perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III PERSEPSI MASYARAKAT SURAKARTA TERHADAP FENOMENA KEBO BULE KYAI SLAMET DALAM KIRAB MALAM 1 SURO KERATON KASUNANAN SURAKARTA
Kebudayaan sebuah wilayah merupakan kearifan lokal yang diwariskan dari nenek moyang, sehingga membentuk peradaban di wilayah tersebut. Menurut sejarah, sejak kepindahannya dari wilayah Kartasura (1745), Keraton Kasunanan Surakarta diramalkan hanya akan berlangsung hingga 2 abad lamanya. Selama melalui perjalanan panjang dan membuahkan berbagai peradaban selama dua abad, tercatat 9 raja bertahta (Hadisiswoyo, 2009: 264). Peradaban budaya berkembang secara dinamis, sebagai hasil dari proses komunikasi yang disebarkan dari mulut ke mulut. Saat ini, Keraton Kasunanan Surakarta berada di bawah naungan Negara Republik Indonesia (NKRI), secara sistem sudah tidak ada kerajaan lagi. Raja sekarang hanya memiliki posisi simbolis, sebagai pemangku budaya dan adat istiadat serta tradisi yang berlaku di lingkungan keraton, sebagai bagian dari budaya nasional (Susanto, 2010:47). Dari sejumlah keraton di nusantara, Keraton Kasunanan Surakarta merupakan keraton tertua yang masih utuh tata cara kehidupan budaya keratonnya, serta mempunyai pengaruh di sebagian besar masyarakat (Tim Penulis Solopos, 2004:16). Keraton memiliki berbagai warisan yaitu tangible user kereta kencana, naskah-naskah heritage (warisan budaya benda)commit seperti tosenjata, 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kuno, bangunan dan intangible heritage (warisan budaya tak benda). Sebagai situs budaya Keraton Kasunanan Surakarta, membutuhkan saluran untuk senantiasa menjaga eksistensinya, yang diwujudkan melalui upacara-upacara adat yang dilakukan pada saat-saat tertentu. Salah satu channel untuk melestarikan intangibel heritage yang menarik adalah ritual besar tahunan yang selalu digelar sebagai peringatan datangnya tanggal 1 Suro. Peristiwa Malam 1 Suro bagi masyarakat Jawa memiliki makna pergantian tahun, atau tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan Jawa, malam 1 Sura dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender jawa. Tradisi peringatan 1 Suro atau Suran dicanangkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo raja Mataram terdahulu. Penyelenggaraanya dari waktu ke waktu terus berkembang di Jawa, tata caranya bersifat dinamis sehingga dapat disesuaikan dengan kecenderungan daerah masing-masing. Keraton mengkomunikasikan melalui ritual tentang sifat tradisi Suran yang prihatin, melatih kesiagaan lahir batin, mawas diri, pengendalian diri, dan berserah diri kepada Tuhan YME. Salah satu bentuknya adalah menyiagakan pusaka, di Surakarta hal ini dilakukan dengan tradisi kirab, yang baru berkembang sekitar pertengahan abad 20. Kirab dilakukan oleh Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran bersama masyarakatnya masing-masing (Bratasiswara, 2000:367). Dalam berkomunikasi melalui prosesi Kirab Malam 1 Suro, keraton membentuk berbagai simbol dengan pusaka keraton menjadi komponen utama commit to user pada tiap barisan, diikuti para masyarakat keraton yang lengkap dengan pakaian 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beskap hitam, blangkon, dan kain untuk pria. Sedangkan para wanita mengenakan kebaya hitam, kain, dan rambut yang disanggul. Mereka yang bertugas membawa pusaka, wajib memakai Sumpingan Gajah Oling rangkaian bunga melati yang dipasang di telinga. Bagi yang tidak bertugas membawa pusaka, mereka membawa lentera dan obor untuk menerangi rombongan kirab. Uniknya pada kelompok barisan pertama ditempatkan pusaka berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kebo Bule Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat. Akan tetapi keberadaan Kebo Bule di Kirab Malam 1 Suro menyebabkan munculnya fenomena budaya yang tidak sesuai dengan ajaran keraton. Kebo Bule Kyai Slamet adalah simbol keselamatan, namun maknanya dilebih-lebihkan oleh masyarakat di luar keraton sehingga menimbulkan perilaku yang berlebihan pada saat kirab. Sebagai hewan yang istimewa, Kebo Bule diyakini oleh sebagian masyarakat yang percaya, mempunyai kekuatan gaib yang mampu mendatangkan berkah. Efeknya, banyak orang yang ngalap berkah (mencari berkah) dengan berebut semua hal yang berhubungan dengan kebo bule, mulai dari sisa makanan, minuman, bunga melati yang jatuh dari kalungnya, bahkan fesesnya. Timbulnya fenomena ngalap berkah di peristiwa Malam Satu Suro merupakan hasil dari adanya proses komunikasi yang melibatkan beberapa unsur. Secara garis besar dapat dilihat bahwa, keraton sebagai penyelenggara Kirab Malam 1 Suro berperan sebagai komunikator yang menyampaikan pesan melalui kirab malam 1 Suro. Pesan-pesan yang disimbolkan dalam rangkaian kirab commit to user tersebut kemudian diterima oleh komunikan yang terdiri dari berbagai lapisan 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat dari kalangan masyarakat awam hingga ahli. Dalam proses penerimaan pesan tersebut, memungkinkan terjadinya perbedaan pemaknaan antara pesan yang disampaikan oleh masyarakat keraton sebagai komunikator dan masyarakat di luar keraton sebagai komunikan. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis dengan menghimpun persepsi dari beberapa orang yang mewakili unsur masyarakat yang terlibat dan menganalisisnya dengan teori komunikasi yang berkaitan, yaitu teori tentang produksi pesan dan penerimaan pesan, berikut analisisnya: A. Persepsi Masyarakat Keraton Kasunanan Surakarta sebagai Komunikator dalam Kirab Malam 1 Suro Dalam penelitian ini, yang dimaksud masyarakat keraton adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan raja atau yang berada di dalam lingkungan keraton sebagai sumber tradisi Kirab Malam 1 Suro, mereka berperan sebagai penyelenggara, sehingga dalam proses komunikasi berfungsi sebagai komunikator dalam tradisi tersebut. Analisis dilakukan berdasarkan data wawancara, didapat dari
5
narasumber
yaitu:
KGPH
Dipokusumo,
KGPH
Puger,
KMA
Budoyoningrat, Abdi Dalem Wiharni, dan Yanti Utomo Gunadi. Berikut analisis yang dikerucutkan pada beberapa pokok pembahasan: 1. Persepsi Komunikator tentang Sejarah Keberadaan Kebo Bule Menurut pihak keraton sebagai komunikator, adanya sosok kerbau yang dianggap istimewa oleh Keraton Kasunanan Surakarta tidak bisa terlepas dari keberadaan kerbau di nusantara. Secara arkeologis telah terbukti bahwa hubungan commit user manusia dan kerbau di nusantara sudahto berlangsung sejak zaman prasejarah 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hingga periode Hindu-Budha. Namun tampak pertama muncul setelah manusia mengenal sistem religi pada periode prasejarah akhir (Fadillah, Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010). EF Slijper dalam Manusia dan Hewan Piara (1954) menduga binatang kerbau telah ditemukan di nusantara sejak zaman Neolithikum (3000 SM-1700 SM), tapi daerah sebaran belum bisa dipastikan. Kerbau merupakan jenis hewan ternak yang memiliki peran dalam kehidupan masyarakat nusantara. Pada periode megalitikum, terdapat tanda tumbuh dan berkembangnya suatu konsep keyakinan terhadap kerbau, sebagai binatang suci dan sumber kekuatan magis yang mampu mengusir serta menolak kekuatan jahat, sehingga kerbau banyak digunakan sebagai korban berbagai upacara. Mengingat peran dan fungsinya di nusantara, kerbau albino yang hampir mirip dengan Kebo Bule Kyai Slamet, juga ada dalam upacara adat pemakaman di Toraja, dan di Minangkabau. Contoh penggunaan kerbau diluar Jawa tersebut, menunjukkan bahwa keberadaan kerbau sangat penting di nusantara. 1.1
Ciri Fisik Kebo Bule Kyai Slamet
Warna Kulit Putih Kemerahan Apabila dipandang secara kasat mata, adanya sebutan „Kebo Bule‟
disebabkan karena warna kulit kerbau yang dimiliki keraton, berwarna putih agak kemerah-merahan seperti warna kulit orang Eropa yang sering disebut dengan istilah bule. Oleh karena itu, kerbau ini kemudian disebut sebagai kebo bule (www.kerajaan-nusantara.com, akses pada 20 November 2012)
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 4: Keturunan Kebo Bule yang bernama Joko dan Manis bersama Pawang Alm.Utomo Gunadi di kandang. (sumber: dokumentasi pribadi, diambil pada 1 November 2010) Salah satu komunikator menerangkan bahwa kebo Bule Kyai Slamet memiliki ciri fisik mirip dengan kerbau albino, yang berasal dari gen dengan warna cenderung putih. Hal tersebut diungkapkan oleh Puger, bahwa: “Kebo bule itu kan ee...sebuah nama kan. Atau predikat dari suatu gen dari ... jenis kerbau. Yang mempunyai warna tertentu” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta). Tubuh Lebih Besar Dari Kerbau Biasa Selain warna kulitnya yang cenderung putih, diungkapkan pula oleh Puger bahwa kerbau jenis ini memiliki ciri-ciri fisik khusus dan ukuran tubuh yang lebih besar dari kerbau biasa. “Kebo bule di keraton ini, mempunyai color kebo bule yang tidak albino. Yang salah pigmen kalau di dalam tubuh. Sehingga colornya berubah nggih. Lah kalau kebo bule ini memang, dia jenisnya berwarna begitu, jadi ada yang hitam tapi punya toh itu. Jadi ada blog-blog itu, trus ada yang bule tapi mesti juga ada blog hitam hidungnya, jadi, biarpun dia pure itu tetang ada item-itemnya commit to user gitu. Jadi bulenya bukan bule albino tapi bule yang punya toh gitu. 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nah ini mempunyai spesifik khusus dan dia mempunyai fisik yang berbeda juga. Sepertinya ya jumbo ya, lebih gede dibanding kebo biasa. Tanduknya juga lebih panjang lebih besar ya badannya juga lebih besar.” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta).
1.2 Fungsi Kebo Bule Kyai Slamet Wilayah nusantara di masa kejayaan kerajaan terdahulu selain berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan maritim, juga menyimpan berbagai cerita kejayaan kerajaan-kerajaan agraris. Kebudayaan agraris berkembang melalui proses komunikasi yang menembus batas ruang dan waktu. Kemampuan bercocok tanam dan memelihara binatang sudah diajarkan sejak zaman dahulu. Pertanian tradisional dengan bantuan kerbau banyak digunakan oleh petani di Jawa, sehingga hewan tersebut identik dengan pertanian. Salah satu komunikator, Budoyoningrat menuturkan bahwa sejak zaman Majapahit, sudah ada kegiatan memelihara kerbau. “Itu sejak zaman majapahit sudah ada, jadi pemelihara konsep pemeliharaan di keraton, itu sejak jaman dulu sudah ada. Dari Majapahit, Demak dan sebagainya, itu sudah, sudah ada tradisi memelihara kerbau.” (Budoyoningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka). Kutipan wawancara di atas, dikuatkan oleh tulisan yang diungah pada sebuah blog www.permatayanghilang.wordpress.com (akses pada 20 November 2012) terdapat pernyataan dari sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono, yang menuturkan bahwa, selain dekat dengan kehidupan petani, sosok kerbau memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa. Sebuah kisah dari masa Kerajaan Demak, seekor kerbau bernama Kebo Marcuet mengamuk dan commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tak ada satu prajurit pun yang bisa mengalahkannya. Karena meresahkan, kerajaan menggelar sayembara, yang berbunyi: “Barang siapa mampu mengalahkannya akan diangkat menjadi Senopati”. Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas Karebet mampu mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya. Mas Karebet kemudian mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan. Dari cerita sejarah itu, kerbau selalu dijadikan alat melegitimasi kekuasaan kerajaan. Karena dalam kehidupan sehari-hari, kerajaan banyak ditopang oleh sektor agraris, seperti yang dikatakan Dipokusumo di bawah ini. “Sebenernya kerbau itu sangat melekat pada makna filosofi itu secara umum. Nah fungsi kerbau itu sangat melekat pada masyarakat, misalnya kerbau untuk membajak”. (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Dalam budaya agraris, kerbau merupakan simbolisasi kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti abdi dalem dan rakyat, melalui penyandian tersebut legitimasi keraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani. Faktor kedekatan di masa lalu yang sangat kuat tersebut, menyebabkan Keraton Kasunanan Surakarta tertarik memelihara Kebo Bule hingga saat ini. Kebo Bule Sebagai Klangenan atau Kesayangan Raja Kebo Bule Kyai Slamet termasuk jenis kerbau yang langka, sehingga mendapatkan
perlakuan
khusus
dari
Keraton
Kasunanan,
kemudian
Budoyoningrat menyebutkan bahwa Kebo Bule Kyai Slamet merupakan klangenan atau hewan kesayangan raja. commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Kebo bule itu juga seperti kebo-kebo yang lain. Seperti kebo lain, Cuma keraton memiliki klangenan, jadi ada semacam kegemaran untuk memelihara hewan, salah satunya adalah kerbau.” (Budoyoningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka). Ketika pertanyaan yang sama terkait dengan klangenan ditanyakan kepada salah satu Abdi Dalem bernama Wiharni, beliau juga mengungkapkan hal yang serupa dengan Budoyoningrat, sebagai berikut: “Oo kalau setahu saya, kebo bule itu menurut cerita jaman dahulu, itu klangenan. Klangenan itu sebetulnya itu nggak kebo bulenya, disitu kanjeng Kyai Slamet, itu sebetulnya ee ada pusaka yang dari keraton, pusaka yang punyanya keraton-keraton jaman dulu, itu ada namanya Kanjeng Kyai Slamet.” (Wiharni, wawancara pada 11 Juli 2012, di Baluwarti).
Kebo Bule Kyai Slamet menjadi klangenan yang istimewa karena ada sebab khusus, yaitu dia dipercaya oleh Keraton Kasunanan Surakarta memiliki fungsi khusus yang membedakan dengan klangenan lainnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Dipokusumo: “Nah keraton memang memiliki beberapa Klangenan dalem, yaa termasuk yang istimewa sebenernya tidak hanya kerbau, gajah pada waktu-waktu tertentu itu PB 10 terutama itu beliau kalau mengutus sesuatu, itu abdi dalemnya didawuhi numpak gajah. Abdi dalem yang diutus itu malah buta orangnya, disuruh numpak gajah. Nah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki PB 10 kepada abdi dalem atau sentono dalem, atau mungkin keluarga putra dalem atau apa. Nah ini membedakan dengan kerbau.. kalau kerbau baru digunakan kalau dulu istilahnya ada pageblug , itu semacam ada bahaya penyakit.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo).
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebo Bule Kyai Slamet dikeramatkan dan menjadi salah satu pusaka paling penting di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Menurut cuplikan kitab Babad Solo karya Raden Mas Said yang dikutip di www.kerajaan-nusantara.com (akses pada 20 November 2012), nenek moyang kebo bule adalah binatang kesayangan (klangenan) Sri Susuhunan Pakubuwono II, bahkan sejak masih bertahta di keraton Kasunanan Kartasura Hadiningrat, atau sebelum pindah pusat pemerintahan ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di desa Solo. “Kesayangan raja..betul. kesayangan raja dan didudukan di posisi untuk kirab. Ini di depan, dan kalau mengacu pada sejarah-sejarah yang ada, memang kebo di nusantara ini sebagai binatang yang keramat.” (Budoyoningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka). Hewan kurban untuk upacara adat Sesaji dan persembahan adalah media penyampaian doa yang disimbolkan melalui benda-benda yang nyata. Pada tiap upacara yang diadakan pasti ada yang dianggap sakral, suci atau sacred, di luar hal yang berbeda dengan yang alami, empiris maupun bersifat profan. Diantara ciri-ciri yang profan antaralain perlu diberi persembahan. Dalam masyarakat lokal tertentu diwujudkan dalam bentuk sesaji dalam berbagai variasi (Syam, 126:2011). Awal mulanya saat zaman kerajaan Demak, kerbau digunakan sebagai kurban dalam upacara adat, dipaparkan pula oleh Puger bahwa: “Cuma yang paling terdekat terceriterakan itu ee..kerbau ini memang digunakan ee masa kerajaan Demak. Untuk mengadakan ee kegiatan, setelah terjadi gegeblug, atau bencana alam. Lha itu dulu leluhurnya sebelum Demak, ada yang mengadakan semacam korban, ada yang mungkin tidak kerbau ya, tapi mungkin kuda. Nha ini upacara ini pada to masa commit userkerajaan Demak, terjadi bencana, 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maka oleh para wali, diperintah oleh Sunan Patah pada waktu itu, ee serta para sesepuh dari Majapahit, ini menyarankan supaya mengadakan ritual, jadi wilujengan atau mahesa lawung.” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Menurut catatan sejarah, penggunaan kerbau sebagai media untuk memohon keselamatan sudah tertera pada zaman dinasti Syailendra-Sanjaya yang tampak dalam arca Durga Mahesa Suramandini. Prosesi tersebut dikenal sebagai Mahesa Lawung (www.news.liputan6.com, akses pada 15 Agustus 2012). Budoyoningrat memberikan gambaran kerbau yang digunakan dalam Mahesa Lawung; “Mahesa itu kerbau, lawung itu tombak, jadi nanti memang akan dikorbankan untuk itu dan itu dipilih khusus kerbau yang masih liar. Satu kerbau itu harus laki-laki perjaka, belum pernah berhubungan dengan kerbau betina, jadi masih liar”. (Budoyoningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka). Upacara Mahesa Lawung juga dilakukan di Keraton Kasunanan Surakarta, yang merupakan salah satu tradisi turunan dari kerajaan Demak. Puger berkata bahwa tujuan untuk menghindar dari pageblug atau bencana. “...korban ini dilakukan di Demak, ketika Demak sedang bencana alam, dan itu dilakukan sehingga bencana berhenti, jadi permohonan kepada Tuhan itu dianggapnya terkabul” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Menurut William James, sentuhan-sentuhan estetis dalam kesadaran keagamaan dapat nampak dalam tiga bentuk, yaitu upacara korban, pengakuan dan doa. Upacara korban dan persembahan, selain sebagai pengalaman estetis, commit to user terutama korban dianggap sama dengan kesempurnaan estetis barang-barang yang 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikorbankan. Dalam banyak agama yang kaya dengan simbol, sesaji dilakukan dengan penuh kecermatan dalam pemilihan bahan-bahan sesaji dan kecermatan dalam menyusun kelengkapannya (Syam, 2007:31). 1.3
Keberadaan Kebo Bule Kyai Slamet Ada Sejak Era Keraton Kartasura Dalam kurun sejarah tertentu, masyarakat dari berbagai kepentingan sosial
dapat saja mempunyai cita-cita dan cita rasa keindahan yang sama, terutama pada waktu kurun sejarah itu betul-betul merupakan satuan yang integral. Demikian misalnya dalam masyarakat patrimonial, raja dan petani dapat mempunyai citacita dan cita rasa yang sama dengan para petani, karena mereka terlibat dalam sebuah semangat jaman yang sama (Kuntowijoyo, 1987:4). Menurut Puger, sejak zaman Keraton Kartasura, kerbau sudah dimanfaatkan tenaganya. “Kartasura juga sudah punya kerbau, yang konon ceritanya beliau punya kereta, kartasura ini, yang ditarik oleh kerbau atau lembu.” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta). Dari ungkapan diatas, dapat pula ditarik kesimpulan bahwa pada masa itu kerbau sudah akrab keberadaannya di kalangan petani dan lingkungan kehidupan kerajaan agraris di masa tersebut, didukung dengan pernyataan Dipokusumo. “Nah itu sejarahnya semenjak ada pusaka itu kemudian dikaitkan dengan kyai slamet itu yang berupa kerbau itu, jamannya itu secara historis belum ketemu bahwa tahun sekian enggak. Tapi pemahaman pengertian itu lebih dekat dengan pada saat jaman PB II.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Dalam catatan sejarah yang diungkapan oleh RM.Said bahwa perpindahan Keraton Kartasura ke desa Sala pada saat zaman pemerintahan PB ke-2 commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(www.kerajaan-nusantara.com, akses pada 20 November 2012). Era tersebut terjadi pada tahun 1746. Berdirinya Keraton Surakarta ini sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat pemberontakan masyarakat etnis Cina yang berhasil merebut Mataram. Akhirnya desa Sala yang dipilih menjadi lokasi istana yang baru dan berganti nama menjadi Surakarta Hadiningrat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997:7) Diperkirakan Berasal dari Ponorogo Sejarah
Kebo
Bule
Kyai
Slamet
masih
belum
jelas,
karena
dikomunikasikan dari mulut ke mulut. Menurut Dipokusumo belum ada naskah yang memuat tentang asal mula Kebo Bule Kyai Slamet di Keraton Kasunanan Surakarta. “Belum ada, sampai saat sekarang cerita yang mengenai tentang tombak kyai slamet sendiri yang ada hubungannya dengan kerbau, saya belum pernah menemukan. Pada waktu itu mulai ada upacara malam suro itu kan digali terus, mengapa itu kemudian dikaitkan dengan kerbau itu tadi.“ (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Menurut cerita lisan tentang kebo bule, salah satunya menyebutkan bahwa Kebo Bule Kyai Slamet berasal dari Ponorogo. Pada masa Pemerintahan Pakoe Boewono II, zaman Keraton Kartasura di sekitar abad ke 17, diceritakan bahwa di kerajaan terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang membuat Sinuhun PB II harus melarikan diri ke Ponorogo. Di Ponorogo beliau ditampung oleh Bupati Ponorogo dan berdiam di sana untuk beberapa saat hingga pemberontakan berakhir. Pada masa pelariannya di Ponorogo, Sang Raja Kartasura itu memperoleh petunjuk gaib bahwa pusaka Kyai Slamet harus commit to user „direkso‟ atau dijaga oleh sepasang „kebo bule‟ atau kerbau albino jika ingin 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerajaan aman sentosa dan langgeng (www.solodejava.com, akses pada 20 November 2012). Ulasan tersebut, dikuatkan dengan pernyataan Puger berikut ini; “Kebo ini ceritanya pada masa Kartasura, PB 2 atau berapa itu, dua kayanya, itu ada pisungsung kerbau dari Adipati Ponorogo yang memisungsungkan kerbau, lha ini kebo ini tidak jelas darimana” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Kerbau dalam sejarah Jawa menjadi simbol penting bagi elit tradisional, petani dan pemerintah kolonial. Kerbau dimaknai dari sakralitas sampai komoditas memakai nalar kapitalistik. Kerbau memiliki andil yang penting bagi elit tradisional dalam perkembangan budaya Jawa, petani dan pemerintah kolonial. Pada jaman kerajaan masih berjaya dahulu, kebiasaan memberikan upeti maupun hadiah kepada raja dilakukan oleh masyarakatnya. Upeti sebagai sarana agar dapat berkomunikasi dengan raja, tidak jarang cara ini digunakan untuk kepentingan politik. Salah satu sumber mengatakan bahwa kebo bule Kyai Slamet adalah upeti dari Bupati Ponorogo. Kerbau unik dan langka ini saat diberikan oleh Bupati Ponorogo kepada Sri Susuhunan Pakubuwono II, bersamaan pula dengan pemberian hadiah utama yaitu sebuah pusaka yang bernama Kyai Slamet. Disertakannya kebo bule pada awalnya adalah sebagai pengawal atau cucuk lampah bagi pusaka Kyai Slamet. Oleh karena bertugas sebagai pengawal pusaka Kyai Slamet inilah maka kemudian kebo bule pun disebut dengan nama Kebo Bule Kyai Slamet (www.kerajaan-nusantara.com, akses pada 12 November 2012). Dipokusumo tentang pisungsung yang ada hubunganya dengan pusaka dan simbol di baliknya. commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Pisungsung itu kan semacam hadiah, upeti, kalau itu belum ada sejarahnya itu, saya belum pernah mendengar kalau itu pisungsung dari seseorang atau siapa. Nah kalau dari ponorogo memang betul, pada waktu itu PB 2 ke Ponorogo itu, nah salah satu tombak yang utama yang menjadi andalannya itu Kyai Slamet. Itu kaitanya dengan kerbau, pokoknya hubungannya secara simbolis itu disitu.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Di sisi lain, terdapat artikel pada sebuah media masa online www.suaramerdeka.com (akses pada 19 November 2012), ditulis bahwa Pusaka Kyai Slamet itu berjenis seperti apa, dan juga tidak ada keterangan pasti, apakah karena alasan itu kerbau sepasang tersebut kemudian dinamakan Kyai Slamet. Hanya, sepasang kerbau yang disebut-sebut pisungsung dari Bupati Ponorogo itu, ditengarai sebagai asal-usul hewan yang sampai sekarang masih dikeramatkan di Keraton. 2. Nilai-nilai yang Dipandang Istimewa oleh Komunikator pada Kebo Bule Kyai Slamet 2.1
Berjasa di Bidang Pertanian Budayaningrat berpendapat, bahwa kerbau lekat dengan kehidupan
masyarakat agraris, dimana teknologi pertanian yang berkembang saat itu masih memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak sawah. Sehingga kerbau dianggap sebagai hewan yang berjasa bagi para petani. “Terus ini menjadikan konsep negara agraris itu lambangnya adalah kerbau untuk membajak dan sebagainya. Nha ini ni menjadikan suatu kebiasaan masyarakat jawa. Masyarakat jawa itu khususnya wong sodagar ya wis petani , rumahnya itu loji, pasti tidak akan meninggalkan disitu ada kandang kerbau” (Budayaningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka). commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kerbau ini juga dianggap istimewa oleh masyarakat di lingkungan Keraton Kasunanan, karena hewan tersebut berjasa membantu petani memenuhi kebutuhan pangan. Dikuatkan oleh pernyataan Puger: “Karena untuk menggarap sawah dan untuk memenuhi kebutuhan makan umat. “ (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Kerbau diandalkan sebagai sahabat petani untuk menggarap sawah karena memiliki keunggulan dari segi fisik mempunyai daya adaptasi alam yang tinggi (jarang terkena penyakit dan tingkat kematian rendah). Kualitas itu dapat pula dilihat dari persebarannya di nusantara (Fadillah, Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2001:23). Dipandang dari segi ekonomi, kerbau memiliki daya jual, dapat dimanfaatkan pula daging, kulit, tulang, hingga tanduknya. “Sebagian masyarakat jawa itu masih tidak setuju dengan adanya mekanisasi, kan idealnya sekarang pakai traktor, jadi tidak pakai kerbau, mereka menjawab . upomo tahun sekian harganya sekian rupiah atau sekian juta katakan kalau traktor kan menurun, kalau kerbau ga, traktor raiso manak, nek kebo kan iso manak, jadi imbangan-imbangan, jadi kalau hasil pertaniannya menurun, masih punya kerbau. Dia masih bisa njagani selama setahun, manak. Nek traktor ora manak. Omongannya petani2 antara lain kaya gitu.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Pendapat Dipokusumo di atas semakin menegaskan sebab para petani masih memelihara kerbau hingga saat ini. Di tengah era mesinisasi kerbau masih banyak digunakan petani untuk menggarap sawah di wilayah Surakarta dan sekitarnya. 2.2 Simbol Keselamatan commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adanya sebuah harapan keselamatan yang dilambangkan dengan Kebo Bule Kyai Slamet. Menurut Deddy Mulyana lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna, kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna mengenai kerbau sangat berhubungan erat dengan sistem pengetahuan masyarakat Jawa tradisional yang sebagian besar hidup dari sektor agraris. Sistem pengetahuan dalam masyarakat jawa tradisional merupakan pertemuan yang unik antara kategori sosial secara vertikal dan kategori kultural secara horisontal. Di sini ditemukan garis vertikal istana-desa dan garis horisontal sistem pengetahuan Islam dan kejawen (Kuntowijoyo, 2006:48). Harapan yang terkandung dalam simbol pemeliharaan kebo bule, diungkapkan oleh Dipokusumo. “Good fortune, nah good fortune ki opo yo? istilahnya yang menjadikan lebih baik kuwi opo? orang itu yo slamet sik. Sing penting slamet, keselamatan itu yang diinginkan. Yang dijadikan harapan dijadikan suatu ketentuan bahwa motivasi lah basane itu. Itu yang jadi paling awal. Kemudian berkembang pemahaman pemahaman lainnya itu kaitannya dengan lingkungan kondisi sekarang ini. Tapi intinya itu bahwa harapannya adalah slametnya itu. Simbolnya adalah kerbau.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Referensi tentang kerbau untuk memohon keselamatan terdapat pada artefak peninggalan zaman dinasti Syailendra-Sanjaya, dalam arca Durga Mahesa Suramandini melalui prosesi Mahesa Lawung (www.news.liputan6.com, akses pada 15 Agustus 2012). Pemahaman tersebut ditangkap pula oleh Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penerus trah kerajaan Mataram, yang tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan yang berjaya sebelumnya. Sehingga menjadi salah satu alasan mengapa masih memelihara kerbau yang dianggap istimewa hingga sekarang. Kerbau yang dikorbanan melalui upacara Mahesa Lawung commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konon pernah menyelamatkan Kerajaan Demak. Kemudian, cara tersebut diikuti oleh Keraton Kasunanan Surakarta sehingga terhindar dari bencana alam dan wabah penyakit di masa lampau. “Mengapa istimewa karena ini ehheeee...apa namanya...korban ini dilakukan di Demak, ketika Demak sedang bencana alam, dan itu dilakukan sehingga bencana berhenti, jadi permohonan kepada Tuhan itu dianggapnya terkabul” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko). Kepercayaan yang ada di Surakarta, tidak lepas pula dari pengaruh budaya nusantara, di beberapa daerah seperti Toraja, Minangkabau, kerbau dipandang sebagai sumber kekuatan magis, sekaligus pula, kerbau dianggap mengandung makna konotatif sebagai kekuatan penolak terhadap gejala kekuatan-kekuatan jahat (www.boedaksatepak.wordpress.com, akses pada 9 Agustus 2012). Secara bahasa nama Kebo Bule Kyai Slamet diambil dari bahasa Jawa yang berarti Kerbau Bule Kyai Selamat. “Dianggap istimewa ya karena itu kan namanya Kebo Bule Kanjeng Kyai Slamet, slamet itu mem..memberi keselamatan,” (Wiharni, wawancara pada 11 Juli 2012, di Baluwarti). 2.3
Penjaga Pusaka Kyai Slamet Berkaitan dengan pusaka, Kebo Bule konon pernah mengemban tugas
yang bersifat simbolik yaitu mengawal pusaka yang bentuknya dan wujudnya tidak diketahui oleh sembarang orang. Citra simbolik ini sekarang masih terasa dengan melekatnya nama Kyai Slamet pada kerbau tersebut. “Sebetulnya kyai slamet itu nama pusaka, bukan karena kebo ini dulu pengembalanya sratinya namanya Kyai Slamet. Lalu kebo itu dijuluki kebo kyai slamet.” (Budayaningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya commit to Pustaka). user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pusaka yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta jumlahnya sangat banyak. Hingga saat ini pusaka yang bernama Kyai Slamet dirawat di dalam Keraton, dengan penjaga Kebo Bule. Dipokusumo menambahkan, bahwa adanya pusaka merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat jawa, sebagai simbol kedudukan sosial dan kekuatan spiritual. “Nggih, sebenernya awal dari kaitan suatu filosofi manusia Jawa harus punya lima, wisma, garwa, kukila, turangga, curiga,nah ini ada kaitannya dengan pusaka, kebo bule kyai slamet itu ada kaitanya dengan pusaka yang namanya Kyai Slamet. Itu.. nah mengapa kemudian kok dalam kerbau, karena dalam pengertianpengertian secara fisik, wujud daripada suatu sikap masyarakat Jawa yang istilahnya secara psikologis biasanya disebut homo simbolicum.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Melalui penggambaran model-model berpikir jawa ini akan dapat dipahami bahwa kerangka logika orang jawa tidak hanya distruktur oleh etos materialisme, seperti akumulasi kekuasaan dan kepemilikan materi juga oleh harmonisasi hubungan antara kawula dan gusti, yaitu kesatuan harmonis antara spiritual dan eksistensi material (Syam, 2011:83). 3. Kirab Pusaka di Keraton Kasunanan Surakarta Kirab Baluwarti Dalam Kirab Baluwarti dalam merupakan kirab pusaka yang dilakukan dengan rute mengelilingi benteng Keraton Kasunanan Surakarta di bagian dalam dan tidak keluar dari kompleks keraton, daerah tersebut dikenal dengan nama Baluwarti. Kirab ini, dahulu dilakukan setiap hari Kamis sore sekitar pukul 16.00 (Rusmiyatun, 2001:71). Kirab dengan rute pendek tersebut adalah cikal bakal dari Kirab Malam 1 Suro.
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Dulu itu kirabnya Cuma di dalam keraton tok, dulu tapi cerita nenek moyang saya.”(Yanti Utomo Gunadi, wawancara pada 8 September 2012, di Kandang Kebo Bule). Dalam kirab, terkandung pesan non verbal yang sarat akan simbol. Posisi keraton pradaksina yaitu selalu diposisikan di sisi kanan rombongan kirab. Dimulai dari Kamandungan, menuju beberapa jalan yang terdapat di dalam kompleks benteng keraton, yang terdiri dari: Jl.Sidinoro (daerah Tamtaman), berjalan ke arah barat sampai di Jl.Wirengan, Jl.Mangkubumen, Jl.Sasono Mulyo dan kembali ke Kamandungan. Budayaningrat menerangkan bahwa kirab tersebut mengandung harapan untuk menghindarkan keraton dari bahaya. “Di kraton Surakarta, mulai PB ke 10, itu mengadakan kirab. Tiap malam jumat diadakan kirab. Kirab pusaka untuk mengapa itu..me..menanggulangi adanya wabah penyakit. Sebenernya yang dikirabkan itu pusaka, pusaka-pusaka keraton yang nanti dianggap memiliki daya magis, yang bisa menolak bala” (Budayaningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka) Sebagai kegiatan simbolis, barisan kirab diawali para abdi dalem yang membawa anglo berisi kemenyan yang dibakar. Kemudian barisan Kebo Bule Kyai Slamet, para sentono, abdi dalem dan keparak Keraton yang mengikuti kirab. Mereka diwajibkan untuk berpakaian hitam, mengenakan samir dan untaian bunga di telinga sebelah kiri yang disebut gajah oling (Rusmiyatun, 2001:71). “Jadi ada kirab setiap Kamis. Menyusuri tapi kalau yang ini Baluwarti dalam. Baluwarti ini, baluwarti sini.........PB 12 menghentikan itu sekitar tahun 72 nan. Kenapa dihentikan ritual itu karena orang sudah tidak mengerti makna ritual itu”. (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Menurut pernyataan Puger di atas, kirab yang dilakukan seminggu sekali akhirnya dihentikan karena semakin banyak kendaraan berlalu lalang, berisik, commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahkan saat rombongan kirab berjalan. Masyarakat sekitar pun sudah tidak khidmat dalam menanggapinya. Kirab Malam Satu Suro di Luar Tembok Keraton Pergantian tahun baru Jawa tiap malam 1 Suro (1 Muharam) dikomunikasikan oleh keraton dengan ajaran untuk disambut dengan berbagai ritual yang penuh pesan tentang pentingnya introspeksi diri. Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). “Tanggal pisan-pisanane tanggal siji suro tanggal jowo,ngadepi tahun anyar,kalau orang jawa itu.” (Wiharni, wawancara pada 11 Juli 2012, di Baluwarti). Menurut Almarhum Pakubuwono XII, kirab pusaka adalah tradisi untuk memperingati tahun baru Islam. Pusaka-pusaka yang diikutkan dalam kirab dipercaya memiliki daya supranatural yang akan menyebarkan daya magisnya. Selama kirab, semua keluarga Keraton yang terkait dengan upacara tersebut wajib untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya negara beserta segala isinya berada dalam keadaan selamat (http://jagadkejawen.com, akses pada 25 Desember 2012). Kirab Malam Satu Suro ada atas Permintaan Khusus Bapak Soeharto. Salah satu sebab pelaksanaan Kirab Malam 1 Suro di Keraton Kasunanan Surakarta, dilatarbelakangi oleh permintaan Almarhum mantan Presiden RI Soeharto. Berikut keterangan berdasarkan wawancara dengan Dipokusumo: “Nah setelah ada kirab sekarang ini ada kirab jaman tahun barubaru ini, jadi kirab itu tahun 70an. Sejarahnya itu dulu Pak Harto melalui penasihat spiritualnya menyampaikan masyarakat jawa kan commit to user bulan suro itu memiliki nilai khusus, kalau keraton apa? Keraton 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memang pada malam suro ada apa.., tapi hal yang terpenting apa? Mbok mengadakan sesuatu, akhirnya pertemuan beliau ini keraton menyampaikan bagaimana kalau malam satu suro ini keraton mengadakan upacara kirab pusaka kyai slamet itu.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Kegiatan kirab pusaka dimulai dengan ritual dengan mantra-mantra verbal berbahasa Jawa dan doa secara Islam di dalam keraton. Menjelang kirab dimulai, dilaksanakan pembagian tugas pemegang pusaka. Berbagai macam sesaji diletakan di depan Kori Kamandungan. Air kembang setaman, kopi hitam di dalam ember, aneka umbi-umbian disajikan untuk Kebo Bule Kyai Slamet. Menurut Puger, kirab pusaka selain untuk memohon keselamatan melalui berbagai simbol yang diwujudkan dalam sesaji, bertujuan pula untuk mengingatkan masyarakat terhadap kebesaran Tuhan “Nah karena pusaka ini juga menyelamatan negara, plus rakyatnya maka disyiarkan, jadi rakyatnya tidak apa-apa. Pusaka (yang dikirab) hanya mengingatkan kalau Tuhan memberikan bahwa kita tu untuk mengadakan suatu kegiatan untuk ngingu urip gitu lo,, keamanan maksudnya. Nhaa..kerbau itu, ada dua dimensi (gaib dan alam nyata), kerbau menyelamatkan bencana yang terjadi di Demak secara berturut-turut (dimensi gaib), kerbau juga untuk pengolahan makanan begitu, mbajak itu (dimensi alam nyata).” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Setiap pusaka yang dikirab dilindungi kain beludru dan diangkat dua orang. Sebagai ritual simbolis, selama kirab perilaku semua petugas yang mengikuti kirab yang lamanya kurang lebih empat jam tersebut diatur agar dapat menimbulan suasana sakral. Mereka dilarang berbicara, merokok, makan, minum dan selama waktu itu harus berlaku patut dan sopan (www.jagadkejawen.com, akses pada 25 Desember 2012). commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.1 Kebo Bule Kyai Slamet Sebagai Cucuk Lampah di Kirab Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta Salah satu hal yang perlu ditelaah lebih lanjut dalam Kirab Malam 1 Suro adalah adanya Kebo Bule Kyai Slamet yang berada di barisan paling depan, kemudian diikuti oleh barisan pusaka. Keberadaan kerbau sebagai realitas simbolik, dipergunakan untuk menarik perhatian masyarakat yang berada di lingkungan agraris. Oleh masyarakat jawa, sesuatu yang berperan sebagai pembuka barisan disebut cucuk lampah. ”Ha‟a cucuk lampah itu..yang di depan sendiri kebo bulenya.” (Wiharni, wawancara pada 11 Juli 2012, di Baluwarti). Secara verbal, cucuk lampah berasal kata tjoetjoek : pucuk, pepucuk ing baris (pucuk pada baris) dan lampah : laku, obah maju sarana napake sikil (jalan, bergerak maju dengan menapakkan kaki) (Poerwadarmina, 1939:257 dan 644). Jadi cucuk lampah dapat diartikan sebagai ujung terdepan dalam barisan yang berjalan kaki. Kebo Bule Kyai Slamet berperan sebagai cucuk lampah, karena menurut Budayaningrat mereka adalah simbol keselamatan. “Kebo Kyai Slamet dipercayai sebagai cucuk lampah. Karena lambang keselamatan. Yaaak..karena dipercayai sebagai cucuk lampah, jelas persepsi masyarakat terhadap itu bahwa, ini semua adalah keselamatan yang memimpin adalah Kebo Kyai Slamet.” (Budayaningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka). Kebo Bule Kyai Slamet masih dipercaya oleh masyarakat Solo dan sekitarnya sebagai jimat yang dapat menyelesaikan berbagai masalah. Dari nama yang disandangnya, sebagian orang menaruh harapan besar bahwa kebo bule akan membawa keselamatan bagi banyak orang (P3LP UNS,2002:23-24). Faktor commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berikutnya mengapa Kebo Bule Kyai Slamet Berada di depan, karena mereka tetaplah hewan. Puger memaknai peristiwa tersebut seperti sedang menggembala, hewan peliharaan akan berada di depan penggembala. “Jadi kenapa ditaruh di depan? Lha ditaruh dibelakang nanti kerbau..lha tidak mungkin orang ngangon kebo di belakang. Kebo itu jadi sing ngetutke menungsane.” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Demikian pula pemaknaan simbolik yang lebih logis mengapa Kebo Bule Kyai Slamet ditempatkan paling depan (cucuk lampah) pada barisan kirab pusaka, hal itu dimaksudkan untuk menghaturkan doa kepada Tuhan yang Maha Agung agar diberi keselamatan di tahun mendatang (P3LP UNS,2002:23). B. Persepsi Masyarakat Awam sebagai Komunikan dalam Kirab Malam 1 Suro Persepsi masyarakat awam yang dimaksud dan menjadi narasumber pada penelitian ini adalah mereka yang tinggal di luar tembok keraton, tidak memiliki garis keturunan dari Keraton Kasunanan Surakarta, berpendidikan tidak terlalu tinggi, dan memiliki tingkat ekonomi rata-rata menengah, dan menengah kebawah. Mereka memiliki profesi petani, pedagang, dan buruh serabutan. Sebagai penonton dan peserta dalam Kirab Malam 1 Suro, masyarakat awam berperan sebagai komunikan. Mereka adalah khalayak yang menerima pesan dari pihak keraton kemudian memaknainya berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Sehingga, ketika alam bawah sadar mereka bergerak memberikan timbal balik atas peristiwa ini, muncul pemaknaan yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh
keraton
sebagai
komunikator,
sehingga
commit to user miskomunikasi. Berikut analisis selengkapnya: 79
memungkinkan
terjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Pemahaman Denotatif tentang Kebo Bule Masyarakat awam melihat keistimewaan kebo bule dari bentuk tubuh dan warna kulitnya yang putih kemerahan. Ketertarikan seseorang terhadap sesuatu dapat disebabkan karena adanya faktor kedekatan dan adanya hal yang unik di dalamnya. Apabila diperhatikan lebih lanjut, maka dapat ditangkap pula perilaku Kebo Bule yang berbeda dengan kerbau biasa. Keistimewaan fisik dan tingkah laku pada hewan tertentu, dapat menjadi faktor pencetus lahirnya kepercayaan terhadap hewan tertentu yang sempat populer di zaman prasejarah dan disebut totemisme (http://maalkhairaat.wordpress.com, akses pada 1 Maret 2013). 1.1
Fisik Kebo Bule Kyai Slamet Ukuran Tubuh Besar Di lingkungan pedesaan mudah dijumpai kerbau yang dipelihara petani.
Pada umumnya kerbau di Indonesia tidak menunjukan jenis tersendiri, melainkan bervariasi. Variasi yang ada baik dalam ukuran, konformasi tubuh, ciri-ciri tanduk, warna kulit dan bulu. Dengan demikian kerbau di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni; kerbau liar dan kerbau jinak (bereati.blogspot.com, akses pada 15 Februari 2013) Secara umum kerbau jinak jenis kerbau sungai (river/water buffalo) memiliki ciri antaralain; kulit hitam pekat, tubuh padat dan pendek, tidak terlalu besar, leher dan kepala relative kecil, punggungnya lebar, serta tanduk melingkar rapat seperti spiral. Sedangkan kerbau lumpur (swamp buffalo) memiliki ciri: kulit coklat kehitam-hitaman, tubuhnya relatif pendek, kaki pendek serta tanduknya commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
agak
melengkung.
digilib.uns.ac.id
Sehingga
terkesan
bertubuh
tidak
terlalu
besar
(bereati.blogspot.com, akses pada 15 Februari 2013). “Kalau Kyai slamet bentuknya gak kurus (besar) gitu” (Suroso, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta). Tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh masyarakat keraton, bahwa secara kasat mata fisik kebo bule memiliki perbedaan tubuh lebih besar dari ciriciri yang dimiliki kerbau sungai dan kerbau lumpur seperti diungkapkan diatas. Hal serupa juga diungkapkan oleh Warti: “Ageng kok nek Kyai Slamet niku” (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Kraton Kasunanan) Dari tiga gambar berikut, perbedaan ketiga jenis kerbau ini dapat terlihat lebih jelas.
Gambar 5 : Kerbau Sungai (river/water buffalo) (sumber foto: www.biolib.cz, akses pada 1 Maret 2013)
Gambar 6 : Kerbau lumpur (swamp buffalo) (sumber foto :s666.photobucket.com, akses pada 1 Maret 2013)
Gambar 7: Kebo Bule Kyai Slamet (sumber foto: wisata.kompasiana.com, akses pada 1 Maret 2013)
Warna Kulit Cenderung Putih Kerbau pada umumnya berwarna kehitaman. Perbedaan mencolok tampak pada Kebo Bule Kyai Slamet dengan warna kulitnya yang keputih-putihan. Terkadang ada yang menyebutnya dengan sebutan kerbau albino. Dikatakan commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
albino karena memang seperti manusia yang memiliki kelainan albino. Memiliki kulit berwarna putih walau tidak seluruh tubuhnya berwarna putih. Perbadaan tersebut mudah diidentifikasi oleh Repi. “Nggih seje to dik.. wau kan pethak sii kan..nek kebo biasa kan cemeng nggih..nggih perbedaane kan ngoten niku.“ (Surepi, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Petikan wawancara tersebut menyatakan bahwa kebo bule kyai slamet memiliki warna kulit putih yang berbeda dari kerbau pada umumnya yang berwarna hitam. Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Kusnadi berikut: ”Paling nggih warnane kados tiyang bule, radi putih ngoten” (Kusnadi, wawancara pada 4 November 2012, di nDalem Sasono Mulyo) Terdapat jenis kerbau yang hampir mirip secara fisik dengan Kebo Bule Kyai Slamet, di Toraja dikenal dengan nama Tedong Bonga (kerbau belang berwarna putih kombinasi hitam) ini seringkali digunakan untuk upacara-upacara adat di daerah Toraja Sulawesi Selatan. Kerbau ini memiliki harga yang fantastis, digunakan sebagai salah satu hewan bila mengadakan acara adat seperti pemakaman dan perkawinan. Tedong Bonga juga biasa dipakai sebagai mahar dalam upacara perkawinan adat. 1.2 Sifat Kebo Bule Penurut Dalam studi ilmu komunikasi, manusia dapat berkomunikasi dengan hewan dengan cara sederhana. Adanya hubungan antara pemilik dengan hewan peliharaan memudahkan dalamcommit merawat hewan tersebut sehingga dapat to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimanfaatkan. Ternyata berdasarkan data, 95% dari populasi kerbau di dunia terdapat di Asia. Banyak negara-negara Asia yang tergantung pada manfaat spesies ini, baik untuk daging, susu atau tenaga kerjanya (id.wikipedia.org, akses pada 15 Februari 2013). Kerbau apabila dipandang dari segi manfaat yang dihasilkan dari tubuhnya memang tidak diragukan lagi. Namun, Kebo Bule Kyai Slamet, memiliki sifat yang menurut Surepi berbeda, yaitu penurut, karena dia mau diperintah untuk berjalan di malam hari, seperti yang diungkapkan berikut: “Tingkah lakune niku nurut sanget, nek kebo biasa kan yah menten tilem ting kandange.. lha niku kiyambake kok purun.. diarak-arak ngeten niki.. kok nurut ngoten. Niku wau sakdereng jam 12 kok dikirab mboten gelem mlampah.. ngoten naa.. kok ngertos ngoten, batine pikirane..pikirane ngoten niku.“ (Surepi, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Komunikasi hewan sangat sederhana, ditandai dengan gerakan refleks. Diceritakan oleh Suroso, bahwa kebo bule seolah dapat diajak berkomunikasi, mampu menangkap maksud dari perkataan orang. Saat prosesi malam satu suro, pawang kerbau selalu mengarahkan rombongan kebo bule secara verbal, seolaholah kerbau-kerbau itu mengerti bahasa manusia. Mau menurut ketika diarahkan, tidak seliar kerbau biasa. “iyaa.. ini kan kaya bisa diajak komunikasi....Kalau kebo biasa, dibiarkan kaya gitu (diumbar) kan lari-lari...” (Suroso, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan) Masyarakat biasanya memiliki stereotype bahwa kerbau binatang yang identik dengan kebodohan. Bahkan ada kalimat perumpamaan orang jawa yaitu “longa longo koyo kebo”, yang berarti bodoh seperti kerbau. Dalam sebuah blog commit to user http://sukrablog.blogspot.com (akses pada 15 Februari 2013) terdapat ulasan 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa karakter kerbau adalah sebuah karakter yang merujuk kapada sifat yang ada pada diri kerbau yaitu bodoh, malas, keras kepala, tidak disiplin. Pendapat masyarakat seolah bertolak belakang saat melihat sifat kebo bule yang lain dari kerbau biasa. Kusnadi sempat melihat Kebo Bule Kyai Slamet saat diperintah pawangnya, kemudian dia mengibaratkannya seperti manusia. “Niku nurut sanget nggih mbak.. kados manungsa.. “ (Kusnadi, wawancara pada 4 November 2012, di nDalem Sasono Mulyo) Kusnadi memiliki pendapat seperti itu, karena Kebo Bule Kyai Slamet seolah seperti manusia yang dapat diajak berbicara dan menerima pesan dari sekelilingnya walaupun tanpa bahasa tubuh. 1.3
Kebo Bule Kyai Slamet adalah Jelmaan Manusia Masyarakat tradisional membutuhkan bumbu-bumbu yang bernuansa
spiritual untuk meneguhkan kepercayaan mereka. Salah satu fungsi dasar komunikasi adalah untuk pengendalian fisik dan lingkungan di sekitar kita. Munculnya mitos dapat membentuk sikap suatu kelompok terhadap sesuatu hal. Salah satu mitos yang beredar di masyarakat Solo dan sekitarnya adalah tentang asal kebo bule peliharaan Keraton Kasunanan, yang diyakini hasil jelmaan manusia. Hal tersebut membuktikan bahwa, pergulatan spiritualisme Jawa sampai saat ini agaknya sulit untuk dijelaskan secara gamblang. Para peneliti, tampaknya juga hanya melakukan upaya pemotretan gejala yang mereka dengar dan lihat. Selebihnya, tetap menjadi misteri yang tak berujung (Mulyana dalam Jurnal Kebudayaan Jawa, 2006:9). Kemisteriusan ini sangat tampak pada fenomena kebo bule kyai slamet. Masih adanya pengaruh kepercayaan prasejarah yaitu totemisme commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang melekat di kehidupan Jawa, termasuk mengakibatkan Kebo Bule Kyai Slamet dihormati karena diyakini merupakan jelmaan manusia. “Niku nopo keturunan-keturunan Mbah Slamet mbiyen-mbiyenane niku..” (Surepi, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan) Surepi meyakini bahwa manusia yang menjelma menjadi kebo bule adalah seseorang kakek bernama Slamet. Sehingga roh dari Mbah Slamet tersebut masuk ke dalam tubuh kerbau. Dari kacamata ilmu, adanya anggapan bahwa binatangbinatang memiliki roh tersebut disebabkan karena binatang itu memiliki kekuatan yang melebihi manusia seperti harimau, gajah. Sedangkan yang terjadi pada kebo bule karena memiliki kelebihan fisik yang berbeda dengan kerbau pada umumnya dan bermanfaat bagi manusia. “Nggih bedo, nek Kyai Slamet niku jelmaan manusia kok..nek kebo biasa kan ndak ada apa-apanya.” (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta). Karena dianggap jelmaan manusia, tidak heran apabila sikap masyarakat terkendali. Mereka berhati-hati menjadi yakin bahwa kebo bule kyai slamet memiliki kekuatan yang bersifat magis. 2. Pemaknaan terhadap Keistimewaan Kebo Bule Kyai Slamet Banyak opini tentang keistimewaan dari Kebo Bule Kyai Slamet yang beredar dan diyakini oleh masyarakat awam. Adanya mitos dan simbol yang disepakati membentuk mereka menjadi sangat yakin dalam memaknai dan memperlakukan keistimewaan kebo bule. Kenyataan itulah yang terjadi, masyarakat Jawa sebagian masih termasuk ke dalam kaum penghayat kepercayaan dalam menghormati roh leluhur dan berupaya manunggal dengan Tuhan, commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan secara mistik. Komunikasi batin yang diandalkan pada diri mereka. Itulah sebabnya, dunia kebatinan menjadi fenomena yang amat penting (Endraswara, 2006:43). Salah satu narasumber bernama Suroso menyatakan bahwa dia percaya terhadap kekuatan magis Kebo Bule Kyai Slamet. “Percaya (terhadap kekuatan magis kebo bule)... sebagai masyarakat Solo.... kan agama dengan budaya jalannya ada , ada sendiri-sendiri...” (Suroso, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Terlihat pada peristiwa budaya yang digelar tahunan, kirab malam satu suro yang turut melahirkan fenomena Kebo Bule Kyai Slamet. Ada beberapa hal yang dapat ditangkap, dari pemahaman secara denotatif para masyarakat pelaku ritual, yang melatarbelakangi kepercayaan mereka terhadap Kebo Bule Kyai Slamet. 2.1 Memiliki Kekuatan Magis Salah satu fungsi komunikasi adalah komunikasi ritual, seperti halnya kepercayaan orang Jawa yang cenderung percaya pada kekuatan alam. Kusnadi menyadari bahwa kepercayaan adalah hak individu, ada yang percaya, adapula yang tidak. ”Ngoten kan pribadi nggih mbak, onten sing percoyo onten mboten, nek kulo sih percoyo (terhadap adanya kekuatan gaib).”(Kusnadi, wawancara pada 4 November 2012, di nDalem Sasono Mulyo) Kehidupan dalam sistem kepercayaan Jawa mengandung unsur hubungan antara alam semesta, lingkungan sosial serta spiritual manusia. Penghormatan kepada alam diwujudkan melalui penyelenggaraan upacara bersifat gaib yang memuat banyak simbol-simbol di dalamnya dan berdasarkan pada asas-asas commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pikiran prelogic (Purwadi, 2008:17-18). Pada fenomena kebo bule ini, tindakan unik yang dilakukan masyarakat yang percaya terhadapnya, tidak hanya berlangsung pada malam satu suro, namun juga ada yang terjadi dalam keseharian. Berkaitan dengan kekuatan kebo bule yang mereka percayai antara lain:
Sikap Masyarakat Awam terhadap Kebo Bule dalam Kehidupan Seharihari
-
Kebo Bule Kyai Slamet Bisa Menolak Bala Kata „tolak bala‟ tidak asing lagi di telinga kita, dan oleh sebagian orang,
aktifitas tolak bala dilakukan dengan berbagai cara. Secara verbal, tolak bala berasal dari kata tulak dan balak yang berarti menolak segala penyakit masuk ke dalam tubuh (Meilawati, staff.uny.ac.id:1, akses pada 15 Februari 2013). Sebelum masyarakat jawa mengenal agama-agama besar, mereka sudah menganut kepercayaan animisme yang mempercayai makhluk halus dan dinamisme yaitu kepercayaan terhadap benda yang memiliki kekuatan gaib, dari situlah muncul kebiasaan tolak bala. Dituturkan oleh Warti, ada salah satu ritual tolak bala dengan media kebo bule yang pernah dilakukannya. “Kulo kan nek kulakan ting Solo, bar blanja sok mampir mriku, bar suro pas kapan niku kulo kan mriku. Dikandani kalian Sratine, “bu sampeyan elus-elus ping togo, terus dipundut pritilane” niku lhe lemah sing mrengkel. Kulo pendhet, tak bunderi, ping tigo. Terus dileboke kain item, disimpen, tulakbalak” (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta).
Yang dilakukan oleh Warti merupakan penerapan salah satu fungsi commit to user komunikasi yaitu komunikasi ritual, yang bersifat ekspresif, menyatakan 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permohonan seseorang dan dapat memberikan rasa tenang bagi yang melaksanakanya. Melalui ritual tolak bala, mereka percaya adanya bantuan supranatural yang dapat diharapkan pada waktu terjadi malapetaka. Ritual tolak balak dan mantra-mantra merupakan salah satu warisan dari sistem religi jawa yang berkembang dari animisme-dinamisme, kemudian mengalami beberapa asimilasi bermula ketika bangsa India datang, masuklah ajaran Hindu di tanah Jawa. Salah satu buktinya adalah adanya candi Prambanan. Disusul masuknya pengaruh Budha, dengan peninggalan candi Borobudur yang megah. Dan masuknya Islam ke jawa dengan tokoh penyebaran wali sanga banyak dilakukan dengan cara halus yang melibatkan percampuran budaya masyarakat jawa dan Islam. (Meilawati, staff.uny.ac.id:1, akses pada 15 Februari 2013).
Mendatangkan Keberuntungan Bagi yang Memberi Makanan - Cerita di Pasar Gading Pasar Gading merupakan pasar tradisional yang berada di Jalan Veteran Surakarta. Pasar yang berada di selatan Keraton Kasunanan Surakarta ini sudah lama menjadi bagian dari tradisi dan kehidupan warga kota Surakarta. Bahkan, pasar ini tetap eksis sampai sekarang dikarenakan para pedagang di pasar ini tidak semata-mata mencari keuntungan ekonomi, tetapi juga mengharapkan berkah dari Kyai
Slamet,
seekor
kerbau
bule
keramat
milik
Raja
(http://ditjenpdn.kemendag.go.id , akses pada 1 Maret 2013). “Nek kebo biasa kan mboten ngerti, tapi nek Kyai Slamet niku onten cerito mbiyen kan onten sing mlebet pasar, niku nek dimanggake nggih mboten tentu purun maem dagangan” commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Seperti yang diceritakan Warti, karena letak Pasar Gading berada di dekat lingkungan Keraton Surakarta, berbatasan tembok langsung dengan Alun-alun Selatan dimana kandang kebo bule itu didirikan. Sangat memungkinkan Kebo Bule Kyai Slamet keluar dari kandangnya dan berjalan ke para penjual makanan dan sayuran di Pasar Gading. Ada keyakinan dari para pedagang jika dagangannya dimakan Kebo Bule Kyai Slamet akan mendapat rejeki. Itulah sebabnya para pedagang di pasar ini terus bertahan dan berjualan di pasar Gading (http://ditjenpdn.kemendag. go.id, akses pada 1 Maret 2013). “Pernah dengar, kalau orang punya dagangan apa, kalau dimakan sama dia kan dibiarin..ga pernah dioyak-oyak itu, kan malah dipersilahkan.” (Suroso, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Tentu saja pedagang yang dagangannya dimakan sang Kebo bukannya marah, justru girang sekali, sebab dianggap ngalap berkah atau pelarisan dan bisa mendapatkan banyak rejeki. Sumber lain yang menyebutkan bahwa kenyataannya yang dagangannya dimakan Kebo Kyai Slamet selama 40 hari dagangannya larisnya bukan main, konon tidak sampai satu jam sudah ludes terjual (http://kusnadiyono.blogspot.com, akses pada 1 Maret 2013).
- Memberi Makanan di Kandang Kebo Bule
Aktifitas berinteraksi dengan hewan banyak ditemui di kebun binatang. Biasanya memberi makan hewan dilakukan oleh anak-anak dan para orang tuanya sebagai hiburan di kebun binatang. Tidak perlu harus di kebun binatang, apabila commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berkunjung di Alun-alun Selatan Surakarta saat ini, banyak warga yang menyempatkan datang ke kandang kebo bule untuk memberi makan. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa orang yang mencoba peruntungan mengais rupiah dengan menjual kangkung sebagai makanan kerbau tepat di depan kandangnya. Setiap ikat kangkung dihargai Rp1000. Suroso pernah menyempatkan diri ke kandang Kebo Bule Kyai Slamet untuk memberi makan. “Yaa ga rutin, cm kadang-kadang aja.. kalau ada waktu.. di alunalun selatan sana.. tuku sebengket rong bengket.. gitu.. tiap sore saya gitu.. setiap hari kan gitu pagi sore rame kandange, sebelum kirab kaya gitu”. (Suroso, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Adapula orang yang loyal memberi makan, bahkan sudah menjadi rutinitasnya. Dalam situs berita www.solopos.com (akses pada 1 Maret 2013), dikisahkan tentang pedagang pasar Klewer bernama Lim Hing Wie adalah satu di antara sebagian besar masyarakat yang begitu peduli atas keberadaan Kebo Bule milik Keraton. Setiap tiga hari sekali, warga Solo Baru, Sukoharjo itu selalu bertamu ke kandang kerbau bule. Di sana, Lim tak meminta berkah atau berdoa kepada kerbau keturunan Kiai Slamet itu. Melainkan, membawa oleh-oleh berupa dua karung jagung muda yang ia beli dari Pasar Legi. Bukan pula karena ingin dipuji oleh kerabat Keraton. Melainkan, semata-mata karena dorongan batinnya untuk berbuat baik, dan merasa senang ketika melihat kebo bule makan lahap. Hal serupa juga dirasakan oleh Suroso. “Itu kan kepercayaan to mbak? Nek percaya yaa...emang perasaan itu tentrem.” (Suroso, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ada Karma Bagi yang Mencelakai Kebo Bule Kyai Slamet Perbuatan buruk akan menuai keburukan juga, kalimat tersebut bukan hanya omong kosong belaka, tetapi berlaku bagi Kebo Bule Kyai Slamet. Karena dibalik keunikan sekawanan kebo keramat tersebut memiliki kebiasaan yang kadang dianggap tidak masuk akal. Kawanan kerbau ini, sering berkelana ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas menggembalakannya (http://www.pesatnews.com, akses pada 13 Februari 2013). Ada cerita, bahwa yang menggangu atau mencelakai kerbau tersebut tertimpa karma saat itu juga, seperti pernyataan Warti berikut:
“Onten ting sawah kebone mangan taneman digusah terus sing nduwe sawah sakit. Kengeng omo sedoyo, sawahe mboten kenging ditanduri. Ceritane ngoten, ting daerah Sukoharjo mriko onten.” (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Kandang kebo bule berada di sudut selatan Alun-alun Selatan Keraton Kasunanan Surakarta, yang notabene berada di pusat kota Solo. Pada suatu ketika, ada kerbau yang keluar dari kandangnya dan perantauannya sampai Boyolali, Wonogiri, Salatiga, Magelang, sehingga jarang sekali berada di Kraton. Selama merantau tidak ada yang berani mengusiknya. Namun pernah terjadi seseorang mencoba mengikat Kyai Slamet. tidak sampai seperempat jam orang tadi terjatuh dan pingsan. Dari anjuran orang tua, disuruh melepaskan tali pengikat tersebut, baru siuman kembali (http://sosbud.kompasiana.com, akses pada 13 Februari 2013). Apabila ditelaah secara logis, lepas dari benar atau tidaknya cerita tersebut, contoh peristiwa itu memberi pelajaran pula kepada manusia untuk saling menjaga sesama makhluk hidup, dan tidak mencelakai bahkan membunuhnya. Saat Kirab Malam Satu Surocommit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
-
digilib.uns.ac.id
Sisa Minuman Makanannya Dapat Menyembuhkan Penyakit Hampir semua ritual tradisional jawa menggunakan unsur sesaji sebagai
simbol-simbol permohonan kepada Tuhan penguasa alam. Dari ritual yang memuat sesaji, mitos dan seni yang dilaksanakan bersamaan berarti orang jawa masih meyakini bahwa ada makna dan fungsi tertentu bagi keselamatan hidupnya (Endraswara dalam Kejawen, 2006:47). Di perhelatan Kirab Malam Satu Suro ada sesaji khusus, yaitu makanan dan minuman yang disajikan untuk kebo bule sesaat sebelum kirab. Sajian tersebut terdiri dari minuman kopi, air bunga, dan ubiubian. Sebelum kirab dimulai, serombongan kebo bule diarahkan ke depan Kori Kamandungan. Tepat di halaman keraton, makanan dan minuman yang ditempatkan di dalam ember-ember besar dilahap oleh kebo bule. Setelah sajisajian tersebut dimakan oleh kebo bule, kemudian orang-orang berkerumun dan memperebutkan sisanya. Seperti yang dituturkan oleh Warti berikut ini: “Lha nek Suro nggih, ting mriko kan slametan, Kyai slamet diparingi dhaharan, nggih sing telo, pohong, unjukane teh, nggih kopi, bar diunjuk Kyai Slamet kan terus kesah, niku dipundhut diunjuk kangge obat. Segala penyakit kalau yakin, bisa”. (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Memperebutkan sisa makanan hewan, sesuatu yang mungkin dipandang berlebihan dari sisi orang modern. Dibalik peristiwa tersebut, terkandung aspekaspek estetika spiritual yang sekaligus menjadi wahana komunikasi gaib antara penghayatan kepercayaan dan Tuhan merupakan aspek yang luar biasa dalam sebuah ritual budaya (Endraswara dalam Kejawen, 2006:54). Pengalaman nyata dialami oleh Warti, dia percaya bahwa dengan meminum kopi sisa Kebo Bule commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kyai Slamet, dia dapat sembuh dari penyakitnya melalui ritual ngalap berkah yang dilakukannya. ”Sampun kala mben kopi satu (satu gelas, didapat dari berebut sisa minuman Kebo Bule). (Sakit yang diderita) Komplikasi magh, infeksi usus, infeksi ginjal, kandungan (sembuh)..Tinggal magh.” (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta)
Keyakinanlah yang menjadi pendorong utama mereka percaya bahwa sisa sesaji kebo bule adalah obat perantara kesembuhan penyakit yang diderita.
Telethong (kotoran) Kebo Bule Kyai Slamet Mendatangkan Berkah Fenomena Kebo Bule di Kirab Malam 1 Suro, adalah banyak orang
menyikapi kekeramatan kebo bule dengan berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule, ditegaskan oleh Repi berikut ini; “Enggih enggih... kenyataane wau do nekani telethonge barang wau nika..”(Surepi, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan)
Unik, bagi orang yang hidup di lingkungan modern dan sudah mudah mendapatkan pendidikan formal, serta mendapat informasi dari berbagai belahan dunia apabila melihat fenomena di malam satu suro. Bagi sebagian orang penghayat kepercayaan tradisional, tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang saling berebut mendapatkannya (www.pesatnews.com, akses pada 14 Februari 2013). Berebut telethong telah commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan berkali-kali oleh Warti, dia merasakan beberapa harapan menjadi nyata setelah menanam telethong Kebo Bule Kyai Slamet dengan rapal mantra. “Tlethonge niki ngge nanem..mangkih nek nganu nggih dijawab Kanjeng Ratu mriki, nanem mboten saged kenging omo, saged medal, metu lemu, rejeki kajenge rejekine kathah, sae kados mriki , kraton mriki mulo ngoten”. (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Sepintas tidak masuk akal, tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet. Ketika kemudian telethong tersebut digunakan untuk pupuk di sawah, hal ini tidak jauh berbeda dengan penggunaan pupuk kandang. Hanya memiliki cara yang berbeda, seperti yang diungkapkan oleh Warti. “Carane nggih kula dikandhani tiyang ndek mben.. carane nggih hmm niko nopo sawah kan enten tulakane, disukakne ting pojokan nggene tulakane niku , tebih-tebih banjur dijawab.. ngoten.. diparingke ting pojok-pojokane niku, nggen tulakan, njawabe nggih sak sagedte niku..ting kraton..” (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Tata cara mengaplikasikan tlethong kebo bule ke sawah adalah murni berasal dari masyarakat awam. Apa yang diungkapkan oleh Bu Warti, tidak diajarkan dari pihak Keraton. Bahkan sekedar berebut telethong pun bukan dari dalam keraton yang memerintahkan. Sehingga di balik cara dan mantra yang dilakukan masyarakat yang meyakini khasiat kebo bule, ada sugesti yang sangat kuat di dalamnya.
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 8 : Beberapa Orang Memunguti Kotoran Kebo Bule Kyai Slamet, Saat Kirab Malam Satu Suro. (Sumber: www.solopos.com, akses pada 1 Maret 2013).
C. Persepsi Masyarakat Ahli Sebagai Komunikan dalam Fenomena Kebo Bule di Kirab Malam 1 Suro Dalam poin ini, akan dibahas mengenai persepsi khalayak yang berada di luar lingkungan keraton dari kelompok masyarakat ahli. Yang dimaksud masyarakat ahli dalam penelitian ini adalah komunikan yang memiliki latar belakang sebagai Budayawan dan Guru Besar Sejarah dari ISI Surakarta Prof.Dr. Rustopo, S.Kar., M,S. Sejarawan muda Insiwi Febriari Setiasih SS,MA, dan Bandung Mawardi sastrawan dan kolomnis dengan pemikiran yang sangat kritis. Berikut beberapa hal yang dapat dirumuskan dari hasil wawancara mendalam dengan ketiga narasumber. 1. Latar Belakang Keberadaan Kebo Bule di Keraton Kasunanan Surakarta Perspektif berbeda mengenai latar belakang keberadaan kebo bule di commit to user Keraton Kasunanan diutarakan oleh para komunikan dari kalangan masyarakat 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ahli. Rustopo mengungkapkan tentang sejarah keberadaan kebo bule di Keraton Kasunanan erat kaitannya dengan kehidupan kerajaan agraris. Pendapat Rustopo tentang eratnya pengaruh budaya agraris dalam fenomena Kebo Bule ini, diperkuat
dengan pernyataan-peryataan
Bandung Mawardi.
Beliau juga
menambahkan tentang kuatnya kekuatan simbol, adanya pengaruh politik dalam memaknai kerbau dan kirab malam 1 Suro. Sedangkan narasumber berikutnya, Insiwi Febriari Setiasih, hampir sependapat dengan masyarakat keraton, yang mengungkapan tentang awal mula kebo bule ada di Keraton Kasunanan adalah pisungsung dari Bupati Ponorogo dan menjadi klangenan (hewan peliharaan kesayangan) raja pada saat itu. Berikut uraian selengkapnya: 1.1
Pengaruh Kebudayaan Agraris Keberadaan Kebo Bule di Keraton Kasunanan Surakarta dapat ditinjau
dari berbagai sisi, tidak hanya dari faktor sejarah keraton Kasunanan saja, namun juga dari sejarah perkembangan kerajaan nusantara dan Indonesia pada masa lampau. Asumsi tentang keterkaitan kehidupan masa lampau Keraton Kasunanan Surakarta yang agraris dengan keberadaan kebo bule saat ini, disampaikan oleh Rustopo dan Bandung Mawardi. Kebudayaan agraris identik dengan pertanian. Salah satunya penanaman padi dengan sistem perladangan diperkirakan dikenal di Indonesia jauh sebelumnya sekitar 2500-1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalitik tua di Indonesia. Informasi lain bahwa penanaman padi commit to menyebutkan user 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan sistem pengairan dikenal di Indonesia diduga pada jaman logam (http://www.duniaesai.com, akses pada 1 Mei 2013). Bukti pendapat ini di beberapa situs tingkat perundagian ditemukan beberapa alat-alat besi yang diperkirakan digunakan pada kegiatan itu. Misalnya, dalam kubur peti batu di situs Kawengan, Kidangan, dan Gunungmas di Bojonegoro dan situs Gunungsigro di Tuban, Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan adalah kapak, beliung, ujung tombak, mata sabit dan mata pisau (http://www.duniaesai.com, akses pada 1 Mei 2013). “Tapi kalau kita keluar Jawa, itu Sumatra,,, Minangkabau itu apa? itu kerbau. Terus ke Toraja , itu kerbau juga jadi apa namanya, jadi punya nilai gitu.” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Komentar Rustopo, dapat didukung dengan adanya data bahwa dari sistem persawahan di Bali misalnya, pada tingkat perundagian telah dilaksanakan di kaki-kaki pegunungan yaitu pada tempat yang mudah diatur pengairannya. Kerbau hingga kini juga masih dipilih sebagai ornamen atau bagian tubuhnya dijadikan sebagai hiasan pada rumah-rumah adat, seperti rumah adat masyarakat Toraja, di Sulawesi Selatan. Kepala kerbau dalam khazanah simbolis orang Toraja disebut Kabongo’. Penggunaan kepala kerbau sebagai artikulasi simbolik dapat ditemui pada tiang Tongkonan (Tulak Somba). Kepala kerbau dalam Passura’ dapat dikenal melalui berbagai desain. Untuk variasi ini dikenal dengan Pa’tedong, yang berkaitan dengan kekuasaan/kepemimpinan suku. Di Nias Selatan, simbol sejenis yang dikenal sebagai Hugolaso hanya ber-laku untuk ketua kampung keturunan Si Ulu. Dengan demikian, pada jaman logam atau commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perundagian diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan untuk membantu kegiatan pertaniannya (http://www.duniaesai.com, akses pada 1 Mei 2013). “Agraris sendiri, itu kan sumbernya kan dari Asia. Jadi dari daerah, dari daerah Cina, dan datang kesini sebelum Hindu malahan. Jadi kita itu dulu, sebelum Hindi, kita sudah bisa ee apa namanya, mengaplikasi teknologi pertanian yang disebarkan pada masa Hindu. Antara lain, kerbau..hehe. kerbau itu adalah teman petani. Jadi eee...apa itu petani tanpa kerbau itu juga susah. Dan mestinya, pertanian yang menggunakan sistem air. Jadi bukan pertanian ladang. Kalau ladang mungkin sapi, ini yang pakai air itu, kerbau kan suka air. Dan itu, binatang yang kekuatannya luar biasa tapi juga penurut.” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Sesuai dengan pendapat Rustopo di atas, peranan kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan perkembangan sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada masa prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan),
kemudian
dikembangkan
sistem
pertanian
lahan
basah
(persawahan). Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah telah dikenal di Indonesia sejak sebelum pengaruh kebudayaan India menyebar di Indonesia (http://www.duniaesai.com, akses pada 1 Mei 2013).
Budaya Agraris di Keraton Kasunanan adalah Warisan Kerajaan Sebelumnya Tipe kerajaan apabila dilihat dari sistem ekonominya dapat dibagi menjadi
Agraris dan Maritim. Budaya agraris merupakan induk budaya pertanian di darat. Kehidupan agraris sangat lekat dengan proses perjalanan orang Jawa hingga saat ini. “Kerajaan itu ada dua, ada yang basicnya dagang, tinggalnya di pantai, seperti Sriwijaya, Demak. Di semenanjung commit to mungkin user Melayu Samodra Pasai. Tapi ada yang basicnya Pertanian. 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Misalnya negara-megara di Jawa itu, karena ada di pedalaman, di tanah yang subur dan dialiri sungai-sungai.” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Unsur-unsur kekayaan alam, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan tanah yang subur menjadi pendorong berkembangnya budaya agraris, yang merupakan warisan dari kejayaan Majapahit sebagai kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Majapahit pada abad ke-14 merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara. Peranannya menggantikan Kerajaan Mataram di Jawa dan Sriwijaya di Sumatera. (http:// jejaknusantara.com/sejarah, akses pada 1 Mei 2013). Di jaman kerajaan Islam Jawa, Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646). Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka (http://kerajaan-mataram-islam.blogspot.com/, akses pada 1 Mei 2013). “Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 Masehi. Selanjutnya Mataram pecah menjadi 2 bagian, sebagaimana isi "Perjanjian Giyanti" (1755) berikut: 1. Mataram Timur yang dikenal Kasunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta. 2. Mataram Barat yang dikenal dengan Kasultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta (http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com, akses pada 1 Mei 2013). commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karena letaknya di pedalaman dan jauh dari laut, maka keraton kasunanan Surakarta bertumpu pada pertanian. Dan termasuk jenis kerajaan agraris, seperti yang diungkapkan oleh Rustopo berikut ini. “Nah Keraton itu dapat hidup karena pertanian. Nah salah satu faktor terpentingnya adalah kerbau, lha kerbau juga sama seperti petani di desa itu, dihormati hihihii,,,, tapi kadang-kadang keraton itu cara menghormatinya lebih dari para petani.” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Sebagai pecahan dari Mataram Islam, Keraton Kasunanan Surakarta, dimana pertanian unggul dan tidak lepas dari tanah yang merupakan unsur terpentingnya. Masyarakat jawa di pedesaan sangat mengganggap penting tanah terlihat dari istilah “Sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan pecahing dhadhawutahing ludira”. Peribahasa tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela meskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Sastroatmodjo, 2007:28).
Kerbau Simbol Budaya Agraris EF Slijper dalam Manusia dan Hewan Piara (1954) menduga binatang
kerbau telah ditemukan di Nusantara sejak zaman Neol ithikum (3000 SM-1700 SM), tapi daerah sebaran belum bisa dipastikan. Informasi ini cukup memberi refleksi tentang peran kerbau dalam peradaban perburuan, perladangan dan commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertanian dalam kehidupan moyang pada masa lampau. Kita juga bisa menelisik makna kerbau melalui relief-relief di candi atau karya sastra. Relief kerbau ada di Candi Borobudur dan Candi Sojiwan. Kerbau pada masa lalu adalah tokoh dalam pengajaran moral dan budi pekerti di masyarakat Jawa. Bandung Mawardi berpendapat bahwa; “Ketika kerbau dalam kosmologi jawa, orang-orang jawa itu memiliki kekuatan ilahiyah. Yang terpancar atau terwujud dalam keyakinan.itu barangkali karena pewarisan dari animisme dan Hindu Budha, dimana hewan ,merupakan simbol religi. Bisa dilihat itu di relief-relief candi. Di Borobudur, sukuh, cetho.” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Relief cerita tentang kerbau dan kera mengandung ajaran moral, simbolisme agraris dan etos kerja. Dalam hal ini, Rustopo juga mengungkapkan bahwa kerbau berasal dari kebudayaan agraris. “Asal usulnya dari kebudayaan agraris. Karena itu, kebo itu ada dimana-mana..” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Banyak cerita rakyat menggunakan tokoh kerbau. Relief bercerita di dua candi itu membuktikan metode pembelajaran masyarakat tradisional dekat dengan dunia imajinasi-ekologis: mengambil tokoh-tokoh hewan dan simbol-simbol alam. “Sebelum mesinisasi, pertanian itu hadir di Indonesia kan, dimanamana kan gitu, jadi pertanian dan irigasi, dengan sistem air itu pasti dengan kerbau. Sapi nggak mau, sapi itu takut air. Jadi dia yang paling rajin. Terus jadi begini akhirnya. Jadi apa yang dipelihara keraton itu sebenarnya adalah simbol-simbol.yaa artinya mereka juga tidak berani ikut yang lain, ada mesinisasi terus ikut yang lain, habis dong keraton gak ada apa-apanya. Sebab keraton hanya pelestari nilai.” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebelum masuk pada era mesinisasi, pertanian di darat mengandalkan tenaga kerbau untuk membajak sawah, dan sapi untuk pertanian ladang. Kerbau dalam sejarah Jawa menjadi bab penting bagi elite tradisional, petani dan pemerintah kolonial. Kerbau dimaknai dari sakralitas sampai komoditas memakai nalar kapitalistik. (http://www.harianjogja.com, akses pada 1 Mei 2013). Bandung Mawardi menambahkan bahwa; “Secara politik, hewan itu dijadikan simbol oleh para raja, untuk membuktikan dirinya ke publik. Mereka memerlukan simbol yang dekat dengan publik. Jika kerajaan agraris, atau kekuatan itu berkonteks agraris, pilihan hewan-hewan itu akan lekat dengan agraris. Misalnya kerbau itu identik dengan agraris.” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Bandung Mawardi memaknai peran kerbau dalam geliat peradaban Jawa turut menentukan eksistensi para penguasa Jawa. Budaya sawah dan peran kerbau menjadi ukuran kemakmuran desa, perwujudan dari praktik kekuasaana elite. Sejarah Mataram dalam politik pangan ditopang peran dan pengaruh kerbau. “Ketika zaman berubah, ketika kolonialisme muncul. Terjadi proses reduktif terhadap kerbau. Kerbau sebagai simbol kesuburan. Yang mempunyai etos kerja keras, keakraban, berubah pengertian karena kolonialisme kerbau jadi hewan yang lambat, dungu, itu disebarkan ke desa-desa. Terjadi perebutan makna dengan pihak keraton” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Sindhunata (2010) menjelaskan kerbau dalam kepercayaan masyarakat Jawa merupakan patron bagi pertanian. Kerbau mencerminkan kekuasaan dan kebudayaan agraris. Kerbau juga menjadi simbol dari mentalitas rakyat di hadapan penguasa dan alam. Kerbermaknaan kerbau mengandung proses transformasi sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Kerbau sebagai simbol terus commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
ada
dengan
digilib.uns.ac.id
sekian
tendensi
pembacaan
dan
penafsiran
(http://www.harianjogja.com, akses pada 1 Mei 2013). 1.2 Kerbau Bule Berhubungan dengan Perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta Dituturkan oleh Insiwi Febriari Setiasih, ada versi yang mengatakan bahwa asal usul kerbau bule merupakan hadiah dari bupati ponorogo saat terjadi pemberontakan dan PB II melakukan pelarian disana. Disamping itu, Insiwi menceritakan pula tentang hubungan kebo bule dengan perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta. Hadiah dari Bupati Ponorogo, saat PB II Bersembunyi di Ponorogo. Kerajaan Mataram Kartasura berdiri selama kurang lebih 60 th (16801746). Sejak awal kepempimpinan PB I, sudah ada campur tangan Belanda. Dua perang suksesi mewarnai perjalanan kerajaan Mataram Kartasura. Hingga pada tahun 1727, Susuhunan Paku Buwana II bertahta. Pada masa PB II, terjadi perang saudara antara Pangeran Mangkubumi dan
Pangeran
Mangkunegara.
Kondisi
semakin
buruk
ketika
terjadi
pemberontakan yang dilakukan kaum Cina, peristiwa itu dikenal sebagai „geger pecinan‟ yang bersumber di Batavia namun menjalar hingga seluruh tanah Jawa. Keadaan semakin buruk pada 30 Juni 1972, keraton Mataram Kartasura diduduki oleh Raden Mas Garendi. Sunan PB II dalam usahanya meloloskan diri mencari keselamatan, menuju ke Ponorogo didampingi Pangeran Adipati Anom dan Mayor van Hohendorff (Depdikbud RI, 1999:68-73). commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Ketika PB ke 2 itu setelah masa perang... dia diasingkan atau pergi ke jawa bagian timur di kadipaten ponorogo yang pada saat itu masih jadi wilayah mataram dulu mataram” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Selama pelarian di Ponorogo PB II bergelar Prabu Brawijaya. Setelah kondisi membaik, pada tanggal 24 Desember 1742 PB II kembali ke Kartasura. Dengan kondisi kerajaan yang telah banyak kerusakan karena perang, yang kemudian memunculkan niat untuk segera mencari lokasi baru untuk kerajaan baru. (Depdikbud RI, 1999:68-73). “Dia (PB II) diberi pisungsung atau persembahan oleh adipati ponorogo yang berbentuk sebagai hewan peliharaan” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS). Adipati (Bupati) Ponorogo memberikan hadiah kepada PB II sebagai bentuk penghormatan ketika beliau akan kembali ke Kartasura. Hewan peliharaan yang berwujud kerbau pun diserahkan. “Jadi kok bisa ada kebo ini dibawa ke kasunanan, itu ceritanya kebo bule ini dibawa ke kasunanan itu ketika kebo ee ketika PB ke II itu setelah masa perang” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS). Bagi para elit, dan rakyat pada suatu kerajaan, memberikan hadiah pada raja merupakan wujud penghargaan. Dan sebagai sarana agar bisa mendekati raja. Oleh karena itu, ketika hadiah diterima oleh raja, maka sebuah kebanggan tersendiri bagi pemberinya (Lombard, 2005:21).
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebo Bule yang Menunjukkan Lokasi Baru Keraton di Solo Akibat kerusakan yang dialami Keraton Mataram Kartasura, PB II menghendaki perpindahan keraton di lokasi yang berada lebih timur dari Kartasura. “Ada tiga kandidat yaitu desa solo, kadipolo dan talawangi kemudian ditentukam oleh PB 2 dengan para petinggi kerajaan, tetapi juga ada satu versi dimana kebo bule ini memiliki satu andil dalam menentukan lokasi istana tersebut, ketika diumbar tadi kemudian menuju tempat yang sekarang menjadi Karaton Kasunanan dan berhenti disitu,merumput disitu maka PB 2 menentukan ooh itu tempat yang dikehendaki oleh Kebo Kyai Slamet” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS). Sunan memerintahkan Patih Pringgalaya dan Sindureja melakukan penelitian bersama Mayor van Hohendorff, didampingi pula beberapa ahli nujum. Dalam perjalanan mereka menemukan tiga lokasi yang dianggap cocok. Lokasi pertama adalah Desa Kadipala dengan tanah bersih, rata, subur tetapi tidak dianggap baik oleh ahli nujum. Desa Sala yang memiliki banyak rawa. Kemudian Desa Sanasewu yang sangat rata. Dari hasil perundingan tim yang melakukan peninjauan lokasi, kemudian disepakati bahwa Desa Sala yang akan diajukan kepada Sunan PB II. Namun, raja tidak langsung menyetujuinya, dan menginginkan peninjauan ulang. “Ada tiga kandidat yaitu desa Sala, Kadipolo dan Talawangi (nama lain Sala) kemudian ditentukan oleh PB II dengan para petinggi kerajaan, tetapi juga ada satu versi dimana kebo bule ini memiliki satu andil dalam menentukan lokasi istana tersebut, ketika diumbar tadi kemudian menuju tempat yang sekarang menjadi Karaton Kasunanan dan berhenti disitu,merumput disitu maka PB II menentukan ooh itu tempat yang dikehendaki oleh Kebo Kyai Slamet” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Esok harinya, ada beberapa abdi dalem yang ditugaskan oleh PB II untuk mencari lokasi yang sesuai dengan keinginan beliau. Hingga kemudian keempat abdi dalem menemukan lokasi yang sebidang tanah berbau wangi terletak di timur laut desa Sala (Depdikbud RI, 1999:73-74). “Ini (kerbau bule) dipercaya juga bisa menunjukan dimana letak kerajaan baru yang nanti harus dibentuk ketika Keraton Kartosuro itu hancur oleh pemberontakan. Fungsinya dulu Kebo Bule itu diumbar artinya dilepaskan ee dipercaya bahwa daerah yang dituju oleh Kebo Bule itu nanti ibukota baru bagi Kerajaan Mataram Islam, setelah Perjanjian Giyanti maka nama Keraton Mataram Islam itu menjadi Kasunanan Surakarta, kemudian ditentukan juga ibukotanya, (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Setelah ditentukan lokasi, kemudian negosiasi dan pembelian lahan kepada Kyai Gede Sala dilakukan. Proses pembangunan keraton dan pemenuhan syaratsyarat pun dapat diselesaikan. Pada 17 Februari 1746, bedhol kedhaton atau perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala secara besar-besaran dilaksanakan (Depdikbud RI, 1999:78-81). 1.3
Hewan Peliharaan Raja yang Mengawal Senjata Seperti halnya masyarakat pada umumnya, raja juga memiliki kegemaran
memelihara hewan. Namun hewan yang dipelihara raja memiliki keunikan dan terkadang dianggap sebagai cara untuk sarana aktualisasi diri. Insiwi Febriari Setiasih menuturkan bahwa kerbau bule merupakan salah satu peliharaan raja. “Kebo Kyai Slamet dikategorikan sebagai hewan peliharaan raja yang paling disegani daripada peliharaan-peliharaan yang lain. (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS)” commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ciri kuno pada kerajaan yang masih ada hingga saat ini adalah kepemilikan pusaka. Pusaka merupakan salah satu tanda legitimasi kekuasaan seorang raja. Semua benda pusaka dipersonifikasikan dan diberi nama layaknya “guru” yang dihormati. Sebutan kyai untuk laki-laki dan niyayi untuk perempuan (Lombard, 2005:67-68). Seperti halnya sebuah pusaka yang dinamai Kyai Slamet, disebutkan oleh ibu Insiwi bahwa kebo bule pada zaman dahulu diberi wewenang untuk mengawal arak-arakan pusaka Kyai Slamet. “Kebo Bule itu dipercayai oleh pihak Keraton Kasunanan ketika dibawa dari ponorogo menuju solo ke Kasunanan dia mengawal senjata yang bernama Kyai Slamet. jadi Kebo Bule itu dulu ketika dia mengawal senjata dari Ponorogo kesini itu tidak ee hanya sendirian,.jadi dipercayai dia mengawal sebuah senjata yang tidak bisa dilihat oleh orang awam, Kebo Bule itu dulu tidak ada namanya tapi ketika dia mengawal sebuah senjata yang bernama Kyai Slamet (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Tugas yang diemban oleh kebo bule itulah yang kemudian menjadi sebutan baginya. Sehingga saat ini banyak yang mengenalnya sebagai Kebo Bule Kyai Slamet. 2. Kirab Malam Satu Suro 2.1 Kirab Malam 1 Suro adalah Peringatan Tahun Baru Islam Kirab malam satu suro merupakan sebuah perayaan yang dilaksanakan 1 tahun sekali di Keraton Kasunanan Surakarta. Beberapa upacara yang memperingati hari-hari besar agama Islam adalah warisan dari Kerajaan Demak, yang turut dilestarikkan oleh raja-raja di Jawa (Soelarto, 1993:42). Salah satunya commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peringatan tahun baru islam, yang dalam penanggalan jawa dimulai dari bulan Suro. Tujuan kirab diungkapkan oleh Insiwi; “Tujuan dari malam satu suro atau peringatan tahun baru islam ini sebenarnya adalah untuk memperingati pergantian apa namanya ee waktu, misalnya kl dalam penanggalan masehi kan ada tahun baru nah tahun baru islam,” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Era kejayaan kerajaan Mataram terjadi saat dipimpin oleh Sultan agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Pada saat itu, ada usaha penyatuan Islam dengan kepercayaan lama, dalam rumusan falsafah kejawen dalam kitab „Sastra Gending‟. Terjadi polarisasi kehidupan beragama, di satu pihak ada kelompok ulama atau orang-orang yang secara murni melaksanakan syariat Islam (mutihan), ada pula yang melaksanakan kebiasaan adat keraton yang sinkretis (abangan) (Endraswara, 2011:20). Peleburan budaya jawa dengan islam, dapat dilihat dari bagaimana cara memperingati perayaan hari besarnya. Diungkapkan oleh Bandung Mawardi, bahwa rujukan dari perayaan 1 Suro bermula sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo. “Kalau merujuk pada kalender, perayaan itu terjadi sejak zaman Sultan Agung. Tapi sultan agung tidak melakukan perayan yang bersifat teater masa. Sultan Agung di perenungan.” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Dibalik semua perayaan agama, ada makna religius berkaitan dengan kewajiban Sultan mensyiarkan dan melindungi agama Islam dalam kerajaan. Sikap tradisional yang ditampilkan dalam upacara (misalkan Grebeg Mulud, Malam 1 Suro) dengan kirab yang membawa serta berbagai pusaka keramat. Sebagai tanda pernyataan tradisional bahwa Raja dan Keraton Kasunanan commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Surakarta, adalah pewaris yang sah dari para raja dan kerajaan Jawa terdahulu. Sekaligus pernyataan sikap tradisional bahwa sunan adalah wakil suku bangsanya dalam memuliakan leluhur (Soelarto, 1993). Insiwi Febriari Setiasih, mendukung dengan pernyataannya sebagai berikut; “Satu suro itu peringatan tahun baru Islam, yang diperingati oleh apa namanya kasunanan surakarta dengan membawa keliling istana beberapa aset-aset istana misalnya senjata, dan Kebo Kyai Slamet. (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Kemudian, beliau menambahkan, bahwa pada masa Sultan Agung hanyalah senjata dan pusaka lainya yang dikirab, belum ada kehadiran kebo bule seperti yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta saat ini. “Masa Sultan Agung upacara kirab tersebut hanya ditandai dengan kirab senjata.karena belum ada kebo bule, nah kemudian, kebo bule itu baru diikirab pasca PB 2. (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Pada awal Islamisasi di Jawa, dimana ada proses penyesuaian Islam dengan agama Siwa Budha, kemudian diwujudkan dalam bentuk ajaran manunggaling kawula gusti sebagai falsafah kerajaan. Pergeseran itu terjadi atas pengaruh dari Ki Ageng Pengging
(Ki Kebo Kenanga) ayah Jaka Tingkir.
Disamping itu, titik berat pusat pemerintahan ke daerah pedalaman Jawa yang agraris menyebabkan Islam dipaksa untuk menjadi agama tradisional dan feodal (Endraswara, 2011:20). Rustopo menambahkan; “Yaa mungkin karena lingkungan para kawula seperti itu, abdi dalem-abdi dalem itu kan patuhnya seperti itu, terlalu, menduakan tuhan, karena dulu kan settingnya mindsetnya kan kalifatullah raja itu, sebetulnya kan dari hindu itu, konsep dewa raja itu. Jadi makro to user dan mikrocosmos. commit Jadi makro adalah dewa, di mikro ada raja, raja 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu wakil. Ketika jadi Islam, raja itu kalifatullah. Wakil Allah gitu lo..lha ini yang harus dipertanyakan...jadi memanglah begitu, jadi kebudayaanya adalah terusan dari kebudayaan lama. Di lokasi yang sudah terbentuk mindsetnya, Gelarnya islam Sunan, Sultan tapi kebudayaan lama masih dibawa” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Kemudian pengaruh akan pergeseran terhadap penyesuaian Islam dengan budaya Jawa tersebut menjadi kian dominan ketika Sultan Agung memegang tahta kerajaan Mataram. Senada dengan yang diungkapkan oleh Rustopo, bahwa ada penekanan bulan yang berbeda antara yang murni ajaran Islam dengan yang berkembang di lingkup naungan kerajaan Jawa. “Orang Jawa bulan Suro itu adalah bulan yang paling penting. Tapi sebetulnya Suro, Muharam itu kan sistem tahun yang diadopsi dari Hijriyah. Oleh Sultan Agung. Kalau Hijriyah itu, bulan yang penting kan ada tiga sebetulnya (Di Kalender Islam). Rajab, Sya‟ban, dan Ramadhan. Tapi ketika jadi Jawa, kok suro? Hehehe” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Woordwards (dalam Murthado, 2002) dengan tegas menyebut ada Islam Jawa. Islam Jawa ditandai dengan sinkretis, berkembangnya tradisi spiritual dari kalangan keraton hingga rakyat. Islam Jawa telah melahirkan aneka aspek kultural di Jawa (Endraswara, 2011:71). “Yaa memang seperti itu. Tapi memang ada yang penting suro itu, di Islam itu adanya 10 suro, hari asyura. Itu kalau ga salah hanya dirayakan oleh orang-orang Sufi.”(Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Berkaitan dengan peryataan Rustopo mengenai perayaan 1 Suro yang hanya „heboh‟ di Jawa, hal tersebut tidak lepas dari adanya pemahaman bahwa tahun baru Islam yang dimulai pada tanggal 1 Suro, bagi orang Jawa merupakan dimulainya kehidupan baru. Dimana saat itulah umat manusia dari lubuk hati commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terdalam manembah berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa pencipta alam semesta. Dengan melakukan pembersihan diri, introspeksi, bersyukur atas kehidupan yang didapat dari Tuhan (www.jagadkejawen.com, akses pada 20 Agustus 2013). 2.2 Latar Belakang Politik di Kirab Malam 1 Suro
Pengaruh Budaya Kolonialisme Belanda Seperti yang telah dibahas pada poin sebelumnya, bahwa Kasunanan
Surakarta berawal dari Kerajaan Mataram Kartasura. Sejak awal berdirinya telah ada keterlibatan pemerintah Belanda di dalam urusan politik dan ekonomi. Penetrasi kekuasaan kolonial terlihat dari berbagai perjanjian dengan penguasa kerajaan. (Depdikbud RI, 1999:129). Pengaruh Belanda, kemudian menjalar pada kebudayaan yang berkembang di Keraton Kasunanan Surakarta. “Penghayatan waktu dalam konsepsi islam dan jawa itu dipertemukan dalam waktu yang hening. Doa-doa. Kemunculan perayaan bersifat teater itu, atau teatrikal itu, kemungkinan dipengaruhi olah nalar kolonial. Kolonial itu selalu, sengaja memamerkan kekuatanya.” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Sejak zaman penjajahan Belanda, bangsa Indonesia mulai menerima banyak unsur budaya asing di dalam masyarakat, seperti mode pakaian, gaya hidup, makanan, dan iptek. Koentjaraningrat menyatakan bahwa penjajahan atau kolonialisme merupakan salah satu bentuk hubungan antar kebudayaan yang memberikan pengaruh kepada perkembangan budaya lokal. Proses saling memengaruhi budaya tersebut terjadi melalui proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan.
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Bahwa mereka itu memiliki otoritas untuk menguasai, itu ditirutiru. Oleh orang-orang pribumi atau penguasa tradisional. Pameran, karnaval, teater massa, itu sebagai mekanisme untuk menunjukan kekuasaan”. (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Meluasnya kolonialisme dan imperialisme Belanda di Indonesia membawa akibat terhadap perubahan dalam berbagai segi kehidupan, seperti, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Di bidang kebudayaan, makin meluasnya pengaruh kehidupan Barat dalam lingkungan kehidupan tradisional. Kehidupan Barat seperti cara bergaul, gaya hidup, cara berpakaian dan pendidikan mulai dikenal di kalangan atas atau istana. Sementara itu beberapa tradisi di lingkungan istana mulai luntur. Tradisi keagamaan rakyat pun mulai terancam pula. Di kalangan penguasa timbul kekhawatiran bahwa pengaruh kehidupan Barat mulai merusak nilai-nilai kehidupan tradisional. Bandung Mawardi menandaskan bahwa pengaruh nalar politik dari kolonial tercermin pada penggunaan kirab. Yang dimaksudkan untuk menarik perhatian dan membangkitkan loyalitas rakyat terhadap kerajaan dengan memanfaatkan kerbau sebagai daya tariknya. “Karena mereka menempatkan kerbau itu di atas festival budaya. Padahal itu, bisa kita anggap sebagai siasat politik para raja di Jawa, untuk menunjukan pamor kharismanya, dengan konsekuensi Membuat rakyat itu takluk, membuat rakyat terpesona, atau membuat penghormatan terhadap raja. Dan itu masih berlangsung sampai sekarang”. (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Sehingga munculnya pengaruh peninggalan Belanda dapat dilihat berbaur di peristiwa kebudayaan Jawa. Salah satunya pada berbagai upacara kirab yang dilakukan pihak Keraton. commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Ketika jaman belanda itu, londo-londo juga suka untuk melihat ini, jadi seperti melihat pertunjukan. Kan lain... jadi seperti saya melihat keraton sekarang, itu orang belanda dulu” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Saat ini kirab yang dilakukan Keraton, tak ubahnya sebuah pertunjukan yang menarik banyak orang untuk melihatnya secara dekat. Seperti yang diungkapkan oleh Rustopo diatas. Pengaruh Rezim Orde Baru Sisi menarik dari pemerintahan di Republik Indonesia ialah, bahwa meskipun proses modernisasi sedang berlangsung, konsep-konsep warisan nenek moyang tentang kekusaan masih berlangsung hingga saat ini. Hal-hal tersebut terjadi pula di Jakarta di lingkungan Presiden RI. Pada pemerintahan presiden RI pertama dan kedua, mereka adalah orang Jawa yang cenderung menghidupkan kembali ciri-ciri tertentu kekuasaan Jawa Tradisional (Lombard, 2005:68). Ciri yang menonjol dari peninggalan sejarah kerajaan masa lalu adalah penggunaan berbagai simbol dalam kehidupan. Diungkapkan oleh Bandung Mawardi berikut ini. “Masih meyakinkan bahwa kepemilikan simbol itu penting untuk gerakan nasionalisme. Bukan hanya untuk merawat memori kerajaan-kerajaan agraris di masa lalu atau kerajaan-kerajaan pedalaman” (Bandung Mawardi, Wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Pengaruh kepercayaan dan tradisi Jawa kental ditampilkan oleh mantan Presiden
Soeharto.
Bapak
Soeharto
adalah
pemimpin
dengan
filosofi
kepemimpinan bersumber dari tradisi Jawa. Dia adalah pengamal setia tradisi warisan leluhurnya. Salah satu ciricommit utamatofilosofi user Jawa yang benar-benar dihayati 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Soeharto adalah penghormatan terhadap harmoni dan keselarasan hubungan antara manusia dan alam semesta. Termasuk pemilihan kerbau bule dalam Kirab Malam 1 Suro. “Kalau Suharto memilih simbol, pilihannya, pasti berdasar Jawa, dan pasti dia akan membumbuinya dengan hal-hal yang mistis. Dari pohon beringin, padi dan kapas,kerbau, dan lain-lain. Maka kemunculan, ritual-ritual itu di jaman suharto, itu sebenarnya melanjutkan apa yang dulu dilakukan raja-raja jawa (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu). Dalam hal kepercayaan kejawen, Bapak Soeharto memiliki beberapa penasehat spiritual. Jenderal Sudjono Humardhani, banyak disebut selain menjadi asisten pribadi, beliau juga berperan sebagai penasihat spiritual. Tentang peran Soedjono Humardani sebagai penasihat spiritualnya, hal tersebut ditepis oleh Bapak Soeharto (news.detik.com, akses pada 20 Agustus 2013). Rustopo memaparkan bahwa ada sumber yang mengatakan bahwa Sudjono yang ada dibalik kirab malam 1 suro. “Sekitar tahun 76, ada yang mengatakan itu idenya Sudjono Humardhani. Yaa saya sih ga gitu percaya, tapi lebih ke PB 12. Ya intinya kan tadi keselamatan. Tapi kemudian jadi, karena rutin, nha ini yang ketika dirutinkan menjadi kaya apa yaa..pawai budaya” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Upacara-upacara kejawen yang dilakukan Soeharto bersifat magismetafisis-pragmatis. Artinya, semua ritual yang dijalankan Soeharto entah itu puasa senin-kamis, memelihara benda-benda pusaka, berziarah ke makam rajaraja Jawa, dan semedi di petilasan-petilasan, tidak lain hanya untuk mencari legitimasi spiritual bagi stabilitas kekuasaan yang dikendalikannya. commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.3 Terjadinya Fenomena Ngalap Berkah di Kirab Malam 1 Suro
Adanya Faktor Keyakinan dan Sugesti Ketika Kirab Malam 1 Suro berlangsung, kerumunan orang yang
mengukuti kirab dengan sungguh-sungguh biasa menyebutnya sebagai laku tirakat. Menurut Koentjaraningrat (1995:371), konsep tirakat didasari karena orang jawa pada umumnya dengan sengaja mencari kesukaran dan kesengsaraan untuk maksud-maksud keagamaan. Yang berakar dari pemikiran bahwa usahausaha semacam itu dapat membuat orang teguh imanya dan mampu mengatasi berbagai masalah kehidupan. “Itu merupakan sebuah sistem kepercayaan yang tidak bisa diubah dalam waktu yang singkat. Berarti kalau dalam bentuk kepercayaan pasti akan bersifat turun temurun. Dan kalau mau dipikir secara rasional memang tidak bisa, tapi kalau menjadi kepercayaan akan jadi sugesti, ya kan mba jadi sugesti, sugesti bila setelah iut kirab kyai slamet maka akan mendapat keberuntungan.” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Insiwi Febriari Setiasih, mengungkapkan tentang kekuatan tirakat yang melahirkan kekuatan sugesti bahwa yang melakukanya akan mendapatkan keberuntungan. “Seorang pedagang, itu dia ikut kirab kyai slamet, akan ada sugesti bahwa dia akan mendapatkan keberuntungan. Kemudian juga dia akan bersugesti untuk bekerja lebih keras. Naaa secara tida langsung, secara rasional yang mendatangkan keberuntungan adalah pekerjaanya tadi.” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Melalui tirakat yang dilakukan, mereka percaya bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama orang yang telah melakukan usaha semacam itu akan mendapatkan pahala (Koentjaraningrat, 1994:371). commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat Percaya Benda Keramat Berkekuatan Magis Kepercayaan terhadap sesuatu yang dipandang memiliki daya istimewa berkaitan dengan kosmologi jawa. Kosmologi jawa adalah konsep tentang kehidupan mistis manusia jawa yang dipadukan dengan kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan suprantural di luar dirinya baik kekuatan dari alam maupun Tuhan (Lombard 1996). “Masyarakat Jawa, harus ada sesuatu yang dikeramatkan, atau dihormati atau disegani.kalo sekarang di istana kasunanan, posisi kebo bule itu tetap menjadi benda yang keramat, meskipun dia sudah beranak pinak kalo ga salah ke-13 , sekarang keturunan ke 13 dari dulu yang pertama dibawa. Itu posisinya dia masih menjadi barang keramat di Keraton Kasunanan, yang memang dia harus keluar pada saat-saat tertentu, dan dia juga harus diperlakukan beda dengan hewan peliharaan yang lain” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Kosmologi Jawa dapat dimaknai sebagai konsep yang dimiliki manusia Jawa tentang kepercayaan, mitos, norma dan pandangan hidup yang di dalamnya terdapat keyakinan bahwa ada jagad alit (mikrokosmos) dan jagad gede (makrokosmos). Kedua jagad tersebut merupakan kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (jagad alitnya) dan dari luar dirinya atau lingkungan alam sekitarnya (jagad gedhenya) (Soelarto, 1993:36-38). “Ini (Kerbau Bule) dipercaya oleh masyarakat sekitar masih membawa berkah, karena dia adalah hewan keramat Keraton Kasunanan (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS). Yang terjadi di Surakarta, seperti yang dilakukan oleh nenek moyangmoyangnya para raja Mataram Islam terdahulu serta para Susuhunan Surakarta. pelestarian unsur-unsur kebudayaan daerah yang menonjol dalam kehidupan commit to user kerajaan adalah ungkapan alam pikiran dan tradisi kepercayaan lama (Soelarto, 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1993:36-38). Dalam hal ini diperkuat oleh cerita Insiwi Febriari Setiasih berikut ini; “Nenek saya juga masih mengalami,cerita beliau jalan dari boyolali sampai ke solo, ya jalan kaki, meskipun saat itu sudah ada angkutan, gitu,, angkutan ya bus yang sederhana, atau andong atau apa. Tapi khusus untuk malam satu suro Mbak, orang itu jalan, ada yang dari Klaten, dari Wonogiri, dari Sukoharjo jalan ke kebo bule, itu tirakat mbak.” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Ditambahkan oleh Insiwi, bahwa loyalitas terhadap keraton adalah hal yang memunculkan nilai-nilai magis yang diyakini masyarakat. “Nilai magisnya ada disitu, dari mulai rakyat jalan kaki, sampai ke memungut kotoran sampai pulang lagi jalan kaki.itu buat mereka adalah sebuah usaha, usaha untuk meningkatkan kehidupannya,nah itu hanya (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS). Serangkaian usaha yang dilakukan masyarakat tersebut, banyak yang mengartikanya sebagai laku tirakat. Tirakat merupakan bagian dari laku orang Jawa. Pola ajaran ini sering mewarnai perilaku kebatinan. Tentu saja kebatinan jawa sejalan dengan dunia kejawen (Endraswara, 2011:61). 3. Kebo Bule di Kirab Malam 1 Suro, Sebuah Tradisi Unik Yang Menarik 3.1
Kirab yang Melibatkan Kerbau Sebagai Barisan Terdepan Di lingkungan petani Jawa, menggembala kerbau adalah salah satu
rutinitas harian para petani, yang biasa dilakukan di padang rumput ataupun sawah. Di Keraton Kasunanan Surakarta secara simbolis, „angon kebo‟ atau menggembala kerbau dilakukan juga melalui kirab 1 suro. Dimana kerbau bule diletakan di barisan terdepan. commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Kebo bule itu sebagai apron (terdepan) artinya tontonan utama dari kirab satu suro itu adalah mengikuti jalannya kebo” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Sebagaimana saat menggembala kerbau, para petani biasanya berada di belakang kerbau, dan mengarahkan jalan. Dalam sebuah situs internet, diungkapkan bahwa secara ilmiah, salah satu Pengageng Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Winarno Kusumo dalam acara Pawiyatan Boso Jowo menjelaskan bahwa, “Angon Kebo bukan hal mistis bagi Keraton Surakarta, karena pada dasarnya tujuan dari Angon Kebo ini adalah sebagai upaya untuk mengenalkan lingkungan atau jalan-jalan yang akan dilalui oleh Kebo Bule pada saat acara kirab keraton, begitu tandasnya (http://wisata.kompasiana.com, akses pada 23 Agustus 2013). Dalam hal ini, Rustopo juga berpendapat; “Saya kira ya cari praktisnya lah, kalo ditengah ya susah. Tapi kan orang terus dilebih-lebihkan to, itu pasti minta di dpn sendiri. Ahh gombal , kalau menurut saya ya kebo itu sebaiknya di depan itu. Kalau di tengah susah urutanya gitu. Nah simbolnya itu, bukan pada kebonya tapi pada slametnya itu. Yaa karena keraton ada kebo kyai slamet itu lah. Tapi sejak awalnya, kebo kyai slamet itu bukan kebo pekerja. Memang... simbol.. simbol agraris (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Kekuatan simbol yang digunakan oleh keraton untuk membangkitkan ingatan terhadap kehidupan agraris yang makmur pada zaman dahulu. Slamet atau keselamatan dapat pula dicapai apabila ketahanan pangan dalam kondisi bagus. Dalam kehidupanya nyata, Kerbau bagi masyarakat agraris di pelosokpelosok kampung atau di bawah kaki-kaki gunung bukan sesuatu yang aneh, apalagi dibesar-besarkan, dan dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan aib. commit user membantu produksi pertanian Justru, kerbau adalah hewan yang palingto berjasa 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat karena hewan ini digunakan untuk membajak sawah, menarik gerobak untuk membawa padi dari sawah ke rumah, pasar, atau yang lainnya. Karena itu, kerbau begitu dihormati oleh masyarakat pedesaan. Kerbau menjadi simbol bahasa masyarakat agraris pedesaan. Simbol kehidupan masyarakat pedesaan yang sederhana. 3.2
Peristiwa Budaya Sebagai Daya Tarik Wisata Dalam konteks pariwisata, sebuah artikel di situs tentang pariwisata
www.traveljunkieindonesia.com, dimuat bahwa pernah diadakan pembahasan khusus tentang daya tarik wisata yang berbasis pada kekayaan mitos daerah di sebuah sarasehan budaya yang dilaksanakan di Halmahera, Maluku Utara. Mitosmitos Nusantara dijadikan sebagai pengembangan terpadu ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis keragaman budaya tanah air. Budaya Adat Nusantara memiliki nyawa dan layak dipopulerkan secara mendunia. Budaya adat Nusantara hilang, harga diri bangsa ikut hilang. Mitos didefinisikan tidak hanya melalui objek tetapi juga pada bagaimana pesan yang disampaikan (www. http://www.traveljunkieindonesia.com, akses pada 23 Agustus 2013). Terkait keberadaan kirab 1 suro, Insiwi berpendapat selaras dengan ulasan diatas;
“Kirab kebo bule, kirab satu suro ini, di sisi lain, bisa menjadi daya tarik pariwisata, bagi istana kasunanan, yaa jadi ia selain memperingati hari sakral, tapi dia bisa menarik wisatawan datang ke kasunanan, menunjukkan eksistensinya, hanya tempat ini yang memiliki aset kebo bule” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Pembangunan pariwisata berbasis budaya sudah saatnya dikembangkan sebagai gerakan penyadaran bagi pemangku commit to userkepentingan pariwisata sehingga 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mereka kembali ke basis awal bahwa pembangunan pariwisata tidak boleh melupakan akar budaya masyarakat (www.antaranews.com, akses pada 23 Agustus 2013). “Budaya dan sejarah yang memang harus dipertahankan, berkaitan dengan sejarah berdirinya keraton kasunanan surakarta, beraitan dengan struktur masyarakat jawa, yang masih dan memang mereka menginginkan masih ada patron masih ada ee pusaka untuk mereka mintai berkah” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Sejalan dengan dinamika ruang pariwisata (topos) yang bergerak makin mengglobal dan pergerakan waktu (kronos) membawa transformasi. Maka mindset alam pikiran (logos) manusia ikut berubah. Logika baru sebagai manifes budaya wisata berkembang sejalan dengan wisata budaya (Picard,1995 dalam Kuhn, 2013:37). Berbagai kepentingan dapat dilakukan melalui sebuah peristiwa budaya, terlepas dari baik atau buruknya efek yang didapat. Kemasan bahasa dan media promosi digunakan untuk mendukung kepentingan pariwisata. “Oleh pemerintah pembahasaan kraton yang mencari eksistensi ditambahi sebagai peristiwa kebudayaan. Lalu mereka memasukkanya ke dalam kalender kota. Mereka juga membumbui, ada pesan-pesan pariwisataisme dibalik kirab malam 1 suro. Eee ada penambahan lagi, disana ada nalar ekonomi. Konon dalam perayaan itulah, bertemu berbagai orang dengan berbagai profesi, kepentingan, yang mengerucut pada persoalan ekonomi.” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Pada kenyataanya pariwisata budaya memang tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Namun, pariwisata budaya penting untuk keberlanjutan jangka panjang (Sukawati, dalam Kuhn, 2013:79). Pentingnya menjaga konsistensi budaya diperlukan pula dalam kirab malam 1 suro agar tidak meluntur esensinya.
commit to user 120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Iyaaa... terus jadinya meluntur seperti itu. Yaa karena situasi rakyat seperti ini, kalau kemudian ada doa baik juga. Tapi menurut pandangan secara umum itu jadi kalender budaya” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Kekhawatiran dirasa oleh Rustopo, karena menurut beliau kehidmatan esensi doa-doa di kirab malam 1 suro meluntur, dan hanya lebih cenderung sebuah pelaksanaan event di kalender budaya. D. Miskomunikasi di Balik Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Dalam poin ini, dibahas tentang beberapa temuan menarik dari keseluruhan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan komunikator masyarakat keraton, serta komunikan masyarakat awam dan masyarakat ahli. Berdasarkan data-data yang telah diolah tentang persepsi mereka terhadap keberadaan Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro, terdapat kegagalan penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan, sehingga menyebabkan miskomunikasi sehingga muncul beberapa perbedaan-perbedaan interpretasi yang menyebabkan fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro dan dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan interpretasi yang telah berlangsung lama, tanpa adanya upaya untuk meluruskan menyebabkan „salah kaprah‟ semakin mengakar di masyarakat hingga fenomena ngalap berkah terus berlangsung hingga saat ini. Poin-poin persepsi yang menonjol akibat adanya miskomunikasi antara lain:
commit to user 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Miskomunikasi Menurut Masyarakat Keraton Sebagai Komunikator dalam Kirab Kebo Bule di Malam 1 Suro 1.1 Kebo Bule Pisungsung Bupati Ponorogo Oleh para Masyarakat Keraton, disebutkan bahwa adanya kebiasaan memelihara binatang sudah ada dari zaman ke zaman. Pada saat Keraton Kartasura mengalami kerusuhan, PB II sempat mengamankan diri di Ponorogo. Sebagai tanda hormat, adipati Ponorogo di masa itu memberikan hadiah salah satunya kerbau yang berwarna putih. “Kebo ini ceritanya pada masa Kartasura, PB 2 atau berapa itu, dua kayanya, itu ada pisungsung kerbau dari Adipati Ponorogo yang memisungsungkan kerbau, lha ini kebo ini tidak jelas darimana” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Pendapat tersebut tidak dapat ditangkap oleh masyarakat awam, namun didukung oleh Insiwi dari kategori masyarakat ahli. “Dia (PB II) ditampung oleh bupati Ponorogo, karena yang ditampung itu raja maka ia memberi pisungsung atau hadiah berupa hewan (kerbau albino)” (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS). 1.2
Penggunaan Kerbau dalam Upacara adalah Pengaruh Kerajaan Sebelumnya Menurut komunikator dan komunikan masyarakat ahli, pewarisan tradisi
dari satu kerajaan yang lebih tua ke kerajaan setelahnya menjadi salah satu faktor yang mendorong mengapa kerbau juga masih ada dalam upacara hingga saat ini. commit to user 122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kerbau sudah digunakan sejak jaman Hindu sebagai kelengkapan ritual Mahesa Lawung. “Mahesa lawung itu kerbau yang belum megawe. Jadi kerbau itu disaat waktu tertentu itu mesti dipergunakan. Misalnya untuk membajak, menarik pedati, dulu sebelumnya itu, karena lembu atau sapi itu tidak dipergunakan, karena itu memahami filosofi ajaran Hindu. Karena itu kendaraannya Bethara Guru lalu menggunakan mahesa itu”. (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo) Ritual-ritual Hindu kemudian berasimilasi dalam perkembangan kerajaan Islam. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pecahan dari kerajaan Mataram Islam, dalam beberapa tradisi memiliki pengaruh kerajaan Hindu, salah satunya yang masih bertahan adalah Mahesa Lawung. Pengaruh pewarisan terbesar dari kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam tertua di Pulau Jawa. “...korban (kerbau dalam upacara Mahesa Lawung) ini dilakukan di Demak, ketika Demak sedang bencana alam, dan itu dilakukan sehingga bencana berhenti, jadi permohonan kepada Tuhan itu dianggapnya terkabul” (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasono Pustoko Keraton Kasunanan Surakarta). Upacara Mahesa Lawung, masih ada hingga saat ini, namun tradisi tersebut tidak lebih dikenal masyarakat seperti Kirab Malam 1 Suro. 1.3
Kebo Bule Kyai Slamet Melambangkan Keselamatan Masyarakat
jawa
identik
dengan
simbol-simbol
sebagai
sarana
permohonan atau doa kepada Tuhan YME. Kerbau bule banyak yang mengenalnya sebagai Kebo Bule Kyai Slamet, yang artinya pembawa keselamatan. commit to user 123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Good fortune, nah good fortune ki opo yo? istilahnya yang menjadikan lebih baik kuwi opo? orang itu yo slamet sik...sing penting slamet, keselamatan itu yang diinginkan. Yang dijadikan harapan dijadikan suatu ketentuan bahwa motivasi lah basane itu. Itu yang jadi paling awal. Kemudian berkembang pemahaman pemahaman lainnya itu kaitannya dengan lingkungan kondisi sekarang ini. Tapi intinya itu bahwa harapannya adalah slametnya itu. Simbolnya adalah kerbau.” (Dipokusumo, wawancara pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo). Oleh para masyarakat keraton dan masyarakat ahli, disebut dengan jelas bahwa kerbau dimaknai sebagai simbol keselamatan, namun pembahasaan sebagai simbol keselamatan ini disebut oleh para masyarakat awam sebagai penolak balak. Secara konsep sebagai penolak segala macam bencana agar selamat namun pesan tersebut tidak sampai pada pemahaman di kalangan masyarakat awam. Tolak bala di lakukan dengan cara mereka sendiri, yang tidak masuk akal. 1.4 Persepsi tentang Keberlangsungan Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Munculnya fenomena ngalap berkah terhadap Kebo Bule Kyai Slamet merupakan hal yang murni terjadi karena interpretasi berlebihan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat keraton menanggapi fenomena yang terjadi puluhan tahun sebagai hal yang wajar karena didasari keterbatasan pemahaman berdasarkan interpretasi individu, diluar pesan yang dikomunikasikan oleh keraton. Seperti yang diungkapkan Dipokusumo; “Bahwa masyarakat itu, mendapatkan sesuatu nilai, diluar pengertian pemahaman yang dia terima. Seperti sekarang, orang semakin pandai pemikirannya, tapi dengan pemahaman yang mereka terima, untuk memahami suatu kehidupan, tidak secerdas manusia yang menggunakan kecerdasan spiritualnya”. (Dipokusumo, wawancara commit to user pada 8 September 2012, di Lojen Sasono Mulyo) 124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Disisi lain Puger menambahkan bahwa segala hal yang berkembang di luar anjuran keraton dan berkaitan dengan timbal balik secara kognitif dari masyarakat awam adalah diluar jangkauan keraton. Kepercayaan adalah hak individu yang didasari naluri. “Nah fenomena ngalap berkah tadi saya anggap ini suatu naluri, turun temurun yang tidak bisa disetir.kalau nalurinya orang awan disetir maka ia akan berubah. Bahaya kan itu, nah nalurinya orangawam begitu yasudah, tinggal tuntun menuntun gitu”. (Puger, wawancara pada 25 Juli 2012, di Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta). Diperjelas oleh Yanti, adanya pembuktian dari satu komunikan yang sukses setelah ngalap berkah, kemudian menyebar dari mulut ke mulut sehingga mereka akan berulang-ulang melakukan hal yang sama. “Oo ho‟o...soalnya begini percaya ga percaya ya itu pasti sudah membuktikan (permohonannya tercapai)” (Yanti Utomo Gunadi, wawancara pada 8 September 2012, di Kandang Kebo Bule) Adanya fenomena ngalap berkah Kebo Bule Kyai Slamet, sebaiknya ditanggapi dengan toleransi. Dibutuhkan rasa saling menghormati walaupun berbeda pandangan tentang perilaku masyarakat. Dalam hal ini, Wiharni berharap agar khalayak yang terlibat dalam fenomena tersebut mendapat berkah Tuhan.
“Ya semoga Tuhan memberi barokahnya, lantaran itu, ntar kalo ada musrik itu oraa ora..saya malah gini, lha kok begitu to berkata kan jangan suka menjelek-jelekan , jangan suka menjelek-jelekan apa yang dipercaya orang lain. Kan dia nggak ganggu kamu, kamu jangan ganggu itu”. (Wiharni, wawancara pada 11 Juli 2012, di Baluwarti) Pendapat Wiharni dikuatkan oleh Budoyoningrat, dan ditambahkan pula bahwa selama masih ada khalayak yang percaya, maka fenomena akan tetap ada sebagai bentuk apresiasi dan faktor pelestari tradisi kebudayaan. commit to user 125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Selama masih ada yang mempercayai bahwa suatu tradisi itu sendiri, selama ada yang mempercayai maka tradisi itu tidak akan hilang ,itu saja, ora reno-reno” (Budoyoningrat, wawancara pada 12 Juli 2012, di Museum Radya Pustaka). 2. Miskomunikasi Menurut Masyarakat Awam sebagai Komunikan dalam Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro 2.1 Kerbau Bule Adalah Jelmaan Manusia Persepsi-persepsi yang bernuansa magis ini terdapat pada kategori masyarakat awam. mereka tidak mengetahui sejarah Kebo Bule Kyai Slamet. Disebutkan bahwa asal mula keberadaan kerbau bule, karena ada seorang kakek bernama Kyai Slamet yang menjelma menjadi kerbau. Nampak seperti cerita dongeng, namun inilah salah satu versi asal mula Kebo Bule Kyai Slamet yang berkembang di masyarakat awam. “Nggih bedo, nek Kyai Slamet niku jelmaan manusia kok.. nek kebo biasa kan ndak ada apa-apanya.” (Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta).
2.2
Kerbau Bule Memiliki Kekuatan Magis Untuk Mendatangkan Keberuntungan, Berkah, Kesembuhan, Hingga Karma Bagi yang Mencelakai. Bagi sebagian masyarakat awam yang mempercayai bahwa kerbau bule
memiliki kekuatan magis, mereka memiliki kepercayaan yang berlebih terhadap kebo bule kyai slamet. Mereka menyebut bahwa apabila berbuat baik seperti memberi makan kerbau bule, maka akan menerima keberuntungan. Apabila mencelakai akan menerima malapetaka. commit to user 126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Percaya (terhadap kekuatan magis kebo bule)... sebagai masyarakat Solo.... kan agama dengan budaya jalannya ada , ada sendirisendiri...” (Suroso, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Tradisi ngalap berkah, muncul dan berkembang dikalangan masyarakat awam penghayat kepercayaan, bukan atas anjuran pihak keraton. Mereka yang percaya kekuatan kebo bule meyakini bahwa segala sesuatu yang berasal dari kerbau tersebut dapat berkhasiat. Maka upaya yang dilakukan mereka yang percaya antara lain: berebut telethong (kotoran) untuk mencari berkah, Berebut kalung bunga Si Kebo Bule, berebut sisa makanan-minuman untuk kesembuhan, dan berebut segala sisa kelengkapan upacara malam 1 suro (janur, dupa) yang dianggap perantara berkah pula. 2.3 Persepsi tentang Keberlangsungan Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Motif masyarakat awam terlibat dalam fenomena ngalap berkah Kebo Bule Kyai Slamet baik di kehidupan sehari-hari dan pada Kirab Malam 1 Suro pada khususnya adalah perwujudan feedback atas kepercayaan terhadap semua hal yang berasal dari Keraton. Komentar ringan, singkat dan padat cukup melukiskan interpretasi mereka tentang fenomena Kebo Bule. “Yaa (pandangan saya) positif....Yaa kalau yang percaya kan membawa berkah”.(Sunardi, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Mereka tidak menelaah lebih dalam pesan-pesan simbolis yang disampaikan keraton, melainkan hanya dari permukaan saja dan seluruhnya bermuara kepada Tuhan YME. commit to user 127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Lha nggih wonten sing percoyo wonten sing mboten. Kulo nggih ming mendel mawon pun. Nggih pokoke sampun lillahita‟alla ngoten,,nggih namung nguri-uri (budaya) pun percaya ga percaya nggih Lillahita‟ala”. (Surepi, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Menurut penulis, esensi dari Kirab Malam 1 Suro yang berhasil ditangkap masyarakat awam adalah permohonan kepada Tuhan. Sehingga faktor kepercayaan pada fenomena tersebut berhasil memberi pesan akan pentingnya keyakinan terwujudnya harapan bagi masyarakat awam. “Iya.. yang penting yakin, dapat kalo ga yakin ya percuma”(Wartiyem, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Kekuatan sugesti dirasa mampu memberi energi kepada mereka yang percaya, sehingga memunculkan kepercayaan diri saat berusaha mencapai hal yang diinginkan. Secara tidak langsung mempengaruhi semangat juang dan senantiasa ingat bersyukur kepada alam semesta. Seperti yang dirasakan oleh Kusnadi; “Lha itu sudah saya bilang kan sugesti, jadi yaa.. kepercayaan masingmasing...(Kusnadi, wawancara pada 4 November 2012, di Halaman Keraton Kasunanan Surakarta) Dari adanya sugesti yang kuat, maka mereka akan merasakan ketentraman hidup serta permohonanya dapat tercapai dengan sarana ngalap berkah di kirab malam 1 suro.
commit to user 128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Miskomunikasi Menurut Masyarakat Ahli sebagai Komunikan dalam Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro 3.1 Penggunaan Kerbau dalam Upacara karena Pengaruh Budaya Agraris Keraton Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan agraris yang ditopang oleh pertanian. Tampak dari wilayahnya yang jauh dari laut, berada di dekat sungai dan tanah yang subur. Ditandai dengan banyaknya sawah yang ada di Surakarta dan sekitarnya. Pada sistem pertanian tradisional kerbau berperan sangat penting dalam mengolah sawah. Diungkapkan senada oleh masyarakat keraton yang diperkuat pula dengan persepsi Rustopo mewakili komunikan masyarakat ahli. “Nah Keraton itu dapat hidup karena pertanian. Nah salah satu faktor terpentingnya adalah kerbau, lha kerbau juga sama seperti petani di desa itu, dihormati hihihii,,,, tapi kadang-kadang keraton itu cara menghormatinya lebih dari para petani.” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta).
3.2
Bagi Masyarakat Ahli Kirab Malam 1 Suro Adalah Sarana Legitimasi Keraton dan Daya Tarik Pariwisata Disebutkan oleh para masyarakat ahli, bahwa salah satu esensi dari
dilaksanakannya kirab malam satu suro pada awal kemunculannya karena ada kepentingan politik dan kebutuhan legitimasi keraton untuk tetap eksis di tengah masyarakat, karena sudah tidak memiliki kekuasaan politik setelah bergabung dengan NKRI. Pertama kali kirab malam 1 Suro diadakan, Indonesia berada pada commit to user 129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rezim orde baru. Bapak Suharto sebagai presiden saat itu merupakan keturunan Jawa dan membawa unsur-unsur kejawaanya dalam menjalankan pemerintahan. “Sekitar tahun 76, ada yang mengatakan itu idenya Sudjono Humardhani. Yaa saya sih ga gitu percaya, tapi lebih ke PB 12. Ya intinya kan tadi keselamatan. Tapi kemudian jadi, karena rutin, nha ini yang ketika dirutinkan menjadi kaya apa yaa..pawai budaya” (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta) Disebutkan oleh para masyarakat keraton dan masyarakat ahli, bahwa Suharto meminta secara khusus kepada PB XII, untuk menggelar peringatan 1 suro melalui Soedjono Humardani. Dengan harapan untuk keselamatan bangsa dan negara. Setelah tumbangnya rezim orde baru, saat ini kirab selalu diusahakan untuk tetap dilaksanakan. Kirab sebagai komoditas pariwisata tampak nyata masuk dalam kalender event pemkot. Sebagai agenda tahunan yang hanya ada di Solo, keberadaan Kirab Malam 1 Suro di dalam kalender event kota Solo, sangatlah menarik perhatian orang. Sebuah kirab yang dilakukan tengah malam, dengan rute panjang, berjalan kaki, dan melibatkan kerbau bule. “Oleh pemerintah pembahasaan kraton yang mencari eksistensi ditambahi sebagai peristiwa kebudayaan. Lalu mereka memasukkanya ke dalam kalender kota. Mereka juga membumbui, ada pesan-pesan pariwisataisme dibalik kirab malam 1 suro. Eee ada penambahan lagi, disana ada nalar ekonomi. Konon dalam perayaan itulah, bertemu berbagai orang dengan berbagai profesi, kepentingan, yang mengerucut pada persoalan ekonomi.” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Dari segi ekonomi menguntungkan berbagai sektor usaha seperti hotel, agen perjalanan wisata, penjaja kuliner, taksi, ojeg, becak. Karena mampu mendatangkan banyak orang untuk menyaksikan peristiwa ini dengan berbagai commit to user tujuan yang melatar belakanginya. 130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.3 Persepsi terhadap Keberlangsungan Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Bagi komunikan kategori masyarakat ahli, mereka menangkap fenomena Kebo Bule lahir karena feedback dari peristiwa budaya. Fenomena tersebut secara tidak langsung memberi manfaat kepada keraton untuk terus menampilkan eksistensinya demi menjaga loyalitas masyarakatnya. Berikut persepsi Insiwi menanggapi fenomena tersebut; “Saya kembali lagi melihat hal tersebut sebagai fenomena budaya,.yang memang harus tetap ada, untuk eksistensi dari keraton kasunanan itu sendiri, eksistensi dari pusaka-pusaka keraton tersebut,menjaga epercayaan masyarakat sekitar, ee dan lebih sebagai entitas kebudayaan di surakarta dan sekitarnya”. (Insiwi Febriari Setiasih, wawancara pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS) Loyalitas masyarakat terhadap keraton didukung adanya keyakinan bahwa keraton merupakan hasil tindakan dari raja yang dilandasi oleh pemikiran yang runtut. Selain itu, Keraton Kasunanan merupakan tempat tinggal para raja dan kerabatnya serta pusat pemerintahan (pada zaman sebelum kemerdekaan) yang memiliki simbol-simbol (Partana, 2011:291).
Suasana tradisional di zaman
kerajaan, menjadi penyejuk bagi khalayak ditengah kejenuhan pada situasi saat ini, seperti yang diungkapkan oleh Bandung; “Mereka (masyarakat awam) memerlukan hal yang sifatnya primordial. Mengembalikan hal-hal yang bersifat tradisional. Bersifat lampau. Hal itu tidak membuat mereka jadi minder, itu sebenarnya untuk melengkapi hidup aja. Membesarkan rasa spiritualitas mereka, menambal dari kerinduan kultural mereka” (Bandung Mawardi, wawancara pada 23 Juli 2013, di Colomadu) Menurut Ramayulis (2002:211) tujuan dari mistisisme adalah memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa commit to userdengan persepsi Rustopo dalam seseorang berada di hadirat Tuhan. Senada 131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menanggapi fenomena Kebo Bule sebagai ekspresi loyalitas terhadap sosok raja, sehingga mudah menerjemahkan simbol-simbol yang dilontarkan kerajaan sebagai sesuatu yang berdaya magis; “Yaa mungkin karena lingkungan para kawula seperti itu, abdi dalemabdi dalem itu kan patuhnya seperti itu, terlalu, menduakan tuhan, karena dulu kan settingnya mindsetnya kan kalifatullah raja itu, sebetulnya kan dari hindu itu, konsep dewa raja itu. Jadi makro dan mikrocosmos. Yaa itu kembali pada masyarakat. Jadi mindsetnya masih berfikir begitu. Jadi dalam segala hal.. aaaaa jadi misalnya bukan hanya kerbau kan dukun... karena pikiranya seperti itu. Itu kan nular”. (Rustopo, wawancara pada 31 Juli 2012, di Kampus ISI Surakarta).
commit to user 132