Vol.5 No.2 Juli 2013
ISSN : 2085 - 384X
Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dalam Pembangunan Jalan Desa Tipe Otta Seal Ahsan Asjhari Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar (Studi Kasus : Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah) Jati Iswardoyo Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi dan Andri Hakim Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus : Pulau Palu'e, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama Nugraha dan Masmian Mahida Penyerapan Emisi CO2 dari Kendaraan Bermotor melalui Teknologi Vegetasi di Ruang Milik Jalan Edwin Hidayat
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum
Vol. 5
No. 2
Hal. 77 - 139
Jakarta Juli 2013
Terakreditasi No:495/AU1/P2MI-LIPI/08/2012
ISSN 2085-384X
Volume 5 Nomor 2 Juli 2013
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah wadah informasi bidang sosial dan ekonomi bidang pekerjaan umum dan permukiman berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang memuat aspek sosial, ekonomi bidang infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman. Jurnal ini terbit sejak tahun 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli, dan November.
Penanggung Jawab Ir. Lolly Martina Martief, MT Dewan Editor Ketua : Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng. Anggota : Dr. Ir. Achmad Helmi, M.Sc, M.Si Prof. (R).Dr.-Ing Andreas Wibowo, ST,MT Ir. Joyce Martha Widjaya, M.Sc Drs. FX Hermawan K, M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Ir. Effendi Pasandaran Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D Prof. Dr. Sunyoto Usman, MA Dr. Dody Prayogo, MPSt Redaksi Pelaksana Ketua : Ir. Yusniewati, M.Sc Anggota : Enfy Diana Dewi, ST, MUP Ir. Ridwan Marpaung, MT Rahaju Sutjipta, S.Sos. Aldina Rani Lestari, SIP Masmian Mahida, S. Kom Dwi Rini Hartati, ST Tomi Hendratno, ST
Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit: Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum Gedung Heritage (wing barat) lantai 3, Jl. Patimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, Telp. (021) 72784641, Fax. (021) 72784644, Email:
[email protected]
ii
ISSN : 2085-384X
Volume 5 Nomor 2 Juli 2013
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM DAFTAR ISI
Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dalam Pembangunan Jalan Desa Tipe Otta Seal Ahsan Asjhari
77-85
Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar Studi Kasus : Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah Jati Iswardoyo
87-96
Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi dan Andri Hakim
97-109
Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto
111-118
Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus : Pulau Palu’e, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama Nugraha dan Masmian Mahida
119-129
Penyerapan Emisi CO2 Dari Kendaraan Bermotor Melalui Teknologi Vegetasi di Ruang Milik Jalan Edwin Hidayat
131-138
INDEKS
139
iii
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 5 Nomor 2 Juli 2013 ini.Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, terbit sejak tahun 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli, dan November.
Jurnal ini merupakan publikasi ilmiah tentang tulisan yang memuat hasil-hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang memuat aspek sosial, ekonomi, serta lingkungan bidang infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman. Judul dan abstrak tulisan menggunakan dwi bahasa baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
Sebagai prestasi, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum berhasil mempertahankan gelar akreditasi dengan masa berlaku tiga (3) tahun terhitung mulai Juli 2012 - Juli 2015. Jurnal edisi kedua tahun 2013 ini, menampilkan enam (6) buah tulisan ilmiah yaitu; Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dalam Pembangunan Jalan Desa Tipe Otta Seal; Adaptasi Masyarakat terhadap Bencana Banjir Lahar (Studi Kasus: Desa Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah); Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk; Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan; Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus: Pulau Palu’e, Provinsi Nusa Tenggara Timur), dan Penyerapan Emisi CO2 dari Kendaraan Bermotor Melalui Teknologi Vegetasi di Ruang Milik Jalan. Keenam tulisan yang dimuat merupakan representasi dari beragamnya permasalahan dan tantangan dalam penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman. Dengan diterbitkannya jurnal ini diharapkan memberi motivasi para peneliti di lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan maupun peneliti di instansi lain untuk melakukan penelitian-penelitian sosial ekonomi dan lingkungan bidang Pekerjaan Umum dan Permukiman yang berkualitas. Kami redaksi pelaksana menyampaikan kepada pembaca bahwa alamat redaksi Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum telah berpindah dari Jalan Sapta Taruna Raya No.26 Kompleks PU Pasar Jumat, Jakarta Selatan ke Gedung Heritage (wing barat) lantai 3, Jalan Pattimura No. 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110.
Akhir kata, pengelola jurnal mengucapkan terima kasih baik kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penerbitan Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum. Semoga jurnal ini bermanfaat bagi semua pihak. Selamat membaca!
Jakarta, Juli 2013
Redaksi Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum
iv
UCAPAN TERIMAKASIH Redaksi Pelaksana Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum mengucapkan terima kasih kepada para mitra bestari (peer-reviewer) Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 5 Nomor 1 April 2013 Prof. Dr. Effendi Pasandaran
Prof Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D Prof. Dr. Sunyoto Usman, MA Dr. Dody Prayogo, MPSt
v
76
PENGUKURAN TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DESA CIBEDUG, KABUPATEN BOGOR DALAM PEMBANGUNAN JALAN DESA TIPE OTTA SEAL The Measurement of Community Participation Level at Cibedug Village, Bogor Regency on Developing Rural Roads with Otta Seal Type
Ahsan Asjhari Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Gayung Kebonsari No. 50 Surabaya Email:
[email protected] Tanggal diterima: 17 April 2013 ; Tanggal disetujui: 17 Juni 2013
ABSTRACT Roads are the infrastructure needed to support rural connectivity. Roads open access to the market, education, and healthcare facilities to develop socioeconomic communities in the area. The technology used to open to penetrate rural areas up to the remote, it takes the road with low traffic volume specifications. One of the technologies of road pavement to support the road specification is otta seals that developed by Pusjatan Balitbang PU. In 2011, the technology was applied to build the rural road in Desa Cibedug, Kabupaten Bogor as a pilot project. This study aims to determine the level participation villagers Cibedug in the construction process using the combination of level participation stair by Arnstein and participatory road scheme. This study categorizes participation into three levels, i.e. high, medium, and low. Based on the results of the discussion, it can be seen that the participation of the villagers of Cibedug in most phases of construction is medium category. Meanwhile in the phase of action plan, participation of community was categorized as high, which can be seen through various forms of material and non-material participation deployed. Thus community participation has an important role in the successful development of rural roads. Keywords: participation, construction of roads, rural roads, otta seal ABSTRAK Jalan merupakan prasarana yang diperlukan untuk menunjang konektivitas daerah pedesaan. Jalan membuka akses terhadap fasilitas pasar, pendidikan, serta kesehatan untuk pengembangan sosial ekonomi bagi masyarakat di daerah tersebut. Teknologi yang digunakan untuk membuka daerah pedesaan, biasanya berupa jalan dengan spesifikasi volume lalu lintas rendah. Salah satu teknologi perkerasan jalan dengan spesifikasi tersebut adalah otta seal yang dikembangkan oleh Pusat Litbang Jalan dan Jambatan Balitbang PU. Pada tahun 2011, teknologi tersebut diujicobakan untuk membangun jalan di Desa Cibedug, Kabupaten Bogor. Tulisan ini bertujuan untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat Desa Cibedug dalam pembangunan jalan desa tersebut, dengan mengkombinasikan tangga partisipasi Arnstein dan skema model pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal sehingga dapat dikategorisasi menjadi 3 tingkatan partispasi, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dari pembahasan diketahui, tingkat partisipasi masyarakat Desa Cibedug pada sebagian tahapan pembangunan jalan desa tersebut termasuk sedang. Sementara dalam tahap implementasi rencana aksi, partisipasi masyarakat termasuk tinggi. Ini terlihat dari berbagai bentuk partisipasi masyarakat yang dikerahkan dalam tahapan tersebut. Kata Kunci: partisipasi, pembangunan jalan, jalan desa, otta seal.
77
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
PENDAHULUAN Transportasi jalan merupakan prasarana yang sangat dibutuhkan untuk menembus isolasi wilayah, seperti penduduk di daerah pedesaan. Keberadaan jalan tersebut diperlukan untuk menunjang konektivitas daerah pedesaan tersebut terhadap daerah lainnya. Selanjutnya, konektivitas tersebut akan membuka akses terhadap pasar untuk pemasaran hasil pertanian, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan berbagai peluang untuk pengembangan sosial ekonomi di daerah pedesaan tersebut. Jalan untuk pedesaan dengan spesifikasi volume lalu lintas rendah diperlukan untuk menembus daerah pedesaan hingga pelosok pedalaman. Tipe jalan ini memiliki beban standar yang sangat rendah, jauh di bawah standar jalan umum. Umumnya, jalan tersebut tersebut dirancang untuk menerima beban lalu lintas dengan volume tinggi selama masa konstruksinya dan kembali menjadi jalan dengan volume lalu lintas rendah di saat beroperasi (MacCulloch 2006). Menurut Manual on Uniform Traffic Control Devices (MUTCD), jalan volume rendah merupakan fasilitas yang terletak di luar area perkotaan, pusat kota, dan perumahan. Jalan ini memiliki volume lalu lintas kurang dari 400 Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR). Pusat Litbang Jalan dan Jembatan (Pusjatan) Balitbang Kementerian PU telah melakukan pengembangan sebuah model teknis pembuatan atau peningkatan jalan desa yang memenuhi kriteria volume lalu lintas rendah. Salah satu fokus pengembangan jalan volume lalu lintas rendah adalah metode dengan teknologi lapis perkerasan jalan bertipe otta seal.
Teknologi lapis perkerasan jalan bertipe otta seal dikembangkan pada tahun 1960an dan pertama kali diujicobakan di Lembah Otta, Norwegia. Otta seal adalah lapisan aspal tipis yang dapat diaplikasikan sebagai lapisan tunggal atau ganda yang terdiri dari kerikil bergradasi atau agregat pecahan yang berisi semua ukuran. Lapisan tersebut kemudian dilapisi aspal tipis kemudian dipadatkan dengan menggunakan roller. Dengan demikian teknologi lapis perkerasan jalan bertipe otta seal yang relatif sederhana karena pertimbangan kemudahan aplikasi dan pemanfaatan bahan-bahan lokal, sehingga mudah diterapkan secara partisipatif oleh masyarakat.
Pada tahun 2011, teknologi perkerasan jalan bertipe otta seal tersebut diterapkan pada skala lapangan oleh Pusjatan di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Penerapan ini dilakukan dengan didampingi oleh Pusat Litbang Sosial
78
Ekonomi dan Lingkungan untuk mendukung penerapan teknologi perkerasan jalan bertipe otta seal yang dilaksanakan langsung oleh masyarakat. Teknologi yang dikembangkan oleh Pusat Litbang Jalan dan Jembatan ini diharapkan dapat diterapkan langsung secara partisipatif oleh masyarakat setempat.
Desa Cibedug Kecamatan Ciawi sendiri terletak di selatan Kabupaten Bogor dan berada pada ketinggian antara 500 – 1200 mdpl di atas permukaan laut. Sebagian besar penduduk desa adalah petani. Tercatat penduduk yang terlibat dalam sektor pertanian mencapai 78% dari total jumlah penduduk berdasar mata pencaharian. Selain sebagai petani, mata pencaharian penduduk desa ini antara lain adalah sebagai karyawan perusahaan (14%), bergerak di sektor industri mulai kecil, menengah hingga besar (5%), dan sebagai abdi masyarakat (PNS/Polri/Pensiunan), yaitu sebesar 3% (Profil Desa Cibedug 2010). Merujuk pada aspek demografis terkait tingkat pendidikan secara umum, sebagian besar masyarakat Desa Cibedug hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar yang mencapai 53% dari total jumlah penduduk. Bahkan presentasi untuk penduduk yang tidak mengenyam pendidikan mencapai 33,8%. Berdasarkan observasi lapangan, rendahnya pendidikan tersebut berkaitan dengan buruknya prasarana jalan yang mengisolasi sebagian dusun di Desa Cibedug, yaitu Dusun Babakan dan Ciaul. Hal tersebut menyebabkan akses menuju sekolah setingkat SMP/MTs cukup sulit dijangkau, sehingga pembangunan jalan merupakan kebutuhan vital bagi penduduk desa tersebut. Dengan demikian pembangunan jalan dengan teknologi perkerasan otta seal dapat dilaksanakan secara partisipatif oleh masyarakat Desa Cibedug.
Penelitian ini merupakan kegiatan verifikasi terhadap Mekanisme Alih Teknologi Penyelenggaraan Jalan Volume Lalu Lintas Rendah dan Biaya Murah Secara Partisipatif yang telah disusun pada tahun 2011. Penelitian ini menggunakan skema model pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal yang disandingkan dengan tangga partisipatif, untuk mengukur partisipasi masyarakat Desa Cibedug dalam penerapan teknologi perkerasan jalan bertipe otta seal tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai “Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam penerapan teknologi perkerasan jalan bertipe otta seal di Desa Cibedug, Kabupaten Bogor?” Dengan diketahuinya tingkat partisipasi masyarakat dalam
Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dalam Pembangunan Jalan Desa Tipe Otta Seal Ahsan Asjhari pembangunan jalan dengan teknologi tipe otta seal di desa tersebut, diharapkan dapat dijadikan bahan penyempurnaan bagi mekanisme pelaksanaan alih teknologi Penyelenggaraan Jalan Volume Lalu Lintas Rendah dan Biaya Murah Secara Partisipatif, di kemudian hari.
KAJIAN PUSTAKA Pembangunan Masyarakat
Jalan
Desa
Berbasis
Peran
Merujuk pada UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya pada pasal 1 angka 9 disebutkan bahwa penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi : 1. Pengaturan. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang undangan jalan;
2. Pembinaan. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan;
3. Pembangunan. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan; dan 4. Pengawasan jalan. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2012 tentang Pedoman Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan menyebutkan bahwa masyarakat dapat ikut berperan dalam pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan. Masyarakat yang berperan dalam penyelenggaraan jalan dapat bersifat: perorangan, kelompok, dan badan usaha. Tiap sifat tersebut dapat digolongkan sebagai 1) masyarakat pengguna jalan, dan 2) masyarakat pemanfaat jalan. Peran masyarakat dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/ kota, dan jalan desa. Sedangkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan, menyebutkan bahwa peran masyarakat untuk penyelenggaraan jalan desa, antara lain : 1. Partisipasi, masyarakat terlibat secara langsung dalam kegiatan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, supervisi maupun pemanfaatan serta pemeliharaannya; dan
2. Keswadayaan, kemampuan masyarakat menjadi faktor pendorong utama dalam keberhasilan kegiatan, baik proses perencanaan, pelaksanaan, supervisi maupun pemanfaatan serta pemeliharaannya.
Berdasarkan konsep di atas, dalam konteks penelitian ini, penyelenggaraan jalan lebih difokuskan pada kegiatan pembangunan jalan desa yang melibatkan peran masyarakat yang meliputi unsur partisipasi dan keswadayaan mayarakat dalam persiapan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. Penelitian terkait peran atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan jalan antara lain dilakukan oleh Balai Pemberdayaan ke-PU-an Surabaya (2007). Dalam penelitian yang dilakukan di Desa Undisan, Bali, Balai Pemberdayaan kePU-an Surabaya membagi pembangunan jalan yang berbasis komunitas (Community Based Development) menjadi 8 tahapan, yaitu sosialisasi ke pemerintah daerah, pemilihan lokasi, sosialisasi program ke lokasi terpilih, survei lokasi, penyusunan community action plan, implementasi, pembentukan kelembagaan masyarakat, dan pendampingan kelompok masyarakat. Tahapan pembangunan jalan pada penelitian ini mencoba menggali kebutuhan masyarakat terhadap prasarana jalan lingkungan sebagai dasar penyusunan rencana aksi komunitas.
Sementara penelitian Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan (2011) yang mencoba mempertemukan kebutuhan masyarakat akan prasarana jalan dengan kebutuhan teknis untuk penerapan teknologi perkerasan otta seal untuk diterapkan pada skala lapangan. Setidaknya terdapat 7 tahap pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal yang meliputi : fase persiapan (penyusunan) program yang meliputi tahap 1) pemilihan lokasi, 2) pemetaan potensi, dan 3) sosialisasi kegiatan. Fase perencanaan teknis yang meliputi tahap 4) pembentukan dan perkuatan pokja, serta 5) penyusunan rencana aksi. Fase konstruksi yang meliputi tahap 6) implementasi rencana aksi dan fase pengoperasian dan pemeliharaan jalan yang meliputi tahap 7) pemeliharaan pasca konstruksi. Tahapan tersebut merupakan skema ideal yang dapat diacu dalam pelaksanaan pembangunan jalan dengan menggunakan teknologi otta seal sehingga dapat memaksimalkan potensi partisipasi masyarakat secara maksimal. Tahapan pelaksanaan pembangunan jalan dengan teknologi otta seal tersebut kemudian dirumuskan ke dalam skema model pembangunan jalan
79
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Gambar 1. Skema model pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011
partisipatif dengan teknologi otta seal sebagaimana dapat dilihat dalam gambar 1. Partisipasi Masyarakat
Esensi dari pembangunan sosial telah terpenuhi apabila masyarakat telah berpartisipasi sepenuhnya dalam pembentukan keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka serta dapat mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut. Partisipasi menumbuhkan sense of community yang mendorong terbentuknya integritas sosial. Secara garis besar, konsep pembangunan sosial yang mengandalkan komponen partisipatif di dalamnya mempunyai implikasi perubahan mendasar dalam metode perencanaan pembangunan yang semula top-down dari pemerintah menjadi bottom-up. Menurut Bintoro (1976), partisipasi masyarakat merupakan elemen penting dalam pembangunan. Administrasi pembangunan yang sedang berjalan, tidak akan sempurna (efektif) jika tidak terdapat partisipasi masyarakat. Paling tidak partisipasi dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan.
Partisipasi menurut Arnstein (Aliadi 1994) adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam
80
perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Selanjutnya Arnstein menyebutkan bahwa terdapat delapan tangga partisipasi (Gambar 2). Tangga pertama disebut manipulasi dan kedua terapi. Kategori manipulasi dan terapi ini bila yang dilakukan dalam bentuk mendidik dan mengobati. Dalam tangga pertama dan kedua ini Arnstein menganggap itu bukan bentuk partisipasi. Tangga ketiga adalah fase penyampaian informasi. Tangga keempat adalah konsultasi dan kelima peredaman kemarahan. Kategori pada tangga ketiga hingga lima ini disebut tingkat tokenisme, yaitu suatu tingkatan peran serta di mana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Menurut Arnstein, jika partisipasi hanya dibatasi pada tingkat tokenisme, maka kecil kemungkinan ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Oleh karena itu, masih ada kategori tangga teratas dalam tingkat kekuasaan di mana rakyat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Untuk tahap
Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dalam Pembangunan Jalan Desa Tipe Otta Seal Ahsan Asjhari 8.
Pengawasan masyarakat
7.
Pendelegasian kekuasaan
6.
Kemitraan
5.
Peredaman/perujukan
4.
Konsultasi
3.
Menyampaikan informasi
2.
Terapi
1.
Manipulasi
Tingkat Pengambilan Keputusan
Tingkat Tokenisme
Non Partisipasi
Gambar 2. Delapan Tangga Partisipatif Masyarakat Sumber: Arnstein 1969
ini, tangga keenam disebut kemitraan. Tangga ketujuh pendelegasian kekuasaan dan kedelapan pengawasan masyarakat. Perkerasan Jalan Tipe Otta Seal
Pembangunan jalan desa yang diterapkan di Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dilaksanakan dengan menerapkan teknologi perkerasan dengan tipe otta seal yang dikembangkan oleh Pusjatan. Teknologi otta seal merupakan salah satu tipe metode lapis perkerasan jalan, seperti halnya sand seal atau pun chip seal. Otta seal sebagai lapisan aspal yang tipis, diaplikasikan sebagai lapisan tunggal atau ganda yang terdiri dari kerikil bergradasi atau agregat pecahan yang berisi semua ukuran dan aspal gradasi potongan atau penetrasi lunak (Overby dan Pinard 2007).
Lapis perkerasan otta seal sebenarnya tidak menambah kekuatan struktur jalan. Oleh karena itu, permukaan yang akan diperkeras, perlu dipersiapkan untuk menahan tingkat lalu lintas yang direncanakan. Persiapan dasar jalan mungkin mencakup pemberian kerikil ulang pembentukan ulang dan dan pemadatan (Gambar 3).
Gambar 3. Tipe-tipe Perkerasan Jalan Sumber : Overby & Pinard, 2007
Satu lapisan agregat di rol ke aspal menggunakan roller roda pneumatik atau truk bermuatan. Penerapan otta seal atau segel otta merupakan perkerasan yang sederhana karena pertimbangan kemudahan dalam memanfaatkan bahan-bahan lokal setempat seperti ketersediaan kerikil alam, tenaga kerjanya berkualitas yang biasa saja, perkerasan berkapasitas beban rendah diperbolehkan, dan kapasitas pemeliharaannya yang rendah. Dengan pertimbangan kemudahan otta seal menjadi pilihan teknologi untuk dapat diaplikasikan secara partisipatif oleh masyarakat, khususnya di Desa Cibedug, Kabupaten Bogor.
Teknologi otta seal di Desa Cibedug sendiri diimplementasikan sepanjang 473 meter dari total 538 meter panjang jalan yang dibangun. Kondisi geometri jalan di lokasi kegiatan menyebabkan diperlukan penerapan teknologi perkerasan jalan yang lain, yaitu lapen dan hotmix untuk menyiasati badan jalan dengan kemiringan lebih dari 10°.
METODe penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial dengan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit untuk diteliti (Faisal 2008).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melaksanakan wawancara terhadap key person, antara lain meliputi tokoh masyarakat di Desa Cibedug seperti kepala desa, aparat desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang dituakan serta anggota kelompok kerja penerapan teknologi otta seal di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Pengumpulan data primer ini dilakukan pada pelaksanaan pembangunan jalan tipe otta seal di Desa Cibedug,
81
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Kabupaten Bogor pada tahun 2011. Data primer juga diperoleh melalui buku laporan pokja yang mencatat tentang pelaksanaan rapat internal, buku laporan tentang swadaya masyarakat, dan buku laporan daftar absensi yang merekam kehadiran anggota masyarakat dalam kegiatan pembangunan jalan sebagai dasar perhitungan Hari Orang Kerja (HOK). Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah profil Desa Cibedug untuk mengetahui kondisi umum desa tersebut.
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode analisis data kualitatif. Merujuk pada Bungin (2008), metode analisis data kualitatif memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut : 1) melakukan pengamatan terhadap feno-mena sosial, melakukan identifikasi, revisirevisi, dan pengecekan ulang terhadap data yang ada; 2) melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh; 3) menelusuri dan menjelaskan kategorisasi; 4) menelusuri dan menjelaskan kategorisasi; 5) menjelaskan hubungan-hubungan kategori-sasi; 6) menarik kesimpulan umum; dan 7) membangun atau menjelaskan teori.
Partisipasi masyarakat Desa Cibedug tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan delapan tangga partisipasi masyarakat yang disandingkan dengan skema model pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal. Delapan tangga partisipasi kemudian disederhanakan sebagai berikut : 1) tahap terapi dan manipulasi masuk ke dalam kategori non partisipasi dimana tingkat partisipasi rendah. Tingkat partisipasi rendah dapat disebabkan pembangunan jalan di Desa Cibedug sama sekali tidak menggunakan skema model mekanisme pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal. 2) tahap konsultasi, menyampaikan informasi, dan peredaman/perujukan masuk ke dalam kategori tokenisme atau tingkat partisipasi sedang. Tingkat partisipasi sedang dapat disebabkan pembangunan jalan di Desa Cibedug menggunakan skema model mekanisme pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal namun tiap tahapan yang tidak dilalui secara prosedural. 3) tahap pengawasan masyarakat, pendelegasian kekuasaan dan kemitraan masuk ke dalam kategorisasi tingkat pengambilan keputusan atau tingkat partisipasi tinggi. Tahapan ini tercapai apabila pembangunan jalan di Desa Cibedug menggunakan skema model mekanisme pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal secara prosedural.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan jalan desa dengan teknologi
82
perkerasan otta seal yang dilaksanakan di Desa Cibedug, Kabupaten Bogor mulai dari fase persiapan hingga pengoperasian dan pemeliharaan pasca konstruksi adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan Lokasi
Dalam skema pemilihan lokasi, skema model mekanisme pembangunan jalan partisipatif dengan teknologi otta seal, pemilihan lokasi seharusnya memenuhi kriteria sosial, ekonomi, dan lingkungan serta teknis. Kriteria sosial, ekonomi, dan lingkungan antara lain terkait prioritas kebutuhan masyarakat, akses bagi masyarakat miskin, dan menggerakkan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar. Sementara kriteria teknis antara lain terkait geometri jalan dan akses peralatan berat.
Dalam pembangunan jalan tipe otta seal di Desa Cibedug, partisipasi masyarakat terwujud melalui usulan dan informasi kebutuhan masyarakat Desa Cibedug akan infrastruktur jalan desa. Namun demikian, kriteria teknis terkait geometri jalan dan akses peralatan berat masih menjadi pertimbangan utama, mengesampingkan usulan. Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam tahap ini hanya masuk dalam kategori menyampaikan informasi. 2. Pemetaan Potensi
Sementara dalam tahap pemetaan sosial ekonomi dan lingkungan, partisipasi masyarakat muncul dalam bentuk ide dan mengutarakan pendapat. Proses pemetaan potensi misalnya, pada proses tersebut masyarakat secara aktif menyampaikan pendapat mereka mengenai keterbatasan sumber daya alam di Desa Cibedug guna penerapan teknologi otta seal, beserta alternatif solusinya. Meskipun keputusan pengadaan bahan dan material ditentukan oleh tim teknis, namun kegiatan tersebut mencerminkan tingkat partisipasi pada tangga konsultasi yang berada dalam ranah tokenisme. Tokenisme dalam tangga partisipasi menunjukkan bahwa tingkatan peran serta di mana masyarakat baru sebatas di dengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. 3. Sosialisasi
Dalam pelaksanaan sosialisasi, aura tokenisme masih bisa dilihat karena tingkat partisipasi masyarakat berada dalam tangga ketiga dalam konsepsi Arnstein, yaitu menyampaikan informasi. Hal tersebut didasari pada pelaksanaan kegiatan yang mendudukkan masyarakat pada pihak penerima informasi terkait pelaksanaan kegiatan pembangunan jalan dengan tipe otta seal.
Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dalam pembangunan jalan desa Tipe Otta Seal Ahsan Asjhari 4. Pembentukan dan perkuatan pokja
Jika sebelumnya partisipasi masyarakat masih terbatas, namun tidak demikian dalam tahapan pembentukan pokja. Penentuan bidangbidang dalam pokja, seperti Bidang OP, Bidang Pengawasan, Bidang Penyediaan Bahan/Peralatan, Bidang Ketanagakerjaan, Bidang Konsumsi, dan Bidang Sosialisasi yang muncul atas inisiatif dari masyarakat. Demikian juga dalam penentuan personal yang mengisi pos-pos tersebut, ditentukan berdasarkan inisiatif dari masyarakat tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Hal tersebut didasari pada pemikiran bahwa masyarakatlah yang memahami potensi dan kapasitas personal dalam menduduki pos-pos yang ditentukan. Proses pembentukan kelompok ini lebih cenderung dilaksanakan sebagai upaya agar pokja dapat merangkul anggota masyarakat lain untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan jalan. Dengan demikian dalam proses pembentukan kelompok cenderung berada dalam tingkatan perujukan. 5. Penyusunan rencana aksi
Penyusunan rencana aksi juga mencerminkan upaya perujukan agar masyarakat Desa Cibedug dapat berpartisipasi dalam pembangunan jalan. Dalam kegiatan tersebut, tim dari Pusjatan memberikan arahan berupa rencana kerja teknis penyiapan badan jalan dan pelaksanaan pekerjaan otta seal. Arahan tersebut kemudian diskema ulang guna menginventarisir sumber daya swadaya masyarakat yang dapat dimobilisasi pokja guna mendukung rencana teknis. Kesepakatan pokja untuk memobilisasi sumber daya swadaya masyarakat seperti tenaga kerja, penyediaan lahan, konsumsi, dan peralatan, merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat. 6. Implementasi rencana aksi
Dalam implementasi rencana aksi penyiapan badan jalan dan pelaksanaan alih teknologi otta seal, kemitraan antara masyarakat dan tim teknis
terlihat menonjol. Kemitraan tersebut terlihat dalam pelaksanaan kegiatan dimana tim teknis menyediakan bahan/material, peralatan berat (TR 6 ton), dan juga pengetahuan teknis dalam pekerjaan pemasangan gorong-gorong saluran, pemasangan base beton untuk saluran, pemasangan bata pada bahu jalan, pengurugan agregat kelas B, penghamparan lapis CTSB, serta penerapan otta seal). Sementara masyarakat mengerahkan sumber daya swadaya yang telah disepakati dalam penyusunan rencana aksi. 7. Pemeliharaan pasca konstruksi
Seperti halnya kegiatan sebelumnya, pemeliharaan pasca konstruksi masih memperlihatkan unsur kemitraan antara masyarakat dengan pelaksana program. Berdasarkan arahan dari tim teknis, pemeliharaan pasca konstruksi penting bagi keberlanjutan teknologi. Pasca penerapannya pada tanggal 11-13 September 2011, teknologi perkerasan otta seal membutuhkan waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan untuk memperoleh hasil yang maksimal, dimana aspal mulai mengikat agregat yang ditabur akibat perlindasan lalu lintas. Dalam jangka waktu hingga 3 bulan tersebut, penampakan jalan masih licin akibat agregat yang belum terikat aspal. Dengan demikian diperlukan pengawasan dan pemeliharaan jalan hingga waktu yang ditentukan. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat berinisiatif untuk melakukan kerja bakti rutin untuk mengawasi dan mengembalikan kerikil yang terlepas ke tempat semula. Usulan pokja kepada pemerintah desa untuk mengeluarkan himbauan kepada pemilik kendaraan berat di sekitar jalan, juga merupakan bentuk partisipasi masyarakat. Namun demikan partisipasi masyarakat dalam tahapan ini adalah sebatas penyampaian informasi tersebut. Berikut adalah matriks tingkat partisipasi masyarakat Desa Cibedug dalam tiap tahapan kegiatan pembangunan jalan dengan teknologi otta seal dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi :
Tabel 1. Matriks tingkat partisipasi masyarakat Desa Cibedug dalam pembangunan jalan dengan teknologi otta seal No
Tahapan Kegiatan
Tingkat Partisipasi Rendah
Sedang
Tinggi
1
Pemilihan Lokasi
--
--
2
Pemetaan Potensi
--
--
3
Sosialisasi Kegiatan
--
--
4
Pembentukan dan Perkuatan Pokja
--
--
5
Penyusunan Rencana Aksi
--
--
6
Implementasi Rencana Aksi
--
--
7
Pemeliharaan pasca konstruksi
--
--
Sumber : Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan, 2011
83
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Matriks pada tabel 1 memberikan gambaran tentang skema partisipasi masyarakat dalam pembangunan jalan dengan teknologi otta seal. Terdapat kombinasi tingkat partisipasi masyarakat yang dijumpai dalam tiap tahapan kegiatan tersebut. Pada tahap awal tingkat partisipasi sedang, yaitu pemilihan lokasi, pemetaan potensi, sosialisasi kegiatan, pembentukan, perkuatan pokja, dan penyusunan rencana aksi serta pemeliharaan pasca konstruksi. Partisipasi dalam tahapan tersebut masih terbatas, meskipun masyarakat memiliki peluang untuk menyampaikan pendapat, ide maupun gagasan dalam tiap tahapan tersebut. Namun, peran masyarakat untuk ikut memberikan keputusan masih terbatas karena adanya pertimbangan teknis. Sementara itu, dalam tahapan implementasi rencana aksi, partisipasi masyarakat Desa Cibedug dapat dikategorikan ke dalam tingkat partisipasi tinggi.
Partisipasi masyarakat dalam implementasi rencana aksi tersebut tercermin dalam kegiatan penyiapan badan jalan, dimana partisipasi masyarakat disumbangkan ke dalam bentuk 1) inisiatif masyarakat untuk menyusun buku daftar hadir untuk pencatatan mobilisasi tenaga kerja, 2) inisiatif masyarakat untuk menyusun buku kerelaan lahan, sehingga dapat diketahui siapa saja masyarakat yang memberi keswadayaan dalam bentuk lahan beserta luasannya, dan 3) inisiatif masyarakat untuk mencatat keswadayaan masyarakat dalam implementasi rencana aksi.
Selain non materi, partisipasi masyarakat Desa Cibedug dalam tahapan implementasi rencana
aksi dalam pembangunan jalan juga memberikan partisipasi materi atau unsur keswadayaan, seperti bahan/material, kerelaan lahan, pendanaan, dan peralatan. Partisipasi materi dimobilisasi pada saat implementasi rencana aksi yang berlangsung selama 31 hari, baik itu penyiapan badan jalan dan pelaksanaan alih teknologi. Partisipasi masyarakat dalam bentuk materi antara lain berupa peralatan kerja. Peralatan kerja yang disediakan secara partisipatif antara lain berupa peralatan sederhana, seperti cangkul, cikrak, ember, parang, linggis, gerobak, dan lain sebagainya. Selain peralatan kerja, partisipasi materi (swadaya) masyarakat Desa Cibedug dalam kegiatan implementasi rencana aksi antara lain berupa tenaga kerja, kerelaan dalam pengadaan lahan dan dana swadaya masyarakat. Partisipasi materi tersebut dapat dikonversikan ke dalam rupiah, seperti yang terlihat dalam tabel 2 mengenai bentuk partisipasi materi dalam implementasi rencana aksi.
Pelaksanaan alih teknologi otta seal dilaksanakan sepanjang 473 meter dari total 538 meter jalan yang direkayasa. Jalan tersebut memiliki lebar rata-rata 3 meter, sesuai dengan kondisi badan jalan eksisting. Informasi dari tim teknis pusjatan menyebutkan bahwa penerapan otta seal membutuhkan komponen biaya Rp. 42.000,- untuk setiap meter perseginya, sehingga dengan panjang 473 meter dan lebar 3 meter, dibutuhkan total dana sejumlah Rp. 59.598.000,-. Penerapan alih teknologi otta seal yang dilaksanakan selama 3 hari tersebut, swadaya masyarakat Desa Cibedug jika dikonversikan ke dalam rupiah adalah sejumlah Rp. 21.555.000,-. Dengan demikian total pembangunan JVLRBM tipe otta seal secara partisipatif menelan biaya Rp. 81.153.000,-.
Tabel 2. Bentuk partisipasi materi dalam implementasi rencana aksi
No 1
Pekerjaan
Harga Satuan
638 HOK
Rp. 35.000,-/ hari
Rp. 22.330.000,-
Rp. 75.000,-/ m2
Rp. 12.750.000,-
Dana konsumsi, 28 Hari administrasi, dll Total swadaya masyarakat untuk penyiapan badan jalan (A)
Rp. 300.000,-/ hari
Rp. 8.400.000,-
Pelaksanaan alih teknologi Tenaga Kerja otta seal Pengadaan lahan untuk pelebaran jalan otta seal
78 HOK
Rp. 35.000,-/ hari
Rp. 2.730.000,-
239 m2
Rp. 75.000,-/ m2
Rp. 17.925.000,-
Rp. 300.000,-/ hari
Rp.
Tenaga Kerja
Pengadaan lahan untuk 170 m2 pelebaran jalan
2
Dana konsumsi, administrasi, dll Total swadaya masyarakat untuk alih teknologi (B)
3 Hari
Total swadaya masyarakat (A+B)
Sumber : Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan, 2011
84
Konversi Dalam Rupiah
Jumlah
Penyiapan badan jalan
Bentuk Swadaya
Rp. 43.480.000,-
900.000,-
Rp. 21.555.000,Rp. 65.035.000,-
Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cibedug, Kabupaten Bogor dalam Pembangunan Jalan Desa Tipe Otta SEAL Ahsan Asjhari
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas disimpulkan bahwa sebagian besar tahapan pembangunan jalan desa dengan teknologi perkerasan tipe otta seal di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor berada dalam tingkat partisipasi sedang. Meski demikian dalam tahapan implementasi rencana aksi, masyarakat Desa Cibedug berada dalam tingkat partisipasi tinggi. Partisipasi masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam keberhasilan pembangunan jalan desa dengan teknologi otta seal sepanjang 473 meter di Desa Cibedug, Kabupaten Bogor.
Tahapan pembangunan jalan desa di Desa Cibedug dengan tipe otta seal tersebut merupakan mekanisme pengembangan untuk dapat diaplikasikan di lokus lain. Guna mencapai partisipasi masyarakat yang lebih tinggi, maka diperlukan pendekatan partisipatif yang lebih mengarah kepada kemitraan antara pelaksana kegiatan dengan masyarakat setempat.
Daftar Pustaka
Aliadi, Arif dkk. 1994. Peran serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan; Studi di Ujung Kulon Jawa Barat, Tenganan Bali, Krui Lampung. WALHI, cetakan pertama. Arnstein. 1969. A Ladder of Citizen Participation. JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969. [Balai Pemberdayaan Bidang Ke-PU-an] Pusat Litbang Sebranmas, Balitbang PU. 2007. Penelitian Demoplot Model Peran Masyarakat Dalam Pembangunan Jalan di Desa Undisan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. [Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan] Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan. 2011. Penyusunan Mekanisme Alih Teknologi Penyelenggaraan Jalan Volume Lalu Lintas Rendah dan Biaya Murah Secara Partisipatif. Bungin, M. Burhan. Prof., Dr., H., S., Sos., M.Si. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana. Faisal, Sanapiah. 2008. Format-format Penelitian Sosial. Dasar-dasar dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers. MacCulloch, Frank. 2006. Guidelines For The Risk Management Of Peat Slips On The Construction
Of Low Volume/Low Cost Roads Over Peat. Scotland : Forestry Civil Engineering. Forestry Commission. Overby & Pinard. 2007. The Otta Seal Surfacing. An economic and practical alternative to traditional bintuminous surface and treatment. Norway :Norwegian Public Roads Administration. Petss, Robert. 2007. Rationale For The Compilation Of International Guidelines For Low-Cost Sustainable Road Surfacing. LCS Working Paper No 1. Intech Associaties. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/ PRT/M/2012 Tentang Pedoman Peran Masyarakat dalam Penyeleng-garaan Jalan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Profil Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. 2010. Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat, Merangkai Sebuah Kerangka. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suhaimi, Uzair. 1999. Focus Group Discussion, Panduan Bagi Peneliti Studi Kualitatif Studi Dampak Sosial Krisis Moneter. Kerjasama BPS-AD. Tjokroamidjojo, Bintoro. 1976. Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta :LP3ES. Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan http://ab-fisip-upnyk.com. diakses pada 23 Maret 2011. http://mutcd.fhwa.dot.gov/htm/2009/part5/ part5a.htm diakses pada 23 Maret 2011. http://xa.yimg.com diakses pada 23 Maret 2011.
85
86
Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar Studi Kasus : Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah Community Adaptation to Disaster Lava Flood Case Study: Kemiren, Srumbung, Magelang, Central Java Jati Iswardoyo Balai Sabo Pusat Litbang Sumber Daya Air, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl .Sopalan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Email :
[email protected] Tanggal diterima: 3 Mei 2013 , Tanggal disetujui: 26 Juni 2013
ABSTRACT Merapi Volcanic eruptions produce a material that is potentially causing harm due to dangerous lava flood. However, on the other side, Mount Merapi is also areas that support continuity of livelihood systems for local communities in the slopes of Mount Merapi. The government has implemented sabo technology in the Village of Kemiren, Srumbung District, Magelang regency, Jawa Tengah. This study examines and analyzes the adaptation strategies, specifically adopted lava floods. Adaptation of community-based lava flood involving all available resources phenomenon, such as natural, human and institutional. The study used a qualitative approach through Focus Group Discussion and Depth Interview. Using secondary data and primary data, the scope of the study covers the mining, agricultural and environmental sectors. The results showed a positive role in Kemiren communities in lava floods adaptation, by involving all the potential resources. Kemiren community has a good understanding of the hazards risk. The application of Sabo technology can be done synergistically with Kemiren village community life. Keywords: disaster adaptation , lava flood, application of technology, community, mount merapi ABSTRAK Erupsi Gunung Merapi menghasilkan material yang sangat berpotensi menimbulkan bahaya akibat banjir lahar yang membahayakan. Namun, disisi lain Gunung Merapi juga merupakan kawasan penopang kelangsungan sistem penghidupan (livelihood system) masyarakat lokal di wilayah lereng Gunung Merapi. Pemerintah telah menerapkan teknologi sabo di Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Penelitian ini mengkaji dan menganalisa strategi adaptasi bencana banjir lahar yang diterapkan. Adaptasi bencana banjir lahar berbasis masyarakat melibatkan segala fenomena sumberdaya yang ada, yaitu alam, manusia dan institusi. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif melalui Focus Group Discussion dan Depth Interview. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer dengan lingkup penelitian meliputi sektor pertambangan, sektor pertanian dan sektor lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan peran positif masyarakat Kemiren dalam adaptasi bencana banjir lahar, dengan melibatkan semua potensi sumber daya yang ada. Masyarakat Kemiren telah memahami dengan baik resiko ancaman bencana. Penerapan teknologi sabo yang diterapkan dapat berjalan sinergis dengan kehidupan masyarakat Desa Kemiren. Kata Kunci : adaptasi bencana, banjir lahar, penerapan teknologi, masyarakat , gunung merapi
87
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
PENDAHULUAN Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari upaya responsif menjadi mengutamakan upaya preventif. Untuk itu guna mendukung implementasi dari amanat undang-undang tersebut maka perlu pemahaman yang komprehensif tentang hakikat dan pengetahuan penanggulangan bencana oleh semua jajaran pengambil keputusan termasuk di dalamnya adalah masyarakat. Upaya pengurangan resiko bencana menyatakan pentingnya memperkuat kapasitas-kapasitas pada tingkat masyarakat untuk mengurangi resiko bencana pada tingkat lokal. Hal tersebut didasarkan pada ukuran pengurangan resiko bencana yang tepat, dimana pada tingkat ini memungkinkan komunitas dan individual secara signifikan dapat mengurangi kerentanan terhadap bahaya.
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang sangat aktif di Indonesia, terletak di perbatasan Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah dan dikelilingi oleh pemukiman yang padat penduduk. Erupsi gunung api selalu menghasilkan deposisi material vulkanik berupa abu dan debris gunungapi yang menimbun di lereng badan gunung sehingga Gunung Merapi sangat berpotensi menimbulkan bahaya akibat lava ataupun banjir lahar yang membahayakan penduduk yang tinggal di sekelilingnya. Namun disisi lain Gunung Merapi juga merupakan kawasan penopang kelangsungan sistem penghidupan (livelihood system) masyarakat lokal di wilayah lereng Gunung Merapi, seperti halnya masyarakat di Desa Kemiren Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dengan usaha penambangannya. Dalam mengatasi bencana banjir
Gambar 1. Peta Lokasi Sumber:http://www.tourism-mpu.com/data/map_centraljava.jpg, diunduh pada tanggal 8 November 2012
88
lahar yang mungkin muncul, penerapan teknologi telah dilakukan sebagai bagian adaptasi masyarakat setempat.
Penelitian tentang adaptasi masyarakat sudah pernah dilakukan. Kusumartono (2012) melakukan penelitian tentang adaptasi masyarakat menghadapi krisi air di Pulau Palue. Penelitian menunjukkan bahwa faktor struktural dan kultural mempengaruhi strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam mengantisipasi adanya perubahan iklim. Sedangkan keberterimaan masyarakat terhadap penerapan sebuah teknologi juga pernah dilakukan oleh Putri (2012). Adaptasi positif masyarakat terhadap penerapan kebijakan pembangunan juga diungkapkan dalam Lumongga (2012). Strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana Banjir pasang air laut di kota Pekalongan oleh Rito (2011) juga menjelaskan bahwa adaptasi masyarakat terhadap bencana menjadikan masyarakat dapat menyusun strateginya sendiri dalam menghadapi bencana. Penelitian tentang keberadaan komunitas masyarakat di area Gunung Merapi dengan mengambil tiga desa, yaitu Desa Kemiren, Desa Kepuharjo dan Desa Sindumartani telah diteliti oleh Kamulyan (2010).
Berangkat dari permasalahan ini, penelitian ini mencoba mengkaji dan merumuskan bentuk adaptasi masyarakat terhadap banjir lahar. Sementara penerapan teknologi sabo telah dilakukan di Desa Kemiren yang terletak di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 1. Dengan harapan agar dapat bermanfaat menjadi bahan acuan bagi masyarakat yang mengalami permasalahan serupa.
KAJIAN PUSTAKA
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Anonim 2007). Salah satu bencana adalah banjir lahar atau sering disebut dengan aliran debris. Dalam Legono (2011) dikatakan bahwa aliran lahar atau sering juga disebut aliran debris merupakan aliran campuran massa air dan sedimen yang tercampur menjadi satu yang membentuk sifat fluida tertentu. Tergantung dari intensitas atau kadar pencampurannya, aliran
Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar, Studi Kasus : Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah Jati Iswardoyo lahar juga sering disebut aliran dengan kosentrasi tinggi atau flow with hyper concentrated sediment.
Salah satu upaya pengelolaan bencana banjir lahar yang dilakukan di Merapi adalah penerapan teknologi sabo. Kata sabo berasal dari bahasa Jepang, sa berarti pasir (sand), bo berarti pengendalian (prevention). Sangat disayangkan, sampai saat ini pemahaman teknosabo di kalangan masyarakat luas sangat minim, sehingga muncul kelompok ahli mengatakan bahwa teknosabo adalah infastruktur yang tidak berwawasan lingkungan (Soewarno 2012).
Penerapan teknologi sabo antara lain adalah pembuatan dam sabo. Dam sabo adalah salah satu bangunan yang paling dominan dalam penanggulangan fisik aliran sedimen yang bekerja dalam suatu sistem sabo works. Sasaran dari kegiatan sabo tersebut adalah untuk melindungi manusia dan kekayaannya terhadap bahaya aliran sedimen untuk melindungi infrastruktur dan fasilitas irigasi serta untuk melestarikan lingkungan (Rahmat 2007). Dengan adanya bencana yang memberikan dampak yang luar biasa ini, perlu adanya kapasitas adaptif masyarakat. Menurut O’Brein dalam Kusumartono (2012) kapasitas adaptif adalah kemampuan sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim yang sedang atau diprediksi terjadi atau untuk menanggung beban konsekuensi dari perubahan iklim. Variabel dari kapasitas adaptif adalah kesejahteraan, teknologi, pendidikan, informasi, keahlian, infrastruktur, akses terhadap sumberdaya alam, stabilitas, dan manajemen kemampuan (Kusumartono 2012).
Lebih lanjut adaptasi yang dilakukan, tidak boleh terlepas dari tujuan pembangunan daerah, yang didalamnya adalah keterlibatan masyarakat. Suparna (2009) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, dilaksanakan berbagai program yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yakni : 1) Pengembangan ekonomi daerah
2) Percepatan pengembangan wilayah
3) Peningkatan pemberdayaan masyarakat 4) Percepatan penangan daerah khusus.
Kirmanto (2011) menegaskan dalam rangka upaya mitigasi bencana yang terkait dengan pengembangan institusi masyarakat dapat dilakukan dengan pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat, pembuatan, dan penempatan tanda-tanda peringatan bahaya serta Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang kebencanaan.
Sistem integrasi pengurangan resiko bencana dalam perencanaan dan kebijakan serta penguatan institusi termasuk mekanisme dan kapasitas di tataran masyarakat lokal perlu untuk dikaji lebih lanjut. Menurut Watanabe (2011) sistem pencegahan bencana sedimen harus menggunakan filosofi dasar yaitu kembali ke kepentingan rakyat dan otonomi daerah dengan berpedoman pada (1) Teknologi; (2) Kerjasama Penduduk; dan Pihak Administratif dan (3) Kerjasama Pemerintah Pusat dan Daerah.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi secara lengkap dan mendalam terkait aspek sosial, terutama adaptasi masyarakat. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder melalui studi literatur dan pencarian di internet.
Pengumpulan data primer, dilakukan dengan observasi lapangan, diskusi kelompok secara terarah (focus group discussion-FGD), dan wawancara mendalam (depth interview). FGD dilakukan untuk mengumpulkan data kualitatif dengan cara berdiskusi dengan mengarahkan pada fokus permasalahan yag didiskusikan dengan arahan moderator. Peserta diskusi adalah mahasiswa S2 Magister Pengelolaan Bencana angkatan X, Universitas Gadjah Mada (UGM) sejumlah 20 orang dari berbagai instansi. Fasilitator sekaligus observer, yaitu dosen UGM. Narasumber diskusi diambil dari praktisi rekayasa sabo, agar diskusi masih terkait dengan topik pembahasan. Diskusi dibiarkan berkembang dengan arahan fasilitator. Diskusi dibuat seperti dialog, santai, dan dibiarkan bebas berpendapat namun tetap terarah. Diskusi dilakukan pada saat sebelum dan sesudah melakukan observasi lapangan. Rumusan dilakukan oleh moderator dan selanjutnya hasilnya di-review oleh fasilitator beserta nara sumber. Materi yang didiskusikan menyangkut adaptasi masyarakat Desa Kemiren yang selama ini terjadi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap sumber informasi kunci, yaitu aparat desa, akademisi, praktisi, dan warga sekitar yang berprofesi sebagai petani/peladang baik pemilik lahan maupun buruh penggarap. Wawancara juga dilakukan kepada Prof.Ir. Djoko Legono, Dip.HE, staf pengajar UGM yang membidangi dan membina Lembaga Swadaya “Bumi Lestari”. Sedangkan analisis data dilakukan melalui proses identifikasi, kategorisasi, dan interpretasi yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan (Lumongga 2012).
89
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prosentase (%)
0-4
Kondisi Geografis
5-9
Desa Kemiren dapat dijangkau dari Magelang melalui jalur angkutan umum Magelang – Muntilan – Bulu, dari Yogyakarta melalui jalur Yogya – Tempel – Bulu. Desa Kemiren terdiri dari tiga dusun, yaitu Dusun Kamongan Cilik, Dusun Kemiren, dan Dusun Jamburejo. Desa Kemiren terbagi dalam tiga Dukuh, empat RW dan meliputi enam RT. Desa Kemiren memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara: kawasan lingkar Gunung Merapi b. Sebelah Selatan : Desa Kamongan c. Sebelah Barat : Desa Ngablak
d. Sebelah Timur : Desa Kaliurang
Desa Kemiren ini berbatasan langsung dengan kawasan lingkar Gunung Merapi. Kehidupan masyarakatnya banyak bergantung pada kelestarian lingkungan alam kawasan Lingkar Merapi ini. Baik untuk ketersediaan air, lahan pertanian maupun untuk kebutuhan peternakan serta sebagai daerah bangunan penahan lahar (Sabo Dam) maupun banjir yang berasal dari Gunung Merapi.
Luas Desa Kemiren ini adalah 616,840 ha. Dimana 439,741 ha (71,28%) merupakan area sawah dan ladang, 47,868 ha (7,76%) adalah pemukiman atau area perumahan, 0,029 ha (4,76%) adalah perkantoran pemerintah, dan 129,202 ha (20,54%) adalah tanah lain-lain. Kondisi Struktur Sosial
Penduduk Desa Kemiren sebanyak 1.103 jiwa dengan komposisi penduduk berjenis kelamin lakilaki sebesar 553 (50,13%) sedangkan penduduk berjenis kelamin perempuan sebesar 550 (49,86%) dan kesemuanya WNI. Jumlah penduduk yang berstatus kepala keluarga 296 KK. Dengan demikian rata-rata setiap keluarga beranggotakan 4 orang. Ilustrasi demografi penduduk ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3 (Data Monografi Desa Kemiren bulan Juli tahun 2007). Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa penduduk Desa Kemiren didominasi oleh penduduk muda yang disebut pemuda yang juga merupakan penduduk usia produktif, yaitu usia antara 15-40 tahun sebesar 465 jiwa dengan presentase sebesar 42,15 %. Sedangkan penduduk Desa Kemiren yang berusia antara 40-60 tahun ke atas hanya sebesar 297 jiwa dengan presentase sebesar 26,92 %. Penduduk yang berusia antara 0-14 tahun sejumlah 334 jiwa dengan presentase sebesar 30,28 %. Kondisi Perekonomian
Desa Kemiren merupakan salah satu desa yang terletak tepat di kaki Gunung Merapi dan merupakan
90
10-14 15-19 20-24 25-29 30-39 40-49 50-59 60 ≤ …
Gambar 2. Prosentase Usia Produktif (diolah) Sumber :Anonim, 2007
140 120
Laki-laki
100
Perempuan
80 60 40 20 0
0-4
5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-39 40-49 50-59 60 ≤ …
Gambar 3. Perbandingan Jumlah Penduduk (diolah) Sumber :Anonim, 2007
kawasan yang terletak di kawasan Lingkar Merapi. Penduduk yang terdapat di Desa Kemiren ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan komoditas utama pertanian di desa ini adalah pertanian salak pondoh. Salak pondoh menjadi komoditas utama pertanian di desa ini sejak tahun 1990-an. Oleh karena itu, faktor lingkungan alam seperti ketersediaan air untuk pengairan sawah dan kebun menjadi sangat penting selain untuk kebutuhan sehari-hari. Selain bertani penduduk juga banyak yang memelihara ternak sapi, kambing maupun kerbau, dan ternak unggas lainnya sehingga kebutuhan rumput untuk pakan ternak menjadi tinggi. Hal inilah yang menjadi alasan pentingnya kelestarian lingkungan alam kawasan hutan lingkar Merapi yang mengalami kerusakan pasca aktivitas penambangan pasir di luar badan sungai. Adaptasi Masyarakat
Sistem Mitigasi Resiko Bencana Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar telah membuka mata kita bersama bahwa pengelolaan/manajemen bencana sangat
Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar, Studi Kasus : Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah Jati Iswardoyo diperlukan untuk mengurangi resiko terjadinya kerusakan, kerugian, dan timbulnya korban jiwa melalui kegiatan mitigasi. Secara umum kegiatan mitigasi bencana dapat dibagi dalam tiga kegiatan utama, yaitu: 1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, kesiapsiagaan, dan peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat, dan pengungsian; 3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Pengelolaan/manajemen bencana dalam hal ini adalah kegiatan mitigasi bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana yang dilakukan sebelum, saat terjadi, dan setelah terjadinya bencana alam yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana. Tujuannya untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat, dan pihak berwenang mengenai resiko serta mengurangi kerusakan infrastruktur utama yang berakibat ada hilangnya nilai ekonomis infrastuktur tersebut. Dengan adanya mitigasi maka resiko yang mungkin muncul akan dapat diperkirakan. Penerapan teknologi sabo merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana yang mungkin terjadi, yaitu bencana banjir lahar. Teknologi sabo yang telah diterapkan di Desa Kemiren adalah pembuatan dam sabo yang mengapit Desa Kemiren, yaitu BE-RD3 dan BAD1. Dam sabo berfungsi melindungi manusia dan kekayaannya terhadap bahaya aliran sedimen untuk
Gambar 4. Struktur Organisasi LPSPD Bumi Lestari Sumber :Hasil Observasi
melindungi infrastruktur dan fasilitas irigasi serta untuk melestarikan lingkungan. Pengembangan Institusi Masyarakat
Dengan banyaknya penduduk yang berusia muda, maka ketika terjadi permasalahan dengan lingkungan alam yang terjadi di desa ini para pemuda kemudian tergerak untuk membentuk organisasi swadaya yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan alam di daerahnya dan meningkatkan nilai ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah melalui Lembaga Pengelola Sumberdaya dan Potensi Desa (LPSPD) Bumi Lestari. Struktur Organisasi LPSPD Bumi Lestari digambarkan dalam Gambar 4. Organisasi ini merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang dibentuk tanggal 17 Mei 2008. Tujuan organisasi adalah mengelola sumberdaya dan potensi Desa Kemiren secara adil dan bijaksana serta berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (dalam rangka partisipasi publik dalam pembangunan daerah).
Tabel 1. Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar Pelaku Adaptasi Pemerintah (BBWS Serayu OPAKKementerian Pekerjaan Umum)
Perilaku Adaptasi Penerapan Teknologi Sabo
Analisa Pembuatan Dam Sabo yang mengapit desa Kemiren yaitu BE-RD3 dan BA-D1
Masyarakat (LPPD Bumi Lestari)
Pengelolaan dalam Sektor Petambangan
Mengorganisasi penambangan sedimen dengan menerapkan retribusi. Mengolah blantak (material sisa penambangan) dengan stone crusher
Pengelolaan dalam Sektor Pertanian
Memanfaatkan lahan erupsi dengan menanam tanaman jangka pendek (padi, lombok dan cabe)
Pengelolaan dalam Sektor Lingkungan
Membuat hutan pariwisata Membuat Kolam Ikan Membuat Rekreasi alam Pembuatan Gardu Pandang Bencana
Sumber : Hasil Analisa
91
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar Analisis perilaku adaptasi masyarakat Kemiren berdasarkan pelaku adaptasi, yaitu pemerintah dan masyarakat Kemiren yang diwakili oleh LPPD Bumi Lestari, seperti yang di tampilkan dalam Tabel 1. Kemudian akan dijabarkan dalam paragraf berikutnya. Adapun adaptasi masyarakat yang telah dilakukan oleh penduduk Desa Kemiren pada beberapa sektor, antara lain sektor pertambangan, sektor pertanian, dan sektor lingkungan. • Sektor Pertambangan
Usaha penambangan pasir merupakan salah satu usaha yang mampu menyedot lapangan kerja namun usaha ini juga rawan terhadap pengerusakan lingkungan. Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan, pengrusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung/tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Penambangan material dilakukan di Dam BERD3, yaitu salah satu dam di Kali Bebeng. Dam BERD3 merupakan dam tipe tertutup. Ditunjukkan dalam Gambar 5 dan Gambar 6. Kali Bebeng merupakan perbatasan antara Desa Kemiren dan Desa Kaliurang. Kegiatan penambangan, seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dilakukan oleh masyarakat Kemiren dan masyarakat Kaliurang. Berdasarkan kesepakatan dari kedua desa tersebut pembagian lokasi penambangan di sungai tersebut dibagi 2 dengan batasnya merupakan garis tengah dari sungai tersebut.
Gambar 5. Material yang tertampung di Sabo Dam Sumber :Hasil Observasi
92
Gambar 6. Kondisi Kali Bebeng di hilir Sabo Dam Sumber :Hasil Observasi
Gambar 7. Truk yang mengangkut material Sumber :Hasil Observasi
Setiap truk yang akan melakukan muatan akan dikenakan retribusi yang akan dikutip di portal desa oleh petugas yang ada (gambar 7). Besarnya retribusi yang dikutip adalah Rp. 10.000,-/rit. Setiap truk akan diberi 3 karcis yang di dalamnya tertera harga pasir dan batu. Petugas memberikan tiga lembar karcis yang terdiri dari 1 lembar untuk supir truk, 1 lembar untuk material, dan 1 lembar untuk penambang. Sebagai contoh di dalam karcis tertulis harga pasir Rp. 120.000,-/rit pasir dengan rincian Rp. 100.000,- untuk penambang pasir, Rp. 10.000,untuk pemilik lahan, dan Rp. 10.000,- untuk desa. Dalam 1 hari jumlah truk yang mengangkut material adalah 50 truk dan jumlah penambang +100 orang. Di Magelang hanya baru Bumi Lestari yang menerapkan sistem retribusi ini dari 54 pemegang SPM (Surat Pengambilan Material). Menyadari dampak negatif dari adanya kegiatan penambangan pasir, diantaranya adalah (1) sarana jalan desa yang rusak, (2) pencemaran lingkungan berupa debu, kebisingan, dan kepadatan lalu lintas
Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar, Studi Kasus : Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah Jati Iswardoyo desa, (3) bahaya kerusakan infrastruktur pengendali banjir lahar, (4) penurunan elevasi muka air tanah, dan (5) penurunan kesuburan tanah, maka LSM Bumi Lestari mencoba untuk mengendalikan kegiatan penambangan pasir secara optimal. Dapat dilakukan dengan cara penerapan teknologi pemantauan dan penataan kegiatan penambangan pasir di wilayah Desa Kemiren.
Pengolahan penambangan material golongan C termasuk wilayah kerja bidang pertambangan Mereka mengolah sendiri sisa hasil tambang pasir salah satunya adalah bantak. Bantak biasanya dipisahkan secara manual oleh penambang pasir sewaktu menambang pasir. Bantak biasanya berdiameter antara 10 - 15 cm, karena penambang biasanya mengambil pasir atau batu yang lebih besar dari bantak, sehingga bantak tidak digunakan lagi. Oleh penduduk, bantak dimanfaatkan dengan diolah kembali menjadi split berukuran 1- 4 cm. Pengolahan bantak menggunakan alat pemecah batu (stone crusher), seperti ditunjukkan dalam Gambar 8. Penduduk membeli sendiri stone crusher bekas dari Mojokerto seharga 140 juta. Selanjutnya mesin stone crusher yang ditunjukkan pada Gambar 8 dimodifikasi diganti dengan mesin truk bekas.
kembali lahan bekas erupsi tahun 1961 untuk dipergunakan kembali sebagai lahan budidaya pertanian dengan menggunakan alat berat berupa backhoe.
Pembagian lahan didasarkan pada kepemilikan hak atas tanah (letter C) yang dimiliki secara turun temurun. Biaya yang dikeluarkan untuk menata lahan agar bisa dipergunakan sebagai lahan pertanian, seperti sewa dan operasional alat berat ditanggung oleh pemilik lahan.
Sampai saat ini sudah hampir 23 ha lahan bekas penambangan sudah mulai dibuka kembali dalam waktu kurang lebih 3 bulan untuk selanjutnya tinggal pengukuran lahan garapan bagi penduduk Kemiren yang akan memanfaatkannya. Pada saat penelitian lapangan dilakukan tanaman pertanian yang dibudidayakan selain padi adalah tanaman tomat dan cabe. Lahan pertanian ini memang dikhususkan untuk tanaman jangka pendek.
Lokasi pertanian warga ini dilakukan di sekitar sabo dam BA-D1 Kali Batang yang terletak di Dusun Ngablak, Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung,
Dalam proses penggilingan batu biasanya dibutuhkan 15 – 20 orang dengan kapasitas produksi ± 70 m3 split dan atau pasir. Mereka memproduksi berdasarkan pesanan dengan pendapatan 90 rb/ m3 dan pasir 65 rb/m3. Selanjutnya pasir yang dihasilkan dari proses penggilingan ini dimanfaatkan penduduk dengan cara diolah menjadi batako dan paving block. Dalam proses pembuatan batako ini biasanya dibutuhkan 5 orang pekerja. • Sektor Pertanian
Pada bidang pertanian, masyarakat sekitar yang dibantu oleh LSM Bumi Lestari memanfaatkan
Gambar 8. Kepala Desa Kemiren menjelaskan prinsip kerja Stone Crusher Sumber :Hasil Observasi
Gambar 9. Peta Lokasi pertanian Sumber :Hasil Observasi
Gambar 10. Jalan akses menuju lokasi Sabo Dam BAD1 Kali Batang
Sumber :Hasil Observasi
93
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Kabupaten Magelang, seperti diperlihatkan pada Gambar 9. Dari Gambar 10 terlihat bahwa perkerasan jalan terbuat dari batu yang tersusun rapi. Dari Gambar 11 menunjukkan bahwa lahan bekas penambangan yang ada diolah oleh masyarakat menjadi lahan pertanian sehingga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan dukungan masyarakat dalam menjaga infrastruktur. • Sektor Lingkungan
Akibat penambangan pasir dan batu dalam jumlah besar di wilayah Desa Kemiren pada tahuntahun sebelumnya, kawasan hutan Kaliandra yang berfungsi sebagai daerah resapan air tanah dan benteng penghambat ancaman bencana alam dari Gunung Merapi ini mulai dirambah untuk berbagai kepentingan pertanian. Penebangan pohon dan perambahan hutan ini menyebabkan hilangnya vegetasi penutup lahan yang selama ini berfungsi sebagai area resapan air tanah bagi kebutuhan hidup masyarakat Desa Kemiren. Pengelolaan tanah dan cara bertani yang kurang tepat pasca pembukaan hutan juga telah banyak menghilangkan kesuburan tanah di kawasan ini. Untuk itu, pada saat ini Desa Kemiren bekerjasama dengan Bumi Lestari mulai mengembangkan hutan pariwisata yang berfungsi sebagai areal resapan air serta menata areal rekreasi alam outbond dan sarana flying fox.
Masyarakat Kemiren juga membuat Gardu Pandang sebagai upaya adaptasi dalam bentuk mitigasi bencana. Gardu Pandang, seperti terlihat pada Gambar 12, direncanakan akan dilaksanakan pada awal 2009 tapi baru terlaksana pasca erupsi merapi, di awal 2011. Dana pembangunan gardu pandang bersumber dari bantuan Red Cross Denmark sebesar Rp. 177.000.000,- dalam bentuk material dan 40 % dari swadaya masyarakat serta desain teknis gardu pandang tersebut merupakan
Gambar 11. Lahan bekas penambangan yang dijadikan lahan pertanian Sumber :Hasil Observasi
94
hasil kerjasama dengan UGM.
Dalam penyusunan proposal kegiatan keterlibatan masyarakat diwujudkan dalam bentuk penyampaian aspirasi pada perencanaan gardu pandang. Sedangkan untuk desain dan gambar konstruksi diserahkan kepada Dinas PU Magelang sebagai kontribusi dari Pemda Magelang. Tapi pada pelaksanaan di lapangan gambar desain mengalami revisi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
Sejak erupsi merapi ekonomi masyarakat menurun sehingga pembangunan gardu pandang diambil alih oleh Bumi Lestari. Pembangunan gardu pandang untuk sementara berhenti karena terkendala dana. Sementara masyarakat juga mulai mengembangkan hasil wisata lain yaitu wisata kolam pemancingan ikan di dekat Gardu Pandang. Rumusan Adaptasi Masyarakat
Bencana alam adalah fenomena alam yang apabila dicermati kemunculannya memiliki pola keteraturan, periode ulang tertentu, lokasi yang terdampak dapat diprediksi, bahkan besarnya pun dapat dicatat dengan baik. Kejadian bencana banjir lahar juga merupakan kejadian yang dapat diprediksi. Banjir lahar dipengaruhi kemiringan lereng sungai, material yang tersedia, dan air hujan sebagai pengangkutnya. Curah hujan dapat diprediksi dengan metode statistik, walaupun masih tetap mengandung kesalahan. Penerapan teknologi sabo oleh pemerintah pusat dimana dilaksanakan oleh BBWS Serayu Opak, berupa pembuatan dam BE-RD3 dan BA-D1, telah dilakukan dengan tujuan untuk mengendalikan bencana banjir lahar. Pemahaman masyarakat tentang potensi bencana, fenomena dan mekanisme kejadian banjir lahar, menjadi landasan adaptasi yang dilakukan. Masyarakat Kemiren menjadi lebih siap dan waspada dengan adanya bencana
Gambar 12. Tampak Depan Gardu Pandang Sumber :Hasil Observasi
Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar, Studi Kasus : Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah Jati Iswardoyo banjir lahar walaupun mereka tinggal didaerah rawan bencana. Setelah terjadi letusan Merapi, sebagai bencana primer, bencana sekunder yang mungkin muncul adalah banjir lahar dingin. Dengan penerapan teknologi sabo maka hal ini telah dapat teratasi. Masyarakat Kemiren mampu hidup berdampingan dengan bencana banjir lahar, dengan cara beradaptasi dengan adanya penerapan teknologi sabo.
Masyarakat Desa Kemiren telah mengambil langkah-langkah adaptasi yang mengacu pada tujuan pembagunan. Adaptasi dalam rangka pengembangan perekonomian didukung dengan berkembangnya aktifitas penambangan. Masyarakat melakukan penarikan retribusi dengan tujuan untuk kemakmuran desa. Masyarakat Kemiren melakukan pemantauan dan penataan kegiatan penambangan pasir. Masyarakat memahami jumlah, jarak, dan jangka waktu penambangan. Penambangan pasir dan pengambilan batu yang menyisakan material berupa Bantak oleh masyarakat Kemiren selanjutnya dijadikan split dengan menggunakan alat stone crusher. Hal ini sangat bermanfaat, selain menambah penghasilan masyarakat setempat, juga mengurangi potensi bencana banjir lahar, dikarenakan material banjir yang berkurang.
Kekawatiran penduduk akan bahaya letusan dan banjir lahar, akan berdampak negatif bagi potensi pariwisata daerah. Oleh karena itu, masyarakat Kemiren melalui LPPD Bumi Lestari melakukan adaptasi dalam rangka Pengembangan Wilayah. Pengembangan wilayah dilakukan dengan program
pariwisata seperti flying fox dan gardu pandang. Selain itu masyarakat Kemiren memanfaatkan kembali lahan yang pernah terkena erupsi menjadi lahan pertanian jangka pendek dan juga hutan pariwisata. Diharapkan dengan adanya kegiatan pariwisata ini akan menambah pendapatan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah menyerap lapangan kerja, terutama usia produktif.
Adaptasi masyarakat juga dilakukan dengan menjaga infrastruktur yang ada, termasuk menjaga dam sabo. Hal ini karena masyarakat menyadari adanya bencana banjir lahar yang dimungkinkan melanda daerah mereka. Partisipasi masyarakat dalam menjaga infrastruktur diwujudkan dalam pengawasan penambangan. Penambangan senantiasa dijaga supaya tidak merusak dam yang sudah ada serta tetap terjaganya imbangan sedimen antara hulu dan hilir. Pengelolaan bencana tentunya membutuhkan peran dari banyak pihak. Masyarakat Kemiren beradaptasi dengan membentuk kelompok masyarakat yang bernama LPPD Bumi Lestari. Peran Lembaga Bumi Lestari dalam memberdayakan masyarakat sangat signifikan. LPPD Bumi Lestari menjadi menjadi lembaga sentral dan representatif masyarakat Kemiren dalam pola kerjasama dengan pihak luar, yaitu akademisi, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain, dan swasta (pihak penambang). Adapun skema peran LPPD Bumi Lestari disimpulkan dalam Gambar 13.
Gambar 13. Skema kerjasama masyarakat Kemiren dengan pihak luar Sumber :Hasil Observasi
95
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Pada prinsipnya adaptasi masyarakat dilakukan secara multi sektoral, yaitu pertambangan, pertanian, dan lingkungan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, terbukti berhasil. Kekhawatiran bahwa akan terjadi penolakan penduduk setempat ataupun ahli terhadap teknologi sabo yang berdampak buruk pada lingkungan tidak terbukti. Masyarakat desa Kemiren mampu menunjukkan adaptasi positif terhadap penerapan teknologi sabo.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Adapasi bencana banjir lahar berbasis masyarakat melibatkan segala fenomena sumberdaya yang ada, yaitu alam, manusia, dan institusi. Masyarakat Desa Kemiren Kabupaten Magelang melalui lembaga swadaya “Bumi Lestari” telah menunjukkan praktek langkah positif dalam mengelola potensi di daerahnya yaitu dengan meningkatkan nilai manfaat dari deposit material pasir dan batuan vulkanik serta pemanfaatan lahan dengan sistem agro-ekosistemnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
2. Dari hasil pengamatan dan interaksi di lapangan, masyarakat Desa Kemiren sudah cukup memahami ancaman dan resiko bencana yang mungkin dapat terjadi dan menimpa geografis wilayah desa serta masyarakatnya, baik itu resiko ancaman langsung dari erupsi Gunung Merapi maupun pasca erupsi berupa banjir lahar. Sehingga hal ini memotivasi masyarakat setempat untuk terus meningkatkan kapasitasnya dalam kesiapsiagaan dan pengelolaan lingkungannya sebagai upaya mitigasi bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Data Monografi, Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Kamulyan, B. Dkk,. 2010. Institution Establishment and Its Role in Sustainable Environmental Management at Mt. Merapi Area. Proceeding International Workshop on Multimodal Sediment Disasters Triggered by Heavy Rainfall and Earthquake and the Countermeasures. Yogyakarta, Indonesia, March 8-9, 2010. Kirmanto, Djoko. 2011. Keynote Speech, dalam Seminar Nasional Penanganan Aliran Sedimen, UGM, Yogyakarta. Kusumartono, Hermawan, FX. 2012. Adaptasi Masyarakat Menghadapi Krisis Air Studi Kasus Masyarakat Pulau Palue. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol.4 : 79-91.
96
Legono, D., dkk. 2011. Dampak Aliran Lahar Terhadap Fenomena Gerusan di Sekitar Bangunan Sungai di Wilayah G.Merapi, Prosiding Simposium Gunung Merapi, UGM, Yogyakarta. Lumongga, RI, dkk. 2012. Dampak kebijakan Pembangunan Jalan Tol Terhadap Kemandirian Masyarakat. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol.4. p.45-53. Putri, Ratih R. 2012. Keberteriamaan Masyarakat terhadap Inovasi Teknologi Bambu Laminasi Sebagai Alternatif Pengganti Kayu Konstruksi, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol.4. p.45-53. Rahmat, Ali. 2007. Pengelolaan Sedimen Kali Gendol Pasca Erupsi Juni 2006, Tesis. Program Studi Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA) UGM, Yogyakarta. Rito, Su, dkk. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut Di Kota Pekalongan didownload dari http:// mppdas.geo.ugm.ac.id/wp-content/uploads/ strategi.pdf Soewarno, dkk, Perspektif Pengembangan Teknosabo dalam Kegiatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Jurnal Sabo, Vol.2 No 1. 2012. Hal 37-48. Suparna,L.B. 2009. Diktat kuliah Pemberdayaan Masyarakat, Magister Pengelolaan Bencana Alam, UGM. Watanabe, Fumito. 2011. Integrated Sediment Related Disaster Management. UGM, Yogyakarta h t t p : / / w w w. to u r i s m - m p u . c o m / d a t a / m a p _ centraljava.jpg diakses pada 8 November 2012.
ALTERNATIF DASAR PERHITUNGAN NILAI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN WADUK 1
Calculation Base Alternative of Land Price for Dam Development Andi Suriadi1, Andri Hakim2 1
2
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura No. 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Email:
[email protected] Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura No. 20 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 11 Mei 2013, Tanggal disetujui: 7 Juni 2013
ABSTRACT Recently, one of the problems that hinder dam development is land acquisition. Some landowners are reluctant to give up their land to the compensation values offered by Land Supply Committee. The landowners often demand higher price than the platform, but there is no strong legal basis to pay higher than the platform. Whereas the existing land price calculation model is mainly based on tangible aspects (taxes, distance, area, function, slope, and condition), lands also hold intangible values for the owners. This research use qualitative method, conducted in four locations: Karian dam, Batutegi dam, Sermo dam, and Jatibarang dam. The research shows three important intagible variables in socio-cultural aspect, namely magical-religious value, ways to own the land, and the duration of ownership. The variables could be accomodated in calculation of land price. The alternative variables address both various characteristics of land price and landowners’ expectation more objectively and accountably. Therefore, the role of land brokers which often exaggerate the land price could be minimized and consequently, in the future, land acquisition will no longer be a dominant issue hampering dam development. Key word: calculation alternative based, land price, socio-cultural, compensation, dam development ABSTRAK Akhir-akhir ini, salah satu permasalahan yang masih terus menghambat pembangunan waduk adalah pengadaan tanah. Pada kenyataannya, tidak semua pemilik tanah mudah menyerahkan tanahnya dengan nilai ganti rugi yang sudah ditentukan oleh Panitia Pengadaan Tanah berdasarkan estimasi Tim Appraisal. Persoalannya adalah seringkali pemilik tanah menginginkan harga tanah lebih tinggi dari platform. Sementara itu, pihak proyek tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk membayar di atas platform yang sudah ditetapkan. Akar masalahnya adalah model perhitungan harga tanah selama ini masih cenderung berdasarkan aspek yang sifatnya tangible (pajak, jarak, luas, kegunaan, kemiringan, dan kondisi). Padahal, bagi pemiliknya, tanah bukan hanya bersifat tangible, melainkan juga intangible. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian ini yang dilakukan di empat lokasi: Waduk Karian, Waduk Batutegi, Waduk Sermo, dan Waduk Jatibarang menemukan ada tiga variabel intangible (bersifat sosial-kultural) yang penting diperhatikan: religius-magis, cara memperoleh tanah, dan durasi memiliki tanah. Untuk itu, ketiga dasar 1 Sebagian gagasan dalam tulisan ini sudah disampaikan dalam acara Seminar Nasional Bendungan Besar 2013 dengan tema “Dam in a Global Challenging Environment” 27-28 Maret 2013 di Batam, Kepri.
97
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
alternatif tersebut dapat dipertimbangkan dalam perhitungan nilai tanah. Alternatif tersebut mengakomodasi berbagai karakteristik (tipologi) harga tanah dan harapan pemilik tanah secara lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, juga dapat mereduksi peran calo/makelar tanah yang sering turut bermain dalam mempengaruhi besarnya harga tanah. Dengan demikian, di masa mendatang pembangunan waduk diharapkan tidak lagi terhambat hanya karena masalah tanah. Kata Kunci: alternatif dasar perhitungan, harga tanah, sosial-kultural, ganti rugi, pembangunan waduk
Pendahuluan Sulit diingkari bahwa tuntutan pemenuhan pembangunan waduk di Indonesia semakin hari semakin mengalami peningkatan. Pentingnya fungsi waduk, baik dalam memenuhi kebutuhan air irigasi, air minum, maupun pembangkit tenaga listrik telah membuat pembangunannya diusahakan semaksimal mungkin. Apalagi, untuk mencapai kemandirian pangan, diperlukan tambahan luas lahan tanaman pangan (Lubis 2012) yang berarti bahwa irigasi menjadi semakin penting dibangun.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010-2014, disebutkan bahwa pada periode tahun 2010 target output pembangunan waduk sebanyak 7 buah (dalam pelaksanaan pembangunan), sedangkan untuk periode 20102014 target output mengalami peningkatan, yakni 52 waduk (dalam pelaksanaan pembangunan) dan 6 buah (selesai pembangunannya). Besarnya perhatian pemerintah terhadap upaya pembangunan waduk tersebut, jika dikaitkan dengan pengalaman selama ini (seperti Waduk Jatigede di Jawa Barat maupun Waduk Nipah di Jawa Timur) kemungkinan akan mengalami berbagai hambatan, terutama pada persoalan pengadaan tanah. Hambatan pengadaan tanah dalam pembangunan waduk secara umum terletak pada persoalan besaran nilai ganti rugi. Di satu sisi, pihak yang membutuhkan tanah menghitung besaran ganti rugi sesuai dengan dasar perhitungan yang terdapat dalam berbagai peraturan. Namun demikian, di sisi lain pihak pemilik tanah seringkali memiliki dasar perhitungan yang berbeda, bahkan seringkali dianggap berlebihan. Hal tersebut dapat dimengerti karena pemahaman tanah antara satu pihak dengan pihak lain tidak selamanya sama. Pada taraf tertentu, beberapa konsep dimensi tentang tanah yang sifatnya tangible pada dasarnya dipahami dan disepakati semua pihak, misalnya ukuran jarak, luas, kemiringan, dan kegunaan. Namun demikian, patut disadari bahwa konsep tanah ternyata bukan hanya bersifat tangible, melainkan juga ada yang bersifat intangible yang hanya dapat dipahami oleh pemilik
98
beserta komunitasnya, terutama pada masyarakat di kawasan perdesaan, tempat pembangunan waduk banyak dilakukan.
Kendatipun sejumlah instrumen perundangundangan seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria sebagai hukum agraria nasional pertama berlandaskan Pancasila (Rachman 2012) dan UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda yang Ada di Atasnya serta berbagai Kepres dan Perpres yang dapat digunakan dalam rangka mempercepat proses penyelesaian pengadaan tanah, secara faktual di masa lalu masih ada beberapa hambatan dalam mendorong pemilik tanah melepaskan tanahnya untuk pembangunan waduk. Keluarnya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah membawa harapan baru bagi terselenggaranya proses pengadaan tanah yang lebih demokratis dan adil. Mendukung hal tersebut, dibutuhkan telaah atau kajian yang mendalam agar permasalahan terhambatnya proses pengadaan tanah dapat diminimalisasi.
Sebenarnya, telaah atau kajian tentang nilai/ harga tanah pada dasarnya sudah pernah dilakukan. Darmawan dan Indriayati (2005) melakukan penelitian harga dasar tanah di perkotaan (Kabupaten. Badung, Kota Denpasar, Kabupaten. Bogor, dan Kota Bogor). Berdasarkan hasil survei, mereka menemukan ada empat variabel penting yang menentukan harga tanah dengan tingkat (bobot) yang berbeda-beda, yakni status tanah (30,17%), kemanfaatan (30,05%), aksesibilitas/ fasilitas (26,83%), dan kelembagaan (12,95%). Hermit (2009) juga melakukan penaksiran harga tanah di perkotaan dengan sampel lokasi di Ciamis, Jawa Barat. Dengan mempergunakan model Von Thunnen, ia menemukan bahwa variabel jarak ke centre business district (CBD) berpengaruh secara signifikan terhadap harga tanah. Rachmawati, Bambang, dan Moehammad (2013) meneliti
Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim tentang perubahan nilai tanah akibat aktivitas penambangan batu kapur di Kabupaten Rembang. Mereka menemukan bahwa harga pasar pada zona permukiman lebih tinggi dibanding dengan zona sawah, baik pada lokasi yang dekat dengan tambang maupun jauh dari tambang. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga yang berada di sekitar lokasi tambang memandang zona permukiman lebih cepat untuk dikembangkan menjadi usaha pendukung dibandingkan pada zona sawah.
Dalam konteks pengadaan tanah untuk pembangunan, Nusantara (tanpa tahun) juga meneliti tentang harga tanah di Jalan Lintas Utara Kabupaten Bekasi Jawa Barat Tahap II. Dengan menggunakan metode hierarchial clustering analysis (HCA), dari 115 persil tanah ia mengklasifikasikannya menjadi 19 cluster dengan harga yang berbeda-beda berdasarkan variabel lokasi, letak, surat tanah, peruntukan, sarana, dan prasarana. Sutaryono (2013) mengkaji tentang pengadaan tanah untuk rencana pembangunan bandara Kulon Progo Yogyakarta. Ia mengemukakan bahwa pemberitaan di berbagai media mengenai penetapan besaran ganti rugi sebesar Rp 50.000,00/ meter persegi mencerminkan harga tanah dinilai berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk Pajak Bumi Bangunan (PBB). Padahal, menurutnya riset yang selama ini dilakukan menunjukkan bahwa harga tanah berdasarkan NJOP hanya berkisar 20% - 40% dari harga pasar. Hal ini berarti harga tanah yang didasarkan pada NJOP lebih kecil dibanding harga pasar. Menurutnya, di satu sisi kondisi ini menguntungkan pemilik tanah dalam hal kewajiban membayar pajak karena jumlahnya kecil, tetapi di sisi lain pemilik tanah merasa dirugikan apabila NJOP dijadikan dasar sebagai dasar dalam pemberian ganti rugi. Penelitian-penelitian yang dilakukan di atas telah memberikan kontribusi sesuai kadarnya masing-masing. Namun demikian, tampaknya masih cenderung melihat harga/nilai tanah dalam dimensi fisik/lingkungan, legalitas, dan ekonomi. Sejauh ini belum ada kajian yang berusaha mengindentifikasi dasar perhitungan nilai tanah dalam konteks pengadaan tanah yang lebih bersifat sosial-kultural. Padahal, nilai tanah yang berdimensi sosial-kultural justru seringkali menjadi alasan bagi pemilik tanah untuk enggan melepaskan tanahnya. Oleh karena itu, menarik dikaji tentang: (a) Dasar alternatif perhitungan nilai tanah yang berdimensi sosial-kultural apa saja yang penting dipertimbangkan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan waduk? (b) Indikator apa saja dari dasar alternatif tersebut yang dapat digunakan untuk menghitung
besaran nilai ganti rugi?
Untuk itu, diharapkan ada pilihan alternatif berdimensi sosial-kultural yang dapat digunakan sebagai dasar perhitungan nilai tanah beserta indikatornya. Dengan demikian, di masa yang akan datang diharapkan dapat mendukung percepatan proses pengadaan tanah yang pada akhirnya juga mengakselarasi pembangunan waduk.
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Tanah Tanah adalah suatu entitas yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dari sanalah manusia berasal, di sanalah manusia berinteraksi, dan ke sanalah manusia akan pergi. Oleh karena itu, tanah tidak cukup dipandang hanya dari satu dimensi saja, tetapi harus dilihat secara komprehensif. Namun demikian, secara sederhana untuk memahami konsep tanah, paling tidak dapat dilihat dari empat dimensi: fisik/lingkungan, legalitas, ekonomi, dan sosial-kultural. Dari dimensi fisik/lingkungan, tanah dapat dipahami dalam berbagai konsep. Pertama, tanah dalam konsep alam (nature), yakni tanah memiliki hubungan yang erat dengan situasi alam sekitarnya. Dengan demikian, kita mengenal ada tanah yang subur dan ada tanah yang tandus. Kedua, tanah dalam konsep ruang (space), yakni unsur ruang yang penting adalah jarak, lokasi, konfigurasi, dan ukuran/skala (Nasucha 1995 dan Barlowe 1958).
Dari dimensi legalitas, tanah dapat dipahami berdasarkan kekuatan hukumnya. Dalam klasifikasi dimensi legalitas tanah berdasarkan status hukumnya, dikenal ada tanah bersertifikat hak milik, sertifikat tanah hak guna bangunan, sertifikat tanah hak guna usaha, dan belum ada sertifikat. Semakin tinggi atau kuat status hukum suatu tanah akan semakin tinggi pula nilai tanah tersebut (Darmawan dan Indriayati 2005). Dari dimensi ekonomi, tanah juga dapat dipahami dari berbagai konsep. Pertama, tanah sebagai faktor produksi (a factor of production), yakni tanah diperhitungkan sebagai sumber penghasil makanan, bahan bangunan, dan sumber energi. Kedua, tanah dalam konsep situasi (situation), yakni lokasi dari aktivitas perekonomian dan aksesibilitasnya. Ketiga, tanah dalam konsep properti (property), yakni tanah berkaitan dengan hak kepemilikan dan penggunaannya. Keempat, tanah dalam konsep modal (capital), yakni tanah dianggap sebagai modal yang dapat dibeli dan disewa. Kelima, tanah dalam konsep barang konsumsi (a consumption good), yakni tanah dianggap sebagai barang konsumsi
99
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
seperti perumahan dan tempat rekreasi (Nasucha 1995 dan Barlowe 1958).
Dari dimensi sosial-kultural tanah dapat pula dipahami dalam beberapa konsep. Pertama, tanah dalam konsep kosmis-religius-magis, yakni tanah dapat dianggap suci dan dikramatkan/disakralkan karena memiliki kekuatan magis terkait peristiwa yang pernah terjadi di sekitar tanah tersebut. Kedua, tanah dalam konsep ikatan psikologis, yakni terdapat ikatan psikologis dan emosional antara pemilik dan tanah, sebagai tempat dilahirkan, dibesarkan, dan menjalani aktivitas sosial. Ketiga, tanah juga sebagai identitas sosial (etnik, komunalitas atau kaum), yakni terdapat hubungan yang erat antara tanah dengan kelompok sosial yang berdiam di atas tanah. Keempat, tanah dalam konsep status sosial, yakni kepenguasaan tanah akan memancarkan status sosial seseorang atau harga diri suatu kaum, misalnya pemilik tanah mampu menempatkan dirinya sebagai gantungan dari puluhan petani penggarap. (Salindeho 1994; Erari 1999; Hendrati 2002; Wirutomo 2011; Husein 1995; Jayadinata 1999; Zubir 2010; dan Tukgali 2010).
Berbagai dimensi terhadap konsep tanah seperti yang dikemukakan di atas sering menjadi dasar untuk mengestimasi harga/nilai tanah. Namun demikian, adakalanya satu pihak lebih mementingkan dimensi dan konsep yang satu dibanding dengan lain atau sebaliknya. Misalnya, satu pihak menganggap dimensi ekonomi lebih penting dibanding dengan dimensi sosial-kultural, tetapi di pihak lain justru dimensi sosial-kultural lebih penting daripada dimensi ekonomi dan sebagainya. B. Dasar Perhitungan Nilai/Harga Tanah
Sejauh ini dasar perhitungan untuk menentukan nilai tanah bermacam-macam. Namun demikian, pada umumnya, perhitungan nilai/harga tanah dalam pengadaan lahan bagi pembangunan untuk kepentingan umum didasarkan atas beberapa variabel.
Pertama, faktor luas tanah. Faktor ini membedakan antara tanah yang luas dan tanah yang sempit berdasarkan ukuran luas seperti meter persegi atau hektar. Semakin luas suatu bidang tanah, akan semakin tinggi pula nilai/ harganya. Kedua, faktor jarak ke pusat kota (Central Business District/CBD). Pertimbangan faktor ini dikemukakan oleh Von Thunnen bahwa semakin jauh jarak dari CBD, maka semakin murah harganya. Sebaliknya, semakin dekat dengan CBD, maka akan semakin tinggi harganya (Hermit 2009). Ketiga, kegunaan tanah. Pertimbangan faktor ini karena tanah digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti tempat usaha, perumahan, pekarangan,
100
pertanian, perkebunan, atau dibiarkan begitu saja. Pada umumnya, semakin tanah tersebut digunakan sebagai tanah untuk tempat usaha atau permukiman, akan semakin tinggi nilai/harganya. Sebaliknya, semakin tanah tersebut dibiarkan begitu saja (tidak produktif), akan semakin rendah pula nilai/harganya. Keempat, prasarana dan sarana yang tersedia. Pertimbangan faktor ini penting karena ada lokasi yang lengkap dukungan prasarana dan sarananya, sedangkan ada pula lokasi yang dukungannya relatif minim. Pada umumnya, semakin lengkap dukungan prasarana dan sarana suatu lokasi tanah, akan semakin tinggi pula nilai/ harganya dan sebaliknya. Kelima, status legalitas tanah. Pertimbangan faktor ini penting karena ada tanah yang memiliki tingkat legalitas yang kuat, ada pula yang legalitasnya relatif lemah. Wujud dari legalitas tersebut adalah sertifikat, girik, SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang), surat keterangan dari lurah/desa, dan bukti akta jual beli. Pada umumnya, semakin tanah tersebut memiliki sertifikat, akan semakin tinggi nilai/harganya dan sebaliknya. Keenam, kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Faktor ini penting karena ada kawasan yang diperuntukkan untuk kawasan permukiman dan konservasi. Pada umumnya, semakin tanah tersebut diperuntukkan untuk permukiman, akan semakin tinggi pula nilai/harganya dan sebaliknya. Ketujuh, nilai jual objek pajak (NJOP). Faktor sebenarnya merupakan akumulasi dari berbagai aspek yang menjadi pertimbangkan bagi Ditjen Pajak untuk menetapkannya. NJOP ini juga sering menjadi dasar dalam menentukan besaran nilai ganti rugi. Semakin besar NJOP suatu bidang tanah, semakin besar pula nilai ganti ruginya dan sebaliknya.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Alasannya adalah metode ini dapat menjadi sarana untuk menemukan dasar yang selama ini dijadikan oleh pemilik tanah sebagai sesuatu yang dipandang penting terkait dengan tanah yang dimilikinya. Dengan demikian, hal tersebut dapat diangkat sebagai alternatif dasar perhitungan dalam menentukan besaran ganti rugi.
Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam terhadap para pemilik tanah yang terkena pembebasan untuk pembangunan waduk. Dalam mencari informan, pertama-tama dilakukan koordinasi dengan pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) untuk mengetahui lokasi dan nama pemilik tanah yang terkena pembangunan waduk. Selanjutnya, dipilih informan pemilik tanah secara purposif.
Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim Untuk mencari informan yang lain digunakan teknik snowball, yakni setelah menemukan informan pertama, selanjutnya dari mereka kemudian diketahui informan yang relevan untuk diwawancarai (Bryman 2004). Teknik observasi dengan cara mengunjungi secara langsung lokasi tanah yang terkena pembebasan. Selain itu, digunakan juga teknik studi literatur terutama menelaah kajian dan data sekunder yang terkait dengan tema dan lokasi penelitian digunakan pula untuk mendukung teknik wawancara mendalam. Untuk menganalisis data, digunakan tiga tahap. Pertama, tahap identifikasi, yakni melakukan identifikasi tentang dasar yang dipandang penting oleh dalam memandang tanahnya. Selain itu, juga diidentifikasi alasan atau argumentasi pemilik tanah sehingga enggan melepaskan tanahnya untuk pembangunan waduk. Kedua, kategorisasi, yakni melakukan pengelompokan tentang faktor-faktor dasar pertimbangan serta indikator-indikatornya. Ketiga, tahap interpretasi, yakni melakukan penjelasan terhadap faktor-faktor dan indikatorindikator tersebut, baik secara terpisah maupun dilihat keterkaitannya.
Proses pembebasan lahan sudah dimulai sejak tahun 2008. Hingga tahun 2012, jumlah luasan lahan yang telah dibebaskan sudah mencapai 589,62 ha (Ditjen SDA, 2013). Adapun gambaran mengenai lokasi rencana pembangunan waduk dapat dilihat pada Gambar 1. 2. Lokasi Pembangunan Waduk Jatibarang, Jawa Tengah
Pembangunan Waduk Jatibarang secara administratif berada di wilayah Kota Semarang terletak di 4 (empat) kelurahan dalam 2 (dua) kecamatan: Kelurahan Kedungpane dan Kelurahan
Penelitian ini dilaksanakan di empat lokasi pembangunan waduk dengan dua kategori, yakni (a) lokasi proses pembebasan lahan serta pembangunan waduk yang sudah selesai dengan sampel lokasi di Waduk Batutegi, Lampung dan Waduk Sermo Yogyakarta; dan (b) lokasi yang baru pada tahap proses pembebasan lahan dengan sampel lokasi di Waduk Karian, Banten dan Waduk Jatibarang, Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2011-2012.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Lokasi Pembangunan Waduk Karian, Banten Lokasi pembangunan Waduk Karian secara adminsitratif berada dalam wilayah 11 desa dan 4 kecamatan, di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Total lahan yang dibutuhkan dalam pembangunan waduk tersebut sebesar 2.170 ha, yang meliputi: tubuh bendung (42,70 ha), jalan masuk (20 ha), greenbelt (347,30 ha), quarry area (20 ha), dan genangan waduk (1.740 ha). Waduk ini direncanakan memasok air baku perkotaaan dan industri di Kota Tangerang, Banten sebesar 9,1 m³/ detik. Selain itu, akan memasok tambahan air baku dan industri Kota Serang, Cilegon dan tambahan air irigasi untuk Daerah Irigasi Ciujung 23.000 ha (Ditjen SDA, 2013).
Gambar 1. Lokasi Rencana Pembangunan Waduk Karian, Banten
101
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Jatibarang (Kecamatan Mijen) dan Kelurahan Jatibarang dan Kelurahan Jatirejo (Kecamatan Gunungpati).
dilaksanakan pembebasan tanah lagi. Sementara itu, konstruksi waduk baru dapat dilakukan pada tahun 1994. Adapun gambaran Waduk Batutegi dapat dilihat pada Gambar 3.
3.
4. Lokasi Pembangunan Yogyakarta
Adapun lokasi rencana pembangunan Waduk Jatibarang dapat dilihat pada Gambar 2. Lokasi Pembangunan Lampung
Waduk
Batutegi,
Luas lahan (tanah) yang dibebaskan untuk pembangunan Waduk Batutegi berjumlah 3.006 ha meliputi 7 desa dan 2 kecamatan di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Pembebasan lahan dimulai sejak tahun 1981, namun sempat berhenti beberapa tahun. Masyarakat yang terkena pembebasan lahan menyatakan bahwa prosesnya relatif panjang yang kemudian menyebabkan keresahan akibat belum adanya kepastian kelanjutannya. Baru pada tahun 1990-1993
102
Sermo,
Waduk Sermo terletak di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas genangan kurang lebih 157 Ha. Secara hidrologis, bendungan Sermo berada dalam kawasan DAS Kali Ngrancah, yang merupakan bagian dari jaringan anak sungai Kali Serang. DAS Ngrancah ini berbentuk kipas dengan luas mencakup 22 km2, yang merupakan 8,5% dari luas DAS Serang yang memiliki luas 270 km2. Dalam waktu normal, aliran Kali Ngrancah
Gambar 2. Lokasi Rencana Pembangunan Waduk Jatibarang, Jawa Tengah Sumber: data LARAP tahun 2005
Waduk
Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim sehingga dimungkinkan membuka ruang bagi adanya pertimbangan faktor lain. Hal ini amat penting karena secara konseptual dalam banyak kelompok masyarakat, masih dapat ditemukan komunitas yang tidak semata-mata hanya berpikir fisik/lingkungan, legalitas, dan ekonomi saja, tetapi tetap mempertimbangkan aspek sosialkutural. Berdasarkan temuan lapangan, terdapat beberapa aspek yang oleh masyarakat penting dipertimbangkan dalam perhitungan nilai tanah. (1) Konsep Religius-Magis Gambar 3. Waduk Batutegi, Lampung Sumber: Data Sekunder
menyumbang 17,9% aliran permukaan Kali Serang. Bendungan yang menghubungkan dua bukit ini berukuran lebar atas delapan meter, lebar bawah 250 meter, panjang 190 meter dan tinggi bendungan 56 meter. Waduk ini dapat menampung air 25 juta meter kubik dengan genangan seluas 157 hektar. Ketinggian muka air normal bendungan ini adalah 136,6 meter. Kapasitas tampung waduk tersebut seluas 25 juta m3. Adapun gambaran Waduk Sermo yang telah dibangun dapat dilihat pada Gambar 4. B. Alternatif Dasar Perhitungan Pengadaan Tanah dan Indikatornya Selama ini ada kecenderungan dalam melakukan perhitungan nilai tanah yang dijadikan sebagai dasar perhitungan adalah hal-hal yang sifatnya tangible. Hal ini dapat dipahami karena dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pun menjadikan berbagai hal yang sifatnya fisik/lingkungan, legalitas, dan ekonomi sebagai faktor utama. Namun demikian, pada kenyataannya tidak selamanya faktor utama tersebut menjadi satu-satunya faktor
Gambar 4. Waduk Sermo, Yogyakarta Sumber: Data Sekunder
Konsep religius-magis menjadi salah satu faktor yang dipandang penting dipertimbangkan dalam menentukan nilai tanah. Konsep ini muncul karena adanya tanah yang dianggap suci dan disakralkan oleh pemiliknya yang berbeda dengan tanah-tanah lainnya. Jika tanah-tanah lainnya lebih banyak memiliki nilai ekonomi (bersifat profan) sehingga dapat dieksploitasi, maka tanah dalam konsep ini justru terjadi hal yang sebaliknya, yakni harus dijaga dan dilestarikan. Namun demikian, dengan adanya pembangunan waduk, maka mau tidak mau warga yang memiliki tanah yang terkena pembebasan harus merelakan tanahnya untuk dibebaskan. Akan tetapi, bagi warga hal tersebut sebenarnya sangat berat hati melepaskannya. Jika pun terpaksa melepaskannya, diharapkan adanya semacam prosesi penghormatan pelepasan tanah dan tentu saja jika dinilai dengan uang, diharapkan lebih tinggi daripada tanah pada umumnya. Temuan empiris menunjukkan bahwa tidak semua lokasi yang dijadikan sebagai sampel memberikan perhatian pada adanya tanah dalam konsep religiusmagis. Di lokasi pembebasan lahan Waduk Batutegi di Provinsi Lampung, Waduk Semo di Provinsi DI Yogyakarta, Waduk Jatibarang Provinsi Jawa Tengah relatif tidak ditemukan adanya masyarakat pemilik tanah yang mempermasalahkan tanah dari aspek religius-magis. Berdasarkan data lapangan, hanya pembebasan lahan pada rencana Waduk Karian di Provinsi Banten yang terdapat kelompok masyarakat pemilik tanah yang masih sulit melepaskan konsep tanah sebagai religius-magis, yakni di Kampung Cikapas, Desa Sindangmulya, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak. Di Kampung Cikapas, konsep religius-magis ini muncul dilatari oleh sejarah pembentukan kampung itu sendiri. Pada masa penjajahan, tokohtokoh masyarakat di kampung ini banyak memiliki kontribusi yang besar dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Dalam memori kolektif masyarakat Cikapas, diperoleh sejarah yang diceriterakan secara turun-temurun (folklore) bahwa ketika melawan penjajah Belanda, Kampung Cikapas sering dijadikan
103
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
sebagai basis untuk menyusun strategi melakukan penyerangan. Hal ini dimungkinkan karena secara topografis, Kampung Cikapas memiliki alam dengan kontur yang berbukit-bukit dan dikelilingi oleh hutan. Akses untuk menuju kampung ini juga hanya dapat dilalui dengan jalan kaki sehingga sangat cocok dijadikan lokasi persembunyian dari incaran Belanda. Bahkan, untuk mencapai kampung ini, juga harus menyeberangi sungai yang hingga saat ini belum ada prasarana jembatan dan hanya menggunakan rakit-rakit bambu. Selain itu, kampung ini juga memiliki beberapa pemuka agama yang turut menyebarkan agama Islam di Kampung Cikapas dan sekitarnya. Atas jasa para penyebar agama Islam tersebut, masyarakat menganggapnya sebagai orang-orang yang mendapat berkah lebih besar dari Allah dibanding dengan anggota masyarakat lainnya. Karena dianggap mendapat berkah, para pemuka agama tersebut dipandang memiliki “karomah”, baik ketika masih hidup maupun ketika mereka meninggal. Oleh karena itu, ketika meninggal pun, kuburannya masih banyak didatangi karena dianggap suci dan senantiasa disakralkan. Hingga saat ini, kuburan mereka masih ramai dikunjungi (diziarahi) sebagai manifestasi penghormatan, baik oleh warga yang tinggal di Kampung Cikapas maupun di luar Kampung Cikapas. Berdasarkan data lapangan, terdapat tiga lokasi yang dianggap oleh warga sebagai lokasi yang suci dan sakral (dikeramatkan). Dari tiga lokasi sakral tersebut, terdapat 12 nama yang dianggap mempunyai “karomah”. Ada pun nama-nama keduabelas yang dikeramatkan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Dengan adanya rencana pembangunan Waduk Karian, lokasi-lokasi keramat di atas semuanya akan tergenang. Namun demikian, besaran nilai
tanah kuburan keramat tersebut oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dinilai sama dengan tanah lainnya. Walaupun dengan harapan yang tidak terpenuhi, warga terpaksa menerima besaran nilai ganti rugi untuk tanah keramat tersebut. Hanya saja, andaikan panitia dapat memahami aspirasi warga, sebenarnya diharapkan adanya perbedaan nilai tanah antara yang biasa (profan) dan yang suci (sakral), paling tidak sekitar 50 %. Dengan adanya pembedaan nilai tanah tersebut, secara tidak langsung pihak luar juga dipandang tetap menghargai dan menghormati sakralitas tanah tersebut. Sebagai manifestasi penghormatan warga kepada leluhur, masih ada warga yang belum mau pindah meskipun sebagian besar warga lainnya sudah pindah ke tempat yang baru. Dikatakan bahwa ada perasaan bersalah dan berdosa jika pindah, padahal leluhur mereka belum dipindahkan. Oleh karena itu, selama kuburan leluhur mereka belum dipindahkan, selama itu pula tidak akan pindah, kendatipun tanah dan rumahnya sudah dibebaskan (dibayar). Namun, jika makam leluhur sudah dipindahkan, ia juga akan pindah meninggalkan Kampung Cikapas.
Untuk menentukan ada-tidaknya nilai religiusmagis suatu bidang tanah, indikatornya adalah: (a) ada kuburan keramat di atas tanah tersebut dan (b) ada pengakuan secara sosial dari masyarakat setempat bahwa lokasi tersebut memang keramat. Dapat diartikan kuburan tersebut benar-benar memiliki nilai sakralitas dan sifatnya bukanlah individual, hanya anggota keluarga (anak dan cucu) saja mengakuinya, melainkan ia mendapat pengakuan sosial dari masyarakat secara luas dan masih sering dikunjungi oleh warga. (2) Cara Memperoleh Tanah
Tabel 1. Lokasi Keramat dan Nama-nama Yang dikeramatkan di Kampung Cikapas, Desa Sindangmulya, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten No.
Keramat I
Keramat II
1.
R. Jaya Suhatma
Nyi Mas Gamparan
H. Abd. Halim
2.
R. Gentong
H. Dalang
H. Anggara
3.
R. Buyung
Rurah Sapudin
4.
R. Paku
K.H. Buyut Saridin
5.
Nyai Siti Mayangsari
K.H. Dayut
Sumber: Balai Litbang Sosekling Bidang SDA, 2013
104
Keramat III
Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim Dalam memperoleh tanah, antara satu orang dengan orang lain seringkali tidak sama. Namun demikian, secara tipologis cara memperoleh tanah dapat dibagi dua: jual beli dan warisan. Cara memperoleh tanah dengan jual beli umumnya dilakukan antara penjual dan pembeli dengan kesepakatan tertentu, kemudian dilakukan transaksi dengan uang sebagai patokan. Antara penjual dan pembeli tidak selamanya memiliki ikatan emosional atau ikatan kekerabatan, bahkan kadang-kadang tidak saling mengenal dengan baik (karena ada perantara/makelar) sehingga tidak ada beban psikis yang dipikul oleh pembeli dari penjual tanah. Demikian pula, jika pembeli tanah hendak menjual tanahnya kembali, tidak ada beban mental yang harus ditanggung sehingga proses penjualan tanah dipandang sebagai hal yang biasa, sama dengan proses transaksi barang dan jasa pada umumnya. Namun demikian, berbeda dengan cara memperoleh tanah secara jual beli, pada cara memperoleh tanah dengan warisan antara pemilik tanah yang lama dan pemilik yang baru, bukan hanya memiliki ikatan emosional, melainkan juga seringkali memiliki ikatan kekerabatan. Oleh karena itu, ketika hendak melepaskan tanahnya untuk pembangunan waduk, ada beban psikis tersendiri yang dialami oleh warga yang memiliki tanah dengan cara warisan. Bagi mereka, tanah yang diwariskan oleh orang tua atau leluhurnya patut dijaga sehingga kelak dapat diwariskan kembali kepada generasi berikutnya.
Berdasarkan hasil data lapangan, di Waduk Sermo Yogyakarta dan Waduk Batutegi Banten tidak ditemukan informan yang mengungkapkan hal tersebut sangat penting atau perlu dipertimbangkan. Sedangkan di Waduk Jatibarang, Jawa Tengah warga mengatakan bahwa cara memperoleh tanah penting juga diperhitungkan. Namun demikian, di Waduk Karian Banten upaya untuk membedakan antara tanah yang dibeli dan diwariskan secara implisit ada yang mengatakan bahwa hal ini perlu dibedakan dalam penentuan perhitungan besaran nilai ganti rugi, dengan besaran minimal 5 % (di Karian) bahkan minimal 20 % (di Jatibarang) dari harga tanah tidak mengandung unsur pewarisan. Untuk membedakan unsur pewarisan tersebut, indikatornya adalah: (a) ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya dan (b) ada keterangan dari aparat desa/pemerintah setempat. Sepanjang hal tersebut tidak dapat dibuktikan, maka variabel cara memiliki tanah dengan sistem pewarisan dapat dinyatakan tidak ada. Dengan kata lain, tanah tersebut sama nilainya dengan tanah pada umumnya.
Jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya hal ini dapat menjadi instrumen untuk melacak para pemilik tanah yang sesungguhnya hanya membeli tanah di sekitar lokasi pembangunan waduk untuk memperoleh keuntungan semata ketika mendengar Kabupaten bahwa akan ada rencana pembangunan. Dalam beberapa kasus, ada makelar tanah yang beraksi berusaha membeli tanah warga ketika sudah tahu adanya rencana pembangunan waduk (dan infrastrukur pada umumnya) yang pada akhirnya justru banyak menyulitkan pihak yang membutuhkan tanah. (3) Durasi Memiliki Tanah
Seiring dengan berjalannya waktu, dengan terjalinnya hubungan yang intens antara tanah dan pemiliknya, seringkali terbentuk adanya ikatan emosional. Semakin lama memiliki tanah, semakin kuat pula ikatan emosional. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam perjalanannya banyak peristiwa yang terjadi dalam kaitan antara tanah dan pemilik tanah. Misalnya, tanah dimiliki tersebut pada saat pertama kali belum memiliki suratsurat resmi. Hanya dengan secarik kertas jual beli tanah tersebut kemudian beralih menjadi miliknya. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan penuh perjuangan secara perlahan bukti kepemilikan sah tanah tersebut dilengkapi. Untuk memperoleh hal tersebut, dibutuhkan kemampuan khusus dan ketabahan yang tinggi yang mungkin bisa mencapai puluhan tahun hingga akhirnya mendapatkan bukti kepemilikan yang lebih kuat. Hal ini tentu saja berbeda jika durasi memiliki tanah masih relatif belum lama karena praktis belum banyak hubungan antara tanah dan pemiliknya. Data lapangan menunjukkan bahwa memang di Waduk Sermo dan Waduk Jatibarang belum ditemukan informan yang secara tegas mengatakan bahwa sangat penting adanya pembedaan nilai tanah antara tanah yang dibeli dan tanah yang diwariskan. Namun demikian, indikasi perlunya ada pembedaan perhitungan penilaian tanah terhadap durasi memiliki tanah menjadi penting di perhatikan diidentifikasi dari informan di Waduk Batutegi dan Waduk Karian. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari telah terbentuknya semacam hubungan di antara pemilik dan tanah tersebut. Terlebih-lebih jika tanah tersebut juga menjadi sumber pendapatan menghidupi keluarga selama bertahun atau puluhan tahun.
Di Waduk Batutegi, untuk mendapatkan tanah ternyata tidak mudah. Warga membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga hamparan “hutan” dapat berbentuk seperti ladang sehingga ada kenangan tersendiri yang sulit dilupakan, termasuk dalam memperjuangkan mendapat legalitas dari aparat
105
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
desa untuk dapat menggarap suatu bidang tanah. Hal yang sama juga ditemukan di Waduk Karian, meskipun tanah mereka sudah dibebaskan, tetap ada hubungan emosional yang terjalin antara tanah dan pemiliknya karena tanah tersebut sudah lama dimiliki dan hingga saat dibebaskan pun masih dapat memberi arti bagi kehidupan pemiliknya. Oleh karena itu, warga mengharapkan adanya besaran kompensasi yang berbeda minimal 5 % dari tanah yang belum lama dimiliki.
diperhatikan dalam perhitungan nilai ganti rugi tanah. Adapun matriks jawaban informan, dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada ketiga alternatif perhitungan nilai pengadaan tanah, dapat dibuat matriks mengenai berdasarkan jawaban informan terkait dengan tingkat pentingnya dasar tersebut
C. Pembahasan
Untuk membedakan antara variabel durasi memiliki tanah tersebut indikatornya adalah (a) lebih dari 5 tahun telah memiliki tanah; (b) ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya; dan (c) ada keterangan dari aparat desa/pemerintah setempat. Hal ini penting karena seringkali ada orang yang ketika mendengar suatu lokasi akan ada pembangunan infrastruktur, kemudian langsung membeli tanah agar mendapat keuntungan. Berdasarkan pengalaman warga, durasi 5 tahun dapat membatasi para spekulan untuk memperoleh peningkatan nilai dari variabel ini.
Data di atas menunjukkan bahwa dari empat lokasi sampel penelitian, ada perbedaan pandangan masyarakat terhadap tiga variabel dasar perhitungan nilai tanah. Di lokasi pembangunan Waduk Sermo ketiga variabel dasar perhitungan nilai tanah dianggap semuanya tidak perlu diperhitungkan. Waduk Jatibarang hanya variabel cara memperoleh tanah penting perhitungkan. Sementara itu, di lokasi pembangunan Waduk Batutegi, hanya satu variabel yang dianggap perlu diperhatikan, yakni durasi memiliki tanah. Sedangkan pada masyarakat di lokasi pembangunan Waduk Karian, ketiga variabel tersebut menjadi perhatian dengan tingkatan yang berbeda, yakni variabel cara memperoleh tanah dan durasi memiliki tanah dipandang perlu diperhitungkan, bahkan variabel religius-magis dipandang sangat penting diperhatikan. Indikator dari variabel-variabel tersebut masih dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan lokasi dilaksanakannya pembebasan tanah. Ketiga variabel alternatif perhitungan nilai/harga lahan yang ditemukan di lapangan pada dasarnya menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat
Tabel 2. Matriks Tingkat Pentingnya Beberapa Hal Dipertimbangkan dalam Perhitungan Nilai ganti Rugi
No. 1.
Alternatif Perhitungan Religius-magis
Jawaban Informan Sangat Diperhitungkan
3.
Cara Memperoleh Tanah
Tidak Diperhitungkan
Perlu
Sangat Diperhitungkan
Penting
Perlu Diperhitungkan Tidak Diperhitungkan
Perlu
Durasi memiliki Sangat tanah Diperhitungkan
Penting
Perlu Diperhitungkan Tidak Diperhitungkan
Indikator
Jatibarang
Batutegi
Karian
-
-
-
√
-
-
-
-
√
√
√
-
-
-
-
-
-
√
-
√
√
-
√
-
-
-
-
-
-
-
√
√
√
√
-
-
Penting
Perlu Diperhitungkan
2.
Lokasi Waduk Sermo
Perlu
Sumber: Diolah dari Balai Litbang Sosekling Bidang SDA, 2011 dan temuan lapangan 2012
106
1. Ada kuburan keramat di atas tanah tersebut 2. Ada pengakuan secara sosial dari masyarakat setempat bahwa lokasi tersebut memang keramat. 1. Ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya 2. Ada keterangan dari aparat desa/ pemerintah setempat 1. Lebih dari 5 tahun telah memiliki tanah 2. Ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya 3. Ada keterangan dari aparat desa/ pemerintah setempat
Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim masih terdapat hubungan makna antara tanah dan pemiliknya. Makna tersebut sesungguhnya belum tentu dipahami oleh pihak lain (yang bukan pemilik).
Jika kita merujuk pada pendapat Salindeho (1994) dan Wirutomo (2011) bahwa tanah selain memiliki nilai ekonomi yang tidak kalah pentingnya adalah tanah memiliki nilai kosmis-religius-magis, tampaknya mendapat validasi empiris dalam penelitian ini. Setidaknya hal tersebut terbukti di lokasi pembangunan Waduk Karian, Banten. Terdapat warga yang masih enggan meninggalkan rumahnya jika tanah kuburan keramat belum dipindahkan. Adanya perasaan “berdosa” bagi warga yang belum meninggalkan kampung menunjukkan bagaimana konsep terutama religiusmagis tersebut masih terjalin antara pemilik dan tanahnya. Sebenarnya, jika ditelaah lebih jauh, bukan tanahnya yang menjadi pokok persoalan, melainkan kuburan keramat yang berada di atas tanah tersebut.
Hal ini amat berbeda dengan konsep tanah secara teologis yang menurut Erari (1999) ada hubungan yang hakiki seperti bangsa Israel dengan tanah yang dijanjikan. Relasi teologis tersebut, tidak ditemukan di lapangan sehingga upaya untuk mempertahankan tanahnya tidaklah sekuat yang dijelaskan oleh Erari. Namun demikian, adanya usulan bahwa sebaiknya tanah mereka dihargai lebih tinggi dari tanah pada umumnya dapat dimaknai sebagai suatu manifestasi betapa warga masih memiliki ikatan religius-magis dengan tanahnya. Hal ini amat jelas karena pada tanahnya yang tidak memiliki nilai religius-magis, mereka tidak mempermasalahkan. Pembedaan atau pemberian nilai yang lebih tinggi dari tanah sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari rasa hormat mereka terhadap leluhur. Hal tersebut juga dapat dipahami bahwa dengan upaya pembedaan nilai tanah merupakan refleksi dari usaha untuk mengurangi rasa “berdosa” mereka yang tidak kuasa mempertahankan makam leluhurnya.
Sementara itu, seperti yang dikemukakan oleh Husein (1995) bahwa tanah merupakan dalam konsep status sosial, belum mendapat validasi di lapangan. Kondisi kawasan pembangunan waduk yang masih merupakan perdesaan masih memungkinkan setiap warga untuk memiliki tanah kendatipun dengan luas yang berbeda-beda. Belum ditemukan adanya pemilik tanah yang luas dan memperkerjakan sejumlah buruh tani (petani penggarap) sehingga ketika mereka kehilangan tanahnya, maka akan hilang pula statusnya sebagai patron. Demikian pula menurut Zubir (2010) bahwa tanah merupakan persoalan harga diri
kaum, tampaknya belum mendapatkan legitimasi empiris di lapangan. Belum ada kaum yang kehilangan harga diri akibat adanya pembebasan lahan sehingga sekuat tenaga mempertahankannya sebagaimana temuannya di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Pola kepemilikan tanah di empat lokasi penelitian tampaknya berbeda dengan lokasi kajian Zubir. Jika di dalam adat Minang Kabupaten, pola kepemilikan tanah masih bersifat komunal, maka pada keempat lokasi penelitian ternyata pola kepemilikannya bersifat individual. Terdapat kemungkinan tidak ditemukannya faktor ini karena karakteristik pola kepemilikan tanah di ranah Minang berbeda dengan pola kepemilikan di Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Lampung tempat penelitian pengadaan tanah ini dilakukan.
Terkait dengan ikatan batin (psikologis dan emosional) dengan tanah sebagaimana yang dikatakan oleh Hendrati (2002), tampaknya mendapat konfimasi faktual di lapangan. Ikatan batin antara pemilik dan tanahnya terbangun seiring dengan berjalannya waktu. Terbentuknya ikatan batin tersebut tidak terlepas dari manifestasi sistem pengalihan hak tanah melalui pewarisan. Sistem pewarisan pada dasarnya merupakan salah satu pranata sosial untuk memberikan hak kepada anggota keluarga secara turun-temurun. Pada umumnya, sistem pewarisan tersebut melekat ciri identitas keluarga bahwa tanah di lokasi tertentu merupakan anak cucu atau generasi dari keluarga tertentu. Oleh karena itu, warga meminta agar kiranya di masa mendatang, ada pembedaan antara tanah yang memiliki ikatan dengan pemiliknya dan tanah yang tidak ada ikatan batin dengan pemiliknya. Perlu dibedakan cara memiliki tanah antara sistem pewarisan dan sistem jual beli. Demikian pula perlu juga dibedakan durasi memiliki tanah antara tanah yang telah lama dimiliki dan tanah yang baru dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa ada dua temuan menarik dari penelitian ini. Pertama, memperkuat konsep teori yang dikemukakan Salindeho (1994) dan Wirutomo (2011) bahwa secara sosial-kultural tanah memiliki konsep kosmis-religius-magis. Kedua, melakukan modifikasi teoretis tentang tanah dalam konsep psikologis (ikatan batin dan emosional) sebagaimana yang dikatakan oleh Hendrati (2002), namun dengan mempertajam konsep tersebut. Temuan lapangan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tanah dalam konsep psikologis dapat dipecah lagi menjadi dua subkategori (variabel tersendiri), yakni cara memiliki tanah dan durasi memiliki tanah. Kedua kategori/variabel tersebut memiliki karakteristik berbeda-beda dan dapat berdiri sendiri sehingga dapat dipandang sebagai suatu entitas yang
107
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
“otonom”. Hal ini juga diperkuat dengan adanya indikator-indikator yang mendukungnya sehingga dalam konsep itu sendiri dapat dibedakan derajat dan tingkatannya antara satu dengan yang lain (variabel).
Indikator-indikator yang digunakan untuk membedakan variabel-variabel tersebut semuanya mengandung unsur yang bersifat sosial-kultural, yakni ada pengakuan secara sosial, bukan pengakuan secara individual. Hal ini semakin menunjukkan bahwa peran masyarakat dalam memberi pengakuan terhadap tanah dapat memperkuat legalitas formal yang diakui selama ini. Dapat diartikan bahwa temuan ini dapat menjadi alternatif dalam melakukan kombinasi legalitas formal (dari atas) dan legitimasi sosial (dari bawah) untuk menilai suatu tanah. Kombinasi seperti ini juga sesungguhnya telah berurat-akar dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya sejak dahulu. Hal tersebut juga sesungguhnya mengakomodasi pendekatan kearifan lokal yang telah dipraktikkan oleh nenek moyang kita dalam menyelesaikan berbagai jenis konflik, termasuk konflik tanah.
Di samping itu, secara praktis-pragmatis, jika ditelaah lebih jauh, dua variabel (cara memperoleh tanah dan durasi memiliki tanah) sebenarnya dapat menjadi instrumen untuk melacak dan mendeteksi calo atau mafia tanah yang seringkali turut mengambil keuntungan dalam proses pembebasan lahan. Melalui variabel cara memperoleh tanah, sudah dapat dicermati apakah tanah tersebut merupakan tanah warisan atau tanah hasil proses jual-beli. Selain itu, dengan memperhatikan variabel durasi memiliki tanah, dapat dideteksi warga mana sudah lama memiliki tanah dan warga mana yang baru membeli tanah ketika ada rencana pembebasan lahan. Pendeteksian tersebut, setidaknya dapat meminimalisasi pihak-pihak tertentu yang seringkali mencari keuntungan sepihak dengan adanya pembebasan lahan. Hal ini sangat penting karena selama ini para calo atau makelar tanah sengaja membeli tanah ketika mereka tahu bahwa di lokasi tertentu akan ada rencana pembangunan infrastruktur.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data dan analisis di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
(1) Terdapat tiga dasar alternatif perhitungan nilai yang berdimensi sosial-kultural, yakni religius-magis, cara memperoleh tanah, dan durasi memiliki tanah. Namun demikian, ketiga variabel dasar tersebut bobotnya berbeda-
108
beda antara satu dengan yang lain. Dari ketiga variabel tersebut, variabel religius-magis berada pada kategori yang dianggap sangat penting diperhitungkan, sedangkan variabel cara memiliki tanah dan durasi memiliki tanah dianggap berada pada kategori penting diperhitungkan.
(2) Indikator terhadap tiga variabel tersebut adalah untuk aspek religius-magis, yakni (a) ada makam keramat di atas dan sekitarnya dan (b) pengakuan secara komunitas/sosial; untuk aspek cara memperoleh tanah, yakni (a) ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya dan (b) ada keterangan dari aparat desa/pemerintah setempat; untuk durasi memiliki tanah, yakni (a) lebih dari 5 tahun telah memiliki tanah; (b) ada pengakuan dari tetangga pemilik tanah di sekitarnya, dan (c) ada keterangan dari aparat desa/pemerintah setempat.
DAFTAR PUSTAKA Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air. Pusat Litbang Sosekling, Badan Litbang, Kementerian PU. 2011. Penyusunan Model Perhitungan Pembebasan Lahan dan Relokasi/ Permukiman Penduduk dalam Pembangunan Waduk. Jakarta. Barlowe, Releigh. 1958. Land Resource Economics: The Political Economy of Rural and Urban Land Resource Use. Prentic-Hall, Inc. Bryman, Alan. 2004. Social Research Methods. New York: Oxford University Press. Darmawan, Dalu Agung dan Indriyati. 2005. Penelitian Penetapan Harga Dasar Tanah di Perkotaan. Jakarta: Pusat Litbang Badan Pertanahan Nasional. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum. 2013. Bendungan Karian. Erari, Karel Phil. 1999. Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya sebagai Persoalan Teologis. Jakarta: Sinar Harapan. Hendrati, Pauline Ratna. 2002. “Konflik Pertanahan (Penggusuran Tanah) antara Rakyat dan Pemerintah di DKI Jakarta”, dalam Sukri Abdurahman (Ed.), Konflik Pertanahan di Era Reformasi: Hukum Negara, Hukum Adat dan Tuntutan Rakyat. Jakarta: PMB-LIPI. Hermit, Herman. 2009. Teknik Penaksiran Harga Tanah di Perkotaan: Teori dan Praktek Penilaian Tanah. Bandung: Mandar Maju. Husein, Ali Sofwan. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Alternatif Dasar Perhitungan Nilai Tanah untuk Pembangunan Waduk Andi Suriadi, Andri Hakim Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan & Wilayah. Bandung: Penerbit ITB. Kementerian Pekerjaan Umum. Renstra Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010-2014. Lubis, Arwin. 2012. “Reforma Agraria untuk Kemakmuran Rakyat, kemandiria Pangan dan Kelestarian Hutan”. Materi disampaikan pada Seminar Tanah untuk Rakyat. Jakarta, 26 September 2012. Nasucha, Chaizi. 1995. Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan Atas Tanah. Jakarta: Megapoin. Nusantara, Andu. (Tanpa Tahun). “Analisis Cluster dalam Penilaian Harga Tanah: Studi Kasus Pengadaan Tanah Jalan Lintas Utara Kabupaten Bekasi Tahap II.” Dalam http:// digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-148863108207006-Presentation.pdf. diakses 5 Juli 2013. Salindeho, John. 1994. Manusia, Tanah, Hak dan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Sutaryono. 2013. “Menentukan Harga Tanah” Dalam http://manajemenpertanahan.blogspot.com/ 2013/01/menentukan-harga-tanah.html. diakses 5 Juli 2013. Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform: dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta. Rachmawati, Bambang, dan Moehammad. 2013. “Analisis Perubahan Nilai Tanah Akibat Aktivitas Penambangan Batu Kapur di
Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang.” Jurnal Geodesi Undip. Vol. 2 Nomor 2. Tahun 2013. Tukgali, Lieke Lianadevi. 2010. Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Kertasputih Communication. Wirutomo, Paulus. 2011. “Tanah untuk Infrastruktur: Menuju Pendekatan Berbasis Sosekling (Pandangan Sosiologis).” Disampaikan pada Acara Kolokium Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur PU Berbasis Sosial Ekonomi dan Lingkungan. Jakarta, 26 Juli 2011. Zubir, Zaiyardam. 2010. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan: Pendekatan Penyelesaian Berdasarkan Kearifan Lokal MinangKabupatenau. Sleman: INSISTPress.
109
110
PERAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SITU TUJUH MUARA (CILEDUG), KOTA TANGERANG SELATAN The Role of Local Institution in Managing Situ Tujuh Muara (Ciledug) South Tangerang Nasta Inah1, Suryawan Setianto2 Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura no.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email :
[email protected]
1
Balai Litbang Sosekling Bidang Sumber Daya Air Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura no.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email :
[email protected] 2
Tanggal diterima: 16 Mei 2013, Tanggal disetujui: 14 Juni 2013
ABSTRACT The existence of Situ are needed within a river basin (DAS) because it serves as a temporary surface water runoff. Various research findings indicate that the number of situ around Jakarta were declining and the extent is shrinking due to various things, one of which is the change of function. One of the Situ in South Tangerang which changed the function so that it resulted in a narrowing of the area occurred in Situ Tujuh Muara or commonly known as Situ Ciledug. Situ Ciledug is a small reservoir designed for a flood control system. In the rainy season, it is capable of storing run-off water. Nevertheless, as a result of unclear governance jurisdiction in the lake management, its original function has been abandoned and to some extend its function has changed. Consequently the area of situ tends to become narrow and reduce its flood control function. This study aims to determine the role of local institution, especially at grass root level, in managing Situ Ciledug. By using in-depth interview and field observation, this study shows that Situ Ciledug which should be protected as preservation area, has been converted into residential and business area, so that it caused the reduction of water body. Local institutions are actively participating in the maintenance of situ and provide positive impact on the expansion of its coverage area. Keyword: institutional role, governance, resource, changing of function, situ ciledug ABSTRAK Keberadaan Situ sangat dibutuhkan dalam lingkup suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) karena berfungsi sebagai tampungan limpasan air permukaan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah Situ di Jabodetabek semakin berkurang dan luasnya menyusut karena berbagai hal, salah satunya karena adanya alih fungsi. Salah satu Situ di Kota Tangerang Selatan yang mengalami perubahan fungsi sehingga mengakibatkan penyempitan luasan terjadi pada Situ Tujuh Muara atau biasa dikenal dengan Situ Ciledug. Situ Ciledug memiliki fungsi sebagai pengendali banjir. Pada musim hujan situ mampu menyimpan kelebihan air. Akan tetapi, karena ketidakjelasan tata laksana pengelolaan situ, telah berakibat terbengkalainya situ dan bahkan beralih fungsi. Hal tersebut mengakibatkan luasan situ menyempit sehingga fungsi situ sebagai pengendali banjir kurang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan Situ Ciledug. Dengan menggunakan in-depth interview dan observasi lapangan, penelitian ini menunjukkan bahwa Situ Ciledug yang seharusnya merupakan kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi lahan permukiman dan lahan bisnis yang berakibat penyempitan lahan luasan situ. Kelembagaan lokal berperan aktif dalam upaya pemeliharaan situ dan membawa dampak positif dalam penambahan luas situ. Kata kunci : peran kelembagaan, tata kelola, sumber daya, alih fungsi, situ ciledug
111
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
PENDAHULUAN Pemerintah Republik Indonesia secara konstitusional mengemban peran utama dalam pengelolaan sumber daya air (SDA). Banyak infrastruktur SDA seperti waduk, saluran irigasi, embung, dan lain sebagainya dibangun untuk mencegah berbagai bencana yang ditimbulkan air. Namun pada saat ini, tidak semua infrastruktur tersebut mendapat perhatian yang memadai dalam pengelolaannya. Salah satu bentuk infrastruktur SDA yang cukup vital namun kurang mendapat perhatian serius dalam pengelolaannya adalah infrastruktur berupa situ.
Istilah “situ” biasa digunakan masyarakat Jawa Barat untuk menyebut “danau kecil”. Jika merujuk pada referensi, situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang sumber airnya berasal dari mata air, air hujan, dan/atau limpasan air permukaan. Perbedaan antara situ alami dan buatan dapat diketahui dari tujuan dan proses pembentukannya. Situ alami terbentuk karena proses alami, sedangkan situ buatan didesain untuk tujuan tertentu akibat adanya aktivitas manusia (Puspita 2005). Menurut Kodoatie dan Sjarief (2008) keberadaan situ sangat dibutuhkan dalam lingkup suatu DAS karena berfungsi sebagai tampungan limpasan air permukaan. Limpasan air permukaan akan diresapkan ke dalam tanah sehingga melindungi permukiman dari bencana banjir dan memperkaya cadangan air, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Terkait dengan penanggulangan banjir, situ memiliki peranan penting sebagai daerah parkir air (retarding basins) untuk mengurangi banyaknya air limpasan/penahan laju air (water retention). Oleh karena itu, menjaga luasan dan kedalaman situ sangat penting sebagai salah satu upaya penanggulangan banjir.
Jumlah situ-situ yang terdapat di Jabodetabek ada 218 buah dengan luas total 2.116,5 ha. Jumlah tersebut tersebar di kawasan DKI (35 buah), Bogor (122 buah), Tangerang (45 buah), dan Bekasi (16 buah). Namun, karena berbagai hal, luas situ-situ tersebut kini menyusut menjadi 1.978,02 ha dan jumlahnya semakin berkurang (Yayat 2009). Pada tahun 2003 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan terjadi penurunan kualitas situ hingga mencapai 50%, prosesnya terjadi secara gradual selama 5-20 tahun. Di Tangerang pada tahun 2004 terdapat 22 situ yang tergolong dalam kondisi kritis. Luas keseluruhan situ tersebut adalah 481,13 Ha, menyusut dari luas tahun 1990 sebesar 500,25 Ha. Sebagian dari situ ini bahkan sudah berubah fungsi menjadi permukiman (Tempo
112
Interaktif 2010). Situ dikatakan dalam kondisi kritis ditinjau dari segi penataan ruang, apabila terjadi pelanggaran tata ruang situ yang beralih fungsi menjadi lahan permukiman maupun lahan bisnis. Ditinjau dari segi kondisi fisik, apabila terjadi kerusakan berat pada kondisi fisik situ. Ditinjau dari segi kualitas air, apabila terjadi pencemaran air serta sirkulasi air terganggu (Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan 2009). Salah satu situ di Kota Tangerang Selatan yang mengalami perubahan fungsi sehingga mengakibatkan penyempitan luasan terjadi pada Situ Tujuh Muara atau biasa dikenal dengan Situ Ciledug. Adanya tumpang tindih kewenangan stakeholder terkait dalam tata laksana pengelolaan infrastruktur sumber daya air, dalam hal ini Situ Ciledug menyebabkan pengelolaan situ menjadi terbengkalai. Hal ini menginspirasi sebuah kelembagaan lokal, yaitu OKP GANESPA untuk berperan aktif dalam pengelolaan situ yang partisipatif dengan turut serta mengajak masyarakat sekitar situ untuk menjaga kelestarian situ. Pengelolaan Situ Ciledug oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini merupakan sebuah contoh pengelolaan situ partisipatif yang bisa dikatakan berhasil. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengungkapkan peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan Situ Ciledug tersebut melalui berbagai kegiatannya dan juga hasil dari upaya pemeliharaan yang telah dilaksanakan. Menurut Adam (2009), terjadinya berbagai permasalahan terkait Sumber Daya Air (SDA) merupakan akibat dari lemahnya kelembagaan. Oleh sebab itu, jika dilihat dari perspektif kelembagaan maka langkah yang perlu dilakukan untuk membenahi pengelolaan SDA adalah membentuk dan memperkuat peran kelembagaan, sehingga kelembagaan dapat diandalkan dalam mendukung upaya-upaya perlindungan SDA yang berkelanjutan.
Berangkat dari pentingnya peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan situ, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran kelembagaan lokal, dalam hal ini OKP GANESPA dalam pengelolaan Situ Ciledug? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami peran kelembagaan lokal, yaitu OKP GANESPA sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan Situ Ciledug. Lingkup kegiatan ini difokuskan kepada aktivitas apa saja yang dilakukan OKP GANESPA dalam rangka menjaga kelestarian situ serta hambatan yang ditemui.
Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran bagi stakeholder terkait agar dapat lebih aktif berpartisipasi dalam upaya pengelolaan situ yang partisipatif.
KAJIAN PUSTAKA
a. Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan SDA Pembangunan yang intens dari waktu ke waktu telah membuat ketersediaan SDA semakin terbatas. Dengan semakin terbatasnya persediaan SDA, maka pemanfaatan SDA yang efisien merupakan salah satu kunci terpenting untuk menggerakkan roda pembangunan yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, sangat wajar bila akhir-akhir ini isu bagaimana mengelola dan menggunakan SDA secara efisien menjadi topik yang hangat dibicarakan oleh para pengambil keputusan, politisi, dan akademisi di berbagai belahan dunia. Mereka mulai menyadari bahwa degradasi lingkungan dan rusaknya SDA merupakan salah satu faktor penghambat untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan (Adam 2009). Menurut Adam (2009), peran kelembagaan sangat penting dalam mengontrol dan membatasi akses terhadap pemanfaatan SDA. Kelembagaan mencakup segala macam peraturan maupun prosedur yang bisa mengatur bagaimana orang harus bertindak dan berperilaku, dan organisasi yang telah diberikan status khusus atau legitimasi untuk mengatur bagaimana orang harus bertindak dan berperilaku. Kelembagaan terbagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu kelembagaan dalam bentuk organisasi khusus (formal) dan kelembagaan nonorganisasi yang berdasarkan pranata sosial, adat istiadat dan kearifan lokal. Kelembagaan informal yang berbasiskan pranata sosial, adat istiadat, dan kearifan lokal sudah sejak lama menjadi salah satu instrumen yang diandalkan dalam mendukung upaya dalam pengelolaan SDA yang efisien. Namun, di negara-negara berkembang kelembagaan jenis ini tidak lagi powerful karena seringkali tidak didukung oleh legal framework yang kuat dan jelas. Pemanfaatan yang dilakukan terhadap fungsi situ maupun kawasan di sekitarnya seperti rekreasi, perikanan, drainase, perdagangan, jika tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan terjadinya degradasi situ dan kunci dari pengelolaan situ adalah keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengelolanya (Listiani 2005). Dalam penelitian ini, kelembagaan informal yang dimaksud adalah kelembagaan lokal OKP GANESPA. Sejalan dengan penjelasan di atas, permasalahan yang dihadapi OKP GANESPA dalam mengelola Situ Ciledug, yaitu
belum adanya legal framework yang mendukung kegiatan mereka. Akan tetapi hal tersebut tidak menyurutkan peran aktif OKP GANESPA dalam upaya pengelolaan situ yang partisipatif yang juga melibatkan masyarakat sekitar.
Menurut Listiani (2005) di dalam pengelolaan Situ diperlukan adanya peraturan yang bertujuan untuk (i) melindungi situ dari akibat aktivitas yang dilaksanakan di daerah tangkapan; (ii) mengendalikan pembangunan di sempadan situ; (iii) mengatur pemanfaatan situ untuk mencegah terjadinya konflik pada para pengguna. Dalam menjalankan perannya sebagai pengelola SDA, kelembagaan terkait perlu mempertimbangkan 3 (tiga) aspek, yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya (Adam 2009). Dengan demikian maka peran serta dan partisipasi masyarakat merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan SDA untuk mendukung kelembagaan dalam mensinergikan ketiga aspek tersebut. b. Konsep Integrated Management (IWRM)
Water
Resources
Munculnya keinginan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan telah membuat para peneliti dan praktisi memberikan penekanan pada pendekatan-pendekatan terpadu (integrated approach) dalam pengelolaan sumber daya, menggunakan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM).
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu atau Integrated Water Resources Management (IWRM) adalah sebuah proses yang mempromosikan pembangunan dan pengelolaan SDA yang terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem yang vital dan lingkungan (Global Water Partnership 2010). Koordinasi menjadi konsep kunci dalam pendekatan IWRM. Konsep ini sangat membantu dalam upayaupaya proteksi lingkungan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pertanian berkelanjutan, mempromosikan partisipasi atau demokratisasi dalam pemerintahan, dan meningkatkan kesehatan manusia. Dasar dari pendekatan ini adalah bahwa banyak sekali manfaat yang terkandung dalam SDA dengan jumlah yang terbatas. Konsep IWRM seperti terlihat pada Gambar 1, banyak digunakan dalam pengambilan kebijakan, menggantikan pendekatan tradisional sektoral. Terfragmentasi dalam pengelolaan SDA pada banyak kasus telah menyebabkan pelayanan yang buruk dalam pemanfaatan sumber daya berkelanjutan. Pendekatan IWRM berfokus pada tiga pilar dasar yang secara eksplisit mempertimbangkan aspek-
113
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
aspek berikut (Global Water Partnership 2010) :
• An enabling environment, lingkungan yang kondusif sehingga memungkinkan dirumuskannya kebijakan dan strategi dalam pembangunan dan pengelolaan SDA berkelanjutan. • Institutional framework, menempatkan kerangka kelembagaan pengelolaan SDA pada kebijakan, strategi, dan peraturan yang sesuai.
• Management instruments, menyiapkan instrumen pengelolaan yang diperlukan oleh lembaga-lembaga terkait dalam melakukan tugas dan fungsi mereka masing-masing. Terkait dengan konsep IWRM tersebut, pengelolaan Situ Ciledug oleh OKP GANESPA menunjukkan bahwa sudah ada kelembagaan lokal yang mengelola situ tersebut, meskipun masih belum didukung kepastian legalisasi oleh instansi pemerintah terkait. Peran OKP GANESPA dalam pengelolaan Situ Ciledug menjadi terbatas dan tidak maksimal karena tidak ada landasan hukum yang menaungi aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh OKP GANESPA.
c. Penelitian Terdahulu Terkait Pengelolaan Situ Banyaknya permasalahan yang muncul terkait dengan bagaimana seharusnya pengelolaan situ yang baik dan berkelanjutan telah banyak diteliti oleh berbagai kalangan. Salah satunya adalah Listiani pada tahun 2005 dengan tesis yang berjudul “Aspek Kelembagaan dalam Pengelolaan Situ : Studi Kasus Pengelolaan Situ Rawa Besar di Kota Depok”. Aspek kelembagaan menjadi poin penting dalam penelitian yang dilakukan Listiani. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa meskipun
sudah memiliki Pokja yang bertugas mengamankan, mengendalikan dan melestarikan Situ Rawa Besar, akan tetapi masih belum juga bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi situ, yaitu penyusutan luas dan pencemaran yang muncul sebagai efek dari aktivitas penduduk di sekitar situ. Penyebabnya antara lain karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), dana, dan koordinasi dengan instansi lain yang terkait dengan pengelolaan situ. Solusi yang ditawarkan oleh Listiani adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan serta koordinasi antar sektor dan kemudian mengakomodasi semua kepentingan dengan program yang terintegrasi. Pendekatan yang dilakukan harus meliputi aspek ekologis, kelembagaan, ekonomi, dan budaya. Pengelolaan situ juga harus dapat merangkul semua pihak yang berkepentingan dengan keberadaan situ karena dengan demikian akan muncul rasa cinta dan memiliki terhadap situ yang bermuara pada meningkatnya tanggung jawab untuk melestarikan situ.
METODE PENELITIAN
Penelitian bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan di Situ Tujuh Muara atau biasa disebut Situ Ciledug, Kota Tangerang Selatan pada tahun 2011. Data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada LSM OKP GANESPA selaku pengelola situ. Instrumen yang digunakan, yaitu lembar observasi dan pedoman wawancara (interview guide). Beberapa poin yang disusun dalam pedoman wawancara digunakan sebagai petunjuk untuk menggali informasi dari OKP GANESPA mengenai aspek tata ruang situ, aktivitas yang dilakukan dalam rangka pengelolaan situ, peran serta masyarakat, hambatan yang dihadapi,
Gambar 1. IWRM dan Sektor-sektor yang terkait Sumber : http://www.gwp.org/The-Challenge/What-is-IWRM/
114
Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto harapan terhadap stakeholder terkait, dan kontribusi positif yang dihasilkan dari upaya pengelolaan situ. Sedangkan observasi yang dilakukan untuk mengamati kondisi fisik situ, permukiman, dan lahan bisnis yang didirikan di sekitar situ serta kegiatan bersih situ yang dilakukan oleh OKP Ganespa. Data pendukung yang mencakup kondisi fisik dan tata ruang situ diperoleh dari hasil laporan monitoring dan evaluasi situ di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang disusun oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (LPPM-UMJ) tahun 2009. Data yang diperoleh tersebut diolah secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Situ TujuhMuara/Ciledug Situ Ciledug berada di Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang. Fungsi Situ Ciledug antara lain sebagai pengendali banjir, ruang terbuka hijau, dan sumber bahan baku
air bersih (Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan 2009). Kondisi situ saat ini sering meluap hingga ke jalan raya dan rumah penduduk jika terjadi hujan terus menerus. Hal ini menunjukkan belum optimalnya fungsi situ sebagai pengendali banjir, dimana situ seharusnya menjadi tempat penampungan air untuk mengurangi banyaknya limpasan air. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2008), limpasan air permukaan akan diresapkan ke dalam tanah sehingga dapat melindungi permukiman dari bencana banjir (berfungsi sebagai retention basin), selain itu juga memperkaya cadangan air, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Adapun kondisi faktual Situ Ciledug berdasarkan hasil observasi dapat terlihat pada Tabel 1. Kondisi fisik situ saat ini cukup memprihatinkan, pintu air banyak yang retak, tanggul keropos, terjadi pendangkalan dan situ ditumbuhi banyak gulma seperti terlihat pada Gambar 2. Pengurukan juga terjadi di Situ Ciledug, hal ini mengakibatkan terjadinya penyempitan luasan situ karena digunakan untuk membangun permukiman
Tabel 1.KondisiFaktual Situ Ciledug Aspek yang diamati
Kondisi Situ Cileduksaatini
KondisiFisik
Pintu air retak, tanggul keropos, terjadi pendangkalan, pengurukan dan tumbuh banyak gulma
Tata Ruang
Terjadi pengurukan, adanya alih fungsi menjadi lahan permukiman dan lahan bisnis
Pencemaran
Terdapat tumpukan sampah dan terjadi pencemaran air
Sumber :HasilObservasi (2011)&Laporan Monitoring dan Evaluasi Situ di Kota Tangerang Selatan (2009)
Tanggul keropos
Pendangkalan
Gulma
Gambar2.Kodisi Fisik Situ Ciledug Sumber : Data Primer
115
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
dan lahan bisnis. Penyempitan luasan situ yang dikarenakan adanya alih fungsi lahan situ menjadi lahan permukiman dan lahan bisnis tersebut melanggar Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Dalam Perpres tersebut menyebutkan kawasan danau, waduk, dan situ merupakan kawasan lindung yang pemanfaatan ruangnya diarahkan untuk konservasi air dan tanah. Selain itu, di kawasan sekitar danau, waduk, dan situ dilarang menyelenggarakan (i) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi dan hidraulis, kelestarian flora dan fauna serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; (ii) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau (iii) kegiatan yang menyebabkan penurunan kualitas air danau, waduk, dan situ, menyebabkan penurunan kondisi fisik kawasan sekitar danau, waduk, dan situ serta mengganggu debit air. Gambar 3 menunjukkan bahwa telah terjadi alih fungsi lahan di sekitar Situ Ciledug menjadi lahan permukiman liar dan lahan bisnis, yakni sebagai warung liar, dibangunnya mall di kawasan situ, dan adanya keramba apung sebagai tambak budidaya ikan oleh warga. Adanya permukiman liar dan berbagai lahan bisnis pada bantaran situ selain mengakibatkan penyempitan luasan situ, juga turut serta memberikan dampak terjadinya pencemaran di
Permukiman Liar
Mall di Kawasan Situ
116
Ketidakjelasan tata laksana infrastruktur sumber daya air di kawasan Situ Ciledug menjadikan tumpang tindihnya kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan situ antara Pemda Kabupaten Tangerang sebagai institusi pengelola terdahulu dengan pemerintah Kota Tangerang Selatan dimana Situ Ciledug berada saat ini. Hal tersebut mengakibatkan lingkungan hidup di sekitar situ tidak terjaga, pengawasan terhadap kelestarian dan keberlanjutan situ melemah sehingga terjadi alih fungsi situ menjadi lahan permukiman dan lahan bisnis. •
OKP Ganespa Sebagai Lembaga Lokal Pengelola Situ Tujuh Muara (Ciledug)
Berdasarkan konsep IWRM, peran kelembagaan(institutional roles)memegang peran kunci dalam pengelolaan SDA. Demikian halnya dalam konteks pengelolaan situ; kelembagaan baik di tingkat pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/ kota serta lembaga masyarakat lokal seperti OKP GANESPA juga memegang peranan penting. Integrasi antara 3 (tiga) sektor kelembagaan sangat penting dalam mewujudkan tata laksana pengelolaan situ
Warung Liar
tumpukan sampah
Keramba Apung
Air Tercemar
Gambar3.AlihFungsiLahan di Sekitar Situ Ciledug Sumber : Data Primer
kawasan situ seperti terlihat pada Gambar 4. Sampah yang dibuang sembarangan di kali maupun gorong-gorong terbawa oleh aliran air ketika hujan dan bermuara di Situ Ciledug. Selain itu juga terjadi pencemaran air akibat aktivitas warga pada bantaran situ seperti rumah makan, bengkel, steam motor, dan lain-lain.
Gambar4.Pencemaran di Kawasan Situ Ciledug Sumber : Data Primer
Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Situ Tujuh Muara (Ciledug), Kota Tangerang Selatan Nasta Inah dan Suryawan Setianto kemasyarakatan, lingkungan hidup, Search And Rescue (SAR), seni budaya, dan olahraga. Seiring dengan berjalannya waktu keberadaan organisasi tersebut dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat. Pada akhir tahun 2008 OKP GANESPA dibangunkan sebuah Posko Pengawasan dan Pelestarian Situ Ciledug Pamulang dari APBD Kabupaten Tangerang. Peran OKP GANESPA dalam pengelolaan Situ Ciledug antara lain : operasi bersih situ, penanaman bibit pohon, penyebaran bibit ikan, menjaga keseimbangan ekosistem situ, menjaga dan mengawasi aktivitas di sekitar situ serta memberikan laporan kepada Pemerintah.
Gambar 5.Hubungan antara State, Private Sector dan Civil Society Sumber : Hasil Analisis Lapangan
yang baik. Adapun hubungan antara ketiga sektor tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Negara menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif. Sektor swasta menghasilkan pekerjaan dan pendapatan. Masyarakat sipil memfasilitasi interaksi sosial dan politik, memobilisasi kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik. Ketiga sektor tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh sebab itu, interaksi yang konstruktif diantara ketiganya perlu ditingkatkan guna mewujudkan sistem tata kelola yang baik (UNDP 1997). Peran ketiga aktor dalam konteks pengelolaan Situ Ciledug dapat dilihat pada Tabel 2. OKP GANESPA yang didirikan pada tanggal 15 Februari 2004, merupakan sebuah organisasi kepemudaan yang bergerak di bidang sosial
Selain itu, dalam upaya pelestarian Situ Ciledug, OKP GANESPA berharap dapat bekerja bersama dengan pemerintah terkait agar pelestarian situ yang partisipatif dapat tercapai melalui tindakantindakan nyata seperti : 1. Memberikan penyuluhan pada masyarakat yang bermukim di sekitar situ;
2. Operasi bersih situ dapat dilakukan secara rutin minimal 2 bulan 1 kali; 3. Membuat plang himbauan pada bantaran situ; 4. Membuat jaring penahan sampah;
5. Pengerukan dilakukan 2 tahun 1 kali;
6. Pemberdayaan pada masyarakat atau organisasi peduli situ;
7. Melibatkan semua elemen agar ikut berperan aktif dalam menjaga kelestarian situ; menertibkan bangunan liar yang berdiri pada bantaran situ; 8. Menertibkan keramba dan jaring ikan;
9. Membuat patok Garis Sepadan Situ (GSS);
10. Memberikan sanksi tegas pada pelaku perusak lingkungan.
Tabel 2.Peran State, Private Sector dan Civil Society
Stakeholder Terkait State
Private Sector
Civil Society
Peran Situ Ciledug berada di bawah daerah administrasi Kota Tangerang Selatan (Tangsel), akan tetapi Pemerintah Kota Tangsel belum berperan maksimal dalam pengelolaan situ. Informasi ini diperoleh dari OKP Ganespa yang sampai dengan tahun penelitian ini dilakukan masih berusaha untuk mendapatkan hak pengelolaan Situ Cileduk dari Pemerintah Kota Tangsel. Private sector yang berperan signifikan di Situ Ciledug adalah OKP Ganespa. Peran yang dijalankan meliputi menjaga kebersihan situ, penyuluhan terhadap penduduk yang tinggal di sekitar situ dan memberikan sanksi terhadap pelanggar peraturan Situ Ciledug. Masyarakat sekitar belum menyadari pentingnya fungsi Situ Ciledug untuk lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya sampah yang dibuang di saluran air yang mengarah ke Situ Ciledug dan banyaknya bangunan liar yang berdiri di sekitar Situ Ciledug seperti warung makan dan tempat cuci mobil.
Sumber :Hasil Wawancara(2011)
117
Berbagai upaya yang telah dilakukan OKP GANESPA memberikan dampak positif bagi keberlanjutan Situ Ciledug, yaitu adanya penambahan luasan situ yang sebelumnya hanya ± 20 ha karena dipenuhi sampah dan banyak warga yang melakukan pengurukan, saat ini luasnya mencapai 34 ha. Usaha OKP GANESPA ini bukan berarti tanpa hambatan.Dalam prosesnya tidak jarang OKP GANESPA menemui berbagai penolakan dari pihak lain yang juga mempunyai kepentingan terhadap Situ Ciledug. Permasalahan lain yang dihadapi oleh OKP GANESPA yakni terkait dengan perijinan untuk mengelola Situ Ciledug ini secara penuh. Sebelumnya OKP GANESPA sudah mengajukan permintaan kepada Pemkot Tangerang dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung - Cisadane akan tetapi permintaan tersebut masih ditolak. Namun demikian, bukan berarti OKP GANESPA melepas pengawasan terhadap Situ Ciledug. Meskipun status sebagai pengelola Situ Ciledug belum dilegalkan, OKP GANESPA tetap melakukan pengawasan dan juga tetap memperjuangkan agar mendapat ijin resmi dari stakehokder yang berwenang.
KESIMPULAN
Kelembagaan lokal OKP GANESPA mempunyai peran penting dalam menjaga eksistensi Situ Ciledug. Salah satunya melalui aktivitas pemeliharaan Situ yang dilakukannya memberikan dampak positif, yaitu adanya penambahan luasan situ sebesar 70%, semula ± 20 ha menjadi 34 ha. Hanya saja dalam perjalanannya juga ditemui hambatan salah satunya terkait dengan legalitas ijin mengelola situ yang belum diperoleh dari pemerintah kota setempat. Hal ini berakibat pada ketidakjelasan tata laksana pengelolaan situ yang mengakibatkankondisi pemeliharaan dan kelestarian situ menjadi terbengkalai. Keberadaan lembaga lokal seperti OKP GANESPA harus diberikan perhatian karena peran dan fungsinya terbukti berdampakpositif terhadap kelestarian Situ.
118
DAFTAR PUSTAKA Adam, Latif. 2009. Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Dalam Adi, Wijaya dkk. Pembangunan Berkelanjutan : Tinjauan Teoritis dan Empiris : 379-412. Jakarta : LIPI Press. Kodoatie, RJ. Dan Sjarief, R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu.Yogyakarta : Penerbit Andi. Listiani. 2005. Aspek Kelembagaan Dalam Pengelolaan Situ : Studi Kasus Pengelolaan Situ Rawa Besar di Kota Depok. Depok : Universitas Indonesia. Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan & LPPMUMJ.2009. Laporan Monitoring dan Evaluasi Situ di Kota Tangerang Selatan Propinsi Banten. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur Puspita, L., E. Ratnawati, I N. N. Suryadiputra, A. A. Meutia. 2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia. Bogor : Wetlands International Indonesia Programme. Supriatna, Yayat. 2009. Menata Ulang Pengelolaan Situ, diakses dari http://www.bkprn.org/ depan.php?cat=3&&id=147. diakses pada 16 Mei 2013. Tempo Interaktif, Tangerang Buat Perda Perlindungan Situ, diakses dari http:// w w w. t e m p o i n t e r a k t i f . c o m / h g / jakarta/2004/10/27/brk,20041027-21,id. html. diakses pada tanggal 28 Februari 2010. UNDP Policy Document. 1997. Governance for Sustainable Human Development. USA : The United Nations Development Programme. h t t p : / / w w w. t e m p o i n t e r a k t i f . c o m / h g / jakarta/2004/10/27/brk,20041027-21,id. html. diakses pada tanggal 28 Februari 2010. http://www.gwp.org/The-Challenge/What-isIWRM/ diakses pada 16 Mei 2013.
KESIAPAN MASYARAKAT MENERAPKAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN AIR MINUM (Studi Kasus : Pulau Palu’e, Nusa Tenggara Timur) Community Readiness in the Application of Technology of Drinking Water Treatment (Case Study : Palu’e Island, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama Nugraha1, Masmian Mahida2 Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman, Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jalan Laksda Adisucipto 256 Yogyakarta Email :
[email protected] 2 Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura no.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email :
[email protected] 1
Tanggal diterima: 1 Juni 2013, Tanggal disetujui: 28 Juni 2013
ABSTRACT Palu’e island region has no sources of fresh water for their daily consumption. In addressing such a need, the local community has used structural and cultural adaptation. They use these methods because of the quality of ground water is below the standard of quality as it is brackish, and is occasionally yellow. In practice, a lot of brackish water in the wells around people’s houses are only used for sanitary purposes. During the dry season the clean water is difficult to obtain especially the use of structural adaptation. In responding to such a problem the Center for Research and Development of Settlement has introduced processing technology for brackish/sea water into clean/fresh water which can can be readily consumed by the people of the island of Palu’e. Moreover, to ensure the sustainability of the operation of the technology, in terms of non-technical, Social Economic and Environment Research and Development Center implement community readiness mapping that includes individuals, community, and governance. In this paper, the author will be mapping of Palu’e community readiness in the applied technology of drinking water treatment. This study used descriptive qualitative-quantitative approach by analyzing the variables related to community readiness.The result from the mapping of community readiness indicate that the local community is ready in terms of individual, community and governance to implement technology of water processing. However the local people need to improve governance readiness because it shows the the lowest score compared with the individual and community readiness variables. Keywords: readiness, community, governance, applied technology, clean water
ABSTRAK Wilayah Pulau Palu’e sangat krisis sumber air bersih/tawar bagi konsumsi kebutuhan sehari-hari. Dalam mengatasi kebutuhan air bersih/tawar, masyarakat pulau Palu’e mengadopsi adaptasi secara struktural dan adaptasi secara kultural. Masyarakat mengadopsi adaptasi struktural dan kultural tersebut karena kualitas air tanah di daerah tersebut sangat tidak memenuhi standar baku mutu, bersifat payau, dan kadang-kadang berwarna kuning. Dalam praktiknya, air payau yang ada hanya digunakan untuk keperluan MCK dan tidak untuk konsumsi memasak dan air minum. Selama musim kemarau tiba, masyarakat kesulitan memperoleh air bersih terutama menggunakan adaptasi secara struktural. Melihat kondisi tersebut Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman akan menerapkan teknologi pengolah air payau/laut menjadi air bersih/ air tawar sehingga dapat dikonsumsi. Selain itu untuk menjamin keberlanjutan operasi teknologi tersebut, dari segi non teknis Pusat Penelitian dan Pegembangan Sosial Ekonomi Lingkungan melaksanakan pemetaan kesiapan masyarakat yang mencakup individu, komunitas, dan tata kelola. Dalam tulisan ini, penulis akan
119
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
memetakan kesiapan masyarakat di Palu’e dalam penerapan teknologi tepat guna pengolahan air minum. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif-kuantitatif (mix-methods), dengan menganalisis variabel kesiapan masyarakat. Hasil dari pemetaan kesiapan masyarakat ini adalah masyarakat Pulau Palu’e siap dari segi kesiapan individu, komunitas, dan tata kelola dalam menerapkan teknologi pengolah air tersebut. Hanya saja masyarakat perlu meningkatkan kesiapan tata kelola karena menunjukkan nilai paling rendah dibanding dengan variabel kesiapan individu dan komunitas. terhadap fungsi infrastruktur menggunakan konsep public infrastructure. Deskripsi mengenai hasil penelitian dikelompokan ke dalam 3 kategori sesuai identifikasi di atas. Kata kunci : kesiapan, masyarakat, tata kelola, teknologi tepat guna, air bersih
PENDAHULUAN Air adalah hak dasar setiap manusia. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah pantai atau pulau kecil, air bersih/air tawar merupakan sumber air yang sangat penting. Pada saat musim kemarau tiba, masyarakat yang tinggal di daerah pantai atau pulau kecil mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Air hujan yang disimpan dalam bak penampung air hujan (BPAH) sering kali tidak mencukupi kebutuhan air bersih pada musim kemarau. Sementara air sumur yang dapat diambil untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang kondisinya tawar pada saat musim hujan berubah menjadi payau bahkan asin pada saat musim kemarau. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan air bersih, masyarakat terpaksa mengambil dari sumur yang jaraknya jauh dari rumah mereka. Kondisi tersebut telah di terjadi di Pulau Palu’e Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai Air Minum dan Penyehatan Lingkungan akan menerapkan teknologi pengolahan air payau/air laut menjadi air tawar. Hal ini sangat bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di daerah pantai/pulau kecil dimana ketersediaan air tawar untuk minum, mandi, dan berbagai aktivitas kehidupan lainnya mutlak diperlukan. Pada dasarnya komposisi air di Pulau Palu’e adalah air payau/laut yang tidak memenuhi sebagaimana parameter air minum yang dipersyaratkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/2010. Disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut bahwa air minum harus memenuhi parameter mikrobiologi, kimia an-organik, fisik, dan kimiawi. Selain itu air laut/payau juga tidak memenuhi parameter yang dipersyaratkan sebagai air bersih seperti dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 416/1990. Pada
120
pokoknya air payau/laut mempunyai kadar TDS (Total Dissolved Solid) yang tinggi. TDS adalah kadar benda padat yang terlarut dalam air yang mencakup mineral, garam, dan logam, serta kation-anion yang terlarut. Sumber air yang terdapat di daerah Pulau Palu’e umumnya berkualitas buruk (payau atau asin dengan kadar TDS > 3000 ppm) baik air tanahnya maupun air permukaannya.
Dalam penerapannya instalasi pengolahan air ini sudah dibuat dalam bentuk model 1-1 skala penuh. Sebelum diterapkan menjadi sebuah produk yang digunakan masyarakat umum, maka model ini harus diujicobakan di daerah pantai/pulau terpencil. Sebagai contoh penerapan model teknologi ini adalah wilayah Pulau Palu’e. Dari sisi lain, teknologi instalasi pengolahan air payau menjadi air tawar dinilai mempunyai beberapa keunggulan, antara lain konsumsi energi yang relatif hemat, hemat ruangan, mudah dalam pengoperasian/sederhana, dan biaya produksi air minum yang lebih murah dibandingkan dengan air mineral dalam kemasan.
Selain aspek teknis, yakni penerapan teknologi tersebut, juga perlu disiapkan aspek non teknis yang meliputi kesiapan individu, komunitas, dan tata kelola guna mendukung keberlanjutan operasinya. Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah melihat kesiapan masyarakat, dari segi individu, komunitas, dan tatakelola dalam penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) Pengolahan Air Minum di Pulau Palu’e. Hasil studi ini adalah memperoleh pemahaman tentang penerimaan dan kesiapan individu, komunitas, dan tatakelola Teknologi Pengolahan Air Payau/laut menjadi Air Tawar di Pulau Palu’e. Kemudian data dan informasi hasil studi ini akan diberikan kepada stakeholders terkait dalam menunjang pengambilan keputusan.
Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus : Pulau Palu’e, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama dan Masmian Mahida
KAJIAN PUSTAKA Kesiapan Masyarakat Sebagai suatu konsep yang sangat penting dalam pembangunan infrastruktur adalah tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis dalam penerapan teknologi, namun juga perlu mempertimbangkan aspek non teknis, yakni aspek kesiapan masyarakat. Aspek kesiapan masyarakat ini, dinilai sangat menentukan terhadap keberlangsungan pelayanan teknologi tersebut. Sebagaimana seperti yang dirumuskan oleh Mary Ann Pentz (1991) dalam Edwards (2000) tentang model Kesiapan Masyarakat (Community Readiness Model) digunakan untuk melihat respons masyarakat terhadap intervensi kebijakan/program/proyek. Dalam model tersebut terdapat 5 (lima) dimensi kesiapan masyarakat, yaitu (1) Upaya antisipatif melalui kebijakan, (2) Pengetahuan masyarakat terhadap kebijakan, (3) Kepemimpinan, (4) Pemahaman akan masalah, dan (5) Pembiayaan untuk upaya antisipatif (berupa uang, waktu, lahan, dll) hingga berkembang menjadi 9 (sembilan) tahapan.
Kemudian oleh Edwards (2000) disimplifikasi menjadi 3 (tiga) tingkat, yakni Belum Siap (tidak adanya community awareness sekaligus belum memadainya informasi proyek), Dukungan Kolektif (mulai disadarinya peran kolektivitas, leadership, forum komunitas, serta kearifan lokal, namun channel-channel komunikasi dan network masih belum dioptimalkan untuk mendukung pembangunan), dan Proaktif (dimana masyarakat bersama pengelola proyek mengevaluasi dan memodifikasi kegiatan pembangunan demi efektivitas program selanjutnya).
Teknologi Tepat Guna (TTG)
TTG merupakan alih bahasa secara cukup longgar dari appropriate technology. Perwujudan TTG banyak ditemukan dalam bentuk teknologi yang dipraktikkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat tersebut, kecil sekali peluang memiliki kesempatan memakai teknologi maju dan efisien, yang merupakan pola teknologi dari masyarakat maju/industri. Secara teknis TTG merupakan jembatan antara teknologi tradisional dan teknologi maju. Oleh karena itu, aspek-aspek sosio-kultural dan ekonomi juga merupakan dimensi yang harus diperhitungkan dalam mengelola TTG.
Menurut Pusat Teknologi Pembangunan – ITB (PTP – ITB) dalam Sosekkim (2012), TTG harus memenuhi persyaratan teknis, sosial, dan ekonomi. Persyaratan Teknis, meliputi, (i) memperhatikan kelestarian tata lingkungan hidup, menggunakan sebanyak mungkin bahan baku dan sumber energi setempat, dan sesedikit mungkin menggunakan
bahan baku yang diimpor (ii) memperhatikan ketertersediaan peralatan, serta operasi dan perawatannya demi kesinambungan (kontinuitas) persyaratan teknis. Persyaratan sosial dari TTG adalah (i) TTG yang ada harus memanfaatkan keterampilan yang sudah ada atau keterampilan yang mudah pemindahannya, serta sejauh mungkin mencegah latihan ulang yang sukar dilakukan, mahal, dan memakan waktu (ii) menjamin timbulnya perluasan lapangan kerja yang dapat terus menerus berkembang. (iii) Membatasi timbulnya TTG sosial dan budaya, dengan mengatur agar peningkatan produksi berlangsung dalam batas-batas tertentu.
Persyaratan ekonomik dari sebuah TTG, meliputi (i) membatasi sesedikit mungkin kebutuhan modal (ii) menekan biaya (iii) mengarahkan pemakaian modal agar sesuai dengan rencana pengembangan lokal, regional, dan nasional serta (iv) mengarahkan usaha pada pengelompokan secara koperatif.
TTG akan baik apabila teknologi itu sebanyak mungkin mempergunakan sumber-sumber yang tersedia banyak di suatu tempat, apabila teknologi itu sebanyak mungkin mempergunakan sumbersumber yang terdapat sedikit di suatu tempat, apabila teknologi itu dapat sesuai dengan keadaan ekonomi dan sosial masyarakat setempat, dan teknologi itu membantu memecahkan persoalan/ masalah yang sebenarnya dipersoalan masyarakat Apabila diperhatikan dari pengertian TTG di atas, TTG Pengolahan Air payau adalah sebuah TTG yang bertujuan baik, yaitu menggunakan sumber daya yang ada dan teknologi ini diharapkan akan membantu persoalan ketersediaan air bersih masyarakat di Palue. Standar Air Minum dan Standar Air Baku
Standar air minum sendiri mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Standar air minum wajib yang berhubungan dengan Kesehatan adalah pada Tabel 1.
Dalam tabel 1 bahwa kualitas air minum yang layak sehat harus memenuhi 2 parameter, pertama parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan yang mencakup parameter mikrobiologi dan kimia an-organik. Parameter tersebut mempunyai kadar ambang batas tertentu sehingga disebut air minum yang layak sehat. Kedua adalah parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan yang mencakup parameter fisik dan parameter kimiawi. Parameter tersebut juga mempunyai kadar ambang batas tertentu sehingga disebut air minum yang layak sehat.
121
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Tabel 1. Persyaratan Kualitas Air Minum
Tabel 2. Syarat dan Pengawasan Kualitas Air
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan No.416 Tahun 1990
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan No.492 tahun 2010
Sedangkan standar air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air adalah seperti Tabel 2.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan air layak konsumsi adalah kandungan TDS (Total Dissolved Solids)/kandungan unsur mineral dalam air. Salah satu contoh unsur mineral dalam air adalah zat kapur, magnesium, tembaga, sodium, chloride, dan chlorine. Air yang mengandung mineral tinggi (TDS tinggi) tidak baik untuk kesehatan manusia. Air payau/laut sendiri memiliki TDS>3000 sehingga tidak layak konsumsi. Menurut standar WHO, air minum yang layak dikonsumsi memiliki kadar TDS<100. Hasil Penelitian Terdahulu
Menurut Kusumartono (2012) beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan di Pulau Palue tetapi lebih pada aspek teknis berkaitan dengan krisis air tersebut. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Irene Baria (2011) dalam Kusumartono (2012) dimana riset yang dilakukan bertujuan untuk menemukan alternatif pengembangan sumber daya air di Pulau Palue. Dimana merupakan suatu upaya pemenuhan kebutuhan air bersih untuk masyarakat, dengan prinsip konservasi, ekologi, pengembangan kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat dan berkelanjutan. Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Kusumartono (2012) dimana hasilnya adalah faktor- faktor struktural dan kultural yang
122
mempengaruhi pola adaptasi masyarakat terhadap kondisi kelangkaan air di Pulau Palue. Pengaruh faktor struktural di dalam studi ini adalah bantuan pembangunan BPAH yang datang dari pihak luar serta kondisi kelangkaan air akibat tidak adanya sumber air yang dapat digunakan oleh masyarakat. Sedangkan faktor kultural adalah pola-pola tradisional yang digunakan masyarakat untuk memperoleh air berdasarkan kepercayaan yang sudah dilakukan secara turun-menurun seperti pemanfaatan pipa uap air geothermal dan pemanfaatan batang pohon pisang sebagai sumber air. Hasil yang lain adalah upaya untuk mencapai kapasitas adaptif sebagai salah satu mekanisme untuk mengatasi kondisi kelangkaan air dapat diperoleh melalui pemenuhan aspek struktural dan kultural secara terpadu yang akan mempengaruhi proses bertahan hidup masyarakat, khususnya dalam kondisi kelangkaan air. Studi yang dilakukan sekarang berbeda dengan studi-studi yang pernah dilakukan. Studi ini fokus untuk melihat kesiapan individu, komunitas, dan tatakelola terkait pengelolaan TTG Pengolahan Air Minum di Pulau Palu’e.
METODOLOGI PENELITIAN
Instrumen penelitian tersebut terdiri atas tiga variabel besar penelitian, yaitu (1) variabel kesiapan individu, (2) variabel kesiapan komunitas, dan (3) variabel kesiapan tata kelola/delivery system. Tabel variabel dan indikator kesiapan individu, komunitas, dan tatakelola dapat dilihat pada Tabel 3. Populasi dan sampel dalam studi ini adalah masyarakat calon pemanfaat Teknologi Pengolahan Air Payau. Jumlah responden sampling untuk lokasi
Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus : Pulau Palu’e, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama Pulau Palu’e adalah sebanyak 19 orang yang dipilih secara purposive sampling, yaitu mereka yang mengikuti kegiatan sosialisasi pelaksanaan teknologi pengolahan air payau/laut.Metode pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif- kuantitatif (mix-methods). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menilai kesiapan masing- masing komponen melalui skoring. Skala ukur yang digunakan adalah dikotomis, yaitu jawaban “ya” dan “tidak”. Data bersifat dikotomis, misalnya benar salah, atau ya dan tidak.
Terkait pengisian jawaban, untuk jawaban benar diberi kode 1 dan jika jawaban salah diberi kode 0. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan hasil skoring yang sudah ada. Kategori penilaian bila skor >50 adalah menunjukkan kesiapan dan < 50 menunjukkan ketidaksiapan. Rumus perhitungan skor adalah dengan menjumlahkan jumlah jawaban yang menunjukkan kesiapan dibagi dengan jumlah indikator di dalam 1 variabel tersebut. Secara singkat rumus perhitungan skor kesiapan dapat dituliskan sebagai berikut :
adalah pengumpulan data sekunder dan primer. Kemudian langkah ketiga adalah melakukan penilaian skoring per-indikator. Jawaban ya diberi nilai 1 dan jawaban tidak diberi nilai 0. Dari langkah tersebut kemudian skoring direrata untuk memberikan nilai akhir skor pervariabel. Langkah terakhir adalah dengan melakukan intrepretasi skoring.
Hasil dan Pembahasan
Analisis Situasi Wilayah Pulau Palu’e Secara administratif, pulau Palu’e ini masuk dalam Kabupaten Sikka yang beribukota di Maumere. Pulau Palu’e adalah pulau tropis yang berada dalam gugusan kepulauan perairan laut Flores di bagian selatan dari Pulau ini terdapat Gunung Api Rokatenda. Berikut pada Gambar 2 disajikan Peta Pulau (Kecamatan) Palu’e. Pulau Palu’e merupakan “pulau gunung” dan juga merupakan pulau vulkanik yang tidak memiliki
∑ jawaban ya/ ∑ indikator x 100…………………(1)
Model perhitungan indeks Kesiapan Individu, Komunitas, dan Tatakelola dapat dilihat pada Gambar 1. Dari model tersebut, langkah dimulai dari perumusan dan penetapan indikator kesiapan individu, komunitas dan tatakelola. Langkah kedua Tabel 3. Variabel Kesiapan Masyarakat Variabel Kesiapan Individu
Indikator Pengetahuan Persepsi Motivasi
Kesiapan Komunitas
Kearifan Lokal Sumber Daya Rencana Aksi Kelompok Kepemimpinan Forum Komunitas
Kesiapan Tata Kelola
Jejaring Ketersediaan Informasi Komunikasi Dukungan Program dan Kebijakan
Sumber : Hasil Analisa, 2013
Gambar 1. Model Perhitungan Indeks Kesiapan Individu, Komunitas, dan Tatakelola Sumber : Hasil Analisa
123
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Gambar 2. Pulau Palu’e, Sikka, NTT Sumber : Data Sekunder
sumber air alami kecuali air hujan. Disebut pulau gunung karena banyak area di Pulau ini yang termasuk dalam area gunung berapi.
Masyarakat di Palu’e hanya memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan air minum, sedangkan untuk kebutuhan lainnya mereka menggunakan sumursumur gali yang airnya laut/payau. Sebuah bukti bahwa masyarakat di Pulau Palu’e menggunakan air hujan adalah dengan banyaknya Bak Penampungan Air Hujan (BPAH) yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk. Cara tersebut dilakukan, karena kualitas air tanah sangat tidak memenuhi standar baku mutu, bersifat payau, dan kadang-kadang berwarna kuning. Penduduk Kecamatan Palu’e pada tahun 2010 mencapai 10.950 jiwa. Jumlah penduduk perempuan adalah 5.944 jiwa (54%) dan penduduk laki-laki berjumlah 5.006 jiwa (46%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Puslitbang Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Kementerian PU pada 2012 yang lalu, air yang dihasilkan dari cara adaptasi baik dengan pembangunan BPAH (adaptasi struktural) maupun mengambil air dari panas geothermal dan pelepah pisang (adaptasi kultural).
Adaptasi yang dilakukan belum cukup memenuhi kebutuhan masyarakat. Kesulitan-kesulitan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air terus berlangsung. Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu solusi pemenuhan kebutuhan air bersih atau air tawar yang signifikan dan berkelanjutan dengan membangun TTG pengolahan air payau/air laut menjadi air tawar. Terkait permasalahan tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kementerian PU akan menerapkan TTG Pengolahan Air Payau menjadi Air Tawar. Terkait lokasi calon teknologi pengolah air
124
payau/laut menjadi air tawar yang akan dipasang di daerah tersebut, yakni di Desa Maluriwu (dimana di desa tersebut terdapat Sumur Tua, sumur yang selama ini dapat menghasilkan air payau dengan volume besar dan stabil). Dengan pertimbangan kemudahan aksesibilitas dari seluruh masyarakat untuk mencapai Sumur Tua di desa Maluriwu.
Terkait rencana pengelolaan bila teknologi pengolahan air payau sudah diserahkan kepada masyarakat, dalam pembentukan kelembagaan (tata kelola) teknologi pengolah air payau/laut menjadi air tawar dapat mengadopsi dari struktur organisasi Badan Pemerintahan Desa Maluriwu yang sudah ada (Gambar 3). Cara ini dapat efektif mengingat tugas dan fungsi pada setiap orang pada struktur organisasi Desa Maluriwu hampir sama dengan tugas dan fungsi pada struktur kelembagaan teknologi pengolah air payau/laut menjadi air tawar. Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang dilihat pada advis ini meliputi pekerjaan dan pendidikan. Pada karakteristik pertama adalah pekerjaan dan pendidikan, untuk pekerjaan sendiri mayoritas responden adalah bekerja sebagai petani. Hal ini mayoritas dikarenakan lahan pertanian yang banyak terdapat di Pulau Palu’e. Sedangkan pendidikan sendiri mayoritas responden berturut-turut mengenyam pendidikan SMA, SD, SMP, dan D3/ sarjana. Gambaran pendidikan dan pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Kesiapan Masyarakat
Terkait pemetaan kesiapan masyarakat, yakni variabel individu dapat ditinjau dari indikator pengetahuan, kesiapan, dan motivasi. Setelah
Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus : Pulau Palu’e, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama
Ket: : Garis Komando Tanggung jawab : Garis Koordinasi
Gambar 3. Struktur Organisasi Badan Perwakilan Desa Maluriwu Sumber : Data primer, 2013
Gambar 4. Gambaran Pendidikan Sumber : Data primer, 2013
Gambar 5. Gambaran Pekerjaan Sumber : Data primer, 2013
Tabel 4. Skoring Kesiapan Individu
Sumber : Hasil Analisis, 2013
dilakukan penilaian maka hasil skoring kesiapan individu dapat dilihat pada Tabel 4.
Dari hasil di atas terlihat bahwa untuk pengetahuan masuk kategori kurang karena skornya <50, yakni 18,4. Sedangkan untuk persepsi 85,6 dan motivasi 85,26 masuk kategori tinggi karena >50. Indikator pengetahuan berisi tentang apakah masyarakat sudah mengetahui tentang teknologi yang akan diberikan. Dari hasil di atas, dapat diintrepretasikan bahwa Indikator
pengetahuan kurang dikarenakan masyarakat masih belum banyak mengetahui tentang teknologi ini. Sedangkan untuk indikator persepsi pada umumnya masyarakat sudah mempunyai persepsi yang baik tentang teknologi pengolahan air ini. Indikator persepsi ini berisi tentang pemetaan persepsi kebutuhan air dan persepsi pengopersian alat secara mudah dan murah. Masyarakat secara umum tahu dan mampu untuk mengoperasikan teknologi ini.
125
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
Terkait indikator motivasi juga masuk kategori tinggi karena teknologi pengolahan ini diperlukan oleh masyarakat di wilayah Pulau Palu’e terutama pada musim kemarau. Masyarakat mempunyai motivasi yang tinggi terhadap teknologi ini karena didesak oleh kebutuhan air yang ada. Skor ratarata pada variabel kesiapan individu mencapai 63,2 atau masuk kategori siap. Sebagai kesimpulan awal bahwa masyarakat Pulau Palu’e dinilai siap secara individu untuk menerima teknologi tersebut. Pada variabel kesiapan komunitas, indikator yang ditinjau meliputi kearifan lokal, sumberdaya, rencana aksi kelompok (RAK), kepemimpinan, dan forum komunitas. Setelah dilakukan penilaian hasil skoring kesiapan dapat dilihat pada Tabel 5.
Dari hasil skoring pada Tabel 5 terlihat bahwa untuk kearifan lokal, sumberdaya, RAK, kepemimpinan, dan forum komunitas menunjukkan hasil yang tinggi, masing-masing > 50. Hal ini mengindikasikan skor> 50 adalah masyarakat/ komunitas tersebut memiliki kesiapan yang tinggi terkait dengan akan adanya teknologi pengolahan tersebut. Dalam indikator kearifan lokal berisi tentang modal sosial (kerjasama, gotong royong, partisipasi di lingkungan warga) dan apakah penggunaan teknologi ini bertentangan dengan adat. Pada indikator kearifan lokal sendiri kepercayaan masyarakat di sana antar warganya cukup baik dengan nilai 80,12. Hal ini mengindikasikan bahwa di masyarakat sudah tercipta modal sosial dalam lingkungan adat mereka. Nilai ini juga mengindikasikan bahwa penggunaan teknologi ini tidak bertentangan dengan nilai adat.
Terkait dengan indikator sumber daya yang mana di daerah tersebut dengan nilai skor 68,42. Indikator ini melihat sumber daya air dan sumber daya manusia dalam mengoperasikan alat. Nilai 68,42 ini dapat diintrepretasikan bahwa sumber daya air sangat diperlukan serta SDM dalam pengoperasian akan mau dan mampu dalam mengoperasikan alat. Indikator selanjutnya adalah RAK (Rencana Aksi Kelompok). Nilai RAK adalah 68,42. Nilai RAK ini mengindikasikan bahwa masyarakat sudah pernah
membentuk kelompok masyarakat dan masyarakat sudah pernah membuat RAK pada programprogram pemerintah yang lalu. Masyarakat di Palue memang sudah pernah mempunyai pengalaman dalam membentuk RAK pada PNPM Perdesaan untuk mengelola prasarana.
Indikator keempat adalah kepemimpinan yang mempunyai nilai 99,34. Sebagai wilayah yang masih memegang adat, masyarakat di Palue mempunyai panutan tokoh masyarakat. Dalam berbagai program pembangunan, tokoh- tokoh tersebut selalu berperan aktif dan selalu bekerjasama dengan aparat pemerintah. Hal ini juga diindikasikan dengan nilai yang cukup tinggi yang mencapai 99,34. Indikator terakhir adalah forum komunitas dengan nilai 96,49. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat mempunyai forum/ komunitas dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu masyarakat Palue sudah biasa mengambil keputusan musyawarah untuk mufakat melalui forum/ komunitas.
Berdasarkan beberapa variabel di atas, skor ratarata pada variabel kesiapan komunitas mencapai skor 88,08 atau masuk kategori siap. Sebagai kesimpulan masyarakat Pulau Palu’e dinilai siap secara komunitas untuk menerima teknologi tersebut. Sedangkan pada variabel kesiapan tatakelola/ delivery system, indikator yang ditinjau meliputi jejaring, ketersediaan informasi, dukungan program dan kebijakan serta komunikasi. Setelah dilakukan penilaian maka skoring variabel kesiapan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 memperlihatkan bahwa pada indikator jejaring dengan nilai 57,8, indikator komunikasi dengan nilai 67,10, dan indikator dukungan program dan kebijakan dengan nilai 59,65 menunjukkan hasil yang tinggi. Mengacu pada nilai indikator jejaring, komunikasi, dan dukungan program dengan skor > 50 menunjukkan bahwa masyarakat (komunitas) memiliki kesiapan yang cukup tinggi terkait dengan tatakelola teknologi tersebut.
Tabel 5. Skoring Kesiapan Komunitas
Sumber : Hasil Analisis, 2013
126
Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus : Pulau Palu’e, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama Tabel 6. Skoring Tata Kelola/ Delivery System
Sumber : Hasil Analisis, 2013
Sedangkan untuk indikator informasi nilainya <50, yakni 45,61 karena memang akses informasi yang mereka dapatkan terbilang sulit disebabkan letaknya yang cukup terpencil, yakni terpisah dengan pulau Flores. Skor rata- rata, pada variabel kesiapan tata kelola mencapai skor 59,65 atau masuk kategori siap. Sebagai kesimpulan masyarakat Palu’e dinilai siap secara tata kelola untuk menerima teknologi tersebut.
Secara keseluruhan ketiga variabel non teknis tersebut di atas, memperlihatkan bahwa aspek kesiapan komunitas sudah memiliki skor rata-rata paling tinggi, yakni 88,08 artinya siap. Pada aspek kesiapan individu dengan skor rata-rata 63,2 juga siap. Sedangkan pada aspek kesiapan tata kelola dengan skor rata-rata 59,65 artinya siap. Dari 3 variabel di atas dapat digambarkan jaring laba-laba (spyderweb) pada Gambar 6. Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan rata-rata skor dari ketiga variabel, yaitu kesiapan individu, komunitas, dan tatakelola adalah 70,31. Nilai skor dari 3 variabel tersebut adalah 70,31 (lebih >50), artinya masyarakat Pulau Palu’e siap menerima teknologi pengolah air payau/laut menjadi air tawar. Dengan struktur urutan kesiapan paling tinggi adalah kesiapan komunitas (88,08), kesiapan individu (63,2), kemudian kesiapan tata kelola (59,65). Urutan berbagai macam indikator dalam variabel ini dapat digambarkan pada gambar 7 di bawah ini.
Dari Gambar 7, terlihat bahwa dengan nilai batas (passing grade) 50, terdapat 2 indikator yang di bawah nilai batas. Indikator pertama adalah pengetahuan di dalam kesiapan individu. Indikator kedua adalah akses Informasi di dalam variabel kesiapan tatakelola.Sementara urutan indikator yang memberikan nilai tinggi adalah kepemimpinan, forum komunitas, persepsi, motivasi, kearifan lokal, sumber daya dan Rencana Aksi Kegiatan, serta jejaring, komunikasi dan dukungan program. Sebagai bahan evaluasi awal bahwa sebelum
Gambar 6. Spider web 3 Variabel Studi Sumber : Hasil Analisis,2013
penerapan teknologi tersebut dilakukan, maka konsern utama stakeholders terkait yang perlu diperhatikan lebih pada kesiapan tata kelola. Dari komparasi studi yang pernah dilakukan, Kondisi geografis dan indikasi perubahan iklim yang
127
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
terjadi di Kecamatan Palue membuat masyarakat perlu melakukan strategi adaptasi atas kondisi kelangkaan air yang dialami. Ini erat kaitannya dengan indikator persepsi dan motivasi dalam variabel kesiapan individu. Strategi adaptasi yang kuat timbul dari persespsi dan motivasi individu yang kuat. Selain itu kearifan local, komunitas, jejaring,kepemimpinan adalah juga merupakan social capital yang mempengaruhi strategi adaptasi yang masyarakat Palue lakukan. Sebagai tambahan untuk memperkuat strategi adaptasi adalah akses pengetahuan, informasi, komunikasi, dan dukungan program dari Pemerintah setempat
KESIMPULAN
Berdasarkan data dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tingkat kesiapan masyarakat pulau Palu’e terhadap penerapan teknologi pengolah air payau/laut menjadi air tawar dari aspek kesiapan individu dengan skor rata-rata 63,2 atau >50, artinya siap teknologi. Pada aspek kesiapan komunitas dengan skor rata-rata 88,08 atau >50, artinya siap menerima teknologi. Dan aspek kesiapan tata kelola dengan skor ratarata 59,65 atau >50, artinya siap menerima teknologi. Dari ketiga aspek kesiapan tersebut didapatkan skor rata-rata 70,25 atau > 50 artinya masyarakat Pulau Palu’e siap menerima teknologi pengolah air payau/laut menjadi air tawar untuk kebutuhan air minum dan memasak.
2. Dari segi skor variabel, rata-rata skor terendah adalah pada variabel kesiapan tata kelola, yakni 59,65 maka stakeholders terkait perlu membuat strategi bagaimana supaya tata kelola teknologi pengolahan air payau/laut menjadi air tawar dapat memberikan layanan air tawar yang
berkelanjutan.
3. Dari segi skor indikator, skor terendah adalah pada indikator pengetahuan yang termasuk dalam variabel individu, oleh karenanya perlu perhatian dan peningkatan kapasitas terhadap pengetahuan Masyarakat Palue.
DAFTAR PUSTAKA
[Balai Sosekling Bidang Permukiman] Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan. 2012. Peningkatan Kapasitas Adaptif Masyarakat dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) Bidang Permukiman Pasca Bencana Gunung Berapi. [Balai Sosekling Bidang SDA] Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan. 2012. Pemetaan Sosekling Daerah Pulau Palu’e. Edwards. R. W. et.al. 2000. Community readiness: Research to practice. Journal of Community Psychology, 28(3), 291-307. Kusumartono, FX Hermawan. 2012. Adaptasi Masyarakat Menghadapi Krisis Air (Studi Kasus Masyarakat Pulau Palue). Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol.4 No.2 Juli 2012 Peraturan Menteri Kesehatan No.416 Tahun 1990 tentang Tentang Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air. Peraturan Menteri Kesehatan No.492 Tahun 2010 tentang Standar Kualitas Air Minum http://collectiveactionlab.com/sites/default/files/ Edwards_et_al_2000_Community_Readiness. pdf diakses 4 Juni 2013 http://www.resepbunda.biz/2012/01/31/air-
Gambar 7. Skor Nilai Indikator Studi Sumber : Hasil Analisis,2013
128
Kesiapan Masyarakat Menerapkan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Minum (Studi Kasus : Pulau Palu’e, Nusa Tenggara Timur) Dimas Hastama bersih-layak-minum-dikonsumsi/ diakses pada 4 Juni 2013 http://www.colostate.edu/Depts/TEC/article4. htm. Community Readiness: A Promising Model for Community Healing diakses pada 4 Juni 2013.
129
130
PENYERAPAN EMISI CO2 DARI KENDARAAN BERMOTOR MELALUI TEKNOLOGI VEGETASI DI RUANG MILIK JALAN Sequestration of CO2 Emissions from Motor Vehicles Through Vegetation Technology on Road Side Edwin Hidayat Pusat litbang Jalan dan Jembatan – Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl A.H Nasution No. 264 Bandung 40294 E-mail :
[email protected] Tanggal diterima : 2 April 2013 ; Tanggal disetujui: 27 Juni 2013
ABSTRACT Motor vehicles growing rapidly each year in Indonesia, beside have positive impact, on the other hand it’s also brings negative impact, one of them is resulting Greenhousegas, especially CO2 emission from fosil fuel burning. Where as, the growth of motor vehicle emissions give contribution for global warming and contribute to the climate change. One way to overcome the problem of motor vehicle emission is vegetation technology for CO2 sequetration. Thus, for indentifiying how much the carbon stock and the value of CO2 sequestration from motor vehicles emissions by tree, we conduct case study in the AH. Nasution road – Bandung City, the methodology is using emission factor approachment and biomass method. The result shows that CO2 from traffic emissions are averagely 97.914 kgCO2/Day and the CO2 seguestration from the tree until the survey conducted are 1.506.662 kg. Thus, we can assume that vegetation technology is not significant enough for reducing the CO2 emission. In the future to decrease the motor vehicle emissions, we need the species of plants which have huge sequestration, on the other hand also to be recommended to developed mass rapid transportation or converstion the fuel to non fosil fuel. Keywords : CO2 emission, motor vehicle, CO2 sequestration, biomass method, road side ABSTRAK Pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat, disamping memberikan dampak positif, dilain pihak juga menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah menghasilkan gas rumah kaca terutama emisi CO2 akibat pembakaran bahan bakar fosil. Secara tidak langsung, pertumbuhan kendaraan bermotor memberikan kontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Salah satu cara untuk mengatasi masalah emisi kendaraan adalah dengan menggunakan teknologi vegetasi untuk penyerapan CO2. Sehingga untuk mengidentifikasi berapa banyak simpanan karbon dan berapa nilai serapan CO2 dari emisi kendaraan bermotor, maka dilakukan studi kasus di Jalan AH Nasution – Kota Bandung, metode yang digunakan dengan pendekatan factor emisi dan metode pengukuran biomasa pohon. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa emisi CO2 dari lalu lintas kendaraan rata-rata adalah 97,914 kgCO2/hari dan serapan CO2 oleh pohon sampai saat survey dilakukan adalah 1.506.662 kg. Sehingga dapat diasumsikan bahwa teknologi vegetasi memberikan kontribusi yang kurang signifikan dalam penyerapan emisi CO2. Dimasa yang akan datang untuk mengurangi emisi kendaraan bermotor, dibutuhkan jenis spesies pohon yang mempunyai daya serap CO2 yang tinggi untuk ditanam di ruang milik jalan. Di lain pihak juga direkomendasikan untuk mengurangi emisi kendaraan dengan pengembangan angkutan masal atau konversi jenis bahan bakar kendaraan. Kata Kunci : emisi, CO2, kendaraan bermotor, serapan CO2, metode biomasa, ruang milik jalan
131
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
PENDAHULUAN Infrastruktur transportasi sangat penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, diantaranya investasi infrastruktur itu sendiri karena untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa, kemudian pengembangan infrastruktur transportasi dapat mengurangi waktu tempuh, memperlancar perpindahan orang/penumpang dan mempercepat transportasi barang sehingga dapat menghemat pengeluaran keuangan (Gunasekera 2008 dalam Hong 2011)
Namun sektor transportasi merupakan salah satu sektor yang menjadi perhatian kaitannya dengan perubahan iklim, terutama terkait dengan kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil. Tingginya pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi di negara-negara berkembang disinyalir memberikan kontribusi emisi gas rumah kaca yang tinggi (Wrigth dan Fulton 2005).
Sektor transportasi menghasilkan emisi yang mengganggu kualitas lingkungan, seperti karbon dioksida dan emisi polusi udara lainnya, menghasilkan kebisingan, polusi air, mengganggu kondisi fisik alam, dan lingkungan. Secara umum emisi kendaraan bermotor dengan bahan bakar fosil menghasilkan 14% karbon dioksida, 50-60% karbon dioksida dan hidro karbon serta sekitar 30% menghasilkan emisi nitrogen oksida (Hwang 2007 dalam Aly 2011). Salah satu cara mengurangi emisi CO2 dari kendaraan bermotor adalah cara vegetasi karena untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak dari perubahan iklim, maka diperlukan upaya untuk menstabilkan konsentrasi CO2 dengan memperluas CO2 Sink secara alami, yaitu dengan penghijauan (Sarmiento 2003 dalam Hastuti 2008). Penghijauan yang paling memungkinkan di daerah sekitar jalan, yaitu penanaman pohon di ruang milik jalan. Ruang milik jalan adalah sebuah segmen lahan yang dapat digunakan untuk simpanan karbon dan dapat dipertimbangkan dalam kegiatan penghijauan serta sebagai fungsi ekologi yang lain (Da Silva 2010).
Namun yang menjadi permasalahan adalah jenis maupun jumlah tanaman yang terdapat dipinggir jalan tidak berpengaruh positif terhadap kadar bahan pencemar udara yang ada. Hal ini dikarenakan jenis dan jumlah tanaman di pinggir jalan protokol tidak sesuai dengan tanaman peneduh yang mempunyai fungsi sebagai penyerap polutan udara. Untuk itu perlu kiranya adanya penataan kembali terhadap jenis-jenis tanaman peneduh yang ditanam pada ruang milik jalan. Sehingga fungsi
132
tanaman sebagai peneduh dan penyerap bahanbahan pencemar benar-benar dapat maksimal seperti yang diharapkan (Martuti 2013).
Di lain pihak, untuk mengukur serapan CO2 di ruang milik jalan terdapat beberapa cara, diantaranya adalah menggunakan metode geographic information system dan metode biomasa. Untuk metode biomasa pohon hal ini dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik, hal ini dianggap sebagai alat yang fundamental dalam perhitungan biomasa tanpa harus menebang pohon dan nilai dengan persamaan tersebut tergantung dari data empiris yang digunakan dalam membentuk persamaan alometrik. Persamaan tersebut terdiri dari fungsi-fungsi tertentu untuk mempermudah pengukuran seperti diameter, tinggi, kerapatan kayu atau kombinasi dari fungsi fungsi tersebut. Persamaan-persamaan tersebut dihasilkan dari sampel data pohon yang sedikit untuk digunakan dalam perhitungan biomasa dalam skala besar. (Makungwa 2013). Sehingga tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan contoh cara perhitungan berapa emisi CO2 kendaraan dengan studi kasus jalan A.H. Nasution - Bandung dan berapa kemampuan pohon yang ada di ruang milik jalan Jalan A.H. Nasution - Bandung dalam menyerap emisi CO2 tersebut. Sehingga dapat diketahui efektifitas dari kemampuan pohon dalam menyerap emisi kendaraan.
KAJIAN PUSTAKA
Faktor Emisi Kendaraan Sumber emisi dalam kajian ini adalah emisi dari kendaraan bermotor, cara menghitung emisi dari kendaraan yang lewat di suatu ruas jalan digunakan 2 pendekatan, yaitu metode per jenis kendaraan dan metode per konsumsi BBM.
Metode per Jenis kendaraan dapat dihitung dengan menggunakan rumus dan dengan menggunakan faktor emisi per jenis kendaraan, seperti yang tertuang pada Tabel 1 berdasarkan DEFRA 2012, hal ini dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: EK = VK x PJ x FE kend..................(1) Keterangan:
EK = emisi kendaraan; VK = volume kendaraan (kend/jam); PJ = panjang jalan (Km); FE kend = faktor emisi kendaraan (gCO2/km).
Penyerapan Emisi CO2 dari Kendaraan Bermotor melalui Teknologi Vegetasi di Ruang Milik Jalan Edwin Hidayat
Tabel 1. Faktor emisi (FE) CO2 Kendaraan Bermotor
Tabel 3. Tingkat Konsumsi BBM
Sumber : (DEFRA, 2012)
Metode per konsumsi BBM merupakan pendekatan dengan menghitung banyaknya konsumsi BBM dari tiap jenis kendaraan dengan menggunakan bantuan Tabel 2, yaitu faktor emisi BBM berdasarkan DEFRA (2012) dan Tabel 3 yaitu tingkat konsumsi BBM menggunakan database International Road Management System (IRMS) dalam Oetomo (2006). Sebagai contoh kendaraan di daerah Jawa Barat, perhitungan metode per konsumsi BBM dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: EK = VK x PJ x FE BBM x Kons BBM........(2) Keterangan:
EK = emisi kendaraan; VK = volume kendaraan (kend/jam); PJ = panjang jalan (Km); FE BBM = faktor emisi BBM (gCO2/liter); TK Kons BBM = tingkat konsumsi BBM (lt/km). Tabel 2. Faktor Emisi (FE) CO2 per jenis BBM
Sumber : (Oetomo, Sad Marga dkk, 2006)
dari makhluk hidup tersebut. Persamaan tersebut dipakai untuk menduga parameter tertentu dengan menggunakan parameter lainnya yang lebih mudah (Sutaryo 2009). Parameter yang biasa digunakan untuk mengukur biomasa pohon adalah diameter pohon. Ilustrasi cara pengukuran diameter setinggi dada pohon (DBH) untuk tiap jenis batang pohon dapat dilihat pada Gambar 1 . Seperti telah dijelaskan pengukuran metode biomasa dibantu menggunakan persamaan alometrik, dewasa ini terdapat banyak persamaan alometrik diantaranya adalah persamaan yang hasil penelitian Brown dan persamaan dari hasil penelitian Ketterings. Pendekatan pertama yaitu pendekatan model Brown yang merupakan model alometrik yang
Sumber : (DEFRA, 2012)
Metode Biomasa Terdapat beberapa pendekatan untuk mengukur serapan CO2 dari pohon, diantaranya dengan pengukuran stomata daun, pemetaan dengan bantuan aplikasi penginderaan jauh atau pengukuran dengan metode biomasa. Metode volume organisme (biomassa), yaitu pengukuran dengan menggunakan model alometrik. Pengertian model alometrik sendiri adalah suatu fungsi atau persamaan matematika yang menunjukkan hubungan antara bagian tertentu dari makhluk hidup dengan bagian lain atau fungsi tertentu
Gambar 1. Tata cara mengukur DBH Sumber : (Sutaryo, 2009)
133
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
dapat digunakan untuk semua jenis pohon yang merupakan hasil dari 170 pohon dengan diameter antara 5 – 148 cm (Brown 1997 dalam Basuki 2009) sebagai berikut: B = exp(-2.134+2.53ln(DBH))......(3) Keterangan:
B = Biomassa total pohon (kg/pohon); D = Diameter setinggi dada (cm)
Pendekatan kedua dengan pendekatan Ketterings, model alometrik Ketterings dapat digunakan untuk menghitung biomassa pohon secara umum yang merupakan hasil penelitian dari 29 batang pohon yang terdiri dari 14 spesies di daerah Sepunggur Provinsi Jambi dengan diameter antara 7,6 – 48,1 cm (Ketterings 2001) sebagai berikut: B = 0.11 ρ DBH2+C...........................(4)
Keterangan:
B = Biomassa total pohon (kg/pohon), Ρ = Kerapatan Kayu (diambil 0.604), DBH = Diameter Setinggi Dada (cm); C = hubungan antara diameter pohon dan tinggi pohon dilokasi penelitian (diambil 0.62 dari lokasi Sepunggur) Setelah diketahui jumlah biomasa pohon dengan persamaan alometrik, maka untuk mengetahui berapa jumlah simpanan karbon maka dihitung dengan persamaan serapan karbon (C) (Rahmat, Mamat 2010) sebagai berikut: Cb = B x % C organic......................(5) Keterangan:
Cb = kandungan karbon dari biomassa (kg); B = Total biomassa (kg); %C organik = nilai persentase kandungan karbon, sebesar 0,47 - 0,5.
Selanjutnya setelah diketahui simpanan karbon (C), maka untuk mengetahui berapa serapan CO2 dilakukan perhitungan serapan CO2 dengan menggunakan persamaan dari (Rahmat 2010) sebagai berikut: CO2 = 3.6667 x Cb...........................(6) Keterangan :
CO2 = Serapan karbon dioksida; Cb = jumlah karbon dalam biomassa.
Hipotesis
Dugaan awal pada kajian ini adalah perbandingan dari nilai hasil pengukuran emisi kendaraan dengan pendekatan faktor emisi dan nilai dari pengukuran simpanan karbon dan serapan CO2 pada pohon yang berada di ruang milik jalan dapat digunakan untuk mengatahui efektifitas dari penanaman pohon
134
(vegetasi) dalam mengurangi emisi kendaraan dalam kaitannya terhadap perubahan iklim.
METODE PENELITIAN
Untuk melakukan analisa jumlah emisi dari kendaraan di suatu ruas jalan dan kemampuan simpanan karbon serta serapan CO2 dari pohon yang berada di ruang milik jalan perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah ke 1 dilakukan pemilihan ruas jalan yang akan di kaji, pengambilan studi kasus ruas jalan arteri primer di wilayah perkotaan yang juga merupakan salah satu jalan utama di suatu kota.
Langkah ke 2 dilakukan perhitungan volume lalu lintas pada ruas jalan tersebut dengan menggunakan metode video recording yang kemudian dilakukan counting di laboratorium komputer dan dibagi sesuai dengan jenis kendaraannya dan diklasifikasi menjadi 4 kelompok, yaitu: Kelompok 1, yaitu Mobil Penumpang (MP) terdiri dari Mobil pribadi, angkutan umum, jeep, pick up, taksi, dan van.
Kelompok 2, yaitu Kendaraan Sedang (KS) yang terdiri dari bus sedang, mobil kargo, dan truk sedang. Kelompok 3, yaitu Kendaraan Berat (KB) yang terdiri truk besar dan bus besar.
Kelompok 4, yaitu Sepeda Motor (SM) dengan asumsi semua kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas 0-125 cc.
Langkah ke 3 dilakukan perhitungan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan dari kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut dengan 2 metode, yaitu : Metode 1, yaitu per jenis kendaraan dengan menggunakan tabel 1 dan persamaan 1 pada kajian pustaka.
Metode 2, yaitu per konsumsi BBM dengan menggunakan tabel 2 dan tabel 3 serta persamaan 2 pada kajian pustaka.
Langkah ke 4 dilakukan inventarisasi jumlah pohon dan diameter setinggi dada (DBH) yang berada di kiri dan kanan sepanjang jalan sesuai dengan cara pengukuran DBH menurut Sutaryo (2009) pada kajian pustaka. Langkah ke 5 dilakukan perhitungan kemampuan simpanan karbon dan serapan CO2 dari hasil survey pada langkah 4, kemudian dianalisis dengan 2 pendekatan, yaitu:
Penyerapan Emisi CO2 dari Kendaraan Bermotor melalui Teknologi Vegetasi di Ruang Milik Jalan Edwin Hidayat Pendekatan 1, yaitu pendekatan model Brown dengan menggunakan persamaan 3, persamaan 5, dan diikuti persamaan 6 pada kajian pustaka.
Pendekatan 2, yaitu dengan pendekatan Ketterings digunakan persamaan 4, dilanjutkan persamaan 5 dan persamaan 6 pada kajian pustaka. Langkah ke 6, melakukan analisa terhadap hasil dari langkah 3 dan langkah 5 dan melakukan interpretasi.
HASIL
Hasil langkah 1 dalam metodologi, studi kasus dilakukan di Jalan A.H. Nasution – Bandung. Jalan AH Nasution dari arah Timur dimulai dari Bundaran Cibiru dan berakhir di arah barat sampai dengan pertigaan terminal Cicaheum. Jalan ini secara umum dapat dikategorikan jalan dengan geometrik yang lurus dengan panjang 8.04 km. Jika dilihat dari kontur, jalan AH. Nasution ini termasuk datar sehingga tidak ada turunan atau tanjakan yang berarti.
Hasil survey primer pada langkah 2 metodologi dilakukan pada hari Rabu tanggal 6 juni 2012 dengan pengambilan waktu perekaman video dari jam 09.00-12.00, selanjutnya data volume lalu lintas tersebut dirata-ratakan menjadi per jam. Hal ini dilakukan untuk mencari volume lalu lintas normal, jalan AH. Nasution pada pagi dan sore hari mengalami peak hour yang lebih dikarenakan perjalanan commuter karena pengendara di daerah timur Bandung yang bekerja di pusat kota dan kondisi ini dianggap tidak bisa mewakili karena tidak berlaku di hari libur. Pada Tabel 4 ditampilkan data hasil survey kendaraan. Kemudian untuk mengetahui jumlah kontribusi CO2 dengan pendekatan emisi per jenis kendaraan, hasil perhitungan dengan menggunakan langkah 3 pada metodologi hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Emisi CO2 metode Jenis Tabel 4. Hasil Survey Rata-Rata Kendaraan
Kendaraan di bawah. Sedangkan hasil dengan pendekatan konsumsi BBM untuk kendaraan yang masuk kelompok MP digunakan faktor emisi BBM Bensin (dengan patokan konsumsi kendaraan adalah sedan/jeep). Kelompok KS menggunakan BBM solar (dengan tingkat konsumsi BBM berpatokan pada bis kecil). Kelompok KB menggunakan BBM Solar (dengan patokan tingkat konsumsi BBM adalah semi trailer). Kelompok SM menggunakan BBM Bensin. Maka dengan cara perhitungan langkah 3 pada metodologi diketahui jumlah emisi CO2 dari konsumsi BBM yang dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 5. Emisi CO2 metode Jenis Kendaraan
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 6. Emisi CO2 metode Konsumsi BBM
Sumber : Hasil Perhitungan
Dari Tabel 5 dan Tabel 6 dapat dilakukan perbandingan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan dan dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan emisi CO2 yang cukup signifikan walaupun menggunakan panjang jalan dan volume kendaraan yang sama. Hasil langkah 4 dan langkah 5 pada metodologi untuk simpanan karbon dan serapan CO2 dari hasil inventarisasi jumlah dan jenis pohon di ruang milik jalan. Survei dilakukan antara bulan November – Desember 2012 dengan hasil pohon berada di kiri jalan (arah Cicaheum) terdapat 544 pohon dengan diameter antara 2.55 – 97.33 cm dan di bagian kanan jalan (arah Cibiru) terdapat 333 pohon dengan diameter antara 3.18 – 78.66. Data tersebut kemudian dilakukan perhitungan sesuai dengan
Sumber : Hasil Survei
135
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
langkah 5 pada metodologi, sehingga pada tabel 7 ditampilkan hasil perhitungan simpanan karbon dan serapan CO2 Pohon di ruang milik jalan dengan pendekatan pertama.
pada per jenis kendaraan. Namun yang paling mempengaruhi adalah faktor kebiasaan dalam mengemudikan kendaraan, seperti saat melakukan akselerasi dan deselerasi kecepatan.
Dari Tabel 7 dan Tabel 8 dapat diketahui bahwa perhitungan dengan menggunakan model alometrik dari Brown menghasilkan berat biomassa yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode Kettering. Hal ini otomatis juga menghasilkan simpanan Karbon dan CO2 yang berbeda pula.
Serapan CO2 Yang Digunakan
Kemudian untuk pendekatan kedua yang merupakan hasil langkah 4 dan langkah 5 metodologi dengan persamaan Ketterings hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 8 .
PEMBAHASAN
Emisi CO2 Yang Digunakan Perhitungan emisi CO2 baik menggunakan pendekatan per jenis kendaraan ataupun per jenis BBM, keduanya memiliki kekurangan. Metode per jenis kendaraan dalam kenyataannya kondisi setiap kendaraan satu dengan yang lain berbeda walupun dengan tipe dan merek yang sama. Hal ini disebabkan karena faktor umur mesin, faktor pemeliharaan, faktor lama pemakaian, faktor kontur dan geometrik jalan, dan sebagainya. Begitu pula untuk per jenis BBM, tingkat konsumsi BBM kendaraan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
Seperti telah dijelaskan dalam hasil dari kedua metode emisi per jenis kendaraan dan emisi per jenis BBM diketahui perbedaan yang relatif tinggi. Namun pada kajian ini perhitungan emisi kendaraan yang dipilih adalah metode per jenis kendaraan, hal ini dikarenakan metode konsumsi BBM dianggap kurang teliti karena metode konsumsi BBM berhubungan dengan kecepatan kendaraan. Padahal kecepatan kendaraan yang melaju di jalan A.H. Nasution masing masing mempunyai kecepatan yang berbeda. Serapan CO2 dengan pendekatan Brown hanya menggunakan fungsi diameter untuk menghitung biomasa, sedangkan metode Ketterings menggunakan fungsi diameter dan kerapatan kayu dalam menghitung biomasa.
Dari hasil perhitungan, nilai dengan pendekatan Brown dan pendekatan Ketterings juga terjadi nilai perapan yang berbeda. Namun untuk simpanan Karbon dan serapan CO2 dipilih hasil perhitungan dengan pendekatan Ketterings. Hal ini dikarenakan model Ketterings merupakan hasil penelitian dari pohon-pohon yang ada di Indonesia dan mempunyai
Tabel 7. Serapan CO2 pendekatan Brown
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 8. Serapan CO2 pendekatan Ketterings
Sumber : Hasil Perhitungan
136
Penyerapan Emisi CO2 dari Kendaraan Bermotor melalui Teknologi Vegetasi di Ruang Milik Jalan Edwin Hidayat keragaman 14 spesies. Selain hal tersebut juga menggunakan pendekatan fungsi diameter dan fungsi kerapatan kayu sehingga hasil perhitungan menggunakan model ini dianggap relevan dengan pohon yang ada di ruang milik jalan jalan A.H. Nasution. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Brazil dengan menggunakan metode geographic information system (GIS). Didapatkan serapan CO2 rata-rata adalah 131 tons/km untuk skenario jenis pohon asli daerah setempat dan merupakan terdiri dari beberapa jenis pohon (Da Silva 2010).
Sedangkan hasil perhitungan di Jalan A.H. Nasution hampir 98 ton CO2/Hari untuk 8.04 km atau 12.18 ton/km. Jika dibandingkan dengan metode GIS terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Namun hal ini diakibatkan karena metode yang digunakan berbeda. Selain itu juga dikarenakan parameter populasi, luas kota, kepadatan penduduk, jarak jalan dari pusat kota, dan iklim daerah mempunyai pengaruh pada tingkat kemampuan serapan CO2. Sebagai tambahan, jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang sama-sama menggunakan metode biomasa. Didapatkan hasil dari penelitian di Vadodara City bahwa untuk jumlah 242 pohon di Station Road kemampuan serapan mencapai 11,61 ton/km (Kiran 2011).
Jika dibandingkan dengan kemampuan serapan di jalan A.H. Nasution yang 12.18 ton/km dengan jumlah pohon rata-rata 109 pohon maka kemampuan serapan dianggap relatif sama. Hal ini disebabkan perbedaan yang tidak terlalu jauh dan yang menjadi perbedaan di sini adalah jumlah pohon, dimana jumlah pohon sangat dipengaruhi oleh ukuran diameter. Hubungan Emisi, dan Serapan Karbon
Dari hasil perhitungan dengan metode biomassa dan faktor emisi. Hasil perhitungan emisi kendaraan dengan studi kasus di Bandung dapat diketahui bahwa total emisi CO2 di jalan AH. Nasution – Bandung rata-rata per jam adalah 5.439 kg. Nilai ini adalah nilai rata-rata dari hasil 3 jam pengambilan data, bukan dari rata-rata dari 24 jam. Hal ini dilakukan karena volume kendaraan sangat fluktuatif dalam 24 jam dimana volume kendaraan mulai signifikan dari pukul 05.00 sampai dengan pukul 22.00. Sehingga rata-rata volume kendaraan per hari hanya dianggap selama 18 jam. Dengan demikian jika volume kendaraan ini dianggap linier dan pergerakan kendaraan dalam satu hari adalah 18 jam, maka total emisi CO2 adalah 97.914 kg CO2/hari atau sekitar 98 ton CO2/hari. Dilain pihak serapan CO2 dari pohon yang berada di ruang milik
jalan sampai saat dilakukan survey mempunyai 1.506.662 kg atau sekitar 1500 ton.
Dari angka ini dapat dilihat bahwa kemampuan serapan CO2 pohon yang ada di ruang milik jalan Jalan AH. Nasution tidak mampu menyerap semua emisi CO2 dari kendaraan bermotor. Hal ini dikerenakan hanya dalam 16 hari volume emisi CO2 sudah melebihi kemampuan serapan pohon secara keseluruhan. Dengan kata lain berdasarkan data dari table 5 hasil untuk penambahan 1 kendaraan bermotor akan menambah 0.85 kg CO2 atau jika dengan data tabel 8 dengan penambahan biomassa pohon seberat 1 kg, maka dapat menyerap CO2 sebesar 1.72 kg CO2.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa teknologi vegetasi mempunyai keterbatasan dalam mereduksi CO2, sehingga untuk mereduksi dampak negatif emisi kendaraan di sekitar ruang milik jalan perlu dilakukan pemilihan jenis pohon dengan kemampuan serapan CO2 yang tinggi dan mempunyai DBH yang besar atau dapat juga digabungkan dengan penanaman semak. Perlu juga dilakukan penggabungan dengan cara atau teknologi alternatif yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
a. Volume kendaraan per jam untuk jalan di wilayah perkotaan dengan studi kasus jalan AH. Nasution – Bandung mempunyai volume total rata-rata 6.414 kendaraan/jam, dengan volume total emisi CO2 adalah 5.439 Kg CO2/ Jam. Sedangkan untuk simpanan karbon total sampai saat survei dilakukan adalah 410.906 kg, kemudian kemampuan serapan CO2 adalah 1.506.662 kg. b. Pohon di ruang milik jalan jalan A.H Nasution mempunyai kemampuan yang kecil dan dianggap tidak signifikan dalam mereduksi emisi kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut. Hal ini antara lain disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu : • jenis pohon yang ditanam, karena setiap jenis pohon mempunyai kemampuan serapan CO2 yang berbeda. • umur pohon yang sangat berpengaruh pada DBH, karena semakin besar DBH maka biomassa juga semakin besar.
137
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.5 No.2, Juli 2013 hal 76 - 139
DAFTAR PUSTAKA Aly, Sumarni Hamid et al. 2011. Study on Emission Measurement of vehicle on road based on binominal logit model. Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol 9 page 784-795. Basuki, T.M, P.E. van Laake, A.K. Skidmore, Y.A. Hussin. 2009. Allometric Equations For Estimating The Above-Ground Biomass In Tropical Lowland Dipterocarp Forests. Forest Ecology and Management Journal, 257 1684– 1694, ELSEVIER. Da Silva AM et al. 2010. Roadside Vegetation: Estimation And Potential For Carbon Sequestration, Iforest – Biogeosciences And Forestry Journal 3: 124-129. Hastuti dan Utami. 2008. Potensi ruang terbuka hijau dalam penyerapan CO2 di Permukiman, Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 2 Juli 2008 Hal 106-114. DEFRA. 2012. Guidelines to Defra / DECC’s GHG Conversion Faktors for Company Reporting: Methodology Paper for Emission Faktors, Department for Environment, Food and Rural Affairs; London. Hong et al. 2011. Transport Infrastructure And Regional Economic Growth: Evidence from China, Transportation Journal 38:737–752 Springer. Ketterings et al. 2001. Reducing Uncertainty In The Use Of Allometric Biomass Equations For Predicting Above Ground Tree Biomass In Mixed Secondary Forests. Forest Ecology And Management Journal 146 199-209 Elsevier. Kiran, Sandhya et al. 2011. Carbon sequestration by urban trees on roadside of Vadodara City. International Journal of Engineering Science and Technology. Vol. 3 No. 4 Apr 2011, page 3066-3070, ISSN : 0975-5462.
Makungwa, Stephy D et al. 2013. Allometry for Biomass Estimation in Jatropha Trees Planted as Boundary Hedge in Farmers’ Fields. Forests Journal 4, 218-233: ISSN 1999-4907. Martuti, Nana Karida. 2013. Peranan Tanaman Terhadap Pencemaran Udara di jalan Protokol Kota Semarang. Jurnal Biosantifika, Vol 5 (1) Hal. 36-42. Oetomo, Sad Marga, Sjafruddin, Santoso. 2006. Kajian Instrumen Pungutan Bagi Pengguna Jalan Untuk Dana Pemeliharaan di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Teknik Sipil Vol 13 No. 1 Januari 2006 Hal 41-53. Rahmat, Mamat. 2010. Evaluasi Manfaat Dan Biaya Pengurangan Emisi serta Penyerapan Karbon Dioksida pada Lahan Gambut di HTI PT. SBA
138
WI. Jurnal Bumi Lestari. Volume 10 No. 2, Agustus 2010. hlm. 275 – 284. Sutaryo, Dandun. 2009. Penghitungan Biomassa Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Bogor: Penerbit Wetlands International Indonesia Programme. Wrigth and Fulton. 2005. Climate Change Mitigation and Transport in Developing Nations. Transport Reviews Journal, Vol. 25, No. 6, 691– 717, November 2005.
INDEKS INDEKS PENGARANG Ahsan Asjhari 76 Andi Suriadi 97
Andri Hakim 97
Dimas Hastama Nugraha 119 Edwin Hidayat 131 Jati Iswardoyo 87
Masmian Mahida 19 Nasta Inah 111
Suryawan Setianto 111 INDEKS SUBJECT A
Alternataive base 42 B
Bumi Lestari 89, 93, 94 C
Commuter 135 D
Debris 88 E
Emisi 131,132,133,134,137 I
Intangible 98 K
Kosmis-religius-magis 107 L
Live lihood system 88 M
Merapi 88, 90 N
NJOP 99, 100 O
Otta Seal 78, 79, 80, 81, 82, 83 S
Siklus Manajemen 91 T
Tokenisme 82 Tangible 98
139