Pengembangan pariwisata di keraton kasunanan surakarta dan pengaruhnya bagi masyarakat sekitar
Skripsi Oleh : Stefani Sari Respati K 4406040
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA DAN PENGARUHNYA BAGI MASYARAKAT SEKITAR
Oleh: STEFANI SARI RESPATI NIM. K4406040
Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
3
4
ABSTRAK
Stefani Sari Respati. PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA DAN PENGARUHNYA BAGI MASYARAKAT SEKITAR. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli 2010
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk: (1) Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta. (2) Keadaan geografis dan keadaan fisik Keraton. (3) Pengembangan pariwisata yang dilakukan di Keraton Kasunanan. (4) Dampak pengembangan wisata keratin bagi masyarakat sekitar. Bentuk penelitian ini deskriptif kualitatif, yaitu suatu cara dalam meneliti suatu peristiwa pada masa sekarang dengan menghasilkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang tertentu atau perilaku yang dapat diamati dengan menggunakan langkah-langkah tertentu. Dalam penelitian ini digunakan strategi studi kasus terpancang tunggal yaitu sasaran yang akan diteliti sudah dibatasi dan ditentukan serta terpusat pada satu lokasi yang mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh daerah lain yaitu Keraton Surakarta. Sumber data yang digunakan adalah sumber benda, tempat, peristiwa, informan, dan dokumen. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Tehnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan penelitian, dimana peneliti memilih informan yang dipandang mengetahui permasalahan secara mendalam serta dapat dipercaya. Dalam penelitian ini, untuk mencari validitas data digunakan dua tehnik trianggulasi yaitu trianggulasi data dan trianggulasi metode. Tehnik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif, yaitu proses analisis yang bergerak diantara tiga komponen yang meliputi reduksi data, penyajian data, verifikasi/penarikan kesimpulan, yang berlangsung secara siklus. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) faktor-faktor yang melatarbelakangi Keraton Kasunanan Surakarta dijadikan sebagai obyek wisata, diantaranya adalah : Keraton Kasunanan Surakarta merupakan suatu tempat atau pusat dari Kebudayaan Jawa Mataram, sarana transportasi yang sangat mudah, Keraton Kasunanan Surakarta tidak lagi mempunyai kekuasaan administratif setelah Indonesia merdeka. (2) Peninggalan-peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta yang dapat dijadikan wisata Keraton berupa bangunan-bangunan dan benda-benda peninggalan yang ada di komplek Keraton Surakarta. Bangunan-
5
bangunan tersebut dibagi berdasarkan konsep empat konsentris (empat lingkaran). Lingkaran pertama yaitu kedhaton, lingkaran kedua yaitu baluwarti, lingkaran ketiga paseban, dan lingkaran keempat yaitu alun-alun. (3) Perkembangan obyek wisata Keraton Kasunanan Surakarta meliputi tahap pengembangan saja. Tahap pengembangan ini mengarah pada perbaikan, baik perbaikan fisik maupun non fisik. (4) Dampak yang ditimbulkan dari adanya Wisata Keraton Kasunanan Surakarta terhadap kehidupan masyarakat yaitu :di bidang ekonomi dan sosial.
6
MOTTO
Q.S AL ` ASHR :2
We learn history that we may be wise before the event Sir John Seeley (2004:60)
7
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
Bapak dan Mama yang memberikan kasih sayang, doa, dan support Pondra, adikku tercinta. Bhandenx yang memberikan aku banyak pengalaman dan selalu menemani dalam suka dan duka Teman-teman History ‘06 Almamater
8
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Kami haturkan kepada Allah S.W.T atas segala limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga proses penelitian dan penyusunan skripsi ini berjalan dengan cukup baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpahkan pada junjungan Kita Rasullulah SAW. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Pendidikan Sejarah Jurusan Imu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selama masa penyelesaian skripsi ini, cukup banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan, dan berkat karunia Allah S.W.T dan peran berbagai pihak, kesulitan yang pernah timbul dapat diatasi. Tidak lupa, ucapan terima kasih diucapkan kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian, 2. Ketua Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta,
yang
telah
memberikan ijin penelitian, 4. Drs. A.Arif Musadad, M.Pd, selaku Pembimbing I yang telah memberikan motivasi, masukan dan saran, 5. Musa Pelu, S.Pd, M.Pd, selaku Pembimbing II yang telah memberikan arahan, masukan dan saran, 6. Pihak Keraton yang telah menjadi tempat penelitian, 7. Berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Semoga segala amal baik dan keikhlasan membantu penulis tersebut mendapatkan imbalan dari Allah S.W.T dan semoga hasil penelitian yang sederhana ini dapat bermanfaat.
9
Surakarta, 5 Mei 2010 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL...............................................................................................................
i
PENGAJUAN SKRIPSI ......................................................................................
ii
PERSETUJUAN..................................................................................................
iii
PENGESAHAN .................................................................................................
iv
ABSTRAK ..........................................................................................................
v
MOTTO.............................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN ...............................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .........................................................................................
viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Perumusan Masalah ..................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
7
10
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................
9
A. Kajian Teori 1. Konsep Kebudayaan Jawa a. Pengertian Kebudayaan .............................................
9
b. Unsur-unsur Kebudayaan .............................................
10
c. Sifat dan Hakekat Kebudayaan .................................
11
d. Wujud Kebudayaan .....................................................
12
e. Kebudayaan Jawa .......................................................
13
2. Konsep Pariwisata a. Pengertian Pariwisata ...................................................
17
b. Jenis dan Macam Pariwisata ......................................
19
c. Manfaat Pariwisata ......................................................
22
d. Obyek Wisata ................................................................
24
e. Wisatawan .....................................................................
25
3. Konsep Keraton a. Pengertian Keraton .......................................................
27
b. Fungsi Keraton ..............................................................
29
B. Kerangka Pemikiran ...................................................................
31
BAB III METODOLOGI .....................................................................................
33
A. Tempat Dan Waktu Penelitian .................................................
33
B. Bentuk dan Strategi Penelitian .................................................
34
C. Sumber Data ...............................................................................
35
D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................
37
E. Tehnik Sampling ..........................................................................
39
F. Validitas Data .............................................................................
40
G. Teknik Analisis Data ....................................................................
41
H. Prosedur Penelitian ....................................................................
43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................
45
11
A. Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta ...................................
45
B. Deskripsi Keraton Surakarta 1. Keadaan Geografis .............................................................
50
2. Keadaan Fisik Keraton Surakarta .......................................
52
C. Pengembangan Pariwisata Keraton Kasunanan .................. 1. Daya Tarik Keraton ...............................................................
73
2. Perkembangan Wisata Keraton ..........................................
89
3. Upaya Promosi Keraton ........................................................
91
D. Dampak Wisata Keraton ...........................................................
96
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ............................................... 100 A. Kesimpulan Penelitian ............................................................... 100 B. Implikasi Hasil Penelitian ............................................................ 101 C. Saran ............................................................................................ 102 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
104
LAMPIRAN ....................................................................................................... 107
12
DAFTAR LAMPIRAN
13
Lampiran 1
: Dokumentasi dari Keraton Surakarta ……………………
101 Foto 1
: Gapura Gladhag
Foto 2
: Gapura Pamarukan
Foto 3
: Bangsal Sewayana
Foto 4
: Bangsal Pangrawit
Foto 5
: Bangsal Manguntur Tangkil
Foto 6
: Panggung Sanggabuwana
Foto 7
: Pagelaran Sitinggil
Foto 8
: Bangsal Smarakata
Foto 9
: Bangsal Marcukunda
Foto 10
: Kori Brajanala
Foto 11
: Kori Kamandhungan
Foto 12
: Sasana Sewaka
Foto 13
: Meriam Pancawara
Foto 14
: Meriam Kumbarawi
Foto 15
: Meriam Kyai Alus
Foto 16
: Meriam Kyai Pamecut
Foto 17
: Meriam Kadal Buntung
Foto 18
: Meriam Kyai Soewebrasta
Foto 19
: Meriam Mahesa Komali
Foto 20
: Meriam Kyai Sadewa
14
Foto 21
: Meriam Kyai Bagus
Foto 22
: Meriam Segarawana
Foto 23
: Meriam Kyai Nakula
Foto 24
: Arca Dwarapala
Foto 25
: Kereta Kyai Groeda
Foto 26
: Kereta Garuda Putra
Foto 27
: Kereta Kyai Maraseba
Foto 28
: Relief Upacara Wilujengan
Foto 29
: Al-Quran dan terjemahannya
Foto 30
: Upacara Grebeg Maulud Nabi
Foto 31
: Koleksi Keris
Foto 32
: Patung kayu, kyai Raja Mala
Foto 33
: Alat masak pada saat perang ; dandang
Foto 34
: Kunjungan siswa-siswi di Keraton Surakarta
Foto 35
: Siswa-siswi observasi di Keraton
Foto 36
: Siswa-siswi berkumpul di pagelaran
15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia Bagaikan untaian “Ratna Mutu Manikam” yang melingkar di garis khatulistiwa, ungkapan tersebut sangat cocok dengan keadaan geografis yang dimiliki Indonesia, keadaan alam yang sangat indah. Keindahan alam,yang dihuni oleh berbagai etnik dan keragaman budaya yang sangat khas mendukung pengembangan di sektor kepariwisataan, akan tetapi sampai saat ini semua potensi belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia sendiri, maupn ketiadaan dana dalam mengembangkan suatu daerah menjadi potensi wisata. Citra pariwisata Indonesia masih belum bisa menyamai keharuman yang ditaburkan oleh negara-negara yang telah mengembangkan dan memperoleh manfaat yang besar dari sektor ini. Bila ditilik dari segi potensi alam Indonesia memiliki kualitas yang bagus dan indah. Untuk membangun citra yang akan melicinkan jalan untuk menarik wisatawan berkunjung ke Indonesia, para pelaku wisata, akademis, dan masyarakat umum harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Pemerintah juga memiliki peranan penting dalam mengembangkan citra pariwisata Indonesia. Pemerintah sadar bahwa sektor pariwisata biasa menjadi sumber pendapatan bagi negara, oleh karena itu pemerintah juga membuat peraturan-peraturan tentang pariwisata. Peraturan-peraturan tersebut bisa terkait dengan penataan tempat pariwisata, kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengelolanya, dan juga tentang perolehan pendapatan yang dihasilkan dari sektor pariwisata tersebut.
16
Salah satu contoh peraturan yang mengatur tentang
kewenangan
pemerintah daerah adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaran pemerintahan negara. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Berdasarkan kewenangan tersebut, maka pemerintah daerah dapat melaksanakan fungsinya dalam rangka mencapai tujuan pembangunan daerah. Selain itu, daerah otonom memiliki kewenangan dalam mengatur daerahnya sendiri tanpa campur tangan dari Pemerintah Pusat dalam rangka mengambangan seluruh potensi yang ada di wilayahnya. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dilaksanakan pula perubahan pola pembagian sumber-sumber keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara lebih adil, artinya seiring adanya transfer kewenangan yang semakin besar ke daerah/kota secara bertahap akan diikuti dengan transfer sumber-sumber fiskal yang diperlukan untuk menjalankan kewenangan tersebut. Adanya otonomi daerah maka setiap daerah otonom memiliki hak-hak dasar. Salah satu hak dasar adalah kebebasan memiliki, mengelola, dan memanfaatkan sumber keuangannya sendiri. Setiap daerah otonom akan mulai mengembangkan inisiatif dan kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya, berkompetisi dengan daerah-daerah otonom lainnya, dengan
memiliki
kebebasan
untuk
menyusun
pembangunan
sendiri,
mendayagunakan potensinya untuk kesejahteraan masyarakat, serta menambah Pendapatan Asli daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah ini sendiri dapat diperoleh dari pajak, retribusi, serta hasil pengelolaan kekayaan daerah.
17
Dalam upaya meningkatkan dan mendayagunakan potensi pariwisata, Pemerintah Kota Surakarta mulai menata kembali semua ruang dan tata kota Solo. Kepariwisataan Indonesia belakangan ini berkembang menjadi salah satu industri andalan yang biasa disebut dengan industri pariwisata. R.S Damarjadi mengatakan, “Industri pariwisata merupakan rangkuman daripada berbagai macam bidang usaha yang secara bersama-sama menghasilkan produk-produk maupun jasa-jasa/layanan-layanan atau service, yang nantinya baik secara langsung ataupun tidak langsung akan dibutuhkan oleh wisatawan selama perawatannya”. Pariwisata sebagai suatu industri baru dikenal di Indonesia setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1969 pada tanggal 6 Agustus 1969, yang dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa “Usaha-usaha pengembangan pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan dan pembangunan “industri pariwisata” dan merupakan bagian dari usaha pengembangan dan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat dan negara”. Instruksi presiden ini juga berisi tentang tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia untuk meningkatkan pendapatan devisa pada khususnya dan pendapatan Negara dan masyarakat pada umumnya, perluasaan kesempatan kerja dan mendorong kegiatan industri penunjang, memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan kebudayaan Indonesia, meningkatkan persaudaraan serta persahabatan nasional dan internasional (Oka. A. Yoeti, 1983:138). Dalam mengembangkan potensi pariwisatanya, telah berupaya memberdayakan segala potensi yang ada baik dari aneka obyek wisata dan kehidupan masyarakat kota yang mengalir ke arah metropolitan maupun dari keadaan tata kota yang indah dna nyaman yang menjadi daya tarik wisata baru. Warisan budaya kota atau Urban Heritage adalah obyek-obyek dan kegiatan di perkotaan yang memberi karakter budaya yang khas bagi kota yang bersangkutan. Keberadaan bangunan kuno dan aktifitas masyarakat yang memiliki nilai sejarah, estetika, dan kelangkaan biasanya sangat dikenal dan diakrabi oleh masyarakat dan secara langsung menunjuk pada suatu lokasi dan karakter kebudayaan suatu kota. Bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai historis di
18
Kota Solo adalah Keraton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Puro Mangkunegaran, Museum Radyapustaka dan masih banyak lagi bangunan-bangunan kuno yang terdapat di Kota Solo. Selain bangunan kuno tersebut, Solo yang merupakan pusat kota juga memiliki tempat-tempat wisata modern yang menonjolkan keindahan alamnya, seperti Taman Balekambang, City Walk, Galabo, Gelora Manahan. Semua itu sebagai aset yang melambangkan Solo sebagai Kota Budaya. Salah satu obyek yang dikembangkan adalah keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta yang menunjuk pada sebuah lokasi dan karakter kebudayaan dari Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan Kota Solo. Keraton Kasunanan Surakarta adalah salah satu bentuk peninggalan sejarah Bangsa Indonesia dan merupakan hasil karya budaya yang sangat tinggi nilainya, khususnya berkaitan dengan kebudayaan Jawa. Keraton Kasunanan Surakarta perlu mendapat perhatian lebih lanjut, sehingga sekarang pemerintah setempat mulai memperhatikan agar bisa menjadi obyek wisata unggulan. Hal ini diharapkan dapat menambah Pendapatan Asli Daerah
dan sebagai upaya
pelestarian peninggalan hasil budaya. Saat ini pemerintah sudah merevitalisasi salah satu pojok bangunan bersejarah juga menjadi terminal bus wisata yang terletak di utara Beteng Trade Center (BTC) dan Pusat Grosir Solo (PGS). Hal ini sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan sarana dan prasarana di sektor pariwisata. Keraton Kasunanan Surakarta yang dulu menjadi pusat pemerintahan di Kota Solo zaman kerajaan, dan Kasultanan Yogyakarta di Kota YOgya merupakan bagian dari Mataram. Sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami gejolak politik yang mempengaruhi stabilitas dan keamanan, baik dalam bentuk pemberontakan, perpindahan keraton, pengungsian, pergeseran kekuasaan, pusaka hilang, dan
masuknya budaya barat. Intrik dan gejolak antar fraksi yang di
provokasi oleh kompeni berakibat pecahnya wilayah Mataram menajdai empat bagian
yaitu
Kasunanan
Surakarta,
Kasultanan
Yogyakarta,
Kadipaten
Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. Keempat wilayah ini dalam tata Negara Kolonial disebut Vorstenlanden. Wilayah Vorstenlanden ini saling berkomunikasi tentang perkembangan masing-masing wilayah, tapi tidak hanya
19
dengan wilayah-wilayah Vorstenlanden karena pada saat itu sudah ada hubungan perdagangan antara Kota Solo dan Surabaya. Hubungan perdagangan ini berjalan baik karena sejak awal abad XVI jalur transportasi sungai antara Kota Solo dan Surabaya sudah terbentuk. Surabaya merupakan Bandar pertama, sedangkan Solo merupakan Bandar terakhir yang terletak di Semanggi (Babad Sala, 1984:15). Aktifitas utamanya adalah perdagangan yang kemudian melahirkan kontak kebudayaan lintas etnik dan lintas bangsa. Kebudayaan yang tertinggal dan dapat diamati dewasa ini adalah Kampung Arab di Pasar Kliwon, Kampung Cina di Pasar Gede, Kampung Etnik Bali di Kebalen, Kampung Madura di Sampangan, Kampung Etnik Banjar dan Flores di dekat Kepatihan, Kampung Batik di Laweyan, Kauman, Keprabon , dan Kampung dagang Jawa di Kampung Sewu. Kemerosotan politik yang dihadapi kerajaan-kerajaan vorstenlanden sebagai akibat tekanan kolonial, tidak mempengaruhi aktifitas perdagangan dan industri rumah tangga. Marjinalisasi kelompok sosial yang memiliki potensi kekuatan ekonomi maupun kekuatan massa akan memacu poses penyadaran organik, serta membangkitkan perlawanan terhadap diskriminasi, penindasan, dan ketidakadilan. Pengasingan putra mahkota mengundang simpati elit nasionalis, serta memantapkan dinamika politik kebangsaan di Kota Solo. Berdasarkan gambaran di atas, sejarah telah menyebutkan bahwa Kota Solo sebagai pusat budaya Jawa maupun kota yang mengembangkan budaya kehidupan politik yang mendasarkan pada keberagaman (Reflex, Agustus 2008: 16-17). Sehubungan
dengan
upaya
pengembangan
pariwisata
Keraton
Kasunanan Surakarta, maka peran Pemerintah Kota Solo harus ditingkatkan, khususnya dalam membangun infrastruktur pendukung, baik yang bersifat fisik, seperti sarana dan prasarana transportasi dan telekomunikasi, maupun yang non fisik seperti penyederhanaan proses investasi di bidang pariwisata yang menjadi tugas Pemerintah Kota. Upaya pengembangan juga dilakukan dengan melengkapi fasilitas umum seperti mushola, toilet, dan tempat parkir. Dilengkapi lagi dengan tempat penelitian bangunan bersejarah Keraton Kasunanan Surakarta. Selain upaya tersebut, perlu adanya promosi wisata melalui berbagai sarana dan jalur
20
informasi di semua kesempatan baik melalui pameran, festival, media cetak, situs internet, dan kerja keras duta wisata yang mengenalkan produk wisata Kota Surakarta, termasuk Keraton Kasunanan Surakarta. Keindahan Kota Solo tidak bisa terlepas dari elemen penting dalam perancangan kota agar tertata rapi dan teratur. Elemen yang tidak bisa dipisahkan tentu saja nilai dan kadar budaya yang kental dalam setiap program pembangunan yang dilakukan . Hal ini mengingat adanya jargon yang menempel pada Kota Solo itu sendiri, “Solo The Spirit Of Java”. Salah satu yang menggambarkan penataan kota yang indah dan menarik perhatian dapat dilihat dalam program pembangunan City Walk. Dimana nantinya City Walk juga akan menuju ke Keraton Kasunanan Surakarta. Pariwisata di Solo sengaja dibuat berangkai, hal ini dimaksudkan agar pengunjung tidak merasa jenuh dan tetap dapat menikmati keindahan Kota Budaya. Meski pada tahun 1998 banyak bangunan dan fasilitas umum yang ada di Kota Solo hancur baik itu bangunan pemerintah, mall, jalan, lampu lalu lintas, maupun taman-taman yang ada, karena adanya kerusuhan pernah rusak, sekarang tidak terlihat kalau Solo pernah hancur lebur akibat kerusuhan massa. Solo yang terkenal dengan Kota Sumbu pendek, sangat mudah tersulut pertikaian. Untuk
mengetahui
lebih
jelas
tentang
upaya
pelestarian
dan
pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta terhadap Keraton Kasunanan Surakarta agar menjadi objek wisata yang menarik sehingga nilai-nilai kesejarahannya tetap teraga dan seklaigus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, maka penulis mengangkat judul, “Pengembangan Pariwisata di Keraton Kasunanan Surakarta dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Sekitar”.
B. Rumusan Masalah Perumusan
masalah
ini
berguna
untuk
mempermudah
dalam
melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah latar belakang sejarah Keraton Kasunanan Surakarta ?
21
2. Bagaimanakah deskripsi tentang keadaan geografis dan keadaan fisik Keraton Kasunanan Surakarta ? 3. Bagaimanakah pengembangan pariwisata yang dilakukan di Keraton Kasunanan Surakarta ? 4. Apakah dampak dari adanya Wisata Keraton Kasunanan Surakarta bagi masyarakat sekitar?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai didalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang sejarah Keraton Kasunanan Surakarta. 2. Untuk mengetahui deskripsi tentang keadaan geografis dan keadaan fisik Keraton Kasunanan Surakarta. 3. Untuk mengetahui pengembangan pariwisata yang dilakukan di Keraton Kasunanan Surakarta. 4. Untuk mengetahui dampak dari adanya Wisata Keraton Kasunanan Surakarta bagi masyarakat sekitar.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis a. Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah tentang upaya pengembangan yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah terhadap potensi wisata di daerahnya. b. Dengan penelitian membrikan masukan dan sumbangan kepada pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data dalam bidang kepariwisataan.
2. Manfaat Praktis
22
Manfaat praktis dalam penelitian ini sebagai berikut ; a. Untuk memberikan bahan masukan dan sumbangan kepada pihak terkait dalam mengembangkan potensi yang dimiliki obyek wisata Keraton Kasunanan Surakarta. b. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara mendalam.
23
BAB II KAJIAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kebudayaan Jawa a. Pengertian Kebudayaan Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Koentjaraningrat dalam bukunya kebudayaan, mentalitas dan pembangunan (2004:19) berpendapat bahwa kata budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. “Budaya” dibedakan dari “kebudayaan”, karena “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, rasa, dan karsa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu sendiri. Dalam istilah “antropologi budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama. Antropolog E.B Taylor dalam Soerjono Soekanto (1990: 188) mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuankemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara atau pola berfikir, merasakan, dan bertindak. Seorang peneliti kebudayaan akan sangat tertarik oleh obyek-obyek kebudayaan seperti rumah, sandang,
24
jembatan, dan alat-alat komunikasi. Mereka juga akan meneliti pada perilaku sosial, yaitu pola-pola perilaku yang membentuk struktur sosial masyarakat. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh peralatan yang dihasilkannya serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya atau didapatkannya. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas, termasuk di dalamnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1990:189). Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang
dijadikan
milik
diri
manusia
dengan
belajar
(Koentjoroningrat, 1990: 180). Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan total dari pikiran, karya, dan hasil karyanya oleh manusia yang berasal dari proses belajar selanjutnya menjadi suatu kebiasaan dan pada akhirnya membentuk suatu peradaban.
b. Unsur-unsur Kebudayaan Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang
25
bersifat sebagai kesatuan. Ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu : 1)
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, dan transportasi),
2)
Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, dan sistem distribusi),
3)
Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan),
4)
Bahasa (lisan maupun tertulis),
5)
Kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak),
6)
Sistem pengetahuan,
7)
Religi (sistem kepercayaan) (Soerjono Soekanto, 1990:191). Cultural Universal dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang
lebih kecil lagi yang biasa disebut cultural activity (Ralph Linton 1936: 397). Misalnya kesenian, meliputi kegiatan seni tari, seni suara, dan seni rupa. Ralph Linton juga merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur yang lebih kecil lagi yang disebut trait-compleks. Misalnya kegiatan pertanian menetap, meliputi unsur-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, dan sistem hak milik atas tanah. Selanjutnya trait-compleks mengolah tanah dengan bajak dapat dipecah-pecah lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi, misalnya hewan-hewan yang menarik bajak dan tehnik mengendalikan bajak. Akhirnya sebagai unsur terkecil yang membentuk traits adalah items.
c. Sifat Hakikat Kebudayaan Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya, tetapi setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun mereka berada. Sifat hakikat kebudayaan adalah sebagai berikut :
26
1)
Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
2)
Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3)
Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajibankewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakantindakan yang dilarang dan tindakan yang diizinkan (Soerjono Soekanto, 1990:199). Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi
bila seseorang akan memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu : 1)
Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya. Masyarakat dan kebudayaan adalah dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan, yang mengakibatkan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan atau kebudayaan bersifat inversal: atribut dari setiap masyarakat di dunia ini.
2)
Kebudayaan bersifat stabil tetapi juga dinamis, dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis. Sering kali perubahan dalam kebudayaan tidak terasa oleh anggota-anggota masyarakatnya.
3)
Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia itu sendiri. Gejala tersebut dapat dijelaskan secara singkat bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan menyakini seluruh unsur kebudayaanya (Soerjono Soekanto, 1990:123).
d. Wujud Kebudayaan
27
Kebudayaan itu paling sedikit memiliki tiga wujud kebudayaan yaitu : 1)
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya
2)
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat,
3)
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ide dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,
tak dapat diraba atau di foto, dan dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ide ini biasa disebut tata-kelakuan, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan ide itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud yang kedua dari kebudayaan biasa disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktifitasaktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lainnya selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian akifitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial ini bersifat konkret. Wujud yang ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak, karena merupakan aktifitas perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang sifatnya dapat diraba, dilihat dan di foto. Ketiga wujud kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan ide dan adat istiadat mengatur dan memberi arah pada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula
28
pola-pola
perbuatannya,
bahkan
juga
mempengaruhi
cara
berfikirnya
(Koentjoroningrat, 2004: 5).
e. Kebudayaan Jawa Uraian-uraian di atas merupakan gambaran kebudayaan, dimana kebudayaan merupakan suatu hasil keseluruhan dari cipta, rasa, dan karsa yang akan membentuk suatu peradaban tertentu di tempat tertentu. Hal ini mengakibatkan kebudayaan nantinya akan menjadi suatu identitas diri, karena kebudayaan satu daerah pasti akan berbeda dari daerah lain. Definisi tersebut dapat menjelaskan tentang kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa adalah segala sesuatu yang bersangkutan atau berhubungan dengan budi dan akal pikiran yang menciptakan suatu peradaban yang berkembang di Jawa. Kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban suatu bangsa, yang juga tercermin dalam pepatah Jawa Budaya iku dadi kaca diri ning
bangsa. Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki
kabudayan (kebudayaan) sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku bangsa lainya. Hal ini membuktikan bahwa peradaban suatu suku bangsa atau bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasar pemikiran, dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Demikian pula dengan suku bangsa Jawa. Suku Jawa memiliki pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah kebudayaannya yang khas, dimana dalam epistemologi dan kebudayaannya digunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya. Dari data sejarah Jawa memang menunjukan tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan bahasa dan religi orang Jawa, yang telah digunakan sejak zaman prasejarah (Ageng Pangestu Rama, 2007: 256).
29
C.A. Van Peursen dalam Budiono Herusatoto (2008: 19) menguraikan tentang pengertian dan proses terwujudnya simbol dalam kebudayaan manusia, antara lain sebagai berikut : 1)
Sejumlah pengarang membedakan antara simbol dan tanda atau lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai misalnya, pada ungkapan “dimana ada asap, disana ada api”, asap merupakan tanda adanya api.
2)
Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad. Lambanglambang purba seperti api, air, matahari, dan ikan yang memiliki beberapa fungsi yang berbeda yaitu religius, seni, dan teknis semata-mata alat komunikasi. Dimana aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dalam lingkungan kebudayaan kuno yang selalu berjalan bersama-sama.
3)
Lambang-lambang menafsirkankan proses berjalan sehingga kita seolaholah dapat naik menara dan memandang daerah-daerah yang luas yang dulu tidak dikenal.
4)
Lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah yang berlaku yang berkaitan dengan perbuatan manusiawi, pengertian dalam ekspresi. Kaidah-kaidah tersebut tidak hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian manusia, tetapi juga dengan seluruh pola kehidupa, seluruh perbuatan, dan harapan manusia.
5)
Lambang-lambang terdapat di luar badan manusia dan tidak terikat oleh naluri jasmaniah. Simbol-simbol tersebut mempengaruhi semua aspek kehidupan
masyarakat Jawa pada waktu itu, termasuk kehidupan religi. Koentjaraningrat, pada bagian terakhir dari bukunya, kebudayaan, mentalitet dan pembangunan, menyebutkan bahwa setiap religi merupakan sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu : 1)
Emosi keagamaan yang bisa menimbulkan manusia menjadi religius. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia.
30
2)
Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib, serta supranatural yaitu tentang hakekat hidup dan mati, dan tentang wujud dewa-dewi dan makhluk-mahkluk halus lainnya yang mendiami alam gaib.
3)
Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewi, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Sistem upacara religius melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Sistem uapacara merupakan wujud kelakuan atau behavioral manifestation dari religius.
4)
Kelompok-kelompok
religius
atau
kesatuan-kesatuan
sosial
yang
menganut sistem kepercayaan tersebut. Kelompok-kelompok religius ini bisa berupa : a) Keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan kecil yang lain, b) Kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar seperti keluarga luas, keluarga unilineal seperti klian, suku, dan marga dada, c) Kesatuan komuniti seperti desa, gabungan desa dan orang lain, d) Organisasi-organisasi sangaka penyinaran agama, organisasi sangha, organisasi gereja, partai politik yang berdasarkan ideologi religius, gerakan religius, orde-orde rahasia, dan sebagainya (Budiono Herusatoto, 2008:45). Kelompok-kelompok dan kesatuan sosial seperti itu biasanya beorientasi terhadap sistem kepercayaan dan religi yang bersangkutan, dan upacara berulang untuk sebagian atau keseluruhan, berkumpul untuk melakukan sistem upacaranya. Usaha memahami kebudayaan Jawa akan mengarah pada pemahaman nilai-nilai, konsepsi-konsepsi dan paham-paham yang membimbing tindakantindakan dalam hidupnya di lingkungan masyarakat Jawa. Nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi itu akan memperlihatkan pandangan dunia masyarakat Jawa baik secara vertikal maupun horizontal. Pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatism untuk mencapai keadaan psikis tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin (Suseno, 1988: 83).
31
Kebudayaan Jawa mempunyai ciri tersendiri dibandingkan dengan masyarakat
lain.
Untuk
mendapatkan
gambaran
serta
untuk
dapat
mengidentifikasi harus dapat menemukan gagasan-gagasan tersebut yang diejawantahkan ke dalam berbagai aktifitas yang berkaitan dengan kehidupan adikodrati, kemasyarakatan, dan dalam kesenian. Aspek-aspek penting dalam budaya Jawa. dapat menjadi acuan bagi masyarakat pendukung kebudayaan Jawa, dan nilai-nilai itu tersirat dan tersurat dalam pitutur atau nasehat kehidupan yang ebrupa tembang. Gagasan. nilai, keyakinan, dan sikap sering disajikan dalam bentuk karya seni baik seni sastra maupun seni pertunjukkan, dan menurut pandangan masyarakat Jawa bahwa nilai sosial budaya dianggap dapat membentuk bangunan dasar struktur sosial. Kebudayaan Jawa mendapat gelar adihulung, sehingga sangat berpengaruh di seluruh pelosok nusantara. Bahkan di kawasan regional Asia Tenggara, kebudayaan Jawa menempati posisi yang sangat vital. Penyebaran orang Jawa di berbagai benua pasti membawa tradisi dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, kebudayaan Jawa secara aktif menyesuaikan diri dengan arus globalisasi. Hal ini ditandai dengan adanya pergaulan yang kosmopolit dalam percaturan internasional (Suseno, 1988: 94). Tanah Jawa yang terkenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi didukung oleh tanahnya yang sangat subur. Topografi yang relatif datar dan penduduknya yang terdidik, serta seni Jawa yang edi peni membuat tanah Jawa senantiasa menjadi impian bagi seluruh penduduk dunia. Dalam konteks histori ini, tanah Jawa menjadi pusat diplomasi luar negeri bagi seluruh penduduk nusantara. Dari interaksi lokal ini merambah kawasan nasional, regional dan internasional. Benua Eropa, Australia, Amerika, Afrika, dan Asia, semuanya terpesona dengan keelokan tanah Jawi. Ketika nusantara dipersatukan kembali dalam Kesatuan Republik Indonesia, orang-orang Jawa terdepan dalam kepemimpinan nasional. Ciri keterpimpinan Kesatuan Republik Indonesia terpengaruh dengan gaya kepemimpinan Jawa.
32
Dalam rangka memajukan kebudayaan nasional, budaya Jawa memberikan sumbangsih yang sangat besar sekali maknanya. Misalnya saja semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika, dirangkai oleh Empu Tantular, seorang pujangga Istana Majapahit pada abad ke-13 M. Kebudayaan Jawa juga terbentuk di Surakarta karena merupakan daerah Kerajaan Keraton Kasunanan Surakarta, dimana berlaku nilai-nilai yang berbeda. Sebagian dari nilai-nilai sosial tersebut tercantum dalam Serat Wulangreh. Serat Wulangreh merupakan sekar macapat, yang terdiri dari 13 sekar. Dalam sekar tersebut dapat dibagi menjadi berbagai masalah pokok seperti: soal guru dan berguru, soal pergaulan dan perbuatan, kaprayitan (kewaspadaan), soal kebaktian, soal pantangan yang bersifat umum, hubungan keluarga, soal menerima kodrat, soal mengenal diri, dan ambeng kautaman (Ageng Pangestu Rama, 2007: 359).
2. Pariwisata a. Pengertian Pariwisata Ditinjau
secara etimologi kata “pariwisata” berasal dari bahasa
sansekerta yaitu “pari” yang berarti banyak dan “wisata” yang berarti perjalanan atau berpergian. Atas dasar itulah kata “pariwisata” diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ke tempat lainnya yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “tour”. Menurut Salah Wahab pariwisata merupakan salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya. Selanjutnya, sebagai sektor yang komplek, pariwisata juga merealisasi industri-industri klasik seperti industri kerajinan
33
tangan dan cinderamata, penginapan, dan transportasi (Salah Wahab, 1975: 55). Pengertian Kepariwisataan menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 pada bab I pasal 1, bahwa kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, artinya semua kegiatan dan urusan yang ada kaitannya dengan perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan pariwisata, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat. Para ahli pariwisata memberikan pengertian pariwisata adalah sejumlah hubungan-hubungan dan tinggalnya
orang-orang
asing,
gejala-gejala yang dihasilkan dari
asalkan
tinggalnya
mereka
ini
tidak
menyebabkan timbulnya tempat tinggal serta usaha-usaha yang bersifat sementara atau permanen sebagai usaha mencari kerja penuh. Pariwisata juga bisa diartikan sebagai perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan secara perorangan maupun kelompok, sebagai usaha untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan
hidup
dalam
dimensi
sosial,
budaya,
alam,
dan
ilmu
(http://www.kesimpulan.co.cc/2009/04/kebijakan kepariwisataan, 3 Juli ’09: 12.45). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulan bahwa pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (bussines) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam.
b. Jenis dan macam pariwisata
34
Sesuai dengan potensi yang dimiliki atau warisan yang ditinggalkan nenek moyang pada suatu negara, maka timbullah bermacam-macam jenis pariwisata yang dikembangkan sebagai kegiatan, yang lama-kelamaan mempunyai cirinya sendiri. Untuk keperluan perencanaan dan pengembangan kepariwisataan itu sendiri, perlu pula dibedakan antara pariwisata dengan jenis pariwisata jenis lainnya, karena dengan demikian akan dapat ditentukan kebijakan apa yang akan dapat mendukung, sehingga jenis dan macam pariwisata yang dikembangkan dapat terwujud seperti apa yang diharapkan. Ditinjau dari segi ekonomi, pengelompokan tentang jenis pariwisata dianggap penting, karena dengan cara itu dapat menentukan berapa penghasilan devisa yang diterima dari suatu macam pariwisata yang dikembangkan di suatu tempat atau daerah tertentu. Di lain pihak, pengelompokan ini juga sangat berguna untuk menyusun statistik kepariwisataan atau untuk mendapatkan data penelitian yang diperlukan dalam perencanaan selanjutnya di masa yang akan datang. Jenis dan macam pariwisata antara lain : 1)
Menurut letak geografis, dimana kegiatan pariwisata itu berkembang : a) Pariwisata Lokal (Local Tourism) Adalah pariwisata setempat, yang mempunyai ruang lingkup relatif sempit dan terbatas dalam tempat-tempat tertentu saja. b) Pariwisata Regional (Regional Tourism) Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di suatu tempat atau daerah yang ruang lingkupnya lebih luas bila dibandingkan dengan local tourism, tetapi lebih sempit jika dibandingkan dengan national tourism. c) Kepariwisataan Nasional (National Tourism) (1) Kepariwisataan dalam arti sempit Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang dalam wilayah suatu negara atau dengan kata lain pariwisata dalam negeri, dimana
35
titik beratnya orang melakukan perjalanan wisata adalah warga sendiri dan orang-orang asing yang berdomisili di negara tersebut. (2) Kepariwisataan dalam arti luas Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di suatu wilayah negara, selain kegiatan domestic tourism juga dikembangkan foreign tourism. Jadi selain adanya lalu lintas wisatawan di dalam negeri sendiri, juga ada lalu lintas wisatawan dari luar negeri. d) Regional-international Tourism Yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di suatu wilayah internasional yang terbatas, tetapi melewati batas-batas lebih dari dua atau tiga negara dalam wilayah tersebut. Misalnya kepariwisataan ASEAN. e) International Tourism Pengertian ini sinonim dengan kepariwisataan dunia (world tourism), yaitu kegiatan kepariwisataan yang berkembang di seluruh negara di dunia. 2)
Menurut pengaruhnya terhadap Neraca Pembayaran, dapat dibagi atas dua jenis penting : a) In Tourism atau pariwisata aktif Yaitu kegiatan kepariwisataan yang ditandai dengan gejala pariwisata aktif, berarti dapat memasukkan devisa bagi negara yang dikunjungi karena akan memperkuat posisi neraca pembayaran negara yang dikunjungi wisatawan tersebut. b) Out Going atau pariwisata pasif Yaitu kegiatan kepariwisataan yang ditandai dengan gejala keluarnya warga negara sendiri bepergian ke luar negeri sebagai wisatawan. Disebut sebagai pariwisata pasif, karena ditinjau dari segi pemasukkan devisa negara, kegiatan ini merugikan negara asal wisatawan, karena
36
uang yang seharusnya dibelanjakan di dalam negeri dibawa ke luar negeri. Pariwisata semacam ini jarang dikembangkan oleh suatu negara. 3)
Menurut alasan/tujuan perjalanan a) Businnes Tourism Yaitu jenis pariwisata dimana pengunjungnya datang untuk tujuan dinas, usaha dagang, atau yang berhubungan dengan pekerjaannya, kongres, seminar, conversation, dan musyawarah kerja. b) Vacational Tourism Yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang yang melakukan perjalanan wisata terdiri dari orang-orang yang sedang berlibur dan cuti. c) Educational Tourism Yaitu jenis pariwisata dimana pengunjung atau orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan studi atau mempelajari suatu bidang ilmu pengetahuan.
4)
Menurut saat atau waktu berkunjung a) Seasonal Tourism Yaitu jenis pariwisata yang kegiatannya berlangsung pada musimmusim tertentu, termasuk di dalamnya adalah Summer Tourism atau Wimter Tourism, yang biasanya ditandai dengan kegiatan olah raga. b) Occational Tourism Yaitu jenis pariwisata dimana perjalanan wisatanya dihubungkan dengan kejadian (occusion) atau suatu event, misalnya Sekaten di Solo.
5)
Pembagian menurut obyeknya a) Cultural Tourism Yaitu jenis pariwisata dimana motivasi orang-orang untuk melakukan perjalanan disebabkan karena adanya daya tarik atau seni budaya suatu
37
tempat atau daerah. Jadi, obyek kunjungannya adalah warisan nenek moyang, benda-benda kuno. b) Recuperational Tourism Yaitu biasa disebut dengan pariwisata kesehatan, tujuannya adalah untuk menyembuhkan suatu penyakit. Misalnya mandi di suatu sumber air panas. c) Commercial Tourism Disebut dengan pariwisata perdagangan, karena perjalanan wisata ini dikaitkan dengan kegiatan perdagangan nasional ataupun internasional. d) Sport Tourism Yaitu perjalanan orang-orang yang bertujuan untuk melihat atau menyaksikan suatu pesta olah raga di suatu negara. e) Political Tourism Biasa disebut dengan pariwisata politik, yaitu suatu perjalanan yang tujuannya melihat suatu peristiwa yang berhubungan dengan kejadian suatu negara. f) Social Tourism Pariwisata sosial hendaknya jangan diasosiasikan sebagai suatu pariwisata yang berdiri sendiri. Pengertian ini hanya dilihat dari segi penyelenggaraannya yang tidak menekankan pada mencari keuntungan saja. g) Religion Tourism Jenis pariwisata dimana tujuan perjalanan yang dilakukan adalah untuk melihat atau menyaksikan upacara-upacara keagamaan. Misalnya naik haji bagi yang beragama Islam (Oka A. Yoeti, 1996: 120). Dari jenis dan macam pariwisata diatas dapat disimpulkan bahwa pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta merupakan jenis pariwisata budaya (cultural tourism), di mana bila pengunjung datang pada saat yang pas atau 38
sedang ada event misalnya sekaten di Solo pariwisata ini bisa menjadi occational tourism. Pariwisata di Keraton Kasunanan merupakan jenis pariwisata aktif, karena mendatangkan devisa bagi pemerintah setempat. Keraton Kasunanan selain dijadikan tempat berlibur, juga bisa menambah pengetahuan tentang kesejarahannya sehingga bersifat education.
c. Manfaat Pariwisata Pariwisata merupakan suatu industri yang terus berkembang dengan baik di Indonesia maupun di dunia. Bagi negara-negara yang telah maju, kepariwisataan
merupakan
bagian
dari
kebutuhan
hidup.
Kegiatan
kepariwisataan bahkan sudah merupakan aktivitas dan permintaan yang wajar untuk dipenuhi. Adapun manfaat pariwisata antara lain : 1)
Manfaat Ekonomi a) Memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Usaha kepariwisataan dengan segala kaitannya membutuhkann tenaga kerja yang banyak sehingga bersifat padat karya sehingga sangat membantu dalam memecahkan masalah pengangguran. b) Memperbesar
penerimaan
devisa
negara
yang
bersumber
dari
pengeluaran wisatawan luar negeri karena itu dapat memperbaiki neraca pembayaran negara. c) Meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tujuan wisata (DTW) yang berasal dari pengeluaran-pengeluaran yang dibelanjakan oleh para wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. d) Memperbesar pendapatan pemerintah pusat maupun daerah berupa pajak termasuk bea cukai. e) Memperbesar penanaman modal baik oleh pemerintah maupun oleh swasta di berbagai sektor yang langsung berhubungan dengan pembangunan
sarana dan fasilitas kepariwisataan maupun yang
mendukung pembangunan kepariwisataan.
39
f) Meningkatkan produksi serta transaksi barang-barang guna memenuhi kebutuhan yang timbul karena perjalanan dan kunjungan. g) Meningkatkan kepariwisataan dan menumbuhkan usaha-usaha ekonomi dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional. h) Mendorong pembangunan prasarana dan sarana terutama di daerah yang tidak memiliki potensi ekonomi kecuali dengan diselenggarakannya kegiatan kepariwisataan. 2)
Manfaat sosial-budaya dan lingkungan hidup a) Mendorong pemeliharaan pembangunan nilai-nilai budaya bangsa, menghidupkan kembali seni tradisional yang hampir punah serta meningkatkan mutu seni, baik seni tari, seni ukir, seni lukis maupun seni budaya lainnya. b) Menumbuhkan rasa kesatuan dan persatuan bangsa sebagai akibat dikembangkannya pengenalan terhadap kekayaan budaya bangsa dan tanah air. c) Meningkatkan rasa penghargaan terhadap seni budaya sendiri. d) Kontak-kontak langsung yang terjadi antara wisatawan dan masyarakat yang dikunjunginya, sedikit banyak akan menghembuskan nilai hidup baru dalam arti memperluas cakrawala pandangan pribadi terhadap nilainilai kehidupan lain. Manusia akan belajar menghargai nilai-nilai orang lain dan memperluas nilai-nilai pribadi, karena nilai pribadi yang ramah merupakan daya tarik yang dihargai orang asing. e) Pariwisata dapat mendorong terciptanya lingkungan hidup yang serasi dan harmonis, oleh karena itu wisatawan yang mempunyai tujuan pokok untuk rekreasi, menginginkan suatu lingkungan yang menimbulkan suasana baru dari kejenuhan kehidupan mereka sehari-hari (Oka A. Yoeti, 1996: 79).
d. Obyek Wisata
40
Obyek wisata yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Menurut Marriotti seperti dikutip Oka A. Yoeti (1996 : 174) ada hal-hal yang dapat menarik orang untuk berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata, diantaranya adalah : 1)
Benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta yang bersifat alamiah. Misalnya iklim, bentuk tanah dan pemandangan, hutan belukar, flora dan fauna, kawah, sungai, karang dan ikan di bawah laut, gua-gua, tebing, lembah, dan gunung
2)
Hasil cipta manusia meliputi : a) Monumen bersejarah dan sisa peradapan masa lampau. Keraton kasunanan merupakan jenis ini. b) Museum, galeri seni, perpustakaan, kesenian rakyat. c) Acara tradisional, pameran, festival, upacara naik haji, dan upacara perkawinan. d) Rumah-rumah beribadah seperti masjid, kuil, candi dan pura.
3)
Tata cara hidup masyarakat misalnya bagaimana kebiasaan hidup suatu masyarakat dan adat-istiadatnya.
e. Wisatawan Suatu daerah pariwisata akan hidup atau mengalami perkembangan jika di daerah wisata tersebut terdapat wisatawan. Banyak atau sedikitnya wisatawan yang berkunjung dapat menjadi indikator bagus tidaknya suatu tempat wisata. Wisatawan merupakan pengunjung sementara yang tinggal sekurang-kurangnya 24 jam di negara yang dikunjungi dan tujuan perjalanannya dapat digolongkan sebagai berikut : 1)
Pesiar yaitu untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan, dan olah raga.
2)
Hubungan dagang, sanak keluarga, handai taulan, konferensi- konferensi, dan misi.
41
Pelancong ialah pengunjung sementara yang tinggal di negara yang dikunjungi kurang dari 24 jam (termasuk pelancong dalam perjalanan kapal pesiar) (Oka . A yoeti, 1996: 134). Dalam prakteknya terdapat banyak batasan mengenai apa yang dimaksud dengan “wisatawan”. Dalam Intruksi Presiden No. 9/1969 dinyatakan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dari
kunjungan itu.
Dari sudut pandang ekonomi negara penerima wisatawan, wisatawan internasional dapat dibagi menjadi 2 kategori : 1) Yang benar-benar wisatawan (holiday makers) yang mengadakan perjalanan untuk kesenangan, 2) Yang datang untuk keperluan usaha atau pekerjaan (business), studi, dan misi. Dalam prakteknya, keduanya adalah konsumen dan pembawa devisa. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa mereka tidak melakukan kegiatan yang bersifat produktif di negara yang dikunjunginya, serta tidak pula melakukan pekerjaan yang mendapatkan bayaran. Dengan kata lain, uang yang mereka belanjakan tidak diperoleh dan bukan berasal dari negara yang dikunjungi (Oka . A yoeti, 1996: 185). Banyak orang asing yang berdatangan ke suatu negara, tapi mereka belum tentu sedang dalam keadaan wisata. Sebagian dari mereka ada yang bekerja dan yang berwisata. Orang asing yang bisa dianggap sebagai wisatawan, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1) Mereka yang mengadakan perjalanan untuk kesenangan karena alasan keluarga, kesehatan, dan rekreasi. 2) Mereka yang mengadakan perjalanan untuk keperluan perternuanperternuan atau karena tugas-tugas tertentu (ilrnu pengetahuan, tugas pemerintahan, diplomasi, agama, dan olah raga) 3) Mereka yang mengadakan perjalanan dengan tujuan usaha.
42
4) Mereka yang datang dalam rangka perjalanan dengan kapal laut walaupun tinggal di suatu negara kurang dari 24 jam (Oka A. Yoeti, 1985: 147). Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu, baik dengan tujuan berwisata ataupun bekerja. Berdasarkan sifat perjalanannya dan lokasi di mana perjalanan wisata dilakukan, wisatawan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Wisatawan Asing (Foreign Tourist) adalah orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang datang memasuki suatu negara lain yang bukan merupakan negara di mana biasanya tinggal. Wisatawan asing disebut juga wisatawan mancanegara atau disingkat Wisman. 2) Domestic Foreign Tourist adalah orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal di suatu negara karena tugas, dan melakukan perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia tinggal. Misalnya, staf kedutaan Belanda yang mendapat cuti tahunan dan tidak pulang ke Belanda, melainkan melakukan perjalanan wisata di Indonesia (tempat bertugas). 3) Wisatawan Domestik (Domestic Tourist) ialah seorang waga negara suatu negara yang melakukan perjalanan wisata dalam batas wilayah negaranya sendiri tanpa melewati perbatasan negaranya. Misalnya, warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan ke Bali atau Danau Toba. Wisatawan ini disebut juga wisatawan dalam negeri atau wisatawan nusantara (Wisnu). 4) Indigenous Foreign Tourist merupakan warga negara suatu negara tertentu yang karena tugasnya atau jabatannya berada di luar negara asalnya dan melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri. Misalnya, warga negara Perancis yang bertugas sebagai konsultan di perusahaan asing di Indonesia, ketika liburan ia kembali ke Perancis dan melakukan perjalanan wisata di sana. Jenis wisatawan ini merupakan kebalikan dari Domestic Foreign Tourist.
43
5) Transit Tourist adalah wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu, yang terpaksa mampir atau singgah pada suatu peiabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya sendiri. 6) Business Tourist adalah orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan bisnis, bukan wisata, tetapi perjalanan wisata dilakukannya setelah tujuan utamanya selesai. Jadi, perjalanan wisata merupakan tujuan sekunder, yaitu setelah tujuan primer (bisnis) selesai (Oka .A Yoeti, 1996: 143).
3. Keraton a. Pengertian Keraton Menurut Purwodarminto (1976: 489) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Keraton diartikan sebagai istana raja, kerajaan. Kata keraton berasal dari kata dasar ( Jawa : Lingga ) “Ratu” ditambah awalan “Ka” dan akhiran “an” menjadi “Ka-ra-tu-an”. Kemudian dipercepat pengucapanya menjadi karaton yang berarti tempat tinggal atau kediaman resmi ratu atau raja dengan keluarganya (Sri Winarni, 2004 : 26). Berdasarkan istilah tersebut Sri Winarni menjelaskan keraton menjadi dua pengertian yaitu : 1) Keraton berarti rumah atau tempat tinggal ratu. Dalam pengertian ini keraton sama dengan istana (Palace) 2) Keraton berarti negara (nagari) yaitu daerah atau wilayah tertentu yang diperintahkan oleh ratu. Dalam pengertian ini kraton sama denngan kerajaan (Kingdom) Berdasarkan pandangan Orang Jawa, kraton berasal dari kata “karatyan” atau “keraton” yang umum disebut sebagai kedhaton, pura, atau puri yang merupakan tempat raja bermukim (W.D. Miranti, 2003 : 13). Menurut Darsiti Soeratman (1989 : 1) istilah keraton menunjukan tempat kediaman ratu atau raja, yang mempunyai beberapa makna : (1) Berarti negara atau kerajaan,
44
(2) Berarti pekarangan raja yang meliputi wilayah dalam ceputi (tembok yang mengelilingi halaman) Baluwarti, (3) Pekarangan raja meliputi wilayah di dalam ceputi ditambah alun-alun. Keraton merupakan bangunan yang unik berukuran luas dengan struktur bangunan yang bersifat khusus. Keraton adalah tempat suci raja, oleh karena itu penguasa tradisional lainnya, misalnya Kadipaten tidak diperkenakan duduk di “dhampar” atau singgasana raja, jadi keraton merupakan tempat kedudukan khusus raja (Darsiti Soeratman,1989: 1). K.M Tanjung (2005 : 10) juga mengatakan bahwa istilah keraton merupakan kediaman ratu atau raja yang meliputi tempat tinggal (kedhaton) dengan halaman atau pekarangan yang dibatasi pagar atau tembok cepuri Baluwarti. Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keraton adalah pekarangan raja yang meliputi wilayah di dalam cepuri (tembok yang mengelilingi keraton) Baluwarti dan alun-alun, yang dihuni oleh raja atau ratu bersama keluarganya dengan bangunan-bangunan tempat pangeran dan para bangsawan tinggal dan bekerja.
b. Fungsi Keraton Dahulu Keraton Surakarta merupakan sebuah negara (nagari) yang memiliki susunan asli pemerintahan sendiri (otonomi), meliputi daerah atau wilayah tertentu dan rakyat (kawula alit) tertentu. Keraton Surakarta telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia yaitu sebagai negara yang mempunyai pemerintahan sendiri (berdaulat) yang dikepalai oleh seorang raja dengan sistem pemerintahan yang bersifat turun-temurun. Sebelum Indonesia merdeka, Keraton Surakarta memiliki pemerintahan sendiri yang sering dikenal dengan “swapradja” (atau pemerintahan sendiri) atau di dalam Bahasa Belanda 45
dikenal dengan istilah “verstandland” (daerah kekuasaan raja). Dengan demikian Keraton Surakarta merupakan peninggalan kenegaraan asli Indonesia Pada tahun 1746 Keraton Surakarta didirikan oleh Pakubuwono II untuk dijadikan pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur karena serangan musuh yang semula adalah pusat Kerajaan Mataram. Setelah mendiami Keraton selama 3 tahun Paku Buwono wafat (1749) dan penggantinya memerintah sebagai raja sampai tahun 1755. Dengan demikian, selama 9 tahun Keraton Surakarta berkedudukan sebagai pusat Kerajaan Mataram (Darsiti Soeratman, 1989 : 1). Sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keraton Surakarta merupakan sebuah lembaga masyarakat yang berdasarkan pada ikatan kekeluargaan
dan kekerabatan dari trah Mataram yang memiliki hubungan
darah atau keturunan Susuhunan sebagai pengayom atau pelindung kerabat Keraton serta pengemban budaya Jawa (Sri Winarti 2004: 52). Setelah merdeka 17 Agustus 1945 maka lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ikut mempengaruhi keberadaan Keraton Surakarta. Mulai tanggal 5 Juni 1947 distrik Surakarta termasuk Keraton Surakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sejak itu Keraton dengan segala aparaturnya sudah tidak lagi memiliki kekuasaan politik, berbeda dengan yang dahulu bahwa Keraton merupakan sebuah Negara (Jawa : Nagari) yang bernama Nagari Surakarta Hadiningrat yang berfungsi layaknya sebuah negara. Adapun fungsi keraton menurut Sri Winarni (2004 : 28) adalah sebagai berikut : 1) Sebagai wahyu ratu, sumber budaya Jawa atau peninggalan kebudayaan leluhur ratu Jawa. 2) Sebagai wujud atau bentuk peninggalan sejarah. 3) Sebagai bentuk asli Negara Indonesia yang memiliki tata susunan asli kultur Jawa yang diperintah oleh raja Jawa secara turun-temurun dan menjadi pusat pemerintahan.
46
4) Sebagai tempat tinggal atau kediaman resmi ratu Jawa beserta kerabat atau keluarganya Kota Surakarta sebelum perang dunia ke II pernah terbagi menjadi dua wilayah yang dipisahkan oleh rel kereta api jurusan Wonogiri. Rel tersebut hingga sekarang masih ada dan terletak di jalan Slamet Riyadi. Di sebelah selatan rel masuk wilayah Keraton Surakarta dan di sebelah utara rel masuk daerah Kadipaten Mangkunegaran yang berdiri sejajar dengan Kasunanan (Heru Suharno, 1994: 15). Bangunan Keraton sebagai situs budaya dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran sejarah karena kedua bengunan itu mengandung nilai historis (K.M Tanjung. 2005 : 4). Nilai-nilai historis dapat berupa latar belakang penelitian sejarah yang berkaitan dengan hal-hal yang nampak sebagai peninggalan sejarah tersebut (I Gede Widja, 1989: 22). Latar belakang sejarah juga mendapat perhatian
dari guru sejarah karena disinilah unsur-unsur
inspiraktif atau edukatif bisa diungkap. Dalam penelitian ini Keraton berfungsi sebagai tempat pariwisata budaya atau cultural tourism.
47
B. KERANGKA BERFIKIR Kerangka berfikir merupakan alur penalaran yang didasarkan pada masalah penelitian yang digambarkan dengan skema secara holistik dan sistematik. Kerangka berfikir dalam penilitian ini adalah sebagai berikut : Kebudayaan Jawa
Keraton Kasunanan
Pariwisata
Pengemban gan pariwisata
Wisatawan meningkat
Peningkatan pendapatan asli daerah dan upaya pelestarian
Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir Keterangan : Kebudayaan Jawa adalah segala sesuatu yang bersangkutan atau berhubungan dengan budi dan akal pikiran yang menciptakan suatu peradaban yang berkembang di Jawa. Kebudayaan Jawa juga terbentuk di Surakarta karena daerah ini merupakan daerah Keraton Kasunanan Surakarta, yang merupakan
48
pusat pemerintahan saat Kerajaan Mataram, dari keraton inilah muncul suatu kebudayaan yang lahir menjadi sebuah peradaban bagi daerah dan masyarakat sekitar. Pada era sekarang Keraton Kasunanan Surakarta bukan lagi menjadi pusat pemerintahan melainkan hanya sebagai simbol kekuasaan raja saja. Keraton Kasunanan Surakarta memiliki nilai kesejarahan, nilai estetika, nilai etika dan nilai edukatif yang memadai. Hal itulah yang menyebabkan Pemerintah Kota Solo mengembangkan Keraton Kasunanan Surakarta bukan saja hanya sebagai simbol kekuasaan raja tetapi juga dibentuk sebagai tempat wisata yang memiliki berbagai kelebihan. Hal ini diwujudkan dengan membangun fasilitas-fasilitas yang mendukung pariwisata keraton. Hal ini dilakukan agar wisatawan tertarik untuk mengunjungi Keraton Kasunanan Surakarta. Kunjungan wisatawan ini akan mengakibatkan beberapa dampak yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Misalnya, kunjungan wisatawan mempunyai dampak ekonomi kepada daerah tujuan wisata yang didatangi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung adalah dengan adanya kunjungan wisatawan, maka akan menciptakan permintaan terhadap fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan jasa
industri
pariwisata
seperti
hotel/losmen,
rumah
makan,
sarana
angkutan/travel biro dan jenis hiburan lainnya. Dampak tidak langsung adalah perkembangan di bidang pariwisata akan meningkatkan juga bidang-bidang lainnya. Kehidupan sosial daerah sekitar wisata Keraton Kasunanan akan terasa kental norma-norma yang berlaku. Dalam kehidupan budaya, masyarakat sekitar lebih open minded terhadap karakteristik manusia, karena karakteristik setiap wisatawan berbeda-beda Pariwisata Keraton dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Solo secara otomatis. Apabila PAD tinggi maka kesejahteraan warga Solo juga akan mengalami peningkatan, selain itu juga pariwisata ini
49
menjadi salah satu cara untuk menjaga kelestarian budaya, karena dengan PAD yang meningkat maka pemerintah juga akan memiliki anggaran tersendiri untuk melakukan perbaikan di Keraton Kasunanan Surakarta.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan 1. Tempat Penelitian Tempat atau lokasi pelaksanaan yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber data yang bisa dimanfaatkan oleh peneliti (H.B. Sutopo, 2002 : 52). Sumber tempat yang dimaksud adalah tempat dimana penelitian dilaksanakan. Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di sekitar lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta. Dari pemahaman lokasi dan lingkungannya peneliti bisa secara cermat mencoba mengkaji dan secara krirtis menarik kemungkinan kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak disetujuinya judul skripsi ini, yaitu November 2008 sampai dengan November 2009. Tabel 1. Waktu Penelitian No
Jenis Kegiatan
Bulan 2008
2009
Nov Des 1
Jan
Feb
Persiapan a.Pengajuan judul b. Penyusunan Prop.
x x
50
Mar
Apr
Mei
Jun
Juli
Agus
Okt
Nov
2
c. Permohonan izin
X
d.Membuat instrumen
X
Pelaksanan Penelitian a. Pengumpulan data
x
x
x
x
x
b. Analisis data
x
x
x
x
x
c. kesimpulan 3
x
Penyusunan laporan
x
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk penelitian Bentuk penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatif
yaitu penelitian yang menghasilkan karya ilmiah yang
menggunakan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dengan orang-orang atau perilaku yang dapat diamati terhadap status kelompok orang atau manusia, suatu obyek, dan suatu kelompok kebudayaan (Lexy J. Moleong 1991:3). Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, dan masyarakat) pada saat sekarang berdasarkan pada fakta-fakta yang tampak (Hadari Nawawi, 1995:63). Adapun ciri-ciri pokok dari metode deskriptif adalah (a) memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang aktual, (b) menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki, diiringi dengan interpretasi nasional (Hadari Nawawi, 1995:64). Pada penelitian kualitatif, teori dibatasi pada pengertian: suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proporsi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris (Lexy J. .Moelong, 1991: 9). Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu cara dalam meneliti peristiwa masa sekarang dengan mendasarkan pada suatu teori yang diujikan kembali dan menghasilkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang tertentu atau perilaku yang diamati dengan menggunakan langkah-langkah tertentu. 51
x
2. Strategi penelitian Ditinjau dari inti masalah yang diselidiki, teknik, alat yang digunakan, serta tempat dan waktu penelitian yang dilakukan, penelitian deskriptif kualitatif terdiri atas beberapa jenis dan diantaranya adalah studi kasus. Studi kasus merupakan strategi penelitian yang fokus permasalahanya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata, dimana batasan antara fenomena dengan konteks tersebut tidak jelas, sehingga perlu banyak sumber-sumber fakta (Robert.K.Yin, 2000) Moh.Nazir (1983:66) berpendapat studi kasus atau penelitian kasus (case study) adalah penelitian tentang status subyek penelitian dan yang dimaksud dengan etnografis adalah usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan. Strategi peneltian yang digunakan adalah studi kasus terpancang tunggal. Menurut Yin penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang menyelidiki sebuah fenomena aktual yang terjadi dalam konteks kehidupan, sehingga diperlukan banyak sumber-sumber fakta (Robert.K.Yin, 1987 : 23). Penelitian ini menggunakan
studi
kasus
karena
penelitian
ini
mengkaji
mengenai
pengembangan pariwisata yang dilakukan terhadap Keraton Kasunanan Surakarta, serta pengaruh atau manfaat yang ditimbulkan dari pengembangan pariwisata tersebut terhadap masyarakat di sekitarnya. Menurut Hermawan Wasito (1993:70) dalam studi kasus, penelitian dilakukan terhadap satu aspek tertentu yang telah ditentukan. Menggunakan studi kasus terpancang karena variabel yang menjadi permasalahan telah ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti. Terpancang tunggal karena dalam penelitian ini peneliti terarah pada satu karakteristik, artinya penelitian ini hanya dilakukan pada satu sasaran. Sasaran penelitian adalah meneliti kegiatan kepariwisataan di Keraton Kasunanan Surakarta. Menurut Sutopo pada penelitian terpancang peneliti sudah memilih dan menentukan variabel yang menjadi fokus utamanya sebelum memasuki lapangan studinya (Sutopo, 2002:112). Dalam penelitian ini sasaran yang akan diteliti sudah ditentukan sebelum peneliti terjun ke lapangan dengan mengambil aspek yaitu
52
lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah.
C. Sumber Data Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh (H.B Sutopo, 2002:102). Menurut Suharsini Arikunto (1993:102) yang dimaksud dengan sumber data dalam peneltian adalah subyek dari mana data diperoleh. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Informan Informan merupakan sumber data yang sangat penting karena bisa menjadi sumber data primer dengan segala informasi yang dimilikinya. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi penelitian (Lexy J. Moloeng, 2002:62). Informan-informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah : a. Pengelola Keraton Kasunanan Surakarta. b. Pejabat terkait di lingkungan Dinas Pariwisata dan BAPPEDA Kota Surakarta. c. Pejabat terkait di lingkungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Propinsi Jawa Tengah. d. Masyarakat sekitar keraton. e. Wisatawan yang terdiri dari domestik dan foreign.
2. Tempat dan Peristiwa Informan merupakan sumber data penting, tetapi tempat dan peristiwa yang terjadi di dalam dan di sekitarnya juga mempunyai peran yang sangat penting.
Tempat dalam penelitian ini adalah bangunan Keraton Kasunanan
Surakarta dan benda-benda yang ada di dalamnya, sedang peristiwa yang dimaksud merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam Keraton Surakarta
53
dan sekitarnya yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian, misalnya ada acara Grebeg Maulud dan Tingalan Jumenengan PB XII.
3. Dokumen Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang dapat digunakan sebagai sumber data untuk memperoleh informasi tentang situasi dan kondisi pada masa lampau yang sangat berkaitan erat dengan kondisi peristiwa yang saat ini sedang dipelajari. Menurut Lexy J. Moloeng (2002:178) dokumen resmi terbagi dalam dokumen internal dan dokumen eksternal. Dokumen internal berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tertentu yang digunakan dalam kalangan sendiri. Dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, berita yang disiarkan kepada media massa. Dalam dokumen juga terdapat beragam gambar yang berkaitan dengan aktifitas dan kondisi yang diperlukan sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber data. Gambar bisa berupa gambar apa saja yang memang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Dalam penelitian ini dokumen dan arsip yang akan digunakan adalah berupa dokumen dan arsip yang ada di Dinas Pariwisata, BAPPEDA Kota Surakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Propinsi Jawa Tengah serta buku-buku yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian ini yang diperoleh dari perpustakaan. Gambar digunakan sebagai sumber data adalah gambar peta Kota Surakarta dan gambar berupa foto-foto dari Keraton Kasunanan Surakarta serta foto dari lingkungan di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan cara-cara yang ditempuh peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan sehingga datadata yang dipergunakan menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Observasi
54
Teknik observasi digunakan untuk mendapatkan data-data dari sumber data berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda, dan rekaman gambar. Menurut Hadari Nawawi (1995:100), observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak terhadap obyek penelitian. Spradly (1980) dalam H.B Sutopo (2002:65) menjelaskan bahwa pelaksanaan teknik dalam observasi dibagi menjadi dua yaitu : (1) Observasi tak berperan sama sekali, dimana kehadiran peneliti sama sekali tidak diketahui oleh subyek yang diamati, (2) Observasi berperan, dimana peneliti mendatangi tempat atau lokasi penelitian dan kehadirannya diketahui oleh yang diamati. Observasi berperan dibedakan lagi menjadi tiga yaitu : (1) Observasi berperan pasif, dimana peneliti hanya mendatangi lokasi tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai pengamat pasif namun hadir dalam konteksnya, (2) Observasi berperan aktif, peneliti mengambil studi di lokasi dan juga mengambil bagian nyata dalam kegiatan yang ditelitinya disamping terlibat dalam percakapan atau menyimak apa yang dibicarakan oleh sasaran pengamatan, (3) Observasi berperan penuh, peneliti memiliki peran penuh, peneliti benar-benar terlibat dalam kegiatan yang ditelitinya. Dari berbagai teknik yang ada, dalam penelitian ini digunakan teknik observasi berperan aktif, karena peneliti terlibat dalam percakapan, menyimak apa yang
dibicarakan
mengenai
sasaran
pengamatan,
serta
mencatat
dan
mengumpulkan keterangan-keterangan yang diperoleh dalam obyek penelitian.
2. Wawancara Teknik wawancara merupakan teknik yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif, terutama di lapangan. Menurut Lexy .J. Moleong (2002:135) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Wawancara harus dilakukan dengan efektif, artinya dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat diperoleh data sebanyak-banyaknya (Suharsimi, Arikunto 1993:198).
55
Sebelum mengadakan wawancara, maka diadakan persiapan dengan menghubungi informan dan menyusun sejumlah pertanyaan atau yang disebut teknik wawancara terencana yaitu teknik wawancara dengan terlebih dahulu mempersiapkan daftar pertanyaan dengan menggunakan bantuan alat tulis (Koentjoroningrat 1983:138). Hal tersebut bertolak belakang dengan anggapan H.B Sutopo wawancara dalam penelitian kualitatif dilakukan secara tidak terstruktur atau sering disebut dengan teknik wawancara mendalam, sehingga wawancara bersifat “open-ended” dan mengarah kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal terstruktur, guna menggali pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasinya secara lebih jauh dan mendalam. Dalam hal ini posisi subjek lebih berperan sebagai informan daripada responden (H.B Sutopo 2002:59). Peneliti memutuskan untuk menggunakan teknik wawancara bebas terbuka sehingga informan dengan sukarela memberikan keterangan-keterangan sesuai dengan masalah yang diteliti. Tanpa harus kehilangan benang merah antara judul penelitian dengan hasil wawancara.
3. Analisis Dokumen Analisis dokumen adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam arsip dan dokumen. Menurut Yin (1987) dalam H.B Sutopo (2002:70) analisis dokumen disebut sebagai content analysis, yaitu bahwa peneliti bukan sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga maknanya yang tersirat. Oleh karena itu dalam hal ini peneliti harus bersikap lebih kritis dan teliti. Teknik analisis arsip dan dokumen ini dilakukan paling awal guna melihat dan menghimpun pengetahuan tentang sumber yang menuliskan dan membahas mengenai upaya pengembangan yang dilakukan terhadap kepariwisataan Keraton Kasunanan Surakarta, hal ini dimaksudkan agar dalam penyajian laporan akhir tidak mengalami kesulitan karena apa yang tercantum dalam dokumen atau arsip
56
yang ada setidaknya tidak menyimpang jauh dari peristiwa yang menjadi obyek penelitian. Dalam penelitian ini analisis dokumen dilakukan dengan mneganalisa peta, data-data dari dinas yang terkait dengan penelitian ini, serta buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.
E. Teknik Sampling Dalam penelitian yang berjudul Pengembangan Pariwisata di Keraton Kasunanan
Surakarta
Dan
Pengaruhnya
Bagi
Masyarakat
Sekitar
menggunakan teknik sampling yaitu suatu teknik yang digunakan untuk memilih orang yang akan dijadikan informan. Menurut H.B Sutopo (2002:55) teknik sampling adalah suatu bentuk khusus atau suatu proses yang umum dalam memfokuskan atau pemilihan dalam riset yang mengarah pada seleksi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini bersifat purposive sampling atau sampling bertujuan. Dalam hal ini peneliti memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang memiliki kebenaran dan pengetahuan yang mendalam. Namun demikian, informan yang dipilih dapat menunjukkan informan lain yang dipandang lebih tahu. Maka pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. (H.B Sutopo 2002:56). Teknik purposive sampling juga digunakan atas dasar teknik ini dipandang mampu menangkap kedalaman data dalam menhadapi realitas jamak dan tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi tetapi untuk kedalaman penelitian dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, penentuan sampel dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam Pengembangan Pariwisata di Keraton Kasunanan Surakarta, baik pengelola Keraton Kasunanan Surakarta, wisatawan, maupun masyarakat di sekitarnya.
F. Validitas Data
57
Dalam penelitian, validitas data berguna untuk menentukan valid dan tidaknya suatu data yang akan digunakan sebagai sumber penelitian. Data yang diperoleh perlu diuji untuk menghasilkan data yang valid. Menurut Kartini Kartono (1990:111) validitas data adalah alat ukur yang berfungsi untuk mengukur dengan tepat dan mengenai gejala-gejala sosial tertentu. Keabsahan data menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data saat data diuji keabsahannya melalui trianggulasi. Menurut Lexy.J. Moleong (2000:178) Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan dan pembanding terhadap data itu. Selanjutnya Patton dalam H.B Sutopo (2002:78), menyatakan ada empat macam trianggulasi yaitu : (1) data triangulation, dimana peneliti menggunakan beberapa sumber untuk mengumpulkan data semacam, (2) investigator triangulation, yaitu pengumpulan data semacam dilakukan oleh beberapa peneliti, (3) methodological triangulation, penelitian dilakukan dengan beberapa metode yang berbeda, dan (4) theoretical triangulation yaitu melakukan penelitian dan datanya dengan menggunakan beberapa perspektif yang berbeda. Dalam hal ini peneliti menggunakan dua teknik trianggulasi dari empat trianggulasi yaitu trianggulasi data dan trianggulasi metode. Menggunakan trianggulasi data, karena dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber, baik dari masyarakat di sekitar keraton maupun pejabat terkait di lingkungan Dinas Pariwisata, BAPPEDA, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala kemudian informasi dari narasumber yang lain, sehingga data sejenis bisa teruji kemantapan dan kebenarannya. Menggunakan tringgulasi metode, karena dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan metode-metode yang berbeda-beda, ada yang menggunakan metode wawancara, observasi, maupun metode analisis dokumen.
G. Teknik Analisis Data Menurut Patton (1980) yang dikutip oleh Lexy.J. Moleong (2003:103) mengatakan bahwa analisa data adalah proses mengatur urutan data,
58
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Lexy.J. Moleong (2003:103) analisis data sebagai proses yang mencari usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesa (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Dalam penelitian kualitatif proses analisis data dilakukan sejak awal bersamaan dengan pengumpulan data. Dengan demikian proses analisis data dilakukan terus-menerus dan berkelanjutan selama perjalanan penelitian. Menurut Suharsini Arikunto (1993:102) menganalisa data membutuhkan ketekunan dan pengertian terhadap jenis data. Teknik analisis data merupakan teknik dalam memeriksa dan menganalisis data sehingga menghasilkan data yang absah dan dapat dipercaya. Dalam penelitian ini, analisis data yang dipergunakan adalah analisis interaktif. Miles dan Huberman (1992:16), menyebutkan bahwa analisis dalam penelitian interaktif yaitu proses analisis yang terdiri dari tiga komponen yang meliputi reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya. Dalam bentuk analisis ini, peneliti tetap bergerak dalam empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasinya, yang dilakukan selama penelitian. Sebagai penjelasan lebih lanjut di bawah ini peneliti menguraikan sebagai berikut : 1. Pengumpulan data Merupakan kegiatan dalam penelitian untuk mengumpulkan data di lapangan dari sumber-sumber data yang telah ditentukan. 2. Reduksi data Reduksi data yaitu pemilihan, pemusatan dan penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data-data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Komponen ini merupakan proses seleksi, memfokuskan, penyederhanaan, yang dilakukan selama penelitian, baik sebelum, selama, sampai kahir pengumpulan data. Reduksi data ini dilakukan sejak pengambilan keputusan
59
rancana kerja, pemilihan kasus, penyusunan proposal, membuat pertanyaan maupun cara pengumpulan data yang akan dilakukan. Hal ini akan berlanjut selama pengumpulan data berlangsung sampai akhir laporan disusun. 3. Sajian data Merupakan suatu penyusunan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 4. Verifikasi atau penarikan kesimpulan Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temukan dengan melakukan pencatatan peraturanperaturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai proporsi. Simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan model analisis interaktif, dimana peneliti bergerak di antara tiga alur kegiatan selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Adapun model teknik analisanya dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut : Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan-kesimpulan: penarikan/verifkasi
60
Gambar 2. Tehnik Analisa Data H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah tahap-tahap dari awal sampai akhir salam kegiatan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian dapat berjalan teratur, sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Secara sistematis prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Penulisan Proposal
Pengumpulan data Dan
Persiapan pelaksanaan penelitian
Penulisan Laporan
Perbanyak laporan
Gambar 3. Prosedur Penelitian Dari skema diatas dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Penulisan proposal dan persiapan pelaksanaan penelitian
61
Analisis akhir dan penarikan kesimpulan
Prosedur penelitian yang paling awal dilakukan adalah penulisan proposal. Pada tahap ini berisi garis-garis besar penelitian yang akan dilaksanakan yang meliputi perumusan masalah, penyusunan kerangka berfikir, dan pemilihan lokasi penelitian. Langkah selanjutnya mengadakan persiapan pelaksanaan, yaitu mengurus perizinan skripsi. Perizinan yang dimaksud adalah perizinan mengadakan penelitian ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan. 2. Pengumpulan data dan analisis data awal Pengumpulan data dilakukan di lapangan penelitian termasuk di dalamnya mengadakan wawancara dengan para informan dan mengadakan pengamatan terhadap obyek penelitian. Selain itu juga diadakan studi pustaka terhadap sumber-sumber tertulis yang ada kaitannya dengan topik dalam penelitian sebagai data. Data yang terkumpul kemudian di klasifikasikan, dianalisis, dan diinterprestasikan serta menjawab perumusan masalah data yang sudah terjaring diadakan analisis awal. 3. Analisis akhir dan penarikan kesimpulan Pada tahap ini, peneliti menganalisis lagi data yang telah didapat dengan teliti, jika kurang sesuai diadakan perbaikan, kemudian data tersebut dikelompokkan sesuai dengan masalah penelitian. Data yang sudah disusun rapi yang merupakan bagian dari analisis awal, maka kegiata selanjutnya diadakan analisis akhir dengan mengorganisirkan dan mengurutkan data dalam pola dan uraian dasar, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. 4. Penulisan laporan dan memperbanyak laporan Data-data yang sudah dikumpulkan disusun dengan rapi berdasarkan pada pedoman penelitian kualitatif, maka akan dapat sebuah laporan penelitian sebagai bentuk karya ilmiah. Agar dapat dibaca oleh masyarakat umum yang ingin menambah wawasan ilmu pengetahuan, maka di perbanyaklah hasil laporan ini.
62
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Seorang Panglima Tamtama dalam pasukan khusus milik Kerajaan Pajang yaitu Ki Pamanahan sangat berjasa kepada kerajaannya, oleh karena itu ia mendapat tanah yang berupa semak belukar yang kemudian diberi nama Bumi Mataram. Di Bumi Mataram itu Ki Pemanahan membangun sebuah padepokan yang kemudian berkembang menjadi sebuah pedesaan yang ramai, aman, dan tertib, sehingga Ki Pemanahan mendapat julukan Ki Ageng Mataram. Pada akhir abad ke-16 tepatnya tahun 1586 putra sulung beliau yaitu Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama mendirikan sebuah kerajaan di daerah tersebut yang kemudian diberi nama Kerajaan Mataram atau lebih dikenal sebagai Kerajaan Mataram Islam. Sejak saat itulah Kerajaan Mataram mengalami begitu banyak perubahan dan perkembangan yang akhirnya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung
63
Hanyokrokusuma (1613 – 1645 ). Pada waktu itu hampir seluruh Pulau Jawa adalah daerah kekuasaan Kerajaan Mataram . Setelah Sultan Agung wafat tahta Kerajaan Mataram digantikan oleh Amangkurat I, sejak saat itulah Kerajaan Mataram mulai lemah. Pada masa Amangkurat I banyak terjadi pemberontakan dan setelah ia wafat beliau digantikan oleh Amangkurat II. Pada masa Amangkurat II inilah Kerajaan Mataram dipindahkan ke daerah Kartasura dan setelah itu Amangkurat II wafat, digantikan oleh Amangkurat III yang terkenal dengan sebutan Sunan Mas. Pada masa tersebut bidang pemerintahan dipengaruhi oleh Belanda, pada saat itu Sunan Mas memihak Untung Suropati seorang pemberontak Belanda dan oleh karena itu Belanda menurunkan Amangkurat III dari tahta dan digantikan oleh Pangeran Puger yang kemudian bergelar Pakubuwono I. Setelah wafat beliau digantikan oleh Pakubuwono II, oleh Pakubuwono II keraton yang semula berada di Kartasura dipindahkan ke Desa Sala.
.
Keraton Surakarta didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II pada Februari 1745. Tanggal berdirinya Keraton diambil dari hari perpindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala pada hari Rabu tanggal 17 bulan sura tahun 1670 Jawa. Sinengkalan “ Kombulaning pudya kapyarsing nata “ (Sri Winarti, 2004: 23). Berdirinya Keraton Surakarta sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah rusak akibat pemberontakan orang-orang Cina di bawah pimpinan Mas Garendi (Sunan Kuning) dan pasukan Madura yang dipimpin Cakraningrat IV yang disebut dengan peristiwa Geger Pecinan atau Boyong Wukir. Pendirian Keraton Surakarta juga dikisahkan dalam babad Giyanti. Babad ini berisi tentang Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang berisi tentang pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pembagian ini juga diikuti dengan pembagian wilayah vorstenlanden (daerah rajaraja Jawa Tengah) yang meliputi Wates, Yogyakarta, Wonosari, Wonogiri, Klaten, Surakarta, Boyolali, Karanganyar, dan Sragen harus dibagi menjadi dua.
64
Kasultanan Yogyakarta menempati wilayah Yogyakarta, Wonosari, dan Wates, sedang sisanya menjadi wilayah Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta memang mendapatkan wilayah yang lebih luas, namun daerahnya termasuk tidak subur. Selain itu, babad Giyanti berisi tentang awal mula bagaimana Mataram mengumpulkan para penasehat dan para pembantunya untuk memberitahukan niatnya angalih Negara (memindahkan ibukota) yang baru saja dihancurkan oleh gerombolan Cina (sirna binasbi dening kang mangsah Cina) (Imam Baehaqi, 2002:1 ). Setelah melakukan penelitian terhadap beberapa tempat, akhirnya desa Sala terpilih sebagai tempat kedudukan Keraton yang baru berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1. Desa Sala terletak di dekat tempuran yaitu bertemunya dua buah sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Menurut kepercayaan Jawa, tempuran mempunyai arti magis dan merupakan tempat yang dianggap keramat. 2. Letak Desa Sala dekat dengan Bengawan, sebuah sungai terbesar di Jawa mempunyai arti penting sebagai penghubung Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fungsi sebagai penghubung dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan antara lain: ekonomi, sosial, politik dan militer. 3. Sala telah menjadi desa, maka untuk mendirikan sebuah Keraton tidak diperlukan tenaga pembabat hutan yang harus didatangkan dari daerah lain. 4. Dihubungkan dengan bangunan suci, Sala atau çala (Sans) yang berarti ruangan bangsal atau besar yang telah disebut-sebut dalam Oud Javaanshece Oorkonde (OJO) No.XI.III dari Singasari pada jaman Mpu Sendok (852 S.). Dalam OJO itu disebutkan nama tempat Kahyunan, ini menguatkan dugaan Purbatjaraka bahwa çala dalam OJO adalah Kota Surakarta. 5. Dihubungkan dengan kepentingan kompeni Belanda sejak tahun 1705, sesudah VOC memperoleh keuntungan besar dari PB I (1705-1719). Prinsip kebijaksanaan yang dilakukan oleh Batavia adalah mendukung dan mempertahankan Kerajaan Mataram apabila kerajaan itu menghadapi musuh. Berdasarkan prinsip ini Von Hohendorff yang pada saat itu sebagai pimpinan
65
benteng kompeni di Kartasura berhasil memantau tingkah laku PB II selama terjadi geger pacinan. Tindakan itu membawa hasil yang gemilang bagi VOC, termasuk dalam hal pemindahan Keraton. 6. Menggunakan petangan sesuai dengan adat Jawa yang berlaku. Menurut kepercayaan orang Jawa keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah tersebut. Sunan PB II menginginkan agar Keraton yang baru didirikan di sebuah tempat yang terletak sebelah timur Kartasura. Sunan memerintahkan kepada kedua orang patihnya Pringgalaya dan Sindurejo melakukan penelitian bersama komandan VOC, Mayor Von Hohendroff. Bersama mereka turut pula beberapa ahli nujum yaitu : Kyai Tumenggung Honggowongso, Raden Tumenggung Puspanagara, Raden Tumenggung Mangkuyuda. Mereka diperintahkan mencari tempat terbaik untuk dibangun sebuah istana. Setelah berjalan lama, mereka menemukan tempat yang cocok untuk tempat membangun istana, yaitu :
a. Desa Kadipala Daerah rata, subur, tanahnya bersih. Patih dan mayor Hohendroff menyetujuinya tetapi para ahli nujum kurang setuju sebab menurut ramalan mereka walaupun kerajaan nanti dapat adil dan makmur, namun kerajaan akan cepat rusak, karena banyak perang saudara. b. Desa Sala Menurut Tumenggung Honggowongso walaupun daerahnya penuh rawa, namun sangat baik untuk pusat kerajaan, sebab nantinya akan menjadi kerajaan besar, panjang umur, aman, dan makmur, tidak ada perang dan berwibawa. Tetapi Mayor Hohendroff tidak menyetujuinya karena melihat daerahya tidak rata, penuh rawa serta dekat dengan sungai. c. Desa Sanasewu
66
Daerahnya rata, namun menurut Raden T. Honggowongso tempat itu kurang cocok sebab kerajaan akan berumur pendek, banyak perang besar, dan rakyat akan kembali ke zaman Buddha. Dari ketiga lokasi tersebut, akhirnya desa Sala terpilih sebagai tempat pembangunan istana (Restu Gunawan, 1999:74). Setelah pindah dari Kartasura, Desa Sala kemudian diganti namanya menjadi Surakarta Hadiningrat. Menurut J. Brandes, nama Surakarta ternyata merupakan nama varian atau nama alias dari Sala. Surakarta berasal dari gabungan kata Sura yang berarti berani, dan karta berarti sejahtera. Nama Surakarta yang dipakai untuk nama keraton yang baru dimaksudkan sebagai imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta. Sunan PB II memang mendambakan pusat kerajaan nantinya setara dengan Jakarta yang dapat berkembang dengan pesat terutama pada saat VOC menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan. Berdasarkan alasan itulah Sunan PB II tidak lagi memakai nama Kartasura untuk keratonnya yang baru, yang ternyata tidak membawa keberuntungan (Depdikbud, 1999: 8). Nama Sala juga tidak dipakai oleh Sunan, sebab menurut kepercayaan rakyat konon kata Sala berasal dari kata desa dan ala. Jadi menunjukkan keadaan yang tidak baik dan tentu saja menunjukkan ketidak beruntungan. Selain itu, nama Surakarta nampaknya tidak berbeda dengan nama Salakarta yang disebutsebut dalam Serat Salasilah Para Leluhur Mataram Ing Kadanurejan Yogya dan Babad Mataram Salakarta. Dari kedua sumber itu dapat diambil kesimpulan, bahwa nama asli Keraton dan kediaman PB II yang baru memang Salakarta, dan baru pada masa pemerintahan Sunan PB II nama ini menjadi Surakarta (Restu Gunawan, 1999:66). Awal pemerintahan Pakubuwono II di Keraton Surakarta timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Said. Saat itu beliau menjanjikan kepada adiknya yaitu Pangeran Mangkubumi, akan diberi sebidang tanah apabila dapat menundukkan pemberontakan yang dilakukan Mas Said. Singkat cerita, Pangeran
67
Mangkubumi dapat menghentikan pemberontakan maka beliau pun menuntut janji kepada kakaknya, tetapi Pakubuwono II tidak menepati janjinya. Dilatar belakangi rasa kecewa itulah akhirnya Pangeran Mangkubumi memilih berpihak kepada Mas Said untuk memberontak kepada Pemerintahan Belanda, yang pada saat itu Belanda juga turut campur masalah kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada saat perang berkecamuk Pakubuwono II wafat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Pakubuwono III yang diangkat oleh Belanda. Saat Pakubuwono III berkuasa pemberontakan Pangeran Mangkubumi reda dengan mengadakan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Isi perjanjian tersebut adalah membagi Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Keraton Kasunanan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Pakubuwono III dan Keraton Yogyakarta diserahkan pada Pangeran Mangkubumi. Sementara itu pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Said masih tetap berlangsung, hingga akhirnya pada tahun 1775 diadakan suatu perjanjian perdamaian lagi yang dinamakan Perjanjian Salatiga yang menetapkan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta dipecah menjadi dua yang dibatasi oleh rel kereta api. Bagian selatan rel kereta api menjadi Kasunanan yaitu daerah Keraton Surakarta itu sendiri dan bagian utara rel menjadi daerah kekuasaan Mas Said, yang kemudian bergelar Mangkunegara I dan daerahnya disebut Mangkunegaran. Kedua perjanjian tersebut mengakibatkan perubahan pada wilayah Kerajaan Kasunanan Surakarta. Kehadiran residen Belanda di Surakarta pada tahun 1755 juga membawa perkembangan baru pada Keraton Surakarta yang masih bersifat tradisional. Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia yang tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kekuasaan-kekuasaan tersebut secara perlahan-lahan mulai dihapus. Pada awalnya yaitu tanggal 17 Agustus 1945 Surakarta dan Yogyakarta diresmikan sebagai daerah istimewa. Namun oleh Pemerintahan Pusat pada tahun 1946 istilah daerah Istimewa Surakarta dihapus, hal ini disebabkan
68
karena pemerintah Indonesia menilai Surakarta kurang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan sampai saat ini Surakarta menjadi kota. Hal inilah yang menyebabkan Keraton Kasunanan Surakarta hanya mendapat dana subsidi dari pemerintah yang cukup untuk memelihara kebudayaan Keraton Surakarta tersebut, sehingga Keraton Surakarta harus pandaipandai menggunakan dana subsidi bila akan mengadakan upacara-upacara adat atau tradisional. Berbeda dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana Keraton Kasultanan Yogyakarta selain mendapat subsidi dari pemerintah Indonesia juga mendapat dana tersendiri dari daerahnya. Dari latar belakang sumber dana tersebut jelas tampak perbedaan antara Keraton Kasuanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta (wawancara: KGPH Puger, tanggal 15 Desember 2009 08.32 am)
B. Deskripsi Keraton Surakarta 1. Keadaan Geografis a. Letak Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terletak di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah yang memiliki garis lintang dan bujur sebagai berikut : 110°27'0" BB - 111°20'0" BT ;7°4'0" LU - 8°10'0" LS .
Luas Kota Surakarta adalah 24 Km 2 dengan ukuran 6 Km, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 Km dari arah utara ke selatan. Kota ini berada di tanah dataran rendah di tepi sebelah barat Sungai Bengawan Solo dan berada di ketinggian tanah ± 92 meter di atas permukaan air laut. Sedangkan luas wilayah kerajaan Surakarta (sekarang eks Karesidenan Surakarta) seluruhnya adalah 6.215 Km 2 , yang meliputi Wonogiri, Klaten, Surakarta, Boyolali, Karanganyar, dan Sragen. Separuh dari daerah itu milik 69
Kasunanan dan separuh lainnya milik Mangkunagaran. Secara administratif, Karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang dan Madiun. Batas alam berupa Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang terletak di sebelah barat, Pegunungan Kendeng di sebelah Utara, dan Gunung Lawu di sebelah Timur. Antara G. Merapi dan G. Merbabu dengan G. Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten, Boyolali, dan Kartasura yang kaya akan sedimen vulkanis. Dari lereng G, Merapi mengalir Sungai Opak ke Selatan menjadi batas antara Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Yogyakarta. Sungai Dengkeng menyatu dengan Bengawan Solo yang mata airnya berasal dari Distrik Sembuyan, dengan nama Sungai Penambangan. Di Lereng Barat G. lawu mengalir Sungai Samin, Colo, Wingko, dan Jenes. Sungai-sungai ini mengalir ke dataran rendah Karanganyar yang membentuk daerah persawahan (Depdikbud, 1999:11). Sedangkan Kota Surakarta sekarang dibatasi oleh : 1) Sebelah Utara : Berbatasan dengan Karanganyar dan Boyolali 2) Sebelah Timur : Berbatasan dengan Sukoharjo dan Karanganyar 3) Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Sukoharjo
4) Sebelah Barat : Berbatasan dengan Sukoharjo dan Karanganyar b. Keadaan Tanah Menurut kepercayaan Jawa, tanah yang cocok untuk didirikan sebuah bangunan Keraton adalah tanah yang bagus dan berbau wangi. Berdasarkan hasil pengamatan dari beberapa ahli nujum dan pejabat pemerintahan akhirnya ditemukan keadaan tanah yang cocok untuk didirikan Keraton adalah di Desa Sala. Dipilihnya Desa Sala dikaitkan dengan fungsi Bengawan sebagai alat penghubung
antara
Jawa
Tengah
dan
Jawa
Timur.
J.
Noorduyn
memperkirakan, bahwa Desa Semanggi, yang terletak agak di sebelah tenggara Desa Sala, pada akhir abad XVIII merupakan bandar penting. Nama Wulayu terdapat dalam Ferry Charter abad XIV, sebuah piagam berisi
70
keterangan bahwa, Bengawan Semanggi atau Bengawan Sala mempunyai 44 buah bandar. Surabaya merupakan bandar pertama dan Wulayu sebagai bandar terakhir. Pada peta sekarang nama Wulayu tidak dapat ditemukan, tetapi nama beberapa bandar sebelum Wulayu masih dicantumkan. Oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa Wulayu letaknya dekat sekali dengan Desa Sala, disebabkan karena bandar satu dengan bandar berikutnya sedikitnya berjarak 4 sampai 7 km, atau 13 sampai 15 km. Noorduyn berpendapat bahwa satusatunya sungai di antara dua gunung tersebut adalah Bengawan Sala dan Bandar paling dekat dengan Desa Sala adalah Semanggi. Jika Semanggi sama dengan Wulayu atau Wuluyu, dapat dimengerti mengapa Desa Sala terpilih untuk tempat kedudukan keraton baru. Letak Keraton Pajang, Kartasura, dan Surakarta berdekatan satu dengan yang lainnya dan semuanya didirikan di sebelah barat Bengawan, dekat dengan Semanggi. Besar kemungkinannya bahwa jalan raya yang menghubungkan keraton-keraton tersebut di atas dengan Jawa Timur terletak di dekat Semanggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa Desa Sala itu sekarang terletak di Kecamatan pasar Kliwon. Dilihat dari wilayah Surakarta maka pemilihan tanah untuk didirikan Keraton sangatlah cocok dan tepat yang mana bangunan Keraton Kasunanan Surakarta menempatkan diri di daerah yang strategis untuk wilayah Surakarta (Babad Sala, 1984:15).
2. Keadaan Fisik Keraton Surakarta a. Susunan Umum Bangunan Keraton Surakarta Keraton Surakarta mulai dibangun pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang sudah rusak. Susuhunan Paku Buwono II membangun Keraton secara tergesa-gesa, dan perpindahan ke Surakarta dilakukan ketika Keraton dalam keadaan belum selesai. Tiga tahun setelah menempati Keraton baru Susuhunan Paku Buwono II wafat (1749), sehingga penyelesaian pembangunan Keraton ditangani oleh
71
raja-raja yang memerintah selanjutnya. Pada masa peemrintahan Susuhunan Paku Buwono X bangunan Keraton mengalami perkembangan pesat. Meskipun demikian pembagian pelataran atau halaman Keraton tidak mengalami perubahan. Dalam hal ini konsep konsentris (empat lingkaran) tetap dipakai sebagai dasar pembagian Keraton. Lingkaran pertama, Kedhaton dan sekitarnya. Lingkaran kedua, wilayah di antara dua benteng yang disebut Baluwarti. Lingkaran ketiga, yaitu Paseban yang terletak di halaman luar pintu masuk kori Brajanala, dan lingkaran keempat adalah alun-alun. 1) Lingkaran I
: Kedhaton
Kedhaton merupakan tempat yang paling keramat. Hal ini di karenakan terdapatnya Prabasuyasa, yaitu tempat menyimpan tanda-tanda kebesaran kerajaan. Kedhaton luasnya ± 92.230 m 2 , dibatasi oleh dua pintu yaitu kori Kamandungan di sebelah utara dan selatan, dan jalan Baluwarti di sebelah timur dan barat. Untuk dapat mencapai Kedhaton dari arah utara harus melalui lima buah kori, yaitu kori Gladhag, Pamurakan, Brajanala, Kamandhungan, dan Srimanganti. Di dalam lingkaran Kedhaton terdapat tiga buah halaman yaitu halaman Srimanganti, Plataran Kedhaton, dan halaman Magangan. Halaman Srimanganti terletak di sebelah utara plataran Kedhaton, memiliki dua buah bangsal yang saling berhadapan, yaitu Bangsal Marakata di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur. Kedua bangsal itu berfungsi sebagai tempat abdi dalem yang akan menghadap raja. Bangsal Marakata untuk abdi dalem lebet, sedangkan Bangsal Marcukundha untuk abdi dalem prajurit. Berikutnya halaman Magangan. Di tengah-tengah halaman Magangan terdapat Bangsal terbuka yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam barang Keraton, seperti made renggo, yaitu peralatan khitan putra dan kerabat raja. Juga berfungsi untuk menyiapkan barisan prajurit yang akan bertugas dan tempat magang bagi calon prajuri Keraton.
72
Selain itu, untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan seremoni religius Keraton seperti pembuatan kenduri gunungan dalam upacara Grebeg Syawal dan Gerebeg Maulud. Di seputar pelataran Kedhaton terdapat komplek bangunan yang bermacam-macam. Halaman yang luas di depan pendhapa Sasana Sewaka ditanami pohon sawo manila sebagai penyejuk dan memperindah pandangan. Jumlah pohon sawo manila sebanyak 88 buah yang mengingatkan angka 1888 sebagai tahun didirikannya bangunan Sasana Sewaka. Secara jelas bangunan-bangunan yang terdapat di Kompleks Istana Kedhaton antara lain : 1.1 Di pusat istana 1.1.1
Prabasuyasa Prabasuyasa adalah sebuah bangunan dalem ageng (rumah besar) yang terletak di belakang Pendhapa Sasana Sewaka. Sasana Sewaka merupakan tempat pribadi raja, yaitu tempat duduk raja saat ulang tahun naik tahta (jumenengan) di hadapan putra-putranya yang ditampilkan tarian Sakral Bedhaya Ketawang . Prabasuyasa menghadap ke selatan. Di dalamnya terdapat empat buah kamar pribadi raja beserta ranjang kebesarannya (Krobongan) berupa rumah kecil berpagar kaca. Sebelah timur disebut kamar gading, kamar besar dan kamar pusaka yang dipakai khusus menyimpan benda-benda pusaka kerajaan. Di sebelah barat, terdapat kamar prabasana yaitu tempat untuk menghadap putra raja. Prabasuyasa dibangun pada tahun 1694 Jawa.
1.1.2
Sasana Parasadya Sasana Parasadya adalah nama agi paringgitan (tempat pertunjukkan wayang). Tempat ini merupakan tempat duduk raja sewaktu menyaksikan pagelaran wayang kulit.
73
1.1.3
Sasana Sewaka Sasana Sewaka merupakan sebutan bagi pendhapa. Didirikan pada tahun 1698 Jawa (1888 M), merupakan tempat duduk raja di hadapan para abdi dalem lebet.
1.1.4
Sasana Handrawina Sasana Handrawina merupakan tempat pesta atau makan raja beserta keluarganya. Dibangun pada masa Sunan Paku Buwono VI.
1.1.5
Paningrat Paningrat merupakan teras dari pendapa Sasana Sewaka.
1.1.6
Maligi Maligi merupakan tempat khitan putra raja. Dibangun pada tahun 1882 M, terletak di sebelah Timur Sasana Sewaka.
1.2 Di sebelah timur halaman istana, terdapat tiga bangsal : 1.2.1
Bangsal Bujana, terletak di bagian selatan. Merupakan tempat untuk menjamu para tamu kerajaan.
1.2.2
Bangsal Pradangga Kidul, terletak di sebelah utara Bangsal Bujana. Merupakan tempat gamelan, yang dibunyikan sewaktu Keraton mempunyai keperluan.
1.2.3
Bangsal Pradangga Lor, letaknya di sebelah utara bangsal Pradangga Kidul. Merupakan tempat menyinpan alat-alat musik/ orkestra.
1.3 Sasana Prabu Merupakan tempat kantor raja. Letaknya di sebelah Selatan Parasadya. Adapun di sebelah Utara parasadya sebagai tempat kantor wakil raja. 1.4 Bangunan-bangunan yang mengelilingi Istana :
74
1.4.1
Sasana Wilapa (kantor Sekertariatan), terletak di sebelah utara sasana parasadya. Dahulu digunakan untuk para abdi dalem carik kasepuhan yang mengerjakan surat-surat saja. Sekarang berfungsi sebagai bagian muka dari kaputren. Jadi, untuk memperluas rumah kaputren.
1.4.2
Panti Wardaya, kantor perbendaharaan
1.4.3
Reksa Handana, kantor kas Keraton
1.4.4
Bale Kretarta, kantor perlengkapan
1.5 Panggung Sanggabuwana Panggung Sanggabuwana merupakan bangunan berbentuk menara persegi delapan, bertingkat empat, dan tingginya 30 meter. Menurut kepercayaan tempat ini digunakan untuk pertemuan antara raja dengan Kanjeng Ratu Selatan ( Kanjeng Ratu Kencana Sari ), yang beristana di Parang Tritis. Nama Panggung Sanggabuwana sebenarnya merupakan sengkalan angka tahun saat didirikannya bangunan itu. Beberapa ahli menjelaskan : 1.5.1
Menurut KRMH Yosodipuro, kata panggung merupakan gabungan kata pa dan gung. Agung artinya besar, jadi pa agung
berarti pa besar. Dalam huruf atau abjad Jawa ada
aksara yang dinamakan aksara murda (huruf besar). Huruf pa besar bentuknya sama dengan angka Jawa yang bernilai 8. Adapun kata songgo terdiri dari song bernilai 9 dan ga (angka Jawa) bernilai 1. Kemudian buwana bernilai 1. Kalau digabung mendapat angka 8911. Karena angka ini merupakan sengkalan, maka membacanya dari belakang (dari kanan ke kiri). Sehingga menjadi 1198 H atau 1782 M, sama dengan tahun 1708 Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana III. 1.5.2
Menurut Radjiman, Panggung Sanggabuwana mempunyai nama lengkap Panggung Luhur Sangga Buwana. Panggung
75
merupakan sebuah bangunan tinggi bernilai 8, luhur berarti tinggi, tidak ada, kosong, bernilai 0. Sangga adalah perkumpulan masyarakat Budhis 7 dan buwana berarti bumi, jagad, bernilai 1. Bila digabung akan menunjukkan angka 1708 Jawa. 1.5.3
Menurut RM. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisueignya, panggung bernilai 8, song (kosong) bernilai 0, ga (huruf Jawa) bernilai 7, dan buwana bernilai 1. Jadi merupakan tahun 1708 Jawa.
1.5.4
Tahun
berdirinya
panggung Sanggabuwana
dapat
juga
dijelaskan melalui sengkalan memet berupa gambar seekor ular naga yang sedang terbang yang sedang dinaiki oleh manusia. Apabila dibaca, gambar tersebut berbunyi naga muluk tinitihan jamna. Naga artinya ular raksasa bernilai 8, muluk artinya mabul atau hilang nilainya 0, tinitihan artinya dinaiki berarti 7, dan Jamna artinya manusia bernilai 1. Jadi menunjukkan tahun 1708 Jawa (Depdikbud, 1999: 13). 2) Lingkaran II : Komplek Bangunan di Baluwarti Wilayah yang disebut Baluwarti (benteng) ini terletak di luar tembok Kedhaton di kawasan bersisi empat yang luas, yang dikelilingi oleh tembok berukuran tebal 2 meter dan tinggi 3-6 meter. Ruang bertembok ini melingkari wilayah seluas 180 hektar berada di antara dua alun-alun bujur sangkar yang luas, yaitu alun-alun utara dan selatan. Wilayah ini mempunyai dua buah pintu masuk, yaitu Kori Brajanala Utara dan Kori Brajanala Selatan. Komplek bangunan Baluwarti merupakan kediaman para pangeran, kerabat raja, dan para abdi dalem. Rumah-rumah kediamanyang berada di komplek Baluwarti dapat diketahui status penghuninya yaitu dengan cara memperhatikan bentuk atau tipe rumah beserta alat perlengkapannya. Adapun tipe-tipe rumah dapat diklasifikasikan menjadi
76
tiga kelompok. Pertama, tipe rumah Jawa berbentuk Joglo dengan pendhopo, paringgitan, dalem, dengan deretan rumah di kanan kiri bangunan utama. Rumah Jawa di tipe joglo ini biasanya didirikan di halaman yang cukup luas yang di lengkapi dengan pintu masuk berupa regol. Kedua, tipe rumah Jawa ini berbentuk Limasa, dan ketiga, tipe rumah Kampung. Bentuk ketiga ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Dari ketiga tipe tersebut, untuk tipe yang pertama dan kedua biasanya dihuni oleh para bangsawan dan priyayi tingkat tinggi. Jumlahnya tidak banyak, hanya beberapa saja, diantaranya Dalem Purwodiningratan,
untuk
Bupati
Nayaka
Purwadinigrat,
Dalem
Mlayakusuman untuk pangeran Mlayakusuma, dan Dalem Mangkuyudan (menantu Susuhunan Paku BUwana X). Sedangkan, tipe rumah ketiga dihuni oleh para abdi dalem yang biasanya membentuk satu komplek hingga membentuk sebuah perkampungan yang ada dalam Baluwarti, antara lain : 1.1 Wirengan Letaknya di sebelah barat daya Kedhaton (Istana). Wirengan berasal dari kata wiring yaitu penari wayang orang atau penari tarian klasik. Dahulu wirengan merupakan tempat tinggal para abdi dalem dan sentana dalem yang mengurusi tentang tarian dan wayang orang serta hiburan lainnya. Wirengan juga bisa diartikan prajurit, sebab berasal dari kata wira-an (wira berarti prajurit). Oleh karena itu, sejak pemerintahan Sunan Paku Buwana X, abdi dalem wirengan diberi tugas untuk menjaga keselamatan raja dan istana. Selain itu, prajurit wirengan mempunyai tugas dan fungsi khusus menjaga keamanan jalannya upacara gunungan pada setiap Grebeg yang dibawa dari Kedhaton ke masjid Agung. Prajurit ini berjalan di kanan kiri gunungan dan pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat menari tayungan sepanjang perjalanan.
77
1.2 Lumbung Lumbung adalah tempat menyimpan bahan makanan milik istana. Letaknya sebelah timur Kedhaton. 1.3 Carangan Letaknya di sebelah utara lumbung, merupakan tempat tinggal abdi dalem prajurit carangan yang terdiri dari beberapa pasukan. Biasanya menggunakan sebutan carangan, misalnya prajurit Carangdiguna, Carangkartika, dan Carangwijaya. Tugas mereka adalah menjaga keselamatan raja dan kedhaton dari serangan musuh.
1.4 Tamtaman Letaknya di sebelah utara carangan, merupakan tempat tinggal abdi dalem tamtaman, yaitu prajurit pengawal raja. Termasuk dalam kelompok ini adalah prajurit Jayamantaka, Hankragnyana. 1.5 Ksatriyan Yaitu tempat sentana dalem yang menjadi abdi dalem prajurit. Tempat berkumpulnya para putra sentana dalem dan abdi dalem untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Letaknya di sebelah barat laut tamtaman. 1.6 Sasanamulya Letaknya di sebelah barat pintu gerbang utara (pintu gapit supit urang). Dahulu menjadi tempat berkumpulnya para putra raja beserta bawahannya untuk mengadakan upacara bersama-sama dengan raja. Sasanamulya pernah dipakai sebagai kantor Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI).
78
1.7 Gedong Kreta Letaknya di seblah timur sasanamulya. Gedong Kreta merupakan tempat menyimpan kereta kerajaan. Di dalam Gedong Kreta ini tersimpan 9 buah kreta, yaitu urut dari timur ke barat, meliputi : 1.1.1
Kyai Retno Juwita, yaitu kereta untuk raja atau wakilnya sewaktu mewakili undangan rapat.
1.1.2
Kyai Siswanta, yaitu kereta untuk menjemput keluarga raja.
1.1.3
Kyai Maraseba, yaitu kereta yang digunakan untuk menjemput tamu dalam negeri.
1.1.4
Kyai Retno Pambagya, yaitu kereta yang digunakan untuk menjemput tamu asing.
1.1.5
Kyai Rajapeni, yaitu kereta yang digunakan oleh raja sewaktu berkeliling menikmati keindahan kota.
1.1.6
Kyai Retno Sewaka, yaitu kereta raja untuk melayat.
1.1.7
Kyai Garudapura, yaitu jereta untuk menjemput tamu agung seperti kepala-kepala Negara baik yang dari dalam maupun luar negeri.
1.1.8
Kyai Garuda Kencana, yaitu kereta yang dipakai khusus untuk kirab guna memperingati hari ulang tahun bertahtanya raja.
1.1.9
Kyai Manik Kumala, yaitu kereta yang digunakan untuk memeriksa barisan prajurit. Juga dipakai untuk putra raja setelah tujuh hari pernikahan dengan berkeliling kota.
1.8 Rumah-rumah tempat tinggal para pangeran Letaknya di sebelah barat sasanamulya, yang meliputi Suryahamijayan yaitu
tempat
kediaman
pangeran
Suryahamijaya.
Dalem
Purwodiningratan yaitu tempat kediaman Pangeran Purwodiningrat, serta tempat kediaman beberapa orang bangsawan lainnya. 1.9 Gambuhan Terletak di sebelah barat laut kedhaton. Merupakan tempat ahli gendhing.
79
1.10 Komplek perumahan para pangeran Terletak di sebelah barat Kedhaton (Depdikbud, 1999: 18). 3) Lingkaran III : Paseban Paseban merupakan lingkaran ketiga. Letaknya di sebelah utara pelataran Kamandhungan. Ada dua tempat paseban, yaitu Sasana Sumewa atau tatag rambat yang menghadap ke utara dan Sitinggal yang terletak menyatu di belakang (sebelah selatan) Sasana Sumewa. Sasana Sumewa dahulu merupakan sebuah bangsal yang besar, beratap anyaman bambu (bahasa Jawa = gedheg, bertiang bambu), sehingga dinamakan tatag ranbat. Setelah Sunan Paku Buwana X genap berusia enam windhu atau 48 tahun, yaitu pada tahun 1843 Jawa (1913 M), tatag rambat kemudian dibangun dan diberi nama baru yaitu Pagelaran atau Sasana Sumewa sebagai tempat patih, abdi dalem bupati, dan abdi dalem yang lain ketika menghadap raja (Sumewa atau seba). Pagelaran ini setelah dibangun beratapkan seng, tiang pilar berjumalh 48 buah sebagai peringatan bahwa bangunan ini dibangun bertepatan dengan usia Sunan Paku Buwana yang ke-48 tahun. Di seputar pagelaran terdapat beberapa bangsal, yaitu : 1.1 Di depan pagelaran terdapat Pamandhangan yang setiap hari besar agama Islam digunakan untuk kandang kuda milik raja dengan pakaian lengkap. Di dekatnya terdapat bangsal Paretan, yaitu tempat parkir kereta raja atau tamu agung. Sekarang bangsal ini telah dibongkar, sebab terkena pelebaran jalan, di sebelah timur Bangsal Paretan terdapat Bangsal Patalon tempat memukul gamelan tiap hari sabtu. 1.2 Di sebelah timur pagelaran terdapat Bangsal Pacekaton, tempat para abdi dalem akan menerima hadiah dari raja. Sebagai imbangan, di sebelah barat pagelaran terdapat Bangsal Pacikeran, yaitu tempat pemberhentian abdi dalem yang akan menerima hukuman. Di sebelah tenggara pagelaran terdapat Bangsal Martalutut tempat abdi dalem
80
yang bertugas mengadili perkara. Sebelah barat daya pagelaran terdapat Bangsal Singanegara, sebagai tempat abdi dalem yang bertugas memutuskan perkara. 1.3 Di tengah-tengah pagelaran terdapat Bangsal Pangrawit. Di dalamnya terdapat damper yaitu tempat duduk raja apabila ingin memberi hadiah, memutuskan perkara, dan memberi hukuman. Bangsal Pangrawit ini dibawa langsung dari Istana Kartasura sewaktu perpindahan Keraton pada tahun 1746 dari Kartasura ke Surakarta. Selanjutnya Sitinggil, Sitinggil berasal dari kata Siti dan Inggil. Siti artinya tanah dan Inggil artinya tinggi. Jadi, sitinggil merupakan tempat yang tinggi dan dianggapnya keramat. Nama lengkapnya Siti Hinggil Binata Warata, dibangun pada tahun Siti Hinggil Palenggahing Ratu (Tahun 1701 Jawa atau 1774 M) oleh Susuhunan Paku Buwana III. Sebagai paseban Sitinggil terletak di sebelah selatan dan menyatu dengan tatag rambat, tetapi sitinggil letaknya lebih tinggi daripada tatag rambat (Pagelaran). Antara Pagelaran dengan Sitinggil dihubungkan dengan tangga berjumlah 8 buah dan 2 buah pintu, yaitu Kori Wijil I dan Kori Wijil II. Di tengah-tengah antara Pagelaran dengan Sitinggil terdapat sebuah tempat bernama Sela Pemecat, yang dahulu digunakan untuk memenggal kepala bagi orang yang mendapat hukuman mati. Sampai sekarang tempat tersebut masih dianggap keramat. Bangunan Sitinggil dikelilingi oleh pagar bsi (pancak suji). Tempat ini merupakan tempat menghadap para pejabat tinggi dan bangsawan tinggi istana. Di sekitar Sitinggil terdapat beberapa Bangsal, yaitu : 1.1
Bangsal Sewayana, dibangun oleh Sunan Paku Buwana X tahun 1813 Jawa atau 1913 M. Letaknya di tengah-tengah halaman Sitinggil, berfungsi sebagai tempat bagi para tamu undangan, para bangsawan, dan kerabat serta abdi dalem yang hendak menghadap raja.
81
1.2
Bangsal Manguntur Tangkil, yaitu tempat duduk raja pada hari-hari besar agama, seperti Grebeg Maulud, Grebeg Idul Fitri, Grebeg Idul Adha. Sedangkan untuk pertemuan lain, raja duduk di Bangsal Pangrawit di Pagelaran. Letak Bangsal Manguntur Tangkil di tengah Bangsal Sewayana.
1.3
Bangsal Witana, yaitu tempat para abdi dalem pembawa bendabenda upacara pada waktu Idul Fitri, Idul Adha. Letaknya di belakng (Sebelah Selata) Bangsal Sewayana.
1.4
Bangsal Manguneng, tempat menaruh meriam Nyai Setomi. Letaknya di dalam Bangsal witana.
1.5
Bangsal Ngangun-angun, yaitu tempat memukul gamelan setiap harihari besar Islam. Letaknya di sisi tenggara Bangsal Sewayana.
1.6
Bangsal Gandhek Tengen, yaitu tempat memukul gamelan dengan gendhing kodok ngorek setiap hari-hari besar Islam. Letaknya di sisi timur laut Bangsal Sewayana.
1.7
Bangsal Balebang, yaitu tempat menyimpan gamelan. Letaknya di sisi barat dayaBangsal Sewayana.
1.8
Bangsal Gandhek kiwo, yaitu tempat untuk menyediakan hidangan pada hari raya Islam. Letaknya di sisi barat laut Bangsal Sewayana. Jadi Bangsal Sewayana yang terletak di tengah halaman Sitinggil
dikelilingi oleh empat bangunan yang terletak di sisi barat laut (Bangsal Gandhek Kiwo), barat daya (Bangsal Balebang), timur laut (Bangsal Gandhek Tengen), dan tenggara (Bangsal Ngangun-angun) (Depdikbud, 1999: 22). 4) Lingkaran IV : Alun-alun Alun-alun (lapangan) merupakan lingkaran keempat. Ada dua buah lapangan yaitu alun-alun lor (utara) dan alun-alun kidul (selatan). Alun-alun lor merupakan halaman depan Keraton, berebntuk segi empat, berukuran 300 meter di setiap sisinya. Di tempat masuk alun-alun lor sebelah utara berdiri dua patung raksasa, Cikrabala dan Balaupata yang
82
dikenal sebagai penjaga pintu masuk kayangan. Di tengah-tengah alunalun terdapat dua buah pohon beringin Jayandaru dan Dewandaru, diapit oleh dua pasang pohon beringin yang lebih kecil yaitu sepasang di depan kori Pamarukan, dikenal dengan nama ringin Wak dan ringin Jenggot. Pohon beringin Jayandaru dan Dewandaru diberi pagar besi bersegi delapan. Oleh karena itu disebut waringin kurung sakembaran. Pohon beringin itu dibawa dari Kartasura ke Surakarta sewaktu terjadi perpindahan Keraton. Di seputar alun-alun lor yaitu di sebelah utara, di sebelah barat dan timur terdapat deretan bangunan yang disebut dengan Pakepalan. Fungsinya sebagai tempat istirahat bagi para abdi dalem setelah melakukan gladen watangan (latihan perang-perangan). Setelah tradisi gladen watangan tidak ada, yaitu sejak Susuhunan Paku Buwana XI, maka kapalan digunakan sebagai tempat istirahat para abdi dalem yang akan menghadap raja ke istana. Oleh karena itu, nama Kapalan kemudian disebut dengan Paseban. Sebagai pasangan dari alun-alun lor adalah alun-alun kidul yang berperan sebagai alun-alun pengkeran (belakang), terletak dalam lingkup Keraton.
Alun-alun
kidul
ini
keadaannya
lebih
sederhana
bila
dibandingkan dengan alun-alun lor. Hal itu, dapat dilihat dengan adanya bangunan Sitinggil yang tidak dilengkapi dengan Pagelaran. Sepasang pohon beringin yang berada di alun-alun pun tidak diberi nama dan tidak diapit oleh pohon beringin lainnya. Adapun pintu terluar sebagai pintu masuk dari arah selatan hanya terdiri dari satu kori saja, yaitu kori gadhing. Sedangkan pintu masuk dari arah utara di alun-alun lor, terdapat dua bawah kori yaitu kori Gladhag dan kori Pamarukan. Bagian barat alun-alun lor masih ada sebuah bangunan yang cukup penting yakni Masjid Agung, yang sebenarnya menurut konsep konsentris pembagian kraton terletak diluar daerah istana yang
83
sebenarnya. Masjid ini terbuat untuk umum dan berada di bawah wewenang seorang pemuka agama yang relatif mandiri, yaitu seorang pengulu yang lazim dipilih di antara keluarga daeah kauman. Kauman adalah daerah pemukiman kaum muslim yang taat beribadah yang terletak di sekeliling masjid. Bangunan Keraton Kasunanan Surakarta berkiblat ke arah empat penjuru mata angina atau “keblat papat lima pancer”. Pintu utama untuk memasuki pelataran keraton berada di sebelah utara, Pendapa Utama atau Pendapa Agung untuk menerima tamu kerajaan menghadap di sebelah timur, sedangkan bangunan utama atau Dalem Ageng menghadap kea rah selatan, kemudian bagian barat terdapat bangunan baru yang disebut Keraton Kulon. Bangunan Keraton Kulon ini dibuat menghadap ke barat. Arah bangunan ini mengingatkan pada “Pradaksina” dalam Agama Hindu yang berarti perjalanan mengelilingi sesuatu yang ada di sebelah kanannya. Keblat papat tersebut menurut kepercayaan orang Jawa Keraton Surakarta dijaga oleh roh halus dari empat penjuru, yaitu : ·
Dari arah timur dijaga oleh Kanjeng Sunan Lawu, keratonnya berada di Gunung Lawu.
·
Dari arah selatan dijaga oleh Kanjeng Ratu Kidul yang bernama Kanjeng Ratu Kencanasari, keratonnya berada di Dmaudra Hindia di selatan Pulau Jawa.
·
Dari arah barat dijaga oleh Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, keratonnya berada di Gunung Merapi.
·
Dari arah utara dijaga oleh Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati, keratonnya berada di hutan Krendhawahana Oleh karena itu bangunan Keraton Surakarta disesuaikan dengan
kepercayaan tersebut, antara lain : ·
Pendapa Ageng menghadap ke timur 84
·
Dalem Ageng menghadap ke selatan
·
Di sebelah barat adalah tempat belajar
·
Gapura untuk masuk keratin menghadap utara ( wawancara:Gusti Winarno, 25 Januari 2010). Demikian
tentang lingkungan fisik Keraton Kasunanan
Surakarta, yang di dalamnya terdapat ratusan bangunan dengan aneka macam bentuk, disesuaikan dengan fungsi bangunan itu. Mengingat kedudukan Kraton sebagai pusat jagat raya, maka pengaturan bangunan di dalam Kraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan warga komunitas Kraton dengan jagat raya . Dengan demikian pegaturan bangunan yang didasarkan pada pola konsentris tersebut menempatkan bangunan yang terletak di pusat (paling tengah) merupakan bangunan yang paling sakral.
b. Makna Filosofis Bangunan Keraton Surakarta Pintu masuk Keraton dari arah utara adalah Gapura Gladhag. Gapura ini berada di mulut alun-alun utara yang luas, di sana terdapat dua patung raksasa, yaitu Cikrabala dan Balaupata. 1) Patung raksasa membawa gada, disamping kanan dan kiri gapura Gladhag. Patung raksasa berarti : (a) penghalang yang sangat menakutkan, (b) watak angkara murka, kekerasan. Hal ini mengandung makna siapapun yang ingin mencapai keutamaan pastilah akan menghadapi hambatan/ rintangan yang sangat hebat, menakutkan, bila tidak tahan dan tidak tabah akan gagal cita-citanya. Untuk mencapai kasampuraning dumadi harus mampu mengendalikan nafsu keangkara murkaan, emosi, kekerasan, permusuhan, dan egoisme. Apabila semua itu masih melekat di dalam hidup manusia, maka cita-citanya untuk mencapai kasampuraning dumadi mustahil akan tercapai.
85
2) Gapura Gladhag Gladhag artinya menarik, menjerat, memperdaya hewan buruan, hewan yang akan disembelih. Biasanya hewan tersebut akan meronta, berusaha melepaskan diri ketika dijerat/ diperdaya sebelum disembelih. Hal ini mengandung makna bahwa siapapun yang ingin mencapai keutamaan lahir dan batin harus mampu mengendalikan diri, ibarat nafsu kebinatangan yang menguasai hidup harus bisa dikendalikan bahkan dihilangkan. Bangunan Gapura Gladhag yang terdiri dari pilar-pilar di puncaknya terdapat plenthon, pilar plenthon tadi jumlahnya 48 nuah. Jumlah itu merupakan peringatan bahwa pada saat gapura dibangun oleh Susuhunan PB X. Beliau berusia 48 tahun, juga sebagai peringatan bahwa masa bertahta Susuhunan PB X telah 48 tahun (1822-1870 J) 3) Gapura Pamurakan Pamarukan adalah tempat untuk menyembelih hewan buruan yang kemudian dibagikan kepada masyarakat, abdi dalem, dan kawula dalem. Pembagian itu berdasarkan pada jumlah daging yang ada dan disesuaikan hak dari penerimanya. Hal ini mengandung makna bahwa orang hidup harus mau menerima apa yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa (nrima ing pangdum). Di samping tu terkandung tuntunan bahwa orang hidup hendaknya mau peduli terhadap sesama, saling menolong, dan saling memberi. 4) Alun-alun Utara Merupakan tempat yang luas, bila siang terasa panas dan bila malam terasa dingin. Hal ini melambangkan keadaan jagat raya/ dunia ada dua hal yang berlawanan: siang-malam, suka-duka, sehingga dalam menghadapi hidup itu harus sabar, sareh, nrima. Sabar diambil dari luasnya alun-alun, karena alun-alun berfungsi sebagai tempat untuk berlatih keprajuritan, olahraga, dan untuk tempat menyampaikan Undang-undang kerajaan. Hal ini
86
mengandung makna bahwa orang hidup harus sehat dalam arti luas, mau mendengarkan, dan mentaati aturan hukum yang berlaku. 5) Pohon Beringin Pohon beringin di Keraton dengan nama Ringin Kurung Sakembaran yang berada di tengah-tengah kanan kiri jalan alun-alun utara. Di sebelah timur bernama Jayandaru berarti kemenangan, yang di sebelah barat bernama Dewandaru berarti keluhuran. Sementara pohon sejenisnya yang berada di sebelah barat daya disebut waringin Jenggot yang berarti jantan dan di timur laut Waringin Wok yang berarti betina. Sedangkan yang tumbuh di timur laut disebut Waringin Gung artinya tinggi, dan di sebelah barat Waringin Bitur artinya rendah. Semua itu melambangkan kejayaan dan keagungan kerajaan yang diperintah oleh seorang raja. Pohon beringin disamping sebagai lambing kejayaan dan keagungan juga sebagai lambing pengayom, keadilan, dan kewibawaan. 6) Masjid Agung Di sisi barat alun-alun lor masih ada sebah bangunan yang cukup megah yaitu masjid agung. Setiap raja senantiasa memperhatikan tempat ibadah itu, karena semenjak berdiri kerajaan di tanah Jawa mulai Demak-PajangPlered-Kartasura-Surakarta, tidak lepas dukungan dari para wali yang sudah membawa dan menyebarkan agama Islam. Itu berarti kita harus selalu beribadah kepada Tuhan sesuai agama dan kepercayaannya masingmasing. 7) Pagelaran Sasana Sumewa Merupakan Pasowanan pepatih dalem beserta reh-rehanya, tempat meyampaikan peraturan-peraturan atau undang-undang, maka tempat ini mengandung
makna
bahwa
dalam
kehidupan
sehari-hari
atau
bermasyarakat harus ada peraturan-peraturan (Jawa : tata karma). Bangunan di tengah Sasana Sumewa dinamakan Bnagsal Pangrawit, dibawa dari Keraton Kartasura, yang berasal dari Majapahit yang
87
diboyong ke Demak berturut-turut sampai Keraton Kasunanan Surakarta. Sehingga Pagelaran Sasana Sumewa merupakan lambang peraturan dan tata cara. Karena itu sebuah keraton, ada raja berarti ada undang-undang dan tata cara. Di dalam Bangsal Pangrawit terdapat Batu Lempeng, yang dahulu merupakan batu tempat duduk raja Hayam Wuruk di Majapahit. 8) Sitinggil Sitinggil merupakan tanah yang tinggi. Ketinggian tanah tersebut merupakan lambang bahwa jika kita sudah melaksanakan tuntunan mulai dari gapura Gladhag, Pamarukan, Alun-alun dengan pohon beringin sakembaran, Pagelaran, kemudian samapi tanah yang tinggi dapat dikatakan bahwa kita sudah naik tingkat yang berarti kita sudah memiliki kedewasaan jiwa. Siapapun orang yang sudah berjiwa dewasa, maka akan menemukan sifat “sepuh”, biasanya tidak lagi menjadi pemarah. Sareh, mudah memberi maaf kepada siapapun. Jalan menuju sitinggil undhak-undhakan yang ditengahnya terdapat batu lempeng yang diplester bernama Sela Pamecat, dibawa dari Kartasura. Batu tersebut pernah digunakan untuk memecah kepala Trunajaya tahun 1680 M. Di akhir undhak-undhakan terdapat pintu yang bernama kori Wijil, yaitu untuk mengingat nama pujangga besar pendamping Yosodipura I yang bernama P. Wijil. Juga merupakan ajaran kepada kita supaya berhati-hatu bila berucap atau wijiling lesa agar tidak menyakitkan hati orang lain. 9) Bangsal Sewayana Sewayana berasal dari kata Sewa dan Yana. Sewa berarti lenggah dan yana berarti pandang. Jadi Sewayana merupakan tempat palenggahan yang luas sehingga dapat melihat ke arah jauh. Tempat ini untuk pasowanan para pangeran putra, sentana, abdi dalem, bupati, bupati anom, ketika Susuhunan miyas sinewaka di Sitinggil utara Keraton Surakarta. Sebelah Selatan tengah Bangsal terdapat bangunan kecil menghadap utara,
88
dinamakan bangsal Manguntur Tangkil, yaitu tempat duduk raja ketika sinewaka biasanya setiap senin dan kamis atau ketika raja memutuskan perkara. Bangsal ini juga dinamakan bangsal pancaniti, artinya ketika memutuskan perkara dihadiri oleh lima pembesar : a)
Sinuhun sebagai pembesar
b)
Pepatih dalem sebagai jaksa
c)
Pujangga sebagai Panitra atau pembela
d)
Abdi dalem penghulu sebagai anggota
e)
Senopati sebagai anggota.
10) Bangsal Witana Di belakang Bangsal Maguntur Tangkil terdapat bangunan terbuka yang dinamakan Bangsal Witana yaitu tempat duduk abdi dalem estri, yang bertugas membawa ampilan keprabon : Sawunggaling, Kuthuk Emas, Hardawalika, yang semuanya serba emas serta kelengkapan senjata anatara lain : tombak, pedhang, tameng, panah dll. Semua benda itu mengandung makna bahwa hidup di dunia ini pasti banyak permasalahan, banyak perkara yang perlu diselesaikan. Penyelesaian masalah harus dilaksanakan dengan bijaksana penuh dengan kewibawaan dan tidak pilih kasih. Di belakang Bangsal Witana terdapat tembok penyekat atau kelir dan di sebelah timur dan barat tembok terdapat undhak-undhukan yang terkait dengan kelir tersebut disebut kori Renteng. Setelah undhakundhukan terdapat pintu yang bernama kori Mangu makna dari semua itu adalah : a) Lambang penutup rahasia kehidupan, artinya bahwa di dalam tubuh itu terdapat hal yang rahasia dan tidak boleh dijamah siapapun. b) Sebagai tameng sekat tempaan angin, menurut ajaran Hyang Hendra dan Hyang Bayu bahwa siapapun yang dapat membuka tabir penyekat tadi berarti dapat menyatunya umat dan pencipta Manunggaling Kawula Gusti. Namun demikian untuk mencapai Manunggaling
89
Kawula Gusti harus menghadapi banyak rintangan dan hambatan yang berat.
11) Kori Brajanala/ Kori Gapit Brajanala berasal dari kata braja dan nala. Braja artinya senjata tajam atau api, nala artinya hati atau perasaan. Jadi Brajanala berarti tajamnya perasaan yang harus ditunjukan apabila seseorang akan masuk atau keluar dari komplek istana. Di kanan kiri pintu Brajanala terdapat bangsal Brajanala yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono III tahun 1708 Jawa 1782 M bersama dengan pembangunan Baluwarti Kori Brajanala mengandung peringatan bagi yang ingin mencapai kesempurnaan, harus bijaksana, tajam penglihatan batin berdasar prihatin. Jadi senjataya adalah hati, dala arti lain harus melaksanakan laku kebatinan, yaitu ketika manusia mencapai dewasa dalam arti lahiriah. Adapun wisamarta berarti dapat menghilangkan segala wisa menghilangkan pikiran jahat, memfitnah, membunuh, dan saling menjatuhkan. Di sebelah timur kori Brajanalana terdapat panggung tempat gentha/loceng besar yang dahulu sebagai tanda jam pada saat istirahat atau pergantian tugas saja. Disebut kori gapit karena daun pintu tersebut digapit dengan besi. Namun sebenarnya kori gapitr tersebut adalah untuk mengingat permulaan diciptakan pada masa Kanjeng Panembahan Senopati Ing Ngalaga, lengkapnya lawang Gapit Dalam Wong 1529 Jawa 12) Madherata/ Balerata Sebuah bangunan terbuka merupakan tempat untuk pemberhentian kereta atau kendaraan tamu agung kerajaan.
90
13) Kori Kamandhungan Kamandhungan berasal dari kata Mandhung. Mandhung berarti berhenti dahulu, secara lahir maupun batin menata diri, anatara lain dengan merapikan pakaian, tingkah laku, dan sikap. Oleh sebab itu, di sebelah barat dan timur di pasang kaca yang cukup besar. Mengandung ajaran bahwa siapapun hendaknya selalu mawas diri, mau melihat kekurangan sendiri, jangan merasa paling pandai, merasa jujur, padahal masih banyak kesalahan, kekurangan dan dosa. Di atas pintu kori Kamandhungan terdapat gambar lambang Keraton Surakarta, dengan berbagai macam senjata perang, di tengahnya terdapat gambar daun kapas disebut Makhuta Raja. Di tengah-tengah terdapat gambar mahkota yang berarti penguasa di bidang kebudayaan, adat. Yang menjadi pengemban adalah ang memegang tahta/raja, juga para putra sentana, abdi dan kawula Di tengah dilingkari garis berbentuk clip yang terdapat gambar Matahari, Bulan, serta jagad di tancap paku - Matahari : Surya merupakan nama Hamangkurat IV di Kartasura - Bulan
: Sasongko merupakan nama K. G. P. H. Purubaya di Kartasura
- Bintang
: Sudama merupakan nama K. G. P. H. Blitar di Kartasura Menyatunya darah ketiga tadi menurunkan Susuhunan Paku
Buwana X, yang tergambar pada jagad raya dengan buwana terpaku. Adapun pada dan kapas melambangkan pangan, sandang yang terikat pita merah putih, melambangkan terjadinya keturunan denagn perantara Ibu dan Bapak 14) Bangsal Smarakata dan Marcukundha Setelah melewati kori Kamndhungan kemudian akan memasuki Sri Manganti. Di sebelah barat dan timur terdapat dua bangunan yang
91
saling menghadap dan mirip bentukya. Yang berada di sebelah barat namanya Bangsal Smarakata dan di sebelah tiur namanya Marcukhunda. Dua bangunan tersebut mempunyai fungsi yang berlainan. Pada waktu itu dibuat oleh PB III dan disempurnakan oleh PB IV pada atahun 1714 J / 1814 M serta digunakan sebagai temmpat pisowonan para bupati, serta digunakan sebagai tempat pemberian hadiah bagi abdi dalem yang berjasa terhadap Keraton atau untuk memberikan kenaikan pangkat abdi dalem. Sekarang dipakai untuk latihan tari dan dalang. Marcukundha
artinya
tempat
api
menyala.
Bangsal
Marcukundha, dahulu dipakai sebagai tempat untuk menjatuhkan terhadap putra sentana yang bersalah. Di belakang bangunan tersebut terdapat sel-sel untuk memenjarakan putra sentana dalem yang terkena hukuman. Kedua tempat tesebut sebenarnya memberi tuntunan/ajaran bahwa seorang raja/pemimpin tidak boleh pandang bulu terhadap siapa saja, yang berjasa akan mendapat hadiah dan yang bersalah akan mendapat hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya. Jadi raja/pemimpin harus berlaku adil dan tidak pilih kasih. 15) Sri manganti Sri Manganti terdiri dari dua kata yaitu Sri dan Manganti. Manganti artinya menunggu dan Sri artinya Raja, jadi Sri Manganti artinya menunggu perintah raja. Bangunan ini dibuat oleh Susuhunan PB IV pada tahun 1718J / 1792M. Pada sisi kanan dan kiri pintu dindingnya terdapat lambang padi kapas, sebagai lambang dan permohonan bahwa masyarakat ingin selalu hidup subur tentram dan makmur kecukupan kebutuhannya. Kemudian di sebelah dinding atas terdapat lambang / gambar beberapa pusaka serta di atasnya tedapat mahkota, itu berarti ajaran untuk bisa meredam segala kekerasan, kerusuhan dan supaya terjadi kerukunan. Bentuk bangunan Sri Manganti disebut Semar Tinandhu. Di belakang kori pada dinding terdapat kaca besar untuk pengilon, merupakan
92
filsafat bahwa orang yang akan masuk pintu surga, akan bertemu dengnan diri pribadinya terlebih dahulu 16) Panggung Sanggabuwana Sebagaimana kita ketahui dan dapat dilihat dari jauh, di keraton terdapat bangunan tinggi berbentuk menara yang disebut Panggung Sanggabuwana, yang mempunyai tinggi kurang lebih 30 meter yang terdiri dari 5 lantai. Dibuat dari zaman PB III dibuat oleh tukang batu yang bernama Kyai Batuiretna serta tukang kayu bernama Kyai Nayawreksa Nama lengkapnya disebut Luhur Sinangga Buwana menunjukan Candrasengkala naga muluk tinitihan jamna = 1708 Jawa. Fungsi panggung pada zaman dahulu adalah sbb : a) Untuk melihat ke arah jauh di luar keraton. Untuk mengamati gerakgerik orang atau musuh yang akan berbuat jahat b) Untuk meditasi para raja c) Melihat timbulnya bulan, guna untuk menentukan tanggal puasa dan hari raya 17) Pusat bangunan/ Telenging Keraton Setelah panggung Sanggabuwanan kita berada di suatu halaman yang luas yang ditanami pohon sawo kecik. Apabila sudah sampai disini akan terlihat segala sesuatu yang indah, didalamnya terdapat lampu remang-remang yang menghiasi pendhapa. Sebagai pusat bangunan terdapat pendhapa Agung Sasana Sewaka, yaitu tempat pisowanan raja. Setelah pendhapa agung menuju ke dalem agung Prabasuyasa yang di tengahnya terdapat Krobogan atau keranjang kebesaran raja. Hal ini mengandung makna bahwa kita sudah berhasil memasuki alam yang serba tenteram dan tenang. Sampai di sini haus senantiasa waspada, tidak boleh goyah dan terpengaruh oleh godaan siapapun. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap bangunan di Keraton Surakarta mengandung falsafah atau ajaran untuk
93
mencapai kesempurnaan hidup / kasampirnaning dumadi
(K R M H
Yosodipuro, 1994: 4).
C. Pengembangan Pariwisata Di Keraton Kasunanan Surakarta 1. Daya Tarik Keraton Kasunanan Surakarta Dalam ingatan kolektif, Kota Solo dikenal sebagai kota Plesiran ( kota tamasya), kota budaya, dan kota yang tidak pernah tidur. Berbagai kegiatan yang menarik ditampilkan, terutama melalui berbagai promosi kebudayaan. Promosi kebudayaan ini beperan secara signifikan dalam membangun ingatan kolektif tentang Kota Solo, dimana di Solo terdapat : Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran, Taman Sriwedari, Taman Balekambang, Taman Jurug, serta Bengawan Solo. Berbagai realitas simbolik ini telah mengantarkan Kota Solo sebagai salah satu kota penting yang memperkaya khasanah kultural bangsa Indonesia. Dalam ruang imajinasi publik, Kota Solo menjadi kota yang penuh dengan daya tarik kultural yang mampu menghipnotis orang-orang dari luar kota Solo maupun manca negara, sehingga banyaknya wisatawan tidak dapat dihindari. Kota Solo dihadapkan pada berbagai tantangan yang mempengaruhi dinamika internalnya Orang-orang Jawa di wilayah pinggiran Kerajaan Surakarta tempo dulu sering mengatakan hendak pergi ke “Nagari”. Yang dimaksud “Nagari” adalah ibu kota kerajaan yang kini menjadi wilayah kota Solo. Sebagai pewaris pusat kerajaan Mataram Surakarta, Kota Solo menunjukkan ciri-ciri kota yang konsentris. Pola konsentris ini terkait dengan watak yang memusat dari dalam alam pikiran tradisional Jawa. Di dalam pembagian wilayah kerajaan semuanya tetap didasarkan pada watak yang memusat, wilayah tanah dikonsepsikan dalam tiga lingkaran dengan keraton sebagai pusatnya. Pembagian wilayah pada masa kerajaan tersebut adalah :
94
1) Kutaraga atau Kutanegara dengan keraton raja sebagai titik pusat, jadi boleh disebut keraton merupakan pusat sedangkan Kutaraga atau Negara adalah lingkaran wilayah yang pertama. 2) Negara Agung adalah daerah sekitar Kutaraga, yang masih termasuk inti kerajaan, karena di daerah inilah terdapat tanah lungguh jabatan dari para bangsawan yang bertempat tinggal di Kutaraga (di daerah Bagelen wilayah Negaragung Surakarta dan Yogyakarta tumpang paruk). 3) Mancanegara adalah daerah luar Negara Agung, yang meliputi: Mancanegara Wetan di daerah Bagelen wilayah Negaragung (mulai ponorogo ke timur), dan Mancanegara Kulon (mulai Banyumas ke Barat). 4) Daerah Pasisiran, terdiri dari : Pasisiran Kulon (Demak ke Barat) dan Pasisiran Wetan (Demak ke Timur) (G.Moedjanto, 1998 : 112). Daya tarik yang didominasi oleh pusat ini menjadikan kota Solo sebagai wilayah migrasi yang hingga kini mengalir terus. Daya tarik tersebut meliputi :
a. Museum Keraton Kasunanan Surakarta Museum keraton merupakan kelompok bangunan yang denahnya membentuk empat persegi panjang membujur arah utara-selatan. Di lihat dari atapnya museum keraton terdiri dari empat komponen bangunan. Untuk memudahkan uraian maka komponen bangunan tersebut berturut-turut dari utara disebut bangunan sisi utara, bangunan sisi barat, bangunan sisi selatan, dan bangunan sisi timur. 1)
Bangunan sisi utara Bangunan
sisi
utara
membujur
dari
arah
timur-barat.
Berdasarkan struktur bangunan atapnya bangunan sisi utara ini berdenah ukuran 6m x 38 m bangunan berbentuk limas pada ujung timur dan bentuk kampung pada ujung barat. Penutup atap berupa seng gelombang dicat dengan warna merah meni. Pada bangunan sisi utara terdapat sebuah
95
pintu utama untuk memasuki museum. Di sisi utara dan selatan bangunan terdapat selasar/teras masing-masing selebar 4 m. Selasar/teras sisi utara saat ini difungsikan untuk loket tempat penjualan tiket masuk museum sedangkan selasar/teras sisi selatan untuk lalu lintas pengunjung museum. Atap selasar ditutup dengan seng gelombang berwarna merah meni sedangkan di bawah atap dipasang eternity. Atap tersebut disangga oleh tiang-tiang dari pipa besi setiap interval 4 m dengan tambahan konsol untuk menyangga talang-talang. Di antara atap bangunan dan atap selasar tedapat lubang ventilasi berbentuk bulat berukuran 55 cm pada setiap interval 3 m. Lubang ventilasi tersebut ditutupi dengan ukiran kerawang dari kayu. Bangunan
sisi utara terbagi menjadi empat ruang masing-
masing dari timur ke barat adalah lorong pintu masuk/ruang penghubung. Ruang gamelan 1, ruanng souvenir dan ruang gamelan 2.
1.1. Lorong pintu masuk / ruang penghubung Lorong pintu masuk berukuran 4 m x 6 m ruang ini pada sisi timur berbatasan denga kamar mandi/WC dan sisi barat berbatasan dengan ruang gamelan 1. Pintu masuk utama pada sisi utara berukura lebar 2.20 m x tinggi 3.90 m dengan sedikit lengkung pada bagian atas. Kosen maupun daun pintu dibuat dari kayu jati daun pintu berbentuk lawang kupu (dua inep) dicat dengan warna kuning muda berpadu dengan warna biru tua pada listnya. Pada sisi selatan terdapat lubang pintu tanpa daun dengan ambang atas berbentuk lengkung. Lubang pintu ini diapit oleh dua pilar diberi hiasan list-list vertikal sedangkan pada bagian atas diberi hiasan profil pelipit horizontal. Lubang pintu ini berukuran 2.20 m x 3.90 m. Lantai ruanagan berupa keramik berwarna putih berukuran 30 x
96
30 cm sama dengan lantai kamar mandi/WC sedangkan plafon dari eternity dengan ketinggian ± 7 m dari lantai. 1.2. Ruang Gamelan I Ruang ini mempunyai denah ukuran 6 m x 12 m berlantai ubin abu-abu dengan ukuran 20 cm x 20 cm dan hanya mempunyai satu pintu masuk di sisi selatan berukuran 2 m x 3 m. Daun pintu berbentuk lawang kupu dibuat dari kayu jati polos tanpa hiasan. Di dalam ruangan ini terdapat seperangkat gamelan, yang dibuat pada masa Susuhunan PB IV. 1.3. Ruang Souvenir Ruang souvenir adalah sebuah ruang semi terbuka yang memisahkan antara ruang gamelan I dan II. Menurut informasi tempat ini dahulu digunakan untuk tempat souvenir namun saat ini tak digunakan lagi sehingga hanya merupakan ruang kosong dengan sepasang meja dan kursi. Pada dinding utara terdapat sebuah pintu yang tidak difungsikan lagi. Pintu tersebut berbentuk “lawang kupu“ dengan hiasan ukiran tempel berwarna kuning keemasan. Dinding sisi utara maupun pintunya diberi cat warna hijau daun. Sedangkan dinding lainnya diberi cat warna biru muda. Pada sisi selatan terdapat lubang berbentuk persegi panjang berukuran 4 m x 3 m. Lantai ruang berupa tegel abu-abu berukuran 30 cm x 30 cm. 1.4. Ruang Gamelan II Sama seperri ruang gamelan I, ruang gamelan II berisi seperangkat gamelan. Ruang ini berukuran 6 m x 20 m dengan satu pintu di dinding selatan.
2)
Bangunan sisi barat
97
Berdasarkan struktur atapnya bangunan sisi barat berdenah berukuran 6 m x 180 m membujur arah utara-selatan bersambung dengan bangunan Panti Pidana. Atap bangunan berbentuk limasan dengan penutup dari seng gelombang. Di sisi selatan bangunan ini terdapat bangunan membujur timur-barat dengan bentang 6 m yang merupakan lanjutan dari Koken. Atapnya juga berbentuk limasan. Atap bangunan tersebut dipisahkan oleh talang sedangkan pemisah ruangan antara bangunan panti pidana museum dan koken adalah lorong pintu atau ruang penghubung. Bangunan sisi barat yang saat ini berfungsi sebagai museum terdiri dari 7 ruang display dan 2 ruang penghubung atau lorong pintu. Bangunan tersebut dilengkapi dengan emperan atau selasar selebar 4 m pada sisi barat dan timur. Emperan tersebut mempunyai atap tersendiri yang berupa seng gelombang yang diletakkan di bawah atap bangunan dan atap emperan terdapat lubang ventilasi dengan 55 cm setiap interval 3 m dilengkapi semacam teralis dari kayu yang berupa ukiran kerawang bermotif suluran. Di bawah atap terdapat lisplang dengan tepi berbentuk deretan segitiga bergerigi dipadu dengan motif lengkung. Emperan sisi timur disangga oleh deretan tiang besi setiap interval 4 m diberi cat warna biru. Lantai emperan ditutupi dengan tegel abu-abu berukuran 30 cm x 30 cm. Menurut informasi atap selasar sisi selatan sepanjang 36 m pernah runtuh dan kemudian diganti dengan konstruksi baru dari kayu Kalimantan. Pada saat ini atap selasar tersebut belum dipasang langit-langit Emperan sisi barat disangga oleh deretan tiang yang dibuat dari kayu berjumlah 15 buah setiap interval 4 m. Yang menarik perhatian bahwa tiang-tiang tersebut mempunyai bentuk yang sangat spesifik dengan hiasan ukiran yang sangat bagus pada bagan kepala tiang. Tiangtiang tersebut dicat dengan warna biru muda dipadu dengan biru tua.
98
Bentuk tiang seperti tersebut
mengingatkan
kita pada tiang gaya
korinthis yaitu penampang tiang bulat bergaris-garis vertikal kaki tiang berbentuk cincin dan kepala tiang diberi hiasan berupa motif tumbuhan Selain itu, yang menarik perhatian adalah bahwa pada kepala tiang tersebut terdapat ukiran tulisan “PB X”. Berbeda dengan sisi timur lantai emperan/selasar sisi barat ditutup dengan peluran atau polesteran halus. Sedangkan langit-langit emperan dari papan kayu yang dicat warna biru muda dan di tengahtengah plafon tersebut pada setiap jarak 4 m terdapat hiasan berupa ukiran tempel dari kayu. Hiasan tersebut digunakan untuk tempat gantungan lampu-lampu hias. Saat ini lampu hias asli sudah tidak dijumpai lagi sedangkan lampu hias yang ada sekarang hanyalah tiruan. Menurut salah seorang putra Dalem merupakan lampu hias tiruan ini merupakan lampu yang meniru bentuk lampu lama. Pada bangunan sisi barat yang menghadap pelataran kraton terdapat 8 (delapan) buah pintu yang mempunyai bentuk, ukuran dan hiasan yang sama. Pintu-pintu tersebut saat sekarang tidak berfungsi lagi sebagai pintu karena ditutup untuk keperluan display museum. Lubang pintu berukuran 170 cm x 300 cm dengan daun pintu berbentuk lawang kupu. Diatas gawang pintu terdapat ventilasi berbentuk hiasan ukiran kerawang dengan motif sulur-suluran, ditengah-tengahnya terdapat ukiran berbentuk bintang bersudut sepuluh. Di atas kosen pintu terdapat hiasan ukiran membentuk bintang bersudut segitiga/semacam gunungan yang ditempelkan pada tembok dan motif sulur-suluran menyerupai hiasan “naga paksi”. Ditengah-tengah hiasan tersebut terdapat tulisan “PB X”. Pada tembok sisi timur terdapat empat buah pintu dengan peletakan yang tidak teratur. Bentuk dan ukran pintu ini sama dengan pintu-pintu pada bangunan sisi utara dan timur. Menurut informasi pintu pada tembok sisi timur ini dahulu berjumlah 8 bauh, mempunyai bentuk
99
hiasan dan ukuran yang sama dengan pintu-pintu yang menghadap pelataran kedhaton. Untuk memenuhi keperluan display museum maka pintu-pintu tersebat dibongkar, sebagian ditutup tembok dan sebagian dibuat pintu baru. Bongkaran-bongkaran pintu tersebut saat ini masih tersimpan di gudang sebelah selatan berjumlah 8 buah. Berdasarkan foto lama hasil repro foto koleksi kerabat kraton, pada bangunan museum sisi barat menghadap ke taman (timur) terdapat kanopi atau bangunan kuncungan yang disangga oleh tiang-tiang dari pasangan bata. Tampak pada foto tersebut dibelakang kuncungan kanopio terdapat sebuah pintu diapit oleh dua buah jendela kaca. Sayang sekali foto tersebut tidak diketahui tahun pembuatannya. Sampai sekarang tiangtiang dari pasangan bata tersebut maupun bekas potongan kanopi yang menempel tembok bangunan masih dapat kita jumpai. Sedangkan pintu dan kedua jendela yang mengapit pintu saat ini sudah ditutup tembok. Seperti telah disebutkan di muka bangunan museum sisi barat ini mempunyai 7 (tujuh) ruang display dengan 4 (empat) pintu yang menghubungkan dengan selaras timur. Antara ruang display satu dengan lainya dihubungkan oleh lubang pintu tanpa daun. Lantai ruang display berupa tegel abu-abu ukuran 20 cm x 20 cm. Sesuai dengan fungsinya sebagai museum maka ruang-ruang tersebut berisi koleksi benda-benda kuna milik Keraton Surakarta. Jenis-jenis benda yang dipamerkan antara lain berupa gambar raja-raja Keraton Surakarta, kursi-kursi raja dan almari., alat-alat trasportasi seperti kereta Joli, kyai Rajamala (bagian dari perahu), senjata, benda-benda perunggu seperti arca Budha, Durga, Avalokiesvara, Siwa, Kuwera dan lain-lain, juga beberapa relief yang ditempelkan di dinding, maket, alat-alat upacara dan sebagainya. Untuk memenuhi display koleksi maka ruang-ruang tersebut ditata sedemikian rupa dimaksudkan untuk memperoleh aspek keindahan dan kenyamanan. Untuk itu di dalam ruang museum dapat kita saksikan almari fitrin yang ditempelkan di tembok sehingga deretan pintu sisi barat di tutup tembok
100
dan sebagian dibuat lagi dengan pintu-pintu baru sama dengan pintu-pintu pada bangunan sisi utara dan timut. Pada ketinggian ± 3,5 m dari lantai dipasang plafon berupa triplek berukuran 1 m x 2 m. Ruang display bangunan sisi barat ini diapit oleh dua ruang penghubung atau lorong pintu yaitu sisi utara menghubungkan museum dengan peralatan keraton, dan sisi selatan menghubungkan museum dengan koken, ruang penghubung atau lorong pintu ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama dengan ruang penghubung bangunan sisi utara. Lantai pada kedua ruangan ini lebih rendah ± 10 cm dibandingkan dengan lantai selaras maupun ruang museum. Penutup lantainya adalah plesteran sedangkan plafonya dari papan kayu jati yang dipasang pada ketinggian 7 m, berada di atas lubang ventilasi dan di cat dengan warna kuning atau krem. Ditengah-tengah plafon tersebut ditempel
hiasan
ukiran sama dengan ukiran pada plafon selaras sisi barat untuk tempat gantungan lampu. 3)
Bangunan sisi timur Berdasarkan struktur atapnya bangunan sisi timur berdenah ukuran 6 m x 140 m. Atap bangunan berbentuk limas pada ujung utara dan bentuk pelana dalam bentuk selatan. Struktur atap ditopang oleh pasangan bata setebal 48 cm. Pada tembok sisi timur yang berbatasan dengan jalan jero benteng wetan setiap 11,5 m diperkuat dengan struktur tembok setebal 90 cm di bagian bawah dan 30 cm di bagian atas selebar 115 cm sampai ketinggian 4.40 m. Di atasnya pada ketinggian 4,50 m dari tanah terdapat lubang ventilasi berbentuk lingkaran 55 cm setiap jarak 3 m. Penutup ventilasi adalah ukiran kerawang dari kayu. Lubang ventilasi seperti tersebut juga terdapat pada tembok sisi barat. Atap bangunan ditutup dengan seng gelombang berwarna merah meni. Di bawah atap bangunan terdapat atap selasar/emperan yang juga ditutup dengan seng gelombang. Atas emperan tersebut ditopang oleh tiang-tiang dari pipa besi dicat warna biru setiap interval 3 m. Langit-langit selasar
101
berupa eternity berukuran 1 m x 1 m sedangkan lantainya dari tegel abuabu berukuran 30 cm x 30 cm. Bangunan sisi timur ini terdiri dari 6 ruang dengan ukuran yang berbeda. Ruang paling utara digunakan untuk kamar mandi/ WC berukuran
6 m x 6 m. Lantai ruang ini ditutup dengan keramik ukuran
30 cm x 30 cm, sedangkan ruang paling selatan berukuran 6 m x 26 m digunakan untuk gudang. Adapun empat ruang lainnya digunakan untuk display koleksi museum. Empat ruang tersebut masing-masing dari utara berukuran 6 m x 44 m, 6 m x 27.5 m, 6 m x 10 m dan 6 m x 26 m tiga ruang di sebelah selatan dihubungkan oleh lubang tembok penghubunng, sedangkan ruang paling utara terpisah. Keempat ruang display koleksi museum mempunyai pintu dengan bentuk dan ukuran yang sama di sisi barat menghadap ke taman. Lantai ruang display dan gudang berupa ubin abu-abu berukuran 20 x 20 cm dan telah dinaikan ± 10 cm dari lantai semula yang berupa plesteran. 4)
Bangunan sisi selatan Bangunan sisi selatan merupakan bangunan baru yang pernah digunakan untuk gedung SMEA swasta. Saat ini gedung tersebut tidak digunakan lagi. Sebagian dibiarkan kosongan dan sebagian digunakan untuk gudang . Menurut informasi, pada bagian selatan kompleks museum ini dahulu terdapat bangunan pendopo menghadap ke utara yang disebut Dalem Kadipaten. Di tempat inilah Pangeran Adipati Anom tinggal sebelum menjadi raja. Pada denah situasi Keraton Surakarta yang dibuat oleh Victor Zimmerman yang pernah mengunjungi Keraton Surakarta pada tahun 1915. Dalem Kadipaten masih terlihat namun mengetahui kapan Dalem Kadipaten itu dibongkar tidak ditemukan data yang pasti. Kemungkinan sumur yang masih dapat kita saksikan di halaman museum sisi selatan adalah sisa-sisa Dalem Kadipaten. Sumur tersebut saat ini masih dikeramatkan dan dibuatkan bangunan penutup di atasnya.
102
5)
Lain-lain Di tengah kompleks bangunan museum membentang sebuah halaman yang luas berukuran 32 m x 144 m membentang arah utaraselatan. Permukaan tanah halaman lebih rendah 50 cm dari permukaan lantai selasar yang dihubungkan oleh undakan dengan dua ank tangga. Di depan bekas kanopi terdapat taman berbentuk lingkaran (bundar) yang dikelilingi pagar teralis dari besi dipadu dengan pasangan bata diplester dengan berbentuk segi delapan setiap jarak 1.5 m dengan ketinggian ± 7 cm. Di tengah-tengah taman tersebut, terdapat sebuah patung wanita gaya Italia berdiri di atas pasangan bata yang diplester benrtuk persegi. Di sekeliling halaman tersebut selain ditanam jenis tanaman hias, juga terdapat tanaman buah seperti pohon kelengkeng, jambu, mangga dan pohon-pohon besar lainnya Tanaman hias selain ditanam langsung di tanah, banyak juga yang ditanam di pot. Sedangkan pohon besar seperti pohon kelengkeng di tanam di dekat bangunan sehingga sebagian ranting dan daunnya berada di atas atap selasar. Di sebelah selatan taman
bundar terdapat sebuah potongan
balok kayu jati yang diberi atap pelindung. Potongan balok kayu jati tersebut merupakan sisa balok kayu jati dari hutan Donoloyoyang dipakai untuk membangun kembali keraton setelah terbakar pada tahu 1985 Di sebelah selatannya lagi terdapat sebuah sumur kuno berbentuk persegi dan diberi atap pelindung semacam cungkup. Peninggalan Keraton Surakarta,
selain berupa bangunan-
bangunan ada pula yang berupa benda-benda peninggalan yang terdapat di komplek Keraton Surakarta. Di depan Sasana Sumewa diletakkan tiga buah meriam. Meriam-meriam tersebut masing-masing bernama Kyai Pancawarna, Kyai Brasta, Kyai Segarawarna. Meriam Pancawarna dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram ,
meriam ini
bentuknya paling besar di antara meriam-meriam yang lain. Meriam ini disebut Kyai Sapujagat.
103
Selain itu di tepi halaman depan Sitinggil terdapat 8 buah meriam urut dari sebelah barat ke timur adalah sebagai berikut : a.
Kyai Bringsing, pemberian dari Raja Siam
b.
Kyai Bagus, pemberian Jenderal Van Der Leen
c.
Kyai Nangkula, pemberian dari VOC
d.
Kyai Maesa Kumali, dibuat pada zaman Mataram 1545 Jawa 1623 M
e.
Kyai Kumbarawi, dibuat pada zaman Mataram 1545 Jawa 1623 M
f.
Kyai Sadewa, pemberian dari VOC
g.
Kyai Alus, pemberian Jenderal Van Der Leen
h.
Kyai Kadhal Buntung / Kyai Pemecut, dibuat pada zaman Mataram (DepKebPar, 2001 : 7) Selain meriam, juga terdapat benda-benda peninggalan sejarah
yang tersimpan di Museum Keraton Surakarta, yang terdiri dari beberapa ruang, berikut ruang-ruang dalam museum Keraton Surakarta beserta detail isinya : Ruang I Gambar-gambar foto raja dan ukiran kursi raja : a. Gambar Susuhunan Paku Buwana V - XII b. Gambar Susuhunan Paku Buwana X duduk dengan pakaian kebesaran c. Satu gambar kanjeng emas permaisuri Susuhunan Paku Buwana X d. Kursi ukir dadri zaman Susuhunan Paku Buwana IV 1788 – 1820 e. Dua buah kursi ukir dari Gianyar Bali yang dipersembahkan kepada Susuhunan Paku Buwana X f. Sebuah kursi tenpat duduk Susuhunan Paku Buwana X g. Dua buah almari dari zaman Susuhunan Paku Buwana X
104
Ruang II Dalam almari-almari kaca dipamerkan bermacam-macam benda dan arca perunggu, antara lain Buddha Awalokiteswara dan beberapa arca batu dari zaman purbakala : a.
Arca Dewa Kuwera
b. Arca Dewi Durga c. Arca Dewi Tara d. Arca Dewa Siwa Mahaguru
Ruang III Terdapat kuda dari kayu lengkap dengan pakaiannya untuk dinaiki pengantin laki-laki kerajaan.
Ruang IV Adegan pengantin perempuan dan laki-laki duduk bersila di depan Krobogan diapit oleh dua orang patah sakembaran. Satu joli besar sebuah tempat pakaian ukir-ukiran dibuat pada aman Paku Buwana X. Pada dinding terdapat relief : a. Relief
keberangkatan calon
pengantin kerajaan laki-laki dan
perempuan dari keraton ke kepatihan b. Relief adegan pengantin menjalankan upacara ijab nikah c. Relief adegan pengantin panggih yaitu pengantin perempuan dipertemukan dengan pengantin laki-laki .
Ruang V 105
Terlihat adegan kesenian rakyat : a. Adegan pergelaran wayang kulit purwo dengan kelir wayang dan dalang b. Pada dinding terdapat relief : 1) Klenengan yaitu musik Jawa tanpa penari 2) Pertunjukan wayang kulit 3) Pertunjukan wayang kulit pada upacara perkawinan, supitan, ruwatan dan bersih desa. c. Pada dinding sebelah barat dalam almari kaca terdapat adegan : 4) Wayang Kulit Purwa 5) Wayang Kulit Gedhok 6) Wayang Kulit Madya 7) Wayang Golek dari kayu, berbemntuk manusia 8) Wayang Klitik, seperti wayang kulit yang dibuat dari kayu
Ruang VI Di ruang ini terdapat bermacam-macam topeng yang digunakan khusus dalam tarian topeng. Ceritanya mengambil dari cerita Panji Inukertapati, Asmarabangun, Dewi Galuh, Candrakirana, Klana. Pada dinding timur di perlihatkan lukisan relief : a.
Relief pertunjukan Jaran Kepang
b.
Relief pertunjukan tarian Tayub yaitu seorang wanita menari dan menyanyi diiringi gamelan
c.
Relief pertunjukan Lawung : dua orang naik kuda membawa sodor bertarung diiringi gamelan
d.
Relief pande keris atau tukang membuat keris
e.
Relief upacara keselamatan
106
Ruang VII Di ruang ini terdapat beberapa benda alat upacara antara lain : a. Bokor, Kendil b. Perhiasan Di ruang tengah terdapat sebuah payung bersusun tiga untuk upacara khitanan Susuhunan PB IV.
Ruang VIII Ruang koleksi tandu, kramun unutuk memikul putri raja / penari srimpi Ruang IX Koleksi kereta para raja : a. Kereta kyai Gruda, dadri zaman Susuhunan PB II di Kartasura tahun 1726, persembahan VOC b. Kereta kyai Garuda Putra, kereta yang dipakai pada zaman Susuhunan PB X untuk menjemput tamu agung c. Kereta kyai Maraseba, yaitu untuk titihan Susuhunan PB III d. Di sebelah selatan dalam almari kaca terdapat pakaian kusir / pengemudi kereta dan pakaian kuda
Ruang X Pada dinding terdapat lukisan Relief : a.
Relief pertemuan antara Susuhunan PB IV dengan pangeran Diponegoro pada waktu Perang Jawa. Keduanya dilukiskan dengan naik kuda
b.
Relief pengadilan pada zaman kuno
107
Ruang XI Terdapat beberapa koleksi senjata kuno antara lain : bedil, pistol, pedang, tameng
perisai, keris, panah dan pelana kuda. Di sebelah utara di
perlihatkan drama suatu adegan di masa perang antara Pangeran Diponegoro dengan Kompeni Belanda di Gua Selarong tahun 1825-1830. a. Pangeran Diponegoro mengendarai kuda putih b. Sentot Prawiroredjo
Ruang XII Tempat Kyai Rojomolo. Di ruang ini terdapat patung kayu, Kyai Rojomolo yaitu patung kepala raksasa untuk hiasan perahu ,pada zaman Susuhunan PB IV.
Ruang XIII a. Keramik dan porselin kuno yang dahulu menjadi perlengkapan rumah tangga dan dapur b. Alat untuk memasak nasi untuk keperluan perang
b. Aset-Aset Budaya Yang Dimiliki Oleh Keraton Keraton Kasunanan Surakarta sebenarnya mempunyai banyak asset budaya apabila ditangani secara maksimal. Bermacam aset budaya tersebut dapat meningkatkan daya tarik keraton tersendiri. Adpun aset-aset budaya yang dapat diandalkan adalah : 1) Kirab Pusaka
108
Kirab pusaka ini dimulai pada tengah malam pada setiap malam tanggal
1. Suro.
Definisi
kirap
pusaka adalah
mengarak
atau
mempertontonkan pusaka-pusaka keraton kepada massa dengan cara berjalan mengelilingi keraton. Pada zaman dahulu pusaka yang dikirab ini oleh masyarakat mempunyai tujuan untuk melindungi dan menjaga keselamatan negara dari segala kejahatan dan hal-hal yang tidak baik. Beberapa pusaka terutama tombak diarak keliling keraton dengan diiringi kerbau bule milik keraton. 2) Grebeg Maulud ( Bakdha Maulud ) Grebeg Maulud lebih dikenal dengan sebutan “Sekatenan” diadakan satu tahun sekali. Sebelum Grebeg Maulud diadakan perayaan sekaten selama tujuh hari yaitu pada tanggal 5 sampai 12 maulud. Selama tujuh hari tersebut mengalun gamelan sekatenan yang ditabuh di Bangsal Masjid Agung. 3) Tinggalan Dalem Jumenengan Susuhunan PB XII Tinggalan Dalem Jumenengan berarti suatu peristiwa atau peringatan penobatan raja. Pada saat ini masih dilaksanakan setahun sekali tepatnya pada tanggal 2 ruwah yaitu pada waktu penobatan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB XII. Dalam upacara penobatan tersebut diadakan pasowanan yaitu para kerabat keraton dan abdi dalem dengan berpakaian Jawa lengkap
datang menghadap raja kemudian
disajikan tarian sakral yaitu tarian Bedoyo Ketawang. Keesokan harinya raja dengan mengendarai Kereta Garuda Kencana mengelilingi wilayah kerajaan dengan diikuti oleh para kerabat dan abdi dalem keraton
c. Daya Tarik Lainnya Di Sekitar Keraton Beberapa obyek lain yang berada di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta yang dapat menunjang terhadap daya tarik keraton Obyek-obyek tersebut antara lain :
109
itu sendiri.
1) Makam Kyai Solo Makam ini terletak di dalam Benteng Baluwarti yang hanya menempuh 10 menit perjalanan dari Museum Keraton Kasunanan Surakarta. Kyai Solo adalah seorang
pertapa yang sangat sakti dan
daerahnya dijadikan cikal bakal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta. Setiap malam jumat banyak ziarah datang untuk meminta berkah. 2) Tempat Penyimpanan Kereta Kencana Tempat ini menyimpan kereta-kereta kuda yang pernah digunakan oleh putra raja dan putri-putrinya. Di tempat ini juga disimpan Kereta Garuda Kencana yang dipergunakan oleh Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB XII untuk melakukan kirab mengelilingi keratonnya. Tempat ini terletak di sebelah barat laut dari Kori Kemandhungan. 3) Penyimpanan Gerbong Kereta Api Susuhunan PB X Tempat ini berada di alun-alun selatan kurang lebih 15 menit perjalanan menuju tempat tersebut . Di tempat tersebut terdapat kereta jenasah PB X yang berhadapan dengan kereta pesiar PB X. Tempat tersebut mengandung makna bahwa selain hidup di dunia terdapat juga dunia yang lain yaitu dunia akhirat. 4) Masjid Agung Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun utara keraton. Masjid ini dibangun oleh PB II dan dipercantik oleh PB X. Bangunan masjid ini kebanyakan berwarna biru dan memiliki sebuah gapura yang mempunyai arti pengampunan. 5) Pasar Klewer Pasar ini terkenal dengan tempat penjualan bermacam-macam kain terbesar di kota Solo, dimana pedagang dari luar daerah mengambil barang daganngnya di Pasar Klewer. Pasar ini terletak di sebelah barat Keraton Kasunanan Surakarta
110
6) Tempat Persembhayangan Agama Hindu Tempat ini selain untuk memanjatkan doa bagi para penganut Agama Hindu juga sebagai tempat meditasi. Tempat ini terletak di sebelah timur museum Keraton Kasunanan Surakarta Aset-aset tersebut sangat mendukung kepariwisataan Keraton Kasunanan Surakarta yang harus dipelihara dan dikenalkan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, pihak keraton harus mengangkat aset-aset tersebut sebagai daya tarik wisatawan selain keraton itu sendiri.
2. Perkembangan Wisata Keraton Kasunanan Surakarta a. Perkembangan Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang ada di Obyek Wisata Keraton Kasunanan Surakarta dari awal dijadikannya Keraton sebagai obyek wisata sampai sekarang tidak banyak mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan untuk tetap menjaga unsur estetika dan etika dari suatu Keraton, renovasi yang dilakukanpun tidak menyimpang dari bentuk aslinya. Perkembangan yang terjadi hanya di beberapa bangunan untuk tujuan pariwisata. Bangunan yang dimaksud adalah : 1) Loket/tempat pembelian tiket masuk Loket ini berada di samping Kori Kamandhungan. Loket ini selain berfungsi menjual tiket juga menjual barang-barang khas keratin misalnya: buku-buku yang berhubungan dengan keraton, kain leher keraton (yang berwarna merah-kuning), minyak wangi.
2) Area parkir Area parkir merupakan lokasi yang sudah ditentukan untuk menempatkan kendaraan. Luas area parkir harus proporsional dengan prediksi jumlah rata-rata kendaraan pada saat pengunjung ramai. Di
111
keraton ada dua tempat parkir, yaitu parkir bus pariwisata yang terletak di timur Gapura Gladhag dan parkir mobil dan kendaraan roda dua yang berada di dalam keraton. 3) Loket ke dua Loket kedua ini berfungsi untuk menyerahkan tiket yang sudah dibeli di loket yang pertama, tapi di loket yang kedua ini juga menjual tiket untuk kamera dan handycam. Di loket yang kedua ini juga terdapat guide, jika pengunjung menginginkan didampingi seorang guide maka guide akan siap mengantarkan dan menerangkan tentang seluk beluk keraton. 4) Toilet Tempat ini untuk membersihkan diri, misalnya buang air kecil dan cuci kaki, biasanya setelah memasuki halaman keraton tanpa menggunakan alas. Toilet berada di tepat di pintu masuk museum keraton. Toilet ini juga selalu dijaga kebersihannya. 5) Tempat ibadah Pengunjung muslim tentunya memerlukan tempat ibadah saat mengunjungi Keraton, di Keraton terdapat langgar di depan Kori Kamandhungan. 6) Perpustakaan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan obyek wisata budaya dan wisata edukasi, sehingga di dalam keraton juga terdapat perpustakaan. Bagi pengunjung yang ingin memperdalam pengetahuan tentang keraton bisa membaca-baca di perpustakaan. Perpustakaan buka setiap senin sampai jumat dari jam 09.00 samapi 13.00.
b. Perkembangan Pengunjung 112
Keraton Kasunanan Surakarta resmi hanya sebagai simbol kekuasaan raja pada tahun 1945 setelah Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, secara otomatis Keraton kasunanan Surakarta menjadi wilayah dari Indonesia. Awal pertama yang dijadikan tempat wisata hanyalah museumnya saja. Museum Keraton Kasunanan Surakarta mulai dibuka tahun 1963 (wawancara: KGPH Poeger, tanggal 27 Desember 2009). Jumlah pengunjung yang datangpun naik turun. Seperti saat liburan sekolah atau Keraton akan punya “gawe” maka pengunjung Keraton akan meningkat, tetapi ada kalanya penurunan yaitu pada saat puasa Ramadhan (wawancara: Bu Darini, tanggal 27 Desember 2009).
c. Perkembangan Tenaga Kerja ( management) Pada awal berdirinya Keraton sebagai tempat wisata ini, sudah memiliki tenaga kerja dan pengurus yang jelas yaitu abdi dalem Keraton itu sendiri, meski dengan upah yang diterima tidak besar, hal ini karena loyalitas mereka terhadap Keraton yang sangat tinggi. (Wawancara: Bu Darini, tanggal 27 Desember 2009). Tentunya management wisata Keraton Kasunanansudah mengalami perbaikan yang signifikan, dari keahlian tiap tenaga kerja maupun dari sistem pengelolaannya.
3.
Upaya Membenahi dan Mempromosikan Keraton Kasunanan Surakarta Sebagai Daerah Tujuan Wisata Yang Baik a.
Upaya Pembenahan Kawasan
Pada dasarnya kawasan wisata budaya ini memerlukan suatu upaya pembenahan, yang dimaksud dengan upaya pembenahan adalah usaha-usaha perawatan dan perbaikan baik dari berbagi fasilitas yang terdapat di obyek wisata tersebut. Hal-hal tersebut adalah : 1)
Pemugaran Bangunan Keraton
113
Pelaksanaan pemugaran berdasarkan pada Undang-undang Cagar Budaya No. 5 tahun 1992 pasal 15 ayat 2 huruf d. Hal ini juga tercermin dalam ICOMOS CHARTER article 9 yang menyatakan secara jelas bahwa tujuan pemugaran adalah untuk memelihara dan menumbuhkan nilai-nilai historis dan estetis suatu monument, berdasarkan bahan-bahan asli dan sumber-sumber yang otentik. Dengan demikian misi pemugaran Bangunan Museum Keraton Surakarta merupakan serangkaian kegiatan untuk memperbaiki bangunan museum yang rusak pada bentuk aslinya. Pelaksanaan pemugaran Bangunan Museum Keraton Surakarta dilaksanakan pada tahun anggaran 1998 sampai dengan 2000. Dasar untuk melaksanakan pemugaran ini diperlukan pengidentifikasian kerusakan pada elemen-elemen bangunan supaya lebih jelas komponen-komponen yang dipertahankan, diganti, maupun ditambal sulam. Dalam pemugaran yang berlangsung selama 2 tahun melibatkan tenaga ahli, tenaga terdidik dan tenaga terampil. Dana yang diperlukan untuk membiayai pemugaran museum Keraton Kasunanan Surakarta adalah sebagai berikut: 1.
APBN tahun 1998/1999 = Rp 42.732.000,00
2.
APBN tahun 1999/2000 = Rp 121.561.000,00
3.
APBN tahun 2000
= Rp 30.000.000,00
Bangunan Museum Keraton Kasunanan Surakarta yang dipugar meliputi bangunan di sisi timur, sisi selatan, dan sisi barat. Adapun sasarannya antara lain meliputi perbaikan kusen jendela dan pintu, dinding, lantai, langit-langit dan atap. 2)
Menata Lahan Parkir Tempat parkir yang tidak tertata dengan baik sering dikeluhkan oleh para pengunjung. Penyediaan lapangan parker pun dirasa masih kurang, hal ini disebabkan pasar klewer yang terletak di sebelah barat keraton ini tidak mampu menampung semua kendaraan para pedagang sehingga mereka memarkir kendaraan mereka sepanjang alun-alun utara sehingga mengakibatkan kemacetan lalu-lintas. Selain itu para penarik
114
becak juga turut menyebabkan kemacetan lalu-lintas tersebut. Oleh karena itu Badan Pengelola Keraton Kasunanan Surakarta menggandeng Pemkot Surakarta untuk menertibkan pengguna jalan dengan membuat lapangan parkir serta memasanng rambu-rambu lalu-lintas sepanjang alun-alun Utara. Penyediaan lapangan parkir dapat di tempatkan di bekas kantor pemadam kebakaran PEMDA Surakarta atau dapat di tempatkan di Alunalun Selatan Keraton Surakarta dan juga bagi bus-bus pariwisata sekarang di tempatkan di lahan kosong sebelah Benteng Vastenburg. Dengan adanya tempat parkir yang luas dan memadai diharapkan para wisatawan Keraton merasa nyaman saat berkunjung ke keraton. 3)
Penataan Para Pedagang Kaki Lima Sebuah obyek wisata diharapkan memiliki sebuah kenangkenangan
untuk dikenang oleh para wisatawan. Di sekitar Alun-alun
Utara keraton banyak terdapat pedagang kaki lima yang berjualan di shelter-shelter yang disediakan oleh Pemerintah Kota agar kesan keindahan dan keasrian Keraton tetap terjaga. 4)
Membuat Bak-bak Sampah Agar tetap terjaga kebersihannya maka disediakan tempat sampah di setiap meter, di lahan parkir, di dekat pedagang kaki lima.
5)
Membersihkan dan Memperbaiki Toilet yang Rusak Toilet ini bersifat untuk umum, jadi sangat diperhatikan kebersihannya agar tidak mengganggu kenyamanan di Keraton. Oleh karena itu, setiap pemakaian toilet membayar Rp 500, 00 uang ini digunakan untuk membeli peralatan pembersih dan bila ada toilet yang rusak, petugas memanggil teknisi keraton untuk memperbaikinya.
6)
Memperindah Museum Keraton Surakarta Museum Keraton Surakarta adalah pintu masuk ke keraton selain Kori
Kemandhungan. Oleh sebab itu, pihak keraton harus merawat
museum ini dengan maksimal , misalnya :
115
1.6.1
Membersihkan ruangan beseerta isinya. Membersihakan ruangan dan barang-barang yang ada di museum secara intensif sehingga ruangan tersebut tidak pengab sedangkan barang bersejarah di dalamnya dibersihkan sehingga terpelihara kebersihan.
1.6.2
Menambah penerangan. Memberkan penerangan yang cukup di dalam museum dengan menggunakan lampu yang mempunyai betuk kuno sehingga ruangan di dalam museum tidak terlihat gelap dan bentuk lampu tersebut mendukung suasana keaslian Keraton Surakarta.
1.6.3
Memakai pakaian adat. Dalam kegiatan sehari-hari pada SDM yang ada dalam museum ini seperti guide dan abdi dalem memakai pakaian daerah dalam menjalankan tugasnya atau menerapkan kembali peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh PB X. Tata cara memasuki Keraton Kasunanan Surakarta yaitu : 1. Tidak boleh memakai topi atau payung ketika di keraton 2. Tidak boleh memaki alas kaki ketika di keraton 3. Memakai pakaian adapt Jawa jika ingin berkunjung ke Keraton 4. Wanita sedang datang bulan tidak diperbolehkan memasuki Keraton (Mas Antok, Guide Museum Keraton
Kasunanan
Surakarta Hadiningrat wawancara 3 Desember 2009).
b.
Usaha-usaha Promosi
Untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan, pengelola pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta berusaha melakukan berbagai macam program promosi. Menurut KGPH Poeger (wawancara, 27 Desember 2009) kegiatan promosi yang dilakukan adalah 1)
Pihak Keraton bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha batik. Misal dengan mengadakan pentas seni dan workshop-workshop tentang batik,
116
dimana nanti kegiatan berada di wilayah Keraton. Hal ini nantinya dapat menarik pengunjung untuk mengunjungi Keraton. 2)
Pihak Keraton Kasunanan juga akan mengadakan kerjasama dengan Pemkot, disini yang dimaksud dengan Pemkot adalah Dinas pariwisata. Karena selama ini dirasa komunikasi antara pihak Keraton Kasunanan dengan Dinas Pariwisata Surakarta belum maksimal. Hal ini juga disebabkan Keraton memang berada di dalam wilayah administratif Solo, tapi tidak dikelola oleh Dinas Pariwisata Surakarta, yang mengelola wisata Keraton itu pihak Keraton sendiri (wawancara: Bu Erni, tanggal 23 Desember 2009).
3)
Selain dengan Pemkot, pihak keraton juga mengadakan kerjasama dengan biro travel, yaitu dengan memasukkan Keraton Kasunanan Surakarta menjadi salah satu tujuan wisata di biro travel tersebut.
4)
Melalui media baik media cetak maupun elektronik. Media cetak, misalnya Koran, majalah, dan pamflet melakukan promosi lewat tulisan-tulisan yang dapat mengundang rasa penasaran pengunjung untuk segera datang mengunjungi Keraton, sedang media elektronik,misalnya TV dan video yang menyuguhkan Keraton dalam bentuk visual audio jadi, keindahan dan keanggunan Keraton dapat dinikmati penikmat media elektronik dan pada akhirnya mereka akan berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta.
4. Sekedar
Sifat Kunjungan ke Keraton
informasi
bahwa
tiga
tipe
pengunjung
yang
dapat
diinformasikan kepada para pembaca. Adapun sifat kunjungan ke Keraton Kasunanan Surakarta dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis menurut dengan kebutuhannya yaitu : a. Kunjungan pelajar SMP dan SMU, dimana kunjungan mereka bertujuan untuk mengenal tentang sejarah dan budaya keraton. Bagi mahasiswa, tujuannya lebih spesifik lagi misalnya menganalisa perkembangan wisata di Keraton,
117
b. Kunjungan wisatawan domestik dan asing yang melihat keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta dari dekat. Kebanyakan para pengunjung ini adalah wisatawan domestik, yang ingin melihat secara langsung kemegahan Keraton Kasunanan Surakarta. Tapi wisatawan asing juga tidak kalah banyaknya yang berkunjung ke Keraton Surakarta. Wisatawan asing memiliki beberapa tujuan saat mengunjungi Keraton, salah satunya adalah ingin mengenal dan mengetahui tentang Keraton Kasunanan Surakarta, selain itu mereka hanya sekedar mengunjungi obyek wisata di Surakarta (biro’s travel schedule) (Wawancara: Ibu Darini, 15 Desember 2009) c. Kunjungan resmi pejabat pemerintahan yang bertujuan untuk membicarakan kerjasama dengan pihak keraton. Misalnya Kunjungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah untuk melakukan pemugaran di Keraton.
D. Dampak Wisata Keraton Kasunanan Surakarta Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Keberadaan obyek wisata Keraton Kasunanan Surakarta ternyata berpengaruh terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Perkembangan wisata Keraton Kasunanan Surakarta akan berpengaruh juga terhadap masyarakat sekitar.
Dengan perkembangan wisata yang bagus atau selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya, maka perkembangan ekonomi masyarakatpun ikut meningkat. Dengan lancarnya perekonomian, maka akan berpengaruh juga terhadap peningkatan kehidupan sosial masyarakat. 1.
Dampak Sosial
Semakin ditingkatkannya pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta tentunya akan menambah pemasukan yang akan diperoleh Keraton. Pemasukan yang didapat dari wisata Keraton ini sepenuhnya dikelola oleh pihak keraton sehingga pemerintah hanya bertindak sebagai badan pelindung saja. Pemasukan ini digunakan untuk membiayai pemeliharaan dan pengembangan obyek wisata Keraton Kasunanan serta untuk membayar gaji sejumlah abdi dalem keraton.
118
Sejak tahun 1963, awal mula wisata Keraton ini hanya berupa museum Keraton Kasunanan saja, tapi seiring bergulirnya waktu fasilitas yang ada di Keraton selalu diperbarui dan diperbaiki. Hal ini pun memiliki peran yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, seperti penuturan Dwi Hartanto (wawancara, 15 Desember 2009) “….. dengan semakin lengkapnya fasilitas yang ada di obyek wisata Keraton Kasunanan, sangat membantu masyarakat, terutama dalam hal lapangan pekerjaan. Misalnya saya sendiri, sebelumnya saya bingung mau bekerja apa dengan kemampuan yang pas-pasan dan pendidikan yang tidak seberapa, kemudian saya melihat ada kesempatan untuk bekerja sebagai tukang parkir di sini….”. Ibu Harsinah menambahkan selain bisa mendapat pekerjaan, Ibu Harsinah yang sudah berjualan lebih dari 20 tahun juga mendapatkan pengetahuan tentang budaya Keraton, adat istiadat di Keraton (wawancara, 15 Desember 2009). Pak Ngadiman, seorang abdi dalem menuturkan “…Nek rame kulo tansah pareng kathah pahala, hlawong maringi pangertosan kaliyan tiyangtiyang..”. Hal ini mengandung makna bahwa dengan dibukanya Keraton sebagai obyek pariwisata, maka budaya keratonpun menjadi wawasan publik. Adanya lapangan kerja yang didapatkan masyarakat, berarti akan meningkatnya pendapatan bagi keluarganya. Pendapatan tersebut mampu untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya dan menyekolahkan anak-anaknya. Dengan meningkatnya pendidikan masyarakat berarti semakin meningkat pula status masyarakat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan semakin ditingkatkannya wisata Keraton Kasunanan Surakarta, mempunyai pengaruh sosial terhadap masyarakat sekitar. Pengaruh tersebut di antaranya : a.
Mengubah status sosial masyarakat yang tadinya pengangguran menjadi tidak menganggur.
b.
Membuka peluang usaha, yang tadinya tidak punya usaha akhirnya mempunyai usaha sendiri.
119
c.
Meningkatnya pendidikan. Adanya lapangan pekerjaan di Keraton merupakan penghasilan bagi para pekerja tersebut, dan dengan hal itu anak-anak dai pekerja tersebut dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
d.
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi masyarakat.
2.
Dampak Ekonomi
Wisata Keraton Kasunanan sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Salah satunya membawa peluang kerja bagi masyarakat. Dengan terbukanya peluang usaha tentunya akan membawa pengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga untuk kegiatan sosial dalam masyarakat. Meskipun penghasilan yang didapat tidak begitu besar tetapi cukup untuk memnuhi kebutuhan. Orang-orang yang bekerja di Keraton Kasunanan merupakan Abdi Dalem Keraton yang sudah bekerja lebih dari separuh hidupnya, dan mereka kebanyakan adalah orang-orang yang tinggal di daerah sekitar Keraton Kasunanan Surakarta. Ada sekitar 2 orang yang bekerja sebagai tukang parkir di area parkir kendaraan pribadi. Pelaksanaan perparkiran ini dilakukan oleh masyarakat sekitar Keraton. Dua orang parkir selalu datang setiap hari, bahkan pada saat liburan sekolah atau hari raya jumlah tenaga parkir ditambah seperti penuturan Dwi Hartanto (wawancara, 15 Desember 2009) “pada musim liburan sekolah atau hari raya, jumlah tenaga parkir ditambah karena jumlah kendaraan yang datang meningkat”. Ada sekitar 5 orang yang bekerja di loket tiket yang pertama. Pengunjung yang ingin memasuki museum Keraton harus membeli tiket terlebih dahulu, dan 4 orang di loket yang ke dua. Ada dua tempat loket, karena yang pertama berfungsi untuk menjual tiket dan tempat yang kedua untuk pengecekan tiket dan pembelian tiket untuk kamera dan handycam. Bila ada pengunjung yang tidak membeli tiket maka akan disuruh membeli tiket terlebih dahulu. Adapun dafar harga tiket di loket yang pertama:
120
Domestik
: Rp 6000,00
Foreign
: Rp 10.000,00
Kamera
: Rp 3500,00
Rombongan ( > 40 ) : Rp 5000,00 Pada saat-saat tertentu harga tiket pun mengalami kenaikan seperti saat Hari Lebaran menjadi Rp 8000,00. Ada sekitar 6 orang mungkin lebih yang bekerja sebagai guide. Guide ini bekerja secara bergilir biar semua rata dan guide ini dibayar sukarela oleh pengguna jasanya. Guide ini biasanya orang-orang sekitar yang mengetahui benar tentang seluk-beluk keraton. Ada 6 pedagang akar-akaran yang menjual akar-akaran di tepi jalan atau di pintu masuk museum. Menurut Pak Darmo Suwito (wawancara, 20 Agustus 2009) …. Saya dari tahun 1965 menjual akar-akaran ini, biasanya souvenir ini laku keras saat musim-musim liburan sekolah atau hari raya Lebaran. Penghasilan dari menjual souvenir ini cukup lumayan, karena souvenir dibuat sendiri tidak mengambil dari tempat lain….”. Pak darmo menambahkan bahwa semakin banyak pengunjung yang datang akan semakin banyak pula pendapatan yang diperoleh. Ada 4 atau 5 penarik andong di depan museum Keraton, yang siap mengantarkan pengunjung untuk mengelilingi Keraton Kasunanan Surakarta mulau dari Gapura Gladhag sampai Gapura Gading. Ada 2 atau 3 penjaga Kori Kamandhungan yang akan memeriksa pengunjung yang memiliki kepentingan untuk penelitian atau ke perpustakaan. Peraturannya pun berbeda dari museum, misalnya : a. Bagi wanita tidak boleh mengenakan celana harus mengenakan bawahan atau rok. b. Harus memakai sepatu. c. Harus berpakaian yang sopan.
121
d. Harus menjaga tingkah laku dan ucapan. Setelah memasuki Keraton, akan tampak banyak sekali abdi dalem yang mengurusi kebersihan dan keindahan Keraton, yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan. Ada 5 orang penjaga perpustakaan yang bertugas untuk menjaga kepustakaan dari Keraton. Perpustakaan dan Sasana Wilopo buka dari jam 10.00 – 13.00, sedangkan museum dari jam 10.00 – 15.00. Belum lagi kerabat-kerabat Kerajaan yang memegang jabatan di Keraton yang jumlahnya sangat banyak. Keraton merupakan suatu organisasi sehingga terdapat kepengurusan dalam Keraton itu sendiri, layaknya sebuah organisasi. Dengan adanya wisata Keraton Kasunanan Surakarta memberikan dampak kehidupan ekonomi masyarakat sekitar lokasi Keraton. Masyarakat sekitar keraton pun membuka lapangan kerja baru untuk memperoleh penghasilan, misalnya dengan mereka berjualan di sekitar keraton, menawarkan jasa, dan membantu memberikan
keterangan
mengenai Keraton. Diperolehnya
penghasilan dari sektor pariwisata berarti memberikan perubahan ekonomi menjadi lebih baik.
122
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis uraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Latar belakang atau faktor-faktor yang melatarbelakangi Keraton Kasunanan Surakarta dijadikan sebagai obyek wisata, diantaranya adalah : a.
Keraton Kasunanan Surakarta merupakan suatu tempat atau pusat dari Kebudayaan Jawa Mataram. Disinilah awal peradaban Jawa muncul.
b.
Sarana transportasi yang sangat mudah, karena terletak di jantung Kota Solo. Pengunjung bisa menggunakan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi.
c.
Keraton Kasunanan Surakarta tidak lagi mempunyai kekuasaan administratif setelah Indonesia merdeka, karena Keraton merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. Hal ini tidak membuat Keraton jatuh pamor di mata rakyatnya, karena Keraton tetap memiliki kewibawaan yang kuat di mata rakyat Jawa. Terlihat Loyalitas rakyat yang tinggi terhadap Keraton di tengah maraknya modernisasi. Ini merupakan daya tarik tersendiri bagi Obyek Wisata Keraton Kasunanan Surakarta
2.
Peninggalan-peninggalan
Keraton
Kasunanan
Surakarta
yang
dapat
dijadikan wisata Keraton berupa bangunan-bangunan dan benda-benda peninggalan yang ada di komplek Keraton Surakarta. Bangunan-bangunan tersebut dibagi berdasarkan konsep empat konsentris (empat lingkaran). Lingkaran pertama yaitu kedhaton, lingkaran kedua yaitu baluwarti, lingkaran ketiga paseban, dan lingkaran keempat yaitu alun-alun. Setiap
123
bangunan di Keraton Surakarta mengandung ajaran untuk mencapai kesempurnaan hidup atau kasampuraning dumadi. Benda-benda yang dapat dijadikan sumber pembelajaran atau edukasi berada di luar bangunan dan sebagian tersimpan dalam museum. 3.
Perkembangan obyek wisata Keraton Kasunanan Surakarta meliputi tahap pengembangan saja. Pembangunan Keraton Kasunanan awalnya adalah sebagai pusat pemerintahan atau kerajaan. Tapi pada tahun 1945 Indonesia merdeka, dan notabene Keraton Kasunanan berada di wilayah Indonesia maka pemerintahan diserahkan sepenuhnya terhadap Indonesia yang berarti mulai tahun 1945 Keraton tidak mempunyai kekuasaan apa-apa lagi. Usulan dibukanya Keraton Kasunanan Surakarta karena ada banyak orang yang ingin mengetahui kebudayaan keraton, maka pada tahun 1963 dibukalah Museum Keraton Kasunanan Surakarta. Tahap pengembangan ini mengarah pada perbaikan, baik fisik maupun non fisik. Disertai dengan usaha mempromosikan Keraton agar menjadi Daerah Tujuan Wisata.
4.
Dampak yang ditimbulkandari adanya Wisata Keraton Kasunanan Surakarta terhadap kehidupan masyarakat yaitu : a. Di bidang sosial, adanya perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat diantaranya mengubah status yang tadinya pengangguran menjadi tidak pengangguran dan membuka peluang usaha di masyarakat, b. Di bidang ekonomi, sangat berpengaruh yaitu peningkatan kesejahteraan bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Selain, dampak positif, ada juga dampak negatifnya yaitu dengan adanya wisatawan yang mengunjungi Keraton di Alun-alun Kidul menjadi tempat lokalisasi bagi wanita-wanita nakal. Hal ini juga merupakan faktor penghambat berkembanganya Keraton menjadi Daerah Wisata.
2. Implikasi Hasil Penelitian
124
Saat sekarang ini sektor pariwisata mempunyai peluang yang besar untuk dijadikan salah satu sumber pendapatan daerah, terutama pengembangan wisata budaya atau cultural tourism yang sangat jarang ditemukan. Keraton Surakarta sebagai salah satu aset wisata pemerintah kota Surakarta merupakan peninggalan sejarah dan kebudayaan Jawa di masa lalu. Keraton Kasunanan Surakarta layak menjadi daerah wisata karena (1) something to see, berdasarkan peninggalan-peninggalannya, Keraton Surakarta memiliki fakta atau bukti sejarah yang otentik, baik itu yang berupa bukti lisan, tertulis dan kebendaan. Keraton Surakarta adalah sumber kebudayaan Jawa atau Kejawen sebagai peninggalan leluhur Ratu Jawa semenjak Keraton Mataram. Peninggalan-peninggalan tersebut berupa adat, tradisi, kultur, spiritual yang mengandung makna historis, kultural dan religius. (2) something to buy, kawasan sekitar Keraton terdapat souvenir yang menjadi ciri khas Keraton Kasunanan, dan (3) something to do, di Keraton juga bisa menikmati kawasan sekitar keraton dengan menaiki andong. Keberadaan Keraton Surakarta sebaiknya tidak hanya berfungsi sebagai tempat rekreasi tetapi juga sebagai tempat penelitian dan pusat pendidikan. Pusat penelitian, karena Keraton Surakarta dapat dimanfaatkan sebagai tempat penelitian berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi, dan historis. Sedangkan sebagai pusat pendidikan Keraton Surakarta dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran sejarah. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa keberadaan Keraton Surakarta sangat penting bagi Kota Solo karena
125
selain berfungsi sebagai sumber pembelajaran sejarah, Keraton juga berfungsi sebagai tempat wisata, yang berarti menjadi sumber pendapatan daerah.
3. Saran
Berdasarkan pengalaman selama penelitian ini penulis mengemukakan saransaran sebagai berikut : 1.
Pemerintah Kota Surakarta Diharapkan ada kerjasama dan koordinasi yang lebih baik lagi antara pengelola objek wisata dengan pemerintah kota. Hal ini merupakan wujud perhatian lebih dari Pemerintah Kota terhadap potensi wisata Keraton untuk lebih dikembangkan dan dipromosikan.
2.
Untuk pengelola Keraton Kasunanan Peneliti menyarankan kepada pengelola Keraton Kasunanan untuk meringankan harga tiket masuk kepada pelajar. Misalnya pelajar menunjukkan kartu OSIS atau Karmas mendapat potongan harga. Pengelola Keraton perlu mengadakan peningkatan fasilitas di perpustakaan Sasana Pustaka. Pengelola Keraton juga sebaiknya melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang keraton sebagai peninggalan kebudayaan Jawa yang seharusnya tetap dilestarikan.
3.
Penelitian Lebih Lanjut Adanya penelitian
tentang pengembangan
pariwisata
Keraton
Kasunanan Surakarta dan dampaknya bagi masyarakat sekitar masih memerlukan perbaikan. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk memperkuat dan memperdalam pariwisata Keraton Surakarta. Mengingat adanya kekurangan dan kelemahan dari cara pengumpulan data dengan
126
wawancara dan observasi maka diperlukan cara lain sebagai pelengkap seperti dokumen dan arsip-arsip Keraton. Penelitian lebih lanjut diperlukan kesiapan baik materi maupun pedoman wawancara dan pedoman observasi. Pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh 2 orang (peneliti & teman) dirasa kurang efektif sebab pengawasan terhadap pembuatan laporan penelitian dan peta pemikiran kurang terfokus. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut diperlukan adanya tim yang lebih dari 2 orang sehingga untuk mengatasi jumlah responden yang lebih dari 20 orang bisa lebih efektif dan efisien. Selain itu diperlukan adanya komitmen dan tanggung jawab dari seluruh anggota tim untuk mendapatkan hasil penelitian yang berkualitas. 4.
Masyarakat sekitar Wisata Keraton Surakarta merupakan salah satu tujuan wisata bagi masyarakat luas. Hal ini tentunya membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Sebaiknya masyarakat tersebut semakin kreatif dan inovatif dalam menghasilkan souvenir yang menjadi ciri khas Keraton, sehingga pengunjung lebih terkesan. Hal ini secara tidak langsung juga ikut mempromosikan obyek wisata Keraton Surakarta terhadap masyarakat luas.
127
DAFTAR PUSTAKA Buku : Ageng Pangestu Rama.2007. “Kebudayaan Jawa: Ragam Kehidupan Keraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998”. Yogyakarta: Cahaya Ningrat. Azzah Zaimul.1998. “Studi Kelayakan Museum Keraton Kasunanan Surakarta”. Perpustakaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah : Prambanan. Budiono Herusatoto.2008. “ Simbolisme Jawa”. Yogyakarta: Ombak. Darsiti Soeratman.1989. “Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939”. Yogyakarta : Disertasi Pasca Sarjana UGM. G. Moedjanto .1998. “Konsep Kekuasaan Jawa”. Yogyakarta : Kanisius. Hadari Nawawi. 1991. “Metode Penelitian di Bidang Sosial”. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hartono Yudi, dkk. 2002. “Agama dan Relasi Sosial”. Yogyakarta: LKIS. Hermawan Wasito. 1993. “Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka. Heru Suharto. 1994. “Surakarta Hadinigrat dalam Strategi Elit”. Surakarta : PT. Pabelan. I Gde Widja. 2002. “Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah”. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Kartini Kartono.1983. “Pengantar Metodologi Riset Sosial”. Bandung : Alumni Gramedia. Karyono A. Hari, 1997. “Kepariwisataan”. Jakarta : Gramedia Widya Sarana Indonesia. Krisnina M. Tanjung.2005. “Mencintai Sejarah Melalui Bangunan Kuno”. Jakarta : Yayasan Warna Warni Indonesia. Koentjoroningrat.1986. “Metode-metode Penelitian Masyarakat”. Jakarta : PT Gramedia .1990. “Pengantar Ilmu Antropologi”. Jakarta: Rineka Cipta. .2004. “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Linton, Ralph.1936. “The Study Of Man”. New York: Appleton-Century Lombard, Denys. 2000. “Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3”. Jakarta : Gramedia
128
Muslihah Budiyati. 2006. Skripsi : “Pemanfaatan Keraton Surakarta Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Bagi Siswa SMA Negeri Di Kota Surakarta”. Surakarta : FKIP UNS. Moh. Nazir. 1983. “Metode Penelitian”. Jakarta : Ghalia Indonesia. Moloeng L. J.2000. “Metode Penelitian Kualitatif”. Bandung : PT Remaja. Nyoman, S. Pendit .2002. “Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Pendidikan”. Jakarta : PT. Pradanya Pramita. Ramaini. 1992. “Geografi Pariwisata”. Jakarta : Gramedia Indonesia. Oka A. Yoeti. 1983. “Pengantar Ilmu Pariwisata”. Bandung : Angkasa Offset Poerwodarminto, W. J. S.1976. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta : Balai Pustaka. Puspar UGM. 2004. “Wawasan Budaya Untuk Pembangunan: Menoleh Kearifan Lokal”. Yogyakarta : Pilar Politika. Sajid, R.M. 1984. “Babad Sala”. Solo : Rekso Pustaka Mangkunegaran. Schrieke, J.J. 1918. “Atoeran Oendang-oendang Jang Penting-Penting Tentang Pembagian Kekoeasaan Jaitoe Desentralisasi Tahoen 1903 dan Tentang Perkampoengan Boemipoetra dan Roekoen-roekoennya”. Batavia : Landsdrukkerij. Soerjono Soekanto.1994. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sri Winarti. 2004. “Sekilas Sejarah Keraton Surakarta”. Surakarta : Cendrawasih. Suriandjari K.R.M.H, Pusponingrat. 1996. “Tata Cara Adat kirab Pusaka Keraton Surakarta Hadinigrat”. Sukoharjo : Cendrawasih. Suseno, Frans Magnis. 1998. “ Etika Jawa”. Jakarta : Gramedia. Sutopo, H B.2002. “Pengantar Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar Teoritis dan Praktis”. Surakarta : Pusat Penelitian UNS Winarno K.R.T.H. tanpa tahun. “Filasafat Hidup Dilihat Dari Bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat”.
129
Majalah : Hermanu Jubagyo. 2008. Agustus “Sejarah Kota Solo”. Reflex. LPM Motivasi FKIP UNS. 16-17 Internet : http://www.kesimpulan.co.cc/2009/04/kebijakan kepariwisataan
130
131
Lampiran 1. Dokumentasi dari Keraton Kasunanan Surakarta
Foto1. Gapura Gladhag
Foto 2. Gapura Pamarukan
132
Foto 3. Bangsal Sewayana
133
DAFTAR INFORMAN 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nama
: KGPH Poeger
Jabatan
: Pengageng Museum dan Pariwisata
Nama
: KRA Winarno Kusumo
Jabatan
: Wakil Pengageng Sasano Wilopo
Nama
: Moelyanto
Jabatan
: Petugas Perpustakaan Sasana Pustaka
Nama
: Ngadiman
Jabatan
: Abdi dalem Keraton Kasunanan
Nama
: Garini
Jabatan
: Penjaga Loket Keraton
Nama
: Putu Danan Jaya
Jabatan
: Staf Pemanfaatan BPPP
Nama
: Drs. Purnomo Subagyo
Jabatan
: Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta
Nama
: Boedi Poerwato, SH
Jabatan
: Kasubag Umum dan Kepegawaian
Nama
: Eni
Jabatan
: Kearsipan Dinas Pariwisata
10. Nama Jabatan 11. Nama Jabatan 12. Nama Jabatan 13. Nama Jabatan 14. Nama Jabatan 15. Nama
: Dwi Hartanto : Tukang Parkir : Darmo Soewito : Penjual Soevenir Akar-akaran : Harsinah : Penjual : Wakiman : Penjual souvenir wayang : Agus : Penjual Batu Akik : Hawindha Ganes
134
Jabatan 16. Nama Jabatan 17. Nama Jabatan 18. Nama Jabatan 19. Nama Jabatan
: Wisatawan domestik : Putri : Wisatawan domestik : Andrean : Siswa SMAN 5 Ska : Robert : Wisatawan Asing : Eko : Mahasiswa
135