Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PENGGUNAAN SOLID EX-DECANTER SEBAGAI PEREKAT PEMBUATAN PAKAN KOMPLIT BERBENTUK PELET: EVALUASI FISIK PAKAN KOMPLIT BERBENTUK PELET (The Utilization of Solid Ex-Decanter As A Binder for Pelleted Complete Feed: A Physical Evaluation of Pelleted Complete Feed) RANTAN KRISNAN dan S.P. GINTING Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box I, Sei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara
ABSTRACT The combination of palm kernel meal (PKM) and ex-decanter solid in complete feed is regarded to have a good value since the ex-decanter solid has binding properties to keep the pellet unbroken. The purpose of this study was to evaluate physical characters of pellet made from an appropriate composition ratio of PKM and ex-decanter solid. The experiment was designed following a completely randomized design with six treatments and four replications. The ratio of PKM, ex-decanter solid and starch was as follows: A (2 : 1 : 1), B (2 : 2 : 1), C (2 : 3 : 1), D (1 : 2 : 0), E (2 : 3 : 0), and F (2 : 1 : 0) subsequently. The parameters included water stability water absorption, bulk density, expansion ratio and durability index test. The pellet that categorized to be high quality physically should include high water stability index, density index and durability index with medium water absorption and low expansion ratio. The result showed that pellet made from the combination of PKM and ex-decanter solid at 2 : 1 ratio without starch addition (F) revealed to be appropriate pellet. The results indicated that the ex-decanter solid was potential to be used as a natural binder for pelleting. Key Words: Physical Evaluation, Pelle Diet, Palm Kernel Meal, Ex-Decanter Solid ABSTRAK Perpaduan bungkil inti sawit (BIS) dan solid ex-decanter dalam pakan komplit dinilai baik, karena solid ex-decanter mempunyai sifat perekat sehingga kualitas pelet tidak pecah. Untuk itu dilakukan penelitian bertujuan mengevaluasi secara fisik perbandingan komposisi terbaik dari BIS dan solid ex-decanter dalam pakan komplit berbentuk pelet. Parameter yang diukur meliputi stabilitas air (SA), absorpsi air, uji densitas (kepadatan pakan), rasio ekspansi serta uji tahan benturan. Perlakuan pakan disusun berdasarkan perbandingan antara BIS, solid ex-decanter dan kanji dalam bentuk bahan segar, yaitu A (2 : 1 : 1), B (2 : 2 : 1), C (2 : 3 : 1), D (1 : 2 : 0), E (2 : 3 : 0) dan F (2 : 1 : 0). Pelet yang dikategorikan paling baik secara fisik adalah yang mempunyai nilai stabilitas air dan densitas yang tinggi serta tahan terhadap benturan, namun mempunyai daya serap air yang sedang dan rasio ekspansi yang rendah. Hasil penelitian yang sesuai dengan kategori tersebut diperlihatkan oleh perlakuan pelet yang disusun dari kombinasi BIS dengan solid exdecanter 2 : 1 tanpa penambahan kanji (Perlakuan F). Hasil ini mengindikasikan bahwa solid ex decanter mempunyai potensi sebagai bahan perekat alami dalam proses pembuatan pelet. Kata Kunci: Evaluasi Fisik, Pakan Pelet, Bungkil Inti Sawit, Solid Exdecanter
PENDAHULUAN Proses pengolahan ransum di pabrik pakan merupakan proses produksi dengan menggunakan mesin-mesin pemrosesan yang menghasilkan ransum dalam bentuk mash, pellet dan crumble. Dewasa ini ada kecenderungan pakan diberikan kepada ternak
480
dalam bentuk komplit (complete feed), karena dinilai sangat efektif, apalagi pakan tersebut dikemas dalam bentuk pelet. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pakan komplit berbentuk pelet lebih acceptable (bisa diterima) bagi ternak, disamping pemberiannyapun relatif lebih mudah dan tidak berabu.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Umumnya proses pengolahan pelet terdiri dari 3 tahap, yaitu 1) pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penghancuran menjadi tepung, 2) Pembuatan pelet meliputi pencetakan, pendinginan dan pengeringan, 3) Perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan dan penggudangan (TJOKROADIKOESOEMO, 1989). Secara ringkas tahapan pebuatan pelet sebenarnya hanya meliputi beberapa proses penting yaitu pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling). Bagi industri atau pabrik pakan unggas (non ruminansia) dan pakan ikan (aqua feed), hal tersebut umum dilakukan mengingat dukungan peralatan dan mesin yang modern pada skala usaha industri. Namun berbeda halnya dengan industri pakan ruminansia yang umumnya masih menggunakan mesin sederhana pada skala usaha menengah atau kecil. Perbedaan yang mencolok terjadi pada proses conditioning atau proses pemanasan dengan uap air yang menyebabkan pati dari bahan baku pakan menjadi gelatin (perekat pelet) melalui proses gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan pelet menjadi kompak, tekstur dan kekerasannya bagus. Untuk mendapatkan pelet dengan kualitas tersebut, tentunya industri modern pakan unggas atau pakan ikan akan memastikan peralatan mesin peletnya dilengkapi conditioner (steam) dan cooler. Tetapi bagi sebagian besar pabrik pakan ruminansia, mesin pelet yang digunakan masih bersifat sederhana tanpa dilengkapi conditioner, akibatnya pelet yang dihasilkan banyak yang pecah atau kualitas pelet menjadi terkoreksi. Bahan baku mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap kualitas pelet. Kandungan perekat (binder) alami (misalnya pati), protein, serat, mineral dan lemak dari bahan baku akan mempengaruhi kualitas pellet. Barley, gandum, kanola dan rape seed meal mengandung perekat alami yang membentuk ikatan fisik – kimia selama proses untuk menghasilkan pelet yang berkualitas lebih baik (DOZIER, 2001). Namun bahan pakan tersebut umumnya bersifat konvensional atau dinilai kurang ekonomis bagi pakan ruminansia. Oleh karena itu, perlu dipikirkan alternatif lain dengan cara mengoptimalkan bahan baku pakan
yang mempunyai sifat perekat tetapi tersedia secara lokal dan murah dalam jumlah banyak. Pemanfaatan limbah industri pengolahan minyak sawit berupa bungkil inti sawit (BIS) dan solid ex-decanter sebagai bahan pakan ternak telah banyak dilakukan. Mengingat dari segi kuantitas dan kualitas, kedua bahan tersebut berpotensi besar dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Perpaduan bungkil inti sawit (BIS) dan solid ex-decanter dalam pakan komplit dinilai baik, karena solid ex-decanter mempunyai sifat perekat sehingga kualitas pelet tidak pecah. Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian bertujuan untuk mengevaluasi secara fisik perbandingan komposisi terbaik dari BIS dan solid exdecanter dalam pakan komplit berbentuk pelet. Sifat fisik merupakan sifat dasar yang dimiliki suatu bahan (material). Sifat fisik bahan pangan maupun pakan mencakup aspek yang sangat luas tetapi informasi mengenai sifat fisik pakan masih terbatas atau dengan kata lain penelitian ini masih jarang dan bahkan belum pernah dilakukan sama sekali, padahal sangat penting sebagai dasar penggunaan yang optimal dari BIS dan solid ex-decanter sebagai pakan komplit berbentuk pelet. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Tahapan penelitian meliputi dua kegiatan pokok yaitu pembuatan pakan berbentuk pelet dan dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi fisik terhadap pakan berbentuk pelet tersebut seperti dijelaskan berikut ini. Pakan disusun dengan menggunakan tiga jenis bahan pakan yaitu bungkil inti sawit, solid ex-decanter dan tepung kanji yang dicampur denngan berbegai imbangan yang berbeda. Bungkil inti sawit dan solid ex-decanter diperoleh dari PT Multimas Nabati Asahan. Metode pembuatan pelet menggunakan teori coba-coba, dimana solid ex-decanter sebagai perekatnya dan sebagai pembanding adalah perlakuan pakan dengan menggunakan kanji sebagai perekatnya. Bahan dicampur secara merata sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan dan diproses menggunakan mesin
481
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
pelet sederhana untuk menghasilkan produk pelet. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Susunan kombinasi bahan pembuatan pakan berbentuk pelet
Perlakuan
Notasi
Perbandingan komposisi bahan (w/w; berat segar ) BIS
Solid
Kanji
Campuran-1
A
2
1
1
Campuran-2
B
2
2
1
Campuran-3
E
2
3
1
Campuran-4
C
1
2
0
Campuran-5
D
2
3
0
Campuran-6
F
2
1
0
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan kombinasi penggunaan bahan baku pelet. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan (STEEL and TORRIE, 1993). Peubah yang diukur adalah karakteristik fisik pelet yang terdiri atas: stabilitas air (water stability), absorpsi air, densitas pelet dan densitas bahan sebelum dibuat pelet atau dipadatkan, rasio ekspansi serta ketahanan benturan. Pengukuran Stabilitas air mengikuti MISRA et al. (2002) dengan tahapan sebagai berikut: sebanyak 5,0 gram pelet secara duplo dimasukan ke dalam tabung atau kontainer dari jaring kawat. Kemudian diimersi di dalam beaker glass yang telah berisi air dan magnet (kapasitas 2 liter), lalu dibiarkan selama 15 menit atau kira-kira sampai pelet sudah mengabsorpsi air, namun tidak sampai pecah. Selanjutnya, air pada pelet ditiriskan dan keringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 60°C. Stabilitas air dihitung menggunakan dengan cara membandingkan berat kering pelet setelah diimersi dan dioven dengan berat kering pelet sebelum diimersi. Untuk menghitung absorpsi air dilakukan langkah kerja yang serupa dengan penentuan stabilitas air, kecuali setelah diimersi pelet tidak dikeringkan, namun langsung ditimbang sebagai berat basah pelet setelah diimersi. Lama imersi adalah 1, 3, 5 dan 10 menit sekaligus merupakan ulangan perlakuan.
482
Absorpsi air dihitung mengikuti ANDERSON et al. (1969). Kepadatan atau densitas pelet (g/cm3) dihitung dengan cara membandingkan massa (g) dengan volume pelet (cm3) seperti dijelaskan dalam USDA (1999). Densitas pelet juga dibandingkan dengan densitas campuran bahan dalam bentuk mesh (tepung) yaitu tanpa diproses menjadi pelet atau tanpa pemadatan (KT) dihitung menurut KHALIL (1999). Rasio Ekspansi yaitu karakter yang menunjukan rasio antara diameter pelet dengan diameter die (penampang lubang) keluarnya pelet pada mesin. Rasio Ekspansi dihitung mengikuti CONWAY dan ANDERSON (1973). Uji ketahanan pelet terhadap benturan dilakukan dengan metode Shatter Test (BALOGOPALAN et al. (1988) yaitu dengan cara menjatuhkan sejumlah sampel pelet dari ketinggian 1 meter dalam kotak di atas lempeng besi. Persentase ketahanan benturan dihitung dengan membandingkan berat pelet utuh setelah dijatuhkan dengan berat pelet utuh sebelum dijatuhkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelet dikenal sebagai bentuk massa dari bahan pakan atau ransum yang dipadatkan sedemikian rupa dengan cara menekan melalui lubang cetakan secara mekanis (HARTADI et al., 1990) dengan tujuan untuk meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan, mengurangi tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan dan penyajian pakan. Kualitas pelet yang baik dapat dilihat dari kekerasan pelet, sedikitnya jumlah pelet yang hancur dan kemampuan pelet untuk tetap mempertahankan bentuknya yang utuh, baik saat pengangkutan maupun pemberian pakan. Hasil kajian terhadap penggunaan solid exdecanter sebagai perekat dalam pembuatan pelet dapat dilihat dengan cara mengukur beberapa sifat fisik dari pelet yang dihasilkan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2. Kondisi umum pelet yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki panjang berkisar antar 1.5 – 2.1 cm dan diameter 11 – 12 mm. Bau dari semua pelet perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Jika dilihat dari penampakkan warna, pelet yang menggunakan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 2. Karakteristik uji fisik terhadap pelet pada berbagai komposisi bahan campuran Perlakuan/perbandingan komposisi bahan (BIS : solid : kanji) Parameter
A (2 : 1 : 1)
B (2 : 2 : 1)
C (2 : 3 : 1)
D (1 : 2 : 0)
E (2 : 3 : 0)
F (2 : 1 : 0)
Stabilitas air, %
89,21a
88,15a
83,20c
84,28c
80,30d
86,21b
Absorpsi air, %
ab
a
198,50c
Densitas pelet, g/cm2
0,34b
0,33b
0,35b
0,34b
0,32b
0,41a
Densitas bahan (KT), g/cm3
0,28bc
0,27c
0,29b
0,27c
0,27c
0,32a
Rasio ekspansi, %
32,10
40,74
Tahan benturan, %
97,45a
97,12a
40,74
b
97,48a
32,10
c
97,60a
225,72
b
238,95
b
208,27
c
229,7
c
220,05
b
a
32,10c
97,53a
97,95a
58,85
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05)
kanji sebagai salah satu bahan penyusunnya terlihat sedikit lebih terang dibandingkan pelet yang hanya disusun bungkil inti sawit dengan solid ex-decanter saja. Pelet hasil penelitian juga mengalami penyusutan berat bahan sebelum dipelet dibandingkan dengan sesudah dipelet yaitu berkisar antara 9 – 10%. Besarnya penyusutan tersebut tidak berbeda nyata antara perlakuan penyusunan pembuatan pelet. Water stability/stabilitas air (SA) Dari pengamatan diketahui bahwa dibutuhkan waktu sekitar 1,05 jam agar pelet seluruhnya hancur (disintegrasi) dalam air yang diimersi. Pengaruh komposisi bahan terhadap karakter stabilitas air pelet (ketahanan pelet dalam air) pada berbagai komposisi menunjukkan nilai relatif tinggi berkisar antara 80 – 89% seperti yang terlihat pada Tabel 2. Stabilitas air pelet dari perlakuan yang menggunakan kanji sebagai perekat menunjukkan kisaran stabilitas air 83,20 – 89,21% atau lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pelet tanpa menggunakan kanji yang hanya berkisar 80,30 – 86,21%. Penggunaan BIS dan solid dengan rasio 2 : 1, baik tanpa ataupun dengan menggunakan kanji menunjukan stabilitas air yang paling baik. Oleh karena itu, untuk menentukan kompisisi yang optimal perlu dilakukan analisis ekonomi, karena penggunaan kanji akan memerlukan biaya tambahan, sedangkan peningkatan stabilitas pelet dalam air hanya sekitar 3%.
Absorpsi air (AA) Daya serap air adalah kemampuan suatu benda untuk menyerap air dari lingkungan sekitarnya. Daya serap air merupakan indikator stabilitas dimensi pelet terhadap penyerapan air. Pelet yang memiliki daya serap air yang tinggi akan membuat stabilitas dimensi pelet menjadi lunak dan cepat hancur jika terkena air sehingga disinyalir tidak tahan terhadap penyimpanan dalam kurun waktu yang lama. Umumnya kadar air ransum pakan ternak akan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan (PRABOWO, 2003). Kapasitas absorbsi air yang tinggi umumnya sejalan dengan tingkat keambaan pelet atau berbanding terbalik dengan densitas. Kemampuan absorbsi air pelet pada berbagai komposisi bahan berkisar anatara 198 – 238% (Tabel 2). Secara umum, perlakuan pelet tanpa menggunakan kanji menunjukan daya serap air yang rendah. Tingkat absorbsi air paling rendah terdapat pada pelet dengan komposisi BIS/solid/kanji 2/1/0. Hal ini mengindikasikan densitas pelet paling tinggi pada kompsosisi tersebut, sekaligus merupakan kondisi yang diharapkan yaitu densitas lebih tinggi jika hanya menggunakan BIS dan solid saja. Nilai absorpsi air yang rendah akan bermanfaat bagi produk pakan ikan supaya lebih tahan lama mengapung atau tidak cepat tenggelam. Berbeda halnya bagi pakan ruminansia, tingkat absorpsi air pelet ini perlu diperhitungkan dengan tepat, mengingat pelet dengan tingkat absorspsi air yang terlalu
483
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
rendah akan menyulitkan penghancuran pelet oleh saliva pada saat dikunyah oleh ternak, namun tingkat absorpsi air yang terlalu tinggipun akan menyebabkan pelet tidak tahan lama disimpan. Densitas (g/cm2) Densitas adalah massa partikel yang menempati satu unit volume tertentu (WIRAKARTAKUSUMAH, 1992). Densitas digunakan untuk mengetahui kekompakan dan tekstur pakan. Tekstur pakan yang kompak akan tahan terhadap pengaruh proses penekanan sehingga ikatan antar partikel penyusun pakan menjadi sangat kuat dan ruang antar partikel bahan pakan tidak terisi rongga udara. Kepadatan (densitas) pelet paling tinggi pada penelitian ini ditunjukkan oleh perlakuan F (BIS : solid : kanji, 2 : 1 : 0) yaitu sebesar 41% (Tabel 2). Angka ini menunjukkan adanya potensi solid sebagai perekat (binder) dalam pembuatan pelet. Telah dijelaskan lebih awal bahwa densitas pelet yang tinggi berkaitan erat dengan kemampuan pelet menyerap air dan keambaan yang rendah. Densitas bahan sebelum dibuat pelet atau dikenal dengan kerapatan tumpukan bahan (KT) berpengaruh terhadap daya campur dan ketelitian penakaran secara otomatis sebagaimana halnya berat jenis. Sifat ini juga memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat jenis tertentu seperti pada pengisian alat pencampur, elevator dan silo. Menurut RUTTLOFF (1981) dalam SUADNYANA (1998), pencampuran bahan dengan ukuran partikel yang sama, tetapi memiliki kerapatan tumpukan lebih dari 500 kg/m3 atau 0.5 g/cm3, maka bahan tersebut sulit dicampur serta mudah terpisah kembali. Sedangkan bahan yang mempunyai kerapatan tumpukan rendah yaitu kurang dari 450 kg/m3 atau 0,45 g/cm3 membutuhkan waktu untuk mengalir lebih lama. Hasil pengukuran terhadap densitas campuran bahan sebelum dipeletkan menunjukkan nilai kisaran antara 0,27 – 0,32 g/cm3 (Tabel 2). Kisaran nilai densitas ini mengindikasikan bahan tidak sulit dalam pencampuran dengan hasil yang kompak, namun ada kemungkinan membutuhkan laju
484
alir yang lebih lama. Oleh karena itu, sudah tepat apabila campuran bahan ini dikemas dalam bentuk pelet. Perbandingan antara densitas campuran bahan sebelum dipeletkan dengan densitas pelet menunujukkan terjadinya peningkatan densitas sekitar 5 – 9% (Tabel 2). Hal ini tentunya sesuai dengan tujuan pembuatan pelet yang mengharapkan terjadinya peningkatan densitas. Keuntungan pelet dengan densitas yang tinggi yaitu dapat mengurangi keambaan, mengurangi tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan dan penyajian pakan. Densitas yang tinggi juga akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer serta dapat mencegah “de-mixing” yaitu peruraian kembali komponen penyusun pelet sehingga konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan standar. Rasio ekspansi (%) Besarnya rasio ekspansi menunjukan tingkat ekspansi diameter bahan akibat proses pembuatan menjadi pelet. Rasio ekspansi ini menunjukan juga sejauh mana densitas bahan akan dipengaruhi akibat volume yang meningkat untuk setiap unit berat yang sama. Rasio ekspansi yang paling rendah pada pelet dengan komposisi BIS/Solid/Kanji sejalan dengan tingkat densitasnya yang paling tinggi (Tabel 2). Komposisi penggunaan BIS dan solid 2 : 1, baik dengan atau tanpa penambahan kanji (perlakuan A dan F) menunjukkan rasio ekspansi pelet yang lebih baik yaitu 32,10%. Namun mengingat perlakuan A mempunyai densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan F, maka perlakuan pelet dengan komposisi BIS dan solid 2 : 1 tanpa penambahan kanji dinilai sebagai perlakuan yang terbaik. Belum lagi penggunaan kanji juga akan memerlukan biaya tambahan. Uji ketahanan pelet terhadap benturan Uji ketahanan pelet terhadap benturan dilakukan untuk mengetahui apakah pelet yang dibuat akan tahan terhadap benturan, terjatuh, tertimpa beban berat dan gesekan baik pada saat penyimpanan ataupun pada proses pengangkutan. Hampir semua perlakuan pelet menunjukkan hasil uji ketahanan terhadap
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
benturan yang baik yaitu berkisar antara 97 – 98% (Tabel 2). Nilai ketahanan benturan tertinggi dihasilkan oleh perlakuan F dan terendah terjadi pada perlakuan B. Namun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata (F > 0,05) akibat perbedaan perlakuan penyusunan pelet terhadap ketahanan benturan. Hasil ini mengindikasikan bahwa pelet yang disusun dengan mengandalkan solid exdecanter sebagai perekat alami mampu menghasilkan kualitas pelet yang kompak dan kokoh tidak berbeda dengan kualitas pelet yang disusun dengan penambahan kanji. Menurut DOZIER (2001) kualitas pelet yang optimum harus mempunyai indeks ketahanan diatas 96%. Hasil penelitian ini tidak jauh beda dengan peneltian SUMARTINI (2004) yang melaporkan nilai ketahanan benturan pada ransum komplit domba berbentuk pelet berkisar antara 98,90 – 99,95% pada uji dengan metode Shatter test dan 93% pada uji dengan metode Cochrane test. KESIMPULAN Pelet yang dikategorikan paling baik secara fisik adalah mempunyai nilai stabilitas air dan densitas yang tinggi serta tahan terhadap benturan, namun mempunyai daya serap air yang sedang dan rasio ekspansi yang rendah. Hasil penelitian yang sesuai dengan kategori tersebut diperlihatkan oleh perlakuan pelet yang disusun dari kombinasi BIS dengan solid ex-decanter 2:1 tanpa penambahan kanji (Perlakuan F). Hasil ini mengindikasikan bahwa solid ex decanter mempunyai potensi sebagai bahan perekat alami dalam proses pembuatan pelet. Penggunaan BIS dan solid perlu juga diarahkan kepada industri atau usaha ternak ruminansia (penggemukan sapi/feed lot dan industri sapi perah) yang semakin berkembang di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA ANDERSON, R.A., H.F. CONWAY, V.F. PFEILER and L.E.J. GRIFFIN. 1969. Gelatinization of corn grits by roll-and extrusion cooking. Cereal. Sci. Today 14: 4 – 7; 11 – 12.
BALAGOPALAN C., G. PADMAJA, S.K. NANDA and S.N. MOORTHY. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC. Press, Florida. CONWAY, H.F. and R.A. ANDESRSON. 1973. Protein fortified extruded food products. Cereal. Sci. Today 18: 94 – 97. DOZIER, W.A. 2001. Kualitas pellet pakan unggas pedaging (terhubung berkala). http://www. alabio.cjb.net. (5 Juli 2009). HARTADI, H., S. REKSOHADIPROJO dan A.D. TILLMAN. 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press,. Yogyakarta. KHALIL. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Sifat Fisik Pakan Lokal: Kerapatan tumpukan, Kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan 22 (1): 1 – 11. MISRA, C.K., N.P. SAHU dan K.K. JAIN. 2002. Effect of extrusion processing and steam peleting diets on pelet durability, water absorption and physical response of Macrobrachium rosenbergii. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15(9): 1354 – 1358. PRABOWO, F.D. 2003. Performans Sapi Betina Brahman Cross Yang Diberi Wafer Ransum Komplit Berbahan Baku Jerami. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. STEEL, R.G.D dan J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: SYAH, M. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. SUADNYANA, I.W. 1998. Pengaruh Kandungan Air Dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Sifat Fisik Protein Lokal. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. SUMARTINI, R. 2004. Uji kualitas fisik dan palatabilitas pelet ransum komplit untuk domba yang menggunakan kulit singkong [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. TJOKROADIKOESOEMO, P.S. 1989. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT Gramedia, Jakarta. USDA. 1999. Practical procedures for grain handlers: Inpecting Grain. United States Department of Agriculture-Grain INspection, Packers and Stockyards Aministration. WIRAKARTAKUSUMAH, M.A. 1992. Sifat Fisik Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
485
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
DISKUSI Pertanyaan: Apa yang dimaksud solid ex – Decanter dan cara kerjanya sendiri seperti apa? Jawaban: Solid ex-decanter adalah salah satu limbah (by product) dari industri pengolahan buah sawit yang mempunyai kandungan nutrisi cukup baik bagi ternak (pakan ruminansia). Pemberiannya bias sebagai suplemen tunggal, campuran pakan pellet atau pakan tambahan.
486