PENGGUNAAN CAMPUR KODE DALAM KOMUNIKASI SANTRI DI ASRAMA DARUSSALAMPONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI
M. Isnaeni Rosid Mahasiswa Magiter Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak: Campur kode merupakan fenomena yang seringkali terjadi dalam masyarakat tutur yang bilingual ataupun multilingual. Seseorang dikatakan bilingual apabila ia menguasai dua bahasa, dan dikatakan multilingual apabila menguasai lebih dari dua bahasa. Apabila ada dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak. Masyarakat yang bilingual maupun multilingual sulit untuk terhindar dari peristiwa kontak bahasa. Karena mengalami kontak bahasa, hal itu tentu akan menimbulkan terjadinya penggunaan bahasa yang saling bercampur yang lazim disebut dengan istilah campur kode. Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua bahasa atau lebih dengan memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain dan unsur-unsur yang menyisip tidak lagi memiliki fungsi sendiri. Kata-kata kunci: Penggunaan, campur kode, komunikasi Bahasa merupakan suatu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa selalu dibutuhkan dalam segala aspek kegiatan manusia. Bahasa berperang penting dalam kehidupan manusia. Dengan bahasa seseorang bisa berkomunikasi dengan siapapun, dengan bahasa manusia juga bisa mendapat berbagai informasi dan ilmu pengetahuan. Bahasa adalah ciri khas yang paling manusiawi yang membedakannya dari rmakhluk lain (Nababan, 1984:1). Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi (Chaer dan Agustina, 2010:19). Membicarakan masalah bahasa tidak terlepas dari kategori kebahasaan, yaitu variasi bahasa. Bahasa merupakan suatu kebulatan yang terjadi dari beberapa unsur. Unsur-unsur ini disebut variasi bahasa. Selanjutnnya variasi bahasa memiliki beberapa keanggotaan yang disebut varian. Tiap-tiap varian bahasa
inilah yang disebut dengan kode. Hal ini menunjukkan adanya semacam hierarki kebahasaan yang dimulai dari bahasa sebagai level yang paling atas disusul dengan kode yang terdiri dari varianvarian dan ragam-ragam. Istilah kode dalam hal ini dimasudkan untuk menyebut salah satu varian dalam hierarki bahasa. Weinrich (dalam Chaer dan Agustina, 2010:87) mengatakan bahasa dan kode mempunyai hubungan timbal balik artinya bahasa adalah kode dan sebuah kode dapat saja berupa bahasa. Keberadaan masyarakat bahasa atau masyarakat tutur memang memiliki karakteristik kebahasaan yang menarik untuk dikaji. Seperti pendapat Aslinda dan Syafyahya (2007:3) bahwa bahasa merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan manusia bermasyarakat. Fenomena bahasa tersebut salah satunya adalah campur kode. Hubungan antara bahasa dan
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 692
masyarakat dapat dikaji dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi yang merupakan bagian dari masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor nonkebahasaan, misalnya faktor sosial budaya yang meliputi status sosial, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin (Suwito, 1983:2). Seperti yang telah kita ketahui, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, baik secara sosial, budaya, maupun bahasa. Ditinjau dari segi linguistik, masyarakat yang bilingual (dwibahasawan) yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih dalam berkomunikasi (Keraf, 1993:7). Masyarakat Indonesia pada hakikatnya menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka dan bahasa Indonesia sebagai nasional. Dengan demikian masyarakat indonesia adalah masyarakat bilingual atau dwibahasawan. (Aslinda dan Syafyahya, 2007:26). Masalah kedwibahasaan atau bilingualisme, erat kaitannya dengan peristiwa kontak bahasa. Seorang dwibahasawan sangat mungkin menjadi penyebab awal terjadinya campur kode dalam bahasa, sehingga antara kontak bahasa dan dwibahasaan sangat erat hubungannya. Campur kode merupakan salah satu peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa. Fenomena campur kode seringkali terjadi di masyarakat yang bilingual. Masyarakat yang bilingual pasti akan mengalami kontak bahasa sehingga menimbulkan terjadinya penggunaan campur kode dalam komunikasi. Peristiwa campur kode ini secara sederhana dapat terjadi pada setiap penutur bahasa yang mampu menggunakan bahasa lain di luar bahasa ibunya baik secara sempurna maupun
tidak. Begitu juga dengan para santri yang tinggal di asrama Darussalam mayoritas berasal dari daerah Jawa, di samping adanya santri yang berasal dari luar Jawa, sehingga masyarakat tutur tersebut lebih dominan menggunakan bahasa ibu mereka sendiri yakni bahasa Jawa dalam berinteraksi dan berkomunikasi sehari-hari di samping adanya bahasa kedua yakni bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Santri yang tinggal di asrama Darussalam sering mencampur bahasa ketika berkomunikasi misalnya bahasa Jawa (B1) dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia (B2). Hal ini disebabkan karena ketika santri mempelajari ilmu agama banyak menemukan istilah-istilah yang menggunakan bahasa Arab. Selain itu, ketika berdisuksi atau membicarakan topik tertentu santri terkadang menggunakan bahasa Indonesia, sehingga ketika berinteraksi dan berkomunikasi sehari-hari santri sering menyisipkan kata-kata dari bahasa Arab atau bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa atau sebaliknya. Dalam hal ini penulis melihat peristiwa kebahasaan yang terjadi di asrama Darussalam, yakni penggunaan dua bahasa atau lebih dengan memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain. Penggunaan serpihan-serpihan dari bahasa Arab atau bahasa Indonesia berupa kata, frasa, atau klausa dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa bisa dikatakan telah melakukan campur kode. METODE Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode simak. metode simak atau penyimakan yaitu menyimak penggunaan bahasa. Metode simak ini dapat disejajarkan dengan pengamatan atau observasi dalam ilmu sosial. Peneliti melakukan pengamatan langsung di asrama Darussalam Pondok
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 693
Pesantren Lirboyo Kota Kediri. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi kombinasi yaitu, observasi partisipasi pasif (passive participation) dan observasi partisipasi aktif (active participation). Jadi dalam hal ini peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, terkadang tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut dan adakalanya ikut terlibat dalam kagiatan dengan tujuan untuk memacing supaya data yang dibutuhkan bisa muncul (Sugiyono, 2011:227). Metode simak dalam penelitian ini dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa dalam komunikasi santri di asrama Darussalam Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri. Teknik yang digunakan dalam metode simak meliputi teknik dasar dasn teknik lanjutan. Teknik dasar yang diapakai yaitu teknik sadap. Teknik sadap yaitu menyadap penggunaan bahasa dari objek penelitian. teknik ini digunakan untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar. Kemudian teknik lajutannya adalah (1) teknik rekam, yaitu merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan. (2) Teknik catat, yaitu memperoleh data kebahasaan atau istilah-istilah yang relevan sesuai dengan sasaran penelitian. teknik catat dalam penelitian ini adalah mencatat penggunaan bahasa atau mentranskripsi penggunaan bahasa lisan menjadi data tulis. Kemudian, (3) wawancara, peneliti melakukan wawancara dengan santri yang tinggal di asrama Darussalam Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri. Jumlah santri yang diwawancara tidak dibatasi. Hal itu untuk mempermudah peneliti mengumpulkan data sebanyakbanyaknya. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tak berstruktur (unstructured interview), yaitu wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya (Sugiyono, 2011:233). Setelah melakukan pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode agih dan padan. Metdoe agih dan padan adalah metode analisis data yang alat penentu unsurnya berasal dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Metode agih dalam penelitian ini hanya menggunakan teknik dasar BUL (Bagi Unsur Langsung). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data, menjadi unsur-unsur yang bersangkutan menjadi pembentuk lingual. Metode agih dengan teknik dasar BUL diterapkan untuk mengetahui bentuk campur kode. Kemudian untuk menganalisis data lebih banyak menggunakan metode padan. Menurut Sudaryanto (1993:13) meode padan, alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya unsur diluar bahasa, bahasa lain, dan lawan bicara yang disesuaikan dengan kebutuhan. Alat penentu dari luar bahasa maksudnya adalah latar belakang penutur, misalnya siapa yang bertutur, dari mana asal penutur, penutur memiliki peran apa pada saat berututur. Teknik dasar dari metode padan adalah teknik pilah unsur penentu (PUP), sedangkat alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Wujud Campur Kode Wujud campur kode yang digunakan dalam komunikasi santri di asrama Darussalam dibagi menjadi berbagai macam menurut struktur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, yaitu (1) wujud campur kode bahasa Jawa-Arab, (2) wujud campur kode bahasa
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 694
Indonesia-Jawa, dan (3) wujud campur kode bahasa Jawa-Indonesia. Wujuda campur kode antara bahasa Jawa dengan bahasa arab yang terjadi di dalam komunikai santri di asrama Darusssalam seperti terdapat pada cuplikan percakapan sebagai berikut. Muhajir : “Esih galak gak Pak Zahid?” (Masih galak tidak Pak Zahid) Harun : “Yo ora paham aku wong nembe masuk 2x. Emang galak to?” (Belum paham aku baru masuk 2 kali. Emang galak ya?) Muhajir : “Pak Zahid iku mustahiq paling galak sepondok (Lirboyo).” (Pak Zahid itu mustahiq tergalak se-pondok) Ditinjau dari segi tipe campur kode, wujud campur kode pada cuplikan percakapan di atas termasuk tipe campur kode ke luar (outer code-mixing). Dikatakan campur kode ke luar atau ekstern karena antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran secara politis berbeda (Suwito, 1983:76). Pada cuplikan percakapan di atas bahasa sumber yang digunakan adalah bahasa Jawa. Sedangkan bahasa sasarannya yang menyisip adalah bahasa Arab yang ditandai dengan masuknya kata “mustahiq”. Campur kode ektern ini terjadi karena kemampuan sasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik secara politis atau geografis. Dengan demikian hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antar bahasa yang terlibat. Wujud campur kode antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dalam komunikasi santri di asrama Darussalam seperti terdapat pada cuplikan percakapan berikut. Santri 1 : “Udah mandi belum? udah jam setengah tujuh, engko telat.” (Sudah mandi belum? Sudah jam setengah tujuh, nanti telat) Santri 2 : “Iya kang bentar lagi, lagi nembel pelajaran belum selesai.”
(Iya sebentar lagi, masih menambal pelajaran belum selesai) Santri 1 : “Yowes buruan diselesaikan, terus mandi.” (Ya sudah cepat diselesaikan, terus mandi) Dilihat dari segi tipe campur kode, wujud campur kode pada cuplikan percakapan di atas termasuk tipe campur kode ke dalam (inner code-mixing). Dikatakan campur kode ke dalam atau intern karena antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran secara politis maupun geografis masih mempunyai hunungan kekerabatan, bahasa satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal (Suwito, 1983:76). Pada cuplikan percakapan di atas yang menjadi bahasa sumber adalah bahasa Indonesia ragam nonformal. Sedangkan bahasa sasarannya yang menyisip adalah bahasa Jawa yang ditandai dengan masuknya kata “yowes” dan kata “engko”. Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia. Wujud campur kode antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia dapat dilihat pada cuplikan percakapan di bawah ini. Santri 1 : “Engko mbengi jadwal pelajarane opo iki?” (Nanti malam jadwal pelajarannya apa?) Santri 2 : “Ah... dasar koe! Wes sekolah setengah tahun nggak hapal jadwal pelajaran.” (Ah... Kamu! sudah setengah tahun sekolah masih tidak hapal jadwal pelajaran) Santri 1 : “Yo bioso lah... jenenge juga santri teladan hahaha”. (Ya biasalah... namanya juga santri teladan) Santri 2 : “Nahwu coy... apalan. Wes apal durung koe?”
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 695
(Nahwu. Hapalan. Kamu sudah hapal belum?) Santri 1 : “Waduh... durung apal Aku”. (Waduh... Aku belum hapal) Dilihat dari segi tipe campur kode, wujud campur kode pada cuplikan percakapan di atas termasuk tipe campur kode ke dalam (inner code-mixing). Dikatakan campur kode ke dalam atau intern karena antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran secara politis maupun geografis masih mempunyai hunungan kekerabatan, bahasa satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal (Suwito, 1983:76). Pada cuplikan percakapan di atas yang menjadi bahasa sumber adalah bahasa Jawa. Sedangkan bahasa sasarannya yang menyisip adalah bahasa Indonesia ragam nornformal yang ditandai dengan masuknya kata “tauladan”. Bentuk Campur Kode Bentuk campur kode yang terjadi yang digunakan oleh santri dalam berkomunikasi di asrama Darussalam dibagi menjadi berbagai macam bentuk menurut struktur kebahasaan yang terlibat di dalamnya yaitu, (1) penyisipan kata, (2) penyisipan bentuk frasa, (3) penyisipan bentuk idiom atau ungkapan, dan (4) penysipan bentuk baster. Penyisipan Kata Muhajir : “Pak Zahid iku mustahiq paling galak sepondok (Lirboyo).” (Pak Zahid itu mustahiq tergalak se-pondok) Secara leksikal, kata “mustahiq” berarti “yang memiliki hak” (Munawwir, 1997:284). Secara konteks, Mustahiq adalah sebutan bagi seorang guru/ustadz yang menjadi wali kelas. Mustahiq biasanya membawahi sekitar 20 santri dalam satu kelas. Mustahiq di sini berbeda dengan wali kelas seperti
pada sekolah formal. Mustahiq bertugas mengajarkan semua mata pelajaran yang ada dalam kelas tersebut dengan dibantu oleh munawwib. Selain bertugas mengajar, mustahiq juga bertugas memantau setiap perkembangan sikap dan perilaku (akhlak) para santri yang menjadi haknya/santri asuhnya. Mustahiq mempunyai otoritas penuh atas setiap keputusan yang diambilnya tanpa harus meminta persetujuan dari atasan. Otoritas seorang mustahiq misalnya dalam hal kenaikan kelas. Seorang mustahiq mempunyai hak penuh untuk menaikkan atau tidak menaikkan seorang santri berdasarkan nilai, sikap, dan perilaku seorang santri tanpa harus meminta persetujuan/pertimbangan kepada atasannya (kepala madrasah) mengenai keputusan yang akan diambilnya. Penyisipian Bentuk Frasa Santri 1 : “Haflah akhirussanah sesok sing ngisi sopo?” (Haflah akhirussanah besok yang mengisi siapa) Santri 2 : “Habib Umar teko Semarang.” (Habib Umar dari Semarang) Frase Haflah akhirussanah artinya adalah “perayaan akhir tahun”. Frase Haflah akhirussanah terdiri dari haflah yang berarti “perayaan”, akhir yang berarti “akhir”, dan as-sanah yang berarti “tahun”. Haflah akhirussanah merupakan perayaan yang dilakukan pada setiap akhir tahun pelajaran di pondok pesantren. Perayaan tersebut biasanya diisi berbagai macam kegiatan lomba-lomba antar santri, dan pada akhir kegiatan biasanya diisi dengan pelaksanaan pengajian akbar. Penyisipan Bentuk Baster Santri 1 : “Eh... Pengen ndelok bocah dita’zir nggak?” (Mau lihat anak dita’zir tidak?) Santri 2 : “Sopo sing dita’zir? Emang melanggar perarutan opo?”
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 696
(Siapa yang dita’zir? Melanggar peraturan apa?) Santri 1 : “Bocahe gowo HP neng pondok” (Anaknya bawa HP di pondok) Pada data terdapat unsur baster yaitu, di-ta’zir yang berarti “dihukum”. Bentuk baster di-ta’zir terdiri atas dua unsur bahasa yaitu awalan di yang berasal dari bahasa Indonesia dan kata ta’zir yang berasal dari bahasa Arab. Dita’zir berasal dari bentuk dasar ta’zir yang dalam bahasa Arab merupakan kata/bentuk masdar (predikat) lalu bergabung dengan awalan di menjadi dita’zir. Makna dari kata ta’zir adalah “hukuman”, (Munawwir, 1997: 925). Kata ta’zir digunakan untuk menyebut istilah hukuman. hukuman di sini berfungsi sebagai suatu tindakan untuk memberikan efek jera kepada santri yang melanggar peraturan pondok pesantren.
lingkungan pondok pesantren. Biasanya para santri keluar untuk jala-jalan, sekedar jalan-jalan menghabiskan waktu atau berbelanja.
Penyisipan Bentuk Idiom atau Ungkapan Santri 1 : “Jumat muda sesok sido mlaku-mlaku neng kota nggak?” (Jumat muda besok jadi jalan-jalan ke kota tidak? Santri 2 : “Sido nuw, dhewe mlakumlaku neng SR (Sri Ratu/Swalayan) ndelokndelok baju sopo ngerti enek sing cocok”. (Iya jadi, kita jalan-jalan ke SR lihat-lihat baju siapa tahu ada yang cocok.” Santri 1 : “Nggaya koe, koyok ndue duit ae. Hahaha” Jumat muda merupakan ungkapan yang digunakan oleh santri untuk menjelaskan tentang waktu/hari di mana semua santri diperbolehkan untuk keluar dari lingkungan pondok pesantren. Jumat muda adalah isitilah untuk menyebut hari Jumat pertama pada setiap bulan pada hitungan bulan Hijriyah. Pada hari Jumat muda tersbut para santri diperbolehkan keluar dari
Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Wujud campur kode dalam komunikasi santri di asrama Darussalam dibedakan menjadi 3, yaitu (1) wujud campur kode Jawa-Arab, (2) bahasa Indonesa-Jawa, dan (3) bahasa JawaIndonesia. Penggunaan bahasa Jawa karena mayoritas santri yang tinggal di asrama Darussalam berasal dari daerah Jawa, maka bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari adalah bahasa Jawa dengan segala variannya. Kemudian, penggunaan bahasa Indonesia karena bahasa itu merupakan bahasa kedua yang dikuasai oleh para santri, bahasa Indonesia biasanya digunakan untuk menjelaskan maksud tertentu yang memang jika menggunakan bahasa Indonesia lebih mudah dipahami. Sedangkan penggunaan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab karena di lingkungan pondok pesantren merupakan budaya. Selain itu, dalam lingkungan pondok
Fungsi Campur Kode Seseorang melakukan campur kode dalam berkimunikasi tentunya mempunyai fungsi tertentu. Beberapa fungsi campur kode yang ditemukan dalam komunikasi santri di asrama Darussalam pondok pesantren Lirboyo Kota Kediri adalah sebagai berikut. (1) Ketepatan rasa (makna), (2) lebih argumentatif, (3) lebih persuasif, (4) lebih singkat dan mudah diucapkan, (5) lebih prestise atau bergengsi, (6) bertindak lebih sopan, (7) bertindak melucu, dan (8) lebih komunikatif. Penjelasan mengenai masing-masing fungsi sebagai berikut. SIMPULAN DAN SARAN
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 697
pesantren banyak dipelajari ilmu pengetahuan tentang agama Islam yang buku-bukunya banyak menggunakan bahasa Arab maka, ketika berkomunikasi santri sering menyisipkan kata yang berasala dari bahasa Arab. Bentuk campur kode yang digunakan oleh santri dalam berkomunikasi di asrama Darussalam yaitu, (1) penyisipan kata, (2) penyisipan bentuk frasa, (3) penyisipan bentuk idiom atau ungkapan, dan (4) penyisipan bentuk baster. Di antara keempat bentuk campur kode yang digunakan dalam komunikasi santri yang paling dominan adalah penyisipan kata. Kemudian, kata-kata yang paling banyak menyisip dalam campur kode adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Selanjutnya, berdasarkan tipe campur kode ada dua tipe campur kode yang terjadi di asrama Darussalam, yaitu (1) campur kode ke dalam (innercode mixing), dan (2) campur kode keluar (outer code mixing). Makna campur kode dalam komunikasi santri di asrama Darussalam pondok pesantren Lirboyo kota kediri berdasarkan jenis tindak tutur terbagi menjadi beberapa macam, yaitu (1) tindak tutur lokusi, dan (2) tindak tutur ilokusi yang terdiri dari (a) tindak tutur asertif, (b) tindak tutur deklaratif, (c) tindak tutur direktif, dan (d) tindak tutur komisif. Ketika berkomunikasi, santri yang tinggl di asrama Darussalam lebih sering melakukan tindak tutur lokui, yaitu menyampaikan atau menginformasikan sesuatu dengan makna kata atau makna kalimat sesuai dengan kata itu sendiri kepada mitra tutur. Selain tindak tutur lokusi, santri juga menggunakan tindak tutur ilukosi jenis aserrti, deklaratif, direktif, dan komisif untuk menyarankan, memerintah atau memesan, mengeluh, mererkomendasi atau menasehati, berjanji, dan mengucilkan. Fungsi campur kode yang ditemukan di dalam komunikasi santri di asrama Darussalam
adalah sebagai berikut: (1) lebih singkat dan mudah diucapkan, (2) ketepatan rasa (makna), (3) lebih argumentatif dalam meyakinkan mitra tutur, (4) lebih persuasif membujuk atau menyuruh mitra tutur, (5) lebih prestise atau bergengsi, (6) untuk bertindak lebih sopan terhadap mitra tutur, (7) lebih komunikatif karena sudah sama-sama mengerti apa yang dimaksud, (8) untuk bertindak melucu atau membangkitkan rasa dan suasana yang humoris. Saran Bagi para siswa/santri penelitian ini kiranya bisa dijadikan sebagai acuan dalam menggunakan bahasa sebagai sarana atau alat untuk berkomunikasi dalam kegiatan sehar-hari, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Dengan memahami budaya suatu masyarakat terutama dari segi bahasa, hal itu akan memudahkan bagi seseorang untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan tersebut sehingga kendalakendala yang ditimbulkan oleh masalah bahasa misalnya, beda pemahaman dan beda penggunaan bisa dihindari. Bagi peneliti lain kiranya perlu melakukan penelitian lebih lanjut, terutama penelitian yang mengkaji tentang alih kode atau interferensi ataupun kajian lain yang berhubungan dengan sosiolinguistik karena penelitian ini hanya membahas tentang campur kode. Dengan dilakukannya penelitian sejenis oleh peneliti lain tentunya akan menghasilkan hasil penelitian yang lebih akurat mengingat bahasa selalu berkembang mengikuti perkembangan budaya dan kebiasaan masyarakat tutur yang menggunakannya. DAFTAR RUJUKAN Aslinda, & Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT. Refika Aditama
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 698
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta. Gumpers, J.J. 1983. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Munawwir, A.W. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Tehnik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta University Press Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabet Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Praktik. Surakarta: Henary Offset
NOSI Volume 2, Nomor 7, Agustus 2014___________________________________Halaman | 699