PENGARUH SUBSTITUSI JAGUNG DENGAN SORGUM DAN MENIR SEBAGAI SUMBER PATI TERHADAP KUALITAS FISIK PELET PAKAN BROILER FINISHER
SKRIPSI DWI NOPRIANI
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN DWI NOPRIANI. D24101014. 2006. Pengaruh Substitusi Jagung dengan Sorgum dan Menir sebagai Sumber Pati terhadap Kualitas Fisik Pelet Pakan Broiler Finisher. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Yuli Retnani, M. Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc. Pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan. Ransum bentuk pelet adalah bentuk ransum yang banyak diproduksi di pabrik makanan ternak. Kendala penggunaan ransum bentuk pelet adalah mudah rapuh dan patah selama produksi, pengangkutan, dan penyimpanan. Cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan bahan perekat dalam ransum. Contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam ransum adalah pati. Pati banyak terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti jagung, sorgum dan menir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2005, di Laboratorium Industri Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan beberapa sumber pati terhadap kulitas fisik pelet broiler finisher ditinjau dari kadar air, ukuran partikel, ketahanan pelet terhadap benturan dan kekerasan pelet pada proses produksi berkesinambungan. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 3 macam, yaitu: 1) ransum mengandung 45% jagung (P1), 2) ransum mengandung 35% jagung + 10% sorgum (P2), dan 3) ransum mengandung 35% jagung + 10% menir (P3). Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Steel & Torrie, 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan beberapa sumber pati yang berbeda (jagung, sorgum, dan menir) dalam ransum broiler finisher bentuk pelet tidak mempengaruhi ukuran partikel pelet (6,50 mm ± 0,20 − 6,69 mm ± 0,04) ketahanan pelet terhadap benturan (84,73% ± 1,91 − 89,38% ± 2,81), dan kekerasan pelet (95,33% ± 1,15 − 97,67% ± 1,14), tetapi berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar air pelet (9,93% ± 0,30 − 12,26% ± 0,30). Kata kunci: pelet, pati, sifat fisik, sistem produksi berkesinambungan.
25
ABSTRACT
Effect of Substitution of Maize with Sorghum and Broken Rice as Starch Source on Physical Pellet Quality of Broiler Finisher Ration D. Nopriani, Y. Retnani, and H. A. Sukria The objectiv es of this research was to evaluate different starch source in broiler ration on the physical pellet quality in continous process. This research was designed by a Completely Randomized Design with three treatments and three replicates. The treatments were P1: ration with 45% corn, P2 : ration with 35% corn + 10% shorgum, P3 : ration with 35% corn + 10% broken rice. The data were analyzed using ANOVA and significance results were analyzed by orthogonal contrast test. The parameters observed : moisture conte nt, particle size, pellet durability, and shatter test. The result showed that different starch source did not influence the particle size showed variation 6.50 mm to 6.69 mm, pellet durability showed variation 84.73% to 89.38%, shatter test showed variation 95.33% to 97.67%, but the treatments gave a very significant effect (p<0.01) on moisture content with variation 9.93% to 12.26%. Keyword : pellet, starch, quality, continuous process
26
PENGARUH SUBSTITUSI JAGUNG DENGAN SORGUM DAN MENIR SEBAGAI SUMBER PATI TERHADAP KUALITAS FISIK PELET PAKAN BROILER FINISHER
DWI NOPRIANI D24101014
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
27
PENGARUH SUBSTITUSI JAGUNG DENGAN SORGUM DAN MENIR SEBAGAI SUMBER PATI TERHADAP KUALITAS FISIK PELET PAKAN BROILER FINISHER
Oleh : DWI NOPRIANI D24101014
Skripsi ini telah disetujui dan telah disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 27 Januari 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Yuli Retnani, M. Sc. NIP. 131 878 943
Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc. NIP. 131 964 510
Mengetahui, Dekan Fakultas Peternakan
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur. Sc. NIP. 131 624 188
28
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 5 November 1983 di Muara Bungo, Jambi. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dalam keluarga Bapak Nurdin Hamid dan
Ibu Siti Hajir. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 298
Muara Bungo pada tahun 1995. Penulis lulus dari SLTPN 3 Muara Bungo pada tahun 1998, kemudian mulai menempuh pendidikan SMU di SMUN 2 Muara Bungo dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2001 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
29
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Alhamdullillah, puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmatNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Substitus i Jagung dengan Sorgum dan Menir sebagai Sumber Pati terhadap Kualitas Fisik Pelet Pakan Broiler Finisher.” ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis dari bulan Februari sampai dengan April 2005 di Laboratorium Industri Makanan Ternak, Program Studi Nutrisi dan Makanan ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan usaha peternakan. Bentuk pakan secara fisik terdiri dari tiga macam yaitu mash, pellet dan crumble. Ransum bentuk pelet umumnya diberikan pada ternak usia dewasa. Penggunaan pakan bentuk pelet dapat menghemat waktu makan dan meningkatkan konsumsi, sehingga pertumbuhan ternak lebih cepat. Masalah yang sering terjadi pada pakan bentuk pelet adalah kerusakan bentuk fisik atau hancur selama produksi dan pengangkutan. Masalah ini dapat diatasi dengan penggunaan bahan perekat. Contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam ransum adalah pati. Pati banyak terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti jagung, sorgum dan menir. Skripsi ini ditulis untuk mengetahui pengaruh substitusi 10% jagung dengan sorgum dan menir sebagai sumber pati terhadap kualitas fisik pelet pakan broiler. Proses pembuatan skripsi ini dilaksanakan melalui dua tahap penelitian yaitu tahap pembuatan pelet (proses produksi) dan tahap analisis terhadap peubah yang diamati. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Penulis juga menyampaikan terima kasih atas saran dan masukan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Alhamdulillahirobbil’alamiin Bogor,
Januari 2006
Penulis 30
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN …………………………………………………………….
ii
ABSTRACT …………………………………………………………….
iii
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………….
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR TABEL
…………………………………………….
…………………………………………………….
x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
…………………………………………….
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………. Perumusan Masalah ……………………………………………. Tujuan …………………………………………………………….
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Ransum Ayam Broiler ……………………………………. Pelet ……………………………………………………………. Proses Produksi berkesinambungan …………………………… Proses Pembuatan Pelet …………………………………… Penggilingan …………………………………………… Pencampuran …………………………………………… Conditioning …………………………………………… Pencetakan …………………………………………… Pendinginan …………………………………………… Pati ……………………………………………………………. Jagung ……………………………………………………………. Sorgum ……………………………………………………. Menir ……………………………………………………………. Sifat Fisik Pakan ……………………………………………. Kadar Air ……………………………………………. Ukuran Partikel ……………………………………. Ketahanan Pelet terhadap Benturan ..............…………… Kekerasan Pelet ...................……………………… METODE
3 4 5 6 6 7 7 8 8 9 10 10 11 13 14 14 15 15
Lokasi dan W aktu ……………………………………………. Materi Bahan ……………………………………………………. Alat ……………………………………………………. Rancangan Percobaan…………………………………………….
17 17 17 18 31
Prosedur Penelitian Pembuatan Formulasi Ransum …………………… Pembuatan Pelet …………………………………… Pengukuran Sifat Fisik ……………………………
19 20 22
HASIL DAN PEMBAHASAN
……………………………………
24
KESIMPULAN DAN SARAN
……………………………………
31
UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………
32
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
33
LAMPIRAN ……………………………………………………………
36
32
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Standarisasi Ransum Broiler Finisher
2.
Kandungan nutrisi Jagung, Sorgum dan Beras………………………
13
3.
Formulasi Ransum Broiler Finisher ……………………………….
19
4.
Kandungan Zat Makanan Ransum Broiler Finisher Berdasarkan Perhitungan
……………………….
……………………….……………….
4
19
5.
Hasil Analisa Pati Pelet Penelitian
……………………………….
25
6.
Kualitas Fisik Pelet Komersil ……………………………………….
25
7.
Kadar Air Pelet Penelitian
26
8.
Ukuran Partikel Pelet Penelitian
………………………………..
27
9.
Ketahanan Benturan Pelet Penelitian ………………………………..
28
10. Kekerasan Pelet Penelitian
………………………………………..
………………………………………..
29
33
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Skema Pengolahan Padi Menjadi Beras ………………………………
12
2. Skema Proses Pembuatan Pelet dengan Sistem Produksi Berkesinambungan ................................................................
20
3. Rangkaian Mesin Pelet pada Sistem Produksi Berkesinambungan ......
21
4. Penampilan Fisik Pelet Broiler Finisher ...............................................
24
34
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam Kadar Air .......................................................................
37
2. Uji Kontras Ortogonal Kadar Air
......................................................
37
3. Sidik Ragam Ukuran Partikel ..............................................................
37
4. Sidik Ragam Ketahanan Benturan ......................................................
38
5. Sidik Ragam Kekerasan .......................................................................
38
6. Grafik Gelatinisasi Pelet I (45% Jagung) …………………………….
38
7. Grafik Gelatinisasi Pelet II (35% Jagung + 10% Sorgum) …………...
39
8. Grafik Gelatinisasi Pelet III ( 35% Jagung + 10% Menir) ……………
39
35
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan ayam broiler merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan, khususnya daging. Penyediaan pakan yang bermutu tinggi merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan secara intensif. Besarnya biaya pakan dari total produksi menyebabkan kualitas pakan harus dijaga dan dipertahankan baik dari segi nutrisi dan bentuk fisik. Bentuk pakan terdiri dari mash (tepung), pellet (pelet) dan crumble (butiran). Pakan bentuk pelet merupakan bentuk pakan yang dipadatkan, dikompakkan melalui proses
mekanik.
Pembuatan
pelet
dapat
meningkatkan
palatabilitas
dan
menyebabkan kenaikan konsumsi pakan ternak, disamping itu juga memudahkan penanganan dan penyimpanan, mengurangi debu dan sisa pakan. Parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas pelet adalah durability (ketahanan pelet terhadap benturan) dan hardness (kekerasan pelet) (Thomas dan van der Poel, 1996). Pelet yang berkua litas baik adalah pelet yang memiliki ketahanan benturan dan kekerasan yang baik pula. Menurut Dozier (2001), standar ketahanan benturan untuk ransum ayam broiler adalah minimal 80%. Faktor yang mempengaruhi kualitas pelet antara lain proses produksi, alat produksi dan bahan baku yang digunakan. Proses produksi pelet terdiri dari proses produksi berkesinambungan (continuous) dan proses produksi terputus (intermitten). Proses produksi berkesinambungan memungkinkan menghasilkan kualitas pelet yang lebih baik dibanding proses produksi terputus. Hal ini disebabkan oleh alur produksi yang
berlangsung
secara
terus -menerus
atau
berkesinambungan
sehingga
menghindari resiko pelet rusak atau hancur pada saat pemindahan dari satu proses ke proses berikutnya seperti pa da proses produksi terputus. Bahan perekat diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur dan mudah dibentuk selama proses pembuatannya. Oleh karena itu, penggunaan bahan perekat untuk mempertahankan kualitas pakan secara fisik perlu mendapat perhatian. Salah satu contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam pakan adalah pati. 36
Pati selain sebagai sumber energi juga dapat berfungsi untuk mengikat komponen-komponen bahan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur. Pati terdapat pada bahan-bahan sumber karbohidrat seperti jagung, sorgum dan beras. Penggunaan bahan sumber karbohidrat dalam pakan berfungsi sebagai perekat yang dapat memperkuat ikatan partik el penyusun pelet serta dapat menurunkan harga pakan yang dijual, selain itu sekaligus sebagai sumber energi dalam pakan. Kualitas dan kuantitas pakan sangat penting untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam memproduksi ayam pedaging. Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi tersebut adalah dengan memperhitungkan dan menggunakan bentuk fisik pakan yang sesuai. Bentuk fisik pakan sangat mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping unsur gizi yang terkandung dalam pakan. Pengetahuan tentang sifat fisik pakan dapat dimanfaatkan untuk menentukan keefisienan proses penanganan, pengolahan dan penyimpanan.
Perumusan Masalah Jagung, sorgum dan menir merupakan bahan-bahan sumber karbohidrat dalam ransum. Selain sebagai sumber karbohidrat, bahan-bahan tersebut juga sebagai sumber pati yang berfungsi sebagai perekat dalam pakan. Pakan bentuk pelet sering mengalami kerusakan bentuk fisik atau hancur selama proses pembuatan dan pengangkutan, sehingga dengan penggunaan sumber pati dalam ransum diharapkan dapat memperbaiki kualitas fisik pelet yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan beberapa sumber pati terhadap kualitas fisik pelet.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik pelet pakan broiler finisher yang mengandung jagung sebagai sumber pati dan setelah substitusi 10% jagung dengan bahan sumber pati lain yaitu sorgum dan menir. Peubah kualitas fisik yang diukur adalah kadar air, ukuran partikel, ketahanan pelet terhadap benturan dan kekerasan pelet.
37
TINJAUAN PUSTAKA Ransum Ayam Broiler Komponen bahan makanan yang dapat dimakan, dicerna, diserap serta dapat bermanfaat bagi tubuh disebut zat makanan. Zat makanan tersebut terdiri dari air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral, ya ng dapat memelihara prosesproses metabolik tubuh (Amrullah, 2003). Ensminger et al. (1990), menyatakan bahwa ransum adalah campuran jenis pakan yang diberikan pada ternak untuk sehari semalam selama umur hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Menurut Wahyu (1997), ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang, posfor, kalsium, dan mineral serta vitamin yang sangat penting artinya selama tahap permulaan hidupnya. Kebutuhan nutrisi broiler dapat dibedakan berdasarkan periode pertumbuhan. Ransum broiler starter hendaknya mengandung energi metabolis sebesar 2800-3300 kkal/kg ransum dan protein kasar sebesar 19,5-22,7% dan untuk ransum broiler finisher mengandung energi metabolis sebesar 2900-3400 kkal/kg ransum dan protein kasar sebesar 18,1-21,2% (Scott et al., 1982). Amrullah (2003), menyatakan bahwa bentuk fisik ransum ada tiga macam, yaitu : 1. Tepung. Bentuk tepung dapat diberikan pada anak ayam umur 0-2 minggu. Bentuk ransum ini sederhana, paling mudah dan murah. 2. Pelet. Bentuk ransum ini diberikan pada anak ayam umur 2 atau 3 minggu dan pada umur 4 minggu broiler dapat diberi ransum dengan ukuran pelet yang lebih besar. 3. Crumble (remahan). Bentuk ini butirannya lebih kecil dan halus. Masing-masing bentuk pakan memiliki kelebihan dan kekurangan (Amrullah, 2003).
38
Persyaratan mutu ransum broiler finisher berdasarkan SNI No. 01-3931-1995 (Direktorat Bina Produksi, 1997) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Standarisasi Ransum Broiler Finisher Zat Makanan
Kandungan
Kadar air (maksimum)
14,0 %
Protein Kasar
18,0-22,0 %
Lemak Kasar
2,0-7,0 %
Serat Kasar (maksimum)
5,5 %
Abu
5,0-8,0%
Calsium (Ca)
0,9-1,2 %
Phospor (P)
0,7-1,0 %
Aflatoksin (maksimum)
60 pbb
Lysine (Minimum)
0,9 %
Methionine (Minimum)
0,1 %
Sumber: Direktorat Bina Produksi (1997) Pelet Cara untuk meningkatkan nutrisi suatu bahan pakan ternak adalah mengurangi ukuran partikel bahan tersebut dengan memotong, menggiling dan memadatkan. Kombinasi dari ketiga cara tersebut adalah membentuk produk yang disebut pelet. Pelet merupakan pakan yang dipadatkan, dikompakkan melalui proses mekanik. Pelet dapat dicetak dalam bentuk gumpalan dan silinder kecil yang berbeda diameter, panjang dan tingkat kekuatannya (Ensminger et al., 1990). Beberapa keuntungan pelet yaitu meningkatkan kapasitas konsumsi sebagai akibat peningkatan kerapatan bahan ransum yang dibuat pelet maka ternak yang mempunyai volume saluran pencernaan terbatas seperti unggas dapat mengkonsumsi ransum lebih banyak sehingga ada jaminan lebih banyak makanan yang masuk; mengurangi waktu makan sehingga menghemat energi dan energi yang dihemat ini akan digunakan oleh ternak untuk produksi; menjadikan ransum lebih homogen; 39
mengurangi bagian yang terbuang dibandingkan bentuk mash; dari segi ekonomisnya mengurangi biaya produksi, mengurangi aktivitas ayam untuk memilih-milih makanan. Kerugiannya antara lain meningkatkan konsumsi air minum, kotoran unggas menjadi basah, merusak zat nutrisi yang terdapat dalam jumlah sedikit pada ransum dan meningkatkan peristiwa kanibalisme diantara unggas (Patrick dan Schaible,1980). Balagopalan
et
al.
(1988)
menyatakan
bahwa
faktor–faktor
yang
mempengaruhi kualitas pelet antara lain: 1. Pati, bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi dan ini berfungsi sebagai perekat, sehingga mempengaruhi kekuatan pelet. 2. Serat, berfungsi sebagai kerangka pelet. 3. Lemak berfungsi sebagai pelicin selama proses pembentukan pelet dalam mesin pelet sehingga mempermudah pembentukan pelet. 4. Kadar air bahan baku 5. Ukuran partikel dan suhu sebelum penekanan. Komposisi bahan baku pakan yang digunakan dalam proses pembuatan pelet juga mempengaruhi kualitas fisik pelet yang dihasilkan, seperti adanya penambahan zat perekat (Angulo et al., 1995). Sistem variabel yang menentukan kualitas pelet yang dihasilkan salah satunya adalah konsumsi energi pada saat pembuatan pelet, sedangkan perubahan fungsi pakan yang terjadi pada saat pembentukan pelet adalah terjadinya gelatinisasi pati, denaturasi protein dan solubilisasi serat. Kualitas pelet yang dihasilkan dapat dilihat dari kualitas nutrisi seperti kandungan energi dan protein, kualitas higienis yaitu jumlah bakteri yang ada, da n kualitas fisik seperti kekerasan dan durabilitas pelet (Thomas et al., 1997). Proses Produksi Berkesinambungan Assauri (1980) menyatakan bahwa proses produksi dapat diartikan sebagai cara, metode dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan-bahan dan dana). Sistem proses produksi dalam teknologi pengolahan pakan dapat 40
dilakukan melalui sistem proses produksi terputus-putus (intermitent process) atau sistem proses pr oduksi terus-menerus (Continuous process). Menurut Assauri (1980), sistem proses produksi terputus-putus (intermitent process) adalah suatu proses yang memproduksi produk secara terputus-putus melalui setiap satu jenis mesin processing (Batch Machine) sepe rti penggunaan mixer atau pelleter saja untuk menghasilkan produk. Sistem proses produksi terus-menerus (Continuous process) adalah proses produksi terus -menerus dimulai dari bahan datang sampai menghasilkan produk melalui satu rangkaian mesin processing. Menurut Asauri (1980), kelebihan dari proses produksi continuous adalah tingkat biaya produksi perunit rendah karena produk yang dihasilkan dalam volume atau jumlah besar, biaya tenaga kerja rendah dan biaya pemindahan bahan dalam pabrik rendah karena jarak antar mesin yang satu dengan mesin yang lain lebih pendek. Kekurangan dari proses produksi continuous adalah terdapat kesukaran untuk menghadapi perubahan produk yang diminta oleh konsumen karena salah satu sifat dari proses continuous adalah variasi produk yang dihasilkan kecil, dan jika terjadi kemacetan pada salah satu tingkat proses, maka seluruh proses produksi akan terhenti. Proses Pembuatan Pelet Proses pembuatan pakan, pemilihan dan pengolahan bahan baku merupakan tahap yang sangat penting karena akan menentukan kualitas pakan yang dihasilkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan baku harus dilakukan dengan baik dan pengolahan harus tepat. Mc Ellhiney (1994) menyatakan bahwa proses pembuatan pelet merupakan proses pengolahan bahan baku pakan secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas, dan tekanan. Proses pembuatan pakan ditempuh dalam berbagai tahap, yaitu penggilingan atau penepungan, pencampuran, pencetakan dan pendinginan (cooling). Penggilingan Penggilingan bahan merupakan proses pe ngecilan ukuran dari bahan padat atau butiran dengan gaya mekanis menjadi berukuran yang lebih kecil. Dengan memperkecil ukuran ini, bahan dapat dipisahkan atas keperluannya dan meningkatkan daya reaktivitas (Hubeis, 1984). 41
Penggilingan atau penepungan juga akan mempermudah proses berikutnya yaitu pencampuran dan pencetakan. Penggilingan bertujuan untuk: (i) meningkatkan kecernaan pakan; (ii) meningkatkan palatabilitas dan efisiensi penggunaan pakan; (iii) menyeragamkan bentuk dan ukuran partikel bahan baku; (iv) memudahkan proses pencampuran, pelleting , pengangkutan, dan penyimpanan; dan (v) meningkatkan penampilan produk (Pfost, 1976). Pencampuran Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan pakan dengan distribusi zat makanan dan obat-obatan yang merata. Pencampuran bahan-bahan dilakukan secara merata dan homogen agar seluruh bagian pakan yang dihasilkan mempunyai komposisi zat gizi yang merata dan sesuai dengan formulasi. Pencampuran bahanbahan secara mekanis dimulai
dari bahan yang volumenya paling besar hingga
bahan yang volumenya paling kecil. Bahan baku dalam jumlah kecil pencampurannya dilakukan pada wadah dan pengadukannya dilakukan dengan tangan atau alat seperti centong nasi. Pencampuran bahan baku dalam jumlah besar biasanya menggunakan alat bantu berupa mesin pencampur (mixer) (Pfost, 1976). Conditioning Proses conditioning dalam pembuatan
pakan
khususnya
pelet
dapat
meningkatkan kualitas fisik dan nutrisi pakan yang diproduksi (Thomas et al., 1997). Pembuatan pelet dengan penambahan air, panas dan tekanan dalam jangka waktu tertentu dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pakan yang akan dihasilkan. Jumlah air atau uap panas yang ditambahkan saat proses pembuatan pelet merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pelet yang dihasilkan (Khalil dan Suryahadi, 1997). Penyemprotan atau penambahan air dalam suatu bahan tidak akan merubah suatu komposisi nutrisi bahan pakan (Thomas et al. , 1997). Air juga berperan dalam pembentukan gelatin pada proses pengolahan yang didukung oleh adanya panas (Dewi, 2001). Hasil penelitian Hasanah (2002) memperlihatkan bahwa pembuatan pelet dengan penambahan air sebanyak 5 % melalui proses penyemprotan dapat menghasilkan pelet dengan kerapatan tumpukan sebesar 500 kg/m3 , kerapatan 42
pemadatan tumpukan pelet sebesar 570 kg/m3 serta sudut tumpukan pelet sebesar 34,50. Keberadaan air dalam suatu bahan bisa menjadi pelicin dalam sutu proses produksi. Penambahan air melalui penyemprotan dalam proses pembuatan pelet akan meningkatkan kandungan air bahan sehingga bahan menjadi lunak. Permukaan bahan yang lunak atau basah akan menyebabkan faktor gesekan menurun sehingga proses penekanan dan pengeluaran bahan bisa lebih cepat. Penambahan air yang terlalu banyak atau berlebihan dapat menurunkan kualitas pelet (Thomas et al., 1997). Proses gelatinisasi pati pada proses pembuatan pelet sangat tergantung dengan adanya air, panas dan tekanan. Adanya pemanasan dan penambahan air pada proses pembuatan pelet menyebabkan amilosa mulai tersebar keluar dari granula dan pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula sehingga dihasilkan gel (Wirakartakusumah et al., 1992). Pencetakan Pfost (1976) menyatakan bahwa pelleting adalah pengelompokan individu atau campuran bahan baku dengan cara memadatka n dan menekan bahan baku melalui lubang silinder. Beberapa variabel yang berpengaruh pada saat proses pelleting adalah: (i) karakteritik bahan baku meliputi formula, keseragaman, ukuran partikel, dan kadar air (moisture); (ii) kehalusan hasil penggilingan berbagai bahan baku; dan (iii) proses conditioning. Pendinginan Pendinginan (cooling) diperlukan untuk menurunkan kadar air dan panas laten pelet setelah pencetakan. Pada umumnya pelet keluar dari die pada temperatur yang berkisar antara 60-950 C dengan kandungan air sebanyak 120-175 g/kg. Air bebas yang terkandung didalam pakan akan menurun dengan adanya proses pendinginan, sehingga memungkinkan untuk disimpan dan dijual dalam waktu yang relatif tidak singkat (Thomas et al., 1997). Pfost (1976) menyata kan bahwa pelet harus didinginkan dan dikeringkan karena kadar air (moisture) yang berlebihan memperbesar kerusakan dan kesulitan 43
penanganan pelet selama penyimpanan. Pelet yang panas diletakkan didalam bin atau peralatan penanganan yang memiliki temperatur rendah sehingga mengalami kodensasi. Daya tahan pelet secara normal meningkat dengan pendinginan dan pengeringan. Pati Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji atau umbi tumbuh-tumbuhan. Pati juga terdapat pada bagian tumbuhan yang berwarna hijau. Pati terdapat dalam sel tanaman dalam bentuk partikel-partikel yang tidak larut yang disebut granula. Ukuran dan bentuk granula pati ini berbeda-beda antara satu tanaman dengan tanaman lain (Lineback dan Inglet, 1982). Granula pati merupakan suatu sistem heterogen yang terdiri dari dua komponen yang berlainan yaitu amilosa dan amilopektin. Karakteristik normal dari pati biji-bijian terdiri dari kira-kira 30% amilosa dan 70% amilopektin. Perbandingan antara jumlah amilosa dan amilopektin didalam granula mempengaruhi tingkat kekentalan gel. Pati yang mengandung amilosa tinggi memiliki gel yang lebih kaku daripada gel yang dihasilkan dari pati dengan amilosa rendah. Pati dalam bentuk granular alamiah mempunyai kerapatan yang tinggi, karena itu pati dapat bertahan terhadap kerja mekanik dan praktis tidak larut dalam air dingin. Jika suhu dinaikkan, granula akan menyerap air dan mengembang. Bila pati dipanaskan dalam air, pati tersebut tidak akan mengalami perubahan yang nyata sampai pada saat mencapai suhu gelatinisasi (Kulp, 1975). Pada suhu gelatinisasi butir-butir pati akan mengembang. Bila pemanasan diteruskan pengembangan akan mencapai titik maksimum dan granula pati akan pecah sehingga kekentalan dari suspensi pati akan naik (Winarno, 1980). Semakin banyak jumlah pemanasan dan air, amilosa mulai tersebar keluar dari granula dan pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula dan dari proses tersebut dihasilkan gel (Harper, 1979). Proses pembentukan gel dari suspensi pati disebut gelatinisasi. Dalam proses pembuatan pelet, pati merupakan bahan pembentuk zat perekat (gel). Akibat adanya proses pemanasan dan tekanan pada saat proses pelleting, pati akan membentuk gel yang sangat membantu dalam proses pembuatan pakan agar menjadi lebih padat, keras dan tidak mudah pecah (Rasidi, 1997). Pati terdapat dalam bahan-bahan sumber karbohidrat. Beberapa bahan sumber karbohidrat yang biasa digunakan sebagai pakan ternak antara lain jagung, sorgum dan ubi kayu. 44
Jagung Jagung ( Zea mays L. ) adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis, tetapi dapat tumbuh dan hidup baik diberbagai macam iklim. Jagung relatif kurang membutuhkan pemeliharaan dan dapat tumbuh tanpa banyak persyaratan sehingga dapat ditanam pada hampir semua jenis tanah. Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija di Indonesia yang kegunaannya relatif luas terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan ternak dan konsumsi manusia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi jagung tahun 2005 diperkirakan sebesar 12,01 juta ton pipilan kering atau meningkat sebanyak 788 ribu ton (7,02 persen) dibandingkan dengan produksi tahun 2004. Jagung merupakan bahan pakan sumber energi dalam komponen penyusun ransum ternak. Jagung termasuk sumber energi yang sukar larut, dan jika dikonsumsi dalam keadaan mentah, sekitar 40% pati jagung lolos degradasi. Bagian yang dikonsumsi dari jagung adalah bijinya. Biji jagung memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Biji jagung terdiri atas empat komponen utama, yaitu kulit luar, lembaga, endosperma dan pangkal biji. Tiap komponen biji jagung mempunyai komposisi kimia yang berbeda -beda. Pati umumnya sebagian besar terdapat pada bagian endospermanya, sedangkan lemak, protein dan gula terdapat pada bagian lembaganya. Menurut Winarno (1988) komposisi kimia jagung terdiri dari air (12-14%), pati (60-61.5%), protein (5.3-8.5%), lemak (4.4-4.5%), pati merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam biji jagung yang terdiri atas amilosa 27% dan amilopektin 73%. Jagung dengan komposisi kimianya yang cukup baik telah memberi sumbangan yang besar dalam menu masyarakat pada daerahdaerah tertentu di Indonesia. Menurut Jugenheimer (1976), komposisi kimia jagung bervariasi tergantung pada varietas, cara penanaman, iklim dan tingkat kematangan. Komposisi kimia jagung berubah selama pertumbuhan (Somaatmadja, 1968), jagung muda misalnya, mengandung kadar pati, lemak dan protein yang lebih rendah dibanding jagung tua. Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor L.) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dike mbangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta 45
lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Tanaman sorgum termasuk dalam kelas Monocotyledon keluarga Gramineae dengan bermacam-macam jenis (Mudjisihono, 1990). Tanaman sorgum berasal dari Afrika. Sorgum merupakan tanaman biji-bijian yang dianggap penting dan bernilai ekonomis dibeberapa negara, terutama negara yang beriklim kering. Beberapa negara memanfaatkan biji sorgum sebagai pangan, sedangkan di Amerika Serikat sorgum digunakan sebagai pakan ruminansia dan unggas. Sorgum lebih tahan lama dan lebih tahan kekeringan dibanding jagung, untuk itu sorgum dapat dijadikan pengganti biji jagung dalam pakan (Mc Donald et al., 1995). Sorgum secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan warna yaitu sorgum kuning, putih, coklat serta warna campuran. Komposisi kimia biji sorgum setara dengan jagung, umumnya terdiri dari lebih besar protein dan sedikit minyak dibanding jagung serta tidak berpigmen xantofyl (Mc Donald et al., 1995). Sorgum mengandung pati sebesar 70-75% yang terdiri dari 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin (Mudjisihono, 1990). Kendala penggunaan sorgum sebagai pakan yaitu adanya tanin yang merupakan zat antinutrisi. Kandungan tanin sorgum bervariasi mulai dari 0.1-4.7% tergantung pada varietasnya. Kandungan tanin yang tinggi pada sorgum terdapat dibagian kulit ari biji. Cara untuk mengurangi kandungan tanin pada sorgum adalah dengan melakukan perebusan (Gunawa n dan Zainudin, 1995). Secara umum kualitas biji sorgum tidak berbeda jauh dengan jagung, sehingga pengembangan sorgum dalam bidang peternakan ditujukan untuk menggantikan sebagian atau seluruh peranan jagung dalam ransum ternak. Menir Beras juga merupakan bahan ransum yang baik untuk unggas meskipun lebih dikenal sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Kandungan energi metabolisme beras sekitar 3100 kkal/kg (Sudaro dan Siriwa, 1999). Unsur terbesar dari zat penyusun butir beras adalah karbohidrat/pa ti lalu diikuti oleh protein. Zat pati terutama terdapat pada bagian endosperm dari butir beras. Pada bagian luar endosperm masih terdapat bagian-bagian yang bukan pati seperti protein dan lipid. Makin ke tengah endosperm, bagian-bagian bukan pati ini sema kin menurun, 46
sehingga pati merupakan bagian terbesar. Pati merupakan polimer glukosa yang dicirikan dari warna granula yang putih, mengkilap, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Pati beras mempunyai fraksi linear (amilosa) dan fraksi bercabang (amilopektin) (Hubeis, 1984). Pati beras terdiri dari 18-22% amilosa dan 78-82% amilopektin. Kandungan amilopektin yang tinggi pada beras akan menyebabkan kepulenan. Karena itu, beras ketan lebih pulen dibandingkan beras biasa bila ditanak. Peternak biasanya bukan memberikan beras utuh pada unggas, melainkan beras menir (beras pecah). Menir biasanya tidak dimakan oleh manusia sehingga dapat digunakan untuk ternak. Menir merupakan hasil dari proses pengolahan padi menjadi beras seperti halnya beras patah, tetapi menir berukuran lebih kecil dibandingkan beras patah. Menir adalah beras patah yang ukurannya lebih kecil dari 0,2 bagian beras utuh atau butir beras patah yang lolos ayakan dengan ukuran 1,7 mm (Kadarisman, 1986). Menir mengandung pati sebesar 85-87,8 % (Kriangsak et al., 1990). Padi (1000 gram) Sekam (200 gram)
Beras Coklat (800 gram)
Beras Putih (700 gram) Beras Kepala (480 gram)
Beras Pecah/Menir (220 gram)
Dedak(100 gram) Slip (30 gram)
Bekatul (70 gram)
Gambar 1. Skema Pengolahan Padi menjadi Beras (Kadarisman, 1986)
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Jagung, Sorgum dan Beras Unsur Nutrisi
Kandungan/100g 47
Jagung
Sorgum
Beras
Kalor i (cal)
361
332
360
Protein (g)
8,7
11,0
6,8
Lemak (g)
4,5
3,3
0,7
Karbohidrat (g)
72,4
73,0
78,9
Kalsium (mg)
9,0
28,0
6,0
Besi (mg)
4,6
4,4
0,8
Fosfor (mg)
380
287
140
Vit. B1 (mg)
0,27
0,38
0,12
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992) Sifat Fisik Pakan Kualitas dan kuantitas ransum berperan penting dalam mencapai efisiensi ekonomi dalam memproduksi ayam pedaging. Salah satu cara untuk mencapai dan meningkatkan efisiensi tersebut adalah dengan menggunakan bentuk fisik ransum yang sesuai. Disamping unsur gizi yang terkandung dalam ransum, ternyata bentuk fisik ransum sangat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), pemahaman tentang sifat-sifat bahan dan perubahan yang terjadi pada pakan dapat digunakan untuk menilai dan menetapkan mutu pakan. Disamping itu, pengetahuan tentang sifat fisik digunakan juga untuk menentukan keefisienan proses penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Sifat fisik bahan pakan sangat dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran partikel bahan, juga dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan partikel bahan. Kandungan air suatu bahan tidak konstan. Hal ini dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu dan kelembaban udara sekitarnya. Menurut Kolatac (1996), manfaat mengetahui sifat fisik dari bahan pakan yaitu membantu dalam perancangan pengembangan design alat pengolahan (procesing) dan pemindahan (conveying) dalam rangka mengurangi resiko kerusakan bahan pakan. Keberhasilan teknologi pakan, homogenitas pengadukan ransum, laju aliran pakan 48
dalam organ pencernaan, proses absorbsi dan deteksi kadar nutrien semuanya terkait erat dengan sifat fisik bahan pakan (Sutardi, 1997). Kadar Air Kadar air merupakan salah satu komponen penting dalam bahan pangan maupun pakan yang sangat berpengaruh terhadap mutu dan kualitas bahan pangan dan pakan. Kadar air bahan adalah jumlah air total yang terkandung dalam bahan pangan atau pakan tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air (Syarief dan Halid, 1993). Kandungan air suatu bahan tidak konstan, dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu dan kelembaban udara sekitarnya (Bala, 1997). Kadar air juga dapat dinyatakan sebagai persentase kandungan air suatu bahan berdasarkan berat basah (wet basis) dan berat kering (dry basis). Berdasarka n SNI 01-3931-1995, kadar air maksimum untuk ransum unggas adalah 14% (Direktorat Bina Produksi, 1997). Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH) udara sekitarnya, bila kadar air bahan rendah atau suhu bahan tinggi sedangkan RH disekitarnya tinggi maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab atau kadar air bahan menjadi tinggi. Suhu bahan yang lebih rendah (dingin) daripada RH disekitarnya akan menyebabkan kondensasi uap air udara pada permukaan bahan, dan hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas bahan atau pakan akibat tumbuhnya jamur atau perkembangan bakteri (Winarno et al., 1980). Ukuran Partikel Ukuran partikel merupakan faktor yang sangat penting dalam karakteristik pencampuran bahan paka n dan kemampuan pelleting. Ukuran partikel juga menjadi faktor penentu penumpukan bahan pakan/pakan dalam bin dan berperan dalam menentukan konversi pakan (Fogo, 1994). Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata-rata ukuran partikel dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran partikel pelet ayam broiler yang biasa digunakan dalam industri pakan adalah 4-5 mm (Pfost, 1976). Sebagian besar bahan yang digunakan dalam produksi pakan mengalami pengurangan ukuran partikel baik dalam proses produksi maupun sebelum diterima oleh pabrik pakan (Owens dan Heimann, 1994). 49
Alasan pengurangan ukuran partikel dalam proses produksi pakan adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan luas permukaan 2. Memudahkan penanganan beberapa bahan pakan 3. Mempermudah pencampuran bahan pakan 4. Meningkatkan efisiensi pelleting dan kualitas pelet Ketahanan Pelet terhadap Benturan Ketahanan pelet terhadap benturan dapat diuji dengan melakukan cochrane test, yaitu dengan memasukkan pelet yang telah diketahui beratnya kedalam sebuah drum logam yang kemudian diputar dengan kecepatan tetap selama satuan waktu (Balagopalan et al., 1988). Menurut Fairfield (1994) ketahanan pelet terhadap benturan atau durabilitas pelet dapat diketahui dengan cara memasukkan pelet kedalam sebuah kotak yang berputar selama 10 menit dengan kecepatan putaran 50 rpm. Menurut Thomas dan van der Poel (1998) durabilitas pelet adalah ketahanan pelet terhadap benturan yang dirumuskan sebagai persentase banyaknya pelet utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam durability pellet tester terhadap jumlah pelet semula sebelum dimasukkan ke dalam alat. Menurut Angulo et al. (1995) durabilitas pelet dipengaruhi oleh kandungan dan jumlah bahan yang digunakan, ukuran partikel, penggunaan perekat, pendinginan (cooling), dan jarak antara roller dan die. Thomas et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan yang mempengaruhi durabilitas pelet adalah pati, gula, protein, serat dan lemak. Adanya panas dan air pada saat pencetakan pelet menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dan membantu terjadinya perekatan partikel. Penambahan lemak lebih dari 5% dalam bahan menyebabkan pelet yang dihasilkan mudah hancur (Cheeke, 1991). Menurut Thomas et al. (1997) adanya kandungan serat yang tinggi dalam bahan dapat menyebabkan pelet yang dihasilkan mudah patah. Faktor lain yang mempengaruhi durabilitas pelet adalah diameter pelet. Pelet yang memiliki diameter 3 mm lebih mudah patah dibandingkan dengan pelet berdiameter 6 mm (Thomas dan van der Poel, 1998). Kekerasan Pelet Kekerasan pelet dapat diuji dengan melakukan shatter test, yaitu dengan cara menjatuhkan pelet yang telah diketahui beratnya keatas sebuah lempeng besi 50
(Balagopalan et al., 1988). Kekerasan pelet dapat dirumuskan sebagai persentase banyaknya pelet yang utuh setelah dijatuhkan keata s sebuah lempeng besi terhadap jumlah pelet semula sebelun dijatuhkan. Kekerasan pelet dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu komponen penyusun bahan baku dan kondisi bahan (Balagopalan et al., 1988). Komponen bahan baku yang mempengaruhi kekerasan pelet adalah pati, serat, lemak dan kotoran. Bahan-bahan yang mengandung pati akan mengalami gelatinisasi dan berfungsi sebagai perekat untuk menghasilkan pelet yang kuat. Lemak berfungsi sebagai bahan pelicin (pelumas), sehingga pencetakan pelet menjadi lebih mudah. Serat yang ada dalam bahan baku sulit untuk dicetak, tetapi dalam jumlah yang cukup, serat dapat menjadi bahan penguat pelet. Adanya kotoran seperti pasir dan grit akan mengurangi kualitas fisik pelet dan akan mempengaruhi die dan roller pada mesin pelet (Balagopalan et al., 1988). Kondisi bahan yang mempengaruhi kekerasan pelet adalah kandungan air, ukuran partikel dan suhu. Kandungan air yang ada dalam bahan membantu terjadinya gelatinisasi pati menjadi bahan perekat pelet selama proses pencetakan berlangsung. Pelet akan memiliki kualitas fisik yang baik apabila bahan yang akan dipelet merupakan campuran bahan yang mempunyai ukuran partikel halus dan sedang (Balagopalan et al., 1988).
51
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksana kan pada bulan Februari sampai dengan April 2005, bertempat di Laboratorium Industri Makanan Ternak, Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Bahan Bahan penelitian yang digunakan dalam pembuatan ransum broiler finisher adalah jagung, sorgum, menir, pollard, CGM, dedak padi, CPO, tepung ikan, bungkil kelapa, CaCO3, premix dan posphat. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Grinder (mesin giling) jenis FFC 37 b. Alat Proses produksi continuous 1. Bucket elevator 2. Mixer ( mesin pencampur) horizontal kapasitas 100 kg 3. Screw Conveyor 4. Pelleter (mesin pelet) jenis Farm Feed Pelleter merk Philco 5. Bin cooler c. Alat untuk analisa 1.
Infra-Red Model F-IA Kett
2. Vibrator Ball Mill 3.
Durability Pellet Tester
4.
Timbangan digital merk Nagata
5.
Timbangan kapasitas 1 kg merk Nagata
6. Stopwatch 7.
RH-Meter
8.
Meteran
9.
Bak plastik
10. Lempengan besi 11. Termometer ruangan 52
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari: R1 : Ransum dengan 45% jagung R2 : Ransum dengan 35% jagung + 10% Sorgum R3 : Ransum dengan 35% jagung + 10% Menir Metode analisi ini menggunakan model matematika sebagai berikut: Yij = µ + ái + åij Keterangan: Yij
= Perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
ái
= Pengaruh perlakuan ke-i
åij
= Galat perlakuan ke -i ulangan ke-j Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan jika berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Steel dan Torie, 1993). Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah: kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan pelet.
53
Prosedur Pembuatan Formulasi Ransum Pembuatan formulasi ransum broiler finisher disusun berdasarkan NRC 1994 dengan kebutuhan PK 20% dan kebutuhan energi metabolis (EM) 3200 kkal/kg. Formulasi ransum dibuat dengan menggunakan metode trial and error (coba -coba). Formulasi ransum broiler finisher dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Formulasi Ransum Broiler Finisher Bahan Pakan Penggunaan (%) P1
P2
P3
Jagung
45
35
35
Sorgum
0
10
0
Menir
0
0
10
Pollard
7.5
7.5
7.5
CGM
13.5
13.5
13.5
Dedak padi
16
16
16
CPO
3.8
3.8
3.8
Tepung ikan
5.6
5.6
5.6
Bungkil kelapa
6.5
6.5
6.5
Posphat
1
1
1
CaCO3
0.8
0.8
0.8
Premix
0.3
0.3
0.3
Total
100
100
100
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Broiler Finisher Kandungan Zat Makanan
P1
P2
P3
EM (kkal/kg)
3222
3200.3
3200.1
PK (%)
20.2
20
20
SK (%)
4.5
4.5
4.5
Ca (%)
0.9
0.9
0.9
P (%)
0.4
0.4
0.4
Metionin (%)
0.45
0.43
0.46
1
1
1
Lysin (%)
54
Pembuatan Pelet Proses pembuatan pelet diawali dengan menggiling bahan yang masih dalam bentuk bijian seperti jagung, sorgum dan menir, sementara bahan-bahan yang sudah dalam bentuk tepung tidak perlu digiling lagi. Selanjutnya bahan dimasukkan satu persatu kedalam hopper sesuai dengan formulasi, dimulai dari bahan yang memiliki persentase besar (makro ingredient) sampai bahan yang memiliki persentase kecil (mikro ingredient) seperti premix, posphat dan CaCO3 . Bahan dengan persentase kecil langsung dimasukkan ke dalam mixer , begitu juga dengan CPO langsung dimasukkan kedalam mixer tetapi terlebih dahulu dicampur dengan jagung. Bahan-bahan yang telah dimasukkan ke dalam hopper akan diangkut oleh bucket elevator menuju mixer. Pencampuran bahan dilakukan di dalam mixer selama 10 menit. Ransum yang telah homogen dialirkan ke dalam bin yang kemudian akan diangkut oleh conveyor menuju pelleter. Selanjutnya ransum akan dicetak menjadi pelet. Setelah keluar dalam bentuk pelet selanjutnya pelet akan dialirkan melalui bucket elevator ke cooler. Dari cooler, pelet dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam karung-karung yang telah disiapkan kemudian ditimbang beratnya.
Bahan baku
Grinding (Penggilingan) Mixing (Pencampuran)
Pelleting (Pencetakan) Cooling (Pendinginan)
Ransum Broiler Finisher Gambar 2. Skema Proses Pembuatan Pelet dengan Sistem Produksi Berkesinambungan
55
Gambar 3. Rangkaian Mesin Pelet pada Sistem Produksi Berkesinambungan ( Dokumentasi Laboratorium Industri Makanan Ternak ) Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bucket elevator Mixer horizontal Screw conveyor Pelleter Bucket elevator Pellet bin cooler
56
Pengukuran Sifat Fisik Kadar Air (Nielsen,1998) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan infra red moisture meter. Batu timbangan dengan berat 5 gram diletakkan pada salah satu piringan, piringan lainnya diisi bahan seberat batu timbangan. Jarum skala diatur pada posisi nol dan balance. Lampu infra red digeser sehingga tepat berada diatas baha n. Tombol lampu dinyalakan, penyinaran dilakukan selama 15 menit. Setelah 15 menit, lampu dimatikan kemudian jarum balance digeser pada posisi nol. Penyinaran dilakukan kembali selama 15 menit sampai jarum tidak bergeser lagi (balance). Kadar air bahan dit unjukkan oleh jarum pada skala dengan satuan persen (%). Perhitungan kadar air menggunakan rumus: KA = Berat awal – Berat akhir
x 100%
Berat awal
Ukuran Partikel (Tyler, 1959 dalam Henderson dan Perry, 1981) Ukuran partikel pelet diukur dengan menggunakan vibrator ball mill. Bahan ditimbang sebanyak 100 gram, diletakkan pada bagian atas sieve vibrator ball mill, kemudian dilakukan penyaringan. Bahan yang tertinggal pada tiap saringan ditimbang untuk mendapatkan kadar kehalusan (kk). Ukuran partikel pelet dihitung dengan rumus: Ukuran Partikel (mm) = 0,0041 x 2kk x 2,54 x 10 mm
Ketahanan Benturan (Thomas dan van der Poel, 1998) Ketahanan Benturan diukur dengan menggunakan Durability Pellet Tester. Sampel sebanyak 500 gram (berat awal) dimasukkan ke dalam Durability Pellet Tester, pengujian dilakukan secara duplo dan berlangsung selama 10 menit. Setelah 10 menit, pellet dikeluarkan lalu disaring dengan menggunakan mesh 8 dan ditimbang (berat akhir). Pellet Durability Index dihitung dengan rumus: % Durability = Berat akhir x 100% Berat awal
57
Kekerasan Pelet (Balagopalan et al., 1988) Kekerasan pelet diukur dengan cara pelet dijatuhkan dari ketinggian 1 meter pada lempengan besi setebal 2 mm. Pelet dijatuhkan secara bersamaan dengan berat 500 gram, lalu dilakukan penyaringan dengan menggunakan vibrator ball mill mesh 8 dan dilakukan penimbangan. Kekerasan pelet diukur dengan rumus: % Kekerasan Pelet = Berat pelet utuh setelah dijatuhkan
x 100%
Berat pelet utuh sebelum dijatuhkan
58
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pelet Penelitian Pelet hasil penelitian menunjukkan bahwa P2 (35% jagung + 10% sorgum) dan P3 (35% jagung + 10% menir) memiliki penampakan warna yang lebih cerah dibandingkan P1 (45% jagung), P2 dan P3 memiliki warna yang hampir sama (berwarna coklat muda). Hal ini dipengaruhi oleh warna dasar bahan-bahan yang digunakan. Jagung memiliki warna kuning tua (oranye), sedangkan sorgum berwarna krem dan menir berwarna putih sehingga penggantian 10% jagung dengan sorgum dan menir memberikan warna yang lebih cerah pada pelet yang dihasilkan. Tekstur pelet hasil penelitian secara keseluruhan relatif sama yaitu memiliki tekstur yang keras, kuat dan kompak. Permukaan pelet terlihat licin dan mengkilat. Hal ini disebabkan karena pati yang terkandung dalam ransum. Kualitas fisik pelet secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil penelitian yang tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa substitusi 10% jagung dengan sorgum dan menir tidak berpengaruh terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan pelet penelitian.
Gambar 4. Penampilan Fisik Pelet Broiler Finisher
59
Tabel 5. Hasil Analisa Pati Pelet Penelitian Kandungan Pati (%) *)
P1
P2
P3
35,52
35,73
38,51
Keterangan: P1 = Ransum dengan 45% Jagung P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir Sumber: *). Hasil Analisa Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian (2005) Hasil analisa pati menunjukkan kandungan pati pelet penelitian berturut-turut adalah 35,52% (P1); 35,73% (P2) dan 38,51% (P3). Kandungan pati P3 paling tinggi dibandingkan P1 dan P2. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan pati menir (85 – 87 %) dibandingkan kandungan pati jagung (60 – 61 %) dan kandungan pati sorgum (70 – 75 %). Sebagai pembanding dengan pelet hasil penelitian, maka dilakukan pengujian kualitas fisik terhadap pelet komersil. Kualitas fisik pelet komersil dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kualitas Fisik Pelet Komersil Peubah
Nilai
Kadar Air (%)
13,2
Ukuran Partikel (mm)
6,44
Ketahanan Benturan (%) Kekerasan (%)
89 93,5
Kadar air Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan terhadap berat bahan tersebut. Kada r air dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu dan kelembaban udara sekitarnya (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air mempengaruhi bahan selama penyimpanan. Kadar air yang rendah memungkinkan bahan dapat disimpan lama. Kandungan air yang tinggi akan mempengaruhi proses penyimpanan bahan di ruang penyimpanan dan memberikan peluang bagi aktivitas organisme serta tumbuhnya jamur, hal ini sesuai dengan pendapat Winarno et al. (1980) menyatakan
60
bahwa kualitas bahan menurun akibat tumbuhnya jamur atau perkembangan bakter i yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Tabel 7. Kadar Air Pelet Penelitian Perlakuan Ulangan
P1
P2
P3
…………………… (%) ...…...………………… 1
10,2
10,8
12
2
9,6
10
12,2
3
10
11,6
12,6
Rataan
9,93 ± 0,30B
10,80 ± 0,80B
12,26 ± 0,30 A
Keterangan : superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) P1 = Ransum dengan 45% Jagung P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir Kadar air pelet penelitian berkisar antara 9,93% sampai dengan 12,26% dan setelah dianalisis statistik memiliki perbedaan yang sangat nyata antara P1 dan P2 dengan P3. Sedangkan antara P1 dan P2 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar air tertinggi terdapat pada P3 (35% jagung + 10% menir). Perbedaan kadar air antara P1 dan P2 dengan P3 ini diduga disebabkan karena perbedaan bahan baku yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Halid (1993) bahwa kadar air dipengaruhi oleh kadar air bahan-bahan penyusunnya serta akiba t kondisi lingkungan selama proses pengukuran yang memungkinkan terjadinya penyerapan air dari udara. Kadar air pelet penelitian lebih rendah dibandingkan kadar air pelet komersil (13,2%). Air merupakan komponen yang penting dalam proses pembuatan pelet karena fungsinya sebagai pelarut bahan, selain itu air juga berfungsi sebagai pembentuk gelatin (Dewi, 2001). Jika air yang diperlukan untuk gelatinisasi terbatas, maka gelatinisasi sempurna baru terjadi pada suhu yang lebih tinggi diatas 100 0C (Khalil dan Suryahadi, 1997).
61
Berdasarkan Direktorat Bina Produksi (1997), kadar air maksimum untuk ransum unggas adalah 14%. Dengan demikian kadar air pelet penelitian masih memenuhi persyaratan mutu pakan Standar Nasional Indonesia (SNI). Ukuran Partikel Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata -rata ukuran partikel dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran partikel juga menjadi faktor penentu penumpukan bahan pakan/pakan dalam bin dan berperan dalam menentukan konversi pakan (Fogo, 1994). Ukur an partikel dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan-bahan penyusun ransum dan penambahan perekat. Penggunaan perekat dalam pembuatan ransum bentuk pelet akan menyebabkan pelet yang dihasilkan lebih kompak, padat dan tidak mudah pecah (Rasidi, 1997). Tabel 8. Ukuran Partikel Pelet Penelitian Perlakuan Ulangan
P1 …..………………..
P2 (mm)
P3 ……..…………………
1
6,57
6,68
6,30
2
6,90
6,68
6,51
3
6,54
6,74
6,71
Rataan
6,67 ± 0,19
6,69 ± 0,04
6,50 ± 0,20
Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir Hasil analisa pengukuran ukuran partikel pelet menunjukkan bahwa substitusi 10% jagung dengan sorgum dan menir tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran partikel pelet. Nilai ukuran partikel pelet berkisar antara 6,50 mm sampai dengan 6,69 mm. Ukuran partikel pelet penelitian tidak berbeda jauh dibandingkan pelet komersil (6,44 mm). Ukuran partikel pelet penelitian yang dihasilkan cukup tinggi. Ukuran partikel pelet dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan-bahan baku penyusun ransum. Semakin halus ukuran partikel bahan penyusun pelet maka ukuran partikel pelet yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin luas permukaan kontak antar partikel di dalam pelet, sehingga semakin kuat ikatan antar
62
partikel penyusun pelet yang menyebabkan pelet tidak mudah hancur. Selain itu ukuran partikel pelet juga dipengaruhi oleh perlakuan conditioning seperti penambahan air atau uap panas. Hasil penelitian Harmiyanti (2002) menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan dan penambahan air memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ukuran partikel pelet. Pelet yang diberi perlakuan pemanasan dan penambahan air mempunyai ukuran partikel yang lebih tinggi dibandingkan pelet tanpa perlakuan. Pemberian perlakuan pemanasan atau penambahan air sangat menunjang terjadinya proses gelatinisasi. Pada saat proses gelatinisasi berlangsung akan terbentuk gel yang berfungsi sebagai perekat yang mengikat komponenkomponen bahan pakan sehingga pelet menjadi kokoh dan tidak mudah hancur sehingga dihasilkan ukuran partikel yang tinggi. Ketahanan Pelet terhadap Benturan Ketahanan pelet terhadap benturan adalah parameter yang digunakan untuk menguji daya tahan pelet terhadap benturan (Balagopalan et al., 1988). Pengujian ketahanan pelet terhadap benturan berguna dalam proses transportasi pakan baik didalam maupun diluar pabrik pakan. Thomas et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan yang mempengaruhi ketahanan benturan pelet adalah pati, gula, protein, serat dan lemak. Tabel 9. Ketahanan Benturan Pelet Penelitian Perlakuan Ulangan
P1
P2
……………………...
(%)
P3 ……………..…………..
1
86,5
87,05
87,05
2
85
87,35
88,6
3
82,7
90,8
92,5
Rataan
84,73±1,91
88,40±2,08
89,38±2,81
Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir Hasil uji sidik ragam ketahanan benturan pelet menunjukkan kisaran 84,73 sampai 89,38%. Rataan ketahanan benturan antar perlakuan menunjukkan hasil yang
63
tidak berbeda nyata. Nilai ketahanan benturan pelet penelitian tidak berbeda jauh dengan nilai ketahanan benturan pelet komersil (89%). Standar nilai ketahanan benturan yang baik untuk pelet broiler menurut Dozier (2001) yaitu lebih besar dari 80%. Nilai ketahanan benturan pelet hasil penelitian memenuhi standar nilai ketahanan benturan yang baik. Pelet yang diuji termasuk kriteria pelet yang mempunyai ketahanan yang baik. Hal ini disebabkan karena adanya pati yang memperkuat ikatan partikel antar bahan dalam pelet tersebut sehingga pelet menjadi kokoh dan tidak mudah hancur. Menurut Angulo et al. (1995) ketahanan benturan pelet dipengaruhi oleh kandungan dan jumlah bahan yang digunakan, ukuran partike l, penggunaan perekat, dan pendinginan (cooling). Kekerasan Pelet Kekerasan pelet adalah salah satu uji kualitas fisik pelet terhadap ketahanan pelet setelah dijatuhkan dari ketinggian 1 meter pada lempengan besi setebal 2 mm (Balagopalan et al., 1988). Pengujian kekerasan pelet ini bertujuan dalam hal penyimpanan pakan di silo/gudang, misalnya untuk mengetahui berapa ketinggian tumpukan dalam silo. Selain itu uji kekerasan pelet juga berguna untuk mengetahui palatabilitas ternak yang akan mengkonsumsi pa kan tersebut. Tabel 10. Kekerasan Pelet Penelitian Perlakuan Ulangan
P1
P2
……………………….
(%)
P3 ………………….……….
1
94
96,4
96,8
2
96
98
97,2
3
96
98,6
98,2
Rataan
95,33±1,15
97,67±1,14
97,40±0,72
Keterangan : P1 = Ransum dengan 45% Jagung P2 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Sorgum P3 = Ransum dengan 35% Jagung + 10% Menir
64
Nilai rataan kekerasan pelet berkisar antara 95,33 sampai 97,67%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa nilai rataan kekerasan pelet antar perla kuan tidak berbeda nyata. Nilai rataan kekerasan pelet tidak berbeda jauh dibandingkan dengan nilai kekerasan pelet komersil (93,5%). Semakin tinggi nilai kekerasan pelet maka pelet tersebut semakin kokoh atau tidak mudah hancur. Hasil pengukuran kekerasan pelet memperoleh persentase pelet utuh yang tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya pati yang berfungsi sebagai perekat yang memperkuat ikatan partikel bahan sehingga pelet setelah dijatuhkan hanya sedikit mengalami kerusakan. Nilai rataan kekerasan pelet dalam penelitian ini cukup tinggi dan menunjukkan bahwa pelet tidak mudah hancur. Kekerasan pelet dipengaruhi oleh kandungan pati, air dan panas. Hasil akhir pelet penelitian menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata antar perlakuan terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan pelet. Hasil analisa gelatinisasi (Lampiran 6, 7 dan 8) menunjukkan bahwa tidak terjadi gelatinisasi pada pelet penelitian. Gelatinisasi terjadi pada saat proses conditioning, sementara mesin produksi yang digunakan untuk menghasilkan pelet penelitian tidak dilengkapi dengan proses conditioning. Hal ini menyebabkan hasil akhir yang tidak berbeda antar perlakuan. Namun, pelet penelitian termasuk kategori pelet yang baik karena memenuhi persyaratan mutu kualitas pelet yaitu kadar air kurang dari 14%, ukuran partikel pelet tinggi, ketahanan benturan lebih dari 80% dan nilai
kekerasan
yang
cukup
tingg
65
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Substitusi 10% jagung dengan sorgum dan menir tidak menunjukkan perbedaan terhadap kadar air, ukuran partikel, ketahanan benturan dan kekerasan pelet penelitian. Penggunaan bahan sumber pati dalam ransum menghasilkan pelet yang kokoh dan tidak mudah hancur. Saran Perlu peningkatan jumlah bahan sumber pati (sorgum dan menir) da lam menggantikan jagung untuk melihat pengaruhnya terhadap kualitas fisik pelet. Selain itu, penggunaan bahan sumber pati dalam proses pembuatan pelet sebaiknya dilakukan conditioning agar terjadi gelatinisasi.
66
UCAPAN TERIMAKASIH Bismillahirrohmanirrohim, Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan karuniaNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak akhirnya skripsi ini bisa diselesaikan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc sebagai Dosen Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Heri A. Sukria, MSc sebagai Dosen Pembimbing Anggota atas segala bimbingan, kesabaran, dan pengarahan yang diberikan selama penelitian hingga akhir penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Toto Toharmat, MSc selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan arahannya selama penulis menuntut ilmu di IPB dan kepada seluruh staf pengajar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS sebagai dosen penguji seminar, serta Ir. Widya Hermana Msi dan Dr. Ir. Iman Rahayu HS. MS. Sebagai dosen penguji sidang atas masukan, kritik dan saran yang telah diberikan. Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk keluarga tercinta: Papa, Mama, kak Derry, Dino dan Dini atas doa dan kasih sayang, kesabaran, serta dukungan baik moril maupun materil. Terimakasih kepada Ir. Lidy Herawati, MS, Mbak Anis, Pak Atip, Pak Ukad, dan Pak Hadi atas bantuannya selama penelitian di Bagian Industri dan Makanan ternak. Kepada teman-teman sepenelitian dan sahabat-sahabatku: Butet, Uyie, Nunik, dan Niken atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah di IPB serta kepada semua pihak yang telah membantu Penulis da lam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2006
Penulis
67
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Penerbit: Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor. Angulo, E., J. Brufau and E. Estvee-Garcia. 1995. Effect of sepiolite on pellet durability in feeds differing in fat and fibre content. J. Anim Feeds Sci and Tech. 53: 233-241. Assauri, S. 1980. Manajemen Produksi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta. Bala, B. K. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. Scince Publisher, Inc. Enfield (NH), USA Plymouth, UK. Balagopalan, C., G. Padmaja., S. K. Nanda., S. N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. IRC Press, Florida. Cheeke, P. R. 1991. Applied Animal Nutrition. 2nd Edition. Department of Animal Science, Oregon State University, Prentice Hall, Inc. Florida. Dewi, P. 2001. Uji sifat fisik ransum ikan bentuk pelet dengan penyemprotan air panas dan penambahan perekat tepung tapioka. Skripsi. Fakultas Peternakan Instit ut Pertanian Bogor, Bogor. Direktorat Bina Produksi. 1997. Kumpulan SNI Ransum. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Dozier, W.A. 2001. Kualitas Pelet Pakan Unggas Pedaging. Feed International, Amerika. Ensminger, M. E., J. E. Olf ield and W. W. Hiennemann. 1990. Feed and Nutrition. 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company. California. Fairfield, D. 1994. Pelleting Cost Center. In: R. R. McEllhiney (Editor). Feed Manufacturing Industry. 4th Edition. American Feed Industry Assoc iation Inc. Arlington. Fogo, W. 1994. Laboratory Testing. In: R. R. McEllhiney (Editor). Feed Manufacturing Industry. 4th Edition. American Feed Industry Association Inc. Arlington. Gunawan, dan D. Zainudin. 1995. Komposisi zat nutrisi dan antinutrisi beberapa jenis sorgum sebagai faktor utama dalam penyusunan ransum ternak. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Bogor. Harmiyanti, Y. 2002. Uji sifat fisik ransum ayam broiler bentuk pelet dengan penambahan perekat lignosulfonat dan bentonit serta beberapa proses pengolahan. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harper, J. 1979. Extrusion of Foods. Volume II. Agricultural and Chemical Engineering. CRC Press, Inc. Florida.
68
Hasanah, N. 2002. Uji sifat fisik ransum ayam broiler bentuk pelet yang ditambahkan perekat onggok melalui proses penyemprotan air. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Herman, T.J. 2000. Feed Quality Assurance. American Soybean Association, Singapore. Henderson, S. M, dan R. L. Perry. 1981. Agricultural Process Engineering. 3 rd Edition. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jugenheimer, R. W. 1976. Corn Improvement Seed Production and Uses. A. Willey Interscience Publication. John Willey and Sons, Inc. , New York. Kadarisman, K. 1986. Pengaruh kelembaban ruangan dan kadar air awal gabah varietas cisadane selama penyimpanan terhadap perubahan kadar air, rendemen beras giling, beras kepala, beras dan menir. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kolatac, R. P. 1996. Understanding Particulate Solids. In Chemical Procesing. Http://www.nanticom.net//www//Jhorst/Paper1html1 . Khalil dan Suryahadi. 1997. Pengawasan Mutu dalam Indust ri Pakan Ternak. Majalah Poultry Indonesia Edisi 213 (November): 45-62 Kriangsak Sathanapari, Therdchai Vearasilp and Chanvit Vajrabukka. 1990. Digestibility of starch of cassava chips, ground paddy and broken rice in the digestive tract of dairy cows. Journal of Agriculture 6: 265-280. Kulp, K. 1975. Enzymes in Food Processing. G. Reed, (Editor) Academic Press, New York. Lineback, D. R. and Inglett, G. E. 1982. Food Carbohydrates. AVI Publ. Company Inc., Westport, Connecticut. Mc Donald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman. Singapore. McEllhiney, R. R. 1994. Feed Manufacturing Industry 4th Edition. American Feed Industry assosiaction Inc. Arlington. Muchtadi, R. T. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mudjisihono, R. 1990. Struktur dan Karakter Biji Sorgum serta Pemanfaatannya untuk Bahan Makanan. Reflektor Vol. 3 No. 1-2. Owens, J. M and M. Heimaan. 1994. Material Processing Cost Center. In: R. R. McEllhiney (Editor). Feed Manufacturing Industry. 4th Edition. American Feed Industry Association Inc. Arlington. Patrick, H. and P. J. Schaible. 1980. Poultry: Feed and Nutrition. 2nd Edition. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
69
Pfost, H. B. 1976. Feed Manufacturing Technology. American Feed Manufacturing Association. Inc. Arlington. Rasyaf, M. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke-23. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Scott, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. 3 rd Edition. M.L. Scott and Associates, Ithaca. New York. Somaatmadja, D. 1968. Pengolahan Jagung. Balai Penelitian Kimia, Bogor. Steel, G. D. and J. H. Toorie. 1993. Prinsip Prosedur Statistika. Terjemahan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-ilmu Nutrisi Ternak. Makalah Orasi Ilmiah sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak pada Fakultas Peternakan IPB, disampaikan pada tanggal 4 Januari 1997. Bogor. Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta. Thomas, M., D. J. van Zuilichem and A. F. B. van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal feed 2. Contribution of process and its conditions. J. Anim Feed Sci and Tech. 64 (2): 173-192 Thomas, M and A. F. B. van der Poel. 1998. Physical quality of peleted animal feed 3. Criteria for peleted quality. J. Anim Feed Sci and Tech. 70 (3): 59-78. Tyler, W.S. 1959. Tyler Sieves for Clasifying Ganular Materials. In: S.M Henderson and R. L Perry. Agricultural Process Engineering. 3rd Edition. The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Winarno, F. G. 1980. Kimia Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F. G. 1988. Teknologi Pengolahan Jagung. Dalam Subandi, M. Syam dan A. Widjono (Ed). Jagung. Balai Penelitian Pengembangan Tanaman, Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan. Wirakartakusumah, M. A., K. Abdullah dan A.M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
70
LAMPIRAN
71
Lampiran 1. Sidik Ragam Kadar Air SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
8,35
4,17
15,15 **
5,14
10,92
Eror
6
1,65
0,28
Total 8 10 Keterangan : ** = sangat nyata
1,25
Lampiran 2. Uji Kontras Ortogonal Kadar Air SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
8,35
4,17
15,15 **
5,14
10,92
1 2 vs 3
1
7,22
7,22
26,20 **
5,99
13,75
1 vs 2
1
1,13
1,13
4,09 tn
5,99
13,75
Eror
6
1,65
0,28
Total
8
10
1,25
Fhit
F0,05
F0,01
1,12 tn
5,14
10,92
Keterangan : ** = berbeda sangat nyata tn = tidak berbeda nyata Lampiran 3. Sidik Ragam Ukuran Partikel SK
db
JK
KT
Perlakuan
2
0,000623 0,000312
Eror
6
0,001667 0,000278
Total 8 0,00229 0,000286 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
72
Lampiran 4. Sidik Ragam Ketahanan Benturan SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
36,03
18,02
3,40 tn
5,14
10,92
Eror
6
31,78
5,30
Total
8
67,82
8,48
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata Lampiran 5. Sidik Ragam Kekerasan SK
db
JK
KT
Fhit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
9,79
4,89
4,67 tn
5,14
10,92
Eror
6
6,29
1,05
Total
8
16,08
2,01
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 6. Grafik Gelatinisasi Pelet I ( 45% Jagung )
73
Lampiran 7. Grafik Gelatinisasi Pelet II ( 35% Jagung + 10% Sorgum )
Lampiran 8. Grafik Gelatinisasi Pelet III ( 35% Jagung + 10% Menir )
74