11. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penggunaan Ekstrak Tumbuhan dalam Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OFT)
Penggunaan pestisida sintetis yang tidak efisien merupakan bahaya besar terhadap ekosistem, dan dapat menyebabkan hama d m penyakit sasaran menjadi resisten, disamping membunuh hewan-hewan bukan sasaran (Ekha 1988). Suprapta (2000) dalam web site-nya mengemukakan bahwa ternyata pestisida sintetis menyebabkan keracunan pada manusia, dan pencemaran lingkungan (tanah, air dan udara). Penelitian-penelitian terbaru memberikan informasi bahwa beberapa pestisida sintetis seperti Asefat, Dimetiot, BHC, Kaptan, dan Paration bersifat karsinogenik (Riza dan Gayatri 1994). Hal-ha1 inilah yang menyebabkan dicarinya alternatif untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetis, salah satu cara yaitu penggunaan bahan-bahan alam sebagai pestisida yang lebih dikenal dengan biopestisida. Sudarmo (1991) menggolongkan pestisida menjadi bermacam-macam sesuai fungsi dan asal katanya, yaitu akarisida (membunuh tungau), algisida (membunuh alga), avisida (membunuh burung), bakerisida (membunuh bakteri), fkngisida (membunuh jamur), herbisida (membunuh gulma), insektisida (membunuh serangga), larvisida (membunuh larva), molluksisida (membunuh siput), nematisida (membunuh cacing), ovisida (membunuh telur), pedukulisida (membunuh kutdtuma), piscisida (membunuh ikan), rodentisida (membunuh hewan pengerat), predisida (membunuh predator) silvisida (rnembunuh pohon), d m termisida (membunuh rayap). Insektisida
merupdcan salah satu jenis pestisida yang banyak digunakan baik dari jenis maupun jumlahnya karena sebagian besar hama bagi tanaman adalah serangga Sarnpai saat ini, insektisida sintetis merupakan pilihan utama dalam mengendalikan serangga hama. Pengaruh b u d dari penggunaan insektisida sintetis ini, menyebabkan biopestisida khususnya bioinsektisida menjadi pilihan alternatif Environmental Protection Agency (EPA) Arnerika Serikat (2001) dalam web site-nya mendesnisikan biopestisida (biological pesticide) atau dikenal juga dengan pestisida alami, y&u pestisida yang diperoleh dari bahan-bahan
alam seperti dari hewan, tumbuhan, bakteri, d m beberapa jenis mineral tertentu. Pada akhir tahun 1998, orgdsasi hi mend-
sekitar 175 jenis
bahan aktifbiopestisida dan 700 jenis produknya yang beredar di pasaran. EPA Amerika Serikat (2001) menggolongkan pestisida alami menjadi
tiga jenis y a i . pestisida mikrobial, pestisida botani, dan pestisida biokimia. Pestisida mikrobial terdiri dari rnikroorganisme atau hasil metabolismenya sebagai bahan aktif; pestisida botani me;rupakan senyawa pestisida yang diekstrak dari tumbuhan, sedangkan pestisida biokimia merupakan senyawa alami yang &pat mengendalikan hama dengan mekanisme non-toksik misalnya hormon seks serangga (feromon). Sebagian besir pestisida alami terdiri dari insektisida alami, seh.ingga penggolongan tadi mendcup juga penggolongm insektisida alarni. Menurut Sastmtrtom (1992) dan Sitepu et al.. (1999), insektisida
botani merupakan senyawa beracun yang mengandung bahan aktif tunggal atau majernuk yang berasal dari t u m h yang dapat digunakan untuk tujuan
pengendafian organisme pengganggu (serangga). Berdasarkan sejarah, bahan-
bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sudah digunakan lama sekali sebelum insektisida gobngan lainnya (kecuali sulfur) digunakan. Beberapa bahan t u m m seperti tembakau, pire-
deris, helebor, kasia, kamper, dan
terpentin sudah lama sekali digudcan sebelum inselctisida sintetis ditemukan (Sastroutomo 1992). Inselctisida
alami
mempunyai
beberapa
kemtmgan
dalam
pengguoaannya yaitu tidak berbahaya dibandingkan dengan yang sintetis, hanya berpengaruh terhadap hama target dan organisme-organisme yang berhubungan dekat, efkktifpada jumlah yang sedikit dan cepat terdekomposisi sehingga dapat menghindarkan terjadinya pencemaran, dan dapat rnengurangi
penggunaan insektisida sintetis serta meningkatkan h i 1 p m (EPA 2001). Keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh pengg-
ekstrak
tumbuhan sebagai insektisida serta cimpak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida sintetis mernacu penelitimpenelitiitn ke arah penemuan dan produksi senyawa-senyawa alami (ekstrak tumbuhan) yang mempunyai aktifitas sebagai insektisida, serta penggmaamya dalam mengontml organisme pengganggu tamman.
B. Famili Meliaceae Sebagai Salah Satu Samber Insektisida Botani Penelitian terhadap tumbuhan fkmili Meliaceae sebagai sumber insektisida botani telah dimulai dengan pengg-
ekstrak biji mimba
(Azadiracha indica A. Juss) yang sampai sekarang telah d i k e d luas sebagai insektisida. Azadirachtin m p a k a n senyawa utama yang mempunyai
aktifitas sebagai insektisida yang diperoleh dari tumbuhan tersebut (Morgan
dan Wilson 1985; Schmutterer 1995; Naumann dan Isman 1995). Salah satu jenis tumhuhan famili Meliaceae yang juga telah diteliti keaktib ekstraknya yaitu A. dorata dan menunjukkan hasil yang positif. Chiu (1985) pertama kali melaporkan bahwa ekstrak daun pacar culan (A. odorata Lour.) memiliki s&t
penghambat &an
dan patumbuhara ulat kubis Pieris rapae.
Selanjutnya, Ishibashi et al. (1992) berhasil mengidentifikasikan senyawa kimia yang mempunyai keaktifan insektisida tersebut, yang sebehunnya oleh King et al. (1985) telah dipatenkan pada U S Patent & Trademark Ofice dengan nomr 4,539,414 yaitu mkaglamida dan senyawa tummnya. Pengujian hayati oleh Ishibashi et al. (1992) dilakukan pada ulat tanah Peridroma saucia. Jenis tumbuhan Aglaia spp. s h i n A. odorata yang juga telah diteliti kandungan serta keaktih ekstdnya sebagai insektisida yaitu A. elliptica, A. harmsiana, A. duperreana, A. elaeagnoidea, A. aspera, dm A. oalorattisima.
Ekstrak pelarut dan senyawa-senyawa aktif yang berhasil diblasi dari ekstrak pelarut hunbuh-tumbuhan tersebut menunjukkan hasil yang positif (Janprasert et al. 1992; Ishibashi et al. 1992; Pamungkas 1995; Hartati 1995; Nugroho et al. 1997; Diana 1998; Lina 1999; Wardani 1999; Puspitasari 1999; Nugroho dan Proksch f999a). Jenis tumbuhan h i l i Meliaceae yang juga mempunyai
keaktifan sebagai insektisida yaitu genus Dysoxylurn dan Trichilia (Schmutterer 1995).
C. Potensi A. oalorcrdtz sebagai Sumber Insektisidmt Botani Aglaia spp. merupakan salah satu komponen pen-
hutan hujan
tropis (Pant~111992). Genus Aglaia merupakan salah satu dari enam genus terbesar famili Meliaceae dan terdiri dari sekitar 100 spesies (Porter 2000). Menurut Satosook et al. (1992), genus Aglaia terdiri dari 130 spesies,
sedangkan The New York Botanical Garden (2001) &lam web site-nya mendaftar sekitar 50 spesies genus Aglaia. Genus ini terdapat di daerah IndoMalaysia yaitu daerah yang terdiri dari India, C h Selatan, dan Asia Tenggara termask Indonesia, juga menyebar siimpai ke Fiji dan Samoa di kepulauan Pasifik (Butkill 1935; Porter 2000). A. odorata diperkirakan berasal dari Cina, namun sudah lama dibudidayakan dan W p t a s i dengan iklim tropik Indonesia. Di Indonesia,
A. odorata dikenal juga dengan sebutan lokal antara lain pacar cina, kemuning cina (Indonesia); culan, cacar cino (JawdSunda); bhangcar cena (Madwa) (Suryowinoto 1995). Aglaia dapat diperbanyak dengan pemgkokan atau dengan biji, dan dapat tumbuh hampir di semua ketinggian tempat (10-1300 meter dpl) khususnya di tempat-tempat terbuka dm terkena sinar matahari langsung (Suryowinoto 1995; Kardinan 2000). Di Indonesia kegunaan Aglaia cukup beragam, namun kebanyakan digmakan sebagai obat-obatan tradisionaL Secara tradisional, daun Aglaia digunakan sebagai obat penghilang bau badan, mencret, luka, dan pendarahan yang berlebihan waktu datang bulan. SeIain itu, buahnya digunakan sebagai obat gatal-gatal (Kardinan 2000). Menurut Nugn,ho et al. (1997) A. odorata digunakan sebagai stimulan jantung, obat batuk, dan untuk pedangan di Asia
Tenggara. Bunga Aglaia spp. digunakan untuk m e -
teh dan
pakaian (Wijayakusuma et al. 1996). Beberapa jenis tumbuhan Aglaia dhadhatkan juga bagian kayunya sebagai bahan bangunan pada beberapa
daerah di Indonesia (Heyne 1987; P m l l 1992). Kegunaan lain dari A. odorata p g sedang diteliti sekitar dua dasawarsa ini yaitu ekstrak pelarut
tumbuhan ini yang dapat digunakan sebagai insektisida. Ekstrak berbagai spesies Aglaia antara lain dari tiga spesies yang ada di Indonesia yaitu A. odorata, A. elliptica, dan A. hannsiana telah diteliti mengardung senyawa
aktif rokaghida dan turunannya yang bersifat insektisida (Ishibashi et al. 1992; Janptasert et al. 1993, Nugroho et al. 1997; Nugroho dan Proksch 1999a). Dilihat dari &or
biologi ekologi dan kemudahan tumbuhan Aglaia
dibudidayakan, maka produksi insektisida botani dari tumbuhan ini cukup berpotensi ulltuk dikernbangkan. Hal ini didukmg juga oleh Ewete et al. (1996) yang mengernukakan bahwa A. odorata merupakan salah satu bahan yang menjanjikan sebagai insektisida berdasarkan hasil-basil penelitian yang ia peroleh. Menurut Kis-Tamas (19W), knis tumbuhan yang dapat digunakan untuk praduksi insektisida botani mempunyai k a r a k t d i k yaitu bersifat
rnenahun, mudah dibudidayakan (cepat tumbuh dm daya tahan yang baik), ti&
memerlukan keahlian khusus dalarn pembudidayaan, ti&
menjadi
gulma atau inang organisme pengganggu tanaman, mudah dipanen, biaya penanaman yang murah, dan memiliki kegunaan yang lain yang bernilai
ekonomi. Sedangkan ekstrak atau senyawa aktif yang diperoleh dari tumbuhan tersebut hanrs etkktif mengontrol organisme pengganggu tanaman dalam
kisaran yaag luas, tidak berbahaya bagi tanaman, hewan dan manusia, tidak merusak lmgkmgan, mudah diekstrak, difbrmulasi, atau penggunaamya tidak memerluka k d i a n yang tinggi, tidak memerlukan peralatan yang mahal,
clan hasil sunping dapat digunakan sebagai pupuk.
D. Kelompok Senyawa Aktif Insektisida dari A. odorata Kelompok senyawa aktif yang terkandung dalarn A. odorata yaitu senyawa rokaglamida dm ixmmamya, Rokaglamida dan senyawa tumnamya merupakan sekehmpk senyawa benzokan hasil metabolit sekunder yang diisolasi dari tumbuhan Aglaia spp. (Meliaceae) yang bersiEit aktif insektisida terhadap beberapa jenis organisme gengganggu tanaman seperti hama Spodoptera littoralis, Perihoma saucia, Plutella xylostella, dan Crocidolomia binotalis (King et al. 1985; Chiu 1985; Janprasert et al. 1992; Ishibashi et al. 1992; Satosook et al. 1992; Pamungkas 1995; Hartati 1995; Nugroho et al. 1997; Prijono 1998, Dono et al. 1998, Charnelis et a]. 1998, Diana 1998; Lina 1999; Wardani 1999; Puspitasari 1999; Nugroho dan Proksch 1999a). Struktur k i i a rokrtghmida atau cyciopentatetrahydro(b)benzo~dapat dilihat pada
Gambar 1 (Nugroho dan Proksch 1999a).
b c ~ ~ Gambar 1. Stnrkt.clr Kimia Rokaglamida.
Ishibashi et al. (1992) yang melakukan isolasi ekstrak metanol daun A. odorata medapatkan empat senyawa aktif termasuk rokaglamida yaitu desrnetilrokaghida, metil rokaglat, dan rokaglaol. Nugroho et al. (1997) kemudian berhasil mengisolasi lirna senyawa aktif baru dari ekstrak rnetanol ranting A. duperreana yaitu turunan hidroksi C-3' dari rokaglamida, turunan 0-asetil dari rokaglamida, twunan metokd C-3' dari mkaglamida, dan d m senyawa lain yang mempunyai sifat yang agak berbeda karena mempunyai cincin piridin pada rumus struktur molekulnya. Perkembangan terbaru hasil penelitian Nugroho dan Proksch (1999a)' dipxoleh 31 senyawa murni huwtan rokaglamida dari ekstrak aseton dan metanol empat jenis Aglaia spp. yaitu A. odorata, A. elliptica, A. hannsiana,
dan A. dupemeana yang be&
dari Indonesia dan Vietnam, yang hampir
semuanya d l i k i aktifitas sebagai insektisida pada larva Spdoptera littoralis. Khusus untuk A. odorata telah berhasil diidenWkasi 15 senyawa turunan rokaglamida dan 14 di antaranya bersifat insektisida (Nugroho dan
Proksch 1999b). Proksch et al. (2001) berhasil mengidentifikasikan 52 senyawa lmmanrokaglamida, tetapi tidak semuanya dapat digumkan sebagai
insektisida. Tabel 1 memperlihatkan 31 senyawa tunuaan rokaglamida terms& rokaglamida (nomor 1) yang telah berhasil diisolasi dari Aglaia spp. beserta toksisitas insektisidanya.
Tabel 1. Senyaw tunman rokaglamida yang diisolasi dari Aglaia spp. beserta toksisitas insektisidanya.
OH Q
H
dm Roksch 1999%Nugmho dan prdc!
B e r k k a n Tabel 1, gugus RI, R2, R3, dan % yang berikatan dengan
senyawa rokaglamida mempunyai peranan pemting daZam menenhkan keaktih senyawa tersebut sebagai insektisida Tabel 1 memperlihatkan bahwa yang mmntukm keaktih senyawa sebagai kktisida yaitu gums hidroksi (OH) pada R4. Bila gugus hidroksi diganti dengan gugus etoksi (OCzH5) a-
gugus metoksi (OCH3), m a . senyawa tidak mempunyai
keaktih sama sekali sebagai insektisida. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 2. G a m k 2 memperlihatkan hubungan keragaman struktur turunan rokaglamida dan tohisitas insektisidanya (Nugroho dan Proksch 1999% Proksch 2001).
R5;
1
H
on; OGHs O-Rhmnose
-
=
TOM-
-1
b~nbsh
Gambar 2. Hubungan Keragaman Stnrktrn Turunan Rokaglamida dan Toksisitas Insektisidanya.
Berdasarkan Gambar 2, senyawa-senyawa tunman rokaglamida semakin bersifkt aktif sebagai insektisida bila gugus R1 dan % semakin polar atau mengikat gugus hidroksi (OH), dan k e a k t k berkurang bila pada ski R1 terikat gugus asetil. Bila dilihat pada gugus R2, senyawa akan semakin aktif bila gugus yang berikatan merupakan senyawa yang terdiri dari atom C, 0,N
clan H, dengan jumlah atom C yang semakin sedikit. Senyawa akan semakin aktif bib gugus R3 hanya mengikat atom H saja. Namun yang paling menentukan keaktifan senyawa turman rokaglamida yaitu gugus yang terikat pada atom C8b (gugusR4) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Mekanisme aktifitas rokaglamida dan hmmannya sebagai insektisida pada tubuh setzutgga sampai saat ini belum diketahui, raamun hasil penelitian
dari Proksch et al. (2001) yang melakukan uji pada kultur sel manusia (War transkrispsi NF-kB) dan =tor
transkripsi DORSAL pada lalat Drosophila,
diperoleh i n f o m i bahwa kemungkinan senyawa rokaglamida dan tunmannya terlibat dalam perkembangan ontogenetik dan imunitas (kekebalan
tubuh). Jadi ada kemungkinan bahwa senyawa rokaglamida dm tusunannya bersifat sebagai penghambat faktor transkripsi NF-kE3 (merighambat pengaktifan gen yang diinduksi oleh NF-kB) yang berperan dalam perkernbangan ontogenetik clan imunitas. Pada aplikasinya, senyawa aktif rokaglamida bersifat sebagai antifedmf (peqhambat aktifitas makan), penghambat pertutnbuhan, dan pembunuh larva (Janprasert et al. 1992; Ishibashi et al. 1992; Pamungkas 1995; Hartati 1995; Nugroho et al. 1997; Prijono 1998, Dono ef al. 1998, Charnelis et al. 1998, Diana 1998; Lina 1999; Wardani 1999; Puspitasari 1999; Nugroho dan Proksch 1999a). Senyawa tunman rokaglamida (metil rokagk) bersifkt antifbngal pada j a m Cladosporim ~~~~(rnerimcm (Fuzzati et al. 1996). Selain itu, rokaglamida pada penggunaan 0,5-1 kg/ha dapat digunakan sebagai herbisida untuk membunuh beberap jenis rumput liar dari kelas monokotil dan dikotil (Anonirn 2001). Penggunaan ekstrak kasar Aglaia memprlihatkan sifkt insektisida pada penggmam dengan konsentrasi yang lebih tinggi di'bandjngkan dengan penggunaan ekstrak yang lebih murni. Ewete et al. (1996) mengemukakan bahwa potensi ekstrak A. odorata pada konsentrasi 50 ppm sebanding dengan
rokaglamida pada konsentrasi 0,125 ppm. Dengan demikian diperlukan proses pemurnian ekstrak kasar AgIaia untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni yang mempunyai keaktifan yang lebih tinggi.
E. Ekstraksi Inselctisida Botani dari A
odorata dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi M e m t Kacdinan (2009, insektisida botani dapat diperoleh dengan beberap cara yaitu 1) pengemsan, penumbukan, pembakaran, atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa t q q , abu, atau pasta; 2)
rendaman untuk produk ekstrak; dan 3) ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perkhan khusus. Pada penelitian ini, pembuatan insektisida botani dilakukan dengan cara ekstraksi, dengan mengujicobakan berbagai perlakuan pada proses ekstraksi untuk mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan rendemen dan keaktif'aii tertinggi dengan tingkat kemurnian tertentu.
Ekstraksi merupakan metode pemisahan satu atau kbih senyawa yang
diinginkan dari larutan atau padatae yang mengandung camp-
senyawa-
senyawa tersebut secara fisik maupun kimiawi. Proses ekstraksi secara kirnia
dilakukan d
q merig&
pelarut seperti air, alkohl, eter, dan aseton
Parker (1994) metlambahkan bahwa pada proses ekstraksi, padatan atau
larutan akan kontak dengan cairan pelarut sehingga padatan atau larutan yang lebih mudah berikatan dengan pelarut akan larut &lam pelarut sehingga dapat dipisahkan dari bahan asalnya. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung pada gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Pelarut yang mempunyai gugus hidroksil
(alkohol) dan karbonil (keton) tennasuk pel-
polar, sedangkan hidrokarbon
terrnasuk dalam pelarut nonpolar. Senyawa-senyawa yang polar akan larut
dalam pelarut polar sedangkan senyawa yang nonpolar hanya l a m dalam pelarut nonpolar. Senyawa ttmmm rokaglarnida yang memiliki keaktifan yang tinggi, pada umumnya memiliki gugus polar dan nonpolar dan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, ekstraksi dengan aseton menghasillran ekstrak yang merniliki keaktifan lebih tinggi dibandingkan dengan ektraksi
m e n g e rnetaml, etanol, ataupun heksan yang sama sekali tidak menunjukkan keaktian (Puspitasari 1999; Nugroho dan Proksch 1999a). Faktor-&tor yang mempengamhi proses ekstraksi meniurut Wijesekera (1991) terdiri dari pembengkakan partikel atau bahan yang akan diekstrak, proses difusi, pH, &man partikel, suhu, dan jenis pelarut. Sedangkan Marwati (1999) mengemukakan bahwa hal-hal yang terutama paling berpengaruh dalam proses ekstraksi yaitu ukuran @el
dan pemilihan pelarut.
Pembengkakan partikel atau bahan berpengaruh terhadap perlakuan awal dan alat yang dig-tmha Partikel akan membengkak sebesar dua sampai tiga kali ukuran semula bila partikel atau bahan tersebut dilarutkan dalam pelarut. Dalam sistem ekstraksi tertutup misalnya pada perkolasi atau ekstraksi kontinyu, ha1 ini dapat menimbulkan semacarn ledakan karena membesarnya volume bahan secara tiba-tiba (Wijesekera 1991). Oleh katena itu pelarutan
bahan ddam pelanit sebelurn proses ekstraksi perlu dilakukan. Data j d a h
bahan yang larut pada pelarut tertentu dapat dijadikan dasar untuk menentukan nisbah bahan dengan pelarut yang akan digunakan.
Nisbab j d a h bahan dengan pel-
berpengaruh terhadap rendemen
ekstrak. Hal ini dilaporkan oleh Sinaga (1998) dari hail pemlitiannya dalam mengekstrak pestisida botani dari Tephrosia vogelii. Belum diperoleh informasi mngewi pengaruh nisbah jwnlah bahan dengan pelarut terhadap karakteristik ekstrak insektisida botani dari Aglaia spp., namun dari beberapa
sumber dapat diperoleh informasi mengenai penggunaan nisbah tersebut. Diana (1998) menggumkan nisbah 1 :5 (b:v) untuk mengekstrak senyawa aktif dari A. hannsiana, sedangkan Dono dan Prijono (1998) menggunakm nisbah 1:8,5 untuk ekstraksi pada turn-
yang sama. Prijono (1998) dan Lina
(1999) menggunakan nisbah 1 :10 untuk tujuh spesies h i i l i Meliaceae.
Dalarn proses ekstraksi terjadi peristiwa d i h i , yaitu masuknya pelarut ke dalam sel bahan lcarena perbedm tekanan. Pelarut yang rnasuk ke dalam sel bahan temebut akan melarutkan senyawa bila kelarutan senyawa yang akan diekstrak sama dengan pelarut (Wijesekera 1991). Nilai pH dapat memaksimunnkan proses ekstraksi, nmun hal ini dipengaruhi juga oleh kemmnpuan i o h i dari senyawa yang akan die-
(Houghton dan Raman
1998). Menurut Wijesekera (1991), pH berperan penting dakw selektifaas.
Hal yang perlu diperhatikan yaitu senyawa yang akan diekstrak tidak boleh tennai pada kondisi dengan nil& pH tertentu. Secara umum lebi. mudah mengekstrak senyawa slam dari bahan yang
berbentuk bubuk halus, namun ha1 ini tergantung pa&a jenis senyawa dan
pelarut yang digunakan (Wijesekera 1991). Pruthi (1980) d a b Marwati (1999) melaporkan bahwa untuk tujuan ekstraksi, rnaka perlu dilakukan
penggilingan sampai ukuran partikel 20-60 mesh Tidak diperoleh banyak
i n f o m i mengenai pengaruh ukuran partikel bahan untuk ekstraksi senyawa aktif dari tumbuhan Aglaia spp. terhadap rendeman hasil ekstraksi, narnun
beberapa penelitian menggunakan ayakan berjalinan 1 mm (Diana 1998;
Wardani 1999) atau ayakan 0,s rnm (Dono dan Prijono 1998; Lina 1999)
4mendapatkan bubuk halus bahan. Kelamtan fllatu senyawa dalarn pelarut akan meningkat dengan
peningkatan suhu yang akan mempermudah penetrasi pelarut ke dalam sel
bahan. Narmrn penggunaan suhu yang tinggi akan menyebabkan kehilangan (loss) pada senyawa-senyawa tertentu yang tidak stabil pada keadaan tersebut
(Houghton dan Raman 1998). Pada umumnya ekstraksi senyawa aktif dari bagian tumlxlhan Aglaia spp. dilakukan pada suhu ruang. Jenis pelarut
yang
digunakan dalam proses ekstraksi akan
mempengaruhi jemis bahan yang akan terekstrak. S&t pelarut yang penting terutarna yaitu kepolaran pelarut. P e h t nonpolar akan mengekstrak senyawa nonpolar, demikianjuga sebaliknya pelarut polar akan mengekstrak kornponen polar pada bahan Pemilihan pelarut untuk ekstraksi harus disesuaikan dengan senyawa &if
yang dikandung bahan, disamping itu juga harus dilihat dari
segi ekonominya (Marwati 1999). Mutu pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi m e n m Guenther
(1988) nxmphm Edktor yang paling mmetltukan berhasilnya suatu proses ekstraksi. Pelarut yang ideal harus memiliki s p a t yaitu 1) pelarut harus dapat melarutkan semua komponen yang die-
dengan cepat dan sempurna, 2)
pelarut hams mempunyai titik didih yang rendah agar pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakm suhu tinggi, 3) pelarut tidak boleh larut
dalam air, 4)
pelarut hams bersifht inert sehingga tidak mudah bereaksi dengan komponen yang diebtmk, 5) pelarut harts mempunyai titik didih yang seragam sehingga jika diuapkan tidak &an tertinggal dalam bahan, 6) harga pelarut hams serendah -in
serta tidak mudah terbakar.
Ekstraksi senyawa aktif rokaglamida dari tumbuhan Aglaia spp. telah banyak dilakukan dengan menggumkan berbagai jenis pelarut. Wardani (1999) rnenggmdm pelarut, aseton dan etanol untuk rnengekstrak insektisida
botrmi tersebut. Hasil penelitiamrya menunjukkan W w a etano1 menghasilkan ekstrak yang lebii banyak dibandhgkan dengan menggmakan pelarut aseton, namun ekstrak dari aseton mmpunyai keaktiih sebagai insektisida yang lebih baik. P u s p i i (1999) melihat adanya perbedaan keaktifan ekstrak yang d i p l e h menggunakan 4 jenis pelarut yaitu he-
aseton, metanol,
dan etanol. Ekstrak aseton mempunyai keaktifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak metanol dan etanol, dangkan ekstrak heksan tidak menmjukkan keaktif$n sama sekali. Wardani (1999), Lina (1999), Nugroho dan Proksch (1999a) memperoleh rendemen ekstrak yang lebih banyak dm aktif dengan menggunakan pelarut yang bersifkt polar ke semi polar seperti etaml, metam1 dan aseton, dibandingkan menggmakan pelarut
nonpolar seperti heksan.
Hal lain yang juga berpenganrh terhadap retademen hasil ekstrak yaitu jumlah tahapan ekstraksi. Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi
beberapa kali dengan pelarut yang lebih sedikit akan lebih efektif dibandingkan ekstraksi satu kali dengan semua pelarut sekaligus. Rahmaputri (1998) melaporb h y a perbedam rendemen hasil ekstrak dari 3 tahap
ekstraksi yang digunakan untuk mengekstrak pestisida botani dari I: vogelii.
Untuk eksb.aksi insektisida botani dari tumbuhn Aglaia spp, belum ada informasi mengenai pengaruh jumlah tahapan ekstraksi. Tahapan ekstraksi insektisida botani h i Aglaia spp. yang dilakukan L b (1999) yaitu dengan mengulang proses sampai cairan ekstrak menjadi jernih. Pergemkm W p a r t i k e l &lam
proses ekstralrsi dapat menjadikan
proses eksttaksi lebih efektif Hal ini berkaii dengan kejenuhan pelarut terhadap senyawa yang d i e W . Dengan adanya pergemkin ini, bahan akan semakin cepat kontak dengan pelarut, dan pelarut yang telah jenuh dengan komponen pada sekitar bahan akan berganti dengan pelarut yang behun jenuh, sehingga akan lebih banyak senyawa yang terekstrak (Houghton dm Raman 1998). Pmggwmn pompa atau pengaduk magnetik dapat menyebabkan pergerakan W p a r t i k e l sehingga proses ekstraksi menjadi lebih cepat. Selain faktot-Wor yang t e M disebutkan di atas, ada juga W a r - M o r lain yang berpengatuh terhadap hasil proses ekstraksi. Faktor-War ini biasanya terkait dengan kadcteristik bahan itu sediri. Prijono (1998) mengemukakan bahwa keaktifan ekstrak tumbuhan meliaceae sebagai insektisida b e r v h i t e r m pada tempat tumbuh, serangga yang diujicobakan, metode persiapan dan metode aplikasinya. Jenis dan h i a n turn-
berpengaruh t e r w &ernen
hasil
ekstraksi. Penelitian yang dilakukan okh Lina (1999) memperlihatkan bahwa tujuh spesies &li
Meliaceae memiliki hasil ekstrak yang berbeda. Penelitian
tersebut juga memperlihatkan bahwa secara umum daun dari tujuh spesies famili M e f h rnemberikan hasil ekstrak ymg lebih tinggi dibandingkan
dengan bagian tumbuhan yang lain (ranting, biji, dan kulit batang) d m hasil ekstrak tertinggi diperoleh dari dam A. elliptica. Kondisi awal bahan dapat rnempenganthi hasil ekstrak dan aktihnya. Berdasarkan hasil penelitian dari Wardani (1999), daun segat menghasilkan ekstrak terbanyak dibandingkan dengan daun kering dan ranting. Namun
untuk proses d a b jumlah yang besar, kondisi bahan yang kering mempunyai beberapa keuntungan anrtara lain yaitu penanganannya lebih mudah, mengurangi sifat kamba bahan, memudahkan pelarut non-polar untuk kontak dengan senyawa yang diiginkan, dapat disimpan lama pada kondisi tertentu bila kapasitas produksi kecil atau waktu untuk produksi tidak cukup untuk dilakukan sekaligus.
Dalam memptoduksi insektisida botani dari bahan tumhhan, W o r faktor yang m e m p e n g d proses ekstraksi terutama W r teknisnya dapat dimodifikasi untuk mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan rendemen ekstrak yang besat. dengan keaktifan yang baik. Selain itu fkktor bahamya juga d a p t diatur sehingga bisa diperoleh hasil yang diin*
Dalam
penelitian ini dilakukan rnodifikasi faktor-War tersebut.
F. Pemisahan Fmksi Aktif dari Ekstrak Kasar A. &&a
Ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi A. odorata m i h merupakan campman banyak senyawa yang keaktifannya sebagai insektisida berbedabeda. Sebelum digunakan untuk keperluan yang lebih lanjut, ekstrak terlebih dahulu dipartisi menggunakan campuran dua pel-
yang berbeda
kepolarannya untdc mendapattkan fralcsi aktifnya. Menurut Rydberg et al.
(1992), partisi senyawa organik pada campwan dua pelarut yang berbeda polaritamp akan menghasilkan suatu larutan konsentrat yang mengandung senyawa organik tersebut, yang selanjutnya dapat diproses lebih lanjut melalui evaporasi ataupun kristalisasi Tujuan partisi ini yaitu untuk rmxnkhkan senyawa-senyawa dalarn ekstrak sesuai kepolarannya. Senyawa yang larut d a b peIarut pertama akan berbeda dengan senyawa-senyawa yang larut
dafam pelarut kedua. Fraksi aktif mengandung senyawa-senyawa yang bersifat
aktif insektisida dan larut pada p e h t organik.
Istilah partisi identik dengan ekstraksi cair-air. Menurut Moye et al. (1976), dalam ilmu kimia, istilah ekstraksi cair-cair digunakan untuk kegiatan m e m i d a n senyawa organik dari suatu campuran dan untuk mengeluarkan senyawa pengotor yang larut dari camp-
Ekstraksi cair-cair merupakan
proses ekstraksi dimana pelarut dm zat t e r b berada dalam keadaan cair. Prinsip partisi atau ekstraksi cair-cair menghti hukum distribusi yaitu dalam lanrtan, s
~ komponen u akan terdistribusi dengan sendirinya diantara
dua pelarut yang tidak d i g melarut, sehingga nisbah antam konsentrasi pada p e w pertama dengan pelarut kedua akan selalu koIlstan pada suhu tertentu (Moye ef al. 1976). Nisbah komntrasi senyawa antara dua fraksi tersebut
disebut koefisien distribusi atau koefisien partisi (Mobrig dan Neckers 1973; Moye ef al. 1976; Houghton clan Raman 1998). Koefisien partisi dinyatakan dalam nunus sebagai berikut (Mohrig clan Neckers 1973):
g/ml lapisan organik
g/ml lapisan air
kelarutan, g/100 ml pelarut organik kelarutan, g1100 ml air
Suatu senyawa mempunyai koefisien partisi tertentu. Bila suatu senyawa
bersifat polar rnaka koefisien partisinya relatif lebih tioggi ke arah pelarut yang lebih polar dibandingkan dengan senyawa yang h i & nonpolar. Bila koefisien partisi suatu senyawa lebih dari 100, maka sejmdah besar senyawa tersebut banya &an berada pada satu fase atau lapisan (Houghton clan Raman 1998). Dikemukakan lagi bahwa koefisien partisi bervariasi menurut suhu. Bila suhu meningkat koefisien partisi cenderung meningkat pada fkse senyawa lebih larut. Houghton dan Raman (1998) memberikan g a m h singkat tentang proses partisi sebagai berikut: Bila suatu pelarut d i t a m m ke dalam suatu ekstrak yang larut da.lam pelarut yang lain dimam pelam tersebut tidak bercampur dengan pelarut yang pertama maka aka- terbentuk dua lapisan Komponen-komponen ekstrak tersebut &an terpisah pada kedua lapisan sesuai dengan kelarutamya dan setelah waktu tertentu akan tercapai
konsentrasi yang setimbang pada kedua lapisan tersebut. Waktu tercapainya kesetimbangan ahin lebih pndek bila diiakukan pencampuran dengan baik menggunakan wrong pemisah (separatingfunnel).Setelah terjadi pemisahan,
kedua p e b dapat dipisahkan secara manual. Pelarut yang telah tnagadung komponen yang dihmpkan dapat diperlakukan lebih lanjut untuk mendapatkan produk yang diinginkan. Proses partisi tergmtung pada adanya perbedaan potensi kimia, sehingga pa& proses ini sifkt kimia senyawa lebih berpengaruh dibanding dengan ukuran molekulnya (Anonim 1977). Sdah satu sifat kimia senyawa yang beqengaruh pada pruses partisi yaitu kelarutan. Kelamhn senyawa
d a b set*
pelarut berhubungan dengan daya tarik molekul pelarut tersebut
dengan molekul senyawa. Kepolaran dan adanya gugus yang clapat diionisasi merupakan W o r utama yang m e m p e n g d daya tar& tersebut. Kelarutan
suatu senyawa yang tidak bennuatan pada suatu b t a n pada d m tertentu tergantung pada kesamaan polaritasnya dengan pelarut tersebut. Prinsip yang berlaku disini yaitu "like dissolves like". Molekul bermuatan memiliki afinitas yang tinggi terhadap pelarut dimana sejumlah besar ion dengan muatan yang
b e r l a w berada dan dengan demikian pada kasus ini terjadi "opposites attract". Misafnya senyawa yang asam akan lebih larut pada h t a n yang bersifat basa dibandingkan dengan yang bersifat netral atau asarn (Houghton dan Raman 1992). Kedua penulis ini mengemukakan juga bahwa pada
beberap kasus terakhir, perubahm pH dari sistem dua fase pada proses partisi dapat memberikan pengaruh terhadap pernisahan yang diinginkan, narnun ha1 ini tidak dijelaskan lebih lanjut. Faktor lain yang berpengaruh terhadap jwnlah senyawa yang dipartisi
yaitu jumlah pengulangan proses. Secara umum,ekstraksi berulang (multiple extraction) lebil.1 efisien dibandingkan dengan ekstraksi tunggal (single extraction).
Namun ekstraksi berulang mempunyai keterbatasan dalam ha1
waktu dan tenaga kerja bila melibatkan sejumlah besar ekstdcsi (Moye et al. 1976).
Pelanrt yang digunakan untuk proses partisi hams bemi& sedikit larut atau tidak larut d a b air atau dakm bahan lain yang dapat menahan kornponen organik yang diharapkan, selain itu pelarut h a m bersifat volatil sehingga mudah diuapkan. Pelarut barus bersifbt inert dengan air dan senyawa
yang akan dipartisi (Moye et al. 1976). Terlepas dari semua itu, senyawa yang
akan dipartisi harus bersifat lebih larut dalam pelarut dibanding dalam air. Setelah proses partisi selesai, pelarut yang mengandung knyawa yang dipartisi dipbhkan menggumkan teknik steam stripping, evaporasi, destilasi, adsorpsi, atau dengan aladcara kimia lainnya. Bila senyawa terlarut
akan
dipisahkan dari pelarut atau pelarut akan digunakan kembali, teknik-teknik tersebut &pat di@m
untuk memurnikm pelarut. Destilasi merupakan cara
yang umm digunakan mtuk recovery pelarut (Hui 1992). Belum banyak informasi mengenai proses partisi ekstrak tumbuhan Aglaia spp. khusumya A. odorata yang telah dilakukan selama ini Namun dari beberapa sumber dapat diperoleh informasi, bahwa partisi ekstrak dilakukan sebelum dilakukan elusi melalui krornatograti kolom untuk rnendapatkan senyawa rnurni tunggal. Janprasert et al. (1992) mengisolasi senyawa &if
(rokaglamida) dari ekstrak metanol ming kering A. odorata
dengan mempartisi ekstrak dengan MeOH d m Me2C0 terlebih dahulu, dimana h k s i aktif diperokh setelah eampufan disaring. Ishibashi et al. (1992) mempartisi ekstrak metanol daun A. mbrata dengan rnetanol-petrol kemudian diikuti dengan metanobmetilen Idorida. Fraksi aktif terdapat dalam pelarut metilen klorida (CH2C12). Sedangkm Nugroho et al. (1997) mempartisi ekstrak metanol ranting A. huperreana menggunakan campuran pelarut H20heksan, HzeEtOAc dm H20-n-BuOH. Fraksi EtOAc yang memiliki keaktifh
sebagai
insektisida
kemudian
dihksinasi
rnenggunakan
kromatografi kolom Dono dan Prijono (1998) mernpartisi ekstrak aseton biji
A. h i a n a dengan CH2Clz-HzO (1:l). Fraksi nonpolar kemudian
difiaksinasi lebih lanjut d q a n kromatografi kolom. Nugroho clan Proksch (1999a) mmggunakan empat &nis c a m p m untuk mmpartisi senyawasenyawa aktif dari ekstrak tumbuhan Aglaia spp., yaitu heksan-H20, CH2ChH20, EtOAc-H20, dan BuOH-H20. Dari hasil partisi ini, ternyata hanya fraksi EtOAc dan CHzCl2 yang rnerniliki keaktifan sebagai insektisida yang k e d i a n difidcsinasi lebih lanjut dengan metode kromitografi. Berdasarkan
hal-ha1 di atas maka dalam peneliiian ini dilihat pengaruh perlakuan peng-
jenis p e b t campuran (CH2C12 dengan Hz0 dan EtOAc dengan
H20), dan pengulangan proses partisi terhadap rendemen dm M
nonpolar ( W i aktif).
i fiaksi