PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN PANDEGLANG Development of system on Community Forest Management in Pandeglang Distrik Oleh/by : 1) Iis Alviya, Niken Sakuntaladewi, & Ismatul Hakim ABSTRACT Community forest development can be one of the avenues for reducing the pressure to forest resource. Pandeglang District is one of the central of Community forest development in Banten Province. Community Forest Development generates many benefits such as from ecological/environmental services, wood produces and other forestry activities. This paper discusses the system of Community Forest Management on the attempt to develop Community Forest in Pandeglang District. The research shows that there are several problems district the development of Community Forest in Pandeglang District, amoungst others are : (1) Lack of law and regulation on Community Forest Management, (2) Lack of capacity of the existing human resources, (3) the role of farmer organization on Community Forest is not yet effective. Therefore, to develop Community Forest in pandeglang District there must be: a) policy and regulation established to improve the existing system on Community Forest Management and also on trade of its produces. b) Improvement of capacity and skill of the farmers on the field of management, technology and institution of Community Forest, and C) development of effective Community Forest institution on government’s level and village community level. Key words: Community Forest, policy, organization and forest resource ABSTRAK Pembangunan hutan rakyat (HR) merupakan salah satu alternatif dalam pemecahan masalah tekanan terhadap sumberdaya hutan. Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu sentra pembangunan HR di Propinsi Banten. Manfaat dari kegiatan pembangunan HR selain secara ekologis dapat mendukung lingkungan, dapat pula menghasilkan pendapatan dari kayu dan tambahan pendapatan lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji sistem pengelolaan HR dalam upaya mengembangkan HR di Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan hasil kajian, beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam pengembangan HR di Pandeglang adalah: (1) terbatasnya peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan HR, (2) keterbatasan kemampuan
1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan
Pengembangan Sistem Pengelolaan Hutan (Iis Alviya, Niken S., Ismatul H.)
45
SDM, dan (3) peranan organisasi petani HR belum efektif. Untuk itu, beberapa upaya yang diperlukan dalam mengembangkan HR di Kabupaten Pandeglang yaitu: (a) merumuskan kebijakan/aturan untuk memperbaiki sistem pengelolaan dan tata niaga HR, (b) meningkatkan kemampuan dan keterampilan petani dalam bidang manajemen, teknologi, dan kelembagaan HR, dan (c) membangun kelembagaan HR yang efektif ditingkat pemerintahan maupun masyarakat desa. Kata kunci: Hutan rakyat, kebijakan, organisasi, dan sumber daya hutan
I.
PENDAHULUAN
Eksplotasi hutan di Indonesia sudah mencapai tingkat kerusakan yang cukup mengkhawatirkan. Menurut Syumanda (2004), laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat rata-rata sebesar 1,6 juta hektar per tahun. Angka kerusakan ini meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun pada periode 1997-2000 dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Salah satu alternatif pemecahan masalah tekanan terhadap sumber daya hutan adalah pembangunan HR. Di Propinsi Banten, yang merupakan salah satu sentra kayu rakyat ada di Kabupaten Pandeglang. Manfaat dari kegiatan pembangunan hutan rakyat, selain secara ekologis dapat mendukung kelestarian lingkungan (menahan erosi, mengurangi bahaya banjir, perbaikan tata air, dsb), dapat pula menghasilkan kayu rakyat yang saat ini berkembang menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan dirasakan oleh masyarakat sebagai tambahan pendapatan, bahkan HR merupakan penghasilan utama bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Pandeglang. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji sistem pengelolaan HR dalam upaya mengembangkan HR di Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten. II. KEADAAN UMUM KABUPATEN PANDEGLANG A. Kondisi Geografis 0
0
0
0
Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 105 15 - 106 11 BT 0 0 0 dan 6 21 - 7 10 LS. Kabupaten ini mempunyai luas wilayah lebih kurang 274.690 ha, dengan topografi sangat bervariasi dari datar, landai, bergelombang, berbukit, sampai daerah bergunung. Jenis tanah di wilayah ini dapat diklasifikasikan menjadi tanah latosol, aluvial, dan podsolik merah kuning, yang pada umumnya bersifat masam. Hal ini menjadikan lahan-lahan pertanian, khususnya di daerah selatan, merupakan lahanlahan marjinal. Kondisi iklim daerah Kabupaten Pandeglang menurut klasifikasi Ferguson termasuk ke dalam tipe C dan D, yang merupakan tipe iklim dengan curah hujan sepanjang tahun sebesar 2000 mm. Hal demikian memberi peluang pada tanaman untuk tumbuh dengan baik. 0
46
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 45 - 58
Keadaan iklim di wilayah Pandeglang sangat dipengaruhi oleh Angin Monson (Monson Trade) dan Gelombang La Nina atau El Nino. Musim penghujan terjadi pada bulan Nopember sampai dengan Maret, cuaca didominasi oleh angin barat (dari Samudra Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati laut Cina Selatan. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus. Cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah Pantai Utara terlebih bila berlangsung El Nino. B. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Penduduk di wilayah Kabupaten Pandeglang berjumlah 556.888 orang yang terdiri dari 233.191 KK. Dari jumlah tersebut 51,66% diantaranya adalah laki-laki dan 47,97% perempuan. Mereka pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan formal yang rendah. Sekitar 38,43% masyarakat mempunyai tingkat pendidikan SD; SLTP 21,41%; SLA 14,14%; dan perguruan tinggi hanya sebesar 0,02%. Pertanian merupakan sumber mata pencaharian bagi sebagian besar (69%) penduduk Kabupaten Pandeglang. Bagi masyarakat pedesaan, usaha tani merupakan tulang punggung kehidupan keluarga. C. Potensi Hutan Rakyat di Kabupaten Pandeglang Hutan rakyat seluas 14.389 ha di Kabupaten Pandeglang tersebar di 90 Desa yang terletak di 14 Kecamatan. Hutan rakyat tersebut pada umumnya merupakan hutan campuran tanaman kayu dengan tanaman palawija dan tanaman rempah. Pada sistem campuran, jenis tanaman yang biasanya digunakan sebagai tanaman pokok adalah sengon (Paracerianthes falcataria), pulai (.Alstonia sp), mahoni (Swietenia mahagony), dan jati (Tectona grandis). Tanaman palawija seperti kacang-kacangan dan jagung digunakan sebagai tanaman sisipan, sedangkan tanaman obat-obatan seperti kencur dan jahe digunakan sebagai tanaman bawah tegakan. Produksi kayu hasil hutan rakyat Kabupaten Pandeglang pada tahun 2003 adalah 11.764,53 M3 untuk kayu bulat dan 92.131,16 M3 untuk kayu olahan. Pada tahun 2004, produksi kayu bulat menurun menjadi 6.983,52 M3, sedangkan produksi kayu olahan meningkat mencapai 147.548,44 M3. Berdirinya industri-industri hasil kayu rakyat hampir setiap kecamatan di Kabupaten Pandeglang, merupakan faktor utama meningkatnya produksi kayu olahan pada tahun 2004. Produksi kayu tersebut sebagian besar (87%) untuk dijual, sedangkan sisanya (13%) digunakan untuk pemenuhan kebutuhan petani sendiri (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pandeglang, 2004). Data dari Dinas Kehutanan Propinsi Banten tahun 2004 menyebutkan bahwa propinsi ini masih kekurangan kayu sebanyak 817.085,93 m3/th. Hutan rakyat yang ada di propinsi Banten, termasuk kabupaten Pandeglang, hanya mampu menyediakan kayu sebanyak 492.673,55 m3. Untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut, maka pemerintah propinsi merasa perlu untuk melakukan pengembangan hutan rakyat. Setiap tahun pemerintah mentargetkan pengembangan hutan rakyat seluas 5,118.96 ha dengan prediksi populasi tanaman saat panen sebanyak 500 Pengembangan Sistem Pengelolaan Hutan (Iis Alviya, Niken S., Ismatul H.)
47
batang/ha. Pengembangan hutan rakyat ini dapat dilakukan di lahan seluas 13.263 ha yang telah dialokasikan untuk pengembangan hutan rakyat. Lahan tersebut awalnya merupakan lahan pertanian yang kurang produktif dan tergolong ke dalam lahan kritis. III. SISTEM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Pandeglang meliputi kegiatan persiapan lahan, pengadaan benih dan bibit tanaman, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Dalam proses pengelolaan lahan, perbandingan pembagian tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan pembagian tenaga kerja dalam sistem pengelolaan HR di Kabupaten Pandeglang No
Kegiatan
1 2 3 4 5 6
Persiapan lahan Pengadaan benih Penanaman Pemeliharaan Pemanenan Pemasaran
Pelaku Laki -Laki **** **** *** **** *** ****
(orang) Perempuan ** * *** ** *** *
Pembiayaan kegiatan persiapan lahan, pengadaan benih, penanaman, dan pemeliharaan berasal dari dua sumber, yaitu program bantuan dari pemerintah dan biaya pribadi/swadaya masyarakat. A. Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan seperti pembersihan lahan dan pengolahan tanah untuk tanaman pertanian pada umumnya dilakukan pada musim hujan yaitu sekitar bulan Oktober. Untuk tanaman pokok/tanaman berkayu tidak ada persiapan lahan secara khusus. Biasanya petani cukup membuat lubang untuk menanam kira-kira 30 x 30 cm. Sebagian besar petani mengolah tanahnya sendiri, namun ada juga yang menggunakan tenaga upahan jika lahan yang dimilikinya di atas 0,25 ha. Besarnya upah tenaga kerja untuk persiapan lahan tergantung dari luas atau tidaknya lahan tersebut. Umumnya petani membayar upah tenaga kerja antara Rp 600.000 - 700.000 /ha jika dilakukan dengan sistem borongan, sedangkan jika dengan sistem harian adalah sebesar Rp 20.000/hari orang kerja. Untuk tanah seluas satu ha biasanya dikerjakan dalam jangka waktu dua minggu dengan tiga orang tenaga kerja. B. Pengadaan Bibit dan Penanaman Umumnya petani memperoleh benih tanaman palawija dari simpanan panen sebelumnya. Sebagai contoh, untuk memperoleh benih jagung maka petani membiarkan bongkol jagung tetap di pohonnya hingga bulir-bulir jagung menjadi 48
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 45 - 58
tua dan daun jagung mulai menguning. Setelah tua bongkol jagung dipanen lalu dijemur dalam keadaan terbuka (tanpa kulit) hingga benar-benar kering. Untuk tanaman berkayu, petani memperoleh bibit dengan cara membeli pada penangkar bibit, pembibitan swadaya masyarakat, program bantuan dari pemerintah, atau dengan memanfaatkan bibit yang diperoleh dari biji jatuh atau anakan yang tumbuh di bawah tegakan secara alami. Tidak ada seleksi khusus terhadap benih yang didapat, karena benih yang diperoleh biasanya sangat terbatas jumlahnya. Hal itu menyebabkan benih yang terkumpul tidak semuanya memiliki kualitas baik. Palawija ditanam kurang lebih satu minggu setelah pengolahan tanah. Pemupukan dengan pupuk kandang dilakukan setelah selesai pengolahan tanah agar tekstur tanah menjadi lebih gembur. Pemupukan dengan NPK dilakukan pada saat penanaman dan beberapa bulan setelah tanam tergantung dari jenis tanamannya. Hal itu dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan subur. Berbeda dengan palawija, pada tanaman berkayu tidak dilakukan pemupukan dengan pupuk kimia, hanya diberi pupuk kandang setelah membuat lubang tanam. Pada tahap awal, penanaman tanaman berkayu dilakukan sebelum menanam palawija. Selanjutnya sebelum tanaman berkayu dipanen rotasi penanaman hanya dilakukan pada tanaman palawija. Pada tanaman berkayu umumnya petani tidak memperhatikan jarak tanam sehingga hutan rakyat tersebut menjadi rapat. Proses penanaman baik pada tanaman palawija maupun pada tanaman berkayu ada yang sepenuhnya dilakukan oleh kepala keluarga namun ada juga yang dibantu oleh istri dan anggota keluarganya. Besarnya biaya penanaman ± Rp 300.000/ha. C. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman palawija berbeda dengan pemeliharaan tanaman kayu. Pada tanaman palawija proses pemeliharaan meliputi pemupukan, penyulaman, penyiraman, penjarangan, pengajiran pada tanaman tertentu, dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Hama yang biasa menyerang tanaman palawija adalah jenis serangga seperti ulat grayak (Spodoptera fabricius), sedangkan penyakit yang biasa menyerang adalah hawar daun dan virus mosaik. Penanggulangan hama dan penyakit tanaman biasanya dilakukan melalui rotasi tanaman agar siklus hidup jenis hama dan penyakit tersebut terputus. Jika serangan hama dan penyakit dianggap sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan biasanya petani melakukan pemberantasan secara kimiawi yaitu dengan cara menyemprotkan pestisida seperti isoxathion dan methomyl. Pada tanaman kayu proses pemeliharaannya hanya meliputi penyulaman, pendangiran dan perlindungan lahan dan tanaman. Penyulaman terhadap tanaman yang mati dilakukan pada awal masa tanam yaitu 3 - 5 hari setelah tanam. Pendangiran hanya dilakukan setahun sekali sampai tanaman berumur 3 tahun, namun tidak sedikit petani yang melakukan pendangiran satu kali seumur tanaman. Kegiatan perlindungan lahan dan tanaman meliputi kegiatan perlindungan dari kebakaran hutan dan penggembalaan liar. Untuk menghindari kebakaran hutan, petani tidak membakar limbah tanaman di lahan. Sisa-sisa tanaman hasil panen di kumpulkan untuk dijadikan kompos. Untuk menghindari penggembalaan liar, lahan petani umumnya diberi pagar hidup atau pagar yang terbuat dari potongan kayu/bambu. Kegiatan pemeliharaan tersebut memerlukan biaya ± Rp100.000 - 150.000/ha.
Pengembangan Sistem Pengelolaan Hutan (Iis Alviya, Niken S., Ismatul H.)
49
D. Pemanenan Pemanenan palawija dapat dilakukan dalam hitungan bulan, seperti kacang-kacangan dan jagung sudah dapat dipanen 3-4 bulan atau singkong 6-8 bulan setelah tanam. Proses pemanenan ada yang dilakukan oleh pembeli jika tanaman tersebut dijual dengan cara borongan. Selain itu, ada juga petani yang menjualnya setelah tanaman dipanen sendiri. Hasil dari palawija inilah yang menjadi sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kayu dari hutan rakyat merupakan simpanan atau tabungan yang akan dipanen pada saat memerlukan biaya besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga sepeti hajatan, pengobatan, anak sekolah dan sebagainya. Pada umumnya masyarakat menjual kayu hutan rakyat pada diameter ±20 cm pada umur 3 - 4 tahun untuk jenis pulai dan albasia, dan umur 10 tahun untuk jati dan mahoni. Penebangan kayu biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan menggunakan mesin (chainsaw) setelah melalui proses negosiasi. Penentuan harga ini dilakukan ketika pohon masih berupa tegakan. Harga jual kayu bulat hutan rakyat di Desa Mendung Kecamatan Cibaliung dapat dilihat dalam Tabel berikut. Tabel 2. Harga Jual Tegakan Kayu Rakyat Jenis Kayu
Diameter Batang (cm)
Harga Jual (Rp)
Jati
15 – 20
40.000 – 60.000
Mahoni
15 – 20
20.000 – 30.000
Sengon
15 – 20
10.000 – 15.000
Sumber : Hasil wawancara dengan masyarakat Desa Mendung ( 2005)
Berdasarkan Tabel 1, harga tegakan kayu bulat di desa tersebut sangat rendah. Hal tersebut selain karena lokasi yang jauh dan sulit dijangkau alat transportasi, juga karena ada sebagian masyarakat yang sudah menjual tegakan tersebut ketika umur tanaman masih muda. E. Pemasaran Saat ini di Kabupaten Pandeglang telah berdiri 352 unit industri kayu rakyat yang memproduksi meubel, bahan bangunan, dan perabot rumah tangga. Daftar kebutuhan bahan baku industri kayu rakyat dapat di lihat pada Tabel 3.
50
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 45 - 58
Tabel 3 Kebutuhan Industri Pengolahan Kayu Rakyat di Kabupaten Pandeglang 3 (M /bulan) No.
Kecamatan
1 Angsana 2 Banjar 3 Bojong 4 Cadasari 5 Cibaliung 6 Cigeulis 7 Cikeusik 8 Cimanggu 9 Cimanuk 10 Kaduhejo 11 Labuan 12 Mandalawangi 13 Menes 14 Munjul 15 Pagelaran 16 Panimba ng 17 Saketi 18 Sumur Jumlah
Industri Meubeler Meubeler Material, Meubeler Meubeler Material, Meubeler Material, Meubeler Meubeler Meubeler Meubeler Meubeler Meubeler Material, Meubeler Material, Meubeler Material, Meubeler Meubeler Material, Meubeler Material, Meubeler Material, Meubeler
Jenis Bahan Baku
Kebutuhan (m3/bulan)
Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balo k Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok Kayu Gelondongan, Balok
0.56 0.64 17.82 7.88 115.89 31.19 3.32 7.73 7.15 0.95 1.53 7.24 9.66 30.39 0.5 21.61 9.46 15.07 288.59
Jenis Bahan bangunan dan furnitur
Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Banten Tahun 2004
Berdasarkan tabel tersebut, industri kayu rakyat di Pandeglang membutuhkan bahan baku berupa kayu gelondongan dan balok dengan volume 288,59 m3 per bulan. Para petani tidak perlu bersusah payah memasarkan kayu mereka, karena pembeli yang biasanya merupakan pedagang pengumpul akan mendatangi penjual untuk melakukan transaksi setelah sebelumnya melihat kondisi pohon yang akan dijual. Harga jual tegakan kayu rakyat tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi harga jual kayu adalah jauh tidaknya lokasi lahan dari jalan, sulit atau tidaknya sarana transportasi menuju lokasi HR, serta diameter dan kualitas kayu. Proses administrasi seperti kelengkapan dokumen Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) dilakukan oleh pembeli. Hal ini juga merupakan salah satu penyebab rendahnya nilai kayu di tingkat masyarakat. Semakin sulit lokasi untuk dijangkau maka akan semakin murah harga kayu bulat tersebut. Adapun rantai pemasaran kayu rakyat masyarakat di Kabupaten Pandeglang pada umumnya disajikan dalam Gambar 1. Petani kayu rakyat/kayu rakyat
Pedagang Pengumpul
Penggergajian Industri Meubel Lokal
Pertukangan
Gambar 1. Rantai Pemasaran Kayu Rakyat Kabupaten Pandeglang Pengembangan Sistem Pengelolaan Hutan (Iis Alviya, Niken S., Ismatul H.)
51
Selain rantai pemasaran kayu rakyat di atas, kayu rakyat yang dibeli oleh pedagang pengumpul juga ada yang dijual kepada pemborong kayu untuk dipasarkan di luar Jawa. Jenis kayu rakyat yang banyak diminati oleh petani hutan rakyat di Pandeglang adalah jati, sengon, mahoni, pulai kecapi, dan duren. Alasan utama mereka untuk menanam jenis tanaman ini adalah karena mudah untuk dijual. terutama untuk sengon, kecapi dan pulai sudah dapat ditebang setelah berumur 3,5 tahun, jati dan mahoni ditebang setelah berumur diatas 10 tahun, sedangkan untuk duren masyarakat lebih senang menjual buahnya. IV. PERMASALAHAN DAN UPAYA PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT Sejalan dengan era otonomi daerah pengaturan dalam operasionalisasi hutan rakyat di tingkat daerah merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah. Menurut UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan. Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah daerah, karena dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut juga dinyatakan bahwa peran utama pemerintah daerah adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Dalam penjelasan undang-undang tersebut, yang dimaksud sumberdaya nasional adalah sumberdaya alam, sumber daya buatan, dan sumberdaya manusia. Jika sumber daya alam yang dikelola daerah ini berupa hutan yang di dalamnya termasuk hutan rakyat, berarti daerah memiliki kewenangan untuk memanfaatkan hutan sebagai pengertian yang utuh. Istilah pengelolaan hutan menurut UU 41/1999 meliputi: (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, (2) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan (4) perlindungan hutan dan konservasi alam menjadi tanggung jawab pemerintah (Iskandar, 2001). Kenyataann di Kabupaten Pandeglang walaupun pembangunan hutan rakyat telah dimulai pada tahun 70-an, namun pengembangannya masih terdapat banyak kekurangan. Beberapa permasalahan dalam pengembangan sistem pengelolaan hutan rakyat di Pandeglang adalah sebagai brikut. A. Terbatasnya peraturan perundang-undangan Hutan rakyat memiliki peranan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Peran sosial, masyarakat memiliki hutan rakyat berarti mereka memiliki tabungan untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang seperti pendidikan, khitanan, perkawinan, kayu bakar, dan pembangunan rumah. Peran ekonomi, hutan rakyat menyumbang produksi kayu, luas total hutan secara fisik akan semakin luas, dan permintaan (demand) kayu yang tinggi telah membuka peluang bisnis sehingga kayu rakyat memilki prospek yang baik. Peran lingkungan, struktur tajuk yang beragam, biodiversitas tinggi, telah memposisikan hutan rakyat sebagai hutan yang stabil ekosistemnya dan relatif tidak terserang hama dan penyakit secara masif. Keberadaan 52
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 45 - 58
hutan rakyat juga mampu mengurangi laju erosi dan mampu melindungi aneka tanaman pertanian di sekitarnya. Dengan besarnya peran hutan rakyat, diperlukan aturan/kebijakan dalam pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat. Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut Hutan Rakyat masih terbatas baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, Peraturan Perundangundangan yang menyangkut hutan rakyat adalah (a) UU No. 41 tahun 1999 yang menjelaskan bahwa hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat; (b) PP No. 62 tahun 1998 yang menyatakan bahwa hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang lazim disebut hutan rakyat; (c) Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1992 yang membatasi hutan rakyat sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman. Hingga saat ini, belum ada kebijakan pemerintah pusat maupun daerah tentang pengelolaan hutan rakyat. Hal ini sangat penting agar HR di daerah tersebut dapat berfungsi dengan baik Oleh karena itu pemerintah pusat perlu mengatur kepengurusan dan pengusahaan HR, meskipun pelaksanaan pengaturan dan pengusahaan itu dilakukan sendiri oleh pemiliknya. Dengan demikian walaupun status HR adalah milik pribadi, namun tetap harus berprinsip bahwa pengurusan hutan rakyat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Bentuk kebijakan yang diharapkan dapat berupa produk hukum, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan teknis di tingkat daerah, ataupun bimbingan dari pusat. Bentuk kebijakan yang dihasilkan hendaknya jangan sampai membebani masyarakat, tapi justru sebagai acuan agar petani HR terpacu untuk tetap mengelola HR yang mereka miliki secara lestari. Akan lebih bagus lagi jika ada insentif bagi mereka yang telah melakukan pengelolaan HR secara lestari. Di tingkat daerah, khususnya Kabupaten Pandeglang, sejauh ini kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten yang berkaitan dengan hutan rakyat hanya peraturan daerah (PERDA) No. 17 Tahun 1996 tentang Besarnya Tarif Retribusi atas Ijin Penebangan Pohon Kayu/Bambu (pasal 9), Pengolahan Kayu/Bambu (pasal 10), dan Pemilikan/Penggunaan Gergaji Mesin/Rantai (pasal 11) sebagi berikut. Tabel 4. Besarnya tarif retribusi penebangan kayu/bambu (Rp/pohon) Jenis Kayu · · · · · ·
Kelompok jenis kayu indah Kelompok jenis kayu meranti, jenis kayu rimba campuran, dan bahan baku serpih Kelompok kayu tanaman perkebunan Kayu jati: - diameter 30 cm keatas - diameter 29 cm ke bawah Pohon bambu: - diameter pangkal 8 cm ke atas - diameter pangkal 8 cm ke bawah Kayu diameter kecil
Pengembangan Sistem Pengelolaan Hutan (Iis Alviya, Niken S., Ismatul H.)
Besarnya retribusi (Rp/pohon) 1.500 1.000 500 3.000 2.000 150 100 500
53
Sedangkan besarnya biaya retribusi hasil olahan kayu/bambu (pasal 10) adalah sebagai berikut Tabel 5. Besarnya biaya retribusi hasil olahan kayu/bambu Besarnya retribusi (Rp/m3) 7.500
Jenis Kayu Olahan · · · · · ·
Kelompok jenis kayu indah Kelompok jenis kayu meranti, jenis kayu rimba campuran, d an bahan baku serpih Kelompok kayu tanaman perkebunan Kayu jati Pohon bambu Kayu bakar
4.000 3.000 10.000 1.000 1.500
Adapun besarnya biaya retribusi pemilikan/penggunaan gergaji mesin/rantai (pasal 11) adalah Rp 10.000 /buah/tahun. Dengan adanya PERDA tersebut, maka masyarakat sudah berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan daerah. Besarnya Pendapatan asli Daerah (PAD) yang diperoleh dari hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Pandeglang Yang Berasal dari Retribusi Kayu Olahan dan Retribusi Hasil Alam Hutan Rakyat No. 1 2
3
Jenis Retribusi Hasil Alam Retribusi Kayu Olahan, Ijin Tebang dan Kepemilikan Gergaji Kayu Total
2003 (RP) 79.349.000 163.106.400
Tahun 2004 (Rp) 120.141.000 221.578.000
2005 (Rp) 158.279.500 262.898.400
242.455.400
341.719.000
421.177.900
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pandeglang
Disarankan PEMDA tidak hanya membuat kebijakan yang hanya menyangkut PAD, tetapi diperlukan pula kebijakan/aturan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan rakyat, seperti pedoman teknik budidaya hutan rakyat, sistem penebangan/pemanenan, dan pengolahan pasca panen. Selain mengenai pengelolaan hutan rakyat, kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan hutan rakyat adalah kebijakan tentang tata niaga hasil hutan rakyat. Penjualan kayu hutan rakyat cenderung dimonopoli oleh pedagang besar maupun kecil yang sengaja datang ke desa-desa untuk mencari sumber kayu. Umumnya harga yang diterima petani sangat rendah. Hal ini terjadi karena keterbatasan masyarakat, lemahnya kelembagaan, modal, dan teknologi dalam penguasaan informasi. Hal itu menyebabkan mereka selalu mendapat posisi tawar yang rendah. Karena keterbatasan-keterbatasan tersebut maka para petani cenderung melakukan penjualan tegakannya secara borongan. 54
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 45 - 58
Menurut Awang dalam Nurfatriani dan Elvida YS (2002), untuk mengatasi masalah tata niaga PEMDA perlu melakukan berbagai upaya di antaranya: (1) memfasilitasi terbentuknya kelompok usaha bersama guna mendukung ketahanan ekonomi rakyat, (2) memberikan pelayanan informasi kepada kelompok usaha secara rutin, dan (3) membantu permodalan dalam kelompok usaha bersama untuk kepentingan bisnis kayu atau non kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat. Selain ketiga faktor tersebut yang diperlukan dalam tata niaga adalah informasi harga, sehingga margin profit terdistribusi secara adil. Sejauh ini PEMDA Kabupaten Pandeglang sudah berupaya untuk mengusahakan terbentuknya kelompok usaha bersama. Saat ini di Kabupaten Pandeglang selain industri kayu rakyat, juga telah berdiri industri pengolahan hasil perkebunan seperti melinjo, kopi, dan kelapa. PEMDA juga pernah mengupayakan pembentukan koperasi di tingkat masyarakat, namun tidak sedikit koperasi yang sudah terbentuk kemudian berhenti di tengah jalan akibat pengelolaan yang kurang bagus dan terbatasnya modal. B. Keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia Sumberdaya manusia (SDM) yang profesional, implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, serta tersedianya modal merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan hutan rakyat. Selama ini keterbatasan modal dan ketrampilan membuat petani hutan rakyat di Kabupaten Pandeglang mengelola lahan hanya sebatas kemampuannya. Modal sangat penting artinya bagi petani dalam mengembangkan hutan rakyat. Akibat dana yang terbatas seringkali mengakibatkan petani kurang mendapatkan bibit tanaman, pupuk, dan biaya pemeliharaan. Jenis ketrampilan yang dibutuhkan masyarakat yaitu berupa teknik budidaya, pemanfaatan teknologi, pemanenan, dan pasca panen. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah perlu memperhatikan upaya peningkatan kemampuan masyarakat baik dari segi bantuan modal maupun ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan Pasal 70 UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Peningkatan kemampuan SDM harus menjadi program rutin PEMDA dalam pengembangan hutan rakyat. Hal ini sangat berarti untuk membangun ketrampilan dan membangkitkan semangat masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan hutan rakyat. Bersamaan dengan hal tersebut PEMDA pun mempunyai kewajiban untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian fungsi hutan baik dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial. Saat ini masih terlihat adanya kegiatan penebangan hutan yang belum memperhatikan kaidah konservasi. Banyak lahan-lahan yang dibiarkan kosong setelah dilakukan penebangan. Langkah yang harus ditempuh dalam menangani permasalahan tersebut adalah (a) menyamakan persepsi tentang pengelolaan hutan rakyat bagi para pejabat daerah terkait, (b) mengikutsertakan para pejabat terkait dalam rangka menggalakkan partisipasi masyarakat, (c) membangkitkan dan meggerakkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dengan membentuk kelompok tani yang dinamis, dan (d) menggerakkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat baik melalui tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok tani, organisasi pemuda, dan pelaku kegiatan hutan rakyat lainnya. Pengembangan Sistem Pengelolaan Hutan (Iis Alviya, Niken S., Ismatul H.)
55
C. Organisasi hutan rakyat belum efektif Organisasi merupakan salah satu komponen dari kelembagaan. Masalah kelembagaan hutan rakyat berkaitan dengan campur tangan pemerintah dalam mengatur proses berkembangnya hutan rakyat di Indonesia. Hal tersebut bisa berarti peranan pemerintah baik pusat maupun daerah sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pengembangan hutan rakyat. Di Kabupaten Pandeglang masalah organisasi yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat belum berjalan dengan efektif baik di tingkat pemerintahan maupun di tingkat masyarakat. Hingga saat ini institusi belum optimal dalam menangani hutan rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari belum tertanganinya secara menyeluruh berbagai kegiatan dalam pengembangan hutan rakyat mulai dari tahap pra produksi (penyiapan lahan, penyediaan bibit, sarana produksi, sistem penanaman, dll) sampai pasca produksi. Di desa-desa di Kabupaten Pandeglang organisasi di tingkat masyarakat disebut Kelompok Tani Hutan (KTH). Terdapat tiga KTH di Desa Mahendra Kecamatan Cibaliung yang masing-masing beranggotakan 35, 52, dan 72 orang. Susunan organisasi KTH tersebut sangat sederhana. Ketua
Bendahara
Sekretaris
Anggota
Gambar 2. Struktur Organisasi KTH Dalam susunan organisasi tersebut tidak ada seksi-seksi yang menangani suatu bidang tertentu. Hal tersebut menggambarkan bahwa tidak ada program kerja yang jelas dalam pengembangan hutan rakyat. Hal ini cukup beralasan karena KTH hanya beraktifitas bila ada dana dari pemerintah. Salah satu manfaat dibentuknya KTH adalah untuk memudahkan pemerintah dalam melakukan pembinaan pengembangan hutan rakyat. Menurut Darusman (2000) dalam Diniyati (2004), pola pengelolaan hutan rakyat melalui pendekatan kelompok memiliki beberapa keunggulan antara lain (1) setiap individu petani besar maupun kecil memungkinkan dapat menerapkan teknologi yang sama dengan teknologi yang direkomendasikan; (2) pola pembinaan melalui pendekatan kelompok dapat lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pola pembinaan individual; (3) pendekatan kelompok lebih memungkinkan menggunakan alat-alat dan mesin pertanian yang besar sehingga memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dan dapat menekan biaya produksi; (4) pengelolaan melalui pendekatan kelompok mendorong investasi pemerintah membangun fasilitas umum 56
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 45 - 58
yang diperlukan untuk pembangunan suatu kawasan hutan rakyat; (5) memberikan sedikit keleluasaan waktu kepada petani untuk mencari sumber pendapatan lain di luar kegiatan hutan rakyatnya, dan (6) dengan berkelompok, prinsip skala usaha ekonomis dapat dicapai. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya kegiatan peningkatan kelembagaan baik pada tingkat PEMDA maupun kelompok tani melalui (a) menyelenggarakan pendidikan dan latihan teknis dan manajemen, (b) pembinaan kelembagaan yang dilaksanakan melalui pengorganisasian kelompok tani setempat yang diarahkan menjadi kelompok usaha, sehingga diharapkan melalui kelompok usaha tersebut masyarakat/petani hutan rakyat mempunyai posisi tawar yang menguntungkan dalam menentukan harga jual kayu. Kelembagaan yang mantap dapat terlihat dari kinerja organisasinya. Kinerja organisasi dapat dinilai dari 3 aspek yaitu efektivitas, efisiensi, dan karakteristik atau proses (Dawson 1996 dalam Wahyudi 2000). Efektivitas organisasi merupakan kemampuan organisasi untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan; efisiensi merupakan kemampuan organisasi untuk menghasilkan output dengan input yang digunakan; dan karakteristik sistem atau proses merupakan kemampuan organisasi untuk mengelola lingkungan seperti mengelola sumber daya, medeteksi dan menciptakan kesempatan, mendeteksi dan menghindari ancaman, dan kemampuan untuk mengelola aktivitas dalam organisasi seperti sumberdaya keuangan, manusia, dan modal. V. PENUTUP Berdasarkan potensi yang ada, hutan rakyat Pandeglang mempunyai prospek untuk berkembang. Potensi yang dimaksud adalah perhatian PEMDA untuk memperluas hutan rakyat, tersedianya lahan untuk pengembangan hutan rakyat, tersedianya SDM, dan manfaat hutan rakyat yang telah dirasakan baik oleh masyarakat pemilik hutan rakyat dan pemerintah. Tiga hal yang perlu dibenahi dalam upaya pengembangan hutan rakyat Pandegang adalah (1) adanya kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang terkait dengan pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat, (2) peningkatan kemampuan SDM, dan (3) membangun organisasi hutan rakyat yang efektif. Permasalahan hutan rakyat seperti pada contoh kasus di atas, juga dapat terjadi di kabupaten lain di Indonesia. Oleh karena itu, sejalan dengan era otonomi daerah maka peran pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya nasional (SDA dan SDM) harus lebih optimal guna mencapai keberhasilan yang maksimal.
Pengembangan Sistem Pengelolaan Hutan (Iis Alviya, Niken S., Ismatul H.)
57
DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 1996. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pandeglang No. 17 Tahun 1996. Anonimus. 2004. Penyusunan Potensi Hutan Rakyat. Dinas Kehutanan & Perkebunan Propinsi Banten. Serang. Anonimus. 2004. Penyuluhan Kehutanan & Perkebunan Kabupaten Pandeglang Tahun 2004. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pandeglang. Pandeglang. Awang, SA, 2005. Petani, Ekonomi, dan Konservasi. Debut Press.Yogyakarta Basri, H. Jumin, 2002. Agronomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Diniyati, Dian. 2004. Kajian Kelembagaan Hutan rakyat : Prosiding Ekspose Terpadu. Pusat Peneitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Iskandar, U. 2001. Kehutanan Menapak Otonomi Daerah. Debut Press. Yogyakarta. Nurfatriani, F. Dan Elvida Y.S. 2002. Pembangunan Hutan Rakyat di Era Otonomi Daerah. Buletin Kehutanan. Vol.3 No. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Syumanda, R. 2004 . Hutan Indonesia Menjelang Kepunahan . Website: http://www.walhi.or.id. Diakses tanggal 3 Pebruari 2006. Wahyudi, A. Dan S. Wulandari. 2000. Revitalisasi Organisasi dan Manajemen Pabrik Gula: Suatu Studi Kasus Benchmarking pabrik gula dengan lahan HGU. Buletin Kehutanan dan Perkebunan Vol. I No. I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
58
Vol. 7 No. 1 Maret Th. 2007, 45 - 58