Fungsi Upacara Ruwatan Rambut Gembel di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara Rintan Octi Wulansari dan Darmoko Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Email:
[email protected]
Abstrak Fokus penelitian ini adalah tentang fungsi dalam upacara ruwatan rambut gembel di Desa Dieng Kulon, Banjanegara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis data pustakan dengan mengambil dari sumber data dan observasi wawancara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori fungsi folklor menurut William R. Bascom. Hasil penelitian ini berupa fungsi yang terdapat dalam upacara ruwatan rambut gembel yaitu sebagai sebuah bentuk hiburan, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak-anak, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar normanorma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Di antara fungsi yang terdapat dalam upacara ruwatan rambut gembel, yang paling dominan adalah sebagai sebuah bentuk hiburan.
The Function of Ruwatan Rambut Gembel Ceremony in Dieng Kulon, Banjanegara Abstract This focus of this study is about the function of ruwatan rambut gembel ceremony in Dieng Kulon, Banjanegara. This research is a qualitative and using analysis divining manual method by taking the source data and make observations interviews. Futhermore I use William R. Bascom theory of folklore function. This research shows that gembel hair ruwatan ceremony has several functions. As a form of amusement, it plays in validating culture, in justifying its rituals and institutions to those who perform and observe them, maintaining conformity to the accepted patterns of behavior, as means of applying social pressure and exercising social control. Among the function mentioned before, the dominant function is as a form of amusement
Keywords: Function, William R. Bascom, Ruwatan, Rambut Gembel.
Pendahuluan Keanekaragaman kebudayaan dari setiap suku bangsa di Indonesia menunjukkan kekayaan kebudayaan Indonesia. Masing-masing daerah memiliki corak kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satu usaha untuk mempertahankan kebudayaan di masing-masing daerah tersebut adalah dengan melakukan pelestarian folklor. Folklor sebagai sumber informasi kebudayaan daerah tidak bisa diabaikan dalam usaha menggali nilai-nilai keyakinan di dalam masyarakat. Folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes (dalam James Danandjaja, 2007:1-2) folk adalah kelompok dari orang-orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal kebudayaan yang membedakan dari kelompok lain, misalnya mata pencahariannya, bahasa, agama, dan lain-lain. Mereka memiliki suatu tradisi warisan kebudayaan yang sudah turun temurun dan mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedanglan lore adalah tradisi dari folk, yang diwariskan turun temurun melalui lisan (oral) atau tutur kata, atau melalui suatu contoh yang disertai dengan perbuatan (by means of customary example). Jadi definisi folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pembantu pengingat (mnemonic device) (James Danandjaja, 2007:1-3). Definisi folklor Indonesia adalah sebagian dari kebudayaan Indonesia yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisionil, di antara anggota-anggota dari kelompok apa saja di Indonesia, dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh disertai dengan perbuatan. Folklor Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu (James Danandjaja, 1982:69) : 1. Folklor lisan (Verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam folklore lisan antara lain a) Bahasa rakyat (folks speech) seperti logat, julukan, sindiran, titel-titel, bahasa rahasia, dan sebagainya; b) Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan sebagainya; c) Pertanyaan tradisionil yaitu teka-teki; d) Puisi rakyat seperti pantun, syair, bidal pemeo, dan sebagainya; e) Cerita prosa rakyat (prose narative) seperti dongeng suci (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), cerita pendek lucu (anecdote) baik yang bersifat sopan, maupun cabul (obscene jokes), yang dapat melukai perasaan orang maupun tidak; f) Nyanyian rakyat (folksong). 2. Folklor sebagian lisan (Partly verbal folklore). Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan dan yang termasuk di dalamnya yaitu, a) Kepercayaan dan takhayul (superstition); b) Permainan rakyat dan hiburan rakyat (games dan amusements); c) Drama rakyat seperti wayang orang, wayang kulit, wayang golek,
ludruk, ketoprak, lenong, topeng, dan sebagainya; d) Tari; e) Adat-adat kebiasaan (custom) seperti kebiasaan tolong-menolong dalam keadaan senang dan kesusahan; f) Upacara-upacara seperti yang dilakukan dalam lingkaran hidup seseorang, misalnya selapanan, khitanan, hari ulang tahun, dan lain-lain; g) Pesta-pesta rakyat (feast n festivals) seperti selamatan-selamatan yang diadakan pada upacara-upacara yang berhubungan dengan lingkaran hidup seseorang; perayaan Sekaten di Yogyakarta; perayaan Galungan di Bali. 3. Folklor bukan lisan (Non verbal folklore). Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bukan lisan dibagi menjadi dua sub golongan, yaitu materiil dan bukan materiil. Bentuk folklor yang termasuk ke dalam golongan materiil yaitu, a) Arsitektur rakyat; b) Seni kerajinan rakyat; c) Pakaian serta perhiasan; d) Obat-obatan rakyat; e) Makanan dan minuman; f) Alat-alat musik; g) Peralatan dan senjata seperti alat-alat rumah tangga, pertanian, senjata untuk perang atau berburu; h) Mainan seperti boneka dan kelereng. Golongan yang termasuk bukan materiil adalah a) Bahasa isyarat (gesture) seperti menggeleng-gelengkan kepala berarti tidak, menggangguk berarti ya, mengacungkan ibu jari berarti memuji; b) Musik seperti gamelan Jawa; Sunda, dan Bali; musik kulintang dari Minahasa. Salah satu folklor di daerah Indonesia yaitu di Dataran Tinggi Dieng yang terkenal adalah anak rambut gembel. Fenomena anak rambut gembel ini termasuk ke dalam folklor sebagian lisan.1 Anak berambut gembel menurut kepercayaan masyarakat setempat merupakan keturunan Kyai Kaladete yang merupakan tokoh spiritual yang sangat berpengaruh bagi keberlangsungan hidup warga masyarakat Dieng. Mereka menganggap Kyai Kaladete adalah nenek moyang para leluhur di Dieng, sehingga masyarakat menganggap mereka memperoleh anugerah besar jika diberi keturunan yang mempunyai rambut gembel. Selain itu, ada juga yang mengisahkan bahwa anak berambut gembel adalah anak kesayangan dari penguasa pantai selatan yaitu Nyai Roro Kidul. Anak berambut gembel diyakini sebagai penari saat berlangsung upacara besar pada malam satu Sura di kerajaan Nyai Roro Kidul. 1
Ken Widyatwati. “Tradisi Ruwatan Masyarakat Dieng”. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Diponegoro. Semarang. 2012
Hal ini menyebabkan masyarakat Dieng merasa memperoleh kehormatan jika mempunyai keturunan berambut gembel. Mereka percaya Nyai Roro Kidul sebagai penguasa pantai selatan akan memberikan banyak berkah dan rezeki kepada keluarga dan masyarakat Dieng. Selain folklor, upacara ruwatan rambut gembel di Dieng Kulon juga mengandung mitos. Menurut William R. Bascom (dalam James Danandjaja, 2007:50), mitos merupakan cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mitos ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Dalam hal ini, mitos tentang rambut gembel, berasal dari Kyai Kaladete yang menurunkan rambut gembelnya kepada anak-anak tertentu di Dieng dan tumbuhnya rambut gembel tersebut tidak sama waktu tumbuhnya setiap anak. Mitos tersebut masih dipercayai oleh masyarakat di dataran tinggi Dieng, karena masyarakatnya yang masih mempercayai mitos tersebut, maka mereka memperlakukan anak berambut gembel dengan istimewa, namun karena perlakuan masyarakat yang istimewa kepada anak berambut gembel ini, si anak tumbuh menjadi anak yang manja, nakal, dan tidak menuruti orang tuanya. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan berkaitan erat dengan ritual. Mitos adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan oleh ritual. Dalam suatu masyarakat, ritual dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan. Ritual adalah “acara” yang selalu dan setiap kali diperlukan, misalnya berkaitan dengan panen, kesuburan, inisiasi anak muda ke dalam kebudayaan masyarakat dan upacara kematian (Wellek & Warren, 1993:243). Masyarakat Dieng menggelar upacara ruwatan rambut gembel untuk menghindarkan si anak berambut gembel dari bencana dan malapetaka. Menurut kepercayaan masyarakat, jika tidak diadakan upacara, maka rambut tersebut akan tumbuh menjadi gembel kembali. Namun, jika diadakan upacara, rambut gembel tersebut niscaya tidak akan tumbuh lagi. Tidak ada alasan pasti mengapa hal itu bisa terjadi. Pengertian upacara, ritual, ceremony adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, dkk,
1984:190). Sedangkan ruwatan berasal dari kata ruwat yang
mendapat sufiks-an. Kata ruwat tersebut mengalami gejala metatesis, yakni berasal dari kata luwar, yang berarti terbebas atau terlepas (Darmoko, 2002:24). Menurut Koentjaraningrat
(1984:312) dengan menggunakan istilah ngruwat menjelaskan bahwa upacara ngruwat adalah upacara khas Agama Jawi2 yang dimaksudkan melindungi anak-anak terhadap bahayabahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bathara Kala, yakni dewa kehancuran. Selain itu, upacara ngruwat juga diadakan untuk menangkal bala dari hal-hal yang dianggap berbahaya. Tradisi ngruwat anak merupakan kebiasaan bersifat magis religius dari kehidupan penduduk asli Jawa. Tujuan ngruwat juga dapat sebagai pencegahan terhadap hal buruk. Niels Mulder (1985:27) menjelaskan bahwa: “Kadang-kadang syarat-syarat dan peristiwa-peristiwa dapat dikenali sebagai membahayakan dan secara potensial mengganggu, dan dalam hal ini syarat dan peristiwa itu harus dicegah dengan upacara dan ritual. Pada hakikatnya pencegahan (ngruwat) semacam itu merupakan suatu usaha untuk mengubah koordinatkoordinat yang tidak menguntungkan dengan yang teratur, untuk menghilangkan pengaruh jahat yang melayang-melayang di atas orang-orang yang mengalami penderitaan dari kemalangan yang dipaksakan (yang sukerta)” Ruwatan di Jawa merupakan upacara pembebasan bagi anak atau orang yang kelahirannya di dunia ini dianggap tidak menguntungkan, atau melakukan perbuatan perbuatan terlarang. Apabila hal itu terjadi, anak atau orang itu diancam dimakan Batarakala (Purwadi, 2005:218). Ada dua golongan orang yang disebut nandhang sukerta. Pertama karena kodrat yang disandang atau yang dibawa sejak lahir, kedua karena kelalaian perbuatan manusia. (Sutrisno Sastro Utomo, 2005:29). Ruwatan hanya dilakukan pada orang yang sukerta. Ada berbagai golongan yang termasuk orang yang sukerta. Menurut H. Karkono Kamajaya (1992:38) yang disebut manusia sukerta ada 3 macam yakni: 1. Golongan manusia cacad kodrati atau cacad karena kelahiran seperti : ontanganting, kedhana-kedhini , anak albino dan lain-lain. 2. Cacad karena kelalaian. Seperti: jisim lelaku, bathang angucap dan lain-lain. 3. Tertimpa sesuatu halangan misalnya memecahkan gandhik, merobohkan dandang dan mematahkan pipisan. Dalam hal ini, anak rambut gembel termasuk dalam kategori kodrati. 2
Agama Jawi atau lebih dikenal dengan sebutan kejawen merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsepkonsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik, yang bercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam (Koentjaraningrat, 1984:312)
Upacara ruwatan rambut gembel yang dibahas dalam penelitian ini adalah upacara ruwatan rambut gembel yang dilakukan di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara. Upacara ruwatan rambut gembel di Desa Dieng Kulon ini, diselenggarakan bersamaan dengan acara Dieng Culture Festival. Dieng Culture Festival merupakan festival kesenian dan kebudayaan; baik kesenian dan tradisi yang diselenggarakan atas kerjasama masyarakat dan instansi terkait. Tujuannya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke daerah Dieng. Acara ini berlangsung sejak tahun 2010, dengan menggelar upacara ruwatan rambut gembel dalam tata urutan acaranya secara rutin setiap tahunnya. Upacara ruwatan dalam Dieng Culture Festival, dilaksanakan di Komplek Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng, Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana fungsi upacara ruwatan rambut gembel di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui fungsi upacara ruwatan rambut gembel di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, yang sampai sekarang masih dilakukan.
Tinjauan Teoritis Sebagai salah satu folklor, upacara ruwatan rambut gembel ini tentu memiliki fungsi. Menurut William R. Bascom (dalam Suwardi Endraswara, 2009:126) sastra lisan (baca: folklor lisan dan sebagian lisan) mempunyai empat fungsi, yaitu: a) sebagai sebuah bentuk hiburan (as form of amusement); b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembagalembaga kebudayaan (it plays in validating culture, in justifying its rituals and institutions to those who perform and observe them); c) sebagai alat pendidikan anak-anak (it plays in education, as pedagogical device); d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (maintaning conformity to the accepted patterns of behavior, as means of applying social pressure and exercising social control). Cerita prosa rakyat merupakan bentuk atau genre folklor yang paling banyak diteliti oleh para ahli folklor. Menurut William R. Bascom, cerita rakyat dapat dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu: 1. Mite/mitos (myth), 2. Legenda (legend), dan 3. Dongeng (folktale). Seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang, mitos merupakan cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mitos ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Hal ini menitik beratkan pada seorang Kyai
Kaladete yang juga merupakan tokoh pembawa kebudayaan yang dianggap suci oleh masyarakat. Setelah mengetahui bahwa upacara ruwatan rambut gembel merupakan folklor yang mengandung mitos, kemudian diterapkan terhadap keempat fungsi folklor menurut William R. Bascom dan akan diuraikan pada fungsi-fungsi upacara ruwatan rambut gembel di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara.
Metode Penelitian Sumber data utama penelitian ini adalah video dokumentasi upacara ruwatan rambut gembel dalam acara Dieng Culture Festival tahun 2010 dari Humas SETDA Kabupaten Banjarnegara, yang merupakan data audio visual untuk penelitian ini, jadi hal pertama yang dilakukan adalah melakukan proses transkripsi. Setelah video dokumentasi tersebut ditranskripsikan hal yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan pendekatan metode penelitian kualitatif mencakup metode pengamatan dan wawancara. Metode pangamatan dilakukan dengan terjun langsung ke dalam masyarakat yang bersangkutan (pada tanggal 30 Juni - 1 Juli 2012 dan 17 Juni 2013). Setelah itu data diolah dan menggunakan metode wawancara sebagai pendukung data. Metode wawancara yang didapat kemudian dikembangkan oleh peneliti sendiri dan kemudian menggunakan studi kepustakaan yaitu menggunakan buku referensi, artikel jurnal, makalah ilmiah dan kamus. Setelah itu, menganalisis fungsi upacara ruwatan rambut gembel menggunakan teori fungsi folklor William R. Bascom.
Hasil Penelitian Pada analisis fungsi menunjukan bahwa upacara ruwatan rambut gembel mempunyai fungsi-fungsi folklor menurut teori folklor William R. Bascom yang digunakan dalam penelitian ini.
Pembahasan Dalam ilmu bahasa, “fungsi” merupakan istilah hubungan (relational term). Fungsi adalah hubungan di antara bagian dan keutuhan – entah di dalam sistem bahasa, entah bahasa sebagai bagian dari fenomena yang lebih luas. Hubungan ini sering dinyatakan dengan
ungkapan seperti “berfungsi sebagai”, “berperan sebagai”, “mendukung”, “berarti”, “merupakan alat untuk”, “yang dimaksud untuk”, dan sebagainya yakni ungkapan yang bersifat teleologis (Harimurti, 1991 : 7). Menurut Bascom (dalam Suwardi Endraswara, 2007:126), fungsi folklor tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Pemilik folklor tidak menganggap penting tentang asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Ada folklor di suatu tempat kurang berfungsi, di tempat lain justru memegang peranan penting. Karya folklor yang sama mungkin akan memiliki fungsi yang berbeda di daerah lain. Fungsi tersebut kadang-kadang berkaitan untuk meningkatkan gengsi, kelas dan elisititas seseorang. Penguasaan atas folklor tertentu bagi sebagian anggota kolektif dipandang lebih istimewa. Fungsi sebuah folklor kadang-kadang juga tergantung ekspresi cinta pencipta dan tuntutan lingkungan (audience) (Suwardi Endraswara, 2009:130). Analisis pertama dari teori fungsi folklor menurut William R. Bascom adalah fungsi folklor sebagai sebuah bentuk hiburan (as form of amusement). Penyelenggaraan upacara ruwatan rambut gembel ini bisa disebut sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat Desa Dieng Kulon, desa sekitar bahkan wisatawan yang hadir baik lokal ataupun asing. Acara ini menjadi andalan dalam Dieng Culture Festival yang diselenggarakan setiap setahun sekali. Ketika penulis menghadiri acara ini, tempat penyelenggaraannya yaitu di Komplek Candi Arjuna penuh dengan penonton baik anak-anak, remaja maupun orang tua. Bagi pengunjung yang ingin mengenal keberagaman potensi produk Banjarnegara, terdapat stand yang memamerkan potensi Banjarnegara antara lain : olah raga petualangan arung jeram sungai Serayu, salak organik, makanan khas Dieng, batik Gumelem, kerajinan serabut kelapa, keramik Klampok, produk pertanian aeroponik, bibit kentang dan lain-lain. Unsur hiburan dalam upacara rambut gembel ini terlihat pada saat Kirab. Saat Kirab dilakukan, para anak gembel diiringi oleh kesenian tradisional, yaitu tari Rampak Yakso Pringgondani, Lengger dan Singo Barong. Unsur hiburan terdapat dalam tari Rampak Yakso Pringgondani, pada dasarnya tarian ini memiliki tiga tokoh utama yaitu Gatotkaca, Hanoman, dan para buto (raksasa) yang
jumlahnya cukup banyak. Gatotkaca memiliki badan yang kekar, gagah, dan perkasa dengan gerakan-gerakannya. Hanoman adalah karakter kera dengan kostum putih yang terus bergerak liar kesana-kemari layaknya seekor kera. Sementara itu yang paling menonjol adalah para buto dengan kostum yang tampak mengerikan. Rambut panjang, gigi taring yang keluar, dan tatapan mata yang tajam. Dari segi gerak tarian sebenarnya tidak ada yang istimewa dari tari Rampak Yakso Pringgodani. Gerakan para buto sangat kaku dan hanya berupa hentakan-hentakan kaki seiring dengan suara gamelan yang dimainkan. Kerincingan yang terdapat di kaki penari membuat gerakan yang kaku itu membuat tarian sangat khas. Gatotkaca bergerak sangat elegan dengan badannya yang kekar. Sementara itu Hanoman bergerak sangat liar dan tidak sungkan-sungkan mengambil barang-barang dagangan yang ada di warung seperti rokok, snack, dan makanan lainnya. Para pedagang dengan rela memberikan barangnya ke Hanoman yang sedang usil ini. Bahkan Si Hanoman tidak sungkan mengejar wanita untuk merebut barang yang diinginkannya. Unsur hiburan juga terdapat dalam tari Lengger. Pertunjukkan tari Lengger diiringi indahnya bunyi alunan gamelan, alat musik tradisional dari Jawa. Tarian ini dibawakan sekelompok penari yang terdiri dari pria dan wanita yang berpasang. Pakaian yang dikenakan oleh penari wanita adalah kain jarit (kain panjang bercorak batik), selendang, kemben, mahkota, dan pastinya megenakan riasan muka yang membuatnya terlihat sangat cantik. Untuk penari pria hanya mengenakan kain jarit sepanjang paha dan memakai sumping di kepalanya. Kedua penari sama-sama menggenakan topeng berwarna merah, kuning dan hijau. Topeng tersebut menggambarkan setiap tokoh yang mereka tarikan. Hal unik yang menjadi hiburan dalam tari Lengger adalah ketika pesertanya mengalami mendhem atau kerasukan. Saat itulah sang penari seakan berada dalam kondisi di luar kesadaran dan mulai bertingkah aneh bahkan menirukan gerakan hewan seperti monyet atau harimau, bahkan kadang memakan pecahan kaca, menginjak bara api, mencambuk diri sendiri, serta aksi kekebalan lainnya. Hiburan seperti yang dilakukan seni tradisional seperti tari Rampak Yakso Pringgondani tersebut bisa juga dijadikan alat penarik massa yang penasaran bagaimana upacara ruwatan rambut gembel dilakukan, sehingga masyarakat akan membentuk keramaian. Analisis yang kedua yanitu Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembagalembaga kebudayaan (it plays in validating culture, in justifying its rituals and institutions to
those who perform and observe them). Upacara ruwatan rambut gembel merupakan sebuah upacara ritual untuk melepaskan malapetaka dalam diri si anak berambut gembel. Masyarakat percaya bahwa anak dengan rambut gembel harus diruwat. Dilakukannya upacara ruwatan rambut gembel bukan hanya akan menguntungkan si anak yang diruwat, tetapi juga seluruh masyarakat yang terlibat. Dalam upacara ruwatan rambut gembel, terdapat bermacam-macam sesaji atau sajen yang akan dipersembahkan kepada roh para leluhur, tempat upacara, perlengkapan upacara dan lain-lain yang berhubungan dengan alam gaib. Semua itu wujud dari menghargai dan menghormati roh leluhur yang merupakan pengesahan pranata dari masyarakat setempat. Puji-pujian dalam perjalanan rombongan menuju tempat Jamasan, bertujuan meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama acara dilangsungkan, semuanya berjalan lancar. Fungsi pengesahan pranata juga terlihat dari tahapan upacara ruwatan rambut gembel yaitu Ngalap Berkah atau mencari berkah. Pada tahapan ini, sesaji yang telah dibawa, sebagian diberikan kepada masyarakat yang telah hadir dan sebagian lagi dibawa bersama pelarungan rambut gembel. Ngalap berkah ini bertujuan mencari berkah dari upacara rambut gembel serta keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Fungsi folklor yang ketiga menurut William R. Bascom adalah folklor sebagai alat pendidikan anak-anak Seperti yang telah diketahui, yang diruwat dalam upacara ruwatan rambut gembel ini adalah anak-anak. Dengan si anak mengikuti prosesi upacara ini, maka dapat menanamkan kepercayaan kepada si anak serta memberikan pengetahuan yang sebelumnya tidak ia ketahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib. Selain menanamkan kepercayaan dan menambah pengetahuan kepada si anak terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib, dapat pula mempertebal emosi keagamaan. Upacara ruwatan rambut gembel diselenggarakan juga karena adanya emosi keagamaan yang menjadi faktor pendorongnya. Dengan adanya emosi keagamaan, mereka (pelaku dalam upacara) menganggap bahwa suatu benda, tindakan atau gagasan menjadi sesuatu yang keramat. Fungsi folklor sebagai alat pendidikan anak-anak juga terdapat dalam tembang Pangkur yang dinyanyikan oleh pemangku adat (terdapat dalam video).
Tembang : “Mingkar-mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung, kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.” “Jinejer ing Wedhatama, nora nganggo peparah lamun angling, lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, sepi asepa lir sepah samun, samangsane pasamuan gonyak ganyuk nglengling semu.” Terjemahan : Menahan diri dari nafsu angkara, karena berkenan mendidik putra, tersirat dalam indahnya tembang, dihias penuh variasi, agar menjiwai ilmu luhur, yang ada di tanah Jawa, agama adalah pakaian kehidupan. Ditata dalam kitab Wedhatama, jika bicara tidak ada tuntunan, tidak mau dikatakan bodoh, sering senang disanjung, kosong tanpa isi, ketika ada pertemuan berperilaku bimbang dan ragu sehingga memalukan. Tembang Pangkur tersebut mempunyai ajaran kepada si anak kelak setelah rambut gembelnya dipotong, harus menghindarkan diri dari nafsu jahat agar dapat mencapai ilmu yang luhur dan berguna di tanah Jawa dan agama adalah pegangan hidup yang berharga. Fungsi folklor keempat dari William R. Bascom adalah folklor berfungsi sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (maintaning conformity to the accepted patterns of behavior, as means of applying social pressure and exercising social control). Fungsi ini bisa dipahami sebagai fungsi sosial. Saat upacara rambut gembel diselenggarakan, semua unsur-unsur masyarakat turut serta di dalamnya. Semua ingin mengikuti prosesi upacara ruwatan rambut gembel. Sebagai sebuah upacara ritual yang melibatkan banyak masyarakat di dalamnya, tentu terdapat fungsi sosial yaitu dalam hal gotong royong dalam mempersiapkan segala kebutuhan upacara, samasama memiliki rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk membantu perekonomian desa Dieng Kulon. Hal-hal yang berhubungan dengan keperluan desa merupakan sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh masyarakat desa tersebut.
Rasa kewajiban yang
dimiliki masyarakat bisa disejajarkan dengan norma atau aturan yang tidak tertulis, yang sudah biasa berlaku. Namun, norma-norma atau aturan yang tidak tertulis tidak kuat secara hukum. Sebagai gantinya terdapat sangsi-sangsi yang membuat masyarakat akan selalu mematuhi norma-norma atau aturan yang berlaku di masyarakatnya.
Setelah menganalisis fungsi folklor dalam upacara ruwatan rambut gembel, dapat disimpulkan bahwa fungsi paling dominan adalah fungsi sebagai bentuk hiburan dan juga sebagai pariwisata. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu panitia : “Alhamdulillah, beban saya sebagai ketua Pesona agak sedikit berkurang, karena Alhamdulliah acara bisa lancar juga tanpa kekurangan suatu apapun. Alhamdulillah juga, cuaca cerah. Mungkin ada beberapa evaluasi di depan. Kalau misalkan akan diadakan ke depan, koordinasi harus lebih intens lagi antara panitia lokal dan panitia luar. Intinya, jangan sampai warisan budaya ini hilang, para penduduk desa dataran tinggi Dieng jangan sampai menjadi penonton saja di bidang pariwisata. Sebisa mungkin memang harus mendapat manfaat. Inilah inti dari DCF juga, Dieng Culture Festival adalah pemberdayaan ekonomi dari sektor wisata itu bisa tercapai. Mungkin itu harapan ke depannya.” Tercapainya fungsi hiburan tersebut, mendukung visi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara, yaitu “Terwujudnya Banjarnegara sebagai Daerah Tujuan Wisata ”. Sebagai salah satu instansi yang mewadahi seluruh kegiatan kebudayaan di Banjanegara, diadakannya upacara ruwatan rambut gembel yang merupakan inti dari acara Dieng Culture Festival ini, adalah bentuk pelestarian kebudayaan-kebudayaan khas dari Banjarnegara. Upacara ruwatan rambut gembel yang awalnya hanya memiliki nuansa religi, kini nuansa religinya pun berkurang menuju nuansa hiburan.
Kesimpulan Hasil pembahasan penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Upacara ruwatan dalam budaya Jawa adalah sebuah upacara ritual yang dilakukan untuk melepaskan seseorang dari bala dan hal-hal yang berbahaya. 2. Mitos-mitos di Dataran Tinggi Dieng sampai saat ini masih dipercaya secara turun temurun, dengan rutin diadakannya upacara ruwatan rambut gembel. 3. Sebagai salah satu bentuk folklor, upacara ruwatan rambut gembel merupakan hiburan bagi masyarakat sekitar maupun wisatawan dan sebagai suatu atraksi kesenian 4. Sebagai upacara ritual yang berfungsi untuk melepaskan bala dan hal-hal yang berbahaya. 5. Sebagai sarana mohon berkah (keselamatan) dan berfungsi sebagai pengesahan pranata.
6. Sebagai sarana pendidikan anak-anak, yaitu menanamkan kepercayaan kepada anak-anak dan menambah pengetahuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan dunia supranatural. 7. Upacara ruwatan rambut gembel mempunyai fungsi sosial dengan kegiatan gotong-royong dalam mempersiapkan acara. 8. Fungsi paling dominan adalah fungsi hiburan, berawal dari nuansa religius beralih menjadi nuansa hiburan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa upacara ruwatan rambut gembel adalah salah satu folklor di daerah Jawa yaitu Dataran Tinggi Dieng yang bertujuan melepaskan seseorang dari bala, dan hal-hal yang berbahaya dan hingga kini keberadaannya terus dilestarikan karena adanya kepercayaan secara turun temurun dan sebagai sebuah folklor, upacara ruwatan rambut gembel mempunyai fungsi-fungsi di dalam masyarakat.
Daftar Referensi Sumber Buku : Danandjaja, James. (1982). Folklor Indonesia Suatu Pengantar. Jakarta: FSUI. ------------------------. (2007). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Cet. VII – Jakarta: Kreatama. Endraswara, Suwardi. (2009). Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: MedPress. Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Kamajaya, Karkono, dkk. (1992). Ruwatan Murwakala Suatu Pedoman. Yogyakarta: Duta. Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. ---------------------. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. (1991). “Fungsi dan Fungsialisme Dalam Linguistik”. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar FSU, 25 September.
Mardalis. (1990). Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara. Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Purwadi. (2005). Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suseno, Franz Magnis. (2003). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Rajawali Press. Utomo, Sutrisno Sastro. (2005). Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: Effhar. Thohir, Mudjahirin. (2007). Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Semarang: Fasindo Press. Wellek, Rene dan Warren, Austin. (1990). Teori Kesusastraan (di Indonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia. Sumber Kamus : Poerwadarminta, W.J.S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: N.V. Uitgevers Maatscppij. Prawiroatmodjo, S. (1994). Bausastra Jawa-Indonesia Jilid I-II. Jakarta: Haji Masaguna. Sumber Jurnal : Darmoko. (2002). ”Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan Sosiokultural Masyarakat Jawa”. Makara, vol. 6 No. 1 Juni: Depok: DRPM UI. Sumber Laporan Penelitian : Widyatwati, Ken. (2012). Tradisi Ruwatan Masyarakat Dieng. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Diponegoro. Semarang. Sumber Skripsi : Aifanda, Herfin. (2008). ‘Tradisi Ruwatan Rambut Gembel’ (Studi Tentang Pemaknaan Upacara Ruwatan Rambut Gembel Bagi Masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo). Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Andis A.A, Christina. (1989). Respons Masyarakat Desa Kahuripan Kecamatan Watumalang, Wonosobo, Jawa Tengah Terhadap Anak Berambut Gembel. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Depok.
Anggraeni, Mariana. (2009). Hakikat dan Fungsi Permainan Sabung Ayam dalam Serat Ayam Jago. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Depok. Cahyono, Heri. (2007). Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Skripsi Sarjana. Fakultas Adab, Sejarah Kebudayaan Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Disertasi Wahjono, Parwatri. (1993). Hakikat dan Fungsi Permainan Ritual Magis Nini Thowok Bagi Masyarakat Pendukungnya, Sebuah Studi Kasus di Desa Banyumudal-Gombong. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Depok. Sumber Data Humas SETDA Banjarnegara. (2010). Dieng Culture Festival. (Rintan Octi Wulansari, Transkriptor).