PENGGUNAAN “PETUNGAN” MASYARAKAT JAWA MUSLIM DALAM RITUAL PERNIKAHAN (Studi Kasus Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh: ARIYANTO NIM. 21107006
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012 i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Ariyanto
Nim
: 21107006
Jurusan
: Syari‟ah
Program studi : Ahwal Al-Syakhshiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 27 Desember 2011 Yang menyatakan,
Ariyanto
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan banyak amalnya, dan seburuk-buruk manusia adalah yang pendek umurnya dan sedikit pula amalnya. Karena sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi orang lain. “Jika Anda menginginkan sesuatu yang belum pernah anda miliki, Anda harus bersedia melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan” Thomas Jefferson
PERSEMBAHAN Untuk kedua orang tuaku, Untuk kakakku beserta anak istri, Para dosenku, saudara-saudaraku, Sahabat-sahabat seperjuanganku khususnya AHS ‟07, Dan teman-teman yang selalu memotivasiku dalam menjalani kehidupan ini.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil‟alamiin............ Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmatNya, kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: „Penggunaan “Petungan” Masyarakat Jawa Muslim Dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang)‟, untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Syari‟ah. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai bila tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesainya dalam pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Drs. Mubassirun, M. Ag selaku Ketua Jurusan Syari‟ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang telah memberikan izin kesempatan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. 3. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI, M. Si selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah (AS) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang telah memberikan izin kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi. 4. Bapak Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak Soeratman selaku Kepala Desa Reksosari yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Desa yang dipimpinnya. 6. Para dosen syari‟ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do‟a selama penulis menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
vi
7. Sahabat-sahabat seperjuanganku yang ada di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Syari‟ah, para Sejawat di Mapala Mitapasa serta para Sang Pencerah di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Salatiga yang telah bersedia memberikan saran, kritik dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga amal kebaikan dari beliau semua mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfa‟at khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya. Amiiin.
Salatiga, 23 Desember 2011
Penulis
vii
ABSTRAK Ariyanto. 2012. Penggunaan “Petungan” Masyarakat Jawa Muslim Dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang). Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, M.A. Kata Kunci: Penggunaan Petungan Dan Ritual Pernikahan Penelitian ini merupakan upaya mengetahui alasan-alasan dan persepsi masyarakat di Desa Reksosari dalam menggunakan petungan untuk ritual pernikahan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Apa alasan masyarakat Jawa menggunakan petung untuk melangsungkan pernikahan?, (2) Bagaimana persepsi atau tanggapan masyarakat Jawa di Desa Reksosari terhadap penggunaan petung dalam ritual pernikahan?, (3) Bagaimana konsep penggunaan petungan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh?, (4) Bagaimana hukum penggunaan petung dalam keyakinan masyarakat Jawa khususnya masyarakat di Desa Reksosari?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiologis. Temuan penelitian ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui alasan masyarakat Jawa menggunakan petung untuk melangsungkan pernikahan, untuk mengetahui persepsi atau tanggapan dari masyarakat Jawa khususnya di Desa Reksosari terhadap penggunaan petung dalam ritual pernikahan, untuk mengetahui konsep penggunaan petungan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh, dan untuk mengetahui hukum penggunaan petung menurut keyakinan masyarakat Jawa khususnya masyarakat di Desa Reksosari. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat di Desa Reksosari menggunakan petung untuk melangsungkan pernikahan beralasan untuk memperoleh kemantaban di dalam melangsungkan pernikahan serta beralasan untuk melestarikan adat tradisi leluhur. Selain itu karena masyarakat terlanjur yakin dan tahu dengan petungan maka mereka harus menggunakannya, namun jika tidak tahu tidak masalah untuk tidak menggunakan petung. Sedang menurut persepsi tentang penggunaan petung dari responden mayoritas tidak setuju dengan alasan tidak ada ajarannya dalam Islam. Dalam perspektif ilmu fiqh budaya penggunaan petung merupakan adat tradisi yang dapat dijadikan sebagai hukum asalkan murni tanpa bercampur dengan perbuatan mistik. Sedangkan menurut keyakinan masyarakat di Desa Reksosari penggunaan petung merupakan warisan leluhur yang harus dilestarikan dengan syarat tidak ada unsur mistik atau menyekutukan Tuhan.
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix BAB I
PENDAHULUAN A................................................................................................ La tar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. ............................................................................................... Fo kus Penelitian.................................................................................. 6 C. ............................................................................................... Tu juan Penelitian ................................................................................ 7 D................................................................................................ Ke gunaan Penelitian ............................................................................ 8 E. ............................................................................................... Te laah Pustaka .................................................................................... 8 F. ............................................................................................... Pe negasan Istilah ................................................................................ 10 G................................................................................................ M etode Penelitian .............................................................................. 11 H................................................................................................ Si stematika Penulisan ........................................................................ 18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
ix
A................................................................................................ PE RHITUNGAN KALENDER JAWA .............................................. 20 1. ......................................................................................... Le tak Geografis Pulau Jawa ........................................................ 20 2. ......................................................................................... Se jarah Kalender Jawa ................................................................ 22 a. ................................................................................... Ka lender Saka ....................................................................... 24 b. ................................................................................... Pr anata Mangsa .................................................................... 25 3. ......................................................................................... Fu ngsi Dari Penggunaan Hitungan Jawa ..................................... 26 4. ......................................................................................... Ca ra Menentukan Hari Baik Untuk Pernikahan .......................... 30 B. ............................................................................................... PE RNIKAHAN DALAM ISLAM ...................................................... 37 1. ......................................................................................... Pe ngertian Nikah ......................................................................... 37 2. ......................................................................................... Da sar Hukum Nikah ..................................................................... 39 3. ......................................................................................... Hi kmah Dari Pernikahan ............................................................. 42 4. ......................................................................................... H ukum Mengadakan Walimah ................................................... 43 C. ............................................................................................... T AHAPAN RITUAL PERNIKAHAN DALAM ADAT MASYARAKAT JAWA ................................................................ 46 D................................................................................................ P ENGGUNAAN HITUNGAN ATAU MEMILIH HARI BAIK DALAM ISLAM ............................................................................ 54
x
E. ............................................................................................... A KULTURASI BUDAYA DAN AGAMA ...................................... 57 BAB III PENGGUNAAN “Petung” DALAM RITUAL PERNIKAHAN DI REKSOSARI, SURUH, SEMARANG A................................................................................................ G ambaran Umum Penduduk Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang ...................................................................... 59 1. ......................................................................................... L etak Geografis Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang ............................................................... 62 2. ......................................................................................... K ondisi sosial Keagamaan Masyarakat Reksosari ..................... 64 3. ......................................................................................... Ti ngkat Pendidikan ..................................................................... 65 B. ............................................................................................... P raktek Penggunaan “Petungan” Dalam Ritual Pernikahan di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang............... 66 1. ......................................................................................... Al asan Menggunakan “Petung” ................................................. 66 2. ......................................................................................... C ara Menentukan Hari Baik Untuk Pernikahan di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang ................ 67 3. ......................................................................................... Pe rsepsi Masyarakat Terhadap Penggunaan “Petung” ............... 70 4. ......................................................................................... P ersepsi Para Tokoh Agama Dan Tokoh Masyarakat Desa Reksosari Terhadap Penggunaan “Petung” ............................ 72 5. ......................................................................................... D ampak
Dari
Penggunaan
“Petung”
Dan
Tanpa
Penggunaan “Petung” ............................................................. 73
xi
BAB IV ANALISIS DATA A................................................................................................ A nalisis Penggunaan “Petungan” Dalam Tinjauan Fiqh Budaya .... 76 B. ............................................................................................... A nalisis Praktek Menghitung Atau Memilih Hari Baik .................... 79 C. ............................................................................................... A nalisis Persepsi Masyarakat ............................................................ 82 BAB V
PENUTUP A................................................................................................ Ke simpulan ......................................................................................... 84 B. ............................................................................................... Sa ran ................................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah Di bulan Dzulhijjah atau bulan besar (dalam kalender Jawa) banyak masyarakat yang mempunyai hajat atau gawe baik itu hajatan kelahiran anak (walimatul aqiqoh), hajatan khitanan (walimatul khitan), maupun hajatan perkawinan (walimatul nikah, walimatul „ursy). Dalam literatur fiqh, walimah ada sembilan macam. Yaitu walimat al„urs (pesta pernikahan), walimah al-„aqiqah (pesta tujuh atau 40 hari kelahiran), walimah al- hidzaq (karena telah berhasil menghafal al- Qur‟an), walimah al- naqi‟ah (karena baru datang dari bepergian jauh), walimah alwakirah (untuk bangunan yang baru selesai), walimah al- i‟zdar (untuk anak yang baru dikhitan), walimah al- wadlimah (untuk keluarga yang ditimpa musibah/ kematian) dan walimah al- mu‟dabah (pesta yang tanpa sebab) (Yazid, 2005: 247). Berbagai macam hajatan tersebut kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), namun berbeda dengan bulan Muharram atau bulan suro (dalam kalender Jawa) yang mana masyarakat Jawa tidak ada yang mempunyai hajatan baik hajatan kelahiran anak, hajatan khitanan, maupun hajatan dalam pesta perkawinan. Biarpun ada yang mengadakan hajatan itupun hanya segelintir orang saja dan sekedar hajatan biasa bukan hajatan yang ramai atau hajatan besar. 1
Hal-hal yang demikian masih terjadi di kalangan masyarakat Jawa karena masih banyaknya pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bulan Dzulhijjah atau bulan Besar itu bulan yang baik untuk keperluan apa saja, namun khusus untuk bulan Muharram atau bulan Suro merupakan bulan yang dianggap tidak baik atau bulan larangan untuk keperluan hajatan apapun. Biasanya masyarakat Jawa jika ingin punya hajat atau mantu khususnya perkawinan mengambil bulan-bulan selain dibulan Muharram atau bulan Suro. Selain itu mereka masih harus mencari atau menentukan kapan hari dan tanggal yang mereka yakini dan dianggap baik untuk melangsungkan hajatan perkawinan anak-anaknya maupun keluarga serta kerabat. Mereka yang ingin punya gawe atau punya hajat mendatangi sesepuh desa atau Kyai bahkan dukun yang mereka anggap bisa untuk mencarikan hari dan tanggal untuk hajatan perkawinan. Hal yang demikian itu masih sering digunakan oleh masyarakat Jawa begitu juga dengan masyarakat di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang karena sebagian besar dari mereka masih menggunakan ajaran nenek moyang. Selain itu sebelum islam datang di tanah Jawa, masyarakat Jawa mengenal paham animisme dan dinamisme serta ajaranajaran agama Hindhu-Budha yang hingga saat ini masih ada yang menggunakan ajaran-ajaran tersebut. Dengan kedatangan agama Islam yang dibawa oleh para Walisongo pun banyak yang membuat penafsiran keliru terutama dalam hal tradisi di Jawa.
2
Tradisi-tradisi seperti selamatan, kenduri, dan selamatan untuk keselamatan dalam pernikahan pun masih ada di zaman modern seperti saat ini. Begitu juga di masyarakat Desa Reksosari yang mayoritas Islam bahkan bisa dikatakan hampir 100% penduduknya muslim serta banyak berdiri pondok pesantren dan sekolah-sekolah berbasiskan agama masih ada tradisitradisi penggunaan petung untuk melangsungkan pernikahan. Ada yang beranggapan bahwa perbuatan seperti itu termasuk perbuatan yang syirik dan bid‟ah bagi kalangan Islam garis keras dan Islam modernis, namun ada pula yang beranggapan bahwa itu ajaran nenek moyang mereka yang harus dilestarikan agar diberi keselamatan dari berbagai gangguan penunggu tempattempat keramat. Dalam Islam semua hari, bulan, dan tahun adalah waktu yang baik tidak ada hari yang sial atau hari keramat hanya saja para masyarakat Jawa yang memegang teguh ajaran nenek moyangnya lah yang percaya terhadap hari-hari sial. Tathayyur (menganggap sial) adalah tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita yang benar. Ia hanyalah perilaku ikut-ikutan dan sekedar mengikuti faham. Apabila pada tabiat seseorang terdapat suatu cacat, hingga orang beranggapan bahwa nasib sial itu disebabkan oleh beberapa hal atau sebab-sebab tertentu, maka tidak seharusnyalah ia menyerah akan nasibnya itu, khususnya lagi bila sudah sampai pada tataran aktivitas konkrit. Petung biasanya diperoleh dari para dukun-dukun jawa atau kadang diperoleh juga dari para nenek moyang orang itu sendiri. 3
Ibnu Mas‟ud r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
ِ ِ ِ ِ ِ :ال ِ ٍ ،الطّيَ َارةُ ِش ْرٌك َ َصلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ َع ْن َر ُس ْول هللا،َُع ْن َعْبد هللا بْ ِن َم ْسعُ ْود َرض َى هللاُ َعْنو ِ ِ ِ واَخرجو. ولَ ِكنَ هللا ي ْذ ِىبو بِالتَّوَك ِل،َّ وما ِمنَّا اِال،ًالطّيارةُ ِشرٌك ثَالَثا ِ .َاجة ّْ ُ َ َ ْ َ َ ُ ُ ُ َ ّ َ َ الِتمذي َوابْ ُن َم ََ ْ ََ Artinya: Dari Abdullah bin Mas‟ud R. A., Dari Rasulullah S. A. W. Beliau bersabda: “Ramalan nasib dengan hewan itu syirik, ramalan nasib dengan hewan itu syirik” Beliau ucapkannya tiga kali, kata Abdullah: “Dan diantara kita tak lain hanyalah orang yang hatinya terlintas oleh pikiran itu. Tapi, Allah melenyapkannya dengan rasa tawakal kepada- Nya. Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah (HR. Abi Daud
Juz 4 Bab
Thiyarah No. 3759) (Arifin dan Djamaluddin, 1993: 386). Di dalam suatu upacara pernikahan terdapat suatu rukun yang pokok yang mana rukun pokok tersebut harus dilaksanakan dan terpenuhi yaitu Ijab dan Qabul. Pernyataan pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami istri disebut “ijab”, dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya disebut “qabul” (Sabiq, 1980: 53 ). Kebanyakan masyarakat Jawa melaksanakan aqad nikah bersamaan dengan upacara walimah atau pesta pernikahan, dengan mengundang para kerabat dan tetangga. Namun masih banyak masyarakat di Jawa menentukan pelaksanaan akad nikah dan walimah dengan cara mendatangi paranormal atau orang yang dianggap tahu kapan hari yang baik untuk acara terebut. Padahal dalam Islam dijelaskan bahwa barang siapa percaya dengan dukun maka tidak
4
diterima shalatnya selama 40 hari dan hal itu termasuk menyekutukan Allah swt. Islam tidak hanya membicarakan para dukun dan pendusta, namun juga semua orang yang mendatangi mereka, bertanya kepada mereka, dan membenarkan khayalan dan kesesatan mereka. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
ِ ٍِ ِ ِ ،َص ِفيَّة َ َع ْن، َع ْن نَاف ٍع،العنَ ِزي َح َّدثَناَ َْي َي (يَ ْس ِن ابْ َن َسعْيد) َع ْن عُبَ ْيد هللا َ َح َّدثَناَ ُمَ َّم ُد بْ ُن الُثَ َّن ِ ِ َ َ ق،صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ُ َم ْن أَتَى َعَّرافًا فَ َسأَلَوُ َع ْن َشْي ٍئ َلْ تُ ْقبَ ْل لَو:ال َ ب ِّ ََع ْن بَ ْعض اَْزَو ِاج الن ِ ي لَْي لَ ًة َ ْ صالَةٌ أَْربَع َ “Barang siapa mendatangi peramal, lalu bertanya kepadanya dan membenarkan apa yang dikatakannya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari” (HR. Muslim Juz 4 Bab 39 No. 2230: 1751) Sebagaimana pula firman Allah dalam Q.S. Yunus:5
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia-lah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan
demikian
itu
5
melainkan
dengan
benar.
Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S.Yunus:5) Imam „Ibnu Ziyaad juga berfatwa tentang memilih atau meyakini harihari baik.
ِ ِ صلُح لِْلع ْق ِد اَو النَ ْقلَ ِة فَالَ ُْيتَاج اِل جو اب ِِالَ َّن ْ َ ُ ْ َاذَا َسأَ َل َر ُج ٌل اَ َخَر َى ْل لَْي لَةُ َك َذا اَْو يَ ْوُم َك َذا ي ََ َ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اح َع ِن َّ َ ع نَ َهى َع ْن ا ْعتِ َقاد ذَال َ الش ْار َ َوذَ َكَربْ ُن ال َف ْرَك.ُك َوَز َجَر َعْنوُ َز ْجًرا بَالغَا فَالَ عْب َرةَ بَ ْن يَ ْف َعلُو ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ الع َاد َة بِاَنَّوُ يَ َق ُع َ ُالشفْيعى اَنَّوُ ا ْن َكا َن اْلُنَ ّج ُم يَ ُق ْو ُل َويَ ْعتَق ُد اَنَّوُ الَ يُ َؤثُّر االَ هللاُ َولَك ْن اَ ْجَرى هللا ِ ِ ِ ث َجاءَ ال َذم ُيْ َم ُل َعلَى َم ْن ُ س بِِو َو َحْي َ َْك َذا عْن َد َك َذا َوالْ ُم َؤث ُر ُى َوهللاُ َعَّزَو َج َّل فَ َه َذا عْن َد الَ بَأ ِ َي عت ِق ُد تَأْثِي ر النُج ِم و َغ ِيىا ِف الْمخلُوق ات ِرِْي ُمطْلَ ًقا َْ ِ َوافْ َت َزْمالَ َك ِن ب.ات َْ َ َ ْ َ ُ َْ َْْ
Artinya: “Ketika seseorang bertanya, apakah malam ini atau hari ini baik untuk akad atau pindah rumah? Maka pertanyaan seperti ini tidak perlu dijawab karena Allah sebagai pencipta syari‟at melarang keyakinan-keyakinan semacam ini. Oleh karena itu tidak boleh menganggap/mencontoh para pelakunya. Ibnu farkah mengutip pendapat As-syafi‟i: jika ahli perbintangan meyakini bahwa yang menciptakan semua kejadian itu Allah dan kebetulan sesuai dengan adat yang berlaku, seperti; pada hari ini biasanya ada kejadian demikian, maka menurut saya, keyakinan semacam itu tidaklah berbahaya. Dan jika ada celaan dari syara‟, maka diarahkan pada pemasalahan ketika seseorang meyakini, bahwa yang membikin
6
kejadian-kejadian seperti itu adalah bintang-bintang atau makhluk lainnya”. Az-Zamlakani berfatwa; kepercayaan-kepercayaan tersebut haram secara mutlak (Sa‟id, 2004: 206 ). Baik dari dalil Alqur‟an maupun fatwa tersebut telah jelas bahwa larangan bagi orang islam untuk mempercayai atau meyakini hari-hari yang dianggap baik. Dari uraian-uraian tersebut serta minimnya data dan bahan yang akan dibutuhkan dalam pembahasan tentang PENGGUNAAN ”Petungan” MASYARAKAT JAWA MUSLIM DALAM RITUAL PERNIKAHAN (Studi kasus Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang ), maka penulis bermaksud untuk meneliti dan membahas lebih lanjut tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan petungan masyarakat Jawa muslim dalam ritual pernikahan atau meyakini hari-hari yang dianggap baik dalam melangsungkan ritual pernikahan.
B. Fokus Penelitian Sebagai Basic Question atau pokok permasalahan yang berangkat dari latar belakang masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dijadikan sebagai rumusan masalah atau fokus dalam penelitian, adalah sebagai berikut: 1. Apa alasan masyarakat Jawa menggunakan petung untuk melangsungkan pernikahan?
7
2. Bagaimana persepsi atau tanggapan masyarakat Jawa di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang terhadap penggunaan petung dalam ritual pernikahan? 3. Bagaimana konsep penggunaan petungan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh ? 4. Bagaimana hukum penggunaan petung dalam keyakinan masyarakat Jawa khususnya masyarakat di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui alasan masyarakat Jawa menggunakan petung untuk melangsungkan pernikahan. 2. Mengetahui persepsi atau tanggapan dari masyarakat Jawa khususnya di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang terhadap penggunaan petung dalam ritual pernikahan. 3. Mengetahui konsep penggunaan petungan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh. 4. Mengetahui hukum penggunaan petung menurut keyakinan masyarakat Jawa khususnya masyarakat di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.
8
D. Kegunaan Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Pembaca dapat mengerti alasan-alasan mengapa masyarakat Jawa dalam menentukan upacara pernikahan harus menggunakan petung. 2. Pembaca mengerti dari berbagai persepsi masyarakat Jawa tentang penggunaan petung dalam ritual pernikahan. 3. Pembaca dapat mengerti dari konsep penggunaan petungan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh. 4. Pembaca dapat mengerti hukum penggunaan petung menurut keyakinan masyarakat Jawa khususnya di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. 5. Sebagai referensi untuk penelitian yang lebih mendalam.
E. Telaah Pustaka Ketauhidan seseorang sudah muncul saat berada dalam kandungan atau rahim ibunya. Saat janin berumur 120 hari atau 4 bulan telah mengadakan sebuah perjanjian dengan Tuhannya, namun ketauhidan seseorang setelah hidup di dunia tergantung arahan dan didikan dari kedua orang tuanya, apakah dengan keislaman yang murni atau malah justru mengikuti kepercayaankepercayaan dan tradisi di lingkungannya. Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Senyampang ia tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan menjustifikasi (membenarkan)-nya. Kita bisa bercermin bagaimana walisongo tetap 9
melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam (Yasid, 2005:249). Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia adalah keseluruhan jiwa Islam. Penjagaan atas aqidah dan tauhid yang bersih ini merupakan kewajiban yang pertama kali ditekankan dalam syariah dan bimbinganbimbingan Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat merupakan suatu keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik dan sisa-sisa kesesatan. (Qardhawi, 2007:333). Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja berkembang di era zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan masyarakat muslim. Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di pulau Jawa telah dilakukan oleh beberapa peneliti, salah satunya yaitu yang dilakukan oleh peneliti dalam Fiqh lingkungan sesajen kali dan kearifan lokal (Studi kasus di Warangan, Munengwarangan, Pakis, Magelang). Penelitian ini mengkaji tentang tradisi sesajen kali di masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan fiqh lingkungan. Pengaruh ajaran etika Al-Ghozali Dalam masyarakat Jawa (Telaah atas konsep pendidikan Etika Masyarakat Jawa). Di Jawa, perkembangan dakwah Islam mengalami proses yang cukup unik. Hal ini penyebabnya adalah lantaran berhadapan dengan kekuatan tradisi budaya dan sastra Hindu yang mengakar dalam dan cukup kokoh sebelum kerajaan Islam hingga 10
kerajaan mataram yang baru berakhir fungsinya sebagai pusat tradisi agung sastra budaya kejawen sesudah zaman kemerdekaan yang beralihnya sistem pemerintahan menjadi republik. (Khoirudin, 2003: 1) Dari berbagai tradisi di Jawa masih begitu banyaknya masyarakat mempercayainya hingga sampai ke taraf perbuatan syirik. Begitu pula dengan tradisi mempercayai terhadap hari-hari baik atau menganggap hari-hari sial. Dari berbagai penelitian yang berkaitan dengan masyarakat Jawa yang dilakukan oleh beberapa peneliti, mereka meninjau dari segi pelestarian lingkungan maupun dari segi pendidikan belum ada yang membahas tentang tradisi masyarakat Jawa yang mempercayai terhadap penggunaan petung. Oleh karena itu peneliti mencoba membahas sebuah tema yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa dalam perspektif ilmu fiqh dengan mengambil judul „Penggunaan “petungan” masyarakat Jawa muslim dalam ritual pernikahan (Studi kasus Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang)‟.
F. Penegasan Istilah Sebelum memulai dalam penyusunan skripsi ini, perlu penulis kemukakan bahwa judul skripsi ini adalah: Penggunaan “Petungan” Masyarakat Jawa Muslim dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang). Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalah pahaman serta pengertian yang simpang siur, maka penulis kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi ini sebagai berikut: 11
1. Petungan
adalah
reckoning
(memperhitungkan),
calculation
(perhitungkan). (http://ebsoft.web.id) Petungan adalah prediksi, hitungan dalam istilah Jawa. 2. Masyarakat adalah sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang membentuk peri kehidupan berbudaya; rakyat. (Fajri dan Senja: 553) Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu). (Poerwadarminta, 2006: 751) 3. Ritual/ritus adalah Tata cara dalam upacara keagamaan. (Fajri dan Senja: 713) Ritual adalah Teknik membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. (www.Tripot.com) 4. Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi). (Poerwadarminta, 2006:800) Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan (Fajri dan Senja: 590)
G.
Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian field research (penelitian lapangan) yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana tata cara seseorang menentukan hari-hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan dan mengetahui persepsi di 12
masyarakat, selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan gejala secara menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. (Moleong, 2009:6) Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana ritual pernikahan masyarakat Jawa muslim khususnya di Desa Reksosari kecamatan suruh kabupaten Semarang dan tata cara penentuan hari baik yang dipraktekkan didalam masyarakat serta bagaimana akibat-akibat yang ditimbulkan pasca pernikahan. Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat. (Soekanto, 1988:4-5) 2.
Kehadiran peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data 13
yang ada di lapangan. Sedangkan status peneliti dalam hal mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah pahaman diantara peneliti dengan informan. 3. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah desa Reksosari, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang. Peneliti memilih lokasi ini karena diwilayah desa Reksosari mayoritas agamanya adalah Islam, bahkan dapat dikatakan hampir 100 % penduduknya beragama Islam. Selain itu di wilayah desa Reksosari banyak sekali berdiri pondok pesantren serta sekolah-sekolah yang berbasiskan Islam seperti; MI, MTs, SMP NU dan MAN, namun di wilayah tersebut masih banyak yang meminta bantuan kepada paranormal bahkan dukun untuk memilihkan hari yang baik untuk melangsungkan upacara pernikahan bagi anak-anaknya maupun kerabat-kerabatnya. Sehingga hal ini menjadi menarik untuk diteliti ketika di wilayah desa Reksosari yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan kalangan pesantren ternyata masih percaya terhadap hal-hal yang berbau magis dan tradisi kejawen. 4. Sumber Data Data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi: a. Data primer yang merupakan data yang pokok atau utama
yang
digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam hal ini data diperoleh dari para pelaku yang melangsungkan pernikahan dengan memilih hari yang baik untuk upacara akad nikah yang terjadi di desa Reksosari, 14
Selain itu data diperoleh dari orang tua calon mempelai nikah. Peneliti mengambil masing-masing 1 pasangan nikah ditiap-tiap Dusun yang ada di desa Reksosari yang melangsungkan pernikahan dengan memilih hari yang dianggap baik. b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data yang digunakan untuk melengkapi data primer. Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini peneliti menggunakan buku-buku primbon, horoskop Jawa atau buku kejawen sebagai sumber data resmi serta buku-buku fiqh dan juga buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini dapat juga diperoleh dari tokoh agama, tokoh masyarakat maupun masyarakat umum di sekitar tempat tinggal pelaku pasangan nikah yang melangsungkan pernikahannya dengan memilih hari baik. 5. Prosedur pengumpulan data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian. (Nazir, 1988: 211) Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan beberapa metode, yaitu: a. Metode observasi atau pengamatan langsung Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan
langsung
adalah 15
cara
pengambilan
data
dengan
menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. (Nazir, 1988: 212) Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui situasi serta kondisi mengenai objek penelitian. b. Metode wawancara Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang digunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.(Koentjaraningrat, 1986:129) Wawancara merupakan kegiatan atau metode pengumpulan data yang dilakukan dengan bertatapan langsung dengan responden, sama seperti penggunaan daftar pertanyaan. (Daniel, 2002: 143) Adapun metode wawancara yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan berpedoman pada daftar pertanyaan sebagai rujukan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam hal ini wawancara dilakukan terhadap para pelaku nikah yang melangsungkan pernikahannya dengan cara memilih hari yang dianggap baik, keluarga pelaku maupun para tokoh agama dan tokoh mayarakat serta masyarakat umum di desa Reksosari. Selain itu wawancara juga dilakukan terhadap masyarakat dengan cara
16
mengambil sampel dari masing-masing RT (Rukun Tetangga) di dusun yang ada di desa Reksosari. c. Metode Dokumentasi Metode ini dapat berbentuk gambar atau foto-foto saat penentuan hari baik untuk melangsungkan pernikahan ataupun foto saat dilangsungkannya upacara/ ritual pernikahan. 6. Analisis Data Data mentah yang telah dikumpulkan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisa. Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisalah, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. (Nazir, 1988: 405) Dalam analisis ini penulis menggunakan analisis deskriptif yang mendeskripsikan tentang tinjauan dalam fiqh budaya yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadist maupun fatwa Imam „Ibnu Ziyaad tentang persepsi masyarakat Jawa khususnya desa Reksosari yang mayoritas Islam yang masih percaya terhadap hari-hari baik untuk ditentukan dalam berlangsungnya upacara pernikahan. 7. Pengecekan keabsahan Data Untuk mengecek keabsahan data, disini penulis menggunakan triangulasi
sebagai
teknik.
Dimana
pengertiannya
adalah
teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam
17
membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian. (Moleong, 2009: 330) Dalam pengecekan keabsahan data disini dilakukan dengan cara membandingkan observasi atau pengamatan langsung dengan wawancara terhadap para informan. Selain itu mencari informasi dari berbagai pihak yaitu para pelaku nikah yang melangsungkan upacara pernikahannya dengan cara menentukan atau memilih hari baik, keluarga, tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta masyarakat sekitar. Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis. 8. Tahap-tahap penelitian Dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama pra lapangan, dimana peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada tidaknya praktik pernikahan yang dilangsungkan dari hasil penentuan hari baik. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan atau lokasi penelitian untuk mencari data informan dan pelaku serta melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku nikah yang melangsungkan pernikahannya dengan cara menentukan atau memilih hari baik, keluarga, tokoh agama/masyarakat dan tetangga pelaku. Tahap akhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data atau temuan dari penelitian kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif. 18
H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi. Skripsi ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian: bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir. Pada bagian awal skripsi berisi tentang: sampul, lembar berlogo, judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar gambar,dan daftar lampiran. Bagian inti skripsi ini menguraikan lima bab, yaitu: Bab I Pendahuluan, yang didalamnya menguraikan tentang; latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II menguraikan tentang; sejarah kalender Jawa, kegunaan petungan Jawa, pengertian nikah, tahap-tahap melangsungkan pernikahan dalam masyarakat jawa dan dalam ajaran islam, akulturasi budaya dan agama serta kepercayaan terhadap dukun dan tradisi dalam perspektif fiqh. Bab III menguraikan tentang; hasil penelitian yaitu praktek penggunaan petung untuk menentukan hari-hari baik, alasan-alasan para pelaku serta akibat dari para pelaku yang menggunakan hari baik dan pelaku yang tanpa 19
menggunakan hari baik dalam melangsungkan pernikahan, gambaran umum penduduk desa Reksosari, dan persepsi para tokoh agama/ masyarakat terhadap ritual menentukan hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan orang Islam. Bab IV menguraikan tentang analisa penggunaan petungan masyarakat Jawa muslim khususnya desa Reksosari dalam memilih hari baik untuk pernikahan dalam perspektif fiqh, analisa praktek menghitung atau memilih hari baik, dan analisa persepsi masyarakat Jawa di Desa Reksosari. Bab V Penutup menguraikan tentang; kesimpulan dan saran Pada bagian akhir skripsi ini berisi tentang; daftar rujukan, lampiran-lampiran, dan riwayat hidup penulis.
20
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. PERHITUNGAN KALENDER JAWA 1.
Letak Geografis Pulau Jawa Pulau Jawa termasuk salah satu pulau yang cukup luas wilayahnya yang ada di Indonesia. Di dalamnya dihuni oleh banyak penduduk yang berbeda-beda logat bahasanya meskipun sebagian besar menggunakan bahasa Jawa. Termasuk daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta yang menghuni di pulau Jawa ini. Khasan Khoiruddin dalam skripsinya yang mengutip dari Budiono Herussatoto dalam buku yang berjudul “ Simbolisme dalam budaya Jawa”, menjelaskan bahwa pulau Jawa merupakan salah satu pulau dari kepulauan Indonesia, suatu kepulauan yang terbentang diantara 6º Lintang Utara, 11º Lintang Selatan, dan 95º Bujur Timur, 141º Bujur Barat. Pulau Jawa sendiri terletak diantara 5º Lintang Utara, 10º Lintang Selatan dan 105º Bujur Timur, 155º Bujur Barat. Pulau Jawa ini terbagi dalam enam daerah administrative pemerintahan, propinsi daerah tingkat I, Jawa Barat, Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, propinsi daerah tingkat I Banten (propinsi baru. 2002), daerah tingkat I Jawa Tengah, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan propinsi daerah tingkat I Jawa Timur. (Khoiruddin, 2003:26) 21
Orang Jawa adalah orang yang ibunya berasal dari Jawa, baik Jawa Tengah, maupun Jawa Timur meskipun mereka itu tinggal di Jakarta atau di luar pulau Jawa. Daerah Surakarta dan Yogyakarta lebih dikenal dengan orang Jawa “Kejawen”. Pujangga-pujangga yang banyak dikenal dari daerah tersebut seperti Ranggawarsita, PakuBuwana IV, Mangkunegaran IV. (Khoiruddin, 2003:61) Kebudayaan-kebudayaan di pulau Jawa banyak berpusat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta, oleh sebab itu para tokoh-tokoh Jawa dan para Pujangga Jawapun banyak yang berasal dari kedua daerah tersebut. Budaya masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dengan sumber budaya keraton atau kerajaan Yogyakarta Hadiningrat maupun Surakarta Hadiningrat. Dapat dikatakan bahwa Yogyakarta dan Surakarta mewakili masyarakat Jawa dengan memiliki sikap dan ciri-ciri tersendiri. Ciri tersebut menunjukkan sikap masyarakat Jawa atau “Wong Jawa” adalah lamban dalam arti orang Jawa tidak menyukai tergesa-gesa dalam melaksanakan pekerjaan. Dengan sikap lamban keluarlah ungkapan alonalon waton kelakon. Ada yang mengatakan ungkapan, yang hampir sama yaitu alon-alon asal kelakon. Alon-alon waton kelakon adalah suatu pekerjaan dilaksanakan dengan waton artinya aturan dan ketentuan yang berlaku. (Bratawijaya, 1997:75) Penduduk di pulau Jawa sangat terkenal dengan budaya santunnya, baik dalam tutur katanya maupun tingkah lakunya. Dimanapun berada 22
termasuk di kota-kota besar di luar pulau Jawa orang Jawa jelas kelihatan dari ciri-cirinya yang penuh santun, suka bergotong royong dan selalu menghormati terhadap sesama. Namun, dibalik itu masyarakat Jawa juga terkenal dengan budaya mistiknya dan budaya kejawen, dimana dalam ritual-ritual kehidupannya selalu dikenal dengan adanya selamatan meskipun telah kedatangan agama Islam. Situasi kehidupan religius sebelum agama Islam tiba di tanah Jawa pada kenyataanya memang sudah majemuk. Beberapa agama, baik yang impor maupun yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hinduisme dan Budhisme yag diimpor dari negeri India masuk, bahkan sejak masa prasejarah,agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli bercorak Animistik-Dinamistik. Agama asli ini memberi lahan yang subur bagi tumbuhnya Mistisisme. Suatu paham mistik yang bertolak dari keyakinan ruhaniah adanya kesatuan antara Mikrokosmos dengan Makrokosmos: dua entitas dalam satu kesatuan substansi. (Masroer, 2004:19) Dalam Geografisnya pulau Jawa selain kaya akan hasil alamnya juga kaya akan budaya. Hasil dari alam yang diperoleh masyarakat Jawa mayoritas dari hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan. Oleh sebab itu, mayoritas penduduk di pulau Jawa bermata pencaharian sebagai petani.
2. Sejarah Kalender Jawa Kalender atau penanggalan Jawa tidak muncul baru-baru ini namun kalender Jawa telah ada sejak zaman nenek moyang orang Jawa dulu. Kalender Jawa telah digunakan sejak pada zaman kerajaan-kerajan 23
Hindhu-budha khususnya dipulau Jawa untuk berbagai keperluan, baik untuk menentukan waktu bercocok tanam maupun untuk menentukan waktu-waktu peringatan keluarga kerajaan atau warga masyarakat itu sendiri. Di daerah Tengger, tanah Badui dan mungkin kelompok orang Samin mengikuti kalender kuna, yaitu kalender saka. Kalender saka ini merupakan warisan zaman Hindu-Budha yang kemudian diganti dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung yang berlaku sampai sekarang. Banyak orang dan banyak kalender yang beredar membuat kesalahan, dengan keterangannya, bahwa kalender Jawa sama dengan kalender saka, padahal amat berbeda. Oleh karena itu perlu diberikan penjelasan sebagai berikut: Pertama, kalender saka dimulai pada tahun 78 Masehi. Permulaan kalender itu konon pada saat mendaratnya Ajisaka di pulau Jawa. Adapula yang mengabarkan, bahwa permulaan adalah saat Raja Sariwahana Ajisaka naik tahta di India. Ajisaka adalah tokoh mitologi yang konon mencipta abjad huruf Jawa: ha na ca ra ka. Kalender yang tahunnya disebut Saka, dimulai pada tanggal 15 Maret tahun Masehi 78. Tahun Masehi dan tahun Saka, dua-duanya berdasarkan hitungan solair yaitu mengikuti perjalanan bumi mengitari matahari. Dalam bahasa Arab disebut syamsiyah. Kedua, sebelum bangsa Hindu datang, orang Jawa sudah memiliki kalender sendiri yang kita kenal sekarang sebagai Petangan Jawi, yaitu 24
perhitungan Pranata Mangsa dengan rangkaiannya berupa bermacammacam petangan seperti wuku, peringkelan, padewan, padangan dan lainlainnya. Sistem Pranata Mangsa itu adalah solair (Syamsiyah) seperti halnya kalender Saka dan Masehi. (Purwadi dan Maziyah, 2010:1) Ketiga, seperti dalam bukunya Purwadi dan Siti Maziyah yang mengutip dari bukunya Kamajaya menjelaskan tentang kalender Saka dan Pranata Mangsa bahwa Kalender Saka membagi satu tahun dalam 12 bulan dan Pranata Mangsa membagi satu tahun dalam 12 mangsa. a. Kalender Saka Nama-nama bulan dan umurnya 1) Srawana
(12 Juli-12 Agustus)
2) Badhra
(13 Agustus-10 September) 29 hari
3) Asuji
(11 September-11 Oktober) 31 hari
4) Kartika
(12 Oktober-10 November)
5) Posya
(1 November-12 Desember) 32 hari
6) Margasira
(13 Desember-10 Januari)
29 hari
7) Magha
(11 Januari-11 Februari)
32 hari
8) Phalguna
(12 Februari-11 Maret)
29 hari
9) Cetra
(12 Maret-11 April)
31 hari
10) Wasekha
(12 April-11 Mei)
30 hari
11) Jyesta
(12 Mei-12 Juni)
32 hari
12) Asadha
(13 Juni-11 Juli)
29 hari
25
32 hari
30 hari
b. Pranata Mangsa Nama-nama mangsa dan umurnya: 1) Kasa (Kartika)
(22 Juni-1 Agustus)
41 hari
2) Karo (Pusa)
(2 Agustus-24 Agustus)
23 hari
3) Katelu
(25 Agustus-17 September)
24 hari
4) Kapat (Sitra)
(18 September-12 Oktober)
25 hari
5) Kalima (Manggala)
(13Oktober-8November)
27 hari
6) Kanem (Naya)
(9 November-21 Desember)
43 hari
7) Kapitu (Palguna)
(22 Desember-22 Februari)
43 hari
8) Kawolu (Wasika)
(3 Februari-28 Februari)
26/27 hari
9) Kasanga (Jita)
(1 Maret-25 Maret)
25 hari
10) Kasapuluh (Srawana) (26 Maret-18 April)
24 hari
11) Dhesta (Padrawana)
(19 April-11 Mei)
23 hari
12) Sadha (Asuji)
(12 Mei-21 Juni)
41 hari
Kalender Pranata Mangsa sudah dimiliki orang Jawa sebelum bangsa Hindu datang di Pulau Jawa. Kalender atau perhitungan Pranata Mangsa itu dapat dikatakan kalendernya kaum tani yang memanfaatkannya sebagai pedoman bekerja. Pada mulanya Pranata Mangsa hanya memiliki 10 mangsa sesudah mangsa kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mangsa pertama (Kasa atau Kartika), yaitu pada tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu cukup lama sehingga akhirnya ditetapkan mangsa kesebelas (Destha atau Padrawana) dan mangsa kedua belas 26
(Sadha atau Asuji). Maka genaplah satu tahun menjadi 12 mangsa dan dimulainya hari pertama mangsa kesatu pada 22 Juni. Kalender saka berjalan bersama Pranata Mangsa. (Purwadi dan Maziyah,2010:3) Purwadi dan Siti Maziyah masih mengutip dalam bukunya Kamajaya menjelaskan bahwa meskipun Pranata Mangsa yang sudah berlaku sejak dahulu milik orang Jawa, namun pembakuannya baru diadakan pada waktu yang memerintah kerajaan Surakarta Sri Paku Buwana VII, yaitu tepatnya tahun 1855 Masehi. Kecuali untuk pedoman kaum tani, Pranata mangsa pun merupakan perhitungan yang membawakan watak atau pengaruh kepada kehidupan manusia seperti halnya perhitungan-perhitungan Jawa lainnya. Jadi sejarah perhitungan-perhitungan dalam kalender Jawa termasuk didalamnya hitungan Weton yang masih digunakan oleh sebagian masyarakat khususnya di Jawa ini telah digunakan terlebih dahulu oleh para nenek moyang di zaman kerajaan Hindu-Budha. Begitu juga pada saat pemerintahan kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Sri Paku Buwana ke- VII. 3.
Fungsi dari Penggunaan Hitungan Jawa Buat orang Jawa mengetahui Weton amatlah sangat penting, karena Weton sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor yang paling penting kegunaan mengetahui Weton adalah sebagai hitungan saat akan melangsungkan pernikahan, untuk membangun rumah atau pindah rumah maupun untuk menentukan waktu khitanan. Jumlah Weton 27
dapat diketahui dari hari lahir serta pasaran, rata-rata orang Jawa tahu hari lahir serta pasaran bahkan sampai ke yang lebih detail biasanya dicatat oleh orang tuanya. Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu, dan bisa diketahui. Demikian pula agama, seperti suatu harmoni adalah pada akhirnya suatu ilmu, tak peduli betapapun praktek aktualnya mungkin lebih mendekati suatu seni. Sistem Petungan memberikan suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam Disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidak untungan. (Geertz, 1960:39) Menurut keyakinan masyarakat Jawa menggunakan sistem Petungan adalah untuk mencari keuntungan dalam pelaksanaan suatu perkawinan. Mereka percaya dengan menentukan atau mencari hari-hari baik dengan Petungan semua hajat dalam pesta Perkawinan akan mendapatkan keberuntungan, baik keberuntungan dalam kelancaran acara hajatan, keberuntungan dalam hal rezeki maupun keberuntungan yang lain bagi calon kedua pengantin. Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari tanggal dan hari keagamaan seperti terdapat pada kalender Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada 28
hubungannya dengan apa yang disebut Petangan jawi, yaitu perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu Hari, Tanggal, Bulan, Tahun, Pranata mangsa, Wuku dan lainnya. Semua itu warisan asli leluhur Jawa yang dilestarikan dalam kebijaksanaan Sultan Agung dalam kalendernya. Petangan Jawi sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam Primbon. Kata Primbon berasal dari kata: rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka Primbon memuat bermacam-macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi penerusnya. (Purwadi dan Maziyah, 2010:14) Dalam sistem Petungan atau Primbon tidak selalu mutlak dalam kebenaran, kadang kala telah dilakukan sistem Petungan namun masih ada Sengkala atau halangan ketidak beruntungan yang dialami oleh seseorang dalam melangsungkan pesta hajatan perkawinan. Namun, setidaknya dengan sistem Petungan atau Primbon seseorang yang mempunyai hajat memperoleh kemantaban dan kenyamanan dari segala Sengkala ataupun marabahaya. Purwadi dan Siti Maziyah yang mengutip dari bukunya Kamajaya mengatakan bahwa pada hakikatnya Primbon tidak merupakan hal yang mutlak kebenarannya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir batin. Primbon hendaklah tidak diremehkan, meskipun diketahui tidak mengandung 29
kebenaran mutlak. Primbon sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengalaman leluhur, jangan menjadikan surut atau mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa maha pengatur segenap makhluk dengan kodrat dan iradat-Nya. (Purwadi dan Maziyah, 2010:14) Sistem Petungan juga digunakan untuk menentukan dari arah mana orang harus masuk rumah kalau ingin mencuri tanpa ketahuan, untuk menentukan di sebelah mana orang harus duduk dalam arena adu ayam supaya menang dalam taruhan, untuk meramalkan apakah orang akan untung atau rugi dalam perdagangan di hari tertentu, untuk memilih obat yang tepat bagi suatu penyakit, untuk menentukan hari baik buat khitanan dan perkawinan (biasanya sampai kepada jam yang tepat dimana upacara harus dilangsungkan), dan untuk meramalkan apakah suatu perkawinan yang direncanakan bisa terlaksana atau tidak. Untuk hal yang terakhir ini, hari lahir pengantin wanita dan pria akan dijumlahkan, hampir selalu oleh seorang dukun, untuk melihat apakah mereka cocog: kalau tidak perkawinan itu tak akan berlangsung, paling tidak demikianlah dalam kalangan tradisional yang kepercayaan begininya masih kuat. Pada beberapa kasus suatu konflik mungkin timbul bilamana keluarga pengantin wanita atau keluarga pengantin
pria atau dukun-dukun mereka
menggunakan sistem yang berlainan. (Geertz, 1960:43) Dalam suatu kasus terkadang terjadi perbedaan pendapat dimana masing-masing pihak keluarga pengantin sama-sama mencari hari baik dengan sistem Petungan. Dalam kedua keluarga pengantin berbeda dalam 30
pelaksanaan hajatan yang mengakibatkan beda pendapat, namun dalam kasus seperti ini biasanya yang digunakan adalah sistem Petungan dari pihak keluarga pengantin wanita, sebab budaya di masyarakat Jawa hajatan pesta perkawinan dan upacara Ijab Qabul dilaksanaan di rumah keluarga pengantin wanita. Jadi fungsi penggunaan Petungan dalam masyarakat Jawa tidak hanya digunakan untuk menentukan waktu pelaksanaan perkawinan, namun juga digunakan untuk menentukan waktu khitanan, kematian, pindah rumah ataupun membangun rumah. 4.
Cara Menentukan Hari Baik Untuk Pernikahan Dalam suatu komunitas di masyarakat Jawa tidak semua orang bisa menentukan hari-hari baik untuk melangsungkan berbagai macam hajatan termasuk Perkawinan, namun hanya beberapa orang saja dalam suatu Desa atau Kelurahan itu yang dapat melakukannya. Biasanya orang yang dianggap tua atau yang dituakan yang dimintai pertolongan oleh seseorang yang ingin punya hajat, itupun ada dua golongan. Pertama, bagi orang orang-orang yang kejawennya sangat kuat mereka meyakini dan merasa lebih mantab terhadap hasil hitungan dari orang yang menggunakan sistem Petungan Jawa murni atau asli Kejawen. Kedua, bagi orang-orang yang takut terhadap kemusyrikan dan keimanan terhadap Islamnya kuat mereka meyakini terhadap hitungan para Kyai yang konon katanya ada sebuah kitab yang menjelaskan tentang menentukan hari baik. Dalam ritual
31
Pernikahan pun juga diadakan berbagai macam slametan agar diberi keselamatan dari berbagai Sengkala atau marabahaya. Slametan
kelahiran
waktunya
ditetapkan
menurut
peristiwa
kelahiran, dan slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu; namun orang Jawa tidak menganggap peristiwa itu sebagai suatu kebetulan; peristiwa itu dianggap sebagai ditentukan oleh Tuhan, yang menetapkan secara pasti perjalanan hidup setiap orang. Ketika Bratasena, tokoh wayang itu, muncul di surga sesudah mati dengan sengaja dalam suatu kisah yang telah kita sebut dahulu, Batara Guru, raja sekalian dewa, menegur dia karena kelancangannya menghabiskan umur sebelum saat yang ditetapkan untuknya tiba, Dewa itu lalu mengirimnya kembali ke dunia manusia. Upacara khitanan dan perkawinan-seperti juga pergantian tempat tinggal dan semacamnya-tampaknya perlu ditetapkan dengan kehendak manusia; tetai disini pun penetapan secara sembarangan harus dihindari dan suatu tatanan Ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut Petungan atau “hitungan”. (Geertz,1960:38) Di dalam sistem Petungan orang Jawa terdapat suatu konsep metafisis orang Jawa yang begitu Fundamental, yaituoc:cocog, yang berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, serta persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya. Dalam menentukan hari baik untuk pernikahan ada hal-hal yang harus diketahui
32
dan dipergunakan, misalnya: neptu hari dan pasaran bulan Jawa calon pengantin berdua waktu lahir. Dalam melakukan hajat perkawinan, mendirikan rumah, bepergian dan sebagainya, kebanyakan orang Jawa dulu mendasarkan atas hari yang berjumlah 7 (Senin-Minggu) dan pasaran yang jumlahnya ada 5, tiap hari tentu ada rangkapannya pasaran, masing-masing hari dan pasaran mempunyai “neptu”, yaitu “nilai” dengan angkanya sendiri-sendiri. Perhitungan Hari dan Pasaran: Jumat
6
Legi
5
Sabtu
9
Pahing
9
Minggu
5
Pon
7
Senin
4
Wage
4
Selasa
3
Kliwon
8
Rabu
7
Kamis
8
Hari dan pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak laki-laki masing-masing dibuang (dikurangi) sembilan. Misalnya: Kelahiran anak perempuan adalah hari Rabu (neptu 7) Pon (neptu 7) jumlah 14, dibuang 9 sisa 5. Sedangkan kelahiran anak laki-laki Minggu (neptu 5) Legi (neptu 5) jumlah 10, dikurangi 9 sisa 1. 33
Menurut perhitungan dan berdasarkan sisa diatas maka perhitungan seperti di bawah ini: Apabila sisa: 1 dan 4: Banyak celakanya 1 dan 5: Bisa 1 dan 6: Jauh sandang pangan 1 dan 7: Banyak musuh 1 dan 8: Sengsara 1 dan 9: Menjadi perlindungan
2 dan 2: Selamat, banyak rejekinya 2 dan 3: Salah seorang cepat wafat 2 dan 4: Banyak godanya 2 dan 5: Banyak celakanya 2 dan 6: Cepat kaya 2 dan 7: Anaknya banyak yang mati 2 dan 8: Dekat rejeki 2 dan 9: Banyak rejeki
3 dan 3: Melarat 3 dan 4: Banyak celakanya 3 dan 5: Cepat berpisah 3 dan 6: Mendapat kebahagiaan 34
3 dan 7: Banyak celakanya 3 dan 8: Salah seorang cepat wafat 3 dan 9: Banyak rejekinya
4 dan 4: Sering sakit 4 dan 5: Banyak godanya 4 dan 6: Banyak rejekinya 4 dan 7: Melarat 4 dan 8: Banyak halangannya 4 dan 9: Salah seorang kalah
5 dan 5: Tulus kebahagiaannya 5 dan 6: Dekat rejekinya 5 dan 7: Tulus sandang pangannya 5 dan 8: Banyak bahayanya 5 dan 9: Dekat sandang pangannya
6 dan 6: Besar celakanya 6 dan 7: Rukun 6 dan 8: Banyak musuh 6 dan 9: Sengsara
35
7 dan 7: Dihukum oleh isterinya 7 dan 8: Celaka karena diri sendiri 7 dan 9: Tulus perkawinannya
8 dan 8: Dikasihi orang 8 dab 9: Banyak celakanya
9 dan9: Liar rejekinya Sedangkan hari yang baik untuk keperluan apa saja misalnya pindah tempat, punya kerja, perkawinan, tukar cincin dan sebagainya. Bulan
Maknanya
Besar
Senin
baik sekali
Rabu
baik
Rabu
baik
Selasa
baik
Selasa
baik sekali
Kamis
baik
Rabu
baik sekali
Jumat
baik
Kamis
baik sekali
Sabtu
baik
Jumat
baik sekali
Suro
Sapar
Maulud
Bakda mulud
Jumadil awal
Minggu 36
Jumadil akhir
Sabtu
baik sekali
Rajab
Rabu
baik sekali
Jumat
baik
Ruwah
Minggu
baik
Pasa
Minggu
baik sekali
Senin
baik sekali
Sawal
Minggu
baik sekali
Selo
Minggu
baik sekali
(Purwadi dan Maziyah, 2010:38) Ala beciking sasi kanggo ijabing panganten. Sura
: Tukar padu, nemu kerusakan. (Aja diterak)
Sapar
: Kekurangan, sugih utang. (Kena diterak)
Mulud
: Mati salah siji.(Aja diterak)
Rabingulakir : Tansah dicatur lan nemu ujar ala. (Kena diterak) Jumadilawal : Kerep kelangan, kapusan, sugih satru. (Kena diterak) Jumadilakir
: Sugih mas salaka.
Rejeb
: Sugih anak lan slamet.
Ruwah
: Rahayu ing sakabehe.
Pasa
: Cilaka gedhe. (Aja diterak)
Sawal
: Kekurangan, sugih utang. (Kena diterak)
Dulkangidah : Gering, kerep pasulayan lan mitra. (Aja diterak) Besar
: Sugih, nemu suka harja. (Soemodidjojo, 2001:21)
37
Masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam melakukan berbagai hal termasuk melangsungkan upacara perkawinan, sehingga segala sesuatunya harus diperhitungkan untuk menghindari sesuatu yang tidak diharapkan. Mereka sangat hati-hati sekali terhadap hari-hari, maupun bulan yang dianggap baik ataupun yang dilarang dalam segala suatu keperluan.
B. PERNIKAHAN DALAM ISLAM 1. Pengertian Nikah Dalam kompilasi Hukum Islam pasal 2 diterangkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Supriatna dkk, 2008:128) Sedangkan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Supriatna dkk, 2008:90) Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alqur‟an dan Al Hadist, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 mengandung 7 asas atau kaidah hukum yaitu sebagai berikut:
38
a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya
untuk
mencapai
kesejahteraan
spiritual dan material. b. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. c. Asas monogami terbuka. Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak isteri bila lebih dari seorang maka cukup seorang isteri saja. d. Asas calon suami dan calon isteri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian. e. Asas mempersulit terjadinya perceraian. f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh
karena
itu,
segala
sesuatu
dalam
keluarga
dapat
dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. g. Asas pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan. (Ali, 2006:7-8)
39
Asas-asas tersebut dibuat untuk melindungi keluarga maupun melindungi hak-hak suami maupun isteri agar tetap terjaganya keutuhan sebuah keluarga. Asas-asas itu juga memerintahkan untuk menciptakan sebuah keluarga yang bahagia, baik bahagia bagi suami maupun bahagia bagi isteri serta anak-anaknya. Dengan pernikahan seseorang akan tercipta dan terpelihara dari aspek-aspek moral maupun kesucian dengan landasan cinta kasih. 2. Dasar Hukum Nikah Semua makhluk ciptaan Tuhan diciptakan secara berpasangpasangan, namun hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi kelebihan akal agar digunakan untuk berfikir. Perkawinan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masingmasing siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demu menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara Ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha40
meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. (Sabiq, 1980:8) Perintah menikah dijelaskan dalam Firman Allah Surat Ar-Rum ayat 21:
Artinya:
“Dan
diantara
tanda-tanda
kekuasaan-Nya
ialah
Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadaNya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Hamidy dan Fachruddin, 1980:588) Selain itu Allah juga telah menciptakan segala sesuatu di bumi itu secara berpasang-pasangan, sebagaimana dalam Firman-Nya Surat Yaasiin Ayat 36:
Artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui.” (Hamidy dan Fachruddin, 1980:643) 41
Islam memperingatkan bahwa dengan perkawinan, Allah akan memberikan kepadanya penghidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya dan diberikannya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan. Firman Allah Q.S An-Nur:32,
Artinya: “Dan kawinkanlah bujang-bujang kamu dan budak laki-laki dan perempuan yang telah patut kawin. Jika mereka itu miskin, maka nanti Allah berikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas karunia-Nya dan Maha tahu.” Dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya, sebagaimana dalam Sabda Rasulullah Saw:
ِ اب من اِستطَاع ِمْن ُكم اَلْباءةُ فَ ْليت زَّوج فَِإنَّو أَ َغ ص ُن َّ يَا َم ْع َشَر ْ ص ِر َوأ ُ ُ ْ َ ََ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ِ َالشب َ َح َ َض ل ْلب ِ ِ َّ ِلِْل َفرِج ومن َلْ يستَ ِط ْع فَ َعلَْي ِو ب ٌالص ْوم فَإنَّوُ لَوُ ِو َجاء ْ َ ْ ََ َ Artinya: Bersumber dari Alqamah, dia mengatakan: “Aku pernah berjalan-jalan di Mina bersama Abdullah. Kami bertemu dengan Utsman yang kemudian mendekati Abdullah. Setelah berbincang-bincang sejenak akhirnya Utsman bertanya kepada Abdullah: “Maukah kamu aku jodohkan dengan seorang wanita yang masih muda? Barangkali ia akan dapat mengingatkan lagi masa-masa lalumu yang indah”. Mendengar tawaran itu Abdullah menjawab: “Apa yang kamu katakan itu, adalah 42
cocok dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah s.a.w kepadaku: “Wahai golongan kaum muda. Barang siapa diantara kamu yang sudah mampu akan ongkos buat menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat menjaga pandangan mata dan lebih membentengi kehormatan. Dan barang siapa yang tiada mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat menghalangi nafsu” (HR. Muslim juz 2 bab 16 No.1) (Musthofa, 1993:743). Nikah merupakan sunah Nabi Saw dan bahkan hukumnya dapat menjadi wajib bagi seseorang yang telah dirasa mampu segalanya, baik mampu secara fisik maupun mampu dalam hal materi, dan bagi yang belum mampu untuk menikah maka dianjurkan untuk berpuasa agar dapat mencegah nafsu terhadap perempuan yang dilihatnya. 3. Hikmah dari Pernikahan Dengan pernikahan akan banyak hikmah yang diperoleh seseorang, diantaranya adalah terdapatnya teman hidup yang dulunya hanya sendiri. Bagi masyarakat Jawa jika mempunyai anak yang telah cukup umur namun belum menikah dirasa membebani fikiran, sebab mereka takut jika anaknya tidak laku kawin.Namun, jika anaknya telah menikah para orang tua di Jawa merasa senang karena kewajiban orang tua terhadap anak telah selesai. Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah dari nikah adalah:
43
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal. b. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak
keturunan,
melestarikan
hidup
manusia
serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. c. Selanjutnya,
naluri
kebapakan
dan
keibuan
akan
tumbuh
salingmelengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. d. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami isteri dalam menangani tugas-tugasnya. f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan
44
rasa
cinta
antara
keluarga
dan
memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. (Sabiq, 1980:18) 4. Hukum Mengadakan Walimah Walimah atau pesta pernikahan biasanya setelah segalanya siap dari pihak perempuan, sebab mayoritas masyarakat Jawa hanya di pihak perempuan yang mengadakan walimahan, namun tidak sedikit pula dari pihak pria juga mengadakannya bagi yang mampu dari segi materi. Dalam pesta pernikahan rumah pihak pengantin wanita dihias dengan berbagai macam hiasan selayaknya istana. Janur kuning yang dilengkungkan membentuk busur setengah lingkaran dipasang pada pintu masuk pelataran, yang menjadi pertanda bagi mereka yang lewat bahwa keluarga itu sedang “mempunyai kerja” (duwe gawe) yakni upacara khitanan atau perkawinan. Atap rumah diperluas sampai ke halaman untuk menaungi para tamu yang duduk di sana menghirup kopi, menikmati jajan dan ngobrol tentang hal-hal yang menyenangkan. Di dalam rumah, sang puteri lagi didandani oleh kerabatkerabat perempuannya atau oleh seorang juru rias yang disebut tukang paras. (Geertz, 1960:74) Walimah berasal dari kata Walm, yang berarti berkumpul. Karena biasanya orang-orang berkumpul dalam acara walimah tersebut. Secara syara‟,
walimah
digunakan
pada
makanan
yang
dibuat
untuk
mengungkapkan sebuah kebahagiaan. Bisa saja dia memperoleh
45
kesenangan atau terlepas dari kesusahan. Baik kebahagiaan itu telah atau akan terjadi. Atau tidak ada sebab yang melatar-belakanginya. Menyelenggarakan walimah dengan segala macam bentuknya hukumnya sunnah. Sedangkan memenuhi undangan walimah hukumnya sunnah kecuali dalam pernikahan dimana hukumnya telah berubah menjadi wajib. Sebagaimana dalam hadits Nabi Saw:
ِ ٍ ِ ِ ان النّىب صلى هللا عليو وسلّم قال إِ َذا د ِعي اَح ُد ُكم ا: عن ابن عمر ب ْ ل َولْي َمة عُ ُر ٍس فَ ْليُج َ ْ َ َ ُ Bersumber dari Ibnu Umar: Sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “Apabila salah seorang kamu diundang untuk menghadiri walimah (resepsi) pengantin, maka hendaklah dia penuhi.” (H.R.Muslim juz 2 bab 16 no.98) (Musthofa.1993:806) Menurut golongan Malikiyah sasaran (Khitab) hadits tersebut hanyalah untuk menjelaskan hukum walimah al „urs (Pesta Perkawinan) dengan konsekwensi hukum wajib. Berarti untuk pesta yang lain makruh hukum mendatanginya, kecuali walimah al-„aqiqah yang hukum menghadirinya sunnah. Tetapi, Ibnu Rusyd berpendapat beda, bahwa menghadiri walimah apapun selain walimah al-„aqiqah hukumnya bolehboleh saja. (Yasid, 2005:247-248) Nabi Saw bersabda:
ِ ٍ َّ ِ ٍ ََع ْن اَن : ال اَبُ ْو َك ِام ٍل َ َ(وق َ َس ق ُ ْ َما َراَي: ال َ ت َر ُس ْو َل هللا َ لى ْامَراَة َ لى هللاُ َعلَْيو َو َسل َم اَْو لََ َع َ ص ِِ ِ ِ ٍ ب فَائِنَّوُ َذبَ َح َشا ًة َ َلى َزيْن َ لى َشْيئ) م ْن ن َسائو َما اَْو لَ َِ َع َ َع Bersumber dari Anas, dia berkata:”Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw mengadakan walimah atas isteri-isterinya, seperti walimah yang 46
beliau selenggarakan untuk Zainab. Sesungguhnya beliau menyembelih seekor kambing. (H.R.Muslim juz 2 bab 15 no.90) (Musthofa, 1993:798) Waktunya walimah dapat diadakan ketika akad nikah atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri isterinya) atau sesudahnya. Hal ini leluasa tergantung kepada adat dan kebiasaan. Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah mengundang orang-orang untuk walimahan sesudah beliau bercampur dengan Zaenab. (Sabiq, 1981:185) Biasanya masyarakat di Jawa mengadakan upacara walimahan bersamaan dengan upacara Akad nikah sebagai tanda perasaan bahagia. Dalam undangan walimahan jika undangannya bersifat umum yang tidak tertuju kepada orang-orang tertentu maka hukumnya tidak wajib untuk mendatangi serta tidak pula sunnah.Namun, jika dalam walimahan tersebut yang diundang hanyalah orang-orang kaya saja sedangkan orang miskin tidak diundang maka hukumnya adalah makruh.
C. TAHAPAN RITUAL PERNIKAHAN DALAM ADAT MASYARAKAT JAWA Pernikahan dalam keyakinan masyarakat Jawa merupakan sesuatu yang sangat sakral dan agung, dimana dalam setiap ritual sejak dimulainya lamaran hingga ritual sungkeman ada makna tersendiri di dalamnya. Perkawinan adalah pangkal pembentukan rumah tangga yang menjadi sendi masyarakat. Undang-undang Kutara Manawa memang menyediakan 47
peraturan-peraturan sipil yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga, seperti Tukon (Mahar), Perkawinan, Perceraian, dan Pewarisan. Perkawinan yang ideal ialah perkawinan dalam warna, dimana pihak laki-laki dan perempuan sama derajatnya, biasa dilambangkan dengan perkawinan antara Rama dan Shinta. Perkawina dalam warna memberikan jaminan kepada kelangsungan hidup warna, karena tidak menimbulkan kekeruhan atau kegoncangan. (Muljana, 2006:248) Kronologis upacara adat pengantin Jawa : 1. Babat alas artinya membuka hutan untuk merintis membuat lahan. Dalam hal babat alas ini orang tua pemuda merintis seorang congkok untuk mengetahui apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah umumnya disebut nakokake artinya menanyakan. 2. Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis, maka adanya upacara nontoni. Sang pemuda diajak keluarganya datang ke rumah sang gadis pada saat itu pemuda diajak diberi kesempatan untuk nontoni sang gadis pilihan orang tuanya. Hingga baru-baru ini kebanyakan perkawinan di Jawa masih diatur oleh orang tua mempelai wanita maupun pria. Bahkan kalau seorang anak laki-laki berpikiran sendiri tentang gadis mana yang akan dinikahinya, ia akan melaksanakan aksudnya dengan bantuan orang tuanya-kalau ia bisa meyakinkan mereka bahwa pilihannya memang bijaksana. (Geertz, 1960:69)
48
3. Bila cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara nglamar atau meminang. Dalam upacara nglamar keluarga pihak sang pemuda menyerahkan barang kepada keluarga pihak sang gadis sebagai peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya sandangan sapangadek. Dalam lamaran itu keluarga pihak pria mengunjungi keluarga fihak perempuan untuk saling tukar basa-basi formalisme kosong yang diperkorek dan sudah menjadi keahlian orang Jawa sejak dahulu. Ayah fihak laki-laki mungkin membuka percakapan itu dengan ucapan seperti, “embun di pagi hari berarti hujan di malam hari,” yang maksudnya mengatakan bahwa soal yangingin diperbincangkannya adalah soal yang “dingin” atau sederhana saja dan tidak perlu membangkitkan perasaan yang bukan-bukan. Dengan perkataan dan dalam gaya permisalan yang sama, ia tiba kepada pokok persoalan dan mengatakan bahwa ia ingin menjadi besan tuan rumah dengan mengawinkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan tuan rumah. (Geertz, 1960:69) 4. Menjelang hari perkawinan diadakan upacara Srah-srahan atau asok tukon yaitu pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah perkawinan kepada keluarga pihak calon pengantin putri berupa hasil bumi, alat-alat rumah tangga, ternak dan kadang-kadang ditambah sejumlah uang. Mahar atau tukon mempunyai peranan penting dalam perkawinan; pada dasarnya digunakan oleh pihak laki-laki sebagai pengikat pihak 49
gadis, sebagai tanda bahwa gadis itu telah laku. Oleh karena itu, setelah orang tua gadis menerima tukon, gadis itu ibarat dagangan yang telah terjual. Hanya laki-laki yang telah menyerahkan tukon itu sajalah yang berhak mengawininya. Sejak itu, gadis itupun disebut perempuan larangan, diperlakukan sama dengan perempuan yang telah bersuami. (Muljana, 2006:251) 5. Kira-kira 7 hari (Dulu 40 hari) sebelum hari pernikahan calon pengantin putri dipingit artinya tidak boleh keluar dari rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon suaminya. Selama masa pingitan calon pengantin putri membersihkan diri dengan mandi keramas dan badannya diberi lulur. Pada saat inilah jika pernikahan akan segera dilangsungkan pihak keluarga perempuan mulai sibuk mencari hari yang baik untuk melangsungkan upacara pesta pernikahan anaknya dengan mendatangi seseorang yang dianggap mampu untuk mencarikan hari baik tersebut. Sedangkan, dari pihak keluarga laki-laki disibukkan dengan mencari suratsurat yang dibutuhkan untuk pernikahan nanti. Pada hari baik yang telah ditentukan, biasanya enam bulan sehabis menerima tukon, perkawinan akan dilangsungkan. Jika pada hari itu perkawinan tidak dilangsungkan, karena pihak orang tua gadis sengaja membatalkannya, ia harus membayar Dua kali lipat tukon dan mengembalikan segala pemberian yang telah diterima, kepada pihak lakilaki. Selain itu, dikenakan denda sebesar Empat ribu jika gadis itu 50
dikawinkan dengan laki-laki lain, pasangan suami isteri itu masing-masing dikenakan denda Empat ribu. Sebaliknya, jika pihak laki-laki tidak datang pada hari yang telah ditentukan, ia kehilangan hak kawin dan kehilangan uang tukon. Jika pihak laki-laki mati sebelum perkawinan dilangsungkan, adiknya laki-laki jika mau, mempunyai hak untuk mengawini gadis calon iparnya itu, tanpa minta persetujuan pihak gadis dan bapaknya. Dalam hal yang demikian, pihak laki-laki itu disebut Wereh dan pihak perempuan disebut Dewarahara. Tetapi, jika adiknya laki-laki segan melakukannya, uang tukon tidak perlu dikembalikan. Dalam hal ini, gadis itu disebut Wulanjar artinya gadis yang telah dipertunangkan, tetapi tidak jadi dikawinkan. Sebaliknya, jika pihak gadis yang mati sebelum perkawinan dilangsungkan, bapaknya tidak wajib mengembalikan tukon atau menggantinya dengan adik perempuan si mati, jika ada. (Muljana, 2006:251-252) 6. Sehari atau Dua hari sebelum upacara akad nikah di rumah orang tua calon pengantin putri membuat Tratag dan menghias rumah. Kesibukan tersebut biasanya juga dinamakan upacara Pasang Tarub. 7. Upacara siraman yaitu memandikan calon pengantin putri dengan kembang telon yaitu bunga Mawar, Melati dan Kenanga dan selanjutnya disusul dengan upacara Ngerik. Upacara Ngerik yaitu membersihkan bulu-bulu rambut yang kurang baik misalnya rambut yang terdapat di Dahi, Kuduk, Tengkuk dan Pipi. 51
Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah (Ijab Kabul). Akad nikah dilangsungkan secara / menurut agama masing-masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara adat. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan pada upacara Siraman adalah pengantin putri pada upacara siraman sebaiknya mengenakan kain dengan motif Grompol yang dirangkapi dengan kain mori putih bersih sepanjang Dua meter dan pengantin putri rambutnya beruarai. Sedangkan yang bertugas menyiram pengantin putri adalah Bapak dan Ibu pengantin putri, diteruskan oleh orang tua serta keluarga yang dianggap telah pantas sebagai teladan. Siraman ini dilanjutkan dan diakhiri juru rias dan paling akhir adalah dilakukan oleh pengantin sendiri, sebaiknya pergunakan air hangat agar pengantin yang disirami tidak masuk angin. Sedang urut-urutan upacara siraman pengantin putra adalah sama seperti siraman pengantin putri hanya yang menyiram pertama adalah Bapak pengantin putra. Setelah upacara siraman pengantin selesai, maka pengantin putra ke tempat pemondokan yang tidak jauh dari tempat kediaman pengantin putri. Dalam hal ini pengantin putra belum diizinkan tinggal serumah dengan pengantin putri. Sedangkan pengantin putri setelah siraman berganti busana dengan busana Kerik, yaitu pengantin putri akan dipotong rambut bagian depan pada dahi secara merata. (Bratawijaya, 1997:143) Dalam upacara siraman ini mayoritas di masyarakat Jawa sudah tidak melakukannya, dan hal ini hanya masih dilakukan di keraton-keraton 52
seperti pada saat pernikahan putri Sultan Hamengku Buwono X di keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta. 8. Setelah upacara Ngerik, maka pada malam hari diadakan upacara malam Midodareni. Calon pengantin putra datang kerumah pengantin putri dan selanjutnya calon pengantin putra menjalani upacara Nyantri. Sebagaimana dalam Islaman, slametan perkawinan diselenggarakan pada malam hari menjelang upacara yang sebenarnya. Slametan itu disebut Midodareni, dan kecuali doa tradisional yang mengharapkan agar pasangan ini tidak berpisah lagi, senantiasa berdua seperti Mimi dan Mintuna, slametannya sama saja dengan manggulan yang diselenggarakan sebelum upacara khitanan. Bedanya, pengantin perempuan hadir dalam slametan Midodareni itu, dan kalau si pengantin laki-laki yang datang dari jauh sudah ada sekitar tempat tinggal pengantin perempuan, si pengantin lelaki akan tetap disembunyikan dari pandangan mempelai perempuan, karena mereka tidak diperbolehkan saling pandang sebelum pertemuan yang sebenarnya berlangsung. (Geertz, 1960:71) 9. Pada pagi harinya atau sore harinya dilangsungkan upacara Ijab Qabul yaitu meresmikan kedua insan antara pria dan wanita yang memadu kasih telah sah menjadi suami istri. Dalam menentukan upacara Ijab Qabul ini pun sistem Petungan dilakukan sampai dengan pukul berapa yang baik dan pukul berapa yang buruk dan dengan cara demikian setiap bagian dari upacara dalam
53
perkawinan ditentukan waktunya dengan harapan agar upacara tersebut berlangsung pada saat yang tepat tanpa Sengkala. 10. Sehabis upacara Ijab Qabul dilangsungkan upacara Panggih atau Temon yaitu pengantin putra dan pengantin putri ditemukan yang berakhir duduk bersanding di pelaminan. Upacara perkawinan itu disebut Kepanggihan (“Pertemuan”) dan selalu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan. Semua orang tua, menurut teori, mempunyai kewajiban yang tak bisa dielakkan untuk menyelenggarakan satu pesta besar bagi setiap anaknya; Sunatan untuk anak laki-laki dan Perkawinan untuk anak perempuan. (Geertz, 1960:70) Dalam upacara Panggih ini ada beberapa ritual yang harus dijalani oleh kedua mempelai, yaitu: Bagian I Upacara Balangan Sedah/ Lempar Sirih yaitu pengantin putra dan pengantin putri saling melempar sirih, setelah itu disusul dengan berjabat tangan tanda saling mengenal. Bagian II Upacara Wiji Dadi Sebelum pengantin putra menginjak telur, pengantin putri membasuh terlebih dahulu kedua kaki pengantin putra. Bagian III Upacara Sindur Binayang yaitu pasangan pengantin berjalan di belakang
ayah
pengantin
putri, 54
sedangkan
ibu
pengantin
putri
dibelakangnya pengantin tersebut. Hal ini mempunyai makna Bapak selalu membimbing
putra-putrinya
menuju
kebahagiaan,
sedangkan
Ibu
memberikan dorongan “Tut Wuri Handayani”. Bagian IV Timbang (Pangkon) dan disusul upacara Tanem, upacara Tanem yaitu Bapak pengantin putri mempersilahkan duduk kedua pengantin di pelaminan yang bermakna bahwa Bapak telah merestui dan mengesahkan kedua pengantin menjadi suami isteri. (Bratawijaya, 1997:148) 11. Lima hari setelah Akad nikah dan upacara Panggih diadakan upacara Sepasaran pengantin atau Ngunduh mantu apabila disertai dengan pesta. Dalam upacara pernikahan bagi masyarakat Jawa begitu banyak ritual-ritual yang harus dijalani oleh kedua mempelai yang cukup melelahkan baik badi kedua pengantin maupun keluarga. Namun, bagi keyakinan sebagian besar masyarakat Jawa berbagai macam ritual tersebut penuh dengan arti yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dalam sebuah pernikahan.
D. PENGGUNAAN HITUNGAN ATAU MEMILIH HARI BAIK DALAM ISLAM Dalam Islam terdapat pula Hari-hari atau Bulan-bulan tertentu yang diagungkan, karena di situ terdapat sebuah keutamaan-keutamaan tersendiri. Namun, waktu-waktu tertentu digunakan dalam melakukan puasa seperti: Bulan Dzulhijjah, hari Arafah, bulan Ramadhan dan bulan Muharram.
55
Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Rasulullah sallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada harihari yang paling dicintai oleh Allah untuk beramal shaleh kecuali sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhijjah) ini.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak dengan jihad di jalan Allah?” Nabi menjawab, “Tidak pula dengan jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya, meski semua itu tidak akan kembali.” (Abdussalam, 2004:177) Dalam Islam tidak ada bulan-bulan yang sial, semua bulan dalam Islam masing-masing memiliki keutamaan, namun di kalangan masyarakat Jawa kadang menganggap bulan-bulan tertentu sebagai bulan yang sial, sehingga mereka takut untuk melakukan suatu keperluan. Dalam musnad dan shahih al-Bukhari diriwayatkan: Rasulullah bersabda, “Thiyarah (menganggap sial karena pertanda dari sebuah kejadian) adalah syirik.” Thabrani
meriwayatkan,
“Bukan
termasuk
kami
orang
yang
berthiyarah atau minta untuk berthiyarah, mendukun atau minta untuk mendukun, melakukan sihir atau minta untuk melakukan sihir.” Ahmad dan Thabrani juga meriwayatkan: Rasulullah bersabda, “Barang siapa urung melakukan suatu keperluan karena thiyarah maka ia telah musyrik.” Orang-orang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa kafaratnya?”
56
Nabi bersabda, membaca,
اَللَّ ُه َّم الَ طَْي َر اِالَّ طَْي ُرَك َوالَ َخْي َر اِالَّ َخْي ُرَك َوالَ اِلَوَ َغْي ُرَك
(Abdussalam, 2004:149) Bangsa Arab menganggap bulan Dzulqa‟dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab sebagai bulan-bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), karena bulanbulan tersebut merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji menuju ka‟bah terbesar dan paling suci, yaitu ka‟bah makah (bulan Dzulqa‟dah, Dzulhijjah, dan Muharram). Sementara bulan Rajab adalah waktu pelaksanaan ibadah umrah. (Karim, 1990:9) Nabi Saw pernah menikahkan putrinya di bulan tertentu, namun hal itu memang disengaja dan tanpa mencarinya terlebih dahulu. Artinya, sebelum menikahkan putrinya Nabi Saw tidak memilih bulan apa yang cocok dan baik untuk pernikahan putrinya nanti, namun karena memang sudah waktunya menikah hal tersebut dilakukan. Begitu pula pada saat Rasulullah Saw menikahi Aisyah pada bulan Syawwal:
ِ لى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِف َش َّو ٍال َوبَ َن ِِ ِف َش َّو ٍال فَاَى ُ تَ َزَّو َج ِن َر ُس: ت ْ ََع ْن َعائ َشةَ قَال َ ول هللا َ ص ِنِس ِاء رسوِل هللا ت َعائِ َشةُ تَ ْستَ َحب اَ ْن ص َ َلى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم كاَ َن اَ ْحظَى ِعْن َدهُ ِم ِّن ؟ ق ْ َال َوكاَن َ ُْ َ َ َ تَ ْد ُخ َل نِ َساءَ َىا ِف َش َّو ٍال Bersumber dari Aisyah, ia berkata:”Rasulullah Saw menikahi aku pada
bulan Syawwal, dan memboyongku juga pada bulan Syawwal. Tidak ada diantara isteri-isteri Rasulullah Saw yang lebih beruntung daripada aku.” (H.R.Muslim juz 2 bab 11 No.73) (Musthofa, 1993: 778) Hal itu berbeda dengan yang terjadi di kalangan masyarakat Jawa yng sebelum pernikahan dimulai memang sengaja mencari waktu yang cocok 57
terlebih dahulu dengan keyakinan agar mendapat berkah, terbebas dari segala marabahaya dalam pesta pernikahannya nanti. E. AKULTURASI BUDAYA DAN AGAMA Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil krida, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Alam ini, di samping memberikan fasilitas yang indah, juga menghadirkan tantangan yang harus diatasi. (Simuh, 2003:1) Suatu tradisi yang sudah membudaya di masyarakat termasuk di Jawa kadang kala menyimpang dari segi agama meskipun tujuan sebenarnya ke arah yang baik, namun cara menjalankan tradisi itu yang kurang sesuai dengan ajaran-ajaran dalam agama. Adat yang ada di masyarakat dapat menjadi suatu hukum karena terbentuknya suatu hukum juga berasal dari adat sebagaimana dalam suatu kaidah fiqh:
ٌاَلْ َعا َدةُ ُمَ َّك َمة “Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum” (Djazuli, 2007: 33) Ilmu kejawen yang menjadi budaya di masyarakat Jawa sejak dahulu lambat laun telah di akulturasikan dengan budaya islam yang dipelopori oleh Sultan Agung. Hal itu timbulnya permasalahan baru bagaimana menciptakan stabilitas bagi pemerintahan Mataram yakni menciptakan bentuk kebudayaan intelektual yang bisa mengurangi ketegangan antara lingkungan budaya pesantren dan kejawen. Usaha tersebut dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka, menjadi tahun Jawa Sultan Agungan agar sesuai dengan tahun 58
Hijriyah yang didasarkan atas peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan kalender Hijriyah; sedang hari Mingguan Islam dipertemukan dengan nama-nama hari kejawen, misalnya Senen Wage, Selasa Kliwon dan lainnya. Sri
Sultan
Agung
merasa
perlu
mengubah
kalender
dan
menyesuaikannya dengan kalender Hijriyah dengan maksud pula agar harihari raya Islam (Maulid Nabi, Idul Fitri dan Idul Adha) yang dirayakan di keraton Mataram dengan sebutan grebeg dapat dilaksanakan pada hari dan tanggal yang tepat sesuai dengan ketentuan dalam kalender Hijriyah. Kalender Sultan Agung dimulai pada tanggal 1 Sura 1555, tahun Jawa atau tahun Sultan Agungan memiliki ciri-ciri: 1. Dasar perhitungannya lunar atau komariyah, perjalanan bulan mengitari bumi seperti kalender Hijriyah. 2. Angka tahunnya meneruskan angka tahun Saka dan dimulai dengan tanggal 1 Sura tahun Alip 1555. 3. Perhitungan Jawa yang dipakai dalam kalender Saka seperti Pranata Mangsa. Wuku dan lain-lainnya tetap dilestarikan dalam kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan. Seperti diketahui, petangan Jawi adalah sebagian Jawa asli dan sebagai Hindu Budha. (Purwadi dan Maziyah, 2010: 12) Sultan Agung memasukkan kalender Islam ke dalam kalender Jawa dengan tanpa menghapus seluruhnya demi menghormati kejawen yang dianut oleh masyarakat Jawa di kala itu.
59
BAB III PENGGUNAAN “PETUNG” DALAM RITUAL PERNIKAHAN DI REKSOSARI, SURUH, SEMARANG
Upacara tradisional adat Jawa dilakukan demi mencapai ketenteraman hidup lahir batin, dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya,
eling marang purwo duksino. Kehidupan
ruhani orang Jawa memang bersumber dari agama yang diberi hiasan budaya lokal, oleh karena itu, orientasi keberagamaan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya. (Mubaroq, 2009: 38) Begitu juga dengan ritual-ritual dalam adat pernikahan masyarakat Jawa yang mana masih banyak yang menggunakan sistem numerologi atau sistem hitungan guna mencari hari yang dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan. Biasanya orang tua kedua calon pengantin yang mencari hitungan tersebut dengan meminta bantuan kepada seorang dukun. Namun, kadang kala hanya dari pihak perempuan yang menentukannya, sebab upacara pernikahan bersamaan dengan upacara Akad nikah dilangsungkan di rumah pihak pengantin perempuan.
A. Gambaran
umum
penduduk
desa
Kabupaten Semarang
60
Reksosari
Kecamatan
Suruh
Sebuah wilayah pedesaan yang cukup ramai, jalan yang semuanya sudah beraspal dan udara yang segar, merupakan kesan yang penulis rasakan saat memasuki di wilayah Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Akses jalan dan sarana transportasi yang mudah menambah kelancaran dalam perjalanan serta sambutan-sambutan yang begitu ramah dari para warga. Dalam setiap perjalanan penulis di desa tersebut, penulis melihat berbagai macam aktifitas dari warga, dari yang melakukan aktifitasnya di sawah, di kandang peternakan serta aktifitasnya sebagai pengajar di sebuah desa yang banyak tempat-tempat pendidikan. Desa Reksosari sama dengan desa-desa atau kelurahan yang lain yang mana samasama memiliki perangkat desa, mulai dari Kepala Desa hingga Ketua RT (Rukun Tangga). Desa Reksosari terbagi dalam Enam Dusun yang masingmasing dusun mempunyai Satu Ketua RW dan beberapa Ketua RT.
Tabel I: Jumlah Perangkat Desa/ Kelurahan No.
Keterangan
Jumlah
1.
Kepala Urusan dan Kasi
5 Orang
2.
Kepala Dusun/ Lingkungan
6 Orang
3.
Staf Pembantu
5 Orang Jumlah
Sumber : Data Monografi Desa Reksosari Bulan Juni 2011
61
16 Orang
Tabel II: Pembinaan RT/ RW No
Keterangan
Jumlah
1
Jumlah RT
39 Unit
2
Jumlah RW
6 Unit
3
Jumlah pengurus RT dan RW yang tertatar
45 Orang
Sumber: Data Monografi Desa Reksosari Bulan Juni 2011
Tabel III: Jumlah Kelembagaan Desa/ Kelurahan No.
Keterangan
Jumlah
1.
Jumlah Pengurus LKMD
9 Orang
2.
Jumlah Kader Pembangunan Desa (KPD)
39 Orang
3.
Jumlah Tim Penggerak PKK
22 Orang
4.
Jumlah Kader PKK
39 Orang
Sumber: Data Monografi Desa Reksosari Bulan Juni 2011 Desa Reksosari merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Suruh kabupaten Semarang yang cukup ramai dan banyak penduduknya. Jumlah penduduk Desa Reksosari adalah 5.489 orang dengan jumlah Kepala Keluarga 1.703 KK. Tabel IV: Jumlah Penduduk berdasarkan jenis kelamin No.
Keterangan
Jumlah
1.
Laki-laki
2.748 Orang
2.
Perempuan
2.741 Orang Jumlah 62
5.489 Orang
Sumber: Data Monografi Desa Reksosari Bulan Juni 2011 Tabel V: Jumlah Penduduk berdasarkan usia kelompok Pendidikan No.
Umur
Jumlah
1.
0-5 Tahun
479 Orang
2.
6-10 Tahun
547 Orang
3.
11-15 Tahun
526 Orang
4.
16-40 Tahun
1.306 Orang
5.
41-60 Tahun
1.354 Orang
6.
60 Tahun ke atas
470 Orang Jumlah
4.682 Orang
Sumber: Data Monografi Desa Reksosari Bulan Juni 2011 1. Letak Geografis Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang Reksosari adalah sebuah desa yang letaknya berada di sebelah Timur pusat pemerintahan kecamatan, dengan luas wilayah 505.935 Ha, yang terdiri dari sawah dan ladang, pemukiman/ perumahan, jalan serta bangunan umum. Batas wilayah Desa Reksosari adalah: a. Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Desa Krandon Lor
b. Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Desa Purworejo
c. Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Desa Suruh
d. Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Desa Medayu
63
Sedangkan Orbitasi (Jarak dari pusat pemerintahan Desa/ Kelurahan) adalah: a.
Jarak pusat pemerintahan kecamatan
b.
: 2 KM Jarak
pusat pemerintahan kota Administratif c.
d.
e.
dari
: 59 KM Jarak
Ibu Kota Negara
dari
: 30 KM Jarak
Ibu Kota Propinsi Daerah Tingkat I
dari
: - KM Jarak
pusat Ibu Kota Kabupaten/Kotamadya Dati II
dari
dari
: 424 KM
Desa Reksosari dalam sepintas sama dengan desa-desa yang lain yang ada di Kecamatan Suruh, namun yang membedakan daerah di Desa Reksosari dengan desa yang lain yaitu maraknya kegiatan-kegiatan keagamaan dan pendidikan yang ada di desa tersebut. Dengan banyaknya berdiri Pondok Pesantren dan Madrasah-madrasah menjadikan wilayah tersebut dihuni oleh mayoritas Islam, serta lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal menjadikan wilayah desa menjadi ramai. Selain dari segi pendidikan, tradisi adat Jawa juga masih sebagian besar dianut dan diyakini oleh penduduk setempat. Upacara-upacara pernikahan dengan adat Jawa serta penentuan waktu guna melangsungkan hajatan pernikahan juga masih dilakukan oleh warga. 64
Dengan kondisi jarak yang dekat dengan pusat pemerintahan Kecamatan dan kondisi akses transportasi yang lancar, sebab desa Reksosari termasuk desa yang dilewati jalur dari Salatiga menuju Sragen menjadikan tambah ramainya wilayah desa tersebut. Program-program pembangunan yang hampir merata sehingga jalan utama maupun jalan masuk dusun-dusun sudah beraspal menandakan keberhasilan desa Reksosari dalam segi pembangunan. 2. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Reksosari Di wilayah Desa Reksosari terdiri dari 1.703 Kepala Keluarga, dan mayoritas penduduknya beragama Islam dan bahkan dapat dikatakan hampir seluruhnya Islam, sebab dari desa tersebut menurut monografi desa bulan Juni Tahun 2011 hanya Delapan orang yang beragama non Islam yaitu beragama Kristen. Dengan Tiga Pondok Pesantren dan Empat Madrasah, 11 Masjid dan 33 Mushola tempat untuk beribadah bagi penduduk desa tersebut serta tidak adanya tempat-tempat ibadah lain bagi pemeluk agama yang non muslim. Tabel VI: Jumlah Penduduk Menurut Agama No.
Agama
Jumlah
1.
Islam
5.481 Orang
2.
Kristen
3.
Katholik
-
4.
Hindhu
-
5.
Budha
-
8 Orang
65
6.
Penganut/ Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Jumlah
-
5.489 Orang
Sumber: Data Monografi Desa Reksosari Bulan Juni 2011 Dalam kehidupan sehari-hari penduduk desa Reksosari tidak menggambarkan dengan adanya perpecahan ataupun konflik dari adanya perbedaan keyakinan. Bagi pemeluk agama Kristen meskipun hanya sebagian kecil dari masyarakat juga sangat menghormati terhadap pemeluk agama Islam, begitu juga sebaliknya yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas tidak ada penindasan atau pengucilan terhadap warga minoritas, mereka hidup rukun berdampingan. Dengan berbagai adanya kegiatan-kegiatan keagamaan serta masih dilakukannya tradisi-tradisi adat Jawa tidak membuat penduduk terpecah belah. Masih adanya tradisi seperti mempercayai akan hari-hari baik dalam pernikahan maka ajaran-ajaran agama yang mayoritas Islam belum bisa dilaksanakan dengan tegas, namun masih banyak pemakluman dan memasukkan budaya sebagai media dakwah. Selain itu mereka sangat menghargai akan warisan para leluhur atau nenek moyang yang berupa kepercayaan-kepercayaan dan tradisi Jawa. Dengan sikap di masyarakat tersebut menjadikan pemeluk agama terkesan lebih toleran dan tidak membedakan antara syariat dan budaya, kondisi keagamaan yang demikian menjadikan para warga yang masih percaya terhadap datangnya keselamatan jika dalam pernikahan tepat dengan hari yang baik atau cocok untuk tetap melakukannya. 66
3. Tingkat Pendidikan Sebuah pendidikan merupakan suatu hak yang didapatkan oleh setiap manusia, yang mana pendidikan dapat dikategorikan dengan mencari ilmu yang hukumnya wajib dalam ajaran Islam. Namun, dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan bahkan kurang layak menjadikan seseorang tidak mendapatkan pendidikan yang baik.
Tabel VII: Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Reksosari No.
Pendidikan
Jumlah
1.
Lulusan Taman Kanak-kanak
-
2.
Lulusan SD
1.545 Orang
3.
Lulusan SMP/ SLTP
1.019 Orang
4.
Lulusan SMA/ SLTA
932 Orang
5.
Lulusan Akademi/ D1-D3
128 Orang
6.
Lulusan Sarjana (S1-S3)
114 Orang
Sumber: Data Monografi Desa Reksosari Bulan Juni 2011 Dari data Kelurahan rata-rata tingkat pendidikan tinggi dan sangat baik, bahkan banyak pula yang sampai lulus tingkat pendidikannya Sarjana. Namun, selain tingkat pendidikannya tinggi masih banyak pula warga yang kurang berhasil mendapatkan pendidikan. Meskipun tingkat lulusan pendidikan baik, namun mereka tetap banyak yang mengiyakan tentang memilih hari baik dalam upacara pernikahan. Setiap tempat merupakan sekolah bagi seseorang dan setiap orang yang ditemui
67
merupakan guru menjadi alasan yang paling tepat karena masih mahalnya biaya pendidikan yang ada di negara ini. B. Praktek Penggunan “Petungan” Dalam Ritual Pernikahan Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang 1. Alasan menggunakan “Petung” Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan di Desa Reksosari banyak alasan-alasan yang disampaikan oleh beberapa responden, yaitu diantaranya: a. Dengan menggunakan petungan Jawa dalam menentukan hari yang baik untuk hajatan khususnya Pernikahan, keluarga akan menjadi tenang dari semua ancaman marabahaya. b. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan petungan Jawa mereka harus menggunakannya dalam segala macam hajatan dan tidak boleh dilanggar, jika dilanggar dipercaya akan mendapat Sengkala atau marabahaya. c. Masyarakat menggunakan petungan Jawa karena sudah menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para nenek moyang dahulu. d. Bagi masyarakat yang menggunakan petungan Jawa dalam melakukan hajatan mengaku bahwa menggunakannya untuk menghormati para leluhur mereka dan menghormati ajaran para Wali. e. Bagi masyarakat yang anti petungan Jawa menganggap bahwa petungan Jawa bukan termasuk dalam ajaran Islam.
68
f. Bagi masyarakat yang anti petungan Jawa menganggap bahwa semua hari adalah sama tidak ada yang buruk dan untuk melakukan suatu hajatan yang penting kamantaban hati tidak ada ancaman marabahaya. 2. Cara menentukan hari baik untuk pernikahan di Desa Reksosari Kec. Suruh Kab. Semarang Dari hasil observasi dan wawancara terhadap warga Desa Reksosari cara untuk menentukan hari yang baik dalam suatu pernikahan ternyata peneliti menemukan berbagai macam cara. Dari masing-masing dusun ada perbedaan dalam menggunakan petungan Jawa ini, misalnya dari dusun Karangsalam dengan dusun Reksosari. Di dusun Karangsalam sendiri ada beberapa orang yang biasa diminta bantuannya dalam menentukan hari yang baik ini, diantaranya: Kyai Samhuri, Sumarmo, Sunarti, Suyadi, dan Jupri. Namun dalam hal ini mereka yang biasa dimintai bantuan tidak mau dirinya disebut sebagai Dukun dan tidak mau menerima jika diberi imbalan salah satunya Bapak Sumarmo. Dalam menggunakan petungan Jawa dikenal dua macam satuan dalam kalendernya, yaitu: 1. Satuan Ratu, Dimana dalam satuan ini jika nilai harinya genap misalnya 16 maka berani menggunakan. 2. Satuan Brawijaya, Dimana dalam satuan ini jika nilai harinya genap tidak berani menggunakan.
69
Sedangkan dari salah satu dukun di Karangsalam dalam menentukan hari menggunakan hari, pasaran, mingguan, dan bulanan, namun yang sering digunakan hanyalah hari. Hari yang boleh dipakai untuk keperluan termasuk pernikahan: Kamis : Minggu ke-3 dan ke-4 Rabu : Minggu ke-2 dan ke-4 Sabtu : Minggu ke-4 Ahad : Minggu ke-2 dan ke-4 Selasa : Minggu ke-4 Jum‟at : Minggu ke-1 dan ke-4 Senin : Minggu ke-2 dan ke-4 Khusus untuk bulan Suro atau Muharram tidak ada orang yang punya hajatan pernikahan karena seseorang telah Kanji (Trauma) karena dari sejarah nenek moyang dulu yang melangsungkan hajatan dibulan muharram sering mendapat Sambikala atau malapetaka. (Hasil wawancara dengan Bapak Sumarmo tanggal 19 November 2011) Dusun Reksosari yang mana menjadi pusat pendidikan dan keagamaan Desa Reksosari dalam menentukan hari pernikahan mayoritas menggunakan ajaran para Kyai yaitu segala keperluan mengambil hari Jum‟at seperti dikeluarga Kyai Nur Salim yang mana semua anggota keluarganya menikah pada hari Jum‟at. Bagi warga di dusun Ngayon dan sebagian warga dusun Reksosari dalam menentukan hari yang baik dalam pernikahan diambil dari hari dan 70
pasaran kelahiran calon pengantin perempuan, namun bagi masyarakat Ngayon tidak berani menerjang hari naas atau dimana hari kematian orang tua. Sedangkan untuk bulan Suro atau Muharram mereka berani melakukan hajatan apapun karena mereka menganggap bahwa bulan Muharram adalah bulan yang baik dan mulia. (Hasil wawancara dengan Bapak Muhilal tanggal 7 Desember 2011)
71
3. Persepsi masyarakat terhadap penggunaan “Petung” Tabel VIII
: Daftar Responden Berdasarkan Pembagian Rukun Tangga. (Hasil wawancara dengan warga Desa Reksosari)
No. 1
Nama Wasilatul
L/
RT/
P
RW
P
03/ I
Agama
Umur
Islam
23
Hasanah 2
Mawardi
Tanggapan Terhadap Penggunaan ”Petungan” Jawa Tidak
Setuju.
Petungan
Jawa
bukan
panduan untuk menentukan hari baik L
03/ I
Islam
52
Tidak Setuju. Dalam menentukan hari baik memakai ajaran Kyai bukan Jawa
3
Ali Annajih
L
03/ I
Islam
26
Tidak Setuju. Tidak memakai hitungan Jawa tetapi hitungan dari Islam
4
Ema
P
03/ I
Islam
23
Tidak Setuju. Semua hari baik tidak ada hari yang sial
5
Samsul Hadi
L
04/ I
Islam
35
Setuju. Karena menggunakan hitungan juga baik
6
Siti Zaenab
P
05/ I
Islam
53
Tidak Setuju. Semua hari itu sama tidak ada hari yang buruk
7
Muhri
L
05/ I
Islam
62
Setuju.
Tetapi
untuk
pribadi
tidak
menggunakan 8
Andi
L
05/ I
Islam
28
Tidak Setuju. Yang penting kemantaban hati
9
Siti
P
06/ I
Islam
33
72
Tidak Setuju. Yang penting Bismillah
dalam segala keperluan 10
Muh Jahuri
L
06/ I
Islam
46
Tidak Setuju. Yang penting niatnya baik dengan Bismillah
11
Solehah
P
07/ I
Islam
32
Tidak Setuju. Karena sekarang sudah zaman modern
12
Pangil
L
07/ I
Islam
66
Setuju. Agar tidak ada halangan
13
Qurrotun
P
07/ I
Islam
60
Setuju. Agar tidak ada halangan dalam pernikahan
14
Khoiruddin
L
12/ I
Islam
39
Setuju. Ikut orang tua dahulu
15
Agus
L
02/ II
Islam
42
Tidak Setuju. Karena tidak ada dalam
Supriyanto 16
Rozak
ajaran Islam L
02/ II
Islam
49
Tidak Setuju. Dalam Islam tidak ada ajarannya
17
Slamet
L
03/ II
Islam
55
Riyadi
Setuju. Karena ikut nenek moyang dan takut ada bencana
18
Sumarmo
L
04/ II
Islam
72
Setuju. Karena warisan para leluhur
19
Wikaseh
P
06/ II
Islam
53
Setuju. Ikut orang tua dahulu
20
Virgin
L
07/ II
Islam
29
Tidak
Setuju.
Hitungan
Jawa
hanya
membuat pusing untuk menjalani hidup 21
Ruwaidi
L
03/ III
Islam
52
Setuju. Ikut orang tua dahulu
22
Suparmah
P
03/ III
Islam
43
Tidak Setuju. Semua hari sama saja yaitu sama baiknya
73
23
Siti Basyaroh
P
03/ III
Islam
76
Setuju. Untuk menghindari hari naas
24
Nugroho
L
03/ III
Islam
25
Tidak Setuju. Takut menjadi syirik
25
Adi Setiono
L
03/ III
Islam
23
Tidak Setuju. Orang Islam sebaiknya tidak menggunakan hitungan Jawa
26
Huda
L
03/ III
Islam
19
Tidak Setuju. Tidak percaya dengan kejawen
27
Slamet
L
04/ IV
Islam
27
Setuju. Sudah menjadi adat dari dulu
Riyadi 28
Sunarno
L
05/ V
Islam
28
Tidak Setuju. Semua hari sama saja
29
Sumiyem
P
01/ VI
Islam
47
Tidak Setuju. Yang penting kemantaban hati sendiri-sendiri, tetapi khusus hari naas tidak berani menerjang
30
Muhilal
L
01/ VI
Islam
60
Setuju. Sudah adat atau tradisi dari orang tua
31
Nindar
P
01/ VI
Islam
20
Tidak Setuju. Semua hari baik
4. Persepsi para tokoh Agama dan tokoh Masyarakat Desa Reksosari terhadap penggunaan “petung” Dari hasil wawancara penulis terhadap beberapa tokoh Agama maupun tokoh masyarakat pada hari Sabtu tanggal 19 November 2011, mayoritas mereka tidak setuju terhadap penggunaan petungan Jawa dalam melakukan suatu pesta pernikahan.
74
Misalnya menurut pendapat Bapak Agus Supriyanto salah satu tokoh masyarakat di dusun Karangsalam mengatakan: “Petungan Jawa itu tidak ada ajarannya dalam Islam, jadi itu tidak boleh. Karena melakukan sesuatu yang tidak diajarkan dalam Islam sama saja berguru kepada setan dan itu syirik” Jadi, menurut Bapak Agus Supriyanto menggunakan petungan Jawa untuk menentukan pernikahan itu tidak boleh. Namun, ada pula dari tokoh masyarakat yang menganggap petungan Jawa itu boleh-boleh saja karena biar seseorang yang punya hajat itu menjadi atau memperoleh kemantaban. Selain itu petungan Jawa merupakan warisan leluhur yang harus dihormati serta dilestarikan. Sedangkan menurut para tokoh Agama mayoritas menganggap petungan Jawa ini sebagai perbuatan yang menyekutukan Allah Swt. Karena mempercayai adanya roh-roh halus penunggu tempat-tempat keramat dan mempercayai jika tidak menggunakan petungan Jawa akan mendapatkan celaka. Namun, jika menurut hari-hari atau bulan-bulan dalam Islam itu boleh seperti menikah pada hari Jum‟at atau bulan Muharram. 5. Dampak dari penggunaan “Petung” dan Tanpa penggunaan “Petung” Dengan adanya petungan Jawa yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Desa Reksosari dan masyarakat yang tidak menggunakan petungan
Jawa,
terdapat
beberapa
dampak
atau
akibat
yang
ditimbulkannya. Dalam hal ini penulis mengklasifikasikan dampak atau 75
akibat dari penggunaan petungan Jawa dan tanpa penggunaan petungan Jawa menjadi Dua, yaitu: a. Dampak Positif 1) Dengan adanya petungan Jawa masyarakat dapat mengetahui sejarah kalender Jawa. 2) Dengan menggunakan petungan Jawa dalam hajatan khususnya pernikahan, keluarga yang punya hajat menjadi tenang dari datangnya Sengkala atau ancaman marabahaya. 3) Bagi masyarakat yang menggunakan petungan Jawa berarti telah melestarikan budaya ajaran para nenek moyang terdahulu. 4) Bagi masyarakat yang anti petung menjadi tenang tidak resah dengan berbagai ancaman marabahaya. 5) Masyarakat yang anti petung terhindar dari hal-hal yang sampai kepada perbuatan syirik. b. Dampak Negatif 1) Bagi masyarakat yang menggunakan petung menjadi resah jika dalam hajatan tidak menggunakannya. 2) Bagi yang percaya terhadap petung secara langsung harus menggunakannya jika tidak ingin mendapatkan marabahaya dalam kehidupannya. 3) Bagi yang percaya terhadap petung biasa menimbulkan kepada perbuatan yang Syirik.
76
4) Bagi masyarakat yang anti petung biasanya akan mendapatkan omongan yang kurang baik jika tidak menggunakannya dalam hajatan dari para pelaku petungan Jawa. Dalam hal penggunaan petungan Jawa di Desa Reksosari sebagian masyarakatnya menggunakan petungan Jawa dalam hajatan apapun. Dusun di Desa Reksosari yang paling banyak menggunakan petungan Jawa adalah dusun Ngayon, sedangkan yang sebagian besar penduduknya anti petungan Jawa adalah dusun Reksosari. Dari empat dampak negatif itu saja sebenarnya sudah membuat seseorang resah, sebab jika mereka sudah tahu bahwa hari itu tidak baik namun dilanggar dipercaya akan mendapatkan Sambikala atau marabahaya dan dalam hidupnya akan selalu memikirkan mana hari baik dan mana hari yang buruk atau na‟as. Seperti salah satu kasus yang pernah terjadi di desa Reksosari sekitar lima (5) tahunan yang lalu, ada seorang warga yang percaya dengan sistem petungan Jawa dan tahu bahwa bulan suro merupakan bulan yang ditakuti sebagian warga untuk melakukan hajatan, namun beliau nekat melakukan hajatan di bulan suro. Dari hal itu sebenarnya telah diperingatan oleh warga yang dianggap ahli petungan untuk tidak melakukan hajatan bulan suro, akan tetapi tidak digubris. Akhirnya pada saat hajatan berlangsung kata warga acaranya tidak lancar namun turun hujan deras dan angin kencang yang mengakibatkan sedikitnya tamu undangan yang hadir selain itu kurang lebih tiga (3) minggu yang punya hajat dibulan suro tersebut
77
meninggal dunia. Dengan kejadian tadi para warga mengkaitkan kejadiannya karena berani hajatan di bulan suro. Sebenarnya kejadian-kejadian semacam itu semua atas kehendak Allah swt, namun sudah menjadi kepercayaan masyarakat Jawa terhadap petungan yang menjadikan mereka percaya dengan kejadian-kejadian mistik.
78
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Penggunaan “petungan” Dalam Tinjauan Fiqh Budaya Fiqh menurut bahasa artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan tentang sesuatu biasanya tentang ilmu agama (Islam) karena kemuliaannya. Sedangkan menurut istilah pengertian fiqh adalah pengetahuan (mengetahui) hukum-hukum syara‟, tentang perbuatan beserta dalil-dalilnya.(Zuhri, 2009:9) Fiqh budaya adalah aturan-aturan tentang perilaku masyarakat muslim yang berdasarkan ajaran-ajaran syari‟at Islam dengan tujuan untuk mencapai kemaslahatan dan melestarikan hasil budaya termasuk tradisi-tradisi yang dijalankan di masyarakat. Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia, senyampang ia tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya Islam akan menjustifikasi (membenarkan)-nya. Kita bisa bercermin bagaimana Walisongo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam. (Yasid, 2005:249) Indonesia
merupakan
suatu
negara
yang
banyak
memiliki
kebudayaan, begitu juga dengan pulau Jawa. Berbagai macam kebudayaan atau tradisi banyak yang menjamur di tanah Jawa ini. Salah satu kebudayaan atau tradisi tersebut adalah adanya penggunaan “petungan” baik untuk 79
menentukan hari baik dalam pernikahan, untuk pindah rumah maupun membangun rumah. Masyarakat Jawa hingga zaman modern seperti sekarang ini masih menggunakan sistem petungan dengan alasan mencari kemantaban dalam pesta pernikahan maupun untuk menjaga budaya atau tradisi warisan dari para leluhur. Namun, hingga saat ini warisan budaya leluhur itu sering kali disalah artikan dengan mempercayai Dewa atau Roh-roh halus yang bernuansa mistik. Hal ini yang menjadikan suatu kebudayaan itu menjadi rusak dan menjadi perbuatan yang syirik. Selain mereka mempercayai adanya roh-roh halus mereka juga mempercayai perkataan-perkataan Dukun yang dimintai pertolongan dalam memilihkan hari baik tersebut. Perkembangan Islam memang selalu terbuka dengan ranah sosial masyarakatnya, ajaran agama Islam sangat terpengaruh dengan budaya masyarakat pada zaman dan tempatnya, bahasa Al-qur‟an dengan bahasa Arab itu adalah salah satu bukti bahwa ajaran agama Islam itu membuka diri dengan kearifan budaya lokal dengan menggunakan bahasa yang sudah melekat pada kaum yang telah mengenal bahasa itu sebelum Islam diturunkan. Masuknya Islam ke tanah Jawa tidak mudah karena masyarakat Jawa sangatlah kental dengan budaya keraton yang masih beragama Hindu dan Budha dan ditopang dengan masyarakat bawah yang masih sangat kental dengan aliran dinamisme dan animisme. Agama Islam masuk ke tanah Jawa juga dipermudah dengan konsep agama Islam yang equality atau persamaan derajat yang pada masa itu masih ada perbedaan kasta. Syi‟ar agama Islam dapat dibedakan menjadi Dua yaitu nonkompromis dan kompromis, ajaran 80
Islam di Jawa tidak lepas dari peran para Wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga adalah salah satu dari beberapa tokoh penyebar agam Islam di tanah Jawa, beliau memasukkan muatan-muatan ajaran agama Islam pada budaya-budaya yang ada, contohnya adalah Pagelaran “Wayang”, masyarakat Jawa sangat kental dengan sesajen karena agama asli orang Jawa adalah animisme dan dinamisme suatu faham yang mempercayai adanya roh-roh nenek moyang yang memiliki kekuatan mistik dan menempati pada suatu tempat yang dianggap keramat, namun budaya yang demikian itu tidak ditolak secara mentah oleh Sunan Kalijaga namun dirubah mulanya tanpa harus menolak budaya yang ada. (Mubaroq, 2009:58) Begitu juga dengan kalender Jawa yang digunakan sebagai patokan masyarakat Jawa yang sedikit-sedikit dimasukkan sistem penanggalan Islam oleh Sultan Agung. Dalam suatu kaidah Fiqh menyatakan bahwa:
ٌاَلْ َعا َدةُ ُمَ َّك َمة “Adat (dipertimbangkan didalam) menetapkan hukum” (Djazuli, 2007:33) Jadi berlaku juga dengan adat-adat dalam ritual pernikahan termasuk penggunaan “petungan” Jawa untuk memilih hari-hari baik dalam pesta pernikahan dengan niat menghargai warisan nenek moyang dan melestarikan budaya dengan syarat tidak memasukkan unsur-unsur mistik atau percaya terhadap roh didalamnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqh:
ِ اَالُمور ِبََق اص ِد َىا ُُْ 81
“Setiap perkara tergantung pada niatnya.” (Djazuli, 2007:33) Petungan Jawa merupakan nama dari sebuah sistem hitungan dalam kalender orang Jawa yang hingga saat ini masih digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Petungan Jawa itu dilakukan jika seseorang ingin punya gawe atau punya hajat baik menikahkan anak maupun membangun rumah. Petungan Jawa untuk menentukan hari baik itu dilakukan oleh masyarakat Reksosari sebagai bentuk rasa menghormati dan menghargai warisan nenek moyang serta untuk mendapatkan sebuah kemantaban dalam berbagai hajatan.
B. Analisis Praktek Menghitung atau Memilih Hari Baik. Dalam menggunakan petungan untuk memilih hari baik dalam pernikahan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Reksosari terdapat perbedaan antara dusun satu dengan dusun yang lain, antara dukun satu dengan dukun yang lain. Bagi para dukun yang ada di Desa Reksosari itupun sudah berbeda dalam menggunakan petung untuk pernikahan, yang mana dulu sangat rumit dari nilai hari dan pasaran kedua calon mempelai yang dijumlahkan bahkan sampai jam berapa waktu lahirnya kedua calon pengantin. Namun, lambat laun hal itu mulai berubah dengan hanya nilai hari dan pasaran calon pengantin perempuannya saja yang digunakan. Bagi Bapak Sumarmo salah satu dukun yang ada di Dusun Karangsalam dalam memilih hari baik biasanya yang punya hajat sudah punya pilihan waktu sendiri dan datang ke dukun hanyalah untuk konsultasi, 82
apakah jika punya gawe atau hajatan pada hari itu baik atau tidak?, dalam hal ini sang dukun tinggal melihat bulan Jawa dan harinya yang telah ditentukan dalam buku catatan. Berbeda dengan di Dusun Reksosari yang mayoritas kalangan Kyai yang mana dalam menikahkan anaknya yang penting hari Jum‟at tidak peduli bulan suro (Muharram) atau bulan besar (Dzulhijjah). Sedangkan bagi warga Dusun Ngayon menggunakan hari kelahiran calon pengantin perempuan untuk menentukan hari pernikahan. Bagi warga Dusun Ngayon hanyalah takut pada hari na‟as atau hari dimana meninggalnya orang tua yang tidak berani punya hajat, sedangkan bulan Suro (Muharram) mereka menganggap bulan mulia dan berani punya hajat. Dengan semakin berkembangnya zaman penggunaan petungan telah mengalami suatu perubahan karena sebagian masyarakat
telah
meninggalkannya
demi
menghindari
perbuatan
menyekutukan Tuhan. Praktek hitungan Jawa tidak semua orang dapat memahaminya, namun hanya orang-orang tertentulah yang mampu memahaminya seperti orang yang sudah tua umurnya atau yang dituakan dilingkungan tempat tinggalnya. Kebanyakan orang-orang muda tidak memahami bagaimana cara menentukan atau memilih hari baik dengan menggunakan petungan Jawa. Jika orang-orang yang paham mau untuk mengajarkan kepada yang muda tentunya petungan Jawa ini akan tetap lestari asalkan tidak bercampur dengan adanya unsur-unsur yang mistik.
83
Dampak adanya petungan Jawa ini adalah masyarakat atau keluarga yang ingin mempunyai hajat menjadi tenang dari berbagai ancaman marabahaya mistik dan terpeliharanya budaya nenek moyang, namun dapat pula berdampak terhadap perilaku mistik yang sampai keperbuatan menyekutukan Tuhan dan perbuatan seperti ini jelas dilarang dalam Syari‟at Islam. Sebagaimana dalam hal ini juga dijelaskan oleh Imam „Ibnu Ziyaad dengan fatwanya tentang memilih atau meyakini hari-hari baik:
ِ ِ صلُح لِْلع ْق ِد اَو النَ ْقلَ ِة فَالَ ُْيتَاج اِل جو اب ِِالَ َّن ْ َ ُ ْ َا َذا َسأَ َل َر ُج ٌل اَ َخَر َى ْل لَْي لَةُ َك َذا اَْو يَ ْوُم َك َذا ي ََ َ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ اح َع ِن َّ َ ع نَ َهى َع ْن ا ْعتِ َقاد َذال َ الش ْار َ َوذَ َكَربْ ُن ال َف ْرَك.ُك َوَز َجَر َعْنوُ َز ْجًرا بَالغَا فَالَ عْب َرَة بَ ْن يَ ْف َعلُو ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ الع َاد َة بِاَنَّوُ يَ َق ُع َ ُالشفْيعى اَنَّوُ ا ْن َكا َن اْلُنَ ّج ُم يَ ُق ْو ُل َويَ ْعتَق ُد اَنَّوُ الَ يُ َؤثُّر االَ هللاُ َولَك ْن اَ ْجَرى هللا ِ ِ ِ ث َجاءَ ال َذم ُيْ َم ُل َعلَى َم ْن ُ س بِِو َو َحْي َ َْك َذا عْن َد َك َذا َوالْ ُم َؤث ُر ُى َوهللاُ َعَّزَو َج َّل فَ َه َذا عْن َد الَ بَأ ِ َي عت ِق ُد تَأْثِي ر النُج ِم و َغ ِيىا ِف الْمخلُوق ات ِرِْي ُمطْلَ ًقا َْ ِ َوافْ َت َزْمالَ َك ِن ب.ات َْ َ َ ْ َ ُ َْ َْْ Artinya: “Ketika seseorang bertanya, apakah malam ini atau hari ini baik
untuk akad atau pindah rumah? Maka pertanyaan seperti ini tidak perlu dijawab karena Allah sebagai pencipta syari‟at melarang keyakinan-keyakinan semacam ini. Oleh karena itu tidak boleh menganggap/ mencontoh para pelakunya. Ibnu Farkah mengutip pendapat As-Syafi‟i: Jika ahli perbintangan meyakini bahwa yang menciptakan semua kejadian itu Allah dan kebetulan sesuai dengan adat yang berlaku, seperti; pada hari ini biasanya ada kejadian demikian, maka menurut saya, keyakinan semacam itu tidaklah berbahaya. Dan jika ada celaan dari syara‟, maka diarahkan pada permasalahan ketika seseorang meyakini, bahwa yang membikin kejadia-kejadian seperti itu adalah bintang-bintang atau makhluk lainnya”.
84
Az-Zamlakani
berfatwa;
Kepercayaan-kepercayaan
tersebut
haram secara mutlak. (Said, 2004:206) C. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Penggunaan “Petung” Petungan Jawa yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Reksosari sudah dilakukan sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, namun dengan perkembangan zaman hal itu sudah mulai berubah dengan cara penentuan hari baiknya. Hal ini dilihat dari hasil penelitian dan wawancara terhadap beberapa warga yang ada di Desa Reksosari. Dari 31 responden terdapat 19 responden yang tidak setuju dengan sistem hitungan Jawa dan 12 responden yang menyatakan setuju dengan sistem hitungan Jawa. Artinya jika diukur dari prosentase terdapat 62 % dari responden menyatakan tidak setuju dan 38 % yang menyatakan setuju dengan penggunaan petungan Jawa dalam pernikahan. Dari responden yang setuju dengan penggunaan petungan Jawa beralasan sudah menjadi warisan leluhur dan agar mendapatkan kemantaban serta ketenangan dalam pesta pernikahannya kelak. Sedangkan dari responden yang tidak setuju kebanyakan orang-orang yang masih muda dan telah mendapatkan pendidikan keagamaan yang cukup beralasan bahwa hal itu tidak diajarkan dalam Islam, sehingga mereka yang tidak setuju terhadap petungan Jawa tidak menggunakannya dalam berbagai keperluan pesta termasuk dalam pernikahan. Namun, ada beberapa warga yang anti terhadap petungan Jawa akan tetapi di dalam pernikahannya tetap menggunakan sistem petungan Jawa karena ikut kemauan dari orang tua. Bagi yang setuju dan 85
menggunakan petungan Jawa ini kebanyakan dilakukan orang-orang yang sudah tua dan sangat menghargai kejawen, dengan alasan warisan leluhur dan sudah menjadi adat tradisi serta untuk memperoleh kemantaban dalam pernikahan inilah hingga saat ini penggunaan petungan Jawa masih digunakan.
86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Alasan masyarakat
Desa Reksosari menggunakan petung
dalam
pernikahan terdapat beberapa alasan. Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan di Desa Reksosari banyak alasan-alasan yang disampaikan oleh beberapa responden, yaitu diantaranya: a. Dengan menggunakan petungan Jawa dalam menentukan hari yang baik untuk hajatan khususnya Pernikahan, keluarga akan menjadi tenang dari semua ancaman marabahaya. b. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan petungan Jawa mereka harus menggunakannya dalam segala macam hajatan dan tidak boleh dilanggar, jika dilanggar dipercaya akan mendapat Sengkala atau marabahaya. c. Masyarakat menggunakan petungan Jawa karena sudah menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para nenek moyang dahulu. d. Bagi masyarakat melakukan
hajatan
yang menggunakan petungan Jawa dalam mengaku
bahwa
menggunakannya
untuk
menghormati para leluhur mereka dan menghormati ajaran para Wali.
87
e. Bagi masyarakat yang anti petungan Jawa menganggap bahwa petungan Jawa bukan termasuk dalam ajaran Islam. f. Bagi masyarakat yang anti petungan Jawa menganggap bahwa semua hari adalah sama tidak ada yang buruk dan untuk melakukan suatu hajatan
yang penting kamantaban hati tidak ada ancaman
marabahaya. 2. Persepsi masyarakat Desa Reksosari terhadap penggunaan petungan Jawa sangatlah beragam, dari yang setuju dengan alasan agar hatinya memperoleh kemantaban sampai beralasan sudah warisan nenek moyang dari dulu. Begitu juga banyak warga yang tidak setuju dengan penggunaan petungan Jawa tersebut karena mereka yang tidak setuju beralasan bahwa dalam Islam tidak ada ajarannya 3. Fiqh budaya adalah sebuah aturan-aturan tentang perilaku masyarakat muslim yang berdasarkan ajaran-ajaran syari‟at Islam dengan tujuan untuk mencapai kemaslahatan dalam melestarikan hasil budaya termasuk tradisi-tradisi yang berada di masyarakat. Sebuah kebudayaan atau tradisi di masyarakat sudah selayaknya dilestarikan oleh masyarakat asalkan tidak dijadikan sebagai tradisi mistik yang mengarah kepada perbuatan syirik. Jika hal itu terjadi artinya budaya tersebut telah keluar dan menyimpang dari aturan-aturan fiqh itu sendiri. Fiqh budaya merupakan salah satu solusi dari pelestarian budaya dan adat tradisi agar budaya tersebut selalu dalam lingkaran aturan-aturan fiqh bukan budaya yang penuh dengan dunia mistik. Fiqh yang mengatur tentang budaya yang 88
selama ini masih terberai dalam buku-buku yang lain mestinya menjadi bab tersendiri dan dikaji secara tersendiri pula mengingat negara Indonesia kaya akan hasil budaya. 4. Menurut keyakinan masyarakat di Desa Reksosari terhadap penggunaan petung yaitu bahwa bagi yang percaya dengan petungan Jawa haruslah dilakukan karena mereka sudah tahu dan jika hal itu dilanggar maka bagi yang percaya terhadap petung berkeyakinan akan mendapatkan celaka, namun jika mereka tidak tahu maka hal itu tidak akan berakibat apapun jika dilanggar. Praktek penggunaan petungan Jawa untuk memilih harihari yang baik dalam pernikahan di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang sudah dilakukan sejak zaman kerajaan HinduBudha atau zaman Sultan Agung. Dalam prakteknya masyarakat Desa Reksosari berbeda antara dukun satu dengan dukun yang lain dan antara dusun yang satu dengan dusun yang lain. Ada yang menentukan hari baik dengan menggunakan hari kelahiran calon pengantin perempuan, ada yang hari Jum‟at dijadikan sebagai patokan serta ada pula yang dari hari kelahiran kedua calon pengantin. Di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang dalam praktek menggunakan petungan Jawa untuk memilih dan menentukan hari baik dalam pernikahan termasuk sesuatu hal yang tergolong minoritas, sebab masyarakat telah meninggalkan perbuatan itu karena menganggap bahwa hal itu tidak diajarkan dalam Islam. Selain itu bagi masyarakat
89
yang anti petungan Jawa menganggap hal itu termasuk perbuatan yang menyekutukan Tuhan. B. Saran 1. Bagi para tokoh Agama maupun tokoh masyarakat penulis menyarankan agar bisa lebih tegas dalam memberikan pengetahuan agama terhadap para pelaku pengguna petungan Jawa. Para tokoh Agama harus menjelaskan maksud yang sesungguhnya terhadap petungan Jawa bahwa demi menjalankan tradisi budaya jangan sampai masuk ke dalam lingkungan mistik bahkan menyekutukan Tuhan. Begitu juga dengan para generasi muda seharusnya lebih kritis dan selektif terhadap berbagai budaya atau tradisi yang dijalankan di masyarakat, apakah tradisi tersebut murni dengan budaya atau tradisi yang sudah dimasukkan unsur-unsur mistik di dalamnya. 2. Bagi para sesepuh desa penulis sarankan untuk mampu menjelaskan maksud yang sesungguhnya tentang petungan Jawa tersebut bagi generasi selanjutnya, sedangkan bagi para pelaku pengguna petungan Jawa harus menggunakan tradisi itu dengan murni tanpa adanya unsur mistik di dalamnya. Pelestarian budaya memang sudah selayaknya untuk dipertahankan, namun jika budaya itu telah bercampur dengan mistik haruslah dicerna dengan baik, dengan cara menghilangkan unsur mistik tanpa menghilangkan budaya atau adat tradisi yang asli.
90
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika An- Naisaaburii, Imam Abil Husain Muslim Bin Khajjaj Al Qusairi. Shohih Muslim Jilid 4 Arifin Bey dan Djamaluddin A. Syinqithy. 1993. Tarjamah Sunan Abi Daud Jilid 4. Cet. I. Semarang: Asy Syifa Asy-Syaqiry, M. Abdussalam Khadr. 2004. Bid‟ah-Bid‟ah yang Dianggap Sunnah. Cet. III. Jakarta: Qisthi Press Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mencakup dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pratnya Paramita Daniel, Mochtar. 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Cet. II. Jakarta: Kencana Fajri, Em Zul dan Ratu Aprilia Senja. ttp. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Indonesia Difa Publisher Geertz, Clifordz.1960. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hamidy, Zainuddin dan Fachrudin HS. 2009. Tafsir Qur‟an. Jakarta: Widjaya http://www.ebsoff.web.id Jb, Masroer. Ch. 2004. The History of Java, Sejarah Perjumpaan Agama-Agama di Jawa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Karim, Khalil Abdul. 2003. Syari‟ah Sejarah, Perkelahiran, Pemakaman. Cet I.Yogyakarata. LkiS Khoirudin, Khasan. 2003. Pengaruh Ajaran Etika Al-Ghazali dalam Masyarakat Jawa (Telaah Atas Konsep Pendidikan Etika Masyarakat Jawa), Skripsi Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga 91
Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Gramedia Pustaka Utama
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Mubaroq, Mikdad Musa. 2009. Fiqh Lingkungan Sesajen Kali dan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang). Skripsi Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah NAGARAKERTAGAMA. Yogyakarta: LkiS Musthofa, Adib Bisri. 1993. Tarjamah Shahih Muslim, Jilid II. Semarang: AsySyifa Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Purwadi dan Siti Maziyah. 2010. Horoskop Jawa. Cet. I. Yogyakarta: Media Abadi Qardhawi, Yusuf. 2007. Halal dan Haram dalam Islam. Cet. IV. Solo: Era Intermedia Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Cet. 27. Bandung: Sinar Baru Algensindo Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqih Sunnah Jilid 6. Bandung: Al-Ma‟arif ___________. 1981. Fiqih Sunnah Jilid 7. Bandung: Al-Ma‟arif Said, M. Ridwan Qoyyum. 2004. Fiqih Klenik, Fatwa-Fatwa Ulama Menyorot Tarekat dan Mistik. Cet-I. Kediri. Mitra Gayatri Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press Soemodidjojo. 2001. Primbon Soemodidjojo Mahadewa
Betaljemur
Adammakna.
Yogyakarta:
Supriatna, Fatma Amilia, Yasin Baidi. 2009. Fiqih Munakahat II dilengkapi UU. No. I/1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Teras www.tripot.com 92
Yazid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Zuhri, Saifudin. 2009. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
93
DAFTAR NILAI SKK
NO.
Nama : ARIYANTO
Jurusan/ Prodi : Syari‟ah/ Ahwal Al- Syakhshiyyah
Nim
Pembimbing Akademik: Yahya, S. Ag
: 21107006
JENIS KEGIATAN
PELAKSANAAN
JABATAN
NILAI
1
OPSPEK 2007 STAIN SALATIGA
28-31 Agustus 2007
Peserta
3
2
Sarasehan Bela Negara Dan Buka
24 September 2007
Peserta
2
7-8 April 2008
Peserta
3
Peserta
2
Peserta
4
Bersama Dengan Tema “Memelihara Keutuhan Bangsa dari Ancaman Disintegrasi dan Sektarianisme Agama” 3
Pelatihan Advokasi Dengan Tema: “ Sinergisitas Sosial Movement Intelektualizem Building Mahasiswa Sebagai Pembela Kaum Marginal”
4
Sarasehan Pendidikan Keagamaan Dengan 9 September 2009 Tema: “Peran Pendidikan Keagamaan Dalam Meningkatkan Spiritualitas, Intelektual & Moralitas Bangsa”.
5
Seminar Regional Dengan Tema: “
16 Desember 2009
Modernisasi Pendidikan Islam Berbasis 94
IPTEK” Oleh HMJ Tarbiyah 6
Bedah Buku Dengan Judul “Kaum Muda
27 November 2008
Peserta
2
29 Agustus 2010
Panitia
3
Darul Arqam Dasar (DAD) Ikatan
30 April- 2 Mei
Peserta
3
Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat
2010
17-19 Febuari 2010
Peserta
3
30 November 2010
Peserta
6
Bedah Buku “Menyitas dan Menyeberang: 17 Desember 2008
Peserta
2
17 Oktober 2008
Peserta
6
28 November 2009
Peserta
2
Menatap Masa Depan Indonesia” Oleh DEMA STAIN SALATIGA 7
Lomba cerdas cermat Dan Outbond Di TPA Al- Madinah Kebowan
8
Asy- Syifa dan Ar- Rozi Universitas Muhammadiyah Semarang 9
Pelatihan Dasar Kepencintaalaman Pemuda Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 di Wana Wisata Penggaron Kab. Semarang
10
Seminar Nasional Ekonomi Islam “The Challenge on Islamic Economy in Fostering Economy Prosperity” Oleh Jurusah Syari‟ah
11
Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa” 12
Seminar Nasional dan Sarasehan Gubernur Jateng Dengan Tema “Memberdayakan Ekonomi Syari‟ah di Jawa Tengah” Oleh KSEI
13
Ekonomi Syari‟ah (ESYA) Goes to 95
School “Menanamkan Moralitas dan Semangat Belajar Ekonomi Syari‟ah untuk Perbaikan Sumber Daya Manusia Indonesia” Oleh KSEI 14
Darul Arqam Dasar (DAD) Ikatan
3-5 Desember 2010
Mahasiswa Muhammadiyah Kota Salatiga
Outbound
3
Team
Dengan Tema”Membentuk Kader IMM Yang Berjiwa Sang Pencerah” 15
Sarasehan Dengan Tema: “Peran Dunia
28 Oktober 2010
Peserta
2
Seminar dan Silaturrohmi Nasional Forum
15-17 Desember
Peserta
6
Mahasiswa Syari‟ah se- Indonesia
2008
Bedah Buku “Jalan Cinta Para Pejuang”
24 April 2010
Peserta
2
24 Mei 2010
Panitia
3
Kampus Dan Program Perpolisian Masyarakat di Dalam Mendukung Terciptanya Suasana Damai Menjelang Pemilukada 2011 di Kota Salatiga 16
17
Karya Salim A. Fillah Dalam Rangka Milad VIII LDK Darul Amal STAIN SALATIGA 18
Seminar Lingkungan Hidup Mapala MITAPASA
19
Praktikum Qira‟atil Kutub
Maret-Juni 2010
Peserta
3
20
Praktikum Pelatihan Ikhtibar al- Lughah
11-26 Febuari 2011
Peserta
3
al- Arabiyah ka Lughah Ajnabiyah (ILAIK) Bagi Mahasiswa Jurusan Tarbiyah dan Syari‟ah Angkatan 2007
96
21
Praktikum Pelatihan TOEFL Bagi
25 Januari-10
Peserta
3
Mahasiswa Tarbiyah dan Syari‟ah
Febuari 2011
8-9 Oktober 2011
Peserta
2
Rabu, 22 Juni 2011
Peserta
6
24 Desember 2008
Pengurus
4
11 Mei 2010
Pengurus
4
19 Januari 2005
Pengurus
4
7 Oktober 2007
Pengurus
4
Angkatan 2007 22
Malam Keakraban (MAKRAB) Mahasiswa Syari‟ah Bertajuk “SEMALAM SEHATI” Oleh HMJ Syari‟ah
23
Seminar Nasional “Pilar-pilar Penanggulangan Korupsi di Indonesia Perspektif Agama, Budaya, dan Negara” oleh HMJ Syari‟ah
24
Surat Keputusan (SK) Ketua Jurusan Syari‟ah Tentang: Susunan Pengurus HMJ syari‟ah Periode 2008-2009
25
Surat Keputusan (SK) Ketua Jurusan Syari‟ah Tentang: Susunan Pengurus HMJ Syari‟ah Periode 2010-2011
26
Surat Keputusan (SK) Pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah “Darussalam” Ketanggi Suruh Tentang: Susunan Pengurus Pondok Pesantren Salafiyah “Darussalam” Periode 2005-2006
27
Surat Keputusan (SK) Pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah “Darussalam” Ketanggi Suruh Tentang: Susunan Pengurus Ikatan Alumni Darussalam (IKADA) Periode 2007-2008 97
28
Surat Keputusan (SK) Pimpinan Pondok
23 Oktober 2009
Pengurus
4
3 November 2010
Pengurus
4
Pesantren Salafiyah “Darussalam” Ketanggi Suruh Tentang: Susunan Pengurus Ikatan Alumni Darussalam (IKADA) Periode 2009-2010 29
Surat Keputusan (SK) Ketua RT 05 RW 02 Desa Ketanggi Kecamatan Suruh Kab. Semarang Tentang: Susunan Pengurus Remaja Ingin Aman Sejahtera (R.I.A.S) Periode 2010-1012 Jumlah
98
Salatiga, 31 Desember 2011 Mengesahkan Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan
H. Agus Waluyo, M. Ag NIP. 19750211 200003 1 001
98
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Ariyanto
TTL
: Kab. Semarang, 30 Desember 1984
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Alamat Rumah
: Krajan RT 05/02 Desa Ketanggi Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang 50776 Jawa Tengah Indonesia
Pendidikan
Organisasi
: 1. TK Putra Utama Ketanggi
(Lulus Tahun 1991)
2. SD N 1 Ketanggi
(Lulus Tahun 1999)
3. SLTP N 3 Susukan
(Lulus Tahun 2002)
4. MAN 1 Suruh
(Lulus Tahun 2006)
5. STAIN Salatiga
(Lulus Tahun 2012)
: 1. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Salatiga 2. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Salatiga 3. Gerakan Mahasiswa Peduli Sosial (GMPS) Kota Salatiga 4. HMJ Syari‟ah Periode 2008-2009 Biro Bantuan Hukum 5. HMJ Syari‟ah Periode 2010-2011 Biro Akademik 6. Mapala Mitapasa Periode 2010-2011 Divisi Gunung Hutan 7. Ikatan Alumni Pon-Pes “Darussalam” (IKADA) Desa Ketanggi Kec. Suruh Kab. Semarang 8. Karang Taruna (R.I.A.S) Desa Ketanggi Kec. Suruh Kab. Semarang 9. Ikatan Ustadz Dan Ustadzah se-Kawedanan Tengaran
99
100