Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang PROBLEMATIKA PERILAKU PETANI DI KOTA BATU DALAM PENGGUNAAN PESTISIDA SINTETIS DAN PENANGGULANGANNYA BERBASIS ECO-EDUCATION
1)
Atok Miftachul Hudha1),2) & Husamah1)2) Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan Universitas Muhammadiyah Malang 2) Prodi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas 246, Malang 65144; Telp. 0341.464318 ext 244 Email:
[email protected]
ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk 1) mengungkap perilaku petani di Kota Batu dalam menggunakan pestisida sintetis, dan 2) mendeskripsikan ide kreatif berupa konsep eco-education. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi dan wawancara mendalam. Teknik sampling untuk pengumpulan data adalah accidental sampling. Hasil penelitian dan kajian menunjukkan penggunaan pestisida oleh petani diarahkan untuk pembasmian hama dan penyakit, namun di luar prosedur sehingga mencemari lingkungan. Takaran, periode penyemprotan, dan jumlah zat yang dicampurkan tidak berdasar acuan baku, tetapi berdasar pengalaman individual petani. Sulitnya mencari tenaga kerja serta mahalnya ongkos buruh mendorong petani menggunakan obat kimia pembasmi rumput dan gulma. Periode penyemprotan pestisida yang dicampur dengan berbagai jenis obat lainnya untuk setiap jenis tanaman berbeda, antara lain pada tanaman apel dilakukan rata-rata penyemprotan 4 kali perbulan selama 2-2,5 bulan dan pada sayuran dilakukan penyemprotan 1 kali per 3 hari selama 2,5 bulan, sehingga total jumlah penyemprotan sebanyak 20 kali. Untuk memberi pengetahuan dan perilaku yang benar dalam penggunaan pestisida harus ditempuh dengan cara edukasi lingkungan (eco-education). Implementasi konsep eco-education dapat merujuk pada empat kelompok model pembelajaran menurut Juice dkk yaitu 1) kelompok model pembelajaran memproses informasi, 2) kelompok model pembelajaran sosial, 3) kelompok model pembelajaran personal, dan 4) kelompok model pembelajaran sistem perilaku.
Kata Kunci: Batu, Eco-education, Perilaku, Pertanian, Pestisida PENDAHULUAN Pilar pembangunan Indonesia yang semula hanya pro jobs, pro poor, pro growth kini ditambah dengan pro environment. Pilar terakhir ini sangat penting dan relevan untuk mengetahui sejauh mana pembangunan dan perubahan yang terjadi tidak berefek buruk pada lingkungan hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Perubahan mendasar dari pilar pembangunan di Indonesia yang memasukkan unsur lingkungan semakin memberikan arti betapa pentingnya kelestarian dan kesinambungan fungsi lingkungan. Kambuaya (2012) menegaskan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek pelestarian fungsi lingkungan, telah mengakibatkan timbulnya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu sektor yang banyak memberikan sumbangan bagi perekonomian Indonesia adalah pertanian. Kebijakan politik pemerintah-pusat hingga daerah-pasca kemerdekaan hingga saat ini menggariskan pembangunan pertanian yang bertujuan
1
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang untuk mencapai swasembada pangan. Hal ini pula yang terjadi di Kota Batu yang merupakan daerah otonom termuda di provinsi Jawa Timur (BPS Kota Batu, 2011). Secara umum wilayah Kota Batu merupakan daerah perbukitan dan pegunungan. Kota Batu secara geologis tersusun atas endapan gunung api yang aktif pada masa lampau. Endapan hasil aktivitas gunung api ini disebut endapan epiklastik dan tiroklastika. Formasi geologi tersebut menunjukan bahwa Kota Batu merupakan wilayah subur untuk pertanian karena jenis tanahnya merupakan endapan dari sederetan gunung yang mengelilingi Kota Batu, sehingga di Kota Batu mata pencaharian penduduk didominasi oleh sektor pertanian (Pemerintah Kota Batu, 2011). Pola penggunaan lahan di wilayah Kota Batu terdiri dari lahan sawah dan bukan sawah. Luas untuk lahan sawah sebesar 2.513,00 ha (12,6%) sedangkan luas lahan bukan sawah sebesar 17.395,72 ha (87,4%). Lahan bukan sawah dibedakan menjadi pekarangan, tegal atau kebun, hutan dan lain-lain. Penggunaan lahan untuk pekarangan sebesar 1.592,83 ha. Tegal atau kebun sebesar 2.553,74 ha. Hutan sebesar 8.19931 ha dan lain-lain sebesar 5.622,75 ha. Kegiatan hutan di wilayah Kota Batu sebagian besar merupakan kawasan dengan topografi berbukit terjal (Susilawati, 2012). Pertanian hortikultura merupakan sumber penghasilan utama sebagian besar masyarakat Kota Batu sejak tahun 1970 (Widianto dkk, 2010). Para petani secara umum membudidayakan tanaman buah-buahan (khususnya jeruk), sayur-sayuran, dan tanaman hias (Kustamar, 2010; Setyarini, 2011). Kegiatan pertanian berlangsung sepanjang tahun secara intensif dan dalam praktiknya banyak menggunakan bahan kimia yang tinggi khususnya dari pestisida sintetis (Djauhari dkk., 2009; Indahwati dkk., 2012). Tingginya permintaan konsumen dan harga jual menjadi pemicu praktik pertanian yang sangat bertentangan dengan kaidah konservasi ini. Pestisida sintetis secara umum dimaknai oleh petani sebagai bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan jasad penganggu yang merugikan kepentingan manusia (Girsang, 2009). Penggunaan pestisida sintetis telah dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan produksi (hasil panen), karena aneka hama atau organisme pengganggu yang menyerang dapat dikendalikan populasinya. Dewasa ini pestisida sintetis merupakan bahan yang sangat diperlukan dan harus selalu ada. Sebagian besar petani bahkan beranggapan bahwa pestisida adalah “dewa penyelamat” yang vital untuk menghindari kegagalan panen akibat serangan hama dan jasad pengganggu tanaman. Lahan-lahan pertanian di Kota Batu telah secara umum telah mengalami pencemaran oleh pestisida sintetis. Hal ini merupakan salah satu problematika lingkungan di Kota Batu. Sehubbungan dengan itu, ada 3 hal utama yang terkait dengan problematika lingkungan hidup di Kota Batu yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu 1) daya dukung air dipermukaan mengalami fluktuatif; 2) terjadi perubahan penurunan 2
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang kondisi air tanah, dan 3) pencemaran tanah dan degradasi lahan (Pemerintah Kota Batu, 2011). Degradasi lahan merupakan penurunan fungsi dan potensi lahan untuk mendukung kehidupan di sekitarnya yang disebabkan oleh penurunan kualitas tanah
(Djauhari dkk., 2009). Bukti empiris penurunan kualitas tanah pertanian Kota Batu adalah dengan penurunan produksi empat varietas buah apel andalan Kota Batu, yaitu manalagi, rome beauty, anna, dan wanglingn beberapa tahun belakangan ini. Kebanyakan dari petani mempunyai persepsi bahwa pemakaian dosis tinggi dan juga mencampur beberapa jenis pestisida sintetis sekaligus dalam setiap aplikasi dapat memberikan hasil panen yang maksimal dengan penggunaan aplikasi sistem kalender. Petani melakukan terus melakukan penyemprotan pestisida sinstesis sehari atau selang beberapa hari sebelum masa panen (Nadhira, 2011). Penggunaan pestisida sintetis intensif dan tidak prosedural dan tidak efektif oleh petani di Kota Batu telah menjadi hal yang lumrah dan jamak terjadi. Pola ini telah menjadi perilaku umum petani di Kota Batu. Berdasarkan berbagai uraian terkait problematika lingkungan hidup Kota Batu khususnya mengenai pertanian tersebut di atas, maka sangat penting kiranya untuk mengungkap perilaku petani di Kota Batu dalam menggunakan pestisida sintetis selama ini. Perilaku penggunaan pestisida yang tidak sesuai anjuran dimungkinkan oleh faktor yang ada dalam diri petani, yaitu persepsi dan pengetahuan petani tentang penggunaan pestisida sesuai anjuran yang masih keliru atau rendah. Persepsi dan pengetahuan yang benar akan memberikan apresisasi dan pertimbangan yang mengarah pula pada perilaku yang baik dalam penggunaan pestisida dan penanganan kemasannya oleh petani. Persepsi dan perilaku petani dalam penanganan resiko pastisida pada lingkungan mempunyai korelasi yang positif dan kuat (Prayitno dkk, 2014). Persepsi dan perilaku masyarakat atau petani perlu dirubah karena potensial sebagai masalah dan sumber pencemaran oleh penggunaan pestisida sintetis. Persepsi itu meliputi anggapan bahwa pestisida masih diperlukan untuk menjamin keberhasilan usaha tani yang akan menyebabkan penggunaan yang terus menerus. Perilaku meliputi penggunaan pestisida sintetis secara intensif dan tidak prosedural, pembuangan, dan penyimpanan yang masih belum sesuai anjuran. Alternatif yang dapat dilakukan adalah merubah persepsi dan perilaku keliru dengan pendekatan melalui model atau panutan. Salah satu pendekatan untuk memberikan pencerahan kepada petani adalah ecoeducation. Pendekatan ini dirasa sangat arif karena dapat memberikan pengetahuan yang efektif kepada masyarakat luas (termasuk pelajar), agar memiliki pengetahuan yang baik tentang pestisida sehingga mampu memahami dampak penggunaan pestisida yang tidak prosedural dengan benar. Selain juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat, bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah diundangkan melalui Undangundang 32 Tahun 2009. Selain itu UU dimaksud juga memberikan mandat, bahwa dalam 3
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang melakukan pengelolaan lingkungan hidup perlu memperhatikan aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Artikel ilmiah ini bertujuan mengungkap perilaku petani di Kota Batu selama ini dalam menggunakan pestisida sintetis yang dikaitkan dengan dampak penurunan kesuburan tanah di lahan pertanian. Artikel ini juga bertujuan mendeskripsikan ide kreatif berupa konsep eco-education. METODE Metode yang digunakan dalam pengumpulan data kegiatan ini adalah observasi dengan teknik wawancara mendalam. Teknik wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data tentang perilaku petani di perkebunan apel dan petani di lahan sayur mayur dalam menggunakan pestisida dan wawancara kepada petani dilakukan dengan menggunakan bahasa campuran (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia). Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan situasi wawancara menjadi terbuka dan obyektif, mengingat saat wawancara di kegiatan obserevasi pertama pada petani apel di desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji Kota Batu pada bapak X tidak berjalan efektif, karena bapak X menjadi protektif. Selain kepada petani observasi dan wawancara juga dilakukan terhadap guru di SMP yang ada di Kota Batu yang mengajar mata pelajaran Muatan Lokal Lingkungan Hidup. Teknik sampling yang digunakan untuk pengumpulan data adalah accidental sampling. Alat-alat yang digunakan untuk pendokumentasian kegiatan observasi adalah kamera Canon tipe EOS 70 dan kamera Sony tipe AVCHD 161.2 Mega Pixel. Pelaksanaan observasi ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2015. HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Petani dalam Penggunaan Pestisida Sintetis 1. Petani Apel Pemanfaatan pestisida oleh masyarakat Kota Batu dilakukan secara turuntemurun baik dari pemilihan jenis pestisida maupun takaran yang digunakan untuk disemprotkan ke tanamannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Bapak Hartono (petani Apel di Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji Kota Batu), bahwa para petani sangat tergantung pada pestisida, sebab jika tidak menggunakan pestisida, maka pohon dan buah apel akan terserang hama sehingga mereka tidak akan panen. Sebagaimana cuplikan wawancara dengan Pak Hartono tentang tujuan penyemprotan buah apel hari itu dengan pertanyaan: “Apa tujuan bapak melakukan penyemprotan tanaman apel hari ini? (Peneliti) Beliau menjawab: “untuk memperbesar buah” (R.2/P.A/W.1/08/2015)
Saat ditanya tentang adanya penurunan produksi apel di Kota Batu, Pak Hartono mengakui jika hal itu juga diakibatkan oleh menurunnya kesuburan tanah. Saat 4
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang ditanyakan tentang penggunaan pestisida di lahan perkebunan apel yang luasnya mencapai 2500 m2, beliau mengatakan bahwa penyemprotan dilakukan 4 kali perbulan. Beliau juga mengakui jika penggunaan obat kimia pembasmi rumput dan gulma tidak baik bagi kesuburan tanah, meskipun menurut pengakuannnya banyak petani apel yang menggunakan pestisida sintetik. Alasan beliau adalah sebagai berikut: “..memakai roundup adalah untuk mempercepat pekerjaaan, namun hal ini tidak sesuai harapan..” (R.2/P.A/W.1/08/2015)
Petani apel banyak yang menggunakan pestisida jenis roundup (obat pembasmi rumput atau herbisida) untuk membersihkan rumput dan gulma. Pak Hartono mengakui bahwa hal tersebut dapat menyebabkan tanah menjadi tandus. Hal ini sebagaimana jawaban beliau sebagai berikut: “..ya Pak, banyak juga petani yang menggunakan round up, tetapi hal itu tidak sesuai dengan harapan karena kalau terlalu banyak akan membuat tanah menjadi tandus” (R.2/P.A/W.2/08/2015)
Para petani juga mengatakan sebagai berikut: ” ..kalau tidak menggunakan round up rumputnya gak mati pak, apalagi sekarang cari tenaga kerja untuk menyiangi rumput dan gulma gak ada orang, sulit, kalaupun ada minta bayaran mahal…lha ini masalahnya, sehingga begitu panen mau ditanami lagi rumputnya dibasmi dulu dengan round up…dan itu sudah umum pak, semua petani begitu…..” (R.4/P.S.M/10/2013)
Lebih lanjut Pak Hartono menjelaskan bahwa penurunan kesuburan tanah di lahan perkebunan atau lahan pertanian adalah akibat perilaku petani sendiri yang lebih memilih mengunakan roundup untuk membersihkan rumput dan gulma, mengantikan peran buruh kerja yang membutuhkan biaya mahal. Sebagaimana pernyataan beliau… “ ...ya pak, penggunaan roundup dilakukan oleh banyak petani dan ini akan menurunkan kesuburan tanahnya, hal ini juga diakibatkan mereka tidak menggunakan pupuk kandang sebagai tambahannya…..” (R.2/P.A/W3/08/2015)
Petani apel juga umumnya menggunakan campuran berbagai jenis pestisida sintetik dalam sekali proses penyemprotan. Ini dilakukan untuk meningkatkan daya kerja pestisida sekaligus menghemat waktu. Informasi ini diperoleh berdasarkan konfirmasi dari salah seorang buruh/karyawan pak Hartono tentang tujuan penyemprotan hari itu. Ia menyatakan bahwa yang disemprotkan adalah racun, insektisida dan campuran berbagai jenis obat yang dilarutkan menjadi satu, sebagaimana cuplikan jawaban beliau berikut: “ …ini racun pak….insektisida…isinya campur-campur” (R.2/K.P.A/08/2015)
2. Petani Sayur-Sayuran Pengumpulan data terhadap penggunaan pestisida pada petani sayur-sayuran dilakukan dengan melakukan wawancara. Dari hasil wawancara diperoleh data, bahwa semua petani sayur-sayuran yang ditemui dan diwawancarai mengaku menggunakan pestisida untuk membasmi hama dan penyakit. Praktik tersebut dilakukan secara turun5
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang temurun dengan takaran bebas, tidak terukur, berdasarkan feeling dan menggunakan campuran jenis pestisida yang macam-macam. Ketika salah satu petani ditanya mengapa tidak menggunakan pupuk dan obat-obatan organik, mereka menjawab bahwa penggunaan pupuk dan obat organik tidak efektif menghasilkan panen. Bukti hasil wawancara terhadap para petani sayur tentang penggunaan pestisida dapat dicuplik sebagai berikut… a. Tujuan penyemprotan pestisida oleh petani buncis (Phaseolus vulgaris L.) Ketika ditanyakan tujuan penyemprotan pestisida kepada petani buncis, petani menjawab sebagai berikut: “…kalau tidak disemprot dengan pestisida tidak akan mendapatkan hasil apa-apa, karena selain diserang ulat juga bunga-bunga buncis akan dimakan burung”. (R.3/P.S.M/W.1/08/2015)
b. Tujuan penyemprotan pestisida pada petani “brungkul” (kembang kol, Brassica oleracea var. botrytis) Saat petani brungkul ditanyakan tujuan penyemprotan pestisida ke tanamannya, beliau menjawab sebagai berikut: “..kalau gak disemprot dengan pestisida ya gak panen pak, karena sayuran akan dimakan ulat..” (R.4/P.S.M/10/2015)
Saat ditanyakan mengenai frekuensi penyemprotan, petani menyampaikan bahwa perilaku penyemprotan dilakukan setiap 3 hari sekali, sampai 3 hari sebelum panen. Umur tanaman brungkul siap panen rata-rata 2,5 bulan. Dengan demikian, jika dihitung rata-rata secara kasar maka petani melakukan penyemprotan pestisida sintetik sebanyak 20 kali hingga menjelang panen. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata petani menjawab bahwa penggunaan pestisida (obat kimia pembasmi rumput dan gulma) akan merusak tanah. namun demikian, para petani tidak memiliki pilihan lain. Kondisi ini diperparah oleh semakin tingginya upah buruh petani. selain itu, saat ini sangat susah mencari tenaga (buruh) bantu untuk mengolah lahan pertanian. Hal ini seperti ditunjukkan dengan penuturan petani, sebagai berikut: “…tetapi apa boleh buat pak. Sebab mencari orang yang bisa dan mau menyiangi lahan pertanian saat ini sulit. Banyak pemuda yang enggan ke kebun. Makanya saya mengajak cucu saya biar senang bertani. (R.4/P.S.M/10/2013)
Berdasarkan hasil observasi langsung di lahan pertanian dan wawancara dengan para petani di Kota Batu, sebagai telah dipaparkan di atas maka ditemukan fakta-fakta problematika perilaku petani dalam menggunakan pestisida sintetik, yaitu 1) kesadaran petani Kota Batu akan dampak negatif penggunaan pestisida sintetik secara berlebihan menyebabkan penurunan produksi apel, sebagai manifestasi menurunnya kualitas tanah; 6
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang 2) Perilaku petani di Kota Batu tidak terkendali dalam menggunakan pestisida di lahan pertaniannya dan aktivitas tersebut dilakukan turun-temurun dalam kurun waktu yang sangat lama guna pengendalian hama dan penyakit yang akan merusak tanamannya; 3) Para petani di Kota Batu tidak menyadari secara utuh bahwa perilaku mereka dalam penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak prosedural akan dampak buruk. Petani hanya sebatas mengetahui bahaya saja, belum sampai pada pemahaman yang mendalam akan terjadinya dampak pencemaran lingkungan dalam kadar yang berat termasuk penurunan kualitas tanah; 4) Takaran, durasi penyemprotan, dan jenis campuran yang disemprotkan tidak ada (tanpa patokan). Antara petani satu dengan lainnya juga tidak ada patokan. Petani hanya menggunakan hasil pengalaman masingmasing; 5) Sulitnya mendapatkan tenaga kerja (buruh tani) dan mahalnya upah semakin mendorong digunakannya pestisida pembasmi rumput dan gulma; dan 6) Frekuensi penggunaan pestisida sangat tinggi, misalnya pada tanaman sayur-sayuran dari mulai awal tanam sampai panen rata-rata disemprot sampai 20 kali. Contoh proses penyemprotan tanaman oleh petani dan berbagai jenis pestisida yang dicampur untuk disemprotkan seperti ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Proses Penyemprotan Pestisida Oleh Petani Sayur di Kota Batu (Sumber: Dokumen Pribadi, 2015)
Gambar 2. Berbagai Jenis Pestisida yang Dicampur untuk Disemprotkan (Sumber: Dokumen Pribadi, 2015)
Berbagai kondisi dan problematika terkait perilaku petanidi Kota Batu tersebut sejalan dengan temuan berbagai penelitian. Menurut Ameriana (2008) petani cenderung memiliki persepsi bahwa serangan hama penyakit sebagai penyebab utama kegagalan panen. Pestisida sintetis merupakan input yang dianggap paling efektif dalam mengendalikan hama oleh sebagian besar petani sehingga mendorong penggunaan secara berlebihan. Selain itu petani sering melakukan penambahan konsentrasi, peningkatan frekuensi penyemprotan, mengganti jenis pestisida dan melakukan pencampuran pestisida. Biaya produksi penggunana pestisida dalam pertanian mencapai 30% dari total biaya. 7
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang Dari
dimensi
pencampuran
pestisida
terlihat
bahwa
petani
cenderung
melakukannya dengan harapan meningkatkan kualitas keampuhan pestisida. Padahal menurut Moekasan (1998) pencampuran pestisida tertentu dapat memberikan efek sinergitas, antagonistik dan netral.
Selain itu menurut Ameriana (2008) penelitian
menunjukkan bahwa pencampuran pestisida dapat meningkatkan daya toksisitas sampai dengan 5 kali yang juga berbahaya bagi manusia. Perilaku penggunaan pestisida yang tidak sesuai anjuran dimungkinkan oleh faktor yang ada dalam diri petani (Prayitno dkk, 2014). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda untuk dapat diwujudkan menjadi suatu tindakan atau praktik, yaitu melalui proses tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Notoatmodjo, 2007). Sikap untuk menjadi praktik atau perilaku membutuhkan tingkatan dari menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab (Soenardji, 1988). Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, secara lebih terinci, perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dariberbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Konsep eco-education Hasil penelitian Ayuningtiyas (2011) menunjukkan bahwa 1) ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang pestisida dan pencemaran lingkungan dengan perilaku penggunaan pestisida sebagai upaya pencegahan pencemaran lingkungan, 2) ada hubungan yang signifikan antara sikap tentang pestisida dan pencemaran lingkungan dengan perilaku penggunaan pestisida sebagai upaya pencegahan pencemaran lingkungan, dan 3) ada hubungan yang signifikan antara peran dinas dengan perilaku penggunaan pestisida sebagai upaya pencegahan pencemaran lingkungan. Berdasarkan hasil ini, Ayuningtyas menyarankan bahwa perlu peningkatan pemberian pengarahan, pembimbingan, dan pengawasan perilaku petani dalam menggunakan pestisida untuk mencegah
terjadinya
pencemaran
lingkungan,
khususnya
dalam
peningkatan
pengetahuan dan sikap petani terhadap pestisida sehingga mampu membentuk upaya pencegahan pencemaran lingkungan dan mewujudkan lingkungan yang berkualitas. Pengarahan,
pembimbingan,
dan
pengawasan
perilaku
petani
dalam
menggunakan pestisida bertujuan untuk menciptakan kesadaran lingkungan para petani. Thornber (2005) mendefinisikan kesadaran lingkungan hidup sebagai suatu kemampuan penting untuk dapat merasakan dan menafsirkan tingkat kesehatan sistem lingkungan dan mengambil tindakan yang cocok untuk mempertahankan, membangun kembali, atau meningkatkan kesehatan sistem lingkungan tersebut. Hal ini perlu menjadi perhatian 8
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang semua pihak termasuk dunia pendidikan dalam upaya menanggulangi masalah lingkungan melalui pendidikan
(eco-education). Menurut Arty (2005) kesadaran
lingkungan hidup mencakup banyak segi, yaitu segi kognitif (pengetahuan), segi afektif (sikap dan perilaku), dan segi psikomotorik (keterampilan) seseorang ketika terlibat dalam aksi lingkungan secara perorangan atau kelompok. Kesadaran tersebut dapat dicapai melalui pendidikan formal di semua jenjang bahkan juga pendidikan informal dan nonformal (Gitoasmoro, 2004). Menurut Prayitno dkk (2014) tingkat pendidikan juga merupakan gambaran tentang pengetahuan dan wawasan yang dimiliki, dengan semakin tinggi pendidikan seseorang maka dianggap lebih tahu dan lebih benar dalam pemikiran, hal-hal ini juga akan menentukan tingkat sosial ekonomi seseorang dalam masyarakat. Pengetahuan tidak hanya didapat melalui pendidikan formal, khusus untuk pengetahuan tentang pertanian dapat diperoleh juga dari penyuluhan (nonformal) dan kursus (informal). Pendidikan identik dengan pembelajaran. Implementasi konsep eco-education dapat merujuk pada Empat Kelompok Model Pembelajaran menurut Juice dkk (2009), yaitu
1) kelompok model pembelajaran memproses informasi, 2) kelompok model
pembelajaran sosial, 3) kelompok model pembelajaran personal, dan 4) kelompok model pembelajaran sistem perilaku. Pertama, kelompok model pembelajaran memproses informasi adalah kelompok model pembelajaran yang menekankan cara-cara dalam meningkatkan dorongan alamiah manusia untukmembentuk makna tentang dunia dengan memperolehdan mengolah data, merasakan masalah-masalah dan menghasilkan solusi tepat serta mengembangkan kosep dan bahasa untuk mentransfer solusi/data tersebut. Kedua,
kelompok
model
pembelajaran
sosial
adalah
kelompok
model
pembelajaran yang menekankan pada tabiat sosial manusia, mempelajari tingkah laku sosial, serta mempertinggi hasil capaian pembelajran akademik melalui pembelajaran yang berorientasi pada kerjasama akademik, mempersiapkan peserta didik menjadi warga Negara yang baik, serta membentuk kehidupan sosial yang memuaskan, berdebat, dan berdiskusi. Ketiga, kelompok model pembelajaran personal adalah model pembelajaran yang bertujuan, yaitu 1) menuntun siswa memiliki mental yang lebih baik dan kesehatan emosi yang lebih memadai dengan cara mengembangkan percaya diri dan perasaan realistis serta menumbuhkan empati pada orang lain; 2) meningkatkan proporsi pendidikan yang berasal dari kebutuhan dan aspirasi siswa dan melibatkan semua siswa dalam menentukan apa yang akan dikerjakan; 3) mengembangkan jenisjenis pemikiran kualitatif tertentu. Keempat,
kelompok
model
pembelajaran
sistem
perilaku
adalah
model
pembelajran yang menekankan perubahan perilaku melalui pembentukan sikap optimis dan perilaku positif dalam belajar. Model pembelajaran ini lebih didasarkan hasil 9
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang eksperimen classic conditioning Pavlov (1927), Thorndike (1911, 1913) mengenai reward dalam pembelajaran serta penelitian Watson & Rayner (1921) yang menerapkan prinsip Pavlovnian mengenai kekacauan psikologi yang dialami manusia. Dalam tingkatan praktis, sesuai kebutuhan implementasi dalam pendidikan formal, informal, dan nonformal maka para tutor, penyuluh, pendampimg, dosen, dan guru dapat mengacu pada sintaks masing-masing. Literatur-literatur terkait, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dapat dikaji secara mendalam untuk memudahkan implementasi atau praktik di lapangan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu penggunaan pestisida oleh petani diarahkan untuk pembasmian hama dan penyakit, namun perilaku penggunaannya di luar prosedur dan cara-cara efektif, sehingga sangat berlebihan dan mencemari lingkungan. Takaran, periode penyemprotan, jumlah zat yang dicampurkan bukan berdasarkan acuan aturan baku, tetapi berdasarkan pengalaman turun temurun pada setiap keluarga petani. Sulitnya mencari tenaga kerja serta mahalnya ongkos buruh untuk menyiangi lahan pertanian dari rumput dan gulma mendorong petani menggunakan obat kimia pembasmi rumput dan gulma dan dampaknya adalah tanah pertanian menjadi tandus dan kehilangan unsur hara. Periode penyemprotan pestisida yang dicampur dengan berbagai jenis obat lainnya untuk setiap jenis tanaman berbeda, antara lain pada tanaman apel dilakukan penyemprotan 4 kali dalam sebulan selama 2 hingga 2,5 bulan dan pada sayur mayor dilakukan penyemprotan 1 kali setiap tiga hari selama 2,5 bulan, sehingga jumlah penyemprotan sebanyak 20 kali, bahkan selang 3 hari sebelum panen masih dilakukan penyemprotan pestisida. Selanjutnya untuk memberi pengetahuan dan perilaku yang benar dalam penggunaan pestisida harus ditempuh dengan cara edukasi lingkungan (eco-education). Implementasi konsep eco-education dapat merujuk pada Empat Kelompok Model Pembelajaran menurut Joyce dkk (2009), yaitu 1) kelompok model pembelajaran memproses informasi, 2) kelompok model pembelajaran sosial, 3) kelompok model pembelajaran personal, dan 4) kelompok model pembelajaran sistem perilaku. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang yang telah mendukung dan mendanai kegiatan penelitian serta publikasi dalam seminar ini.
10
Proceeding in process: Fullpaper Seminar Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) dan PPLH Unsri, 11-12 November 2015, Novotel Hotel , Palembang DAFTAR PUSTAKA Ameriana, M. 2008. Perilaku Petani Sayuran dalam Menggunakan Pestisida Kimia. Jurnal Holtikultura, 18(1): 95-106. Arty, I. S. 2005. Pendidikan Lingkungan Hidup tentang Bahaya Polutan Udara. Cakrawala Pendidikan, 24 (3): 385-404. Ayuningtyas, D. 2011. Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Penggunaan Pestisida Sebagai Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan (Studi Pada Petani Cabai di Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember). Jember: Fakultas Kesehatan Masyarakat UNEJ. BPS Kota Batu, 2011. Batu Dalam Angka 2011. Batu: Badan Pusat Statistik Kota Batu. Djauhari, S., Mudjiono, G., Himawan, T. dan Sudarto. 2009. Pengujian Kualitas Tanah untuk Lahan Pertanian/Perkebunan di Kota Batu. Laporan Penelitian. FP UB, Malang. Gitoasmoro, S. 2004. Aktualisasi Pembelajaran Lingkungan Hidup Dalam Pendidikan Non Formal. Proceeding KONASPI V, UNESA, Hotel Shangrilla Surabaya, tanggal 610 Oktober. Indahwati, R. 2012. Pengaruh Sistem Pertanian Ramah Lingkungan Terhadap Kualitas Tanah pada Lahan Apel di Kelompok Tani Makmur Abadi, Tulungrejo, Bumiaji, Kota Batu. Tesis tidak diterbitkan. Semarang: Program Pascasarjana UNDIP. Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. 2000. Models of teaching. Boston: Allyn and Bacon. Kambuaya, B. 2012. Pembangunan Berkelanjutan Kuliah Umum MenLH di Universitas Cendana NTT. (Online). http://www.menlh.go.id/ pembangunan-berkelanjutankuliah-umum-menlh-di-universitas-nusa-cendana-ntt/ Diakses, 1 Agustus 2015). Moekasan, T. K. 1998. Pengaruh Pencampuran Formulasi Insektisida Profenefos dan Lufeneron dengan Bacillus thuringiensis terhadap Mortalitas Larva Spodoptera exigua Hbn di Laboratorium. Jurnal Holtikultura, 8(2): 1102-1111. Nadhira, A. 2011. Ketergantungan Pemakaian Pestisida Pada Kegiatan Pertanian dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Pangan dan Dampak Lingkungan yang Ditimbulkan. (Online). (lhokseumawekota.go.id/index.php, Diakses 1 Agustus 2015). Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Pemerintah Kota Batu. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu Tahun 2010-2030. Batu: Pemkot Batu Provinsi Jawa Timur. Prayitno, W., Saam, Z., & Nurhidayah, T. 2014. Hubungan Pengetahuan, Persepsi Dan Perilaku Petani Dalam Penggunaan Pestisida Pada Lingkungan Di Kelurahan Maharatu Kota Pekanbaru. Pekanbaru: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. Soenardji. 1988. Pengantar Psikologi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Thornber, J. M. 2005. Environmental Education. (Online). (http://www.ioe.ucla. edu/publications/report99/education.html, Diakses 15 Agustus 2015).
11