Karaton Surakarta Hadiningrat Sejarah Karaton Surakarta Hadiningrat Sumber: http://www.karatonsurakarta.com Karaton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Wujudnya berupa fisik bangunan Karaton, benda artefak, seni budaya, dan adat tata cara Karaton. Keberadaannya yang sekarang ini adalah hasil dari proses perjalanan yang panjang, dan merupakan akhir dari perjalanan budaya Karaton Surakarta. Usaha memahami keadaan yang sekarang tidak bisa lepas dari usaha mempelajari asal-usul dan keberadaanya di masa lampau. Sebab, sepenggal cerita dan deskripsi sejarah suatu peristiwa kurang memberi makna yang berarti, jika tidak dikaitkan dengan proses dan peristiwa yang lain. Oleh karena itu, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam satu alur yang sama akan memberikan pemahaman yang menyeluruh dan utuh dari situasi yang sama saat ini. Dalam kajian sejarah Karaton Surakarta akan ditelusuri dan dideskripsikan latar belakang dan proses penemukan lokasi, pemindahan, pembangunan serta perkembangan Karaton baik dari segi fisik bangunan maupun segi nonfisik. Deskripsi historis berdasarkan sumber informan, dokumen-dokumen karya sastra dan sebagainya diharapkan memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang Karaton Surakarta. Dari pengetahuan ini, diharapkan masyarakat akan memiliki kesadaran akan warisan budaya dan timbul persepsi tertentu terhadap obyek tersebut. Persepsi awal yang dapat dibentuk dari hasil kajian sejarah Karaton Surakarta ini pada akhirnya bisa menimbulkan daya tarik guna memotivasi masyarakat baik lokal maupun mancanegara untuk mengetahui lebih lanjut dan mendalam segi-segi warisan budaya.
Kehidupan Dunia Karaton Surakarta Hadiningrat sumber : http://www.karatonsurakarta.com Karaton di Solo yang merupakan tempat kediaman ratu/raja memiliki beberapa arti. Pertama berarti kerajaan atau negara, kedua berarti pekarangan raja yang meliputi wilayah di dalam tembok yang mengelilingi halaman Baluwerti, ketiga pekarangan termasuk alun-alun. Karaton, merupakan bangunan yang unik karena ukurannya yang paling luas dibanding bangunan lainnya di lingkungan Karaton. Bangunannya bersifat khusus, monopoli raja. Maka dari itu misalnya, penguasa Kadipaten tidak diperkenankan duduk di dhampar (tempat duduk berbentuk segi empat tanpa sandaran dan tanganan serta khusus untuk raja pada waktu pertemuan-pertemuan resmi), tidak diizinkan memiliki alun-alun, Bale Witana, di samping tidak berhak memutuskan hukuman mati. Maka, alun-alun dan Sitihinggil hanyalah untuk nama-nama yang berhubungan dengan bangunan yang dimiliki Karaton. Paku Buwana adalah yang mendirikan Karaton Surakarta di tahun 1746, untuk mengganti Karaton Kartosura yang telah hancur karena serangan musuh, yang semula adalah pusat kerajaan Mataram. Setelah mendiami Karaton Surakarta selama 3 tahun, beliau mangkay (1749) dan penggantinya memerintah sebagai raja Mataram sampai tahun 1755. Karaton Surakarta pernah berkedudukan sebagai pusat kerajaan Mataram selama 9 (sembilan) tahun, sebab kehadiran residen yang menetap di Surakarta sejak tahun 1755 membawa perkembangan baru pada istana yang bersifat tradisional. Mulailah bermunculan gedung-gedung baru gaya barat, namun nama perkampungan seperti Pasar Legi, Pasar Kliwon dan Pasar Pon merupakan petunjuk bahwa kota istana itu pernah terdapat pasar-pasar yang dibuka di waktu-waktu tertentu (hari pasaran : Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon). Pasar itu selain menawarkan barang-barang yang diperlukan istana, sebaliknya juga merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi penduduk di daerah asal barang-barang itu. Dari periode antara tahun 1830-1939, Surakarta diperintah oleh 4 (empat)
raja.
Pertama,
Paku
Buwana
VII
(1830-1858)
mengganti
keponakannya, Paku Buwana VI (1823-1830) yang seusai perang Diponagara diasingkan oleh pemerintah kolonial ke P. Ambon. Kedua, Paku Buwana VIII (1858-1861) menggantikan adiknya berlainan ibu. Kedua raja ini adalah putra Paku Buwana IV; yang disebut pertama lahir dari permaisuri, sedangkan satunya adalah putra tertua yang lahir dari selir. Ketiga, Paku Buwana IX (1861-1893), putra Paku Buwana VI, dan ke-empat Paku Buwana X (18931939), putra Paku Buwana IX. Karaton memiliki kebudayaan tersendiri. Berbagai macam lambang diketemukan dalam segala kehidupan, antara lain : bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penanaman pohon yang dianggap keramat, mengatur tempat duduk, menyimpan dan memelihara pusaka, macam pakaian yang dikenakan dan cara mengenakannya, bahasa yang harus dipakai, tingkah laku, pemilihan warna. Di samping itu Karaton juga melestarikan folklor dan mitosmitos. Ratu Kidul adalah salah satu mitos yang sangat berpengaruh bagi kehidupan komunitas Karaton dan kehidupan rakyat. Sebagai contoh, orang tidak akan pernah mengerti makna tari pusaka Bedhaya Ketawang yang sejak Paku Buwana X naik tahta tarian ini setiap tahun dipergelarkan, tanpa mengenal mitos ratu Kidul. Makna panggung Sanggabuwana akan sulit dipahami termasuk tahayul lampor (suara gaduh yang terbayang terdapat diangkasa, suatu kendaraan Ratu Kidul yang diiringkan oleh roh-roh halus menuju ke utara, gunung Merapi). Mitos lain yang akrab dengan Karaton antara lain Ramayana dan Mahabharata yang ritualitasnya dapat dilihat pada pertunjukan wayang kulit, mitos Dewi Sri yaitu dewi padi atau dewi kesuburan. Komunitas Karaton tersusun secara hirarki, dengan raja di puncaknya, lalu para bangsawan, para abdi dalem, para pengiring dan para kawulo.
Deskripsi Museum Karaton Surakarta Hadiningrat sumber : http://www.karatonsurakarta.com, hasil wawancara dengan abdi dalem karaton dan observasi ke Museum Karaton Surakarta oleh penulis.
Karaton Paku Buwono Solo mempunyai benda-benda budaya yang tersimpan di Museum Karaton Surakarta Hadiningrat. Museum Karaton terdiri dari bangunan pokok, yaitu bangunan sebelah barat dan bangunan sebelah timur. Dari tiap-tiap bangunan sudah di atur ruang-ruangnya dan berisi hasil kriya Karaton Surakarta. Adapun ruang-ruang dan seni kriya yang terdapat di Museum Karaton Surakarta Hadiningrat adalah sebagai berikut: 1. Ruang I : Berisi patung Kyai Rajamala dan sebagainya. Dalam ruangan ini terdapat benda-benda pusaka sebagai berikut: 1. Peralatan dapur.
Dandhang soblok (masa pemerintahan PB VI) Dandhang ini digunakan untuk menanak nasi dalam jumlah besar (± 45kg)
Lesung (untuk menumbuk padi) Biasanya dikerjakan oleh 6 pasang perempuan, dan dalam pengerjaannya menghasilkan bunyi yang berirama.
Pipisan (untuk membuat jamu)
Dandhang (ukuran kecil), cething, kekep (semacam layah untuk menutup kukusan) gambar di atasnya ada siwur dan enthong
Lingga-yoni (simbol awal mula kehidupan)
2. Keramik dan porselin yang dahulu dupakai sebagai perabotan perlengkapan rumah tangga.
Tempayan (untuk menyimpan air)
Tempat arak (sebagai penghangat diri)
Tempayan (untuk pot bunga), di dominasi warna biru tua dan biru muda (simbol laut dan langit)
Teko dari batu giok
Piring retak 1000 Konon, makanan yang seminggu disimpan dipiring ini, tidak akan basi
3. Alat permainan rakyat : dakon, adu jangkrik, adu keci, dan adu kemiri.
Dakon (masa pemerintahan PB IX) Dakon ini mempunyai 9 lubang dan biasa disebut “langenharjo”.
Tempat adu kemiri
4. Patung kayu Rajamala merupakan patung kepala raksasa untuk hiasan perahu pada zaman Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV.
Patung kayu Kyai Rajamala, merupakan hiasan perahu yang digunakan oleh PB IV ketika menyebrangi sungai Bengawan Sala.
5. Patung-patung kecil dari tanah liat yang menggambarkan aneka warna pakaian abdi dalem dan prajurit Karaton.
2. Ruang II : Berisi Relief Perang Pangeran Diponegoro dan sebagainya. Dalam ruangan ini terdapat benda-benda pusaka sebagai berikut: 1. Relief pertemuan antara Ingkang Sinuhun Paku Buwana VI (18231830) dengan Pangeran Diponegoro. Keduanya dilukiskan naik kuda dengan pengawal masing-masing.
Relief di atas menceritakan tentang bantuan yang diberikan oleh PB VI pada saat perang Diponegoro. Namun sayang, PB VI diculik oleh Belanda dan dibunuh di Ambon.
2. Almari-almari kaca yang berisi benda-benda upacara seperti tongkat, gading, pedang, tameng/perisai, dan lar badak.
3. Patung kuda dari kayu yang diperlengkapi dengan pakaian perang seperti : busur, panah, dan tempat senjata api.
Kuda yang dipakai PB VI ketika membantu perang Pangeran Diponegoro.
Pelana kuda yang pernah dipakai PB X.
4. Pada dinding sebelah selatan dipajang senjata kuno antara lain : bedil, pistol, pedang, tameng, keris, panah, dan pelana kuda.
Mata panah (bedor) beracun -sebelum dipakai, dicelupkan pada cairan bisa dari hewan melata-
3. Ruang III : Berisi Kereta-Kereta Kerajaan dan sebagainya. Dalam ruangan ini terdapat benda-benda pusaka sebagai berikut: 1. Fosil tanduk kerbau Kyai Slamet (kebo bule), ditemukan di sithinggil kidul Karaton Surakata.
2. Sanggan, kotak untuk membawa lamaran.
3. Foto PB X dengan GKR Hemas (permaisuri). 4. Jodhang, dipakai untuk menyimpan makanan.
5. Kereta Kyai Morosebo, kereta yang dipakai untuk pisowanan agung. Kereta yang ada pada masa pemerintahan PB III ini memerlukan 8 ekor kuda untuk menariknya.
6. Kereta Kyai Garodopoetro, kereta ini dipakai oleh tamu agung karaton. Kereta yang berbahan bakar karbit ini berkaca kristal dan memerlukan 8 ekor kuda untuk menariknya.
7. Kereta Kyai Groedo, kereta ini merupakan kereta tertua, karena merupakan peninggalan PB II. Kereta ini ditarik oleh 8 ekor sapi dan memiliki roda dengan diameter yang lebih besar dari biasanya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan laju kereta saat berjalan di jalanan berbatu.
4. Ruang IV : Berisi Alat-Alat Upacara dan sebagainya. Dalam ruangan ini terdapat benda-benda pusaka sebagai berikut: 1. Songsong (payung) Tunggulnaga, yang dipakai saat khitanan PB IV. Payung ini terdiri dari 3 lapis yang menggambarkan perjalanan hidup manusia; lapis bawah (purwa) melambangkan kehidupan di alam
kandungan, lapis tengah (madya) melambangkan kehidupan di alam dunia, lapis atas (wasana) melambangkan kehidupan di akherat.
2. Tandu, dipakai untuk membawa pengantin putri raja.
Tandu yang dipakai untuk membawa pengantin putri (keturunan raja) ini dikenal dengan nama Paksi Naga Liman. Pada tandu itu terlihat ada naga bersayap dan bermulut gajah serta memakai mahkota. Paksi (burung) melambangkan keluhuran budi pekerti seorang pemimpin, naga melambangkan pemimpin yang mampu mengayomi rakyat kecil, sedangkan liman (gajah) melambangkan kebesaran jiwa dan intelektualitas seorang pemimpin. Semuanya dipertegas dengan makuto (mahkota) sebagai simbol kepemimpinan.
3. Tiga tungku yang dipakai untuk membakar kemenyan, membakar dupa, dan membakar ratus (wewangian putri raja).
Pada gambar di atas (dari kiri ke kanan) berturut-turut adalah : tungku untuk membakar ratus, tungku untuk membakar dupa, dan tungku untuk membakar kemenyan.
5. Ruang V : Berisi Pusaka dan Relief-Relief. Dalam ruang ini dipajang bermacam-macam topeng yang digunakan untuk kelengkapan tari topeng, yang ceritanya mengambil dari cerita Panji Inukertapati, Panji Asmarabangun, Dewi Galuh Ajeng, Dewi Galuh Candrakirana, Klana dan sebagainya. Pada dinding sebelah timur terdapat relief sebagai berikut:
1. Upacara selamatan : beberapa orang berdoa memohon keselamatan sesuai tatacara Islam.
2. Pande keris. 3. Gayaman dan ladrang (sarung keris). Ladrang dipakai saat pisowanan agung, sedangkan gayaman dipakai saat pisowanan pedinan.
Gayaman
4. Miniatur Masjid Agung Demak. Atap miniatur masjid Demak dibuat bersusun empat. Hal ini melambangkan ajaran tasawuf, dimana untuk mencapai “kesempurnaan”, manusia harus melewati empat tahap yaitu syarikat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
5. Taji dan cis. Konon, taji digunakan untuk adu sapi, sedangkan cis digunakan untuk menarik telinga gajah yang ditunggangi agar mau berbelok sesuai perintah kita.
6. Ruang VI : Berisi Adegan Kesenian Rakyat. Dalam ruangan ini terdapat benda-benda pusaka sebagai berikut: 1. Pertunjukan jaran kepang/kuda lumping. 2. Pertunjukan tarian teledek : seorang wanita menari diiringi gamelan. 3. Rebab gading. Merupakan alat musik gesek yang menggunakan bubat (bulu ekor kuda) untuk menghasilkan suaranya.
7. Ruang VII : Berisi Relief Pengantin Jawa dan Perlengkapannya. Relief pada dinding melukiskan adegan sebagai berikut: 1. Keberangkatan calon pengantin kerajaan laki-laki dan perempuan dari Karaton Kepatihan. 2. Calon pengantin puteri duduk dalam joli, calon pengantin laki-laki naik kuda membawa tombak diiringi pengawal.
3. Pengantin menjalankan ijab-qobul. 4. Pengantin menjalankan tatacara panggih. 5. Pengantin menjalankan tatacara balang-balangan suruh.
6. Pengantin menjalankan tatacara ngidak endhog.
7. Pengantin menjalankan tatacara gendhongan.
8. Kedua pengantin duduk di pangkuan ayahanda pengantin putri.
9. Pengantin melaksanakan tatacara kacar-kucur.
10. Peragaan dengan patung yaitu adegan pengantin perempuan dan lakilaki duduk bersila di Krobongan diapit dua patah. 8. Ruang VIII : Berisi Benda-Benda Perunggu dan Batik. Dalam almari-almari kaca dipajang bermacam-macam benda dan arca perunggu antara lain arca Budha Avalokiteswara, dan alat-alat upacara agama. Di dalam ruang ini juga terdapat arca Bali dari Jaman purbakala, yaitu arca Dewa Kuvera, arca Dewi Durga, arca Dewi Tara, dan arca Dewa Siwa Mahaguru. 9. Ruang IX : Berisi Gambar-Gambar dan Ukir-Ukiran. Dalam ruangan ini terdapat benda-benda pusaka sebagai berikut: 1. Gambar Ingkang Sinuhun Paku Buwana VII (1830-1858), Paku Buwana VII (1858-1861), Paku Buwana X dalam sebuah figura yang besar. 2. Gambar Paku Buwana X berdiri dengan mengenakan busana kebesaran. 3. Dua buah gambar GKR Hemas, permaisuri Paku Buwana X. 4. Beberapa kursi ukiran dari zaman Paku Buwana IV (1788-1920). 5. Dua buah kursi ukiran dari Giayar (Bali) yang dipersembahkan kepada Ingkang Sinuhun Paku Buwana X. 6. Sebuah kursi ukir-ukiran tempat duduk Ingkang Sinuhun Paku Buwana X. 7. Foto putra-putri Ingkang Sinuhun Paku Buwana XII.
10. Ruang X (berada di luar museum) : Terdapat Sumur Sanga, Kereta Jenazah PB X dan Permaisuri, serta Panggung Sanggabuwana. 1. Sumur mata air, biasa disebut sumur sanga. Konon, dahulu permaisuri PB IX selalu melahirkan keturunan perempuan. Beliau menjadi cemas akan keberlangsungan karaton ke depan. Maka beliau melakukan meditasi di sumur sanga, akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang menjadi PB X dan membawa puncak kejayaan karaton.
Konon, setelah bermeditasi di sumur ini, permaisuri PB IX melahirkan bayi laki-laki yang akhirnya menjadi PB X dan membawa kejayaan bagi Karaton Surakarta.
2. Kereta jenazah PB X
3. Kereta jenazah GKR Hemas (permaisuri PB X) 4. Menara Sanggabuwana (panggung luhur sinangga buwana). Menara ini dibangun pada saat pemerintahan PB II. Konon menara setinggi ±15 meter ini sering dipakai meditasi oleh PB X dan dijadikan sebagai tempat pertemuan PB X dengan kanjeng Ratu Kidul.
Menara Sanggabuwana
Tulisan ini diadaptasi dari sebuah laporan yang berjudul Laporan Kunjungan Mahasiswa S2 kajian Budaya ke Museum Kraton Surakarta sebagai Rangkaian Mata Kuliah ‘Kebudayaan Jawa’.