84
PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA
MUHAMMAD M BANAPON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
85
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Muhammad M. Banapon C451040021
86
Abstract
Muhammad M Banapon C.451040021. Assessment Economy of Marine Tourism in Morotai Island, North Halmahera District of North Molucas Province. Supervised by Tridoyo Kusumastanto, Sapta Nirwandar, and Luky Adrianto.
The aims of this research are: (1) to know carrying capacity of Morotai Island for coastal and marine tourism development, (2) to estimate the economic value marine coastal and tourism in Morotai Island,(3) to understand the dynamic model behavior of marine tourism in Morotai Island. In order to achieve such objectives, ecological carrying capacity model, TCM and CVM model and system dynamic model were used. Result of this research show that the total economic value for tourism is Rp.46.708.856,05 per year, total willingness to pay (WTP) for tourism is Rp.205.907.250.990,29 per year, and maximal carrying capacity for tourist is 20.400 per person per day. Beside that, tourist factor, environment factor, and investment factor have high interaction on marine tourism development in Morotai Island. Key Words: Carrying Capacity, Economic Assessment, Development Police, Marine Tourism.
87
RINGKASAN Muhammad M Banapon C.451040021. Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Provinsi Utara Maluku Utara. Dibimbing oleh Tridoyo Kusumastanto, Sapta Nirwandar, dan Luky Adrianto. Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati sumberdaya pesisir, laut dan Pulau-pulau Kecil (PPK) merupakan modal pembangunan yang sangat potensial. Provinsi Maluku Utara (Malut) sebagai daerah kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 500 buah yang telah berpenghuni 64 buah. Kabupaten Halmahera Utara sebagai bagian wilayah Provinsi Malut yang memiliki pulau kurang-lebih 76 buah, dengan 57 buah pulau telah bernama dan 19 buah pulau belum bernama. Salah satu pulau yang memiliki nilai sejarah dunia adalah Pulau Morotai yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang memungkinkan untuk pengembangan wisata bahari, karena memiliki nilai sejarah yang tinggi dan keanekaragaman hayati yang potensial untuk dikembangkan. Agar pengembangan wisata bahari dapat dilaksanakan dengan optimal dan lestari, maka kajian yang meliputi analisis daya dukung fisik, ekonomi dan kebijakan pengembangan sangat diperlukan. Kajian tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam membangun wisata bahari yang berkelanjutan di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Tujuan dari penelitian adalah: Mengetahui daya dukung Pulau Morotai untuk wisata bahari; Mengestimasi nilai ekonomi Pulau Morotai untuk wisata bahari; Merumuskan kebijakan pengembangan wisata bahari Pulau Morotai. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Dari 100 orang responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, 52 persen mengaku belum puas atas ketersediaan sarana transportasi menuju Pulau Morotai. Khusus di Kecamatan Morotai Selatan terdapat tujuh buah landasan pacu bandara bekas PD II, namun hanya satu buah yang berfungsi. Landasan ini hanya mampu mengakses daerah-daerah tertentu saja. Diketahui luas area pantai Pulau Morotai 510.000 m2. Menurut Yulianda (2007), luas area yang dibutuhkan 1 orang untuk rekreasi pantai adalah 50m2, dan total waktu yang digunakan oleh wisatawan untuk wisata pantai sebanyak 6 jam, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk berwisata adalah 3 jam perhari. Dengan demikian, rata-rata waktu yang dibutuhkan wisatawan untuk kegiatan wisata pantai di Pulau Morotai sebanyak 2 jam perhari. Sehingga diketahui daya dukung wisatawan untuk wisata pantai di Pulau Morotai maksimal hanya bisa menampung sebanyak 20.400 orang perhari. Manfaat ekonomi kawasan Pulau Morotai untuk wisata diketahui melalui besarnya pengeluaran wisatawan yang datang. Adapun jenis biaya yang dikeluarkan, antara lain biaya transportasi, konsumsi, akomodasi, belanja souvenir dan biaya lainnya. Semua biaya ini dihitung dari semenjak wisatawan berangkat dari daerah asal hingga di kawasan Pulau Morotai. Dari kegiatan-kegiatan ini menimbulkan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan yang menjadi benefit dari kawasan wisata Pulau Morotai setelah dihitung melalui prosedur perhitungan valuasi manfaat tidak langsung. Metode yang digunakan untuk menduga nilai sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market goods) adalah dengan menggunakan metode
88
biaya perjalanan/TCM. Metode ini memiliki asumsi dasar bahwa setiap individu baik aktual maupun potensial, bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan manfaat tertentu tanpa harus membayar nilai masuk (no entrey fee). Manfaat langsung yang bersifat tidak ekstraktif seperti dari wisata rekreasi pantai, diving, snorkling, wisata sejarah, wisata budaya, diperoleh melalui besaran pengeluaran para wisatawan yang mendatangi kawasan konservasi. Dalam fungsi permintaan yang digunakan dalam penelitian ini, pengeluaran wisatawan dipengaruhi oleh biaya perjalanan, pendapatan, pendidikan, umur dan jarak. Dalam regresi ini, total pengeluaran wisatawan merupakan variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen seperti, biaya transportasi, pendapatan, pendidikan, umur, dan jarak. Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka surplus konsumen perindividu adalah Rp. 1.765,6. Dengan total kunjungan pada tahun 2007 sebesar 26.455,0 orang per tahun, maka diperoleh total konsumen surplus untuk wisata bahari Pulau Morotai sebesar Rp. 46.708.856,1 pertahun. Fungsi WTP individu dari responden yang berwisata ke Pulau Morotai diperoleh dengan memasukkan koefisien hasil regresi ke dalam fungsi WTP. Variabel-variabel yang mempengaruhi WTP wisatawan antara lain pendidikan, pendapatan dan umur. Dengan memasukkan nilai rata-rata individu parameter ke dalam fungsi WTP, maka diperoleh nilai WTP individu sebesar Rp.7.783.301,9 perorang. Dengan demikian total nilai wisata bahari Pulau Morotai adalah sebesar Rp.205.907.250.990,3 pertahun dengan asumsi total kunjungan sebesar 26.455,0 orang Rendahnya nilai ekonomi wisata bahari dengan menggunakan metode TCM disebabkan karena tingkat kunjungan dari wisatawan ke Pulau Morotai masih tergolong kecil. Tinggi rendahnya nilai ekonomi dari suatu kawasan wisata dipengaruhi olah jumlah wisatawan yang datang berkunjung untuk menikmati keindahan sumberdaya tersebut. Hal ini terkait dengan tingkat kepuasan yang diperoleh wisatawan di kawasan tersebut. Sehingga nilai tersebut dicerminkan dari seberapa besar wisatawan mau mengeluarkan biaya untuk memperoleh kepuasan tersebut. Tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan wisata Pulau Morotai berkaitan dengan seberapa sering seorang wisatawan berkunjung ke lokasi tersebut. Hal ini juga mencerminkan tingkat kepuasan dan tingkat kesukaan wisatawan terhadap lokasi wisata tersebut. Fungsi permintaan wisatawan di kawasan wisata Pulau Morotai diperoleh dengan meregresikan variabel terikat jumlah kunjungan terhadap variabel bebas yang terdiri dari biaya perjalanan, pendapatan, umur dan jarak. Dari hasil analisis TCM dari responden yang telah melakukan perjalanan ke Pulau Morotai dan hasil analisis CVM dari responden tentang preferensi terhadap pengembangan wisata bahari Pulau Morotai. Maka dapat dikatakan bahwa kawasan wisata Pulau Morotai layak secara ekonomi untuk dapat dikembangkan. Diketahui nilai ekonomi dari kawasan tersebut sebesar Rp. 46.708.856,1 per tahun. Sedangkan nilai ekonomi pada pendugaan konsumen surplus yaitu sebesar Rp. 1,765.60,0 per orang per tahun. Begitu juga dengan nilai WTP dari responden, setelah di uji dengan metode CVM diperoleh nilai WTP wisatawan Rp. 7.783.301,9 perorang pertahun. Nilai total WTP dari terhadap rencana pengembangan kawasan wisata Pulau
89
Morotai yaitu sebesar Rp 205.907.250.990,3 pertahun. Dengan demikian secara ekonomi Pulau Morotai sangat layak untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Keberlanjutan arus jasa wisata bahari yang dihasilkan di Pulau Morotai dalam model minimal, akan sangat tergantung pada tiga komponen yaitu kondisi lingkungan (Environment), tingkat investasi (Capital) yang ditanamkan, dan kegiatan wisata itu sendiri (Tourism). Setiap turis yang datang ke Pulau Morotai karena ada daya tarik (Attractive factor) seperti keindahan alam bawah laut, maupun keindahan wilayah pesisir untuk berwisata. Kesadaran dan kepedulian wisatawan pada lingkungan dan sumberdaya alam sangat mempengaruhi besarnya nilai WTP yang diberikan. Besar kecilnya nilai WTP yang diberikan menunjukkan tingkat preferensi dan kepedulian wisatawan terhadap perlunya pemeliharaan lingkungan dan sumberdaya alam yang menjadi obyek wisata di Pulau Morotai. Dalam rangka rencana pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai, maka ketiga faktor di atas harus diperhitungkan. Dari hubungan causal loop antar ketiga variabel tersebut. Misalnya jika tingkat investasi tinggi maka tingkat kunjungan wisatawan juga akan tinggi, karena fasilitas yang dibutuhkan oleh para wisatawan bisa disediakan oleh pihak investor, begitu juga sebaliknya. Dalam domain ekonomi, asumsi dasar yang digunakan adalah ekonomi sektor wisata bahari dalam konteks pengembangan PPK. Dalam sektor wisata bahari, grossoutput dari kegiatan ini didekati dari faktor jumlah turis dan harga per turis. Karena fokus studi ini adalah kegiatan wisata bahari, maka dinamika sektor ekonomi lain merupakan dependent variable terhadap sektor wisata bahari. Diketahui investasi awal di sektor wisata bahari di Pulau Morotai sebesar Rp.3.040 miliar pertahun, keseluruhan investasi ini berasal dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Investasi swasta belum masuk karena merupakan kawasan yang baru mulai dikembangkan. Prasarana dan Sarana yang menunjang perkembangan wisata ini juga masih terbatas. Sehingga pihak swasta belum tertarik untuk melakukan investasi. Berdasarkan teori ekonomi, investasi pada suatu sektor akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga pinjaman. Makin rendah tingkat suku bunga pinjaman maka makin tinggi kecenderungan investasi. Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila tingkat kunjungan wisata mengalami peningkatan yang drastis. Maka akan terjadi penurunan kualitas lingkungan di sekitar kawasan wisata Pulau Morotai yang dapat berdampak pada investasi sektor wisata akan terus mengalami penurunan. Jika investasi ditingkatkan, maka akan berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisata, sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan akan semakin menurun, sehingga peningkatan investasi harus sesuai dengan daya dukung Pulau Morotai. Kata kunci: Daya Dukung, Penilaian Ekonomi, Kebijakan Pembangunan, Wisata Bahari.
90
©Hak Cipta Milik Muhammad M. Banapon, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
91
PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA
MUHAMMAD M BANAPON
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
92
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara Muhammad M. Banapon C451040021
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,Ms Ketua
Dr. Sapta Nirwandar Anggota
Dr.Ir. Luky Adrianto,MSc. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Prof.Dr.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,MS
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2008
Dekan, Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro,MS
Tanggal Lulus:
93
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dengan Judul: 'Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara', dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS; dan Bapak Dr. Sapta Nirwandar; serta Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc, selaku Komisi Pembimbing, serta seluruh Staf Pengajar Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS., selaku ketua program studi serta seluruh Staf Pengajar Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (PS-ESK) yang telah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk menimba ilmu serta memberi pencerahan pengetahuan selama masa perkuliahan. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan di PS-ESK, Rizal Baktiar, Suhana, Abdurrahim Lestaluhu, Ovi Oktawati serta seluruh rekan-rekan dari Forum ESK-IPB. Ucapan terma kasih, penulis haturkan kepada, Kakak, Adik serta seluruh keluarga atas dukungan moril, materil dan spirituil kepada penulis selama ini, apa yang telah diberikan pada penulis selama ini mungkin tidak akan mampu terbalas. Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat diaplikasikan bagi kemaslahatan hidup dimasa yang akan datang. Amin.
Bogor, Agustus 2008 Penulis, Muhammad M. Banapon
94
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Waigoiyofa Sanana Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara pada Tanggal 25 Maret 1969 sebagai anak ke 8 dari Mahmud Banapon (almarhum) dan Hawa Fokatea (almarhuma). Penulis menyelesaikan pedidikan di sekolah dasar negeri Waigoiyofa Sanana tahun 1983, sekolah SMP Alhilaal Sanana Kabupaten Kepulauan Sula tahun 1986, sekolah menengah atas pada SMA Negeri I Ternate Provinsi Maluku Utara tahun 1989, dan menyelesaikan sekolah Strata I di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia Makassar Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1996. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan kuliah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor/IPB
Program
Studi
Ekonomi
Sumberdaya
Kelautan
Tropika/ESK. Pada Tahun 2002 penulis diterima bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Budidaya Perairan Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate Provinsi Maluku Utara sampai sekarang.
95
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
i ii iii
I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang ................................................................. 1. 2 Rumusan Masalah ............................................................ 1. 3 Tujuan Penelitian .............................................................. 1. 4 Manfaat Penelitian ...........................................................
1 3 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Valuasi Ekonomi Sumberdaya PPK ................................ 2. 2 Permintaan dan Penawaran Wisata ................................. 2. 3 Batasan dan Karakteristik PPK ........................................ 2. 4 Daya Dukung Wisata Bahari PPK.................................... 2. 5 Pengelolaaan Sumberdaya PPK ....................................... 2. 6 Pengembangan Wisata Bahari Berkelanjutan .................. 2. 7 Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ........................
5 8 11 14 18 20 22
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI....................................
25
IV. METODE PENELITIAN .......................................................... 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 4. 2 Metode Penelitian ............................................................ 4. 3 Metode Pengumpulan Data ............................................ 4.3. 2 Pengambilan Contoh .......................................... 4.3. 3 Jenis Data ........................................................... 4. 4 Metode Analisis ............................................................... 4.4.1. Daya Dukung Wisata Bahari .................................. 4.4.2. Biaya Perjalanan/TCM .......................................... 4.4.3. Metode Kontingensi/CVM ..................................... 4.4.4. Analisis Dinamik Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ......................................................... 4.5 Batasan Penelitian.............................................................
27 27 27 28 28 28 29 29 30 31
V. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ........................... 5. 1 Letak Geografis dan Batas Administrasi ............................. 5. 2 Kondisi Fisik Wilayah ......................................................... 5.2.1. Iklim ...................................................................... 5.2.2. Ekosistem Terumbu Karang .................................. 5. 3 Kependudukan, Sosial, dan Ekonomi.................................. 5.3.1. Jumlah Penduduk ................................................... 5.3.2. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk ........................
36 36 36 36 37 38 38 39
32 35
96
5. 4 Potensi Daerah ..................................................................... 5.4.1. Perikanan ................................................................ 5.4.2. Peternakan ............................................................. 5.4.3. Tanaman Pangan .................................................... 5.4.4. Perkebunan ............................................................. 5.4.5. Kehutanan ............................................................... 5.4.6. Industri dan Pertambangan ..................................... 5.4.7. Perdagangan dan Jasa ............................................. 5. 5 Fasilitas Pelayanan Umum .................................................. 5.5.1. Sarana Pendidikan ................................................. 5.5.2. Sarana Kesehatan .................................................. 5.5.3. Transportasi ...........................................................
40 40 40 40 41 41 41 41 42 42 43 43
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 6. 1 . Potensi Wisata Bahari di Pulau Morotai ....................... 6. 2 . Karakteristik Responden ............................................... A. Tingkat Pendidikan ................................................... B. Tingkat Pendapatan............................................... .. C. Tingkat Pengeluaran ................................................ D. Persepsi Terhadap Wisata Bahari............. ................ 6. 3 . Daya Dukung Kawasan Wisata Bahari ......................... 6. 4 . Nilai Ekonomi Wisata Bahari........................................ A.Pendekatan TCM ....................................................... A.1. Pendugaan Fungsi Permintaan ...................... A.2. Pendugaan Nilai Ekonomi Total ................... B. Pendekatan CVM .................................................... B.1. Pendugaan Fungsi WTP .................. ............. B.2. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari ............. 6. 5 . Simulasi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ...... A. Domain Wisatawan (Tourist)..................................... B. Domain Kapital (Capital)....................................... .... C. Domain Lingkungan (Environmental)....................... . D. Model Lengkap...........................................................
45 45 46 46 47 48 50 53 55 56 57 58 58 59 59 61 62 63 64 64
VII. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 7.1. Kesimpulan ...................................................................... 7.2. Saran ................................................................................
67 67 67
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
68-70
LAMPIRAN ......................................................................................
71-83
97
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Keterbatasan Ekonomi PPK terkait dengan Ukuran Fisik ...........
13
2. Keterbatasan Ekonomi PPK terkait dengan Tingkat Insularitas ..
13
3. Matriks Data dan Jenis Data .........................................................
28
4. Parameter Pemodelan Turis di Pulau Morotai…………………. 5. Persentase Tutupan Karang Hidup…………………………….. 6. Persentase Tutupan Karang dan Komunitas Karang ...................
34 37 38
7. Jumlah Penduduk Pulau Morotai Menurut Kecamatan ................
39
8. Tingkat Pendidikan, Sekolah, Siswa, Mahasiswa, Guru, Dosen ..
42
9. Prasarana dan Sarana Kesehatan ..................................................
43
10. Jarak dan Lama Waktu Tempuh ...................................................
44
11. Frekuensi Penerbangan Pesawat Udara ........................................
44
12. Tingkat Pendidikan Responden ....................................................
47
13. Biaya Perjalanan Wisatawan ........................................................
49
14. Komponen Perhitungan DDK Wisata Pulau Morotai..... .............
53
15. Koefisien Nilai Ekonomi Pulau Morotai ......................................
57
16. Koefisien WTP untuk Wisata Pulau Morotai ...............................
59
17. Perbandingan Nilai Ekonomi dari TCM dengan CVM ................
60
18. Proyeksi Perkembangan Pariwisata Indonesia 2004-2024 ...........
62
98
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Konsep Suplay-Demand Konvensional ......................................
2.
Model Ekonomi yang Menentukan Daya Dukung Biofisik
10
dan Daya Dukung Sosial ...........................................................
11
3.
Hubungan Antara Turis dan Penduduk Lokal ............................
17
4.
Kerangka Berkelanjutan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK
18
5.
Kerangka Wisata Pantai dan Laut ..............................................
21
6.
Kerangka Pendekatan Studi........................................................
26
7.
Minimal Model Tourism ............................................................
33
8.
Tingkat Pendidikan Responden ..................................................
47
9.
Tingkat Pendapatan Responden .................................................
48
10. Pengeluaran Wisatawan Berdasarkan Daerah Asal ....................
49
11. Pengeluaran Wisatawan Ke Pulau Morotai ................................
50
12. Persepsi Wisatawan Terhadap Fasilitas Jalan ............................
51
13. Faktor yang Mempengaruhi Daya Tarik ....................................
52
14. Kesan Wisatawan Terhadap Obyek Wisata.................... ...........
52
15. Simulasi Pemodelan Wisata Bahari di Pulau Morotai ...............
63
16. Hasil Simulasi Perilaku Tourism, Environment and Capital pada Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Morotai ..............
66
99
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian Pulau Morotai ..........................................
71
2. Data TCM Wisatawan ..................................................................
72
3. Data CVM Wisatawan .................................................................
75
4. Peta Potensi Wisata Bahari Provinsi Maluku Utara .....................
77
5. Foto Kawasan Wisata Pantai Pulau Morotai................................
78
6. Koefisien Regresi Travel Cost Method ........................................
72
7. Koefisien Regresi WTP Wisata Bahari .......................................
83
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKP-RI) berjumlah kurang lebih 17.508 buah. Data Citra Landsat juga menduga jumlah pula-pulau kecil (PPK) di Indonesia lebih dari 18.000 buah. Akan tetapi sampai saat ini baru sekitar 6.000 pulau yang telah dimanfaatkan, meskipun pengelolaannya masih belum optimal. Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan PPK antara lain karena biaya transportasi yang sangat mahal dari satu daerah ke daerah lainnya, sehingga sudah pasti membutuhkan dana yang besar dalam pengelolaannya (Pratikto et al 2005). Pemanfaatan secara langsung maupun tidak langsung seperti penangkapan ikan, wisata bahari maupun pengambilan karang telah dilakukan dengan tanpa memperhatikan daya dukung maupun nilai ekologis serta nilai ekonomi dari ekosistem. Fungsi ekosistem yang ada di wilayah pesisir sebagai bio-filter alami yang sangat kaya dan bernilai dalam mempertahankan kualitas ekosistem pesisir dan PPK, belum diperhitungkan sebagai aset. Pesisir dan PPK tersebut memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar karena didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non-hayati yang bernilai tinggi seperti terumbu karang, ekosistem mangrove, estuaria, padang lamun, mineral, minyak bumi, harta karun, dan lain sebagainya. Sumberdaya alam tersebut telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan bagi masyarakat terutama dari sektor perikanan, pertambangan, dan perhubungan laut yang dapat menunjang pembangunan ekonomi, serta jasa-jasa lingkungan lainnya seperti pariwisata, khususnya yang tergolong sebagai ekowisata atau wisata yang berbasis pada kualitas ekosistem. Sumberdaya alam untuk keperluan wisata sering dipersepsikan sebagai wahana untuk meningkatkan pendapatan negara, khususnya perolehan devisa. Sehingga pengembangan lebih bersifat ekonomi-sentris dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Tolok ukur keberhasilan pembangunan pariwisata untuk memperoleh devisa antara lain adalah jumlah kunjungan, pengeluaran dan lama kunjungan wisatawan mancanegara adalah dari segi pencapaian target: (1) jumlah
2
kunjungan wisatawan macanegara; (2) pengeluaran wisatawan mancanegara (foreign tourist expenditures); (3) lamanya wisatawan mancanegara tinggal (foreign tourist length of stay) (Depbudpar 2004). Menurut Nirwandar (2006) bahwa tingkat kunjungan wisatawan internasional tahun 2004 mencapai 763 juta orang, dengan pengeluaran US$ 623 miliar, diperkirakan pada tahun 2010 jumlah wisatawan 1,00 miliar orang, dan pada tahun 2020 sebanyak 1,56 miliar orang. Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia
tahun 2005 mencapai 5.006.797 orang.
Devisa yang diperoleh dari kunjungan wisatawan sebesar USD 4,526 miliar. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan wisata nusantara berjumlah 109,9 juta orang. Pengeluaran wisatawan nusantara mencapai Rp 86,6 triliun. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2007 jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia mencapai 5.505.759 orang, dengan devisa yang diperoleh sebesar USD 5.3 miliar. Jumlah wisatawan nusantara yang melakukan perjalanan wisata mencapai 219,8 juta trips, dengan pengeluaran mencapai Rp 79,9 triliun (Nirwandar 2008). Berdasarkan hal tersebut, pariwisata bagi negara tertentu ditetapkan sebagai leading sector perkembangan ekonominya, seperti Inggris, Perancis dan Jepang. Demikian juga di beberapa Negara Asia, seperti Arab Saudi, China, Thailand, Malaysia, dan Uni Emirat Arab telah mengembangkan pariwisata sebagai salah satu motor pembangunan ekonominya. Apabila dibandingkan dengan negara-negara pesisir di kawasan Asia Timur, devisa Indonesia dari sektor pariwisata pada tahun 2004 sebesar USD 4,978 juta, lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mampu menghasilkan devisa sebesar USD 8,198 juta. Masih jauh dibandingkan China (USD 25,973 juta) atau Jepang (USD 11,202 juta) (Chua 2006 dalam Adrianto 2007). Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati sumberdaya pesisir, laut dan PPK, termasuk di Provinsi Maluku Utara yang merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 500 buah yang telah berpenghuni 64 buah. Sedangkan Kabupaten Halmahera Utara memiliki jumlah pulau kurang-lebih 76 buah, dengan 57 buah pulau telah bernama dan 19 buah pulau belum bernama, yang terdiri dari Pulau Morotai dan PPK lainnya memiliki potensi sumberdaya
3
pesisir dan laut yang dimungkinkan untuk pengembangan wisata bahari karena memiliki alokasi sumberdaya untuk dikembangkan dengan jumlah turis yang optimal. Agar pengembangan wisata bahari dapat dilaksanakan dengan optimal dan lestari, maka kajian yang meliputi analisis daya dukung fisik dan ekonomi serta ekologi sangat diperlukan. Kajian tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam membangun wisata bahari yang berkelanjutan di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.
1.2. Perumusan Masalah PPK
memiliki
potensi
untuk
dikembangkan
karena
mempunyai
sumberdaya yang cukup, salah satunya adalah potensi wisata bahari. Oleh karena itu Pulau Morotai yang memiliki daya tarik wisata bahari diharapkan dapat dikembangkan secara optimal. Namun sampai saat ini masih terdapat berbagai keterbatasan sarana dan prasarana pendukung untuk dijadikan sebagai daerah tujuan wisata di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Untuk itu, maka dilakukan penelitian awal tentang daya dukung fisik dan ekonomi untuk mengetahui secara jelas tentang strategi pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara Indonesia. Dalam rencana pembangunan dewasa ini khususnya di bidang pariwisata, maka salah satu yang menjadi unggulan adalah wisata bahari, hal ini di karenakan wilayah Indonesia memiliki luas lautan lebih besar dari daratan serta memiliki ribuan PPK yang memiliki keanekaragaman hayati laut sehingga menjadi daya tarik untuk pengembangan wisata bahari. Namun untuk membangun PPK membutuhkan keberpihakan semua pihak, karena memiliki konsekuensi yang tinggi, terutama anggaran yang dibutuhkan cukup besar untuk pengembangan suatau kawasan PPK menjadi sentra ekonomi. Namun
dalam
berbagai
pemahaman
dan
pengalaman
bahwa
pengembangan suatu kawasan PPK menjadi daerah tujuan wisata memiliki multiplier effect yang tinggi sehingga daerah tersebut bisa lebih berkembang dengan cepat dan pesat. Hal inilah yang mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Provinsi Maluku Utara, akan mencoba untuk
4
mengembangkan Pulau Morotai untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata baru di Kawasan Timur Indonesia. Karena juga memiliki nilai sejarah yang tinggi, selain kondisi alamnya yang mendukung sebagai wisata alam serta budaya masyarakat yang dapat dikembangkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berapa besar kemampuan Daya Dukung Kawasan Pulau Morotai? 2. Berapa besar Nilai Ekonomi Pulau Morotai untuk wisata bahari? 3. Bagaimana Kebijakan Pengembangan wisata bahari Pulau Morotai? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah: 1. Mengetahui daya dukung Pulau Morotai untuk wisata bahari. 2. Mengestimasi nilai ekonomi Pulau Morotai untuk wisata bahari. 3. Merumuskan kebijakan pengembangan wisata bahari Pulau Morotai.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Menghasilkan informasi tentang potensi wisata bahari Pulau Morotai Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. 2. Memberikan arah bagi pengambil kebijakan di Kabupaten Halmahera Utara untuk menentukan prioritas pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai sesuai daya dukung. 3. Bahan acuan bagi pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Provinsi Maluku Utara dalam menyusun program pengembangan wisata bahari Pulau Morotai.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Valuasi Ekonomi Sumber Daya PPK Untuk Wisata Bahari Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preference of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (comsumers surplus/CS) dan surplus oleh produsen (produsen surplus/PS) (Grigalunas and Conger 1995; Freeman III 2003 dalam Adrianto 2006). Konsep valuasi ekonomi konvensional mendefinisikan nilai ekonomi sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai-nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non-pemanfaatan (non-use value). Menurut Fauzi (2000) secara umum, memang sulit mengukur dengan pasti konsep use value dan non-use value, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi atau ketepatan dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam. Salah satu kesulitan dalam mengukur nilai dari barang atau jasa yang dihasilkan sumberdaya alam adalah terdapat barang atau jasa dari sumberdaya alam yang tidak memiliki harga pasar dan tidak dapat diobservasi, sehingga nilai riel-nya tidak dapat di ukur dengan baik. Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus/CS dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, produser surplus/PS terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. Nilai ekonomi suatu komoditas (goods) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai “berapa yang harus dibayar” dibanding “berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdaya eksis dan menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka “kemampuan membayar”/willingness to pay merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa memasalahkan apakah
6
kita secara nyata melakukan proses pembayaran/payment atau tidak (Barbier et al 1997 dalam Adrianto 2006). Tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu mengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi (economic effisiency) dari berbagai pemanfaatan (competing uses) yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada di kawasan PPK. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konteks nilai manfaat masyarakat bersih tidak dipertimbangkan dalam term “economic efficiency”. Oleh karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (walfare distribution) menjadi salah satu isu penting dalam valuasi ekonomi yang lebih adil seperti yang dianut dalam ecological economicst (Adrianto 2006). Garrod dan Willis (1999) membagi valuasi ekonomi dalam dua metode, yaitu Revealed Preference dan Expressed/State preference. Releaved Preference adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willingness to pay/WTP terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik valuasi yang termasuk dalam releaved preference adalah, (a) Travel Cost Method/TCM yang diperkenalkan oleh Hotelling (1941) yang selanjutnya dikembangkan oleh Wood dan Trice (1958); dan (b) Hedonic Price Method/HPM yang didasarkan pada teori atribut yang dikembangkan oleh Lancaster (1966) dalam Fauzi (2000). Sedangkan Expressed atau State Preference adalah teknik valuasi ekonomi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar/WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method/CVM atau Metode Valuasi Kontingensi. CVM adalah metode teknik survei untuk menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan terhadap komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market). Metode Biaya Perjalanan/TCM boleh dikatakan sebagai metode yang pertama kali digunakan untuk menduga nilai ekonomi sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market goods). Metode ini beranjak pada asumsi
7
dasar bahwa setiap individu baik aktual maupun potensial bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan manfaat tertentu tanpa harus membayar biaya masuk (no entry fee). Namun demikian, walaupun asumsinya tidak ada biaya masuk, namun secara aktual ditemukan pengunjung yang berasal dari lokasi yang jauh dari obyek yang dikunjungi. Dalam konteks ini terdapat perbedaan “harga” yang harus dibayar antar pengunjung untuk mendapatkan manfaat yang sama. Kondisi ini dalam teori ekonomi dianggap sebagai representasi dari permintaan (demand) pengunjung (konsumen) terhadap manfaat tersebut (Adrianto 2006). Metode ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat dari, (a) perubahan biaya akses/tiket masuk di suatu tempat rekreasi; (b) penambahan tempat rekreasi baru; (c) perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi; (d) penutupan tempat rekreasi yang ada. Tujuan dasar dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam melalui proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut (Fauzi 2004). Pada umumnya ada dua teknik sederhana yang sering digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu (a) pendekatan sederhana melalui zonasi; dan (b) pendekatan individual. TCM berdasarkan pendekatan individu menggunakan data yang sebagian besarnya berasal dari kegiatan survey lapangan. Asumsi dasar yang digunakan dalam TCM agar penilaian sumberdaya alam tidak bias, atara lain
(a) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan
sebagai proxy atas harga rekreasi; (b) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (c) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (Fauzi 2004). Menurut FAO (2000), penilaian berdasarkan preferensi/CVM adalah sebuah metode yang digunakan untuk melihat atau mengukur seberapa besar nilai suatu barang berdasarkan estimasi seseorang. CVM juga dapat diumpamakan sebagai suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberikan seseorang untuk memperoleh suatu barang/WTP dan seberapa besar nilai yang diinginkan untuk melepaskan suatu barang (willingness to accept/WTA).
8
CVM digunakan pada kondisi dimana masyarakat tidak mempunyai preferensi terhadap suatu barang yang langsung diperjualbelikan di pasar. Pendekatan CVM dilakukan untuk mengukur preferensi masyarakat dengan cara wawancara langsung tentang seberapa besar mereka membayar/WTP untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih atau menerima kompensasi/WTA bilamana mereka harus kehilangan nuansa atau kualitas lingkungan yang baik, Barton (1994) dalam Adrianto (2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa metode CVM secara umum lebih memberikan penekanan terhadap nilai pentingnya suatu barang dibandingkan dengan nilai barang yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mengeliminasi beberapa pilihan kebijakan dan menawarkan informasi penting dalam penentuan keputusan. Dengan demikian dalam perencanaan pengembangan daerah tujuan wisata, maka salah satu yang harus dilakukan sebagai analisis awal untuk melihat efisiensi ekonominya adalah dengan melakukan penilaian ekonomi dengan beberapa metode yang umumnya digunakan selama ini untuk menilai kelayakan atau kemungkinan pengembangan daerah tujuan wisata dimaksud.
2.2. Permintaan dan Penawaran Wisata Untuk merencanakan suatu pengelolaan areal rekreasi atau pariwisata dapat dilakukan dengan analisis terhadap permintaan dan penawaran wisata (Gold 1980). Sediaan rekreasi merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan, sedangkan permintaan rekreasi merupakan gambaran tentang kegiatan dan perilaku rekreasi. Douglass (1982) mendefinisikan permintaan rekreasi sebagai jumlah kesempatan rekreasi yang diinginkan masyarakat. Permintaan rekreasi terdiri dari pemanfaatan aktual dari fasilitas yang tersedia dan permintaan yang tersembunyi karena tidak terlihat fasilitas yang tidak memadai. Di samping dua tipe permintaan tersebut, Gold (1980) menyebutkan adanya tipe permintaan yang tidak disebutkan Douglass terakhir, yakni permintaan yang timbul akibat adanya perubahan, misalnya karena adanya promosi. Tipe ini disebut permintaan terdorong. Sedangkan menurut Yoeti (1990) ciri permintaan wisata adalah (1) terkonsentrasi menurut musim dan daerah tujuan tertentu; (2) elastisitasnya tinggi; dan (3) berubah-ubah sesuai dengan motivasi masing-masing individu.
9
Banyak faktor yang mempengaruhi permintaan wisata. Faktor yang utama adalah jumlah penduduk, waktu luang, pendapatan perkapita dan transportasi. Clawson dan Knetsch (1966) dan Gold (1980) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi terhadap permintaan rekreasi harian, mingguan, musiman, bahkan tahunan adalah (1) faktor yang berhubungan dengan pengguna potensial adalah jumlah penduduk sekitar, kepadatan penduduk, karakteristik kependudukan, pendapatan, waktu luang, tingkat pengalaman berekreasi, tingkat kesadaran keperluan rekreasi dan tingkat pengalaman berekreasi, tingkat kesadaran dari perilaku yang dilarang; (2) faktor yang berhubungan dengan tempat rekreasi adalah daya tarik obyek rekreasi, intensitas pengolahan tempat rekreasi, alternatif tapak yang tersedia, daya dukung dan kemampuan desain tempat rekreasi, iklim mikro, karakteristik alam dan fisik areal rekreasi; (3) faktor yang berhubungan dengan pengguna potensial dan tempat rekreasi adalah waktu perjalanan dan jarak, kenyamanan perjalanan, biaya, informasi, status areal rekreasi dan pengaturan pengawasan yang dilakukan. Penawaran wisata adalah meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Penawaran ini terdiri dari unsur-unsur daya tarik alam, barang dan jasa hasil ciptaan manusia yang dapat mendorong orang untuk berwisata. Hal ini sesuai dengan pendapat Gold (1980) yang menyatakan bahwa sediaan rekreasi adalah jumlah dan kualitas dari sumberdaya rekreasi yang tersedia untuk penggunaan pada waktu tertentu. Dalam konteks permintaan dan penawaran wisata bahari/pantai, konsep yang digunakan adalah permintaan dan penawaran yang memperhatikan daya dukung lingkungan. Gambar berikut menyajikan konsep permintaan dan penawaran yang konvensional (Gambar 1) dan berbasis daya dukung (Gambar 2).
10
Price
a Suply= Marginal Cost
p
Konsumen surplus
b
Produsen surplus
c
Demand= Marginal Benefit
q
Quantity
Gambar 1 Konsep supply-demand konvensional (Constanza et al.1997 dalam Adrianto 2006). Permitaan terhadap suatu komoditas timbul dari kemauan dan kemampuan dalam membeli komoditas tersebut. Teori permintaan mengatakan bahwa jumlah yang diminta (quantity demanded) dari suatu komoditas dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut, pendapatan konsumen, harga komoditas lain yang berkaitan (substitusi atau komplemen) dan selera konsumen (Kusumastanto 1997). Selanjutnya, hukum permintaan (low of demand) menyatakan bahwa kualitas produk yang diminta akan menurun apabila harga meningkat. Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan wisata menurut Yoeti (1990) adalah (1) pendapatan; (2) harga; (3) struktur keluarga; (4) kualitas obyek wisata sangat mempengaruhi apakah jasa tersebut akan dibeli orang atau tidak; (5) perubahan cuaca; dan (6) hari libur. Sedangkan menurut Douglass (1970) dalam Wardani (2007) bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, keuangan atau tingkat pendapatan, dan komunikasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Penawaran wisata yang unsur-unsurnya terdiri dari ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) dapat mempengaruhi dalam permintaan wisata alam terbuka.
11
Y (Income perhead/Comsumption perhead) U=f(N) Ys
Yb
NBMin
NSMin
NBMax
NSMax
N Population Size
Gambar 2. Model Ekonomi yang Menentukan Daya Dukung Biofisik dan Daya Dukung Sosial (Adrianto 2006) Dari Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa Y merupakan jumlah populasi N dengan fungsi Y=f(N). Fungsi tersebut menggambarkan hubungan teoritis secara umum antara pendapatan, konsumsi perkepala dengan populasi berdasarkan asumsi produktivitas dan pendapatan atau konsumsi dari populasi manusia meningkat dengan pertumbuhan pada populasi rendah. Tetapi kadangkadang menurun dengan peningkatan jumlah populasi karena adanya hambatan ekonomi. Yb menggambarkan pendapatan, konsumsi yang mana sesuai dengan daya dukung biofisikal (kb) pada level minimum digambarkan lebih kecil atau sama dengan pendapatan, konsumsi dibandingkan dengan Ys. Pendapatan, konsumsi berhubungan dengan daya dukung sosial (Ks). Yb lebih kecil atau sama dengan Ys (Yb < = Ys). Jika Ys meningkat maksimal jumlah populasi atas daya dukung menurun atau sama dengan.
2.3. Batasan dan Karakteristik PPK Menurut Perpes Nomor 78 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 1b, bahwa Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 yang memiliki titik-titik dasar koordinasi geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Sedangkan menurut UU-RI nomor 27 tahun 2007 pasal 1 ayat 3, bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu
12
kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Batasan PPK juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas kurang lebih atau sama dengan 10.000 km2 dengan jumlah penduduk 200.000 jiwa sampai 500.000 jiwa (Beller et al 1990 dalam Retraubun 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa (1) secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular; (2) memiliki sejumlah biota endemik dan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi; (3) daerah tangkapan (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sedimen akan langsung masuk ke dalam laut; dan (4) kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat PPK bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Menurut Hein (1990), karakteristik khusus PPK khususnya yang terkait dengan ukuran luas lahan (smallness) dan insularitas (insularity) dapat secara bersama-sama memiliki efek terhadap kebijakan ekonomi pembangunan wilayah PPK. Terkait dengan karakteristik ukuran luas fisik, PPK memiliki peluang ekonomi yang terbatas khususnya ketika berbicara soal skala ekonomi (economics of scale). Agar kegiatan ekonomi di PPK mendapatkan skalanya yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi diperlukan, walaupun tergantung pula kepada infrastruktur yang ada di PPK tersebut (Hein, 1990). Selain itu, karena karakteristiknya yang kecil secara fisik, maka kegiatan ekonomi yang mungkin adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi. Dengan kata lain, kegiatan ekonomi di PPK memerlukan tingkat spesialisasi yang lebih tinggi dibanding wilayah lain yang lebih besar. Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi untuk PPK berefek positif khususnya yang terkait dengan konsep skala ekonomi. Dengan keanekaragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau kecil maka semakin meningkat pula tingkat ketahanan ekonomi dari pulau tersebut dari faktor eksternal sepanjang pengelolaan kegiatan ekonomi tersebut memperhitungkan pula tingkat daya dukung pulau secara umum (Hein, 1990; McKee and Tisdell, 1990). Beberapa hal lain yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik (smallness) disajikan pada Tabel 1 berikut.
13
Tabel 1. Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan Ukuran Fisik (Smallness) No 1.
Keterbatasan Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor yang tinggi 2. Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau. 3. Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau. 4. Ketergantungan terhadap produk2 dengan tingkat spesialisasi tinggi 5. Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal 6. Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi 7. Terbatasnya kompetisi lokal 8. Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Briguglio (1995); (Cross and Nutley, 1999); Adrianto (2004)
Karakteristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas. PPK memiliki tingkat insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa. Terkait dengan persoalan transportasi, terdapat tendensi adanya sistem monopoli dan oligopoli di wilayah PPK (Hein, 1990; McKee and Tisdell, 1990). Hal ini terkait dengan industri perdagangan di mana karena terbatasnya pilihan terhadap suplier sehingga cenderung menjadi monopoli. Tabel 2, menyajikan karakteristik PPK dilihat dari sifat insularitas seperti yang disampaikan oleh Briguglio (1995). Tabel 2. Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan Tingkat Insularitas. No Keterbatasan 1. Biaya transportasi per unit produk 2 Ketidakpastian suplai 3 Volume stok yang besar 4 Ketergantungan terhadap produk2 dengan tingkat spesialisasi tinggi 5 Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal 6 Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi 7 Terbatasnya kompetisi local 8 Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Briguglio (1995); (Cross and Nutley, 1999); Adrianto (2004)
14
Karakteristik lain adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam (natural desasters) seperti angin topan, gempa bumi, dan banjir (Briguglio 1995; Adrianto and Matsuda 2002). Dalam kacamata ekonomi, dampak bencana alam terhadap ekonomi PPK tidak jarang sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko di PPK menjadi tinggi pula. Dalam rangka pengembangan wisata bahari di PPK, pemerintah harus memperhatikan berbagai karakteristik dan dinamika masyarakat lokal serta berbagai faktor lainnya, sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan wisata bahari. Menurut Kusumastanto (1997), masyarakat pesisir memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan beberapa kelompok masyarakat industri atau kelompok masyarakat lainnya. Perbedaan ini disebabkan keterkaitan yang sangat erat terhadap karakteristik ekonomi pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi maupun latar belakang budaya. Selanjutnya menurut Adiwibowo (1995) bahwa masyarakat pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang kehidupan segenap anggota-anggotanya tergantung sebagian atau sepenuhnya pada kelimpahan sumberdaya pesisir dan lautan. Oleh karena itu dalam perencanaan pengelolaan PPK harus selalu memperhatikan karakteristik PPK yang sudah tentu sangat kompleks, baik dari sisi ekosistem maupun sosial budaya masyarakatnya.
2.4. Daya Dukung Wisata Bahari PPK Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dan PPK dapat ditentukan dengan cara analisis, yaitu (1) kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah PPK dalam memproduksi sumberdaya alam dan jasa lingkungan; dan (2) kondisi ekonomi dan sosial-budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah PPK tersebut atau yang tinggal di luar wilayah PPK, tetapi berpengaruh terhadap wilayah tersebut (Dahuri 1993).
15
Selanjutnya dikatakan bahwa, tahapan untuk menentukan daya dukung wilayah PPK yang ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut (1) menetapkan batas-batas, vertikal dan horizontal terhadap garis pantai, wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan; (2) menghitung luasan wilayah pesisir yang akan dikelola; (3) mengalokasikan (melakukan zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi tiga zona utama meliputi, zona preservasi, zona konservasi, dan zona pemanfaatan ; (4) menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan; (5) melakukan penghitungan tentang potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assesment sumberdaya perikanan, hutan mangrove, melakukan pengkajian sumberdaya air tawar, melakukan pengkajian kapasitas asimilasi, serta permintaan internal dan eksternal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan Sejalan dengan pengelompokan tipe kajian daya dukung lingkungan diatas, dalam konteks daya dukung lingkungan PPK, beberapa konsep pengertian mengenai daya dukung yang digunakan adalah sebagai berikut (KLH dan FPIK IPB 2002), (1) Daya Dukung, tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan; (2) Daya Dukung Ekologis, tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis; (3) Daya Dukung Fisik, jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik; (4) Daya Dukung Sosial, tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan; (5) Daya Dukung Ekonomi, tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Choy dan Heillbronn (1997) merumuskan lima faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu (1) Lingkungan, ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum tercemar; (2)
16
Masyarakat, ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada masyarakat; (3) Pendidikan dan Pengalaman,
ekowisata
harus dapat meningkatkan
pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki; (4). Berkelanjutan, ekowisata dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang; (5) Manajemen, ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan alam, budaya
yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan sekarang maupun generasi mendatang. Khususnya bagi daerah wisata pesisir menurut Clark (1992), berbagai permasalahan yang umumnya terjadi sebagai akibat pengembangan pariwisata antara lain (1) penurunan sumberdaya alamiah, (a) erosi pantai, (b) konversi hutan bakau untuk tata guna lahan lainnya, (c) pengreklamasian wilayah pantai, (d) penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit/racun, (e) tangkap lebih dan (e) eksploitasi lebih terhadap hutan bakau; (2) polusi, (a) sumber-sumber industri/sampah, (b) sumber domestik/sampah rumah tangga dan sampah keras, (c) sumber-sumber dari pertanian/aliran atas bahan-bahan pestisida dan pupuk, dan (d) sumber-sumber lain penggalian/penambangan; (3) konflik penggunaan lahan, (a) tidak adanya akses kearah pantai sebagai akibat padatnya pemukiman pada daerah tersebut, (b) tidak bisa dipergunakan daerah pantai akibat polusi yang sangat tinggi, dan (c) konservasi dan preservasi terhadap hutan bakau versus konversi sumberdaya yang sama untuk dijadikan tambak ikan/udang atau reklamasi menjadi daerah pemukiman atau untuk tujuan komersial lainnya; (4) pengrusakan kehidupan dan kepemilikan akibat bencana alam, (a) banjir yang diakibatkan oleh badai, (b) gempa bumi, (c) angin topan cyclone, dan (d) tsunami. Ancaman kerusakan lingkungan akibat kegiatan wisata mengancam di beberapa
daerah. Sedangkan untuk sektor pariwisata, masalah lingkungan
menjadi bagian yang sangat berpengaruh signifikan dari produk yang ditawarkan oleh suatu negara. Suatu strategi kesuksesan pariwisata adalah dengan memaksimumkan manfaat sumberdaya untuk pembangunan tanpa mengabaikan kelestarian sumberdaya alam dan budaya setempat. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan hubungan daya dukung dari wisatawan.
17
Limits to social carrying capacity
negative interaction between residents and tourists tourists sense unfriendliness local resentment increases towards
tourism visitation begins to
commercialization increases generally friendly response but minor irritations develop and commercialization of tourism curiosity and friendly interest towards tourists
t
Gambar 3 Kurva Hubungan Antara Turis dan Penduduk Lokal (Sebuah Model Teoritis, Clark 1992)
Sadler (1988) dalam Clark (1992) menyatakan bahwa daya dukung yang ideal adalah referensi untuk pariwisata dan menggunakan lahan yang luas untuk kepentingan dari level pengelolaan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini harus menjadi catatan bahwa daya dukung tidak untuk kesempurnaan, tetapi dapat direduksi oleh manusia atau melalui proses alamiah atau peningkatan melalui prosedur menajemen yang telah diseleksi. Faktor-faktor yang perlu diketahui dalam pembangunan wisata alam adalah daya dukung lingkungan (carrying capacity), yang dapat diartikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara berkesinambungan tanpa merusak alam. Daya dukung alam perlu diketahui secara fisik, lingkungan dan sosial (Pearce and Kirk, 1986). Penentuan daya dukung perlu juga dikaitkan dengan akomodasi, pelayanan, sarana rekreasi yang dibangun di setiap tempat tujuan wisata. Oleh sebab itu daya dukung dapat didefinisikan dalam bentuk jumlah kamar persatuan luas wilayah. Fasilitas pariwisata merupakan salah satu program pengembangan yang sangat penting. Tanpa didukung oleh pengembangan fasilitas maka tujuan program tidak akan optimal. Sesuai ketentuan PP No.18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam maka areal yang diizinkan untuk pembangunan sarana dan prasarana adalah 10% dari luas blok pemanfaatan, sehingga hal
18
tersebut berlaku di kawasan pesisir wisata Pulau Morotai.
2.5. Pengelolaan Sumberdaya PPK Menurut Adrianto (2006), bahwa dalam perspektif ekosistem wilayah pesisir, wilayah PPK dapat dibagi menjadi beberapa sub-wilayah (sub-zone), yaitu, (1) wilayah perairan lepas pantai (coastal offshore zone); (2) wilayah pantai (beach zone); (3) wilayah daratan rendah pesisir (coastal lowland zone); (4) wilayah pesisir pedalaman (inland zone). Dalam konteks keterpaduan, pendekatan berbasis keberlanjutan sistem wilayah pesisir di PPK menjadi sebuah syarat mutlak. Oleh karena itu rencana pengelolaan pesisir dan PPK, harus dapat dilakukan secara terpadu dengan rencana pengelolaan pembangunan di daratan, karena bila pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) tidak diintegrasikan, maka sudah tentu akan berpengaruh besar dalam keberhasilannya. Model keterpaduan antara sub-wilayah pesisir dalam pengelolaan PPK berkelanjutan, dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: Social welfare THE OFFSHORE ZONE
THE BEACH ZONE
MONITORIN IMPLEMENTATION Processes Interactions Activities Identified
Environmental integrity
THE ISLAND ZONE
MANAGEMENT
Economic
THE LOW-LAND ZONE
Gambar 4 Kerangka Berkelanjutan Pengelolaan Wilayan Pesisir dan PPK, (Adrianto 2004)
Dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terintegrasi ada tiga hal mendasar, (1) proses dinamis, bahwa pengelolaan wilayah pesisir terpadu harus bersifat fleksibel dan mampu mengakomodir kondisi wilayah pesisir yang dinamis; (2) strategi yang terintegrasi, merupakan suatu rencana program yang mencakup keseluruhan program kerja instansi sektoral yang terlibat; dan (3)
19
pengalokasian lingkungan, sosial budaya dan berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan, merujuk pada keseimbangan pengalokasian sumberdaya dan manusia yang ada di wilayah pesisir. Serta dalam perencanaan pengelolaan terintegrasi sesungguhnya mengandung dua hal, yaitu, (1) secara vertikal, meliputi integrasi kebijakan operasional dan perencanaan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai nasional maupun regional yang berbatasan
dengan
negara
lain;
(2)
secara
horisontal,
harus
mampu
mengintegrasikan perencanaan dari sektor pertanian dan konservasi yang berada di DAS hulu, dan sektor perikanan (baik budidaya tambak udang dan ikan maupun perikanan tangkap), pariwisata alam dan bahari, perhubungan laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai, konservasi laut, serta pengembangan kota (Pratikto et al, 2005). Kebijakan pemerintah membentuk DKP merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari proses perubahan yang mendasar ditingkat kebijakan nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut tidak hanya sampai pada pembentukan departemen tersebut, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan kelautan (ocean policy). Ocean Policy adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being). Implikasi ekonominya adalah bahwa bidang kelautan akhirnya menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional (oceanomics). Visi Ocean Policy dan Oceanomics adalah sangat vital bagi negara kepulauan dalam menjaga kesatuan wilayah, politik, dan ekonomi. Ini perlu diwujudkan oleh semua komponen bangsa untuk menjawab problem struktural bangsa, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan terhadap negara maju, yakni bertambahnya jumlah utang yang dibebankan kepada rakyat serta berbagai kebutuhan lain yang diimpor, maupun penyediaan lapangan kerja bagi seluruh bangsa Indonesia di tanah tumpah darahnya sendiri (Kusumastanto 2003). Dengan demikian dalam menentukan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan PPK harus dilakukan berbagai kajian mendalam tentang dukungan ekosistem wilayah dan perkembangan perekonomiannya.
20
2.6. Pengembangan Wisata Bahari Berkelanjutan Perairan Indonesia memiliki luasan terumbu karang mencapai kuranglebih 60.000 km2 yang tersebar di perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia, Walters 1994 dan Suharsono (1998) dalam DKP (2002). Serta menurut Cesar (1997), bahwa wilayah Indonesia merupakan lokasi bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan negara yang kaya keanekaragaman biota perairan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Terumbu karang menjadi sumber devisa yang diperoleh dari Penyelaman dan kegiatan Wisata Bahari lainnya. Dalam rangka mengembangkan pariwisata perlu diperhatikan definisi pariwisata, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Hall (2001) dalam Adrianto (2006) menyebutkan bahwa konsep pariwisata pesisir (coastal tourism) atau pariwisata bahari (marine tourism) meliputi hal-hal yang terkait dengan kegiatan wisata, leisure dan rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairan laut (pariwisata pesisir dan laut; PPL). Sementara itu, Orams (1999) dalam Adrianto (2006) memberikan definisi wisata bahari sebagai kegiatan rekreasi yang melakukan perjalanan dari tempat tinggal menuju tempat yang memiliki lingkungan laut. Dengan menggunakan definisi ini maka kerangka wisata pantai dan bahari dapat digambarkan secara diagram seperti yang disajikan pada Gambar 5 berikut.
21
Shore-based activities
Land-based whale watching Beach tourism Reef walking etc
Wisata dan Bahari Water-based activities
Diving Yachting Snorkling etc
Gambar 5 Kerangka Wisata Pantai dan Laut (Adrianto 2006). Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa pariwisata pesisir dan laut secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua kegiatan utama berdasarkan lokasi kegiatan yaitu (1) shore-based activities seperti land-based whale watching, beach tourism, dan reef walking; dan (2) water-based activities seperti diving, yachting, dan snorkling. Menurut Hidayat (2000) bahwa wisata bahari adalah meliputi berbagai aktifitas wisata yang menyangkut kelautan. Aktifitas wisata bahari tersebut diantaranya adalah santai di pantai/menikmati alam sekitar, berenang, tour keliling, boat tour, cruising, extended boat tour, surfing, snorkeling, diving, water ski, dan sailing. Beberapa atraksi wisata alam taman laut (terumbu karang dan biota laut). Formasi karang buatan (artificial reef), obyek purbakala, kapal dan pesawat tenggelam, ikan-ikan buruan dan pantai yang indah. Pendayagunaan laut sebagai medium wisata memerlukan persyaratan tertentu, antara lain (1) keadaan musim/cuaca yang cukup baik sepanjang tahun; (2) lingkungan laut yang bersih, bebas pencemaran; (3) keadaan pantai yang bersih dan alami, yang disertai pengaturan-pengaturan tertentu akan bangunan dan macam kegiatan; (4) keadaan dasar laut yang masih alami, misalnya taman laut yang merupakan habitat dari berbagai fauna dan flora; (5) gelombang dan arus yang relatif tidak terlalu besar serta aksesibilitas yang tinggi.
22
Pembangunan berkelanjutan adalah konsep pembangunan yang ingin menyelaraskan antara aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumberdaya alam (natural resources). Konsep pembangunan seperti ini tidak hanya memperhatikan kepentingan generasi kini, tetapi juga generasi yang akan datang (Yakin 1993). Sumberdaya harus dialokasikan secara efisien yang dinamis (dynamic efficient allocations). Pendekatan ini dianggap konsisten dengan konsep keberlanjutan karena keuntungan bisa dibagi secara adil antar generasi. Konsep keberlanjutan lebih menekankan aspek keadilan (fairness) antar generasi daripada efisiensi alokasi (Tietenberg 1992). Efisiensi sumberdaya adalah bagaimana menciptakan penggunaan sumberdaya terbaik untuk memaksimalkan kesejahteraan masyarakat (community well-being). Melalui pendekatan lingkungan, konsep efisiensi menghendaki adanya langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengurangi atau mengatasi dampak lingkungan dan meyakinkan bahwa nilai barang dan jasa yang disediakan dengan biaya terendah. Selanjutnya ada usaha yang terus-menerus untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap konsekuensi dan perubahan baru terhadap output dan input. Untuk mencapai hal ini perlu adanya kompromi (tradeoff) antar kepentingan ekonomi dan lingkungan (Yakin 1993). Salah satu wilayah yang memungkinkan untuk dapat dikembangkan sebagai Daerah Tujuan Wisata di Kawasan Timur Indonesia (DTW-KTI), khususnya wisata bahari adalah Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.
2.7. Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Menurut Kusumastanto (2003), bahwa subsektor pariwisata bahari merupakan sektor yang memiliki masa depan yang menjanjikan untuk menunjang pembangunan kelautan. Dari sisi efisiensi, sektor ini merupakan sektor paling efisien dalam bidang kelautan yang ditunjukkan dengan nilai ICOR sebesar 3,10. Dengan demikian wajar jika pengembangan pariwisata bahari menjadi prioritas. Obyek-obyek utama yang menjadi potensi pariwisata bahari adalah wisata pantai (seaside tourism), wisata alam (pantai), wisata budaya (cultural tourism), wisata
23
pesiar (cruise tourism), wisata alam (ecotourism), dan wisata olahraga (sport tourism), wisata bisnis (bisnis tourism). Selanjutnya
dikatakan
bahwa,
fokus
utama
pengembangan wisata bahari terutama diarahkan untuk,
dalam
kebijakan
(1) meningkatkan
ketersediaan sarana publik yang menciptakan pelayanan dan kenyamanan hakiki bagi wisatawan mancanegara maupun domestik yang akan memanfaatkan sumber daya wisata bahari; (2) meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia yang berkiprah dalam mengelola wisata bahari; (3) mengembangkan sistem pendataan dan informasi yang lengkap dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan informasi dan akses cepat, mudah serta murah. Pengembangan sistem pendataan dan informasi ini sekaligus melayani dan mendukung kegiatan promosi dan investasi di bidang wisata bahari; (4) mengembangkan aktifitas ekonomi non-pariwisata yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan wisata bahari, misalnya industri kerajinan, perikanan, restoran semisal sea food, dan jasa angkutan laut; (5) meningkatkan jaminan dan sistem keamanan bagi wisatawan yang memanfaatkan potensi wisata bahari; (6) menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi kalangan investor untuk mengembangkan wisata bahari, seperti insentif maupun desinsentif; dan (7) mengembangkan model pengelolaan wisata bahari yang mampu menjaga kelestarian ekosistem laut dan budaya masyarakat lokal. Perencanaan
terpadu
dimaksudkan
untuk
mengkoordinasikan
dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu biasanya dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terprogram
untuk
mencapai
tujuan
yang
dapat
mengharmoniskan
dan
mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Seringkali keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi, pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen dan McCreary 1990).
24
Dalam UU nomor 17 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, pembangunan kepariwisataan ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra indonesia; meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal; serta memberikan perluasan kesempatan
kerja.
Pengembangan
kepariwisataan
dilakukan
dengan
memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Dengan mengacu pada arahan RPJPN tersebut, maka sasaran pembangunan kepariwisataan di tahun 2008 akan dilakukan secara bersama, adalah meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia menjadi 7 juta orang dengan penerimaan devisa sebesar USD 6,7 miliar; dan meningkatnya jumlah perjalanan wisatawan nusantara menjadi 223 juta perjalanan (Nirwandar 2008). Selanjutnya
dikatakan
bahwa,
sasaran-sasaran
pembangunan
kepariwisataan tahun 2008 tersebut akan dilakukan bersama melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan prioritas sebagai berikut, (1) penyelenggaraan “Visit Indonesia Year 2008”; (2) pemasangan iklan pariwisata di media cetak, elektronik, dan billboard; (3) dukungan promosi dan pemasangan iklan bagi 10 destinasi pariwisata unggulan; (4) pendukungan kegiatan MICE; (5) pelaksanaan kampanye nasional sadar wisata; (6) fasilitasi pengembangan di 10 destinasi pariwisata unggulan; (7) dukungan pengembangan pariwisata bagi 23 Provinsi; (8) peningkatan kualitas SDM penyelenggara pariwisata di daerah unggulan; serta (9) peningkatan daya saing SDM melalui diklat pariwisata.
25
III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI Pulau Morotai merupakan salah satu kawasan PPK yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Selain memiliki nilai sejarah yang tinggi, kawasan ini juga memiliki kekayaan biota laut yang beraneka ragam. Namun sejauh ini belum termanfaatkan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitarnya. Agar pengelolaan wisata ini dapat memberikan kontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus dikelola secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Jika pariwisata
bahari
ini
bisa
memberikan
kontribusi
pada
pembangunan
berkelanjutan, maka dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang baik. Pembangunan wisata bahari di Pulau Morotai perlu mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung kawasan tersebut untuk menampung wisatawan. Menurut Wolters (1991) dalam
Wardani (2007), daya dukung ekowisata
tergolong spesifik serta lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan dan sosial terhadap kegiatan wisata dan pengembangannya. Daya dukung wisata bahari diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh infrastruktur obyek wisata bahari. Jika daya tampung tersebut dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, akibatnya kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi ekonomi dan budaya masyarakat. Terumbu karang di kawasan Pulau Morotai merupakan salah satu potensi wisata bawah laut yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Dari hasil penelitian White dan Cruz-Trinidad (1989) dalam Wardani (2007), menyatakan bahwa di Philipina diperkirakan 1 km2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan dari sektor wisata sebesar USD 2.000 sampai USD 20.000 per tahun. Dasar pengembangan PPK secara terpadu dan berkelanjutan, harus mempertimbangkan kriteria ekologi, kriteria ekonomi, kriteria sosial. Untuk memudahkan dalam melakukan penelitian, maka dilakukan rumusan pendekatan studi, sebagai berikut.
26
Kawasan Pulau Morotai
Potensi Wisata Bahari Pulau Morotai
Daya Dukung Wisata Bahari
Nilai Ekonomi Wisata Bahari
Kebijakan Pengembangan Kawasan Wisata Bahari Pulau Morotai Pembangunan Wisata PPK yang Berkelanjutan
Gambar 6. Kerangka Pendekatan Studi. Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah dengan daya dukung kawasan, nilai ekonomi dengan menggunakan TCM, dan CVM, serta simulasi kebijakan pengembangan
daerah tujuan wisata Pulau Morotai,
Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Kegiatan pembangunan dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata, akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuatu persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata yang dibuang ke lingkungan pesisir hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, yaitu kemampuan sistem lingkungan untuk menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan atau bahaya kesehatan manusia. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resource) hendaknya tidak melebihi kamampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu, (Dahuri 1998).
27
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pulau Morotai Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Penelitian dilaksanakan pada Juni 2006 sampai dengan Juni 2007.
4.2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yakni penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subyek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subyek. Tujuan studi kasus adalah memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu, yang kemudian, dari sifat-sifat khas di atas akan jadikan sutau hal yang bersifat umum Maxfield (1930) dalam Nazir (1983). Selanjutnya menurut Nazir (1983) bahwa hasil dari penelitian studi kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga dan sebagainya, tergantung dari tujuannya. Ruang lingkup dari studi dapat mencakup segmen atau bagian tertentu atau mencakup keseluruhan siklus kehidupan dari individu, kelompok dan sebagainya, baik dengan penekanan terhadap faktor-faktor kasus tertentu, ataupun meliputi keseluruhan
faktor-faktor
dan
fenomena-fenomena.
Studi
kasus
lebih
menekankan mangkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Metode studi kasus, akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap tingkah-laku seseorang individu. Kita akan memperhatikan juga bagaimana tingkah-laku tersebut berubah ketika individu itu menyesuaikan diri dan memberi reaksi terhadap lingkungannya. Lagipula, kita akan menemukan dan mengidentifikasi semua variabel
penting
yang
mempunyai
sumbangan
terhadap
riwayat
atau
pengembangan subyek. Ini berarti kita melakukan pengumpulan data yang
28
meliputi pengalaman-pengalaman masa lampau dan keadaan lingkungan subyek. Ini berarti pula bahwa data yang akan kita kumpulkan termasuk pengalaman lampau dan keadaan sekarang dari individu tersebut, termasuk lingkungannnya. Kita akan berusaha menetukan hubungan antara faktor-faktor tersebut satu sama lain (Sevilla et al 1993).
4.3. Metode Pengumpulan Data 4.3.1. Teknik Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diambil dengan cara survey langsung ke lokasi penelitian dengan menggunakan kuesioner tentang biaya perjalanan dan preferensi para wisatawan yang pernah melakukan perjalanan wisata ke Pulau Morotai. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 100 responden, (sampel responden disajikan pada Lapiran 2 dan Lampiran 3). Pengambilan sampel dengan cara purposive sampling, yaitu memilih para responden yang telah melakukan perjalan wisata ke Pulau Morotai. Sedangkan data sekunder di dapat dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak di Pulau Morotai serta studi pustaka pendukung lainnya.
4.3.2. Data dan Jenis Data Adapun jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan biaya perjalanan dan persepsi wisatawan terhadap kawasan wisata Pulau Morotai dan data pendukung lainnya. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Matrik Jenis dan Sumber Data. No. Data Penelitian 1 Pendidikan 2 Pekerjaan 3 Pendapatan 4 Jarak 5 Umur 6 Biaya transportasi, akomodasi dan biaya lainnya 7 Persepsi wisatawan terhadap kawasan wisata 8 Persepsi wisatwawan terhadap infrasturuktur 9 Persepsi wisatawan terhadap penduduk setempat
Jenis Data Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer
29
Tabel 3 (lanjutan) No. Data Penelitian 10 Peta Kawasan Halmahera Utara 11 Peta Administrasi Halmahera Utara 12 Sejarah daya Tarik obyek wisata 13 Kawasan Konservasi
Jenis Data Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
4.4. Metode Analisis 4.4.1. Daya Dukung Wisata Bahari Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan PPK secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu daya dukung kawasan. Metode yang diperkenalkan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK) (Yulianda 2007). DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Perhitungan DDK dalam bentuk formulasi sebagai berikut (Yulianda 2007).
DDK
K
Lp Lt
Wt
Wp
.................................................(1)
Dimana : DDK =
Daya dukung kawasan (orang)
K = Potensi ekologis pengunjung per unit area (orang) LP = Luas area yang dapat dimanfaatkan (m2) Lt = Unit area untuk kategori tertentu (m2) Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam/hari) Wp
=
Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan
tertentu (jam/hari). Daya dukung kawasan disesuaikan karakteristik sumberdaya dan peruntukan. Misalnya, daya dukung wisata rekreasi pantai ditentukan luas area dan kondisi pantai. Kebutuhan manusia akan ruang diasumsikan dengan keperluan ruang
30
horizontal untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan manusia (pengunjung) lainnya. Untuk kegiatan wisata rekreasi pantai diasumsikan setiap orang membutuhkan luas area garis pantai 50m, karena pengunjung akan melakukan berbagai aktifitas yang memerlukan ruang yang luas, seperti berjemur, bersepeda, berjalan-jalan, dll. Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata, dan khusus untuk wisata rekreasi pantai lama waktu yang dibutuhkan 3 jam. Sedangkan waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari, dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam/hari, ksusus untuk wisata rekreasi pantai total waktu yang dibutuhkan adalah 6 jam/hari.
4.4.2. Biaya Perjalanan/TCM Tujuan dasar dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam melalui proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut (Fauzi 2004). Dengan demikian biaya perjalanan dari lokasi asal ke lokasi tujuan wisata dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut. X = f(c, d, I, u,P) ...................................................................(2) Dimana: X = jumlah kunjungan c = biaya perjalanan d = jarak I = pendapatan u= umur P = harga barang substitusi. Selanjutnya, fungsi biaya perjalanan dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut. ln Vt
0
1
ln TC i
Dimana: Vt = Tingkat kunjungan TCi = Biaya perjalanan INCi = Pendapatan individu.
2
ln INC i ....................................(3)
31
Untuk
menentukan
surplus
konsumen
dapat
diestimasi
dengan
menggunakan persamaan, sebagai berikut, (Christiansson 2000 dalam Adrianto 2006). CS i
Vi
.......................................................................(4)
1
Dimana: Csi = konsumen surplus individu Vi = tingkat kunjungan individu 1 = nilai regresi dari biaya perjalanan/TC. Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) dapat diestimasi dengan menggandakan nilai surplus konsumen rata-rata individu dengan total kunjungan pada tahun tertentu (Vt), dengan persamaan sebagai berikut. TCS = CSi x Vt .................................................................(5) Dimana: TCS = Total consumers surplus CSi = Konsumen surplus individu Vt = Total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke-t). 4.4.3. Metode Kontingensi (CVM) CVM digunakan untuk menghitung nilai ameniti atau estetika lingkungan dari suatu barang publik (public good). Barang publik dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai suatu barang yang dapat dinikmati oleh satu individu tanpa mengurangi proporsi individu lain untuk menikmati barang tersebut. Oleh karena itu, keinginan untuk membayar satu individu seperti yang diperoleh dalam kuesioner survey dapat diagregasi menjadi nilai keseluruhan populasi, Barton (1994)
dalam
Adrianto
(2006).
Kehati-hatian
harus
dilakukan
untuk
mewawancarai seorang responden dengan memberikan selang nilai yang lebih besar agar dapat diperoleh sampel yang lebih representatif. FAO (2000) dalam Adrianto (2006) menunjukkan bahwa tujuan dari CVM adalah untuk mengukur variasi nilai kompensasi dan nilai persamaan suatu barang yang dinyatakan. Variasi nilai kompensasi dan nilai persamaan dapat ditentukan dengan bertanya kepada seseorang untuk memberikan sejumlah satuan moneter yang ingin dibayarkan. Selanjutnya dikatakan bahwa, dalam metode
32
CVM ini akan menggunakan WTP sebagai parameter bagi perhitungan total benefit. Sementara itu, estimasi WTP dapat juga dilakukan dengan menduga hubungan antara WTP dengan karakteristik responden yang mencerminkan tingkat penghargaan user terhadap sumberdaya yang selama ini dimanfaatkannya, dapat dihitung sebagai berikut. WTPi
0
1
X1
2
X2
3
X 3 ..................................(6)
Dimana: WTP = Kemampuan responden membayar X1 = Umur responden X2 = Pendapatan responden X3 = Pendidikan responden ß0 ß1 ß2 ß3 = Koefisien regresi. Sama dengan pendekatan estimasi surplus konsumen, setelah mengetahui tingkat WTP yang dihasilkan perindividu/WTPi yang dihasilkan dari persamaan di atas, maka total nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan preferensi secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan formula. TB
WTPi
Pt .............................................................(7)
Dimana: TB = Total benefit WTPi = Nilai WTP perindividu Pt = Total populasi pada tahun ke-t yang relevan dengan analisis. Total benefit ini dapat dilakukan untuk multi years dengan mendiskon sesuai dengan prosedur yang berlaku dengan menggunakan tingkat diskon yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya yang dihitung. 4.4.4. Metode Analisa Dinamik Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Carrying capacity di dalam turis didefinisikan sebagai maksimum jumlah turis yang dapat ditoleransi tanpa menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem/lingkungan dan pada saat yang sama tidak mengurangi kepuasan kunjungan, Davis and Tisdell (1996) dalam Adrianto (2006). Menurut Casagrandi and Rinaldi (2002) bahwa keberlanjutan arus jasa yang dihasilkan PPK dalam model yang minimal akan sangat tergantung pada tiga komponen utama, yaitu: kondisi Lingkungan (E=Environmental); Investasi (C=Capital); dan Wisata (T=Tourism), disajikan pada Gambar 6 berikut.
33
Minimal Model Tourism
Tourism Sub System T = Tourism Vector C = Capital Vector E = Environment Vector
Abstract Model Of Tourism
Gambar 7 Minimal Model Tourism
A. Model Wisatawan (Tourist Model) Kunjungan turis pada suatu lokasi karena ada daya tarik (A=attractive factor). Faktor ini kemudian menjadi salah satu variabel peningkatan jumlah kunjungan, dengan formula sebagai berikut. ^
E
a
E
C E
C
C CT
T ………………..(8) C
Dimana: E
E.
C.
C.
= parameter yang terkait dengan perilaku turis.
B. Model Lingkungan (Environmental Model) Variabel K adalah kondisi lingkungan pada saat keseimbangan, artinya bukan pada saat pristine, tetapi pada saat sudah ada interaksi dengan manusia dan industri, dengan formula sebagai berikut. E (t )
E (t ) rE (T ) 1
E (t ) K
………………………………….(9)
C. Model Kapital (Capital Model) Untuk menganalisa tren pertumbuhan capital dalam analisa dinamik, digunakan formula sebagai berikut. C (t )
I (T t , E (t ), C (t ))
C (t ) ………………………………(10)
34
Dimana: C = Tingkat investasi di kawasan wisata Pulau Morotai Delta = 0,23. D. Model Lengkap Sehingga total minimal model dari ketiga komponen tersebut, adalah sebagai berikut. T t
T t
E
Et
Et Et
C E
E t rE t 1 C
Dimana: T E C Epsilon
Ct
Et K Ct
Ct CT t
C
Ct
T t
T t
T t.
= Tourism = Enveronmental = Capital = 0,30.
Tabel 4 Parameter Pemodelan Turis di Pulau Morotai
1
Paramete r R
2
K
3 4 5 6 7 8 9 10 11
? ? G ? fE µE µS A ?
12
Tourism
13
Environ ment
14
Capital
No
Nilai 0.05
Keterangan
Diadopsi dari Model Butler (1980) Diasumsikan setara dengan 2 kali panjang pantai 20 optimal untuk wisata di Pulau Morotai (dalam 1000 km) 0.50 Diadopsi dari Model Butler (1980) 0.50 Diadopsi dari Model Butler (1980) 0.50 Diadopsi dari Model Butler (1980) 0.1 Diadopsi dari Model Butler (1980) 0.50 Diadopsi dari Model Butler (1980) 10 Diadopsi dari Model Butler (1980) 10 Diadopsi dari Model Butler (1980) 0.25 Diadopsi dari Model Butler (1980) 0.25 Diadopsi dari Model Butler (1980) Jumlah kunjungan wisata di Pulau Morotai 0.026455 (dalam juta orang tahun 2006/2007) Daya dukung kawasan untuk wisatawan perhari 20,400 di Pulau Morotai (orang) Total investasi yang sudah dikeluarkan dalam 3.040 pengembangan wisata di Pulau Morotai (dalam miliar Rp)
35
4.5. Batasan Penelitian Menurut Hidayat (2000), bahwa wisata bahari adalah meliputi berbagai aktifitas wisata yang menyangkut kelautan. Aktifitas wisata bahari tersebut diantaranya adalah: santai di pantai/menikmati alam sekitar, tour keliling, berenang, boat tour, cruising, extended boat tour, surfing, snorkeling, diving, water ski, dan sailing. Hall (2001) dalam Adrianto (2006) menyebutkan bahwa konsep pariwisata pesisir (coastal tourism) atau pariwisata bahari (marine tourism) meliputi hal-hal yang terkait dengan kegiatan wisata, leisure dan rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairan laut (pariwisata pesisir dan laut; PPL). Pariwisata pesisir dan laut secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua kegiatan utama berdasarkan lokasi kegiatan yaitu: (1) shore-based activities seperti land-based whale watching, beach tourism, dan reef walking; dan (2) water-based activities seperti diving, yachting, dan snorkling. Obyek-obyek utama yang menjadi potensi pariwisata bahari adalah wisata pantai (seaside tourism), wisata alam (pantai), wisata budaya (cultural tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (ecotourism), dan wisata olahraga (sport tourism), wisata bisnis (bisnis tourism) (Kusumastanto, 2003). Dalam penelitian ini dilakukan tiga analisis, yaitu analisis daya dukung kawasan, analisis ekonomi, dan simulasi kebijakan pengembangan, dengan metode studi kasus dan jumlah responden sebanyak 100 orang. Khusus kajian daya dukung hanya dilakukan pada kawasan daya tampung fisik untuk wisata rekreasi pantai di Pulau Morotai, hal ini disebabkan karena keterbatasan dalam melakukan kajian secara menyeluruh untuk potensi wisata bahari di Pulau Morotai. Aktifitas wisata pantai berupa: rekreasi pantai, berjemur, olahraga pantai, menikmati panorama alam pantai, resort/peristirahatan.
36
V. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi Kabupaten Halmahera Utara yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal, 31 Mei 2003 di Ternate Provinsi Maluku Utara, berdasarkan Undang-Undang Nomor, 1 tahun 2003. Terletak di bagian Utara Pulau Halmahera, termasuk Pulau Morotai dan PPK lainnya. Secara geografis wilayah Kabupaten Halmahera Utara berada pada posisi kordinat, 1057’ sampai 200’ LU dan 128, 170 sampai 128018’ BT. Sedangkan, batas wilayah Kabupaten Halmahera Utara, adalah: (1) Sebelah Utara, berbatasan dengan Samudera Pasifik; (2) Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Wasilei Kabupaten Halmahera Timur, dan Laut Halmahera; (3) Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat; (4) Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Loloda, Sahu, Ibu, dan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Luas wilayah Kabupaten Halmahera Utara adalah + 24.983,32 km2 yang meliputi wilayah laut: 19.536,02 km2 (78%), wilayah daratan: 5.447,30 km2 (22%) dan berjarak 138 mil laut dari Ternate Ibukota Provinsi Maluku Utara. Sedangkan luas wilayah Pulau Morotai 2.476 km2. 5.2. Kondisi Fisik Wilayah 5.2.1. Iklim Wilayah Pulau Morotai dipengaruhi oleh Iklim Laut Tropis dan iklim musim. Oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan dan bervariasi. Musim hujan berada pada bulan Desember–Pebruari, dan musim kemarau dalam bulan Agustus–Desember. Curah hujan yang terkait dengan tingkat evopirasi pulau; curah hujan dalam setahun berkisar 110–400 mm, dengan kecepatan angin rata-rata berkisar antara 5–26km/jam dan arah terbanyak pada 240–260, sedangkan kelembaban nisbi berkisar antara 73–86. Temperatur rata-rata berkisar antara 26,3°–28,15°C, dengan temperatur minimum 21°C dan temperatur maksimum 32,9°C.
37
5.2.2. Ekosistem Terumbu Karang Kondisi terumbu karang di perairan Morotai relatif baik. Tutupan karang keras berkisar 1,60–53,20 persen dengan kategori rusak hingga baik (Tabel 3 dan 4). Karang keras terdiri dari karang keras Acropora dan Non-Acropora. Karang Non Acropora lebih dominan di temukan hampir di seluruh perairan Morotai. Kondisi karang keras di Pulau Burung paling buruk dengan persentasi tutupan 1,60% karang keras non Acropora, sedangkan karang keras yang paling baik ditemukan di Wayabula dengan tutupan 53,20 persen karang keras non Acropora. Komunitas penyusun ekosistem terumbu karang selain karang keras adalah karang lunak, spong, zoanthid, anemon laut, dan alga kapur. Tutupan komunitas karang di perairan Morotai berkisar 17,70–84,70 persen dengan kategori rusak hingga sangat baik. Komunitas karang terburuk terdapat di perairan Pulau Burung, dan terbagus di Wayabula dan Mitita. Umumnya kerusakan karang disebabkan kerusakan fisik (bekas pengeboman) dan diantaranya di beberapa tempat di musim-musim tertentu seperti di Dodola dan Saminyamau mempunyai partikel terlarut (terutama bahan organik) yang relatif tinggi hingga akan menghambat penetrasi cahaya matahari. Hal ini juga ditandai dengan spesies indikator karang lunak yang lebih adaptasi dengan partikel terlarut. Perairan Wayabula dan Mitita yang memiliki komunitas karang terbaik juga memiliki karang lunak yang relatif dominan di perairan tersebut. Hal ini juga disebabkan kecepatan arus yang relatif lebih kuat dibandingkan di daerah PPK sehingga karang lunak dapat hidup lebih baik. Tabel 5 Persentase Tutupan Karang Hidup No
Life Form
HCA Lokasi 1 Wayabula 0,00 2 Dodola 2,80 3 Pulau Burung 0,00 4 Posi-Posi Rao 31,70 5 Saminyamau 12,60 6 Bere-Bere 2,80 7 Mitita 7,00 8 Loleba 31,70 Sumber : PKSPL-IPB (2006)
(%) Tutupan HCNA
DC
ALG
Others
Abiotik
53,20 7,40 1,60 24,00 10,00 37,40 28,93 24,00
1,00 12,60 7,40 2,70 7,40 1,60 5,87 2,70
2,40 5,20 10,20 13,90 0,00 2,00 7,28 13,90
31,50 13,00 16,10 1,00 9,80 20,40 43,59 1,00
11,90 59,00 64,70 26,70 60,20 35,80 7,34 26,70
38
Keterangan : HCA = Hard Coral Acropora HCNA = Hard Coral Non-Acropora DC = Dead Coral ALG = Algae. Tabel
6
Persentase Tutupan
Karang
dan
Kom unitas Karang
berdasarkan Baku Mutu Kepmen LH No. 4 tahun 2001. % Tututupan Keteran Karang gan (HCA+HCNA)
% Komunitas Karang HCA+HCNA+Others
Keteran gan
No
Lokasi
1
Wayabula
53,20
Baik
84,70
2
10,20
Rusak
23,20
1,60
Rusak
17,70
Rusak
55,70
Baik
56,70
Baik
5 6
Dodola Pulau Burung Posi-Posi Rao Saminyamau Bere-Bere
Sangat baik Rusak
22,60 40,20
Rusak Sedang
32,40 60,60
7
Mitita
35,93
Sedang
79,52
Sedang
56,70
Sedang Baik Sangat baik Baik
3 4
8 Loleba 55,70 Sumber : PKSPL-IPB (2006) Keterangan 75 % - 100 % = sangat baik 50 % - 74,9% = baik 25 % - 49,9 % = sedang 0,5 - 24,9 = rusak.
5.3. Kependudukan, Sosial, dan Ekonomi 5.3.1. Jumlah Penduduk Pada awalnya, Pulau Morotai terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Morotai Utara, Morotai Selatan Barat dan Morotai Selatan. Saat ini Pulau Morotai menjadi 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Morotai Utara, Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Barat, Kecamatan Morotai Timur dan Kecamatan Morotai Jaya. Total jumlah penduduk di ketiga kecamatan pada tahun 2005 adalah 50.414 jiwa, dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut.
39
Tabel 7 Jumlah Penduduk Pulau Morotai Menurut Kecamatan No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (orang) 1 Morotai Utara 20.251 2 Morotai Selatan 19.930 3 Morotai Selatan Barat 10.233 Total 50.414 Sumber : Statistik Kabupaten Halmahera Utara (2005)
Persentase (%) 40,17 39,53 20,30 100
5.3.2. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Meskipun Pulau Morotai merupakan kawasan PPK, namun sumber ekonomi masyarakat masih sangat berorientasi pada daratan (teresterial oriented). Hal ini terlihat dari sektor yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat sangat didominasi oleh sektor pertanian. Sementara sektor-sektor lain, kurang dilirik oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian. Hal ini menyebabkan investasi di sektor lain seperti jasa, perdagangan dan industri pengolahan belum berkembang di Pulau Morotai. Khususnya sektor perikanan yang merupakan potensi besar bagi kawasan PPK masih belum berkembang dibandingkan dengan pertanian. Meskipun di dalam data yang tersedia, sektor pertanian juga mencakup perikanan, peternakan dan kehutanan, namun jelas sekali terlihat masyarakat sangat berorientasi pada usaha pertanian. Hal ini terlihat dari jumlah rumah tangga (KK) yang bekerja di bidang pertanian serta ragam komoditas pertanian yang dihasilkan masyarakat setempat. Dari 4416 KK di Kecamatan Morotai Utara, terdapat 3772 KK (85,42%) yang memiliki mata pencaharian di sektor pertanian. Mata pencaharian dari sektor lain relatif sangat kecil yaitu hanya terdapat 281 KK (6,36%) yang memiliki mata pencaharian dari sektor jasa, 157 KK (3,56%) dari industri pengolahan dan 142 KK (3,22%) dari sektor perdagangan. Kecamatan Morotai Selatan, sebagian besar penduduknya pun memiliki mata pencaharian dari sektor pertanian yaitu sebanyak 2479 KK atau 73,26%. Sementara jumlah KK yang memiliki mata pencarian dari sektor jasa adalah 501 KK atau 14,80% lebih besar dibandingkan Kecamatan Morotai Utara. Sementara jumlah KK untuk mata pencaharian lainnya adalah 306 KK (9,04%) untuk sektor perdagangan, 98 KK (2,9%) untuk sektor industri pengolahan.
40
Sama halnya dengan dua kecamatan sebelumnya, di Kecamatan Morotai Selatan Barat, mata pencaharian yang paling dominan adalah dari sektor pertanian yaitu sebanyak 2162 KK atau 89,08 %. Sementara untuk sektor lainnya hanya sebanyak 165 KK (6,8%) yang memiliki mata pencaharian dari sektor jasa dan 100 KK (4,12 %) dari sektor perdagangan. Sementara untuk sektor pertambangan/penggalian, industri pengolahan, dan lainnya, tidak terdapat satu KK pun yang menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. 5.4. Potensi Daerah 5.4.1. Perikanan Perairan Kebupaten Halmahera Utara sangat potensial, dimana Standing Stocknya tercatat sebesar 213.339,46ton per tahun (termasuk wilayah ZEEI) dengan potensi yang dapat dimanfaatkan sebanyak 106.667.73ton per tahun; serta potensi Ikan Pelagis diperkirakan sebesar 85.335,78ton per tahun, dan Ikan Demersal sebesar 21.333,95ton per tahun. Potensi perikanan yang potensial tersebut baru dimanfaatkan sebesar 9,15% dari potensi lestari. Jumlah produksi tersebut diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan di perairan < 12 Mil, dengan menggunakan perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), maupun tanpa perahu.
5.4.2. Peternakan Jenis ternak di wilayah Halmahera Utara terdiri dari ternak sapi, kambing, kuda, babi, ayam buras, dan itik. Pada tahun 2002 populasi ternak di wilayah Halmahera Utara tercatat sebanyak 70.848 ekor, yang terdiri dari sapi 3.812 ekor, kambing 5.112 ekor, babi 1.449 ekor, ayam buras 60.005 ekor, dan itik 470 ekor.
5.4.3. Tanaman Pangan Luas lahan tanaman pangan tahun 2003 di Pulau Morotai 463ha. Terdiri dari lahan tanaman padi sawah seluas 338ha atau 73,00%, dengan jumlah produksi sebesar 750ton, lahan tanaman padi ladang seluas 80ha atau 17,28% dengan jumlah produksi 89ton, dan tanaman jagung 45ha atau 9,72% dengan jumlah produksi 114ton.
41
5.4.4. Perkebunan Luas lahan tanaman perkebunan tahun 2003 di Pulau Morotai 17.269ha terdiri dari lahan tanaman kelapa seluas 11.094ha atau 67,36%, lahan tanaman cengkeh seluas 1.371ha atau 8,32%, lahan kakao 2.931ha atau 17,80%, dan luas lahan tanaman pala 1.873ha atau 6,52%. Sedangkan produksi tanaman perkebunan pada tahun 2003 sebesar 15.529,8ton, yang terdiri dari produksi tanaman kelapa 13.506ton, tanaman cengkeh 152ton, tanaman kakao 1.317,8 Ton, dan tanaman pala sebesar 233,6ton. 5.4.5. Kehutanan Luas kawasan hutan di Pulau Morotai sebesar 223.500ha, terdiri dari hutan lindung 96.250ha atau 43,06%, hutan produksi tetap 46.500ha atau 20,81%, hutan produksai dapat dikonversi, dan areal penggunaan lain 23.750ha atau 10,63%. 5.4.6. Industri dan Pertambangan Salah satu strategi untuk meningkatkan produktifitas masyarakat di wilayah Halmahera Utara, adalah pengembangan infrastruktur sektor industri dan kualitas produk industrinya. Hal ini mengingat bahwa pada tahun-tahun mendatang sektor industri akan mengalami tekanan dan persaingan yang lebih ketat, berbarengan dengan diberlakukannya era perdagangan bebas. Industri yang dapat dikembangkan di Halmahera Utara adalah industri yang berbasis sumber daya alam seperti minyak kelapa dan agroindustri lainnya. Potensi wilayah Kabupaten Halmahera Utara khususnya sumberdaya alam yang dimiliki antara lain potensi mineral: emas, mangan, pasir besi, perak, uranium, batu gamping, batu bara dan minyak bumi. Pertambangan emas yang kini dieksplorasi oleh PT. Nusa Halmahera Minerals (PT. NHM) di Gosowong Kao-Malifut.
5.4.7. Perdagangan dan Jasa Dilihat dari potensi yang ada, sektor perdagangan dan jasa memiliki prospek yang cukup baik. Dalam hal ini, Tobelo sebagai ibukota kabupaten menjadi pusat perdagangan dan jasa bagi masyarakat Kabupaten Halmahera Utara pada umumnya, dan khususnya Tobelo serta wilayah di sekitarnya. Banyak potensi
42
sumberdaya yang masih dapat dikembangkan yang memungkinkan sektor perdagangan dan jasa semakin berkembang. Berbagai hasil produksi sektor perikanan, perkebunan dan industri kerajinan masyarakat, disamping dipasarkan di kota Tobelo, juga dipasarkan ke luar daerah, di antaranya ke Ternate, Bitung, Manado, Palembang dan Surabaya. Fasilitas perdagangan dan jasa yang tersedia dan menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat Halmahera Utara, antara lain berupa kantor bank 3 unit, kredit union 1 unit, fasilitas telkom, pasar tradisional, pertokoan, mini market/pasar swalayan, serta sejumlah hotel, dan restoran.
5.5. Fasilitas Pelayanan Umum 5.5.1. Sarana Pendidikan Jumlah sarana pendidikan yang tersedia di wilayah Halmahera Utara berdasarkan jenjang pendidikan sampai tahun 2003 tercatat sebanyak 343 unit, yang terdiri dari TK 20 unit; SD/sederajat 270 unit; SLTP/sederajat 43 unit; SLTA/sederajat 18 unit; dan 2 unit Perguruan Tinggi, yakni STT GMIH Tobelo, dan Politeknik Perdamaian Halmahera (PADAMARA) Tobelo yang dikelola dengan pola Community College. Distribusi penyebaran sarana pendidikan tersebut cukup merata di setiap wilayah kecamatan sesuai dengan skala pelayanan. Untuk jelasnya, data tersebut tercantum pada Tabel 7. Tabel 8 Tingkat Pendidikan, Sekolah, Siswa, Mahasiswa, Guru dan Dosen. Jumlah Jumlah Jumlah No Tingkat Pendidikan Guru/ Sekolah Siswa/Mahasiswa Dosen 1. Taman Kanak-Kanak 20 519 85 2. SD 270 29.469 1.225 3. SMP 43 8.291 449 4. SMA 18 5.244 116 5. Poloteknik 1 378 84 6. STT GMIH 1 240 24 Sumber: Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Halmahera Utara (2005)
43
5.5.2. Sarana Kesehatan Jumlah prasarana dan sarana kesehatan dan tenaga medis/paramedis di Kabupaten Halmahera Utara sampai dengan tahun 2003 dapat dirinci sebagai berikut (Tabel 8). Tabel 9 Sarana dan Prasarana Kesehatan I Sarana Kesehatan: Jumlah 1 RSU : 1 unit 2 Puskesmas : 10 unit 3 Puskesmas Pembantu : 43 unit Balai Pengobatan dengan fasilitas rawat : 4 1 unit inap 5 BKIA : 11 unit 6 Posyandu : 255 unit 7 Polindes : 18 unit II Tenaga Medis/Paramedis Jumlah 1 Dokter Ahli : 1 orang 2 Dokter Umum : 13 orang 3 Dokter Gigi : 2 orang 4 SKM : 2 orang 5 AKPER : 9 orang 6 ATEM : 1 orang 7 Perawat : 111 orang 8 Bidan : 69 orang 9 Gizi : 3 orang 10 Sanitasi : 4 orang 11 Perawat Gigi : 2 orang 12 Pekarya : 14 orang 13 Tenaga lainnya : 5 orang Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Utara (2005). 5.5.3. Transportasi Transportasi merupakan sarana penunjang utama bagi pengembangan wilayah, dan merupakan unsur vital bagi pengembangan sektor-sektor lain. Sarana dan prasarana perhubungan bagi penduduk di wilayah Halmahera Utara antar kecamatan maupun antar pulau dilayani oleh prasarana dan sarana transportasi : darat, laut, dan udara. Alat transportasi yang tersedia adalah kapal motor dengan bobot 50-350ton, bus, angkot dan pesawat terbang. Jarak dan waktu tempuh dari Ibukota Ternate Provinsi Maluku Utara ke Pulau Morotai disajikan pada Tabel 9. Sementara frekuensi penerbangan disajikan pada Tabel 10.
44
Tabel 10 Jarak dan Lama Waktu Tempuh Dari Kota Ternate No. Tujuan Jarak Tempuh 1 Morotai Utara Jarak tempuh 194 : 2 Morotai Selatan Jarak tempuh 183 : 3 Morotai Selatan Barat Jarak tempuh 173 : 4 Galela Jarak tempuh 165 : 5 Tobelo Jarak tempuh 138 : 6 Tobelo Selatan Jarak tempuh 116 : 7 Kao Jarak tempuh 57 : 8 Malifut Jarak tempuh 51 :
Waktu Tempuh mil/waktu 16 jam mil/waktu 11 jam mil/waktu 10 jam mil/waktu 5 jam mil/waktu 4 jam mil/waktu 3,5 jam mil/waktu 3 jam mil/waktu 2,5 jam
Tabel 11 Frekuensi Penerbangan Pesawat Terbang Dari Kota Ternate No. Tujuan Frekuensi 1 Kao-Manado : 4 kali penerbangan seminggu 2 Kao-Ternate : 2 kali penerbangan seminggu Kobok/Kao-Ternate-Manado 3 : Setiap hari pp. (PT.NHM) Sumber : Dinas Perhubungan Kabupaten Halmahera Utara, (2005).
Prasarana dan sarana perhubungan yang tersedia di Halmahera Utara, adalah. -
Pelabuhan: 6 buah (1 Pelabuhan Nasional di Tobelo, 1 Pelabuhan Regional di Daruba, dan 4 Pelabuhan Lokal masing-masing di: Pediwang, Gorua (juga terdapat Dermaga Penyeberangan Ferri), Galela dan Bere-Bere. Khusus untuk Pelabuhan Tobelo terdapat 4 buah dermaga dengan ukuran 60x8 meter, dilengkapi terminal penumpang dan gudang. Pada Tahun 2002, tercatat jumlah kunjungan kapal sebanyak 1.066 kali, arus barang bongkar muat sebanyak 83.320 ton, dan penumpang sebanyak 36.985 orang.
-
Bandar Udara: 3 buah (Kao, Galela, dan Kobok/Perusahaan/PT. NHM)
-
Terminal: 4 buah (Tobelo, Galela, Morotai Selatan dan Malifut)
-
Pangkalan AURI: 1 buah di Morotai Selatan.
45
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Potensi Wisata Bahari di Kawasan Pulau Morotai Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata serta potensi yang dapat dikembangkan. Obyek dan daya tarik wisata di Pulau Morotai terdiri atas, (1) obyek dan daya tarik wisata yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna; dan (2) obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud musium, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan, (Peta Potensi disajikan pada Lampiran 4). Pulau Zum-zum terletak di depan Kota Daruba, Kecamatan Morotai Selatan dengan jarak sekitar 5 mil. Pulau ini memiliki panorama pantai pasir putih dan keindahan bawah laut (terumbu karang dan ikan hias). Selain itu, pulau ini juga merupakan peninggalan sejarah Perang Dunia II (PD II), dimana pernah dijadikan sebagai pusat komando pasukan Amerika Serikat yang masih menyimpan peralatan perang, antara lain, Pistol, Rangka Pesawat, Mobil Perang dan merupakan
markas
McArthur.
Pulau
Zum-zum
juga
sebagai
tempat
persembunyian ‘Nakamura’ yang merupakan pemimpin tentara Jepang. Secara fisik pulau ini relatif masih baik dan alami. Pulau lain yang jaraknya berdekatan dengan Pulau Zum-zum adalah Pulau Dodola Besar dan Pulau Dodola Kecil. Kedua pulau ini terletak di depan Kota Daruba, Kecamatan Morotai Selatan dengan jarak sekitar 5 mil. Kedua pulau ini memiliki panorama pantai pasir putih sepanjang 16 km dan keindahan bawah laut (terumbu karang dan ikan hias). Pulau Galo-galo Kecil terletak di wilayah Kecamatan Morotai Selatan dengan jarak sekitar 8 mil. Sebagaimana yang terdapat di PPK di Pulau Morotai, Pulau Galo-galo Kecil ini memiliki panorama pantai pasir putih dan keindahan bawah laut (terumbu karang dan ikan hias). Pulau Ngele-ngele Besar dan Ngele-ngele Kecil terletak di wilayah Kecamatan Morotai Selatan Barat dengan jarak sekitar 5 mil. Sebagaimana yang terdapat di PPK di Pulau Morotai, kedua pulau yang berdekatan ini memiliki panorama pantai pasir putih dan keindahan bawah laut (terumbu karang dan ikan hias). Pulau Saminyamau terletak di depan Kota Wayabula, Kecamatan Morotai Selatan
46
Barat dengan jarak sekitar 4 mil. Sebagaimana yang terdapat di PPK di Pulau Morotai, Pulau Saminyamau ini memiliki panorama pantai pasir putih dan keindahan bawah laut (terumbu karang dan ikan hias). Selain obyek wisata pulau, di Pulau Morotai juga terdapat obyek wisata Pantai Batu Labung yang terletak di Desa Posi-posi, Kecamatan Morotai Timur. Daya tarik pantai ini adalah memiliki panorama pantai pasir putih dan keindahan bawah laut (terumbu karang dan ikan hias). Dikarenakan dekat dengan jalan lingkar Morotai, obyek wisata Pantai Batu Labung dapat dijangkau melalui jalan darat Daruba sekitar 3–4 jam. Namun demikian, kelemahan dari obyek wisata Pantai Batu Labung adalah belum terdapatnya pengelola dan ruang pengelolaan, kondisi prasarana jalan yang rusak, dan pengunjung relatif sedikit dan bersifat temporal. Di Pulau Morotai juga terdapat obyek wisata goa. Goa dengan stalakmit dan stalaktit terdapat di Desa Leo-Leo, Pulau Rao, Kecamatan Morotai Selatan Barat. Goa Leo-Leo Rao ini dapat dijangkau dengan speed boat dan long boat dari Dermaga Wayabula. Kelemahan dari obyek wisata Goa Leo-Leo Rao ini adalah belum terdapatnya pengelola dan ruang pengelolaan, dan pengunjung relatif sedikit dan bersifat temporal. Pulau Morotai tidak hanya memiliki keindahan alam, akan tetapi juga memiliki nilai sejarah. Hal ini dikarenakan, Pulau Morotai dijadikan pangkalan militer sekutu dalam Perang Dunia II. Beberapa obyek wisata sejarah di Pulau Morotai tersebar di beberapa desa, yaitu: (1) Obyek wisata sejarah di Desa Pilowo terdapat di empat lokasi, yaitu sekitar Sungai Pilowo, Goa (Air Senjata), Daerah Kokota, dan Daerah Kekera; (2) Obyek wisata sejarah di Desa Cio Gerang terdapat di dua lokasi, yaitu Sungai Cio (Daerah Tetarno) dan Kokorunga; (3) Obyek wisata sejarah di Desa Sebatai Tua dan Sebatai Baru terdapat di dua lokasi, yaitu Gunung Sebatai dan Sebatai Baru.
6.2. Karakteristik Responden A. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah SLTP, SLTA, Diploma, Sarjana dan Pascasarjana. Dari 100 orang responden sebanyak 60 orang atau 57 persen responden berpendidikan sarjana. Tabel 11 berikut menunjukkan tingkat pendidikan responden dan jumlah responden yang dijadikan sampel.
47
Tabel 12 Tingkat Pendidikan Responden No. 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan Pascasarjana Sarjana Diploma SLTA SLTP Jumlah
Jumlah Sampel Persentase 2 0.017391 60 0.573913 14 0.147826 19 0.217391 5 0.043478 100 1
Dalam bentuk grafik, tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 8 berikut. 70 60 50 40 30 20 10
SL TP
SL TA
D ip lo m a
S ar ja na
Pa sc as ar ja na
0
Gambar 8 Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat pendidikan responden/wisatawan memiliki pengaruh terhadap tingkat kunjungan dan WTP untuk kawasan wisata Pulau Morotai. Persepsi responden yang berpendidikan lebih tinggi sangat berbeda dengan kelompok responden yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini terkait dengan tingkat kedewasaan dalam berpikir dan pengetahuan yang lebih baik sebagai referensi dalam memberikan persepsinya. B. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden turut berpengaruh dalam memberikan persepsi terhadap rencana pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai. Bagi responden yang memiliki pendapatan yang relatif lebih tinggi cenderung menanggapi positif terhadap rencana pemerintah daerah dalam mengembangkan wisata bahari. Hal ini disebabkan dengan berkembangnya kegiatan wisata akan
48
menjadi peluang sumber pendapatan masyarakat disekitarnya. Begitu juga dengan kelompok masyarakat lainnya. Mata pencaharian wisatawan yang menjadi responden dalam penelitian ini antara lain pegawai negeri sipil, pegawai swasta, pengusaha, pelajar/mahasiswa. Adapun tingkat pendapatan responden disajikan pada Gambar 9 berikut. Rata-rata Pendapatan Wisatawan
Tingkat Pendapatan
10,000,000.00 8,000,000.00 6,000,000.00 4,000,000.00 2,000,000.00 0.29
0.12
0.12
0.15
0.15
0.17
Prosentase Jumlah Responden
Gambar 9 Rata-rata Tingkat Pendapatan Responden
C. Tingkat Pengeluaran Metode yang digunakan untuk menghitung biaya perjalanan adalah melalui individual travel cost method. Biaya perjalanan yang dihitung meliputi biaya transportasi, konsumsi, akomodasi, belanja souvenir dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama menuju dan tinggal di lokasi wisata Pulau Morotai. Perhitungan biaya perjalanan dilakukan dari asal kunjungan utama, dengan pertimbangan bahwa kunjungan wisatawan merupakan kunjungan utama. Sehingga biaya perjalanan yang dihitung hanya dari lokasi tujuan utama kunjungan sampai ke lokasi wisata. Besarnya rata-rata biaya perjalanan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
49
Tabel 13 Biaya Perjalanan Wisatawan ke Pulau Morotai Daerah Asal Responden Ternate Tidore Sula Tobelo Total Rata-rata
Rata-rata biaya perjalanan (Rp.) Konsumsi Akomoda Transport Lain/hari si/hari asi/hari lain/hari 93.214 85.918 400.000 361.010 27.000 93.333 350.000 80.833 50.000 105.000 1.000.000 92.500 64.090 120.000 100.000 200.818 234.304 404.251 1.850.000 735.161 58.676 101.062 462.000 183.791
Total 940.142 551.166 1.247.500 394.908
Rata-rata 235.036 137.792 311.875 98.727
Dari Tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa besarnya biaya perjalanan ditentukan oleh jarak. Sehinga biaya paling besar adalah wisatawan yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Sula yaitu sebesar Rp.1.000.000 per hari. Perbandingan pengeluaran masing-masing wisatawan dapat dilihat pada Gambar 10 berikut. 350,000.00 300,000.00
Rp
250,000.00 200,000.00 150,000.00 100,000.00 50,000.00 Ternate
Tidore
Sula
Halut
Asal Wisataw an
Gambar 10 Rata-rata Pengeluaran Wisatawan Berdasarkan Daerah Asal
Sedangkan variabel pengeluaran terbesar bagi masing-masing wisatawan adalah biaya transportasi yaitu rata-rata sebesar Rp. 462.500 per hari. Kemudian biaya lain-lain dan akomodasi merupakan kompenen biaya terbesar kedua. Tingginya biaya akomodasi ini disebabkan karena terbatasnya moda akomodasi yang tersedia. Untuk biaya konsumsi tergolong masih rendah karena menu makanan yang tersedia tergolong jenis makanan lokal yang relatif mudah didapat. Restoran yang menyediakan menu masakan asing belum ada seiring dengan terbatasnya wisatawan asing yang berkunjung. Rata-rata pengeluaran wisatawan yang berkunjung ke Pulau Morotai dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.
n La in -la i
ar i rta si /h Tr an sp o
Ak om od a
Ko ns um si /h
si/ ha ri
2000000 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 ar i
Rp
50
Pengeluaran Wisatawan
Gambar 11 Rata-rata Pengeluaran Wisatawan ke Pulau Morotai
Lama kunjungan rata-rata wisatawan antara 2-3 hari per tahun. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat pengeluaran. Makin lama wisatawan menginap, maka makin tinggi pula biaya pengeluarannya, terutama biaya konsumsi dan akomodasi. Anggaran yang digunakan juga sudah dipersiapkan jauh sebelumnya, karena wisata ke tempat ini merupakan kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya. Rata-rata wisatawan yang datang berkunjung adalah wisatawan yang baru pertama kali datang ke kawasan ini yang dimotivasi oleh keindahan alam dan nilai sejarah Pulau Morotai.
D. Persepsi Terhadap Wisata Bahari Minimnya sarana dan prasarana wisata di kawasan ini menyebabkan tingkat kunjungan masih relatif kecil, khususnya fasilitas transportasi yang masih terbatas. Dari 100 orang responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, 52 persen mengaku belum puas atas ketersediaan sarana transportasi menuju Pulau Morotai. Khusus di Kecamatan Morotai Selatan terdapat tujuh buah landasan pacu bandara bekas PD II, namun hanya satu buah yang berfungsi. Selain itu juga terdapat satu buah pelabuhan laut dengan skala besar, dan satu buah Angkutan Sungai dan Penyeberangan (ASDP). Sedangkan di Kecamatan Morotai Barat terdapat 13 pelabuhan rakyat skalanya sama dengan pelabuhan rakyat yang terdapat di Kecamatan Morotai Utara. Berikut ini adalah persepsi responden terhadap ketersediaan fasilitas di Pulau Morotai, dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.
51
Persentase Persepsi Wisatawan Terhadap Fasilitas Jalan di Pulau Morotai 0.6 0.5 0.4 0.3
Series1
0.2 0.1 0 Kurang
Cukup
Baik
Gambar 12 Persepsi Wisatawan Terhadap Fasilitas Jalan di Pulau Morotai Dari Gambar 12 di atas menunjukkan bahwa fasilitas jalan yang mendukung perkembangan industri pariwisata di Pulau Morotai masih kurang. Moda transportasi yang utama digunakan untuk mencapai lokasi adalah transportasi laut. Adapun moda transportasi udara masih sangat terbatas, karena landasan yang tersedia tidak diperuntukkan bagi penerbangan komersil, melainkan untuk keperluan pertahanan dan keamanan. Kendala yang dihadapi transportasi laut adalah cuaca atau gelombang air laut yang tidak menentu. Kapal yang digunakan juga tergolong kapal kecil yaitu hanya berkapasitas 20 sampai 100 orang. Selain fasilitas yang masih kurang, rendahnya tingkat kunjungan wisatawan ke Pulau Morotai disebabkan karena secara nasional, kawasan ini belum termasuk kawasan destinasi pariwisata nasional. Hal ini menyebabkan belum banyak dikenal oleh para wisatawan. Selain itu juga lingkungan lokasi wisata yang kurang bersih, fasilitas rekreasi yang masih kurang, sambutan masyarakat setempat kurang ramah, dan faktor lainnya. Dari keempat faktor di atas, yang paling dominan adalah disebabkan karena fasilitas pendukung yang masih kurang. Selain itu, masyarakat setempat juga belum menyadari bahwa kawasan Pulau Morotai memiliki potensi yang besar untuk pengembangan wisata. Sehingga masyarakat setempat belum terbiasa menerima wisatawan yang datang ke tempat ini. Persepsi wisatawan terhadap kawasan wisata Pulau Morotai dapat dilihat pada Gambar 13 berikut.
52
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Kurang bersih
Fasilitas kurang
Kurang ramah
Lain-lain
Gambar 13 Faktor yang Mempengaruhi Daya Tarik
Dari Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa sebesar 69 persen responden mengeluh kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan wisata di Pulau Morotai. Hal ini yang berpengaruh terhadap daya tarik wisatawan yang ingin berwisata ke kawasan Pulau Morotai. Sedangkan aktivitas wisata yang bisa dinikmati oleh para wisatawan di Pulau Morotai antara lain rekreasi pantai, snorkling, diving, (terutama di situs bangkai kapal perang dunia II), sunbathing, serta wisata sejarah yang menjadi andalan utama, maupun wisata budaya yang unik dan khas budaya timur. Sebagian besar wisatawan yang menjadi responden dalam survey ini mengakui keindahan obyek wisata kawasan Pulau Morotai. Obyek-obyek wisata rekreasi pantai di Pulau Morotai disajikan pada Lampiran 5. Kesan wisatawan terhadap kawasan wisata di Pulau Morotai dapat dilihat pada Gambar 14 berikut. Persentase Kesan Masyarakat Terhadap Obyek Wisata Secara Umum 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Kurang
Cukup
Menarik
Tidak tahu
Gambar 14 Kesan Wisatawan Terhadap Obyek Wisata Pulau Morotai
53
6.3. Daya Dukung Kawasan Wisata Bahari Dengan mempertimbangkan asal wisatawan (karakteristik wisatawan) ke kawasan pesisir Pulau Morotai, bukan merupakan daerah tujuan wisata yang terbuka secara keseluruhan dan merupakan special interest, maka pembangunan pariwisata tidak diarahkan untuk mencapai tingkat intensif yang sama dengan daerah lain. Dengan kata lain, daya dukung wisata di kawasan pesisir Pulau Morotai adalah terbatas dalam jumlah prasarana dan sarananya yang seterusnya menentukan jumlah kunjungan wisata. Adapun perhitungan daya dukung kawasan wisata Pulau Morotai dapat disajikan pada Tabel 13 berikut. Tabel 14 Komponen Perhitungan Daya Dukung Kawasan Wisata Pulau Morotai No
Parameter
Nilai
1
K = Potensi ekologis pengunjung
1 orang
2
Lp = Luas area yang dapat dimanfaatkan
510.000 m2
3
Lt = Unit area untuk kategori tertentu
50 m2
4
5 6
Wt = Waktu
yang
disediakan
untuk
kegiatan wisata perhari Wp = Waktu yang dihabiskan pengunjung setiap kegiatan tertentu DDK = Daya dukung kawasan
6 jam/hari
3 jam/hari 20.400 orang
Sumber: PKSPL-IPB (2006) Daya dukung wisata bahari Pulau Morotai yang memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan PPK secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, maka perlu penentuan daya dukung kawasan. Untuk kegiatan wisata pantai, Yulianda (2007) mengasumsikan bahwa setiap orang membutuhkan luas area garis pantai 50m2, karena pengunjung akan melakukan berbagai aktivitas yang memerlukan ruang yang luas, seperti berjemur, bersepeda, berjalan-jalan dan lain-lain. Sedangkan rata-rata potensi lama waktu para wisatawan yang datang berkunjung ke Pulau Morotai adalah selama 2 hari. Waktu yang efektif yang digunakan untuk berwisata adalah sebanyak 4 jam per hari. Kegiatan wisata yang potensial untuk dilakukan adalah berjemur, berenang, snorkling, diving dan sebagainya.
54
Diketahui luas area garis pantai Pulau Morotai secara keseluruhan untuk wisata rekreasi pantai sebesar 510.000 m2. Prediksi waktu yang menjadi parameter dalam penelitian ini adalah mengacu pada parameter Yulianda (2007) yaitu waktu yang dibutuhkan oleh wisatawan untuk berwisata dan total waktu yang digunakan untuk berwisata dalam satu hari. Total waktu yang digunakan oleh wisatawan untuk wisata pantai sebanyak 6 jam, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk berwisata adalah 3 jam perhari. Dengan demikian, rata-rata waktu yang dibutuhkan wisatawan untuk kegiatan wisata pantai di Pulau Morotai sebanyak 2 jam perhari. Untuk memperoleh tingkat kenyamanan yang optimal dari para wisatawan, maka setiap wisatawan minimal menempati luas area wisata seluas 50 meter persegi. Dengan demikian, setelah diketahui total luas kawasan pantai Pulau Morotai seluas 510.000 m2, dan waktu yang dibutuhkan untuk berwisata pantai 2 jam perhari, maka diketahui daya dukung wisatawan untuk wisata pantai di Pulau Morotai maksimal hanya bisa menampung sebanyak 20.400 orang perhari. Daya tampung wisatawan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kemampuan kawasan secara fisik untuk menerima sejumlah wisatawan dengan intensitas maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan. Dengan adanya pembatasan jumlah wisatawan sesuai daya dukung kawasan, diharapkan sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan tersebut secara alami dapat berasimilasi, sehingga aktivitas kegiatan wisata bahari tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan di Pulau Morotai. Pemanfaatan kawasan wisata Pulau Morotai untuk wisata bahari yang sesuai dengan daya tampungnya akan sangat berpengaruh bagi keberlanjutan kegiatan ekowisata. Pengembangan wisata bahari harus memperhatikan daya tampung wisatawan apalagi jika kegiatan wisata bahari dilakukan di daerah pesisir, karena kawasan ini sangat rentan terhadap berbagai kegiatan manusia, baik kegiatan di darat maupun di laut. Daya dukung kawasan wisata Pulau Morotai ditentukan berdasarkan kapasitas pantai untuk kegiatan wisata. Digunakannya kapasitas pantai sebagai variabel pembatas karena jenis kegiatan wisata di kawasan Pulau Morotai terkonsentrasi pada kegiatan wisata pantai dan perairan. Mengingat keadaan alam
55
sangat rentan terhadap setiap kegiatan manusia, maka pengusahaannya bagi tujuan untuk menarik wisatawan perlu ditata dengan bijaksana. Pada tahap tertentu, pembangunan masih berarti upaya manusia untuk merubah lingkungan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan permintaan akan alam yang asli oleh wisatawan. Dengan demikian perlu ada keseimbangan antara permintaan wisatawan akan alam yang asli dan tuntutan untuk menata atau merubah kondisi asli lingkungan untuk digunakan bagi pembangunan sarana-prasarana pariwisata. Dengan melihat potensi wisata Pulau Morotai untuk wisata pantai cukup besar, maka dapat diperkirakan bahwa tingkat kunjungan wisata ke daerah ini akan terus meningkat. Akibatnya adalah akan berpengaruh terhadap tingkat degradasi lingkungan di kawasan wisata tersebut. Dengan demikian, apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka dalam jangka panjang potensi wisata di Pulau Morotai tersebut akan terancam punah. Hal ini akan diikuti dengan menurunnya tingkat kunjungan wisatawan, sehingga tingkat pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah dari sektor ini akan menurun. Oleh karena itu, pengembangan wisata Pulau Morotai harus memperhatikan daya dukung kawasan yang sesuai dengan peruntukannya.
6.4. Nilai Ekonomi Wisata Bahari Menurut Adrianto (2006) bahwa peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang terkandung didalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan, termasuk dalam hal ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi, karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat (benefit) dan kerugian (loss) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (fairness).
56
Manfaat ekonomi kawasan Pulau Morotai untuk wisata bahari diketahui melalui besarnya pengeluaran wisatawan yang datang. Adapun jenis biaya yang dikeluarkan, antara lain biaya transportasi, konsumsi, akomodasi, belanja souvenir dan biaya lainnya. Semua biaya ini dihitung dari semenjak wisatawan berangkat dari daerah asal hingga di kawasan Pulau Morotai. Dari kegiatan-kegiatan ini menimbulkan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan yang menjadi benefit dari kawasan wisata Pulau Morotai setelah dihitung melalui prosedur perhitungan valuasi manfaat tidak langsung. Saat ini, wisatawan didominasi oleh wisatawan nusantara, khususnya dari Provinsi Maluku, terutama dari Kepulauan Sula, Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, dan Kota Tobelo. Faktor utama yang mempengaruhi wisatawan datang ke kawasan ini karena jarak yang tidak jauh dari daerah asal. Dalam penelitian ini, nilai ekonomi wisata bahari di ketahui melalui dua pendekatan yaitu melalui pendekatan Travel Cost Method/TCM dan Contingent Valuation Method/CVM serta kebijakan pengembangan.
A. Pendekatan TCM Tingkat kunjungan wisatawan berkaitan dengan seberapa sering wisatawan tersebut untuk berkunjung ke lokasi wisata. Hal ini juga dapat mencerminkan tingkat kepuasan dan tingkat kesukaan pengunjung terhadap lokasi wisata tersebut. Selain itu, tingkat kunjungan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah biaya perjalanan, jarak, pendapatan dan umur. Metode yang digunakan untuk menduga nilai sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market goods) adalah dengan menggunakan metode biaya perjalanan/TCM. Metode ini memiliki asumsi dasar bahwa setiap individu baik aktual maupun potensial, bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan manfaat tertentu tanpa harus membayar nilai masuk (no entry fee). Manfaat langsung yang bersifat tidak ekstraktif seperti dari wisata rekreasi pantai, diving, snorkling, wisata sejarah, wisata budaya, diperoleh melalui besaran pengeluaran para wisatawan yang mendatangi kawasan konservasi.
57
A.1. Pendugaan Fungsi Permintaan Dari fungsi permintaan dalam penelitian ini adalah tingkat kunjungan wisatawan (visit) yang dipengaruhi oleh tingkat pengeluaran, jarak, pendapatan dan umur. Dalam persamaan ini, tingkat kunjungan merupakan variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen seperti tingkat pengeluaran, jarak, pendaptan dan umur. Dengan menggunakan regresi linier sederhana diperoleh koefisien sebagaimana pada Tabel 14 berikut. Tabel 15 Koefisien Nilai Ekonomi Kawasan Wisata Pulau Morotai No. Parameter Nilai t-test 1 Konstanta 5.10787 1.90873 2 Biaya perjalanan -0.08496 -0.77439 3 Jarak 0.051508 1.28176 4 Pendapatan -0.06078 -0.50415 5 Umur -0.38199 -0.65561 R2 0.024047 N 100 Dari Tabel 14 hasil regresi di atas menunjukkan bahwa hanya jarak yang memiliki hubungan positif dengan tingkat kunjungan wisatawan, yaitu dengan koefisien sebesar 0,051508, artinya bahwa semakin jauh jarak menuju lokasi wisata, akan berpengaruh positif terhadap tingkat kunjungan. Akan tetapi, koefisien biaya perjalanan, pendapatan dan umur berpengaruh negatif. Dengan koefieisen biaya perjalanan sebesar -0,08496 menunjukkan bahwa semakin besar biaya perjalanan maka frekuensi berkunjung semakin kecil, sedangkan koefisien pendapatan sebesar -0,06078 menunjukkan bahwa semakin kecil pendapatan wisatawan, akan menyebabkan tingkat kunjungannya semakin kecil. Hal yang sama berlaku juga dengan koefisien umur sebesar -0,38199, artinya bahwa semakin tua umur akan semakin mengurangi tingkat kunjungan. Hal ini dapat disebabkan karena jarak yang berpengaruh positif terhadap tingkat kunjungan hanya pada usia relatif masih muda. Dari R2 yang dimiliki oleh fungsi permintaan model log berganda di atas sebesar 0,024047, yang dapat diartikan variabel tidak bebas tingkat kunjungan dapat dijelaskan oleh variabel bebas biaya peralanan, jarak, pendapatan dan umur sebesar 2,4 persen sedangkan sisanya sebesar 97,6 persen dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam persamaan tersebut seperti variabel lama
58
kunjungan, hobi, preferensi seseorang maupun musim kunjungan. Koefisien regresi TCM disajikan pada Lampiran 6. Fungsi permintaan rekreasi obyek wisata Pulau Morotai diperoleh dengan memasukkan koefisien hasil regresi ke dalam fungsi permintaan wisata. Variabelvariabel yang mempengaruhi permintaan wisatawan antara lain biaya perjalanan, umur, jarak dan pendapatan. Dengan menggunakan pendekatan log ganda, sesuai formula 4 dengan model permintaan sebagai berikut.
LnVt=5,106906-0,0855LnTC+0,05150LnJarak-0.06078LnInc-0.38199LnUmur.
Dalam fungsi permintaan yang digunakan dalam penelitian ini, pengeluaran wisatawan dipengaruhi oleh biaya perjalanan, jarak, pendapatan dan umur. Dalam regresi ini, total pengeluaran wisatawan merupakan variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen seperti, biaya transportasi, jarak, pendapatan, dan umur.
A.2. Pendugaan Nilai Ekonomi Total Dengan menggunakan formula (5), maka surplus konsumen perindividu adalah Rp. 1.765,6. Dengan total kunjungan pada tahun 2006 sebesar 26.455,0 orang per tahun, maka diperoleh total konsumen surplus untuk wisata bahari Pulau Morotai sebesar Rp. 46.708.856,1 pertahun.
a.
Pendekatan CVM Menurut Fauzi (2004), WTP merupakan pengukuran jumlah maksimum
seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. WTP juga dapat diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu. Persyaratan WTP menurut Haab dan McConner (2002) dalam Fauzi (2004) adalah apabila WTP tidak melebihi batas atas yang negatif, batas atas WTP tidak boleh melebihi pandapatan, dan
adanya
konsistensi
penghitungannya.
antara
keacakan
pendugaan
dan
keacakan
59
B.1. Pendugaan Fungsi WTP Tabel 15 di bawah ini menunjukkan hubungan antar variabel independen dengan variabel dependen melalui koefisien regresi WTP sebagai berikut. Tabel 16 Koefisien WTP untuk Wisata Pulau Morotai No. Parameter Koefisien 1 Konstanta 16.27921819 2 Pendidikan 0.180348933 3 Pendapatan -0.100189099 4 Umur 0.248113529 R2 0.022740472 N 100
t-test 10.54088837 0.735989334 -1.210993109 0.664706398
Dari Tabel 15 hasil regresi di atas menunjukkan bahwa hanya pendapatan yang memiliki hubungan negatif terhadap keinginan untuk membayar, yaitu dengan nilai koefisien sebesar -0.100189099, artinya bahwa semakin rendah tingkat pendapatan wisatawan, akan berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk membayar. Tingkat pendidikan dan umur berpengaruh positif terhadap tingkat keinginan membayar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan umur, maka akan menyebabkan keinginan untuk membayar semakin tinggi pula. Koefisien regresi WTP disajikan pada Lampiran 7. Fungsi WTP individu dari responden yang berwisata ke Pulau Morotai diperoleh dengan memasukkan koefisien hasil regresi ke dalam fungsi WTP. Variabel-variabel yang mempengaruhi WTP wisatawan antara lain pendidikan, pendapatan dan umur. Dengan menggunakan formula (7), maka nilai WTPi dapat dihitung sebagai berikut.
WTPi=16.27921819+0.180348933x1.24-0.100189099x13.02+ 0.248113529x2.69
B 2. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari Dengan memasukkan nilai rata-rata individu parameter ke dalam fungsi WTP, maka diperoleh nilai WTP individu sebesar Rp.7.783.301,9 perorang. Dengan demikian total nilai wisata bahari Pulau Morotai adalah sebesar Rp.205.907.250.990,3 pertahun dengan asumsi total kunjungan sebesar 26.455,0 orang
60
Tabel 16 berikut menunjukkan perbandingan antara nilai ekonomi wisata bahari Pulau Morotai dengan menggunanakn metode TCM dan CVM. Tabel 17 Perbandingan Nilai Ekonomi dari TCM dengan CVM No 1 2
Metode TCM CVM
Nilai Total per tahun (Rp.) 46.708.856,1 205.907.250.990,3
Rendahnya nilai ekonomi wisata bahari dengan menggunakan metode TCM disebabkan karena tingkat kunjungan dari wisatawan ke Pulau Morotai masih tergolong kecil. Tinggi rendahnya nilai ekonomi dari suatu kawasan wisata dipengaruhi olah jumlah wisatawan yang datang berkunjung untuk menikmati keindahan sumberdaya tersebut. Hal ini terkait dengan tingkat kepuasan yang diperoleh wisatawan di kawasan tersebut. Sehingga nilai tersebut dicerminkan dari seberapa besar wisatawan mau mengeluarkan biaya untuk memperoleh kepuasan tersebut. Tingkat kunjungan wisatawan ke lokasi wisata Pulau Morotai berkaitan dengan seberapa sering seorang wisatawan berkunjung ke lokasi tersebut. Hal ini juga mencerminkan tingkat kepuasan dan tingkat kesukaan wisatawan terhadap lokasi wisata tersebut. Fungsi permintaan wisatawan ke wisata Pulau Morotai diperoleh dengan meregresikan variabel terikat jumlah kunjungan terhadap variabel bebas yang terdiri dari biaya perjalanan, jarak, pendapatan, dan umur. Surplus konsumen merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar dari konsumen dengan biaya yang harus dibayarkan untuk memperoleh suatu kepuasan. Tingkat kepuasan wisatawan yang berkunjung ke Pulau Morotai, dapat dilihat dari frekuensi kunjungan wisatawan. Makin tinggi intensitas berkunjung berarti semakin puas wisatawan tersebut terhadap lokasi yang dikunjungi, dan sebaliknya. Dari hasil analisis TCM dari responden yang telah melakukan perjalanan ke Pulau Morotai dan hasil analisis CVM dari responden tentang preferensi terhadap pengembangan wisata bahari Pulau Morotai. Maka dapat dikatakan bahwa kawasan wisata Pulau Morotai layak secara ekonomi untuk dapat dikembangkan. Karena nilai ekonomi dari kawasan tersebut masuk dalam kategori untuk itu sebesar Rp. 46.708.856,1 per tahun. Hal yang sama juga berlaku pada
61
pendugaan konsumen surplus individu yang memiliki nilai cukup untuk itu sebesar Rp. 1,765.60,0 per orang per tahun. Hal yang sama juga dengan nilai WTP dari responden setelah di uji dengan metode CVM. Dimana nilai WTP wisatawan Rp. 7.783.301,9 perorang pertahun, dan nilai total WTP dari responden terhadap rencana pengembangan wisata Pulau Morotai memilki nilai yang cukup untuk itu yaitu sebesar Rp 205.907.250.990,3 pertahun. Dengan demikian secara ekonomi Pulau Morotai dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Salah satu aspek yang mempengaruhi nilai kesediaan wisatawan untuk membayar/WTP jasa lingkungan berupa obyek wisata yang dinikmati adalah proxy atau nilai pengganti, seandainya jasa lingkungan tersebut dipasarkan melalui mekanisme bentuk pembayaran di atas. Kesadaran dan kepedulian wisatawan pada lingkungan dan sumberdaya alam sangat mempengaruhi besarnya nilai WTP yang diberikan. Besar kecilnya nilai WTP yang diberikan menunjukkan tingkat preferensi dan kepedulian wisatawan terhadap perlunya pemeliharaan lingkungan dan sumberdaya alam yang menjadi obyek wisata di Pulau Morotai. Pulau Morotai membutuhkan pemeliharaan agar daya tarik pesisir sebagai kawasan wisata dapat berkelanjutan. Melalui CVM yang secara langsung bertanya pada wisatawan tentang kesediaan mereka membayar terhadap obyek wisata Pulau Morotai, dapat digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya alam yang berperan sebagai obyek wisata di kawasan tersebut.
6.5. Simulasi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Berkembangnya pariwisata bahari dalam suatu kawasan pesisir dan atau di kawasan laut sekitarnya diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect terhadap ekonomi masyarakatnya. Inilah yang nantinya mampu mambantu upaya pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir dan penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia di tanah tumpah darahnya sendiri. Kebijakan penting semacam ini dikeluarkan karena diperkirakan bahwa dalam kurun waktu 20042024 wisatawan yang akan mengunjungi obyek-obyek wisata bahari akan mengalami peningkatan secara signifikan. Hasil studi PKSPL-IPB (1998) tentang proyeksi perkembangan pariwisata bahari disajikan pada Tabel 17. Dari tabel
62
berikut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan prospek pariwisata bahari akan mampu memberikan devisa sebesar USD 26,56 miliar, yakni turis mancanegara USD 13,76 miliar, dan domestik USD 12,8 miliar (Kusumastanto 2003). Tabel 18 Proyeksi Perkembangan Pariwisata Bahari Indonesia 2004-2024 Propenas 2004-2009 2009-2014 2014-2019 2019-2024 Jumlah
Kunjungan Wisatawan (dalam juta orang) Manca Domestic Negara 2,10 19,04 2,57 20,7 3,04 22,1 3,50 23,6 11,21 85,8
Devisa Mancanegara (miliar US$) 2,27 3,29 4,00 4,60 13,76
Domestic (Miliar US$) 2,9 3,1 3,3 3,5 12,8
Jumlah Kamar yang diperlukan 53.820 60.390 67.140 73.980 255.330
Sumber : PKSPL-IPB 2000 dalam Kusumastanto 2003 Dalam rangka rencana pengembangan wisata bahari di sebuah lokasi maka ada tiga faktor yang salin mempengaruhi, yaitu tingkat kunjungan wisatawan, tingkat investasi, dan kondisi lingkungan wilayah setempat. Berikut ini akan dijelaskan keterkaitan ketiga faktor tersebut.
A. Domain Wisatawan (Tourist) Pada
dasarnya,
pengembangan
model
dinamis
dari
pengelolaan
sumberdaya sudah dimulai sejak awal tahun 1970an oleh Quirk dan Swith (1970), analisis model dinamik ini baru berkembang sepenuhnya setelah publikasi artikel Clark dan Munro (1975), yang menggunakan pendekatan kapital untuk memakai aspek intertemporel dari pengelolaan sumberdaya, dimana sumberdaya dianggap sebagai stok kapital dengan vitur tambahan bahwa stok dapat tumbuh melalui proses produksi alamiah. Dalam pembahasan ini terdapat tiga variabel pokok yang akan dianalisa sesuai dengan formulasi Davis dan Tisdell (1996) dalam Adrianto (2006). Adapun komponen tersebut antara lain capital, lingkungan, dan wisata bahari itu sendiri. Gambar berikut menunjukkan dinamika pertumbuhan tingkat investasi dalam kegiatan wisata bahari di Pulau Morotai. Simulasi kebijakan pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai dilakukan dengan Model dasar yang di adopsi dari Casagrandi and Rinaldi (2002). Dari pemodelan tersebut, diagram simulasi
63
dengan menggunakan perangkat lunak Powersim dapat dilihat pada Gambar 15 berikut, sedangkan hasil simulasinya dapat dilihat pada Gambar 16.
u E
q E
u C
q C
r
Be ta
K
Ga m m a
A lp h a E n v ir o n m e n t
T o u r is m
Pe rtu m b u h a n E n v ir o n m e n t
Pe rtu m b u h a n T o u r is m a
C a p it a l Pe rtu m b u h a n C a p it a l
D e lt a
E p s ilo n
Gambar 15 Simulasi Pemodelan Wisata Bahari di Pulau Morotai. Dari hubungan causal loop tersebut terlihat tingkat kunjungan wisatawan dipengaruhi oleh koefisien tingkat kunjungan tersebut. Tingkat kunjungan wisatawan dapat mempengaruhi keinginan pihak swasta untuk melakukan investasi di lokasi wisata Pulau Morotai. Kedua komponen ini memiliki hubungan yang saling menguntungkan dan saling mempengaruhi. Jika tingkat investasi tinggi maka tingkat kunjungan wisatawan juga akan tinggi, karena fasilitas yang dibutuhkan oleh para wisatawan bisa disediakan oleh pihak investor, begitu juga sebaliknya.
B. Domain Kapital (Capital) Dalam domain ekonomi, asumsi dasar yang digunakan adalah ekonomi sektor wisata bahari dalam konteks pengembangan PPK. Dalam sektor wisata bahari, gross-output dari kegiatan ini didekati dari faktor jumlah turis dan harga per turis. Karena fokus studi ini adalah kegiatan wisata bahari, maka dinamika sektor ekonomi lain (sektor 2) merupakan dependent variable terhadap sektor wisata bahari. Pertumbuhan investasi wisata bahari di Pulau Morotai dipengaruhi oleh akumulasi investasi itu sendiri, tingkat kunjungan wisatawan, dan koefisien delta dan epsilon dari pertumbuhan wisata bahari itu sendiri. Diketahui epsilon dari
64
investasi sebesar 0,30, delta sebesar 0,23 dan tingkat kunjungan turis (wisatawan) sebesar 26.455,0 orang pertahun. Hal ini artinya bahwa tingkat kunjungan wisatawan akan sangat mempengaruhi terhadap tingkat investasi pihak swasta di bidang wisata bahari di Pulau Morotai. Semakin tinggi tingkat kunjungan wisatawan, maka tingkat investasi akan semakin tinggi pula. Berbeda halnya dengan daya dukung kawasan. Daya dukung kawasan wisata bahari di Pulau Morotai adalah sebanyak 20.400 orang perhari. Daya dukung ini akan mempengaruhi pihak investor untuk menanamkan investasinya di sektor wisata bahari. Jika daya dukung kawasan wisata ini sudah dibatasi, maka tingkat investasi juga terbatas tidak bisa melebihi dari daya dukung kawasan yang ada.
C. Domain Lingkungan (Environmental) Domain ini merupakan salah satu decision variable yang berpengaruh pada intensitas permintaan wisata bahari di Pulau Morotai. Kapital stok dari domain ini direpresentasikan oleh kualitas air yang merupakan fungsi dari jumlah air yang digunakan oleh penduduk lokal maupun oleh turis dan jumlah air bersih baru yang diperoleh dari cleaning up baik yang dilakukan oleh penduduk Pulau maupun oleh turis. Indikator kualitas lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini antara lain seperti kualitas air, kualitas udara, biodiversity, satwa liar, maupun kawasan konservasi. Keberhasilan pembangunan kawasan wisata di Pulau Morotai sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur lingkungan tersebut. Dampak yang lebih lebih besar dari kerusakan lingkungan ini adalah munculnya biaya sosial yang lebih besar yang harus ditanggung oleh masyarakat disekitarnya.
D. Model Lengkap Keberlanjutan arus jasa wisata bahari yang dihasilkan di Pulua Morotai dalam model minimal, akan sangat tergantung pada tiga komponen yaitu kondisi lingkungan (Environment), tingkat investasi (Capital) yang ditanamkan, dan kegiatan wisata itu sendiri (Tourism). Setiap turis yang datang ke Pulau Morotai karena ada daya tarik (Attractive factor) seperti keindahan alam bawah laut,
65
maupun keindahan wilayah pesisir untuk berwisata. Faktor daya tarik inilah yang menjadi salah satu variabel peningkatan jumlah kunjungan. Diketahui investasi awal di sektor wisata bahari di Pulau Morotai sebesar Rp.3.040 miliar pertahun, keseluruhan investasi ini berasal dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Investasi swasta belum masuk karena merupakan kawasan yang baru mulai dikembangkan. Sarana dan prasarana yang menunjang perkembangan wisata ini juga masih terbatas. Sehingga pihak swasta belum tertarik untuk melakukan investasi. Berdasarkan teori ekonomi, investasi pada suatu sektor akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga pinjaman. Makin rendah tingkat suku bunga pinjaman maka makin tinggi kecenderungan investasi di sektor tersebut. Tingkat suku bunga yang rendah kurang memberikan insentif bagi pihak swasta untuk menyimpan uangnya di bank, sebaliknya mereka lebih condong untuk melakukan investasi. Sedangkan
peningkatan
kualitas
lingkungan
disebabkan
karena
pembatasan jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke Pulau Morotai. Batas maksimal yang bisa ditolerir (carrying capacity) adalah sebanyak 20.400 orang perhari. Sedangkan hingga saat ini, jumlah wisatawan yang datang berkunjung hanya 26.455,0 orang pertahun. Dengan demikian, masih memungkinkan bagi wisatawan yang datang dalam jumlah yang lebih besar. Kualitas lingkungan akan mulai stabil hingga seterusnya dengan asumsi tingkat investasi tidak bertambah ekstrim dan tingkat kunjungan wisatawan juga stabil. Dengan demikian, untuk menjaga kestabilan kualitas lingkungan ini, maka tingkat investasi perlu dibatasi dan tingkat kunjungan wisatawan tidak boleh melebihi dari daya dukung lingkungan yang ada. Gambar 16 berikut menjelaskan interaksi antara komponen wisatawan, komponen lingkungan dan komponen investasi pada pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai.
66
20 15 T ourism Environm ent
10
Capital 5 0 12:33:28 AM
12:33:33 AM
Gambar 16. Hasil Simulasi Perilaku wisatawan, lingkungan dan investsi pada Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Morotai Dari Gambar 16 di atas terlihat bahwa tingkat kunjungan wisata mengalami peningkatan yang drastis. Namun di satu sisi, terjadi penurunan kualitas lingkungan di sekitar lokasi wisata Pulau Morotai. Sedangkan investasi di sektor wisata ini terus mengalami penurunan. Jika investasi ditingkatkan, maka akan
berpengaruh
terhadap
tingkat
kunjungan
wisata,
sehingga
akan
menyebabkan kualitas lingkungan akan semakin menurun. Dengan demikian rencana pengembangan kawasan wisata rekreasi pantai Pulau Morotai, sudah tentu harus sesuai dengan kemampuan daya dukung kawasan yang ada.
67
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1. Daya dukung fisik kawasan Pulau Morotai, memungkinkan untuk dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata rekreasi pantai, dengan jumlah kunjungan wisatawan perhari 20.400 orang. Dengan demikian rencana pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai tidak melebihi daya dukung kawasan yang ada. 2. Diketahui total nilai ekonomi kawasan Pulau Morotai untuk wisata bahari sebesar Rp. 46.708.856,0 pertahun. Sedangkan konsumer surplus individu sebesar Rp 1.765.0. WTP individu sebesar Rp. 7.783.301,9, sedangkan Total WTP sebesar Rp 205.907.250.990,3 per tahun. Sehingga secara ekonomi Pulau Morotai dapat dikembangkan untuk wisata bahari. 3. Faktor Daya dukung, Wisatawan, dan Investasi memiliki peranan penting dalam pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai. Semakin tinggi tingkat investasi akan meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan, akan tetapi berpengaruh negatif terhadap tingkat kelestarian lingkungan. Oleh karena itu pengembangan wisata di Pulau Morotai harus memperhatikan keterkaitan ketiga faktor tersebut.
7.2. Saran Agar kualitas lingkungan tetap terjaga, maka tingkat kunjungan turis perlu dibatasi sesuai daya dukung maksimal. Untuk meningkatkan nilai manfaat ekonomi dari kawasan wisata Pulau Morotai, maka perlu dibangun infrastruktur dan pengembangan sumberdaya manusia yang memadai untuk menunjang kepuasan wisatawan. Dalam mengembangkan wisata bahari di Pulau Morotai, maka domain daya dukung, ekonomi, dan jumlah wisatawan harus tetap diperhatikan. Agar dapat dilakukan kajian lebih detail dan mendalam tentang daya dukung ekologi, sosial dan pasar tentang rencana pengembangan kawasan wisata bahari Pulau Morotai, sehingga lebih komprehensif dalam model pengelolaannya.
68
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S. 1995. Adaptasi Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Makalah Kursus Pelatihan Integrated Coastal Zone Planning and Management (Angkatan I). Bogor 3 April-9 September 1996. Kerjasama ADB, Bakosurtanal dan PPLH-IPB. Adrianto, L. 2007. Mentransformasi Kekuatan Ekonomi Kelautan ke Dalam Tiga Pilah Kebijakan Kelautan Indonesia. [makalah] Disampaikan Dalam Seminar Nasional Dalam Rangka 50 Tahun Deklarasi Djuanda, 13-14 Desember 2007. IPB International Convention Center. Adrianto, L. 2006. Peluang Pariwisata Bahari di Pulau-pulau Kecil. Diskusi Pengembangan Pariwisata Bahari Pulau-pulau Kecil. Forum Mahasiswa ESKT-IPB Bogor. Bogor 23 Pebruari 2006. Adrianto, L. 2006. SINOPSIS : Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB Bogor, Maret 2006 Adrianto, L. 2004. Pengembangan Ekonomi Pulau-pulau Kecil Untuk Pariwisata Bahari : Pendekatan Sistem Dinamik. Interim Report DKP 2004. Briguglio, L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic Vulnerabilities. World Development, 23 (9), 1615-1632. Casagrandi, R and S. Rinaldi. 2002. A Theoritical Approach to Tuorism Sustainability. Conservation Ecology. Dipartimento di Elettronica e Informazione, Politecnico di Milano. Choy et. al. 1997. Eco-tourism Planning: Lessons from South East Queensland Experience. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung. Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No. 327. Rome. Italy Clawson, M and L.J. Knetsch. Economics of Outdoor Recreation. The John Hopkins Press, Baltimore, 1996. Constanza R et al 1997. The Value of World’s Ecosystem Services and Natural Capital. The Copyright Licensing Agency (CLA) Limited. Nature. Vol. 387. 15 May 1997. London.. Darwanto, H. 2000. Strategi Kebijakan Propenas Bidang Penataan Ruang. Makalah disajikan dalam Pelatihan Penataan Ruang Propinsi di Jakarta. Direktorat Penataan Ruang Wilayah. Departemen Pemukiman dan Pengembangan Wilayah. Jakarta. Dahuri R. 1993. Daya Dukung Lingkungan dan Pengembangan Pariwisata Bahari Berkelanjutan. Seminar Nasional Manajemen Kawasan Pesisir untuk Ekoturisme dalam Rangka Dies Natalis ke-30 Insitut Pertanian Bogor. Bogor: Program Studi magister Manajemen, IPB. Dahuri, R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-pulau Kecil Berkelanjutan. Makalah Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulaupulau Kecil di Indonesia Tanggal 7-10 Desember 1998. BPPT. Jakarta.
69
Depbudpar. 2004. Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan 2005-2009. Laporan Akhir Proyek Pengembangan Perencanaan Kebudayaan dan Kepariwisataan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta. DKP. 2002. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2001-2004. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Douglass, R.W. Forest Recreation. Pergamon Press, Oxford, 1982. FAO. 2000. Aplicatiaon of Contingent Valuation Method in Developing Countries. FAO Economic and Social Development Papers No. 146/2000. Fauzi. 2000. An Overview of Economic Valuation Techniques : A Highlight on Information Needen for Their Aplication in Developing Countries. Makalah Disampaikan pada INCO-DEV International Workshop on Information System for Policy and Technical Support of Fisheries and Aguaculture, Los banos, Phillipines, 5-7 Juni 2000. Fauzi. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Garrod G, and KG Willis. 1999. Economic Valuation of The Environment : Methode and Case Studies. Chletenham, UK, Adwar Elgar. Gold, S.M. Recreation Planning and Design. New York: MacGraw Hill Book Company, 1980. Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands, in: Beller, W., P.d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. The Parthenon Publishing Group. Paris, France, New Jersey, USA. Pp.35-44. Hidayat A. 2000. Konsep dan Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari. Seawatch Indonesia. BPPT. Himateka IPB. Kusumastanto, T. 1997. Metode Penelitian dan Analisis Data Sosail Ekonomi dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove. Paper Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I. 18 Agustus – 18 Oktober 1997. Bogor. Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Mardani, NK. 1997. Perencanaan dan Pembangunan Pariwisata Pesisir dan Bahari Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan. Makalah Pelatihan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Angkatan VIII. Kerjasama PKSPL IPB-Ditjen Bangda Depdagri. Bogor. Nazir, M. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nirwandar, S. 2006. Peran Pariwisata Dalam Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Nasional. Diskusi Pengembangan Pariwisata Bahari Pulau-pulau Kecil. Forum Mahasiswa ESKT-IPB Bogor. Bogor 23 Pebruari 2006. Nirwandar, S. 2008. Kebijakan Pengembangan Pariwisata Nasional Dalam Mendorong Pengembangan Pariwisata Daerah. Rapat Koordinasi Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2008. Palembang 3-4 Maret 2008. Perpes Nomor 78 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 1b. Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
70
PKSPL-IPB. 2006. Laporan Akhir, Penyusunan Master Plan Kawasan Transmigrasi Mandiri Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Kerjasama PKSPL-IPB dan Pemerintah Propvinsi Maluku Utara. Juni 2006. Pratikto, W. A. et al. 2005. Menjual Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Cikal Media. Jakarta. Retraubun, A.S.W. 2001. Pengelolaan Pulau-pulau Kecil. Makalah Dalam Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir Kerjasama DKP dan PKSPL-IPB Bogor. Sevilla, G. C. et al 1993. Pengantar Metode Penelitian. UI-Press. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tietenberg, T.H. 1992. Environmental and Natural Resources Economics. New York : Harper Collins Publishers Inc. Tishriani Y, 2004. Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Lingkungan Dan Sosial Ekonomi Di Gili Trawangan. [skripsi]. Universitas Indonesia UU-RI nomor 27 tahun 2007 pasal 1 ayat 3. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wardhani, RA. 2007. Kajian Potensi Kawasan Pesisir Bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat – NTB. [tesis] Institut Pertanian Bogor Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. (Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan). Jakarta: CV Akademika Pressindo. Yulianda, 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains 21 Pebruari 2007. Departemen MSP FPIK-IPB Bogor. Yoeti, A.O.K. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Penerbit Angkasa, 1990.
71
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian.
Sumber: PKSPL-IPB (2006)
72 Lampiran 2. Data TCM Wisatawan No.
Kunjungan (V)
total pengeluaran (TC)
1
2
2
1
3
Jarak dari rumah (D)
Pendapatan/tahun (I)
Umur(A)
Ln V
Ln TC
Ln D
Ln I
Ln A
2,050,000.00
385.00
9,000,000.00
22
2.5
14.53335
5.9532433
16.012735
3.09104245
930,000.00
2,000.00
9,000,000.00
22
1.5
13.74294
7.6009025
16.012735
3.09104245
1
235,000.00
1.00
2,100,000.00
20
1.5
12.36734
0
14.557448
2.99573227
4
1
505,000.00
1.00
1,500,000.00
25
1.5
13.13231
0
14.220976
3.21887582
5
1
920,000.00
185.00
2,700,000.00
24
1.5
13.73213
5.2203558
14.808762
3.17805383
6
1
450,000.00
185.00
9,000,000.00
27
1.5
13.017
5.2203558
16.012735
3.29583687
7
1
228,000.00
1.00
900,000.00
25
1.5
12.3371
0
13.71015
3.21887582
8
1
6,160,000.00
120.00
2,100,000.00
24
1.5
15.63359
4.7874917
14.557448
3.17805383
9
1
1,055,000.00
200.00
3,300,000.00
23
1.5
13.86905
5.2983174
15.009433
3.13549422
10
1
121,000.00
150.00
900,000.00
21
1.5
11.70355
5.0106353
13.71015
3.04452244
11
1
320,000.00
2.00
9,000,000.00
25
1.5
12.67608
0.6931472
16.012735
3.21887582
12
2
1,220,000.00
150.00
9,000,000.00
27
2.5
14.01436
5.0106353
16.012735
3.29583687
13
4
500,000.00
120.00
9,000,000.00
27
4.5
13.12236
4.7874917
16.012735
3.29583687
14
1
2,240,000.00
200.00
5,700,000.00
29
1.5
14.62199
5.2983174
15.555977
3.36729583
15
3
700,000.00
200.00
9,000,000.00
30
3.5
13.45884
5.2983174
16.012735
3.40119738
16
3
300,000.00
1.00
1,500,000.00
21
3.5
12.61154
0
14.220976
3.04452244
17
1
5,100,000.00
400.00
3,300,000.00
20
1.5
15.44475
5.9914645
15.009433
2.99573227
18
5
495,000.00
200.00
900,000.00
23
5.5
13.11231
5.2983174
13.71015
3.13549422
19
1
2,375,000.00
375.00
9,000,000.00
20
1.5
14.68051
5.926926
16.012735
2.99573227
20
1
1,500,000.00
1.00
9,000,000.00
21
1.5
14.22098
0
16.012735
3.04452244
21
1
820,000.00
100.00
3,300,000.00
19
1.5
13.61706
4.6051702
15.009433
2.94443898
22
1
7,950,000.00
400.00
2,700,000.00
22
1.5
15.88868
5.9914645
14.808762
3.09104245
23
1
550,000.00
357.00
1,500,000.00
23
1.5
13.21767
5.8777358
14.220976
3.13549422
24
1
1,450,000.00
314.00
9,000,000.00
25
1.5
14.18707
5.749393
16.012735
3.21887582
25
2
700,000.00
200.00
9,000,000.00
23
2.5
13.45884
5.2983174
16.012735
3.13549422
26
2
1,725,000.00
60.00
900,000.00
21
2.5
14.36074
4.0943446
13.71015
3.04452244
27
1
240,000.00
1.00
2,700,000.00
18
1.5
12.38839
0
14.808762
2.89037176
28
1
1,311,000.00
1.00
5,100,000.00
19
1.5
14.0863
0
15.444751
2.94443898
29
1
1,000,000.00
1.00
3,900,000.00
25
1.5
13.81551
0
15.176487
3.21887582
30
1
1,675,000.00
50.00
1,500,000.00
20
1.5
14.33132
3.912023
14.220976
2.99573227
31
1
2,145,000.00
400.00
5,700,000.00
20
1.5
14.57865
5.9914645
15.555977
2.99573227
32
1
1,680,000.00
1.00
1,500,000.00
31
1.5
14.3343
0
14.220976
3.4339872
73 33
3
2,600,000.00
310.00
1,500,000.00
19
3.5
14.77102
5.7365723
14.220976
2.94443898
34
4
2,620,000.00
300.00
2,100,000.00
20
4.5
14.77868
5.7037825
14.557448
2.99573227
35
1
210,000.00
1.00
1,500,000.00
19
1.5
12.25486
0
14.220976
2.94443898
36
2
1,030,000.00
175.00
2,100,000.00
17
2.5
13.84507
5.164786
14.557448
2.83321334
37
5
250,000.00
5.00
9,000,000.00
23
5.5
12.42922
1.6094379
16.012735
3.13549422
38
1
330,000.00
1.00
900,000.00
20
1.5
12.70685
0
13.71015
2.99573227
39
1
435,000.00
1.00
900,000.00
20
1.5
12.9831
0
13.71015
2.99573227
40
1
1,155,000.00
1.00
3,900,000.00
20
1.5
13.95961
0
15.176487
2.99573227
41
4
1,125,000.00
1.00
2,100,000.00
20
4.5
13.93329
0
14.557448
2.99573227
42
2
700,000.00
1.00
9,000,000.00
19
2.5
13.45884
0
16.012735
2.94443898
43
1
250,000.00
1.00
5,100,000.00
25
1.5
12.42922
0
15.444751
3.21887582
44
1
1,000,000.00
1.00
5,700,000.00
21
1.5
13.81551
0
15.555977
3.04452244
45
1
200,000.00
30.00
3,300,000.00
20
1.5
12.20607
3.4011974
15.009433
2.99573227
46
4
620,000.00
376.00
900,000.00
30
4.5
13.33747
5.9295891
13.71015
3.40119738
47
1
460,000.00
360.00
900,000.00
32
1.5
13.03898
5.886104
13.71015
3.4657359
48
1
307,000.00
410.00
900,000.00
29
1.5
12.6346
6.0161572
13.71015
3.36729583
49
1
682,000.00
1.00
900,000.00
19
1.5
13.43278
0
13.71015
2.94443898
50
2
525,000.00
367.00
900,000.00
30
2.5
13.17115
5.9053618
13.71015
3.40119738
51
1
240,000.00
1.00
3,900,000.00
34
1.5
12.38839
0
15.176487
3.52636052
52
1
1,275,000.00
367.00
9,000,000.00
26
1.5
14.05846
5.9053618
16.012735
3.25809654
53
1
645,000.00
1.00
6,600,000.00
38
1.5
13.37701
0
15.70258
3.63758616
54
1
1,350,000.00
1.00
9,000,000.00
35
1.5
14.11562
0
16.012735
3.55534806
55
1
292,000.00
1.00
9,000,000.00
23
1.5
12.58451
0
16.012735
3.13549422
56
1
850,000.00
368.00
5,100,000.00
40
1.5
13.65299
5.9080829
15.444751
3.68887945
57
2
600,000.00
200.00
3,900,000.00
19
2.5
13.30468
5.2983174
15.176487
2.94443898
58
1
1,050,000.00
200.00
9,000,000.00
24
1.5
13.8643
5.2983174
16.012735
3.17805383
59
1
570,000.00
200.00
3,900,000.00
27
1.5
13.25339
5.2983174
15.176487
3.29583687
60
1
700,000.00
190.00
5,700,000.00
30
1.5
13.45884
5.2470241
15.555977
3.40119738
61
1
550,000.00
230.00
5,700,000.00
27
1.5
13.21767
5.4380793
15.555977
3.29583687
62
1
400,000.00
1.00
9,000,000.00
25
1.5
12.89922
0
16.012735
3.21887582
63
1
1,200,000.00
500.00
2,100,000.00
22
1.5
13.99783
6.2146081
14.557448
3.09104245
64
3
540,000.00
165.00
5,700,000.00
27
3.5
13.19932
5.1059455
15.555977
3.29583687
65
1
4,875,000.00
200.00
1,500,000.00
27
1.5
15.39963
5.2983174
14.220976
3.29583687
66
2
4,350,000.00
1.00
3,300,000.00
23
2.5
15.28569
0
15.009433
3.13549422
67
2
5,990,000.00
250.00
9,000,000.00
21
2.5
15.6056
5.5214609
16.012735
3.04452244
68
1
4,192,000.00
340.00
9,000,000.00
23
1.5
15.24869
5.8289456
16.012735
3.13549422
74 69
1
1,470,000.00
1.00
9,000,000.00
23
1.5
14.20077
0
16.012735
3.13549422
70
1
1,452,000.00
1,000.00
5,700,000.00
25
1.5
14.18845
6.9077553
15.555977
3.21887582
71
1
1,038,000.00
1.00
9,000,000.00
21
1.5
13.85281
0
16.012735
3.04452244
72
1
536,000.00
100.00
1,500,000.00
20
1.5
13.19189
4.6051702
14.220976
2.99573227
73
1
1,815,000.00
1.00
900,000.00
20
1.5
14.4116
0
13.71015
2.99573227
74
1
1,110,000.00
145.00
1,500,000.00
24
1.5
13.91987
4.9767337
14.220976
3.17805383
75
1
4,600,000.00
1.00
1,500,000.00
21
1.5
15.34157
0
14.220976
3.04452244
76
1
9,450,000.00
150.00
9,000,000.00
23
1.5
16.06153
5.0106353
16.012735
3.13549422
77
2
7,560,000.00
420.00
2,100,000.00
20
2.5
15.83838
6.0402547
14.557448
2.99573227
78
1
930,000.00
1.00
1,500,000.00
20
1.5
13.74294
0
14.220976
2.99573227
79
2
1,500,000.00
378.00
2,100,000.00
34
2.5
14.22098
5.9348942
14.557448
3.52636052
80
1
910,000.00
410.00
1,500,000.00
20
1.5
13.7212
6.0161572
14.220976
2.99573227
81
1
200,000.00
1.00
900,000.00
17
1.5
12.20607
0
13.71015
2.83321334
82
1
275,000.00
1.00
2,700,000.00
23
1.5
12.52453
0
14.808762
3.13549422
83
1
250,000.00
1.00
900,000.00
18
1.5
12.42922
0
13.71015
2.89037176
84
1
1,240,000.00
200.00
900,000.00
33
1.5
14.03062
5.2983174
13.71015
3.49650756
85
1
320,000.00
30.00
1,500,000.00
20
1.5
12.67608
3.4011974
14.220976
2.99573227
86
1
1,750,000.00
1.00
1,500,000.00
20
1.5
14.37513
0
14.220976
2.99573227
87
1
950,000.00
75.00
3,900,000.00
24
1.5
13.76422
4.3174881
15.176487
3.17805383
88
1
250,000.00
30.00
3,900,000.00
22
1.5
12.42922
3.4011974
15.176487
3.09104245
89
1
1,841,000.00
200.00
9,000,000.00
24
1.5
14.42582
5.2983174
16.012735
3.17805383
90
2
1,500,000.00
275.00
9,000,000.00
22
2.5
14.22098
5.6167711
16.012735
3.09104245
91
2
840,000.00
1.00
900,000.00
21
2.5
13.64116
0
13.71015
3.04452244
92
1
3,570,000.00
148.00
2,700,000.00
22
1.5
15.08808
4.9972123
14.808762
3.09104245
93
1
2,430,000.00
1.00
9,000,000.00
22
1.5
14.7034
0
16.012735
3.09104245
94
2
5,000,000.00
158.00
2,700,000.00
23
2.5
15.42495
5.062595
14.808762
3.13549422
95
2
380,000.00
100.00
5,700,000.00
28
2.5
12.84793
4.6051702
15.555977
3.33220451
96
1
2,750,000.00
1.00
9,000,000.00
20
1.5
14.82711
0
16.012735
2.99573227
97
3
660,000.00
142.00
9,000,000.00
21
3.5
13.4
4.9558271
16.012735
3.04452244
98
1
300,000.00
312.00
2,100,000.00
21
1.5
12.61154
5.7430032
14.557448
3.04452244
99
5
500,000.00
1.00
900,000.00
18
5.5
13.12236
0
13.71015
2.89037176
100
1
1,731,000.00
455.00
9,000,000.00
21
1.5
14.36421
6.1202974
16.012735
3.04452244
Jumlah
150
151,926,000.00
17,061.00
445,200,000.00
2,347
200
1374.199
328.94059
1498.3933
313.906703
Rata-rata
1.2931034
1,309,706.90
147.0775862
3,837,931.03
20.23276
1.724138
11.84655
2.8356948
12.917184
2.70609227
75 Lampiran 3. Data WTP
Wisatawan
No
WTP (Rp.)
Pendi dikan
Pendapatan
Umur
Ln WTP
Ln Pendidikan
Ln Pendapatan
Ln Umur
1
5,000,000.00
5
9,000,000.00
22
15.42495
1.609438
16.01274
3.091042
2
5,000,000.00
5
9,000,000.00
22
15.42495
1.609438
16.01274
3.091042
3
5,000,000.00
5
2,100,000.00
20
15.42495
1.609438
14.55745
2.995732
4
5,000,000.00
5
1,500,000.00
25
15.42495
1.609438
14.22098
3.218876
5
5,000,000.00
4
2,700,000.00
24
15.42495
1.386294
14.80876
3.178054
6
5,000,000.00
3
9,000,000.00
27
15.42495
1.098612
16.01274
3.295837
7
5,000,000.00
3
2,100,000.00
24
15.42495
1.098612
14.55745
3.178054
8
5,000,000.00
3
3,300,000.00
23
15.42495
1.098612
15.00943
3.135494
9
5,000,000.00
5
2,100,000.00
23
15.42495
1.609438
14.55745
3.135494
10
5,000,000.00
3
9,000,000.00
25
15.42495
1.098612
16.01274
3.218876
11
5,000,000.00
3
9,000,000.00
27
15.42495
1.098612
16.01274
3.295837
12
30,000,000.00
5
1,500,000.00
22
17.21671
1.609438
14.22098
3.091042
13
5,000,000.00
5
9,000,000.00
24
15.42495
1.609438
16.01274
3.178054
14
5,000,000.00
2
9,000,000.00
27
15.42495
0.693147
16.01274
3.295837
15
5,000,000.00
5
5,700,000.00
29
15.42495
1.609438
15.55598
3.367296
16
5,000,000.00
4
9,000,000.00
30
15.42495
1.386294
16.01274
3.401197
17
5,000,000.00
5
5,100,000.00
20
15.42495
1.609438
15.44475
2.995732
18
5,000,000.00
3
1,500,000.00
21
15.42495
1.098612
14.22098
3.044522
19
5,000,000.00
5
3,300,000.00
20
15.42495
1.609438
15.00943
2.995732
20
5,000,000.00
3
3,900,000.00
20
15.42495
1.098612
15.17649
2.995732
21
5,000,000.00
5
9,000,000.00
20
15.42495
1.609438
16.01274
2.995732
22
5,000,000.00
5
9,000,000.00
21
15.42495
1.609438
16.01274
3.044522
23
5,000,000.00
5
3,300,000.00
19
15.42495
1.609438
15.00943
2.944439
24
30,000,000.00
3
2,700,000.00
22
17.21671
1.098612
14.80876
3.091042
25
5,000,000.00
5
1,500,000.00
23
15.42495
1.609438
14.22098
3.135494
26
5,000,000.00
5
9,000,000.00
25
15.42495
1.609438
16.01274
3.218876
27
5,000,000.00
3
9,000,000.00
23
15.42495
1.098612
16.01274
3.135494
28
5,000,000.00
5
900,000.00
21
15.42495
1.609438
13.71015
3.044522
29
30,000,000.00
5
2,100,000.00
18
17.21671
1.609438
14.55745
2.890372
30
20,000,000.00
5
900,000.00
22
16.81124
1.609438
13.71015
3.091042
31
5,000,000.00
3
2,700,000.00
18
15.42495
1.098612
14.80876
2.890372
32
5,000,000.00
4
5,100,000.00
19
15.42495
1.386294
15.44475
2.944439
33
20,000,000.00
5
3,900,000.00
25
16.81124
1.609438
15.17649
3.218876
34
5,000,000.00
5
1,500,000.00
20
15.42495
1.609438
14.22098
2.995732
35
5,000,000.00
3
5,700,000.00
20
15.42495
1.098612
15.55598
2.995732
36
5,000,000.00
5
1,500,000.00
31
15.42495
1.609438
14.22098
3.433987
37
5,000,000.00
5
1,500,000.00
19
15.42495
1.609438
14.22098
2.944439
38
10,000,000.00
3
2,100,000.00
20
16.1181
1.098612
14.55745
2.995732
39
10,000,000.00
5
1,500,000.00
19
16.1181
1.609438
14.22098
2.944439
40
5,000,000.00
5
2,100,000.00
17
15.42495
1.609438
14.55745
2.833213
41
5,000,000.00
5
9,000,000.00
23
15.42495
1.609438
16.01274
3.135494
42
5,000,000.00
5
3,900,000.00
20
15.42495
1.609438
15.17649
2.995732
43
30,000,000.00
5
2,100,000.00
20
17.21671
1.609438
14.55745
2.995732
44
10,000,000.00
5
9,000,000.00
19
16.1181
1.609438
16.01274
2.944439
45
5,000,000.00
4
5,100,000.00
25
15.42495
1.386294
15.44475
3.218876
46
5,000,000.00
5
5,700,000.00
21
15.42495
1.609438
15.55598
3.044522
47
20,000,000.00
5
3,300,000.00
20
16.81124
1.609438
15.00943
2.995732
48
30,000,000.00
3
3,300,000.00
27
17.21671
1.098612
15.00943
3.295837
49
5,000,000.00
5
3,900,000.00
34
15.42495
1.609438
15.17649
3.526361
50
5,000,000.00
5
9,000,000.00
26
15.42495
1.609438
16.01274
3.258097
76 51
5,000,000.00
3
6,600,000.00
38
15.42495
1.098612
15.70258
3.637586
52
10,000,000.00
5
9,000,000.00
35
16.1181
1.609438
16.01274
3.555348
53
20,000,000.00
2
9,000,000.00
23
16.81124
0.693147
16.01274
3.135494
54
10,000,000.00
4
5,100,000.00
40
16.1181
1.386294
15.44475
3.688879
55
20,000,000.00
5
3,900,000.00
19
16.81124
1.609438
15.17649
2.944439
56
5,000,000.00
5
9,000,000.00
24
15.42495
1.609438
16.01274
3.178054
57
10,000,000.00
6
3,900,000.00
27
16.1181
1.791759
15.17649
3.295837
58
10,000,000.00
5
5,700,000.00
30
16.1181
1.609438
15.55598
3.401197
59
10,000,000.00
3
5,700,000.00
27
16.1181
1.098612
15.55598
3.295837
60
20,000,000.00
4
9,000,000.00
25
16.81124
1.386294
16.01274
3.218876
61
5,000,000.00
3
2,100,000.00
22
15.42495
1.098612
14.55745
3.091042
62
5,000,000.00
5
5,700,000.00
27
15.42495
1.609438
15.55598
3.295837
63
30,000,000.00
5
1,500,000.00
27
17.21671
1.609438
14.22098
3.295837
64
5,000,000.00
2
3,300,000.00
23
15.42495
0.693147
15.00943
3.135494
65
5,000,000.00
5
9,000,000.00
24
15.42495
1.609438
16.01274
3.178054
66
5,000,000.00
5
9,000,000.00
21
15.42495
1.609438
16.01274
3.044522
67
5,000,000.00
3
9,000,000.00
23
15.42495
1.098612
16.01274
3.135494
68
5,000,000.00
5
9,000,000.00
23
15.42495
1.609438
16.01274
3.135494
69
5,000,000.00
3
5,700,000.00
25
15.42495
1.098612
15.55598
3.218876
70
5,000,000.00
5
9,000,000.00
21
15.42495
1.609438
16.01274
3.044522
71
5,000,000.00
5
1,500,000.00
20
15.42495
1.609438
14.22098
2.995732
72
5,000,000.00
4
900,000.00
20
15.42495
1.386294
13.71015
2.995732
73
5,000,000.00
2
1,500,000.00
24
15.42495
0.693147
14.22098
3.178054
74
5,000,000.00
5
1,500,000.00
21
15.42495
1.609438
14.22098
3.044522
75
10,000,000.00
4
9,000,000.00
23
16.1181
1.386294
16.01274
3.135494
76
10,000,000.00
5
2,100,000.00
20
16.1181
1.609438
14.55745
2.995732
77
30,000,000.00
5
5,700,000.00
21
17.21671
1.609438
15.55598
3.044522
78
10,000,000.00
5
1,500,000.00
20
16.1181
1.609438
14.22098
2.995732
79
20,000,000.00
6
2,100,000.00
34
16.81124
1.791759
14.55745
3.526361
80
5,000,000.00
5
1,500,000.00
20
15.42495
1.609438
14.22098
2.995732
81
5,000,000.00
3
900,000.00
17
15.42495
1.098612
13.71015
2.833213
82
5,000,000.00
5
2,700,000.00
23
15.42495
1.609438
14.80876
3.135494
83
10,000,000.00
5
900,000.00
18
16.1181
1.609438
13.71015
2.890372
84
5,000,000.00
4
2,100,000.00
25
15.42495
1.386294
14.55745
3.218876
85
10,000,000.00
5
900,000.00
33
16.1181
1.609438
13.71015
3.496508
86
5,000,000.00
4
1,500,000.00
20
15.42495
1.386294
14.22098
2.995732
87
5,000,000.00
5
1,500,000.00
20
15.42495
1.609438
14.22098
2.995732
88
5,000,000.00
4
9,000,000.00
22
15.42495
1.386294
16.01274
3.091042
89
5,000,000.00
5
900,000.00
21
15.42495
1.609438
13.71015
3.044522
90
25,000,000.00
4
2,700,000.00
22
17.03439
1.386294
14.80876
3.091042
91
5,000,000.00
5
9,000,000.00
22
15.42495
1.609438
16.01274
3.091042
92
30,000,000.00
4
2,700,000.00
23
17.21671
1.386294
14.80876
3.135494
93
5,000,000.00
5
5,700,000.00
28
15.42495
1.609438
15.55598
3.332205
94
7,500,000.00
4
9,000,000.00
21
15.83041
1.386294
16.01274
3.044522
95
30,000,000.00
5
9,000,000.00
20
17.21671
1.609438
16.01274
2.995732
96
5,000,000.00
4
2,700,000.00
18
15.42495
1.386294
14.80876
2.890372
97
7,500,000.00
5
9,000,000.00
21
15.83041
1.609438
16.01274
3.044522
98
5,000,000.00
5
2,100,000.00
21
15.42495
1.609438
14.55745
3.044522
99
7,500,000.00
4
900,000.00
18
15.83041
1.386294
13.71015
2.890372
100
5,000,000.00
5
9,000,000.00
21
15.42495
1.609438
16.01274
3.044522
922,500,000.00
436.0 0
475,800,000.00
2,313
1,580.16
144.37
1,510.56
312.54
7,952,586.21
3.76
4,101,724.14
19.94
13.62
1.24
13.02
2.69
Juml ah Ratarata
77 Lampiran 4. Peta Potensi Wisata Bahari Provinsi Maluku Utara
Sumber: Bappeda Provinsi Maluku Utara (2005). * = Rencana pengembangan destinasi wisata bahari.
78 Lampiran 5. Foto Kawasan Pantai Pulau Morotai
Pantai Morotai Selatan
79
Pantai Morotai Barat
Pantai Morotai Barat
80
Pantai Morotai Timur
Pantai Morotai Utara
81
Pantai Morotai Timur
82
Lampiran 6 Koefisien Regresi Travel Cost Method SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.155071 R Square 0.024047 Adjusted R Square -0.01705 Standard Error 0.987903 Observations 100 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2 X Variable 3 X Variable 4
4 95 99
SS 2.284468 92.71553 95
Coefficients 5.10787 -0.08496 0.051508 -0.06078 -0.38199
Standard Error 2.676057 0.109708 0.040185 0.120561 0.582642
MS 0.571117 0.975953
F 0.585189
Significance F 0.674123
t Stat 1.90873 -0.77439 1.28176 -0.50415 -0.65561
P-value 0.059316 0.440621 0.203046 0.615324 0.513658
Lower 95% -0.20478 -0.30275 -0.02827 -0.30012 -1.53868
Upper 95% 10.42052 0.13284 0.131286 0.178563 0.774702
Lower 95.0% -0.20478 -0.30275 -0.02827 -0.30012 -1.53868
Upper 95.0% 10.42052 0.13284 0.131286 0.178563 0.774702
83
Lampiran 7 Koefisien Regresi WTP Wisatawan Untuk Wisata SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.150799443 R Square 0.022740472 Adjusted R Square -0.007798888 Standard Error 0.617753281 Observations 100 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2 X Variable 3
3 96 99
SS 0.85249319 36.6354352 37.4879283
Coefficients 16.27921819 0.180348933 -0.100189099 0.248113529
Standard Error 1.54438769 0.24504286 0.082733 0.37326785
MS 0.284164395 0.381619116
F 0.744628
Significance F 0.528075
t Stat 10.54088837 0.735989334 -1.210993109 0.664706398
P-value 1.03E-17 0.463532 0.228871 0.507832
Lower 95% 13.21363 -0.30606 -0.26441 -0.49282
Upper 95% 19.3448 0.666755 0.064035 0.989044
Lower 95.0% 13.21363 -0.30606 -0.26441 -0.49282
Upper 95.0% 19.3448 0.666755 0.064035 0.989044