WARTAZOA Vol. 20 No. 1 Th. 2010
PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA TIMUR WIRDAHAYATI R.B. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114 (Makalah diterima 20 Oktober 2009 – Revisi 5 Maret 2010) ABSTRAK Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah pemasok sapi potong di Indonesia walaupun dengan pola pemeliharaan yang masih tradisional. Usaha sapi potong yang hanya berbasis ketersediaan rumput alam dan introduksi tanaman lamtoro, mampu menyumbangkan 15 – 50% dari total pendapatan petani. Akhir-akhir ini, terjadi penurunan produktivitas sapi dan berdampak terhadap penurunan jumlah pengeluaran sapi dari daerah ini. Beberapa kegiatan mendasar telah dilaksanakan di NTT, antara lain, baseline survey dan monitoring tentang produktivitas dan kesehatan sapi potong (Cattle Health and Productivity Survey = CHAPS) pada tahun 1990 – 1992 yang bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi produktivitas dan kesehatan sapi potong di beberapa wilayah di Nusa Tenggara. Telah dilaksanakan pula penelitian Riset Unggulan Terpadu yang menyatakan bahwa penyapihan dini yang efektif pada pedet sapi Bali adalah umur 3 – 6 bulan. Berbagai hasil penelitian ini diyakini dapat memberi peluang untuk meningkatkan produktivitas sapi potong di NTT. Pengkajian Sistem Usaha Pertanian berbasis sapi potong juga telah dilakukan untuk memperbaiki sistem penggemukan dan budidaya ternak sapi melalui perbaikan manajemen dan pemberian pakan yang memadai. Aplikasi hasil pengkajian telah dilakukan pada kelompok-kelompok peternak untuk usaha penggemukan sapi yang menguntungkan melalui pola kemitraan antara para pengusaha dengan peternak. Dalam perkembangan terakhir telah dilakukan usaha penggemukan oleh peternak melalui kemitraan dengan pihak swasta dan koperasi. Diperlukan fasilitasi pemerintah untuk mengakselerasi usaha ini; salah satunya adalah akses terhadap pembiayaan dan penyuluhan yang intensif guna meningkatkan kesadaran peternak untuk mengusahakan sapi potong yang berorientasi keuntungan. Dengan memanfaatkan teknologi dan potensi yang tersedia, maka NTT diharapkan dapat mengembalikan peran sebagai pemasok ternak sapi potong yang dapat mendukung Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kata kunci: Ternak sapi, produktivitas, teknologi, Nusa Tenggara Timur ABSTRACT APPLICATION OF TECHNOLOGY ON IMPROVING BEEF CATTLE PRODUCTIVITY IN EAST NUSA TENGGARA The Province of East Nusa Tenggara (NTT) had been one of the major beef cattle suppliers under traditional management system in Indonesia. The beef cattle farming that based on grazing native pasture and the introduction of shrub legumes (Leucaena leucocephala) may contribute to around 15 – 50% of the farmers’ household income. In the last few years, supply of beef cattle tended to decline due to the decrease in cattle population in NTT. Some basic improvements in management and feeding toward increasing beef cattle productivities had been carried out in Nusa Tenggara, such as a baseline survey on Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS) conducted in 1990 – 1992. The objective of the program was to identify the existing beef cattle productivity and health condition throughout Nusa Tenggara. A collaborative research with the Ministry of Research and Technology (Integrated Prime Research) had also been carried out and the result showed that early weaning in Bali calves that can be practised as early as 3 – 6 months to prevent calves losses during the dry season. A program of the Assessment on Beef Cattle Base Farming Activities had also been conducted to improve fattening and breeding practices through the improvement in beef cattle management and feeding systems. At the latest development, fattening scheme has been introduced under a partnership approach involving private sectors and cooperatives. This needs to be facilitated by the government to accelerate the program such as access to capital and intensive extension services to build farmers awareness toward profit oriented beef cattle farming. Optimalization of the available potential resources and technology in NTT, will be an opportunity to enhance beef cattle production and gains back the reputation as one of the major producing beef cattle in the past. This will also support the national livestock program nowadays, called Beef Cattle Self Sufficiency Program 2014. Key words: Beef cattle, productivity, technology, East Nusa Tenggara
12
WIRDAHAYATI R.B.: Penerapan Teknologi dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur
PENDAHULUAN Sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) beriklim kering (8 – 9 bulan) akibat musim hujan yang relatif pendek (3 – 4 bulan) dengan rataan curah hujan 1.500 mm/tahun (WIRDAHAYATI, 1994). Lahan kering di wilayah NTT diperkirakan sekitar 60% dari total luas lahan yang ada dan didominasi oleh padang rumput alam sebagai lahan penggembalaan yang luas (BAMUALIM, 1995). Ketersediaan rumput alam yang didukung dengan introduksi tanaman leguminosa pohon, terutama lamtoro (Leucaena leucocephala), telah mendorong berkembangnya usaha peternakan sapi potong di daerah ini. Namun demikian, usaha sapi potong masih merupakan aktivitas sekunder setelah usaha tanaman pangan. Jenis ternak besar didominasi oleh sapi Bali khususnya di Pulau Timor, sehingga NTT dikenal sebagai produsen sapi potong yang menonjol dalam 30 tahun terakhir dengan populasi sapi sebanyak 573 ribu ekor (DITJENNAK, 2008). Rata-rata pemilikan sapi di Pulau Timor sebanyak 2,4 ekor/KK, dimiliki oleh sebanyak 59% dari total KK petani (TJAONG SOKA et al., 1991), dimana usaha peternakan memberikan kontribusi yang nyata bagi pendapatan keluarga yaitu 15 – 50% dari total pendapatan (BAMUALIM dan RATNADA, 2005). Sistem pemeliharaan sapi potong dilakukan secara ekstensif tradisional, berbasis padang rumput alam dengan sistem penggembalaan sehingga biaya cash pemeliharaannya relatif rendah. Oleh sebab itu, wilayah NTT mampu memasok sapi potong bagi daerah lainnya di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan jumlah pengeluaran sapi potong akibat menurunnya populasi dan produktivitas ternak. Hal ini diindikasikan oleh penurunan jumlah sapi potong yang diekspor dari NTT, yaitu dari 70 ribu ekor/tahun sebelum tahun 2000 (BAMUALIM dan WIRDAHAYATI, 2002), menjadi 40 ribu ekor/tahun dewasa ini. Hal ini diduga dipicu oleh beberapa hal, antara lain: (i) Keterbatasan pakan selama musim kemarau yang diikuti menurunnya kandungan protein sampai 4,5% (BAMUALIM dan SALEH, 1992; WIRDAHAYATI et al., 1999). Hal ini mengakibatkan terjadinya
penurunan bobot badan ternak yang dapat mencapai 20% dari bobot hidupnya (BAMUALIM dan WIRDAHAYATI, 2002). Ternak menjadi lambat dewasa, sehingga umur beranak pertama menjadi lebih panjang (INOUNU dan SETIOKO, 2005). (ii) Pengeluaran ternak melebihi kapasitas produksi akibat tingginya permintaan sapi potong dari luar NTT. (iii) Praktek penjualan ternak secara tradisional, sehingga mengakibatkan terjualnya ternak terbaik yang dimiliki peternak. Sapi-sapi jantan yang tersisa berkualitas kurang baik dan terpaksa digunakan sebagai pejantan. Kondisi ini menyebabkan semakin menurunnya pertumbuhan ternak, meningkatnya angka kematian, serta menurunnya laju reproduksi ternak sapi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan produktivitas sapi potong di NTT, perlu dilakukan antara lain dengan meningkatkan pertambahan bobot badan di atas 0,5 kg/ekor/hari melalui perbaikan tata laksana pemeliharaan ternak yang masih tradisional kepada usaha yang berwawasan agribisnis dan perbaikan pemberian pakan yang cukup dan memenuhi kebutuhan ternak (ANGGRAENY et al., 2007). Tulisan ini bertujuan untuk mengkompilasi berbagai informasi dan kegiatan pengkajian teknologi sapi potong melalui penerapan teknologi dalam upaya peningkatan produktivitas sapi potong di NTT. Daya dukung pulau-pulau besar di NTT menunjukkan bahwa Pulau Flores dan Sumba memiliki daya tampung ternak 1,66 dan 1,56 ekor/ha. Pulau Timor mempunyai daya dukung yang terendah (0,85 ekor/ha), dimana rataan daya tampung untuk seluruh NTT adalah 1,08 ekor/ha (Tabel 1). Sejalan dengan arah pembangunan peternakan yang dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat, pemeliharaan ternak sapi di Pulau Timor diarahkan pada sistem semi-intensif yang diikuti dengan upaya penyediaan pakan alternatif, terutama dari sisa-sisa hasil pertanian dan dari jenis leguminosa pohon (lamtoro, turi dan gamal). Untuk Pulau Flores dan Sumba masih tersedia lahan penggembalaan yang luas untuk meningkatkan populasi ternak sapi (Tabel 1).
Tabel 1. Luas wilayah, lahan penggembalaan dan populasi ternak besar di NTT tahun 2007* Populasi ternak besar (ekor)
Luas lahan/ ternak besar (ha/ekor)**
Luas wilayah (ha)
Luas lahan penggembalaan (ha)
Sapi
Kerbau
Kuda
Timor
1.641.183
412.565
453.590
9.640
24.467
0,85
Flores
1.989.665
246.276
82.487
50.876
24.469
1,56
Lokasi/pulau
Sumba
1.105.242
299.432
48.806
78.236
53.314
1,66
NTT
4.734.990
888.273
584.883
138.752
102.290
1,08
*Diolah dari data Statistik Potensi Desa NTT (BPS, 2007); **Perhitungan berdasarkan luas lahan penggembalaan dan populasi ternak besar (bukan unit ternak = UT)
13
WARTAZOA Vol. 20 No. 1 Th. 2010
Sapi potong merupakan ternak yang terbanyak di NTT (69,1% dari total populasi ternak besar), diikuti oleh kerbau sebanyak 18,2% dan kuda sebanyak 12,7%. Populasi sapi potong didominasi oleh sapi Bali di Pulau Timor, yaitu sebanyak 80% dari seluruh jumlah sapi di NTT (BAMUALIM dan WIRDAHAYATI, 2002). STUDI EMPIRIS SAPI POTONG DI NTT Produktivitas sapi potong di padang penggembalaan Pulau Timor Pengenalan awal tentang penampilan produktivitas sapi Bali di NTT dilaporkan oleh BANKS (1986) yang menyatakan bahwa fertilitas sapi Bali di Pulau Timor cukup memadai (75%) dan tingkat kematian anak sapi dibawah umur satu tahun cukup tinggi, mencapai 30%. Pertumbuhan sapi Bali dalam musim hujan dan musim kemarau cukup bervariasi yang dipelihara di padang penggembalaan alam di Pulau Timor menunjukkan bahwa rataan pertumbuhan harian selama musim hujan dan musim kemarau cukup bervariasi (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan induk sapi selama musim hujan tidak mampu menutupi kehilangan bobot badan selama musim kemarau. Kondisi induk semakin lama semakin menurun, sedangkan sapi muda mengalami pertumbuhan yang rendah, sehingga dewasa kelamin menjadi tertunda. Tabel 2. Pertumbuhan sapi Bali yang dipelihara di padang penggembalaan alam berdasarkan musim di Pulau Timor Kelompok ternak
Rataan pertumbuhan (g/ekor/hari) Musim hujan
Musim kemarau
Anak (umur < 1 tahun)
± 80
-150 ± 35
Muda (1 – 2 tahun)
± 90
-340 ± 55
Dewasa (> 2 tahun)
± 80
-410 ± 60
Kelompok jantan
Kelompok betina
14
Anak (umur < 1 tahun)
± 95
-270 ± 30
Muda (1 – 2 tahun)
± 90
-350 ± 20
Induk (> 2 tahun)
± 45
-520 ± 60
Pengaruh musim terhadap pertumbuhan dan kematian anak sapi Musim kemarau berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah dan kualitas pakan di padang penggembalaan alam dan berdampak langsung terhadap pertumbuhan sapi, terutama pada pertumbuhan anak sapi, sapi muda dan sapi induk yang sedang menyusui. PHILP (1986) menyatakan bahwa musim kelahiran anak sapi Bali di Besi Pae, Pulau Timor terkonsentrasi dalam bulan Mei – Agustus yang merupakan awal sampai pertengahan musim kemarau, dimana hal ini didukung oleh hasil penelitian WIRDAHAYATI (1994). Terbatasnya kemampuan induk untuk membesarkan anak dalam musim kemarau menjadi pemicu tingginya angka kematian anak. Dalam keadaan ini induk dan anak menghadapi risiko kematian yang tinggi akibat kekurangan pakan (BAMUALIM dan WIRDAHAYATI, 2005). Salah satu upaya untuk mengkonfirmasi besaran persentase dan musim kelahiran anak sapi ini adalah dengan mengetahui struktur populasi ternak pada akhir musim kelahiran, sekitar bulan Agustus. Telah dilakukan pemantauan struktur populasi terhadap sejumlah 4.014 ekor ternak dari 23 kelompok ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif di beberapa desa di sekitar Stasiun Ternak Lili di Kupang (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek dinamika struktur populasi ternak sapi, indikasi awal untuk persentase kelahiran anak sapi Bali memang cukup memadai, yaitu diatas 70%, namun kematian anak dapat mencapai 27% bahkan dapat mencapai 35%. Metode pengamatan struktur populasi secara sederhana ini mampu mengkonfirmasi dan memberikan gambaran umum kondisi kelahiran anak sapi Bali di Pulau Timor yang dilaporkan dari berbagai hasil penelitian terdahulu. Tabel 3. Struktur populasi ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif di padang penggembalaan di Pulau Timor Kelompok ternak*
Persentase (%)
Betina dewasa
37 ± 7
Jantan dewasa
7±3
Sapi umur 2 – 3 tahun
18 ± 6
Sapi muda berumur 1 – 2 tahun
16 ± 6
Anak berumur di bawah setahun
22 ± 6
*Klasifikasi pengelompokan ternak berdasarkan kemampuan taksiran penampilan ternak dari jarak tertentu (umur di bawah 1 tahun, umur 1 – 2 tahun, umur 2 – 3 tahun dan ternak dewasa), dengan mengamati ternak dari jarak tertentu
WIRDAHAYATI R.B.: Penerapan Teknologi dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur
Pemanfaatan bahan pakan lokal sebagai suplemen sapi potong
Introduksi jenis rumput dan tanaman leguminosa unggul di NTT
Dalam menangani masalah kekurangan pakan selama musim kemarau yang berakibat pada penurunan bobot badan ternak yang cukup besar (0,15 – 0,40 kg/ekor/hari) dan kematian anak sapi yang cukup tinggi (10 – 35%) telah dilakukan penelitian/pengkajian dalam hal pemanfaatan sumber-sumber pakan lokal, limbah jerami tanaman pangan (padi, jagung dan kacang-kacangan) (Tabel 4). Pola pemilihan dan penyusunan ransum ternak disesuaikan dengan ketersediaan bahan pakan lokal yang ada pada musim tertentu dan mengacu kepada pemenuhan kebutuhan ternak terhadap unsur nutrisi yang diperlukan. Kebutuhan ternak akan karbohidrat, protein, dan mineral pada musim kemarau dipenuhi dengan penyusunan bahan-bahan pakan yang ada pada musim kemarau dan sebaliknya untuk musim hujan. Hasil-hasil penelitian ini merupakan strategi pemberian pakan ternak berbasiskan keragaman sumber daya lokal yang dapat diandalkan menunjang produktivitas ternak sapi di lahan kering di Pulau Timor dan Nusa Tenggara pada umumnya.
Dikenal cukup banyak bahan pakan lokal, berupa jenis rumput alam dan leguminosa yang tumbuh di NTT. Upaya introduksi jenis-rumput, tanaman leguminosa herba dan leguminosa pohon yang berpotensi dikembangkan di daerah NTT telah dilakukan melalui serangkaian penelitian seperti yang disajikan dalam Tabel 5. Rangkaian penelitian adaptasi tanaman pakan di NTT telah berlangsung selama beberapa periode. Diawali pada periode 1984 – 1987 tentang tanaman pakan adaptif di NTT, dilanjutkan dengan periode 2001 – 2003, tentang tanaman lamtoro adaptif di lahan kering dan lamtoro tahan kutu loncat dan adaptif di lahan kering yang dilaksanakan dalam tahun 2006 – 2009. Dalam lima tahun ke depan telah dirancang penelitian tentang manajemen pohon legum tahan kutu loncat (lamtoro dan turi) melalui kerjasama antara BPTP NTT dengan Australia (NULIK, 2009, komunikasi pribadi).
Tabel 4. Pengkajian pemanfaatan berbagai suplemen pada pertumbuhan sapi Bali di Timor dalam musim kemarau dan musim hujan Perlakuan
BB awal (kg)
PBB (g/ekor/hari)
Pustaka
Rumput alam (RA) RA + biji kapas RA + putak RA+putak+biji kapas
100 90 90 100
- 490 - 130 - 230 - 50
BAMUALIM et al. (1993a)
Jerami padi (JP) JP + Lannea sp. JP + daun turi
130 125 130
- 390 -140 -110
BAMUALIM et al. (1993a)
JP + putak JP + putak + urea JP + daun kabesak
130 130 120
-160 - 30 - 70
BAMUALIM et al. (1993a)
RA + 5 kg putak RA + 5 kg putak +3 kg turi
120 1,15
- 260 - 0,02
WIRDAHAYATI et al. (1994)
Rumput alam (RA) RA + biji kapas RA + putak RA + putak + biji kapas
85 90 85 95
170 360 260 425
BAMUALIM et al. (1993b)
Rumput alam (RA) RA + putak RA + putak + urea
120 120 120
340 370 430
NULIK et al. (1988)
RA + putak + urea
175
320
BAMUALIM et al. (1993b)
RA + putak + urea + ZA
175
410
Musim kemarau
Musim hujan
15
WARTAZOA Vol. 20 No. 1 Th. 2010
Tabel 5. Tanaman pakan introduksi di wilayah Nusa Tenggara Jenis tanaman Rumput
Legum herba
Pohon leguminosa
Nama lain
Nama latin
Rumput gamba
Andropogon gayanus
Rumput Rhodes
Chloris gayana
African star grass
Cynodon plectostachyus
Bargoo loint vetch
Aeschinomene palcata
Townsville stylo
Stylosanthes humilis
Graham Schotfield
Stylosabthes gatatensis cv Graham
Verano (Caribian Stylo)
STylosanthe hamata cv Verano
Endeavour dan Cook Scabra (Seca)
Stylosanthes Scabra, Seca
Common centro
Centrosema pubescens
Cavalcade dan Bundy
Centrosema pascuorum cv Cavalcade dan cv Bundy
Desmantus
Desmanthus virgatus
Siratro
Macroptilium atropurporeum
Murray
Macroptilium lathyroides
Desmodium
Desmodium rensonii
Gamal
Gliricidia sepium
Lamtoro
Leucaena leucocephala
Diversifolia
Leucaena diversifolia
Sumber: NULIK dan BAMUALIM (1998)
Survei produktivitas dan kesehatan sapi
Studi penyapihan dini anak sapi Bali
Studi tentang produktivitas dan kesehatan sapi di Nusa Tenggara telah dilakukan melalui survei monitoring terhadap kelompok ternak sapi di 13 lokasi di Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba dan Timor. Hasil studi mengungkapkan bahwa variasi kelahiran anak sapi Bali di antara lokasi ini ternyata cukup besar, dimana total kelahiran anak sapi Bali relatif sama dengan di tempat lain di Indonesia (WIRDAHAYATI et al., 1994). Kematian anak sapi yang dipelihara secara ekstensif relatif tinggi mencapai sekitar 20 – 35% (WIRDAHAYATI dan BAMUALIM, 1990). Namun pada ternak sapi yang dikelola secara semi-intensif, kematian anak sapi lebih rendah, yaitu 3% (WIRDAHAYATI, 1994). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pola kelahiran anak sapi Bali terjadi bertepatan dengan musim kemarau yakni pada bulan April – September, yaitu sebesar 81% dari total kelahiran, dan hanya 19% kelahiran anak yang terjadi selama bulan Oktober – Maret (WIRDAHAYATI, 1994). Oleh karenanya, pola kelahiran ini menjadi penting untuk mengantisipasi manajemen pemeliharaan anak dan induk sapi pada tahap awal kelahiran di musim kemarau. Variasi ketersediaan rumput alam antar lokasi menurut musim juga berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perubahan bobot badan ternak yang dipelihara secara esktensif di padang penggembalaan alam.
Angka kelahiran anak sapi Bali yang tinggi di Pulau Timor ternyata belum menjamin keuntungan yang memadai bagi peternak, karena angka kematian anak sapi yang tinggi, yaitu dapat mencapai 35% (WIRDAHAYATI dan BAMUALIM, 1990). Tindakan penyelamatan anak-anak sapi dari kematian pada umur dini dilakukan melalui suatu penelitian penyapihan dini dengan memberikan pakan pengganti susu sebelum anak sapi dapat mengkonsumsi hijauan secara normal. Penyapihan dini diketahui dapat mempercepat siklus berahi kembali induk setelah beranak sehingga memperpendek jarak kelahiran (DAWUDA et al., 1988; GIMENEZ et al., 1980; MUKASSA-MUGERWA et al., 1991; WIRDAHAYATI, 1994). Apabila jarak kelahiran yang saat ini relatif masih panjang (17 – 18 bulan) dapat diperpendek menjadi 12 – 13 bulan, maka setiap induk akan dapat melahirkan satu ekor anak setiap tahun, sehingga tingkat kelahiran minimal 90% dapat dicapai. Penelitian pemberian pakan yang baik sejak anak sapi berumur 3 – 6 bulan bukan saja dapat menyelamatkan dari kematian, tetapi juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan mempersingkat waktu jual ternak jantan muda serta mempercepat pencapaian dewasa kelamin. Penelitian kerjasama Riset Unggulan Terpadu antara BPTP NTT dengan Kementerian Riset dan
16
WIRDAHAYATI R.B.: Penerapan Teknologi dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur
Tabel 6. Hasil ini diperoleh melalui aplikasi kerjasama dengan kelompok-kelompok peternak di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Estimasi produksi susu harian sapi potong dilakukan berdasarkan metode Weigh-suckle-weigh, yaitu mengukur perbedaan bobot anak sebelum dan sesudah menyusui (RUTLEDGE et al., 1971; TOTUSEK et al., 1973; WILLIAMS et al., 1979; BEAL et al., 1990), dengan metode sebagai berikut: 1. Anak sapi dari induk-induk yang akan ditaksir produksi susu harian, dipisahkan dari induknya selama siang hari, sehingga merasa lapar pada sore hari. 2. Setelah merasa lapar, sekitar jam 5 sore, anak sapi dibolehkan menyusu waktu induk kembali dari padang penggembalaan. Anak sapi dibiarkan menyusu sepuasnya sampai ambing susu induknya kosong. 3. Setelah itu, anak dipisahkan dalam kandang sehingga tidak bebas menyusu dengan induknya, namun masih dapat melihat induknya, sehingga anak sapi tidak merasa gelisah. 4. Keesokan hari sekitar jam 6 pagi masing-masing anak ditimbang bobot badannya, kemudian dilepaskan serta dibiarkan menyusu dengan induknya sampai puas. 5. Setelah anak selesai menyusu, ditimbang lagi bobot badannya. Selisih antara bobot badan anak sebelum dan sesudah menyusu di pagi hari tersebut dianggap sebagai berat susu induk yang terakumulasi selama semalam (12 jam sebelumnya). Jumlah produksi susu induk selama 24 jam (1 hari) diestimasi dengan menggandakan perkiraan berat susu induk selama 12 jam yang dihisap oleh masing-masing anak sapi yang setara dengan pertambahan bobot badan anak setelah menyusu.
Teknologi tentang penyapihan dini anak sapi umur 3 – 6 bulan mengungkapkan bahwa: 1. Penyapihan dini anak sapi Bali di Pulau Timor dapat dilakukan pada umur 3 bulan dengan pemberian pakan yang berkualitas. 2. Pemberian suplemen pada anak sapi baik yang disapih umur 3 bulan maupun 6 bulan dapat meningkatkan pertumbuhan dan menekan angka kematian anak sampai sekitar 3%, sedangkan persentase kematian pada anak sapi kontrol sebesar 30%. 3. Pertumbuhan anak sapi yang disapih dini dalam musim kemarau mencapai 0,27 kg/ekor/hari, sedangkan pertumbuhan anak sapi kontrol cenderung menurun drastis, hanya mencapai 0,08 kg/ekor/hari. 4. Pemberian suplemen juga mempercepat pencapaian dewasa kelamin. Selain penyapihan anak sapi usia dini, dilakukan juga pengaturan pola kawin agar kelahiran anak sapi bertepatan dengan ketersediaan pakan optimal (NGGOBE et al., 1994). Sejumlah 18 ekor induk dibebaskan untuk kawin selama bulan Maret, ternyata 12 ekor bunting dan melahirkan dalam bulan Desember – April tahun berikutnya pada saat ketersediaan pakan optimal, sehingga peluang induk membesarkan anak lebih baik. Hasil pengkajian pengaturan pola kawin untuk mengatur kelahiran anak sapi pada waktu ketersediaan pakan optimal ternyata juga menunjukkan perbaikan pertumbuhan anak sebesar 70 g/ekor/hari. Perbaikan reproduksi induk Pengaruh perbaikan kondisi induk melalui suplementasi pakan pada saat bunting sampai melahirkan di musim kemarau diperlihatkan dalam
Tabel 6. Produktivitas induk sapi Bali yang mendapat perbaikan pakan saat akhir kebuntingan dan setelah melahirkan selama musim kemarau Kontrol
Parameter Bobot badan awal (kg/ekor)
Perbaikan*
A
B
A
B
176
212
171
207
Bobot badan melahirkan (kg/ekor)
200
187
218
198
Bobot badan 3 bulan setelah melahirkan (kg/ekor)
172
172
193
186
Bobot badan 6 bulan setelah melahirkan (kg/ekor)
154
-
194
-
Produksi susu (l/hari)
0,75
2,4
1,17
2,8
Bobot lahir anak (kg/ekor)
12,1
12,5
13,6
13,0
Pertumbuhan anak (g/ekor)
-
150
-
190
Bobot badan anak umur 6 bulan (kg)
38
36
52
42
Bunting setelah melahirkan (hari)
139
147
69
111
*Pola perbaikan yang diterapkan adalah memberi pakan suplemen pada induk sapi bunting, 1 bulan sebelum melahirkan sampai 3 bulan setelah melahirkan; A = WIRDAHAYATI (1994); B = WIRDAHAYATI et al. (1996)
17
WARTAZOA Vol. 20 No. 1 Th. 2010
Perbaikan sistem usaha pertanian berbasis sapi potong Program penggemukan sapi di Pulau Timor yang dikenal dengan sistem paron (1 – 2 tahun) telah berkembang sejak tahun 1970-an. Namun karena keterbatasan ketersediaan pakan pada musim-musim tertentu, mengakibatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi yang masih rendah sehingga memperpanjang masa penggemukan. Pemeliharaan induk untuk menghasilkan anak (cow calf operation) secara ekstensif dihadapkan pada tingginya angka kematian anak yang pada akhirnya berdampak terhadap rendahnya produksi sapi bakalan setiap tahun. Oleh karena itu, telah dilakukan pengkajian tentang perbaikan aspek penggemukan serta pemeliharaan induk dan anak. Pengkajian aspek penggemukan mencakup antara lain penyediaan pakan, serta pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk tanaman pangan dan hortikultura. Anjuran teknologi yang dikaji adalah: 1. Penggemukan sistem kandang kelompok (skala usaha 2 – 3 ekor/KK). 2. Perbaikan jenis dan jumlah pakan yang berimbang, 60% rumput dan 40% leguminosa. 3. Pengenalan pakan yang bermutu dan pengawetan pakan ternak melalui pengeringan hay rumput alam yang berkelebihan dalam musim hujan. 4. Pembuatan lubang penampung kotoran ternak sebagai sumber pupuk kandang untuk tanaman sayuran dan hortikultura lainnya. Pengkajian Sistem Usaha Pertanian (SUP) berbasis sapi potong yang dilaksanakan pada tahun 1998 – 2000 di Amarasi, Kabupaten Kupang, telah melibatkan sebanyak 156 orang peternak pada beberapa kelompok peternak. Jumlah ternak yang digemukkan dalam 9 periode penggemukan sejumlah 1.277 ekor yang keragaannya dapat dilihat pada Tabel 7. Pengkajian SUP berbasis sapi potong berusaha membantu perbaikan sistem pemasaran ternak, agar petani maupun pedagang mendapatkan keuntungan. Usaha yang diperkenalkan adalah memperpendek rantai pemasaran dengan cara menghubungkan pedagang dengan kelompok petani dan menyediakan
informasi standar harga berdasarkan bobot hidup yang sedang berlaku. Setiap periode penggemukan, petani menjual ternaknya secara berkelompok kepada mitra pembeli dengan harga yang lebih layak dan biasanya berdasarkan harga per kilogram bobot hidup yang sedang berlaku di pasar saat itu. Selama 9 periode penggemukan, telah terjadi 12 periode penjualan dengan jumlah ternak yang dijual sebanyak 1.199 ekor. Ternak sapi yang belum dijual di akhir satu periode pengkajian, dipelihara lebih lanjut dan kemudian dijual apabila bobotnya sudah mencapai bobot yang diinginkan pemilik. Dari pengamatan pada setiap penjualan ternak, terlihat bahwa peternak menjual ternaknya apabila ternak telah mencapai bobot badan penjualan dengan standar ekspor minimal yaitu bobot 200 – 224 kg (37,7%), 225 – 249 kg (24,9%) dan standar bobot 250 – 274 kg (17,4%). Penjualan untuk standar bobot badan di atas 275 kg relatif rendah (< 20%). Hal ini menunjukkan bahwa usaha penggemukan mempunyai peluang dan dapat ditingkatkan minimal mencapai 0,75 kg. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin menurunnya standar bobot badan ternak yang diekspor, dibandingkan dengan standar bobot badan ternak ekspor terdahulu yaitu 350 kg. Usaha penggemukan yang dikelola dengan baik, dapat menarik minat mitra usaha untuk membantu peternak dalam hal modal usaha dalam bentuk kerjasama kemitraan, misalnya dalam menyiapkan ternak bakalan dan sarana produksi lainnya serta jaminan pemasaran yang layak oleh mitra usaha, sehingga pendapatan peternak dapat ditingkatkan. Masalah utama yang dihadapi peternak adalah modal untuk mengadakan bakalan pengganti ternak yang sudah dijual dan perbaikan efisiensi usaha. Untuk itu, pada tahun 2001/2002 pihak BPTP telah berusaha menjembatani antara petani yang membutuhkan modal dan pihak perbankan yang bersedia menanamkan modalnya dalam pengadaan sapi bakalan untuk penggemukan dengan sistem bagi hasil yang disetujui oleh kedua belah pihak. Setelah beberapa tahun kemudian, ternyata kelompok-kelompok tersebut berkembang menjadi cikal bakal penerima bantuan dan membentuk kerjasama kemitraan dengan koperasi.
Tabel 7. Keragaan ternak penggemukan selama 9 periode pemeliharaan SUP berbasis sapi potong dalam tahun 1998 – 2000 di Amarasi, Kabupaten Kupang Uraian
Periode I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Jumlah ternak (ekor)
169
158
171
178
104
246
92
85
74
Jumlah kelompok
11
10
9
7
6
6
6
6
6
Lama pengkajian (hari)
90
70
70
84
57
55
45
75
70
Bobot badan awal (kg)
204
204
192
183
194
186
209
182
195
Bobot badan akhir (kg)
241
242
227
226
218
197
227
225
219
Rataan pertumbuhan (kg/ekor/hari)
0,59
0,70
0,52
0,50
0,53
0,33
0,42
0,57
0,34
18
WIRDAHAYATI R.B.: Penerapan Teknologi dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur
KESIMPULAN Musim kemarau yang panjang mengakibatkan fluktuasi ketersediaan pakan yang berdampak negatif terhadap produkivitas dan populasi sapi potong di NTT. Upaya perbaikan pakan, pemanfaatan bahan pakan lokal serta limbah tanaman pangan dan perkebunan yang mudah diakses peternak, telah membuka peluang bagi usaha pengembangan ternak tanpa bergantung pada pola ekstensif tradisional yang hanya mengandalkan padang penggembalaan alam. Pengaturan musim kawin dan penyapihan anak secara dini yang diikuti dengan perbaikan manajemen pemberian pakan ternak telah mampu meningkatkan kelahiran anak, pertumbuhan anak sapi dan percepatan dewasa kelamin. Perbaikan usaha penggemukan melalui perbaikan pakan dan manajemen pemeliharaan dengan sistem kelompok. Kegiatan ini telah memperpendek waktu penggemukan menjadi 3 – 6 bulan per periode, dibandingkan dengan sistem lama yang berlangsung 1 – 2 tahun per periode. Hal ini juga mempermudah pemasaran serta menumbuhkan minat usaha yang kondusif bagi usaha kemitraan antara peternak dengan pemodal melalui sistem bagi hasil. Terjadi peningkatan pertumbuhan ternak dari 0,2 – 0,3 kg/ekor/hari menjadi 0,30 – 0,70 kg/ekor/hari. Usaha pemeliharaan induk dan anak (pembibitan) untuk menjamin ketersediaan sapi bakalan perlu disertai dengan usaha penggemukan agar menunjang upaya pengembangan sapi potong di NTT. Usaha ini selaras dengan program pemerintah untuk mencapai swasembada daging sapi. DAFTAR PUSTAKA ANGGRAENY, Y.N., U. UMIYASIH, D. PAMUNGKAS dan MARYONO. 2007. Strategi pemenuhan gizi untuk pembesaran sapi potong calon induk: Optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian menggunakan suplemen mineral – mix. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 27 – 32. BAMUALIM, A. 1995. Penelitian dan pengembangan pertanian di daerah lahan kering Nusa Tenggara. Makalah dipresentasikan dalam acara Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Mataram, 25 – 27 September 1995. BAMUALIM, A. and A. SALEH. 1992. Production and quality of forages as cattle feed in Nusa Tenggara. Proc. of an International Seminar held in Yogyakarta Indonesia. Yogyakarta, 15 – 18 September, 1992. pp. 165 – 167. BAMUALIM, A. dan M. RATNADA. 2005. Kearifan lokal pola penggembalaan ternak dalam sistem usahatani tanaman – ternak di Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman Ternak di Indonesia. Yogyakarta, 20 – 22 September 2005. hlm. 55 – 83.
BAMUALIM, A. dan WIRDAHAYATI R.B. 2002. Peternakan di Lahan Kering Nusa Tenggara. BPTP Nusa Tenggara Timur. 120 hlm. BAMUALIM, A. dan WIRDAHAYATI R.B. 2005. Potensi padang rumput alam di Nusa Tenggara untuk produksi sapi potong. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Kerjasama Fakultas Peternakan UGM dengan Puslitbang Peternakan. Lustrum VII Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. hlm. 49 – 56. BAMUALIM, A., J. KALI TAEK, J. NULIK dan WIRDAHAYATI R.B. 1993a. Pengaruh pemberian suplemen daun kedondong hutan (Lannea grandis), turi (Sesbania grandiflora) dan putak (Corypha gebanga) dan putak campur urea terhadap pertumbuhan ternak sapi Bali di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 1 – 5. BAMUALIM, A., J. KALI TAEK, J.B. TIRO, J. MANU and E. HARTATI. 1993b. Pengaruh pemberian level urea, daun kabesak (Acacia leucophloea) terhadap pertumbuhan anak sapi Bali yang mengkonsumsi jerami padi sebagai pakan basal. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 19 – 24. BANKS, D. 1986. Anaysis of livestock survey data, 1985. In: NTTLDP Completion Report II. Livestock. ACIL, Melbourne. pp. 63 – 91. BEAL, W.E., D.R. NOTTER and A.M. AKERS. 1990. Technique for estimation of milk yield in beef cows and relationships of milk to calf weight gain and postpartum reproduction. J. Anim. Sci. 68: 937 – 943. BPS. 2007. NTT dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. DAWUDA, P.M., E.O. OYEDIPE, N. PATHIRAJA and A.A. VOH JR. 1988. Serum progesterone concenration during the post-partum period of indigenous Nigerian Zebu cows. Br. Vet. J. 144: 253 – 257. DITJENNAK. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. GIMENEZ, T., D.M. HENRICKS, A.R. ELLICOTT, C.H. CHANG, J.D. RONE and L.W. GRIMES. 1980. Prolactin and lutenizing hormone (LH) release through out the postpartum period in suckled first calf beef cow. Theriogenology 14: 135 – 149. INOUNU, I. dan A.R. SETIOKO. 2005. Dukungan inovasi teknologi untuk pengembangan usaha peternakan di lahan kering. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Usaha peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Kerjasama Fakultas Peternakan UGM dengan Puslitbang Peternakan Deptan. Lustrum VII Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. hlm. 5 – 10. MUKASSA-MUGERWA, E., A. TEGEGNE and H. KETEMA. 1991. Pattern of post-partum oestrus onset and associated palsma progesterone profiles in Bos Indicus cows in Ethiopia. Anim. Reprod. Sci. 24: 73 – 84.
19
WARTAZOA Vol. 20 No. 1 Th. 2010
NGGOBE, M., A. BAMUALIM dan WIRDAHAYATI R.B. 1994. Pengaruh pengaturan pola perkawinan terhadap pertumbuhan dan tingkat kematian anak sapi Bali di Pulau Timor. Pros. Seminar Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Kupang, 17 – 18 Nopember 1994. Sub Balitnak Lili – Kupang. hlm. 112 – 117. NULIK, J. dan A. BAMUALIM. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. BPTP Naibonat bekerjasama dengan Eastern Island Veterinary Services Project. hlm. 5 – 9. NULIK, J., J. KALI TAEK dan A. BAMUALIM. 1988. Pengaruh pemberian suplemen putak (Corypha gebanga) dan putak campur urea tehadap pertumbuhan sapi Bali di musim hujan. Laporan Hasil Penelitian. Tahun 1987/1988. Sub Balai Penelitian Ternak Lili – Kupang. hlm. 19 – 21. PHILP, P. 1986. Report on the Livestock Section. In: NTTLDP Completion Report II. Livestock. ACIL, Melbourne. pp. 207 – 237. RUTLEDGE, J.J., O.W. ROBINSON. J.K. AHISCHWEDE and J.E. LEGATES. 1971. Milk yields and its influence on 205day weight of beef calves. J. Anim. Sci. 33: 563. TJAONG SOKA, E., P.J MOZES, J.M. BUNGA, H. ARIANTO dan J.H. SCHOTTLER. 1991. Perencanaan Pembangunan Peternakan di Nusa Tenggara Timur. Kerjasama Propinsi NTT dengan AIDAB. Kupang (working paper). TOTUSEK, R.D., D.W. ARNETT, G.L. HOLLAND and J.V. WHITEMAN. 1973. Relation of estimation method, sampling interval and milk composition to milk yield of beef cows and calf gains. J. Anim. Sci. 37: 153 – 158. WILLIAMS, J.H., D.C. ANDERSON and D.D. KRESS. 1977. Milk production in Hereford cattle. I. Effects of separation interval on weigh-suckle-weigh milk production estimates. Anim. Prod. Sci. 49: 1438 – 1442.
20
WIRDAHAYATI R.B. dan A. BAMUALIM. 1990. Penampilan produksi dan struktur ternak sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20 – 22 September 1990. hlm. C1. WIRDAHAYATI, R.B. dan J. KALI TAEK. 1993. Pemanfaatan jerami jagung dan kacang tanah sebagai pakan ternak sapi. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 23 – 25. WIRDAHAYATI, R.B., A. POHAN, C. LIEM and A. BAMUALIM. 1996. Cattle Species Comparison and Rearing of Early Weaned Calves. ACIAR Project Report, Townsville, Australia, July 1996. WIRDAHAYATI, R.B., B.M. CHRISTIE, A. MUTHALIB and K.F. DOWSETT. 1994. Productivity of beef cattle in Nusa Tenggara. In: CHAPS Book A. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS) Held at the Disease Investigation Centre, Denpasar, May 15 – 17, 1994. Eastern Islands Veterinary Service Project. Mataram, NTB. p. 170. WIRDAHAYATI, R.B. 1994. Reproductive Characteristics and productivity of Bali and Ongole Cattle in Nusa Tenggara, Indonesia. Ph.D Thesis. Dept. of Farm Animal Medicine and Production. the University of Queensland, Brisbane, Australia. 258 p. WIRDAHAYATI, R.B., H.H. MARAWALI, A. POHAN dan A. BAMUALIM. 1999. Pengkajian sistem usaha pertanian (SUP) berbasis sapi potong menunjang usahatani terpadu di Pulau Timor. Pros. Lokakarya Penerapan Teknologi Indigenous dan Teknologi Maju Menunjang Pembangunan Pertanian di Nusa Tenggara. Kupang, 1 – 2 Maret, 1999. Kerjasama Kantor wilayah Pertanian Propinsi Nusa Tenggara Timur dan BPTP Naibonat Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian dengan Department of Primary Industry and Fisheri, Darwin, Northern Territory, Australia. pp. 248 – 253.