PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
TESIS
Oleh
RUDY HENDRA PAKPAHAN 077005151/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUDY HENDRA PAKPAHAN 077005151/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Judul Tesis
: PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
Nama Mahasiswa
: Rudy Hendra Pakpahan
Nomor Pokok
: 077005151
Program Studi
: Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)
(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)
Anggota
Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 12 Agustus 2009
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Telah diuji pada Tanggal 12 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
ABSTRAK Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerah saat ini mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya artinya daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif. Di Indonesia terjadi dualisme tentang pengaturan pembatalan Perda yaitu, yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai badan administrasi dan pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dualisme ini terlihat dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, serta ketentuan Pasal 145 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut dibedakan kewenangan pengujian Perda dalam ayat yang berbeda pula. Akibat hukum dari pengujian terhadap Perda oleh Pemerintah adalah berupa pembatalan Perda sementara akibat hukum dari pengujian Perda oleh Mahkamah Agung apabila satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang diatasnya maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Disarankan agar instrumen hukum pembatalan Perda tidak cukup dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri karena syarat dan mekanisme pembatalan Perda dewasa ini harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Seharusnya pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden kemudian disarankan batas waktu proses pengujian peraturan perundangundangan diatur secara jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung agar Perda yang sedang diuji tidak terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama Kata Kunci : Pengujian, Peraturan Daerah, Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
ABSTRACT According to legislation rules, regional regulation has a unique position ssince though regional regulation is placed under The Act yet there is no unity of opinion among the experts on the subject of the person who actually has the power to examine. Debate upon the validity of executive review and judicial review toward regional regulation becomes nowadays question in the era of area that has autonomy regarding the regional regulation is the product of District Head and Assembly at Provincial Level (DPRD) in an autonomous district. As stated in The Act Number 32 in 2004, principle of autonomous district applied is autonomy principle, which is as widespread as possible, that is, the district is given authority to manage all governmental things excepts those which become government responsibility as it is stated on The Act. Districts have authority to make their own policy to give service, role improvement, initiative, and make an efficient society aiming to improve society’s welfare. The research is commited by normative law method. The main data are secondary data. The data are collected by library research and field research. The secondary data are analyzed by qualitative analysis. Dualism of the annulment regional regulation arrangement occurs in Indonesia which is done by the government as administrative institution and a trial done by Supreme Court. The dualism is visible in Article 145 subsection 2 and 5 Act Number 32 in 2004 concerning District Government. That Acts differentiate the authority of regional regulation trial in a different subsection. Consequently, the regional regulation is called off temporarily because of the law of regional regulation trial commited by Supreme Court, namely if one regional regulation is contradicted with legislation rules hence Supreme Court grants the request and ask District Government and Assembly at Provincial Level (DPRD) to abrogate the regional regulation maximum of 90 days. The judicial review can not be submitted to the decision of calling off the regional regulation made by Supreme Court. As a suggestion, law instrument used to call off the regional regulation is not sufficient only by applying the decision of Minister of Domestic Affair since the qualifications and mechanism of regional regulation annulment must refer to The Act Number 32 in 2004. The annulment suppose to be committed by President with Presidential Regulation. Subsequently, as a suggestion, the time limit of the process of regional regulation trial should be obviously managed in Supreme Court regulation so that the regional regulation which is being examined will not be pending in the district because of a long time trial. Key words : Review, Regional Regulation, Executive and Judicative Institution.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : ”Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari. Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
4. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya. 6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Anggota Komisi Penguji. 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji. 8. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan bermanfaat dikemudian hari. 9. Bapak Drs. Mashudi, Bc.IP, MAP selaku Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Studi Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara atas biaya Kanwil serta Bapak Drs. Rosman Siregar, SH, MH selaku Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM. 10. Orangtuaku tercinta, Ayahanda M. Pakpahan dan Ibunda T. Br. Silaban yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anaknya serta mertuaku Amang K. Butarbutar dan Inang H. Br. Sinaga atas doanya. 11. Teristimewa untuk “Istriku Tercinta Asian Novalina Butarbutar, SP” terima kasih atas cinta, kasih sayang, perhatian dan dukungannya selama ini... Banyak waktu
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
yang seharusnya kuhabiskan denganmu namun terpakai untuk menyelesaikan kuliah... Maafkan aku yah.... Terimakasih juga untuk anak-anakku Alvaro GC Pakpahan dan Alessandro Nathaniel Pakpahan. 12. Terimakasih buat Kakakku Lisrawaty Goretty Pakpahan dan Lae M. Marbun, atas doa dan dukungan yang tiada hentinya serta Lae Ivan, Lae Henry dan Adekku Yohana. 13. Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Paralel Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan Tahun 2007, atas dukungan dan kebersamaanya. Cepat ada yang dikejar dan lambat ada yang ditunggu.... 14. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Tuhan jualah yang membalas semua kebaikannya. Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan saran pemikiran mengenai ”Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin. Medan,
Juli 2009
Penulis,
RUDY HENDRA PAKPAHAN
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
RIWAYAT HIDUP
NAMA
: RUDY HENDRA PAKPAHAN
TEMPAT/TGL LAHIR : SIBOLGA, 27 JANUARI 1980 JENIS KELAMIN
: LAKI-LAKI
AGAMA
: KRISTEN
PEKERJAAN
: PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA
PENDIDIKAN
: 1. SD ROMA KATOLIK I SIBOLGA, LULUS TAHUN 1992. 2. SMP KATOLIK FATIMA SIBOLGA, LULUS TAHUN 1995. 3. SMA NEGERI 1 SIBOLGA, LULUS TAHUN 1998
. 4. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG, LULUS TAHUN 2004. 5. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, LULUS TAHUN 2009.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ........................................................................................................... i ABSTRACT .......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix DAFTAR BAGAN ............................................................................................... x BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................... 13 C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 13 D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 14 E. Keaslian Penelitian ........................................................................ 14 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ....................................................... 15 1. Kerangka Teori ........................................................................ 15 2. Konsepsi .................................................................................. 29 G. Metode Penelitian .......................................................................... 32 1. Jenis Penelitian ........................................................................ 32 2. Sumber Data ............................................................................ 32 3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 33 4. Analisis Data ............................................................................ 34
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
BAB II
PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGUJIAN TERHADAP PERDA ............................................... 35 A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemerintahan Daerah .................. 35 1. Pemberlakuan Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang Perda .......................................................................... 41 a. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 ...... 42 b. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 .... 44 c. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ...... 46 d. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 .... 48 e. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ...... 50 f. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ..................... 60 2. Peraturan Daerah Sebagai Landasan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah .......................................................... 62 B. Landasan, Asas-Asas dan Proses Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai Produk Peraturan Perundang-Undangan ......................... 70 1. Landasan Pembentukan Perda ................................................. 70 2. Asas-Asas Pembentukan Perda ................................................ 73 3. Proses Pembentukan Perda ...................................................... 81 C. Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda .............. 83 1. Pengawasan Terhadap Perda ................................................... 83 a. Pengertian Pengawasan ...................................................... 85 b. Fungsi Pengawasan ............................................................ 89 c. Tujuan Pengawasan ............................................................ 90 d. Macam-Macam Pengawasan .............................................. 91
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
2. Kewenangan Pengujian Perda ................................................. 95 BAB III
PROSES PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF ................................................... 110 A. Proses Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah .................................................................... 110 1. Pelaksanaan PengawasanTerhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ............................................................... 119 2. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Perda di Daerah Provinsi Sumatera Utara .......................................................... 136 B. Proses Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif ........................ 144
BAB IV
AKIBAT HUKUM PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF ................................................... 159 A. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif .......... 159 B. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif .......... 169
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 176 A. Kesimpulan .................................................................................... 176 B. Saran ............................................................................................. 178
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 180
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
DAFTAR TABEL
No 1
2
3
Judul
Halaman
Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Perda Di Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2008 ..................................................................
137
Perkembangan Hak Uji Materiil Terhadap Perda di Mahkamah Agung Tahun 2003-2007 ...............................
152
Perbedaan Pengujian Perda Antara Mahkamah Agung dan Pemerintah ......................................................................
157
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
DAFTAR BAGAN
No 1
2
3
Judul
Halaman
Pembatalan Perda Menurut Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ..........................................................
126
Evaluasi Ranperda Menurut Pasal 185 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ..........................................................
129
Evaluasi Ranperda Menurut Pasal 186 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ..........................................................
135
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Negara Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hubungan penyelenggaraan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Hubungan penyelenggaraan pemerintahan itu harus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah
Negara
Kesatuan
yang
berbentuk
Republik.
Ketentuan
konstitusional itu memberikan pesan bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka Negara yang berbentuk kesatuan (unitary), bukan berbentuk federasi (serikat). 144 Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin, bahwa : “….kita hanya membutuhkan Negara yang bersifat unitarisme dan wujud Negara kita tidak lain dan tidak bukan daripada bentuk suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Membentuk Bangsa Indonesia tidak dapat dengan federalisme dan hanyalah dengan unitarisme”. 145
144
Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 5. 145 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Yayasan Prapantja, 1959), hlm. 239.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Mengenai Negara Kesatuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diikuti dengan sistem desentralisasi. Hal itu dapat dipahami dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (setelah Amandemen Kedua) mengenai Pemerintahan Daerah, menyatakan sebagai berikut : Pasal 18 ayat (1) : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas 146 daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang”. Pasal 18 ayat (2) : “Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Sementara itu mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dalam Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan : “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Mengenai hubungan di antara tingkat-tingkat dalam pemerintahan tersebut harus dibedakan antara 147 :
146
Penggunaan istilah “dibagi atas” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah bersifat hirarkis dan vertikal. Hal ini dianggap perlu ditegaskan karena adanya penafsiran yang timbul akibat penerapan kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengembangkan pola hubungan antara pusat dan daerah serta hubungan antara daerah yang dipahami bersifat horizontal. Untuk lebih jelasnya lihat Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hlm. 28. 147 Philipus M. Hadjon et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 74-79.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
1. Hubungan vertikal (pengawasan, kontrol, dsb) Mengenai pengawasan yang dilaksanakan oleh badan-badan Pemerintah yang lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah. Untuk pengawasan ini dapat dikemukakan alasan-alasan sebagai berikut : a. Koordinasi : mencegah atau mencari penyelesaian konflik/perselisihan kepentingan, misalnya di antara kabupaten-kabupaten. b. Pengawasan kebijaksanaan : disesuaikannya kebijaksanaan dari aparat pemerintah yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi. c. Pengawasan kualitas : kontrol atas kebolehan dan kualitas teknis pengambilan keputusan dan tindakan-tindakan aparat pemerintah yang lebih rendah. d. Alasan-alasan keuangan : peningkatan kebijaksanaan yang tepat dan seimbang dari aparat pemerintah yang lebih rendah. e. Perlindungan hak dan kepentingan warga : dalam situasi tertentu mungkin diperlukan suatu perlindungan khusus untuk kepentingan dari seorang warga. Terhadap pengawasan dan kontrol tersebut ada beberapa bentuknya, yaitu : 1) Pengawasan represif 2) Pengawasan preventif 3) Pengawasan yang positif 4) Kewajiban untuk memberitahu 5) Konsultasi dan perundingan 6) Hak banding administratif 7) Dinas-dinas Pemerintah yang didekonsentrasi 8) Keuangan 9) Perencanaan 2. Hubungan horizontal (perjanjian kerjasama di antara para pejabat yang berada pada tingkat yang sama). Disamping hubungan secara vertikal ada pula hubungan secara horizontal, umumnya di antara kabupaten dengan kabupaten, propinsi dengan propinsi, atau propinsi dengan kabupaten. Banyak tugas-tugas Pemerintah hanya dapat dilaksanakan secara memuaskan melalui jalan kerjasama. Bagi suatu kerjasama di antara para instansi pemerintah diperoleh berbagai macam jalan. Jalan yang pertama ialah dengan menandatangani perjanjian yang sifatnya hukum Perdata. Di samping itu di beberapa Negara ditemukan adanya kemungkinan kerjasama yang sifatnya hukum publik di antara para pejabat instansi atas dasar suatu undang-undang yang dibuat untuk hal tersebut. Terhadap hal ini ada tiga macam kerjasama : 1) Fungsi yang dipusatkan 2) Badan/Lembaga untuk bersama 3) Badan hukum untuk bersama.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Berdasarkan beberapa bentuk pengawasan dan kontrol yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon di atas, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 148 lebih menekankan kepada bentuk pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga menganut pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. 149 Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Peraturan Daerah (selanjutnya ditulis Perda) hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif. 150 Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda. Dalam hal ajaran rumah tangga daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan 148
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) 149 Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Op.Cit, hlm. 53. 150 Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa Perda dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, dan Gubernur Kepala Daerah bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974). Sedangkan pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Pengawasan ini berwujud penangguhan atau pembatalan Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 71).
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenal juga istilah urusan yang sifatnya concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsekuensinya dari hal tersebut daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas. 151 Urusan
pemerintahan
yang
dilaksanakan
oleh
Pemerintah
Daerah
pelaksanaannya diatur oleh Perda. Hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar. Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik. Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri diera otonomi daerah saat ini mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom. 151
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002), hlm. 37.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pakar Hukum Tata Negara, Sri Somentri menjelaskan ada berbagai macam cara pembatalan Perda karena ada beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. Hak uji dilakukan bukan hanya oleh Mahkamah Agung, tapi juga oleh pemerintah, ada yang oleh Presiden, ada yang oleh Menteri Dalam Negeri. 152 Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie menyatakan, “Perda sebagai hasil kerja Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja”. 153 Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut Perda sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi yang berwenang menguji Perda adalah Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki 152
Berita diambil dari situs www.hukumonline.com (27 06 2006). Senada dengan Prof. Sri Soemantri, Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri menilai, terhadap Perda dapat dilakukan excecutive review dan judicial review; “Sebenarnya ada dua lembaga (yang berwenang mereview). Pertama, (berdasarkan) Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada kewajiban mengirimkan semua Perda yang sudah ditandatangani ke Departemen Dalam Negeri. Dalam dua bulan, Departemen Dalam Negeri seharusnya me-review. Kalau misalnya (Perda) tidak sesuai peraturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan. Kalau kemudian Pemda dan DPRD tidak puas, bisa challenge ke MA. Kemudian yang kedua (oleh) MA, melalui mekanisme judicial review,” tambah Bivitri. 153 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 37-39.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 154 Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Apapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. 155 Menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :
154 155
Ibid. Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pasal 136 Ayat (1) : “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Ayat (2)
: “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”.
Ayat (3)
: “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.
Ayat (4)
: “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal: 1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah. 3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah. 5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah. Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan pengawasan yakni 156 : 1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. 2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 ayat (1), yang 156
Untuk lebih jelas lihat dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menyatakan :“Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan”. Selanjutnya di dalam ayat (2) disebutkan bahwa : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”. Ketentuan Pasal 145 ayat (2) tersebut di atas dapat menjadi problem tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan Perda yang telah ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah harus berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Perda yang telah disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Selain itu akibat dari pengawasan pemerintah terhadap Perda sudah tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi hukum yang mesti dipatuhi oleh daerah. Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yakni: (1) hak menguji formil (formele toetsingsrecht); dan (2) hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht). 157 Yang dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan perundang-undangan terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang 157
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari (Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung), (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 127.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo 20 ayat (2) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas. Demikian pula Perda dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Perda apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundangundangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil berkenaaan dengan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. 158 Mengingat beratnya beban daerah dalam rangka memenuhi amanat UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dalam rangka mensejahterakan masyarakat dalam kerangka pembangunan nasional dan daerah maka setiap kebijakan publik yang dihasilkan selain untuk mengejawantahkan peraturan perundangan diatasnya juga lebih merupakan kebijakan dalam rangka mengatur rumah tangga daerah tersebut. Dengan demikian materi Perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun yang bersifat delegasian, karena merupakan pengejawantahan peraturan perundang-undangan diatasnya. Meskipun demikian materi muatan Perda dapat juga memuat dan menampung kondisi khusus daerah yang bersangkutan. Dalam pendahuluan Prolegnas dikatakan bahwa “Supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan lainnya serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui satu sistem hukum nasional. Hukum sebagai landasan pembangunan bidang lainnya bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/pembangunan (law as a tool of social engineering), instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control), jika hal tersebut kemudian dinegasikan kepada konteks Perda maka artinya daerah diberikan hak untuk membentuk Perda dan peraturan lain dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, maka tidaklah harus 158
Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
diartikan bahwa daerah tersebut mengatur kewenangan tersebut secara bebas, dalam artian peraturan yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Sebab hal ini akan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan. Bertitik
tolak
dari
uraian-uraian
dan
berdasarkan
permasalahan-
permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda? 2. Bagaimana proses pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda? 3. Apa akibat hukum dari pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
2. Untuk mengetahui proses pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda. 3. Untuk mengetahui akibat hukum dari pengujian oleh lembaga eksekutif dan yudikatif terhadap Perda.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan pengujian Perda dalam lingkungan lembaga eksekutif dan yudikatif. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah (eksekutif) baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah serta Mahkamah Agung (yudikatif) dalam hal pengujian Perda dalam lingkungan lembaga eksekutif dan yudikatif.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini
jelas
dapat
dipertanggungjawabkan
secara
ilmiah,
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
karena
senantiasa
memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca. 159 Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian. 160 Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut : 1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya; 2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi; 159
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hlm. 239. 160
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhstisar dari pada hal-hal yang diteliti; 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. 161 Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam membahas pengujian Perda adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat) sebagai grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica” untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara Hukum 162 merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual. Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini, 163 setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik
161
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 121. Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono, “Indonesia Ialah Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979. 163 Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan 162
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
terhadap kata “negara” maupun kata “hukum”. 164 Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law. 165 Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant. 166 Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat 167 adalah pertama, pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan (scheiding van machten); ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan keempat, peradilan administrasi (administratieve dengan pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini, lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cetakan I, (Jakarta: Ind Hill-Co., 1997), hlm. 4. 164 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 11. 165 Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven & Son Limited, 1960), hlm. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976), hlm. 8. 166 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hlm. 30. 167 Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 90. Tentang wawasanwawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi Doktor (S3), (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm. 139.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
rechtspraak). 168 Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law 169 adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitution based on human rights). 170 Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of Law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 171 ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan. 172 Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut. 168
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hlm. 146. 169 Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2. th 170 A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10 edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hlm. 223-224. 171 Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing th Constitution, 4 edition, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 34. 172 South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965), hlm. 39-45.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Selanjutnya John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan. 173 Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter 174 bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). 175 Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan 173
Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law th and the Constitution, 4 edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364. 174 Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia FounDaerah Tingkaton, 1989), hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 88. 175 John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hlm. 188.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan
tugas
maupun
fungsinya
dan
mengenai
alat
perlengkapan
yang
menyelenggarakannya. 176 Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. 177 Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin. 178 Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan
176
Ibid. Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah (1) gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang diikuti persaingan perebutan pengaruh antar blok; (3) timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer diberbagai negara; (4) semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan (5) munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktek multi partai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “UndangUndang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998, hlm. 10. 178 Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidwick & Jackson, 1973), hlm. 245-247. 177
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kekuasaan yudikatif. 179 Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja. 180 Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dapat dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara. 181 Dalam doktrin Trias Politika, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. 182 Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya 179
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politika terdapat suasana checks and balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 19. 180 Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang (The Spirit of the Laws), (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montesquieu sebagai seorang yang berprofesi hakim ikut mempengaruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm.2. 181 C.F. Strong, Op. Cit., hlm. 6. 182 Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 227.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan. 183 Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara. Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain. 184 Dalam perspektif yang lain Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makna pembangunan hukum itu meliputi empat usaha yaitu: (1) Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik) (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern (3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada (4) Meniadakan
183 184
Budiardjo, Op. Cit. Ibid., hlm. 153.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau tidak cocok dengan sistem baru. 185 Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the lawCreating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma dasar (grundnorm). 186 Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukumhukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. 187
185
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12. 186 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm. 112-113. 187 Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 41-42.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Bentuk dan Jenis peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :
1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah; 3. Peraturan Menteri. 188 Setelah undang-undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor 2262/HK/59 189 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, kemudian Ketetapan MPRS/XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. 190 TAP MPRS ini baru disempurnakan pada Tahun 2000 dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dan yang terakhir adalah
188
Dalam undang-undang ini sama sekali tidak diatur tentang peraturan perundang-undangan tingkat daerah, mungkin dikarenakan pada waktu itu Republik Indonesia hanya merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). 189 Surat ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan negara selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Lihat dalam Haposan Siallagan, Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, (Medan: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm. 280. 190 Menurut TAP MPRS ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dll.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 191 Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa. Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD. Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas 192 : 1. Norma Dasar (Fundamental Norms/Grundnorm/Basic Norm) 2. Norma Umum (General Norms) 3. Norma Konkret (Concrete Norms) 191
Menurut TAP MPR ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; dan 7. Peraturan Daerah. 192 Hans Kelsen, Op.Cit.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) serta
keputusan-keputusan
pejabat
administrasi
negara. 193
Hans
Kelsen
mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. 194 Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
staatsgrundnorm
melainkan
Staatsfundamentalnorm,
atau
norma
fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. 195 Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum 193
Ibid. Ibid. 195 Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, (Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hlm. 31. 194
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah 196 : 1)
Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)
Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)
Formell gesetz: Undang-Undang.
4)
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali
disampaikan oleh Notonagoro. 197 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm
196
Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287. 197 Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 27.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. 198 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu 199 :
1. Undang-undang tidak berlaku surut 2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis) 4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori) 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat 6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat) 7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya (Lex superiore derogat lex infiriore) 198
Attamimi, Op Cit., hlm. 309. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hlm. 73. 199
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas perundang-undangan yaitu 200 : 1. Asas tingkatan hirarkis 2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis) 4. Undang-undang tidak berlaku surut 5. Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat lex priori)
2. Konsepsi Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundangundangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. 201 Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertianpengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka 200
Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 43. 201 Solly Lubis, Filsafat Ilmu… Op.Cit., hlm. 80
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. 202 Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini : 1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 203 2. Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota). 204 3. Hak Menguji Formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk peraturan
perundang-undangan
terjelma
melalui
cara-cara
(procedure)
sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. 205
202
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 24. 203 Pasal 1 Angka 2, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389. Bandingkan dengan Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 12, yaitu mengenai peraturan perundang-undangan terdapat beberapa unsur yaitu : a. merupakan suatu keputusan yang tertulis, b. dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan, c. mengikat umum. 204 Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389 205 Henry P. Panggabean, Op.Cit., hlm. 127.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
4. Hak Menguji Materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 206 5. Pengujian Materil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 207 6. Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. 208 7. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan adalah secara teori pencabutan perundang-undangan ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu209 : a. Pencabutan dengan penggantian adalah suatu pencabutan dengan penggantian terjadi apabila suatu peraturan perundang-undangan yang ada digantikan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang baru. b. Pencabutan tanpa penggantian adalah suatu peraturan perundang-undangan yang dilakukan tanpa penggantian, kerangka (kenvorm) dari peraturan 206
Ibid., Bandingkan dengan Pasal 1 Ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil yaitu bahwa Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah Undangundang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. 207 Pasal 4 Ayat 2, Peraturan MK No 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 208 Ibid., Pasal 4 Ayat 3. 209 Maria Farida Indrati. S, Op.Cit., hlm. 174-176.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
perundang-undangan tersebut mempunyai kesamaan dengan perubahan peraturan perundang-undangan . 8. Perubahan Peraturan Perundang-undangan adalah terjadi apabila terdapat ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang tidak sesuai lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat. 210
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Untuk mendapatkan data guna menguraikan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif, maka jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif dapat mencari asas hukum, teori hukum dan pembentukan asas hukum baru. 211 Sedangkan menurut Bagir Manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada. 212
2. Sumber Data
210
Ibid, hlm. 179 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm. 141. 212 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13. 211
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari : 213 1. Bahan Hukum Primer Yaitu mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif.
2. Bahan Hukum Sekunder Dalam hal ini akan dikumpulkan data dari hasil karya ilimiah para sarjana dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
213
Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
1) Penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. 2) Penelitian lapangan (field research), penelitian ini dilakukan guna memperoleh data primer tentang pokok-pokok pengaturan mengenai pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang terkait dengan penelitian, yaitu wawancara dengan Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara serta dengan Hakim di Pengadilan Negeri Medan.
4. Analisis Data Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh. Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui di lapangan. Uraian dan kesimpulan dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori, pendapat-pendapat dan aturan-aturan formal yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
BAB II PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGUJIAN TERHADAP PERDA
A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemerintahan Daerah Pemerintah Daerah yang merupakan sub sistem dari sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga ini mengandung 3 (tiga) hal utama di dalamnya, yaitu 214 : 1. Pemberian tugas dan wewenang untuk menyelesaikan suatu kewenangan yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah; 2. Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut; 3. Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan tersebut mengikutsertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tiga hal tersebutlah yang menyebabkan istilah desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sering diartikan sebagai sarana pelaksana otonomi daerah. Menurut Hans Kelsen bahwa desentralisasi adalah salah satu bentuk dari organisasi negara, oleh karena itu desentralisasi berkaitan erat dengan pengertian 214
Setya Retnami, Makalah Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia, 2000), hlm. 1.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
negara dimana negara menurut Hans Kelsen merupakan tatanan hukum (legal order). 215 Dengan demikian desentralisasi menyangkut sistem tatanan hukum dalam suatu negara. Desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi dapat dijumpai pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal. 216 Pembentukan daerah otonom secara simultan merupakan kelahiran status otonomi yang didasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat di wilayah tertentu. Aspirasi ini terwujud dengan diselenggarakannya desentralisasi yang disebut juga otonomisasi, karena otonomi diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau Pemerintah Daerah. 217 Diakui oleh Pratikno, 218 desentralisasi bukan merupakan pilihan yang mudah bagi Indonesia. Dengan wilayah geografis yang sangat luas dan terurai dalam puluhan ribu pulau serta masyarakat yang sangat heterogen, desentralisasi memang sering kali menjadi dilema. Apresiasi terhadap keberagaman menuntut desentralisasi yang pada gilirannya melahirkan otonomi daerah. Penghargaan ini bisa menghasilkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional. Oleh karena itu negara Indonesia memulai perjalanannya dengan pilihan pemerintahan yang desentralistis. Dalam pandangan Pratikno, tidak ada yang final dalam politik. Pilihan kebijaksanaan desentralisasi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 215
Hans Kelsen, General……,Op.Cit., hlm. 303. Ibid., hlm. 306. 217 Bhenyamin Hoessin, Pembagian Kewenangan Antara Pusat dan Daerah, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2001), hlm. 4. 218 Pratikno, Desentralisasi Pilihan Yang Tidak Pernah Final, Dalam Abdul Gaffar Karim, dkk. (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FISIPOL UGM, 2003), hlm. 33-34. 216
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sangat mungkin juga merupakan sebuah pilihan final. Kebijakan desentralisasi semasa pemerintahan Habibie merupakan kebijakan yang lahir dari veto masyarakat dan veto daerah. Seandainya Pemerintah Pusat masih mampu mempertahankan kebijakan yang lama, kebijakan desentralisasi itu mungkin tidak pernah terjadi. Desentralisasi yang menjelma dalam otonomi daerah ini melahirkan pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami pasang surut, dengan adanya reformasi hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang digulirkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berikut ini adalah uraian singkat mengenai kedua Undang-undang diatas, yaitu : 1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan bagian dari Pemerintah Daerah sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bukan bagian dari Pemerintah Daerah. 2. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dilandasi oleh prinsip kemitraan yang sejajar seperti di Pemerintah Pusat, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai kedudukan yang kuat karena dapat menjatuhkan Kepala Daerah sedangkan Kepala Daerah tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
3. Ajaran rumah tangga yang dianut, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut ajaran rumah tangga riil, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menganut ajaran rumah tangga formil. Ajaran rumah tangga formil ini tetap dianut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Namun di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, bahkan dalam penjelasannya dikenalkan juga istilah urusan yang sifatnya concurent. Pengelompokan jenis-jenis urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap Undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari hal tersebut adalah daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintahan menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat dengan kata lain disebut otonomi luas. 219 Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaannya diatur oleh Perda, hal ini mengakibatkan Perda makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran Perda dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar. Kedudukan yang strategis dari Perda dalam menjalankan urusan pemerintahan dapat
219
Bagir Manan, Bagir Manan, Menyongsong Fajar.....,Op.Cit., hlm. 37.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menjadi baik jika pembentukan Perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi permasalahan jika dilakukan dengan tidak baik. Timbul persoalan bahwa materi muatan Perda menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, 220 bagaimana jika terjadi pertentangan antara Perda yang mengatur materi muatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Di satu sisi jika mengacu pada tata urutan peraturan perundang-undangan maka Perda itu yang harus dikesampingkan, tetapi di sisi lain dengan mengacu pada teori delegasi maka materi muatan peraturan perundang-undangan yang telah didelegasikan hanya dapat diatur oleh peraturan yang mendapat delegasi tersebut. Artinya kalau undangundang telah mendelegasikannya pada Perda maka Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur hal tersebut. Hal tersebut memperlihatkan keunikan kedudukan Perda, di satu sisi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ada di bawah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden di sisi lain dimungkinkan Perda ini mengesampingkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden dalam hal kedua peraturan tersebut mengatur sesuai materi yang telah didelegasikan pada Perda. 220
Lihat Pasal 22 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Hal-hal tersebut sangat dimungkinkan menimbulkan ketegangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, hal ini dapat diatasi jika kedua tingkatan pemerintahan ini memahami pengertian hukum yang merupakan suatu sistem sehingga membentuk Sistem Hukum Nasional Indonesia. Di mana Pemerintah Pusat menyerahkan urusan yang telah didelegasikan kepada Pemerintah Daerah untuk diatur dan dikelola tanpa kemudian dengan diam-diam mengambil kembali urusan tersebut, begitupun Pemerintah Daerah melaksanakan urusan tersebut dengan penuh tanggungjawab dan tetap memperhatikan asas-asas yang harus dipegang dalam negara kesatuan, antara lain pemahaman bahwa kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat peraturan yang terlepas dari sistem perundangundangan secara nasional. 221 Harus dipahami bahwa Perda merupakan sambungan yang menentukan keberhasilan berbagai kebijakan secara nasional. Oleh karena itu kedudukan yang strategis dari Perda ini harus dapat mengejawantahkan kepentingan umum, dimana kepentingan umum ini harus diartikan sebagai tidak hanya kepentingan rakyat banyak daerah yang bersangkutan saja tetapi tetap harus memperhatikan kepentingan rakyat daerah lain dan lebih umum lagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai perwujudan desentralisasi Perda merupakan pengejawantahan beberapa sendi ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 222 221
Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung), 1995, hlm. 8. 222 Ibid, hlm. 9-10.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
1. Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Perda Menurut Solly Lubis 223 : “Kebijakan (policy) dan pengaturan pemerintah di daerah (regulasi) sudah berulangkali terjadi semenjak awal kemerdekaan dan pada dasarnya setiap peraturan (undang-undang mengenai peraturan itu), berganti menurut pergantian Undang-Undang Dasar (UUD), disusul oleh perubahan policy-nya, lalu disusul lagi oleh peraturan hukumnya. Namun dalam prakteknya sering terjadi, sudah sekian lama berganti UUD akan tetapi peraturan pelaksanaan berupa Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah belum juga berganti. Semenjak awal kemerdekaan, berturut-turut peraturan hukumnya itu ialah : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Kemudian pernah berlaku TAP MPR Nomor XXI Tahun 1966 mengamanatkan otonomi yang seluas-luasnya di mana asas melalui undang-undang organik untuk pelaksanaannya. Kemudian setelah terbit TAP MPR yang menganut otonomi yang nyata dan bertanggung jawab yakni TAP MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN, berdasarkan garis politik yang demikian, keluarlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah yang berlaku sampai tahun 1999, dan undang-undang ini pula menjadi sasaran analisis dan sorotan politik dalam era reformasi politik dan 223
Solly Lubis, Makalah Membedah Kinerja Dewan Legislatif Aceh Utara (Tinjauan Yuridis Ketatanegaraan), Tgl. 7 Januari 2003.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pemerintah, yang akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, disusul kemudian oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Berkaitan dengan hukum positif yang pernah berlaku dan sekarang masih berlaku yang berhubungan dengan otonomi daerah, khususnya yang berkaitan dengan penyerahan urusan atau penggunaan ajaran rumah tangga daerah adalah sebagai berikut : a. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, 224 daerah otonom warisan Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa yang dihidupkan kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia mengikuti cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum tersebut. Namun, karena batas-batas wewenang daerah tampak tidak jelas dan pengawasan Pusat terhadap daerah juga sulit dilaksanakan, maka dalam pembentukan Haminte Surakarta dan Haminte Yogyakarta di tahun 1947 Pemerintah meninggalkan cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum dan menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Melalui UndangUndang pembentukan Haminte Surakarta 225 dan Undang-Undang Haminte Yogyakarta 226 , masing-masing Haminte itu diserahi 22 (dua puluh dua) urusan pangkal. Urusan-urusan tersebut dapat segera dijalankan oleh kedua Haminte
224
Undang-undang ini adalah Undang-undang mengenai Komite Nasional Daerah (KND) sesuai dengan lahirnya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta, dan Undang-undang ini menonjolkan semangat “Kedaulatan Rakyat” sesuai dengan suasana Indonesia yang baru merdeka. 225 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Surakarta. 226 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Yogyakarta.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
tanpa menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan tersebut terlebih dahulu. Dalam penjelasan umum dari kedua undang-undang pembentukan tersebut diutarakan pertimbangan ditinggalkannya cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum dan dianutnya cara penyerahan wewenang rincian. Kedua undang-undang itu menyatakan bahwa dalam tahap pertama perlu terdapatnya bimbingan terhadap tugas-tugas daerah dan perlu kejelasan mengenai batas-batas wewenang daerah, dengan cara merinci urusan-urusan daerah. 227 Rincian wewenang tersebut juga penting untuk menentukan anggaran pertama yang sepenuhnya disediakan oleh Pemerintah Pusat. Di samping itu, dalam kedua Undang-undang itu dinyatakan bahwa penambahan atau perubahan urusan akan dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. 228 Penyerahan urusan dengan rincian ini tentu berkaitan dengan kewenangan daerah yang nantinya akan diatur dalam Perda. Konsekuensinya daerah tidak boleh mengatur segala sesuatu yang tidak diserahkan kepada daerah atau dengan undang-undang ini hak inisiatif daerah untuk mengatur sesuatu sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah tidak dimungkinkan.
227
Lihat Pasal 7 ayat (3) dari kedua Undang-undang pembentukan Haminte Kota Surakarta dan Yogyakarta. 228 Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
b. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Cara penyerahan wewenang dengan rincian sebagaimana dipraktekkan dalam pembentukan kedua Haminte juga dikehendaki oleh Undang-Undang Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945. Dalam salah satu butir penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diutarakan perlunya penentuan batas-batas wewenang daerah tidak memasuki wewenang Pemerintah Pusat. Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berasal dari karya suatu panitia yang diketahui R.P. Suroso semasa Kabinet Sjahrir III, wewenang daerah akan disebutkan dalam setiap undang-undang pembentukan daerah.229 Wewenang yang dimaksud dapat seluruhnya otonomi, yang akan diserahkan kepada daerah antara lain adalah pengairan, pertanian, kehewanan, perindustrian, pendidikan dan kebudayaan. Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948230 Pemerintah bermaksud memberikan otonomi yang lebih besar kepada kabupaten daripada otonomi yang pernah diberikan kepadanya pada masa Hindia Belanda. Pemerintah juga bermaksud memberikan otonomi yang lebih besar kepada Pemerintah Kota daripada otonomi yang diberikan kepada kabupaten. Cara penyerahan wewenang yang sama juga dikehendaki oleh UndangUndang NIT Nomor 44 Tahun 1950. Dalam Undang-undang itu dinyatakan 229
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 23 ayat (2) dan penjelasan Umum angka III butir 17. 230 Undang-undang ini lebih menonjolkan tuntutan demokrasi di mana daerah-daerah setelah beberapa tahun merdeka, ingin punya kewenangan yang luas untuk mengatur daerahnya masingmasing, namun tidak berhasil karena pada waktu itu terjadi agresi Belanda berturut-turut tahun 1947 dan 1948.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
bahwa urusan yang masuk rumah tangga daerah diterapkan dengan undangundang. Tetapi dalam undang-undang tersebut tidak ditegaskan apakah undangundang pembentukan daerah otonom atau undang-undang lain. Cara penyerahan dengan rincian sebagaimana dikehendaki oleh UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948 dipakai oleh Pemerintah dalam membentuk empat buah daerah Tingkat I di Pulau Jawa di tahun 1950. Secara rinci 15 urusan pangkal masing-masing daerah diberikan kepada Propinsi Jawa Timur, 231 Daerah Istimewa Yogyakarta, 232 Propinsi Jawa Tengah, 233 dan Propinsi Jawa Barat. 234 Semula urusan pangkal Propinsi Jawa Timur sebagimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 sebanyak 13 buah. Tetapi dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 1950 jumlah urusan pangkal Propinsi Jawa Timur disamakan dengan jumlah urusan yang diberikan kepada propinsi lainnya di Pulau Jawa, yakni 15 buah. Pada umumnya urusan pangkal yang tercantum dalam setiap undang-undang pembentukan dirinci ke dalam kegiatan atau pekerjaan tertentu. Sebagaimana janji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, maka kegiatan yang dirinci dapat dalam bentuk otonomi, rincian kegiatan tercantum dalam lampiran dari setiap pembentukan. Bahkan rincian dari setiap urusan juga akan dilakukan dalam Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan. Dari rincian 231
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur jo Undang-Undang No. 18 Tahun 1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1950. 232 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1947 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1947 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. 233 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah. 234 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kegiatan dalam Peraturan Pemerintah itu akan tampak luas pekerjaan yang diserahkan dari apa yang tertulis dalam lampiran. 235 Menurut rencana pemerintah, sebagian besar kegiatan atau fungsi yang akan diserahkan kepada propinsi berupa bimbingan dan pengawasan terhadap Daerah otonom yang lebih rendah. Walaupun menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 titik berat otonomi terletak di desa (Daerah Tingkat III), namun dalam penjelasan umum berbagai undang-undang pembentukan propinsi ditegaskan bahwa mengingat berbagai faktor, terutama kurangnya tenaga yang cakap maka pemusatan fungsi pada daerah tingkat terbawah dalam tahap permulaan belum dapat terpenuhi seperti yang diharapkan. Karena itu dalam tahap permulaan Daerah Tingkat II akan diserahi fungsi tersebut.
c. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Cara penyerahan wewenang oleh Pemerintah Pusat dalam masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 236 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Cara penyerahan wewenang itu terlihat dalam Pasal 31. Menurut Pasal 31 ayat (1) 235
Lihat penjelasan umum dari setiap Undang-undang Pembentukan Propinsi dan Daerah Istimewa Yogyakarta di Pulau Jawa. 236 Undang-undang ini lahir sesudah lebih kurang 7 (tujuh) tahun kembali kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun Undang-undang ini tetap berlaku sampai menyeberang kembali ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959. Adapun ciri khas daripada Undang-undang ini adalah bahwa Undang-undang ini menganut “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” karena demikian amanat konstitusi pada Pasal 131 UUDS 1950 yang menyebutkan bahwa “kepada daerahdaerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri”
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
bahwa daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh undang-undang ini diserahkan kepada penguasa lain. Dalam penjelasan ini dinyatakan bahwa urusan rumah tangga daerah diatur oleh Pemerintah Daerah, sehingga segala urusan yang tidak mau atau belum diatur oleh Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan dapat diatur oleh daerah. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut ayat (1), dalam peraturan pembentukan daerah ditetapkan urusan-urusan tertentu yang diatur dan diurus oleh daerah sejak saat pembentukan. Urusanurusan ini sebagai urusan pangkal. Menurut penjelasan umum butir 1 (satu) urusan pangkal ini segera dapat diatur dan diurus oleh daerah sejak saat pembentukan. Urusan-urusan ini menurut dasar-dasar dan faktor-faktor nyata di daerah pada saat tersebut merupakan tugas minimum daerah yang dibentuk. Di samping itu dalam setiap pembentukan daerah akan ditetapkan anggaran personil dan materiil. Prinsip-prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950. Cara penyerahan wewenang itu tampaknya lebih memuaskan daerah otonom, daerah otonom yang semula daerah swapraja dalam masa Hindia Belanda. Cara penyerahan wewenang ini lebih memberikan ruang gerak bagi daerah untuk berprakarsa daripada cara penyerahan wewenang dengan rincian belaka. Namun, cara penyerahan dengan rumusan umum dapat berarti wewenang daerah sangat kecil, sekiranya dalam kenyataannya banyak urusan yang telah terlebih dahulu dimiliki atau dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Karena itu cara
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
penyerahan wewenang dengan rumusan umum perlu disertai dengan cara penyerahan wewenang dengan rincian seperti yang selama ini telah dipraktekkan.
d. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Sekalipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti oleh UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965, namun undang-undang yang menggantikan menganut cara penyerahan wewenang yang sama dengan cara penyerahan wewenang yang dapat dianut oleh undang-undang yang digantikan. Dalam Pasal 89 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 terjabar kombinasi cara penyerahan wewenang. a. Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. b. Dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat (1), dalam undangundang pembentukan daerah sebagai pangkal ditetapkan urusan-urusan yang termasuk rumah tangganya disertai alat perlengkapan dan pembiayaannya serta sumber-sumber pendapatannya yang pertama dari daerah. c. Dengan Peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, atas usul dan sepanjang mengenai Daerah Tingkat II dan III atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setingkat lebih atas, urusan-urusan tersebut dalam ayat (2) dapat ditambah dengan urusan-urusan lain. Dalam penjelasan umum butir III Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang rancangan undang-undangnya disusun oleh Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Ketua R. P. Soeroso semasa Demokrasi Terpimpin antara lain dikemukakan bahwa ayat (1) memberi kesempatan daerah untuk mengurus urusan-urusan yang luput dari perhatian Pemerintah Pusat. Pemberhentian kesempatan tersebut mengandung prinsip
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
bahwa hal-hal yang dapat diselesaikan setempat dan mempengaruhi keadaan umum atau kepentingan nasional sebaiknya diatur dan diurus oleh daerah. Di luar dari urusan pusat dan kepentingan umum merupakan bidang Otonomi Daerah. Urusan pusat adalah segala apa yang menurut peraturan perundang-undangan ditugaskan sendiri oleh pusat kepada dirinya. Sedangkan kepentingan dan urusan pusat yang tidak diatur secara tertulis. Dengan demikian, ayat (1) mengandung pengaturan mengenai cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum. Untuk memberi tuntunan kepada daerah yang baru dibentuk agar daerah itu sudah dapat mengetahui dan menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya, maka dalam ayat (2) Pasal 39 diadakan ketentuan ayat (1), dalam undang-undang pembentukan ditetapkan urusan pangkal bagi daerah yang bersangkutan dengan disertai perangkat, Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah yang dibentuk itu. Ketentuan semacam ini mengandung makna dianutnya cara penyerahan wewenang dengan rincian. Bagi masing-masing Propinsi dimaksud pada Pasal 1 berlaku ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 70) juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 95) sepanjang ketentuanketentuan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Dengan demikian, secara rinci urusan pangkal yang diberikan kepada Daerah Tingkat I Sumatera Selatan berlaku juga bagi Daerah Tingkat I Bengkulu. Dalam pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Pemerintah juga menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian. Hal ini dapat diketahui
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat.237 Menurut pasal itu : 1) Urusan rumah tangga daerah sebagai kewenangan pangkal meliputi : 1. urusan bimbingan dan kesejahteraan sosial 2. urusan pertanian 3. urusan kesehatan 4. urusan pendidikan dan kebudayaan 5. urusan pekerjaan umum 2) Perincian urusan rumah tangga daerah dimaksud ayat (1) Pasal ini, terdapat dalam lampiran undang-undang ini. 3) Penyerahan urusan lainnya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 7 ditentukan pula urusan yang tergolong ”tata usaha daerah”. Rincian yang dimaksud ayat (2) di atas adalah rincian dari urusanurusan yang telah diatur dengan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan. Urusan-urusan tersebut merupakan urusan baik Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya maupun Kabupaten-Kabupaten Daerah Tingkat II di wilayah itu. Urusan pangkal ini secara hukum dapat dilaksanakan seketika.
237
Sebenarnya Irian Barat pernah dibentuk sebagai Propinsi dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1956 yang dimaksudkan untuk kepentingan integrasi nasional. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengembalikan wilayah ke dalam lingkungan Republik Indonesia pada waktu itu adalah mengundangkan Undang-undang tersebut. Namun pembentukan secara nyata baru terealisasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1973 nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
e. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pengaturan tentang cara penyerahan wewenang dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 238 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tidak sejelas pengaturan dalam berbagai undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya. Cara penyerahan wewenang yang dianut oleh undang-undang yang terakhir ini hanya dapat dipahami dengan jalan merangkaikan sejumlah pasal dan penjelasan undang-undang, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal-pasal tertentu, serta menyimpulkannya. Dalam Pasal 1 butir e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dijelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) dikemukakan bahwa ”pembentukan, nama, batas, ibukota, hak dan wewenang urusan serta modal pangkal daerah ditetapkan dengan undang-undang”. Kedua pasal itu sama sekali tidak mengisyaratkan bahwa wewenang atau urusan dalam undangundang dimaksud akan dirinci dan atau dirumuskan secara umum. Walaupun demikian, dalam Pasal 8 ditentukan bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sebaiknya menurut Pasal 9 bahwa sesuatu urusan pemerintahan yang 238
Undang-Undang ini mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang menganut “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab” sesuai dengan amanat politis dalam GBHN.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan peraturan perundangundangan yang setingkat. Dalam penjelasan umum butir 4 (6) b (1) dikemukakan bahwa : ”Urusan otonomi daerah tidaklah statis, tetapi berkembang dan berubah. Hal ini terutama disebabkan oleh keadaan yang timbul dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk secara bertahap menambah penyerahan urusan-urusan kepada daerah, tetapi sebaliknya dimungkinkan pula penarikan kembali sesuatu urusan yang semula telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah. Diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah. Bahkan dimungkinkan pula penghapusan sesuatu daerah dan pembentukan daerah-daerah baru.”
Sepanjang mengenai penambahan penyerahan urusan ditegaskan oleh penjelasan Pasal 8 ayat (2) bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah haruslah disertai perangkat, alat perlengkapan dan sumber pembiayaan, sehingga dengan demikian urusan pemerintahan yang diserahkan itu dapat diselenggarakan sebaik-baiknya. Namun, dalam penjelasan yang sama juga dikemukakan bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintah kepada daerah adakalanya tidak perlu disertai dengan penyerahan perangkatnya, apabila daerah yang bersangkutan telah mempunyai perangkat tersebut. Dari isi Pasal 8 dan Pasal 9 beserta penjelasan undang-undang, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal, dapat disimpulkan bahwa Undang-
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Undang Nomor 5 Tahun 1974 cenderung untuk menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Kesimpulan ini makin kuat apabila dikaitkan dengan penjelasan umum butir 4 (4) I (1) bahwa : ”Dinas-dinas daerah adalah unsur pelaksana pemerintahan daerah. Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh dinas-dinas daerah adalah urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pembentukan dinas daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada daerah dengan suatu undangundang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan.” Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri 363 Tahun 1977 tentang Pedoman Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah garis kebijaksanaan pemakaian cara penyerahan wewenang dengan rincian makin kuat. Dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa Dinas Daerah dapat dibentuk dengan persyaratan sebagai berikut : a. Urusan yang menjadi tugasnya adalah urusan rumah tangga daerah berdasarkan penyerahan hak dalam rangka Otonomi Daerah berupa kewenangan pangkal dan kewenangan yang berasal dari penyerahan selanjutnya; b. Merupakan perangkat daerah yang bersifat organik; c. Merupakan perangkat yang langsung melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat; d. Merupakan perangkat daerah yang tidak bertujuan mencari keuntungan; e. Sesuai dengan kemampuan daerah, baik ditinjau dari segi kepegawaian, keuangan maupun peralatan. Secara konsisten Pemerintah menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian dalam pembentukan daerah otonom daerah dalam kurun waktu UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam pembentukan Daerah Tingkat I Timor-Timur dan 13 Daerah Tingkat II di wilayah Timor Timur atas dasar Undang-Undang Nomor
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
7 Tahun 1976 tentang pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur jo Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1976 ditentukan bahwa urusan pangkal bagi masing-masing Daerah Tingkat I Timor Timur dan Daerah Tingkat II di wilayah Timor Timur meliputi (1) Kesejahteraan Sosial, (2) Pertanian, (3) Kesehatan, (4) Pendidikan dan Pengajaran, (5) Pekerjaan Umum. Penyerahan secara nyata urusan-urusan tersebut kepada daerah dilakukan secara bertahap dan bersama-sama oleh Menteri yang membidangi urusan tersebut dan Menteri Dalam Negeri dengan mengingat keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Penyerahan urusan lainnya dilaksanakan secara bertahap dan diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 8 diatur urusan yang tergolong ke dalam urusan tata usaha daerah. Baik dalam undang-undang maupun Peraturan Pemerintah tersebut di atas tidak terdapat rincian kegiatan dari tiap urusan dimaksud. Dalam pembentukan beberapa Daerah Tingkat II di luar Timor Timur, pemerintah juga menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Melalui Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Halmahera Tengah dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung masing-masing daerah terbentuk itu secara nyata diserahi 9 urusan pangkal. Enam dari 9 urusan itu adalah sama. Urusan-urusan yang sama adalah pengaturan dan penyelanggaraan kewenangan untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman kehidupan masyarakat di daerah yang bersangkutan, pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dasar, pertanian, tanaman
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pangan, dan pendapatan. Tiga urusan lain yang berbeda lagi Kabupetan Halmahera Tengah adalah peternakan, perkebunan, dan perikanan. Sedangkan tiga urusan lain yang berbeda bagi Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung adalah tata kota dan pertamanan, kebersihan dan pemadaman kebakaran. Dari masing-masing pasal tersebut di atas terdapat ketentuan bahwa penambahan atau pengurangan urusan tersebut diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara penyerahan wewenang dengan rincian juga dipraktekkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat diserahi secara nyata 3 urusan pangkal. Enam dari 8 urusan ini juga sama dengan enam urusan yang diberikan kepada dua daerah tersebut di atas. Sedangkan dua urusan yang lain adalah peternakan dan perkebunan. Dalam ayat (2) dari Pasal 10 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa penambahan atau pengurangan urusan tersebut diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam tahun 1992 pemerintah juga membentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar. Dalam pembentukan Daerah Tingkat II Pemerintah tetap berpegang pada cara penyerahan wewenang dengan rincian. Melalui Pasal 10 undang-undang ini dirinci urusan pangkal Daerah Tingkat II tersebut sebanyak 11 buah. Menurut penjelasan pasal tersebut, wewenang pangkal teresbut secara nyata telah mampu dilaksanakan. Adapun rincian fungsi dari tiap urusan sama
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dengan rincian yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik penambahan maupun pengurangan urusan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari seluruh urusan di atas terlihat terjadinya kecenderungan perubahan cara penyebaran wewenang yang dianut seiring dengan perubahan undang-undang yang mengatur pemerintah daerah. Namun perubahan itu tidak bertalian dengan perubahan Undang-Undang Dasar yang menjadi landasan dari undang-undang tentang pemerintah yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 menganut cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum sebagai reaksi terhadap cara penyerahan wewenang dengan rincian yang dipraktekkan Pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya, walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga berlandaskan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, namun Undang-undang ini menganut cara penyerahan wewenang dengan perincian. Baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 menganut cara penyerahan wewenang campuran, yakni dengan rumusan umum dan rincian, namun landasan kedua undang-undang itu berbeda. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 berlandaskan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berlandaskan Undang-
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Undang Dasar Tahun 1945 dan undang-undang ini juga menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Cara penyerahan wewenang yang dianut dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah tidak selamanya secara konsisten dipraktekkan oleh pemerintah dalam pembentukan daerah otonom di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menganut cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum, namun praktek yang dijalankan oleh Pemerintah terhadap daerah-daerah otonom di Pulau Jawa terlihat diskriminatif. Bagi daerah-daerah otonom yang dihidupkan kembali sebagai peninggalan Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Jawa, Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian. Demikian pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Namun dalam pembentukan daerah-daerah otonom semasa periode berlakunya undang-undang itu pemerintah mempraktekkan cara penyerahan wewenang yang berbeda. Di Pulau Jawa, dalam pembentukan daerah otonom di luar D.I.Yogyakarta, baik daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian. Sedangkan dalam pembentukan Propinsi D.I. Yogyakarta, dan berbagai daerah otonom di Sumatera, Kalimantan dan di kawasan bekas Negara Indonesia Timur pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang campuran, baik dengan rincian maupun dengan rumusan umum. Namun di penghujung berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian bagi Propinsi Irian Barat (Jaya).
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Dalam periode berikutnya, sekalipun berkali-kali terjadi perubahan undangundang tentang pemerintah daerah dan dalam berbagai undang-undang itu dianut pula cara penyerahan wewenang yang berbeda, namun dalam praktek pembentukan daerah otonom pasca PRRI-Permesta di berbagai kawasan pemerintah selalu menggunakan cara penyerahan wewenang dengan cara rincian. Dengan demikian, kecenderungan pemakaian cara penyerahan wewenang tertentu tampaknya tidak bertalian dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang melandasinya tetapi bertalian dengan periodesasi pemerintahan. Dalam masa demokrasi cenderung dipakai kombinasi cara penyerahan wewenang, khususnya di kawasan luar Jawa, sedangkan dalam periode Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru selalu dipakai cara penyerahan wewenang dengan rincian di berbagai kawasan. Cara penyerahan wewenang dengan rincian memang dapat menjamin terdapatnya pembagian wewenang dan fungsi antar tingkatan pemerintah. Namun, jaminan semacam itu dapat terwujud apabila tersedia startegi pembagian wewenang dan fungsi terlebih dahulu. Strategi dimaksud pada waktu itu dan bahkan hingga kini belum tersedia sehingga menimbulkan kelambanan dalam proses desentralisasi (pengotonomian) dan atau inkonsistensi dalam kebijaksanaan Pemerintah mengenai pengisian otonomi kepada daerah. Bagi daerah yang berkemampuan administrasi tinggi, cara penyerahan wewenang dengan rincian terasa kurang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah dalam layanan dan pembangunan. Karena itu cara penyerahan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
wewenang dengan rincian perlu didampingi dengan cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum. Namun cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum ini baru berarti bagi daerah apabila mendapat dukungan dari dua sisi. Dari sisi daerah berupa
kemampuan
administrasi.
Sedangkan
dari
sisi
Pemerintah
berupa
kebijaksanaan Pemerintah tentang organisasi, kepegawaian, dan keuangan daerah yang selaras. Konsekuensi pemakaian cara penyerahan wewenang adalah dengan terwujudnya wewenang pangkal (urusan pangkal) dari daerah otonom yang bersangkutan. Dalam distribusi wewenang pangkal antar tingkatan daerah otonom, terdapat kecenderungan bahwa Daerah Tingkat II yang terbentuk kemudian setelah pembentukan Daerah Tingkat I diatasnya seperti yang terjadi di Sumatera memiliki jumlah urusan pangkal jauh lebih kecil daripada jumlah urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Sebaliknya, Daerah Tingkat II yang terbentuk lebih awal daripada pembentukan Daerah Tingkat I di atasnya seperti Daerah Tingkat II di kawasan bekas NTT secara profesional memiliki jumlah urusan pangkal lebih besar daripada jumlah urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Daerah Tingkat II yang terbentuk bersamaan dengan waktu pembentukan Daerah Tingkat I di atasnya seperti Irian Jaya, Timor Timor dan Pulau Jawa cenderung memiliki jumlah urusan pangkal yang kurang lebih sama dengan jumlah urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Dari peta urusan pangkal juga terlihat variasi lain. Pada umumnya urusan pangkal daerah otonom di Pulau Jawa dan di Sumatera Utara merupakan wewenang potensial, karena urusan pangkal tersebut tidak dapat dilaksanakan segera setelah
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
terbentuknya daerah otonom yang bersangkutan. Sedangkan urusan pangkal daerah otonom di kawasan lain pada umumnya merupakan wewenang riil, karena urusan pangkal itu dapat segera dilaksanakan setelah terbentuknya daerah otonom yang bersangkutan. Walaupun demikian, kedua variasi urusan pangkal tersebut pada akhirnya bertalian erat dengan pelaksanaan penyerahan wewenang yang tertuang dalam berbagai Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan pemerintahan.
f. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Penyerahan kewenangan dalam kedua undang-undang ini tidak jauh berbeda, yaitu memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusannya sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dengan kata lain daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan pemerintah daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan pemerintah pusat atau disebut dengan otonomi luas. 239 Dalam negara modern apabila dikaitkan dengan paham negara kesejahteraan, urusan pemerintahan tidak dapat dikenali jumlahnya. Segala aspek kehidupan bermasyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelayanan urusan dan kepentingan umum, baik dibidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya akan sangat mungkin menjadi urusan 239
Bagir Manan, Menyongsong Fajar.....,Op.Cit., hlm. 37.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pemerintahan. Urusan pemerintahan dapat meluas sejalan dengan meluasnya tugas negara dan/atau pemerintahan untuk mewujudkan kesehateraan umum. 240 Sejalan dengan prinsip residual yang ada pada daerah, maka urusan rumah tangga daerah menjadi sangat luas dan setiap saat mungkin meluas. Setelah mundurnya Soeharto dari kedudukannya sebagai presiden, tuntutan reformasi makin meluas lingkupnya, hingga pada masalah “pemerintahan daerah”, karena dianggap merupakan salah satu sumber ketidakadilan di bidang politik dan pemerintahan, oleh karena keadaan demikianlah membawa terjadinya perubahanperubahan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perubahan
ini
diharapkan
membawa
akibat
positif
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Akibat positif tersebut antara lain pelayanan terhadap masyarakat menjadi lebih baik dan lebih demokratis. Walaupun demikian perlu dipahami bahwa secara empirik selalu terdapat urusan pemerintahan yang secara utuh diselenggarakan secara sentralisasi, tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan yang secara utuh diselenggarakan secara desentralisasi, dan luasnya urusan pemerintahan yang setiap saat dapat bertambah akan menjadi sumber masalah bagi daerah, karena akan menimbulkan beban yang berat sehingga ada kemungkinan daerah tidak mampu menjalankannya. Kemungkinan daerah tidak mampu melaksanakan urusannya itu kemudian dicoba ditutupi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan membagi urusan 240
Ibid, hlm. 38.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Rumah Tangga Daerah menjadi urusan wajib, urusan pilihan dan diperkenalkan istilah urusan concurent yang mengandung arti urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Uraian di atas memperlihatkan bahwa dalam otonomi daerah meskipun daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri, namun tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar sesuai dengan prinsip negara kesatuan. Hubungannya dengan penerapan asas-asas pembuatan peraturan perundang-undangan dalam pembuatan peraturan daerah adalah apakah penerapan asas lokal yang hanya di daerah tertentu tidak menyalahi teori otonomi daerah.
2. Peraturan Daerah Sebagai Landasan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan Pemerintah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dengan demikian, daerah otonom mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Untuk melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan di daerah tersebut, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diberi wewenang untuk membuat Peraturan Daerah (Perda). Dalam Pasal 136 ayat (1)
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa, “Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Perda ini merupakan produk hukum yang berisi peraturan-peraturan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Selain itu, Perda ini dimaksudkan sebagai landasan atau acuan bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan tugas otonomi daerah demi kelancaran penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Keberadaan Perda merupakan suatu keharusan bagi daerah dalam rangka penyelenggaraan kewenangannya untuk mengatur urusan rumah tangga daerah, baik yang bersumber dari otonomi daerah maupun yang bersumber dari tugas pembantuan. Perda yang dibuat berdasarkan otonomi daerah berisikan segala sesuatu yang mengatur urusan Pemerintahan yang menjadi wewenang daerah, baik yang bersifat substansial maupun mengenai cara-cara penyelenggaraan urusan Pemerintahan tersebut. Sedangkan Perda yang dibuat dalam bidang tugas pembantuan tidak mengatur substansi urusan Pemerintahan, melainkan terbatas pada pengaturan tentang cara-cara penyelenggaraan urusan yang memerlukan bantuan. Kewenangan untuk membuat Perda adalah wujud dari pelaksanaan hak otonomi dari suatu daerah dan sekaligus sebagai salah satu sarana dalam
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menyelenggarakan otonomi daerah,241 karenanya kewenangan daerah untuk membuat suatu Perda harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. Terhadap pembuatan suatu Perda yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa fungsi Perda adalah untuk melancarkan tugas Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Pemerintahan, karenanya harus diperhatikan aturan-aturan dasar yang memayunginya, seperti tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan Perda lainnya, bila ketentuan dasar tersebut dilanggar, maka Perda itu akan dapat dibatalkan atau batal demi hukum. 242 Mengenai pengertian kepentingan umum di sini memang sulit untuk didefinifikan, karena menurut Sjachran Basah istilah kepentingan umum bersifat elastis atau mulur mengkaret. Artinya bisa saja kepentingan umum itu ditafsirkan secara bermacam-macam tergantung dari keadaan dan sudut pandang yang menafsirkan. Perumusan kepentingan umum ini sendiri sangat sulit, karena banyaknya permasalahan-permasalahan yang dikandung, sehingga perlu ditetapkan dengan suatu Undang-undang. 243 Pengertian kepentingan umum memang sangat luas, ini terlihat dari berbeda-bedanya pendefinisian kepentingan umum yang dipakai oleh UndangUndang, seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim R, yaitu : 241
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagi Suatu Alternatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hlm. 41. 242 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 247. 243 Sjahran Basah, Permasalahan Arti Kepentingan Umum, Pro Justitia, Majalah FHUNPAR, Bandung, Nomor 18 Juni 1983, hlm. 73.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
1. Merupakan suatu sifat yang dikaitkan pada kegiatan untuk kepentingan bersama dari rakyat, kepentingan bersama bangsa dan Negara dan kepentingan pembangunan (lihat ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). 2. Dikaitkan dengan suatu keadaan, yaitu dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum, seperti keadaan bencana alam, keadaan luar biasa yang membahayakan (lihat ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara). 3. Dikaitkan
dalam
situasi
alternatif
(lihat
ketentuan
Pasal
1
Dierenbeschermingordonantie 1931, STB 1931:1343). 4. Digunakan berdampingan sebagai peristilahan yang berdiri sendiri terhadap kepentingan keagamaan, pertahanan dan istilah kepentingan dinas umum (Pasal 27 dan 35 Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya). Menurut Bagir Manan, ada dua pengertian pokok tentang kepentingan umum, yaitu : 1. Kepentingan umum sebagai dasar untuk membatasi hak seseorang. Kepentingan umum di sini memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk melakukan tindakan atas hak-hak seseorang yang akan dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti pencabutan hak atau pembebasan hak. 2. Kepentingan umum sebagai dasar untuk membatasi Pemerintah. Pemerintah pada asasnya tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan yang bertentangan dengan kepentingan umum.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Sementara itu mengenai Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan penerapan prinsip-prinsip umum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, yaitu prinsip lex superiore derogate lex infiriore. Artinya prinsip yang mengharuskan norma hukum yang di bawah tidak bertentangan dengan norma hukum yang di atasnya. Selain itu, Perda tidak boleh bertentangan dengan Perda lainnya, hal ini dimaksudkan agar terciptanya kepastian hukum, karena bila tidak diantisipasi sejak dini tidak menutup kemungkinan terjadinya perselisihan di antara dua atau beberapa daerah dikarenakan terjadinya dualisme kewenangan. Mengenai pembuatan suatu Perda yang harus diingat bahwa Perda merupakan suatu kaedah hukum yang berkaitan dengan tertib hukum, yaitu bahwa setiap kaedah hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem yang satu sama lain tidak boleh saling mengesampingkan. Doktrin atau ajaran tertib hukum ini mengandung beberapa hal, yakni : 1. Dalam hal peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, maka peraturan perundang-undangan tingkatan yang lebih rendah dapat dibatalkan bahkan dapat dinyatakan batal demi hukum. 2. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang terbaru dan peraturan perundang-undangan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat lex priori).
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang yang merupakan kekhususan dari bidang-bidang umum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat, maka berlaku peraturan perundangundangan yang mengatur bidang khusus (lex specialis derogat lex generalis). 244 Sementara itu ketentuan mengenai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UndangUndang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Materi muatan yang diatur dengan Perdasus ini adalah hal-hal tertentu yang telah didelegasikan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 untuk diatur dalam Perdasus. Hal-hal tersebut antara lain : 1. Ketentuan mengenai lambang [Pasal 2 Ayat (3)]; 2. Keanggotaan dari jumlah anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) [Pasal 19 ayat (3)]; 3. Pelaksanaan tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua; 4. Pelaksanaan hak Majelis Rakyat Papua [Pasal 21 ayat (2)]; 5. Tata cara pelaksanaan kewajiban Majelis Rakyat Papua [Pasal 23 ayat (2)]. Hal lain yang diperintahkan oleh undang-undang untuk diatur dengan Perdasus adalah mengenai usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang 244
I Gede Pantja Astawa, Kajian Atas Peraturan Daerah Dalam Perspektif Hukum Pemerintahan Daerah dan Hukum Perundang-undangan, Makalah, Bandung 20 Februari 2002, hlm. 12.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
memanfaatkan sumber daya alam dan penanganan khusus bagi pengembangan sukusuku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua. Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan Perdasi tidak berbeda dengan proses pembuatan Perda pada umumnya. Penegasan bahwa Perdasus dan Perdasi adalah termasuk dalam hierarki Perda dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu “termasuk dalam jenis Perda Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua”. Kewenangan pemerintah untuk melakukan pengawasan represif terhadap Perda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dalam Pasal 62 ayat (2) dinyatakan, “pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus dan Perdasi serta Keputusan Gubernur”. Pemerintah dapat membatalkan Perdasus dan Perdasi apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum masyarakat Papua. Keputusan pembatalan tersebut disampaikan kepada Pemerintah Provinsi disertai denagan alasan-alasannya. Dalam hal Pemerintah Provinsi tidak dapat menerima pembatalan tersebut, Pemerintah Provinsi dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Kemudian ketentuan mengenai Qanun diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 8, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Meskipun dalam penjelasan disebutkan bahwa Qanun adalah sebutan lain dari Perda, namun berbeda dengan Perda, Perdasi dan Perdasus yang secara tegas tidak dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan
Daerah
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam
yang
dapat
mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis. Mengenai uji materiil terhadap Qanun, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ditegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengajukan uji materiil terhadap Qanun. 245 B. Landasan, Asas-Asas dan Proses Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai Produk Peraturan Perundang-Undangan 1. Landasan Pembentukan Perda Perda merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan. Saat ini ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 245
Lihat Wahiduddin Adams, Perbandingan dan Hierarki Qanun, Perdasi, Perdasus dan Perda Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 1, No.2 September 2004, Jakarta, 2004, hlm. 36.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) mengatur tentang jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari 246 : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah. Menurut Bagir Manan, syarat-syarat agar suatu peraturan perundangundangan itu dinyatakan baik adalah 247 : 1. Ketepatan dalam struktur, pertimbangan, dasar hukum, bahasa, pemakaian huruf dan tanda baca yang benar. 2. Kesesuaian antara isi dengan dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. 3. Peraturan Perundang-undangan itu dapat dilaksanakan (applicable) dan menjamin kepastian. Untuk membuat sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, harus berlandaskan pada 3 (tiga) unsur yaitu : dasar filosofis, sosiologis dan yuridis. 1. Dasar Filosofis : Suatu peraturan perundang-undangan dalam rumusannya harus sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee), yaitu menjamin keadilan, ketertiban, 246
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, kedudukan Peraturan Daerah dalam peraturan perundang-undangan diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dengan urutannya sebagai berikut : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan MPR; c) UndangUndang/Perpu; d) Peraturan Pemerintah; e) Keputusan Presiden; f) Peraturan Daerah. 247 Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, (Bandung: LPPM Unisba, 1995), hlm. 12-13.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kesejahteraan dan sebagainya. Hukum diharapkan mencerminkan sistem tersebut dengan baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkan dalam tingkah laku masyarakat. Semuanya itu bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu. 2. Dasar Sosiologis : Peraturan perundang-undangan yang dibuat itu harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat sehingga sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. 3. Dasar Yuridis : Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan. Misalnya Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar yuridis bagi pembuatan undang-undang organik. Dasar yuridis juga sangat penting dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan karena mempunyai beberapa keharusan yang harus diperhatikan, yaitu : a. Keharusan yang berlandaskan yuridis beraspek formal, yaitu dasar yuridis yang memberi kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu. b. Keharusan yang berlandaskan yuridis beraspek materiil adalah ketentuanketentuan hukum tentang masalah atau persoalan apa yang harus diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Peraturan jenis ini penting terutama bagi jenis peraturan perundang-undangan pelaksana, yaitu yang derajatnya di bawah undangundang.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tidak tinggi tingkatannya berkaitan dengan hirarki norma hukum yang dikemukakan oleh Kelsen dalam teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie). Menurut Kelsen norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (groundnorm). 248 Berdasarkan teori jenjang norma menurut Hans Kelsen mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dengan demikian, suatu peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, maka peraturan tersebut dapat dibatalkan. Guna menghindari kemungkinan Perda dicabut atau dibatalkan, maka diharapkan adanya sumber daya manusia di kalangan politisi yang handal dan memahami esensi dalam penyusunan produk-produk hukum yang dibutuhkan oleh daerah sebagai pelaksanaan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan penyelenggaranaan kepentingan umum (bestuurzoorg) di daerah. 249 248
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op.Cit., hlm. 25. Bagir Manan dalam Supardan Modoeng, Teori dan Praktek Penyusunan Perundangundangan Tingkat Daerah, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 2001), hlm.55. 249
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Selain ketiga landasan tersebut, masih terdapat landasan lainnya, yaitu landasan teknik perancangan. Teknik ini tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik. Landasan teknik perancangan peraturan perundang-undangan
diperlukan
sebagai
standarisasi
format,
sistematika,
pengelompokan materi muatan, susunan (struktur) bahasa, perumusan norma dan lain sebagainya. 250
2. Asas-Asas Pembentukan Perda Perda sebagai produk peraturan pelaksana dari Undang-undang dalam pembentukannya mesti berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan. Untuk itu dalam pembentukan Perda harus mempedomani ketentuanketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 5 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 137 disebutkan bahwa, “Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (Perda) harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi : a. Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 250
Ibid., hlm. 52.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang, Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. d. Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara filosofis, yuridis maupun sisologis. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundangundangan, sistematika dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Transparan dan terbuka adalah dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Modoeng, suatu peraturan perundang-undangan yang baik dapat dilihat dari beberapa segi 251 : a. Ketepatan Ketepatan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dititikberatkan pada enam ketepatan, yaitu ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar hukum, ketepatan bahasa (istilah), ketepatan pemakaian huruf, dan ketepatan tanda baca. b. Kesesuaian Kesesuaian dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dititikberatkan pada materi muatan di samping aspek-aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Kesesuaian dimaksud antara jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatannya. c. Aplikatif Peraturan perundang-undangan tersebut secara aplikatif harus dapat dilaksanakan (applicable) dan menjamin kepastian. Suatu peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan daya dukung lingkungan, baik lingkungan pemerintahan yang akan melaksanakan maupun masyarakat tempat peraturan perundang-undangan itu berlaku. Daya dukung tersebut antara lain berkaitan dengan ketenagaan, 251
Ibid, hlm. 73-75.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
keuangan, kondisi masyarakat dan sebagainya. Peraturan perundang-undangan harus memberikan kepastian, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Menurut Van der Viles, untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik perlu diperhatikan berbagai asas (beginselen van behoorlijke regelgeving), yang terdiri dari 252 : 1. Asas tujuan yang jelas 2. Asas organ/lembaga yang tepat 3. Asas perlunya peraturan 4. Asas dapat dilaksanakan 5. Asas konsensus Asas-asas materil, terdiri dari 253 : 1. Asas tentang terminologi yang jelas 2. Asas tentang dapat dikenali 3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum 4. Asas kepastian hukum 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Asas-asas yang dikemukakan oleh Van der Viles tersebut, sebagaimana diuraikan oleh Attamimi 254 dalam disertasinya dapat diterima di negara kita, karena 252
Lihat Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita V, Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 335-343. 253 Ibid. 254 Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
terdapat kesesuaian dengan sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penjelasan dari asas-asas formal dan materil tersebut adalah sebagai berikut : 1. Asas tujuan yang jelas, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus dapat mencerminkan dengan jelas tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Tujuan atau sasaran tersebut tidak lain dari berbagai kebijakan (umum atau khusus), baik dalam bidang perundang-undangan maupun dalam bidang-bidang lainnya. Termasuk perkiraan mengenai akibat, seperti beban masyarakat atau negara yang akan ditimbulkan. 2. Asas organ yang tepat, asas ini menegaskan bahwa peraturan perundangundangan hanya dapat dibuat oleh pejabat yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 3. Asas perlunya peraturan, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan alternatif untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintah selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan. Prinsip asas ini terkait dengan fungsi pemerintah yang aktif dan bertumpu pada asas legalitas. 4. Asas dapat dilaksanakan, yaitu peraturan perundang-undangan dibuat dengan memperhatikan kemungkinan pelaksanaannya. Suatu peraturan perundangundangan, seperti reaksi keras masyarakat, menimbulkan beban bagi negara yang begitu besar, ketidaksiapan aparat dan sebagainya. 5. Asas konsensus, asas ini bertitik tolak pada pemikiran bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya haruslah dipandang sebagai
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh pemerintah dan rakyat. 6. Asas tentang terminologi yang jelas, asas ini menghendaki agar peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun struktur atau susunannya. 7. Asas dapat dikenali, setiap peraturan perundang-undangan pada dasarnya harus dapat diketahui secara wajar oleh yang berkepentingan. Asas ini dilaksanakan dengan cara pengundangan atau cara-cara publikasi lainnya. 8. Asas persamaan di depan hukum, dalam hal ini tidak boleh adanya peraturan perundang-undangan yang ditujukan hanya pada sekelompok orang tertentu, karena akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat. 9. Asas kepastian hukum, peraturan perundang-undangan harus menjamin kepastian bagi setiap orang yang berkepentingan. Kepastian ini dapat diperoleh dengan dua cara. Pertama, peraturan perundang-undangan dirumuskan dengan jelas dan tepat. Kedua, peraturan perundang-undangan harus mempertimbangkan dengan baik kepentingan-kepentingan orang yang terkena dan pengaturan ketentuan peralihan yang cukup memadai. 10. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual, asas ini bertujuan memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan atau situasi tertentu, sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
memberikan jalan keluar selain bagi masalah umum, juga bagi masalah-masalah khusus yang dihadapi bagi setiap anggota masyarakat. Sementara itu mengenai materi muatan Perda di dalam Pasal 12 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa, “Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Sedangkan di dalam Pasal 138 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa : “Materi muatan Perda mengandung asas : a. Asas Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. c. Asas Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
d. Asas Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Asas Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Asas Bhineka Tunggal Ika adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khusus yang menyangkut masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Asas Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. h. Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain : agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Asas Ketertiban dan Kepastian adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
j. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
3. Proses Pembentukan Perda Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah mengatur tentang proses pembentukan Perda. Adapun proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Persiapan Pembentukan Perda Ranperda dapat berasal dari DPRD maupun dari Gubernur atau Bupati/Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah, propinsi, kabupaten atau kota. Ranperda yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar Gubernur atau Bupati/Walikota kepada DPRD oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Ranperda yang berasal dari inisiatif DPRD, dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Selanjutnya Ranperda inisiatif DPRD ini disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. Agar Ranperda diketahui oleh khalayak ramai dan masyarakat dapat memberikan masukan sehubungan dengan Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, bahwa masyarakat berhak memberikan masukan lisan maupun tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan Ranperda, maka Ranperda yang
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
berasal dari DPRD ini harus dari Kepala Daerah, penyebarluasannya dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Tahap persiapan ini diatur dalam Pasal 26-30 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004. b. Pembahasan Ranperda Pembahasan Ranperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama-sama dengan Gubernur atau Bupati/Walikota. Pembahasan ini dilakukan melalui tingkattingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan tersebut dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Ketentuan mengenai pembahasan ini diatur dalam Pasal 40-41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. c. Penetapan Ranperda
yang
telah
disetujui
bersama
oleh
DPRD
dan
Gubernur/Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian tersebut dilakukan paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Penetapan dilakukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak Ranperda disetujui bersama. Apabila dalam waktu tersebut tidak ditandatangani, maka Ranperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah. Tahap ini diatur dalam Pasal 42-43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
d. Pengundangan dan Penyebarluasan Perda yang telah ditetapkan, agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan dalam Lembaran Daerah, yang dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah (Pasal 49 ayat (1), (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004). Dengan telah diundangkannya Perda tersebut, maka Perda tersebut mulai berlaku. Kemudian berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan agar khalayak ramai mengetahui isi serta maksud yang terkandung dalam Perda tersebut.
C. Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda 1. Pengawasan Terhadap Perda Sistem penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai sub sistem dalam penyelenggaraan Pemerintahan, sehingga daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun, di dalam pelaksanaannya bukan berarti daerah dapat berbuat semaunya, karena otonomi atau kebebasan bukan berarti sebebas-bebasnya sebab ada koridor-koridor yang mesti ditaati oleh daerah demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, di sini termasuk dalam menetapkan kebijakan daerahnya, baik dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah. Untuk itu kepala daerah dalam
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menetapkan Peraturan Daerah harus mempedomani asas-asas pembentukan maupun asas-asas muatan materi Peraturan Daerah. Sementara itu agar daerah tidak kebablasan dalam menetapkan Peraturan Daerah, Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengawasi produk peraturan daerah tersebut. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 145 ayat (2) bahwa, “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”. Dengan demikian daerah memiliki kewajiban untuk menyampaikan Perdanya kepada Pemerintah setelah ditetapkan. Menurut Bohari, supaya pelaksanaan pengawasan dapat dijadikan sebagai alat (instrumen) yang efektif, maka harus memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut 255 : 1. Apa yang akan diawasi (objek yang perlu diawasi). 2. Mengapa perlu diadakan pengawasan. 3. Dimana dan bilamana diadakan pengawasan dan oleh siapa pengawas tersebut harus dilakukan. 4. Bagaimana pengawasan tersebut dapat dilakukan 5. Pengawasan tersebut harus bersifat rasional, fleksibel, terus-menerus dan pragmatis.
255
Bohari, Pengawasan Keuangan Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 1995.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintah
melakukan
pengawasan
terutama
terhadap
terdapat 2 (dua) cara pengawasan
Perda.
Pengawasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yaitu terhadap Ranperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda propinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. Sedangkan Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar termasuk di atas, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Propinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
a. Pengertian Pengawasan Menurut Ateng Syafrudin dalam negara kesatuan terdapat prinsip bahwa pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan terletak di tangan Pemerintah Pusat, oleh karenanya otonomi yang diberikan kepada daerah bukanlah kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau dapat dikatakan bahwa kemandirian itu adalah wujud dari pemberian kesempatan bagi daerah yang harus
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dipertanggunjawabkan. 256 Oleh sebab itu Pemerintah Pusat berhak melakukan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah dalam menjalankan tugasnya selaku penyelenggara pemerintahan di daerah. Senada dengan hal tersebut Amrah Muslimin berpendapat bahwa prinsip yang terkandung di dalam negara kesatuan adalah bahwa Pemerintah Pusat berwenang melakukan campur tangan yang lebih intensif terhadap persoalan-persoalan di daerah dan kewenangan Pemerintah Pusat ini hanya terdapat dalam suatu perumusan umum dalam Undang-Undang Dasar. 257 Sedangkan menurut Bohari, pengawasan adalah suatu upaya agar apa yang telah direncanakan sebelumnya diwujudkan dalam waktu yang telah ditentukan serta untuk mengetahui kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan tadi, sehingga berdasarkan pengamatan-pengamatan tersebut dapat diambil suatu tindakan untuk memperbaikinya, demi tercapainya wujud semula. 258 Dengan demikian, pengawasan dari Pemerintah Pusat terhadap daerah merupakan pengikat kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan, tetapi pengawasan tidak boleh mengakibatkan pengurangan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi serta patokan-patokan sistem rumah tangga daerah, seperti dasar kerakyatan dan kebebasan daerah untuk berprakarsa, oleh karenanya bandul
256 257
Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, (Bandung: Bina Cipta, 1985), hlm. 23. Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1978), hlm.
17. 258
Bohari, Op.Cit.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pengawasan harus bergerak seimbang, tidak terlalu longgar tetapi tidak pula terlalu ketat. 259 Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah harus memenuhi beberapa syarat, yakni sebagai berikut 260 : 1. Harus sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan melalui peraturan perundangundangan. 2. Tidak boleh menyimpang atau melanggar kepentingan nasional dan batas-batas wewenang yang telah diberikan. 3. Pemerintah Pusat berhak untuk mengawasi Pemerintah Daerah baik secara preventif dan represif. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada Bagian Penjelasan butir 10 dijelaskan bahwa pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena itu, Perda yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. 261 Demikian pula pengertian pengawasan menurut beberapa pendapat sarjana ada bermacam-macam. Menurut Siagian pengertian pengawasan adalah proses 259
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 181. 260 R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 4. 261 Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 & Juklak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 63.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. 262 Namun, juga ada pendapat bahwa pengawasan berarti juga setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai. 263 Menurut Sujamto pengertian pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Artinya Sujamto ingin mengembalikan pengertian pengawasan ini kepada kata dasarnya dalam Bahasa Indonesia, yaitu “awas” yang berarti mampu mengetahui secara cermat dan seksama. Jadi tujuan pengawasan hanyalah untuk mengetahui secara cermat dan seksama kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi itu. Kata “yang semestinya” dalam pengertian di atas adalah tolak ukur yang mengandung tiga segi, yaitu : sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku serta memenuhi prinsip-prinsip daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektifitas). 264 Berbeda dengan pendapat Effendi Lotulung, menurut beliau pengertian pengawasan sama dengan kontrol, di mana pengawasan pusat terhadap daerah merupakan suatu kontrol terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan di 262
S.P. Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, 1986), hlm. 153. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Pengawasan Melekat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 21. 264 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1986, hlm. 19-20. 263
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Daerah. Tujuan kontrol ini adalah suatu usaha preventif terhadap kekeliruankekeliruan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tujuan kontrol juga dimaksudkan sebagai suatu usaha represif, yaitu untuk memperbaiki apabila sudah terjadi kekeliruan. Dalam prakteknya ada kontrol yang sering dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan. Memang disinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan. 265
b. Fungsi Pengawasan Sistem negara kesatuan yang didesentralisasikan bahwa peran Pemerintah Pusat dalam hal pengawasan terhadap Pemerintah Daerah merupakan suatu hal yang harus ada. Hal tersebut bertujuan agar daerah-daerah otonom dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk menyelenggarakan Pemerintahan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga kepentingan negara dan rakyat yang berada di daerah dapat terjamin. Dengan demikian, fungsi pengawasan sebagai pembatasan terhadap kekuasaan, karenanya pengawasan sangat penting untuk mengontrol kerja Pemerintah Daerah, agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Untuk itulah Pemerintah Pusat mempunyai hak untuk mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hak pengawasan ini merupakan hak plaset, yaitu hak yang diberikan pada 265
P. Effendi Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, (Jakarta: Bhuana Pancakarsa, 1986), hlm. Xv.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
atasan untuk mengawasi kerja bawahannya. Menurut Bagir Manan, hak plaset adalah hak untuk mencegah atau mengukuhkan suatu keputusan agar mempunyai atau tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh suatu badan Pemerintah yang berbeda dari badan yang membuat keputusan tersebut. Sekali pengesahan diberikan, keputusan tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat dan tidak dapat ditarik kembali. 266 Sedangkan menurut Suhino fungsi pengawasan pusat terhadap daerah sangatlah penting, karena pengawasan merupakan suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh daerah otonom dan Pemerintah Pusat dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. 267
c. Tujuan Pengawasan Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengawasan tersebut merupakan suatu daya dan upaya untuk menilai kenyataan yang telah terjadi dan dibandingkan dengan yang seharusnya terjadi, sehingga akan dapat terlihat hasilnya apakah yang akan dicapai tersebut telah memenuhi apa yang seharusnya. Ini penting rasanya agar bila terjadi penyimpangan maka akan dengan mudah terkontrol dan dengan cepat dapat diperbaiki. Menurut Sujamto, tujuan pengawasan ini adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas dan pekerjaan, apakah 266 267
Bagir Manan, Hubungan …, Op.Cit., hlm. 109. Suhino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 147.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
sesuai dengan semestinya atau tidak. 268 Sementara itu, menurut Manulang dan Jusuf Juhir, tujuan pengawasan tersebut adalah 269 : 1. Menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijaksanaan dan perintah. 2. Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan. 3. Mencegah pemborosan dan penyelewengan. 4. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang dan jasa yang dihasilkan. 5. Membawa kepercayaan terhadap kepemimpinan organisasi. Dengan demikian, tujuan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap daerah adalah agar penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah dapat berjalan dengan lancar, berdaya guna dan berhasil guna, sehingga tujuan penyelenggaraan pemerintahan yaitu kesejahteraan bagi masyarakat daerah itu dapat terlaksana.
d. Macam-Macam Pengawasan Dilihat dari beberapa hal dan berdasarkan bentuk-bentuk pengawasan, maka pengawasan tersebut terdiri atas : 1. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung. Pengawasan langsung adalah pengawasan yang langsung dilakukan oleh pimpinan dengan mengamati, meneliti, memeriksa dan mengecek sendiri dan 268 269
Sujamto, Beberapa …, Op.Cit., hlm. 115. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Op.Cit., hlm. 27.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menerima laporan langsung dari pelaksana di tempat pekerjaan itu berlangsung. Hal ini dilakukan dengan cara inspeksi. Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan mempelajari hasil dari laporan-laporan atau dokumen-dokumen yang diterima dari pelaksanaan baik secara lisan atau tulisan. Dokumen-dokumen itu, antara lain 270 : 1. Laporan dari pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala ataupun laporan insidentil. 2. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diperoleh dari perangkat pengawasan lain. 3. Surat-surat pengaduan. 4. Berita atau artikel di media massa. 5. Dokumen-dokumen lainnya. 2. Pengawasan preventif, represif dan umum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah hanya dikenal pengawasan represif saja. Di mana di dalam pengawasan tersebut lebih ditekankan pada pemberian kebebasan kepada Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah. Oleh karenanya, Perda yang ditetapkan Daerah Otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh 270
Sujomto, Beberapa …, Op.Cit., hlm. 77.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pejabat yang berwenang. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di atas memberikan gambaran bahwa mekanisme pengawasan dalam Undang-Undang tersebut lebih sederhana, dalam upaya memberikan kemandirian dan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan. Pengawasan preventif dilakukan sesudah Perda ditetapkan, tetapi sebelum Perda itu mulai berlaku. 271 Jadi menurut pengawasan ini, suatu Perda hanya dapat berlaku apabila telah disahkan oleh pejabat yang berwenang mengesahkannya. Pengawasan preventif ini hanya dilakukan terhadap Perda yang berisi atau yang mengatur materi-materi tertentu, yaitu materi-materi yang dianggap penting yaitu yang menyangkut kepentingan-kepentingan besar terutama bagi daerah dan penduduknya. Menurut Sujamto, pengertian dari pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sejak masih menjadi rencana. 272 Melalui pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan preventif dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan yang mungkin terjadi. Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau suatu kegiatan dilaksanakan. 273 Pengawasan represif dilaksanakan dalam bentuk penangguhan, penundaan dan pembatalan. 274 Karenanya pengawasan represif dimaksudkan untuk memperbaiki jika telah terjadi kekeliruan. Dengan demikian 271
Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 12. 272 Sujamto, Beberapa …, Op.Cit., hlm. 65. 273 Ibid, hlm. 67. 274 Bagir Manan, Hubungan …, Op.Cit., hlm. 182.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
tidak mempengaruhi kebebasan berprakarsa atau berinisiatif. Selain itu, pelaksanaannya hanya terpusat pada satu tangan yang akan memudahkan untuk merumuskan patokan-patokan sehingga akan lebih efisien. 275 Pengawasan umum merupakan salah satu bentuk atau cara untuk melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintahan Daearah. Pengawasan Umum adalah jenis pengawasan yang dilakukan Pemerintah terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah untuk menjamin terselenggaranya Pemerintahan Daerah yang baik. 276 Selain itu pengawasan umum ini tidak hanya mengawasi jalannya pemerintahan daerah saja tetapi juga berlaku bagi pengawasan terhadap sasaran dan objek lain oleh semua perangkat-perangkat pengawasan yang ada. 3. Pengawasan ekstern dan intern. Pengawasan intern ini sesuai dengan artinya adalah pengawasan yang dilakukan dari dalam. Pengawasan intern dilakukan oleh pucuk pimpinan dalam suatu organisasi, tetapi biasanya untuk lebih efektif tugas pimpinan itu dapat didelegasikan kepada para pimpinan bidangnya masing-masing. Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atau petugas yang ditunjuk dari luar organisasi. Misalnya masalah keuangan suatu departemen diperiksa oleh suatu badan yang telah ditunjuk yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
275 276
Sujamto, Beberapa …, Op.Cit., hlm. 65. Ibid, hlm. 69.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
2. Kewenangan Pengujian Perda Dalam agenda Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, MPR melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 antara lain terhadap BAB IX Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 A ayat (1) ditetapkan, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi; menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang”. Kemudian dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, ditegaskan Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda telah masuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Mahkamah Agung memegang kewenangan untuk menguji apakah Perda bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Eksistensi Perda akan diawasi secara represif oleh Pemerintah (executive review) dan oleh Mahkamah Agung melalui judicial review (yang bersifat pasif). Pengkategorian masalah pembatalan Perda, apakah merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanaan otonomi daerah
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
yang dilihat dari Perda-perda yang diterbitkan pemerintah daerah; ataukah masalah ini menjadi masalah hukum yang selanjutnya penyelesaiannya pun melalui penyelesaian hukum. Berkenaan dengan itu, perlu dipahami apakah Perda Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan produk legislatif atau produk regulatif. Menurut Jimly Asshiddiqie, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota jelas merupakan lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif di daerah. Disamping itu, pengisian jabatan keanggotaannya juga dilakukan melalui Pemilihan Umum. Baik DPRD maupun Kepala Daerah, yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya, lembaga legislatif dan eksekutif, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, dan samasama terlibat dalam proses pembentukan suatu Perda. Karena itu, seperti halnya undang-undang di tingkat pusat, Perda dapat dikatakan juga merupakan produk legislatif ditingkat daerah yang bersangkutan, dan tidak disebut sebagai produk regulatif atau executive acts. 277 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan, berkaitan dengan pengertian local constitutiton atau local grondwet, maka Perda juga dapat dilihat sebagai bentuk undang-undang yang bersifat lokal. Mengapa demikian? Seperti undang-undang, maka organ negara yang terlibat dalam proses pembentukan Perda itu adalah lembaga legislatif dan eksekutif secara bersama-sama. 277
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian...., Op.Cit., hlm. 34.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Jika undang-undang dibentuk oleh lembaga legislatif pusat dengan persetujuan bersama Presiden selaku kepala pemerintahan eksekutif, maka Perda dibentuk oleh lembaga legislatif daerah bersama-sama dengan kepala pemerintahan daerah setempat. Dengan perkataan lain, sama dengan undang-undang, Perda juga merupakan produk legislatif yang melibatkan peran para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang berdaulat. Sebagai produk para wakil rakyat bersama dengan pemerintah, maka Perda itu seperti halnya undang-undang dapat disebut sebagai produk legislatif (legislative acts). Sedangkan peraturan-peraturan dalam bentuk lainnya adalah produk regulasi atau produk regulatif (executive acts). Perbedaan antara peraturan daerah dengan undang-undang terletak pada segi lingkup teritorial atau wilayah berlakunya peraturan itu, yaitu berlaku secara nasional atau lokal. Undang-undang berlaku nasional, sedangkan Perda hanya berlaku di dalam wilayah pemerintahan daerah yang bersangkutan saja, yaitu dalam wilayah daerah provinsi, wilayah daerah kabupaten, atau wilayah daerah kota yang bersangkutan masing-masing. Perda tidak ubahnya adalah local law atau local wet, yaitu undangundang yang bersifat local (local legislation). 278 Oleh karena Perda merupakan produk legislatif, maka timbul persoalan dengan kewenangan untuk menguji dan membatalkannya. Lembaga manakah yang berwenang membatalkan Perda. Apakah jika ditemukan kenyataan bahwa banyak 278
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 92-
93.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Perda yang ditetapkan di daerah bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi atau peraturan tingkat pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa peraturan-peraturan daerah itu dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif dalam naskah Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945, maka produk legislatif daerah ini dapat saja bertentangan dengan produk produk eksekutif di tingkat pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa Perda itulah yang berlaku untuk daerahnya. 279 Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa Perda (termasuk Peraturan Desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan ”pertingkatan”, melainkan juga pada ”lingkungan wewenangnya”. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (kecuali Undang-Undang Dasar 1945) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundangundangan yang lebih tinggi yang ternyata melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 280
279
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 279-280. 280 Ibid., hlm. 142.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Meskipun daerah-daerah dari negara kesatuan itu bukanlah unit-unit negara bagian yang tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kotanya. Tentu saja disamping kedaulatan dalam konteks bernegara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh sebab itu, produk legislatif di daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota berupa Perda sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kedua-duanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, tidak dapat begitu saja dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat. Dalam Pasal 145 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa : ”Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden”. Sedangkan Pasal 185 Ayat (5) menyatakan bahwa : ”Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Peraturan Daerah Provinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Mekanisme peninjauan atau pengujian oleh Menteri Dalam Negeri ini dapat dikategorikan sebagai executive review yaitu mekanisme pengujian Perda oleh Menteri Dalam Negeri selaku pejabat eksekutif tingkat pusat. 281 281
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian…, Op.Cit., hlm. 38.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Penerapan mekanisme tersebut juga dikaitkan dengan dasar pemikiran Indonesia sebagai negara kesatuan (unity state), sehingga dinilai rasional apabila pemerintahan pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum di lingkungan pemerintahan daerah. Akan tetapi, tidaklah rasional apabila Pemerintah Pusat dianggap tidak berwenang melakukan tindakan mengatur dan mengendalikan pembentukan Perda yang tidak sejalan dengan maksud diadakannya mekanisme pembentukan Perda itu sendiri oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sepanjang untuk kepentingan nasional yang objektif, mengapa Pemerintah Pusat tidak dapat melakukan kontrol dan pembinaan kepada unit-unit pemerintahan daerah? Atas dasar pemikiran yang demikian itulah maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk membatalkan Perda dengan Peraturan Presiden. 282 Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Perda itu jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dengan hirarki di bawah undang-undang. Sepanjang suatu norma hukum dituangkan dalam bentuk peraturan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, dan tingkatannya berada di bawah undang-undang, maka sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh lembaga lain.
282
Jimly Asshiddiqie, Perihal…..,Op.Cit., hlm. 98.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Karena Perda itu termasuk kategori peraturan yang hirarkinya berada dibawah undang-undang, maka tentu dapat timbul penafsiran bahwa Pemerintah Pusat sudah seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menilai dan mencabut Perda sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang berwenang untuk menguji Perda itu menurut Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, 283 Menurut Laica Marzuki, tidak tepat Perda ditempatkan pada hirarki peraturan perundang-undangan terbawah, dibawah Peraturan Presiden (UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004). Locale wet atau Perda dibuat guna melaksanakan undang-undang, wet atau gesetz. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum sepenuhnya menerangkan hakikat desentralisasi. Produk Perda seyogyanya tidak dibatalkan oleh perangkat pemerintah pusat. Perda yang menyimpang dari hukum dapat setiap saat dibawakan ke Mahkamah Agung dan Perda yang menyimpang dari hukum dapat dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah Agung. 284 Namun, pola pikir yang terkandung di dalam ketentuan Pasal 145 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jelas berbeda dari hal itu, karena Perda tidak dianggap sebagai objek pengujian oleh Mahkamah Agung. Perda itu tidak dianggap sebagai salah satu bentuk atau jenis peraturan perundang 283
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian…..,Op.Cit., hlm. 39. M. Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 1 Maret 2007, hlm. 14. 284
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
undangan di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Ketentuan dalam Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bukanlah upaya pengujian (judicial review) atas Perda melainkan pengujian (judicial review) atas Peraturan Presiden yang membatalkan Perda. Artinya Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut menegaskan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji Peraturan Presiden itu terhadap undang-undang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945. Di dalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan di lembaga legislatif dan eksekutif, peranan partai politik sangat menonjol. Dengan demikian undang-undang dan Perda samasama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan kepentingan diantara cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif, baik di tingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga politik. Pengujian undangundang dan Perda itu harus dilakukan melalui mekanisme ”judicial review” dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan imparsial sebagai pihak ketiga.285 Jika Perda sebagai produk politik diuji dan dibatalkan oleh lembaga politik melalui mekanisme politik dengan Peraturan Presiden, berarti partai politik akan dihadapi oleh partai politik. Proses politik yang sudah selesai di tingkat daerah, 285
Jimly Asshiddiqie, Perihal…..,Op.Cit., hlm. 103-104.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dilanjutkan dengan proses politik di tingkat pusat. Jika pemerintah pusat dikuasai oleh Partai A, sedangkan pemerintahan di suatu daerah dikuasai oleh Partai B yang saling bertentangan satu sama lain, maka besar kemungkinan Perda sebagai produk politik di daerah yang bersangkutan akan dengan mudah dibatalkan oleh pemerintah yang dikuasai lawan politiknya. Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 145 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut diatas dapat dipersoalkan secara kritis. Dalam Pasal 145 ayat (2) dinyatakan, ”Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”. Selanjutnya pada ayat (3) menentukan, ”Keputusan pembatalan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Apabila kita konsisten dengan pengertian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka mau tidak mau kita harus mengartikan bahwa Perda itu termasuk ke dalam pengertian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945. Lagi pula, jika dikaitkan dengan pengertian primary legislation versus secondary legislation yang dapat dikatakan sebagai primary legislation adalah undang-undang, sedangkan Perda adalah produk secondary legislation, Perda itu merupakan bentuk delegated legislation sebagai peraturan pelaksana undang-undang (subordinate legislation). Karena itu kedudukannya sudah seharusnya ditempatkan langsung di bawah undang-
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
undang. Karena itu, kedudukannya tetap berada di bawah undang-undang yang seperti ditentukan oleh Pasal 24 A ayat (1) termasuk objek pengujian yang menjadi bidang kewenangan Mahkamah Agung. 286 Dalam perspektif negara kesatuan atau unitary state (eenheidsstaat) adalah logis untuk mengembangkan pengertian bahwa pemerintahan atasan berwenang melakukan kontrol terhadap unit pemerintahan bawahan. Artinya, pemerintahan pusat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 tentu dapat dikatakan mempunyai kewenangan untuk mengontrol unit-unit pemerintahan daerah provinsi ataupun pemerintahan daerah kabupaten dan kota. Demikian pula pemerintahan daerah provinsi juga dapat diberi kewenangan tertentu dalam rangka mengendalikan jalannya pemerintahan daerah kabupaten dan kota di bidang pengaturan. Hal yang dikendalikan atau dikontrol oleh pemerintahan atasan itu antara lain adalah kontrol atas norma hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan bawahan melalui apa yang dikenal sebagai general norm control mechanism. Mekanisme kontrol norma umum inilah yang bisa disebut sebagai sistem abstract review atau pengujian abstrak yang dapat dilakukan oleh lembaga eksekituf, legislatif ataupun oleh lembaga pengadilan. Jika abstract review itu dilakukan oleh lembaga eksekutif, misalnya, pengujian oleh pemerintahan pusat atas Perda daerah provinsi, maka mekanisme demikian disebut executive review. Jika abstract review itu dilakukan 286
Ibid., hlm. 104-105.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
oleh DPRD dan pemerintahan daerah yang menetapkan Perda itu sendiri, maka mekanisme peninjauan kembali semacam itu disebut legislative review yang dapat menghasilkan perubahan (amendment) peraturan. Jika pengujian itu dilakukan oleh pengadilan, maka hal itulah yang bisa disebut judicial review. 287 Disamping abstract review, mekanisme kontrol norma juga dapat dilakukan melalui prosedur abstract preview, yaitu control yang dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat untuk umum. Misalnya, suatu rancangan Perda disahkan oleh parlemen tetapi sebelum diundangkan sebagaimana mestinya, pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk menguji, menilai, atau bahkan menolak pengesahan peraturan pemerintah bawahan. Mekanisme demikian dapat disebut sebagai executive abstract preview oleh pemerintahan atasan. Kewenangan untuk melakukan executive abstract preview itulah yang sebaiknya diberikan kepada pemerintahan atasan, bukan mekanisme review atas Perda yang sudah berlaku mengikat untuk umum. Jika suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dibatalkan hanya oleh pejabat eksekutif tingkat atas, berarti ”prinsip negara kesatuan” dijadikan dalih untuk mengebiri aspirasi rakyat dengan tindakan yang semata-mata didasarkan atas pertimbangan politik. Oleh karena itu, terhadap Perda sebagai produk legislatif didaerah, sebaiknya hanya di-preview oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan Perda yang belum 287
Ibid., hlm. 107-108.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
mengikat untuk umum. Jika Perda itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan Perda yang bersangkutan. Dengan demikian, jika dibiarkan suatu Perda yang telah berlaku mengikat untuk umum yang ditetapkan oleh para politikus yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif ditingkat pemerintahan bawahan, dibatalkan lagi oleh para politikus yang duduk di lembaga eksekutif tingkat pemerintahan atasan, berarti Perda dibatalkan hanya atas dasar pertimbangan politik belaka. Hal demikian itu sama saja dengan membenarkan bahwa supremasi hukum ditundukkan dibawah supremasi politik. 288 Lembaga pengadilan mana yang sebaiknya diberi kewenangan untuk melakukan judicial review itu? Menurut Jimly Asshiddiqie, sistem yang dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 ialah centralized model of judicial review, bukan decentralized model. Seperti ditentukan dalam Pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, sistem yang kita anut adalah sistem sentralisasi. Oleh karena itu, pilihan pengujiannya adalah oleh Mahkamah Agung atau oleh Mahkamah Konstitusi. Jika kewenangan untuk menguji Perda diberikan kepada Mahkamah Agung, berarti Perda mutlak dilihat hanya sebagai salah satu bentuk peraturan perundangundangan yang berada di bawah undang-undang. Karena itu terlepas dari pernyataan bahwa Perda tersebut juga merupakan produk legilative acts, tetapi berdasarkan 288
Ibid., hlm. 107-109.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, pengujian atasnya mutlak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun demikian, apabila kewenangan untuk menguji Perda diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, maka bentuk dan substansi Perda itu harus dilihat sebagai undang-undang dalam arti yang luas. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 hanya menyebut ”undang-undang” dengan huruf kecil. Artinya, kualifikasi ”undang-undang” dimaksud belum dirinci. Jika ditafsirkan bahwa dalam kata ”undang-undang” tersebut dapat mencakup juga pengertian ”undang-undang dalam arti materiil” (wet in materiele zin), maka niscaya substansi Perda dapat dilihat sebagai wet in materiele zin yang berbaju Perda. 289 Oleh karena itu, di samping pemerintah pusat dapat saja diberi peranan dalam melakukan mekanisme tertentu yang berkaitan dengan fungsi executive review, Mahkamah Konstitusi juga dapat menafsirkan bahwa Peraturan Daerah itu locale wet in materiele zin juga dapat dijadikan sebagai objek pengujian konstitusional yang harus dijalankannya sebagai lembaga pengawal konstitusi. Mengingat tugas Pemerintahan Daerah dalam rangka otonomi daerah semakin berat, maka pembentukan Perda, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah memerlukan perhatian yang serius. Proses harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsep rancangan Perda merupakan hal yang harus ditempuh. Pengharmonisan adalah merupakan upaya untuk menyelaraskan sesuatu, dalam hal ini Perda sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang tersusun secara 289
Ibid., hlm. 111.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
sistematis dalam suatu hierarki maupun dengan asas perundang-undangan agar tergambar dengan jelas dalam pemikiran atau pengertian bahwa Perda merupakan bagian integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Pengharmonisan dilakukan untuk menjaga keselarasan, kebulatan konsepsi peraturan perundang-undangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi secara efektif. 290 Disamping itu, pengharmonisan peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai upaya preventif untuk mencegah adanya pembatalan oleh pemerintah ataupun diajukannya permohonan pengujian peraturan perundangundangan kepada kekuasaan kehakiman yang kompeten. Pengharmonisasian akan menjamin proses pembentukan rancangan Perda dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum. Adapun aspek-aspek apa yang perlu diharmonisasikan, setidaknya ada 2 (dua) aspek yaitu yang berkaitan dengan konsepsi materi muatan dan teknik penyusunannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata memberikan ruang lingkup urusan pemerintahan yang sangat luas (kewenangan) kepada daerah untuk diatur dalam Perda. Ketentuan tersebut mengharuskan para pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang ditugaskan untuk merancang sebuah Perda untuk mengetahui dan mempelajari berbagai peraturan 290
A.A. Oka Mahendra, “Harmonisasi dan Sinkronisasi RUU Dalam Rangka Pemantapan dan Pembulatan Konsepsi”, Makalah dalam Workshop Pemahaman Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Yogyakarta, Oktober 2005.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
perundang-undangan yang lebih tinggi yang terkait dengan substansi rancangan Perda. Penelitian dan kajian yang mendalam terhadap substansi peraturan yang lebih tinggi sangat membantu DPRD dan gubernur/bupati/walikota dalam menetapkan Perda dengan kualitas yang baik dan sekaligus menghindari kemungkinan ”pembatalan Perda” oleh pemerintahan dan merepotkan DPRD dan Kepala Daerah untuk menetapkan Perda tentang pencabutan Perda. Menurut Moh. Mahfud MD, 291 untuk menyelesaikan masalah banyaknya Perda yang dianggap bertentangan dengan landasan dan kerangka politik hukum nasional, ada tiga langkah yang dapat dilakukan, yakni pembuatan Program Legislasi Daerah (Prolegda) melalui penelitian dan penyaringan rancangan Perda secara ketat; pembentukan Desk Perda di Departemen Dalam Negeri yang ditugasi untuk meneliti dan menentukan ”nasib” setiap Perda dalam 60 hari sejak disampaikan ke Pusat; dan pengajuan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Agung oleh warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan atau menilai ada Perda yang isinya melampaui batas proporsional.
291
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”, makalah yang disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM, 29-31 Mei 2006 di Mercure Accor Hotel, Jakarta.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
BAB III PROSES PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
A. Proses Pengujian Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Di Indonesia terjadi dualisme tentang pengaturan pembatalan Perda yaitu, yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai badan administrasi dan pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dualisme ini terlihat dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan Perda dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Ketentuan ini yang melandasi Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Perda, dan dapat pula memberi sanksi berupa pembatalan bila Perda tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan Perda lainnya. Selanjutnya Pasal 145 ayat (5) menyatakan, “Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”. Ketentuan Pasal 145 ayat (5) tersebut di atas menjadi landasan bagi Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji materil terhadap Perda. Hak uji materiil sendiri dimaksudkan agar Mahkamah Agung dapat menilai apakah isi dari Perda yang
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dianggap bermasalah itu telah sesuai dengan atau tidak dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Mekanisme pembatalan Perda dapat disebut juga sebagai mekanisme Pengujian, tetapi tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman (judiciary) ataupun oleh legislator melainkan oleh lembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas (pusat).292 Akan tetapi, barometer pengukur atau penilai yang dipakai oleh lembaga penguji, dalam hal ini pemerintah pusat, bukanlah Undang-Undang Dasar tetapi hanya Undang-Undang. Alasan pembatalan Peraturan-peraturan Daerah itu semata-mata karena Peraturan-peraturan Daerah itu dinilai melanggar ketentuan undang-undang yang lebih tinggi derajatnya dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena itu pengujian yang demikian tidak dapat disebut sebagai pengujian konstitusionalitas (constitutional review). 293 Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada akhir tahun 2005, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah.
Pembinaan
dan
pengawasan
292
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 134. Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 74-75. 293
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dimaksudkan
agar
kewenangan
daerah
otonom
dalam
menyelenggarakan
desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di
samping
Pemerintah
Daerah
merupakan
sub
sistem
dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri.
Pemerintah
dapat
melimpahkan
pembinaan
atas
penyelenggaraan
pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota dilaporkan
kepada
Presiden
melalui
Mendagri
dengan
tembusan
kepada
Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) terkait. Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluasluasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud kepada Pemerintah Pusat. Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara: a. Preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD; b. Represif, terhadap kebijakan berupa Perda dan Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD; c. Fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah; d. Pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah; e. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada hakekatnya sebagai akibat tidak sesuainya lagi undang-undang tersebut dengan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Selain itu perubahan atas undang-undang tersebut juga merupakan sebagai akibat adanya perubahan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tahun 2000, pada Pasal 18 disebutkan 294 : Pasal 18 ayat (1) : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat (2) : “Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Pasal 18 ayat (5) : “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Pasal 18 ayat (6) : “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen tersebut diatas, berarti Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan ketentuan itulah sebagai penjabaran atas 294
Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2002, hlm. 23-26.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Amandemen ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 2 disebutkan pula bahwa 295 : Pasal 2 ayat (1) :
Pasal 2 ayat (2) :
Pasal 2 ayat (3) :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah”. “Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. “Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah”.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan 295
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya serta dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan
otonomi
daerah
dalam
kesatuan
sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan prinsip di atas dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. 296 Dengan demikian, jelaslah berdasarkan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamkin keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya
mampu
membangun
kerjasama
antar
daerah
untuk
meningkatkan
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal penting lainnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjag keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Hal tersebut senada yang dikemukakan oleh Logemann yang dikutip oleh Y.W. Sunindhia, bahwa otonomi daerah merupakan suatu kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Namun kebebasan yang terbatas atau 296
Untuk lebih jelasnya mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lihat pada bagian penjelasannya.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kemandirian
itu
adalah
wujud
pemberian
kesempatan
yang
harus
dipertanggungjawabkan. 297 Salah satu kebebasan atau kemandirian daerah adalah dalam menetapkan kebijakan daerah, baik yang dirumuskan dalam Perda, Keputusan Kepala Daerah maupun ketentuan-ketentuan daerah lainnya. Namun, dalam kebebasan untuk menetapkan kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Perda lainnya. Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa Perda dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom) dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan “pertingkatan”, melainkan juga pada “lingkungan wewenangnya”. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau Undang-Undang Pemerintahan Daerah. 298 Oleh karena itulah produk legislatif di daerah provinsi ataupun di kabupaten/kota berupa Perda sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Daerah 297
Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 22. 298 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi,Cetakan Kedua, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 279-280. Lihat juga Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis peraturan perundang-undangan selain yang telah diatur dalam hierarki Pasal 7 ayat (1), antara lain, Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga dan Komisi, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kab/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kedua-duanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja.
1.
Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Perda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah meliputi 299 : a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah. b. Pengawasan terhadap Perda dan peraturan kepala daerah. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu pengawasan terhadap Perda dan peraturan kepala daerah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan melakukan 2 (dua) cara, yaitu sebagai berikut : 1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Ranperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam 299
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan.........., Op.Cit., hlm. 234.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Negeri untuk Ranperda Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. 2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR, yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan oleh Gubernur untuk Kabupaten/Kota. Tujuannya
adalah
untuk
memperoleh
klarifikasi
terhadap
Perda
yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi sehingga dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. Sementara itu mengenai mekanisme pengawasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda), yaitu terhadap Ranperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah dilakukan atas 2 (dua) cara, yaitu sebagai berikut : 1. Mekanisme pengawasan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. a. Pengawasan terhadap Perda yang ditetapkan sebelum lahirnya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. b. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, pengawasan Perda dilakukan secara represif, yaitu Perda ditetapkan lebih dahulu baru dievaluasi oleh Pemerintah.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
c. Dalam ketentuan tersebut Pemerintah Daerah berkewajiban menyampaikan Perdanya kepada Pemerintah paling lambat 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. d. Menteri Keuangan memberikan pertimbangan pembatalan kepada Menteri Dalam Negeri apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (Pasal 5A UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000 jo Pasal 80 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 dan Pasal 25A Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 jo Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001). e. Perda yang masih berada di Departemen Teknis agar segera disampaikan kepada Menteri Keuangan beserta hasil telaahnya. 300 2. Mekanisme pengawasan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. a. Terhadap Ranperda yang disusun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 185, 186 dan 189. 301 300
Mekanisme Pengawasan Perda dan Ranperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Kabag Pengkajian & Evaluasi Produk Hukum Biro Hukum Departemen Dalam Negeri, 2005 301 Pasal 185 ayat (1) : “Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui bersama dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi”. Ayat (2) : ”Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud”. Ayat (3) : ”Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
b. Dari ketentuan Pasal 185, 186 dan 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, terlihat bahwa Ranperda Provinsi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Sedangkan Ranperda Kabupaten/Kota disampaikan kepada Provinsi. Menteri Keuangan dan Manteri Dalam Negeri
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur”. Ayat (4) : ”Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi”. Ayat (5) : ”Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya”. Pasal 186 ayat (1) : ”Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi”. Ayat (2) : ”Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya Rancangan Perda Kabupaten/Kota dan Rancangan Peraturan Bupati/ Walikota tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Ayat (3) : ”Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota”. Ayat (4) : ”Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi”. Ayat (5) : ”Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya”. Ayat (6) : ”Gubernur menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri”. Pasal 189 : ”Proses penetapan Rancangan Perda yang berkaitan dengan pakaj daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi perda, berlaku pasal 185, dan pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
c. Ranperda Provinsi dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri dan Ranperda Kabupaten/Kota dievaluasi oleh Gubernur. d. Evaluasi terhadap Ranperda tersebut dikoordinasikan kepada Menteri Keuangan untuk mendapat pertimbangan e. Menteri Keuangan memberikan pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur dalam jangka paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan tersebut f. Evaluasi terhadap Ranperda dapat berupa : 1. Persetujuan untuk ditetapkan 2. Penolakan untuk ditetapkan g. Hasil evaluasi Ranperda Provinsi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Ranperda dimaksud. h. Hasil Ranperda Kabupaten/Kota disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Ranperda dimaksud. i. Perda yang telah ditetapkan disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
j. Perda
Kabupaten/Kota
yang
telah
ditetapkan
disampaikan
oleh
Bupati/Walikota kepada Gubernur paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. k. Apabila Ranperda ditolak untuk ditetapkan, namun tetap ditetapkan menjadi Perda, maka Perda Provinsi dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Perda Kabupaten/Kota dibatalkan oleh Gubernur. 302 Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pengawasan ini, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara Pemerintahan Daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara Pemerintahan Daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik Perda, Keputusan Kepala Daerah dan ketentuan lainnya yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Perda yang sudah disahkan di tingkat daerah dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum. Dibatalkan berarti ketidakabsahannya berlaku sejak tanggal ada pembatalan, sedangkan batal demi hukum berarti ketidakabsahannya berlaku sejak peraturan itu ditetapkan (yang berarti membatalkan pula akibat-akibat hukum yang timbul sebelum ada pembatalan). Dalam
302
Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
hubungan itu, pengawasan terdiri dari dua jalur, yakni pengawasan melalui jalur eksekutif (Pemerintah Pusat) dan pengawasan melalui jalur yudikatif (Mahkamah Agung).303 Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Bagan di bawah ini akan menggambarkan alur Pembatalan Perda menurut Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :
303
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian………, Op.Cit., hlm. 34.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
PERDA 7 hari
PEMERINTAH 60 hari
Tidak sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi
Sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi
Pembatalan (Perpres)
Setuju
PEMDA
Setuju
Keberatan
7 hari
180 hari Penghentian
Judicial Review (MA)
Ditolak
Dikabulkan
Perpres Berlaku/ Perda Batal
Perpres Batal/ Perda Berlaku
Pencabutan (KDH & DPRD)
Sumber : Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Bagan 1 Pembatalan Perda menurut Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Apabila
provinsi/kabupaten/kota
tidak
dapat
menerima
keputusan
pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahakamah Agung. Apabila keberatan dikabulkan sebagaian atau seluruhnya, putusan Mahkamah tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda, Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Apakah keberatan daerah akan dapat mengubah keputusan Pemerintah untuk mencabut kembali Keputusan Pembatalan Perda yang dibatalkan. Kalau ternyata Pemerintah tetap pada pendiriannya membatalkan Perda, bukankah ini langkah yang sia-sia. Maka dipandang tepat kalau kemudian yang menyelesaikan pembatalan Perda oleh Pemerintah adalah lembaga Mahkamah Agung melalui pengujian materiil, karena UUD 1945 memberikan wewenang pengujian terhadap peraturan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung. Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah, dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain mengenal bentuk pengawasan represif, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Ranperda dan peraturan kepala daerah tentang APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Menurut ketentuan Pasal 185, Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dalam Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Jika Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur. Apabila hasil evaluasi menyatakan Ranperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Bagan di bawah ini akan menggambarkan alur Evaluasi Ranperda menurut Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
RANPERDA Kab/Kota-DPRD 3 hari
GUBERNUR 15 hari
Tidak sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi
Bupati/Walikota
Sesuai dengan kepentingan umum dan perundangundangan yang lebih tinggi
7 hari Penetapan (Bupati/Walikota)
Penyempurnaan (Bupati/Walikota&DPRD)
Penetapan Bupati/Walikota
Pembatalan (Gubernur)
Hasil Evaluasi
MENDAGRI
PASAL 189 KOORDINASI Proses penetapan Ranperda Kab/Kota dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan
Sumber : Pasal 185 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Bagan 2 Evaluasi Ranperda menurut Pasal 185 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan Rancangan Perda tentang APBD Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur tersebut dan sekaligus menyatakan berlakunya Perda APBD tahun sebelumnya. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perbahan atas Undang-Undang No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengawasan terhadap Perda tentang Pajak Daerah diatur dalam Pasal 5A yang menyatakan : 1. Dalam rangka pengawasan, Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah paling lama 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. 2. Dalam hal Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud. 3. Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya Perda dimaksud. Penjelasan Pasal 5A menyatakan, penetapan jangka waktu 15 (lima belas) hari dalam ayat (1) ini telah mempertimbangkan administrasi pengiriman Perda yang tergolong jauh. Pembatalan Perda berlaku sejak tanggal ditetapkan. Dalam hal ini wajib pajak tidak dapat mengajukan restitusi kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 1 (satu) bulan dalam ayat (3) ini dilakukan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
dengan pertimbangan untuk mengurangi dampak negatif dari pembatalan Peraturan Daerah tersebut. Selanjutnya di dalam Pasal 25A masalah pengawasan terhadap Perda tentang Retribusi Daerah ditegaskan sebagai berikut : 1. Dalam rangka pengawasan, Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah paling lama 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. 2. Dalam hal Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah dapat membatalkan Perda dimaksud. 3. Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya Perda dimaksud. Ketentuan mengenai pengawasan terhadap Perda tentang Pajak Daerah diatur dalam Pasal 80 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, yang berbunyi sebagai berikut : 1. Dalam rangka pengawasan, Perda tentang Pajak Daerah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. 2. Dalam hal Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan membatalkan Perda dimaksud.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
3. Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya Perda dimaksud. Adapun pengawasan terhadap Perda tentang Retribusi Daerah diatur dalam Peraturan Pemrintah Nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Pasal 17, sebagai berikut: 1. Dalam rangka pengawasan, Perda tentang Pajak Retribusi Daerah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. 2. Dalam hal Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan membatalkan Perda dimaksud. 3. Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya Perda dimaksud. Penegasan tentang batas waktu penyerahan Perda kepada pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 5A dan Pasal 25A Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan batas waktu penyerahan Perda kepada pemerintah 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 batas
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
waktunya 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. Adanya perbedaan tentang batas waktu tersebut dikarenakan kelahiran Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menyertai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan sampai sekarang masih dinyatakan berlaku. Dengan demikian ketentuan yang seharusnya dipakai adalah yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Untuk itu, pemerintah harus segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Demikian pula dengan Ranperda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota Tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk di evaluasi, 304 hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya
Rancangan
Perda
Kabupaten/Kota
dan
Rancangan
Peraturan
Bupati/Walikota Tentang Penjabaran APBD. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda Tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota Tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan yang dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi Ranperda 304
Bagir Manan, Menyongsong Fajar....., Op.Cit., hlm.86-87.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
tentang APBD yang tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota berasama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindak lanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota Tentang Penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud dan sekaligus menyatakan berlakunya Perda APBD tahun sebelumnya.Gubernur menyatakan hasil evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota Tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota Tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri segara menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut sebelum rancangan Perda dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah disahkan. Bagan di bawah ini akan menggambarkan alur Evaluasi Ranperda menurut Pasal 186 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
RANPERDA Provinsi-DPRD 3 hari
MENDAGRI 15 hari
Tidak sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi
Gubernur
Sesuai dengan kepentingan umum dan perundangundangan yang lebih tinggi
7 hari Penetapan (Gubernur)
Penyempurnaan (Gubernur&DPRD)
Pembatalan (MENDAGRI)
PASAL 189 KOORDINASI Proses penetapan Ranperda Provinsi dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan
Sumber : Pasal 186 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Bagan 3 Evaluasi Ranperda menurut Pasal 186 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Menurut ketentuan Pasal 187, apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (3) tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala Daerah terhadap Rancangan Peraturan Kepela Daerah Tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam Rancangan Peraturan Kepala Daerah Tentang APBD. Rancangan Peraturan Kepala Daerah dimaksud dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/Kota. Untuk memperoleh pengesahan dimaksud, Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap Rancangan Perda tentang APBD. Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri atau Gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah tersebut, kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.
2.
Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Perda di Daerah Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa kabupaten/kota sebagai
daerah otonom telah melaksanakan seluruh kewenangan-kewenangan yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk salah satunya dalam menetapkan Perda. Dalam menetapkan Perda tersebut semestinya baik Pemerintahan Provinsi
Sumatera
Utara
maupun
Pemerintahan
Kabupaten/Kota
harus
memperhatikan batasan-batasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda lainnya dan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 305 Bapak Ferlin Nainggolan, SH, MH, selaku Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa batasan-batasan ini harus diperhatikan oleh setiap Pemerintahan Daerah dalam setiap membuat Perda, agar Perda tidak dibatalkan oleh Pemerintah yang mempunyai wewenang untuk itu. 306 Ada beberapa Perda di daerah Provinsi Sumatera Utara yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : Tabel 1 Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Perda Di Daerah Provinsi Sumatera UtaraTahun 2007-2008 Keputusan Menteri Dalam Negeri No
Daerah No/Tahun
Tentang Pembatalan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. Pembatalan Perda Kota Medan Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pelayanan dan Izin Ketenagakerjaan. Pembatalan Perda Kota Binjai Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Izin Tempat Usaha Pembatalan Perda Kota Binjai Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan di Kota Binjai Pembatalan Perda Kota Binjai Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Penetapan, Penataan, Pembinaan Pergudangan dan Pengadaan Hewan di Kota Binjai Pembatalan Perda Kota Binjai Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Perubahan Pertama Perda Kota Binjai Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Pajak Rumah Sewa/Kontrak Bangunan di Kota Binjai
1
Provinsi Sumatera Utara
1/2007
2
Kota Medan
208/2008
3
Kota Binjai
42/2008 43/2008
44/2008
45/2008
305
Hasil wawancara dengan Bapak Ferlin Nainggolan, Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 8 Juni 2009. 306 Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Lanjutan Tabel 1 No
Daerah
Keputusan Menteri Dalam Negeri
No/ Tahun 46/2008
59/2008
4
Kota Tebing Tinggi
180/2008
5
Kota Padang Sidempuan
115/2008
6
Kota Tanjung Balai
211/2008
6
Kabupaten Dairi
3/2007
47/2008
7
Kabupaten Deli Serdang
2/2007 104/2007
155/2007
160/2007
171/2007
Tentang Pembatalan Perda Kota Binjai Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Pajak Rumah Sewa/ Kontrak Bangunan di Kota Binjai Pembatalan Perda Kota Binjai Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Retribusi Izin Usaha Industri Pembatalan Perda Kota Tebing Tinggi Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi Pembatalan Perda Kota Padang Sidempuan Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Operasi dan Izin Trayek Angkutan Jalan Pembatalan Perda Kota Tanjung Balai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Pajak Penangkaran Sarang Burung Walet Pembatalan Perda Kabupaten Dairi Nomor 14 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi Pembatalan Perda Kabupaten Dairi Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Retribusi Wajib Daftar Perusahaan Pembatalan Perda Kabupaten Deli Serdang Nomor 25 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah Pembatalan Perda Kabupaten Deli Serdang Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Izin Usaha Perkebunan Pembatalan Perda Kabupaten Deli Serdang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Retribusi Pelayanan Dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) Untuk Mengangkut Hasil Hutan Pembatalan Perda Kabupaten Deli Serdang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Retribusi Izin Bongkar Muat Barang Dagangan Pembatalan Perda Kabupaten Deli Serdang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Retribusi Pengawasan Mutu Bibit Ayam RAS Niaga Umur Sehari (DOC)
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Lanjutan Tabel 1 Keputusan Menteri Dalam Negeri No
Dearah
No/ Tahun
Tentang
8
Kabupaten Toba Samosir
4/2007
Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 13 Tahun 2001 Tentang Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Retribusi Izin Menggali Kerangka dan Memakamkannya Kembali Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 11 Tahun 2001 Tentang Retribusi Izin Usaha Perbengkelan Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Izin Usaha Hotel dengan Tanda Bunga Melati Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 9 Tahun 2001 Tentang Izin Usaha Rumah Makan dan/atau Bar Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Izin Pramuwisata Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Retribusi Pembinaan Hygiene dan Sanitasi Pembatalan Perda Kabupaten Toba Samosir Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Retribusi Surat Izin Usaha dan Trayek Angkutan Pembatalan Perda Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 17 Tahun 2001 Tentang Retribusi Surat Izin Usaha Pembatalan Perda Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C Pembatalan Perda Kabupaten Asahan Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
97/2008
191/2008
192/2008
193/2008
194/2008
195/2008
196/2008
230/2008
9
Kabupaten Tapanuli Selatan
170/2007
58/2008
10
Kabupaten Asahan
72/2007
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Lanjutan Tabel 1 Keputusan Menteri Dalam Negeri
No
Dearah
No/ Tahun
11
Kabupaten Nias
73/2007
Tentang
Pembatalan Perda Kabupaten Nias Nomor 9 Tahun 2002 Tentang Retribusi Hasil Bumi Yang Dikirim Ke Luar Daerah Kabupaten Nias 12 Kabupaten Langkat 104/2007 Pembatalan Perda Kabupaten Langkat Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Perizinan Usaha Perkebunan 105/2007 Pembatalan Perda Kabupaten Serdang 13 Kabupaten Serdang Bedagai Bedagai Nomor 34 Tahun 2005 Tentang Retribusi Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup 106/2007 Pembatalan Perda Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 46 Tahun 2005 Tentang Retribusi Izin Usaha Perkebunan Daerah 102/2008 Pembatalan Perda Kabupaten Samosir 14 Kabupaten Samosir Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Izin Usaha Membuka Kolam Pembenihan Ikan, Kolam Air Deras, Kolam Air Tenang, Keramba Jaring Apung dan Keramba 103/2008 Pembatalan Perda Kabupaten Samosir Nomor 9 Tahun 2007 Tentang Retribusi Izin Menggali Kerangka dan Memakamkannya Kembali 116/2008 Pembatalan Perda Kabupaten Samosir Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair Sumber : Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara 2009.
Dari tabel diatas terlihat bahwa Pemerintah telah melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah, terutama terhadap Perda. Dari data tabel diatas terlihat juga bahwa rata-rata Perda yang dibatalkan tersebut adalah Perda yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Dari data tabel diatas penulis akan menganalisa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembatalan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pangan dan Hortikultura dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2007 tentang Pembatalan Perda Kabupaten Nias Nomor 9 Tahun 2002 Tentang Retribusi Hasil Bumi Yang Dikirim Keluar Daerah Kabupaten Nias. Kedua Perda tersebut dianggap bermasalah karena tidak memenuhi ketentuan yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan melampaui batas kewenangannya. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007. Alasan pembatalan Perda itu oleh Pemerintah Pusat Cq Menteri Dalam Negeri karena Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 itu bertentangan dengan : 1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 266 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, karena pemberian surat tanda daftar impor merupakan kewenangan pusat. Selanjutnya di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tersebut, disebutkan juga agar Gubernur Provinsi Sumatera Utara menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura paling lambat 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut ditetapkan. Sementara itu Perda Kabupaten Nias Nomor 9 Tahun 2002 Tentang Retribusi Hasil Bumi Yang Dikirim Keluar Daerah Kabupaten Nias. Perda ini oleh Pemerintah dianggap bermasalah karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu Pemerintah Cq Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2007 tentang Pembatalan Perda Kabupaten Nias Nomor 9 Tahun 2002 Tentang Retribusi Hasil Bumi Yang Dikirim Keluar Daerah Kabupaten Nias. Adapun alasan dari pembatalan Perda ini menurut Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2007 bertentangan dengan : 1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 2) UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Pemerintah bahwa : a. Penjualan hasil bumi merupakan obyek Pajak Pusat, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga bertentangan dengan kriteria retribusi; b. Pengenaan retribusi bersifat pajak sehingga bertentangan dengan kriteria retribusi; c. Retribusi terhadap hasil bumi yang dikirim ke luar daerah Kabupaten Nias akan menghalangi arus lalu lintas barang dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi;
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
d. Daerah dilarang menetapkan Perda tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor impor. Oleh karena hal itulah di dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut memerintahkan agar Bupati Nias menghentikan pelaksanaan Perda Kabupaten Nias Nomor 9 Tahun 2002 Tentang Retribusi Hasil Bumi Yang Dikirim Keluar Daerah Kabupaten Nias. Dari kedua pembatalan Perda tersebut diatas dapat kita lihat bahwa pengawasan Pemerintah telah berjalan sehingga Perda yang dianggap oleh Pemerintah bermasalah atau bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum dapat membatalkan Perda tersebut. Dalam kaitannya dengan harmonisasi Perda yang dilakukan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dimana dalam hal ini melibatkan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ada di setiap Provinsi terhadap Ranperda Provinsi ataupun Kabupaten/Kota tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. 307 Bapak Rosman Siregar selaku Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara mengutarakan bahwa banyak Perda yang lahir tidak harmonis dengan Peraturan Perundang-undangan di atasnya dan bias Hak Asasi 307
Hasil wawancara dengan Bapak Rosman Siregar, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara pada tanggal 9 Juni 2009.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Manusia (HAM). Hal ini terjadi karena Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mau melibatkan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dalam penyusunan Ranperdanya. Tidak seperti penyusunan Undang-undang, dimana keterlibatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia jelas dalam penyusunan Program Legislasi Nasional. Sementara dalam Penyusunan Program Legislasi Daerah keterlibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak ada. 308
B. Proses Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif Istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicial review”. Kalau kita berbicara mengenai “hak menguji”, orientasinya ialah kontinental Eropa (Belanda), sedangkan “judicial review” orientasinya ialah Amerika Serikat. Walau tujuannya sama, dalam perkembangan selanjutnya apa yang dilaksanakan oleh negara-negara Eropa yang menganut sistem civil law berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem common law. 309 Istilah judicial review sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. 310 Pernyataan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal 308
Ibid. Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian….., Op.Cit., hlm. 2-3. 310 Jerome A. Barron and C. Thomas S., Constitutional Law, (St. Paul Menn-West Publishing Co., 1986), hlm. 4-5. 309
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
istilah hak menguji (toetsingensrecht), judicial review dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan. 311 Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institutional-formal dan dapat pula dalam bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya yang secara institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili
sesuatu
perkara
apa
saja,
hakim
dapat
saja
atau
berwenang
mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial. 312 Dalam konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah “judicial 311
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian….., Op.Cit., hlm. 3. Lebih lanjut dituliskan bahwa ‘review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’, seperti yang dikatakan oleh Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that it is wrong or incorrect, and that the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada ‘judicial review’, “the court is not concerned with the merits of the case, whether the decision was right or wrong, but whether it was lawful or unlawful”. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman, “Judicial review is concerned, not with the decision, but with the decision-making process”. Lord Brightman, Constitutional and Administrative Law, (London: Blackstone Press Ltd., 1993), hlm. 398. Lihat juga John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: MacMillan Professional Masters, 1989), hlm. 293. Lihat juga Jimly Ashshiddiqie, Judicial Review : Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Hukum Tata Negara, Makalah Pada Diklat Suncang Departemen Hukum dan HAM RI, Cinere-Jakarta, 2008, hal. 5. 312
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
review” dan “judicial preview”. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali. Sedangkan Preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu. 313 Dalam hubungannya dengan objek undang-undang, dapat dikatakan bahwa saat ketika undang-undang belum resmi atau sempurna sebagai undang-undang yang mengikat untuk umum, dan saat ketika undang-undang itu sudah resmi menjadi undang-undang, adalah dua keadaan yang berbeda. Jika undang-undang itu sudah sah sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya dapat disebut sebagai judicial review. Akan tetapi, jika statusnya masih sebagai rancangan undang-undang dan belum diundangkan secara resmi sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya disebut sebagai judicial preview. 314 Menurut Sri Soemantri, jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undangundang atau peraturan perundang-undangan lainnya dinamakan sebagai hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht), jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya, disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht). 315 Menurut Bapak Catur Irianto (Hakim di Pengadilan Negeri Medan) bahwa kekuasaan
kehakiman
adalah
kekuasaan
Negara
yang
merdeka
untuk
313
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian….., Op.Cit., hlm. 4. Ibid. 315 Sri Soemantri M., Hak Menguji Materiil di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 6-11. Lihat pula, Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, Diktat Mata Kuliah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994, hlm. 1. Lihat pula, R. Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung RI, (Bandung: Alumni, 1992). Lihat pula, Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian……, Op.Cit., hlm. 7. Lihat pula Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), hlm. 5. 314
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia. 316 Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, selain mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung juga menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. 317 Kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji Perda itu terdapat di dalam Ketetapan MPR RI Nomor III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5 ayat (2), (3) dan (4) : Pasal 5 ayat (2) : “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundangundangan ddi bawah undang-undang”. Ayat (3) : “Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi”. Ayat (4) : “Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat”. Berdasarkan ketentuan dalam Ketatapan MPR RI Nomor III Tahun 2000 di atas terlihat bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan hak uji materiil, 316
Hasil wawancara dengan Bapak Catur Irianto, Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 1 Juni 2009. 317 Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
karena Perda berada di bawah undang-undang. Sementara itu, mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji Perda juga terdapat di dalam Pasal 24 A ayat (1) Amandemen UUD 1945, yang menyatakan bahwa : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Pengaturan kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sangat minim yaitu dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya ada satu pasal saja yaitu dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dan dalam Pasal 11 ayat (3). Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung hanya ada 2 (dua) pasal saja yaitu Pasal 31 dan Pasal 31A. Pembentuk Undangundang (legislative) menyadari pengaturan tentang Hak Uji Materiil sangat singkat sehingga memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur pelaksanaan Hak Uji Materiil. Pasal 11 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 31 dan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut : Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang”. Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, “Pernyataan tidak berlaku Peraturan Perundang-undangan sebagai hasil pengujian, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung”. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 berbunyi : 1. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang. 2. Mahkamah Agung menyatakan tidak sah Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang atas alasan bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. 3. Putusan mengenai tidak sahnya Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. 4. Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 5. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Pasal 31A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 berbunyi : 1. Permohonan pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan secara langsung oleh pemohon atas kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
2. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat : a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa : 1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Peraturan Perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2) pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku c. hal-hal yang diminta untuk diputus. 3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak mempunyai syarat, amar putusan menyatakan tidak dapat diterima. 4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. 5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Peraturan Perundang-undangan yang bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. 6. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan pemohon ditolak.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung. Dalam rangka untuk pelaksanaan dan penerapan hak uji materiil, Mahkamah Agung telah beberapa kali mengeluatkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Tentang Penerapan Pelaksanaan Hak Uji Materiil, yaitu Perma Nomor 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil, Perma Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil dan Perma Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Meskipun telah berulangkali Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang pelaksanaan Hak Uji Materiil, namun berdasarkan perkembangan yang terjadi dalam praktek, Peraturan Mahkamah Agung tersebut dianggap masih kurang memadai karena dalam Perma tersebut tidak mengatur secara detail tentang prosedur beracaranya, misalnya apakah proses pemeriksaannya harus dihadiri oleh pihak pemohon dan termohon, tenggang waktu untuk mengajukan Hak Uji Materiil adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak Peraturan Perundangundangan tersebut di undangkan. Penentuan tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari ini oleh pihak yang merasa dirugikan atas penerbitan Perundangundangan tersebut dianggap membatasi hak-haknya, padahal kemungkinan alasan untuk mengajukan Hak Uji Materiil sangat beralasan. Perkembangan permohonan Hak Uji Materiil terhadap Perda sejak berlakunya otonomi daerah di Mahkamah Agung cukup banyak dengan berbagai alasan, ada yang mengatakan Perda tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga ada Perda satu daerah dengan Perda
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
daerah lain saling bertentangan, sehingga apabila permohonan untuk Hak Uji Materiil terhadap kasus tersebut, apakah Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa kasus Hak Uji Materiil, dan apakah indikator atau tolak ukur untuk menyatakan suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah inkonstitusional. Apabila suatu kasus permohonan Hak Uji Materiil yang diajukan telah melebihi tenggang waktu yang ditetapkan Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari, dan ternyata dasar alasan pemohon sangat mendasar apakah Mahkamah Agung masih dapat menyatakan Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tersebut konstitusional. Adapun perkembangan permohonan hak uji materiil terhadap Perda di Mahkamah Agung dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2
Perkembangan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Perda di Mahkamah Agung 318 Tahun 2003-2007 No
Tahun
Jumlah Perkara
1
2003
1 perkara
2
2004
3 perkara
3
2005
3 perkara
4
2006
18 perkara
5
2007
3 perkara
Sumber : Makalah Hak Uji Materiil Imam Soebechi, SH, MH (Hakim Agung)
318
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, disampaikan dalam Seminar Nasional Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah Dalam tertib Pembentukan Peraturan Daerah, 19-20 November 2007.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pengajuan permohonan Hak Uji Materiil terhadap Perda tersebut diatas ada yang secara langsung mengajukan untuk diajukan ke Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu Perda tersebut dibatalkan oleh Pemerintah, tetapi sebagian permohonan Hak Uji Materiil tersebut terjadi akibat adanya pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah. Sewaktu pembahasan amandemen ketiga UUD 1945 khususnya pembahasan mengenai kewenangan Hak Uji Materiil Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR ada 2 (dua) pendapat. Pendapat pertama menyatakan mengenai kewenangan Hak Uji Materiil sebaiknya berada di Mahkamah Agung. Pendapat kedua menyatakan kewenangan Hak Uji Materiil sebaiknya berada di Mahkamah Konstitusi, dengan alasan tugas-tugas Mahkamah Agung sangat banyak dan tunggakan perkara setiap tahunnya cukup besar. Keputusan politik Amandemen ketiga UUD 1945 memutuskan adanya 2 (dua) Mahkamah yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung selain berwenang untuk memeriksa perkara kasasi juga masih diberi kewenangan untuk memeriksa sengketa Hak Uji Materiil. Mahkamah Konstitusi mempunya kewenangan untuk menguji suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945. Adapun landasan pemikiran penyelesaian Hak Uji Materiil pada pokoknya mendasari kepada antara lain 319 : 319
Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Bekerjasama Dengan UNDP, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, (Jakarta Selatan: Cappler Project, 2008), hlm. iv-8.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
1. Hak Uji Materiil diletakkan di atas landasan to exercise control the government act yakni secara konstitusional diberikan kewenangan kepada Kekuasaan Kehakiman melalui Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan atas kegiatan Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa agar masyarakat terhindar dari Peraturan Perundang-undangan yang inkonstitusional. 2. Pemberian kewenangan untuk menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang adalah masih dalam kerangka konstitusi, hal ini tidak dianggap sebagai intervensi terhadap kedaulatan legislatif (legislative sovereignity) maupun terhadap kekuasaan eksekutif dalam kewenangannya melaksanakan fungsi delegated legislation oleh kekuasaan yudikatif (judicial power). 3. Mekanisme penerapan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Perundang-undangan yang bercorak inkonstitusional didasarkan pada asas lex superiori derogat lex inferior. Penerapan asas inkonstitusional dilakukan dengan jalan menguji dan meneliti apakah suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi landasan pendelegasian Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah, yang menjadi objek Hak Uji Materiil. Bila ternyata Peraturan Perundangundangan yang diuji tersebut mengandung pertentangan yang bersifat inkonstitusional terhadap Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan
Perundang-undangan
tersebut
dinyatakan
invalidated,
dan
memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk mencabutnya dari tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
4. Makna inkonstitusional dalam proses Hak Uji Materiil, tidak boleh diartikan dalam arti sempit, tetapi harus diproyeksikan dalam arti luas yang diformulasikan dalam terminus foundamental law atau natural justice. Suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah layak dan beralasan untuk dinyatakan invalidated oleh Mahkamah Agung apabila Peraturan Perundang-undangan itu mengandung isi dan jiwa yang bertentangan dengan foundamental law atau natural justice. Pengertian foundamental law atau natural justice dalam kerangka Hak Uji Materiil baik secara umum dan kasuistik tetap pada permasalahan pokok apakah penerapan dan pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah itu : a.
mempunyai landasan filosofis, sosiologis;
b. mematikan hak perdata seseorang; c.
melanggar hak asasi perorangan atau anggota masyarakat;
d. melanggar prinsip-prinsip demokratis dan egalitarian; e.
mengandung praktek diskriminasi;
f.
penerbitannya tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
5. Permohonan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung harus diterapkan berdasarkan asas reasonableness, tidak boleh dipergunakan untuk menghambat kebijakan kepentingan umum demi mencapai suatu harapan kepada negara untuk mengatur urusan kesejahteraan masyarakat.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pengaturan Hak Uji Materiil dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sangat sedikit sekali, Pasal tersebut hanya mengatur tentang : 1. Tolak ukur untuk menilai atau menguji suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang, yaitu dengan cara : a. Peraturan Perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. b. Prosedur
pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
tersebut
tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku. 2. Tata cara/prosedur pengajuan Hak Uji Materiil dilakukan melalui : a. Permohonan yang diajukan secara langsung kepada Makamah Agung. b. Pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi, tidak secara rinci mengatur sebagaimana disebutka diatas. 3. Amar putusan dapat berupa : a. Permohonan tidak dapat diterima. b. Permohonan dikabulkan. c. Apabila permohonan dikabulkan, putusan tersebut harus dimuat dalam Lembaran Berita Negara. Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan-perbedaan pengujian Perda oleh lembaga eksekutif dan yudikatif tersebut maka berikut ini Penulis akan menggambarkan perbedaan pengujian Perda antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah pada tabel di bawah ini yaitu :
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Tabel 3 No
Perbedaan Pengujian Perda antara Mahkamah Agung dan Pemerintah 320 Mahkamah Agung Pemerintah Kategori (Judicial Review) (Executive Review)
1.
Bentuk Review
Permohonan Keberatan
2
Lembaga yang melakukan Review
Mahkamah Agung
3
Sifat kewenangan lembaga yang melakukan Review
Bersifat Pasif yaitu menunggu datangnya permohonan dari pemohon Review.
4
Kapasitas Lembaga dalam melakukan Review
5
Dasar Hukum kewenangan Review
Menyelesaikan sengketa peraturan perundang-undangan yang timbul di bawah undang-undang terhadap undang-undang (konflik norma). 1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. 2. Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 3. Pasal 31 ayat (1) sampai ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. 4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 yang sudah diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil
6
Standar Review
1. Pengawasan preventif Perda oleh Pemerintah Pusat terhadap Ranperda yang bermuatan APBD, Pajak dan Retribusi Daerah serta Tata Ruang. 2. Pengawasan represif Perda oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Departemen Dalam Negeri dibantu oleh : 1. Departemen Keuangan 2. Departemen Pekerjaan Umum 3. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Bersifat Aktif yaitu melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap seluruh Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintah Daerah. 1. Pasal 114 ayat (1) sampai ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemda. 2. Pasal 145 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) jo Pasal 136 ayat (4) jo Pasal 218 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemda.
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
320
http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/yance.arizona.pdf, diakses pada tanggal
15 Juni 2009.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Lanjutan Tabel 3 No
Kategori
7
Waktu Review
8
Waktu Eksekusi
9
Bentuk Hukum Pembatalan Upaya Hukum
10
Makamah Agung (Judicial Review) 2. Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Permohonan Keberatan paling lambat diajukan ke MA setelah 180 (seratus delapan puluh) hari pengundangan Perda. Tetapi tidak diatur berapa lama proses review harus diselesaikan oleh MA.
Pemerintah (Executive Review)
Paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan yang mengabulkan permohonan keberatan Perda, Perda harus dicabut oleh DPRD bersama Kepala Daerah. Putusan Mahkamah Agung
1. Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. 2. Bila Perda dibatalkan, maka Peraturan Presiden pembatalan harus sudah ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkannya pembatalan Perda, Kepala Daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda, selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda tersebut. Peraturan Presiden
Tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).
Mengajukan keberatan Mahkamah Agung,
pada
Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat perbedaan pengujian Perda antara Mahkamah Agung dan Pemerintah. Ada 10 (sepuluh) kategori yang berbeda dalam pengujian Perda antara Mahkamah Agung dan Pemerintah, yaitu dari bentuk Review hingga Upaya Hukum yang dilakukan akibat dibatalkannya suatu Perda. Standar pengujian Perda yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut berbeda, bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka Pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
BAB IV AKIBAT HUKUM PENGUJIAN PERDA OLEH LEMBAGA EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF
A. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Ketentuan tentang pengawasan Pemerintah terhadap Perda terdapat dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang juga mengatur tentang konsekuensi hukum dari pelaksanaan pengawasan Pemerintah, dalam Pasal 145 disebutkan bahwa : (1) Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. (3) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku. Ketentuan di atas telah disebutkan bahwa yang berhak mengawasi Perda adalah Pemerintah, karenanya semua pengawasan terhadap Perda baik di daerah provinsi, kabupaten dan kota dilakukan oleh Pemerintah. Karena itu semua Perda yang dibuat oleh daerah setelah diundangkan langsung diserahkan ke Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Hal ini termasuk juga dengan Perda yang dibuat oleh Kabupaten/Kota. Dengan demikian, akibat hukum dari pengawasan Pemerintah terhadap Perda adalah bahwa Pemerintah dapat membatalkan Perda yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, atau peraturan yang lebih tinggi dan atau peraturan perundang-undangan lainnya (Pasal 145 ayat (2)). Berdasarkan ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di atas, terlihat bahwa akibat hukum dari pengawasan pemerintah terhadap
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Perda adalah berupa pembatalan Perda. Menurut Bapak Ferlin Nainggolan (Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara) indikator dari pembatalan Perda tersebut adalah 321 : 1. Apabila bertentangan dengan kepentingan umum; 2. Apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; 3. Apabila bertentangan dengan peraturan daerah lainnya. Namun demikian, Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat mengajukan keberatan terhadap pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai akibat hukum dari pengawasan Perda. Dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa daerah dapat mengajukan keberatan atas pembatalan itu kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada Pemerintah. Sedangkan menurut hasil penelitian dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tentang analisis produk hukum daerah yang dibuat oleh daerah dengan melakukan identifikasi kebermasalahan yang terdapat dalam Perda yang kemudian dijadikan acuan untuk melihat apakah sebuah Perda masuk dalam kategori tidak bermasalah atau bermasalah, 322 bahwa ada 3 (tiga) kriteria
321
Hasil wawancara dengan Bapak Ferlin Nainggolan, Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 8 Juni 2009. 322 KPPOD-PEG USAID, Laporan Program Review Perda, Kajian Perda, Jakarta, Agustus 2002, hlm. 3.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
kebermasalahan yang dijadikan acuan dalam menganalisis suatu Perda, kriteria kebermasalahan tersebut meliputi 323 : 1. Kriteria Kebermasalahan Yuridis a. Relevansi acuan yuridis (Apakah acuan yuridis yang digunakan relevan dengan substansi Perda). b. Up to date acuan yuridis (Apakah acuan yuridis yang digunakan masih berlaku). c. Kelengkapan yuridis formal (Apakah telah melengkapi kelengkapan yuridis formal). 2. Kriteria kebermasalahan Substansi a. Diskoneksi antara tujuan dan isi Perda b. Kejelasan Obyek Perda c. Kejelasan Subyek Perda d. Tidak diatur atau tidak ada kejelasan hak dan kewajiban e. Kejelasan prosedur dan birokrasi (misalnya : standar dan atau batasan waktu pelayanan serta tarif). f. Kesesuaian filosofi dan prinsip pungutan telah sesuai (Pajak, Retribusi, Golongan Retribusi).
323
Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
3. Kriteria kebermasalahan prinsip a. Berpotensi bertentangan dengan prinsip keutuhan wilayah ekonomi nasional (berpotensi menyebabkan hambatan lalu lintas distribusi barang atau jasa baik yang bersifat tarif maupun non tarif sehingga bertentangan dengan prinsip free internal trade). b. Berpotensi menyebabkan munculnya persaingan yang tidak sehat (monopoli, oligopoli, kemitraan wajib, dll). c. Berdampak negatif terhadap perekonomian (menyebabkan ekonomi biaya tinggi, double taxation, beban berat pada masyarakat atau dunia usaha). d. Berpotensi menghalangi atau mengurangi akses masyarakat (bertentangan dengan prinsip keadilan dan pelangaran terhadap kepentingan umum). e. Merupakan suatu bentuk pelanggaran kewenangan pemerintahan. Kemudian, tidak tertibnya evaluasi Perda oleh Pemerintah Pusat bermula dari tidak lengkap dan segeranya Perda disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah
Pusat
setelah
Perda
disahkan
di
daerah.
Tidak
tertibnya
pendokumentasian Perda ini terjadi karena 3 (tiga), yaitu 324 : a.
Ketidaktahuan Pemerintah Daerah bahwa ada kewajiban mereka untuk menyerahkan Perda kepada Pemerintah Pusat.
b.
Keengganan Pemerintah Daerah menyerahkan Perda kepada Pemerintah Pusat karena tidak adanya sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkannya.
324
Departemen Hukum dan HAM RI Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Bekerjasama Dengan UNDP, Panduan Praktis .........................Op.Cit., hlm. iv-10.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
c.
Untuk menghindari sanksi berupa pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat karena bila Perda tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi oleh Pemerintah Pusat maka Perda tersebut akan dibatalkan. Sementara tiga penyebab tidak lengkapnya pendokumentasian Perda yang
disebutkan di atas cenderung menyalahkan Pemerintah Daerah, padahal pada Pemerintah Pusat sebenarnya ada beberapa hal yang perlu menjadi sorotan dalam melakukan pendokumentasian dan evaluasi Perda, diantaranya 325 : a) tidak adanya mekanisme yang sederhana dalam pengumpulan Perda, misalnya penyampaian Perda, status evaluasi Perda dan database Perda secara elektronik yang dapat diakses oleh banyak pihak; b) efisiensi waktu dalam melakukan evaluasi Perda, sehingga Perda yang telah disampaikan kepada Pemerintah Pusat dapat segera diketahui hasil evaluasinya oleh Pemerintah Daerah. Keterlambatan penyampaian hasil evaluasi Perda ini menunjukkan bahwa kompetensi Pemerintah Pusat dalam melakukan evaluasi Perda perlu masih lemah. Standar pengujian Perda oleh pemerintah berbeda dengan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah melakukan pengujian Perda dilakukan dengan 325
Ibid..
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
standar yang lebih luas. 326 Dikatakan lebih luas karena pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum. 327 Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis. Sehingga pengujian terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan ‘bertentangan dengan kepentingan umum’ dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.” Namun hal itu adalah bahasa peraturan yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat. Bertentangan dengan kepentingan umum menjadi standar yang longgar yang ditafsirkan berdasarkan kekuasaan penafsir. Maka tidak jarang tafsir kepentingan umum lebih mewakili tafsir penguasa. Orientasi kekuasaanlah terkadang yang mewakili kepentingan umum.
326
Standar pengujian Perda oleh pemerintah dikatakan lebih luas karena memasukkan aspek kepentingan umum sebagai salah satu standar pengujian. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah dalam menguji Perda tidak hanya dalam rangka menyelesaikan sengketa antara Perda dengan peraturan yang lebih tinggi, tetapi juga menguji apakah suatu Perda menimbulkan masalah dimasyarakat karena bertentangan dengan kepentingan umum. 327 Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah menyatakan: “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.”
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Hal ini dapat dilihat dimana ketika tidak terjadi gejolak atau penolakan terhadap berlakunya suatu Perda di masyarakat juga dapat dibatalkan oleh pemerintah atas dasar bertentangan dengan kepentingan umum. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu Perda dianggap menimbulkan masalah oleh masyarakat dapat saja tidak dibatalkan oleh pemerintah bila Perda tersebut sesuai dengan tafsir kekuasaan pemerintah. Sehingga tertib peraturan perundang-undangan yang diupayakan lewat pengujian Perda belum tentu berkontribusi kepada tertib sosial. Satu lagi hal yang paling janggal dalam pengujian Perda oleh pemerintah adalah soal bentuk hukum pembatalan Perda. Bentuk hukum pembatalan Perda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Peraturan Presiden. Namun dalam praktiknya, Pembatalan Perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Dengan demikian, pembatalan Perda melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Perda harus dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Lagi pula sangat janggal karena Perda yang masuk dalam rumpun regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking. Setidaknya, Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Perda tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Perda oleh pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Peraturan Presiden baru kemudian ditindaklanjuti dengan pembatalan atau perubahan Perda oleh Pemerintah Daerah.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Mengapa pembatalan Perda tidak cukup dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri, bukankah Menteri Dalam Negeri bagian dari pemerintah, sehingga lebih efektif jika pembatalan itu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri?. Pendapat seperti ini pada dasarnya masih dipengaruhi oleh Undang-Undang Pemerintah Daerah yang lama (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999), sebab dalam undang-undang tersebut memang tidak menyebutkan secara tegas tentang instrumen hukum pembatalan Perda. Di sana hanya disebutkan bahwa pemerintah dapat membatalkan Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. 328 Akan tetapi, syarat dan mekanisme pembatalan Perda dewasa ini harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana ditegaskan bahwa pembatalan Perda harus menggunakan instrumen hukum Peraturan Presiden. Oleh karena itu, keberadaan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Perda merupakan penggunaan kewenangan yang tidak pada tempatnya (ultra vires). Seharusnya keputusan pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku. Namun meskipun secara peraturan perundang-undangan pembatalan Perda dalam bentuk Keputusan 328
Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan : Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Menteri Dalam Negeri merupakan kekeliruan hukum, Pemerintah Daerah cenderung mematuhi Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut meskipun sebenarnya dapat melakukan upaya hukum pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung. 329 Dapat diduga tidak adanya respons atas kekeliruan hukum pembatalan Perda terjadi karena: a) ketidaktahuan pemerintah daerah tentang instrumen pembatalan Perda yang seharusnya adalah Peraturan Presiden. Hal ini terjadi karena Pemerintah Daerah masih memegang ukuran peraturan lama (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) yang tidak menyebut secara eksplisit bentuk hukum pembatalan Perda, padahal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah secara tegas menyatakan bahwa bentuk hukum pembatalan Perda dilakukan melalui Peraturan Presiden; b) ketidakacuhan Pemerintah Daerah tentang bentuk instrumen pembatalan hukum Perda, karena yang membatalkan Perda adalah Pemerintah Pusat; atau c) ketidakmauan Pemerintah Daerah melakukan upaya hukum pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung karena objek
sengketa
(Perda
yang
dibatalkan)
tidak
begitu
signifikan
dalam
penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Hal ini adalah kecenderungan yang paling mungkin karena besarnya biaya dan ketidakpastian proses yang akan dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menguji Perda. Karena Mahkamah Agung masih dipandang sebagai lembaga yang penuh ketidakpastian.
329
Pasal 145 ayat (4) UU Pemda menyebutkan “Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda ... dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.”
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
B. Akibat Hukum Pengujian Perda Oleh Lembaga Yudikatif Mencermati perkembangan penerimaan publik terhadap substansi produk hukum yang dihasilkan dalam beberapa waktu terakhir, judicial review menjadi pilihan yang tidak mungkin dihindarkan untuk ‘mengkoreksi’ kesalahan yang mungkin terjadi dalam sebuah produk hukum. Bahkan bagi banyak kalangan, pengajuan uji materil menjadi kebutuhan yang mendesak. Kecenderungan ke arah ini dapat dilihat dari keinginan beberapa kelompok masyarakat untuk mengajukan permohonan dan gugatan uji materiil Perda yang mereka nilai mengandung kontroversial kepada Mahakamah Agung. Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asasasas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau hukum acara sengketa dan “non-contentieus procesrecht” atau hukum acara non-sengketa. 330 Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan). Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial review seharusnya juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah 331 :
330
Dian Rositawati, Judicial Review (Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara), (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 12. 331 Ibid.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
a. Asas Praduga Rechtmatig Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi perkara (misalnya Perda yang akan diajukan judicial review) harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan suatu peraturan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang (Mahkamah Agung) ke depan. b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes) Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja, tidak hanya para pihak yang berperkara. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah kelompok masyarakat atau perorangan. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut kelompok masyarakat atau perorangan yang dimaksud dalam Peraturan ini seperti apa. Yang seharusnya dapat
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian Perda adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya Perda mengikat semua orang di wilayah hukum daerah Perda tersebut. Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu Perda. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk. Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil
maka
perlu
diperhatikan
bahwa
yang
berhak
mengajukan
permohonan/gugatan adalah kelompok masyarakat yang 332 : 1. Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu. 2. Dalam Anggaran Dasarnya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh perundang-undangan. 3. Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya. 4. Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang oleh perundang-undangan yang bersangkutan. 332
Ibid., hlm. 13-14.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Pada bagian sebelumnya juga sudah disampaikan bawah kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian Perda lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam hal itu, maka Mahkamah Agung adalah lembaga yang diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk peraturan perundang-undangan, misalkan Perda. Dalam menjalankan fungsi itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menanti datangnya permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah. Ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah dengan menjawab pertanyaan, apakah suatu Perda: a) bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
tinggi;
dan/atau
b)
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Bila satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang di atasnya maka akibat hukum yang terjadi terhadap Perda tersebut adalah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam tinjauan normatif dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 ditemukan bahwa Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah undangundang lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling lambat sebelum 180 (seratus delapan puluh) hari setelah
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
pengundangan peraturan tersebut. 333 Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah dikemudian hari setelah 180 (seratus delapan puluh) hari yang dibatasi oleh Mahkamah Agung tersebut. Tidak jelas benar dari mana asal muasal batas waktu 180 (seratus delapan puluh) hari tersebut, dan mengapa tidak lebih cepat atau lebih lambat dari 180 (seratus delapan puluh) hari juga tidak ada seleksi waktu yang dapat dimengerti secara rasional, karena bila syarat untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap berlakunya suatu Perda adalah anggapan kerugian publik dari pemohon, maka potensi kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya. Bisa saja, misalnya Perda yang sudah berlaku selama satu tahun dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat, kemudian dua atau tiga tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya Perda tersebut baru menimbulkan masalah sosial, sehingga bila hal tersebut terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan permohonan karena dipangkas oleh aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak. 334 Salah satu kelemahan lagi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil oleh Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan, termasuk Perda, oleh 333
Lihat Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak
Uji Materiil. 334
Peraturan Mahkamah Agung adalah aturan yang dibuat sendiri oleh Mahkamah Agung untuk menjadi pedoman pelaksanaan fungsi kelembagaan. Pembentukan Perma lepas dari partisipasi publik, sehingga kemudian ada dorongan agar peraturan tentang hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung seharusnya dibentuk dalam wujud Undang-undang supaya publik dapat terlibat dalam mempengaruhi perumusannya.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu proses itu sangat ironis mengingat dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut Mahkamah Agung malah membatasi waktu hak warganegara untuk menyampaikan permohonan keberatan. Ketiadaan batas waktu pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 juga tidak merumuskan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian oleh Mahkamah Agung. Dari rumusan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 sendiri sudah nampak bahwa Mahkamah Agung masih bersifat tertutup, padalah objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait dengan kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di masyarakat. 335 Dengan adanya dualisme terhadap hal pengujian Perda yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat menimbulkan ketidakpastian, siapakah yang berhak memutuskan kata akhir, apakah pengujian secara yudisial ataukah pengujian secara non yudisial. Untuk menjawab hal tersebut di atas oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskannya di dalam Pasal 145 ayat (6) : 335
Hasil wawancara dengan Bapak Ferlin Nainggolan, Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 8 Juni 2009.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
“Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum”. Jadi disini jelaslah bahwa upaya terakhir dari pengajuan keberatan yang dilakukan daerah terletak di tangan Mahkamah Agung, hal ini menggambarkan bahwa walaupun Pemerintah dapat menguji Perda tetapi ketentuan akhir tetap dipegang oleh hukum dalam hal ini oleh Mahkamah Agung.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis ini, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 6. Mekanisme pelaksanaan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanyalah bersifat represif saja, yaitu pengawasan yang hanya dilakukan bila suatu Perda telah diundangkan. Namun dalam pelaksanaannya ternyata pengawasan yang bersifat represif punya kelemahan, hal ini terlihat dari banyaknya Perda yang dibatalkan terutama Perda yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Oleh karena itu, di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Perda tidak hanya bersifat represif saja tetapi juga bersifat preventif. Bentuk pengawasan preventif ini selain dalam hal mengesahkan atau membatalkan Perda juga dalam hal pemberian bimbingan, petunjuk dan rambu-rambu sehingga daerah dapat menghasilkan Perda yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik Pemerintah maupun masyarakat. 7. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perda semenjak awal kemerdekaan hingga sekarang adalah : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
18 Tahun 1965. Kemudian pernah berlaku TAP MPR Nomor XXI Tahun 1966 mengamanatkan otonomi yang seluas-luasnya di mana asas melalui undangundang organik untuk pelaksanaannya. Kemudian setelah terbit TAP MPR yang menganut otonomi yang nyata dan bertanggung jawab yakni TAP MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN, berdasarkan garis politik yang demikian, keluarlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah yang berlaku sampai tahun 1999, dan undang-undang ini pula menjadi sasaran analisis dan sorotan politik dalam era reformasi politik dan pemerintah, yang akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, disusul kemudian oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 8. Pengujian Perda yang dilakukan oleh Pemerintah dilakukan dengan standar yang lebih luas. Dikatakan lebih luas karena Pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum. Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis. Sehingga pengujian terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Akibat hukum dari pengujian terhadap Perda adalah berupa pembatalan Perda. Adapun indikator dalam pembatalan Perda itu adalah: 1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum; dan 2) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi. Sementara ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah dengan menjawab pertanyaan, apakah suatu Perda itu bertentangan dengan
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
B. Saran Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis ini, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut : 1. Seharusnya pembatalan Perda tidak cukup dengan menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri, walaupun Menteri Dalam Negeri bagian dari pemerintah. Akan tetapi, syarat dan mekanisme pembatalan Perda dewasa ini harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana ditegaskan bahwa pembatalan Perda harus menggunakan instrumen hukum Peraturan Presiden. Oleh karena itu, keberadaan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Perda merupakan penggunaan kewenangan yang tidak pada tempatnya (ultra vires). Seharusnya keputusan pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku. Namun meskipun secara peraturan perundang-undangan pembatalan Perda dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri merupakan kekeliruan hukum, Pemerintah Daerah cenderung mematuhi Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut meskipun sebenarnya dapat melakukan upaya hukum pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung. 2. Hendaknya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan diatur secara jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu proses itu sangat ironis mengingat dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut Mahkamah Agung malah membatasi waktu hak warganegara untuk menyampaikan permohonan keberatan. Ketiadaan batas waktu pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagi Suatu Alternatif, Jakarta: Rajawali Press, 1999. Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1985. Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. ______________, Konsolidasi Naskah UUD 1945, Jakarta: Yarsif Watampone, 2003. ______________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. ______________, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cetakan I, Jakarta: Ind Hill-Co., 1997. ______________, Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad Globalisasi, Cetakan I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998. ______________, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI-Press, 1996. ______________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Alder, John, Constitutional and Administrative Law, London: MacMillan Professional Masters, 1989. Barron, Jerome A., and C. Thomas S., Constitutional Law, St. Paul: Menn-West Publishing Co., 1986. Bradley, A.W., “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey th Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4 edition, Oxford: Oxford University Press, 2000. Brightman, Lord, Constitutional and Administrative Law, London: Blackstone Press Ltd., 1993.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Bohari, Pengawasan Keuangan Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Budiardjo, Miriam, Masalah Kenegaraan, Cetakan III, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1980. _______________, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. Darumurti, Krishna D dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah, Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Bekerjasama Dengan UNDP, “Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah”, Jakarta Selatan: Cappler Project, 2008. th
Dicey, A.V., An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10 edition, London: English Language Book Society and MacMillan, 1971. Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005. Friedmann, Wolfgang, Legal Theory, London: Steven & Son Limited, 1960. Hadjon, Philipus M., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994. Handoyo, B. Hestu Cipto Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008. Huda, Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusa Media, 2009. Indrati. S, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007. J.A., Denny, Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asian Foundation, 1989. Joeniarto, R., Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bandung: Alumni, 1982.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Kaelan, M.S., Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta: Paradigma, 2005. Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, New York: Russel and Russel, 1961. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1976. Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Locke, John, Two Treatises of Government, New Edition, London: Everyman, 1993. Lotulung, P. Effendi, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Jakarta: Bhuana Pancakarsa, 1986. Lubis, Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994. Manan, Bagir, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993. ___________, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002. ___________, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, Yogyakarta: FH UII Press, 2004. ___________, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. ___________, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, Bandung: LPPM Unisba, 1995. McIlwain, C.H., Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974. McIver, Robert M., The Modern State, Oxford: Oxford University Press, 1950. Modoeng, Supardan, Teori dan Praktek Penyusunan Perundang-undangan Tingkat Daerah, Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 2001.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Mohl, Robert, Two Concepts of The Rule of Law, Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973. Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang (The Spirit of the Laws), Jakarta: Gramedia, 1993. Muslimin, Amrah Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1978. Nawiasky, Hans, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948. Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Bina Aksara, 1988. Panggabean, Henry P., Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2001. Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1984. Rositawati, Dian, Judicial Review (Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara), Jakarta: ELSAM, 2005. Siagian, S.P., Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, 1986. th
Sir Ivor Jennings, The Law and The Constitution, 4 edition, London: The English Language Book Society, 1976. Situmorang, Victor M dan Jusuf Juhir, Aspek Pengawasan Melekat, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Soejito, Irawan, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Jakarta: Bina Aksara, 1983. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Soemantri M., Sri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Strong, C.F., Modern Political Constitution, London: Sidwick & Jackson, 1973. Subekti, R., Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bandung: Alumni, 1992. Suhino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Yogyakarta: Liberty, 1995. Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Sunaryati Hartono, C.F.G., Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994. Sunindhia, Y.W., Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Bina Aksara: Jakarta, 1987. Suny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Cetakan IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985. Syafrudin, Ateng, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bandung: Bina Cipta, 1985. Syarief, Amiroeddin dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundangundangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998. Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cetakan I, Yogyakarta: Liberty, 1993. Wahjono, Padmo, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1989. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan UUD 1945, Jakarta: Yayasan Prapantja, 1959.
B. Makalah/Tesis/Disertasi/Karya Ilmiah Astawa, I Gede Pantja, “Kajian Atas Peraturan Daerah Dalam Perspektif Hukum Pemerintahan Daerah dan Hukum Perundang-undangan”, Makalah Bandung 20 Februari 2002. Asshiddiqie, Jimly, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998. _______________, “Judicial Review : Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Hukum Tata Negara”, Makalah Pada Diklat Suncang Departemen Hukum dan HAM RI, Cinere-Jakarta, 2008.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Attamimi, A. Hamid A., ”Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV”, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. Basah, Sjahran, “Permasalahan Arti Kepentingan Umum”, Pro Justitia, Majalah Fakulktas Hukum-Universitas Parahyangan, Bandung, Nomor 18 Bulan Juni 1983. Biro Hukum Departemen Dalam Negeri, Kepala Bagian Pengkajian dan Evaluasi Produk Hukum, “Mekanisme Pengawasan Perda dan Ranperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”, Makalah, 2005. Fallon, Richard H. Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997. Lubis, Solly Makalah “Membedah Kinerja Dewan Legislatif Aceh Utara (Tinjauan Yuridis Ketatanegaraan)”, Tanggal 7 Januari 2003. Mahendra, A.A. Oka “Harmonisasi dan Sinkronisasi RUU Dalam Rangka Pemantapan dan Pembulatan Konsepsi”, Makalah Dalam Workshop Pemahaman Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Yogyakarta, Oktober 2005. Mahfud MD, Moh., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”, Makalah Disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, di Mercure Accor Hotel Jakarta pada tanggal 29-31 Mei 2006. Manan, Bagir, “Komitmen Pembangunan Hukum”, Makalah Pada Law Summit II, Jakarta, 2002. ___________, “Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia”, Diktat Mata Kuliah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994. Marzuki, M. Laica, “Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor 1, Maret 2007. Sekretariat Jenderal MPR Republik Indonesia, Makalah Persandingan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2002.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Siallagan, Haposan, “Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah”, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007. South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, ”The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age”, Bangkok: International Commission of Jurist, 1965. USAID, KPPOD-PEG, Laporan, “Program Review Perda, Kajian Perda”, Jakarta, Agustus 2002. Wahiduddin Adams, “Perbandingan dan Hierarki Qanun, Perdasi, Perdasus dan Perda Dalam Sistem Hukum Nasional”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 1, Nomor 2 Bulan September 2004, Jakarta, 2004. Wahjono, Padmo, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.
C. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4090. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839.
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2009. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 Tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil. Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Hak Uji Materiil. Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil. Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan.
D. Internet http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/yance.arizona.pdf
Rudy Hendra Pakpahan : Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif Dan Yudikatif, 2009