1
TRADISI BECEKAN (Studi Kasus Pada Masyarakat Jawa Di Desa Bandung Rejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo) ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana tradisi Becekan yang ada di masyarakat desa Bandung Rejo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo saat ini yakni dengan menggunakan teori pertukaran (resiprositas) dan metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tradisi becekan ini merupakan wujud dari kegiatan untuk melestarikan budaya yang diwariskan para leluhur terdahulu dengan tujuan agar teciptanya rasa solidaritas atau kepedulian diantara sesama atau prinsip masyarakat Jawa yaitu paseduluran masih dipegang teguh. Namun pada kenyataannya perubahan yang terjadi yang semula dikenal dengan nyumbang dan menjadi mbecek telah mengarah dan menunjukkan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat serta adanya unsur paksaan atau timbal balik untuk saling memberi tanpa masyarakat itu melihat bagaimana kondisi atau ekonomi sosial masyarakat lainnya. Sehingga kegiatan membalas untuk saling memberi baik dikehendaki atau tidak dikehendaki adalah menjadi hal yang paling penting dari tradisi ini meskipun tanpa adanya suatu perjanjian. Karena pembicaraan negatif akan tetap ada di tengah-tengah masyarakat khususnya bagi mereka yang tidak mau mengembalikan sementara sebelumnya telah diketahui menerima pemberian. Kata Kunci: Tradisi Becekan dan Perubahan Masyarakat Kamisah,1 Nim 281 410 037. Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Gorontalo. Di bawah bimbingan bapak Dr. Rauf A. Hatu, M.Si2 dan Sainudin Latare, S.Pd.,M.Si3
1
Peneliti Dosen Pembimbing I (Satu) 3 Dosen Pembimbing II (Dua) 2
2
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang kental akan tradisi dan budayanya. Diantaranya adalah tradisi nyumbang. Yaitu kegiatan memberikan sesuatu kepada orang lain pada waktu tertentu ketika mengadakan hajatan. Dalam hal ini, tradisi nyumbang dibeberapa daerah memiliki cara penyebutan yang berbeda-beda. Sebagian masyarakat Jawa menyebutnya dengan “mbecek”, “buwoh”, atau “ewuh”. Dan jika dilihat dari realitas kehidupan sosial yang ada di desa Bandung Rejo kecamatan Boliyohuto kabupaten Gorontalo yang terdiri dari masyarakat Jawa, Sunda, Jawa Tondano, dan Gorontalo dengan didominasi oleh masyarakat Jawa tradisi nyumbang sering dilaksanakan. Akan tetapi istilah ini sekarang sudah jarang bahkan tidak digunakan lagi. Masyarakat lebih cenderung menyebutnya dengan mbecek/becekan. hal ini karena adanya anggapan bahwa antara nyumbang dan mbecek kini memiliki makna yang berbeda.
Dalam tradisi becekan kini justru mengandung unsur paksaan. Entah dari segi pelaksanaanya oleh pihak yang hendak mengadakan hajatan karena sebelumnya telah mengadakan tradisi mbecek tersebut kepada masyarakat lain sehingga mengaharap kembali pemberiannya itu, atau bahkan sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan. Dan bagi masyarakat yang mengadakan tradisi mbecek itu juga seolah-olah dituntut untuk mengembalikan sesuai jumlah yang diterimanya atau lebih. Dalam hal ini, apabila dalam proes pengembaliannya dengan jumlah lebih sedikit atau tidak sesuai dengan apa yang diterima sebelumnya atau bahkan sama sekali tidak membalasnya dalam artian ketika ada masyarakat yang mengadakan hajatan dan ada masyarakat tertentu tidak mengadakan tradisi tersebut sementara sebelumnya telah diketahui ia mendapat sesuatu atau pemberian “gawan” (barang bawaan baik berupa bahan makanan atau uang), maka orang atau masyarakat yang tidak mengembalikan akan memperoleh bahan gunjingan dari pihak yang mempunyai hajatan tersebut atau masyarakat lain. Ini dapat dilihat dari aktivitas becekan tersebut yang mengandung kerjasama resiprositas (hubungan timbal balik) seperti sekarang ini.
3
Melihat realitas tersebut, peneliti menemukan suatu permasalahan yakni tentang perubahan tradisi becekan di desa Bandung Rejo Kec. Boliyohuto Kab. Gorontalo serta faktor pendorong terjadinya perubahan tradisi tersebut. Dan dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dan menambah pengetahuan kepada pembaca atau masyarakat yakni dengan menjelaskan tradisi becekan seperti pada perayaan dalam rangka perkawinan (mantu), khitanan (sunatan), dan kelahiran bayi (sepasaran bayen) serta perubahan yang ada saat ini. Tradisi merupakan adat kebiasaan yang turun-temurun yang dari dahulu sampai dengan sekarang masih terus dilaksanakan dan memiliki penilaian dan anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang baik dan benar dalam pandangan hidup mereka. Seperti halnya menurut James Dananjaja berbagai unsur kebudayaan misalnya filsafat, kepercayaan, kesenian, kesusteraan, mode pakaian, dan adat istiadat popular mencerminkan pandangan hidup suatu masyarakat.4
Sedangkan menurut Frans Magnis Suseno, pandangan hidup Jawa misalnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa berpandangan bahwa wong ngalah luhur wekasane (orang yang suka mengalah akan memperoleh kebahagiaan kelak) dan alon-alon waton kelakon (perlahan tapi pasti). Sabar, sungkan (merasa enggan) dan isin (malu) merupakan pandangan hidup yang harus diugemi (dipatuhi) dan diuri-uri (dilestarikan) sehingga rasa isin dan sungkan tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sikap dan perilaku manusia Jawa.5 Dalam hal ini, terlihat dari kegiatan masyarakat Jawa seperti mengadakan suatu bentuk tradisi yaitu becekan dimana yang kesemuannya itu pada dasarnya diadakan sebagai wujud dari pelestarian tradisi, memupuk rasa solidaritas, dan karena adanya rasa sungkan atau rikuh (enggan) jika tidak dilaksanakan.
Perubahan sosial akan melibatkan dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang menunjukkan pada wilayah terjadinya perubahan sosial serta kondisi yang 4
Dalam Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 92. Dalam Maryaeni. 2005. Ibid. Hlm. 92.
5
4
melingkupinya. Dimensi ini mencakup pula konteks historis yang terjadi pada wilayah tersebut. Dimensi waktu dalam studi perubahan meliputi konteks masa lalu (past), sekarang (present), dan masa depan (future).6 Dengan demikian Terkait akan hal itu, perubahan tradisi yang terjadi pada masyarakat dapat dilihat terlebih dahulu dengan memperhatikan bagaimana tradisi itu sendiri seperti Becekan tersebut yakni di masa lalu dengan masa sekarang.
Contoh dari suatu nilai-budaya, terutama dalam masyarakat kita adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep ini yang biasanya kita sebut nilai gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena memang hampir semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerjasama dengan orang lain.7 Ini dapat kita lihat dari berbagai kegiatan masyarakat seperti sambatan dalam membangun rumah, kegiatan bersih desa, termasuk adanya tradisi-tradisi tertentu seperti rewang, nyumbang/mbecek, dan lain sebagainya yang kesemuannya itu merupakan wujud daripada kegiatan gotong-royong.
Suatu hal yang hingga sekarang masih mendapat perhatian adalah menyumbang berupa uang pada waktu diadakan pesta perkawinan, khitanan dan lain-lain. Besar kecilnya sumbangan itu tergantung dari kedudukan si penyumbang.8 Kegiatan menyumbang seperti ini oleh masyarakat di desa Bandung Rejo sekarang di sebut dengan mbecek.
Dengan melihat fenomena tradisi becekan sekarang ini, dapat merujuk pada teori pertukaran sosial. Dimana konsep perubahan sosial Peter Blau terbatas pada tindakan-tindakan yang sementara, yang tergantung, pada reaksi-reaksi dari
6 Nanang Martono. 2013. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 3. 7 Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 11 8 Abu Ahmadi. 1986. Antropologi Budaya. Semarang: C.V. Pelangi. Hlm. 171.
5
orang lain yang memberi penghargaan, tindakan-tindakan yang berhenti ketika reaksi-reaksi yang diharapkan tidak datang. Orang tertarik satu sama lain karena beragam alasan yang menyebabkan mereka membangun asosiasi-asosiasi sosial. Sekali ikatan-ikatan awal ditempa, penghargaan-penghargaan yang mereka berikan satu sama lain membantu memelihara dan meningkatkan ikatan-ikatan itu. Situasi yang berlawanan juga mungkin: dengan penghargaan yang tidak memadai, suatu asosiasi akan melemah atau pecah. Penghargaan yang dipertukarkan dapat besifat intrinsik (misalnya cinta, kasih sayang, penghargaan) atau ekstrinsik (contohnya uang, pekerjaan fisik).9 Sementara itu menurut Mauss Tukar-menukar hadiah tidak sama tujuan dan maksudnya dengan perdagangan dan barter dalam komunitas-komunitas yang lebih berkembang maju. Tujuan dan maksudnya adalah untuk suatu kepentingan moral. Sasaran dari tukar-menukar adalah untuk menghasilkan persahabatan di antara dua orang yang bersangkutan; dan jika ini tidak terlaksana maka maksud dan tujuan tersebut telah gagal. tidak seorang pun mempunyai kebebasan untuk menolak sebuah hadiah yang ditawarkan kepadanya.10 Sehingga tidak dapat dipungkiri untuk terbentuknya suatu hubungan timbal balik atau resiprositas diantara individu maupun kelompok yang ada dalam masyarakat tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Menurut Stakes studi kasus merupakan strategi penelitian dimana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.11 9
Dalam George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 727. 10 Marcel Mauss. 1992. Pemberian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 33. 11 Dalam John W. Creswell, 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 20.
6
Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Boliyohuto kabupaten Gorontalo tepatnya di desa Bandung Rejo yang merupakan hasil pemekeran desa Sidodadi pada tahun 2007. Dengan luas wilayah keseluruhan adalah 16.400 mm2 atau 16,4 km2. Dimana sebelah Utara berbatasan dengan desa Paris, sebelah Timur berbatasan dengan desa Sidomukti, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Sidodadi, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan desa Potanga. Adapun Desa Bandung Rejo ini terdiri atas empat dusun yaitu dusun I Mekar Sari, dusun II Margo Mulyo, dusun III Mulya Jati, dan dusun IV Makaryo Jaya. Terdiri dari suku Gorontalo, Jawa, Sunda, dan Jawa Tondano. Namun lebih didominasi oleh masyarakat Jawa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sawah.
Dalam penelitian ini, sampel sumber data yaitu dipilih dengan purposive dan bersifat snowball sampling. Dimana penentuan sampel sumber data masih bersifat sementara dan akan berkembang kemudian setelah melakukan penelitian di lapangan. Sementara teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga tahap yaitu dengan teknik observasi, wawancara, dan teknik dokumentasi.
Selanjutnya menurut data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif model interaktif, yaitu terdiri dari tiga hal utama yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi) sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis.12 Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.13 Hal ini berarti seperti halnya pada saat peneliti melakukan wawancara sudah melakukan analisis terhadap jawaban responden. Jika jawaban 12
Dalam Muhammad Idrus, 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: Erlangga. Hlm. 246. 13 Sugiyono, 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Hlm. 91.
7
yang ada dirasa belum memuaskan, maka peneliti dapat melakukan atau melanjutkan pertanyaan lagi sampai memperoleh data yang dianggap kredibel.
PEMBAHASAN Perubahan Tradisi Becekan Kegiatan gotong royong di masyarakat sudah ada sejak zaman dahulu. Prinsip paseduluran (persaudaraan) inilah yang mendasari masyarakat untuk mengadakan gotong royong. Gotong royong yang dilaksanakan biasanya berupa kegiatan untuk membangun rumah, jembatan, bersih desa14, gotong royong dalam mengadakan hajatan, dan lain sebagainya.
Masyarakat Jawa khususnya yang ada di desa Bandung Rejo ini ketika ada masyarakat yang sedang mengadakan hajatan selalu berbondong-bondong untuk menghadirinya termasuk masyarakat etnis Gorontalo, maupun Jawa Tondano pun ikut berbaur di dalamnya. Baik itu hajatan yang diselenggarakan oleh saudaranya, tetangga dekat dan jauh, sahabat, ataupun oleh orang atau masyarakat yang dipandang baik oleh masyarakat lainnya yaitu dengan memberikan makanan pokok yang umumnya seperti beras, gula. mihun, teh, dan lain sebagainya. Ini merupakan salah satu wujud kepedulian dan rasa solidaritas sesama anggota masyarakat yang merupakan tradisi nyumbang atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan mbecek. a) Nyumbang Bukan hanya dalam suatu hajatan, akan tetapi secara umum nyumbang adalah memberikan sesuatu kepada orang lain secara ikhlas. Hal ini bersifat umum, entah memberi kepada seseorang, kegiatan memberi untuk pembangunan desa, ataupun pembangunan mesjid, dan lain sebagainya. Di sini peneliti dapat memahami bahwasannya antara nyumbang dan mbecek adalah bentuk kegiatan 14 Dalam kegiatan bersih desa yaitu dengan diadakannya syukuran atau memanjatkan doa (slametan) untuk keselamatan setiap manusia dari datangnya mara bahaya atau malapetaka. Diselenggarakan di Pendopo setiap bulan Safar oleh masyarakat Jawa desa Bandung Rejo. Biasanya disertai pergelaran wayang kulit, kuda kepang dan reog ponorogo, campursari, dan berbagai macam perlombaan yang diikuti oleh masyarakat setempat.
8
yaitu sama-sama memberikan sesuatu kepada orang lain. Nyumbang berlaku secara umum. Dimana pemberian yang didasarkan atas suka rela sebagai wujud dari usaha masyarakat dalam menciptakan sikap solidaritas diantara sesama. Sedangkan mbecek dikhususkan kegiatan memberi dalam suatu hajatan yang kelak harus dikembalikan dan inilah yang dapat dipahami sebagai bentuk pertukaran. Akan tetapi dahulu masyarakat Jawa lebih memahami kegiatan membantu masyarakat yang sedang punya hajatan oleh para tetangga dengan memberikan bahan-bahan makanan juga merupakan kegiatan nyumbang dengan tanpa memikirkan bahkan mengharap pengembalian.
b) Mbecek/Becekan Transmigrasi masyarakat Jawa ke daerah Gorontalo terjadi pada tahun 1962. Banyak tradisi atau kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi masih terus dilaksanakan sampai saat ini. Untuk tradisi becekan ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980. Akan tetapi masih jarang sekali masyarakat menggunakan istilah mbecek tersebut. Sebagian besar masyarakat Jawa yang tinggal di daerah Gorontalo lebih mengenal dengan istilah nyumbang.
Di daerah Gorontalo khususnya di kecamatan Boliyohuto kabupaten Gorontalo yaitu desa Bandung Rejo yang sebelumnya telah mengadakan tradisi nyumbang seperti di daerah Jawa pada umumnya. Kemudian pada tahun 1990-an masyarakat sedikitnya mulai menggunakan istilah mbecek. Sementara itu, istilah nyumbang lambat laun tidak digunakan lagi dan itu terjadi sekitar tahun 1999 dalam artian kegiatan memberikan bantuan berupa bahan makanan dalam suatu hajatan itu masyarakat sudah lebih banyak mengartikan sebagai kegiatan mbecek. Kemudian pada tahun 2000 seluruh masyarakat sudah menggunakan istilah dan melaksanakan kegiatan mbecek tersebut. sementara istilah nyumbang sudah tidak digunakan lagi.
9
c) Arisan Segelintir orang menganggap bahwa tradisi mbecek sama dengan arisan. Ini dikarenakan karena melihat becekan saat ini yang dilakukan secara bergilir dan seolah-olah dituntut untuk mengembalikan sesuai jumlahnya yakni minimal sama dengan jumlah yang dulu telah diterimanya yaitu kepada pihak yang akan atau sedang menyelenggarakan hajat.
Dapat dilihat bahwa kegiatan mbecek saat ini sudah mirip seperti layaknya arisan. Diadakan secara bergiliran. Dan seakan-akan dituntut untuk dikembalikan meskipun tidak adanya suatu perjanjian. Semakin kita sering atau banyak mbecek di rumah yang punya hajat, maka semakin besar peluang untuk kita mendapatkan material karena banyaknya tamu yang datang untuk menghadiri hajatan yang bersangkutan. Walaupun pada kenyataannya juga tak jarang ada yang meleset dari perhitungan semula. Faktor Pendorong Terjadinya Perubahan Tradisi Becekan a) Perilaku dan Kebiasaan Perubahan setiap perilaku dan kebiasaan dari masyarakat juga berimbas pada perubahan persepsi mengenai tradisi yang selama ini masyarakat anut. Tradisi mbecek yang marak jadi perbincangan ini terdapat perubahan yang cukup menonjol yang semula berawal dari kegiatan nyumbang. Perubahan yang ada dapat dilihat dari beberapa hal seperti perubahan niat dan tata cara. Jika dahulu masyarakat nyumbang dengan niat untuk membantu meringankan keluarga yang berhajat dengan cara memberi sesuai keinginan dan kemampuan tanpa adanya ketentuan dari segi banyaknya barang bawaan, namun sekarang ini tujuan dari kegiatan memberi kepada keluarga yang berhajat adalah untuk memperoleh balasan ketika si pemberi kelak mengadakan hajatan dengan jumlah minimal sama dengan jumlah yang diterima sebelumnya dan kemudian hasil dari perolehan (gawan) para tetangga digunakan untuk keperluan hidup atau membeli barang yang bukan merupakan kebutuhan primer. Di sinilah perubahan telah nampak jelas yang bermula kegiatan nyumbang menjadi kegiatan mbecek.
10
Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari setiap orang atau masyarakat memiliki pendapat, niat, dan kebiasaan yang berbeda dari yang sebelumnya yaitu kegiatan menyumbang dengan didasarkan atas suka rela, kemudian mengarah kepada hubungan timbal balik yakni menjadi kegiatan mbecek yang sampai saat ini masih terus dilaksanakan oleh masyarakatnya. Sehingga perlunya kesadaran bagi setiap masyarakat, jika menerima bantuan atau pemberian berarti memperoleh peluang untuk membalasnya. Karena sesungguhnya seseorang datang dalam suatu perhelatan dengan memberikan sesuatu kepada keluarga yang berhajat bermaksud agar memperoleh pemberian ketika kelak menyelenggarakan hajatan. Hal tersebut telah membuktikan sebagaimana dasar kehidupan sosial menurut Simmel yakni “para individu atau kelompok individu yang sadar, yang saling berinteraksi karena bermacam motif, maksud, dan kepentingan”. 15
b) Ekonomi Terjadinya perubahan yang semula dikenal dengan kegiatan nyumbang dan saat ini menjadi tradisi mbecek disebabkan karena perkembangan zaman dimana telah terjadi perubahan dari segi pola pikir atau cara pandang setiap masyarakat yang berbeda tentang tradisi tersebut yang berkaitan erat dengan usaha penyesuaian akan kebutuhan manusia terutama dalam hal ekonomi atau material. Suatu titik tolak untuk ekonomi Marxian ada di dalam konsep-konsep mengenai nilai guna dan nilai tukar. Orang selalu menciptakan nilai guna: yakni, mereka selalu menghasilkan benda-benda yang secara langsung memuaskan keinginan mereka. Suatu nilai guna didefinisikan secara kualitatif, yaitu dengan melihat apakah suatu benda berguna atau tidak. Akan tetapi, suatu nilai tukar didefinisikan secara kuantitatif. Nilai tersebut didefinisikan oleh jumlah pekerjaan yang dibutuhkan untuk menyediakan kualitas-kualitas yang bermanfaat. Sementara nilai guna dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang itu sendiri, nilai tukar dihasilkan untuk dipertukarkan dengan nilai-nilai guna yang
15
Dalam George Ritzer. Ibid. Hlm. 279.
11
lain.16 Ini sesuai dengan realita sikap masyarakat saat ini. Dimana becekan ternyata telah mengarah kepada usaha masyarakat untuk memperoleh bahkan mengolah dari hasil material yang diterima dari para tetangga. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi dijadikan sebagai nilai lebih seperti modal usaha. Secara tidak langsung, penyelenggaraan tradisi becekan ini juga terdapat upaya masyarakat untuk mencari keuntungan. Mungkin ketika masyarakat dipertanyakan tentang hal ini akan lebih menguraikan makna yang terkandung dari tradisi tersebut adalah sebatas untuk saling memberi, menerima, dan mengembalikan serta keinginan saling membantu. Akan tetapi realita sikap masyarakat terlihat ketika akan menyelenggarakan hajatan dengan mencari rewangan dengan jumlah yang sangat banyak dengan mengundang beberapa ratus kepala keluarga, usaha mencari atau memperoleh keuntungan yang cukup besar ternyata telah masuk ke dalamnya. Karena semakin besar pihak yang berhajat mencari rewangan, maka semakin besar pula gawan yang akan diterimanya. Karena sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa gawan bagi mereka yang rewang lebih besar jumlahnya daripada mereka yang hanya sekedar datang untuk mbecek. Ketika hal ini terjadi, pihak yang sedang berhajat akan diklaim oleh masyarakat sebagai usaha untuk mencari keuntungan melalui penyelenggaraan hajatan.
Tentu saja secara tidak langsung hal ini telah menunjukkan akan adanya keterkaitan dan telah terjadi kapitalisasi dalam tradisi becekan. Membuktikan pernyataan Weber bahwa semangat kapitalisme dapat dilihat sebagai suatu sistem normatif yang meliputi sejumlah ide yang saling berhubungan. Contohnya, tujuannya ialah menanamkan “sikap yang mencari keuntungan secara rasional dan secara sistematik.17 Itulah sedikitnya sikap masyarakat saat ini terkait dengan penyelenggaraan tradisi becekan tersebut.
16
George Ritzer. Ibid. Hlm. 118. Dalam George Ritzer. Ibid. Hlm. 254.
17
12
Dengan demikian, perubahan yang terjadi dari tradisi ini juga adalah sebagai hasil usaha masyarakat dengan menyesuaikan kebutuhan hidup yang terus meningkat dan mengarah pada usaha untuk memperoleh material yang lebih besar (keuntungan) yang kesemuannya itu terangkum dalam kegiatan ekonomi dan rupanya telah menuju kearah kapitalisasi. Dan inilah faktor penyebab utama terjadinya perubahan dari nyumbang menjadi kegiatan mbecek.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tradisi becekan merupakan salah satu bentuk tradisi masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih terus dilestarikan oleh masyarakatnya. Bukan hanya dalam kehidupan masyarakat dengan etnis suku Jawa saja, tetapi masyarakat di sekitarnya seperti Sunda, Jawa Tondano, dan Gorontalo ikut berbaur dengan tradisi tersebut.
Sebelumnya masyarakat masih mengenal dan menggunakan istilah nyumbang. Pada tahun 1990 tradisi becekan/mbecek ini sudah mulai hadir di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi masih sangat sedikit bahkan jarang yang menggunakan istilah ini. Kemudian pada tahun 1994 sampai 1999 hampir keseluruhan masyarakat menggunakan istilah mbecek, dan akhirnya istilah nyumbang sudah tidak digunakan lagi bahkan hilang dari kehidupan masyarakat yakni pada tahun 2000 sampai dengan sekarang.
Tradisi becekan ini selalu menjadi perbincangan di tengah-tengah kehidupan sosialnya. Di samping menjadi salah satu wujud dari kepedulian diantara sesama, namun tidak dipungkiri akan adanya perspektif yang berbedabeda di setiap individu terkait akan tradisi tersebut. Karena dikehendaki atau tidak, keinginan untuk menerima atau menolak, pemberian oleh para tetangga atau masyarakat sekitar tidak dapat dielakkan lagi keberadaannya ketika ada keluarga yang berhajat.Yang pada akhirnya meskipun tidak adanya suatu perjanjian,
13
membalas atau mengembalikan pemberian itu sudah menjadi keharusan. Karena sanksi berupa pembicaraan negatif akan selalu ada ketika kita tidak mau mengembalikan. Bahkan bisa saja dibalas dengan tidak memberi jika diketahui sebelumnya telah diberi tetapi tidak membalas.
Hal tersebut menunjukkan suatu perbedaan yang cukup jelas dari sebelumnya. Dimana masyarakat Jawa desa Bandung Rejo yang sebelumnya menggunakan istilah nyumbang sebagai bentuk kegiatan memberi yang didasarkan atas suka rela untuk saling meringankan beban khususnya keluarga yang berhajat dan kesemuanya itu adalah upaya untuk menciptakan rasa solidaritas diantara sesama anggota masyarakat sesuai pernyataan Durkheim dalam teori solidaritasnya.
Seiring berjalannya waktu dengan melihat realitas kehidupan sosial yang terus meningkat dari segi kebutuhan maupun pola pikir yang berbeda pula maka berubah menjadi tradisi mbecek. Dimana segala sesuatu yang diberikan harus dikembalikan minimal sama dengan jumlah yang diterima. Sehingga hubungan timbal balik (resiprositas) menjadi point yang paling penting dan utama dari tradisi becekan ini. Dan rupanya telah terjadi kapitalisasi yang disebabkan oleh sebagian sikap masyarakat untuk mencari keuntungan bahkan modal usaha atau melakukan penimbunan material sebagai perolehan dari hasil pelaksanaan tradisi becekan tersebut. Saran Melihat fenomena tradisi becekan di tengah kehidupan sosial khususnya di desa Bandung Rejo saat ini ketika maraknya suatu hajatan menjadi sebuah perbicangan yang tak ada habisnya di kalangan masyarakat itu sendiri yakni tentang hubungan timbal balik terkait dengan kegiatan saling memberi oleh saudara, kerabat, atau para tetangga.
14
Kegiatan memberi, menerima, dan membalas tak kan terlepas dari tradisi becekan ini. Menjadi suatu keharusan meskipun tanpa adanya perjanjian. Oleh karena itu di sini seharusnya masyarakat harus lebih memahami keadaan hidup atau ekonominya agar segala sesuatu yang dilaksanakan tidak akan memberatkan hidupnya kelak. Karena kenyataan sekarang ini, banyak dijumpai masyarakat yang berusaha memaksakan dirinya untuk memberi kepada keluarga yang berhajat dengan cara meminjam atau hutang kepada keluarga dekatnya. Pentingnya dan menjadi kewajiban untuk selalu menjaga dan melestarikan tradisi yang diwarisi para leluhur. Akan tetapi masyarakat juga harus bisa menyesuaikan dengan kondisi sosialnya dalam melestarikan tradisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya. Semarang: C.V. Pelangi. Creswell, John.W. 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Martono, Nanang. 2013. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Yin, Robert. K. 2005. Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
15