Kembalinya Unsur Agama ke dalam Hukum Perkawinan di Indonesia
MEREPOSISI HUBUNGAN YUDIKATIF DENGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM KONTEKS AMANDEMEN UUD 1945 Abdul Bari Azed, S.H.,M.H.
Semangat reformasi telah melahirkan tuntutan pembaharuan dalam hubungan yudikatif dengan eksekutif di satu pihak dan yudikatif dengan legislali! Reposisi hubungan tersebut diharapkan dapa! melahirkan suatu kekuasaan kehakiman yang independen. Pembenahan keberadaan kekuasaan yudikatif ini dikaitkan dengan kebutuhan pembenahan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu, antara lain UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, dan UU Peradilan Umum.
Reposisi hubungan antara lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif dan legislatif menjadi salah satu agenda dalam pembahasan amandemen UUD 1945. Kebutuhan melakukan reposisi tersebut sejalan dengan agenda reformasi politik dan hukum sebagaimana gencargencarnya diteriakan oleh para mahasiswa. Reposisi hubungan yudikatif dengan eksekutif dan legislatif juga menjadi agenda keprihatinan di kalangan akademisi dan praktisi hukum. I Mereka menghendaki agar reposisi hubungan antara lembaga yudikatif dengan eksekutif dan legislatif akan memperkuat tuntutan bagi kemandirian kekuasaan kehakiman. Reposisi hubungan antara lembaga yudikatif dengan eksekutif terutama dikaitkan dengan perjuangan bagi kemandirian kekuasaan kehakiman -' Sejak masa Pemerintahan Presiden Soekarno dan Pemerintahan Presiden Soeharto kekuasaan kehakiman dikebiri melalui mekanisme Laporan Penelitian PMB-LIPI, Jakarta , 28 Maret 200 I. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasan legislatif. baca Benny K. Harman, Konjigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Jakarta: Eisam, 1997) Baca juga Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: Fifty Years of Judicial I
2
development (Leiden: van Vollenhoven Institute for Law and Adminstration in NonWestern Countries, Faculty of Law, Leiden University, disertasi. 1996).
Nomor 1 Tahun XXXi
2
Hukum dan Pembangunan
melegalkan intervensi kekuasaan eksekutif terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman dilegalkan melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pada masa Pemerintahan Soeharto. Dualisme administrasi peradilan telah mengebiri kemandirian kekuasaan kehakiman. Baik di bawah pemerintahan Soekarno melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 dan juga pemerintahan Soeharto melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 telah menempatkan kekuasaan kehakiman di bawah subordinasi atau setidaknya di bawah pengaruh kekuasaan eksekutif. Dalam konteks pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri , maka penyerahan administrasi peradilan kepada Mahkamah Agung tidak saja akan lebih memudahkan pengawasan internal terhadap hakim-hakim bawahan, tetapi juga akan lebih terencana pelaksanaan rekruitmen hakim, promosi dan mutasi hakim. DuaJisme kekuasaan kehakiman memang telah dikoreksi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. yang mengoreksi Pasal 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagai payung hukum bagi dualisme administrasi peradilan. Namun. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 mensyaratkan periode transisi selama lima tahun untuk menempatkan segenap urusan administrasi pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Rekruitmen Hakim Agung dan Pimpinan MA
Pembahasan reposisi hubungan lembaga yudikatif dengan legislatif terkait dengan proses rekruitmen hakim agung dan pimpinan Mahkamah Agung (MA). Proses rekruitmen terhadap hakim-hakim agung. Wakil Ketua MA dan Ketua MA telah dilaksanakan oleh DPR. Namun, pengangkatan Ketua MA belum terlaksana sampai saat ini, karena Presiden Abdurrahman Wahid menolak untuk menetapkan usulan DPR untuk memilih Prof. Dr. Muladi , SH atau Prof. Dr. Bagir Manan , SH sebagai Ketua MA. Penolakan presiden tersebut menimbulkan perdebatan tajam yang menyudutkan presiden karena dinilai telah menempatkan DPR sebagai subordinasi eksekutif. Karena itu, ada pemikiran bahwa seharusnya UUD yang baru nanti menetapkan presiden hanya mensahkan saja satu diantara dua calon Ketua MA atau Wakil Ketua MA yang diajukan oleh DPR. Pembahasan yang juga penting dilakukan adalah pemberian wewenang untuk mengurus administrasi pengadilan. di samping teknis
lanuari - Maret 2001
Kembalinya Unsur Agama ke dalam Hukum Perkawinan di Indonesia
3
peradilan, kepada Mahkamah Agung adalah sejalan dengan semangat yang dikandung dalam UUD 1945. Mahkamah Agung (MA) menjadi lembaga puncak dari pelaksana kekuasaan kehakiman. MA nantinya akan menjadi lembaga penentu dalam hal penyaringan calon-calon hakim , promosi dan mutasi hakim untuk pengadilan-pengadilan di tingkat bawahan MA. Untuk pengisian jabatan Hakim Agung , sejak tumbangnya Pemerintahan Soeharto telah diadakan pembaharuan yang radikal. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah melakukan penyaringan terhadap caloncalon hakim agung yang diusulkan oleh pemerintah. DPR juga kemudian menyaring dua cal on wakil ketua MA dan Ketua MA, dimana presiden dalam kedudukan sebagai kepala negara harus memilih satu di antara dua calon tersebut untuk masing-masing jabatan Ketua dan Wakil Ketua MA. Para nara sumber dalam penelitian LIPI menyatakan kesetujuannya terhadap mekanisme terhadap calon-calon hakim agung sebagaimana telah dilaksanakan di OPR. 3 Menurut mereka. penyaringan calon-calon hakim agung melalui fit and proper test akan lebih menjamin munculnya hakim-hakim agung yang memiliki integritas pribadi yang tinggi dan l11el11iliki latar belakang pengetahuan hukum yang memadai. Namun, para nara sumber juga menginginkan agar pemeriksaan kekayaan hakim agung tetap dilakukan di akhir tahun dan di akhir masa jabatannya. Hal ini untuk menghindarkan munculnya hakim-hakim yang korup di MA . Belum diputuskannya Ketua MA telah membawa pel11ikiran baru bahwa perlu ada Undang-undang yang secara tegas memberi batas kepada presiden untuk hanya memilih satu diantara dua calon Ketua dan Wakil Ketua MA yang diusulkan OPR. Bisa saja pengangkatan dan pemberhentian Ketua MA dimuat dalam UUO. Pengaturan pengangkatan dan pemberhentian Ketua MA dalam UUO sebagai upaya untuk l11enghindar dari praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse a/power) oleh presiden . Pembaruan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pembaruan undang-undang tersebut diharapkan akan memperbaiki kinerja MA dan lebih l11el11pertegas MA sebagai pelaksanaan tertinggi kekuasaan kehakiman yang independen. Undang-undang itu juga akan secara tegas mengatur status hakim agung sebagai pejabat negara dengan segenap hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh seorang pejabat negara. Dalam konteks hubungan antara MA dengan lembaga-Iel11baga tinggi negara lainnya, terutal11a OPR dan Presiden, perlu ada penegasan dalal11 UUD yang baru. UUO tersebut perlu l11engatur secara rinci
.' Laporan Penelitian PMB-LIPI , op cit., hal. I 12.
Nomor I Tahun XXXI
4
Hukum dan Pembangunan
mekanisme hubungan antara MA dengan OPR dengan Presiden. Hubungan tersebut dianggap penting untuk diatur dalam UUO sebagai upaya memberi batasan hukum bagi proses check and balance antar lembaga tinggi negara. Pelaksanaan Hak Uji Materiil Hak uji material atau judicial review juga menjadi bahasan penting dalam penelitian ini. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, hak uji material diberikan kepada MA melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Namun, kewenangan melakukanjudicial review hanya dapat dilakukan di tingkat MA setelah adanya permintaan dari masyarakat. Judicial review dilakukan hanya terhadap peraturan di tingkat undang-undang . Tidak dipungkiri juga bahwa adanya tuntutan perubahan yang mendasar terhadap hak uji material MA tersebut. Tuntutan-tuntutan hak uji material MA tidak lagi bersifat pasif menanti gugatan masyarakat, tetapi bersifat aktif. Kemudian, hak uji material tidak lagi dibatasi hanya pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, tetapi diperluas menjadi melingkupi undang-undang. Hanya saja. perubahan undang-undang tetap di tangan OPR. Mahkamah Agung diharapkan tidak lagi dalam posisi penonton. namun turun langsung dengan wewenang lebih besar. Selain memiliki hak judicial review, MA berhak memberi interpretasi final terhadap UUO dan produk UU lain. Wewenang tersebut membawa perubahan bahwa MA berhak menafsirkan UUD. Agar lebih terarah dan spesifik wewenang itu dapat diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Komite Yudisiil Komite Yustisial dianggap sebagai lembaga yang mampu untuk melakukan pengawasan terhadap putusan-putusan pengadilan. Namun , sekalipun demikian, lembaga tersebut tidak berada di atas MA. Keputusan lembaga tersebut hanya bersifat rekomendasi kepada MA. Komite Yustisial diharapkan dapat menampung pengaduan para pencari keadilan terhadap suatu putusan yang dianggap bertentangan dengan kepastian hukum dan rasa keadilan. Putusan yang dikeluarkan tersebut tidak akan diubah sekalipun ada pengaduan masyarakat. Komisi Yustisial akan melakukan dengar pendapat dengan pihak pelapor dan majelis hakim yang memutus perkara tersebut. Rekomendasi yang disampaikan kepada MA nantinya maksimal berupa usulan pemecatan
lanuari - Maret 2OU!
Kembalinya Unsur Agama ke dalam Hukum Perkawinan di Indonesia
5
seorang hakim agung , yang kemudian diteruskan kepada DPR. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yustisial mi dilakukan oleh DPR atas usul pemerintah. Pengaturan lebih rinci tentang Komisi ini harus dimuat dalam Undang-undang Mahkamah Agung yang baru . Komisi ini berkantor di lingkungan MA. dengan harapan akan lebih memudahkan kerja mereka. Namun, lembaga ini bukan lah bagian dari struktur MA atau pun berada di atas MA.
DAFfAR PUSTAKA Suny, Ismail. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta : Aksara Baru. 1985. Pompe, Sebastian. The Indonesian Supreme COUrl : Fifty Years of Judicial Development. Leiden : Van Vollenhoven Institute for Law and Administration in Non-Western Countries, Faculty of Law, Leiden University, disertasi. 1996. Harman, Benny K. Konfigurasi PoUlik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta: Eisam. 1997. Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta : Penerbit Erlangga, Cetakan kedua, 1985 .
..... , Hukum-Hakim Pidana. Jakarta: Penerbit Erlangga , Cetakan Kedua. 1984. Affandi, Wahyu. Hakim dan Penegakan Hukum. Bandung : Penerbit Alumni. 1981. Nusantara, Abdul Hakim Garuda. PoUlik Hukum Indonesia . Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1988. Suwarno, PJ. Tala Negara Baru, Sistem Pemerinlahan yang Demokratis dan Konstitusional. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 1999. Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan alas Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. Cetakan Kedua, 1986. Wignjosoebroto , Soetandyo. Dari Hukllm Kolonial ke Hukum Nasional. Dinamika Sosial-PoUtik dalam Perkembangan Hukllm di Indonesia. Jakarta: Penerbit C.V. Rajawali. 1994. Wiriadinata, Loekman. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman . (Ed : Luhut Pangaribuan dan Paul S. Baut) Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1989.
Nomor I Tahun XXXI