1
EKSISTENSI TATA RUANG KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT TAHUN 2008
Skripsi Oleh :
DODIT WAHYUDI MULYANTO NIM K5404026
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
ABSTRAK Dodit Wahyudi Mulyanto. EKSISTENSI TATA RUANG KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT TAHUN 2008. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2009. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan (2) mengetahui penyimpangan tata ruang eksisting saat ini terhadap konsep konsentris. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif spasial yaitu dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini memanfaatkan teknologi SIG untuk mengolah, dan menganalisi data, baik spasial maupun non spasial. Untuk keperluan tersebut, dibutuhkan sumber data berupa peta digital, peta analog, data lain yang berupa tabrl, grafik dan foto. Teknik analisis data dengan menggunakan teknik interpretasi citra dimaksudkan sebagai alat atau cara khusus untuk melaksanakan metode penginderaan jauh dan overlay peta penggunaan lahan hasil intpreetasi citra ditumpansusunkan dengan denah susunan Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menganut konsep Konsentris yang membagi keraton menjadi enam bagian yaitu Kraton, Kuthanegara, Nagaragung, Mancanagara, Pasisir dan Samudra. Setiap bagian memiliki peran dan fungsi yang berbeda. (2) penyimpangan tata ruang eksisting terhadap konsep konsentris dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. (a) Wilayah Kraton tidak ditemukan penyimpangan. (b) Wilayah Kutanegara ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan. (c) Wilayah Negara Agung ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. (d) Wilayah Mancanegara ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. (e) Wilayah Pasisir ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. (f) Wilayah Samudra dan Tanah Sabrang ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan.
3
ABSTRACT
Dodit Wahyudi Mulyanto. SPACE EXSISTENCE OF KERATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT AT 2008. Thesis, Surakarta : Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, June 2009. The purpose of this research are: (1) to know the space character of Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, (2) to know the existing space deviation at this time to consentris concept. This research uses spatial description method with Geographical Information System (GIS) technique. This research exploited GIS technology to processing and data analysis. Spasial and nonspasial analysis used to getting information about deviation in Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. This research needs some data such as: digital map, analog map, citra and another data like table, graphic and photo. The data analysis is overlay technique with GIS application (Geographical Information System).
Based on research, the result can be concluded: 1. space character of Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat used consentris concept in which keraton devide in six parts. There are Kraton, Kuthanegara, Nagaragung, Mancanagara, Pasisir and Samudra. Every part has different role and function. 2. existing space deviation to consentris concept is building displace function and form building architecture. That is : a. Kraton region deviation is not founded. b. In Kutanegara region was found deviation about building displace function. c. In Negara Agung was found deviation about building displace function and building architecture change. d. In Mancanegara region was found deviation about building displace function and building architecture change. e. In Pasisir region was found deviation about building displace function and building architecture change. f. In Samudra region and Tanah Sabrang were found deviation about building displace function.
4
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada di Kota Surakarta, kota yang mendapat julukan Kota Bengawan, karena site-nya yang berada di tepi Bengawan Solo. Wilayahnya merupakan dataran rendah di antara vulkan-vulkan (intermountain plain) Merapi, Merbabu di sebelah barat, dan Lawu di sebelah timur. Di sebelah selatan terdapat beberapa sesar (fault) yang umumnya berupa sesar turun dengan pola anthetetic fault block (Bemmelen, 1949 dalam Hendro, 2001 : 56). Sesar dari arah Gunung Lawu memotong Bengawan Solo hingga jatuh di sebelah utara kota, maka perencanaan bangunan di wilayah jalur sesar ini memerlukan pertimbangan tersendiri. Dilihat dari kemampuan lahannya, dengan menggunakan parameter bentuk lahan, tanah, dan hidrologi kota ini masuk 5 kategori yang memberikan rekomendasi kesesuaian lahan untuk kompleks bangunan atau gedung, perumahan, kawasan lindung dan rekreasi. Permukaan medan topografi pada umumnya menunjukan konfigurasi hampir rata (Partoso Hadi dalam Hendro, 2001 : 57) . Berikut adalah sejarah singkat perpindahan Keraton Kasunanan Kartasura ke desa Sala. Pada Tahun 1742 terjadi pemberontakan orang-orang Cina melawan kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura (dikenal dengan Geger Pacinan). Begitu hebatnya pemberontakan ini, sehingga Keraton Kartasura hancur dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Berkat bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura dapar direbut kembali, namun bangunan Keraton Kartasura sudah hancur. Kemudian dibangunlah keraton baru di desa Sala pada 1745 (Ratna 1999:7). Selanjutnya Kota Solo mengalami beberapa periode, mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan atau periode pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa periode pemerintahan kolonial Belanda, Solo merupakan daerah swapraja yang terbagi menjadi dua bagian yaitu Swapraja Kasunanan (dibawah Paku Buwono) dan Swapraja
5
Mangkunegaran (dibawah Mangkunegara). Kedua daerah Swaparaja ini dikuasai oleh seorang gubernur Hindia Belanda (Budiharjo 1997). Pada bulan Oktober tahun 1945, setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia terbentuk gerakan Swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah pembubaran DIS, dan penghapusan Mangkunegara dan Susuhunan. Motif
lain adalah perampasan
tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagibagikan dalam rangka kegiatan Landreform oleh gerakan komunis. Pada tanggal 17 Oktober 1945, Wisir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Sejak saat itu Mangkunegara dan Susuhunan berubah menjadi suatu keluarga atau trah biasa dan keraton berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa (http://www.wisatasolo.com). Gerakan Swapraja berpengaruh hingga saat ini, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap wilayahnya maupun dirinya sendiri. Hal ini memicu penyimpangan-penyimpangan yang berupa alih fungsi bangunan di dalam keraton yang dilakukan oleh individu, golongan maupun instansi. Hal tersebut dapat diketahui dari bangunan-bangunan yang dahulunya merupakan milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk saat ini menjadi milik perorangan dan juga beberapa bangunan digunakan untuk instansi pemerintah (http://www.tempouiteraktif.com). Saat penulisan Kota Solo memiliki brand name SOLO THE SPIRIT OF JAVA. Slogan The Spirit of Java dimaknai sebagai semangat bersama dalam proses pengembangan ekonomi dalam era globalisasi dan otonomi daerah. Semangat tersebut dilandasi oleh jiwa sebagai manusia Jawa yang menjunjung tinggi budaya, sejarah dan nilai- nilai luhur pendahulunya. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah salah satu aset bersejarah yang mendukung slogan tersebut (http://www.tempouiteraktif.com).
6
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki kekhasan tata ruang kota tersendiri yang wujud fisiknya masih dapat dilihat sampai saat ini. Struktur tata ruang lama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga masih ada, bahkan benteng Baluwarti masih tetap berdiri. Di Jawa, konsep mengenai raja dan kekuasaan dipengaruhi oleh konsep spiritual yang berasal dari kultur India yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos yaitu antara jagat raya dan dunia manusia, yang digambarkan dengan denah susunan Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang meliputi: Kraton, Kuthanegara, Nagaragung, Mancanagara, Pasisir dan Samudra. Kemudian dapat diketahui bahwa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggunakan konsep konsentris (Damayanti 2005). Konsep konsentris membagi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadi enam lingkaran. Enam lingkaran tersebut sesuai dengan pembagian denah susunan Kosmis yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Lingkaran pertama, Kraton yaitu dalejm Ageng Prabasuyasa, kemudian halaman pasir merupakan Kuthanegara Kedhaton dan sekitarnya, yang dikelilingi benteng pertama dalam denah susunan kosmis, disebut juga Nagaragung. Lingkaran kedua, wilayah di antara dua benteng, disebut dengan Baluwarti, yang disebut juga Mancanagara. Ketiga, yaitu Paseban, yang terletak di halaman pintu masuk kori Brajanala, disebut juga Pasisir. Dan keempat, Alun-alun Kidul dan Alun-alun Lor, yang disebut juga Samudra. Berhubung jagat raya yang menurut kosmologi Brahman atau Budhis berpusat di gunung Meru, maka kerajaan yang merupakan jagat kecil harus memiliki Gunung Meru pada pusat kotanya, dan Meru dalam jagat mikrokosmos tersebut adalah raja itu sendiri (Soeratman 1989:15). Bagian depan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah Alun-alun Kidul. Alun-alun Kidul menjadi bagian penting dalam tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, karena merupakan halaman rumah raja. Artinya, Alun-alun Kidul menjadi satu kesatuan dengan tata ruang lain yang bahkan memiliki arti filosofi sangkan paraning dumadi dan alam awang-uwung. Itu simbol untuk mengingatkan asal-usul manusia dan ke mana ia akan kembali. (SUARA MERDEKA 2002:1)
7
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu bangunan yang sangat penting karena dari setiap jengkal tanah, bentuk bangunan, tumbuhan, toponimi dalam tata ruangnya memberikan sumbangsih yang besar terhadap identitas suatu kota. Alih fungsi bangunan yang bertempat pada posisi strategis terhadap keraton perlu dipertanyakan kembali, untuk itu penelitian ini mengambil judul
“EKSISTENSI
TATA
RUANG
KERATON
KASUNANAN
HADININGRAT TAHUN 2008”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas dapat diidentifikasi permasalahan yang timbul sebagai berikut : 1.
Pemerintah Kota Surakarta ingin menjadikan Kota Surakarta sebagai ikon kebudayaan Jawa melalui Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai salah satu asetnya dengan menggunakan Brand name Solo The Spirit Of Java.
2.
Kebudayaan terdiri dari dua unsur, yaitu budaya fisik dan non fisik. Kedua unsur kebudayaan tersebut telah mengalami pergeseran di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
3.
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggunakan konsep konsentris pada tata ruangnya, namun saat ini terjadi perubahan.
4.
Sebagian
bangunan
di
Keraton
Kasunanan
Surakarta
Hadiningrat
mengalami alih fungsi bangunan. C. Pembatasan Masalah Agar tidak terjadi penyimpangan dari persoalan pokok, penulis membatasi hal-hal sebagai berikut : 1.
Kajian utama penelitian ini
adalah Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. 2.
Pergeseran kebudayaan diukur dari pergeseran budaya fisik yaitu perubahan tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
8
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ?
2.
Bagaimana penyimpangan tata ruang eksisting terhadap konsep konsentris?
E. Tujuan Penelitian Pada penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah : 1.
Untuk mengetahui karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
2.
Mengetahui penyimpangan tata ruang eksisting saat ini terhadap konsep konsentris.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Untuk menambah dan mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan serta lebih mendukung teori-teori yang ada sehubungan dengan ilmu geografi khususnya geografi kesejarahan (historycal geographic) dan geografi perkotaan (urban geographic). 2. Manfaat praktis a.
Dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan tata ruang keraton serta permasalahan pelestarian bangunan cagar budaya.
b.
Sebagai media penerapan ilmu pengetahuan yang didapat perkuliahan dalam kenyataan di lapangan.
c.
Memberikan sumbangan tulisan bagi perpustakaan yang ada di UNS, baik perpustakaan pusat, fakultas maupun perpustakaan program studi.
d.
Sebagai materi pembelajaran geografi di sekolah khusunya pengetahuan spesifik mengenai tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
9
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka
1.
Kota Surakarta
Kerajaan tradisional Surakarta (Keraton Surakarta) dengan ibu kotanya Sala merupakan penerus kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II (PB II) pada tahun 1746. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat gerakan bersenjata orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut Keraton Kartasura. Desa Sala dipilih sebagai lokasi pendirian keraton. Desa sala kemudian diganti menjadi Surakarta Hadiningrat Menurut ahli filologi Belanda, J. Brandes dalam artikel yang berjudul “Yogyakarta” (1894) yang kemudian dikemukakan kembali oleh Mr. R. Koesoemadi dalam buku “Soerakarta Adingrat 200 Jaar” yang termuat dalam majalah kebudayaan “ Djawa” tahun 1939 (Ratna 1999), nama Surakarta merupakan nama varian dari Jakarta yang pada masa lalu disebut Jayakarta. Surakarta berasal dari gabungan kata Sura berarti berani dan Karta berarti sejahtera. Surakarta yang dipakai untuk nama keraton yang baru dimaksudkan untuk retisi atau imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta (Brandes dalam Ratna,1999:67). Sunan PB II mendambakan pusat kerajaan setara dengan Jakarta yang berkembang dengan pesat terutama pada saat kompeni Belanda (VOC) menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Berdasarkan alasan tersebut, maka Sunan PB II tidak memakai nama Kartasura bagi keraton yang berada di desa Sala tersebut. Nama Sala tidak dipakai pada masa PB II, sebab menurut asal kata Sala berasal dari perkataan desa dan ala yang menunjukan keadaan tidak baik dan menunjukan ketidak-beruntungan. Selain itu, nama Surakarta tidak berbeda dengan nama Salakarta yang disebut dalam Serat Salasih Para Leluhur ing Kadanurejan Yogya dan Babad Mataram Salakarta. Berdasarkan kedua sumber tersebut dapat disimpulkan, bahwa nama asli keraton dan kediaman PB II yang
10
baru bernama Salakarta, dan pada masa pemerintahan PB III diubah menjadi Surakarta.(http://kabaresolo.com). Luas ibukota kerajaan Surakarta (Kota Sala) adalah 24 kilometer persegi dengan ukuran 6 kilometer, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 kilometer dari arah utara ke selatan. Kota ini berada di tanah dataran rendah sebelah barat Bengawan Sala. Menurut astronomi, 110o46‟10” BT - 110o51‟25” BT dan 7o32‟13” LS - 7o35‟12” LS atau dalam koordinat UTM terletak antara 474412 – 485510 mT dan antara 9168438 – 9160401 mU. Jarak terpanjang daerah ini dari arah barat ke timur adalah 11,13 km dan dari utara ke selatan adalah 8,1 km (dalam Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1403-343). Luas wilayah eks Keresidenan Surakarta seluruhnya adalah 6.215 kilometer persegi. Dahulunya, separuh dari daerah itu adalah milik Kasunanan, sedang separuh lainya masuk daerah Mangkunegaran. Secara administratif Karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta (Nurhajarini 1999:11) 2.
Tata Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak hanya ditujukan untuk pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magis bagi kerajaan.Kerajaan merupakan miniatur dari jagat raya. Jagat raya menurut kosmologi Brahman atau Budhis berpusat di Gunung Meru, sedangkan kerajaan yang merupakan jagat kecil memiliki keraton sebagai sebagai pusatnya, dan pusat kota tersebut akan menjadi pusat magis bagi kerajaan. Dengan demikian sebuah kerajaan tidak lepas dari unsur-unsur yang melengkapinya. Bagaikan dunia kecil, kerajaan merupakan gambaran alam semesta yang lengkap dengan zat supranatural, dewa yang khalik dan umat manusia, serta alam beserta isinya. Kosmologi ini diterapkan pada susunan penguasa atau raja sebagai titik sentralnya. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dibangun dengan menggunakan konsep konsentris dan dibagi menjadi empat lingkaran. Lingkaran pertama Kedhaton dan sekitarnya yang dikelilingi benteng pertama. Lingkaran kedua, wilayah diantara dua benteng yang disebut Baluwarti. Ketiga, yaitu paseban yang
11
terletak di halaman pintu masuk kori Brajanala. Dan keempat, Alun-alun di depan paseban. Benda-benda yang terdapat di Keraton saat ini menunjukan filosofi jawa yang sangat kuat. Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengandung makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang berarti api dan kundho yang berarti wadah atau tempat, sehingga Marcukundho melambangkan suatu doa atau harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai pengertian Karaton. Menurut KRHT Wirodiningrat Pangageng dalem Sasono Wilopo, ada tujuh pengertian (saptawedha) yang tercakup dalam istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton) berarti kerajaan. Kedua, Karaton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan (Staatsrechtelijk) dan magischreligieus. Ketiga, Karaton berarti penjelmaan “Wahyu nurbuwat” dan oleh karena itu menjadi pepunden dalam Kajawen. Keempat, Karaton berarti istana, kedaton “Dhatulaya” (rumah). Kelima, bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. Keenam, Karaton sebagai Cultuur historische instelling (lembaga sejarah kebudayaan) menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton sebagai Badan (juridische instellingen), artinya Keraton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan (bezittingen) sebagai sebuah dinasti. Hal itu tidak lepas dari peninggalan berbagai warisan pusaka (heritage) berupa tangible heritage (bendawi) dan intangible heritage (nonbendawi). Tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan tangible heritage sedangkan filosofi serta kebudayaan yang terkandung di dalamnya adalah intangible heritage.
12
Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor, Kompleks Kamandungan Lor, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul dan Kemandungan Kidul, serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter. Dinding ini mengelilingi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor sampai Kemandungan Kidul. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan. a.
Kompleks Alun-alun Lor Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid
Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada masa PB III digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alunalun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya tersebut merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. b.
Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton
Surakarta. Digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat
13
sejumlah meriam diantaranya di beri nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Sitihinggil. Sitihinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat. Bangunan utama di kompleks Sitihinggil adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal Witono, tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengahtengahnya
yang
disebut
dengan
Krobongan
Bale
Manguneng,
tempat
persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar timurselatan-barat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang). c. Kompleks Kemandungan Lor Kori Kamandungan dilihat dari arah halaman Kemandungan Lor dengan Bale Roto didepannya dan Panggung Sangga Buwana yang menjulang tinggi sebagai latar belakang. Kori Brajanala atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan Sapit Urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman komplek
14
Kamandungan Lor pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana yang terletak di Kompleks Sri Manganti. d.
Kompleks Sri Manganti Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu
gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih tersebut terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur. Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Komplek Sri Manganti mejadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat tersebut digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha dahulunya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan. Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton. e. Kompleks Kedhaton Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas
15
pintu. Halaman Sasono Pabasuyasa dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana. Sasana Sewaka merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Sasana Sewaka pernah mengalami kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Dalem Ageng Prabasuyasa merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. f. Sasana Handrawina Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai tersebut juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta. Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan tersebut merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan). Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman.
16
g. Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.
3.
Tata Ruang Eksisting Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Kota adalah merupakan suatu karya seni sosial. Setiap kota terbentuk
secara organik dengan penampilan yang berbeda-beda, hasil ciptaan segenap lapisan masyarakat, sektor publik atau pemerintah dan pihak swasta. Ketiganya bergerak dengan prinsip kemitraan profesional. Bila pihak swasta terlalu perkasa, yang terjadi adalah Profitopolis atau kota yang berwawasan komersial. Bila yang terlalu dominan adalah pihak pemerintah, terbentuklah yang disebut dengan Marxopolis atau kota yang mengabdi pada kepentingan politik. Manakala kekuatan itu bergabung dan masyarakat sekedar jadi penonton, maka metropolis yang mereka harapkan akan berubah menjadi Miseropolis atau kota yang menyengsarakan, karena tidak memiliki tempat untuk masyarakat. Sedangkan tipe kota yang paling ideal adalah Humanopolis atau kota yang manusiawi, menyejahterakan, kota seharusnya memiliki jati diri dan karakter seperti selayaknya manusia (Mangunwijaya:1992) Penataan kota menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat bahwa pembangunan kota harus menuju kota yang indah, nyaman, berbudaya, bersih, dan menjadi pusat kagiatan ekonomi yang tepat. Perlu ada penataan yang rapi dan sesuai, untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menjaga identitas kota dan kebudayaan yang sudah lama ada dan berkembang dalam kota tersebut. Dengan mengamati penataan kota dan keadaan kota, kita dapat melihat bagaimana identitas kota tersebut, tidak hanya dari Brand name. Kota Solo menggalami pergeseran penggunaan lahan di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang seharusnya digunakan untuk kawasan cagar budaya tetapi dipergunakan sebagai pusat perekonomian.
17
Kota-kota besar disegenap pelosok tanah air, saat ini semakin berantakan, kehilangan jati dirinya masing-masing gerakan arsitektur modern dengan gaya Internasional yang serba tunggal rupa, menyebabkan orang bergerak dari satu kota besar ke kota besar lainya, tanpa merasa sudah berpindah tempat. Dikatakan bahwa manusia bepergian dari kota A dan kemudian sampai dikota A, singgah sebentar dikota A, dan kemudian sampai lagi di kota A. Orang Barat mengatakan “Don’t go there, there is no there” (Budiharjo1997:86). Identitas pada kota sangat penting. Kota Solo terkenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, warisan terbesar masa lampau yang saat ini masih ada yaitu, keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Keraton memiliki tata ruang tersendiri. Ketika awal dibangun, setiap jengkal tanah, tumbuh-tumbuhan, tugu, ornamen ukir, arsitektur pendopo dan pintu gerbangnya, memiliki nilai-nilai budaya yang harus dilestarikan. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dikhususkan di dalam komplek Baluwarti sudah tidak lagi ditinggali orang-orang yang berprofesi sebagai abdi dalem yang sesuai dengan nama kampungnya, kampung Wirengan tidak lagi digunakan sebagai tempat tinggal para penari dan kampung Tamtaman juga tidak digunakan sebagai tempat tinggal prajurit Tamtaman. Dikarenakan penduduk kampung tersebut lebih cenderung menekuni profesi diluar Abdi dalem. Selain digunakan untuk permukiman komplek Baluwarti juga dipakai untuk bentuk usaha lain misalnya wartel, toko kelontong, warung makan, rental komputer, sekolah, sekertariat partai politik, pedagang kaki lima dan sebagainya. Selain itu banyak rumah di dalam benteng baluwarti yang sudah dirubah bentuknya dan di sesuaikan menurut bentuk usaha penghuninya.
4.
Penyimpangan
Salah satu contoh, di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat telah dibangun pusat perbelanjaan yaitu Pusat Grosir Solo disingkat menjadi PGS, konsep bangunan yang digunakan pada PGS adalah arsitektur post modern. Banggunan ini merupakan percampuran antara konsep arsitektur modern dan arsitektur tradisional jawa. Langgam arsitektur jawa terlihat pada bagian atap
18
yang berbentuk joglo. Selebihnya merupakan gaya arsitektur modern Rumeda (2006 : III-7) Budiharjo (1997 : 86). Padahal lahan yang digunankan untuk mendirikan PGS masih termasuk dalam kawasan Lingkaran Kosmologi Konsep Konsentris. Yang mengharuskan bangunan PGS hurus menyesuaikan fungsi serta bentuknya, sedangkan bangunan PGS lebih mengarah post modern baik fungsi serta bentukya, membudayakan belanja dengan gaya modern yang kurang mendukung
eksistensi
Keraton
kasunanan
Surakarta
Hadinngrat.
menggungkapkan tentang penyeragaman kota-kota akibat merebaknya shopping malls dan blok-blok apartemen yang nyaris tidak ada bedanya satu sama lain. Inilah penyebab kota tidak memiliki Identitas. Sehingga kota budaya tidak tercermin dengan adanya PGS.
5.
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah alat untuk mengidentifikasi bangunan dai sumber yang berupa citra foto maupun citra satelit yang diambil dari situs Google Earth yang nantinya akan diaplikasikan dalam bentuk peta tematik dengan menggunankan Sistem Informasi Geografi (SIG). Unsur Interpretasi Citra Prinsip pengenalan obyek pada citra mendasarkan atas penyidikan karakteristiknya atau atributnya pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek yang disebut unsur interpretasi citra. Unsur interpretasi citra meliputi -
Rona dan warna Rona (tone / colour tone / grey tone) ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra.
-
Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka pada suatu obyek (Lo, 1976). Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja.
-
Ukuran
19
Ukuran ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Karena ukuran obyek pada citra merupakan fungsi skala maka didalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus dingat skalanya. -
Tekstur Tekstur ialah frekuesi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer, 1979) atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual (Estes dan Simonett, 1975)
-
Pola Pola, tinggi dan bayangan pada dikelompokkan kedalam tingkat kerumitan tersier. Tingkat kerumitannya setingkat lebih tinggi dari tingkat kerumitan bentuk, ukuran dan tekstur sebagai unsur interpretasi citra
-
Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang samar-samar. Meskipun demikian bayangan sering menjadi kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangannya.
-
Situs Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung, melainkan dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Estes dan Simonett situs diartikan letak suatu obyek terhadap obyek lain.
-
Asosiasi Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek satu dengan obyek yang lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain.
-
Konvergensi bukti Didalam interpretasi citra foto udara atau pada citra lainnya, dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu unsur interpretasi citra, sebaiknya digunakan unsur interpretasi citra sebanyak mungkin.
20
6. Penelitian yang Relevan
Nama Peneliti
Budihardjo Penulis (1949)
Penelitian Konservasi Bangunan Kuno dan Bersejarah diSurakarta.
Eksistensi Tata Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tahun 2008
Kota Surakarta
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Judul
Daerah Penelitian
Menggali khasanah bangunan kuno dan bersejarah yang dimiliki suatu daerah dan menggungkap seberapa jauh bangunan kuno layak untuk dilestarikan. Tujuan
1.
2.
3.
Metode
Deskriptif
Hasil
1. Lingkungan dan bangunan kuno dengan ragam arsitekturnya yang khas merupakan asset yang sangat berharga dalam bidang pariwisata, yang saat ini sedang digalakan 2. Peninggalan karya arsitektur kuno, baik yang tradisional maupun peninggalan kolonial. 3. Merupakan rekaman sejarah dalam bentuk visual yang menyiratkan kesinambungan peri kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu.
Untuk mengetahui tata ruang kota lama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Untuk mengetahui tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Eksisting. Mengetahui penyimpangan tata ruang Kasunanan Surakarta Hadiningrat eksisting terhadap tata ruang kota lama Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Deskriptif
21
7. Kerangka Pemikiran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan warisan budaya yang menjadi ciri khas kota Solo. Keraton menggunakan konsep konsentris sebagai konsep dasar pada awal dibangun, berkenaan dengan hal tersebut perlu diupayakan pemeliharaan keraton berupa pengaturan pendirian bangunan modern baik di dalam maupun disekitarnya. Tatakota
lama
Keraton
Kasunanan
Surakarta
Hadiningrat
diperlihatkan dengan cara ditumpang susunkan dengan penggunaan lahan saat ini untuk mengetahui adanya pelanggaran terhadap Monumenten Ordonantie, UU No. 5 Tahun 1992 tentang cagar Budaya dengan konsep konsentris yang digunakan oleh tatakota Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sejak awal berdirinya. Sistem informasi Geografi dipakai sebagai alat untuk menyajikan hasil proses dari analisis keruangan di sekitar Keraton. Metode analisis Deskriptif
digunakan
untuk
mengetahui
penggunaan
tanah
yang
mencerminkan struktur tatakota Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dalam kaitanya dengan pendirian bangunan modern di sekitarnya. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah masyarakat tahu dan sadar akan eksistensi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dalam konsep konsentris dan cenderung melindungi bukan hanya sekedar membangun. Secara sederhana kerangka pemikiran disajikan dalam diagram berikut ini:
22
Konsep Budhis Dan
Monumenten Ordonantie
Kebijakan yang berpengaruh
Dan
Konsentris
UU No. 5 tahun 1992
Denah Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta Hadinngrat
Peta eksisting Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Keraton Ideal Alih fungsi Bangunan Overlay dengan SIG
Pola penyimpangan
Gambar .1 Diagram Kerangka Berfikir
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang tepatnya berada di Kecamatan Pasar Kliwon. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pesatnya pendirian bangunan modern di sekitar keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
2. Waktu Penelitian Waktu yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini kurang lebih 8 bulan, yaitu dari pengajuan judul sampai penulisan laporan penelitian. Penelitian ini dimulai bulan Desember 2007 sampai bulan Juni 2008. Untuk lebih jelasnya waktu penelitian disajikan dalam tabel berikut ini. No
Waktu
Kegiatan Jan 2008
1
Pengajuan Judul
2
Penyusunan Proposal
3
Perijinan
4
Pengumpulan data
5
Pengolahan dan Analisis Data
6
Penulisan Laporan
7
Ujian
MaretMei08
JunJuli08
AgustSept‟08
Tabel 1. Waktu Penelitian
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
OktNop‟08
DesJan‟08
Feb08
24
Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengarahkan kegiatannya sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa ( Sutopo dalam Maryono, 1999: 20). Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif menurut Nawawi dalam Maryono (1999: 99) adalah sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subyek-subyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Metode deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan secara sistematik karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat beserta filosofinya. Metode penelitian deskriptif merupakan istilah umum yang mencakup berbagai teknik kualitatif, diantaranya
adalah
penyelidikan
yang
menuturkan,
menganalisis
dan
mengkalisifikasi, penyelidikan dengan teknik survey, dengan teknik interview, angket, dan observasi. 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang digunakan adalah bentuk kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Moleong (1994: 3) bahwa “Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Berdasarkan pendapat tersebut maka penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu menyajikan data yang diperoleh ke dalam bentuk peta digital dengan teknik Sistem Informasi Geografi (SIG). 2. Strategi Penelitian Strategi penelitian yang digunakan adalah analisis data primer, sekunder dan analisis peta. Analisis data sekunder adalah analisis data dengan cara menyusun atau mengelompokkan data ke dalam bentuk kelas interval. Analisis peta dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan studi komparatif yaitu menguraikan dan menjelaskan pokok permasalahan serta mencari hubungan antara kesempatan yang satu dengan kenampakan yang lain yang terdapat dalam peta, seperti yang dikemukakan oleh Surakhmad (1994: 143) bahwa :
25
Penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari pemecahan melalui analisis tentang perhubungan-perhubungan sebab akibat, yakni meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan faktor lain, adalah penyelidikan yang bersifat komparatif.
C. Sumber dan jenis data Data yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah : 1. Data Primer Mengumpulkan data primer dengan melakukan wawancara dengan pihak Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan dinas-dinas terkait dengan masalah-masalah tersebut untuk mendapatkan data-data seperti berikut:
Data inventaris bangunan milik Keraton
Data fungsional bangunan milik Keraton
Data lokasi absolut bangunan Keraton dari GPS. 2. Data sekunder
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari instansi yang berwenang dan dari hasil studi sebelumnya. Data sekunder yang diperlukan antara lain : 1)
Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1:25.000 lembar 1408-343 Surakarta
2)
Citra IKONOS dari situs internet Google Earth
3)
Peta Penggunaan Tanah skala 1 : 10.000, Badan Pertanahan Nasional 1 meter.
4)
Peta Rupa Bumi lembar Surakarta skala 1 : 25.000 tahun 2003 Ci = 12,5 meter.
5)
Peta Topografi Detail skala 1 : 10.000, Dinas Pekerjaan Umum Ci = 1 meter.
6)
Denah susunan Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
7)
Denah Kedhaton Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
8)
Data bangunan aset Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
26
D. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang dapat dipercaya dari beberapa sumber yang telah dikumpulkan, maka diperlukan cara atau teknik tertentu dalam pengumpulan data. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain: 1. Observasi lapangan untuk mengetahui : a. Kondisi dan lokasi bangunan Keraton. b. Mendokumentasikan bangunan Keraton dan bangunan modern di sekitarnya. 2. Wawancara Menurut Singarimbun dan Effendi (1989: 192 ), wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung kepada responden. Selanjutnya Moleong (1995: 135), menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
E. Teknik Analisis Data 1. Teknik interpretasi citra Teknik interpretasi citra dimaksudkan sebagai alat atau cara khusus untuk melaksanakan metode penginderaan jauh. Langkah pertama studi adalah identifikasi tutupan lahan pada citra Ikonos untuk menafsirkan penggunaan lahan di daerah studi. Hasil identifikasi berupa peta tentatif penggunaan lahan. Langkah berikutnya adalah groundsurvey di daerah studi untuk memastikan penggunaan lahan sebenarnya di lapangan. Langkah terakhir adalah koreksi geometrik antara peta penggunaan lahan tentatif dengan peta rupa bumi Indonesia lembar Surakarta. 2. Overlay Peta Peta penggunaan lahan hasil intepretasi citra ditumpangsusunkan dengan denah Susunan Kosmis Keraton Surakarta. Berdasarkan peta-peta tersebut dan informasi lainnya, peneliti dapat menyajikan ke dalam peta penyimpangan bangunan modern terhadap tatakota lama.
27
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak a. Letak Astronomis Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terletak antara 110o49‟12” BT 110o49‟48” BT dan 7o34‟12” LS - 7o34‟48” LS atau dalam koordinat UTM terletak antara 480475 – 481369 mT dan antara 9161763 – 9162988 mU. Jarak terpanjang kota ini dari arah barat ke timur adalah 0,84 Km dan dari utara ke selatan adalah 1,22 Km (dalam Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1403-343).. b. Letak Administratif Secara administrasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada di Kelurahan Baluwarti dan sebagian berada di Kelurahan Kauman dan Kelurahan Kedunglumbu. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berbatasan dengan 4 kelurahan yaitu : - Sebelah Utara
: Kelurahan Kauman dan Kelurahan Kedunglumbu
- Sebelah Timur
: Kelurahan Kedunglumbu dan Kelurahan Pasarkliwon
- Sebelah Selatan
: Kelurahan Gajahan dan Kelurahan Pasarkliwon
- Sebelah Barat
: Kelurahan Gajahan
Administrasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipresentasikan Peta 1 di halaman 26. c. Letak Geologis Menurut peta geologi yang bersumber dari Geohidrologic Map Surakarta dalam Baiquni 1988 Kota Surakarta terdiri dari empat macam batuan yaitu aluvium, formasi notopuro, batuan vulkanik muda dan formasi kabuh. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki batuan alunium yang berarti batuan tersebut terbentuk dari proses
28
aluvial (proses banjir). Batuan ini terdiri dari lempung, lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan berangkal.
d. Letak Geomorfologis Setiyarso (2009) mengidentifikasi medan Kota Surakarta menjadi tiga sistem medan yaitu sistem medan vulkanik, sistem medan fluvial dan sistem medan struktural. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada pada sistem medan fluvial tepatnya berupa bentuklahan rawa belakang. Proses geomorfologi yang membentuk bentuklahan ini adalah proses banjir periodik. Hal ini diperkuat oleh data dari Babad Sala yang menyebutkan penggunaan lahan di lokasi pendirian keraton yang berupa lahan rawa.
2. Luas Luas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah 1,24 Km2. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terbagi menjadi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Baluwarti, Kelurahan Kauman dan Kelurahan Kedunglumbu. Luas masing-masing kelurahan dan termasuk keraton dipresentasikan dalam Tabel 8. Tabel 2. Luas Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat No
Kelurahan
Luas (Km2)
1.
Baluwarti
0,54
2.
Kedunglumbu
0,21
2.
Kauman
0,59
Jumlah
1,24
Sumber : Hasil pengolahan Peta Rupa Bumi Indonesia lembar 1403-343
29
30
3. Curah Hujan Data curah hujan diambil dari stasiun meteorologi Pabelan. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan periode1997-2007, yaitu : Tabel 3. Curah Hujan Maksimum Bulanan Kota Surakarta Periode 1997-2007 Jumlah No
Bulan
Curah hujan (mm)
(mm)
Ratarata (mm)
31
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
1
Januari
232
433
279
117
265
371
306
455
200
494
141
3.291,5
329,2
2
Pebruari
333
359
230
336
211
181
263
296
316
387
452
3.362,5
336,3
3
Maret
126
283
353
407
214
53
162
306
262
169
344
2.677
267,7
4
April
27,5
439
169
139
181
84
11
148
247
371
354
2.169
216,9
5
Mei
61
102
130
63
146
30
20
190
62
218
80,5
1.102
110,2
6
Juni
17
211
29
18
15,5
0
0
16
125
34
16,5
481
48,1
7
Juli
11,5
225
34
7
4
0
0
60,5
76
2
8
428
42,8
8
Agustus
101
26,5
18
30
0
2
53
17
4
0
0
251
25,1
9
September
0
42
21
22
45
0
8
1.5
60
45
39
283.5
28,35
10
Oktober
3
247
178
150
193
0
45
3.5
80
0
42
941
94,1
11
Nopember
193
182
121
175
124
155
197
365
172
179
275
2.134,5
213,5
12
Desember
188
408
274
0
0
184
342
651
483
386
667
3581,5
358,2
1.292
2.954
1.835
1.464
1.399
1.060
1.406
2.508
2.084
2.284
2.419
20.703
2.070
Jumlah Bulan Basah
6
10
8
7
7
4
5
7
7
7
6
74
7,4
Jumlah Bulan Lembab
1
0
0
1
0
1
0
1
4
0
1
9
0,9
Jumlah Bulan Kering
5
2
4
4
5
7
7
4
1
5
5
49
4,9
Jumlah
Sumber : Stasiun Meteorologi Pabelan Penentuan tipe curah hujan di lokasi penelitian berdasarkan metode Schmidt dan Ferguson. Klasifikasi tipe curah hujan berdasarkan metode ini adalah dengan berdasarkan pada perbandingan rata-rata jumlah bulan basah dan rata-rata jumlah Bulan kering. Kriteria untuk menentukan bulan basah dan kering berdasarkan klasifikasi dari Mohr yaitu : 1) Bulan basah yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih dari 100 mm. Pada bulan basah, curah hujan lebih besar dari penguapan yang terjadi. 2) Bulan lembab yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih besar dari 60 mm tetapi kurang dari 100 mm. Pada bulan ini, curah hujan kurang lebih sama dengan penguapan yang terjadi. 3) Bulan kering yaitu suatu bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Pada bulan basah, curah hujan lebih kecil dari penguapan yang terjadi. (Wisnubroto, 1983 : 74)
32
Penggolongan tipe curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson berdasarkan pada nilai Q yaitu : Rata-rata jumlah bulan kering
Q
x100%
Rata-rata jumlah bulan basah Berdasarkan besarnya nilai Q, tipe curah hujan di Indonesia dibagi menjadi 8 golongan yaitu : Tabel 4. Klasifikasi Tipe Curah Hujan menurut Schmidt dan Ferguson No.
Tipe
Nilai
Sifat
1.
A
0,000 ≤ Q < 0,143
Sangat basah (very wet)
2.
B
0,143 ≤ Q < 0,333
Basah (wet)
3.
C
0,333 ≤ Q < 0,600
Agak basah (fairly wet)
4.
D
0,600 ≤ Q < 1,000
Sedang (fair)
5.
E
1,000 ≤ Q < 1,670
Agak kering (fairly dry)
6.
F
1,670 ≤ Q < 3,000
Kering (dry)
7.
G
3,000 ≤ Q < 7,000
Sangat kering (very dry)
8.
H
7,000 ≤ Q
Luar biasa kering (extremely dry)
Sumber : Wisnubroto, 1983 : 75 Data curah hujan dari Stasiun Meteorologi Pabelan dipakai untuk mewakili curah hujan di lokasi penelitian (dipresentasikan pada Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui jumlah curah hujan tertinggi adalah pada Tahun 1998 sebesar 1954 mm. Rata-rata curah hujan tertinggi adalah pada Bulan Desember yaitu sebesar 358,2 mm. Rata-rata curah hujan terendah adalah pada Bulan Agustus yaitu sebesar 25,1 mm. Jumlah bulan basah paling banyak berada pada Tahun 1998 yaitu sebanyak 10 bulan. Adapun jumlah bulan kering paling banyak pada Tahun 2002 dan 2003 yaitu sebanyak 7 bulan.
33
Penentuan tipe curah hujan menurut metode Schmidt-Ferguson dapat dihitung sebagai berikut :
Q
4,9 X 100% 7,4
= 66,21 % = 0,66 Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan tipe curah hujan Kota Surakarta menurut Schmidt dan Ferguson termasuk curah hujan tipe D karena berada pada kisaran antara 0,600 Q < 1,000. Hasil perhitungan dipresentasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Tipe Curah Hujan Lokasi Penelitian Sumber : Wisnubroto, 1983 : 76
34
4. Tanah Persebaran tanah di lokasi penelitian ditunjukkan oleh Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 yang disusun oleh Supraptoharjo dkk (1966) dalam Baiquni (1988 : 32). Berdasarkan Peta Tanah Tinjau tersebut, macam tanah di lokasi penelitian meliputi : -
Mediteran Coklat Tua Tanah ini berada di bagian timur laut Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya adalah tuf vulkan intermediair dan berada pada fisiografi vulkan dan bukit lipatan.
-
Aluvial Coklat Kekelabuan Tanah ini berada di bagian tenggara Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya adalah endapan liat yang menempati fisiografi dataran. Tanah ini termasuk jenis tanah aluvial yang salah satu sifatnya tergantung dari asal tanah itu diendapkan sehingga kesuburannya ditentukan oleh keadaan bahan asalnya.
-
Regosol Kelabu Tanah ini berada di bagian barat dan selatan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahan induknya tanah ini adalah abu/pasir vulkan intermidiair yang menempati fisiografi vulkan.
35
Agihan tanah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipresentasikan pada Peta 2 pada halaman 31.
36
37
5. Penduduk a. Kepadatan Penduduk Data kependudukan diperoleh dari monografi dinamis tiga bulanan Kecamatan di Kota Surakarta. Monografi dinamis yang dipakai adalah monografi periode Januari Maret 2008 dari masing-masing kecamatan. Data tersebut direkapitulasi sebagai berikut ini : Tabel 5. Kependudukan Kota Surakarta Tahun 2008 Kelurahan
Perempuan
Jumlah
KK
Lakilaki
Luas (Km2)
Kepadatan (Jiwa/Km2)
a. Baluwarti
3.402
3.662
7.064
1.450
0,54
13.053
b. Kauman
1.742
1.665
3.407
729
0,21
18.245
c. Kedunglumbu
2.364
2.499
4.863
1.312
0,59
8.195
7.508
7.826
15.334
3.541
1,24
10.625
Jumlah
Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008 dan hasil perhitungan Kepadatan penduduk Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Tahun 2008 dapat diketahui dari jumlah penduduk dibagi luas kelurahan. Dengan hasil kelurahan dengan kepadatan paling tinggi terdapat di kelurahan Kauman dengan
38
kepadatan 18.245 Jiwa/Km2, kepadatan paling rendah berada pada kelurahan Kedunglumbu dengan kepadatan 8.195 Jiwa/Km2. Unit kelurahan disajikan pada Tabel 5 kolom ketujuh. b. Komposisi Penduduk Komposisi penduduk adalah pengelompokan penduduk berdasarkan kriteria tertentu. Penduduk dapat diklasifikasikan berdasarkan kondisi biologis, sosial, ekonomis dan geografis sesuai dengan kebutuhan penggolongan. Dalam kajian ini penduduk akan diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, pendidikan dan mata pencaharian yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam analisis penyesuaian diri terhadap bahaya banjir. Adapun klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut ini :
1) Menurut Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan karakteristik penduduk yang pokok. Struktur ini mempunyai pengaruh penting terhadap tingkah laku demografis maupun sosial ekonomi. Berdasarkan Tabel 6 dapat disajikan komposisi penduduk menurut jenis kelamin per kecamatan di Kota Surakarta yaitu sebagai berikut ini: Tabel 6. Komposisi Penduduk menurut Jenis Kelamin No
Kelurahan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Sex ratio
1.
Baluwarti
3.402
3.662
7.064
92
2.
Kedunglumbu
2.364
2.499
4.863
94
2.
Kedunglumbu
1.742
1.665
3.407
94
Jumlah
5.766
6.161
11.927
93
Sumber : Tabel 5 dan hasil perhitungan
39
2) Menurut Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk. Komposisi penduduk Kota Surakarta disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 7. Komposisi Penduduk menurut Jenjang Pendidikan Kelurahan No
Baluwarti
Kedunglumbu
Kauman
/perguruan tinggi
359
592
594
2
Tamat SLTA
2377
626
529
3
Tamat SLTP
1682
658
479
4
Tamat SD
1075
693
274
5
Tidak tamat SD
46
914
210
6
Belum tamat SD
750
714
357
7
Tidak sekolah
55
130
118
8
Lain-lain
0
0
0
Jumlah
6344
4327
2561
1
Pendidikan Tamat Akademi
Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008
3) Menurut Mata Pencaharian Mata pencaharian berbeda-beda antara penduduk satu dengan lainnya. Berdasarkan mata pencaharian dapat diidentifikasi kondisi ekonomi penduduk terutama terkait dengan besarnya pendapatan. Komposisi penduduk berdasarkan kriteria mata pencaharian disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 8. Komposisi Penduduk menurut Jenis Pekerjaan Kelurahan No
Pekerjaan
Baluwarti
Kauman
Kedunglumbu
40
1
Petani
0
0
0
2
Buruh tani
0
0
0
3
Pengusaha
61
149
149
4
Buruh industri
546
154
201
5
Buruh bangunan
408
214
291
6
Pedagang
468
423
181
7
Pengangkutan
231
65
99
8
Pegawai negeri
728
9
139
9
Pensiunan
104
49
123
10
Lain-lain
3241
137
1546
Jumlah
5787
1200
2729
Sumber : Monografi dinamis Kecamatan Pasar Kliwon Tahun 2008
6. Perkembangan dan Fungsi Kota Morfologi Kota Surakarta pada tahun 1500-2000 telah tumbuh membentuk berbagai formasi, yaitu memusat, mengelompok dan organik. Elemen „daging‟ telah tumbuh secara horisontal, vertikal dan interestisial. Sementara elemen „darah‟ telah berkembang dari orang-orang pribumi (Jawa, Madura, Banjar) bertambah dengan orangorang pendatang (Cina, Arab, India, Belanda), dengan mata pencaharian dari agricultural ke non-agricultural. Temuan penting lainnya adalah Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep yang berlainan yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial oleh masyarakat Belanda dan konsep kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. (Prayitno 2007) Kota Surakarta pada tahun 1500-1750 masih berupa kota tepian sungai di Bengawan Solo, kemudian pada tahun 1750-1850 berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan. Sejak tahun 1850an, Kota Surakarta mulai meninggalkan lalulintas sungai dan berganti ke lalu lintas daratan, sehingga menjadi kota daratan. Apalagi sejak tahun 1900an, setelah dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas kota, yaitu jalur rel kereta api, jalur trem, jaringan listrik dan jaringan air bersih, maka Kota Surakarta benar-benar telah berubah ke kota daratan,
41
meninggalkan hiruk-pikuk kota tepian sungai yang pernah terjadi di Bengawan Solo. Pada tahun 2000, Kota Surakarta mengalami permasalah kota yang umumnya juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia, yaitu permasalahan pada lingkungan alaminya, lingkungan buatannya dan lingkungan humannya. Sehingga diperlukan pengaturan pada cagar budaya yang sesuai dengan kondisi Kota Surakarta yang sangat spesifik. Pembentukan Kota Surakarta diawali dengan pemindahan ibukota Kerajaan Mataram Islam dari Kartosuro ke Desa Sala sekitar tahun 1745 atau pada zaman pemerintahan Sultan Pakoe Boewono II. Perkembangan kota pada mulanya berorientasi pada Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran. Perkembangan selanjutnya terbentuk jaringan-jaringan jalan yang membuka hubungan dengan daerah lain seperti ke barat menuju Yogyakarta dan Semarang melalui Kartosuro, ke utara melalui Purwodadi, ke timur menuju Madiun dan ke selatan menuju Wonogiri. Jaringan jalan ini mempunyai peranan yang cukup penting terhadap perkembangan Kota Surakarta. Keterbatasan ruang di bagian timur, selatan dan barat Kota Surakarta memaksa perkembangan Kota Surakarta ke arah bagian utara kota yang ditandai dengan berdirinya komplek perumnas dan komplek kampus pada wilayah yang berbukit-bukit tersebut (Baiquni, 1988 : 33). Perkembangan Kota Surakarta tidak luput dengan fungsi dan peranan kota sebagai kota madya. Menurut Hary Subandriya (1986) dalam Baiquni (1988 : 33), peranan dan fungsi Kota Surakarta terhadap daerah sekitarnya adalah sebagai berikut ini : -
Sebagai pusat pengembangan budaya dan kepariwisataan Jawa Tengah bagian selatan.
-
Sebagai kota pusat perdagangan dan industri.
-
Sebagai daerah yang representatif bagi perkembangan penduduk.
-
Sebagai kota transito bagi pengunjung dari Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur.
-
Sebagai kota yang giat melaksanakan pembangunan.
-
Sebagai kota pengembangan pendidikan. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan daerah-
daerah di sekitarnya yaitu Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri dan Klaten. Kegiatan-kegiatan antar daerah tersebut terutama dalam bidang
42
perekonomian. Hal ini dimungkinkan karena struktur perekonomian daerah sekitar Kota Surakarta didominasi oleh kegiatan perekonomian primer (agraris), sedangkan struktur perekonomian Kota Surakarta didominasi oleh kegiatan perekonomian sekunder (industri) dan tersier (jasa). Faktor utama yang menentukan dalam peningkatan hubungan ekonomis Kota Surakarta adalah terselenggaranya sistem pengangkutan darat yang membentuk jalur radial antara Kota Surakarta dengan kabupaten-kabupaten di sekitarnya (Bappeda, 1985 dalam Baiquni, 1988 : 34).
7. Pemerintahan Ditinjau dari segi pemerintahanya, Kota Surakarta mengalami beberapa periode, mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan atau periode pemerintahan republik Indonesia. Secara ringkas periode pemerintahan tersebut seperti berikut. Periode pemerintahan kolonial Belanda. Solo merupakan derah swapraja yang terbagi menjadi dua bagian yaitu Swapraja Kasunanan (di bawah Paku Buwono) dan Swapraja Mangkunegaran (di bawah Mangkunegara). Kedua daerah Swaparaja ini dikuasai oleh seorang gubernur Hindia Belanda. Periode Pemerintahan Kota Surakarta. Periode Pemerintahan Kota Surakarta dimulai dari saat terbentuknya dan berakhir sampai dengan ditetapkan Undang-undang No.16 tahun 1974 tentang pembentukan Haminte kota Surakarta, yang mulai berlaku pada tanggal 5 Juni 1947. Periode Haminte Kota Surakarta. Kata Haminte kota berasal dari bahasa belanda “Stadsgemeente” (Stads = kota, Gemeente dibaca menjadi Haminte). Pada permulaan Haminte kota Surakarta mengambil alih dinas-dinas Kasunanan dan Mangkunegaran yang berada di wilayahnya. Berpedoman pada Stadsgemeenta Ordonantie, maka Walikota disamping sebagai alat pemerintahan pusat juga merupakan alat pemerintahan daerah sebagai alat pemerintah daerah, walikota menjabat sekaligus kepala Daerah, ketua merangkap Anggota Dewan Pemerintah Kota dan Dewan Kota. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan perkembangan pemerintah daerah yang Demokratis, sehingga jabatan-
43
jabatan tersebut satu demi satu secara berangsur-angsur dilepaskan sehingga akhirnya tinggal satu jabatan saja yaitu Walikota sebagai Kepala Daerah. Periode Kota Besar Surakarta, Kota Besar Surakarta baru dikenal dan dipergunakan setelah UU No.20 tahun 1943 tentang Pemerintah daerah yang ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 20 juni 1948 (akan tetapi karena adanya Clash II baru dijalankan tahun 1950). Pada pertengahan 1949 di Solo dibentuk pemerintahan Illegal yang kemudian disahkan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan Illegal tersebut dikuasai oleh pelajar, Mahasiswa dan pemuda-pemuda pada umumnya. Hampir bersamaan dengan itu pula pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dengan bantuan dan perlindungan Belanda juga menyusun pemerintahan, akan tetapi dalam prakteknya tidak dapat berjalan karena kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Periode Kotapraja Surakarta. Periode ini berawal dari tertibnya Undang-undang No.1 tahun 1957 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Januari 1957. Perubahan nama ini membawa banyak perubahan dalam bentuk, susunan kekuasaan, tugas dan kewajiban pemerintah daerah Kotapraja Surakarta. Berdasarkan hasil pemilihan umum, maka di kotapraja Surakarta dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah peralihan. Periode Kotamadya Surakarta, periode ini dimulai dari adanya Undang-Undang No. 18 tahun 1965 tentang “Pokok-pokok Pemerintahan Daerah”, yang berlaku dari tanggal 1 September 1965 sampai sekarang. Dengan meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965, karena daerah Surakarta secara rahasia dijadikan salah satu basisnya, maka Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta lumpuh selama beberapa waktu. Karena Walikota Kepala Daerah Otoemo Ramelan termasuk salah seorang tokoh PKI, akan tetapi dalam waktu yang relatif singkat keadaan semakin pulih. (Budiharjo Eko 1989)
8. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagian besar berupa lahan terbangun. Lahan terbangun tersebut berupa permukiman umum, dalem pangeran, kantor administrasi dan fasilitas umum. Sebaliknya keberadaan lahan belum terbangun berupa lahan kosong sangat terbatas yaitu taman dan halaman.
44
45
B. Hasil dan Pembahasan. 1. Karakteristik Tata Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat a. Susunan Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Kedhaton 1) Kedhaton Kedhaton adalah tempat tinggal raja beserta keluarganya yang dibagi menjadi dua yaitu tempat bersifat sangat pribadi dan tempat yang berfungsi utuk urusan administrai kerajaan. Kedhaton terletak pada koordinat 480694 mT dan 9162430 mU sampai dengan 480988 mT dan 9162510 mU. Bangunan-bangunan dalam Kedhaton memiliki nama sesuai dengan fungsinya. Bangunan-bangunan dalam Kedhaton adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Letak Wilayah Kedhaton di dalam Benteng Baluwarti. a) Dalem Ageng Prabasuyasa Dalem Ageng Prabasuyasa merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat ini disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol
46
kerajaan. Halaman Dalem Ageng Prabasuyasa dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa.
b) Sasana Parasdya Sasana Parasdya adalah sebuah peringgitan. Peringgitan adalah tempat untuk melihat pertujukan wayang kulit khusus bagi keluarga raja. Menikmati pertunjukan wayang kulit sebenar dilihat dari bayangan atau siluet dari bentuk wayang dan akan terlihat bayangan yang bergerak dengan karakter masing-masing dari wayang dengan diiringi gamelan, akan terlihat semakin hidup. Rakyat hanya melihat bagian belakang pertunjukan. c) Sasana sewaka Sasana Sewaka merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. d) Sasana handrawina Sasana Handrawina digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke Kota Surakarta. e) Sasana Prabu Sasana prabu merupakan kantor bagi raja. Ruangan ini bersifat tertutup untuk umum, sehingga informasi kondisi ruang sulit diperoleh. f) Langen Katong Langen Katong merupakan bangunan yang digunakan raja mencari inspirasi bagi karyanya baik berupa gending, hukum, rencana tahunan bagi kerajaan sampai motif batik. Hasil pikiran yang kemudian ditulis oleh pujangga keraton.
47
g) Bandengan Kolam ikan terletak di dalam Kedaton yang digunakan untuk memelihara ikan kesayangan raja.
h) Masjid Pudyasana Masjid Pudyasana merupakan masjid khusus keluarga raja. Masjid ini selain digunakan untuk sholat lima waktu, saat raja mangkat masjid tersebut digunakan untuk memandikan jenasah khusus bagi raja. i)
Panggung Sangga Buwana Panggung Sangga Buwana merupakan menara yang digunakan
sebagai tempat meditasi Raja sekaligus untuk mengawasi benteng Vastenberg milik VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan ini memiliki lima lantai yang digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.
Gambar 4. Panggung Sangga Buwana.
48
j)
Sasana Putra Sasana Putra merupakan tempat tinggal para Putra Dalem pria
yang sudah menggalami akhil balik, untuk dididik dan diperkenalkan olahkeprajuritan. Setelah dewasa dan siap menikah para putra raja tersebut diberi hak untuk memiliki sebuah tempat tinggal yang disebut Dalem Pangeran. k) Kaputren Kaputren terletak di sebelah barat Sasana Prabasuyasa. Sasana Prabasuyasa sebagai batas untuk membedakan pria dan wanita keraton. Sisi kedhaton dibagi dua tempat untuk pembedaan tersebut yaitu kaputren untuk tempat wanita dan kesatriyan untuk pria. Kaputren merupakan tempat yang diperuntukan bagi garwo ampeyan atau selir beserta putra-putrinya yang belum akhil balik. Jika sudah mengalami akhil balik, putra laki-laki sudah tidak diijinkan untuk tinggal di kaputren tetapi harus pindah ke tempat khusus pria yaitu kesatriyan. Bagi putri yang sudah mengalami akhil balik tetap diijinkan tinggal di kaputren sampai menunggu utuk dipinang. 2) Bangunan administrasi Keraton yang berada di dalam Kedhaton Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memiliki kantor administrasi untuk mengatur semua urusan seperti layaknya sebuah negara, nama-nama kantor administrasi tersebut sesuai fungsinya yaitu sebagai berikut : a)
Sidhikara Sindhikara adalah kantor pengadilan untuk hukum perdata, selain itu
juga digunakan untuk mengurus administrasi hak waris dari putra-putra raja. b)
Panti Pidana Dari Bangsal Marcukundha disisi timur terdapat bangunan panjang yang
membujur kearah selatan, bangunan tersebut digunakan untuk penjara bagi yang melanggar hukum keraton bangunan itu disebut Panti Pidana. c)
Sasana Wilapa Sasana Wilapa digunakan untuk menghadap abdi dalem berpangkat
Carik Sepuh yang bertugas mengkoreksi surat-surat administrasi Keraton. d)
Sasana Pustaka
49
Sasana Pustaka digunakan untuk menyimpan surat-surat administrasi bagi kerajaan. e)
Magangan Magangan terletak pada koordinat 480962 mT dan 9162220 mU
digunakan oleh para calon prajurit kerajaan untuk diseleksi dan nantinya akan mengabdi pada kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengahtengah halaman. 3) Sarana Pendidikan untuk kerabat dekat raja. Pendidikan sangat diutamakan bagi para Sentana Dalem ( kerabat dekat raja) dikarenakan mereka adalah keturunan dan kerabat dekat raja, maka harus memiliki kecakapan intelektual dan ilmu pengetahuan yang memadai. Sekolah hanya diperuntukan khusus bagi Sentana Dalem. Lembaga pendidikan ini memiliki dua pemakaian yang berbeda yaitu sekolah khusus putri dan sekolah khusus putra. a) Pamardi Putri Parmadi Putri terletak pada koordinat 480675 mT dan 9162330 mU berdiri pada bulan Januari tahun 1927 atas prakarsa pemerintahan kasunanan. Peruntukan awal bangunan untuk pendidikan HIS (Hollandsch Inlandsch School). Pamardi Putri terletak di sebelah timur dari lingkungan Kraton, tepatnya di Jalan Beteng Kalurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta dengan luas bangunan 1000 m2. b)
Sekolah Kesatriyan Sekolah Kesatriyan terletak pada koordinat 48111 mT dan 69162460
mU sekolah tersebut digunakan khusus untuk sentana dalem yang berjenis kelamin laki-laki untuk mengenyam pendidikan, yang patut disayangkan tidak diketahui kapan sekolah tersebut dibangun.
50
3) Pintu Poros Utara-Selatan Kedhaton memiliki dua pintu masuk yaitu dari arah selatan dan arah utara, Daliman (2001) menyebut Pintu Poros utara selatan. Pintu poros tersebut dilengkapi halaman dan bangunan sebagai berikut: a) Poros selatan (1) Alun-alun Kidul Alun-alun Kidul terletak pada koordinat 480708 mT dan 9161750 mU sampai dengan 480998 mT dan 9162050 mU. Alun-alun kidul memilik makna filosofis mengingatkan asal-usul manusia dan ke mana ia akan kembali. Konsep awang-uwung atau suasana serba kosong adalah simbol yang mengingatkan manusia untuk siap menghadapi kematian.
(2) Siti Hinggil Kidul Siti Hinggil terletak pada koordinat 480861 mT dan 9162010 mU sampai dengan 480940 mT dan 9162100 mU memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet. (3) Sri Manganti Kidul dan Kamandungan Kidul Pintu selatan terdiri dari Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul. Sri Manganti Kidul dan Kemandungan Kidul terletak pada koordinat 480933 mT dan 9162170 mU berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Di sisi kanan kiri komplek ini terdapat bangunan Kamstin yang tidak diketahui kegunaannya. b) Poros utara (1) Alun-alun Lor Alun-alun Lor terletak pada koordinat 480997 mT dan 9162590 mU sampai dengan 481218 mT dan 9162830 mU Kompleks ini meliputi Gladhag, perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi. Pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya.
51
Ringin Kurung di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di komplek alun-alun lor terdapat Masjid Agung. Masjid agung dalam denah kosmis sebagai Tanah Suci Mekah. Di sebelah barat Alun-alun Lor berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. (2) Siti Hinggil Lor Siti Hinggil Lor terletak pada koordinat 481050 mT dan 9162540 mU Dinamakan Siti Hinggil Lor karena dalam bahasa jawa siti berarti tanah hinggil berarti tinggi dan lor adalah arah utara. Sitihinggil Lor terletak pada bagian utara Komplek Kedhaton yaitu tempat raja beserta keluarganya tinggal. Sitihinggil Lor merupakan suatu komplek yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Komplek ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat. Trunajaya adalah pemberontak yang berasal dari Madura yang bekerja sama dengan Sunan Kuning untuk meruntuhkan keraton Kasunanan saat berada di Kartasura. Di Sitihinggil terdapat Sasana Sumewa, tempat tersebut digunakan untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya diberi nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng.
52
Disebelah timur Sasana Sumewa terdapat Bangsal Manguntur Tangkil,
tempat
tahta
Susuhunan,
dan
Bangsal
Witono,
tempat
persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng yang merupakan tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, beruapa sebuah meriam yang dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar timur-selatanbarat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang). (3) Sri Manganti Lor dan Kamandungan Lor Pintu utara terdiri dari Sri Manganti Lor dan Kemandungan Lor. Kori Sri Manganti terletak pada koordinat 480985 mT dan 9162240 mU sampai dengan 481079 mT dan 9162470 mU Dinamakan Siti Hinggil menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Kata Sri Manganti berarti Sri adalah raja dan Manganti yaitu menunggu. Kori ini memiliki pintu dengan gaya Semar Tinandu, yang digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu, yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur. Kamandungan lor merupakan halaman yang digunakan saat upacara jumenengan (naik tahta). Di komplek Kamandungan lor terdapat bangunan bertingkat dua dengan ketinggian 15 meter yang digunakan untuk penjagaan keamanan Kedhaton
terletak
disebelah
utara
tembok
Kedhaton
selab
barat
Kamandungan yang disebut Panggung Indra. 4) Dalem Pangeran Dalem dalam bahasa Jawa disebut rumah dan dibelakangnya adalah nama dari seorang pangeran yang memiliki daerah tersebut.
53
Setelah dewasa dan menikah putra raja memiliki hak untuk tinggal pada sebuah rumah yang bersifat mendiri yang disebut Dalem Pangeran. Bangunan tersebut dibangun menggelilingi rumah ayahandanya atau rumah raja yaitu di dalam wilayah kedhaton. a. Dalem Sasonomulyo (1) Sejarah Pada masa PB IV Dalem Sasonomulyo digunakan untuk tempat berkumpulnya raja beserta bawahanya. Perkembangan berikutnya Dalem Sasonomulyo menjadi Dalem Ngabean karena diperuntukan bagi pangeran Hanggabehi yang dibangun oleh Sri Susuhunan. Dalem Sasonomulya berbeda dengan dalem-dalem yang lain karena mempunyai bangunan pendukung berupa rumah bergaya arsitektur Belanda. (2) Peruntukan awal Bangunan ini pada awalnya menjadi kediaman Pangeran Hangabehi dan kerabatnya.
(3) Peruntukan sekarang Saat ini Sasonomulyo didiami oleh GPH Dipokusumo dan kerabatnya. Terdapat pula pendopo yang sampai saat ini masih dipakai untuk acara pertemuan. (4) Kondisi situs Dalem Sasonomulyo terawat dengan baik. (5) Analisis Situs Dalem Sasonomulyo terletak pada koordinat 480884 mT dan 9162460 mU sampai dengan 480957 mT dan 9162580 mU. Berlokasi di Jln. Beteng, Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta dengan luas bangunan 1012m2. Latar belakang penentuan lokasi selain sesuai dengan arah hadap Keraton juga memiliki letak yang strategis memperlihatkan
54
bahwa bangunan tersebut memiliki keistimewaan dari pada bangunan Dalem yang lain. Dapat dipastikan yang menempati bangunan tersebut akan menjadi raja. b.
Dalem Suryo Hamijayan (1) Sejarah Dibangun pada masa pemerintahan PB III sebagai rumah kediman putra dalem. (2) Peruntukan awal Bangunan tersebut digunakan sebagai kediaman putra raja (pangeran Surya Hamijayan). (3) Peruntukan sekarang Digunakan sebagai rumah kediaman bagi keturunan Pangeran Surya Hamijayan. (4) Kondisi situs Kurang terawat dan terlihat pemeliharaan yang kurang terawat, dibeli oleh keluarga Almarhum mantan Presiden Republik Indonesia H. Mohammad Soeharto. Pernah digunakan sebagai Sekolah Menenggah Kejuruan dan saat ini pada bagian timur pendopo digunakan sebagai lapangan Tenis. (5) Analisis situs Dalem Suryohamijayan terletak pada koordinat 480757 mT dan 9162470 mU sampai dengan 480882 mT dan 9162600 mU dibangun oleh Sri Susuhunan Paku Buwana III sebagai kedian putranya yaitu pangeran Surya Hamijayan, dengan luas bangunan 806m2. Menghadap ke arah selatan sesuai dengan arah hadap Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
c. Dalem Purwodiningratan (1) Sejarah Dibangun pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IV, dasar peruntukan bagi Pangeran (putra dalem). (2) Peruntukan Awal
55
Pada awal didirikannya bangunan(dalem) ini diperuntukkan bagi putra raja, saat itu didiami oleh Pangeran Purwodiningrat. (3) Peruntukan Sekarang Saat ini bangunan (dalem) masih didiami oleh keturunan Pangeran Purwodiningrat. (4) Kondisi Situs Kondisi bangunan saat ini kurang terawat melihat usia bangunan yang lebih dari satu abad ditambah dengan perawatan yang seadanya. (5) Analisis Situs Dalem Purwodiningratan terletak pada koordinat 480718 mT dan 9162490 mU sampai dengan 480794 mT dan 9162620 mU. Berlokasi disebelah barat Kraton Surakarta Kalurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta, dengan luas area 806 m2. Latar belakang penentuan lokasi tidak ada, hanya memperhatikan arah berdirinyabangunan yaitu arah selatan (wawancara dengan GPH Puger, B.A). Di sebelah timur dan barat bangunan hanya terdapat bangunan pringgitan untuk kerabat dekat. d.
Dalem Ngabean (1) Sejarah Dibangun untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi putra raja, yang bernama Pangeran Hangabehi. (2) Peruntukan awal Merupakan bangunan tempat tinggal Pangeran Hangabehi. (3) Peruntukan Sekarang Saat ini bangunan dalem Ngabean tidak dihuni. (4) Kondisi Situs Kondisi bangunan rusak. (5) Analisis Situs Dalem Ngabean terletak pada koordinat 480723 mT dan 9162180 mU sampai dengan 480819 mT dan 9162280 mU. Terletak secara spasial di dalam wilayah Kraton tepatnya di Jalan Baluwarti No.15
56
Kalurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon. Dalem ini memiliki keruangan yang sama dengan bangunan dalem lainnya di kraton. e.
Dalem Brotodiningratan (1) Sejarah Dibangun khusus untuk kediaman putra dalem (raja) (2) Peruntukan awal Diperuntukkan sebagai rumah kediaman putra Sinuhun bernama pangeran Brotodiningrat. (3) Peruntukan Sekarang Saat ini status bangunan sudah beralih kepemilikan menjadi milik keluarga mantan Presiden Soeharto.
(4) Kondisi Situs Kondisi bangunan terawat. (5) Analisis Ruang Dalem Brotodiningratan terletak pada koordinat 480576 mT dan 9162210 mU sampai dengan 480644 mT dan 9162320 mU. Terletak di Jalan Baluwarti no.4 Kalurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta, dengan luas bangunan 806 m2. Latar belakang penentuan lokasi bangunan tidak ada, hanya memperhatikan arah menghadapnya bangunan yaitu arah selatan (wawancara dengan GPH Puger, B.A). Adapun dalem-dalem pangeran yang kurang diketahui keterangannya dikarenakan terbatasnya literatur dan narasumber yang mengkaji Dalem tersebut yaitu, Dalem Suryodiningratan, Dalem Cakradiningratan, Dalem Tursinapuri, Dalem Mangkuyudan dan Dalem Wiryodiningratan. 6) Tempat tinggal abdi dalem
57
Raja memiliki Abdi Dalem (orang yang bekerja pada raja) yang berjumlah besar, dan para Abdi Dalem tersebut dibuatkan perumahan yang berbentuk kampungkampung yang sesuai antara nama kampung dengan jenis pekerjaan Abdi Dalem. a)
Wirengan terletak pada koordinat 480576 mT dan 9162210 mU sampai dengan 480644 mT dan 9162320 mU berasal dari kata Wireng (penari wayang orang atau tarian Jawa Klasik). Dahulu merupakan tempat tinggal abdi dalem yang mengurusi persoalan tari-menari wayang orang dan sejenis.
b)
Tamtaman terletak pada koordinat 481057 mT dan 9162080 mU sampai dengan 481377 mT dan 9162490 mU adalah tempat tinggal dari penggawal pribadi raja dan penjaga keamanan istana.
c)
Lumbung terletak pada koordinat 480930 mT dan 9161980 mU sampai dengan 481053 mT dan 9162140 mU merupakan tempat penyimpanan bahan makanan untuk istana.
d)
Carangan terletak pada koordinat 481039 mT dan 9162080 mU sampai dengan 481264 mT dan 9161970 mU tempat tinggal abdi dalem prajurit.
e)
Gambuhan terletak pada koordinat 480581 mT dan 9162510 mU sampai dengan 480717 mT dan 9162640 mU merupakan tempat abdi dalem niyaga istana dan ahli gending.
a)
Gondorasan terletak pada koordinat 481009 mT dan 9162130 mU sampai dengan 481086 mT dan 9162240 mU merupakan tempat bagi abdi dalem yang menyediakan masakan dengan jumlah besar, biasanya dibutuhkan untuk pesta rakyat, seperti pada saat merayakan Garebeg Mulud. (Radjiman 2002) Adapun perkampungan yang tidak
diketahui penggunaanya, seperti :
Hordenasan, Sekullangen, Ngelos. 7) Kestalan Langensari Kestalan Langensari terletak pada koordinat 480672 mT dan 9162410 mU sampai dengan 480751 mT dan 9162480 mU. Bangunan yang digunakan sebagai kandang kuda kesayangan milik raja, yang digunakan sebagai penarik kereta kebesaran bangunan-bangunan tersebut dipresentasikan pada peta 3 pada halaman 53.
58
59
b. Filosofi Keraton Kasunanan Surakarta Di Jawa, konsep mengenai raja dan kekuasaan dipengaruhi oleh konsep spiritual yang berasal dari kultur India yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara makrokosmos
60
dan mikrokosmos yaitu antara jagat raya dan dunia manusia, yang digambarkan dengan denah susunan Kosmis Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang meliputi: Negara, Kutanegara, Negaragung, Mancanagara, Pasisir dan Samudra. Berhubung jagat raya yang menurut kosmologi Brahman atau Budhis berpusat di gunung Meru, maka kerajaan yang merupakan jagat kecil harus memiliki Gunung Meru pada pusat kotanya dan Meru dalam jagat mikrokosmos tersebut adalah raja sendiri. Berhubung raja adalah pusat dari konsep konsentris jagat mikrokosmos dan raja disimbolkan sebagai junjungan yang harus memiliki tempat yang paling tinggi maka raja identik dengan Panggung Sangga Buwana, jadi siapapun saat tidak diperbolehkan mendirikan bangunan yang lebih tinggi dari Panggung Sangga Buwana. c. Pembagian enam lingkaran yang menggambarkan wilayah administrasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadinigrat secara Makrokosmos. Lingkaran pertama, yaitu Kraton yang disebut juga Negara. Istana raja dan tempat kediaman yang dihuni bersama keluarganya, beserta bangunan-bangunan tempat pangeran dan bangsawan bekerja, termasuk dalam pusat negara. Pusat negara diurus oleh Paprentahan Lebet yang dibantu oleh empat pegawai utama yang disebut Wedana Lebet. Para Wedana Lebet dibantu seorang Kliwon, seorang Kebayan dan empat puluh orang Mantri Jajar. Lingkaran kedua mengitari Kraton yaitu ibukota yang disebut Kutanegara. Untuk urusan pemerintahan diserahakn kepada dua orang Tumenggung. Di Kutanegara tersebut ditinggali kaum bangsawan serta priyayi tingkat tinggi. Lingkaran ketiga yang mengitari Kutanegara disebut Negara Agung yang dibagi menjadi delapan yang masing-masing dikepalai oleh wedana jawi. Secara administratif Negara Agung terdiri dari desa-desa yang dibagi kepada para patuh. Lingkaran keempat yang melingkari Negara Agung disebut dengan Mancanegara yang dipimpin oleh bupati yang bergelar Tumenggung atau Raden Aria. Lingkaran kelima yang melingkari mancanegara disebut dengan Pasisir yaitu pantai utara Jawa meliputi Pasisir Wetan dan Pasisir Kulon. Lingkaran keenam Samudra dalam bahasa jawa yang berarti lautan dan Tanah Sabrang berarti daerah di seberang lautan atau pulau. Pada tahun 1709 sampai dengan tahun 1749 yang saat itu Sunan Paku Buwana II berkuasa telah manandatangani perjanjian yang berisikan daerah administrasi kekuasaan
61
Keraton Kasunanan Surakarta Hadingrat yang meliputi daerah-daerah yang saat itu disebut sebagai Mancanegara yaitu 1.
Madiun : Jogorogo, Ponorogo dan Pacitan
2.
Kediri : Blitar, Srengat, Lodoyo, Nganjuk dan Berbek
3.
Surabaya : Wirosobo (Mojoagung)
4.
Rembang : Blora
5.
Banyumas : Pamerden (Banyumas timur), dan Jayaluhur (Banyumas barat laut)
6.
Surakarta : Keduwang Setiap Mancanegara dipimpin oleh seorang bupati yang tunduk kepada Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang lebih tepatnya Sunan Paku Buwana III.
62
Gambar 5. Pembagian kekuasaan antara Kasunanan dan Kasultanan pada masa Paku Buwono II. d. Pembagian enam lingkaran yang menggambarkan wilayah administrasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadinigrat secara Mikrokosmos. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dibangun dengan enam lingkaran yang merupakan miniatur dari daerah kekuasaanya (Makrokosmos). Lingkaran pertama pertama yaitu dalem Ageng Prabasuyasa yang disebut juga Kraton, diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung semeru di Jawa). Bertujuan untuk menunjukan kekuasaan dan wibawa raja. Lingkaran kedua disebut Kutanegara, batas luarnya adalah pelataran dalem Ageng Prabasuyasa berupa halaman berpasir hitam yang berasal pantai laut selatan pulau Jawa dan ditanami pohon Sawo Kecik. Lingkaran ketiga disebut Negara Agung adalah bangunan-bangunan yang mengelilingi halaman dalem Ageng Prabasuyasa, yang fungsinya digunakan untuk kepentingan administrasi, hukum dan Kori (pintu gerbang masuk Dalem Ageng Prabasuyasa). Lingkaran keempat disebut Mancanegara belum keluar dari teras Dalem Ageng Prabasuyasa, digunakan untuk raja menerima tamu. Lingkaran kelima disebut dengan Pasisir, batas luarnya mencapai Siti Hinggil. Lingkaran Keenam adalah Samudra dan Tanah Sabrang, alun-alun merupakan simbol dari Samudra dalam bahasa jawa disebut lautan dan tanah Sabrang disimbolkan dengan bangsal-bangsal untuk pertemuan para Bupati yang memimpin kadipatenkadipaten. Konsep konsentris ini dipresentasikan dalam peta 4 pada halaman 58.
63
64
65
2. Penyimpangan terhadap Karakteristik Tata Ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Dilihat dari perkembanganya tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak langsung terbentuk seperti sekarang. Dimulai pada masa Paku Buwana II yang kemudian mengalami banyak perubahan yang ditandai dengan penambahan bangunan selama periode pemerintahan raja yang berkuasa. Paku Buwono X adalah raja yang sangat terkenal karena pada masa pemerintahannya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengalami puncak kejayanya yang ditandai dengan pembangunan yang signifikan didalam Keraton. Berikut adalah perkembangan tata ruang Keraton kasunanan Surakarta Hadiningarat dimulai dari Paku Buwana II tahun 1749 sampai dengan Paku Buwana XII tahun 2004 a.
Paku Buwana II pada tahun 1749 Masa Paku Buwana I sudah berdiri tambok Cepuri yang diapit dengan dua alun-alun bangunan yang pertama kali dibangun adalah dalem Ageng Prabasuyasa dan Tratag Rambat didekat alun-alun Lor.
b.
Paku Buwana III pada tahun 1788
66
Dibangun Tembok Baluwarti yang menjadi benteng pertahanan Keraton selain itu juga dibangun perumahan-perumahan bagi abdi Dalem. c.
Masa Paku Buwana IV pada tahun 1820 Meneruskan pembangunan dan pemerintahan, kemudian menambahkan tiga dalem pangeran yaitu Dalem Sindusenan, Dalem dalem Sasonomulyo dan Dalem Suryo Hamijayan.
d.
Masa Paku Buwana V pada tahun 1823 Paku Buwana V memerintah hanya tiga tahun membangun Bangsal Ijo sekarang Sasana Hendrawina digunakan sebagai tempat gala dinner tamu asing.
e.
Masa Paku Buwana VI 1830 Masa Paku Buwana VI berkuasa hanya melakukan sedikit perbaikan pada Masjid Agung, dikarenakan saat itu terjadi peperangan yang dikenal dengan perang Diponegoro pada tahun(1825-1830).
f.
Masa Paku Buwana VII 1858 Masa Paku Buwana VII melakukan
perbaikan pada Masjid Agung,
paseban Lor dan PasebanKidul. g.
Masa Paku Buwana VIII 1861 Masa Paku Buwana VIII tidak terjadi penambahan ataupun berbaikan, dikarenakan hanya memerintah tiga tahun.
h.
Masa Paku Buwana IX pada tahun 1830 Masa Paku Buwana IX melakukanperbaikan pada panggung Sangga Buwana dan mendirikan Maligi, selain itu terjadi penambahan pada Dalem Pangeran yaitu Dalem Mloyosuman dan Dalem Purwodiningratan.
i.
Paku Buwana X Tahun 1938 Perbedaan yang mencolok pada masa pemerintahan PB X adalah tebal tembok Baluwarti yang mengalami penambahan, pada masa ini Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengalami puncak kejayaan, PB X mendirikan tujuh dalem pangeran
pada
masa
pemerintahanya
yaitu,
Dalem
Tursinapuri,
Dalem
Kusumabratan, Dalem Ngabean, Dalem Suryanegaran, Dalem Mangkuyudan, Dalem Wuryodiningratan dan Dalem Cakradinigratan.
67
j.
Masa paku Buwana XI pada tahun 1945 Masa pemerintahan Paku Buwana XI tidak banyak perubahan hanya penggantian nama dalem pangeran, yang semula bernama Dalem wiryodinigratan diganti dengan Dalem Mangkubumen.
k.
Masa Paku Buwana XII pada tahun 1965 Masa
Paku Buwana
XII memerintah
dapat dilihat
perubahan
bentukAlun-alun Lor yang disebabkan karena pembangunan jalan lingkar Alun-alun tahun 1952, yang berdampak penyamaan bentuk Alun-alun Kidul. Selain terjadi penambahan luasan lahan terbangun pada perumahan-perumahan abdi dalem dan rumah-rumah di sekitar dalem-dalem pangeran, juga terjadi dengan berubahnya lahan terbuka hijau yang merupakan kandang kuda (Langensari dan Kestalan) menjadi perumahan penduduk, sejak paska peristiwa G 30S/PKI. Selain itu, akibat peristiwa kebakaran menyebabkan hilangnya bangunan inti Keraton. l.
Masa Paku Buwana XII pada tahun 2004 Selanjutnya bangunan inti keraton yang terbakar tersebut (Dalem Agung Prabasuyasa, Pendapa Ageng Prabasuyasa, Sasana Hendrawina) dibangun kembali karena merupakan elemen fisik penting bagi Keraton. Dipresentasikan pada gambar 6 pada halaman 61, gambar 7 pada alaman 62, gambar 8 pada halaman 63 dan gambar 9 pada halaman 64.
68
69
70
71
72
73
74
a. Alih Fungsi Bangunan Kota Surakarta yang mengalami berbagai sistim pemerintahan yaitu sistim Kerajaan, pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sampai terbentuk Republik Indonesia. Kebijakan yang awal yang sangat mempengaruhi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang kemudian memunculkan gerakan Swapaja dan berujung pada Land reform. Gerakan Swapaja tidak mengakui daerah istimewa Surakarta (DIS) dan memutuskan untuk menolak bentuk pemerintahan feodal Susuhunan maupun Mangkunegaran. Gerakan ini menginginkan pemerintahan kembali pada rakyat. 17 Oktober 1945, terbentuk gerakan Swapraja/anti monarki/anti Feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah pembubaran DIS, dan penghapusan Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagi dalam rangka kegiatan Landreform oleh gerakan komunis. Sejak terjadi land reform Keraton Kasunanan Surakarta tidak memiliki posisi tawar dalam mengambil kebijakan pada wilayahnya. Geografi adalah panggung sejarah, keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak lepas dari dinamika yang ikut andil dalam perubahanya hingga penelitian ini ditulis. Dalem Sindsenan berubah menjadi Pusat Pendidikan Topografi TNI-AD, Institusi negara juga mempunyai pengaruh dalam pengambilalihan fungsi
75
bangunan dalam Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Dalem Brotodiningratan pernah direncanakan sebagai hotel bintang lima, (namun tidak terjadi, karena menyalahi hukum adat bangunan dalam kawasan, yakni tidak diperkenankan mendirikan bangunan melebihi tinggi bangunan Panggung Sangga Buwana). Keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta akan terus menjadi daerah incaran bagi kegiatan perekonomian, mengingat besarnya potensi wisata yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta. Dari hasil wawancara dengan GPH. Puger pada tanggal 5 Maret 2009 telah terjadi penyimpangan di dalam perkampungan Benteng Baluwarti yaitu berupa bangunan berlantai dua yang menyamai dan bahkan lebih tinggi dari Sitihinggil. hal ini dianggap meyimpang karena pada Sitihinggil terdapat bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal Witono, tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan. Bangsal tersebut memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengah yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng yaitu, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia.
1) Alih fungsi bangunan yang diakibatkan dari segi Politik Alih fungsi bangunan pada keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebenarnya sudah terjadi pada masa revolusi kamerdekaan republik Indonesia 17 agustus 1945 yang kemudian berujung pada land reform yang melucuti kekuasaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan menjadikan raja beserta keturunannya menjadi trah biasa. Penyimpangan ditinjau dari Politik a)
Taman Hijau Keraton berubah menjadi Kantor Kalurahan Baluwarti pada tahun 1950.
b)
Sekolah Mamba‟ul Ulum berubah menjadi Pendidikan formal Islam setingkat SMP tahun 1972.
c)
Dalem Sindusenan berubah menjadi Pusdik Topografi TNI-AD pada tahun 1967.
d)
Bangsal Palalon berubah menjadi Polsekta Pasar Kliwon pada tahun 1968.
76
e)
Bangunan Paseban pekapalan berubah menjadi SDN 27 Kauman pada tahun 1972 dan pasar cinderamata sampai pada tahun 2009.
f)
Dalem Kadipaten berubah menjadi Museum Keraton Surakarta pada tahun 1953.
g)
Sekolah Parmadi Putri berubah menjadi SMK Parmadi Putri pada tahun 1950.
h)
Bangunan Kamslin berubah menjadi SDN Kasatriyan pada tahun 1958 dan SDN Parmadi Siwi tahun 1960.
i)
Sekolah Kesatriyan berubah menjadi SMP Kasatriyan pada tahun 1960.
j)
Sitihinggil Lor digunakan sebagai tempat bazzar dan latihan karate Dan POM IV/ SKA.
2) Alih fungsi bangunan yang diakibatkan dari segi Ekonomi Keraton Kasunanan Surakarta berpotensi untuk kegiatan ekonomi dan sering menjadi incaran para investor, di antaranya adalah adanya pembangunan Pasar Klewer, Pasar Gading, Pasar Seni, serta Komplek perkiosan cenderamata; selain itu juga pernah diincar sebagai lokasi untuk dibangun hotel bintang lima, yakni di Dalem Brotodiningratan (namun tidak terjadi, karena menyalahi hukum adat bangunan dalam kawasan, yakni tidak diperkenankan mendirikan bangunan pelestarian. Berdasarkan kondisi tersebut, maka ekonomi dapat dikategorikan sebagai salah satu variabel yang sangat berpengaruh terhadap penyebab terjadinya penyimpangan. Penyimpangan ditinjau dari segi Ekonomi a) Sisi timur gapura Gladag berubah menjadi pusat perbelanjaan dengan gaya arsitektur Posh Modern yaitu Pusat Grosir Solo dan Beteng Trade Center. b) Bangunan Kadipaten Anom pada tahun 2002 berubah fungsi menjadi perkiosan cinderamata, pusat kerajinan wayang kulit dan gong, serta tempat kursus pedalangan. c) Sisi selatan kidul berubah menjadi Pasar Gading.tahun 2009. d) Gedong Pemajegan berubah menjadi perkiosan cinderamata pada tahun 20032004 e) Pakretan Masjid Agung berubah menjadi perkiosan cinderamata dan taman parkir tahun 2003-2009. f) Pakretan kulon berubah menjadi Pasar Klewer pada tahun 1970.
77
3) Alih fungsi bangunan ditinjau dari segi Sosial Perubahan sosial yang ada menyebabakan lunturnya kebudayaan asli tata ruang keraton. a) Kestalan Langensari berubah menjadi permukiman penduduk setelah peristiwa G 30 S/PKI pada tahun1965. b) Kestalan berubah menjadi permukiman penduduk setelah peristiwa G 30 S/PKI pada tahun1965. c) Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat berolahraga murid SDN 27 Kauman dan SMP Kasatriyan, serta kegiatan bazaar (BSF, Solo Expo dan Sekaten Bazaar). d) Alun-alun Kidul tidak lagi berfungsi sebagai tempat latihan prajurit, tetapi tetap digunakan sebagai jalur pemakaman raja.
b. Perubahan Arsitektur Bangunan Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk-penduduk asli Baluwarti, adat yang dapat mendukung kekhasan kawasan adalah adanya aturan bangunan secara adat di dalam kawasan Baluwarti (bangunan-bangunan selain keraton dan dalem pangeran), sebagai berikut: • Bangunan tidak boleh bertembok; • Bangunan berwarna cat putih; • Pagar rumah berupa tumbuhan jamu; dan • Bangunan tidak boleh bertingkat. Perubahan arsitektur bangunan diimplementasikan pada permukiman yang dahulunya difungsikan untuk abdi dalem kerajaan dan sekarang sebagai permukiman umum. Pada kajian ini difokuskan pada bangunan tidak boleh bertingkat. Bangunan bertingkat merusak langgam bangunan terdahulu yang berbentuk joglo. Distribusi bangunan bertingkat dipresentasikan dalam Peta 5 halaman 70.
78
79
Gambar 10. Bangunan berlantai dua pada Kp. Gondorasan dan Kp. Tamtaman c. Penyimpangan terhadap Konsep Konsentris 1) Lingkaran pertama, yaitu Kraton yang disebut juga Negara. tidak ada penyimpangan meskipun ada peneliti tidak akan mengetahui karena wilayah tersebut sangat tertutup.
80
2) Lingkaran kedua mengitari Kraton yaitu ibukota yang disebut Kutanegara. Penulis menemukan alih fungsi yaitu wilayah ini bisa dimasuki siapa saja melalui pintu masuk museum dengan membayar tiket masuk. 3) Lingkaran ketiga yang mengitari Penyimpangan
Kutanegara disebut Negara Agung.
di wilayah ini berupa alih fungsi bangunan dan perubahan
arsitektur bangunan yaitu a)
Dalem Kadipaten berubah menjadi Museum Keraton Surakarta pada tahun 1953 sampai dengan tahun 2009.
b)
Dalem Sindusenan berubah menjadi Pusdik Topografi TNI-AD pada tahun 1967 sampai denga tahun 2009.
c)
Dalem Surya Hamijayan dibeli oleh keluarga Almarhum mantan Presiden Republik Indonesia H. Mohammad Soeharto. Pernah digunakan sebagai Sekolah Menenggah Kejuruan dan saat ini pada bagian timur pendopo digunakan sebagai lapangan Tenis.
d)
Sekolah Parmadi Putri berubah menjadi SMK Parmadi Putri pada tahun 1950.
e)
Kestalan Langensari berubah menjadi permukiman penduduk setelah peristiwa G 30 S/PKI pada tahun1965.
f)
Kestalan berubah menjadi permukiman penduduk setelah peristiwa G 30 S/PKI pada tahun1965.
g)
Sekolah Kesatriyan berubah menjadi SMP Kasatriyan pada tahun 1960.
h)
Bangunan Kamslin berubah menjadi SDN Kasatriyan pada tahun 1958 dan SDN Parmadi Siwi tahun 1960.
i)
Taman Hijau Keraton berubah menjadi Kantor Kalurahan Baluwarti pada tahun 1950.
4) Lingkaran
keempat
yang
melingkari
Negara
Agung
disebut
dengan
Mancanegara. Penyimpangan di wilayah ini berupa alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan yaitu a)
Sitihinggil Lor digunakan sebagai tempat bazzar dan latihan karate Dan POM IV/ SKA.
b)
Pakretan kulon berubah menjadi Pasar Klewer pada tahun 1970.
c)
Bangsal Palalon berubah menjadi Polsekta Pasar Kliwon pada tahun 1968.
81
d)
Bangunan Paseban pekapalan berubah menjadi SDN 27 Kauman pada tahun 1972 dan pasar cinderamata sampai pada tahun 2009.
e)
Sekolah Mamba‟ul Ulum berubah menjadi Pendidikan formal Islam setingkat SMP tahun 1972.
5) Lingkaran kelima yang melingkari mancanegara disebut dengan Pasisir. Penyimpangan
di wilayah ini berupa alih fungsi bangunan dan perubahan
arsitektur bangunan yaitu a) Pakretan Masjid Agung berubah menjadi perkiosan cinderamata dan taman parkir tahun 2003-2009. b) Gedong Pemajegan berubah menjadi perkiosan cinderamata pada tahun 2003-2004 c) Bangunan Kadipaten Anom pada tahun 2002 berubah fungsi menjadi perkiosan cinderamata, pusat kerajinan wayang kulit dan gong, serta tempat kursus pedalangan. 6) Lingkaran keenam Samudra dan Tanah Sabrang Penyimpangan di wilayah ini berupa alih fungsi bangunan yaitu a) Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat berolahraga murid SDN 27 Kauman dan SMP Kasatriyan, serta kegiatan bazaar (BSF, Solo Expo dan Sekaten Bazaar). b) Alun-alun Kidul tidak lagi berfungsi sebagai tempat latihan prajurit, tetapi tetap digunakan sebagai jalur pemakaman raja. c) Sisi selatan kidul berubah menjadi Pasar Gading.tahun 2009. Dipresentasikan pada peta 6 di halaman 74.
82
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menganut konsep Konsentris yang membagi keraton menjadi enam bagian yaitu Kraton, Kuthanegara, Nagaragung, Mancanagara, Pasisir dan Samudra.setiap bagian memiliki peran dan fungsi yang berbeda. 2. Penyimpangan tata ruang eksisting terhadap konsep konsentris dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. a. Wilayah Kraton tidak ditemukan penyimpangan b. Wilayah Kutanegara ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan. c. Wilayah Negara Agung ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. d. Wilayah Mancanegara ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. e. Wilayah Pasisir ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan dan perubahan arsitektur bangunan. f.
Wilayah Samudra dan Tanah Sabrang ditemukan penyimpangan dalam bentuk alih fungsi bangunan.
B. Implikasi
83
Dari kesimpulan yang telah diuraikan, maka dapat dijelaskan implikasinya sebagai berikut: 1.
Identifikasi pola tata ruang keraton yang menganut konsep konsentris dapat digunakan sebagai dasar pengwilayahan dari masing-masing model konservasi sehingga eksistensi masing-masing ruang tetap terjaga.
2.
Identifikasi bentuk penyimpangan tata ruang keraton dapat digunakan sebagai dasar konservasi yang lebih praktis.
3.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran geografi di sekolah, antara lain pembelajaran geografi di SMA kelas XII semester I. Keterangan lebih lanjut dipresentasikan pada tabel 9 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar berikut : Tabel 9. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Geografi SMA Kelas XII Kelas
Semester
XII
I
Standar Kompetensi
Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
Kompetensi Dasar
Materi Pembelajaran
Menjelaskan pemanfaatan citra penginderaan jauh
Penerapan SIG dalam kajian geografi
Memanfaatan citra penginderaan jauh untuk kajian eksistensi tata ruang Keraton Kasunanan Hadiningrat.
Mengaplikasikan SIG dalam menentukan penyimpangan tata ruang Keraton Kasunanan Hadiningrat.
Sumber : Silabus Pembelajaran Geografi SMA Kelas XII Semester I
C. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka ada beberapa hal yang perlu peneliti sarankan yaitu : 1.
Konservasi
Keraton
Kasunanan
Surakarta
Hadiningrat
sebaiknya
mempetrimbangkan pola konsentris, dengan mempertimbangkan fungsi dari masing-masing wilayah kosmologi.
84
2.
Masyarakat baluwarti sebaiknya ikut menjaga eksistensi keraton dalam bentuk merawat bangunan dan tidak merubah arsitektur masing-masing bangunan.
3.
Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut terkait tata ruang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan sudut pandang yang berbeda.
85
DAFTAR PUSTAKA Budihardjo, Eko. 1997 Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta : ANDI Offset. Daldjoeni, N.1982. Geografl Kesejarahan I Peradaban Dunia. Bandung : Alumni. Damayanti, Rully. 2005. Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Perkotaan Di Jawa. DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Universitas Kristen Petra. Surabaya. Handinoto, 1992. Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu Dan Sekarang. Dimensi 18/ARS. Universitas Kristen Petra. Koestoer, Raldi Hendro. 2001. Dimensi Keruangan Kota. Jakarta : UI Press. Nugroho, Prijono. 2004. MEDIA TEKNIK No.4 Tahun XXVI No. ISSN 0216-3012. Jogjakarta : Fakultas Geografi UGM Mangunwijaya, Y.B 1992. Wastu Citra Pengantar Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendisendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis.. Jakarta : Gramedia. Moleong, J..Lexy. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muttaqin, Imam. 2006. Proyek Perencanaan Solo City Walk Surakarta Tahap Disain. Laporan Etika dan Praktik Profesi Jurusan Arsitektur. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret. Radjiman. 2002. Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Surakarta : Medio Sajid, R.M. 1984. Babad Sala. Surakarta : Rekso Pustoko Mangkunegaran. Ratna, Dwi.1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: CV Ilham Karya.
Bangun
86
Rumeda, Ratna Olivia. 2006. Proyek Pembangunan Pusat Grosir Solo. Laporan Etika dan Praktik Profesi Jurusan Arsitektur. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret. Setiyarso, Budi. 2009. Studi Reaksi Manusia terhadap Bahaya Banjir Kota Surakarta. Skripsi. (tidak diterbitkan) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Sidharta, 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah Di Surakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Suharyanta. 1989. Gapuro-gapuro Kraton Surakarta Yasan Paku Buwono X. Djaka Lodang. Sugiyanta, I Gede. 2005. JPIPS Vol. 6 No. 1. Evaluasi Ketelitian Geometri Citra Ikonos Level Geografi Daerah Datar Terhadap Peta Orthofoto Skala 1 : 2.500. Lampung : Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830 – 1934. Yogyakarta : Taman Siswa Nurul , Sri Hardiyanti. 2005. Studi Perkembangan Dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta. Dimensi teknik Arsitektur Vol. 33, No.1. Universitas Kristen Petra Surabaya. Tanjung, Ardiyanto. 2005. Analisis Keruangan Bangunan Kuno Bersejarah Di Kota Surakarta.. Skripsi, (tidak diterbitkan) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.. Van Zuidam and F.I. van Zuidam-Cancelado, Terrain Analysis And Classification Using Aerial Photographs A Geomorphological Approach, Autumn 1978 – Spring 1979. ITC Textbook Of Photo-Interpretation Volume VII. International Institute for Aerial Survey and Earth Sciences 350. Boulevard 1945, 7511 AL Enschede, The Netherlands : ITC. Vinky Rahman, Nuriyanat. 2003. Perubahan Kosmologi Ke Cosmogenic Dunia Arsitektur. Digitized by USU digital library.