PEMBAHARUAN AKAD NIKAH MASYARAKAT MUSLIM BERDASARKAN PETUNGAN JAWA (Studi Kasus Di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: KHOIRUL UMAM NIM : 21110013
JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
PEMBAHARUAN AKAD NIKAH MASYARAKAT MUSLIM BERDASARKAN PETUNGAN JAWA (Studi Kasus Di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: KHOIRUL UMAM NIM : 21110013
JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015 i
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Bersyukur, bersabar dan berserah diri Kepada Allah adalah kunci mencapai kesuksesan dunia dan akherat
PERSEMBAHAN
Untuk ayah-ibuku, Untuk istriku, Untuk papi-mamiku, Untuk permata hatiku “NAJWA KHAIRA NABILA”
v
KATA PENGANTAR
Asslamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Fakultas Syari‘ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Sukron Ma‘mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. 3. Bapak Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si., selaku Pembimbing Akademik. 4. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak otnawsiS selaku lurah Desa Pakis dan seluruh masyarakat Desa Pakis yang telah memberikan ijin serta membantu penulis dalam melakukan penelitian di desa tersebut. 6. Bapak dan ibu serta istriku di rumah yang telah mendoakan dan memberi dukungan dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
vi
Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT. Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 12 Maret 2015 Penulis
Khoirul Umam 21110013
vii
ABSTRAK
Umam, Khoirul. 2015. Pembaharuan Akad Nikah Masyarakat Muslim Berdasarkan Petungan Jawa (Studi Kasus Di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati). Skripsi. Fakultas Syari‘ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: M. Yusuf Khummaini,S.H.I., M.H. Kata kunci: Pembaharuan akad nikah, dan Petungan Jawa. Penelitian ini merupakan upaya mengetahui konsep-konsep dan persepsi masyarakat di Desa Pakis dalam menggunakan petungan untuk melaksanakan pembaharuan akad nikah. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana konsep pernikahan berdasarkan Petungan Jawa bagi masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati?, (2) Apa faktor yang mendorong masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati melakukan pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa?, dan (3) Bagaimana pandangan tokoh agama dan masyarakat umum di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati terhadap pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiologis. Temuan penelitian ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui konsep pernikahan berdasarkan Petungan Jawa bagi masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, untuk mengetahui faktor yang mendorong masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati melakukan pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa, untuk mengetahui pandangan tokoh agama dan masyarakat umum di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati terhadap pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa. Berdasarkan hasil penelitian, tradisi pembaharuan akad nikah dilakukan oleh suami istri karena pada pernikahan pertama tidak tepat pada petungan (perhitungan) sistem kalender Jawa. Praktik pembaharuan akad nikah dipahami sebagai penepatan waktu pada petungan sitem kalender Jawa agar keluarga menjadi bahagia dan mendapatkan rizki yang melimpah serta terhindar dari marabahaya. Sedangkan faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan pembaharuan akad nikah ini adalah karena adanya konflik atau percekcokan yang sering terjadi dalam sebuah rumah tangga. Bagi masyarakat Desa Pakis, mereka tidak mau tahu apakah tradisi ini ada dalilnya atau tidak yang penting bagi mereka maslahat yang bisa diperoleh dari tradisi ini sangat banyak, sehingga bagi mereka tidak ada masalahnya melakukan suatu hal yang baik walaupun tidak diperintah oleh agama.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v KATA PENGANTAR .................................................................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... ix DAFTAR TABEL........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Kegunaan Penelitian.................................................................... 7 E. Penegasan Istilah ......................................................................... 7 F. Telaah Pustaka ............................................................................ 9 G. Metode Penelitian........................................................................ 11 H. Sistematika Penulisan.................................................................. 17
ix
BAB II
GAMBARAN
UMUM
TENTANG
PETUNGAN,
PERNIKAHAN DAN PEMBAHARUAN AKAD NIKAH A. ......................................................................................... Perhi tungan Kalender Jawa .......................................................................... 20 1. Sejarah Kalender Jawa.................................................... ....... 20 2. Pengertian Petungan Jawa............................................... ....... 24 3. Kegunaan Petungan Jawa................................................ ....... 24 B. ......................................................................................... Peng ertian, Syarat, dan Tujuan Pernikahan......................... ........................ 31 1. Pengertian Pernikahan..................................................... ....... 31 2. Rukun dan Syarat Nikah.................................................. ...... 32 3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan...................................... ....... 35 C. ......................................................................................... Peng ertian pembaharuan Akad Nikah.......................................................... 36
BAB III PAPARAN DATA DAN PENEMUAN PENELITIAN A. Ganbaran Umum Desa Pakis kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati...................................................................... ...... 40 1. Letak Geografis Desa Pakis.............................................. ..... 40 2. Keadaan Sosial Masyarakat, Ekonomi Dan Pendidika.... ...... 41 3. Kehidupan Agama Dan Adat Budaya Masyarakat........... ..... 43 B. Metode
Penggunaan
Petungan
dalam
Pernikahan
dan
Pembaharuan Akad Nikah..................................................... ..... 45 1. Alasan menggunakan Petungan........................................ ..... 45
x
2. Cara menentukan hari baik untuk pernikahan................. ....... 46 C. Prosesi Pembaharuan Akad Nikah Berdasarkan Petungan... ...... 52 D. Dampak Positif Dan Negatif Bagi Para Pelaku Pembaharuan Akad Nikah Berdasarkan Petungan Jawa Dan Bagi Yang Tidak Melakukannya................................... .......................................... 60
BAB IV ANALISIS
PEMBAHARUAN
AKAD
NIKAH
MASYARAKAT MUSLIM BERDASARKAN PETUNGAN JAWA DI DESA PAKIS KECAMATAN TAMBAKROMO KABUPATEN PATI A. Konsep Petungan Jawa Dalam Pernikahan............................ ..... 64 B. Faktor Yang Mendorong Melakukan Pembaharuan Akad Nikah Berdasarkan Petungan Jawa........................................ ..... 68 C. Pandangan Tokoh Agama Dan Masyarakat Umum Terhadap Pembaharuan
Akad
Nikah
Berdasarkan
Petungan
Jawa...................................................... ...................................... 74 1. Pandangan Tokoh Agama................................... ................... 74 2. Pandangan masyarakat umum.............. .................................. 82
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................. .... 85 B. Saran....................................................................................... .... 87
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1: Kehidupan Ekonomi Desa Pakis...........................................
42
Tabel 3.2: Pendidikan Masyarakat Desa Pakis.......................................
43
Tabel 3.3: Sa‘at Ijabing Penganten.........................................................
47
Tabel 3.4: Perhitungan Hari dan Pasaran................................................
48
Tabel 3.5: Hari yang baik untuk hajatan.................................................
51
Tabel 3.6: Daftar persepsi masyarakat terhadap pembaharuan nikah.....
55
Tabel 3.7: Pelaku pembaharuan akad nikah............................................
56
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing Lampiran 3 Lembar Konsultasi Lampiran 4 Data Monografi Desa Pakis Lampiran 5 Daftar Pertanyaan
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Jawa adalah etnik yang menempati beberapa wilayah di pulau Jawa. Orang Jawa mengatakan bahwa mereka merupakan keturunan leluhur Jawa. Nenek moyang Jawa adalah hasil sinkretis antara Hindu Jawa dan Islam Jawa, dimana Ajisaka dipahami sebagai cikal bakal orang Jawa (Endraswara, 2006:2). Selain itu mereka masih tetap mempertahankan nilai adat-istiadat ke-jawa-an mereka. Orang Jawa yang masih teguh memegang adat-istiadat ke-jawa-an ini sering memperoleh sebutan kejawen. Pada prinsipnya kejawen memeliki sistem pemikiran yang luas,rumit, dan unik dalam menerjemahkan seperangkat kehidupan mereka (Suseno, 2001:17). Kata ―Jawa‖ pada masyarakat Jawa sering juga hadir dengan kata njawani-ndak njawa. Kedua konteks ini berdasarkan satu pola sikap yang semestinya orang Jawa lakukan sehari-hari. Sehingga yang dimaksud Jawa merupakan bentuk etika hidup manusia Jawa dalam bentuk tradisi adatistiadat (Endraswara, 2006:5). Kekayaan tradisi Jawa masih sering dijumpai sampai sekarang ini, kekayaan ini terhimpun dalam kesusastraan Jawa kuno, Kerajaan HinduBudha dan Islam. Pada prinsipnya tradisi masyarakat Jawa bersumber dari pemikiran kosmologi, mitologi, dan mistisme Jawa. Pemikiran inilah yang menjadi pokok praktek kehidupan sehari-hari orang Jawa. Muatan etika dan 1
tradisi masyarakat Jawa dibangun dengan mitos-mitos serta hubungan antara makro dan mikro-kosmos yang saling mempengaruhi (Mulder, 2001:8). Pada Bulan Dzulhijjah atau bulan besar (dalam kalender Jawa) banyak masyarakat yang melangsungkan hajatan atau gawe baik itu hajatan kelahiran anak (walimatul aqiqoh), hajatan khitanan (walimatul Khitan), maupun hajatan perkawinan (walimatul „ursy). Begitu pula sebaliknya pada Bulan Suro dan Safar jarang sekali diadakan hajatan. Apabila hajatan itu dilangsungkan pada Bulan Suro dan Safar menurut nenek moyang atau dukun-dukun di Desa Pakis maka orang tersebut akan mendapatkan celaka. Dalam menentukan waktu pernikahan, masyarakat Jawa khususnya Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati menggunakan waktuwaktu tertentu yang dinilai sebagai hari yang baik,buruk,tepat, dan kurang tepat. Apabila waktu pernikahan itu dilangsungkan pada hari yang baik dan tepat maka akad nikah tidak perlu diulang lagi, akan tetapi jika pernikahan itu dilangsungkan pada hari yang buruk maka akad nikah harus diulang dan diperbaiki (memperbaharui akad nikah). Pelaksanaan pembaharuan akad nikah (perkawinan kedua) ini persis dengan pelaksanaan akad nikah yang pertama. Dalam pernikahan pertama itu dicatat dan didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapidalam melangsungkan pembaharuan akad nikah (akad kedua) ini tanpa diketahui oleh pihak Kantor Urusan Agama(KUA). Perkawinan yang keduadiijabkan oleh para kyai-kyai atau tokoh-tokoh agama setempat. Mereka biasanya
2
mengundang keluarga atau kerabat dekat sebagai saksi bahwa mereka telah melakukan tradisi ini. Pembaharuan akad nikah dilangsungkan satu tahun atau lebih setelah pernikahan yang pertama. Dalam melangsungkan pembaharuan akad nikah seorang istri tidak perlu ditalak oleh seorang suami, karena pernikahan yang pertama sudah otomatis rusak dalam jangka satu tahun dan wajib melangsungkan pernikahan lagi (akad nikah kedua).Pembaharuan akad nikah dilakukan berdasarkan petungan (perhitungan) dengan menggunakan sistem kalender Jawa dan buku Primbon. Hal ini berlangsung dengan adanya keyakinan di Desa Pakis untuk menghindari celaka (apes) dan mendapatkan keuntungan dikemudian hari. Pembaharuan akad nikah ini dilangsungkan karena ketidak tepatan dalam melangsungkan pernikahan yang pertama menurut perhitungan kalender Jawa dan adanya permasalahan yang terus-menerus melanda dalam kehidupan rumah tangga. Praktik pembaharuan akad nikah dipahami sebagai usaha meramalkan kehidupan mendatang agar keluarga menjadi bahagia dan mendapatkan rizki yang melimpah serta terhindar dari marabahaya. Dalam perspektif kontruksi sosial psikologi ini bukan sesuatu yang kebetulan, namun terdapat bingkai kontruksi budaya yang menjadikan satu hari yang tertentu dipilih. Kontruksi tentang baik buruknya waktu inilah yang disebut adat petungan.Petungan merupakan pertimbangan yang mumet (sungguh-sungguh) memanfaatkan nalar atau pemikiran yang jelas dan
3
disertai tindakan tertentu. Dalam petungan terkandung pengertian kalkulasi, penafsiran, dan pertimbangan (Endraswara, 2006:102). Praktik penggunaan petungan dipahami sebagai usaha meramalkan kehidupan mendatang dengan
menggunakan
kaidah
tertentu
dalam
penanggalan, ini menunjukkan fakta psikologis pengetahuan dan sikap hidup masyarakat Jawa. Pengambilan keputusan menggunakan Petungan Jawa adalah proses pertimbangan dan konsepsi untuk memilih satu dari beberapa kemungkinan waktu dalam kalender Jawa. Dalam Islam semua hari, bulan, tahun adalah waktu yang baik, tidak ada hari yang sial atau hari keramat, hanya saja para masyarakat Jawa yang menganggap teguh ajaran nenek moyanglah yang percaya terhadap hari-hari sial. Tathayyuratau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu. َّ ( سَ َج َز انmenerbangkan burung).Tathayyur (merasa Diambil dari kalimat: طٍ َْز sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada namanama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari‘at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu ‗alaihi wasallam, karena orang yang bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung ataupun celaka (Yazid, 2005:345). Ibnu Mas‘ud r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
4
َّ :هْيَلَع ُهللا ىَّلَصَََّ قَا َل , ُارة َ ِش ْزك ِ َْهللا ُ َع ْه َر,ُع ْىه ِ َ ُ س ْى ِل َ ُى هللا ِ ع ْب ِد َ ع ْه َ ِ هللا ب ِْه َم ْسعُ ْى ٍد َر َ ٍَانط َ ض َّ ي َ ٍَانط ُّ َوا َ ْخ َز َجهُ انت َّ ْز ِم ِذ. َونَ ِك َّه هللاَ ٌُذْ ِهبُهُ بِانت َّ َىكُ ِم,َّ َو َما ِمىَّا اِال,ارة َ ِش ْز ٌك ث َ ََلثًا .ََواب ُْه ما َجت Artinya: Dari Abdullah bin Mas‟ud R.A., Dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda:”Ramalan nasib dengan hewan itu syirik, ramalan nasib dengan hewan itu syirik” Beliau ucapkan tiga kali, kata Abdullah:” Dan diantara kita tak lain hanyalah orang yang hatinya terlintas oleh pikiran itu. Tapi, Allah melenyapkannya dengan rasa tawakal kepada-Nya”. Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah (HR. Abi Daud Juz 4 Bab Thiyarah No.3756) (Yazid, 2005:359). Dari uraian-uraian tersebut serta minimya data dan bahan yang akan dibutuhkan dalam pembahasan tentang PEMBAHARUAN AKAD NIKAH MASYARAKAT MUSLIM BERDASARKAN PETUNGAN JAWA (Studi Kasus Di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati), maka penulis bermaksud untuk meneliti dan membahas lebih lanjut tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembaharuan akad nikah masyarakat muslim yang menggunakanPetungan Jawa.
B. Fokus Penelitian Sebagai Basic Question atau pokok permasalahan yang berangkat dari latar belakang masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dijadikan sebagai rumusan masalah atau fokus dalam penelitian. Adapun rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pernikahan berdasarkan
Petungan Jawa bagi
masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati?
5
2. Apa faktor yang mendorong masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati melakukan pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa? 3. Bagaimana pandangan tokoh agama dan masyarakat umum di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati terhadap pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui konsep pernikahan berdasarkan Petungan Jawa bagi masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. 2. Mengetahui faktor yang mendorong masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati melakukan pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa. 3. Mengetahui pandangan tokoh agamadan masyarakat umum di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati terhadap pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa.
6
D. Kegunaan Penelitian 1. Pembaca dapat mengerti sebab-sebab masyarakat Jawa khususnya Desa Pakis melakukan pembaharuan akad nikah yang berdasarkan petungan. 2. Pembaca dapat mengerti dari berbagai persepsi masyarakat Jawa tentang pembaharuan akad nikah. 3. Sebagai referensi untuk penelitian yang lebih mendalam.
E. Penegasan Istilah Sebelum memulai penyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan bahwa judul skripsi ini adalah PEMBAHARUAN AKAD NIKAH MASYARAKAT MUSLIM BERDASARKAN PETUNGAN JAWA (Studi Kasus Di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati). Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalahfahaman pengertian, maka penulis kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi ini sebagai berikut: 1. Pembaharuan
adalahproses,
perbuatan,
cara
mempebaharui
(poerwardaminta, 2006:103). 2. Akadadalahikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al rabth)maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu (Mas‘adi, 2002:75). 3. Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) (Poerwadarminta, 2006:800).
7
4. Masyarakat adalah sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang membentuk peri kehidupan berbudaya; rakyat (fajri dan Senja:553). Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu) (Poerwadarminta, 2006:751). 5. Muslim adalah orang yang tunduk dan patuh mengikuti secara lahir batin terhadap ajaran-ajaran (hukum-hukum) Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW selaku utusan Allah SWT 6. Petungan
adalah
reckoning
(memperhitungkan),
Calculation
(perhitungkan) Petungan
adalah
pertimbangan
yang
sungguh-sungguh
(mumet)
memanfaatkan nalar atau pemikiran yang jelas dan disertai tindakan tertentu (Endraswara, 2006:102). Jadi yang dimaksud dengan pembaharuan akad nikah masyarakat muslim berdasarkan Petungan Jawa adalah sebuah tradisi masyarakat yang dilakukan antara pasangan suami istri untuk melakukan akad nikah baru karena pada pernikahan pertama tidak tepat perhitungannya dalam kalender Jawa.
8
F. Telaah Pustaka Penelitian yang sedang dikaji sesungguhnya pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad
Shohib
yang
berjudul
Praktik
Perkawinan
Penghayat
Kepercayaan Mardi Santosaning Budhi Desa Kuncen, Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung (Tinjauan Hukum Islam). Penelitian ini membahas tentang aliran kepercayaan Mardi Santosaning Budhi yang secara intensif melatih kepekaan sepiritual dalam menghayati kehadiran Tuhan YME dalam dirinya. Ajaran ini berasal dari khazanah literatur kejawen diantaranya terkait kitab Primbon Betal Jemur Adam Makna. Mardi Santosaning Budhi menetapkan perkawinan pada ritual yang sakral, bahwa perkawinan merupakan proses hubungan vertikal dengan Tuhan yang Maha Suci (ibadah) dan merupakan hak pribadi tiap manusia. Tujuan Penelitian ini adalah: (1) Mengetahui landasan Ideologis Mardi Santosaning Budhi. (2) Mengetahui Pandangan Mardi Santosaning Budhi tentang perkawinan. (3) Mengetahui tata cara Mardi Santosaning Budhi menyelenggarakan perkawinan. (4) Mengetahui tinjauan Hukum Islam tentang akad nikah orang muslim di Mardi Santosaning Budhi. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto yang berjudul Penggunaan Petungan Masyarakat Jawa Muslim Dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus di Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang). Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui alasan masyarakat Jawa 9
menggunkan petungan untuk melangsungkan pernikahan. (2) Mengetahui persepsi atau tanggapan dari masyarakat Jawa khususnya di Desa Reksosari terhadap penggunaan petungan dalam ritual pernikahan. (3) Mengetahui konsep penggunaan petungan masyarakat Jawa Muslim dalam persepektif ilmu fiqih. (4) Mengetahui hukum penggunaan petungan menurut keyakinan masyarakat Jawa khususnya masyarakat di Desa Reksosari. Penelitian ini membahas tentang praktik penggunaan petungan Jawa untuk memilih dan menentukan hari baik dalam pernikahan. Sama halnya penelitian yang dilakukan Muhammad Isro‘i yang berjudul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Adat Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali). Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui apa saja faktor yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan pada Bulan Muharram. (2) Mengetahui pandangan ulama‘ setempat tentang pernikahan yang dilakukan pada Bulan Muharram. (3) Mengetahui Pandangan hukum Islam tentang pernikahan yang dilakukan pada Bulan Muharram. Penelitian ini membahas tentang larangan menikah pada Bulan Muharram atau Bulan Suro, hal itu disebabkan karena masyarakat Desa Bangkok percaya bahwa Bulan Muharram itu adalah bulan keramat, sehingga meraka tidak berani untuk melakukan hajatan pada Bulan tersebut. Hal yang mendorong penulis mengambil judul Pembaharuan Akad Nikah Masyarakat Muslim Berdasarkan Petungan Jawa (Studi Kasus di Desa
10
Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati) karena dari ketiga penelitian tersebut hanya menggunakan pendekatan historis. Penelitian yang akan dilakukan peneliti berikutnya bukan hanya pendekatan historis, namun juga menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis yaitu melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat. Penelitian berikut juga memiliki perbedaan mengenai bagaimana peranan para ulama di masyarakat terhadap fenomena pelaksanaan pembaharuan akad nikah dan apa dasar masyarakat Desa Pakis melakukan pembaharuan akad nikah. Tema dan materi yang terkandung dalam judul ini sesuai dengan disiplin ilmu yang penulis tekuni di IAIN Salatiga Fakultas Syari‘ah, dan penulis percaya bahwa judul tersebut belum pernah dibahas dalam bentuk skripsi di lingkungan IAIN Salatiga.
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan yaitu penelitian yang terjun langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas yaitu bagaimana tata cara seseorang melakukan pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan. Selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala-gejala secara menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.
11
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan secara holistis, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2009:6). Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologis untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembaharuan akad nikah di Desa Pakis kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati dengan cara petungan untuk menentukan hari baik serta bagaimana akibat-akibat yang timbul apabila masyarakat itu tidak melakukan pembaharuan akad nikah. Pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik, dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat (Soekanto, 1986:5). 2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada di lapangan. Sedangkan status peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah pahaman diantara peneliti dengan informan. 3. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Peneliti memilih lokasi ini karena penduduknya mayoritas
12
beragama Islam, namun diwilayah tersebut masih banyak yang minta bantuan kepada dukun untuk memilihkan hari yang baik dalam melakukan hajatan. Sehingga hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena walaupun penduduknya mayoritas beragama Islam tetapi masih tetap percaya hal-hal yang magis dan tradisi kejawen. 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data primermerupakan data yang pokok utamanya digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam hal ini data diperoleh dari para pelaku pembaharuan akad nikah bagi merekayang pada pernikahan pertama tidak tepat dalam perhitungan kalender Jawa dan bagi keluarga yang banyak permasalahan dalam rumah tangganya. Selain itu data diperoleh dari orang yang memimpin atau menikahkan pasangan suami istri yang melakukan pembaharuan akad nikah dengan cara perhitungan kalender Jawa untuk menentukan hari baik. Pelaku pembaharuan akad nikah ini berjumlah 4 (empat) orang dan orang yang memimpin dalam pelaksanaan pembaharuan akad nikah adalah 2 (dua) orang. b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data yang digunakan untuk melengkapi data primer. Data sekunder berwujud data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini peneliti menggunakan buku petungan yang digunakan masyarakat Desa Pakis dalam
melaksanakan
pembaharuan
akad
nikah,
yaitu
buku
PrimbonBetaljemur Adammakna atau buku kejawen sebagai sumber
13
data resmi dan juga buku-buku lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini dapat juga diperoleh dari tokoh agama, tokoh masyarakat maupun masyarakat umum di sekitar tempat tinggal pelaku pasangan pembaharuan akad nikah yang menggunakan perhitungan kalender Jawa untuk menentukan hari yang baik. 5. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian (Nazir, 1988:211). Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan beberapa metode, yaitu: a. Metode observasi atau pengamatan langsung Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan
langsung
adalah
cara
pengambilan
data
dengan
menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut (Nazir, 1988:212). Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui situasi serta kondisi mengenai objek penelitian. b. Metode wawancara Metode wawancara atau metode interview, mencakup cara yang digunakan seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang
14
responden, dengan bercakap-cakap, dan berhadapan muka dengan orang tersebut (Koentjaraningrat, 1994:129). Adapun metode wawancara yang dilakukan yaitu, dengan tanya jawab secara lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan berpedoman pada daftar pertanyaan sebagai rujukan yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam hal ini wawancara dilakukan terhadap para pelaku pembaharuan akadnikah yang dilangsungkan dengan cara memilih hari yang dianggap baik dengan perhitungan kalender Jawa, keluarga pelaku maupun para tokoh mayarakat di Desa Pakis. Selain itu wawancara juga dilakukan terhadap masyarakat dengan cara mengambil sampel dari masing-masing RW (Rukun Warga) di dusun yang ada di Desa Pakis. c. Metode Dokumentasi Metode ini dapat berbentuk gambar atau foto-foto saat penentuan hari baik dalam melangsungkan pembaharuan akad nikah, ataupun saatdilangsungkannya upacara pembaharuan akad nikah. 6. Analisis Data Setelah data diperoleh dan dikumpulkan, maka perlu suatu bentuk teknik analisa data yang tepat. Penganalisaan data merupakan tahap yang penting karena data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis guna memecahkan dan menjelaskan masalah yang dikemukakan dimuka. Untuk analisis data dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisa data kualitatif untuk membuat catatan-catatan dan menyusun ikhtisar yang
15
sistematis. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Deduktif, yaitu analisa yang berangkat dari permasalahan apakah rumah tangga yang mengalami permasalahan-permasalahan harus diselesaikan dengan jalan memperbaharui akad nikah. b. Induktif, yaitu analisa yang berangkat dari permasalahan apakah semua pasangan suami istri dengan melakukan pembaharuan akad nikah bisa menjadikan keluarga harmonis dan berlimpah rizkinya. 7. Pengecekan Keabsahan data Untuk mengecek keabsahan data, disini penulis menggunakan triangulasi
sebagai
teknik,
dimana
pengertiannya
adalah
teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2009:330). Dalam pengecekan keabsahan data disini dilakukan dengan cara membandingkan observasi atau pengamatan langsung dengan wawancara terhadap para informan. Selain itu mencari informasi dari berbagai pihak yaitu para pelaku pembaharuan akad nikah dengan cara menentukan atau memilih hari baik, keluarga, tokoh masyarakat, serta masyarakat umum di desa tersebut. Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis.
16
8. Tahap-tahap Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama pra lapangan, dimana peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada tidaknya praktik pernbaharuan akad nikah yang dilangsungkan dari hasil penentuan hari baik menurut perhitungan kalender Jawa. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan atau lokasi penelitian untuk mencari data informan dan pelaku kemudian melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku pembaharuan
akad
nikah
yang
melangsungkannya
dengan
cara
menentukan atau memilih hari baik, keluarga, tokoh agama atau masyarakat dan tetangga pelaku. Tahap akhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data atau temuan dari penelitian kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif.
H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi. Skripsi ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian: bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir. Pada bagian awal skripsi berisi tentang: sampul, lembar berlogo, judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian
17
tulisan, motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, dan daftar lampiran. Bagian inti skripsi ini menguraikan lima bab, yaitu:Bab I Pendahuluan, yang didalamnya menguraikan tentang; latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II penyusun mencoba mendeskripsikangambaran umum tentang petungan, pernikahan, dan pembaharuan nikah antara lain: sejarah kalender Jawa, pengertian petungan Jawa, kegunaan PetunganJawa,pengertian pernikahan, rukun dan syarat pernikahan,tujuan dan hikmah pernikahan, serta pengertian pembaharuan akad nikah itu sendiri. Bab III menguraikan tentanggambaran umum penduduk Desa Pakis,metodepenggunaan
petungan
dalam
pernikahan
maupun
pembaharuannya,prosesi pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan, serta dampak positif dan negatifterhadap para pelaku yang melakukan pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan. Bab IV menguraikan tentang konsep pernikahan berdasarkan Petungan Jawa, faktor yang mendorong masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati melakukan pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa, dan pandangan tokoh agama serta
18
masyarakat umum di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati terhadap pembaharuan akad nikah yang didasari dengan Petungan Jawa. Bab V Penutup menguraikan tentang kesimpulan dan saran, Pada bagian akhir skripsi ini berisi tentang; daftar rujukan, lampiran-lampiran, dan riwayat hidup penulis.
19
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PETUNGAN, PERNIKAHAN DAN PEMBAHARUAN AKAD NIKAH
A. Perhitungan Kalender Jawa 1.
Sejarah Kalender Jawa Kalender atau penanggalan Jawa tidak muncul baru-baru ini, namun kalender Jawa telah ada sejak zaman nenek moyang orang Jawa dulu. Kalender Jawa telah digunakan sejak pada zaman kerajaan-kerajan Hindhu-budha khususnya dipulau Jawa untuk berbagai keperluan, baik untuk menentukan waktu bercocok tanam maupun untuk menentukan waktu-waktu peringatan keluarga kerajaan atau warga masyarakat itu sendiri. Di daerah Tengger, tanah Badui dan kelompok orang Samin mengikuti kalender kuno, yaitu kalender saka. Kalender saka ini merupakan warisan zaman Hindu-Budha yang kemudian diganti dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung yang berlaku sampai sekarang. Banyak orang dan banyak kalender yang beredar membuat kesalahan, dengan keterangannya bahwa kalender Jawa sama dengan kalender saka, padahal amat berbeda. Oleh karena itu perlu diberikan penjelasan sebagai berikut: Pertama, kalender saka dimulai pada tahun 78 Masehi. Permulaan kalender itu konon pada saat mendaratnya Ajisaka di pulau 20
Jawa. Adapula yang mengabarkan, bahwa permulaan adalah saat Raja Sariwahana Ajisaka naik tahta di India. Ajisaka adalah tokoh mitologi yang konon menciptakan abjad huruf Jawa: ha na ca ra ka. Kalender yang tahunnya disebut saka, dimulai pada tanggal 15 Maret tahun Masehi 78. Tahun Masehi dan tahun saka, dua-duanya berdasarkan hitungan solairyaitu mengikuti perjalanan bumi mengitari matahari, dalam bahasa Arab disebut Syamsiyah. Kedua, sebelum bangsa Hindu datang, orang Jawa sudah memiliki kalender sendiri yang kita kenal sekarang sebagaiPetungan Jawa, yaitu perhitungan Pranata Mangsa dengan rangkaiannya berupa bermacam-macam petungan seperti wuku, peringkelan, padewan, padangan dan lain-lainnya. Sistem pranata mangsa itu adalah solair (Syamsiyah) seperti halnya kalender Saka dan Masehi (Purwadi dan Maziyah, 2010:1). Ketiga, kalender saka dan pranata mangsamerupakan kalender yang sudah ada pembagiannya setiap satu tahun, yaitu kalender saka membagi satu tahun dalam bulan dan pranata mangsa membagi satu tahun dalam 12 mangsa. a. Kalender Saka Nama-nama bulan dan umurnya: 1) Srawana
(12 Juli-12 Agustus)
2) Badhra
(13 Agustus-10 September) 29 hari
3) Asuji
(11 September-11 Oktober) 31 hari 21
32 hari
4) Kartika
(12 Oktober-10 November)
30 hari
5) Posya
(1 November-12 Desember) 32 hari
6) Margasira
(13 Desember-10 Januari)
29 hari
7) Magha
(11 Januari-11 Februari)
32 hari
8) Phalguna
(12 Februari-11 Maret)
29 hari
9) Cetra
(12 Maret-11 April)
31 hari
10) Wasekha
(12 April-11 Mei)
30 hari
11) Jyesta
(12 Mei-12 Juni)
32 hari
12) Asadha
(13 Juni-11 Juli)
29 hari
b. Pranata Mangsa Nama-nama mangsa dan umurnya: 1) Kasa (Kartika)
(22 Juni-1 Agustus)
41 hari
2) Karo (Pusa)
(2 Agustus-24 Agustus)
23 hari
3) Katelu
(25 Agustus-17 September) 24 hari
4) Kapat (Sitra)
(18 September-12 Oktober) 25 hari
5) Kalima (Manggala)
(13Oktober-8November)
6) Kanem (Naya)
(9 November-21 Desember) 43 hari
7) Kapitu (Palguna)
(22 Desember-22 Februari)
43 hari
8) Kawolu (Wasika)
(3 Februari-28 Februari)
27 hari
9) Kasanga (Jita)
(1 Maret-25 Maret)
25 hari
10) Kasapuluh (Srawana)
(26 Maret-18 April)
24 hari
11) Dhesta (Padrawana)
(19 April-11 Mei)
23 hari
12) Sadha (Asuji)
(12 Mei-21 Juni)
41 hari
22
27 hari
Kalender Pranata Mangsa sudah dimiliki orang Jawa sebelum bangsa Hindu datang di Pulau Jawa. Kalender atau perhitungan Pranata Mangsa
itu
dapat
dikatakan
kalendernya
kaum
tani
yang
memanfaatkannya sebagai pedoman bekerja. Pada
mulanya
Pranata
Mangsa
hanya
memiliki
10
mangsasesudah mangsa kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mangsa pertama (Kasa atau Kartika), yaitu pada tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu cukup lama sehingga akhirnya ditetapkan mangsa kesebelas (Destha atau Padrawana) dan mangsakedua belas (Sadha atau Asuji). Maka genaplah satu tahun menjadi 12 mangsa dan dimulainya hari pertama mangsa kesatu pada 22 Juni. Kalender Saka berjalan bersama Pranata Mangsa (Purwadi dan Maziyah,2010:3). Jadi sejarah perhitungan kalender Jawa yang termasuk didalamnya yaitu hitunganweton yang masih digunakan oleh sebagian masyarakat khususnya di Jawa ini telah digunakan terlebih dahulu oleh para nenek moyang di zaman kerajaan Hindu-Budha. Begitu juga pada saat pemerintahan kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Sri Paku Buwana ke- VII.
2.
Pengertian Petungan Jawa Petungan adalah adat yang sudah mengakar disebagian masyarakat Jawa, keberadaannya akan memberikan warna dan pengaruh dalam kehidupan mereka. Keberadaan petungan lazim digunakan untuk 23
menentukan hari baik pada acara hajatan, seperti hajatan hari pernikahan, hari kelahiran dan khitanan. Dalam menentukan hari pernikahan selain melihat calon mempelai juga melihat dari kriteria keturunan tentang harta benanya dan kedudukan sosialnya (Briyan, 1992:28). Petungan merupakan pertimbangan yang sungguh-sungguh (mumet), memanfaatkan nalar atau pemikiran yang jelas dan disertai tindakan tertentu (Endraswara, 2006:102). Praktik
penggunaan
petungan
dipahami
sebagai
usaha
meramalkan kehidupan mendatang dengan menggunakan kaidah tertentu dalam penanggalan, ini menunjukkan fakta psikologis pengetahuan dan sikap hidup masyarakat Jawa. Pengambilan keputusan menggunakan Petungan Jawa adalah proses pertimbangan dan konsepsi untuk memilih satu dari beberapa kemungkinan waktu dalam kalender Jawa. 3.
Kegunana Petungan Jawa Upacara tradisional adat Jawa dilakukan demi mencapai ketenteraman hidup lahir batin, dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya, eling marang purwo duksino. Kehidupan rohani orang Jawa memang bersumber dari agama yang diberi hiasan budaya lokal, oleh karena itu orientasi keberagamaan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya (Mubaroq, 2009: 38). Begitu juga dengan ritual-ritual dalam adat pernikahan masyarakat Jawa yang mana masih banyak menggunakan sistem 24
numerologi atau sistem hitungan guna mencari hari yang dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan. Praktek hitungan Jawa tidak semua orang dapat memahaminya, namun hanya orang-orang tertentulah yang mampu memahaminya seperti orang yang sudah tua umurnya atau yang dituakan dilingkungan tempat tinggalnya. Kebanyakan orang-orang muda tidak memahami bagaimana cara menentukan atau memilih hari baik dengan menggunakan Petungan Jawa. Jika orang-orang yang paham mau untuk mengajarkan kepada yang muda tentunya Petungan Jawa ini akan tetap lestari asalkan tidak bercampur dengan adanya unsur-unsur yang mistik. Dampak adanya Petungan Jawa ini adalah masyarakat atau keluarga yang ingin mempunyai hajat menjadi tenang dari berbagai ancaman marabahaya mistik dan terpeliharanya budaya nenek moyang, namun dapat pula berdampak terhadap perilaku mistik yang sampai keperbuatan menyekutukan Tuhan dan perbuatan seperti ini jelas dilarang dalam Syari‘at Islam. Dalam hal ini, Yazid (2005:345) mengatakan bahwa masyarakat Jawa menggunakan petungan karena takut bernasib sialyang akan menimpanya dikemudian hari.Merasa bernasib sialyang mengikat pada terbangnya burung, pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya, semua itu diharamkan dalam syari‘at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu
25
‗alaihi wasallam, karena orang yang merasa bernasib sial menganggap hal-hal tersebut membawa untung ataupun celaka. Petungan Jawa yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakis sudah dilakukan sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, dan hampir 90% masyarakat
Desa
pakis
sampai
sekarang
masih
menggunakan
perhitungan tersebut dalam sebuah hajatan khususnya pernikahan. Penggunaan Petungan Jawa beralasan sudah menjadi warisan leluhur dan agar mendapatkan kemantaban serta ketenangan dalam pesta pernikahannya kelak. Kebanyakan orang-orang yang masih muda dan telah mendapatkan pendidikan keagamaan yang cukup beralasan bahwa hal itu tidak diajarkan dalam Islam. Namun, walaupun anti terhadap Petungan Jawa akan tetapi di dalam pernikahannya tetap menggunakan sistem Petungan Jawa karena ikut kemauan dari orang tua. Bagi yang setuju dan menggunakan Petungan Jawa ini kebanyakan dilakukan orang-orang yang sudah tua dan sangat menghargai kejawen, dengan alasan warisan leluhur dan sudah menjadi adat tradisi serta untuk memperoleh kemantaban dalam pernikahan, inilah hingga saat ini penggunaan Petungan Jawa masih digunakan. Buat orang Jawa mengetahui weton amatlah sangat penting, karena weton sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor yang paling penting kegunaan mengetahui weton adalah sebagai hitungan saat akan melangsungkan pernikahan dan pembaharuan akad nikah, untuk membangun rumah atau pindah rumah maupun untuk
26
menentukan waktu khitanan. Jumlah weton dapat diketahui dari hari lahir serta pasaran, rata-rata orang Jawa tahu hari lahir serta pasaran bahkan sampai yang lebih detail biasanya dicatat oleh orang tuanya. Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu, dan bisa diketahui. Demikian pula agama, seperti suatu harmoni adalah pada akhirnya suatu ilmu tidak peduli betapapun praktek aktualnya, mungkin lebih mendekati suatu seni. Sistem Petungan memberikan suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidak untungan (Geertz, 1960:39). Menurut keyakinan masyarakat Jawa, menggunakan sistem petungan adalah untuk mencari keuntungan dalam melaksanaan suatu perkawinan maupun pembaharuan akad nikah. Mereka percaya dengan menentukan atau mencari hari-hari baik dengan petungan akan mendapatkan keberuntungan, baik keberuntungan dalam kelancaran acara hajatan, keberuntungan dalam hal rezeki maupun keberuntungan yang lainnya. Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari, tanggal dan hari keagamaan seperti terdapat
pada Kalender
Masehi.Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari, tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi
27
dasar dan ada hubungannya dengan apa yang disebut Petungan Jawa, yaitu perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu Hari, Tanggal, Bulan, Tahun, Pranata mangsa, Wuku dan lainnya. Semua itu warisan asli leluhur Jawa yang dilestarikan dalam kebijaksanaan Sultan Agung dalam kalendernya. Petungan Jawa sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam Primbon. Kata Primbon berasal dari kata: rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka Primbon memuat bermacam-macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi penerusnya (Purwadi dan Maziyah, 2010:14). Dalam sistem petungan atau primbon tidak selalu mutlak dalam kebenaran, kadangkala telah dilakukan sistem petungan namun masih ada sengkala atau halangan ketidak beruntungan yang dialami oleh seseorang dalam melangsungkan pesta hajatan perkawinan, akhirnya seseorang tersebut melakukan pembaharuan akad nikah di tahun depan agar tidak ada halangan dan mendapatkan rezeki yang melimpah. Namun, setidaknya dengan sistem petungan atau primbon seseorang yang mempunyai hajat memperoleh kenyamanan dari segala sengkala ataupun marabahaya. Pada hakikatnya primbon tidak merupakan hal yang mutlak kebenarannya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir batin. Primbon
28
hendaklah tidak diremehkan, meskipun diketahui tidak mengandung kebenaran mutlak. Primbon sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengalaman leluhur, jangan menjadikan surut atau mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maha pengatur segenap makhluk dengan kodrat dan iradat-Nya (Purwadi dan Maziyah, 2010:14). Sistem petungan juga digunakan untuk menentukan dari arah mana orang harus masuk rumah kalau ingin mencuri tanpa ketahuan, untuk menentukan di sebelah mana orang harus duduk dalam arena adu ayam supaya menang dalam taruhan, untuk meramalkan apakah orang akan untung atau rugi dalam perdagangan di hari tertentu, untuk memilih obat yang tepat bagi suatu penyakit, untuk menentukan hari baik buat khitanan, untuk menentukan hari baik buat perkawinan dan pembaharuan akad nikah (biasanya sampai kepada jam yang tepat dimana hajat itu harus dilangsungkan), dan untuk meramalkan hajat yang direncanakan itu bisa terlaksana atau tidak. Untuk hal yang terakhir ini, hari lahirnya pengantin wanita dan pria akan dijumlahkan, hampir selalu oleh seorang dukun untuk melihat apakah mereka cocok atau tidak, kalau tidak perkawinan itu tidak akan berlangsung, demikian pula kalau perkawinan itu cocok tetapi hari, bulan, dan tahunnya tidak tepat maka sepasang suami istri itu harus mengulang akad nikahnya (mbangun nikah) ditahun depan dengan memilih waktu yang tepat dengan petungan,demikianlah
29
dalam kalangan tradisional yang kepercayaan masih kuat tentang Petungan Jawa (Geertz, 1960:43). Dalam suatu kasus terkadang terjadi perbedaan pendapat dimanamasing-masing pihak keluarga pengantin sama-sama mencari hari baikdengan sistem petungan. Dalam kedua keluarga pengantin berbeda dalam pelaksanaan hajatan yang mengakibatkan beda pendapat, namun dalam kasus seperti ini biasanya yang digunakan adalah sistem petungan dari pihak keluarga pengantin wanita, sebab budaya
di masyarakat
Jawahajatan pesta perkawinan dan upacara Ijab Qabul dilaksanaan di rumah keluarga pengantin wanita. Jadi fungsi penggunaan petungan dalam masyarakat Jawa tidak hanya digunakan untuk menentukan waktu pelaksanaan perkawinan, namun juga digunakan untuk menentukan waktu khitanan, kematian, pindah rumah ataupun membangun rumah.
B. Pengertian, Syarat, dan Tujuan Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata ―kawin‖ yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga ―pernikahan‖ berasal dari kata nikah ( )حyang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi‟) (Ghazaly, 2003:7).
30
Menurut istilah perkawinan yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk memperbolehkan bersenang-senang. Senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki (Ghazaly, 2003:8). Perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ―ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri‖. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan yaitu: a. Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. b. Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa orang Barat. Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
31
tangga, bukan hanya dalam istilah ―hidup bersama‖ (Syarifuddin, 2006:40). 2.
Rukun dan Syrat Nikah Ulama‘ fiqih mengatakan, bahwa rukun hakiki nikah itu adalah kerelaan hati kedua belah pihak (laki-laki dan wanita) karena kerelaan tidak diketahui dan tersembunyi dalam arti, maka hal itu harus dinyatakan melalui ijab dan qabul.Ijab dan qabul adalah pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri masing-masing dalam suatu perkawinan. Ijab merupakan pernyataan pertama dari satu pihak dan qabul merupakan pernyataan dari pihak lain yang menerima sepenuhnya ijab tersebut (Kurazi, 1995:12). Dalam hal ini, Saleh(2008:300) mengatakan bahwa secara rinci rukun nikah itu adalah: a. Calon mempelai pria b. Calon mempelai wanita c. Wali nikah d. Saksi nikah e. Ijab dan Qabul Kelima rukun ini masing-masing harus memenuhi syarat : a. Syarat calon mempelai pria 1) Beragama Islam 2) Laki-laki
32
3) Baligh 4) Berakal 5) Jelas orangnya 6) Dapat memberikan persetujuan 7) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umroh b. Syarat calon mempelai wanita 1) Beragama, meskipun yahudi 2) Perempuan 3) Jelas orangnya 4) Dapat dimintai persetujuan 5) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umroh
c. Syarat wali nikah 1) Laki-laki 2) Dewasa 3) Mempunyai hak perwalian 4) Tidak terdapat halangan perwaliannya d. Syarat saksi nikah 1) Minimal dua orang laki-laki 2) Hadir dalam ijab dan qabul 3) Dapat memahami maksud akad
33
4) Beragama Islam 5) Dewasa e. Syarat ijab qobul 1) Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali 2) Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami 3) Memiliki kata-kata nikah 4) Antara ijab dan qabul, bersambungan tidak boleh terputus 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya 6) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umroh 7) Majlis ijab dan qobul itu harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya. Wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi(Rofiq, 1998:72).
3.
Tujuan dan Hikmah Pernikahan a. Tujuan Perkawinan 1) Untuk mendapatkan anak dari keturunan yang sah dalam melanjutkan
generasi
yang
akan
datang.
Dengan
adanya
perkawinan naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan (Sabiq, 1981:19). 2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47).
34
3) Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5) Untuk membangun rumah tangga dan membangun masyarakat yang tentram atas dasar rasa cinta dan kasih sayang. 6) Sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. b. Hikmah Perkawinan Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah perkawinan menurut Tihamidan Sahrani (2009:19-20) adalah sebagai berikut: 1) Perkawinan adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 2) Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. 3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-
35
perasaan yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang dan akan cekatan dalam bekerja. 5) Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi rumah tangga sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya. 6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan
rasa
cinta
antara
keluarga
dan
memperkuat hubungan masyarakat.
C. Pengertian Pembaharuan Akad Nikah Agar lebih jelas dalam memahami pembaharuan akad nikah tersebut perlu mendapatkan penjelasan yang secukupnya. Pembaharuan dari bahasa Indonesia yang berarti bahwa suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan sesuatu yang baru (poerwardaminta, 2006:103). Akad adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu (Mas‘adi, 2002:75). Dari uraian tersebut sudah jelas bahwa pembaharuan akad nikah adalah memperbaharui akad nikah, dengan arti sudah pernah terjadi akad
36
nikah yang sah menurut syara‟, kemudian dengan maksud sebagai ihtiyath (hati-hati) dan membuat kenyamanan hati maka dilakukan akad nikah lagi.Pelaksanaan pembaharuan akad nikah (perkawinan kedua) ini persis dengan pelaksanaan akad nikah yang pertama. Dalam pernikahan pertama itu dicatat dan didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi dalam melangsungkan pembaharuan akad nikah (akad kedua) ini tanpa diketahui oleh pihak Kantor Urusan Agama (KUA). Perkawinan yang kedua ini diijabkan oleh para kyai-kyai atau tokoh-tokoh agama setempat dan hanya mengundang tetangga sekitarnya saja. Menurut Al-Haitamy (Ti:391) mengatakan bahwa hukum dari pembaharuan akad nikah yaitu boleh, pembaharuan akad nikah merupakan tindakan sebagai langkah membuat kenyamanan hati dan ihtiyath (kehatihatian) yang diperintah dalam agama dan tidak termasuk pengakuan talak (tidak wajib membayar mahar). Sebagaimana kandungan sabda Nabi SAW yang berbunyi :
ٌ شبَّ َه اص فَ َم ِه َ او بٍَ ٌه َوبٍَْىَ ُه َما ُم ٌ ِاث الَ ٌَ ْعهَ ُم َها َكث ِ ٍَّز ِمهَ انى َ اِ َّن ا ْن َحَلَ َل بٍَ ٌه َو ْان َح َز ض ِه َ ات َّقَى ْان ُم ِ شبَّ َها ِ ث ا ْستَب َْزأ ِن ِدٌِىِ ِه َو ِع ْز Artinya : Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat atau samar-samar, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. H.R. Bukhari (Bukhari, Ti:20). Dalil yang mengatakan pembaharuan nikah itu diperbolehkan yaitu kitabTuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj:
37
َّ أ َّن ُم َج َّزدَ ُم َىافَقَ ِت اء ِ ض ُ عهَى َ ان َمثََلً الَ ٌَكُى ُن ا ْع ِت َزافًا ِبا ْو ِق َ ىر ِة َ ج ٍ َ ع ْقد ث َ ص ِ انش ْو َ ص َم ِت اْألُونَى بَ ْم َوالَ ِكىَاٌَتَ فٍِ ِه َوهُ َى ظا ِه ٌز إِنَى أ َ ْن قَا َل َو َما هُىَا فًِ ُم َج َّز ِد ْ ْان ِع َ .ُج ِنت َح ُّم ٍم أ َ ْو ا ْحتٍَِاطٍ فَتَأ َ َّم ْهه ٍ َ طه ْ ب ِم ْه ِ انشو Artinya:
“Sesungguhnya suami melakukan akad nikah yang kedua (memperbaharui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas... sampai dengan... Sedangkan apa yang dilakukan suami disini (dalam memperbaharui nikah semata-mata untuk memperindah atau berhati-hati” (Al-Haitamy, Ti:391). Ulama Syafi‘iyah yang berpendapat bahwa pembaharuan nikah
dapat membatalkan nikah sebelumnya, antara lain Yusuf al-Ardabili, ulama terkemuka mazhab Syafi‘i (wafat 779 H) sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya, Al-Anwar Li A‟malil Abroradalah sebagai berikut :
ض ِب ِه ُ ار ِب ْانفُ ْزقَ ِت َوٌَ ْىت َ ِق ٌ َونَ ْى َجدَّدَ َر ُج ٌم وِ َكا َح سَ ْو َجتِ ِه نَ ِش َمهُ َم ْه ٌز آخ َُز ِألَوَّهُ ِإ ْق َز َّ .ج ِإنَى انتَّحْ ِهٍ ِْم فِى ْان َم َّزةِ انثَّا ِنث َ ِت ُ انطَلَ ُق َوٌَ ْحتَا Artinya: ―Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallil” (Ardabili,Ti:441).
38
I BBBI PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Ganbaran Umum Desa Pakis kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati 1. Letak Geografis Desa Pakis Desa Pakis merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Desa Pakis adalah desa yang terletak paling ujung di Kecamatan Tambakromo karena berbatasan dengan Kecamatan Kayen dan termasuk dalam dataran tinggi. Desa pakis Kecamatan Tambakromo merupakan desa yang terletak di sebelah selatan kota Pati. Jarak tempuh dari Desa Pakis sampai Pusat Perintahan Kecamatan adalah 18 km, jarak dari kota Pati sampai Desa Pakis adalah 31 km atau sekitar 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum dan jarak dari Desa Pakis sampai Ibukota Propinsi adalah 106 km. Secar geografis Desa pakis mempunyai batas wilayah dengan wilayah lain, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Sebelah barat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo berbatasan langsung dengan Desa Porwokerto yang termasuk Kecamatan Kayen. b. Sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Maitan Kecamatan Tambakromo. c. Sebelah utara berbatasan langsung dengan hutan Kepala Resot Polisi Hutan (KRPH) Brati.
39
d. Sebelah selatan berbatasan langsung dengan Desa KemadShbatur Kecamatan Kayen. Desa Pakis merupakan desa yang memiliki luas wilayah 585,744 Ha, yang seperti di daerah lain di Kabupaten Pati. Sebagian adalah area persawahan yang memiliki luas 357.015 Ha, luas bangunan umum 7.000 Ha, luas jalan 12.500 Ha, luas perkuburan 3.500 Ha, dan sebagian lainnya adalah pemukiman penduduk yang berluas 24.230 Ha. Desa Pakis sama dengan desa-desa atau kelurahan yang lain yang mana sama-sama memiliki perangkat desa, mulai dari Kepala Desa hingga Ketua RT (Rukun Tangga). Desa Pakis terbagi dalam empat dusun yaitu Dusun Pakis, Dusun Dogo, Dusun Mojo, dan Dusun Jenggolo, masingmasing dusun mempunyai satu Ketua RW dan beberapa Ketua RT. Sedangkan komposisi penduduk berdasarkan data statistic yang diperoleh dari Kantor Kepala Desa Pakis menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Pakis sampai tahun 2014 berjumlah 2.249 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 773. Apabila jumlah tersebut dirinci berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk Desa Pakis berjumlah 1.061 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.188 jiwa berjenis kelamin perempuan. 2. Keadaan Sosial Masyarakat, Ekonomi Dan Pendidikan Dalam kehidupan ekonomi, mata pencaharian penduduk Desa Pakis adalah bertani, karena sebagian besar wilayahnya adalah lahan pertanian. Ada juga penduduk yang bekerja sebagai pedagang, buruh, TKI, serta sebagian kecil menjadi karyawan perusahaan dan pegawai negeri sipil.
40
Penduduk Desa Pakis biasanya memiliki pekerjaan ganda, tidak hanya sebagai petani tetapi juga sambil berdagang, mereka melakukannya karena jika hanya mengandandalkan satu pekerjaan saja tidak cukup untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya. Tabel 3.1: Kehidupan Ekonomi Desa Pakis No Mata pencaharian Jumlah warga 1 Petani 769 orang 2 Pedagang 28 orang 3 Buruh 35 orang 4 Sopir angkutan 7 orang 6 PNS 3 orang 7 TNI 1 orang 8 Polri 3 orang 9 Swasta 64 orang 10 Pensiunan 2 orang 11 Lain-lain 882 orang (Sumber data, monografi Desa Pakis tahun 2014) Salah satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah mereka yang mencari nafkah dengan cara merantau keluar kota. Hal ini dilakukan karena mereka merasa apabila bekerja di desa, maka tidak bisa mencukupi kehidupan rumah tangganya yang sangat besar. Adapun kota-kota tujuan mereka adalah Jakarta, Sumatra, Kalimantan dan bahkan sampai keluar negeri seperti Malaysia dan Arab Saudi. Dari 882 orang yang ada di Desa Pakis semuanya adalah perantauan, entah itu bekerja keluar kota maupun bekerja keluar negeri. Kebanyakan masyarakat Desa Pakis memilih untuk menjadi TKI di Negara Malaysia, hal ini disebabkan karena kalau bekerja keluar kota hanya mendapatkan penghasilan sedikit, tetapi kalau di Negara Malaysia dapat mendapatkan penghasilan yang banyak.
41
Kehidupan masyarakat Desa Pakis sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya juga sangat kuat dalam masalah kekerabatan dan kekeluargaan. Gotong royong adalah suatu hal yang lazim dijumpai dan biasanya mereka melakukan pekerjaan yang berat-berat dengan cara bergotong-royong dan secara suka rela. Misalnya dalam hal mendirikan rumah, perbaikan jalan, pembangunan fasilitas umum, dan sambatan ngedos (gotong-royong panen padi). Dalam hal pendidikan, masyarakat Desa Pakis sudah mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari mulai berdirinya sekolah-sekolah yang ada di wilayah Desa Pakis yaitu SD, dan SMP. Bukan hanya itu, tingkat pendidikan masyarakatnyapun dari tahun ketahun sudah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, walaupun sebagian besar secara keseluruhan masih di bawah lulusan SLTP, akan tetapi beberapa tahun terakhir sudah ada yang mencapai tingkat Diploma. Tabel 3.2: pendidikan masyarakat Desa Pakis No Tingkat pendidikan Jumlah warga 1 Belum Sekolah 79 orang 2 Tidak tamat SD 44 orang 3 SD 1.845 orang 4 SLTP 199 orang 5 SLTA 93 orang 6 Diploma 15 orang (Sumber data, monografi Desa Pakis tahun 2014) 3. Kehidupan Agama Dan Adat Budaya Masyarakat Dalam hal beragama, hampir semuanya masyarakat Desa Pakis adalah beragama Islam, sebagian besar Islam mereka adalah Islam KTP yang tidak pernah beribadah kepada Allah dan Islam abangan yang mana
42
mereka masih teguh terhadap tradisi nenek moyang yang disebut kejawen. Karena mereka semua 100% beragama Islam, maka tidak ada tempat ibadah kecuali Masjid yang berjumlah 4 buah. Dalam hal adat budaya, masyarakat Desa Pakis juga termasuk masih sangat kuat memegang tradisi nenek moyang yang masih turuntemurun, hanya saja sekarang sudah mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, misalnya hal-hal yang dianggap musyrik diganti dengan hal-hal yang bersifat Islam. Sebagai contoh adalah kegiatan bersih tahunan, yang dulunya memberikan persembahan kepada penembahan (tempat yang dikramatkan) dengan cara menyembelih kambing, sekarang diubah dengan cara tetap menamakan bersih tahunan akan tetapi kegiatannya adalah melakukan acara pembacaan yasin dan tahlil secara berjamaah. Akan tetapi tidak semua masyarakat dalam hal ini setuju secara keseluruhan, ada sebagian masyarakat yang masih teguh pada ajaran nenek moyang dan tidak mau mengikuti apa yang sekarang sudah berjalan terutama mereka yang secara umur tergolong sudah tua. Mereka biasanya tetap melakukan hal-hal yang menurut penyusun merupakan perbuatan syirik. Ada juga orang yang secara agama bisa dikatakan sebagai orang yang taat pada ajaran agama, tetapi mereka masih melakukan kebiasaankebiasaan nenek moyang yang dikatakan perbuatan syirik yang bisa merusak keimanan mereka, seperti memberikan bunga dan kemenyan di tempat-tempat yang dianggap kramat.
43
Secara umum penduduk desa pakis adalah berasal dari suku Jawa, akan tetapi ada sebagian masyarakat yang berasal dari suku lain. Biasanya mereka adalah orang-orang pendatang karena adanya perkawinan dengan orang setempat kemudian menetap di Desa Pakis dan menjadi warga masyarakat Desa Pakis. Adapun penduduk non suku Jawa adalah berasal dari daerah Jakarta yang berjumlah 3 orang dan daerah Kalimantan yang berjumlah 9 orang.
B. Metode Penggunaan Petungan dalam Pernikahan dan Pembaharuan Akad Nikah 1. Alasan menggunakan Petungan Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan di Desa Pakis banyak alasan-alasan yang disampaikan oleh beberapa responden, yaitu diantaranya: a. Dengan menggunakan Petungan Jawa dalam menentukan hari yang baik untuk hajatan khususnya Pernikahan dan pembaharuan akad nikah, keluarga akan menjadi tenang dari semua ancaman marabahaya. b. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan Petungan Jawa mereka harus menggunakannya dalam segala macam hajatan dan tidak boleh dilanggar, jika dilanggar maka dipercaya akan mendapat Sengkala atau marabahaya. c. Masyarakat menggunakan Petungan Jawa karena sudah menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para nenek moyang dahulu.
44
d. Bagi masyarakat yang menggunakan Petungan Jawa dalam melakukan hajatan mengaku bahwa menggunakannya untuk menghormati para leluhur mereka dan menghormati ajaran para Wali. e. Bagi masyarakat yang anti Petungan Jawa menganggap bahwa Petungan Jawa bukan termasuk dalam ajaran Islam. f. Bagi masyarakat yang anti Petungan Jawa menganggap bahwa semua hari adalah sama tidak ada yang buruk dan untuk melakukan suatu hajatan yang penting kemantaban hati tidak ada ancaman marabahaya. 2. Cara menentukan hari baik untuk pernikahan
di Desa Pakis
Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati Dari hasil observasi dan wawancara terhadap warga Desa Pakis, cara untuk menentukan hari yang baik dalam suatu pernikahan ternyata peneliti menemukan berbagai macam cara, dari masing-masing dusun ada perbedaan dalam menggunakan Petungan Jawa ini, misalnya dari Dusun Dogo dengan Dusun Pakis. Di Dusun Dogo sendiri ada beberapa orang yang bisa diminta bantuannya dalam menentukan hari yang baik ini, diantaranya: Mbah Suntoro, Mbah Sukiban, dan Mbah Dagog, namun dalam hal ini mereka tidak mau menerima jika diberi imbalan. Menurut hasil wawancara dengan Mbah Sukiban dusun Dogo Rt 2 Rw 2, pada tanggal 28 Septemper 2014, untuk menentukan waktu pernikahan di Dusun Dogo menggunakan hari, pasaran, bulanan, dan tahun, namun yang sering digunakan hanyalah pasaran yang disertai dengan waktu
45
pelaksanaannya. Pasaran yang boleh dipakai untuk keperluan akad nikah adalah sebagai berikut: Legi
: Jam 1.12-3.35 dan jam 3.36-5.59
Paing
: Jam 6.00-8.23 dan jam 3.36-5.59
Pon
: Jam 6.00-8.23 dan jam 8.24-10.47
Wage
: Jam 8.24-10.47 dan jam 10.48-1.11
Kliwon : Jam 10.48-1.11 dan jam 1.12-3.35 Cara untuk menentukan waktu-waktu diatas adalah sebagai berikut: Tabel 3.3: Sa’at Ijabing Penganten Jam
Pasaran 6-8.23
8.24-10.47 10.48-1.11 1.12-3.35
3.36-5.59
Legi
Tutur
Alangan
Pacak
Slamet
Rijeki
Paing
Rijeki
Tutur
Alangan
Pacak
Slamet
Pon
Slamet
Rijeki
Tutur
Alangan
Pacak
Wage
Pacak
Slamet
Rijeki
Tutur
Alangan
Kliwon
Alangan
Pacak
Slamet
Rijeki
Tutur
(Keterangan Mbah Sukiban dalam Buku Primbon) Jadi bagi warga Dusun Dogo apabila akan melangsungkan akad nikah harus memperhatikan petungan diatas, misalnya dari kedua calon mempelai ingin melangsungkan akad nikah pada hari jum‘at kliwon maka waktu yang paling baik adalah jam 10.48-1.11 jatuh pada slamet, waktu yang sedang yaitu jatuh pada jam 1.12-3.35 jatuh pada rejeki. Waktu-waktu yang lain itu tidak boleh diterak (dipakai), sebab apabila waktu tersebut tetap diterak maka tidak baik pernikahannya.
46
Khusus untuk bulan Suro atau Muharram tidak ada orang yang punya hajatan pernikahan karena seseorang telah Kanji (Trauma) karena dari sejarah nenek moyang dulu yang melangsungkan hajatan di bulan Muharram sering mendapat Sambikala atau malapetaka (Hasil wawancara dengan Mbah Dagog, tanggal 28 September 2014). Bagi warga di Dusun Pakis dalam menentukan hari yang baik dalam pernikahan diambil dari hari dan pasaran kelahiran calon pengantin perempuan, namun tidak berani menerjang hari naas atau dimana hari kematian orang tua (Hasil wawancara dengan Bapak Pasri, tanggal 29 September 2014). Menurut keterangan dari Mbah Legi, selaku orang yang paling dituakan di Desa Pakis mengatakan bahwa dalam melakukan hajat perkawinan, mendirikan rumah, bepergian dan sebagainya, kebanyakan orang Jawa dulu mendasarkan atas hari yang berjumlah 7 (Senin-Minggu) dan pasaran yang jumlahnya ada 5, tiap hari tentu ada rangkapannya pasaran, masing-masing hari dan pasaran mempunyai ―neptu‖, yaitu nilai dengan angkanya sendiri-sendiri. Tabel 3.6: Perhitungan hari dan pasaran Hitungan Pasaran Hitungan
No
Hari
1
Jum‘at
6
Legi
5
2
Sabtu
9
Pahing
9
3
Minggu
5
Pon
7
4
Senin
4
Wage
4
5
Selasa
3
Kliwon
8
47
6
Rabu
7
7
Kamis
8
(Keterangan Mbah Legi dalam buku primbon) Hari dan pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak laki-laki masing-masing dibuang (dikurangi) sembilan. Misalnya: 1. Kelahiran anak perempuan adalah hari Rabu (neptu 7) Pon (neptu 7) jumlah 14, dibuang 9 sisa 5. 2. Sedangkan kelahiran anak laki-laki Minggu (neptu 5) Legi (neptu 5) jumlah 10, dikurangi 9 sisa 1. Menurut perhitungan dan berdasarkan sisa-sisa diatas, maka perhitungannya apabila sisa adalah sebagai berikut: 1 dan 1: becik kinasihan 1 dan 2:becik 1 dan 3: kuat, adoh rejekine 1 dan 4: akeh bihahine 1 dan 5: pegat 1 dan 6: adoh sandhang pangane 1 dan 7: sugih satru 1 dan 8: kasurang-surang 1 dan 9: dadi pangauban 2 dan 2: slamet, akeh rejekine 2 dan 3: geles mati siji 2 dan 4: akeh godane
48
2 dan 5: akeh bilahine 2 dan 6: geles sugeh 2 dan 7: anake akeh mati 2 dan 8: cepak rejekine 2 dan 9: akeh rejekine 3 dan 3: mlarat 3 dan 4: akeh bilahine 3 dan 5: geles pegat 3 dan 6: oleh nugraha 3 dan 7: akeh bilahine 3 dan 8: geles mati siji 3 dan 9: sugih rejeki 4 dan 4: kerep lara 4 dan 5: akeh rencanane 4 dan 6: sugeh rejeki 4 dan 7: mlarat 4 dan 8: akeh pangkalane 4 dan 9: kalah siji 5 dan 5: tulus begjane 5 dan 6: cepak rejekine 5 dan 7: tulus sandang pangane 5 dan 8: akeh sambikalane 5 dan 9: cepak sandang pangane
49
6 dan 6: gede bilahine 6 dan 7: rukun 6 dan 8: sugih satru 6 dan 9: kasurang surang 7 dan 7: ingikum mareng rabine 7 dan 8: nemu bilahi soko awake dewe 7 dan 9: tulus palakramane 8 dan 8: kinasihan deneng wong 8 dan 9: akeh bilahine 9 dan 9: giras rejekine Sedangkan hari yang baik untuk keperluan apa saja, misalnya pindah tempat, punya kerjaan, perkawinan, tukar cincin dan sebagainya yaitu:
No
Tabel 3.7: Hari yang baik untuk hajatan Bulan Hari Makna
1
Besar
2
3
4
5
Suro
Sapar
Maulud
Ba‘da mulud
Senin
Baik sekali
Rabu
Baik
Rabu
Baik
Selasa
Baik
Selasa
Baik sekali
Kamis
Baik
Rabu
Baik sekali
Jum‘at
Baik
Kamis
Baik sekali
Sabtu
Baik
50
6
Jumadil awal
Kamis
Baik sekali
Minggu
Baik
7
Jumadil akhir
Sabtu
Baik sekali
8
Rajab
Rabu
Baik sekali
Jum‘at
Baik
9
Ruwah
Minggu
Baik
10
Poso
Minggu
Baik sekali
Senin
Baik sekali
11
Sawal
Minggu
Baik sekali
12
Selo
Minggu
Baik sekali
(Keterangan Mbah Legi dalam buku Primbon) Mbah Legi juga mengatakan bahwa Ala beciking sasi kanggo ijabing panganten: Sura
: Tukar padu, nemu kerusakan. (Aja diterak)
Sapar
: Kekurangan, sugih utang. (Kena diterak)
Mulud
: Mati salah siji.(Aja diterak)
Rabingulakir
: Tansah dicatur lan nemu ujar ala. (Kena diterak)
Jumadilawal
: Kerep kelangan, kapusan, sugih satru. (Kena diterak)
Jumadilakir
: Sugih mas salaka.
Rejeb
: Sugih anak lan slamet.
Ruwah
: Rahayu ing sakabehe.
Pasa
: Cilaka gedhe. (Aja diterak)
Sawal
: Kekurangan, sugih utang. (Kena diterak)
Dulkangidah
: Gering, kerep pasulayan lan mitra. (Aja diterak)
51
Besar
: Sugih, nemu suka harja. Masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam melakukan berbagai hal
termasuk melangsungkan upacara perkawinan, sehingga segala sesuatunya harus diperhitungkan untuk menghindari sesuatu yang tidak diharapkan. Mereka sangat hati-hati sekali terhadap hari-hari, maupun bulan yang dianggap baik ataupun yang dilarang dalam segala suatu keperluan, mereka berkeyakinan bahwa apabila waktu buruk diterjang maka akan mendapatkan sambilaka.
C. Prosesi Pembaharuan Akad Nikah Berdasarkan Petungan Tradisi pembaharuan akad nikah, dilakukan oleh suami istri karena pada pernikahan pertama tidak tepat pada petungan (perhitungan) sistem kalender Jawa. Praktik pembaharuan akad nikah dipahami sebagai penepatan waktu pada petungan sitem kalender Jawa agar keluarga menjadi bahagia dan mendapatkan rizki yang melimpah serta terhindar dari marabahaya. Pembaharuan akad nikah biasanya dilakukan di kediaman mereka sendiri atau di kediaman orang yang ditunjuk untuk menikahkan mereka, yaitu Mbah Legi Rt 02 Rw 03 dan Bapak Sarju Rt 04 Rw 01, sebagai tokoh agama dan dukun di Desa Pakis. Pasangan suami istri yang melakukan pembaharuan akad nikah ini tidak diketahui oleh orang banyak, bahkan satu desa pun banyak yang tidak mengetahuinya. Mereka hanya mengundang keluarga atau tetangga kanan kiri saja sebagai saksi bahwa mereka telah melakukan pembaharuan akad nikah.
52
Seperti pada pernikahan yang umum dilakukan, tradisi ini juga memiliki syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun pembaharuan akad nikah seperti pada pernikahan yang pertama, yaitu: a. adanya kedua mempelai b. wali nikah c. dua orang saksi d. Mahar e. Ijab dan Qobul Pada tradisi ini tidak perlu dicatat sebagai bukti tertulis, cukup disaksikan tetangga kanan kiri saja. Hal inilah yang menyebabkan tidak ditemukannya bukti tertulis tentang terjadinya tradisi ini. Dalam pembaharuan akad nikah, yang menjadi awal dilaksanakannya tradisi ini adalah syahadat kemudian diakhiri dengan do‘a bersama. Do‘a ini dipimpin oleh orang yang menikahkan mereka agar mendoakan pernikahan yang kedua diberkahi oleh Allah swt. Hal ini juga sama dengan pernikahan pada umumnya yang diawali dengan syahadat dan diakhiri dengan do‘a. Mengenai maskawin, tradisi ini juga mengenal adanya pemberian maskawin dari suami kepada istrinya. Hal ini juga dikarenakan pandangan masyarakat yang memahami bahwa apabila pada perkawinan yang umum dilakukan dengan maskawin, maka pada pembaharuan akad nikah perlu adanya maskawin sesuai dengan kesepakatan suami istri tentang apa yang akan diberikan sebagai maskawin.
53
Sebagaimana pernikahan pada umumnya, setelah melaksanakan akad mereka juga melaksanakan walimahan walaupun tidak semewah pada pernikahan yang pertama, walimah tersebut berupa memberikan jamuan makanan kepada keluarga dan kerabat yang menghadirinya. Akan tetapi tidak semua pasangan suami istri yang melakukan tradisi ini melakukan walimah, ada juga pasangan suami istri yang tidak melakukannya dikarenakan kehidupan ekonominya yang kekurangan. Kepungan adalah hal yang dilakukan setelah melaksanakan tradisi tersebut, kepungan ini dilaksanakan pada malam hari dan dilakukan setelah tadarus al-Qur‘an terutama surat Yasin atau kalau di desa disebut dengan Yasinan. Kepungan ini dilakukan sebagai simbol rasa syukur mereka dan berharap apa yang telah dilakukan mendapatkan berkah dari Allah swt. Pelaksanaan tradisi pembaharuan akad nikah seperti ini dilakukan oleh mereka apabila pernikahan pertama tidak tepat pada petungan Jawa agar perhitungan tersebut tepat dan menjadikan kehidupan yang bahagia serta dilimpahi dengan rizki yang melimpah, peristiwa ini merupakan sesuatu yang membahagiakan dan patut dirayakan walaupun hanya sekedar kepungan. Bagi masyarakat di Desa Pakis yang secara umur masih tergolong muda biasanya dalam melaksanakan tradisi ini secara diam-diam dan hanya diketahui oleh orang tua mereka serta orang yang menikahkan saja. Hal ini dilakukan karena mereka malu kepada masyarakat jika harus melakukan perkawinan sampai dua kali sehingga mereka merahasiaakan apa yang mereka lakukan.
54
Menurut persepsi masyarakat Desa Pakis, kebanyakan mereka setuju tentang adanya tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan Petungan Jawa, hal ini dapat dilihat dari 11 responden yang mana dari 9 responden mengatakan setuju dan 2 responden mengatakan tidak setuju. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: Tabel 3.6: Daftar Persepsi Masyarakat Terhadap Pembaharuan Nikah No Nama L/P RT/ Agama Umur Keterangan Terhadap RW Pembaharuan Nikah 1
Paramita
P
3/1
Islam
21
Tidak setuju, tapi masih ikut orang tua
2
Pasri
L
3/1
Islam
45
Setuju, agar terhindar dari malapetaka
3
Imam
L
2/1
Islam
21
Tidak setuju, karena tidak diatur dalam hukum Islam, tetapi masih tetap mengikuti pendapat orang tua
4
Bini
L
1/1
Islam
53
Setuju, supaya untuk menghindari malapetaka
5
Sarju
L
4/1
Islam
47
Setuju, agar pernikahannya menjadi langgeng
6
Eka
P
2/2
Islam
30
Setuju, agar dimudahkan rizkinya
7
Sukiban
L
2/2
Islam
46
Setuju, agar mendapatkan rahmat dari Allah
8
Agus
L
1/3
Islam
34
Setuju, agar bahagia dunia akhirat
9
Legi
L
2/3
Islam
62
Setuju, agar keluarga menjadi barokah dan langgeng
10
Dagog
L
½
Islam
52
Setuju, agar jauh dari
55
malapetaka 11
Hadi
L
5/1
Islam
27
Setuju, karena bertujuan untuk kebaikan
(Hasil wawancara di Desa pakis) Prosesi pelaksanaan pembaharuan akad nikah diatas, merupakan langkah-langkah yang dilakukan bagi pelaku pembaharuan akad nikah, adapun orang-orang yang melakukan pembaharuan akad nikah adalah sebagai berikut:
No
Tabel 3.7: Pelaku pembaharuan akad nikah Suami Istri RT/RW Keterangan
1
Khoirul
Paramita
3/1
Melakukan pembaharuan akad nikah karena pernikahan pertama tidak tepat pada perhitungan kalender Jawa
2
Pasri
Sarimi
3/1
Melakukan pembaharuan nikah agar selama mereka berpisah (mencari nafkah) itu tidak terjadi macam-macam atau perselingkuhan
3
Farid
Eka
2/2
Karena ekonomi kurang lancar
4
Agus
Yati
1/3
Karena dalam pernikahannya belum dikaruniai anak
(Hasil wawancara di Desa pakis) a. Khoirul dan Paramita Permulaannya mereka adalah teman disatu kampus STAIN Salatiga yang sekarang sudah menjadi IAIN Salatiga. Karena mereka saling mencintai, akhirnya Khoirul memutuskan untuk menikah dengan Paramita. Khoirul bertempat tinggal di Desa kadirejo Rt 09 Rw 03 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, dan Paramita tinggal di Desa Pakis Rt 03 Rw 01 Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati.
56
Dalam urusan perkawinan yang terkait dengan masa depan, di Desa Pakis tidak terlepas dari kepercayaan dimana sebelum perkawinan dilaksanakan, kedua orang tua mempelai menentukan hari pelaksanaan nikah dengan petungan, pasaran calon mempelai dan dicari hari yang baik. Karena dengan perhitungan yang baik tersebut akan membawa ketentraman hidup dan terhindar dari malapetaka. Karena pernikahan pertama Khoirul dan Paramita tidak tepat pada petungan Jawa, akhirnya mereka disarankan oleh orang tuanya untuk melakukan pembaharuan akad nikah, kemudian mereka melakukan pembaharuan akad nikah tersebut di Desa Pakis. Mereka melakukan tradisi itu bukan karena mereka mempercayai tentang tradisi pembaharuan nikah berdasarkan Petungan Jawa dapat menjadikan rizkinya berlimpah dan terhindar dari marabahaya, tetapi mereka melakukan tradisi tersebut sebagai kehati-hatian dan rasa hormat atau patuh kepada orang tua. Menurut mereka pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan bukan merupakan sebuah alat untuk mendapatkan rizki yang melimpah atau cara untuk menghindari cobaan yang diberikan oleh Tuhan, tetapi untuk menjaga
hubungan
diantara
mereka
sebagai
kehati-hatian
dalam
pernikahannya. Hal itu dibuktikan bahwa sebelum melakukan tradisi tersebut mereka sering bertengkar tanpa ada alasan yang jelas, tetapi setelah melakukan tradisi ini kehidupan mereka lebih harmonis karena mereka saling intropeksi diri dan saling menerima kekurangannya masing-masing.
57
b. Pasangan Bapak Pasri dan Ibu Sarimi Dalam sebuah rumah tangga kehidupan suami istri itu tidak selamanya berkumpul terus, adakalanya suami sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk mencari nafkah, tidak hanya di kampung sendiri, bahkan merantau sampai Negara tetangga. Misalnya Malaiysia dan Arab Saudi, sehingga harus berpisah dengan keluarganya. Sedangkan istri di rumah diliputi perasaan kegelisahan dan kesepian, apalagi suami jarang pulang, paling sedikit dua tahun bahkan ada yang sampai empat tahun. Hal ini pernah dialami Bapak Pasri dan Ibu Sarimi. Bapak Pasri adalah orang yang bertempat tinggal di Desa Pakis Rt 03 Rw 01 Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, dan Ibu Sarimi merupakan orang yang samasama tinggal di Desa Pakis tetapi berbeda Rt yaitu Rt 02. Karena mereka saling mencintai akhirnya mereka melakukan pernikahan. Bapak Pasri pergi ke Malaysia selama bertahun-tahun untuk mencari nafkah dan tanpa ada kabar berita sama sekali, ketika Bapak pasri pulang kerumah atau kampung halaman, mereka ingin memperbaharui hubungan keluarga mereka dengan melakukan pembaharuan akad nikah. Tujuan Bapak pasri dan Ibu Sarimi melakukan pembaharuan nikah adalah untuk menjadikan hubungan mereka lebih harmonis dan langgeng, selain itu mereka berkeinginan agar selama mereka berpisah itu tidak terjadi macammacam seperti perselingkuhan. Sebab tidak jarang bila suami jauh dari istri menyelewengpun bisa saja terjadi, entah itu dilakukan dari pihak suami maupun istri. Setelah Bapak Pasri dan Ibu Sarimi melakukan pembaharuan
58
nikah, mereka seperti pengantin baru yang mempunyai rasa kasih sayang yang lebih dan memunculkan kepercayaan yang kuat diatara mereka. c. Pasangan Farid dan Eka Farid bertempat tinggal di Desa Pucang Rt 06 Rw 01 Kecamatan Kayen Kabupaten Pati, dan Eka bertempat tinggal di Desa Pakis Rt 02 Rw 02 Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Walaupun di desa Farid ada tradisi pembaharuan akad nikah sendiri, tetapi mereka melakukannya di Desa Pakis sesuai dimana istrinya tersebut dilahirkan. Hal ini disebabkan karena perhitungan kalender Jawa itu utamanya dihitung dari pengantin wanita yang menentukan. Mereka pertamanya
melakukan pembaharuan nikah karena
tidak
tepat
pada
perhitungan
kalender
pernikahan Jawa
dan
perekonomiannya kurang lancar. Hal-hal tersebut menjadikan keluarga mereka sering terjadi percekcokan, akhirnya setelah satu tahun dari pernikahan pertama, mereka melakukan pembaharuan akad nikah agar keluarga menjadi harmonis dan diberi rizki yang melimpah. Setelah melakukan tradisi tersebut keluarga mereka lebih harmonis walaupun kadang-kadang masih ada pertengkaran, selain itu walaupun mereka belum bisa menyisihkan uang, tetapi dalam rumah tangga mereka selalu ada biaya untuk kebutuhan sehari-hari. d. Pasangan Agus dan Yati Agus dan Yati bertempat tinggal di Desa Pakis Rt 01 Rw 03 Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati. Mereka melakukan pembaharuan
59
akad nikah karena dalam pernikahannya yang berjalan selama lima tahun belum dikaruniai anak. Sebelum melakukan pembaharuan akad nikah mereka sering bertengkar dan sering menyalahkan siapa yang mandul, akhirnya mereka mendapat saran dari orang tuanya untuk melakukan pembaharuan akad nikah. Setelah melakukan pembaharuan akad nikah tersebut, mereka membuka lembaran baru dan memiliki waktu yang banyak untuk saling intropeksi diri dan saling memaafkan kesalahan mereka serta menata kembali kehidupan rumah tangganya yang berantakan. Setelah mereka melakukan pembaharuan akad nikah, mereka masih tetap belum dikaruniai anak, tetapi setelah melakukan tradisi tersebut kehidupan rumah tangga mereka menjadi lebih baik.
D. Dampak Positif Dan Negatif Bagi Para Pelaku Pembaharuan Akad Nikah Berdasarkan Petungan Jawa Dan Bagi Yang Tidak Melakukannya Menurut hasil wawancara dari Bapak Sarju selaku modin dan ta‘mir masjid Baitul Muttaqin di Desa Pakis kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati pada hari Minggu tanggal 28 September 2014, beliau menjelaskan bahwa apabila pernikahan itu dilakukan pada waktu yang tidak tepat maka pernikahan itu harus diperbaharui yaitu melakukan pembaharuan akad nikah, selain itu apabila dalam keluarga mereka banyak masalah maka dianjurkan untuk melakukannya. Menurut keyakinan masyarakat di Desa Pakis pernikahan yang dilaksanakan tidak berdasarkan petungan menyebabakan pasangan suami istri
60
itu tidak bisa hidup dengan harmonis karena banyak masalah yang dihadapi dalam keluarganya. Dengan adanya Petungan Jawa untuk melangsungkan pernikahan maupun pembaharuannya yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Desa Pakis dan masyarakat yang tidak menggunakannya, terdapat beberapa dampak atau akibat yang ditimbulkannya. Dalam hal ini penulis mengklasifikasikan dampak atau akibat dari penggunaan Petungan Jawa dalam pembaharuan nikah dan tanpa melakukannya dibagi menjadi Dua, yaitu: 1. Dampak Positif a. Dengan adanya Petungan Jawa, masyarakat Desa Pakis menjadi lebih tahu tentang hari baik maupun hari buruk dalam menentukan waktu hajatan mereka sendiri. b. Dengan melaksanakan tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan Petungan Jawa keluarga yang punya hajat menjadi tenang dari datangnya sengkala atau ancaman marabahaya. c. Dengan melaksanakan tradisi tersebut, mereka meyakini bahwa setelah itu akan dimudahkan rejekinya. d. Bagi Para pelaku yang melakukan Pembaharuan akad nikah berdasarkan Petungan Jawa berarti telah melestarikan budaya ajaran para nenek moyang terdahulu. e. Bagi masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, mereka menjadi tenang dan tidak resah dengan berbagai ancaman marabahaya karena sudah menepatkan perhitungan tersebut.
61
2. Dampak Negatif a. Bagi masyarakat yang menggunakan Petungan Jawa untuk hajatan perkawinan atau pembaharuan akad nikah, mereka menjadi resah jika dalam hajatan tidak menggunakannya. b. Bagi yang percaya terhadap petungan untuk pembaharuan akad nikah secara langsung harus melakukannya jika tidak ingin mendapatkan marabahaya dalam kehidupannya. c. Bagi masyarakat yang percaya tradisi tersebut dan mereka tidak melakukannya
maka
akan
menimbulkan
pertengkaran
dalam
keluarganya. d. Bagi yang percaya terhadap petungan menimbulkan kepada perbuatan yang syirik. e. Bagi masyarakat yang anti Petungan akan mendapatkan omongan yang kurang baik jika tidak menggunakannya dalam hajatan khususnya pernikahan. Dari lima dampak negatif itu saja sebenarnya sudah membuat seseorang resah, karena masyarakat Desa Pakis meyakini bahwa apabila mereka percaya terhadap tradisi tersebut maka harus melakukan pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan, namun jika dilanggar maka mereka akan mendapatkan sambikala atau marabahaya, padahal bagi orang yang mempercayai hal-hal tersebut merupakan orang yang tergolong dalam perbuatan syirik.
62
Mbah bini bercerita pada hari senin tanggal 29 September 2014 bahwa pada salah satu kasus yang pernah terjadi di Desa Pakis sekitar lima (5) tahunan yang lalu, ada seorang warga yang menikah tanpa memperhatikan petungan dan percaya dengan tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan, namun orang tersebut nekat untuk tidak melakukan tradisi tersebut. Dari hal itu sebenarnya telah diperingatkan oleh warga yang dianggap ahli petungan atau termasuk orang yang dituakan di Desa Pakis, beliau menyuruh orang tersebut untuk melakukan tradisi pembaharuan akad nikah, akan tetapi peringatan-peringatan atau nasehat tersebut tidak ada yang dilaksanakan. Akhirnya pada suatu hari keluarga mereka terjadi perselisihan yang sangat besar yang dikarenakan anaknya sakit-sakitan secara terus-menerus dan tidak mempunyai biaya untuk berobat, lambat laun anaknya itu meninggal dan setelah meninggal anaknya tersebut, mereka bercerai. Sebenarnya kejadiankejadian semacam itu semua atas kehendak Allah swt, namun sudah menjadi kepercayaan masyarakat Jawa di Desa Pakis terhadap tradisi tersebut yang menjadikan mereka percaya dengan kejadian-kejadian mistik.
63
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Konsep Petungan Jawa Dalam Pernikahan Pernikahan dalam keyakinan masyarakat Desa Pakis merupakan sesuatu yang sangat sakral dan agung, dimana dalam setiap ritual sejak dimulainya lamaran hingga ritual sungkeman ada makna tersendiri di dalamnya. Dalam ritual Pernikahan juga diadakan berbagai macam slametan agar diberi keselamatan dari berbagai sengkala atau marabahaya. Slametan kelahiran waktunya ditetapkan menurut peristiwa kelahiran, dan slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu, namun masyarakat Desa Pakis tidak menganggap peristiwa itu sebagai suatu kebetulan, peristiwa itu dianggap sebagai ketentuan dari Tuhan, yang menetapkan secara pasti perjalanan hidup setiap orang. Upacara
perkawinan,
seperti
pergantian
tempat
tinggal
dan
semacamnya perlu ditetapkan dengan kehendak manusia, tetapi di sini dalam penetapan secara sembarangan harus dihindari dan suatu tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut Petungan atau ―hitungan‖ (Geertz,1960:38). Sebagaimana dari hasil wawancara pada hari senin tanggal 29 September 2014, Bapak Sarju selaku modin dan takmir masjid Baitul Muttaqin mengatakan bahwa, perkawinan yang ideal ialah perkawinan dalam warna,
64
dimana pihak laki-laki dan perempuan sama derajatnya dan berpedoman pada adat-adat yang telah diyakini dalam masyarakat tersebut (petungan), biasanya dilambangkan dengan perkawinan antara Rama dan Shinta. Perkawina dalam warna tersebut memberikan jaminan kepada kelangsungan hidup warna, karena tidak menimbulkan kekeruhan atau kegoncangan. Dalam menggunakan Petungan Jawa untuk memilih hari baik dalam pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pakis terdapat perbedaan antara dusun satu dengan dusun yang lain, antara dukun satu dengan dukun yang lain. Bagi para dukun yang ada di Desa Pakis itupun sudah berbeda dalam menggunakan petungan untuk pernikahan, yang mana dulu sangat rumit dari nilai hari dan pasaran kedua calon mempelai yang dijumlahkan bahkan sampai jam berapa waktu lahirnya kedua calon pengantin. Namun, lambat laun hal itu mulai berubah dengan hanya nilai hari dan pasaran calon pengantin perempuannya saja yang digunakan. Bagi Mbah Sukiban salah satu dukun yang ada di Dusun Dogo dalam memilih hari baik biasanya yang punya hajat sudah punya pilihan waktu sendiri dan datang ke dukun hanyalah untuk konsultasi, apakah jika punya gawe atau hajatan pada hari itu baik atau tidak?, dalam hal ini dukun tinggal melihat bulan Jawa dan harinya yang telah ditentukan dalam buku catatannya saja. Berbeda dengan Dusun Pakis yang mana dalam menikahkan anaknya menggunakan hari kelahiran calon pengantin perempuan untuk menentukan
65
hari pernikahan. Bagi warga Dusun Pakis juga takut pada hari naas atau hari dimana meninggalnya orang tua yang tidak berani punya hajat. Dalam suatu komunitas di masyarakat Jawa khususnya Desa Pakis tidak semua orang bisa menentukan hari-hari baik untuk melangsungkan berbagai macam hajatan termasuk perkawinan, namun hanya beberapa orang saja dalam suatu desa atau kelurahan itu yang dapat melakukannya. Biasanya orang yang dianggap tua atau yang dituakan yang dimintai pertolongan oleh seseorang yang ingin punya hajat. Di dalam sistem petungan, masyarakat Desa Pakis terdapat suatu konsep metafisis sebagai pedoman dalam pernikahan, yaitu cocog yang berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, serta persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya. Dalam menentukan hari baik untuk pernikahan ada hal-hal yang harus diketahui dan dipergunakan, misalnya: neptu hari dan pasaran serta bulan Jawa dari calon kedua pengantin waktu dilahirkan. Menurut keterangan dari Mbah Legi, selaku orang yang paling dituakan di Desa Pakis mengatakan bahwa dalam melakukan hajat perkawinan, mendirikan rumah, bepergian dan sebagainya, kebanyakan orang Jawa dulu mendasarkan atas hari yang berjumlah 7 (Senin-Minggu) dan pasaran yang jumlahnya ada 5, tiap hari tentu ada rangkapannya pasaran, masing-masing hari dan pasaran mempunyai ―neptu‖, yaitu nilai dengan angkanya sendiri-sendiri.
66
Hari dan pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak laki-laki masing-masing dibuang (dikurangi) sembilan. Misalnya: 3. Kelahiran anak perempuan adalah hari Rabu (neptu 7) Pon (neptu 7) jumlah 14, dibuang 9 sisa 5. 4. Sedangkan kelahiran anak laki-laki Minggu (neptu 5) Legi (neptu 5) jumlah 10, dikurangi 9 sisa 1. Masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam melakukan berbagai hal termasuk melangsungkan upacara perkawinan, sehingga segala sesuatunya harus diperhitungkan untuk menghindari sesuatu yang tidak diharapkan. Mereka sangat hati-hati sekali terhadap hari-hari, maupun bulan yang dianggap baik ataupun yang dilarang dalam segala suatu keperluan. Dalam Islam semua hari, bulan, tahun adalah waktu yang baik, tidak ada hari yang sial atau hari keramat, hanya saja para masyarakat Jawa yang menganggap teguh ajaran nenek moyanglah yang percaya terhadap hari-hari sial. Tathayyur atau thiyarah yaitu merasa bernasib sial karena sesuatu. َّ ( سَ َج َز انmenerbangkan burung). Tathayyur (merasa Diambil dari kalimat: طٍ َْز sial) tidak terbatas hanya pada terbangnya burung saja, tetapi pada namanama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya. Semua itu diharamkan dalam syari‘at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik oleh Rasulullah Shallallahu ‗alaihi wasallam, karena orang yang
67
bertathayyur menganggap hal-hal tersebut membawa untung ataupun celaka (Yazid, 2005:345). Ibnu Mas‘ud r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
َّ :َهْيَلَع ُهللا ىَّلَصَََّ قَال , ُارة َ ِش ْزك ِ َْهللا ُ َع ْه َر,ُع ْىه ِ َ ُ س ْى ِل َ ُى هللا ِ ع ْب ِد َ ع ْه َ ِ هللا ب ِْه َم ْسعُ ْى ٍد َر َ ٍَانط َ ض َّ ي َ ٍَانط ُّ َوا َ ْخ َز َجهُ انت َّ ْز ِم ِذ. َونَ ِك َّه هللاَ ٌُذْ ِهبُهُ بِانت َّ َىكُ ِم,َّ َو َما ِمىَّا اِال,ارة َ ِش ْز ٌك ث َ ََلثًا .ََواب ُْه ما َجت Artinya: Dari Abdullah bin Mas‟ud R.A., Dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda:”Ramalan nasib dengan hewan itu syirik, ramalan nasib dengan hewan itu syirik” Beliau ucapkan tiga kali, kata Abdullah:” Dan diantara kita tak lain hanyalah orang yang hatinya terlintas oleh pikiran itu. Tapi, Allah melenyapkannya dengan rasa tawakal kepada-Nya”. Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah (HR. Abi Daud Juz 4 Bab Thiyarah No.3756) (Yazid, 2005:359).
B. Analisis Faktor Yang Mendorong Untuk Melakukan Pembaharuan Akad Nikah Berdasarkan Petungan Jawa Faktor-faktor yang melatarbelakangi pembaharuan akad nikah, atau motif-motif yang mendorong terjadinya pembaharuan akad nikah yang dilakukan oleh pasangan suami istri di Desa Pakis, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati antara lain sebagai berikut: 1. Sering terjadi percekcokan Hubungan suami istri dalam rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan harmonis, dalam kehidupan rumah tangga ada saja yang diperselisihkan atau dipermasalahankan. Permasalahan kecil dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap rasa dalam rumah tangga, misalnya:
68
a. Tidak dikaruniai anak Anak dalam sebuah rumah tangga sangatlah dibanggakan oleh pasangan suami istri, tetapi tidak semua pasangan suami istri itu dapat memperoleh keturunan meskipun mereka telah bertahun-tahun membina rumah tangga itu. Diantara suami istri tersebut saling menyalahkan siapa yang mandul, sehingga hal ini sampai membawa kesituasi percekcokan diantara mereka. Maka dalam rumah tangga tidak akan terwujud rumah tangga yang mawadah warrahmah. Dalam keadaan yang demikian runyamnya, biasanya orang tua atau kerabat menyarankan dan memberi nasehat-nasehat agar mereka memperbaiki hubungannya. Jika mereka menolak maka disarankan untuk melakukan pembaharuan akad nikah, jika mereka mau melakukan pembaharuan akad nikah tersebut maka kemungkinan besar hubungan rumah tangganya akan harmonis kembali dan saling menerima kekurangannya masing-masing, tetapi jika mereka tidak mau melakukan pembaharuan akad nikah tersebut hampir diperkirakan mereka akan bercerai. Setidaknya setelah melakukan pembaharuan akad nikah tersebut, mereka memiliki waktu yang banyak untuk saling intropeksi diri dan saling memaafkan kesalahan mereka serta menata kembali kehidupan rumah tangganya yang berantakan. Walaupun mereka tetap bercerai setelah melakukan pembaharuan akad nikah itu berarti sudah menjadi keputusan bersama di antara mereka.
69
Hal ini pernah dialami oleh pasangan suami istri Pak Agus dan Bu Yati yang telah melakukan pembaharuan nikah karena dalam usia pernikahannya berjalan 5 tahun belum dikaruniai anak. Kemudian setelah melakukan tradisi ini kehidupan rumah tangga mereka menjadi lebih baik walaupun belum dikaruniai anak. b. Ekonomi yang kurang lancar Ekonomi merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Jika keadaan ekonomi tidak seimbang dengan kehidupan sehari-hari, maka dalam kehidupan rumah tangga tersebut akan mengalami kegoncangan. Memang ekonomi bukan menjadi tolak ukur dalam menilai kebahagiaan keluarga, tetapi disissi lain ekonomi merupakan faktor penentu bagi jalannya kehidupan rumah tangga. Bila dalam sebuah rumah tangga tidak terpenuhi kebutuhan hidup kesehariannya karena akibat keadaan ekonomi yang kurang, maka kehidupan rumah tangga tersebut tidak akan tentram sehingga menyebabkan sering terjadi percekcokan. Hal ini pernah dilakukan oleh pasangan suami istri yang bernama Pak Farid dan Bu Eka. Karena sering terjadinya percekcokan ini dikhawatirkan terjadi thalak, maka suami istri ini bersepakat mengadakan pembaharuan akad nikah agar perkawinannya langgeng di dunia dan di akhirat serta diberi rejeki yang banyak.
70
2. Kepercayaan dan adat Dalam kehidupan masyarakat segala pola tingkah laku individu anggota masyarakat selalu dibatasi dengan norma-norma hukum yang tidak tertulis dan ditaati oleh individu yang bersangkutan pula. Pola tingkah laku tersebut meliputi pergaulan yang menyangkut masalah perkawinan. Dalam urusan perkawinan yang terkait dengan masa depan, mereka tidak terlepas dari kepercayaan, dimana sebelum perkawinan dilaksanakan biasanya kedua orang tua mempelai menentukan hari pelaksanaan nikah dengan petungan, pasaran calon mempelai dan dicari hari yang baik agar dapat membawa ketentraman hidup dan terhindar dari malapetaka. Tetapi ada orang tua mempelai yang tidak memperhatikan hal ini sehingga mengakibatkan pasangan suami istri sering dilanda musibah dan menurut adat kepercayaannya di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati bahwa pasangan suami istri itu harus diadakan akad nikah yang baru dengan memperhatikan petungan Jawa yang dipercayainya agar dijauhkan dari marabahaya yang menimpa pada diri suami istri tersebut. Hal ini dialami oleh pasangan suami isti yang bernama Khoirul dan Paramita, karena orang tuanya kurang memperhatikan tersebut maka mereka melakukan pembaharuan akad nikah dengan memperhatikan Petungan Jawa agar dilancarkan rejekinya dan dihindarkan dari marabahaya. Untuk itulah dilaksanakannya tradisi pembaharuan akad nikah yang akan menjadikan ketentraman dalam kehidupan rumah tangganya.
71
Hal-hal yang telah terurai diatas menunjukkan bahwa timbulnya pembaharuan akad nikah disebabkan karena pengaruh kehidupan adat yang kepercayaannya
dibatasi
dengan
norma-norma
agama
yang
ikut
berpengaruh, terutama norma-norma hukum Islam yang mendapatkan tempat didalam kehidupan masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Mbah Bini, bahwa pada hakekatnya Islam
tidak
menentukan
hari
baik dan
hari
buruk
itu
kurang
dipertanggungjawabkan atau dibenarkan. Sebab nasib seseorang itu hanya Allah yang menentukan dan mengaturnya. Kebiasaan masyarakat Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten
Pati
adalah
selalu
menghubungkan
kepercayaan
yang
diyakininya dengan adanya kejadian-kejadian yang ada. Misalnya, suatu musibah yang dihubungkan dengan kejadian sesuatu. Sebagian masyarakat di desa Pakis ada yang percaya tentang adanya hal-hal atau kejadiankejadian tertentu sebagai alamat akan terjadinya musibah atau malapetaka. 3. Suami pergi jauh Dalam sebuah rumah tangga kehidupan suami istri itu tidak selamanya berkumpul terus, adakalanya suami sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk mencari nafkah tidak hanya di kampung sendiri, bahkan merantau sampai Negara tetangga, sehingga harus berpisah dengan keluarga, istri dan anaknya. Sedangkan istri di rumah diliputi perasaan kegelisaan dan kesepian, apalagi suami jarang pulang, paling minim dua tahun bahkan ada yang sampai empat tahun.
72
Ketika suami pulang ke rumah atau kampung halaman maka diadakan pembaharuan nikah agar selama mereka berpisah itu tidak terjadi macam-macam seperti perselingkuhan. Sebab tidak jarang bila suami jauh dari istri menyelewengpun bisa saja terjadi. Dari ketiga permasalahan-permasalahan diatas maka penyusun menarik kesimpulan bahwa sebenarnya tradisi pembaharuan nikah adalah sebagai motivator psikis bagi pasangan suami istri untuk memperbaiki kehidupan rumah tanga mereka sendiri. Walaupun mereka melakukan tradisi ini, tetapi apabila pribadi mereka tidak diperbaiki maka akan percuma dan siasia. Tradisi ini memiliki rukun dan syarat yang sama sesuai pada pernikahan pertama yang umum dilakukan. Ulama‘ fiqih mengatakan, bahwa rukun hakiki untuk nikah itu adalah kerelaan hati kedua belah pihak (laki-laki dan wanita) karena kerelaan tidak diketahui dan tersembunyi dalam arti, maka hal itu harus dinyatakan melalui ijab dan qabul. Ijab dan qabul adalah pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri masing-masing dalam suatu perkawinan. Ijab merupakan pernyataan pertama dari satu pihak dan qabul merupakan pernyataan dari pihak lain yang menerima sepenuhnya ijab tersebut (Kurazi, 1995:12). Sebagaimana pendapat Mahfudz (1993:4) mengatakan bahwa masalah pembaharuan nikah tidak ada kitab-kitab fiqh dari empat madzhab yang menyinggungnya, karena masalah NTR (nikah, talak, dan ruju') sudah diatur dengan jelas dalam syariat agama Islam. Sebagaimana kita maklumi
73
bersama bahwa nikah itu dapat menjadi sah jika dilakukan terhadap wanita ajnabiyah yang belum menjadi isterinya dan tidak sah jika dilakukan terhadap wanita yang masih berstatus sebagai isterinya.
C. Analisis Pandangan Tokoh Agama Dan Masyarakat Umum Terhadap Pembaharuan Akad Nikah Berdasarkan Petungan Jawa. 1. Pandangan Tokoh Agama Sesuai dari hasil wawancara pada hari minggu tanggal 28 September 2014 dan hari senin tanggal 29 september 2014 tentang pembaharuan akad nikah menurut tokoh agama di Desa Pakis Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati dapat diperoleh keterangan antara lain yaitu: a. Mbah Bini Beliau adalah salah satu orang yang dituakan dan mengajar Alqur‘an di Masjid Baitul Muttaqin Desa pakis kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, beliau mengatakan bahwa memperbaharui akad nikah yaitu melakukan akad nikah baru oleh pasangan suami istri yang sama dalam rangka untuk menambah berkah atau kebaikan dalam rumah tangga mereka. Pelaksanaan pembaharuan akad nikah sama dengan pelaksanaan akad nikah yang pertama. Dalam pernikahan pertama itu dicatat dan didaftarkan
di
Kantor
Urusan
Agama
(KUA),
tetapi
dalam
melangsungkan pembaharuan akad nikah ini tanpa diketahui oleh pihak Kantor Urusan Agama (KUA). Perkawinan yang ke dua ini biasanya
74
diijabkan oleh moden setempat. Mereka biasanya mengundang keluarga atau kerabat dekat sebagai saksi bahwa mereka telah melakukan tradisi ini. Pembaharuan akad nikah biasanya dilakukan karena banyaknya suatu masalah-masalah dalam rumah tangga, entah itu karena kebutuhan hidup yang kurang terpenuhi, ataupun karena pasangan suami tersebut selalu mendapatkan cobaan-cobaan yang terlalu berat. Pembaharuan akad nikah dilangsungkan satu tahun setelah pernikahan yang pertama. Dalam melangsungkan pembaharuan akad nikah seorang istri tidak perlu ditalak oleh seorang suami, karena pernikahan yang pertama sudah otomatis rusak dalam jangka satu tahun dan wajib melangsungkan pernikahan lagi (akad nikah ke dua). Pembaharuan akad nikah dilakukan berdasarkan petungan dalam buku Primbon. Hal ini berlangsung dengan adanya keyakinan di Desa Pakis untuk menghindari celaka (apes) dan mendapatkan keuntungan dikemudian hari. b. Mbah Legi Beliau merupakan sesepuh atau dukun serta orang yang menikahkan pelaksana pembaharuan akad nikah di Desa Pakis. Beliau mengatakan bahwa, pembaharuan akad nikah adalah melakukan pernikahan kembali karena pernikahan pertama dianggap kurang baik atau rusak dengan cara (nujum dino) mencari hari baik dalam
75
melaksanakan pernikahan tersebut karena pada pernikahan pertama belum tepat pada perhitungan Jawa. Alasan melakukan mbangon nikah (pembaharuan akad nikah) karena sepasang suami tersebut menikah tidak sesuai pada waktu yang sudah ditetapkan oleh perhitungan Jawa. Akhirnya mereka diberi saran oleh orang yang pintar dalam perhitungan Jawa untuk melakukan pembaharuan nikah, mereka mempercayai apabila tidak melakukannya maka didepannya adalah malapetaka, tepai apabila dia mau melakukan mbangon nikah tersebut maka mereka akan terhindar dari malapetaka dan dilimpahi rizki yang banyak. Menurut beliau mbangon nikah hukumnya adalah wajib bagi orang yang menikah tidak tepat pada perhitungan Jawa, dan sunnah bagi orang yang banyak masalah dalam keluarganya serta yang rejekinya kurang. Beliau juga mengatakan bahwa mbango nikah itu tidak perlu ditalak, karena kalau melalui talak maka seorang istri akan tersakiti hatinya. Tujuannya adalah untuk kelestarian keluarga (gulo wentah pikiran adem, ayem, tentrem, rahayu). Dalam melakukan mbangon nikah syaratnya sama pada pernikahan pertama, akan tetapi setelah ijab dan qobul selesai harus langsung diadakan slametan bagi kedua pasangan tersebut. Pertama harus disiapkan dua ambeng untuk dimakan oleh orang yang telah hadir dalam acara tersebut, ambeng tersebut berisi nasi kluban dan wajib memakai ayam kampung yang di ingkung. Karena ayam kampung tersebut
76
memiliki arti bahwa pipi gusti Allah dikuwil sitik dadi pitek, maksudnya orang yang makan ayam itu akan mendapatkan rahmat dari Allah. Syarat kedua adalah harus memakai sesajen, agar Jin dan Setan itu tidak mengganggu dalam acara tersebut. Sesudah semua syarat terpenuhu maka selesailah acara mbangon nikah tersebut dan harus berdo‘a terlebih dahulu. Do‘anya adalah ―njeng sunan kalijogo njenengan jogo keslametan awak pribadi kawulo anggen kulo mbangon nikah”. c. Bapak sarju Beliau adalah selaku modin dan ta‘mir masjid Baitul Muttaqin di Desa Pakis, dan sekaligus orang yang menikahkan pelaksana pembaharuan
akad
nikah
tersebut.
Beliau
mengatakan
bahwa
pembaharuan akad nikah adalah melakukan akad nikah baru oleh sepasang suami istri karena pernikahan pertama dianggap rusak, dan untuk mendapatkan barokah, kesejahteraan dan ketentraman dalam keluarga. Pelaksanaan tradisi pembaharuan akad nikah seperti ini dilakukan oleh mereka apabila pernikahan pertama tidak tepat pada petungan Jawa agar perhitungan tersebut tepat dan menjadikan kehidupan yang bahagia serta dilimpahi dengan rizki yang banyak. Pembaharuan akad nikah ini tidak perlu di talak karena akad yang pertama sudah otomatis rusak dan harus melakukan akad lagi.
77
Syarat dan rukun pembaharuan akad nikah seperti pada pernikahan yang pertama yaitu adanya kedua mempelai, wali, saksi, maskawin dan akad nikah. Hanya saja pada tradisi ini tidak perlu dicatat sebagai bukti tertulis, cukup disaksikan tetangga kanan kiri saja. Dalam
pembaharuan
akad
nikah,
yang
menjadi
awal
dilaksanakannya tradisi ini adalah syahadat kemudian di akhiri dengan do‘a bersama. Do‘a ini dipimpin oleh orang yang menikahkan mereka agar mendoakan pernikahan yang kedua diberkahi oleh Allah swt. Berdasarkan keterangan hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa memperbaharui akad nikah adalah suami istri yang melakukan akad nikah baru yang sebenarnya hanya merupakan suatu bentuk dari kehatihatian (ihtiyath) agar dalam menempuh bahtera kehidupan tersebut dapat langgeng sesuai dengan hakekat dan tujuan perkawinan yaitu tercapainya keluarga bahagia sejahtera penuh dengan kasih dan sayang (mawaddah warahmah). Dalil yang mengatakan pembaharuan nikah itu diperbolehkan yaitu kitab Tuhfah Al-Muhtaj:
َّ أ َ َّن ُم َج َّزدَ ُم َىافَقَ ِت اء ِ ض ُ عهَى َ ان َمثََلً الَ ٌَكُى ُن ا ْع ِت َزافًا ِبا ْو ِق َ ىر ِة َ ج ٍ َ ع ْق ٍد ث َ ص ِ انش ْو َ ص َم ِت اْألُونَى بَ ْم َوالَ ِكىَاٌَتَ فٍِ ِه َوهُ َى ظا ِه ٌز إِنَى أ َ ْن قَا َل َو َما هُىَا فًِ ُم َج َّز ِد ْ ْان ِع َ َّ ب ِم ْه .ُج ِنت َ َج ُّم ٍم أ َ ْو ا ْحتٍَِاطٍ فَتَأ َ َّم ْهه ٍ َ طه ِ انش ْو Artinya:
“Sesungguhnya suami melakukan akad nikah yang kedua (memperbaharui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas... sampai dengan... Sedangkan apa yang dilakukan suami disini (dalam
78
memperbaharui nikah semata-mata untuk memperindah atau berhati-hati” (Al-Haitamy, Ti:391). Bagi Mbah Legi dan Bapak Sarju, mereka adalah orang yang samasama menikahkan pelaksana pembaharuan akad nikah, walaupun dalam prakteknya ada perbedaan tetapi meraka saling menghormati dan saling menghargai. Bagi masyarakat yang memakai tata cara Mbah Legi maka mereka melakukan tradisi tersebut mendatangi Mbah Legi, tetapi sebaliknya jika masyarakat tersebut sebagian mengikuti tata cara Bapak Sarju, maka mereka mendatangi Bapak Sarju untuk disuruh menikahkan orang yang melaksanakan pembaharuan akad nikah. Dalam tradisi pembaharuan akad nikah ini tidak bertentangan dengan hukum Negara khususnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2, disebutkan bahwa ―tiaa-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku‖. Pembaharuan akad nikah hanya sebagai salah satu usaha untuk mencapai tujuan perkawinan mereka, yaitu untuk mewujudkan keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, serta untuk menambah keharmonisan dalam rumah tangganya. Dalam hal ini Haroen (1996:119) menyatakan bahwa maslahah mursalah merupakan kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara‟ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara‟ melalui dalil yang rinci. Dilihat dari pengertian diatas maka pembaharuan akad nikah tidak bertentangan dengan hukum Islam karena sesuai dengan teori maslahah mursalah. Maslahah dalam pembaharuan akad nikah ini termasuk dalam
79
tingkat
maslahah
tahsiniyah,
karena
mempunyai
tujuan
untuk
kesempurnaan dan keindahan bagi kehidupan manusia seperti tujuan diadakannya tradisi ini. Sebagaimana tujuan umum dari penetapan hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dan diraih oleh hukum Islam itu bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrowi, lahir, batin, material, spiritual, maslahat individu juga merupakan maslahat umum, maslahat hari ini dan maslahat hari esok (khallaf, 1996:356). Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan ‗urf. ‗Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi atau istilah, ‗urf berarti sesuatu yang telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan (Effendi, 20005:155). Adapun „urf sendiri dapat dijadikan sumber hukum ketika memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
„Urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuanya dianut oleh mayoritas
masyarakat
tersebut. b.
Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul.
c.
Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
80
d.
Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang terkandung dalam nash itu tidak bisa diterapkan (Haroen, 1996:144) Berdasarkan hasil wawancara diatas, bahwa sebagian besar
pasangan suami istri yang melakukan tradisi pembaharuan akad nikah ini yang tadinya kurang harmonis, banyak percekcokan dan hampir bercerai dapat kembali hidup dengan damai dan tentram. Pelaksanaan tradisi ini tidak terlepas dari manfaat dan mudharat yang ditimbulkannya, dengan demikian pertimbangan maslahah tidak dapat ditinggalkan dalam melihat suatu persoalan. Dalam mempergunakan maslahah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. Maslahah yang dimaksud adalah maslahah yang hakiki bukan dugaan semata dan bertujuan supaya pembentukan hukum maslahah tersebut dapat direalisasikan sehingga mendatangkan manfaat. b. Maslahah bersifat umum. c. Maslahah tidak bertentangan dengan prinsip hukum yang ditetapkan oleh ijma‘ dan nas (Haroen, 1996:122). Pertimbangan
yang dilakukan
terhadap
tradisi
ini
adalah
memperlihatkan manfaatnya yang berupa kembali harmonisnya kehidupan pasangan suami istri dan menghindari mudharat yang ditimbulkan yaitu menghindari terjadinya perceraian. Jika dilihat dari maslahah tersebut maka tradisi ini tidak bertentengan dengan syara‟ atau dengan kata lain „urf ini adalah „urf sahih yang tidak bertentangan dengan naas kemudian telah
81
berlaku dan menjadi pedoman dalam masyarakat. Tetapi karena tradisi tersebut menggunakan petungan yang mana mereka mempercayai adanya ramalan nasib dari nenek moyang maka kebiasaan tersebut bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ atau dengan kata lain adalah „urf fasid, maka tradisi itu menjadi bertentangan dengan nass yang merupakan golongan dari perbuatan syirik. 2. Pandangan masyarakat umum Pembaharuan akad nikah berdasarkan Petungan Jawa yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakis sudah dilakukan sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, namun dengan perkembangan zaman hal itu sudah mulai berubah dengan cara penentuan hari baiknya. Hal ini dilihat dari hasil penelitian dan wawancara terhadap beberapa warga yang ada di Desa Pakis. Dari 11 responden terdapat 9 responden yang setuju dengan tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan sistem hitungan Jawa dan 2 responden yang menyatakan tidak setuju dengan sistem hitungan Jawa. Artinya jika diukur dari prosentase terdapat 62 % dari responden menyatakan setuju dan 38 % yang menyatakan tidak setuju dengan tradisi pembaharuan akad nikah. Sesuai dari hasil wawancara pada hari minggu tanggal 28 September 2014 dan hari senin tanggal 29 september 2014, masyarakat Desa Pakis secara umum tidak mempermasalahkan tentang adanya tradisi ini, bahkan mereka mendukung dan menganjurkan bagi pasangan suami istri yang dalam kehidupan rumah tangganya kurang harmonis dan terancam
82
bercerai untuk melangsungkan tradisi ini. Hal ini bisa dimaklumi jika dilihat dari pengalaman yang sudah terjadi, dimana suami istri hampir bercerai, setelah melangsungkan tradisi ini mereka kembali hidup dengan harmonis dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Akan tetapi tidak semua orang setuju tentang hal ini, ada juga masyarakat yang memandang bahwa tradisi ini adalah mengada-ada dan tidak dilakukan oleh Nabi maupun sahabat Nabi, sehingga mereka memandang bahwa tradisi ini termasuk perbuatan bid‟ah, karena tidak ada dasar secara syar‟i yang menyuruh untuk melakukan tradisi ini dalam kondisi rumah tangga yang bagaimanapun. Bagi masyarakat awam, mereka tidak mau tahu apakah tradisi ini ada dalilnya atau tidak, yang penting bagi mereka maslahat yang bisa diperoleh dari tradisi ini sangat banyak, sehingga bagi mereka tidak ada masalahnya melakukan suatu hal yang baik walaupun tidak diperintah oleh agama. Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa memperbaharui akad nikah merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Desa Pakis untuk menjadikan sebuah kemaslahatan yang baik. Karena pelaksanaannya berpedoman pada petungan, maka tidak bisa dikatakan sebagai „urf Shahih (tidak bertentengan dengan naas). Petungan ini merupakan perhitungan Jawa yang dilandaskan pada kepercayaan nenek moyang atau percaya terhadap hal-hal mistik, oleh karena itu tradisi ini
83
merupakan tradisi yang tergolong pada perbuatan syirik sebab tidak sesuai dengan Al-quran dan hadist.
84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari beberapa pemaparan dan pembahasan yang peneliti lakukan, maka akhirnya dapat diambil beberapa kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah yang ada, yaitu: 1. Dalam sistem Petungan orang Jawa untuk menetukan hari pernikahan terdapat suatu konsep metafisis yang mana dalam melakukan hajatan kebanyakan orang Jawa dulu mendasarkan atas hari dan pasaran yang mempunyai ―neptu‖, yaitu nilai dengan angkanya sendiri-sendiri. Dalam Islam semua hari, bulan, tahun adalah waktu yang baik, tidak ada hari yang sial atau hari keramat, hanya saja para masyarakat Jawa yang menganggap teguh ajaran nenek moyanglah yang percaya terhadap hari-hari sial. Merasa bernasib sial karena sesuatu itu diharamkan dalam syari‘at Islam dan dimasukkan dalam kategori perbuatan syirik. 2. Pembaharuan akad nikah berdasarkan Petungan Jawa adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pakis yang dikarenakan beberapa faktor, antara lain yaitu karena kepercayaan adat, percekcokan dalam keluarga, dan karena jauh dari suami. Dari ketiga permasalahan-permasalahan tersebut maka diadakanlah pembaharuan akad nikah supaya keluarga bisa saling rukun dan hidup dengan harmonis. Adapun pembaharuan nikah bagi pasangan suami isteri yang kawin menurut syariat agama Islam bersumber
85
dari golongan orang-orang yang berpendapat bahwa disamping Allah swt masih ada yang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan hidup seseorang yang berumah tangga, yaitu hari pasaran. Orang-orang tersebut pada hakikatnya adalah orang-orang musyrik, karena kalau ada pasangan suami isteri yang hidupnya masih belum tenang dan tenteram, maka yang disalahkan adalah hitungan hari pasaran pada waktu melangsungkan akad nikah. 3. Pandangan tokoh agama dan masyarakat umum terhadap pembaharuan akad nikah berdasarkan Petungan Jawa sangatlah beragam, walaupun syarat dalam pelaksanaannya berbeda, tetapi mereka tetap menghormati dan menghargai. Suami istri yang melakukan akad nikah baru yang sebenarnya hanya merupakan suatu bentuk dari kehati-hatian (ihtiyath) agar dalam menempuh bahtera kehidupan tersebut dapat langgeng sesuai dengan hakekat dan tujuan perkawinan. Bagi masyarakat awam, mereka tidak mau tahu apakah tradisi ini ada dalilnya atau tidak yang penting bagi mereka maslahat yang bisa diperoleh dari tradisi ini sangat banyak, sehingga bagi mereka tidak ada masalahnya melakukan suatu hal yang baik walaupun tidak diperintah oleh agama. Apabila tradisi ini bukan berdasarkan petungan, maka tidak bertentengan dengan syara‟ atau dengan kata lain „urf shahih yaitu „urf yang tidak bertentangan dengan naas kemudian telah berlaku dan menjadi pedoman dalam masyarakat, maka hal itu diperbolehkan. Tetapi karena tradisi tersebut menggunakan petungan yang
86
mana mereka mempercayai hal-hal yang mistik, maka menjadi bertentangan dengan nass, yang merupakan sebuah perbuatan syirik.
B. Saran 1. Kepada lembaga pemerintah dalam hal ini yang berkompeten pada konsentrasi hukum Islam atau organisasi kemasyarakatan khususnya yang berkaitan dengan adat dapat diperhatikan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, di sisi lain mereka juga hidup dilingkingan masyarakat adat mereka. 2. Kajian-kajian tentang hukum Islam perlu ditingkatkan guna menjawab persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan plural. 3. Kepada masyarakat Kabupaten Pati khususnya dan masyarakat Islam Indonesia umumnya, apabila mengalami persoalan-persoalan dalam rumah tangga yang bisa menghancurkan rumah tangga kepada sebuah perceraian, bisa mencoba melakukan tradisi pembaharuan akad nikah sebagai upaya berintropeksi diri terhadap diri masing-masing pasangan untuk membuka lembaran baru bagi kehidupan rumah tangga. 4. Bagi suami istri yang mengalami keragu-raguan pada setatus perkawinan mereka karena sudah berpisah lama, bisa melakukan tradisi ini untuk memantapkan keyakinan mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
87
5. Bagi suami istri yang melakukan tradisi ini dengan alasan ekonomi hendaknya
dipikirkan
ulang
karena
permasalahan
bukanlah
pada
perkawinan mereka tetapi terdapat pada diri mereka sendiri. 6. Bagi suami istri yang hendak melakukan tradisi ini dengan alasan belum tepat pada hitungan kalender Jawa maka perlu dipikirkan lagi dan bagi suami istri yang akan melakukan tradisi ini gunakanlah syarat perkawinan menurut agama Islam dan jangan menggunakan syarat-syarat dari dukun, karena merupakan perbuatan syirik. 7. Bagi para penyuluh atau penasehat perkawinan, apabila ada suami istri yang ingin bercerai karena beberapa persoalanhendaknya dianjurkan untuk melakukan tradisi ini terlebih dahulu dengan harapan mereka mau mengurungkan niatnya untuk bercerai, setidaknya bagi mereka bisa merenungkan kembali apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga mereka.
88
DAFTAR PUSTAKA
Ardabili, Yusuf Ibrohim. Tt. Al-Anwar li A‟mal Al-Anwar. Kairo, Juz II: Dar alDhiya‘.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997.Mencakup dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pratnya Paramita.
Briyan, Turner. 1992. Sosiologi Islam Suatu Telaah Analisis Atas Tesa Sosiologi Weber. Jakarta: Rajawali Press.
Bukhari. 1978. Shahih Bukhari. Maktabah Syamilah Juz. I. Hadits: 52.
Daniel, Mochtar. 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara.
Effendi, Satria dan Zain M. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: KencanaPerdana Media Group.
Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
Fajri, Em Zul dan Ratu Aprilia Senja. Tt.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Indonesia Difa Publisher.
Geertz, Clifordz.1960. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghazaly,Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta: Prenada Media.
Haitamy, Ibnu Hajar. Tt.Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj. Terjemahan oleh Abdul Khamid Syarwani. Mesir, Juz VII: Mathba‘ah Mustafa Muhammad.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Publising House.
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Khallaf, AbdulWahab. 1996. Ilmu Usul Fiqh. Alih bahasa Masdar Helmy. Bandung: Gema Risalah Press.
Khoirudin, Khasan. 2003. Pengaruh Ajaran Etika Al-Ghazali dalam Masyarakat Jawa (Telaah Atas Konsep Pendidikan Etika Masyarakat Jawa), Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.
Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kurazi, Ahmad. 1995. Nikah Sebagai perikatan. Jakarta: Rajawali Press.
Mas‘adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Masroer, Ch. 2004. The History of Java, Sejarah Perjumpaan Agama-Agama di Jawa. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Mubaroq, Mikdad Musa. 2009. Fiqh Lingkungan Sesajen Kali dan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang). Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulder, Neils. 2001. Mistisme Jawa, Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Purwadi dan Siti Maziyah. 2060. Horoskop Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Saleh, Hassan. 2008. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Suseno, Magnis. 2001. Etika Jawa, Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Syarifudin, Amir. 2006 Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan UU perkawinan. Jakarta : Prenada Media.
Tihami, dan Sohari Sahrani. 2009. Fiqh Munakahat, Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yazid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
DAFTAR PERTANYAAN
1.
Apa yang bapak/ibu ketahui tentang tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan?
2.
Apa alasan masyarakat Desa Pakis menggunakan petungan dalam pernikahan/pembaharuan akad nikah?
3.
Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi pembaharuan
akad nikah
berdasarkan petungan? 4.
Apa dampak positif dan negatif bagi para pelaku yang melakukan tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan?
5.
Bagaimana konsep Petungan Jawa dalam pernikahan?
6.
Faktor apa saja yang melatarbelakangi dilakukannya tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan?
7.
Siapa saja yang biasanya terlibat langsung dalam melaksanakan tradisi pembaharuan akad nikah berdasarkan petungan?
8.
Dimana tradisi ini biasanya dilakukan?
9.
Apakah bapak/ibu mengetahui siapa saja yang pernah melakukan tradisi ini?
10. Sejak kapan tradisi ini berlaku di masyarakat Desa Pakis? 11. Apakah setelah melakukan tradisi ini, kehidupan rumah tangga merekan akan membaik? 12. Apakah ada pasangan yang setelah melakukan tradisi ini kemudian bercerai? 13. Bagaimana tanggapan bapak/ibu mengenai tradisi ini?
DAFTAR NILAI SKK NAMA
: KHRIOHK UMAM
NIM
: 21110013
JURUSAN
: SYARIAH ( AHWAL AL SYAKHSHIYYAH)
PA
:ILYA MUHSIN, S.HI., M.Si.
NO 1
JENIS KEGIATAN
PELAKSANAAN
Orietasi Pengenalan
25 – 27 Agustus
Akademik dan
2010
JABATAN
NILAI
Peserta
3
Peserta
3
19 Desember 2010
Peserta
6
Basic Training (LK 1)
22-24 Oktober
Peserta
3
HMI Cabang Salatiga
2010
kegiatanFollow up NDP
21 Maret 2011
Peserta
3
Kemahasiswaan (OPAK) 2
User Educatian oleh UPT
20 – 25 September
Perpustakaan STAIN
2010
Salatiga 3
National Workshop Of Entrepreneurship and Basic Cooreration
4
5
(Nilai— NilaidasarPerjuangan )
6
Penginapan Peserta
19 – 21 Agustus
Orientasi Pengenalan
2011
Panitia
3
Pengajar
4
8 – 9 Oktober 2011
Peserta
3
Intermediate Training
14 – 23 Oktober
Peserta
5
Tingkat Nasional HMI
2011
Peserta
3
Panitia
3
Akademik dan Kemahasiswaan. Hmi Cabang Salatiga 7
Dalam acara
21-27 Agustus
pesantrenkilat di SMP N
2011
4 Salatiga
8
Kegiatan Malam Keakraban (MAKRAB) Mahasiswa Syariah Bertajuk ―Semalam Sehati‖.
9
Cabang Kota Bogor 10
11
Praktikum Qira‘atul
September –
Kutub
Desember 2011
Basic Training (LK 1)
17 – 20 Desember
HMI Cabang Salatiga
2011
12
13
Basic Training (LK 1)
12-15 Februari
Panitia
3
HMI Cabang Salatiga
2012
Training Senior Course
15-20 Februari
Peserta
4
(SC) Sejateng dan DIY
2012
21 April 2012
Panitia
6
02 Mei 2012
Pengurus
4
20 Mei 2012
Panitia
3
3 September 2012
Panitia
3
HMI Cabang Salatiga 14
Dalam acara Seminar Nasional ―MewujudkanPemimpin yang Intelektual dan IslamiSesuaiTujuan HMI―
15
SK Pengurus HMI Cabang Salatiga Komisariat Persiapan Karnoto Zarkasyi Periode 2013-2014
16
DalamAcara Kajian Mission HMI
17
Penginapan OPAK HMI Cabang Salatiga
18
19
20
21
22
23
Pesantren Kilat di SMP N
15-20 Agustus
Pengajar
4
4 Salatiga
2012
Pesantren Kilat di SMP N
21-27 Agustus
Pengajar
4
7 Salatiga
2012
Basic Training (LK 1)
23-26 Desember
Panitia
3
HMI Cabang Salatiga
2012
Basic Training (LK 1)
10-13 Februari
Panitia
3
HMI Cabang Salatiga
2013
Senior Course HMI
15-20 Februari
Panitia
3
Cabang Salatiga
2013
Follow Up NDP (Nilai-
16 Maret 2013
Panitia
3
11 April 2013
Panitia
6
12 Juni 2013
Panitia
3
nilai Dasar Perjuangan) HMI Cabang Salatiga 24
Seminar Nasional dengan Tema ―Membangun Militansi Kader Sebagai Manifestasi Iman, Ilmu, dan Amal‖
25
Kajian Mission HMI Cabang Salatiga