pakan sapi potong Pengembangan teknologi Inovasi Pertanian 4(3), 2011:...175-188
175
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PAKAN SAPI POTONG DI DAERAH SEMI-ARID NUSA TENGGARA1) Abdullah Mahfud Bamualim Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 Telp. (0251) 8322185, 8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail:
[email protected] Diajukan: 5 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011
ABSTRAK Nusa Tenggara merupakan salah satu produsen terbesar sapi potong di Indonesia yang memiliki agroekosistem semi-arid. Sapi potong diintroduksi ke daerah tersebut pada awal abad ke-20 dan berkembang pesat karena didukung lahan penggembalaan 2,1 juta ha dan pengembangan tanaman lamtoro sebagai sumber pakan bermutu tinggi. Masalah dalam pengembangan sapi potong di daerah semi-arid adalah rendahnya produktivitas ternak akibat menurunnya persediaan dan kualitas pakan pada musim kemarau serta tingginya angka kematian anak sapi. Dalam menyikapi kondisi tersebut, diperlukan upaya pengembangan teknologi dan strategi pemberian pakan di lahan kering, antara lain: (1) multiplikasi tanaman legum pohon; (2) pengawetan pakan; (3) pemberian pakan suplemen; dan (4) pakan khusus anak sapi. Tanaman legum pohon yang berproduksi tinggi adalah lamtoro Tarramba dan lamtoro hibrida KX2 serta tanaman gamal produktif Provenance 126/92 asal Oxford. Teknologi pengeringan pakan mempunyai prospek yang baik di daerah kering. Pemberian pakan suplemen pada induk sapi bali dan sapi ongole meningkatkan produktivitas setelah melahirkan pada musim kemarau. Kelahiran anak sapi bali yang terkonsentrasi pada musim kemarau menyebabkan tingginya kematian anak sapi. Kematian anak sapi dapat ditekan dengan memberikan pakan khusus bagi anak sapi yang diikuti dengan penyapihan dini. Untuk meningkatkan produksi sapi potong di wilayah kering perlu intensifikasi pemanfaatan sumber daya pakan yang tersedia dan transformasi sistem pemeliharaan dari ekstensif ke semi-intensif dengan pemberian pakan yang optimal. Pengembangan sistem pertanian terpadu lahan kering beriklim kering dengan konsep minimal run off dan zero waste merupakan suatu alternatif teknologi untuk mendukung pengembangan sapi potong di lahan kering beriklim kering. Kata kunci: Sapi potong, semi-arid, legum pohon, teknologi pakan, Nusa Tenggara
ABSTRACT Development of Beef Cattle Feed Technology in Semi-Arid Area of Nusa Tenggara Nusa Tenggara is one of the major cattle producing areas in Indonesia with semi-arid condition. Beef cattle was introduced in early 1900’s and multiply rapidly ever since as supported by 2.1 million ha of natural grazing areas and the existing of leucaena as a high quality feed. As part of tropical semi-arid area, the problem encounter is low cattle production due to reduced quality and quantity of feed
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 29 November 2010 di Bogor.
176
Abdullah Mahfud Bamualim
during long dry season. Another negative impact is the experience of high calf mortality. To alleviate the problems, there is a need to develop feed technology and feeding strategy in the dry season areas which include: (1) multiplication of tree legumes; (2) dry season feed preservation; (3) feed supplement strategy; and (4) feed allocation for calves. Several high production tree legumes have been introduced in the area, including leucaena Tarramba, leucaena hybrid (KX2), and glyricidia Provenance 126/92 from Oxford. Preservation feed technology by making hay is preferable for the dry area. Feed supplementation to bali and ongole cows resulted in higher productivity after calving during dry season. The concentration of bali cows to calf during dry season resulted in high calf mortality in the area. Calf mortality can be reduced by providing special feeds to calves followed by early weaning practice. Therefore, to increase cattle production in the area, there is a need to intensify the utilization of local feeds and transform the cattle husbandry from extensive to semi-intensive system through feeding the animal optimally. The development of integrated dry land agriculture with minimum run off and zero waste is an alternative technology to support beef cattle production in the dry areas. Keywords: Beef cattle, semi-arid, tree legumes, feed technology, Nusa Tenggara
PENDAHULUAN Indonesia dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa membutuhkan pangan hewani yang cukup besar. Kebutuhan tersebut diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat dan pentingnya protein hewani bagi kesehatan dan kecerdasan bangsa. Daging merupakan pangan hewani yang konsumsinya meningkat dari 4,20 kg/ kapita pada tahun 1999 menjadi 5,15 kg/ kapita pada tahun 2004 dan 6,5 kg/kapita pada tahun 2009, termasuk di dalamnya kontribusi daging sapi sekitar 20%. Produksi sapi potong lokal belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi domestik sehingga harus diimpor lebih dari 30%, dan meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, di luar daging dan jeroan, pada tahun 2000 Indonesia mengimpor 294.000 ekor sapi bakalan dari Australia. Impor tersebut meningkat menjadi 398.000 ekor pada tahun 2004 dan 769.000 ekor pada tahun 2009. Kondisi ini akan menguras devisa negara yang cukup besar. Tanpa terobosan peningkatan produktivitas sapi lokal, impor diperkirakan dapat mencapai 70% pada tahun 2020 (Quirke et al. 2003).
Sentra utama produksi sapi potong di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Nusa Tenggara merupakan salah satu produsen terbesar sapi potong yang memiliki agroekosistem semi-arid. Daerah semiarid memiliki curah hujan rendah, eratik, dengan curah hujan tahunan dan musiman yang bervariasi (Lal 1985). Padanan yang sering dipakai untuk semi-arid adalah lahan kering beriklim kering dengan curah hujan tahunan kurang dari 1.500 mm dan musim kemarau lebih dari enam bulan. Daerah semi-arid berpotensi untuk usaha peternakan dengan ketersediaan lahan penggembalaan yang luas. Lahan seluas 2,1 juta ha di Nusa Tenggara berpotensi untuk penggembalaan ternak. Masalah utama dalam pengembangan ternak di daerah semi-arid adalah rendahnya produktivitas ternak, tingginya angka kematian, serta menurunnya persediaan dan kualitas pakan pada musim kemarau. Pakan berkualitas baik hanya tersedia dalam periode yang singkat pada musim hujan, kemudian kuantitas dan kualitas pakan menurun sampai akhir musim
177
Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...
kemarau. Inilah periode kritis di mana ternak dewasa mengalami kehilangan bobot badan sampai 25% dan angka kematian anak ternak cukup tinggi. Makalah ini memaparkan beberapa hasil penelitian sapi potong di daerah semiarid Nusa Tenggara. Pokok bahasan meliputi perkembangan sapi potong, sumber daya pakan, dan alternatif teknologi pakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong.
DINAMIKA PERKEMBANGAN SAPI POTONG Sapi potong diintroduksi di Nusa Tenggara pada awal abad ke-20 dan berkembang secara eksponensial karena didukung potensi lahan penggembalaan yang luas. Pada akhir 1990-an, populasi sapi potong mencapai satu juta ekor. Namun, pada awal 2000-an, laju pertambahan populasi mulai menurun karena: (1) tingginya laju pemotongan akibat meningkatnya permintaan sapi potong dalam negeri; dan (2) makin terbatasnya daya dukung lahan. Perkembangan sapi potong di Nusa Tenggara dapat dibagi dalam tiga periode, yakni awal perkembangan (1910-1970), puncak perkembangan (1970-2000), dan stagnasi perkembangan (pascatahun 2000), yang merupakan titik balik perkembangan sapi potong di Nusa Tenggara.
Pemerintah Hindia Belanda memasukkan berbagai jenis sapi ke Pulau Timor. Pada tahun 1916 diketahui sapi bali memiliki perkembangan yang terbaik sehingga pada tahun 1921 jenis sapi tersebut ditetapkan untuk dikembangkan di Pulau Timor (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Pada periode ini, Pulau Sumba diarahkan khusus untuk pengembangan sapi ongole yang bibitnya didatangkan dari India pada tahun 1914. Impor sapi ongole bertujuan untuk menghasilkan sapi peranakan ongole (PO) melalui penyilangan dengan sapi jawa (Ndima 1989). Pada awalnya, sapi ongole memiliki tingkat reproduksi yang tinggi (62-75%), namun kemudian angka kelahirannya menurun menjadi 30-40%. Kini populasi sapi ongole hanya 40.000 ekor (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Kurang berkembangnya sapi ongole di Pulau Sumba disebabkan oleh rendahnya kualitas pakan dari lahan penggembalaan, terutama pada musim kemarau. Pada periode yang sama, sapi madura dikembangkan di Pulau Flores, tetapi kurang berkembang. Kini sapi madura hanya ditemui sedikit di daerah Mbay, Nagakeo. Namun dalam tiga dekade terakhir, sapi bali berkembang pesat di Flores. Hasil sensus ternak pada tahun 1952 menunjukkan, di Pulau Timor terdapat 108.000 ekor sapi bali (Ormeling 1955). Sapi bali juga berkembang pesat di Pulau Lombok dan Sumbawa. Hal ini didukung oleh lahan penggembalaan yang luas di Nusa Tenggara.
Awal Perkembangan (1910-1970) Dengan memerhatikan potensi pakan dari lahan penggembalaan yang luas dan dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi daging domestik dan mendukung perekonomian masyarakat, pada tahun 1912
Puncak Perkembangan (1970-2000) Pada akhir 1960-an, Nusa Tenggara mampu mengekspor sapi potong ke Singapura dan Hongkong, sekaligus sebagai pemasok
178
terbesar sapi potong ke Jakarta. Dalam periode1979-1992, Nusa Tenggara memasok 25% dari total sapi potong di Jakarta (Bamualim 1994b), selain menyuplai sapi potong ke Maluku dan Papua. Pada tahun 1980-1994, proyek International Fund for Agricultural Development (IFAD) mendistribusikan 137.550 ekor sapi bibit ke enam provinsi di Sumatera dan tiga provinsi di Sulawesi (Ditjennak 1989; IFAD 2009). Sebagian besar sapi bibit tersebut berasal dari Nusa Tenggara. Selama periode 1980-2000, tidak kurang dari dua juta ekor sapi potong dan lebih dari 200.000 ekor sapi bibit dikeluarkan dari Nusa Tenggara. Keberhasilan pengembangan sapi potong di Nusa Tenggara didorong oleh empat faktor, yaitu: (1) tersedianya lahan penggembalaan; (2) tersedianya hijauan legum pohon untuk penggemukan sapi; (3) tingginya permintaan sapi potong; dan (4) adanya permintaan sapi bibit untuk pengembangan ternak di daerah lain di Indonesia. Luas lahan penggembalaan di Nusa Tenggara mencapai 2,1 juta ha, terdiri atas 1,5 juta ha di NTT dan 600.000 ha di NTB (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Lebih dari 90% ternak sapi di NTT dipelihara secara ekstensif di lahan penggembalaan umum (Bamualim dan Saramony 1995). Walaupun produktivitas lahan penggembalaan relatif rendah, lahan penggembalaan merupakan pendukung utama pengembangan sapi bali di Pulau Timor, dari 100.000 ekor pada tahun 1950 menjadi 500.000 ekor pada tahun 1990 (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Faktor lain yang mendukung berkembangnya sapi potong di Pulau Timor adalah penerapan sistem amarasi yang merupakan cikal bakal usaha penggemukan sapi (Bamualim 1994a; Bamualim et al. 1995). Sistem ini diinisiasi pada tahun 1930 di
Abdullah Mahfud Bamualim
Amarasi dan petani diharuskan menanam lamtoro (Leucaena leucocephala) sebagai tanaman sela di antara tanaman jagung (Bamualim 1994a; Bamualim et al. 1995). Setelah dikembangkan secara masif, pada tahun 1960-an lamtoro mendominasi daerah ini dan menjadi sumber pakan bermutu tinggi. Diperkirakan luas tanam lamtoro di Amarasi mencapai 40.000 ha (Jones 1986). Hasilnya, Amarasi menjadi kawasan penggemukan sapi bali dengan bobot jual yang tinggi, di atas 350 kg/ekor.
Stagnasi Perkembangan (Pascatahun 2000) Produksi sapi potong di Nusa Tenggara mengalami stagnasi dan telah melewati titik optimal. Angka kelahiran tidak lagi menjamin peningkatan kontinuitas pasokan sapi bakalan. Bahkan sudah sejak lama diprediksi permintaan pasar yang tinggi akan menguras populasi ternak yang ada (Bamualim et al. 1991). Hal ini terbukti dengan menurunnya peran Nusa Tenggara sebagai produsen sapi potong dalam 10 tahun terakhir. Penurunan ini ditandai oleh merosotnya pengeluaran sapi potong dari 100.000 ekor/tahun (70.000 ekor dari NTT dan 30.000 ekor dari NTB) pada tahun 19852000, menjadi 60.000 ekor/tahun (40.000 ekor dari NTT dan 20.000 ekor dari NTB). Berkembangnya populasi sapi potong pada akhir 1990-an meningkatkan kebutuhan akan pakan. Di sisi lain, belum ada kebijakan mengenai kawasan peternakan sehingga luas lahan penggembalaan makin menyempit karena: (1) berkembangnya sektor dan subsektor lain di luar peternakan; dan (2) invasi gulma seperti Chromolena odorata dan jenis lainnya. Fenomena ini perlu mendapat perhatian dalam pengembangan peternakan di Nusa
Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...
Tenggara. Di samping itu, terdapat indikasi berkurangnya kemampuan sumber daya pakan, yang ditandai oleh menurunnya kapasitas suplai pakan seperti berkurangnya luas areal dan kualitas lahan penggembalaan, baik akibat deraan iklim maupun sistem penggembalaan yang kurang bijak. Faktor nonteknis turut berpengaruh, seperti pola pemeliharaan ternak yang tradisional dan belum adanya aturan pemanfaatan lahan penggembalaan komunal.
KETERSEDIAAN PAKAN DAN PRODUKSI SAPI POTONG Masalah utama dalam pengembangan sapi potong adalah ketersediaan pakan dan produktivitas ternak yang berfluktuasi terkait dengan musim. Produktivitas lahan penggembalaan, pola pemberian pakan, dan produktivitas sapi potong di Nusa Tenggara sangat dipengaruhi oleh musim kemarau yang panjang (Nulik dan Bamualim 1998; Bamualim 2009).
Produktivitas Lahan Penggembalaan Daerah semi-arid merupakan salah satu agroekosistem suboptimal karena kurang produktif untuk mendukung pertanian intensif. Di luar Jawa, luas lahan kering mencapai 47 juta ha (Badan Litbang Pertanian 1997) dan di kawasan timur Indonesia 9,3 juta ha (Las et al. 1991). Di Nusa Tenggara terdapat 4,1 juta ha lahan kering, meliputi lahan potensial untuk penggembalaan seluas 2,1 juta ha (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Ditinjau dari luas areal, jumlah ternak, dan produktivitas lahan penggembalaan, sebenarnya daya dukung lahan di
179
sebagian besar wilayah Nusa Tenggara masih cukup tinggi karena stocking rate (SR) saat ini masih rendah, yakni 0,2-0,5 ekor sapi dewasa atau satuan ternak (ST) per hektare. Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan populasi sapi potong secara ekstensif masih sangat potensial. Namun, sebagian wilayah memiliki lahan penggembalaan yang terbatas, seperti di Pulau Lombok dan sebagian Pulau Timor, dengan SR mencapai 0,8-2,5 ST/ha. Hal ini mengindikasikan bahwa pemeliharaan ternak di daerah ini harus dilakukan secara intensif (Bamualim et al. 1994a). Produksi rumput alam tertinggi terjadi pada musim hujan (Januari-Maret), berkisar antara 1,2-2,7 ton bahan kering (BK)/ha/3 bulan dan terendah pada akhir musim kemarau (September-November), yakni 0,4-1,0 ton BK/ha/3 bulan, dengan total produksi 3-6 ton BK/ha/tahun. Bila dihubungkan dengan kebutuhan ternak yakni 6 kg BK/hari/ST maka produksi rumput alam dalam setahun dapat mendukung 1,5-3,0 ST/ha/tahun (Las et al. 1991). Dengan kata lain, lahan penggembalaan tersebut dapat menampung 2,94 juta ST pada musim kemarau dan 5,88 juta ST pada musim hujan, atau minimal setara dengan 25% dari populasi sapi potong nasional. Mutu hijauan pakan dipengaruhi oleh musim, terutama kandungan protein, mineral, dan serat kasar (Bamualim et al. 1994a). Kandungan protein rumput alam meningkat pada musim hujan (7-10%) dan menurun pada musim kemarau (+ 4%) (Bamualim 1991). Kadar protein ransum pada musim kemarau jauh di bawah 6%, yakni level protein di mana mulai terjadi penurunan konsumsi ternak (Stobbs 1971) sehingga bobot badan ternak menurun. Kadar mineral berfluktuasi menurut musim. Hasil pengkajian di Pulau Timor
180
Abdullah Mahfud Bamualim
menunjukkan bahwa pada musim kemarau, rumput alam mengalami defisiensi mineral P, Na, Cu, dan Se (Little et al. 1989). Unsur mineral makro dan mikro tersebut berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan reproduksi ternak sapi. Pertumbuhan rumput alam yang cepat menyebabkan mutu hijauan menurun seiring dengan meningkatnya serat kasar. Kandungan dinding sel (NDF = neutral detergent fibre) meningkat dari 60% pada musim hujan menjadi 75-80% pada musim kemarau sehingga konsumsi dan kecernaan pakan pun menurun dan tidak memenuhi kebutuhan energi ternak (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Rendahnya mutu pakan, terutama hijauan sumber serat seperti rumput alam, menyebabkan mikroba pencerna tidak bekerja secara optimal. Akibatnya, pada musim kemarau konsumsi pakan menurun sehingga bobot badan ternak berkurang 0,15-0,27 kg/hari (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Kondisi ini terjadi karena ternak mengalami defisiensi nutrisi, terutama yang berada pada fase produktif, seperti anak, induk bunting, dan laktasi. Di sisi lain, pada musim hujan, suplai energi, protein, dan mineral melebihi kebutuhan hidup pokok ternak sehingga terjadi pertumbuhan ternak yang signifikan. Pertumbuhan sapi bali di Pulau Timor pada musim hujan mencapai 0,40-0,50 kg/ekor/ hari (Wirdahayati dan Bamualim 1990; Bamualim et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa produksi dan kualitas hijauan menentukan pertumbuhan ternak di lahan kering beriklim kering.
Pola Pemberian Pakan Sistem pemberian dan penyediaan pakan ternak sapi di Nusa Tenggara dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan setempat. Di daerah yang memiliki padang penggembalaan yang luas, umumnya ternak digembalakan secara berkelompok dan dikandangkan pada malam hari. Di lokasi dengan lahan penggembalaan terbatas, ternak dipelihara secara intensif. Jenis dan jumlah pakan yang diberikan pada ternak sapi bervariasi antarlokasi. Namun, umumnya jumlah pakan yang diberikan pada musim kemarau menurun, dengan porsi rumput alam 70-90% dari total pakan (Bamualim et al. 1994b). Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, sisa hasil agroindustri berperan penting sebagai sumber pakan alternatif (Risdiono et al. 2009). Hijauan legum pohon dan sisa hasil tanaman pangan merupakan sumber pakan suplemen yang dominan. Kinerja produksi sapi bali terbaik, dengan pertambahan bobot badan yang tinggi dan tingkat reproduksi 90%/tahun, ditemui di Sikka (Flores), Sambelia (Lombok), dan Taliwang (Sumbawa). Di lokasi tersebut, petani memberikan 15-30% pakan hijauan legum pohon dan limbah tanaman palawija, seperti jerami kacang-kacangan dan ubi-ubian (Bamualim et al. 1994b).
Mortalitas Anak Sapi Potong Di wilayah kering, angka kelahiran sapi bali cukup tinggi pada musim hujan, dengan rata-rata 67,2% dan kisaran 35-95%. Angka kelahiran tertinggi (76-95%) tercatat di lokasi dengan sumber daya pakan terbaik, sedangkan yang terendah (35%) pada lokasi dengan ketersediaan pakan yang sangat minim (Ormeling 1955). Secara umum, angka kelahiran sapi bali jauh lebih tinggi dibanding sapi ongole, yakni masing-masing 67,2% dan 41% (Wirdahayati et al. 1994).
181
Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...
Dampak negatif lain yang mencolok pada musim kemarau adalah tingginya angka kematian anak sapi di lahan kering. Kematian anak sapi bali di Pulau Timor berkisar antara 20-50%, dengan rata-rata 30%/tahun (Banks 1986; Wirdahayati et al. 1994). Hal ini terjadi karena kelahiran anak sapi bali terkonsentrasi pada pertengahan musim kemarau, saat terjadi kesulitan pakan. Seekor induk sapi sanggup melahirkan seekor anak tiap tahun, namun kematian anak menyebabkan efisiensi produksi menjadi rendah. Mengurangi angka kematian anak sapi merupakan suatu cara meningkatkan produksi ternak. Inovasi teknologi pakan, berupa pemberian suplemen pada anak sapi, mengurangi kematian anak sapi dari 30% menjadi 10%/tahun. Akibat kematian anak sapi yang tinggi, NTT kehilangan potensi penjualan sapi yang seharusnya 95.000 ekor/tahun menjadi kurang dari 78.000 ekor/tahun, dan potensi meningkatkan populasi sapi yang seharusnya bertambah 38.500 ekor/tahun menjadi hanya 23.000 ekor/tahun (Wirdahayati 1989). Oleh karena itu, penyediaan pakan perlu dioptimalkan, baik dari lahan penggembalaan maupun sumber pakan alternatif lainnya.
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PAKAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI SAPI POTONG Pengembangan teknologi pakan sangat dibutuhkan untuk mengatasi keterbatasan pakan pada musim kemarau, terutama penyediaan pakan sepanjang tahun untuk meningkatkan produksi sapi potong (Bamualim et al. 1990). Menyikapi kondisi daerah semi-arid dengan musim kemarau yang panjang maka upaya pengembangan
teknologi pakan di lahan kering meliputi: (1) multiplikasi tanaman legum pohon; (2) pengawetan pakan; (3) pemberian pakan suplemen; dan (4) penyediaan pakan khusus anak sapi.
Multiplikasi Tanaman Legum Penanaman legum pohon merupakan pilihan terbaik bagi lahan kering beriklim kering sebagai sumber pakan bergizi tinggi. Petani dianjurkan untuk menanam beberapa jenis tanaman legum, seperti lamtoro, gamal (Gliricidia sepium), dan turi (Sesbania grandiflora) karena jenis tanaman yang beragam dapat mengurangi risiko terjadinya serangan hama. Hijauan legum berproduksi tinggi berperan penting dalam meningkatkan ketersediaan pakan bermutu pada musim kemarau. Kerja sama antara Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur telah menghasilkan rekomendasi tanaman lamtoro berproduksi tinggi dan tahan hama kutu loncat, yakni lamtoro hibrida KX2 dengan hasil 18,1 ton BK/ha dan lamtoro Tarramba dengan hasil 11 ton BK/ha. Hasil lamtoro lokal hanya 8,1 ton BK/ha (Nulik et al. 2004). Di samping itu, terdapat jenis tanaman gamal yang produktif dan disukai ternak, seperti gamal Provenance 126/92 asal Oxford (Fernandez et al. 1999).
Pengawetan Pakan Salah satu upaya penyediaan pakan pada musim kemarau adalah mengawetkan pakan hijauan dan sisa hasil pertanian pada musim hujan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Untuk kondisi lahan
182
kering, pengawetan pakan melalui pengeringan (hay) lebih memungkinkan dibandingkan dengan pembuatan silase. Teknologi pengeringan pakan mempunyai prospek usaha yang menjanjikan di wilayah kering karena kemudahan dalam proses penyimpanan dan transportasi. Selain rumput alam, berbagai sisa hasil tanaman pangan dapat diawetkan sebagai cadangan pakan pada musim kemarau. Bila hal ini dilakukan maka produktivitas ternak sapi dapat ditingkatkan (Wirdahayati dan Kali Taek 1993). Pengawetan sisa hasil tanaman pangan telah dilakukan oleh petani di NTB (Bamualim et al. 1994b). Pengembangan sapi potong dapat didukung oleh sisa hasil tanaman padi (415.000 ha), tanaman jagung (315.000 ha), dan tanaman jambu mete (235.000 ha) (BPS NTB 2008; BPS NTT 2008).
Pemberian Pakan Suplemen Pakan suplemen merupakan pakan berkualitas yang diberikan pada ternak dalam periode tertentu untuk menutupi kekurangan nutrisi sekaligus mencukupi kebutuhan produksi ternak. Pakan suplemen dapat berupa daun legum dan nonlegum, serta bahan pakan sumber protein, energi, dan mineral. Pemberian pakan suplemen lokal seperti putak (isi batang gewang = Corypha gebanga) sebagai sumber energi yang dikombinasikan dengan urea sebagai sumber protein dan nonprotein nitrogen (NPN), berpengaruh positif terhadap ternak (Nggobe dan Bamualim 1992; Bamualim et al. 1993a, 1993b, 1993c). Pakan suplemen tersebut meningkatkan pertumbuhan 0,10,2 kg/hari pada musim hujan dan mengurangi kehilangan bobot badan dari 0,25 kg menjadi 0,15 kg/ekor/hari pada musim kemarau.
Abdullah Mahfud Bamualim
Pemberian pakan suplemen pada induk sapi bali dan sapi ongole meningkatkan produktivitas ternak setelah melahirkan pada musim kemarau. Bobot badan induk pada 3 bulan setelah melahirkan dapat dipertahankan, produksi susu induk naik dari 2,2 kg menjadi 2,8 kg/ekor/hari pada sapi bali dan dari 3,2 kg menjadi 4,3 kg/ ekor/hari pada sapi ongole. Hal ini berdampak pada pertambahan bobot badan anak sapi dari 0,15 kg menjadi 0,20 kg/ekor/ hari pada sapi bali dan dari 0,32 kg menjadi 0,47 kg/ekor/hari pada sapi ongole. Demikian pula kebuntingan setelah melahirkan menjadi 1-2 bulan lebih cepat (Wirdahayati 1994; Bamualim 1994c; Bamualim et al. 2000). Hasil penelitian pada ternak kambing juga menunjukkan pemberian suplemen hijauan legum sebagai sumber protein sejak ternak disapih sampai dengan turunan ketiga meningkatkan kelahiran anak 300% lebih tinggi daripada tanpa suplementasi (Budisantoso et al. 1993; Budisantoso dan Bamualim 1994).
Pakan Khusus Anak Sapi Kelahiran anak sapi bali yang terkonsentrasi pada musim kemarau menyebabkan pertumbuhannya rendah dan kematian anak sapi tinggi (Banks 1986). Upaya untuk mengurangi kematian anak sapi dapat dilakukan dengan memberikan pakan khusus bagi anak sapi, dibarengi dengan penyapihan dini (Wirdahayati 2000). Pakan suplemen pengganti susu berupa hijauan legum, di samping rumput, dapat diberikan pada anak sapi sejak umur 3-6 bulan. Hasil penelitian pemberian pakan khusus bagi anak sapi bali di Pulau Timor yang dibarengi dengan penyapihan dini (Wirdahayati 2000; Wirdahayati et al.
183
Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...
2000) memperlihatkan bahwa pemberian pakan suplemen langsung pada anak sapi yang disapih pada umur 3-6 bulan menghasilkan pertumbuhan 0,30 kg/ekor/hari dibanding anak sapi kontrol yang bobot badannya hanya bertambah 0,10 kg/ekor/ hari. Angka kematian anak juga menurun dari 30% menjadi nihil. Pertumbuhan anak sapi juga lebih cepat sehingga mempercepat mencapai dewasa kelamin.
ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PAKAN DAN SAPI POTONG Untuk meningkatkan produksi sapi potong di daerah semi-arid Nusa Tenggara diperlukan arah dan strategi yang tepat dalam memanfaatkan sumber daya pakan yang tersedia.
Arah Pengembangan Pengembangan peternakan sapi potong di Nusa Tenggara diarahkan pada: 1. Pemanfaatan sumber daya pakan lokal melalui perbaikan produktivitas lahan penggembalaan dan pengembangan legum pohon. Pemeliharaan sapi potong berbasis penggembalaan masih dapat dipraktikkan secara luas sehingga diperlukan perbaikan biomassa hijauan dengan tanaman legum dan pakan suplemen. Penggunaan lahan penggembalaan diprioritaskan untuk perbibitan ternak (cow-calf operation). 2. Transformasi sistem pemeliharaan dari penggembalaan penuh menjadi pemeliharaan semi-intensif dengan pemberian pakan yang optimal. Pola semiintensif, terutama yang didukung oleh
pertanian intensif, diprioritaskan bagi penggemukan ternak.
Strategi Pengembangan Untuk mengimbangi permintaan dan kebutuhan pakan diperlukan delineasi dan pemetaan sumber daya pakan dan daya dukung lahan yang didasarkan pada kalkulasi hubungan antara sumber pakan dengan jumlah dan penyebaran sapi potong di setiap komunitas peternak. Penanaman legum pohon mutlak diperlukan dalam pengembangan sapi potong di daerah semi-arid. Legum pohon mengandung nilai gizi tinggi dan tetap berproduksi selama musim kemarau. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Pasal 6) mengakui eksistensi kawasan penggembalaan umum untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Perbaikan lahan penggembalaan komunal dapat dilakukan dengan pengaturan penggembalaan sesuai dengan daya dukungnya, fasilitasi sumber air, introduksi tanaman legum herba, dan penanganan gulma. Pemberian pakan suplemen merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas sapi potong. Penggunaan bahan pakan lokal dan pengembangan tanaman legum yang bergizi tinggi perlu dipromosikan sebagai bahan pakan suplemen di lahan kering. Pengembangan sistem pertanian terpadu lahan kering beriklim kering (SPTLK-IK), dengan konsep minimal run off dan zero waste melalui sistem integrasi tanaman-ternak, serta pemanfaatan lahan dan air secara optimal merupakan suatu alternatif teknologi untuk mendukung pengembangan sapi potong di lahan kering beriklim kering.
184
Abdullah Mahfud Bamualim
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Kesenjangan antara permintaan dan produksi sapi potong yang makin lebar menuntut upaya maksimal untuk meningkatkan produktivitas sapi potong pada berbagai agroekosistem di Indonesia, termasuk di daerah semi-arid. Daerah semi-arid Nusa Tenggara memberi andil besar dalam pembangunan peternakan nasional, khususnya sapi potong. Masalah dalam pengembangan sapi potong di NTT antara lain adalah menurunnya kualitas dan kuantitas pakan pada musim kemarau, terutama pada sistem penggembalaan. Perbaikan teknologi pakan berupa perbanyakan tanaman legum pohon, pengawetan pakan, pemberian pakan suplemen, dan penyelamatan anak sapi dapat meningkatkan produktivitas sapi potong di wilayah kering. Pengembangan legum pohon melalui introduksi lamtoro dan gamal berproduksi tinggi, serta pemeliharaan ternak secara integratif dengan memanfaatkan sisa hasil tanaman pangan dan perkebunan, merupakan pilihan terbaik di daerah semi-arid.
Implikasi Kebijakan Kebijakan pengembangan pakan perlu difokuskan pada pelestarian lahan penggembalaan dan pengembangan tanaman legum pohon berproduksi tinggi. Kebijakan ini memerlukan kerja sama dan dukungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kekurangan pakan dapat dipenuhi dengan memobilisasi suplai pakan lokal yang tersedia di wilayah kering. Untuk itu,
diperlukan program pengembangan berbagai pakan lokal, seperti peningkatan mutu sisa hasil pertanian. Keberhasilan perbaikan pakan sapi potong di daerah semi-arid perlu dibarengi dengan upaya menekan angka kematian anak sapi dan pemotongan sapi betina produktif.
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 1997. Rapat Kerja Badan Litbang Pertanian, Yogyakarta. Bamualim, A.M., J. Nulik, dan R.C. Gutteridge. 1990. Usaha perbaikan pakan ternak sapi di Nusa Tenggara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 9(2): 38-44. Bamualim, A.M. 1991. Pengaruh musim terhadap mutu pakan dan defisiensi nutrisi yang umum terjadi di daerah tropis (Nusa Tenggara). hlm. 382-388. Prosiding Simposium Pertanian III. Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia, Malang, 22-23 Agustus 1991. Bamualim, A.M., R.B. Wirdahayati, dan R.A. Smith. 1991. Penelitian peternakan dalam menunjang peningkatan produksi ternak di Nusa Tengara. hlm. 203-222. Simposium Perencanaan Pembangunan Peternakan di NTB, NTT dan Timor Timur, Mataram, 20-23 Januari 1991. Kerja sama Biro Perencanaan Departemen Pertanian dan AIDAB. Bamualim, A.M., M. Nggobe, dan L. Malo. 1992. Pemberian suplemen blok mineral dan putak pada sapi bali betina muda yang dilepas di pastura alam selama musim hujan dan musim kemarau. hlm. 109-114. Prosiding Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan, Ujung
Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...
Pandang, 4 Maret 1992. Subbalai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan. Bamualim, A.M., J. Kali Taek, J. Nulik, dan R.B. Wirdahayati. 1993a. Pengaruh pemberian suplemen daun kedondong hutan (Lannea grandis), turi (Sesbania grandiflora), putak (Corypha gebanga), dan putak campur urea terhadap pertumbuhan ternak sapi bali di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 1-6. Bamualim, A.M., S. Arifin, dan R.B. Wirdahayati. 1993b. Pengaruh pemberian suplemen putak dan biji kapas terhadap pertumbuhan ternak sapi bali yang digembalakan pada musim kemarau dan musim hujan. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 7-13. Bamualim, A.M., J. Kali Taek, B. Tiro, J. Manu, dan E. Hartati. 1993c. Pengaruh pemberian suplemen urea, daun kabesak (Acacia leucophloea) dan putak dengan level urea yang berbeda pada sapi bali yang mengkonsumsi jerami padi sebagai pakan dasar. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 19-24. Bamualim, A.M. 1994a. Interaksi peternakan dalam sistem pertanian di Pulau Timor, NTT. hlm. 65-75. Prosiding Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering, Kupang, 17-18 November 1994. Subbalai Penelitian Ternak Lili, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bamualim, A.M. 1994b. Usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara. hlm. 27-43. Prosiding Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan dan Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Kupang, 1-3 Maret 1994. Subbalai Penelitian Ternak Lili-Kupang dan Balai Informasi Pertanian Noelbaki-Kupang, Nusa Tenggara Timur.
185
Bamualim, A.M. 1994c. Beberapa hasil penelitian ternak ruminansia dalam sistem peternakan di Nusa Tenggara. Makalah disampaikan dalam Workshop Peternakan-IAEUP di Universitas Nusa Cendana, Kupang, 14-16 November 1994. Bamualim, A.M., A. Saleh, C. Liem, dan P.Th. Fernandez. 1994a. Produksi dan kualitas hijauan rumput alam di Nusa Tenggara. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, 1517 May 1994. CHAPS Book A, p. 202229. Bamualim, A.M., A. Saleh, P.Th. Fernandez, dan C. Liem. 1994b. Komposisi jenis makanan yang diberikan petani pada ternak sapi yang dipelihara dengan sistem semi-intensif di Nusa Tenggara. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, 15-17 May 1994. CHAPS Book A, p. 202-229. Bamualim, A.M. dan U.P. Saramony. 1995. Produksi peternakan di daerah semiarid Nusa Tenggara Timur. Makalah disampaikan pada International Conference on Agricultural Development in Semi Arid Areas of East Nusa Tenggara, East Timor and Southeast Maluku. Kupang, 10-16 Desember 1995. 12 hlm. Bamualim, A.M., E.O. Momuat, dan S.P. Field. 1995. Sistem amarasi untuk tujuan konservasi lahan, peningkatan produksi peternakan dan pangan: Suatu pengalaman. Publikasi Wilayah Kering 4(1): 7-13. Bamualim, A.M., P.Th. Fernandez, C. Liem, and R.B. Wirdahayati. 2000. Effect of feeding regimes on the performance of
186
bali and ongole cows in dry tropic region in Nusa Tenggara, Indonesia. p. 196-198. Proceedings of ASAP Seminar, Sydney, Australia. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 (Supplement): Juli 2000. B: 207-209. Bamualim, A.M. dan R.B. Wirdahayati. 2002. Peternakan di Lahan Kering Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur, Kupang. 120 hlm. Bamualim, A.M. 2009. The dynamic of native grass resources in dry-land area of Indonesia to support beef cattle production: Case study of Nusa Tenggara. p.102-106. Paper presented at the International Seminar on Forage Based Feed Resources. Food and Fertilizer Technology Centre (FFTC) ASPAC, Livestock Research Centre-COA, ROC and Indonesian Research Institute for Animal Production, Bandung, 3-7 August 2009. Banks, D. 1986. Analysis of livestock survey data, 1985. p. 63-91. In NTTLDP Completion Report. II. Livestock. ACIL, Melbourne. Budisantoso, E., M. Nggobe, A. Saleh, and A.M. Bamualim. 1993. Growth and reproduction potential of local goats in West Timor from weaning to 1.5 years old with and without supplementation of sesbania leaf (Sesbania grandiflora) and palm pith (Corypha gebanga). p. 105-114. In Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Proceedings of a Workshop held at the Research Institute for Animal Production, Ciawi, 3-4 August 1993. SR-CRSP. Budisantoso, E. dan A.M. Bamualim. 1994. Suplementasi turi (Sesbania grandiflora) dan putak (Corypha gebanga) pada kambing lokal betina lepas sapih sampai umur 2,5 tahun. hlm. 188-194.
Abdullah Mahfud Bamualim
Prosiding Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan dan Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Kupang, 1-3 Februari 1994. Subbalai Penelitian Ternak Lili, Kupang, Nusa Tenggara Timur. BPS NTB. 2008. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. BPS Provinsi NTB, Mataram. BPS NTT. 2008. Nusa Tenggara Timur dalam Angka. BPS Provinsi NTT, Kupang. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 1989. Proyek Pengembangan Petani Ternak Kecil. Ditjennak, Jakarta. Fernandez, P.Th., A. Rubianti, dan A.M. Bamualim. 1999. Uji palatabilitas beberapa provenance tanaman gamal pada ternak sapi. hlm. 357-360. Prosiding Lokakarya Regional Penerapan Teknologi Indigenous dan Teknologi Maju Menunjang Pembangunan Pertanian di Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat, Kupang, 1-2 Maret 1999. IFAD (International Fund for Agricultural Development). 2009. Indonesia: Smallholder Cattle Development Project Phase II. Visit Rural Poverty Portal, Evaluation up dated 2 July, 2009. Jones, R.J. 1986. Leucaena - International experience. Trop. Grassld. 20: 83-85. Lal, R. 1985. Soil surface management. p. 273-300. In R.C. Muchow (Ed.). Agro Research for the Semi Arid Tropics: North-West Australia. Univ. Queensland Press. Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.S. Karama, dan I. Manwan. 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...
Little, D.A., S. Kompiang, and R.J. Petheram. 1989. The mineral composition of Indonesian ruminant forages. Trop. Agric. (Trinidad) 66(1): 33-77. Ndima, P.P. 1989. Perkembangan sapi ongole di Sumba. hlm. 158-172. Prosiding Temu Tugas dan Temu Lapang Penelitian dan Pengembangan Peternakan Propinsi NTT, NTB dan Timor Timur, Kupang, 3-5 Oktober 1989. Nggobe, M. dan A.M. Bamualim. 1992. Pemberian beberapa kombinasi putak dan rumput raja terhadap pertambahan berat badan sapi bali jantan muda yang dikandangkan. hlm. 105-108. Prosiding Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, 4 Maret 1992. Subbalai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan. Nulik, J. dan A.M. Bamualim. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat bekerja sama dengan Eastern Island Veterinary Services Project. Nulik, J., D.K. Hau, P.Th. Fernandez, dan S. Ratnawati. 2004. Adaptasi beberapa Leucaena species di Pulau Timor dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. hlm. 825-831. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Ormeling, F.J. 1955. The Timor Problem - A geographical interpretation of an underdeveloped island. Disertasi, Universitas Indonesia. Penerbit J.B. Wolters, Jakarta, Groningen. Quirke, D., M. Harding, D. Vincent, and D. Garrett. 2003. Effect of Globalisation and Economic Development on the Asia Livestock Sector. ACIAR, Canberra.
187
Risdiono, B., B. Haryanto, D.P. Nurhayati, and B. Setiadi. 2009. Availability and utilization of forage resources for smallscale farm in Indonesia. p. 57-64. Proceedings of the International Seminar on Sustainable Management and Utilization of Forage-Based Feed Resources for Small-Scale Livestock Farmers in Asia, Lembang, Indonesia, 3-7 August 2009. FFTC-ASPAC, IRIAP and LRI, CoA, Taiwan. Stobbs, T.H. 1971. Quality of pasture and forage crops for dairy production in the tropical regions of Australia. 1. Review of literature. Trop. Grassld. 5: 159-170. Wirdahayati, R.B. 1989. Alternatif perbaikan manajemen dalam meningkatkan produksi ternak sapi di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(2): 46-50. Wirdahayati, R.B. dan A.M. Bamualim. 1990. Penampilan reproduksi dan struktur populasi ternak sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. hlm. C1-5. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Denpasar-Bali, 20-22 September 1990. Wirdahayati, R.B. dan J. Kali Taek. 1993. Pemanfaatan jerami jagung dan kacang tanah sebagai pakan ternak sapi. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 23-25. Wirdahayati, R.B. 1994. Manajemen dan performans reproduksi ternak sapi di Nusa Tenggara, Indonesia. Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Kupang, 17-18 November 1994. hlm. 84103. Wirdahayati, R.B., B.M. Christie, A. Muthalib, and K.F. Dowsett. 1994. Productivity of beef cattle in Nusa Tenggara. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS)
188
held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, 15-17 May 1994. CHAPS Book A, p.170-178. Wirdahayati, R.B. 2000. Optimalisasi Pembesaran Anak Sapi melalui Penyapihan Dini untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Riset Unggulan Terpadu (RUT VII). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat bekerja sama dengan Kantor Menristek dan LIPI.
Abdullah Mahfud Bamualim
Wirdahayati, R.B., P.Th Fernandez, A. Saleh, dan A.M. Bamualim. 2000. Penyapihan dini sebagai usaha terobosan untuk meningkatkan produksi bakalan sapi bali di Nusa Tenggara. hlm. 34-35. Prosiding Nasional Pengembangan Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Andalas, Padang, 11 Oktober 2000.