BAB V PEMBAHASAN
Pengambilan data dilakukan pada posyandu sasaran yang telah ditentukan. Seluruh balita umur 6-59 bulan yang datang ke posyandu pada saat dilakukan pengambilan data merupakan populasi sasaran penelitian. Tidak seluruh balita yang hadir memenuhi kriteria inklusi penelitian karena terdapat balita yang bukan berstatus tempat tinggal di Desa Tanjung dan terdapat beberapa ibu yang tidak membawa sampel garam dapur. Peneliti melakukan penimbangan berat badan balita dan wawancara terhadap ibu balita yang telah memenuhi kriteria menjadi sampel. Jumlah sampel penelitian ini yaitu 176 responden. Data yang terkumpul telah dilakukan pengolahan data guna menjawab pertanyaan penelitian yaitu untuk mengetahui adakah hubungan antara penerapan 5 indikator kadarzi dan status gizi balita umur 659 bulan di Desa Tanjung Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. A. Karakteristik Responden 1. Karakteristik Ibu a. Umur ibu Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar umur ibu adalah 20-35 tahun yaitu sebanyak 151 responden (85,8 %). Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang karena semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir (Wawan dan Dewi M, 2011). Menurut Lawrence
39
40
Green dalam Notoatmodjo (2012) pengetahuan merupakan faktor yang membentuk perilaku manusia di tingkat kesehatan. Umur berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan individu, karena kemampuan yang dimiliki individu dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari di luar faktor pendidikannya (Sedioetama, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Jayati dkk (2014) yang menyatakan bahwa umur ibu berhubungan positif dengan densitas asupan gizi yang menunjukkan kuantitas serta kualitas asupan zat-zat gizi rumah tangga, karena kedewasaan umur berpengaruh dalam hal perilaku menyediakan pangan untuk anggota keluarga serta dalam hal memenuhi kebutuhan zat gizi anggota. Berdasarkan analisis umur ibu akan menentukan perilaku ibu di dalam keluarga. Dengan umur ibu yang matang akan semakin matang pula dalam menangkap segala informasi dan pengetahuan, sehingga perilaku ibu akan semakin baik dalam menerapkan nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan, perhatian, dan pemenuhan gizi anak. b. Pendidikan terakhir ibu Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan ibu adalah SLTP/Sederajat
yaitu sebanyak responden 87 (49,4 %).
Pendidikan
salah
merupakan
satu
faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan. Jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan
41
informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Sebaliknya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah mereka menerima informasi, dan pada akhirnya semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya
(Mubarak,
2007).
Pendidikan
berpengaruh
dalam
pembentukan sikap kerena meletakkan dasar pengertian dalam diri individu dan pemahaman akan baik dan buruk (Azwar, 2012). Menurut Wawan dan Dewi (2011) pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal – hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Noviyanti dan Sarbini (2010) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan kemudahan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Hasil penelitian yang dilakukan Kharmina (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka akan semakin baik asuhan yang dilakukan terhadap anaknya. Menurut Supariasa dkk (2014) tingkat pendidikan, terutama pendidikan ibu mempengaruhi tingkat ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak serta pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiasih (2011) menunjukkan bahwa pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan ibu dalam memberikan asupan makanan yang bergizi kepada balitanya sehingga didapatkan status gizi
42
balita yang lebih baik dibandingkan dengan para ibu yang memiliki pendidikan lebih rendah. Berdasarkan analisis semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka pengetahuan ibu akan semakin baik khususnya yang berkaitan dengan asuhan terhadap kesehatan dan pemenuhan kebutuhan anak yang akan diterapkan dalam bentuk perilaku ibu sehari-hari di dalam keluarga. Terdapat faktor-faktor lain yang dapat membentuk perilaku seseorang. Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012) sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain merupakan referensi perilaku masyarakat yang akan membentuk perilaku manusia di tingkat kesehatan. Pendidikan terakhir responden mayoritas adalah SLTP/Sederajat dimana merupakan tingkat pendidikan menengah sehingga ibu memiliki pengetahuan yang kurang dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Peran serta dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain seperti kader dapat mendorong ibu untuk berperilaku kesehatan yang lebih baik di dalam keluarga. c. Aktivitas ekonomi ibu Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 153 responden (86,9 %). Aktivitas ekonomi ibu merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi status gizi balita. Pada ibu yang bekerja lebih membutuhkan
waktu
yang
banyak
di
luar
rumah,
sehingga
43
mengakibatkan kurang optimalnya perhatian orang tua kepada anak khususnya pola asuh. Hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku, terutama perilaku tentang kesehatan baik yang diterapkan kepada dirinya sendiri maupun keluarga, terutama kepada anak (Noviyanti dan Sarbini, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Bumi (2005) juga menyatakan bahwa dengan bekerja di luar rumah, maka frekuensi bertemu dengan anak berkurang, akibatnya ibu tidak dapat secara langsung mengontrol pola makan anak balita sehari-harinya. Hal ini
ditunjukkan bahwa tidak semua ibu yang bekerja mempunyai
perhatian khusus dalam pemberian makanan kepada anak balitanya, seperti menyiapkan makanan untuk balitanya sebelum berangkat kerja, menyuapi makan kepada anak, memberikan anak makan 3 kali sehari, dan memberikan makanan selingan. Selain itu perhatian ibu yang bekerja dalam menjaga kesehatan anak diperoleh hasil hanya sebagian kecil ibu yang kadang-kadang membawa anak balita ke posyandu. Berdasarkan analisis ibu rumah tangga memiliki banyak kesempatan untuk mengasuh dan memperhatikan kebutuhan anaknya dengan baik dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Apabila anak diasuh dengan baik dan terpenuhi kebutuhannya maka keadaan anak baik pula, termasuk keadaan kesehatan dan gizi anak.
44
2. Karakteristik Balita a. Umur balita Tabel 4.4 menunjukkan jumlah terbanyak adalah balita dengan umur 1335 bulan. Umur balita merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan makan. Sejak umur lebih dari 6 bulan anak mulai diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) secara bertahap sesuai dengan pertambahan umur. Anak mulai diberikan makanan keluarga sejak umur 12 bulan secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak dan ASI tetap diberikan sampai dengan umur 24 bulan. Pada umur 24 bulan atau lebih anak diberikan makanan keluarga (Pudiastuti, 2011). Seiring dengan pertambahan umur maka tingkat konsumsi akan semakin meningkat. Terdapat perbedaan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan pada setiap kelompok umur. Umur 0-6 bulan membutuhkan energi 560 kkal, umur 7-12 bulan membutuhkan energi 800 kkal, umur 1-3 tahun membutuhkan energi 1250 kkal, dan umur 4-6 tahun membutuhkan energi 1750 kkal (Supariasa dkk, 2014). Dalam penelitian ini umur balita dijadikan salah satu indikator dalam interpretasi status gizi. Hasil pengukuran berat badan dianalisis dengan menggunakan tabel rujukan indikator berat badan berdasarkan umur balita untuk mengetahui status gizi balita, karena dalam keadaan normal berat badan akan bertambah mengikuti pertambahan umur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhendri (2009) menunjukkan status gizi kurang ditemukan tersebar
45
pada setiap tahap umur balita dan berdasarkan analisis didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara umur balita dengan status gizi balita karena pada umur diatas 6 bulan merupakan umur dimana balita sangat tergantung pada makanan tambahan. Apabila hal ini tidak terpenuhi dalam kualitas dan kuantitas yang cukup maka status gizi anak anak akan menurun. b. Jenis kelamin balita Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar jenis kelamin balita adalah laki-laki yaitu sebanyak 93 balita (52,8 %). Dalam penelitian ini jenis kelamin balita dijadikan salah satu indikator dalam interpretasi status gizi. Hasil pengukuran berat badan dianalisis dengan menggunakan tabel rujukan indikator berat badan menurut umur berdasarkan jenis kelamin untuk mengetahui status gizi balita. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal (genetik) dan faktor eksternal (lingkungan). Jenis kelamin merupakan salah satu faktor genetik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan. Laki-laki cenderung lebih panjang dan lebih berat (Supariasa dkk, 2014). Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok balita dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan. Perbedaan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan berdasarkan jenis kelamin dimulai pada umur 10 tahun (Supariasa dkk, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhendri (2009) menunjukkan bahwa
46
tidak ada hubungan antara jenis kelamin balita dengan status gizi balita karena dipengaruhi faktor lain seperti perbedaan dalam perawatan dan pemberian makan pada setiap balita. c. Jarak kelahiran balita dengan anak sebelum atau sesudahnya Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar jarak kelahiran balita dengan anak sebelum atau sesudahnya adalah 2 tahun yaitu sebanyak 99 balita (56,25 %). Berdasarkan analisis dengan jarak kelahiran 2 tahun, balita akan lebih mendapatkan perhatian dari ibu dalam berbagai hal yang menyangkut kesehatan dan kebutuhan balita. Selain tingkat pendidikan ibu dan aktivitas ekonomi ibu jarak kelahiran yang terlalu rapat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Banyak anak yang menderita gangguan gizi dikarenakan adiknya yang baru telah lahir, sehingga ibunya tidak dapat merawat secara baik. Anak tersebut masih sangat memerlukan perawatan ibunya, baik perawatan makanan, kesehatan, maupun kasih sayang. Jika jarak kelahiran ibu terlalu rapat (kurang dari 2 tahun), maka bukan saja perhatian ibu terhadap anak akan menjadi kurang, akan tetapi juga air susu ibu (ASI) yang masih sangat dibutuhkan anak akan berhenti keluar (Proverawati dan Asfuah, 2009). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Kuntari dkk (2013) yang menunjukkan bahwa jarak kelahiran yang cukup merupakan faktor protektif malnutrisi pada balita karena perhatian orangtua tidak akan terbagi sebagaimana jika ada lebih
47
dari satu balita pada satu keluarga tersebut sehingga diharapkan anak akan mendapatkan kasih sayang dan nutrisi yang baik. d. Pantang makan pada balita Tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada penelitian ini sebanyak 176 balita (100 %) tidak memiliki pantangan makan. Hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk balita karena dapat mengkonsumsi seluruh jenis bahan makanan sehingga diharapkan berdampak pada status gizi balita yang normal. Menurut Proverawati dan Asfuah (2009) adanya pantang makan makanan tertentu masih dijumpai terutama di daerah pedesaan. Larangan terhadap anak untuk makan telur, ikan, ataupun daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwariskan secara dogmatis turun menurun, padahal anak memerlukan bahan makanan tersebut untuk pertumbuhan tubuhnya. Salah satu pengaruh yang dominan terhadap pola konsumsi ialah pantangan makanan. Pendapat masyarakat tentang konsep kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan sehingga akan mempengaruhi status gizi (Suhariati, 2012). Berdasarkan analisis dalam penelitian ini diketahui bahwa adanya status gizi yang tidak normal pada balita bukan karena pantangan makan, namun karena faktor-faktor lain yang dapat dapat mempengaruhi status gizi balita seperti tingkat pendidikan ibu dan aktivitas ekonomi ibu.
48
B. Penerapan 5 Indikator KADARZI Berdasarkan tabel 4.8
dapat diketahui bahwa dalam penerapan 5 indikator
kadarzi sebanyak 131 responden (74,4 %) adalah KADARZI, sedangkan sebanyak 45 responden (25,6 %) tidak KADARZI. Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Suatu keluarga disebut KADARZI apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan 5 indikator KADARZI yang meliputi penimbang berat badan secara teratur, pemberian
ASI
eksklusif,
pemberian
makan
beraneka
ragam
dengan
diberikannya lauk hewani dan buah setiap hari, penggunaan garam beryodium, dan pemberian vitamin A dosis tinggi sesuai anjuran (Departemen Kesehatan, 2007). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap ibu balita menggunakan panduan wawancara sesuai dengan pedoman KEPMENKES RI nomor: 747/Menkes/SK/VI/2007 tentang pedoman operasional keluarga sadar gizi di desa siaga dan ditunjang oleh KMS serta melakukan tes yodina. Penimbangan berat badan secara teratur dilihat dari kunjungan ibu dalam posyandu yang dibuktikan dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) dimana dikatakan teratur atau baik apabila balita hadir ke posyandu untuk melakukan penimbangan berat badan ≥ 4 kali berturut-turut dan dikatakan belum baik apabila balita hadir ke posyandu untuk melakukan penimbangan berat badan < 4 kali berturut-turut . Pemberian ASI eksklusif dinilai dengan menanyakan kepada ibu tentang
49
pemberian ASI saat anak berumur 0-6 bulan dimana dikatakan baik apabila pada saat anak berumur 0-6 bulan hanya diberikan ASI saja, tidak diberi makanan atau minuman lain dan dikatakan belum baik apabila pada saat anak berumur 0-6 bulan sudah diberi makanan atau minuman lain selain ASI. Pemberian makan beraneka ragam dinilai dengan menanyakan kepada ibu tentang konsumsi lauk heawani dan buah pada pada balita dimana dikatakan baik apabila setiap hari balita mendapat makan lauk hewani dan buah dan dikatakan belum baik apabila tidak setiap hari balita mendapat makan lauk hewani dan buah. Penggunaan garam beryodium pada keluarga dapat diketahui dengan melakukan tes yodina dimana dikatakan baik apabila saat dilakukan tes yodina garam menunjukkan warna ungu dan dikatakan belum baik apabila tidak terdapat perubahan warna. Pemberian vitamin A dosis tinggi sesuai anjuran dinilai dengan menanyakan kepada ibu apakah balita mendapatkan vitamin A dimana dikatakan baik apabila balita mendapat kapsul biru pada bulan Februari atau Agustus (6-11 bulan) dan apabila mendapat kapsul merah setiap bulan Februari dan Agustus (12-59 bulan), serta dikatakan belum baik apabila tidak mendapat kapsul biru/merah. Pada responden yang dinyatakan tidak KADARZI dikarenakan terdapat indikator kadarzi yang tidak terpenuhi. Dari 45 responden yang tidak KADARZI, sebanyak 26 reponden tidak menerapkan pemberian makan beraneka ragam, 25 responden tidak menerapkan pemberian ASI eksklusif, 13 responden tidak menerapkan penimbangan berat badan secara teratur, dan 9 responden tidak menggunakan garam beryodium. Peneliti menggali informasi lebih lanjut
50
terhadap responden yang tidak memenuhi indikator kadarzi. Indikator pemberian makan beraneka ragam tidak diterapkan karena ibu tidak memberikan lauk hewani dan buah kepada balita setiap hari. Tidak setiap hari tersedia lauk hewani dan buah-buahan di keluarga sehingga balita diberikan makanan sesuai dengan makanan atau hidangan yang tersedia di dalam keluarga. Indikator pemberian ASI eksklusif tidak diterapkan karena ibu memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berumur 5 bulan dengan alasan bayi dianggap masih lapar kalau hanya diberikan ASI dan ada beberapa balita yang pada saat bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif karena ibu bekerja sehingga bayi diasuh oleh nenek dan diberikan susu formula. Pada responden yang tidak menerapkan indikator penimbangan berat badan secara teratur menyatakan bahwa tidak dapat datang ke posyandu karena ada beberapa kepentingan lain seperti bepergian dan kesibukan ibu pada saat jadwal posyandu. Pada responden yang diketahui tidak menggunakan garam beryodium menyatakan bahwa ibu membeli garam seadanya di warung dan digunakan sehari-hari untuk memasak. Pada responden yang dinyatakan tidak KADARZI ditemukan karakteristik responden yaitu sebagian besar memiliki pendidikan terakhir SLTP/sederajat sebanyak 20 responden (44,40 %). Pada kelompok ini juga terdapat 9 responden (20 %) dengan pendidikan terakhir SD/sederajat. Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan ibu sehingga ibu memiliki pengetahuan yang terbatas. Kurangnya pengetahuan ibu khususnya dalam hal
51
kesehatan dan pemenuhan gizi anak akan berdampak pada perilaku yang kurang baik dalam menerapkan 5 indikator kadarzi di dalam keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam sebagian besar responden telah memenuhi 5 indikator kadarzi sehingga dinyatakan KADARZI. Hal ini dapat dipengaruhi oleh umur ibu dan tingkat pendidikan ibu. Umur ibu dan tingkat pendidikan ibu akan menentukan pengetahuan dan perilaku ibu di dalam keluarga. Ibu yang memiliki umur yang matang dan tingkat pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku ibu semakin baik dalam menerapkan nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan, pemenuhan gizi anak, perhatian, serta kasih sayang yang telah tercermin dalam indikator perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Umur dan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Mubarak, 2007). Semakin cukup umur maka seseorang akan lebih matang dalam berfikir (Wawan dan Dewi M, 2011). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah dalam menerima informasi, dan pada akhirnya semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki (Mubarak, 2007). Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012) pengetahuan merupakan salah satu faktor yang membentuk perilaku manusia di tingkat kesehatan. Hasil penelitian Rakhmawati dan Panunggal (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan ibu terhadap perilaku ibu dalam pemberian makanan untuk anak.
52
C. Status Gizi Balita Umur 6-59 Bulan Tabel 4.9 menunjukkan bahwa status gizi balita normal sebanyak 138 balita (78,4 %), sedangkan status gizi balita tidak normal sebanyak 38 balita (21,6 %). Pengumpulan data dilakukan dengan mengukuran berat badan balita secara langsung dengan menggunakan timbangan berat badan injak elektronik yang telah dilakukan kalibrasi. Hasil dari pengukuran tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan panduan tabel rujukan indikator berat badan menurut umur sesuai dengan jenis kelamin anak (Lampiran 6) untuk mengetahui status gizi balita. Status gizi balita terdiri dari status gizi normal dan status gizi tidak normal. Status gizi dikatakan normal apabila status gizi balita baik dan dikatakan tidak normal apabila status gizi balita buruk, kurang, dan lebih (Munthofiah, 2008). Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Dalam keadaan yang tidak normal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang dengan cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa dkk, 2014). Berdasarkan hasil observasi status gizi pada balita dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi ibu, tingkat pendidikan ibu, dan jarak kelahiran balita. Ibu rumah tangga memiliki banyak kesempatan untuk mengasuh, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan anaknya sehingga keadaan anak akan baik, termasuk keadaan kesehatan dan status gizi anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
53
Sulistyorini dan Rahayu (2009) yang menunjukkan bahwa pada ibu tidak bekerja memiliki balita dengan status gizi lebih baik daripada ibu bekerja. Semakin tingginya tingkat pendidikan ibu maka ibu akan semakin mengerti tentang halhal yang harus dilakukan untuk mengasuh dan memenuhi kebutuhan gizi anaknya sehingga anak akan mendapat asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya untuk mencapai status gizi yang baik. Penelitian Setiasih (2011) menunjukkan hasil bahwa pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan ibu dalam memberikan asupan makanan yang bergizi kepada balitanya sehingga didapatkan status gizi balita yang lebih baik dibandingkan dengan para ibu yang memiliki pendidikan lebih rendah. Jarak kelahiran balita 2 tahun akan berdampak pada perhatian yang penuh dari ibu dalam berbagai hal yang menyangkut kesehatan dan kebutuhan balita. Hasil penelitian Kuntari dkk (2013) menyatakan bahwa jarak kelahiran yang cukup merupakan faktor protektif malnutrisi pada balita karena perhatian orangtua tidak akan terbagi sebagaimana jika ada lebih dari satu balita pada satu keluarga tersebut sehingga diharapkan anak akan mendapatkan kasih sayang dan nutrisi yang baik. D. Hubungan antara Penerapan 5 Indikator KADARZI dan Status Gizi Balita Umur 6-59 Bulan di Desa Tanjung Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Hasil penelitian terhadap 176 responden didapatkan hasil bahwa dalam penerapan 5 indikator kadarzi sebanyak 131 responden (74,4 %) dinyatakan KADARZI dimana 127 balita (72,2 %) diantaranya memiliki status gizi normal dan 4 balita (2,3 %) memiliki status gizi tidak normal. Kemudian sebanyak 45
54
responden (25,6 %) dinyatakan tidak KADARZI dimana 11 balita (6,2 %) memiliki status gizi normal dan 34 balita (19,3 %) memiliki status gizi tidak normal. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pada keluarga balita yang telah menerapkan 5 indikator kadarzi sebagian besar balitanya memiliki status gizi normal. Sedangkan pada keluarga balita yang tidak menerapkan 5 indikator kadarzi sebagian besar balitanya memiliki status gizi tidak normal. Penerapan 5 indikator kadarzi oleh keluarga balita akan berdampak pada status gizi normal pada balita. Hal ini dibuktikan dengan analisis data yang dilakukan oleh peneliti menggunakan uji statistik SPSS versi 16.0 dengan uji Lambda didapatkan hasil nilai signifikansi (p)=0,000 (p<0,05) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penerapan 5 indikator kadarzi dan status gizi balita umur 6-59 bulan dan koefisien korelasi (r) sebesar 0,605 yang menunjukkan bahwa hubungan tersebut memiliki kekuatan korelasi yang kuat. Penerapan 5 indikator KADARZI meliputi penimbang berat badan secara teratur, pemberian ASI eksklusif, pemberian makan beraneka ragam dengan diberikannya lauk hewani dan buah setiap hari, penggunaan garam beryodium, dan pemberian vitamin A dosis tinggi sesuai anjuran (Departemen Kesehatan, 2007). Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) hasil penimbangan dapat diketahui apakah seorang anak terlalu cepat bertambah berat badannya dibandingkan usianya atau tidak bertambah berat badannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati dan Rahardjo (2010) untuk menilai
55
faktor risiko gizi buruk anak usia 6 – 24 bulan dalam upaya mengendalikan pencegahan dan pengendalian gizi buruk didapatkan hasil bahwa faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap gizi buruk adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan nilai odds ratio (OR) sebesar 12,49. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Octaviani dkk (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keaktifan di posyandu dengan status gizi balita. Keaktifan keluarga sangat berperan dalam memelihara dan mempertahankan status gizi balita yang optimal. ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi. Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parapat dkk (2013) menunjukkan bahwa ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dapat mempengaruhi status gizi bayi usia 6-12 bulan, dimana bayi yang mendapat ASI eksklusif cenderung memiliki status gizi yang baik dan bahkan jarang sakit, akan tetapi ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya cenderung memiliki status gizi anak yang kurang. Pemberian makan beraneka ragam dilakukan dengan memberikan lauk hewani dan buah setiap hari (Departemen Kesehatan, 2007). Jika makanan anak beragam, maka zat gizi yang terkandung dalam satu jenis makanan akan dilengkapi oleh zat gizi yang berasal dari makanan jenis lain. Kurangnya
56
keragaman jenis makanan juga akan mempengaruhi kejiwaan anak misalnya kebosanan sehingga akan menurunkan konsumsi makan anak (Proverawati dan Asfuah, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiasih (2011) terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi makanan yang diberikan dengan status gizi anak balita. Garam beryodium adalah garam (NaCl) yang diperkaya dengan yodium melalui proses iodisasi sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan kandungan Kalium Iodat (Direktorat Bina Gizi, 2012). Kekurangan yodium pada tingkat berat dapat mengakibatkan cacat fisik dan mental, seperti tuli, bisu tuli, badan
lemah, kecerdasan dan perkembangan mental
terganggu,
serta
pertumbuhan badan terganggu (Supariasa dkk, 2014). Yodium merupakan mikronutrien yang sangat dibutuhkan tubuh dalam sintesis hormon tiroid. Hormon tiroid mempunyai peran yang sangat penting dalam berbagai proses metabolisme (metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak) dan aktivitas fisiologi sistem organ tubuh manusia. Defisiensi yodium menyebabkan produksi hormon tiroid berkurang. Kekurangan hormon tiroid akan mengganggu berbagai proses metabolisme dan aktivitas fisiologi serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jaringan (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chairunnisa (2010) di Kecamatan Amuntai Tengah Kabupaten Hulu Sungai Utara didapatkan hasil bahwa penggunaan garam beryodium berpengaruh terhadap status gizi balita normal.
57
Kapsul vitamin A adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi yaitu 100.000 Satuan Internasional (SI) untuk bayi umur 6-11 bulan dan 200.000 SI untuk anak balita 12-59 bulan (Direktorat Bina Gizi, 2012). Anak yang kekurangan vitamin A kurang mampu melawan berbagai potensi penyakit yang fatal dan berisiko rabun senja. Oleh karena itu dilakukan pemberian kapsul vitamin A dalam rangka mencegah dan menurunkan prevalensi kekurangan vitamin A (KVA) pada balita (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Beberapa fungsi vitamin A yaitu penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan, diferensiasi sel, reproduksi, dan kekebalan. Sedangkan kekurangan vitamin A dapat menyebabkan buta senja, perubahan pada kulit, perubahan pada mata, gangguan pertumbuhan, dan infeksi (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007). Hasil penelitian Saputra dan Nurrizka (2012) menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan vitamin A dalam kegiatan posyandu memiliki risiko gizi buruk yang lebih rendah dibanding anak dengan tidak mendapatkan vitamin A. Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) merupakan perilaku gizi dalam keluarga sehingga keluarga mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya (Departemen Kesehatan, 2007). Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2012) di dalam perilaku kesehatan, perilaku gizi merupakan bentuk perilaku pemeliharaan kesehatan yang dilakukan seseorang
terhadap
makanan
meningkatkan kesehatan.
dan
minuman
untuk
memelihara
serta
58
Teori serupa juga diungkapkan oleh Masithah dkk (2005) bahwa kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi cara ibu memberikan makanan kepada anak. Pemberian makan yang memadai berhubungan dengan baiknya kualitas konsumsi makanan anak. Kualitas konsumsi menggambarkan pencapaian konsumsi pangan yang bergizi. Berdasarkan penelitian Hamid dkk (2013) tentang analisis pola konsumsi pangan rumah tangga didapatkan hasil bahwa kualitas pola konsumsi pangan rumah tangga baik di pedesaan maupun perkotaan masih di bawah ideal. Konsumsi pangan tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan namun juga kesadaran akan makanan yang berkualitas untuk kesehatan (Kementerian perdagangan Republik Indonesia, 2013). Berdasarkan penelitian Jayati dkk (2014) menyatakan bahwa pola konsumsi pangan berhubungan signifikan dengan tingkat kecukupan zat gizi. Berdasarkan penelitian Pertiwi dkk (2012) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kecukupan gizi balita dengan status gizi balita. Status gizi merupakan akibat dari keseimbangan antara konsumsi, penyerapan zat gizi dan penggunaannya di dalam tubuh (Supariasa dkk, 2014). Status gizi pada masa balita perlu mendapatkan perhatian yang serius dari para orangtua karena balita atau anak bawah lima tahun merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit karena balita berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, sudah mulai berkurangnya perhatian ibu karena ibu sudah mulai bekerja penuh atau dikarenakan sudah mempunyai adik, serta balita
59
belum dapat mengurusi diri sendiri termasuk dalam memilih makanan (Proverawati dan Asfuah, 2009). Berdasarkan
tabel 4.5 tabulasi silang antarvariabel, diperoleh data
responden yang telah KADARZI tetapi memiliki status gizi tidak normal sebanyak 4 balita (2,3 %) dan responden yang tidak KADARZI tetapi memiliki status gizi normal adalah 11 balita (6,2 %). Hal ini dimungkinkan karena faktor lain seperti kejadian infeksi. Peneliti menggali informasi lebih lanjut mengenai faktor lain yang memungkinkan terjadinya status gizi balita tidak normal pada keluarga yang telah KADARZI yaitu seringnya bayi mengalami ISPA dan diare. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elayana dan Candra (2013) menyatakan bahwa frekuensi balita mengalami infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) berdampak pada status gizi. Penelitian Nurcahyo dan Briawan (2010) juga menunjukkan bahwa semakin sering mengalami diare maka status gizi anak balita semakin buruk. Menurut Ernawati (2006) penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan. Pada balita dengan penyakit infeksi biasanya nafsu makannya menurun, sehingga jumlah makanan yang seharusnya dikonsumsi tidak terpenuhi. Selain itu status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient ouput) akan gizi tersebut. Kebutuhan tubuh (nutrient ouput) sendiri juga ditentukan oleh banyak faktor, yakni metabolisme basal, aktivitas fisik, gangguan pencernaan
(ingestion),
daya
serap
(absorption),
tingkat
penggunaan
60
(utilization), dan perbedaan pengeluaran dan penghancuran (excretion and destruction) dan zat gizi di dalam tubuh (Supariasa, 2014). Status gizi balita yang tidak normal pada keluarga yang KADARZI juga ditemukan adanya karakteristik ibu dalam aktivitas ekonomi ibu yaitu ibu bekerja sehingga dalam kesehariannya balita diasuh oleh nenek. Pada ibu yang pekerja, ibu akan menghabiskan banyak waktu diluar rumah, sehingga kurangnya peran ibu dalam pengasuhan dan perhatian terhadap kesehatan maupun gizi anak. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bumi (2005) yang menyatakan bahwa dengan bekerja di luar rumah, maka frekuensi bertemu dengan anak berkurang, akibatnya ibu tidak dapat secara langsung mengontrol pola makan anak balita sehari-harinya. Pada hasil penelitian juga ditemukan bahwa responden yang tidak KADARZI tetapi memiliki status gizi normal adalah 11 balita (6,2 %). Pada responden tersebut dikatakan tidak KADARZI disebabkan sebagian besar tidak memberikan ASI secara eksklusif. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada responden, mayoritas memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berumur 5 bulan, namun tetap memberikan ASI sampai dengan balita berumur 2 tahun. Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan. ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi. ASI membantu pertumbuhan
61
dan perkembangan anak secara optimal serta melindungi terhadap penyakit (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada balita yang memiliki status gizi normal namun tidak KADARZI paling banyak ditemukan pada balita berumur lebih dari 1 tahun (13-59 bulan). Dalam hal ini riwayat ASI eksklusif balita tidak dominan membentuk status gizi balita karena balita telah mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-ASI) atau makanan dewasa, sehingga asupan makanan inilah yang berdampak secara langsung pada status gizi balita saat ini. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2003) menyatakan bahwa balita dengan riwayat tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko yang sama untuk kemungkinan memiliki status gizi kurang pada saat usia balita. Anjuran makan pada anak sejak umur lebih dari 6 bulan yaitu meneruskan pemberian ASI dan mulai memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) secara bertahap sesuai pertumbuhan umur (Pudiastuti, 2011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Prakoso dkk (2011) dengan judul “Hubungan Perilaku Ibu Dalam Memenuhi Kebutuhan Gizi dan Tingkat Konsumsi Energi dengan Status Gizi Balita di Desa Cibeusi Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang” yang menyatakan terdapat hubungan bermakna antara perilaku ibu dengan status gizi balita. Anak yang memiliki ibu dengan perilaku baik berpeluang 5,467 kali memiliki status gizi normal dibandingkan dengan anak dengan ibu berperilaku kurang baik.
62
Penelitian Kirana (2014) yang berjudul “Hubungan Perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) dengan Kejadian Stunting pada Balita di Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten” yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku kadarzi dengan balita stunting. Semakin tinggi perilaku kadarzi yang diterapkan dengan baik, maka semakin rendah angka balita dengan status gizi stunting begitu juga sebaliknya.