BAHASA DAN BUDAYA JAWA DALAM EKSPRESI “KEBO BULE” DI SURAKARTA: KAJIAN ETNOLINGUISTIK Wakit Abdullah
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret e-mail:
[email protected]
Titis Srimuda Pitana
Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
Abstrak: Fenomena “Kebo Bule” sebagai aktualitas bahasa dan budaya Jawa di Surakarta dapat dikritisi dari perspektif etnolinguistik. Adapun secara deskriptif kualitatif ekspresi bahasa dan budaya Jawa “Kebo Bule” dari perspektif etnolinguistik dapat diidentifikasi dari latar belakang adanya “Kebo Bule” di Surakarta, pengaruh “Kebo Bule” itu terhadap Kraton Surakarta dan makna “Kebo Bule” sebagai salah satu “ikon kesaktian” Kraton Surakarta. Etnolinguistik sebagai konsep teoretis merupakan bagian dari cabang linguistik yang berupaya untuk mengupas pemahaman bahasa dalam konteks yang lebih luas agar bisa mengemukakan pemahaman budaya masyarakat. Secara metodologis pemahaman hubungan antara ekspresi bahasa dan budaya “Kebo Bule” tersebut dapat dikupas menggunakan etnometodologis untuk etnolinguistik dengan memanfaatkan etnosains (pengetahuan khas yang dimiliki oleh etnis, suku bangsa, masyarakat) untuk menemukan tema-tema budaya masyarakat terkait pola pikir, pandangan hidup dan pandangan terhadap dunianya. Data penelitian berupa data lisan dan tertulis, sumber data lisan dari informan dan data tulis dari pustaka. Validitas data dengan triangulasi, dan analisis data menggunakan etnosains (terutama analisis taksonomi, domain dan komponensial). Hasil penelitian ini meliputi (1) ekspresi verbal nama “Kebo Bule” yang teruraikan dalam nama “Kebo Bule” kerbau yang berkulit putih kemerahan merujuk pada “bule’ ‘Belanda’, “Kebo Slamet” kerbau yang dianggap menjadi bagian sarana tolak balak marabahaya yang mengancam kraton, “Kyai Slamet” awalnya nama “pemelihara” kerbau lambat-laun menjadi nama kerbau “piaraannya”. Ekspresi verbal itu memiliki makna kultural tersendiri bagi kraton dalam ritual malam 1 Sura, (2) ekpsresi praktikal tentang pengaruh “Kebo Bule” terikat oleh makna kultural, makna konotatif, makna historis (politis), dan makna praktikal, dan (3) bukti spiritual terkait pengaruh kesaktian “kebo bule” terhadap Kraton Surakarta hanya bersifat legitimatif. Adapun makna “kebo bule” sebagai salah satu “ikon kesaktian” Kraton Surakarta dari perspektif etnolingusitik dapat diidentifikasi dari makna kultural, makna konotatif, makna historis (politis) dan makna praktikal. Kata kunci: “Kebo Bule”, Bulan Sura, Surakarta, Enolinguistik PENDAHULUAN
Eksistensi “Kebo Bule” sejak lama telah menjadi persoalan fenomenal dalam tradisi bahasa dan budaya Jawa, khususnya di Surakarta. Kefenomenalannya itu dapat diidentifikasi dari ekspresi verbal dan nonverbal. Secara verbal ekspresi “Kebo 14
Bule” diidentifikasi dari kebahasaan, sedangkan secara nonverbal diidentifikasi dari aspek historis, kultural, spiritual, praktikal dan politis. Secara verbal “Kebo Bule” disebut “Kebo Slamet” dan “Kyai Slamet” dan secara nonverbal “Kebo Bule” dapat diidentifikasi dari aspek historis,
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 14-26
kultural, spiritual, praktikal mengkritik perilaku) dan politis.
(untuk
Secara historis, sampai saat ini informasi tentang “Kebo Bule” dapat dikatakan masih kurang jelas, karena tidak ada bukti yang memadai. Informasi di seputar “Kebo Bule” lebih bersifat cerita lisan tanpa bukti yang memperkuat sosok “Kebo Bule” sebagai “Kebo Sakti”, “Kebo Pusaka”, “Kebo Berkah”, bahkan sebaliknya ditombak orang jahil kerbau itu juga mati. sumber pustaka yang ada keterangannya masih simpang siur, sehingga kurang meyakinkan adanya. Akhirnya masyarakat hanyamengikuti tradisi tanpa sikap kritis untuk kehidupan yang lebih bermakna. Beberapa sumber terkait tentang “Kebo Bule” berasal dari dari informan (folklor),media masa (buku, majalah, koran, internet) dan serat babad: Babad Sala (Raden Mas Said). Serat babad sebagai sumber tertulis berbicara “sejarah”, tetapi subjektivitas penulis mempengaruhi isinya. Hal itu dilatarbelakangi oleh motivasi, waktu penulisan, wawasan dan target penulisan. Adapun sumber lisan yang berasal dari informan terkait sosok “Kebo Bule”, validitas data dilakukan secara triangulasi, agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Secara fisik “Kebo Bule” memiliki warna kulit yang berbeda dengan kerbau yang lain (putih kemerah-merahan). Menurut orang Jawa warna kulit itu dianalogikan dengan warna kulit orang Eropa, wong bule ‘orang bule’ yang telah mengenal Landa ‘Belanda’ (dijajah kurang lebih 3,5 abad). Perbedaan warna kulit kerbau seperti itu dalam kehidupan tradisi Jawa menimbulkan persepsi yang berbeda, lalu dikait-kaitkan dengan hal-hal yang
tidak biasa pula. Dalam tradisi agraris, khususnya di Jawa kerbau dipahami sebagai “raja kaya”, yaitu binatang yang membantu mencari hasil (nafkah, kaya ‘hasil’). Kerbau berwarna kulit yang berbeda dipahami lain, baik bersifat fisik maupun metafisik dalam menyelesaikan berbagai masalah. Misalnya gangguan gaib, pageblug ‘menderita sakit bersamaan dan dipahami aneh tidak seperti biasanya, kutukkan dewa’. Akibatnya menjadi aneh-aneh pula persepsinya terhadap “Kebo Bule” dan peruntukannya dalam kehidupan lahir batin, terkait kosmomistis dan kosmo-magis. Dalam hal ini keberadaan “Kebo Bule” masih menjadi salah satu bagian yang penting dalam kehidupan adat di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, terutama ketika pelaksanaan upacara adat malam 1 Sura (Diunduh dari www//: kerajaannusantara. com, 1 Nopember 2014).
Secara spiritual “Kebo Bule” ada yang mempersepsikan sebagai “sosok panuntun” (dapat diambil dari jarwa dhosok ‘kata diutak-atik supaya sesuai kehendak’ kata maesa ‘kebau’ dengan mahaesa) pada saat kirab malam 1 Sura. Sebagai “panuntun” “Kebo Bule” dipahami memiliki fisik yang kuat, besar, warna kulit putih kemerah-merahan, “sabar”, bukan sembarang kerbau, sering berperilaku aneh. Keanehan itu misalnya dikatakan bahwa ketika dibiarkan liar “Kebo Bule” tidak merusak tanaman, tidak memakan sayuran di pasar. Secara politis, “Kebo Bule” yang dikaitkan dengan datangnya malam 1 Sura (budaya hindu, Çaka, Samsiyah), lalu ketika zaman Sultan Agung berkuasa, penanggalan Jawa diseting menjadi tahun baru Hijriyah (Islam, Qomariyah). Akibat dari perubahan penanggalan itu, dalam perkembangan berikutnya antara lain 15
Bahasa dan Budaya Jawa dalam... (Wakit Abdullah) menimbulkan “perselisihan” paham antara yang memahami “Kebo Bule” dari spiritual kejawen sebagai “berkah” maupun “Kebo Bule” dari spiritual syariah sebagai “musibah” (syirik). Oleh karena itu, “Kebo Bule” harus dipahami secara politis dan spiritual menurut siapa di mana dan kapan. Secara kultural, sejak awal eksistenasi budaya Jawa memang bersifat kompleks dan rumit. Secara politis (daripada bertengkar) dan kultural (mencipta budaya campuran) dalam makna “Kebo Bule” itu, sehingga mengilustrasikan bahwa leluhur Jawa memberikan kesempatan budaya lain untuk memasuki dan kemudian “ditelan” pelan-pelan dalam bentuk akulturasi. Akibatnya melahirkan persepsi yang berbeda terkait “Kebo Bule”, terutama di Kraton Surakarta. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah “Kebo Bule” dikaji secara kritis dalam tulisan ini. Kajian kritis tersebut difokuskan pada (1) apakah latar belakang adanya “Kebo Bule” di Surakarta? (2) bagaimanakah pengaruh “Kebo Bule” itu terhadap Kraton Surakarta? dan (3) mengapa “Kebo Bule” memiliki makna sebagai salah satu “ikon kesaktian” Kraton Surakarta?
Makna menurut Kridalaksana (1193: 96) maksud pembicara; pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia. Adapun makna kultural (culturalmeaning) menurut Subroto (2011: 34) yaitu makna yang dimiliki oleh bahasa dalam hubungannya dengan konteks budaya masyarakat. Sejalan dengan itu Mahsun (2005:81) menyebutkan banyak cara untuk menguak perilaku kultural masyarakat, salah satunya melaluibahasa yang digunakan. 16
Menurut Dove (l985:xv) bahwa peranan kebudayaan tradisional terkait erat dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar. Koentjaraningrat (l990:l83-l84&224) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan kompleks ide, gagasan, norma, nilai, peraturan, kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan benda-benda hasil karya manusia. Secara praktis tradisi berbahasa dalam masyarakat didasarkan pada pandangan hidup, pribadi dan lingkungan atau masyarakatnya Konetjaraningrat (1984:45). Pandangan hidup orang Jawa menganggap bahwa alam sekitar mempunyai kekuatan dan berpengaruh terhadap kehidupan material maupun spiritual masyarakatnya (1984:43). Boas (dalam Ihromi, 1999:37) menyatakan bahwa ciri-ciri budaya haruslah dipelajari dalam konteks masyarakat di mana ciriciri itu timbul. Dalam hal ini secara etnolinguistis untuk mengupas hubungan bahasa Jawa dengan budaya (perilaku orang Jawa) terkait “Kebo Bule” di Surakarta.
Pola pikir Ahimsa (1997:38; Fernandez, 2009:26; Wakit, 2013:43) adalah pengetahuan suatu masyarakat (kognisi) yang isinya antara lain klasifikasiklasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa. Bahasa dapat merekam keadaan lingkungan ekologis di sekitarnya. Karena itu, bahasa menyimpan berbagai nama atau istilah yang menunjukkan benda (nomina) atau kerja (verba) atau sifat (adjektif) yang ada disekitar kehidupan manusia. Sebagai ilustrasi, orang Jawa mengenal “Kebo Bule” dengan segala
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 14-26
eksistensinya terkait Kraton Surakarta. Hal itu seperti terangkum dalam sosok kerbau yang identitasnya binatang piaraan setelah ada yang berwarna kulit “bule” dipersepsikan memiliki kekuatan gaib dan berbagai persepsi yang lain sebagai kerbau yang bukan seperti biasanya.
Adapun etnolinguistik menurut Foley (1997:3-4) yaitu cabang linguistik yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial. Dalam hal ini, etnolinguistik memanfaatkan etnosains (ethnoscience atau the new ethnography atau cognitive anthropology) (1997:128). Secara metodologis dipandang cukup memadai untuk mengungkap aspek pengetahuan manusia yang membimbing perilakunya sehari-hari. Penekanan etnosains pada sistem atau perangkat pengetahuan yang merupakan pengetahuan khas dari suatu masyarakat yang menunjukkan kelompok tersebut bertahan hidup dalam suatu relung ekologis tertentu. Secara definitif etnosains memiliki pengertian pengetahuan yang dimiliki suatu bangsa lebih tepat lagi suku bangsa atau kelompok sosial tertentu (Ahimsa, 2003:25). Berkaitan dengan entnosains itu pengetahuan tentang bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan suatu masyarakat. Melalui bahasa berbagai pengetahuan baik yang tersembunyi (tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap oleh peneliti (Ahimsa, 1985:76).
Adapun penulis terdahulu yang telah membahas “Kebo Bule” yaitu Andrik Purwasito (2008) tentang “Kebo Bule in Kraton Surakarta: Kebo Bule
itu Sang Penuntun” yang menjelaskan mengenai aspek kultural, didaktik, spiritual dan praktis “Kebo Bule” bagi kraton dan masyarakat umum, namun belum menyinggung secara eksplisit dari perspektif etnolinguistik; Toto (2009) tentang “Kebo Bule” menyebutkan bahwa “Kebo Bule” memiliki fungsi simbolis, praktis, kultural, dan spiritual (Toto,Princecorp Indonesia, 2014); Yosodipura, 1981: 4) tentang “Leluhur kerbau yang berwarna kulit khas, sampai sekarang pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka “Kyai Slamet”, (ada atau tidak belum jelas informasinya); Raden Mas Said (1757) dalam Babad Sala mengisahkan “Kebo Bule merupakan binatang klangenan ‘kesenangan’ Sunan Pakubuwana II di Kraton Kartasura sampai Kraton Surakarta” menjelaskan bahwa “Kebo Bule” berasal dari Bupati Ponorogo, badan tegap, gagah dan warna kulit yang unik; “Kesaktian” sosok “Kebo Slamet” (Kebo Bule) Kraton Surakarta akan diperlihatkan di muka umum, khususnya menjelang malam 1 Sura di lingkungan Kraton Surakarta. Sosok “Kyai Slamet” juga dipahami sebagai binatang piaraan pada zaman Sultan Agung. Kedekatan Kyai Slamet (abdi dalem Sultan Agung) sebagai petugas pemelihara “Kebo Bule” menyebabkan nama kerbau tersebut sering dipersamakan dengan nama “Kyai Slamet”. Informsi terkait “Kebo Bule” meliputi uraian tersebut, sementara karya yang lain belum penulis temukan. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan etnometodologi untuk etnolinguistik, khususnya metode etnografi (Spradley, 1997:45) dan metode linguistik (Sudaryanto, 1993: 39). Metode 17
Bahasa dan Budaya Jawa dalam... (Wakit Abdullah) etnolinguistik tersebut memanfaatkan metode etnosains dengan 12 langkah alur penelitian maju bertahap (Spradley, 1997:45) sebagai pedoman untuk menganalisis masalah bahasa dan budaya terkait “Kebo Bule”. Data penelitian berupa data kualitatif: data verbal (istilah-istilah, kata, frasa, klausa, wacana), data nonverbal (peristiwa budaya, ekspresi kultural) dan data praktikal (peristiwa budaya: menyiapkan sesaji, perangkat sesaji, hari pelaksanaan 1 Sura). Sumber data meliputi data lisan dari informan, sumber data tertulis dari pustaka yang membahas “kebo bule”. Teknik pengumpulan data penelitian berupa observasi partisipatif, wawancara mendalam (indepht interviewing) dengan pedoman wawancara, studi dokumen serta pustaka jika memungkinkan. Untuk menentukan informan dengan model snowball sampling (Sutopo, 2006:68). Validitas data dengan cara triangulasi (sumber, metode, teori, dan peneliti) (Sutopo, 2006:70). Analisis data bersifat deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan etnosains, terutama analisis taksonomi, analisis domain dan analisis komponensial untuk menemukan tema-tema budaya (Spradley, 1997:47). Hasilnya disajikan dalam bentuk teks-naratif dengan analisis interaktif melalui proses bentuk siklus (Sutopo, 2006:72). HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang “Kebo Bule” di Surakarta dari Perspektif Etnolinguistik
Sosok “Kebo Bule” yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta bersifat fenomenal. Untuk menjawab permasalahan “Kebo Bule” itu dapat melalui interpretasi secara kritis tentang fenomena “Kebo Bule” dari ekspresi verbal (kebahasaan) dan nonverbal (historis, kultural, spiritual, 18
praktikal dan politis). Secara verbal dapat dipertanyakan apa makna dari ekspresi verbal “Kebo Bule” yang secara variatif disebut juga “Kebo Slamet”, “Kyai Slamet” yang erat dengan upcara ritual malam 1 Sura. Sementara secara nonverbal terkait erat dengan aspek historis, kultural, spiritual, praktikal dan sosial politis.
Secara historis deskripsi sosok “Kebo Bule” belum ada sumber yang memiliki validitas ilmiah yang memadai. Antara satu dengan yang lain memberikan keterangan yang kurang meyakinkan dan berbeda-beda. Bahkan ada yang bertolak belakang satu dengan yang lain. Sumber yang ada terkait “Kebo Bule” meliputi sumber lisan (folklor) dan sumber tertulis. Misalnya serat babad yang dipahami sebagai sumber tertulis terkait sejarah, subjektivitas penulis mempengaruhi isi cerita yang disampaikan sesuai dengan wawasan penulis dan motivasi penulisan. Adapun sumber lisan yang berasal dari informan (folklor), baik dari kerabat kraton (orang dalam) maupun informan lain terkait “Kebo Bule” kekurangan data yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sementara sumber tertulis terkait sejarah “Kebo Bule” milik Kraton Surakarta antara lain telah disebut dalam Babad Sala (Raden Mas Sahid, (?)). Dalam babad itu disebutkan bahwa nenek moyang “Kebo Bule” adalah binatang kesayangan (klangenan) Sri Susuhunan Pakubuwono II ketika masih bertahta di istana Kasunanan Kartasura. Ketika pindah ke Kraton Kasunanan Surakarta “Kebo Bule” tetap menjadi binatang piaraan yang dipandang memiliki nilai magis untuk kehidupan Kraton Surakarta, baik lahir maupun batin. Di samping itu, diinformasikan bahwa asal mula “Kebo Bule” itu adalah hadiah dari Adipati Ponorogo untuk Sunan
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 14-26
Pakubuwana II (1711- 1749) sepulang mengungsi dari Ponorogo ketika Geger Cina di Kraton Kartosura. Sementara yang lain menyebutkan bahwa “Kebo Bule” itu keturunan dari binatang piaraan Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Mataram (lahir 1593), dan memerintah Mataram (1613-1645), sehingga perbedaan rentang waktunya cukup signifikan.
Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma lahir di Kotagede tahun 1593, nama asli Raden Mas Jatmika atau R.M. Rangsang. Raja Mataram ke-3 (16131645). Anak dari Prabu Hanyakrawati raja ke-2 Mataram, ibunya bernama Ratu Mas Adi Dyah Banawati (Putri Pangeran Banawa dari Pajang). Versi yang lain menyebutkan Sultan Agung anak dari Pangeran Purbaya (Kakak Prabu Hanykrawati. Konon ketika masih bayi ditukar dengan anak Ratu Adi Dyah Banawati (?). Ini versi minoritas. Sultan Sgung beristri 2 , yaitu Ratu Kulon dari Putri Sultan Cirebon memiliki anak bernama Pangeran Alit, sedang istri yang lain putri dari Adipati Batang (cucu Juru Martani) (biografi.blogspot.com, diunduh 12 Nopember 2014). Oleh karena itu, dari berbagai sumber yang ada dapat dikatakan bahwa secara historis “Kebo Bule” di Kraton Surakarta kurang penjelasan ilmiah yang komprehensif. Secara kultural, “Kebo Bule” dipahami berbeda dengan kerbau yang lain, karena dari sisi fisik “Kebo Bule” berwarna putih agak kemerah-merahan. Menurut persepsi orang Jawa warna kulit seperti itu sering disebut seperti warna kulit orang Eropa. Menurut persepsi orang Jawa waktu itu, siapapun orang Eropa disebut Landa ‘Belanda’ yang sering disebut dengan ekspresi verbal “bule”. Terkait identitas
warna kulit kerbau yang “bule” seperti Landa ‘Belanda’ itu juga dipahami tidak biasa seperti kerbau di Jawa yang berkulit hitam keabu-abuan. Akibatnya kerbau yang berwarna kulit yang “bule” seperti Landa itu diekspresikan dengan “Kebo Bule”. Perbedaan warna kulit kerbau seperti itu dalam kehidupan orang Jawa menimbulkan persepsi yang berbeda, lalu dikait-kaitkan dengan hal-hal yang tidak biasa pula. Di samping itu, generasi muda telah mewarisi tradisi leluhur agraris yang memandang kerbau sebagai “raja kaya”, yaitu kerbau yang dipahami sebagai ‘raja (untuk mendapat) hasil yang lebih banyak banyak (misalnya dari membajak dan menggaru sawah). Hal itu bisa dipahami sebagai binatang yang penting dalam kehidupan nafkahnya. Maka dari itu, ketika ada kerbau yang berwarna kulit berbeda menjadi sesuatu yang dipersepsikan lain. Bahkan bermakna istimewa bagi orang Jawa (misalnya sebagai sarana terbebas dari gangguan gaib, pageblug, mala petaka, dsb.). Lalu secara kultural tradisinya menjadi aneh-aneh pula, baik persepsi dan peruntukan “Kebo Bule” dalam kehidupan lahir batinnya. Apalagi tradisi Jawa sejak awal telah dekat degan persepsi kehidupan yang bersifat fisik dan metafisik dan semacam itu masih ada hingga sekarang. Misalnya keberadaan “Kebo Bule” dalam tradisi malam 1 Sura di Kraton Surakarta.
Selanjutnya, secara spiritual eksistensi “Kebo Bule” dipahami sebagai “sosok panuntun” pada kirab malam 1 Sura. Oleh karena sosok “Kebo Bule” memiliki fisik kuat, besar, kulit bule, “sabar”, bukan sembarang kerbau, dan sering memiliki perilaku aneh dalam kehidupan seharihari. Keanehan itu diinformasikan kepada khalayak bahwa ketika dibiarkan hidup liar “Kebo Bule” tidak mau merusak tanaman 19
Bahasa dan Budaya Jawa dalam... (Wakit Abdullah) petani, tidak memakan sayuran di pasar ketika “Kebo Bule” melintasinya. Apabila “Kebo Bule” itu memakan sayuran di pasar si penjual merasa senang, karena dipahami sebagai pelarisan. Demikian pula para petani memahami sosok “Kebo Bule” ketika melintasi sawah ladangnya secara batiniah merasakan akan mendapat berkah dari hasil pertaniannya. “Kebo Bule” menurut informan dikisahkan bahwa pada masa lalu ketika mengembara dalam perjalanan satu tahun kadang sampai wilayah Pekalongan, Wonogiri, Cilacap, Madiun dan daerah yang lain. Anehnya “Kebo Bule” saat menjelang malam 1 Sura sudah sampai di Kraton Srakarta. Perilaku “Kebo Bule” seperti itu dipahami orang Jawa yang berkepentingan dengannya seolah-olah “Kebo Bule” telah siap menjalankan tugas spiritual dari Raja Kasunanan Surakarta. Oleh karena itu, akibat dari perilaku “Kebo Bule” yang dideskripsikan memiliki sifat aneh itu, orang Jawa memahami dengan cara yang aneh-aneh pula. Bahkan, ada yang mengkritik tradisi itu seperti mendidik rakyat dengan cara yang tidak benar menurut akal sehat dan realitas zaman. Sementara yang mendukungnya perilaku itu sebagai wujud kearifan lokal Jawa yang perlu dilestarikan. Secara praktikal masyarakat di wilayah Eks Kraton Kasunanan Surakarta ikut memahami tradisi yang disebut aneh itu. Misalnya, mereka rela berkotor-kotor di malam hari untuk mengambil tlethong ‘kotoran kerbau’ untuk mendapatkan berkah malam 1 Sura. Bahkan, mereka rela berebutan untuk mendapatkan sesuatu sesuai harapan benda yang dipersepsikan dapat membawa berkah dalam kehidupan bertani, menjadi jimat ‘sesuatu yang dapt mendatangkan keselamatan’, meskipun pada kenyataannya tidak semua orang 20
Jawa setuju dengan pemahaman dan caracara seperti itu.
Di sisi lain, “Kebo Bule” secara politik dikaitkan dengan penanggalan Jawa yang berdasarkan hitungan bulan (Qomariyah), yaitu malam 1 Sura. Oleh karena itu, terjadi perbedaan dengan penanggalan sebelumnya, yaitu penanggalan Çaka ke Hijriyah. Dalam perjalanannya di belakang hari menimbulkan keyakinan yang berbeda antara yang memahami “Kebo Bule” dari spiritual kejawen sebagai “berkah” (mistis-magis) maupun “Kebo Bule” dari spiritual syariah sebagai “musibah”, karena dipersepsikan sebagai perilaku “syirik”. Adanya perbedaan persepsi seperti itu, maka secara sosial-politis untuk menjaga keharmonisan hidup orang Jawa harus ada langkah yang harus dipahami secara empan papan yaitu pilah-pilih menurut siapa, kapan, dan di mana. Oleh karena itu, orang Jawa dengan segala eksistensinya harus rela memahami dan menyadari tentang eksistenasi budaya Jawa yang sejak awal bersifat kompleks dan rumit. Kondisi seperti itu mengarahkan orang Jawa harus memiliki watak ngemod ‘berhati samudra’, seperti leluhur Jawa yang cukup leluasa memberikan kesempatan budaya lain untuk memasuki dan kemudian “ditelan” pelan-pelan dalam bentuk akulturasi budaya Jawa. Meskipun akibat dari akulturasi itu melahirkan perspektif pandang yang berbeda terhadap eksistensi “Kebo Bule” di Kraton Surakarta. Pengaruh “Kebo Bule” terhadap Kraton Surakarta dari Perspektif Etnolinguistik
Ekspresi verbal “Kebo Bule” secara etnolinguistik dalam tradisi Jawa Kraton Surakarta disebut juga sebagai “Kyai Slamet” dan “Kebo Slamet”. Apa hubungan
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 14-26
antara ekspresi verbal “Kebo Bule” dengan “Kyai Slamet” dan “Kebo Slamet” itu. Menurut data yang telah ditemukan bahwa ekspresi tersebut dapat diinterpretasikan dari inti ekspresi verbalnya, yaitu “Kebo, Kyai” dan “Bule, Slamet”. Secara etnolinguistik kesejajaran ekspresi verbal nama kerbau itu dapat dipahami bahwa makna “Kebo” disejajarkan dengan “Kyai” atau sebaliknya. Seperti terekspresikan dalam “Kebo Slamet” dan “Kyai Slamet”. Adapun dalam perspektif semantik kultural Jawa kesejajaran diksi nama kerbau itu dapat dikritisi dari dua kemungkinan tentang persepsi orang Jawa di lingkungan Kraton Surakarta. Persepsi pertama, yaitu perilaku dalam tradisi itu bermaksud menghormati “Kebo Bule” (berkulit putih kemerahan) yang dipersepsikan menurut pendukungnya memiliki kelebihan terkait hal ini dan hal itu, seperti “Kyai”. Lalu, dianggap keramat dan perannya sebagai agen sosial “penyelamat” wawasan dan kehidupan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya dalam persepsi yang kedua, mengarah pada konteks pemahaman budaya Jawa bahwa ekspresi “Kebo Bule” itu dipersepsikan sama dengan keistimewaan “Kyai” (ekspresi penghormatan). Maka dari itu ada yang mempersepsikan “Kebo Bule” sebagai perangkat tradisi Kraton Surakarta berperan sebagai “penuntun” (Purwasito, 2008: 2). Hal itu bisa dipahami, bahwa ketika mencermati sejarah masa lalu terkait “pertarungan” pengaruh spiritual antar orang Jawa yang berbeda-beda, sehingga ada pro dan kontra setelah berkembangnya pengaruh Islam, Hindu dan Buddha di Jawa. Setidaktidaknya sebagai gambaran betapa ada pihak di lain yang memiliki persepsi berbeda terhadap yang lain. Nuansa kehidupan berbahasa dan berbudaya
Jawa yang terangkum dalam “Kebo Bule” sebenarnya bisa diinterpretasikan bukan sesuatu yang tanpa sengaja, baik dalam konteks kehidupan bahasa dan budaya itu maupun dalam konteks politis terkait perebutan pegaruh di Jawa waktu itu. Puncak harapan dan motivasinya adalah penguasaan terhadap kultural, spiritual, praktikal (politik), material maupun geografikal di Jawa. Dalam interpretasi yang lain, bahwa spiritualitas sosok “Kebo Bule” dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan dan kekuatan raja dalam menghadapi kenyataan, meskipun rakyat tidak bisa memahami dengan nalar yang wajar dan lugunya. Akibatnya sampai sekarang hegemoni kultural itu masih berada di kraton dan menjadi sesuatu yang tidak pernah terjawab, kecuali sebagian orang Jawa dengan rela mengikuti tanpa berfikir kritis bagi yang setuju dan sebagian ada yang menolak secara drastis, khususnya terkait “Kebo Bule” itu.
Ekpsresi praktikal tentang pengaruh “kebo bule”, “Kyai Slamet”, “Kebo Slamet” terutama dapat dilihat pada saat bertugas menjadi cucuk lampah dalam upacara tradisi malam 1 Sura. Cucuk lampah yang dipilih bukan manusia, tetapi “Kebo Bule”, lalu mengapa dipilih “Kebo Bule” itu? Orang Jawa, khusunya persepsi pihak Kraton Surakarta dalam memahami “Kebo Bule” sebagai binatang piaraan bukan sembarang kerbau, pepunden keramat, hewan paling berwibawa dan dihormati. Kuatnya persepsi seperti itu menurut seorang abdi dalem kraton yang mengurusi “Kebo Bule” menjelaskan bahwa kerbau yang menurunkan “Kebo Bule” itu kerbau keturunan dari zaman Keraton Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma. Oleh karena itu, maka tugas praktikal dari “Kebo Bule” sebagai pelengkap ritual 21
Bahasa dan Budaya Jawa dalam... (Wakit Abdullah) kerajaan sampai saat ini masih sama. Kalaupun ada perubahan tugas praktikal dari “Kebo Bule” hanya pada tingkat asesoris dan kelengkapan ritual malam 1 Sura. Di samping itu, secara praktikal sosok “Kebo Bule” menjadi bagian dari sajian pariwisata, khususnya pada saat ritual malam 1 Sura yang sekaligus sebagai atraksi budaya yang dilengkapi dengan “kemasan budaya Kebo Bule”.
Bukti empiris spiritual terkait pengaruh kesaktian “Kebo Bule” terhadap Kraton Surakarta sesungguhnya layak dipertanyakan kebenarannya. Oleh karena tidak ada bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mendukung kesaktian “Kebo Bule” itu. Apalagi ketika peristiwa di seputar kraton dihubungan dengan kesaktian “Kebo Bule” kurang sinkron dengan kenyataan, misalnya ketika “Kebo Bule” dibacok orang tak dikenal juga luka dan akhirnya mati, huru-hara di kraton yang bertubi-tubi. Maka dari itu, opini yang berkembang terkait kesaktian “Kebo Bule” dengan kenyataan yang ada tidak bisa dibuktikan adanya. Berbagai musibah budaya dengan tertombaknya “Kebo Bule” yang bernama Bagong telah membantah persepsi orang Jawa selama ini, bahwa “Kebo Bule” itu memiliki kesaktian (?). Di samping itu, apabila “Kebo Bule” itu memiliki kesaktian yang bisa diandalkan, mengapa persoalan di Kraton Surakarta bertubi-tubi dan sampai saat ini belum mendapat penyelesaikan yang membanggakan orang Jawa, khususnya keluarga kerajaan sendiri. Silang sengketa yang ada masih belum tuntas penyelesaiannya, terutama menyangkut otoritas raja. Hal itu bisa dicermati terkait persoalan pewarisan tahta yang secara psikologis belum selesai, persoalan antar kerabat kerajaan yang belum selesai, 22
dan kasus yang lain. Oleh karena itu kenyataan tersebut telah memberikan jawaban bahwa “Kebo Bule” dengan segala persepsi yang dibangun hanya merupakan bentuk legitimasi. Sekurang-kurangnya sebuah cara untuk membangun motivasi spiritual untuk mengatasi persoalan yang terjadi di lingkungan kerajaan saat itu. Bahasa sekarang sering disebut sebagai upaya “rekayasa” kaum ningrat untuk membangun optimisme hidup. Persoalan seriusnya adalah mengangkat derajat binatang melebihi derajat manusia yang terkespresikan dalam nama “Kyai Slamet”, “Kebo Slamet”, dan “Kebo Bule” jelas itu menyalahi kodratnya (?). Makna “Kebo Bule” sebagai salah satu “Ikon Kesaktian” Kraton Surakarta dari Perspektif Etnolinguistik
Makna yang terangkum dalam ekspresi verbal “Kebo Bule” secara etnolinguistik dapat diidentifikasi dari makna kultural, makna konotatif, makna historis (politis), dan makna praktikal. Apabila “Kebo Bule” dipahami sebagai salah satu “ikon kesaktian” Kraton Kasunanan Surakarta, maka “Kebo Bule” itu menjadi sebuah gambaran atau ilustrasi fisik terhadap sesuatu yang secara kultural Jawa “dianggap suci”. Oleh karena itu persepsi sakti, keramat, bukan kerbau biasa, dan persepsi yang lainnya tersebut secara interpretatif merupakan sesuatu yang telah dibangun oleh orang berpengaruh terdahulu secara kultural-pragmatis untuk maksud-maksud tertentu (misalnya legitimasi, membangun motivasi, menakut-nakuti musuh, klangenan ‘kesenangan, hiburan’). Maksud itu sekurang-kurangnya terangkum dalam rangka legitimasi sosok dan kekuasaan raja
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 14-26
dan aktivitas budaya yang melingkupinya. Oleh karena itu, untuk memahami secara semantik kultural memerlukan interpretasi sebelum akhirnya memformulasikan apa maksud dari ekspresi verbal “Kebo Bule” atau “Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet” tersebut. Secara etnolinguistik “Kebo Bule” dimaknai kerbau yang berwarna putih kemerahan seperti “Bule’ (Landa ‘Belanda’) atau “Kyai Slamet” dimaknai pada awalnya pemelihara kerbau yang berwarna putih kemerahan itu bernama Kyai Slamet. Nama Kyai Slamet melekat pada kerbau piaraannya setelah beliau wafat, lalu kerbau itu diberi nama “Kyai Slamet”. “Kebo Bule” atau “Kebo Slamet” secara kultural dimaknai kerbau yang memeberi rasa selamat, rasa senang, rasa terhibur. Adapun persepsi slamet ‘selamat’ dapat diinterpretasikan dua perspektif, yaitu dari sisi materialistik karena kerbau memberikan optimisme hidup, sebagai “raja kaya” dapat menghasilkan nafkah dan bentuk investasi hewani; dan kerbau berwarna “bule” dipahami sebagai warna hewan yang tidak biasa bagi orang Jawa yang dipersepsikan mensugesti akan memberikan “berkah” tersendir. Namun demikian juga telah disinggung di akhir deskripsi bagian di atas, bahwa “Kebo Bule” atau “Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet” sebagai “ikon kesaktian” Kraton Surakarta menjadi tidak signifikan lagi dengan praktik-praktik yang dilakukan orang Jawa, khususnya di lingkungan kraton dengan berbagai peristiwa yang ada. Akibatnya peran “Kebo Bule” sebagai “ikon kesaktian” Kraton Kasunanan dengan kondisi realitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kondisi yang ada itu menjadi jawaban penting dan bukti nyata bagaimanakah peran “Kebo Bule” sebagi “ikon kesaktian” layak
dipertanyakan adanya. Di sisi lain, opini “kesaktian” sosok “Kebo Slamet” atau “Kebo Bule” hanya sebagai perangkat nonverbal prosesi budaya malam 1 Sura.
Adapun makna konotatif ekspresi verbal “Kebo Bule” atau“Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet” yaitu makna yang tidak sebenarnya, bersifat kiasan, karena untuk menjelaskan sesuatu yang rumit yang tidak terbahasakan, maka memilih cara simbolis. Oleh karena rumit dan tidak mudah dipahami apa yang dimaksudkan, maka diupayakan dengan cara-cara tertentu yang tidak menyinggung orang lain. Misalnya dengan cara yang bersifat metaforis (simbol “Kebo Bule”), target waktu bersifat monumental (terus-menerus, “abadi”), agar maksud yang diinginkan dipahami dengan “pikiran dan rasa” Jawa, karena Jawa nggone rasa ‘tradisi Jawa lebih menonjolkan pada kepekaan rasa’. Pilihan cara seperti itu untuk menyampaikan hal yang tidak terkatakan atau terbahasakan seperti terangkum dalam ekspresi verbal “Kebo Bule” atau “Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet”. Adapun yang mengetahui sesungguhnya apa makna konotatif kerbau itu tentu yang memberi kerbau atau yang memberi nama “Kebo Bule”. Untuk itu, pihak yang lain hanya sebatas dapat menginterpretasikan berdasarkan konteks kebudayaan Jawa di masanya. Sementara makna historis (politis) ekspresi verbal “Kebo Bule” atau“Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet” dapat diinterpretasikan bahwa munculnya ekspresi verbal “Kebo Bule” atau“Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet” itu tidak terlepas dari sisi historis (politis). Apabila dicermati kisah awalnya nama “Kebo Bule” atau“Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet” itu dari zaman Sultan Agung, sebelumnya
23
Bahasa dan Budaya Jawa dalam... (Wakit Abdullah) kerbau itu belum memiliki nama apapun, kecuali dikisahkan bahwa pemelihara kerbau itu seseorang yang bernama Kyai Slamet. Secara historis, nama itu tidak lepas dari semantik kultural Jawa yaitu Kyai ‘seorang laki-laki yang terhormat, terpandang, memiliki pengetahuan luas (jika perempuan disebut Nyi)’ dan Slamet berarti ‘selamat’. Demikian pula, dahulu dikisahkan bahwa ketika ada rumah terbakar lalu Kyai Slamet dan kerbau bule piaraannya mengitari rumah yang terbakar itu menjadi padam. Akibatnya, hal ini membangun opini publik terkait kesaktian Kyai Slamet dan kerbau piaraannya yang berimbas pada pemiliknya yaitu Raja Sultan Agung di Mataram. Di samping itu, ketika kisah “Kebo Bule” atau“Kyai Slamet” atau “Kebo Slamet” dimulai dari zaman Paku Buwana II di Kartasura, kerbau hadiah dari Adipati Ponorogo karena wujudnya jantan, gagah dan unik kerbau itu menjadi klangenan ‘kesenangan’ raja. Secara etnolinguistik dapat dipertanyakan mengapa Adipati Ponorogo memberikan hadiah kerbau bule itu kepada Paku Buwana II di Kartasura. Selanjutnya “Kebo Bule” dapat diinterpretasikan (1) kerbau itu secara fisik menarik, unik, dan tidak seperti kerbau biasa, (2) secara metafisik dianggap sebagai penolak balak marabahaya yang mengancam kraton (misalnya di Kartasura diserang pasukan Cina atas perintah VOC), (3) “Kebo Bule” sebagai kritikan tidak langsung atas kekalahan raja Kartasura yang bersembunyi di Ponorogo, (4) hadiah yang diberikan Adipati Ponorogo kepada Raja Pakubuwana II berupa “Kebo Bule” binatang piaraan yang menjadi klangenan ‘kesenangannya’ menjadi simbol dukungan moral dan penghormatan, (5) atau secara kultural dimaknai simbolis sosok “Kebo Bule” dianalogikan dengan 24
“Wong Bule” (Landa ‘Belanda’) yang tidak lebih bermental binatang karena sebagai penjajah merampas kemerdekaan bangsa lain dan bertindak kejam sewenangwenang seharusnya dilawan sampai titik darah penghabisan, sebagai pahlawan, namun sang raja melarikan diri. Akibatnya, hal ini tersiratkan dalam sosok “Kebo Bule” yang dianggap sebagai tuntunan, jimat, sakti, sakral, bahkan persepsinya bisa lebih dari itu. Di sisi lain, secara praktis diinterpretasikan bahwa Adipati Ponorogo memberikan pesan simbolis bahwa manusia lebih tinggi derakatnya dari binatang (kerbau). Maka dari itu, seharusnya raja lebih baik mati mempertahankan negara menjadi pahlawan dari pada lari menjadi seorang pecundang. Demikian pula interpretasi yang mengacu pada pemahaman bahwa Ponorogo sebagai agen Islam saat itu, jika konsisten mengikuti pesan simbolis yang ada dalam “Kebo Bule” manusia tidak perlu “mendewakan” binatang, karena derajat manusia segalanya di atas binatang. Hal itu telah ditegaskan dalam syariat, bahwa: (1) “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Rabb yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Al Hajj: 62); (2) “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72); (3) “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka menjawab:”Allah”.Katakanlah:
Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: 14-26
“Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri (QS. AzZumar: 38). SIMPULAN
Fenomena “Kebo Bule” merupakan sosok yang rumit untuk menjelaskan eksistensinya. Kerumitan itu terkait penjelasan “Kebo Bule”, “Kebo Slamet”, “Kyai Slamet” yang masih menjadi rumor dan tidak ada sumber yang memadai dari ekspresi verbal (kebahasaan) dan nonverbal (aspek historis, kultural, spiritual, praktikal dan politis). Pengaruh “Kebo Bule” terhadap kehidupan Kraton Surakarta terkait tiga persoalan sensitif, yaitu (1) ekspresi verbal nama “Kebo Bule” yang teruraikan dalam nama “Kebo Bule” kerbau yang berkulit putih kemerahan merujuk pada “bule’ ‘Belanda’, “Kebo Slamet” kerbau yang dianggap menjadi bagian sarana tolak balak marabahaya yang mengancam kraton, “Kyai Slamet” awalnya nama pemelihara kerbau lambatlaun menjadi nama kerbau piaraannya. Ekspresi verbal itu memiliki makna kultural tersendiri bagi kraton, (2) ekpsresi praktikal tentang pengaruh “Kebo Bule” terikat oleh makna kultural, makna konotatif, makna historis (politis), dan makna praktikal, dan (3) bukti spiritual terkait pengaruh kesaktian “kebo bule” terhadap Kraton Surakarta hanya bersifat legitimatif. Adapun makna “kebo bule” sebagai salah satu “ikon kesaktian” Kraton
Surakarta dari perspektif etnolingusitik dapat diidentifikasi dari makna kultural, makna konotatif, makna historis (politis) dan makna praktikal. UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian Hibah Pascasarjana dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret 2016. Terima kasih telah memberikan kesempatan melaksanakan penelitian Hibah Penelitian Pascasarjana tahun 2016 dengan judul “Bahasa dan Budaya Jawa dalam Ekspresi “Kebo Bule” di Surakarta: Kajian Etnolinguistik”.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Wakit. (2013). “Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen (Kajian Etnolinguistik)”, Disertasi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2003). “Etnosains: Mengungkap Pengetahuaan Masyarakat Pedesaan”. Dinamika Pedesaan dan Kawasan. Vol 4. No.4: 34-35.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2007). “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal. Tantangan Teoretis dan Metodologis”. Pidato Ilmiah Dies Natalis FIB UGM ke 62 di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 9-14. blogspot.co.id/2015/10/ kirab-kebo-bulemalam-1-suro-di-solo Dove,
Michael R. (1985). Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yogyakarta: Tiara Wacana. 25
Bahasa dan Budaya Jawa dalam... (Wakit Abdullah) Foley, W. A. (1997). Anthropological Linguistics An Introduction. University of Sydney: Blackwell Publishers.
Said, Raden Mas. (tanpa tahun) “Kesaktian Kebo Slamet Kraton Surakarta”, http://tempatwisatadaerah.
Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian rakyat.
Sudaryanto. (1993). Metode penelitian Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Geertz, C. (l98l). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat. (1971). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat. (1977). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Mulder, Niels. (l984). Kebatinan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia. Purwasito, Andrik. (2015) “Kebo Bule in Kraton Surakarta: Kebo Bule itu Sang Panuntun”, http:// te m p a t w i s a t a d a e ra h . b l o g s p o t . co.id/2015/10/kirab-kebo-bulemalam-1-suro-di-solo.
26
Spradley, James P. (1997). Metode Etnografi (Penerjemah Misbah Zulfa Alizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sutopo, HB., (2006). Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Toto,
(2009), “Kebo Bule” http:// te m p a t w i s a t a d a e ra h . b l o g s p o t . co.id/2015/10/kirab-kebo-bulemalam-1-suro-di-solo.
Yosodipuro, (2015) “Kebo Bule” Hadiah Bupati Ponorogo kepada Paku Buwana II, http://tempatwisatadaerah. blogspot.co.id/2015/10/kirab-kebobule-malam-1-suro-di-solo