PENGARUH TEPUNG GARUT, UBI JALAR, DAN ONGGOK SEBAGAI BAHAN PEREKAT ALAMI PELET TERHADAP KUALITAS FISIK PAKAN DAN PERFORMA AYAM BROILER
SKRIPSI HANDRIO PURNOMO SIREGAR
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN Handrio Purnomo Siregar. D24080381. 2012. Pengaruh Tepung Garut, Ubi Jalar, dan Onggok Sebagai Bahan Perekat Alami Pelet Terhadap Kualitas Fisik Pakan dan Performa Ayam Broiler. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. Pakan berbentuk pelet banyak diproduksi pada pabrik pakan, tetapi terdapat kendala dalam penggunaan pakan yaitu terjadi kerusakan bentuk fisik atau hancur selama proses pembuatan dan pengangkutan. Perekat merupakan suatu bahan yang mempunyai fungsi mengikat komponen-komponen pakan dalam bentuk pelet sehingga strukturnya tetap kompak. Penelitian ini menggunakan tepung garut, tepung ubi jalar, dan onggok sebagai bahan perekat alami pakan pelet. Bahan perekat tersebut digunakan sebagai bahan perekat alami untuk pakan pelet dengan penambahan 2%. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan tepung garut, tepung ubi jalar, dan onggok sebagai bahan perekat alami pakan pelet terhadap kualitas fisik pakan dan performa ayam broiler. Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai bulan Desember 2011, bertempat di Laboratorium Industri Pakan dan Pemeliharaan bertempat di Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Rancangan percobaan pada peneltian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan pada uji kualitas fisik pakan serta 4 perlakuan dan 4 ulangan pada uji performa. R1 = Pakan kontrol tanpa perekat, R2 = Pakan + perekat onggok 2%, R3 = Pakan + perekat ubi jalar 2%, R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Peubah yang diamati adalah ukuran partikel, berat jenis, kerapatan kumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, ketahanan benturan pelet, pellet durability index, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan income over feed and chick cost (IOFCC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan onggok sebesar 2% pada pakan nyata (P<0,05) meningkatkan kualitas fisik pakan berdasarkan peubah sudut tumpukan (26,30°) dan pellet durability index (98,35%), sedangkan penggunaan masing-masing jenis perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap performa ayam broiler. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan onggok sebagai bahan perekat dapat meningkatkan kualitas fisik pakan, yaitu sudut tumpukan dan pellet durability index. Uji performa menunjukkan jenis perekat tidak berbeda nyata atau memberikan pengaruh yang sama terhadap performa ayam broiler. Nilai IOFCC tertinggi juga terdapat pada pakan pelet berperekat onggok, yaitu sebesar Rp. 2.337,82. Kata-kata kunci: pelet, bahan perekat, tepung garut, tepung ubi jalar, onggok
ABSTRACT Effect of Garut Flour, Sweet Potato, and Onggok as Natural Pellet Binder on Physical Quality Feed and Performance of Broiler Chickens Siregar, H. P., Retnani, Y., Sumiati Binder is a substance that has the function to bind the feed component in the form of pellets so that its structure remains compact. The purpose of this research was to know the effect of addition of garut flour, sweet potato flour, and onggok as natural binder for pellet on physical quality of feed and performace of broiler chickens. Completely Randomized Design was used in this experiment, using 4 treatments and 3 replications on physical quality feed, and 4 treatments and 4 replications on performance of broiler. The treatments were R1 = control without binder, R2 = addition of onggok 2%, R3 = addition of sweet potato flour 2%, R4 = addition of garut flour 2%. The data were analyzed using Analysis of Varience (ANOVA) and significant results were further tested using Duncan’s Multiple Range Test. The results showed that addition of onggok 2% in feed influenced (P<0.05) angle of repose (26.30°) and pellet durability index (98.35%), but the treatments in terms did not influence the performance of broiler chickens. The conclusion of this experiment was that onggok 2% as binder yielded the best pellet quality of broiler chickens. The treatments did not influence the performance of broiler chickens. Addition onggok 2% as binder yielded the highest value of IOFCC (Rp. 2337.82/bird) Keywords : pellet, binder, garut flour, sweet potato flour, onggok
PENGARUH TEPUNG GARUT, UBI JALAR, DAN ONGGOK SEBAGAI BAHAN PEREKAT ALAMI PELET TERHADAP KUALITAS FISIK PAKAN DAN PERFORMA AYAM BROILER
HANDRIO PURNOMO SIREGAR D24080381
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul : Pengaruh Tepung Garut, Ubi Jalar, dan Onggok Sebagai Bahan Perekat Alami Pelet Terhadap Kualitas Fisik Pakan dan Performa Ayam Broiler Nama : Handrio Purnomo Siregar NIM : D24080381
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
(Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc) NIP. 19640724 199002 2 001
(Dr. Ir. Sumiati, M.Sc) NIP. 19611017 198603 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 18 Juni 2012
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Porsea, Medan, Sumatera Utara pada tanggal 21 November 1989. Penulis merupakan anak ke-lima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Guntur Siregar dan Ibu Lentina Marpaung. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di SD Hang Tuah 1 Medan dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Hang Tuah 1 Medan. Penulis melanjutkan pendidikan menengah atas pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 5 Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), dengan Program Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif mengikuti organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB di Komisi Kesenian dan Paduan Suara Agriaswara IPB. Penulis pernah mengikuti berbagai kepanitiaan seperti Kebaktian Awal Tahun PMK IPB (2009), Festival Musik PMK IPB (2011), Natal POPK Fapet IPB (2010-2011), dan sebagainya. Penulis pernah menjadi asisten praktikum dalam mata kuliah Agama Kristen (2011/2012). Penulis pernah mengikuti magang di Laboratorium Industri Pakan dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis merupakan penerima beasiswa BBM (Bantuan Beasiswa Mahasiswa) tahun 2010/2012 dan penerima beasiswa penelitian Indofood Riset Nugraha 2011/2012 dari PT. Indofood Sukses Makmur Tbk.
Bogor, Juli 2012
Handrio Purnomo Siregar D24080381
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Tepung Garut, Ubi Jalar, dan Onggok Sebagai Bahan Perekat Alami Pelet Terhadap Kualitas Fisik Pakan dan Performa Ayam Broiler. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam industri pakan dan dunia peternakan. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi pentingnya meningkatkan kualitas fisik pakan pelet dengan penambahan bahan perekat alami, seperti tepung garut, tepung ubi jalar, dan onggok, sehingga menghasilkan pelet yang lebih berkualitas dengan harga terjangkau dan dapat meningkatkan performa ayam broiler. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan khususnya di bidang peternakan. Amin.
Bogor, Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .................................................................................................
i
ABSTRACT ....................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang..................................................................................... Tujuan ................................................................................................. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. Pakan Ayam Broiler ............................................................................. Pelet ..................................................................................................... Bahan Perekat ...................................................................................... Tepung Ubi Jalar ...................................................................... Onggok .................................................................................... Tepung Garut .......................................................................... Kualitas Fisik Pakan ............................................................................ Ukuran Partikel......................................................................... Berat Jenis ................................................................................ Kerapatan Tumpukan ................................................................ Kerapatan Pemadatan Tumpukan .............................................. Sudut Tumpukan ...................................................................... Ketahanan Benturan.................................................................. Durability ................................................................................. Performa Ayam Broiler ........................................................................ Konsumsi Pakan ....................................................................... Pertambahan Bobot Badan ........................................................ Konversi Pakan......................................................................... Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) .............................
1 2 3 3 4 5 6 8 8 10 10 10 11 11 11 12 13 14 14 15 15 16
MATERI DAN METODE ...............................................................................
17
Lokasi dan Waktu ................................................................................ Peneltian Tahap 1. Uji Kualitas Fisik Pakan ......................................... Materi ....................................................................................... Metode .....................................................................................
17 17 17 17
Pembuatan Pelet ............................................................... Formulasi Pakan .............................................................. Peubah Kualitas Fisik Pakan ..................................................... Ukuran Partikel ................................................................ Berat Jenis ....................................................................... Kerapatan Tumpukan ....................................................... Kerapatan Pemadatan Tumpukan ..................................... Sudut Tumpukan .............................................................. Ketahanan Benturan Pelet ................................................ Pellet Durability Index ..................................................... Penelitian Tahap 2. Uji Performa Ayam Broiler ................................... Materi ....................................................................................... Metode ..................................................................................... Persiapan Kandang dan Peralatan ..................................... Pemeliharaan Ayam ......................................................... Peubah Uji Performa Ayam Broiler .......................................... Konsumsi Pakan .............................................................. Pertambahan Bobot Badan ............................................... Konversi Pakan ................................................................ Bobot Badan Akhir .......................................................... Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) .................... Rancangan Percobaan dan Analisis Data .............................................. Perlakuan.................................................................................. Rancangan ................................................................................
17 18 19 19 19 19 20 20 20 20 21 21 21 21 21 21 21 22 22 22 22 22 22 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Gambaran Umum Pakan Pelet Ayam Broiler ....................................... Uji Kualitas Fisik Pakan ....................................................................... Ukuran Partikel......................................................................... Berat Jenis ................................................................................ Kerapatan Tumpukan................................................................ Kerapatan Pemadatan Tumpukan .............................................. Sudut Tumpukan ...................................................................... Ketahanan Benturan.................................................................. Pellet Durability Index.............................................................. Performa Ayam Broiler ........................................................................ Konsumsi Pakan ....................................................................... Pertambahan Bobot Badan ........................................................ Konversi Pakan......................................................................... Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) .............................
24 24 26 26 27 28 30 31 32 33 35 36 37 38 39
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
41
Kesimpulan ....................................................................................... Saran .................................................................................................
41 41
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
43
LAMPIRAN ....................................................................................................
48
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Persyaratan Mutu Kandungan Nutrisi Pakan Ayam Broiler Starter .........
3
2. Kualitas Fisik Pelet Berperekat Sintetis Lignosulfonat dan Bentonit ........
6
3. Kandungan Nutrien Tepung Ubi Jalar .....................................................
7
4. Kandungan Nutrien Onggok (% BK) ......................................................
8
5. Kandungan Nutrien Tepung Garut (100 gram) ........................................
9
6. Klasifikasi Aliran Bahan Baku Berdasarkan Sudut Tumpukan ................
12
7. Performa Ayam Broiler dengan Pakan Berperekat Sintetis ......................
14
8. Komposisi dan Perhitungan Zat Makanan Pakan Ayam Broiler Penelitian
18
9. Kandungan Nutrien Bahan Perekat Alami (% BK) ..................................
24
10. Kandungan Nutrien Pakan Bentuk Pelet Berdasarkan Analisis ..............
25
11. Hasil Uji Kualitas Fisik Pakan Penelitian ..............................................
26
12. Rataan Ukuran Partikel Pelet (mm) .......................................................
27
13. Rataan Berat Jenis Pelet (g/cm3)............................................................
28
14. Rataan Kerapatan Tumpukan Pelet (g/cm3) ...........................................
29
15. Rataan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Pelet (g/cm3) .........................
30
16. Rataan Sudut Tumpukan Pelet (°) .........................................................
31
17. Rataan Ketahanan Benturan Pelet (%) ...................................................
33
18. Rataan Durability Pelet (%) ..................................................................
34
19. Suhu Kandang Selama Pemeliharaan ....................................................
35
20. Rataan Performa Ayam Broiler Selama 35 Hari Pemeliharaan ..............
36
21. Perhitungan Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) ......................
39
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar ..................................
7
2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Garut ..................................................
9
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam (ANOVA) Ukuran Partikel.................................................
49
2. Sidik Ragam (ANOVA) Berat Jenis ........................................................
49
3. Sidik Ragam (ANOVA) Kerapatan Tumpukan........................................
49
4. Sidik Ragam (ANOVA) Kerapatan Pemadatan Tumpukan ......................
49
5. Sidik Ragam (ANOVA) Sudut Tumpukan ..............................................
49
6. Hasil Uji Jarak Duncan untuk Sudut Tumpukan ......................................
50
7. Sidik Ragam (ANOVA) Ketahanan Benturan .........................................
50
8. Sidik Ragam (ANOVA) Pellet Durability Index......................................
50
9. Hasil Uji Jarak Duncan untuk Pellet Durability Index .............................
50
10. Konsumsi Pakan Setiap Minggu ............................................................
50
11. Pertambahan Bobot Badan Setiap Minggu ............................................
51
12. Konversi Pakan Setiap Minggu .............................................................
51
13. Kelembaban Kandang Selama Pemeliharaan .........................................
51
14. Daftar Harga Bahan Baku yang Digunakan dalam Penelitian (2011) .....
52
PENDAHULUAN Latar Belakang Pakan berbentuk pelet banyak diproduksi pada pabrik pakan, tetapi terdapat kendala dalam penggunaan pakan yaitu terjadi kerusakan bentuk fisik atau hancur selama proses pembuatan dan pengangkutan. Kerusakan bentuk fisik akan mempengaruhi daya beli konsumen yang cenderung melihat kualitas pakan dari segi fisik (McEllhiney, 1994), maka penggunaan bahan perekat sangat penting peranannya dalam pembuatan pakan berbentuk pelet, yang dapat membuat keutuhan komponen-komponen penyusun pakan ayam broiler menjadi kompak dan tidak mudah rapuh terhadap pengaruh kelembaban, sehingga kualitas pakan selalu terjamin. Perekat merupakan suatu bahan yang mempunyai fungsi mengikat komponen-komponen pakan dalam bentuk pelet sehingga strukturnya tetap kompak. Perekat yang biasa digunakan pabrik-pabrik makanan ternak adalah perekat sintetis seperti bentonit, dan lignosulfonat (Retnani et al., 2009). Perekat sintetis cenderung memiliki harga yang relatif mahal sehingga perlu dicari alternatif bahan perekat dari bahan pakan lokal yang murah seperti onggok, tepung ubi jalar, maupun tepung garut. Tepung garut, tepung ubi jalar, dan onggok merupakan bahan yang memiliki kandungan pati yang
tinggi. Hasil analisis di Laboratorium PAU IPB (2012)
menunjukkan bahwa kandungan pati pada tepung garut adalah 63,97%, tepung ubi jalar adalah 65,06%, dan kandungan pati onggok adalah sekitar 69,0%. Pati tersebut berguna sebagai bahan perekat pada pakan pelet. Pada saat pemanasan di dalam mesin pencetakan, pakan tersebut akan menghasilkan gelatin yang bersifat sebagai perekat. Gel yang terbentuk akan mengikat komponen bahan pakan sehingga terbentuk pelet yang kompak dan tidak mudah hancur. Bahan-bahan tersebut baik digunakan sebagai bahan perekat untuk pakan pelet ayam broiler. Rahmayeni (2002) melaporkan bahwa penambahan onggok sebesar 2% dapat menjadi perekat alami untuk pakan pelet. Hal ini juga akan dilakukan terhadap bahan tepung garut dan tepung ubi jalar dengan kadar penambahan yang sama, yaitu sebesar 2%, sehingga diharapkan dapat menjadi bahan perekat alami pelet pada kadar yang sama.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan tepung garut, tepung ubi jalar, dan onggok sebagai bahan perekat alami pakan pelet terhadap kualitas fisik pakan dan performa ayam broiler. .
TINJAUAN PUSTAKA Pakan Ayam Broiler Amrullah (2004) menyatakan bahwa ayam broiler mampu mengubah pakan menjadi daging dalam waktu yang singkat. Selain itu, ayam broiler mampu menimbun lemak sebagai bentuk simpanan energi dalam jumlah yang banyak. Karena itu, ayam broiler membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan dengan ayam jenis ringan atau medium. Sumber energi utama ayam broiler adalah karbohidrat dan lemak. Akan tetapi, bila protein diberikan berlebih, protein juga akan menjadi sumber energi. Standar mutu kandungan nutrisi pakan ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persyaratan Mutu Kandungan Nutrisi Pakan Ayam Broiler Starter Kandungan Nutrisi
SNI-12-3930-2006*
Leeson dan Summers (2005)
Kadar Air (%)
Maksimal 14,0
-
Protein Kasar (%)
Minimal 19,0
22
Lemak Kasar (%)
Maksimal 7,4
-
Serat Kasar (%)
Maksimal 6,0
-
Kalsium (%)
0,90 – 1,20
0,95
Fosfor (%)
0,60 – 1,0
0,45
Lysin (%)
Minimal 1,10
1,3
Methionin (%)
Minimal 0,40
0,5
2900
3050
Energi Metabolis (kkal/kg) *Badan Standardisasi Nasional (2006)
Bahan baku harus bebas dari residu dan zat kimia yang membahayakan seperti pestisida dan bahan lain yang tidak diinginkan. Bahan baku pakan ini menjamin kesehatan dan ketentraman batin masyarakat konsumen hasil peternakan (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu, ayam membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, kalium, mineral dan vitamin yang sangat penting selama tahap pemeliharaan. Menurut Widodo (2002), unggas lebih sering mengkonsumsi pakan dalam bentuk butiran, oleh sebab itu peningkatan konsumsi pakan dapat dilakukan dengan membentuk pakan menjadi bentuk pelet
atau crumble. Cara umum untuk meningkatkan nutrisi suatu bahan pakan ternak adalah mengurangi ukuran partikel bahan tersebut dengan memotong, menggiling, dan memadatkan. Kombinasi ketiga cara tersebut membentuk produk yang disebut pelet. Bentuk ini diyakini lebih disukai ternak dan tidak banyak terbuang pada saat pengkonsumsian (Amrullah, 2004). Pelet Bentuk pakan broiler yang diterima peternak pada umumnya berbentuk butiran pelet. Bentuk ini lebih disukai dan tidak banyak terbuang dibandingkan dengan pakan yang berbentuk tepung (mash). Sebelum mempersiapkan pakan untuk ayam broiler perlu menguasai terlebih dahulu bahan pakan yang digunakan, kebutuhan zat makanan, dan kandungan zat makanan agar mendapatkan kualitas pakan yang baik (Amrullah, 2004). Pelet merupakan pakan yang dipadatkan dan dikompakkan melalui proses mekanik. Mathius et al. (2006) menyatakan bahwa pakan dalam bentuk pelet merupakan salah satu bentuk pengawetan bahan pakan dalam bentuk yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan kontinuitas penyediannya untuk mempertahankan kualitas pakan. Pelet dapat dibuat dalam gumpalan atau silinder kecil yang berbeda diameter, panjang, dan tingkat kekuatannya (Ensminger et al., 1990). Kebanyakan pakan unggas di banyak negara diproduksi dalam bentuk butiran maupun pelet. Keuntungan memproses pelet adalah menghemat waktu yang diperlukan ayam untuk makan dan meningkatkan laju pertumbuhan pelet karena konsumsinya menjadi lebih banyak sehingga tumbuh lebih cepat. Perlu diperhatikan beberapa hal untuk menghasilkan pelet yang berkualitas baik dengan biaya operasional yang rendah, diantaranya adalah ukuran ketebalan die (cetakan), diameter die, kecepatan putaran die, dan ukuran pemberian pakan (Balagopalan et al., 1988). Umumnya untuk unggas diameter pelet adalah 1/8 sampai dengan 1/4 inchi (3,2-6,4 mm) (McEllhiney, 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas fisik pelet adalah pati, serat, dan lemak. Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pelet. Serat berfungsi sebagai kerangka pelet dan lemak berfungsi sebagai pelicin selama proses pembentukan pelet
dalam mesin pelet sehingga mempermudah pembentukan pelet (Balagopalan et al, 1988). Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pakan yaitu mesin yang digunakan, pengolahan pakan, dan bahan baku penyusun pakan. Ada dua jenis mesin dan kondisi mesin pelet, yaitu pellet mill dan farm feed pelleter. Pellet mill merupakan mesin pelet yang bekerja dengan penambahan uap, biasa digunakan oleh pabrik-pabrik pakan. Farm feed pelleter bekerja tanpa penambahan uap dan banyak digunakan oleh peternakan yang membuat pakan pelet sendiri atau pabrik pakan skala kecil (Retnani, 2011). Pemberian uap panas pada proses pembuatan pelet berfungsi untuk menaikkan suhu bahan baku dan meningkatkan kandungan air (moisture), sehingga proses gelatinisasi menjadi sempurna (Briggs et al., 1999). Penampilan produk dengan kualitas bagus dihasilkan oleh mesin pellet mill dibandingkan dengan mesin farm feed pelleter (Retnani, 2011). Bahan Perekat Perekat mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai bidang industri, tidak terkecuali industri pakan, hal ini didukung alasan bahwa suatu benda disusun atas berbagai partikel yang mempunyai ukuran berbeda-beda. Raharjo (1997) menyatakan bahwa perekat merupakan suatu bahan yang mempunyai fungsi mengikat komponen-komponen pakan dalam bentuk pelet sehingga strukturnya tetap kompak. Menurut Furia (1986), bahan perekat diperlukan untuk mengikat komponenkomponen bahan pakan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur, dan mudah dibentuk pada proses pembuatannya. Bahan perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan pakan ternak berbentuk pelet antara lain kanji, sagu, tepung gaplek, dan agar-agar (Wibowo, 1986), sedangkan bahan perekat sintetis antara lain CMC (Carboxy Methyl Cellulose), bentonit, lignosulfonat. (Retnani et al., 2009). Kualitas fisik pelet dengan penambahan perekat sintetis bentonit dan lignosulfonat menurut penelitian Harmiyanti (2002) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kualitas Fisik Pelet Berperekat Sintetis Lignosulfonat dan Bentonit Peubah
B1
B2
Ukuran partikel (mm)
6,7
6,7
Berat jenis (g/cm3)
1,37
1,40
Kerapatan tumpukan (g/cm3)
0,64
0,66
Kerapatan pemadatan tumpukan (g/cm3)
0,69
0,69
Sudut tumpukan (°)
25,55
26,77
Ketahanan benturan (%)
99,99
99,98
Keterangan : B1 = Pakan + perekat lignosulfonat 1,25%; B2 = Pakan + perekat bentonit 2% Sumber : Harmiyanti (2002)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan perekat adalah ketersediaan bahan dan harganya, mempunyai daya rekat yang tinggi, mudah dicerna, dapat bersatu dengan bahan-bahan pakan lainnya dan tidak mengandung racun (Soeprobo, 1986). Kandungan pati berperan penting dalam proses pembuatan pelet. Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pelet (Balagopalan et al, 1988). Tepung Ubi Jalar Ubi jalar merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan pangan non beras karena kandungan karbohidratnya yang tinggi, disamping itu kandungan vitamin A dan mineral seperti Ca dan Fe juga menjadi kelebihan dari ubi jalar. Salah satu potensi pengembangan ubi jalar adalah dengan diolah menjadi tepung. Proses pembuatan tepung cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun industri kecil (Hackiki, 2012). Menurut penelitian Hamed et al. (1973), kandungan pati tepung ubi jalar berkisar 66,7-70,7%. Kandungan pati tersebut dapat digunakan sebagai perekat bagi pakan berbentuk pelet. Kandungan nutrisi tepung ubi jalar disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Nutrien Tepung Ubi Jalar Komponen Nutrisi
Jumlah
Air (%)
7
Protein (%)
5,12
Lemak (%)
0,50
Abu (%)
2,13
Karbohidrat (%)
85,26
Serat kasar (%)
1,95
Kalori (kal)
366,86
Sumber : Juanda dan Cahyono (2002)
Tepung ubi jalar dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari gaplek ubi jalar yang dihaluskan (digiling) dan kemudian diayak (disaring). Alur pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 1. Ubi Jalar Segar
Pengupasan
Pencucian
Pengirisan
Pengeringan Penepungan
Pengayakan
Tepung Ubi Jalar
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Sumber : BKPPP (2011)
Onggok Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka yang berbentuk padat. Ketersediaan jumlah onggok sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka dan penanganannya. Komponen yang terdapat dalam onggok adalah kandungan zat berupa pati dan serat kasar. Onggok memiliki protein yang rendah, kurang dari 5% (Tarmudji, 2004). Kandungan nutrien onggok disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Nutrien Onggok (% BK) Komponen
Jumlah ……………………….(%).....................................
Protein Kasar
11,0
Serat Kasar
1,16
Lemak
0,32
Protein
1,21
Pati
12,41
Sumber : Fahmi (2009)
Menurut Retnani et al. (2009), kandungan pati onggok adalah sekitar 69,9% dan dari setiap 100 kg umbi segar akan menghasilkan 5-10 kg onggok atau sekitar 510% onggok, sehingga dengan kandungan patinya yang tinggi dan banyak tersedia, onggok sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan perekat. Penelitian Rahmayeni (2002) menunjukkan bahwa penambahan onggok sebagai perekat ke dalam pakan pada taraf 2% sudah dapat digunakan untuk menghasilkan pelet yang kompak dan tidak mudah hancur. Hasil penelitian juga didukung oleh Farada (2002) yang melaporkan bahwa penambahan onggok sebagai perekat pada pakan dengan taraf 2% melalui proses pemanasan dengan steam 45 menit dapat digunakan sebagai perekat untuk pakan broiler bentuk crumble. Tepung Garut Garut merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat alternatif, dimana bukan saja digunakan untuk pangan tetapi juga untuk bahan baku industri pakan. Pati garut dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, farmasi atau obat-obatan, kimia, kosmetik, tekstil, kertas dan bahan perekat pakan (Deptan, 2011). Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati garut mudah
dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Ubi garut juga dijadikan sebagai obat luka (Kay, 1973). Berdasarkan penelitian Mariati (2001) kandungan pati pada tepung garut berkisar antara 29,67-31,34%. Kandungan zat gizi tepung garut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Nutrien Tepung Garut (100 gram) Komponen
Jumlah
Kalori (kkal)
355
Protein (gram)
0,70
Lemak (gram)
0,20
Karbohidrat (gram)
85,2
Kalsium (mg)
8
Fosfor (mg)
22
Zat besi (mg)
1,5
Sumber : Direktorat Gizi Depkes (2010)
Proses pengolahan tepung ubi garut menurut Utami (2008) dapat dilihat pada diagram alir proses pembuatan tepung garut pada Gambar 2.
Ubi garut Dikupas kulitnya, dicuci bersih, dan diiris dengan slicer Irisan ubi Direndam, ditiriskan, dan dikeringkan dengan oven 60°C selama 5 jam Irisan kering ubi
Digiling dengan disc mill dengan ayakan 60 mesh Tepung garut Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Tepung Garut Sumber: Utami (2008)
Kualitas Fisik Pakan Keberhasilan pengembangan teknologi pakan, seperti pengadukan pakan, laju aliran pakan dalam organ pencernaan, proses absorbsi dan deteksi kandungan protein, semuanya terkait erat dengan pengetahuan tentang kualitas fisik pakan. Penggilingan merupakan salah satu proses penyeragaman ukuran partikel sehingga dapat memperkecil perbedaan kualitas fisik (Sutardi, 1997). Menurut Suadnyana (1998), sekurang-kurangnya ada 7 kualitas fisik yang memegang peranan penting dalam pakan ternak yaitu ukuran partikel, berat jenis, sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, daya ambang, dan ketahanan benturan. Ukuran Partikel Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata-rata ukuran partikel dalam sampel pakan atau bahan pakan. Ukuran partikel dapat menjadi faktor yang sangat penting dalam karakteristik pencampuran pakan dan kemampuan pelleting. Ukuran partikel juga menjadi faktor penentu penumpukan pakan atau bahan pakan dalam bin (Fogo, 1994). Ukuran partikel dapat mempengaruhi kualitas fisik bahan pakan (Wirakartakusumah, 1992). Ukuran partikel berpengaruh terhadap kualitas pelet yang dihasilkan, agar memperoleh nilai durabilitas yang sesuai standar. Sebelum proses pelleting, bahan baku digiling terlebih dahulu hingga mencapai ukuran partikel dan tekstur bahan yang halus dengan kerapatan yang tinggi sehingga pelet yang dihasilkan akan kuat dan tidak mudah rapuh (Retnani et al., 2009). Berat Jenis Berat Jenis disebut juga berat spesifik, merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volumenya. Menurut Khalil (1999a), berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan. Berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan dan memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang dari partikel, berat jenis bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan. Pakan yang terdiri dari partikel yang perbedaan berat jenisnya cukup besar, maka campuran ini tidak stabil dan cenderung mulai terpisah kembali. Berat jenis sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran
secara otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling. Kerapatan Tumpukan Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya. Suadnyana (1998) menyatakan bahwa kerapatan tumpukan berpengaruh terhadap daya campur dan ketelitian penakaran secara otomatis, sebagaimana halnya berat jenis. Sifat ini juga memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat tertentu seperti misalnya dalam pengisian alat pencampur, elevator, dan juga silo. Menurut Suadnyana (1998), pencampuran bahan dengan ukuran partikel yang sama, tetapi terdapat perbedaan yang besar dalam kerapatan tumpukan (lebih dari 500 kg/m3), maka bahan sulit dicampur serta mudah terpisah kembali. Selanjutnya, bahan yang mempunyai kerapatan tumpukan rendah (kurang dari 450 kg/m3) membutuhkan waktu untuk mengalir lebih lama serta dapat ditimbang lebih teliti dengan alat penakar otomatis, baik volumetris maupun gravimetris. Pakan dengan kerapatan tumpukan tinggi (lebih dari 1000 kg/m3) bersifat sebaliknya. Kerapatan Pemadatan Tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan berat bahan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan (seperti penggoyangan). Menurut Hoffman (1997), tingkat pemadatan serta densitas bahan sangat menetukan kapasitas dan akurasi pengisian tempat penyimpanan seperti silo, kontainer, dan kemasan. Kerapatan pemadatan tumpukan dan kerapatan tumpukan sangat berperan atau berpengaruh pada kapasitas silo, penyimpanan, dan pengemasan. Perbedaan cara pemadatan akan mempengaruhi pada nilai kerapatan pemadatan tumpukannya. Sudut Tumpukan Sudut tumpukan merupakan sudut antara bidang datar dengan kemiringan tumpukan, yang terbentuk jika bahan dicurahkan serta menunjukkan kriteria kebebasan bergerak partikel dari suatu tumpukan bahan. Semakin bebas suatu partikel bergerak, maka sudut tumpukan yang terbentuk juga semakin kecil.
Pergerakan partikel yang ideal ditunjukkan oleh pakan bentuk cair, dengan sudut tumpukan berkisar 20° – 50° (Khalil, 1999b). Geldart et al. (1990) menyatakan bahwa pengukuran sudut tumpukan merupakan metode yang cepat dan produktif untuk menentukan laju aliran bahan. Pada bahan yang alirannya cepat, puncaknya sering datar sedangkan pada bahan yang alirannya lambat cenderung menumpuk di permukaan corong sehingga sering menyumbat saluran corong. Klasifikasi aliran bahan baku berdasarkan sudut tumpukan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Aliran Bahan Baku Berdasarkan Sudut Tumpukan Sudut Tumpukan (°)
Aliran
25-30
Sangat mudah mengalir
30-38
Mudah mengalir
38-45
Mengalir
45-55
Sulit mengalir
>55
Sangat sulit mengalir
Sumber : Fasina dan Sokhansanj (1993)
Ketahanan Benturan Ketahanan benturan merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pelet, karena ketahanan pelet terhadap benturan terkait dengan proses pengangkutan. Fasina dan Sokhansanj (1993) menyatakan bahwa pelet yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu akan kehilangan bentuk, tergantung dari ketahanan pelet tersebut. Apabila pelet tidak kuat maka akan hancur dalam bentuk serpihan atau mash. Menurut Balagopalan et al. (1988), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pelet, antara lain : 1.
Komponen alamiah, terdiri dari : a.
Pati Bila terkena panas dan tersedia cukup air di dalam pakan, maka dapat berfungsi sebagai perekat dan menghasilkan gelatin.
b.
Lemak Dapat berfungsi sebagai pelicin pada saluran pencetakan pelet sehingga proses pencetakan lebih lancar, yang dapat menghemat penggunaan energi.
c.
Serat Berfungsi sebagai kerangka pelet, dalam keadaan sedikit serat dalam pakan akan menghasilkan pelet yang kuat, sedangkan apabila seratnya tinggi maka pelet akan mudah rapuh.
2.
Kondisi bahan : a.
Kandungan air Dapat menimbulkan proses gelatinisasi selama pencetakan berlangsung. Air juga dapat berfungsi sebagai pelicin menggantikan fungsi lemak, namun kandungan air yang terlalu tinggi dapat berakibat merugikan hasil pencetakan.
b.
Ukuran partikel Partikel yang halus memegang peranan penting dalam proses pembuatan pelet, karena semakin luas permukaan kontak antara partikel maka semakin kuat ikatan yang terbentuk antara partikel.
c.
Temperatur Dapat mempercepat terjadinya proses gelatinisasi.
Durability Menurut Tripod (2007), durabilitas pelet adalah ketahanan pelet yang dirumuskan sebagai persentase banyaknya pakan pelet yang utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam uji tumbling cane terhadap jumlah pakan semula sebelum dimasukkan ke dalam alat. Dozier (2001) menyatakan bahwa kualitas pelet dilihat dari nilai durability pelet, yaitu ditunjukkan oleh keutuhan fisik pelet setelah mengalami penanganan dan pengangkutan dengan sedikitnya jumlah yang menjadi halus atau rusak. Fairfield (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi durability pelet adalah karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang dimaksud adalah protein, lemak, serat, pati, density (kepadatan), tekstur, dan air serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan kualitas pelet yang baik. Ukuran partikel bahan baku sangat mempengaruhi kualitas pelet dan poduksi pelet yang dihasilkan. Ukuran partikel bahan baku dipengaruhi oleh kadar kehalusan bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan pelet (Fairfield, 1994).
Performa Ayam Broiler Menurut North dan Bell (1990), dalam pengelolaan ayam broiler, performa produksi yang harus diamati meliputi bobot badan setiap minggunya, pertambahan bobot badan, konsumsi pakan selama pemeliharaan dan konversi pakan. Penelitian Salamah (2007) mengenai pengaruh penggunaan bahan perekat bentonit terhadap performa ayam broiler strain Cobb galur CP 707 dari PT. Charoen Pokhpand dengan pemeliharaan selama 35 hari disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Performa Ayam Broiler dengan Pakan Berperekat Sintetis Performa Ayam
R1
R2
Konsumsi Pakan (g/ekor)
2351,91 ± 123,48
1982,80 ± 221,51
Bobot Badan Akhir (g/ekor)
1573,28 ± 118,26
2102,29 ± 73,10
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor)
1528,08 ± 118,70
1101,13 ± 76,33
1,63 ± 0,09
1,94 ± 0,07
Konversi Pakan
Keterangan : R1 = Pakan komersil ; R2 = Pakan + perekat bentonit 2% Sumber : Salamah (2007)
Konsumsi Pakan Konsumsi pakan (Voluntary Feed Intake) adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan apabila hewan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu dan tingkat konsumsi ini menggambarkan palatabilitas (Parakkasi, 1999). Pada umumnya palatabilitas dapat ditentukan oleh rasa, bau, warna dari bahan pakan. Tilman et al. (1991) menyatakan konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut. Menurut National Research Council (1994), faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah bobot tubuh ayam, jenis kelamin, aktivitas, suhu lingkungan, kualitas, dan kuantitas pakan. Piliang (1992) berpendapat bahwa konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya temperatur lingkungan. Kondisi lingkungan dengan temperatur panas akan menurunkan konsumsi pakan, sebaliknya pada kondisi lingkungan dengan temperatur dingin akan meningkatkan konsumsi pakan.
Menurut Widodo (2002), konsumsi pakan dipengaruhi oleh bentuk, warna, bau, dan rasa. Bentuk pakan yang jelek akan menghambat konsumsi dan berpengaruh negatif pada rataan pertumbuhan. Menurut Munt et al. (1995), keragaman ukuran partikel penting untuk performa ayam broiler. Pakan dengan ukuran partikel yang seragam menghasilkan performa yang lebih baik, walaupun tidak secara langsung berpengaruh karena partikel yang seragam akan meningkatkan konsumsi. Menurut Swich (1998), pakan dengan partikel yang lebih kecil dan berdebu sulit dikonsumsi dan cenderung ditinggalkan penggunanya. Bentuk pakan pelet dan crumble lebih baik untuk dikonsumsi ayam broiler daripada mash. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. McDonald et
al. (2002) menyatakan bahwa
pertumbuhan merupakan suatu proses peningkatan pada ukuran tulang, otot, organ dalam, dan bagian tubuh lainnya yang terjadi sebelum lahir dan setelah lahir sampai mencapai dewasa. Pertumbuhan ayam pedaging sangat cepat dan pertumbuhan dimulai sejak menetas sampai umur delapan minggu dan setelah itu kecepatan pertumbuhan akan menurun (Bell dan Weaver, 2002). Wahju (2004) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempegaruhi pertumbuhan adalah bangsa, tipe ayam, jenis kelamin, energi metabolis, kandungan protein, dan suhu lingkungan. Pertumbuhan erat kaitannya dengan konsumsi pakan. Amrullah (2004) menjelaskan bahwa temperatur yang tinggi dapat mengakibatkan ayam dalam kondisi stres, yang lebih jauh berakibat pada menurunnya pertumbuhan karena konsumsi menurun. Konversi Pakan Konversi pakan pada ayam broiler diartikan sebagai jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg bobot hidup. Faktor utama yang mempengaruhi konversi pakan adalah genetik, kualitas pakan, penyakit, temperatur, sanitasi kandang, ventilasi, pengobatan, dan manajemen kandang. Faktor pemberian pakan, penerangan juga ikut andil dalam mempengaruhi konversi pakan, laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik pakan, dan komposisi nutrisi pakan (Lacy dan Vest, 2000).
Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa konversi pakan berguna untuk mengukur produktivitas ternak. Konversi pakan didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Semakin tinggi konversi pakan menunjukkan semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Dijelaskan juga bahwa semakin rendah angka konversi pakan berarti kualitas pakan semakin baik. Konversi pakan yang baik untuk unggas adalah pakan bentuk pelet dan crumble dibandingkan dengan mash. Pakan bentuk pelet dan crumble cenderung mengurangi jumlah pakan yang hilang di dalam litter dibandingkan dengan pakan bentuk mash. Munt et al. (1995) melaporkan bahwa pakan bentuk pelet memiliki konversi yang lebih baik dibandingkan dengan pakan bentuk mash yaitu 1,8 berbanding 1,9. Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) Rotib (1990) menyatakan bahwa Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) merupakan peubah penting yang secara ekonomis dapat menggambarkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari tiap-tiap perlakuan. IOFCC itu sendiri adalah perbedaan rata-rata pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan satu ekor ayam pada akhir penelitian dengan rata-rata pengeluaran satu ekor ayam selama penelitian. Faktor yang memperngaruhi antara lain harga DOC, konsumsi pakan, bobot badan akhir, dan harga jual per kg bobot hidup.
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai bulan Desember 2011, bertempat di Laboratorium Industri Pakan dan Pemeliharaan bertempat di Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Peneltian Tahap 1. Uji Kualitas Fisik Pakan Materi Bahan baku pakan yang digunakan dalam pembuatan pakan ayam broiler adalah dedak padi, jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, MBM, CPO, DLMethionin, CaCO3, L-lysin, tepung garut, tepung ubi jalar, dan onggok. Peralatan yang digunakan untuk produksi pakan adalah mesin pelet farm feed pelleter, plastik, timbangan, gelas ukur 100 ml, pengaduk aquades, bak plastik, corong, mistar, spidol, kertas label, kuas, jangka sorong, dan satu set alat pengukur sudut tumpukan. Metode Pembuatan Pelet Proses pembuatan pelet diawali dengan menggiling bahan yang masih dalam bentuk bijian menjadi bentuk yang halus untuk mempermudah proses pembuatan pelet. Bahan-bahan yang telah digiling dipersiapkan sesuai dengan formulasi pakan. Masing-masing bahan baku dicampurkan bersamaan dengan pemberian bahan perekat onggok, tepung ubi jalar, dan garut sebesar 2% dari berat pakan, kemudian pakan dicampur merata dengan tiap-tiap bahan perekat. Selanjutnya pakan dimasukkan ke hopper (lubang pemasukan bahan baku pakan) pada mesin pelet farm feed pelleter, kemudian dilakukan proses pencetakan pelet pada pelleting chamber (ruang pencetakan pelet), ditekan oleh roller dan setelah keluar dari lubang die dipotong oleh pisau pemotong, dan keluar dalam bentuk pelet dengan diameter 3 mm dan panjang 1 cm. Selanjutnya pelet didinginkan dengan cara meletakkan pelet pada alas secara menyebar rata dan diangin-anginkan selama kurang lebih 20 menit.
Formulasi Pakan Pembuatan formulasi pakan broiler starter menggunakan protein kasar 22 % dan energi metabolis 3050 kkal/ kg pakan berdasarkan Leeson dan Summers (2005). Formulasi pakan dibuat menggunakan metode trial and error. Formulasi pakan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi dan Perhitungan Zat Makanan Pakan Ayam Broiler Penelitian Bahan
Perlakuan R1
R2
R3
R4
..……………...…..(%)........................ Jagung
39,4
39,4
39,4
39,4
Dedak padi
18,5
18,5
18,5
18,5
Bungkil kedelai
27,5
27,5
27,5
27,5
Tepung ikan
5
5
5
5
MBM
5
5
5
5
CPO
3,5
3,5
3,5
3,5
CaCO3
0,5
0,5
0,5
0,5
L-lysin
0,4
0,4
0,4
0,4
DL-methionin
0,2
0,2
0,2
0,2
100
100
100
100
0
2
2
2
6073
6353
6413
Total Bahan Perekat (%) Harga (Rp/kg)
6013
Kandungan Zat Makanan Berdasarkan Perhitungan : Energi metabolis (kkal/kg)
3052,2
3102
Protein kasar (%)
22,2
22,22
22,3
22,21
Serat kasar (%)
4,43
4,65
4,47
4,43
1,143
1,143
1,143
1,3
P tersedia (%)
0,55
0,55
0,55
0,55
Metionin (%)
0,58
0,58
0,58
0,58
1,5
1,5
1,5
1,5
Ca (%)
Lysin (%) Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%.
3059,5 3059,3
Peubah Kualitas Fisik Pakan 1. Ukuran partikel (Syarief dan Halid, 1993) Teknik yang digunakan untuk mengukur ukuran partikel adalah dengan menggunakan alat Vibrator Ball mill German The Sieve Analysis nomor mesh/sieve 4, 8, 16, 30, 50, 100, 400. Bahan ditimbang sebanyak 500 gram dan diletakkan pada bagian paling atas dari sieve, kemudian bahan disaring dan bahan yang tertinggal pada tiap-tiap sieve ditimbang. Derajat kehalusan (Modulus of Finenes/MF) dihitung dengan cara: Derajat kehalusan = Σ (% bahan x No Perjanjian) 100 Ukuran partikel rata-rata (mm) = 0,0041 x 2MF inchi x 2,54 cm x 10 mm Berdasarkan rumus tersebut maka dapat diperoleh nilai ukuran partikel sebagai berikut:
Kategori bahan kasar = MF = 4,1 – 7 → UP > 1,79 – 13,33 mm
Kategori bahan sedang= MF = 2,1 – 4,1 → UP > 0,78 – 1,79 mm
Kategori bahan halus = MF = 0 – 2,1 → UP = 0,10 – 0,78 mm
2. Berat Jenis (Khalil, 1999a) Berat jenis diukur dengan melihat perubahan volume aquades pada gelas ukur (100 ml) setelah memasukkan bahan-bahan yang massanya 25 gram ke dalam gelas ukur pada volume awal 40 ml, kemudian dilakukan pengadukan untuk mempercepat jalannya udara antar partikel pakan selama pengukuran. Perubahan volume aquades merupakan volume bahan sesungguhnya. Berat jenis dihitung dengan rumus : BJ (g/cm3) = 3. Kerapatan Tumpukan (Khalil, 1999a) Kerapatan tumpukan dihitung dengan mencurahkan bahan dengan bobot tertentu ke dalam gelas ukur (100 ml). Metode pemasukan bahan ke dalam gelas ukur sama setiap pengamatan, baik cara maupun ketinggian pencurahan. Pencurahan pakan dibantu corong plastik dan sendok teh, guna meminimumkan penyusutan volume curah akibat pengaruh daya berat pakan itu sendiri saat dicurahkan dan terjadinya guncangan pada gelas ukur perlu dihindari. Kerapatan tumpukan dihitung dengan rumus : KT (g/cm3) =
4. Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Khalil, 1999a) Kerapatan pemadatan tumpukan ditentukan dengan cara yang sama dengan penentuan kerapatan tumpukan, tetapi volume bahan dibaca setelah dilakukan proses pemadatan dengan cara menggoyang-goyangkan gelas ukur sampai volume tidak berubah lagi. Besarnya nilai kerapatan tumpukan sangat tergantung pada intensitas proses pemadatan penggetaran. Sebaiknya pemadatan dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 10 menit. Kerapatan pemadatan tumpukan dihitung dengan rumus : KPT (g/cm3)= 5. Sudut Tumpukan (Khalil, 1999b) Pengukuran sudut tumpukan dilakukan dengan cara menjatuhkan atau mencurahkan bahan pada ketinggian 15 cm. Diameter tumpukan bahan maksimum setengah kali tinggi jatuhnya bahan. Sebagai alas bidang datar digunakan karton manila berwarna putih. Ketinggian tumpukan bahan harus selalu berada dibawah corong plastik. Pengukuran diameter dilakukan pada sisi yang sama pada semua pengamatan dengan bantuan mistar dan segitiga sikusiku. Sudut tumpukan bahan dinyatakan dengan satuan derajat dan dapat ditentukan dengan mengukur diameter dasar (d) dan tinggi tumpukan (t), sedangkan (n) adalah ketinggian tertentu untuk menjatuhkan bahan. Besarnya sudut dapat dihitung dengan rumus : δ = Cotg (2t/d) 6. Ketahanan Benturan Pelet (Balagopalan et al., 1988) Ketahanan pelet terhadap benturan diukur dengan cara menjatuhkan pelet dari ketinggian 1 meter pada lempeng besi setebal 2 mm. Pelet dijatuhkan secara bersamaan dengan berat 500 gram, lalu dilakukan penyaringan dengan vibrator ball mill german the sieve analisis dan dilakukan penimbangan (Balagopalan et al., 1988). Ukuran ketahanan pelet dirumuskan sebagai berikut : Ketahanan benturan pelet (%) =
x 100%
7. Pellet Durability Index (McEllhiney, 1994) Sampel sebanyak 500 gram dimasukkan kedalam kotak yang dilengkapi dengan alat pemutar (tumbling) yang diputar selama 10 menit dengan kecepatan 50 rpm, dilakukan penyaringan dengan mesh yang berukuran 8. Pellet durability diukur dengan rumus : Durability (%) =
x 100%
Penelitian Tahap 2. Uji Performa Ayam Broiler Materi Pemeliharaan menggunakan 240 ekor ayam broiler (DOC) strain Cobb galur CP 707 dari PT. Charoen Pokphand. Bahan sanitasi kandang dan peralatan yang digunakan adalah sabun, kapur, serta larutan desinfektan. Pemeliharaan ayam broiler menggunakan kandang dengan sistem litter beralaskan sekam padi dengan ukuran kandang 1,5 x 1,5 x 1 m dimana setiap kandang diisi 15 ekor ayam, sekat bambu, tempat pakan, tempat air minum, dan lampu 70 watt, dan timbangan. Metode Persiapan Kandang dan Peralatan Satu minggu sebelum kandang digunakan, kandang dibersihkan terlebih dahulu dan mencuci peralatan kandang dengan sabun cair. Setelah itu dilakukan pengapuran pada dinding dan lantai kandang, kemudian dilakukan strerilisasi menggunakan larutan desinfektan, kemudian sekam ditaburkan dengan ketebalan 5 – 8 cm dilantai. Pemeliharaan Ayam DOC yang baru datang diberi larutan gula melalui air minum yang bertujuan untuk menghindari stres selama proses pengangkutan ke kandang. DOC dimasukkan ke kandang, setiap kandang terdapat 15 ekor ayam yang diambil secara acak dan telah dilakukan penimbangan terlebih dahulu. Pakan dan air minum diberikan ad libitum setiap pagi, siang, sore, dan malam. Penimbangan ayam dilakukan setiap seminggu sekali, demikian juga penimbangan pakan dan sisanya. Peubah Uji Performa Ayam Broiler 1. Konsumsi Pakan Jumlah konsumsi pakan diperoleh dari perhitungan jumlah pakan yang dikonsumsi pada setiap minggu penelitian. Rataan konsumsi pakan diukur dengan rumus : Rataan konsumsi pakan (g/ekor) =
2. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan diperoleh dari selisih antara bobot badan awal dan akhir selama penelitian. Pertambahan konsumsi pakan diukur dengan rumus : PBB (g/ekor) = 3. Konversi Pakan Konversi pakan dihitung berdasarkan nisbah antar jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan selama penelitian. Konversi pakan diukur dengan menggunakan rumus : Konversi pakan = 4. Bobot Badan Akhir Bobot badan akhir diperoleh dari penimbangan bobot badan ayam pada akhir penelitian (umur 5 minggu). 5. Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) IOFCC merupakan perbedaan rata-rata pendapatan (dalam rupiah) yang diperoleh dari hasil penjualan kg ayam dengan rata-rata pengeluaran satu ekor ayam selama penelitian. Rumus perhitungan IOFCC sebagai berikut : IOFCC (Rp/kg bobot badan) = (Harga jual x bobot hidup ayam) – {(harga pakan x konsumsi pakan) + harga DOC per ekor)} Rancangan Percobaan dan Analisis Data Perlakuan Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan pada uji kualitas fisik, dan pada uji performa ayam broiler menggunakan 4 perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan terdiri dari 15 ekor ayam. Perlakuan yang digunakan adalah: R1
= Pakan kontrol tanpa perekat
R2
= Pakan + perekat onggok 2%
R3
= Pakan + perekat ubi jalar 2%
R4
= Pakan + perekat tepung garut 2%
Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model analisis menggunakan model matematik sebagai berikut :
Xij = μ + τi + εij Keterangan : Xij
= Perlakuan pengolahan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
εij
= Eror (galat) perlakuan ke-i ulangan ke-j
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pakan Pelet Ayam Broiler Bahan perekat merupakan suatu bahan yang mempunyai fungsi mengikat komponen-komponen pakan dalam bentuk pelet sehingga strukturnya tetap kompak Raharjo (1997). Kandungan nutrien bahan perekat disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kandungan Nutrien Bahan Perekat Alami (% BK)* Bahan Perekat Nutrien
Onggok
Tepung Ubi Jalar
Tepung Garut
……………………….(%)……………………………. Pati**
69,0
65,06
63,97
Karbohidrat
93,85
85,26
85,2
Protein kasar
5,23
5,5
0,7
Lemak kasar
0,71
0,54
0,2
Abu
0,9
2,29
-
Serat Kasar
23,9
2,1
-
Keterangan
: *) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2012). **) Hasil Analisis Laboratorium PAU Fakultas Teknologi Pangan IPB (2012)
Kandungan pati pada bahan perekat berperan penting dalam proses pembuatan pelet. Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pelet (Balagopalan et al, 1988). Kandungan pati onggok menurut penelitian Retnani et al. (2009) adalah sekitar 69,9%, sedangkan hasil analisis menunjukkan kandungan pati tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 69,0%. Kandungan pati tepung ubi jalar menurut Hamed et al. (1973) berkisar antara 66,7-70,7% dan hasil analisis menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 65,06%. Kandungan pati tepung garut menurut Mariati (2001) berkisar antara 29,67-31,34%, dan hasil analisis menunjukkan perbedaan yang jauh, yaitu sebesar 63,97%. Kandungan nutrien pakan berdasarkan analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kandungan Nutrien Pakan Bentuk Pelet Berdasarkan Analisis* Nutrien
Perlakuan R1
R2
R3
R4
86,68
87,37
85,6
87,96
Abu (%)
9,81
9,33
9,21
8,74
Protein kasar (%)
22,1
18,42
19,68
20,03
Serat kasar (%)
8,47
9,13
8,55
8,3
Lemak kasar (%)
3,66
4,04
3,83
3,25
Beta-N (%)
42,64
46,45
44,33
47,64
Energi bruto (kkal/kg)
3956
3893
3921
3906
Bahan kering (%)
Keterangan :*Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011). R1 = Ransum kontrol tanpa perekat R2 = Ransum + perekat onggok 2% R3 = Ransum + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Ransum + perekat tepung garut 2%
Hasil analisis proksimat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa kandungan air pada pakan masih memenuhi standar maksimal kadar air yang diberikan untuk pakan unggas yaitu sebesar 14%. Nilai kadar air tertinggi terdapat pada R3 sebesar 14,4% dan kadar air terendah terdapat pada R2 sebesar 12,04%. Perbedaan jenis perekat yang digunakan dalam pakan dapat mempengaruhi perbedaan nilai kandungan air. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan kemampuan penyerapan air dari masingmasing bahan perekat. Kandungan serat kasar hasil analisis proksimat tergolong tinggi, yaitu kisaran 8,3-9,81%, kandungan serat kasar tersebut melewati batas maksimal kandungan serat kasar sesuai literatur, yaitu 6% (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Hal ini diduga karena penggunaan dedak padi pada formulasi pakan. Bahan baku pakan yang digunakan diduga memiliki kandungan nutrisi yang kurang baik, terutama pada dedak padi, sehingga menyebabkan kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan. Kandungan protein kasar pakan penelitian berkisar antara 18,42-22,1%. Kandungan protein kasar tersebut masih ada yang kurang memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar Leeson dan Summers (2005), yaitu sebesar 22%. Hal ini juga diduga karena kualitas nutrisi bahan baku pakan kurang baik, sehingga menyebabkan kandungan protein kasar pakan kurang memenuhi standar kebutuhan nutrisi ayam broiler.
Uji Kualitas Fisik Pakan Secara fisik bentuk pelet yang telah diproduksi tidak memiliki perbedaan dari segi bau, warna, dan tekstur, karena setiap pelet memiliki formula bahan pakan yang sama, namun perbedaannya terletak pada penggunaan jenis perekat. Hasil pengukuran nilai rataan uji kualitas fisik pakan pelet penelitian ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Uji Kualitas Fisik Pakan Penelitian Peubah
Perlakuan R1
R2
R3
R4
Ukuran partikel (mm)
6,32
6,83
6,56
6,44
Berat jenis (g/cm3)
1,29
1,29
1,32
1,26
Kerapatan tumpukan (g/cm3)
0,55
0,57
0,55
0,56
Kerapatan pemadatan tumpukan (g/cm3)
0,63
0,63
0,62
0,62
Sudut tumpukan (o)
26,96B
25,68C
28,34A
26,46B
Ketahanan benturan (%)
95,27
96,81
97,01
96,93
Pellet Durability Index (%)
96,37C
98,17A
97,65B
97,47B
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,05). R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Ukuran Partikel Pengukuran ukuran partikel adalah proses penentuan rata-rata ukuran partikel dalam bahan pakan. Pelet diproduksi dengan menggunakan mesin farm feed pelleter dengan diameter 3 mm dan panjang 1 cm. Hasil sidik ragam menunjukkan jenis perekat tidak memberi pengaruh nyata terhadap ukuran partikel, diduga karena pakan memiliki bahan penyusun pakan yang sama dan menghasilkan kualitas fisik yang sama, sehingga penggunaan perekat onggok, tepung garut, dan tepung ubi jalar mempunyai pengaruh yang sama terhadap perlakuan. Hasil perhitungan sidik ragam nilai rataan ukuran partikel dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan Ukuran Partikel Pelet (mm) Pakan
Ulangan
Rataan
1
2
3
R1
6,23
6,56
6,16
6,39 ± 0,22
R2
6,71
6,85
6,93
6,78 ± 0,11
R3
6,91
6,66
6,10
6,79 ± 0,41
R4
6,48
6,31
6,52
6,39 ± 0,11
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Ukuran partikel terkecil terdapat pada pakan R1 dan R2 sebesar 6,39 dan ukuran partikel terbesar terdapat pada pakan R3 sebesar 6,79. Secara keseluruhan ukuran partikel pelet tergolong kategori halus (0,10 – 0,78 mm), yaitu 4,1-7,0 mm (Syarief dan Halid, 1993). Penelitian Harmiyanti (2002) melaporkan bahwa rataan ukuran partikel pelet berperekat sintetis lignosulfonat sebesar 6,7 mm dan pellet berperekat bentonit juga sebesar 6,7 mm. Nilai ukuran partikel tersebut tidak jauh berbeda terhadap perlakuan. Ukuran partikel berpengaruh terhadap kualitas pelet yang dihasilkan, agar memperoleh nilai durabilitas yang sesuai standar. Sebelum proses pelleting, bahan baku digiling terlebih dahulu hingga mencapai ukuran partikel dan tekstur bahan yang halus dengan kerapatan yang tinggi sehingga pelet yang dihasilkan akan kuat dan tidak mudah rapuh (Retnani et al., 2009). Berat Jenis Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan. Berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan, daya ambang partikel pakan, ukuran partikel dan menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis pada pabrik pakan, misalnya proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis perekat pada penelitian tidak berbeda nyata terhadap berat jenis. Rataan berat jenis pakan penelitian adalah 1,23-1,32 g/cm3. Nilai rataan berat jenis dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan Berat Jenis Pelet (g/cm3) Pakan
Ulangan
Rataan
1
2
3
R1
1,32
1,32
1,25
1,32 ± 0,04
R2
1,32
1,32
1,25
1,32 ± 0,04
R3
1,32
1,39
1,25
1,35 ± 0,07
R4
1,32
1,14
1,32
1,23 ± 0,10
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Penelitian Harmiyanti (2002) melaporkan bahwa rataan berat jenis pelet berperekat sintetis lignosulfonat sebesar 1,37 g/cm3 dan pelet berperekat bentonit sebesar 1,40 g/cm3. Nilai rataan berat jenis tersebut tidak jauh berbeda terhadap perlakuan. Sesuai dengan pernyataan Khalil (1999a), kadar air tidak berpengaruh nyata terhadap pengukuran berat jenis dari berbagai kelompok bahan sumber energi, sumber hijauan, sumber protein nabati dan hewani serta pakan sumber mineral. Penambahan bahan perekat yang tidak berpengaruh nyata terhadap berat jenis disebabkan oleh pemadatan di dalam mesin sama sehingga ruang antar partikel didalam pelet tidak akan berbeda (Rahmayeni, 2002). Berat jenis dan ukuran partikel berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran bahan. Pakan yang terdiri atas partikel yang perbedaan berat jenisnya cukup besar, maka campuran ini tidak stabil dan cenderung mudah terpisah kembali (Khalil, 1999a). Nilai berat jenis pada pakan yang digunakan dalam pengangkutan dan kapasitas ruang penyimpanan yang dibutuhkan pada pakan penelitian juga setara. Sesuai dengan pernyataan Syarifudin (2001), semakin tinggi berat jenis maka akan meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan dan memudahkan pengangkutan. Kerapatan Tumpukan Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya (Khalil, 1999a). Data hasil analisis ragam kerapatan tumpukan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Rataan Kerapatan Tumpukan Pelet (g/cm3) Pakan
Ulangan
Rataan
1
2
3
R1
0,57
0,54
0,54
0,55 ± 0,01
R2
0,59
0,57
0,56
0,57 ± 0,01
R3
0,54
0,56
0,54
0,55 ± 0,01
R4
0,56
0,56
0,56
0,56 ± 0,01
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kerapatan tumpukan, diduga dikarenakan pakan memiliki kualitas fisik yang sama karena memiliki bahan penyusun pakan yang sama. Nilai kerapatan tumpukan paling tinggi terdapat pada perlakuan R2 sebesar 0,57 g/cm3 dan yang paling rendah pada perlakuan R1 dan R3 sebesar 0,55 g/cm3. Penelitian Harmiyanti (2002) melaporkan bahwa rataan kerapatan tumpukan pelet berperekat sulfonat dan bentonit sebesar 0,64 g/cm3 dan 0,66 g/cm3. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai kerapatan tumpukan perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan nilai kerapatan tumpukan sesuai dengan penelitian Harmiyanti (2002). Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan penggunaan mesin pelet. Mesin pelet yang digunakan selama penelitian menggunakan mesin farm feed pelleter dan penelitian Harmiyanti (2002) menggunakan mesin pellet mill. Mesin pellet mill mampu memproduksi pelet dengan kualitas fisik pakan yang lebih baik dibandingkan dengan pelet yang diproduksi oleh mesin farm feed pelleter (Retnani, 2011), sehingga dapat mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan pelet. Khalil (1999a) menyebutkan bahwa bahan yang mempunyai kerapatan tumpukan rendah (<0,45 g/cm3) membutuhkan waktu mengalir dengan arah vertikal lebih lama sebaliknya dengan bahan yang mepunyai kerapatan tumpukan yang lebih besar (>0,5 g/cm3). Hasil perhitungan rataan kerapatan tumpukan (Tabel 14) menunjukkan bahwa perekat onggok, tepung garut dan tepung ubi jalar mempunyai nilai kerapatan tumpukan diatas 0,5 g/cm3. Nilai kerapatan tumpukan pelet yang semakin tinggi menyebabkan volume ruang yang ditempati pelet lebih kecil. Bahan
atau komoditi dengan kerapatan tumpukan tinggi dapat menghemat pengeluaran biaya untuk pengemasan dan penyimpanan bahan (A/S Niro, 2005), hal ini menyebakan produsen lebih memilih bahan atau komoditi dengan kerapatan tumpukan tinggi apabila melakukan pengangkutan pakan dengan jarak jauh. Kerapatan Pemadatan Tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan seperti penggoyangan (Khalil, 1999a). Data hasil analisis ragam kerapatan pemadatan tumpukan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Rataan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Pelet (g/cm3) Pakan
Ulangan
Rataan
1
2
3
R1
0,63
0,63
0,63
0,63 ± 0,01
R2
0,63
0,63
0,62
0,63 ± 0,01
R3
0,62
0,63
0,63
0,62 ± 0,01
R4
0,63
0,62
0,61
0,62 ± 0,01
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kerapatan pemadatan tumpukan. Setara dengan kerapatan tumpukan, diduga karena pakan memiliki kualitas fisik yang sama karena memiliki penyusun pakan yang sama nilai kerapatan pemadatan tumpukan yang tertinggi terdapat pada pakan R1 dan R2 sebesar 0,63 g/cm3. Penelitian Harmiyanti (2002) melaporkan bahwa rataan kerapatan pemadatan tumpukan pelet berperekat lignosulfonat dan bentonit sebesar 0,69 g/cm3. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan penelitian tidak berbeda jauh terhadap penelitian Harmiyanti (2002). Sayekti (1999) menyatakan bahwa kerapatan pemadatan tumpukan selain dipengaruhi oleh ukuran partikel dan kadar air, dapat dipengaruhi juga oleh ketidaktepatan pengukuran. Kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh intensitas dan cara pemadatan, semakin lama proses pemadatan yang dilakukan maka kerapatan pemadatan tumpukan cenderung menurun, dan sebaliknya. Gautama
(1998) berpendapat bahwa pemadatan pada pakan yang mempunyai berat jenis tinggi akan meningkatkan kepadatannya. Sayekti (1999) menyatakan pula bahwa kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh kadar air. Semakin tinggi nilai kerapatan pemadatan tumpukan maka volume ruang yang ditempati pelet menjadi lebih kecil. Khalil (1999a) menambahkan bahwa kerapatan pemadatan tumpukan dan kerapatan tumpukan sangat berperan atau berpengaruh dalam kapasitas silo, container, dan pengemasan. Sudut Tumpukan Semakin kecil sudut tumpukan maka pelet semakin mudah bergerak sehingga laju aliran pelet semakin cepat (Khalil, 1999b). Hasil perhitungan sudut tumpukan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Rataan Sudut Tumpukan Pelet (°) Pakan
Ulangan Rataan
1
2
3
R1
26,73
27,21
26,94
26,96B ± 0,24
R2
25,86
25,77
25,42
25,68C ± 0,23
R3
26,92
28,48
29,61
28,34A ± 1,35
R4
26,10
26,08
27,19
26,46B ± 0,64
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Jenis perekat pada penelitian memiliki nilai yang berbeda nyata terhadap sudut tumpukan pada pakan penelitian. Nilai sudut tumpukan terendah terdapat pada perlakuan R2 sebesar 25,68°, sedangkan nilai sudut tumpukan tertinggi terdapat pada R3 sebesar 28,34°. Jenis perekat onggok (R2) dan tepung garut (R4) menghasilkan sudut tumpukan nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (R1) dan pakan dengan perekat ubi jalar (R2). Perlakuan yang memiliki sudut tumpukan terendah (R2 dan R4) menyebabkan pelet semakin bebas bergerak sehingga memudahkan laju aliran pelet. Nilai sudut tumpukan yang rendah tersebut diduga karena dipengaruhi oleh kandungan pati pada bahan perekat. Kandungan pati yang tinggi akan menghasilkan perekat yang lebih baik pada saat proses gelatinisasi
(Balagopalan et al., 1988). Kandungan pati onggok menurut hasil analisis di Laboratorium PAU IPB (2012) memiliki kandungan tertinggi sebesar 69,0%, sehingga memberikan nilai sudut tumpukan terendah sebesar 25,68°. Penelitian Harmiyanti (2002) melaporkan bahwa rataan sudut tumpukan pelet berperekat lignosulfonat dan bentonit sebesar 25,55° dan 26,77°. Nilai sudut tumpukan penelitian tidak berbeda jauh terhadap penelitian Harmiyanti (2002). Menurut Khalil (1999b), apabila sudut tumpukan yang terbentuk kecil bahan tidak mudah tercecer pada saat pengangkutan, sehingga perlakuan R2 dan R4 dapat mempermudah pada proses pengangkutan. Bahan yang memiliki sudut tumpukan tinggi akan lebih sulit mengalir, sehingga menyebabkan pengosongan silo tidak efisien (Suadnyana, 1998). Perlakuan R1 dan R3 memiliki nilai sudut tumpukan tertinggi dibandingkan R2 dan R4. Perlakuan kontrol (R1) memiliki nilai sudut tumpukan tertinggi dibandingkan R3. Hal ini dikarenakan perlakuan R1 tidak menggunakan bahan perekat. Suadnyana (1998) menambahkan bahwa bahan yang mempunyai sudut tumpukan sebesar 20-30° termasuk bahan yang mudah diangkut dengan alat mekanik. Secara keseluruhan, nilai sudut tumpukan termasuk bahan yang sangat mudah mengalir, sesuai dengan pernyataan Fasina dan Sokhansanj (1993) bahwa nilai sudut tumpukan sebesar 25-30° tergolong sangat mudah mengalir, dan dari hasil analisis rataan sudut tumpukan menunjukkan bahwa sudut tumpukan tergolong dalam bahan yang sangat mudah mengalir dengan kisaran nilai 25,68° - 28,34°. Ketahanan Benturan Ketahanan benturan adalah uji untuk menentukan daya tahan pelet terhadap benturan (Balagopalan et al, 1988). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, jenis perekat yang digunakan pada penelitian tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan benturan pelet, namun berdasarkan rata-rata ketahanannya diketahui bahwa R3 memiliki nilai ketahanan tumpukan tertinggi sebesar 97,01% dan yang terendah adalah R1 sebesar 95,27%. Nilai persentase rataan ketahanan benturan pelet berkisar antara 95,27-97,01%. Hasil perhitungan rataan ketahanan benturan pelet dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Rataan Ketahanan Benturan Pelet (%) Pakan
Ulangan
rataan
1
2
3
R1
93,30
95,14
97,38
95,27 ± 2,04
R2
96,98
96,40
97,06
96.81 ± 0,36
R3
96,54
96,76
97,74
97,01 ± 0,64
R4
97,70
95,70
97,40
96,93 ± 1,08
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Penelitian Harmiyanti (2002) menunjukkan nilai ketahanan benturan pelet berperekat lignosulfonat sebesar 99,99% dan pelet berperekat bentonit sebesar 99,98%. Nilai ketahanan benturan perlakuan tidak jauh berbeda terhadap penelitian Harmiyanti (2002). Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan penggunaan mesin pelet. Mesin pelet yang digunakan selama penelitian menggunakan mesin farm feed pelleter dan penelitian Harmiyanti (2002) menggunakan mesin pellet mill. Mesin pellet mill mampu memproduksi pelet dengan kualitas fisik pakan yang lebih baik dibandingkan dengan pellet yang diproduksi oleh mesin farm feed pelleter (Retnani, 2011), sehingga dapat mempengaruhi ketahanan benturan pelet pakan. Ketahanan benturan erat
kaitannya terhadap kandungan pati yang
tergelatinisasi saat dipanaskan. Suhu yang tinggi akan meyebabkan pati tergelatinisasi sehingga menyebabkan terbentuk struktur gel yang akan merekatkan pakan sehingga pakan akan kompak dan tidak mudah pecah (Khusniati, 2007), dan pengaruh jenis perekat sama terhadap ketahanan benturan masing-masing pelet. Pellet Durability Index Dozier (2001) menyatakan bahwa kualitas pelet dilihat dari nilai durability pelet, yaitu ditunjukkan oleh keutuhan fisik pelet setelah mengalami penanganan dan pengangkutan dengan sedikitnya jumlah yang menjadi halus atau rusak. Hasil perhitungan nilai rataan durability dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Rataan Durability Pelet (%) Pakan
Ulangan
Rataan
1
2
3
R1
96,00
96,80
96,30
96.37C ± 0,40
R2
98,80
97,90
97,80
98.17A ± 0,55
R3
97,55
97,90
97,50
97.65B ± 0,22
R4
97,45
97,45
97,50
97.47B ± 0,03
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis perekat berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pellet durability index. Persentase durability tertinggi terdapat pada perlakuan R2 sebesar 98,17% dan yang terendah terdapat pada perlakuan R1 sebesar 96,37%. Jenis perekat onggok (R2) menghasilkan durability sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ubi jalar (R3), tepung garut (R4), dan kontrol (R1). Perekat onggok menunjukkan nilai durabilitas yang tertinggi pada penelitian ini. Hal ini diduga karena kandungan pati yang tinggi pada onggok, yaitu sekitar 69,0% (Laboratorium PAU IPB, 2012). Menurut Cheeke (1999) pada saat proses pembentukan pelet terjadi gelatinisasi pati yang membantu terjadinya ikatan kuat atau perekat antar partikel bahan, sehingga terbentuk pelet yang kompak dan tidak mudah hancur. Perlakuan R3 dan R4 memiliki nilai durabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (R1). Hal tersebut dipengaruhi oleh kandungan pati yang terdapat pada masing-masing perlakuan, sehingga menghasilkan nilai durabilitas yang tinggi dibandingkan dengan pakan kontrol yang tidak ditambahkan. Pelet harus memiliki indeks ketahanan (PDI) yang baik sehingga pelet memiliki tingkat kekuatan dan ketahanan yang baik selama proses penanganan dan transportasi. Standar spesifikasi durability index yang digunakan adalah minimum 80% (Dozier, 2001). Jadi, secara keseluruhan R1, R2, R3, R4 memenuhi standar minimum nilai durability sebesar 80%.
Performa Ayam Broiler Menurut Amrullah (2004), pakan merupakan salah satu faktor yang penting untuk mendukung pertumbuhan ayam broiler. Pakan yang diberikan pada ternak ayam broiler harus mengandung nutrisi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan ayam tersebut. Kebutuhan nutrisi ayam broiler meliputi energi, protein, lemak, serat kasar, vitamin, dan mineral. Bahan baku pakan yang baik adalah bahan baku yang mudah dicerna dan diserap oleh ayam broiler, sehingga zat makanan yang terkandung didalamnya dapat berguna bagi ayam broiler. Hasil analisis kandungan nutrien pakan menunjukkan bahwa kandungan nutrisi pakan kurang tercukupi, terutama pada kandungan serat kasar. Kandungan serat kasar hasil analisis tergolong tinggi, yaitu kisaran 8,3-9,81%, kandungan serat kasar tersebut melewati batas maksimal kandungan serat kasar sesuai literatur, yaitu 6% (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Hal ini diduga karena penggunaan dedak padi pada formulasi pakan. Bahan baku pakan yang digunakan diduga memiliki kandungan nutrisi yang kurang baik, terutama pada dedak padi, sehingga menyebabkan kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan meningkatkan konversi pakan. Rataan suhu kandang selama penelitian disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Suhu Kandang Selama Pemeliharaan Minggu
Suhu Kandang (°C) Pagi (07.00)
Siang (13.00)
Sore (17.00)
1
25,67
32,58
27,60
2
25,71
33,06
26,57
3
25,23
32,84
25,94
4
26,13
32,09
25,97
5
26,58
32,14
25,55
Rataan
25,86
32,54
26,33
Menurut Amrullah (2004), suhu kandang mempengaruhi konsumsi dan konversi terhadap pakan. Suhu lingkungan yang baik adalah 20°C sampai 27°C. Kuczynski (2002) melaporkan bahwa pemeliharaan ayam broiler sampai umur 35
hari pada suhu diatas 31°C menyebabkan penurunan bobot badan mencapai 25%. Tabel 19 menunjukkan bahwa suhu kandang cenderung tinggi, terutama pada siang hari mencapai rataan 32,54°C yang artinya ayam sudah mulai terkena cekaman panas. Cooper dan Washburn (1998) melaporkan bahwa cekaman panas nyata menurunkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan serta meningkatkan FCR (Feed Conversion Ratio). Hasil rataan performa ayam broiler selama 35 hari pemeliharaan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Rataan Performa Ayam Broiler Selama 35 Hari Pemeliharaan Peubah Konsumsi Pakan (g/ekor) Bobot Badan Akhir (g/ekor) Pertambahan Bobot Badan (g/ekor) Konversi Pakan
Perlakuan R2 R3 1814,82 ± 1732,64 ± 173,46 160,57
R4 1715,43 ± 155,48
996 ± 104,05
1019,68 ± 79,91
1015,13 ± 101,72
1010,49 ± 90,32
949,48 ± 104,02
973,12 ± 79,01
967,84 ± 102,04
964,64 ± 89.85
2,02 ± 0,48
1,97 ± 0,43
2,03 ± 0,49
1.99 ± 0.49
R1 1801,31 ± 179,62
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Konsumsi Pakan Hasil perhitungan sidik ragam pada Tabel 20 menunjukkan bahwa jenis perekat pada pakan pelet tidak memberikan pengaruh yang nyata atau memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi pakan. Nilai konsumsi pakan pada penelitian berkisar antara 1715,4-1814,8 g/ekor. Nilai konsumsi pakan penelitian lebih kecil dibandingkan dengan penelitian Salamah (2007) yang juga mengamati pengaruh penambahan perekat sintetis bentonit pada pakan terhadap performa ayam broiler, dimana rataan nilai konsumsi pakan sebesar 1982,80 g/ekor. Nilai konsumsi pakan yang kecil diduga karena pelet yang dihasilkan memiliki kualitas fisik pakan yang kurang baik. Pelet
diproduksi dengan menggunakan mesin farm feed pelleter.
Menurut Retnani (2011), pelet yang diproduksi oleh mesin farm feed pelleter kurang baik kualitasnya dibandingkan pelet yang diproduksi dengan menggunakan mesin
pellet mill seperti penelitian Salamah (2007), hal ini diduga karena gelatinisasi yang mampu mengubah pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana belum terjadi akibat suhu pemanasan kurang optimal pada mesin farm feed pelleter, sehingga kualitas fisik pelet tersebut menurunkan konsumsi pakan ayam broiler. Selain itu, nilai konsumsi pakan yang kecil juga diduga karena pengaruh suhu kandang yang sangat tinggi pada saat pemeliharaan. Kuczynski (2002) melaporkan bahwa pemeliharaan ayam broiler sampai umur 35 hari pada suhu diatas 31 °C menyebabkan penurunan bobot badan mencapai 25%, jika dibandingkan dengan pemeliharaan pada suhu 21,1-22,2°C. Suhu kandang (Tabel 19) selama pemeliharaan memiliki nilai yang tinggi yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan. Amrullah (2004) menyatakan bahwa begitu suhu kandang meningkat, maka panas yang dibutuhkan untuk mempertahankan suhu tubuh berkurang sehingga ayam mengurangi konsumsinya. Tabel 20 menunjukkan bahwa pelet berperekat onggok memberikan nilai tertinggi sebesar 1814,8 g/ekor pada konsumsi pakan dibandingkan dengan perekat lainnya. Hal ini diduga karena kualitas fisik pelet yang ditentukan oleh durabilitas (daya tahan) pelet, yaitu keutuhan fisik pelet setelah mengalami penanganan dan pengangkutan, sehingga sedikit jumlah pelet yang menjadi remah atau halus, Prihatman (2000) menyatakan bahwa adanya sifat pakan yang berdebu akan menurunkan jumlah konsumsi. Nilai durabilitas pelet yang baik untuk ayam broiler adalah >80% (Dozier, 2001). Semua pakan penelitian memiliki durabilitas > 90%, sehingga jenis perekat tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi pakan. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran keberhasilan dalam suatu usaha peternakan ayam broiler. Pertambahan bobot badan akan berpengaruh terhadap bobot badan akhir (Mulyantini, 2010). Pertambahan bobot badan diperoleh dari selisih antara bobot badan pada akhir minggu selama pemeliharaan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan. Penelitian Salamah (2007) melaporkan bahwa rataan nilai pertambahan bobot badan ayam broiler yang diberikan perekat sintetis bentonit sebesar 1101,13 g/ekor, sedangkan pada penelitian ini memiliki nilai pertambahan bobot badan yang kecil,
yaitu berkisar 964,64 – 973,12 g/ekor. Rendahnya pertambahan bobot badan ayam broiler pada perlakuan kemungkinan disebabkan oleh kecernaan pakan yang rendah akibat penggunaan bahan baku penyusun pakan seperti dedak padi dengan kualitas yang kurang baik pada pakan. Kandungan serat kasar pakan tergolong sangat tinggi, yaitu sebesar 8,30-9,13%. Kandungan serat kasar tersebut melewati batas maksimal kandungan serat kasar sesuai literatur, yaitu 6% (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Serat kasar adalah karbohidrat yang susah larut yang kaya akan lignin dan selulosa sehingga sulit dicerna (Amrullah, 2004). Menurut Hanafi (2001), umumnya penggunaan dedak padi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan karena adanya kandungan asam fitat dalam dedak padi yang berada dalam bentuk kompleks dengan protein, pektin, dan polisakarida bukan pati atau serat kasar sehingga protein dan fosfor sulit dicerna dan dimanfaatkan oleh ayam, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi penurunan pertambahan bobot badan ayam broiler. Tabel 20 menunjukkan bahwa nilai pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada perlakuan perekat onggok sebesar 973,12 g/ekor, disusul oleh perlakuan perekat tepung garut sebesar 967,84 g/ekor dan perekat tepung garut sebesar 964,64 g/ekor. Konversi Pakan Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi konversi pakan menunjukkan semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk menaikkan bobot badan per satuan berat. Dijelaskan juga bahwa semakin rendah angka konversi pakan berarti kualitas pakan semakin baik. Hasil sidik ragam menunjukkan jenis perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konversi pakan. Penelitian Salamah (2007) melaporkan bahwa rataan konversi pakan ayam broiler sebesar 1,97, sedangkan pada penelitian ini memiliki nilai konversi pakan berkisar antara 1,97-2,03. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam broiler pada perlakuan mempunyai nilai konversi pakan yang lebih tinggi, hal ini dimungkinkan karena kemampuan ayam pada perlakuan tersebut
masih rendah dalam
memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk pertambahan bobot badan. Hal ini diduga karena kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan yang dapat mempengaruhi konversi pakan. Pernyataan ini didukung oleh North dan Bell (1990), bahwa yang mempengaruhi konversi adalah zat-zat makanan yang terkandung di dalam pakan. Selain itu diduga juga karena suhu lingkungan yang tinggi. Suhu
lingkungan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan juga konversi pakan (Mulyantini, 2010). Lacy dan Vest (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi konversi pakan menunjukkan semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Tabel 20 menunjukkan nilai konversi terendah terdapat pada perlakuan perekat dengan penambahan onggok, yaitu sebesar 1,97 dibandingkan dengan jenis perekat yang lain. Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) merupakan salah satu peubah keberhasilan suatu usaha peternakan. Komponen yang mempengaruhi perhitungan IOFCC adalah biaya dan konsumsi pakan, bobot badan akhir, harga DOC, dan harga jual per kg bobot hidup. Besarnya IOFCC dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Perhitungan Income Over Feed and Chick Cost (IOFCC) Perlakuan Keterangan R1
R2
R3
R4
Pengeluaran : Harga DOC (Rp/kg)
5.000
5.000
5.000
5.000
Harga Pakan + Perekat (Rp/kg)
6.013
6.073
6.353
6.413
Rataan Konsumsi (g/ekor)
1.801
1.814
1.732
1.715
Biaya Pakan (Rp/ekor)
10.829,41
11.016,42
11.003,4
10.998,3
Biaya Pakan dan DOC (Rp)
15.829,41
16.016,42
16.003,4
15.998,3
996
1.019,68
1.015,13
1.010,49
Harga Jual (Rp/kg)
18.000
18.000
18.000
18.000
Hasil Penjualan (Rp/kg)
17.928
18.354,24
18.272,34
18.188,82
2.098,59
2.337,82
2.268,94
2.190,52
Pendapatan : Rataan Bobot Badan Akhir (g)
IOFCC (Rp)
Keterangan : R1 = Pakan kontrol tanpa perekat R2 = Pakan + perekat onggok 2% R3 = Pakan + perekat tepung ubi jalar 2% R4 = Pakan + perekat tepung garut 2%
Berdasarkan hasil perhitungan nilai IOFCC tertinggi sampai terkecil adalah pakan perlakuan R2 sebesar Rp. 2.337,82; R3 sebesar Rp. 2.268,94; R4 sebesar 2.190,52; dan R1 sebesar Rp. 2.098,59. Berdasarkan semua perlakuan yang diberikan, IOFCC menunjukkan nilai yang positif artinya masih lebih besarnya nilai
pendapatan dibandingkan dengan pengeluaran, sehingga dapat dikatakan sebagai keuntungan. Perlakuan pakan R2 menunjukkan nilai IOFCC yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini berhubungan dengan pencapaian bobot akhir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Namun, penambahan perekat tepung garut dan tepung ubi jalar kurang efisien dari segi ekonomis karena harganya yang mahal dan penggunaannya masih bersaing dengan kebutuhan manusia sehingga kurang menguntungkan jika digunakan dalam peternakan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelet berperekat onggok merupakan jenis perekat pelet terbaik dilihat dari sudut tumpukan dan pellet durability index. Uji performa menunjukkan jenis perekat memberikan pengaruh yang sama terhadap performa ayam broiler. Nilai IOFCC tertinggi diperoleh pada pakan pelet berperekat onggok, yaitu sebesar Rp. 2.337,82. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan membandingkan perekat alami dan perekat sintetis. Selain itu perlu dilakukan pengujian kandungan nutrisi bahan baku pakan yang digunakan sebelum diolah menjadi pakan bentuk pelet, sehingga dapat menghasilkan pakan pelet dengan kualitas fisik pakan yang baik dan memberikan pengaruh yang baik terhadap performa ayam broiler.
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih penulis sampaikan kepada orangtua terkasih Bapak Guntur Siregar dan Ibu Lentina Marpaung, kakak Lastiurma, Juniar, Asima, abang Hendra, adik Verawathy, dan keponakan (Dimas, Angel, Irvan) untuk segala doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc selaku pembimbing akademik dan pembimbing utama serta Dr. Ir. Sumiati, M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah sabar membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian sampai penulisan skripsi dengan baik. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Lidy Herawati, MS selaku dosen pembahas seminar, Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc.Agr dan Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr selaku dosen penguji sidang, beserta Ir. Widya Hermana, M.Si selaku dosen panitia sidang yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Indofood Riset Nugraha yang telah memberikan dana dalam penyelesaian penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Puyun FMT atas dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk sahabat terbaik Ruth, Kiki, Zega, Amudi, Astra, Riko, Gunawan, Tini, Ester, Hanna, Henny, Leo, Ria, Chean, Christin, Tiur untuk kebersamaannya. Terima kasih kepada saudara Bapa House (Alex, Samuel, Tunggul, Ranto, Hisar, Agung, Rodex), Terima kasih kepada keluarga besar Komisi Kesenian, KOPRAL 45, keluarga Asistensi Jedidi’ah, rekan sepenelitian Fredy dan Nila, sahabat Genetic 45 (INTP’45) Devide, Rido, Andre, Ira, dan lainnya yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia peternakan. Amin.
Bogor, Juli 2012 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor AOAC (Association of Official Analytical Chemists). 1999. Official Methods of Analysis. 16th. AOAC International, Washington DC. A/S
Niro. 2005. Bulk Density. http://www.niro.com/niro/cmsdoc.nsf/webdoc/ndkw6u9atz. [20 April 2011].
Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 12-3930-2006. Pakan Anak Ayam Ras Pedaging (Broiler Starter). Balagopalan, C. G. Padmaja, S.K. Nanda & S.N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. IRC Press, Florida. Bell, D. D. & Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5 th Ed. Springer Science Bussines Media, Inc. Springg Street, New York. BKPPP (Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan). 2011. Pembuatan Tepung Ubi Jalar. Pemerintah Kabupaten Jeneponto. Sulawesi Selatan. Briggs, J. L., D.E. Maier, B.A. Watkins & K.C. Behnke. 1999. Effect of ingredient and processing parameters on pellet quality. Poult. Sci. (78): 1464-1467. Cheeke, P. R. 1999. Applied Animal Nutrition Feeds and Feeding. Second Edition. Departemen of Animal Sciences, Oregon State University. Cooper, M. A. & K. W. Washburn. 1998. Suplementation chromium: its benefits to the bovine immune system. Anim Feed Sci Tech 53: 117-133. Departemen Pertanian. 2012. Garut. http://www.deptan.go.idditjentanadminrbGarut [20 April 2012]. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 2010. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara, Jakarta. Dozier, W. A. 2001. Pellet quality for most economical poultry meat. J. Feed International. 52 (2): 40-42. Ensminger, M. E., J. E. Oldfield & W. W Hiennemann. 1990. Feed and Nutrition 2nd Ed. The Ensminger Publishing Company. California. Fahmi, N. 2009. Kadar glukosa, alkohol dan citarasa tape onggok berdasarkan lama fermentasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pangan. Universitas Muhammadiyah, Semarang. Fairfield, D. 1994. Pelleting cost center. Continental Grain Co. In Feed Manufacturing Technology IV. Farada, L. E. 2002. Evaluasi penggunaan perekat berbahan baku singkong dengan taraf berbeda terhadap sifat fisik pakan ayam broiler bentuk crumble. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fasina, O. O & S. Sokhansanj. 1993. Effect on moisture content on bulk handling properties and alfalfa pellets. Canadian Agric. Engineering. 35(4) : 269-273. Fogo, W. 1994.Laboratory testing. In: R. R McEllhiney (Ed). Feed Manufacturing Industry. 4th. American Feed Industry Associatiom Inc., Arlington. Furia, T. E. 1986. Handbook of Food Additives. CRC Press Inc., Cleveland. Ohio. Gautama, P. 1998. Sifat fisik pakan lokal sumber energi, sumber mineral serta hijauan pada kadar air dan ukuran partikel yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Geldart, D., M. F. Mallet & Rolfe. 1990. Assesing the Flowability of Powders Usingg Angle of Repose. Powder, Handling and Processing Vol. 2 No. 4. Hackiki, R. 2012. Karakteristik fisik, kimia dan sensori beras analog berbasis tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dengan penambahan tepung tempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hamed, M. G. E., M. F. Hussein, F.Y. Refain, & S. K. El-Samahy. 1973. Preparation and chemical composition of sweet potato flour. Cereal Chem. 50 (2): 133-139. Hanafi, N. D. 2001. Enzim sebagai alternatif baru dalam peningkatan kualitas pakan untuk ternak. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harmiyanti, Y. 2002. Uji sifat fisik ransum ayam broiler bentuk pellet dengan penambahan perekat lignosulfonat dan bentonit dengan beberapa proses pengolahan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hoffman, A. 1997. The flow properties of industrial http://chte26.chem.rug.nl/subjects/flowprop.html [26 Juni 2011].
powders.
Juanda, D. & B. Cahyono. 2002. Ubi Jalar. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Jumiati. 2005. Pengukuran sifat fisik dan waktu produksi pelet broiler finisher dengan perbedaan taraf penyemprotan air pada sistema produksi kontinyu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kay, D. E. 1973. Root Crops. The Tropical Product Institute. London. Khalil. 1999a. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal: kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan 22 (1): 1-11. Khalil. 1999b. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal: sudut tumpukan, daya ambang dan faktor higroskopis. Media Peternakan 22 (1): 33-42. Khusniati, S. 2007. Uji sifat fisik pakan broiler starter bentuk crumble berperekat tepung tapioka, bentonit, dan onggok. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kuczynski, T. 2002. The application of poultry behaviour responses on heat stress to improve heating and ventilation systems efficiency. J. Pol. Agric. Univ. 5:111. Lacy, M. & L. R. Vest. 2000. Improving Feed Convertion in Broiler: A Guide for Growers. Springer Science and Business Media Inc, New York. Leeson, S & J.D. Summers. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3 rd Ed. University of Book, Guelph. Mariati. 2001. Karakteristik fisikokimia pati dan tepung garut (Maranta arundinaceae L.) dari beberapa varietas lokal. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mathius, J. W., A. P. Sinurat., D. M. Sitompul, B. P. Manurung, & Azmi. 2006. Pengaruh bentuk dan lama penyimpanan terhadap kualitas dan nilai biologis pakan komplit. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal: 5766. McDonald, P., R. A. Ewards, J. F. D. Greenhalgh, & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 7th Ed. Ashford Colour Press Ltd. Gosport, London. McEllhiney, R. R. 1994. Feed Manufacturing Industry 4th Ed. American Feed Industry Association Inc. Arlington. Mulyantini, N. G. A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Munt, R. H. C., J. G. Dingle & M. G. Sumpa. 1995. Influence of feed form broiler performance. http://www.poultry.org [20 April 2012]. National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Press. Washington, D. C. North, M. O. & D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4 th Edition. Chamman and Hall, London. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Piliang, W. G. 1992. Manajemen Beternak Unggas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, DIrektorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prihatman, K. 2000. Budidaya Peternakan. http://www.warintek.ristek.go.id [20 Juni 2012] Raharjo, A. 1997. Bahan Perekat Pakan Udang. Majalah Trubus No. 328 Th XXVIII Maret 1997. Rahmayeni. 2002. Uji sifat fisik pakan ayam broiler starter bentuk pelet dengan penambahan perekat onggok. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Retnani, Y. 2011. Proses Produki Pakan Ternak. Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor. Retnani, Y., Y. Harmiyanti, D. A. P. Fibrianti, & L. Herawati. 2009. Pengaruh penggunaan perekat sintetis terhadap kualitas fisik pakan ayam broiler. J. Agripet. 01:11-23. Rotib, L. A. 1990. Penggunaan bungkil kedelai yang difermentasi dengan jamur Rhizopus oligosporus dalam ransum terhadap performa ayam broiler. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Salamah. 2007. Pengaruh penggunaan bahan perekat dalam ransum bentuk crumble terhadap performan ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sayekti, W. B. R. 1999. Karakteristik sifat fisik berbagai varietas jagung (Zea mays). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soeprobo, R. 1986. Pengaruh penggunaan dua macam bahan perekat karboksimetil sellulosa (Carboxy Methyl Cellulose – CMC) dan tepung tapioka dalam makanan terhadap pertumbuhan udang windu (Panaeus monodon). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Steel, R.G.D & J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. 2th Ed. Terjemahan B.Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suadnyana, I. W. 1998. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan kualitas sifat fisik pakan lokal sumber protein. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1997. Peluang dan tantangan pengembangan ilmu-ilmu nutrisi ternak. Makalah Orasi Ilmiah sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Syarief, R. & H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan Press, Jakarta. Syarifudin, U. H. 2001. Pengaruh penggunaan tepung gaplek sebagai perekat terhadap sifat fisik pakan broiler bentuk crumble. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swich, R. A. 1998. Broiler management in warm climate. http://www.asasea.com. [20 April 2012]. Tarmudji. 2004. Pemanfaatan onggok untuk pakan unggas. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/71/pdf/pemanfaatan%20Onggok %untuk%Pakan20Unggas.pdf [20 April 2012]. Tilman, A. D., H. Hardi., S. Reksohadiprojo., S. Prawirokusumo & S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Tripod. 2007. Durabilitas. http://siauwlielie.tripod.com/ptp_durab. [20 April 2012].
Utami, A. R. 2008. Pengikatan kolesterol dari umbi suweg dan umbi garut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Edisi Kelima. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Wibowo, S. S. 1986. Pemeliharaan Udang Galah di Kolam Air Tawar. PT. Waca Utama Pramesti bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta, Jakarta. Widodo, W. 2002. Nutrisi Pakan Unggas Kontekstual. Fakultas PeternakanPerikanan. Universitas Muhammadiyah, Malang. Wirakartakusumah, A. N. 1992. Kualitas Fisik Pangan. Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Press, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sidik Ragam (ANOVA) Ukuran Partikel SK
DB
JK
Total
11
0,92
Perlakuan
3
Galat
8
Keterangan
KT
Fhit
F0,05
F0,01
0,44
0,15
2,43tn
4,07
7,59
0,48
0,06
KT
Fhit
F0,05
F0,01
0,43tn
4,07
7,59
: tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 2. Sidik Ragam (ANOVA) Berat Jenis SK
DB
JK
Total
11
0,04
Perlakuan
3
0,01
0,0003
Galat
8
0,04
0,0005
Keterangan
: tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 3. Sidik Ragam (ANOVA) Kerapatan Tumpukan SK
DB
JK
Total
11
0,0021
Perlakuan
3
Galat
8
Keterangan
KT
Fhit
F0,05
F0,01
0,0009
0,00031
2,12tn
4,07
7,59
0,0012
0,00015
: tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 4. Sidik Ragam (ANOVA) Kerapatan Pemadatan Tumpukan SK
DB
JK
Total
11
0,0007
Perlakuan
3
Galat
8
Keterangan
KT
Fhit
F0,05
F0,01
0,0003
0,0001
2,20tn
4,07
7,60
0,0004
0,00005
: tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 5. Sidik Ragam (ANOVA) Sudut Tumpukan SK
DB
JK
Total
11
15,89
Perlakuan
3
Error
8
Keterangan
:
KT
Fhit
F0,05
F0,01
11,21
3,74
6,39*
4,07
7,59
4,68
0,9
* berbeda nyata (P<0,05)
Lampiran 6. Hasil Uji Jarak Duncan untuk Sudut Tumpukan Perlakuan
R1
R2
R3
R4
Rataan
26,96
25,68
28,34
26,46
Huruf
B
C
A
B
Lampiran 7. Sidik Ragam (ANOVA) Ketahanan Benturan SK
DB
JK
Total
11
17,91
Perlakuan
3
Galat
8
Keterangan
KT
Fhit
F0,05
F0,01
6,16
2,05
1,40tn
4,07
7,59
11,75
1,47
: tn = tidak berbeda nyata
Lampiran 8. Sidik Ragam (ANOVA) Pellet Durability Index SK
DB
JK
Total
11
6,20
Perlakuan
3
Galat
8
Keterangan
KT
Fhit
F0,05
F0,01
5,17
1,72
13,37**
4,07
7,59
1,03
0,13
: ** sangat berbeda nyata (P<0,01)
Lampiran 9. Hasil Uji Jarak Duncan untuk Pellet Durability Index Perlakuan
R1
R2
R3
R4
Rataan
96,37
98,17
97,65
97,47
Huruf
C
A
B
B
Lampiran 10. Konsumsi Pakan Setiap Minggu Minggu
Perlakuan R1
R2
R3
R4
1
72,73
81,72
74,67
79,40
2
376,18
340,30
358,93
361,12
3
444,28
457,93
392,42
418,40
4
557,68
432,14
496,77
485,95
5
350,43
389,14
384,85
370,56
Lampiran 11. Pertambahan Bobot Badan Setiap Minggu Minggu
Perlakuan R1
R2
R3
R4
1
123,82
126,53
123,00
129,17
2
211,20
183,43
193,02
190,68
3
193,05
191,72
160,02
156,97
4
206,37
197,05
207,31
223,09
5
228,94
247,83
257,71
256,27
Lampiran 12. Konversi Pakan Setiap Minggu Minggu
Perlakuan R1
R2
R3
R4
1
1,70
1,55
1,66
1,63
2
1,80
1,87
1,88
1,90
3
2,34
2,48
2,66
2,72
4
2,70
2,35
2,42
2,22
5
1,56
1,58
1,53
1,49
Lampiran 13. Kelembaban Kandang Selama Pemeliharaan Minggu
Kelembaban (%) Pagi (07.00)
Siang (13.00)
Sore (17.00)
1
86,00
55,17
73,17
2
86,71
52,43
77,00
3
89,14
57,00
81,60
4
90,86
62,57
85,29
5
94,20
62,00
92,50
Rataan
89,38
57,83
81,91
Lampiran 14. Daftar Harga Bahan Baku yang Digunakan dalam Penelitian (2011) Nama Bahan Baku
Harga/ kg (Rp)
Dedak Padi
2.400,-
Jagung
4.000,-
Tepung Ikan
10.000,-
Bungkil Kedelai
8.000,-
Meat Bone Meal
8.000,-
Crude Palm Oil (CPO)
8.000,-
CaCO3 Methionin
600,135.000,-
L-Lysin
85.000,-
Onggok
3.000,-
Tepung Garut
20.000,-
Tepung Ubi Jalar
17.000,-