PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN BPTP KARANGPLOSO
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KARANGPLOSO 2000
PENGKAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA UDANG WINDU (The Assessment Of Tiger Prawn Culture Technique) Sutanto Joko Tiyoso, Anang Muhariyanto, Diatri Krissunari, dan Yuli Astuti Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Wonocolo ABSTRAK Tujuan dari pengkajian teknologi budidaya perikanan pantai ini untuk mendapatkan paket teknologi lokal spesifikusaha budidaya udang windu di tambak dan sawah tambak di wilayah pantai Utara (kabupaten Lamongan) dan pantai Selat Madura (kabupaten Probolinggo), dengan menerapkan padat penebarandan pakan yangberbeda terutama pakanbuatan dan pakan buatan pabrik. Dengan sasaran hasil 100-200kg/ha untuk memulihkan pendapatan petani.Pengkajian dilakukan di lahan tambak petani di kecamatan Paciran kabupaten Lamongan dan desa Lemah Kembar kabupaten Probolinggo; di sawah tambak petani di kecamatan Deket dan Glagah kabupaten Lamongan. Pengkajian dilakukan dengan RAK dengan 2 perlakuan di tambak yaitu padat penebaran 45.000 ekor benur/ha dengan pakan buatan sendiri, padat penebaran 90.000 ekor benur /ha dengan pakan buatan sendiri. Sedang di sawah tambak 3 perlakuan masing-masing padat penebaran 20.000 ekor tokolan/hadan 10.000 ekor toloan /ha dengan pakan pelet pabrik danpadat penebaran 10.000 ekor tokolan/ha dengan pakan buatan sendiri.Tiap perlakuan dengan dua ulangan.Hasil yang diperolehdari panen pertama pada bulan Septemberudang windu di tambak Probolinggo81,7 kg/ha ukuran 70 ekor/kg dan hasil ulangannya 86,7 kg/ha ukuran 70 ekor/kg atau hasil rata-rata perlakuan 84,2 dengan tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata 13,1%. Hasil udang di tambak Lamongan pertama 158,3 kg/ha dan hasil ulangannya 162,5 kg/ha atau hasil rata-rata160,4 kg/ha dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata14,3 %.Hasil udang di sawah tambak Deket (Lamongan) pada petak I 140 kg/ha ukuran 80- 70 ekor/kgdan hasil ulangannya 192 kg/ha ukuran 50 ekor/kg atau hasil rata-rata 166 kg/ha dengan tingkat kelangsungan hidup 52 %, sedang hasil petak ke II175 kg/hadan hasil ulangannya 140 kg/ha atau hasil rata-ratanya 148,8 kg/ha dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 81,8%. Hasil udang windu di sawah tambak Glagah (Lamongan) 147,5 kg/ha ukuran 55 ekor/kg, sedang hasil ulangannya 155,2 kg/ha ukuran 48 ekor/kg atau hasil rata-rata 151.4 kg/ha dengan tingkat kelangsungan hidup ratarata 77,8 %. Hasil ini masih dalam kisaran hasil udang di tambak dan sawah tambak tradisional petani sekitar. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata udang windu di tambak masih rendahdibandingkan dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata hasil penelitian ( 44,2% ), karena seperti yang lain masih terjangkit penyakit yang belum teratasi.. Sedang tingkat kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak, dengan penebaran glondongan yang relatif sedikit (1-2 ekor/m2), ternyata dapat lebih tinggi dibandingkan tingkat kelangsunganhidup udang windu di tambak. Tingkat kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak ini setara dengan tingkat kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak petani sekitar pada umumnya. Walau tingkat harga udang menurun, pendapatandari usahatani tambak dan sawah tambak masih layak dengan R/C 1,01-1,2dan 1,44. Dengan demikian usaha budidaya di tambak dan sawah tambak masih merupakan usaha budidaya alternatif, terutama dengan pola budidaya campuran udang windu dengan bandeng. Upaya pembuatan pakan udang sendiri merupakan alternatif untuk menyiasati tak terjangkaunya harga beli pakan pabrik, namun ketersediaan bahan dan peralatan yang memadai masih menjadi hambatan. Kata kunci: Udang windu, tambak, sawah tambak, padat penebaran, pakan buatan
ABSTRACT The objectives of the assessment oftiger prawn culture techniques are to find out alternatives of local specific tiger prawn culture techniques in implementing different stock densities and feeds in both brackish water and fresh water pond. The assessment has been done infarmer’s brackish & fresh water ponds at North coastal region of Lamongan regency and in brackish water pond atcoast al region of Madura Strait of Probolinggo regency. There were two treatments e.g stockingwith 90.000 prawn fries/ha and 45.000 prawn fries/ha in brackish water ponds fed with selfmade feed, and three treatments e.g.stocking density with 20.000 and 10.000 prawn fingerlings /hafed with commercial feeds and 10.000 prwan fingerlings/ha fed with selfmade feed in fresdhwater pond..Each treatment replicated twice.So far the average yield of brackish tiger prawn was 70-sized prawn 84.2kg/ha at Probolinggo or it’s average survival rate was 13.1%, and the average brackish tiger prawn yield at Lamongan was 160.4 kg of 70-90 sized prawn/ha or it’s average survival rate was 14.3%. While the average yield of tiger prawn in freshwater ponds of Lamongan were 166 kg/ha, 157.5 kg/ha and 151.4 kg/ha or their average survival rates were 52 %, 78.8 % and 77.8%. These yield is within the range production ofboth tradition albrackish and fresh water ponds. The survival rates of tiger prawn reared in brackish water pond were still as low as other traditional farmers’. The survival rates of tiger prawn reared in fresh water pond,stocked with low density fingerling tiger prawn as the other farmers did, higher than the survival rate of tiger prawn reared in brackish water pond. Since the revenue depends and correlates positively with prawn price and Rupiah/Dollar value, tiger prawn culture still has an opportunity in increasing farmers income and welfare .Especially polyculture of tiger prawn with milk fish,it will be a local specific and an alternative appropriate culture technique in the brackish and flood plain agroecosystem. Key words: Penaeidtiger prawn, brackish water pond, flood plain pond, stock density, self made prawnfeed PENDAHULUAN Ekoregion pantai Jawa Timur, beragam dari ordo tanah, rejim kebasahan, suhu, fisiografi hingga penggunaan lahannya . Selain potensial dalam perikanan pantai dan laut dalam, juga potensial untuk budidaya komoditi perikanan pantai. Terutama yang terpengaruh pasang surut dan kawasan bantaran sungai, dengan ordo tanah entisol (alluvial).Tipe penggunaan lahan menjadi kawasan pertambakan dan sawah tambak. Luas tambak di Jawa Timur tercatat 51.846,54 ha dengan total produksi tahun 1995 sebesar 66.949,16 ton dengan nilai Rp. 410.018.893.000,-, sedang produksi udang windu 16.239,61 ton (24,54%) dengan nilai Rp. 226.186.421.000,- (55,19% nilai hasil tambak). Sedang luas tambak di Jawa Timur pada tahun 1998 tercatat 59.049,25 hadengan jumlah produksi 73.310,70 ton dengan nilai Rp 1.129.238.404.000,-. Namun produksi udang windu 11.930,8 ton dengan nilai Rp 769.733.850.000,-Dari data ini produksi udang rata-rata di tambak pada tahun 1995 masih 313,225 kg/ha/tahun dan pada tahun 1998 adalah 202,05 kg/ha/tahun, yang berarti dibawah hasil udang di tambak semi intensif sebesar 1.500-2.000 kg/ha/musim (Ismail & Sudrajat, 1992). Hasil udang windu selain untuk konsumsi dalam negeri terutama untuk ekspor. Misal pada tahun 1995 ekspor udang Jawa Timur tercatat 17.763,329 ton (24,12% total ekspor hasil perikanan Jawa Timur 1995) dengan nilai US $ 208.016.206.55 (61,89 % nilai total ekspor hasil perikanan Jawa Timur 1995), sedang pada tahun 1998 jumlah ekspor udang beku Jawa Timur tercatat 41.857,182 ton dengan nilai US$ 277.146.027,88.Dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga udang melambung hingga pernah mencapai Rp. 150.000/kg, maka petambak sangat bergairah berupaya agar berhasil dalam membudidayakan udang windusebagai tumpuan untuk peningkatan keuntungan. Namun usaha budidaya udang windu dewasa ini mengalami hambatan yang sangat serius terutama dengan adanya kematian akibat serangan penyakit. Menurut Rukyani (1993) sudah sekitar 40 % dari seluruh areal pertambakan di Indonesia yang masih beroperasi. Kerugian yang ditimbulkan di Jawa Timur saja mencapai 150 milyar rupiah dan sekurang – kurangnya
300 milyar rupiah kerugian usaha pertambakan di wilayah Indonesia. Penyakit timbul akibat adanya interaksi antara faktor udang sebagai inang (host), organisme patogen penyebab penyakit dan lingkungan tempat pemeliharaan (tambak). Perubahan lingkungan atau sistem budidaya yang melebihi daya dukung lingkungan akan mengganggu keseimbangan antara ketiga faktor tersebut sehingga timbul penyakit. Upaya penanggulangan penyakit udang, ditempuh dengan strategi antara lain diagnosis cepat, kualitas benur, pakan yang cukup mengandung vitamin, peningkatan kekebalan udang terhadap penyakit, memperbaiki lingkungan, pemakaian obatobatan, rotasi pemeliharaan jenis udang (Rukyani,1993; Boer, 1993; Chen, tanpa tahun; Nishijima & Fukami, tanpa tahun). Selain penyakit dan pencemaran air, meningkatnya harga pakan tambahan produksi pabrik juga melampaui daya beli dan daya dukung modal rata-rata petani tambak. Untuk itu perlu pengkajian rakitan teknologi dari beberapa komponen hasil penelitian budidaya udang windu. Dari hasil pengkajian pada T.A 1998/1999, budidaya udang windu di tambak semi intensif dengan padat penebaran benur 52.500 ekor/ha dengan pakan ikan rucah giling dan pakan pabrik diperoleh hasil rata-rata 753 kg/ha/musim, dengan padat penebaran benur 105.000 ekor/ha diperoleh hasil rata-rata 766,5 kg/ha/musim dan pada tambak intensif dengan padat penebaran benur 225.000 ekor/hadengan pakan buatan pabrik dan ikan rucah giling diperoleh hasil rata-rata 2.154 kg/ha/musim. Sedang pada budidaya campuran udang windu dengan bandeng umpan di sawah tambak, dengan padat penebaran udang glondongan (bijen) 15.000 ekor/ha dan bandeng glondongan 30.000 ekor/ha diperoleh hasil rata-rata udang 85,75 kg/ha/musim ditambah 13.100 ekor bandeng umpan/ha musim, pada padat penebaran udang glondongan 20.000 ekor/ha dan 30.000 ekor bandeng glondongan/ha diperoleh hasil ratarata 123,5 kg/ha/musim ditambah 9.630 ekor bandeng umpan. Oleh karena itu pengkajian perlu dilanjutkan denganpadat penebaran berbeda, penggantian air secara berkala,penggunaan pakan tambahan buatan sendiri sesuai anjuran. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mendapatkan paket teknologi alternatif lokal spesifik usaha budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alternatifberupa pakan buatan sendiri dan pakanbuatan pabrik, padat penebaran yang berbeda pada usahaudangwindu di tambak dan sawah tambak di wilayah pantai Utara (Kabupaten Lamongan)dan pantai Selat Madura (kabupaten Probolinggo). Keluaran yang diharapkan adalah diperolehnya rakitan teknologi alternatif spesifik lokasi budidaya udang windu di tambak dan sawah tambak, dengan sasaran pada pola usaha tradisional 100-200 kg/ha . BAHAN DAN METODE Pengkajian penerapan teknologi lokal spesifik budidaya udang windu di tambak dan di sawah tambak dilakukan dengan Rancangan Acak Sederhana. Adapun perlakuannya yang dikaji dilakukan di tambak dan sawah tambak petani, adalah: a. Dua perlakuan di tambak Perlakuan1. padat penebaran 90.000 ekor benur/ ha, pakan tambahan buatan sendiri Perlakuan 2. padat penebaran 45.000 ekor benur/ha, pakan tambahan buatan sendiri
b. Tiga perlakuan di sawah tambak Perlakuan 1. padat penebaran 20.000 ekor tokolan/ha, pakan buatan pabrik Perlakuan 2. padat penebaran 10.000 ekor tokolan/ha, pakan buatan pabrik Perlakuan 3. padat penebaran 10.000 ekor tokolan/ha, pakan buatan sendiri Masing-masing perlakuan dengan dua ulangan. Metode analisis yang dipakai ANOVA Satu Arah, Uji Chi-kuadrat(Spiegel, 1996; Mulyono, 1991; Suparman, 1983; Kartiko, 1996). Aspek ekonomis dikaji dengan wawancara untuk analisis usahatani petani setempat sebagai pembanding analisis usahatani hasil pengkajian. Aspek sosial dikaji dengan pengamatan dan wawancara tanggapan atau umpan balik petani terhadap penerapan teknologi yang dikaji. Lokasi pengkajian di tambak dan sawah tambak milik petani, yaitu 1(satu) petak tambak 0,6 ha di wilayah kecamatan Paciran (Lamongan), 1 (satu) petak tambak 0,25-0,3 hg di wilayah desa Lemah Kembar (Probolinggo), 0,8 ha sawah tambak di wilayah kecamatan Glagah dan 0,25 ha di wilayah kecamatan Deket (kab. Lamongan). Data yang dikumpulkan meliputi : Penjajagan dan perencanaan dengan karakterisasi wilayah (survei RRA) Pengamatan sifat fisik dan kimia perairan, disesuaikan dengan alat yang ada, yaitu salinitas, suhu. warna, kedalaman air Sampling pertumbuhan udang, baik berat maupun panjang total Pencatatan pemberian pakan dan pergantian air Penimbangan hasil panen, perhitungan tingkat kelangsungan hidup Analisa sosial ekonomi antara lain analisa input-output
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil udang windu di tambak Paciran (Lamongan), dengan padat penebaran 90.000 ekor benur/ha, adalah 158,3 kg/hadan hasil ulangannya adalah 162,5 kg/ha atau hasil rata-rata 160,4 kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup12,3% dan 16,3 % atau rata-rata 14,3%. Hasil panen udang windu di tambak Lemahkembar (Probolinggo), dengan padat penebaran benur 45.000 ekor/ha, adalah 81,7 kg/ha dan hasil ulangannya 86,7 kg/ha atau hasil rata-ratanya 84,2 kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup 12,7 % dan 13,5% atau tingkat kelangsungan hidup rata-rata 13,1% (Tabel 1). Hasil udang windu di sawah tambak di Glagah (Lamongan), dengan padat penebaran 10.000 ekor tokolan/ha, adalah 147,5 kg/ha ukuran 55 ekor/kg dan hasil ulangannya 155,2 kg/ha ukuran 48 ekor/kg atau hasil rata-rata 151,4 kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup 81,1 % dan 74,5% atau tingkat kelangsungan hidup rata-rata 77,8%. Hasil udang windu di sawah tambak di Deket (Lamongan), (1) pada petak I, dengan padat penebaran 20.000 ekor tokolan/ha, adalah 140 kg/ha ukuran 80 ekor/kg dan hasil ulangannya 192 kg/ha ukuran 50 ekor/kg atau hasil ratarata 166 kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup 56% dan 48% atau tingkat kelangsungan hidup ratarata 52% . (2) pada petak II, dengan padat penebaran 10.000 tokolan/ha, adalah 175 kg/ha ukuran 50 ekor/kg dan hasil ulangannya 140kg/ha ukuran 50 ekor/kg atau hasil rata-ratanya 157,5 kg/ha. Tingkat kelangsungan hidup 87,5% dan70% atau tingkat kelangsungan hidup rata-rata 78,8% (Tabel 2).
Tabel 1. Hasil dan tingkat kelangsungan hidup udang windu di tambak Probolinggo dan Lamongan1999/2000 Perlakuan I. Padat penebaran Benur 45.000 ekor/ha Pakan buatan sendiri Lokasi Probolinggo II. Padat penebaran Benur 90.000 ekor/ha Pakan buatan sendiri & pabrik Lokasi Lamongan
Ulangan
Jumlah hasil (konversi) (kg/ha/musim)
Tingkat kelangsungan hidup (SR)(%)
1
81,7
12,7
2
86,7
13,5
Rata-rata
84,2
13,1
1
158,3
12,3
Pompa sumur
2
162,5
16,3
salinitas 25-35 ppt
Rata-rata
160,4
14,3
Keterangan
Pompa salinitas 35 ppt ukuran 70
ukuran70-90
Tabel 2. Hasil dan tingkat kelangsungan hidup udang windu di sawah tambak diwilayah Kabupaten Lamongan 1999-2000 Perlakuan I Padat penebaran 20.000 ekor/ha pakan buatan pabrik & jagung rebus (blendung) Lokasi Deket, Lamongan
Ulangan
Jumlah hasil konversi tiap ha (kg/ha/musim)
Tingkat kelangsungan hidup (SR) (%)
1
140
56
Pompa
2
192
48
salinitas 0-5 ppt
Rata-rata
166
52
ukuran 80 & 40
1
175
87,5
2
140
70
Rata-rata
157,5
78,8
ukuran 80
1
147,4
81,2
Pompa
2
155,2
74,5
salinitas 0 ppt
Rata-rata
151,4
77,8
ukuran 55 & 48
Keterangan
II Padat penebaran 10.000 ekor/ha pakan buatan sendiri & jagung rebus (blendung) Lokasi Deket, Lamongan `III Padatpenebaran 10.000 ekor/ha pakan buatan pabrik & jagung rebus (blendung) Lokasi Glagah, Lamongan
Pompa salinitas 0-5 ppt
Hasil rata-rata udang windu di sawah tambak sebanyak 157,5 kg/ha dari padat penebaran 10.000 ekor/ha dengan pakan buatan sendiri, sebanyak 151,4 kg/hadari penebaran 10.000 ekor/ha dengan pakan barik dan jagung rebus giling, dan sebanyak 166 kg/hadari padat penebaran 20.000 ekor/hadengan pakan buatan pabrik dan jagung rebus giling, tidak berbeda..
Tingkat kelangsungan hidup rata-rata masing-masing 78,8 %, 77,8 % dan 52% tidak berbeda. Namun hasil rata-rata ini sudah berbeda dengan hasil rata-rata petani sawah tambak lainnya yaitu115 kg/ha.. Sedang hasil rata-rata udang windu di tambak dengan padat penebaran 90.000 ekor/ha yaitu 160,4 kg/ha sudah berbeda dengan hasil rata-rata dari padat penebaran 45.000 ekor/ha yaitu 84,2 kg/ha. Namun tidak ada perbedaan antara tingkat kelangsungan hidup udang windu di tambak yang masih sangat rendah, yaitu rata-rata hanya 14,3% dan 13,1%. Hasil ini sudah berbeda dengan hasil rata-rata udang windu di tambak Jawa Timur tahun 1995 yaitu antara 90,27-135,41 kg/ha. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup udang windu, terutama ditambak,karena terjadinya kematian masal yang diduga akibat serangan penyakit dan pencemaran air. Dari tanda-tanda visual, antara lain permukaan air “menyala atau terang”, menurut Rukyani (1993), Muliani dan Mangampa (1993), Atmomarsono (1993), Zafran (1997) dan Zafran dkk (1998), suatu pertanda berjangkitanya penyakit kunang-kunang atau vibriosis. Oleh karen itu untuk menghindar dari kematian total, disarankan bila ditengarai timbulnya gejala penyakit, agar sesegera mungkin dilakukan panen total.. Memang dari laporan tahunan Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur 1995, sejak tahun 1992 terjadi penurunan produktifitas tambak udang akibat serangan penyakit, pencemaran air, penggunaan teknologi yang kurang memadai misalnya pemberian pakan yang berlebih, penggunaan obat-obatan dan penggantian air yang kurang terkontrol serta kurang memperhatikan daya dukung lahan., Upaya pengendalian penyakit bakteri menurut Zafran dkk (1998) antara lain dengan upaya perbaikan mutu lingkungan terutama air, pemberian pakan yang bergizi; sedang penggunaan antibiotik, selain dapat menimbulkan resistensi, juga menurunan mutu pasca panen karena tidak disukai di pasar internasional. Sedang penyakit viral belum ditemukan upaya pencegahan dan pengobatannya yang manjur. Dari analisis input-output usaha budidaya udang di sawah tambak, dapat dikemukakan bahwa penebaran 10.000 ekor bibit udang glondongan/ha paling menguntungkan dengan R/C = 1,44, dari padat penebaran 20.000 ekor bibit udang glondongan/ha diperoleh R/C = 1,12, sedang R/C rata-rata petani= 1,41. Dibandingkan dengan usaha budidaya campuran dengan hasil 172 kg udang windu dan 14.250 ekor bandeng umpan /ha diperoleh R/C = 1,44, dengan hasil budidaya tunggal bandeng konsumsi sebesar 1525 kg /hadengan R/C = 1,3, tidak berbeda. Sedang pada budidaya udang di tambak diperoleh R/C1,01-1,2 yang juga belum berbeda dengan R/C = 4,7 pada budidaya bandeng dengan hasil 1600 kg/ha selama 5-6 bulan budidaya. Karena menurunnya harga udang dan menurunnya ukuran udang yang dipanen lebih awal, akibat upaya menghindar dari serangan penyakit atau pencemaran yang dapat menimbulkan kematian masal, usaha budidaya tunggal udang windu tidak signifikan mempengaruhi peningkatan nilai tambah, bahkan sangat riskan. Oleh karen itu usaha budidaya campuran udan dengan bandeng tetap layak teknis dan layak ekonomis. Pakan merupakan salah satu komponen utama dalam budidaya udang yaitu berperan terhadap kesehatan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, Penggunaan dan pembuatan pakan buatan sendiri merupakan upaya penggunaan pakan alternatif untuk menyiasati tak terjangkaunya penggunaan pakan buatan pabrik. Sebab nilai faktor konversi pakan (FCR) ratarata pada usaha budidaya udang di sawah tambak dengan pakan buatan sendiri adalah 1.91 dan nilai efisiensi protein 1.63, faktor konversi pakan (FCR) rata-rata pada usaha budidaya udang di sawah tambak dengan pakan pabrik adalah1,9, serta faktor konversi pakan (FCR) rata-rata pada usaha udang di tambak dengan pakan buatan sendiri adalah 1,95 dan efisiensi protein 1,55, yang masih setara dengan nilai faktor konversi pakan (FCR) rata-rata hasil penelitian 1,9 (Mangampa dkk, 1993). Komposisi pakan buatan sendiri mengacu hasil penelitian terdiri dari tepung kepala udang 60%, 15 % ampas tahu sebagai pengganti tepung kedele, 15 % tepung ikan, 10% dedak, sedikit rumput laut, tepung kanji dan multi vitamin.. Pakan yang dibuat dengan komposisi ini setelah dianalisis hanya mengandung protein 33%, karbohidrat 13%, lemak 6%, Ca 1,6%, P 1,8%, abu masih 47,6%. Pakan buatan yang menggunakan rumput laut dan tepung kanji ini, walau dibuat dengan teknologi sederhana, cukup memenuhi syarat sebab mampu bertahan atau tidah mudah hancur dalam air hingga lebih dari 24 jam. Sedang menurut Yakob dan Palinngi (1987) dan anjuran intensifikasi tambak, pakan tambahan mengandung protein 42-45%. Upaya
pembuatan pakan sendiri masih belum mencapai mutu fisik dan gizi yang diharapkan. Selain itu peralatan yang manual, walau tepat guna, namun karena tingginya upah dan jarangnya tenaga kerja serta hasilnya belum memuaskan, masih perlu rekayasa. Apalagi bahan baku pakan, terutama tepung kepala udang, yang menurut Shigueno (1975) dalam Mangampa dkk (1933) penting untuk pertumbuhan udang, ternyata juga tidak mudah didapat; sehingga akan menghambat minat upaya pembuatan pakan sendiri.. Tepung kedele yang menurut Mangampa dkk (1993) sebanyak 42,89 % belum dapat digunakan, sebab dengan alat giling daging yang dipergunakan belum dapat dibuat sendiri. Untuk itu digantikan dengan ampas tahu, namun kandungan proteinnya jelas telah berkurang. Untuk menambah kandungan proteinnya digunakan tepung ikan dan ikan asin BS (barang sisa atau afkir), walau menurut Andrews dkk (1972) dalam Mangampa dkk (1993) tepung ikan yang mengandung kadar lemak tinggi kurang baik sebagai pakan udang. Walau hasilnya belum optimal, upaya budidaya udang windu di sawah tambak yang berkadar garam rendah hingga air tawar, selama pengkajian kadar garam di sawah tambak berkisar 0-5%, merupakan inovasi teknologi petani yang harus ditindak lanjuti. Terutama aneka upaya peningkatan produksi. Karena hingga saat ini usaha budidaya udang windu di sawah tambak masih setara, baik pemberlakuan teknologi, skala usaha dan hasil, dengan usaha budidaya udang di tambak secara sederhana atau U-1 pada program Intam.. Fluktuasi harga udang akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar mempengaruhi hasil jual produk udang windu. Bila nilai rupiah menguat terhadap dolar, justru menurunkan nilai jual udang, sehingga keuntungan petani juga cenderung menurun. Akibatnya juga menurunkan gairah usaha budidaya udang windu di tambak dan sawah tambak. Oleh karena itu usaha budidaya udang windu di tambak dan sawah tambak. walau cukup riskan karena tidak dapat lagi menjanjikan produksi dan keuntungan yang optimal, namun masih dapat dijadikan usaha budidaya alternatif, terutama sebagai pola budidaya campuran dengan bandeng atau ikan lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil rata-rata budidaya udang windu di tambak tradisional dengan pakan buatan sendiri, dengan padat penebaran 45.000 ekor/ha adalah 84,2 kg/ha/musim (tingkat kelangsungan hidup rata-rata hanya 13,1 %) dan dengan padat penebaran 90.000 ekor adalah 160,4 kg/ha/musim (dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata hanya 14,3 %), masih dalam kisaran hasil budidaya udang pola sederhana pada proyek intam. Belum optimalnya hasil udang di tambak ditengarai karena masih belum dapat diatasinya masalah penyakit dan pencemaran air yang melanda sejak tahun 1992. Sedang usaha budidaya udang windu di sawah tambak dengan pakan buatan sendiri dan padat penebaran udang glondongan 10.000 ekor/ha diperoleh hasil rata-rata 157,5 kg/ha dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 78,8%. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil rata-rata udang windu dengan padat penebaran udang glondongan 10.000 ekor/hadan pakan jagung rebus dan pakan pabrik yaitu 151,4 kg/ha/musim dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 77,8%, dan hasil rata-rata dengan padat penebaran udang glondongan 20.000 ekor/ha dengan pakan jagung rebus dan pakan pabrik yaitu 166 kg/ha/musim dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 52%. Dengan hasil ini upaya budidaya udang windu di sawah tambak dapat menjadi usaha budidaya alternatif spesifik lokasi, sebagai upaya meningkatkan nilai tambah Namun untuk menyiasati resiko kegagalan panen yang merugikan, akibat serangan penyakit dan pencemaran lingkungan yang belum teratasi, usaha budidaya campuran udang windu dengan bandeng merupakan pilihan yang lebih layak Penggunaan pakan buatan sendiri merupakan upaya untuk menyiasati kekurang mampuan untuk pembelian dan penggunaan secara optimal pakan pabrik Namun untuk meningkatkan mutu fisik, efisiensi antara tenaga, waktu, perhitungan biaya dengan jumlah pakan yang dihasilkan, masih perlu rekayasa alat pembuat dan pengering yang lebih tepat guna. Kemudahan, kemampuan beli dan ketersedian bahan pakan yang sesuai anjuran, misalnya
tepung kepala udang dan tepung kedelai yang seharusnya masing-masing mencapai 42%,merupakan syarat penting dalam upaya pembuatan pakan alternatif buatan sendiri. Nilai tambahdari usaha budidaya udang windu, baik di tambak dan sawah tambak, akan memicu perkembangan usaha dan kesejahteraan keluarga tani-nelayan.
DAFTAR PUSTAKA Atmomarsono, M. M. I. Madeali, Muliani dan A. Tompo, 1993. Kasus penyakit udang windu dikabupaten Pinrang dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros 16-19 Juli 1993.Badan Litbang Pertanian, Balitkan Budidaya Pantai, Maros. Hal9-12. Atmomarsono, M. Muliani dan S Ismawati, 1995. Prospek penggunaan tandon pada budi- daya udang windu. Balit Perikanan Pantai Maros. 11 hal. Balai Informasi Jawa Timur, 1986. Intensifikasi Tambak. Deptan. BIP. Surabaya. 43 hal. Boer, D.R. Zafran dan T. Ahmad, 1993. Penanggulangan penyakit udang windu (Penaeus monodon)di pantibenih dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai.Maros 16-19 Juli 1993. Badan Litbang Pertanian, Balitkan Budidaya Pantai,Maros. Hal 9-12. Boyd, C, 1992. Water quality management for pond fish culture. Elsevier. Amsterdam. Page 55113. Chang, C. I, --.Membahas strategi pengendalian penyakit udang dari segi fisiologi dan Pathologi. ATM. Surabaya. 2 hal. Chen, H. C, --. Studiesontherole offryqualityinshrimp farming. National Taiwan Univ. ROC. 11 pg. Chen, H. C, --. Teknik pengelolaan pada budidaya udang windu yang sukses setelah ber berjangkitnya penyakit virus bintik putih. Atm. Surabaya. 2 hal. Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur,1995. Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Perikanan Jawa Timur 1994/1995. Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Surabaya. 78 hal. Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, 1995 Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur 1995.Dinas Perikanan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Surabaya. 157 hal. Gaffar, A.K, 1997. Effect of different levels of phosphorous input on phytoplankton productivity inlimed acid sulfate soils fish pond. Indonesian Fisheries Research Journal, Vol VIII, No I, 1997. CRIF. AARD. Jakarta. Page 16-21. Giri, I.N.A,1997.Effects of dietary pyridoxine levels on growth and vitamin B6 profile juvenile kuruma prawn, Penaeus japonicus. Indonesian Fisheries Research Journal, Vol VIII,No I, 1997. CRIF. AARI. Jakarta. Page 23-35. Haryanti, S. Lante dan S. Tsumura, 1997. Studi pendahuluan penggunaan bakteri Flavi- monas BY-9 sebagai probiotik dalam pemeliharaan larva udang windu (Penaeus monodon) jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Vol III, No I, Th 1997. Puslitbangkan. JakartaHal 44-52. Ismail, A. dan A. Sudradjat, 1992. Pengelolaan budidaya udang windu semi intensif. Dalam Makalah Temu Tugas Dalam Aplikasi Teknologi Bidang Perikanan. Pusat Perpus takaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Hal 1 -64. Jamil, M., R. Yakob dan N.N. Palinggi, 1987. Pengaruh pemberian pakan dari berbagai sumber protein terhadap laju pertumbuhan dan kelulusan hidup benur windu (Penaeus monodon). Dalam Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Vol3, no. 2, Balitbangtan Balit Budidaya Pantai Maros. Hal 8-18.
Legowo, E., Q.D. Ernawanto, S.R. Soemarsono, R. Hardiyanto, N. Pangarso, H. Sembiring 1996. Zonasi Agroekologi dan karakteristik wilayah-wilayah kecamatan di Jawa Timur BPTP Karangploso, Malang. 42 hal. Mangampa, M., M. Tjaronge, F. Rasjid, S.E. Wardoyo, F. Cholik, 1993. Pengaruh Pergantian Air dan Lama Aerasi pada Budidaya Udang Windu, Penaeus monodon. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16-19 Juli 1993. Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 67-71. Mangampa, M., A. Ismail, A. Mustafa, M. Tjaronge, Muliani,1993.Pengaruh Padat Penebaran dan Kedalaman Air dalam Budidaya Udang Windu, (Penaeus monodon). Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16-19 Juli 1993. Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 61-66. Mangampa, M., A. Ismail, A. Mustafa,M. Tjaronge,F. Cholik,1993. Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pakan pada Budidaya Udang Windu, Penaeus monodon. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16-19 Juli 1993. Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 61-66. Mansyur,A.,S.Tonnek, M. Amin dan Utojo, 1987. Budidaya campuran udang windu (Penaeus monodon Fabr) dan ikan bandeng (Chanos chanos (Forskal)) di tambak. dalam Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Vol 3, no. 2, Balitbangtan. Balit Budidaya Pantai Maros. Hal49-59. Moton, H., 1979. Studies on the fisheries biology of the giant tiger prawn, Penaeus monodon, in the Philippines. Aquaculture Dept. SEAFDC. Tigbauan, Ilolo, Philippines. Page 8082. Muliani dan Mangampa, 1993. Identifikasi Parasit pada Budidaya Udang Windu, Penaeus monodon. dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16-19Juli 1993. Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 31-34. Nagel, J.V., 1995. Feasibility study: closed recirculated saltwater fish farming project for tropical coral reef fish. IPAS-Consulting. Hamburg. Page 1-50. Nishijima, T.dan K. Fulkami, --.Bioremediation of Polluted Fish Farms by a Bacterium, Bacillus subtilis. Paper. Fakulty of Agriculture, Kochi Univ., Nankoku, Japan. 6 hal. Pasaribu, A.M., 1997. Efisiensi ekonomi dan skala usaha teknologi budidaya udang windu (Penaeus monodon) di Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Vol III, No. 3, Tahun1997. Puslitbangkan. Balitbangtan. Jakata. Hal 52-57. Rasjid, F, Kahar, M. Mangampa, A. Tompo, A.M. Pirzan, E. Danakusumah, 1983. Polikultur Rumput Laut, Bandeng dan Udang Windu di Tambak. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros, 16-19 Juli 1993. Balitbangtan. Balitkan Budidaya Pantai Maros. Hal 79-84. Rantetondok, A., M. Atmomarsono, M. V Alday-Sanz, 1995. Use of aerators. Brochure No..2. MSEP. UNHAS. 2 pages. Rukyani, A., 1993. Penanggulangan Penyakit Udang. dalamProsiding Seminar Hasil Pe nelitianPerikanan Budidaya Pantai, Maros 16-19 Juli 1993. Badan Litbang Pertanian, BalitkanBudidaya Pantai Maros. Hal 1-8. Shigueno, K., 1967. Shrimp culture in Japan. AITP. Tokyo. Page 7-117. Sugama, K., Haryanti, M. Takano, C. Kuma, 1993. Panduan pembenihan udang windu (Penaeus monodon). Sub Balit Perikanan Budidaya Pantai Gondol dan JICA, Gondol. 43 hal.
Suprapto, H., 2000.Beberapa penyakit pada budidaya udang, diagnosis dan pengobatannya FKH.Unair. 7 hal. Tonnek, S., 1987. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelulusan hidup nener (Cha-nos chanos (Forskal)) dalam air berkadar garam tinggi. Dalam Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Vol 3, no.2, Balitbangtan. Balit Budidaya Pantai Maros. Hal 24-30. Zafran, 1997. Penyakit ikan dan udang serta cara penggunaannya. Lolitkanta Gondol, Bali. 6 hal. Zafran, Des Roza, I. Koesharyani, F.Johny dan K.Yuasa, 1998. Manual for fish Diseases Diagnosis. GRSCF Gondol,Bali & JICA. 44 hal.
Lampiran 1 Hasil pengkajianteknologi budidaya udang windu di tambak T.A.1998 / 1999 Perlakuan
Ulangan
Jumlah hasil (kg)
Tingkat kelangsungan
(konversi/ha/musim)
hidup (SR) (%)
819
93,6
keterangan
I Padat penebaran
1
52.500 ekor/ha Pakan
Kemarau Pompa
2
693
92,4
Sumur
ikan rucah giling & pakan pabrik
salinitas
Lokasi Palang, Tuban (0,3 ha)
25-30 ppt Rata-rata
753
93
ukuran 63-70
II Padat penebaran
1
690
46,82
105.000 ekor/ha Pakan
Rendeng Pompa
2
843
32,11
sumur
ikan rucah giling & butan pabrik
salinitas
Lokasi Palang, Tuban (0,3 ha)
10-25 ppt Rata-rata
766,5
39,5
ukuran 53-46
III Padat penebaran
1
2.568
46,37
225.000 ekor/ha Pakan
Pompa sumur
2
1.740
51,16
salinitas
buatan pabrik & ikan rucah giling
25-30 ppt
Lokasi Paciran, Lamongan (0,3 ha)
kincir Rata-rata
2.154
48.8
ukuran 49-125
Lampiran 2 Hasil pengkajianteknologi budidaya udang windu dengan bandeng umpan di sawah tambakT.A.1998 /1999 Perlakuan
Ulangan
JJumlah hasil (kg) Tingkat kelangsungan (konversi/ha/musim) hidup (SR)(%)
keterangan
I Padat penebaran
1
56
13.6
Pompa
15.000 ekor/ha udang
salinitas
(+ glondongan bandeng 30.000 ekor/ha)
0
Pakan
2
115.5
23.1
buatan pabrik & blendung
bandeng
Lokasi Laladan, Deket, Lamongan
umpan (ekor/ha) Rata-rata
85.75
18.35
13100
1
92
27.4
Pompa
II Padat penebaran 20.000 ekor/ha udang
salinitas
(+ glondongan bandeng 30.000 ekor/ha)
0
Pakan
2
155
33.5
pakan buatan pabrik & blendung
bandeng
Lokasi Laladan, Deket, Lamongan
umpan (ekor/ha) Rata-rata
123.5
30.45
9630
Lampiran 4 PAKAN PELET UNTUK UDANG BUATAN SENDIRI Komposisi pakan udang yang baik (Mangampa dkk, 1993) Silase kepala udang
42,89%
Tepung kedele
42,89
Dedak
1,39
Tepung terigu
1,39
Tepung tapioka
1,39
Tepung darah
5
Vitamin & mineral
3
❖ Menurut Shigueno (1975) pakan udang yang baik adalah bila komposisi asam aminonya menyamai asam amino dalam tubuh udang, terutama asam amino lysin dan histidin. Oleh karena itu penting penggunaan silase kepala udang sebagai bahan pakan. ❖ Tepung ikan yang mengandung kadar lemak tinggi kurang atau sedikit saja dipergunakan, karena menurut Andrews dkk (1972) udang penaeid yang diberi pakan tambahan banyak mengandung lemak, hidupnya lebih merana dibandingkan dengan pakan tanpa tambahan lemak. Pada pengkajian inisusunan bahan pakan dibuat Kepala udang kering 40 % Ampas tahu kering 20 Ikankering gi ling 20 Dedak 17 Tepung tapioka 2,5 Rumput laut 0,5
Dari hasil pengujian (analisis) bahan pakan diperoleh Protein Karbohidrat/serat
33 % % 13
Lemak Ca
6 1,6
P Abu dll
1,8 47,6
DISKUSI
Ir.. Supri (Dinas Perikanan Kabupaten Pasuruan) 1. Apakah paket teknologi untuk petani tambak yang berlaku sat ini sudah ada 2. Berapa standar kelangsungan hidup (SR) untuk udang windu 3. Apakah tidak ada hasil kajian teknologi benih unggul Ir. Sutanto 1. Pengkajian teknologi ini diharapkan dapat menemukan paket teknologi yang sesuai saat ini. Untuk menaggulangi kendala masih pada tahap identifikasi penyakit. 2. Rekomendasi teknologi sudah ada tapi belum berani dikaji di lapangan, karena kendalanya petani tidak besedia. 3. Sudah ada anjuran dari Taiwan. Teknologi seleksi bibit unggul belum di lakukan