ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL DI PENDAPA ISI SURAKARTA TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh KALIH PRIHATIN
C0104014
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL DI PENDAPA ISI SURAKARTA TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Disusun oleh KALIH PRIHATIN C0104014
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Sri Mulyati, M.Hum NIP 195610211981032001
Drs. Sri Supiyarno, MA. NIP 195605061981031001
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004
ii
ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL DI PENDAPA ISI SURAKARTA TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Disusun oleh KALIH PRIHATIN C0104014
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 3 Agustus 2010
Jabatan
Nama
Ketua
Dra. Dyah Padmaningsih, H. hum NIP 195710231986012001 Drs. Y. Suwanto, M.Hum NIP 196110121987031002
Sekretaris Penguji I Penguji II
Tanda Tangan
Dra. Sri Mulyati, M.Hum NIP 195610211981032001 Drs. Sri Supiyarno, MA NIP 195605061981031001
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A. NIP 195303141985061001
iii
PERNYATAAN
Nama NIM
: Kalih Prihatin : C0104014
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah-Istilah Ruwatan dan Sesaji dalam Upacara Ruwatan Massal di Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010 (Kajian Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut. Surakarta, 3 Agustus 2010 Yang membuat pernyataan
Kalih Prihatin
iv
MOTTO Tak punya apa-apa tapi banyak cinta (penulis)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada :
Rabbku, Allah s.w.t. yang tak pernah berhenti mencurahkan rizki-Nya kepadaku Nabiku, Muhammad s.a.w. yang menjadi suri tauladan bagiku Simbok dan Bapak tercinta yang tak pernah berhenti memotivasi dan menyayangiku Kakak dan kakak iparku tercinta Semua yang telah mendukung penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah s.w.t. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis sadari bahwa banyak hambatan atau kesulitan yang dihadapi baik yang bersifat teoretik atau praktis. Dengan bekal keyakinan yang kuat dan usaha yang tulus serta adanya dukungan dari berbagai pihak, segala hambatan dan kesulitan dapat diatasi. Oleh karena itu, dengan kesadaran dan kerendahan hati yang tulus, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. 1. Drs. Sudarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini. 2. Drs. Imam Sutarjo, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberi ijin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih Bapak sudah bersedia menjadi informan saya. 3. Dra. Sri Mulyati, M.Hum, serta selaku pembimbing pertama yang telah membantu proses penyelesaian skripsi. Terima kasih Ibu sudah bersedia meluangkan waktunya, mencurahkan perhatian, memberikan nasihat, dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai.
vii
4. Drs. Sri Supiyarno, M.A, selaku pembimbing kedua, terima kasih atas masukan dan bimbingannya. 5. Drs. Supardjo, M.Hum, selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama studi di Jurusan Sastra Daerah, dengan penuh perhatian dan kebijaksanaannya. 6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah, terima kasih atas kesabarannya dalam menyampaikan ilmunya dari semester awal sampai penulisan skripsi selesai. 7. Simbok dan bapak, terima kasih atas doa dan motivasi kalian, maafkan selama ini saya belum bisa membahagiakan kalian. 8. Mas Trisno, Anindita, Mbak Rus, kalian yang terbaik, terimakasih atas kebersamaan yang kita lalui. 9. Kawan-kawan angkatan 2004, kenangan indah bersama kalian takkan pernah terlupakan. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas semua bantuannya dalam penyelesaian skripsi. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu. Oleh karena itu, penulis berharap, kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penyusun secara pribadi atau pada pembaca pada umumnya. Surakarta, 3 Agustus 2010
Kalih Prihatin
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. .
i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................. .
ii
HALAMAN PENGESAHAN . ..............................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ...............................................................
iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................
vi
KATA PENGANTAR ........................................................................... .
vii
DAFTAR ISI .........................................................................................
ix
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN. ..............................................
xiii
ABSTRAK .............................................................................................
xv
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................
1
a.
Latar Belakang Masalah ................................................
1
b.
Pembatasan Masalah ......................................................
9
c.
Rumusan Masalah ..........................................................
10
d.
Tujuan Penelitian ...........................................................
10
e.
Manfaat Penelitian .........................................................
11
1. Manfaat Teoretis .......................................................
11
2. Manfaat Praktis ........................................................
11
Sistematika Penulisan ....................................................
11
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................
13
f.
A.
Ruwatan. ......................................................................... .
13
1. Upacara Ruwatan. ......................................................
13
2. sesaji. .........................................................................
18
ix
B.
Bentuk ............................................................................
19
1.
Monomorfemis ........................................................
19
2.
Polimorfemis ...........................................................
20
1. Pengimbuhan/Afiksasi. ........................................
20
2. Reduplikasi. .........................................................
20
3. Kata Majemuk. ....................................................
21
Frasa .........................................................................
21
C.
Makna ............................................................................
22
D.
Etno Linguistik................................................................
23
E.
Kajian Linguistik untuk Etnologi....................................
24
3.
1.
Bahasa dan Pandangan Hidup. .................................
24
2.
Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan. ...............
25
3.
Bahasa dan Perubahab dalam Masyarakat. ...............
25
Masyarakat Bahasa .........................................................
26
G. Kerangka Pikir .................................................................
27
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................
28
F.
A.
Jenis Penelitian ................................. .............................
28
B.
Lokasi Penelitian ...........................................................
29
C.
Data .................................................................................
29
D.
Sumber Data. ..................................................................
30
E.
Alat Penelitian ...................................................................... 30
F.
Metode Pengumpulan Data ...........................................
31
G.
Metode Analisis Data ....................................................
32
1. Metode Distribusional .............................................
32
x
2. Metode Padan ..........................................................
33
Metode Penyajian Hasil Analisis Data ..........................
34
BAB IV ANALISIS DATA ..................................................................
35
H.
A. Bentuk Istilah.. ................................................................... .
35
1. Monomorfemis .........................................................
35
2. Polimorfemis. ............................................................
37
a. Pengimbuhan/afiksasi.. .......................................
37
b. Reduplikasi .........................................................
41
c. Kata Majemuk.. ..................................................
42
3. Frasa..........................................................................
49
B.
Makna Leksikal. .............................................................
74
C.
Makna Kultural. ..............................................................
91
BAB V PENUTUP ..............................................................................
104
A.
Simpulan ........................................................................
104
B.
Saran ..............................................................................
105
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
106
LAMPIRAN ..........................................................................................
109
xi
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN A.
Daftar Tanda [...]
: pengapit ejaan fonetis
‟...‟
: gloss sebagai pengapit terjemahan
”...”
: tanda petik menandakan kutipan langsung
+
: ditambah
/
: atau : tanda sebagai penunjuk jadian
Tanda ε : dibaca seperti pada kata sajen [sajEn] „sesaji‟ Tanda ә : dibaca seperti pada kata sega [s|gO] „nasi‟ Tanda ŋ : dibaca seperti pada kata kacang [kacaG] „kacang‟ Tanda O : dibaca seperti pada kata woh-wohan[wO-wOan]‟buah-buahan‟ Tanda ? : dibaca seperti pada kata lombok [lOmbO?] ‟cabai‟ Tanda T
: dibaca seperti pada kata bathara [baTOrO] „dewa‟
Tanda D : dibaca seperti pada kata gedhang [g|DaG] ‟pisang‟ Tanda U : dibaca seperti pada kata rambut [rambUt] „rambut‟ Tanda I
: dibaca seperti pada kata putih [putIh] „Putih‟.
xii
B.
Daftar Singkatan Adj.
: Adjektiva
BUL
: Bagi Unsur Langsung
dkk.
: dan kawan-kawan
dll.
: dan lain-lain
dst.
: dan seterusnya
hlm.
: halaman
KBBI
: Kamus Besar Bahasa Indonesia
N
: Nomina
R
: Reduplikasi
s.a.w.
: Salallahu „alaihi wasallam
s.w.t.
: Subhanallahu Wa‟taala
V
: Verba
ABSTRAK Kalih Prihatin. C0104014. 2010. Istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari2010
xiii
(Kajian Etnolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini menguraikan tentang: (1) bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, (2) makna leksikal dari istilah-istilah istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, (3) makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penggambaran secara alamiah yang tidak menggunakan data statistik atau angka, karena data yang dikumpulkan berupa fakta kebahasaan. Lokasi penelitian di Pendapa ISI SUrakarta. Data penelitian berupa data lisan, dan data tulis. Sumber data lisan berasal dari informan yang mengetahui upacara ruwatan, sedangkan buku-buku, yang berkaitan dengan sesaji, budaya, dan linguistik, hanya sebagai sarana untuk melengkapi teori dalam penelitian ini, sumber data tulis berasal dari buku referensi atau pustaka. Metode pengumpulan data meliputi observasi lapangan, teknik wawancara yang mendalam, teknik rekam, teknik catat, dan teknik pustaka. Metode analisis yang digunakan adalah metode distribusional yang digunakan untuk menganalisis bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dengan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), dan metode padan yang digunakan untuk menganalisis makna istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif dan metode informal. Hasil analisis data yang peneliti temukan yaitu keseluruhan rangkaian upacara ruwatan yaitu prosesi ruwatan, wayangan, beserta sesaji yang digunakan. Istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 memiliki tiga bentuk kebahasaan yaitu istilah yang termasuk monomorfemis terdapat 4 istilah, istilah yang termasuk polimorfemis yang terdiri dari afiksasi terdapat 5 istilah, kata majemuk terdapat 9 istilah dan reduplikasi terdapat 3 istilah dan istilah yang berupa frasa terdapat 24 istilah. Keseluruhan istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 adalah 45 istilah. Analisis makna istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010menghasilkan makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal mengacu kepada wujud konkret istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, sedangkan makna kultural yang di temukan dalam penelitian ini menggambarkan kehidupan manusia tentang baik dan buruk dirinya tergantung dari perbuatan yang telah dilakukan.
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1993: 21). Bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventarisasi ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1984: 38). Bahasa merupakan sarana untuk menangkap, mengomunikasikan, mediskusikan, mengubah, dan mewariskan sesuatu kepada generasi baru. Dengan bahasa menusia dapat menelusuri kembali hal-hal di masa lalu dan perkembangan masa depan. Dengan bahasa kita dapat mendiskusikan hal-hal yang belum pernah kita lihat, mengomunikasikan ide-ide yang abstrak. Tetapi bahasa bukan sekedar sarana berkomunikasi atau sarana mengekspresikan sesuatu. Dengan bahasa manusia menciptakan dunianya yang khas manusiawi (kebudayaan). Dalan kehidupan masyarakat bahasa sendiri penting artinya yaitu untuk mengembangkan ilmu. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa itu adalah sitem lambang yang berwujud bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan, maka yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada sesuatu konsep, ide, atau pikiran maka dapat dikatakan bahasa itu mempunyai makna.
xv
I Dewa Putu Wijana (2008: 13), bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense), dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada diluar bahasa yang disebut referen (referent). Makna yang berkenaan dengan kata disebut makna leksikal, yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut makna gramatikal, dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pragmatik atau makna kontekstual (Abdul Chaer, 2007:
44-45). Dalam penelitian ini
memfokuskan pada kata yang mempunyai konsep atau pengertian secara jelas yang terdapat didalam kamus bau sastra Jawa (Purwadarminta 1939) Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah tentu mempunyai objek, begitu juga dengan linguistik yang mengambil bahasa sebagai objeknya (Abdul Chaer, 2007: 301). Bahasa adalah alat pengembang kebudayaan, dan kebudayaan adalah endapan kegiatan dari karya manusia. Penyebutan bahwa setiap daerah memiliki ciri khas berdasarkan penutur dan budaya setempat disebut dengan istilah linguistik antropologi, di samping etnolinguistik (Harimurti Kridalaksana, 1982: 42). Etnolinguistik sendiri ilmu yang mempelajari tentang masalah terbentuknya kebudayaan yang berkaitan dengan bahasa. Istilah etnolinguistik berasal dari kata etnologi dan linguistik. Etnologi berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan linguistik berarti ilmu yang mengkaji seluk beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa, yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi, sekarang dikenal dengan sebutan antropologi budaya (Sudaryanto, 1996: 9). Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 52), etnolinguistik adalah
xvi
cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. Bahasa dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan lepas dari lingkungan alam sekitar, karena hubungan dengan alam sudah terjalin sejak manusia hadir di muka bumi, maka secara ilmiah bahasa yang keluar pada saat itu pasti akan terpengaruh dengan alam sekitar. Pemanfaatan potensi alam dapat dipengaruhi oleh unsur alam di dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pemberian nama pada suatu hal tentu tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Bahasa tulis sebenarnya merupakan rekaman bahasa lisan sebagai usaha manusia untuk menyimpan bahasanya, atau untuk dapat disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda (Abdul Chaer, 2007: 83). Orang Jawa sendiri sangat fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang ada di sekitarnya. Dari perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar, orang Jawa lebih tertarik bukan karena variasinya, tetapi tentang praktisnya. Terutama di sini yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara ruwatan. Sebenarnya budaya Jawa tetap terjaga, yang mulai tergeser adalah nilai tradisi yang ada di dalamnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengutamakan pendidikan, mengembangkan pariwisata, dan menjunjung tinggi kebudayaan, sebab itu budaya bangsa warisan leluhur haruslah kita lestarikan. Upacara ruwatan diselenggarakan dalam suasana khidmat dan sakral. Namun sesungguhnya yang disakralkan itu bukan benda-benda perlengkapan upacara ataupun tindakan simbolik para pelakunya, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Karkono Kamajaya,1992: 3).
xvii
Adanya tradisi-tradisi baik lisan maupun tertulis yang terdapat di daerahdaerah seluruh nusantara, suatu kenyataan bahwa sampai saat ini masih banyak dilestarikan oeh kelompok pendukungnya. Setiap kelompok etnis baik kelompok besar atau kecil, pastilah mempunyai jalinan kekerabatan yang sangat kuat. Persekutuan dari individu-individu itu akan membentuk suatu kekuatan yang luar biasa. Bersama itu munculah aturan-aturan atau tradisi-tradisi dalam masyarakat yang selanjutnya diwariskan beruntun turun-temurun dari generasi ke generasi. Namun dari msing-masing kelompok tidak semua dapat menerima produk-produk yang dihasilkan oleh generasi pendahulunya. Tata kehidupan masyarakat pada masa tertentu akan selalu diwariskan, akan tetapi suatu warisan budaya tidak dengan sendirinya selalu diterima dengan senang oleh si pewaris. Masyarakat Jawa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia yang memiliki kekayaan budaya tradisional yang khas. Salah satu kekhasan budaya trdisional masyarakat Jawa tersebut adalah digunakanya unsurunsur simbolik atau simbol-simbol atau juga disebut lambang-lambang. Salah satu budaya tradisional yang berbentuk upacara yang penuh lambang-lambang atau simbol-simbol tersebut adalah upacara ruwatan. Bagi masyarakat Jawa, ruwatan merupakan upaya manusia untuk mencegah atau membebaskan manusia dari ancaman gaib yang dianggap membahayakan hidup manusia. Upacara ruwatan, dahulu merupakan suatu upacara yang tergolong sakral karena berasaskan agama dan kepercayaan, menjadi pudar dan peranan dalam perkembangan kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat yang membangun dan yang modern semakin hilang. Sampai-sampai di lingkungan masyarakat pedesaan, upacara ruwatan menjadi amat langka yang disebabkan
xviii
karena pengaruh faktor-faktor tertentu. Dan jika masyarakat kota (yang asalnya dari desa) semakin membengkak dan tidak ada yang merasa tergugah untuk melestarikan aspek-aspek tertentu dan aset-aset yang khas dalam dalam kehidupan budaya rakyat, upacara ruwatan sebagai tradisi Jawa mungkin akan tinggal kenangan saja. Seperti kata Sukerta [suk|rta], sukerta adalah kotor, noda. Orang sukerta adalah orang yang kotor. Dalam keyakinan orang Jawa orang sukerta adalah orang yang menjadi jatah makanan bathara kala. Murwa kala
[mUrwO kOlO] adalah kesatuan dari dua kata, yaitu
„murwa” yang berarti menguasai dan „kala’ berarti bencana, mala petaka. Dengan demikian jika di satukan akan menemukan arti dari kata tersebut yaitu bencana yang dikuasai, atau juga menguasai mala petaka. Perkataan murwakala mengandung ajaran, hendaknya orang dapat menguasai waktunya sendiri dan tidak membuang-buang waktu untuk perbuatan yang tak ada manfaatnya bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas mengatur waktu dengan sebaikbaiknya niscaya akan besar sekali manfaatnya bagi keselamatan dan kesejahteraan (Karkono Kama Jaya: 1992, 46) Fenomena kebahasaan seperti di atas seringkali muncul dalam waktuwaktu tertentu, karena istilah tersebut merupakan istilah yang sering muncul dalam ruwatan. Istilah dalam ruwatan perlu dikaji dengan alasan, 1) ruwatan merupakan nasihat yang adi luhung yang hidup di masyarakat, nasihatnya sering dimunculkan dalam cerita wayang yang di pertunjukkan, 2) ruwatan merupakan simbol yang perlu dikaji maksud dan atau pesan yang tersirat, 3) ruwatan masih hidup dalam masyarakat sebagai salah satu budaya yang dimiliki masyarakat
xix
Jawa, 4) peneliti ingin mengetahui fungsi istilah ruwatan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti ruwatan yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa yang hidup dalam masyarakat . Setiap masyarakat, suku bangsa, bangsa memiliki budaya yang berfungsi untuk mengatur, mengarahkan, dan bahkan menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan manusia sebagai pendukung budaya itu. Dengan fungsinya yang demikian itu budaya mempunyai kekuatan normatif sebagai pengendali sosial. Dalam masyarakat sederhana fungsi budaya sebagai pengendali sosial itu diwujudkan melalui simbol-simbol tertentu. Simbol-simbol atau lambanglambang itu bagi masyarakat pendukungnya difungsikan sebagai salah satu pengetahuan yang berarti. Simbol atau lambang dapat diwujudkan dalam bentuk patung, ungkapan, upacara-upacara, selamatan, lagu-lagu, gerak dalam tari dan pertunjukan seni yang lain. Dilihat dari sudut pedoman, estetika dan sistem simbol memberi pedoman terhadap berbagai pola perilaku manusia yang berkaitan dengan keindahan, yang pada dasarnya mencakup kegiatan berkreasi dan berapresiasi (Nooryan Bahari, 2008: 47). Alasan penelitian mengenai ruwatan ini adalah dalam rangka melestarikan kebudayaan dan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Pewarisan kebudayaan harus ada keseimbangan dengan cara menyusun dan penataan kembali secara sistematis, kronologis dan tepat unsurunsur kebudayaan menurut kedudukan yang sebenarnya. Upacara ruwatan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan mengandung nilai budaya tinggi. Warisan yang asli dari nenek moyang kita ini perlu dijaga dan dilestarikan agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak. Untuk
xx
melestarikan kebudayaan terutama upacara ruwatan perlu adanya orang yang tertarik dan berminat untuk mengadakan riset dan survei tentang upacara tersebut. Selain itu karena zaman sekarang perkembangan teknologi semakin pesat dan mendesak unsur-unsur tradisional akibatnya akan menimbulkan pergeseran nilai-nilai arti dan fungsi dari suatu tradisi yang telah berkembang lama, bahkan yang lebih ekstrim lagi, akan dapat menghilangkan tradisi-tradisi lama yang berkembang di suatu lokal. Cepat atau lambat akan menimbulkan suatu dampak pemiskinan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam unsur-unsur ruwatan dan segala aspeknya yang bersifat tradisional. Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang semakin maju dari tahun ke tahun umumnya masyarakat sekarang kurang memperoleh pesan-pesan nilai budaya yang terkandung dalam pola-pola tradisional atau bahkan mereka sudah melupakan dan menganggap tidak perlu karena sudah kuno, akibatnya akan jadi kesenjangan kontinyuitas budaya. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas itulah yang mendorong untuk segera dilakukan langkah-langkah inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan daerah yang sudah tampak gejala-gejala menipis ataupun menghilang. nilai asli dari tradisi dan pandangan-pandanganya perlu diangkat kembali. Kalau orang Jawa
sendiri
tidak
menemukan
pandangan
asli
dari
kebudayaanya
memungkinkan muncul paham atau interpretasi dangkal, karena kehilangan penghayatan terhadap budayanya sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa upacara ruwatan merupakan khazanah budaya Jawa, dan penelitian kebahasaan tentang istilah dalam upacara ruwatan belum pernah dilakukan.
xxi
Fenomena kebudayaan yang berhubungan dengan kebahasaan itulah yang akan di bahas, karena terlihat adanya keunikan-keunikan yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ilmu etnolinguistik, dengan judul istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kajian etnolinguistik yang sehubungan dengan istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 diantaranya sebagai berikut: 1. Istilah Alat-alat Rumah Tangga dan Perkembanganya di Kota Surakarta (Suatu Pendekatan Etnolinguistik), oleh Yohanes Suwanto, dkk (1990). Mengkaji tentang berbagai istilah alat-alat rumah tangga, baik yang bersifat tradisional maupun modern, perkembangan ala-alat rumah tangga dari tradisional menjadi modern berdasarkan kesamaan fungsi dan latar belakang budaya yang mempengaruhi pergeseran penggunaan istilah alat-alat rumah tangga. 2. Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Upacara nyadranan di Makam Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, (Kajian Etnolinguistik), oleh Iswati (2005). Mengkaji tentang berbagai istilah unsur-unsur sesaji dalam upacara nyadranan di makam sewu Desa Wijirejo, Kecamatan pandak, Kabupaten Bantul. Tentang makna leksikal, kultural, dan fungsi upacara nyadran bagi masyarakat. 3. Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang, Kecamatan
Gondang,
Kabupaten
Sragen,
(Suatu
Pendekatan
Etnolinguistik), oleh Hidha Watari (2008). Mengkaji tentang berbagai
xxii
istilah unsur-unsur sesaji dalam tradisi bersih desa di Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen. Tentang makna leksikal, kultural, dan fungsi tradisi bersih desa bagi masyarakat. 4. Istilah – Istilah Sesaji dalam Selamatan Upacara Perkawinan dan Perkembanganya di Desa Pulung, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. (Suatu Kajian Etnolinguistik), oleh Biesatyo Resthi (2009). Mngkaji tentang bentuk stilah, makna leksikal dan kultural istilah sesaji dalam selamatan upacara perkawinan dan perkembangannya di Desa Pulung, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Dari penelitian terdahulu menandakan bahwa penelitian mengenai istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 (kajian etnolinguistik), belum pernah dilakukan
B.
Pembatasan Masalah
Untuk membatasi masalah agar tidak meluas, maka dijelaskan batasanbatasan objek yang akan dikaji. Supaya dalam penelitian nantinya dapat lebih mudah dalam membantu peneliti. Masalah-masalah yang akan diteliti adalah istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, yang meliputi bentuk istilah dalam upacara ruwatan, makna leksikal dan makna kultural dari bentuk istilah itu.
xxiii
C.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian awal ini dapat disebutkan tiga masalah sebagai berikut; 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010? 2. Bagaimanakah makna leksikal dari istilah-istilah istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 ? 3. Bagaimanakah makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 ?
D.
Tujuan penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut; 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. 2. Mendeskripsikan makna leksikal dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. 3. Mendeskripsikan makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.
xxiv
E.
Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu: 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan teori linguistik, khususnya etnolinguistik. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian awal ini secara praktis dapat memberikan informasi mengenai bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, makna leksikal dan makna kultural dari bentuk istilah tersebut, dan mengetahui fungsi ruwatan untuk menambah wacana bagi masyarakat terutama pemuda, budayawan, seniman, pendidikan, anak-anak, orang tua. Dan dapat digunakan sebagai referensi moral, etika, dan religius terkait dengan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam upacara ruwatan.
F.
Sistematika Peulisan
Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II memuat kajian pustaka dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi tentang konsep-konsep yang mendasari penelitian ini. Konsep-konsep tersebut diambil dari beberapa buku referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan kerangka pikir berisi suatu bagan alur pemikiran dalam penelitian ini.
xxv
Bab III memuat metode penelitian. Metode penelitian berisi tentang penjelasan dari jenis penelitian, data, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV memuat hasil analisis dan pembahasan. Analisis data dilakukan dengan metode distribusional dan metode padan. Bab V memuat penutup yang berisi simpulan dan saran.
xxvi
BAB II LANDASAN TEORI Landasan teori di sini dimaksudkan sebagai dasar atau landasan yang sifatnya teori eksplisit yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dikaji di dalam penelitian. Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut.
A. 1.
Ruwatan
Upacara Ruwatan
Upacara ruwatan telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad dengan mengalami proses perubahan sampai pada bentuknya yang sekarang ini. Ketahanan dan kelestarianya menunjukkan bahwa warisan budaya leluhur itu memiliki fungsi yang dianggap penting bagi masyarakat pendukungnya. Apabila tidak, tradisi tersebut pasti sudah punah karena tidak ada lagi yang mendukungnya. Kata ruwatan berasal dari kata ruwat artinya: bebas, lepas.(Karkono Kamajaya, 1992: 10). Kata mangruwat atau ngruwat artinya: membebaskan, melepaskan. Dalam tradisi lama atau kuna yang diruwat adalah makhluk yang hidup mulia atau bahagia, tetapi kemudian berubah menjadi hina dan sengsara. Maka mereka yang hidup sengsara atau hina itu harus diruwat, artinya harus dibebaskan atau dilepaskan dari hidup sengsara. Menurut Purwadi (2006: 117), ruwatan berasal dari kata ruwat yang artinya memelihara atau menjaga. Ruwatan adalah salah satu tindakan manusia dengan bantuan dalang untuk memperoleh keselamatan hidup jauh dari segala malapetaka.
xxvii
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976: 855) menyebutkan ruwat berarti: 1. Pulih kembali sebagai keadaan semula (tentang jadi-jadian, orang kena teluh dan sebagainya) 2. Terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa (bagi orang yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk seperti anak tunggal dan sebagainya) Istilah ruwatan pengertian pada masa sekarang adalah pertujukan wayang kulit purwa dengan mengambil lakon Murwakala, yaitu lakon menceritakan kelahiran kala serta pepancen atau catu makan Bathara Kala. (Walujo, 1990: 1). Ada juga lakon cerita yang lain misalnya: Baratayuda, Sudamala, dan Kunjarakarna. Ruwatan berpusat pada cita-cita akan kesempurnaan hidup dan harmoni, menyangkut perjalanan hidup manusia sejak terjadinya dumadi sampai kembalinya. Membangun generasi berarti mewaspadai keturunan sejak sebelum terjadinya, agar tidak salah jadi, salah tumbuh, dan salah tindak. Keprihatinan yang mendalam itu terwujud dalam berbagai tradisi ruwat, yang berkambang lintas waktu, daerah, budaya dan agama (Kuntara Wiryamartana, 1990: 2). Upacara ruwatan telah tumbuh dan berkembang dengan pergelaran wayangnya seiring dengan pesan dan amanat yang mengandung nilai-nilai luhur yang disampaikan secara simbolik dan metaforik serta dalam bentuk penyajian yang serba estetis. Pesan dan amanat itu merupakan hasil penghayatan para leluhur dalam hidup bermasyarakat dan hubungannya dengan alam
yang
menjadi lingkungannnya. Dan hasil penghayatan itu telah terkaji sepanjang masa. Sehingga dapat dijadikan acuan bagi generasi berikutnya untuk mengatur
xxviii
hidupnya dalam tata pergaulan masyarakat dan lingkungannya agar dapat merasa tenteram, aman, selamat dan sejahtera. Penyampaian pesan secara simbolik dalam upacara ruwatan itu bertujuan agar nilai-nilai yang diungkapkan dapat terjaga kelestarianya. Apabila pesan itu disampaikan secara lugas (wantah), niscaya penerimaanya tidak berbeda dengan informasi biasa dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, sesudah pesan itu diterima oleh pendengarnya, maka selesailah fungsi pesan itu, dan tidak lagi mengesan dihatinya. Penyampaian pesan secara simbolik melalui penyelenggaraan upacara dengan segala perlengkapan, selamatan dan pergelaran wayang, seringkali sukar ditangkap secara rasional dan dalam hal ini kepekaan rasa sangat diperlukan untuk dapat memahami makna simbolik itu. Secara rasional kiranya dapat diuraikan bahwa ruwatan bertujuan untuk mensucikan jiwa anak sukerta dengan dibekali berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam upacara, dalam gelaran wayang, dalam makna simbolik setiap perlengkapan yang di gunakan. Mulai saat itu diharapkan anak yang telah disucikan melalui upacara ruwatan selalu berhati-hati dalam menjalani hidup sesuai dengan ajaran yang deterimanya selama upacara berlangsung. Kepatuhan kepada ajaran itu adalah yang menjamin keselamatan hidup selanjutnya. Oleh karena itu semakin pentinglah arti kajian terhadap makna-makna simbolik yang terkandung dalam upacara ruwatan agar dapat terwujud ajaran yang konkrit dan mudah diterima secara rasional oleh masyarakat. Dengan demikian adanya kesan bahwa ruwatan menjurus kepada hal-hal yang musrik atau pun tahayul dapat dicegah, dan upacara ruwatan sebagai adat tradisional tetap dapat dilestarikan dan tetap relevan dengan kehidupan masa kini dan masa depan.
xxix
Upacara ruwatan diselenggarakan dalam suasana khidmat dan sakral. Namun yang disakralkan itu sesungguhnya bukan benda-benda perlengkapan upacara atau juga tindakan simbolik para pelakunya, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. yang disakralkan, tujuannya ialah dengan menjunjung tinggi nili-nilai yang dianggap sakral itu kita selalu bersikap dan berbuat secara hati-hati dan penuh tanggung jawab, baik dalam pengendalian diri maupun dalam menjalin hubungan dengan alam. Pada kesakralan nilai-nilai juga tercermin hubungan kasih sayang orang tua dengan anaknya yang diruwat. Orang tua tidak hanya memandang anaknya semata-mata sebagai produk biologis, tetapi sebagai amanat (titipan) Tuhan yang harus dijaga pertumbuhannya serta dididik agar memiliki sifat-sifat dan kepribadian yang luhur. Mengasuh anak bagi orang tua adalah tugas yang harus dilaksanakan dan salah satu bentuknya adalah menyelenggarakan upacara ruwatan demi keselamatan dan kesejahteraan sang anak selanjutnya. Sebaliknya dari pihak anak pun, tidak dibenarkan memandang orang tuanya semata-mata sebagai penyebab kelahirannya secara biologis tetapi sebagai utusan Tuhan yang bertugas membimbing hidupnya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, anak wajib patuh terhadap amanat dan nasehat orang tua seperti tercermin dalam penyelenggaraan upacara ruwatan. Dalam budaya Jawa ditunjukkan adanya dua macam hubungan yaitu hubungan yang vertikal dan hubungan yang horisontal. Hubungan horisontal diartikan sebagai hubungan masyarakat. Hubungan vertikal ini manusia melakukannya melalui upacara dan selamatan. Upacara dan selamatan ini
xxx
merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 cerita wayang yang dipertunjukkan berjudul sudamala yang mengisahkan Bathari Uma (bidadari cantik) yang terkena kutukan Hyang Manikmaya karena berbuat salah atau tidak terpuji. Yang akhirnya berubah menjadi raksasa yang bernama Bathari Durga, dan bertempat tinggal dihutan kemudian menjadi istri dari Bathara Kala (anaknya sendiri). Hal ini menggambarkan hukum yang rusak atau dilanggar, hilangnya hukum sebab akibat. Setelah ketemu dan diruwat oleh Raden Sadewa (salah satu dari pandhawa lima) yang sedang dimasuki oleh Bathara Guru dengan disaksikan oleh Semar (Hyang Ismaya) maka Dewi Uma menjadi cantik seperti semula dan kembali ke kahyangan. Dalam pertunjukan wayang tersebut ceritanya menggambarkan tindakan dosa atau kesalahan manusia yang menyebabkan rohani menjadi kotor dan rusak digambarkan sebagai raksasa. Maka harus bertaubat dan dibersihkan dengan cara diruwat agar rohaninya menjadi baik dan suci kembali. Upacara ruwatan yang dilaksanakan di Pendapa ISI tanggal 10 Januari 2010, merupakan ruwatan sukerta. Tradisi meruwat anak sukerta dalam keluarga Jawa pada hakekatnya berdasarkan kenyataan. Bahwa sampai begitu jauh seorang anak dalam keluarga Jawa selalu mengalami kesialan. Dengan kata lain, sudah kodratnya bernasib seperti itu. Inilah pokok yang dianut dalam tradisi ruwatan, menghilangkan prasangka-prasangka buruk dalam pikiran. Dengan
xxxi
melakukan upacara ruwatan, memohon kepada Tuhan agar dihindarkan dari kesialan-kesialan yang selalu menimpa. 2. Sesaji Sesaji atau sering di sebut dengan sajen, mengandung maksud yang sama nilainya dengan korban sebagai penjelmaan penghargaan atau pengagungan kepada para leluhur, para penjaga tempat kediaman, desa, dan Negara beserta permohonan akan perlindungan Nya sehingga memperoleh keselamata dan kesejahteraan (Karkono Kamajaya, 1992: 48). Sesajen berarti sajian (makanan, bunga, dan sebagainya) yang disajikan untuk makhluk halus (Poerwadarminta, 1976: 929). Sesajen memiliki nilai sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini dilakukan untuk mencari berkah di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Banyak orang Jawa berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji kemudian pada suatu saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan). Sesaji yang ditujukan kepada yang mbaureksa (penjaga yang tidak kasat mata, yang gaib) sesungguhnya mencerminkan kesadaran menusia kepada lingkungan hidupnya. Dengan suasana kesakralan itu dimaksudkan agar manusia tidak gegabah merusak alam yang menjadi lingkunganya, sebab akibatnya akan berbalik sebagai malapetaka yang meninpa manusia yang melakukannya, bahkan seluruh masyarakat akan ikut juga menanggung musibah, jadi yang disakralkan
xxxii
bukan sesajinya, tetapi nilai kesadaran terhadap lingkungan itulah yang perlu dicamkan demi kesejahteraan hidup manusia. Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dam perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan (Suwardi Endraswara, 2006: 247). Upaya pendekatan diri melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal gaib, hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makanan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia.
B. 1.
Bentuk
Monomorfemis
Menuruy Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata, kata dalam hal ini satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri, mempunyai makna dan berkategori jelas. Sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis Sedangkan menurt Harimurti Kridalaksana (1993: 148), monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari satu morfem, morfem (morphemic) merupakan satuanbahasa terkecil yang maknanya secara relative stabil dan yang tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya. Penggolongan kata menjadi bentuk monomorfemis dan polimorfemis adalah penggolongan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.
xxxiii
Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam istilahistilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat merupakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan. Dengan kata lain istilah tersebut belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang, belum digabungkan atau dimajemukkan.
2.
Polimorfemis
Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa rangkaian morfem. Proses morfologis sendiri meliputi: a.
Pengimbuhan / afiksasi (penambahan afiks)
Ada empat macam afiks dalam bahasa Jawa, yang dibedakan satu sama lain atas letak dan tempatnya dipandang dari bentuk dasar yang dibersenyawai, yaitu prefiks infiks,, sufiks, dan konfiks (Sudaryanto, 1992: 19). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di tengan, di belakang, di depan dan di belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, afiks yang berada di tengah disebut sisipan atau infiks, dan afiks yang berada di belakang disebut sufiks, sedangkan afiks yang berada di depan dan di belakang di sebut konfiks. Afiks selalu berupa morfem terikat, sedangkan morfem dasar dapat berupa morfem bebas. b.
Reduplikasi
Kata ulang atau reduplikasi ialah kata yang diucapkan dua kali, sebagian atau seluruhnya (Aryo Bimo Setiyanto, 2007: 81).
xxxiv
c.
Kata Majmuk
Kata majemuk yaitu gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut membedakanya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (Harimurti Kridalaksana, 2001: 99). Kata majemuk dibentuk dengan satuan lingual yang berpotensi menjadi kata leksikal (Sudaryanto, 1992: 62).
3.
Frasa
Frasa yaitu satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas subjek dan predikat atau satuan lingual yang scara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciriciri klausa (Henry Guntur Tarigan, 1985: 93). Djoko Kentjono (1982: 57) mengatakan frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa. Jadi sebuah frasa harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Relasi unsur-unsurnya relatif longgar.
2.
Menpunyai unit sintaksis yang lebih rendah.
3.
Kontruksi yang unsurnya dimungkinkan disisipi bentuk lain.
4.
Intonasinya mengikuti kalimat.
Jadi yang disebut frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya non-predikatif dan tidak mempunyai batas fungsi. Maksudnya gabungan kata hanya mempunyai satu fungsi (S.P.O.K) dalam kalimat.
xxxv
C.
Makna
Pengertian sense „makna‟ dibedakan dari meaning „arti‟ di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tatanan bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Makna dapat diteliti melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi hubungan antar unsur. Dalam penelitian ini pembahasan meliputi makna leksikal, dan makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 133) makna leksikal yaitu makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya. Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubunganya dengan budaya tertentu. Makna kultural muncul dalam masyarakat karena adanya simbol-simbol yang melambangkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan kelancaran dan keselamatan dalam menjalani hidup. Dalam masyarakat Jawa makna kultural dijadikan sebagai acuan dalam bersikap dan bertingkah laku, serta menjadi nilai bagaimana seorang individu berperilaku dalam kelompoknya. Dalam memahami sebuah budaya tentu harus menafsirkan tanda dari budaya tersebut. Akan tetapi tanda tidak mempunyai konsep.tentu dalam hal ini simbol akan menjadi petunjuk untuk menghasilkan makna melalui interpretasi. Simbol akan menjadi bermakna apabila isi kode diuraikan menurut konvensi dan aturan budaya yang ada secara sadar ataupun
xxxvi
tidak sadar. Simbol dapat bermakana apabila penutur mampu menjelaskan sebuah tanda dengan menghubungkan beberapa aspek yang relevan. Makna kultural merupakan suatu makna yang berkaitan erat dengan masalah budaya. Makna kultural muncul dalam masyarakat untuk mendapatkan kelancaran dan keselamatan dalam menjalani sebuah kehidupan bermasyarakat.
D.
Etnolinguistik
Kelahiran etnolinguistik sangat erat hubungannya dengan hipotesis „Sapir-Whorf‟, yang disebut pula dengan relativisme bahasa (language relativisme) menurut pemikiran Boas (Sampson dalam Edi Subroto, 2003: 6). Hipotesis tersebut menyatakan bahasa manusia membentuk dan mempengaruhi presepsi manusia akan realitas lingkungan atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan dalam memproses atau membuat kategori-katagori realitas di sekitarnya
(Sampson, dalam Edi Subroto, 2003: 6). Berdasarkan hipotesis
tersebut dapat diketahui bahwa kategori-kategori yang merupakan sistem bahasa masyarakat tertentu akan mempengaruhi manusia dalam mempresepsikan dan mengkatagorikan realitas alam sekitar. Di samping hipotesis Sapir-Whorf terdapat pandangan lain bahwa bahasa itu menunjukkan bangsa, maksud budaya dan kekayaan budaya suatu kelompok etnik tertentu tersusun di dalam bahasanya khususnya leksikon, misalnya masyarakat Indonesia yang tergolong agraris memiliki leksikal yang berkaitan dengan padi, beras, nasi, nenir dan lain sebagainya. Etnolinguistik atau linguistik antropologi ialah nama bagi telaah hubugan antara bahasa, masyarakat dan kebudayaan. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai konteks dari hipotesis Sapir-
xxxvii
Whorf, maupun dalam konteks bahasa cermin bangsa, misalnya bagaimana aspek-aspek budaya, nilai budaya suatu kelompok etnik tertentu dicerminkan dalam bahasa, sebagai contoh rasa dan nilai rasa bagi masyarkat Jawa amat penting dalam interaksi sosial sehari- hari, dan bagaiman rasa dan nilai rasa di manifestasikan dalam leksikon (dalam bahasa Jawa terdapat leksikon ngoko, krama, dan krama inggil ). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang kaitannya dengan masyarakat dan budaya yang mempunyai perbedaan atau ciri pembeda yang berupa leksikon antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. E.
Kajian Linguistik Untuk Etnologi
1. Bahasa dan Pandangan Hidup Bahasa dan pandangan hidup suatu masyarakat dapat tercermin dari bahasa yang mereka gunakan. Dalam bahasa Jawa yakni ngoko, krama dan karma inggil. Bahasa Jawa ngoko merupakan bahasa Jawa yang dianggap paling kasar oleh orang Jawa sekaligus juga paling informal. Sedangkan bahasa Jawa karma inggil dipandang sebagai bahasa Jawa yang paling halus sekaligus juga paling formal. Bahasa Jawa karma dianggap berada ditengah-tengah, yakni agak halus dan agak formal. . Penelitian istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat digunakan untuk mengetahui cerminan pandangan hidup pemakainya.
2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan
xxxviii
Selain tentang pandangan hidup, kajian tentang bahasa dan maknanya akan memungkinkan kita mengetahui cara memandang kenyataan yang ada dikalangan pendukung bahasa yang kita teliti. Artinya kita dapat mengetahui dimensi-dimensi kenyataan mana yang mereka anggap penting dan relevan dalam kehidupan mereka, dan dari sini kita dapat mengetahui tempat unsur kenyataan tertentu dalam kehidupan mereka. 3. Bahasa dan Perubahan dalam Masyarakat Salah satu bidang penting dalam studi bahasa asalah semantik atau studi mengenai makna dalam sebuah bahasa. Para ahli bahasa seringkali mampu menyusun suatu kamus yang berisi kumpulan kata-kata bahasa asing, nasional, maupun lokal dengan lengkap, karena suatu kata seringkali memiliki banyak makna yang berbeda-beda, yang ditentukan oleh konteks dimana kata tersebut muncul. Konteks bahasa ini, yang terkait erat dengan konteks sosial budaya masyarakat pemilik bahasa tersebut, sangat beraneka ragam. Dan seorang ahli bahasa tidak selalu mampu menggali dimensi semantik dari satu kata, karena ini memerlukan penelitian lapangan dengan waktu yang cukup lama. Dalam konteks ini para ahli dapat memberi sumbangan pada linguistik. Seorang ahli etnologi terutama yang mempelajari barbagai simbol dan maknanya dalam suatu masyarakat, biasanya akan sangat memperhatikan beraneka ragam makna dari berbagai kata yang dianggap penting oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya upacara ruwatan yang didalamnya terdapat berbagai macam istilah. Istilah-istilah tersebut merupakan simbol-simbol yang memiliki makna. Misalnya, bocah sukerta yang merupakan simbol bahwa manusia dalam pandangan Jawa ada yang tergolong kotor.
xxxix
Dengan mengikuti upacara ruwatan memiliki pengharapan agar manusia yang dianggap kotor tersebut dapat kembali menjadi bersih, dalam artian rohaninya. Dan setelah mengikuti upacara ruwatan orang tersebut dapat lebih berhati-hati dalam menjalani hidupnya dikemudian hari.
F.
Masyarakat Bahasa
Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpun orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu) (Poerwadarminta, 1976: 636). Sedangkan menurut koentjaraningrat (1990: 146147), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinyu, dan yang terkait oleh rasa identitas bersama. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menggap diri mereka memakai bahasa yang sama Halliday (Djoko Kentjono. 1982: 116). Harimurti Kridalaksana (2001: 134) menyebutkan masyarakat bahasa yaitu kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu. Masyarakat bahasa disini ialah suatu masyarakat yang didasarkan kepada penggunaan bahasa tertentu. Jadi yang menjadi ukuran untuk kita menunjuk kepada masyarakat itu adalah bahasa apa yang digunakan oleh anggota masyarakat dalam kehidupan mereka untuk saling bekomunikasi satu sama lain, baik secara langsung atau tidak langsung. Suatu masyarakat bahasa merasa bahwa bahasa yang dipakai dalam masyarakat itu sebagai alat komunikasi yang memadai. Para anggota masyarakat tidak merasa kekurangan akan bahasa yang mereka perlukan dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Melalui bahasa masyarakat memberi
xl
istilah dalam upacara ruwatan, yang masih dilestarikan turun temurun oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa masih begitu kental dengan kebiasaankebiasaan mengadakan ritual yang diajarkan oleh nenek moyangnya, termasuk dalam hal ini adalah upacara ruwatan, yang dianggap mempunyai makna-makna simbolis.
G.
Kerangka Pikir
Upacara Ruwatan Massal di Pendapa ISI Surakarta
Istilah-Istilah Ruwatan dan Sesaji dalam Upacara Ruwatan Massal di Pendapa ISI Surakarta tanggalJanuari 2010
Bentuk
Monomorfemis
g Makna Leksikal
Polimorfemis
xli
Makna Kultural
BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu perwujudan yang berguna untuk menarik kesimpulan yang benar. Metode penelitian merupakan perangkat yang tidak dapat ditinggalkan, suatu metode sebagai alat untuk mengambil kesimpulan, menjelaskan, dan menganalisis masalah yang juga merupakan alat untuk mencegah masalah. Metode Penelitian ini membahas mengenai proses penelitian yaitu: (1) Jenis Penelitian, (2) Lokasi Penelitian, (3) Data, (4) Sumber Data, (5)Alat Penelitian, (6) Metode Pengumpulan Data, (7) Metode Analisis Data, (8) Metode penyajian hasil penelitian.
1.Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah berupa deskriptif kualitatif. Maksudnya penelitian yang berupaya untuk mendeskripsikan data kebahasaan. Penelitian deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan (Saifuddin Azwar, 2007: 6). Penelitian deskriptif menunjukkan tanda-tanda bahwa unsur ruang (spasial) memegang peranan utama. Dalam penelitian deskriptif penulis akan menuliskan aspek-aspek yang berbeda dari suatu inti tulisan dalam susunan yang teratur menurut ruang, bukan waktu. Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif, serta pada analisis terhadap
dinamika
hubungan
antar
menggunakan logika ilmiah.
xlii
fenomena
yang
diamati
dengan
Jadi penelitian deskriptif kualitatif disini, data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata dalam kalimat atau gambar-gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka-angka atau jumlah. Hasil penelitian berupa catatan-catatan yang menggambarkan arti sebenarnya. Hasil analisis yang dicapai diusahakan sedekat mungkin sesuai dengan data yang diperoleh dilapangan.
2.Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada didaerah lingkup sekitar ISI Surakarta. Karena ISI masuk dalam wilayah karesidenan Surakarta, dan Surakarta merupakan pusat budaya tradisional Jawa, dan sampai sekarang budayanya masih dipertahankan, terutama masyarakat tuturnya masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Meski terjadi berbagai variasi-variasi, namun itu dipandang merupakan penyesuaian budaya dan kreatifitas masyarakatnya dalam mengembangkan budaya tradisional Jawa. Dan itu merupakan tambahan bagi kekayaan budaya Jawa sendiri. Dipilihnya lingkup sekitar ISI Surakarta sebagai lokasi penelitian dikarenakan ISI Surakarta merupakan tempat diadakannya upacara ruwatan massal tanggal 10 Januari 2010, dan pengaruh budaya Jawa sangat besar. Selain itu masih banyak masyarakat Kota Surakarta yang percaya bahwa ruwatan dapat membawa perubahan kearah positif dalam kehidupan. Proses upacara ruwatan dilaksanakan di Pendapa ISI Surakarta.
3.
Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993; 3). Dikatakan juga, data ialah kenyataan-kenyataan murni yang belum ditafsirkan, diubah, atau
xliii
dimanipulasi, tetapi telah tersusun dalam bentuk tertentu (Komaruddin, 2002: 43). Data yang digunakan berupa istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tangga 10 Januari 2010. Data dalam penelitian ini berupa data lisan dan data tulis. Data lisan digunakan sebagai data primer atau data utama yang akan diteliti. Data lisan diperoleh dari informan yang berupa tuturan. Data lisan ini adalah hasil wawancara dengan informan. Data tulis merupakan data sekunder, digunakan sebagai data pembanding, yang diambil dari sumber tertulis yang berupa referensi pustaka.
4.
Sumber Data
Sumber data adalah si penghasil atau si pencipta bahasa yang sekaligus tentu saja si penghasil atau si pencipta data yang dimaksud, bisanya disebut dengan nama sumber (Sudaryanto, 1993; 35). Sumber data dalam penelitian ini adalah berasal dari informan yaitu peserta ruwatan, dalang, panitia penyelenggara ruwatan, dan masyarakat sekitar ISI Surakarta. Sumber data tertulis penunjang penelitian ini antara lain ruwatan murwakala suatu pedoman karangan Karkono Kamajaya (1992), sejarah dan perkembangan cerita murwakala dan ruwatan dari sumber-sumber sastra Jawa karangan Wawan Susetyo (1999).
5.
Alat Penelitian
Alat penelitian yaitu alat yang berguna untuk memperlancar peneliti seperti alat tulis, buku catatan, tape recorder, komputer, dan alat-alat lainya dalam menyelesaikan penelitian ini.
xliv
6.
Metode Pengumpulan Data
Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 136) metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu fenomena kebahasaan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak atau penyimakan yaitu metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap, sedangkan teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik rekam, teknik kerjasama dengan informan atau wawancara, teknik catat, dan teknik pustaka. Dalam metode pengumpulan data digunakan teknik dasar yang berupa teknik sadap yaitu menyadap menggunakan bahasa dari objek penelitian. Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran menyadap pemakai bahasa di masyarakat. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar. Serta menggunakan teknik lanjutan yang berupa: 1)
Tenik rekam yaitu merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan.
2)
Teknik kerjasama dengan informan atau wawancara. Informan yang diwawancarai adalah penutur asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti yaitu memberi informasai kebahasaan
yang dikehendaki oleh peneliti dan peneliti
yang
merencanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan penelitian. 3)
Teknik catat yaitu memperoleh data dengan mencatat data. Dengan mencatat data kebahasaan yang relevan dilakukan dengan
xlv
transkripsi tertentu menurut kepentingan dan dicatat secara lengkap dengan
konteksnya,
tanggal,
dan
settingnya
(situasi
yang
melatarbelakangi data). Penulis menggunakan teknik ini untuk mencatat istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 yang penting demi kemudahan pengumpulan data.
7.
Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan dua metode yaitu, metode distribusional dan metode padan, berikut ini adalah penguraiannya. 1)
Metode distribusional atau agih. Metode agih alat penentunya bagian dari bahasa yang bersangkutan itu
sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode agih digunakan untuk menganalisis bentuk istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tangga 10 Januari 2010. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung. Teknik bagi unsur langsung yaitu analisis data dengan membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. Datanya secara spontan, bahwa setiap apa yang dijadikan sebagai unsur oleh jeda selalulah menjadi bagian yag mutlak fungsional, bermakna signifikan bagi satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Adapun penerapan metode distribisional atau agih adalah sebagai berikut:
xlvi
Wayang purwa [wayaG pUrwO] Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu wayang dan purwa. Sehingga wayang purwa terdiri dari unsur wayang + purwa. Bentuk wayang yang berkategori nomina digabungkan dengan purwa yang berkategori ajektif menjadi wayang purwa yang berkategori frasa nominal. Wayang purwa termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata wayang yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah purwa yang berkategori ajektif. Arti kata wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan purwa adalah ‟wayang kulit yang membawakan ceritacerita zaman purba, dan setelah digabungkan menjadi wayang purwa yang artinya boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan cerita yang dibawakan memuat kisah zaman purba. Dalam upacara ruwatan wayang purwa adalah cerita wayang yang diambil untuk menampilkan cerita murwakala. 2)
Metode padan Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi
bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya diluar bahasa yang merupakan konteks situasi dari penggunaan bahasa di masyarakat. Alat penentu berupa referen, bahasa lain, identitas, mitra tutur, yang berhubungan dengan penelitian
xlvii
ini. Metode ini dipakai untuk menganalisis makna leksikal dengan mengetahui bentuk tuturan tersebut secara wajar. Dalam penelitian ini, metode padan juga digunakan untuk menganalisis makna kultural serta menjelaskan fungsi analisis. Data dalam penelitian ini bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa didalam istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. Adapun penerapan
metode distribusional dan metode padan adalah
sebagai berikut. Dhalang Kandha Buwana Dhalang kandha buwana adalah kesatuan dari tiga kata yaitu ‘Dhalang’ berarti orang yang memainkan wayang, ‘Kandha’ berarti berbicara atau bercerita, dan „Buwana‟ berarti dunia. Jika kita satukan menjadi orang yang memainkan wayang yang isi ceritanya tentang dunia. Dalang kandha buwana berarti dalang yang menyebar tutur (ajaran) tentang dunia.
8.
Metode Penyajian Hasil Penelitian
Metode penyajian hasil penelitian ada dua, yaitu
metode penyajian
formal dan metode penyajian informal (Sudaryanto, 1993: 144). Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya. Sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.
xlviii
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk Istilah Beberapa istilah yang berhubungan dengan upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk. Yaitu istilah yang masuk kategori bentuk monomorfemis, bentuk polimorfemis, dan bentuk frase.
1.
Monomorfemis Monomorfemis merupakan kata yang belum mendapatkan imbuhan, sehingga monomorfemis adalah kata dasar. Adapun istilah-istilah yang berhubungan dengan upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 yang termasuk monomorfemis sebagai berikut:
Gambar 1 Kirab
xlix
a.
Kirab
[kirab]
Kirab merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem. Kirab adalah berjalan teratur seperti barisan. Kirab termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan Kirab dilaksanakan untuk mengarak para peserta ruwatan menuju tempat upacara. Gambar 2 Jlupak
b.
Jlupak
[jlupa?]
Jlupak merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem. Jlupak adalah jenis lampu tradisional yang terbuat dari cobek, biasa diberi minyak kelapa dan sumbu. Jlupak termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan jlupak digunakan sebagai alat penerangan.
l
c.
Mantra
[mOntrO]
Mantra merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem. Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib. Mantra termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan mantra digunakan sebagai pengusir kekuatan jahat. d.
Sukerta
[suk|rta]
Sukerta merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem. Kategori bentuk ini adalah nomina. Sukerta adalah kotor, noda, gangguan. Sukerta termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan sukerta sebutan untuk orang-orang yang mempunyai ciri atau cacad cela yang dibawa oleh kelahirannya, dan menurut kepercayaan turun-temurun, mereka itu menjadi jatah makanan bathata kala.
2.
Polimorfemis Bentuk polimorfemis meliputi (1) Afiksasi, (2) Kata Majemuk, dan (3) Reduplikasi. Adapun kata-kata yang termasuk dalam polimorfemis adalah sebagai berikut:
li
1)
Afiksasi a.
Ruwatan
[ruwatan]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas ruwat dan morfem terikat sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur ruwat + –an. Ruwatan termasuk istilah ruwatan. Makna kata ruwat adalah lepas dari kutukan dewa dan tenung, atau situasi tertentu. Sedangkan ruwatan adalah selamatan bagi orang-orang yang mendapat kutukan dari dewa atau supaya terlepas dari tenung atau dalam situasi khusus. b.
Sajen
[sajEn]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas saji dan morfem terikat sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur saji + –an. Makna kata saji adalah hidangan berupa makanan, minuman, atau bunga untuk para leluhur atau roh halus. Sedangkan sajen adalah perlengkapan upacara berupa makanan, bunga, dan sebagainya yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib. Sajen termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan sajen digunakan sebagai syarat upacara yang berupa hidangan yang disuguhkan kepada roh halus agar tidak mengganggu jalannya upacara.
lii
Gambar 3 Siraman
c.
Siraman
[siraman]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas siram dan morfem terikat sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur siram + –an. Makna kata siram adalah mandi. Sedangkan siraman adalah upacara pemandian. Siraman termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan siraman dilaksanakan sebagai ritual pembersihan kotoran yang melekat pada diri para sukerta, yaitu dengan cara memecikkan air ketubuh para peserta ruwatan. d.
Larungan [laruGan] Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas larung dan morfem terikat sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur larung + –an.
liii
Makna kata larung adalah hanyut terbawa air. Sedangkan larungan adalah membuang atau menghanyutkan sesuatu dilaut (air yang mengalir). larungan termasuk istilah ruwatan. Dalam
upacara
ruwatan
larungan
laksanakan
untuk
menghanyutkan pakaian yang digunakan para sukerta saat mengikuti jalannua upacara, tujuannya adalah sebagai simbol menghanyutkan kotoran yang melekat pada diri sukerta. Gambar 4 Carahan
e.
Carahan
[carahan]
Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas carah dan morfem terikat sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur carah + –an. Carahan termasuk istilah sesaji. Makna kata carah (crah) adalah retak. Sedangkan carahan adalah benda-benda yang terbuat dari tanah atau yang lain yang mudah retak.
liv
2)
Reduplikasi a.
Memala
[m|mOlO]
Memala merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses reduplikasi kata mala yang di ulang suku kata depannya. Makna kata mala adalah kotor, dosa, bencana,
kecelakaan,
setelah diulang suku kata depannya menjadi memala yang berarti bencana, celaka. Memala termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan memala digunakan untuk menyebut kotoran atau dosa yang disandang para sukerta, baik yang dibawa dari lahir maupun yang di dapat karena melakukan suatu tindakan yang salah. b.
Pepancen
[p|pancEn]
Pepancen merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses reduplikasi kata pancen yang di ulang suku kata depannya. Pancen terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas panci dan morfem terikat sufik –an. Sehingga pancen terdiri dari unsur panci + –an. Dan pepancen terdiri dari unsur R + (panci + –an). Makna kata panci adalah barang yang sudah di pastikan, memang, setelah diulang suku kata depannya dan di ikuti sufik –an menjadi pepancen yang berarti segala sesuatu yang sudah di pastikan. Pepancen termasuk istilah ruwatan.
lv
Dalam upacara ruwatan pepancen adalah jatah makanan bathara kala, yaitu orang-orang yang termasuk dalam kategori anak sukerta. c.
Woh-wohan
[wO-wOan]
Woh-wohan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses reduplikasi kata woh dan di ikuti sufik –an menjadi wohwohan. Wohan terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas woh dan morfem terikat sufik –an. Sehingga wohan terdiri dari unsur woh + –an. Dan woh-wohan terdiri dari unsur R + woh + –an. Makna kata woh adalah buah yang masih kecil, setelah diulang dan diberi sufik –an menjadi woh-wohan yang berarti beraneka macam buah. Woh-wohan termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan woh-wohan adalah salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa beraneka macam buah.
3)
Kata Majemuk a.
Murwakala
[mUrwOkOlO]
Murwakala merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar murwa dan kala. sehingga murwakala terdiri dari dua unsur yaitu murwa + kala.
lvi
Murwakala termasuk istilah ruwatan. Makna kata murwa adalah menguasai, dan kala adalah bencana atau mala petaka, dan setelah digabungkan menjadi bentuk murwakala yang artinya menguasai bencana atau mala petaka. Gambar 5 Ingkung golong
b.
Ingkung golong
[iGkUG gOlOG]
Ingkung golong merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar ingkung dan golong. sehingga ingkung golong terdiri dari dua unsur yaitu ingkung + golong. Makna kata ingkung adalah ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong, hanya diambil bulu dan isi perutnya, dan golong adalah menyatu, menjadi satu, dan setelah digabungkan menjadi bentuk ingkung golong yang artinya ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong, hanya diambil bulu dan isi perutnya dan di sampingnya diletakkan nasi yang di buat bulat ukuran dua genggam tangan orang dewasa.
lvii
Ingkung golomg termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan ingkung golong adalah salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa ingkung ayam yang diskelilingnya diletakkan nasi yang dibuat bulat. Gambar 6 Gecok bakal
c.
Gecok bakal
[g|cO? bakal]
Gecok bakal merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar gecok dan bakal. sehingga gecok bakal terdiri dari dua unsur yaitu gecok + bakal. Makna kata gecok adalah sajen berupa binatang, dan bakal adalah permulaan, dan setelah digabungkan menjadi bentuk gecok bakal yang artinya sajen berupa bibit binatang. Gecok bakal termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan gecok bakal adalah salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa
lviii
tulur ayam mentah dan kembang setaman yang ditaburkan disampingnya. Gambar 7 Gecok urip
d.
Gecok urip
[g|cO? urIp]
Gecok urip merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu kata dasar gecok dan urip. sehingga gecok urip terdiri dari dua unsur yaitu gecok + urip. Makna kata gecok adalah sajen berupa binatang, dan urip adalah hidup, dan setelah digabungkan menjadi bentuk gecok urip yang artinya sajen berupa binatang yang masih hidup. Gecok urip termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan gecok urip adalah salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa sepasang ikan lele yang masih hidup.
lix
e.
Kedhana kedhini
[k|DOnO k|Dini]
Kedhana kedhini merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu bentuk kedhana dan kedhini. Bentuk kedhana terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas dhana dan morfem terikat prefik ke–. Sehingga kedhana terdiri dari unsur ke– +
dhana. Bentuk
kedhini terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas dhini dan morfem terikat prefik ke–. Jadi kedhini terdiri dari unsur ke– + dhini. Sehingga kedhana kedhini terdiri dari dua unsur yaitu kedhana + kedhini. Makna kata kedhana adalah kesana, dan kedhini adalah kesini, dan setelah digabungkan menjadi bentuk kedhana kedhini yang artinya kesana sini, dan disini yang disebut kedhana kedhini setelah mengalami proses pemajemukan adalah dua bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan. Kedhana kedhini termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan kedhana kedhini adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu dua bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan. f.
Ontang anting
[OntaG antIG]
Ontang anting merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari dua kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu bentuk ontang dan anting. sehingga ontang anting terdiri dari dua unsur yaitu ontang + anting.
lx
Makna kata ontang adalah ontang, dan anting adalah panting, dan setelah digabungkan menjadi bentuk ontang anting yang artinya pontang panting, dan disini yang disebut ontang anting setelah mengalami proses pemajemukan adalah Anak tunggal (tak bersaudara). Ontang-anting termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan ontang anting adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu Anak tunggal (tak bersaudara). g.
Sendhang kapit pancuran [s|nDaG kapIt pancuran] Sendhang kapit pancuran merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari tiga kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu sendhang, kapit dan pancuran. Bentuk kapit terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas apit dan morfem terikat prefik ka– Jadi kapit terdiri dari unsur prefik ka– + apit. Dan bentuk pancuran terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas mancur dan morfem terikat prefik pa– dan sufik –an. Jadi pancuran terdiri dari unsur prefik pa– + mancur + sufik –an. Sehingga sendang kapit pancuran terdiri dari unsur sendang + kapit + pancuran. Makna kata sendang adalah sendhang, kapit adalah terjepit dan pancuran adalah gerojogan, dan setelah digabungkan menjadi sendang kapit pancuran yang artinya sendang yang mengapit gerojogan dan disini yang disebut sendhang kapit pancuran
lxi
setelah mengalami proses pemajemukan adalah sebutan untuk tiga bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang wanita lahir ditengah. Sendhang kapit pancuran termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan sendang kapit pancuran adalah salah satu kategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu tiga bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang wanita lahir ditengah. h.
Pancuran kapit sendhang [pancuran kapIt s|nDaG] Pancuran kapit sendang merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari tiga kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu sendang, kapit dan pancuran. Bentuk pancuran terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas mancur dan morfem terikat prefik pa– dan sufik –an. Jadi pancuran terdiri dari unsur prefik pa– + mancur + sufik –an. Dan bentuk kapit terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas apit dan morfem terikat prefik ka–. Jadi kapit terdiri dari unsur sufik ka– + apit. Sehingga pancuran kapit sendang terdiri dari unsur pancuran + kapit + sendang. Makna kata pancuran adalah gerojogan, kapit adalah terjepit dan sendhang adalah sendang, dan setelah digabungkan menjadi pancuran kapit sendang yang artinya gerojogan yang mengapit sendang dan di sini yang disebut pancuran kapit sendhang setelah mengalami proses pemajemukan adalah
lxii
sebutan untuk tiga bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan yang laki-laki lahir ditengah. Pancuran kapit sendhang termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan pancuran kapit sendang adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu tiga bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan yang lakilaki lahir ditengah i.
Dhalang Kandha Buwana [DalaG kanDa buwana] Dhalang kandha buwana merupakan bentuk polimorfemis yang terdiri dari tiga kata dan terjadi proses pemajemukan, yaitu dhalang, kandha dan buwana. Dhalang kandha buwana adalah kesatuan dari tiga kata yaitu dhalang adalah orang yang memainkan wayang, kandha adalah berbicara atau bercerita, dan buwana adalah dunia. Jika kita satukan menjadi orang yang memainkan wayang yang isi ceritanya tentang dunia. Dalang kandha buwana setelah mengalami proses pemajemukan berarti dalang yang menyebar tutur (ajaran) tentang dunia. Dhalang kandha buwana termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan dalang kandha buwana adalah dhalang yang bertugas meruwat para sukerta.
lxiii
3.
Frasa Frasa yaitu satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas subjek dan predikat atau satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang mempunyai ciri-ciri klausa. Adapun kata-kata yang berupa frasa adalah sebagai berukut: a.
Mori putih
[mOri putIh]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu mori dan putih. Sehingga mori putih terdiri dari unsur mori + putih. Bentuk mori yang berkategori nomina digabungkan dengan putih yang berkategori ajektif menjadi mori putih yang berkategori frasa nominal. Mori putih termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata mori yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah putih yang berkategori ajektif. Makna kata mori adalah kain, dan putih adalah warna putih, dan setelah digabungkan menjadi mori putih yang artinya kain yang berwarna putih. Mori putih termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan mori putih digunakan sebagai penutup tubuh para peserta ruwatan.
lxiv
Gambar 8 Kambil gadhing
b.
Kambil gadhing
[kambIl gaDiG]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu kambil dan gadhing. Sehingga kambil gadhing terdiri dari unsur kambi+ gadhing. Bentuk kambil yang berkategori kambil gadhing digabungkan dengan gadhing yang berkategori ajektif menjadi kambil gadhing yang berkategori frasa nominal. Kambil gadhing termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata kambil yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah gadhing yang berkategori ajektif. Makna kata kambil adalah kelapa, dan gadhing adalah warna kuning cerah, dan setelah digabungkan menjadi kambil gadhing yang artinya kelapa yang berwarna kuning cerah. Kambil gadhing
termasuk istilah sesaji.
lxv
Dalam upacara ruwatan kambil gadhing digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa kelapa yang kulitnya berwarna kuning. Gambar 9 Wayang purwa
c.
Wayang purwa
[wayaG pUrwO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu wayang dan purwa. Sehingga wayang purwa terdiri dari unsur wayang + purwa. Bentuk wayang yang berkategori nomina digabungkan dengan purwa yang berkategori ajektif menjadi wayang purwa yang berkategori frasa nominal. Wayang purwa termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata wayang yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah purwa yang berkategori ajektif. Makna kata wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan purwa adalah ‟wayang kulit yang membawakan cerita-cerita zaman purba, dan
lxvi
setelah digabungkan menjadi wayang purwa yang artinya boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan cerita yang dibawakan memuat kisah zaman purba. Wayang purwa termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan wayang purwa adalah cerita wayang yang diambil untuk menampilkan cerita murwakala. Gambar 10 Jajan pasar
d.
Jajan pasar
[jajan pasar]
Bentuk ini merupakan frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu jajan dan pasar. Sehingga jajan pasar terdiri dari unsur jajan + pasar. Bentuk jajan yang berkategori verbal digabungkan dengan pasar yang berkategori nomina menjadi jajan pasar yang berkategori frasa verbal. Jajan pasar termasuk dalam frasa verbal karena intinya yaitu kata jajan yang termasuk dalam kategori verba, sedangkan atributnya adalah pasar yang berkategori nomina.
lxvii
Makna kata jajan adalah membeli makanan, dan pasar tempat orang berdagang, dan setelah digabungkan menjadi jajan pasar yang artinya membeli di tempat orang berdagang. Jajan pasar termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan jajan pasar digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa beraneka macam jajanan yang berasal dari pasar. e.
Pala kependhem
[pOlO k|p|nD|m]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu pala dan kependhem. Bentuk kependhem terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas pendhem dan morfem terikat prefik ke– Jadi kependhem terdiri dari unsur prefik ke– + pendhem. Sehingga pala kependhem terdiri dari unsur pala + kependhem. Bentuk pala yang berkategori nomina digabungkan dengan kependhem yang berkategori verba menjadi pala kependhem yang berkategori frasa nominal. Pala kependhem termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata pala yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kependhem yang berkategori verba. Makna kata pala adalah buah, dan kependhem adalah terkubur di dalam tanah, dan setelah digabungkan menjadi pala kependhem yang artinya buah atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di dalam tanah. Pala kependhem termasuk istilah sesaji.
lxviii
Dalam upacara ruwatan pala kependhem digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di dalam tanah. Gambar 11 Pala kesimpar
f.
Pala kesimpar
[pOlO k|simpar]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu pala dan kesimpar. Bentuk kesimpar terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas simpar dan morfem terikat prefik ke– Jadi kesimpar terdiri dari unsur prefik ke– + simpar. Sehingga pala kesimpar terdiri dari unsur pala + kesimpar. Bentuk pala yang berkategori nomina digabungkan dengan kesimpar yang berkategori verba menjadi pala kesimpar yang berkategori frasa nominal. Pala kesimpar termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata pala yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kesimpar yang berkategori verba.
lxix
Makna kata pala adalah buah, dan kesimpar adalah berserakan di permukaan tanah, dan setelah digabungkan menjadi pala kesimpar yang artinya buah yang di hasilkan tanaman yang buahnya berserakan di atas tanah. Pala kesimpar termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan pala kesimpar digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah yang di hasilkan tanaman yang buahnya berserakan di atas tanah. g.
Pala gumantung [pOlO gumantUG] Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu pala dan gumantung. Bentuk gumantung terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas gantung dan morfem terikat infik √–um–. Jadi gumantung terdiri dari unsur gantung + infik √–um–. Sehingga pala gumantung terdiri dari unsur pala + gumantung. Bentuk pala yang berkategori nomina digabungkan dengan gumantung yang berkategori verba menjadi pala gumantung yang berkategori frasa nominal. Pala gumantung termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata pala yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah gumantung yang berkategori verba. Makna kata pala adalah buah, dan gumantung adalah bergantungan diatas pohon, dan setelah digabungkan menjadi pala gumantung yang
lxx
artinya buah yang di hasilkan tanaman yang menggantung atau menempel di dahan pohon, terdapat di atas tanah. Pala gumantung termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan pala gumantung digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah yang di hasilkan tanaman yang menggantung atau menempel di dahan pohon, terdapat di atas tanah. Gambar 12 Cikal klapa
h.
Cikal klapa
[cikal klOpO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu cikal dan klapa. Sehingga cikal klapa terdiri dari unsur cikal + klapa. Bentuk cikal yang berkategori nomina digabungkan dengan klapa yang berkategori nomina menjadi cikal klapa yang berkategori frasa nominal. Cikal klapa termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata cikal yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah klapa yang berkategori nomina.
lxxi
Makna kata cikal adalah tunas yang baru tumbuh, dan klapa adalah kelapa, dan setelah digabungkan menjadi cikal klapa yang artinya tunas kelapa yang baru tumbuh. Cikal klapa termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan cikal klapa digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa tunas kelapa yang baru tumbuh. Gambar 13 Gedhang ayu
i.
Gedhang ayu
[g|DaG ayu]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu gedhang dan ayu. Sehingga gedhang ayu terdiri dari unsur gedhang + ayu. Bentuk gedhang yang berkategori nomina digabungkan dengan ayu yang berkategori ajektif menjadi gedhang ayu yang berkategori frasa nominal. Gedhang ayu termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata gedhang yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah ayu yang berkategori ajektif.
lxxii
Makna kata gedhang adalah pisang, dan ayu adalah cantik dan setelah digabungkan menjadi gedhang ayu yang artinya pisang yang cantik‟. Gedhang ayu termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan gedhang ayu digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa pisang yang cantik. Gambar 14 Jenang sengkala
j.
Jenang sengkala
[j|naG s|GkOlO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu jenang dan sengkala. Sehingga jenang sengkala terdiri dari unsur jenang + sengkala. Bentuk jenang yang berkategori nomina digabungkan dengan sengkala yang berkategori ajektif menjadi jenang sengkala yang berkategori frasa nominal. Jenang sengkala termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata jenang yang termasuk dalam
lxxiii
kategori nomina, sedangkan atributnya adalah sengkala yang berkategori ajektif. Makna kata jenang adalah bubur, dan sengkala adalah celaka, halangan, dan setelah digabungkan menjadi jenang sengkala yang artinya bubur yang dibuat untuk menghindari celaka. Jenang sengkala termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan jenang sengkala digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa bubur yang dibuat untuk menghindari celaka. Gambar 15 Tumpeng megana
k.
Tumpeng megana
[tump|G m|gOnO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan megana. Sehingga tumpeng megana terdiri dari unsur tumpeng + megana. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan megana yang berkategori nomina menjadi tumpeng megana yang berkategori frasa nominal. Tumpeng megana termasuk dalam frasa
lxxiv
nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah megana yang berkategori nomina,. Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan megana adalah mega, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng megana yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas dibuat rata, disamping tumpeng diletakkan gudhangan melingkar. Tumpeng megana termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan tumpeng megana digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas dibuat rata, disamping tumpeng diletakkan gudhangan melingkar. Gambar 16 Tumpeng sembur
lxxv
l.
Tumpeng sembur
[tump|G s|mbUr]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan sembur. Sehingga tumpeng sembur terdiri dari unsur tumpeng + sembur. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan sembur yang berkategori verba menjadi tumpeng sembur yang berkategori frasa nominal. Tumpeng sembur termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah sembur yang berkategori verba,. Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan sembur adalah sembur, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng sembur yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagiantubuh tunmpeng diberi warna kuning. Tumpeng sembur termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan tumpeng sembur digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagiantubuh tunmpeng diberi warna kuning.
lxxvi
Gambar 17 Tumpeng tutul
m.
Tumpeng tutul [tump|G tutUl] Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan tutul. Sehingga tumpeng tutul terdiri dari unsur tumpeng + tutul. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan tutul yang berkategori verba menjadi tumpeng tutul yang berkategori frasa nominal. Tumpeng tutul termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah tutul yang berkategori verba,. Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan tutul adalah totol atau blentong, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng tutul yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tunmpeng diberi warna totol-totol kuning. Tumpeng tutul termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan tumpeng sembur digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang
lxxvii
berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tunmpeng diberi warna totol-totol kuning. Gambar 18 Tumpeng lugas
n.
Tumpeng lugas
[tump|G lugas]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan lugas. Sehingga tumpeng lugas terdiri dari unsur tumpeng + lugas. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan lugas yang berkategori verba menjadi tumpeng lugas yang berkategori frasa nominal. Tumpeng lugas termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah lugas yang berkategori verba,. Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan lugas adalah lugu, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng lugas yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa hiasan (polos). Tumpeng lugas termasuk istilah sesaji.
lxxviii
Dalam upacara ruwatan tumpeng lugas digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa hiasan (polos). Gambar19 Tumpeng kendhit
o.
Tumpeng kendhit
[tump|G k|nDIt]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan kendhit. Sehingga tumpeng kendhit terdiri dari unsur tumpeng + kendhit. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan kendhit yang berkategori verba menjadi tumpeng kendhit yang berkategori frasa nominal. Tumpeng kendhit termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kendhit yang berkategori verba,. Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, dan kendhit adalah tali, sabuk yang mengelilingi perut, awan yang mengelilingi gunung, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng
lxxix
kendhit yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut di bagian pangkal ditaburi warna. Tumpeng kendhit termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan tumpeng kendhitdigunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut di bagian pangkal ditaburi warna. Gambar 20 Potong rambut
p.
Potong rambut
[pOtOG rambUt]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu potong dan rambut. Sehingga potong rambut terdiri dari unsur potong + rambut. Bentuk potong yang berkategori verba digabungkan dengan rambut yang berkategori nomina menjadi potong rambut yang berkategori frasa verbal. Potong rambut termasuk dalam frasa verbal karena intinya yaitu kata potong yang termasuk dalam kategori verba, sedangkan atributnya adalah rambut yang berkategori nomina.
lxxx
Makna kata potong adalah pangkas, dan rambut adalah rambut, dan setelah
digabungkan
menjadi
potong
rambut
yang
artinya
memangkas rambut. Potong rambut termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan potong rambut adalah upacara memangkas rambut para peserta ruwatan yang dilakukan oleh dalang kandha bhuwana sebagai simbol bahwa kotoran yang melekat pada diri para sukerta telah diambil. Gambar 21 Sega asahan
q.
Sega asahan
[s|gO asahan]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu sega dan asahan. Bentuk asahan terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas asah dan morfem terikat sufik –an Jadi asahan terdiri dari unsur asah + –an. Sehingga sega asahan terdiri dari unsur sega + asahan. Bentuk sega yang berkategori nomina digabungkan dengan asahan yang berkategori verba menjadi sega asahan yang berkategori frasa
lxxxi
nominal. Sega asahan termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata sega yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah asahan yang berkategori verba,. Makna kata sega adalah nasi, dan sahan adalah asahan, dan setelah digabungkan menjadi sega asahan yang artinya nasi asahan. Sega asahan termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan sega asahan digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi asahan. r.
Suda mala
[sudO mOlO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu suda dan mala. Sehingga suda mala terdiri dari unsur suda + mala. Bentuk suda yang berkategori verba digabungkan dengan mala yang berkategori ajektif menjadi suda mala yang berkategori frasa verbal. Suda mala termasuk dalam frasa verbal karena intinya yaitu kata suda yang termasuk dalam kategori verba, sedangkan atributnya adalah mala yang berkategori ajektif. Makna kata suda adalah kurang, dan mala adalah bencana atau mala petaka, dan setelah digabungkan menjadi suda mala yang artinya mengurangi bencana atau mala petaka. Suda mala termasuk istilah ruwaan.
lxxxii
Dalam upacara ruwatan suda mala adalah lakon yang diambil dalam cerita wayang yang dipergelarkan dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010. s.
Satria wirang
[satriO wiraG]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu satria dan wirang. Sehingga satria wirang terdiri dari unsur satria + wirang. Bentuk satria yang berkategori nomina digabungkan dengan wirang yang berkategori ajektif menjadi satria wirang yang berkategori frasa nominal. Satria wirang termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata satria yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah wirang yang berkategori ajektif. Makna kata satria adalah laki-laki jantan, seorang prajurit yang luhur, dan wirang adalah susah, dan setelah digabungkan menjadi satria wirang yang artinya seorang laki-laki yang selalu mengalami kesusahan. Satria wirang termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan satria wirang adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala. t.
Bathara kala
[baTOrO kOlO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu bathara dan kala. Sehingga bathara kala terdiri dari unsur bathara + kala.
lxxxiii
Bentuk bathara yang berkategori nomina digabungkan dengan kala yang berkategori ajektif menjadi bathara kala yang berkategori frasa nominal. Bathara kala termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata bathara yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kala yang berkategori ajektif. Makna kata bathara adalah dewa, dan kala adalah bencana atau bahaya, dan setelah digabungkan menjadi bathara kala yang artinya dewa yang membawa bahaya. Bathara kala termasuk istilah ruwatan. Dalam upacara ruwatan bathara kala adalah sebutan untuk dewa yang membawa malapetaka bagi orang-orang yang temasuk dalam golongan orang sukerta. Gambar 22 Jenang kacang warna
u.
Jenang kacang warna
[j|naG kacaG warnO]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu jenang dan kacang warna, kacang warna terdiri dari
lxxxiv
dua unsur langsung yaitu kacang dan warna. Sehingga jenang kacang warna terdiri dari unsur jenang + kacang + warna. Bentuk jenang yang berkategori nomina digabungkan dengan kacang yang berkategori nomina dan warna yang berkategori ajektif menjadi jenang kacang warna yang berkategori frasa nominal. Jenang kacang warna termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata jenang yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kacang yang berkategori nomina dan warna yang berkategori ajektif. Makna kata jenang adalah bubur, kacang adalah bubur dan warna adalah warna, dan setelah digabungkan menjadi jenang kacang warna yang artinya bubur yang terbuat dari kacang yang beraneka ragam warna. Jenang kacang warna termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan jenang kacang warna digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa bubur yang terbuat dari kacang yang beraneka ragam warna.
lxxxv
Gambar 23 Tumpeng rajeg dom
v.
Tumpeng rajeg dom
[tump|G raj|g dOm]
Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan rajeg dom, rajeg dom terdiri dari dua unsur langsung yaitu rajeg dan dom. Sehingga tumpeng rajeg dom terdiri dari unsur tumpeng + rajeg + dom. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan rajeg yang berkategori verba dan dom yang berkategori nomina menjadi tumpeng rajeg dom yang berkategori frasa nominal. Tumpeng rajeg dom termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah rajeg yang berkategori verba dan dom yang berkategori nomina. Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, rajeg adalah dipagari atau ditancapi, dan dom adalah jarum, setelah digabungkan menjadi Tumpeng rajeg dom yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng ditancapi cabai. Tumpeng rajeg dom termasuk istilah sesaji.
lxxxvi
Dalam upacara ruwatan Tumpeng pucuk endog digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng ditancapi cabai. Gambar 24 Tumpeng pucuk lombok
w.
Tumpeng pucuk lombok [tump|G pucU? lOmbO?] Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan pucuk lombok, pucuk lombok terdiri dari dua unsur langsung yaitu pucuk dan lombok. Sehingga tumpeng pucuk lombok terdiri dari unsur tumpeng + pucuk + lombok. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan pucuk yang berkategori ajektif dan lombok yang berkategori nomina menjadi tumpeng pucuk lombok yang berkategori frasa nominal. Tumpeng pucuk lombok termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah pucuk yang berkategori Ajektif dan lombok yang berkategori nomina.
lxxxvii
Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, pucuk adalah ujung atas dan lombok adalah cabai, dan setelah digabungkan menjadi tumpeng pucuk lombok yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi cabai. Tumpeng pucuk lombok termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan tumpeng pucuk lombok digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi cabai. Gambar 25 Tumpeng pucuk endhog
x.
Tumpeng pucuk endhog [tump|G pucU? |nDOg] Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu tumpeng dan pucuk endhog, pucuk endhog terdiri dari dua unsur langsung yaitu pucuk dan endhog. Sehingga tumpeng pucuk endhog terdiri dari unsur tumpeng + pucuk + endhog. Bentuk tumpeng yang berkategori nomina digabungkan dengan pucuk yang berkategori ajektif dan endog yang berkategori nomina
lxxxviii
menjadi tumpeng pucuk endhog yang berkategori frasa nominal. Tumpeng pucuk endhog termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata tumpeng yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah pucuk yang berkategori ajektif dan endog yang berkategori nomina. Makna kata tumpeng adalah nasi putih yang di bentuk kerucut, pucuk adalah ujung atas dan endhog adalah telur, dan setelah digabungkan menjadi Tumpeng pucuk endhog yang artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng diletakkan telur. Tumpeng pucuk endhog termasuk istilah sesaji. Dalam upacara ruwatan tumpeng pucuk endhog digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng diletakkan telur.
B.
Makna Leksikal 1.
Kirab
[kirab]
Makna kata kirab dalam Purwadarminta (1939: 389) adalah berjalan teratur seperti barisan. Para peserta upacara ruwatan dibariskan dan diarak secara bersama-sama menuju tempat upacara. Dalam upacara ruwatan kirab dilaksanakan untuk mengarak para peserta ruwatan menuju tempat upacara.
lxxxix
2.
Jlupak
[jlupa?]
Makna kata jlupa dalam Purwadarminta (1939: 120) adalah sama artinya dengan clupa yaitu jenis lampu tradisional terbuat dari cobek yang berukuran kecil, biasa diberi minyak kelapa dan sumbu. Dalam uupacara ruwatan jlupak digunakan sebagai alat penerangan. 3.
Sukerta
[suk|rtO]
Makna kata sukerta dalam Purwadarminta (1939: 742) adalah sama artinya dengan suker yaitu kotor, noda. Orang sukerta adalah orang yang kotor. Dalam keyakinan orang Jawa orang sukerta adalah orang yang menjadi jatah makanan bathara kala. Dalam upacara ruwatan sukerta adalah sebutan untuk orang-orang yang mempunyai ciri atau cacad cela yang dibawa oleh kelahirannya. 4.
Mantra
[mOntrO]
Makna kata mantra dalam Purwadarminta (1939: 491) adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib. Dalam upacara ruwatan mantra digunakan sebagai pengusir kekuatan jahat yang di ucapkan oleh dhalang kandha buwana. 5.
Ruwatan
[ruwatan]
Makna kata mruwat dalam Purwadarminta (1939: 855) adalah lepas dari kutukan dewa, lepas dari tenung. Sedangkan ruwatan adalah selamatan bagi orang-orang yang mendapat kutukan dari dewa atau supaya terlepas dari tenung atau dalam situasi khusus.
xc
6.
Sajen
[sajEn]
Makna kata saji dalam Purwadarminta (1939: 929) adalah hidangan berupa makanan, minuman, atau bunga untuk para leluhur atau roh halus. Sedangkan sajen adalah perlengkapan upacara berupa makanan, bunga, dan sebagainya yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib. Dalam upacara ruwatan sajen digunakan sebagai syarat upacara yang berupa hidangan yang disuguhkan kepada roh halus agar tidak mengganggu jalannya upacara. 7.
Siraman
[siraman]
Makna kata siram dalam Purwadarminta (1939: 727) adalah mandi. Sedangkan siraman adalah upacara pemandian. Dalam upacara ruwatan siraman dilaksanakan sebagai ritual pembersihan kotoran yang melekat pada diri para sukerta, yaitu dengan cara memecikkan air ketubuh para peserta ruwatan. 8.
Larungan [laruGan] Makna kata larung dalam Purwadarminta (1939: 252) adalah terapung dibawa banjir. Sedangkan larungan adalah menghanyutkan sesuatu kedalam air yang mengalir. Dalam upacara ruwatan larungan laksanakan untuk menghanyutkan pakaian yang digunakan para sukerta saat mengikuti jalannua upacara, tujuannya adalah sebagai simbol menghanyutkan kotoran yang melekat pada diri sukerta.
xci
9.
Carahan
[carahan]
Makna kata carah (crah) dalam Purwadarminta (1939: 125) adalah retak. Sedangkan carahan adalah benda-benda yang terbuat dari tanah atau yang lain yang mudah retak. Dalam upacara ruwatan carahan adalah salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa benda-benda yang terbuat dari tanah atau yang lain yang mudah retak. 10.
Murwa kala
[mUrwO kOlO]
Murwakala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu murwa dalam Purwadarminta (1939: 528) berarti menguasai dan kala dalam Purwadarminta (1939: 331) berarti bencana, mala petaka. Dengan demikian secara harafiah murwakala yaitu bencana yang dikuasai, atau juga menguasai mala petaka. Dalam upacara ruwatan murwakala yaitu wayang yang dipertunjukkan untuk menolak bencana yang akan datang (terhadap orang sukerta). 11.
Ingkung golong
[iGkUG gOlOG]
Ingkung golong adalah kesatuan dari dua kata, yaitu ingkung dalam Purwadarminta (1939: 284) adalah ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong atau utuh, hanya diambil bulu dan isi perutnya, kaki dan perutnya di ikat (tlikung) dan golong dalam Purwadarminta (1939: 252) adalah sudah menjadi satu, bulatan besar. Dengan demikian secara harafiah ingkung golong adalah ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong atau utuh, hanya diambil bulu dan isi
xcii
perutnya, kaki dan perutnya di ikat (tlikung) dan di sampingnya diletakkan nasi yang di buat bulat. Dalam upacara ruwatan ingkung golong adalah salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa ingkung ayam yang disampingnya diletakkan nasi yang dibuat bulat. 12.
Gecok bakal
[g|cO? bakal]
Gecok bakal adalah kesatuan dari dua kata, yaitu gecok dalam Purwadarminta (1939: 221) adalah segala sesuatu yang berasal dari daging, dan bakal dalam Purwadarminta (1939: 40) adalah segala sesuatu yang berupa bahan atau calon. Dengan demikian secara harafiah gecok bakal adalah segala sesuatu yang berupa calon atau bibit dari binatang. Dalam upacara ruwatan gecok bakal adalah sajen berupa bibit binatang yang diwujudkan dalam bentuk telur ayam yang masih mentah. 13.
Gecok urip
[g|cO? urIp]
Gecok urip adalah kesatuan dari dua kata, yaitu gecok dalam Purwadarminta (1939: 221) adalah segala sesuatu yang berasal dari daging, dan urip dalam Purwadarminta (1939: 828) adalah hidup, segala sesuatu yang bisa tumbuh dan bergerak. Dengan demikian secara harafiah gecok urip adalah segala sesuatu yang berupa binatang yang masih hidup. Dalam upacara ruwatan gecok urip adalah sajen berupa binatang yang masih hidup yang diwujudkan berupa ikan lele.
xciii
14.
Kedhana kedhini
[k|DOnO k|Dini]
Kedhana kedhini dalam Purwadarminta (1939: 49) adalah sebutan dua bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan. Dalam upacara ruwatan kedhana kedhini adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu dua bersaudara kakak beradik laki-laki dan perempuan. 15.
Ontang anting
[OntaG antIG]
Ontang anting dalam Purwadarminta (1939: 555) adalah sebutan untuk anak tunggal (tak bersaudara). Dalam upacara ruwatan ontang anting adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu anak tunggal (tak bersaudara). 16.
Sendang kapit pancuran [s|ndaG kapIt pancuran] Sendang kapit pancuran dalam Purwadarminta (1939: 714) adalah sebutan untuk tiga bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang wanita lahir ditengah. Dalam upacara ruwatan sendang kapit pancuran adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu tiga bersaudara, satu wanita dua laki-laki dan yang wanita lahir ditengah.
17.
Pancuran kapit sendang [pancuran kapIt s|ndaG] Pancuran kapit sendang dalam Purwadarminta (1939: 568) adalah sebutan untuk tiga bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan yang laki-laki lahir ditengah.
xciv
Dalam upacara ruwatan pancuran kapit sendang adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu tiga bersaudara, satu laki-laki dua wanita dan yang laki-laki lahir ditengah. 18.
Dhalang Kandha Buwana
[DalaG kOnDO buwOnO]
Dhalang dalam Purwadarminta (1939: 206) adalah orang yang memainkan wayang, kandha dalam Purwadarminta (1939: 47) adalah berbicara atau bercerita, dan buwana dalam Purwadarminta (1939: 52) adalah
dunia atau jagad. Dengan demikian secara harafiah
dhalang kandha buwana adalah orang yang memainkan wayang yang isi ceritanya tentang dunia atau dalang yang menyebar tutur (ajaran) tentang dunia. Dalam upacara ruwatan dalang kandha buwana adalah dhalang yang bertugas meruwat para sukerta. 19.
Memala
[m|mOlO]
Arti kata mala dalam Purwadarminta (1939: 485) adalah kotor, dosa, bencana, kecelakaan, sedangkan memala adalah sebuah kootan, dosa atau bencana yang menimpa seorang sukerta. Dalam upacara ruwatan memala digunakan untuk menyebut kotoran atau dosa yang disandang para sukerta, baik yang dibawa dari lahir maupun yang di dapat karena melakukan suatu tindakan yang salah.
xcv
20.
Pepancen
[p|pancEn]
Arti kata panci dalam Purwadarminta (1939: 568) adalah barang yang sudah di pastikan, memang, sedangkan pepancen berarti segala sesuatu yang sudah di pastikan. Dalam upacara ruwatan pepancen adalah jatah makanan bathara kala, yaitu orang-orang yang termasuk dalam kategori anak sukerta. 21.
Woh-wohan
[wO-wOan]
Arti kata woh dalam Purwadarminta (1939: 845) adalah buah yang masih kecil, sedangkan woh-wohan berarti beraneka macam buah. Dalam upacara ruwatan woh-wohan adalah salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa beraneka macam buah. 22.
Mori putih
[mOri putIh]
Mori putih adalah kesatuan dari dua kata, yaitu mori dalam Purwadarminta (1939: 521)
adalah kain dan putih dalam
Purwadarminta (1939: 828) adalah jenis warna seperti kapas. Dengan demikian secara harafiah mori putih adalah kain yang berwarna putih polos. Dalam upacara ruwatan mori putih adalah kain yang harus dikenakan oleh para sukerta saat mengikuti upacara ruwatan. 23.
Kambil gadhing
[kambIl gaDiG]
Kambil gadhing adalah kesatuan dari dua kata, yaitu kambil dalam Purwadarminta (1939: 334) adalah kelapa dan gadhing dalam Purwadarminta (1939: 828) adalah warna kuning cerah. Dengan demikian secara harafiah kambil gadhing adalah kelapa yang
xcvi
berwarna kuning cerah. Dalam upacara ruwatan kambil gadhing digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa kelapa yang kulitnya berwarna kuning. 24.
Wayang purwa
[wayaG pUrwO]
Wayang Purwa adalah kesatuan dari dua kata, yaitu wayang dalam Purwadarminta (1939: 844) adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan purwa dalam Purwadarminta (1939: 645) adalah wayang kulit yang membawakan cerita-cerita zaman purba. Dengan demikian secara harafiah wayang purwa adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan cerita yang dibawakan memuat kisah zaman purba. Dalam upacara ruwatan wayang purwa
adalah cerita
wayang
yang diambil
untuk
menampilkan cerita murwakala. 25.
Jajan pasar
[jajan pasar]
Jajan pasar adalah kesatuan dari dua kata, yaitu jajan dalam Purwadarminta (1939: 293) adalah membeli makanan, dan pasar dalam Purwadarminta (1939: 577) adalah tempat orang berdagang atau jual beli barang, Dengan demikian secara harafiah jajan pasar artinya membeli makanan di tempat orang berdagang atau tempat jual beli barang. Dalam upacara ruwatan jajan pasar digunakan sebagai
xcvii
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa beraneka macam jajanan yang berasal dari pasar. 26.
Pala kependhem
[POlO k|p|nD|m]
Pala kependhem adalah kesatuan dari dua kata, yaitu pala dalam Purwadarminta (1939: 564)
adalah buah, dan kependhem dalam
Purwadarminta (1939: 589) adalah berada di dalam tanah. Dengan demikian secara harafiah pala kependhem artinya buah atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di dalam tanah. Dalam upacara ruwatan pala kependhem digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di dalam tanah. 27.
Pala kesimpar
[pOlO k|simpar]
Pala kesimpar adalah kesatuan dari dua kata, yaitu pala dalam Purwadarminta (1939: 564)
adalah buah, dan kesimpar dalam
Purwadarminta (1939: 689) adalah berada di permukaan tanah. Dengan demikian secara harafiah pala kesimpar artinya buah yang dihasilkan tanaman yang terdapat di permukaan tanah. Dalam upacara ruwatan pala kesimpar digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah yang di hasilkan tanaman yang buahnya berserakan di permukaan tanah. 28.
Pala gumantung
[pOlO gumantUG]
Pala gumantung adalah kesatuan dari dua kata, yaitu pala dalam Purwadarminta (1939: 564)
adalah buah, dan gumantung dalam
xcviii
Purwadarminta (1939: 209) adalah bergantungan diatas pohon. Dengan demikian secara harafiah pala gumantung artinya buah yang di hasilkan tanaman yang menggantung atau menempel di dahan pohon, terdapat di atas tanah. Dalam upacara ruwatan pala gumantung digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa buah yang di hasilkan tanaman yang buahnya berserakan di permukaan tanah. 29.
Cikal klapa
[cikal klOpO]
Cikal klapa adalah kesatuan dari dua kata, yaitu cikal dalam Purwadarminta (1939: 112) adalah pohon kelapa yang masih kecil, dan klapa dalam Purwadarminta (1939: 393) adalah kelapa. Dengan demikian secara harafiah cikal klapa artinya tunas pohon kelapa yang baru tumbuh. Dalam upacara ruwatan cikal klapa digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa tunas kelapa yang masih kecil. 30.
Gedhang ayu
[g|DaG ayu]
Gedhang ayu adalah kesatuan dari dua kata, yaitu gedhang dalam Purwadarminta (1939: 221)
adalah pisang, dan ayu dalam
Purwadarminta (1939: 35) adalah cantik. Dengan demikian secara harafiah Gedhang ayu artinya pisang yang dihias dengan kertas warna emas agar terlihat cantik. Dalam upacara ruwatan gedhang ayu digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa pisang yang ujungnya dihiasi kertas warna emas.
xcix
31.
Jenang sengkala
[j|naG s|GkOlO]
Jenang sengkala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu jenang dalam Purwadarminta (1939: 309)
adalah bubur, dan sengkala dalam
Purwadarminta (1939: 331) adalah celaka, halangan, rintangan. Dengan demikian secara harafiah
jenang sengkala artinya bubur
yang dibuat untuk menolak rintangan. Dalam upacara ruwatan jenang sengkala digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa bubur yang ditujukan untuk menolak atau menghilangkan segala gangguan yang datang kepada para sukerta. 32.
Jenang kacang warna [j|naG kacaG warnO] Jenang kacang warna
adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu jenang
dalam Purwadarminta (1939: 309)
adalah bubur, kacang dalam
Purwadarminta (1939: 327) adalah kacang dan warna dalam Purwadarminta (1939: 841) adalah jenis warna. Dengan demikian secara harafiah jenang kacang warna artinya bubur yang di masak dari bahan dasar kacang yang terdiri dari bermacam-macam warna. Dalam upacara ruwatan jenang kacang warna
digunakan
sebagai
salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa bubur yang terbuat dari bahan dasar kacang. 33.
Tumpeng megana
[tump|G m|gOnO]
Tumpeng megana adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, dan megana dalam Purwadarminta (1939: 497)
c
adalah mega atau awan. Dengan demikian secara harafiah tumpeng megana artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas dibuat rata yang didalamnya berisi daging ayam, di sekelilingnya di letakkan gudhangan. Dalam upacara ruwatan tumpeng megana digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan disamping tumpeng diletakkan gudangan. 34.
Tumpeng sembur
[tump|G s|mbUr]
Tumpeng sembur adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, dan sembur dalam Purwadarminta (1939: 712) adalah semprot. Dengan demikian secara harafiah tumpeng sembur artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng di beri taburan warna. Dalam upacara ruwatan tumpeng sembur digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng diberi taburan warna. 35.
Tumpeng pucuk lombok [tump|G pucU? lOmbO?] Tumpeng pucuk lombok adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, pucuk dalam Purwadarminta (1939: 637) adalah ujung, dan lombok adalah cabai. Dengan demikian secara
ci
harafiah tumpeng pucuk lombok artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi cabai. Dalam upacara ruwatan tumpeng pucuk lombok digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi cabai. 36.
Tumpeng pucuk endhog [tump|G pucU? |nDOg] Tumpeng pucuk endhog adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, pucuk dalam Purwadarminta (1939: 637) adalah ujung, dan endhog dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah telur. Dengan demikian secara harafiah Tumpeng pucuk endhog artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi telur. Dalam upacara ruwatan Tumpeng pucuk endhog digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi telur.
37.
Tumpeng tutul
[tump|G tutUl]
Tumpeng tutul adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, dan tutul dalam Purwadarminta (1939: 806) adalah totol atau blentong. Dengan demikian secara harafiah tumpeng tutul artinya
cii
nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tunmpeng diberi warna totol-totol kuning. Dalam upacara ruwatan tumpeng tutul digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian tubuh tunmpeng diberi warna totol-totol kuning. 38.
Tumpeng rajeg dom [tump|G raj|g dOm] Tumpeng pucuk lombok adalah kesatuan dari tiga kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, rajeg dalam Purwadarminta (1939: 653) adalah pagar atau tancap, dan dom dalam Purwadarminta (1939: 166) adalah jarum. Dengan demikian secara harafiah tumpeng rajeg dom artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng ditancapi cabai. Dalam upacara ruwatan tumpeng rajeg dom digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng ditancapi cabai.
39.
Tumpeng lugas
[tump|G lugas]
Tumpeng lugas adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, dan lugas dalam Purwadarminta (1939: 475) adalah tanpa rerenggan. Dengan demikian secara harafiah tumpeng lugas artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa hiasan.
ciii
Dalam upacara ruwatan tumpeng lugas digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut tanpa hiasan. 40.
Tumpeng kendhit
[tump|G k|nDIt]
Tumpeng kendhit adalah kesatuan dari dua kata, yaitu tumpeng dalam Purwadarminta (1939: 802) adalah nasi putih yang di bentuk seperti kerucut, dan kendhit dalam Purwadarminta (1939: 352) adalah terletak di ujung pangkal atau bawah. Dengan demikian secara harafiah tumpeng kendhit artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut di bagian pangkal ditaburi warna. Dalam upacara ruwatan tumpeng kendhit digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dubentuk kerucut dan di bagian pangkal di taburi warna. 41.
Potong rambut
[pOtOG rambUt]
Potong rambut adalah kesatuan dari dua kata, yaitu potong dalam Purwadarminta (1939: 622) adalah memangkas, dan rambut dalam Purwadarminta (1939: 654) adalah bulu yang tumbuh di kepala. Dengan demikian secara harafiah potong rambut artinya adalah memangkas rambut. Dalam upacara ruwatan potong rambut adalah salah satu jenis ritual memangkas rambut peserta ruwatan sebagai tanda bahwa kotoran yang ada pada diri para sukerta telah dipotong dan dihilangkan.
civ
42.
Sega asahan
[s|gO asahan]
Sega asahan adalah kesatuan dari dua kata, yaitu sega dalam bahasa Indonesia adalah nasi, dan asahan dalam Purwadarminta (1939: 28) adalah asah atau isah-isah supaya bersih. Dengan demikian secara harafiah sega asahan artinya adalah nasi putih yang dibuat untuk membersihkan kotoran. Dalam upacara ruwatan sega asahan digunakan sebagai salah satu jenis sajen yang disiapkan untuk syarat upacara ruwatan yang berupa nasi putih yang dibuat untuk membersihkan kotoran. 43.
Suda mala
[sudO mOlO]
Suda mala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu suda dalam Purwadarminta (1939: 741) adalah kurang, dan mala dalam Purwadarminta (1939: 485) adalah celaka, kotoran, bencana. Dengan demikian secara harafiah suda mala artinya adalah mengurangi bencana atau mara bahaya. Dalam upacara ruwatan suda mala lakon yang diambil dalam cerita wayang yang dipergelarkan dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010 yang digunakan sebagai sarana mengurangi bencana para sukerta. 44.
Bathara kala
[baTOrO kOlO]
Bathara kala adalah kesatuan dari dua kata, yaitu bathara dalam Purwadarminta (1939: 49) adalah sebutan dewa, dan kala dalam Purwadarminta (1939: 331) adalah bahaya, celaka, bencana. Dengan
cv
demikian secara harafiah bathara kala artinya adalah dewa yang membawa bahaya. Dalam upacara ruwatan bathara kala adalah sebutan untuk dewa yang membawa malapetaka bagi orang-orang yang temasuk dalam golongan orang sukerta. 45.
Satria wirang
[satriO wiraG]
Satria wirang adalah kesatuan dari dua kata, yaitu satria dalam Purwadarminta (1939: 696) adalah orang yang berbudi baik, dan wirang dalam Purwadarminta (1939: 852) adalah malu jika ketahuan orang banyak. Dengan demikian secara harafiah satria wirang artinya adalah seorang laki-laki yang selalu mengalami kesusahan. Dalam upacara ruwatan satria wirang adalah salah satu kaategori orang yang termasuk jatah makanan bathara kala, yaitu seorang lakilaki yang selalu mengalami kesusahan.
C.
Makna Kultural Istilah-Istilah Ruwatan dan Sesaji dalam Upacara Ruwatan Massal di Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010.
1.
Kirab
[kirab]
Kirab adalah berjalan teratur seperti barisan. Makna kultural kirab yaitu membangkitkan kekhidmatan dari upacara ruwatan tersebut, mengkondisikan suasana agar lebih nampak kesakralannya. Kirab melambangkan keberanian dan kemantapan para sukerta untuk diruwat. Kirab ini adalah langkah awal para sukerta menuju
cvi
pembersihan diri. Dalam prosesi kirab para peserta ruwatan diarak oleh petugas yang membawa manggar, yaitu bunga kelapa, maksudnya hidup seharusnya dianggar-anggar, atau dipertimbangkan masak-masak Suwardi Endraswara, 2006: 263). 2.
Sukerta
[suk|rtO]
Sukerta adalah sama artinya dengan suker yaitu kotor, noda. Orang sukerta adalah orang yang kotor. Dalam keyakinan orang Jawa orang sukerta adalah orang yang menjadi jatah makanan bathara kala. sukerta melambangkan kotoran atau noda yang disandang oleh golongan wong sukerta. Kotoran itu ada yang dibawa sejak lahir atau karena telah melakukan sesuatu yang dilarang sehingga tergolong wong sukerta. Sebuah kotoran yang disandang wong sukerta hanya dapat dihilangkan ketika wong sukerta tadi telah diruwan, dan setelah diruwat diharapkan orang tadi tidak melakukan hal-hal yang dilarang lagi, sehingga setelah diruwat berubah menjadi lebih baik. Wong sukerta yang berada dalam bahaya magis merupakan orang yang perlu menjalani ritual inisiasi yang diwujudkan dalam pertunjukan wayang. 3.
Mantra
[mantra]
Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib. Mantra digunakan sebagai pengusir kekuatan jahat yang di ucapkan oleh dhalang kandha buwana. Mantra yang diucapkan adalah jenis mantra pangruwatan yaitu mantra yang khusus dibacakan untuk mengusir segala bentuk kesialan pada waktu diadakan upacara
cvii
ruwatan. Mantra menyimbolkan titah atau sabda Tuhan. Setelah dibacakan mantra oleh dalang kandha buwana diharapkan para sukerta setelah mengikuti upacara ruwatan dapat hidup layaknya orang lain, yaitu tanpa selalu memikul dosa atau kotoran. Bukan pertunjukan wayang yang membuat kala pergi dan membuat wong sukerta selamat, melainkan pembacaan mantranya. 4.
Ruwatan [ruwatan] Ruwatan merupakan sistem religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Sistem upacara religius ini melaksanakan dan melambangkan, menyimbolkan, konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Seluruh upacara itu terdiri dari kombinasi dari berbagai unsur upacara, seperti misalnya berdoa, bersaji, berkorban, menyanyi, berprosesi, dan sebagainya. Acara-acara dan tata urut dari pada unsur-unsur tersebut adalah sudah tentu buatan manusia dahulu kala, dan merupakan ciptaan akal manusia apalagi peralatan dan upacara. Semua adalah bagian dari kebudayaan. Meskipun demikian upacara agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan dijiwai emosi keaganaan. Di sinilah masik komponen pergana ialah cahaya Tuhan yang membuat upacara itu suatu aktivitas yang keramat ruwatan merupakan usaha membersihkan anak yang dianggap kotor. Ruwatan adalah simbol membersihkan atau menghilangkan segala noda, kotoran, mara bahaya atau masalah yang akan menimpa.
cviii
5.
Siraman
[siraman]
Siraman adalah upacara pemandian. Dalam upacara siraman ini dimaksudkan segala kotoran yang melekat pada diri sang sukerta dapat bersih. Setelah upacara siraman selesai para sukerta di ibaratkan kembali menjadi suci, bersih lahir maupun batinnya. Secara fisik upacara siraman ini adalah membersihkan jasmaninya, secara meta fisik upacara siraman adalah membersihkan rohani para sukerta, dengan dipercikkan air keseluruh tubuh oleh dalang kandha buwana agar kesialan-kesialan yang menempel hilang terbasuh oleh air. Air yang digunakan dalam upacara siraman berasal dari tujuh sumber mata air, yang melambangkan jumlah hari dalam satu minggu. Untuk yang lahir disalah satu hari yang sial dalam satu minggu, diharapkan dengan disiram dengan air yang berasal dari tujuh sumber mendapat berkah dari hari yang lain yang lebih baik. 6. Sajen
[sajEn]
Sajen adalah perlengkapan upacara berupa makanan, bunga, dan sebagainya yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib. Sajen digunakan sebagai syarat upacara yang berupa hidangan yang disuguhkan kepada roh halus agar tidak mengganggu jalannya upacara. Sajen disiapkan sebagai simbol rasa homat kita pada kekuatan diluar kemampuan manusia. Sajen disiapkan sebagai ungkapan bahwa kita selalu ingat kepada Tuhan dan merupakan rasa syukur atas segala karunianya yang berlimpah yang diberikan kepada manusia.
cix
7.
Murwakala
[mUrwO kOlO]
Murwa (murba) adalah awal dan kala adalah waktu, juga diartikan bencana. Murwakala menyimbolkan bahwa orang hidup di dunia ada yang sudah ditakdirkan membawa bencana dalam dirinya, dan untuk menghilangkan kesialan itu maka orang harus di ruwat. Sehingga orang hidup harus dapat menguasai gangguan, kejahatan atau nafsu yang ada dalam dirinya. Murwakala mengandung ajaran, hendaknya orang dapat menguasai waktunya sendiridan tidak membuang-buang waktu untuk perbuatan yang tidak ada manfaatnya bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas mengatur waktu dengan sebaikbaiknya niscaya akan besar sekali manfaatnya bagi keselamatan dan kesejahteraan (Karkono Kama Jaya: 1992, 46) 8.
Ingkung golong
[iGkUG gOlOG]
Ingkung golong adalah ayam yang dimasak tanpa dipotong-potong, hanya diambil bulu dan isi perutnya dan di sampingnya diletakkan nasi yang di buat bulat ukuran dua genggam tangan orang dewasa. Ingkung menyimbolkan bersemedi atau beribadah (manekung), untuk pasrah kepada tuhan orang harus tekun dalam beribadah kepada tuhan. Golong menyimbolkan bahwa tekad sudah bulat, totalitas, tidak ragu, mantap. Ingkung golong menyimbolkan bahwa semua peserta sudah mantap, pasrah kepada Tuhan untuk diruwat agar sial pada diri sukerta dapat dihilangkan atau dibuang. Ingkung golong juga melambangkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberi perlindungan, menjaga keselamatan, dan
cx
ketentraman kepada para sukerta sehingga mampu membulatkan atau menyatukan semua pengharapan, juga bersatunya cipta, rasa, karsa. Ingkung melambangkan cita-cita manusia agar bisa tercapai itu dilakukan melalui bersemedi. 9.
Gecok bakal
[g|cO? bakal]
Gecok bakal adalah sajen berupa bibit binatang yang diwujudkan dalam bentuk telur ayam yang masih mentah. Makna kultural gecok bakal adalah sutu kemantapan bahwa setelah melaksanakan upacara ruwatan sukerta dapat segera mendapatkan keturunan, sajen gecok bakal melambangkan harapan wiji dadi. Gecok bakal juga sebagai sesaji yang dibuat sebagai rangkaian prasarana ruwatan yang disediakan kepada bethara kala karena sering memakan bocah ontang-anting „anak tunggal‟ karena itu bathara wisnu menyuruh untuk makan gecok bakal dan tidak mengganggu manusia. Selain itu gecok bakal digunakan sebagai tolak sengkolo „menolak kesialan‟. 10.
Mori putih
[mOri putIh]
Mori putih putih adalah kain yang berwarna putih polos. Mori putih melambangkan bahwa upacara ruwatan didasarkan atas maksud dan tekad yang suci sesuai warna pakaian pembalut para peserta ruwatan yang berwarna putih yang berarti kesucian.
Suci bahwa setelah
diruwat dalang kandha buwana rohnya menjadi suci kembali (muthmainah). Jika rohnya sudah suci maka kelak dapat masuk surga.
cxi
11.
Jajan pasar
[jajan pasar]
Jajan pasar adalah sajen yang berupa makanan yang dibeli dari pasar. Jajan
pasar
berwarna-warni
macamnya,
ditujukan
sebagai
penghormatan kepada bathara kala yang menguasai semua sengkala „musibah‟. Agar tidak mengganggu jalanya upacara dan selalu memberikan kemakmuran bagi seluruh peseta ruwatan Jajan pasar merupakan lambang sesrawungan (hubungan). Jajan pasar adalah lambang kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar
adalah tempat
bermacam-macam
barang, dan tempat
berkumpulnya masyarakat untuk mengadakan kegiatan juala beli atau tukar menukar barang dan hasi bumi. Dengan kita membeli sesuatu yang dijual orang lain berarti kita telah menolong sesama. 12.
Pala kependhem
[pOlO k|p|nD|m]
Pala kependhem adalah buah atau umbi yang dihasilkan tanaman yang terdapat di dalam tanah. Pala kependhem menggambarkan hasil yang akan diperoleh dari perbuatan manusia dewasa. Pala dalam bahasa Jawa kuna berarti hasil. Setiap perbuatan atau karma manusia tentu nantinya akan membuahkan hasil. Jika karmanya baik, ia akan menuai hasil yang baik pula, demikian juga apabila karmanya buruk, akan menuai hasil yang buruk pula. Sajen yang diwujudkan dalam bentuk pala kependhem adalah ungkapan rasa syukur kita kepada tuhan karena sudah memberikan hasil bumi yang melimpah. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk buah-buahan atau hasil bumi seperti ketela pohon, ubi rambat, bengkuang, dan lain-lain (Tim Rumah Budaya Tembi, 2008: 31).
cxii
13.
Pala kesimpar
[pOlO k|simpar]
Pala kesimpar adalah buah yang di hasilkan tanaman yang terdapat di atas tanah. Pala kesimpar memiliki makna yang sama dengan sajen pala kependhem. Menggambarkan hasil yang akan diperoleh dari perbuatan manusia dewasa. Pala dalam bahasa Jawa kuna berarti hasil. Setiap perbuatan atau karma manusia tentu nantinya akan membuahkan hasil. Jika karmanya baik, ia akan menuai hasil yang baik pula, demikian juga apabila karmanya buruk, akan menuai hasil yang buruk pula. Sajen yang diwujudkan dalam bentuk pala kesimpar adalah ungkapan rasa syukur kita kepada tuhan karena sudah memberikan hasil bumi yang melimpah. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk buah-buahan atau hasil bumi seperti semangka, melon, mentimun dan lain-lain (Tim Rumah Budaya Tembi, 2008: 33). 14.
Pala gumantung [pOlO gumantUG] Pala gumantung adalah buah yang di hasilkan tanaman yang menggantung atau menempel di dahan pohon, terdapat di atas tanah. Pala gumantung memiliki makna yang sama dengan sajen pala kependhem dan pala kesimpar, Menggambarkan hasil yang akan diperoleh dari perbuatan manusia dewasa. Pala dalam bahasa Jawa kuna berarti hasil. Setiap perbuatan atau karma manusia tentu nantinya akan membuahkan hasil. Jika karmanya baik, ia akan menuai hasil yang baik pula, demikian juga apabila karmanya buruk, akan menuai hasil yang buruk pula. Sajen yang diwujudkan dalam bentuk pala gumantung adalah ungkapan rasa syukur kita kepada
cxiii
Tuhan karena sudah memberikan hasil bumi yang melimpah. Sajen ini diwujudkan dalam bentuk buah-buahan atau hasil bumi seperti nanas, apel, sawo dan lain-lain (Tim Rumah Budaya Tembi, 2008: 35). 15.
Tumpeng sembur
[tump|G s|mbUr]
Tumpeng sembur adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng diberi warna kuning. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Dan semburansemburan yang terdapat pada tubuh tumpeng sembur melambangkan hambatan atau rintangan yang harus dilalui manusia untuk menuju kepuncak yaitu berupa godaan yang berupa keinginan manusia sendiri. Pucuk tumpeng merupakan lambang puncak keinginan manusia, yakni untuk mencapai kemuliaan sejati. Titik puncak juga meruupakan gambaran kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental (Suwardi Endraswara, 2006: 252). 16.
Tumpeng megana [tump|G m|gOnO] Tumpeng megana artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas dibuat rata yang didalamnya berisi daging ayam, di sekelilingnya di letakkan gudhangan. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan
vertikal
antara
manusia
dengan
Tuhan.
Megana
menggambarkan lindungan Tuhan dan kesejahteraan. Gudhangan
cxiv
yang mengelikingi tumpeng melambangkan harapan supaya hasil bumi yang berupa tumbuh-tumbuhan selalu berlimpah. 17.
Tumpeng pucuk lombok [tump|G
pucU?
lOmbO?] Tumpeng pucuk lombok adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng ditancapi cabai merah. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan tuhan. Cabai merah adalah lambang penolak bala. Tumpeng pucuk lombok ini diperuntukkan menolak segala petaka yang akan datang selama upacara ruwatan dilaksanakan. Selama manusia dekat dengan Tuhan maka akan selalu terlindungi. Cabai merah melambangkan dalam hidup yang pada akhirnya akan muncul keberanian dan tekad untuk manunggal dengan Tuhan (Suwardi Endraswara, 2006:254). 18.
Tumpeng tutul
[tump|G titUl]
Tumpeng tutul artinya nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh
tunmpeng
diberi
warna
totol-totol
kuning.
Tumpeng
merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Tutul yang terdapat pada tumpeng ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia memiliki warnanya sendiri untuk dibawa kepada Tuhan. Setiap manusia memiliki tanggung jawab yang harus dipertanggung jawabkan sesuai perbuatannya masing-masing. Warna
cxv
itu yang membedakan manusia di hadapan Tuhan, yaitu yang berupa amal perbuatannya masing-masing. 19.
Tumpeng rajeg dom
[tump|G raj|g dOm]
Tumpeng rajeg dom artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian tubuh tumpeng ditancapi cabai. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Rajeg melambangkan bentang pertahanan. Jika kita beriman kepada Tuhan harus didasari rasa iman dan keyakinan yang kuat yang kuat, dom yang digunakan untuk membuat pagar berupa cabai merah yang melambangkan keberanian, tekad yang kuat. Jika sebuah iman sudah didasari atas tekad dan keyakinan yang kuat, pasti kita akan menemukan ketentraman dunia akherat. 20.
Tumpeng lugas
[tump|G lugas]
Tumpeng lugas artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa hiasan. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Lugas merupakan gambaran polos, tanpa ada unsur manipulasi, orang hidup didunia itu hendaknya apa adanya.tidak perlu dibuat-buat. Dengan pola hidup yang lurus kita tidak akan takut dengan apapun. Dan diharapkan didalam hidup, manusia tidak akan mengalami gangguan apapun. 21.
Tumpeng kendhit [tump|G k|nDIt]
cxvi
Tumpeng kendhit artinya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut di bagian pangkal ditaburi warna. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan
vertikal
antara
manusia
dengan
Tuhan.
Kendhit
menggambarkan sebuah lilitan, ikatan yang kuat. Manusia didalam menjalani hidup harus sudah memiliki keyakinan yang dijadikan pedoman hidup. Itu menggambarkan keyakinan dalam mengambil langkah. Setiap tindakan yang sudah di dasari dengan keyakina niscaya akan menemukan ketenangan hidup. 22.
Tumpeng pucuk endhog [tump|G
pucU?
|nDOg] Tumpeng pucuk endhog adalah nasi putih yang dibentuk kerucut dan bagian atas tumpeng diletakkan telur. Tumpeng merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng dibuat lancip melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Telur sendiri merupakan lambang wiji dadi (benih) terjadinya manusia. Untuk mendapatkan keturunan selain berusaha manusia harus memohon kepada Tuhan agar diberi keturunan yang baik. Telur adalah ibarat manusia, yaitu kulit telur melambangkan jasmani atau raga sebagai pelindung goncangan dari luar, kuning telur melambangkan rohani, dan putih telur melambangkan rasio atau akal pikir manusia. 23. Dhalang Kandha Buwana
[DalaG kOnDO buwOnO]
Dhalang berarti orang yang memainkan wayang, Kandha berarti berbicara atau bercerita, dan Buwana berarti dunia. Jika kita satukan
cxvii
menjadi orang yang memainkan wayang yang isi ceritanya tentang dunia. Dalang kandha buwana berarti dalang yang menyebar tutur (ajaran) tentang dunia. Dalang Kandha Buwana diibaratkan sebagi dokter atau tabib spesialis yang khusus mengobati manusia kotor. Dalam hal ini kotor dalm arti jiwa atau rohaninya. Didalam upacara ruwatan dhalang kandha buwana bertindak atau berperan sebagai dewa atau Tuhan. Dhalang kandha buwanalah yang paling berperan dalam upacara ruwatan. Dalam upacara ruwatan dhalang kandha buwana mengajarkan tentang bagaimana kita semestinya hidup didunia. Dalang kandha buwana merupakan dalang yang menyebar tuturan (ajaran) tentang dunia atau hakikat kehidupan (Hersapandi, 2005: 126). Dalang kandha buwana cenderung ditempatkan sebagai figur yang mempunyai kekuatan magis berupa kemampuan yang diyakini dapat membebaskan para sukerta. 24.
Sega asahan
[s|gO asahan]
Sega asahan adalah nasi yang dimasak dan dibari warna kuning. sega asahan yaitu simbol dari semua harapan yang telah selesai atau telah terlaksana tidak ada hal-hal yang kurang dan diharapkan semua masyarakat selalu mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kehidupan yang tentram. Sega asahan dalam upacara ruwatan dibuat sabagai simbol para peserta ruwatan agar selalu berada dalam lindunganya. Bahwa setelah diruwat kepanpun dan dimanapun, peserta ruwatan selalu berada dalam lindungannya.
cxviii
25.
Bathara kala
[baTOrO kOlO]
Perkataan batara kala terdiri dari dua buah kata. Batara adalah sebutan untuk dewa, dan kala berarti waktu, ketika, saat. Jadi kalau kita gabungkan kita akan mendapatkan arti batara kala yaitu Dewa waktu atau penguasa waktu. Makna kultural tokoh batara kala dalam dunia pewayangan melaterbelakangi hadirnya mitos wong sukerta orang yang kotor, orang yang akan menjadi mangsa batara kala. Tokoh batara kala adalah simbol pembawa malapetaka bagi orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu atau melakukan tindakan-tindakan tertentu yang telah ditetapkan dan diizinkan oleh Batara Guru, raja segala
Dewa,
untuk
menjadi
mangsa
batara
kala.
Untuk
menghindarkan diri dari mangsa batara kala orang yang memiliki ciri atau
melakukan
tindakan
tertentu
itu
harus
diruwat
atau
dilepaskan/dibebaskan dari incaran batara kala. Bathara kala merupakan simbol penguasa waktu, simbol watak jahat, dan simbol iblis atau setan. Menurut mereka yang percaya, orang-orang yang tergolong di dalam criteria “menjadi mangsa batara kala” dapat menghindarkan diri dari malapetaka (tidak menjadi makanan katara kala) tersebut, jika ia mempergelarkan wayang ruwatan dengan cerita murwakala.
cxix
BAB V PENUTUP A.
Simpulan
Berdasarkan penelitian tentang istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat disimpulkan sebagai berikut. 1.
Dalam penelitian istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 terdapat bentuk
monomorfemis,
polimorfemis
dan
frasa.
Bentuk
monomorfemis berupa kata dasar yang berjumlah 4 istilah, yaitu kirab, jlupak, mantra, dan sukerta. Bentuk polimorfemis berupa afiksasi
yang
berjumlah
5
istilah,
yaitu
ruwatan,
sajen,
siraman,larungan, dan carahan, kata majemuk yang berjumlah 9 istilah, yaitu murwakala, ingkung golong, gecok bakal, gecok urip, kedhana-kedhini, ontang-anting, sendang kapit pancurn, dan pancuran kapit sendang, reduplikasi terdapat 3 istilah, yaitu memala, pepancen, woh-wohan, dan frasa terdapat 24 istilah, di antaranya mori putih, kambil gadhing, wayang purwa, jajan pasar, pala kependhem, pala kesimpar, pala gumantung, cikal klapa, gedhang ayu, jenang sengkala, jenang kacang warna, tumpe bathara kala ng megana, tumpeng sembur, tumpeng pucuk lombok, tumpeng pucuk endog, tumpeng tutul, tumpeng rajeg dom, tumpeng lugas, tumpeng
cxx
kendhit, potong rambut, sega asahan, suda mala, satria wirang, bathara kala. 2.
Makna yang terdapat dalam istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 adalah makna leksikal yaitu makna dasar dari istilah tersebut, makna leksikal terdapat dalam bentuk monomorfemis, dan makna kultural yaitu makna yang dimiliki oleh masyarakat yang berhubungan dengan kebudayaan dalam hal ini adalah upacara ruwatan, makna kultural muncul pada masyarakat dengan adanya simbol-simbol yang melambangkan
keinginan
masyarakat
untuk
mendapatkan
keselamatan dan kelancaran dalam menjalankan hidup.
B.
Saran
Penelitian istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 mencakup analisis bentuk dan makna dengan pendekatan ernolinguistik oleh karena itu penelitian selanjutnya dapat mengkaji bentuk dan makna secara struktural, pragmatis, atau sosio linguistik.
cxxi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2007. Kamus Idiom Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah. __________. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Anton M Moeliono. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi KeDua. Jakarta: Balai Pustaka. Aryo Bimo Setiyanto. 2007. Parama Sastra Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka Yogyakarta. Biesatyo Resthi. 2009. Istilah-Istilah Sesaji dalam Selamatan Upacara Perkawinan dan Perkembanganya di Desa Pulung, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Darmanto Jatman. 1993. Sekitar Masalah Kebudayaan. Bandung: Alumni. Djoko Kentjono. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Edi Subroto. 2003. Laporan Penelitian : Kajian Etnolinguistik terhadap Paribasan, Bebasan, Saloka, Pepindhan dan Sanepa. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Pustaka Utama. Henry Guntur Tarigan. 1985. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa. Hersapandi, dkk. 2005. Suran Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Hidho Watari. 2008. Istilah Unsur-Unsur Sesaji dalam Tradisi Bersih Desa Gondang, Kabupaten Sragen, Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. I Dewa Putu Wijana. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Imam Sutarjo. 2006. Serpihan Mutiara Pertunjukan Wayang. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Iswati. 2005. Istilah Unsur-Unsur Sesaji dalam Upacara Nyadranan di Makam Sewu, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Skripsi.
cxxii
Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Mulyoto, dkk. 1984. “Laporan Penelitian Unsur-unsur Simbolis Dalam Upacara Ruwatan”, Laporan Penelitian. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. _____________. 1995. Makna Filosofis Unsur-unsur Simbolis DAlam Upacara Tradisional Ruwatan pada Masyarakat Jawa di Surakarta, Laporan Penelitian. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Nooryan Bahari. 2008. ”Kritik Seni”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. J. W. M. Verhaar. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. John Lyons. 1995. Pengantar Teori Linguistik Production to Theorical Linguistik. Jakatra: Gramedia Pustaka Utama. Karkono. K. Partokusumo. 1992. Ruwatan Murwakala Suatu Pedoman. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Komaruddin, dkk. 2002. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara. Purwadi. 2004. Kamus Jawa Indonesia Populer. Yogyakarta: Media Abadi. _______. 2006. sesorah Basa Jawi. Yogyakarta: Panji Pustaka. R. H. Robins. 1995. Sijerah Singkat Linguistik Edisi Ketiga. Bandung: ITB Bandung. Saifuddin Azwar. 2007.Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soedarsono. 1986. Kesenian Bahasa dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudaryanto. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. _________. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sutrisno Sastro Utomo. 2007. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
cxxiii
Suwardi Endraswara. 2006. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi. ________________. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Sleman: Pustaka Widyatama. W. J. S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. William.J.Samarin. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius. Yohanes Suwanto, dkk. 1999. Istilah Alat-alat Rumah Tangga dan Perkembangannya di Kodya Surakarta, Makalah. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
cxxiv