) C> L$ * {
{
\O
f-r
CF\ S -.I .$, H?OO F-r f.iir S
\r
I
I
r*t.lrLrr
"t ) Jr) p Jt \O (n J* rir Ln F-r OO N) *.I (,rt
O
\o OO tl) -I Lh L,rr o\+L$\.Ir.tl) \O -..I F-r { O\ 96 r-d { t$ \O \O --t
F.i (J}}
{
.(}
{\ r:l
s"
fl v
I t...r
l'v
O Lh'S UJ \O$ t'J OO (7\ trJ (} F=r !a v) \o oo 00 (Jt S\ \O LhSO f=r (, -..t
s{o\
oooo{o\\o{FJ )
\i
E$
l..J
e..l
Ca q
s
!,..L
(}(}Ot\)
\r9vv
p(}tJ-s)
t"J A N t'J Ll) C) v) \O (]\ N) O\{
(}
TQO*,-OO\ \;I SO(.lJOtTJ \o fJlo.,-rcos J F") \O tJ (} OO N) C) s \ouJO(}"tr.t\) & trl '\O '\O (\. Fd oo Ut }' Fri t\ O! O\AU)\OOOT' (.|) \O (Jr O\ OO C> ld FJ S+.O\S{O\
:tr
pJsJ}slpprF"
Iu)
r./h
(Jr
lltll
tF,(}trJtrJ(}{-.I T\}OOO(Jr*"IOUr \i (..ttJTOONIO\\O tJr I'J NJ (}\ rd (} UJ OoOO.F"*l.O\Oo (.1)
Fr.r O\ O\ rd rd \o \o o\ oo (n w*bJoos&u) {-.') N)o\s}.J@\c \O
O
f.\
NJ QJ
00
rn I
\\o
ot
fr (\
Ittt
{
\t
(.rr
\o s\
?a Q
(! t\) OOOtJT*.I(}(Jt tJt OO t'J (}\ \O Lh (+J tt N.) t-J O\ rd t'..) \c (}
{
\o Fr.f
u) Lr)
000,o*so\oo fri. (}\ F...r t$ \o \o O\ o\ oo ur &t\)oo++(JJ N)(}\+\t{&\O tl
OC)
O .F i/, "c, p { N)@(,tJ(nLh O*La()F-I O trl \O
s) F{
oo F.il
{
UJ
t
l)
oo
\
},, \a o\
(}
\r
(} 0\ (}\
o\
O&
FpFpJ}F C) t'J t=") (}
s
\a a\
(4
Jo
\
t{ \O OO (} \o tJ (,l OOC)UJFdOOOO *.JOOOOO\SS U) N) hd O 0O rEr \$ OC)+FrrON) o\ OOF{S(}ti-r
b
l'.t.r {l
o\ 0\ \o
\\o
u A. -\, \, /A \'& .? O .r- (n O .r* N) .r\ -.I(}OOtJtOS--t C)tr)0OtrJt'JUt(.rt (,rr I.',J \O hJ \O OO C) frr. OO C) L$ Frr. OO OO OO-IOOOo6.14.5 lr{ (.1) N} F.rrr O\ OO p U)OO+"F.rr(}IlJ {Oo&{SO\t-r
Fif
soo t\)
oo
rs
(\ %
OO
s{sh.)\O oo
tJ Oy S\
\,
O\ { Lh+*(}..F
hr.
H(}{i-r & C) l;r1 F.--r fi..r (}\ Ur O\
O\ Ll) O\ O\ *.I UJ{srtJt\t
(.1) tr)
l-, \J tlls% S" tQ (} S b.) Fr... OO O\\O\O'rtrrr-r.E ::>
ppp-(} F.r.r
Ca
ila \r F.
irr h
il
G t{ hI \J
G \r
{
OO
{
's
ir
S9
H
cr (? E
X -ut
X
;-l
X
-*
X \o
131
XXXXXT
'-ifrfr
s)o?o)oro)^
E. 3.
s).ol$$lirtrl CfffggFF=.
F6
=. =.
l-.
ld,
H
s\
o) ld
ha.
s
oflr)$o O\ +r (a.} t.'-) td lirJ
E.q3 sOi"i" '|-rs$
ld
v) lrj
o H
z c {: tr
o
lJ
tF
$HH.HE oiijNfr dHu) HH'-
(s
ow f
F $E N 5 r'ux,Ei.0Fr \J ld 'a
F\ tfl '4 t-a
(fq \-{ Lj '{ EI 'lrlY
ru? L>
AJ
$
00
!$
r-2 Ca
o,
t\
H
$
hI
w sF.r i.*
ppFp Fr.r
Irtt
J>P"c:"SIP;r q} -'fr. r-r (} Lh U.)
\J
C}\ { ss(}(,}) \o oo u) oo
a UJ hJ Or t'J t,.* (}t Ih C\S\OLhH*..t tJOOq3F.t,}TO $ \O *. OO b.} O\ (b { t+) & *. C) bJ \O \llrJ ha,
P P.P *(}.P -l* C)O(}O(}Fd t"J *.I # FJ A\O(J)(})U)5 O\ O' \O -."I t.') S { *"-l Lhl".,rtFr\O{\O \O t.J UJ t.J IJt*E'NJ{idiFl (.ASA0OU)H
\O
OO
Ll.J
-..I
-i \O Ld O
,hL
s
*r
tl
I\
rr--..
Fr*.
i....r h,J
11)
O
.}5
ttt
I
,O
(}
0O S Lr) tQ rd A0O .= F:i r,l\o{ Llr O\ Ut .$, +. F.d .A \J
i3 tJ
t'J bJ
|.F{
OO
O\ oo
{ #ur
J\.)
I
oo
{\o r"I
fs
l..ri
o\ l+l
\o
f* \)
"\o
st{\o|-.(} *.I O\ { ii.r
\\c
C) (Jt
(.7r1
$r
O\ N)
r..rr fi
{oooo\o\o OOur&C\UJ (, {"1}1 tr.") N) Fr
t-.)
o\
{
I I P '$}-SlP LAOO'P,\I
*oo \t FJ w (} OO OO U) trd H
\O
OO
UJ0OCI\\O(}
*. Frir t J F-r \O { FJ Fi.r It. ) (} l.J O\ (,rr OOSNJOOtJt Lr) (}\ .}r. +r trd (.|) \O tJr S \O UJ Lrr
t4 \$ o\
**i
t5
s\
\o ta \q) o\
ft ttl o T(}CI(}(}.F # !+ --teN)O{\O $ tJt Lr) O Cr\ A -I 0OH\O($Lr)O\ l..d C) \c C}\ ..F. t$ \O OO { CI.\ ..-.1 r-t O\ J,, (} .F ur F.rr O\ t\) q) t$ {oooo\o\o \$ O\OO(.aSorLl) $\ { FJ i-r (.1r1 u t..J \t
\,
\t
\,
\,
\
l
PJ>PAIo f"14OO.r*\.I
*,-Oo{t$w\O O OO OO U) t..r OO r..{ (+} OO $\ \O C} .$ F-i t..J F-r \O { bJHI..)C}NS\ tJtOOSt$OOur uJ O\ S .b. i--.r (, \OUr+.\O(.lot..ln
>,
N (.ll
(})
N] tll
ri o\{Jl{oq, -I rnr \O UJ U) ()\ s
c\ oo O
*
A LJ
"t")
s\) hr
\s\o
-!a \$ o\
Fr
& (}\
ha,
ft
*\. ti)
rd (t I
s(}
q
$ (a
$
E
-X \J
t?
Jx
X
;'I
X
so
X
Jo
X l...t
€)
C)
-o\ -l'bUJOF
.s}"p"s)-F}F \O FJ t'J (}
0,o
,r-\
t-i Fr{
N)
tJt
l-l
\,
Ld
Ca
t5J
rUtttl6.
LAAO\OL^\O bJOO\OO\Li) bJ tlJ O\ O rr CI,.. -+.=3e OmO\\Omm h.J *r' \O { i- tr\OO{&O(} tQ tJr \O rd O\ O\
t$ *"I
*Ft dR\
;- "*, J*, 3_ JJt "N' !"i' S UJ OO (} + ca qL \tS+Ut-.I{ s uJoosoooo\o OhJS\O(}\O t*..F.tJStJr-l
\,OF..iOAOOF4 \, \, \, \,
(.r) t\)
3\t. v2
OO
Lrt -.t O\ 0O OO UJ F 'r liEr (}Ldoo\o OO {$ -I OO tr) 5L$Ur{Jt (.1) { O\ t"J *I
*a-
oot$*\o+u) tJrteJOOm-{(a)
U2
')fr
ar fl =t
{J
132
XXXXT B.E H H *
{frfr soooE.q3 'dAs o?w
\<
{* trt
$ S $ sfl \a oooo td
lE
id
l_a
tE
, h'3F'E' =
5' *6 a&H 7 iiln
td.
o l.* tJ
$" (\
sr.tJNlH
o2 f SF E
N5 F fi; trE * E.o 6Hw '. f{LJ'
LJ t-
'JL>Y FU'7
A)
(t
)a ($
'-
A. llJ H
f4
C4
ot
o \.
H
t}
!rr)
% q
pppp r-d
ttr
e -Fl.,C)-s)*OJ-I $ q}'}.t...t"hN.) (J) F-r O\ UJ OO ,(b \b OO.F0o(}-I r\aJ *.I Ut *.1 & O\ (\ Cl\ tJ (Jr (Jt OO (t \oooouJ\o \o \o tJl uJ oo \Srr q t+)LnS-.IO &(}\{Il)O\
o\ €\ *bS\OUJ Fd \O { \otQt$s (}r!*OUt
rii.
hl
(}O(}rd OOu-'/-Ohr-r hJ{c)\ooo \O *. t'r"r S (nN)*"oo\o
{r
O\rd(}&OO rrr N) o\ oo *r \oo\(Jl+r{ \O O\ O\ t'.J \O S (}\ UJ *"I I'.) Lrt
I
I
hIN' \.' \
E$ vqa t\r
s"
O\.
ir J*r J,r' ;t fwm-.JtJr (;r t$ N) *"I (} % $ OO Fr tJr (.a} t..) kL t$ {Jr LrJ F-r' OO !..f
!ia.
(}
C) t"rJ '"O
Fr-r
"w "'tt.) L JhJ .tr. C) t.rr t\) \rI UIAOUIUJ O\ O\ + s -.I oF\ (.tt O-. Ot t1; rd
(.il Er \i F: I
F
i
Fr I
rdC>SOO tQ ("n -.t O\ C\ Irt
"s)J}pp"} *"I O tQ t.J OO Lh tJr trr (}\
OO
lrrl
*\ (\
I
C>rrrOA{
t.'t
\)
t
\
fu
ra Jo blr .\)
\) F... o\ oo L}J ur f[ (..rt{*r+r(} tJt OO OO tQ t\) \o
\
-{{r--.
rd0O(}1L$H t J -J i-r tr.r t'Js\o(}oo (+)(*\g\-F..F
q3
T
.iaJ
q
(b
\\o
s^ \o o\
\o *r
Er{{r--
fr.* O\ OO {.r) (Jr tlrtt-I{r...b.(} (,tr OO OO tJ N) HOOO\(JJr-r FJqFrF...O
h.) +" \O UIUrO\SSO
o\
s
tr) tQ m 0O(Jr(nHO\ \O tJ \O OO O (}bJOUrt/) \O O\ F'* \O t'lt F.rr \O & O\ OO C) F-r OO Lr) L/h \O O\ \O *r t'.) Frr O\ -.1 +. OO
p slO(aClA--I
h \(5
f.+
rrl ppp-(}F (:) \t
OO
\Ot-.t OO qJI
pp
(.[) o 1..) t/r
t..J t\)
sN) {{ e F.. N) iF-a tJl
b\ r.I (}r
+ s l_l lrd
s\
\O tJ \O OO C) ON)O(.rrLl) \O C\ r=t \O t ll \o u (} r-r 0O l..;t) tJr \(} \D O\ \O & t") o\ Frro\{...Foo
pJ}p
j} -l*
O\S t$ \o c> \o t\) l-r (} !a V) oo \o oo IJt \o o\
s
ts\
\o u q5 \() $\
(\
d
*U t} X
F^}
X 3rr
X
;'I
X
so
X
00
lird
Fr'r'
ga q\t
I 'sD E-1.
JI}
(-l)
rJl
oo
UJ U) tJr OO \O t$o\60\id
t-J tsoos
fr)
\t\JA.uv
!.rl, lht.
+O\O(} O\ \O t"rr t'J
(+)
t\) )
s
')fr
S
JJ o\ li..r \.I a --l s o\ r\) FJ I !A!
\-)
-..l
\a a
t]
X hr
.\-,
133
XXXS'
ssfq ororori +-rrrv Hr rd'
rdr
ld
lrd
|Ea
S
UJ
F.ir
-tfrfr
ts.q3 sO?D?D 'id+$ glw
Y A\
+ + $E \s (t(}(D 1}
*{
l-.
trra.
s
z
C
<:
Fr
' o t+
H Ht*lrt ff X E-o i5
IJ.
i1*
'
7F:+="d g a&H -
Orr]NF
tJ
d H l{i{,
(\
\J H '.
c2 f 1"1 \-
tr H. =r
5'
')r.>Y FUC =i t\H A)
(\
\(\
DA
u) A,
Ui
ttd '7r/ |ra
a,
s)
\
H
o
Gra
C4 tt
OO-I \, /.\ \, -U
(..1|1
rr.t
SO\u){ li-rr \O
O c)h,Jss
\, H
n ()
p"F}"s}J} ,d
(}r\
(}t\
(,rr F.J 6
rrh
OO
rd,
t.r) \O Lr) +
\O
tJl s h,J (JI \o (J| C'.\ CF\ UT(}OO(} r-r +r *"I OO & Ur O\ Lfi
(JJt.J tJ \O
{(}OO-.1 C) { ("rr -.1 \OC,.\OO t-.-r ($
-}. \O UJ (}\ OO -J (.lr 1;tr t-r
{JJ
L*;
F.\
tFd
!rrr. (\ t\l !\* ha.
ta q
!.ri{.
n
v)
r>
,Jfr
ii
5
s E
\, -
-
(D
X hJ X
Jx
X
-a
X
;-I
X
sa
%
'tlO(}Fri -.,
O O'V
,q
OO^$(}FFT t.i
t-r
'\,
t\)
O '}, l=r t..-)
t}ls
s$ \.r\
-..J 0O O\ w Oo t\) Lh I -^. (.1) I
*Lrt
8";J^S, ulsq\00
nt{.
Ca !|rl.
\o o\ L$ o\ s tJ \D tJ (,+r U) F.r i.l\
$r
hJOSFd \,\r\,u Fr.r A UJ \O
oo(}oo\o LrJ (} Ut h.r Lrt -"I UJ tJ \O \O
rsrr (, \o o\
(Jt
O\
pFplo (,'T(}Llt)O\
s
* s
f" $ "a
(\
\\o u \C) a\
OrO.F.
}I
\)
\r fs
\
N) .rv
F\
I
\t
S
+N)tJ\O SO\UJOO r..r.r (} Ur
N) UJ { -.I U) t\)orJ}o\ &(eJ(Jr\O S OO \O Ll) (1") -I \t \O
o .C
? t\
I
\o s,, \$ $\
tl
J}pJ}lo rn(}rro\ {{rrq\
\
O\ O\ -.t O \o uJ N) 00 00 tJt {0ot$Lh {C}\OOtJt rd OO tJ N) \$ (JJ NJ Lh t...D (D\ (-A
b
{
F..a
hJ
6
Fa O\
F-r
\o{Fr tJ fd("|r s\ LrJ Cl'\(} v) t$ u) {\O
b\o
(:)
(.$
-I (}t \o
F\o { (Jr
o
$ \. t\l \o a
f-..
F] (\ I C)
X
Je
X l.J .q Y
FP C),S
-.I
tr} oo oo uJ \c {@(})(.rr *-.l O\ oo (, br OO tr} r-r t ') \Q $\ bJ t*J (Jr t'l.) -"I F... Ut t\) \r,A.uu
oo
F.-r
lt
{-"I(.r)(}i O\O\{(}
t\)
\o
"u I
c,r\
(}r(}& I ir'S>\b t'.) t\) \O S .*.(}\Ll-)OO F-.. (} ur t*J uJ{{u) t\)oLh6\ S(+)Ur\O 5 \t 0,o\ow (.r) -{ \O
s
p.j*
O (}\ UJ !a UJ oo tJl q oo Ut t,
l_r
$u
(}t.JOQ
frra
I")
thr {J
134
Lampiran 5 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari Model Linear ————— 19/11/2012 10:09:08 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: V versus X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8; X9; X10 The regression equation is V = 1,56 - 0,000001 X1 - 0,000000 X2 - 0,0145 X3 + 0,398 X4 - 0,00006 X5 - 0,00362 X6 + 0,000526 X7 + 0,0079 X8 - 0,0291 X9 - 0,000000 X10
Predictor Constant X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
Coef 1,5552 -0,00000095 -0,00000005 -0,014464 0,3985 -0,000060 -0,003624 0,0005263 0,00789 -0,02910 -0,00000003
S = 0,258034
SE Coef 0,6736 0,00000040 0,00000003 0,008809 0,1426 0,001098 0,002044 0,0005796 0,01577 0,03993 0,00000003
R-Sq = 65,5%
T 2,31 -2,37 -1,48 -1,64 2,79 -0,05 -1,77 0,91 0,50 -0,73 -0,96
P 0,031 0,027 0,154 0,115 0,011 0,957 0,090 0,374 0,622 0,474 0,347
VIF 1,718 1,219 1,739 2,461 2,206 1,581 2,406 2,043 2,061 1,626
R-Sq(adj) = 49,8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
DF 10 22 32
SS 2,77763 1,46479 4,24242
MS 0,27776 0,06658
F 4,17
P 0,002
Seq SS 0,64389 0,06913 0,18927 1,38239 0,00654 0,32047 0,06420 0,00024 0,03994 0,06155
Unusual Observations Obs 25 32
X1 1000000 385000
V 1,0000 2,0000
Fit 0,6836 1,1564
SE Fit 0,2094 0,1241
Residual 0,3164 0,8436
St Resid 2,10R 3,73R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2,27351
135
-Uji Normalitas Uji Kolomogorov Smirnov digunakan untuk mengetahui distribusi data, apakah mengikuti distribusi normal, poisson, uniform, atau exponential. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah distribusi residual terdistribusi normal atau tidak. Kriteria Uji : Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05. Probability Plot of RESI1 Normal
99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-1,05976E-15 0,2140 33 0,148 0,065
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0,50
-0,25
0,00
0,25 RESI1
0,50
0,75
1,00
Kesimpulan : P-Value = 0,065 > taraf nyata 5% residual berdistribusi normal
-Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas. Ada beberapa metode
136
pengujian yang bisa digunakan diantaranya yaitu dengan melihat nilai inflation factor (VIF) pada model regresi. Kriteria Uji : Jika Nilai VIF diantara 0,1 s.d 10 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi. Kesimpulan : Hasil output regresi menggunakan Minitab 15 menunjukkan nilai VIF 1,2192,461 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.
--Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas yaitu adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang harus
terpenuhi
dalam
model
regresi
adalah
tidak
adanya
gejala
heteroskedastisitas. Ada beberapa metode pengujian yang bisa digunakan diantaranya yaitu Uji Glesjer. Uji Glejser dilakukan dengan cara meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya.
————— 19/11/2012 10:26:04 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: ABSI1 versus X1; X2; ... The regression equation is ABSI1 = 0,008 + 0,000000 X1 - 0,000000 X2 + 0,0116 X3 + 0,0479 X4 - 0,000199 X5 - 0,00016 X6 + 0,000274 X7 - 0,00507 X8 + 0,0032 X9 - 0,000000 X10
Predictor Constant X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
Coef 0,0077 0,00000019 -0,00000004 0,011621 0,04785 -0,0001991 -0,000160 0,0002736 -0,005065 0,00316 -0,00000001
S = 0,137627
SE Coef 0,3593 0,00000021 0,00000002 0,004698 0,07605 0,0005855 0,001090 0,0003091 0,008414 0,02130 0,00000002
R-Sq = 47,6%
T 0,02 0,87 -2,35 2,47 0,63 -0,34 -0,15 0,89 -0,60 0,15 -0,86
P 0,983 0,393 0,028 0,022 0,536 0,737 0,885 0,386 0,553 0,884 0,396
R-Sq(adj) = 23,8%
137
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
DF 10 22 32
SS 0,37918 0,41670 0,79588
MS 0,03792 0,01894
F 2,00
P 0,084
Seq SS 0,00150 0,07413 0,19084 0,07661 0,00051 0,00141 0,00865 0,01114 0,00022 0,01417
Unusual Observations Obs 32
X1 385000
ABSI1 0,8436
Fit 0,3865
SE Fit 0,0662
Residual 0,4571
St Resid 3,79R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Kriteria Uji : Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih dari 0,05 (taraf nyata) maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
Kesimpulan : P-Value=0,084 > 0,05 tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
-Uji Autokorelasi Uji
autokorelasi
digunakan
untuk
mengetahui
ada
atau
tidaknya
penyimpangan asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode pengujian yang sering digunakan adalah dengan uji DurbinWatson (uji DW).
Kriteria Uji : 1. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi.
138
2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi. 3. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.
Nilai du dan dl dapat diperoleh dari tabel statistik Durbin Watson yang bergantung banyaknya observasi dan banyaknya variabel yang menjelaskan.
Kesimpulan : Untuk jumlah responden n=33 dan dengan jumlah variabel bebas k=10 dengan taraf nyata 5% maka nilai : du=0,7955 dl=2,2806 4-du=3,2045 4-dl=1,7194 Hasil output Minitab 15 menunjukkan Durbin-Watson statistic = 2,27351 terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi.
139
Lampiran 6 Output Uji Asumsi Regresi Fungsi Permintaan Wisata Bahari Pulau Pari Model Double-Log ————— 19/11/2012 9:14:06 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: ln V versus ln X1; ln X2; ... The regression equation is ln V = 6,64 - 0,470 ln X1 - 0,0261 ln X2 - 0,147 ln X3 + 0,439 ln X4 + 0,074 ln X5 - 0,0467 ln X6 - 0,0029 ln X7 + 0,072 ln X8 + 0,007 ln X9- 0,0281 ln X10 Predictor Constant ln X1 ln X2 ln X3 ln X4 ln X5 ln X6 ln X7 ln X8 ln X9 ln X10
Coef 6,640 -0,4697 -0,02614 -0,14741 0,4395 0,0742 -0,04669 -0,00291 0,0721 0,0067 -0,02815
S = 0,162231
SE Coef 1,533 0,1303 0,02878 0,06684 0,1246 0,1023 0,03499 0,06509 0,2699 0,4095 0,05348
R-Sq = 71,6%
T 4,33 -3,60 -0,91 -2,21 3,53 0,73 -1,33 -0,04 0,27 0,02 -0,53
P 0,000 0,002 0,374 0,038 0,002 0,476 0,196 0,965 0,792 0,987 0,604
VIF 1,836 1,346 1,988 2,286 2,535 1,735 2,113 2,047 2,315 2,192
R-Sq(adj) = 58,7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source ln X1 ln X2 ln X3 ln X4 ln X5 ln X6 ln X7 ln X8 ln X9 ln X10
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
DF 10 22 32
SS 1,45927 0,57901 2,03829
MS 0,14593 0,02632
F 5,54
P 0,000
Seq SS 0,50242 0,00725 0,24659 0,62937 0,00027 0,06486 0,00005 0,00112 0,00005 0,00729
Unusual Observations Obs 32
ln X1 12,9
ln V 0,6931
Fit 0,1003
SE Fit 0,0750
Residual 0,5929
St Resid 4,12R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 2,56828
140
-Uji Normalitas
Probability Plot of RESI1 Normal
99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
4,508178E-16 0,1345 33 0,206 <0,010
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0,4
-0,2
0,0
0,2
0,4
0,6
RESI1
Kriteria Uji : Residual berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0,05. Kesimpulan : P-Value < 0,01 sehingga dengan taraf nyata 5%, nilai P-Value lebih kecil dari 0,05 residual tidak berdistribusi normal.
-Uji Multikolinearitas Kriteria Uji : Jika Nilai VIF diantara 0,1 s.d 10 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.
Kesimpulan : Hasil output regresi menggunakan Minitab 15 menunjukkan nilai VIF 1,3462,535 maka asumsi multikolinearitas terpenuhi.
141
-Uji Heteroskedastisitas
————— 19/11/2012 10:04:27 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: ABS RESI1 versus ln X1; ln X2; ... The regression equation is ABS RESI1 = 0,585 + 0,0253 ln X1 - 0,0250 ln X2 + 0,0770 ln X3 + 0,0632 ln X4 - 0,0218 ln X5 + 0,0022 ln X6 - 0,0085 ln X7 - 0,089 ln X8 - 0,047 ln X9 - 0,0092 ln X10
Predictor Constant ln X1 ln X2 ln X3 ln X4 ln X5 ln X6 ln X7 ln X8 ln X9 ln X10
Coef 0,5847 0,02526 -0,02502 0,07697 0,06317 -0,02179 0,00220 -0,00845 -0,0894 -0,0468 -0,00923
S = 0,0968523
SE Coef 0,9154 0,07780 0,01718 0,03990 0,07440 0,06109 0,02089 0,03886 0,1611 0,2445 0,03193
R-Sq = 42,7%
T 0,64 0,32 -1,46 1,93 0,85 -0,36 0,11 -0,22 -0,55 -0,19 -0,29
P 0,530 0,749 0,159 0,067 0,405 0,725 0,917 0,830 0,585 0,850 0,775
R-Sq(adj) = 16,6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source ln X1 ln X2 ln X3 ln X4 ln X5 ln X6 ln X7 ln X8 ln X9 ln X10
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
DF 10 22 32
SS 0,153698 0,206368 0,360066
MS 0,015370 0,009380
F 1,64
P 0,160
Seq SS 0,000244 0,031570 0,074050 0,037446 0,001787 0,000232 0,001980 0,005124 0,000482 0,000784
Unusual Observations Obs 32
ln X1 12,9
ABS RESI1 0,5929
Fit 0,2288
SE Fit 0,0448
Residual 0,3641
St Resid 4,24R
R denotes an observation with a large standardized residual.
142
Kriteria Uji : Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan absolut residual lebih dari 0,05 maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
Kesimpulan : P-Value=0,160 > 0,05 tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
-Uji Autokorelasi Kriteria Uji : 1. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hipotesis nol ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi. 2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi. 3. Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.
Kesimpulan : Untuk jumlah responden n=33 dan dengan jumlah variabel bebas k=10 dengan taraf nyata 5% maka nilai : du=0,7955 dl=2,2806 4-du=3,2045 4-dl=1,7194 Hasil output Minitab 15 menunjukkan Durbin-Watson statistic = 2,56828 terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi.