Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi dengan Muatan Sosial Budaya a Prasenohadi*, Rini Sekartini**, Hervita Diatri***, Enie Novieastari**** *
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
** Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. *** Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. **** Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Abstrak Latar belakang : Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun anak balita. ISPA merupakan pandemi yang kurang mendapat perhatian dan merupakan masalah yang perlu ditangani secara lintas sektor. Dewasa ini Indonesia mempunyai kesenjangan sosial ekonomi yang cukup besar, karena itu pelayanan kesehatan yang mampu berkontribusi dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi adalah pelayanan yang memperhatikan aspek sosial budaya.Tujuan umum penelitian adalah tersusunnya model pelayanan penanganan ISPA pada bayi berupa asuhan terpadu yang memperhatikan aspek sosial budaya Indonesia. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dengan menggunakan rancangan penelitian mixed method, yaitu penelitian campuran kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Jakarta, Bandung, Surakarta dan Padang. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap ibu-ibu yang membawa anaknya berobat ke pusat pelayanan kesehatan. Hasil : Sebagian besar subjek adalah ibu rumah tangga (hanya sebagian kecil ibu yang bekerja) yang membawa anaknya berobat ke pusat pelayanan kesehatan. Usia subjek sebagian besar antara 20 – 30 tahun. Tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah menegah tingkat atas (SMTA). Subjek membawa anaknya yang menderita ISPA ke pusat pelayanan kesehatan terdekat. Kesimpulan : Sebagian besar subjek sudah mengetahui gejala dan tanda ISPA. (J Respir Indo. 2013; 33:173-8) Kata kunci : Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), kesehatan ibu dan anak.
Development of Treatment Plan for Infants with Acute Respiratory Infection in Integrated Health Care for Maternal and Infant in a Sociocultural Context Abstract Background : Acute respiratory tract infections (ARI) are a leading cause of death both in infants and children under five years of age. ARI has a characteristic of a pandemic, nevertheless has received less attention and it needs to be addressed among all sectors. Indonesia has a wide socioeconomic gap, hence, the health sector must contribute to efforts to reduce maternal and infant mortality taking into account the sociocultural aspects of the country. The general objective of the research is to formulate a model for handling infants with ARI in the form of integrated care that takes into account sociocultural aspects of Indonesia. Methods : This study is preliminary study, uses a mixed method research design, which is a mixture of quantitative and qualitative research. The research was conducted in Jakarta, Bandung, Surakarta and Padang. The study was conducted through interviews with mothers who took their children to the health centers for treatment. Results : Most of the subjects were housewives (only a small number were working mothers) who brought their children to the health center for treatment. Subjects were aged mostly between 20-30 years. Most of the mothers' education level was high school. Subjects brought their children with ARIs to health care facilities. Conclusion : Most of the subjects know about signs and symptoms of respiratory tract infections. (J Respir Indo. 2013; 33:173-8) Keywords : Acute respiratory tract infections (ARI), maternal and infant health care.
PENDAHULUAN Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah
diketahui bahwa pneumonia menjadi penyebab 22,3%
penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun
dari seluruh kematian bayi. Studi mortalitas pada riset
anak balita. Pada tahun 2005 di 10 provinsi di Indonesia
kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan
173
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
bahwa proporsi kematian bayi pascaneonatal karena
manusia yang utuh, namun hanya sebagai kumpulan
1
organ-organ tubuh. Pada tahun 1960-an di Amerika
pneumonia sebesar 23,8%.
Infeksi saluran pernapasan dibagi menjadi 2
Serikat mulai dihidupkan kembali gagasan Francis
bagian besar, yaitu pneumonia dan bukan penumonia.
Peabody, yang pada tahun 1923 menekankan perlunya
Penyakit-penyakit yang berada dalam kelompok bukan
dokter membantu manusia menjadi sehat dan
pneumonia adalah rinitis, faringitis, tonsilitis dan
memelihara kesehatannya dengan melihat faktor-faktor
penyakit jalan napas bagian atas lainnya. Ditengarai
yang menyeluruh dari manusia tersebut.3
dalam survei tersebut bahwa ISPA merupakan pandemi
Pada tahun 1977, Engel mengajukan bahwa
yang kurang mendapat perhatian dan perlu ditangani
selain perubahan biokimia dan morfologi pada pasien
secara lintas sektor. Gejala pneumonia mungkin sulit
yang sakit, terbukti ada hubungan antara penyakit
dikenali oleh orang awam maupun tenaga kesehatan
dengan pola emosi, tujuan hidup, perilaku kesehatan
tidak terlatih. Mengingat bahwa pneumonia merupakan
dan lingkungan sosial pasien. Pada tahun 1983, Zegan
penyakit yang telah ada sejak dahulu, maka telah timbul
membuktikan hubungan antara fungsi fisiologis tubuh
kebiasaan dan kepercayaan yang berkembang di
dengan kejadian yang membuat stres. Pada tahun
masyarakat yang bayinya pernah menderita pneu-
1997, Wise menguatkan temuan Engel dengan
monia.1
membuktikan bahwa dokter di klinik yang mengevaluasi
Bangsa Indonesia adalah bangsa multikultural
pasien dari segi biologis, psikologis dan faktor-faktor
dengan lebih dari 300 etnis yang memiliki lebih dari 700
sosial, akan lebih dapat menangani masalah klinis
bahasa. Di samping itu, kesenjangan sosial ekonomi
pasien dengan baik.3
saat ini masih lebar. Karena itu, pelayanan kesehatan
Sejak saat itu pelayanan kesehatan dengan
yang diharapkan adalah pelayanan yang memperha-
pendekatan biopsikososial dikembangkan, walaupun
tikan aspek budaya setempat. Petugas kesehatan perlu
menemui banyak ketidaksetujuan dari para praktisi
mempunyai kompetensi budaya, yaitu seperangkat
kedokteran. Hal tersebut tidak dapat dicegah. Namun
nilai, perilaku dan praktik dalam suatu sistem,
praktisi kedokteran dihadapkan dengan masalah lain.
organisasi, program atau di antara perorangan yang
Pada abad ke-20 dan 21, kemajuan transportasi
memungkinkan untuk bekerja secara efektif dalam
menjadi sangat berkembang yang menghasilkan
perbedaan ras, etnis, gender, orientasi seksual, agama
masyarakat yang multikultural. Maka pada pertengahan
dan asal negara/daerah.2 Selain itu, perbedaan dapat
tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang
merupakan perbedaan pada proses berkomunikasi dan
menuntut dokter praktik untuk lebih sensitif terhadap
berbahasa, konsep dan persepsi kesehatan,
keadaan multikultural pasiennya. Kemampuan ini
kepercayaan, latar belakang pendidikan dan pekerjaan
disebut cultural competence (kompetensi budaya).4
serta status sosial ekonomi.3 Walaupun hingga saat ini
Pada pelayanan individual, kompetensi budaya
belum ada hasil penelitian yang membuktikan bahwa
atau komunikasi lintas budaya yang efektif, bertujuan
petugas kesehatan yang berkompetensi budaya akan
memahami perspektif pasien mengenai penyakit yang
membuahkan hasil pelayanan yang lebih baik, diduga
dialaminya, membantu pasien dalam memahami
ada faktor sosial budaya yang belum ditangani dengan
penyakit dan penatalaksanaan dari perspektif biomedis
baik pada pelayanan kesehatan.
2
serta membantu pasien dan keluarganya dalam
Pendekatan dokter kepada pasien makin hari
mengarahkan, membahas, merasa nyaman dalam
makin dituntut untuk menuju ke pendekatan kemanu-
dunia kedokteran yang kompleks dan tidak bersahabat
siaan. Dalam empat abad terakhir ilmu kedokteran maju
agar dapat melaksanakan penatalaksanaan yang
dan berkembang dengan pesat serta menjadi tulang
sesuai.5
punggung pengobatan di dunia. Namun, muncul
Pendekatan praktik yang peduli bahwa pasien
ketidakpuasan dari pengguna jasa yang merasa bahwa
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari
dokter tidak lagi menganggap pasiennya sebagai
fisik, mental, sosial dan spiritual serta berkehidupan di
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
174
tengah lingkungan fisik dan sosialnya disebut sebagai
7
dan konsumsi makanan yang kurang bergizi.
pelayanan holistik, seperti yang disebutkan di dalam
Pelayanan yang sensitif terhadap latar belakang
buku standar pelayanan dokter keluarga. Pada lima
sosial budaya pasien akan lebih dapat menggali dan
tahun terakhir, Nitra Nirwani, seorang staf pengajar
mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
dengan faktor sosial budaya masyarakat. Masyarakat
mengembangkan metode diagnosis untuk melatih
yang memperoleh pelayanan seperti itu akan merasa
mahasiswa dan dokter layanan primer agar menerap-
lebih puas. Oleh karena itu, sebuah kajian yang
kan pendekatan holistik pada setiap kesempatan
menggali faktor sosial budaya diperlukan.
berjumpa dengan pasien.6 Diagnosis yang ditegakkan di klinik terdiri atas 5 6
Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan (tahap 1 dan 2). Penelitian ini menggunakan
aspek. Aspek pertama adalah keluhan utama (reason
pendekatan sosial budaya pada pasien bayi dengan
for encounter) / tanda dan gejala / sindrom klinis yang
ISPA untuk mengidentifikasi masalah dan pemecahan-
ditampilkan, apa yang diharapkan pasien atau
nya dalam rangka penyusunan suatu model pelayanan
keluarganya, apa yang dikhawatirkan pasien atau
yang bermuatan sosial budaya. Model pelayanan
keluarganya. Aspek kedua adalah diagnosis klinis dan
tersebut diharapkan dapat menjadi contoh dalam
banding, termasuk diagnosis fisik, mental, nutrisi dan
meningkatkan kualitas pelayanan di Indonesia. Tujuan umum penelitian untuk tersusunnya
derajat keparahan. Aspek ketiga adalah faktor internal pasien yang sering menjadi perancu (confounder)
model pelayanan ISPA pada bayi dalam asuhan terpadu
dalam timbul dan berkembangnya penyakit, misalnya
kesehatan ibu dan bayi bermuatan sosial budaya yang
usia, jenis kelamin, nutrisi, perilaku individu, gaya hidup
sesuai untuk Indonesia. Tujuan khusus untuk
(life style) dan persepsi tentang penyakit. Aspek
teridentifikasinya masalah ISPA pada bayi yang terkait
keempat adalah faktor eksternal yang terjadi pada
dengan faktor sosial budaya.
keluarga dan lingkungan, menjadi penentu dalam timbul
Manfaat penelitian agar model ini dapat menjadi
dan berkembangnya penyakit, misalnya perilaku
referensi bagi penyelenggara pelayanan kesehatan di
keluarga yang tidak sehat, pendidikan yang rendah,
Indonesia untuk menyelenggarakan pelayanan dengan
sosial ekonomi rendah, budaya yang tidak menunjang,
pendekatan sosial budaya, khususnya dalam
akses layanan kesehatan yang kurang, lingkungan
pelayanan asuhan terpadu kesehatan ibu dan bayi.
biologik dan psikologik yang buruk, lingkungan abiotik yang berakibat pada timbulnya penyakit. Aspek kelima
METODE
adalah fungsi biopsikososial pasien dalam keluarga (derajat 1-5). Bayi dengan berat lahir rendah, malnutrisi, tidak diberi air susu ibu (ASI) dan tinggal di lingkungan padat huni merupakan bayi yang berisiko tinggi terkena pneumonia dan kematian yang diakibatkannya. Seluruh faktor risiko tersebut sangat berkaitan dengan faktorfaktor sosial dan budaya keluarga bayi. Penyebab utama bayi berat lahir rendah adalah prematuritas atau kurang bulan. Kelahiran prematur atau kurang bulan banyak disebabkan oleh faktor sosial dalam keluarga, misalnya malnutrisi, tidak melakukan pemeriksaan prenatal dan kekerasan dalam rumah tangga. Begitu
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kuantitatif metode cross sectional. Populasi adalah ibu atau orang tua yang membawa anaknya datang berobat di pusat pelayanan tingkat primer, sekunder dan tersier di Jakarta dan luar Jakarta. Dengan consecutive sampling, penelitian dilaksanakan di: Jakarta ·
Klinik Dokter Keluarga Kiara
·
Klinik Dokter Keluarga Kayu Putih
·
Rumah Sakit Persahabatan
Luar Jakarta
pula dengan malnutrisi yang sangat erat dengan faktor
·
Rumah Sakit Paru Rotinsulu, Bandung, Jawa Barat
sosial budaya, misalnya kemiskinan, kebiasaan makan
·
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM),
175
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
Pemahaman persepsi orang tua mengenai ISPA
Masalah terkait sosial budaya pada pasien ISPA
Penggalian faktorfaktor sosial budaya pada keluarga pasien ISPA
Penatalaksanaan ISPA pada bayi bermuatan sosial budaya
Pelayanan dengan pendekatan holistik
Angka kematian bayi akibat ISPA menurun
Pemahaman persepsi orang tua mengenai masalah kesehatan yang menjadi faktor risiko ISPA
Gambar 1. Lingkup yang diteliti
· · ·
Bandung, Jawa Barat
padat huni. Faktor risiko lain meliputi perilaku bayi
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
akibat cara perawatan dan persepsi perawat bayi
Surakarta, Jawa Tengah
tentang penyakit ISPA, perilaku keluarga tidak sehat,
Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Lubuk
pendidikan/status sosial ekonomi rendah, budaya yang
Alung, Sumatera Barat
tidak menunjang, akses layanan kesehatan terbatas
Rumah Sakit Paru Padang Panjang, Sumatera
dan lingkungan psikologis buruk.9 Karakteristik demografi bayi dan perawat bayi
Barat Karena belum ada data mengenai faktor sosial
merupakan data yang juga akan dianalisis. Pada bayi
budaya pada bayi dengan ISPA, maka besaran sampel
adalah usia, gender, usia kehamilan pada saat lahir,
adalah jumlah minimum yang dapat dianalisis secara
anak ke-berapa, proporsi gender pada sibling, frekuensi
kuantitatif pada setiap pusat penelitian berdasarkan laporan hasil riset kesehatan dasar nasional 2007.
8
ISPA pada enam bulan terakhir. Pada perawat bayi adalah hubungan dengan bayi, usia dan gender.
Perhitungan sampel dihitung berdasarkan prevalensi ISPA di Provinsi Jawa Barat (24,7%), Jakarta (22,6%), Provinsi Jawa Tengah (29,1%), dan Provinsi
HASIL Penelitian ini dilakukan di Jakarta (Klinik Dokter
Sumatera Barat (26,4%). Selain itu program
Keluarga Kiara, RS Persahabatan dan Klinik Dokter
pencegahan dan penanggulangan ISPA menetapkan
Keluarga Kayu Putih), Jawa Barat (BBKPM Bandung
sasaran bahwa perkiraan kejadian pneumonia pada
dan RS Paru Rotinsulu), Jawa Tengah (BBKPM
balita adalah 10% dari jumlah balita. Dengan demikian
Surakarta) dan Sumatera Barat (BKPM Lubuk Alung
sampel yang akan diambil untuk masing-masing pusat
dan RS Paru Padang Panjang). Sebagian besar subjek
pelayanan kesehatan adalah 80 bayi.
adalah ibu rumah tangga (hanya sebagian kecil yang
Bayi dengan diagnosis ISPA yang datang pada pusat pelayanan kesehatan tersebut akan dipelajari
bekerja) yang membawa anaknya berobat ke pusat pelayanan tersebut.
dengan menggali faktor sosial budaya terkait melalui
Usia subjek sebagian besar antara 20-30 tahun.
wawancara terpimpin dengan menggunakan borang
Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA, di samping
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Faktor risiko
SMP dan sarjana. Subjek membawa anaknya yang
utama meliputi bayi dengan berat lahir rendah,
menderita ISPA ke pusat pelayanan kesehatan
malnutrisi, tidak diberi ASI dan tinggal di lingkungan
terdekat, sebagian besar ke puskesmas dan praktek
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
176
dokter, diikuti balai pengobatan, rumah sakit, dan bidan.
BBKPM Bandung dan RS Paru Rotinsulu. Di Surakarta,
Sebagian besar bayi dilahirkan dengan bantuan
Jawa Tengah dilakukan BBKPM Surakarta. Di Padang,
bidan dan dengan berat lahir normal, serta sebagian
Sumatra Barat dilakukan di BKPM Lubuk Alung dan RS
besar bayi diberi ASI. Pengetahuan subjek tentang
Padang Panjang. Di Jakarta ternyata subjek yang
gejala dan tanda ISPA pada umumnya cukup baik.
datang ke pusat pelayanan kesehatan berasal dari
Mereka mengenal ISPA karena ada demam, batuk,
berbagai suku bangsa. Mungkin untuk mendapatkan
sesak napas atau napas yang cepat. Hanya sedikit saja
suku Betawi tempat penelitian harus bergeser ke
yang mengetahui tarikan dinding dada bagian bawah ke
daerah pinggir Jakarta, tempat mereka banyak
dalam dan pilek sebagai tanda dan gejala ISPA.
bermukim di sana.
Sebagian subjek masih merawat anaknya di
Sebagian besar subjek sudah memanfaatkan
rumah jika sampai tiga hari masih ada tanda dan gejala
fasilitas kesehatan yang terdekat dari tempat tinggal
ISPA. Tindakan yang mereka lakukan pertama kali
mereka dan sudah banyak yang mengetahui
kebanyakan menggunakan obat warung atau
bagaimana cara mengatasi ISPA pada anak. Masalah
memberikan madu atau kecap yang dicampur dengan
pencegahan ISPA sepertinya masih belum banyak
jeruk nipis, obat tradisional (jamu), minyak kayu putih
dipahami oleh subjek, yang mungkin ada kaitannya
atau dibawa langsung ke pusat pelayanan kesehatan.
dengan cara hidup mereka. Penelitian ini baru
Tindakan pencegahan yang dilakukan bervariasi mulai
menyelesaikan tahap 1 dan 2, dan masih diperlukan
dari pijat, diberi madu, mandi air hangat, tidur, minum
waktu lagi untuk melanjutkan ke tahap 3 dan 4 untuk
susu, makanan bergizi, berjemur di pagi hari dan diberi
penyempurnaan instrumen dan panduan pelayanan
vitamin. Namun ada juga subjek yang tidak mengetahui
ISPA di pusat pelayanan kesehatan sesuai dengan
cara pencegahan ISPA pada bayi.
pendekatan sosial budaya.
Berdasarkan data di atas maka selanjutnya disusun instrumen pelayanan asuhan terpadu kesehatan ibu dan bayi yang dapat menggali faktor sosial budaya terkait dengan masalah ISPA pada bayi serta panduan manajemennya.
KESIMPULAN 1. Pengetahuan ibu-ibu tentang ISPA sudah banyak diketahui dan dipahami. 2. Penangan awal ISPA oleh ibu-ibu masih dilakukan di rumah dengan melakukan perawatan sendiri.
PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di beberapa pusat pelayanan kesehatan di Jakarta, Bandung, Surakarta dan Padang yang bertujuan mengidentifikasi pengaruh sosial budaya terhadap penanganan masalah ISPA pada bayi pada beberapa suku bangsa. Penelitian
SARAN Hasil penelitian ini menjadi dasar untuk membuat model pelayanan ISPA pada bayi dalam asuhan terpadu kesehatan ibu dan bayi bermuatan sosial budaya yang sesuai untuk Indonesia.
dilakukan dengan metode wawancara kepada setiap subjek yaitu ibu atau orang tua yang membawa anaknya berobat atau berkunjung ke pusat pelayanan kesehatan. Penelitian ini dilakukan di empat provinsi yang berbeda (Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Barat) agar dapat mewakili beberapa suku bangsa. Di Jakarta dilakukan di Klinik Dokter Keluarga Kiara, Klinik Dokter Keluarga Kayu Putih dan RS Persahabatan. Di Bandung, Jawa Barat dilakukan di
177
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010. 2. Rakel RE. The family physician. In : Textbook of family medicine. 7th eds. Philadelphia: Sunders Elsevier; 2007. 3. Association of American Medical Colleges. Cultural
competence education, AAMC tomorrow's doctor
7. World Health Organization. Acute respiratory
tomorrow's cures. [Online]. 2005 [Cited 2009
infections in children. Family and Community Health
September 5]. Available from: URL://
Cluster (FCH). [Online]. 2010 [Cited on 2013 May
http.www.aamc.org/meded/tacct/
21]. Available from: URL: http://www.who.int/
culturalcomped.pdf.
fch/depts/cah/resp_infections/ en/
4. Isaacs MR, Benjamin MP. In: Towards a culturally
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
competent system of care: volume II. Washington
Pedoman tatalaksana pneumonia balita. Jakarta:
DC: CASSP Technical Assistance Center
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
Georgetown - University Child Development
9. Medical Education Unit FKUI. Buku panduan modul
Center; 1991. 5. Trisna DV. Standar pelayanan dokter keluarga. Jakarta: Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia; 2005.
empati, bioetik dan komunikasi pengembangan pribadi dan profesi kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010-2011. 10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
6. Nirwani N. Diagnosis holistik. Edisi kedua. Jakarta:
Laporan hasil riset kesehatan dasar. Jakarta:
Departemen Kedokteran Komunitas FKUI; 2010.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
178